Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 10

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 10


sekali mengalir dari lukanya, bahkan beberapa orang telah
menyangkanya mati. Agung Sedayu dengan gemetar berlutut disamping
kakaknyasambil memanggil-manggil "Kakang, kakng Untara.
Kakang" Tetapi Untara tidak menjawab. bibirnya menjadi seputih
kapas, dan tubuhnya telah menjadi sangat dinginnya.
Perlahan-lahan Widura menempelkan telinganya didada
Untara. Kemudian dengan penuh harapan ia berkata "Masih
aku dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya.
Usahakan untuk menyumbatnya, supaya darahnya tidak
terlalu banyak mengalir"
Tubuh Untara yang lemah itupun segera diangkat. Dan
serentak mereka terkejut bukan kepalang. Pasti bukan Tohpati
yang melukainya. Sebuah belati tertancap dipunggung Untara
itu."Hem" terdengar Widura menggeram. Dengan hati-hati
pisau itu ditariknya. Dan kemudian katanya tergesa-gesa
"Kain. Balutlah lukanya"
Beberapa orang menjadi bingung. Mereka tidak membawa
secarik kainpun untuk membalut luka itu. Namun kemudian
Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat
kepala itu ia mencoba menyumbat luka Untara.
Untara itupun kemudian dikerumuni oleh hampir semua
orang didalam pasukan itu. Sidantipun kemudian datang pula,
menerobos lingkaran itu sambil berkata "Apakah benar kakang
Untara terluka?" Agung Sedayu mengangkat wajahnya. ditatapknya wajah
Sidanti. Wajah yang keras dan tajam. Namun ia tidak
menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura "Ya,
Untara ternyata terluka"
"Benar-benar tidak menyangka" katanya sambil melangkah
maju. Kini anak muda itu berdiri selangkah dibelakang Widura.
Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring ditanah,
sedang beberapa orang masih berusaha membalut luka itu.
Sidanti itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata "Seseorang melihat kakang Untara berhasil
melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia terluka?"
Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Widura juga
tidak. Sedang Agung Sedayu tealh sibuk kembali dengan luka
Untara itu. Semua orang yang berdiri melingkar itu menahan nafas
mereka. Seolah-olah ikut merasakan, betapa pedihnya luka
itu. Luka yang menghunjam masuk kedalam punggung
Untara. Suasana kemudian menjadi sepi. Angin malam yang dingin
menghembus perlahan-lahan, mengguncang batang-batang
padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka
yang sedang bertempur. Sedang dikejauhan terdengar bunyi
binatang-binatang malam bersahut-sahutan. Dilangit yang biru
bersih, terpancang berjuta bintang gemintang yang berkilatkilat.
Sekali-sekali tampak kelelawar beterbangan merajai
langit dimalam hari. Dalam keheningan malam itu tiba-tiba terdengar Sidanti
berdesah "Terlambat. Tidak ada gunanya lagi. Untara telah
mati" Semua yang mendengar desah itu terkejut. Lebih-lebih
Agung Sedayu. karena itu, maka tiba-tiba ia berkata lantang
"Jangan memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha"
"Aku memandang segala persoalan menurut pertimbangan
nalar" sahut Sidanti "Keadaan itu sudah sangat gawat. Apapun
yang kalian usahakan akan sia-sia saja"
"Tidak" potong Widura "Kemungkinan masih ada"
Terdengar Sidanti tertawa pendek "Untara bukan malaikat.
Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, seperti juga orang lain
yang mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati"
"Tutup mulutmu!" tiba-tiba Agung Sedayu yang tidak dapat
menahan hati lagi membentak lantang "kalau kau tidak
merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami
berputus asa" Sidanti mengerutkan keningnya mendengar bentakan itu.
Dengan tidak kalah lantangnya ia menjawab "Jangan bersikap
seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat
kepercayaan dari panglima Tamtama adalah Untara, bukan
kau. Karena itu jangan membentak-bentak"
"Aku tidak peduli apakah dan siapakah yang memimpin
laskar ini. Tetapi aku tidak mau mendengar kau berkata
seolah-olah sudah sewajarnya kakang Untara harus mati. Kau
lihat kami sedang berusaha untuk menolongnya"
"Itu urusanmu" sahut Sidanti "Aku hanya mengatakan
bahwa menurut pendapatku, Untara tidak akan dapat ditolong
lagi" "Jangan kau katakan dihadapanku"
"Apa hakmu melarang aku berkata menurut
pertimbanganku sendiri"
Agung Sedayu bukanlah seorang yang cepat menjadi
marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia adalah seorang yang
lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang
paling damai. Tetapi meskipun demikian kali ini ia merasa
benar-benar tersinggung. Kakaknya adalah orang yang paling
dihormati sepeninggal orang tuanya. Kakaknya adalah orang
yang paling baik dimuka bumi ini, yang telah banyak berbuat
untuknya, untuk kepentingannya. karena itu, maka tanggapan
Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar
telinganya sehingga Agung Sedayu itu seakan-akan
kehilangan segenap sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi keras
dan dengan serta-merta ia berdiri sambil berkata "Sidanti, kau
ingin perselisihan, maka sekarang adalah waktunya. Aku
selalu mencoba menghindari setiap benturan diantara kita
sejauh mungkin. Namun kau selalu membuat persoalan.
Sekarang, kalau kau menantang aku, aku terima
tantanganmu. Dengan atau tanpa senjata"
Tak seorangpun yang menyangka bahwa Agung Sedayu
akan mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang terlalu keras
dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran
didalam dadanya. Getaran yang telah memenuhi rongga
hatinya yang betapapun luasnya. Sehingga akhirnya meluap
juga, menggetarkan udara malam yang dingin.
Sidantipun sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung
Sedayu tiba-tiba saja berbuat demikian. Sesaat ia berdiri
termangu-mangu.dilihatnya didalam sinar obor yang kemerahTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
merahan mata Agung Sedayu yang menyala-nyala. Namun
Sidanti adalah seorang yang keras hati. Ketika ia menyadari
keadaan, tiba-tiba ia mengangkat dadanya. Dengan lantang ia
menjawab kata-kata Agung Sedayu "Bagus. Aku tantang kau
saat ini" Agung Sedayu tidak menunggu apapun lagi. Setapak ia
maju. Dan ketika ia melihat ditangan Sidanti masih
tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa
menghiraukan apapun lagi, dengan tangkasnya ditariknya
pedangnya dari wrangkanya.
Tetapi tepat pada saatnya Widura telah berdiri diantara
mereka. Dengan tenang ia berkata "Aku memerintahkan kalian
menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan
pada Sidanti selaku seorang prajurit dibawah pimpinanku, dan
aku perintahkan kepada Agung Sedayu selagi masih
keponakanku" Kembali suasana menjadi sunyi senyap. Sidanti dan Agung
Sedayu merasakan perbawa kata-kata Widura. karena itu,
maka merekapun menundukkan wajah masing-masing.
Sesaat kemudian terdengar pula Widura itu berkata
"Sekarang bawa Untara kembali ke Sangkal Putung. Cepat
supaya kita dapat memberikan pertolongan yang lebih baik.
Darah telah terlampau banyak tertumpah disini. Apakah masih
ada yang akan memeras lagi darahnya" Apalagi tanpa arti?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi segera ia
melangkah mendekati tubuh kakaknya dan ikut serta
mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak
didalam dadanya. Sedang Sidanti masih tegak ditempatnya. Diawasinya
Agung Sedayu melangkah pergi, menyarungkan pedangnya
dan kemudian bersama-sama dengan beberapa orang
mengangkat tubuh Untara. Widurapun kemudian meninggalkan Sidanti itu pula.
dibelakang mereka yang mengangkat tubuh Untara, Widura
berjalan sambil menggigit bibirnya. Seribu satu macam
persoalan membentur dinding hatinya. Untara yang baru saja
sembuh dari lukanya, kini telah terluka kembali. Bahkan agak
lebih parah. Kalau anak muda itu tidak segera mendapat
pengobatan yang baik, maka jiwanya ada dalam bahaya.
Ketika laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung
pergi meninggalkan tempat itu, maka Sidanti masih saja
berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil
menundukkan kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakanakan
berduka. Tiba-tiba timbullah iri dihatinya "Apakah kalau aku terluka
maka semua orang akan berduka seperti itu?" katanya dalam
hati. Ketika kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok,
Sidanti itu terkejut. Terasa kemudian betapa silirnya angin
yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat wajahnya
dilihatnya bintang-bintang masih bercahaya dilangit diatas
kepalanya. Dilihatnya bintang Bima Sakti melintang dari kutub
ke kutub, dilingkaran serbuk bintang yang keputih-putihan
seperti awan yang bercahaya.
Dimukanya berpuluh-puluh obor berjalan semakin lama
menjadi semakin jauh. Ketika ia kemudian melangkah, tibatiba
ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut. Cepat ia
berpaling sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia
menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat orang yang
mendatanginya. Gurunya, Ki Tambak Wedi.
"Apakah lau terkejut Sidanti?"
Sidanti menarik nafas. Jawabnya "Ya guru. Aku baru saja
bertempur disini. karena itu, maka aku masih diliputi oleh
suasana itu" Gurunya itu tertawa pendek "Aku melihat pertempuran ini.
Aku melihat pula kalian mencari pemimpin kalian yang
bernama Untara itu" Sidanti tersenyum pula "Hem. Pokal orang-orang gila itu"
desisnya. Ki Tambak Wedi itupun kemudian mengawasi obor-obor
yang semakin menjauh. Nyala apinya kemudian seakan-akan
hanya merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak
diatas layar yang hitam. Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan penuh keprihatinan
membawa tubuh kakaknya bersama-sama beberapa orang
lain. Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang
selama ini mengancam jiwa kakaknya dalam pengabdiannya.
Luka kakaknya yang pertama seakan-akan baru kemarin
dibebatnya didaerah sekitar Macanan. Kini kakaknya sudah
terluka kembali. Namun demikian, kakaknya bukanlah korban satu-satunya.
Didaerah bekas pertempuran itu masih banyak tubuh-tubuh
lain yang bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa
diantara mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun sebagian
lagi masih hidup, merintih-rintih menahan sakit. Karena itu,
tiba-tiba Agung Sedayu itu berpaling kepada pamannya sambil
berkata "Paman, apakah orang-orang lain yang terluka digaris
peperangan itu tidak mendapat perawatan seperti kakang
Untara ini?" Pamannya mengangguk. Jawabnya "Ya. Beberapa orang
lain bertugas mengurusi mereka. Baik yang sudah meninggal.
Maupun yang masih mungkin mendapat pertolongan"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
ketika terpandang kembali wajah kakaknya yang pucat,
hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung
Sedayu dan orang-orang yang membawa Untara itu berjalan
semakin cepat. Untara harus segera mendapat pengobatan
sewajarnya. Kabar tentang Untara segera tersebar keseluruh Sangkal
Putung. Beberapa orang semula menjadi kecewa mendengar
berita itu. Salah seorang diantara mereka berkata "Kalau
begitu, Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita
harapkan disini. Seperti kabar-kabar yang kita dengar,
ternyata Untara sama sekali tidak mampu mempertahankan
dan menyelamatkan dirinya sendiri"
"Kau salah" jawab yang lain. "Untara sebenarnya tidak sisip
dari berita yang kita dengar disini. Ternyata Untara memang
tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang
melihat Untara berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan
kemudian mendesaknya terus. Seandainya Tohpati tidak
segera mengundurkan dirinya, maka kemungkinan yang
hampir pasti, Tohpati akan dapat dibinasakan oleh Untara.
Namun, ketika kita sedang mengejar laskar lawan yang
mengundurkan diri, seseorang menyerangnya dengan curang,
menusukkan pisau itu terhunjam dipunggungnya"
Orang pertama menyesal atas penilaiannya terhadap
Untara. Karena itu cepat-cepat ia membetulkan kesalahan
"Aoh, aku keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan.
Namun jika seandainya seseorang berhasil melukainya,
meskipun dari belakang, maka orang yang melakukan itu pasti
seseorang yangn pilih tanding pula"
"Mungkin" jawab orang kedua "Didalam laskar lawan
terdapat Alap-alap Jalatunda, Plasa Ireng dan lain-lain"
"Plasa Ireng sudah mati"
Orang kedua itu mengerutkan keningnya. "Ya, ia mati
dalam keadaan yang mengerikan. Hem. Sidanti benar-benar
berdarah dingin. Dengan tangannya ia merobek-robek tubuh
lawannya yang sudah tidak berdaya"
"Sungguh berlawanan dengan Agung Sedayu" sahut yang
lain. "Menurut Swandaru Geni, Agung Sedayu menyesal
ketika ia membunuh seseorang meskipun didalam
peperangan" Kemudian keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dilihatnya beberapa kawan-kawan mereka sedang berbaringbaring
saja dimuka regol kademangan karena kelelahan.
Beberapa orang duduk-duduk dihalaman, sedang yang lain
masih berada di banjar desa.
Orang-orang yang terlukapun kemudian dibawa kebajar


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desa itu untuk mendapat pertolongan sekedarnya. Tetapi
Untara itdak dibawa kebajar desa. Untara itu oleh Widura
disuruhnya membawa kekademangan saja. Sebab Untara
adalah orang penting bagi Pajang. Mau tidak mau Ki Ageng
Pemanahan pasti akan menjadi heran atas keadaannya.
Untara itupun kemudian dibaringkan didalam pringgitan
kademangan. Agung Sedayu, Widura, Ki Demang Sangkal
Putung, Swandaru dan beberapa orang lagi berdiri
memagarinya. Mereka menyaksikan dengan penuh haru,
tubuh Untara yang terbaring diam. Meskipun demikian,
mereka masih mempunyai harapan bahwa Untara akan dapat
sadar kembali, karena mereka masih melihat dada Untara
bergerak-gerak dalam pernafasan yang sulit.
Ki Demangpun menjadi gelisah pula. ia telah menyuruh
beberapa orang untuk mencari daun-daun yang menurut
pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan
aliran darah. "Untunglah" gumam Widura "Lukanya agak terlalu tinggi,
sehingga tidak langsung menyentuh jantungnya"
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
demikian, keadaan Untara cukup berbahaya.
Dalam pada itu, hampir setiap orang berbicara tentang
Untara, tentang lukanya dipunggung. Mereka bersepakat
bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara
yang curang. "Didalam perang brubuh hal itu memang mungkin sekali
terjadi" bisik salah seorang yang bertugas digardu pertama.
Yang diajak berbicara mengangguk. Katanya "Tetapi aneh.
Tohpati dan Untara bertempur tepat digaris pertempuran.
Apakah kemudian Untara mendesaknya hingga masuk
kedalam lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu ia
mendapat serangan dari belakang?"
"Aku tidak melihatnya demikian. Kita bersama mendesak
mereka. Dan mereka mundur dalam satu garis yang teratur,
meskipun disana sini timbul pula kekacauan yang
memungkinkan hal-hal semacam itu terjadi"
"Tetapi yang melukai Untara pasti bukan Macan Kepatihan"
"Pasti bukan" jawab yang lain.
Mereka kemudian terdiam. Tetapi mereka dikejutkan oleh
sebuah bayangan yang perlahan-lahan mendatanginya.
Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan menggenggam hulu
pedangnya yang masih disangkutkan didalam sarungnya ia
menyapa "Siapa itu?"
Orang yang disapa itu mengangkat wajahnya. Sambil
berjalan terus ia menjawab "Aku ngger, aku"
"Aku siapa?" bertanya penjaga itu pula.
Orang yang disapanya itu berjalan semakin dekat. Dengan
langkah satu-satu iam menjadi semakin jelas. Seorang tua
dengan sebuah tongkat kecil ditangannya.
"Siapa itu" penjaga itu mengulangi.
"Aku ngger, aku" jawabnya. Suaranyapun telah
memberitahukan kepada para penjaga bahwa orang itu adalah
seorang tua. "Siapa namamu?"
Orang itu sudah dekat benar. Dengan nafas terengahengah
ia berkata "Huh. Aku hampir mati ketakutan melihat
pertempuran itu" "Kau melihat pertempuran itu kek" Bertanya salah seorang
penjaga. "Ya, aku melihat" jawabnya.
"Kenapa melihat, kalau kau hampir mati ketakutan?"
"Aku tidak sengaja melihat. Aku berjalan lewat daerah itu.
Dan didaerah itu terjadi pertempuran"
"Mau kemana kau sebenarnya kakek?"
"Pulang ke dukuh Pakuwon?"Dukuh Pakuwon" bertanya
para penjaga keheranan "Dari mana?"
*** Orang itu terdiam. Nafasnya masih saja terengah-engah.
Baru kemudian ia menjawab "Aku baru saja pulang dari
pesisir" "Dari pesisir?"
"Ya. Aku baru saka mencari kulit kerang hijau. Kulit kerang
ini sangat baik untuk mengobati luka-luka"
"Kau dapatkan kulit kerang itu?"
"Ya" "Dapatkah dipakai untuk mengobati luka senjata tajam?"
"Tentu. Tentu" "Banyak kawan-kawan kami terluka. Apakah kau mau
mengobati mereka?" "Tentu. Tentu" Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat
percaya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya.
karena itu, maka katanya kemudian "Pemimpin kami terluka.
Marilah, aku antarkan kau kekademangan. Biarlah para
pemimpin yang menentukan, apakah obatmu dapat
menolongnya" "Siapakah yang terluka?"
"Untara" "Untara?" kakek itu mengulang.
Orang tua itupun kemudian dibawa oleh beberapa orang
penjaga kekademangan. Ketika mereka sampai dipendapa,
maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk
dipringgitan sehingga para penjaga itu menjadi ragu-ragu.
Tetapi karena keinginan mereka untuk mengantarkan orang
tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu yang masih
terbuka itu. Widura berpaling kearah mereka. Dilihatnya seorang
penjaga berdiri tegak dimuka pintu. "Ada apa?" katanya.
Maka diceritakannya tentang orang tua yang telah
mendapatkan kerang hijau yang dapat untuk menyembuhkan
luka-luka. Widura yang sedang digelisahkan oleh luka Untara itu tidak
berpikir panjang. Segera ia berkata "Bawa orang itu masuk
kemari" Orang tua itupun segera dipersilakan masuk kepringgitan.
Namun demikian ia melangkah pintu, terdengarlah Agung
Sedayu menyapanya lantang "Ki Tanu Metir!"
Orang tua itu memandang berkeliling. Akhirnya dilihatnya
Agung Sedayu diantara mereka. karena itu, maka tampaklah
ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya "Kau disini
juga ngger?" "Ya Ki Tanu. Aku menunggui kakakku yang terlkua" tibatiba
Agung Sedayu itu teringat pula kepada peristiwa yang
dialaminya di Macanan. Maka katanya pula "Ki Tanu. Kakakku
yang terluka ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara"
"He?" orang tua itu terkejut "Apakah angger Untara belum
sembuh?" Semua orang yang berada di pringgitan memandang orang
tua yang bernama Ki Tanu Metir itu dengan seksama. Mereka
menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah
mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik.
Agung Sedayupun kemudian menjelaskan "Kakang Untara
baru saja terluka dalam pertempuran diperbatasan Sangkal
Putung. Bukan luka yang dahulu"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya "Hem. Itu adalah akibat dari
kedudukannya. Baru saja angger Untara sembuh, kini ia telah
terluka kembali" "Ya Kiai" sahut Widura "Setiap prajurit menyadari hal itu.
Kamipun disini menyadari, dan Untarapun menyadari"
"Angger benar" jawab Ki Tanu Metir sambil menganggukanggukkan
kepalanya. Kemudian katnaya "Siapakah angger
ini?" Widura ragu-ragu sesaat. Yang menjawab adalah Agung
Sedayu "Paman Widura. pemimpin laskar Pajang di Sangkal
Putung" "Oh" desah orang tua itu, yang kemudian berkata pula
kepada Widura "Angger, apakah aku diperbolehkan mencoba
mengobati luka angger Untara?"
"Silakan Kiai. Kami akan berterima kasih kepada Kiai.
Menurut cerita yang pernah aku dengar, Kiai pernah juga
merawat Untara beberapa waktu yang lewat"
"Ya ya" sahut Ki Tanu Metir sambil melangkah maju.
Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengamati dan
meraba-raba luka Untara itu.
Semua orang menegang nafas. Mereka berharap-harap
cemas, mudah-mudahan orang tua itu dapat memberinya
obat. Tampaklah Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata "Angger,
tolonglah aku membuka bajunya"
Dengan tergesa-gesa Agung Sedayupun segera menolong
Ki Tanu Metir, dengan sangat hati-hati membuka baju Untara.
Dari bungkusannya, Ki Tanu Metir mengeluarkan beberapa
jenis obat-obatan, yang kemudian dilumurkan disekitar luka
Untara. "Marilah kita berdoa didalam hati kita. Sebab kita hanya
wenang berusaha, dan Tuhanlah yang akhirnya menentukan.
Mudah-mudahan angger Untara segera sembuh"
"Apakah luka itu tidak terlalu berat Kiai?" bertanya Agung
Sedayu dengan cemas. Ki Tanu Metir menggeleng "Tidak terlalu berbahaya"
Semua orang menarik nafas panjang mendengar
keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak diantara mereka
yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang
seperti Untara itu tidak akan mengalami pingsan sedemikian
kerasnya. "Angger" berkata Ki Tanu Metir kepada Widura "Biarlah
angger Untara beristirahat. Dan biarlah udara dipringgitan ini
menjadi sejuk. Karena itu, apabila tidak berkeberatan, biarlah
yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini"
Widura menjadi ragu-ragu untuk sesaat, diamatinya wajah
orang tua itu. Namun kemudian ia berkata "Baiklah . biarlah
ruangan ini menjadi jernih"
Beberapa orang lain segera meninggalkan ruangan itu.
Mereka mengerti juga, bahwa dengan demikian udara didalam
ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas.
Didalam ruang itu kini tinggal Widura, Ki Demang Sangkal
Putung, Agung Sedayu dan Swandaru. dari balik dinding
Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak
berani masuk kedalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya
dan beberapa orang yang lain lagi berwajah tegang. Dari
beberapa orang ia mendengar bahwa Untara terluka.
Sekar Mirah menjadi gembira ketika ayahnya
memanggilnya. Setelah ia berlari menjauh, maka dari
kejauhan itu ia menjawab "Ya ayah"
"Kemarilah" Dengan berlari-lari kecil Sekar Mirah itu masuk ke
pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu tertegun dipintu ketika
ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi
kesuramannya itu tampaknya menambah Agung Sedayu
menjadi dewasa. "Ambillah jeruk" berkata ayahnya.
"Jeruk apa ayah?"
"Jeruk pecel" sahut ayahnya.
"Ya ayah" jawab gadis itu sambil berlari.
Widura sekejap memandang wajah kemenakannya. Ia
melihat sesuatu pada wajah itu.na ia tidak berkata apapun.
Setelah ruangan itu menjadi sepi, maka terdengarlah
Agung Sedayu bertanya "Ki Tanu, apakah benar luka itu tidak
begitu parah?" "Luka itu tidak parah ngger, tetapi aku kira tidak
membahayakan jiwanya apabila aku berhasil mengembalikan
pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi
angger Untara bukan luka itu, tetapi lihatlah" Ki Tanu Metir itu
kemudian menunjukkan sebuah noda kebiru-biruan dilambung
kanan Untara. Semua yang menyaksikan noda itu terkejut
karenanya. Dengan serta-merta Agung Sedayu bertanya
"Noda apakah itu Kiai?"
"Sebuah pukulan yang tepat diarah ulu hati. Untunglah
bahwa pukulan itu dilakukan agak tergesa-gesa, sehingga
agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya"
Semua orang yang berada ditempat itu merenungi noda itu
dengan seksama. Mereka melihat disekitar noda yang kebirubiruan
itu menjadi agak bengkak dan berwarna kemerahmerahan.
"Ada dua kemungkinan Kiai" berkata Widura "Pukulan itu
tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga karena tergesa-gesa
atau memang penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk
membuat Untara itu menjadi semakin parah"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Ya. Mungkin. Namun menilik kemudian yang dapat dilakukan
atas angger Untara, maka orang itu pasti bukan orang
kebanyakan" Kembali ruangan itu menjadi diam. Masing-masing
mencoba untuk mencari etiap kemungkinan yang dapat terjadi
atas Untara itu, namun tak seorangpun yang mampu untuk
mencoba menebak, siapakah yang telah melakukannya.
Pringgitan itu kini menjadi sepi. Ki Tanu Metir masih saja
merenungi tubuh Untara. Diraba-rabanya dan dipijit-pijitnya.
Sekar Mirahpun kemudian masuk kembali kepringgitan itu
dengan beberapa buah jeruk nipis. Diserahkannya jeruk itu
kepada ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu
diberikannya kepada Ki Tanu Metir.
"Terima kasih" sahut dukun tua itu.
Setelah dipotong-potong maka jeruk nipis itupun
diperasnya dan dicampurkannya pada ramuan obat-obatan.
Dengan ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut
jalan pernafasan Untara. Dari lambung dada dan
punggungnya. Sesaat kemudian terdengarlah Untara itu berdesah, lalu
terdengar pula sebuah tarikan nafas yang panjang.
"Bagaimana Kiai?" terdengar Widura bertanya.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. ia masih menekan
bagian bawah dada Untara dan mengurutnya perlahan-lahan.
Sekali lagi Untara menarik nafas panjang, kemudian
terdengar ia mengeluh pendek.
Agung Sedayu, Widura, dan Ki Demang Sangkal Putung
mendesak maju. Sedang Swandaru Geni berdiri kaku
dibelakang ayahnya. Mereka kemudian menarik nafas lega ketika Ki Tanu Metir


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berkata "Pernafasan angger Untara sudah berangsur baik.
Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali. Gabungan
dari dua luka ditubuhnya, benar-benar menjadikannya
menderita. Luka tusukan dipunggungnya telah sangat
melepahkannya, dan noda biru itu telah mengganggu
pernafasannya. Ternyata gerak dada Untara kini telah jauh berbeda. Kini
Untara telah tampak bernafas dengan mudah. Sekali-sekali ia
telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali. Apalagi
dengan obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada
lukanya, sama sekali telah menyumbat pendarahan.
Kemudian Ki Tanu Metir yang menarik nafas dalam-dalam.
Lirih ia bergumam "Mudah-mudahan"
Setelah pernagasan Untara itu menjadi baik kembali, serta
beberapa kali ia telah dapat menggerakkan tangannya, maka
Ki Tanu Metir itupun berkata "Biarlah angger Untara tidur. Ia
kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya yang
sangat lemah, maka ia belum dapat menyadari dirinya
sesadar-sadarnya" "Jadi, luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya Kiai?"
desak Agung Sedayu Ki Tanu Metir menggeleng "Marilah kita berdoa. Mudahmudahan
dugaanku benar. Angger Untara akan sembuh
kembali" Ruang pringgitan itu menjadi sepi kembali. Mereka kini
tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini tidak
lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini duduk
disamping tubuh Untara yang masih terbaring diam.
Sekar Mirah yang tidak pergi keluar sejak ia menyerahkan
jeruk pecel kini ikut duduk disitu pula. Tetapi ia menjadi
kecewa ketika ayahnya berkata "Mirah, manakah minuman
kami?" Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia segera berdiri dan
sambil bersungut-sungut ia keluar dari pringgitan pergi
kedapur. Sejenak kemudian, mereka yang duduk dipringgitan itu
serentak berpaling, ketika mereka mendengar gerit pintu
terbuka. Dimuka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri
tegak. Ketika dilihatnya Widura maka anak muda itu
menganggukkan kepalanya. "Kakang Widura" katanya "Apakah aku boleh masuk?"
"Apakah kau mempunyai suatu keperluan
Sidanti?"bertanya Widura.
Sidanti mengangguk sambil menjawab "Ya kakang"
"Kemarilah" sahut Widura.
Sidanti itupun kemudian masuk kepringgitan dan duduk
disamping Widura. ditangannya ia memegang sebuah
bungkusan kecil. "Kakang" katanya "aku telah mencoba menghubungi
guruku. Aku katakan kepada guru, bahwa kakang Untara
terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu"
Sidanti berhenti sesaat. Dicobanya mengawasi wajah-wajah
mereka yang duduk disekitarnya. Ketika tak seorangpun
menjawab maka Sidanti itu meneruskan "Namun sayang,
menurut guruku, luka demikian adalah luka yang sangat
berbahaya. Luka yang tak akan mungkin diobati. Meskipun
demikian, maka kita wajib berusaha. Dan gurukupun akan
mencoba menolongnya apabila mungkin. Namun segala
sesuatu bukanlah kita yang menentukan. Dan inilah obat yang
aku terima dari guruku itu. Biarlah aku mencoba
mengusapkannya pada luka itu"
Widura mendengar kata-kata Sidanti itu dengan heran, dan
bahkan sesaat ia berdiam diri. Timbullah perasaan aneh
terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat yang
disangkanya. Dalam keadaan yang sulit, ia berusaha pula
untuk berbuat sesuatu meskipun hasilnya belum pasti akan
tampak. karena itu, maka sesaat kemudian menjawab "Terima
kasih Sidanti" Agung Sedayupun menjadi heran pula. tiba-tiba matanya
menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia telah memusuhi anak
muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk
keselamatan kakaknya. Ki Demang dan Swandaru Genipun menjadi bersenang hati
atas sikap itu. Dengan demikian, maka pertentangan diantara
mereka menjadi semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah
persatuan yang bulat diantara semua kekuatan di Sangkal
Putung. Tetapi yang masih saja berdiam diri adalah Ki Tanu Metir.
Ia masih belum tahu, obat apakah yang dibawa oleh Sidanti
itu. karena itu, maka katanya "Angger, apakah aku boleh
melihat obat itu?" Sidanti memandang kepada Ki Tanu Metir, dengan penuh
curiga, sehingga kemudian ia bertanya kepada Widura
"Siapakah orang ini kakang?"
Widura berpaling kepada Ki Tanu Metir, kemudian jawabya
"Orang inilah yang telah melakukan pertolongan pertama
kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir. Ki Tanu adalah
seorang dkun yang berpengalaman"
Sidanti mengerutkan keningnya. Tampaklah dari sorot
matanya, bahwa ia tidak senang melihat kehadiran Ki Tanu
Metir. Maka katanya "Apakah Ki Tanu Metir dapat pula
mengobati" Atau barangkali seorang dukun yang dapat
menebak hati orang, atau menenung orang dari jauh dan
menaruh guna-guna?" "Oh tidak, tidak ngger" sahut Ki Tanu Metir "Aku bukan
dukun semacam itu. Aku sama sekali tidak dapat menebak hai
orang, merauh guna-guna apalagi menenung. Yang aku
ketahui hanyalah sekedar beberapa jenis obat-obatan yang
dapat dipakai untuk mengobati luka. Itupun hanya aku dengar
dari nenek dan kakek. Hanya itu. Dan sekarang aku mencoba
mengobati luka Untara dengan cara yang pernah aku pelajari
dari orang-orang tua itu"
"Hem" Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya "Kalau begitu, obat ini adalah obat yang
pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab obat ini
diberikan oleh guruku, Ki Tambak Wedi"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti.
Kemudian ia menyahut "Mungkin Ki Tambak Wedi itu seorang
dukun yang pandai. Tetapi apakah iai dapat mengobati tanpa
melihat luka itu?" "Tentu" jawab Sidanti "Ki Tambak Wedi dapat mengobati
apa saja meskipun luka itu tidak dilihatnya. Sebab ia pasti tahu
bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan
aliran darah dan kemudian memampatkan luka itu untk
memulihkan jaringan daging yang telah pecah dan sobek"
"Ya, ya, begitu pulalah yang pernah aku dengar dari orangorang
tua" berkata Ki Tanu Metir "Namun setiap luka ditempat
yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka
angger Untara itupun sudah pampat dan tidak mengalirkan
darah lagi" Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak
senang melihat Ki Tanu Metir berada diruangan itu. Ketika ia
berpaling kepada Untara, maka katanya "Apakah tubuh itu
akan kita biarkan terbaring diam untuk kemudian mati" Kita
harus berusaha, meskipun seandainya usaha itu gagal.
Namun kita akan mengkhianatinya apabila kita biarkan saja
Untara itu mati tanpa ikhtiar apapun"
Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Dibiarkannya mereka
berdua berbicara. Sementara itu ia mencari kemungkinankemungkinan
yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat
menolak kebaikan hati Ki Tambak Wedi. akhirnya Widura
itupun berkata "Sidanti, darah yang mengalir dari luka itu telah
berhenti. Untara kini telah tidur nyenyak. Biarlah obat itu kau
berikan kepadaku. Nanti apabila ia telah bangun, biarlah aku
mengobati lukanya, atau biarlah Ki Tanu Metir yang
melumurkannya" "Kenapa kita menunda sampai nanti, kakang Untara pasti
akan lebih menderita. Kalau kemudian terlambat, maka akan
sia-sia segala usaha"
"Tetapi pasti tidak dapat sekarang" potong Ki Tanu Metir.
"Obat itu mungkin sekali akan mengadakan tenggangmenenggang
dengan obat yang lebih dahulu telah aku
lumurkan. Karena itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya
dahulu. Kalau ternyata tidak bermanfaat, baiklah kita ganti
dengan obat yang lain"
"Banyak waktu yang terbuang" jawab Sidanti, kemudian
kepada Widura ia berkata "Kakang, aku minta ijin untuk
mencoba mengobati luka itu"
"Nanti dulu Sidanti" berkata Widura sambil berdiri "Jangan
memaksa. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan kepada
Ki Tambak Wedi yang telah sudi memberikan obat itu. Namun
sayang bahwa luka itu telah terlanjur diobati, dan darahnya
telah tuntas. Karena itu, marilah berikan kepadaku, barangkali
nanti kita perlukan"
Sidanti itupun menjadi sangat kecewa. Sehingga ia
menggeram. Meskipun demikian ia masih ingin memaksa,
katanya "Kakang, buat apa kita percaya kepada dukun itu.
Biarlah aku mengobati luka itu kalau dukun itu marah, biarlah
aku patahkan lehernya"
"Ampun ngger, jangan patahkan leherku. Aku masih sangat
memerlukannya" Tiba-tiba Ki Tanu Metir itu menyahut "Tetapi
demi kesembuhan angger Untara, jangan kau sentuh
tubuhnya" Agung Sedayu menjadi bingung mendengarkan
pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi sangat tidak
senang mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir.
Meskipun ia dapat menghargai usaha Sidanti, namun ia tidak
dapat melupakan, bahwa Ki Tanu Metir pernah menolong
Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah erjadi
setelah ia meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun
Untara itu ternyata tertolong jiwanya. Sedang obat yang
dibawa Sidanti itu masih harus diuji pula. karena itu, maka
tiba-tiba ia berkata "Kakang Sidanti, berikanlah obat itu
kepada paman Widura. biarlah besok ata nanti, paman Widura
melumurkannya" Sidanti itu memandang wajah Agung Sedayu dengan
tajamnya. Kemudian terdengarlah suaranya parau "Agung
Sedayu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang
terhadap kakakmu itu. Apakah kau akan menunggu sampai
Untara mati, baru akan kau obati lukanya"
"Kalau kakang Untara gugur, maka sudah tentu akulah
yang paling bersedih. Tetapi ia kini sudah berangsur baik.
Karena itu jangan diganggu"
Sidanti itu berpaling kepada Widura. dengan wajah yang
tegang ia berkata "Bagaimana kakang?"
"Berikan obat itu kepadaku, Sidanti"
Sidanti itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tidak akan
dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu diberikannya
bungkusan daun waru ditangannya itu kepada Widura. "Inilah
kakang. Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka
kalianlah yang telah membunuhnya. Meskipun demikian, aku
mengharap obat itu akan dicoba pula"
"Baiklah, kami akan mencoba obat ini besok kalau ternyata
kami perlukan" Sidanti tidak berkata-kata lagi. Setelah bungkusan
ditangannya itu diterima oleh Widura, maka segera ia
meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling kearah Ki Tanu
Metir, dan sekali kepada Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menangkap pertanyaan yang menyorot dari
mata Widura. ia ingin penjelasan tentang obat itu. karena itu,
maka Ki Tanu Metir itupun berkata "angger Widura, apakah
aku boleh melihat obat itu?"
Widura kemudian duduk kembali ditempatnya.
Diberikannya bungkusan daun waru ditangannya itu kepada Ki
Tanu Metir. Katanya "Cobalah lihat Kiai, apakah obat ini
bermanfaat pula?" Dengan hati-hati Ki Tanu Metir membuka bungkusan itu.
Ketika ia melihat obat yang terbungkus didalamnya tampak ia
terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
"Bagaimana Kiai?" bertanya Widura ingin tahu.
Ki Tanu Metir mengangkat alisnya. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata "Aku tidak dapat memberikan
obat ini kepada angger Untara, sebab aku tidak melihat
manfaatnya" Widura memandang Ki Tanu Metir dengan penuh
pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang cukup
sakti. Namun apakah kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya"
Ki Tanu Metir melihat kebimbangan diwajah Widura. karena
itu ia mencoba menjelaskan "Aku mempergunakan obat yang
berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan
merugikan angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu
saja sampai besok pagi. Mudah-mudahan obat yang aku
berikan akan berguna"
Ruangan itu kemudian menjadi sepi kembali. Dikejauhan
terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
"Hampir fajar" gumam Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu mengangguk. Perlahan-lahan ia bangkit dan
mendekati tubuh Untara terbaring.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu membungkukkan badannya
sambil berkata lirih "Ki Tanu, kakang Untara telah bangun"
Ki Tanu Metir itupun segera berdiri dan mendekati Untara
pula. demikian pula Ki Demang Sangkal Putung dan
Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi
pembaringan Untara. Untara itu kini telah dapat menggerakkan kepalanya. Sekali
ia menarik nafas panjang, dan kemudian perlahan-lahan ia
membuka matanya. Namun sesaat kemudian mata itu
terpejam kembali. "Masih sangat lemah" desis Ki Tanu Metir "Tetapi
pernafasannya telah menjadi wajar kembali"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan tegang ia menunggu perkemba-ngan keadaan
Untara. Sehingga karenanya maka ia tetap saja berdiri
disamping kakaknya ketika orang-orang lain telah duduk
kembali ketempatnya. Sesaat kemudian Sekar Mirah datang sambil membawa
minuman hangat. Setelah diserahkannya mangkuk-mangkuk
itu maka ia duduk disamping kakaknya. Tetapi segera
ayahnya berkata "Kau harus menyiapkan makan pagi Sekar


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mirah" Sekar Mirah itu mengerutkan keningnya. Sambil
memberengut ia menjawab "Ayah. Aku ingin istirahat.
Meskipun aku tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku
berjalan mondar-mandir didapur, menyiapkan segala macam
makan dan minuman. Apakah aku tidak boleh duduk sebentar
saja?" "Duduklah, bahkan tidurlah. Tetapi tidak disini"
Sekar Mirahpun kemudian berdiri dan berjalan kebelakang.
Wajahnya menjadi gelap dan sekali ia berpaling sambil
mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni.
"Kenapa aku" bentak Swandaru.
"Apa" sahut Sekar Mirah "Aku kan tidak apa-apa"
"Kau mencibir aku" jawab Swandaru.
"Salahmu kau melihat bibirku"
Swandaru masih akan menjawab, tetapi ayahnya telah
menggamitnya. Karena itu ia berdiam diri. Tetapi dengan
tangannya ia mengacungkan tinjunya kearah Sekar Mirah.
Sekali lagi Sekar Mirah mencibirkan bibirnya kepadanya.
Namun kemudian ia tenggelam kebalik pintu. Tetapi sebelum
ia hilan dibelakang daun pintu itu, maka iapun sempat
memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya, sehingga
Agung Sedayu tertunduk karenanya.
Tetapi perhatian Agung Sedayu kini bulat-bulat tertuju
kepada kakaknya, keran itu ia hampir tak memperdulikan apa
saja yang terjadi. Ia mendengar juga sekali Sekar Mirah berteriak dibelakang
rumahnya "Gila" berkata Sekar Mirah itu "Pergi sendiri"
Swandaru mengangkat kepalanya. Hampir saja ia berdiri
kalau ayahnya tidak menahannya "Bukan kau Swandaru"
Widura menggigit bibirnya. Pasti Sidanti telah
mengganggunya. Anak itu benar-benar anak yang keras
kepala. Namun Widura telah tidak segera berbuat apa-apa,
sebab suara Sekar Mirah itupun telah hilang, dan bahkan
dekat dibalik dinding gadis itu menggerutu "Anak setan.
Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?"
Dalam pada itu sekali lagi Agung Sedayu melihat Untara
menggerakkan kepalanya. Kemudian perlahan-lahan ia
membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri
disampingnya terdengar ia berdesis "Sedayu"
"Ya kakang" jawab Agung Sedayu serta-merta.
Namun Untara itu terdiam. Kembali matanya terkatub.
Namun wajahnya kini sudah tdak seputih mayat. Perlahanlahan
warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan
perlahan-lahan kepercayaan Agung Sedayupun tumbuh pula.
Ki Tanu Metir, setelah meneguk minuman hangat itu, berdiri
pula mendekati Untara. Dirabanya dada anak muda itu,
kemudian diurut-urutnya lambungnya pl.
Sekali lagi Untara membuka matanya. Ketika ia melihat Ki
Tanu Metir beridiri disampingnya pula, maka tampaklah
bibirnya bergerak. "Kiai disini?" "Ya ngger, aku melihat bertempuran itu. Dan aku sengaja
datang karena aku mendengar angger terluka"
*** Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Ya, aku
terluka". Kemudian desisnya "Sedayu. Kemarilah. Kau ingin
tahu siapa yang melukai aku?"
Bukan main terkejutnya Sedayu mendengar kata-kata
kakaknya itu. Karena itu dengan serta "merta ia melangkah
lebih mendekati kakaknya sambil berdesis "Ya kakang,
katakanlah siapa yang telah melukai kakang?"
Tidak saja Agung Sedayu yang tertarik pada kata-kata itu.
Namun semuanya tertarik pula. karena itu, maka semua yang
hadir disitu bergeser mendekat.
Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba
matanya terpejam kembali.
"Kakang" panggil Agung Sedayu.
"Jangan ngger" berkata Ki Tanu Metir "Jangan dipaksa"
"Hem" Agung Sedayu menggeram. Ia ingin segera tahu
siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Tohpati atau Alapalap
Jalatunda" Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu
Untara itu menjadi lebih kuat.
Diluar, kabut yang tebal mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin
lama menjadi semakin ramai
bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka
masih melihat kehitaman yang
kelam diantara kabut yang
keputih-putihan. Tetapi mereka
menyadari bahwa sebentar lagi,
fajar telah menjenguk digaris
kaki langit. Kini mereka tidak dapat berdiri saja diseputar Untara.
Widura dan Ki Tanu Metir minta diri sesaat kepada Agung
Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian
menunggu Untara yang terluka itu.
"Silakan paman" berkata Agung Sedayu.
Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun kemudian
meninggalkan ruangan itu, sehingga kini tinggallah Agung
Sedayu seorang diri. Telah lama Widura menunggu kesempatan itu. Berjalan
berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan kesempatan itu kini datang.
karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan
kepadasan "Ki Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah
datang ketempat ini sebelumnya?"Ki Tanu Metir menggeleng
"Belum ngger" Widura tersenyum. katanya "Baru kali ini?"
"Ya" sahut orang tua itu
"Ke daerah-daerah sekitar tempat ini?"
"Juga belum" "Ki Tanu Metir benar-benar belum mengenal aku?"
Ki Tanu Metir berhenti. Diamatinya Widura dengan
seksama, namun ia menggeleng "Belum ngger. Baru kali ini
aku mengenal angger Widura"
Sekali lagi Widura tersenyum "Mungkin Kiai benar"
Ki Tanu Metir terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia
tersenyum sambil berjalan terus.
Sepeninggal Widura, Agung Sedayu masih juga menunggu
kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali dilihatnya Untara
menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga
membuka matanya kembali. Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak sabar
menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai
kakaknya itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk
berbicara. Sesaat kemudian ketika Untara itu membuka matanya
kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya
sambil berbisik "Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku,
siapakah yang telah melukai kakang?"
Untara menarik nafas panjang. Tampak ia menyeringai,
kemudian mencoba menggerakkan tangannya "Tanganku
masih lemah sekali" desisnya.
"Jangan bergerak-gerak dulu kakang" Agung Sedayu
mencoba mencegahnya. Untara mengangguk kecil. "Dimana paman Widura?"
"baru sesuci kakang" sahut Agung Sedayu.
"Aku ingin mengatakan kepadanya, siapakah yang telah
melukai aku" "Katakanlah kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang
dapat tidur dengan nyenyak"
"Dimana pamanmu?"
"Biarlah nanti aku sampaikan"
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan
susah payah ia berkata "Agung Sedayu. Sebenarnya aku telah
berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada
diantara kita masing-masing yang berada ditempat ini untuk
kepentingan yang lebih besar. Tetapi ternyata aku
menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut nyawaku.
Kalau kali ini aku, maka mungkin lain kali paman Widura dan
kau. Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus
mencegahnya. Aku percaya bahwa kau akan dapat
melakukannya bersama paman Widura"
"Ya kakang"sahut Agung Sedayu tidak sabar "Aku siap
berbuat" "Jangan orang itu mendapat kesempatan meninggalkan
tempat ini. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berbahaya
bagimu dan bagi Sangkal Putung"
"Ya kakang, tetapi siapakah itu?"
"Dimanakah pamanmu Widura?"
"Sebentar lagi ia datang. Aku akan mengatakannya"
"Ya. Memang harus dilakukan secepatnya. Kalau ia tahu
aku belum mati dan masih dapat mengatakannya, maka ada
kemungkinan ia segera akan kembali"
"Ya, ya" sahut Agung Sedayu tidak sabar.
"Anak itu adalah Sidanti"
"He?" alangkah terperanjat Agung Sedayu "Sidanti"
ulangnya "Bagaimana mungkin" Bukankah ia berada disayap
yang lain?" "Sayap itu telah bergabung dengan induk pasukan ketika
kami mengejar lawan. Dan ternyata Sidanti telah melakukan
rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk
berbuat menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia
menggamit aku. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Aku
berpaling pada saat pisaunya menembus punggungku. Tetapi
aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan
aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha
Besar. Aku ternyata diselamatkan olehNya dengan lantaran Ki
Tanu Metir" Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak. Namun ketika ia
masih ingin mengajukan pertanyaan lagi, dilihatnya nafas
kakaknya menjadi agak cepat.
"Kakang" panggil Agung Sedayu.
Untara memejamkan matanya. Dicobanya untuk
menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia masih belum
dapat terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya "Aku akan
beristirahat. Katakanlah hal ini kepada paman Widura"
Agung Sedayu tidak menjawab. tetapi dadanya seakanakan
hampir meledak. Dilihatnya kakaknya menarik nafas
dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis "Aku masih terlalu
lemah. Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba
tidur lagi" "Tidurlah kakang" jawab Agung Sedayu "Tenangkanlah
hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti"
"Jangan seorang diri" desis Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. hatinya sudah tidak
dapat ditahannya lagi. Meskipun selama ini Sidanti baginya
seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi,
namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi
baginya. Karena itu, maka demikian kakaknya memejamkan
matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-cepat Agung Sedayu
beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar
pringgitan. Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa
menyandang pedangnya yang telah diletakkannya disamping
pembaringan kakaknya itu.
Dipendapa dengan nanar Agung Sedayu mencari Sidanti.
Namun disudut pendapa itu tak dilihatnya seseorang. Karena
itu dengan berlari-lari ia turun kehalaman dan langsung
dicarinya dibelakang rumah.
Namun dibelakang rumah itupun tak ditemuinya Sidanti. Ia
tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat disitu. Karena
itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya dipintu,
dengan serta-merta ia bertanya "Mirah, kemanakah Sidanti?"
"Kenapa kau mencari Sidanti?" bertanya Sekar Mirah
"kenapa tidak mencari aku?"
"Aku tergesa-gesa Mirah"
"apakah tuan sangka aku menyembunyikan Sidanti?"
"Tidak. Tetapi bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan
Sidanti disini" Barangkali kau tahu kemana ia pergi?"
Sekar Mirah menggeleng sambil tersenyum. bahkan
kemudian ia melangkah keluar "Biarlah Sidanti pergi menurut
kehendaknya sendiri. apakah kita berkepentingan atasnya?"
"Aku berkepentingan"
"Aku tidak" "Mirah" Agung Sedayu menjadi jengkel karenanya "Aku
sekarang sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk
menemukannya. Dimana ia sekarang?"
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah
Agung Sedayu bersungguh-sungguh. karena itu, maka itak
tidak mau bergurau lagi. Jawabnya "Mungkin kesungai,
mungkin ke prapatan"
Agung Sedayu berpikir sejenak. Apakah kepentingan
Sidanti keprapatan> yang paling mungkin baginya adalah
pergi kekali disebelah ujung halaman kademangan itu.
Sebuah kali yang tidak sedemikian besar, yang airnya seakanakan
hampir kering dimusim kemarau.
Agung Sedayu itupun tidak berkata-kata lagi. Dengan
tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali, tempat beberapa
orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya.
Namun saat itu masih terlalu pagi. Belum ada seorangpun
yang pergi kesana, selain Agung Sedayu yang sedang
mencari Sidanti itu. Ki Tanu Metir dan Widura, setelah sesuci segera
bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya
anak muda yang sedang terluka itu tidur. karena itu, maka Ki
Tanu Metir tidak mendekatinya.
Sehabis sembahyang, mereka berdua duduk kembali,
diatas tikar pandan dan kembali meneguk air yang masih
hangat-hangat kuku. "Dimanakah Sedayu?" desis Widura.
"Ya, dimana angger Sedayu?" sahut Ki Tanu Metir.
Mula-mula mereka menyangka bahwa anak muda itu
sedang sesuci dibelakang. Tetapi setelah ditunggu beberapa
lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun
demikian, mereka sama sekali tidak menaruh syaj bahwa
Agung Sedayu sedang pergi mencari Sidanti. karena itu, maka


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama
dengan Ki Tanu Metir. Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri. Didekatinya Untara yang
kembali jatuh tertidur karena lemahnya. Dirabanya dada anak
itu sambil bergumam "Pernafasannya menjadi bertambah
baik. Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya
sepenunya kembali. Dalam keadaannya sekarang, maka
angger Untara kadang-kadang masih menjadi pening dan
berkunang-kunang" "Mudah-mudahan" sahut Widura.
"Mulai besok, angger Untara harus banyak minum obat
reramuan sehingga badannya akan menjadi segera kuat
kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang
sudah terlalu banyak mengalir seperti yang pernah dialaminya
dahulu" Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia
teringat kepada obat yang diberikan oleh Sidanti. karena itu,
maka katanya "Bagaimanakah dengan obat yang diberikan
oleh Sidanti?" Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam
diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu karenanya.
"Bagaimana?" desak Widura pula.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
sesaat tampak wajahnya menjadi tegang. Dan akhirnya
menjawab "Maaf ngger. Apakah aku boleh berkata
sebenarnya?" "Ya, tentu" sahut Widura heran.
Perlahan-lahan diraihnya obat dari Sidanti yang
diletakkannya disamping kaku pembaringan Untara. Sekali
lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
"Obat ini sangat berbahaya ngger"
"Kenapa?" bertanya Widura heran.
Sekali Ki Tanu Metir memandang kedaun pintu yang
terbuka, namun kemudian kepalanya itu ditundukkannya.
Widura menjadi hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. karena
itu, maka ia mendesaknya "Kenapa obat itu sangat berbahaya
Kiai?" Ki Tanu Metir berpaling kearah Untara yang masih tertidur.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia bergumam
"Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau
angger pernah melihat, ini adalah salah satu jenis warangan
yang akan dapat mempengaruhi peredaran darah"
"He?" Widura terkejut mendengar keterangan itu.
"Warangan ini" berkata Ki Tanu Metir "Akan dapat
membekukan darah, sehingga cairan darah angger Untara
akan bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya"
"Jadi"." Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya.
Namun Ki Tanu Metir sudah dapat menangkap maksudnya.
karena itu, maka ia menyahut "Ya. Ternyata angger Untara
benar-benar akan dibunuhnya"
Terasa keringat dingin mengalir ditubuhnya. Tiba-tiba
teringatlah Widura itu kepada peristiwa yang pernah
dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan
membunuhnya pula. sehingga karena itu dengan serta-merta
ia berkata "Kalau begitu, maka luka Untara itupun pasti dibuat
oleh Sidanti" Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Kemudian jawabnya
"Mungkin ngger. Adalah mungkin sekali"
Tubuh Widura itu menjadi gemetar karenanya. Perbuatan
itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Sidanti benarbenar
tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera
menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah
mendorongnya untuk berbuat hal-hal yang kadang-kadang
tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka anak muda itu
telah kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia.
Bahkan Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk
melenyapkan kawan sendiri. membunuhnya untuk segera
dapat menempati kedudukannya.
Widura itupun menjadi marah bukan buatan. karena itu,
maka segera ia berdiri. Diambilnya pedangnya dan
disangkutkan dipinggangnya.
"Akan kemanakah angger Widura ini?" bertanya Ki Tanu
Metir. "Aku harus menemui Sidanti. Anak itu harus berada dalam
pengawasan yang lebih baik. Kali ini Untara, besok aku dan
lusa Agung Sedayu" Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
iapun berdiri juga. Widura yang telah siap untuk berbuat
apapun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya
anak itu membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka
desisnya "Dugaan Ki Tanu Metir dan paman adalah benar.
Aku mendengar apa yang kalian percakapkan. Aku telah
mengatakan kepada Agung Sedayu"
"He" kembali Widura terkejut "Dimana Sedayu sekarang?"
"Aku suruh ia mengatakannya kepada paman Widura"
Widura menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang tersimpan
dihati Agung Sedayu terhadap Sidanti, seperti minyak yang
tersekat didalam bumbung. Kini ternyata ada api yang
menyambarnya, sehingga minyak itu pasti akan menyala dan
bumbungnya akan meledak. karena itu, maka Widura pun kemudian menganggukkan
kepalanya sambil berkata "Baiklah aku temui anak itu"
Untara tidak mengerutkan keningnya. Dipejamkannya
kembali matanya untuk mencoba beristirahat sebanyakbanyaknya.
Ki Tanu Metirlah kemudian yang menungguinya
sambil duduk ditasa tikar disamping pembaringannya.
Widura yang menahan kemarahan didalam dadanya itu,
berjalan perlahan-lahan keluar pringgitan. Diluar malam telah
berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan dihalaman
semakin lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia
tidak melihat Agung Sedayu dan Sidanti dihalaman itu. karena
itu, maka segera ia menjadi cemas.
Beberapa orang yang melihat Widura menyandang
pedangnya, bertanya-tanya didalam hati. Widura itu
dikademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya
dalam keadaan biasa. Namun kini pedang itu tergantung
dilambungnya. "Mungkin Ki Lurah itu belum sempat melepas pedangnya"
berkata salah seorang. "Aku sudah melihatnya sesuci. Dan pedang itu tudak
tergantung dipinggangnya" sahut yang lain.
"Entahlah" gumam orang yang pertama.
Sementara itu Agung Sedayu yang berlari-lari kekali
diujung halaman dengan gelora kemarahan yang menyala
didadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia
melihat dua sosok tubuh berjalan kearahnya. Namun tiba-tiba
sesosok diantaranya segera lenyap dan yang tinggal
kemudian adalah Sidanti. Agung Sedayu itu tidak sempat
berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu itu yang
kemudian bersembunyi. Namun yang ada didalam dadanya
adalah kemarahan yang menyala-nyala.
Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu berteriak
"Kau tlah berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang
untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya"
Sidanti terkejut. Jawabnya "Siapa bilang?"
"Untara sendiri"
"Omong kosong. Untara belum sadar"
"Jangan ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain
sekarang" Sidanti itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
tertawa "Bagus" katanya "Aku yang berusaha membunuh
Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu"
Agung Sedayu tidak menjawab. segera ia meloncat maju
dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.
Sidanti benar-benar terkejut menerima serangan yang tibatiba
itu. karena itu, maka ia tidak segera dapat mengelak.
Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan
Agung Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya
menyambut tangan Agung Sedayu.
Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar telah
mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan
kemarahan yang membara didalam dirinya. karena itu, maka
kekuatannyapun seakan-akan bertambah-tambah juga.
Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat
antara keduanya, Benturan kekuatan antara Agung Sedayu yang
melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan
Sidanti yang tegak seperti batu karang. Demikianlah maka
kedua kekuatan itu telah melemparkan keduanya, sehingga
masing-masing terpental dan jatuh terbanting diatas tanah,
Namun me mereka terguling, maka segera mereka
meloncat berdiri dan siap kembali untuk mempertahankan diri
masing-masing. Agung Sedayu yang sama sekali tidak dapat mengekang
dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali.
Serangannya langsung mengarah ketitik-titik yang berbahaya
pada tubuh Sidanti. Kalau selama ini Sidanti dan Agung
Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap persoalan, maka
dendam yang tersimpan dihati masing-masing itu kini seakanakan
tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa,
tersisihkan karena kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh
Widura, orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih Sekar Mirah,
namun usahanya untuk memancing perselisihan selalu gagal,
maka kini aia terlibat dalam suatu perkelahian dengan Agung
Sedayu. karena itu, maka kesempatan ini harus dipergunakan.
Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau mematikan.
Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa
dirinyalah sebenarnya yang telah berusaha membunuh
Untara. Dan Sidanti tidak dapat mengingkari kalau itu
dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti itu
menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk anak muda yang
mendapat kepercayaan langsung dari Ki Gede Pemanahan itu
sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang
keadaannya. karena itu, maka Agung Sedayu itupun harus
mati. Kalau Agung Sedayu sudah mati disini, maka ia akan
dapat membunuh Untara nanti pada suatu kesempatan.
Mudah-mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau
demikian maka Untara itupun pasti akan mati. Tetapi kalau
tidak" Kalau rencana itu gagal" Sidanti itu menggeram. Apa
yang dilakukan kali ini adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia
gagal, maka kisahnya sebagai prajurit Pajang akan berakhir.
Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Untara,
apakah tidak ada orang-orang lain yang akan menuntunya"
"Hem" sekali lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya terletak
pada kegagalannya membunuh Untara, sehingga persoalan
itu menjadi berlarut-larut. Tetapi meskipun demikian, ia tidak
dapat mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan
tangannya meskipun ua berusaha untuk menghilangkan
bekasnya. Ia menusuk Untara tidak dengan senjatanya, tetapi
dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah.
karena itu, maka apapun yang akan dihadapinya ia tidak akan
ingkar. Sedangkan Agung Sedayupun telah menyimpan dendam
yang membara didalam dirinya. Sejak ia hadir di Sangkal
Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama
sekali tidak senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah
yang seakan-akan telah menyebabkan pamannya selalu
marah kepadanya, sehingga seolah-olah Ia menjadi seorang
tawanan yang dikurung didalam pringgitan. Anak muda ini
pulalah yang telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai
saat itu kakaknya adalah orang yang paling baik yang
dikenalnya. Orang yang selalu melindunginya dalam setiap
kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya.
Orang yang telah menggantikan ibu bapaknya. Kini orang
yang bernama Sidanti itu akan membunuh kakaknya itu.
karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah
kepadanya. Kepada Sidanti.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi seru sekali.
Masing-masing telah menumpahkan segenap tenaganya
dalam luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah
tidak dapat lagi melihat kemungkinan lain daripada membunuh
atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak sekali mempunyai
pertimbangan dikepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini
pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah membeku.
Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki pengalaman yang
lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun persiapan-persiapan
didalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untk
menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa
kelebihan dari Sidanti atas Agung Sedayu. karena itu, maka
tampaklah bahwa Sidanti mempunyai kesempatankesempatan
yang lebih baik dari Agung Sedayu. Namun
meskipun demikian, Agung Sedayupun memiliki keadaan yang
tidak dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan
menyimpan dan menahan gelora yang menyala didadanya
karena keadaannya, maka tiba-tiba kini ia menemukan saluran
yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai seorang
penakut, maka Agung Sedayu selalu berangan-angan untk
menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak
terkalahkan. Namun setiap gejolak didalam jiwanya selalu
disekapnya didalam hati. Kemudian setelah ia berhasil
menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia
dihadapkan pada persoalan yang langsung menyentuh
perasaannya yang paling dalam, sehingga dengan demikian
maka Agung Sedayu itu seakan-akan benar-benar sebuah
bumbung minyak yang terbakar. Meledak dengan dahsyatnya.
karena itu, maka tandangnyapun menjadi tidak menentu. Ia
telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan
setiap geraknya. Hanya satu yang ada didalam hatinya,
membinasakan Sidanti. Sidanti melihat tandang Agung Sedayu itu benar-benar
terkejut. Agung Sedayu dalam tangkapan Sidanti adalah
seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam
perkelahianpun Agung Sedayu akan mencerminkan sifatsifatnya
itu. Tetapi tiba-tiba ia berhadapan dengan gerak yang
ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama sekali diluar
dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala
yang lapar. Tidak hanya seekor, namun tiba-tiba karena
luapan perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan
segenap ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti itu
menghadapi berpuluh-puluh serigala yang kelaparan sedang


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha bersantap dengan dagingnya.
karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin sengit.
Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan
segenap kemampuannya pula. dengan lincahnya ia
menghindari setiap serangan Agung Sedayu. Namun
serangan itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian
kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos
pertahanan Agung Sedayu yang kuat, sekali-sekali berhasil
mengenai tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu
terpaksa terlempar surut dan bahkan jatuh berguling. Tetapi
kambali anak muda itu bangkit, dan kembali serangannya
datang membadai. Namun Sidanti pada dasarnya adalah seorang anak muda
yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat tanpa
kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat
lawannya sekali. karena itu, maka segera ia menyesuaikandiri
dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat kemudian Sidanti
itupun bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan
kasar dari Agung Sedayu. Dengan demikian maka perkelahian itu benar-benar
menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan perkelahian
diantara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan
berebut makanan. Setiap serangan hampir tak pernah
dielakkan. Namun setiap serangan ditempuhnya dengan
pengerahan tenaga. Namun dalam perkelahian yang demikian itupun, Sidanti
mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung
Sedayu. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya
yang lebih keras, telah memungkinkannya untuk berbuat lebih
jauh dari apa yang dapat dilakukan pleh Agung Sedayu.
Tetapi Sidanti itupun menjadi heran. Betapa ia berhasil
mengenai lawannya, bahkan
dengan segenap tenaganya,
dan betapa ia melihat Agung
Sedayu terlempar jatuh, tetapi
seakan-akan tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya.
Demikian ia terbanting, demikian ia bangun kembali.
Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar tak
pernah membekas, seakanakan
tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa sakit.
Sebenarnya Agung Sedayu sudah war inguten, ia seolaholah
kehilangan segenap perasaannya. Bahkan rasa sakitpun seakan-akan tak
dimilikinya. Tekanan gelora yang membakar dadanya telah
menjadikannya nggegirisi.
Sidanti benar-benar menjadi bimbang. Apakah Agung
Sedayu memiliki ilmu kekebalan" "Omong kosong" katanya
dalam hati. Dan geraknyapun semakin dipercepatnya.
*** Sisa gelap malampun semakin lama menjadi semakin tipis.
Dan sejalan dengan itu hati Sidantipun menjadi semakin
cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun
betapa mungkin. Agung Sedayu seakan-akan tak dapat
disakitinya. Seandainya seseorang melihatnya bertempur, dan
orang itu mengetahui sebab dari pertempuran itu, maka mau
tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar Pajang di
Sangkal Putung. Meskipun pada saat itu gurunya berada
disampingnya, namun alangkah baiknya kalau ia
menyelesaikan persoalan itu sendiri. tanpa gurunya. Dan
persoalan itu akan selesai kalau ia dapat membunuh Agung
Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah yang
mendengar dari Untara bahwa ialah yang telah melukainya.
Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan
pembunuhannya atas Untara. Seandanya ia sempat menutup
jalan pernafasan anak yang luka itu, maka segera
pekerjaannya akan selesai tanpa bekas.
Dengan demikian maka Sidanti semakin memperketat
tekanannya, sehingga titik pertempuran itu telah bergeser dari
tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah
merambat mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung.
Sidanti terkejut ketika ia mendengar kuda didalam kandang
itu terpekik karena terkejut. Sesaat kemudian kuda-kuda yang
lainpun menjadi gelisah pua sehingga kandang itu menjadi
ribut karenanya. "Gila" geram Sidanti
Suara kuda itu pasti akan memanggil beberapa orang untuk
datang kepada mereka. karena itu, maka sebelum Agung
Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau
dilumpuhkan. Sidanti menjadi semakin gelisah ketika dalam keremangan
fajar, benar dilihatnyan beberapa orang berdatangan. Dan
Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya.
Kini Sidanti benar-benar mengerahkan segenap
kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang
ganas. Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia
berusaha segera mengakhiri pertempuran. Namun tubuh
Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat. Tetapi
ketika langit menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari
tubuh anak muda itu telah mengalir darah dari luka-luka
ditubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya
menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidantipun
telah mengalami tekanan-tekanan yang berat karena
serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk
itu. Tetapi pertempuran itu harus segera berakhir. Dalam
keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang pasti.
Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apapun juga.
karena itu, maka dengan serta-merta Sidanti itu meloncat,
meraih sepotong kayu yang tersandar didinding kandang itu.
Dengan kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu.
Betapapun kuatnya Agung Sedayu, namun dalam
kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah kehilangan hampir
segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat
melihat dengan hati yang dingin, apa yang telah dilakukan
oleh Sidanti. Tangan Sidanti benar-benar seperti tangan hantu
yang sangat berbahaya. Meskipun kali ini ia tidak memegang
senjata perguruannya, namun sepotong kayu itupun benarbenar
dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat
berbahaya. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda itu
telah menunjukkan beberapa kelebihan dari lawannya. Apalagi
kini ia menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa
mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi, Sidanti
telah mempergunakan senjatanya untuk melawan dan
berusaha membinasakan Agung Sedayu.
Sebuah pukulan yang keras telah mendorong Agung
Sedayu kesamping. Berbareng dengan teriakan beberapa
orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti
tidak puas dengan pukulan pertama itu. Sebelum Agung
Sedayu sempat menguasai dirinya, maka Sidanti telah
mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat
melihat kayu yang terayun itu, karena itu, maka ia masih
berusaha untuk menghindarkan dirinya dengan
membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar beberapa
jari diatas kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba,
Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan
dirinya, sehingga ia jatuh terguling. Kesmpatan itu tidak disiasiakan
oleh Sidanti. Agung Sedayu harus menjadi terdiam
saat itu, supaya ia tidak dapat mengatakan sebab dari
perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti mengangkat
sepotong kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu
yang belum sempat bangun kembali.
Beberapa orang yang melihat perkelahian itu segera
berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu
terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong
kayu kekepala Agung Sedayu. Namun jarak mereka masih
terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum sempat untuk
mencagah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras.
Pada saat itu Widurapun telah sampai ketempat itu pula.
iapun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun
jaraknyapun masih beberapa langkah lagi. karena itu, maka
Widura itupun hanya dapat berteriak sambil melompat sejauhjauh
mungkin. Tetapi jarak yang harus dicapainya masih ada
dua tiga loncatan lagi. Sidanti sama sekali tidak mau mendengarkan teriakanteriakan
itu lagi. Ia lebih senang mempertanggung-jawabkan
perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu mengatakan
sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita
tentang apa yang pernah didengarnya dari Untara. karena itu,
maka sama sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya.
Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka
kayu itupun telah diangkatnya untuk diayunkannya kuat-kuat.
Ia tidak perduli lagi seandainya kepala Agung Sedayu itu
menjadi pecah karenanya. Tetapi justru karena itu, maka perhatian Sidanti seluruhnya
tercurah pada sepotong kayu ditangannya dan kepala Sedayu.
Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang
terjadi disekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa
seseorang telah berdiri dekat dibelakangnya. Disamping
kandang kuda itu. Ketika kayu ditangannya itu telah sampai kepuncak ayunan
dan siap untuk meluncur kekepala Agung Sedayu, Sidanti itu
terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu
benar, itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera
mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. karena itu, maka ia
menjadi bingung untuk sekejap. Dan waktu yang sekejap itu
telah merubah segala-galanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu
melayang dari balik gerumbul-gerumbul disekitar tempat itu.
Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba
terdengar sepotong besi yang meluncur itu menghantam
sebilah pedang yang terjulur kepunggungnya.
Suara itu berdentang sedemikian kerasnya, sehingga
menggetarkan halaman belakang kademangan Sangkal
Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu telah
menyentuh punggung Sidanti, meskipun kemudian terlontar
jatuh. Namun tajamnya telaha menyobek punggung itu.
Sidanti mengeluh pendek. Segera ia memutar tubuhnya.
Dilihatnya dibelakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata
yang menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai
menahan sakit ditangannya. Pedangnya terlempar beberapa
langkah daripadanya. Sidanti itupun menjadi semakin marah bukan buatan.
Namun terasa luka dipunggungnya itu sedemikian nyerinya.
Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap
kekuatannya, sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampirhampir
ia menjadi lemas dan tak berdaya. Namun ia tidak mau
jatuh dan mati ditempat itu. Dengan segenap kemampuan
yang ada dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil
memandang setiap wajah yang berada disekitarnya.
Dilihatnya Widura yang kini telah tegak dihadapannya
dengan pedang tergantung dilambungnya, disampingnya
Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang
menyala. Kemudian Agung Sedayu yang telah tegak kembali,
dan kemudian beberapa orang lain. Sidanti itu menggeram
penuh kemarahan dan dendam.ia belum berhasil membunuh
Agung Sedayu, dan tiba-tiba Swandaru ikut campur dalam
persoalan ini. Sidanti menjadi semakin marah, ketika dilihatnya beberapa
orang berdatangan. Ki Demang Sangkal Putung, bahkan
Sekar Mirah dan orang-orang lain.
Dalam saat yang pendek itu, maka Sidanti segera dapat
mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah harinya yang
terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari
penentuan bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan
laskar Pajang. Ia telah gagal mempercepat jalan dan
memperpendek jarak dari tingkat ketingkat yang lebih tinggi.
Bahkan sampati ketingkat yang paling atas. Dan kini ia harus
mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi
berbesar hati, ketika diingatnya gurunya berada ditempat itu
pula. Dan gurunya ternyata tidak membiarkan Sidanti itu menjadi
gelisah sendiri. dengan garangnya ia meloncat dai tempat
persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram
sambil berkata "Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa
yang harus berhadapan sebagai lawan dan siapakah yang
akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti, bahwa
Sidanti telah kalian anggap berbuat suatu kesalahan. Nah,
cepat katakan kepadaku Widura, apa yang akan kau lakukan"
bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang ini" Aku menuntut,
yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat
hukuman. Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti
yang dialami Sidanti"
Swandaru menjadi berdebar-debar. Apakah ia mau
menerima hukuman itu" Yang terdengar adalah jawaban
Sedayu "Sidanti curang pula. kami berkelahi tanpa senjata,
tetapi Sidanti memungut sepotong kayu"
"Itu bukan senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama
kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak menyerang dari
belakang" Ketika Agung Sedayu akan menjawab, Ki Tambak Wedi itu
membentak "Tutup mulutmu. Aku berkata kepada Widura.
jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi"
Orang-orang yang berdiri disekitar tempat itu, yang belum
reda getar jantungnya atas kehadiran orang yang sedemikian
tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar
orang itu menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.
Sesaat Widura menjadi bimbang. Namun kemudian
kembali darah kepemimpinannya mengalir kedadanya. Maka
jawabnya "Aku tidak akan memberikan hukuman apapun
sebelum aku tahu benar, dimana letak kesalahan dari
peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan ini
terjadi" "Persetan" teriak Ki Tambak Wedi. "Kau jangan mengigau
Widura. atau aku sendiri yang harus menghukumnya?"
Widura mengerutkan keningnya. Yang berdiri
dihadapannya adalah Ki Tambak Wedi. maka segala sesuatu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk
sesaat ia hanya dapat berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai
setiap peristiwa yang telah dan bakal terjadi.
Karena Widura tidak segera menjawab, maka Ki Tambak
Wedi itupun membentaknya "Widura, buka mulutmu"
Widura sama sekali tidak senang mendengar Ki Tambak
Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling kearah Sidanti,
dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari
punggungnya menetes darah yang segar. Sekali-sekali
tampak ia menyeringai, namun ia masih mencoba untuk
berdiri tegak. Dalam pada itu, Widura sedang menilai setiap orang yang
berada disekitarnya. Dirinya sendiri, Agung Sedayu,
sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang
Sangkal Putung. Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang
lain, yang pasti akan segera datang juga. Apakah dengan
kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi"
Widura menjadi bimbang. Mungkin hal itu dapat dilakukannya,
namun apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya"
Mungkin dirinya sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki
Demang Sangkal Putung dan mungkin mereka bersamasama.
Dalam kebimbangan itu sekali lagi Ki Tambak Wedi
berteriak "Widura, jawab pertanyaanku. Kalau kau mau
menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan
Agung Sedayu, maka aku tidak akan berbuat apa-apa"
Kini Widura mengangkat kepalanya. Sudah pasti
permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. karena itu, maka
jawabnya "Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap semua yang terjadi di Sangkal
Putung. Karena itu aku tidak akan mungkin menyerahkan
orang-orangku kepada siapapun juga, apapun kesalahannya.
Aku sendiri yang harus melakukan hukuman atau segala
macam tuntutan atas mereka seandainya mereka ternyata
bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti disini dan aku akan
melihat apakah yang telah terjadi, dan aku akan tentukan
siapakah yang bersalah. Aku adalah pemimpin tertinggi dari
semua jabatan yang berada ditempat ini, sehingga aku tidak
mau ada orang lain yang mencampuri urusanku"
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa dadanya
serasa terbakar mendengar kata-kata Widura itu. Matanya
tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah
memutih dibeberapa bagian itu, seakan-akan tegak dibawah
ikat kepalanya. Tanpa sesadarnya tangannya menggenggam
sabil bergumam "Setan. Apakah kaliah sudah bosan hidup?"
Sekali lagi Widura melayangkan pandangan matanya.
Beberapa orang berdatangan pula berkerumun disekitar
tempat itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian
besar dari mereka telah membawa senjata-senjata mereka
Kalau terjadi sesuatu maka mereka pasti akan melawan Ki
Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka tahu, Ki
Tambak Wedi adalah seorang yang ditakuti oleh hampir
segenap orang disekitar gunung Merapi. Namun dalam
melakukan kewajibannya, maka tak akan ada diantara mereka
yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam satu kelompok.
Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun orang
itu Ki Tambak Wedi. Namun meskipun demikian, sebagian besar dari mereka
berada didalam kebimbangan. Widura sendiri menjadi
bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah
ia akan mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk
menangkap Ki Tambak Wedi" sedang besok atau lusa Macan
Kepatihan masih mungkin menyerang mereka kembali dengan
kekuatan yang masih cukup besar" Ternyata didalam pasukan
Macan Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan orang-orang lain yang
pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah yang
dapat dibinasakan oleh Sidanti itu. Apakah dalam keadaan
yang demikian, ia harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk
menghadapi bahaya yang datang dari jurusan lain" Widura itu
menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar menyesal, bahwa
didalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu.
Tetapi semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada
puncak dari kesulitan itu.
Widura itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi
membentak pula "Widura, jangan mimpi. Kau tidak dapat
berbuat lain daripada memilih diantara dua. Menyerahkan
anak muda yang melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku
membunuh kalian bersama-sama. Jawab"
Sekali lagi Widura menengadahkan dadanya. Ia tidak dapat
ingkar akan kewajibannya. Karena itu jawabnya "Ki Tambak
Wedi. kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti
kehendak dari seseorang yang bertentangan dengan tata
keprajuritan. Siapapun orangnya, meskipun orang itu bernama
Ki Tambak Wedi. namun kami terpaksa mempertahankan
sendi tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau
kami harus memilih, Ki Tambak Wedi, maka pilihan kami
adalah melawan sampai kemungkinan yang terakhir. Bahkan
kami telah bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan
Sidanti bersama-sama"
"Gila" teriak Ki Tambak Wedi. kemarahannya menjadi
semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia terpaksa
mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benarbenar
telah siap dengan segenap anak buahnya. Mereka yang
mendengar kata-kata Widura itupun tiba-tiba telah meraba
hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi,
Ki Tambak Wedi melihat orang-orang yang berkerumun
disekitarnya dengan wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah
jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah yang untuk
kesekian kalinya dihadapkan kepada kemungkinan yang
paling akhir dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut.
Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup segala
penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat
memberikan pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian
yang tersimpan didalam dirinya, namun untuk melawan sekian
banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan yang sangat berat
dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari
mereka itu. Namun setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan
yang separo lagi akan dapat menangkapnya, mengikatnya
dan membawanya ke Pajang. "Hem" geramnya didalam hati
"Apakah Ki Tambak Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya
digiring ke Pajang?"
Sesaat halaman belakang kademangan Sangkal Putung itu
menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Widura terpaksa
membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri
mereka. Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas
yang lain. Karena itu, maka suasana menjadi sedemikian tegangnya,
ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata kepada Sidanti
"Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan
memberimu sesuatu" Sidanti yang luka itupun menyadari sepenuhnya kata-kata
gurunya. Sangkal Putung benar-benar tak akan memberinya
sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan
Sangkal Putung. Tetapi masish ada yang menjadikannya
bimbang. Senjatanya berada dipendapa kademangan.
Dengan ragu-ragu ia berkata "Guru, bagaimana dengan
senjataku?" Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun
kemudian jawabnya "Apakah keberatanmu dengan senjata itu.
Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata
semacam itu untukmu"
Sidanti tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut
kesamping gurunya. Tetapi Widura melangkah selangkah maju. Kembali
kebimbangan melandanya. Apakah ia akan bertindak terhadap
Ki Tambak Wedi dan Sidanti" Tetapi apakah ia akan
memberikan pengorbanan yang sangat besar untuk mereka
berdua" Ki Tambak Wedi yang melihat Widura itu bergerak, segera
menggeram "Widura, aku akan pergi. Kalau kau membuat
kegaduhan diantara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati
bersama-sama. Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak
Wedi. aku akan membuat timbangan diantara kekuatan kita.
Mungkin kau akan dapat membunuh aku, tetapi tiga perempat
dari kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan mimpi
mengikat tangan Tambak Wedi"
Dada Widura itupun berdesir. Ia percaya akan kata-kata itu.
Tiga perempat daripadanya, atau sedikit-sedikitya separo pasti
akan mati. karena itu, maka ia tetap tegak ditempatnya ketika
Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari
tempatnya. Agung Sedayu menjadi gemetar melihat keadaan itu.
Dengan wajah yang merah membara ia menatap wajah
pamannya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan
matanya cukup mengatakan hasratnya untuk menangkap
Sidanti. Agung Sedayu terkejut ketika pamannya menggeleng.
Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. ia tidak akan dapat
menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun
demikian, tanpa sesadarnya iapun beringsut dari tempatnya.
Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam gerakan yang sangat cepat
ditangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam dua buah
gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi
yang dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu
menangkis serangan pedang dan alat pemukul lainnya.
Demikianlah, maka akhirnya Widura terpaksa melepaskan
Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan penuh pertimbangan
Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan
seluruh laskarnya daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Widura mengharap bahwa Ki Tambak Wedi untuk sementara
tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan dengan
laskarnya yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang
Sangkal Putung kembali. Mungkin Ki Gede Pemanahan
sendiri atau gurunya akan dapat dengan mudah melenyapkan
Ki Tambak Wedi yang hanya seorang diri itu.
Namun dengan hilangnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya
yang sebenarnya akan selalu menghantui Agung Sedayu,
Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri.
Demikianlah, ketika Ki Tambak Wedi itu hilang dari
lingkungan mereka, segera Agung Sedayu bertanya "Paman,
kenapa mereka itu kita lepaskan?"
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
"Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti akan
melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang
dikatakannya sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat kita
tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu pasti akan
menyerah apabila ia telah mati dengan membawa korban
yang tidak sedikit dari antara kita"
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. tetapi ia dapat
mengerti pikiran pamannya. Pamannya adalah seorang yang
ditempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan
Kepatihan sehingga karena itu, maka segenap perhatian,
perhitungan dan kekuatan dipusatkannya dalam menghadapi
lawannya itu. Persoalan lain yang tidak menyangkut itu,
adalah bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga
dalam menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itupun
memeprhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.
Sesaat kemudian orang-orang yang berkerumun itupun
menjadi sadar bahwa bahaya yang dihadapinya telah
menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan
satu demi satu merekapun segera pergi meninggalkan tempat
itu setelah Widura berkata kepada mereka "Kambalilah
ketempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan
kewaspadaan. Peristiwa ini akan dapat berbuntu panjang".
Kemudian kepada ki Demang Widura berkata "Kakang
Demang, apakah pintu butulan itu boleh kami tutup saja?"
"Silakan, silakan" sahut Ki Demang.
Pintu butulan dinding belakang itupun segera ditutup. Pintu
itu hanya boleh dibuka setiap ada kepentingan yang perlu.
Mereka yang pergi kesungai kecil itu harus mengambil jalan
lain, jalan disamping dinding kademangan. Tetapi Widura
sadar, bahwa apa yang dilakukan itu hampir tak ada gunanya.
Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memerlukan pintu itu. Ia
dapat meloncat atau memanjat atau apapun yang ingin
dilakukan. Namun, dengan demikian maka kemungkinankemungkinan
yang kecil dapat dihindarinya.
Widura sendiri itupun kemudian kembali masuk
kepringgitan bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir
masih duduk ditempatnya. Ketika ia melihat Widura dan
Agung Sedayu yang biru pengab, segera ia bertanya dengan
nada cemas "Kenapa wajahmu ngger?"
Dengan singkat Agung Sedayu mengatakan apa yang
terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan semuanya yang
telah dialaminya. Ki Tanu Metir mendengarkan setiap kata-kata Agung
Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu Metir itu
mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan
kebimbangan. Tanpa sesadarnya ia berkata "Jadi, Ki Tambak
Wedi itu kini membawa Sidanti serta meninggalkan Sangkal
Putung?" "Ya" jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak
sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sehingga pringgitan
itupun menjadi sepi. Diluar panas matahari mulai membakar dedaunan yang
letih. Disana sini, dibawah batang-batang pohon yang rindang,
beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada diantaranya
yang berbaring-baring diatas helaian anyaman daun-daun
nyiur tua. Dalam keheningan itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara
yang lemah "Jadi Sidanti itu tidak kalian tangkap?"
Widura terkejut mendengar suara Untara. Maka segera ia
berdiri dan berjalan mendekati, diikuti oleh Ki Tanu Metir dan
Agung Sedayu. Dengan ragu-ragu Widura menjawab "Tidak Untara.
Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu, karena
gurunya tiba-tiba datang melindunginya"
"Ki Tambak Wedi?" bertanya Untara
Widura mengangguk "Ya" sahutnya. "Mungkin aku dapat
menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa orang


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang harus aku korbankan?"
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai
menahan sakit, namun sesaat kemudian wajahnya menjadi
tenang kembali. "Bagaimana dengan lukamu?" bertanya Widura
"Sudah jauh berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku
masih lemah sekali" "Ya. Beristirahatlah sebaik-baiknya" berkata Widura
Tetapi Untara itu bertanya kembali "Apakah Agung Sedayu
berkelahi dengan Sidanti?"
"Ya" jawab Widura "Wajahnya menjadi biru-biru dan Sidanti
terluka oleh Swandaru"
Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan
Sangkal Putung benar-benar akan menjadi pelik. Sidanti itu
pasti akan menyimpan dendam didalam hatinya. Kepada
dirinya, kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru,
dan kepada pamannya itu sendiri. Sekilas ia membuka
matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun tibatiba
Ki Tanu Metir menggeleng lemah. "Mudah-mudahan
mereka segera dapat ditangkap" desah Untara
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah ia harus
menangkap Ki Tambak Wedi" meskipun demikian Widura itu
tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan
matanya kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir. Sementara itu Ki Demang
dan Swandaru datang pula diantara mereka.
Hari itu adalah hari yang tegang bagi Sangkal Putung.
Hampir setiap orang tidak terpisah dari senjata mereka.
Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun
mereka telah bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaikbaiknya.
Gardu penjagaanpun masih juga diperkuat. Beberapa
pengawas berkuda hilir mudik disekitar daerah kademangan
Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi
sangat sunyinya. Hampir setiap rumah telah menutup
pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani keluar dari
rumah mereka. Bahkan ada diantaranya yang masih belum
berani pulang kerumah sendiri. mereka masih saja tinggal
dikademangan atau banjar desa.
Ki Tanu Metirpun kemudian tidak hanya megobati Untara,
tetapi iapun pergi juga kebanjar desa. Dan dicobanya pula
untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang
terluka. Bukan saja hari itu Sangkal Putung diliputi oleh
ketegangan. Beberapa orang pengawas yang dipasang oleh
Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan
Kepatihan masih menyusun kekuatannya disekitar tempat itu.
Karena itu, maka Untara itu berkesimpulan bahwa laskar
Pajanglah yang harus mengambil prakarsa memebersihkan
mereka. Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal
Putung. Menunggu apabila Macan Kepatihan datang
menyerang mereka kembali. Tetapi laskar Pajang suatu ketika
harus mencari mereka. Menghancurkan mereka disarangsarang
mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan
laskar Pajang di Sangkal Putung akan lekas selesai.
*** Tetapi Widura tidak dapat dengan tergesa-gesa melakukan
pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan Macan
Kepatihan masih vukup banyak untuk mengimbangi kekuatan
laskarnya. Dan didalam pasukan mereka terdapat seorang
Macan Kepatihan yang berbahaya, dan beberapa orang
penting yang lain. Untarapun menyadari keadaan itu, sehingga kemudian
diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu akan segera
dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu.
Namun ketegangan itu semakin lama menjadi semakin
tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak segera mengadakan
penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga
memperhitungkan setiap kemungkinan. Dan hilangnya Plasa
Irengpun pasti mempengaruhi keadaan mereka. Bukan saja
keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi tampak
diseputar Sangkal Putung, namun perlahan-lahan mereka
melupakan pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian pula
Agung Sedayu dan Swandaru. mereka semakin lama menjadi
semakin kehilangan perhatian atas orang yang menakutkan
itu. Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri dan seluruh
laskarnya. Setiap hari ia masih saja mengawasi sendiri
keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malampun ia masih
berjalan dari satu gardu kegardu yang lain. Dan
diperingatkannya stiap penjaga gardu itu, bahwa bahaya yang
sebenarnya masih saja berada disekitar Sangkal Putung.
Namun ternyata Widura sendiri telah melupakan setiap
kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan Agung
Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi atas diri mereka.
Demikianlah, ketika mereka sedang nganglang
kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka
sampai keujung jalan yang mengelilingi daerah gunung
Gowok. Mereka terhenti ketika mereka melihat sesosok tubuh
berjongkok ditepi jalan itu.
Widura bukanlah seorang anak kecil yang bodoh. Ketika ia
melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena itu, maka
digamitnya Agung Sedayu, dan keduanyapun berhenti.
"Kau lihat orang itu?" bertanya Widura berbisik.
"Ya" sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
"Siapa menurut dugaanmu?"
Agung Sedayu menggeleng "Entahlah"
Widura mengangkat alisnya. Kemudian katanya "Hanya
ada dua kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati"
"Tohpati tidak akan seorang diri berada ditempat ini" sahut
Agung Sedayu. "Mungkin saja" jawab Widura. "Beberapa orang lain berada
ditempat lain pula. atau orang yang diumpankannya untuk
memancing kita" Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun demikian mereka
menjadi berdebar-debar juga. Baru saat itu mereka
menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat
terjadi. Tetapi kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab
bahaya itu sendiri telah berada dipelupuk mata mereka.
Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah melupakan
kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa
mereka kedalam satu bahaya.
Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi, siapapun yang
akan mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itupun
kemudian berkata "Marilah kita lihat, siapa orang itu."
"Kita tidak usah mendekat" berkata Widura.
"Lalu bagaimana ?" bertanya Agung Sedayu
"Biarlah ia yang mendekat."
"Apakah ia mau?"
"Marilah kita lihat" jawab Widura. Widura kemudian tidak
menunggu jawaban Agung Sedayu lagi. Perlahan-lahan ia
berjalan menepi dan duduk dengan enaknya ditepi jalan.
Namun demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya
ada sesuatu yang tiba2 harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah memahami maksud pamannya.
Karena itu, maka iapun berjalan menepi pula, dan berjongkok
berhadapan dengan pamannya itu.
"Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan
datang kemari" berkata pamannya.
"Ya" sahut Agung Sedayu.
"Kalau ia akan bertahan ditempatkannya, maka biarlah kita
tunggu disini sampai besok siang."
Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian debar
jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu
benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua
akan mati sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka
yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa laskar Jipang.
Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi.
Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang
dikatakannya kepada pamannya. "Paman, adalah tidak
menguntungkan sekali seandainya orang itu benar-benar Ki
Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita tidak akan
kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan
laskarnya?" Widura mengangguk-angguk. "Kau benar Sedayu" katanya
"tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kita
hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan
diri. Apalagi" Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu
pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur pula."
"Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?"
"Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita
hanyalah sehelai pedang."
Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat
diungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka orang
itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari
arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil
atau apapun yang akan dapat dilemparkannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia
mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya.
Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan
dilakukan oleh orang yang berjongkok dipinggir jalan itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itupun
mengumpulkan beberapa butir batu yang berada disekitarnya.
"Untuk apa?" bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum meskipun masam. "Kalau kita
yakin bahwa orang itu lawan kita siapapun ia, maka aku akan
menyerangnya sebelum orang itu mendekat."
Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya "Tak ada
gunanya." Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia
tetap pada pendiriannya. Tetapi sesaat mereka duduk dipinggir jalan. Orang yang
berjongkok itupun tidak bergerak. Orang itu masih juga berada
ditempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu
adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
"Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah" bisik
Widura "tetapi biarlah. Kita akan tetap berada ditempat ini."
"Ya" sahut Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka sudah hampir
tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali tidak bergerak dan
seakan-akan sebuah patung yang mati.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan
Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu telah
memuncak, maka ia berkata "Paman, biarlah aku mencoba
melamparnya dengan batu, apakah ia masih akan berdiam
diri" Aku kira aku akan dapat mengenainya."
"Jangan" jawab Widura "kita jangan menjadi gelisah. Kita
harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita gelisah.
Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya benar-benar akan
menjadi pecah karena kegelisahan yang menghentak-hentak.
Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu
sengaja membiarkan mereka elisah, namun Agung Sedayu itu
benar-benar hampir pingsan dibuatnya.
Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu sehingga sekali ia
berdiri, kemudian kembali berjongkok dihadapan pamannya.
Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri
duduk disini Widura. Sebenarnya Widura itu sendiripun menjadi sangat gelisah.
Namun ia masih berhasil mengendalikan dirinya. Ia masih
tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila
terjadi sesuatu. Di kademangan Sangkal Putung. Ki Tanu Metir duduk
sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang telah menjadi
berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan
segannya orang tua itu menjawab sekenanya.
"Apakah Ki Tanu Metir sudah mengantuk?" bertanya Untara
"Hem" sahut Ki Tanu Metir sambil menguap "aku tidak
biasa mengantuk pada saat-saat eperti ini. Kalau tengah
malam sudah lampau, biasanya barula haku mengantuk.
Tetapi kali ini mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi"
"Kenapa?" bertanya Untara
"Mungkin aku makan terlalu kenyang" jawab Ki Tanu Metir
Untara tertawa. biasana Ki Tanu Metir itu, pada saat-saat
yang demikian ini, pergi berjalan-jalan keluar. Baru segelah
lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan.
karena itu, maka Untara bertanya pula "Ki Tanu, apakah Kiai
tidak ingin berjalan-jalan?"
Sekali lagi Ki Tanu Metir itu menguap. Jawabnya "Setiap
hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini rasa-rasanya agak
segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah"
"Ya" jawab Untara singkat. Ia tahu benar, bahwa Ki Tanu
Metir sibuk mengobati orang-orang yang terluka dan dirawat
dibajar kademangan. karena itu, maka Untara itupun
kemudian berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu
Metir berkata "angger Widura dan angger Sedayu agaknya
mempunyai keperluan yang khusus, sehingga sampai saat ini
masih belum kembali"
"Apakah ini telah melampaui tengah malam?" bertanya
Untara "Hampir tengah malam" sahut Ki Tanu Metir "Biasanya
pada saat-saat begini mereka telah kembali"
Untara tidak menjawab. mungkin sekali mereka berdua
berhenti disalah satu gardu perondan. Berkelakar dengan para
petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi
agaknya Ki Tanu Metir berpendapat lain. Katanya "Hem, aku
menjadi semakin mengantuk"
"Tidurlah Kiai" berkata Untara "Lebih baik ki Tanu
beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan disini"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
berkata "Setiap malam aku keluar berjalan-jalan. Aku kira lebih
baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya kantukku hilang.
Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan
berkurang" Untara tertawa. Jawabnya "Jangan terlalu jauh Kiai"
Ki Tanu Metir tertawa pula "Kenapa?" ia bertanya.
Kembali Untara tertawa. ia tahu benar, bahwa ia tidak perlu
memperingatkan orang tua itu. Karena itu, maka jawabnya
"Nanti Kiai jadi lapar lagi"
Ki Tanu Metir itupun tertawa. Ki Demang Sangkal Putung


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baru datang, dan mendengar percakapan itupun tertawa
pula. sambungnya "Jangan takut Kiai, didapur masih tersedia
ubi rebus" "Terima kasih" sahut Ki Tanu Metir sambil menganggukanggukkan
kepalanya. "Terima kasih. Mudah-mudahan aku
tidak memerlukannya"
Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri dan perlahan-lahan
berjalan keuar prtinggitan. Belum lagi ia melangkahi pintu,
maka terdengar Ki Demang berkata "Apakah aku perlu
mengantarkan Kiai?" "Tidak, tidak" jawab Ki Tanu Metir cepat-cepat "Jangan
repot karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan sendiri. mungkin
ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau mungkin ke
gardu-gardu peronda"
"Jangan ke gardu peronda. Dijalan Kiai dapat bertemu
dengan bahaya" "Oh ya, baiklah" berkata Ki Tanu Metir
Kemudian Ki Tanu Metir itupun pergi meninggalkan Ki
Demang yang kini duduk mengawani Untara. Dalam
kegelapan malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya
menuju kegerbang halaman.
"Selamat malam Kiai" bertanya orang yang sedang
bertugas "Apakah Kiai akan berjalan-jalan?"
"Ya" jawab Ki Tanu Metir
Orang yang sedang bertugas itu telah mengetahui
kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam berjalan-jalan
keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka
kepergian Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak menarik
perhatian mereka. Seorang yang sedang duduk menguap
disamping regol berkata "Hem, dingin Kiai. Apakah Kiai tidak
lebih senang tidur saja?"
"Uh" sahut Ki Tanu Metir "Sejak muda aku tidak pernah
tidur sebelum lewat tengah malam"
Dan Ki Tanu Metir itupun berjalan tertatih-tatih menyusup
kedalam gelapnya malam. Namun setelah cukup jauh tiba-tiba
Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panajang.
Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba
orang tua itu berjalan tergesa-gesa. Gumamnya "Hem, kenapa
hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk di kademangan"
Justru hari ini angger Widura dan angger Agung Sedayu
pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada seusatu yang
mengganggunya" Meskipun demikian orang tua itu berjalan dengan cepatnya
menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak
mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya
dihadapannya sebuah gardu perondan, maka segera dengan
tangkasnya ia menyelinap dan hilang dibalik pagar. Kini orang
tua itu menyusup diantara rimbunnya dedaunan dan dengan
cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu yang duduk dipinggir jalan
dengan gelisahnya, benar-benar tak dapat menguasai dirinya
lagi. karena itu, maka katanya "Paman, aku dapat menjadi gila
karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan
apakah keperluannya"
"Itulah yang diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan
pengamatan diri" Agung Sedayu menggeram. Ia dapat mengerti kata-kata
pamannya, namun ia tidak dapat melawan perasaan
gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera
dilumuri oleh keringat dingin yang mengalir dari segenap
permukaan kulitnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu bertanya juga kepada
pamannya "Paman, apakah bedanya, seandainya kita harus
benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?"
"Kalau orang itu Ki Tambak Wedi, Sedayu, maka keadaan
kita memang hampir sama saja. Tetapi kalau orang itu
Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan.
Kalau kita maju lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orangorangnya.
Sedangkan kalau kita berada disini, maka kita
mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan seandainya orang
Runtuhnya Sebuah Kerajaan 1 Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Pedang Darah Bunga Iblis 9
^