Pencarian

Tujuh Bunga Pandawa 3

The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo Bagian 3


Fajar menyingsing, dan tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, pasukan Kurawa telah bergerak masuk ke pusat kota, dan segera menyerang dengan kekuatan penuh. Penduduk yang melihat serangan mendadak itu, lari terbirit birit menyelamatkan diri. Pasukan Amarta, yang sama sekali tak siap menghadapi serangan, berusaha melawan dan menyerang balik dengan segenap kemampuan dan senjata yang dapat diraihnya.
Timbullah peperangan yang agak aneh. Pasukan Kurawa yang berseragam, dan bersenjata lengkap, berteriak teriak penuh semangat menyerang lawannya. Sedangkan lawannya, dengan pakaian seadanya, dengan senjata yang seadanya pula, berusaha mati matian mempertahankan diri. Pedang bertemu dengan arit, keris bertemu dengan cangkul, dan kadang kadang tombak harus bertemu dengan bakul bakul dari bamboo yang dilemparkan kesana kemari untuk mempertahankan diri.
Raja Gangga Trimuka yang sakti mandraguna, segera dapat menguasai pertempuran, dan dengan tenaganya yang luar biasa besar, dia berhasil merangsek masuk ke istana, dan membobol pintu gerbang. Dengan kesaktiaanya yang luar biasa, Pandawa Lima dapat dia kalahkan, dan segera dia ringkus. Amarta, kali ini benar benar lengah.
Dengan sombongnya, Raja Gangga Trimuka berdiri di depan istana, dan memperlihatkan tawanannya kepada seluruh pasukan yang bertempur. Pasukan Amarta yang melihat para rajanya telah bertekuk lutut, seketika melemparkan senjatanya masing-masing ke atas tanah, dan menyerahkan diri. Sebaliknya, para pasukan Kurawa, melihat Gangga Trimuka berhasil menawan para raja Amarta, kini berteriak teriak kegirangan, dan bagai orang yang kalap, mereka menari-nari dengan penuh riang gembira. Sedangkan Gangga Trimuka, tertawa terbahak bahak dengan bangganya.
Hahahahaha& ternyata cuma segitu to kemampuan kalian?"" katanya sambil menatap mata tawanannya.
Berarti Si Sengkuni itu telah bohong padaku. Atau memang karena dia sangat bodoh! Orang nggak sakti kayak gini kok di bilang sakti& .. katanya sambil mengagumi dirinya sendiri.
Pandawa Lima, yang sekarang telah benar benar tak berdaya, sama sekali tak berkutik di hadapan Gangga Trimuka. Tubuh mereka diikat satu sama lain, sehingga bila salah satu berusaha untuk melepaskan diri, maka berarti itu merupakan siksaan bagi yang lainnya. Gangga Trrimuka memang tidak hanya sakti, namun dia juga cerdas. Sayang kecerdasannya tak dapat menolongnya dari perbuatan nista, bahkan dengan mudah dimanfaatkan, hanya karena iming-iming seorang wanita yang menggoda.
Prajurit, bawa tawanan ini ke Istana Girisamodra. Aku ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka akan mati lemas. Hahahahahahaha!! Perintahnya. Dan seketika para prajurit telah berlari membawa semacam tanda yang cukup besar, cukup untuk menampung para Pandawa.
Mereka dibawa menuju ke Kerajaan Girisamodra beramai-ramai. Di sepanjang jalan, pasukan Kurawa tertawa terbahak bahak kegirangan. Peperangan kali ini berhasil mereka menangkan, bahkan berhasil membawa tawanan. Gangga Trimuka tak kalah senangnya. Dia terbayang bayang akan wilayah Tribuwana, dan wajah ayu dan tubuh yang padat berisi dari gadis yang telah diimpikannya, Kuntulwinari.
Moooooooooaaaaannn& .. Pamoooooooooooaaannnn& & & Seru Durmogati dari luar Istana Astinapura. Dia berlari lari kencang, dan dengan tingkahnya yang sombong, sambil menari-nari sesuka hati di pelataran istana.
Kamu kenapa Dur" tanya Kartomarmo yang kebetulan sedang duduk di plataran itu, dibawah pohon jambu monyet, sambil menikmati rokoknya.
Ealah& . Kamu nggak ikut pelang (perang) to Mo" seru Durmogati dari kejauhan sambil terus berjingkrak jingkrak menari.
Ehemm& uhukk..uhuukkk& & Nggak Dur& & masih meriang& . Jawab Kartomarmo sambil membenarkan letak sarungnya.
Woalah Moooo& lah wong sakit bengek kok dipiala lama-lama& . Kaya aku ini lho& sehat wal afiat& Seru Durmogati. Kartomarmo diam saja. Durmogati kemudian datang menghampirinya.
Ini Mo& . Aku bawa ail dali sungai sana, dekat medan pelang. Sapa tahu jadi obat batukmu itu to& kata Durmogati sambil memberikan sir yang dibawanya dengan bejana kecil yang dimasukkan dalam sakunya. Kartomarmo menurut saja, dia ambil air itu dan kemudian meminumnya.
Huaaahhh& . Huusshh..puih& puih& & .. Kartomarmo seketika langsung memuntahkan air itu.
Air apa ini Dur" Kamu mau ngracuni aku ya" tanay Kartomarmo berang.
Hahahahahaha& lha nggak tahu to Mo& .. kata simbah yang nunggu sungai itu, ail itu bisa buat obat& .. jawab Durmogati tertawa tergelak gelak.
Kurang ajar kamu ya Dur& Kartomaromo bangkit dari duduknya dan telah mengepalkan tangan kanannya untuk menghajar Durmogati.
E..ee& .ee& ee& & Ada apa ini" terdengar seseorang berteriak dari bibis Istana Astinapura. Durmogati dan Kartomarmo seketika menoleh kearah suara itu. terlihat laki-laki tua, dengan hidung mancung, rambut janggutnya panjang, dengan jubah panjangnya. Melihat laki-laki itu, Kartomarmo mengurungkan niatnya, sedangkan Durmogati langsung menghambur, berlari mendekati laki-laki itu. Pamoaaaaaannnn& & & Serunya sambil berlari.
Ada apa to Dur" tanya laki-laki itu setelah Durmogati dekat. Hah..hah& hah& haus Man& jawab Durmogati sambil terengah engah.
Minum dulu sana!!! Kayak nggak tahu aturan!!!! jawab laki-laki itu. durmogati langsung lari masuk ke istana, dan sejenak kemudian telah keluar lagi, menemui laki-laki itu.
Paman Sengkuni& beles& .. kata Durmogati sambil mengacungkan ibu jarinya.
Beres apanya" tanya Sengkuni.
Itu lho Man, laja Muko Muko itu, memang hebat kok Man. Pandawa sudah kalah, ditawan olehnya, dan sekalang dibawanya ke sana& kata Durmogati memberi laporan sambil menirukan dengan gerak-geriknya.
Raja Gangga Trimuka, Dur& .. kata Sengkuni sambil geleng geleng kepala. Yaa& itu Man& . Tlimuko muko itu& jawab Durmogati mengiyakan. Pandawa kalah Dur" tanya Sengkuni lagi.
Kalah Man& . Sssiapa to panglimanya& .. jawab Durmogati sambil menepuknepuk dadanya.
Iya& .iyaaa& & . Durmogati kok& kata Sengkuni menyenangkan Durmogati. terus mereka dibawa kemana Dur" tanya Sengkuni lagi.
Anu Man& . Itu di kelajaan si Muko Muko itu& . jawab Durmogati sambil menunjuk nunjukkan sebuah arah. Sengkuni menjadi tertawa geli melihat tingkah laku Durmogati. Dia memang ingin menggodanya.
Lhaaa& .. Paman kok malah ketawa tuh gimana& . Seru Durmogati melihat Sengkuni terpingkal pingkal.
Ya kerajaan Gangga Trimuka tuh dimana" tanya Sengkuni lagi.
Itu lho Man, gili-gili apa gitu& gili kuncolo atau apa gitu& . Durmogati masih juga ingin menerangkannya.
Hahahahahaha& Girisamodra, Dur& . Jawab Sengkuni.
Nhaaa.. itu Man& . Gilisamodla& . Kata Durmogati sambil mengacungkan ibu jarinya lagi.
Benar berita itu Dur" Kamu lihat sendiri atau hanya dapat laporan" tanya Sengkuni.
Wah, ya benel to Man. Saya liat sendili itu. meleka belhasil menangkap pala pandawa, dan sekalang dibawa ke Gilisamodla& kata Durmogati berapi api.
Baiklah. Bagus! Hebat juga kamu Dur, bisa mengalahkan mereka& . Dah sekarang kamu istirahat sana. Aku mau menghadap Prabu Duryudana, melaporkan kemenangan ini. Kata Sengkuni sambil berjalan masuk ke istana.
Siap Man& . Lha tapi& .. tapi& & " seru Durmogati. Sengkuni menghentikan langkahnya.
Tapi apa lagi Dur" tanya Sengkuni.
Mbok Wolo Sumbodlo gimana" Jadi milik saya to" tanya Durmogati mengharap. Hahahaha& & . Ambil sana& & jawab Sengkuni seenaknya.
Cihuuuuyyyyyyy& & . Durmogati berteriak kegirangan dan berlari lari sambil menari meninggalkan istana Astinapura.
Sengkuni dan Duryudana yang mendapat laporan dari prajurit telak sandi akan kemenangan mereka itu, tertawa terbahak bahak. Mereka berhasil memperalat Gangga Trimuka untuk membunuh para Pandawa. Untuk merayakan kemenangan itu, dipanggillah seluruh putra Kurawa ke Istana Astinapura, untuk mengadakan pesta pora. Mereka segera menyiapkan balairung istana, dan disulapnya menjadi tempat pesta. Minuman minuman keras segera tersedia, dan dengan tangan tangan kasar mereka, mereka tenggak minuman itu sepuas puasnya.
Suara gamelan telah mengalun, dan wanita wanita cantik segera berdatangan, dan langsung berpasang pasangan dengan para putra Kurawa yang semakin mabuk akan kenikmatan dunia. Tawa tawa wanita nakal terdengar di sana sini, dan pintu pintu kamar telah tertutup, disertai dengusan nafas dan teriakan teriakan nakal wanita di dalamnya. Sungguh sebuah pemandangan yang menjijikkan.
Para Pandawa yang kini telah menjadi tawanan Gangga Trimuka, semakin tak berdaya, dengan dimasukkannya mereka di sebuah ruangan yang terbuat dari kaca. Rupanya, Gangga Trimuka ingin sekali menyaksikan para Pandawa mati lemas dengan pelan pelan.
Di Kerajaan Girisamodra, tempat Gangga Trimuka menyaksikan kelima ksatria Pandawa itu semakin lama semakin lemas, juga tak kalah gilanya dengan istana Astinapura. Bahkan lebih gila dari semuanya. Semua punggawa kerajaan, mabuk oleh minuman, dan wanita wanita bergelimpangan tanpa busana, memuaskan nafsu mereka, tanpa malu dan tanpa rasa sungkan.
Hampir semua sudut istana yang ada, terdapat sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang begulat memuaskan nafsu mereka. Kain kain terleparkan, tubuh tubuh polos berjalan kesan kemari tanpa malu,meminta dan melayani ke semua laki-laki yang menginginkannya. Teriak teriakannya, mengundang birahi semakin memuncak. Malam itu, semua melepaskan segalanya yang selama ini mengikat dirinya.
Menjelang pagi, terlihat sisa sisa makanan berserakan, dan tubuh tubuh bergelimpangan tak sadar akan diri, oleh minuman yang mereka tenggak sepuas puasnya tadi malam. Disana sini terlihat tubuh tubuh wanita dan laki-laki tanpa busana, dengan keadaan terlentang bagai binatang.
Gangga Trimuka yang dapat menguasai dirinya lebih cepat dari yang lainnya, segera terbangun saat mendengar sebuah benda mengeluarkan bunyi pecahan. Dia tergagap dan segera melihat ruang kaca untuk menawan para Pandawa.
Ruang yang terbuat dari kaca itu telah pecah, dan para ksatria Pandawa terlihat bersusah payah untuk keluar dari tempat itu. Gangga Trimuka segera bangkit dari tempat duduknya, dan segera berlari menuju ruang kaca. Namun sial baginya. Sebuah kepalan tangan cukup keras membentur mukanya, membuatnya terpental ke belakang dan jatuh terjerembab.
Kurang ajar!!! gerutunya sambil mengusap bibirnya yang telah berdarah. Dia mendongak ke atas, dan telah berdiri di hadapannya seorang laki-laki, dengan kumis melintang di bawah hidungnya, rambutnya panjang kumal, dan matanya melotot seperti mau keluar.
Gila!!! Siapa kau?"?" belum juga bibirnya terkatup, wajahnya telah membentur telapak kaki laki-laki itu. Sekali lagi tubuhnya terpental dan jatuh berguling guling.
Gangga Trimuka, yang belum sadar betul akan keadaannya, semakin lemas, menjadi bulan bulanan laki-laki itu.
Gangga Trimuka berusaha bangkit dan berdiri. Laki-laki itu membiarkannya. Dia ingin perang tanding dengan raja yang berkelakuan seperti binatang itu.
Keparat kau, aku bunuh kau sekarang juga!!! teriak Gangga Trimuka sambil merangsek, menyerang membabi buta ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu, justru seperti mendapatkan mainan baru. Tubuh Gangga Trimuka di putar putarnya sedemikian rupa, di pukul dan di tendang seenaknya.
Semakin lama, Gangga Trimuka semakin tak berdaya. Laki-laki itu, menoleh ke arah lima ksatria yang masih terbaring lemas. Kekhawatiran menghinggapi dirinya akan keselamatan mereka berlima. Maka, diputuskannya untuk segera mengakhiri peperangan tak bermoral ini.
Gangg Trimuka!!!! katanya keras keras di depan muka Gangga Trimuka. Raja Girisamodra itu melihat ke arahnya dengan wajah penuh kebencian, namun apa daya, kekuatannya telah sirna, terkuras habis oleh pertempuran yang dipermainkan oleh laki-laki itu.
Ingat ingatlah namaku sebelum ajalmu!!! Akulah Antasena, ksatria dari Kisiknaramada, putra dari Bratasena, ksatria Pandawa yang akan kau bunuh!!!! Bersiaplah!!!!! selesai berucap demikian, dijilatnya tubuh Gangga Trimuka, dan seketika, tubuhnya lemas, lumpuh, layu dan tewas.
Setelah tewasnya Gangga Trimuka, laki-laki yang bernama Antasena itu segera membalikkan badannya dan berlari menuju lima ksatria yang telah lemas. Segera dia mengambil sesuatu dari balik bajunya, sebuah cupu kecil, yang kemudian dari cupu itu muncul cairan yang diminumkan ke masing-masing mulut lima ksatria Pandawa itu. Dan luar biasa, kelima ksatria itu lambat laun sadar, dan bangkit dari tidurnya.
Mereka semua heran melihat Antasena telah berdiri di antara mereka. Ayah, dan paman sekalian, mari kita pulang. Gangga Trimuka telah tewas di tanganku. Kini saatnya kembali pulang ke Amarta& .. katanya tanpa basa basi.
Antasena anakku& & kata Bratasena. Dia hanya mau menyebut nama anaknya itu, untuk mengucapkan terimaksih padanya. Memang seperti itu kebiasaanya Bratasena yang terkenal sangat mahal untuk mengeluarkan kata kata. Terimakasih anakku Antasena& .. kata Puntadewa.
Mari Dimas, kita kembali ke Amarta, biar Antasena yang membimbing perjalanan kiat. Ajak Puntadewa kepada Bratasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Tiba di Amarta, mereka di sambut dengan meriah oleh rakyat yang telah menunggununggunya. Penduduk sengaja menyambut kedatangan mereka dengan kemeriahan, menyambut kedatangan para pahlawan yang berhasil di selamatkan oleh Antasena.
Dari mana mereka tahu kedatangan ini Truk" tanya Antasena kepada Ki Lurah Petruk yang terlihat sangat sibuk sebagai ketua panitia penyambutan.
Seorang prajurit telik sandi telah mengabarkan berita itu pada Ndara Kresna jawab Petruk sambil berteriak teriak karena telinganya terganggu oleh suara hingar-bingar perayaan itu.
Lalu mengapa pakai acara kaya ginian to Truk" Itu para sesepuh kan nggak begitu suka acara acara seperi ini& kata Antasena lagi.
Eh& . Anu kok Ndra& .. anu& . Jawab Petruk ragu ragu. Anu& anu apa" sentak Antasena tak sabar.
Eh& anu& ini semua kemauan Ndara Jenakawati& .. jawab Petruk sungkan. Heh?"?"" Jenak& & . Mulut Antasena ditutupi kedua tangan Petruk.
Jenakawati& & . Bisik Anatasena ke telinga Petruk setelah tangannya terlepas dari mulutnya.
Iya Ndara, jangan keras keras, nanti aku dimarahi sama Ndara Jenakwati, pacar sampean to Ndara" jawab Petruk sambil tersenyum senyum.
Antasena tiba tiba ingin sekali melihat wajah gadis itu. Maka, di dongakkannya wajahnya, dan dia tebarkan seluruh pandangannya ke seluruh sudut istana.
Dan di sudut istana, terlihat seorang gadis, sedang duduk sendiri menikmati pemandangan kemeriahan pesta itu. Dan saat mata Antasena tertumbuk padanya, rupanya gadis itu juga sedang mencari cari laki-laki gondrong itu. Dan, mata bertemu mata. Antasena tertegun oleh tatapan mata gadis itu.
Dan, gadis itu melambai lambaikan tangannya, memanggilnya untuk datang mendekat padanya.
Ihik& .ihik& & itu dia di sebelah sana Ndara, pacar sampean itu. Silakan dinikmati Ndara.. kata Petruk sambil berlari memberikan sebuah isyarat dengan tangannya ke arah Antasena.
Kurang ajar kau Petruuuuuuuuuuuk& & & teriak Antasena sambil berlari mengejar Petruk untuk memberinya pelajaran. Petruk berlari sambil tertawa terbahak bahak, dan menyelinap di keramaian warga.
Dan kini, tiada alasan bagi Antasena untuk tak mendatangi Jenakawati, kekasihnya itu.
Halo Dik& . Apa kabar& & sapa Antasena sambil berdiri bertolak pinggang sambil klepas klepus menikmati rokok pemberian Ki Lurah Petruk Kantong Bolong. Kakang kemana aja& .. tanya gadis itu dengan nada manja.
Biasalah Dik& & jalan jalan& . Jawab Antasena menutupi pertemuannya dengan Petruk.
Jalan jalan sama siapa Kakang" Sama Ki Lurah Petruk" tanyanya dengan senyum menggoda.
Ah, enggak& tadi kebetulan ketemu di jalan. Kenapa" Kangen sama Petruk ya" kata Antasena balik menggodanya.
Hmmmm& .. iya& .. jawab gadis itu.
Heh?"?"" Petruk?"?" Kangen sama Petruk?"?" Antasena membuang rokoknya yang tiba tiba terasa sangat tidak enak, dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
Iya& Beliau kan Lurah yang baik hati dan perhatian, gak seperti Kakang& . Jawab gadis itu ketus, wajahnya bersungut sungut. Antasena yang melihat wajah seperti itu, menahan geli, dan hampir tertawa. Dia tahu gadis ini tentu baru sedang ingin diperhatikan dan dimanja.
Baiklah, aku panggilkan Petruk ya& & kata Antasena sambil berjalan meninggalkan gadis itu.
Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang& & & & .. tangan Antasena ditariknya kuat kuat untuk menahannya, hingga Antasena jatuh terduduk di sampingnya. Antasena tersenyum senyum sendiri.
Kakang tuh nggak pernah kangen sama aku ya& gadis itu merajuk. Tentu saja aku kangen& .. jawab Antasena.
Lalu kenapa tak pernah datang berkunjung" tanya gadis itu lagi. Eh..anu& . emmm& anu& & . Antasena tergagap.
Anu apa" kejar gadis itu.
Emmm& emm& & Antasena belum mampu menjawab. Ada gadis lain ya" tanyanya kemudian sambil tersenyum senyum. Jenakawati& & kekasihku& & Antasena berusaha merayunya.
Iya kan" Ada gadis lain kan" gadis itu semakin mengejarnya dengan wajah bersungut sungut.
Ah, enggak kok& . Enggaaaakkk& .. tukas Antasena.
Atau Kakang lebih suka mengintip gadis gadis desa yang sedang mandi" tanyanya semakin menggoda.
Hah?"" kok gitu" Antasena bertanya dengan penuh keheranan.
Iya, kata Ki Lurah Petruk, Kakang kan ksatria yang mampu terbang, menembus bumi, dan mampu hidup di perairan sungai. Jadi, tentu Kakang lebih suka duduk di dan berjaga di sungai, karena dapat melihat tubuh gadis gadis desa yang sedang mandi& .. katanya sambil tertawa cekikian.
Petruuuuuuuuuuuuuukkkkkkkkkkkkkkkkkk& & & & & & & & & .. teriak Antasena dan kemudian mengecup bibir gadis kekasihnya itu, dan berlari mencari dimana keberadaan Petruk, untuk benar benar diberi pelajaran !!!
Wisanggeni, Dua Rajawali Terbang Tinggi
Seorang pemuda terlihat berjalan hilir mudik di halaman belakang sebuah istana. Pemuda itu bertubuh sedang, berkulit kuning, berdada bidang, serta otot otot yang menonjol di bagian bagian tubuhnya. Wajahnya tampan, dengan hidung mancung, alis mata yang lurus serta tatapan mata yang tajam. Gerak-geriknya yang mantap dan lincah, menunjukkan pemuda itu sangat cerdik. Dan tatapan mata yang tajam, memperlihatkan betapa percaya dirinya dia pada dirinya sendiri.
Sesekali dia berhenti, lalu kemudian berjalan lagi. Kadang kadang dia menghela nafas panjang. Makanan dan minuman yang disediakan untuknya, terlihat sama sekali tak tersentuh. Pemuda itu bagai mencari sesuatu, namun tiada sesuatu yang hilang atau terjatuh di tempat itu. Kadang dia duduk bertopang dagu, dan mengangguk angguk seolah telah mendapatkan sesuatu. Namun sebentar kemudian dia berdiri dan berjalan hilir mudik lagi.
Sementara di beranda yang menghadap halaman belakang itu, terlihat seorang wanita yang duduk di kursi, sendirian, menunggui makanan dan minuman yang sama sekali belum tersentuh itu. Dia mengawasi setiap gerak dari pemuda itu. Ada perasaan cemas dan khawatir yang terlihat dimatanya, mengingat pemuda itu telah beberapa hari bertingkah sedemikian rupa, dan jarang sekali menyentuh makanan dan minuman yang disediakan. Bahkan bila malam tiba, pemuda itu masih juga berada di halaman itu, duduk dan melihat bintang bintang yang bertaburan.
Wanita itu masih berusaha menahan keingintahuannya, namun hal itu masih ditahannya. Dia khawatir untuk bertanya, khawatir bila pertanyaannya akan membuyarkan apa yang sedang dipikirkan. Wanita itu pun memilih untuk diam dan menunggu, karena dia yakin, suatu saat, pasti pemuda itu akan menemuinya dan akan mengatakan sesuatu yang menjadi pemikirannya.
Dan benar. Pemuda itu terlihat menoleh kearahnya, dan seuntai senyum tersungging di bibirnya. Pemuda itu segera berjalan mendekatinya. Dan dengan senyumnya yang ramah, dia segera menghampiri wanita itu, dan segera mendekat, duduk dihadapannya dan mencium kedua tangannya.
Selamat pagi Ibu& .. kata pemuda itu. Kadang, pemuda ini bisa sangat manja kepada ibunya. Namun kadang, dia bisa sangat mandiri tak membutuhkan seorang pun disampingnya.
Pagi Wisanggeni& .. Apa yang kau lakukan Nak" bertanya ibunya dengan senyuman hangat seorang ibu.
Dimanakah Kakek" Wisanggeni balik bertanya.
Hei& & .. Tumben sekali engkau menanyakan Kakekmu" jawab Ibunya sambil tersenyum menggodanya. Wisanggeni hanya tersenyum, dan bangkit dan segera duduk di sebelah ibunya.
Memang, Wisanggeni sangat jarang mencari atau bahkan bercakap-cakap dengan kakeknya, Batara Brama. Bukan karena benci ataupun tidak suka, namun ini semua karena peristiwa beberapa puluh tahun lalu, saat dia dipaksa untuk dilahirkan dari rahim ibunya, Dewi Dresanala, dan kemudian masa mudanya, dihabiskan dalam asuhan Hyang Baruna, Sang Penguasa Lautan, dan Hyang Antaboga, Sang Penguasa Dasar Bumi, bersama dengan saudaranya, Antasena dan Antareja. Wajar kiranya bila Wisanggeni, disamping mampu terbang seperti kakeknya, dia juga mampu untuk hidup di dasar samudra seperi Antasena, maupun hidup di dasar bumi seperti Antareja.
Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu Nak" tanya Dewi Dresanala. Wisanggeni diam tak menjawab, namun matanya menerawang jauh. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan pada Kakek Bu& . Jawab Wisanggeni.
Yah, tunggulah barang sebentar. Kakekmu tentu juga akan datang kemari seperti biasa. Nah, sambil menunggu Kakekmu, ceritakanlah pada Ibu tentang Prabasini& kembali Dewi Dresanala kembali menggodanya. Dewi Dresanala berbuat demikian, karena dia ingin memancing emosi anak satu satunya itu, agar tak larut dalam pikiran dan kembali termenung seperti hari hari sebelumnya.
Ah Ibu& & jawab Wisanggeni dengan wajah masam. Dewi Dresanala tersenyum lebar, dan tertawa kecil. Dia senang sekali melihat Wisanggeni yang demikian. Walaupun dengan muka masam, setidaknya Wisanggeni bisa meninggalkan pikirannya yang berkelana tak tentu arah.
Dewi Prabasini, adalah cucu dari Batara Indra, seorang bidadari yang telah mengikat hati Wisanggeni. Mereka berdua memang sangat serasa. Wisanggeni yang tampan mempesona, serta Prabasini yang cantik jelita, sangat pantas bagi mereka untuk dipersandingkan. Dresanala yang mengetahui mereka saat ini sedang dalam masa puncaknya saling tertarik dan mengagumi, kadang menggoda anak lakilakinya itu untuk menceritakan tentang kekasihnya yang cantik jelita.
Dresanala kadang geli sendiri bila dia sebut nama Dewi Prabasini, dan kemudian Wisanggeni menjadi bersungut sungut, kadang juga tersenyum, bahkan kadang menjadi tersipu malu. Dresanala menjadi teringat masa mudanya dulu saat pertama kali menjadi seorang wanita sejati bagi suaminya, Raden Arjuna. Mungkin seperti itulah sikap dia saat itu, seperti sikap Wisanggeni saat ini.
Saat ibu dan anak itu saling bercanda bercerita, dari dalam ruangan utama, keluarlah laki-laki tua, yang berjalan menuju tempat ibu dan itu duduk bercengkerama. Ingin sekali rasanya ikut bergabung dengan mereka dan menikmati kehangatan hubungan dalam keluarga.
Laki-laki tua yang masih terlihat gagah, dengan tubuh yang tinggi besar, tegap, dan berjalan dengan penuh percaya diri, hampir sama dengan sifat sifat yang dimiliki Wisanggeni. Yang membedakan adalah, terdapat sebuah guratan pada wajahnya, akan sebuah masa lalu yang tak dapat dihapusnya, dan disesalinya seumur hidupnya. Dan itu adalah tentang keluarganya sendiri, anak dan cucunya, Dewi Dresanala dan Bambang Wisanggeni.
Namun saat ibu dan anak itu melihat kedatangannya, mereka berdua terdiam. Ada perasaan khawatir apabila mereka berdua telah berbuat sesuatu yang kurang pantas ataupun kurang sopan. Laki-laki tua itu mengeluh dalam hati. Mengapa mereka berdua bersikap demikian. Mungkin ini semua karena sikapnya dulu, waktu itu terhadap mereka berdua. Laki-laki itu kadang menyesali diri atas apa yang telah diperbuatnya kepada ibu dan anak itu.
Laki-laki tua itu kemudian melemparkan senyumnya. Senyum yang tak seperti biasanya. Kali ini senyumnya sangat hangat dan ramah. Dengan senyumnya itu, seolah dia ingin mengatakan, Teruskanlah Nak, teruskanlah canda tawamu, janganlah sungkan. Aku sangat ingin bergabung dengan kalian, dan menikmati kehangatan dalam sebuah keluarga&
Melihat laki-laki tua itu tersenyum lebar, dan tanpa perubahan sikap tetap melangkah menuju Dresanala dan Wisanggeni, mereka pun menjadi lega. Dan mereka kemudian menyambut kedatangannya dengan penuh kehangatan. Laki-laki tua itu kemudian memeluk mereka berdua, dan menciumi kening mereka. Ada semacam perasaan haru di dalam hatinya. Haru karena betapa bahagia mereka bertiga saat ini, setelah masing-masing dari mereka mampu melupakan masalah masalah yang terjadi di masa lalu.
Mereka bertiga kemudian terlihat bercengkerama dengan hangat. Makanan dan minuman yang sama sekali tak tersentuh oleh Wisanggeni, kini telah hampir habis. Hangatnya suasana, telah merubah nafsu dan kalutnya pikiran, menjadi sebuah suasana bagai pesta, dimana betapa sangat sederhana makanan yang ada, akan menjadi terasa sangat nikmat luar biasa. Bahkan makanan dan minuman itu kini telah hampir habis.
Cucuku, Wisanggeni dan kau Dresanala& . Kata laki-laki tua itu.
Iya Kakek& .. jawab Wisanggeni, hampir berbarengan dengan jawaban Dresanala, Iya Ayah& .
Ibu mu telah mengatakan padaku bahwa beberapa hari ini, engkau terlihat begitu resah, dan itu membuat Ibu mu dan Aku menjadi khawatir. Bukankah begitu Dresanala" kata laki-laki itu, ayah dari Dresanala dan kakek dari Wisanggeni, Batara Brama, Dewa Penguasa Api.
Benar Ayah. Kami mengkhawatirkan keadaanmu Nak& jawab Dresanala sambil menepuk-nepuk punggung Wisanggeni. Wisanggeni tersenyum kecil. Dia tak menyangka bahwa ternyata Ibunda dan Kakeknya sangat perhatian padanya.
Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu Ngger" Bolehkan Kakek tahu" tanya Batara Brama. Winsanggeni masih diam.
Tentu Ayah. Tentu ada yang sangat mengganggu pikirannya& sahut Dresanala dengan semangat.
Oya" Apakah itu Ngger" tanya Batara Brama jadi penasaran.
Tentunya tentang Prabasini, Ayah& . Sahutnya Dresanala sambil melirik kearah Wisanggeni. Wisanggeni jadi tersenyum geli bercampur dengan rasa malu.
Ah, Ibu& .. sahut Wisanggeni cepat. Dresanala tertawa, demikian juga dengan Batara Brama. Mereka tertawa melihat perubahan sikap dan raut muka dari Wisanggeni.
Oh& .. tentang Prabasini" Batara Brama pura pura tak tahu.
Ah Kakek& & sudahlah& . Jawab Wisanggeni semakin tersipu malu. Dresanala sangat gemas menyaksikan tingkah anaknya itu, hingga dia menepuk-nepuk punggung anak itu berkali kali dan mengelus elus kepalanya.
Katakanlah Ngger& . Barangkali Kakekmu ini dapat membantumu& kata Batara Brama.
Sebelumnya maafkan Aku, Kakek, dan Ibu& mungkin pertanyaanku terlalu dini, atau mungkin tak pantas bagiku untuk menanyakan tentang hal itu. Namun Aku sungguh sangat terganggu dengan pertanyaan pertanyaan yang berputar putar di kepalaku. Jawab Wisanggeni.
Apakah itu Ngger" tanya Batara Brama lagi.
Ini menyangkut masa depan sesepuh sesepuhku Kek& & jawab Wisanggeni. Batara Brama mengerinyitkan dahinya, dan memandang ke arah Dresanala dengan penuh keheranan. Demikian juga dengan Dresanala. Dia tak kalah herannya dengan ayahnya, akan apa yang menjadi pemikiran Wisanggeni.
Apa maksudmu Wisanggeni" tanya Batara Brama tak sabar.
Kakek, apakah yang akan terjadi pada perang Barat Yuda kelak" Apakah para sesepuhku, Pandawa yang akan berjaya, ataukah sebaliknya, keluarga Kurawa yang akan menjadi pemenangnya" bertanya Wisanggeni dengan kata kata yang sangat jelas dan tegas.
Batara Brama dan Dresanala bagai tersentak. Mereka sama sekali tak menduga akan pertanyaan Wisanggeni itu. Seorang cucu yang masih belia, telah mempunyai pemikiran yang jauh ke depan. Dresanala da Batara Brama sangat bangga mempunyai keturunan seperti itu.
Mengapa engkau bertanya demikian Ngger" tanya Batara Brama dengan wajah serius.
Maaf Kek, Ibu& .. Jika pihak Kurawa yang akan memenangkan perang Baratayuda, biarlah aku akan maju sebagai senopati untuk kemenangan Pandawa& . Kata Wisanggeni.
Batara Brama terdiam. Dia ragu akan berkata apa. Dia tahu apa yang akan terjadi pada perang Baratayuda kelak, namun sebagai Dewa Api, dia sama sekali tak berhak untuk menjawab pertanyaan itu.
Ngger& & . Kakek tak bisa menjawab pertanyaanmu& . Kata Batar Brama pelan.
Mengapa Kek" Bukankah Kakek juga seorang dewa, yang tentu mengetahui apa yang akan terjadi kelak" tanya Wisanggeni. Batara Brama mengeluh dalam hati, mengapa dia dikaruniai cucu yang sangat cerdas seperti ini.
Baiklah kek, jika Kakek tidak berwenang untuk menjawab pertanyaanku, katakanlah Kek, siapakah yang berwenang untuk menjawab" tanya Wisanggeni lagi.
Hanya Sang Hyang Wenang yang berwenang menjawabnya Ngger& . Jawab Batara Brama.
Dimanakah Beliau berada Kek" tanya Wisanggeni semakin mengejar.
Temuilah Beliau di Kahyangan Alang Alang Kumitir, Ngger& . Jawab Batara Brama.
Baiklah Kek& . Jawab Wisanggeni sambil beringsut dari duduknya. Namun ditahannya oleh Dresanala.
Hendak kemana engaku Nak" tanya Dresanala.
Aku hendak ke Kahyangan Alang Alang Kumitir, Ibu& . Jawabnya. Sekarang ini" tanya Ibunya.
Tentu saja Ibu& . Jawab Wisanggeni tegas.
Sabarlah Nak& . Tunggulah barang sebentar. Engkau akan mendapatkan tamu istimewa hari ini. Buka begitu Ayah" kata Dresanala.
Benar Ngger, benar kata Ibumu. Tunggullah hingga matahari tergelincir. Kasihan, tamu itu telah jauh berjalan hanya untuk bertemu denganmu& kata Batara Brama meyakinkan.
Baiklah Kek& jawab Wisanggeni.
Dan benar, tak berapa lama dari pembicaraan mereka berakhir, melentinglah tubuh seseorang yang tiba tiba berdiri di halaman belakang itu. Seorang pemuda, yang tubuhnya hampir sama dengan Wisanggeni. Namun kulitnya terlihat lebih gelap, kumis yang melintang, mata yang bulat dan besar, dan rambutnya yang panjang sebahu.
Dia berjalan dengan gagah, dengan tanpa rasa ewuh-pekewuh , segera mendatangi tempat Batara Brama, Dresanala dan Wisanggeni.
Selamat siang Eyang Brama, Ibu Dresanala, dan Adi Wisanggeni& .. sapanya sambil terus berjalan dan langsung menjatuhkah dirinya duduk di sebelah Wisanggeni.
Dresanala yang melihat tingkah tamunya, seolah dia melihat Wisanggeni. Dia tersenyum geli. Sedangkan Batara Brama, hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Ada apa Ibu Dresanala" Kok melihatku terus malah tersenyum senyum sendiri& kata tamu itu.
Tak mengapa Bocah Gemblung, Antasena& . Dari mana saja kau" tanya Dresanala.
Hahahahaha& .. biasalah Ibu, jalan jalan. Anak muda kok. Ya to Ni" jawab Antasena sambil menyenggol tubuh Wisanggeni.
Bagaimana kabar Ibu dan Ayahmu, Antasena" tanya Dresanala kemudian. Masih seperti biasa Ibu, semuanya sehat wal afiat.. jawab Antasena. Masih gondrong pula rambutmu Antasena" kini bertanya Batara Brama.
Hahaha& iya Eyang& .. belum bertemu tukang cukur& jawab Antasena sekenanya.
Kakek, Ibu, siapakah tamu istimewa yang akan datang itu" tanya Wisanggeni tak sabar. Batara Brama dan Dresanala tersenyum dan saling pandang.
Itulah tamu istimewamu Ngger& & yang duduk di sebelahmu itu& . Jawab Batara Brama sambil menahan tawa.
Oalah, kamu to Kang" Ada apa kok tiba tiba datang kesini, tanpa ada kabar" Dasar Kakang Gemblung& kata Wisanggeni pada Antasena. Dresanala dan Batara Brama semakin tertawa terpingkal-pingkal melihat mereka saling berbicara, dengan bahasa mereka sendiri. Wajarlah kiranya mereka menjadi sangat akrab, dan mempunyai panggilan sendiri sendiri, yang kadang kurang enak di dengar oleh orang lain, tapi itulah mereka.
Disamping usia mereka yang sebaya, pada masa mudanya, mereka sama sama pernah di asuh oleh Hyang Baruna, kakek Atasena. Maka mereka pun tumbuh berkembang bersama sama. Dari seluruh jagad pewayangan, hanya satu orang yang kesaktiannya seimbang dengan Wisanggeni. Dialah Antasena, yang mempunyai keistimewaan sama dengan Wisanggeni. Sifatnya pun hampir sama. Pemberani, jujur, tiada lawan yang ditakuti, tangguh, tiada rasa wuh-pekewuh, setia pada pengabdiannya. Perbedaanya adalah, Antasena terlalu lugu dan polos, sedangkan Wisanggeni lebih cerdik dan banyak akal.
Ada apa to Ni" Kok kamu kelihatan murung" tanya Antasena. Ibu Dresanala, kenapa Wisanggeni" Apakah bertengkar lagi dengan Prabasini" tanya Antasena pada Dresanala. Dresanala semakin tertawa melihat mereka berdua bercanda.
Ayolah Ni, jangan lama lama. Prabasini itu cantik lho, ya to Ibu Dresanala" Kalo kelamaan, nanti kalah duluan sama aku lho Ni. Aku juga mau kok sama Prabasini& kata Antasena sambil menepuk-nepuk dadanya. Dresanala semakin tertawa melihat Antasena menggoda anaknya.
Hahahahaha& ..Kakang Gemblung& .. Wisanggeni sedikit mengumpat. Dresanala dan Batara Brama bahagia melihat mereka berdua bercanda hingga tertawa terbahak bahak.
Kang Antasena,mari jalan jalan bersamaku& kata Wisanggeni kemudian.
Hei& .. tumben kau mengajakku jalan jalan. Jalan jalan kemana to Ni" tanya Antasena.
Ke Kahyangan Alang Alang Kumitir, menemui Sang Hyang Wenang& jawab Wisanggeni.
Hei?"?"?" Benarkah" Benarkah Eyang Brama" tanya Antasena tak percaya. Batara Barama mengangguk pelan.
Kenapa kita kesana to Ni" Kan ada Eyang Brama disini& . Kata Antasena. Justru kita kesana atas perintah Kakek, Kakang Gemblung& .. sahut Wisangeeni.
Wisanggeni kemudian menceritakan pembicaraannya dengan Batara Brama dan Dresanala saat sebelum kedatangan Antasena. Antasena manggut manggut mendengarnya.
Demikiankah Eyang, Ibu" tanya Antasena setelah Wisanggeni selesai bercerita.
Benar begitu Ngger, Cucuku Antasena& jawab Batara Brama. Dresanala juga menganggukkan kepalanya membenarkan cerita Wisanggeni.
Lantas, kapan sebaiknya kita berangkat Ni" tanya Antasena.
Tak perlu menunggu bergantinya hari atau bergulirnya matahari Kang, saat ini juga kita berangkat.. kata Wisanggeni sambil bangkit dari duduknya. Antasena segera bangkit pula mengikuti adiknya itu. Wisanggeni, adalah putra dari Arjuna, sedangkan Antasena adalah putra dari Bratasena, kakak dari Arjuna. Maka, Wisanggeni terhitung adik dari Antasena. Wisanggeni, walaupun adik dan usianya lebih muda, namun Antasena sangat hapal betul dengan tingkah lakunya. Kadang Wisanggeni bisa menjadi sangat cerdas, pintar dan dewasa dibanding dirinya. Dan saat seperti ini, Wisanggeni ada pada keadaan seperti itu. Antasena hanya menuruti dan mendampinginya saja.
Ibu, Kakek, aku mohon diri& . Kata Wisanggeni setelah tiba di bibir beranda. Ibu Dresanala, Eyang Brama, Antasena berangkat kata Antasena pula.
Hati hati Ngger, jaga diri kalian baik baik& jawab Batara Brama dan Dresanala hampir bersamaan. Batara Brama dan Dresanala berdiri berdampingan menyaksikan kedua pemuda itu melentingkan dirinya bersama sama dan kemudian terbang menuju angkasa menembus cakrawalah menuju Kahyangan Alang Alang Kumitir.
Dua pemuda yang luar biasa& kata Batara Brama setelah mereka berdua hilang ditelan awan sambil memeluk tubuh Dresanala, anaknya, ibu dari Wisanggeni, pemuda luar biasa itu.
Tabir Yang Terkuak Sang Hyang Wenang, sedang duduk di taman Kahyangan. Taman yang indah penuh dengan tanaman serta rumput hijau yang terhampar luas. Tiada yang dilakukannya selain menikmati keindahan alam, setelah hampir seharian penat bekerja dan memberikan perintah pada Batara Penyarikan untuk mencatat segala hal yang akan terjadi pada perang Baratayuda.
Saat Sang Hyang Wenang sedang khusuk menikmati keindahan taman Kahyangan, tiba tiba meluncur dua buah sinar putih dari cakrawala dihadapannya, dan dengan cepat berkelebat kelebat saling berkejaran satu sama lain di atasnya, dan dengan anggun turun ke bawah dan mendarat tepat di hadapannya.
Kedua buah sinar itu, kini berubah menjadi dua orang pemuda yang besarnya hampir sama, dengan raut muka yang mirip satu sama lain, namun yang satu terlihat lebih rapi dari yang lain.
Salam Pukulun& & & kata pemuda yang lebih bersih, diikuti dengan lambaian tangan kanan tanda hadir dari pemuda yang satunya. Sebuah cara yang aneh untuk mengucapkan salam terhadap seseorang yang dihormati dan tentunya lebih tua dari mereka. Tapi, itulah mereka. Sang Hyang Wenang segera dapat mengenali mereka berdua. Hanya sedikit orang, bahkan terlalu sedikit yang berani bersikap seperti itu di hadapannya.
Salam Cucuku& .. Bagaimana kabarmu serta sesepuh sesepuhmu" jawab Sang Hyang Wenang.
Berkat doa pangestu Pukulun, semua dalam keadaan baik baik saja& . Jawab pemuda tadi.
Tak ada hujan dan tak ada angin, Wisanggeni dan Antasena datang menghadap. Ada apakah gerangan kiranya" tanya Sang Hyang Wenang sambil berjalan berbalik arah, menuju tempat duduk yang lebih lebar, cukup untuk duduk mereka bertiga. Wisanggeni dan Antasena mengikuti di belakang Sang Hyang Wenang, dan segera duduk bersila di lantai.
Sudahlah Cucuku, naiklah. Duduklah bersama Eyang buyutmu ini. Tak perlu kalian duduk di situ. Naiklah& . Kata Sang Hyang Wenang. Wisanggeni dan Antasena saling berpandangan, dan lalu saling bersenggolan minta pendapat. Akhirnya mereka berdua menganggukkan kepalanya, dan bangkit untuk duduk bersama Sang Hyang Wenang.
Wisanggeni, bagaimana kabar Kakek serta Ibunda mu" tanya Sang Hyang Wenang.
Atas doa Eyang, semua baik baik saja. Salam dan sembah bakti dari Kakek dan Ibu, Eyang& jawab Wisanggeni sambil menyembah hormat.
Dan kau Antasena, masihkah kau menjadi bocah gemblung yang tak tahu aturan" tanya Sang Hyang Wenang.
Berkat doa pangestu Eyang Pukulun, masih Eyang& & .. jawab Antasena seenaknya. Sang Hyang Wenang tertawa terkekeh kekeh.
Baguslah kalau semuanya selamat dan baik baik saja. Sekarang, katakanlah, apa tujuan kalian kemari" tanya Sang Hyang Wenang.
Ampun Eyanh pukulun, maafkan kami berdua bila kami lancang untuk menemui Eyang pada saat seperti ini.. kata Wisanggeni.
Tak mengapa Wisanggeni. Katakanlah! jawabnya.
Kami berdua datang menghadap Eyang, untuk meminta jawaban atas pertanyaan kami, karena kami bertanya pada Kakek Brama, Beliau mengatakan bahwa beliau tidak berwenang untuk menjawab, dan satu satunya yang berwenang untuk menjawab pertanyaan kami adalah Eyang Pukulun& jawab Wisanggeni, yang diamini oleh Antasena.
Benar Pukulun, benar yang dikatakan Adi Wisanggeni.. timpal Antasena. Sang Hyang Wenang menarik lehernya kebelakang dan dahinya berkerut kerut.
Apakah pertanyaan itu, sehingga kalian harus menemuiku, dan hanya akulah yang wenang untuk menjawab pertanyaanmu" kata Sang Hyang Wenang. Tentang Baratayuda kelak Eyang& . Kata Wisanggeni tanpa basa basi. Kenapa dengan Baratayuda" tanya Sang Hyang Wenang heran.
Menurut Eyang, siapakah yang akan berjaya dalam perang Baratyuda kelak" Sesepuh Pandawa, ataukah Kurawa" tanya Wisanggeni.
Hmmmmm& & .. Wisanggeni, Antasena& & . Sang Hyang Wenang menarik nafas panjang. Apa yang kalian pikirkan berdua Ngger& & & & & ." Lanjutnya.
Sebagai cucu dari keturunan para pandawa, tentu kami ingin sekali turut serta sebagai senopati perang untuk kejayaan keluarga Pandawa kata Wisanggeni tegas. Antasena mengangguk angguk dibelakangnya. Sang Hyang Wenang masih juga diam.
Betapa besar darma bakti anak anak ini& . Kata Sang Hyang Wenang dalam hati.
Bagus, Wisanggeni dan kau Antasena. Niatmu sungguh terpuji dan mulia. Namun sangat disayangkan, Pandawa akan kalah dalam perang Baratayuda. Jawab Sang Hyang Wenang dengan nada tegas pula.
Wisanggeni dan Antasena terhenyak. Mereka saling berpandangan, dan tak percaya apa yang dikatakan Sang Hyang Wenang.
Mengapa demikian Eyang" Tanya Wisanggeni.
Iya, kenapa Mbah.." Tanya Antasena menjadi agak kesal dan kecewa. Semuanya tergantung kalian& . Jawab Sang Hyang Wenang tenang.
Kami?"?"" Apakah kami kurang sakti" Apakah kami kurang tangguh" Apakah kami kurang kuat" Tanya Wisanggeni bertubi tubi.
Bukan itu Ngger& .. bukan itu& & . Jawab Sang Hyang Wenang menenangkan. Lalu kenapa Mbah& .." timpal Antasena.
Justru kalian terlalu sakti buat semuanya, tidak hanya Kurawa, namun juga bagi keluargamu, Pandawa, bahkan bagi sebagian dari kami, para dewa.. kata Sang Hyang Wenang. Antasena dan Wisanggeni saling pandang. Mereka kebingungan, tak tahu apa maksud dari Sang Hyang Wenang.
Ngger cucuku sekalian, cobalah kalian ingat ingat. Pernahkah kalian bersitegang dan bertarung dengan mereka semua, baik dengan Kurawa, keluarga Pandawa, atau bahkan dengan para dewa" bertanya kemudian Sang Hyang Wenang.
Antasena dan Wisanggeni kemudian berusaha mengingat ingat semua peristiwa yang telah mereka alami dalam pergesekan dengan mereka yang telah disebutkan. Keduanya lalu mengangguk-angguk hampir bersamaan, hingga seperti burung yang mematuk-matuk makanan.
Pernah Eyang& jawab Wisanggeni. Iya Mbah& & pernah& . Timpal Antasena.
Nah, apakah kalian pernah terkalahkan, dan lawan kalian memperoleh kemenangan" Tanya Sang Hyang Wenang lagi.
Keduanya saling berpandangan, dan seolah berjanji, mereka berdua saling menggeleng gelengkan kepalanya.
Nah& . Kalian tahu& & . Kata Sang Hyang Wenang lagi.
Lantas, bukankah kami akan menjadi sangat kuat, dan memenangkan Baratayuda tersebut Eyang" bertanya Wisanggeni tak sabar.
Itulah Ngger& & & . Perang Baratayuda adalah peperangan antara dua keluarga. Itu peperangan mereka, bukan peperangan kalian. Jawab Sang Hyang Wenang. Maksud Eyang" Tanya Wisanggeni.
Mereka yang akan bertempur, adalah manusia dengan manusia. Kami para dewa hanya dapat menyaksikan. Demikian juga dengan kalian& jawabnya.
Kami" Kami juga hanya akan menyaksikan?"" Tanya Wisanggeni hampir bersamaan dengan Antasena.
Benar Ngger, karena kalian adalah manusia setengah dewa& & . Jawab Sang Hyang Wenang dengan nada berat. Itulah mengapa kalian tak dapat dikalahkan. Dan hal itu akan mempengaruhi keseimbangan dalam perang Baratyuda. Jawab Sang Wenang.
Jadi, maksud dari semua itu" Tanya Wisanggeni. Iya Mbah,maksudnya apa ini, bingung saya& Antasena sambil menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal.
Jika kalian akan ikut bertempur sebagai senopati Pandawa, maka Pandawa akan kami kalahkan. Namun jika kalian tidak ikut bertempur, maka Pandawa yang akan memenangkan Baratayuda& jawab Sang Hyang Wenang.
Wisanggeni dan Antasena terdiam. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Sejenak tempat itu hening, sunyi tanpa suara. Hanya tiupan angin yang membawa daun daun kering jatuh ke tanah, bergerak.
Lantas, apa yang kami lakukan Eyang. Tentu kami tak mungkin hanya akan duduk berpangku tangan menyaksikan keluarga kami bertempur demi ibu pertiwi& berkata kemudian Wisanggeni. Sang Hyang Wenang masih diam.
Apa yang harus kami lakukan untuk membantu kemenangan para Pandawa, Eyang" Tanya Wisanggeni. Sang Hyang Wenang berpikir sejenak. Matanya berputar putar, jari telunjuknya menunjuk ke keningnya, mulutnya miring ke kanan dan kiri.
Aha& & & Ada dua syarat!!!! teriak Sang Hyang Wenang sambil mengacungkan jarinya. Wisanggeni dan Antasena terkejut dibuatnya. Mereka berdua semakin mendekatkan duduknya.
Dua syarat?"" Wisanggeni dan Antasena hampir bersamaan.
Syarat yang pertama adalah, bebaskan para sesepuhmu dari sandera Sang Batara Kala. Bebaskan mereka, dan bunuhlah Batara Kala& jawab Sang Hyang Wenang.
Syarat kedua, untuk kemenangan Pandawa pada Baratayuda kelak, diperlukan pengorbanan. Tumbal! kata Sang Hyang Wenang. Wisanggeni dan Antasena semakin tertarik, dan semakin mendekatkan duduk mereka ke Sang Hyang Wenang.
Kami siap untuk menjadi tumbal, demi kemenangan para Pandawa Eyang& . Kata Wisanggeni semakin mendekat.
Hmmm& ..belumlah cukup& .. kata Sang Hyang Wenang, seolah dia berkata pada dirinya sendiri.
Maksudnya gimana to Mbah" Sampeyan tidak ndleming to Mbah?"?" Tanya Antasena yang mulai kesal sejak tadi dibuat berputar putar otaknya. Wisanggeni menahan geli mendengar pertanyaan Antasena itu.
Jikalau kalian bersedia untuk berkorban, itu belumlah cukup Ngger& . Kata Sang Hyang Wenang.
Maksud Eyang" Tanya Wisanggeni tak sabar.
Dibutuhkan tumbal 7 orang, selain kalian berdua. Kata Sang Hyang Wenang tegas. Wisanggeni memandang ke arah Antasena yang mulai gelisah. Gelisah oleh kebingungannya. Kaki kirinya kemudian menginjak keras ibu jari kaki Antasena.
Haddooooohhhhhh& & . Ni& & & teriak Antasena menahan sakit sambil mengelus elus kakinya. Sang Hyang Wenang terkejut dan menoleh ke arahnya.
Haddoohh& haddoohhh& & . Kira kira to Niiii& & .. kata Antasena pada Wisangeni. Wisanggeni hanya tersenyum. Itu salah satu cara membangunkan saudara tuanya itu.
Jika 7 orang yang diperlukan, berarti masih kurang 5 lagi Eyang. Siapakah mereka" Tanya Wisanggeni. Kali ini Antasena mau tak mau menyimak pembicaraan itu, walau dengan mulut meringis menahan sakit.
Sang Hyang Wenang kembali berpikir. Dia berusaha mengingat sesuatu. Kembali jari telunjuknya menunjuk keningnya, matanya berputar putar dan mulut bergerak gerak dan mengeluarkan suara tak jelas.
Mulai Mbah& .. seloroh Antasena yang telah menyaksikan keanehan seperti itu sebelumnya. Mereka berdua menunggu hasil dari pikiran Sang Hyang Wenang itu.
Satu, Ki Lurah Sagotra, dua, Resi Janadi, tiga, Bambang Rawan, empat dan lima, kalian berdua, enam, Bambang Irawan, adikmu, tujuh, Antareja, kakakmu& .. jawab Sang Hyang Wenang bersungguh-sungguh, dengan menunjukkan satu persatu jari hitungannya.
Pas& . Tujuh orang! katanya kemudian.
Ki Lurah Sagotra, Resi Janadi, dan Bambang Rawan?"?" Siapakah mereka Eyang" tanya Wisanggeni. Dai begitu tertarik dengan tiga nama itu. Dia sama sekali belum pernah mendengar tiga nama itu, namun mengapa tiga nama itu disejajarkan pula pengabdian mereka terhadap para Pandawa?"
Tentu mereka adalah orang orang yang luar biasa& .. bisik Wisanggeni dalam hati.
Cukup Ngger berdua. Pukulun telah cukup memberimu petunjuk. Untuk petunjuk lebih lanjut, akan kalian dapatkan nanti oleh Uwakmu Kresna. Sekarang, bantulah para sepuhmu Pandawa yang sedang di telan oleh Batara Kala. Hanya kalian berdua yang mampu menyelamatkan mereka berdua Ngger. Segeralah berangkat. Kata Sang Hyang Wenang dengan wajah bersungguh-sungguh.
Wisanggeni dan Antasena terhenyak, dan segera bangkit dari duduknya. Dimanakah mereka Eyang& .. Tanya Wisanggeni.
Meluncurlah ke Hutan Kurusetra, disana terdapat arca gajah, disanalah para sesepuhmu di telan oleh Batara Kala. Jawab Sang Hyang Wenang. Itu adalah syarat kalian yang pertama, bebaskan para sesepuh Pandawa dari Batarakala. Lanjutnya.
Terimakasih Eyang, kami berangkat& . Kata Wisanggeni sambil melontarkan tubuhnya ke angkasa.
Pamit Mbah& & kata Antasena menyusul Wisanggeni, tebang ke angkasa dan selanjutnya berbelok turun ke bumi dan terbang menuju Hutan Kuru Setra. Mereka berdua terbang bagia sepasang burung rajawali yang dengan gagah perkasa terbang di angkasa untuk mencari mangsa. Mata mereka menatap tajam ke arah bumi, dan menelisik dimanakah tempat itu berada. Semakin lama semakin jelas terlihat, pegunungan yang menghijau, tanah sawah yang menguning, dan lautan yang membiru. Mereka semakin mempercepat laju terbangnya.


The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Awan yang memutih, tertembus oleh dua pemuda itu yang melesat cepat. Mereka sama sekali tak tahu kemana arah yang tepat. Hingga sebuah sinar putih melesat, tak kalah cepat dengan kecepatan mereka berdua. Sinar itu terlihat memancarkan cahaya putih kekuningan, seperti emas yang memancarkan cahaya terangnya.
Sinar kekuningan itu dengan cepat menyusul dan berdampingan dengan Wisanggeni dan Antasena.
Dimas Wisanggeni, Antasena& . Sapanya setelah mendekat.
Hei Kangmas Gatotkaca, apa yang kau lakukan disini" tanya Wisanggeni gembira bertemu dengan Gatotkaca. Gatotkaca hanya tersenyum.
Hahahaha& . Gatoooottt& & kata Anatsena sambil menepuk-nepuk punggung adiknya itu.
Hendak kemanakah kalian berdua" tanya Gatotkaca lagi.
Tuh& tanya adikmu& .. jawab Antasena sambil menunjuk ke arah Wisanggeni.
Kami mencari Rimba Kurusetra, Kangmas& . Jawab Wisanggeni masih dengan terbang kecepatan tinggi. Tapi kami tak tahu arah.. Kangmas hendak kemana" katanya kemudian.
Sama. Aku diutus Uwak Kresna untuk ke Rimba Kurusetra, tapi harus terbang melintasi daerah sini, rupanya Beliau ingin aku bertemu dengan kalian berdua& jawabnya.
Uwak Ireng mengutusmu ke Rimba Kurusetra juga, Tot" tanya Antasena.
Benar & .. jawab Gatotkaca. Beberapa waktu lalu para sesepuh Pandawa bertapa di Rimba Kurusetra, namun tiba tiba lenyap. Aku di utus Uwak Kresna untuk melacaknya& lanjutnya.
Hmmm& . Tahu saja dia& .. kata Antasena. Wisanggeni dan Gatotkaca menoleh kearahnya.
Maksudmu" mereka bertanya hampir bersamaan.
Seperti itulah Uwak kalian itu. Perintahnya pasti penuh dengan arti, dengan maksud tertentu.. jawab Antasena dengan wajah bersungguh-sungguh. Wisanggeni dan Gatotkaca tak begitu paham dengan maksud kata kata Antasena. Namun mereka diam saja. Mereka tak bertanya lebih lanjut tentang itu, karena mereka tahu, Antasena juga bukan orang sembarangan, yang kadang mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Jika Antasena telah berkata dengan wajah bersungguhsungguh, itu artinya bahwa dia sedang bersungguh-sungguh pula, dan mereka harus semakin waspada.
Engkau hapal dengan jalan menuju Rimba Kurusetra Kakang" tanya Wisanggeni pada Gatotkaca.
Tentu saja Dimas. Hampir setiap hari aku melintasi daerah itu, untuk mengawasi setiap perkembangan keadaan yang ada, dan melaporkannya kepada Uwak Kresna. Jawab Gatotkaca.
Bagus. Antarkan kami berdua kesana Kakang& kata Wisanggeni.
Mari kita sama sama kesana.. jawab Gatotkaca sambil berbelok arah dan kemudian menukik kencang, diikuti oleh WIsanggeni dan Antasena. Ketiga pemuda itu terbang membentuk tiga buah sinar yang dengan anggun melintasi langit sore hari, dengan berjajar jajar dan menuju satu arah, Kurusetra.
Menjelang malam, mereka tiba di padang Rimba Kurusetra, dan segera melacak keberadaan arca gajah yang telah disebutkan. Mereka bertiga berpencar, untuk mempercepat pencarian. Dalam keadaan normal, tentu tak sulit untuk mencari keberadaan sebuah benda walaupun di hutan rimba, apalagi oleh Wisanggeni, Antasena dan Gatotkaca, yang masing-masing menguasai ilmu penerawangan yang tajam, yang dapat melihat segala sesuatu yang tersembunyi hanya cukup dengan memejamkan mata dan mengatur nafas serta memusatkan konsentrasi.
Namun kali ini, benda yang dicari adalah jelmaan dari Batara Kala, dewa yang sejajar tingkatannya dengan kakek kakek mereka. Bahkan dalam hal tertentu, Batara Kala mempunyai kelebihan dibandingkan dengan dewa kebanyakan. Dimana Batara Kala adalah raja dari semua dewa kegelapan.
Dengan ilmu pangalimunan tingkat dewa, tentu mereka bertiga tak mudah menemukannya. Setelah sekian lama mereka berpencar dan mencari namun tak membuahkan hasil, mereka bertiga segera kembali berkumpul. Mereka bertiga kemudian sepakat untuk menggabungkan seluruh kekuatan mereka menjadi satu, dengan poros kekuatan Wisanggeni.
Maka tiga pemuda itu kemudian berdiri membentuk garis segitiga, masing-masing tangan bertautan, dan tangan kiri mereka bersatu dan saling menggenggam erat di tengah. Dengan tiga kekuatan yang digabungkan itu, lambat laun tabir gelap tersingkap. Gelap yang ada di depan mata, perlahan mulai terang dan cerah, dan seberkas sinar terlihat berkelip kelip di depan mata mereka. Berhasil& .. bisik mereka dalam hati.
Mereka kemudian semakin merapatkan barisan. Mereka bertiga geleng geleng kepala, melihat betapa tanggung pertahanan arca gajah jelmaan Batara Kala itu.
Ni, aku tak sanggup nggempur gajah itu sendirian Ni. Kamu bagaimana Gatot" kata Antasena. Gatotkaca juga hanya geleng geleng kepala.
Baiklah Kakang Antasena dan Gatotkaca, aku sendirian juga takkan mampu menggempur arca gajah jelmaan Batara Kala itu. Bantulah aku Kakang& .. kata Wisanggeni.
Siap Ni& . Jawab Antasena dan segera mengambil posisi berdiri di samping kiri Wisanggeni, dan Gatotkaca di samping kanan Wisanggeni. Dengan memusatkan pikiran dan mengumpulkan tenaga dalam yang masing-masing mereka miliki, mereka segera memusatkannya pada Wisanggeni. Dan dengan aba aba dari Wisanggeni, mereka segera melancarkan pukulannya.
Blaaarrr& & & .!!!! Terdengar suara ledakan bergemuruh. Arca gajah itu, terlihat mengepulkan asap yang bergulung gulung, dan lenyapnya asap itu, terlihat bongkahan bongkahan arca gajah yang berserakan, dan robohlah arca itu tak berbentuk. Dari dalam arca gajah itu, satu persatu muncul bayangan laki-laki satu persatu keluar dari asap, dan semakin lama semakin jelaslah siapakah mereka itu.
Puntadewa, Bratasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, mereka berdiri berjajar jajar di atas bongkahan bongkahan arca gajah itu. Dan dengan hormat, hapir bersamaan mereka membungkukkan badan ke arah Wisanggeni, Antasena dan Gatotkaca.
Namun tiba tiba sesuatu terjadi. Sebuah bayangan hitam dan besar muncul dari balik reruntuhan arca gajah. Bayangan hitam kelam dan besar itu berdiri dan menatap mereka bertiga dengan mata merah penuh kebencian. Wisanggeni, Antasena dan Gatotkaca kembali waspada.
Bocah bocah kurang ajar! Suaranya besar dan berat. Berani benar kalian menghancurkan bangunanku!!! kata bayangan hitam itu. Tahulah mereka bahwa bayangan itu tentu Batara Kala yang menampakkan dirinya.
Hahahahaha& . Mbah Kala, kenapa kau jadi hitam seperti ini" Apakah jadi patung gajah itu telah membuatmu tak pernah mandi to Mbah" kata Antasena seenaknya, sengaja memancing kemarahannya.
Bocah gila! Sudah bosan hidup rupanya kalian!!!! Batara Kala mengangkat tongkat yang ada di tangan kanannya dam ingin menghancurkan mereka bertiga. Ni& .. tugasmu!!!! kata Antasena sambil menepuk punggung Wisanggeni.
Siap Kakang! kata Wisanggeni. Sebelum sempat tongkat di tangan kanan Batara Kala itu terangkat, telapak tangan Wisanggeni telah mengeluarkan bara api suci. Dan betapa dahsyat api suci itu, setelah menyentuh bayangan hitam itu, bayangan itu lebur menjadi debu yang beterbangan ditiup angin malam.
Leburnya bayangan itu, bersamaan dengan munculnya sebuah suara yang berat namun lantang, dan semua yang hadir di tempat itu dapat mendengarnya.
Wisanggeni, kau telah berhasil meleburkan ku dan meruwatku dari mala tirmala dengan api sucimu, maka telah sempurnalah tempatku di Kahyangan. Aku doakan agar Pandawa meraih kemenangan pada Perang Baratyuda& .. Sri Batara Kresna, salam ku untukmu& . kata suara itu menggema dan lambat laun hilang tertiup angin.
Suasana menjadi tenang kembali setelah kepergian Batara Kala. Terselip senyum lega di bibir Wisanggeni dan Antasena.
Satu syarat telah tuntas Kakang Gemblung& .. kata Wisanggeni. Benar Ni& & .. tinggal yang kedua ini yang agar rumit. Jawab Antasena. Rumit bagaimana to Kang" Wisanggeni tak mengerti maksud Antasena.
Lihatlah nanti. Para Pandawa akan seperti anak kecil yang menangis kehilangan mainannya& jawabnya sambil tertawa.
Ah Gemblung& & & tukas Wisanggeni.
Puntadewa dan segenap Pandawa lainnya, menunggu mereka bertiga menuntaskan semuanya. Setelah selesai, mulailah mereka bercakap-cakap.
Terimakasih Anak anakku& & kata Puntadewa. Wisanggeni, Antasena dan Gatotkaca, segera menjatuhkan dirinya, dan berdiri dengan lutunya, menyembah mereka berlima.
Selamat datang kembali, Pandawa Lima& & katanya bersamaan. Puntadewa dan yang lainnya hanya tersenyum menyaksikan penyambutan putra putra mereka. Mereka segera berjalan mendekati.
Bangunlah anak anakku& . Kata Puntadewa dan yang lainnya. Mereka bertiga segera berdiri.
Gatot, apa yang kalian lakukan disini" tanya Bratasena pada Gatotkaca.
Ampun Ayah, aku datang kesini diutus oleh Uwak Prabu Kresna untuk mencari Pandawa yang hilang saat bertapa. Tapi rupanya di tengah jalan, aku bertemu dengan Wisanggeni dan Antasena yang juga bertujuan yang sama.
Wisanggeni dan Antasena juga bertujuan yang sama denganmu Gatotkaca" tanya Arjuna.
Benar Paman& . Jawab Gatotkaca.
Lalu, siapakah yang mengutus mereka" Siapa yang menyuruhmu Wisanggeni" tanya Arjuna pada Wisanggeni.
Aku dan Kakang Antasena, datang ke tempat ini atas perintah Sang Hyang Wenang, Ayah. Jawab Wisanggeni.
Betul Paman, kami disuruh oleh Yang Wenang itu untuk turun ke Kurusetra, menghancurkan gajah yang menelan para Pandawa& seloroh Antasena.
Hmmmmmm& & .. mereka berlima hanya menggumam, dan larut dalam pikiran dan praduga praduga mereka.
Sebuah kebetulan yang sangat istimewa& . Kata Puntadewa kemudian. Benar Kangmas, sebuah kebetulan yang istimewa& . Arjuna menimpali.
Saat mereka sedang berbicara tentang beberapa kemungkinan yang terjadi, tiba tiba Nakula dan Sadewa terhenyak dan berdiri. Di kaki bukit sebelah selatan mereka berdiri, terlihat dua bayangan yang bergerak gerak.
Ada yang datang Kangmas& . Kata Nakula pada Puntadewa. Dan mereka semuanya menengok kearah yang ditunjukkan oleh Sadewa.
Bayangan dua orang yang sedang berjalan menuju kemari& . Sambung Sadewa.
Tenanglah Dimas, duduklah, dan tunggulah mereka hingga mendekat. Jawab Puntadewa.
Sinar bulan yang malam itu terang, dipadang Kurusetra yang luas, membuat kedua bayangan itu semakin lama semakin jelas, tanpa mereka harus mendekat.
Semakin dekat, mereka semua semakin sibuk menduga duga. Namun mereka semua keheranan, karena salah seorang diantara yang datang itu, terlihat membawa sesuatu yang berat dan didukungnya di depan dadanya. Semakin mendekat dan semakin jelas, mereka semua semakin berdebar debar.
Sinar rembulan yang semakin benderang, semakin memperjelas wajah wajah mereka yang datang. Seketika mereka semua yang berkumpul, berdiri dan segera menyambut kedatangan dua orang itu.
Kakang Prabu Kresna& & kata Puntadewa setengah berteriak, tak menyangka bila yang datang adalah Prabu Kresna.
Kakang Ireng& & . Sapa Bratasena. Kakang Prabu& . Sapa Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Uwak Prabu& . Sambut Antasena, Wisanggeni dan Gatotkaca berbarengan.
Dan, Kakang Antareja, Adi Irawan& ..! teriak mereka bertiga sambil menghambur berlari mendekati Antareja yang mendukung tubuh Bambang Irawan.
Kakang, apa yang terjadi Kakang" Kakang" tanya mereka bertiga bersahut sahutan kebingungan.
Uwak& & " Uwak& & & .?"" Mereka gantian bertanya, karena Antareja masih terdiam tak kuasa berkata kata.
Kakang Prabu& & . Apa yang terjadi dengan anakku Bambang Irawan& ." Bertanya Arjuna dengan nada lemah dan tertunduk.
Kami menemukannya di tengah hutan, dan seperti inilah keadaannya& . Jawab Prabu Kresna tak kalah sedihnya.
Kakang Ireng, apa yang menimpa anakku Irawan" tanya Bratasena.
Kakang Prabu, katakanlah Kakang& . Nakula dan Sadewa tak sabar menunggu jawaban. Namun Kresna hanya diam dan diam. Dia tak tahu harus berkata apalagi. Dia sangat mengerti perasaan mereka semuanya, yang ditinggalkan Irawan dalam keadaan yang menyedihkan.
Uwak Prabu, Kakang Antareja, katakan kepada kami perbuatan siapakah ini" Wisanggeni, Antasena dan Gatotkaca mulai naik darah.
Kami tak mengetahui siapa pelakunya Anak anakku. Kami menemukannya telah dalam keadaan seperti yang kalian lihat& jawab Kresna menenangkan dirinya dan semuanya. Semunya diam, masing-masing larut dalam kesedihan, terutama Arjuna, ayah Bambang Irawan, serta Wisanggeni, Antasena dan Gatotkaca, yang pernah menjadi kawan sepermainan mereka saat mereka masih kanak-kanak.
Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan Kakang Prabu" tanya Puntadewa memecah keheningan. Prabu Kresna diam dan berpikir sejenak.
Wisanggeni, sempurnakanlah jasad adikmu Bambang Irawan. Sempurnakanlah dan pastikanlah bahwa jasad dan jiwanya, telah menjadi pupuk dan tumbal dari kejayaan Pandawa dalam Baratayuda kelak! perintah Prabu Kresna dengan lantang, seolah ingin melepaskan segala beban yang menghimpit dadanya sejak menemukan tubuh menantunya itu telah tak bernyawa.
Antareja meletakkan tubuh Irawan, dibantu oleh Antasena dan Gatotkaca, dan kemudian membersihkan semua luka dan tubuhnya, serta menempatkannya di tempat yang layak dan sikap yang layak pula.
Wisanggeni segera bersiap siap. Dia usapkan kedua tangannya berkali kali, sambil memejamkan kedua matanya. Kemudian dia berjalan mendekati tubuh Bambang Irawan. Dengan diusapkannya kedua telapak tangan ke sekujur tubuh Irawan, tiba tiba tubuh Irawan menyala. Nyala api yang membakar tubuh Irawan. Namun api itu berwarna putih kebiru-biruan, dan mengeluarkan aroma yang harum mewangi, sewangi bunga melati. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh Irawan, hilang pula wangi bunga melati itu.
Sudah terlaksana dengan baik Uwak Prabu& .. kata Wisanggeni. Terimakasih Wisanggeni& . Jawab Prabu Kresna.
Kakang Prabu, tolong katakana pada kami, apakah yang sebenarnya terjadi. Gatotkaca mengatakan bahwa kedatangannya kemari adalah karena diutus oleh Kakang Prabu. Sedangkan Wisanggeni, juga datang ke tempat ini bersama sama dengan Gatotkaca, karena perintah Sang Hyang Wenang. Katakanlah Kakang Prabu, apa rahasia dibalik semua ini& . Kata Puntadewa.
Dimas Puntadewa, memang benar bahwa Gatotkaca telah aku perintahkan datang kemari untuk mencdari keberadaan kalian yang tiba tiba lenyap saat kalian berlima bertapa. Dan Gatotkaca aku perintahkan untuk berkeliling dahulu, karena disana Wisanggeni dan Antasena kebingungan mencari dimanakah Rimba Kurusetra berada. Bukankah demikian Wisanggeni" tanya Prabu Kresna.
Benar Uwak& .. jawab Wisanggeni. Betul Uwak Ireng& . Seloroh Antasena dibelakang.
Lantas, mengapa Wisanggeni dan Antasena juga diperintahkan kemari oleh Sang Hyang Wenang" tanya Puntadewa lagi.
Nha, Wisanggeni, Antasena, jawablah pertanyaan Pamanmu& .. perintah Prabu Kresna.
Baik Uwak& jawab Wisanggeni.
Paman Puntadewa& & kata Wisanggeni mengawali cerita. Katakanlah Wisanggeni& .. dan Kau Antasena& & kata Puntadewa.
Kami berdua atas saran Eyang Brama, telah sowan menemui Sang Hyang Wenang, yang intinya, untuk menanyakan pihak manakah yang akan meraih kemenangan dalam Baratayuda kelak& apakah Pandawa, ataukah Kuraw. kata Wisanggeni dengan hati hati. Semua yang ada ditempat itu, kecuali Antasena, seperti berjanji, menahan nafasnya dan mengerenyitkan dahinya. Mereka tak menjangkau dua putra mereka telah bertindak sejauh itu. Decak kagum tersirat di bibir mereka. Lantas, apa yang dikatakan oleh Sang Hyang Wenang" tanya Puntadewa tak sabar.
Menurut Sang Hyang Wenang, kemenangan akan jatuh di tangan para Pandawa dengan dua syarat. Kata Wisanggeni melanjutkan.
Benar Paman& . Dua syarat! timpal Antasena dari belakang sambil mengacungkan dua jarinya.
Apakah dua syarat itu Antasena" tanya Prabu Kresna pada Antasena. Antasena tergagap, dan menoleh ke kiri dan ke kanan seolah mencari sesuatu yang hilang. Kresna sengaja menggoda Antasena agar tak terlalu tegang. Sekian lama Antasena tak mampu menjawab.
Ni& & .. apa dua syarat tadi Ni, yang dikatakan Mbah Wenang" kata Antasena seenaknya pada Wisanggeni.
Dasar bocah gemblung& & kata Prabu Kresna. Antasena malah tertawa terkekeh kekeh.
Paman Prabu, dua syarat itu adalah, membebaskan Pandawa yang ditelan oleh Batara Kala yang menjelma menjadi arca gajah, serta membunuh Batara Kala. Kata Wisanggeni.
Lantas, syarat yang kedua" tanya Puntadewa. Sejenak Wisanggeni terdiam. Dia berusaha mengatur kata kata yang akan disampaikan. Terlebih dahulu dia memandang ke arah Antasena untuk minta pertimbangan. Dan Antasena paham akan hal itu, dia pun mengangguk pelan. Kemudian dia memandang Prabu Kresna untuk meminta persetujuan, Prabu Kresna dengan tersenyum, mengangguk sambil mengangkat tangan tanda setuju. Dan yang terakhir, dia memandang kakaknya yang jarang sekali bertemu kecuali saat masih kanak-kanak, Antareja. Antareja pun dengan mata teduh, mempersilakan Wisanggeni untuk meneruskan kata katanya.
Yang kedua adalah, untuk kemenangan Pandawa dalam Baratyuda, diperlukan sesaji tujuh nyawa manusia. Kata Wisanggeni. Pandawa Lima, bagai tersentak. Puntadewa, Bratasena, Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Gatotkaca, mendengar kata kata Wisanggeni, terkejut bukan kepalang. Mereka saling pandang satu sama lain. Tujuh nyawa?"" bertanya Puntadewa hampir tak percaya.
Demikianlah yang disampaikan Sang Hyang Wenang, Paman Prabu& . Jawab Wisanggeni.
Lantas, siapakah ketujuh orang itu" Puntadewa semakin bingung. Dia memandang ke arah Prabu Kresna dan Wisanggeni secara berganti-gantian. Dia menginginkan jawaban itu secepatnya.
Ketujuh orang itu adalah, aku, Wisanggeni, Kakang Antasena, Kakang Antareja, Dimas Bambang Irawan, Wiku Sagotra, Resi Janadi, dan Bambang Rawan& . Jawab Wisanggeni dengan kata satu satu.
Wiku Sagotra, Resi Janadi dan Bambang Rawan?"?" kata Puntadewa bersahutsahutan dengan Bratasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Mereka teringat akan peristiwa beberapa tahun silam, di sebuah desa terpencil, dimana mereka menumpang untuk hidup dalam persembunyian.
Benar Paman Prabu& . Jawab Wisanggeni.
Kakang Prabu Kresna, benarkah seperti itu" tanya Puntadewa kepada Prabu Kresna untuk meyakinkan dirinya.
Benar Dimas Puntadewa, apa yang dikatakan oleh Wisanggeni. Dan itu semua telah tertulis di Jitabsara yang ditulis sendiri oleh Sang Hyang Penyarikan. Jawab Prabu Kresna.
Oh, anak anakku sekalian& & . Betapa luhur budi pekertimu terhadap orang orang tua ini Nggerr& . Kata Puntadewa.
Jadi, inikah mengapa Kakang Prabu membawa jasad Irawan serta datang bersama dengan Antareja" tanya Puntadewa kemudian.
Tepat sekali Dimas. Jika tak sekarang, kapan lagi. Waktu semakin dekat& .. jawab Prabu Kresna.
Lantas, apa yang kalian lakukan anak anakku, hai Wisanggeni, Antasena dan kau Antareja" bertanya Puntadewa dengan hati bas-was.
Mereka bertiga pun kemudian berkumpul dan menghadap kelima sesepuh Pandawa itu, dan berkata,
Kami mohon doa restu dari ayah dan semua sesepuh Pandawa, serta Uwak Prabu Kresna, ijinkan kami meracut sukma, demi kejayaan para Pandawa& & kata mereka bertiga seolah telah diatur sebelumnya.
Oh Kakang Prabu Kresna& & adakah jalan lain Kakang& & kata Pintadewa menghiba, membuat orang lain yang mendengarnya tersentuh hatinya. Sri Kresna hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Memang sebuah kenyataan yang sangat berat bagi siapa pun. Namun para putra tetap tabah dan tegar. Mereka dengan sukarela dan dengan penuh bangga, dengan dada terbuka, menatap semua itu dengan ikhlas dan lapang dada.
Paman Prabu Pintadewa, Paman Bratasena, Ayah Arjuna, serta Paman Nakula dan Paman Sadewa, relakan kami. Kami ikhlas demi kejayaan para kadang Pandawa& jawab Wisanggeni dengan penuh hormat.
Ngger anakku& & . Kata Puntadewa trenyuh. Bratasena, laki-laki perkasa yang tak takut apapun di dunia ini, kali ini harus mengakui bahwa hatinya telah terkoyak, melihat kedua putranya dengan berbesar hati, rela berkorban demi ayah, sesepuh dan keluarga besarnya.
Antasena dan kau Antareja& & . Kata katanya terhenti. Dan Bratasena pun hanya mampu menyebut nama mereka, tanpa mampu meneruskan kata katanya.
Dan yang paling sedih adalah Arjuna. Setelah kematian Bambang Irawan yang mengenaskan, kini satu lagi putranya yang harus menyusulnya, Wisanggeni. Arjuna sama sekali tak mampu berkata kata. Dia sudah sangat sibuk menjaga perasaan dan air matanya agar tak tumpah ruah membasahi pipinya. Sementara si kembar Nakula dan Sadewa, dengan penuh rasa sayang, berdiri di samping Bratasena dan Arjuna, menguatkan hati mereka dan berusaha menenangkannya.
Anak anakku sekalian, malam telah mulai bergulir. Inilah waktu yang sangat tepat. Bersiaplah Ngger& . Kata Prabu Kresna.
Dimas Puntadewa, Kau Sena, dan Arjuna, kuatkan hati kalian. Jangan kotori pengorbanan mereka dengan kesedihan yang berlarut larut. Tataplah mata mereka. Mereka sama sekali tak takut apalagi menyesal. Justru mereka dengan gagah dan bangga, bisa berkorban demi nusa dan bangsa di awal peperangan yang nyata. Mereka tak akan diam di atas sana Dimas& .. kata Prabu Kresna menenangkan semuanya.
Anak anakku& & kami merestuimu Ngger& .. kata Puntadewa sambil berlinang air mata.
Antasena, Antareja, dan kau Wisanggeni, kami semua merestui dan merelakan kalian& . Kata Bratasena dengan suara bergetar. Sedangkan Arjuna, hanya mampu menahan air mata, sambil mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat kerelaan hatinya, walaupun sangatlah berat.
Ayah, dan Paman Pandawa sekalian, kami mohon pamit. Kata mereka bertiga sambil menyembah hormat dan membungkuk serendah rendahnya sebagai salam penghormatan yang terakhir. Pandawa Lima, kali hanya mampu tertegun, tercenung, mematung dan membisu. Mereka menyaksikan tiga putra mereka berjalan menuju tempat yang lebih lapang, dengan Sri Batara Kresna yang mendampinginya.
Dari tempat mereka berdiri, terlihat ketiga putra mereka berdiri, bersedekap dan memejamkan mata. Pelan pelang angin malam menerpa tubuh mereka, dan tiba tiba Sri Kresna mengangkat tangannya tinggi tinggi. Bersamaan dengan semakin kencangnya angin malam bertiup, tubuh ketiga putra Pandawa itu pelan pelan membentuk tiga buah cahaya yang putih kebiru-biruan, dan pelan pelan terangkat dan terbang ke angkasa. Pandawa Lima, membungkuk hormat melepas kepergian tiga buah cahaya itu.
Selamat jalan anakku& & . Bisik Puntadewa. Sementara itu, Gatotkaca kini bagai seorang anak kecil yang mengejar layang-layangnya yang putus tertiup angin. Sosok seorang ksatria Pringgondani yang terkenal sakti mandraguna, putra dari Bratasena, mala mini hilang musnah. Yang ada hanyalah seorang anak kecil yang berlari larian mengejar tiga buah cahaya itu dengan berlinang air mata, karena dia tahu dia tak akan mampu meraihnya. Dia terus berlari mengejarnya, sampai suara ayahnya yang memanggil-manggil namanya pun, sama sekali tak dapat didengarnya. Dia menuruti langkah kakinya, sambil tak henti hentinya menatap ketiga cahaya saudaranya itu.
Langkahnya baru berhenti saat tanah lapang itu telah membentur tebing pegunungan, dan ketiga cahaya itu lenyap di balik bukit, dan dengan cepat melesat ke angkasa, dan hilang dari pandangan mata.
Gatotkaca, kembalilah& & suara Prabu Kresna menyadarkan akan keadaannya. Segera dia usap kedua matanya dan mengeringkan air matanya. Dan dengan sigap, segera berbalik arah dan terbang menuju tempat semula.
Kini, tinggal Pandawa Lima, Gatotkaca, dan Prabu Kresna. Mereka harus segera kembali ke Amarta.
Dimas Prabu& .. kata Prabu Kresna. Dhawuh Kakang Prabu& jawab Puntadewa.
Semua yang terjadi telah tertulis di Jitabsara, Dimas. Janganlah kalian tangisi dan larut dalam kesedihan. Marilah kita segera kembali ke Amarta, dan menyiap segala sesuatunya. Kita juga harus segera bergabung dengan Eyang Maswapati di Wiratha bukan" kata Prabu Kresna.
Benar Kakang Prabu& .. jawab Puntadewa pendek.
Sena, Arjuna, Nakula dan kau Sadewa, mari kita segera berangkat. Dan kau Gatotkaca, kembalilah ke Pringgondani, dan tunggulah perintahku selanjutnya. Kata Prabu Kresna. Prabu Krensna, memang mempercayakan seluruh keamanan Negeri Amarta di pundak Gatotkaca. Maka tak heran jika Gatotkaca terlihat ksatria yang paling dekat dan paling sibuk diantara para putra Pandawa lainnya. Hal ini karena sifatnya yang tidak banyak bicara, siap bekerja, pantang menyerah, dan sangat mematuhi perintah, apapun taruhannya. Hal ini juga didukung oleh kesaktiannya, yang tidak hanya didapatkan dari ayahnya Bratasena, namun juga dari kakeknya, serta dari paman dan ibunya.
Dari tempat itu, Gatotkaca memisahkan diri dan segera terbang. Namun tujuannya bukanlah Pringgondani seperti yang diperintahkan Prabu Kresna. Dia terbang berkeliling menuruti kata hatinya. Dia masih ingin mencari kemanakah ketiga cahaya saudaranya itu berada. Tidak untuk mengejarnya ataupun bahkan menyentuhnya. Gatotkaca hanya cukup untuk memandanginya, dan memastikan semuanya baik baik saja. Namun setelah sekian lama tak menemukan yang dicarinya, hatinya pasrah, dan dia berbalik arah, terbang ke selatan menuju Pringgondani.
Puntadewa, Bratasena, Arjuna, Nakula, Sadewa dan Prabu Kresna yang menempuh perjalanan darat, segera bergerak menuju kerajaan Amarta. Rembulan yang bersinar malam itu, cukup membantu sinarnya dalam menerangi gelapnya malam.
Mereka berenam berjalan dalam diam, masing-masing masih hanyut dalam perasaan kesedihan, atas meninggalnya putra putra terbaik mereka.
Kakang Prabu, apakah pengorbanan anak anakku, adalah setimpal dengan kemenangan yang akan kita raih kelak Kakang" Puntadewa membuka pembicaraan kepada Prabu Kresna.
Tentu saja Dimas. Jika tanpa pengorbanan mereka, Kurawa tentu akan semakin menggila, dan semakin besar kerugian terhadap kita, anak cucu kita kelak& jawab Prabu Kresna.
Kakang Ireng, mengapa mereka mereka yang dikorbankan Kakang" Bratasena seolah tak terima akan keputusan dewa.
Dengarlah Sena, dan semua adik adikku Pandawa. Kalian tentu telah mengetahui tentang Wisanggeni, Antasena dan Antareja. Ingatkah kau saat mereka semua dilahirkan" tanya Prabu Kresna tanpa menanti jawaban.
Mereka bertiga dilahirkan dengan campur tangan para dewa, dan kakek kakek mereka, yang semuanya adalah dewa. Sang Hyang Brama, kakek dari Wisanggeni, Sang Hyang Baruna, kakek dari Antasena, dan Sanf Hyang Antaboga, kakek dari Antareja. Kata Prabu Kresna.
Dan ingatkah kau sekalian, pernahkah kalian semua, tidak hanya Kurawa, bahkan Pandawa, mampu bertanding dan mengalahkan mereka" Bahkan Bambang Irawan, yang kita nilai sebagai yang terlemah dari mereka berempat, yang waktu itu bersilih nama menjadi Gambiranom, telah memporak-porandakan Kerajaan Nrancang Kencana, dan meluluh lantakkan pertahanan Amarta. Siapakah yang mampu menandinginya" tanya Prabu Kresna.
Semuanya diam. Dalam hati kecil mereka membenarkan apa yang dikatakan Prabu Kresna.
Itulah adik adikku sekalian, sangatlah tidak imbang apabila dalam Perang Baratayuda, berdiri, berdiri mereka berempat sebagai senopati perang. Apa yang akan terjadi nanti" Keseimbangan tak mungkin terjadi. Itulah mengapa mereka dijadikan sebagai sesaji bagi kalian semua, demi Pandawa& kata prabu Kresna menutup cerita.
Tak terasa perjalanan mereka sampai di batas kota Amarta. Saat mereka hampir meninggalkan bibir hutan, tiba tiba melayang sebuah bayangan, dan berdiri di depan mereka. Semuanya berhenti. Bayangan itu semakin lama memperlihatkan wujud aslinya.
Ternyata bayangan itu adalah seorang raksasa wanita, dengan kedua taring menyembul dari bibirnya. Namun, raksasa ini sama sekali tak berwajah garang. Raksasa ini tampak sedih dan bermuram durja.
Batari Durga, apakah gerangan yang kau lakukan dengan menghentikan langkah kami" tanya Prabu Kresna segera maju beberapa langkah.
Apakah kau ingin mengalami nasib yang sama dengan anakmu, Batara Kala" lanjutnya.
Jangan kau salah sangka Hai Titisan Wisnu& . Jawab Batari Durga. Lantas apa maumu" tanya Prabu Kresna lagi.
Aku menyaksikan kalian telah menyempurnakan putraku Batara Kala. Kini dia telah tenang di alamnya. Maka, tolonglah aku Wahai Wisnu& . Aku ingin segera tenang bersama putraku Batara Kala yang telah sempurna. Maka, sempurnakanlah aku& & . Kata Batari Durga menghiba.
Apakah kau sadar akan kata katamu itu Batari Durga" sekali lagi Prabu Kresna bertanya.
Aku sangat bahagia, putra putra Pandawa dapat meruwat dan menyempurnakan putraku Batara Kala, dan aku akan sangat bahagia bila salah satu dari kalian, berkenan untuk meruwatku dan menyempurnakan aku pula& .. pintanya dengan nada pasrah. Rupanya kali ini Batari Durga telah menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya.
Baiklah Batari Durga, akan kami penuhi permintaanmu itu. Dimas Sadewa& jawab Prabu Kresna sambil memanggil Sadewa.
Dhawuh Kakang Prabu, jawab Sadewa sambil mendekat.
Batari Durga, bukankah kau tahu laki-laki ini" tanya Prabu Kresna sambil menunjuk ke arah Sadewa.
Tentu saja aku tahu, Wisnu. Dia adalah titisan Bambang Sukaca& jawab Batari Durga.
Nah, dialah yang akan meruwatmu. Bersiaplah.. kata Prabu Kresna.
Sadewa segera maju mendekati Batari Durga yang kini telah duduk bersila, dan memasrahkan jiwa raganya. Sadewa terlihat berhenti dihadapan Batari Durga, mengusap usap kedua telapak tangannya, dan berdiri menengadah. Lalu, dia pegang kepala Batari Durga, dan segera mencabut rambut merah yang tumbuh di kepala raksasa wanita itu.
Bersamaan dengan tercabutnya rambut merah itu, tubuh Batari Durga lama kelamaan terlihat mengecil. Tubuhnya yang dahulunya besar, hitam dan tambun penuh bulu di sekujur tubuhnya, lambat laun mengecil, kulitnya menjadi putih bersih, dan rambut yang sebelumnya panjang dan gimbal, berangsur menjadi lurus dan indah terurai hingga sebahu. Pakaiannya yang sebelumnya kotor dan lusuh, kini telah sirna, dan jatuh di atas tanah, karena tubuhnya kini tak mampu menahan berat pakaian raksasa itu.
Kini, tubuh wanita berkulit putih dan rambut panjang yang terurai hingga sebahu itu, telah telanjang tanpa satu pun kain menutupi tubuhnya. Sadewa segera meraih sebagian kain yang melilit tubuhnya, dan segera diberikan pada wanita itu, untuk menutupi tubuhnya dengan apa adanya.
Wanita itu kemudian berdiri dan membalikkan badannya menghadap para Pandawa dan Prabu Kresna. Wanita raksasa itu kini berubah menjadi wanita yang berwajah cantik menawan, dengan tubuh yang sangat indah, dan kembali ke wujud asalnya, Dewi Uma.
Terimakasih Sadewa, engkau telah meruwat dan menyempurnakan aku. Atas kebajikanmu ini, Aku merestui kejayaan Pandawa pada Perang Baratayuda kelak. Kata Batari Uma.
Terimakasih Batari Uma& .. jawab mereka semua hampir bersamaan.
Aku mohon pamit, untuk kembali ke Kahyangan. Wisnu, salamku untukmu& . Kata Batari Uma dan kemudian lenyap dalam kedipan mata.
Terimakasih Dewi Uma& jawab Prabu Kresna dengan senyuman di bibirnya.
Sebuah Upaya Terakhir Kerajaan yang pimpin rajanya yang telah tua, namun karena putranya belum mampu untuk menggantikannya memegang tampuk kekuasaan, maka dia sendiri yang masih harus berdiri sebagai raja. Sebuah kerajaan yang mempunyai sejarah panjang akan kehidupan para Pandawa yang tidak disadarinya.
Malam terasa sangat dingin. Balairung istana Wiratha terlihat sangat sibuk. Sibuk oleh pemikiran, tapi sangat lengang dalam ruangan. Semuanya diam. Para tokoh dan dan tetua terlihat duduk dengan seksama. Tiada canda dan tawa yang bersela. Semuanya berpikir dengan wajah tegang. Wiratha adalah sekutu Pandawa yang sangat kuat.
Waktu berlalu terasa sangat lambat. Prabu Matswapati berjalan hilir mudik, beberapa kali menghela nafas panjang. Puntadewa, Bratasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, Prabu Kresna dan Semar Badranaya pun demikian. Mereka duduk dan diam, masing-masing larut dalam pikirannya.
Mereka menunggu kehadiran Prabu Kresna yang telah berangkat sebagai duta utusan dari Amarta, untuk meminta kembali haknya, separo dari bumi Astina, yang kini di kuasai oleh keluarga Kurawa, keluarga dari paman para Pandawa sendiri, yang kini Duryudana yang memegang tampuk pemerintahan, yang jelas jelas masih keturunan sedarah dengan mereka.
Mereka sama sekali tak mengetahui bila Prabu Kresna, yang ditemani oleh Setyaki dan Dewi Kunti, dengan kereta Jaladaranya yang telah didampingi pula oleh Dewa Ramaparasu, dewa peperangan, sedang mengamuk sejadi-jadinya dengan memanggil seribu kekuatan Bima, dan bertiwikrama menjadi Arjuna Sasrabahu di Istana Astinapura.
Tubuhnya berubah menjadi raksasa dengan rambut yang terbuat dari api, dengan senjata seribu gada wesi kuning, dan seribu panah Pasopati milik Arjuna. Kresna sama sekali tak terima kedatangannya tak indahkan, bahkan telah dilecehkan, dengan sebuah ludah dari Duryudana di depannya.
Bagaimanapun, Prabu Kresna yang titisan Dewa Wisnu, menghadapi penghinaan sedemikian rupa, meluaplah amarahnya. Astinapura luluh lantak oleh terjangan kemarahannya. Para punggawa lari tunggang langgang, bahkan Duryudana sang raja Astinapura, sempat berlari dan bersembunyi di taman keputrian.
Satu yang diinginkan Prabu Kresna saat itu, adalah jawaban pasti yang harus keluar dari mulut Duryudana, tentang diserahkannya Bumi Astina kepada para Pandawa, atau dia bersikeras mendudukinya, yang berarti Perang Baratayuda tak mungkin terelakkan. Dan sayang sekali, Duryudana tetap bersikeras bahwa Bumi Astina adalah miliknya, dan akan mempertahankannya walau seribu nyawa menjadi taruhannya.
Prabu Kresna yang masih dalam keadaan bertiwikrama, masih belum puas akan hinaan yang diterimanya, dan kembali menghancurleburkan Astinapura. Para putra Kurawa, berlarian kesana kemari mencari selamat, dan karena sifat pengecut mereka, mereka berlari melalui pintu belakang istana, yang dibalik pintu itu sedang berjalan tertatih tatih ayah mereka, Destarata dan Istrinya, yang ingin menghentikan kegaduhan yang ditimbulkan oleh Prabu Kresna.
Sebuah sumpah nampaknya telah terlunaskan saat itu, dan pada saat itulah, saat bagi Destarata dan istrinya membayar sumpah itu. Tiba tiba pintu belakang istana itu terbuka dengan paksa, dan langsung menimpa tubuh mereka berdua. Mereka terhimpit oleh daun pintu istana mereka sendiri.
Lebih ironis lagi, daun pintu yang jatuh menimpa mereka, tak seorang pun menyadarinya bahwa daun pintu itu menghimpit ayah dan ibu mereka. Para putra Kurawa, yang berlari ketakutan oleh Arjuna Sasrabahu, lari tunggang langgang dan menginjak injak daun pintu itu.
Sembilan puluh Sembilan putra Kurawa, secara bergantian berlari dan menginjak injak daun pintu, tanpa menyadari sama sekali bahwa ayah dan ibunya terhimpit olehnya. Dan ayah dan ibu mereka sendiri, akhirnya tewas di bawah daun pintu, yang terinjak injak oleh anak anaknya sendiri. Sebuah sumpah, secara tak sengaja telah terbayar. Betapa menyedihkan kematian Destarata dan istrinya, Dewi Gendari.
Dan jika bukan karena kehadiran Batara Narada yang menyadarkan Prabu Kresna akan kematian Destarata dan Gendari, tentu Arjuna Sasrabahu masih mengamuk hingga Astina dapat dia hancurkan rata dengan tanah.
Bagaimanapun, Prabu Kresna sama sekali tak bermaksud hingga sedemikian parahnya. Destarata dan Dewi Gendari, seharusnya tak perlu memikul beban seberat itu karena putra putra mereka. Namun kehendak dewa tak dapat dirubah, karena ulah dan dosa dari perbuatan mereka di masa lampau, yang sama sekali tak di ketahui oleh Prabu Kresna.
Akhirnya, Prabu Kresna melepaskan segala Pasopati dan Gada Wesi Kuning dari tubuhnya, dan kembali ke wujud semula. Dengan perasaan sesal, Prabu Kresna harus kembali ke Wiratha, dengan hasil pembicaraan yang telah mereka duga sebelumnya, dan Perang Baratyuda, memang harus terjadi.
Nakmas Prabu& .. kata Prabu Matswapati pada Prabu Kresna.
Dhawuh Eyang Matswapati& jawab Prabu Kresna. Jadi seperti itu yang terjadi di Astinapura" kata Prabu Matswapati seolah berkata pada dirinya sendiri. Benar Eyang& jawab Kresna.
Berarti, Duryudana sama sekali tak melepaskan sebagian wilayah milik Pandawa seperti yang diperjanjikan beberapa tahun yang lalu" tanya Matswapati meyakinkan.
Benar Eyang& . Jawab Kresna lagi.
Jika demikian, Baratyuda jelas akan terjadi, tak dapat dihindarkan Nakmas Prabu& . Kata Parbu Matswapati.
Hmmm& & & .. demikianlah Eyang& & demikianlah yang akan terjadi. Kata Prabu Kresna sambil menunduk.
Sebuah pilihan yang pahit. Kata Prabu Masyapati sambil menjatuhkan tubuhnya, duduk di kursi yang menghadap ke semua yang hadir di pendopo itu. Malam yang tanpa rembulan, membuat pendopo yang diterangi dengan lampu lampu damar itu semakin membuat suasana dingin, beku, sebeku hati mereka, sebuntu akal mereka dalam menghindari peperangan dua saudara.
Semua yang hadir sama sekali tak mempunyai pikiran lain selain pecahnya perang Baratayuda. Segala macam cara telah ditempuh oleh Amarta untuk meminta kembali haknya dengan cara damai. Namun pihak Astina, yang kini dikuasai sepenuhnya oleh Kurawa dan sekutu sekutunya, sama sekali tak bersedia memenuhi permintaan itu, dan tetap bersikeras untuk tetap menguasai semuanya.
Menurut Nakmas Prabu, siapakah yang akan unggul dalam Perang Batayuda" pertanyaan Matswapati. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab pada saat saat seperti ini. Semuanya diam.
Tentu saja Pandawa to Adi Wiratha& & jawab Semar Badranaya. Semua yang hadir ditempat itu, mengarahkan pandangan matanya kearah Semar Badranaya yang tak beranjak dari tempat duduknya, dengan bersila seenak enaknya. Asalkan& & & & & .. kata kata Ki Semar Badranaya terhenti.
Asalkan apa Kakang Ismaya" tanya Prabu Matswapati tak sabar.
Asalkan Pandawa mampu melaksanakan perintah dari Sang Hyang Wenang, yang disampaikan melalui mendiang Ndara Wisanggeni dan Ndara Antasena& jawab Ki Semar.
Buyut buyutku telah menerima perintah itu dari Sang Hyang Wenang, Kakang Ismaya" bertanya Matswapati penuh kagum. Dia sama sekali tak menduga bahwa putra putra Pandawa, telah berbuat sangat jauh kedepan, demi kejayaan sesepuh sesepuh mereka.
Benar Adi Wiratha& jawab Ki Semar.
Luar biasa& & ..Lantas, apa sajakah perintah Sang Hyang Wenang yang harus dilaksanakan oleh Pandawa, Kakang" tanya Prabu Matswapati.
Pandawa, dapat meraih kemenangan dalam Baratayuda, bila melaksanakan sesaji& jawab Ki Lurah Semar.
Hahahahaha& .. Kakang Ismaya. Bukankah itu adalah hal yang sangat sepele Kakang" kata Prabu Matswapati tak memerlukan jawaban.
Sesaji tujuh nyawa manusia yang dengan sukarela menjadi tumbal Perang Barata Yuda. Jawab Semar lagi.
Tujuh nyawa ?"?" Prabu Matswapati semakin penasaran
Benar Adi Wiratha. Empat diantara mereka, adalah buyut buyut Adi, yaitu Wisanggeni putra Arjuna, Antasena putra Bratasena, Bambang Irawan putra Arjuna, dan Antareja putra Bratasena& jawab Semar kemudian.
Oh& . Jadi& .. jadi& & mereka semua& .. mati demi& & & Prabu Matswapati mendadak berdiri dan kata katanya tergagap gagap sambil menengok kiri dan kanan seperti orang kebingungan.
Benar apa yang dikatakan Ki Lurah Semar, Eyang Parbu Matswapati& Sri Kresna melangkah maju dan berusaha menenangkannya.
Keempat buyut dari Eyang Matyapati, telah gugur sebelum perang Baratayuda dimulai, sebagai bunga sesaji, demi kejayaan kita, kejayaan para Pandawa, keluarganya, saudaranya, dan para sesepuh sesepuhnya& .. kata Sri Kresna dengan hati hati.
Ooooaaaaaallllaaahhhhhhh Nggeeeeeeerrrrrr& & & sedemikian luhurnya budi kalian Nggeeerrrr& .. kenapa bukan orang orang tua bangka seperti aku ini yang dikorbankan saja to Nggeeerr& .. Prabu Matswapati menangis bagai anak kecil, meratapi kematian buyut buyutnya yang ternyata adalah sebagai sesaji untuk kemenangan mereka dalam kancah Baratayuda.
Sejenak terlintas di bayangan raja yang telah tua itu, akan darma bakti sesepuh sesepuh mereka, para Pandawa yang rela bertarung demi menjaga kejayaan Kerajaan Wiratha. Kejadian yang menyadarkan dirinya akan kekeliruannya, dan yang menyadarkan betapa emosi sesaat telah hampir mempermalukan dirinya.
Adalah saat Salindri, yang sebenarnya adalah Dewi Drupadi yang menyamar sebagai pembantu di Istana Wiratha, yang kecantikan serta kehalusan budi pekertinya telah membuat gila patih Wiratha, yang bernama Kicaka, yang saat melihat Salindri yang sedang tidur nyenyak, nekad memasuki ruang tidurnya, dan berusaha untuk berbuat kurang ajar terhadap pembantu wanita itu.
Namun sayang perbuatan Kicaka itu diketahui oleh Abilawa, yang tak lain adalah Bratasena, yang segera berusaha menyelamatkan kehormatan kakak iparnya itu dari perbuatan Kicaka, yang berakhir dengan terbunuhnya Kicaka. Namun Matswapati begitu buta, dan menuduh bahwa Salindri yang telah membunuh patih kesayangannya itu. Sehingga, keputusannya adalah menjatuhkan hukuman pada Salindri.
Kangka, seorang brahmana di kerajaan Wiratha, yang tak lain adalah Puntadewa, suami dari Dewi Drupadi yang menyamar sebagi Salindri, berusaha meluruskan permasalahan yang ada, dan tentu saja membela istrinya yang diyakininya tak mungkin berbuat senista itu.
Namun lagi lagi karena emosi yang membuat matanya buta, Matswapati justru marah marah dan berkata tak sepantasnya pada Kangka, hingga melayang sebuah tamparan tangan kanannya ke wajah Kangka, dan mengucurlah darah dari bibir Kangka yang terobek oleh kerasnya tamparan itu.
Belum lagi saat amarahnya masih memuncak oleh ulah Kangka, putranya, Utara, berlari lari menghadapnya di balairung istana, dan melaporkan bahwa pasukan Astina telah merangsek hingga ke pusat kota, dan tiada satu pun ksatria Wiratha yang mampu mencegahnya.
Lalu dengan perintahnya, di kerahkan seluruh kekuatan Wiratha untuk bertempur menghentikan pasukan Astina yang dipimpin langsung oleh Prabu Susarman dari Kerajaan Tri Hargo, yang sangat ingin memiliki Utari, putrid dari Prabu Masyapati. Dan sekali lagi, Utara kembali ke Istana dengan melaporkan kekalahannya, namun karena sebuah pertolongan yang tak disangka sangka, oleh seorang yang sama sekali tak terduga yang ada di istana itu, yang hanya bekerja sebagai guru tari istana, dengan tingkah laku kewanita-wanitaan bernama Wrahatnala, juga karena keberanian tukang jagal istana yang bernama Abilawa, pasukan Astina dan Tri Hargo dapat dipukul mundur.
Dan sekali lagi, Kangka yang menyampaikan kebenaran peristiwa itu, mendapatkan perlakuan yang tidak pantas. Bahkan Wrahatnala, yang sebenarnya adalah Arjuna yang menyamar, mendapat hinaan darinya, dengan tanpa berpikir panjang, mempermalukan Wrahatnala di muka umum.
Bahkan, karena demikian marahnya dan tak mau mengakui keadaannya, Matswapati hingga melemparkan sebuah cupu dan tepat mengenai wajah Kangka. Dan sekali lagi, darah mengucur dari dahi brahmana itu. Namun Salindri segera berlari mendekat dan menampung cucuran darah putih itu dengan kedua tangannya. Matswapati hanya mencibirkan bibirnya, mereka semua adalah orang orang tak berguna, tak lebih sekedar pembantu pembantunya yang tak mampu berbuat apa apa, terlebih lagi Grantika si penjaga kuda, dan Tantripala tukang pembersih taman.
Baru setelah malam tiba, sang Putra, Utara menghadapnya, dan dengan santun menolak segala pujian dan tampuk pemerintahan yang diberikan padanya. Semakin heran dia dibuatnya. Demi sebuah kebenaran dan menjadi nama ayahnya, Utara berkata dengan sangat hati hati agar tak melukai perasannya,
Maafkan aku Romo, semua pujian itu tak pantas untukku, atau untuk adik adikku, Wratsangka ataupun Seto. Namun semua pujian itu sangat layak ditujukan untuk Wrahatnala& . Kata putranya, Utara.
Mengapa engkau berkata demikian hai Utara" tanyanya saat itu.
Karena, sebenarnya, yang mampu menaklukkan dan mengusir pasukan Astina adalah mereka, Wrahatnala dan Abilawa& .. jawab putranya.
Mengapa bisa demikian" Bukankah Wrahatnala hanyalah seorang laki-laki banci, yang hanya mampu meliuk-liukkan selendang di tubuhnya, juga Abilawa yang hanya mampu membanting dan memotong sapi serta kuda" sergahnya.
Ampun Romo, ijinkan aku berkata yang sebenarnya. Wrahatnala, sebenarnya adalah cucu buyut dari Kanjeng Romo, ya cucuku sendiri, Si Permadi,ya Arjuna& jawab Utara.
Permadi?"?" tanyanya penuh dengan ketidakpercayaan.
Benar Romo, dan Kangka, yang telah Romo lukai dengan tamparan dan lemparan cupu, tak lain adalah Yuditira, ya Puntadewa. Sedangkan tukang jagal istana ini, adalah Abilawa, yang sebenarnya dalam Bima, ya Bratasena. Dan yang Romo pekerjaan sebagai tukang kuda dan tukang taman, merekalah si kembar cucu buyut Romo, yaitu Nakula dan Sadewa& kata Utara dengan sangat berhati hati.
Saat itulah, luluh lantak semua kesombongannya. Terbuka mata hatinya, dan pecahlah tangis sesalnya. Sesal karena begitu besar kesombongan yang telah menutup mata dan hatinya. Tanpa merek berlima, mungkin telah tamat riwayatnya, dan Kerajaan Wiratha tentu telah jatuh ke tangan Astina, dan putrinya yang cantik jelita, Utari, tentu telah menjadi milik Prabu Sumarman yang hatinya penuh dengan iri dan dengki.
Sudahlah Eyang& . Kata Sri Kresna. Mereka dengan ikhlas dan sukarela, bahkan dengan penuh kebanggaan telak melaksanakan perintah itu dengan sempurna. Berikanlah doa restu untuk mereka Eyang Prabu& & lanjutnya.
Tentu saja aku merestui mereka Nakmas Prabu& .. kata Prabu Matswapati setelah tenang dan dapat menguasai dirinya kembali.
Kakang Ismaya, lantas, siapakah yang tiga orang lagi" tanya Prabu Matswapati.
Tiga orang itu adalah& .. jawab KI Semar terhenti, oleh kedatangan anaknya yang mendadak dan tak mau menunggunya barang sebentar.
Kulo sowan Sinuwun& .. sapa Petruk tanpa menunggu jawaban, dan langsung berjalan menemui ayahnya, Ki Lurah Semar. Keduanya kemudian berbisik bisik, tak begitu jelas apa yang mereka bicarakan. Sri Kresna yang berusaha menguping dari dekat, dengan kecewa mengurungkan niatnya, karena dia tahu betul, percuma berurusan dengan Semar dan Petruk dalam keadaan seperti ini. Hei?"" teriak Ki Semar. Sementara Petruk masih juga berbisik bisik di telinganya.
Apa?"?" Ki Semar berteriak lagi, sambil memiring miringkan kepalanya berusaha mendengar apa kata Petruk.
Oya.. ya & ya& suruh mereka masuk& kata Ki Semar kemudian, dan Petruk langsung beranjak dan pergi meninggalkan pendopo.
Kisah Silam Yang Mencengangkan
Tak lama kemudian, datanglah tiga orang laki, dengan wajah kusam dan berdebu, pakaian mereka telah kotor oleh keringat. Melihat dari perilaku dan pakaiannya, mereka tentu dari desa yang jauh disana. Tiga orang laki-laki itu, satu orang yang paling tua, dengan pakaian yang sangat bersahaja, layaknya seorang pertapa desa yang biasa menyembuhkan penyakit, dan yang dua orang lagi, mereka lebih muda dari yang pertama, dengan pakaian yang lebih terbuka dan leluasa. Tentu mereka adalah pengawal atau orang yang berkemampuan lebih untuk itu. Mereka datang didampingi oleh Ki Lurah Petruk.
Melihat mereka yang datang, serta merta Ki Lurah Semar berdiri dan menyambut mereka bertiga dengan hangat, seolah mereka semua telah mengenal satu sama lain, dan pernah bertemu untuk waktu yang sangat lama. Ki Lurah Semar menyambut mereka dengan sikap seperti memperlakukan seorang tamu agung.
Semua mata yang melihat perubahan sikap dari Ki Lurah Semar tersebut, bertanya tanya dalam hati. Siapakah ketiga tamu tersebut, hingga sikap Ki Lurah Semar begitu hangat dan menghormati mereka dengan sebaik baiknya. Cahaya lampu damar, samar samar mampu mengguratkan gambaran dari wajah wajah mereka. Kerut kerut diwajah yang telah mulai Nampak, namun sikap, cara berjalan, dan cara menghormat, tidaklah berubah.
Seketika, seperti berjanji, Puntadewa, Bratasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, menatap tajam tajam ke arah ketiga tamu tersebut. Mereka bagai melihat hantu yang datang di siang bolong. Mereka amati wajah ketiga orang itu satu per satu dengan seksama, bahkan setiap guratan wajahnya.
Oh& & .. desis Puntadewa, yang diikuti oleh adik adiknya di belakang. Namun mereka sama sekali tak berani berkata apapun. Ini adalah pisowanan dari Prabu Matswapati, dan mereka hanyalah sebagai tamu, maka mereka hanya menunggu kejadian apa yang akan berlangsung nantinya.
Dengan didampingi Ki Lurah Semar dan Petruk tiga orang tersebut menghadap Prabu Matswapati, yang kini sedang di damping oleh Sri Prabu Kresna. Dengan sikap hormat, mereka bertiga berjalan jongkok, dan kemudian menyembah ke hadapan Prabu Matswapati , untuk selanjutnya duduk bersila dengan wajah tertunduk, menanti perintah atau pertanyaan pertanyaan yang tentu akan diajukan oleh Prabu Wiratha tersebut.
Kakang Ismaya, siapakah mereka Kakang" tanya Prabu Matswapati .
Inilah ketiga orang yang aku maksud Adi Wiratha& .. jawab Ki Lurah Semar. Dengan bahasa isyarat, Ki Lurah Semar mempersilakan ketiga tamunya untuk mengenalkan dirinya. Namun sebelum mereka berkata kata, rupanya Prabu Matswapati tidak sabar menunggunya.
Ki Sanak, katakanlah siapa kalian, dari mana asal kalian, ada kepentingan apa datang ke tempat ini, malam malam seperti ini, dan tak bisa menunggunya hingga esok" tanya Prabu Matswapati.
Ampun Sinuwun Prabu Matswapati. Namaku Resi Janadi, dan disebelah kakang hamba adalah Wiku Sagotra, dan di sebelah kiri hamba adalah putra hamba, Bambang Rawan. Kami bertiga datang dari Desa Kabayakan, sebuah desa di lereng gunung, yang masuk ke dalam wilayah Negeri Ekalaya kata laki-laki paling tua itu. Mendengar nama nama itu disebut, Pandawa Lima bagai tersiram api. Mereka tak menduga bahwa merekalah, orang orang desa yang tak berarti, yang hidup dalam segala keterbatasan dan kemiskinan, kini mereka datang sebagai dewa penolong bagi mereka.
Ingin sekali mereka berlima meloncat kedepan dan menyambut serta menyalami ketiga tamu tersebut, namun keinginan itu ditahannya kuat kuat. Perasaan mereka bercampur aduk terhadap kedatangan mereka bertiga.
Baik. Aku terima kedatangan kalian. Tapi, katakanlah Resi Janadi, Wiku Sagotra dan kau Bambang Rawan, mengapa kalian bertiga bersedia dan datang dengan sukarela, hanya untuk menyerahkan jiwa raga kalian, demi cucu cucuku Pandawa, yang mungkin saja belum pernah kalian kenal" tanya Prabu Matswapati.
Ampun Sinuwun, tak mungkin kiranya bila kamu bersedia untuk berkorban jiwa raga, tanpa kami mengenal Para Panadawa, cucu Ingkang Sinuwun& .. jawab Resi Janadi.
Hei& & .. Prabu Matswapati menoleh ke arah Sri Kresna, KI Semar, dan ke arah Pandawa berganti-gantian.
Dari mana kalian mengenal para Pandawa" tanya Prabu Matswapati keheranan.
Para cucu Sinuwun, para Pandawa, pernah hidup bersama kami, dan membangun daerah kami bersama sama, walau dalam waktu yang sangat singkat, namun peninggalan mereka sangatlah berkesan bagi kami, Sinuwun& & sahut Bambang Rawan, tamu mereka yang paling muda diantara mereka bertiga..
Kami telah berhutang budi, berhutang nyawa, dan berhutang sebuah kehidupan pada para Pandawa, Sinuwun& . Kata kata Sagotra yang berat, memecah kebuntuan suasana.
Sebuah kehidupan" tanya Prabu Matswapati . Sebuah kehidupan katamu, Sagotra" Matswapati semakin bertanya tanya.
Hamba telah berhutang sebuah kehidupan pada Ndara Raden Arjuna, Sinuwun. Hamba bersedia sebagai tumbal demi kejayaan Pandawa di Rimba Kurusetra. Jawab Wiku Sagotra dengan mantap
Sebuah kehidupan, begitu dalam makna itu Sagotra& Baik, aku terima pengorbananmu. Dan kau, Bambang Rawan" tanya Prabu Matswapati.
Hamba berhutang nyawa pada Ndara Raden Bima, jika bukan karena beliau, tentu harimau harimau lapar itu telah menikmati daging daging dari tubuhku, Sinuwun& . Jawab Bambang Rawan.
Hmmmm& & .. Prabu Matswapati menarik nafas panjang dan menggeleng gelengkan kepalanya. Dia heran dan bercampur dengan decak kagum. Betapa cucu cucunya itu selalu membawa kebaikan bagi semua yang pernah berdekatan, ataupun disentuhnya.
Dan kau, Resi Janadi" lanjutnya.
Hamba berhutang budi pada Ndara Raden Bima, beliau telah mengembalikan putraku satu satunya, Bambang Rawan ini, dan pada akhirnya, beliau jugalah yang membunuh seorang raksasa yang pernah meninggalkan bekas luka di hati masyarakat kami, Desa Kabayakan, Prabu Baka. Jawab Resi Janadi dengan berhati hati.
Sejak kapan kalian mengenal, bahkan kau katakana bahwa mereka telah hidup bersama kalian dan membangun daerah kalian" Prabu Matswapati menjadi tertarik akan kisah sepak terjang dari para Pandawa, cucu cucunya.
Janadi, dibantu oleh Sagotra serta Bambang Rawan, menceritakan tentang awal mula kedatangan mereka di desa Kabayakan, yang kemudian menginap di rumah Janadi karena hari telah malam, dan keadaan mereka sangatlah menyedihkan. Kedua adik bungsu mereka yang berwajah kembar, tak kausa menahan lapar hingga Arjuna dan Bratasena harus mencari pertolongan demi kedua adik mereka.
Dan perjalanan Arjuna hingga bertemu dengan Sagotra, cerita itu disampaikan langsung oleh Sagotra, sebagai orang yang mengalami langsung peristiwa itu. Pertemuan dengan Arjuna yang tak mungkin terlupakan. Dari peristiwa dituduhnya Arjuna oleh istrinya yang mengira akan berbuat kurang ajar padanya, hingga terbukanya tabir Kandhi Wrohatnala itu yang ternyata adalah Arjuna, dan yang paling menyentuh dari semua itu, kehadiran Arjuna di rumah Sagotra, telah menumbuhkan sebuah kehidupan baru yang terlupakan, dimana Sagotra dan istrinya, Rara Winihan menyadari bahwa mereka telah menyia-nyiakan sebuah kehidupan yang seharusnya dapat mereka teguk sebelumnya. Mereka tak pernah bersyukur akan apa yang mereka miliki, namun mereka justru selalu mendongak ke atas dan menyaksikan bintang bintang yang takkan pernah mereka raih hingga habis masa hidupnya.
Sagotra dan Winihan telah melupakan sebuah anugerah yang tak terkira, yang telah miliki sebelumnya, namun karena sebuah bintang yang takkan pernah berhasil mereka raih itu, mereka melupakan keindahan yang seutuhnya mereka miliki. Dan yang perlu mereka lakukan adalah, cukup mensyukuri semua yang dimilikinya, merawatnya dengan penuh perhatian dan kehangatan, yang akhirnya akan menumbuhkan hasil yang mereka idam idamkan.


The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Bambang Rawan menceritakan tentang kehebatan Bratasena yang telah menyelamatkan nyawanya, dan dengan tangannya sendiri, telah mendukung tubuhnya dan mengembalikannya ke pangkuan ayahnya, Resi Janadi.
Sedangkan Resi Janadi, dengan penuh kepasrahan, menyerahkan segenap jiwa raganya, atas jasa para Pandawa yang telah mengembalikan putranya, membangun desanya, dan berhasil membunuh sumber dari malapetaka yang selama ini mereka takutkan, Prabu Baka.
Baiklah Resi Janadi, dan kalian berdua. Tapi, bagaimanakah kalian dapat sampai di tempat ini, malam ini. Bukankah desa kalian sangatlah jauh, dan terhindar dari hingar-bingarnya Baratayuda" Kalian dapat saja diam saja di desa kalian, toh Baratayuda tak sampai ke desa Kalian, dan kerajaan kalian, sama sekali tak turut serta dalam peperangan ini, baik di pihak Pandawa maupun pihak Kurawa& . Prabu Matswapati berusaha mendapatkan berita dari mereka bertiga.
Mereka bertiga diam dan saling pandang. Wiku Sagotra dan Bambang Rawan terlihat menganggukkan kepalanya kepada Resi janadi. Maka, Resi Janadi pun menceritakan apa yang mereka alami sebelumnya.
Sebelumnya mohon maaf apabila apa yang hamba sampaikan tidak berkenan di hati, Sinuwun& kata Resi Janadi.
Ceritakanlah, agar terang semua yang ada di sini, Resi Janadi& jawab Prabu Matswapati.
Beberapa waktu lalu, desa kami disibukkan dengan kedatangan dua orang pemuda, yang tak kami ketahui asalnya. Namun pemuda itu selalu bekerja untuk desa kami. Kami tak tahu pasti kapan pemuda pemuda itu datang, dan kapan pemuda pemuda itu pergi. Namun hampir setiap hari mereka ada di desa kami.
Mereka tak hanya bekerja nyata dengan membersihkan dan membenahi keadaan desa kami, namun juga mengajak setiap warga untuk bekerja, memakmurkan desanya, dan menggarap sawah serta ladang yang selama ini mereka tinggalkan, karena ketakutan akan datangnya Raja Baka seperti yang sudah sudah.
Setiap kali kami bertemu dengan mereka, mereka sama sekali tak menghindar. Mereka tetap bekerja seperti layaknya tak bertemu dengan siapa siapa.. kata Janadi.
Setiap kali kami bertanya tentang diri mereka, mereka hanya tersenyum dan menjawab, Kami adalah pengembara yang tak punya rumah Paman Resi& .. demikian berulang ulang. Namun karena keberadaan mereka sama sekali tak mengganggu kami, kami biarkan saja, kata Resi Janadi menirukan. Lalu, dimanakah mereka tinggal" tanya Prabu Matswapati.
Itulah Sinuwun, mereka datang dan pergi bagai hantu. Kadang kadang mereka telah berdiri dan bekerja membersihkan jalan dan parit di dekat rumah, dan setelah kami siapkan makanan atau minuman, tiba tiba mereka telah tiada, namun pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang sekampung dalam waktu dua atau tiga hari, saat itu juga selesai oleh mereka berdua. Kata Resi Janadi.
Prabu Matswapati termangu mangu mendengar cerita itu. Demikian juga Puntadewa dan yang lainnya. Mereka sibuk menduga duga.
Begitulah Sinuwun & .. Mereka berdua datang bagai malaikat. Kini, desa kami, dengan kehadiran dua pemuda itu, tugas dan tanggung jawab ku sangat terbantu. Desa kami telah pulih seperti sedia kala & . Kata Ki Lurah Sagotra menimpali.
Dan berita bagus yang perlu saya sampaikan pada Raden Arjuna, Sinuwun, kami telah mempunyai putra, laki-laki, dan ku beri nama, Mintaraga. Terimakasih Raden, berkat Raden Arjuna, kami berdua dapat membina rumah tangga dengan baik, layaknya orang orang kebanyakan& . Salam serta sembah bakti Rara Winihan untuk Raden Arjuna.. Kata Ki Lurah Sagotra berbinar binar.
Hmm& nama yang bagus Sagotra& nama yang bagus& jawab Arjuna.
Resi Janadi, kami semua bingung akan cerita tentang kedua pemuda itu. Adakah Resi bisa menyebutkan ciri-ciri dari kedua pemuda itu" tanya Prabu Matswapati tak sabar.
Kedua pemuda itu, bertubuh hampir sama dengan dua orang pemuda yang duduk di ujung sebelah kiri Raden sekalian& jawab Resi Janadi, dan yang dimaksud adalah Gatotkaca dan Abimanyu.
Mereka mempunyai kemiripan dalam tatapan matanya Raden& kata Resi Janadi melanjutkan.
Berapa lama mereka berada di Desa Kabayakan" bertanya Prabu Matswapati.
Kurang lebih, tujuh hari Sinuwun& jawab Ki Lurah Sagotra. Pandawa Lima semakin kuat akan praduga mereka.
Lantas, apa yang mereka lakukan sebelum mereka pergi meninggalkan desa kalian" tanya Puntadewa tak sabar. Resi Janadi memandang sejenak pada Ki Lurah Sagotra dan Bambang Rawan.
Malam itu, saat aku dan Bambang Rawan berkunjung ke rumah Ki Lurah Sagotra untuk menengok putranya, tiba tiba pintu rumah Ki Lurah diketuk oleh seseorang. Kata Resi Janadi mengawali ceritanya.
Kami semua heran, sangat jarang orang bertamu pada malam malam seperti itu, apalagi rumah Ki Lurah Sagotra yang terpencil dan menyendiri. Ki Lurah Sagotra segera membukakan pintu, dengan sebilah pedang di tangan kanannya, untuk berjaga jaga. Begitu daun pintu terbuka, muncullah wajah wajah mereka berdua. Dengan sangat sopan, mereka memberi salam dan memohon ijin untuk masuk ke dalam rumah. Ki Lurah mempersilakan keduanya. Saat itu aku baru sibuk menyiapkan ramuan obat untuk Mintaraga, dibantu Bambang Rawan.
Setelah semuanya selesai, kami menemui dua pemuda itu bertiga, aku, Ki Lurah Sagotra dan Bambang Rawan. Sementara Rara Winihan sibuk dibelakang, menunggu menjaga Mintaraga.
Apa yang mereka berdua katakan Paman" tanya Puntadewa.
Mereka berdua tidak banyak cakap. Satu orang, yang berwajah tampan dan rapi, dan satu lagi, dengan kumis melintang serta rambutnya yang panjang, hanya menyampaikan berita bahwa saatnya telah hampir tiba. Kata Resi Janadi. Saat apa Paman" Puntadewa semakin mengejar.
Itu pula yang kami tanyakan pada mereka berdua Ngger& . Jawab Resi Janadi. Lantas, apa jawaban mereka" tanya Puntadewa lagi.
Mereka menjawab, Paman Resi, Ki Lurah, dan Bambang Rawan, berangkatlah kalian sebelum purnama naik, berjalanlah menuju tenggara, dan temuilah Kaki Semar Badranaya di Kerajaan Wiratha.. jawab Resi Janadi. Pandawa Lima semakin tertarik akan cerita itu, dan mereka pun semakin mendekat.
Lantas" kali ini Arjuna yang sangat penasaran. Hanya seperti itu Raden& jawab Sagotra.
Berarti, kalian bertiga, tak mengetahui siapakah mereka berdua itu" tanya Puntadewa.
Ampun Raden, demikianlah yang terjadi. Kami sama sekali tak berhasil mengetahui siapakah mereka.. jawab Resi Janadi. Sejenak semua terdiam. Namun tiba tiba, Bambang Rawan seolah menemukan sesuatu dari balik bajunya.
Lantas, mengapa kalian bertiga percaya saja dengan mereka berdua, jika kalian tak tahu siapa merek, dan untuk apa kalian datang ke Wiratha, dan menemui Kakang Badranaya" Prabu Matswapati semakin pusing dibuatnya.
Mereka bertiga diam. Mereka mencoba mengingat ingat kembali kata kata kedua pemuda tersebut sebelum pergi meninggalkan desa mereka, entah kemana.
Ayah& . Bambang Rawan memanggil Resi Janadi, dan Resi Janadi segera menoleh ke arahnya. Dari balik bajunya, Bambang Rawan mengambil sebuah benda, lalu digenggamnya dan diberikan pada ayahnya.
Ini salah satu dari barang mereka berdua Ayah. Saat mereka hendak pergi, mereka memberikannya padaku sambil berkata, berikan ini pada ayahmu, dan tunjukkanlah benda setelah sampai di Keraton Wiratha. Kata Bambang Rawan ada ayahnya. Resi Janadi hampir lupa akan benda itu.
Maaf Raden sekalian, aku hampir lupa. Saat kami tiba di Wiratha dan hendak masuk ke istana, kami dicegat oleh seorang yang tinggi, kurus, berambut panjang yang dikucirnya ke atas. Kami ditanya hendak bertemu siapa, kami bingung menjawabnya, dan Bambang Rawan hanya menunjukkan benda itu. Orang yang mencegat kami, dengan serta-merta berlari menuju Istana Wiratha, dan sejenak kemudian dia kembali lagi dan mengajak kami untuk masuk ke Istana, dan bertemu dengan Raden sekalian& kata Resi Janadi.
Siapa yang mencegat kalian tadi" tanya Prabu Matswapati mulai hilang perhatiannya pada cerita itu karena otaknya semakin bingung.
Petruk Kanthong Bolong, Adi Wiratha& .. sahut Semar Badranaya.
Oh& & Prabu Matswapati manggut-manggut, dan menemukan lagi tautan cerita cerita itu.
Kemarikan benda itu Resi& .. kata Prabu Matswapati. Resi Janadi segera menyerahkan kedua benda yang ada di tangannya itu. Matswapati mengamati benda benda itu dengan seksama. Sekian lama dia tak dapat mengetahui arti dari benda tersebut.
Puntadewa, Sena, Arjuna, lihatlah& katanya memanggil para Pandawa. Puntadewa, Arjuna dan Bratasena segera mendekat dan mengamati kedua benda tersebut.
Hmmmmmm& & Wisanggeni telah datang mengunjungi Desa Kabayakan, Kangmas& jawab Arjuna setelah melihat dengan seksama benda yang diberikan padanya, kepada Puntadewa.
Benar Kakang, Wisanggeni dan Antasena telah datang ke desa itu& jawab Bratasena.
Oh, jadi ini semua pesan dari Wisanggeni dan Antasena" tanya Puntadewa pada Arjuna dan Bratasena.
Benar Kangmas& .. jawab Arjuna.
Hei& & . Bukankah mereka berdua telah& & Prabu Matswapati hampir berteriak.
Pandawa Lima saling berpandangan. Mereka hanya diam. Namun pikiran mereka sibuk menduga duga. Mungkinkah sebelum mereka naik ke swarga loka, mereka menemui ketiga orang itu untuk mengingatkan sumpahnya, atau karena seperti itulah yang tertulis di Jitabsara, sehingga mereka turun ke bumi lagi, atas perintah Sang Hyang Wenang, tiada seorang pun yang tahu.
Kakang Semar& .?"" Prabu Matswapati berusaha mencari jawab lewat putra kedua Sang Hyang Wenang itu, karena Pandawa hanya diam tak dapat menemukan jawaban.
Adi Wiratha, terlepas beberapa kemungkinan yang ada, yaitu mungkin saja sebelum mereka mangkat ke swarga loka, mereka mengingatkan akan sumpah mereka pada sesepuh sesepuhnya, atau mungkin juga karena telah tertulis dalam Kitab Jitabsara, maka Hyang Wenang memerintahkan mereka berdua untuk turun ke bumi, menemui mereka bertiga. Jawab Semar Badranaya, yang ternyata sangat cocok dengan pemikiran pemikiran para Pandawa.
Hmmmmm& & .. Prabu Maswapati berdehem.
Namun Adi Wiratha& . Terlepas dari semua kemungkinan itu, ternyata Ndara Wisanggeni dan Antasena benar benar mengawal perjalanan kita hingga pada hal hal yang kecil, yang kadang luput dari perhitungan kita& kata Ki Lurah Semar.
Hmmm& . Semuanya masuk di akal sekarang. Ternyata, mereka berdua benar benar mengawasi dan membantu kita dalam setiap perkembangan& . Kata Prabu Matswapati.
Pengorbanan Tiada Batas Semuanya terdiam. Mereka kembali teringat akan Wisanggeni dan Antasena yang telah rela meracut sukma untuk kejayaan Pandawa.
Baiklah Resi Janadi dan kalian berdua. Aku terima pengorbanan kalian sebagai sesaji untuk para cucuku Pandawa, demi kejayaan mereka di Padang Kurusetra. Kata Prabu Mtasyapati lantang, dengan wajah cerah dan mata berbinar-binar. Hatinya kini telah lega. Mendung yang selama ini menutupi wajahnya, kini sirna, dan berganti dengan mentari pagi yang cerah.
Kakang Ismaya, bagaimana selanjutnya" Tentang Resi Janadi, Wiku Sagotra dan Bambang Rawan" tanya Prabu Matswapati kepada Ki Semar.
Serahkanlah pada para Pandawa, Adi Wiratha& jawab Ki Semar.
Puntadewa, Sena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, kemarilah& perintah Prabu Matasyapati. Kelima orang itu bagai anjing yang dipecut untuk mengejar mangsa, segera meloncat menghadap Prabu Matswapati . Namun sebenarnya bukan karena panggilan itu mereka meloncat. Mereka sangat ingin cepat-cepat bersua dengan ketiga tamu dari Ekalaya tersebut, tamu yang pernah menyelamatkannya.
Antarkan mereka bertiga ke Padang Kurusetra, dan sempurnakanlah mereka. Berdoalah agar Pandawa mendapat kemenangan dalam Baratayuda kelak! perintah Prabu Matswapati.
Pandawa Lima segera menghampiri mereka bertiga. Dan setelah menyembah hormat, semuanya mohon diri meninggalkan Balairung Istana Wiratha. Kini, mereka berdelapan dapat dengan leluasa melepas kerinduan mereka masing-masing.
Semuanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabar. Pemandangan seperti itu cukup mencengangkan Prabu Matswapati. Sebuah pemandangan raja raja yang terlihat sangat akrab dengan rakyat jelata, bahkan mereka bercengkerama tanpa jarak. Namun bagaimanapun, mereka bertiga tiba di tempat ini untuk menyerahkan jiwa raganya.
Paman Resi, Adi Sagotra, dan Adi Bambang Rawan, silakan& . Kata Puntadewa mempersilakan mereka bertiga untuk berjalan bersama mereka, menuju Padang Kurusetra. Perjalanan itu sengaja mereka pelan pelan, agar cukup waktu bagi semua dapat dengan lega melepas semuanya.
Wiku Sagotra, Nampak yang paling gembira diantara mereka bertiga. Dengan berapi api dia menceritakan tentang perkembangan desanya, istrinya, dan anak lakilakinya yang kini sedang beranjak dewasa. Sungguh tiada kesedihan yang tergores di wajah lurah desa itu, walau sebentar lagi dia harus disempurnakan oleh Arjuna.
Dengan senyum bahagia dia bercerita waktu berpamitan dengan istri dan anaknya. Dengan bangga dia berkata bahwa dia adalah salah satu ksatria Pandawa yang layak untuk maju bertempur, dan mengorbankan semuanya, demi kejayaan Pandawa, yang pada akhirnya kejayaan itu akan memberi pengaruh baik pada kehidupan istri dan anaknya. Sebuah kehormatan baginya mendapat kesempatan seperti itu.
Sedangkan Resi Janadi dan Bambang Rawan, dengan tekad serta penuh keikhlasan, menyerahkan dirinya, sama seperti Sagotra, yang merasa mendapat sebuah kehormatan memperoleh kesempatan untuk berbakti pada para Pandawa dalam perang maha besar sepanjang sejarah.
Di Padang Kurusetra, malam itu, delapan orang laki-laki berjalan beriringan. Para Pandawa, semuanya ikut serta untuk mengantarkan pahlawan-pahlawan mereka yang hendak menempuh perjalanan menuju surga.
Tiga orang itu maju beberapa langkah, dan sebelumnya, mereka membalikkan badan mereka dan menyembah hormat kepada Pandawa Lima, serta berpamitan dan minta doa restu. Pandawa Lima membungkuk dalam dalam, mengucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga, dan memberinya ucapan selamat jalan dengan setulus tulusnya.
Setelah semuanya siap, tiga orang dari Desa Kabayakan itu, pelan pelan terangkat tubuhnya, dan dengan api suci dari tangan Arjuna, mereka bertiga kemudian melesat ke angkasa, dan hilang dari pandangan mata.
Paman Resi Janadi, Adi Sagotra, Adi Bambang Rawan, selamat jalan& .Pandawa berhutang pada kalian, selamanya& . Bisik Puntadewa dalam hati.
Lentera Maut 5 Autumn In Paris Karya Ilana Tan Lembah Tiga Malaikat 3
^