Pencarian

Api Berkobar Di Bukit Setan 2

Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan Bagian 2


dur dua tindak ketika tubuh lelaki tua itu telah berdiri gagah di dekat mereka.
Sedangkan mata mereka terus
mencorong, memperhatikan datuk sesat yang akan
menjadi lawan mereka itu. Mulai dari rambutnya yang panjang tergerai sampai ke
bahu, wajahnya yang hitam kumal, sampai pada jubah hitam yang terjumbai-jumbai
menyapu rumput. Sedangkan tangan kanannya
memegang tongkat hitam berkepala ular yang pan-
jangnya sekitar satu setengah meter.
"Siapa di antara kalian yang ingin maju melawan-
ku!" tantang Kidarga sambil menudingkan tongkat hi-
tamnya ke arah para pendekar. Namun matanya tak
lepas menyorot Putri Bong Mini. Seolah-olah menan-
tang keberanian Bong Mini. Namun sebelum Bong Mini
terpancing emosinya, Baladewa telah maju setindak,
membelakangi Bong Mini dan pendekar lainnya.
"Akulah orang pertama yang akan menghadapimu,
Datuk Sesat!" kata Baladewa dengan tatapan penuh
kebencian terhadap lelaki berjubah hitam di hadapannya.
Melihat Baladewa maju, Ashiong dan Sang Piao pun
bergerak ke depan mendampingi Baladewa. Mereka sa-
dar kalau datuk sesat itu tidak bisa dilawan seorang
diri. Bahkan mereka bertiga pun belum tentu mampu
menandinginya. Apalagi untuk merobohkannya. Tapi
karena mereka sadar kalau yang hendak mereka laku-
kan merupakan tugas mulia, demi ketenteraman rak-
yat negeri Selat Malaka, maka dengan keberanian serta bekal kepandaian silat
yang dimiliki, ketiga pendekar itu pun tidak ragu-ragu lagi untuk menghadapi
Kidarga. Meski nyawa taruhan mereka.
"Ha ha ha...!" Kidarga tertawa terbahak melihat ke-
hadiran tiga pendekar yang masih muda itu. "Apakah
kalian sudah memiliki ilmu kesaktian yang ampuh se-
hingga mau bertarung denganku!" ejek Kidarga lagi dengan pandangan meremehkan.
"Tak usahlah kau banyak cakap, Datuk Sesat! Demi
Tuhan! Tak setapak pun aku berniat mundur mengha-
dapimu, walaupun kesaktianmu lebih tinggi!" seru
Ashiong dengan kemarahan yang meletup-letup.
Mendengar ucapan Ashiong, Kidarga kembali terba-
hak. Sikap dan pandangannya semakin tampak mere-
mehkan. "He he he! Majulah kalian jika sudah bertekad hen-
dak menyerahkan nyawa padaku!" tantang Kidarga de-
ngan suara ringan.
Sing sing singngng!
Sinar putih keperakan membersit ketika ketiga pen-
dekar muda itu mencabut dan menggerakkan pedang-
nya bersamaan. Kemudian ketika pendekar itu berge-
rak, membuat kurungan segitiga.
"He he he! Anak muda seperti kalian memang he-
bat-hebat. Tapi sayang, ilmu kalian masih mentah!"
ejek Kidarga lagi amat tenang, tak tampak hendak me-layani tiga pendekar muda
tersebut. "Basmi datuk sesat itu!" Baladewa berteriak. Kemu-
dian ketiga pendekar itu bergerak maju untuk me-
nerjang tubuh Kidarga dengan bermacam gerakan
yang cepat dan dahsyat.
Sing sing sing...!
Wut! Trang trang trang!
Gulungan sinar pedang yang menyambar tubuh da-
tuk sesat itu dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah
diputar oleh Kidarga dengan cepat.
Tiga pendekar itu terkejut dan menarik pedangnya
kembali ketika merasakan telapak tangan mereka pa-
nas dan nyeri saat terjadi adu senjata tadi. Ini menunjukkan kalau datuk sesat
yang menjadi Ketua Pergu-
ruan Topeng Hitam itu benar-benar memiliki tenaga
sakti yang luar biasa. Tenaga sakti yang diperolehnya dari para iblis dan setan
yang selama ini disembahnya.
Bahkan tongkat hitam yang hanya terbuat dari kayu
jati itu mampu menahan ketajaman pedang ketiga pen-
dekar itu. Bahkan mampu menimbulkan getaran hebat
yang mampu mendera tulang ketiga penyerangnya.
Mereka tidak tahu bahwa tongkat hitam di genggaman
Kidarga itu telah dialirkan ilmu 'Tongkat Tangan Iblis'.
Membuat tongkat yang terbuat dari kayu jati itu dapat keras seperti baja dan
mampu menggetarkan tulang-tulang lawannya.
"He he he, ilmu pedang kalian tidak seberapa. Ma-
sih mentah!" ejek Kidarga sambil menggerakkan tong-
kat hitamnya, menangkis setiap sambaran pedang
yang mengancam tubuhnya.
Baladewa, Ashiong, dan Sang Piao bukan main ma-
rahnya mendapat ejekan datuk sesat itu. Namun sebe-
lum mereka melanjutkan serangannya, tiga Pendekar
Mata Dewa telah melesat ke arah pertempuran dan
berhadapan dengan Kidarga.
Baladewa, Ashiong, dan Sang Piao mundur bebe-
rapa langkah untuk memberikan kesempatan ketiga
pendekar itu bertarung dengan Kidarga.
"Bentuk segitiga kerucut!" teriak Kao Cin Liong,
langsung memberikan aba-aba pada kedua temannya.
Kemudian ketiga pendekar itu membentuk serangan
segitiga kerucut. Dengan serangan ini, tugas mereka terbagi menjadi tiga bagian.
Yang berhadapan dengan Kidarga menyerang bagian wajah dan dada, sedangkan
yang berdiri di sebelah kanan Kidarga menyerang da-
tuk sesat itu pada bagian perut dan kakinya. Sisanya menyerang pada bagian
kepala Kidarga dengan cara
melompat di atas kepala datuk sesat itu.
Sing sing singngng!
Gulungan sinar pedang Tiga Pendekar Mata Dewa
menyambar datuk sesat itu dari berbagai arah. Atas, tengah, dan bawah. Membuat
Kidarga terkejut dan kewalahan. Kalau serangan pertama yang dilakukan oleh
Baladewa, Ashiong, dan Sang Piao mampu ditangkis
karena serangan itu datangnya dari tempat tertentu, sehingga dengan mudah ia
dapat menangkisnya dengan tongkat hitamnya, maka serangan Tiga Pendekar
Mata Dewa datang dari berbagai arah dengan kecepa-
tan yang lebih dahsyat lagi. Terutama serangan yang datang dari atas kepalanya.
Lengah sedikit, maka salah satu pedang itu pasti akan menyayat tubuhnya.
Wajah Kidarga tiba-tiba merah seketika. Darahnya
bergejolak panas terbakar kemarahannya. Sikapnya
yang tadi tenang serta meremehkan tiga lawannya, kini berubah tegang dan angker.
Dia mulai sungguh-sungguh menghadapi tiga pengeroyoknya.
"Hiaaat!"
Kidarga mengeluarkan lengkingan tinggi bersama
putaran tubuhnya dari atas ke bawah. Begitu pula dengan tongkat hitamnya yang
diputar dengan kecepatan tinggi ke arah dua lawannya yang menyerangnya dari
depan dan samping. Sedangkan kedua kakinya yang
lurus ke atas, bergerak menendang seorang lawan
yang berada di atas kepalanya.
Trakkk! Dukkk! Tongkat hitam Kidarga berhasil menahan kedua pe-
dang lawan yang menyerang ke arah leher dan perut-
nya. Saat itu pula, pedang Kao Cin Liong dan pedang Kui Lok patah dua. Sedangkan
kedua kakinya yang lurus ke atas berhasil menjejak selangkangan Sin Hong cukup
keras. "Aaakh...!"
Sin Hong terpekik nyeri. Pedangnya terlepas dan ja-
tuh menancap di tanah. Sedangkan kedua tangannya
mendekap selangkangan yang terkena tendangan. Ke-
mudian tubuhnya yang tadi bergerak lincah di udara, jatuh membentur tanah dengan
keras. Seketika itu ju-ga tubuh Sin Hong tidak dapat bergerak lagi. Bukan
karena benturan dengan tanah yang menyebabkan
kematiannya, melainkan karena tendangan Kidarga
yang mengandung hawa panas luar biasa. Seolah-olah
membakar seluruh tulang-tulang dan isi perutnya. Itulah jurus tendangan 'Kaki
Iblis'. Sebuah jurus tendangan yang sangat dahsyat dan mematikan!
Melihat kematian seorang dari Tiga Pendekar Mata
Dewa, sebelas orang pendekar lain yang menyaksikan
pertarungan, kini berloncatan mengepung Ketua Per-
guruan Topeng Hitam itu. Mereka adalah Sang Piao,
Ashiong, Prabu Jalatunda, Ningrum, Thong Mey, Ratih Purbasari, Ong Lie, Seyton
dan tiga Pendekar Teluk
Naga yang masing-masing bernama Kok Thai Ki, Cu
Han Bu, dan Hong Tan Tosu. Sedangkan Bongkap dan
Bong Mini tetap berdiri tegang menyaksikan pertempuran itu. Saat menyaksikan
pertempuran itulah, diam-
diam Bong Mini mempelajari jurus-jurus atau ilmu-
ilmu kesaktian yang dimiliki Kidarga.
Kidarga menyebarkan pandangannya ke sekeliling.
Mengamati tiga belas pendekar yang berdiri gagah me-ngurungnya. Dan tiba-tiba
Saja Kidarga tertawa terbahak-bahak. Keras dan menyeramkan! Memantul ke se-
luruh penjuru Bukit Setan hingga menimbulkan gema
yang menyambut tawanya. Bersamaan dengan tawa-
nya itu, angin besar bergulung dari segala arah. Namun angin itu tidak
memberikan kesejukan. Sebalik-
nya justru menimbulkan udara yang panas luar biasa.
Seolah-olah para pendekar itu, termasuk Bong Mini
dan Bongkap berada dalam lingkaran api yang siap
menjilati tubuh mereka. Seketika itu juga tubuh me-
reka basah bermandikan keringat.
Sebenarnya tawa yang dilakukan Kidarga tadi bu-
kan tawa sembarangan. Tawa tadi merupakan isyarat
bagi iblis, setan, dan roh-roh jahat agar datang memberikan kesaktian kepada
dirinya. Pada saat tawanya menggema ke seluruh penjuru bukit, semua makhluk-
makhluk yang selama ini disembahnya datang berge-
rombol membantu Kidarga.
Sesungguhnya, iblis, setan, dan roh-roh jahat yang
selama ini disembah dan dipertuhankan oleh Kidarga
bukanlah takluk kepadanya. Apalagi diperintah! Sebaliknya, malah Kidarga yang
menjadi budak mereka.
Karena untuk memperoleh ilmu sesat atau ilmu hitam, Kidarga harus melakukan
pekerjaan yang amat berat
dan mengerikan! Seperti bertapa selama empat puluh
hari empat puluh malam tanpa makan dan minum
(mati geni). Karena di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan yang cuma dikenal
oleh mereka yang memuja
iblis, setan, dan roh-roh jahat yang mereka yakini.
Sesaat sebelum melaksanakan tapanya, Kidarga ter-
lebih dahulu harus menyiapkan pedupaan yang berisi
kemenyan sebanyak mungkin sampai masa tapanya
berakhir. Pedupaan berisi kemenyan yang sudah diba-
kar itu akan mempercepat datangnya setan, iblis atau
roh-roh jahat yang dikehendakinya.
Setelah Kidarga memperoleh ilmu kesaktian, ia pun
harus menyanggupi beberapa persyaratan. Di antara-
nya harus mengisap darah, sumsum, dan otak anak
perempuan di bawah umur sepuluh tahun. Sedangkan
perempuan berumur dua puluh lima tahun ke bawah,
cukup mengisap darahnya saja agar kesaktiannya ti-
dak pudar dan terus bertambah. Sedangkan persyara-
tan kedua, ilmu yang sudah diperoleh itu harus digunakan ke jalan yang sesat dan
menyebarkannya ke
masyarakat sebanyak mungkin agar mereka percaya
terhadap kekuatan iblis, setan, atau roh-roh jahat. Kalau salah satu persyaratan
ini tidak dilaksanakan, ma-ka nyawa Kidarga sendiri yang akan melayang diceng-
keram oleh makhluk-makhluk marakayangan yang
disembahnya itu.
Hawa panas di sekitar tempat pertempuran itu, ten-
tu saja mengganggu konsentrasi para pendekar yang
akan melakukan penyerangan. Setiap saat peluh me-
reka bercucuran dan menghalangi pandangan mereka.
Tidak henti-hentinya mereka menghapus keringat yang menghalangi pandangan dengan
tangan mereka. Begitu pula dengan Bong Mini. Namun sejak dia diserang
oleh angin panas yang aneh dan bergulung-gulung itu, Bong Mini berusaha
mengerahkan seluruh kekuatan
ilmunya untuk menahan hawa panas yang luar biasa
itu. Dia berdiri tegak dengan menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Sedangkan kedua ma-
tanya tampak terpejam, penuh konsentrasi.
"Ya, Tuhan! Berikan kekuatan pada diriku dan pa-
sukanku! Berikan pula kekuatan dan kelebihan pada
kedua mataku agar mampu melihat sesuatu yang tidak
tersingkap!" batin Bong Mini berdoa, meminta lang-
sung kepada Tuhan yang telah menciptakan langit,
bumi beserta isinya.
Setelah beberapa saat berdoa, Bong Mini menarik
napas dalam, menahannya sejenak, dan menghem-
buskannya sambil membuka kedua matanya perlahan-
lahan. Bong Mini hampir saja terpekik kaget ketika kedua
matanya terbuka lebar. Karena matanya melihat bola
api menyala-nyala di sekitar para pendekar yang me-
ngepung Kidarga. Begitu pula di sekitar tempatnya
berdiri bersama Bongkap. Penuh dengan bola api yang menjilat-jilat tubuh mereka.
"Pantas sejak kedatangan angin yang bergulung-gulung itu, udara di sekitar
tempat itu terasa panas luar biasa. Melebihi panasnya sinar matahari yang setiap
hari memancar," begitu pikir Bong Mini ketika kedua matanya mampu menem-
bus alam gaib dan melihat angin panas yang sebe-
narnya bola-bola api yang mengelilingi tubuh mereka masing-masing agar
konsentrasi mereka buta dan tak
dapat melakukan penyerangan.
Menyadari keadaan yang sesungguhnya, Bong Mini
cepat-cepat mengerahkan ilmu 'Sinar Mata Malaikat'.
Salah satu ilmu yang terdapat pada ilmu 'Pancaran Sinar Sakti', warisan Putri
Teratai Merah. Bong Mini memandang tajam pada bola-bola api di
sekitar Bongkap dan dirinya. Kemudian dari sinar matanya itu menyembur kekuatan
hawa dingin melebihi
salju yang menyerang bola-bola api itu. Dalam waktu sekejap, bola api yang
berada di sekitarnya lenyap entah ke mana.
Setelah keadaan di sekeliling kembali seperti sediakala, Bong Mini mengalihkan
pandangannya ke arah
Baladewa, Prabu Jalatunda, Ningrum, dan para pen-
dekar yang masih tersiksa panas. Dengan sorot mata
tajam tanpa berkedip, Bong Mini memandang bola-bola api itu bersama kekuatan
'Sinar Mata Malaikat'-nya.
Wes wes wesss! Seperti ketakutan, bola-bola api yang berpijar men-
jilat-jilat tubuh para pendekar itu bergerak naik ke udara dan hilang entah ke
mana. Kini semua pendekar tampak kembali tenang dan dapat memusatkan pikiran


Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali ke arah lawan.
Kidarga terkejut bukan main melihat iblis, setan,
dan roh-roh jahat yang menyerupai bola-bola api itu menghilang. Keterkejutan itu
berganti dengan kemarahan ketika mengetahui kalau orang yang mengusir ib-
lis, setan, dan roh-roh jahat berbentuk bola api itu adalah Putri Bong Mini.
Hanya ia sendiri yang tahu kalau Bong Mini telah
melakukan penyerangan terhadap bola-bola api tadi.
Karena kedua mata Kidarga memang mampu menem-
bus alam gaib dan melihat kedatangan iblis, setan, dan roh-roh jahat yang
membantunya. Sedangkan para
pendekar lain termasuk Bongkap tidak mengetahui,
apalagi melihat bola-bola api itu. Juga tidak mengetahui kalau udara panas yang
mendadak menghilang itu
akibat serangan Bong Mini dengan 'Sinar Mata Malai-
kat'-nya. "Gadis kecil keparat itu benar-benar memiliki ke-
saktian luar biasa, hingga mampu melihat rahasia
alam gaib!" rutuk hati Kidarga dengan sorot mata tajam, memandang Bong Mini.
Sedangkan orang yang
dipandang justru tersenyum-senyum. Dan senyuman
itu dirasakan oleh Kidarga sebagai ejekan yang amat menyakitkan.
*** 5 Waktu terus berputar tanpa terasa. Kegelapan yang
sejak semalam menyelimuti bumi, menyingkir di batas cakrawala. Karena matahari
yang sejak sore kemarin
bersembunyi, kembali menampakkan dirinya di ufuk
timur. Bersama sinar kuning kemilau, memancar ke
seluruh kaki langit.
Bukit Setan yang biasanya selalu memberikan uda-
ra sejuk setiap pagi menjelang, kini menjadi tak bersa-habat. Udara terasa
panas. Bukan karena pengaruh sinar matahari pagi yang memancar terang, tetapi
dis- ebabkan oleh jalaran api yang membakar pohon-pohon
di sekitar bukit itu. Sementara bau anyir darah me-
rayap bersama hembusan angin. Dan lengkingan per-
tarungan antara pasukan Bong Mini dengan Kidarga
masih berlangsung.
Sing sing sing!
Kilatan pedang berkilauan ketika para pendekar
yang mengepung datuk sesat itu bergerak mengatur
posisi setelah beberapa saat lamanya terganggu oleh udara panas di sekitar
tempat itu. Dan hal ini tentu saja mengejutkan Kidarga yang sedang memandang
Bong Mini dengan penuh kemarahan.
"Hm!" dengus Kidarga sambil memandang para pen-
dekar yang mengelilinginya. "Apakah kalian sudah bosan hidup sehingga berani
berhadapan denganku?"
"Jangan banyak omong, Iblis Peot! Hari ini juga
akan kuantar kau ke pintu neraka!" geram Baladewa
dengan mata mencorong tajam ke arah Kidarga.
"Hua ha ha..., mana bisa! Mana bisa! Aku tidak
akan pernah mati karena kesaktianku! Apalagi yang
berhadapan denganku cecunguk-cecunguk seperti ka-
lian!" sergah Kidarga seraya menepuk dada dengan
pongah. Sebelum para pendekar menyambut keponga-
hannya, datuk sesat itu telah berteriak sambil melakukan gerakan melompat.
"Hiaaat!"
Tubuh Kidarga melesat ke udara setinggi tiga meter.
Di udara dengan tenang dia bersila memandang para
pendekar yang terpana menyaksikan kesaktiannya.
Benar-benar ilmu kesaktian yang luar biasa!
"Nah, sebelum kalian berhadapan denganku. Hada-
pilah anak buahku yang sudah mati itu!" kata Kidarga.
Kemudian dalam keadaan masih bersila di udara, Ki-
darga menunjukkan tongkat hitamnya ke arah mayat-
mayat anak buahnya.
"Wahai, seluruh makhluk setan dan roh-roh jahat di
pegunungan dan lautan. Datanglah! Dan masuklah ke
dalam jasad anak buahku. Bangkitkan mereka dan
hadapilah orang-orang yang akan menjadi santapan
kalian itu!" seusai berkata begitu, tiba-tiba terdengar gemuruh petir menyambar
anak buah Kidarga yang
sudah tergeletak menjadi mayat beberapa kali.
Srat srat srat! Duarrr!
Setelah beberapa kali petir menyambar puluhan
mayat itu, tiba-tiba terdengar ledakan yang amat dahsyat. Menimbulkan getaran
yang amat hebat di sekitar Bukit Setan.
Bong Mini dan para pendekar lain berdiri terhuyung
akibat getaran bumi itu. Setelah cahaya kilat dan suara ledakan berhenti, tiba-
tiba dua puluh di antara serakan mayat itu bangkit berdiri dan berjalan mende-
kati sebelas pendekar yang berdiri termangu meman-
dang mayat-mayat hidup itu.
Bong Mini sempat terkejut melihat keanehan itu.
Namun tiba-tiba ia tersadar dan berteriak lantang kepada para pendekar yang
masih termangu memandan-
gi mayat-mayat hidup yang berjalan kian dekat ke arah mereka.
"Minggir kalian semua! Biar kubasmi setan jahat
ini!" Sebelas pendekar yang tadi termangu-mangu tam-
pak tersentak sadar, kemudian mereka bergerak meng-
hindar, mengikuti seruan Bong Mini.
"Hati-hati, Putriku!" Bongkap memperingatkan Bong
Mini. Sedangkan ia sendiri tetap berdiri di tempat. Tidak tahu bagaimana caranya
menghadapi mayat-ma-
yat hidup itu. Bong Mini menoleh pada papanya sekejap dan
mengangguk. Kemudian meloncat ke depan sejauh dua
tindak sambil mencabut Pedang Teratai Merahnya.
Sreset! Cuat cuat cuat!
Pedang yang dikeluarkan dari sarungnya itu lang-
sung memancarkan sinar merah berbentuk bunga te-
ratai. Begitu terang dan penuh daya tarik bagi siapa saja yang melihatnya.
Walaupun para pendekar di pihak Bong Mini sudah mengetahui.
Kidarga yang baru melihat sinar pesona yang di-
pancarkan oleh pedang Bong Mini tampak tersentak
kagum. Kedua matanya bahkan sempat silau ketika
cahaya pedang Bong Mini menghalangi matanya.
Bong Mini berdiri tegak. Pedang Teratai Merah dile-
takkan di depan dada dengan bagian tengah pedang
menyentuh bibirnya.
"Tuhan. Jika di dalam pusaka ini menyimpan keku-
atan yang Engkau berikan serta berguna untuk mem-
basmi segala macam kejahatan di muka bumi ini, ma-
ka perlihatkanlah padaku! Sesungguhnya aku tidak
mengetahui bagaimana caranya membunuh mayat-
mayat hidup yang digerakkan oleh roh jahat itu!" bisik hati Bong Mini berdoa.
Kemudian ujung pedang itu di-tudingkan ke arah dua puluh mayat yang tinggal lima
langkah lagi ke arahnya.
Sret! Cuat cuat cuat!
Pedang yang digenggam Bong Mini tiba-tiba berge-
rak dan melepaskan diri dari cekalan tangan Bong
Mini. Kemudian pedang itu melayang lurus ke satu
mayat yang berjalan tepat di depan pedang itu.
Creb! Ujung pedang itu langsung menusuk perut satu
mayat di dekatnya. Pedang itu terus menusuk sampai
menembus punggung mayat itu. Tanpa mengeluarkan
rintihan mayat hidup yang terkena tusukan langsung
roboh dan tidak berkutik lagi. Kemudian dari jasadnya melesat asap putih yang
langsung raib di udara. Sementara mayat itu sendiri, tiba-tiba berubah menjadi
tengkorak manusia yang hangus seperti terbakar.
Para pendekar terkejut kagum melihat kesaktian
yang dimiliki pedang Putri Bong Mini. Karena Pedang Teratai Merah tidak asal
bergerak, melainkan bergerak mantap seperti dikendalikan oleh tangan seorang
pendekar. Dalam waktu singkat, dua puluh mayat hidup
itu mati di ujung Pedang Teratai Merah.
Melihat mayat-mayat hidupnya mati dan berubah
menjadi rangka manusia yang hangus seperti terbakar, Kidarga menjadi marah. Ia
melesat turun sambil menggerakkan tongkat hitam ke kepala Bong Mini.
Wut! Bong Mini langsung melompat ke belakang ketika
mengetahui serangan mendadak Kidarga.
Melihat Kidarga sudah berdiri di atas tanah dan
langsung berhadapan dengan Bong Mini, sebelas pen-
dekar lain kembali bergerak mengepung datuk sesat
itu. Merasa keinginannya untuk langsung berhadapan
dengan Bong Mini terhalang oleh tindakan para pen-
dekar, Kidarga menjadi bertambah marah.
"Kalian memang orang-orang yang perlu diberi pela-
jaran!" geram Kidarga dengan sorot mata merah me-
nyala. "Nah, hadapilah serangan tongkatku ini!" lanjut Kidarga seraya
melemparkan tongkat hitamnya ke
arah Baladewa. Sedangkan ia sendiri melompat, meng-
hindari kepungan.
Trakkk! Tongkat hitam Kidarga berhasil ditangkis Baladewa
dengan pedangnya. Namun saat dua senjata tersebut
bertemu, tongkat hitam Kidarga berubah menjadi see-
kor ular hitam berbisa. Dari mulut ular jejadian itu menyembur lidah api sejauh
setengah meter.
"Hihhh!"
Baladewa membanting pedang yang dililit ular hi-
tam ke tanah dengan keras. Sehingga bagian badan
ular itu ada yang sempat tergores. Anehnya, tak ada darah sedikit pun yang
terlihat dari goresan di tubuhnya. Sedangkan Baladewa sendiri mundur bebe-
rapa langkah, menghindar dari semburan api mulut
ular itu. Melihat ular hasil sihiran Kidarga, Prabu Jalatunda segera mencabut golok yang
terselip di pinggangnya.
Dengan tangkas ia segera melakukan serangan gencar.
"Hosss! Hosss!"
Ular hitam hasil sihiran itu terus menyembur-nyem-
burkan jilatan api untuk menghalangi golok Prabu Jalatunda yang mengancam
tubuhnya. Membuat setiap
serangan Prabu Jalatunda selalu luput dari sasaran.
Kidarga tertawa terbahak-bahak melihat kehebatan
ular ciptaannya. Namun tawa berderainya mendadak
terputus setelah tubuhnya terpental oleh hembusan
angin yang demikian keras.
"Manusia licik!" maki Bong Mini. Tiba-tiba dia su-
dah berdiri gagah di hadapan Kidarga.
Datuk sesat itu bangkit. Matanya memandang ta-
jam pada gadis bertubuh mungil yang berdiri gagah di hadapannya. Wajahnya merah
penuh kemarahan.
"Hm, rupanya kau yang tadi melakukan serangan!"
geram Kidarga. Lalu kedua tangannya bergerak lurus
ke depan disertai hentakkan suara yang keras.
"Hah!"
Kidarga mengerahkan ilmu 'Angin Topan' melalui
kedua telapak tangannya yang terkembang. Namun de-
ngan cepat, Bong Mini menghindar dengan bersalto ke belakang. Dan mendarat tepat
di dekat Prabu Jalatunda yang sedang berusaha melepaskan lilitan ular.
"Heppp!"
Bong Mini menolong Prabu Jalatunda yang hampir
tidak berdaya itu dengan cara mencekik leher ular dengan ilmu 'Telapak Tangan
Hangus'. "Hosss!"
Ular itu mendengus dan berkelit kepanasan. Lili-
tannya terlepas dari tubuh Prabu Jalatunda. Ular jejadian itu meronta-ronta di
cengkeraman tangan Bong
Mini yang terasa panas membakar tubuhnya.
Setelah beberapa saat meronta-ronta, tiba-tiba tenaganya melemah. Api yang tadi
menyembur-nyembur
dari mulutnya mendadak padam.
"Huhhh!"
Bong Mini melemparkan bangkai ular itu ke arah
Kidarga yang sejak tadi termangu-mangu menyaksikan
kehebatan Bong Mini dalam menaklukkan ular sihi-
rannya. "Hup!"
Dengan tangkas Kidarga menangkap ular yang di-
lemparkan Bong Mini tadi. Seketika itu juga binatang jejadian itu berubah
menjadi sebatang tongkat hitam kembali.
Semua mata memandang penuh ketercengangan
pada keajaiban itu. Benar-benar sebuah ilmu sesat
yang mencapai kesempurnaan. Sedangkan di lain pi-
hak, Kidarga sendiri merasa kagum pada kehebatan
ilmu kesaktian Bong Mini.
"Kelinci kecil ini benar-benar tidak bisa dipandang remeh!" geram hati Kidarga.
Sebelum ia bertindak lebih
lanjut, Bong Mini dan Bongkap telah meloncat dan
berdiri di dekatnya. Disusul pula dengan kehadiran
Baladewa. Sehingga Kidarga berhadapan dengan tiga
pendekar tangguh.
Tanpa banyak cakap lagi, ketiga pendekar itu lang-
sung menyerang datuk sesat yang berdiri angkuh di
hadapan mereka.
Wut wut wut! Bongkap yang selalu bernafsu bila menghadapi mu-
suh langsung menyerang Kidarga dengan jurus kungfu
'Tanpa Bayangan'. Sedangkan ujung lengan bajunya
yang menutupi tangan kirinya yang buntung bergerak
keras dan melemas serta bergerak lincah ke sana ke-
mari seperti ketika tangannya masih utuh.
Begitu pula dengan Bong Mini. Gadis itu menyerang
dengan jurus 'Walet Terbang Rendah' yang digabung
dengan pukulan beracun. Menyebabkan gerakannya
terlihat aneh. Sedangkan dari kedua telapak tangan-
nya keluar asap putih. Tubuhnya yang begitu ringan
berlompatan ke sana kemari seperti burung walet.
Jurus-jurus hebat yang memukau bukan saja dila-
kukan oleh sepasang pendekar bapak-beranak itu, te-
tapi dilakukan juga oleh Baladewa yang mengerahkan
seluruh kepandaiannya untuk melawan kesaktian Ki-
darga. Permainan pedangnya begitu cepat, gagah, dan tangkas. Sesuai dengan nama
jurusnya, 'Pedang Seratus Kilat' yang dikuasai sepenuhnya ketika ia berguru pada
Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda. Membuat
gerakan pedangnya terlihat bagai serbuan kilat yang menyambar tubuh lawan.
"Hiaaat!"
Wing wing wingngng!


Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Kidarga mengeluarkan lengkingan tinggi
ketika mendapat serangan dahsyat dari tiga pendekar tangguh tersebut. Tubuhnya
berputar seperti gangsing.
Dari tubuhnya yang berputar cepat itu, tercipta desingan angin. Inilah yang
disebut ilmu 'Angin Ribut Bergulung'. Sebuah ilmu yang hanya digunakan untuk
menghalau rasa gentarnya terhadap serangan lawan.
Menyaksikan kesaktian Bong Mini dan pedangnya saja
dia sudah terkejut, apalagi ditambah dengan dua pendekar lain. Rasa gentar,
sedikit banyak pasti menyelimuti datuk sesat tersebut. Untuk menyembunyikan
rasa gentarnya itu, ia mengeluarkan jurus 'Angin Ribut Bergulung'.
Sing sing singngng!
Kilatan pedang berwarna putih yang memanjang
mencoba menyambar leher Kidarga. Kemudian seperti
meluncur turun, kilatan pedang itu menyambar pula
ke perut Kidarga yang masih berputar. Tapi, meski sinar pedang Baladewa begitu
cepat menyambar tubuh
lawan, Kidarga ternyata dapat menghindari serangan
dengan cara mengelak. Namun elakan itu berakhir de-
ngan keterkejutan manakala tangan kanan Bongkap
bergerak hendak mencengkeram lehernya.
Bukkk! Kidarga cepat menangkis dengan tangan kanannya
pula. Terjadilah benturan sepasang tangan berisi tenaga dalam penuh.
Benturan tangan itu membuat tubuh Kidarga terge-
tar, hingga menghentikan perputaran tubuhnya.
Di lain sisi, Bongkap terhuyung beberapa langkah.
Tapi ia cepat memantapkan kuda-kuda kembali dan
langsung menyerang Kidarga dengan ujung lengan ba-
ju sebelah kiri.
Wut! Ujung lengan baju Bongkap melecut ke mata Kidar-
ga. Dengan cepat datuk sesat itu menarik tubuhnya ke belakang.
"Uhhh!"
Bongkap semakin bernafsu. Ujung lengan bajunya
yang tadi lemas berubah menjadi kaku. Kemudian de-
ngan cepat lengan baju yang berubah kaku itu mela-
kukan gerakan menotok ke pinggang Kidarga.
"Uhhh!"
Totokan maut yang nyaris mengenai sasarannya
dapat segera dihindari Kidarga dengan cara membuang diri ke samping dan
bergulingan. Saat tubuh Kidarga bergulingan, Baladewa segera
menggunakan kesempatan untuk menerjangnya.
Sing sing singngng!
Sinar pedang menyambar tubuh datuk sesat yang
bergulingan itu. Namun dengan cepat Kidarga menang-
kis dengan tongkat hitamnya.
Trakkk! Tangkisan tongkat hitam yang diayunkan Kidarga
begitu cepat dan kuat. Membuat Baladewa terhenyak
ke belakang karena merasakan hawa panas dan geta-
ran pada tulang-tulang tubuhnya. Pedang yang di-
genggamnya pun terpental keras dan jatuh entah di
mana. Prabu Jalatunda, Ningrum, dan para pendekar lain
terkejut kagum menyaksikan kehebatan Kidarga. Da-
lam keadaan bergulingan, ternyata dia masih mampu
menangkis pedang Baladewa yang menyambar secepat
kilat. Bahkan membuat tubuh lawannya terpental. Na-
mun demikian, tubuhnya tetap bergulingan di tanah
tanpa mempunyai kesempatan untuk mengambil po-
sisi lebih baik. Sebab pada saat itu pula, Bongkap telah menyerangnya dengan
sebilah pedang.
Singngng...! Sinar pedang Bongkap berkelebat menyambar leher
Kidarga yang masih dalam keadaan bergulingan.
Menghadapi serangan yang demikian cepat, Kidarga
terkejut setengah mati. Sebab dia tidak punya kesem-
patan untuk menangkis dengan tongkat hitamnya. Ter-
paksa ia menangkis pedang yang hampir menyambar
lehernya itu dengan tangan kirinya.
Crokkk! "Aaakh!"
Kidarga memekik tertahan manakala pedang Bong-
kap membabat tangan kirinya hingga buntung sebatas
siku. Sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat, tangan kanannya yang masih
memegang tongkat hitam
bergerak cepat menotok jalan darah di pangkal le-
ngannya agar darah dari lukanya tak mengalir terus.
Kemudian dia cepat bangkit menghadap Bongkap de-
ngan kemarahan meluap. Tubuhnya terasa panas luar
biasa. Sedangkan kedua matanya berubah merah ba-
gai nyala api. "Monyet buntung! Rasakan pembalasanku!" usai
berkata begitu, Kidarga langsung melemparkan tong-
kat hitamnya ke arah Bongkap.
Wing wing wing!
Tongkat hitam itu berputar cepat bagai baling-
baling kapal. Seperti memiliki kekuatan gaib, tongkat hitam itu terus berputar
mengelilingi tubuh Bongkap.
Membuat lelaki itu kewalahan.
Bong Mini yang menyaksikan kejadian itu langsung
melepaskan selendang kuning yang melilit pinggang-
nya. Kemudian selendang kuning yang panjang itu
disabetkan ke arah tongkat yang menyerang papanya.
Wet! Selendang kuningnya tampak terulur seperti be-
nang layangan yang terbang tinggi. Sedangkan ujung
selendang itu bergerak menyerang tongkat hitam milik Kidarga yang masih berputar
mengelilingi Bongkap.
Ketika ujung selendang kuning ini berhasil menempel di ujung tongkat hitam,
langsung bergerak melilit. Kecepatan gerak selendang Bong Mini membuat senjata
itu terlihat seperti sinar kuning memanjang.
Selendang kuning Bong Mini terus bergerak dan
melilit kuat-kuat tongkat hitam Kidarga. Seakan hendak menahan setiap gerakan
yang ditimbulkan oleh
tongkat hitam itu. Ketika gerakan tongkat lawan dapat dikuasai, selendang Bong
Mini cepat mematahkan
tongkat hitam yang dibelitnya.
Trakkk! Tongkat hitam Kidarga yang mengandung kekuatan
sakti itu patah dua. Karena tongkat tersebut masih dalam lilitan selendang, maka
patahannya yang me-
lengkung seperti bentuk huruf f bergerak ke tempat
Kidarga berdiri. Di ujung selendang, patahan tongkat itu menari-nari di depan
Kidarga, seolah membayangi pandangannya.
Bong Mini yang memegangi ujung selendang yang
lain tampak tersenyum-senyum. Tangannya mengikuti
gerak ujung selendang yang membelit patahan tongkat hitam. Persis seperti
seorang yang bermain layang-layang. Itulah selendang sakti yang diberi nama
Selendang Sakti Tangan Malaikat.
"Selendang sialan!" gerutu Kidarga, merasa panda-
ngannya terhalangi. Kemudian tangan kanannya men-
coba menepis selendang yang membelit patahan tong-
katnya. Dukkk! "Auhhh!"
Kidarga meringis kesakitan sambil menarik tangan
kanannya kembali. Dia merasa seperti baru saja menghantam baja.
"Hi hi hi..., orang sakti kalah dengan selendang lembut ini!" ejek Bong Mini
diselingi tawa karena tak tahan melihat Kidarga meringis-ringis menahan sakit.
Begitu pula dengan pendekar lain yang sejak tadi hanya menonton pertarungan itu.
Tawa mereka menda-
dak meledak. "Monyet buduk!" rutuk Kidarga. Ringisannya dihen-
tikan sambil berusaha berdiri tegak, walaupun tangannya masih terasa berdenyut
dan mulai membengkak.
"Rupanya hanya sebatas itu kesaktian yang dimiliki
datuk sesat Perguruan Topeng Hitam!" ejek Bong Mini dengan jari-jari yang terus
memainkan selendang kuningnya dengan lincah.
"Kelinci betina tengik! Akan kuisap otak, sumsum,
dan darahmu!" geram Kidarga dengan kemarahan yang
sudah memuncak. Seumur hidup, baru kali ini dia di-
permainkan lawan yang usianya jauh lebih muda.
Bong Mini yang semula tersenyum mengejek, men-
dadak berubah tegang dan penuh kengerian. Karena
saat Kidarga marah seperti itu, dia melihat satu perubahan terjadi pada diri
Kidarga. Sosok tubuh datuk sesat tadi berganti dengan tubuh hitam kebiru-biruan.
Matanya merah seperti sinar api. Sedangkan di mulutnya terlihat empat caling
sepanjang empat senti. Selu-bung api tampak di sekitar tubuhnya yang hitam kebi-
ru-biruan. Itulah iblis marakayangan yang selama ini disembah oleh Kidarga agar
memperoleh ilmu-ilmu kesaktian. Dia hadir di tempat pertempuran dan lang-
sung masuk ke dalam tubuh Kidarga tanpa terlihat
oleh mata pendekar di sekitar tempat itu. Lain halnya bagi Bong Mini, tirai
penghalang matanya yang sudah tersingkap, membuat dia dapat memandang alam gaib.
Kidarga yang dilihat oleh Bong Mini telah berubah
jasadnya menjadi iblis marakayangan itu, segera bergerak ke depan menyerang
ujung selendang Bong Mini
yang masih membelit patahan tongkatnya.
"Hep!"
Ujung selendang Bong Mini berhasil dipegang Ki-
darga. Saat itu juga, Bong Mini mengerahkan tenaga
dalam yang disebut ilmu 'Kontak Batin' melalui selen-
dang kuningnya.
"Heg!"
Bukkk! Tubuh Kidarga terjungkal ke belakang dan melepas-
kan pegangan pada selendang. Tubuhnya terdorong
deras sejauh dua tombak lalu membentur tanah de-
ngan keras. "Hi hi hi..., ada babi bengkak jatuh!" Bong Mini
mengejek Kidarga sambil tertawa kecil.
Kidarga bangkit bersama dengusan keras dari hi-
dungnya. Ia benar-benar marah karena kesaktiannya
dapat ditandingi oleh gadis yang masih muda belia.
Bongkap dan Baladewa yang tadi turut menyerang
datuk sesat itu mundur ke belakang dan bergabung
dengan para pendekar lain. Mereka memutuskan un-
tuk menonton pertarungan dua tokoh sakti itu sambil memulihkan tenaga kembali.
"Kalau Bong Mini keha-bisan tenaga saat melawan datuk sesat itu, kami akan
langsung menggantikannya." Begitu pikir keduanya.
Dengan wajah berang, Kidarga segera berdiri tegak
menghadap lawan. Dia siap merangsek Bong Mini
kembali. Namun sebelum datuk sesat itu melakukan
serangan, Bong Mini segera mendahuluinya dengan
menghentakkan selendang ke arah lawan. Patahan
tongkat hitam di ujungnya terlepas, lalu meluncur dalam kecepatan tinggi.
"Uhhh!"
Kidarga menangkap potongan tongkatnya dengan
cepat. Kemudian tubuhnya segera melompat ke bela-
kang, lalu berdiri tegak kembali. Dipandanginya Bong Mini sekilas. Sesaat
kemudian tangannya melemparkan potongan tongkat itu ke arah Bong Mini.
Wut! Dengan tangkas gadis bertubuh mungil itu menang-
kap potongan tongkat hitam itu dan mengembalikan-
nya ke arah Kidarga.
Wut! Creb! Potongan yang dilemparkan Bong Mini itu dapat se-
gera dihindari Kidarga dan menancap pada sebatang
pohon. Krekkk! Bummm! Batang pohon yang tertancap potongan tongkat hi-
tam patah. Patahannya menuju tanah, mengeluarkan
suara berdebum keras.
Bongkap dan para pendekar yang menyaksikan ke-
jadian itu terkagum-kagum pada Bong Mini. Karena
kalau tongkat tadi sampai mengenai sasaran, tentu
bagian tubuh Kidarga akan terpisah pula.
"Majulah kau, Iblis Busuk! Kita bertarung sampai
mampus!" tantang Bong Mini.
Iblis marakayangan yang masuk ke dalam jasad Ki-
darga terlihat murka mendengar tantangan Bong Mini.
Langsung diterjangnya gadis yang berdiri kokoh di hadapannya itu.
"Hiaaat!"
Bukkk! Bong Mini mengelakkan serangan tangan Kidarga
yang hendak mencekik lehernya, disertai pukulan ta-
ngan kanannya yang tepat mengenai perut lawan. Tapi iblis marakayangan yang
meminjam tubuh Kidarga itu
tidak mengeluh sakit sedikit pun. Malah ketika kedua kakinya menginjak tanah
kembali, ia melanjutkan serangannya dengan melakukan tendangan ke dada ga-
dis mungil itu.
"Uts!"
Tendangan kaki Kidarga berhasil dielakkan Bong
Mini dengan manis. Dia mengelak serangan itu dengan cara membungkukkan badannya.
Dilanjutkan dengan
memutarkan tubuhnya untuk melakukan serangan
balik ke arah lawan.
Dukkk! Tendangan kaki kanan Bong Mini telak mengenai
pantat lawan. Tubuh Kidarga terhuyung dan kehila-
ngan keseimbangan.
Bukkk! Kidarga kembali terjatuh. Namun dengan cepat ia
membalikkan badan dan berdiri menghadap Bong Mini
kembali. Keduanya saling memandang tajam dan sa-
ling menilai. Walaupun masih muda, Bong Mini tidak bisa diang-
gap enteng. Kecepatan dan kedahsyatan jurus-jurus
kungfunya serta kesaktian ilmunya yang hampir sem-
purna, membuat ia mampu mengimbangi lawan seperti
Kidarga. Kedua bola matanya yang terisi sinar gaib
membuat pandangannya sanggup melihat wujud Ki-
darga yang telah ditumpangi oleh iblis marakayangan.
Pada pihak lain, lawannya pun tidak bisa diremeh-
kan. Tapanya di dalam Bukit Setan, telah membuat
Kidarga sakti karena bantuan iblis, setan, dan para roh jahat yang selama ini
disembahnya. Dan kesaktiannya itu bukan saja dapat merubah tongkat menjadi ular,
atau mengirimkan roh jahat ke jasad anak buahnya yang sudah mati, tetapi juga


Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu memanggil
raja setan yang bernama iblis marakayangan, hingga
dapat masuk ke dalam tubuhnya seperti yang dihadapi Bong Mini sekarang ini.
"Demi iblis dan roh-roh jahat, aku tidak akan mem-
biarkanmu hidup, Bocah Sialan!" geram Kidarga sam-
bil melancarkan serangan tenaga dalam 'Angin Maut
Berhembus'. Wut! Bong Mini meloncat menghindar. Tapi kemudian Ki-
darga menyusulkan serangan dahsyat beruntun. Mem-
buat Bong Mini harus berputaran di udara, menghin-
dari serangan. Tanpa disadari Kidarga, sambil tubuhnya berputar, Bong Mini
sempat melancarkan sera-
ngannya pula lewat jurus 'Badai Mengamuk'.
Wesss! Kidarga tersentak kaget dan langsung melompat
menghindar. Sehingga tenaga dalam 'Badai Mengamuk'
milik Bong Mini luput dari sasaran dan menghentak
tanah tempat datuk sesat itu berdiri.
Busss! Tanah yang terkena pukulan jarak jauh itu lang-
sung berlubang cukup dalam.
Kidarga terperangah menyaksikan lubang di tanah
akibat hantaman jarak jauh lawannya. Kalau saja ti-
dak cepat mengelak, tentu tubuhnya akan ikut ter-
kubur ke dalam tanah yang berlubang itu.
*** Pertarungan antara Bong Mini dan Kidarga berlang-
sung sengit. Keduanya mengerahkan kesaktian tingkat tinggi masing-masing.
Sehingga pertarungan itu bukan saja terjadi di daratan, tetapi juga berlangsung
di udara. Membuat Bongkap, Prabu Jalatunda, dan pendekar
lain yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu
mundur beberapa tombak. Mereka jelas tidak turut
menyerang. Selain melihat Bong Mini masih kuat ber-
tahan, juga karena ilmu kesaktian Kidarga sangat
tinggi. Sedangkan Bongkap, Ashiong, Sang Piao, dan
para pendekar lain tidak memiliki kesaktian apa pun kecuali jurus-jurus kungfu.
Begitu pula dengan Baladewa. Walaupun ia satu
perguruan dengan Bong Mini dan memiliki ilmu kesak-
tian, namun kesaktiannya itu masih jauh di bawah
Bong Mini. Hal ini karena kemalasannya untuk mela-
kukan puasa mutih dan bertapa. Sedangkan Bong
Mini, selain kuat bertapa dan puasa mutih, juga sudah
bertemu dengan Putri Teratai Merah. Seorang ratu silat pembela kebenaran yang
pernah hidup ratusan tahun
lampau. Hanya Putri Teratai Merah yang memiliki berbagai jenis jurus silat dan
ilmu kesaktian. Dan dia pun seorang wanita yang pernah menguasai dunia
persilatan. Sehingga semua pendekar tunduk kepadanya. Se-
dangkan kematiannya bukan karena pertempuran,
melainkan karena takdir yang sudah digariskan. Dia
mati saat mengasingkan diri dari dunia keramaian dan bertapa di Gunung Muda,
tempat Bong Mini bertapa
ketika berguru pada Kanjeng Rahmat Suci. Maka tidak heran jika Bong Mini
memiliki kesaktian yang luar biasa. Walaupun belum sempurna benar. Karena semua
ilmu yang dimiliki Putri Teratai Merah telah diwariskan kepadanya saat bertemu
di alam gaib. Kini kedua orang sakti itu saling berhadapan de-
ngan sorot mata tajam memandang lawan masing-ma-
sing. Tiba-tiba, Kidarga melompat setinggi sepuluh meter. Begitu pula dengan
Bong Mini yang mengimbangi
ketinggian ilmu lawannya.
Wut! Kidarga menghentakkan kedua tangannya ke arah
lawan dengan telapak tangan terkembang. Dia me-
ngerahkan ilmu kesaktiannya yang diberi nama 'Kebu-
tan Tangan Iblis'. Gumpalan api sebesar bola kaki menyerang Bong Mini pada saat
kedua tangannya dihen-
takkan ke depan. Tetapi dengan cepat pula Bong Mini menangkis gumpalan api yang
menyala itu dengan pedangnya.
Wut! Duarrr! Bentrokan antara pedang Bong Mini dengan gumpa-
lan api itu menimbulkan ledakan yang amat dahsyat.
Gumpalan api itu hancur berkeping-keping menyeru-
pai manik-manik.
Kidarga bertambah geram melihat lawannya mampu
menangkis serangan ilmunya yang terkenal dahsyat
itu. Membuat ia makin bernafsu dalam melakukan se-
rangan bertubi-tubi.
Bong Mini terdesak dan hanya mampu bergulingan
di udara. Tapi pada kesempatan lain, ketika Kidarga hendak melakukan serangannya
yang kelima, Bong
Mini pun berhasil mengimbanginya dengan melakukan
serangan dengan jurus 'Tangan Malaikat Pencegah
Api'. Sing sing sing! Duarrr!
Gumpalan api milik Kidarga dan gumpalan sinar
putih keperakan milik Bong Mini beradu hingga me-
nimbulkan suara ledakan yang lebih dahsyat dari se-
belumnya. Sedangkan tubuh kedua orang yang ber-
tarung itu sama-sama terhentak ke belakang.
"Aaakh!"
Dukkk! Dua tubuh yang tadi bertempur di udara itu ter-
banting ke tanah dengan keras. Ketika keduanya
bangkit, mulut mereka mengeluarkan darah.
Begitulah pengaruh ilmu kesaktian. Bila masing-
masing lawan saling mengerahkan kesaktian lewat
hempasan-hempasan cahaya dan saling beradu hingga
hancur, maka kedua tubuh pemiliknya pun akan ikut
terbanting. Malah akan menimbulkan luka di dalam
tubuh mereka. Sebab hancurnya dua sinar yang ber-
temu itu akan menimbulkan kontak batin yang sangat
hebat. Dan ada di antara mereka lebih unggul, tentu seorang dari mereka ada yang
tewas. Untungnya, Bong Mini dan Kidarga mempunyai daya tahan tubuh yang
kuat, hingga goncangan batin itu hanya mengaki-
batkan keduanya muntah darah.
Melihat darah yang begitu banyak keluar dari mulut
Bong Mini, Bongkap dan pendekar lain terkejut bukan main. Apalagi Baladewa. Pada
saat itu pula darahnya
menggelegak naik sampai ke kepala dan langsung ber-
gerak untuk menyerang Kidarga bersama-sama Bong-
kap dan para pendekar lain. Namun dengan cepat
Bong Mini mencegahnya.
"Jangan! Biarkan aku sendiri yang menghadapi iblis
keparat ini. Aku ingin mengukur sampai di mana ke-
saktian iblis yang merasuki datuk sesat itu!" seru Bong Mini dengan kalimat yang
kurang jelas karena terhalang oleh darah yang masih mengalir dari mulutnya.
Bongkap dan pendekar lainnya menurut, walaupun
perasaan mereka masih dicekam penuh kecemasan.
"Majulah iblis jelek! Biar aku cepat-cepat mengan-
tarmu ke pintu neraka!" tantang Bong Mini penuh
emosi dan ejekan.
Datuk sesat yang memang sudah murka itu tidak
menanggapi ucapan Bong Mini. Langsung diterjangnya
lawan dengan kedua tangan mencengkeram ke arah
leher gadis yang berdiri di hadapannya.
"Hiyyy!"
Tep! Tep! Bong Mini menyambut serangan tangan Kidarga itu
dengan kedua telapak tangannya yang terkembang.
Tangan keduanya melekat erat. Saat itulah mereka
kembali mengadu kesaktian pamungkas.
"Aaakh!"
Kidarga memekik panjang ketika merasakan tubuh-
nya panas luar biasa. Matanya mendelik. Sedangkan
dari pori-pori tubuhnya keluar darah kental kehitam-hitaman. Tidak berapa lama
kemudian, tubuhnya ro-
boh dalam keadaan yang mengerikan. Tubuhnya yang
mengeluarkan darah dari pori-pori itu berubah hangus seperti terbakar.
Duarrr! Dari ubun-ubun Kidarga terdengar ledakan, disertai
kepulan asap putih. Sedangkan ubun-ubun yang me-
ngeluarkan ledakan itu terlihat berlubang. Hal itu terjadi karena iblis
marakayangan yang masuk ke dalam
tubuh Kidarga merasa kepanasan dan tidak tahan me-
lawan ajian 'Sepasang Tangan Malaikat' yang dikerahkan Bong Mini. Ia pergi
meninggalkan raga Kidarga lewat ubun-ubunnya. Itu pun hanya terlihat oleh Bong
Mini. Sedangkan yang lain hanya melihat ubun-ubun
Kidarga menganga lebar.
Para pendekar bergerak cepat menghampiri tubuh
Kidarga yang sudah mati mengerikan itu. Sedangkan
Bongkap langsung menghampiri Bong Mini yang meng-
alami luka parah. Dipeluknya erat-erat tubuh gadis
itu. Saat dipeluk, tubuh Bong Mini langsung jatuh lemas tanpa bergerak lagi.
*** 6 Api terus berkobar. Bukan saja membakar markas
Perguruan Topeng Hitam yang sudah berubah menjadi
arang, tetapi juga membakar pepohonan di sekitar Bukit Setan. Bukit yang semula
menghijau oleh hampa-
ran rumput dan pepohonan, berubah menjadi gersang.
Penuh dengan reruntuhan pohon yang sudah menjadi
arang. Setelah menyaksikan kematian Kidarga yang me-
ngerikan di tangan Bong Mini, pasukan Bongkap ber-
gerak meninggalkan Bukit Setan menuju Bukit Teng-
korak. Mereka diam di tempat itu untuk beberapa wak-tu sambil menunggu Bong Mini
siuman "Bong Mini. Bong Mini sayang...?" bisik Ningrum de-
ngan perasaan khawatir melihat keadaan Putri Bong
Mini. Namun tubuh gadis yang rebah di pangkuannya
itu tidak bergerak sedikit pun. Apalagi menyahut.
"Bagaimana dengan Putri Bong Mini?" cemas Ning-
rum sambil memandang Bongkap dan Prabu Jalatun-
da yang duduk di hadapannya.
"Dia tidak apa-apa. Dia hanya kekurangan tenaga
ketika mengadu kesaktian dengan Kidarga tadi!" sahut Bongkap menenangkan.
Padahal sebenarnya ia sendiri
cemas terhadap keselamatan putrinya. Baik Bongkap
atau pendekar lain, tidak ada yang bisa memulihkan
keadaan Bong Mini. Begitu pula dengan Baladewa. Ka-
rena ilmu yang digunakan Bong Mini saat melawan Ki-
darga merupakan ilmu kesaktian tingkat tinggi yang
tidak dimiliki pendekar mana pun.
Di pihak lain, Bong Mini sendiri sebenarnya men-
dengar keluhan Ningrum. Bahkan ia sendiri sadar ka-
lau sekarang ini ia tengah terbaring di pangkuan wanita itu. Saat mendengar
keluhan Ningrum tadi, ia sendiri sebenarnya sudah berkata dengan suara keras
kalau dirinya baik-baik saja. Namun bagaimanapun ke-
ras ia berkata, baik Ningrum maupun para pendekar
yang berada di situ tetap tak dapat mendengar suaranya. Meski tubuh Bong Mini
berada di pangkuan Ning-
rum, sesungguhnya sukma gadis itu sudah lepas dari
raganya. Bong Mini terbangun dari pangkuan Ningrum dan
berdiri. Dia tersenyum pada Bongkap, Ningrum, dan
Prabu Jalatunda. Anehnya, ketiga orang tersayang itu tidak melihat ke arahnya.
Mereka malah menunduk
dalam-dalam. Sedangkan Ningrum terdengar menahan
isak tangis. Bong Mini melangkah satu tindak menghampiri
Bongkap dan memeluknya.
"Papa. Papa jangan sedih. Aku tidak apa-apa, kok!
Lihatlah!" kata Bong Mini.
Bongkap diam. Ia tidak merasakan pelukan Bong
Mini. Apalagi mendengar suaranya. Kenyataan itu ten-tu saja sangat mengejutkan
Bong Mini. "Papa! Papa tidak merasakan pelukanku?" tanya
Bong Mini tergugu.
Bongkap tetap diam.
Melihat papanya diam saja, Bong Mini bangkit de-
ngan wajah sedih. Ia mengira kalau Bongkap sudah tidak mengenalinya lagi. Hingga
akhirnya ia lari meninggalkan Bongkap dan pasangan suami-istri itu. Dia terus
berlari berlinang air mata. Namun sebelum ia jauh meninggalkan tempat itu, tiba-
tiba pandangannya tertumbuk pada seorang wanita cantik dan seorang lelaki tua
berpakaian putih-putih yang melangkah ke arahnya. Puluhan lelaki muda dan gagah
serta wanita- wanita cantik mengiring di belakang mereka. Pakaiannya pun sama. Puluhan laki-
laki berjubah panjang
warna putih. Sedangkan kaum wanitanya bergaun
panjang seperti pengantin. Namun terlihat lebih indah dan mahal.
Bong Mini terkejut bercampur girang ketika kedua
orang yang dikawal itu berdiri di hadapannya sambil mengembangkan senyum. Karena
wanita cantik bergaun putih panjang serta lelaki tua berjubah itu sangat ia
kenal. Mereka adalah Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci. Namun yang
membuatnya terkejut
itu, kenapa Kanjeng Rahmat Suci mengenal Putri Te-
ratai Merah, begitu pula sebaliknya. Padahal seingatnya, Putri Teratai Merah
hidup ratusan tahun yang
lampau. Sedangkan Kanjeng Rahmat Suci hidup di
zaman sekarang. Bahkan orang tua yang menjadi gu-
runya di Gunung Muda itu masih hidup.
"Selamat, Putriku!" hatur Kanjeng Rahmat Suci se-
raya mengulurkan tangannya. Begitu pula dengan Pu-
tri Teratai Merah. Mereka menjabat tangan Bong Mini dengan bibir tersenyum dan
wajah berseri. Bong Mini termangu. Ia tidak tahu maksud ucapan
selamat yang diucapkan kedua gurunya itu.
"Kau jangan bingung, Putriku! Aku mengucapkan
selamat karena kau berhasil menumpas kesesatan
yang terjadi di negeri Selat Malaka!" kata Putri Teratai Merah sambil
melingkarkan tangannya yang putih mulus di bahu Bong Mini.
"Kau tahu tentang pertempuran itu?" tanya Bong
Mini heran. Karena seingatnya, ketika ia bertarung melawan Kidarga, Putri
Teratai Merah dan Kanjeng Rah-
mat Suci tidak ada di sana. Kecuali papanya dan beberapa pendekar.
Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci ter-
senyum penuh wibawa pada Bong Mini.
"Tentu saja aku dan Kanjeng Rahmat Suci tahu. Ka-
rena kau muridku!" kata Kanjeng Rahmat Suci.


Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selain itu, aku pun melihat keadaan Kidarga yang
telah mati di tanganmu!" kata Putri Teratai Merah menambahkan.
"Kidarga!" desis Bong Mini dengan wajah geram.
"Kenapa, Putriku?" tanya Putri Teratai Merah.
"Aku ingin sekali melihat keadaannya. Karena pada
saat ia mati, aku tidak sempat menyaksikannya!" sa-
hut Putri Bong Mini.
"Boleh. Kau boleh melihat keadaannya. Mari kuan-
tar!" ajak Putri Teratai Merah sambil melangkah membimbing tangan Putri Bong
Mini. Diikuti oleh puluhan pengawalnya.
Bong Mini mengikuti langkah Putri Teratai Merah
dan Kanjeng Rahmat Suci dengan langkah ringan. Ba-
ru beberapa langkah Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci berhenti.
"Itulah Kidarga! Datuk sesat yang telah kau kalah-
kan!" kata Putri Teratai Merah sambil menunjukkan ke tempat yang agak jauh
darinya. "Hahhh?" Bong Mini terkejut bukan main melihat
keadaan Kidarga. Dia terkejut karena melihat Kidarga hidup di antara ular-ular
besar serta makhluk-makhluk yang menyeramkan.
"Aku ingin melihat keadaannya lebih dekat lagi!" ka-ta Bong Mini seraya bergerak
hendak melangkah.
Putri Teratai Merah menarik lengan Bong Mini.
"Jangan ke sana!" cegah Putri Teratai Merah.
"Kenapa?" tanya Bong Mini heran.
"Itu bukan tempatmu!"
"Bukan tempatku?" Bong Mini terpaku.
Putri Teratai Merah tersenyum.
"Sudahlah! Bukankah kau ingin melihat keadaan
Kidarga?" Bong Mini mengangguk manis. Lalu kembali me-
mandang Kidarga. Di sana matanya melihat Kidarga
tengah duduk bersama ular-ular hitam besar yang se-
lalu mengeluarkan lidah api dari mulut lebarnya.
"Puas?" tanya Putri Teratai Merah, setelah beberapa saat Bong Mini mengamati
keadaan lawannya.
Bong Mini mengangguk.
"Kalau sudah, aku dan gurumu, Kanjeng Rahmat
Suci akan pergi lagi. Karena waktu yang diberikan pa-da kami untuk berjumpa
denganmu hanya sedikit!"
ucap Putri Teratai Merah.
"Tidak bisakah kau menambah waktu lagi untuk
bercakap-cakap denganku?" tanya Bong Mini. Dia ma-
sih merasa rindu pada Putri Teratai Merah dan Kan-
jeng Rahmat Suci.
Lagi-lagi Putri Teratai Merah tersenyum sambil
menggelengkan kepalanya.
"Kenapa" Bukankah kau seorang ratu yang ber-
kuasa di Istana Putri?" tanya Bong Mini heran.
"Kau benar! Tapi ingat, masih ada yang lebih ber-
kuasa terhadap diri kita!" jawab Putri Teratai Merah.
Bong Mini mengangguk-angguk kecil. Dia tahu apa
yang dimaksud ucapan Putri Teratai Merah tadi. Tidak ada siapa pun yang paling
berkuasa kecuali Tuhan.
"Kalau begitu, biarlah aku ikut bersama kalian ber-
dua," usul Bong Mini seraya memandang Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat
Suci bergantian. Kemudian keduanya menggelengkan kepala.
Bong Mini bersungut. Dia melangkah kesal dua tin-
dak dengan sikap manja. Kemudian duduk berpeluk
lutut. Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci sa-
ling berpandangan sambil menggeleng-geleng. Bibir
keduanya tersenyum. Kemudian Putri Teratai Merah
melangkah menghampiri Bong Mini. Lalu ia memegang
jari-jemari tangan Bong Mini dan membantu Bong Mini untuk berdiri.
Dengan wajah yang masih bersungut-sungut, Bong
Mini bangkit berdiri. Wajahnya menunduk penuh ke-
kesalan. "Sikapmu masih saja manja!" ucap Putri Teratai Me-
rah. Disentuhnya kedua bahu Bong Mini. "Dengar ya,
Anak Manis!" lanjut Putri Teratai Merah. "Sebenarnya aku dan kanjeng pun ingin
membawamu ke tempat
kami agar kita bisa selalu bersama-sama selamanya.
Tapi untuk sekarang ini, jelas tidak bisa. Kau belum waktunya berkumpul denganku
dan Kanjeng Rahmat
Suci!" Bong Mini mengangkat wajahnya dan memandang
Putri Teratai Merah dengan wajah tak mengerti.
"Aku tidak mengerti maksudmu?" tanya Bong Mini.
"Kau masih dibutuhkan oleh papamu dan semua
rakyat banyak. Terutama oleh kekasihmu, Baladewa!"
Bong Mini terhenyak kaget. Wajahnya bersemu me-
rah. Dia tidak mengira kalau Putri Teratai Merah mengetahui pula hubungannya
dengan Baladewa. Papa-
nya sendiri tidak mengetahui hubungan itu secara
pasti. Sebenarnya Bong Mini ingin menanyakan, dari ma-
na Putri Teratai Merah mengetahui hubungannya de-
ngan Baladewa. Namun keinginannya itu tertahan oleh ucapan Putri Teratai Merah
selanjutnya. "Kau tidak usah bertanya mengapa aku mengetahui
hubunganmu dengan Baladewa!" kata Putri Teratai
Merah, seolah mengetahui isi hatinya. "Terus terang!
Aku gembira sekali dengan pemuda yang menjadi pili-
hanmu itu. Kuharap, kau dapat mempertahankan hu-
bunganmu itu sebaik mungkin. Jangan kau kotori cin-
ta kasih kalian itu oleh perbuatan hina."
Bong Mini pun mengangguk-angguk. Dia tampak
sungguh-sungguh mendengarkan nasihat yang diberi-
kan Putri Teratai Merah.
"Satu hal yang perlu kau ingat! Jangan sekali-sekali merasa lebih berkuasa dan
merendahkan kekasihmu
lantaran kau memiliki ilmu yang lebih tinggi. Tetap hargailah dia sebagai lelaki
sejati yang dapat melin-dungimu kelak bila sudah menjadi pasangan suami-
istri!" lanjut Putri Teratai Merah.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk mengerti.
"Nah, sudah waktunya kita berpisah. Kembalilah
kau kepada orang-orang yang menyayangimu. Bukan-
kah kau sendiri masih punya tugas untuk membantu
rakyat negeri Manchuria?"
Lagi-lagi Bong Mini tersentak. Dia heran kalau Putri Teratai Merah mengetahui
semua tingkah laku dan
rencananya. Namun untuk kali ini, dia tidak ingin
mengajukan pertanyaan lagi. Selain dia maklum de-
ngan ketajaman mata hati Putri Teratai Merah, juga karena kerinduannya terhadap
papanya. Karena itu,
ketika Putri Teratai Merah mengingatkannya, Bong
Mini langsung mengajukan keinginan untuk kembali
pada papanya. Putri Teratai Merah, Kanjeng Rahmat Suci, dan pu-
luhan pengawal mengantar kepulangan Bong Mini me-
nuju tempat di mana Bongkap dan pengikut lainnya
berada. Tidak berapa lama kemudian, mereka pun
sampai di tempat tujuan.
"Lihatlah! Mereka masih bersedih menunggu keper-
gianmu yang begitu lama!" kata Putri Teratai Merah
ketika mereka berdiri di belakang orang-orang yang
mengerumuni tubuh Bong Mini.
Bong Mini memandangi orang-orang yang dicintai-
nya itu satu persatu. Mulai dari papanya, Prabu Jalatunda, Baladewa, dan Ningrum
yang tengah terisak-
isak menangisi kepergiannya.
"Kembalilah cepat pada mereka!" ujar Putri Teratai
Merah. "Baik, Ratu!" ucap Bong Mini seraya mengangguk.
Lalu keduanya berpelukan sebagai tanda perpisahan.
Setelah beberapa saat keduanya berpelukan hangat,
Bong Mini beralih pada Kanjeng Rahmat Suci, gu-
runya. Dia mencium tangan serta merebahkan kepala-
nya dalam pelukan lelaki tua yang selalu memancar-
kan sinar di wajahnya itu.
Kanjeng Rahmat Suci membalas pelukan muridnya
dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut.
"Kudoakan, semoga kau berhasil menumpas keja-
hatan!" kata Kanjeng Rahmat Suci. "Tapi ingat! Sebelum kau berangkat ke negeri
Manchuria, tengoklah
aku di Gunung Muda!"
"Baik, Kanjeng!" desah Bong Mini dengan air mata
yang mulai berlinang membasahi kedua pipinya. Dia
merasa berat berpisah dengan orang yang pernah
membimbing dan memberikan ilmu kepadanya. Di lain
sisi, ia pun tidak ingin berpisah dengan papanya ter-cinta.
Setelah melepas kerinduannya yang terakhir, Bong
Mini segera melangkah dan masuk kembali ke dalam
jasadnya yang terbaring di pangkuan Ningrum. Se-
dangkan Putri Teratai Merah dan Kanjeng Rahmat Suci kembali ke tempatnya bersama
puluhan pengawalnya.
*** "Ah...!" Bong Mini mengeluh sambil menggerakkan
kepalanya. Kedua matanya yang tadi terpejam, perla-
han-lahan terbuka. Dipandangnya Ningrum yang ma-
sih sesenggukan menangisinya.
"Bibi...," panggil Bong Mini lirih.
Ningrum yang sedang tenggelam dalam kesedihan-
nya tampak tersentak kaget. Diusapnya air mata yang sudah membasahi kedua
pipinya sambil memandang
Bong Mini. "Oh..., Anakku!" keluh Ningrum. Dirangkulnya ga-
dis mungil yang sudah dianggap sebagai anak sendiri itu. Bong Mini membalas
rangkulannya dengan gerakan tangan yang masih lemah. Sedangkan bibirnya tampak
tersenyum. Penuh haru dan suka cita.
Setelah keduanya berangkulan, Bong Mini beralih
memeluk papanya.
"Papa!" keluh Bong Mini. Kedua bola matanya ber-
kaca-kaca menahan haru.
"Kau tidak mengalami luka berat, Sayang?" tanya
Bongkap, lembut. Dibalasnya pelukan Bong Mini erat-
erat. "Tidak, Papa!" sahut Bong Mini manja.
"Syukurlah! Terus terang, Papa sangat khawatir
saat kau pingsan tadi!"
"Tapi sekarang kekhawatiran Papa telah hilang,
kan?" tanya Bong Mini sambil melepas pelukannya.
Bongkap tersenyum. Hatinya berbunga melihat si-
kap putrinya yang tetap manja dan ceria.
Setelah kedua bapak-beranak itu saling berpelukan
dan tertawa gembira, Bong Mini mengalihkan panda-
ngan pada para pendekar yang berdiri gagah di dekatnya. Kemudian matanya
tertumbuk pada Baladewa
yang memandangnya penuh kerinduan yang mengge-
bu-gebu. Begitu pula dengan Bong Mini. Tapi karena ia sadar kalau selama ini
hubungannya dengan Baladewa
belum diketahui oleh kedua orangtua mereka masing-
masing, maka Bong Mini pun segera mengubah sikap
seperti biasa. Seolah-olah di antara mereka tidak pernah terjadi hubungan batin.
"Bagaimana dengan rencana kita selanjutnya, Pa-
pa?" tanya Bong Mini. Dialihkannya pandangan pada
Bongkap. "Kita akan tetap di sini, menunggu kedatangan para
prajurit Kerajaan Manchuria!" sahut Bongkap.
"Apakah tidak sebaiknya kita menghadang prajurit
kerajaan itu sambil melakukan perjalanan pulang?"
Bong Mini mengajukan usul.
"Itu pun baik kalau semua menyetujui!" tanggap
Bongkap. Sebelum lelaki itu berucap lebih jauh langsung disetujui oleh para
pendekar lain. Termasuk Pra-bu Jalatunda dan Ningrum.
"Wah, Papa kalah dukungan!" kelakar Bongkap
yang disambut gelak tawa para pendekar.
"Kalah pun tidak apa-apa jika bersaing dengan pu-
trinya sendiri!" celetuk Ningrum sambil melingkarkan tangan kanannya di pundak
Bong Mini. "Benar, Bongkap!" sela Prabu Jalatunda pula seraya
mendekati Bongkap. "Bukankah dengan begitu dia
akan menjadi cikal bakal penggantimu sebagai 'Singa Perang'!"
"Wah, aku tidak mau kalau putriku jadi 'Singa Pe-
rang' sepertiku!" sergah Bongkap dengan wajah sung-
guh-sungguh. "Kenapa begitu" Bukankah itu satu kebanggaan
orangtua?" tanya Prabu Jalatunda pula, tak kalah
sungguh-sungguh.
"Betul! Tapi aku takut kalau putriku jadi 'Singa Perang', kecantikannya akan
luntur," sahut Bongkap di-iringi tawa lepas para pendekar. Sedangkan Bong Mini
tampak tersipu-sipu sambil melirik pada Baladewa
yang juga tengah tersenyum kecil menyambut gurauan
Bongkap. Tiba-tiba, tawa mereka terhenti manakala terdengar
riuh gelak tawa dari bawah bukit.
"Itu pasti suara para prajurit Kerajaan Manchuria!"
duga Bongkap. Tanpa menunggu perintah lagi, semua
pendekar bergerak menuju mulut bukit. Di sana, me-
reka melihat tiga puluh prajurit Kerajaan Manchuria tengah berjalan mendaki
Bukit Tengkorak, di mana
Bongkap, Bong Mini, dan pengikutnya berada.
Mereka mengenakan seragam prajurit. Bercelana hi-
tam ketat sebatas betis. Sepatu karet dengan tali panjang yang melilit silang
Rahasia 180 Patung Mas 9 Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Persekutuan Pedang Sakti 12
^