Pencarian

Your Eyes 5

Your Eyes Karya Jaisii Q Bagian 5


"Naura kamu jangan gila, jangan terhasut sama omongan Nessa," kata Adrian lagi meyakinkan.
Naura menarik napas dalam-dalam sambil terus menatap mata Nessa yang dipenuhi kemenangan. Lalu setelah itu, dia balik ke samping, melangkahkan kaki dengan
raut tak terbaca, meninggalkan Nessa dan Adrian dalam kesunyian.
Adrian memicingkan mata. Nessa mendelik.
"Kamu gila. Kamu bener-bener gila! Kalau kamu cinta sama orang, bukan begini caranya," ucap Adrian yang langsung berbalik untuk mengejar Naura.
Nessa masih berdiri tegak di tempat, terpaksa harus melihat kalung perak itu. Yang membuat dada pengap. Jadi benda itu adalah hadiah yang dimaksud Brian.
"Brian... Bri... Brian..." lutut Nessa melemas, kakinya pun bersentuhan dengan lantai dingin.
*** "Naura tunggu!" teriak Adrian pada Naura yang sudah berada di ujung jalan. Naura berhenti melangkah, kristal bening bergulir di pipi. Kenyataan getir baru
saja menghantam jiwanya yang baru saja berbahagia. Tuhan seakan tak mau memberikan kebahagiaan abadi. Ada saja halangan. Adrian berlari kecil, lalu berdiri
di hadapan Naura yang menangis pilu.
"Kamu jangan kemakan sama omongan dia. Nessa cuma kebawa emosi. Kamu jangan denger omongan dia. Plis Naura." Adrian menghapus air mata Naura yang masih
hangat. Melihat Naura menangis, Adrian tak sanggup. Dia terlalu istimewa untuk dilukai. Biar dulu dia yang menyakiti Naura, sekarang jangan.
"Apa yang harus aku lakuin" Apa yang harus aku lakuin Ian" Tolong jawab aku. Karena sebenernya ucapan-ucapan Nessa itu bener. Kalau dia nggak nyelametin
kamu, pasti keadaan kamu bakalan sama kayak Brian, meninggal dunia..."
Mengatakan hal semacam itu sama saja dengan menelan pil pahit yang mematikan di tenggorokan. Sebentar, tapi begitu membunuh.
Adrian menelan air liurnya.
"Dan aku bakalan tetep kehilangan kamu. Kamu bayangin, saat itu Nessa bawa Brian yang sebenernya ke luar negri, dan kamu tetep ditanganin di rumah sakit
biasa. Yang bakalan masih hidup sekarang itu Brian, bukan kamu."
"Jadi kamu percaya sama Nessa" Jadi kamu nggak percaya sama takdir?"
"Aku berpikir sesuai logika. Aku nggak bisa bahagia di atas penderitaan orang lain Ian. Aku nggak bisa bahagia sementara di sana orang lain terluka karena
aku. Aku nggak bisa sejahat itu... Aku nggak bisa..."
"Ini hak kita Naura. Ini hak kita untuk sama-sama. Kalau pun aku boleh milih, aku bakalan tetep milih kamu."
Naura terus melinangkan air mata.
"Jangan gitu Naura, aku mohon jangan begitu..." Adrian membawa Naura ke dalam pelukan hangatnya, untuk menenangkan dan meluluhkan. "Aku nggak mau kehilangan
kamu untuk yang kedua kalinya. Aku nggak mau. Aku nggak mau. Biarin aku tetep terus ada di sisi kamu, cium wangi rambut kamu yang udah jadi kesukaan aku.
Aku janji bakalan ngertiin Nessa, aku janji. Demi kamu, demi kita."
Tanpa menyahut penuturan Adrian, Naura terlampau dalam isak tangisanya.
*** Bersambung "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 27 - Fana. *** Satu hari yang lalu. "Ini makamnya Brian, Ian. Sebelumnya, aku sering banget ke sini buat nengokin dia. Curhat sama dia yang aku tahu sebagai Adrian. Mungkin di dalem sana,
dia ngetawain aku, karena aku curhat sama orang yang salah." Naura sedikit terkekeh pelan. Sedari tadi, malah dia yang terus berbicara, padahal, Adrian
yang ingin sekali datang ke sini.
Adrian masih memandang nisan di depannya, ikut tersenyum mendengar cerita-cerita Naura. Sambil membayangkan betapa bahagianya dia jika sekarang Brian masih
hidup. Adrian bisa melihat bagaimana wajahnya.
"Kalau aku lagi kangeen banget sama kamu, aku pasti dateng ke sini. Bukan cuma ngobrol sama kuburan ini, tapi aku juga bisa ngobrol sama Pak Eko, bapak-bapak
yang kerja di sini sebagai tukang sapu dan tukang ngebersihin kuburan. Curhat sama dia."
"Dasar tukang curhat," ledek Adrian membuka mulut.
"Ih mulai deh ngeledeknya. Kambuh lagii."
"Hehehe." "Aku kenalin kamu sama Pak Eko, ya." Naura menepuk-nepuk tangannya, mengusir butiran tanah yang menempel sehabis menyentuh tanah yang mengubur mayat Brian.
Dia pun berdiri, melemparkan pandangannya ke penjuru pemakaman, berharap menemukan bapak tua yang sedang menyapu. Naura tak sabar berbagi kebahagiaannya.
Dan ternyata, Nessa juga ada di sana, bersembunyi di balik pohon besar. Cepat-cepat dia menarik kepalanya kembali, menghindari pandangan Naura yang sedang
berjelajah. Nessa meremas dadanya yang nyeri, ia sudah mendengar percakapan Naura dan Adrian. Jadi benar, mayat yang berada dalam kuburan itu adalah mayat
Brian" Mayat yang selama ini ia tunggu untuk segera meminang" Mata Nessa memanas. Kerinduan ilusi itu nyata adanya.
"Pak! Sini, Pak!" panggil Naura tatkala melihat Pak Eko yang mulai berjalan ke arahnya sambil tersenyum ramah, tak lupa dengan sapu yang ia pergunakan
untuk menafkahi keluarga.
"Iya Neng Naura. Ada apa?"
"Saya mau kenalin bapak sama seseorang."
"Hah?" kernyit Pak Eko berkerut. Apa dirinya sebegitu penting sampai Naura harus memperkenalkan seseorang kepadanya" Adrian yang masih jongkok, mendongkakkan
kepala. Lalu, berdiri di sebelah Naura, ikut memandang bapak berkumis itu.
"Tebak, di sebelah saya ini siapa Pak," lanjut Naura menimbulkan teka-teki aneh di benak Pak Eko.
"Pacar baru neng Naura?"
Naura menaikkan kedua alisnya.
"Ooh jadi sekarang Neng udah punya pengganti almarhum suami Neng?" tebak Pak Eko sok tahu. Wajahnya sumeringah.
Naura menahan tawa mendengar pertanyaan geli dari Pak Eko. Adrian malah tertawa miring tanpa suara.
"Bener, kan?" ulang Pak Eko menerka lagi.
"Bukan, Pak. Yang jelas, ini lebih spesial."
"Terus siapa?" "Dia ini suami saya, Pak."
"Oooh jadi Neng Naura udah nikah lagi" Kok nggak undang bapak, sih" Pantes aja dibilang spesial dan neng Naura selalu absen buat dateng ke sini. Ternyata
udah nikah lagi." Pak Eko geleng-geleng kepala tak menyangka. "Tapi selamat ya Neng, akhirnya dapet penggantinya juga setelah setia sama suaminya yang
udah meninggal. Pasti yang ada dalam kuburan ini ikut seneng."
"Iih Bapak salah. Saya nggak nikah lagi, kok." Naura tegelitik.
Adrian beralih menatap Naura yang sedang gregetan dan menggemaskan. Mata Adrian yang berbinar serta lekuk senyum di bibir terus saja memandang Naura tak
berkedip. Ada kebahagiaan tersendiri yang ia dapat ketika memerhatikan wajah cantik istrinya sendiri.
"Ya terus siapa, Neng" Ya udah kasih tau Bapak aja, deh." Pak Eko taluk. Mundur dari tebak-tebakkannya.
"Ini itu Adrian, Pak. Suami saya yang sering saya ceritain..."
Mulut Pak Eko terbuka sedikit, bukankah Adrian yang sering Naura ceritakan itu sudah meninggal" Bahkan, di sebelahnya ini, itu adalah kuburannya. Entah
mengapa, sekujur tubuhnya tiba-tiba dialiri gentar. Bagaimana bisa Naura mengatakan bahwa pria di sebelahnya ini Adrian"
"Bapak kaget?" tanya Naura mengerti. Karena siapa pun yang mendengarnya, pasti merasakan hal yang sama. Mereka akan terdiam kutu dengan otak yang terus
berspekulasi. Pak Eko masih tercenung. "Bapak inget nggak saya pernah cerita sesuatu" Saya pernah bilang ke Bapak waktu itu kalau saya pernah ketemu sama orang yang mirip banget sama almarhum
suami saya. Bapak inget?"
Kepala Pak Eko mengangguk. Iya, dia ingat sekali itu.
"Nah. Sebenernya lelaki yang saya temuin itu suami saya, Adrian. Tapi karena saat itu Adrian lagi amensia, jadi dia nggak inget sama saya. Saya pun yang
taunya Adrian udah meninggal, mana mungkin bilang ke dia kalau dia itu suami saya. Makannya saya jadi bingung. Ya udah saya cuma bisa nyimpulin, mungkin
cowok itu cuma kebetulan mirip aja."
"Terus yang meninggal siapa Neng?" Pak Eko masih belum paham.
"Kembaran suami saya. Ternyata bener, kalau Adrian ini punya saudara kembar. Waktu kejadian kecelakaan bis itu, Adrian sama kembarannya ada di bis yang
sama. Intinya ya gitu deh, Pak. Ceritanya panjang, saya nggak bisa cerita panjang lebar."
Pak Eko manggut-manggut. "Ooh jadi begitu ya, Neng. Waduuh udah kayak sinetron, ya. Saya bener-bener nggak nyangka."
Naura terkekeh, begitu pula dengan Adrian.
"Waah pasti sekarang neng Naura bahagia banget karena sekarang suaminya udah kembali lagi."
"Alhamdulillah, Pak. Saya juga nggak nyangka. Ini tuh bener-bener di luar dugaan."
"Ganteng ya Neng suaminya," puji Pak Eko memandang wajah Adrian. Adrian tersipu, segera mengulurkan tangan, "Kenalin Pak, saya Adrian." Pak Eko tersenyum
lalu membalas jabatan tangan Adrian. "Kenalin, Bapak tukang sapu di sini," katanya ramah tamah. Dengan senyum khas. Garis-garis keriput di ujung matanya
tercetak jelas. Mereka pun melepaskan jabatan tangannya. "Wih keren, Pak. Bapak pasti orang yang pemberani. Udah pernah ngeliat setan belum, Pak?"
Naura langsung menyikut lengan Adiran. Pertanyaan yang diajukan Adrian sungguh memalukan. Pak Eko langsung tertawa. "Pernah kok, pernah."
"Seriusan, Pak?" Adrian antusias.
Naura melotot. "Sering malahan..." bisik Pak Eko pelan sekali. Tawa Adrian pun pecah. Wajah Naura memberengut mendengar kelakaran mereka. Mana ada hantu di siang bolong
begini. Ada-ada saja. "Eh omong-omong makasih ya, Pak. Karena selama ini Bapak dengan sabarnya udah mau dengerin curhat-curhat istri saya, curahan isi hatinya, keluhannya..."
Mata Naura menyalang. Karena ucapan Adrian barusan, terdengar sebagai ejekan, bukan ucapan terima kasih.
"Hehee sama-sama."
Gelak tawa sukacita bertalun di telinga Nessa. Gadis itu bersandar di permukaan dahan, memegang dada, dengan air mata mengalir deras di pipi. Dia sangat
merindukan Brian, sangat-sangat merindukannya. Bagaimana bisa mereka berbahagia sementara dirinya di sini terluka" Mengapa harus Adrian yang selamat" Mengapa
bukan Brian saja" Mengapa bukan Adrian yang meninggal" Mengapa harus Nessa yang ditinggalkan dan menelan luka" Dihunjam oleh kesendirian.
"Bapak nggak mau ngucapin selamat ulang tahun ke saya" Saya hari ini ulang tahun loh, Pak!" suara Naura sengaja ditinggikan. Otak Adrian langsung berputar.
Ulang tahun" Naura ulang tahun" Benarkah"
"Wah" Jadi hari ini hari kelahiran neng Naura" Aduuh selamat ulang tahun ya, Neng. Semoga makin cantik, makin ramah, terus bahagia, dan... Dikasih momongan."
"Amiiin." Naura mengaminkan semua doa yang didedikasikan dari Pak Eko. Diusapnya kedua telapak tangan pada wajah.
Adrian menepuk jidat. Tahun ini dia lupa membuat kejutan untuk Naura. Padahal kemarin dia ingat, tapi mengapa pas hari H dia lupa"
"Ya udah Pak udah sore, saya pamit dulu."
"Iya Neng silakan. Bapak juga mau nyapu lagi."
Naura tersenyum sopan, lalu balik badan, berjalan sendiri tanpa mengajak Adrian yang masih mati kutu.
"Loh Mas" Mau tetep di sini?" tanya Pak Eko.
"Hah?" Adrian mengalihkan pandangan ke belakang, dilihatnya Naura yang sudah berjalan duluan. Perempuan itu! Apa dia marah"
"Eh saya lupa. Ya udah Pak, saya pulang dulu," pamit Adrian terburu-buru. Lalu lekas mengejar Naura yang sudah lumayan jauh dari jangkauannya. Pak Eko
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah lucu pasangan muda itu.
Adrian langsung menyejajarkan langkahnya dengan Naura.
"Kemarin kamu bilaang, 'besok ulang tahun kamu Naura'," kata Naura menyamakan nada suaranya seperti suara Adrian kemarin. "Tapi kok sekarang kayak yang
nggak inget gitu?" "Ya maaflah Naura, aku bener-bener lupa. Jangan ngambek, dong."
Mereka sampai di depan gerbang makam. Sepeda Naura masih terparkir manis di sini. Nyatanya Adrian dan Naura ke sini bukan menggunakan mobil, melainkan
dengan sepeda Naura. Adrian membonceng Naura menuju ke tempat ini. Tentu, itu adalah ide Naura, supaya saat di perjalanan, Adrian bisa merasakan sejuknya
angin, yang bisa melupakan kesedihan. Membuat hati tenteram.
Perjalanan yang mereka lakukan juga cukup menyenangkan. Diselingi percakapan dan tawaan ringan.
Karena sepeda Naura ini, Nessa yang tak sengaja lewat, langsung mengenali sepeda itu. Dari situ ia menyimpulkan sesuatu. Naura pasti masuk ke pemakaman.
Nessa membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil, ikut memasuki area pemakaman untuk memastikan cerita Brian kemarin.
"Siapa yang ngambek, sih" Aku bukan Naura yang duluu, Naura yang manja banget dan selalu ngeselin kamu. Naura yang sedikit ngeselin."
"Wah" Sedikit?"
"Hehehe... Tenang aja Ian, aku cuma bercanda," kata Naura manis. Menatap Adrian dengan ekor matanya yang cantik.
Adrian tersenyum, mencomot hidung pesek Naura, dan menariknya gemas. "Tapi nggak pa-pa, kok. Karena ngambek kamu itu bikin aku suka."
"Kamu nggak perlu ngasih kejutan apa-apa, kok. Kamu nggak inget sama ulang tahun aku juga nggak pa-pa. Nggak perlu khawatir. Karena kepergian kamu yang
dulu, bikin aku belajar dan tau apa artinya bersyukur. Keberadaan kamu adalah hal paling istimewa, hal yang paling indah dari apa pun. Dengan kamu ada
di sini pun, udah bikin aku bahagia dan ngerasa sempurna. Aku nggak mau minta yang lain. Kecualiii..." Naura menggantung kalimatnya, menimbulkan sebersit
tebakan. "Kecuali apaa?"
"Kamu yang ngasih sendiri." Naura berkata malu. Mengalihkan pandangannya ke samping sambil tersenyum-senyum.
Ujung bibir Adrian tertarik ke samping lagi. Melengkungkan senyum super jail. Begitu Naura melepaskan pandangannya, sekonyong-konyong Adrian menggendong
pinggabg Naura, memanggulnya seperti sekarung beras. Naura membelakkan mata kaget.
"Eeehh Ian! Ian lepasin! Aku mau dibawa ke mana" Itu sepedanya jangan ditinggalin gitu aja dong, nanti kalau ilang gimana" Aku nggak punya kendaraan lain.
Ian turunin akuu!!" Naura merajuk sambil memukul-mukul punggung Adrian dengan kepalan tangannya. "Turunin aku Ian, jangan malu-maluin. Aku udah gede nanti
disangka kamu mau nyulik aku. Nanti kamu dikeroyokin, nanti aku jadi janda lagi!"
"Emang mau nyulik kamu, kan." Adrian terus berjalan cepat entah berhenti di mana. Tubuh Naura yang mungil sama sekali tidak membebankan.
"Ke mana?" "Lebih milih kehilangan sepeda atau kehilangan aku?"
"Sepeda-lah. Masa bandingin kamu sama sepeda. Ya kali."
"Ya udah diem aja. Aku mau nyulik kamu ke dunia romantis."
"Romantis apanya, yang ada ini malah malu-maluin." Wajah Naura merah seperti kepiting rebus.
"Diem deeh mulutnya. Mau aku kunci pakek ciuman?"
"Eeeh ngomongnya Adrian Wijayaaa!!!"
"Diih inget nama panjang aku."
"Ya iyalah aku kan istri kamu."
"Ya kan kita udah ngejalanin LDR lama banget."
"LDR?"?" Naura melongo. Apa gara-gara kecelakaan itu otak Asdian berubah korslet"
Akhirnya mereka sampai di satu tujuan. Naura bisa bernapas lega. Adrian pun menurunkan Naura di atas kursi kayu. "Ya ampuun kamu ngajak aku ke sini sampai
harus dipanggul segala. Aku juga bisa jalan. Jadi ini tempat romantisnya" Romantis apa Ian" Biasa aja, kok."
"Tunggu... Stttt..."
Adrian membalikkan badan, berjalan untuk membeli sesuatu. Naura mengernyit, dan berujung senyum. Ia tersenyum menghirup angin yang asri. Di sore hari seperti
ini, Adrian memilih tempat yang cocok untuk bersantai. Sejuk dan nyaman. Di depan Naura, ada pemandangan manis.
Keluarga yang begitu harmonis. Pasangan yang telah dikaruniai anak laki-laki yang tampan, sedang bermain bola sepak bersama sang Ayah di atas rumput hijau,
sementara sang Ibu yang sedang berbadan dua memerhatikan sambil tersenyum, sesekali berteriak kepada suami dan anaknya agar mereka berhati-hati. Naura
membayangkan jika dia yang berada di posisi itu, pasti sangat menyenangkan.
Dulu, Naura hanya tahu rasanya ngidam, tanpa tahu rasanya melahirkan, menggendong bayi, menyusuinya, menina-bobokannya ketika ingin tidur. Kapan Tuhan
memberinya buah hati, lagi" Memercayainya untuk mengurus anak.
Adrian melambai-lambaikan es krim cokelat bermerk Cornetto di tangannya di depan Naura yang sedang asyik melamun. "Heeey Naura. Kamu kenapa?"
Naura terbangun dari lamunannya, lalu nengedip-ngedipkan mata. Adrian pun mengikuti arah pandang Naura, lalu menemukan satu keluarga kecil yang sedang
menikmati kebersamaan. Oooh jadi karena itu Naura termenung.
Adrian pun duduk di sebelah Naura, memberikan satu buah es krim cokelat. Adrian membeli dua es krim, yang satu untuk dirinya, yang satu lagi untuk Naura.
Untuk dimakan bersama. "Nggak suka ya aku ajak ke sini" Terlalu sederhana" Nggak seru" Nggak istimewa" Nggak luar biasa" Biasa" Terlalu mengecewakan" Terlalu bosen?" tanya Adrian
berturut-turut. Membuat Naura gemas sendiri. "Iih kamu ngomong apa sih. Aku kan udah bilang, asal ada kamu semuanya udah cukup."
"Tapi kok kayak yang nggak seneng gitu" Aku gagal kayaknya, nih. Aku gagal ngerayain ulang tahun kamu..."
Naura segera membuka bungkus es krim di tangannya, begitu terbuka, Naura lekas menyimpan ujung es krim itu di bibir Adrian supaya dia berhenti bicara dan
nanya-nanya aneh. "Stttt!!" Adrian memegang tangan Naura, dan mendorongnya. Lidahnya keluar, menjilat es krim yang barusan mendarat di bibir atas dan bawahnya. "Mau ngapain" So sweet-so
sweet-tan" Suap-suapan" Kali-kali jangan pakek ini laaah. Kurang manis."
"Ini tuh es krim cokelat, kurang manis apa coba."
"Manisan juga ciuman dari kamu."
Naura terperangah, membuka sedikit mulutnya. "Iiiih."
"Eh nggak pa-pa kan, kita itu udah sah, udah jadi suami istri."
"Ya liat kondisi dong Ian, ini tuh tempat umum."
"Emang aku minta ciuman itu sekarang?" Adrian mencondongkan kepala. Memajukan bibir bagian bawahnya. "Nanti kaliiii, ge'er banget kamu jadi cewek. Denger
ya, kalau kita masih pacaran, kamu pasti malu setengah mati. Tuh, sekarang aja wajahnya udah merah merona."
"Iiih nyebeliiiin." Naura mencubit pinggang Adrian kesal. "Aduh! Sakit Naura!"
"Biarin. Lagian, manisan juga wajah aku, wajah aku itu manis sampai kamu bikin kelepek-kelepek. Lagi amnesia aja masih tergila-gila. Bilang kalau kita
ini pasti saling kenal. Aduuh kamu sebegitu cintanya ya sama aku," ejek Naura. Dibalas pelototan remeh dari Adrian.
"Idih kamu percaya diri banget. Lebih baik akulah. Daripada kamu jaim-jaiman dan bisanya nimbulin teka-teki."
"Ya ya yaaaa..."
Adrian mengembuskan napas, mengalengkan tangan di bahu Naura intim, "Udah lama ya kita nggak gini. Bercanda-bercanda ginii, adu bicara, dan lain sebagainya."
Adrian menjilat es krimnya. Begitu pun dengan Naura yang meniknati es krim cokelat pemberian Adrian sembari tersenyum hangat. Ini adalah kebahagiaan sederhana
. Adrian menyimpan bibirnya di dekat telinga Naura.
"Sejelek-jeleknya tempat yang kita singgahin, asal bersama orang yang kita cintai, aku nggak peduli."
"Karena cuma kamu, alasan kebahagiaan itu," lanjut Naura pelan. Adrian mengecup rambut Naura yang harum, lalu membisikkan sesuatu lagi.
'Nanti malem, kamu harus jalanin kewajiban kamu sebagai seorang istri.'
Itu artinya, Adrian menagih kesepuluh anaknya. Naura memejamkan mata, seiring dengan langit yang berubah jingga. Matahari terbenam, meninggalkan peraduan.
*** "Brian..." Mata nanar Nessa menatap nisan bernamakan 'Adrian'. Tapi yang berada di dalam sana, bukan Adrian, melainkan kekasih hatinya, Brian.
Gadis itu tak mampu mengatakan apa-apa lagi. Hakikat menukiknya dengan begitu biadab. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa menerima ini, dia
juga berhak bahagia. Nessa lelah menjadi orang yang sabar. Letih menjadi orang yang tak berdaya.
Satu-satunya cara untuk bisa menghilangkan kepedihan adalah, dengan bisa memiliki saudara kembar Brian; Adrian. Hanya kepada wajah itu Nessa ingin bercinta.
Hanya kepada Adrian, Nessa bisa merasakan seperti berada di dekat Brian.
*** Bersambung... YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 28 - Terombang-ambing.
*** Setelah perseteruannya dengan Nessa, Naura berubah menjadi pendiam. Saat perjalanan pulang pun, tak ada sepatah kata pun yang Naura keluarkan. Padahal,
di sebelahnya, ada Adrian yang menyetir. Keduanya diam dengan lamunan masing-masing. Dilingkupi suasana hening tanpa suara berkepanjangan. Berbeda seratus
persen dengan hari kemarin yang dipenuhi canda dan tawa. Semuanya hilang.
Ponsel Naura bergetar, satu pesan masuk ke dalam kotak masuknya. Naura lekas menyentuh layar, membuka pesan, dan membaca isinya. Beberapa kali Adrian melirik
ke samping karena penasaran. Tapi ia tidak berani bertanya dalam keadaan canggung seperti ini. Adrian memilih terfokus pada ruas jalan.
Begitu sampai di rumah, Naura langsung turun dari mobil, berjalan masuk, tidak menunggu Adrian yang masih mengunci pintu mobil. Adrian menjangkau kepergian
Naura dengan berbagai hipotesis. Apa Naura masih memikirkan kata-kata Nessa yang tak patut untuk didengar"
Angga yang sedang menonton televis menyadari kedatangan Naura. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan, ditatapnya Naura yang berjalan tanpa ekspresi. Dia
pergi bersama Adrian, tapi mengapa pulang... Sendiri" Dengan keadaan redup"
Sosok Adrian pun muncul. Jarak langkah yang lumayan jauh. Mimik wajah Adrian sama dengan Naura, sama-sama menimbulkan kecurigaan. Apa mereka baru saja
bertengkar hingga menjadi saling diam" Biasanya kalau berjalan, mereka pasti beriringan, bergandengan tangan, atau saling merangkul mesra. Tapi sekarang"
Tak lama kemudian, Satria duduk di samping putra sulungnya. Dan saat itu pula sosok Adrian dan Naura telah menghilang dari pandangan Angga.
"Abis ngeliat apa, Ngga" Kok serius gitu?" tanya Satria penasaran. Karena wajah Angga sekarang, persis seperti orang yang sedang menonton sinetron pada
tahap klimaks. Penasaran, tegang, tak keruan.
"Emh itu Pah. Adrian sama Naura, mereka kok kayak yang lagi ada masalah gitu," jawab Angga santai. Padahal dia cemas. Mereka baru saja bersatu, tapi mengapa
hari ini auranya tiba-tiba berubah"
"Ya ampun Angga. Kok itu jadi beban pikiran kamu, sih" Namanya juga suami-istri, ya wajar kalau mereka punya masalah." Satria menepuk paha Angga. Dia memiliki
pengalaman banyak tentang romantika rumah tangga. Itu masalah yang lumrah.
"Tapi kan mereka itu nggak pernah kayak gitu..."
"Mentang-mentang kamu nggak pernah ngalamin jadi pasangan yang udah menikah, kamu jadi so tau begini." Satya terkekeh seraya menggeleng. Putranya ini terlalu
polos. "Yang namanya pasangan yang udah menikah itu, pasti dapet masalah. Mau seromantis apa pun itu, mau seharmonis apa pun itu, tetep aja, mereka pasti
punya masalah. Mereka pasti ngalamin waktu di mana keduanya ngutarain pendapat yang berbeda sampai menimbulkan pertengkaran. Contoh, kayak adik kamu. Kayak
apa yang kamu liat barusan. Mungkin aja Nauranya lagi PMS, atau Adrian yang lagi banyak pikiran. Hal yang biasa."
Angga mengangguk samar, pura-pura mengerti.
"Makannya, kamu kapan menikah Angga" Supaya nggak bingung liat pasangan berantem," gurau Satria lagi-lagi tertawa. Menanyai pertanyaan yang sering sekali
ditanyakan istrinya. "Dih, Papah ujung-ujungnya nyindir. Tenang aja, Pah. Nanti kalau udah ada jodohnya, Angga pasti nikah, kok."
Dan pastinya, setelah move on dari Naura.
"Kita diemin aja Naura sama Adrian kalau emang ada masalah, karena nanti mereka sendiri yang bakal ngelurusin masalahnya secara baik-baik. Nah, kalau masalah
mereka runyam, dan berbelit-belit, nggak beres-beres, baru, kita sebagai keluarga, turun tangan." Satria tersenyum. "Tapi Papa yakin, berantemnya mereka
nggak bakal sampai bikin mereka cerai. Naura cinta sama Adrian, Adrian pun sebaliknya. Dua-duanya punya kadar cinta yang sama-sama tinggi. Papa yakin,
pernikahan mereka itu bakalan awet sampai tua. Kalau sampai ada orang ketiga pun, Papa yakin mereka nggak bakal goyah."
Angga ikut tersenyum mengiyakan, meski tebersit rasa cemburu dan melayangnya kesempatan. Ucapan papanya ada benarnya juga. Adrian dan Naura tak akan pernah
terpisahkan lagi. Kembali lagi ke topik awal, sesungguhnya, Angga begitu penasaran dengan apa yang terjadi pada Naura. Tapi ia sadar, dia hanya seorang kakak iparnya, tak
lebih dan taj kurang. Mengapa ia masih menyimpan kecemasan berlebihan hanya karena cinta pada Naura yang kini telah kembali menjalin cinta dengan Adrian"
*** Naura yang baru selesai mandi, mengganti pakaian, mengeringkan rambut, duduk di atas sofa sembari merenung. Rambutnya yang wangi, menarik perhatian Adrian
untuk duduk di sebelahnya. Lelaki itu duduk di balik punggung istrinya yang membelakangi. Di tangannya, sudah ada satu gelang ikat berwarna biru muda.
Perlahan, Adrian menyentuh rambut kering Naura yang panjang, menghirupnya, dan mengikatnya secara pelan-pelan.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naura tidak memberikan tanggapan ataupun reaksi, dia tetap diam seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan, setelah Adrian meletakkan dagunya di bahu Naura,
melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Naura, perempuan itu tetap terjaga. Adrian hanya ingin melakukan itu, mulutnya dibiarkan terkatup, tanpa
ingin bertanya karena tak mau mengganggu Naura yang enggan bicara. Tapi pelukan Adrian, semakin erat seiring dengan berjalannya waktu. Tanpa ada interaksi
apa-apa. Dan sebenarnya, Naura pun nyaman dengan posisinya. Rasanya, ingin selalu seperti ini sampai menjelang esok hari. Pelukan Adrian menghangatkan badan, menenteramkan
sanubari, menenangkan penat. Embusan napas teratur milik Adrian, terdengar terus menerus di telinga Naura. Nyaris seperti lantunan lagu tak bersyair. Naura
tahu, Adrian sedang mengajaknya untuk bercinta. Mungkin, untuk melenyapkan segala kejadian buruk yang terjadi pada hari ini. Keduanya benar-benar menikmati
keintiman ini. Dan hanya waktulah yang bisa menjawab kapan posisi ini lepas.
Sampai akhirnya, Naura mau berbalik. Kepala tertunduk, tak mampu melihat mata Adrian. Tanpa mengeluarkan ucapan, Adrian menangkup pipi Naura, meyakinkan
dia kalau di masa yang akan datang, semuanya akan baik-baik saja. Sedikit demi sedikit Naura mau mengangkat kepala, dengan mata berbinar. Kata-kata Nessa
yang menyakiti hatinya tentang Adrian yang akan mati jika Nessa tidak menyelamatkannya masih menggema jelas di telinga.
Adrian mendaratkan bibirnya di bibir Naura, menciumnya lembut. Naura tidak bisa menolak, membuka lebar kesempatan jika Adrian ingin sekali melakukan ini
dengan keadaan dia yang masih ragu; apakah dia berhak memiliki Adrian atau tidak. Untuk sekarang, Naura ingin memanjakan Adrian, melayaninya dengan membalas
ciuman indah ini. Adrian membenamkan lidahnya pada ruang mulut Naura, mata Naura terpejam, membiarkan Adrian menguasainya dalam manisnya ciuman malam.
Ciuman ini mampu melupakan beban untuk sementara. Meningkatkan hasrat untuk tetap bersama.
Dua jam berlalu, Naura dan Adrian sudah berpindah tempat. Adrian sudah tertidur, posisi mereka saling berhadapan. Sementara Naura belum bisa menutup mata,
matanya terus memandang tidur Adrian yang pulas dan terjaga. Naura menyentuh pipi Adrian halus, tapi tak berlangsung lama, Naura memilih untuk berbalik,
membelakangi Adrian. Menjadikan punggung tangannya sebagai penyangga pipi. Akankah selamanya akan seperti ini" Akankah selamanya akan tidur di sebelah
Adrian" Akankah Naura memiliki Adrian untuk berpuluh-puluh tahun yang akan datang" Akankah semuanya berjalan lancar sesuai asa"
Naura mengucek-ngucek matanya yang sulit diajak kompromi. Dis tak kunjung menutup. Tenggorokannya tiba-tiba kering, ia merasa haus. Naura bangun dari rebahahan,
duduk di tepian ranjang dengan kaki menjuntai ke bawah. Sepertinya, ia membutuhkan air. Matanya melirik ke atas nakas, ada satu gelas, tapi tak berisi.
Naura sedikit mendesah, meraih gelas kosong itu, dan membawanya ke luar kamar.
Naura menutup kembali pintu.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, yang pasti semua anggota rumah ini sudah masuk ke alam mimpi masing-masing. Di dapur, Naura mencicikan air dari teko
ke dalam gelas. Namun, belum sempat meminumnya, Naura merasakan sesuatu yang tidak beres, seseorang datang tepat di belakang. Menghadirkan aura tak enak.
Cepat ia berbalik, ada Angga yang sudah berdiri, membuat perempuan itu sedikit terperanjat.
"Belum tidur?" "Kak Angga... Nga... Ngapain di sini?" tanya Naura mencoba rileks. Tidak mengacuhkan pertanyaan Angga.
"Emang nggak boleh" Kakak haus makannya ke sini. Eh, kebetulan ada kamu."
"Kakak haus" Ya udah biar aku yang ambilin." Naura berusaha menghindari tatapan Angga yang terasa tidak nyaman. Tapi Angga menahan Naura dengan mencekal
tangannya. Naura lekas menapisnya. Sentuhan itu menyebabkan kesemutan.
"Kamu lagi ada masalah apa sama Adrian" Tadi kakak liat kalian kayak habis berantem. Emang ada apa?"
"Maksud kakak apa?"
"Kakak cuma pengin pastiin kalau kamu baik-baik aja."
"Nggak ada apa-apa, kok," kilah Naura tertutup.
"Jangan bohong."
"Kakak nggak berhak tanya-tanya soal itu. Aku sama Adrian baik-baik aja. Kita nggak berantem," kata Naura bersikukuh. Nada suaranya seperti sedah menahan
marah sekaligus kesal. Malas berada dalam situasi ini.
"Kakak kenal kamu Naura," desak Angga.
"Terus kalau aku emang lagi berantem sama Adrian apa yang bakal kakak lakuin" Kakak bisa bantu" Aku harap, kakak udah nemuin perempuan lain. Aku harap,
kakak udah nggak naruh rasa itu..."
"Nggak..." "Aku harap aku bener."
"Kakak masih cinta kok sama kamu," sela Angga cepat.
Bola mata Naura membulat. Bukan pernyataan itu yang ingin Naura dengar. Kerongkongannya tercekat.
"Tapi kamu tenang aja, kamu nggak usah takut, kakak nggak bakal coba rebut kamu dari Adrian, kok. Kakak nggak mungkin ngelakuin itu Naura. Tapi, apa salah
kakak ngekhawatirin kamu sebagai seorang kakak ipar" Apa kamu ngerasa keganggu" Kakak udah berusaha buat ilangin rasa yang nggak pantes kakak milikin ini,
tapi rasanya susah Naura. Jujur, ini berat buat kakak. Kamu ngerti, kan?"
Naura merasa dirinya terjerat masalah besar. Dia tidak tega menyakiti perasaan Angga sampai sejauh ini.
"Tolong kasih tau caranya supaya kakak bisa ngelupain kamu sebelum Adrian tau soal ini. Kakak nggak mau dia salah paham. Tolong kasih tau kakak caranya
Naura, kakak mohon."
"Cintain perempuan lain."
"Kakak udah coba lakuin itu, tapi kakak bener-bener nggak bisa ngebohongin perasaan kakak sendiri. Kakak nggak mau cintain perempuan cuma untuk dijadikan
pelampiasan dan pelarian dari cinta yang gagal."
"Terus gimana, kak" Aku juga bingung." Naura kehilangan akal. Mengapa semuanya menjadi pelik seperti ini" Ia menggigit bibir bawah bagian dalamnya.
"Kenapa takdir permainin kakak kayak gini Naura" Tuhan udah bikin seolah-olah Adrian ninggalin kamu, terus nyebabin kakak jatuh cinta sama kamu karena
hampir setiap hari, kakak selalu nemenin kamu supaya kamu lupain kesedihan kamu. Saat itu kakak punya kesempatan buat milikin kamu, tapi, begitu kakak
udah telanjur jatuh lebih dalam, punya angan, takdir tiba-tiba jatuhin harapan kakak. Dengan bikin Adrian kembali." Angga berkata frustrasi.
"Kakak nggak bahagia adik kakak kembali?" tanya Naura lirih. "Kakak nggak seneng?"
"Jangan mikir gitu Naura. Kakak seneng banget, kakak seneng Adrian ternyata masih hidup. Kakak seneng Adrian bisa bikin kamu ceria lagi seperti semula.
Kakak seneng, dengan kembalinya Adrian, bisa bikin kamu bahagia lagi. Jadi Naura yang selalu semangat dan tersenyum. Jauh dari air mata dan rasa sedih.
Kakak seneng, liat orang yang kakak cintai dan sayangi, bisa hidup lagi, seperti bunga yang kembali bermekaran di musim semi. Kakak seneng, wajah kamu
sumeringah setiap kali kakak intip dari jauh. Kakak rela terluka, demi kamu dan Adrian. Kakak nggak mungkin ngerusak semuanya cuma karena cinta yang cuma
jadi titik kecil di hidup kamu." Angga berupaya menyembunyikan rasa sesaknya. "Cukup bisa bahagiain kamu di saat Adrian nggak ada itu udah cukup. Dan emang
cuma itu tugas kakak. Kakak nggak berhak cinta sama kamu."
Mata Naura berkaca-kaca mendengar penuturan penuh ketulusan yang disampaikan Angga. Entah kenapa, hatinya serasa ditusuk jarum-jarum. Menyebabkan rasa
bersalah. Naura sadar, selama ini dia sudah menyakiti Angga secara halus. Selama ini dia selalu mengabaikna perasaannya. Padahal Angga telah begitu baik
dan sabar. "Tapi hari ini, kakak nggak liat wajah ceria kamu. Apa kakak salah tanya tentang hal itu" Kakak yakin, Adrian nggak mungkin nyakitin kamu. Tapi, kalau
emang kamu nggak mau cerita, nggak pa-pa Naura. Kakak emang nggak berhak buat ikut campur. Sama sekali nggak berhak."
Naura bergeming dengan rahang mengeras. Gerahamnya mengetat. Mendengar Angga merendahkan diri, Naura seakan merasa dirinya kejam.
"Kakak harap, semoga kamu terus bahagia sama Adrian. Semoga kalian bisa terus sama-sama. Nggak akan pernah ada yang pisahin lagi. Kamu jangan pernah inget
tentang perasaan kakak, anggap aja kakak nggak pernah bilang apa-apa."
Air mata Naura lolos meluncur membasahi pipinya. Mengartikan penyesalan yang tiba-tiba datang setelah sekian lama tak peka. Angga menepuk bahu Naura sejenak,
lalu memutar balik badannya. Berjalan meninggalkan Naura yang terus menggulirkan cairan bening nan hangat. Lantas, Naura meremas dadanya yang pengap kehilangan
oksigen, lututnya ikut melemas akibat rasa bersalah yang menyelusup kian dalam sampai ke akar-akarnya. Perempuan yang dilanda kebuncahan itu berjongkok,
terisak dalam keheningan. Bagaimana bisa gadis seperti dia menyakiti lelaki yang telah begitu baik" Naura merasa dirinya perempuan tak berperasaan, perempuan
yang tidak mempunyai hati. Begitu egois mementingkan diri sendiri.
Teringat, dia sudah beberapa kali menyakiti Angga tanpa sadar. Saat beberapa kali menolak cintanya, tak acuh pada perasaannya yang begitu mendambakan cinta,
pasti membuat Angga terluka. Dia Jika dirinya punya hati nurani, pastilah dia akan berusaha membalas cinta Angga sejak awal lelaki itu menyatakan perasaannya.
Tapi sekarang, Adrian telah kembali. Naura tak mungkin meninggalkan Adrian untuk Angga. Naura tak mampu menyakiti keduanya.
Kebahagiaannya ternyata telah menyakiti banyak pihak.
Naura menyungkup wajahnya yang basah. Bersedu-sedan tanpa diketahui orang-orang.
'Saya nggak bisa hidup tanpa Brian. Karena dari kecil, cuma Brian yang ngisi hidup saya. Gimana mungkin sekarang saya ngejalanin hidup tanpa dia" Ngertiin
posisi saya Naura. Meskipun saya masih punya seorang Ayah, saya masih ngerasa hidup sebatang kara. Dia sibuk sama kerjaannya. Cuma Adrian satu-satunya
orang yang bisa bikin saya ngerasa Brian bener-bener ada di deket saya. Tolong kamu pikirkan lagi Naura. Sekarang Adrian masih hidup itu berkat saya. Saya
yang udah berusaha bikin dia bertahan, saya yang udah rawat dia setelah kecelakaan itu. Saya yang udah bikin Adrian pulih. Sebagai ucapan terima kasih,
tolong lepasin Adrian. Saya janji bakal bikin dia bahagia dan ngelupain kamu. Saya akan jamin kebahagiaan Adrian. Saya tau kamu orang baik, kamu nggak
mungkin egois.' Itulah isi pesan yang Naura dapat sewaktu sedang berada dalam perjalanan pulang. Yang langsung membuat ia bungkam tanpa kata. Sulit berpikir jernih. Mendiami
Adrian. Terasa diporak-porandakan garis hidup. Terkimbang-kimbang tak menentu.
Naura naik ke atas ranjang hingga kasur melesak, posisi tidur Adrian sudah berbalik, tidak menghadap ke arahnya lagi. Naura menidurkan tubuhnya, merapatkan
jarak hingga tak bersisa, tubuhnya menempel dengan punggung Adrian. Naura memeluk Adrian, menenggelamkan kepala di punggung Adrian, meneteskan air mata,
membasahi seprai dan baju Adrian. Naura memeluk erat pria yang sangat ia cintai ini, sama seperti pelukan yang diberikan Adrian sebelumnya. Naura merasa
sendirian. Tanpa sepengetahuan Naura sendiri, Adrian membuka mata, mendengar isakan kecil Naura, dan pelukannya yang kencang.
*** Bersambung... YOUR EYES. By; Jaisii Quwatul. Chapter 29 - Pernyataan Kontradiktif.
*** Secercah sinar matahari menerobos ventilasi, menyilaukan mata Adrian yang baru saja terusik. Tangannya meraba-raba permukaan kasur lunak sebelah tempat
tidurnya. Berharap ada tubuh yang bisa ia sentuh untuk dibawa ke dalam pelukan. Tapi tempat itu kosong, hampa dilingkup angin. Cepat-cepat Adrian membuka
mata, pandangannya berangsur jelas. Di sebelahnya, tak ada sosok Naura yang dua hari ini selalu menemaninya tidur. Ke mana perginya dia" Biasanya ketika
Adrian terbangun, Naura pasti masih ada. Adrian segera beringsut, menyibakkan selimut, dan turun dari ranjang.
Kakinya melenggang menuju toilet. Meraih pegangan pintu, dan membukanya secara mulus. Kosong. Naura tak ada di dalam, hanya terdengar suara sisa-sisa rintik
air dari shower . Harum semerbak sabun dan sampo bergesekan merasuki indera penciuman Adrian. Pastilah, toilet ini baru saja dipakai mandi oleh Naura.
Itu artinya, Naura baru saja pergi.
Adrian berbalik, mengelih seluruh penjuru kamar berharap menemukan petunjuk. Mulai dihujani terkaan-terkaan menakutkan. Merasa ada yang tidak beres.
Suara deringan telepon bertalun nyaring, Adrian melirikkan mata pada asal suara. Ponselnya yang tergeletak di atas nakas menyala. Adrian melangkah, mendekati
nakas, meraih ponsel yang masih setia berbunyi itu.
'Naura Calling' Tanpa menunggu lagi, Adrian langsung menggeser tombol hijau. Diletakkannya ponsel di dekat telinga.
"Hallo Adrian..."
"Kamu di mana, Na" Aku bangun kok kamu udah nggak ada" Terus ini, kenapa nelepon" Kamu nggak sayang sama pulsa hp kamu" Pakek acara telepon segala. Emang
kamu lagi ada di mana" Kamu ada di dapur" Oke sekarang aku nyusul kamu ke sana."
"Aku ada di taman yang waktu kemarin-kemarin kita kunjungin. Kamu mau kan dateng ke sini" Udara paginya seger. Tolong temenin aku Ian, sebentar aja."
"Taman?" kening Adrian berkerut.
"Iya. Aku suka taman ini. Kamu cepetan ke sini ya. Pliis." Terdengar embusan napas sehabis Naura menghirup udara sejuk di sekitarnya.
Adrian bisa menangkap sinyal berbeda. Nada suara Naura terdengar tak biasa. Lelaki itu tercenung lama, sampai akhirnya Naura kembali menyahut di seberang
sana. "Ian"!" "Hm iya-iya. Sebentar lagi aku nyampe." Adrian lekas mematikan sambungan telepon secara sepihak. Melempar ponsel hitamnya ke atas kasur. Berlari ke kamar
mandi sembari menyambar handuk.
*** Naura duduk kursi kayu, kursi sehari yang lalu ia tempati dengan Adrian. Kursi yang sama di tempat yang sama. Di sini, ia mengenang semua kebersamaannya
bersama Adrian. Sudah lumayan lama sekali. Sembari mengamati orang-orang yang bermain ria, joging, dan nongkrong. Ada yang bermain bad minton, bola sepak,
dan lain-lain. Nostalgia Naura terus berlangsung, mulai dari pertemuan pertama, saling memiliki, perpisahan, pertemuan lagi, dan berbahagia bersama. Pelukan, kecupan,
canda tawa, air mata. Tuhan seolah memberi kesempatan kedua. Semua memori manis terpola artistik. Dan yang paling baru, dua hari yang lalu, tatkala Adrian
menggenggam tangannya ketika matahari terbenam. Kepala Naura bersandar manja di dada Adrian. Posisi manis itu terjadi setelah Adrian membisikkan satu keinginan.
Jika saja waktu bisa terulang, Naura akan meminta sesuatu pada Tuhan, untuk menghentikan waktu. Hingga tak perlu melewati fase goresan luka yang akan segera
terjadi. Naura berusaha menahan air mata yang mendera ingin keluar. Tak ada gunanya ia menangis. Jika kebahagiaannya menyakiti pihak lain, Naura rela mundur. Berpindah
tempat demi orang lain. Ia capai terus disalahkan dalam segala hal. Dulu, ketika Adrian dinyatakan meninggal, dialah pelaku utama atas kematian putra kesayangan
mama Belinda. Dan sekarang, seseorang menuduhnya sebagai perempuan egois. Tunggu. Bukan tuduhan, tapi pantas dibilang sebagai kebenaran.
Sosok Adrian muncul di ujung taman, lelaki itu menyunggingkan senyum sembari terus berjalan mendekat. Pendar mentari menyinarkan wajah tampan dan manisnya,
semakin terlihat menawan. Sepatu hitam membungkus kakinya, kaus abu dan jaket warna hijau . Naura berdiri seraya memerhatikan tiap langkah yang diambil
Adrian. Apa ia mampu melepaskan persona rupawan ini" Apa Naura sanggup... Untuk menyakitinya, mungkin" Sampai pada penghujung langkah, Adrian tiba di depan
Naura. Mereka bersipandang penuh makna laksana dua manusia yang dipertemukan lagi pada dimensi berbeda.
Keduanya tersenyum-senyum tanpa sebab, persis seperti pasangan yang baru saja menjalin asmara di bangku SMA. Malu-malu kucing, mungkin, manifestasi dari
peristiwa kemarin. Adrian senang, hari ini Naura memberinya kejutan berupa senyum manis setelah sebelumnya istri tercantiknya itu mendiami sepanjang malam.
Ketakutannya hilang dalam sekelebat. Senyum Naura menghipnotis, membuatnya terperosok pada dunia surgawi. Menyejukkan, nan menenangkan.
"Kamu udah mandi?" tanya Naura langsung tanpa prolog. Dibalas anggukan oleh Adrian. "Udah makan?" Namun kali ini dibalas gelengan. Naura menarik napas
lumayan panjang, menghirup udara pagi yang mulai cerah. Orang-orang yang berpakaian training mulai tak terlihat lagi.
"Kenapa nggak sarapan dulu ajaa?"
"Supaya cepet sampai Naura. Kan kamu yang nyuruh aku dateng cepet ke sini," jawab Adrian seadanya. Sesemangat itukah dia"
"Tapi aku nggak larang sarapan juga, kan?"
Adrian mengalah dengan tidak menjawab pertanyaan Naura yang tak perlu dijawab.
"Ya udah. Dalam rangka apa kita ke sini" Kamu mau ngajak jalan-jalan, ya" Atau kamu mau berduaan sama aku?" goda Adrian lalu terkekeh gemas.
"Ada satu hal yang pengin aku bicarain." Naura berubah serius.
"Tentang?" "Tentang kita."
"Harus di sini?"
"Iya." "Yaah Naura. Di atas kasur juga bisa kali," canda Adrian. Tapi reaksi Naura sungguh biasa saja. Tidak tersenyum, tertawa, apalagi menanggapi gurauannya.
Matanya tertuju intens kepada Adrian. Membuat Adrian salah tingkah dan bertanya-tanya. Tatapan itu nyaris menyerupai polisi yang sedang mengintrogerasi
tersangka. Hari ini Naura benar-benar aneh. Apa ada kelidan dengan kejadian kemarin malam" Lantas, apa arti senyuman yang barusan Naura pamerkan" Apa itu hanya kamuflase"
"Ini penting banget. Dan kamu harus dengerin permintaan aku. Aku serius."
"Oke-oke." "Kamu cinta sama aku Ian" Seberapa besar cinta kamu untuk aku" Kamu semangat aku ajak ke sini" Secinta apa kamu sama istri kamu ini" Apa setelah kita berpisah,
kadar cinta kamu masih sama" Apa berkurang?"
"Kamu nanyain pertanyaan yang jawabannya pun kamu udah tau. Jadi apa perlu aku jawab" Kamu ragu?"
"Kalau begitu, kamu harus bisa nurutin kemauan aku. Tunjukin cinta itu sekarang, aku nggak butuh sekadar bicara."
"Kamu mau apa" Sebutin aja. Pasti aku turutin." Adrian yakin, Naura tak mungkin meminta yang macam-macam. Dia bukan tipikal perempuan tukang hura-hura
di mall. Bukan pula perempuan sosialita penggila arisan. Dia begitu sederhana apa adanya. Berwajah cantik berhati lembut.
"Aku mau kamu ceraikan aku sekarang juga Ian."
Tidakkah ada kalimat lain selain itu" Daripada mendengar ucapan konyol itu, Adrian memilih mendengar Naura menginginkan perhiasan emas.
Adrian tersenyum dengan mata mengerut. "Kamu bilang apa?" tanyanya seolah merendahkan.
"Ceraikan aku."
Tawa Adrian masih bersisa. "Sekarang bukan waktunya buat bercanda Naura. Lagian, candaan kamu itu nggak akan mempan. Udahlah, sekarang mending kita pulang,
kamu bikinin aku sarapan." Adrian hendak merangkul Naura, tapi perempuan itu menghindar dengan spontan. Lekukan lengan Adrian menggantung di udara. Tercenung
kentara. Mulutnya sedikit terbuka, terlihat seperti orang linglung, bengong.
"Siapa yang bercanda, sih?"
Adrian menurunkan tangannya lagi, masih memandang Naura tak paham.
"Aku serius, ceraikan aku sekarang juga." Naura mengulangi kalimat yang sama. Kalimat yang terdengar jenaka di telinga Adrian.
"Kamu bicara apa, sih?"
"Aku mau kita cerai. Itu yang aku bicarain. Udah jelas kan Adrian Wijaya?"
Adrian terpaku, masih mengamati Naura dengan beribu pertanyaan. Menyelami mimik Naura yang tak terbaca. Setengah percaya setengah tidak. Begitu samar.
"Adrian kamu denger aku nggak, sih?"
"Ucapan kamu ini..., sama sekali nggak cocok buat dijadiin lelucon. Ayo sekarang kita pulang. Bercanda kamu udah kelewatan, aku nggak bisa ladenin."
"Siapa yang bercanda aku serius!" Naura berusaha menegaskan supaya Adrian percaya dan mau mendengarnya lebih lama. Adrian sempat merangkulnya lagi, tapi
nihil, Naura menolak untuk yang kedua kalinya. "Aku serius Adrian. Buat apa aku bercanda" Nggak ada untungnya juga."
"Nggak ada untungnya menurut kamu?" tanya Adrian pelan. Perlahan Adrian mengerti. Naura memang nyata mengajak cerai.
Naura memejamkan mata, melempar pandangan ke arah lain. Tak mampu bersitatap dengan kelopak mata milik Adrian. Ia tak kuat. Karena setelah ini, ia akan
segera mematahkan hatinya.
"Menurut aku kalau kamu emang bercanda, itu ada untungnya. Itu artinya aku masih punya harapan, tetap jadi suami kamu. Harapan kalau kita nggak akan pernah
cerai." "Dan aku nggak lagi bercanda."
"Kamu nggak bisa permainin pernikahan. Kamu nggak bisa minta cerai gitu aja. Kamu pikir" Pernikahan kita ini lelucon" Kamu pikir, janji yang udah pernah
kita ucapin itu nggak berarti apa-apa" Kamu jangan bodoh Naura. Jangan anggap remeh sebuah pernikahan. Apalagi, aku dan kamu sama sekali nggak punya masalah
apa-apa." "Nggak ada masalah apa-apa?"
Adrian sedikit mengangguk.
"Percuma kita terus jalanin ini kalau di sana, ada orang lain yang terluka karena kita." Naura mengemukakan keluh.
"Peduli setan sama orang lain Na. Kamu itu jadi orang jangan gampang kehasut, jangan gampang lepas kebahagiaan kamu demi orang lain."
"Karena aku lebih baik terluka daripada aku harus ngelukain orang lain."
"Kamu egois." "Aku egois" Apa pantes kamu bilang aku egois" Ini untuk kebaikan kita semua. Aku rasa, kamu udah salah bilang aku egois Adrian," bela Naura.
"Kamu mentingin orang lain tanpa bisa mentingin perasaan aku. Bukan cuma perasaan kamu yang dikorbanin, tapi aku juga..." mata Adrian menajam dengan aksen
suara ditekan. "Siapa yang kamu sakitin" Nessa?"
Naura terdiam kutu. "Apa cuma Nessa" Nggak ada orang lain?" desak Adrian penasaran.
Naura menggigit bibir bagian bawahnya gelisah dan buncah. Ada orang lain lagi, yaitu Angga. Namun bibirnya tak mampu mengutarakan. Tertinggal di otak.
Terbelenggu oleh ketakutan dan ketidakberanian.
Adrian menganggukkan kepala mengerti. Memandang wajah ambigu Naura penuh selidik. "Oke kalau itu yang kamu mau." Adrian langsung memutuskan tanpa meminta
alasan logis. Mata Naura mengerjap. Adrian setuju begitu saja" Semudah itu"
"Oke, aku akan urus perceraian kita."
Kalimat mengerikan itu tercetus lagi di bibir Adrian, menimbulkan ngilu di telinga dan hati Naura. Kedua tangan perempuan itu mengepal dan basah, menahan
emosi dengan sedemikian rupa. Seharusnya ia senang, karena memang ini kan yang ia mau" Tapi mengapa begitu kontra dengan hati"
Harus rela berpisah, meski harus terluka. Begitulah mereka.
"Aku nggak bisa maksa kamu, kok. Sama seperti apa yang kamu bilang, kalau aku emang cinta, aku harus turutin kemauan kamu. Meski itu hal yang bisa nyakitin
aku. Nggak pa-pa Naura. Dan nggak usah khawatir, secepatnya aku bakal cerain kamu. Otomatis, kisah kita berakhir sampai di sini."
Naura tidak setuju! Jelas ia tidak setuju! Tapi... Inilah yang harus terjadi. Setelah semua perjalanan cinta yang penuh lika-liku harus berakhir sampai
di sini" Sangat disayangkan.
"Iya," jawab Naura tak ada gairah. Singkat, padat, dan jelas.
Adrian menganggukkan kepala lagi, tidak mengacuhkan air mata yang jatuh di pipi Naura. Tak ada inisiatif untuk menghapusnya. Tampak Naura sedang berupaya
menyeka air matanya. Kedua bibirnya merapat ketat. Rahangnya dan dagunya berkedut. Jika saja kekuatannya dicabut, tangisnya akan meledak.
Kenangan cinta Naura dan Adrian terlalu indah untuk diakhiri. Tapi Naura harus memutuskan ini, tak peduli nantinya dialah yang terluka. Mereka harus berpisah.
Taman ini adalah saksi berakhirnya cinta Adrian pada Naura.
Adrian memutar badan, melangkah pergi meninggalkan Naura yang jatuh terduduk di kursi. Pandangan datar, air mata merebak. Sekujur tubuh lemas tak berfungsi.
Desiran darah berhenti mengalir.
*** Memasuki halaman rumah, Adrian langsung dihadapi Angga ---orang yang memang ingin Adrian temui, tepat sekali----yang baru keluar dari rumah dengan pakaian
kantornya Langkah Angga terhenti ketika Adrian muncul, mendekat, dan berhenti tepat di hadapannya dengan sorot mata tajam. Persis seperti singa yang siap
meletupkan amuk. Tubuh Angga menciut, tatapan Adrian sungguh membunuhnya. Adik-kakak itu bersemuka dengan tatapan saling bertolak-belakang.
"Tolong jawab jujur sama gue, lo cinta sama Naura?"
Angga terkejut dalam diam. Kakinya tiba-tiba gemetar. Mulutnya terkunci rekat. Pertanyaan yang dilontarkan Adrian bak bencana yang datang di luar prediksi.
Tiba-tiba begitu saja. "Lo cinta sama dia kan, Bang?" tanya Adrian lagi. Masih bisa meredam emosi yang dibiarkan bercokol dalam hati.
Angga belum mampu menguarkan jawaban. Apa-apaan ini" Mengapa Adrian bisa tahu tentang rahasia besar ini" Hanya dia dan Naura yang tahu. Apa jangan-jangan
Naura" Tapi... Ah tidak mungkin.
Adrian tersenyum getir. "Kenapa" Lo kaget kenapa gue tau kalau lo sebenernya cinta sama Naura?"
"Maksud lo..." "Dari awal gue emang udah curiga. Lo sama Naura itu punya hubungan lebih dari sekadar kakak-adik ipar." Adrian melepaskan pandangannya dari wajah tegang
Angga. "Dari awal Naura cerita tentang kebaikan lo yang udah sayangin dia lebih dari apa pun. Sejak pertama kali gue injek rumah ini lagi, dan lo bener-bener
kaget sampai nggak bisa ngomong apa-apa."
Memang, saat itu Adrian curiga, karena Angga dan Naura begitu terlihat canggung. Tapi ia berusaha tak menghalau gerak-gerik aneh mereka. Berbagai kemungkinan
buruk mungkin sempat merasuki otaknya. Tapi Adrian tak mau menaruh rasa curiga berlebihan kakak dan istrinya sendiri. Karena mereka tak mungkin mengkhianatinya.
Angga menarik napas dalam-dalam. Masalah kian rumit. Hal yang paling ditakuti kini terjadi juga.
"Lo nggak perlu ngelak, Bang. Gue udah tau kok kalau lo itu cinta sama Naura."
"Sori, gue bener-bener nggak ngerti..." Angga masih berusaha berargumen. "Mana mungkin gue cinta sama istri dari ade gue sendiri?"
Tapi tiba-tiba, Adrian menarik kerah baju Angga, lalu mendorongnya sampai punggung Angga hingga menempel di permukaan dinding, kepalanya sedikit tengadah,
kakaknya itu pria yang sangat tinggi. Adrian menatap Angga berkilat-kilat.
"Jangan bohong sama gue. Sekarang lo jujur, lo cinta kan sama Naura?" Adrian mendesak, masih dengan pertanyaan yang sama. Sebelum Angga mengaku, Adrian
akan tetap memaksa. Tenggorokan Angga tercekat, lehernya serasa dicekik.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jawab, Bang!" "Gue..." "Jawab." "I... Iya... Gue emang sempet cinta sama Naura..."
"Sampai sekarang pun masih, kan?"
"Gue nggak mungkin cinta sama dia. Cinta Naura itu cuma buat elo Adrian. Gue..."
"Ya udah. Cintain dia aja sesuka hati lo. Karena hari ini, gue baru aja cerain dia..." Cengkeraman kerah di baju Angga melonggar. Angga bisa sedikit bernapas
normal. Tapi, perkataan Adrian barusan begitu mencengangkan. Menceraikan" Kernyitan bingung tercetak di keningnya. Respons Adrian sungguh diluar dugaan.
Apa" "Lo bisa milikin dia, karena sekarang Naura bukan milik siapa-siapa lagi. Gue percaya kok, cuma lo yang bisa bahagiain Naura. Lo cintain dia, lo bahagian
dia, sama seperti saat gue nggak ada di sini selama setahun. Kalau lo sampai nyakitin dia, gue nggak akan segan-segan buat bunuh lo pakek tangan gue sendiri.
Persetan kalau lo kakak gue sendiri."
Belum sempat Angga mengeluarkan pendapat, lagi-lagi mulut itu harus kembali menutup.
"Apa" Cerain Naura?" Belinda yang tak sengaja menguping, melangkah keluar, memandang kedua putranya bergantian. Angga belum memercayainya, Adrian diam
seribu bahasa. Memandang lantai gamang. Bersembunyi di balik topeng ketenangan.
"Kamu serius Adrian?" ulang Belinda lagi. Wajahnya mengisyaratkan kekagetan luar biasa. "Kenapa" Ada apa" Why?"
"Bukannya ini yang Mama mau, kan" Bukannya dari dulu Mama nggak suka kan sama pernikahan aku" Sejak awal, Mama emang nggak pernah setuju aku nikah sama
Naura. Dan sekarang, aku udah ngelepasin Naura. Mama puas?"
Mulut Belinda menganga gagu, gelagapan tak menentu. Bagaimana bisa anaknya bicara kasar seperti itu" Ditambah lagi, Adrian tidak mungkin melakukan hal
mustahil itu. Dia begitu mencintai Naura.
Tanpa menjelaskan apa-apa lagi, Adrian ngeloyor. Pergi meninggalkan Angga dan Belinda yang terlampau kaget, terseret pada arus kebingungan. Dua-duanya
tidak bisa berkutik. Adrian telah melakukan hal konyol.
Adrian berjalan keluar dari halaman, tanpa menengok untuk sekali saja. Sampai punggungnya yang naik turun menghilang dari jangkauan.
Tak ada yang tahu, bahwa Adrian baru saja meneteskan air mata.
*** Bersambung... YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 30 - Aku Mencintainya.
*** Langkah kakinya pelan, menyusuri jalan yang entah akan berujung di mana. Pandangannya datar. Naura harap, keputusan yang ia buat itu benar. Semua orang
akan bahagia. Kali ini Naura akan mundur. Mungkin, Adrian bukan jodohnya. Naura serahkan semuanya kepada Tuhan.
Di tempat lain, Adrian juga berjalan tiada ujung. Jujur, kemarin malam, dia melihat dan mendengar percakapan Angga dan Naura. Rasanya sangat sakit.
Angga adalah orang yang selama ini menemani Naura, menyayangi, mencintai, dan membahagiakannya. Bagaimana bisa Adrian merebut cinta Angga" Adrian sadar,
selama ini dia belum pernah bisa membuat kakaknya bahahagia. Mungkin dengan ini, ia bisa memberikan hal istimewa kepada kakak satu-satunya. Adrian tak
mampu menyakiti dia. Bagaimana pun, Angga telah banyak berbuat baik pada Naura selama ia pergi gara-gara amnesia sialan dulu. Di samping itu, Adrian pernah
berjanji akan melepaskan Naura pada orang yang selalu membuat dia tersenyum dan merasa dicintai. Dia tak mungkin serakah.
Sebuah mobil berhenti di sebelah Naura, terlalu lama melamun, perempuan itu sama sekali tidak menyadarinya. Angga segera keluar dari mobil, menutup pintu
mobil dengan sekali hentakan tangan, mengejar Naura, dan menggapai tangannya.
"Naura..." cegahnya mencoba menormalkan pernapasan.
Naura berhenti melangkah, tanpa menoleh ke belakang. Malas untuk berurusan lagi dengannya.
Jujur, kata-kata Adrian tadi benar-benar membuatnya kelabakan, dan seperti sedang diteror. Karena Angga merasa bersalah. Ini bermula dari dirinya yang
malah jatuh cinta pada istri adiknya sendiri.
"Kamu berantem sama Adrian" Kalian punya masalah apa?" tanya Angga kelimpungan. "Bilang sama kakak kalau kalian baik-baik aja. Kalian nggak bakal cerai,
kan" Apa yang kakak denger itu salah, kan" Ini cuma bercanda" Kamu lagi ngerencanain apa sama Adrian" Ada yang lagi mau ngerayain acara ulang tahun, kan?"
Perlahan, Naura membalikan badannya, menghadap ke Angga yang dibaluti ekspresi cemas dan gelisah. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan. Tampak mata Naura
nanar. Angga semakin yakin, Adrian dan Naura memang sedang tak bergurau.
"Kalau emang bener Adrian mau cerain kamu, kenapa... Kenapa Adrian bisa tau kalau sebenernya kakak pernah cinta sama kamu" Gimana bisa dia tau Naura" Apa
kamu yang ngasih tau dia" Tadi dia bilang sama kakak, dia ngelepasin kamu buat kakak. Kakak nggak ngerti sama kalian berdua."
Naura sendiri tidak tahu tentang hal itu. Bahkan tadi, ia tidak melibatkan Angga dalam percakapan di taman. "Jadi Adrian udah tau soal itu" Aku nggak ngasih
tau Adrian, kak. Cuma, aku sendiri yang suruh dia buat cerain aku. Ini emang bukan keinginan dia, aku yang minta duluan. Dan sekarang aku udah dapetin
jawaban kenapa Adrian langsung setuju sama keputusan aku, karena dia..."
"Nggak, kakak nggak mau jadi orang ketiga di antara hubungan kalian. Kakak nggak butuh pengorbanan Adrian, yang kakak butuhin adalah keakuran kalian, kebahagiaan
kalian. Sekarang yang jadi pertanyaannya..." Angga menjeda, raut sesal terlihat di romannya. Ia melipatkan bibir frustrasi, "Kenapa Naura" Kenapa kamu
minta cerai" Kenapa?"
"Aku ngelakuin apa yang harus aku lakuin kan, kak?" tanya Naura hilang akal.
"Apa alasannya" Apa gara-gara kakak" Sama kayak Adrian" Gara-gara kakak?"
"Banyak alasannya. Pertama, dulu, saat pertama kali aku liat Adrian sebagai Brian, dia itu udah jadi kekasih orang lain, Kak. Dan sekarang, setelah Adrian
sembuh dari amnesianya, dia kembali sama aku, dia ninggalin pacar Brian. Aku kira, semuanya bakal baik-baik aja, tapi dia terluka kak, dia terluka karna
Brian yang sebenernya udah meninggal. Dia pengin Adrian tetep jadi miliknya, karena berkat dia Adrian selamat, karena berkat dia Adrian bisa dapet kesempatan
kedua untuk hidup. Aku nggak mau egois, untuk itu aku lepasin Adrian. Adrian lebih baik hidup sama perempuan yang udah nyelametin nyawanya."
Angga merenung sembari mencerna kalimat-kalimat Naura.
"Maka dari itu, aku nggak mau jadi orang egois. Anggap aja Adrian itu Brian yang udah meninggal. Anggap aja kayak gitu. Dan aku akan tetep jadi seorang
janda," sebulir air bening jatuh dari pelupuknya lagi. "Selain itu, aku juga nggak mau nyakitin hati kakak. Aku sadar, selama ini aku udah banyak nyakitin
perasaan kakak. Aku udah banyak salah karena selalu abai. Maafin aku, Kak. Maafin aku..."
Mata Angga sedikit membelalak.
"Aku pantes dapetin ini. Aku pantes pisah sama Adrian. Karena dari awal, kita emang nggak berjodoh. Seharusnya dulu kita nggak menikah muda. Sekarang terbukti
kalau sebenernya aku nggak jodoh sama Adrian. Selalu aja ada pertentangan. Aku udah nggak sanggup lagi, Kak. Aku udah nyerah. Berpisah adalah satu-satunya
cara supaya masalah ini bisa selesai."
"Terus, kalau kamu cerai dari Adrian, kamu bisa cintain kakak seperti kamu cinta sama Adrian" Apa kamu bakalan bahagia" Terus, apa kakak juga bakal bahagia
di atas penderitaan orang lain" Kamu nggak mikir ke sana Naura?"
Naura bergeming tak bersuara. Matanya berkaca-kaca. Air-air bening itu menggenangi korneanya.
"Kalian itu udah menikah. Kamu jangan anggap sepele sebuah pernikahan Naura. Kakak bahkan nggak bakal maafin kamu kalau kamu nggak bisa pertahanin rumah
tangga kamu sama Adrian. Jangan begitu Naura, jangan mudah nyerah. Kamu nggak mikirin perasaan Adrian?"
"Aku nggak bisa sama-sama Adrian. Dia udah bilang kalau dia mau cerain aku, jadi menurut aku, semuanya udah berakhir. Kita sama-sama pengin cerai."
"Kamu nggak inget sama janji-janji kalian sewaktu pernikahan setahun yang lalu" Pernikahan kalian itu baru seumur pohon jagung, jangan gampang nyerah.
Oke maafin kakak kalau kakak udah bikin kamu goyah. Tapi plis Naura, jangan pernah kamu cerai sama Adrian. Kakak tau, kalian itu saling mencintai, kalian
nggak mungkin terpisah lagi. Udah cukup kalian menderita, sekarang waktunya kalian bahagia. Jangan cepat ambil keputusan Naura, sebelum kamu nyesel. Kalian
nggak inget sama kisah cinta kalian yang udah dibangun sejak dulu" Janji apa aja yang udah kamu rajut sama Adrian" Coba pikir-pikir lagi."
Sedikit demi sedikit Naura luluh. Bibirnya terkatup rapat. Telinganya dibiarkan diasupi nasihat-nasihat Angga.
"Kakak pernah bilang kan sama kamu. Tolong jangan hirauin perasaan kakak. Karena dengan seiring berjalannya waktu, kakak yakin rasa cinta kakak ini bakalan
ilang. Kakak serahin semuanya sama waktu. Maka dari itu, kamu harus tetep pertahanin rumah tangga kamu sama Adrian. Kakak mohon..."
"Keputusan aku udah bulat." Meski begitu, otaknya terus berputar. Teringat janji-janji yang pernah ia ucapkan dengan Adrian. Menciptakan keluarga harmonis,
memiliki sepuluh anak, mengajak mereka pergi ke wahana bianglala di pasar malam. Berjanji untuk tak saling meninggalkan lagi. Apa gunanya janji-janji itu
jika pada akhirnya mereka harus berpisah" Apa berfaedah"
"Kamu pikirin masa depan kamu sama Adrian. Tolong pikirin lagi berulang-ulang kali. Kakak cuma nggak mau nantinya kalian nyesel. Yang terpenting sekarang
adalah, kebahagiaan kamu sama Adrian. Kamu pasti ngerasa sakit, apa kamu bakalan biarin rasa itu terus bercokol dalam hati kamu" Sampai kapan" Sampai kamu
mati" Kamu itu cinta sama Adrian, Naura, kamu nggak bisa ngejalanin hidup tanpa dia. Contohnya aja waktu kamu tau Adrian meninggal, apa yang kamu rasain"
Meskipun ada lelaki lain yang pengin buka hati kamu, kamu tetep milih Adrian yang jelas-jelas udah meninggal. Berhenti jadi orang munafik Naura. Ayoo..."
"Siapa yang munafik, kak" Aku cuma nggak mau orang lain terluka, sementara di sini aku bahagia. Aku nggak bisa kayak gitu, aku bener-bener nggak mampu."
"Yang kakak tahu, kamu pun berhak bahagia setelah sebelumnya kamu pernah tersiksa. Kamu berhak bahagia Naura. Sekarang juga, kamu harus temuin Adrian,
cari dia sampai ketemu. Dia pergi dari rumah dan kakak nggak tau dia pergi ke mana. Kalau kamu cinta sama dia, cari Adrian. Kamu mau penyesalan itu terus
ngehantuin kamu" Dan pengorbanan kamu itu bakalan sia-sia, karena apa" Adrian cuma cinta sama kamu, nggak ada perempuan lain yang bisa dia cintain selain
kamu. Kakak nggak tau apa yang bakal Adrian lakuin."
Naura masih bersikukuh pada pendiriannya, enggan memberikan respons persetujuan. Mulutnya masih terkunci.
"Kamu jangan keras kepala. Kakak kenal kamu, kakak kenal Adrian. Apalagi mata kamu, kakak bisa liat kebohongan kentara di mata kamu. Mata kamu bilang,
kamu sama sekali nggak bisa kehilangan Adrian. Kamu cinta sama Adrian, cuma Adrian. Satu, cuma Adrian..."
Mulut Naura sedikit terbuka, sekadar menghilangkan rasa sakit di dada yang pengap.
"Sekarang terserah kamu. Yang penting kakak udah ngingetin kamu. Dan masalah Mama, dia udah terima kamu jadi menantu. Dia nggak mau kamu cerai sama Adrian,
sekarang Mama ngerti betapa cintanya Adrian sama kamu. Mama nggak mau bikin Adrian sedih."
Naura memejamkan mata. "Kakak pamit." Angga bergegas meninggalkan Naura dalam kesedihan.
Naura masih bingung dan bimbang. Seperti orang yang tersesat tak tentu arah. Ia sadar, keputusan yang ia ambil ini benar-benar salah, dia telah melukai
Adrian, menjatuhkan semua angannya.
*** Adrian membuka pintu rumah Nessa. Hari ini keputusannya sudah bulat.
Dalam perjalanan ke taman untuk menemui Naura, sebenarnya Adrian mengalami ketakutan yang luar biasa. Nessa menyampaikan sebuah pesan lewat sms-nya.
Hari ini kamu harus kembali sama aku Brian. Mau kamu Adrian, aku bakalan tetep panggil kamu Brian. Kalau kamu kepengin Naura selamat, kamu harus mau kembali
sama aku. Tinggalin Naura. Kecuali kalau kamu emang pengin liat sesuatu terjadi sama Naura. Yang pasti bakal bikin kamu menyesal seumur hidup.
Awalnya, Adrian tidak mau memedulikan ancaman menyedihkan itu. Dia hanya ingin menikmati waktunya bersama Naura. Tak ada yang lain. Tapi, setelah Naura
meminta untuk diceraikan, rasanya Adrian tidak memiliki harapan apa-apa lagi. Ditambah, Adrian tidak mau jika nanti Nessa berbuat aneh-aneh kepada Naura.
Adrian tak akan membiarkan seorang pun mengusik hidup Naura. Biarkanlah Naura bersama Angga, itu akan membuat Naura terjaga, terhindar dari segala marabahaya.
Angga mencintai Naura, ia tak mungkin menyakitinya.
Adrian percaya pada Angga untuk menjadi pelindung bagi Naura.
Dilangkahkannya kaki memasuki rumah mewah dan luas itu. Suasananya sama seperti biasa; tenang, lengang, dan hampa. Bak rumah tak berpenghuni.
"Aku nggak nyangka, ternyata kamu takut sama ancaman aku."
Adrian langsung dihadapi dengan sosok Nessa yang membelakanginya. Langkah kakinya berhenti.
"Sebegitu sayangnya ya kamu sama Naura sampai rela lepasin cinta demi keselamatan dia. Begitu beruntungnya Naura bisa dicintain pria kayak kamu."
"Dia istri aku. Jadi udah kewajiban aku untuk ngelindungin dia," tukas Adrian percaya diri.
"Begitu, ya?" Adrian hanya melihat punggung Nessa. Tak ada gunanya menjawab pertanyaannya. Dia pasti sedang bersedekap. Di luar terlihat kuat, tapi di dalam dia rapuh.
"Aku juga pernah diperlakukan kayak gitu. Aku pernah dicintai, disayangi, dilindungi, diistimewakan. Tapi sekarang semuanya udah nggak ada. Semuanya raib.
Orang itu udah pergi untuk selama-lamanya. Aku rindu masa-masa indah itu. Aku rindu dipeluk Brian, dicium Brian, disentuh Brian, dibisiki cinta di telinga.
Aku rasa, Tuhan itu nggak adil. Dia ciptain dua orang yang mendekati sempurna. Brian untuk aku, dan Adrian untuk Naura. Tapi kenapa cuma aku satu-satunya
yang ditinggal" Kenapa aku yang harus nelen luka" Sementara Naura?"
"Aku bisa jawab pertanyaan kamu. Tapi aku tau, jawaban itu nggak akan mempan buat kamu. Karena kamu nggak percaya sama yang namanya takdir."
"Takdir" Hidup kamu bergantung sama takdir" Lalu, kalau suatu saat kamu kehilangan Naura, kamu masih percaya sama takdir" Meskipun penyebab kematian Naura
itu gara-gara seseorang yang sengaja ngebunuh dia?"
"Itu jelas namanya pembunuhan. Tapi aku percaya, itu pun atas kehendak Tuhan."
Nessa berdecak kagum. "Terus sekarang, apa yang kamu mau" Aku udah ada di sini. Aku bisa gantiin Brian sesuai apa yang kamu mau. Setelah ini, aku akan urus percaraian aku sama
Naura. Kamu boleh panggil Ayah kamu ke sini, dan kita menikah. Kamu puas?"
Masih membelakangi Adrian, Nessa tertawa sarkasme. Tawaannya kian keras seiring dengan tubuhnya yang berbalik. Adrian kontan membeliak, ada sebuah pistol
yang tergenggam di tangan Nessa. Benda mengerikan itu membuat suasana berubah mencekam.
"Kamu pikir, dengan kamu kayak gini, aku bisa percaya kalau kamu bisa lupain Naura" Kamu pikir, aku mau hidup sama kamu yang nantinya bakalan terus kepikiran
istri kamu sebelumnya" Oh maaf Adrian, aku nggak bisa kayak gitu. Aku bukan perempuan bodoh yang mau dipermainin. Yang aku butuhin itu cuma cinta yang
tulus, bukan karena keterpaksaan, apalagi demi orang yang dia sayangi. Yang aku mau, disaat aku terluka, orang lain jangan bahagia."
Kening Adrian berkerut. Mengambil satu langkah. Kalimat terakhir terdengar kejam. Tak pantas keluar dari mulut manis Nessa.
"Mau aku sekarang cuma satu, kamu bersedia mati demi Naura. Kalau kamu nggak mau, aku bisa kapan aja tarik pelatuk ini di kepala Naura." Nessa mengangkat
pistolnya, memandangnya penuh gairah. Seumpama cokelat manis yang siap disantap.
Itu adalah pistol pemberian Brian. Dulu, Brian pernah memberikan benda beramunisi itu kepada Nessa agar Nessa bisa melindungi diri. Ketika ada orang yang
mengganggunya ---semacam penjahat--- dia bisa menggunakan pistolnya jika memang sangat mendesak. Bukan bermaksud untuk membunuh, melainkan untuk memberikan
peringatan dan pembelaan diri. Andai Brian masih ada, adegan ini mungkin tak akan pernah terjadi. Nessa sedang sedikit kehilangan akalnya.
"Kamu rela mati demi Naura?" tanya Nessa intens. Adrian terlalu takut menghadapi pistol, hingga membuatnya diam tak berkutik. Bukan tentang dia yang nantinya
akan ditembak, melainkan tentang orang yang disayanginya, termasuk Naura. Air liur yang ditelannya terasa pahit.
"Kamu rela mati demi Naura?" ulang Nessa lagi penuh intimidasi.
"Apa yang kamu lakuin ini salah Nessa..."
Suara itu bukan berasal dari Adrian, melainkan orang lain yang baru saja masuk. Lelaki itu berdiri di belakang Adrian, menegapkan tubuh, melempar pandangan
kepada Nessa. Adrian kenal dengan suara dan bau parfumnya. Tanpa berbalik pun, Adrian sudah tahu siapa dia. Angga. Mengapa dia bisa ada di sini" Untuk apa" Dari mana"
"Kamu nggak berhak buat hancurin kebahagiaan orang lain. Adrian sama Naura itu nggak bisa terpisahkan. Kamu nggak bisa paksain kehendak sesuka hati kamu..."
"Siapa kamu"!" tanya Nessa menantang.
"Aku kakak Adrian, sekaligus kakak dari Brian. Meskipun aku nggak pernah ketemu sama Brian, aku tau gimana sifat dia, pasti sama kayak Adrian, mereka mencintai
seorang perempuan dengan ketulusan penuh, kasih sayang yang begitu lembut. Itu sebabnya, perempuan yang mereka cinta, nggak bisa dengan mudahnya lupain
mereka. Contohnya kamu sendiri, sebegitu cintanya kan kamu sama Brian sampai nggak bisa terima kalau dia udah meninggal" Terus Naura, Naura juga pernah
ngerasain gimana ditinggal Adrian. Kalian sama-sama terluka. Cuma bedanya, kamu nggak bisa belajar buat ikhlas. Ikhlasin semuanya, dengan begitu kamu bisa
hidup tenang. Kamu bisa buka lembaran baru dengan kehidupan baru. Kamu pikir, dengan kamu kayak gini Brian suka" Brian setuju" Yang ada, dia bakalan sedih,
karena perempuan yang dia cinta rela ngelakuin hal bodoh demi kesenangan sesaatnya. Nyakitin orang lain yang sama sekali nggak bersalah."
"Kamu nggak berhak buat ceramahin saya. Saya nggak peduli siapa kamu. Mending sekarang kamu keluar, ini bukan urusan kamu."
"Ini jelas urusan aku. Karena aku kakak dari Adrian. Aku nggak bisa terima kamu ngusik kebahagiaan dia sama Naura. Aku juga ngerti posisi kamu, kamu ngerasa
jadi orang yang paling terluka. Tapi kematian Brian, keselamatan Adrian, bukan ada di tangan kamu. Semua yang terjadi itu atas kehendak Tuhan. Takdir yang
nentuin." "Keluar..." "Apa ini yang kamu bilang cinta" Kamu cinta sama Brian" Apa ini hasil dari cinta kalian" Sebenernya apa yang kamu rasain saat kamu ada di deket Brian"
Cinta, atau nafsu" Atau lebih rendahnya, tergila-gila?"
Nessa menggeram dalam hati.
"Ayo sadar Nessa. Daripada kamu ngajak orang lain untuk bersedih supaya dia sama-sama terluka kayak kamu. Itu namanya egois. Kita bisa sama-sama nyembuhin
luka kamu, kita nggak mungkin ngebiarin kamu sedih sendirian. Anggap kita satu keluarga. Bikin Brian tenang dengan kamu relain kepergian dia. Bikin Brian
seneng dengan keikhlasan dan kesabaran kamu. Bikin Brian bangga, karena dia pernah cinta sama perempuan sebaik kamu."
Nessa bergeming tanpa suara, tanpa dirasa, air matanya luruh ke bawah.
"Apa kamu kenal sama Naura" Dia relain Adrian demi kamu. Dia rela bikin hatinya terluka supaya kamu bisa tetep bahagia. Kurang apa dia" Dan sekarang, kamu
coba buat bunuh Adrian" Aku rasa, kamu terlalu takut. Itu sebabnya kamu ngelakuin ini."
"Cukup... Cukup!" Nessa berseru tegas. "Saya bukan Naura. Kita jelas bukan orang yang sama. Kamu nggak bisa banding-bandingin saya sama Naura. Dan berhenti
bicara!" "Turunin pistol kamu Nessa," timpal Adrian dengan ritme rendah. Berupaya membujuk. Benda itu terlalu berbahaya untuk dijadikan percobaan dan pengancaman.
Akan menimbulkan masalah yang semakin beruntun panjang.
"Oke kalau gitu. Saya bakalan bunuh diri saya sendiri. Dengan begitu, kalian semua bisa bahagia." Nessa menggerakan pistolnya, meletakkan ujung benda berbahaya
itu di kening sampingnya. "Saya nggak bisa ngejalanin hidup tanpa Brian. Saya lebih baik ikut mati daripada harus ngerepotin kalian semua." Nessa menyadari
kekeliruannya, ini adalah jalan terbaik untuk mengobati luka. Mematikan memori, menghentikan penderitaan.
Adrian menggelengkan kepala, tidak setuju dengan keputusan yang Nessa buat.
Angga memandang Nessa dengan ekspresi sayu, sama seperti Naura, dia begitu keras kepala. Gadis keras kepala itu sulit untuk ditaklukkan dan kadang membuat
gemas. "Maafin aku Adrian kalau aku sempet ganggu kebahagiaan kalian. Tapi lebih baik aku mati, aku nggak sanggup ngejalain ini sendirian."
"Kamu masih punya Ayah, Nessa. Pikirin perasaan dia. Ayo, sekarang turunin pistol kamu. Aku mohon..." pinta Adrian hati-hati dan waswas. Sedikit demi sedikit
mendekat, menahan rasa takut.
"Dia lebih sayang sama pekerjaannya. Untuk apa aku masih hidup?"
Adrian terus melangkah, mencoba menghentikan aksi gila Nessa. "Jangan lakuin hal bodoh itu. Aku mohon Nessa. Kita bisa bantu kamu."
"Enggak. Jangan coba buat halangin aku, atau kamu aku tembak." Nessa melangkah mundur, setia menyimpan ujung pistol di kepala. Tubuh Angga tiba-tiba kaku
melihat pemandangan ngeri di depannya. Apa ada gadis seperti Nessa"
Adrian menelan salivanya ketika melihat jemari Nessa yang bergerak. Jantungnya seakan mau berhenti.
"Jangan lakuin itu, Mbak!" Naura tiba-tiba datang, berlari menghampiri Nessa yang akan segera menarik pelatuk. Angga dan Adrian terlonjak kaget secara
bersamaan. Duarrrr!!!! Suara tembakan terdengar menggelegar di ruangan itu. Menyisakan keterkejutan yang sulit diungkap kata-kata. Tak ada yang bergerak, semuanya terpaku. Lengang
sampai semuanya menyadari apa yang baru saja terjadi.
"Mbak nggak pa-pa?" tanya Naura pelan. Nessa menitikkan air mata. "Maafin saya..."
Adrian langsung berlari untuk menahan tubuh Naura yang akan segera tumbang. "Kamu gila Naura! Kamu bener-bener gila!" Adrian kelabakan. Ingin sekali adegan
yang barusan ia lihat itu mimpi buruk yang tak akan pernah terulang lagi. Ayo Tuhan, Adrian ingin segera terbangun dari mimpi menyebalkan ini.
"Ak... Aku cinta sama kamu Adrian. Aku... Aku nggak mau cerai dari kamu... Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak mau cerai, aku..., pengin terus hidup
bareng kamu. Ma... Maafin aku..."
Darah segar terus bercucuran dari perut Naura. Adrian benar-benar buncah, matanya berkaca-kaca. Sekujur tubuh menegang, seakan ruhnya lepas dari raga,
terbang terbawa angin. Apa Nauea akan meninggalkannya pergi" Sama seperti saat dulu dirinya meninggalkan Naura" Angga membeku di tempat, kaki gemetar tak
mampu melangkah, sembari merutuki diri. Mengapa ia telat mengambil tindakan" Seharusnya dia yang mencegah Nessa, bukan Naura.
Perlahan, kedua mata Naura mulai tertutup karena tak tahan lagi menahan rasa sakit. Hati Adrian hancur berkeping-keping. Tidak, Naura harus selamat. Adrian
lekas menggendong tubuh Naura yang tak sadarkan diri. Darah merah itu ikut menyaru dengan bajunya.
Nessa menjatuhkan pistol di tangan. Maaf Brian, pistol itu telah melukai orang yang salah.
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 31 - Diary Naura.
*** Tiga hari kemudian. Ruang ICU Naura masih terbaring lemah di atas bangkar, selang infus menempel di tangannya, tak lupa dengan selang oksigen dan alat-alat penopang hidup lainnya. Beruntung,
operasi yang dilaluinya berhasil. Tapi, sampai sekarang Naura belum sadarkan diri juga.
Adrian turut menunggui Naura, menggenggam tangannya. Menemaninya dengan sabar sampai dia siuman. Tak pernah sedetik pun Adrian meninggalkan tempatnya.
Dirinya merasa bersalah karena tak mampu mencegah kejadian naas beberapa hari lalu. Kalau saja waktu itu dia berhasil menahan tindakan gila Nessa, pasti
semua ini tak akan terjadi. Berulang kali Adrian berkata dalam hati, kalau dia sangat-sangat mencintai Naura. Tak ingin kehilangan dia.
Di luar, Angga, Belinda, dan Satria menunggu dengan wajah khawatir. Mereka sudah mendengar apa yang telah terjadi.
Pintu terbuka, Surya melangkah masuk ke dalam dengan pelan, mendekati Adrian yang terus setia berada di samping Naura. Berharap dialah orang pertama yang
Naura lihat tatkala ia sadar.
Surya menyodorkan buku harian Naura kepada Adrian. Adrian tengadah, menatap mertuanya penuh tanya, menanyakan tentang buku apa yang ia berikan ini. Surya
hanya mengangguk, mempersilahkan Adrian untuk menerima dan membaca.
Pelan-pelan, Adrian pun membawa buku berbentuk mini dan cantik itu. Warna sampulnya biru muda. Warna kesukaan Naura.
"Itu adalah buku harian Naura. Kamu bisa baca curahan hati dia. Ayah tau, kamu lagi kangen sekali sama dia." Surya menepuk bahu Adrian pelan, memberinya
kekuatan untuk menghadapi ini semua. Lalu berlalu kembali, meninggalkan Adeian bersama Naura yang masih tak sadarkan diri. Yang terdengar hanya suara monitor
alat pendeteksi jantung. Adrian sendiri tidak tahu, bahwa selama ini Naura selalu mencurahkan isi hatinya kepada buku diary.
Hati Surya hancur melihat putri dan belahan jiwanya terbaring seperti orang yang tak bernyawa. Namun ia sadar, untuk menumpahkan air matanya saja ia tak
mampu. Karena dengan menangis, tak akan membuahkan apa-apa. Berusaha tenang dan optimis, mungkin semuanya akan terasa mudah. Tak lupa juga dengan panjatan
do'a pada sang pencipta bumi. Jika memang Dia ingin mengambil nyawa Naura, Surya akan berusaha mengikhlaskan. Agar penderitaan ini berakhir.
Perlahan, Adrian membuka lembar demi lembar kertas yang berisi tulisan tinta Naura yang cantik nan rapi. Halaman awal memang sudah terlihat kusut dan kusam.
Ih! Nyebelin banget, barusan ketemu sama senior ngeselin bin ajaib! So ngatur dan berkuasa. Untung ganteng, kalau nggak udah aku timpuk pakek areng!
Iih kok aku malah jatuh cinta sama si senior itu" Rasanya aneh. Dan aku nggak pernah kepikiran buat jatuh cinta sama dia. Apa mungkin rasa yang aku rasain
ini berasal dari Tuhan"
Ya Tuhan, aku cinta sama Adrian. Secepat itukah" Dan ternyata, dia pun ngerasain hal yang sama. Kita saling jatuh cinta, sama seperti pasangan lain. Tapi,
Ayah larang aku buat pacaran. Terpaksa, aku harus rahasian hubungan ini.
Adrian tersenyum, kembali teringat kenangan lucu mereka. Ia juga mengerti, saat ini Naura sedang labil dan kekanak-kanakan. Berbeda dengan Naura yang sekarang.
Jauh lebih dewasa. Namun, bagaimana pun sikap Naura, Adrian akan tetap mencintainya.
Semakin ke sini, tulisan Naura semakin dewasa. Berhenti menggerutu tidak jelas dan mulai menuliskan rangkaian yang mendekati puisi yang memiliki arti tersendiri.
Membariskan bait demi bait kalimat. Menguntai kata bermakna.
Pernikahan, adalah suatu janji yang sakral. Dan hari ini, aku telah mengikrarkan janji itu bersama Adrian. Pria yang sangat aku cintai. Aku selalu menyebutnya
dengan panggilan 'Ian.' Dan alasan mengapa kami menikah kadang membuatku ingin tertawa. Kepergok ciuman" Hahaha...
Adrian tertawa tanpa suara lagi. Menikmati tulisan Naura seumpama membaca kisah dalam sebuah novel romantis. Cukup terhibur.
Sampai pada lembar di mana Naura mencurahkan kepedihan mendalamnya, raut Adrian berubah datar. Bangkit dari duduknya, Adrian memilih membaca sembari berdiri
dan bersandar di tembok. Meneliti setiap untai kata yang Naura tulis dengan tinta hitamnya. Menerjemahkan sebuah arti.
Sekiranya, itulah beberapa fragmen dari kisahku bersama Adrian. Alasan mengapa kami menikah, kejutan Adrian di hari ulang tahunku, kue bolu asin buatannya,
bagaimana caranya aku menghadapi seorang mertua. Bermain mesra di pasar malam menaiki wahana bianglala dan mengunjungi rumah hantu. Tentang dia yang takut
ketinggian, tentang aku yang takut hantu. Sampai akhirnya dia pergi. Kisah yang amat manis untuk dikenang, dan amat pahit untuk ditelan. Yang terlalu indah
untuk dilupakan. Malam itu adalah, malam paling mengerikan di sepanjang hidupku. Malam yang telah mengubah semua, mengubah arus kehidupanku. Mengubah semua


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angan. Berbelok arah pada kenyataan tak sejalan. Termasuk mengubah kisah asmaraku. Untuk kak Angga, Mama Belinda, Papa Satria, mereka seakan telah jauh
dari jangkauanku. Mereka bukan siapa-siapa lagi. Takdir telah mengubah segalanya. Takdir yang menurutku paling kejam. Aku di sini terluka sendirian. Untuk
selebihnya, akan kuceritakan nanti. Karena pada bagian selanjutnya, aku belum mampu untuk bercerita kepada kalian. Aku yakin, aku akan menangis lagi, mengingat
Adrian lagi. Hati Adrian serasa diremas-remas saat membaca bagian menyesakkan dada ini. Matanya memanas. Tidak pernah terbayangkan olehnya, dulu Naura begitu rapuh,
terluka sendirian. Seharusnya dulu, Adrian berada di sampingnya. Kepergiannya terdahulu, jelas menyiksa Naura. Tiba-tiba saja air mata mengalir di pipi
Adrian. Semenjak itu, aku dan Ayah hidup seperti biasa. Kami melupakan kesedihan secara bersama-sama. Melewati waktu yang bergulir sangat cepat. Ayah selalu membuatku
tersenyum, dia yang selalu berada di sisiku. Dia yang menjadi penuntunku, kemanakah aku harus melangkah. Setiap hari, aku dan Ayah selalu bercanda dan
mengobrol sangat dekat. Dulu, Ayah tak seramah ini. Namun semenjak aku kehilangan Adrian, Ayah berubah. Mungkin dia tak ingin anak kesayangannya ini berlarut
dalam kesedihan. Aku yang tak ingin membuat usaha Ayah sia-sia, berusaha keras untuk tetap tersenyum. Jangan sampai aku mengecewakan dia.
Apa kalian menangis membaca kisah yang terlalu menyedihkan ini" Tolong, jangan kasihani aku. Aku akan tetap menjadi Naura yang kuat. Tak butuh belas kasihan.
Aku akan menghadapi dunia. Aku yakin, kebahagiaan lain akan segera menjemput. Tak peduli kalau sekarang aku telah menjadi seorang..., janda.
Bahu Adrian terkulai lemas. Sandarannya merosot ke bawah. Rasanya, ia tak mampu membaca buku ini hingga bagian akhir. Terlalu menyakitkan dan mendera.
Hati Adrian benar-benar nyeri dan ngilu. Naura adalah perempuan terkuat yang pernah Adrian temui, tolong Tuhan, jangan ambil dia dahulu. Adrian duduk lemas
di atas lantai dingin. Tulisan Naura sungguh menanamkan bilur luka, menusuk ke ulu hati.
Aku tidak tahu apa maksud dari semua ini. Ini seperti pertanyaan yang tidak akan pernah ada jawabannya. Yang aku tahu, Adrian telah meninggalkanku pergi
untuk selama-lamanya setahun yang lalu. Dia meninggalkan cinta kami, dan kisah manis kami. Aku, adalah salah satu penyebab kepergian dia. Dia memberiku
kalung perak yang sangat indah dengan keadaan tidak bernyawa. Suatu hari, dia datang ke dalam mimpiku. Berkata agar aku harus memakai kalung pemberiannya.
Berkata agar aku harus tetap bahagia tanpanya.
Lantas, siapa lelaki yang kemarin aku temui" Mengapa dia mirip sekali dengan Adrian" Mengapa" Siapakah dia" Dia yang mampu menghidupkan jantungku lagi
setelah sekian lama mati.
Adrian merasa bersalah, telah membuat Naura bertanya-tanya, menimbulkan teka-teki, membuat Naura kebingungan sendirian. Sepedih inikah perjalanan hidup
Naura selama ini" Mengapa baru sekarang Adrian menyadarinya" Sungguh malang nasib istrinya.
Hari ini, aku bahagia. Karena sebenarnya, Adrian belum meninggalkanku pergi untuk selama-lamanya. Dia masih hidup, berada di muka bumi ini, bersamaku.
Terima kasih Tuhan untuk segala nikmatmu. Aku tidak tahu cara untuk berterima kasih lebih dari rasa syukur yang dalam. Aku bisa kembali melihatnya tertidur
pulas, bisa kulihat kembali wajah tampannya dengan mata tertutup. Dia masih sama seperti Adrian yang dulu. Ketampanannya membuatku sadar, betapa aku sangat
sempurna menjadi seorang wanita yang dicintai dia.
Di malam itu, Naura menyempatkan untuk menuliskan kisahnya lewat diary kesayangannya. Sewaktu Adrian sudah masuk ke alam mimpi. Sambil terus menulis, pandangannya
tak henti-hentinya tertuju pada Adrian yang sedang tertidur, begitu terjaga.
Bagiku, dengan kembalinya Adrian, semuanya sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup. Aku tak akan minta apa-apa lagi. Dan akhirnya, aku bisa mewujudukan impiannya
untuk memiliki sepuluh anak. Impian yang aku pikir tak akan pernah bisa aku lakukan lagi. Tapi, atas kebaikan-Mu, aku bisa mendapatkan kesempatan kedua.
Aku mencintai Adrian, sangat-sangat mencintainya Tapi..., ada satu rahasia yang sengaja aku sembunyikan.
Tentang kak Angga. Tentang perasaan dia padaku. Aku tak mampu mengatakan pada Adrian apa yang sebenarnya terjadi. Aku rasa, dia tidak perlu tahu tentang
hal ini. Karena aku yakin, seiring dengan berjalannya waktu, perasaan kak Angga akan berubah. Aku bahagia bisa berkumpul dan bercinta lagi dengan suamiku.
Suamiku, malaikatku, pelindungku, separuh hidupku.
Namun aku sadar, kebahagiaanku telah menyakiti pihak lain. Di antaranya adalah; Kak Angga, dan Nessa. Perempuan yang begitu mencintai kekasihnya yang telah
meninggal. Kembaran dari Adrian. Meskipun begitu, Nessa masih menganggap Adrian miliknya, karena berkat dia Adrian selamat dari maut. Betapa sayangnya
dia pada Brian, hingga membuatnya tak ingin kehilangan Adrian, tak peduli siapa dia. Apa yang harus aku lakukan"
Esok hari, akan aku katakan sesuatu pada Adrian.
Adrian membuka lembar kertas selanjutnya. Banyak sekali bekas tetes air mata di sana. Tulisan ini adalah curhatan terakhir Naura.
Hatiku terluka untuk kesekian kali. Namun demi orang lain, aku rela menanggung nestapa. Rasanya begitu perih, kekuatanku habis untuk menahan air mata.
Karena hari ini, Adrian mengatakan bahwa dia akan menceraikan aku. Dia akan segera menceraikan aku, mengakhiri kisah kami. Cerai" Terdengar mengerikan.
Mengapa rasanya begitu sakit Ya Tuhan" Padahal, aku sendiri yang memintanya untuk melakukan itu. Apa aku salah" Apa keputusanku ini salah" Melepas kebahagiaan
secara sukarela. Yang aku sendiri tidak tahu, apakah aku ikhlas atau tidak.
Aku begitu egois di matanya. Ya, aku memang egois, seperti apa yang dia katakan.
Maafkan aku. Tapi yang jelas, aku akan terus mencintai Adrian.
Air mata kembali membasahi wajah Adrian. Tangannya yang lemah, menjatuhkan diary Naura. Adrian meletakkan telapak tangan pada sebelah matanya, ada sesuatu
yang mengungkung hatinya dengan keras dan ketat. Menahan isak tangis.
Adrian mencoba bangkit, kembali menghampiri brangkar Naura. Duduk di sebelahnya, kembali menggenggam tangannya penuh pengharapan. Adrian tahu, Naura pasti
butuh penguatan. "Kamu mau balas dendam sama aku karena dulu aku pernah ninggalin kamu, Naura?" Adrian berkata nyaris tak jelas, bibirnya ditenggelamkan pada jemari Naura.
"Dulu kamu saggup, tapi aku" Aku nggak yakin, Na. Aku nggak yakin bisa sekuat kamu. Mungkin aku bisa gila. Bahkan aku lebih baik gila daripada harus terus
inget kamu yang udah ninggalin aku. Ayolah, bertahan Naura, sadar, untuk aku. Aku mohon. Aku akan tarik ucapan aku. Kita nggak bakal cerai Naura. Kata
cerai itu nggak akan pernah masuk dalam kamus kehidupan kita. Kita akan tetap sama-sama, capai mimpi dan harapan, asal kamu mau buka mata kamu. Kita bisa
pergi ke pasar malem lagi, main-main di sana. Bangun, Na. Aku mohon... Bangun..." seakan kehilangan kata-kata, Adrian menumpahkan air matanya, hasil dari
luka dalam. Kerongkongannya terjepit.
"Bangun, sayang."
Adrian berjanji, tak akan pernah menyakiti Naura lagi. Dia istrinya, wanita yang patut dibahagiakan, bukan untuk disakiti.
"Aku rindu mata kamu."
Mata yang selalu mengisyaratkan kebahagiaan, ketenangan, dan kesabaran seorang Naura. Yang kadang dipenuhi kebohongan demi menyembunyikan pedih.
"Kembali Naura, aku mohon."
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 32 - Aku Bahagia.
*** "Saya bener-bener minta maaf. Saya sadar, apa yang saya lakuin selama itu salah. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Om, Tante, kamu." Nessa memandang
mereka secara bergantian, terakhir berhenti pada wajah Angga yang tampak sangat kecewa. Bagaimana pun, orang yang cewek itu lukai, adalah Naura yang sangat
ia sayangi. Surya tidak mampu merespons apa pun. Dia hanya menutup mulut dengan jemari yang tergerak mengusap-usap pelan.
"Saya khilaf, tolong maafkan saya."
Mereka semua sudah tahu apa yang terjadi selama ini. Mereka tahu siapa Nessa setelah Angga bercerita tentangnya. Belinda bingung harus memberi reaksi apa.
Di satu sisi dia marah karena gara-gara dia sekarang Adrian bersedih, sebab istrinya sedang berada di ambang kematian. Di sisi lain pula dia ingin mengucapkan
terima kasih lantaran perempuan itu sudah menemani hari-hari Brian --putra yang tak pernah ia sentuh sama sekali--.
Nessa menyadari kesalahannya, saat itu dia benar-benar sedang hilang akal. Pikirannya kacau, namun setelah mendengar penuturan Angga, dan melihat tindakannya
yang melukai orang lain, membikin Nessa sadar, kalau ketakutannya telah membuat orang lain menderita. Apalagi ketika melihat Adrian yang rapuh menunggui
Naura yang tak kunjung sadar di balik jendela ruang rawat Naura. Rasa bersalah itu kian memuncak. Semua ini karenanya, karena kebodohannya.
"Saya rela dipenjara kalau kalian mau nuntut saya."
"Sayang, aku nggak yakin Naura bakal nuntut kamu. Meskipun kita nuntut kamu, setelah Naura sadar, itupun kalau emang masih ada keajaiban, dia bakal larang
kita," tanggap Angga bersedekap. Seraya terus berkata dalam hati, kalau Naura pasti selamat. Dia akan segera bangun dari koma. Angga sangat mengenal Naura,
perempuan itu tidak akan melakukan hal demikian, dengan gampang ia akan langsung memaafkan.
Nessa melinangkan air mata. Teringat akan pertemuan pertamanya dengan Naura. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa Naura perempuan jahat, perusak kebahagiaan
dan pengkhianat" Semua itu jelas salah.
Semua orang yang berada di sana sulit memutuskan. Karena masalah ini, Naura-lah yang paling berhak memberikan sanksi kepada Nessa. Sekalipun Ayah Naura,
dia enggan bertindak. *** "Naura!" Adrian terbangun dari tidurnya, napas memburu, keringat dingin bercucuran di pelipis. Jantungnya berdentam keras, nyaris terdengar sampai telinga. Diliriknya
brankar Naura, Adrian kembali terpegun. Perasaannya semakin tak keruan, mengapa tempat tidur itu kosong" Ke mana Naura" Apa dia sudah dipindahkan" Apa
jangan-jangan... Pikiran-pikiran buruk mulai berkecamuk.
Adrian bangkit dari duduknya, berjalan mendekati ranjang. Sekujur tubuhnya gemetar. Petanda apa tadi" Mengapa mimpi buruk itu menghampiri tidurnya" Dalam
mimpi barusan, Naura meninggalkannya pergi, untuk selama-lamanya. Akankah dirinya sanggup untuk kehilangan Naura"
"Naura..." lirih Adrian pelan di antara keheningan. Ruangan ini hampa, kosong, tak ada siapa-siapa selain dirinya. Rasa takut kian mengaliri relung jiwa
Adrian. Lantas, lelaki itu melangkah lagi, membuka pintu, berharap kejutan keajaiban menyambutnya. Organnya serasa mati rasa, Adrian serasa ingin lenyap
saja dari dunia ini, daripada harus menghadapi kenyataan kalau perempuan yang sangat ia cintai pergi.
Tiba-tiba, sentuhan tangan lembut mendarat di pingganya, memeluknya. Mengirim partikel nyaman. Adrian terkesiap, tangan siapakah ini" Naura" Cowok itu
lekas berbalik, pelukan masih bertaut, benar saja, dia Naura. Wajah perempuan itu tampak pucat, bibirnya putih, begitu mengkhawatirkan.
Benarkah Naura" Dia sudah sadar" Dan kini sedang melingkarkan tangannya di pinggang Adrian" Mimpi, kah" Nyata, kah"
"Kenapa kamu berdiri di sini" Ayo kamu berbaring lagi di sana. Kamu belum pulih, Na," kata Adrian gelisah, kalut, dan kalang kabut. Namun Naura hanya membalasnya
dengan gelengan pelan. Seperti ingin berada di posisi ini saja.
Adrian tidak menyangka, Naura sudah siuman. Berbanding terbalik dengan mimpinya yang menggambarkan bahwa Naura tidak dapat diselamatkan. Dokter gagal menyelamatkannya
meski operasi itu berjalan lancar. Dunia Adrian seakan runtuh.
"Kamu nggak mau aku peluk, Ian" Aku cuma pengen meluk kamu, apa aku salah" Aku nggak mau berbaring, aku kangen kamu," kata Naura dengan suara lamban. Rahang
Adrian mengeras, betapa bahagiannya dia, karena sekarang Tuhan telah mengabulkan do'anya.
"Kamu udah bangun, Na" Ini kamu, kan" Bukan cuma ilusi aku?"
Naura menganggukkan kepala, segera Adrian menangkup kedua pipinya. "Naura?"
"Hmmmm..." kembali ia mengangguk, mata Naura memerah menahan isak.
"Kamu berhasil bikin aku takut, Na. Sekarang aku udah ngerasain apa yang kamu pernah rasain dulu. Gimana takutnya kita saat kehilangan orang yang kita
sayang. Maafin aku Naura, dulu aku udah nyiksa kamu dengan kepergian aku. Aku ngerasa bersalah, apalagi setelah baca semua isi diary kamu. Maaf, aku terlalu
lalai jadi suami yang baik."
"Bukan salah kamu."
"Aku pikir, semuanya bakal berakhir air mata. Aku hampir putus asa. Aku janji, nggak akan pernah nyakitin kamu lagi. Aku janji..."
"Kamu nggak pernah nyakitin aku Ian. Jangan bilang gitu, kamu nggak pernah nyakitin aku."
"Aku udah tarik kata-kata aku, Naura. Aku nggak akan pernah cerain kamu. Kita nggak bakal cerai, apa pun yang terjadi. Janji adalah janji. Kita bakalan
terus sama-sama, ngebangun keluarga bahagia. Membesarkan anak-anak, nanti. Sampai tua."
Air mata Naura tumpah, mengangguk lagi. Mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata untuk berbicara. Terlalu bahagia.
"Semuanya udah berakhir. Kita buka lembaran baru, ya?"
"Hmmmm..." anggukan Naura sungguh-sungguh, dan bermakna.
Mereka pun berpelukan. Saling mengikrarjan janji dalam hati masing-masing, untuk mengatakan bahwa ini adalah air mata terakhir yang ditumpahkan. Tubuh
Naura yang masih lemah, tak mampu mempererat pelukan itu, hanya Adrian yang berusaha memagutnya dalam kehangatan.
*** "Kalau kamu nggak dateng saya nggak tau apa sekarang saya masih ada di dunia ini atau nggak. Saya bener-bener bodoh Naura, saya terlalu egois dan serakah.
Saya minta maaf sama kamu, sekaligus terima kasih karena kamu rela cegah aksi bunuh diri saya yang pada akhirnya malah ngelukain diri kamu sendiri." Nessa
tampak begitu menyesali semua perbuatannya. Air mata berjatuhan tak terbendung.
"Mbak Nessa nggak salah apa-apa. Justru dengan kejadian ini, Mbak Nessa bisa sadar kalau Mbak ini bisa berubah. Karena saya tau, bukan begitu sikap asli
Mbak. Saya ngerti perasaan mbak Nessa, saya bisa ngerti, kok."
"Kamu boleh nuntut saya kalau kamu mau. Biar saya masuk penjara dan ngebayar semua kesalahan saya. Apa perlu juga saya bertekuk lutut buat minta maaf?"
"Saya nggak bakalan nuntut mbak Nessa, saya nggak akan pernah mau buat lakuin itu. Saya udah maafin Mbak Nessa, jadi Mbak nggak perlu ngelakuin itu. Ini
semua takdir, saya bisa maklumin. Harusnya saya yang minta maaf, karena saya nggak sanggup kasih Adrian buat Mbak."
"Sekarang saya sadar Naura, yang saya mau itu Brian, bukan Adrian. Dan Adrian cuma milik kamu, cuma kamu yang berhak milikin dia." Nessa mengulurkan tangan,
mendaratkan telapaknya di bahu Naura, berusaha meredam isakan. Naura menyentuh tangan Nessa, mengusapnya pelan.
Adrian yang berdiri di belakang mereka cukup memerhatikan dari jauh. Akhirnya Nessa sadar dan dia mau mengakui kesalahannya. Bagi Adrian, ini semua sudah
cukup. Angga masuk ke ruangan, mendapati Nessa dan Naura yang sedang saling bercucuran air mata haru, lantas mendekati Adrian, menepuk bahunya pelan.
"Sekarang, giliran lo yang pertahanin Naura. Jangan-lah lo kasih dia ke gue lagi, nanti yang ada dia bakal kesiksa. Dia itu cintanya cuma sama elo, adek
gue yang paling ganteng."
"Hm, bisa aja lo. Eh tapi, thanks ya, selama ini lo udah mau jagain dan nyayangin Naura. Gue harap, nanti gue bisa balas budi ke elo." Adrian tertawa tanpa
suara. "Oke ditunggu. Tapi jangan ngerelain Naura buat gue ya. Nanti urusannya bakal makin ribet. Dan lo tenang aja, gue bakalan terus sayang sama Naura layaknya
seorang kakak kandung."
"Gue pegang omongan lo, Bang."
"Tapi, cariin gue perempuan macam Naura, ya" Gue nggak mau tau, pokoknya lo harus cariin gue cewek," pinta Angga menantang. Dibalas dengan acungan jari
jempol dari Adrian. "Siap bosss!!"
"Bosen gue denger nyokap nagih nikah mulu," cibir Angga setengah membisik, Adrian menggelengkan kepala sambil terus memerhatikan Naura dan Nessa yang kini
berpelukan. "Jangan panggil saya Mbak lagi, panggil aja Nessa."
"Nessa?" "Hmm.." Naura tersenyum. "Saya bakalan pulang ke Amerika besok sore."
"Loh" Kenapa ngedadak?"
"Saya rasa, untuk ngelupain kejadian ini, saya harus pulang buat nenangin diri. Dan kamu tenang aja, suatu saat saya bakalan kembali ke sini, ngejenguk
kamu. Saya nggak akan pernah ngelupain kamu Naura."
Naura terenyuh. Ia seperti kembali mendapatkan sosok teman di mata Nessa. Tatapan penuh kebencian dan kesumat kini sirna berganti cahaya.
"Ya udah, asal itu buat kebaikan kamu. Saya juga nggak akan pernah ngelupain Mbak Nessa.."
"Ehhhh..." "Iyaa Nessa." Mereka tertawa, persis seperti saat pertemuan pertama. Persahabatan terjalin kembali.
Berikutnya, Nessa berbalik, melempar pandangan kepada Adrian, lalu kakinya mengayun.
"Maafin aku ya Adrian. Sekarang kamu bebas, aku nggak bakal larang-larang kamu lagi buat bahagia sama Naura."
"Masa Naura maafin, aku nggak?" Adrian menaikkan sebelah alisnya. Lekukan senyum terukir di bibir Nessa. Lalu memeluk Adrian, pria itu membeliak.
"Tenang aja, ini cuma pelukan perpisahan." Nessa menepuk punggung Adrian penuh kasih. Ia harus rela melepaskannya, karena Adrian bukan miliknya, dia milik
orang lain. Mereka berhak bahagia. "Semoga kalian bahagia."
Adrian tersenyum. Syukurlah. Tak berlangsung lama, Nessa melepaskan pelukannya. Beralih menatap Angga.
"Makasih, berkat kamu aku bisa sadar. Thanks buat kata-katanya."
"Sama-sama." Sebelum pergi, Nessa menyempatkan diri untuk melirik Naura dulu yang kini wajahnya berubah seperti tak merelakan. Nessa menganggukkan kepala, keputusannya
sudah bulat. Ia harus pergi.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Nessa melenggang keluar.
Ini keputusan terberatnya. Tapi Nessa berharap, semoga dia bisa menemukan pengganti Brian. Rasa cintanya yang begitu besar, tak akan mudah baginya untuk
berpaling. Mungkin, nama Brian akan terus terpatri dalam hatinya.
Surya, Satria, dan Belinda kini berada di ruang rawat Naura. Mereka tampak sama-sama memanjakan Naura, membantu proses kesembuhannya. Kadang ketiga orangtua
itu bertengkar gara-gara perbedaan pendapat. Naura kelabakan melihat perdebatan mereka. Yang satu menyuruh Naura untuk makan bubur, yang satu menyuruhnya
untuk makan buah-buahan, nah yang satu lagi menyuruhnya minum susu. Mendadak Naura bingung, perutnya tak akan muat jika harus makan semuanya.
"Kamu makan buah dulu..."
"Bubur dulu..."
"Eeeh susu dulu..."
"Iih Papa! Bubur dulu..."
"Apaan si Mama, yang ada itu buah dulu."
"Saya Ayahnya, jadi saya yang harus nantuin Naura makan apa dulu. Susu ini sehat."
"Saya mertuanya!"
Kepala Naura serasa akan meledak mendengar racauan mereka.
Tapi, pertengkaran orangtua itu pun terhenti ketika Adrian menyodorkan sebatang cokelat bermerk silverqueen di depan Naura.
"Mending cokelat dulu ajaa. Saya suaminya."
Otomatis, ketiga orangtua itu meneguk saliva. Kali ini, mereka akan kalah dengan Adrian.
Naura tersenyum jail, mengambil cokelat dari tangan Adrian.
"Maaf ya Mamaa, Papaa, Ayaah, kayaknya Naura lagi kepengin cokelat, deh." Perempuan itu tertawa. Adrian ikut-ikutan ketawa.
Di balik pintu, Angga bahagia, akhirnya ia bisa melihat tawa Naura lagi.
Tuhan memang berbaik hati kepada setiap umatnya. Di mana kemarau melanda, setelahnya dengan sukarela Tuhan akan memberi hujan. Asal manusia mau bersabar
tanpa merutuk. Tapi, jika hujan sudah datang, bukan berarti kemarau tak akan kembali lagi. Proses itu akan terus berlaku. Dan yang bisa dilakukan manusia
hanya satu; bersabar. *** Dua bulan kemudian. Pasangan itu kembali berdiri di teras rumah yang dulu pernah disinggahi. Tempat tinggal Adrian dan Naura untuk membangun keluarga yang bahagia, mandiri,
dan sejahtera. Naura bahagia, tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ia akan menginjakkan kakinya di sini lagi, bersama Adrian, pula. Adrian yang dulu
dinyatakan telah tiada dan tak akan pernah kembali.
Naura melirik ke samping, begitupun dengan Adrian, mereka bersipandang penuh makna, senyum merekah tercetak di bibir masing-masing. Lalu, Naura sedikit
berjinjit, mendaratkan bibirnya di telinga Adrian, membisikkan sesuatu.
"Kamu tau sekarang aku lagi bahagiaa banget. Bukan cuma karena ada kamu, terus kita kembali di rumah ini, tapi..."
Adrian menunggu Naura melanjutkan kalimatnya.
Naura meraih tangan Adrian, meletakkan telapak tangan suaminya di perut datarnya. Mulut Adrian sedikit melongo, penasaran. "Adrian junior udah muncul.
Dia siap melengkapi hidup kita."
Perlahan, wajah Adrian berubah sumringah, senyumnya kian mengembang.
"Kamu hamil?" Naura mengangguk pasti. "Kejutan istimewa. Perfect!" Adrian lantas membawa Naura ke dalam pelukannya dengan mesra. Mereka tertawa bersama, mirip sekali, tak sabar menyambut kelahiran
si jabang bayi. Naura dan Adrian merasa menjadi sepasang kekasih yang sempurna. Tanpa aba-aba, pelukan itu berubah menjadi gendongan. Yap! Adrian menggendong
tubuh Naura, membuat perempuan itu tergelak. Adrian berjalan mendekati pintu.
"Gimana buka pintunya kalau kamu gendong aku," protes Naura tanpa menghilangkan gurat tawa di romannya. "Kamu ada-ada aja, deh."
"Stttt... Udaah tenang aja. Lagian kamu itu kecil, gampang, kok."
Naura memutar bola mata. Adrian sibuk membuka kunci pintu rumah, sedikit kesulitan, tapi akhirnya ia berhasil, pintu itu terbuka.
Mereka pun masuk dengan obrolan-obrolan kecil di bibir. "Tuh kan aku jagoan."
"Iya suami aku emang jagoan. Keren emang, keren banget. Adrian junioor nanti kamu harus kayak Papa kamu yaaaa..."
Tawaan cekikikan mereka masih terdengar samar-samar meskipun Adrian sudah kembali menutup pintu dengan cara menendangnya dengan kaki.
Ini bukan akhir, melainkan awal.
*** TAMAT Memanah Burung Rajawali 9 Dewi Ular 46 Misteri Bocah Jelmaan Sepak Terjang Hui Sing 5
^