Api Berkobar Di Bukit Setan 1
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan Bagian 1
API BERKOBAR DI BUKIT SETAN Oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1 Siang itu, matahari berdiri tegak lurus di cakrawala.
Panasnya garang melecut bumi. Memaksa banyak
orang yang berjalan di siang itu mengenakan caping
pelindung, tak kuat menahan sengatan terik matahari.
Tanpa mempedulikan deraan panas yang terasa
hendak melepuhkan kulit, sepasang anak muda tam-
pak sedang bercengkerama melepas rindu di Bukit
Tengkorak. Sebuah bukit yang berdampingan dengan
Bukit Setan. Sepasang remaja itu tidak lain Bong Mini dan Baladewa. Mereka
sengaja beristirahat di bukit itu sambil melepaskan rindu sebelum menuju Bukit
Setan, tempat tujuan mereka.
Beberapa saat Bong Mini dan Baladewa hanya ber-
diri termangu. Keduanya berhadapan dengan mata
berbinar-binar, penuh kerinduan dan gejolak cinta.
Apalagi sepasang anak muda itu baru mencapai usia
dua puluh tahun, saat mereka baru mengenal cinta.
Sehingga begitu bertemu, sinar mata mereka meman-
carkan kehangatan yang luar biasa.
Entah disadari atau tidak, tiba-tiba bibir Baladewa mendekat pada bibir merah
Bong Mini yang mungil.
Bibir merah yang mungil itu disentuh oleh bibir Baladewa. Begitu mesra dan penuh
perasaan. Karena Bong Mini baru mengalami pacaran, maka
ketika bibirnya dilumat oleh bibir Baladewa, ia hanya dapat memejamkan matanya
tanpa membalas lumatan
bibir pemuda di hadapannya.
Ketika merasakan tubuhnya panas dingin disertai
jantung yang berdegup kencang, Bong Mini segera me-
narik bibirnya. Kemudian sambil menghela napas, ia
berjalan beberapa langkah dan duduk di atas rumput.
Diikuti oleh Baladewa yang duduk satu meter di sam-
pingnya. Sedangkan matanya memandang Bong Mini
dengan sinar mata yang memancarkan kasih sayang.
"Kau marah?" tanya Baladewa dengan suara berge-
tar karena masih diburu nafsu birahi.
Bong Mini menggeleng lemah. Tatap matanya yang
kosong tertuju pada serakan dedaunan kering di atas rumput di depannya.
"Lalu kenapa?" tanya Baladewa lagi, ingin mengeta-
hui perubahan sikap Bong Mini yang tiba-tiba itu.
Bong Mini menoleh pada Baladewa dengan wajah
dan sinar mata yang sendu. "Aku takut!"
"Takut kenapa?" tanya Baladewa kurang paham.
"Aku takut kita lupa diri karena kenikmatan sesa-
at," desah Bong Mini. Tatapan matanya masih sendu.
Baladewa terdiam merenungi ucapan Bong Mini.
Satu ucapan pendek yang mengandung nilai kebena-
ran. "Kau benar! Tidak seharusnya kita mengumbar naf-
su birahi sebelum kita terikat tali perkawinan," ucap Baladewa membenarkan.
Nafsu birahi memang sesuatu yang dimiliki setiap
manusia, karena merupakan satu hal penting bagi per-kembangbiakannya. Namun
bukan berarti nafsu birahi
yang dimiliki dapat diumbar begitu saja!
"Terima kasih atas pengertianmu, Baladewa!" sam-
but Bong Mini gembira.
Baladewa tersenyum sambil menggeser tubuhnya
lebih dekat lagi dengan Bong Mini, putri Tiongkok yang telah membuatnya mabuk
kepayang. "Aku sangat berbahagia sekali dapat memilikimu!"
bisik Baladewa kemudian.
"Begitu pula aku. Karena kau selalu bersikap jujur
dan mau menerima pendapatku. Kau tahu" Andaikata
kita terseret untuk melakukan pelanggaran karena tidak mampu mempertahankan diri
dari godaan nafsu,
aku pasti sangat membenci diriku sendiri, termasuk
membenci dirimu!"
"Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Aku sangat
mencintai, menghargai, dan menghormatimu sebagai
seorang gadis!" tutur Baladewa bersama tarikan napas, mengusir gejolak nafsu
yang masih memburu di dadanya. "Karena itu," lanjut Baladewa, "setelah tugas
kita membasmi orang-orang Perguruan Topeng Hitam usai,
aku akan mengurung diri beberapa waktu!"
"Untuk apa?" tanya Bong Mini dengan wajah terke-
jut. "Untuk mengekang nafsuku agar tidak liar!"
"Hi hi hi!" tawa Bong Mini kontan berderai ketika
mendengar ucapan Baladewa.
"Kenapa tertawa?" tanya Baladewa heran.
"Kenapa kau harus mengurung diri segala, Bala-
dewa?" tanya Bong Mini dengan nada bergurau. Sete-
lah tawanya benar-benar reda, ia kembali melanjutkan ucapannya. "Sebagai
manusia, kita memang diharus-kan untuk menguasai nafsu agar tidak liar. Tapi bu-
kan berarti harus mengekang dan menyiksa diri. Me-
ngekang nafsu dengan cara seperti itu ibarat api dalam sekam. Nafsu yang
berhasil kita kekang itu, suatu
waktu akan menyala lagi!"
Baladewa mengangguk-angguk, memahami kata-
kata kekasihnya.
"Menurutmu, bagaimana cara yang terbaik?"
"Kalau menurut pendapatku, menguasai nafsu lebih
baik dengan cara pengamatan diri yang sewajarnya
serta penuh kesadaran. Dengan cara begitu, mudah-
mudahan nafsu liar akan kehilangan kekuasaannya
dan berganti dengan keinginan yang menuntut kebai-
kan-kebaikan!" papar Bong Mini, memberi pendapat.
Dan pendapat itu telah ia jalankan ketika Baladewa
mencium bibirnya. Andai saja dia tidak cepat-cepat sa-
dar, tentu ia akan dikuasai oleh nafsu liarnya dan ter-jadilah perbuatan yang
menjijikkan. Baladewa mendengarkan pendapat Bong Mini pe-
nuh kekaguman. "Aku sangat bangga dan kagum dapat memilikimu,
Bong Mini," cetus Baladewa, mengemukakan kekagu-
mannya. "Selain pandai bersilat, kau pandai pula men-gisi hati manusia berbatin
lemah seperti aku!"
Mendapat pujian itu, Bong Mini hanya tersenyum
seraya berdiri. Sedangkan kedua matanya dipicingkan ke atas, menatap sinar
matahari yang bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
"Hari sudah semakin siang!" gumam Bong Mini,
mengingatkan kekasihnya. Karena keduanya sudah
begitu lama beristirahat di tempat itu. Sejak matahari berdiri sepenggalan di
ufuk timur. Baladewa terhenyak dari kegembiraannya. Dia lang-
sung ingat pada rencana mereka semula.
"Untung kau segera mengingatkan!" cetus Baladewa
seraya bangkit.
"Makanya, kalau lagi tugas jangan terlalu asyik de-
ngan nafsu!" gurau Bong Mini seraya tertawa renyah.
Baladewa hanya membalas gurauan Bong Mini de-
ngan senyum. Saat itu pikirannya sendiri tertuju pada rencana untuk membawa
Putri Bong Mini ke hadapan
Kidarga, Ketua Perguruan Topeng Hitam.
"Kau sudah siap melanjutkan rencana kita?" tanya
Baladewa. "Sejak tadi aku sudah siap!" balas Bong Mini, masih dengan sikap bercanda.
"Termasuk bila aku menyakitimu?"
"Maksudmu?" Bong Mini balik bertanya.
"Agar aku benar-benar dipercaya telah menangkap-
mu, aku harus menghentikan jalan darahmu!" kata
Baladewa. Bong Mini mengembangkan senyum.
"Lakukanlah!" kata Bong Mini. "Tapi gunakan ilmu
'Pembeku Tenaga' agar aku bisa memulihkannya sen-
diri lewat ilmu 'Pembangkit Tenaga'."
"Baiklah!" ucap Baladewa. Kemudian ia menempel-
kan telapak tangan kanannya ke punggung Bong Mini.
Sedangkan tangan kirinya merengkuh pinggang gadis
itu. Agar tubuh Bong Mini tidak jatuh ke tanah pada saat tenaganya membeku.
"Oh...!" Bong Mini mengeluh pendek ketika merasa-
kan tenaganya mulai membeku akibat serangan hawa
dingin yang keluar dari telapak tangan Baladewa. Kemudian tubuhnya perlahan-
lahan lemas sampai akhir-
nya tak dapat melakukan apa-apa lagi. Kecuali berkedip, mendengar dan berkata
dengan suara yang amat
lemah. Persis seperti orang yang meninggalkan pesan ketika hendak mati.
Setelah tubuh Bong Mini benar-benar dalam keada-
an lumpuh, Baladewa langsung merangkul tubuh mu-
ngil itu dengan cara menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. Setelah itu, ia
segera membawa Bong Mini menuju Perguruan Topeng Hitam. Ilmu peringan tubuhnya
yang hampir sempurna dikerahkan. Sehingga
tubuhnya melesat seperti angin.
*** Sementara itu, Pendekar Mata Dewa dan Pendekar
Teluk Naga telah sampai di pesisir Selat Malaka. Di sana mereka langsung bertemu
dengan Bongkap dan
pasukannya. Ketika melihat kedatangan enam pendekar yang
menyertai Bong Mini, Bongkap dan para pengikutnya
langsung terkejut. Mereka segera menghampiri.
"Apa yang terjadi dengan kalian" Kenapa tidak ber-
sama putriku?" tanya Bongkap dengan perasaan was-
was, khawatir terjadi sesuatu terhadap putrinya.
"Kami baru saja bertempur dengan pasukan Pergu-
ruan Topeng Hitam yang dipimpin oleh Baladewa, pu-
tra Prabu Jalatunda," lapor Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.
"Lalu bagaimana dengan putriku?" cecar Bongkap
yang sejak tadi merisaukan keadaan putrinya.
"Putri Bong Mini bersama Baladewa pergi menuju
Perguruan Topeng Hitam!" jelas Kao Cin Liong lagi.
"Jadi, putraku yang jadi pengkhianat itu berhasil
merobohkan Putri Bong Mini dan membawanya ke Per-
guruan Topeng Hitam?" celetuk Ningrum dengan wajah
terkejut bercampur geram.
Kao Cin Liong tersenyum melihat perubahan wajah
wanita itu. "Baladewa bukan seorang pengkhianat, Nyi Ning-
rum!" ujar Kao Cin Liong.
Ningrum, Bongkap, dan Prabu Jalatunda saling ber-
pandangan. Wajah ketiganya menunjukkan kebingu-
ngan. "Bicaralah yang benar!" bentak Bongkap agak ma-
rah. "Maafkan kami, Tuanku!" ucap Kao Cin Liong. "Se-
sungguhnya, Baladewa bersekutu dengan Perguruan
Topeng Hitam hanya siasat saja. Dengan cara begitu, ia bisa melihat para
pendekar tangguh yang bersekutu dengan perguruan itu!" lanjut Kao Cin Liong.
"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanya Ning-
rum. "Begitulah menurut pengakuan Baladewa!" sahut
Kao Cin Liong. Wajah Prabu Jalatunda dan Ningrum tampak ber-
seri-seri saat mendengar laporan bahwa anaknya tidak terlibat persekutuan dengan
Perguruan Topeng Hitam.
Malah kegeraman mereka sirna seketika. Berubah
menjadi rasa gembira.
"Apakah ada hal lain yang ingin kau laporkan?"
tanya Bongkap kepada Kao Cin Liong.
"Ada, Tuanku!" sahut Kao Cin Liong cepat.
"Katakanlah!"
"Baladewa dan Bong Mini berpesan agar semua pa-
sukan langsung menyerbu Bukit Setan!"
"Bagaimana mungkin" Prajurit Kerajaan Manchuria
akan tiba di sini besok pagi!" sergah Bongkap.
"Menurut Baladewa, musuh yang kita hadapi seka-
rang adalah Perguruan Topeng Hitam. Jadi yang harus kita serang terlebih dahulu
adalah Perguruan Topeng Hitam berikut pemimpinnya, Kidarga," kata Kao Cin
Liong menjelaskan.
Bongkap mengangguk-angguk sambil berpikir seje-
nak. "Kedatangan kita ke sana juga untuk menjaga ke-
mungkinan terbongkarnya rahasia Baladewa dan Bong
Mini. Dengan begitu kita bisa membantunya!" kata Kok Thai Ki menambahkan.
Bongkap kembali mengangguk-angguk, menyetujui
pendapat Baladewa dan putrinya. Saat itu juga, dia
bersama pasukannya segera bergerak menuju Bukit
Setan. *** 2 Matahari telah condong ke arah barat. Kabut yang
sejak siang tadi menyingkir karena terpaan sinar matahari, kini mulai turun
menutupi Bukit Setan. Bentuk pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit itu perlahan
menjadi samar. Dalam suasana alam yang mulai gelap itu, Bala-
dewa telah sampai di Perguruan Topeng Hitam. Sebuah perguruan luas yang berdiri
kokoh dengan penjagaan
ketat. Setelah empat penjaga membuka pintu gerbang, Ba-
ladewa langsung membawa Putri Bong Mini menuju
ruangan yang luasnya sekitar lima belas meter.
Ruangan yang dinding-dindingnya terbuat dari bilik
itu tampak begitu kumal, sumpek, dan seram seperti
menyimpan misteri. Hiasan-hiasan kepala manusia
terpampang di sana. Sedangkan di setiap sudut rua-
ngan mengepul asap pedupaan hingga menimbulkan
suasana tegang bagi mereka yang baru menginjakkan
kaki di ruangan itu. Itulah ruangan pribadi Ketua Perguruan Topeng Hitam.
Sedangkan pedupaan yang te-
rus mengepulkan asap itu merupakan syarat yang te-
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah disepakati antara Kidarga dengan iblis marakayangan yang selama ini telah
memberikan ilmu-ilmu ke-
saktian. "Inikah gadis yang selama ini melakukan pemberon-
takan terhadap Perguruan Topeng Hitam?" tanya Ki-
darga. Matanya terus mengawasi Bong Mini.
"Benar, Ketua!" sahut Baladewa. "Dia memang seo-
rang gadis berilmu tinggi. Seluruh pasukan yang kuperintahkan untuk mengepung
dia tewas. Dan dia baru
roboh saat aku menghadapinya!" lanjut Baladewa.
Kidarga mengangguk-angguk kagum pada Balade-
wa. "Tidak sia-sia aku memilihmu sebagai wakil keper-cayaanku!"
Baladewa tersenyum mendapat pujian itu.
Setelah bercakap-cakap dengan Baladewa, Kidarga
memalingkan pandangannya ke arah Bong Mini seraya
menyeringai. "Berlutut di depanku!" bentaknya.
Bong Mini diam. Hatinya tak tergerak sedikit pun
untuk mengikuti kehendak lelaki tua yang duduk po-
ngah di hadapannya. Malah hatinya mendadak panas.
Ingin diterjangnya lelaki itu dan menghantam wajah-
nya. Tapi karena ia sadar berada di tempat yang mem-bahayakan, maka keinginan
itu segera ditahannya. Ia harus berhati-hati dalam bertindak. Sekali saja
berbuat gegabah, maka jiwanya akan terancam. Termasuk
Baladewa yang berpura-pura menjadi sekutu Perguru-
an Topeng Hitam.
"Hm..., kau benar-benar seorang gadis yang keras
kepala!" kata Kidarga agak geram. Kemudian tangan-
nya mengambil sebatang tongkat yang bersandar di
lengan kursi sebelah kanan. Kemudian tongkat sepan-
jang satu setengah meter itu diayunkan ke kaki Bong Mini dengan keras.
Wut! Sambaran tongkat Kidarga yang cepat dan penuh
tenaga itu segera dielakkan Bong Mini dengan cara
mengangkat kedua kakinya. Serangan tongkat yang
menimbulkan desiran angin itu luput dari sasaran.
Kidarga terbelalak kagum melihat cara Bong Mini
mengelak serangannya secara tiba-tiba. "Pantas gadis ini mampu mengalahkan
pasukanku," begitu pikir Kidarga yang baru menyaksikan kepandaian Bong Mini
walau baru sekali gebrakan.
"Kau memang seorang gadis yang memiliki kepan-
daian tinggi. Tapi sayang, kepandaian itu kau pergunakan percuma!" kata Kidarga
sambil menarik kembali tongkatnya.
Bong Mini mengerutkan kening. Dia tidak paham
maksud ucapan Ketua Perguruan Topeng Hitam itu.
"Kau gunakan kepandaianmu itu untuk kepenti-
ngan rakyat. Tapi apa yang kau peroleh jika berhasil membela mereka" Dan apa
yang akan mereka perbuat
jika kau menderita kekalahan dan ditangkap seperti
sekarang ini" Apakah mereka akan menolong membe-
baskanmu?" lanjut Kidarga. Matanya tetap meman-
dang Bong Mini lekat-lekat.
Bong Mini masih diam. Ia ingin mendengar kelanju-
tan ucapan tokoh sesat di depannya itu.
"Andai saja sebelumnya kau tidak memberontak
dan membunuh orang-orangku, tentu kau akan men-
dapatkan jabatan atau kedudukan yang baik dariku!"
lanjut Kidarga. "Tapi sayang, kau telah banyak mem-
bunuh orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Aku ti-
dak bisa lagi mengampunimu. Termasuk orangtuamu
yang bernama Bongkap itu!"
Bong Mini menanggapi ucapan Kidarga itu dengan
senyum sinis. Kemudian ia menimpali, "Memang ada
beberapa hal yang mendorong seseorang untuk menja-
di pejuang. Salah satunya seperti yang kau sebutkan tadi. Berjuang untuk mencari
kedudukan dan kemu-liaan! Tapi perjuanganku bukan untuk itu. Aku ber-
juang untuk mengabdi kepada bangsa dan negara
tempatku berpijak. Tanpa menuntut imbalan apa-apa!"
tutur Bong Mini mantap.
"Walaupun ajalmu sudah dekat seperti sekarang
ini?" pancing Kidarga.
"Aku tidak takut pada kematian kalau memang Tu-
han menghendaki!" sahut Bong Mini gagah.
"Hua ha ha...!" Kidarga tertawa terbahak-bahak,
memecahkan kesunyian ruangan itu.
Bong Mini terkejut mendengar tawa Kidarga tadi.
Karena pada saat itu ia merasakan kedua kakinya bergetar, akibat tenaga dalam
'Tawa Geledek' yang dikerahkan Kidarga. Dengan begitu, ia semakin sadar ka-
lau Ketua Perguruan Topeng Hitam itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kalau
dibiarkan hidup, tentu dia akan mengancam ketenteraman penduduk negeri
Selat Malaka. "Kau tidak takut mati karena memang tidak ada pi-
lihan lain buatmu untuk hidup!" lanjut Kidarga seraya bangkit dari duduknya.
Lalu kakinya melangkah mendekati Putri Bong Mini.
"Tapi sebelum aku menghabisi nyawamu, ada sesu-
atu yang ingin kutanyakan padamu!" kata Kidarga de-
ngan mata mencorong pada Bong Mini yang berdiri se-
kitar satu meter darinya.
Bong Mini merasakan jantungnya berdebar-debar
hebat ketika Ketua Perguruan Topeng Hitam itu telah mendekati dirinya. Bukan
karena takut, melainkan
akibat pengaruh dari sepasang mata merah Kidarga
yang menyoroti kedua matanya. Meski dia juga tengah memandang tajam pada
Kidarga. "Benar-benar luar biasa kesaktian orangtua sesat ini," begitu kata hati
Bong Mini sambil mengerahkan ilmu 'Sinar Mata Malaikat' agar dapat menangkis
tatapan mata Kidarga
yang mengandung hawa panas.
Kidarga yang tadinya merasa bangga dapat melu-
luhkan sorotan mata Bong Mini menjadi terhenyak ka-
get. Karena ilmu 'Sepasang Mata Iblis' yang dikerahkannya tidak menimbulkan
akibat apa-apa terhadap
mata lawan. Sebaliknya, kedua matanya yang meman-
carkan panas itu berubah menjadi dingin seperti terkena tetesan air es.
"Bangsat! Ilmu gadis ini benar-benar luar biasa! Dia langsung mengetahui
serangan kedua mataku sekaligus menangkisnya!" geram Kidarga dalam hati. Menya-
dari kesaktian 'Mata Iblis'-nya dapat dikalahkan oleh ilmu 'Sinar Mata Malaikat'
milik Bong Mini, hatinya semakin geram. Dengan wajah bengis, ia bertanya kepada
Bong Mini. "Kaukah yang tempo hari berhadapan dengan istri-
ku, Nyi Genit?"
"Ya!" jawab Bong Mini singkat.
"Sekarang di mana istriku berada?" tanya Kidarga
lagi, makin geram.
"Istrimu yang binal itu mati bunuh diri di sebuah
jurang!" sahut Bong Mini tanpa rasa gentar sedikit
pun. Plakkk, plakkk!
Tangan kanan Kidarga mendarat di kedua pipi Bong
Mini yang tidak sempat mengelak. Darah segar lang-
sung keluar dari mulut mungil itu. Bersamaan itu pu-la, tubuh Bong Mini roboh
tanpa dapat bangkit lagi.
Kecuali matanya saja yang berkedip-kedip memandang
Kidarga penuh sinar kebencian. Saat melayangkan ta-
ngan kanannya itu, Kidarga memang langsung menge-
rahkan ilmu 'Tangan Iblis'. Sebuah ilmu pukulan yang langsung dapat melumpuhkan
tulang. Baladewa yang sejak tadi berdiri di samping Bong
Mini tersentak melihat gadisnya terjatuh lumpuh. Kemudian dengan wajah geram
serta sorot mata menya-
la-nyala, Baladewa memandang Kidarga.
"Kenapa Ketua melakukan kekerasan seperti ini?"
Kidarga memicingkan mata. Dipandangnya Bala-
dewa lekat. "Kau tidak suka?"
"Maaf, Ketua! Ketua telah mengangkat aku untuk
menjadi wakil Ketua. Segala peraturan di perguruan ini telah Ketua serahkan
padaku. Karena itu, kuminta
agar aku yang menghukum gadis ini tanpa campur
tangan Ketua!" kata Baladewa.
Hening. Kemudian Kidarga menghampiri Baladewa dua
langkah dengan mata yang tak lepas memandang Bala-
dewa. "Aku memang telah mengangkatmu sebagai wakil-
ku. Tapi bukan berarti kau mutlak memegang wewe-
nang itu. Terutama hal-hal yang penting seperti gadis ini. Aku yang langsung
menanganinya!" kata Kidarga.
Pelan namun bertenaga, sehingga terdengar berwiba-
wa. Baladewa kembali tersentak mendengar ucapan Ki-
darga. Tadinya ia mengira kalau hukuman untuk Bong
Mini diserahkan kepadanya. Tapi ketika ia mendengar kalau Kidarga sendiri yang
akan melaksanakan hukuman itu, hati Baladewa menjadi gusar. Dia khawatir tidak
mampu menyelamatkan jiwa kekasihnya.
"Masukkan gadis itu ke dalam tahanan! Aku akan
menghukumnya setelah orangtuanya yang bernama
Bongkap berhasil kita tangkap!" perintah Kidarga pada Baladewa. Sengaja dia
memerintah anak muda itu. Kidarga khawatir kalau prajurit lain membawanya, gadis
itu akan melepaskan totokan dan memberontak. Dia
berpikir, "Bisa saja totokan yang dikerahkannya dapat dipulihkan Bong Mini."
Hati Baladewa lega. Dengan demikian, ia mempu-
nyai waktu beberapa hari untuk melaksanakan ak-
sinya bersama Bong Mini.
Baladewa membawa tubuh Bong Mini yang masih
lemas itu menuju ruang tahanan. Diikuti pandangan
puas Kidarga. *** "Kau tidak apa-apa?" bisik Baladewa ketika hendak
memasuki kamar tahanan.
"Aku tidak apa-apa!" bisik Bong Mini lemah. "Aku
bisa memulihkannya sendiri!"
Hati Baladewa gembira mendengar jawaban Bong
Mini. Kemudian ia masuk ke dalam kamar tahanan
dan membaringkan tubuh Bong Mini di atas lantai beralas tikar. Pada saat itulah
muncul empat anak buah Perguruan Topeng Hitam. Mereka datang ke situ sete-
lah mendapat perintah dari Kidarga untuk menjaga kamar tahanan.
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Baladewa dengan
wajah kurang senang.
"Maaf! Kami hanya mendapat perintah dari ketua
untuk menjaga tahanan!" jawab salah seorang dari keempat orang itu.
Baladewa menghela napas. Tanpa banyak cakap la-
gi, ia meninggalkan ruang tahanan. Kini tinggal Bong Mini yang berada dalam
kamar tahanan yang dijaga
oleh empat anak buah Kidarga.
*** Malam semakin larut. Suasana sepi mencekam ka-
mar tahanan Bong Mini.
Putri Bong Mini yang masih terbaring di lantai beralas tikar itu, melirik ke
arah empat penjaga pintu. Di sana ia melihat keempat orang itu tengah duduk
bersandar di jeruji pintu kamar tahanan sambil sesekali melirik Bong Mini.
Bong Mini mengalihkan pandangannya kembali pa-
da langit-langit kamar tahanan. Ditariknya napas perlahan sebanyak tiga kali
sambil memejamkan mata.
Sedangkan pikiran dan hatinya terpusat pada kekua-
saan Tuhan. Dia sedang mencoba mengerahkan ilmu
'Pembangkit Tenaga'. Sebuah ilmu pemberian Kanjeng
Rahmat Suci untuk memulihkan tenaganya kembali
dengan cara meditasi dan memusatkan pikiran dan
hatinya kepada sang Pencipta.
Setelah beberapa saat melakukan semadi, ia mera-
sakan udara dingin yang datang entah dari mana me-
nyusup ke dalam tubuhnya. Selanjutnya, tubuh yang
semula terasa lemas, perlahan-lahan segar kembali.
Malah ujung-ujung jari kaki dan tangannya yang se-
mula mati, kini telah dapat digerakkan kembali.
Bong Mini tersenyum sambil membuka matanya
kembali. Lalu menoleh pada empat penjaga pintu yang masih duduk mengawasinya.
"Hm..., aku harus melakukan cara agar dapat ke-
luar dari kamar tahanan ini!" gumam hati Bong Mini.
Tiba-tiba ia memberikan senyum pada keempat penja-
ga yang kebetulan memandang ke arahnya.
Mendapat senyuman lembut dari gadis cantik itu,
keempat penjaga pintu itu senang bukan main. Mata
mereka yang semula mengantuk, berubah menjadi se-
gar kembali. Bong Mini semakin mengembangkan senyumnya
ketika keempat lelaki itu memandangnya dengan pe-
nuh nafsu birahi. Malah ditambah dengan kerlingan
matanya, membuat jantung mereka berdegup keras.
Lalu keempatnya saling berpandangan seperti meng-
adakan kesepakatan.
"Bagaimana?" tanya Ocit yang berhidung mancung
dan memiliki nafsu birahi tinggi.
"Aku tidak berani!" sahut Baung yang memiliki ma-
ta seperti mengantuk sambil menggelengkan kepala-
nya. "Kenapa?" tanya Ocit.
"Aku khawatir dia menjebak kita," sahut Baung.
"Benar. Kalau kita sampai terjebak dan dia melari-
kan diri, kita berempat akan dihukum mati!" sela Idal, menambahkan.
"Kalian jangan khawatir! Tenaga gadis itu sudah di-
lumpuhkan oleh pemimpin kita. Dia tidak mungkin bi-
sa melarikan diri!" kilah Ocit penuh semangat.
"Benarkah?" tanya ketiga temannya serentak.
Ocit mengangguk meyakinkan.
"Kalau begitu, mari kita sama-sama nikmati tubuh
gadis cantik itu!" kata Baung yang nafsu birahinya
mulai menggebu-gebu. Kemudian ia segera membuka
gembok pintu jeruji besi. Setelah terbuka, dia mengajak masuk ketiga temannya
dan mendekati Bong Mini.
Merasa pancingannya mengena, Bong Mini bersiap-
siap untuk menyambut kedatangan keempat penjaga
pintu tahanan itu. Dengan bibir yang masih terse-
nyum, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Seolah-olah menantang dalam kepasrahan.
Keempat lelaki itu segera mendekati Bong Mini. Dua
di sebelah kanan dan dua orang lagi sebelah kiri. Ketika mereka membungkuk
hendak menyentuh tubuh
gadis yang dikelilingi, tiba-tiba kedua tangan Bong Mini mencengkeram kepala dua
lelaki yang membungkuk di dekat wajahnya. Sedangkan kedua kakinya di-
hentakkan ke kepala dua lelaki yang membungkuk di
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat lututnya.
"Hihhh!"
Dukkk! "Aaakh! Aaakh"
"Aaakh! Aaakh"
Keempat lelaki itu terpekik tertahan manakala wa-
jah mereka mencium lantai dengan keras. Saat itu juga darah mengalir dari hidung
dan mulut mereka. Belum
sempat keempatnya bangkit, Bong Mini menotok leher
mereka lewat ilmu 'Pembeku Tenaga'.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Keempat lelaki penjaga pintu kamar tahanan itu
langsung roboh tanpa dapat berkutik lagi. Hanya mata mereka saja yang berkedip-
kedip. Bong Mini berdiri tegak sambil tersenyum meman-
dangi keempat penjaga pintu kamar tahanan yang ter-
baring tanpa daya.
"Tidurlah kalian di sini biar nyenyak!" ejek Bong
Mini. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan
ruang tahanan itu. Lalu terus menyusuri lorong menu-
ju ruang depan.
Ketika ia hendak keluar pintu lorong tahanan itu,
Bong Mini melihat empat penjaga pintu berbaju koko dan bercelana pangsi hitam-
hitam sedang berjalan mondar-mandir, lengkap dengan senjata masing-masing.
Bong Mini tercenung beberapa saat, memikirkan
bagaimana cara keluar pintu lorong itu. Untuk bisa keluar, ia harus berhadapan
langsung dengan keempat
penjaga pintu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya
Bong Mini memutuskan untuk melakukan penyera-
ngan terhadap empat penjaga pintu lorong itu.
"Hiaaat!"
Bong Mini melompat ke depan sambil mengerahkan
tendangan lurus ke arah dua orang yang sedang berjalan mondar-mandir itu.
Dukkk! Dukkk! Tendangan kaki Bong Mini yang begitu keras lang-
sung mendarat di punggung dan leher dua penjaga
pintu lorong. Membuat kedua orang yang tidak menge-
tahui serangan mendadak itu langsung terhuyung dan
jatuh ke lantai. Sedangkan dua temannya yang lain
langsung bergerak menyerang Bong Mini.
Wut! Wut! Dua pukulan tangan dari arah kanan dan kirinya
menyambar leher dan perut Bong Mini dengan cepat.
Bong Mini menangkap tangan lawan yang memukul
lehernya dengan tangan kiri. Sedangkan kaki kanan-
nya digunakan untuk menendang satu lawan lain yang
berada di depannya.
Plakkk! Dukkk! Tendangan cepat Bong Mini langsung mengenai wa-
jah lawan di depannya, hingga lelaki itu terjungkal ke belakang. Sedangkan
tangan kanan lawan yang lain
berhasil ditangkap oleh tangan kiri Bong Mini dan
langsung dihentakkan sedikit ke dekatnya. Disusul
kemudian oleh pukulan tangan kanan yang bergerak
cepat ke dada lawan. Membuat lawan terhuyung de-
ngan tangan mendekap dadanya yang terasa sakit dan
sesak. Belum sempat mereka menarik napas, dua jari
Bong Mini yang telah dialiri ilmu 'Pembeku Tenaga'
mendarat di punggung keduanya.
Tuk! Tuk! Dua penjaga pintu lorong itu ambruk seketika saat
dua jari Bong Mini mengenai punggung mereka.
Sementara itu, dua penjaga pintu lorong yang per-
tama kali terkena tendangan Bong Mini telah bangkit kembali. Kini mereka
mengeroyok gadis bertubuh mungil itu dengan golok masing-masing. Kemudian de-
ngan nafsu yang memburu, kedua orang itu menerjang
Bong Mini seraya menyambar-nyambarkan golok.
Wut! Wut! Dua golok lawan menyambar bagian leher dan. pe-
rut gadis itu. Namun dengan mudah Bong Mini memi-
ringkan kepalanya sedikit ke belakang. Sedangkan tangan kirinya menangkap tangan
kanan lawan yang
akan membacok lehernya.
"Hep!"
Crokkk! "Aaakh!"
Bong Mini menarik lengan seorang lawannya yang
berhasil ditangkap ke depan tubuhnya. Ketika lawan
yang lain menyabetkan golok ke perut Bong Mini, senjata itu justru memangsa
temannya sendiri hingga perutnya menganga lebar disertai simbahan darah dan
buraian isi perutnya keluar. Orang itu terpekik, lalu roboh tanpa nyawa.
Melihat temannya roboh oleh sabetan goloknya sen-
diri, lelaki penjaga pintu lorong itu semakin geram. Dia menerjang dan
menyambar-nyambarkan goloknya ke
arah Bong Mini dengan membabi buta.
Sing sing Singngng!
Dengan cepat golok lawan menyerang gadis itu. Te-
tapi dengan cepat pula tubuh Bong Mini melompat
menghindar. Ketika turun, kedua kakinya menjulur lurus ke arah lawan yang belum
siap membalikkan tu-
buhnya. Bukkk! Krekkk! "Aaakh!"
Kedua kaki Bong Mini mendarat keras di leher la-
wan hingga tubuhnya jatuh tengkurap. Sebelum sem-
pat bangun, Bong Mini telah menjejakkan kakinya
kembali ke leher lawannya hingga tewas.
Setelah semua penjaga pintu lorong tewas, Bong
Mini segera meninggalkan tempat itu untuk mencari
Baladewa. *** Pada waktu yang bersamaan, Baladewa pun kemba-
li melakukan aksi seperti yang pernah dilakukannya
beberapa hari lalu, yaitu melakukan pembunuhan ter-
hadap para pendekar tangguh yang bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam. Namun kali ini, Baladewa
hendak langsung membunuh Kidarga yang berada di
kamarnya. Baladewa berjalan mengendap-endap menuju ka-
mar Kidarga. Namun lima puluh meter dari kamar Ki-
darga, enam anak buah Perguruan Topeng Hitam te-
ngah berjaga di pintu lorong kamar. Sedangkan dua di antara mereka tampak
tertidur pulas.
Baladewa merubah sikap dengan jalan seperti biasa,
tanpa mengendap-endap.
"Wah, tampaknya Anda belum tidur, Wakil Ketua!"
sapa seorang penjaga pintu lorong kamar Kidarga ke-
tika melihat kedatangan Baladewa.
"Aku sendiri heran! Malam ini kedua mataku benar-
benar tidak bisa dipejamkan!" sahut Baladewa, penuh keramahan.
"Mungkin hati dan pikiran Anda belum tenang!" ka-
ta Iyong. "Begitulah! Aku selalu memikirkan gadis tawanan
itu!" "Apakah Anda tertarik dengan kecantikannya?" ta-
nya Iyong menggoda.
Baladewa tersenyum.
"Sebagaimana perasaan lelaki lain yang melihat ke-
cantikan wanita, tentu aku pun mengalami perasaan
itu. Tapi yang kupikirkan justru bukan kecantikannya, melainkan kepandaiannya.
Aku khawatir dia mampu
keluar dari tahanan itu!" kata Baladewa.
"Bukankah di sana sudah ada delapan penjaga?" ta-
nya Iyong. "Memang! Tapi aku tetap khawatir. Maklumlah!
Yang namanya wanita selalu punya banyak cara untuk
meloloskan diri dari sarang macan. Apalagi dia memiliki wajah cantik!"
"Maksud Anda, tawanan wanita itu akan memper-
gunakan kecantikannya untuk menggoda para penja-
ga?" "Kenapa tidak?"
Empat penjaga pintu lorong yang bercakap-cakap de-
ngan Baladewa tampak mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku akan melihat tawanan itu sebentar. Tapi aku
minta, dua di antara kalian menyertaiku ke sana!" kata Baladewa.
"Kalau begitu, biar aku dan Gingsul yang menyertai
Anda ke sana!" ujar Iyong yang memang ingin sekali
melihat kecantikan Putri Bong Mini.
"Baik. Ayo kita ke sana!" ajak Baladewa sambil me-
langkah menuju ruang tahanan bersama Iyong dan
Gingsul. Namun sebelum sampai di tempat tujuan, ti-
ba-tiba kedua tangan Baladewa yang sudah dialiri ilmu
'Pembeku Tenaga' segera didaratkan di punggung
Iyong dan Gingsul yang berjalan di samping kiri dan kanannya. Dalam sekejap,
kedua orang itu roboh di
lantai. Setelah itu, ia pun kembali melangkah tenang menuju tempat semula.
"Hei, cepat sekali Anda kembali!" tegur Maing ketika melihat Baladewa kembali.
"Biarlah Iyong dan Gingsul yang melihat tawanan
wanita itu," kata Baladewa dengan sikap wajar. Namun ketika sudah dekat dengan
kedua orang itu, tangannya langsung mencengkeram leher mereka dengan keras.
"Aaakh...! Aaakh...!"
Kedua orang itu mengeluarkan suara tertahan sam-
bil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Bala-
dewa. Tapi usaha itu sia-sia belaka. Karena kedua tangan Baladewa telah dialiri
ilmu 'Pembeku Tenaga'.
Seketika itu juga tenaga mereka membeku dan lang-
sung tewas akibat cekikan tangan Baladewa yang de-
mikian keras. Pada saat itu, dua penjaga pintu lorong kamar yang
tadi tertidur, kini telah terbangun. Mereka langsung terperanjat ketika melihat
dua temannya mati di tangan Baladewa.
"Pembunuh!" seru kedua orang itu bersamaan.
Mendengar suara itu, Baladewa langsung melesat
keluar ruangan. Sedangkan kedua orang tadi menyu-
sul mengejarnya.
"Tangkap dia! Dia pembunuh!" teriak kedua orang itu ketika Baladewa telah sampai
di dekat pintu gerbang.
Empat penjaga pintu gerbang luar segera berlonca-
tan mengepung Baladewa.
"Bangsat! Ternyata kau musuh dalam selimut!" de-
ngus seorang penjaga pintu gerbang. Tanpa menunggu
lebih lama lagi, mereka langsung menerjang Baladewa
dengan pedang di tangannya masing-masing.
Mendapat serangan yang datang dari berbagai arah,
Baladewa langsung mencabut pedangnya untuk me-
layani gempuran lawan.
Trang trang trangngng!
Serangan pedang lawan yang tertangkis oleh pedang
Baladewa menimbulkan pijaran api yang sangat te-
rang. Disusul dengan berloncatannya enam lawan ke
belakang karena merasakan tangannya ngilu dan perih saat senjata mereka beradu
dengan pedang Baladewa.
Tidak lama kemudian mereka kembali menyerangnya
dengan buas. Enam pedang yang menyerang tubuh
Baladewa menjadi terlihat banyak ketika serangan mereka bertambah gencar dan
cepat. Trang trang trangngng!
Walaupun Baladewa mampu menangkis semua se-
rangan lawan, namun untuk serangan berikutnya ia
lebih baik bersalto ke belakang dan bergulingan. Karena serangan keenam orang
yang menjadi lawannya
itu begitu cepat dan penuh tenaga.
Ketika bangkit kembali, ia langsung mengerahkan
ilmu 'Angin Badai Menghempas'.
Wesss! Serangan ilmu 'Angin Badai Menghembus' yang di-
kerahkan Baladewa bukan main dahsyatnya. Sehingga
dua penyerangnya terpelanting ke belakang saat ter-
kena hembusan angin dari kedua telapak tangan Bala-
dewa. Bukkk! Bukkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua orang yang terpelanting itu terpekik tertahan
saat tubuh mereka membentur keras tembok benteng.
Saat itu juga keduanya tewas dengan kepala pecah.
Melihat mereka mati dengan kepala pecah, tiga te-
mannya semakin geram menyerang Baladewa. Sedang-
kan seorang lagi berlari ke dalam untuk memukul kentongan sebagai tanda bahaya.
"Banguuun! Banguuun! Ada pembunuhan!" teriak
orang itu sambil memukul kentongannya.
Baladewa tersentak mendengar teriakan dan bunyi
kentongan itu. Dia harus menyelesaikan pertarungan
itu secepat mungkin agar dapat menyelinap ke kamar
tahanan dan membebaskan Bong Mini. Tidak mungkin
ia melanjutkan siasatnya lagi setelah kedoknya di perguruan itu terbongkar
akibat tindakan cerobohnya
sendiri. "Hiaaat!"
Tiba-tiba Baladewa meneriakkan lengkingan tinggi
disertai lompatan tubuhnya yang mencapai ketinggian tiga meter. Sedangkan kedua
tangannya merentang lebar seperti sayap burung. Itulah jurus 'Burung Camar
Terbang di Awan', membuat tubuhnya dapat melayang
di udara seperti burung.
Melihat tubuh lawannya melompat indah di atas
kepala, tiga lawannya segera membuat posisi segitiga disertai serangan ke arah
kedua kaki Baladewa yang
mulai melayang turun.
"Aaakh!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Belum sempat mereka melakukan gerakan menye-
rang ke arah Baladewa yang masih berada di atas ke-
pala mereka, tiba-tiba ketiga orang itu menjerit tinggi akibat luka sayatan di
perut dan leher mereka.
Ternyata Putri Bong Mini yang melakukan serangan
mendadak itu. Dia langsung lari ke tempat tersebut setelah mendengar bunyi
kentongan yang dipukul seo-
rang penjaga gerbang.
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan
bertempur di luar agar tidak terdesak!" seru Bong Mini kepada Baladewa sambil
terus melesat keluar, melewa-ti benteng setinggi lima meter.
Baladewa yang masih terheran-heran melihat Bong
Mini mampu keluar dari kamar tahanan segera mele-
sat mengikuti saran Bong Mini.
Bersamaan dengan menghilangnya sepasang pen-
dekar muda itu, Kidarga dan puluhan pendekar lain
terbangun. Mereka segera menghampiri Gembil, orang
yang tadi memukul kentongan.
"Ada apa, Gembil?" tanya Kidarga berang. Wajahnya
menyimpan kemarahan karena merasa tidurnya ter-
ganggu. "Ada mata-mata yang masuk ke perguruan ini dan
melakukan pembunuhan!" lapor Gembil gugup.
"Bangsat!" geram Kidarga dengan gigi bergemeletuk.
Kemudian matanya menyebar pada para pendekar
yang hadir di sekitarnya. "Mana Baladewa?" lanjutnya ketika matanya tidak
melihat Baladewa.
"Dia menghilang, Ketua! Dialah yang melakukan
pembunuhan terhadap para pengawal itu!" kata Gem-
bil menjelaskan.
Mendengar keterangan itu, Kidarga semakin murka.
Dia berdiri tegang dengan mata memandang dua
mayat yang tergeletak di depan pintu kamarnya.
"Jahanam! Jadi dia yang selama ini melakukan
pembunuhan di tempat ini!" geram Kidarga. Kemudian
pandangannya beralih pada para pendekar yang berdi-
ri di sekelilingnya.
"Tangkap Baladewa hidup atau mati dan jaga ketat
tawanan wanita bernama Bong Mini!" perintah Kidar-
ga. Puluhan pendekar serentak melesat ke segenap
penjuru ruangan. Sedangkan sebagian lain bergerak
menuju ruang tahanan.
*** 3 Kidarga berdiri tegang. Urat-urat di keningnya me-
nonjol. Giginya bergemeletuk ketika melihat kamar ta-wanannya diisi oleh empat
penjaga yang tidak berdaya oleh totokan Putri Bong Mini. Sedangkan Putri Bong
Mini sendiri sudah hilang dari kamar tahanan itu.
"Itulah akibatnya kalau kalian mudah tergoda oleh
wanita cantik!" hardik Kidarga dengan geram. Kemu-
dian keempat penjaga yang tidak mampu bergerak itu
diinjaknya dengan keras, tepat pada lehernya. Dalam sekejap, keempat penjaga
kamar tahanan itu tewas dengan mata membelalak lebar. Sedangkan lidah keem-
patnya menjulur seperti tercekik.
Beberapa orang anak buahnya yang berada di seki-
tar ruangan itu tampak bergidik melihat kematian keempat temannya.
"Mereka mati akibat perbuatan ceroboh mereka sen-
diri!" kata Kidarga sambil terus memandangi seorang anak buahnya yang masih
dalam injakan kakinya.
Hening. Para pendekar yang berada di situ tampak berdiri
tegang tanpa berani memandang Kidarga, seperti me-
nunggu perintah selanjutnya.
"Tunggu apa lagi kalian?" tanya Kidarga, dingin dan datar. "Wanita tawanan itu
pasti pergi bersama Baladewa!"
Tanpa menunggu perintah Kidarga selanjutnya, pa-
ra pendekar itu terus menghambur keluar untuk men-
cari Baladewa dan Putri Bong Mini.
Ketika Baladewa dan Bong Mini sampai di luar, me-
reka langsung disambut oleh Prabu Jalatunda, Ning-
rum, Bongkap, dan para pendekar lain.
"Putraku!" sambut Ningrum seraya merentangkan
kedua tangannya. Lalu dipeluknya Baladewa erat-erat, penuh kerinduan. Sedangkan
Bong Mini mendapat pelukan dari papanya. Disaksikan oleh para pendekar
lainnya. Mereka yang baru melihat rupa Baladewa terkagum-kagum memandang
penampilan pemuda gagah
itu. "Rencana kalian telah gagal rupanya!" duga Bongkap sambil memandang Bong
Mini dan Baladewa ber-
gantian. "Ya. Aku sempat ketahuan oleh seorang penjaga ke-
tika hendak memasuki kamar Kidarga," sahut Bala-
dewa. "Dan sekarang, mereka sedang mengejar kami!"
lanjutnya. Baru saja Baladewa selesai berkata, tiba-tiba para
pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng
Hitam berhamburan dari pintu gerbang.
Bongkap yang sempat menyaksikan pasukan Kidar-
ga, langsung memberikan komando kepada pengikut-
nya. "Serbuuu...!"
Para pendekar yang berada di pihak Bongkap seren-
tak menyerang sekutu Perguruan Topeng Hitam yang
tampak simpang-siur mengatur posisi ketika mende-
ngar teriakan Bongkap. Seketika itu juga, suasana malam di Bukit Setan yang
biasanya sepi dan angker berubah menjadi hingar-bingar.
"Hiaaat!"
Trang trang trangngng!
Pekik kematian serta dentang senjata berbaur men-
jadi satu, memecahkan keheningan.
Para pengikut Bongkap tampak mati-matian mela-
kukan tangkisan dan serangan pengikut Perguruan To-
peng Hitam. Begitu pula dengan Baladewa yang tengah
berhadapan dengan tiga pendekar yang menamakan
diri Tiga Pendekar Naga Biru. Mereka adalah para pendekar muda yang usianya
sekitar tiga puluh tahun.
Datang dari negeri Manchuria sebagai utusan Kaisar
Thiang Tok. Sama halnya dengan Putri Bong Mini. Dia sedang
berhadapan dengan tiga lelaki berkepala botak yang
tergabung dalam perkumpulan Tiga Siluman Ular Be-
lang. Mereka berumur tiga puluh tahun dan berasal
dari negeri Manchuria, salah satu perkumpulan yang
menjadi andalan Kidarga untuk membantu Perguruan
Topeng Hitam. Sebab mereka adalah para pendekar
yang paling tinggi kepandaiannya di antara pendekar-pendekar lain. Selain itu
mereka juga terkenal buas dan sadis.
"Mampuslah kau!" bentak Sim Lie King, seorang da-
ri Tiga Siluman Ular Belang sambil melakukan gerakan melompat dan menerkam
seperti seekor serigala menerkam mangsa. Tangan kirinya mencengkeram ke ha-
ti lawan, sedangkan tangan kanannya yang terkem-
bang melakukan gerakan membacok ke dada kiri. Itu-
lah jurus 'Cakar Serigala Lapar'.
Plak! Desss! Bong Mini cepat menangkis serangan maut itu de-
ngan kedua tangannya yang sudah dialiri ilmu 'Tenaga Besi'. Membuat tubuh Sim
Lie King terdorong dan terhuyung-huyung ke belakang.
Sim Lie King terkejut. Dia tidak mengira kalau gadis bertubuh mungil yang
dihadapinya itu berhasil menangkis serangannya. Bahkan membuatnya terdorong.
Kini dia tahu kenapa gadis bertubuh mungil dan ma-
sih hijau itu menjadi musuh terberat bagi Perguruan Topeng Hitam, khususnya
Kidarga. Rupanya dia memang memiliki kepandaian ilmu silat yang luar biasa.
Menyadari kalau lawannya berilmu tinggi, Sim Lie
King cepat menarik pedang dan memainkannya.
Sing sing singngng!
Pedang yang dimainkan Sim Lie King dengan jurus
'Pedang Iblis Mata Biru' berdesing keras. Kemudian
putaran pedang yang menimbulkan desingan itu ber-
ubah menjadi gulungan sinar biru. Sedangkan desi-
ngan tadi semakin keras terdengar.
Sambil memutar-mutarkan pedangnya, Sim Lie
King melakukan serangan dengan pukulan-pukulan
tangan kiri yang terkembang. Pukulan-pukulan tangan kirinya bukan pukulan
sembarangan. Tapi sebuah pukulan yang sudah dialiri tenaga dalam 'Angin Setan'.
Ilmu yang menyebabkan hawa panas yang amat kuat
setiap kali tangannya bergerak memukul.
Wut wut wuttt! Setiap pukulan tangan kiri atau sabetan pedang bi-
ru Sim Lie King selalu memapas angin. Karena setiap kali serangannya menghujam,
tiap kali pula gadis yang menjadi lawannya berkelit lincah.
"Bangsat!" gerutu Sim Lie King geram ketika menya-
dari serangannya selalu gagal. Dengan penuh nafsu
serta napas terengah-engah, ia kembali menyerang
Bong Mini. Wut! Plakkk! Desss! Pedang yang menyambar gadis bertubuh mungil itu
terhenti saat tangan Bong Mini yang sudah dialiri ilmu
'Tenaga Besi' berhasil memukul lengan lawan, hingga pedang di genggaman Sim Lie
King terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Melihat Sim Lie King kewalahan menghadapi gadis
berumur dua puluh tahun itu, kedua temannya yang
sejak tadi hanya menyaksikan pertempuran segera da-
tang membantu. Diserangnya Bong Mini dengan pe-
dang di tangannya masing-masing.
"Heiiit!"
Sing sing singngng!
Pedang Chiang Su Kiat segera menyambar ke leher
Bong Mini disertai lengkingan tinggi. Sedangkan pe-
dang Ji Sun Bi menyambarnya pula ke perutnya.
"Huppp!"
Bong Mini melakukan gerakan melompat ke bela-
kang sejauh empat tombak. Namun tanpa disadari,
Sim Lie King melakukan serangan dari belakang lewat pedang biru yang tadi
terlepas. Desss! Bong Mini membalikkan badan dan langsung me-
nangkis tangan Sim Lie King. Sehingga pedang biru itu terpental jauh dan lenyap
ke dalam semak-semak.
"Heiiit!"
Chiang Su Kiat kembali meloncat ke depan seperti
seekor burung elang terbang menyambar mangsa di-
sertai sinar pedang yang bergulung-gulung.
Wut wut wut! Bong Mini mengelakkan serangan pedang itu. Dilan-
jutkan dengan serangan tangan kirinya yang menotok
pergelangan tangan kanan Chiang Su Kiat.
"Eittt!"
Chiang Su Kiat kembali menarik pedangnya ketika
mengetahui serangan tangan Bong Mini yang hendak
menotok pergelangan tangannya. Setelah itu ia pun
melanjutkan serangan bertubi-tubinya kembali dengan jurus 'Pedang Halilintar'.
Pedang di tangannya itu bergerak luar biasa dan mengeluarkan hawa panas yang
menyusupi tubuh lawan walaupun jarak antara tubuh
lawan dengan pedang Chiang Su Kiat masih berjarak
cukup jauh. Menghadapi serangan yang demikian gencar dan
dahsyat, Bong Mini tidak berani lagi melawannya de-
ngan tangan kosong. Dicabutnya Pedang Teratai Merah
yang sejak tadi tersandang di punggungnya.
Sreset! Sing sing sing!
Sinar merah berbentuk bunga teratai memancar te-
rang ketika pedang itu ditarik dari sarungnya. Suasana gelap di sekitar bukit
itu berubah menjadi terang karena cahaya Pedang Teratai Merah.
Tiga Pendekar Siluman Ular Belang terperangah ke-
tika melihat sinar merah dari pedang Bong Mini. Sinar berbentuk bunga teratai
merah yang tak pernah dimiliki oleh para pendekar mana pun. Keterkejutan juga
melanda para pendekar dan anak buah Perguruan Topeng Hitam yang lain. Mereka
tersentak ketika menda-pati sinar merah menerangi sekitar tempat pertempu-
ran. Keterkejutan itu berubah menjadi kekaguman ke-
tika mengetahui sinar merah berbentuk bunga teratai itu datang dari pedang Putri
Bong Mini. Keterkejutan dan rasa kagum para sekutu Pergu-
ruan Topeng Hitam itu dimanfaatkan pasukan Bong-
kap untuk melakukan serangan gencar kepada lawan
yang memang berjumlah lebih banyak. Sehingga ba-
nyak di antara sekutu Perguruan Topeng Hitam yang
tewas. "Hiaaat!"
Trang trang trang!
Serangan pedang yang dilancarkan Chiang Su Kiat
segera ditangkis Bong Mini dengan pedangnya. Karena kerasnya benturan dua
senjata tersebut, pedang Chiang Su Kiat terbagi dua. Bahkan pedang yang tinggal
sepotong itu terlepas pula dari gagangnya.
Chiang Su Kiat terkejut. Sebelum ia melakukan ge-
rakan menghindar, tiba-tiba pedang Bong Mini me-
nyambar kepalanya dengan gerakan membacok.
Crokkk! "Aaakh!"
Kepala Chiang Su Kiat terbelah dua dan bergan-
tung-gantung di lehernya. Selanjutnya, tubuh yang
berdiri limbung itu ambruk tanpa dapat berkutik lagi.
Melihat Chiang Su Kiat mati, kedua temannya lang-
sung menerjang Bong Mini dengan ganas.
Wut wut! Dua pedang lawan menyambar-nyambar di sekitar
tubuh Bong Mini dengan dahsyat. Namun dengan ce-
pat pula Bong Mini menghindar. Tubuhnya melompat
di atas kepala lawan sambil mengerahkan ilmu 'Pedang Samber Nyawa' yang
diperoleh dari Bongkap ketika ia berusia sebelas tahun. Ketika melompat,
tubuhnya berputar cepat seperti gangsing. Dan saat melayang turun, pedangnya telah
menyambar bahu kanan Sim Lie
King. Crokkk! Bret! Pedang Bong Mini membelah bahu Sim Lie King
sampai sebatas pusar. Membuat Sim Lie King terpekik.
"Aaakh!"
Pedang di genggaman Sim Lie King terlepas ke ta-
nah. Sedangkan tubuhnya sendiri ambruk berman-
dikan darah. Itulah salah satu kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam Pedang
Teratai Merah. Walaupun
Bong Mini membabat tubuh lawannya hanya sekali, te-
tapi pedang itu mampu bergerak sendiri dan merobek
perut lawan tanpa ampun. Dengan begitu, setiap lawan yang tersentuh pedang Bong
Mini tidak akan mungkin
dapat hidup. Mereka akan mati dengan tubuh menge-
rikan seperti yang dialami oleh Chiang Su Kiat dan Sim Lie King.
Ji Sun Bi terkejut melihat dua saudara sepergu-
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruannya tewas dalam keadaan yang mengerikan. Ke-
mudian matanya memandang Bong Mini dengan pera-
saan gentar. "Kalau Chiang Su Kiat sebagai pemimpin kami mudah dirobohkan,
bagaimana pula dengan diriku yang hanya melawan seorang diri?" begitu pikirnya.
Tapi karena ia berpikir pula kalau nyawa kedua sauda-ra seperguruannya harus
ditebus, maka Ji Sun Bi pun segera mengusir rasa gentarnya dengan mengeluarkan
lengkingan tinggi berbareng terjangan ke arah Bong
Mini dengan pedang di tangan kanannya.
"Hiaaat!"
Sing sing sing!
Pedang Ji Sun Bi berkelebat cepat mengarah pada
bagian mematikan di tubuh Bong Mini. Sedangkan pa-
da setiap gerakan pedangnya selalu terkandung tenaga dalam yang amat dahsyat,
yang disebut jurus 'Pedang Sinar Matahari'. Kehebatan jurus itu membuat setiap
gerakan pedangnya menimbulkan hawa panas yang
amat sangat. Dan kalau saja bukan Bong Mini yang
menjadi lawannya, tentu dalam waktu singkat dapat
dirobohkan. Namun yang dihadapi kini adalah seorang pendekar wanita muda yang
mempunyai kepandaian
silat serta kesaktian yang luar biasa. Bagaimanapun dahsyatnya serangan Ji Sun
Bi, tetap tidak bisa men-jamah tubuh lawan.
Wut wut wut! Pedang Ji Sun Bi kembali menyambar leher Bong
Mini dalam kecepatan amat tinggi. Tapi dengan cepat Bong Mini melompat ke
belakang untuk mengelak.
Kemudian ia memutar pedang teratai merahnya, se-
hingga terdengarlah lengkingan tinggi. Ketika Ji Sun Bi memutar pedangnya
kembali untuk menyambar leher
Bong Mini, gadis itu melakukan tangkisan dari sam-
ping. Trangngng! Dua pedang yang berlainan arah itu bertemu. Ke-
duanya terdorong mundur dua tindak. Namun dengan
cepat Ji Sun Bi kembali melakukan serangan dengan
penuh nafsu. "Hiaaat!"
Sing sing sing!
Pedang Ji Sun Bi mendadak lenyap. Berganti de-
ngan gulungan sinar perak yang menyelimuti tubuh-
nya. Dan bagai roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju
ke arah Putri Bong Mini, disertai desingan keras memekakkan telinga. Angin
yang ditimbulkan gulungan sinar pedang itu pun me-
nyambar-nyambar tubuh Putri Bong Mini, walaupun
jarak antara mereka masih sekitar tiga meter. Inilah jurus 'Pedang Samber Nyawa'
yang hampir sempurna.
Bong Mini tampak begitu hati-hati menghadapi se-
rangan kali ini. Ia amat tahu bagaimana kedahsyatan jurus pedang tersebut.
Karena ia sendiri memiliki jurus
'Pedang Samber Nyawa' dari papanya sejak berumur
sebelas tahun. Sehingga ketika Ji Sun Bi mengelua-
rkan jurus itu pada taraf yang hampir mencapai ke-
sempurnaan, Bong Mini segera menggunakan ilmu
'Halimun Sakti'.
Sing sing sing!
'Pedang Samber Nyawa' yang mengarah kepada
Bong Mini berhasil dielakkan dengan baik dengan ilmu
'Halimun Sakti'-nya. Karena sesungguhnya yang dise-
rang oleh Ji Sun Bi itu hanyalah bayangan Bong Mini belaka. Sedangkan Bong Mini
sendiri sudah mengelak
dan berada di belakang Ji Sun Bi. Bahkan ketika mengelak, ia sempat pula
membalas serangan lawan. Se-
hingga menciptakan perkelahian yang sangat hebat
sekali. Daun pepohonan, dan pasir berhamburan. Se-
dangkan debu mengepul di sekitar tempat pertempu-
ran. Singngng...! Wesss!
Sambaran angin yang berputar-putar itu terkadang
terdengar mendesing dan terkadang mengaung. Suara-
nya amat memekakkan telinga. Bukan saja bagi mere-
ka berdua, tetapi juga mempengaruhi pendekar-pende-
kar lain yang bertarung di sekitar tempat itu. Banyak di antara mereka yang
menghentikan serangannya karena tersapu kepulan angin dan debu yang menghala-
ngi pandangan. Setelah itu, para pendekar yang bergabung dengan
Bong Mini kembali melanjutkan pertarungannya de-
ngan pasukan Perguruan Topeng Hitam setelah bebe-
rapa saat terhenti karena terhalang kepulan debu. Pa-da kelanjutan pertempuran
itu, ternyata pasukan di
pihak Bong Mini lebih banyak menewaskan lawan.
"Hiaaat!"
Trang trang trang!
Ji Sun Bi tiba-tiba memekik tinggi disertai serangan pedangnya ke muka lawan.
Namun dengan cepat pula
Bong Mini menarik mukanya sedikit ke belakang sam-
bil melakukan tangkisan. Sambil melakukan tangki-
san, disalurkannya ilmu 'Penyerap Tenaga' melalui pedangnya. Sehingga pedang Ji
Sun Bi tampak melekat
kuat pada Pedang Teratai Merah milik Bong Mini. Seolah-olah pedang Bong Mini
memiliki daya lekat yang
amat kuat. Sedangkan Ji Sun Bi sendiri berusaha un-
tuk melepaskan pedangnya dengan cara mendorong
dan menarik. Tapi betapa terkejutnya ia karena kekuatan tenaganya tidak berhasil
memisahkan pedangnya
dengan pedang lawan.
"Hiyyy!"
Tiba-tiba Ji Sun Bi menggerakkan tangan kirinya
untuk memukul dada Bong Mini dengan telapak ta-
ngan kirinya yang terkembang. Itulah yang disebut dengan ilmu 'Telapak Tangan
Setan'. Sebuah ilmu sesat yang didapat ketika ia bertapa di Gunung Ular,
Manchuria. Sebagai gadis belia yang sudah banyak makan asam
garam dunia persilatan, Bong Mini sangat tahu kalau serangan lawan berbahaya.
Dengan cepat disambutnya
serangan tangan kiri lawan dengan telapak tangan kanan yang terkembang.
Plekkk! Dua telapak tangan bertemu dan saling menempel.
Begitu kuat! Sangat sulit bagi keduanya untuk mele-
paskan diri. Karena saat menyambut serangan telapak tangan lawan, Bong Mini
sendiri sudah mengerahkan
ilmu 'Penyerap Tenaga'. Sehingga saat telapak tangannya menempel, ia mampu
menghalau ilmu 'Telapak Ta-
ngan Setan' Ji Sun Bi yang mengeluarkan hawa panas.
Bahkan dengan ilmu 'Penyerap Tenaga' itu, Bong Mini berhasil menyerap tenaga
lawan sedikit demi sedikit.
"Uhhh...!"
Ji Sun Bi mengeluh ketika merasakan tenaganya
tersedot demikian rupa. Pada akhirnya ia tidak punya kekuatan lagi untuk
menggerakkan telapak tangannya
yang menempel kuat di telapak tangan Bong Mini.
"Kau harus mampus menyusul dua temanmu itu!"
usai berkata begitu, Bong Mini langsung melepaskan
pedangnya yang masih menempel dengan pedang la-
wan dan langsung ditebaskan ke tubuh Ji Sun Bi.
Crokkk! Bret! "Aaakh!"
Ji Sun Bi memekik tertahan ketika pedang Bong
Mini menebas tubuhnya menjadi dua bagian. Sedetik
kemudian, setengah badan bagian bawah roboh ke ta-
nah. Sedangkan bagian atas badannya masih tetap
bergantung karena tangan kirinya masih menempel
kuat pada telapak tangan kanan Bong Mini. Ketika na-pasnya telah terputus,
barulah tubuh lelaki itu jatuh ke tanah dengan darah masih bercucuran.
Bong Mini terpaku memandangi tiga lawannya yang
tewas bersimbah darah. Sesungguhnya Bong Mini sen-
diri tidak sampai hati membunuh ketiga pendekar berkepala botak itu. Namun
karena ketiganya adalah
orang-orang sesat, terpaksa mereka dibunuh demi ke-
tenteraman orang banyak.
Bong Mini memasukkan pedangnya ke dalam sa-
rung. Kemudian pandangannya menyebar pada para
pendekar lain yang juga telah menyelesaikan pertarungan. Kini mereka tengah
menyaksikan pertempuran
antara Baladewa dengan dua prajurit Kerajaan Man-
churia. "Hiyaaat!"
Baladewa mengeluarkan lengkingan tinggi. Sedetik
kemudian tubuhnya berkelebat sambil menyabet-nya-
betkan pedang ke arah dua lawannya.
Bret! Pedang Baladewa menyambar leher seorang prajurit
hingga putus. Sesaat tubuh prajurit yang tanpa kepala itu tegak tanpa gerak.
Lalu akhirnya jatuh tertelung-kup.
Melihat temannya mati, prajurit yang masih hidup
menjadi gentar. Wajahnya pucat. Sebelum ia sempat
memikirkan tindakan selanjutnya, Baladewa telah
mengarahkan kaki kanannya ke dada prajurit itu.
Bukkk! Prajurit itu terhenyak ke belakang dan jatuh telen-
tang. Sebelum sempat bangkit, Baladewa menerkam-
nya. Kepalan tangannya dihujamkan bertubi-tubi ke
muka lawan, hingga kedua biji mata prajurit itu lepas dari ceruknya. Belum puas
melihat penderitaan lawan, Baladewa kembali melanjutkan pukulannya sebanyak
tiga kali ke kening lawan.
Prakkk! "Aaakh!"
Prajurit itu mengeluh tertahan. Saat itu pula ia tewas dengan kepala terbelah,
memperlihatkan isinya.
*** 4 Pertempuran sengit antara pasukan Bong Mini de-
ngan pasukan Perguruan Topeng Hitam telah reda de-
ngan kemenangan di pihak Bong Mini. Namun yang
membuat Bong Mini dan pengikutnya heran, sejak aw-
al sampai akhir pertempuran, mereka tidak melihat
kehadiran Kidarga, datuk sesat Perguruan Topeng Hi-
tam. "Apakah dia tidak mendengar hiruk-pikuk pertem-
puran yang terjadi di luar markasnya?" tanya Kui Lok, seorang dari Pendekar Mata
Dewa. "Mana mungkin dia tidak mendengar. Kecuali dia
seorang datuk sesat yang bodoh dan tuli!" kata Bong Mini dengan nada ketus
karena masih menahan geram
terhadap datuk sesat Perguruan Topeng Hitam yang
belum menampakkan diri. "Kita harus mencari akal
agar raja iblis itu keluar dari sarangnya!" lanjut Bong Mini.
"Dengan cara bagaimana?" tanya Kao Cin Liong, Ke-
tua Pendekar Mata Dewa.
"Kita bakar sekeliling markas ini!" cetus Bong Mini.
Para pendekar yang mendengar gagasan Bong Mini
tampak mengangguk setuju. Kemudian mereka seren-
tak mengatur posisi, mengelilingi markas Perguruan
Topeng Hitam. Sebagian di antara mereka ada yang
menaburkan minyak di sekeliling markas perguruan
itu. Sedangkan sebagian lain segera menyalakan kayu dan membakar tempat yang
tadi telah disiram minyak.
Dalam sekejap, sekeliling Bukit Setan diterangi jilatan api yang melahap markas
Perguruan Topeng Hitam.
"Kidarga! Keluar kau!" pekik Bong Mini di sela-sela gemeretak kayu-kayu yang
terbakar. Tak ada sahutan. Kecuali gema suara Bong Mini
sendiri yang terdengar susul-menyusul, memecahkan
keheningan malam.
"Kidarga pengecut! Keluarlah! Hadapi aku!" lantang
Bong Mini lagi. Namun, walaupun suaranya keras me-
lengking, merambahi seluruh Bukit Setan, tetap tidak ada sahutan. Hanya
terdengar suara gemeretak kayu
dan ranting pepohonan yang terbakar.
Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lain berdiri
tegak memandang pintu gerbang benteng Perguruan
Topeng Hitam yang telah habis terbakar. Mereka me-
nunggu Kidarga keluar dengan harap-harap cemas.
Cemas karena merasa khawatir kalau tokoh sesat itu
sempat meloloskan diri saat mereka menghadapi pa-
sukannya. Sebenarnya Kidarga tidak melarikan diri. Malah
saat pertempuran antara pasukannya dengan pasukan
Bong Mini berlangsung, ia sempat menyaksikan dari
atas pohon yang tumbuh di dalam benteng. Ketika ia
mengetahui kalau para pengikutnya terdesak dan ba-
nyak yang tewas, ia segera turun dan masuk ke dalam ruang tapanya yang berada
dalam goa kecil, di ling-kungan benteng itu. Di dalam goa itu dia duduk bersila
di atas batu, menghadap sebuah pedupaan yang selalu mengepulkan asap kemenyan.
Di situlah ia mengum-pulkan seluruh kekuatan ilmu setan yang dimilikinya melalui
mantera-mantera yang dibacanya dengan kedua mata terpejam. Setelah seluruh
kekuatan setan-
nya terkumpul, barulah ia keluar meninggalkan goa
menuju tempat para musuhnya menunggu.
Api semakin berkobar. Bukan saja membakar mar-
kas Perguruan Topeng Hitam, tetapi juga membakar
semua pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu.
Sehingga Bong Mini dan pasukannya mundur bebe-
rapa tindak menghindari hawa panas dan bara api
yang berterbangan.
"Kidarga, keluar kau! Hadapilah aku jika kau seo-
rang yang gagah!" tantang Bong Mini lagi penuh ke-
jengkelan. Karena orang yang selama ini membuat hu-
ru-hara di negeri Selat Malaka belum juga menampak-
kan diri. "Mungkin datuk sesat itu telah melarikan diri!" gu-
mam Prabu Jalatunda dengan nada kecewa. Begitu
pula dengan yang lain. Mereka berdiri menghadap ko-
baran api yang membakar markas Perguruan Topeng
Hitam dengan wajah kecewa.
Di saat mereka diliputi rasa kecewa, tiba-tiba ter-
dengar gema tawa yang memecahkan keheningan ma-
lam. Bahkan menggetarkan jantung para pendekar
yang berada di sekitar tempat itu. Termasuk Bong
Mini. Tapi untunglah mereka telah memiliki ilmu tena-ga dalam cukup tinggi,
sehingga mampu menolak ke-
kuatan tawa yang demikian dahsyat menyerang me-
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
reka. Kalau tidak, tentu mereka akan tewas. Paling tidak mereka akan pingsan
karena getaran tawa yang
mempengaruhi jantung mereka.
Sebelum Bong Mini dan para pendekar mengetahui
arah suara itu, tiba-tiba muncul sosok tubuh Kidarga di atas kobaran api yang
menjilati tubuhnya. Namun
demikian, datuk sesat itu kelihatan tenang-tenang sa-ja. Malah dia tertawa-tawa,
seolah-olah tidak mera-
sakan panas. Itulah ilmu 'Iblis Penolak Api'. Sebuah ilmu kesaktian yang
dimilikinya saat pertama kali bertapa di Bukit Setan. Ilmu yang membuatnya dapat
me- layang di udara dan mampu menaklukkan api di seki-
tarnya hingga tak terbakar atau merasa panas.
Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lainnya
tampak terkejut melihat kesaktian Kidarga. Dari sikap Kidarga yang menunjukkan
kebolehannya itu, mereka
semakin sadar kalau datuk sesat itu bukan orang yang bisa ditandingi oleh
sembarang orang. Sebagaimana
mereka menghadapi para sekutunya.
"Ha ha ha..., kenapa kalian termangu seperti sapi
ompong! Bukankah kedatangan kalian ke sini hendak
menantangku!" ejek Kidarga ketika melihat para pen-
dekar itu termangu menyaksikan kesaktiannya. Mem-
buat hatinya semakin pongah terhadap kepandaiannya
sendiri. Sebelum para pendekar itu ada yang berbicara, tiba-tiba Kidarga
melompat dari atas kobaran api.
Tanpa suara, tubuh Kidarga meluncur ke dekat pa-
ra pendekar dan menjejakkan kakinya di tanah dengan ringan.
Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lain mun-
Pedang Dan Kitab Suci 6 Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru Kereta Berdarah 16
API BERKOBAR DI BUKIT SETAN Oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1 Siang itu, matahari berdiri tegak lurus di cakrawala.
Panasnya garang melecut bumi. Memaksa banyak
orang yang berjalan di siang itu mengenakan caping
pelindung, tak kuat menahan sengatan terik matahari.
Tanpa mempedulikan deraan panas yang terasa
hendak melepuhkan kulit, sepasang anak muda tam-
pak sedang bercengkerama melepas rindu di Bukit
Tengkorak. Sebuah bukit yang berdampingan dengan
Bukit Setan. Sepasang remaja itu tidak lain Bong Mini dan Baladewa. Mereka
sengaja beristirahat di bukit itu sambil melepaskan rindu sebelum menuju Bukit
Setan, tempat tujuan mereka.
Beberapa saat Bong Mini dan Baladewa hanya ber-
diri termangu. Keduanya berhadapan dengan mata
berbinar-binar, penuh kerinduan dan gejolak cinta.
Apalagi sepasang anak muda itu baru mencapai usia
dua puluh tahun, saat mereka baru mengenal cinta.
Sehingga begitu bertemu, sinar mata mereka meman-
carkan kehangatan yang luar biasa.
Entah disadari atau tidak, tiba-tiba bibir Baladewa mendekat pada bibir merah
Bong Mini yang mungil.
Bibir merah yang mungil itu disentuh oleh bibir Baladewa. Begitu mesra dan penuh
perasaan. Karena Bong Mini baru mengalami pacaran, maka
ketika bibirnya dilumat oleh bibir Baladewa, ia hanya dapat memejamkan matanya
tanpa membalas lumatan
bibir pemuda di hadapannya.
Ketika merasakan tubuhnya panas dingin disertai
jantung yang berdegup kencang, Bong Mini segera me-
narik bibirnya. Kemudian sambil menghela napas, ia
berjalan beberapa langkah dan duduk di atas rumput.
Diikuti oleh Baladewa yang duduk satu meter di sam-
pingnya. Sedangkan matanya memandang Bong Mini
dengan sinar mata yang memancarkan kasih sayang.
"Kau marah?" tanya Baladewa dengan suara berge-
tar karena masih diburu nafsu birahi.
Bong Mini menggeleng lemah. Tatap matanya yang
kosong tertuju pada serakan dedaunan kering di atas rumput di depannya.
"Lalu kenapa?" tanya Baladewa lagi, ingin mengeta-
hui perubahan sikap Bong Mini yang tiba-tiba itu.
Bong Mini menoleh pada Baladewa dengan wajah
dan sinar mata yang sendu. "Aku takut!"
"Takut kenapa?" tanya Baladewa kurang paham.
"Aku takut kita lupa diri karena kenikmatan sesa-
at," desah Bong Mini. Tatapan matanya masih sendu.
Baladewa terdiam merenungi ucapan Bong Mini.
Satu ucapan pendek yang mengandung nilai kebena-
ran. "Kau benar! Tidak seharusnya kita mengumbar naf-
su birahi sebelum kita terikat tali perkawinan," ucap Baladewa membenarkan.
Nafsu birahi memang sesuatu yang dimiliki setiap
manusia, karena merupakan satu hal penting bagi per-kembangbiakannya. Namun
bukan berarti nafsu birahi
yang dimiliki dapat diumbar begitu saja!
"Terima kasih atas pengertianmu, Baladewa!" sam-
but Bong Mini gembira.
Baladewa tersenyum sambil menggeser tubuhnya
lebih dekat lagi dengan Bong Mini, putri Tiongkok yang telah membuatnya mabuk
kepayang. "Aku sangat berbahagia sekali dapat memilikimu!"
bisik Baladewa kemudian.
"Begitu pula aku. Karena kau selalu bersikap jujur
dan mau menerima pendapatku. Kau tahu" Andaikata
kita terseret untuk melakukan pelanggaran karena tidak mampu mempertahankan diri
dari godaan nafsu,
aku pasti sangat membenci diriku sendiri, termasuk
membenci dirimu!"
"Mudah-mudahan itu tidak terjadi. Aku sangat
mencintai, menghargai, dan menghormatimu sebagai
seorang gadis!" tutur Baladewa bersama tarikan napas, mengusir gejolak nafsu
yang masih memburu di dadanya. "Karena itu," lanjut Baladewa, "setelah tugas
kita membasmi orang-orang Perguruan Topeng Hitam usai,
aku akan mengurung diri beberapa waktu!"
"Untuk apa?" tanya Bong Mini dengan wajah terke-
jut. "Untuk mengekang nafsuku agar tidak liar!"
"Hi hi hi!" tawa Bong Mini kontan berderai ketika
mendengar ucapan Baladewa.
"Kenapa tertawa?" tanya Baladewa heran.
"Kenapa kau harus mengurung diri segala, Bala-
dewa?" tanya Bong Mini dengan nada bergurau. Sete-
lah tawanya benar-benar reda, ia kembali melanjutkan ucapannya. "Sebagai
manusia, kita memang diharus-kan untuk menguasai nafsu agar tidak liar. Tapi bu-
kan berarti harus mengekang dan menyiksa diri. Me-
ngekang nafsu dengan cara seperti itu ibarat api dalam sekam. Nafsu yang
berhasil kita kekang itu, suatu
waktu akan menyala lagi!"
Baladewa mengangguk-angguk, memahami kata-
kata kekasihnya.
"Menurutmu, bagaimana cara yang terbaik?"
"Kalau menurut pendapatku, menguasai nafsu lebih
baik dengan cara pengamatan diri yang sewajarnya
serta penuh kesadaran. Dengan cara begitu, mudah-
mudahan nafsu liar akan kehilangan kekuasaannya
dan berganti dengan keinginan yang menuntut kebai-
kan-kebaikan!" papar Bong Mini, memberi pendapat.
Dan pendapat itu telah ia jalankan ketika Baladewa
mencium bibirnya. Andai saja dia tidak cepat-cepat sa-
dar, tentu ia akan dikuasai oleh nafsu liarnya dan ter-jadilah perbuatan yang
menjijikkan. Baladewa mendengarkan pendapat Bong Mini pe-
nuh kekaguman. "Aku sangat bangga dan kagum dapat memilikimu,
Bong Mini," cetus Baladewa, mengemukakan kekagu-
mannya. "Selain pandai bersilat, kau pandai pula men-gisi hati manusia berbatin
lemah seperti aku!"
Mendapat pujian itu, Bong Mini hanya tersenyum
seraya berdiri. Sedangkan kedua matanya dipicingkan ke atas, menatap sinar
matahari yang bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
"Hari sudah semakin siang!" gumam Bong Mini,
mengingatkan kekasihnya. Karena keduanya sudah
begitu lama beristirahat di tempat itu. Sejak matahari berdiri sepenggalan di
ufuk timur. Baladewa terhenyak dari kegembiraannya. Dia lang-
sung ingat pada rencana mereka semula.
"Untung kau segera mengingatkan!" cetus Baladewa
seraya bangkit.
"Makanya, kalau lagi tugas jangan terlalu asyik de-
ngan nafsu!" gurau Bong Mini seraya tertawa renyah.
Baladewa hanya membalas gurauan Bong Mini de-
ngan senyum. Saat itu pikirannya sendiri tertuju pada rencana untuk membawa
Putri Bong Mini ke hadapan
Kidarga, Ketua Perguruan Topeng Hitam.
"Kau sudah siap melanjutkan rencana kita?" tanya
Baladewa. "Sejak tadi aku sudah siap!" balas Bong Mini, masih dengan sikap bercanda.
"Termasuk bila aku menyakitimu?"
"Maksudmu?" Bong Mini balik bertanya.
"Agar aku benar-benar dipercaya telah menangkap-
mu, aku harus menghentikan jalan darahmu!" kata
Baladewa. Bong Mini mengembangkan senyum.
"Lakukanlah!" kata Bong Mini. "Tapi gunakan ilmu
'Pembeku Tenaga' agar aku bisa memulihkannya sen-
diri lewat ilmu 'Pembangkit Tenaga'."
"Baiklah!" ucap Baladewa. Kemudian ia menempel-
kan telapak tangan kanannya ke punggung Bong Mini.
Sedangkan tangan kirinya merengkuh pinggang gadis
itu. Agar tubuh Bong Mini tidak jatuh ke tanah pada saat tenaganya membeku.
"Oh...!" Bong Mini mengeluh pendek ketika merasa-
kan tenaganya mulai membeku akibat serangan hawa
dingin yang keluar dari telapak tangan Baladewa. Kemudian tubuhnya perlahan-
lahan lemas sampai akhir-
nya tak dapat melakukan apa-apa lagi. Kecuali berkedip, mendengar dan berkata
dengan suara yang amat
lemah. Persis seperti orang yang meninggalkan pesan ketika hendak mati.
Setelah tubuh Bong Mini benar-benar dalam keada-
an lumpuh, Baladewa langsung merangkul tubuh mu-
ngil itu dengan cara menyandarkan kepala gadis itu di pundaknya. Setelah itu, ia
segera membawa Bong Mini menuju Perguruan Topeng Hitam. Ilmu peringan tubuhnya
yang hampir sempurna dikerahkan. Sehingga
tubuhnya melesat seperti angin.
*** Sementara itu, Pendekar Mata Dewa dan Pendekar
Teluk Naga telah sampai di pesisir Selat Malaka. Di sana mereka langsung bertemu
dengan Bongkap dan
pasukannya. Ketika melihat kedatangan enam pendekar yang
menyertai Bong Mini, Bongkap dan para pengikutnya
langsung terkejut. Mereka segera menghampiri.
"Apa yang terjadi dengan kalian" Kenapa tidak ber-
sama putriku?" tanya Bongkap dengan perasaan was-
was, khawatir terjadi sesuatu terhadap putrinya.
"Kami baru saja bertempur dengan pasukan Pergu-
ruan Topeng Hitam yang dipimpin oleh Baladewa, pu-
tra Prabu Jalatunda," lapor Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.
"Lalu bagaimana dengan putriku?" cecar Bongkap
yang sejak tadi merisaukan keadaan putrinya.
"Putri Bong Mini bersama Baladewa pergi menuju
Perguruan Topeng Hitam!" jelas Kao Cin Liong lagi.
"Jadi, putraku yang jadi pengkhianat itu berhasil
merobohkan Putri Bong Mini dan membawanya ke Per-
guruan Topeng Hitam?" celetuk Ningrum dengan wajah
terkejut bercampur geram.
Kao Cin Liong tersenyum melihat perubahan wajah
wanita itu. "Baladewa bukan seorang pengkhianat, Nyi Ning-
rum!" ujar Kao Cin Liong.
Ningrum, Bongkap, dan Prabu Jalatunda saling ber-
pandangan. Wajah ketiganya menunjukkan kebingu-
ngan. "Bicaralah yang benar!" bentak Bongkap agak ma-
rah. "Maafkan kami, Tuanku!" ucap Kao Cin Liong. "Se-
sungguhnya, Baladewa bersekutu dengan Perguruan
Topeng Hitam hanya siasat saja. Dengan cara begitu, ia bisa melihat para
pendekar tangguh yang bersekutu dengan perguruan itu!" lanjut Kao Cin Liong.
"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanya Ning-
rum. "Begitulah menurut pengakuan Baladewa!" sahut
Kao Cin Liong. Wajah Prabu Jalatunda dan Ningrum tampak ber-
seri-seri saat mendengar laporan bahwa anaknya tidak terlibat persekutuan dengan
Perguruan Topeng Hitam.
Malah kegeraman mereka sirna seketika. Berubah
menjadi rasa gembira.
"Apakah ada hal lain yang ingin kau laporkan?"
tanya Bongkap kepada Kao Cin Liong.
"Ada, Tuanku!" sahut Kao Cin Liong cepat.
"Katakanlah!"
"Baladewa dan Bong Mini berpesan agar semua pa-
sukan langsung menyerbu Bukit Setan!"
"Bagaimana mungkin" Prajurit Kerajaan Manchuria
akan tiba di sini besok pagi!" sergah Bongkap.
"Menurut Baladewa, musuh yang kita hadapi seka-
rang adalah Perguruan Topeng Hitam. Jadi yang harus kita serang terlebih dahulu
adalah Perguruan Topeng Hitam berikut pemimpinnya, Kidarga," kata Kao Cin
Liong menjelaskan.
Bongkap mengangguk-angguk sambil berpikir seje-
nak. "Kedatangan kita ke sana juga untuk menjaga ke-
mungkinan terbongkarnya rahasia Baladewa dan Bong
Mini. Dengan begitu kita bisa membantunya!" kata Kok Thai Ki menambahkan.
Bongkap kembali mengangguk-angguk, menyetujui
pendapat Baladewa dan putrinya. Saat itu juga, dia
bersama pasukannya segera bergerak menuju Bukit
Setan. *** 2 Matahari telah condong ke arah barat. Kabut yang
sejak siang tadi menyingkir karena terpaan sinar matahari, kini mulai turun
menutupi Bukit Setan. Bentuk pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit itu perlahan
menjadi samar. Dalam suasana alam yang mulai gelap itu, Bala-
dewa telah sampai di Perguruan Topeng Hitam. Sebuah perguruan luas yang berdiri
kokoh dengan penjagaan
ketat. Setelah empat penjaga membuka pintu gerbang, Ba-
ladewa langsung membawa Putri Bong Mini menuju
ruangan yang luasnya sekitar lima belas meter.
Ruangan yang dinding-dindingnya terbuat dari bilik
itu tampak begitu kumal, sumpek, dan seram seperti
menyimpan misteri. Hiasan-hiasan kepala manusia
terpampang di sana. Sedangkan di setiap sudut rua-
ngan mengepul asap pedupaan hingga menimbulkan
suasana tegang bagi mereka yang baru menginjakkan
kaki di ruangan itu. Itulah ruangan pribadi Ketua Perguruan Topeng Hitam.
Sedangkan pedupaan yang te-
rus mengepulkan asap itu merupakan syarat yang te-
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah disepakati antara Kidarga dengan iblis marakayangan yang selama ini telah
memberikan ilmu-ilmu ke-
saktian. "Inikah gadis yang selama ini melakukan pemberon-
takan terhadap Perguruan Topeng Hitam?" tanya Ki-
darga. Matanya terus mengawasi Bong Mini.
"Benar, Ketua!" sahut Baladewa. "Dia memang seo-
rang gadis berilmu tinggi. Seluruh pasukan yang kuperintahkan untuk mengepung
dia tewas. Dan dia baru
roboh saat aku menghadapinya!" lanjut Baladewa.
Kidarga mengangguk-angguk kagum pada Balade-
wa. "Tidak sia-sia aku memilihmu sebagai wakil keper-cayaanku!"
Baladewa tersenyum mendapat pujian itu.
Setelah bercakap-cakap dengan Baladewa, Kidarga
memalingkan pandangannya ke arah Bong Mini seraya
menyeringai. "Berlutut di depanku!" bentaknya.
Bong Mini diam. Hatinya tak tergerak sedikit pun
untuk mengikuti kehendak lelaki tua yang duduk po-
ngah di hadapannya. Malah hatinya mendadak panas.
Ingin diterjangnya lelaki itu dan menghantam wajah-
nya. Tapi karena ia sadar berada di tempat yang mem-bahayakan, maka keinginan
itu segera ditahannya. Ia harus berhati-hati dalam bertindak. Sekali saja
berbuat gegabah, maka jiwanya akan terancam. Termasuk
Baladewa yang berpura-pura menjadi sekutu Perguru-
an Topeng Hitam.
"Hm..., kau benar-benar seorang gadis yang keras
kepala!" kata Kidarga agak geram. Kemudian tangan-
nya mengambil sebatang tongkat yang bersandar di
lengan kursi sebelah kanan. Kemudian tongkat sepan-
jang satu setengah meter itu diayunkan ke kaki Bong Mini dengan keras.
Wut! Sambaran tongkat Kidarga yang cepat dan penuh
tenaga itu segera dielakkan Bong Mini dengan cara
mengangkat kedua kakinya. Serangan tongkat yang
menimbulkan desiran angin itu luput dari sasaran.
Kidarga terbelalak kagum melihat cara Bong Mini
mengelak serangannya secara tiba-tiba. "Pantas gadis ini mampu mengalahkan
pasukanku," begitu pikir Kidarga yang baru menyaksikan kepandaian Bong Mini
walau baru sekali gebrakan.
"Kau memang seorang gadis yang memiliki kepan-
daian tinggi. Tapi sayang, kepandaian itu kau pergunakan percuma!" kata Kidarga
sambil menarik kembali tongkatnya.
Bong Mini mengerutkan kening. Dia tidak paham
maksud ucapan Ketua Perguruan Topeng Hitam itu.
"Kau gunakan kepandaianmu itu untuk kepenti-
ngan rakyat. Tapi apa yang kau peroleh jika berhasil membela mereka" Dan apa
yang akan mereka perbuat
jika kau menderita kekalahan dan ditangkap seperti
sekarang ini" Apakah mereka akan menolong membe-
baskanmu?" lanjut Kidarga. Matanya tetap meman-
dang Bong Mini lekat-lekat.
Bong Mini masih diam. Ia ingin mendengar kelanju-
tan ucapan tokoh sesat di depannya itu.
"Andai saja sebelumnya kau tidak memberontak
dan membunuh orang-orangku, tentu kau akan men-
dapatkan jabatan atau kedudukan yang baik dariku!"
lanjut Kidarga. "Tapi sayang, kau telah banyak mem-
bunuh orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Aku ti-
dak bisa lagi mengampunimu. Termasuk orangtuamu
yang bernama Bongkap itu!"
Bong Mini menanggapi ucapan Kidarga itu dengan
senyum sinis. Kemudian ia menimpali, "Memang ada
beberapa hal yang mendorong seseorang untuk menja-
di pejuang. Salah satunya seperti yang kau sebutkan tadi. Berjuang untuk mencari
kedudukan dan kemu-liaan! Tapi perjuanganku bukan untuk itu. Aku ber-
juang untuk mengabdi kepada bangsa dan negara
tempatku berpijak. Tanpa menuntut imbalan apa-apa!"
tutur Bong Mini mantap.
"Walaupun ajalmu sudah dekat seperti sekarang
ini?" pancing Kidarga.
"Aku tidak takut pada kematian kalau memang Tu-
han menghendaki!" sahut Bong Mini gagah.
"Hua ha ha...!" Kidarga tertawa terbahak-bahak,
memecahkan kesunyian ruangan itu.
Bong Mini terkejut mendengar tawa Kidarga tadi.
Karena pada saat itu ia merasakan kedua kakinya bergetar, akibat tenaga dalam
'Tawa Geledek' yang dikerahkan Kidarga. Dengan begitu, ia semakin sadar ka-
lau Ketua Perguruan Topeng Hitam itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kalau
dibiarkan hidup, tentu dia akan mengancam ketenteraman penduduk negeri
Selat Malaka. "Kau tidak takut mati karena memang tidak ada pi-
lihan lain buatmu untuk hidup!" lanjut Kidarga seraya bangkit dari duduknya.
Lalu kakinya melangkah mendekati Putri Bong Mini.
"Tapi sebelum aku menghabisi nyawamu, ada sesu-
atu yang ingin kutanyakan padamu!" kata Kidarga de-
ngan mata mencorong pada Bong Mini yang berdiri se-
kitar satu meter darinya.
Bong Mini merasakan jantungnya berdebar-debar
hebat ketika Ketua Perguruan Topeng Hitam itu telah mendekati dirinya. Bukan
karena takut, melainkan
akibat pengaruh dari sepasang mata merah Kidarga
yang menyoroti kedua matanya. Meski dia juga tengah memandang tajam pada
Kidarga. "Benar-benar luar biasa kesaktian orangtua sesat ini," begitu kata hati
Bong Mini sambil mengerahkan ilmu 'Sinar Mata Malaikat' agar dapat menangkis
tatapan mata Kidarga
yang mengandung hawa panas.
Kidarga yang tadinya merasa bangga dapat melu-
luhkan sorotan mata Bong Mini menjadi terhenyak ka-
get. Karena ilmu 'Sepasang Mata Iblis' yang dikerahkannya tidak menimbulkan
akibat apa-apa terhadap
mata lawan. Sebaliknya, kedua matanya yang meman-
carkan panas itu berubah menjadi dingin seperti terkena tetesan air es.
"Bangsat! Ilmu gadis ini benar-benar luar biasa! Dia langsung mengetahui
serangan kedua mataku sekaligus menangkisnya!" geram Kidarga dalam hati. Menya-
dari kesaktian 'Mata Iblis'-nya dapat dikalahkan oleh ilmu 'Sinar Mata Malaikat'
milik Bong Mini, hatinya semakin geram. Dengan wajah bengis, ia bertanya kepada
Bong Mini. "Kaukah yang tempo hari berhadapan dengan istri-
ku, Nyi Genit?"
"Ya!" jawab Bong Mini singkat.
"Sekarang di mana istriku berada?" tanya Kidarga
lagi, makin geram.
"Istrimu yang binal itu mati bunuh diri di sebuah
jurang!" sahut Bong Mini tanpa rasa gentar sedikit
pun. Plakkk, plakkk!
Tangan kanan Kidarga mendarat di kedua pipi Bong
Mini yang tidak sempat mengelak. Darah segar lang-
sung keluar dari mulut mungil itu. Bersamaan itu pu-la, tubuh Bong Mini roboh
tanpa dapat bangkit lagi.
Kecuali matanya saja yang berkedip-kedip memandang
Kidarga penuh sinar kebencian. Saat melayangkan ta-
ngan kanannya itu, Kidarga memang langsung menge-
rahkan ilmu 'Tangan Iblis'. Sebuah ilmu pukulan yang langsung dapat melumpuhkan
tulang. Baladewa yang sejak tadi berdiri di samping Bong
Mini tersentak melihat gadisnya terjatuh lumpuh. Kemudian dengan wajah geram
serta sorot mata menya-
la-nyala, Baladewa memandang Kidarga.
"Kenapa Ketua melakukan kekerasan seperti ini?"
Kidarga memicingkan mata. Dipandangnya Bala-
dewa lekat. "Kau tidak suka?"
"Maaf, Ketua! Ketua telah mengangkat aku untuk
menjadi wakil Ketua. Segala peraturan di perguruan ini telah Ketua serahkan
padaku. Karena itu, kuminta
agar aku yang menghukum gadis ini tanpa campur
tangan Ketua!" kata Baladewa.
Hening. Kemudian Kidarga menghampiri Baladewa dua
langkah dengan mata yang tak lepas memandang Bala-
dewa. "Aku memang telah mengangkatmu sebagai wakil-
ku. Tapi bukan berarti kau mutlak memegang wewe-
nang itu. Terutama hal-hal yang penting seperti gadis ini. Aku yang langsung
menanganinya!" kata Kidarga.
Pelan namun bertenaga, sehingga terdengar berwiba-
wa. Baladewa kembali tersentak mendengar ucapan Ki-
darga. Tadinya ia mengira kalau hukuman untuk Bong
Mini diserahkan kepadanya. Tapi ketika ia mendengar kalau Kidarga sendiri yang
akan melaksanakan hukuman itu, hati Baladewa menjadi gusar. Dia khawatir tidak
mampu menyelamatkan jiwa kekasihnya.
"Masukkan gadis itu ke dalam tahanan! Aku akan
menghukumnya setelah orangtuanya yang bernama
Bongkap berhasil kita tangkap!" perintah Kidarga pada Baladewa. Sengaja dia
memerintah anak muda itu. Kidarga khawatir kalau prajurit lain membawanya, gadis
itu akan melepaskan totokan dan memberontak. Dia
berpikir, "Bisa saja totokan yang dikerahkannya dapat dipulihkan Bong Mini."
Hati Baladewa lega. Dengan demikian, ia mempu-
nyai waktu beberapa hari untuk melaksanakan ak-
sinya bersama Bong Mini.
Baladewa membawa tubuh Bong Mini yang masih
lemas itu menuju ruang tahanan. Diikuti pandangan
puas Kidarga. *** "Kau tidak apa-apa?" bisik Baladewa ketika hendak
memasuki kamar tahanan.
"Aku tidak apa-apa!" bisik Bong Mini lemah. "Aku
bisa memulihkannya sendiri!"
Hati Baladewa gembira mendengar jawaban Bong
Mini. Kemudian ia masuk ke dalam kamar tahanan
dan membaringkan tubuh Bong Mini di atas lantai beralas tikar. Pada saat itulah
muncul empat anak buah Perguruan Topeng Hitam. Mereka datang ke situ sete-
lah mendapat perintah dari Kidarga untuk menjaga kamar tahanan.
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Baladewa dengan
wajah kurang senang.
"Maaf! Kami hanya mendapat perintah dari ketua
untuk menjaga tahanan!" jawab salah seorang dari keempat orang itu.
Baladewa menghela napas. Tanpa banyak cakap la-
gi, ia meninggalkan ruang tahanan. Kini tinggal Bong Mini yang berada dalam
kamar tahanan yang dijaga
oleh empat anak buah Kidarga.
*** Malam semakin larut. Suasana sepi mencekam ka-
mar tahanan Bong Mini.
Putri Bong Mini yang masih terbaring di lantai beralas tikar itu, melirik ke
arah empat penjaga pintu. Di sana ia melihat keempat orang itu tengah duduk
bersandar di jeruji pintu kamar tahanan sambil sesekali melirik Bong Mini.
Bong Mini mengalihkan pandangannya kembali pa-
da langit-langit kamar tahanan. Ditariknya napas perlahan sebanyak tiga kali
sambil memejamkan mata.
Sedangkan pikiran dan hatinya terpusat pada kekua-
saan Tuhan. Dia sedang mencoba mengerahkan ilmu
'Pembangkit Tenaga'. Sebuah ilmu pemberian Kanjeng
Rahmat Suci untuk memulihkan tenaganya kembali
dengan cara meditasi dan memusatkan pikiran dan
hatinya kepada sang Pencipta.
Setelah beberapa saat melakukan semadi, ia mera-
sakan udara dingin yang datang entah dari mana me-
nyusup ke dalam tubuhnya. Selanjutnya, tubuh yang
semula terasa lemas, perlahan-lahan segar kembali.
Malah ujung-ujung jari kaki dan tangannya yang se-
mula mati, kini telah dapat digerakkan kembali.
Bong Mini tersenyum sambil membuka matanya
kembali. Lalu menoleh pada empat penjaga pintu yang masih duduk mengawasinya.
"Hm..., aku harus melakukan cara agar dapat ke-
luar dari kamar tahanan ini!" gumam hati Bong Mini.
Tiba-tiba ia memberikan senyum pada keempat penja-
ga yang kebetulan memandang ke arahnya.
Mendapat senyuman lembut dari gadis cantik itu,
keempat penjaga pintu itu senang bukan main. Mata
mereka yang semula mengantuk, berubah menjadi se-
gar kembali. Bong Mini semakin mengembangkan senyumnya
ketika keempat lelaki itu memandangnya dengan pe-
nuh nafsu birahi. Malah ditambah dengan kerlingan
matanya, membuat jantung mereka berdegup keras.
Lalu keempatnya saling berpandangan seperti meng-
adakan kesepakatan.
"Bagaimana?" tanya Ocit yang berhidung mancung
dan memiliki nafsu birahi tinggi.
"Aku tidak berani!" sahut Baung yang memiliki ma-
ta seperti mengantuk sambil menggelengkan kepala-
nya. "Kenapa?" tanya Ocit.
"Aku khawatir dia menjebak kita," sahut Baung.
"Benar. Kalau kita sampai terjebak dan dia melari-
kan diri, kita berempat akan dihukum mati!" sela Idal, menambahkan.
"Kalian jangan khawatir! Tenaga gadis itu sudah di-
lumpuhkan oleh pemimpin kita. Dia tidak mungkin bi-
sa melarikan diri!" kilah Ocit penuh semangat.
"Benarkah?" tanya ketiga temannya serentak.
Ocit mengangguk meyakinkan.
"Kalau begitu, mari kita sama-sama nikmati tubuh
gadis cantik itu!" kata Baung yang nafsu birahinya
mulai menggebu-gebu. Kemudian ia segera membuka
gembok pintu jeruji besi. Setelah terbuka, dia mengajak masuk ketiga temannya
dan mendekati Bong Mini.
Merasa pancingannya mengena, Bong Mini bersiap-
siap untuk menyambut kedatangan keempat penjaga
pintu tahanan itu. Dengan bibir yang masih terse-
nyum, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Seolah-olah menantang dalam kepasrahan.
Keempat lelaki itu segera mendekati Bong Mini. Dua
di sebelah kanan dan dua orang lagi sebelah kiri. Ketika mereka membungkuk
hendak menyentuh tubuh
gadis yang dikelilingi, tiba-tiba kedua tangan Bong Mini mencengkeram kepala dua
lelaki yang membungkuk di dekat wajahnya. Sedangkan kedua kakinya di-
hentakkan ke kepala dua lelaki yang membungkuk di
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat lututnya.
"Hihhh!"
Dukkk! "Aaakh! Aaakh"
"Aaakh! Aaakh"
Keempat lelaki itu terpekik tertahan manakala wa-
jah mereka mencium lantai dengan keras. Saat itu juga darah mengalir dari hidung
dan mulut mereka. Belum
sempat keempatnya bangkit, Bong Mini menotok leher
mereka lewat ilmu 'Pembeku Tenaga'.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Keempat lelaki penjaga pintu kamar tahanan itu
langsung roboh tanpa dapat berkutik lagi. Hanya mata mereka saja yang berkedip-
kedip. Bong Mini berdiri tegak sambil tersenyum meman-
dangi keempat penjaga pintu kamar tahanan yang ter-
baring tanpa daya.
"Tidurlah kalian di sini biar nyenyak!" ejek Bong
Mini. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan
ruang tahanan itu. Lalu terus menyusuri lorong menu-
ju ruang depan.
Ketika ia hendak keluar pintu lorong tahanan itu,
Bong Mini melihat empat penjaga pintu berbaju koko dan bercelana pangsi hitam-
hitam sedang berjalan mondar-mandir, lengkap dengan senjata masing-masing.
Bong Mini tercenung beberapa saat, memikirkan
bagaimana cara keluar pintu lorong itu. Untuk bisa keluar, ia harus berhadapan
langsung dengan keempat
penjaga pintu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya
Bong Mini memutuskan untuk melakukan penyera-
ngan terhadap empat penjaga pintu lorong itu.
"Hiaaat!"
Bong Mini melompat ke depan sambil mengerahkan
tendangan lurus ke arah dua orang yang sedang berjalan mondar-mandir itu.
Dukkk! Dukkk! Tendangan kaki Bong Mini yang begitu keras lang-
sung mendarat di punggung dan leher dua penjaga
pintu lorong. Membuat kedua orang yang tidak menge-
tahui serangan mendadak itu langsung terhuyung dan
jatuh ke lantai. Sedangkan dua temannya yang lain
langsung bergerak menyerang Bong Mini.
Wut! Wut! Dua pukulan tangan dari arah kanan dan kirinya
menyambar leher dan perut Bong Mini dengan cepat.
Bong Mini menangkap tangan lawan yang memukul
lehernya dengan tangan kiri. Sedangkan kaki kanan-
nya digunakan untuk menendang satu lawan lain yang
berada di depannya.
Plakkk! Dukkk! Tendangan cepat Bong Mini langsung mengenai wa-
jah lawan di depannya, hingga lelaki itu terjungkal ke belakang. Sedangkan
tangan kanan lawan yang lain
berhasil ditangkap oleh tangan kiri Bong Mini dan
langsung dihentakkan sedikit ke dekatnya. Disusul
kemudian oleh pukulan tangan kanan yang bergerak
cepat ke dada lawan. Membuat lawan terhuyung de-
ngan tangan mendekap dadanya yang terasa sakit dan
sesak. Belum sempat mereka menarik napas, dua jari
Bong Mini yang telah dialiri ilmu 'Pembeku Tenaga'
mendarat di punggung keduanya.
Tuk! Tuk! Dua penjaga pintu lorong itu ambruk seketika saat
dua jari Bong Mini mengenai punggung mereka.
Sementara itu, dua penjaga pintu lorong yang per-
tama kali terkena tendangan Bong Mini telah bangkit kembali. Kini mereka
mengeroyok gadis bertubuh mungil itu dengan golok masing-masing. Kemudian de-
ngan nafsu yang memburu, kedua orang itu menerjang
Bong Mini seraya menyambar-nyambarkan golok.
Wut! Wut! Dua golok lawan menyambar bagian leher dan. pe-
rut gadis itu. Namun dengan mudah Bong Mini memi-
ringkan kepalanya sedikit ke belakang. Sedangkan tangan kirinya menangkap tangan
kanan lawan yang
akan membacok lehernya.
"Hep!"
Crokkk! "Aaakh!"
Bong Mini menarik lengan seorang lawannya yang
berhasil ditangkap ke depan tubuhnya. Ketika lawan
yang lain menyabetkan golok ke perut Bong Mini, senjata itu justru memangsa
temannya sendiri hingga perutnya menganga lebar disertai simbahan darah dan
buraian isi perutnya keluar. Orang itu terpekik, lalu roboh tanpa nyawa.
Melihat temannya roboh oleh sabetan goloknya sen-
diri, lelaki penjaga pintu lorong itu semakin geram. Dia menerjang dan
menyambar-nyambarkan goloknya ke
arah Bong Mini dengan membabi buta.
Sing sing Singngng!
Dengan cepat golok lawan menyerang gadis itu. Te-
tapi dengan cepat pula tubuh Bong Mini melompat
menghindar. Ketika turun, kedua kakinya menjulur lurus ke arah lawan yang belum
siap membalikkan tu-
buhnya. Bukkk! Krekkk! "Aaakh!"
Kedua kaki Bong Mini mendarat keras di leher la-
wan hingga tubuhnya jatuh tengkurap. Sebelum sem-
pat bangun, Bong Mini telah menjejakkan kakinya
kembali ke leher lawannya hingga tewas.
Setelah semua penjaga pintu lorong tewas, Bong
Mini segera meninggalkan tempat itu untuk mencari
Baladewa. *** Pada waktu yang bersamaan, Baladewa pun kemba-
li melakukan aksi seperti yang pernah dilakukannya
beberapa hari lalu, yaitu melakukan pembunuhan ter-
hadap para pendekar tangguh yang bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam. Namun kali ini, Baladewa
hendak langsung membunuh Kidarga yang berada di
kamarnya. Baladewa berjalan mengendap-endap menuju ka-
mar Kidarga. Namun lima puluh meter dari kamar Ki-
darga, enam anak buah Perguruan Topeng Hitam te-
ngah berjaga di pintu lorong kamar. Sedangkan dua di antara mereka tampak
tertidur pulas.
Baladewa merubah sikap dengan jalan seperti biasa,
tanpa mengendap-endap.
"Wah, tampaknya Anda belum tidur, Wakil Ketua!"
sapa seorang penjaga pintu lorong kamar Kidarga ke-
tika melihat kedatangan Baladewa.
"Aku sendiri heran! Malam ini kedua mataku benar-
benar tidak bisa dipejamkan!" sahut Baladewa, penuh keramahan.
"Mungkin hati dan pikiran Anda belum tenang!" ka-
ta Iyong. "Begitulah! Aku selalu memikirkan gadis tawanan
itu!" "Apakah Anda tertarik dengan kecantikannya?" ta-
nya Iyong menggoda.
Baladewa tersenyum.
"Sebagaimana perasaan lelaki lain yang melihat ke-
cantikan wanita, tentu aku pun mengalami perasaan
itu. Tapi yang kupikirkan justru bukan kecantikannya, melainkan kepandaiannya.
Aku khawatir dia mampu
keluar dari tahanan itu!" kata Baladewa.
"Bukankah di sana sudah ada delapan penjaga?" ta-
nya Iyong. "Memang! Tapi aku tetap khawatir. Maklumlah!
Yang namanya wanita selalu punya banyak cara untuk
meloloskan diri dari sarang macan. Apalagi dia memiliki wajah cantik!"
"Maksud Anda, tawanan wanita itu akan memper-
gunakan kecantikannya untuk menggoda para penja-
ga?" "Kenapa tidak?"
Empat penjaga pintu lorong yang bercakap-cakap de-
ngan Baladewa tampak mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku akan melihat tawanan itu sebentar. Tapi aku
minta, dua di antara kalian menyertaiku ke sana!" kata Baladewa.
"Kalau begitu, biar aku dan Gingsul yang menyertai
Anda ke sana!" ujar Iyong yang memang ingin sekali
melihat kecantikan Putri Bong Mini.
"Baik. Ayo kita ke sana!" ajak Baladewa sambil me-
langkah menuju ruang tahanan bersama Iyong dan
Gingsul. Namun sebelum sampai di tempat tujuan, ti-
ba-tiba kedua tangan Baladewa yang sudah dialiri ilmu
'Pembeku Tenaga' segera didaratkan di punggung
Iyong dan Gingsul yang berjalan di samping kiri dan kanannya. Dalam sekejap,
kedua orang itu roboh di
lantai. Setelah itu, ia pun kembali melangkah tenang menuju tempat semula.
"Hei, cepat sekali Anda kembali!" tegur Maing ketika melihat Baladewa kembali.
"Biarlah Iyong dan Gingsul yang melihat tawanan
wanita itu," kata Baladewa dengan sikap wajar. Namun ketika sudah dekat dengan
kedua orang itu, tangannya langsung mencengkeram leher mereka dengan keras.
"Aaakh...! Aaakh...!"
Kedua orang itu mengeluarkan suara tertahan sam-
bil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Bala-
dewa. Tapi usaha itu sia-sia belaka. Karena kedua tangan Baladewa telah dialiri
ilmu 'Pembeku Tenaga'.
Seketika itu juga tenaga mereka membeku dan lang-
sung tewas akibat cekikan tangan Baladewa yang de-
mikian keras. Pada saat itu, dua penjaga pintu lorong kamar yang
tadi tertidur, kini telah terbangun. Mereka langsung terperanjat ketika melihat
dua temannya mati di tangan Baladewa.
"Pembunuh!" seru kedua orang itu bersamaan.
Mendengar suara itu, Baladewa langsung melesat
keluar ruangan. Sedangkan kedua orang tadi menyu-
sul mengejarnya.
"Tangkap dia! Dia pembunuh!" teriak kedua orang itu ketika Baladewa telah sampai
di dekat pintu gerbang.
Empat penjaga pintu gerbang luar segera berlonca-
tan mengepung Baladewa.
"Bangsat! Ternyata kau musuh dalam selimut!" de-
ngus seorang penjaga pintu gerbang. Tanpa menunggu
lebih lama lagi, mereka langsung menerjang Baladewa
dengan pedang di tangannya masing-masing.
Mendapat serangan yang datang dari berbagai arah,
Baladewa langsung mencabut pedangnya untuk me-
layani gempuran lawan.
Trang trang trangngng!
Serangan pedang lawan yang tertangkis oleh pedang
Baladewa menimbulkan pijaran api yang sangat te-
rang. Disusul dengan berloncatannya enam lawan ke
belakang karena merasakan tangannya ngilu dan perih saat senjata mereka beradu
dengan pedang Baladewa.
Tidak lama kemudian mereka kembali menyerangnya
dengan buas. Enam pedang yang menyerang tubuh
Baladewa menjadi terlihat banyak ketika serangan mereka bertambah gencar dan
cepat. Trang trang trangngng!
Walaupun Baladewa mampu menangkis semua se-
rangan lawan, namun untuk serangan berikutnya ia
lebih baik bersalto ke belakang dan bergulingan. Karena serangan keenam orang
yang menjadi lawannya
itu begitu cepat dan penuh tenaga.
Ketika bangkit kembali, ia langsung mengerahkan
ilmu 'Angin Badai Menghempas'.
Wesss! Serangan ilmu 'Angin Badai Menghembus' yang di-
kerahkan Baladewa bukan main dahsyatnya. Sehingga
dua penyerangnya terpelanting ke belakang saat ter-
kena hembusan angin dari kedua telapak tangan Bala-
dewa. Bukkk! Bukkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua orang yang terpelanting itu terpekik tertahan
saat tubuh mereka membentur keras tembok benteng.
Saat itu juga keduanya tewas dengan kepala pecah.
Melihat mereka mati dengan kepala pecah, tiga te-
mannya semakin geram menyerang Baladewa. Sedang-
kan seorang lagi berlari ke dalam untuk memukul kentongan sebagai tanda bahaya.
"Banguuun! Banguuun! Ada pembunuhan!" teriak
orang itu sambil memukul kentongannya.
Baladewa tersentak mendengar teriakan dan bunyi
kentongan itu. Dia harus menyelesaikan pertarungan
itu secepat mungkin agar dapat menyelinap ke kamar
tahanan dan membebaskan Bong Mini. Tidak mungkin
ia melanjutkan siasatnya lagi setelah kedoknya di perguruan itu terbongkar
akibat tindakan cerobohnya
sendiri. "Hiaaat!"
Tiba-tiba Baladewa meneriakkan lengkingan tinggi
disertai lompatan tubuhnya yang mencapai ketinggian tiga meter. Sedangkan kedua
tangannya merentang lebar seperti sayap burung. Itulah jurus 'Burung Camar
Terbang di Awan', membuat tubuhnya dapat melayang
di udara seperti burung.
Melihat tubuh lawannya melompat indah di atas
kepala, tiga lawannya segera membuat posisi segitiga disertai serangan ke arah
kedua kaki Baladewa yang
mulai melayang turun.
"Aaakh!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Belum sempat mereka melakukan gerakan menye-
rang ke arah Baladewa yang masih berada di atas ke-
pala mereka, tiba-tiba ketiga orang itu menjerit tinggi akibat luka sayatan di
perut dan leher mereka.
Ternyata Putri Bong Mini yang melakukan serangan
mendadak itu. Dia langsung lari ke tempat tersebut setelah mendengar bunyi
kentongan yang dipukul seo-
rang penjaga gerbang.
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan
bertempur di luar agar tidak terdesak!" seru Bong Mini kepada Baladewa sambil
terus melesat keluar, melewa-ti benteng setinggi lima meter.
Baladewa yang masih terheran-heran melihat Bong
Mini mampu keluar dari kamar tahanan segera mele-
sat mengikuti saran Bong Mini.
Bersamaan dengan menghilangnya sepasang pen-
dekar muda itu, Kidarga dan puluhan pendekar lain
terbangun. Mereka segera menghampiri Gembil, orang
yang tadi memukul kentongan.
"Ada apa, Gembil?" tanya Kidarga berang. Wajahnya
menyimpan kemarahan karena merasa tidurnya ter-
ganggu. "Ada mata-mata yang masuk ke perguruan ini dan
melakukan pembunuhan!" lapor Gembil gugup.
"Bangsat!" geram Kidarga dengan gigi bergemeletuk.
Kemudian matanya menyebar pada para pendekar
yang hadir di sekitarnya. "Mana Baladewa?" lanjutnya ketika matanya tidak
melihat Baladewa.
"Dia menghilang, Ketua! Dialah yang melakukan
pembunuhan terhadap para pengawal itu!" kata Gem-
bil menjelaskan.
Mendengar keterangan itu, Kidarga semakin murka.
Dia berdiri tegang dengan mata memandang dua
mayat yang tergeletak di depan pintu kamarnya.
"Jahanam! Jadi dia yang selama ini melakukan
pembunuhan di tempat ini!" geram Kidarga. Kemudian
pandangannya beralih pada para pendekar yang berdi-
ri di sekelilingnya.
"Tangkap Baladewa hidup atau mati dan jaga ketat
tawanan wanita bernama Bong Mini!" perintah Kidar-
ga. Puluhan pendekar serentak melesat ke segenap
penjuru ruangan. Sedangkan sebagian lain bergerak
menuju ruang tahanan.
*** 3 Kidarga berdiri tegang. Urat-urat di keningnya me-
nonjol. Giginya bergemeletuk ketika melihat kamar ta-wanannya diisi oleh empat
penjaga yang tidak berdaya oleh totokan Putri Bong Mini. Sedangkan Putri Bong
Mini sendiri sudah hilang dari kamar tahanan itu.
"Itulah akibatnya kalau kalian mudah tergoda oleh
wanita cantik!" hardik Kidarga dengan geram. Kemu-
dian keempat penjaga yang tidak mampu bergerak itu
diinjaknya dengan keras, tepat pada lehernya. Dalam sekejap, keempat penjaga
kamar tahanan itu tewas dengan mata membelalak lebar. Sedangkan lidah keem-
patnya menjulur seperti tercekik.
Beberapa orang anak buahnya yang berada di seki-
tar ruangan itu tampak bergidik melihat kematian keempat temannya.
"Mereka mati akibat perbuatan ceroboh mereka sen-
diri!" kata Kidarga sambil terus memandangi seorang anak buahnya yang masih
dalam injakan kakinya.
Hening. Para pendekar yang berada di situ tampak berdiri
tegang tanpa berani memandang Kidarga, seperti me-
nunggu perintah selanjutnya.
"Tunggu apa lagi kalian?" tanya Kidarga, dingin dan datar. "Wanita tawanan itu
pasti pergi bersama Baladewa!"
Tanpa menunggu perintah Kidarga selanjutnya, pa-
ra pendekar itu terus menghambur keluar untuk men-
cari Baladewa dan Putri Bong Mini.
Ketika Baladewa dan Bong Mini sampai di luar, me-
reka langsung disambut oleh Prabu Jalatunda, Ning-
rum, Bongkap, dan para pendekar lain.
"Putraku!" sambut Ningrum seraya merentangkan
kedua tangannya. Lalu dipeluknya Baladewa erat-erat, penuh kerinduan. Sedangkan
Bong Mini mendapat pelukan dari papanya. Disaksikan oleh para pendekar
lainnya. Mereka yang baru melihat rupa Baladewa terkagum-kagum memandang
penampilan pemuda gagah
itu. "Rencana kalian telah gagal rupanya!" duga Bongkap sambil memandang Bong
Mini dan Baladewa ber-
gantian. "Ya. Aku sempat ketahuan oleh seorang penjaga ke-
tika hendak memasuki kamar Kidarga," sahut Bala-
dewa. "Dan sekarang, mereka sedang mengejar kami!"
lanjutnya. Baru saja Baladewa selesai berkata, tiba-tiba para
pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng
Hitam berhamburan dari pintu gerbang.
Bongkap yang sempat menyaksikan pasukan Kidar-
ga, langsung memberikan komando kepada pengikut-
nya. "Serbuuu...!"
Para pendekar yang berada di pihak Bongkap seren-
tak menyerang sekutu Perguruan Topeng Hitam yang
tampak simpang-siur mengatur posisi ketika mende-
ngar teriakan Bongkap. Seketika itu juga, suasana malam di Bukit Setan yang
biasanya sepi dan angker berubah menjadi hingar-bingar.
"Hiaaat!"
Trang trang trangngng!
Pekik kematian serta dentang senjata berbaur men-
jadi satu, memecahkan keheningan.
Para pengikut Bongkap tampak mati-matian mela-
kukan tangkisan dan serangan pengikut Perguruan To-
peng Hitam. Begitu pula dengan Baladewa yang tengah
berhadapan dengan tiga pendekar yang menamakan
diri Tiga Pendekar Naga Biru. Mereka adalah para pendekar muda yang usianya
sekitar tiga puluh tahun.
Datang dari negeri Manchuria sebagai utusan Kaisar
Thiang Tok. Sama halnya dengan Putri Bong Mini. Dia sedang
berhadapan dengan tiga lelaki berkepala botak yang
tergabung dalam perkumpulan Tiga Siluman Ular Be-
lang. Mereka berumur tiga puluh tahun dan berasal
dari negeri Manchuria, salah satu perkumpulan yang
menjadi andalan Kidarga untuk membantu Perguruan
Topeng Hitam. Sebab mereka adalah para pendekar
yang paling tinggi kepandaiannya di antara pendekar-pendekar lain. Selain itu
mereka juga terkenal buas dan sadis.
"Mampuslah kau!" bentak Sim Lie King, seorang da-
ri Tiga Siluman Ular Belang sambil melakukan gerakan melompat dan menerkam
seperti seekor serigala menerkam mangsa. Tangan kirinya mencengkeram ke ha-
ti lawan, sedangkan tangan kanannya yang terkem-
bang melakukan gerakan membacok ke dada kiri. Itu-
lah jurus 'Cakar Serigala Lapar'.
Plak! Desss! Bong Mini cepat menangkis serangan maut itu de-
ngan kedua tangannya yang sudah dialiri ilmu 'Tenaga Besi'. Membuat tubuh Sim
Lie King terdorong dan terhuyung-huyung ke belakang.
Sim Lie King terkejut. Dia tidak mengira kalau gadis bertubuh mungil yang
dihadapinya itu berhasil menangkis serangannya. Bahkan membuatnya terdorong.
Kini dia tahu kenapa gadis bertubuh mungil dan ma-
sih hijau itu menjadi musuh terberat bagi Perguruan Topeng Hitam, khususnya
Kidarga. Rupanya dia memang memiliki kepandaian ilmu silat yang luar biasa.
Menyadari kalau lawannya berilmu tinggi, Sim Lie
King cepat menarik pedang dan memainkannya.
Sing sing singngng!
Pedang yang dimainkan Sim Lie King dengan jurus
'Pedang Iblis Mata Biru' berdesing keras. Kemudian
putaran pedang yang menimbulkan desingan itu ber-
ubah menjadi gulungan sinar biru. Sedangkan desi-
ngan tadi semakin keras terdengar.
Sambil memutar-mutarkan pedangnya, Sim Lie
King melakukan serangan dengan pukulan-pukulan
tangan kiri yang terkembang. Pukulan-pukulan tangan kirinya bukan pukulan
sembarangan. Tapi sebuah pukulan yang sudah dialiri tenaga dalam 'Angin Setan'.
Ilmu yang menyebabkan hawa panas yang amat kuat
setiap kali tangannya bergerak memukul.
Wut wut wuttt! Setiap pukulan tangan kiri atau sabetan pedang bi-
ru Sim Lie King selalu memapas angin. Karena setiap kali serangannya menghujam,
tiap kali pula gadis yang menjadi lawannya berkelit lincah.
"Bangsat!" gerutu Sim Lie King geram ketika menya-
dari serangannya selalu gagal. Dengan penuh nafsu
serta napas terengah-engah, ia kembali menyerang
Bong Mini. Wut! Plakkk! Desss! Pedang yang menyambar gadis bertubuh mungil itu
terhenti saat tangan Bong Mini yang sudah dialiri ilmu
'Tenaga Besi' berhasil memukul lengan lawan, hingga pedang di genggaman Sim Lie
King terlepas dan jatuh ke atas tanah.
Melihat Sim Lie King kewalahan menghadapi gadis
berumur dua puluh tahun itu, kedua temannya yang
sejak tadi hanya menyaksikan pertempuran segera da-
tang membantu. Diserangnya Bong Mini dengan pe-
dang di tangannya masing-masing.
"Heiiit!"
Sing sing singngng!
Pedang Chiang Su Kiat segera menyambar ke leher
Bong Mini disertai lengkingan tinggi. Sedangkan pe-
dang Ji Sun Bi menyambarnya pula ke perutnya.
"Huppp!"
Bong Mini melakukan gerakan melompat ke bela-
kang sejauh empat tombak. Namun tanpa disadari,
Sim Lie King melakukan serangan dari belakang lewat pedang biru yang tadi
terlepas. Desss! Bong Mini membalikkan badan dan langsung me-
nangkis tangan Sim Lie King. Sehingga pedang biru itu terpental jauh dan lenyap
ke dalam semak-semak.
"Heiiit!"
Chiang Su Kiat kembali meloncat ke depan seperti
seekor burung elang terbang menyambar mangsa di-
sertai sinar pedang yang bergulung-gulung.
Wut wut wut! Bong Mini mengelakkan serangan pedang itu. Dilan-
jutkan dengan serangan tangan kirinya yang menotok
pergelangan tangan kanan Chiang Su Kiat.
"Eittt!"
Chiang Su Kiat kembali menarik pedangnya ketika
mengetahui serangan tangan Bong Mini yang hendak
menotok pergelangan tangannya. Setelah itu ia pun
melanjutkan serangan bertubi-tubinya kembali dengan jurus 'Pedang Halilintar'.
Pedang di tangannya itu bergerak luar biasa dan mengeluarkan hawa panas yang
menyusupi tubuh lawan walaupun jarak antara tubuh
lawan dengan pedang Chiang Su Kiat masih berjarak
cukup jauh. Menghadapi serangan yang demikian gencar dan
dahsyat, Bong Mini tidak berani lagi melawannya de-
ngan tangan kosong. Dicabutnya Pedang Teratai Merah
yang sejak tadi tersandang di punggungnya.
Sreset! Sing sing sing!
Sinar merah berbentuk bunga teratai memancar te-
rang ketika pedang itu ditarik dari sarungnya. Suasana gelap di sekitar bukit
itu berubah menjadi terang karena cahaya Pedang Teratai Merah.
Tiga Pendekar Siluman Ular Belang terperangah ke-
tika melihat sinar merah dari pedang Bong Mini. Sinar berbentuk bunga teratai
merah yang tak pernah dimiliki oleh para pendekar mana pun. Keterkejutan juga
melanda para pendekar dan anak buah Perguruan Topeng Hitam yang lain. Mereka
tersentak ketika menda-pati sinar merah menerangi sekitar tempat pertempu-
ran. Keterkejutan itu berubah menjadi kekaguman ke-
tika mengetahui sinar merah berbentuk bunga teratai itu datang dari pedang Putri
Bong Mini. Keterkejutan dan rasa kagum para sekutu Pergu-
ruan Topeng Hitam itu dimanfaatkan pasukan Bong-
kap untuk melakukan serangan gencar kepada lawan
yang memang berjumlah lebih banyak. Sehingga ba-
nyak di antara sekutu Perguruan Topeng Hitam yang
tewas. "Hiaaat!"
Trang trang trang!
Serangan pedang yang dilancarkan Chiang Su Kiat
segera ditangkis Bong Mini dengan pedangnya. Karena kerasnya benturan dua
senjata tersebut, pedang Chiang Su Kiat terbagi dua. Bahkan pedang yang tinggal
sepotong itu terlepas pula dari gagangnya.
Chiang Su Kiat terkejut. Sebelum ia melakukan ge-
rakan menghindar, tiba-tiba pedang Bong Mini me-
nyambar kepalanya dengan gerakan membacok.
Crokkk! "Aaakh!"
Kepala Chiang Su Kiat terbelah dua dan bergan-
tung-gantung di lehernya. Selanjutnya, tubuh yang
berdiri limbung itu ambruk tanpa dapat berkutik lagi.
Melihat Chiang Su Kiat mati, kedua temannya lang-
sung menerjang Bong Mini dengan ganas.
Wut wut! Dua pedang lawan menyambar-nyambar di sekitar
tubuh Bong Mini dengan dahsyat. Namun dengan ce-
pat pula Bong Mini menghindar. Tubuhnya melompat
di atas kepala lawan sambil mengerahkan ilmu 'Pedang Samber Nyawa' yang
diperoleh dari Bongkap ketika ia berusia sebelas tahun. Ketika melompat,
tubuhnya berputar cepat seperti gangsing. Dan saat melayang turun, pedangnya telah
menyambar bahu kanan Sim Lie
King. Crokkk! Bret! Pedang Bong Mini membelah bahu Sim Lie King
sampai sebatas pusar. Membuat Sim Lie King terpekik.
"Aaakh!"
Pedang di genggaman Sim Lie King terlepas ke ta-
nah. Sedangkan tubuhnya sendiri ambruk berman-
dikan darah. Itulah salah satu kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam Pedang
Teratai Merah. Walaupun
Bong Mini membabat tubuh lawannya hanya sekali, te-
tapi pedang itu mampu bergerak sendiri dan merobek
perut lawan tanpa ampun. Dengan begitu, setiap lawan yang tersentuh pedang Bong
Mini tidak akan mungkin
dapat hidup. Mereka akan mati dengan tubuh menge-
rikan seperti yang dialami oleh Chiang Su Kiat dan Sim Lie King.
Ji Sun Bi terkejut melihat dua saudara sepergu-
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruannya tewas dalam keadaan yang mengerikan. Ke-
mudian matanya memandang Bong Mini dengan pera-
saan gentar. "Kalau Chiang Su Kiat sebagai pemimpin kami mudah dirobohkan,
bagaimana pula dengan diriku yang hanya melawan seorang diri?" begitu pikirnya.
Tapi karena ia berpikir pula kalau nyawa kedua sauda-ra seperguruannya harus
ditebus, maka Ji Sun Bi pun segera mengusir rasa gentarnya dengan mengeluarkan
lengkingan tinggi berbareng terjangan ke arah Bong
Mini dengan pedang di tangan kanannya.
"Hiaaat!"
Sing sing sing!
Pedang Ji Sun Bi berkelebat cepat mengarah pada
bagian mematikan di tubuh Bong Mini. Sedangkan pa-
da setiap gerakan pedangnya selalu terkandung tenaga dalam yang amat dahsyat,
yang disebut jurus 'Pedang Sinar Matahari'. Kehebatan jurus itu membuat setiap
gerakan pedangnya menimbulkan hawa panas yang
amat sangat. Dan kalau saja bukan Bong Mini yang
menjadi lawannya, tentu dalam waktu singkat dapat
dirobohkan. Namun yang dihadapi kini adalah seorang pendekar wanita muda yang
mempunyai kepandaian
silat serta kesaktian yang luar biasa. Bagaimanapun dahsyatnya serangan Ji Sun
Bi, tetap tidak bisa men-jamah tubuh lawan.
Wut wut wut! Pedang Ji Sun Bi kembali menyambar leher Bong
Mini dalam kecepatan amat tinggi. Tapi dengan cepat Bong Mini melompat ke
belakang untuk mengelak.
Kemudian ia memutar pedang teratai merahnya, se-
hingga terdengarlah lengkingan tinggi. Ketika Ji Sun Bi memutar pedangnya
kembali untuk menyambar leher
Bong Mini, gadis itu melakukan tangkisan dari sam-
ping. Trangngng! Dua pedang yang berlainan arah itu bertemu. Ke-
duanya terdorong mundur dua tindak. Namun dengan
cepat Ji Sun Bi kembali melakukan serangan dengan
penuh nafsu. "Hiaaat!"
Sing sing sing!
Pedang Ji Sun Bi mendadak lenyap. Berganti de-
ngan gulungan sinar perak yang menyelimuti tubuh-
nya. Dan bagai roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju
ke arah Putri Bong Mini, disertai desingan keras memekakkan telinga. Angin
yang ditimbulkan gulungan sinar pedang itu pun me-
nyambar-nyambar tubuh Putri Bong Mini, walaupun
jarak antara mereka masih sekitar tiga meter. Inilah jurus 'Pedang Samber Nyawa'
yang hampir sempurna.
Bong Mini tampak begitu hati-hati menghadapi se-
rangan kali ini. Ia amat tahu bagaimana kedahsyatan jurus pedang tersebut.
Karena ia sendiri memiliki jurus
'Pedang Samber Nyawa' dari papanya sejak berumur
sebelas tahun. Sehingga ketika Ji Sun Bi mengelua-
rkan jurus itu pada taraf yang hampir mencapai ke-
sempurnaan, Bong Mini segera menggunakan ilmu
'Halimun Sakti'.
Sing sing sing!
'Pedang Samber Nyawa' yang mengarah kepada
Bong Mini berhasil dielakkan dengan baik dengan ilmu
'Halimun Sakti'-nya. Karena sesungguhnya yang dise-
rang oleh Ji Sun Bi itu hanyalah bayangan Bong Mini belaka. Sedangkan Bong Mini
sendiri sudah mengelak
dan berada di belakang Ji Sun Bi. Bahkan ketika mengelak, ia sempat pula
membalas serangan lawan. Se-
hingga menciptakan perkelahian yang sangat hebat
sekali. Daun pepohonan, dan pasir berhamburan. Se-
dangkan debu mengepul di sekitar tempat pertempu-
ran. Singngng...! Wesss!
Sambaran angin yang berputar-putar itu terkadang
terdengar mendesing dan terkadang mengaung. Suara-
nya amat memekakkan telinga. Bukan saja bagi mere-
ka berdua, tetapi juga mempengaruhi pendekar-pende-
kar lain yang bertarung di sekitar tempat itu. Banyak di antara mereka yang
menghentikan serangannya karena tersapu kepulan angin dan debu yang menghala-
ngi pandangan. Setelah itu, para pendekar yang bergabung dengan
Bong Mini kembali melanjutkan pertarungannya de-
ngan pasukan Perguruan Topeng Hitam setelah bebe-
rapa saat terhenti karena terhalang kepulan debu. Pa-da kelanjutan pertempuran
itu, ternyata pasukan di
pihak Bong Mini lebih banyak menewaskan lawan.
"Hiaaat!"
Trang trang trang!
Ji Sun Bi tiba-tiba memekik tinggi disertai serangan pedangnya ke muka lawan.
Namun dengan cepat pula
Bong Mini menarik mukanya sedikit ke belakang sam-
bil melakukan tangkisan. Sambil melakukan tangki-
san, disalurkannya ilmu 'Penyerap Tenaga' melalui pedangnya. Sehingga pedang Ji
Sun Bi tampak melekat
kuat pada Pedang Teratai Merah milik Bong Mini. Seolah-olah pedang Bong Mini
memiliki daya lekat yang
amat kuat. Sedangkan Ji Sun Bi sendiri berusaha un-
tuk melepaskan pedangnya dengan cara mendorong
dan menarik. Tapi betapa terkejutnya ia karena kekuatan tenaganya tidak berhasil
memisahkan pedangnya
dengan pedang lawan.
"Hiyyy!"
Tiba-tiba Ji Sun Bi menggerakkan tangan kirinya
untuk memukul dada Bong Mini dengan telapak ta-
ngan kirinya yang terkembang. Itulah yang disebut dengan ilmu 'Telapak Tangan
Setan'. Sebuah ilmu sesat yang didapat ketika ia bertapa di Gunung Ular,
Manchuria. Sebagai gadis belia yang sudah banyak makan asam
garam dunia persilatan, Bong Mini sangat tahu kalau serangan lawan berbahaya.
Dengan cepat disambutnya
serangan tangan kiri lawan dengan telapak tangan kanan yang terkembang.
Plekkk! Dua telapak tangan bertemu dan saling menempel.
Begitu kuat! Sangat sulit bagi keduanya untuk mele-
paskan diri. Karena saat menyambut serangan telapak tangan lawan, Bong Mini
sendiri sudah mengerahkan
ilmu 'Penyerap Tenaga'. Sehingga saat telapak tangannya menempel, ia mampu
menghalau ilmu 'Telapak Ta-
ngan Setan' Ji Sun Bi yang mengeluarkan hawa panas.
Bahkan dengan ilmu 'Penyerap Tenaga' itu, Bong Mini berhasil menyerap tenaga
lawan sedikit demi sedikit.
"Uhhh...!"
Ji Sun Bi mengeluh ketika merasakan tenaganya
tersedot demikian rupa. Pada akhirnya ia tidak punya kekuatan lagi untuk
menggerakkan telapak tangannya
yang menempel kuat di telapak tangan Bong Mini.
"Kau harus mampus menyusul dua temanmu itu!"
usai berkata begitu, Bong Mini langsung melepaskan
pedangnya yang masih menempel dengan pedang la-
wan dan langsung ditebaskan ke tubuh Ji Sun Bi.
Crokkk! Bret! "Aaakh!"
Ji Sun Bi memekik tertahan ketika pedang Bong
Mini menebas tubuhnya menjadi dua bagian. Sedetik
kemudian, setengah badan bagian bawah roboh ke ta-
nah. Sedangkan bagian atas badannya masih tetap
bergantung karena tangan kirinya masih menempel
kuat pada telapak tangan kanan Bong Mini. Ketika na-pasnya telah terputus,
barulah tubuh lelaki itu jatuh ke tanah dengan darah masih bercucuran.
Bong Mini terpaku memandangi tiga lawannya yang
tewas bersimbah darah. Sesungguhnya Bong Mini sen-
diri tidak sampai hati membunuh ketiga pendekar berkepala botak itu. Namun
karena ketiganya adalah
orang-orang sesat, terpaksa mereka dibunuh demi ke-
tenteraman orang banyak.
Bong Mini memasukkan pedangnya ke dalam sa-
rung. Kemudian pandangannya menyebar pada para
pendekar lain yang juga telah menyelesaikan pertarungan. Kini mereka tengah
menyaksikan pertempuran
antara Baladewa dengan dua prajurit Kerajaan Man-
churia. "Hiyaaat!"
Baladewa mengeluarkan lengkingan tinggi. Sedetik
kemudian tubuhnya berkelebat sambil menyabet-nya-
betkan pedang ke arah dua lawannya.
Bret! Pedang Baladewa menyambar leher seorang prajurit
hingga putus. Sesaat tubuh prajurit yang tanpa kepala itu tegak tanpa gerak.
Lalu akhirnya jatuh tertelung-kup.
Melihat temannya mati, prajurit yang masih hidup
menjadi gentar. Wajahnya pucat. Sebelum ia sempat
memikirkan tindakan selanjutnya, Baladewa telah
mengarahkan kaki kanannya ke dada prajurit itu.
Bukkk! Prajurit itu terhenyak ke belakang dan jatuh telen-
tang. Sebelum sempat bangkit, Baladewa menerkam-
nya. Kepalan tangannya dihujamkan bertubi-tubi ke
muka lawan, hingga kedua biji mata prajurit itu lepas dari ceruknya. Belum puas
melihat penderitaan lawan, Baladewa kembali melanjutkan pukulannya sebanyak
tiga kali ke kening lawan.
Prakkk! "Aaakh!"
Prajurit itu mengeluh tertahan. Saat itu pula ia tewas dengan kepala terbelah,
memperlihatkan isinya.
*** 4 Pertempuran sengit antara pasukan Bong Mini de-
ngan pasukan Perguruan Topeng Hitam telah reda de-
ngan kemenangan di pihak Bong Mini. Namun yang
membuat Bong Mini dan pengikutnya heran, sejak aw-
al sampai akhir pertempuran, mereka tidak melihat
kehadiran Kidarga, datuk sesat Perguruan Topeng Hi-
tam. "Apakah dia tidak mendengar hiruk-pikuk pertem-
puran yang terjadi di luar markasnya?" tanya Kui Lok, seorang dari Pendekar Mata
Dewa. "Mana mungkin dia tidak mendengar. Kecuali dia
seorang datuk sesat yang bodoh dan tuli!" kata Bong Mini dengan nada ketus
karena masih menahan geram
terhadap datuk sesat Perguruan Topeng Hitam yang
belum menampakkan diri. "Kita harus mencari akal
agar raja iblis itu keluar dari sarangnya!" lanjut Bong Mini.
"Dengan cara bagaimana?" tanya Kao Cin Liong, Ke-
tua Pendekar Mata Dewa.
"Kita bakar sekeliling markas ini!" cetus Bong Mini.
Para pendekar yang mendengar gagasan Bong Mini
tampak mengangguk setuju. Kemudian mereka seren-
tak mengatur posisi, mengelilingi markas Perguruan
Topeng Hitam. Sebagian di antara mereka ada yang
menaburkan minyak di sekeliling markas perguruan
itu. Sedangkan sebagian lain segera menyalakan kayu dan membakar tempat yang
tadi telah disiram minyak.
Dalam sekejap, sekeliling Bukit Setan diterangi jilatan api yang melahap markas
Perguruan Topeng Hitam.
"Kidarga! Keluar kau!" pekik Bong Mini di sela-sela gemeretak kayu-kayu yang
terbakar. Tak ada sahutan. Kecuali gema suara Bong Mini
sendiri yang terdengar susul-menyusul, memecahkan
keheningan malam.
"Kidarga pengecut! Keluarlah! Hadapi aku!" lantang
Bong Mini lagi. Namun, walaupun suaranya keras me-
lengking, merambahi seluruh Bukit Setan, tetap tidak ada sahutan. Hanya
terdengar suara gemeretak kayu
dan ranting pepohonan yang terbakar.
Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lain berdiri
tegak memandang pintu gerbang benteng Perguruan
Topeng Hitam yang telah habis terbakar. Mereka me-
nunggu Kidarga keluar dengan harap-harap cemas.
Cemas karena merasa khawatir kalau tokoh sesat itu
sempat meloloskan diri saat mereka menghadapi pa-
sukannya. Sebenarnya Kidarga tidak melarikan diri. Malah
saat pertempuran antara pasukannya dengan pasukan
Bong Mini berlangsung, ia sempat menyaksikan dari
atas pohon yang tumbuh di dalam benteng. Ketika ia
mengetahui kalau para pengikutnya terdesak dan ba-
nyak yang tewas, ia segera turun dan masuk ke dalam ruang tapanya yang berada
dalam goa kecil, di ling-kungan benteng itu. Di dalam goa itu dia duduk bersila
di atas batu, menghadap sebuah pedupaan yang selalu mengepulkan asap kemenyan.
Di situlah ia mengum-pulkan seluruh kekuatan ilmu setan yang dimilikinya melalui
mantera-mantera yang dibacanya dengan kedua mata terpejam. Setelah seluruh
kekuatan setan-
nya terkumpul, barulah ia keluar meninggalkan goa
menuju tempat para musuhnya menunggu.
Api semakin berkobar. Bukan saja membakar mar-
kas Perguruan Topeng Hitam, tetapi juga membakar
semua pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu.
Sehingga Bong Mini dan pasukannya mundur bebe-
rapa tindak menghindari hawa panas dan bara api
yang berterbangan.
"Kidarga, keluar kau! Hadapilah aku jika kau seo-
rang yang gagah!" tantang Bong Mini lagi penuh ke-
jengkelan. Karena orang yang selama ini membuat hu-
ru-hara di negeri Selat Malaka belum juga menampak-
kan diri. "Mungkin datuk sesat itu telah melarikan diri!" gu-
mam Prabu Jalatunda dengan nada kecewa. Begitu
pula dengan yang lain. Mereka berdiri menghadap ko-
baran api yang membakar markas Perguruan Topeng
Hitam dengan wajah kecewa.
Di saat mereka diliputi rasa kecewa, tiba-tiba ter-
dengar gema tawa yang memecahkan keheningan ma-
lam. Bahkan menggetarkan jantung para pendekar
yang berada di sekitar tempat itu. Termasuk Bong
Mini. Tapi untunglah mereka telah memiliki ilmu tena-ga dalam cukup tinggi,
sehingga mampu menolak ke-
kuatan tawa yang demikian dahsyat menyerang me-
Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
reka. Kalau tidak, tentu mereka akan tewas. Paling tidak mereka akan pingsan
karena getaran tawa yang
mempengaruhi jantung mereka.
Sebelum Bong Mini dan para pendekar mengetahui
arah suara itu, tiba-tiba muncul sosok tubuh Kidarga di atas kobaran api yang
menjilati tubuhnya. Namun
demikian, datuk sesat itu kelihatan tenang-tenang sa-ja. Malah dia tertawa-tawa,
seolah-olah tidak mera-
sakan panas. Itulah ilmu 'Iblis Penolak Api'. Sebuah ilmu kesaktian yang
dimilikinya saat pertama kali bertapa di Bukit Setan. Ilmu yang membuatnya dapat
me- layang di udara dan mampu menaklukkan api di seki-
tarnya hingga tak terbakar atau merasa panas.
Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lainnya
tampak terkejut melihat kesaktian Kidarga. Dari sikap Kidarga yang menunjukkan
kebolehannya itu, mereka
semakin sadar kalau datuk sesat itu bukan orang yang bisa ditandingi oleh
sembarang orang. Sebagaimana
mereka menghadapi para sekutunya.
"Ha ha ha..., kenapa kalian termangu seperti sapi
ompong! Bukankah kedatangan kalian ke sini hendak
menantangku!" ejek Kidarga ketika melihat para pen-
dekar itu termangu menyaksikan kesaktiannya. Mem-
buat hatinya semakin pongah terhadap kepandaiannya
sendiri. Sebelum para pendekar itu ada yang berbicara, tiba-tiba Kidarga
melompat dari atas kobaran api.
Tanpa suara, tubuh Kidarga meluncur ke dekat pa-
ra pendekar dan menjejakkan kakinya di tanah dengan ringan.
Bong Mini, Bongkap, dan para pendekar lain mun-
Pedang Dan Kitab Suci 6 Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru Kereta Berdarah 16