Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 11

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 11


itu Ki Tambak Wedipun maka mereka akan lebih banyak
waktu untuk memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa
mereka harus menunggu terlalu lama"
"Agung Sedayu" berkata Widura "Sebenarnya pertempuran
antara kita melawan orang itu sudah kita mulai. Dalam taraf ini
kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing.
Apakah kita dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang
lebih dahulu kehilangan kesabaran maka ialah yang lebih
dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya kekuatan
kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan
ketenangannya pasti akan kalah"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
ia tidak dapat menyabarkan dirinya sendiri lebih lama lagi.
Bahkan akhirnya ia berkata "Paman, meskipun kita tidak mulai
lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu.
Semakin lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan
menjadi semakin tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari
keadaan, maka marilah kita lihat siapakah yang berada
dihadapan kita itu" Widura menarik nafas. Iapun sebenarnya telah hampir
kehabisan kesabarannya pula. Untunglah bahwa ia masih
bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah
benar-benar menguntungkannya. Bukan karena orang yang
berjongkok itu menjadi bingung dan kehilangan ketenangan,
tetapi sebenarnya bahwa mereka masih mendapat
perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap
Kekuasaan. Akhirnya ternyata Agung Sedayu itu menjadi benar-benar
tidak dapat mengendalikan dirinya. Kini ia tidak minta ijin lagi
kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan dengan
sekuat tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah
kepada orang yang berjongkok dipinggir jalan itu.
Tetapi alangkah kecewanya, dan bahkan kemarahan
didalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu
sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak,
sikapnyapun sama sekali tidak berubah. Jongkok.
"Hem" Agung Sedayu menggeram.
"Sudahlah Sedayu" cegah pamannya.
"Aku tidak sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan
akan melihat wajahnya. siapakah orang yang bermain hantuhantuan
itu" "Jangan" pamannya segera memotong kata-katanya.
"Biarlah" sahut Agung Sedayu.
"Jangan" ulang pamannya.
Agung Sedayu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani
melanggar kata-kata pamannya. karena itu, maka ia menjadi
semakin bingung. Tetapi ternyata ketabahan hati Widura telah menjengkelkan
orang yang berjongkok itu. Orang itu memang membiarkan
Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung.
Tetapi yang dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang
benar-benar seperti cacing kepanasan. Sedang Widura masih
saja duduk ditempatnya tanpa bergerak. Orang itu ingin
melihat keduanya menjadi bingung dan dengan demikian, ia
akan mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan.
Tetapi harapannya itu hanya separo berhasil. Ia hanya melihat
Agung Sedayu yang berjingkat-jingkat, berdiri, berjongkok,
duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan yang aneh.
Karena itu, maka akhirnya ia menganggap bahwa ia tidak
perlu menunggu permainan yang lucu itu lebih lama lagi.
Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu
benar-benar sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus
membuat permainan yang lain. Mula-mula ia sama sekali tidak
menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung Sedayu.
Dengan sepotong besi batu-batu itu dipukulnya kesamping.
Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama sekali
tidak melihat gerak itu. Kini ia akan membuat permainan yang lain. Ia ingin melihat
Agung Sedayu mati ketakutan atas setidak-tidaknya karena
dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah
mengerikan sekali. Karena itu, maka orang itupun tersenyum.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura benar-benar
menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap
sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu.
Namun sesaat itu benar-benar telah mendebarkan jantung
mereka. Orang yang berjongkok itu telah lenyap.
"Gila" tiba-tiba Agung Sedayu itupun berteriak "Kemana
orang itu?" "Jangan berteriak" potong Widura. tetapi Widura itupun
menjadi bersiaga. Iapun segera berdiri dan menarik pedang
dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ketengah jalan
dan berbisik "Orang itu akan menyerang kita dari arah yang
tidak kita ketahui" "Kemana orang itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sangka ia berguling masuk keparit dipinggir jalan itu.
Dari sana ia dapat pergi kemana saja yang disukainya. Karena
itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala arah. Ia
dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat
melihat orang itu" "Marilah kita cari"
"Sangat berbahaya" sahut pamannya "Aku kini pasti. Orang
itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak Wedi. Macan
Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki
Tambak Wedi mencoba membunuh kita dengan cara yang
paling jahat yang dapat dilakukannya"
Agung Sedayu menggeram. Tiba-tiba tangannyapun telah
menggenggam pedangnya. Dengan suara yang berat ia
berkata "Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak
datang menyerangnya"
"Sudah aku katakan" sahut pamannya "Aku, sebelum ini
tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi"
Agung Sedayu tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil
berteriak "Ayo, kemarilah. Kita bertempur beradu pedang"
"Jangan berteriak Sedayu" desis pamannya.
"Punggungku dilemparnya dengan batu" sahut Agung
Sedayu. Pamannya mengerutkan keningnya. Ki Tambak Wedi
benar-benar ingin mempermainkan mereka. karena itu, maka
betapa kemarahan melonjak dikepalanya. Tetapi Ki Tambak
Wedi itu belum dilihatnya.
Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat marah dan
bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang kehilangan
kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh
lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya.
"Agung Sedayu" berkata Widura "Jangan menjadi bingung
dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah bersedia
menghadapi segala kemungkinan"
Kembali Agung Sedayu menggeram. Tetapi ia mencoba
menenangkan dirinya. Sekali dua kali dibiarkannya beberapa
butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama
menjadi semakin keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri,
tetapi kembali kemarahannya itu meledak. Sehingga terdengar
ia berteriak "Ayo yang bersembunyi dibalik alang-alang atau
dibalik gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita bertempur
sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang sambil
bersembunyi" Tetapi masih belum terdengar jawaban, sehingga Agung
Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi gila.
Widurapun telah kehabisan akal. Bagaimana ia akan
melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang itu pasti
bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia
akan dapat menyerangnya menurut arah yang dikehendaki.
Namun akhirnya Widura harus mengambil sikap yang dapat
memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani menghadapi
akibat yang paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya
berbisik "Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap tinggal ditempat
ini. Kitapun harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi
pula dengan kemungkinan yang paling pahit, apabila kita
menyuruk kegerumbul yang ditempati olehnya. Tetapi kalau
tidak kita tidak akan menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita
mempunyai kesempatan yang sama dengan orang itu"
"Marilah paman" sahut Agung Sedayu yang juga telah
kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat berpikir lagi. Sehingga
apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa
pertimbangan. Tetapi tiba-tiba didengarnya suara tertawa didalam semaksemak
diseberang parit. Suara itu tidak terlalu keras, tetapi
benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela suara tertawa itu
terdengar ia berkata "Agung Sedayu. Aku senang sekali
melihat kau kebingungan seperti kera yang ekornya terbakar.
Kalian tak usah bersembunyi kemanapun sebab akibatnya
akan sama saja. Aku akan selalu dapat melihat kalian. Karena
itu lebih baik kalian berada ditempat yang terbuka supaya
besok ada yang dapat menemukan mayat kalian"
Bukan main marah Widura dan Agung Sedayu mendengar
suara itu. Namun suara itu seakan-akan memancar dari
tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan
melingkar-lingkar dan bergetaran dari segenap arah.
Sesaat kemudian suara itu berkata kembali "Agung Sedayu
dan Widura. aku sudah berkeputusan untuk membunuh kalian
dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan kebingungan,
kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling
dahsyat. Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi
bagiku tidak ada bedanya. Kalian menderita sebelum ajal
datang" "Setan" sahut Widura "Itu bukan perbuatan seorang jantan"
Kembali suara tertawa itu menggetar. "Jangan mengumpatumpat"
katanya. "Kau hanya akan menambah dosa saja.
Sebaiknya kalian berbaring saja disitu, tenangkan hatimu dan
berdo"alah supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka"
"Diam, diam!" teriak Agung Sedayu "Aku sobek mulutmu
dengan pedangku ini"
"Bagus, bagus" sahut suara itu "Sobeklah kalau kau ingin.
Mulut ini memang tidak terlalu lebar"
Mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu semakin lama
menjadi benar-benar hampir gila dibakar oleh perasaan
sendri. Dan suara itupun masih selalu mengganggunya dari
arah yang tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih
dapat menyadari, bahwa orang itu pasti berpindah-pindah
tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu adalah
seorang yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya
menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya suara itu seakanakan
melingkar-lingkar dilangit yang kelam.
Namun dalam kebingungan yang hampir menelan Widura
dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar suara yang lain dari
suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan
lembut, meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya
"Widura dan Agung Sedayu. Jangan bingung. Biarkan saja
suara itu mengganggu kalian. Anggaplah suara itu suara angin
yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering. Memang
suaranya gemerisik menyakitkan telinga. Namun suara itu
sama sekali tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang
tersembul didalam hati kalian, untuk mengurangi ketegangan
dihati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi, bersembunyilah.
Kalau kaian ingin kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau
kalian ingin berteriak, berteriaklah. Suara itu benar-benar tidak
berbahaya" Widura dan Agung Sedayu menggeram. Namun mereka
menjadi bertambah bingung. Sehingga karena itu, maka
mereka menjadi terpaku diam ditempatnya. Dalam pada itu
syara yang kedua itu berkata pula "Jangan menjadi bingung.
Tegasnya, jangan hiraukan suara itu"
Widura dan Agung Sedayu itupun mencoba mengingatingat
suara yang kedua itu. Suara itu pernah didengarnya.
Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura
itupun bergumam "Kiai Gringsing"
Agung Sedayu segera menengadahkan wajahnya.
perlahan-lahan mulutnya berdesis "Ya, Kiai Gringsing"
*** Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak
Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata lagi. Widura
dan Agung Sedayupun berdiri kaku bertolak punggung dengan
pedang telanjang ditangan masing-masing. Namun mereka
sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening
mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang
berjuntai dibelakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin
menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa
tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan.
Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga
karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah
menahan nafas mereka. Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan
kepalang. Dibalik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara
gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu
sedemikian ributnya. "Suara apakah itu?" desis Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu.
Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula.
Sehingga Widura itupun ikut berputar pula.
"Suara apakah itu paman>" ulang Agung Sedayu sambil
menahan nafasnya. Widura menggeleng lemah. Iapun menjadi kebingungan
karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar diantara
rimbunnya gerumbul-gerumbul disekitarnya. Namun seperti
suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara
gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan
serta-merta ia berkata "Agung Sedayu. Mereka pasti sedang
bertempur" "Siapa?" "Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing"
"He?" Agung Sedayu itupun terkejut. "Dimana?"
"Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar
suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung
menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur didalam
gelap itu. Mereka bergeser dari satu tempat kelain tempat.
Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita,
bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi dilangit yang
kelam" Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keterangan pamannya itu benar-benar dapat
dimengertinya.dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan
perkelahian pada suara yang didengarnya. Tetapi perkelahian
antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih
tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu
menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah
mempunyai nama yang cukup menggetarkan diseluruh lereng
gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali
belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keraguraguan
Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada
pamannya "Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki
kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?"
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu
siap didalam genggamannya.
Jawabnya "Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan.
Kekuatan tenaganya telah membuktikannya" "Apakah paman pernah
melihat?" "Aku belum pernah melihat ia
bertempur, namun aku pernah
melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu
meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh
Ki Tambak Wedi dengan tangannya"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh
keragu-raguan dan kecemasan. Disekitarnya masih terdengar
suara gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadangkadang
suara itu menjadi semakin jauh dan berkisar dengan
cepatnya. "Marilah kita melihat paman" ajak Agung Sedayu.
"Kemana?" bertanya pamannya.
Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah
yang harus didatangi. Suara itu benar-benar melingkar-lingkar
seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu
menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian
dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi
suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang
sedang berlangsung. Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan
yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah
bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu
kini bertempur ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan
caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus.
Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung
Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar tampat sedemikian
garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan
cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan
merupakan sepasang senjata yang sangat dahsyatnya.
Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari
segenap arah. Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah.
Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang
kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak diatas
tanah. Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah
tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya,
namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya
terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat.
Pedang-pedang ditangan mereka seolah-olah sama sekali
tidak akan berarti seandainya mereka harus bertempur
melawan salah seorang dari mereka.
"Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki
Tambak Wedi," desis Agung Sedayu didalam hatinya
"Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi"
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak
akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian
orang yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin
dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari
selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa
panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang
keduanya menjadi hilang didalam kegelapan malam, untuk
kemudian muncul kembali ditempat yang lain. Ternyata
mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas
untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan
loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah
kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga
mereka dapat beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara
dua ekor burung-burung raksasa dilangit yang luas berebut
kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa
yang menang diantara mereka maka ialah yang dapat merajai
langit. Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka
sama sekali tidak dapat menilai, siapakah diantara mereka
berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki
keunggulan dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desakmendesak,
silih berganti. Sehingga kemudian keduanya
menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan
tidak menentu. Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika
mereka melihat benda yang berkilat-kilat ditangan Ki Tambak
Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya,
tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang
senjata yang pernah mereka lihat dihalaman belakang
kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula.
dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu
menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai
Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun
dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelanggelang
baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan
seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun,
namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaranlingkaran
itu. Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi
semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar
kesegenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah
pukulan-pukulan maut, seandainya tersentuhpun, maka
tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak.
karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat
melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang selalu mencoba
menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia
melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu
mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran
tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari
tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja ditangannya
yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang
menyambar-nyambar. Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya.
Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa
kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidaktidaknya
menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan
senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh Ki Tambak
Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat
dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua"
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung
Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari bahaya.
Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir
didalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu,
namun kini ia berkata kepada dirinya "kte itu mempunyai
kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri,
maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat
mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada
ditempat ini. karena itu, maka biarlah aku disini bersama-sama
dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun
kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik
menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus
dikejarnya seorang diri"
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri
ditempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran
pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya
selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan
kedua tangannya berputaran menyerang lawannya "He, orang
yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan
Widura ini?" Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak
Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas
akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakanakan
lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu
seperti sebuah permainan, katanya "Bukan apa-apa. kami
hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang
diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi"
"Jangan mengigau" bentak Ki Tambak Wedi "apakah kau
benar-benar telah jemu hidup?"
"Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin
hidup tenteram didaerah ini"
"Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang
terlibat dalam persoalan kami sendiri. apakah hubungannya
hidupmu dengan persoalan ini?"
"Ada" sahut Kiai Gringsing "Angger Widura sedang
memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini
dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang
itu, maka laskarnyapun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan
daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal Putung akan
berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan.
Sehingga dengan demikian hidupkupun akan terancam"
"Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh.
Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi,
kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan
Kepatihan?" "Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan
Kepatihan" Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?"
"Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah
membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang
yang tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku
akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu
dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai
dilapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba
memanah?" Sementara itu perkelahian diantara mereka berdua, Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah cepat.
Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar
surut, namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam
kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing menjawab "Ya,
akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, kau masih
ingat?" "Tampangmu tak mudah dilupakan" jawab Ki Tambak Wedi
"Dan didaerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu
bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga
loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama"
Kiai Gringsing menggeram. Katanya "Jadi kau pasti bahwa
akhirnya pertahanankupun akan runtuh?"
"Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun"
"Kau, yang mempergunakan lapisan baja ditanganmu"
"Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa
diantara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung
Merapi" "Aku tidak ingin" jawab Kiai Gringsing "Tetapi aku juga tak
ingin dirajai" Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya
menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua
tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan
daripadanya, pasti akibatnya akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai
Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak
Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing
harus melontar surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan
melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran
untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika
kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama
menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik
bajunya Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak
kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk yang tidak terlalu
besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu
keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai
keujung juntainya. Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag
menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti milik
Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini,
maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu
pasti akan sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata
itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari
segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadarm bahwa cambuk
itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang
setingkat Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh
cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya
seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi.
Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya
menjadi sakit. Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah
menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri
mereka. Kang terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dahsyat. Kau mau mempengaruhi kau dengan letupan yang
memekakkan telinga itu?"
"Kalau kau mau" sehut Kiai Gringsing sekenanya.
"Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal
kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam"
Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki
Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung
cambuknya. Karena itu maka perkelahian diantara mereka menjadi
semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan
senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka
perkelahian itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang
menentukan. Widura dan Agung Sedayupun menjadi bertambah tegang
pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan perkelahian
itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang
sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Mereka masing-masing sedang berusah
untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang
tertinggi yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai
Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat
merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya.
Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa
sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua
gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat
dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang
aneh itu. Demikianlah maka kini keadaan menjadi berubah.
Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan
lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang
lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak saja tangan
Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun
ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalangumpalan
asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah
datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya.
Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi
marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah
diluar dugaannya bahwa suatu ketika dilereng Merapi akan
datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena
itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan
sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan
namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu
kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya
kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula
muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan
diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena
itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti
disekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya
kini. Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya.
Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi
menggeram "He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa
Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku
mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari
perkelahian seterusnya, hanya kali ini"
Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin bahwa Ki Tambak
Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak
Wedi, sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki
Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan tenggelam
kedalam gerumbul-gerumbul didalam gelap. Namun demikian
terdengar Ki Tambak Wedi berkata "He orang yang gila. Kau
ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru
kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu
ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua
menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan
kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang
diharapkannya disini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah
tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu
dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti
sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya.
Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung
mayat mereka dimuka banjar desa Sangkal Putung"
"Jangan berangan-angan" potong Kiai Gringsing sambil
mengejarnya "Selama aku masih ada, maka selama itu aku
akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita
sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji
untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari
ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur,
maka aku akan ikut campur pula. kalau suatu ketika aku
menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana
karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan
membunuh Sidanti dan kau bersama-sama"
"Setan" teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada
suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya. Belum
pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya.
Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar
mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan
menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum
dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan
dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar.
Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan
seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir "Aku akan
segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian
memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru,
maka orang itulah sebenarnya yang bernama Kiai Gringsing"
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya
masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung
Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata "Agung Sedayu,
mari kembali ke kademangan. Cepat"
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. tiba-tiba dilihatnya
pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang
mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. karena itu,
maka Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnyapun ikut
berlari pula. sepanjang jalan ia tidak habis berpikir tentang
pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat
dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari
tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka,
tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak
sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka
Agung Sedayu itupun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu
maksudnya. Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematangpematang.
Ia tidak lewat jalan yang biasanya dilaluinya.
Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi
singgah digardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika
ia memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak
berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih tetap
panjang-panjang. Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya
sambil terengah-engah "Kenapa paman berlari-lari?"
"Tidak apa-apa" jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak
percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi.
Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan
disamping pamannya. Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak
bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya
menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol,
maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan
seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenangtenang.
Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan
pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang
aneh terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang
menurut kebiasaan meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga diregol halaman menganggukkan
kepalanya sambil menyapa "Agak terlambat Ki Lurah pulang"
"Ya" sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang
meskipun terasa nafasnya mendesaknya "aku berhenti di
beberapa gardu perondan"
Seorang yang lain, yang berdiri pula disisi pintu menyahut
"Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?"
"Tidak" jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun
kemudian ia berkata "adalah seseorang yang baru saja
memasuki regol ini?"
Penjaga-penjaga diregol itu mengangkat alisnya. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab "Tidak.
Sepengetahuanku tidak"
"Sama sekali tidak?" desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia
menjawab "Tidak Ki Lurah"
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik
kepada Agung Sedayu "Kalau begitu kita lebih dahulu sampai"
"Siapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Sst" desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang
penjaga berkata "Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?"
"He?" bertanya Widura.
"Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang
keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap
hari" "Setiap hari?" bertanya Widura.
"Ya" jawab penjaga regol itu. "Setiap orang yang bertugas
diregol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi berjalanjalan
dimalam hari" Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak
menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya
itu. Tetapi kemudian ia tersenyum "Marilah Agung Sedayu"
ajaknya. Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya.
Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik kependapa, maka ia
ikut juga dibelakangnya. Widura berjalan perlahan-lahan masuk kepringgitan.
Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya
menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan,
disamping Ki Demang dan Swandaru.
"Ha, kau baru pulang?" bertanya orang tua itu ketika
dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
"Ya Kiai" jawab Widura.
"Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja
datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat
memberi kesegaran padaku"
Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya
terlampau dingin" berkata Widura.
"Ya. Memang malam ini terlampau dingin" sahut Ki Tanu
Metir "Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?" bertanya
Widura. "Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya"
"Aku juga" sambung Widura "Tetapi memang sudah
menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku
kedinginan" Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
"Apakah kau berkeringat?"
"Ya, seperti Kiai juga"
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya.
Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang
mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun
tersenyum sambil berkata "Aku juga berkeringat. Tetapi aku
baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari
minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan
untukmu?" kemudian kepada Swandaru ia bertanya "Begitu
bukan angger Swandaru?"
"Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan ".."
*** Buku 08 "Jangan panggil dengan sebutan yang terlalu jauh.
Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga
kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian" potong
Widura. "Ya" sahut Agung Sedayu "Aku lebih senang"
"Baiklah" sahut Swandaru "Marilah, minumlah"
Widura dan Agung Sedayupun minum pula air jahe yang
hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin
banyak mengalir membasahi tubuh mereka.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir itupun bertanya pula "Dari
manakah angger berdua malam ini. Apakah seperti biasanya
nganglang setiap gardu perondan?"
"Ya" sahut Widura "Dan ke gunung Gowok. Aku sedang
berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah
mencobakan ilmu yang paling akhir"
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sedang Ki Demang
Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi Swandaru
sehingga dengan serta-merta berdesah "Ah"
Mereka menjadi semakin tidak mengerti ketika Widura
berkata "Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai Gringsing
selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itupun
tidak dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebelum berkata sesuatu, maka Widura telah berkata pula
"Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi kami
berpacu dengan orang yang tidak kami kenal itu
kekademangan" Ki Tanu Metir menarik alisnya. Kemudian sambil tersenyum
ia berkata "Siapakah yang lebih dahulu sampai?"
"Ki Tanu Metir" jawab Widura.
"He" sahut Ki Tanu Metir "Kau berpacu dengan Kiai
Gringsing, namun kenapa aku yang lebih dahulu sampai?"
Widura menggeleng, jawabnya "Entahlah. Aku tidak tahu"
Ki Tanu Metir itu menundukkan wajahnya. Widura dan
Agung Sedayu duduk dengan gelisahnya, sedang Ki Demang
Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang
mereka dengan penuh pertanyaan yang memancar dari
wajah-wajah mereka. Agung Sedayu yang semula juga ikut menjadi bingung
perlahan-lahan dapat menangkap, apakah yang dilakukan
pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimanakah dengan kakang Untara?"
Pertanyaan itu mengejutkan Ki Tanu Metir, sehingga
dengan serta-merta ia menjawab "Sudah semakin baik.
Angger Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan.
Sebentar lagi luka iu akan sembuh, meskipun masih
diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya"
"Tetapi malam ini aku tidak harus berkuda ke Sangkal
Putung sendiri. dan Kiai tidak usah menyusulku dan setelah
Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus
bertempur melawan Alap-alap Jalatunda"
Ki Tanu Metir tidak dapat menyembunyikan senyumnya
lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Untara.
Ternyata Untara itu juga tidak sedang tidur. Bahkan ketika ia
melihat Ki Tanu Metir itu mendekati maka desisnya
"Bagaimana Kiai?"
"Kemana aku harus bersembunyi lagi ngger?" bertanya Ki
Tanu Metir kepada Untara.
"Kiai tidak perlu bersembunyi lagi"
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Kemudian
gumamnya "Tamatlah cerita tentang seorang dukun tua dan
tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain
gringsing" "Cerita itu sudah lama tamat" sahut Widura.
Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah Widura yang
aneh. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu tertawa geli.
Katanya "Terlalu banyak yang ingin kau ketahui ngger. Tetapi
baiklah, aku tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar"
Widura tertawa. Agung Sedayupun tertawa. tetapi Ki
Demang Sangkal Putung dan Swandaru sama sekali tidak
tahu, apakah yang lucu. Karena itu, maka Swandaru itupun segera bertanya
"Apakah yang aneh paman Widura?"
Widura menggeleng sambil tersenyum "Tidak apa-apa.
hanya suatu permainan saja"
"Permainan apa?"
"Ki Tanu Metir mencoba bersembunyi ketika melihat kami
lewat. Disangkanya kami tidak melihatnya"
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban Widura itu
semakin membingungkannya. Sehingga kemudian ia
mendesaknya "Tetapi, bagaimanakah cerita tentang paman
Widura dan orang yang disebut gurunya yang bernama Agung
Sedayu itu?" Oh" sahut Widura "Aku hanya bermain-main. Ki Tanu Metir
pernah bertanya kepadaku, siapakah guruku, karena aku tidak
mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya,
Agung Sedayu" Swandaru mengumpat-umpat didalam hatinya. Ia tahu
betul, bahwa bukan itulah jawaban dari pertanyaannya.
Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi. Namun,
bagaimanapun juga, ia tidak dapat menjajagi, bahwa senda
gurau itu telah mengungkapkan suatu peristiwa yang selama
ini menjadi teka-teki bagi Widura. meskipun Ki Tanu Metir
belum mengatakan kepadanya, namun Widura telah dapat
merabanya. Bagaimanakah yang pernah terjadi atas Untara.
Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang disekitar rumah
Ki Tanu Metir menyangka bahwa orang tua itu bersama
Untara telah hilang dibawa gerombolan Plasa Ireng. Kini
semuanya sudah menjadi agak jelas bagi Widura. sudah tentu
Plasa Ireng beserta Alap-alap Jalatunda tidak akan dapat
berbuat sesuatu terhadapnya.
Ki Demang Sangkal Putungpun sebenarnya mempunyai
keinginan untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang
sedang dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi
ia segera mengendalikan dirinya. Persoalan-persoalan diluar
dirinya, dan mungkin menyangkut kepentingan kelaskaran
Pajang, lebih baik baginya untuk tidak turut
mempersoalkannya apabila tidak diminta.
Sesaat kemudian kembali mereka duduk melingkar diatas
tikar pandan dipringgitan. Untara masih tetap berbaring
dipembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang,
namun ia masih belum kuat benar untuk terlalu lama duduk.
Diantara mereka sudah terhidang berbagai makanan.
Meskipun sudah terlalu dingin, namun dapat juga untuk
menggerakkan rahang-rahang mereka.
Sambil makan Ki Tanu Metir berkata seakan-akan sambil
lalu saja "Bagaimanakah kabarnya angger Sidanti itu
sekarang?" Widura mengerutkan keningnya. Dan dilihatnya wajah
Swandaru menjadi tegang. "Tak ada kabarnya" jawab Widura "Tetapi sudah pasti ia
tidak akan kembali ke Sangkal Putung"
"Tetapi ia pasti mendendam" potong Swandaru tiba-tiba
"Aku telah melukainya"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. Tidak saja
kepada Swandaru tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang
mereka, Widura dan Agung Sedayupun, mendengar dengan
jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, bahwa
dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu
dan Swandaru. Agung Sedayu yang dianggap menggesernya
dari sudut hati Sekar Mirah, dan Swandaru yang telah
melukainya bahkan hampir membunuhnya. Tetapi Agung
Sedayu itu menjadi tenteram ketika ternyata bahwa Kiai
Gringsing yang sekarang duduk dihadapannya sebagai
seorang dukun tua itu, akan melindunginya.
Tetapi Swandaru tidak mendengar janji yang pernah
diucapkan oleh orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebardebar
apabila diingatnya nama itu. Sidanti. Selagi mereka
masih berada dihalaman yang sama, Sidanti telah pernah
menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka Sidanti itu tidak
akan sekedar menamparnya saja. Tetapi pasti membunuhnya.
Ayahnyapun merasakan kecemasan itu. Karena itu selagi
mereka mempercakapkan Sidanti, maka sama sekali Ki
Demang Sangkal Putung itupun ingin mencari perlindungan
bagi anaknya. Maka katanya "Aku menjadi cemas juga akan
angger Sidanti itu. Hubungannya dengan Swandaru terlalu
jelek. Sehingga keadaan Swandaru kinipun selalu terancam
pula olehnya. Apalagi pada saat terakhir, Swandaru itu telah
berusaha untuk membunuhnya, sehingga dengan demikian
maka dendam angger Sidanti itupun menjadi semakin dalam
pula" Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia berdesis "Swandaru berusaha
menyelamatkan aku" Widura melihat kecemasan yang membayang diwajah
ayah-beranak itu. Baik Ki Demang Sangkal Putung maupun
Swandaru agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena
itu, maka Widura itupun menjadi iba pula kepada mereka.
Sehingga tanpa sengaja ia berkata "Jangan cemas kakang
Demang, selagi Ki Tanu Metir masih disini"
Ki Demang terkejut mendengar kata-kata Widura itu.
Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiripun terkejut. Tetapi kembali Ki
Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka
bahwa Widura masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah
"Ah, nasib Swandaru benar-benar mencemaskan"
Widura menyadari kata-katanya. Bahkan ia menyesal,
bahwa Ki Demang merasa ia hanya bergurau saja. Maka
katanya kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal
Putung itu "Aku berkata sebenarnya kakang Demang.
Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki Tanu Metir untuk
menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersamasama"
Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak segara dapat
mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali ditatapnya wajah Widura,
dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga
akhirnya ia bertanya "Maksud adi, apakah apabila angger
Agung Sedayu atau Swandaru dicederai oleh angger Sidanti,
maka Ki Tanu Metir akan mengobatinya hingga sembuh?"
Ternyata Ki Demang Sangkal Putung itu benar-benar tidak
mengerti maksud Widura. dan sebenarnya bahwa Widura
mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk
menerimanya. Widura mengatakan suatu hal diluar
pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi, agak
sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki
Tanu Metir, meskipun ia sadar, bahwa itu harus dikatakannya.
Setelah menimbang beberapa lama, maka kemudian
Widura itupun menjawab "Ki Demang, biarlah Ki Tanu Metir
berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada
Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga mereka berdua tidak
dapat dikalahkan oleh Sidanti"
Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya.
Katanya dengan ragu-ragu "Angger Agung Sedayu barangkali
dapat berbuat demikian. Sebab malahan angger Sedayu
sudah melampaui ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?"
"Itulah yang aku maksud, kakang" sahut Widura "Biarlah Ki
Tanu Metir menuntun Swandaru dan Agung Sedayu. Karena
Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah
untuk Sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih
banyak daripada Agung Sedayu. Sebab ternyata bahwa
dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang berusaha
menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka
akupun minta dengan sangat Ki Tanu Metir untuk memenuhi
permintaan itu" Ki Demang Sangkal Putung benar-benar menjadi pening
mendengar keterangan Widura yang justru menjadikannya
semakin bingung. Swandarupun tidak kalah bingungnya.
Sehingga bahkan ia menjadi jengkel. Dengan bersungutsungut
ia berkata "Paman Widura, bahaya itu sebenarnya
sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung Sedayu.
Apakah dalam keadaan itu aku harus belajar mengobati lukaluka
supaya aku sempat mengobati lukaku seandainya Sidanti
mencelakakan aku?" Widura benar-benar menjadi sulit untuk mengatakan
maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri sama sekali tidak
membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki
Tanu Metir "Ki Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku
kepada kakang Demang dan Swandaru. dan katakanlah
kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi permintaan
kami. Mengambil Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid
Kiai dan memberi mereka bekal keselamatannya dari
ancaman Sidanti" Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. ditatapnya setiap
orang yang duduk disekitarnya satu demi satu. Kemudian
perlahan-lahan ia berkata "Jadi bagaimana angger Widura?"
"Terserahlah kepada Kiai" jawab Widura.
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk. Kemudian kepada
Widura ia berkata "Angger, permintaan angger aku terima
dengan senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat
demikian, seperti yang telah aku ucapkan Ki Tambak Wedi
sendiri. sekarang apakah angger Agung Sedayu dan angger
Swandaru bersedia menerima tawaran itu?"
Agung Sedayulah yang dengan serta-merta menjawabnya
"Aku sangat berterima kasih atas kesempatan itu Kiai"
Tetapi Swandaru belum juga menyadari keadaannya. Ia
masih merasa seakan-akan percakapan itu seperti sendagurau
saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apaapa,
hanya sinar matanya sajalah yang memancarkan
kebimbangan dan kebingungannya.
Ki Tanu Metir menangkap kebimbangan dihati Swandaru
itu. karena itu, maka katanya "Angger, aku tahu angger
menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat
keyakinan, bahwa dengan belajar kepadaku, angger mungkin
akan menyelamatkan diri sendiri dari bahaya yang akan
ditimbulkan oleh Sidanti. karena itu, maka aku akan mencoba
menyakinkan angger untuk kepentingan keselamatan angger
sendiri" Ki Tanu Metir itu berhenti sesaat. Sekali lagi
ditatapnya wajah-wajah yang ada disekitarnya. Terasa
alangkah berat hatinya untuk mengatakan sesuatu yang
terkandung didalam dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir
bukanlah seorang yang suka menunjukkan kelebihankelebihannya
kepada orang lain. Sebenarnyalah bahwa
apakah Swandaru percaya atau tidak, bukanlah
kepentingannya. Juga seandainya Swandaru itu kelak akan
mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itupun
sama sekali bukan kepentingannya. Namun ia sadari bahwa
seharusnyalah anak itu diusahakan untuk dapat
menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun Ki Tanu Metir itupun
mengetahuinya, bahwa pertentangan antara Swandaru dan
Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung Sedayu itu.
Tetapi sejak masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan
itu memang telah ada. Namun sebab yang langsung sekali
adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti pada saat-saat
Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu.
Karena itu, oleh sesuatu tekanan didalam hatinya yang belum
pernah dikatakannya kepada orang lain, maka Ki Tanu Metir
merasa berkewajiban untuk menolong Swandaru itu, seperti ia
menolong Agung Sedayu sendiri, karena persoalan yang
bersangkut-paut. Dengan demikian, maka setelah berhenti sejenak, Ki Tanu
Metir itu berkata "Angger Swandaru, sebelum angger mulai
dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan,
adalah wajah sekali kalau angger harus menjadi yakin, bahwa
orang yang dipatuhi itu akan dapat memberinya sesuatu.
Karena itu, maka biarlah aku mencoba meyakinkan angger.
Aku bukan sengaja untuk menunjukkan keanehan dan
mungkin juga menyombongkan diri, tetapi aku tidak melihat
cara yang lain untuk itu"
Swandaru memandang Ki Tanu Metir tanpa berkedip. Ki
Demang Sangkal Putungpun menjadi semakin bingung. Tetapi
ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh
Ki Tanu Metir itu. Ki Tanu Metir itupun kemudian berpaling kepada Agung
Sedayu dan berkata "Angger, apakah peristiwa yang angger
saksikan tadi mampu meyakinkan angger Swandaru?"
Agung Sedayu tahu benar maksud Ki Tanu Metir. Karena
itu segera diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya. Tetapi
seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah
ceritanya cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri.
Meskipun demikian, maka Agung Sedayu telah mencoba
menceritakan apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Ki


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai
Gringsing itu adalah Ki Tanu Metir itu sendiri.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan
cerita itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun
tampaklah pada wajah Swandaru, bahwa ia masih juga raguragu
mendengar cerita Agung Sedayu.
Mereka bukan tidak percaya pada Agung Sedayu, namun
mereka sangatlah sukar utuk membayangkannya, bahwa hal
itu dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir
itu. Ki Tanu Metirpun dapat menangkap keragu-raguan itu.
Tetapi apakah yang dilakukannya untuk meyakinkan mereka
itu. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar Untara berkata
"Aku juga mempunyai sebuah cerita. Apakah kau mau
mendengarkan Swandaru?"
"Tentu" sahut Swandaru kosong.
"Baiklah" berkata Untara pula. perlahan-lahan ia bangkit
dan dengan perlahan-lahan pula ia berjalan dan duduk
disamping Ki Tanu Metir. "Lukaku sudah tidak berbahaya lagi" katanya.
Swandaru dan kesempatan memandanginya dengan
tegang. Cerita apakah yang akan dikatakan oleh Untara itu.
"Ki Demang Sangkal Putung dan kau Swandaru" berkata
Untara itu kemudian "Cerita ini adalah cerita tentang diriku
sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi
kewajibannya. Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari
Agung Sedayu, namun aku yakin bahwa pada saat itu paman
Widura dan Agung Sedayu telah berusaha mencari aku"
Untara berhenti sejenak. Dilihatnya tidak saja Swandaru dan
ayahnya yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Tetapi juga Agung Sedayu dan Widura sendiri.
"Aku kira, pada waktu itu hampir semua orang menyangka
aku telah hilang. Bahkan mungkin orang menyangka bahwa
aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab
sepeninggal Agung Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Namun ternyata aku
selamat. Didalam rumah itu hanya ada aku berdua dengan Ki
Tanu Metir. Seorang dukun tua. Aku sedang terluka, agak
parah hampir seperti lukaku sekarang. Nah, siapakah menurut
dugaan kalian yang telah menyelamatkan aku dari tangan
Plasa Ireng itu?" Widura dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas akan
persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng tidak akan mampu
mengambil Untara pada saat itu, sebab didalam rumah itu ada
Ki Tanu Metir, yang kemudian menamakan dirinya Kiai
Gringsing. Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun segera
dapat menjawab pertanyaan Untara itu. Sudah pasti Ki Tanu
Metir. Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan,
apakah yang sudah dilakukan oleh dukun tua itu untuk
menyelamatkan Untara. Bagaimanakah rupanya kira-kira
kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan Ki
Tambak Wedi ataukah ia harus berkelahi melawan Plasa Ireng
dengan beberapa orang kawannya.
Swandaru dan Ki Demang itu benar-benar berada dalam
kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga kemudian
terdengar Untara berkata seterusnya "Nah, ternyata Ki Tanu
Metirlah yang berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu
Metir itu berhasil mengusir Plasa Ireng dan orangnya, maka
segera akupun disembunyikannya diatas kandang kuda,
sementara itu Ki Tanu Metir pergi menyusul Agung Sedayu.
Baru setelah Ki Tanu Metir kembali, maka aku dibawanya
pergi, mengungsi ketempat yang tak banyak dikenal orang.
Dan memang tidak banyak orang yang akan menyangka
bahwa aku disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun
sebenarnyalah demikian"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dadanya sudah berdebar-debar seandainya kakaknya
mengatakan bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir
menjadi pingsan ketika kakaknya itu memaksanya pergi ke
Sangkal Putung. Sehingga sampai saat terakhir, tidak
seorangpun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa
Agung Sedayu baru saja melampaui suatu masa yang tak
pernah disangkanya akan terjadi.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun keragu-raguan
yang bersarang didalam dada mereka, masih belum dapat
mereka lenyapkan. Ki Tanu Metir yang melihat perasaan itupun kemudian
berkata "Angger Swandaru. Aku akan mencoba menunjukkan
beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan
semata-mata aku ingin dipercaya, namun semata-mata untuk
memberikan dasar-dasar kepercayaan kepada angger
Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu sia-sia.
mungkin memang tidak akan dapat berhasil seperti yang
diharapkan, misalnya, dalam waktu yang pendek akan segera
dapat mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada
usaha kearah itu. Mudah-mudahan lambat-laun akan berhasil
pula, meskipun dari sedikit"
Swandaru tiba-tiba menjadi gembira. Kalau ia akan dapat
melihat apapun yang dilakukan oleh Ki Tanu Metir, maka ia
akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila
demikian, maka ia berjanji didalam hatinya, bahwa ia tidak
akan merasa seorang murid yang tekun. Mudah-mudahan ia
tidak akan merasa selalu terancam hidupnya oleh Sidanti
sepanjang umurnya. Karena itu ketika Ki Tanu Metir mengajak mereka itu
kehalaman, maka dengan serta-merta Swandaru itupun berdiri
dan berkata "Benar-benar diluar kemampuanku untuk
memikirkan apa yang telah terjadi itu, dan mungkin apa yang
terjadi dalam permainan ini. Tetapi aku berjanji, bahwa aku
akan menjadi seorang murid yang tekun, demi keselamatanku
sendiri dan demi kelangsungan ketentraman didaerah ini"
"Bagus" seis Ki Tanu Metir "Angger adalah putra seorang
Demang yang akan dapat nglintir kekuasaan itu. Mudahmudahan
angger akan dapat membawa bekal secukupnya"
"Terima kasih Kiai" jawab Swandaru.
Ki Tanu Metir itupun kemudian berjalan mendahului
mereka. Tetapi dimuka pintu ia berhenti. Sambil berpaling ia
berkata "Kita ke gunung Gowok"
Swandaru tidak peduli, apakah permainan itu dilakukan
dirumah, dihalaman, atau di gunung Gowok. Karena itu ia
menjawab "Marilah. Aku akan kut kemana Kiai akan pergi"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kembali ia berjalan kehalaman. Ki Demang Sangkal
Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat
dimengertinya itu ikut pula bersama Widura dan Agung
Sedayu. Hanya Untara sajalah yang tinggal dipringgitan dan
kembali ia membaringkan dirinya.
Para penjaga regol yang melihat mereka keluar menjadi
heran dan bertanya-tanya didalam hati. Kemanakah mereka
itu pergi" Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari
nganglang. Sekarang mereka pergi lagi bersama Ki Demang,
Swandaru dan Ki Tanu Metir. Apakah ada seseorang yang
perlu segera mendapat pertolongan dukun tua itu"
Tetapi mereka ridak bertanya terlalu banyak. Mereka hanya
menyapa dan sekedar bertanya sepantasnya. Namun Widura
yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya
"Berjalan-jalan" katanya.
Mereka itupun kemudian berjalan tergesa-gesa ke gunung
Gowok. Disepanjang jalan itu, mereka hampir tidak bercakapcakap
sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan
angan-angannya. Ki Tanu Metir itupun sibuk pula dengan pikirannya sendiri.
adalah aneh sekali, bahwa ia seakan-akan memaksa
seseorang untuk menjadi muridnya tidak atas permintaan
anak itu sendiri. hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan
terpaksa ia membuktikan kepada anak itu sesuatu yang
meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya. Tetapi ia
tidak dapat menolak permintaan Widura. dan ia tidak dapat
membiarkan anak itu hidup dalam ketakutan atas bayangan
orang lain yang mendendamnya. Ia harus menolongnya,
meskipun dengan demikian terjadi kejanggalan itu.
Pada saat permulaan dari penurunan ilmu itu, Ki Tanu Metir
telah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya pada
Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari Agung
Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya
sebagai seorang anak Demang, sehingga seakan-akan iapun
memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh ayahnya,
Swandaru tidak segera menerima tawaran untuk menjadi
muridnya. Namun ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat halhal
yang tidak dimengertinya itu lambat laun, namun dalam
kebimbangan ia menunggu, meskipun telah didenganya
beberapa keterangna mengenai dirinya.
Tetapi dengan demikian, maka Swandaru memnpunyai
sifat yang lebih terbuka pula. ia lebih senang melihat dan
membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki didalam
hatinya. "Namun anak muda itu harus tahu" berkata Ki Tanu Metir
didalam hatinya "Bahwa bukan kehendakku untuk
mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa
yang aku lakukan adalah untuk kepentingannya semata-mata,
sehingga dengan demikian ia seharusnya tidak berbuat
sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya, tetapi
harus benar-benar bertanggung-jawab bagi masa depannya
sendiri" Tetapi Ki Tanu Metir belum dapat mengatakan itu sekarang
kepada Swandaru. Mungkin Agung Sedayu akan segera dapat
mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus
melihat sesuatu lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik
perhatiannya dan kepercayaannya. Tetapi apa"
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia harus berbuat
untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain. Benar-benar
suatu hal yang asing baginya. "Mudah-mudahan aku tidak
sekedar terdorong untuk menyombongkan diri" orang tua itu
tersenyum didalam hati. Tanpa terasa merekapun kemudian sampai pula disebuah
tanah lapang kecil didekat puntuk kecil yang bernama gunung
Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan
gunung itu. Kepada batang kelapa sawit diatasnya, dan
kepada tanah lapang yang kecil itu. Jauh lebih baik dari Ki
Demang Sangkal Putung itu sendiri.
Swandaru menjadi gembira. Dilihatnya bintang-bintang
yang bergantungan dilangit yang biru. Dilihatnya awan yang
tipis bergerak lembut keutara.
Sesaat Ki Tanu Metir berdiri termangu-mangu. Terasa
sangatlah berat baginya untuk memulai sebuah permainan
yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian
dalam keadaan yang serta-merta, tetapi ketika hal itu
dirancangnya lebih dahulu, maka malahan terasa menjadi
sulit. Setelah sesaat mereka tegak membeku, maka Ki Tanu
Metir menyadari, bahwa ia harus segera mulai. karena itu,
maka dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang
diselipkannya diikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia
berkata kepada Swandaru "Lihatlah ngger, mungkin kau kenal
potongan-potongan besi semacam ini. Dengan potonganpotongan
besi semacam ini Ki Tambak Wedi menvoba
menakut-nakuti lawannya. Dengan tangannya Ki Tambak
Wedi membengkokkan besi-besi semacam ini sehingga
hampir berbentuk lingkaran, sehingga mirip dengan bentuk
senjata yang disukainya disamping nenggalanya seperti
kepunyaan Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung"
*** Swandaru tidak menjawab. ia hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Ia menunggu apa yang akan
dilakukan oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu.
Orang-orang yang berdiri tegak itupun kemudian melihat, Ki
Tanu Metir menggenggam besi itu erat-erat, kemudian dengan
kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya
hampir berbentuk sebuah lingkaran. Widura dan Agung
Sedayu menahan nafasnya. Terlebih-lebih Widura. ia pernah
melihat Ki Tambak Wedi menakut-nakutinya dengan
permainannya semacam itu.
Tetapi mereka terkejut ketika Swandaru itu berkata "Kiai,
apakah aku tidak dapat melakukannya?"
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau
mengecewakan Swandaru. Besi yang lengkung itu
diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru
"apakah angger ingin mencoba?"
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia
menjawab "Biarlah aku mencobanya Kiai"
Swandaru kemudian menerima potongan besi itu. Sesaat ia
diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan potongan besi itu
berganti-ganti. "Silakan ngger, silakan mencoba"
Swandaru itu masih berbimbang hati. Tetapi kemudian
dicobanya melakukan seperti apa yang baru saja diperbuat
oleh Ki Tanu Metir. Ketika ia mencoba melengkungkan besi itu, Swandaru
benar-benar terkejut. Disangkanya pekerjaan itu amat
mudahnya. Karena itu, maka dikerahkannya segenap
kekuatan yang ada padanya. Dengan menggertakkan giginya,
kedua tangannya menekan potongan besi itu.
Ternyata kekuatan Swandarupun benar-benar
menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, dan kemudian
perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali.
Nafas Swandaru menjadi terengah-engah. Ternyata
kekuatannya yang dibangga-banggakannya selama ini hanya
mampu membengkokkan besi itu sedikit saja. Itupun telah
dikerahkan tenaganya sebesar-besar mungkin. Sedang Ki
Tanu Metir nampaknya dapat berbuat demikian mudahnya,
bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir bertemu.
"Bagaimana ngger?" bertanya Ki Tanu Metir kemudian.
Swandaru menyerahkan potongan besi itu kembali sambil
berkata "Aku tidak mampu Kiai"
Ki Tanu Metir tersenyum. Dilihatnya mata Swandaru selalu
memandanginya. Dari pandangan mata itu Ki Tanu Metir


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kepercayaan yang mulai tumbuh didalam hati
Swandaru. Namun kepercayaan itu belum cukup
meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar memiliki
kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu.
Sebenarnyalah bahwa Swandarupun belum pernah melihat
kelebihan Ki Tambak Wedi dari orang lain. Tetapi Swandaru
telah mempercayainya. Ia percaya karena ia melihat kelebihan
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu, selain setiap orang
menyebutnya sebagai seorang yang paling ditakuti disekitar
gunung Merapi. Swandaru percaya karena hampir setiap
mulut telah mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir adalah
seorang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya.
Ki Tanu Metir menyadari keadaan itu. Ketenaran seseorang
berpengaruh juga bagi kepercayaan orang lain terhadapnya.
Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran
sebenarnya dari seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak
mengingkari pendapat itu. Karena itu, maka ia masih harus
mendapatkan kepercayaan lebih banyak lagi dari calon
muridnya itu. Namun setiap ia akan mulai, maka keragu-raguannya
tumbuh kembali didadanya. Permainan yang manakah yang
sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung
Sedayu atau Widura bertempur atau berdua bersama-sama.
Tetapi Ki Tanu Metir akan tetap merasakan kebimbangan
Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa Widura dan
Agung Sedayu telah bersama-sama bersetuju. Kalau
demikian, maka sebaiknya Swandaru itu sendiri yang
melakukannya. Tetapi sudah tentu, bahwa permainan itu tidak harus
merupakan perkelahian. karena itu, maka berkatalah Ki Tanu
Metir kepada Swandaru "Kau telah melihat pameran dengan
kekuatan ngger. Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan
pada seseorang akan dapat menyelamatkannya dari orang
lain yang lebih lemah daripadanya. Kesempatan kelincahan
seseorang juga akan turut menentukannya. Nah, sekarang
marilah kita melihat, apakah kita cukup memiliki kelincahan"
Sebelum menjawab, maka Ki Tanu Metir itu kemudian
mencari beberapa buah batu. Batu itupun kemudian
diletakkannya dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu
besar. Kemudian katanya kepada Swandaru "Nah, marilah kita
bermain kejar-kejaran. Apakah angger Swandaru mampu
menyentuh aku didalam lingkaran ini" Kalau aku meloncat
terlalu jauh keluar lingkaran atau apabila angger Swandaru
berhasil menyentuh tubuhku, maka aku telah angger
kalahkan" Swandaru mengerutkan keningnya. Permaian ini adalah
permainan anak-anak saja nampaknya. Karena itu maka ia
menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya
"Marilah ngger. Kejarlah aku"
Swandaru menarik nafas. Meskipun demikian dicobanya
juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir didalam lingkaran itu.
Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu
menganggap dirinya sebagai anak-anak. Karena itu maka
dilakukannya permintaan Ki Tanu Metir itu dengan segansegan.
Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan dengan
loncatan-loncatan dicobanya menyentuh tubuhnya. Tetapi
semakin lama Swandaru itupun menjadi semakin jengkel.
Telah berkali-kali ia mencobanya, tetapi setiap kali orang tua
itu selalu menghindarinya. Karena itu semakin lama Swandaru
menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu tidak terlalu lebar. Ia
tinggal mengejar dan menyentuh tanpa takut-takut untuk
mendapat serangan atau apapun dari orang tua itu. Tetapi ia
tidak pernah berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang
tua itu menjadi semakin cepat pula. sekali-sekali merunduk,
namun disaat yang lain meloncat tinggi-tinggi. Bahkan ketika
Swandaru telah benar-benar kehilangan kesabarannya, dan
dengan sepenuh tenaganya ia mengejarnya, maka Ki Tanu
Metir itu benar-benar telah membingungkannya. Sekali-sekali
ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika orang tua itu
memanggilnya, disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada
dibelakangnya. Ternyatalah kemudian bahwa bukan Swandaru yang
berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi berkali-kali Ki Tanu
Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung "Satu, dua,
tiga?"" dan setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah
hitungannya. Ketika hitungan Ki Tanu Metir telah sampai
bilangan keduapuluh lima, maka ia berkata "Kalau kita
bertaruh ngger, setiap sentuhan sebutir kelapa, maka
duapuluh lima butir angger harus membayar"
Akhirnya Swandaru itupun berhenti. Nafasnya benar-benar
terengah-engah. Ia berdiri sambil bertelekan dengan kedua
tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata
"Tidak dapat. Tidak dapat Kiai"
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi dengan permainan yang
sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah menunjukkan
kekuatan dan kelincahan yang luar biasa.
Ki Demang Sangkal Putung yang telah memiliki
pengalaman yang jauh lebih panjang dari Swandaru segera
melihat, bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti
namun penuh kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan
kelebihannya dengan cara-cara yang mengejutkan dan
mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan
dengan demikian, maka Ki Demang itupun segera memahami,
bahwa sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki Tanu Metir. Bukan
orang yang sesongaran dan terlalu membanggakan
kelebihannya. Namun berbeda dengan Swandaru sendiri, Swandaru
adalah anak muda yang sedang berkembang. Anganangannya
membumbung tinggi keatas awan dilangit yang biru.
Tak pernah ia puas melihat keadaan sekitarnya. Ia ingin
segalanya yang serba besar, dahsyat dan mengejutkan.
Karena itulah maka ia sama sekali belum puas dengan apa
yang dilihatnya itu. Meskipun ternyata bahwa ia tidak mampu
menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak demikianlah
kesaktian seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang
sakti harus mampu berbuat sesuatu yang dahsyat dan
mengerikan. Memukul seekor lembu dengan tangannya
sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan
main-main kejar-kejaran, meskipun dengan demikian ia dapat
melihat kelincahan dan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir.
Ki Tanu Metir yang melihat Swandaru itu berdiri dengan
nafas terengah-engah segera bertanya "Bagaimana angger
Swandaru. apakah angger dapat memahami apa yang angger
lihat?" "Tetapi dalam keadaan bahaya Kiai" jawab Swandaru "Kita
tidak hanya sekedar berlari-lari dan menghindarkan diri.
Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan
berlari-lari dan menghindar kita akan mampu menjatuhkan
musuh-musuh kita?" Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
jawabnya "Yang paling baik bagi kita ngger, adalah
menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu
menjatuhkan lawan kita dalam setiap pertempuran?"
Swandaru menjadi semakin tidak mengerti. Lalu apakah
artinya pertempuran kalau kita hanya sekedar menghindarkan
diri dengan berlari-lari saja" Karena itu maka ia bertanya
"Jadi, apakah dengan berlari-lari menghindar persoalan akan
selesai" Tidak Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau suatu ketika
aku bertemu dengan Sidanti, dan ia menyerangku, apakah
aku hanya akan mampu melarikan diri, atau katakanlah
menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian
persoalanku dengan Sidanti selesai" Bagaimanakah kalau
aku bertemu disaat yang lain?"
"Jadi bagaimana?" bertanya Ki Tanu Metir.
"Kalau aku bertempur" sahut Swandaru dengan nada yang
berat "Maka aku harus dapat menghindari serangan lawan
dan harus pula dapat membinasakan lawan"
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas. Katanya "Jadi
angger harus dapat membinasakan lawan dalam artian
membunuhnya atau bagaimana?"
"Ya, demikianlah seharusnya"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali
lagi ia melihat perbedaan yang tajam antara Swandaru dan
Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan
mungin sebaya, namun keduanya memandang persoalanpersoalan
yang harus dihadapinya dengan cara berpikir
berbeda. Swandaru, seorang anak yang bertubuh kokoh kuat
dengan bekal yang keras dan tegang dalam masa-masa
pancaroba. Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia
dihadapkan pada kekisruhan yang melanda kademangannya.
Dalam pada itu ia hanya mendapat tuntunan lahiriah sematamata.
Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan kalau
tidak ingin dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada
padanya adalah, dibinasakan atau membinasakan. Tidak ada
orang yang memberinya petunjuk, bahwa membinasakan
lawan tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang dapat
membinasakan lawan dalam tekad dan tujuannya yang salah,
dan menjadikannya orang yang baik sehingga menyadari
kesalahannya, untuk seterusnya menghentikan perbuatanperbuatan
itu, dapat juga dianggap sebagai usaha yang
berhasil, meskipun tanpa membunuhnya.
Tetapi ia tidak dapat memberitahukan hal itu sekarang. Dan
sudah pasti, bahwa Swandaru tidak akan segera dapat
mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu
diperlukan waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa
waktu yang diperlukan untuk Swandaru akan jauh lebih
banyak dari waktu yang diperlukan untuk Agung Sedayu.
Swandaru pasti menganggap hal yang demikian sebagai
suatu kelemahan atau bahkan mungkin sifat-sifat cengeng.
Namun banyaklah contoh-contoh yang akan dapat
diberikannya. Seorang penjahat dan liar pada suatu ketika
akan dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat
dengan tulus dan menjadi seorang hamba Tuhan yang baik.
Kesadaran yang demikian akan dapat terjadi dalam banyak
persoalan. Dalam persoalan yang bersifat pribadi maupun
persoalan yang lebih luas, sebagaimana yang dihadapi oleh
Widura. Para pengikut Arya Penangsang sampai saat itu,
masih belum mengakui keadaan yang dihadapinya. Sehingga
karena itu maka mereka terperosok kedalam perbuatanperbuatan
tercela. Bukan sebagai seorang prajurit yang
memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi, tetapi
kesempatan sebagai gerombolan-gerombolan yang menakutnakuti
rakyat. Apa yang terjadi dihadapan Swandaru itulah yang
mendorongnya dalam masa pancaroba itu, berangan-angan
tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan
yang tampak oleh mata. Ki Tanu Metirpun menyadari, bahwa
tekad yang demikian tidak boleh dipatahkan, tetapi harus
mendapat penyaluran yang wajar. Perlahan-lahan. Karena
itulah maka Ki Tanu Metir itupun kemudian tidak mempunyai
pilihan yang lain untuk memenuhi harapan Swandaru,
meskipun tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan
suatu contoh yang tepat menurut selera anak muda dari
Sangkal Putung itu. Tetapi apakah yang dapat dipertunjukkan
dihadapannya. Dihadapan Swandaru dan orang-orang lain.
Apakah ia harus mematahkan pedang dengan jari-jarinya atau
memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak
tangannya" Tetapi bagaimanapun juga Ki Tanu Metir harus
melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau berbuat
menurut seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera
Swandaru. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk bertanya
saja, katanya "Angger Swandaru, kalau angger tidak puas
dengan permainan kejar-kejaran itu maka permainan apakah
yang angger senangi?"
Swandarupun tertegun diam. Ia sendiri menjadi bingung.
Sejak lama ia mengangan-angankan untuk menjadi seorang
jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana"
Ketika ia mendengar pertanyaan itu, maka iapun menjadi
bimbang. Ia tahu apa yang dimaksudkannya, tetapi ia tidak
dapat mengatakan. Karena itu, maka Swandaru itupun berkata dengan jujur
"Kiai, aku sebenarnya hanya ingin menjadi laki-laki yang sakti.
Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya
seperti kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat
memenangkan pertempuran-pertempuran dan perkelahianperkelahian"
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Kehormatan yang diidam-idamkan oleh Swandaru ternyata
adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan
dalam perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama
sekali tidak mengangankan kemenangan lain yang dapat
dicapainya tanpa perkelahian dan pertempuran. Tetapi Ki
Tanu Metir menghargai kejujurannya. Swandaru itu berkata
apa saja yang dipikirkannya. Karena itu, maka Ki Tanu Metir
masih mempunyai harapan, bahwa kelak Swandaru itu akan
dapat dituntunnya sedikit demi sedikit.
Kali ini, Ki Tanu Metir benar-benar harus menunjukkan
ketangkasannya berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Tetapi
bagaimana" Tiba-tiba orang yang tampaknya demikian lemahnya,
berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang berkerut-kerut itu
meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata
"He angger Widura, cabutlah pedangmu. Berdua dengan
Agung Sedayu. Tidak, ayolah bertiga dengan Swandaru. cepat
sebelum aku melukai kalian dengan senjataku ini"
Hampir tak terlihat oleh mata mereka, Ki Tanu Metir tibatiba
telah menggenggam sebuah cambuk kecil yang berjuntai
beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya
bertempur melawan Ki Tambak Wedi. tetapi cambuk ini agak
lebih kecil. Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu benar-benar mengejutkan.
Tiba-tiba saja ia sudah menyerang dengan senjatanya.
Letusan cambuk itu meledak-ledak ditelinga Swandaru seperti
letusan-letusan bambu sebesar paha yang termakan api.
Swandaru benar-benar terkejut melihat gerakan dan serangan
yang tiba-tiba itu. Tanpa disadarinya segera ia mencabut
pedangnya. Dan dengan serta-merta iapun bersiap
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Widura dan Agung Sedayupun segera menarik pedangnya.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun agak segan-segan juga, namun mereka terpaksa
menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka
telah membantu meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki
Tanu Metir. Tetapi kembali Swandaru terkejut bukan kepalang, sebelum
ia sempat berbuat apa-apa, maka terasa seakan-akan sebuah
sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki
Tanu Metir telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah
merenggut pedang itu dari tangannya.
Sesaat Swandaru tegak seperti patung. Dilihatnya
pedangnya terlempar dan jatuh beberapa langkah
daripadanya. Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu,
sehingga untuk sesaat ia tidak bergerak seperti tonggak.
"Kenapa pedangmu kau lepaskan" bertanya Ki Tanu Metir
Swandaru tidak menjawab. namun ia segera menyadari
keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan Agung Sedayu telah
menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing.
Namun serangan keduanya seakan-akan sama sekali tidak
berarti bagi Ki Tanu Metir. Dengan berloncatan serangan
kedua orang itu dengan mudahnya dihindari.
"Mereka tidak bersungguh-sungguh" pikir Swandaru. "Aku
akan membuktikan bahwa Swandaru bukan tikus yang kagum
melihat kucing menari-nari"
"Beri kesempatan aku mengambil senjataku" teriak
Swandaru. "Ambillah" sahut Ki Tanu Metir sambil melayani Agung
Sedayu dan Widura. Ki Tanu Metir itupun kemudian berkata pula "Marilah Ki
Demang kita bermain-main"
Ki Demang belum lagi selesai mengelus dadanya. Tidak
disangkanya bahwa dukun tua itu benar-benar mampu
bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung
pedang. Tetapi ia tersadar ketika Swandaru berbisik "Mereka
hanya pura-pura. Mari ayah, kita buktikan, apakah benarbenar
Ki Tanu Metir bukan hanya seorang dukun saja"
Mula-mula Ki Demang Sangkal Putung merasa segan pula.
tetapi ketika ia melihat Widura menggerakkan pedangnya
seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya,
maka perlahan-lahan Ki Demang itupun menarik pedangnya
pula. Kini mereka bertiga menghadapi Ki Tanu Metir dengan
pedang ditangan. Swandarupun kemudian dengan tergesagesa
memungut pedangnya pula. dengan hati-hati ia segera
mendekati lingkaran pertempuran itu untuk mencoba
menunjukkan bahwa iapun memiliki kekuatan yang dapat
dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu membelit
pedangnya, maka pedang itu akan dipertahankan dengan
kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu memiliki kekuatan
yang berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya,
sedangkan orang-orang lain akan menyerangnya" Setidaktidaknya
ayahnya, apabila Widura dan Agung Sedayu hanya
berpura-pura saja. Tetapi sekali lagi Swandaru itu terkejut bukan kepalang.
Baru saja ia mengacungkan ujung pedang itu, tiba-tiba sekali
lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia
mendengar Ki Tanu Metir itu berkata "Jangan lepaskan
Swandaru" Swandaru menggeram. Berlari-lari ia memungut
pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk menyerang.
Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benarbenar
menjadi bingung. Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu
Metir menarik pedangnya, maka pedang itu dipertahankannya.
Namun sebuah tarikan yang kuat telah membantingnya
terjerebab. Tertatih-tatih Swandaru segera berusaha bangun. Sekali
lagi menggeram. Swandaru merasa bahwa tarikan ujung
cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia
menggenggam pedangnya terlampau erat, sehingga ia tertarik
kedepan dan kehilangan keseimbangan.
Ketika ia tegak berdiri, dilihatnya Ki Tanu Metir masih sibuk
melayani Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal
Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata
bahwa tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang
terakhir kalinya ia terpaksa jatuh terjerebab mencium tanah.
Dengan lengan bajunya, Swandaru membersihkan debu
yang melekat diwajahnya. Bajunyapun menjadi kotor pula
karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia
benar-benar akan mempertahankan dirinya dari tarikan
cambuk itu. Betapapun kuatnya Ki Tanu Metir, namun apabila
ia benar-benar bertahan, maka ia pasti bahwa ujung cambuk
yang kecil itu akan terputus oleh tajam pedangnya, meskipun
terbuat dari janget tenatelon sekalipun.
karena itu, maka kini Swandaru memungut pedangnya
sekali lagi. Digenggamnya pedang itu erat-erat. Dengan hatihati
ia berjalan ketitik pertempuran, dan diacungkannya
pedangnya kearah Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia
memegang hulu pedangnya. Sedang kedua kakinya yang
melangkah setengah langkah ditekuk pada lututnya sedikit.
Kini Swandaru berdiri rendah. Pedangnya teracung kearah Ki
Tanu Metir. Namun Swandaru itu sama sekali tidak bergerak.
Kakinya seakan-akan menghunjam jauh kedalam tanah,
sehingga anak muda itu kini seakan-akan sebuah pokok dari
sebatang pohon yang berakar jauh kepusat bumi.
"Kali ini aku akan bertahan sekuat-kuat tenagaku" kata
Swandaru didalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka
Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada
genggaman pedangnya serta kedua belah kakinya.
Beberapa saat ia melihat pertempuran itu masih
berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir sangat lincah
dan cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak
memiliki daya gerak sama sekali itu ternyata seorang yang
dapat bergerak secepat kilat menjilat langit dan memiliki
tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun demikian, Swandaru
masih tetap bertekad untuk bertahan dari kemungkinan yang
keempat. Pedangnya terjatuh atau dirinya terjerebab.
Tetapi kembali Swandaru itu terkejut. Kali ini Ki Tanu Metir
itu tidak menyerangnya, mencabut pedang dari tangannya
atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi
bingung ketika Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya
"Swandaru, dengan berdiri mematung seperti itu, kau tidak
akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa lemahnya
lawanmu itu, maka ia akan dengan leluasa mencoba
menyerangmu dari arah yang dipilihnya. Sedang engkau
sendiri hanya tegak saja seperti sebuah tonggak. Kenapa?"
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Sesaat
Swandaru tidak dapat menjawab. bahkan wajahnya menjadi
merah. Dadanya bergelora dan berbagai perasaan
berkecamuk didalam hatinya. Tetapi kemudian ia menyadari
kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak dapat bertempur
dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak.
karena itu, maka tiba-tiba Swandaru itu segera meloncat,
menyerbu kedalam pertempuran itu. Digerakkan pedangnya
dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali
lagi pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah
daripadanya. Kali ini Swandaru benar-benar terpaku ditempatnya.
Kenapa hal itu dapat terjadi" Namun dengan demikian, benarbenar
ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan
bergerak Ki Tanu Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama
sekali tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk
mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama sekali tidak
mendapatkan waktu sekejappun untuk ikut serta dalam
pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba
Swandaru berkata "Aku tidak akan mengambil pedangku
kembali." Ki Tanu Metir tersenyum dalam hati. Tetapi terdengar ia
bertanya "Kenapa ngger?"
"Hem" Swandaru menarik nafas panjang-panjang.
Jawabnya "Tak ada gunanya"
"Jadi bagaimana?" bertanya Ki Tanu Metir.
"Ya bagaimana" Aku sama sekali tidak sempat berbuat
apa-apa." Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat beberapa langkah
kebelakang sambil berkata "Sudahlah. Kita akhiri pertempuran
ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu."
Perkelahian itupun segera berakhir. Widura dan Agung
Sedayu tidak dapat menahan geli hatinya melihat Swandaru
berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan
bibirnya bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apapun
juga. "Bagaimana" Bertanya Ki Demang Sangkal Putung pada
anaknya. Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya
bersungguh-sungguh "Aku tidak ikut apa-apa. Sama sekali
tidak." "Kenapa?" bertanya Widura sambil tertawa.
Sekali lagi Swandaru menggelengkan kepalanya. Pipinya
yang gembung itu bergerak-gerak lucu sekali. Namun kini ia
telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa
Ki Tanu Metir benar-benar orang yang luar biasa. Tetapi
meskipun demikian, selera Swandaru agak berbeda dengan
apa yang dilihatnya. Ia adalah seorang yang memiliki
kekuatan jasmaniah yang besar sekali. Tubuhnya yang besar
dan hampir bulat itu, baginya terlalu sulit untuk bergerak
cepat. Karena itu, maka ingin sekali ia melihat Ki Tanu Metir
melakukan suatu perbuatan yang dapat menggetarkan
dadanya. Namun ia tidak berani mengatakannya.
Disimpannya saja keinginan dalam hatinya. "Mungkin suatu
ketika aku akan melihatnya, atau barangkali Ki Tanu Metir
hanya mampu berbuat seperti itu. Membanggakan kecepatan
gerak tanpa dasar kekuatan?" Namun kemudian katanya
didalam hatinya "Tetapi Ki Tanu Metir mampu
melengkungkansepotong besi."
Swandaru itu menggeleng kepalanya kembali. Diakuinya
kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya bertanya pula "Aku
kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak
mau menggempur padas itu sampai pecah."
Tetapi Swandaru tidak mengatakan ketidakpuasannya.
Ketidakpuasan itu disimpannya saja didalam hatinya.
Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung. Demang itu
menjadi benar-benar kagum melihat Ki Tanu Metir itu. Orang
itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak
dibayangkan sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal
Putung tidak saja karena Ki Tanu Metir mampu bergerak
dengan kecepatan yang tidak dimengertinya, sehingga
Swandaru sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
bermain pedang, tetapi orang tua itu kagum juga akan cara Ki
Tanu Metir untuk menunjukkan kelebihannya. Terasa bahwa
usaha Ki Tanu Metir untuk memperlihatkan kepada orang lain,
tidak terlalu berlebih-lebihan. Tanpa sikap sombong dan tidak
menunjukkan kesadaran diri akan kelebihan-kelebihannya.
Sikap yang dalam keseluruhannya benar-benar jarang
ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan
perasaan dan pikiran. Orang-orang yang berada dilapangan kecil itu terkejut
ketika mereka mendengar kokok ayam jantan yang bersahutsahutan.
Bintang-bintang yang berjejal-jejal dilangit, satu demi
satu telah menghilang. Sedang ditimur membayang warna
semburat merah mengusap langit yang biru kehitaman.
"Hampir fajar" desis Ki Tanu Metir.
"Apakah permainanmu ini sudah cukup" Bertanya Widura
kepada Swandaru. Swandaru mengangguk kepalanya. Jawabnya "Sementara
sudah cukup paman." "Sementara?" ulang ayahnya.
Swandaru tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya.
Namun hatinya menyahut "Ya. Sementara. Aku ingin melihat
kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau
mengeringkan lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan
kekuatan yang diam seperti melengkungkan sepotong besi.
Tetapi kekuatan yang hiduo. Yang menggetarkan dada ini."
Namun kata-kata itu sama sekali tidak terloncat dari bibirnya.
"Nah, apakah kita dapat kembali sekarang?" bertanya Ki
Tanu Metir. Semuanya mengiakan. Mereka segera akan melakukan
kewajiban ibadah mereka. Ketika fajar merekah, maka burung-burung liar terdengar
berkicauan seakan-akan berebut keras meneriakkan selamat
pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujungujung
pepohonan yang hijau segar. Dilangit awan yang putih
berhamburan mengalir ke utara didorong oleh angin ngarai.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu
tegak berdiri disamping kandang kuda dibelakang rumah
Kademangan. Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main
diatas tanah yang kering seperti berloncat-loncatan
berkejaran. *** Anak muda itu mengerutkan keningnya. Hampir saja
kepalanya dipecahkan oleh Sidanti dihalaman ini, disamping
kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan
yang lebih banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu
Metir yang dikaguminya itu telah berjanji untuk menjadikannya
seorang murid. "Mudah-mudahan aku dapat menjadi seorang murid yang
baik" gumamnya. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata Ki Tanu Metir
kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya.
Agung Sedayu itu kemudian berpaling ketika ia mendengar
gerit senggot diatas sumur. Dilihatnya seorang gadis
mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa
berdesir. Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba
menjadi bertambah segar dalam siraman cahaya matahari
pagi yang bermain-main ditubuhnya. Tubuh yang bulat segar.
Tubuh yang kuat seperti tubuh kawan-kawannya gadis
pedesaan yang tidak saja duduk bersolek didalam biliknya
tetapi juga bekerja keras membantu ayah bundanya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan menghampirinya.
Ketika gadis itu berpaling, maka Agung Sedayu tersenyum
kepadanya "biarlah aku membantumu"


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan Tuan" sahut Sekar Mirah "Biarlah aku mengambil
air sendiri." Panggilan itu terasa asing baginya kini. Tiba-tiba ia sama
sekali tidak senang mendengar sebutan itu. Karena itu, maka
katanya "Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita
yang menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru
kini tidak lagi diperkenankan bersikap terlalu hormat".
Sekar Mirah menundukkan wajahnya. Dilihatnya
bayangannya didalam sumur. Bayangan seorang gadis remaja
yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan
lenyap ketika upihnya menyentuh permukaan air itu.
"Bagaimana aku harus menyebut tuan?" bertanya Sekar
Mirah tanpa berpaling. "Bertanyalah pada Swandaru." sahut Agung Sedayu
"Bagaimana ia menyebut aku sekarang."
"Ah" Sekar Mirah itu tersenyum. Diangkatnya takir upihnya
keatas. Dan dituangkannya air dari takir upih sebesar bejana
itu kedalam kelentingnya.
"Marilah, aku ambilkan air untukmu" berkata Agung
Sedayu. "Jangan tuan" jawab Sekar Mirah
"Jangan panggil demikian"
"Bagaimana?" "Bertanyalah pada kakakmu"
"Baik, aku akan merubah panggilan itu nanti kalau aku telah
bertemu dengan kakang Swandaru. Bukankah sekarang aku
belum tahu bagaimana aku harus memanggil tuan?"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya bertanya "Kenapa bukan orang lain yang
mengambil air ini". Bukan pembatu-pembatumu?"
"Tak ada bedanya" sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah
yang sedang menimba air itu seperti baru sekali dilihatnya.
Sekar Mirah yang merasa selalu diperhatikan oleh Agung
Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian "Tuan,
apakah yang aneh padaku?"
"Oh" wajah Agung Sedayu menjadi kemerah-merahan.
Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata "Tak ada. Tak ada
yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil
air" "Tak usah" sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu tidak lagi memaksanya. Dibiarkannya Sekar
Mirah menimba air. Mengisi kelentingnya dan kemudian
menjinjingnya pada lambungnya.
"Berat?" bertanya Agung Sedayu
Sekar Mirah menggeleng lemah "Tidak" jawabnya "Aku
sudah biasa mengambil air"
Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Dilihatnya saja
Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing kelenting itu. Terasa
hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu. Cepat,
lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.
"Gadis yang keras hati" desah Agung Sedayu.
Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai hati yang menyalanyala
menyongsong hari depannya. Dilihatnya setiap orang
dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya
seorang demi seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh
kejantanannya berjuang melawan musuh-musuhnya.
Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah hampir tak pernah
berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu untuk
bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Didesaknya
pemuda itu untuk menemukan tempat yang sebaik-baiknya
dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti untuk meraih masamasa
yang gemilang pada masa-masa yang akan datang.
Dan Sidanti mendengarkannya dengan penuh minat.
Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa
yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata
hatinya sendiri. ia adalah seorang anak muda yang
memandang masa depan sebagai miliknya. Miliknya sendiri.
Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan Sekar
Mirah. Hasrat yang tersimpan dihatinya menjadi semakin
menyala. Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama Ki
Tambak Wedi. Seorang yang bercita-cita setinggi awan
dilangit. Namun dirinya sendiri tidak pernah dapat
menggapainya, sehingga dengan demikian maka
dinobatkannya dirinya sendiri menjadi seorang yang disegani
dan ditakuti didaerah lereng gunung Merapi. Pertemuan
diantara merekalah yang sebenarnya telah membakar
Sangkal Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang
nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata
merupakan bahaya yang membayang dibalik punggung.
Tetapi ternyata Sekar Mirah itupun menjadi kecewa
terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti yang ingin
didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat
nafsu Sidanti yang menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa.
Sidanti berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk Sekar
Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah seorang yang baik
hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih berjuang. Tidak
untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata Sekar
Mirah adalah seorang gadis yang cantik.
Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka hati Sekar
Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan
seorang pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat
mendengarkan suara hatinya. Pahlawan yang dapat mengerti
gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang untuknya,
yang akan mempersembahkan setiap kemenangan
kepadanya. Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya pada Agung
Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar
seorang yang berjuang dengan tulus.
"Ia adalah kemenakan paman Widura" berkata Sekar Mirah
didalam hatinya "Sehingga karena itu maka ia tidak akan
berani berbuat diluar kehendak pamannya itu"
Karena itu, maka Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika ia
melihat perang tanding dilapangan, antara Sidanti dan Agung
Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya,
hatinya benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia
kagum melihat ketangkasan Sidanti, serta nyala dan hasrat
untuk menggenggam masa depan ditangannya. Ia melihat
anak muda itu dengan penuh tekad menentang setiap
tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah dibayangi oleh
keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan
Sekar Mirah itu terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya
dalam kemampuan Agung Sedayu. Ketrampilannya melepas
anak panahnya, serta ketepatan bidiknya telah menariknya
kedalam satu pertimbangan yang kacau.
Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu telah benarbenar
meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti
pasti akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka
hilanglah segenap keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi
bergantung pada anak itu, kepada Sidanti. Bahkan meskipun
seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan
gemilang, maka masa-masa yang demikian adalah masamasanya
sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri. Bukan
masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan dirinyapun
bagi Sidanti, pasti hanya akan dipergunakan untuk
kepentingan anak muda itu. Sebagai pendorong dan penuntun
menjelang hari-hari yang akan lebih terang, bagi Sidanti.
Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di Sangkal Putung lagi.
Sidanti telah hilang dari halaman rumahnya. Ia mendengar
beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian
diantara Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur,
maka sudah pasti Sidanti tidak akan memenangkannya.
Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang. Tetapi karena
itulah maka Swandarupun menjadi terlibat pula kedalamnya.
Sekar Mirah yang kemudian bekerja didapur itupun tidak
dapat segera menggeser perasaannya. Agung Sedayu
tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira.
Dihari-hari yang lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah
keluar dari pringgitan. Baru sejak akhir-akhir ini seringkali ia
tampak berjalan-jalan dihalaman. Namun wajahnya masih saja
selalu dibayangi oleh kemuraman dan keragu-raguan. Tetapi
kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan Sekar
Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik
pada wajah itu. Wajah yang tampak lebih halus dan lunak dari
wajah Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala didada
Sedayu itu sedahsyat api yang menyala didada Sidanti"
Hari itu Sangkal Putung tidak mendapat perubahan apaapa.
seperti hari-hari yang lain, para petugas sibuk dengan
kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga
yang mengawasi keadaan. Dan warung diujung desa masih
juga ramai dikunjungi para pembeli dan penjual yang tidak
berani pergi ketempat yang lebih jauh.
Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia telah dapat turun
kehalaman dan melihat laskar Pajang melakukan tugasnya.
Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka
dan rumah tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka itu sebagai
seorang prajurit dan sebagai manusia.
Ketika Untara itu bertanya kepada seorang yang berwajah
keras dan berjanggut tebal, maka didengarnya jawaban "Aku
beranak sebelas tuan"
"Sebelas" Untara terkejut "Dimana sekarang mereka
tinggal?" "Pengging" "Kau berasal dari Pengging?"
"Ya" jawab orang itu.
Untara meninggalkannya. Sebelas orang. Dan sebelas
orang itu semua beserta ibunya menunggunya dirumah.
Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.
"Hem" Untara menggeram. Katanya dalam hati "Persoalan
Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau tidak, maka
persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai
untuk merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada
bilangan minggu, bulan dan bahkan tahun"
Tetapi Untara harus menunggu punggungnya sembuh
benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih kembali, maka ia
akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka
tidak boleh hanya menunggu saja, namun mereka harus
bergerak, menusuk dijantung pertahanan dan tempat
persembunyian mereka. Adapun Agung Sedayu dan Swandaru sejak hari itu adalah
murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah tidak lagi dibingungkan
oleh orang yang berkerudung kain gringsing. Namun Ki Tanu
Metir sendiri itupun masih membawa teka-teki pula bagi
mereka. Apakah sebenarnya ia seorang dukun tua saja"
Seorang dukun yang tidak mempunyai kepentingan langsung
dengan Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau
Swandaru" namun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali
tidak mempersulit diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu
dari orang tua itu. Dan ia akan memanfaatkan ilmu itu kelak.
Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung Sedayu telah
mulai dengan hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir
membawa mereka kesungai yang agak jauh dari Sangkal
Putung. Disanalah mereka mendapat beberapa petunjuk dari
Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk memulai dengan
pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus mendengarkan
petunjuj-petunjuk itu dan mencoba mengertinya.
Agung Sedayu mendengarkan setiap kata-kata Ki Tanu
Metir dengan seksama. Dicobanya untuk mengerti dan
dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa
waktu itu terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir
langsung mengajarnya dengan unsur-unsur gerak daripada
harus mendengarkannya berbicara saja tentang beberapa hal
yang penting untuk masa depannya.
Tetapi Ki Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus
mendengarkannya. "Anak-anakku" berkata Ki Tanu Metir "Apa yang akan kalian
dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi masa-masa
mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi
beberapa lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari
adalah sekedar alat. Alat itu tidak selalu harus dipergunakan
dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi alat hanya
akan dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sedang
Swandaru memandangi percikan-percikan air yang mengalir
dibawah batu-batu tempat duduk mereka.
"Hari ini adalah hari yang pertama bagi kalian" berkata Ki
Tanu Metir itu "Dan dihari pertama kalian harus yakini, bahwa
alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik.
Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat
yang hanya akan dipergunakan apabila sudah tidak ada alat
lain, yang dapat kalian pakai. Namun jangan pula mencari
sebab, sehingga kalian terdorong pada kemungkinan untuk
mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat
yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah
alat yang telah ada didalam dirimu. Kasih sayang diantara
sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat dari
ibadah kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan
alat ini kalian mengorbankan apa yang sudah kalian miliki itu"
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya dan Swandaru masih saja memandangi percikan
air dibawah tempat duduk mereka.
"Apakah kalian mengerti kata-kataku?" bertanya Ki Tanu
Metir itu kemudian. "Ya Kiai" sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir
bersamaan. "Bagus" berkata Ki Tanu Metir kemudian "Ingat, jangan
sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada
seorangpun didunia ini yang paling menang. Suatu ketika
seseorang pasti akan dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain
itu akan dikalahkan pula orang yang lain lagi. Lebih baik kalian
tak pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang hidupmu,
daripada setiap kali kau terpaksa melakukannya. Namun
kalian dengan ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang
wajib kalian tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi
kemanusiaan yang lain"
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya dan kali inipun Swandaru mengangguk-angguk
pula. "Nah, kita kembali kekademangan" berkata Ki Tanu Metir


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandaru terkejut. Jadi hanya inilah pelajaran pertama
yang akan diterimanya" Ia tidak sabar lagi. Sidanti dapat
datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat
mencapai ilmu yang diharapkannya"
Ki Tanu Metirpun meihat perubahan wajah Swandaru.
Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh
keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itupun bertanya
"Kenapa ngger?"
Swandaru mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya "Jadi
hanya inikah yang Kiai berikan hari ini?"
"Ya" "Kenapa hanya duduk-duduk begini kita harus pergi jauhjauh
dari rumah?" Ki Tanu Metir memandang Swandaru dengan heran. Anak
itu sama sekali belum dapat menyesuaikan dirinya sebagai
seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 3 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo 5 Jagoan 5 Raja 4
^