Pencarian

Tujuh Bunga Pandawa 1

The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo Bagian 1


The Expendables Of Kurusetra
(Tujuh Bunga Pandawa) Resi Janadi, Resi Yang Tersembunyi "
Awan gelap seolah menggantung di atas langit sebuah desa yang subur dan makmur. Suasana yang senyap membuat enggan untuk memandang, bahkan walau hanya sebentar. Seorang wanita dan lima anak laki-laki, berjalan di jalan setapak menuju desa itu. Dari tempatnya berjalan, mereka dapat dengan leluasa memperhatikan desa tersebut, karena mereka berjalan di sisi pinggir pegunungan, yang lebih tinggi dari desa tersebut.
Keringat dan peluh membasahi kain mereka yang telah menjadi kumal. Wajah wajah yang hitam dan berdebu, membuat mereka semakin terlihat lusuh. Keletihan menghinggapi diri mereka. Kain kain yang mereka kenakan, tak hanya lusuh oleh keringat dan debu, namun disana sini terlihat juga bekas bekas jilatan api hingga menghitam bahkan robek.
Wanita itu, demikian terlihat letihnya, hingga kadang jalannya terseok seok dan tertatih tatih, bahkan beberapa kali hilang keseimbangan dan hampir jatuh. Seorang anak laki-laki yang mempunyai tubuh paling besar diantara mereka, dengan sigap meraih tubuh wanita itu, dan kemudian di angkatnya, dan di dudukkannya di pundak kanannya. Tangan kanannya yang sangat kuat, bagai sebuah kayu yang dapat menjadi sandaran bagi tubuh wanita itu untuk dapat beristirahat, karena memang tak mungkin mereka berhenti sejenak walaupun hanya untuk sekedar istirahat.
Sementara dua anak laki-laki yang berperawakan sedang, dengan wajah dan tubuh yang hampir sama, tak kalah menyedihkannya pula. Beberapa kali mereka merengek pada saudaranya. Lapar dan haus telah mendera mereka. Hal ini membuat mereka berenam menjadi semakin gundah. Gundah akan keadaan mereka sendiri yang tidaklah begitu baik, dan kini saudara termuda mereka juga mengalami hal yang demikian.
Keduanya selalu berdekatan dengan satu orang lagi yang berwajah tampan diantara mereka. Dia selalu menggandeng tangan mereka di kiri dan di kanan. Dia berjalan agak lebih di depan, mendampingi seorang lagi yang berperawakan hampir sama dengannya, namun dia lebih terlihat sangat bijaksana. Dia berjalan satu satu, melihat dan memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya.
Kakang Puntadewa, berhentilah Kakang& & .. kata wanita yang duduk diatas pundak laki-laki bertubuh besar itu.
Sena& .. turunkan aku& & & .. pinta wanita itu kemudian kepada laki-laki bertubuh besar itu.
Baik Kakang Mbok& .. katanya sambil menurunkan tubuh wanita itu ke tanah, hampir bersamaan dengan kata kata Puntadewa. Puntadewapun kemudian berhenti dan menghadap istrinya.
Puntadewa, berhentilah sejenak. Aku melihat terdapat sebuah rumah di depan jalanan ini, mungkin kita dapat mencari tahu tentang desa di bawah itu& . Kata wanita itu.
Baiklah Diajeng & jawab Puntadewa.
Lagipula, lihatlah Si Kembar adikmu. Mereka letih, lapar dan dahaga. Mereka tak sekuat kalian& . Katanya kemudian.
Arjuna, biarkan mereka kemari& . Pintanya pada Arjuna yang dari tadi menggandeng tangan Si Kembar, Nakula dan Sadewa.
Kakang Mbok& & kata mereka berdua lirih. Dewi Drupadi, sang kakak ipar, isteri dari kakak sulungnya, Puntadewa, membelai kedua kepala anak itu, sambil memeluknya erat erat. Air mata Dewi Drupadi menetesi kedua pundak anak kembar itu. Tangisnya terisak isak, hingga tak satu pun kata kata mampu keluar dari mulutnya.
Lihatlah rumah di depan itu, adakah rumah itu berpenghuni. Biarlah kita istirahat barang sebentar di rumah itu. Kata Dewi Drupadi.
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Arjuna dan Sena segera melangkah maju untuk melihat dari dekat rumah sederhana yang terlihat tak begitu terurus. Sementara Puntadewa masih berdiri, menemani Dewi Drupadi yang masih memeluk Nakula dan Sadewa.
Beberapa saat berjalan, Arjuna dan Sena tiba di rumah tersebut. Rumah yang terbuat dari bambu dan kayu, yang sangat sederhana. Melihat debu debu yang menempel di dinding, serta halaman yang penuh dengan daun daun kering, sarang laba laba di setiap sudut, mereka yakin bahwa rumah itu telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Dengan isyarat tangan, Arjuna dan Sena memanggil Puntadewa yang mengawasi mereka dari kejauhan. Melihat isyarat tangan tersebut, Puntadewa kemudian mengajak Dewi Drupadi serta Kembar untuk segera menyusul Arjuna dan Sena.
Setelah tiba di rumah itu, mereka pun beristirahat sejenak, di balai balai yang terletak di sudut beranda rumah itu. Walaupun kotor dan berdebu, mereka sangat bersyukur telah menemukan tempat untuk melepas lelah barang sebentar. Arjuna dan Sena kemudian berputar mengelilingi rumah itu untuk mencari setidaknya air yang dapat mereka gunakan untuk membasahi tenggorokan mereka.
Kakang Puntadewa, adakah seseorang yang masih tinggal di rumah ini" bertanya Dewi Drupadi.
Puntadewa menggeleng tak yakin, dan segera dia berusaha mencari tahu lewat celah celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu, dan sesekali menempelkan telinganya untuk mendengarkan suar kehidupan dari dalam rumah itu.
Tiba tiba wajahnya terlihat tegang. Dengan isyarat tangan, Puntadewa meminta Dewi Drupadi serta Kembar untuk diam tak bersuara. Puntadewa mendengar suara lirih, lirih sekali dari dalam rumah itu. Sebuah suara nafas yang tertahan tahan, agar tak terdengar sama sekali bahkan oleh semut sekalipun. Dengan ilmu yang dikuasainya, Puntadewa dapat dengan mudah mengetahui siapa dan berapa orang yang berada di dalam rumah itu.
Dia memandangi istrinya minta pertimbangan apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan bahasa isyarat, Dewi Drupadi meminta Puntadewa untuk mengetuk pintu, layaknya seorang yang bertamu ke rumah orang lain. Dengan sikap sopan, Puntadewa melaksanakannya. Tutur bahasanya yang halus, keluar dai mulutnya dengan lirih. Bagaimanapun, mereka sama sekali tak ingin menimbulkan kecurigaan, apalagi kegaduhan di wilayah yang akan dia lewati. Keberadaan mereka sama sekali tak boleh diketahui oleh orang lain. Sebuah perjanjian yang dikarenakan sebuah pertaruhan sangat menyudutkan mereka, namun mereka terima dengan tabah, untuk sebuah tujuan yang mulia di hari esok.
Terdengar suara langkah kaki yang terseret dari dalam rumah. Sejenak berhenti di depan pintu. Rupanya orang itu juga sedang mengamati siapakah yang datang kepadanya. Dan Puntadewapun mengulangi salam kedatangannya. Beberapa saat kemudian, pintu yang terbuat dari kayu itu pun berderit, dan seorang laki-laki tua nampak berdiri dibaliknya.
Permisi Paman& & & sapa Puntadewa.
Ehm& . Siapakah ki sanak ini" suaranya serak dan tatap matanya memperlihatkan ketakutan yang tertahan.
Maaf Paman& .. Namaku Dwijakangka, Paman boleh memanggilku dengan nama Kangka, dan di sebelah sana, yang duduk di balai-balai itu Sailandri, dan kedua adik kembarku, Nakula dan Sadewa& . Jawab Puntadewa.
Lalu, apa maksud ki sanak sekalian datang ke rumah ini" Rumah reyot yang sama sekali tak pantas ini" tanya laki-laki tua itu.
Maafkan kami Paman& .. kami datang sekedar untuk mencari tempat berteduh, dan melepas penat atas istri dan adik kami Paman. Jika Paman mengijinkan, cukuplah kami beristirahat di beranda rumah Paman ini& .. kata Puntadewa.
Sejenak laki-laki tua itu diam. Matanya berkeliling mengamati Puntadewa, Dewi Drupadi serta Nakula sadewa dengan seksama. Laki-laki itu terkesima, saat melihat kain dan tubuh mereka yang telah lusuh, wajah wajah yang terlihat letih, dan, anak laki-laki kembar yang selalu bersandar di dalam pelukan Dewi Drupadi. Sungguh menyedihkan keadaan mereka.
Ngger Puntadewa& & kata laki-laki itu kemudian.
Ajaklah istri serta adikmu sekalian masuk ke rumah ini. Walaupun jelek dan kotor, setidaknya rumah ini tebih terlindung daripada di luar, di beranda ini& . Katanya kemudian.
Terimakasih Paman& & jawab Puntadewa, sambil kemudian berjalan, menggandeng Nakula Sadewa serta Dewi Drupadi masuk.
Sedangkan laki-laki pemilik rumah itu, kemudian pergi ke belakang, dan sejenak kemudian, dia telah keluar dengan membawa sebuah kendi yang terbuat dari tanah dan cangkir dari tanah liat juga.
Maafkan Paman Ngger& . Hanya ini yang mampu Paman berikan padamu sekalian& . Kata laki-laki itu.
Terimakasih Paman& & sudah merepotkan. Sudah lebih dari cukup bagi kami telah diijinkan beristirahat sebentar di rumah Paman& . Jawab Dewi Drupadi sambil hormat.
Puntadewa, panggillah Arjuna dan Sena& & kata Dewi Drupadi. Puntadewa kemudian berjalan keluar rumah untuk memanggil kedua adiknya. Tak lama kemudian, Puntadewa telah masuk disertai oleh Bratasena dan Arjuna. Ketiganya mengangguk hormat saat mengucapkan salam.
Kemudian mereka pun duduk di atas tikar pandan yang telah disediakan. Tidak cukup bagus, namun bersih, pertanda tikar itulah yang digunakan oleh si empunya dalam kesehariannya. Tiada satu pun barang yang ada di rumah itu, bahkan hiasan di dinding pun sama sekali tiada, hanya sebuah kampak dan sabit yang terselip di dinding anyaman dari bamboo itu.
Maafkan Paman Angger sekalian& & kata pemilik rumah saat semuanya telah menikmati air yang dihidangkan.
Sebelumnya, maafkan Paman yang hidup dikampung, sangat jauh dari kotapraja dan tata pergaulan. Siapakah Angger sekalian ini" Paman sama sekali belum pernah melihat Angger sekalian di kiri kanan lingkungan ini, apalagi di desa kami ini& kata pemilik rumah.
Sejenak semua terdiam. Satu sama lain hanya saling pandang. Mereka tak tahu harus berkata apa. Tidak baik kiranya bila mereka berbohong pada seseorang yang telah menolong mereka, namun bagaimanapun, mereka sama sekali tak boleh mengatakan siapa mereka sebenarnya, karena jika mereka berkata sebenarnya, bukan tak mungkin mata mata pasukan Astina akan mengetahui keberadaan mereka, maka semakin lama panjanglah perjalanan hidup yang harus mereka tempuh untuk kembali ke istana.
Baiklah, jika Angger sekalian keberatan untuk mengatakan siapa Angger sekalian, biarlah Paman memperkenalkan diri. Paman bernama Janadi, seorang tua di desa ini, Desa Sendang Kandayakan, atau sering disebut Desa Kabayakan, sebuah desa yang sangat terasing di wilayah Kerajaan Ekalaya. Kata pemilik rumah yang ternyata bernama Janadi.
Puntadewa, Sena dan Arjuna, seperti berjanji mereka serentak menegakkan dada mereka dan kemudian saling pandang. Mereka cukup heran dan terkejut, ternyata perjalanan mereka hingga ke wilayah Kerajaan Ekalaya. Yah, mereka bertiga cukup mengetahui keberadaan Kerajaan Ekalaya yang berada jauh di sebelah utara dari Astinapura, sebuah kerajaan kecil yang berada di bibir pegunungan, yang bahkan perjalanan menuju kesanapun, mereka tentunya malas, karena perjalanan yang harus mereka tempuh cukup terjal, melewati hutan belantara.
Kerajaan yang terkenal dihuni oleh kaum Nisada, kaum pemburu yang terkenal sangat ahli dalam berburu bebas, bahkan tanpa bekal sekalipun. Kemampuan mereka memang sangat unggul dibanding lainnya. Keahlian berburu, tidak hanya dengan satu senjata, namun berbagai senjata, mereka mahir menggunakannya, baik dengan panah, pedang, parang, tombak, bahkan sebatang kayupun, ditangan mereka dapat menjadi sebuah senjata yang dahsyat.
Mereka sadar betapa jauh perjalanan yang telah mereka tempuh, namun hal itu sama sekali tak terasa oleh mereka karena perasaan mereka yang diburu oleh keinginan menyelamatkan diri dan menjalani perjalanan untuk kembali ke istana.
Bunda& & Bunda& & . terdengar Nakula dan Sadewa merengek pada Dewi Drupadi. Seperti disadarkan, mereka teringat akan kedua anak kembar itu, yang sejak tadi menangis menahan lapar dan dahaga. Dewi Drupadi memandang Puntadewa, Sena dan Arjuna. Mereka pun juga saling pandang.
Aduh& . Maafkan Paman Angger& .. Paman tidak mempunyai apa apa selain air kendi itu& .. kata Janadi dengan sangat menyesal.
Biarlah Paman pergi ke ladang barang sebentar, disana ada ubi tanah yang bisa dibakar& . Katanya kemudian sambil beranjak dari duduknya.
Paman& & & tak usah repot repot Paman& & . Kata Puntadewa, Sena dan Arjuna hampir bersamaan.
Biarlah Sena dan Arjuna yang mengerjakannya. Paman duduklah bersama kami disini. Kami sangat ingin mengetahui tentang Desa Kabayakan ini. Kata Puntadewa.
Benar Paman, biarlah anak anakku yang mengerjakannya, Paman sudah cukup repot dengan keberadaan kami di sini& .. bujuk Dewi Drupadi.
Janadi berhenti. Sejenak berdiri mematung, memikirkan perkataan mereka.
Hmmmmm& .baiklah Ngger& . Tapi ijinkan Paman memberikan petunjuk pada Angger berdua agar tahu dimanakah letak ladang Paman.. katanya sambil keluar rumah, diikuti oleh Sena dan Arjuna.
Sementara Dewi Drupadi dan Puntadewa berusaha membujuk dan menenangkan Nakula dan Sadewa, Janadi memberikan petunjuk arah kepada Sena dan Arjuna. Tak berapa lama kemudian, terdengar dua orang itu berpamitan pada Janadi untuk berangkat. Dan kemudian, Janadi masuk ke dalam rumah lagi.
Anak anak yang pemberani& kata Janadi sambil duduk ditempat semula.
Terimakasih Paman& kata Dewi Drupadi masih sambil memeluk Nakula dan Sadewa.
Sementara Puntadewa, tanpa sepengetahuan Janadi, berusaha untuk mengetahui tentang siapakah sebenarnya orang yang mengaku bernama Janadi ini. Diamatinya seluruh sudut rumahnya, pandangannya berkeliling dari sudut demi sudut, bahkan setiap anyaman bambupun, tak luput dari pengamatannya.
Demikian juga dengan Janadi sendiri, tak luput dari pengamatannya. Orang ini tergolong belumlah terlalu tua, namun gurat gurat wajahnya, menunjukkan betapa keras kehidupannya. Tubuhnya yang tegak, telah agak terbungkuk, oleh beban yang setiap hari dipikulnya. Kerut kerut di tubuhnya, terlihat jelas betapa dia adalah orang yang suka dengan laku prihatin. Tubuhnya yang tak mengenakan baju, di tengah musim seperti ini, menunjukkan betapa kuat daya tahan yang dimilikinya. Tentu saja, Puntadewa berkesimpulan bahwa Janadi, walaupun dalam penampilan yang sangat sederhana, dia bukanlah orang sembarangan. Tentunya di dalam tubuhnya, tersimpan berbagai macam ilmu kanuragan dan olah batin yang telah mengendap dalam setiap segi kehidupannya.
Paman, Desa Kabayakan ini terlihat sangat lengang. Dari kejauhan, kami menyaksikan jalanan sepi, tak seorang pun terlihat di luar rumah, jikalaupun ada, mereka buru buru masuk ke rumah terdekat. Adakah sesuatu di Desa ini Paman" bertanya Puntadewa memberanikan diri.
Janadi terdiam. Matanya menerawang jauh, seolah ingin menggali peristiwa peristiwa silam yang telah dialami desa ini. Pertanyaan Puntadewa memang sangatlah wajar, namun dia tak tahu harus berkata apa. Bagaimanapun, dia belum begitu mengenal sapakah Puntadewa dan beberapa orang bersamanya, yang telah mereka perkenalkan bahwa mereka adalah sebuah keluarga yang sedang menempuh perjalanan.
Namun dari gerak gerik serta tutur bahasa mereka, Janadi yakin bahwa mereka bukan orang yang perlu ditakutkan. Mereka tak lebih dari keluarga pengembara yang hidup berpindah pindah, karena mungkin di kampung atau dusun mereka sedang terserang wabah ataupun kekeringan, sehingga mereka terpaksa hidup berpindah pindah. Barangkali, dengan cerita nanti akan membuat mereka semakin waspada selama dalam perjalanan, dan menempati sebuah desa tertentu.
Angger Puntadewa dan Ibu Dewi Drupadi& . Katanya memecah keheningan. Keduanya seolah terjaga, dan kemudian membenahi letak duduknya agar lebih nyaman dalam mendengarkan cerita dari Janadi. Sedangkan Nakula dan Sadewa, mungkin karena terlalu lelah dan letih menahan lapar, mereka pun tertidur di pangkuan Dewi Drupadi. Melihat hal itu, Janadi segera beranjak, dan mengambil dua potong kain yang masih bersih dari biliknya, dan diberikannya kepada Dewi Drupadi, agar dapat dimanfaatkan sebagai alas dan bantal bagi Nakula dan Sadewa yang sekarang telah direbahkan di sampingnya.
Dahulu, Desa Kabayakan adalah sebuah desa yang subur dan makmur. Warga desa hidup berkecukupan, bahkan berlebihan. Kerja keras mereka membuahkan hasil, apalagi didukung sawah dan ladang mereka yang tergolong subur, sehingga hasil panen kami cenderung melimpah. Katanya mengawali cerita.
Mungkin Agger masih bisa menyaksikan sisa sisa kemakmuran dari desa ini& .. kata Janadi berhenti sebentar.
Benar Paman& .. Kami melihat hal itu. Rumah rumah yang bagus, jalanan yang lebar serta tertata dengan baik. Namun terlihat kotor dan sama sekali tak terawat& jawab Puntadewa.
Belum lagi sawah dan ladang yang dipenuhi oleh semak semak, terlihat sama sekali tak dirawat dalam waktu yang cukup lama& . Kata Puntadewa melanjutkan.
Benar Ngger& & Memang seperti itulah keadaannya sekarang ini& kata Janadi seperti menyesali semuanya.
Lantas apa yang terjadi Paman" tanya Puntadewa tak sabar.
Janadi masih terdiam. Dia berusaha merangkai rangkai kata untuk dapat bercerita dengan baik.
Adalah seorang pemuda dari desa ini. Anak muda yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana, sangat sederhana bahkan. Tidak begitu jelas asal usul pemuda ini, namun kami hanya mengetahui bahwa dia dibesarkan hanya oleh ibunya. Mereka hidup di tepi dari desa ini, jauh dari tata pergaulan warga desa. Makanya pemuda ini berkembang menjadi pemuda berandalan, yang kadang tak tahu sopan dan santun. Janadi mengawali cerita. Sementara Puntadewa dan Dewi Drupadi mendengarkan dengan seksama.
Namun entah dari mana, pemuda yang bernama Sagotra itu mempunyai keistimewaan, baik secara lahiriah maupun batiniah& . Katanya melanjutkan.
Banyak warga yang tak suka padanya, bahkan hampir seluruh warga Desa ini. Tingkahnya yang suka membikin onar dan menuruti kehendak sendiri, cukup meresahkan. Namun di sisi lain, kemampuannya baik lahiriah maupun batiniah, juga sangat membantu warga apabila terjadi terjadi rampok atau tindakan yang merugikan warga desa ini, oleh orang lain& . Kata Janadi sambil berhenti bercerita sebentar untuk membenahi gulungan tembakau yang dilapisi kulit jagung, untuk disulutnya.
Hmmm& . Cukup baik juga Paman& .. kata Puntadewa.
Itulah Ngger& . Sagotra, betapa Bengal anak itu, namun dia sama sekali tak suka bila warga Desa ini mengalami kesusahan oleh orang diluar dari Desa ini. Paman juga tak tahu apa yang menjadi pemikirannya. Kata Janadi menimpali. Lantas apa yang terjadi kemudian" tanya Puntadewa tak sabar.
Karena keberanian dan kemampuannya itulah, lama kelamaan penduduk Desa ini menaruh simpati kepadanya. Beberapa kali Desa ini diselamatkan olehnya, baik dari rampok, pencuri, bahkan dari binatang binatang buas yang kelaparan dan masuk ke Desa ini. Lanjut Janadi.
Dari sekian banyak peristiwa peristiwa itulah, penduduk Desa ini merasakan ketenangan apabila Sagotra berada di sekitar mereka. Mereka merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan yang sewaktu waktu dapat mereka andalkan, karena kerajaan sangatlah jauh dari Desa ini, tak mungkin bagi kami untuk mengandalkan bantuan dari kerajaan. Janadi melanjutkan.
Seiring waktu, perangainya yang bengal dan bandel, sedikit demi sedikit mulai terkikis, dan dia mulai sadar betapa warga mulai mengandalkan dirinya. Dan kemampuannya pun juga semakin meningkat.
Rupanya Sagotra menyadari juga akan hal itu. Dan seiring dengan usianya, kebengalannya sedikit demi sedikit berkurang. Sagotra mulai berkelakuan baik seperti layaknya warga desa ini. Dia ingin mengubah hidupnya, demi Desa yang telah membesarkannya. Janadi berhenti sejenak. Di membetulkan letak duduknya agar menjadi lebih nyaman. Sementara Puntadewa masih terlihat dengan seksama mendengarkan cerita demi cerita dari Janadi.
Memang sangat menarik keadaan di Desa Kabayakan ini baginya. Disamping dia baru saja masuk di desa ini, juga sebagai seorang pelarian, dia juga harus tahu apa yang terjadi di desa ini, sebelumnya.
Pada saat Desa ini membutuhkan seorang pemimpin, tampilah Sagotra. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sagotra menawarkan keamanan bagi seluruh warga desa ini. Bahkan apabila harus bertempur dengan Prabu Dwaka pun, dia berjanji tak akan mundur.
Prabu Dwaka" Puntadewa bertanya.
Ngger, tahukah Angger akan Kerajaan Ekalaya ini" Siapakah Rajanya" bertanya Janadi.
Puntadewa memandang wajah Dewi Drupadi untuk membantunya menjawab. Namun Dewi Drupadi pun juga tak lebih dari Puntadewa. Dia hanya menggelengkan kepalanya.
Maaf Paman, aku tak mengetahuinya& . Jawab Puntadewa pelan.
Kerajaan Ekalaya ini, dipimpin oleh seorang raja yang gagah perkasa. Yang bernama Prabu Dwaka, atau terkenal dengan nama Prabu Boko. Ia bertulang besar, berkekuatan seribu gajah dan sakti mandraguna. Namun sayang kedahsyatannya sang raja tidak diperuntukkan untuk melindungi rakyatnya, tetapi justru untuk menancapkan sifat angkuh, tamak dan bengis yang tidak manusiawi demi untuk memuaskan nafsu pribadinya.
Perlu diketahui Ngger, bahwa Prabu Baka ini mempunyai kebiasaan yang mengerikan dan sekaligus menjijikkan. yaitu, setiap bulan tua ia meminta disediakan satu orang manusia untuk disantap. Kebiasaan itulah yang telah menebar rasa takut dan kengerian yang berlebihan bagi setiap rakyatnya. Namun karena dia raja yang berkuasa, kuat dan sakti, tidak ada yang berani menentangnya. Kata Janadi berhenti sebentar.
Sementara Puntadewa dan Dewi Drupadi semakin tertarik dengan cerita itu. Dalam usia mereka yang masih muda, dan pengetahuan tentang kerajaan kerajaan tetangga belumlah mereka kuasai dengan baik, cerita ini sangatlah menarik bagi bagi mereka berdua. Hal ini untuk mengetahui siapa kawan dan siapa lawan yang akan mereka rengkuh dalam perang besar di akhir jaman nantinya. Sebuah peperangan antara keluarga sedarah, dalam memperebutkan haknya, yang pada akhirnya meluas pada peperangan antara kebenaran dan kebatilan.
Silakan diminum dulu Ngger, Ibu Dewi& & hanya air ini yang mampu ku berikan pada kalian semuanya& . Kata Janadi memecah kesunyian. Puntadewa dan Dewi Drupadi sejenak tergagap dan sadar dari lamunannya.
Nakula dan Sadewa masih terlihat berbaring dengan nyenyaknya di samping Dewi Drupadi. Dua anak kembar yang paling kecil dari keluarga itu, sungguh menyita perhatian Janadi. Dua anak yang hampir sama persis, tergolek lemas menahan lapar hingga kelelahan, sedangkan istri dan saudara saudara lainnya pun, tidak lebih baik keadaannya. Janadi tersentuh hatinya, namun apa daya dia sendiri dalam keadaan yang kurang beruntung. Dia ingin sekali membantunya, lebih dari itu. Suatu saat, bila keadaan menjadi lebih baik, Janadi berjanji dalam hati untuk membantu lebih baik lagi, bahkan terbaik yang mampu dia lakukan. Lantas bagaimana Paman" bertanya Puntadewa.
Eh& ..iya& . Ngger, maaf Paman melamun sebentar& . Kata Janadi sambil membenarkan posisi duduknya yang tidak salah.
Sagotra, yang telah berkembang menjadi manusia yang bisa diterima olah warga Desa ini, dengan mudah mendapatkan jabatan yang di bebankan padanya, yaitu sebagai Lurah di Desa Kabayakan ini. Hal ini tentu saja karena kemampuan Sagotra yang memang di atas rata rata dari keseluruhan warga desa ini. Kata Janadi melanjutkan.
Sagotra kini menjadi seorang yang benar benar disegani. Perlu Angger ketahui, Sagotra, walaupun di adalah pemuda bengal yang mempunyai kesaktian dan tumbuh di desa sederhana ini, namun Sagotra juga adalah pemuda yang gagah lagi tampan. Sebenarnya cukup banyak gadis desa ini yang menaruh hati padanya, namun mengingat kelakuannya itu, mereka kemudian lebih memilih untuk menyimpan rasa itu dan menguburnya dalam dalam.
Hmmm& menarik Paman& kata Puntadewa pendek dalam kepenasarannya.
Adalah Rara Winihan, seorang gadis putra tetua desa ini, yang kemudian bersedia untuk menjadi pendamping Sagotra. Gadis yang sangat cantik untuk ukuran di desa ini. Dan rupanya, Sagotrapun menaruh hati padanya sejak lama.
Karena sebuah tekad yang mulia dari Sagotra untuk menjadi lurah di desa ini, sebagai pelindung warga desa Kabayakan, dan sumpahnya dihadapan seluruh warga bahwa dia tak akan mundur barang sejengkal pun dalam melindungi warganya, walaupun bahaya itu datang dari Maharaja Prabu Dwaka, yang terkenal sakti dan tak terkalahkan, maka Rara Winihan pun semakin jatuh cinta padanya. Janadi melanjutkan.
Sagotra bersumpah seperti itu Paman" tanya Puntadewa.
Benar Ngger& .. sumpah yang sangat berani. Tiada seorang pun yang mampu melawan Prabu Dwaka Ngger& .. Namun Sagotra bersumpah untuk melawannya apabila Prabu Dwaka memasuki dan meminta tumbal gadis gadis dari desa ini& jawab Janadi.
Lantas apa yang terjadi Paman" tanya Puntadewa lagi.
Tiba tiba Janadi tertunduk. Sangat dalam, seolah dia ingin menyaksikan semut semut yang berjalan beriringan di atas tanah, tepat di bawahnya. Semut semut yang berjalan beriringan membentuk sebuah barisan panjang, adalah hal yang sangat biasa. Namun kali ini menjadi sebuah hal yang sangat luar biasa bagi Janadi, hingga kepalanya tertunduk, pandangan matanya tertancap ke tanah, dan kadang kadang dia menggeleng gelengkan kepalanya, sambil menarik nafas panjang. Paman& & & . Kata Puntadewa berusaha menyadarkannya.
Keberanian seseorang tentu dapat berubah sering waktu dan kepentingan Ngger& .. jawab Janadi pelan, sambil mendongakkan kepalanya seperti semula. Maksud Paman" Puntadewa semakin penasaran.
Angger tentu saja bisa menjadi seorang pemuda yang pilih tanding, pada saat Angger hidup dalam keadaan yang nestapa, sendirian, dan tiada sesuatu yang dibela selain dirinya dan hidupnya. Namun apabila Angger telah berkehidupan lebih baik, istri cantik disamping Angger, tentu saja Angger akan berpikir beberapa kali untuk bertindak seperti layaknya Angger waktu keadaan seperti dulu. Bukankah begitu Ngger& " Janadi balik bertanya.
Bisa jadi Paman& & .. jawab Puntadewa pendek.
Itulah yang terjadi pada Sagotra, Ngger& & & kata Janadi sambil menarik nafas panjang dan dalam.
Sagotra dan Rara Winihan bersepakat untuk melanjutkan hubungan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Mereka mengikat janji untuk menjadi sepasang suami istri. Waktu berjalan, dan hari pernikahan mereka pun semakin dekat. Semua warga desa ini turut bergembira menyambut hari pernikahan itu. Ki Lurah Sagotra yang gagah perkasa lagi sakti mandraguna, akan meminang seorang gadis jelita, putra tetua desa ini pula. Janadi melanjutkan ceritanya.
Hingar bingar terjadi disana sini, kemeriahan terlihat di hampir setiap sudut desa. Desa Kabayan ini makmur Ngger, tanahnya subur, apa saja yang ditanam, tentu akan membuahkan hasil. Dan hal ini semakin terasa saat pemerintahan telah dipegang oleh Sagotra. Hasil kerja keras warga desa, membuahkan hasil yang melimpah dari waktu ke waktu, hingga cadangan makanan di desa ini pun melimpah ruah. Semakin cinta warga desa ini pada Ki Lurah Sagotra.
Peristiwa yang sangat mengejutkan, terjadi pada saat hari pernikahan mereka& .. kata Janadi terhenti.
Apa yang terjadi Paman" Puntadewa penasaran.
Pada saat menjelang hari pernikahan mereka, huru-hara terjadi. Pohon pohon besar tumbang berderak derak, bagai gempa bumi besar melanda desa ini. Angin rebut datang dari berbagai penjuru, meluluh lantakkan tanaman tanaman padi dan palawija yang siap dipanen. Semua warga desa ini keluar dari rumah masing-masing dan ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Demikian juga dengan Ki Lurah Sagotra. Janadi bercerita dengan berapi api.
Ki Lurah Sagotra, sebagai pelindung dari seluruh warga desa ini, keluar dengan senjata di tangan. Proses pernikahan yang sebentar lagi di mulai pun, tertunda. Sagotra sadar akan kewajibannya sebagai seorang lurah, dia harus tampil di depan, untuk melindungi dan membela rakyatnya.
Namun kenyataan yang terjadi kemudian, adalah sama sekali diluar dugaan semua warga, bahkan Ki Lurah Sagotra. Telah berdiri tegak seorang raksasa, dengan taring sebesar gading gajah besar dihadapan warga desa ini. Tertawanya terpingkalpingkal hingga bergoncang goncang seluruh badannya, dan menyebabkan bumi Kabayakan ini seperti terkena gempa bumi. Langkah kakinya berdentum dentum keras membentur bumi.
Siapakah dia Paman" tanya Puntadewa.
Dialah Prabu Dwaka, raja raksasa di kerajaan Ekalaya ini, yang Paman telah ceritakan di awal cerita ini.. jawab Janadi.
Oh& . Lantas& .." Puntadewa semakin penasaran.
Prabu Dwaka datang untuk mengambil seorang gadis dari Desa Kabayakan ini, untuk dijadikan sesaji& katanya sambil menerawang jauh.
Lalu apa yang dilakukan oleh Sagotra, Paman" tanya Puntadewa.
Itulah Ngger, keberanian seseorang kadang berubah seiring dengan waktu dan kepentingan. Sagotra sangat menyadari apabila dia melawan Prabu Dwaka, tentu bukanlah lawan yang seimbang. Prabu Dwaka yang bertubuh raksasa, dan berilmu sakti mandraguna, hingga tiap bulan purnama dia memerlukan seorang gadis untuk sesaji, untuk semakin memperkuat ilmunya. Tentu bukanlah ilmu sembarangan. Sedangkan Sagotra, betapapun saktinya dia, namun dia adalah pemuda desa, yang tentu saja pergaulan dan pengalaman serta menimba ilmunya, lebih terbatas dibandingkan Prabu Dwaka& . Kata Janadi seolah menyesali diri.
Bukan tanpa usaha Sagotra mencegah hal itu terjadi. Namun kesaktiannya sangatlah jauh dibawah kesaktian Prabu Dwaka. Beberapa kali Sagotra berusaha mencegah dan mengusirnya, namun yang terjadi adalah sebuah kesedihan. Tubuh Sagotra beberapa kali terlempar jauh dan jatuh membentur tanah. Setiap kali dia melakukan serangan dengan sekuat tenaga, hanya cukup dengan kibasan tangan Prabu Dwaka, tubuh Sagotra terlempar berkali kali bagai ranting pohon yang dipermainkan angin topan.
Sedangkan warga desa ini, sama sekali tak mempunyai keberanian untuk melawannya. Mereka hanya mampu berteriak teriak memohon ampun untuk dilepaskan dari siksa Prabu Dwaka, dan dilepaskan anak gadisnya.
Sagotra yang telah lemah tak berdaya, sama sekali tak mampu mencegah Prabu Dwaka untuk mengambil salah satu gadis desa ini. Walau suaranya masih mampu untuk berteriak teriak dengan sumpah serapah kepada Prabu Dwaka, namun hal itu sama sekali tak mempengaruhi perbuatan Prabu Dwaka.
Dengan tertawa terpingkal-pingkal, Prabu Dwaka pergi meninggalkan desa, dengan seorang gadis yang telah di panggulnya. Teriakan dan tangisan anak gadis itu, semakin menambah pilu Sagotra dan segenap warga desa ini. Sagotra menyesali dirinya, mengapa dia tak sehebat Prabu Dwaka, hingga tak mampu mencegah perbuatan nista itu.
Dalam duduk tak berdayanya, dengan pakaian yang telah compang-camping, luka di sekujur tubuh dan darah yang mengalir dari luka tubuhnya, Sagotra menangis dalam hati. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia katakana pada warga desa ini bila mereka datang untuk meminta pertanggungan jawab atas kata katanya dahulu, bahwa bila Prabu Dwaka sekalipun yang datang memporak-porandakan desa kabayakan ini, , dia tak akan menyerah.
Dia telah berusaha keras untuk mencegah dan melindungi warga dari polah tingkah Prabu Dwaka. Namun apa daya, kemampuannya sungguh tak sebanding dengan dirinya. Lagi pula, waktu itu adalah hari pernikahannya, tentu saja dia berpikir ulang untuk menyabung nyawa dengan Prabi Dwaka yang telah jelas kemampuan dan kesaktiannya bagai langit dan bumi dibanding dengan Sagotra.
Warga desa yang berharap banyak pada Sagotra, saat itu dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa ternyata, Ki Lurah mereka, tak sehebat dugaan mereka. Kata Janadi sambil menunduk, seolah dia menyesal sekali tak mampu berbuat sesuatu saat itu.
Puntadewa dan Dewi Drupadi pun juga ikut tertunduk, seolah mereka juga merasakan betapa kecewa dan sedih hati warga Kabayakan. Sejenak hening, masing-masing larut dalam pikirannya, kecuali Nakula dan Sadewa yang masih terlelap tidur.
Bagaimana dengan pernikahan itu Paman" tanya Puntadewa memecah keheningan.
Ehm& & Janadi tergagap dan terbangun dari lamunannya.
Silakan diminum Ngger dan Ibu Dewi& & katanya sambil menuangkan air dari kendi ke cangkir cangkir dari tanah liat. Namun Puntadewa dan Dewi Drupadi telah tidak begitu bernafsu akan hidangan itu, mereka kini lebih tertarik untuk mendengarkan cerita selanjutnya tentang Ki Lurah Sagotra dan Desa Kabayakan yang kini menjadi tempat istirahat mereka.
Terimakasih Paman& & kata Puntadewa hampir bersamaan dengan Dewi Drupadi. Setelah merasa puas dari dahaga, Puntadewa kembali meminta Janadi untuk meneruskan ceritanya.
Pernikahan itu tetaplah berlangsung Ngger& & . Namun sudah tidak seperti semula lagi. Hingar-bingar yang telah dipersiapkan, kini telah sirna, tiada lagi cahaya kegembiraan dari segenap warga. Janadi melanjutkan.
Pernikahan yang seharusnya menjadi sebuah peristiwa yang menggembirakan baik bagi Sagotra dan Rara Winihan serta seluruh warga Kabayakan ini, kini menjadi sebuah peristiwa yang memang seharusnya terjadi dengan apa adanya. Hanya sebagai syarat sah adanya sebuah pernikahan. Kedua mempelai sama sekali tak terlihat riang gembira, demikian juga dengan warga desa. Gurat gurat kesedihan dan kekecewaan, cukup jelas terlukis di wajah wajah mereka.
Apakah Ki Lurah Sagotra masih menjabat sebagi Lurah hingga sekarang" tanya Puntadewa.
Sejak saat itu Ngger, sejak pernikahan itu, masyarakat menjadi kecewa kepada Sagotra. Demikian juga dengan Sagotra, dia juga merasa telah mengecewakan seluruh warga desa ini. Namun warga tak mempunyai pilihan lain, karena memang Sagotralah yang mereka pandang paling mampu untuk menjadi pelindung mereka, walau dengan kemampuan yang terbatas, namun setidaknya kemampuannya adalah paling tinggi dibanding seluruh warga desa ini. Kata Janadi.
Sedangkan Sagotra, sejak peristiwa itu, dia memilih untuk menarik diri dari pergaulan masyarakat, walaupun dia sama sekali tak melupakan kewajibannya sebagai seorang lurah. Namun dia mulai membatasi geraknya. Bagaimanapun, dia telah merasa gagal untuk berdiri sebagai seorang pelindung bagi seluruh warga desa ini. Di hidup di pinggiran dari desa ini, atau lebih tepatnya, dia hidup menyepi bersama istrinya, di bibir hutan yang menghadap ke arah desa ini, sehingga walaupun terpencil, dia tetap dapat dihubungi dan dapat melihat keadaan desa ini dari kejauhan.
Sejak saat itu Paman" tanya Puntadewa.
Benar Ngger& . Kata Janadi sambil menghela nafas panjang.
Sejak saat itu, sejak pernikahan itu, Sagotra menarik diri. Namun bagaimanapun, hal itu sama sekali tak berkurang hormat kami, sebagai warga desa kepada lurahnya. Namun semuanya telah berbeda, tak seperti keadaan semula. Katanya lagi.
Hmmmm& & Puntadewa seolah merasakan apa yang terjadi di desa Kabayakan ini.
Itulah Ngger, sangatlah wajar pertanyaan Angger dan Ibu Dewi tadi tentang desa ini. Sebuah desa yang dahulunya makmur, dan rakyatnya hidup dalam kesejahteraan yang baik, kini menjadi seperti desa mati. Masih cukup jelas sisa sisa dari kejayaan desa ini. Jalanan yang cukup lapang, dengan tata rumah rumah yang baik, serta bentuk bangunan yang rapi walau sederhana, sungai yang membelah tengah desa ini juga merupakan jantung kehidupan desa ini, juga pengairan persawahan yang telah tertata rapi. Namun saat ini semua terbengkelai, dan sama sekali tak terurus. Kata Janadi menutup cerita.
Ketiganya kemudian terdiam. Janadi yang masih larut dalam kenangan akan desanya yang pernah jaya pada masa lalu, seolah tak ingin melepaskan kenangan itu. Sedangkan Puntadewa, kini mulai berpikir tentang siapakah Janadi sebenarnya, hingga dia tahu betul seluk beluk desa ini, serta tutur kata dan tingkah laku yang sangat bersahaja dibandingkan dengan warga pedesaan pada umumnya. Sementara Dewi Drupadi masih membelai kedua kepala Nakula dan Sadewa yang masih tertidur pulas.
Paman& & & .. kata Puntadewa kemudian. Iya Ngger& & & jawab Janadi pelan.
Bolehkah aku bertanya lebih jauh tentang desa ini" tanya Puntadewa dengan sangat hati hati.
Silakan Ngger, asalkan Paman mampu menjawabnya, tentu saja akan Paman jawab& jawab Janadi.
Paman, apakah Kerajaan Ekalaya ini letaknya cukup terpencil" kata Puntadewa tiba tiba. Dia berusaha mengetahui sejauh mana pengetahuan Janadi tentang beberapa kerajaan di sekitar Astinapura. Bagaimanapun, Puntadewa haruslah sangat berhati hati terhadap orang lain, mengingat mereka saat ini dalam perjalanan pengembaraan yang sama sekali tak boleh diketahui jati dirinya oleh siapa pun juga. Maksud Angger" Janadi balik bertanya.
Apakah Kerajaan Ekalaya ini merupakan sebuah kerajaan besar, yang bergaul dengan kerajaan kerajaan tetangga dengan baik" tanya Puntadewa lagi.
Angger& & Kerajaan Ekalaya ini adalah kerajaan kecil, yang terpencil, yang letaknya terpisah dari kerajaan kerajaan lainnya. Letaknya yang di tengah hutan lebat, tentu menyulitkan pihak kerajaan lain untuk saling berhubungan dengan kami. Demikian juga dengan kami. Itulah mengapa, Prabu Dwaka dapat dengan semena-mena berbuat sekehendak hatinya, karena memang dialah orang terkuat di kerajaan ini, dan tak satu pun yang mampu mengalahkannya. Apabila Kerajaan ini berdekatan ataupun mudah berhubungan dengan kerajaan lain, tentu kami telah mengirimkan permintaan bantuan, atau setidaknya kami telah pindah ke kerajaan lainnya Ngger& .. jawab Janadi panjang lebar.
Tapi, apakah Paman telah pernah berusaha untuk meminta bantuan atau setidaknya telah berniat untuk melakukan sesuatu untuk desa ini, agar tidak diperlakukan semena-mena oleh Prabu Dwaka" tanya Puntadewa lagi.
Janadi termenung sejenak. Gurat gurat wajahnya semakin terlihat jelas. Dia berusaha keras mengingat ingat lagi peristiwa beberapa waktu lalu. Tembakau yang digulung dengan daun jagung kering itu, beberapa kali dia hisap dalam dalam, dan kemudian menyebulkan asapnya yang bergulung gulung di depan wajahnya.
Pernah Ngger& & . Jawab Janadi seolah menemukan sesuatu yang telah lama sekali hilang. Kini sinar matanya berubah menjadi berbinar binar, seperti menemukan kembali harapan yang telah hampir sirna. Dia berharap mungkin ada kabar yang menggembirakan yang dibawa oleh Puntadewa, tamunya hari ini, mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih luas darinya, yang dapat dijadikan harapan untuk mendapatkan bantuan demi desanya. Yah, hanya demi desanya. Sesederhana itulah pemikirannya.
Seperti apa Paman" Apa yang pernah Paman lakukan" tanya Puntadewa tak sabar.
Dulu Ngger& Paman pernah mendengar adanya seorang ksatria yang gagah perkasa. Konon dia juga sakti mandraguna, dengan ilmu yang luar biasa yang didapat dari laku prihatin, serta dibawah bimbingan para dewa. Ksatria itu berbadan raksasa, keturunan raja besar dari sebuah kerajaan besar pula. Kata Janadi berusaha mengingat ingatnya.
Dari mana Paman mendengar kabar itu" tanya Puntadewa.
Paman adalah orang tua Ngger. Beberapa kali Paman berjalan dari satu kerajaan ke kerajaan lain untuk menimba ilmu dan pengalaman. Namun Paman adalah orang desa, yang takkan mampu berbuat lebih dari sekedar itu, mengingat kemampuan yang Paman miliki waktu. Jawabnya.
Lantas, siapakah ksatria itu Paman" Dan mengapa Paman tidak menemui dan meminta bantuannya" tanya Puntadewa.
Hmmmmmm& . Ksatria itu bernama Bima, Ngger& & , putra dari Prabu Pandu Dewanata, Raja dari kerajaan Astinapura& . Jawab Janadi dengan kata kata yang cukup dalam. Sedalam perasaannya yang menggambarkan betapa besar nama Bima itu bagi dirinya.
Kata kata yang diucapkan Janadi memang sangat pelan dan dalam. Namun tidak bagi Puntadewa dan Dewi Drupadi . Mereka berdua bagai mendengar halilintar di siang hari, tanpa hujan tanpa angin. Sesaat mereka berdua saling berpandangan. Namun kemudian Dewi Drupadi memberikan isyarat dengan menggeleng gelengkan kepalanya, pertanda untuk Puntadewa agar tidak perlu menceritakan siapakah mereka sebenarnya.
Puntadewa kemudian berpikir keras, apa yang seharusnya dia lakukan. Sedangkan Janadi masih berusaha lagi menggambarkan betapa besar harapannya waktu itu setelah mendengar adanya seorang ksatria yang bertubuh besar, tak kalah besar dengan tubuh Prabu Dwaka. Dan menurut cerita yang pernah dia dengar, Bima juga mempunyai kesaktian yang luar biasa, sehingga besar harapan Janadi bila dia memohon bantuan pada Bima, tentu polah tingkah Prabu Dwaka akan dapat dihentikan.
Perasaan Puntadewa untuk mengetahui sejauh mana Janadi mengetahui tentang mereka, semakin memuncak. Ini sangat penting bagi kelangsungan pengembaraan mereka sekeluarga.
Apakah Paman pernah bertemu dengan ksatria yang bernama Bima itu tanya Puntadewa.
Janadi menggeleng gelengkan kepalanya. Matanya menerawang jauh menembus pintu rumahnya yang terbuka lebar dan langsung membentur dinding tebing pegunungan.
Sama sekali belum pernah Ngger& tapi siapakah orang yang tak mengenal Bima" Ksatria gagah perkasa, sakti mandraguna dan bertubuh raksasa. Bahkan para dewa pun akan bergidik bila mendengar namanya. Katanya kemudian. Pernahkan Paman berusaha untuk menemuinya" tanya Puntadewa lagi.
Pernah Ngger, namun waktu itu Paman batalkan. Paman tak jadi mencari Raden Bima. Jawab Janadi.
Mengapa Paman" tanya Puntadewa semakin ingin mengerti lebih jauh.
Bagaimana Paman akan sampai hati untuk menambah masalah beliau Ngger& . Jawab Janadi pelan.
Maksud Paman" Puntadewa semakin mengejar jawaban.
Paman mendengar kabar, bahwa Raden Bima dan keluarganya, Raden Puntadewa, Arjuna, Nakula dan Sadewa, sedang dalam permasalahan yang sangat pelik menurut Paman. Katanya.
Permasalahan pelik" tanya Puntadewa sambil mengerenyitkan dahinya.
Benar Ngger, permasalahan yang sangat pelik menurut Paman. Permasalahan akan kerajaan, yang juga permasalahan hubungan saudara sedarah, dimana satu sama lain menjadi berselisih paham.
Maksud Paman" Puntadewa semakin penasaran.
Perselisihan yang seharusnya tak perlu terjadi Ngger. Mereka semua berasal dari darah yang sama, darah dinasti Barata. Kerajaan Astinapura adalah kerajaan besar, yang dahulunya dipimpin oleh Prabu Pandu Dewanata, saudara kandung dari Raden Destarata dan juga Raden Arya Widura. Ketiganya adalah putra dari Begawan Abiyasa. Begawan yang disamping sebagai seorang raja, juga ahli dalam tapa brata, serta sangat bijaksana memimpin kerajaannya, Astinapura itu Ngger& & kata Janadi.
Siapakah yang sedarah yang Paman maksudkan" tanya Puntadewa.
Ayahanda dari Raden Bima, yaitu Pandu Dewanata yang menjadi Raja Astinapura menggantikan ayahnya Begawan Abiyasa, meninggal dunia pada saat anak anaknya belum dewasa. Maka, dari itu, untuk sementara, tahta Kerajaan Astinapura diberikan kepada saudara mudanya, Raden Destarata, yang karena keadaannya yang buta penglihatannya, maka pemerintahan dijalankan oleh anak tertuanya, Raden Duryudana, dengan perjanjian bahwa apabila kelak anak anak dari Pandudewanata, yaitu Raden Bima, Puntadewa, Arjuna, Nakula serta Nakula telah dewasa, maka tahta Kerajaan Astinapura harus dikembalikan kepada mereka yang berhak. Janadi bercerita dengan runtut.
Lantas, apa yang Paman maksud dengan perselisihan tadi Paman" Apakah Raden Bima berselisih dengan Raden Duryudana, dimana Raden Duryudana terhitung sebagai adik atau saudara tua dari Raden Bima" Puntadewa semakin bersemangat.
Itulah Ngger& & . Siapakah orangnya yang mau dengan sukarela melepaskan tahta dan kekuasaan di muka bumi ini" Perjanjian akan menjadi kata kata yang sangat manis saat perjanjian itu dibuat. Namun pada saat perjalanan waktu, semuanya bisa berubah. Demikian juga dengan Raden Duryudana. Dia sama sekali tak menginginkan untuk mengembalikan Kerajaan Astinapura. Jangankan seluruhnya, bahkan hanya sebagian wilayahnya saja, Raden Duryudana tidak bersedia. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perselisihan antara dua saudara sedarah, antara keluarga Raden Bima yang terkenal dengan Pandawa, dengan keluarga besar Raden Duryudana yang terkenal dengan keluarga asal mereka, Kurawa. Sebuah peristiwa yang seharusnya tak perlu terjadi Ngger& . Kata Janadi menutup ceritanya.
Puntadewa diam sejenak. Dia memandangi wajah istrinya yang cantik jelita, Dewi Drupadi yang masih duduk bersandarkan kayu tiang rumah Janadi. Wajahnya terlihat lelah dan kotor, penuh dengan keringat dan debu. Namun dari sinar matanya, tetap terpancar rasa cinta yang luar biasa terhadap suaminya itu, yang mampu mengobarkan semangat pantang menyerah. Dari sinar matanya juga terpancar sebuah rasa kepasrahan atas dirinya, yang telah dia serahkan bulat bulat kepada Puntadewa.
Pandangan matanya kemudian terlempar pada dua tubuh yang masih tertidur pulas. Adik bungsunya yang dilahirkan dari ibu tirinya, namun sama sekali tak berbeda rasa kasih sayangnya terhadap mereka. Nakula dan Sadewa, dimana kedua anak itu kini telah tak ber-ibu lagi, karena Dewi Madrim telah meninggal tak lama dengan meninggalnya ayahnya, Pandu Dewanata.
Puntadewa, sebagai anak tertua dari keluarga Pandawa, menundukkan wajahnya. Terbersit rasa sesal di wajahnya, karena dirinyalah, kini semua adik dan istrinya mengalami perjalanan hukuman ini. Namun sebagai seorang ksatria, tentu Puntadewa sama sekali tak dapat menolak apalagi mengelak tantangan dari lawannya. Maka dengan segala kemampuannya dan akibat akibat yang ditimbulkannya, Puntadewa tetaplah maju dan sama sekali tak bergeming dari medan laga.
Namun pertempuran telah diatur sedemikian rupa untuk mengalahkannya. Puntadewa menerima kekalahannya dengan lapang dada. Kejujuran, tak akan lekang oleh waktu, dan kejujuran akan tetap berjaya dan akan menemui sebuah kegemilangan pada akhirnya. Perjalanan panjang adalah sebuah ujian bagi mereka, sebuah kawah candra dimuka sebagai masa pembajaan diri bagi mereka, untuk meraih masa depan yang cemerlang, dengan pribadi pribadi matang yang akan menjadi pemimpinnya, untuk kemakmuran umat di muka bumi ini.
Ngger& . Adakah sesuatu dari ceritaku ini yang tidak berkenan" tanya Janadi sambil menyentuh pundak Puntadewa yang beberapa saat terdiam menunduk.
Oh& tidak Paman. Sama sekali tidak& . Jawab Puntadewa tergagap pendek, sambil membetulkan letak duduknya.
Lanjutkan ceritanya Paman, cerita yang sangat menarik& kata Puntadewa kemudian.
Akhir akhir ini Paman mendengar cerita bahwa Raden Bima beserta keluarganya, telah datang memenuhi undangan dari keluarga Kurawa yang dipimpin oleh Raden Duryudana ke Kerajaan Astinapura. Janadi melanjutkan.
Undangan apa Paman" Mereka sekeluarga datang memenuhi undangan dari Astinapura" Puntadewa semakin bersemangat. Dia ingin sekali mengetahui sejauh mana orang mengenal dan menilai tentang Astinapura, baik Kurawa maupun Pandawa.
Konon, undangan itu merupakan undangan ramah-tamah saja Ngger, antara dua keluarga yang telah lama tak bersua, dan ada permainan permainan kecil di dalamnya, agar suasana menjadi semakin akrab.. kata Janadi melanjutkan.
Namun dari permainan permainan itulah Ngger, sesuatu yang memalukan telah terjadi& Janadi meneruskan. Puntadewa dan Drupadi seolah mendapatkan siraman air segar. Mereka berdua menjadi bangkit dan mendengarkan dengan seksama bagian cerita ini.
Memalukan" Memalukan Paman" tanya Puntadewa dengan suara agak tinggi.
Benar Ngger& .. memalukan! jawab Janadi.
Maksud Paman" sekali lagi Puntadewa bertanya dengan suara tinggi.
Istana Astinapura, dan tentu saja istana di setiap kerajaan, adalah tempat yang suci, dimana semua perbuatan yang menistakan seseorang ataupun golongan tertentu, tidak seharusnya terjadi di tempat itu. Bukankah setiap istana itu berisikan orang orang pilihan, yang bertata krama halus, serta berperilaku yang sopan sesuai dengan budaya yang adiluhung dari para sesepuh kerajaan" kata Janadi sambil bertanya pada Puntadewa. Pertanyaan yang sama sekali tak memerlukan jawaban.
Puntadewa menganggukanggukan kepalanya tanda setuju. Namun dia masih diam. Dia menunggu Janadi meneruskan ceritanya.
Itulah Ngger, Raden Bima dan keluarganya, telah dipermalukan dihadapan segenap punggawa dan semua yang hadir di istana itu. Mereka dipermalukan oleh saudara tua mereka sendiri, saudara yang seharusnya dapat menjadi pelindung dan tempat untuk berbagi, namun justru mempermalukan mereka, dan menyebabkan mereka terusir dengan tanpa hormat dari tempat itu. Tempat yang seharusnya menjadi hak dari Raden Bima sekeluarga& . Kata kata Janadi berapi-api.
Memang sangat luar biasa kepribadian dari Keluarga Pandawa. Raden Bima dan saudara saudaranya, sama sekali tak menaruh dendam kepada Keluarga Kurawa. Bagaimanapun, mereka tetap menganggap bahwa Kurawa adalah keluarga mereka sendiri. Itulah mengapa mereka memenuhi undangan itu Ngger. Keluarga Pandawa menerima semuanya dengan lapang dada, dan mungkin seperti itulah garis kehidupan yang mereka harus jalani. Paman yakin Ngger, keluarga Pandawa akan baik baik saja, karena para dewa tentu tak akan tinggal diam melihat umatnya, bahkan murid muridnya dan putra putranya diperlakukan sedemikian rupa. Jika Paman mampu dan berkesempatan bertemu dengan mereka, tentu Paman akan membantu mereka dengan sepenuh jiwa raga Paman Ngger& kata janadi. Mengapa Paman berkeinginan demikian" tanya Puntadewa.
Paman yakin keluarga Pandawa adalah pemegang tahta yang sah atas Astinapura. Pun demikian, membela kebenaran adalah suatu kewajiban bagi setiap umat yang ada di muka bumi ini. Jawab Janadi tegas.
Puntadewa mengangguk angguk pelan, demikian juga dengan Dewi Drupadi. Puntadewa berpikir keras, berusaha untuk mengetahui siapakah Janadi ini, hingga dia tahu banyak tentang Pandawa dan Kurawa, serta serta silsilah mereka, bahkan peristiwa peristiwa yang belum terlalu lama terjadi.
Paman& .. katanya kemudian. Keluarga Bima kemudian terusir secara tidak hormat dalam permainan itu, lantas kemanakah mereka pergi Paman" Puntadewa masih ingin mengetahui lebih jauh lagi.
Janadi diam sejenak. Dia berusaha untuk mengingat ingat kembali cerita cerita yang telah sampai ke telinganya
Saat mereka pergi meninggalkan Astinapura, tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan mereka Ngger. Mereka bagai ditelan bumi. Konon mereka harus pergi meninggalkan Astinapura dan melakukan pengembaraan yang sama sekali tak boleh diketahui oleh kerabat ataupun prajurit Kurawa, selama 12 warsa lamanya. Pernah suatu saat mereka dapat diketahui oleh prajurit Kurawa, dan pada saat tengah malam, saat mereka seharusnya tidur dengan pulas, bangunan yang dipakai untuk beristirahat itu dibakarnya beramai-ramai. Memang Kurawa sebenarnya menghendaki kematian mereka, para Pandawa, dengan harapan bila mereka semuanya mati, tentu tahta Astinapura akan tetap aman berada pada genggaman Raden Arya Duryudana. Begitu culasnya mereka Ngger& .. kata Janadi.
Jadi, hingga kini, tak seorang pun tahu dimana keberadaan Raden Bima sekeluarga itu Paman" tanya Puntadewa dengan penuh selidik.
Begitulah Ngger, sejak peristiwa dibakarnya rumah peristirahatan mereka dalam pengembaraan itu, tak seorang pun mengetahui keberadaan mereka. Apakah mereka masih hidup ataukah telah mati, sama sekali tak seorang pun tahu. Bahkan pihak Astinapura pun, hingga saat ini juga tidak dapat mencium jejak mereka Ngger& entahlah& . Janadi menunduk, seolah larut dalam kesedihan yang menimpa keluarga Raden BIma, ksatria yang seharusnya dapat menjadi dewa penolong baginya, dan bagi warga Desa Kabayakan tentunya.
Puntadewa melemparkan pandangannya kearah istrinya. Sebersit senyum kelegaan terlintas di bibir mungilnya. Demikian juga dengan Puntadewa. Hatinya menjadi sedikit lega setelah mengetahui Janadi, tuan rumah yang baik ini tidak mengetahui siapakah mereka sebenarnya.
Ngger, bolehkan Paman bertanya pada Angger sekalian" tanya Janadi kemudian.
Silakan Paman. Jawab Puntadewa, dan dengan isyarat tangan meminta Drupadi untuk membenahi letak duduknya yang dari tadi bersandar pada tiang kayu.
Hendak kemanakah Angger sekalian ini akan pergi" Tinggallah dahulu barang beberapa hari di rumah ini. Rumah ini terbuka untuk kalian Ngger. Anggaplah rumah sendiri. Tinggallah kalian disini, menemani Pamanmu ini yang hidup sendirian. pinta Janadi.
Puntadewa memandangi wajah istrinya. Dia meminta pertimbangannya. Drupadi paham akan hal itu, dan dengan lemah menganggukkan kepalanya. Terlihat begitu lelah wajah itu. Lelah dan lapar yang tertahan beberapa lama. Namun dalam kepasrahannya itu, semua dia kembalikan kepada keputusan Puntadewa, sebagai suami dan saudara tertua dari Sena, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Terimakasih sekali Paman. Kami sangat menghargai tawaran Paman. Hal itulah yang akan kami tanyakan pula kepada Paman, apakah Paman berkeberatan apabila kami menumpang menginap di rumah Paman ini barang beberapa hari, hingga penat dan letih kami agak berkurang.. jawab Puntadewa.
Bagai seorang anak kecil yang menemui ibunya yang pulang dari pasar dan membawakan oleh-oleh kesukaannya, Janadi merasa girang. Ingin rasanya ia melonjak lonjak kegirangan saat itu. Namun semua itu ditahannya, karena bagaimanapun, Janadi adalah orang tua, apalagi dihadapan para tamu di rumahnya. Tentu tingkah seperti itu bukanlah tingkah yang sopan dan terpuji. Namun begitu girang hatinya, hingga dia berkali kali mengatakan terimakasih yang tak terhingga.
Oh, dengan senang hati Ngger. Dengan senang hati. Tinggallah disini. Bawalah istrimu ke belakang. Mari Paman tunjukkan bagian bagian rumah ini, yang dapat Angger gunakan sebagai tempat untuk istirahat. Kata Jandi sambil bangkit dari duduknya, diikuti oleh Puntadewa dan Drupadi.
Mereka bertiga bangkit, dan membiarkan Nakula dan Sadewa tidur pulas. Mereka sama sekali tak sampai hati untuk membangunkan kedua anak kembar itu. Lalu mereka pun berjalan mengikuti Jandi yang menunjukkan beberapa bagian rumah dan bilik bilik yang dapat mereka gunakan sebagai tempat istirahat, dan ruangan belakang yang dapat dijadikan untuk dapur.
Janadi juga menunjukkan jalanan kecil dibelakang rumahnya, jalan kecil yang berkelok kelok, jalan kecil yang akan berujung pada sebuah mata air yang bening dan jernih, tempat Janadi mengambil air bersih untuk kebutuhan sehari hari, dan untuk membersihkan dirinya dari semua kegiatannya sepanjang hari. Ada yang menarik dari sepetak tanah lapang dibelakang rumah Janadi.
Tanah itu diberinya pagar dari bambu yang sangat rapi, dengan pintu pagar yang rapi, serta tanaman yang ada di dalamnya, ditanam dengan cara berjajar jajar dengan gundukan gundukan tanah. Sungguh sebuah pola tanam yang berbeda dari tanaman tanaman lainnya.
Pun demikian dengan tanaman tanaman yang ada. Dari beberapa tanaman itu, Puntadewa dapat mengetahui bahwa tanaman tanaman itu adalah tanaman tanaman obat yang mempunyai manfaat untuk mengobati beberapa penyakit. Hmmmm& & .. siapakah orang ini& .. bisik Puntadewa dalam hati.
Sagotra, Lembar Kehidupan Ki Lurah Desa
Dua orang laki-laki berjalan di jalan setapak. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, mereka adalah pengembara yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk mencari penghidupan yang layak. Pakaiannya kotor dan dekil. Wajahnya kotor penuh dengan keringat dan debu. Satu orang bertubuh sedang, dan yang seorang lagi bertubuh sangat besar. Kain mereka yang terikat di pinggang, juga sudah sangat lusuh, penuh dengan debu yang tebal dan kusut.
Jalanan setapak yang penuh semak belukar di tepi jalan, sama sekali bukan hambatan bagi mereka berdua. Mereka terus berjalan menuju sebuah desa yang terletak di bawah dari jalanan setapak itu. Cukup lama mereka berjalan namun apa yang mereka cari belumlah mereka temukan. Sama sekali mereka belum bertemu dengan satu orang pun.
Hmmm& & Desa macam apa ini" laki-laki bertubuh besar itu berkata pada dirinya sendiri. Sedangkan laki-laki yang berjalan di depannya, yang bertubuh sedang, diam membisu, melihat lihat jalanan di depan dan pemandangan sekitarnya.
Setelah lama berjalan, mereka hampir sampai di mulut sebuah desa yang mereka tuju. Di persimpangan jalan menuju desa itu, terdapat sebongkah batu hitam yang besar. Dilihat dari bekas yang ada, batu besar itu adalah tempat untuk duduk duduk ataupun beristirahat bagi warga ataupun orang yang dalam perjalanan menuju desa itu. Mereka berdua berhenti sejenak dan kemudian duduk untuk melepas lelah.
Kangmas Sena& & kata laki-laki yang bertubuh sedang pada laki-laki yang bertubuh besar.
Iya Dhimas Arjuna& . Jawab laki-laki bertubuh besar itu yang bernama Sena.
Desa terdekat telah di depan mata Kangmas. Sebaiknya apa yang harus kita lakukan" tanya laki-laki bertubuh sedang yang bernama Arjuna itu.
Sena diam sejenak untuk berpikir. Demikian juga dengan Arjuna. Masing-masing kemudian diam. Tiba tiba Arjuna bangkit dari duduknya sambil mengacungkan tangan kanannya.
Aku punya pendapat Kangmas& . Katanya penuh girang. Apakah itu Dhimas" tanya Sena.
Sebelum memasuki sebuah daerah pada terang matahari ini, sebaiknya kita menyamarkan diri kita. Bukankah kita tak boleh diketahui jati diri oleh orang lain, untuk waktu 12 warsa lamanya" kata Arjuna sambil bertanya.
Benar Dhimas. Lantas, maksudmu" tanya Sena.
Kita harus membuat nama baru bagi kita Kangmas. Nama yang sama sekali baru, nama dari rakyat kebanyakan, nama dari orang orang yang terbiasa hidup di desa atau di pengembaraan seperti kita sekarang ini. Mudah-mudahan Kangmas Puntadewa juga telah melakukannya demikian. Kata Arjuna.
Hmmmmmmm& & . Benar juga Dhimas. Kita haru menyamar dalam waktu yang cukup lama. Lantas, penyamaran seperti apa yang sebaiknya kita lakukan" tanya Sena kemadian.
Seperti layaknya orang pedesaan saja Kangmas. Dengan pekerjaan yang kita mampu, pekerjaan orang desa tapi tidak semua orang bisa melakukannya. Jawab Arjuna. Sena terlihat memperhatikan dengan seksama kata kata saudara mudanya itu.
Pertama-tama adalah nama Kangmas. Sebaiknya kita memakai nama yang wajar, nama dari orang orang pedesaan. Kata Arjuna kemudian, sambil berpikir nama apa yang pantas untuknya.
Hmmmm aku akan memakai nama Wrohatnolo, Kangmas& dan Engkau" kata Arjuna sambil bertanya pada Sena.
Hmmmmmm& & & Sena berpikir sejenak. Abilawa. Yah, Abilawa namaku& . Kata Sena tegas.
Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang Kangmas" Kangmas Puntadewa serta Si Kembar, tentu menunggu kedatangan kita& kata Arjuna.
Kita tak akan kembali sebelum mendapatkan apa yang kita cari Arjuna& jawab Sena. Arjuna terdiam. Dia berpikir keras. Demikian juga dengan Sena.
Baiklah Kangmas, untuk menyingkat waktu, bagaimana bila kita berpencar mulai dari tempat ini. Dengan demikian akan lebih cepat bagi kita untuk mendapatkan makanan bagi Si Kembar, dan segera kembali ke tempat peristirahatan tadi. Kata Arjuna memberi pendapat. Sena diam berpikir.
Benar juga Arjuna, marilah kita berpencar. Siapa yang telah mendapatkan makanan, segera kembali ke tempat ini, atau langsung saja kembali ke tempat Kangmas Puntadewa dan Si Kembar beristirahat. Mari& . Kata Sena sambil bangkit dan berjalan kearah lain dari arah yang dituju Arjuna. Arjuna berjalan memasuki daerah pedesaan, sedangkan Sena berjalan melewati jalan yang lebih terjal, naik melewati hutan belantara.
Arjuna berjalan menuju desa, yang lambat laun jalan setapak itu menjadi semakin lebar. Rumah rumah penduduk yang semula jarang dan jaraknya berjauhan satu sama lain, kini telah mulai agak rapat. Bangunan bangunan rumah yang berbentuk bagus, dengan halaman yang luas, serta jalanan yang lebar, menunjukkan desa ini dahulunya adalah desa yang makmur dan sejahtera. Penataan antara satu bangunan dan bangunan lainnya, cukup tertata dengan baik. Namun desa ini seperti desa mati.
Suasana yang sangat lengang, terlalu lengang untuk desa dengan bangunan dan jalanan yang cukup lebar. Pintu pintu rumah penduduk tertutup rapat, bahkan jendela rumah pun sangat jarang terbuka. Apabila didapatinya sebuah rumah yang terbuka, begitu melihat kedatangan Arjuna, pemilik rumah dengan tergesa-gesa segera menutupnya dari dalam. Pun demikian bila dijumpainya anak anak yang bermain di pelataran, bila melihat kedatangan Arjuna, mereka segera lari berhamburan menuju rumah terdekat, dan selanjutnya mereka masuk dan tutup pintu serta jendela.
Arjuna bagai orang hilang. Tak seorang pun dapat dijumpainya, apalagi untuk dapat berbicara dengan salah seorang dari mereka. Beberapa kali berjalan hilir mudik untuk dapat bertemu dengan salah seorang warga, namun usahanya sia-sia.
Apabila dia mau, tentu bukanlah hal sulit baginya untuk bertemu dengan salah seorang warga. Dengan kemampuannya, sangatlah mudah untuk meloncat dan kemudian dengan kekuatannya meruntuhkan bangunan ataupun pintu yang tertutup rapat, dan kemudian merangsek masuk ke dalam rumah. Namun bukan itu tujuannya. Dia akan dengan mudah dikenali sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka dengan mudah akan terlacak oleh prajurit telik sandi dari Astinapura. Sangat berbahaya bagi kelangsungan pengembaraannya serta seluruh keluarganya.
Maka diputuskanlah untuk menyelami lebih dalam tentang desa ini. Arjuna sengaja berjalan jalan, dari sudut desa ke sudut desa lainnya, memperhatikan dan mengamati dengan seksama setiap sudut desa. Beberapa kali kepalanya manggutmanggut, dan beberapa kali pula kepalanya menggeleng geleng. Beberapa kali nafasnya tertahan, dan beberapa kali pula menarik nafas panjang. Hal itu karena dia menemukan beberapa keanehan yang masih membekas di antara bangunan bangunan tua, serta beberapa jejak jejak kaki raksasa yang masih ada, walaupun telah agak pudar karena perjalanan waktu dan tertutup oleh sang debu yang terbawa angin.
Beberapa saat berkeliling di desa itu, Arjuna terhenti di depan sebuah bangunan yang cukup besar, lebih besar dibandingkan dengan bangunan bangunan lainnya. Didepannya terdapat tanah lapang semacam alun alun kecil, dengan sepasang pohon sawo kecik yang rimbun di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang yang memasuki bangunan itu (regol).
Bangunan itu terlihat rusak parah, lebih parah dari bangunan lainnya. Dinding dinding hancur berantakan, atap telah roboh rata dengan tanah. Dengan hati hati didekatinya bangunan itu, dan dengan seksama Arjuna menelisik setiap kepingan kepingan dari bongkahan bangunan itu.
Hmmm& & gempa bumi& & katanya berbisik kepada dirinya sendiri. Kemudian Arjuna berjalan mengelilingi bangunan itu, dan terlihat pintu utama yang terbuka. Dengan hati hati dia memasukinya. Terlihat ruangan yang cukup luas, dengan meja dan kursi yang cukup banyak, namun semuanya telah kotor dan berdebu, bahkan telah jatuh berserakan. Ada beberapa bagian yang telah patah, bukan karena usia, namun karena benturan. Arjuna mengerinyitkan dahinya. Semakin heran dia dibuatnya.
Apakah yang telah terjadi di desa ini" Gempa bumi tak mungkin berakibat seperti ini& . Katanya dalam hati, sambil memungut beberapa kayu yang telah patah.
Pandangan matanya berkeliling di seputar ruangan. Tiba tiba pandangan matanya tertancap pada sebuah dinding, dimana terdapat bercak merah kehitaman masih menempel di dinding. Dia mendekatinya, dan dengan tangan kanannya, diusapkan becak yang telah mengering itu.
Hmmm& .darah& bisiknya. Bercak yang terlalu besar untuk luka, dan terlalu banyak untuk sebuah benturan. Arjuna semakin tertarik pada tempat ini. Dia kemudian berusaha menelusuri setiap bilik yang ada, bahkan setiap jengkal bekas jejak kaki manusia. Pikirannya benar benar bekerja keras, merangkai rangkaikan beberapa fakta untuk menjadi sebuah peristiwa. Namun masih juga belum menemukan jawabannya.
Hmmm& benar benar peristiwa yang rumit& . Bisiknya sambil duduk di tengah ruangan kosong itu.
Berdiam beberapa lama untuk merangkai rangkai peristiwa namun tak ketemu juga jawabannya, Arjuna kemudian bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan melalui pintu utama. Dari situ dilihatnya kedua pohon sawo kecik yang masih berdiri seperti semula. Pandangan matanya kemudian dilemparkan ke seluruh halaman yang tidak begitu luas itu. Pagar yang terbuat dari batu batu yang disusun rapi, juga telah berantakan tak berbentuk.
Tatapan matanya kemudian tersita oleh hamparan tanah berumput, yang berbentuk tidak rata seperti bagian tanah lainnya, dan ada beberapa bagian yang sama bentuknya. Arjuna segera mendekati tanah tersebut. Dilihatnya dengan seksama. Rumput rumput yang tumbuh diatasnya, berusaha disibakkan pelan pelan. Setelah semuanya bersih, jelaslah dimata Arjuna, bahwa tanah yang tak rata itu membentuk sebuah telapak kaki manusia yang berukuran sangat besar. Arjuna terkesima. Sadarlah dia bahwa bencana telah melanda desa ini. Wajar kiranya bila hampir semua warga menutup pintu untuknya. Mungkin mereka masih dilanda ketakutan, hingga mereka sama sekali tak membuka pintu untuk orang asing.
Arjuna semakin penasaran. Dia harus mengetahui apa yang telah terjadi di desa ini. Maka diputuskanlah untuk menemui seseorang di desa ini, bagaimana pun caranya, tentu saja tidak dengan kekerasan, yang dapat memancing perhatian dari pihak luar. Segera Arjuna beranjak dari tempat itu, dan berjalan mengelilingi desa itu sekali lagi, sambil berusaha mencari celah celah jalan yang mungkin dapat menghubungkan dengan sebuah kampung yang berdekatan dengan desa itu.
Dan benar. Saat Arjuna berkeliling ke pinggiran desa, dia melihat sebuah jalan kecil di sudut desa, menuju ke sebuah rimbunnya pepohonan yang lebat. Dia segera mengikuti jalanan setapak itu. Jalan setapak yang lebih rumit daripada jalan setapak sebelumnya.


The Expendables Of Kurusetra Tujuh Bunga Pandawa Karya Ony Dwi Raharjo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia ikuti jalanan itu, cukup jauh, terjal dan licin. Bahkan kelokan kelokan yang ditemui, kadang cukup membingungkan.
Hmmmm& ..jalan apa ini" Terlalu sulit untuk sebuah jalan bagi warga yang akan pergi ke sawah& bisiknya dalam hati.
Setelah sekian lama berjalan, telinganya yang peka mendengar sebuah suara yang asing untuk tempat seperti itu. Suara gemericik air yang lemah, namun karena suasana yang hening, suara air itu cukuplah jelas baginya. Dia tertarik akan suara itu, dan kemudian berusaha mencari sumber dari suara itu. Semakin tak sabar hatinya untuk segera sampai di tempat suara air itu berasal. Maka langkahnya pun segera dipercepat.
Tak lama kemudian, dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah sendang dengan mata air yang sangat jernih, dengan batu batu yang tersusun rapi sebagai batasnya. Dibawah pohon beringin yang cukup besar, membuat sumber mata air itu tetap teduh dan tertutup dari pandangan orang orang yang berlalu lalang melewati jalanan sempit itu.
Arjuna kemudian berjalan mencari tempat yang cukup tersembunyi, namun cukup leluasa untuk mengamati sumber mata air itu. Dia berpikir pasti sumber mata air itu tentu akan digunakan oleh penduduk desa itu. Dia mencari tempat yang rimbun, namun tidak jauh dari mata air itu, cukup cepat bila dia ingin menemui seseorang ditempat itu, namun tidak cukup mencurigakan.
Arjuna menemukan sebuah semak yang rimbun tak jauh dari sendang, dan kemudian dia berdiam diri di semak semak itu, untuk mengamati keadaan sendang. Beberapa lama Arjuna menunggu, namun tak satu pun orang yang datang ke sendang itu. Semakin lama semakin gelisah. Hampir bosan ia menunggu, hingga akhirnya, matanya terbelalak oleh pemandangan di sekitar sendang.
Dari ujung jalan kecil, jalanan yang menurun dari bukit di sebelah sendang itu, dari balik tikungan yang terhalang oleh daun daun, muncul seorang wanita, dengan keranjang pakaian di atas kepalanya, dan sebuah tempayan di tangan kanannya. Wanita desa yang sangat sederhana. Rambutnya yang hitam nan panjang, digelungnya ke belakang. Kainnya yang yang berwarna merah soga dengan hiasan bunga bunga kecil yang telah hampir pudar warnanya, membungkus tubuhnya yang sibuk berjalan, mencari setapak demi setapak jalanan yang terjal.
Arjuna menjadi berdebar-debar menyaksikan wanita itu. Sedangkan wanita itu, yang sama sekali tak mengetahui bahwa ada sepasang mata yang terikat pandangannya pada tubuhnya, masih berjalan dengan hati hati, setapak demi setapak menuju sendang. Arjuna adalah laki-laki normal, wajarlah kiranya bila menyaksikan pemandangan seperti itu, darah laki-lakinya bergolak. Nafasnya menjadi tidak beraturan. Namun dia berusaha menahannya. Dia teringat akan tujuannya ke tempat itu, dan teringat akan tanggung jawabnya terhadap kakak dan adik adiknya.
Dia memutuskan untuk menunggu wanita itu menyelesaikan pekerjaannya. Dia sama sekali tak ingin membuat onar yang pada akhirnya akan menimbulkan keributan, yang akan menyita perhatian banyak orang. Maka yang dilakukan adalah menunggu dan mengamati setiap gerak-gerik wanita itu, jangan sampai bila wanita itu telah selesai dan pergi, Arjuna tak mengetahui jejaknya. Arjuna semakin rapat menyembunyikan dirinya, namun dengan tetap leluasa mengamati wanita itu.
Wanita itu telah sampai di bibir sendang, segera dia menurunkan bawaannya. Keranjang yang berisi pakaian, segera diturunkan, dan kemudian di cucinya. Tangannya yang mungil terlihat sibuk merendam dan kemudian mengangkat pakaian yang telah basah dan kemudian dicucinya di atas batu hitam yang rata. Demikian berulang ulang, hingga hampir basah seluruh tubuhnya oleh pekerjaannya.
Kain yang melekat ditubuhnya, yang basah oleh air, semakin lengket di kulit tubuhnya. Membuat semakin jelas lekuk lekuk tubuhnya. Arjuna terpana. Seorang wanita desa, dengan lekuk tubuh yang luar biasa, tak kalah dengan wanita wanita yang dikenalnya di istana maupun di kota. Arjuna membiarkan matanya menikmati setiap lekuk tubuh wanita itu, yang terus sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa kali tangannya meraih ikatan kain yang ada di depan dadanya, untuk mengikatnya lebih kencang ataupun membenarkan letak ikatannya, dan sesekali tubuh bagian dada itu terlihat keluar dan menggantung karena harus membungkuk untuk memungut kain kain yang direndam.
Arjuna menelan ludahnya. Matanya semakin liar menikmati keindahan didepannya. Dia biarkan semuanya. Wanita itu, sama sekali tak tahu. Semakin basah kainnya, seolah semakin menggoda gerak-geriknya. Hampir saja Arjuna bangkit berdiri dari persembunyiannya, namun hal itu di tahannya kuat kuat.
Wanita desa itu, yang berwajah mungkin, hidung mancung, serta kulit yang cokelat sawo matang khas orang desa, dengan rambut ikal hitam yang digelung, kini telah mulai lepas, dan terurai hingga punggung. Kain yang menutupi tubuhnya hingga dada, ikut terguncang guncang oleh sepasang dada yang mancung mirip kelapa gading, mancung dan menantang. Sesekali kain basah yang melekat tubuhnya itu, terlepas turun ke bawah, hingga kelihatan seluruh isi dari dadanya, dan segan cekatan wanita itu berusaha menutupinya. Arjuna hampir menjadi gila dibuatnya.
Setumpuk pakaian telah selesai dan keranjang pakaian telah penuh. Dengan tangannya yang mungil, keranjang itu diangkatnya ke pinggir sendang. Dan pada saat membungkuk untuk mengangkat keranjang itu, terpelesetlah kakinya, hingga keranjang itu jatuh. Saat berusaha memungutnya, terlepaslah ikatan kainnya yang melilit tubuhnya. Hampir seluruh kain yang menutupi tubuhnya, kini jatuh hingga mata kaki. Arjuna semakin gila. Serasa kedua biji matanya ingin keluar untuk melihatnya lebih dekat. Dan wanita itu, karena masih begitu sibuknya kedua tangannya memunguti kain dan keranjangnya, sama sekali tak memperdulikan tubuhnya yang kini menjadi telanjang. Wanita itu masih memunguti kain kain yang berserakan.
Arjuna terpana. Wanita desa itu, kini telanjang dihadapannya, walau tanpa sengaja. Arjuna meliarkan matanya, menikmati seluruh bagian tubuhnya, dengan setiap lekuk lekuk yang ada. Darahnya bergolak, nafasnya memburu. Semak semak tempatnya bersembunyi, seolah menjadi panas dan penuh sesak. Wanita itu, kemudian sadar akan keadaannya, segera meraih kain yang jatuh dari tubuhnya, dan kemudian melilitkannya lagi seperti semula. Arjuna berusaha keras menahan dirinya.
Belum juga usai Arjuna berusaha meredam darah laki-lakinya, wanita itu berdiri menghadap sendang. Kain yang telah tertumpuk di keranjang, kini telah berada di bibir sendang, di atas bebatuan. Dan tanpa melihat kiri dan kanan, wanita itu dengan serta-merta melepas satu satunya kain menutupi tubuhnya, dan kemudian turun ke sendang dengan pelan pelan. Sungguh, kali ini Arjuna dapat melihat seluruh tubuh wanita itu utuh.
Wanita itu kemudian turun di sendang, dan membersihkan tubuhnya. Mungkin telah menjadi kebiasaan baginya, karena sendang itu, sejak Arjuna mengamatinya hingga sekarang, tak satu pun orang yang datang ke tempat itu. Jadi, wanita itu tanpa malu malu, melepas semua kainnya, dan kemudian membersihkan tubuhnya dengan leluasa, tanpa khawatir akan datangnya orang lain.
Dia bermain main di air yang jernih dengan riang. Bibirnya yang tipis beberapa kali menguntai senyum, dan dengan lemah dia pun bersenandung, seolah ingin bermain main dengan ikan ikan kecil yang ada di sendang. Tubuhnya diguncangguncangkannya di dalam air, sesekali menyelam dan sesekali muncul dipermukaan dengan tubuh utuhnya.
Hmmm& aku hampir menjadi gila& Arjuna mengeluh dalam hati. Sedangkan wanita itu masih juga bermain main di sendang, seolah menggoda dan mengajak Arjuna untuk turut serta. Ditahannya keadaan dirinya kuat kuat. Arjuna kemudian memilih untuk memalingkan wajahnya, namun dengan menerapkan ilmunya yang mampu mendengarkan bahkan suara langkah semut sekalipun. Dia menunggu saat wanita itu telah selesai dan berbenah untuk kembali pulang, dia akan datang menemuinya.
Namun beberapa kali Arjuna mencuri pandang ke arah wanita itu saat dia selesai mandi. Tubuhnya yang indah, lekuk lekuk yang menggoda, serta dada yang menggantung bagai kelapa gading, terlihat jelas sebelum wanita itu kemudian menutupi tubuhnya dengan kain bersih yang dibawanya dari rumah.
Saat wanita itu berkemas dan mengambil tempayan yang telah diisi air, Arjuna keluar dari semak semak persembunyiannya. Namun letaknya yang cukup jauh dan terhalang oleh dedaunan, wanita itu sama sekali tak tahu bila ada seorang laki-laki yang berjalan mengikutinya, bahkan ingin menyusulnya. Maka wanita itu pun berjalan seperti biasa, kembali menapaki jalanan sempit jalan seperti sebelumnya waktu dia menuju sendang.
Arjuna semakin mempercepat langkah kakinya. Dia tak ingin kehilangan jejak. Satu satunya orang yang dapat dia jumpai adalah wanita itu. Tentu dia akan menuntunnya menuju rumahnya. Dari sanalah dia akan tahu segalanya. Rupanya Arjuna tidak mengenal tempat ini sebelumnya, sehingga dia hampir saja kehilangan jejak.
Saat dia melihat tubuh wanita itu hampir hilang ditelan tikungan pertama dari sendang itu, Arjuna berusaha memanggilnya.
Nyai& . Itulah kata kata yang keluar dari mulut Arjuna. Dia tak tahu harus memanggil dengan sebutan apa untuk wanita itu.
Wanita itu menoleh kebelakang, ke arah Arjuna. Rambutnya yang masih basah terurai, tersibak, dan kemudian memperlihatkan wajah cantiknya. Namun wajah cantik itu kemudian tampak memerah oleh kecemasan dan ketakutan.
Wanita itu tidak menghentikan atau memperlambat langkahnya, namun justru semakin cepat berjalan. Demikian juga Arjuna, tak mau kehilangan jejak, dia juga mempercepat langkahnya.
Tunggu Nyai& & . Tunggulah& .. pinta Arjuna. Namun wanita itu semakin cepat berjalan, bahkan hampir berlari. Beberapa kali dia menoleh kebelakang untuk mengetahui seberapa dekat jarak mereka. Ketakutan dan kecemasan yang dirasakan wanita itu semakin menjadi saat melihat Arjuna semakin dekat jaraknya. Maka dengan serta-merta, tempayan berisi air yang dibawanya, kini dijatuhkannya beserta keranjang yang penuh dengan kain dan pakaian basah. Wanita itu kemudian lari sekencang kencangnya sambil menangis.
Arjuna yang tak tahu akan tangis wanita itu, terus mengikutinya. Dia sama sekali tak ingin melepaskan kesempatan itu. Teringat jelas akan tujuan dia mengikuti wanita itu, bukan karena nafas, dan bukan karena keinginan seorang laki-laki terhadap perempuan, namun karena beban tanggung jawab yang dipikulnya. Sangat jelas teringat di pikirannya akan saudara kembarnya yang merintih rintih kelaparan. Pun demikian juga dengan kakaknya, walaupun kakaknya sama sekali tak mengatakannya, namun penderitaan yang mereka alami bersama, tentu menyebabkan perasaan yang sama pula.
Wanita itu semakin cepat berlari. Beberapa kali kakinya terantuk batu dan akar akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tangisnya semakin menjadi saat dilihatnya Arjuna semakin mendekat.
Nyai, tunggulah Nyai& .. aku tak bermaksud jahat padamu. Aku ingin minta tolong Nyai& kata Arjuna yang masih berjalan menyusulnya di belakang.
Kata kata Arjuna, bagai sebuah teriakan serigala yang kelaparan di tengah hutan di telinga wanita itu. Wanita itu semakin cepat berlari. Jalanan setapak yang terjal mendaki, dilaluinya dengan sekuat tenaga. Setelah beberapa kali belokan, sampailah wanita itu di sebuah tanah yang agak lapang, dan terdapat sebuah bangunan sederhana dari kayu. Arjuna masih mengikutinya sambil berusaha meyakinkan bahwa dia datang untuk meminta bantuan, namun wanita itu telah hampir menjadi gelap mata.
Kakang& ..Kakang& & wanita itu berteriak teriak sambil berlari ke arah rumah yang terbuat dari kayu itu.
Kakang& .. Kakang& . Tolonglah aku& .. teriaknya disela sela isak tangisnya. Arjuna menghentikan langkahnya, tepat di tepi halaman dari rumah itu. Dia sama sekali tak ingin pergi. Dia ingin menyampaikan bahwa dia bukanlah seperti apa yang wanita itu takutkan. Dia susah payah ke tempat ini untuk meminta pertolongan.
Kakang& & . Tolong aku& .. Wanita itu terus berlari, tidak menuju pintu utama rumah itu, namun langsung menuju pintu belakang, sebuah pintu yang telah terbuka, pertanda ada seseorang yang telah disana.
Belum juga wanita itu sampai, muncullah seorang laki-laki dari pintu belakang yang telah terbuka itu. Laki-laki yang tubuhnya hampir sama dengan tubuh Arjuna. Otot otot tubuhnya terlihat lebih menonjol, pertanda laki-laki itu hidupnya penuh dengan kerja keras. Pakaiannya sederhana, dengan ikat kepala khas warga pedesaan.
Dadanya yang bidang dan badannya yang gagah, semakin memperlihatkan bahwa laki-laki itu merupakan laki pilihan, lain dibanding warga desa sekitar.
Melihat laki-laki itu keluar dan berdiri di halaman, wanita yang berlari itu kemudian langsung mendekap dan memeluknya erat. Sangat erat.
Kakang& & tolong aku Kakang& & . Tolong aku& kata wanita itu sambil terisak isak dalam tangis. Semakin erat pelukan wanita itu kepada tubuh laki-laki perkasa itu. Wanita itu kemudian menangis sejadi-jadinya dalam pelukan sang laki-laki perkasa.
Namun, ada yang aneh pada peristiwa itu di mata Arjuna. Laki-laki perkasa itu, tidak dengan serta-merta menyambut pelukan wanita itu dengan pelukan penuh perlindungan ataupun pelukan hangat seorang laki-laki terhadap perempuan. Kedua tangan laki-laki perkasa itu, saat wanita itu jatuh dalam pelukannya dan menjatuhkan kepalanya ke dadanya, masih menggantung, dan sesaat kemudian terangkat dan terlihat sangat canggung, dan kemudian kedua tangan laki-laki itu meraih pundak wanita yang jatuh di dadanya. Bahkan, dalam waktu yang cukup lama, kedua tangan laki-laki itu baru kemudian menyentuh tubuh wanita itu, dan tangan kirinya kemudian mengusap usap kepala wanita itu yang rambutnya masih basah dan terurai.
Tatapan matanya kosong, menerawang jauh, seakan dia tak percaya bahwa wanita itu benar benar jatuh dalam pelukannya, dan mendekap tubuhnya dengan sangat erat, dan dengan penuh iba memohon perlindungannya. Antara percaya dan tidak percaya, laki-laki perkasa itu kemudian memeluk tubuh wanita itu, sambil mengusap usap kepalanya dan berusaha menenangkannya. Begitu hangat pelukannya, seakan akan mereka tak pernah berpelukan sebelumnya. Laki-laki itu menarik nafas panjang dan dalam, penuh makna.
Tenanglah Nyai& & ada apa" Mengapa engkau datang tiba tiba menangis tanya laki-laki itu bersama menenangkannya.
Tolong aku Kakang& . Aku dikejar oleh laki-laki itu& .. jawab wanita itu sambil menunjuk ke arah Arjuna berdiri.
Mata laki-laki itu mengikuti arah dari yang ditunjukkan wanita yang dipeluknya. Tatapan mata laki-laki itu, beradu dengan tatapan mata Arjuna. Arjuna mengangguk sopan, dan membungkukkan badannya tanda hormat, dan ingin mengatakan dengan bahasa tubuhnya, bahwa dia adalah orang baik baik, yang datang untuk meminta pertolongan.
Siapakah laki-laki itu Nyai" Dan dimana engkau menjumpainya" tanyanya masih dengan kata kata yang tenang.
Aku dari sendang Kakang, dan saat pulang, diperjalanan orang itu telah mengikutiku hingga ke rumah ini& & kata wanita itu.
Baiklah Nyai, tenangkanlah dirimu. Masuklah ke dalam rumah, dan benahi baju serta rambutmu. Aku akan menemuinya& . Kata laki-laki perkasa itu, sambil mengantarkan wanita itu masuk melalui pintu belakang.
Laki-laki itu pun kemudian berbalik badan, dan berjalan menuju tempat Arjuna berdiri. Dari kejauhan, laki-laki itu telah berusaha untuk mengenali siapakah lakilaki yang berdiri di tepi halamannya. Melihat pakaian yang dikenakan, tentu orang itu adalah pengembara yang berjalan berpindah pindah untuk mencari makan dan penghidupan yang layak. Bajunya kotor, lusuh, kulitnya hitam penuh debu, wajahnya terlihat sangat lebih serta sinar matanya yang kuyu. Namun dalam keadaan seperti itu, orang itu masih berusaha untuk tersenyum ramah, dan sekali lagi mengangguk serta membungkukkan badan tanda hormat.
Laki-laki perkasa itu pun mengimbanginya dengan membungkuk hormat.
Selamat datang Ki Sanak& .. kalau boleh tahu, siapakah Ki Sanak, dan ada tujuan apa sampai ke tempat ini" sapa laki-laki itu setelah keduanya berhadap hadapan.
Arjuna terdiam sejenak. Dia berpikir keras. Apakah dia harus mengatakan nama yang sebenarnya, ataukah dia menggunakan nama samarannya, Wrohatnolo. Otaknya berputar kencang, berpikir dan menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dilakukan.
Namaku Kandhi, Kandhi Wrohatnolo ,Ki. Aku kesini, ingin meminta pertolongan pada Aki jawab Arjuna sambil hormat.
Laki-laki perkasa itu masih diam, dia mengamati tubuh Arjuna, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada sebuah keanehan yang dia dapati pada tubuh Arjuna. Tubuh itu, betapapun dekil dan kotor, namun seolah memancarkan cahaya yang terang dari balik gelapnya debu yang menempel. Dan sinar matanya, walaupun terlihat kuyu, namun memancarkan sinar yang sangat menyejukkan hati. Semakin lama menatap mata Arjuna, laki-laki perkasa itu semakin gemetar. Ada sebuah wibawa yang sangat luar biasa yang dihadapinya. Maka laki-laki perkasa itu pun tak kuasa menahan dirinya. Dia segera membungkuk hormat dalam dalam, walaupun dia tak yakin akan siapa yang berdiri dihadapannya. Ada sebuah kekuatan aneh yang mendorongnya berbuat demikian.
Hamba bernama Sagotra, orang memanggil Hamba dengan sebutan Ki Lurah Sagotra, Raden Kandhi Wrohatnolo, dan wanita itu adalah istri Hamba, Rara Winihan& . Kata laki-laki perkasa itu memperkenalkan dirinya. Dia merasa begitu kecil dihadapan laki-laki itu, dan dia berkeyakinan kuat bahwa laki-laki itu bukanlah seperti yang dikatakannya, walau Sagotra tak tahu pasti tentang laki-laki dihadapannya itu. Namun satu keyakinan yang ada, laki-laki pastilah seorang kerabat istana, atau seorang bangsawan. Maka dia pun bersikap seperti itu untuk menyambut kedatangannya.
Melihat perubahan sikap dari Ki Lurah Sagotra, Arjuna menjadi bingung. Dia sama sekali tak mengharapkan sikap yang demikian. Segera dia mendekati Sagotra dan memegang kedua pundaknya.
Ki Lurah Sagotra, sudahlah, jangan bersikap demikian. Aku bukanlah siapa siapa, yang wajib Ki Lurah perlakukan seperti demikian rupa& kata Arjuna sambil berusaha mengangkat kedua pundak sagotra untuk berdiri tegak seperti semula.
Masuklah ke rumah Hamba Raden, rumah Hamba terbuka untuk siapa saja& .. ajak Sagotra kemudian mempersilakan Arjuna.
Ki Lurah, janganlah memanggilku dengan sebutan itu. Panggillah namaku saja. Aku adalah seorang pengembara yang mencari makan hingga sampai ke tempat ini& . Kata Arjuna meyakinkan.
Baiklah& .. Kandhi& & . Kata Sagotra sambil melihat Arjuna. Dan Arjuna pun mengangguk dan tersenyum tanda setuju. Keduanya kembali berjabat tangan dengan erat. Mereka berdua berjalan menuju rumah Ki Lurah Sagotra. Rumah yang terbuat dari kayu, dan atapnya terbuat dari ijuk yang disusun rapi. Halaman yang luas serta beranda yang bersih, dengan pohon pohon di sekelilingnya. Sedangkan halaman luas itu, bila berjalan hingga ke tepian, maka dari tempat itu dengan leluasa dapat melihat keadaan Desa Kabayakan dari ketinggian, sehingga cukuplah mudah untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Desa itu.
Hmmm& .. wajar bila Sagotra adalah lurah desa ini. Namun mengapa dia memilih bertempat tinggal di tempat ini" Arjuna bertanya dalam hati. Mereka berdua kemudian naik dan duduk di beranda.
Silakan masuk Kandhi& . Kata Sagotra dengan masih agak canggung.
Sudahlah Ki Lurah, di beranda ini sudah lebih dari cukup. Terimakasih Ki& . Jawab Arjuna. Mereka kemudian duduk di balai balai di tepi beranda, tempat tepat sekali untuk melihat keadaan desa di bawah sana.
Nyai& . Ki Lurah Sagotra memanggil istrinya.
Iya Kakang& & . Jawab seorang wanita dari dalam rumah. Dia sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh panggilan suaminya itu.
Maaf Ki Lurah, boleh kan aku membersihkan wajahku dahulu agar agak segar tubuh ini" bertanya Arjuna sebelum duduk.
Oh, silakan& & di sebelah ada tampungan air hujan. Disana kami sering membersihkan diri bila pulang dari sawah dan ladang.
Baiklah Ki& . Jawab Arjuna sambil berjalan menuruti petunjuk Ki Lurah Sagotra.
Tak lama setelah Arjuna berjalan menuju tempat membersihkan dirinya, Rara Winihan telah keluar dari rumah, dengan membawa makanan dan minuman ala kadarnya.
Nyai, duduklah sebentar& & kata Sagotra sambil memegang tangan Rara Winihan. Rara Winihan memandangi wajah Sagotra, demikian juga Sagotra. Kedua mata suami istri itu kini beradu, dan masing-masing merasakan getaran hebat, dan seribu kata kata yang selama ini tak pernah mereka ungkapkan. Betapa cantik istriku ini& & bisik Sagotra dalam hati, memuji istrinya.
Oh, Kakang Sagotra, ternyata dirimu mempunyai mata yang indah. Mata seorang laki-laki& bodohnya aku tak pernah memperhatikan itu& ... Rara Winihan pun berkata dalam hatinya.
Ada apa Kakang& . Jawab Rara Winihan sambil duduk.
Tahukah kau siapa laki-laki itu" bertanya Sagotra. Rara Winihan menggeleng gelengkan kepalanya. Rambutnya yang tadi basah terurai, kini telah digelungnya rapi. Kain yang dikenakan yang berantakan tadi, kini telah berganti kain yang kering dan rapi, dengan diikatkannya kencang dua ujung kain itu di tengah dadanya, hingga membuat isinya terlihat jelas menonjol keluar dan menggantung, bagai sepasang buah pepaya. Sagotra menarik nafas panjang. Rara Winihan yang tahu tatapan mata Sagotra, tersenyum kecil.
Laki-laki itu adalah bukan seperti yang engkau takutkan, Winihan. Dia adalah seorang bangsawan. Aku yakin betul akan hal itu. Namun siapakah dia, biarlah nanti akan aku beri tahu. Masuklah ke dalam, jangan jauh jauh dariku Winihan& . Kata Sagotra kemudian.
Baik Kakang& . Jawab Winihan sambil beranjak. Dalam hati, Winihan keheranan. Tak biasanya suaminya itu, bersikap mesra seperti ini. Adakah sesuatu yang menimpa dirinya" Winihan pun juga heran terhadap dirinya. Mungkin telah beribu ribu kali dia menatap mata Sagotra, namun sama sekali tak ada perasaan apa apa. Namun tatapan matanya kali ini, tiba tiba menimbulkan getaran hebat pada dirinya.
Hmmm& . Kakang& & . Bisiknya dalam hati, sambil masuk rumah, dan duduk tidak terlalu jauh dari tempat Sagotra, seperti pesannya.
Tak lama kemudian, Arjuna telah datang dari membersihkan dirinya. Sagotra yang melihat kedatangan Arjuna, terbelalak dan hampir pingsan. Dia terduduk kaki, tanpa dapat berkata sepatah kata pun. Dia terpana oleh kedatangan Arjuna. Dia hanya mampu memandanginya, tanpa mampu berkata kata lagi. Tubuh Arjuna yang telah bersih, wajahnya yang telah bersinar, membuat seluruh tubuh itu memancarkan sinar yang luar biasa. Sagotra ternganga. Benar benar sebuah cahaya yang penuh dengan wahyu kebangsawanan.
Arjuna kemudian duduk di balai balai itu, berhadapan dengan Sagotra. Sagotra masih belum mampu menguasai keadaannya. Dia masih terpana oleh pandangan di hadapannya.
Ki Lurah Sagotra& & sapa Arjuna saat telah berhadap hadapan. Sagotra tergagap dan tersadar.
Eh& & Eh& & . Bagaimana sekarang Kandhi" Segar" tanya Sagotra berusaha menutupi rasa canggungnya.
Luar biasa Ki& & sangat segar& . Jawab Arjuna.
Silakan diminum& & kata Sagotra. Arjuna pun segera meraih minuman yang telah disediakan untuknya. Mereka kemudian saling berbicara dan mengakrabkan dirinya. Masing-masing berusaha untuk saling mengenal.
Kandhi& maafkan kami berdua, telah berprasangka buruk padamu& & kata Sagotra tiba tiba.
Tak mengapa Ki Lurah. Semua orang tentu pernah melakukan kesalahan. Demikian juga aku, mungkin sikapku tak berkenan, sehingga membuat istrimu menjadi ketakutan& .aku mohon maaf& . Kata Arjuna.
Terimakasih Kandhi. Namun yang aku heran adalah, mengapa engkau hingga tiba di tempat seperti ini" Tentu engkau telah mengetahui bahwa desa dibawah itu, Desa Kabayakan, telah hampir menjadi desa mati. Orang orang telah enggan keluar rumah, jalanan dan lingkungan sekitar, terbengkelai dan tidak terawat. Apalagi sawah dan ladang mereka& .. kata Ki Lurah Sagotra.
Benar Ki Lurah. Ada beberapa keanehan di desa itu& . Jawab Arjuna pendek. namun hal itu bukanlah terlalu menjadi perhatianku sekarang ini& . Katanya kemudian. Sagotra mengerenyitkan dahinya. Dia heran dengan jawaban Arjuna. Dia menduga bahwa Arjuna adalah seorang bangsawan yang berjalan hingga Desa Kabayakan dan mempunyai tugas untuk membenahi desa tersebut.
Lantas, apa tujuanmu ke tempat ini Kandhi" tanya Sagotra dengan hati hati. Sebenarnya ia sama sekali tak nyaman memanggil namanya hanya dengan menyebut namanya langsung. Karena Sagotra yakin bahwa seseorang dengan cahaya yang bersinar di raut wajahnya, serta seluruh tubuhnya yang mengeluarkan perbawa kewibawaan yang luar biasa, tentu bukanlah orang biasa. Namun hal itu dibiarkannya. Di menduga duga siapakah tamunya ini sejatinya Kandhi Wrohatnolo ini sebenarnya.
Ki Lurah Sagotra, dan Nyai yang sedang mendengarkan pembicaraan ini& . Kata Arjuna kemudian. Sagotra keheranan, dari mana dia tahu bila istrinya, Rara Winihan juga ikut mendengarkan pembicaraan ini atas perintahnya. Demikian juga dengan Rara Winihan. Dia bagai tersirap air mendengar kata kata Arjuna. Dia mengetahui bahwa dirinya juga sedang duduk mendekati mereka berdua untuk mendengarkan langsung apa yang mereka bicarakan.
Ki Lurah dan Nyai tentu saja heran dan bertanya tanya, siapakah aku, dan dari mana asalku, hingga aku tiba ke tempat ini, dan kedatanganku yang seperti orang yang tidak diharapkan. Sekali lagi aku mohon maaf pada Aki dan Nyai Lurah disini& .. kata Arjuna. Sagotra yang mendengarkan dengan seksama, menjadi tersipu. Dia malu atas perkataan istrinya tentang laki-laki yang akan menggodanya. Pun demikian dengan Rara Winihan. Namun Sagotra sama sekali tak bisa menyalahkan Rara Winihan begitu saja.
Agar Aki dan Nyai tidak penasaran tentang diriku, bolehlah aku ceritakan sedikit tentang aku. Panggillah Nyai ke luar rumah Ki, kita berbicara disini agar semuanya menjadi terang& . Kata Arjuna kemudian.
Tanpa diminta untuk kedua kalinya, Sagotra segera beranjak dan memanggil istrinya. Mereka berdua lalu keluar rumah bersama sama. Namun mereka berdua Nampak sekali canggung untuk berjalan berdampingan. Hal ini membuat Arjuna geli menahan tawa menyaksikannya.
Mereka berdua kemudian duduk melingkar di balai balai itu. Sementara desa di bawah sana, terlihat beberapa orang keluar rumah untuk membersihkan lingkungannya, walaupun hanya sedikit orang. Mereka tak tahu bila semua kegiatan yang berlangsung di desa itu, dapat diamati dan terlihat jelas dari beranda rumah Ki Lurah Sagotra itu.
Nah, Aki dan Nyai, sebelumnya aku meminta maaf bila kedatanganku kemari membuat Nyai ketakutan, dan kemudian berpikiran buruk tentang diriku. Demikian juga dengan Aki, aku meminta maaf bila kedatanganku kemari telah menimbulkan rasa amarah dan rasa tidak menyenangkan. Sungguh semua itu bukan tujuanku berbuat demikian& . Kata Arjuna.
Sagotra dan Rara Winihan mendengarkan dengan seksama kata kata yang keluar dari mulut Arjuna.
Aku akan bercerita sedikit tentang diriku dan mengapa aku sampai ke tempat ini. Sebenarnya aku sama sekali tak ingin mengungkapkan keadaan ini, namun karena aku melihat ketulusan dan kejujuran Aki dan Nyai, maka aku akan mengatakannya pada Aki dan Nyai sekalian. Namun dengan satu syarat& . Kata Arjuna terhenti disitu. Dia menunggu tanggapan dari tuan rumah yang baik hati itu.
Ki Lurah Sagotra dan istrinya saling berpandangan, seolah masing-masing telah berbicara dan bersepakat. Rara Winihan kemudian mengangguk pelan.
Syarat apakah itu Kandhi" Bila mampu, tentu kami akan memenuhi syarat tersebut& kata Ki Lurah Sagotra mantap.
Arjuna menghela nafas panjang. Dan kemudian dia berkata Aki dan Nyai, cerita ini hendaknya hanya untuk Aki dan Nyai berdua ketahui. Hal ini menyangkut keselamatan dan kelangsungan tujuan keluarga kami& . Kata Arjuna. Sagotra mengangguk anggukan kepalannya, sambil menggaruk garuk janggutnya yang tidak gatal. Rupanya, benar benar mempunyai tujuan yang sangat penting orang ini& bisiknya dalam hati.
Bagaimana Aki dan Nyai" bertanya Arjuna untuk meyakinkan.
Baik Kandhi. Kami berjanji untuk memenuhi syarat itu, dengan tidak menyimpan cerita itu hanya untuk kami berdua& jawab Ki Lurah Sagotra mantap.
Arjuna pun kemudian menceritakan tentang nama sebenarnya, asal usulnya, perjalanannya, serta keadaan dia sekarang ini yang harus menjalani pengembaraan selama beberapa tahun lamanya. Namun Arjuna tidak menceritakan segala peristiwa dengan utuh. Ada beberapa hal yang harus dia simpan karena cerita cerita itu ada beberapa bagian yang mengandung permasalahan permasalahan istana dan keluarga yang tidak perlu semua orang boleh tahu.
Kata demi kata meluncur dari mulut Arjuna. Kata-kata yang tersusun rapi, dengan tata bahasa yang santun dan berurutan, membuat Sagotra dan Rara Winihan bagai mendengar sebuah cerita Ramayana oleh Empu Walmiki. Sama sekali mereka berdua tak bernafsu untuk memotong cerita atau bahkan berkedip pun, mereka sayang untuk melakukannya. Mereka tak ingin kehilangan satu penggal pun dari cerita Arjuna itu.
Timbul perasaan aneh yang merambati Sagotra dan Winihan saat Arjuna bercerita. Mereka merasa begitu kecil dihadapannya. Semakin lama semakin kecil, dan timbullah kemudian rasa sungkan yang semakin membesar, juga perasaan malu yang tak tahu diri, telah menuduh Arjuna adalah seorang laki-laki yang akan menggoda Rara Winihan. Sagotra dan Rara Winihan bagai terbanting banting perasaannya.
Terlebih saat Arjuna mengatakan tentang perjalanannya hingga sampai ke rumah Sagotra, karena tak menjumpai satu orang pun di Desa Kabayakan, demi adik kembarnya yang tidak setangguh kakak kakaknya. Sagotra dan Rara Winihan semakin didera rasa sesal yang semakin memuncak.
Sungguh bodohnya aku& .. Ki Lurah Sagotra mengeluh dalam hati. Semakin lama semakin timbul rasa hormat pada Arjuna. Hormat sebagai rakyat kepada rajanya.
Dan saat Arjuna mengakhiri ceritanya, dia mendapati sepasang suami istri itu telah bersujud berdampingan dihadapannya. Arjuna terkejut. Dia sama sekali tak menginginkah perlakuan sampai seperti itu.
Aki dan Nyai& & . Bangunlah& .. kata Arjuna. Namun mereka masih belum juga bergeming. Sekali lagi Arjuna memintanya untuk bangun, dan sekali lagi pula mereka masih dalam sikapnya. Kemudian Arjuna menyentuh kedua pundak Ki Sagotra dan Rara Winihan sambil berkata, Aki, Nyai, bangunlah& . Aku tak menginginkan sikap yang seperti ini. Bersikaplah sebagai Ki Lurah Sagotra dan Nyai Lurah Sagotra& .. katanya.
Baru kemudian mereka berdua bangun dari sujudnya. Terlihat kedua pipinya telah basah, apalagi Rara Winihan. Mereka berdua tak mampu berkata kata. Perasaan sedih, sesal, malu, bangga dan berbagai macam perasaan berkecamuk di hati mereka berdua.
Maafkan kami Raden& . Maafkan kelancangan dan kekurangajaran kami berdua& . Kata tergagap gagap Ki Sagotra sambil menyembah.
Sudahlah Ki, aku juga minta maaf kepada Aki dan Nyai& . Jawab Arjuna. Kedatanganku membuat Aki dan Nyai khawatir dan berprasangka buruk& . Sekali lagi maafkan aku Ki& lanjut Arjuna. Bagaimanapun, dia sangat merasa bersalah karena kedatangannya telah membuat resah suami istri itu. Namun itu semua bukanlah tujuannya. Semua karena dorongan tanggung jawab dan kewajibannya kepada kedua adik kembarnya.
Benar dugaan Aki, Raden. Raden adalah Raden Arjuna, putra Prabu Pandudewanata. Sembah bakti dan sungkem kami berdua untuk Raden sekeluarga Raden& & kata Ki Lurah Sagotra. Ampunilah dosa kami Raden& & . Katanya dengan membungkuk hormat.
Nyai& & . Kata Ki Lurah Sagotra kepada istrinya. Rara Winihan mengerti arti panggilan itu, seperti yang telah diceritakan tujuan Arjuna datang ke tempat itu. Rara Winihan segera mohon pamit undur diri untuk masuk ke rumah dan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Tak lama kemudian, Rara Winihan keluar sambil membawa dua buah bungkusan besar, dan kemudian diletakkan di atas balai balai, di tengah tengah duduk mereka.
Raden Arjuna, terimalah ini sebagai tanda sembah dan baktiku pada Raden dan Kerajaan Astinapura. Jika Raden berkenan, biarlah kami antar sekalian bingkisan ini ke tempat peristirahatan Raden, beserta segala sesuatu yang Raden perlukan& . Kata Ki Lurah Sagotra.
Terimakasih KI, namun saat ini, hanya inilah yang aku perlukan. Aki, sebuah kekuasaan tidak di bangun oleh segala harta benda yang kita punyai, namun dari rasa cinta kasih sayang yang dapat mengayomi seluruh rakyat. Bila rakyat merasa terlindung dan terayomi, maka kesetiaan akan tumbuh dengan sendirinya. Syukurilah semua yang ada, apa yang kita punya. Kadang kita lupa bahwa kita telah memiliki sesuatu yang berharga, namun kita justru mengingat ingat sesuatu yang telah hilang di masa lalu, atau mengejar impian untuk masa depan, hingga menelantarkan apa yang telah kita punya& . Kata Arjuna sambil menatap ke mata Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan, sebagai sasmita bagi mereka berdua.
Keduanya lalu tertunduk malu. Seolah mereka kini dihadapkan pada sebuah cermin, dan melihat mereka berdua sendiri. Tak sadar mereka berdua kemudian melihat ke masing-masing diri mereka sendiri. Apa yang mereka punya dan apa yang mereka ingin raih. Bukankah mereka telah memiliki semuanya" Namun mereka lupa bahwa mereka hanya tinggal menikmati dan mensyukuri apa yang telah menjadi miliknya.
Nah, Aki, Nyai, ijinkan aku mohon diri. Kedua adikku tentu telah menungguku. Aki, bersyukurlah Aki mempunyai istri yang cantik jelita, dan berbakti pada suami. Jaga dia baik baik. Dan Nyai, KI Lurah Sagotra adalah laki-laki perkasa yang sederhana. Beliau tentu ingin membuat Nyai bahagia, seperti yang Nyai dambakan selama ini. Berilah kesempatan untuknya, dan jalani semuanya dengan rasa syukur, karena kalian telah saling memiliki, dan aku yakin, tiada paksaan bagi kali waktu itu, kalian tentu telah dengan sukarela dan cinta waktu mengikat janji. kata Arjuna. Ki Lurah Sagotra dan Rara WInihan semakin tersipu malu. Mereka saling pandang sebentar, dan seuntai senyum menghiasi bibir mereka.
Baiklah Ki, aku mohon diri& & kata Arjuna sambil beringsut dari duduknya. Namun sebelum Arjuna berdiri, ditahannya tangannya oleh Ki Lurah Sagotra.
Raden, sekali lagi kami mohon maaf. Dan apabila Raden mengehendaki, bolehlah kami antar beberapa bungkus lagi untuk bekal, atau bila berkenan, menginaplah sekeluarga di gubug kami yang jelek ini& kata Sagotra di damping Rara WInihan.
Terimakasih Ki, terimakasih. Aku sangat menghargai tawaran Aki, namun cukuplah bagiku dua bungkus ini& Kata Arjuna tanpa maksud mengecewakan.
Baiklah Raden, Aki dapat mengerti dan menghormati keputusan Raden. Namun perlu Raden ingat, jika suatu saat Astinapura membutuhkan bantuan, dengan senang hati Aki berjanji akan membantu demi kejayaan Raden sekeluarga, dengan segenap jiwa raga Aki& .. Kata Ki Lurah Sagotra mantap.
Karena Aki yakin, Raden sekeluargalah yang berhak atas tahta kerajaan Astinapura& . Katanya kemudian.
Arjuna terkesima, hingga dia hanya mampu berdiri tanpa kata dihadapan KI Lurah Sagotra. Sebuah janji telah terucap untuknya, dan betapa besar rasa terimaksih yang ditujukan padanya. Tanpa kata terucap, Arjuna membungkukkan badannya dalam dalam.
Terimakasih Aki& . Terimakasih. Aku akan selalu mengingatnya& & . Ijinkan aku mohon diri Aki. Terimaksih KI, Nyai& .. kata Arjuna masih dengan membungkuk hormat, dan kemudian berjalan sambil membawa dua bungkusan besar itu meninggalkan rumah Ki Lurah Sagotra.
Hati hati Raden, sampaikan sembah baktiku pada Raden Puntadewa, Bima, Nakula, Sadewa dan Dewi Drupadi& .. kata Sagotra melepas kepergian Arjuna. Sekali lagi, di bibir halaman, di mulut jalan setapak, Arjuna membalikkan badan dan membungkuk hormat untuk pamit terakhir kalinya sebelum tubuhnya hilang ditelan rimbunnya dedaunan yang memadati di tepian jalan.
Sagotra melepas kepergian Arjuna berdampingan dengan istrinya, Rara Winihan. Dengan tak berkedip mereka berdua melepas kepergian tamu yang mereka sangka sangka itu, hingga Arjuna hilang ditelan rimbunnya dedaunan.
Setelah kepergian Arjuna, mereka pun kembali ke rumah. Namun tak terasa, kedua tangan mereka kini saling bergandengan. Dan mereka menyadari baru saat sekarang. Keduanya saling berpandangan, ada perasaan malu dan jengah pada keduanya. Maka gandengan tangan itu pun kemudian dilepaskannya. Rara Winihan berlari masuk ke rumah, dan Sagotra berjalan menuju balai balai tempat duduknya dengan Arjuna tadi.
Malam menjelang, Sagotra duduk di balai di beranda rumahnya, sambil melihat Desa Kabayakan di bawah sana. Desa itu terlihat seperti desa mati tak berpenghuni. Hanya beberapa rumah yang Nampak menyalakan lampu. Lainnya gelap gulita. Pun demikian dengan hati Sagotra. Dia ingin sekali membangun desanya yang telah sekian lama ditinggalkannya. Namun kedatangan Arjuna ke rumahnya, membangkitkan semangatnya lagi untuk mengabdi pada tanah kelahirannya.
Terdengar bunyi suaru kayu berderit. Sagotra menoleh ke arah suara itu. Pintu rumah terbuka, dan sepasang tangan wanita muncul dari baliknya dengan membawa sebuah baki dan dua minuman hangat serta makanan seadanya. Disusul kemudian, si pemilik dua tangan itu muncul dari balik pintu, dan berjalan menuju ke arahnya. Rara Winihan.
Sagotra, mungkin telah beribu ribu kali melihat Rara Winihan mengantarkan makanan dan minuman saat malam seperti ini, seperti kebiasaan mereka sehari hari. Namun kali ini, seolah baru pertama kali Sagotra melihat istrinya itu. Tanpa berkedip, dia melihat Rara Winihan berjalan menuju ke arahnya, bahkan langkah demi langkahnya, Sagotra memperhatikan satu demi satu.
Rara Winihan, yang merasa kedatangannya mengundang perhatian suaminya, mukanya memerah, dan menunduk malu. Dia juga merasakan hal yang sama pada Sagotra. Semakin dekat dengan Sagotra, hatinya semakin berdebar debar. Debar debar bukan karena takut, namun berdebar-debar seperti yang terjadi pada beberapa tahun lalu, saat pertama kali seorang pemuda menaruh hati padanya, dan berusaha keras meyakinkan bahwa dialah orang yang tepat untuk mendampingi hidupnya. Dan pemuda itu, kini ada dihadapannya, sedang menatap dirinya dan menunggu kedatangannya.
Winihan& & sapa Sagotra pelan saat Winihan tiba dan menyiapkan minuman hangat untuknya, dan kemudian duduk berdua di balai balai itu. Winihan tersenyum kecil. Kini dua orang laki-laki dan perempuan itu duduk berhadap hadapan.
Winihan masih tertunduk, sambil menuangkan minuman untuk Sagotra. Sedangkan Sagotra, memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya itu, bagai tak pernah melihat sebelumnya.
Winihan& .. kata Sagotra lagi. Hanya kata kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Sagotra hanya mampu menyebut namanya.
Engkau cantik sekali Winihan& . katanya kemudian. Winihan semakin tertunduk malu. Memang, Winihan malam ini berbeda dari malam malam sebelumnya. Winihan sengaja ingin kelihatan cantik seperti saat pertama kali jumpa dengan Sagotra. Dia kenakan pakaian yang paling indah yang dia punya, dan semua aroma wangi-wangian yang dia miliki. Kain yang sengaja dia kenakan saat Sagotra berusaha merebut hatinya. Kain sederhana yang bermotif cerah, dengan simpul sederhana tepat di tengah tengah dadanya, dengan bahu merah muda berkain halus bagai sutra, yang dia biarkan terbuka tanpa mengancingkannya.
Sagotra yang mendapati itu semua dihadapannya, bagai terbang melayang tak tentu arah. Angannya melayang ke beberapa tahun silam saat hatinya tercabik cabik oleh cinta pada seorang gadis, yang kini berada di depannya, sebagai istrinya, Rara Winihan.
Silakan Kakang& . kata Winihan sambil mengulurkan tangannya memberikan sebuah cangkir dari gerabah yang berisi minuman hangat untuk suaminya.
Terimakasih Winihan, istriku& .. jawab Sagotra lembut. Tangan berada tangan, dan tangan Sagotra memegang tangan Winihan, tanpa dilepaskan. Dia ingin melihat wajah Winihan. Dan benar, Winihan mengangkat wajahnya dan kemudian menatap mata Sagotra. Tatapan mata tanpa kemarahan ataupun kekecewaan seperti biasanya, namun tatapan kepasrahan, kehangatan, dan penuh kasih sayang.
Duduklah disampingku Winihan& . Pinta Sagotra sambil memegang erat tangan Winihan. Tanpa diminta dua kali, Winihan segera beringsut dari duduknya, dan kemudian duduk berdampingan dengan Sagotra.
Desa Kabayakan dibawah sana yang seperti desa mati, kini seolah berubah menjadi desa yang penuh dengan hingar-bingar kemeriahan di mata mereka berdua. Lampu lampu menyala penuh warna. Rontek dan panji panji berdiri kokoh berkibar kibar ditiup angin pegunungan. Bintang bintang gemerlapan, rembulan purnama memancarkan cahaya kemesraan yang tiada tara, membalut kehangatan mereka berdua.
Winihan menjatuhkan wajahnya ke pundak Sagotra yang perkasa. Sedangkan Sagotra memegang erat tangan Winihan, dan menyentuhkan pipinya ke kepala Winihan yang mengusap usapnya dengan penuh kemesraan.
Winihan membiarkan tangannya diremas remas oleh suaminya, dan membiarkan pula kepalanya tersentuh oleh pipi Sagotra. Tangan kanan Sagotra merengkuh tubuhnya, dan memeluknya erat. Winihan membiarkan semuanya. Dia serahkan semuanya malam ini.
Winihan, malam ini engkau cantik sekali& .. kata Sagotra berulang ulang. Namun kata kata yang berulang ulang itu, sama sekali tak membuat Winihan bosan. Bahkan dia ingin mendengarnya lagi, lagi dan lagi.
Kakang& & sapa Winihan pelan.
Iya Winihan& .. jawab Sagotra.
Ternyata Kakang memeliki mata yang indah& & kata Winihan sambil mengangkat wajahnya dan menatap mata Sagotra. Sagotra tersenyum.
Matamu lebih indah, dan senyummu sangatlah manis& .. kata Sagotra sambil mengecup kening istrinya. Mereka berdua hanyut dalam rasa dan cinta yang begitu membara. Masing-masing saling memuji, dan masing-masing bercerita dan bercanda. Sebuah peristiwa yang tak pernah terjadi sejak beberapa tahun lamanya. Keduanya merasa seperti pertama kali berjumpa.
Rara Winihan kemudian menjatuhkan tubuhnya, dan memeluk Sagotra dengan erat. Mereka berdua hanyut ke dalam sungai asmara, yang penuh dengan air jernih, dengan sinar mentari menerangi sepanjang hari. Sagotra menciumi istrinya sejadijadinya, dan Winihanpun membalasnya dengan penuh kehangatan. Kedua tangan mereka, mereka biarkan menyentuh apapun juga dari masing-masing tubuh mereka.
Ah& Kakang nakal& & desis Winihan sambil melepaskan pelukannya, dan duduk tegak melihat ke arah dadanya. Ikatan kain di dadanya itu kini telah terlepas, oleh tangan Sagotra, sehingga tersingkap sedikit kedua buah yang menggantung di dadanya. Sagotra terdiam. Dia takut bila hal itu membuat istrinya menjadi marah.
Namun yang terjadi kemudian, Winihan sama sekali tak membenahi kainnya yang telah hampir lepas, akan tetapi dia malah mengangkat wajahnya, dan memandangi wajah Sagotra dengan tersenyum nakal. Darah laki-laki Sagotra tersirap! Senyum seorang istri yang memanggil-manggil suaminya, memohon sebuah kehangatan yang telah lama diinginkannya.
Winihan, engkau begitu cantik, istriku& .. kata Sagotra sambil mengusap bibir Winihan dengan jari jarinya. Winihan kemudian beringsut dari duduknya, dan bangkit berdiri sambil menarik kedua tangan Sagotra, tanpa berusaha membenahi kainnya yang kini telah mulai jatuh, hingga Sagotra dapat dengan leluasa melihat sepasang buah yang menggantung di dada istrinya itu. Bagai kerbau dicocok hidung, Sagotra segera bangkit, mengikuti tarikan kedua tangan Winihan. Dia biarkan dirinya menjadi budak Winihan kali ini.
Ibarat sebuah ladang, Sagotra adalah ladang yang kekeringan bertahun tahun, hingga tanah itu tandus dan gersang. Tanah itu ingin sekali mendapatkan siraman air hujan, sederas derasnya, dan sebanyak banyaknya. Demikian juga dengan Winihan. Ibarat sebuah bunga, bunga itu telah hampir layu dan kering, karena merindukan siraman air hujan yang tak kunjung datang. Dia hampir meranggas.
Malam ini, walaupun malam yang terang benderang dan sama sekali tiada satu titik pun hujan, namun bagi mereka berdua, malam ini, di rumah mereka terjadi hujan lebat yang terkira, dengan petir yang menyambar-nyambar, serta guntur bergemuruh di langit langit rumah itu, hingga mereka berdua merasa ketakutan, basah, kedinginan, serta kelaparan, sehingga membuat mereka, satu sama lain berpelukan erat, dan saling menghangatkan satu sama lain, dengan saling menyentuhkan tubuh tubuh telanjang mereka.
Keduanya mampu menyatukan hatinya kembali, setelah terpisah beberapa tahun lamanya. Dan seolah sepakat diantara mereka berdua, terucap sebuah rasa terimakasih yang terhingga, kepada seorang laki-laki yang telah membuka mata mereka berdua, akan kenikmatan saling memiliki dan saling mencintai.
Terimakasih Raden Arjuna, kini aku bisa memiliki istriku lagi dengan seutuhnya, setelah hilang beberapa tahun lamanya. Aku bersumpah untuk menyerahkan jiwa ragaku padamu Raden& . Janji Sagotra di hati yang paling dalam, dalam pelukan istri tercintanya. Winihan tersenyum bangga pada suaminya, dan senang senyum kecilnya, dia peluk tubuh suaminya erat erat, sepanjang malam, hingga pagi menjelang. Bahagia menyelimuti mereka berdua.
Bambang Rawan, Kembalinya Si Anak Hilang
Perjalanan yang dipilih, ternyata tidak lebih baik dari sebelumnya. Jalanan yang sempit serta penuh dengan semak belukar, telah menuntunnya ke sebuah hutan yang rapat, yang bahkan sinar matahari pun cukup sulit untuk menembus sela sela pepohonan.
Udara dingin yang menyelimutinya, membawa perasaan aneh pada tubuhnya. Dingin bukan karena tiada cahaya, namun dingin karena perbawa dari sebuah alam ghaib yang meraja-lela di tengah hutan. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu, berjalan menyusuri jalan, sambil beberapa kali menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mengetahui barangkali dia menemukan seseorang di sana.
Kadang dia berhenti sebentar untuk mengamati keadaan di sekelilingnya. Namun yang dia jumpai hanyalah pohon pohon besar, dan tebing tebing curam, dimana di dinding dinding tebing itu, terdapat beberapa lubang yang lebar, sebesar tubuh manusia dewasa, dan disana sini terlihat beberapa bekas telapak hewan hewan buas.
Laki-laki raksasa itu hanya mampu menarik nafas panjang, saat menyadari dirinya berada pada sebuah hutan, dengan binatang binatang buas yang tak terhitung jumlahnya, yang tentu saja, kehadiran laki-laki itu telah memancing indra penciuman mereka, akan datangnya sebuah mangsa.
Berpuluh puluh pasang mata binatang buas yang mengawasi laki-laki itu, sama sekali bukan sebuah ancaman baginya. Laki-laki perkasa yang berubuh raksasa itu, telah menyadari akan kemampuannya. Beberapa kali pernah dihadapkan pada sebuah pertarungan melawan ular raksasa di dasar sungai yang keramat, membuat laki-laki itu sama sekali tak gentar menghadapi segala macam binatang buas, apalagi hanya binatang binatang hutan.
Saat itu, ular raksasa di dasar sungai yang keramat itu, dapat ditaklukkannya, bukan dengan kekuatan lahiriahnya, namun dengan keluguan seorang anak lakilaki kecil. Ular raksasa berkepala tujuh itu pun, dengan mudahnya takluk dihadapannya, dan kemudian menyembah hormat, serta meminta maaf padanya.
Dialah, Raden Arya Bimasena, laki-laki perkasa keturunan Prabu Pandudewanata, Raja dari Kerajaan Astinapura.
Sena, atau Bima, demikian dia biasa dipanggil, segera meneruskan perjalanannya, mendaki dan menyusuri hutan di pegunungan. Dia berkeyakinan, akan lebih mudah apabila dia telah mencapai puncak ketinggian, sehingga dia akan lebih mudah menentukan arah.
Sekian lama dia berjalan, sampailah dia di tempat yang lebih tinggi, puncak dari punggung pegunungan itu. Dari tempat itu, Bima dapat melihat hampir seluruh lembah dan lereng ada lebih rendah dari dirinya.
Dari tempat itu, dia bisa melihat sebuah bangunan megah di bawah sana, dengan alun alun yang cukup lebar di didepannya. Bima tak tahu pasti kerajaan manakah itu. Dia sendiri tak begitu yakin dimana dia berada, maka dari itu dia juga tidak yakin akan kerajaan dibawah sana. Dia mengamat amati dari kejauhan, dan melihat keadaan di sekitar dia berdiri.
Sekian lama Bima berdiri di tempat itu, namun sama sekali tak menemukan satu orang pun. Lantas pandangannya berkeliling, hingga dia melihat sebuah bangunan yang terbuat dari kayu, bukan sebuah rumah namun lebih mirip dengan sebuah dangau. Dangau tempat beristirahatnya orang orang yang sedang bekerja di ladangnya.
Bangunan yang mirip dengan panggung itu, agak tinggi diatas permukaan tanah, dengan atap yang terbuat dari ijuk. Sangat sederhana, namun terlihat cukup kokoh. Tiada seorang pun yang ada di dangau itu. Bima berjalan menuju dangau itu. Dia akan berada di dangau itu, hingga seseorang muncul di tempat itu.
Cukup lama Bima berada di dangau tersebut. Angin pegunungan, terasa cukup kencang di ketinggian. Beberapa binatang hutan, burung burung liar, beterbangan kesana kemari untuk bermain dan mencari makan. Sesekali Bima menyaksikan binatang binatang buas yang saling memburu. Dia sama sekali tak tertarik akan peristiwa peristiwa itu. Letih dan lelah yang dirasakannya, bercampurkan dengan hembusan angin pegunungan, membuat dirinya kini menjadi malas.
Hampir saja di terlelap, saat dia mendegar suara ribut ribut bunyi tanah bergemuruh. Bima terjaga, dan segera bangun dari tidurnya. Dilihatnya beberapa binatang buas , berlari secara beriringan, dengan kecepatan dan penuh kebuasan, saling berebut menuju sebuah tempat di lembah sebelah kanan Bima.
Bima segera bangkit. Sungguh aneh kejadian ini. Tak wajar kiranya beberapa harimau yang berukuran sangat besar, sebesar seekor sapi, berlarian menuju sebuah tempat yang sama, dengan air liur yang menetes-netes tanda kelaparan, dan memburu mangsa yang telah sangat dekat dengan mereka.
Bima segera berlari mengikuti binatang binatang itu. Dia yakin, binatang itu menemukan sesuatu, suatu mangsa yang cukup istimewa, sehingga menjadi bahan rebutan bagi mereka semua. Bima berlari sekuat tenaga. Tubuhnya yang besar, sama sekali tak menghalangi kecepatan berlarinya. Dentuman dentuman suara kakinya menjejakkan di tanah, lambat laun semakin berkurang, dengan semakin cepatnya Bima berlari, hingga hampir terbang dan tanpa menyentuh tanah dengan berarti.
Binatang binatang itu berlarian sangat kencang, hingga Bima beberapa kali kehilangan jejak. Hanya suara suara lolangan dari binatang binatang itulah yang kemudian tetap dapat menuntunnya menuju tempat binatang binatang itu berlarian.
Dari kejauhan, Bima melihat cukup banyak harimau yang berukuran besar itu, berdiri berkeliling dengan sikap siap menyerang. Bima segera mempercepat larinya. Semakin cepat, hingga harimau harimau itu tak sadar bahwa seseorang telah berusaha mendekati mereka.
Bima masih mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi, hingga hewan hewan itu bersikap demikian. Setelah jarak yang cukup dekat, Bima mengendap endap dan mendekati tempat itu. Tempat yang cukup rendah dibanding tempat sekitarnya, dengan bentuk yang hampir menyerupai lingkaran. Dan di sekeliling tanah berlubang yang membentuk lingkaran itu, berdiri harimau harimau yang berukuran besar, dengan taring taring yang panjang serta air liur yang menetes.
Bima semakin penasaran. Dengan hati hati dia mendekati tempat itu, dan melihat apakah gerangan yang terdapat di dalam lingkaran itu, hingga hampir semua bintang buas itu tertarik, bahkan ingin saling berebut mendapatkannya.
Saat Bima dapat dengan jelas menyaksikan apa yang ada di dalam lingkaran itu, dia terkesima dan tertegun. Hatinya panas dan darahnya memuncak. Dia melihat seorang laki-laki yang telah jatuh terduduk pasrah, dengan luka gores di hampir seluruh tubuhnya. Mukanya pucat pasi, penuh ketakutan. Sementara di hadapannya, berdiri seekor harimau yang berukuran sangat besar, lebih besar yang berdiri di sekeliling lingkaran itu.
Satria Penggali Kubur 1 Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Api Di Bukit Menoreh 7
^