Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 25

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 25


lapis lagi daripadanya. Namun dengan membunuh Tohpati ia
langsung meloncati beberapa lapis itu. Tumenggung,
tumenggung dalam pangkat keprajuritan adalah pangkat yang
cukup tinggi. Dengan pangkat itu ia tidak saja akan menjadi
senapati kecil seperti yang dijabatnya kini. Ia akan menjadi
seorang senapati dengan pasukan segelar sepapan. Tetapi Ki
Gede itu mengatakan bahwa Ki Gede sendiri belum tahu pasti
apakah yang akan diterimanya dari Adipati Pajang. Pangkat
itu barulah dugaan Ki Gede Pemanahan sendiri. Dan pangkat
itu baru akan diterimanya kelak. Tetapi dugaan itu adalah
dugaan seorang Panglima Wira Tamtama, bukan sekedar
dugaannya sendiri, atau dugaan pamannya, Widura. Bahkan
kemudian ki Gede Pemanahan itu berkata pula, "Apa yang
kau lakukan Untara, adalah lebih sulit dari apa yang harus
dilakukan oleh seorang tumenggung."
Untara tidak dapat menjawab sama sekali. Mulutnya serasa
terbungkam dan darahnya beredar semakin cepat.
Yang berkata kemudian adalah Ki Gede Pemanahan kembali,
"Untara, seorang Tumenggung Wira Tamtama, mendapat
prajurit segelar sepapan, yang telah siap melakukan perintah.
Kau di sini hanya mempergunakan sepasukan Wira Tamtama
yang dipimpin oleh pamanmu Widura. Kemudian kau dan
pamanmulah yang membentuk pasukan segelar sepapan
dengan tenaga yang kalian persiapkan sendiri. Anak-anak
muda Sangkal Putung. Namun kau telah berhasil melawan
Tohpati yang pada saat terakhir telah mengumpulkan sisa-sisa
laskarnya yang tersebar. Untara masih berdiam diri.
"Adalah sepantasnya bahwa kau berhak menerima anugerah
itu." Untara menggigit bibirnya. Kemudian perlahan-lahan ia
berkata, "Ki Gede. Adalah tidak mungkin aku lakukan semua
itu apabila aku berdiri sendiri. Apa yang aku lakukan adalah
sebagian saja dari apa yang kami lakukan bersama. Prajurit
Wira Tamtama Pajang dan hampir setiap laki-laki di Sangkal
Putung. Bahkan perempuan-perempuan kademangan ini pun
bekerja pula untuk kepentingan bersama. Makanan yang
disediakan untuk kami dan banyak lagi keperluan-keperluan
kami yang lain. Karena itu, setiap anugerah untukku adalah
sepantasnya apabila diserahkan untuk kepentingan kami
bersama. Aku, Paman Widura beserta pasukannya yang lebih
dahulu telah berjuang melawan Tohpati di Sangkal Putung ini,
Ki Demang, dan setiap orang di Sangkal Putung."
Ki Gede Pemanahan tersenyum mendengar jawaban Untara
itu. Katanya kemudian, "Kau benar Untara. Dan hal itu telah
diketahuinya pula oleh Adipati Pajang. Seluruh Sangkal
Putung akan mendapat kehormatan pula. Mungkin sangkal
Putung akan menerima berbagai macam hadiah yang
langsung dapat dimanfaatkan oleh kademangan ini. Mungkin
alat-alat pertanian, mungkin ternak dan iwen dan mungkin
anugerah-anugerah yang lain. Tetapi kau yang menangani
kematian Tohpati telah mendapat perhatian khusus dari
Adipati Pajang. Meskipun kau sama sekali tidak menginginkan
hadiah itu Untara, tetapi hal yang serupa itulah yang telah
menggerakkan Sidanti untuk berbuat hal yang aneh-aneh.
Semula ia ingin bahwa kematian Tohpati adalah akibat dari
senjatanya. Tetapi ia gagal."
Untara kini terdiam kembali. la mencoba untuk mengerti setiap
kata yang diucapkan oleh Ki Gede Pemanahan. Dan Ki Gede
itu berkata terus, "Kemudian Widura pun akan mendapat
bagiannya pula. Aku juga belum tahu apa yang akan kau
terima, tetapi pesan itu telah aku bawa pula." Ki Gede
Pemanahan itu terdiam sejenak, lalu sambungnya, "Tetapi
sebelum semuanya itu berlangsung, sebelum kalian menerima
hadiah yang telah dijanjikan, maka aku ingin menyampaikan
persoalan yang kedua yang baru aku temukan setelah aku
berada di Sangkal Putung ini."
Debar di dalam dada Untara pun menjadi semakin cepat
kembali. Persoalan inipun agaknya tidak kalah pentingnya
dengan persoalan yang pertama, namun nadanya agaknya
amat jauh berbeda. Persoalan yang dikatakan oleh Ki Gede
Pemanahan, baru diketemukan di Sangkal Putung.
"Untara," berkata Ki Gede Pemanahan seterusnya, "aku
sependapat dengan laporanmu, bahwa persoalan di Sangkal
Putung telah delapan dari sepuluh bagian selesai. Tetapi
kemudian tumbuh persoalan baru yang apabila dijumlahkan
maka apa yang telah kau selesaikan dengan terbunuhnya
Tohpati barulah lima dari sepuluh bagian. Bahkan mungkin
kurang daripada itu. Sebab sepeninggal Tohpati tumbuhlah
Sidanti dan bahkan gurunya Ki Tambak Wedi di samping
sebagian dari laskar Tohpati sendiri. Tetapi ini bukan salahmu.
Keadaan berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki
bersama. Karena itu Untara, maka pekerjaanmu kali ini
terpaksa belum dapat diakhiri. Mungkin Widura yang telah
lebih lama berada di Sangkal Putung akan dapat beristirahat
bersama pasukannya di kademangan ini, sebab pergolakan
kemudian harus kau geser ke tempat lain."
Untara mengangkat wajahnya. Dadanya berdesir mendengar
penjelasan itu. Sekilas ia telah berhasil menangkap maksud Ki
Gede Pemanahan, namun kemudian Ki Gede itu menjelaskan,
"Untara, tegasnya aku akan menjatuhkan perintah kepadamu
dan kepada Widura. Widura sementara masih harus tetap
berada di Sangkal Putung bersama pasukannya. Mungkin
satu dua orang sisa laskar Jipang masih akan merayap
kemari. Tetapi sebaliknya aku akan memberikan perintah
kepada Untara untuk meninggalkan Sangkal Putung. Kau
jangan menunggu ki Tambak Wedi dan Sidanti datang ke
tempat ini atau membuat huru hara di tempat lain, di sekitar
lereng Gunung Merapi. Karena itu kau harus mendekat.
Bukankah kau berasal dari Jati Anom" Nah, kau harus tinggal
di sana bersama sepasukan Wira Tamtama yang akan aku
kirimkan dari Pajang. Bukan pasukan yang telah berada di
Sangkal Putung. Dengan pasukan itu kau tidak harus
bertahan, tetapi kau harus berusaha merebut setiap
kedudukan ki Tambak Wedi. Aku mengharap dengan pasukan
itu kau mampu melakukannya, meskipun di antaranya aku
tidak akan memasang seseorang yang mampu mengimbangi
ki Tambak Wedi. Aku mengharap kau berhasil menghubungi
Kiai Gringsing yang menurut laporanmu, akan dapat setidaktidaknya
memperkecil arti Ki Tambak Wedi, atau kalau tidak,
maka kau harus membuat pasangan-pasangan yang mampu
menahan setiap perbuatan Hantu Lereng Merapi itu."
Untara merasa bahwa dadanya bergelora oleh berbagai
perasan yang saling berdesak-desakan. la merasa bahwa ia
telah membuat banyak kesalahan dengan laporan yang telah
dikirimnya. Karena itu maka di dalam sudut hatinya ia pun
merasa bahwa seolah-olah ia harus melakukan suatu
hukuman karena kesalahan itu. Tetapi bertentangan dengan
perasaan itu, maka di sudut hatinya yang lain ia merasa
mendapat kepercayaan yang tidak terhingga. la merasa
bahwa karena ia telah berhasil membunuh Tohpati, maka
pekerjaan yang berat itu hanya pantas dipercayakan
kepadanya. Karena gelora di dalam dadanya itulah, maka Untara justru
terdiam. Keringat yang dingin telah membasahi seluruh
punggungnya. Di sampingnya, Widura pun menjadi gelisah
pula. Ada juga kebanggaan membersit di hatinya, tetapi
seperti juga Untara, ia sama sekali tidak mengharapkan
hadiah atau penghargaan apapun atas perjuangannya.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Gede
Pemanahan pun segera akan menutup pertemuan itu.
Diulanginya sekali lagi perintahnya, "Untara, ingat, kau
mempunyai tugas yang mungkin justru lebih berat. Kita belum
tahu, apakah kekuatan yang dihimpun oleh Ki Tambak Wedi
bersama Sanakeling tidak justru lebih kuat dari kekuatan
Tohpati di sini. Kau harus mulai lagi seperti pamanmu di
Sangkal Putung. Menghimpun anak muda Jati Anom untuk
memperkuat prajurit Pajang yang akan aku kirimkan
kemudian. Dengan kekuatan itu kau harus berhadapan
dengan Tambak Wedi. Kau pasti sudah mengenal Jati Anom
dengan baik karena daerah itu adalah daerah kelahiranmu."
Untara tidak menjawab. Tetapi Jati Anom bukan daerah
seperti Sangkal Putung. Jati Anom adalah daerah yang tidak
mengalami tekanan seberat Sangkal Putung, sehingga anak
muda Jati Anom belum tergugah hatinya. Mungkin sekali dua
kali daerah itu pernah dilintasi oleh orang-orang Tohpati,
Sanakeling, atau Plasa Ireng, atau bekas orang-orang Pande
Besi Sendang Gabus, atau yang lain lagi. Tetapi orang-orang
itu hanya lewat dan mungkin sekali dua kali melakukan
perampokan. Menghadapi orang-orang itu, biasanya anakanak
muda Jati Anom bersikap diam. Mereka tidak mau
terlibat dalam perkelahian dengan mereka, sebab anak-anak
muda itu tahu, bahwa apabila orang-orang Jipang itu
mendendam mereka, maka kademangan Jati Anom akan
dapat dihancurkan. Tetapi apabila kelak ada prajurit Pajang di daerah itu, maka
keadaannya pasti akan berbeda, seperti juga daerah Sangkal
Putung kini. Jati Anom seterusnya akan menjadi garis pertama
untuk menghadapi ki Tambak Wedi yang bertempat di
padepokannya, di lereng Gunung Merapi. Justru di atas
Kademangan Jati Anom. "Untara," berkata Ki Gede Pemanahan itu pula, "aku akan
mengirimkan prajurit Wira Tamtama di bawah pimpinan
Pidaksa. Aku akan mengirimnya langsung ke mari, supaya
kau dapat membawanya ke Jati Anom bersama kau sendiri.
Sementara pekerjaanmu untuk mengawasi daerah-daerah lain
di sekitar Gunung Merapi dapat kau lepaskan. Pusatkan
perhatianmu kepada Tambak Wedi. Kalau keadaan Sangkal
Putung benar-benar telah aman, maka aku ijinkan kau minta
kepada pamanmu sebagian dari prajuritnya apabila kau
perlukan, sesudah kau memberitahukannya kepadaku."
Untara menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Perlahanlahan
ia menjawab, "Terima kasih atas kepercayaan itu Ki
Gede. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya."
"Tiga hari setelah aku sampai di Pajang lusa, maka prajurit itu
akan berangkat dari Pajang."
Untara terkejut mendengar perintah itu. Tiga hari setelah Ki
Gede Pemanahan sampai di Pajang. Itu berarti lima hari sejak
malam ini. "Hem," Untara menarik nafas dalam-dalam, "terlampau cepat."
Agaknya Ki Gede dapat menebak hati Untara. Katanya,
"Melawan Tambak Wedi harus dilakukan dengan secepatcepatnya.
Kau harus sudah mulai sebelum Tambak Wedi
mampu menghimpun orang-orang yang berada di bawah
pengaruhnya. Kau harus lebih dahulu menguasai anak-anak
muda di sekitar Jati Anom, Banyu Asri, Sendang Gabus,
Tangkil, dan lebih-lebih ke arah Barat. Ingat, pengaruh Ki
Tambak Wedi cukup besar di seberang hutan Bode."
Untara menganggukkan kepalanya kembali. Katanya, "Ya, Ki
Gede, padepokan Ki Tambak Wedi menurut pendengaranku
berada di sebelah Barat hutan Bode."
"Ya. Kau pasti telah mengetahuinya pula. Dan kau pasti
pernah pula pergi ke hutan itu."
"Ya, Ki Gede," sahut Untara. Dan Untara itupun segera
mengenang kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia sering
pergi dengan ayahnya berburu ke hutan Bode. Hutan yang
mempunyai sebuah batu yang sangat besar, hampir berbentuk
seeker kerbau, sehingga orang menamakannya hutan Kebo
Gede. Tetapi saat itu, Ki Tambak Wedi belum
mencengkamkan pengaruhnya di daerah itu, meskipun orang
itu mungkin telah berkeliaran di sekitar lereng Merapi. Apabila
ayahnya masih ada, mungkin ayahnya akan dapat berceritera
banyak tentang Ki Tambak Wedi itu.
Kemudian setelah sejenak lagi mereka berbincang berkatalah
Ki Gede, "Aku kira persoalanku sudah cukup. Aku akan
beristirahat. Besok aku menunggu prajurit berkuda dari Pajang
dan lusa aku akan kembali. Ingat tiga hari sejak itu, aku akan
mengirimkan Pidaksa kemari beserta pasukannya. Dan
Widura masih tetap berada di Sangkal Putung. Mungkin kau
dapat beristirahat setelah sekian lama kau berjuang melawan
Tohpati, tetapi mungkin pula kau harus bekerja keras, apabila
sepeninggal Untara, orang-orang Jipang itu kembali. Dalam
keadaan yang demikian kau dapat segera menghubungi
Untara di Jati Anom."
Widura itu pun menganggukkan kepalanya pula sambil
menjawab, "Ya Ki Gede. Aku akan melakukan sebaik-baiknya
pula." Sejenak kemudian maka pertemuan itupun seIesai. Ki Gede
segera ditempatkan di ruang dalam banjar desa. Bukan
sebuah pembaringan yang bagus, tetapi sebuah pembaringan
di depan garis perang. Sebuah amben bambu beralaskan tikar
pandan. Tetapi ki Gede Pemanahan adalah prajurit yang
namanya dibesarkan di garis-garis perang, bukan di belakang
pintu Kadipaten Pajang. Karena itu apa yang ditemuinya kini
sama sekali tidak mengejutkannya.
Ketika Ki Gede Pemanahan membaringkan diri, kembali ia
terkenang kepada puteranya. Terdengar Ki Gede berdesis
perlahan, "Anak bengal. Di mana ia bermalam sekarang."
Pada saat yang demikian itu Sutawijaya sedang berusaha
membangunkan Swandaru yang masih saja tidur dengan
nyenyaknya. Swandaru terkejut dan kemudian meloncat dari
pembaringannya. Dengan gugup ia bertanya, "Ada apa?"
Sutawijaya tertawa, katanya, "Ah, seorang anak muda seperti
kau pasti seorang anak muda yang tangkas. Kau mampu
bangun sekaligus meloncat dari pembaringan dan bersiap
untuk berkelahi." Swandaru mengusap matanya. Dilihatnya Sutawijaya dan
Agung Sedayu duduk di pembaringan itu pula. Perapian
mereka kini sudah tidak menyala sebesar semula lagi. Tetapi
perapian itu kini nyalanya telah jauh susut.
"Kau tidur terlampau nyenyak Adi," desis Agung Sedayu.
"Ya," jawabnya pendek. Tertatih-tatih ia melangkah dan
kemudian duduk di pembaringan itu pula.
"Sudah saatnya kau bangun," berkata Sutawijaya.
"Alangkah nikmatnya tidur di samping perapian," Gumam
Swandaru. "Apakah tidak ada hantu yang mengunjungi
kalian?" "Ada," sahut Sutawijaya. "Sayang kau tidak melihatnya. Hantu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan yang sangat cantik."
"Sayang," desah Swandaru sambil menguap. Kemudian
katanya, "Sekarang siapakah yang akan tidur?"
"Siapa?" sahut Sutawijaya.
"Silahkan," jawab Agung Sedayu, "aku tidak kantuk sekarang.
Mudah-mudahan nanti."
"Baik," berkata Sutawijaya, "akulah yang akan tidur. Tolong
bangunkan aku kalau hantu itu nanti datang kembali."
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum.
Demikianlah maka Sutawijaya kini membaringkan dirinya.
Iapun ternyata cepat tertidur pula, meskipun tidak secepat
Swandaru. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini berjagajaga
sambil memanasi tubuh mereka di samping perapian.
Sekali-sekali Agung Sedayu dan Swandaru mencari potonganpotongan
kayu dan sampah ditaburkan di atas perapian yang
kini menjadi seolah-olah seonggok bara semerah darah.
Tetapi seperti ujung malam yang telah mereka lampaui, maka
keduanya sama sekali tidak melihat dan mendengar apapun,
selain suara binatang hutan dan bunyi desir angin di
dedaunan. Bahkan ketika kemudian Sutawijaya terbangun
dengan sendirinya dan pada saat Agung Sedayu beristirahat,
mereka sama sekali tidak mengalami sesuatu.
Ketika kemudian matahari mengembang di kaki bukit di
sebelah Timur, maka ketiga anak-anak muda itupun menarik
nafas lega. Mereka seakan-akan telah terlepas dari sebuah
ketegangan hampir semalam suntuk.
Dengan nada yang datar Swandaru berkata, "Hem, siapakah
yang telah bermain gila-gilaan semalam" Ternyata tak
seorang pun yang kami temui di sini. Apakah siang ini kita
akan melanjutkan berusaha untuk menemukannya?"
"Tak ada gunanya," jawab Sutawijaya, "lebih baik kita
mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Kecuali
apabila kita menjumpainya."
"Kita harus mendapatkan air," tiba-tiba terdengar Agung
Sedayu memotong. "Ya kita mencari air," Sahut Swandaru.
"Pasti ada air di dekat tempat ini. Kalau tidak Macan
Kepatihan pasti tidak memilih tempat ini untuk membuat
perkemahan," berkata Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka sependapat dengan Sutawijaya. Karena itu
Swandaru segera menjawab, "Mari kita mencari air. Mencuci
muka dan minum sepuas-puasnya, sebagai ganti makan
pagi." Sutawijaya tersenyum. "Jangan takut. Kita akan mencari
makan pagi. Hutan ini pasti berbaik hati kepada kita. Nah,
Sekarang biarlah kita pegang busur kita. Kita akan mencari
binatang buruan." "Bagus," sahut Agung Sedayu, "sudah lama aku tidak pergi
berburu." "Aku juga. Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak pergi
berburu," berkata Swandaru.
"Berapa tahunkah umurmu?" bertanya Sutawijaya.
"Lewat delapan belas," sahut Swandaru.
"Kenapa sudah hampir duapuluh tahun kau tidak pernah
berburu?" "Bukankah demikian" Sejak bayi aku belum pernah berburu.
Bukankah hampir duapuluh tahun?"
Sutawijaya tertawa, ia senang mendengar kelakar itu.
"Marilah," ajak Sutawijaya kemudian. "Tetapi bagaimana aku
menyangkutkan tombakku" Tali tombak ini telah kau minta
Swandaru." Swandaru mengamat-amati pedangnya. la melihat juntai
benang yang kekuning-kuningan. Benang yang didapatkannya
dari Sutawijaya. Tetapi ia merasa sayang untuk melepas
benang itu dari hulu pedangnya.
Tetapi ternyata Sutawijaya tidak minta Swandaru untuk
melepasnya. Katanya, "Bukankah kau sudah hampir duapuluh
tahun tidak berburu Swandaru" Dengan demikian kau pasti
sudah menjadi canggung. Mungkin kau sudah tidak ingat lagi,
bagaimana kau harus mengikuti jejak binatang buruanmu,
kemudian mengintainya dan melepaskan anak panah. Nah,
sebaiknya kau melihat cara kami berburu lebih dahulu. Dan,
maaf, tolong bawa tombakku."
"Uh," sungut Swandaru. Tetapi ia tidak dapat menolak,
diterimanya tombak pendek Sutawijaya. Tetapi sesaat
Swandaru seolah-olah menjadi tegang. Terasa sesuatu
bergetar di tangannya, seperti ada sesuatu mengalir dari
tombak itu. "Hem," katanya dalam hati. "Tombak yang
demikian inilah yang disebut tombak yang baik."
Tetapi yang didengarnya kemudian adalah suara Sutawijaya
mengejutkannya, "Ayo. Senjatamu sudah lengkap. Pedang di
lambung, tombak di tangan dan busur di punggung. Siapa
yang berani melawanmu sekarang?"
Agung Sedayu tertawa mendengar gurau itu. Sekedar untuk
melupakan orang yang semalam mengganggu mereka
dengan perapiannya. Tetapi Swandaru sendiri mencibir sambil
bersungut-sungut, "Huh. Akulah yang menjadi ganti karena
kalian tidak membawa pedati. Ayo siapa lagi yan akan
memberi aku muatan?"
Sekarang bukan saja Agung Sedayu tetapi juga Sutawijaya
tertawa terbahak-bahak. Di antara derai tertawanya ia berkata,
"Jangan marah Swandaru. Nanti aku carikan buruan yang
sesuai dengan seleramu. Apakah kira-kira yang kau senangi?"
"Daging kambing," sahut Swandaru.
"Hem," gumam Sutawijaya, "mudah-mudahan di dalam hutan
ini aku dapat menjumpai gerombolan kambing liar. Tetapi
kalau tidak ada kambing nanti aku akan menangkap kelinci.
Bukankah kau gemar pula daging kelinci?"
"Daripada makan daging kelinci bagiku lebih baik makan daun
mlandingan muda." Kembali Sutawijaya dan Agung Sedayu tertawa.
"Marilah. Nanti binatang-binatang buruan habis berlarian
mendengar kita ribut saja di sini," ajak Sutawijaya kemudian.
Ketiganya kemudian terdiam. Dengan busur dan anak panah
di tangan, mereka kemudian menyusup ke dalam hutan
mencari binatang buruan untuk makan pagi mereka.
Ternyata Sutawijaya cukup tangkas dan Agung Sedayu
adalah pembidik yang benar-benar mengagumkan. Ketika
mereka menjumpai seekor kijang muda, maka keduanya
segera dapat menguasainya dan mengenainya.
Demikianlah mereka kemudian kembali duduk mengelilingi
perapian yang masih membara. Bahkan Swandaru telah
menambahnya dengan potongan-potongan kayu dan akarakaran.
Dengan lahapnya mereka kemudian menikmati daging
panggang yang baru saja mereka tangkap.
Setelah mereka membersihkan diri dan minum sepuaspuasnya
pada sebuah belik di dekat perkemahan itu maka,
segera mereka mempersiapkan diri mereka untuk meneruskan
perjalanan. Sinar matahari yang sudah menanjak semakin tinggi, satusatu
herhasil menembus rimbunnya dedaunan dan jatuh
bertebaran di atas tanah yang lembab. Sekali-sekali mereka
harus menyeberangi parit-parit yang mengalir di antara akarakar
kayu-kayuan di dalam hutan itu.
Hutan itu meskipun tidak terlampau tebal, namun cukup luas.
Mereka menyusur di bawah pepohonan yang besar dan
kadang-kadang harus menyusup di bawah rimbunnya belukar.
Tetapi perjalanan itu telah menyenangkan hati ketiga anakanak
muda itu. Agung Sedayu kini telah melupakan
kecemasnnya apabila kakaknya akan marah kepadanya.
Bahkan kemudian mereka menjadi gembira seperti anak-anak
domba yang lepas di lapangan rumput yang hijau.
Ketika matahari telah mulai menurun di belahan Barat, maka
mereka telah hampir menembus ujung hutan dan sampai ke
padang terbuka. Padang yang ditumbuhi oleh ilalang liar dan
gerumbul-gerumbul perdu di samping beberapa jenis pohon
yang agak besar lainnya. Ketika mereka keluar dari hutan itu dan menginjakkan kaki
mereka di padang ilalang, maka serentak mereka
menengadahkan wajah-wajah mereka.
"Hem, matahari telah turun," gumam Sutawijaya.
"Kita terlampau siang berangkat," sahut Agung Sedayu.
"Kau terlalu lama menggenggam tulang paha kijang itu,"
sambung Swandaru. Ketiganya tersenyum. "Menilik daerah ini, kita akan segera sampai ke daerah
persawahan atau pategalan," berkata Sutawijaya.
"Ya. Kita akan segera sampai ke padesan."
"Apakah kita akan memasuki padesan itu?" bertanya
Swandaru. "Lebih baik tidak. Kita akan mendapat banyak kesulitan.
Mungkin kita dicurigai, atau bahkan mungkin kita tidak boleh
meneruskan perjalanan. Mungkin mereka menyangka kita
adalah sisa-sisa orang-orang Jipang. Menurut pendengaranku
ada beberapa orang prajurit Pajang yang ditempatkan di
Kademangan Prambanan. Tetapi tidak banyak. Dan aku
belum tahu, manakah yang bernama Prambanan itu."
"Aku tahu," sahut Swandaru. "Bukankah di Prambanan ada
bangunan yang terkenal. Hampir orang di seluruh pelosok
Demak tahu, bahwa di Kademangan Prambanan ada Candi
yang bernama Candi Jonggrang."
"Aku juga pernah mendengar," sahut Sutawijaya, "apalagi
kalian yang asal kalian tidak terlampau jauh dari daerah itu.
Tetapi di manakah letak candi itu?"
Swandaru menggelengkan kepalanya. "Aku belum tahu,"
jawabnya. "Mungkin kita akan sampai juga ke candi itu tanpa kita
kehendaki, tetapi mungkin pula tidak," berkata Sutawijaya.
"Tetapi Candi itu cukup tinggi. Dari kejauhan kita akan dapat
melihatnya. Kecuali apabila kita berada di sebelah desa yang
dapat menutup pandangan mata kita."
"Kita tidak berkepentingan dengan candi itu. Kita akan berjalan
terus. Kita akan mencoba menghindari padesan. Tetapi
apabila kita kemalaman di jalan, mungkin kita memerlukan
desa terdekat untuk bermalam," berkata Sutawijaya kemudian.
Kedua kawan-kawannya sependapat. Mereka akan
menghindari banyak pertanyaan. Dengan senjata di lambung
mereka serta busur di punggung, maka setiap orang yang
melihat mereka pasti akan bercuriga. Karena itu mereka telah
bersepakat untuk berjalan sejauh-jauhnya dari padesan yang
akan mereka jumpai. "Lewat Prambanan kita akan sampai ke Candi Sari, kemudian
Cupu Watu, baru kita akan sampai ke daerah hutan yang lebih
lebat dari hutan yang telah kita lewati," berkata Sutawijaya.
"Apakah kita akan bermalam di hutan itu lagi?" bertanya
Swandaru. Mereka bertiga menatap padang yang terbentang di
hadapannya. Sebuah padang ilalang yang cukup luas.
"Kita belum akan sampai ke hutan Tambak Baya apabila
malam turun," berkata Sutawijaya. "Lihat di hadapan kita
masih terbentang padang yang agak luas, kemudian kita akan
sampai ke bulak persawahan. Baru kita akan memasuki desadesa
pertama dari Kademangan Prambanan. Belum lagi kita
sampai ke ujung kademangan yang lain, maka kita pasti
sudah harus mencari tempat untuk bermalam."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu
memandang bukit-bukit yang membujur di sebelah Selatan,
seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan
nyenyaknya. "Menurut ceritera," berkata Sutawijaya, "di bukit itu telah terjadi
suatu peristiwa yang dahsyat pada jaman pemerintahan Prabu
Baka." "Ya," sahut Agung Sedayu. Teringatlah ia kepada ceritera
ibunya yang dahulu selalu memanjakannya, yang lebih
senang melihat Agung Sedayu bertekun dengan rontal
daripada dengan pedang. "Candi Prambanan adalah akhir dari
peristiwa itu." "Dan patung Rara Jonggrang adalah patung yang cantik
sekali," sambung Swandaru yang pernah mendengar ceritera
itu pula. "Sekarang," berkata Sutawijaya, "kita akan menyusur di
sebelah bukit itu untuk menghindarkan diri dari kecurigaan
seseorang. Apakah kalian sependapat?"
Kedua kawan-kawannya mengangguk. Hampir bersamaan
mereka menjawab, "Ya, kami sependapat."
Mereka pun kemudian berjalan ke arah bukit yang
membentang di sebelah Selatan padang ilalang itu. Padang
yang menarik perhatian Sutawijaya. Apalagi ketika kemudian
mereka melihat tanah pategalan dan persawahan yang hijau
subur di sebelah padang ilalang yang semakin lama menjadi
semakin tipis. "Daerah ini adalah daerah yang sangat subur," gumam
Sutawijaya. "Ya," sahut Agung Sedayu, "tidak kalah subur dengan daerah
Sangkal Putung." "Menurut pendengaranku, tanah ini mendapat air dari sungai
di sebelah Candi Prambanan, Sungai Opak," berkata
Sutawijaya itu pula. Kedua kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Mereka hanya tertarik pada tanah yang subur,
tanaman yang hijau dan rumpun-rumpun yang segar.
Tiba-tiba terdengar Swandaru berdesis, "Kalau tanah ini
sesubur Sangkal Putung, kenapa orang-orang Jipang tidak
ingin memiliki tanah dan kademangan ini pula?"
"Siapa tahu." sahut Agung Sedayu. "Mungkin daerah ini pun
mendapat tekanan-tekanan yang serupa dengan Sangkal
Putung." "Tidak," potong Sutawijaya, "aku kira tidak, sebab Tohpati,
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan sebelum itu juga Pande
Besi Sendang Gabus berada di sekitar Sangkal Putung."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya,"
katanya lirih. Sejenak mereka terdiam. Kaki-kaki mereka melangkah di
antara batang-batang ilalang yang sudah semakin tipis. Di
hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang
sempit. Di seberang padang rumput itu, maka terbentanglah
tanah persawahan dan pategalan yang hijau. Di sana-sini
mereka melihat padesan yang segar bermunculan di antara
batang-batang padi yang sedang berbunga.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada perbedaan antara Prambanan dan Sangkal Putung,"
berkata Sutawijaya kemudian. "Yang mungkin mempengaruhi
perhitungan Tohpati adalah letak dari kedua kademangan ini.
Yang kedua, Sangkal Putung agak lebih besar dari
Prambanan dan lebih padat pula, sehingga yang tersimpan di
dalam perut Kademangan Prambanan. Agaknya Prambanan
tidak memiliki kekayaan seperti Sangkal Putung. Ternak, iwen,
lumbung-lumbung yang padat dan hampir setiap orang di
Pajang dan Jipang tahu, bahwa orang-orang Sangkal Putung
adalah selain petani yang rajin, juga pedagang yang ulet,
sehingga menurut perhitungan Tohpati, di Sangkal Putung,
akan banyak dijumpai emas dan permata. Kepentingan
Tohpati yang lain, karena Sangkal Putung lebih padat
daripada Prambanan, maka Sangkal Putung akan dijadikan
panjatan perlawanan atas Pajang. Mungkin Tohpati akan
dapat memanfaatkan penduduk Sangkal Putung dengan
sebaik-baiknya." Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata terus,
"Tetapi tidak mustahil, bahwa apabila mereka gagal
menduduki Sangkal Putung, maka mereka akan
memperhatikan tempat-tempat lain. Tempat-tempat yang
cukup baik, tetapi yang terlepas dari pengawasan prajuritprajurit
Pajang. Tetapi aku kira Prambanan pun berada di
bawah pengawasan langsung dari beberapa orang prajurit."
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja menganggukanggukkan
kepala mereka. Di dalam hati Swandaru merasa
bangga, bahwa kademangannya, kademangan yang dipimpin
oleh ayahnya ternyata mempunyai beberapa keistimewaan
dari kademangan-kademangan lain. Jati Anom, Prambanan
dan beberapa kademangan yang lain, bukanlah kademangan
yang dapat dinilai sebesar kademangannya.
Tetapi berbeda dengan angan-angan yang berputar di kepala
Sutawijaya. Pandangannya atas kademangan ini ternyata jauh
melampaui masa yang dilihatnya kini. Ia adalah putera Ki
Gede Pemanahan. Sehingga apabila ayahnya nanti mampu
membuka hutan Mentaok, maka adalah menjadi kewajibannya
untuk menjadikan daerah itu daerah yang besar. Daerah yang
memiliki kedudukan yang kuat dan memiliki sumber kekayaan
yang cukup. Prambanan adalah daerah yang cukup subur.
Dan daerah ini tidak terlampau jauh dengan alas Mentaok
yang dijanjikan olah Adipati Pajang kepada ayahnya.
Namun Sutawijaya menyimpan angan-angan itu di dalam
kepalanya. Ia sama sekali tidak menyatakan kepada kedua
kawannya. Gambaran-gambaran tentang masa depan itu
dibiarkan tumbuh dan berkembang di dalam hatinya sendiri.
Demikianlah mereka berjalan terus ke arah Barat.
Dilingkarinya pategalan dan tanah-tanah persawahan. Mereka
berjalan di padang alang-alang di sisi-sisi bukit kecil yang
menbujur di sebelah Selatan Prambanan.
"Itulah Candi Jonggrang," berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
"Hem, itulah candi yang terkenal itu."
Swandaru mengerutkan wajahnya. Tetapi ia tidak berkata
suatu apapun. Ketika matahari semakin lama menjadi semakin rendah, maka
berkatalah Sutawijaya kemudian, "Hampir senja. Apakah kita
akan bermalam di padang ilalang, ataukah kita ingin mencari
penginapan di desa yang terdekat. Lihat, desa itu adalah desa
kecil yang terpencil. Mungkin kita akan dapat mencari sekedar
tempat untuk bermalam."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab.
Ditatapnya sebuah desa kecil yang terpencil agak di sebelah
Barat Candi Prambanan. Desa itu dipisahkan oleh sebuah
bulak yang agak panjang, yang ditumbuhi oleh batang-batang
padi yang hijau subur. Namun desa kecil itu sendiri dilingkari
oleh tanaman yang segar pula. Daun-daun yang hijau menjadi
kemerah-merahan karena sinar matahari yang hampir
terbenam di ujung Barat. "Bagaimana?" desak Sutawijaya. "Kalau kita ingin bermalam di
desa itu, maka biarlah kita menunggu gelap. Kita memasuki
desa itu setelah tidak banyak orang yang akan melihat kita.
Kita pilih rumah yang paling ujung. Dan kita minta bermalam
apabila pemiliknya tidak keberatan."
"Dengan segala macam senjata ini?" bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
"Tidak. Kita mencari tempat yang agak baik untuk
menyembunyikan senjata-senjata ini."
"Bagaimana kalu senjata-senjata kita dicuri orang?" bertanya
Swandaru. "Tidak kita letakkan di sembarang tempat. Kita sembunyikan di
tempat yang kita yakin, bahwa senjata-senjata itu tidak dilihat
orang." Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian Agung Sedayu menjawab, "Baiklah. Tanpa senjata
di tangan kita tidak akan menakut-nakuti penduduk desa itu.
Tetapi apakah jawab kita apabila mereka bertanya siapakah
kita dan apakah kepentingan kita di desa mereka?"
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula, "Ya,
apakah keperluan kita?"
Mereka pun kemudian terdiam. Mereka sedang mencari-cari
jawab apabila mereka mendapat pertanyaan tentang diri
mereka. "Baiklah kita katakan, bahwa kita adalah orang-orang Mangir.
Kita baru saja bepergian ke Sangkal Putung, bagaimana?"
berkata Sutawijaya. "Kita belum pernah melihat daerah itu. Bagaimana kalau orang
yang kita temui itu mengenal Mangir dengan baik dan
bertanya beberapa hal tentang Mangir?" sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya termenung. Matahari di sebelah Barat telah
menjadi semakin rendah. "Kita bermalam di padang ilalang ini saja," katanya kemudian.
Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, "Dingin. Sudah
tentu kita tidak dapat membuat perapian kalau kita tidak ingin
menarik perhatian orang-orang Prambanan."
"Ya, kau benar," jawab Sutawijaya, "dingin dan banyak sekali
nyamuk. Memang lebih senang tidur di dalam rumah."
"Kita perhitungkan setiap kemungkinan. Manakah yang lebih
baik. Kedinginan di ladang ini atau menjawab pertanyaanpertanyaan
yang akan mereka berikan," berkata Agung
Sedayu. "Oh, aku terbalik menjawab," berkata Sutawijaya. "Kita adalah
anak-anak Sangkal Putung yang akan pergi ke Mangir. Kita
akan dapat menjawab segala pertanyaan mengenai Sangkal
Putung. Tetapi apabila mereka bertanya tentang Mangir,
biarlah kita jawab, bahwa kita belum pernah pergi ke Mangir."
"Apakah keperluan kita ke Mangir?" bertanya Swandaru.
"Apa saja," jawab Sutawijaya, "mencari paman kita atau kakak
kita?" "Baik, kita adalah anak-anak Sangkal Putung," sahut
Swandaru kemudian. "Kita saudara-saudara sepupu," berkata Sutawijaya, "panggil
aku kakang. Agung Sedayu menjadi penengah di antara kita
dan Swandaru adalah saudara sepupu yang lahir dari saudara
termuda di antara orang tua kita."
Swandaru tertawa. Katanya, "Kenapa aku yang termuda?"
"Demikianlah sepantasnya," jawab Sutawijaya.
"Muda dalam urutan saudara sepupu tidaklah mesti yang
paling muda umurnya," sahut Swandaru.
"Apakah kita akan berbantahan mengenai umur untuk
kepentingan ini?" bertanya Sutawijaya.
Kedua kawannya tertawa, "Baiklah," desis Swandaru.
"Marilah, kita dekati desa itu. Kau lihat pohon gayam yang
besar itu" Kita sembunyikan senjata kita ke atasnya. Aku
sangka tak seorang pun yang akan melihatnya."
"Ya, apabila senja telah menjadi gelap."
Mereka bertiga pun kemudian berjalan ke Utara. Merka telah
melampaui arah Candi Jonggrang. Mereka menuju sebuah
desa kecil di sebelah Barat candi itu, desa yang terpisah oleh
sebuah bulak yang agak panjang.
Pada saat yang bersamaan, di Sangkal Putung berderap kakikaki
kuda prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Pajang yang
akan menjemput Ki Gede Pemanahan dengan membawa
orang-orang Jipang. Besok mereka akan kembali bersama
sebagian dari pasukan Widura di Sangkal Putung, sedang
sebagian yang lain harus tetap tinggal di Sangkal Putung
untuk menjaga setiap kemungkinan. Orang-orang Widura itu
akan kembali ke Sangkal Putung bersama pasukan yang
dipimpin oleh Pidaksa yang akan ditempatkan di bawah
kekuasaan Untara untuk menyelesaikan sisa-sisa orang-orang
Jipang itu sama sekali. Ki Gede Pemanahan yang gelisah karena puteranya pergi
tanpa sepengetahuannya, terpaksa tidak dapat berbuat
apapun juga. Ia harus segera kembali ke Pajang yang sedang
mengembangkan dirinya. Pada saat ini Kerajaan Demak
sedang kosong sepeninggal Sultan Trenggana. Timbulnya
berbagai pertentangan di antara putera-putera dan
kemenakannya telah memberi peluang kepada beberapa
orang yang tidak senang menyaksikan Demak bangkit
kembali. Apalagi melihat kebangkitan keturunannya.
Ki Gede itu hanya dapat berpesan kepada Untara dan Widura
untuk kelak menyuruh anaknya segera kembali ke Pajang.
Bukan saja dirinya sendiri yang menjadi gelisah, tetapi pasti
Adipati Adiwijaya pun menjadi gelisah pula.
"Anak itu menggangu pekerjaanku saja," gumamnya. Tetapi
kemudian diteruskan, "Yah, tetapi ia telah berjasa pula kepada
Pajang." Malam itu Ki Gede Pemanahan telah mempersiapkan dirinya
untuk besok pada saat matahari terbit, berangkat dengan
pengawalan yang kuat, membawa orang-orang Jipang yang
menyadari kekeliruan yang selama ini mereka lakukan.
Dan pada saat itu, ketika matahari telah tenggelam di balik
cakrawala, maka Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
telah berada di bawah pohon gayam yang cukup besar.
Mereka ingin menyimpan senjata-senjata mereka di atas
pohon itu, supaya kehadiran mereka ke desa di ujung
Kademangan Prambanan tidak mencurigakan.
"Siapakah yang memanjat?" bertanya Sutawijaya.
"Siapa?" sahut Agung Sedayu.
"Berikan senjata kalian. Aku akan memanjatnya," desis
Swandaru. Kedua kawannya tertawa. Ketika mereka melihat Swandaru
melipat lengan bajunya serta menyingsingkan kain
panjangnya, maka kedua kawannya pun segera melepas
senjata mereka. "Apakah kau dapat membawa sekaligus?" bertanya Agung
Sedayu. "Tentu tidak. Aku akan memanjat untuk kepentingan kalian,
tetapi tolong, berikan senjata-senjata itu apabila aku sudah
berada di atas pohon gayam ini," jawabnya.
"Uh, kalau begitu sama saja bagiku. Lebih baik kita memanjat
bersama-sama. Ayo, biarlah aku membawa sebagian dari
senjata-senjata itu," berkata Agung Sedayu.
Swandaru-lah yang kemudian tertawa. Tetapi ia tidak
menjawab. Dengan sebagian dari senjata-senjata mereka ia
memanjat. Dibawanya pedangnya sendiri, busur serta endong
panahnya, dan tombak Sutawijaya, sedang Agung Sedayu
membawa senjata-senjatanya sendiri dengan busur dan
endong panah Sutawijaya. Dengan hati-hati mereka menyangkutkan senjata-senjata itu
pada cabang-cabang yang kuat dan rimbun. Mengikatnya dan
kemudian mereka pun turun dengan hati-hati supaya gerakangerakan
mereka tidak menjatuhkan senjata-senjata mereka
yang terikat pada cabang-cabang pohon gayam itu.
Sutawijaya yang berdiri di bawah mengawasi keadaan dengan
seksama. Kalau-kalau ada seseorang yang mengintai mereka
bertiga. Tatapi sampai kedua anak-anak muda itu turun dari
pohon gayam itu, tidak seorang pun yang dilihatnya.
"Aku kira tak seorang pun yang melihat kita di sini," desis
Sutawijaya. "Apalagi setelah hari menjadi gelap. Kini marilah
kita pergi ke desa itu."
"Marilah," sahut keduanya.
Tetapi segera langkah mereka terhenti. Dalam keremangan
malam mereka melihat bayangan semakin lama menjadi
semakin dekat. Tidak hanya seorang. Tetapi dua dan bahkan
tiga orang. Ketiga anak muda itu menjadi berdebar-debar. Bukan karena
mereka takut, namun apabila ada orang yang melihat
perbuatan mereka, maka pasti akan menimbulkan berbagai
pertanyaan dan persoalan. Apabila mereka harus mengalami
perselisihan, senjata-senjata mereka kini telah tersangkut di
atas pohon gayam itu. Bayangan-bayangan itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Kemudian terdengarlah suara mereka bercakap-cakap. Tidak
begitu jelas, tetapi percakapan mereka berjalan lancar.
"Mereka belum melihat kita,"
desis Sutawijaya perlahanlahan.
"Ya, Tuan, mereka belum
melihat kita," sahut Agung
Sedayu. "Jangan panggil aku tuan.
Panggil aku kakang."
"Ya, Kakang," ulang Agung
Sedayu. Tiba-tiba tiga orang yang
berjalan itu pun tertegun. Mereka kini melihat ketiga anakanak
muda yang berdiri di pinggir jalan di bawah pohon
gayam. Karena itu salah seorang dari mereka segera
bertanya, "Siapakah kalian di situ?"
Ketiga anak-anak muda itu sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi
kemudian Sutawijaya menjawab, "Aku, Paman."
"Aku siapa?" Kembali Sutawijaya menjadi bingung. Lebih baik baginya
untuk tidak mempergunakan namanya sendiri, supaya tidak
mengganggunya. Sebab mungkin seseorang telah mendengar
nama itu. "Siapa?" bertanya orang itu pula.
"Aku, Suta Paman."
"Suta, Suta siapa?"
"Suta, ya Suta. Sutajia."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sutajia," ulang orang itu, "aku belum pernah mendengar
namamu." Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru pun menjadi
bingung. Meskipun mereka telah merencanakan, apa yang
harus mereka katakan, namun menghadapi pertanyaan itu
mereka masih harus berpikir sejenak.
Karena mereka bertiga tidak segera menjawab, maka orang
itu mensedak, "He, Sutajia, siapakah kau?"
Sutawijaya menjawab terbata-bata, "Memang mungkin,
Paman. Mungkin Paman belum pernah mendengar namaku.
Aku bukan orang Prambanan."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Pantas. Aku belum pernah mendengar nama itu.
Tetapi meskipun kau bukan orang Prambanan, namun
namamu itu cukup aneh. Sutajia. Nama yang terasa tidak
cukup lengkap." Dada Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Seakan-akan orang
yang berbicara itu mengerti keadaan dirinya sepenuhnya.
Namun kemudian ia menjadi berlega hati ketika orang itu
bertanya, "Dari manakah kalian datang?"
"Kami datang dari Sangkal Putung, Paman," sahut Sutawijaya.
"Siapa kedua kawanmu itu?"
"Mereka adalah adik sepupuku. Yang bertubuh sedang
bernama Agung Sedayu dan yang gemuk bernama Swandaru
Geni." Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya kembali.
Gumamnya, "Nama itu adalah nama-nama yang bagus,
Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Nama itu adalah nama
lengkap dan berwibawa. Tidak seperti namamu sendiri
Sutajia." "Demikianlah orang tua kami memberi nama kepada kami
masing-masing, Paman."
Dan orang itu pun bertanya pula, "Kalian datang dari Sangkal
Putung menurut katamu" Tetapi ke manakah kalian akan
pergi?" "Ya, Paman. Kami datang dari Sangkal Putung. Sedang kami
ingin pergi ke Magir."
"Mangir, he" Mangir di seberang hutan Mentaok?"
"Ya, Paman." "Apakah kalian tidak sedang bermimpi?"
"Tidak, Paman."
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya pula. Seolah-olah
lehernya terlampau lentur.
"Apakah kalian sudah mengetahui jalan yang harus kalian
tempuh?" "Sudah, Paman. Kami akan melewati Candi Sari, Cupu Watu,
dan kemudian hutan Tambak Baya."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Pandangan wajahnya
membayangkan keragu-raguan hatinya. Tetapi ia tidak
mempunyai kepentingan atas ketiga anak-anak muda itu.
Karena itu maka sambil lalu orang itu bertanya, "Apakah
malam ini kau akan bermalam di bawah pohon ini?"
Sutawijaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi setelah mereka
saling berpandangan, berkatalah Sutawijaya, "Tidak, Paman.
Terlampau dingin. Tetapi kami tidak mempunyai keluarga di
daerah ini." "Lalu?" bertanya orang itu pendek.
"Sebenarnya kami ingin pergi ke desa itu. Mungkin ada
seseorang yang menaruh belas kepada kami, dan mengijinkan
kami bermalam semalam ini, meskipun kami harus tidur di
atas kandang." Orang itu tertawa. Ia berpaling kepada kedua kawannya.
Kemudian katanya, "Kalian bertiga akan pergi ke Mangir di
sebelah hutan Mentaok, tetapi kalian takut kedinginan di udara
terbuka. Apakah kalian tahu, bahwa hutan Tambak Baya itu
menyimpan bahaya yang jauh lebih besar daripada udara
yang dingin" Apalagi alas Mentaok?"
Sutawijaya terdiam. Tetapi pertanyaan itu masuk di dalam
akalnya. "Tetapi aku kasihan melihat kalian bertiga," berkata orang itu.
"Untunglah bahwa keadaan telah menjadi baik, sehingga kami
tidak ragu-ragu lagi membawa kalian menginap di rumah
kami." Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengerutkan
keningnya. Agaknya Prambanan pun pernah mengalami masa
yang kurang baik. Tetapi ternyata masa yang kurang baik itu
telah lampau. "Bawa anak-anak ini ke rumah, Bawa," berkata orang itu.
Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata, "Keduanya adalah
anak-anakku. Yang tua bernama Bawa dan yang muda
bernama Supa." "Oh," Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Demikian pula
Agung Sedayu dan Swandaru.
"Mari, ikut aku," ajak Bawa. Tetapi nada suaranya agak
berbeda dengan nada suara ayahnya. Tetapi Sutawijaya dan
kedua kawan-kawannya mula-mula tidak memperhatikannya.
"Pulanglah dahulu," berkata orang itu kepada kedua anaknya,
"Aku masih akan menyusur parit ini. Apakah kalian masih ada
waktu?" "Tidak Ayah. Aku harus segera pulang. Kawan-kawan pasti
sudah menanti di halaman banjar desa."
"Apakah kerja kalian di sana" Bukankah lebih baik bagi kalian
pergi ke pategalan sebentar untuk menengok tanaman kalian.
Mungkin ada binatang yang merusak mentimun itu."
"Aku tidak sempat, Ayah."
"Hem," orang tua itu menarik nafas, "ada-ada saja kerjamu
sekarang ini. Bagaimana kau, Supa?"
"Aku juga tidak dapat Ayah. Aku juga harus pergi ke halaman
banjar desa itu." "Terlalu. Jadi aku juga yang harus pergi ke sana" Sesudah
menyusur air ini, aku masih harus pergi ke ladang mentimun
itu?" "Terserah kepada Ayah. Bagaimana kalau ladang itu tidak
usah ditengok" Aku kira hampir tidak ada gunanya. Demikian
kita meninggalkannya setelah kita bersusah payah
menengoknya, maka babi hutan itu datang merusaknya."
"Memang sebaiknya ladang itu kita tunggu apabila buahnya
telah menjadi besar seperti sekarang. Kalianlah yang harus
membantu untuk menunggui ladang itu."
Kedua anak muda itu bersungut-sungut. Ternyata mereka
sama sekali tidak tertarik akan pekerjaan yang disebut oleh
ayahnya, menunggui ladang.
Anak muda yang bernama Bawa, yang tertua kemudian
manjawab, "Pekerjaan itu sangat menjemukan, Ayah."
"Aku tidak dapat melakukannya. Anak-anak muda yang lain
bergembira di banjar desa, apakah aku harus kedinginan di
ladang mentimun?" Ayahnya tidak menyahut. Terdengar ia menarik nafas dalamdalam.
"Ayo," berkata Bawa kemudian. "Kalau kalian mau ikut kami,
marilah ikut." Bawa tidak menunggu ketiga anak-anak Sangkal Putung itu
menjawab. Langsung ia melangkah pergi, meninggalkan
ayahnya berdiri termanggu-maggu. Adiknya, Supa, segera
mengikuti pula berjalan di belakang kakaknya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru masih belum
bergerak dari tempatnya. Sekali-sekali mereka memandang
orang tua yang masih berdiri tegak di tempatnya dan sekalisekali
mereka menatap kedua anak-anaknya yang berjalan
dengan langkah yang tetap.
Ketiga anak-anak muda itu terkejut ketika orang tua itu
berkata, "Ikutlah. Tidurlah di gandok wetan atau di tempat lain
yang akan ditunjukkan oleh anak-anakku. Mereka sendiri akan
pergi ke banjar desa."
"Apakah Paman tidak pulang?" tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
"Aku akan pergi menyusur parit ini ke Timur. Seperti kalian
dengar, aku masih harus pergi ke ladang untuk melihat
tanaman. Binatang-binatang liar kadang-kadang merusak
tanaman di ladang, meskipun tidak terlampau sering."
Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandangi
wajah kedua orang temannya, maka wajah-wajah mereka pun
memancarkan keragu-raguan pula. Akhirnya Sutawijaya itu
pun berkata, "Paman. Kami akan pergi bersama Paman."
"Uh," sahut orang itu, "belum tentu tengah malam aku sampai
ke rumah." "Biarlah. Biarlah kami tengah malam sampai ke rumah Paman.
Tetapi bukankah Paman yang mempunyai rumah itu" Lebih
baik bagi kami apabila kami datang ke rumah Paman sesudah
Paman berada di rumah."
"Istriku ada di rumah."
"Tetapi bibi belum mengenal kami dan putera-putera Paman
agaknya terlampau tergesa-gesa."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
jawabnya, "Terserahlah kalian, kalau kalian ingin kedinginan di
sepanjang parit ini."
"Kami juga anak-anak ladang," tiba-tiba Swandaru menyela.
"Kami pun sering menyusur parit. Karena itu, kami tidak akan
canggung lagi berjalan di sepanjang pematang."
Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya, "Kalau demikian
terserahlah." "Marilah," akhirnya ia berkata sambil melangkahkan kakinya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru pun berjalan
mengikutinya pula. Meskipun Swandaru-lah yang berkata
bahwa mereka adalah anak ladang, namun ia pulalah yang
bersungut-sungut sambil berbisik, "Tuan, kenapa kita
mengikutinya" Kenapa kita tidak pergi bersama kedua
anaknya. Kita tidak akan kedinginan di tengah-tengah sawah
seperti ini. Mungkin oleh bibi, istri orang ini sudah dijamu
dengan air sere hangat."
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Kami adalah anak-anak
ladang. Kami pun sering menyusur parit. Karena itu, kami
tidak akan canggung lagi berjalan di pematang."
"Ah," desah Swandaru.
Agung Sedayu yang mendengar pembicaraan itu pun tertawa
tertahan. Tetapi sebenarnya ia pun telah merasa cukup lelah.
Karena itu, maka dengan malasnya ia menguap sambil
berkata, "Aku bukan anak ladang. Karena itu aku kedinginan."
"Ssst," desis Sutawijaya. "Kalian tidak tahu maksudku. Aku
ingin mendengar ceritera tentang daerah ini. Bukankah orang
itu tadi mengatakan, bahwa keadaan kini telah menjadi baik"
Apakah yang telah terjadi sebelumnya?"
"Oh," kedua kawannya mengangguk-anggukan kepala
mereka. Betapa pun dinginnya, namun mereka kini tidak lagi
berdesah di dalam hati. Ketiga anak-anak muda itu mengikuti orang tua berjalan di
sepanjang pematang di tepi parit. Alangkah dinginnya apabila
kaki-kaki mereka terkena percikan air yang mengalir di
sepanjang parit itu. Sehingga akhirnya mereka sampai ke
sebuah bendungan kecil yang membagi parit itu menjadi dua
buah saluran yang mengalir ke arah yang berbeda.
"Aku akan menutup salah satu daripadanya," berkata orang
tua itu. "Tanah di sebelah ini seharusnya telah kenyang.
Karena itu, maka airnya akan dipergunakan untuk belahan
yang lain." Sutawijaya dan kedua kawannya sama sekali tidak menyahut,
tetapi mereka berdiri dekat di belakang orang tua yang
terbungkuk-bungkuk mencangkul tanah berpasir untuk
menutup salah sebuah dari kedua saluran itu.
Dari bendungan kecil itu, mereka segera ke ladang di sebelah
padesan kecil yang semula akan disinggahi oleh Sutawijaya
dengan kawan-kawannya. Pategalan mentimun yang subur
yang sudah mulai berbuah.
Ketika mereka kemudian duduk-duduk di rerumputan di
sebelah tanaman di ladang itu, maka mulailah Sutawijaya
bertanya, "Paman, apakah desa ini termasuk Kademanangan
Prambanan?" "Ya, ya," sahut orang tua itu. "Daerah ini adalah daerah
Kademangan Prambanan."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bertanya pula, "Siapa nama, Paman?"
Orang Prambanan itu tersenyum mendengar pertanyaan
Sutawijaya. Katanya, "Apakah kalian ingin juga mengetahui
namaku?" "Tentu, Paman, supaya besok aku dapat mengatakan kepada
setiap orang di Sangkal Putung, bahwa di Prambanan aku
bermalam di rumah Paman."
Orang itu kini tertawa. Jawabnya, "Namaku Astra."
"Astra," ulang Sutawijaya.
"Ya." "Hanya itu." "Ya, kenapa?" "Mendengar namaku, Sutajia, Paman menjadi heran. Menurut
Paman, nama itu belum lengkap. Tetapi nama Paman bagiku
justru terlampau pendek. Bukankah itu lebih pendek dari
namaku?" Orang yang bernama Astra itu tertawa pula. Katanya, "Tetapi
namaku meskipun pendek, kedengarannya tidak aneh seperti
namamu." Sutawijaya tertawa. Yang lain pun ikut tersenyum pula.
Tiba-tiba Sutawijaya bertanya, "Kenapa putera-putera Paman
tidak mau membantu Paman ke sawah dan ladang?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian setelah
terdiam sejenak ia menjawab, "Hal ini terjadi belum terlalu
lama. Dahulu anak-anakku adalah anak-anak yang rajin.
Bahkan aku hampir tidak pernah ke sawah. Merekalah yang
menyelesaikan semua pekerjaan. Tetapi sekarang tiba-tiba
mereka menjadi malas, setelah di banjar desa sering diadakan
permainan tayuban." "Tayuban," Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
mengulang hampir bersamaan.
"Ya, tayuban. Setelah keadaan kademangan ini menjadi baik,
maka aneh-anehlah tingkah laku anak-anak muda yang
kehilangan kegiatan dan tidak mendapat penyaluran yang
sewajarnya." "Apa saja yang mereka lakukan?" bertanya Agung Sedayu.
"Macam-macam. Berjalan-jalan berbondong-bondong
mengelilingi kademangan di senja hari. Kemudian berteriakteriak
tidak menentu. Kadang-kadang mereka menyembelih
kambing, bahkan lembu tanpa sebab. Mereka makan-makan
tanpa batas. Gadis-gadis tidak mau ketinggalan. Merekalah
yang memasak daging kambing atau lembu atau kerbau.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian sambil berkelakuan aneh-aneh mereka habiskan
waktu mereka semalam-malaman."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sekali mereka bertiga
saling berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru
bertanya, "Apakah orang tua tidak berbuat sesuatu?"
"Kau lihat sendiri, bagaimana sikap anak-anakku terhadapku.
Apakah aku harus memukulnya" Kalau aku berbuat demikian,
mereka pasti akan melawan, dan aku pasti akan mati mereka
cekik bersama-sama."
Sorot mata Swandaru tiba-tiba menjadi aneh. Ia adalah
pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung. Karena itu ia
menaruh minat yang sangat besar mendengar ceritera itu.
"Kenapa terjadi demikian, Paman Astra?" bertanya Swandaru.
"Bukankah menurut Paman hal itu baru saja terjadi. Maksudku
belum terlampau lama."
"Ya, memang demikian. Baru saja, sejak keadaan Prambanan
menjadi baik kembali."
"Apakah yang pernah terjadi di Prambanan, Paman?"
bertanya Agung Sedayu. "Aku kira pernah terjadi pula di Sangkal Putung. Apakah tidak
demikian" Sisa-sisa laskar Arya Penangsang, beberapa orang
dari mereka selalu berkeliaran di sekitar daerah ini. Hal itulah
yang menyebabkan beberapa orang prajurit Pajang
ditempatkan di kademangan ini."
Sutawijaya dan kedua kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Tiba-tiba mereka lenyap dari daerah ini seperti ditelan hantu.
Beberapa waktu yang lalu mereka masih berkeliaran di sekitar
kademangan ini." "Sejak kapan mereka tidak menampakkan diri lagi, Paman?"
"Dua tiga bulan, kurang lebih."
Sutawijaya dan kedua kawannya saling berpandangan. Dua
bulan. Persiapan Tohpati yang terakhir berlangsung dalam
waktu yang lama dan cukup masak. Mungkin orang-orang
Jipang di Prambanan harus berkumpul di Sangkal Putung
untuk memperkuat serangan yang terakhir itu. Mungkin pula
sejak serangan yang gagal sebelumnya, pada saat Tohpati
membawa orang-orangnya datang di malam hari.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang mengatakannya
kepada Astra. Mereka masih saja berteka-teki di dalam dada
masing-masing. "Lalu apakah hubungannya dengan perbuatan anak-anak
muda di Prambanan ini, Paman."
"Mereka mendapat tuntunan dari para prajurit Pajang untuk
menjaga kademangannya. Prajurit Pajang sendiri tidak dapat
mencukupi. Namun sebagian besar dari anak-anak muda itu
belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya.
Mereka hanya berkeliling kademangan, meronda sambil
membawa segala macam senjata. Kalau ada sesuatu terjadi,
mereka segera berlindung di belakang para prajurit Pajang
dan kawan-kawannya yang lebih berani. Untunglah, jumlah
orang-orang Jipang itu pun tidak seberapa banyak, sehingga
bagi Prambanan, mereka belum merupakan bahaya yang
benar-benar dapat menggoncangkan ketenteraman
kademangan ini." Ketiga anak-anak muda yang mendengarkan ceritera itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ini adalah suatu
perbedaan antara anak-anak muda Prambanan dan anakanak
muda Sangkal Putung. Anak-anak muda Sangkal Putung
hampir seluruhnya telah mengalami pertempuran berkali-kali
dengan orang Jipang. Bahkan korban pun telah berjatuhan.
"Tetapi kenapa mereka sekarang berbuat aneh-aneh?"
bertanya Agung Sedayu. "Kini sebagian besar prajurit Pajang pun telah ditarik.
Pengawasan atas anak-anak muda itu menjadi jauh
berkurang. Anak-anak muda yang dirinya mendapat
kekuasaan itu, tiba-tiba menjadi mabuk. Mabuk atas
kekuasaan yang ditinggalkan oleh para prajurit Pajang untuk
menjaga keamanan kademangan ini. Dengan pedang di
lambung, mereka ditakuti. Karena itu, maka mereka kadangkadang
melakukan perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh itu."
Ketiga anak-anak muda itu merasa aneh mendengar ceritera
Astra. Hati mereka segera tersentuh, dan perhatian mereka
pun menjadi sangat tertarik kepada peristiwa itu.
Dalam pada itu Astra berceritera terus, "Sekarang anak-anak
muda itu telah jauh terdorong ke dalam perbuatan-perbuatan
yang lebih berbahaya. Di antaranya kedua anakku. Mungkin
kalian dapat menyalahkan aku dan orang-orang tua. Tetapi
aku yang mengalaminya sendiri merasa, bahwa habislah
akalku untuk mengendalikan kedua anak-anakku itu. Apalagi
di antara kami orang tua-tua, memang ada yang justru
menjadi bangga melihat kelakuan anak-anaknya. Seolah-olah
anaknya telah menjadi seorang pahlawan."
"Aneh," desis Sutawijaya dengan serta-merta.
"Ya, aneh," sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir
bersamaan. Mereka adalah pemuda-pemuda pula. Tetapi
mereka tidak dapat membayangkan apa saja yang telah
dilakukan oleh anak-anak sebayanya di Kademangan
Prambanan. "Apakah tidak ada tindakan yang dapat dilakukan?" bertanya
Sutawijaya. Astra menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggelengkan
kepalanya ia menjawab, "Sulit. Sulit sekali. Mungkin dapat
juga dilakukan tindak kekerasan. Tetapi anak-anak muda itu
merasa diri mereka pahlawan-pahlawan dan mereka pun pasti
akan melawan dengan kekerasan pula. Apakah yang kira-kira
akan terjadi di Prambanan" Bencana ini akan jauh lebih
dahsyat daripada bencana yang dapat ditimbulkan oleh orangorang
Jipang." "Ya, Paman benar," shut Sutawijaya.
"Kami hampir kehilangan akal untuk mengatasinya," berkata
orang tua itu pula. "Bagaimana dengan pamong kademangan ini" Bapak
Demang misalnya atau Bapak Jagabaya?"
"He," tiba-tiba orang itu tersentak. Katanya kemudian, "Kenapa
kau ributkan kademangan ini" Terserahlah kepada Bapak
Demang dan Bapak Jagabaya."
Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya terdiam. Namun
timbullah keinginan mereka untuk melihat, apakah yang telah
terjadi di Banjar Desa Kademangan Prambanan" Karena itu,
tanpa bersetuju lebih dahulu, hampir bersamaan Agung
Sedayu dan Sutawijaya berkata, "Apakah kita akan melihat?"
"Apakah yang akan kalian lihat?" bertanya Astra.
"Apa yang terjadi di banjar desa."
"Apakah kalian akan membawa kebiasaan itu ke Sangkal
Putung, supaya para pemudanya mempunyai kebiasaan
serupa pula?" "Tidak," sahut Swandaru cepat-cepat. "Kami hanya ingin
melihatnya." Orang tua itu tersenyum. Katanya, "Apalagi kini di
kademangan ini sedang kedatangan beberapa orang tamu.
Dua atau tiga orang, aku kurang tahu."
"Tamu?" bertanya ketiga anak-anak muda itu serta merta.
"Ya, tamu dari seberang hutan Mentaok."
Sutawijaya dan kedua kawannya terkejut mendengar jawaban
itu. Dengan terbata-bata Agung Sedayu bertanya, "Seberang
hutan Mentaok" Maksud Paman, tamu itu datang dari daerah
di seberang hutan Mentaok?"
"Ya, kenapa kau terkejut?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan debar jantungnya. Kemudian jawabnya, "Tidak
apa-apa" Kami terpengaruh oleh tujuan kami sendiri. Kami
ingin pergi ke hutan itu, dan kami mendengar nama Mentaok,
Paman sebut-sebut." "Oh," Astra mengangguk-anggukan kepalanya. "Mereka
adalah utusan dari daerah perdikan Menoreh."
"Bukit Menoreh maksud Paman?"
Orang itu mengangguk, "Demikian yang aku dengar. Aku tidak
tahu kebenarannya." Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. "Mereka telah dua malam berada di tempat ini. Dan mungkin
kalian akan terkejut mendengarnya, tamu-tamu itu akan pergi
ke Sangkal Putung." Swandaru menggigit bibirnya, tetapi ia masih tetap berdiam
diri. Namun di dalam dada anak-anak muda itu tersimpan
bergabai macam pertanyaan. Kalau mereka utusan Kepala
Daerah Perdikan Menoreh, maka mereka pasti mempunyai
sangkut paut dengan kepala daerah perdikan itu. Daerah
perdikan Menoreh adalah tanah kelahiran Sidanti.
"Sangat menarik perhatian," gumam Agung Sedayu. "Justru
kami datang dari daerah Sangkal Putung."
"Kapan mereka akan berangkat ke Sangkal Putung?" bertanya
Sutawijaya. "Aku tidak tahu. Tetapi tamu-tamu itu agaknya kerasan di sini.
Mereka pun masih muda-muda, semuda kalian bertiga. Kalau
terpaut umur, maka tidak akan lebih dari tiga empat tahun."
Alangkah menarik hati ceritera itu bagi ketiga anak-anak muda
itu. Keinginan mereka untuk melihat apa yang terjadi di
Prambanan semakin mencengkam hati mereka. Namun
mereka tidak segera menyatakannya. Bahkan Sutawijaya itu
bertanya, "Kalau di kedemangan ini ada tamu, apakah anakanak
mudanya masih juga mengadakan tayub di banjar
desa?" "Tamu-tamu itu pun mempunyai kesukaan serupa."
"Oh," Sutawijaya menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu tibatiba
ia bertanya, "Bagaimana dengan para prajurit dari Pajang
yang masih tinggal di sini?"
"He," kembali orang itu tersentak. "Kenapa kalian ributkan
kademangan ini" Itu bukan urusan kalian, bukan urusanku
dan bukan urusan istriku. Urusanku sebenarnya hanyalah
berkisar pada anak-anakku yang menjadi mursal pula."
"Paman keliru," sahut Sutawijaya tiba-tiba. "Keadaan
kademangan ini adalah tanggung jawab segenap
penghuninya. Tanggung jawab Bapak Demang, Bapak
Jagabaya, Bapak Kabayan, Bapak Pamong-Pamong yang lain
dan tanggung jawab Paman pula."
Orang itu membelalakkan matanya. Ia sebenarnya
sependapat dengan Sutawijaya yang menamakan dirinya
Sutajia. Tetapi karena yang mengucapkan itu seorang anak
muda yang ingin menumpang tidur kepadanya, dan seorang
anak muda yang disangkanya betul-betul anak Sangkal
Putung saja, dengan pakaian yang kusut, setelah mereka
mengenakannya selama dua hari terakhir siang dan malam,
maka Astra menjadi heran.
Dengan penuh selidik ia bertanya, "Darimana kau bisa
berbicara seolah-olah kau ini seorang pemimpin
pemerintahan?" "Aku hanya sering mendengarnya, Paman. Bapak Demang
Sangkal Putung sering mengatakan demikian."
"Oh," Astra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah Bapak Demang Prambanan tidak pernah berkata
demikian?" "Tentu. Tentu. Bapak Demang adalah seorang demang yang
baik. Tetapi apakah ia dapat berbuat banyak di antara para
pamong yang berbuat tidak baik" Di antara orang-orang tua
yang berbangga melihat anak-anaknya berbuat edan-edanan"
Bahkan bukan saja Bapak Demang, ada juga beberapa anakTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
anak muda yang menangis di dalam hatinya melihat
perkembangan keadaan. Tetapi tidak mendapat kesempatan
apa-apa." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung
Sedayu dan Swandaru duduk tepekur, tetapi ia mendengar
setiap pembicaraan dengan penuh minat.
"Seperti anak-anakku," berkata Astra pula. "Aku sudah hampir
menjadi gila memikirkannya. Seandainya ada kekuatan yang
mampu memperingatkannya, meskipun seandainya anakku
harus mengalami pelajaran yang agak berat, aku akan
berterima kasih." Ketiga anak-anak muda yang datang dari Sangkal Putung itu
berdiam sejenak. Dan Astra berkata pula, "Tetapi sayang,
anak-anak muda yang masih menyadari keadaan, jumlahnya
tidak terlampau banyak, dan mereka tidak mempunyai banyak
kelebihan dari anak-anakku yang bengal itu."
"Tetapi itu adalah pekerjaan kami, Bawa," potong ayahnya.
Sutawijaya-lah yang kemudian bertanya, "Paman, Paman
belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana dengan prajuritprajurit
Pajang?" Orang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia berkata, "He, aku
sudah selesai dengan pekerjaan di sini. Tidak ada binatangbinatang
liar yang mengganggu ladangku. Ayo, kita kembali.
Bukankah kau bermalam di rumahku?"
Sutawijaya mengangguk-angguk, "Ya Paman," jawabnya.
Tetapi setiap kali ia kecewa. Pertanyaannya belum terjawab.
Sebagai seorang putera Panglima yang pernah ikut serta
dalam barisan Wira Tamtama justru menghadapi lawan yang
terberat, yaitu Arya Penangsang itu sendiri, maka ia terkait
akan adanya beberapa orang prajurit di Prambanan.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertanya
lagi. Astra segera berdiri, memanggul cangkulnya dan berjalan
menyusur pinggiran ladangnya. Katanya, "Kita lewat jurusan
ini." Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru segera
mengikutinya di belakang. Namun agaknya masih belum puas.
Di sepanjang jalan ia masih bertanya, "Dan bagaimana
dengan tamu-tamu dari Menoreh?"
"Tidak apa-apa. Mereka tidak apa-apa," jawab Astra pendek.
Sutawijaya menjadi benar-benar kecewa. Tiba-tiba ia berkata,
"Paman. Kami ingin pergi ke banjar desa. Di kademangan
kami hampir tidak pernah kami lihat keramaian apapun.
Apabila di sini kebetulan ada keramaian di banjar desa, maka
betapa besar keinginan kami untuk melihatnya."
"Huh, sebaiknya kalian tidak melihatnya."
"Kenapa?" Astra tidak menjawab. Tetapi ia berkata, "Bukankah kalian
akan bermalam di rumahku" Jarang aku bertemu dengan
anak-anak muda seperti kalian. Aku senang bercakap-cakap
dengan anak-anakku sendiri."
"Tentu Paman. Aku akan mengikuti sampai ke rumah Paman.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian kami akan mohon ijin untuk pergi ke banjar desa.
Dengan demikian kami telah mengenal rumah Paman, supaya
kami tidak usah mencari-cari apabila kami kembali dari banjar
desa." Astra mengangguk-anggukan kepalanya, "Baiklah,"
gumamnya. Kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka berjalan di
sepanjang pategalan. Di sini mereka melihat beberapa orang
duduk di ladang semangka, menungguinya pula.
"Dari ladang Kakang?" tegur salah seorang dari mereka.
"Ya," sahut Astra, "aku tidak dapat menungguinya malam ini.
Anak-anak pun tidak. Tolong, apabila kalian melihat binatang
atau anak-anak nakal merusak masuk."
"Baik, Kakang," jawab orang itu. "Tetapi bukankah Supa dan
Bawa telah mau ikut ke sawah bersama Kakang?"
"Mereka hanya mau melewatinya tanpa membasahi kaki-kaki
mereka dengan air parit. Mereka tergesa-gesa pergi ke banjar
desa. Apakah anak-anak kalian juga pergi ke sana"
"Ah, aku tidak peduli lagi. Mereka telah menjadi gila. Tetapi
bukankah Supa dan Bawa yang berjalan bersama Kakang itu.
"Bukan, sama sekali bukan. Anak-anak ini adalah
kemenakanku yang baru saja datang dari Sangkal Putung."
"O," orang yang duduk-duduk tidak bertanya lagi. Astra dan
ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu berjalan terus
menyusur jalan kecil di tengah-tengah ladang, menyusup di
dalam gelapnya malam. Di pinggir desa kecil di ujung kademangan itulah terletak
rumah Astra. Sebuah rumah joglo yang tidak terlampau besar.
Tetapi menilik bentuknya dan coraknya, maka Astra bukan
termasuk orang yang dapat disebut miskin. Di sisi rumah itu,
mereka melihat sebuah pedati lembu di samping sebuah
kandang. "Inilah rumahku," berkata
Astra, "mungkin tidak sebagus
rumah-rumah di Sangkal Putung." Ketika mereka berempat menginjakkan kaki-kaki mereka di halaman rumah itu,
maka Sutawijaya dan kedua
kawannya tertegun sejenak.
Ketika mereka saling berpandangan, maka tanpa mereka kehendaki mereka mengangguk-anggukan kepala mereka. "Mari anak-anak," ajak Astra.
"Paman," berkata Sutawijaya, "kami sebenarnya ingin untuk
melihat banjar desa Prambanan. Kini kami telah mengetahui
rumah Paman. Nanti dari banjar desa kami akan datang
kemari. Tetapi kami tidak perlu membuat Paman dan Bibi
menjadi sibuk. Biarlah kami nanti tidur di pendapa ini saja
apabila Paman mengijinkan."
"He?" Astra mengerutkan keningnya, "pergilah ke banjar desa
kalau kalian benar-benar ingin. Tetapi marilah singgah
sebentar. Kalian tidak akan terlambat. Keramaian itu baru
akan mencapai puncaknya nanti menjelang tengah malam."
"Terima kasih Paman. Kami ingin melihat sejak keramaian ini
baru dimulai." Orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian
katanya, "Apakah kalian pernah melihat orang berkelahi?"
Ketiga anak-anak muda itu terkejut.
"Kenapa?" bertanya Swandaru.
"Apakah di Sangkal Putung ada juga anak-anak muda sering
berkelahi di antara mereka, di antara sesama?"
Swandaru dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu untuk
menjawab. Sementara itu Astra berkata, "Kalau kalian belum
pernah melihat anak-anak muda berkelahi, sebaiknya kalian
tidak usah melihat, daripada kalian menjadi ketakutan."
"Apakah akan ada pertandingan berkelahi di banjar desa?"
bertanya Agung Sedayu. "Tidak. Tetapi artinya hampir sama. Hampir setiap kali ada
keramaian semacam ini, anak-anak muda selalu bikin ribut.
Ada-ada saja yang mereka persoalkan. Dan sering terjadi
mereka berkelahi di antara mereka karena soal-soal tetek
bengek." Ketiga anak-anak muda itu justru semakin ingin melihat apa
yang sebenarnya terjadi di banjar desa. Karena itu maka
Sutawijaya menjawab, "Kalau kami tidak ikut campur dalam
setiap perselisihan, maka aku kira kami tidak akan terlibat,
Paman." "Mudah-mudahan. Kalau kau ngeri melihat mereka berkelahi,
maka sebaiknya kalian segera pergi dan kembali kemari."
"Baik, Paman," sahut mereka hampir serentak.
Astra itu pun kemudian memberi mereka ancar-ancar ke mana
mereka harus pergi. "Kalau kau melihat lampu obor yang
terang benderang seperti siang, maka itulah banjar desa."
"Terima kasih, Paman," sahut mereka bersamaan pula.
Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan halaman
rumah Astra dengan pertanyaan yang memenuhi dada.
Ceritera Astra sangat menarik perhatian mereka. Mereka pun
menyadari mungkin Astra telah membumbui ceriteranya
terlampau banyak. Namun sedikit banyak ceritera itu pasti
mengandung kebenaran. Ada beberapa hal yang sangat menarik perhatian ketiga anakanak
muda itu. Tingkah laku sebagian anak-anak muda
Prambanan, yang menurut Astra mereka terpaksa menangis
di dalam hati melihat sikap kawan-kawannya. Kemudian
apakah yang akan dilakukan oleh para pamong kademangan
dan lebih-lebih menarik lagi, bagaimanakah sikap beberapa
orang prajurit Pajang yang masih ada di Prambanan" Yang
tidak kalah menariknya adalah ceritera tentang tamu-tamu dari
Menoreh. Tamu-tamu yang mau tidak mau pasti menyangkut
nama kepala daerah Perdikan Menoreh. Nama orang tua
Sidanti. Karena itu, maka tiba-tiba mereka tergesa-gesa. Tanpa
mereka sengaja langkah mereka pun menjadi semakin cepat.
Jarak yang harus mereka tempuh tidak terlampau jauh. Jalan
yang harus mereka lalui adalah jalan itu juga, tanpa berbelok.
Mereka akan melewati sebuah desa sebelum mereka akan
sampai ke bulak yang pendek. Di sebelah bulak yang pendek
itulah terletak induk Kademangan Prambanan. Dan di desa
itulah terletak banjar desa. Tidak terlampau jauh dari sebuah
bangunan yang sangat terkenal, Candi Jonggrang.
Waktu yang mereka perlukan tidak terlalu banyak. Beberapa
saat kemudian mereka telah sampai ke ujung lorong
memasuki desa yang pertama.
Demikian mereka sampai ke ujung desa, maka Sutawijaya
mengamit kedua kawan-kawannya. Agung Sedayu dan
Swandaru berpaling. Hampir bersamaan mereka mengangguk
ketika mereka mendengar Sutawijaya berbisik, "Kau lihat
beberapa orang berdiri di pinggir jalan di bawah lampu gardu
itu?" Melihat sikap mereka, hati ketiga anak-anak muda itu menjadi
berdebar-debar. Sikap itu benar-benar bukan sikap yang
wajar. Tetapi mereka bertiga tidak mempunyai kepentingan
dengan mereka. Karena itu mereka sama sekali tidak
memperhatikannya. Anak-anak muda yang berkerumun di sebelah gardu itu
mamandangi mereka bertiga dengan berbagai pertanyaan di
dalam hati. Seorang yang duduk di sisi jalan tiba-tiba berdiri
dan bertolak pinggang. Tetapi ia tidak bertanya apapun.
Kawannya yang berjongkok di atas dinding halaman, meloncat
turun sambil bergumam, "He, apakah akan ada tamu lagi?"
"Huh," sahut yang lain yang berbaring di atas dinding halaman
yang sempit di sisi jalan yang lain, "aku kira mereka adalah
gembala-gembala dari kademangan lain. Mungkin mereka
ingin mendapat sisa-sisa makanan di banjar desa."
Hampir serentak pemuda-pemuda itu tertawa. Bahkan
seorang di antara mereka berjalan ke tengah lorong,
sementara Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menjadi
semakin dekat. Dengan tingkah yang dibuat-buat anak muda itu mengawasi
Sutawijaya dan kawan-kawannya. Kemudian katanya, "Kalian
benar. Bukan anak-anak Prambanan. Mereka adalah anakanak
kelaparan. Wajahnya pucat dan pakainnya kusut kumal."
"Biarkan mereka lewat. Tak ada kepentingan dengan anakanak
kecingkrangan," berkata yang lain.
Sutawijaya tidak tahu, bagaimanakah tanggapan anak-anak
muda itu sebenarnya atas dirinya dan kedua kawankawannya,
tetapi terasa untuk memancing perselisihan.
Sutawijaya sendiri menyadari bahwa pakaiannya pasti lebih
baik dari pakaian seorang anak yang disebut kecingkrangan.
Meskipun setelah dipakainya selama ini tanpa dicuci telah
dilekati oleh banyak debu dan kotoran serta menjadi kusut.
Juga pakaian Agung Sedayu dan Swandaru adalah pakaian
yang meskipun sederhana, tetapi cukup baik. Tetapi pakaian
itu pun telah menjadi kusut.
Sutawijaya sama sekali tidak menanggapi kata-kata itu. Ia
percaya bahwa Agung Sedayu akan bersikap demikian. Tetapi
yang agak dicemaskan adalah Swandaru. Agung Sedayu pun
mempunyai perasaan yang serupa. Ia mengharap di dalam
hatinya agar Swandaru dapat sedikit mengendalikan dirinya.
Namun ternyata Swandaru bersikap acuh tak acuh. Ia berjalan
saja tanpa berpaling. Ketika mereka bertiga melewati anak-anak muda itu, dan
beberapa langkah membelakangi mereka, terdengar seolaholah
meledak, suara tertawa mereka tergelak-gelak.
Terdengar di antara suara tertawa itu salah seorang berkata,
"Apakah mereka anak-anak Temu Agal, atau anak Kepuh?"
"Kami belum pernah melihatnya," sahut yang lain, "tetapi aku
menjadi kasihan melihat sikap mereka, seperti tikus masuk ke
dalam sarang kucing."
Swandaru dan Agung Sedayu masih juga mencemaskan sikap
Swandaru. Anak muda itu agak mudah tersinggung. Tetapi
ketika mereka berdua berpaling, memandangi wajah
Swandaru mereka melihat anak yang gemuk itu tersenyum,
katanya perlahan-lahan, "Aku senang melihat sikap anak-anak
itu." "Apa yang kau senangi?" bertanya Agung Sedayu perlahanlahan
pula. "Seperti sebuah pertunjukan lelucon. Seperti raksasa-raksasa
di dalam hutan melihat Raden Arjuna lewat."
"He, kau sangka kau seperti Raden Arjuna," potong
Sutawijaya. "Ya, aku seperti Raden Arjuna bersama-sama dengan
punakawannya." "Huh," Agung Sedayu menyahut. "Kaulah yang pantas menjadi
Semar." Ketiganya tertawa. Tetapi mereka cukup mengerti, bahwa
mereka harus menahan suara tertawanya supaya tidak
menyinggung perasaan anak-anak muda yang masih belum
terlampau jauh. Namun dengan demikian, mereka mendapat sekedar
gambaran tentang anak-anak muda yang dikatakan oleh
Astra. Selain kedua putra-putranya sendiri, Supa dan Bawa,
maka anak-anak yang berada di tepi jalan itu adalah contoh
yang cukup baik. "Pantaslah apabila sering terjadi perkelahian di sini," desis
Sutawijaya. "Apabila gerombolan itu bertemu dengan
gerombolan yang lain, maka kemungkinan timbulnya
bentrokan pasti mudah sekali."
"Tetapi," potong Swandaru, "apabila kekuatan mereka
seimbang, maka mereka pasti ragu-ragu untuk mulai."
Sutawijaya tersenyum. "Ya," jawabnya.
Ketika kemudian mereka berpaling, maka anak-anak muda itu
telah jauh berada di belakang mereka. Namun satu-satu
mereka masih juga bertemu dengan anak-anak muda yang
lain, yang agaknya sedang berjalan ke gardu itu berkumpul
dengan teman-temannya. Lepas dari desa itu mereka sampai di sebuah bulak yang
pendek. Di seberang bulak itulah terletak induk Kademangan
Prambanan. Ketika mereka sampai di sebuah simpangan di tengah-tengah
bulak itu, kembali mereka melihat segerombolan anak-anak
muda dari arah yang lain. Anak muda yang bertingkah laku
mirip dengan anak-anak yang bergerombol di samping gardu
yang telah mereka lampaui.
Tetapi anak-anak muda ini bersikap acuh tak acuh saja
terhadap Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya, seperti
mereka tidak melihatnya. Beberapa langkah kemudian terdengar Swandaru berbisik,
"Sikap mereka terhadap kita agak berbeda."
"Bukan karena mereka menghormati kita," sahut Agung
Sedayu, "tetapi justru mereka menganggap kita tidak berarti
apa-apa bagi mereka."
Semakin dekat dengan induk Kademangan Prambanan, jalanjalan
menjadi bertambah ramai. Anak-anak muda berjalan
bersimpang-siur dalam tingkah laku yang aneh-aneh. Namun
ada pula di antara mereka yang bersikap lain. Bersikap wajar,
meskipun mereka juga berada dalam gerombolan tersendiri.
"Adalah tidak bijaksana, dalam keadaan seperti ini diadakan
keramaian di kademangan ini," gumam Sutawijaya.
"Ya. Terlalu berat akibat yang dapat terjadi," sahut Agung
Sedayu. "Mungkin karena mereka menerima beberapa tamu," desis
Swandaru. Mereka pun kemudian terdiam. Di kejauhan mereka melihat
dari celah-celah dedaunan, sinar obor yang terang-benderang
seperti siang. "Itulah banjar desa," berkata Agung Sedayu. "Ternyata tidak
terlalu dalam masuk ke induk kademangan."
Kedua kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka
memperhatikan pula sinar obor yang bertebaran di sebuah
halaman yang cukup luas, sebuah lapangan rumput di muka
Banjar Desa Prambanan. Di halaman itu telah banyak berkumpul anak-anak muda dan
orang-orang di sekitar banjar desa itu. Bukan saja anak-anak
muda, tetapi orang-orang yang setengah baya pun banyak
juga yang duduk-duduk di tepi lapangan kecil itu. Bahkan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berjualan pun banyak bertebaran di sana-sini.
Agung Sedayu dan Swandaru melihat suasana banjar desa itu
dengan perasaan yang aneh. Selain di sana-sini dilihatnya
beberapa anak-anak muda dengan tingkah laku yang tidak
wajar, maka keramaian itu sendiri telah membuat suasana
yang berlawanan di dalam dada mereka.
Apa yang selama ini mereka lihat adalah Banjar Desa Sangkal
Putung yang selalu ramai pula. Tetapi banjar desa itu
diramaikan oleh prajurit-prajurit yang memandi senjata,
beserta anak-anak muda Sangkal Putung yang selalu
bersiaga menghadapi bahaya. Sedang kali ini, ia melihat
suasana sebuah banjar desa yang jauh dengan Banjar Desa
Sangkal Putung. Sutawijaya dan kawan-kawannya kemudian memilih tempat
yang agak terlindung oleh bayangan tetumbuhan. Kemudian
duduk sambil melihat-lihat berbagai macam sikap dan tingkah
laku anak-anak muda di sana-sini.
Di pendapa mereka melihat sederet gamelan dan tikar yang
dibentangkan di sisi yang lain, bertentangan dengan letak
gamelan. Di situlah nanti para tamu dan orang-orang penting
dari Prambanan akan duduk menikmati pertunjukan.
Sutawijaya yang sering melihat keramaian di tempat-tempat
yang lebih besar, sama sekali tidak tertarik pada pertunjukan
yang akan dihidangkan. Apalagi apabila kemudian akan
dilakukan pula tarian tayub yang dapat menjadikan suasana
menjadi panas. Tetapi yang menarik perhatiannya adalah
keadaan dan suasana pada saat itu. Hampir tidak sabar ia
menunggu para tamu, para pemimpin kademangan dan
mungkin juga para pemimpin prajurit Pajang yang berada di
Prambanan, meskipun hanya satu atau dua orang.
Sejenak kemudian, gamelan telah mulai dibunyikan. Beberapa
orang yang berdiri bertebaran mulai merayap maju mendekati
pendapa banjar desa. Sutawijaya dan kedua kawannya belum berkisar dari
tempatnya. Mereka masih duduk-duduk sambil melepaskan
lelah setelah mereka berjalan hampir sehari penuh melampaui
hutan, gerumbul-gerumbul liar dan semak-semak ilalang.
Baru ketika beberapa orang keluar dari pinggiran banjar desa,
Sutawijaya mengangkat wajahnya. Katanya berlahan-lahan,
"Itulah mereka."
Tetapi mereka tidak dapat melihat wajah-wajah orang-orang
yang keluar dari pringgitan dan duduk di atas tikar pandan
yang telah terbentang di pendapa. Tetapi menilik pakaian
mereka, segera Sutawijaya dapat mengenal, bahwa di antara
mereka ada dua orang prajurit Pajang.
"Itulah mereka," desisnya. "Dua orang itu pasti prajurit
Pajang." "Ya," sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Pakaian itu mirip dengan pakaian Untara dan Widura apabila
mereka mengenakan pakaian resmi mereka. Pakaian
kebesaran mereka sebagai Prajurit Wira Tamtama Pajang.
"Mari kita mendekat. Aku ingin melihat wajahnya. Mungkin aku
mengenalnya," ajak Sutawijaya.
Mereka pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan mereka maju di
antara para penonton yang lain. Mereka selalu berhati-hati
supaya tidak menyingung perasaan anak-anak muda yang
bertingkah laku kurang pada tempatnya itu.
Ketika mereka menjadi semakin dekat berdiri di sisi pendapa,
maka segera dapat melihat siapa yang duduk di atas tikar di
pendapa itu. Selain dua orang prajurit itu, masih ada beberapa
orang yang tampaknya mendapat kehormatan di antara
mereka. Mereka adalah tiga orang anak-anak muda, meskipun
agak lebih tua sedikit dari Sutawijaya dan kedua kawankawannya.
Segera mereka dapat menebak, bahwa ketiga anak-anak
muda itulah yang dimaksud oleh Astra, tamu dari Bukit
Menoreh. Utusan pribadi Kepala Daerah Perdikan Menoreh.
Di belakang para tamu itu duduk beberapa orang pemimpin
Kademangan Prambanan, di antaranya beberapa orang anakanak
muda yang berpakaian rapi dan baik.
Sutawijaya ingin mendapat beberapa penjelasan tentang
orang-orang itu, tetapi tak ada orang tempat bertanya. Ia tidak
dapat bertanya kepada siapa orang yang ada di sekitarnya,
sebab dengan demikian akan menimbulkan kecurigaan dan
mungkin hal-hal yang tidak dikehendakinya. Karena itu, maka
Sutawijaya itu pun untuk sejenak berdiam diri sambil mencoba
mengamati wajah-wajah mereka lebih seksama.
Kemudian digamitnya kedua kawannya sambil berbisik, "Aku
telah mengenal kedua prajurit itu. Mereka adalah Lurah Wira
Tamtama. Tetapi mereka bukan orang yang cukup penting,
mungkin karena keadaan Prambanan telah cukup baik,
sehingga orang-orang itulah yang ditinggalkannya di sini."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu berkata,
"Keadaan Prambanan saat ini justru sangat berbahaya. Bukan
karena sisa-sisa laskar Tohpati, tetapi karena keadaan
kademangan ini sendiri."
"Kau benar, tetapi aku kira, pimpinan pemerintahan di Pajang
belum mendengar persoalan ini. Banyak persoalan yang tidak
segera diketahui oleh atasan atau bawahan, sesuai dengan
salurannya. Coba, apa katamu tentang orang-orang Menoreh
itu" Apakah menurut dugaanmu mereka telah mendengar
keadaan Sidanti?" Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, "Aku kira belum,"
jawabnya. "Apabila sudah, ia tidak akan duduk begitu rapat
dan ramah dengan kedua prajurit Pajang itu."
"Kau benar," sahut Sutawijaya. "Ternyata para prajurit Pajang
itu pun pasti belum mendengar pula. Sebab menilik sikap
mereka, maka mereka pun sangat rapat dan ramah pula
menanggapi tamu-tamu dari Menoreh itu."
Mereka bertiga pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Sesaat kemudian mereka pun berpaling ketika
mereka mendengar seseorang menyapa beberapa orang
kawannya yang berdiri di belakang Sutawijaya. "Mari Kakang,
kawan-kawan ada di sebelah gerbang."
Kawan-kawannya yang berdiri di belakang Sutawijaya
berpaling. Di samping mereka berdiri seorang pemuda
bertubuh tinggi kekar. Berkumis melintang dan berjambang
panjang. Sutawijaya dan kawan-kawannya melihat perbedaan sikap di
antara mereka. Anak-anak muda yang mengajak anak-anak
yang berdiri di belakang mereka yang bertubuh tinggi kekar
itu, agaknya adalah anak-anak muda yang sedang dijangkiti
penyakit aneh-aneh, sedang mereka yang disapanya
tampaknya agak lebih tenang dan dewasa.
Sementara itu Sutawijaya mendengar anak-anak muda yang
berdiri di belakangnya menjawab, "Kami di sini saja. Kami
akan menonton pertunjukan di pendapa."
Anak muda yang menyapanya tertawa, "Kami pun akan
menonton, Kakang." "Baik, silahkan."
Anak muda yang pertama tertawa terbahak-bahak sehingga
beberapa orang berpaling kepadanya, tetapi anak muda itu
sama sekali tidak memperdulikannya.
"Kalian adalah anak-anak malaikat," katanya sambil tertawa.
Anak-anak muda yang sejak semula berdiri di belakang
Sutawijaya tidak menjawab. Kini perhatian mereka telah
mereka arahkan kembali ke pendapa banjar desa.
"Kami akan mendapat kesempatan bertemu dengan tamutamu
dari Menoreh, Kakang," berkata anak muda berkumis
melintang dan berjambang panjang itu.
"Silahkan. Silahkan," sahut yang berdiri yang berdiri di
belakang Sutawijaya.. Kembali anak muda itu tertawa. Kemudian katanya, "Kami
telah berusaha untuk menyenangkan hati tamu-tamu kita. Aku
telah menghubungi beberapa orang gadis yang akan
menemani kita nanti menemui tamu-tamu kita. Dan gadisgadis
itu pun menjadi bergembira pula."
Sutawijaya melihat beberapa orang pemuda itu terkejut. Tetapi
sesat kemudian salah seorang dari mereka menjawab,
"Silahkan, Adi."
"Kakang tidak ikut bergembira bersama kami" Anak-anak
muda dari Sembojan kali ini mendapat kesempatan terbaik
dibanding dengan anak-anak muda dari pedesaan yang lain,
di samping anak-anak induk kademangan ini sendiri."
"Bagus, tetapi kami tidak ikut dengan kalian."
Kembali anak muda itu tertawa terbahak-bahak. Kembali
beberapa orang berpaling memandangnya. Tetapi anak muda
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan ketika ia
melangkah pergi pun suara tertawanya masih terdengar
mengumandang. Ketika anak muda itu telah pergi, maka Sutawijaya mendengar
anak-anak yang berdiri di belakannya bergumam, "Anak itu
sangat menyedihkan tetua padesaan kami."
"Memalukan dan pasti akan menimbulkan persoalan dengan
anak-anak muda dari padesan yang lain."
Belum lagi mereka berhenti berbicara, maka mereka telah
melihat dua orang pemuda yang lain dengan tingkah laku
yang memuakkan menyuruk di antara penonton. Salah
seorang dari mereka berkata, "Di mana?"
"Aku mendengar suara tertawanya. Di sini."
"Siapa?" "Anak Sembojan."
"Anak itu pasti benar. Anak yang tinggi berkumis melintang.
Hem. Kalau anak itu belum dihajar, ia pasti masih saja merasa
pahlawan di antara kawan-kawannya. Anak-anak Sembojan
harus menyadari bahwa anak-anak Telaga Kembar mampu
mengatasi mereka." Sutawijaya dan kawan-kawannya menjadi berdebar-debar.
Mereka tahu betul, bahwa di belakannya masih berdiri anakanak
Sembojan yang menolak diajak oleh anak muda yang
tinggi kekar itu. Kalu anak-anak itu menjadi marah mendengar
tantangan itu, maka akibanya memang tidak baik. Tetapi
ternyata anak-anak muda di belakang Sutawijaya itu seakanakan
tidak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh anakanak
muda Telaga Kembar itu. Ketika anak-anak muda itu pergi, Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tidak mereka sengaja mereka bertiga bersamasama
berdesah. "Lucu," bisik Sutawijaya. "Apakah Sembojan dan Telaga
Kembar itu keduanya termasuk Kademangan Prambanan"
Kalau demikian, Prambanan memang sedang mengalami
bencana. Lalu apakah kerja prajurit-prajurit Pajang itu di sini "
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyahut. Pertanyaan itu
berputar pula di dalam kepalanya. Alangkah jauh bedanya
dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Dari ujung
Kademangan yang satu sampai ujung kademangan yang lain,
semuanya dapat dikendalikannya dalam satu perjuangan
menahan arus laskar Tohpati.
"Tetapi," berkata Swandaru di dalam hatinya, "Apabila bahaya
itu telah berlalu, apakah anak-anak muda Sangkal Putung
akan mengalami nasib seperti Prambanan?"
"Beruntunglah aku melihat kejadian ini," gumamnya pula
dalam hatinya. "Aku mendapat pelajaran yang sangat
berharga sehingga aku akan dapat memperhitungkannya
kelak. Mudah-mudahan aku akan dapat mencegahnya
keadaan serupa ini."
Dalam pada tiu terdengar Agung Sedayu berkata perlahanlahan,
"Tetapi di antara mereka masih ada juga yang
menyadari keadaan. Anak-anak muda di belakang kita itu
agaknya bersikap lain dengan kawan-kawannya."
Sutawijaya dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terdengar Sutawijaya berkata, "Kita menunggu
kesempatan. Aku ingin bertanya beberapa hal kepada
mereka." "Tetapi hati-hatilah," sahut Swandaru.
"Tentu. Jangan-jangan kita disangkanya anak-anak muda dari
kademangan lain yang akan mengganggu mereka pula."
Ketiganya kemudian terdiam. Suara gamelan di pendapa telah
mulai memenuhi udara. Di atas tikar pandan, merekam
melihat para tamu bergurau dan bergembira. Sutawijaya dan kedua kawannya masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-kali mereka berpaling dan anak-anak muda Sembojan itu pun masih juga berdiri tenang-tenang. Sedikit demi sedikit Sutawijaya dan kawankawannya
kemudian beringsut surut mendekati
anak-anak Sembojan itu tanpa menimbulkan perhatian sama sekali. Ketika mereka
sudah berdiri di samping anak-anak Sembojan maka kembali
mereka berdiam diri. Tetapi meskipun mereka memandangi
orang-orang yang berada di atas pendapa, para tamu, prajuritprajurit
Pajang, para pemimpin kademangan, dan para
penabuh gamelan, namun perhatian mereka sama sekali tidak
tertuju ke sana. Sejenak kemudian pertunjukan pun dimulai. Sebuah tarian
tunggal, petikan dari cerita Panji dan Kirana pada masa
kerajaan-kerajaan Jenggala.
Terdengar para penonton bersorak. Tetapi suara mereka
tenggelam dalam suara hiruk-pikuk anak-anak muda yang
berteriak tidak menentu. Sutawijaya dan kedua kawannya heran mendengar suara
hiruk-pikuk itu. Namun suara itu pun kemudian mereda dan
akhirnya lenyap pula. Yang terdengar kemudian adalah suara
gamelan yang memenuhi halaman.
"Kenapa mereka berteriak-teriak?" berbisik Sutawijaya tanpa
sesadarnya. "Entahlah," sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir
bersamaan. Mereka kemudian terdiam ketika mereka meyadari bahwa
pemuda-pemuda Sembojan yang berdiri di samping mereka
itu memperhatikannya. Bahkan terdengar salah seorang dari
mereka berkata, "Apakah kalian heran mendengar hiruk-pikuk


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu?" Ketiga anak muda itu terdiam sesaat. Mereka menjadi ragu
untuk menjawab. Namun karena mereka tidak segera
menjawab terdengar kembali pertanyaan itu, "Apakah kalian
heran?" Agung Sedayu dan Swandaru tidak ingin menjawab
pertanyaan itu. Mereka mengharap Sutawijaya yang mereka
anggap tertua di antara mereka untuk menjawabnya.
Sutawijaya pun sebenarnya masih dicengkam oleh keraguraguan.
Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja. Sehingga
akhirnya terpaksa ia menjawab, "Ya, Kisanak. Aku menjadi
heran mendengar suara-suara itu."
Anak Sembojan itu tidak segera menyahut. Bahkan salah
seorang dari mereka melangkah mendekat sambil mengamatamati
wajah Sutawijaya. Ia bertanya, "Dari manakah kalian?"
Agaknya anak muda dari Sembojan itu agak disilaukan oleh
sinar obor yang memancar dari pendapa, sedang Sutawijaya
agak terlindung oleh bayangan orang-orang yang berdiri di
mukanya. Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi kembali ia
terdesak dalam suatu keadaan, bahwa ia harus menjawab
pertanyaan itu. Maka katanya, "Kami datang dari Sangkal
Putung." "Sangkal Putung," anak muda itu mengulangi, "Aku pernah
mendengar nama padesan itu. Apakah Sangkal Putung juga
sebuah kademangan?" "Ya," jawab Sutawijaya. "Sangkal Putung adalah sebuah
kademangan di seberang hutan di sebelah Timur Prambanan."
"Oh. Kalian datang dari jauh. Di manakah kalian bermalam di
sini?" "Di rumah Paman Astra," Sahut Sutawijaya.
"Oh," Anak-anak Sembojan itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Maksudmu Astra yang mempunyai dua orang putra bernama
Supa dan Bawa?" "Ya," jawab Sutawijaya pula.
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah
seorang dari mereka bertanya kembali, "Kenapa kalian tidak
pergi bersama Supa dan Bawa?"
Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Karena itu
kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu.
"Bukankah Supa dan Bawa hadir juga di halaman ini?"
"Ya," sahut Sutawijaya. "Tetapi kami tidak dapat datang
bersama mereka." Anak-anak muda Sembojan itu mengerutkan keningnya.
Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Kini mereka mencoba
mengikuti setiap gerak penari di pendapa banjar desa. Tetapi
kemudian Sutawijaya-lah yang bertanya, "Kisanak, apakah
pertunjukan semacam ini sering dilakukan di Prambanan?"
Salah seorang dari anak-anak Sembojan itu menjawab, "Tidak
terlalu sering. Tetapi sekali-kali diadakan juga. Kali ini
kademangan kami mendapat tamu dari Bukit Menoreh, yang
seterusnya akan pergi ke Lereng Gunung Merapi, menemui
putera Kepala Daerah Perdikan Menoreh yang berguru pada
seorang guru yang sakti tiada taranya, yang bernama Sidanti."
"Apakah keramaian ini diselenggarakan untuk
menghormatinya?" "Ya, sebagian."
"Orang-orang kami sendiri memang senang sekali
mengadakan keramaian."
Sutawijaya terdiam sejenak. Keinginannya untuk mengetahui
beberapa hal mengenai Kademangan ini semakin
mendesaknya. Tetapi ia masih mencoba untuk menahan diri
menunggu kesempatan yang sebaik-baiknya.
Pertunjukan itu pun berjalan terus. Penari di atas pendapa
banjar desa masih menari dengan baiknya. Menarikan tari
tunggal. Dalam pada itu terdengar Sutawijaya bertanya kepada anak
muda Sembojan yang berdiri di sampingnya, "Apakah
keramaian semacam ini tidak menimbulkan kecemasan pada
para pemimpin kademangan ini?"
Anak muda Sembojan itu berpaling. Kini anak muda itulah
yang menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi ketika
beberapa saat ia masih berdiam diri, terdengar seorang yang
agak lebih tua dari padanya berkata, "Apakah kau menjadi
cemas" Apakah yang kau cemaskan?"
Sutawijaya heran mendengar pertanyaan itu. Ia yakin bahwa
anak-anak muda Sembojan itu tahu benar yang
dimaksudkannya. Tetapi mereka masih bertanya, apakah
yang dicemaskan. Namun akhirnya terasa oleh Sutawijaya,
bahwa pertanyaan itu adalah sekedar pelepasan perasaan
yang menekan anak-anak muda Sembojan itu. Maka jawab
Sutawijaya, "Banyak yang dapat aku cemaskan Kisanak.
Terutama anak-anak muda yang berada di halaman ini."
Anak-anak muda Sembojan itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Agaknya mereka tertarik benar kepada
Sutawijaya dan kedua kawannya sehingga salah seorang dari
mereka bertanya, "Siapakah nama-nama kalian?"
"Namaku Sutajia," jawab Sutawijaya. "Kedua ini adalah adik
sepupuku. Yang ini Agung Sedayu dan yang gemuk bernama
Swandaru. Anak-anak Sembojan itu menganguk-anggukkan kepalanya.
Mereka tertegun ketika mendengar Sutawijaya bertanya, "Dan
siapakah nama-nama kalian?"
Anak muda yang nampaknya tertua di antara mereka
menjawab, "Namaku Haspada."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia tidak
menanyakan nama anak-anak muda yang lain. Satu di antara
mereka telah cukup baginya, meskipun mungkin ia masih
memerlukan nama yang lain.
"Apakah kakang Haspada berasal dari Sembojan?" bertanya
Sutawijaya kemudian. Anak muda yang bernama Haspada itu memandangnya
sejenak, kemudian dijawabnya, "Ya, kenapa?"
"Bukankah anak muda yang mengajak Kakang tadi juga
berasal dari Sembojan?"
Haspada mengerutkan keningnya. Katanya, "Ya, ya. Anak
muda yang tinggi berkumis?"
"Ya." "Ya. Ia anak Sembojan pula. Namanya Bunar. Kenapa?"
"Kenapa Kakang tidak ikut bersama kawan-kawan anak-anak
Sembojan yang lain?"
Haspada mengerutkan keningnya pula. Ditatapnya wajah
Sutawijaya lebih tajam lagi. Kemudian dijawabnya, "Kau
mendengar percakapan kami?"
"Ya, kami mendengar percakapan kalian. Kami juga
mendengar percakapan anak-anak Telaga Kembar."
"Pantas kalian menjadi cemas. Memang kami pun menjadi
cemas seperti kalian. Sebenarnyalah setiap kali ada
keramaian maka setiap kali kami menjadi cemas."
"Kenapa keramaian ini diadakan juga?"
"Keramaian adalah kegemaran anak-anak muda dan orangorang
tua di kademangan ini meskipun bagi kami sangat
mencemaskan. Tetapi mereka menganggap bahwa keramaian
semacam ini akan memberi gairah kerja kepada mereka.
Keramaian ini dapat memberikan kegembiraan dan pertanda
bahwa kademagan kami adalah kademangan yang hidup."
"Hidup dalam kecemasan adalah tidak menyenangkan," sahut
Sutwijaya. "Memang demikian buat sebagian orang. Tetapi sebagian
orang yang lain menyenangi cara hidup yang demikian itu."
"Aku kira Kakang tidak senang dengan cara itu?"
Haspada terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, "Kenapa"
Kenapa kau tahu aku tidak menyenanginya?"
"Kakang tidak berada di antara mereka. Di antara anak-anak
muda semacam Bunar."
Haspada mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai tertarik
pada anak muda Sangkal Putung itu. Meskipun kedua kawankawannya
yang lain tidak ikut dalam pembicaraan itu, namun
wajah-wajah mereka menunjukkan, bahwa hati mereka
tersentuh oleh kata-katanya.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara riuh di
antara para penonton. Kembali terdengar anak-anak muda
berteriak-teriak tak menentu. Ketika mereka mengangkat
wajah-wajah mereka, maka penari di pendapa banjar desa
telah tidak lagi menari. Penari itu sedang menganggukanggukkan
kepalanya kepada para tamu. Sejenak kemudian
penari itu pun meninggalkan pendapa masuk ke dalam.
Suara yang gemuruh terdengar dari segenap sudut halaman.
Suara itu sama sekali bukan bernada kekaguman atau
kebanggaan atas penari yang baru saja menari. Tetapi suara
itu asal saja melontar berebut keras. Bahkan kadang-kadang
terdengar ucapan-ucapan yang kurang menyenangkan dari
antara mereka. Demikianlah kemudian berlangsung pertunjukkan demi
pertunjukkan. Dan demikian pula suara sorak gemuruh yang
menyertainya sahut-menyahut, semakin lama semakin
memekakkan telinga, dan bahkan semakin lama semakin
menggelitik perasaan. Dan malam pun semakin lama semakin
dalam. "Bukan main," gumam Sutawijaya. "Aku tidak tahu, apakah
yang sebenarnya terjadi di halaman ini."
"Aku menjadi ngeri," sahut Agung Sedayu, "seperti berdiri di
tengah-tengah sungai yang sebentar lagi akan banjir."
Swandaru tersenyum. Katanya, "Kenapa kau tidak menepi?"
Kedua kawannya pun tersenyum pula. Sutawijaya-lah yang
menjawab, "Di arus air banjir kita akan banyak mendapat ikan.
Bukankah begitu?" Keduanya terdiam ketika Haspada bertanya, "Apakah kalian
senang melihat suasana ini?"
"Lucu sekali," sahut Sutawijaya, "aku tidak pernah menjumpai
suasana ini di Sangkal Putung."
"Aku anak Sembojan sejak lahir pun merasakan keganjilan itu.
Apalagi kalian. Mudah-mudahan suasana ini tidak meningkat.
Tetapi adalah kesalahan orang-orang tua juga apabila mereka
nanti menutup acara dengan tayuban. Suasana segera akan
meningkat menjadi panas. Dalam keadaan yang demikian itu
akan dapat banyak terjadi hal-hal yang lebih ganjil lagi.
Mudah-mudahan orang-orang tua menyadarinya, sehingga
mereka tidak menyelenggarakan tayuban. Tetapi harapan itu
sangat tipis. Orang-orang tua kita sebagian telah mabuk pula."
Suara anak muda itu terputus ketika tiba-tiba suara gamelan
seolah-olah memekik tinggi dan meluncurlah irama yang mulai
menjadi hangat. Tanpa disengaja Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
serentak berpaling ke arah Haspada, yang wajahnya tiba-tiba
berkerut-merut. "Gila," geramnya, "kalau anak-anak muda di Prambanan ini
menjadi liar, sebagian adalah kesalahan orang-orang tua
pula." "Apakah yang akan datang?" bertanya Agung Sedayu. "Irama
terlampau panas." "Tayub. Tayub. Kalian akan melihat beberapa orang
perempuan penari naik ke atas pendapa itu. Mereka akan
menari semakin lama semakin panas. Satu-persatu para tamu
akan berdiri dan ikut menari. Tetapi apabila mereka telah
dicengkam oleh mabuk tuak, maka mereka tidak akan sabar
menunggu giliran mereka. Mereka akan berebut dahulu dan
kadang-kadang mereka tidak lagi memperdulikan orang lain.
Dengan demikian kalian akan melihat pertunjukan yang gila di
atas pendapa itu. Sedang kegilaan yang serupa akan terjadi
pula di halaman ini," berkata Haspada dengan nada yang
aneh, terasa getaran dadanya terlontar pada kata-katanya.
Betapa muaknya ia melihat peristiwa itu.
"Lebih baik kalian meninggalkan halaman ini," katanya kepada
Sutawijaya dan kedua kawannya.
"Apakah kalian juga akan pergi?" bertanya Sutawijaya.
"Aku tidak sampai hati meninggalkan mereka dalam keadaan
yang gila ini. Meskipun hatiku sakit, tetapi aku merasa wajib
untuk tetap berada di sini. Mungkin aku dapat melihat sesuatu
yang perlu dicegah. Aku tidak peduli seandainya anka-anak
muda itu saling mencekik di antara mereka. Bahkan di antara
mereka para tamu dan prajurit-prajurit Pajang itu. Tetapi aku
ingin mencegah korban yang tidak pada tempatnya."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia
mengajukan pertanyaan yang ditanyakan kepada Paman
Astra tetapi belum mendapat jawaban, "Apakah prajurit-prajurit
Pajang itu tidak akan berbuat sesuatu seandainya timbul halhal
yang tidak diinginkan?"
"Jumlah mereka terlampau sedikit."
"Berapa?" "Tidak lebih dari sepuluh orang."
"Jumlah itu sudah cukup," tiba-tiba Sutawijaya memotong
kata-kata Haspada sehingga anak Sembojan itu menjadi
heran. "Oh," Sutawijaya menyadari dirinya, bahwa kini ia adalah anak
Sangkal Putung, sehingga cepat-cepat ia memperbaiki katakatanya
. "Maksudku, apakah sepuluh orang prajurit itu tidak mampu
mencegah kerusuhan yang dapat terjadi?"
"Mereka tidak sempat melakukannya."
"Kenapa?" "Lihatlah," berkata Haspada sambil menunjuk ke atas
pendapa. Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat kedua orang
prajurit yang duduk di pendapa mewakili kawan-kawannya itu
dengan tertawa-tawa sedang menghirup tuak. Kemudian
mengisi mangkuknya kembali dan sekali lagi mangkuk itu
dikosongkannya. Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah
dapat membayangkan, apakah yang sebenarnya terjadi di
Kademangan ini. Ternyata beberapa orang prajurit Pajang
yang ditinggalkan di daerah ini sama sekali tidak mampu
melaksanakan tugasnya. Bahkan mereka telah terseret oleh
arus yang melanda anak-anak muda di Kademangan
Prambanan. Tuak, mabuk dan kemudian tayub.
Dan mereka tidak perlu menunggu terlampau lama. Sejenak
kemudian maka para tamu, para pemimpin Kademangan
Prambanan, dan para prajurit itu pun telah menjadi mabuk.
Satu demi satu mereka berdiri dan menari-nari tanpa ujung


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangkal. Sekali-sekali orang berikutnya tidak sabar lagi
menunggu dan dengan serta-merta menarik sampur yang
masih dipergunakan oleh orang lain. Sehingga akhirnya,
mereka tidak lagi saling menunggu. Berebutan mereka berdiri
dan berebutan mereka menari.
Alangkah memuakkan. Ternyata rombongan penari-penari itu
pun telah biasa melayani keadaan serupa itu. Ketika para
tamu tidak lagi dapat menunggu gilirannya menerima sampur,
maka bermunculan beberapa orang penari naik ke pendapa
itu pula. Penari-penari perempuan dengan solahnya masingmasing.
Dan lagu yang megiringinya pun menjadi semakin
panas, semakin panas. Gendang yang memimpin irama
gamelan menjadi semakin keras dan cepat, sehingga pendapa
itu kini benar-benar telah menjadi hiruk-pikuk, tanpa dapat
dikendalikan. "Apakah kalian tidak meninggalkan halaman ini saja, Kisanak,"
bertanya Haspada kepada Sutawijaya.
"Kenapa?" "Kalian belum dikenal di sini. Mungkin hal-hal yang tidak
menyenangkan dapat terjadi. Kami, meskipun tidak berada di
dalam lingkungan anak-anak Sembojan, tetapi setiap anak
muda, hampir telah mengenal, sehingga kemungkinan untuk
diperlakukan kurang wajar adalah tipis sekali. Mereka tahu,
siapakah Haspada selama Prambanan dalam bahaya karena
orang-orang Jipang beberapa saat berselang. Dan mereka
tidak melupakannya sampai kini."
"Terima kasih atas peringatan itu," sahut Sutawijaya. "Tetapi
kami ingin melihat apa yang terjadi. Mungkin kami dapat
bersembunyi di belakang kalian."
"Selama aku dapat berbuat sesuatu, akan berbuat. Tetapi
dalam keadaan yang ribut, mungkin aku tidak lagi sempat
berbuat sesuatu." "Terima kasih. Tetapi maaf, kami ingin melihat keadaan ini
sampai selesai. Mungkin kami dapat bersembunyi di dalam
semak-semak di sebelah."
"Bersembunyilah."
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru kemudian
beringsut dari tempatnya. Tetapi mereka sama sekali tidak
bersembunyi. Mereka hanya berlindung di tempat yang cukup
gelap sambil melihat apa yang akan terjadi. Namun mereka
menjadi heran ketika mereka sudah tidak melihat lagi orangorang
yang tadi berjualan memenuhi halaman. Agaknya
mereka sudah terlalu biasa melihat keadaan serupa, sehingga
mereka telah dapat memperhitungkan keadaan dengan baik.
Dari tempat mereka, Sutawijaya dan kawan-kawannya dapat
melihat sebagian besar dari halaman dan pendapa banjar
desa. Mereka dapat melihat orang-orang di pendapa menarinari
seperti mereka sudah tidak sadar lagi akan diri mereka, di
antara para penari tayub. Dan ledek-ledek itu pun menari lebih
hangat lagi meskipun malam menjadi semakin dingin.
"Hem," gumam Sutawijaya, "inilah puncak dari keramaian
yang hebat ini." Agung Sedayu dan Swandaru belum pernah melihat
keramaian yang berakhir seperti ini. Sehingga sejenak mereka
berdiri seolah-olah membeku.
"Apakah kalian menjadi heran?" bertanya Sutawijaya.
"Bukan main," gumam Agung Sedayu. "Apakah orang-orang
yang berada di pendapa itu tidak malu?"
"Kepada siapa mereka harus malu?" bertanya Sutawijaya.
"Kepada para penonton di halaman itu."
"Para penonton yang mana ?"
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru memperhatikan setiap
orang di halaman itu, maka dadanya menjadi semakin
berdebar-debar. Hampir tak seorang pun lagi memperhatikan
orang-orang yang berada di pendapa itu. Irama yang panas
dari suara gamelan di pendapa telah membawa para
penonton di halaman menjadi panas pula. Mereka pun menarinari
di antara mereka, dan yang mendirikan bulu roma ketiga
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu adalah, bahwa di
antara mereka yang berada di halaman terdapat gadis-gadis.
"Gila," desis Swandaru. "Kalau gadis-gadis itu adik-adikku, aku
cekik lehernya sampai mampus."
"Aneh," sahut Agung Sedayu.
Kemudian sejenak mereka terpesona oleh hiruk-pikuk yang
aneh itu. Halaman banjar desa itu benar-benar seperti sebuah
danau yang dilanda angin pusaran. Bergejolak tidak menentu.
Anak-anak muda di halaman itu pun mengalir ke segenap
Petir Di Mahameru Satu 1 Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat Senopati Pamungkas 22
^