Pencarian

Memanah Burung Rajawali 9

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 9


belaka, ia sudah ketinggalan. Ia gusar dan terburu nafsunya, selagi begitu si
kacung sambar bungkusan obat di tangannya, bungkusan mana terus dilemparkan ke
empang di dekat mereka. Kacung itu adalah muridnya Nio Cu Ong, dia masih kecil tetapi cerdik, mendegar
teriakannya si koanke, dia menjadi kaget dan heran, kemudian dia menjadi curiga,
maka ia rampas obat itu dan dibuang.
Dalam gusarnya, kwee Ceng kerahkan tenaganya menghajar pula pintu kamar. Kali
ini daun pintu dapat digempur terbuka. Dalam sengitnya, ia serang si koanke yang
segera roboh tanpa dapat membuka suara. Tempo Kwee Kwee Ceng menoleh, si kacung
sudah lari. Dalam murkanya, ia berlompat untuk mengejar, segera ia berada di
balakang kacung itu, pundak siapa ia jambret.
Kacung itu dapat dengar suara menyambar, ia berkelit sambil mendak, lalu seraya
memutar tubuh, ia membalas menyerang denagn sapuan kakinya.
Kwee Ceng jadi tambah penasaran, setelah berkelit, ia menyerang dengan hebat.
Dua kali kacung itu kena dihajar mukanya, cuma sebab ia masih keburu membuang
mukanya, dia tak sampai roboh. Adalah kemudian, setelah kepalanya ke disampok,
dia roboh dengan pingsan.
Dengan satu dupakan, Kwee Ceng bikin tubuh si kacung terlempar ke tempat tumbuh
rumput didekatnya, habis itu ia lari ke dalam kamar. Ia lantas menyalakan api.
Terlihat si koanke masih rebah tanpa berkutik. Ia mengawasi obat, ia menjadi
bingung. tadi ketika si kacung mengambil obat, dia tidak perhatikan darimana
orang mengambilnya. Pun nama obat yang tertempel di peles obat tidak dapat ia
baca, sebab itu ditulis dalam huruf-huruf Nuchen. Tapi ia mesti bekerja cepat,
tidak bisa ia memikir lama-lama.
"Tadi kacung ini berdiri di dekat sini, baik aku ambil semua obat ini, sebentar
Ong Totiang yang pilih sendiri," pikirnya kemudian. Maka ia lantas ambil kertas,
ia membungkus setiap obat.
Karena ia bekerja cepat, tanpa sengaja Kwee Ceng kena langgar sebuah keranjang
di sampingnya. Ketika itu jatuh ke lantai, tutupnya terbuka. Untuk kagetnya, ia
lihat isi keranjang adalah sebuah ular besar yang tubuhnya merah mulus. Malah
ular itu segera menyambar!
Kwee Ceng kaget, syukur ia masih sempat berlompat. Sekarang ia dapat melihat
dengan tegas, tubuh ular ada sebesar cangkir, separuh tubuhnya masih ada di
dalam keranjang, jadi belum ketahuan berapa panjangnya tubuh ular itu. Yang aneh
adalah itu warna merah mulus. Lidah ular, yang diulur keluar, bercabang dua,
lidah itu bergerak-gerak tak hentinya.
Selagi mundur, Kwee Ceng membentur meja, lilin di atas meja roboh dan padam,
maka ruangannya segera menjadi gelap-gulita. Tapi obat telah didapat, ia lantas
lari ke pintu untuk mengangkat kaki. Tiba-tiba ia merasakan kakinya disambar dan
dipeluk, atau itu mirip dengan libatan dadung/tali, saking kaget, ia melompat
untuk meloloskan diri. Tapi ia dapat berhasil. Sebaliknya ia lantas merasakan
barang adem mengenakan lengannya.Kembali ia menjadi kaget. Ia tahu sekarang
bahwa ia telah dililit ular. Tapi ia tak hilang akal, dengan tangan kirinya
hendak ia cabut golok emas hadiah Jenghiz Khan. Disaat itu, ia merasakan bau
obat tercampur bau amis menyambar hidungnya, lalu mukanya terasa dingin. Itulah
ular yang telah menjilati mukanya!
Lagi sekali ia kaget tak terkira! Tak sempat ia menghunus goloknya, dengan
tangan kirinya ia sambar leher ular untuk dipencet.
Ular itu agaknya kaget, dia bertenaga besar, sebelum lehernya tercekik, ia
pentang mulutnya, untuk mencoba mengigit muka Kwee Ceng. Dilain pihak, ia
melibat dengan mengerahkan tenaganya, hingga Kwee Ceng lantas merasai tubuhnya
terlilit keras, sampai napasnya mulai sesak bahkan tenaga tangan kirinya mulai
berkurang. Baunya ular itu sangat mengganggu pernapasan si anak muda, hingga ia
menjadi mual, hendak ia muntah. Adalah sejenak kemudian, ia kehabisan tenaga, ia
seperti hendak pingsan, cekikan tangan kirinya terlepas sendirinya.....
Adalah disaat itu dilain pihak si kacung telah sadar dari pingsannya. Dia
mendapatkan kamar gelap sekali. Dia tahu, orang jahat itu tentu telah kabur.
Maka tidak ayal lagi, ia lari keluar dari kamar, dia kabur kepada gurunya itu.
Oey Yong terkejut akan dengar keterangan si kacung, denagn gerakan "Burung
meliwis turun di pasir datar", dengan enteng sekali, ia lompat turun. ia menaruh
kaki tanpa menerbitkan suara. Meski begitu, tak urung ia telah keperogok. Inilah
sebabnya, segera setelah keterangan si kacung, semua orang menjadi curiga.
Mereka memang semuanya orang-orang lihay.
Sejenak saja tubuh io Cu Ong sudah mencelat keluar, bahkan segera ia menghadang
di depan si nona. Dia lantas menegur; "Siapa kau?"
Oey Yong menginsyafi bahaya. Ia tahu orang lihay. Disamping dia ini, masih ada
yang lainnya. Maka ia hendak menggunakan akal. Untuk ini ia cerdik sekali. Tiba-
tiba saja ia tertawa dengan manis.
"Bunga bwee ini indah sekali, maukah kau memetiknya setangkai untuk aku?" ia
berkata kepada orang she Nio itu, jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong tercengang. Tidak ia sangka bakal menghadapi satu nona, malah satu
nona yang begitu cantik manis, yang suaranya halus dan merdu. Tanpa merasa ia
mengulurkan tangannya, akan memetik setangkai bunga, yang untuk terus diangsukan
kepada si nona. Oey Yong menyambuti. "Loya-cu, terim kasih!" katanya, kembali tertawa dengan
suaranya yang halus merdu itu.
Di ambang pintu berkumpul semua orang lainnya, merek aitu berdiri mengawasi
kedua orang itu. Ketika Oey Yong lantas memutar tubuhnya, untuk berlalu.
"Ongya," Pheng Lian Houw menanya, "Adakah nona ini, nona dari istana ini?"
"Bukan," menjawab Wanyen Lieh sambil menggelengkan kepala.
Hanya dengan menjejak dengan kakinya yang kiri, Lian ouw sudah mencelat ke depan
si nona. "Tunggu nona!" katanya, "Aku pun akan memetik setangkai bunga untukmu...!" Terus
ia ulur tangannya yang kanan, hendak menangkap lengan orang, tetap sebat luar
biasa, ia ubah tujuan, untuk meraba buah dada si nona.
Oey Yong kaget bukan main. Ia sebenarnya hendak berpura-pura tidak mengerti ilmu
silat. ia gagal. Lian Houw, sebagai jago di antara berandal di Hoopak, adalah
sangat tajam matanya dan cerdik. Tidak bisa lain, ia geraki tangan kanannya,
jari tangannya menyambuti tangan jago itu.
Lian Houw terperanjat waktu ia merasakan getaran di jalan darahnya koik-tie-
hiat, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu, dengan begitu dia dapat lolos
dari bahaya. Dia menjadi heran, nona demikian muda tetapi demikian lihay, dia
pun tak kenal ilmu silat si nona itu. Tentu saja ia tidak ketahui kepandaian
yang Oey Yong dapatkan sebagai warisan, namanya Totokan Bunga Anggrek.
Yang lain-lain pun terkejut dan heran.
"Nona, kau she apa?" Lian Houw lantas menanya, "Siapakah gurumu?"
"Bukankah bunga bwee ini permai sekali?" tanya Oey Yong sambil tertawa. Ia terus
berlagak pilon, ia tidak menunjukki kagetnya tadi. "Bukankah kau menghendaki aku
menancapnya di dalam pot?"
Sikap ini kembali membuatnya orang heran dan menjadi menduga-duga.
"Kau dengar apa tidak, apa yang kami tanya?" Lian Houw menegur. Ia tidak
sabaran, dia lantas menunjuki kesembronoannya dengan campur bicara.
"Apakah itu yang kau bicarakan?" balik tanya Oey Yong, tertawa.
Justru itu, Pheng Lian Houw dapat mengenali si nona ini adalah si nona yang
diwaktu siangnya sudah mempermainkan Hauw Thong Hay, cuma waktu itu orang
menyamar menjadi satu bocah dekil.
"Lao Houw, apakah kau tidak kenal nona ini?" ia tanya sahabatnya. Ia tertawa.
Thong hay tercengang. Lantas ia awasi si nona, dari atas sampai bawah dan
sebaliknya. Cepat sekali, ia mengenalinya. Mendadak saja hawa amarahnya meluap.
"Ha, anak busuk!" dia mendamprat. Dia pun terus pentang kedua tangannya untuk
menubruk. Dengan berkelit ke samping, Oey Yong bebaskan dirinya. Tapi di sini ia dipapaki
See Thong Thian, yang tubuhnya tahu-tahu berkelebat dan tangannya menyambar ke
lengan. "Kau hendak lari ke mana?" menegur Kwie-bun Liong Ong.
Oey Yong terkejut. Ia tidak menyangka lengannya bisa disambar secara demikian.
Tapi ia tidak gugup, ia pun tidak kekurangan akal. Dengan dua jari dari tangan
kirinya ia menotok kepada kedua matanya si orang she See itu.
Hebat See Thong Thian itu, hampir tak nampak bagaimana ia geraki tangannya, juga
tangan kiri si nona sudah lantas kena dia cekal.
"Tidak tahu malu!" mendamprat Oey Yong, yang kaget sekali.
"Tidak tahu malu apa"!" balik tanya See Thong Thian.
"Tua bangka menghina anak kecil! Laki-laki menghina anak perempuan!" Oey Yong
menyahuti. See Thong Thian terperanjat. Dia memang seorang tua dan kenamaan juga. Memang,
dengan perbuatannya ini, terang dia telah menghina anak kecil, seorang anak
perempuan..... "Masuk ke dalam!" katanya seraya kendorkan cekalannya.
Oey Yong tahu tidak dapat ia menolak, ia lantas turut masuk.
"Nanti aku bikin dia bercacad dulu baru kita bicara!" kata Hauw Thong Hay, yang
ada sangat mendongkol. Dia terus maju, untuk menanyakan kata-katanya itu.
"Tanyakan dulu, siapa gurunya dan siapa yang menitah ia itu datang ke mari!"
berkata Pheng Lian Houw. Hauw Thong Hay tidak pedulikan jago dari Hoopak itu, sebelah tangannya sudah
lantas melayang. Oey Yong berkelit. "Benar-benarkah kau hendak menurunkan tangan?" ia menanya.
"Aku hendak cegah kau melarikan diri!" jawab Thong Hay. Dia paling takut si nona
minggat, karena terang sudah, dia bakalan tidak dapat mengejar....
"Jikalau kau benar hendak adu kepandaian denagn aku, baiklah!" kata Oey Yong
yang sikapnya sabar tapi rada mengejek. Ia terus mengisikan enam buah cawan arak
di atas meja. Cawan yang satu ia letaki di batok kepalanya dan dua yang lain ia
cekal di antara kedua tangannya. Lantas ia menantang: "Beranikah kau mencontoh
aku ini?" "Setan alas!" berseru orang she See itu, jago tunggal dari sungai Hong Hoo.
Oey Yong tidak mengambil mumat, ia memandang kepada orang banyak. Ia kata, "Aku
tidak bermusuhan dengan tuan ini, bagaimana jadinya apabila aku keliru
menggeraki tangan dan kena melukakan dia?"
Thong Hay maju setindak, kedua matanya terbuka lebar. "Kau dapat melukakan aku"
Kau?" katanya sengit.
Kembali Oey Yong tidak mengambil mumat. Ia kata pula, "Dengan cara begini hendak
aku mengadu kepandaian dengannya! Siapa yang araknya tumpah lebih dahulu, dialah
yang kalah" Akurkah kau?"
Nona ini menggunai kecerdikannya. Ia tahu bahwa ia tidak bakal meloloskan diri
dari orang-orang lihay ini. Sekalipun terhadap Hauw Thong Hay, ia menang cuma
sebab ia andalkan kegesitan dan kelincahannya. Ia percaya, dengan bergurau
secara demikian, ia bakal dapat lolos.
"Siapa kesudian main-main denganmu!" Thong Hay membentak. Kembali ia menyerang
sambarannya bagaikan angin.
"Bagus!" Oey Yong tertawa, seraya ia berkelit. "Pada tubuhku ada tiga buah
cawan, kau snediri boleh bertangan kosong! Nah mari kita adu kepandaian!"
Bukan alang kepalang gusarnya Thong Hay. Dia berusia jauh terlebih tua, meski ia
tidak sangat kesohor seperti See Thong Thian, kakak seperguruannya itu, ia toh
ternama juga. Sekarang dia dipermainkan secara begini! Tanpa berpikir sejenak
juga, ia jumput sebuah cawan arak, untuk diletaki di batok kepalanya, habis mana
ia sambar dua yang lain, masing-masing dengan sebelah tangan. Kemudian, dengan
sama cepatnya, ia tekuk sedikit kaki kirinya, untuk menyusul melayangkan kaki
kanannya mendupak nona itu!
"Bagus! Nah ini barulah namanya enghiong sejati!" Oey Yong berseru sambil
tertawa, seraya ia berkelit. Belum sempat ia melanjuti perkataannya atau dia
sudah ditendang pula, kali ini berulang-ulang. Karena dengan kedua tangan
mencekal cangkir dan kepala ditaruhkan cangkir juga, Thong Hay tidak dapat
berbuat lain dari menggunai kedua kakinya.
Oey Yong akhirnya repot akan tetapi ia selalu dapat lompat berkelit atau
mengegos tubuhnya, menyingkir dari tendangan. Untuk ini, ia mesti seperti
memutari ruangan itu. Nio Cu Ong memasang mata kepada gerakan kakinya si nona cilik. Itulah gerakan
bagaikan "Mega berjalan atau air mengalir". Tubuh tetap tegak, tidak bergerak
sedikit juga, dan kedua kaki seperti ketutupan kun tetapi bergeraknya cepat.
Dipihak sana, tindakannya Hauw Thong Hay cepat dan lebar.
Si nona berkelit bukan cuma main berkelit saja, ia saban-saban mencoba dengan
sikutnya akan membentur lengan lawannya, supaya benturannya dapat membuat arak
tumpah atau ngeplok. "Bocah ini begini lihay, sebenarnya sulit untuk melatih diri hingga begini
rupa..." berpikir jago tua ini. "Hanya, lama-lama dia toh bakal menjadi bukan
tandingannya Lao Hauw..."
Disaat itu, tiba-tiba Cu Ong ingin obat-obatannya, maka lenyaplah keinginannya
menyaksikan pertempuran, ingin ia lari ke pintu, untuk terus ke kamarnya, guna
cari si pencuri obat. Tentu saja ia tidak sempat memikir bagaimana halnya dengan
si pencuri obat sensiri......
Kwee Ceng belum sampai pingsan tatkala ia merasakan bau ular menjadi semakin
hebat. Ia insyaf bahayanya apabila binatang berbisa itu sampai dapat memagut
padanya. Maka ia lantas tempel mukanya di tubuh ular itu. Oleh karena ia tidak
dapat menggeraki tubuhnya, atau kaki tangannya, sekarang tinggal mulutnya yang
masih merdeka. Mendadak saja ia ingat suatu apa. Lantas ia kuatkan hatinya, agar
tidak sampai roboh pingsan, terus ia gigit leher ular itu. Binatang itu kaget
dan kesakitan, dia bergerak, hingga lilitan kepada anak muda itu menjadi semakin
keras. Tanpa pedulikan apa juga, Kwee Ceng menggigit terus, lalu terus menghisap,
menyedot darah binatang itu. Ia tidak ambil mumat lagi binatang itu berbisa. Ia
juga tidak gubris pula bau darah yang sangat tidak enak. Ia melainkan ketahui,
kalau darahnya berkurang, maka tenaga binatang itu juga akan berkurang pula dan
dengan begitu, lilitannya akan menjadi kendor. Itu pun artinya ia bakal terlolos
dari bahaya maut. Maka ia menghisap terus-terusan, hingga tanpa merasa, perutnya
mulai kembung. Dugaannya bocah ini tepat. Setelah darahnya terkuras banyak, tenaganya binatang
itu segera menjadi berkurang, lilitannya segera menjadi kendor, atau sesaat
kemudian, ia lepaskan lilitannya itu, tubuhnya pun jatuh sendirinya. Sebab itu
waktu, dia kehabisan tenaga, napasnya lantas berhenti berjalan!
Kwee Ceng terjatuh duduk. Tapi dia masih sadar, lekas-lekas ia empos
semangatnya, untuk menjalankan napasnya dengan beraturan. Dengan dapat
bersemadhi lekas ia dapat pulang tenaganyanya. Hanya aneh sekarang ia merasakan
darahnya bergerak keseluruh tubuhnya. Ia mengerti itulah darahnya si ular yang
lagi bekerja. Ia terus bersemadhi sampai ia merasa sangat lega hati dan tubuh.
Segera setelah merasa segar betul, ia gunai tenaganya untuk mencelat bangun.
Yang pertama diingat bocah ini adalah obat-obatan di dalam sakunya. Ia lantas
meraba. Ia menjadi girang sekali. Obat-obatan itu masih ada. Karena ini, ia
segera teringat pula kepada Bok Ek.
"Dia dan anak gadisnya dikurung Wanyen Kang, aku telah ketahui halnya itu,
bagaimana dapat aku tidak menolongi mereka?" demikian ia berpikir. Ia lantas
bekerja. Ia tindak ke pintu, dari situ, setelah melihat ke sekitarnya, ia jalan
dengan cepat ke arah kurungannya Bok Ek dan gadisnya. Selagi ia mendekati
kurungan, ia mendapati penjagaan kuat di situ. Tapi ia mesti bisa masuk ke
dalam. Ia memutar ke belakang. Di situ ia tunggu lewatnya serdadu ronda, lalu
cepat sekali ia lompat turun ke sebelah dalam. Ia hampirkan kurungan. Sembari
memasang kuping, ia melihat ke sekeliling. Tidak ada serdadu jaga di situ.
"Bok Cianpwee, aku datang untuk menolongi," ia lantas berkata dengan perlahan.
"Kau siapa, tuan?" ada jawabannya Bok Ek yang menanya.
Kwee Ceng perkenalkan dirinya.
Bok Ek pernah dengar lapat-lapat namanya Kwee Ceng itu, karena berisik dan ia
pun terluka, ia tidak sempat memikirkannya, sekarang di tengah malam, ia
mendengarnya dengan nyata.
"Kau...kau she Kwee?" tanyanya, menegaskan. Agaknya ia terperanjat.
"Benar," sahut si bocha hormat, "Aku yang muda adalah orang yang tadi siang
melawan si pangeran muda."
"Siapakah ayahmu?" Bok Ek tanya pula.
"Ayahku almarhum bernama Siauw Thian," Kwee Ceng menyahut pula.
Dengan tiba-tiba saja air matanya Bok Ek mengembang dan berlinang-linang, lalu
ia angkat kepalanya, dongak, seraya mengeluh: "Oh, Thian....Thian...." ia pun ulur
keluar tangannya dari dalam jeruji, untuk mencekal tangannya si anak muda dengan
erat. Kwee Ceng merasakan tangan orang itu bergemetar dan air mata orang itu pun
menetes jatuh ke belakang telapakan tangannya itu. Ia kata dalam hati kecilnya:
"Rupanya dia ketahui ada orang bakal menolong dia, dia menjadi girang luar
biasa." Maka ia kata dengan perlahan sekali: "Aku punya golok yang tajam, dengan
itu kunci dapat dirusak untuk Cianpwee bisa keluar dari kerangkeng ini..."
"Ibumu she Lie, bukankah?" Bok Ek menanya pula, ia seperti tidak pedulikan
perkataan orang. "Apakah ibumu itu masih ada atau ia telah menutup mata?"
Kwee Ceng heran sehingga ia balik menanya: "Ah, kenapa Cianpwee ketahui ibuku
she Lie" Ibu masih ada di Mongolia."
Hatinya Bok Ek goncang keras, ia cekal tangan Kwee Ceng semakin keras, ia tidak


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak melepaskannya. "Tolong, lepaskan cekalanmu, nanti aku bacok kunci ini," Kwee Ceng bilang.
Bok Ek tetap memegangi erat-eart. Ia seperti mendapati sesuatu yang berharga dan
tak ingin itu lenyap pula.
"Ah, kau telah menjadi begini besar..." katanya menghela napas. "Ah, dengan
memeramkan mata sekejapan saja, lantas aku dapat membayangkan wajah ayahmu yang
telah almarhum itu..."
Kwee Ceng menjadi semakin heran. "Cianpwee kenal ayahku itu?" tanyanya.
"Ayahmu adalah kakak angkatku," Bok Ek beritahu. "Kita telah mengangkat saudara
hingga perhubungan kita erat bagaikan saudara kandung...."
Orang tua ini tidak dapat melanjuti kata-katanya, ia menangis sesegukan.
Tanpa merasa, air matanya Kwee Ceng pun berlinang. Ia tidak tahu Bok Ek ini
adalah Yo Tiat Sim, yang dulu hari itu, diwaktu bertempur bersama tentera
negeri, sudah terluka tusukan tombak pada punggungnya, karena lukanya parah, ia
roboh pingsan. Syukur untuknya, disebabkan malam dan gelap, dia tidak kena
tertawan. Adalah besok paginya ia sadar sendirinya, dengan merayap dia pergi ke
rumah seorang petani di dekat tempat kejadian. Satu tahun lebih ia merawat
dirinya, baru dia sembuh. Setelah itu ia merantau mencari Lie Peng, istrinya
Kwee Siauw Thian, serta Pauw See Yok, istrinya sendiri. Tentu saja ia tidak
berhasil. Karena yang satu berada jauh sekali di gurun pasir, yang lain berada
di Utara. Dia tidak pakai terus she dan namanya - Yo Tiat Sim - dia hanya rombak
she Yo itu, di ambil bagiannya ynag kiri, yaitu huruf "Bok" yang berarti "Kayu".
Tapi juga huruf "Bok" ini diganti lagi dengan huruf "Bok" yang berarti "Akur".
Dia cuma ambil suaranya saja. Dan nama "Ek" dia ambil dari huruf pecahan sebelah
kanan dari huruf "Yo" shenya itu. Huruf "Yo" itu terdiri dari dua huruf "Bok =
kayu dan Ek = gampang atau tukar". Selama delapan belas tahun ia merantau.
Sekarang secara kebetulan ia bertemu sama putra sahabat atau saudara angkatnya
itu, cara bagaimana ia tidak menjadi bersedih hati"
Selama ayahnya itu berbicara sama si anak muda, Bok Liam Cu berniat memberi
ingat serta meminta Kwee Ceng menolongi dulu mereka, tentang pasang omong, itu
boleh dilanjuti lain kali, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, lalu
datang pikiran lain, yang membuatnya berubah. Ia kata dalam hatinya: "Satu kali
kita keluar dari sini, aku khawatir untuk selama-lamanya aku nanti tidak dapat
bertemu dengan dia..."
Dengan "dia" yang dimaksud oleh Liam Cu adalah Wanyen Kang, si pangeran muda.
Dengan sendirinya, ia telah jatuh cinta kepada pangeran itu, hingga ia tak ingin
pergi jauh, untuk memisahkan diri....
Kwee Ceng pun ingat bahaya yang mengancam mereka, maka ia sudah lantas tarik
keluar tangannya dari dalam kerangkeng, hanya di saat ia hendak ayun goloknya,
untuk menggempur kunci, mendadak ia tampak sinar terang yang disusul sama suara
tindakan kaki. ia terkejut, dengan sebat ia simpan goloknya, dengan gesit ia
lompat sembunyi di belakang pintu.
Sekejap saja, dengan mengasih suara, daun pinttu dipenntang, lalu terlihat
masuknya beberapa orang, di antara siapa yang jalan di muka adalah yang
menenteng lentera. Kwee Ceng heran akan melihat orang itu yang bukan lain daripada onghui atau
selirnya Chao Wang dan ibunya Wanyen Kang. Ia tidak dapat menerka orang datang
dengan maksud apa. Ia memasang kuping dan matanya.
"Adakah mereka ini yang hari ini dikurung siauw-ongya?" demikian Kwee Ceng
dengan pertanyaannya si nyonya mulia.
"Ya," menyahuti si opsir atau pemimpin dari beberapa pengiring nyonya itu.
"Sekarang juga merdekakan mereka!" onghui memberi titah.
Opsir itu terkejut, dia ragu-ragu, hingga tak dapat ia segera menjawab.
"Jikalau siauw-ongya menanyakan, bilang aku yang memerdekakan mereka," onghui
berkata pula menampak orang sangsi. "Lekas buka kuncinya!"
Sampai di situ, opsir itu tidak berani berlambat pula.
Setelah ayah dan gadis itu sudah berada di luar kerangkeng, onghui merogoh
sakunya untuk mengeluarkan dua potong emas, yang mana ia angsurkan kepada Bok Ek
atau Yo Tiat Sim. Ia kata: "Nah, pergilah kamu baik-baik!"
Tiat Sim tidak menyambut emas itu, sebaliknya ia mengawasi dengan tajam.
Ditatap demikian, onghui heran. "Putraku berbuat keliru, harap kamu tidak
sesalkan dia..." dia berkata lagi kemudian.
Cuma sedetik atau Tiat Sim telah ubah pikiran. Ia sambuti itu emas, terus ia
tuntun tangan putrinya, untuk diajak berlalu dengan tindakan lebar.
"Ha, orang kasar!" membentak si opsir. "Kamu tidak membilang terima kasih kepada
onghui yang telah menolong jiwamu!"
Bagaikan tidak mendengar, Tiat Sim jalan terus.
Sampai di situ, onghui pun berlalu bersama sekalian pengiringnya.
Kwee Ceng tunggu sampai pintu sudah ditutup dan mendengar tindakan kaki onghui
sudah jauh, baru ia keluar dari tempat sembunyinya, untuk keluar juga. Ia
melihat ke sekeliling, ia tidak dapatkan Bok Ek dan Liam Cu.
"Pasti mereka sudah keluar dari istana," pikirnya. Maka ia lantas menuju ke Hoa
Cui Kok untuk mencari Oey Yong. Ingin ia membujuk nona itu buat jangan mengintai
lebih lama, supaya mereka bisa lekas pergi menolongi Ong Cie It.
Baru ia tiba disebuah tikungan, Kwee Ceng lihat sinar terang dari dua buah
lentera serta mendengar suara tindakan kaki yang cepat. Ia lantas lompat ke
samping di mana ada gunung-gunungan dari batu, untuk umpatkan diri, kemudian ia
segera dengar teguran dari orang yang jalan di paling depan. "Siapa"!" Bahkan
orang itu sudah lantas berlompat maju dan tangannya menyambar.
Kwee Ceng geraki tangannya, untuk membebaskan diri. Berbareng dengan itu, ia
terkejut juga. Di antara cahaya api, ia kenali Wanyen Kang si siauw-ongya atau
pangeran muda. Wanyen Kang telah datang dengan cepat karena baru saja ia terima laporan dari
opsir yang mengiringi onghui bahwa Bok Ek dan gadisnya telah dimerdekakan. Ia
kaget dan kata dalam hatinya: "Sungguh lemah hati ibu, hingga tidak
memperdulikan urusan besar, ia merdekakan dua orang itu. Kalau guruku ketahui
ini, cara bagaimana aku dapat menyangkal?" Ia berniat memegat Bok Ek dan Liam
Cu, maka ia datang dengan cepat, diluar dugaannya, ia bertemu dengan Kwee Ceng.
Pemuda she Kwee ini hendak meloloskan diri, ia membikin perlawanan. Wanyen Kang
hendak menawan, dia menyerang dengan hebat. Maka itu, mereka lantas saja
bertempur seru melebihkan pertandingan mereka tadi siang.
Bukan main masgul dan cemasnya Kwee Ceng. Beberapa kali ia mencoba untuk
meloloskan diri, saban-saban ia gagal. Tak kurang hebatnya rintangan si siauw-
ongya. Sementara itu dilain pihak, Nio Cu Ong yang menduga Oey Yong bakal kalah baru
saja memutar tubuhnya atau pertandingan telah salin rupa. Hebat si nona, ia
perlihatkan kepandaian yang luar biasa. Dengan satu gerakan berbareng ia membuat
tiga cawan di kepala dan kedua tangannya terlepas, mumbul naik ke atas menyusul
mana dengan satu lompatan enteng tetapi gesit ia menerjang pada Thong Hay dengan
kedua tangannya. Orang she Hauw ini menjadi repot. Dengan kedua tangan mencekal cawan, tidak
dapat ia menangkis, maka terpaksa ia berkelit ke kiri. Justru itu, dengan
kesebatannya, tangan kanan si nona menyambar pula. Kali ini, Thong Hay tidak
dapat mengegos pula tubuhnya, terpaksa ia menangkis!
Begitu kedua tangan bentrok, begitu juga kedua cawan di tangan orang she Hauw
itu tergerak, isinya lantas tumpah, membasahkan lantai. Yang hebat adalah cawan
di batok kepalanya, cawan itu jatuh ke lantai, pecah hancur menerbitkan suara
berisik dan araknya melulahkan.
Oey Yong sudah lantas mencelat mundur, kedua tangannya menyambar kedua cawannya,
yang baru saja turun, sedang kepalanya menyambut cawan yang ketiga yang tadi ia
letaki di batok kepalanya itu. Semua terjadi dengan cepat luar biasa, semua
cawan itu tidak miring, araknya tidak tumpah!
"Bagus!" seru orang banyak. Mau atau tidak, mereka mesti puji nona ini yang
merebut kemenangan dengan kecerdikan dan kelincahannya itu.
Thong Hay sebaliknya bermuka merah, berparas bermuram durja, saking malu dan
mendongkolnya. "Mari kita bertanding pula!" ia menantang.
Oey Yong bawa jari-jari tangan ke pipinya "Tak malukah kau?" dia bertanya,
mengejek. "Hm!" See Thong Thian mengasih suaranya menyaksikan adik seperguruannya itu
dibikin malu secara demikian. "Budak cilik, kau licin sekali! Siapa sebenarnya
gurumu!" "Besok akan aku mengasih keterangan kepada kau!" menjawab si nona tertawa.
"Sekarang aku mesti pergi dulu!"
Setahu bagaimana gerakkannya Thong Thian, tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat
ke ambang pintu, untuk menghalangi di situ.
Oey Yong telah merasakan tadi bagaimana orang she See ini tanpa ia mengetahui, hingga kedua tangannya tidak dapat digeraki
lagi, sekarang ia menyaksikan cara mencelat orang, yang ada dari tipu "Menukar
wujud, mengganti kedudukan", semacam ilmu yang luhur, ia kaget sekali. Tapi ia
dapat menenangkan diri, parasnya tidak menunjuki perubahan. Ia hanya
mengkerutkan kening. "Mau apa kau menghalangi aku?" dia bertanya, berlagak pilon.
"Aku ingin ketahui kau murid siapa?" menyahut See Thong Thian. "Aku ingin
ketahui untuk apa kau datang nyelusup ke istana ini?"
Sepasang alis yang bagus dari si nona bergerak bangun. "Jikalau aku tidak sudi
mengasih keterangan?" tanyanya, menantang.
"Pertanyaannya Kwie-bun Liong Ong tidak dapat tidak dijawab!" sahut orang she
See itu. Oey Yong melihat ke sekitarnya. Pintu ada di belakang Thong Thian, tidak dapat
ia memaksa menerobos keluar. Justru itu ia dapatkan Bio Cu Ong hendak pergi ke
luar, ia lantas menegur. "Lopepe, dia pegat aku, dia tidak mau kasih aku pulang?" katanya.
Hati Cu Ong tertarik. Suara orang merdu dan bernada minta dikasihani. Ia pun mau
percaya, bocah ini bukan sembarang orang. Tanpa merasa, ai menjadi merasa suka
kepada si nona. "Kau jawablah pertanyaannya See Liong Ong," ia kata, tertawa. "Setelah kau
berikan jawabanmu, dia nanti mengasih ijin kau berlalu.
Oey Yong tertawa, tetap dengan manis. "Aku justru tidak sudi menjawab dia!"
sahutnya. Lantas dia hadapkan Thong Thian untuk mengancam, "Jikalau kau tidak
mengijinkan aku pergi, nanti aku pergi denagn cara paksa!"
See Thong Thian tertawa dingin."Asal kau mampu!" bilangnya.
"Tapi awas, kau tidak boleh serang aku!" berkata si nona, ynag hendak menggunai
pula kecerdikannya. "Untuk memegat kau, budak cilik, buat apa See Liong Ong sampai menurunkan
tangan?" katanya. "Bagus!" seru Oey Yong. "Seorang laki-laki, satu kali ia mengucap, itu telah
menjadi kepastian! Eh, See Liong Ong, kau lihat itu di sana apa?" Semabri
mengucap, dia menunjuk ke arah kiri.
See Thong berpaling ke arah yang ditunjuk itu.
Oey Yong gunai kesempatan ketika orang menoleh, tubuhnya meleset, lewat di
samping jago tunggal dari sungai Hong Ho itu.
Benar-benar lihay See Thong Thian. Baru orang berkelebat, atau kepalanya sudah
menghadang di depan si nona. Syukur si nona itu pun lihay, ia dapat menahan
tubuhnya hingga ia tidak usah melanggar kepala orang itu. Ia meundur dengan
cepat. See Thong Thian mengawasi. Sekarang telah buntu jalannya si nona itu. Dua kali
lagi ia mencoba, jago sugai Hong Ho itu senantiasa menghadang di depannya.
Nio Cu Ong menyaksikan itu, ia tertawa. "See Liong Ong, adalah satu ahli
tersebar," katanya. "Maka janganlah kau mensia-siakan tenaga, kau mengaku kalah
saja!" Habis berkata, ia lantas hendak pergi, untuk lari ke kamarnya. Baru saja
ia tiba di ambang pintu atau hidungnya sudah tercium bau yang membuatnya sangat
terkejut. "Celaka!" serunya. Ia sudah lantas nyalakan api, hingga ia menjadi tercengang.
Di situ tergeletak bangkai ularnya, dan obat-obatannya kacau tidak karuan.
Hampir ia menjerit menangis, karena habislah usahanya beberapa puluh tahun.
Som Sian Lao Koay bukan melainkan pandai ilmu silat tetapi pun ia paham ilmu
tabib, maka kebetulan untuknya pada suatu waktu ia dapat resep yang istimewa,
resep untuk membikin sehat dan kuat tubuh. Untuk ini, ia lantas pergi berkelana,
untuk mencari bahan-bahan obatnya. Pula, setelah banyak kesulitan, ia telah
dapatkan ularnya yang besar itu yang sanat berbisa. Lantas ular ini ia kasih
makan pelbagai macan obat pilihan. Mulanya tubuh ular itu warnanya hitam abu-
abu, setelah makan banyak macan obat itu, warnanya lantas berubah menjadi merah
mulus, warna merah itu menjadi marong sesudah sang ular dipiara duapuluh tahun
lamanya. Ia sudah memikir buat lagi beberapa hari akan menghisap darahnya ular
itu, untuk membikin ia panjang umur, untuk menambah kekuatan tubuhnya, sebab ia
berangan-angan untuk menjagoi dan merobohkan segala jago lainnya, siapa tahu
sekarang ularnya itu terbinasa, malah ia ketahui juga terbinasanya ular itu
sebab darahnya telah orang sedot.
Cepat setelah ia tersadar, io Cu Ong periksa tubuh ularnya itu, terutama
lukanya, maka tahulah ia, musuh belum pergi jauh. Tidak bersangsi lagi, ia lari
keluar, ia lompat naik ke atas pohon besar, untuk memandang sekitarnya, guna
mencari si pencuri. Ia dapat melihat di dalam taman ada dua orang lagi bergumul.
Berbangkit pula hawa amarahnya, maka dengan lantas ia lari ke arah taman.
Sebentar saja ia sudah sampai si taman di mana Kwee Ceng dan Wanyen Kang tengah
bertempur. Baru ia datang atau hidungnya telah mendapat cium bau obat tercampur
bau amis yang datangnya dari arah si pemuda.
Dalam halnya ilmu silat, Kwee Ceng kalah dari Wanyen Kang, maka juga kali ini
diwaktu mulai bertempur, ai sudah lantas keteter, akan tetapi, begitu lewat
beberapa jurus, begitu juga datanglah perubahan atas dirinya. Mendadak ia merasa
perutnya sangat panas seperti ada bola api di dalam perutnya itu. Disaat itu
tenaganya lantas bertambah sendirinya. Satu kali ia serang Wanyen Kang, maka si
pangeran menangkis, beda daripada biasanya, dia terhuyung.
"Heran, kenapa tenaganya menjadi kuat?" tanya si pangeran dalam hatinya.
Kwee Ceng pun pun terus merasakan perubahan. Tubuhnya panas hingga ia seperti
tidak sanggup menahannya. Ia menjadi sangat berbahaya. Di mana-mana ia merasakan
gatal pada tubuhnya. "Kali ini habislah jiwaku..." pikirnya. "Tentulah bisa ular lagi bekerja..."
Ingat kepada bisa ular, hatinya pemuda ini menjadi kecil. Karena ini, ia pun
menjadi alpa, hingga dua kali bebokongnya kena dihajar si pangeran, yang sudah
dapat memperbaiki dirinya. Tapi juga penyerangan ini mendatangkan perubahan
lainnya. Biasanya kalo ia kena diserang, ia merasa sakit, tetapi sekarang,
bukannya ia merasa sakit hanya gatal, dan enak sekali rasa gatal itu. Ia menjadi
heran berbareng girang, hingga sengaja ia membuatnya lowongan, sampai Wanyen
Kang dapat menyerang sepuasnya. Tidak sedikit pun ia merasakan sakit lagi.
Siauw-ongya itu turut menjadi heran, karena pelbagai pukulannya tidak
menyebabkan orang kesakitan atau roboh. "Kenapa sekalipun dengan pukulan yang
membahayakan aku tidak dapat melukai dia?" pikirnya.
Sedang Kwee Ceng berpikir: "Heran, kenapa pukulannya empuk sekali, dia seperti
meggaruki gatalku?" Adalah aturan dari resepnya io Cu Ong itu, siapa habis minum darah ular,
tubuhnya mesti dipukuli, supaya dengan begitu, hawa darah itu buyar, supaya
racunnya tidak bekerja lagi, setelah mana, tubuh orang yang bersangkutan menjadi
tambah kuat. Maka itu kebetulan sekali Kwee Ceng bertempur sama Wanyen Kang.
Siauw-ongya tidak ketahui rahasia itu, tidak heran kalau ia menjadi bingung.
Tatkala Nio Cu Ong tiba, telah cukup lama Kwee Ceng terhajar, maka itu tubuhnya
menjadi kuat luar biasa, pelbagai pukulannya Wanyen Kang menjadi tidak ada
artinya. Menyaksikan itu, Cu Ong menjadi menyesal berbareng penasaran dan
mendongkol. "Hai, bangsat anjing!" dia menegu. "Siapa yang anjurkan kau mencuri ularku"!"
Dia percaya, sebagai bocah Kwee Ceng tentunya tidak ketahui rahasia resepnya
itu, mestinya si bocah diberi petunjuk oleh seorang berilmu, yang entah siapa.
Kwee Ceng memang tidak tahu suatu apa mengenai resep itu atau darah ular yang ia
minum, oleh karena itu ia gusar yang ia telah dicaci.
"Bagus, kiranya kau yang piara ular berbisa itu!" ia berseru. "Aku sekarang
telah terkena bisanya binatang jahat itu, hendak aku mengadu nyawa denganmu!" Ia
lompat maju untuk menyerang itu jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong merasakan pula sambaran bau obat dan amis dari ular, yang leuar dari
baju atau tubuhnya Kwee Ceng, mendadak hatinya menjadi panas, lantas timbul
pikirannya yang kejam. Ia pikir: "Dia telah minum darah ularku, baik aku bunuh
dia, untuk sedot darah dari tubuhnya itu, mungkin kekuatannya obat masih ada
atau mungkin kekuatan itu bertambah besar..." Karena ini, ia menjadi girang,
lantas ia menyambuti serangan. Dengan lantas ia dapat menangkap tangannya si
anak muda. Tenaganya Kwee Ceng telah bertambah luar biasa, maka itu ketika ia mengibaskan
tangannya, untuk ditarik, tangan itu segera terlepas dari cekalannya lawan.
Nio Cu Ong tidak menjadi heran yang ia tidak bisa mencekal terus tangannya bocah
itu, ia lantas menggunai akal. Ia menanti lain serangan, lalu ia menangkap pula.
Kali ini ia menunggu sampai orang berontak, segera ia gunai kakinya untuk
menggaet. Jago ini lihay berlipat kali dari kwee Ceng, ia tentu dapat berbuat sesukanya
terhadap anak muda itu, yang kalah pandai dan kalah pengalaman, kalah cerdik


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga. Begitulah ketika kakinya kena digaet, Kwee Ceng roboh dengan segera.
Lantas Cu Ong menubruk, untuk memegang keras pundak orang, yang ia tekankan
kepada tanah, setelah mana ia majukan mukanya ke arah leher, untuk menggigit
leher itu, guna menyedot darah ularnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam Hoa Cui Kok masih tidak dapat menerobos
penjagaannya See Thong Thian, biarnya ia sangat lincah, semua percobaannya sia-
sia belaka. Sebenarnya, kalau Thong Thian menghendaki, dengan gampang ia bisa
bekuk nona itu, dengan mencekal tangannya, tetapi di depan Chao Wang, dia hendak
pertontonkan kepandaiannya, dia sengaja permainkan nona itu.
Oey Yong menjadi cemas. Akhirnya ia berhenti mencoba. "See Liong Ong," katanya,
untuk menggunai akal pula, "Asal aku dapat lolos, kau tidak dapat mengganggu
pula padaku. Akurkah kau?"
"Asal kau dapat molos, akan aku menyerah kalah!" Thong Thian jawab.
Oey Yong lantas menghela napas. "Sayang, sayang...." katanya dengan masgul.
"Sayang, ayahku cuma ajarkan aku menyerang masuk, dia tidak mengajarkan aku ilmu
menerjang keluar....."
"Apakah itu menyerang masuk dan menerjang keluar?" tanya See Thong Thian. Biar
bagaimana, ia belum pernah dengar hal ilmu masuk dann keluar itu.
"Itulah ilmu untuk merobohkan kau," sahut si nona. "Kau punya ilmu Menukar Wujud
Memindahkan Kedudukan ini, walaupun sudah tidak dapat dicela, apabila
dibandingkan sama kepandaian ayahku, bedanya masih jauh sekali!"
Thong Thian gusar. Ia percaya ilmunya sudah dipuncak kemahiran. "Kau ngaco-belo,
budak cilik!" bentaknya. "Siapakah ayahmu itu"!"
"Jikalau aku sebutkan nama ayahku, aku khawatir kau nanti kaget hingga
semangatmu terbang!" Oey Yong menjawab. "Ketika dulu hari ia ajarkan aku
menyerang masuk, ayahku itu menjaga di mulut pintu, aku memasukinya dari luar,
beberapa kali aku mencoba, aku gagal. Mengenai kepandaianmu ini, memang dari
dalam aku tidak sanggup menerjang keluar, akan tetapi kalau dari luar, tak usah
menggunai tenaga untuk meniup debu, pasti aku akan dapat molos."
Thong Thian mendongkol sekali. "Dari luar masuk ke dalam sama dari dalam pergi
keluar, tidakkah itu sama saja?" dia menanya. "Baiklah kau boleh coba dari
luar!" Ia lantas menggeser tubuhnya, guna mengasih si nona pergi keluar. Ingin
ia menyaksikan orang menyerang masuk, untuk mengetahui, apa macam ilmu menyerang
masuk itu. Oey Yong lantas saja meleset keluar, terus ia tertawa geli.
"See Liong Ong, kau telah tertipu olehku!" katanya nyaring. "Kau telah bilang
sendiri, asal aku berada di luar, kau akan menyerah kalah, kau tidak bakal
mengganggu pula aku. Kau lihat, bukankah aku sekarang telah berada di luar" Nah,
sampai ketemu pula!"
See Thong Thian berdiri diam. Memang telah dibikin perjanjian itu, tidak peduli
si nona telah menggunai akal bulus. Saking menyesalnya, ia ketoki kepalanya
sampai tiga kali. Pheng Lian Houw bersahabat erat sekali sama Kwie-bun Liong, tidak suka ia
membiarkan kawannya itu diperdayakan secara demikian, ia pun tidak senang orang
dapat pergi dengan begitu saja, dari itu ia segera ayun kedua kedua tangannya.
Maka menyambarlah dua renteng senjata rahasia yang berupa kim-chie atau uang
emas. Adalah umum kalau orang menyerang dengan kim-chie, serangannya itu untuk atas
dan bawah, hingga sulit orang lolos dari salah satunya. Orang she Pheng ini
adalah satu ahli, hingga ia peroleh gelarannya yang luar biasa - Cian Ciu Jin-
touw, yang berarti pembunuh manusia seribu tangan, maka tidaklah heran kalau ia
ada mempunyakan keistimewaannya sendiri. Senjata rahasianya itu adalah seperti
bumerang. Kim-chie lewat di atasannya kepala Oey Yong, lalu berbalik sendirinya,
terus menyerang ke bebokong.
Oey Yong heran dan kaget. ia lihat serangan lewat di atasan kepalanya, ia
menjadi heran, hingga ia memikir, kenapa kepandaian orang ini begini buruk" Tapi
justru ia heran, ia dengar suara angin, lalu kedua senjata rahasia itu berbalik,
menyambar ai di kiri-kanan mengarah batok kepalanya. Ia menjadi kaget sekali. Ia
ada punya mustika pelindung tubuh, tidak demikian dengan kepalanya, kalau ia
terserang jitu, celakalah ia. Karena ini, ia lompat ke depan, Ia baru menaruh
kaki, atau kim-chie yang belakangan sudah menyambar pula. Hebat untuk dia, dua
renceng kim-chie dari Phen Lian Houw terdiri dari beberapa puluh biji, datangnya
saling susul. Tidak dapat kim-chie itu ditanggapi. Karena ini tidak ada jalan
lain, terpaksa ia melompat maju pula, ia berlompatan. Maka dilain saat, ia telah
kembali ke ruangan besar!
Tidak ada niatnya Pheng Lian Houw untuk melukai si nona, ia menyerang denagn
sennjata rahasianya itu guna menggiring nona itu kembali ke dalam, kalau tidak
demikian, pasti Oey Yong tidak sanggup membebaskan diri dari bahaya maut atau
entengnya terluka. Menampak itu, semua orang bersorak saking gembira. Lian Houw
sendiri lantas berdiri di ambang pintu.
"Bagaimana?" dia tertawa. "Kau kembali ke dalam?"
Oey Yong membuat main mulutnya untuk mengejek. "Kepandaianmu menggunai senjata
rahasia bagus sekali," bilangnya, tawar, "Melainkan sayang kau gunai itu untuk
menghina satu anak perempuan! Apakah yang aneh?"
"Siapa menghina kau?" Lian Houw tanya. "Aku toh tidak melukai kamu?"
"Kalau begitu, kau biarkanlah aku berlalu dari sini," kata si nona.
"kau bilang dulu, siapa yang ajarkan kamu ilmu silat," Lian Houw bilang.
Nona nakal itu tertawa. "Aku telah pelajarkan ini sejak aku dalam kandungan
ibuku," jawabnya. "Kau tidak hendak memberitahu, apakah dengan begitu kau menyangka aku tidak akan
mengetahuinya?" Lian Houw berkata seraya sebelah tangannya menyemboki pundak
orang. Oey Yong tidak menangkis, ia pun tidak berkelit. Ia tahu tidak dapat ia lawan
jago ini, ia mencoba berlaku norek. Hendak ia menyangkal terus-menerus.
Lian Houw lihat orang diam saja, disaat tangannya hampir mengenai pundak si
nona, ia lantas menarik pulang.
"Lekas menangkis!" ia berseru. "Lekas! Di dalam sepuluh jurus, aku orang she
Pheng pasti akan ketahui asal-usulmu!" Dia memang luas pengetahuannya dan
mengenali ilmu silat pelbagai golongan, tetapi ilmu silat Oey Yong membuatnya
bersangsi, dari itu ingin ia menempur selama sepuluh jurus untuk memeproleh
kepastian. "Jikalau sampai sepuluh jurus kau masih belum dapat mengetahui?" tanya Oey Yong.
"Aku akan merdekakan padamu! Awas!" Sambil menjawab demikian, Lian Houw
menyampok dengan tangan kiri yang disusul sama tinju kanan, tinju mana dibarengi
sama tendangan kaki kanan. Inilah pukulan berantai tiga kali yang hebat.
Oey Yong terkesiap juga melihat datangnya serangan saling susul dan berbareng
itu, akan tetapi ia tidak menjadi kaget dan gugup. Sebat sekali ia mundur sambil
memutar tubuh dengan sebelah kaki, hingga dengan begitu ia perlihatkan sikap "Si
ayam emas berdiri dengan satu kaki". Dengan begitu, ia lolos dari bahaya.
Di dalam hatinya, Pheng Lian Houw berkata, "Inilah ilmu silat Jie Long Kun dari
Keluarga Luow dari Ceciu, Shoatong. Keluarag itu memang mengutamakan kelincahan.
Coba aku desak pula dia dengan dua jurus." Lalu pikiran ini ia wujuskan denagn
cepat sekali. "Inilah jurus yang kedua!" berseru si nona, yang menangkis dengan tangan kiri
buat memunahkan serangan orang. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Iwee-kee si
ahli dalam. Pheng Lian Houw menjadi heran. "Inilah jurus Pak-kek-sie dari ilmu silat Liok
Hap dari Kangpak," ia berpikir pula. "Ilmu silat ini bertentangan dengan Jie
Long Kun, yang adalah dari pihak gwa-kee. Kenapa dia dapat menyakinkan dalam dan
luar dengan berbareng?"
Gwa-kee ialah ahli luar. Lantas orang she Pheng ini melanjuti serangannya, ynag ketiga dan keempat,
karena juga yang kedua dan ketiga itu dapat dihindarkan si nona, demikian pun
dengan yang keempat ini. Oey Yong menolong diri dengan ilmu silat Keluarga Swee dari Thay-goan, yaitu
ilmu silat "Cut In Ciu" atau "Keluar dari Mega".
Lian Houw menjadi bertambah heran. "Heran bocah ini mempunyai ilmu silat campur
aduk seperti ini! Mungkinkah ia sengaja berbuat begini untuk mencegah aku dapat
mengenali asal-usulnya" Baik aku gunai pukulan yang telengas, denagn begitu
tidak dapat ia tidak menggunai ilmu silatnya yang sejati guna menolong diri,"
katanya dalam hati. Oleh karena berpikir begini, Lian Houw segera menyerang dengan jurusnya yang
kelima, yang hebat sekali. Kalau yang keempat pertama bengis, tapi tidak sekejam
ini. Semua orang terkejut melihat kawannya bersikap telengas begitu, dengan
sendirinya mereka jadi berkhawatir untuk Oey Yong, sedang si nona pun segera
menjadi kelabakan. ia cuma bisa berkelit dan menangkis, tidak dapat ia mencoba
membalas menyerang. Auwyang Kongcu, san-cu atau pemilik dari Pek To San, lantas berkata: "Budak ini
barusan menggunai jurus Menggantung kumala di gantungan emas. Itulah ilmu silat
Lo Cia Sie dari partai Siong Yang Pay. Dia menyusuli itu dengan jurus Menunggang
harimau mengalah tindak dari ilmu silat Tiang Kun dari Kwan-tong, yang mirip
dengan ilmu silatnya saudara Som Sian Lao Koay. Ah, inilah Tepukan tiga kali dan
Gunting emas, jurus dari Cu-ngo Tay Kok Kiam dari Kanglam. Banyak benar ragam
ilmu silatnya. Ah,ah, dia celaka! Kenapa ia tidak berkelit ke kiri?"
Pheng Lian Houw mendesak terus, sampai pada jurus yang kedelapan, tangan kirinya
menggertak, tangan kanannya meninju. Oey Yong tahu tangan kiri itu adalah
ancaman belaka, maka berniat ia berkelit ke kanan, tetapi justru itu, ia dengar
perkataan terakhir dari sancu dari Pek To San itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran
baru, segera ia terjang tangan kiri si orang she Pheng itu denagn jurusnya
"Tibanya air mata es dingin," salah satu jurus dari ilmu silat "Soat San Pat To"
dari See Hek, wilayah Barat.
Menampak itu, Auwyang Kongcu tertawa dan mengatakan, "Ha, dia menggunai ilmu
silatnya tetanggaku!"
Pheng Lian Houw mendelu mendengar suaranya orang she Auwyang itu. Terang si
bocah wanita ini telah diberi kisikan berterang, hingga gagallah serangannya
itu. Karena ini, ia menjadi mendongkol terhadap si nona . Ia kata dalam hatinya:
"Mustahil aku tidak mampu hajar mampus padamu, budak"!" Ia memang telengas,
kalau mulanya ia menaruh "belas kasihan", itu disebabakan si nona cantik dan
manis, usianya pun masih sangat muda. Tapi sekarang, setelah ia dilayani dengan
ilmu silatnya delapan partai, ia menjadi penasaran, dari penasaran, ia menjadi
gusar, yang mana ditambah sama kisikannya san-cu dari Pek To San itu. Segera ia
menyerang denagn jurusnya yang kesembilan. Ia menggunai jurus "Menolak jendela
untuk memandang rembulan", ia bergerak denagn kedua tangannya, tangan kiri di
balik ke bawah, tangan kanan ke atas.
Oey Yong terkejut melihat gerakan lawan ini, sampai ia mengeluh di dalam
hatinya. Batok kepalanya bakal hancur luluh kalau ia sampai kena di serang.
Untuk menangkis sudah tidak keburu lagi. Terpaksa ia lantas berkelit, kepalanya
di aksih mendak, kedua tangannya ditekuk, untuk membalas menyikut naik dadanya
penyeranganya itu. Pheng Lian Houw menyerang dengan hebat, akan tetapi ia waspada, maka itu ia
dapat melihat perlawanan si nona. Dengan gampang ia membebaskan dirinya, sesudah
mana, ia melanjuti dengan jurusnya yang kesepuluh. Ia menggunai tipu silat
"Binatang jatuh di tengah udara". Tapi ia tidak menyerang habis, disaat si nona
hendak memunahkannya. ia berhenti setengah jalan sambil terus berseru: "Kau
muridnya Hek Hong Siang Sat!" Dan seruan ini disusul sama gerakan tangan kanan,
atas mana Oey Yong terhuyung ke belakang, terpelanting tujuh-delapan tindak!
Semua orang terperanjat dengan perkataan Pheng Lian Houw itu, kecuali Chao Wang.
Sebab mereka semua adalah orang-orang kangouw berpengalaman dan terhadap Hek
Hong Siang Sat, rata-rata orang jeri. Benar terkabar kalau Tong Sie Tan Hian
Hong si Mayat Perunggu telah meninggal dunia akan tetapi tidak ada diantara
mereka ini yang pernah menyaksikan sendiri, mereka jadinya ragu-ragu. Pheng Lian
Houw telah dapat membuktikan ilmu silatnya Oey Yong di jurus kesembilan, dari
itu pada jurus kesepuluh batal ia dengan maksudnya menghajar si nona, ia cuma
mendorong saja denagn keras.
Oey Yong dapat mempertahankan diri, setelah berdiri tetap, mendadak ia rasakan
sakit pada dadanya yang kiri. Sebenarnya hendak ia bicara, ketika denagn
sekonyong-konyong. di malam yang tenang itu, ia dengar satu suara keras dari
kejauhan, malah ia segera kenali suaranya Kwee Ceng, suara mana bernada kaget
dan gusar. Ia menjadi kaget, mukanya menjadi pucat. Ia menduga kawannya itu
telah menghadapi ancaman malapetaka.
Memang juga itu waktu, Kwee Ceng telah dibikin tak berdaya oleh Nio Cu Ong. Ia
telah ditekan ke tanah, tangannya dan kakinya telah dicekal keras, hingga
habislah tenaganya, tak dapat ia berkutik. Ia kaget bukan main, waktu ia rasakan
mulutnya orang si she Nio itu mengenai batang lehernya. Setahu dari mana
datangnya, mendadak saja ia dapat tenaga pula, terus ia berontak sekuat-kuatnya,
hingga Nio Cu Ong tidak dapat menguasai ia terlebih lama. Ia tidak lantas
menginsyafi bahwa ia dapat tenaga besar berkat darah ular yang dicampur latihan
tenaga dalam dari Tan Yang Cu Ma Giok. Dengan satu gerakan "Ikan gabus meletik"
ia kasih dengar jeritannya itu.
Nio Cu Ong bukan melainkan membikin terlepas cekalannya, juga kedua telapakan
tangannya pecah dan berdarah, darahnya mengalir keluar. Ia menjadi kaget
berbareng gusar. Segera ia maju untuk menyerang pemuda itu.
Kwee Ceng berkelit dengan berlompat ke belakang, tetapi Nio Cu Ong ada sangat
gesit, tangannya tiba di bebokongnya. Kali ini, pukulannya Nio Cu Ong bukan
seperti pukulannya Wanyen Kang, pukulan ini mendatangkan rasa sangat sakit. Maka
itu, karena sakitnya dan kaget, Kwee Ceng lantas lari sekeras-kerasnya. Dia
memang ringan tubuhnya, setelah meminum darah ular, tenaganya bertambah, hingga
itu Nio Cu Ong tidak dapat segera menyandak, hingga mereka berlari-larian di
taman, di antara pohon-pohon dan gunung-gunungan. Satu kali Cu Ong berlompat,
tangannya menjambak. Kwee Ceng berayal, bajunya kena terpegang, baju itu lantas
robek sebagian, bebokongnya kena terjambret hingga berdarah, bertapak tanda lima
jari, sakitnya bukan main. Saking takut, Kwee Ceng lari terus. Kebetulan ia tiba
di depan rumah petani dari onghui, ia lompat masuk ke dalam rumah itu. Di situ
ia mendekam. Nio Cu Ong tidak dapat mencari. Kemudian ia disusul oleh Wanyen Kang, denagn
siapa ia berbicara. Selama itu Kwee Ceng terus diam saja, cuma kupingnya
mendengar pembicaraan orang itu. Di dalam hatinya ia berpikir: "Onghui murah
hati, mungkin ia dapat menolong aku..." Karena ini, ia keluar dari tempat
sembunyinya, ia lari ke dalam kamar si nyonya agung. Ia dapatkan sebuah kamar
yang diterangi lilin tetapi penghuninya tidak ada, onghui kebetulan berada di
kamar yang lain. Ia melihat ke seluruh kamar. Di sebelah timur ada sebuah lemari
besar, ia hampirkan itu, akan buka pintunya, lalu ia masuk ke dalamnya, untuk
menyembunyikan diri. Dengan masih mencekal terus goloknya, ia menghela napas
lega. Segera tedengar tindakan kaki perlahan masuk ke dalam kamar. Dari sela-sela
lemari, Kwee Ceng mengintai. Ia lihat yang datang itu onghui sendiri.
Nyonya agung itu duduk di samping meja, matanya bengong mengawasi lilin.
Tidak antara lama, Wanyen Kang bertindak masuk. "Ma," sapanya. "Apakah tidak ada
orang jahat masuk ke mari?"
Onghui menggeleng kepala. Cuma sebegitu jawabannya.
Putra itu lantas keluar pula, untuk bersama Io Cu Ong dan yang lainnya pergi
mencari ke lain-lain bagian dari istana itu.
Sebentar kemudian, onghui mengunci pintu. Hendak ia beristirahat.
"Setelah sebentar ia meniup lilin, aku akan lari dari jendela," Kwee Ceng pikir.
"Aku percaya adik Yong sudah lama pulang...."
Hampir di itu waktu, di jendela terdengar satu suara keras, disusul sama
menjublaknya daun jendela itu dan mana segera lompat masuk satu orang.
Kwee Ceng terkejut, begitu juga onghui, malah nyonya itu mengasih dengar jeritan
tertahan. Orang yang datang itu adalah Yo Tiat Sim yang menyebut dirinya Bok Ek.
Kedatangannya ini pastilah diluar dugaannya Kwee Ceng dan onghui. Kwee Ceng
menyangka orang sudah ajak gadisnya pergi menyingkir.
Onghui dapat menenangkan diri, ia mengawasi Bok Ek itu. "Kau baiklah lekas
pergi," bilangnya kemudian. "Tidak boleh mereka dapat lihat kita...."
"Terima kasih untuk kebaikan onghui," berkata Yo Tiat Sim. "Jikalau aku tidak
datang sendiri untuk menghanurkan terima kasihku, meskipun aku mati tidaklah aku
dapat memeramkan mata." Suara itu berirama sedih.
"Ya, sudahlah," onghui itu menghela napas. "Dalam kejadian itu adalah anakku
yang salah, dia membuatnya kamu ayah dan anak bersusah hati...."
Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya memandang seluruh kamar. Tiba-tiba ia menjadi
sangat berduka, kedua matanya menjadi merah, tanpa ia dapat menahan, air matanya
menguncur turun. Dengan uujung bajunya, ia susuti air matanya itu. Ia bertindak
ke tembok, di situ ia kasih turun tombak besi yang tergantung. Ia meneliti
gagang tombak itu. Tepat enam dim dekat tajamnya tombak, di situ ada terukir
empat huruf "Tiat Sim Yo-sie", yang artinya, "Istrinya Yo Tiat Sim". Lantas ia
pegang terus tombak itu, ia mengusap-usap. Akhir-akhirnya sambil menghela ia
berkata, "Tombak ini sudah karatan, tandanya sudah lama tidak pernah digunakan
lagi...." Agakanya onghui heran atas lagak-lagu orang itu. "Aku minta janganlah kau raba


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak itu," katanya perlahan.
"Kenapakah?" Tiat Sim tanya.
"Itulah barang yang aku paling hargai," sahut si nyonya agung.
"Ah..." Tiat Sim bersuara perlahan, terus ia gantung tombak itu. Sekarang ia
mengawasi lanjam yang berada si pinggiran tombak itu.
"Ujung lanjam ini sudah rusak, biarlah besok besok suruh Thio Bok-jie dari dusun
timur memperbaikinya dengan tambah setengah kati besi..." katanya peralahan.
Mendengar kata-kata itu, tubuh onghui bergemetar. Ia berdiam aja mengawasi Tiat
Sim. Sampai sekian lama baru ia dapat membuka mulutnya. "Kau...kau kata apa?"
tanyanya. "Aku bilang lanjam ini sudah rusak," Tiat Sim menyahuti, "maka besok baiklah
suruh Thio Bok-jie dari dusun timur membetulkannya, dengan menambah setengah
kati besi..." Tiba-tiba saja onghui menjadi lemas kedua kakinya, ia roboh di kursi. "Kau...kau
siapa?" tanyanya, suaranya menggetar. "Kenapa...kenapa kau ketahui kata-katanya
suamiku pada itu malam dari saat kematiannya...?"
Hancur hatinya onghui ini yang sebenarnya bukan lain daripada Pauw Sek Yok atau
nyonya Yo Tiat Sim. Rumah tangganya telah runtuh, famili pun tidak ada, mana ia
percaya suaminya telah menutup mata, dengan terpaksa ia turut Wanyen Lieh pergi
ke Utara. Tidak dapat ia menampik bujukannya pangeran itu yang perlakukan ia
dengan baik sekali, di akhirnya ia serahkan dirinya dijadikan onghui atau selir.
Sudah delapan belas tahun ia tinggal di istana, selama itu wajahnya tidak
berubah banyak. Sebaliknya To Tiat Sim yang mesti hidup dalam pengembaraan, ia
tidak lagi seperti masa mudanya, maka itu sekalipun mereka berada di dalam
sebuah kamar, Pauw Sek Yok tidak dapat lantas mengenali suaminya itu.
Yo Tiat Sim tidak menjawab, ia hanya bertindak ke samping meja, untuk menarik
lacinya meja itu. Di dalam situ ada tersimpan beberapa potong pakaian pria, baju
dan celana biru. Itulah pakaian yang ia pakai pada dulu hari. Ia jumput sepotong
baju, ia kerebongi itu pada tubuhnya: "Bajuku telah cukup dipakai. Tubuhmu
lemah, kau pun tengah mengandung, kau baik-baiklah beristirahat, tak usah kau
membikin pakaian lagi untukku..."
Sek Yok terkejut. Ia ingat betul, itulah kata-kata suaminya dulu hari tempo ia
tengah hamil membuatkan sepotong baju baru. Ia lantas berbangkit, akan hampirkan
Tiat Sim, baju siapa ia tarik, kemudian ia gulung tangan bajunya, hingga ia
dapat lihat di lengan kiri orang satu tanda bekas luka. Sekarang ia tidak
bersangsi pula, maka lantas saja ia tubruk suaminya itu dan merangkulnya erat-
erat seraya ia menangis sedih sekali.
"Aku tidak takut!" katanya kemudian. "Lekas kau bawa aku pergi....Aku akan turut
kau ke lain dunia, untuk mati bersama...Aku lebih suka menjadi setan untuk tetap
berada bersama denganmu...!"
Tiat Sim rangkul istrinya itu, air matanya turun bercucuran. "Kau lihat, apakah
aku setan?" kata suaminya ini kemudian.
See Yok memeluk erat-erat. "Tidak peduli kau manusia atau setan, tidak dapat aku
lepaskan kau!" katanya. Hanya sejenak kemudian ia bertanya: "Mustahilkah kau
belum mati" Mustahilkah kau masih hidup?"
Tiat Sim hendak menyahuti istrinya itu tatkala mereka mendengar suara Wanyen
Kang dari luar kamar: "Mama, kenapakah kau berduka pula" Dengan siapakah kau
berbicara?" Se Yok kaget tetapi ia lantas menyahuti: "Aku tidak apa-apa, aku hendak tidur...."
Wanyen Kang tidak lantas pergi hanya ia jalan mengitari rumah itu. Ia menjadi
curiga sebab tadi terang ia dengar suara orang berbicara. Di pintu ia berhenti
dan mengetok perlahan beberapa kali. "Ma, hendak aku bicara denganmu," katanya.
"Besok saja," sahut sang ibu. "Sekarang aku letih sekali."
Mendapatkan ibu itu tidak hendak membuka pintu, siauw-ongya ini menjadi semakin
bercuriga. "Aku hendak omong sedikit saja, lantas aku pergi," ia berkata pula.
Tiat Sim menduga orang bakal masuk ke dalam, ia lepaskan Sek Yok dan bertindak
ke jendela dengan niat lompat keluar, tetapi ketika ia menolak, jendela itu
keras, rupanya ada orang yang menahannya dari sebelah luar.
Pauw Sek Yok segera menunjuk ke lemari, maksudnya menganjurkan suaminya itu
masuk ke dalamnya untuk bersembunyi.
Tiat Sim suka menurut. Ia memang tidak rela meninggalkan istrinya itu. Ia lantas
bertindak ke lemari yang ditunjuk itu, untuk menjambret pintunya untuk dibuka.
Begitu pintu lemari terpentang, tiga orang menjadi terkejut sekali. Di dalam
lemari itu tertampak Kwee Ceng, melihat siapa onghui menjadi tergugu, hingga ia
mengeluarkan jeritan tertahan.
Wanyen Kang berkhawatir mendengar jeritan ibunya itu, ia takut ibunya diganggu
orang jahat. Dengan pundaknya, ia segera tabrak pintu kamar itu, hingga daun
pintunya mejeblak terbuka.
Sebelum orang nerobos masuk, Kwee Ceng tarik Tiat Sim masuk ke dalam lemari,
yang pintunya ia segera tutup pula.
Wanyen Kang dapatkan ibunya bermuka pucat dan mukanya itu bermandikan air mata.
Di dalam kamar itu tapinya tidak ada lain orang. Ia menjadi curiga sekali. "Ma,
ada terjadi apakah?" ia menanya.
"Tidak apa-apa," sahut si ibu, yang menenangkak dirinya. "Hatiku tidak tentram."
Putra itu menghampiri ibunya, di tubuh siapa ia menyanderkan diri. "Ma, aku tak
akan main gila lagi," katanya. "Aku minta supaya kau jangan bersusah hati. Dasar
anakmu yang buruk...."
"Nah, kau pergilah," kata ibu itu. "Aku mau tidur."
"Ma, apakah tidak ada orang masuk ke mari?" putra itu tanya pula.
"Siapakah dia?" tanya ibunya, hatinya berdenyut.
"Orang jahat telah nyelusup masuk kedalam istana," Wanyen Kang beritahu.
"Begitu?" tanya ibunya. "Sekarang lekas kau pergi tidur. Urusan itu kau jangan
campur tahu!" Wanyen Kang tertawa. "Tentara pengawal semuanya kantong nasi!" katanya. "Ma,
baiklah, kau tidurlah!"
Putra ini memberi ucapan selamat malam, tapi disaat ia hendak mengundurkan diri,
ia dapat melihat ujung baju di sela-sela lemari, maka kembali timbul
kecurigaannya. Ia batal pergi, ia lantas ambil tempat duduk. Ia pun menuang the
ke dalam cangkir, untuk di minum dengan perlahan-lahan. Sembari minum, hatinya
bekerja. " Di dalam lemari itu ada seorang sembunyi, entah ibu mengetahuinya atau tidak."
demikian pikirnya. Ia masih menghirup beberapa kali, baru ia berbangkit,
bertindak perlahan-lahan.
"Ma," katanya. "Bagaimana tadi permainan tombakku, bagus atau tidak?"
"Lain kali aku larang kau menghina orang karena kau andalkan pengaruhmu," sang
ibu bilang. "Siapa mengandalkan pengaruh, Ma?" sahut si anak. "Aku tempur itu anak tolol
dengan andalkan kepandaianku."
Ia telah sampai di tembok, tangannya diulur kepada tombak, begitu lekas ia
mencekal dengan baik - yang mana ia lakukan dengan luar biasa cepat - mendadak
saja ia menikam ke arah lemari. Itulah gerakan "burung hong terbang, ular naga
melayang". Pauw Sek Yok melihat itu, ia kaget bukan main, hingga ia lantas roboh pingsan.
Tapi Wanyen Kang telah menahan gerakan tangannya, batal ia menikam lemari disaat
ujung tombak hampir mengenai daun pintu lemari. Ia pun lihat ibunya itu roboh.
"Ah, ibu tahu di dalam lemari ini ada orang..." pikirnya. Ia lantas senderkan
tombaknya, untuk mengasih bangun pada ibunya. Sambil berbuat begitu, ia tetap
mengawasi ke lemari. Sek Yok sadar dengan perlahan-lahan, kapan ia dapatkan lemari tidak kurang satu
apa, hatinya menjadi lega. Hanya karena kagetnya itu, tubuhnya menjadi lemah
sekali. Wanyen Kang telah menyaksikan kelakuan ibunya ini. "Ma," katanya keras, "Aku ini
anak kandungmu atau bukan?"
"Tentu saja," sahut ibunya itu. "Kenapa kau menanya begini?"
"Kalau begitu, kenapa ada apa-apa yang disembunyikan kepadaku?" si anak bertanya
pula. Hatinya Pauw Sek Yok goncang keras. Ia pikir: "Kejadian ini mesti dijelaskan
kepada anak ini, biarlah mereka ayah dan anak bertemu, habis itu barulah aku
mencari jalan pendekku.... Aku telah hilang kehormatan diriku, inilah kesalahan
besar yang tidak dapat diperbaiki lagi, maka dalam dunia ini tidak bisa aku
hidup pula bersama Tiat Sim."
Karena memikir ini, air matanya lantas bercucuran deras.
Wanyen Kang mengawasi ibunya, ia heran dan bercuriga.
"Kau duduklah baik-baik, kau dengari aku bicara," kemudian kata si ibu.
Putra itu menurut, ia berduduk, tetapi tombaknya masih dipegangi.
"Apakah kau sudah lihat itu ukiran empat huruf di gagang tombak?" Pauw Sek Yok
tanya. "Sedari aku masih kecil telah aku menanyakannya," menjawab anak itu. "Tetapi ibu
tidak hendak menjelaskan siapa Yo Tiat Sim itu.
"Sekarang aku akan menerangkannya kepadamu," kata ibu itu.
Tiat Sim dalam lemari telah dengar nyata pembicaraan di antara ibu dan anak itu,
hatinya tergoncang keras. Ia pun berpikir: "Sekarang dia telah menjadi satu
onghui, mana dapat ia mengikuti pula aku seorang rakyat kasar" Dia hendak
membuka rahasia, mungkinkah ia hendak menyuruh anaknya itu mencelakai aku?"
Ia lantas dengar perkataannya Pauw Sek Yok: "Tombak ini tadinya berada di dusun
Gu-kee-cun di kota Lim-an, ibukota dari kerajaan Song di Kanglam. Aku sengaja
menitahkan orang melakukan perjalanan jauh ribuan lie untuk mengambilnya. Itu
lanjam di tembok dan semua perabotan dalam ruangan ini, seperti meja, bangku,
lemari dan pembaringan, tidak ada satu yang bukan dibawanya dari Lim-an."
"Sampai sebegitu jauh aku tidak mengerti," berkata Wanyen Kang, "Kenapa mama
suka sekali tinggal di ini rumah bobrok, anakmu membawakan kau perabot rumah
tangga yang baru tetapi semua itu ibu tolak."
"Kau menyebutkan rumah ini bobrok?" tanya sang ibu. "Aku justru merasa ini jauh
terlebih bagus dibandingkan istana yang indah, yang segalanya serba dilukis dan
diukir dan diperaboti mentereng! Anak, kau tidak punyai untung bagus, kau tidak
dapat tinggal di rumah bobrok ini bersama-sama dengan ayah dan ibu kandungmu
snediri...." Jantungnya Tiat Sim berdenyut, pedih ia merasa.
Wanyen kang tertawa. "Ma, makin lama kau bicara, makin aneh!" katanya. "Mana
bisa ayah tinggal di sini?"
Sek Yok menghela napas. "Kasihan ayahmu itu, selama delapan belas tahun dia
berkelana di duni kangouw," berkata dia. "Oleh karena itu mana bisa dia berdiam
dengan tenang dan tentram di rumah ini...."
Sang putra heran hingga ia mengawasi dengan matanya dibuka lebar-lebar. "Ma,
apakah katamu?" tanyanya saking heran.
"Taukah kau siapa ayahmu yang sebenarnya?" Sek Yok menanya, suaranya keras.
"Ayahku adalah adiknya sri baginda, dialah pangeran Chao Wang," sahut Wanyen
Kang. "Kenapa mama menanya begitu?"
Ibu itu berbangkit, ia peluki tombak besi itu, lantas air matanya turun dengan
deras. "Kau tidak tahu, anak, inilah tidak heran," katanya sesegukan.
"Kau tidak dapat disesalkan. Tombak ini...inilah senjatanya ayahmu yang sejati..."
Ia pun lantas menunjuk pada ukiran empat huruf di gagang tombak: "Ini barulah
namanya ayahmu itu!"
Tubuhnya sang putra bergemetar. "Ma, pikiranmu was-was," katanya, "Nanti aku
pergi panggil tabib."
"Aku was-was kenapa?" ibu itu bilang. "Apakah kau sangka kau adalah orang bangsa
Kim" Kau adalah orang Han! Kau bukannya bernama Wanyen Kang, tetapi nama kau
ialah Yo Kang!" Mendengar di sebutnya nama Yo Kang itu, Kwee Ceng ingat segera ingat satu nama
yang ia rasa kenal baik. Ia hanya lupa, di mana ia pernah dengar itu, Kemudian
ia ingat, tempo ia masih kecil, di sana ada sebuah piasu belati yang gagangnya
berukiran dua huruf "Yo Kang" itu. Kemudian piasu itu telah dipakai menikam mati
pada Tan Hian Hong si Mayat Perunggu. Kemudian lagi piasu itu lenyap entah ke
mana. Wanyen Kang heran bukan kepalang. Ia lantas memutar tubuhnya. "Nanti aku minta
ayah datang ke mari!" katanya.
"Ayahmu ada disini!" Sek Yok bilang. Lantas dia bertindak cepat le arah lemari,
untuk buka pintunya, sesudah mana, ia pegang tangannya Yo Tiat Sim, untuk di
tarik keluar. "Oh, kiranya kau!" seru pangeran itu, yang mendadak saja menikam Bok Ek, yang di
arah tenggorokannya. Tiat Sim berkelit, sedang Sek Yok menjerit: "Inilah ayahmu! Apakah kau masih
tidak percaya?" Lantas ia benturkan kepalanya ke tembok hingga tubuhnya terus
roboh ke lantai. Wanyen Kang kaget, ia putar tubuhnya, akan lihat ibunya itu, yang kepalanya
mandi darah dan napasnya empas-empis. Saking tergugu, ia jadi berdiri menjublak.
Tiat Sim tubruk istrinya itu, yang ia terus peluk dan angkat untuk dibawa lari
keluar dari rumah bobrok itu.
"Lepaskan!" teriak Wanyen Kang, yang kaget sekali. Tapi ia masih sadar, maka
juga sambil berlompat dengan gerakan "Seekor belibis keluar dari rombongannya",
ia serang bebokongnya Yo Tiat Sim.
Bab 21. Semua Berkumpul Tiat Sim mendengar angin menyambar belakangnya, ia putar tangan kirinya ke
belakang, untuk menangkis seraya mencekal, maka ujung tombak lantas kena
terpegang. Ia telah mainkan ilmu silat Keluarga Yo bagian jurus "Hui ma chio"
atau "Membaliki kuda", ialah tipu istimewa yang hanya diketahui keluarganya yang
mewariskan ilmu silat itu. Sebenarnya habis itu, tanpa menanti musuh menarik
pulang tombaknya, tangan kanannya sudah mesti membarengi menyerang, akan tetapi
sekarang ia memeluki Pauw Sek Yok dengan tangan kanannya itu, tidak dapat ia
menyerang. Maka seraya memutar tubuh, ia membentak: "Ilmu silatku ini diwariskan
cuma kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan, dari itu tentulah
gurumu tidak dapat mengajarakan kepadamu!"
Memang benar, walaupun Khu Cie Kee lihay, tapi ia tidak dapat mengerti sedalam-
dalamnya ilmu silat Keluarga Yo itu, jadi kepandaian Wanyen Kang menggunai
tombak itu belum sempurna, maka ditegur begitu, pangeran itu menjadi tercengang.
Dengan begitu, mereka mencekal masing-masing satu ujungnya tombak itu. Inilah
hebatnya untuk tombak itu sendiri, yang gagangnya sudah tua. Tempo keduanya
saling membetot, gagang tombak itu patah sendirinya.
Kwee Ceng lantas lompat maju, ia membentak: "Kau telah bertemu dengan ayahmu
sendiri, kenapa kau masih tidak berlutut untuk memberi hormat!"
Wanyen Kang bersangsi, ia menjadi tidak berayal.
Yo Tiat Sim tidak pedulikan pangeran itu, dengan bawa istrinya , ia telah tiba
di luar. Ia sudah lantas disambut Bok Liam Cu, gadisnya itu, maka bersama-sama
mereka melompati tembok untuk menyeingkirkan diri.
Kwee Ceng juga tidak berani berayal-ayalan, segera ia pun lari keluar. Disaat ia
hendak melompat tembok, ia merasakan sambaran angin ke arah kepalanya. Ia
menjadi kaget sekali, cepat sekali ia mendak. Meski begitu, angin menyambar
lewat di mukanya, ia merasakan perih bagaikan kebaret pisau. Itulah menandakan
lihaynya si penyerang. Selagi ia terkejut, ia dengar bentakan: "Anak tolol, aku
si orang tua sudah lama menantikanmu di sini!"
Itulah suaranya Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong!
Pada itu waktu di lain kalangan, tatkala mendengar Pheng Lian Houw mengatakan
ialah muridnya Hek Homh Siang Sat, sambil tertawa Oey Yong kata kepada cecu itu:
"Kau kalah!" Ia berbicara dengan terpaksa, karena hatinya cemas bukan main
mendengar suaranya Kwee Ceng, maka habis berkata, ia terus putar tubuhnya dan
bertindak ke pintu. Cuma dengan satu kelebatan, Pheng Lian Hoauw sudah mengahdang di ambang pintu.
"Oleh karena kau adalah muridnya Hek Hong Siang Sat, aku tidak berniat
mengganggu padamu," berkata orang she Pheng ini. "Hanya kau bilanglah, apa
perlunya gurumu menitah kau datang kemari?"
Oey Yong tertawa. Dia menyenggapi: "Kau sendiri yang bilang, jikalau dalam
sepuluh jurus kau tidak dapat mengenali ilmu silatku, kau akan membiarkannya aku
berlalu dari sini. Kau adalah satu laki-laki sejati, kenapa sekarang kau
menyangkal?" Pheng Lian Houw gusar sekali. Ia menyahuti dengan membentak: "Jurusmu yang
terakhir ada?ah jurus "Tindakannya si binatang sakti". Apakah itu bukannya
pengajaran dari Hek Hong Siang Sat"!"
Oey Yong tertawa pula. "Belum pernah aku melihat Hek Hong Siang Sat," dia kata.
"Laginya, dengan kepandaian semacam itu dari mereka, mereka mana tepat menjadi
guruku?" "Percuma kau menyangkal!" bilang Lian Houw.
"Nama Hek Hong Siang Sat pernah aku dengar," Oey Yong bilang tanpa pedulikan
perkataan orang. "Apa yang aku tahu tentang mereka ialah mereka pengrusak
perikeadilan dan prikemanusiaan, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan.
Mereka pun telah mendurhaka terhadap guru dan kakek guru mereka, jadinya mereka
adalah orang-orang dari Rimba Persilatan" Kenapa Pheng Cecu samakan aku dengan
mereka itu?" Mulanya orang menyangka nona ini tidak hendak omong terus terang, akan tetapi
mendengar ia bicara demikian hebat terhadap Hek Hong Siang Sat, yang dikatakan
Pheng Lian Houw sebagai gurunya, mereka menjadi saling mengawasi, dari heran


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka jadi mau mempercayai. Orang boleh berdusta hebat tetapi tidak nanti ada
murid yang berani mencela dan mencaci guru sendiri di hadapan orang banyak.
Mau tidak mau, Pheng Lian Houw menggeser tubuhnya ke samping.
"Nona kecil, hitunglah kau telah menang," katanya. "Aku si Lao Pheng kagum
sekali untukmu! Sekarang aku memikir untuk meminta tanya namamu yang harum."
Oey Yong tertawa lagi. "Maafkan, aku dipanggil Yong-jie," ia menyahut.
"Apakah shemu?" Lian Houw menanya pula.
"Aku tidak punya she," sahut si nona, yang tersenyum.
Semua orang di situ, kecuali Leng Tie Siangjin dan Auwyang Kongcu, telah menjadi
pecundangnya nona ini, oleh karena Leng Tie Siangjin telah terluka parah, hingga
tidak dapat ia menggeraki tubuhnya, kelihatannya cuma Auwyang Kongcu yang bisa
menghalangi nona ini, maka itu, semua mata ditujukan kepada pemuda she Auwyang
ini. Auwyang Kongcu, sambil tersenyum, lantas bertindak perlahan. "Aku yang rendah
dan bodoh, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus dari nona," ia berkata.
Oey Yong mengawasi, terutama untuk pakaian orang yang serba putih. "Mereka itu -
ini nona-nona cantik yang menunggang unta putih - adakah mereka orang-orangmu?"
dia menanya, menegaskan. Auwyang Kongcu tertawa. "Apakah kau telah bertemu dengan mereka itu?" tanyanya.
"Kecantikan mereka itu tidak ada separuhnya dari kecantikanmu."
Oey Yong agaknya jengah, hingga wajahnya bersemu merah. "Di sini ada beberapa
tua bangka yang hendak menyusahkan aku, mengapa kau tidak membantu aku?" dia
tanya. Auwyang Kongcu tidak bisa lantas menjawab, dengan tajam ia menatap. Ia merasa
hatinya gatal dan tulang-tulangnya lemas......
Anak muda ini lihay ilmu silatnya, di See Hek, wilayah Barat, ia menjagoi
seorang diri. Tapi ia pun gemar sekali pada paras elok. Maka juga sejak beberapa
tahun dia sudah kirim orang ke pelbagai tempat, untuk mencari nona-nona cantik
dan manis, untuk dia ambil mereka itu sebagai gundik-gundiknya. Adalah diwaktu-
waktu yang senggang, ia ajarkan mereka itu ilmu silat dan ilmu surat, dari itu
dengan sendirinya mereka itu menjadi juga murid-muridnya. Kali ini ia berlalu
dari kampung halamannya atas undangan Chao Wang, dia datang ke kota raja - Yan-
khia - dengan mengajak sekalian gundik-gundiknya yang merangkap murid-muridnya
itu. Dia sengaja menitahkan mereka menyamar sebagai pria, dengan semua
dimestikan mengenakan pakaian serba putih seraya menunggang unta-unta putih
juga. Oleh karena gundik-gundiknya itu banyak, dia pecah mereka dalam beberapa
rombongan. Serombongan di antaranya, yang berjumlah delapan orang, adalah mereka
yang di tengah jalan bertemu dengan Kanglam Liok Koay dan Kwee Ceng. Mereka
dengar itu Biauw Ciu Sie-seng bicara perihal kuda jempolan, yang keringatnya
merah, mereka jadi ketarik hati dan ingin merampasnya untuk diserahkan kepada
Auwyang Kongcu, guna mengambil hatinya suami merangkap guru itu. Di luar
sangkaan mereka, mereka gagal. Auwyang Kongcu pun bangga akan gundik-gundiknya
itu, yang ia percaya adalah tercantik di kolong langit ini, - sekalipun di dalam
keraton raja, belum tentu ada tandingannya, - ia tidak nyana mereka itu kalah
dari Oey Yong, hingga ia menjadi tergila-gila sampai umpama kata kepalanya
pening. Demikian hatinya goncang kana mendengar suara orang yang merdu itu.
"Nah, hendak aku pergi!" katanya si nona pula. "Kalau mereka itu menghalangi
aku, kau bantu aku, maukah kau?"
Auwyang Kongcu tertawa. "Untuk aku membantu kau, itu pun dapat," katanya. "Asal
kau angkat aku menjadi gurumu dan untuk selamanya kau mengikuti aku."
Si nona tertawa. "Umpama kata aku menjadi muridmu, tak usahlah untuk selama-
lamanya aku mengikuti kau!" dia bilang.
"Murid-muridku beda daripada murid-muridnya orang lain," Auwyang Kongcu bilang.
"Semua muridku wanita dan asal sekali saja aku memanggil, semuanya bakal
datang." Oey Yong miringkan kepalanya. "Aku tidak percaya!" ujarnya.
Auwyang Kongcu hendak membuktikan perkatannya, ia lantas mengasih dengar
suaranya. Sebentar saja di muka pintu terlihat beberapa puluh wanita muda dengan
pakaian serba putih yang berseragam, melainkan tubuh orang ada yang kurus dan
montok, tinggi dan kate. Dengan lantas mereka berdiri berkumpul di belakangnya
anak muda itu. Mereka ini berkumpul di luar selagi Auwyang Kongcu berpesta, baru
mereka muncul setelah ada panggilan.
Pheng Lian Houw semua seperti bermata kabur, memandang nona-nona manis itu,
mereka jadi kaget sekali dan tergiur hatinya.
Ketika di Kalgan, Oey Yong telah robohkan delapan dari nona-nona itu, ia ketahui
kepandaian silat mereka itu biasa saja, sekarang ia sengaja permainkan Auwyang
Kongcu supaya orang mengumpulkan gundik-gundiknya itu. Ia mengharap, selagi
orang berkumpul banyak, ia dapat mencari jalan untuk meloloskan diri. tapi
Auwyang Kongcu cerdik, dia rupanya telah dapat menerka, maka juga ia terus pergi
ke ambang pintu, dengan perlahan-lahan dia mengipasi dirinya, sedang di bawah
sinar merah dari api lilin, dia mengerling kepada si nona. Dia kelihatannya
tenang dan puas. Mengetahui akalnya gagal, Oey Yong mengasah pula otaknya. "Jikalau kau benar-
benar lihay," ia bilang. "Memang tidak ada yang terlebih baik daripada aku
mengangkat kau menjadi guru, supaya dengan begitu kemudian aku tak usahlah
menerima penghinaan orang."
"Apakah kau hendak mencobanya?" Auwyang Kongcu menegaskan.
"Benar!" jawab si nona.
"Baiklah!" berkata kongcu itu. "Nah, kau kemarilah! Kau tak usah takut, aku
tidak akan balas menyerang."
"Bagaimana?" si nona menanya. "Apakah tanpa membalas menyerang kau dapat
mengalahkan aku" Benarkah?"
Pemuda itu tertawa. "Walaupun kau pukul aku, mana aku tega membalas memukul?"
katanya kemudian. Lian Houw semua heran. Mereka pun dapat anggapan, pemuda ini benar-benar
ceriwis. Mereka pikir: "Nona ini lihay, walaupun dia lebih pandai sepuluh lipat,
mana bisa dia mengalahkannya tanpa dia membalas menyerang" Mungkinkah dia hendak
menggunai ilmu siluman?"
"Aku tidak percaya yang kau benar-benar tidak bakal balas menyerang!" bilang Oey
Yong pula. "Hendak aku telingkung tanganmu ke belakang!"
"Baik," sahut Auwyang Kongcu, yang terus buka ikatan pinggangnya yang ia
serahkan kepada si nona, habis mana ia bawa kedua tangannya ke belakangnya,
bersedia untuk dibelenggu.
Oey Yong heran, yang orang benar-benar menyerahkan diri untuk dibelenggu, pada
wajahnya ia tidak ketarakan suatu apa, ia tetap senyum, tetapi hatinya
terkesiap. Ia pikir: "Terang sekali orang ini tidak bermaksud baik, maka sungguh
hebat jikalau aku sampai kena dibekuk dia...." Karena ini, ia menjadi berpikir
keras. Lekas ia mengambil putusan: "Biarlah, aku bekerka setindak demi
setindak...." Maka ia sambuti ikat pinggang itu, yang terbuat dari benang sutra
tetapi kuat, dengan itu ia terus ikat tangan orang.
"Bagaimana sekarang - bagaimana kalah menangnya?" si nona tanya.
Auwyang Kongcu lonjorkan kaki kanannya, ia taruh itu di lantai, lalu dengan kaki
kiri menahan diri, ia berputar dengan kaki kiri itu, kaki kanannya terus
menggurat, maka itu, dengan begitu ia membuat lingkaran. Lingkarannya sendiri
dalam kira setengah dim, suatu tanda dari kuatnya kaki kanannya itu. Lingkaran
pun seluas enam kaki. Hal ini membuat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw kagum
sekali. "Siapa yang keluar dari lingkaran ini, dia yang kalah," berkata Auwyang Kongcu,
kemudian seraya ia bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
"Jikalau dua-duanya yang keluar?" Oey Yong masih menanya.
"Begitu pun boleh dianggap aku yang kalah," jawab Auwyang Kongcu.
"Jikalau kau kalah, toh kau tidak bakal merintangi aku lagi, bukan?" si nona
menegaskan. "Tentu saja! Tapi kalau kau yang kalah, maka kau mesti baik-baik turut aku.
Semua orang tua di sini menjadi saksinya!" kongcu itu memberi kepastian.
"Baik!" kata Oey Yong, yang lantas bertindak memasuki lingkaran itu. Ia bukan
cuma bertindak masuk saja, begitu masuk lantas kedua tangannya bekerja, tangan
kiri dengan jurus "Angin menyambar yanglui", yang satu enteng, yang lain berat,
yang satu lemah, yang lain keras, tetapi menerjangnya berbareng.
Auwyang Kongcu sudah lantas mengegos tubuhnya akan tetapi sia-sia saja ia
berkelit, kedua tangan si nona mengenai tepat pundaknya, meski begitu yang
terkejut adalah si nona sendiri, karena begitu tangan mengenai sasaran, ia
menginsyafi keadaan yang tidak wajar. Kongcu itu lihay tenaga dalamnya, dia
membilang tidak akan membalas menyerang, dia buktikan perkataannya itu, akan
tetapi ia gunai kepandaiannya, meminjam tenaga untuk menyerang tenaga, maka
begitu serangn Oey Yong mengenakan padanya, segera ia merasakan pukulannya itu
membal balik, hingga ia lantas terhuyung sendirinya, hampir ia melintasi garis
lingkaran itu. Ia tentu saja tidak berani menyerang untuk kedua kalinya.
Sebaliknya, dengan kecerdikannya, ia kata: "Aku hendak pergi sekarang! Kau tidak
dapat keluar dari lingkaran untuk menyusul aku! Tadi kau sendiri yang
mengatakannya, kalau kita berdua sama-sama keluar dari lingkaran, kau yang
kalah!" Auwyang Kongcu tercengang karena herannya. Dia hanya bisa berdiri menjublak
tanpa bisa bicara apa-apa!
Si nona tidak menghiraukannya lagi, ia bertindak dengan tenang, keluar dari
lingkaran. Hanya begitu ia berada di luar, segera ia percepat tindakannya itu.
Sebab ia mengerti sembarang waktu bisa terjadi perubahan. Maka terlihatlah
gelang rambutnya yang terbuat dari emas itu berkeliauan dan bajunya yang putih
berkibar-kibar, sebenatr saja ia sudah tiba di dekat pintu, tiba-tiba terlihat
berupa benda besar yang melayang jatuh di depannya. Ia sudah lantas berkelit ke
samping, tindakannya pun dihentikan. Segera ia dapat kenyataan, benda itu adalah
sebuah kursi thaysu, di atasnya mana ada bercokol satu paderi dari Tibet yang
tubuhnya tinggi dan besar, yang mengenakan jubah warna merah. Dia duduk di kursi
tapi ia lebih tinggi dari si nona. Anehnya, dia duduk seperti terpaku di
kursinya, hingga ia dapat berlompat bersama-sama kursinya itu.
Oey Yong hendak menegur di pederi itu tetapi ia telah di dahului Leng Siangjin,
yang dari dalam jubahnya mengasih keluar sepasang cecer tembaga, begitu kedua
tangannya dirapatkan, berbunyilah alat tetabuhan itu hingga menulikan kuping. Ia
masih heran tatkala di depan matanya berkelebat suatu sinar, lalu sepasang cecer
itu menyambar ke arahnya....sebuah di atas, sebuah lagi di bawah.
Dalam keadaan seperti itu, Oey Yong tidak menjadi gugup, ia pun tidak berlompat
itu lari menyingkir, sebaliknya, dengan menjejak dengan kedua kakinya, ia justru
mencelat ke depan, tangan kanannya diangsurkan, untuk menampa dasarnya cecer,
kaki kirinya ditekankan di atasan cecer yang di bawah tubuhnya dipengkeratkan,
maka sekejap kemudian, ia sudah lewat di antara kedua senjata rahasia itu. Cuma,
walaupun itu sudah lolos dari bahaya, karena ia berlompat maju, ia menjadi
mendekati si orang suci itu.
Kali ini Leng Tie Siangjin mengangkat tangannya, dengan ilmu pukulan "Tay ciu
ini" atau "Tapak tangan besar", dia memukul ke arah tubuhnya si nona.
Oey Yong seperti juga tidak dapat menahan tubuhnya, ia maju terus, hingga ia
seperti hendak menyerbu ke rangkulannya lawannya itu. Orang menjadi kaget hingga
mereka pada berseru. Nona yang begitu cantik manis, pastilah bakal runtuh di
tangan yang kasar dari si paderi, bukan saja tulang-tulangnya bakal patah, juga
isi perutnya, bakalan remuk semua....
Bahaya tidak dapat dicegah lagi, satu suara keras segra terdengar. Serangannya
Leng Tie Siangjin tepat mengenai sasarannya, ialah punggung si nona. Selagi
orang kaget, si nona sendiri melayang terus bagaikan layangan putus, sampai di
luar gedung! Dari kaget, orang menjadi heran sekali, hingga mereka tercengang. Mereka lihat
tangan kanan dari Leng Tie Siangjin mengucurkan darah, sebab telapakan tangannya
pecah menjadi sepuluh liang kecil.
Dalam kagetnya, Pheng Lian Houw berseru: "Budak itu memakai Joan-wie-kah! Itulah
mustika pemilik pulau dari pulau Tho-hoa di Tang Hay!"
See Thong Thian pun berseru: "Dia masih begini muda, kenapa dia dapat memiliki
Joan-wie-kah itu?" Sementara itu Auwyang Kongcu sudah berlompat, untuk berlari-lari keluar. Biar
bagaimana tidak dapat ia melupakan nona yang manis itu, hanya tempo ia sampai di
luar, di antara gelap petang tidak dapat lagi ia melihat bayangannya si nona. Ia
penasaran, maka sambil serukan sekalian gundiknya, ia lari mencari. Di dalam
hatinya ia menghibur diri. "Dia dapat lolos, mungkin ia tidak terluka, maka
maulah dia nanti merangkulnya...."
Hauw Thong Hay, ynag tidak tahu apa itu Joan-wie-kah, menanyakan itu kepada
kakak seperguruannya. "Pernahkah kau melihat landak?" Pheng Lian Houw mendahului menanya
"Tentu pernah aku melihatnya!" sahut orang she Hauw itu.
"Di dalam bajunya ia memakai baju lapis yang lemas," Lian Houw lantas memberi
keterangan. "Baju lapis itu tidak takut kepada senjata tajam seperti golok dan
tombak. Baju itu mempunyai duri yang seperti duri landak. Maka siapa memukul
atau menendangnya, dia mesti menderita sebab tertusuk duri-duri landak itu."
Hauw Thong Hay mengulur lidahnya. "Syukur aku tidak sampai kena menghajar budak
itu..." katanya. Sembari berbicara, Thong Hay dan Lian Houw sertia Thong Thian turut pergi
mengejar, untuk mencari. Malah Chao Wang juga menitahkan Thung Couw Tek
mengepalai barisan pengiringnya pergi mencari. Hingga istana pangeran itu
menjdai kacar dan gempar!
Di pihaknya Kwee Ceng, yang bertemu sama Nio Cu Ong, dia takutnya bukan main,
dia lari tanpa memilih lagi jurusan timur atau barat, selatan atau utara, asal
ke tempat yang gelap. Cu Ong sebaliknya mengejar dia dengan hebat. Som Sian Lao
Koay ingin membekuk orang untuk dihisap darahnya!
Kwee Ceng dapat lari keras, dia pun berlari-lari di tempat yang gelap, dengan
begitu, sekian lama dia tidak dapat dicandak. Sebentar kemudian dia sampai di
satu tempat, di mana ada banyak pohon berduri serta batu muncul di sana-sini,
bagaikan rebung muda atau pedang yang ditancap di tanah. Dia heran yang di
pekarangannya istana ada tempat yang demikian. Dia menjadi terlebih kaget,
ketika dia merasakan sakit pada kakinya, yang tertusuk duri. Mendadak kakinya
menjadi lemas, terus tubuhnya terjatuh hingga ia menjerit keras. Tapi ia masih
sadar, dia lantas siapkan kakinya, supaya setibanya di bawah, tak usah dia jatuh
terbanting. Mungkin ia menerka, dia terjatuh ke dalam sebuah liang, yang
dalamnya beberapa tombak. Ketika akhirnya kakinya tiba di dasar liang, dia kena
injak bukan batu atau tanah keras, hanya serupa benda licin, hingga tidak ampun
lagi, ia terus terpeleset dan terguling. Lekas-lekas ia merayap bangun,
tangannya terus dipakai mereba-raba kepada benda itu. Untuk kagetnya, dia
dapatkan sebuah tengkorak manusia.
"Rupanya ini adalah lubang peranti membuang mayatnya orang yang dibunuh di
istana...." ia menduga-duga. Justru hatinya lagi berpikir, di atas sana, dia
dengar teriakannya Nio Cu Ong: "Bocah, lekas naik!"
"Aku tidak ada begitu gila mau naik untuk mengantar jiwa...." pikir bocah ini. Dia
pun rtidak sudi memberi penyahutan, hanya ia lantas meraba ke belakangnya,
sembari meraba dia sembari mundur. Ini pun ada penjagaan untuk lari terus
andaikata Nio Cu Ong berlompat turun. Di belakangnya, ia tidak dapat meraba apa
juga. "Biarpun kau kabur ke istana Raja Akherat, akan aku susul padamu!" terdengar
pula suaranya Nio Cu Ong, bahkan kali ini tubuhnya terus lompat turun.
Kwee Ceng kaget dan takut, terus ia mundur. Dia masih tidak dapat meraba sesuatu
apa, yang bisa menghalangi mundurnya, maka ia mundur terus. Kemudian ia putar
tubuhnya, untuk berjalan dengan kedua tangannya dilonjorkan ke depan. Dalam
liang gelap yang gelap itu, dia tidak dapat melihat apa juga.
Liang itu merupakan sebuah terowongan, baru menyusul kira dua tembok, Nio Cu Ong
telah dapat mengetahuinya. Dia bernyali besar, dia andalkan kepandaiannya, dia
menyusul terus. Hanya karena berada di tempat gelap, dia bahkan tidak dapat
melihat jeriji tangan di hadapannya, dia bertindak dengan enteng, supaya ia
tidak mengasih dengar suara apa-apa. Dia takut Kwee Ceng nanti bokong padanya.
Kwee Ceng menyingkir terus dengan hatinya memukul keras. "Terowongan ini mesti
ada ujungnya, di sana habislah jiwaku...." ia mengeluh. Ia tidak melihat siapa
juga tetapi ia merasa pasti Nio Cu Ong sedang menyusul padanya. Ia menjadi
semakin takut. Lagi beberapa tombak, tibalah Kwee Ceng di satu tempat yang terbuka, di mana
terdapat cahaya terang. Itulah ujungnya terowongan itu. Itulah sebuah kamar atau
ruang bertembok tanah. Nio Cu Ong pun tiba dengan segera, lantas dia tertawa lebar. "Ha, bocah, ke mana
kau hendak kabur"!" dia berseru.
Kwee Ceng bingung, ia melihat ke sekitarnya.
Justru itu, dari pojok kiri terdengar ini suara dingin seram: "Siapa berbuat
kurang ajar di sini"!"
Kwee Ceng kaget, hatinya goncang keras. Siapa sangka di temapt demikian boleh
ada penghuninya. Sekalipun Nio Cu Ong, yang kosen dan nyalinya besar, ia turut terkejut juga.
Kembali terdengar suara seram dingin tadi: "Siapa ke dalam gua ini, dia mesti
mati, dia tidak bakal hidup pula! Apakah kamu sudah bosan hidup"!"
Terang suara itu adalah suaranya seorang wanita, hanya kali ini suara itu


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disusul sama napas yang memburu, mungkin sekali, dialah seorang yang sedang
sakit. "Aku datang kemari tidak sengaja," berkata Kwee Ceng perlahan, menyahuti orang
itu. "Aku lagi dikejar-kejar orang...." Sebagai seorang polos, tidak dapat ia
berdiam saja atau mendusta.
Baru Kwee Ceng berhenti bicara, atau ia telah dengar sambaran angin. tahulah ia,
Nio Cu Ong tengah menyerang padanya, mungkin untuk ditawan. Ia lantas saja
berkelit. Nio Cu Ong mendapatkan tangkapannya gagal, ia menyerang pula.
Kwee Ceng menjadi cemas dan sibuk, ia berkelit ke kiri dan kanan.
"Siapa yang berani datang kemari menangkap orang"!" terdengar pula suara wanita
tadi. Nio Cu Ong tidak takut, ia bahka bergusar. "Apakah kau hendak menyamar menjadi
iblis untuk menakut-nakuti aku"!" dia menegur.
Wanita itu tidak menyahuti, ia hanya kepada Kwee Ceng: "Eh, anak muda, mari kau
sembunyi padaku di sini!" Ia rupanya dapat menduga dari suara orang. Ia mengucap
demikian tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya.
Kwee Ceng sedang bingung, di dalam keadaan seperti ini, tidak dapat lagi ia
bersangsi sedikit juga, maka ia lantas berlompat ke arah darimana suara itu
datang. Begitu kakinya menginjak tanah, ia merasakan tangannya disambar dan
dicekal tangan lain orang yang dingin enyam, besar tenaga orang itu, tubuhnya
segera tertarik hingga ia roboh menubruk sebuah dipan tempat duduk bersemadhi.
Wanita itu masih bernapas memburu, dia kata terhadap Nio Cu Ong: "Barusan
seranganmu, yang berupa tangkapan, ada lihay sekali. Apakah kau ada satu jago
Rimba Persilatan dari Kwan-gwa?"
Nio Cu Ong heran bukan buatan. "Aku tidak dapat melihat dia, kenapa dia
sebaliknya segera mengenali asal-usulnya ilmu silatku?" ia berpikir. "Dia lihay
sekali! Mungkinkah ia dapat melihat di tempat gelap?" Ia menjadi tidak mau
berlaku semberono, ia lantas menyahuti: "Aku adalah seoarng saudagar jinsom dari
Kwantong, she Nio. Bocah ini telah curi barangku, tidak dapat tidak, aku mesti
tangkap dia. Aku minta sukalah nyonya tidak menghalangi aku..."
"Oh, kiranya saudagar Som Sian Nio Cu Ong!" berkata wanita itu. "Kalau lain
orang, yang tidak tahu apa-apa, lancang masuk ke rumahku ini, dia sudah tidak
dapat diberi ampun, apapula kau Nio Lao Koay, kau ketua sebuah partai! Apakah
benar kau tidak kenal aturan kaum Rimba Persilatan"!"
Som Sian Lao Koay terperanjat. "Nyonya yang terhormat, aku mohon tanya shemu
yang mulia," ia meminta.
"Aku....aku...." sahut si wanita itu.
Kwee Ceng baru mendengar sampai disitu, lantas ia merasakan tangannya wanita itu
bergemetar keras, lalu perlahan-lahan cekalannya menjadi kendor. Ia pun
mendengar orang merintih, tanda bahwa nyonya itu sangat menderita.
"Apakah kau sakit?" ia tanya perlahan.
Nio Cu Ong dapat mendengar suaranya kwee ceng itu, ia menjadi bergusar pula. Ia
sangat andalkan kegagahannya, ia tidak ambil pusing siapa si nyonya itu, yang ia
duga sedang sakit keras atau terluka parah. Lantas ia ulur kedua tangannya,
untuk membekuk si anak muda. Ia baru saja melanggar bajunya Kwee Ceng lalu
mendadak ia merasakan tangannya terbentur tenaga yang besar, hingga ia terkejut,
walaupun begitu, ia segera kirim tangan kirinya, untuk menyerang!
"Pergi!" membentak si wanita, yang sebelah tangannya segera mampir di
bebokongnya Som Sian Loa Koay, hingga ia terhuyung tiga tindak. Syukur tangguh
ilmu dalamnya, ia tidak sampai mendapat luka di dalam. Ia hanya heran atas
kesebatan wanita itu. "He, bangsat perempuan, mari maju!" ia berseru saking murkanya.
Wanita itu terdengar napasnya memburu, tubuhnya tidak bergerak.
Sekarang Nio Cu Ong percaya pasti orang tidak dapat bergerak, karena ini, ia
menjadi lebih tabah. Dengan perlahan ia bertindak menghampirkan wanita itu.
Disaat ia hendak berlompat, untuk menerjang, tiba-tiba ia mendengar suara angin,
lalu sebuah cambuk panjang menyambar ke kakinya. Ia menjadi kaget sekali, tetapi
ia tidak mau kasih dirinya diserang demikian, sambil lompat mencelat, kakinya
terus menendang ke arah wanita itu!
Tendangan orang she Nio ini ada sangat kesohor, untuk wilayah Kwan-gwa, ia
kenamaan duapuluh tahun lebih, tetapi kali ini, kesudahannya membuat ia kaget
tidak terkira. Belum lagi tendangannya itu mengenai sasaran atau jalan darahnya
kongsun-hiat, tiba-tiba kaku sendirinya. Jalan darah itu ada di batas mata kaki,
biasanya siapa kena tertotok, ia mesti lantas roboh. Dalam kagetnya, ia ayun
tubuhnya untuk berjumpalitan, sedang tangannya dipakai menyampok. Di dalam
hatinya ia berkata: "Wanita ini awas sekali matanya! Dia bisa menotok jalan
darah, mungkinkah dia itu siluman?"
Juga sampokan Cu Ong adalah sampokan istimewa, tenaganya telah dikerahkan
sepenuhnya kepada tangannya itu. Ia pun menduga orang lagi sakit, kalu
serangannya mengenai sasarannya, pastilah itu tidak bakal gagal.
Tiba-tiba terdengar urat-urat meretek, lalu tangannya si wanita diulur panjang,
ujung kukunya menyambar ke pundak. Cu Ong terkejut, ia menangkis dengan tangan
kirinya. Kali ini kedua tangan bentrok, tetapi untuk kagetnya, ia rasakan tangan
lawan dingin sekali, bagaikan es, bukan seperti daging. Tidak ayal lagi, ia
buang dirinya ke tanah, untuk bergulingan pergi, bahkan dengan merayap, terus ia
keluar dari terowongan itu, hingga diluarnya dapatlah ia bernapas lega.
"Sudah beberapa puluh tahun, belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini,"
pikirnya. "Benarkah di dalam dunia ini ada iblis" Ah, mungkin ongya ketahui
rahasia ini..." Maka dengan cepat ia kembali ke Hoa Cui Kok.
Kwee Ceng dapat dengar sauara orang berlari pergi, hatinya jadi lega, dengan
kegirangan dan bersyukur, lantas ia berlulut di depan wanita itu untuk
mengangguk-angguk hingga tiga kali. Ia berkata: "Teecu mengucap banyak-banyak
terima kasih untuk pertolongan cianpwee."
Wanita itu bernapas tersengal-sengal, rupanya melawan Nio Cu Ong, ia telah
menggunakan tenaga berkelebihan. Ia pun batuk-batuk.
"Kenapa Lao Koay hendak membunuh kau?" ia tanya selang seaat, setelah napasnya
tidak terlalu memburu lagi.
"Ong Totiang mendapat luka, dia membutuhkan obat, maka itu teecu datang ke
istana ini..." Kwee Ceng menyahut. Tiba-tiba ia berhenti, karena ia berpikir:
"Wanita ini tinggal di dalam istana, apakah ia bukan orangnya Wanyen Lieh?"
"Oh...!" berseru si wanita. "Jadinya kau telah curi obatnya Lao Koay! Aku dengar
kabar ia tengah menyakinkan pembuatan obat-obatan...."
"Apakah cianpwee terluka?" menanya Kwee Ceng, yang seperti tidak memperdulikan
perkataan orang. "Teecu ada punya empat macam obat yaitu thian-cit, hiat-kat,
him-tha dan bu-yok. Ong totiang tentu tidak membutuhkan sebanyak itu. Kalau
cianpwee...." "Mana aku terluka!" memotong si wanita, agaknya ia gusar. "Siapa yang
menghendaki kebaikanmu itu!"
"Ya, ya," sahut Kwee Ceng, yang ketemu batunya, hingga tak tahu ia mesti
membilang apa. Sebaliknya, hatinya menjadi lemas pula apabila ia dengar suara
napas empas-empis dari wanita itu. Maka ia kata pula: "Jikalau cianpwee tidak
merdeka untuk jalan, mari boanpwee menggendong buat pergi keluar..."
"Siapakah ynag tua"!" wanita itu membentak. "Bocah tolol, cara bagaimana kau
ketahui aku sudah tua?"
"Ya,ya," sahut Kwee Ceng, yang tidak berani banyak omong. Ia terus bungkam. Ia
telah lantas pikir, untuk meninggalkan pergi kepada wanita ini tetapi ia tidak
tega hati. Maka ia membelas. Ia tanya pula: "Kau menghendaki barang apa" Nanti
aku pergi mengambilkannya...."
"Ah, kau benar baik...." kata wanita itu, tetapi ia tertawa dingin. Ia ulur tangan
kirinya, diletaki di pundak Kwee Ceng, terus ia menarik.
Kwee Ceng merasakan pundaknya itu sakit sekali, tanpa berdaya ia kena ditarik
hingga ke depan wanita itu. Yang membikin ia terkejut adalah lehernya terasa
dingin dengan mendadak. Sebab tangan kanan si wanita sudah merangkulnya.
"Gendong aku pergi!" berseru si wanita itu, keren.
"Memang aku pun hendak menggendong kau," kata Kwee Ceng dalam hatinya. Ia lantas
menggendong, dengan tindakan perlahan ia menuju ke luar.
"Adalah aku yang memaksa kau menggendong aku keluar dari sini," kata si wanita.
"Tidak dapat aku dijual orang..."
Mendengar ini, Kwee Ceng merasa orang sangat berkepala besar, orang tidak sudi
menerima budi. Ia jalan terus hingga di mulut terowongan, ialah liang yang tadi.
Ia mengangkat kepalanya, akan melihat bintang-bintang di langit, habis itu ia
mencoba menggunai kedua tangannya, akan merayap naik. Dalam hal kepandaian ini,
ia telah berlatih cukup di bawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok. Liang sumur itu
cukup tinggi tetapi Kwee Ceng dapat memanjatnya.
Tidak lama keluarlah mereka dari gua itu.
"Siapa yang ajari kau ilmu ringan tubuh"!" si wanita tanya. "Lekas bicara!" Ia
memegang keras leher orang sampai si anak muda sukar bernapas.
Saking kagetnya, Kwee Ceng kerahkan tenaganya di leher, untuk melawan cekikan.
Ia tidak tahu orang menguji padanya, cekikan itu menjadi semakin keras. Hanya
sesaat kemudian, tangan si wanita menjadi kendor sendirinya.
"Ha, kau mengerti ilmu tenaga dalam yang sejati," seru wanita itu. "Kau bilang
barusan Ong totiang mendapat luka. Apakah namanya Ong totiang itu?"
Sebelum menjawab, Kwee Ceng berpikir: "Kau telah tolongi padaku, segala apa kau
boleh tanyakan, tidak nanti aku mendusta. Kenapa kau berlaku begini kasar?" Tapi
ia toh menjawab: "Ong Totiang itu bernama Ong Cie It, orang dipanggil Giok Yang
Cu." Tiba-tiba wanita itu menggetar, napasnya pun tersengal-sengal. "Jadinya kau
adalah muridnya Coan Cin Pay!" katanya. "Ong Cie It itu kau punya pernah apa"
Kenapa kau memanggil ia totiang, bukan suhu atau susiok?"
Suhu dan susiok ialah guru dan paman guru.
"Teecu bukan murid Coan Cin Kauw," Kwee Ceng berkata. "Adalah Tan Yan Cu Ma
Giok, yaitu Ma Totiang yang pernah ajarkan aku ilmu mengendalikan napas dan
bersemadhi." "Habis, siapakah gurumu itu"!" si wanita tanya pula. Dia agaknya mendesak.
"Guru teecu semuanya ada tujuh orang," sahut Kwee Ceng. "Merekalah yang disebut
Kanglam Cit Koay. Guru yang nomor satu ialah Hui Thian Pian-hok, seorang she
Kwa." Wanita itu batuk-batuk beberapa kali, agaknya susah ia berbicara. "Dialah Kwa
Tin Ok!" katanya kemudian.
"Benar," Kwee Ceng mengangguk.
"Apakah kau datang dari Mongolia?" tanya wanita itu lagi.
"Benar," sahut Kwee Ceng pula, yang heran sekali. "Kenapa wanita ini ketahui aku
datang dari Mongolia?" ia pikir.
"Kau dipanggil Yo Kang, benar tidak"!" masih wanita itu bertanya.
"Bukan, teecu she Kwee," menjawab si anak muda.
Wanita itu perdengarkan suara seperti merintih, dari sakunya ia tarik keluar
serupa barang, yang ia letaki di tanah. Itulah sebuah hungkusan, entah dari cita
atau kertas. Kapan bungkusan itu telah dibuka, di dalamnya tertampak barang yang
berkilauan. Itulah sebuah pisau belati, melihat mana, Kwee Ceng rasanya kenal.
Ia menjemput untuk dilihat teliti. Di gagangnya ia dapatkan dua hruf ukiran,
bunyinya : "Yo Kang". Itulah pisau yang ia pakai untuk menikam Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu.
Selagi si anak muda mengawasi pisau itu, si wanita merampasnya. "Kau kenal pisau
belati ini, bukan"!" dia tanya.
"Benar," menjawab Kwee Ceng. "Di masa kecil pernah aku pakai pisau ini membunuh
seorang jahat, lalu mendadak orang jahat itu lenyap dan pisau ini...."
Belum habis ia mengucap, lehernya sudah dicekal si wanita, terus di cekik. Ia
kaget, ia berontak, sebelah tangannya menyerangi si wanita. Tapi tangan itu
sudah lantas kena ditangkap!
Segera si wanita melepaskan tangannya yang kanan, ia duduk di tanah. "Kau lihat,
aku ini siapa"!" ia tanya dengan bentakannya.
Diwaktu malam seperti itu, seram suaranya.
Matanya Kwee Ceng telah berkunang-kunang tetapi ia masih bisa melihat si wanita
yang rambutnya yang panjang riap-riapan, mukanya pucat seperti kertas. Ia lantas
mengenali Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi, salah satu dari Hek Hong Siang
Sat. Ia kaget tidak kepalang, ia lantas berontak pula tetapi sia-sia saja,
tangannya telah dicekal keras, kuku orang sudah masuk ke dalam dagingnya...
Ketika malam itu di atas gunung terjadi pertempuran di antara Kanglam Cit Koay
dengan Hek Hong Siang Sat, Tan Hian Hong telah jambak mati kepada Thi A Seng,
sebaliknya ia kena ditikam Kwee Ceng pada anggota tubuh kematiannya. Bwee Tiauw
Hong sudah buta kedua matanya, tetapi ia masih bisa bawa lari mayat suaminya
itu, ia lolos justru ketika itu turun hujan lebat. Sekarang denagn tiba-tiba
Kwee Ceng mengantarkan jiwanya, bagaimana Tiauw Hong tidak jadi girang. Sudah
belasan tahun ia cari pembunuh suaminya denagn sia-sia. Segera ia menjadi girang
bercampur sedih, lantas ia ingat penghidupannya yang dulu-dulu.
"Dulu aku adalah satu nona yang lincah, setiap hari aku memain saja, aku
dikasihi oleh ayah dan ibuku," demikian ia melamun, sedang tangannya terus
memegang keras si anak muda, "Baru kemudian,s esudah kedua orang tuaku menutup
mata, orang perhina aku, hingga oleh guruku, Oey Yok Su, aku ditolongi dan
dibawa ke pulau Tho Hoa To, dimana aku diajarkan ilmu silat. Sekejap kemudian,
seorang pemuda yang matanya besar terbayang dihadapanku. Dialah Tan Hian Tong,
kakak seperguruanku. Sama-sama kita belajar ilmu silat, sampai hati kita coco
satu sama lain. Demikian pada suatu malam di musim semi, di bawah pohon tho,
mendadak ia rangkul aku..."
Wajahnya si Mayat Besi menjadi merah dengan tiba-tiba, Kwee Ceng pun dengar
napas orang memburu. Habis itu, si wanita menghela napas panjang.
Tiauw Hong lantas melamun pula. Ia ingat sebab takut digusari guru mereka,
mereka buron dari Thoa Hoa To, lantas mereka menikah. Itu waktu Tan Hian Hong
telah memberitahukan bahwa ia telah mencuri sebagian kitab "Kiu Im Cie Keng".
Setelah itu, mereka sembunyikan diri di gunung, untuk menyakinkan ilmu seperti
pengajaran kitab istimewa itu, hingga setelah pandai, mereka berkelana dan
menjagoi dunia kangouw. Banyak orang kosen yang mereka robohkan, malah Hui Thian
Sin-liong Kwa Pek Sia telah mereka binasakan dan Kwa Tin Ok sudah mereka bikin
buta matanya. Bwee Tiauw Hong masih ingat baik-baik perkataan Tan Hian Hong, suaminya itu:
"Eh, perempuan bangsat, kitab Kiu Im Cie Keng itu aku cuma dapat curi sebagian
saja, bagian bawah. Bagian atasnya adalah mengutamakan pelajaran tenaga dalam.
Dengan begitu, pelajaran kita jadi kepalang tanggung. Bagaimana sekarang?"
Atas itu, ia ingat, ia menjawab dengan balik menanya: "Apa daya?"
"Kita kembali ke Tho Hoa TO, kita curi pula yang sebagian itu!"
Ia tidak berani pergi. Biar kepandaian merka sepuluh lipat lebh lihay, mereka
masih tidak sanggup lawan dua jari tangan saja dari guru mereka. Hian Hong pun
jeri, tetapi dia penasaran, dia hendak pergi mencurinya juga. Dia bilang pada
istrinya: "Aku mesti pergi, kita mesti jadi tanpa tandingan di kolonng langit
ini, atau kau menjadi janda, perempuan busuk!" Ia tidak sudi menjadi janda, maka
kejadianlah mereka berdua berlaku nekad.
"Kami tahu, karena buronan kami, suhu telah sangat gusar dan telah umbar
kegusarannya itu," Tiauw Hong melamun lebih jauh. "Dalam murkanya suhu telah
putuskan ototnya semua muridnya, yang terus ia usir, hingga selanjutnya
dipulaunya itu guru hidup berdua saja dengan istrinya serta beberapa budak
pelayan. Ketika kami tiba di pulau, kami menemukan berbagai peristiwa yang luar
biasa. Kiranya musuhnya suhu telah datang ke pulau untuk mengadu kepandaian.
Pertandingan itu itu membuatnya kami kaget, goncang hati kami. Dengan berbisik
aku kata kepada suamiku, "Eh, lelaki bangsat, kita gagal, mari kita lekas
pergi!" Tapinya suamiku menampik. Kami telah menyaksikan suhu telah dapat
membekuk musuhnya, kaki siapa dia telah hajar patah. Aku ingat kepada subo, budi
siapa aku tidak dapat lupakan. Aku pergi ke jendela, untuk mengintai. Apa yang
aku lihat adalah meja abu. Kiranya subo telah menutup mata. Aku menjadi
bersedih. Ditepi meja abu aku lihat satu anak perempuan kecil duduk di kursi,
dia mengawasi aku sambil tertawa. Bocha ini mirip dengan subo. Pastilah dia
anaknya suboku itu. Aku pikir, mungkinkah subo meninggal sehabis melahirkan yang
sulit" Karena ini aku pikir untuk tidak melahirkan anak juga! Selagi aku
berpikir begitu, suhu telah dapat dengar suara kami. Suhu muncul di ruang meja
abu itu. Aku kaget hingga lemas kaki tanganku, tidak dapat aku bergerak. Aku
dengar bocah itu berseru, 'Ayah, empo!' Dia tertawa manis, dia pentang kedua
tangannya dengan apa ia tubruk ayahnya. Bocha itu menolong kami. Suhu khawatir
dia jatuh, ia menyambuti anak itu. Lantas si bangsat laki-laki menarik tanganku,
untuk diajak lari. Kami kabur dengan naik perahu. Air laut telah muncrat
memasuki perahu kami, hatiku memukul terus, seperti mau lompat keluar."
Ketika itu angin bersiur, hawanya dingin. Di kejauhan, burung hantu pun mengasih
dengar suaranya yang seram. Karena kupingnya jeli, Bwee Tiauw Hong dapat dengar
itu semua. Ia masih terbenam dalam lamunannya, tentang peristiwa dulu-dulu itu,
yang merupakan pengalamannya.
Demikian ia berkata terus dalam hatinya: "Menyaksikan pertempuran dahsyat dari
suhu, barulah suamiku itu padam hatinya. Dia kata, 'Bukan cuma kepandaian suhu
belum dapat kita pelajari sebagian saja, juga kepandaian lawannya itu kita
berdua tidak dapat melawannya!' Maka itu kami lantas meninggalkan wilayah
Tionggoan, kami menyingkir jauh sekali sampai di gurun pasir di Mongolia.
Suamiku itu berkhawatir kitabnya nanti ada yang curi, sekalipun aku, dia tidak
kasih lihat. Aku juga tidak tahu dimana ia menyembunyikannya. Maka aku kata


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 4 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Kitab Panca Longok 1
^