Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 24


Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku tidak
tahu Ki Gede. Aku tidak tahu apakah Kiai Gringsing akan
bersama-sama dengan kami."
"Baik. Kalau demikian, datanglah bersama laskarmu," berkata
Ki Gede Pemanahan. "Terima kasih Ki Gede. Aku akan kembali menjemput mereka
di belakang gerumbul-gerumbul itu. Mereka menunggu
apakah mereka dapat datang tanpa kesulitan."
"Kami telah berjanji," berkata Ki Gede "Kalau kalian tidak
berbuat sesuatu, maka kami akan menepati janji itu."
"Terima kasih Ki Gede," sahut Sumangkar sambil
membungkukkan badannya. "Kini perkenankanlah aku
menjemput orang-orang kami."
"Silahkan Kakang."
Sumangkar itu pun kemudian melangkah beberapa langkah
mundur. Ia masih melayangkan pandangan matanya beredar
pada dinding-dinding halaman desa Benda yang kecil. Ia
melihat ujung-ujung tombak dan pedang di balik dindingdinding
itu. Dan di sana-sini ia melihat prajurit Pajang
bertebaran dalam kelompok kecil di luar dinding."
Kemudian setelah ia memutar tubuhnya ia berkata kepada
orang-orang Jipang yang masih berdiri di samping onggokan
senjata yang mereka bawa, "Kalian tetap di sini. Aku akan
menjemput kawan-kawan kalian."
Orang-orang itu pun mengangguk sambil menyahut, "Baik,
Kiai." Sumangkar pun segera berjalan tergesa-gesa meninggalkan
orang-orangnya yang berdiri tegang kaku. Seolah-olah mereka
jadi membeku. Tak seorang pun yang berani menggerakkan
ujung jarinya sekalipun. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang
memandangi orang-orang itu dengan sorot mata yang aneh.
Bahkan salah seorang anak muda Sangkal Putung bergumam
lirih, "Hem. Berapa orang anak-anak muda Sangkal Putung
yang pernah dilukai oleh mereka, dan bahkan dibunuhnya."
Kawannya yang berdiri di sampingnya berpaling. Perlahanlahan
ia mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kenapa kita
tidak menghancurkan mereka itu saja di sarang mereka?"
Kawannya yang lain menyahut, "Sungguh menyenangkan.
Sesudah tangannya berlumuran darah kami, mereka datang
untuk berjabat tangan dengan tangan-tangan kami. Dan kami
pun harus menyambut uluran tangan berdarah itu. Huh."
Anak-anak muda Sangkal Putung itu pun kemudian terdiam
ketika mereka melihat seorang prajurit Pajang berjalan di
belakang mereka. Kini mereka berdiri mematung di dalam
pagar batu yang membatasi desa Benda. Mereka masih
melihat Sumangkar itu pun hilang di balik gerumbul-gerumbul
yang rimbun. Ketika salah seorang dari mereka ingin berkata pula, maka ia
pun terdiam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan melangkah
maju mendekati orang-orang Jipang yang berdiri kaku di
samping onggokan-onggokan senjata mereka.
"He," berkata Ki Gede Pemanahan kepada salah seorang dari
mereka, "Siapa namamu?"
Orang itu menjadi berdebar-debar. Tergagap ia menjawab,
"Suradapa. Suradapa Ki Gede."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil mengulangi nama itu. "Suradapa. Nama itu bagus
sekali," orang Jipang itu menundukkan kepalanya.
"Apakah kau sudah beristeri?"
"Sudah Ki Gede."
"Berapakah anakmu?"
"Waktu aku tinggalkan isteriku, anakku ada delapan Ki Gede,"
orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan, "Sekarang
mungkin anakku telah menjadi sepuluh"
"He?" Ki Gede terkejut "Berapa lama kau meninggalkan
isterimu. Apakah isterimu beranak kembar?"
"Tidak, Ki Gede."
"Kenapa bertambah dengan dua sekaligus?"
"Isteriku sama-sama sedang mengandung tua pada saat aku
pergi" "Berapa isterimu?"
"Dua, Ki Gede."
Ki Gede Pemanahan terseyum. Ditepuknya bahu orang Jipang
itu sambil berkata, "Hem. Kau terlampau kurus untuk beristeri
dua. Tetapi kau memang kaya akan anak. Tetapi kenapa kau
menyerah?" Orang itu menundukkan kepalanya. Ia mendapat kesulitan
untuk menjawab pertanyaan itu. Ya, kenapa ia menyerah" Ia
mendengar Sumangkar berkata, bahwa pertempuranpertempuran
yang akan terjadi kemudian hampir tak akan
berarti apa-apa, selain kerusuhan, pembunuhan dan
penaburan benih-benih dendam di mana-mana. Karena itu ia
mencoba menirukan kata-kata Sumangkar. "Ki Gede," tetapi ia
tidak ingat kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Maka ia
meneruskan "Aku kepingin melihat anak-anakku dan kedua
bayi yang belum pernah aku lihat."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Apakah tanpa menyerahkan diri, kau tidak dapat melihat
anak-anakmu itu." Orang itu menggeleng. "Tidak Ki Gede," jawabnya, "Desa
kami sudah dikuasai oleh prajurit Pajang."
"Kalau demikian, apakah sesudah kau berhasil melihat anakanakmu
kau akan kembali melarikan diri memihak kenada
Sanakeling dan Sidanti?"
"Tidak Ki Gede, tidak," sahutnya cepat-cepat. "Aku akan tetap
menyerah untuk seterusnya, sebab aku tidak ingin lagi
berperang. Aku sudah jemu berkeliling dari satu tempat ke
tempat yang lain, dari satu hutan ke hutan yang lain. Aku
sudah jemu mengalami masa yang pahit itu. Makan dari hasil
rampasan dan pemerasan."
"Bagaimana kalau kau memenangkan peperangan ini?" tibatiba
terdengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya.
Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana ia harus
menjawabnya. Karena itu maka orang Jipang itu menjadi
pucat dan gemetar. "Bagaimana kalau kau menangkan peperangan ini," desak Ki
Gede Pemanahan, "Apakah aku akan kau gantung, kau
cincang atau kau angkat menjadi pepatih Jipang?"
Orang itu menjadi semakin pucat. Ia tidak tahu bagaimana ia
menjawab. Keringatnya tiba-tiba semakin banyak membasahi
tubuhnya, tetapi keringat yang dingin.
Beberapa orang anak muda Sangkal Putung mendengarkan
percakapan itu dari sudut desa. Mereka sengaja memerlukan
memperhatikan setiap patah kata yang diucapkan oleh Ki
Gede Pemanahan dan jawaban yang diucapkan oleh orangorang
Jipang itu. Tetapi orang Jipang itu masih belum
menjawab. Kepalanya semakin tunduk dalam-dalam dan
dadanya serasa menjadi kian sesak.
"Suradapa," berkata Ki Gede Pemanahan, "sebelum Adipati
Jipang memenangkan perang ini, ia telah melakukan
serangkaian pembunuhan-pembunuhan untuk menyingkirkan
lawan-lawannya yang mungkin akan menjadi perintangnya
menuju ke Singgasana Demak. Meskipun aku tahu, bahwa
pengaruh pengikut-pengikutnya banyak mendorongnya
melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu. Nah, apakah kirakira
yang akan dilakukan kalau ia kemudian benar-benar
menguasai Demak" Adipati Pajang pasti akan terbunuh. Aku,
Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, Ki Wila, Ki Wuragil dan para
senapati prajurit. Bandingkan sikap Adipati Jipang itu dengan
sikap Adipati Pajang. Mungkin Arya Penangsang sendiri tidak
ingin berbuat demikian. Tetapi kekuasaan-kekuasaan yang
ada di bawahnya itulah yang telah menjerumuskannya.
Sekarang, Adipati Pajang bersikap lain. Ia tidak menaburkan
dendam yang tersimpan di hati. Bahkan ia mencoba mencari
jalan supaya pertentangan ini berakhir tanpa pertumpahan
darah lebih banyak lagi. Apakah ini dapat kau mengerti dan
kau rasakan?" Orang itu masih menundukkan kepalanya. "Ya Ki Gede,"
suaranya menjadi sesak parau.
"Yang lain bagaimana" Apakah kalian dapat juga mengerti
perbedaan itu?" "Ya Ki Gede," hampir serentak mereka menjawab.
"Kalau begitu, tularkan pengertian itu kepada kawankawanmu.
Kepada keluargamu, kepada siapa saja yang kau
temui. Supaya mereka dapat menilai keadaan sebaik-baiknya.
Tetapi ingat, bahwa ini bukan berarti melepaskan setiap
hukuman bagi yang bersalah, tapi hukuman itu pasti akan
berlandaskan pada dasar yang kuat dan adil."
Orang Jipang itu dapat memahami sepenuhnya kata-kata Ki
Gede Pemanahan. Ia pernah mendengar pula ucapan-ucapan
seperti itu dari pemimpin-pemimpinnya. Ia tidak akan
menyesal akan hukuman yang harus dijalani. Tetapi ia tahu
pasti kapan hukumannya itu akan berakhir. Dan ia tahu pasti,
bahwa menilik sikap dan perbuatan para pemimpin prajurit
Pajang, maka setiap hukuman pasti akan dilakukan di atas
dasar-dasar peri-kemanusiaan yang adil dan tidak melanggar
pancaran sinar cinta kasih dari Tuhan yang Maha Besar.
"Ya Tuhan Maha Besar dan Maha Murah," orang Jipang itu
terkejut mendengar suara angan-angannya sendiri. Sudah
terlampau lama ia tidak sempat mengucapkannya. Tiba-tiba
kalimat itu diulang-ulangnya di dalam hati "Tuhan Maha Besar
dan Maha Murah" dan hatinya pun menjadi tenteram.
Seandainya orang-orang Pajang ingkar janji, memotong
kepala mereka seperti menebas ilalang karena mereka sudah
tidak bersenjata, maka kini ia telah menemukan ke-damain
abadi di dalam dirinya. "Tuhan Maha Besar dan Maha Murah."
Orang Jipang itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar
Ki Gede Pemanahan bertanya, "Kenapa kau tepekur" Apakah
kau menyesal mendengar bahwa kau harus bertanggung
jawab atas semua perbuatanmu berdasarkan hukum yang
berlaku?" Orang itu menggelengkan kepalanya. Ketika ia mengangkat
wajahnya Ki Gede Pemanahan menjadi heran. Wajah itu telah
menjadi berbeda benar dengan wajah sebelumnya. Dengan
tatag dan teguh ia menjawab, "Tidak Ki Gede. Aku akan
melakukan setiap hukuman. Hukuman kerja paksa ataupun
kami sekeluarga harus menyingkir dari Demak untuk tinggal di
daerah-daerah terpencil. Di hutan-hutan Mentaok atau di
hutan-hutan sekitar Pati, Kami tidak akan selak meskipun kami
akan dihukum mati." "He"," berkata Ki Gede Pemanahan heran. "Sikapmu tiba-tiba
berubah. Apakah yang terjadi di dalam dirimu?"
"Aku menemukan ketenangan di dalam menyebut nama
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang
Maha Besar dan Maha Murah."
Ki Gede Pemanahan menepuk bahu orang Jipang itu. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Kau telah
menemukan sumber hidupmu kembali. Genggamlah
kedamaian itu di dalam hatimu. Jangan terlepas kembali.
Kalau kau mampu menuangkan kedamaian hatimu itu kepada
kawan-kawanmu, maka kau akan mendapat kebahagiaan
berlipat-lipat." "Ya Ki Gede, mudah-mudahan aku mampu melakukannya."
Yang mendengar percakapan itu, Untara, Widura, bahkan
orang-orang Jipang yang lain dan para pemimpin Pajang,
menjadi terharu. Orang ini ternyata tidak saja memilih jalan
yang dikehendaki oleh pimpinan prajurit Pajang untuk segera
menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan tersebar di
mana-mana, tetapi ia telah menemukan dirinya sebagai
manusia yang berada di antara manusia yang lain. Manusia
yang merasa dirinya berada di dalam lingkungannya sendiri.
Lingkungan yang berasal dari sumber yang sama.
Tetapi bukan saja mereka,
orang-orang Jipang itu yang
seakan menemukan ketetapan hati dalam kedamaian yang abadi apabila mereka dapat mempertahankan nama Tuhan Yang Maha Esa di dalam hatinya, namun tibatiba
orang-orang Sangkal Putung yang tidak hentihentinya
mengumpat-umpat itu pun terhenti pula. Tibatiba
pula mereka merasakan sesuatu bergetar di dalam hatinya.
"Apakah arti dari sikap ini," desis mereka di dalam hati
masing-masing. Tiba-tiba mereka menjadi malu sendiri.
Seolah-olah merekalah yang kini mempertahankan supaya
peperangan tetap berlangsung terus. Supaya pepati masih
bertambah-tambah setiap hari. Namun tiba-tiba mereka
dihadapkan pada suatu sikap yang jernih dari pemimpin
tertinggi Wira Tamtama dan hadirnya sinar terang di dalam diri
orang-orang Jipang itu. Bukan sekedar menyerahkan diri karena tidak lagi mampu
untuk melawan kekuatan Pajang yang setiap hari menekan
mereka, tetapi kini mereka menemukan sumber yang lebih
tinggi dari pada sikap yang mereka ambil. Hakekat dari
penghentian perlawanan, bukan saja karena alasan-alasan
lahiriah semata-mata. Ki Gede Pemanahan tidak berbicara lagi. Ketika ia
memandang kearah gerumbul-gerumbul liar di hadapannya,
maka dilihatnya sebuah barisan yang menyeruak keluar dari
balik gerumbul jarak kepyar yang menjadi lebat. Barisan itu
adalah barisan orang-orang Jipang.
Panglima Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia melihat bahwa mereka sudah tidak bersenjata
lagi. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang
pun melihat pula, bahwa mereka datang dalam barisan yang
teratur tanpa senjata di tangan. Dengan demikian, maka
ketegangan yang menekan dada masing-masing tiba-tiba
terasa mengendor. Terasa bahwa orang-orang Jipang itu
sebenarnyalah berkehendak atas kebulatan tekad mereka,
untuk menyerahkan diri. Bukan hanya sekedar permainan
jebakan yang licik. Bahkan menurut persetujuan yang telah
dibuat, mereka akan datang dengan senjata masih di tangan.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka baru akan mengumpulkan senjata itu di hadapan para
pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung. Tetapi kini
mereka datang dengan tangan hampa.
Untara berpaling ketika ia mendengar langkah di belakangnya.
Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin
laskar Sangkal Putung datang kepadanya. Didengarnya Ki
Demang berbisik, "Mereka sudah tidak bersenjata."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya
perlahan-lahan, "Itu adalah sikap yang terpuji. Ternyata Kiai
Gringsing memegang peranan pula atas sikap orang-orang
Jipang itu." Sambil memandang barisan yang semakin lama menjadi
semakin dekat Ki demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia tidak berbicara lagi. Wajah-wajah para
pemimpin prajurit Pajang, para pemimpin laskar Sangkal
Putung, bahkan semuanya yang berada di tempat itu, menjadi
tegang. Mereka melihat derap langkah yang tetap dan tidak
ragu-ragu. Sebenarnya orang-orang Jipang itu pun kini tidak ragu-ragu
lagi. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa Panglima
Wira Tamtama sendiri telah hadir.
Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu
memandangi barisan itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Untara yang
tegang. Semula kepercayaan Ki Gede Pemanahan terhadap
Untara seolah-olah jauh menjadi susut. Tetapi setelah ia
melihat orang-orang Jipang dalam barisan itu, maka
kepercayaannya tumbuh kembali. Dalam keadaan itu, maka Ki
Gede Pemanahan segera dapat membuat perhitungan, bahwa
Ki Tambak Wedi pasti akan menjadi musuh yang lebih
berbahaya daripada Tohpati. Musuh yang bertindak terlampau
cepat, mendahului semua perhitungan Untara dan Widura.
Pada saat-saat mereka melawan Macan Kepatihan, maka
Untara dan Widura hampir tidak pernah salah hitung. Hampir
setiap gerakan Macan Kepatihan itu dapat dipotong oleh
Widura dan kemudian Untara. Namun Ki Tambak Wedi dapat
bergerak menembus semua perhitungan para Senapati
Pajang. Barisan orang-orang Jipang itu pun menjadi semakin lama
semakin dekat. Yang berdiri di ujung barisan itu adalah
Sumangkar dan beberapa orang pemimpin yang lain.
Pemimpin-pemimpin rendahan yang tidak bersedia ikut
beserta Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Beberapa puluh langkah dari Ki Gede Pemanahan yang
dipayungi oleh bendera kebesarannya, bendera yang
memberitahukan bahwa pada saat itu hadir Panglima Wira
Tamtama, barisan itu berhenti. Di ujung belakang dari barisan
itu masih ada beberapa orang yang membawa senjata di
tangan mereka. Tetapi demikian mereka berhenti, maka
segera senjata itu mereka kumpulkan bersama-sama.
Ketika Sumangkar kemudian melangkah maju mendekati Ki
Gede Pemanahan, maka Panglima Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu memang
peristiwa yang penting bagi kedua belah pihak. Bagi orangorang
Jipang dan bagi Kadipaten Pajang. Dengan penyerahan
itu, maka Pajang akan mendapat kesempatan untuk berbuat
lain dari hanya bermain kejar-kejaran dengan sisa-sisa laskar
Jipang itu. Tetapi bagaimanapun juga, terasa pada para prajurit Pajang
dan laskar Sangkal Putung, bahwa mereka masih merasakan
sentuhan yang pahit di dalam hati mereka. Lawan yang sudah
sejak beberapa lama, selalu bertemu dalam medan-medan
peperangan, dengan senjata di tangan masing-masing, maka
kini mereka melihat orang-orang itu mendekati mereka tanpa
gangguan suatu apa. Namun dada orang-orang Jipang itu pun
berdesir ketika mereka melihat kesiapsiagaan para prajurit
Pajang dan laskar Sangkal Putung. Mereka melihat ujungujung
senjata seperti ujung daun ilalang di padang rumput liar.
Pada saat-saat lampau mereka pun pernah datang ke desa
ini, tetapi juga dengan senjata di tangan. Tetapi kini mereka
datang dengan tangan yang hampa. Kalau terjadi sedikit
kesalahpahaman, dan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal
Putung itu menyerangnya, maka mereka seolah-olah akan
menebas batang-batang pisang tanpa perlawanan yang
berarti sama sekali. Tetapi menilik sikap Panglima Wira Tamtama maka semuanya
akan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
Demikian pulalah harapan Untara. Ia telah memberanikan diri
mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan dengan
pengharapan yang serupa itu. Semula ia ragu-ragu akan
ketaatan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung
terhadap keputusan yang diambilnya. Menerima orang-orang
Jipang yang menyerahkan diri dengan beberapa bentuk
pengampunan. Karena itu, apabila Ki Gede Pemanahan
bersedia hadir, akibatnya pasti akan menguntungkan kedua
belah pihak. Para prajurit Pajang, sudah tentu tidak akan
berani melanggar keputusannya dan orang-orang Jipang pun
akan terpengaruh oleh wibawa panglima itu. Dan kini ternyata
semuanya itu telah terjadi.
Maka di pinggir desa kecil itu, telah terjadi saat-saat yang
penting. Dengan kesungguhan Sumangkar menyatakan janji
dan kata-kata penyerahan. Betapa berat perasaan orang tua
itu. Namun kata-kata itu harus diucapkannya. Di hadapan Ki
Gede Pemanahan, Untara dan Widura.
Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura, Ki Demang Sangkal
Putung, dan para pemimpin yang lain mendengarkan katakata
Sumangkar itu dengan penuh minat. Setiap patah kata
telah menunjukkan kesungguhan hati orang tua itu untuk
benar-benar mengakhiri perlawanan.
"Ki Gede Pemanahan," Sumangkar itu pun kemudian
mengakhiri kata-katanya, "kami dengan ini menyatakan
kesungguhan hati kami untuk menyerahkan diri tanpa syarat
apapun ke hadapan Ki Gede Pemanahan, ke hadapan
senapati untuk daerah ini dan kepada pimpinan prajurit Pajang
di sangkal Putung beserta para pemimpin kademangan. Kami
tidak akan mengingkari kesalahan-kesalahan yang telah kami
lakukan sehingga karenanya kami tidak akan menghindarkan
diri dari setiap hukuman yang akan diletakkan di atas pundak
kami." Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
telah mendengar dengan baik semua ucapan Sumangkar.
Karena itu maka kemudian ia pun berkata, "Penyerahanmu
kami terima. Semoga saat ini benar-benar dapat mengakhiri
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Tetapi sayang, bahwa
penyerahan ini tidak sempurna. Masih ada beberapa orang
dari kalian yang tidak bersedia berbuat seperti ini dan bahkan
telah bekerja bersama dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi itu
bukan kesalahan kalian. Ketahuilah, bahwa terhadap mereka
tidak ada pilihan lain kecuali dilenyapkan. Untuk seterusnya
akan berlaku, semua persetujuan kalian dengan Senapati
Pajang untuk daerah ini, Untara. Semoga Tuhan selalu
menerangi hati kita semua. Hati kami, dan hatimu semua."
Yang berbicara kemudian adalah Untara. Ia hanya
menguraikan beberapa segi pelaksanaan. Orang-orang Jipang
itu harus tinggal di Benda sebelum mereka dibawa ke Pajang
bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar Sutawijaya bertanya, "He, Paman
Sumangkar yang suka mengembara, bukankah jalan ini pula
yang menuju ke Alas Mentaok?"
Semua yang mendengar pertanyaan Sutawijaya yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sedang
terjadi itu, menjadi heran. Dengan wajah bertanya-tanya
mereka hampir serentak berpaling memandangnya.
Ki Gede Pemanahan pun heran pula mendengar pertanyaan
itu, sehingga katanya, "Apakah kau sedang bermimpi
Jebeng?" "Tidak, Ayah," sahut Sutawijaya. "Aku tiba-tiba saja ingin
mengetahui, jalan ini akan menuju ke mana."
"Apakah hubungannya dengan persoalan orang-orang Jipang
yang menyerahkan diri dan Pamanmu Sumangkar?"
"Aku hanya ingin bertanya kepada Paman Sumangkar, karena
Paman Sumangkar hampir selama ini selalu mengembara
berkeliling. Mungkin Paman Sumangkar telah pernah
menyelusur jalan ini terus ke Barat."
Ki Gede Pemanahan menarik nafas panjang-panjang. Ia tahu
pikiran apakah yang bergejolak di dalam dada anak itu,
Sutawijaya pasti sedang berpikir tentang Alas Mentaok yang
pernah dijanjikan oleh Adipati Pajang kepada dirinya, dan
tanah Pati bagi kawan seperjuangannya melawan Adipati
Jipang pada saat itu. Dan Sutawijaya pun pasti pernah
mendengar janji itu, sehingga tiba-tiba saja ia menyebut tanah
Alas Mentaok. Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata, "Ya, Ngger.
Jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok, tetapi jalan terlampau
sulit. Beberapa bagian hutan di sebelah Barat itu harus
dilampaui. Meskipun hutan ini tidak terlampau lebat, tetapi
hutan itu pun cukup luas. Sekali-sekali Angger akan sampai di
pedukuhan-pedukuhan kecil yang terserak-serak. Tetapi
tempat-tempat itu hampir tak berarti. Padukuhan kecil dan
miskin. Padukuhan yang hampir tidak pernah bersangkut paut
dengan pemerintahan karena letak dan keadaan
penduduknya. Tetapi agak yang ke sebelah Barat, Angger
akan menjumpai daerah yang subur. Daerah yang cukup
mempunyai kedudukan di daerah Selatan, Prambanan. Di
daerah itu pasti juga sudah dilindungi oleh sepasukan prajurit
dari Pajang. Sayang aku tidak tahu, siapakah yang berada
disana. Ki Gede Pemanahan pasti mengetahuinya.
Prambanan adalah kademangan yang hampir sekaya Sangkal
Putung. Kalau Angger masuk lebih dalam lagi, maka Angger
akan sampai ke hutan Tambak Baya, setelah melewati Candi
Sari, Cupu Watu, dan beberapa pedukuhan kecil yang lain. Di
sebelah Barat hutan Tambak Baya itulah nanti Angger akan
menjumpai hutan belukar yang besar, Alas Mentaok."
"Apakah belum ada pedukuhan sama sekali di sekitar hutan
itu Paman?" "Ada Ngger. Pliridan, Gumawang, Lipura dan hampir di ujung
Selatan, dekat pantai lautan terdapat pula daerah yang sudah
mulai subur dan ramai, Mangir."
"Sutawijaya," potong Ki Gede Pemanahan, "Untuk apa kau
ketahui semuanya itu. Aku sendiri pernah menjelajahi hampir
setiap sudut yang berada di dalam wilayah Demak. Aku
pernah juga sampai ke tempat-tempat yang disebut-sebut oleh
Kakang Sumangkar. Tetapi sekarang ini bukanlah saatnya
untuk berbicara tentang Alas Mentaok."
Sutawijaya terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Ia
menyadari bahwa ayahnya dan para pemimpin prajurit Pajang
di Sangkal Putung kini sedang menghadapi tugas yang berat,
sehingga pertanyaannya tentang Alas Mentaok pasti hanya
akan mengganggu saja. Setelah Sutawijaya tidak bertanya-tanya lagi, maka segala
sesuatu segera mulai dipersiapkan. Untara segera mengatur
tempat-tempat penampungan orang-orang Jipang itu, sedang
Widura mempersiapkan para prajurit Pajang yang harus
menjaga padesan kecil ini. Bukan saja menghadapi setiap
orang yang mungkin dapat berubah pendirian selama mereka
berada dalam penampungan, tetapi juga terhadap setiap
usaha Sanakeling dan Sidanti, untuk mengacaukan keadaan.
Adalah mungkin sekali mereka
tiba-tiba datang dan membuat
keributan. Menghasut orangorang
Jipang yang sudah menyerah atau mengancam mereka, sebab mereka kini
sudah tidak bersenjata. Ketika upacara penyerahan itu
telah selesai, serta segala
macam persiapan penampungan telah cukup, maka Ki Gede Pemanahan serta para pemimpin prajurit
Pajang dan Sangkal Putung
pun segera bersiap untuk kembali ke induk kademangan.
Ki Gede Pemanahan sendiri
telah memberikan beberapa
pesan khusus bagi para prajurit Pajang yang bertugas
menjaga desa terpencil itu. Bagaimana mereka harus
menghadapi orang-orang Jipang yang sudah menyerah itu,
dan bagaimana mereka harus menghadapi lawan yang masih
tetap memandi senjata-senjata mereka apabila mereka benarbenar
datang. Untuk kepentingan itu, maka di sekitar Desa
Benda telah diletakkan beberapa pengawas yang harus dapat
menilai setiap perkembangan keadaan dengan tepat.
Kepada Sumangkar, Ki Gede Pemanahan berpesan, "Kakang,
kalian akan kami tinggalkan. Kakang adalah tetua orang-orang
Jipang, Segala sesuatu harus selalu berada dalam
pengawasan Kakang. Kakang-lah orang satu-satunya yang
dapat langsung berhubungan dengan para prajurit Pajang
yang sedang bertugas di tempat ini. Apapun yang kurang
serasi menurut penilaian Kakang, maka Kakang akan dapat
memberitahukannya kepada para petugas.
"Baik Ki Gede. Kami akan mematuhi perintah itu," sahut
Sumangkar. Namun ketika Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan
tempat itu, maka ia masih sempat bertanya kepada
Sumangkar, "Di manakah orang yang menamakan diri Kiai
Gringsing itu" Apakah ia tidak turut beserta kalian?"
Sumangkar menggeleng lemah, jawabnya, "Tidak Ki Gede.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak bersama
kami." "Apakah orang itu tidak ingin bertemu dengan aku"
Sumangkar tertegun sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
"Tidak Ki Gede. Ternyata Kiai Gringsing belum ingin bertemu
dengan Ki Gede Pemanahan."
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia menjadi
semakin tertarik kepada nama itu. Kiai Gringsing yang seharihari
disebut Ki Tanu Metir. Seorang dukun yang cakap
mengobati berbagai macam penyakit.
"Baiklah," berkata Ki Gede Pemanahan. "Lain kali aku
mengharap untuk dapat bertemu dengan orang itu."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pesan itu akan aku sampaikan Ki Gede," sahut Sumangkar.
Dalam pada itu, semua persiapan pun telah selesai. Ki Gede
Pemanahan dan para pemimpin beserta sebagian dari prajurit
Pajang dan laskar Sangkal Putung akan kembali ke induk
kademangan. Tetapi Sutawijaya tiba-tiba menggamit Agung Sedayu dan
Swandaru Geni. Katanya, "Kita tinggal di sini."
"Kenapa" "bertanya Agung Sedayu.
"Kita pergi ke Alas Mentaok."
"Apakah yang menarik di Alas Mentaok itu?" bertanya
Swandaru. "Itulah yang ingin aku ketahui."
"Apakah Tuan mempunyai kepentingan dengan hutan itu?"
bertanya Agung Sedayu pula.
Sutawijaya memandang ayahnya dengan sudut matanya.
Kemudian katanya perlahan-lahan, "Tanah itu akan
dihadiahkan oleh Adipati Pajang kepada ayah. Aku ingin
melihatnya, apakah tanah itu cukup baik untuk dibuka menjadi
suatu pedukuhan. Mentaok akan dapat menjadi sebuah tanah
perdikan." "Agung Sedayu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia
pernah mendengar bahwa Mentaok kini masih berupa hutan
belantara. "Aku ikut bersama Tuan," tiba-tiba Swandaru menyela.
Wajahnya yang bulat tampak berseri-seri gembira.
Tetapi wajah Agung Sedayu disaput oleh keragu-raguan
hatinya. Sekali-sekali ia memandangi Sutawijaya, namun
sesaat kemudian ditatapnya wajah kakaknya yang masih
sibuk mengatur barisan bersama pamannya, Widura.
"Aku harus minta ijin Kakang Untara dan Paman Widura lebih
dahulu," berkata Agung Sedayu.
"Uh, kau seperti anak-anak saja," potong Sutawijaya.
"Bukankah kita sudah cukup dewasa" Kalau aku minta ijin
pada ayah mungkin ayah akan melarangnya. Kau pun pasti
akan dilarang pula. Karena itu maka kita tidak usah minta ijin.
"Mereka pasti akan mencari kita," berkata Agung Sedayu.
"Biarkan saja mereka mencari kita," sahut Sutawijaya. "Besok
atau lusa, kalau kita kembali, maka mereka akan berhenti
mencari." "Tetapi apakah Ki Gede akan tinggal beberapa lama di sini?"
bertanya Agung Sedayu. Mas Ngabehi Loring Pasar menggelengkan kepalanya. "Aku
tidak tahu. Kalau ayah tergesa-gesa kembali ke Pajang,
biarlah ia mendahului."
Agung Sedayu terdiam sejenak. Hatinya dicekam oleh keraguraguan.
"Kenapa kau selalu ragu-ragu?"" bertanya Sutawijaya "Jangan
seperti anak kecil. Kau telah mampu berkelahi melawan
Sanakeling yang menurut pengamatanku, apabila perkelahian
berlangsung lebih lama lagi, kau akan memenangkan
perkelahian itu. Kenapa kau selalu masih harus minta ijin
kepada kakakmu?" Agung Sedayu menggigit bibirnya. Tetapi adalah menjadi
kebiasannya untuk berbuat demikian. Bahkan sampai saat ia
telah mampu memecah dinding yang mencengkamnya dalam
ketakutan, maka kebiasaan itu tidak segera dapat dilupakan.
"Jangan takut," berkata Swandaru. "Akupun tidak akan minta
ijin kepada ayahku. "
Agung Sedayu masih berdiri dalam kebimbangan, sehingga
Sutawijaya berkata, "Ayolah. Mau tidak mau kau harus pergi
bersama kami." Agung Sedayu tidak dapat membantah lagi. Ia harus pergi ke
Mentaok bersama Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar dan Swandaru Geni.
"Tetapi kita harus memberi tahukan kepada para penjaga,"
gumam Agung Sedayu. "Ah, bodoh kau," berkata Sutawijaya. "Kalau mereka tahu dan
mereka mengatakannya kepada ayah, maka aku tidak akan
diperbolehkannya." "Setidak-tidaknya sepeninggalan Ki Gede Pemanahan dari
desa ini" Sutawijaya berpikir sejenak, kemudian katanya, "Baiklah nanti
kita memberitahukannya kepada para penjaga."
Agung Sedayu masih akan mengatakan sesuatu ketika ia
mendengar Ki Gede Pemanahan memanggil, "Sutawijaya.
Mari, kita kembali ke induk kademangan."
Sutawijaya berpikir sejenak. Sekali-sekali dipandanginya
wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Hampir-hampir ia
kehilangan akal bagaimana ia akan dapat menyelinap
meninggalkan barisan itu. Mendengar ajakan itu, Agung
Sedayu menjadi senang. Mudah-mudahan Sutawijaya
mengurungkan niatnya. Sama sekali bukan karena takut
menghadapi bahaya di sepanjang jalan, tetapi dengan
demikian kakaknya akan memarahinya.
Tiba-tiba Agung Sedayu kecewa ketika ia mendengar
Sutawijaya menjawab, "Aku akan tinggal di sini sebentar ayah.
Aku akan segera menyusul."
Ki Gede Pemanahan memandanginya dengan penuh
pertanyaan, bahkan orang tua itu menjadi curiga. Katanya,
"Apalagi yang akan kau lakukan?"
Sutawijaya tertawa, jawabnya, "Aku hanya akan beristirahat
sebentar ayah. Bukankah di sini sudah ada sepasukan prajurit
Pajang" kalau terjadi sesuatu, maka mereka pasti akan dapat
melindungi aku." "Tetapi jangan terlampau lama Sutawijaya," berkata ayahnya.
"Meskipun jarak induk Kademangan Sangkal Putung dan desa
ini tidak terlampau jauh, namun di tengah-tengah bulak itu
dapat bersembunyi segala macam bahaya."
Sekilas terasa pula oleh Sutawijaya kekhawatiran ayahnya
tentang dirinya di daerah yang ternyata masih diliputi oleh
bahaya itu. Bahaya yang kini datang tidak saja dari orangorang
Jipang, tetapi lebih-lebih lagi adalah hantu lereng
Merapi yang bernama Tambak Wedi. Namun Sutawijaya itu
berpikir "Tambak Wedi itu pasti sudah pergi jauh-jauh.
Setidak-tidaknya hari ini ia tidak akan datang kembali kemari.
Kalau besok ia datang, maka aku sudah berada di Alas
Mentaok. Mudah-mudahan nanti apabila aku kembali aku tidak
menemuinya dan hantu itu tidak mengetahui bahwa aku pergi
ke Alas Mentaok." Sutawijaya itu terkejut ketika ia mendengar suara ayahnya
kembali, "He, Sutawijaya, bagaimana" Jangan terlalu lama,
kau dengar?" "Ya, ya Ayah," jawabnya tergagap. "Aku tidak akan lama
disini" "Jangan memberi aku bermacam-macam pekerjaan lagi,"
berkata Ki Gede Pemanahan pula. "Aku sudah terlalu letih."
"Baik ayah," sahut Sutawijaya.
Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian bersama-sama dengan
Untara, Widura dan para pemimpin Pajang dan Sangkal
Putung yang lain pergi meninggalkan desa kecil itu. Mereka
akan kembali ke induk kademangan, dan Ki Gede Pemanahan
bermaksud bermalam di Sangkal Putung semalam, sambil
menunggu persiapan orang-orang Jipang dan pasukan
pengawal yang akan membawa mereka ke Pajang. Tetapi
keadaan kini telah berkembang menjadi bertambah sulit.
Ketika Untara mengetahui, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata
bergerak terlampau cepat, maka ia harus memperhitungkan
keadaan. Baik yang akan pergi mengawal orang-orang Jipang
bersama Ki Gede Pemanahan, maupun yang akan
ditinggalkan di Sangkal Putung. Jangan sampai Ki Tambak
Wedi dapat memanfaatkan keadaan itu. Keadaan di mana
pasukan Pajang sedang terbagi. Ki Tambak Wedi yang cerdik
itu akan dapat menghadang rombongan ke Pajang atau
menusuk jantung Sangkal Putung yang sedang ditinggalkan
oleh sebagian dari para pengawalnya mengantar orang-orang
Jipang ke Pajang. Karena itu semuanya, maka Untara harus berpikir lebih masak
lagi. Sutawijaya dan kedua kawan-kawan barunya itu memandangi
pasukan yang berjalan meninggalkan desa Benda. Semakin
lama semakin jauh. Sejalan dengan itu, maka hatinya pun
menjadi semakin gembira pula. Katanya berbisik kepada
Agung Sedayu dan Swandaru. "Nah, kita segera berangkat.
Jangan menunggu matahari terlampau rendah. Mungkin kita
harus bermalam beberapa malam di perjalanan."
"Marilah," terdengar Swandaru yang menyahut.
"Kau masih ragu-ragu," bertanya Sutawijaya kepada Agung
Sedayu. "Aku tidak meragukan perjalanan yang akan kita lakukan,
tetapi bagaimana Kakang Untara setelah mengetahuinya?"
"Aku yang bertanggung jawab," potong Sutawijaya. "Kalau ia
marah, biarlah ia marah kepadaku."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ketika kemudian
Sutawijaya berjalan kembali ke gardu di ujung desa, kedua
anak muda murid Ki Tanu Metir itu mengikutinya di belakang.
"Apakah kita akan pergi berkuda atau berjalan kaki?" bertanya
Swandaru. "Mana yang lebih baik"," Sutawijaya minta pertimbangan.
Mereka terdiam sejenak. Menilik jarak yang harus mereka
tempuh, maka kuda akan membantu mereka, tetapi mengingat
hutan-hutan yang mungkin terlampau sulit ditembus, maka
lebih baik bagi mereka apabila
mereka berjalan kaki. Sebab
kuda-kuda mereka pasti hanya
akan mengganggu di sepanjang perjalanan di hutanhutan
belukar itu. Ketika kedua kawannya tidak
menyahut, maka Sutawijaya
itu pun akhirnya memutuskan
"Kita berjalan kaki. Mungkin
kita akan memerlukan waktu
seminggu. Tetapi kita pasti
akan sampai. Tetapi apabila
kita pergi berkuda, maka kita akan terhalang di hutan-hutan
belukar atau kita akan melepaskan kuda-kuda kita. Mungkin
kuda-kuda kita itu akan diterkam oleh binatang-binatang buas.
Karena itu lebih baik kita berjalan kaki."
"Baik," sahut Swandaru Geni, "Kita berjalan kaki. Bagaimana
kakang Agung Sedayu?"
Meskipun hatinya masih ragu-ragu, namun Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Baik. Kita
berjalan kaki." "Nah, kita berangkat sekarang. Kita akan masuk ke hutan di
hadapan desa Benda ini dan menyeberanginya. Kita harus
keluar dari hutan itu sebelum senja."
"Tidak mungkin," potong Agung Sedayu, "Lihat, matahari telah
terguling ke Barat. Meskipun hutan itu tidak begitu lebat, tetapi
hutan itu cukup luas."
"Ah, persetan," gumam Sutawijaya kemudian, "Apakah kita
akan menembus hutan itu senja nanti atau apakah kita akan
berjalan di malam hari, kita tidak usah meributkannya. Marilah
kita pergi." "Ingat, Tuan, kita sebaiknya memberitahukan kepergian ini
kepada para penjaga, supaya Ki Gede Pemanahan, Ki
Demang Sangkal Putung dan Kakang Untara mendapat
gambaran, berapa hari kita akan kembali," berkata Agung
Sedayu kemudian. Sutawijaya berpikir sejenak, kemudian ia pun menganggukanggukkan
kepalanya. "Baik," katanya, "aku akan berkata
kepada pemimpin pengawal."
Sutawijaya itu pun kemudian pergi ke gardu penjaga. Kepada
seorang prajurit Sutawijaya bertanya, "Siapa pemimpin
pengawal di sini?" "Kakang Sendawa, Tuan," sahut penjaga itu. "Ia berada di
rumah sebelah. Rumah itu dipakai sementara untuk memimpin
pengawalan desa ini."
Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun, tiba-tiba ia berkata,
"Katakan kepadanya, aku akan pergi ke Alas Mentaok."
"He?" prajurit itu terkejut, sehingga matanya terbeliak.
Tetapi Sutawijaya pun menjadi heran pula melihat prajurit itu
memandangnya dengan pandangan yang aneh, sehingga
terloncat pertanyaan dari bibirnya, "Kenapa kau
memandangku seperti melihat hantu?"
"Tuan," bertanya prajurit itu, "apakah aku tidak salah dengar"
Apakah benar Tuan akan pergi ke Alas Mentaok?"
"Ya, kenapa?" jawab Sutawijaya.
"Alas Mentaok itu terletak di sebelah Barat hutan Tambak
Baya, Tuan." "Ya, aku sudah tahu. Aku akan berjalan terus ke Barat. Aku
akan melewati Prambanan, Candi Sari, Cupu Watu dan hutan
Tambak Baya. Kenapa?"
"Perjalanan yang tidak masuk dalam akalku. Tuan hanya
bertiga?" "Kenapa tidak masuk dalam akalmu" Jarak itu dapat kau
ketahui, apakah kau pernah pergi ke sana?"
"Belum, Tuan, tetapi sebagai seorang prajurit aku pernah
mendapat tugas ke Prambanan. Kakak Adi Sedayu itu pernah
pula mendapat tugas di Prambanan."
"Kau dapat juga sampai ke Prambanan, mengapa kau heran
mendengar rencana perjalanan ini" Bukankah sesudah
Prambanan jarak ke Alas Mentaok tidak lagi begitu jauh?"
"Justru daerah itu adalah daerah yang berbahaya, Tuan.
Mungkin Tuan akan berjumpa dengan penyamun-penyamun
yang sakti. Dan aku pergi ke Prambanan bersama dengan
rombongan prajurit dalam jumlah yang cukup. Karena itu
maka aku tidak kuwatir menjumpai bahaya-bahaya yang
serupa. Tetapi apakah Tuan hanya akan bertiga saja?"
Sutawijaya tertawa. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil
berkata, "Katakan kepada Sendawa. Aku pergi ke Alas
Mentaok." "Apakah Tuan tidak akan menjumpainya sendiri" Mungkin
Kakang Sendawa dapat menceriterakan serba sedikit tentang
hutan itu. Mungkin Kakang Sendawa pernah mendapat tugas
mengunjungi daerah-daerah terpencil di seberang hutan
Mentaok beberapa waktu yang lampau atas nama kekuasaan
Pajang yang menerima limpahan kekuasaan Demak pada
waktu itu. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi adalah
daerah-daerah Mangir dan Lipura."
Sutawijaya menggelengkan kepalanya, "Tidak. Sendawa pasti
hanya akan menakut-nakuti aku. Katakan saja, aku pergi


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertiga dengan berjalan kaki. Mungkin kami akan melintasi
hutan-hutan bebondotan yang sukar sekali dilalui seekor
kuda." "Ya, Tuan benar. Kuda-kuda itu hampir tak berarti di hutanhutan
yang lebat." "Sudahlah," berkata Sutawijaya. "Aku akan pergi."
"Tetapi, Tuan," bertanya prajurit itu, "Tuan tidak membawa
bekal apa pun di perjalanan. Bagaimana Tuan akan
mendapatkan makanan" Apakah Tuan mempunyai beberapa
orang yang telah Tuan kenal di sepanjang jalan?"
Sutawijaya tertegun sejenak. Dipandanginya wajah-wajah
Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Tetapi kedua anak muda
itu pun agaknya tidak tahu, bagaimana mendapatkan bekal di
perjalanan. Sudah tentu mereka tidak dapat mencari bekal di
desa Benda yang kosong itu. Yang ada hanyalah orang-orang
Jipang dan para prajurit yang sedang bertugas. Mereka sama
sekali tidak mempunyai persediaan makanan dari Sangkal
Putung. Tiba-tiba Sutawijaya itu bertanya, "Apakah di antara kalian ada
yang membawa busur dan anak panah?"
Prajurit itu terdiam sejenak.
"Ada?" desak Sutawijaya.
Prajurit itu mencoba melihat beberapa orang kawan-kawannya
yang mendengarkan percakapan itu dengan mulut ternganga.
Tiba-tiba Sutawijaya melihat beberapa buah busur di sudut
gardu. Tanpa bertanya kepada siapa pun ia meloncat dan
mengambil tiga daripadanya.
"He, Agung Sedayu dan Swandaru, apakah kalian dapat
memanah?" Yang menjawab adalah Swandaru Geni, "Kakang Agung
Sedayu adalah pemanah terbaik dari seluruh penghuni
Sangkal Putung, termasuk para prajurit Pajang."
"Bagus," Sutawijaya menjadi gembira. Diraihnya beberapa
endong anak panah sambil berkata, "Aku pinjam busur-busur
ini." Para prajurit yang berada di dalam gardu itu seolah-olah
terpaku beku di tempatnya. Mereka tidak dapat berbuat apaapa.
Mereka hanya melihat Sutawijaya mengambil tiga buah
busur dari lima persediaan busur di gardu itu, beserta tiga
endong penuh dengan anak panah. Mereka kemudian melihat
Sutawijaya meloncat keluar sambil membagikan ketiga busur
itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
"Kalian tidak akan mendapat musuh lagi di sini. Biarlah
senjata-senjata ini kami bawa ke Alas Mentaok," berkata
Sutawijaya kepada para prajurit Pajang itu.
Sebelum mendapat jawaban, maka Sutawijaya segera
mengajak kedua kawannya itu berjalan meninggalkan desa
Benda menuju ke arah Barat. Alas Mentaok.
Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang ringan. Jalan yang
harus mereka lewati adalah jalan yang sulit dan jauh.
"Dengan anak-anak panah ini kita akan mendapat bekal di
sepanjang jalan," gumam Sutawijaya.
"Apakah kita akan menyamun atau memeras sambil menakutnakuti
orang dengan anak panah," bertanya Swandaru.
Sutawijaya tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya
berguncang-guncang. Agung Sedayu yang segera
menangkap maksud Sutawijaya pun tersenyum.
"Kenapa?" bertanya Swandaru heran.
"Aku belum pernah menyamun orang," berkata Sutawijaya di
antara derai tertawanya. "Lebih baik kita menyamun kijang
atau menjangan." "O," Swandaru tersenyum sambil menundukkan kepalanya.
Pipinya yang gembul itu pun menjadi kemerah-merahan.
Ternyata ia tidak cepat menangkap maksud Sutawijaya
dengan busur dan anak panah itu, yang akan menjadi alat
berburu yang baik. Sesaat kemudian ketiga anak-anak muda itu terdiam. Mereka
berjalan dengan cepat ke arah Barat. Di belakang mereka
pedesaan Benda seolah-olah berjalan mundur sedang
gerumbul-gerumbul jarak yang liar di hadapan mereka pun
menjadi semakin dekat. Di belakang semak-semak itu akan
terbentang sebuah lapangan rumput yang tidak begitu lebar.
Dan di seberang lapangan itu mereka akan mendapatkan
sebuah hutan yang cukup luas, meskipun tidak terlampau
lebat. Di langit, matahari telah melewati titik puncaknya dan dengan
perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun panasnya masih
terasa seakan-akan membakar kulit.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjalan tanpa
berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat
mereka sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah.
Kulit mereka yang menjadi semerah tembaga, menjadi
berkilat-kilat karena keringat dan debu yang melekat.
Para prajurit di Benda pun kemudian menjadi gempar. Ceritera
tentang Sutawijaya dan kedua anak muda yang telah mereka
kenal dengan baik, yaitu Agung Sedayu dan Swandaru benarbenar
menimbulkan berbagai pembicaraan. Ada yang menjadi
cemas, ada yang menjadi heran dan ada yang menjadi kagum
karenanya. Sendawa yang kemudian diberi tahu pula tentang kepergian
ketiga anak-anak muda itu terkejut sekali. Katanya, "Apakah
kalian tidak mencoba mencegahnya?"
"Aku telah mencobanya," jawab prajurit itu, "tetapi mereka
tidak mendengarkan."
"Alas Mentaok adalah hutan belukar yang luar biasa lebatnya.
Binatang-binatang buas masih berkeliaran dan bahkan di
sekitar hutan yang liar itu masih banyak didiami oleh penjahatpenjahat
yang sebuas binatang-binatang di dalam hutan itu."
"Aku sudah mengatakannya."
Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia
bergumam, "Mudah-mudahan mereka tidak memasuki hutan
itu. Mudah-mudahan mereka berhenti setelah mereka melihat
wajah Alas Mentaok."
"Tetapi," berkata prajurit itu, "bukankah menyeberangi hutan
Tambak Baya itu pun cukup berbahaya?"
"Mungkin mereka akan mendapat beberapa orang kawan.
Mudah-mudahan mereka menyeberang bersama-sama
dengan rombongan-rombongan yang sering melewati hutan
itu pula bersama-sama dengan beberapa orang pengawal.
Dengan demikian, mereka akan terhindar dari banyak
kesulitan." "Mudah-mudahan," desis prajurit itu.
"Meskipun demikian, kita harus memberitahukannya kepada
para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung. Bahkan
kepada Ki Gede Pemanahan sendiri. Bukankah Raden
Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan?"
"Ya. Demikian sebaiknya," sahut prajurit itu.
"Nah, sekarang pergilah. Sampaikan laporan ini."
Belum lagi prajurit itu pergi, mereka terkejut melihat seseorang
memasuki rumah pimpinan itu. Ternyata orang itu adalah
dukun tua yang selama ini tidak menampakkan diri. Orang itu
adalah Ki Tanu Metir. Dengan nada tinggi ia bertanya sambil tersenyum, "Aku
dengar, ada di antara kalian yang akan pergi ke Alas
Mentaok?" "Tidak, Kiai," sahut Sendawa. "Yang pergi ke Alas Mentaok
adalah putera Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya."
Ki Tenu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia
bertanya, "Sendiri ?"
"Tidak," jawab Sendawa pula. "Bersama dengan dua
kawannya. Agung Sedayu dan Swandaru Geni."
"He?" Ki Tanu Metir itu pun terkejut. Wajahnya yang tua itu
menjadi semakin berkerut-merut. "Apakah kepentingan
mereka dengan Alas Mentaok itu?"
"Kami tidak tahu Kiai," sahut Sendawa. "Seorang prajurit telah
mencoba mencegah mereka dengan memberikan gambarangambaran
tentang perjalanan yang berbahaya itu. Tetapi
mereka bertiga sama sekali tidak takut."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gumamnya, "Tentu tidak. Putera Ki Gede Pemanahan yang
telah berhasil membinasakan Arya Penangsang itu tidak akan
mengenal takut terhadap apapun."
"Tetapi perjalanan itu sangat berbahaya."
"Ya," kembali dukun tua itu bergumam seolah-olah untuk
dirinya sendiri, "perjalanan yang berbahaya."
"Kami akan memberitahukannya kepada ki Gede Pemanahan
Kiai. Bukankah sebaiknya demikian?"
"Bagus," sahut Ki Tanu Metir. "Beritahukan kepada Ki Gede
Pemanahan. Apakah mereka belum lama berangkat" dan
apakah mereka berkuda?"
"Belum terlampau lama. Mereka tidak berkuda."
"Apakah dengan berkuda anak-anak itu akan dapat dicapai
sebelum mereka masuk ke dalam hutan?"
Sendawa mengerutkan keningnya. Dicobanya menghitung
waktu yang sudah dipergunakan oleh Sutawijaya. Namun
kemudian ia mengambil kesimpulan, "Mungkin mereka telah
memasuki hutan itu Kiai. Mereka sudah meninggalkan
padukuhan ini sesaat setelah pasukan Pajang kembali ke
induk Kademangan Sangkal Putung. Tetapi agaknya para
prajurit lebih senang memperbincangkannya lebih dahulu,
baru memberitahukannya kepadaku."
Tampaklah sejenak kecemasan membayang di wajah orang
tua itu. Namun hanya sejenak. Kemudian kembali ia
tersenyum, "Bagus. Secepatnya kalian beritahukan kepada Ki
Gede Pemanahan. Anak-anak itu hanya berjalan kaki saja
bukan?" "Baik, Kiai," sahut Sendawa. Kemudian kepada prajurit yang
memberitahukannya, Sendawa berkata, "Laporkan kepada Ki
Gede Pemanahan, atau kepada Ki Untara atau Ki Widura."
"Baik," jawab prajurit itu sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian menghilang di belakang pintu rumah itu. Dengan
tergesa-gesa ia pergi ke belakang gardu untuk mengambil
seekor kuda. Para prajurit yang lain, yang melihat seorang
kawannya berlari-lari mengambil seekor kuda segera
mengetahuinya, bahwa prajurit itu harus melaporkan
kepergian Raden Sutawijaya bersama dengan Agung Sedayu
dan Swandaru kepada Ki Gede Pemanahan, Untara dan Ki
Demang Sangkal Putung. Meskipun demikian, salah seorang
dari mereka pun bertanya, "Apakah kau akan menyusul anakanak
muda itu atau akan pergi ke Sangkal Putung?"
"Aku hanya akan melapor," sahut prajurit itu sambil meloncat
ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian maka kuda itu pun
melontar berlari menyusul pasukan Pajang dan laskar Sangkal
Putung yang kembali ke induk kademangan. Suara kakinya
berderap di atas tanah berbatu-batu, mengejutkan para
pengawal dan bahkan orang-orang Jipang yang sedang
beristirahat di dalam rumah-rumah.
Di ujung lorong yang lain beberapa orang pengawal
menghentikannya. Salah seorang dari mereka bertanya,
"Kemana kau?" "Menyusul Ki Gede Pemanahan."
"Ada sesuatu yang penting?"
"Ya. Aku harus memberitahukan bahwa putera Ki Gede
Pemanahan bersama Agung Sedayu dan Swandaru Geni
tanpa setahu Ki Gede sendiri pergi ke Alas Mentaok."
"Alas Mentaok?" beberapa mulut bersama-sama
mengulanginya. "Ya." "Mengapa?" "Tak seorang pun di antara kami yang tahu. Apa perlunya
maka putera Ki Gede itu pergi ke Mentaok."
Para pengawal itu tidak bertanya lagi. Prajurit itupun kembali
memacu kudanya. Derap kakinya melemparkan kepulan debu
yang putih ditimpa sinar matahari yang telah menjadi semakin
condong ke Barat. Dengan tergesa-gesa prajurit itu berusaha untuk dapat
menyusul Ki Gede Pemanahan secepatnya. Ketika telah
dilewatinya beberapa padukuhan kecil, maka kemudian
dilihatnya ujung panji-panji. Tiba-tiba hatinya menjadi
berdebar-debar. Apakah jawabnya nanti apabila Ki Gede itu
bertanya kepadanya, mengapa puteranya itu tidak
dicegahnya" Akhirnya kuda itu menjadi semakin dekat. Beberapa orang di
barisan yang paling belakang yang lebih dahulu mendengar
derap kakinya, segera berpaling. Ketika mereka melihat
seekor kuda berlari kencang, maka mereka pun menjadi
terkejut. "Apakah yang terjadi?" pertanyaan itu mengetuk setiap dada
para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Untara dan Widura yang kemudian mendengar derap itu pula,
menjadi berdebar-debar. Seperti setiap prajurit yang lain
timbul pula pertanyaan di dalam dadanya, "Apakah yang telah
terjadi?" Dalam pada itu terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya,
"Siapakah yang berkuda itu?"
"Seorang prajurit pengawal yang kita tinggalkan di Benda, Ki
Gede," sahut Untara.
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ketika orang
berkuda itu menjadi semakin dekat, maka Ki Gede itu berkata,
"Mungkin ia membawa persoalan yang segera perlu kau
ketahui Untara." "Ya, Ki Gede," sahut Untara yang kemudian melambaikan
tangannya memanggil prajurit itu.
Kuda itu pun kemudian berlari mendahului barisan yang
menjelujur di sepanjang jalan. Beberapa langkah dari Untara
prajurit itu segera meloncat turun.
"Apakah ada sesuatu yang penting?" bertanya Untara.
"Penting bagi Ki Gede Pemanahan." sahut prajurit itu.
Ki Gede yang mendengar jawaban itu segera bertanya,
"Penting bagiku" Apakah itu?"
Prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Baru ketika Untara
menyuruhnya mengatakan, ia berkata, "Ki Gede, Putera Ki
Gede bersama Adi Agung Sedayu dan Adi Swandaru telah
pergi meninggalkan Benda ke arah Barat. Menurut
keterangannya, mereka bertiga akan pergi ke Alas Mentaok."
"He?" bukan main terkejut Ki Gede Pemanahan, Untara,
Widura dan orang-orang lain yang mendengarnya, sehingga
sejenak justru mereka terdiam.
Barisan yang panjang itu pun kemudian berhenti dengan
sendirinya. Mereka yang tidak mendengar laporan itu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi berita itu pun kemudian
menjalar dari mulut ke mulut, dari ujung terdepan merambat
sampai ke ujung belakang. Hampir semua orang menggelenggelengkan
kepala mereka. "Bukan main," gumam salah seorang prajurit.
"Mereka adalah anak-anak muda yang berani," sahut yang
lain. "Tetapi apakah kepentingan mereka?"
Untara dan Widura pun berdiri terpaku. Mereka sejenak saling
berpandangan, namun tak sepatah kata pun yang mereka
katakan. Sesaat kemudian terdengar Ki Gede Pemanahan
bertanya, "Apakah mereka sudah lama pergi" Dan apakah
mereka berkuda?" "Tidak, Ki Gede. Mereka berjalan kaki. Mereka berangkat
sejenak setelah pasukan ini meninggalkan desa Benda."
"Kenapa baru sekarang kau memberitahukan?" bertanya Ki
Gede. Prajurit itu terdiam. Ia tidak tahu bagaimana ia akan
menjawab. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Sejenak mereka
saling berdiam diri. Ki Demang Sangkal Putung yang
mendengar berita itu pun segera pergi ke ujung barisan.
Namun ketika dilihatnya Untara, Widura dan beberapa orang
yang lain terpaku diam, maka Ki Demang Sangkal Putung pun
tidak bertanya apa-apa lagi.
"Hem," Ki Gede Pemanahan kemudian menarik napas dalamdalam.
"Anak itu memang nakal."
Tetapi kata-katanya tidak dilanjutkannya. Ki Gede itu mencoba
membayangkan perjalanan yang akan dilalui oleh puteranya
beserta Agung Sedayu dan Swandaru. Ki Gede Pemanahan
meskipun hanya sekilas telah melihat, bagaimana Agung
Sedayu dan Swandaru menggerakkan pedangnya.
Perjalanan ke Alas Mentaok bukanlah perjalanan yang
menyenangkan seperti sebuah tamasya. Yang dihadapi di
dalam perjalanan itu adalah alam yang keras dan mungkin
juga para penjahat. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak sempat memberi pesan apa
pun kepada puteranya yang nakal itu.
Sebagai seorang senapati Perang, Panglima Wiratamtama,
maka Ki Gede Pemanahan pun pernah mengunjungi daerahdaerah
di seberang hutan Mentaok. Karena itu maka Ki Gede
dapat membayangkan apakah yang akan ditemui puteranya di
sepanjang jalan. Ki Gede Pemanahan itu pun kini berdiri dalam kebimbangan.
Perasaannya menjadi sangat berat untuk membiarkan
puteranya dengan dua anak-anak muda itu tanpa berbuat
sesuatu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun yang dapat
diperintahkannya menyusul mereka. Untara atau Widura
bukanlah seorang yang akan dapat melindungi sutawijaya,
sebab menurut penilaian Ki Gede Pemanahan, Untara tidak
lebih cakap berolah pedang dan tombak daripada Sutawijaya
sendiri. Tetapi Ki Gede Pemanahan sendiri sudah tentu tidak akan
dapat meninggalkan Pajang terlampau lama untuk menyusul
puteranya. Belum pasti puteranya itu segera dapat
diketemukan. Apabila anak-anak muda itu sudah masuk
kedalam hutan, maka mencari seseorang di dalam hutan
adalah sama sulitnya dengan mencarinya di dalam kota yang
ramai. Bahkan mungkin di dalam kota masih sempat bertanyatanya,
siapakah di antara orang-orang kota yang pernah
melihat orang yang ciri-cirinya dapat dikenal. Tetapi di dalam
hutan, pepohonan justru menjadi tempat-tempat bersembunyi
yang baik. Ki Gede Pemanahan seolah-olah berdiri di persimpangan
jalan antara kekhawatirannya tentang anaknya dan
kewajibannya sebagai seorang Panglima. Saat ini Pajang
masih sedang dalam pergolakan. Pajang masih mendapat
penilaian daripada para adipati di sepanjang Pantai dan
adipati di wilayah Demak lainnya bagian Timur. Apakah
Pajang akan mampu berdiri tegak menggantikan Demak.
Karena itu, maka Panglima Wira Tamtama selalu harus
berada di tempatnya. Dalam kebingungan itu Ki Gede Pemanahan berkata, "Marilah
kita teruskan perjalanan ini. Biarlah kita pertimbangkan
sesudah kita sampai di induk Kademangan Sangkal Putung."
"Marilah Ki Gede," sahut Untara, yang kemudian kepada
prajurit yang membawa berita tentang kepergian Sutawijaya,
Untara berkata, "Kembalilah ke tempatmu."
Prajurit itu pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
"Baik." Ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berjalan kembali diikuti
oleh seluruh barisan, maka prajurit itu pun kembali ke Benda
untuk meneruskan tugasnya.
Di sepanjang jalan Ki Gede Pemanahan hampir tidak berkata
sepatah kata pun. Hatinya menjadi risau dan gelisah.
Kedatangannya di Sangkal Putung ternyata menjadikannya
bingung setelah beberapa kali ia menemui kekecewaan.Tetapi
di sepanjang jalan itu pula ia menemukan keputusan. Sebagai
seorang panglima, maka ia tidak dapat meninggalkan
tugasnya. Ia harus segera kembali ke Pajang sesuai dengan
rencana yang telah dibuatnya. Ia akan mengatakan apa yang
terjadi sebenarnya dengan puteranya, Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Karena Sutawijaya itu
telah diambil putera pula oleh Adipati Pajang, maka sudah
tentu Adipati Pajang akan menanyakannya. Baru apabila ia
mendapat perintah untuk mencari puteranya, ia akan
berangkat dengan menanggalkan baju kebesarannya sebagai
seorang panglima, sementara ia pergi.
Karena itu, maka ketika mereka telah sampai di Sangkal
Putung, Ki Gede segera memberitahukan kepada Untara dan
Widura bahwa ia tidak akan merubah rencana.
Dengan demikian, maka segera setelah mereka beristirahat di
Banjar Desa Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan
memanggil Untara, Widura, dan para perwira yang dibawanya
dari Pajang. "Kita besok harus kembali membawa orang-orang Jipang itu
sesuai dengan rencana," berkata Ki Gede Pemanahan kepada
para pengawalnya. "Ya, Ki Gede," sahut salah seorang dari mereka.
"Tetapi kita harus mempertimbangkan keadaan. Bagaimana
dengan pertimbanganmu, Untara. Apakah kau dapat
menganggap cukup dengan membagi prajuritmu menjadi dua.
Separo ikut aku mengawal orang-orang Jipang itu ke Pajang,
dan yang separo tinggal di Sangkal Putung?"
"Bagi Sangkal Putung, separo dari prajurit-prajurit Pajang itu
telah cukup untuk melindungi Kademangan ini. Tetapi yang
aku cemaskan justru perjalanan Ki Gede. Apabila perjalanan
Ki Gede bertemu dengan laskar Tambak Wedi dan
Sanakeling, kita belum tahu pasti apakah orang-orang Jipang
yang sudah menyerah ini tidak akan terlibat dalam
pertempuran itu. Meskipun mereka tidak bersenjata, tetapi
jumiah mereka cukup banyak untuk menentukan keadaan,"
jawab Untara. Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
sependapat dengan Untara. Karena itu, maka katanya
kemudian kepada perwira bawahannya yang dibawanya dari
Pajang, "Dua di antara kalian malam ini kembali ke Pajang.
Kalian harus melaporkan keadaan kami di sini. Tetapi ingat,
jangan kau katakan apapun tentang Sutawijaya. Aku sendiri
yang akan menyampaikannya kepada Adipati Pajang.
Kemudian mintalah kepada Adi Adipati supaya memberimu ijin
membawa limapuluh prajurit berkuda Wira Tamtama untuk
membantu pengawalan orang-orang Jipang itu. Dengan
demikian kita terpaksa menunda saat kembali ini dengan
semalam lagi." "Baik, Ki Gede," sahut perwira itu. "Kedua orang di antara
kami akan segera berangkat sebelum gelap."
Demikianlah maka segera mereka menentukan dua orang di
antara para pengawal itu untuk kembali ke Pajang. Sementara
itu mereka telah mempergunakan waktu beristirahat sebaikbaiknya.
Para prajurit yang lain pun segera bertebaran di
tempat masing-masing. Di banjar desa dan yang lain ke
kademangan dan rumah-rumah yang ditentukan.
Sementara itu Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru,
berjalan secepat-cepatnya menuju ke hutan yang semakin
dekat di hadapan mereka. Sutawijaya masih merasa cemas
kalau-kalau ayahnya datang menyusul mereka, sehingga
apabila mereka telah berada di dalam hutan itu, maka
kesempatan untuk menyembunyikan diri menjadi lebih besar.
Matahari yang merangkak di langit kini menjadi semakin
rendah. Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit, tetapi
karena mereka berjalan kearah Barat, maka mereka pun kini
menjadi silau. "Di hutan itukah Tohpati dahulu menyembunyikan diri?"
bertanya Sutawijaya. "Ya," jawab Agung Sedayu, "Agak ke tengah."
"Apakah kau pernah melihatnya?"
"Belum," sahut Agung Sedayu.
"Marilah kita lihat."
"Marilah," tiba-tiba Swandaru menyela, "aku juga ingin
melihatnya." "Belum ada yang pernah melihat di antara kita," berkata
Agung Sedayu. "Kita dapat mencarinya," jawab Swandaru.
"Bukan pekerjaan yang mudah. Kita akan kehilangan waktu
untuk suatu kerja yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan maksud kepergian kita."
"Tidak apa," potong Sutawijaya. "Kita memberikan waktu
sejenak." Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Kedua kawannya telah
sependapat untuk pergi melihat-lihat bekas sarang orangTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
orang Jipang itu. Karena itu, maka ia harus tunduk dan
mengikutinya. Ketika mereka telah hampir sampai ke tepi hutan itu, maka
segera Sutawijaya memperhatikan rerumputan di hadapan
langkah kakinya. "Hati-hati," seakan-akan ada yang dicarinya.
"Adakah yang tuan cari?" bertanya Swandaru.
"Ada," sahut Sutawijaya.
"Apa?" Sutawijaya tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa,
"Itulah." Agung Sedayu segera mengetahuinya, bahwa Sutawijaya
sedang mencari jejak kaki orang-orang Jipang. Orang-orang
Jipang yang pagi itu telah meninggalkan sarang mereka untuk
menyerahkan diri mereka ke Sangkal Putung.
"Itulah salah satu tanda yang dapat kita ikuti," berkata
Sutawijaya sambil menunjuk ujung-ujung ilalang yang
terpatah-patahkan oleh injakan kaki.
"Kita mengikuti arah itu. Berlawanan dengan arah yang
mereka tempuh." Kedua kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berjalan
saja di samping Sutawijaya. Sejenak lagi mereka akan sampai
kehutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi menyentuh
tubuh mereka karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun.
Demikian mereka menginjakkan kaki-kaki mereka di batas
hutan itu, maka Sutawijaya segera berkata, "Di sini kita
mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu
pasti telah melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah,
dan dedaunan yang terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk
jalan yang baik. Marilah kita ikuti. Kita harus menemukan
perkemahan itu sebelum senja."
Tetapi ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, maka
ia menggelengkan kepalanya sambil bergumam, "Matahari
telah turun terlampau cepat. Aku tidak yakin bahwa kita akan
sampai sebelum senja. Kalau kita dapat menentukan jalan
memintas, maka kita akan dapat mencapainya. Tetapi aku kira
jalan yang dilalui oleh orang-orang Jipang dalam rombongan
yang besar ini adalah jalan yang paling mudah, bukan yang
paling dekat." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pun
mempunyai perhitungan yang serupa, tetapi ia menjawab,
"Marilah kita coba."
Kembali mereka bertiga berjalan beriringan. Kali ini mereka
berjalan di antara pepohonan yang belum terlampau pepat.
Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul yang
bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohonpohon
yang cukup besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu
pun menjadi semakin pepat. Pepohonan menjadi semakin
padat dan gerumbul-gerumbulnya pun menjadi semakin rapat.
Bahkan di sana-sini mereka harus melewati rumpun-rumpun
berduri. Namun Sutawijaya yang berjalan di paling depan tidak
kehilangan jejak. Semakin rimbun hutan itu, semakin jelaslah
bekas-bekas rombongan orang-orang Jipang. Semakin
banyak ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan
untuk memberi jalan kepada kawan-kawan mereka yang
masih di belakang. Daun-daun yang menjorok ke dalam
barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan itu
telah disingkirkan. Ketika Sutawijaya melihat sebuah tikungan yang lengkung dari
bekas orang-orang Jipang itu, kemudian satu putaran lagi di
hadapan mereka. Terdengar ia bergumam, "Ya, orang-orang
jipang ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang
paling dekat. Seandainya kita tahu jalan memintas maka kita
akan sampai ke tempat itu segera."
"Ya," sahut Agung Sedayu. "Tetapi dengan mengikuti jejak ini
kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih jalan sendiri bahkan
mungkin kita sama sekali tidak akan menemukan perkemahan
itu." "Ya, aku sependapat," jawab Sutawijaya, "karena itu, mari kita
percepat jalan kita."
Langkah mereka pun menjadi semakin cepat dan panjang.
Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap kali
terasa bahwa jalan mereka terlampau lambat. Meskipun
mereka telah meloncat-loncat, berlari-lari kecil. Namun
matahari serasa meluncur amat cepatnya ke atas cakrawala.
Sinarnya yang kemudian menjadi kemerah-merahan tampak
bergayutan di tepi-tepi awan yang bergerak di langit yang biru.
Tetapi matahari itu pun turun lebih rendah lagi. Hampir hilang
ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga hutan itu pun kini
menjadi semakin kabur.

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah perkemahan itu masih jauh?" bertanya Sutawijaya.
"Aku tidak tahu," sahut Agung Sedayu, "Aku belum pernah
sampai ke perkemahan itu."
Sutawijaya terdiam. Kini ia menjadi semakin sukar untuk
mengenal bekas-bekas yang telah di buat oleh rombongan
orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba
Sutawijaya itu berteriak, "Ha, lihat. Ini adalah sebuah gardu
peronda yang telah mereka buat."
Agung Sedayu dan Swandaru segera melihat di belakang
sebuah pohon yang cukup besar, tampak sebuah atap ilalang
yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.
"Kita hampir sampai," desis Sutawijaya.
Mereka pun terdiam. Dengan penuh perhatian mereka
memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka
maju lagi, maka segera mereka mengenal tempat itu. Tempat
itu pasti tempat orang-orang Jipang berkemah. Sebuah
halaman yang kotor dan di sana-sini mereka melihat batangbatang
kayu yang telah tumbang. Karena itu maka tempat itu
menjadi agak lebih terang dari tempat-tempat yang lain karena
sisa-sisa sinar senja. "Kita sudah sampai. Tetapi kita harus menemukan gubuggubug
mereka di sekitar tempat ini."
"Sudah dekat sekali," desis Swandaru, "Tidak ada seratus
langkah kita akan sampai."
"Belum pasti," jawab Sutawijaya.
Kembali mereka terdiam. Hutan itu menjadi semakin suram.
Sekali-sekali mereka terpaksa menggaruk-garuk tubuh
mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.
Dan kini langkah mereka terhenti. Kembali Sutawijaya
berteriak, "Nah, itulah. Kau lihat?"
"Ya," hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru
menyahut. Di dalam kesuraman senja, mereka melihat beberapa buah
gubug berdiri berjajar-jajar. Udara terasa sangat lembab dan
pengab. Tetapi gubug-gubug itu adalah gubug yang kecilkecil.
"Kita melihat-lihat keadaannya," berkata Sutawijaya. "Tetapi
hati-hatilah. Siapa tahu, di dalam perkemahan itu masih ada
beberapa orang yang berkeras kepala."
"Marilah," sahut Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Mereka
pun kemudian mencabut senjata-senjata mereka dan berjalan
hati-hati mendekati gubug-gubug itu.
"Sepi," bisik Sutawijaya.
"Sudah kosong," sahut Swandaru.
"Terlampau sedikit," berkata Sutawijaya kemudian. "Di sekitar
tempat ini pasti masih ada perkemahan lagi."
"Mungkin," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi biarlah. Hari telah gelap. Aku kira akan berbahayalah
bagi kita apabila kita merayap-rayap di dalam gelap di tempat
yang belum kita kenal. Tetapi menilik tempat-tempat
penjagaan telah dikosongkan, maka perkemahan ini pun pasti
telah kosong. Seandainya ada tempat-tempat lain di sekitar
tempat ini pun pasti benar-benar telah menjadi kosong pula."
"Ya," desis Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.
"Kita bermalam di sini," berkata Sutawijaya. "Kita akan
mendapat tempat untuk tidur."
"Kita lihat dahulu di dalam gubug-gubug itu, apakah mungkin
kita tidur di dalamnya?" berkata Swandaru.
"Marilah," sahut Sutawijaya.
Maka dengan hati-hati ketiga anak-anak muda itu pun memilih
satu di antara kemah-kemah yang kosong itu. Mereka pun
kemudian melangkah ke pintunya.
"Siapa di dalam?" desis Sutawijaya, tetapi kemudian anak
muda itu tertawa. "Mengapa Tuan tertawa?" bertanya Swandaru.
"Aku merasa geli sendiri. Kenapa aku bertanya?"
"Kalau Tuan mendengar jawaban maka Tuan pasti akan lari,"
berkata Swandaru. "Kalau ada yang menjawab di dalam, maka ia akan aku sobek
perutnya dengan tombak ini."
"Bukankah gubug itu kosong," berkata Swandaru
"Ya, kenapa ada jawaban?"
"Itulah. Kalau ada jawaban dari dalam gubug yang kosong dan
gelap-kelam itu, maka pasti bukan jawaban yang keluar dari
mulut orang-orang Jipang. Bukan pula keluar dari mulut orang
manapun." Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Katanya, "Ha. kau sudah mulai
membayangkan, bahwa di dalam gubug itu akan kau temui
sebuah kerangka yang akan menyambut kehadiranmu."
Swandaru dan Agung Sedayu tertawa. Tanpa mereka sadari
maka mereka pun memandang berkeliling. Gelap malam telah
mulai menyelubungi hutan itu sehingga gubug-gubug di sekitar
mereka kini hanya tampak sebagai onggokan bayanganbayangan
hitam. Tiba-tiba bulu kuduk Swandaru meremang.
"Ngeri," desisnya.
"Kenapa?" "Aku seolah-olah merasa berada di tengah-tengah kuburan.
Bayangan-bayangan hitam itu seperti bayangan-bayangan
cungkup yang bertebaran. Aku lebih baik merasa berada di
tengah-tengah hutan yang lebat. Aku tidak takut diterkam
macan." Kini Sutawijaya dan Agung Sedayu tidak dapat menahan
tertawanya. Suara tertawa itu telah menggetarkan hutan yang
sepi. Berkepanjangan, seolah-olah telah membangunkan
dedaunan yang telah mulai tidur lelap.
Tetapi akhirnya Swandaru sendiri turut tertawa pula.
"Marilah kita masuk," ajak Sutawijaya.
"Gelap," sahut Swandaru.
"Tidak ada kerangka yang hidup di dalam gubug itu. Kalau ada
kerangka itu pasti sudah menyambut kita di muka pintu ini,"
sela Agung Sedayu. Namun kembali bulu-bulu mereka meremang, bukan saja
Swandaru. Ketika angin yang lemah berdesir menyentuh
leher-leher mereka, maka tanpa mereka sengaja mereka
menjadi semakin berhati-hati.
Di kejauhan ketiga anak-anak muda itu mendengar suara
burung hantu memekik-mekik. Sedang malam pun menjadi
semakin gelap pula. Tiba-tiba terdengar Sutawijaya berkata,
"Siapa di antara kita yang membawa titikan" Kita sebaiknya
membuat api." "Aku," sahut Swandaru sambil mencari sesuatu di kantong
bajunya. "Aku selalu membawa titikan. Setiap kali Sekar Mirah
minta aku membuat api untuknya, apabila api di dapur padam
dan beberapa orang pembantunya akan merebus air dan
menanak nasi di pagi hari."
"Ha," seru Sutawijaya, "Buatlah api."
"Apakah yang akan kita bakar" Kita belum mengumpulkan
kayu atau sampah." "Sampah telah cukup terkumpul," potong Agung Sedayu. Tibatiba
tangannya meraih atap gubug yang terbuat daripada
ilalang. Sekali tangan kirinya merenggut, maka segenggam
ilalang telah didapatkannya.
"Hanya segenggam?" bertanya Swandaru.
"Kalau kurang, maka dua tiga buah gubug akan kita bakar,"
sahut Agung Sedayu. Ketiga anak-anak muda itu pun tertawa. Swandaru kemudian
menyarungkan pedangnya dan dengan hati-hati membuat api
dengan batu titikan dan emput lugut aren yang telah
dihaluskan. Sekali dua kali akhirnya lugut aren itu pun
membara. "Hembuslah kuat-kuat di atas ilalang ini," katanya kepada
Agung Sedayu. Maka kemudian mereka bertiga pun bergantian menghembus
emput itu. Bara emput itu pun kemudian menjalar dan sejenak
kemudian ilalang di dalam genggaman tangan Agung Sedayu
itu pun mulai menyala. "Cari yang lain, sebanyak-banyaknya," berkata Agung Sedayu.
Sutawijaya dan Swandaru pun kemudian berebutan
merenggut ilalang atap gubug dan meletakkannya di atas
tanah. Dengan api di tangannnya Agung Sedayu pun
kemudian membakar ilalang itu.
Mereka bertiga pun kemudian mencari sampah-sampah yang
agak basah ditimbunkannya ke dalam api supaya perapian itu
tidak lekas habis. "Kalau ada kita beri kayu di atasnya," gumam Sutawijaya,
"supaya semalam suntuk api tidak padam."
"Dari manakah kita mendapatkan kayu ?" bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menebarkan pandangannya berkeliling.
Karena api yang menyala di perapian itu, maka dilihatnya
beberapa buah gubug berdiri bertebaran, seolah-olah betapa
lelahnya. Sebagian dari mereka telah menjadi condong dan
bahkan sebagian yang lain telah hampir roboh.
"Bukankah tiang-tiang gubug itu sebagian terbuat dari kayu
dan sebagian yang lain dari bambu?" gumam Agung Sedayu.
Sutawijaya pun kemudian menyahut, "Bagus, kita robohkan
salah satu daripadanya."
Mereka bertiga pun kemudian meletakkan busur masingmasing
dan Agung Sedayu pun menyarungkan pedangnya
pula, sedang Sutawijaya menyandarkan tombaknya di dekat
perapian itu. Setelah menyingsingkan lengan baju mereka,
maka segera mereka pun bekerja. Mereka telah merobohkan
sebuah gubug dan mengambil segenap kayu yang ada.
Mereka melemparkan kayu-kayu itu ke atas perapian dan
membiarkannya terbakar. "Perapian ini akan tahan semalam suntuk," gumam
Sutawijaya. "Ya, kita tidak akan kedinginan," sahut Swandaru.
"Tetapi kita tidak akan dapat tidur bersama-sama," berkata
Sutawijaya kemudian. "Kita lebih baik tidur di samping
perapian ini, tidak di dalam gubug meskipun kita tidak takut
kepada kerangka-kerangka yang menunggui gubug-gubug itu.
Atau mungkin banaspati atau semacam wedon. Tetapi di sini
kita lebih aman. Kita dapat melihat keadaan di sekitar kita
dalam jarak yang cukup."
"Tetapi kita akan menjadi tontonan di sini," sahut Swandaru,
"Kalau ada orang yang bersembunyi di dalam gelap itu, maka
mereka akan melihat kita dengan leluasa."
"Tak ada orang di sekitar tempat ini," jawab Sutawijaya
"Atau kita tidak terlampau dekat dengan api, supaya kita tidak
terlampau jelas di lihat dari kegelapan."
"Mungkin tetekan, peri atau prayangan yang mengintip kita,"
berkata Agung Sedayu. "Kalau demikian, maka meskipun kita
berada di dalam kegelapan pun mereka akan dapat melihat."
"Huh. Kita bicarakan yang lain," potong Swandaru, "Bukan
tentang hantu-hantuan saja."
Kedua kawan-kawannya tertawa. Swandaru pun kemudian
tertawa pula. "Hem," desis Suiawijaya, "Alangkah nyamannya kalau kita
mendapat daging kijang. Kita panggang di atas api."
"Di sekitar tempat ini pasti ada kijang."
"Kalian sering berburu?"
Agung Sedayu menggeleng, "Kakang Untara sering berburu,
bahkan sejak kecil."
"Kau tidak ikut?"
"Jarang sekali. Kalau ibu tahu, maka Kakang Untara pasti
dimarahi." "He?" Sutawijaya menjadi heran, "Ibumu tidak mengijinkan?"
Agung Sedayu menggeleng, "Dahulu tidak."
"Aku sering berburu juga bersama ayah. Tetapi mencari kijang
lebih baik di siang hari. Malam hari kita jarang-jarang menemui
binatang selain binatang buas yang sedang mencari makan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak itu tidak
pernah pergi berburu selain berburu kambing di kandang
rumahnya. Karena itu, ia sama sekali tidak tahu,
bagaimanakah caranya harus memburu kijang.
Kini mereka terdiam sejenak. Mereka duduk memeluk lutut
mereka. Namun senjata-senjata mereka tetap tergantung di
lambung dan busur-busur mereka berada di sisi, sedang
Sutawijaya memeluk tombak pendeknya sambil memandangi
nyala api yang seakan-akan melonjak-lonjak.
Angin malam semakin lama menjadi semakin sejuk. Tetapi
panas perapian telah menghangatkan tubuh mereka. Lidah api
yang merah menggapai-gapai seperti sedang menari.
Cahayanya yang melekat di dedaunan bergetaran meloncat
dari lembar ke lembar yang lain.
Terkantuk-kantuk Swandaru menguap sambil bergumam,
"Siapakah yang akan tidur lebih dahulu?"
"Kau sudah kantuk?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Apakah aku dapat tidur lebih dahulu" Setelah tengah
malam maka berganti aku yang jaga?"
"Pikiran yang bagus," sahut Sutawijaya, "Tetapi bagaimana
kalau kau kami tinggalkan di sini seorang diri" Ketika kau
kemudian membuka mata di tengah malam, kau dikerumuni
oleh kerangka-kerangka yang bangkit dari dalam tanah" Kau
pasti tahu bahwa di sekitar perkemahan ini pasti ada kuburan.
Kuburan orang-orang Jipang yang terbunuh di peperangan
atau yang mati karena luka-lukanya?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ditebarkannya
pandangannya berkeliling. Dilihatnya dari dalam gelap
bayangan api yang kemerah-merahan seperti hantu yang
sedang menari-nari, bahkan kemudian seperti serombongan
hantu yang siap menerkamnya. Tetapi Swandaru bukan
seorang penakut. Bahkan kemudian ia tertawa sambil berkata,
"Lihat, itu mereka telah datang."
Sutawijaya dan Agung Sedayu pun tertawa. Tanpa mereka
kehendaki mereka memandang ke arah ujung jari Swandaru
yang menunjuk bayangan api yang satu-satu jatuh ke dalam
gelap. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia
melihat bayangan di tempat yang terlampau jauh. Bayangan
yang terlampau terang dibandingkan dengan jarak antara
perapiannya dan tempat itu. Apalagi pepohonan dan
dedaunan yang menghalanginya, pasti akan menutup jauh
lebih banyak dari apa yang dilihatnya. Karena itu, maka
Sutawijaya itu pun tiba-tiba berdiri. Digenggamnya tombak
pendeknya erat-erat. "Apa yang Tuan lihat?" bertanya Swndaru.
"Kau lihat bayangan api di kejauhan itu?" bertanya Sutawijaya.
"Ya," sahut Swandaru.
"Kau lihat keanehannya?" bertanya Sutawijaya pula.
Swandaru menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Semula
ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas bayangan api itu.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ternyata bayangan itu semakin lama menjadi semakin
besar. Di kejauhan itu kemudian tampaklah warna merah yang
memancar bertebaran seperti pancaran api dari perapian
mereka. "Perapian," desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahanlahan
iapun mengulanginya, "Perapian."
"Ya," sahut Sutawijaya, "Seseorang telah menyalakan
perapian." "Siapa?" desis Swandaru kemudian.
Sutawijaya menggelengkan kepalanya, "Kita tidak tahu."
Sejenak kemudian mereka terdiam. Namun hati mereka
menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa di sekitar tempat itu,
masih juga ada seseorang setidak-tidaknya, yang mungkin
telah melihat mereka bertiga.
"Tetapi apa maksudnya membuat perapian itu?"
Pertanyaan itu timbul di dalam dada ketiga anak-anak muda
itu. "Siapkan senjata kalian," berkata Sutawijaya, "Kita yang akan
datang melihatnya. Kita tidak akan menunggu sampai
seseorang datang kepada kita dengan maksud apa pun."
"Marilah," jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir
bersamaan. *** Buku 17 MEREKA pun kemudian memungut busur-busur mereka,
menyilangkannya di punggungnya. Endong, tempat anak
panah merekapun segera mereka ikat pada pinggang masingmasing.
Di kiri tergantung pedang dan di kanan tergantung
endong-endong itu, kecuali Sutawijaya yang bersenjatakan
tombak. Ketiganya kemudian dengan hati-hati berjalan menjauhi
perapian mereka. Agung Sedayu dan Swandaru telah menarik
pedang-pedang mereka dari sarungnya. Kalau seseorang
sengaja menarik perhatian mereka dengan sebuah perapian,
maka menghadapi mereka harus cukup waspada.
Dengan penuh kewaspadaan mereka kemudian memasuki
rimbunnya pepohonan di sekeliling halaman yang sempit dan
kotor itu. Dengan senjata siap di tangan, selangkah-selangkah
mereka maju. Segera mereka pun mengetahui, dari manakah
sumber cahaya yang memancar, membuat bayangan yang
kemerah-merahan pada pepohonan dan dedaunan.
"Dari situlah sumber cahaya itu," desis Swandaru.
"Ya," sahut Sutawijaya perlahan-lahan, "marilah kita lihat."
Ketika mereka maju beberapa langkah lagi, maka segera
mereka menjadi semakin jelas arah api yang telah
mengganggu itu. Dan beberapa langkah lagi, maka langkah
mereka pun terhenti. Ternyata kini mereka berdiri beberapa
langkah dari sebuah halaman yang lain, halaman serupa
dengan halaman tempat mereka beristirahat. Tetapi halaman
ini ternyata lebih luas. Dalam cahaya api yang menyala-nyala
itu mereka melihat gubug-gubug yang lebih banyak dan di
antaranya ada beberapa gubug yang agak lebih besar dari
gubug-gubug yang telah mereka lihat lebih dahulu.
"Hem," bisik Sutawijaya, "bukankah dugaan kita benar, bahwa
di sekitar tempat kita berhenti masih ada perkemahan yang
lain. Inilah perkemahan itu."
"Ternyata masih ada penghuninya," sahut Agung Sedayu
perlahan-lahan. Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
berkata, "Orang yang keras kepala. Kenapa ia tidak saja
menyerah bersama-sama dengan Sumangkar?"
"Tetapi kenapa ia tidak pergi bersama dengan Sanakeling dan
bergabung dengan Ki Tambak Wedi," sahut Agung Sedayu
pula. Sutawijaya terdiam. Di dalam hatinya pun timbul pula
pertanyaan yang serupa, apabila orang itu adalah orang
Jipang yang tidak ingin menyerah, kenapa ia tidak bergabung
saja dengan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda" Apakah
ada golongan yang berpendirian lain lagi di kalangan orangorang
Jipang itu" Anak-anak muda itu sejenak berdiam diri. Dari kegelapan
mereka melihat perapian yang sedang menyala, yang
membakar seonggok kayu, dedaunan dan ilalang yang kering.
"Tetapi apakah maksud mereka membuat perapian itu?"
terdengar Sutawijaya berdesis.
"Seperti kita," sahut Swandaru, "menahan dingin dan mengusir
nyamuk." "Apakah mereka tidak melihat perapian kita?" bertanya Agung
Sedayu. "Ada dua kemungkinan. Mereka tidak melihat perapian kita,
atau mereka sengaja memanggil kita kemari," sahut
Sutawijaya. "Hem," Swandaru tiba-tiba menggeram. Ujung pedangnya
telah mulai bergetar. "Siapa yang berani mencoba memanggil
kita kemari?" "Itu baru dugaan," berkata Sutawijaya kemudian.
"Tetapi dugaan itu adalah kemungkinan yang paling dekat,"
sahut Swandaru. "Mustahil mereka tidak melihat perapian kita
yang tidak kalah besarnya dari perapian mereka. Kita dapat
melihat cahaya perapian ini. Tentu mereka pun melihat
cahaya perapian kita dari sela-sela pepohonan."
Kembali mereka terdiam. Namun mereka menjadi semakin
berhati-hati. "Kita berpencar," Tiba-tiba terdengar suara Sutawijaya, "tetapi
jangan terlampau jauh. Kita harus mencapai satu sama lain
dalam beberapa loncatan. Kita belum tahu, siapakah yang
berada di hadapan kita. Mungkin juga Tambak Wedi sengaja
menjebak kita. Sesaat kita tunggu, apakah yang akan terjadi."
Kedua kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Segera mereka pun memisahkan diri, namun tidak begitu jauh.
Masing-masing bersembunyi di dalam bayangan pepohonan
yang gelap. Dengan berdebar-debar mereka menunggu. Tetapi tak
seorang pun yang berada di dekat perapian itu. Mula-mula
mereka menyangka, bahwa orang-orang di dalam
perkemahan itu, atau sisa-sisanya, sedang masuk ke dalam
salah satu dari pada kemah-kemah itu, atau pergi untuk
sesuatu keperluan. Tetapi setelah agak lama mereka
menunggu, maka tidak seorang pun juga yang datang.
Debar di dalam dada ketiga anak-anak muda itu menjadi
semakin cepat. Hampir-hampir mereka menjadi kehilangan
kesabaran, menunggu di dalam tempat yang gelap,
dikerumuni oleh nyamuk-nyamuk liar yang jumlahnya tidak
terhitung lagi. Leher, tangan dan kaki-kaki mereka menjadi
gatal-gatal karena gigitan nyamuk-nyamuk itu.
Swandaru menjadi gelisah karenanya. Ia mengumpat di dalam
hatinya. Bahkan terasa bahwa seseorang atau beberapa
orang dengan sengaja mempermainkan mereka.
Darah di dalam tubuh Swandaru itu serasa menjadi mendidih karenanya. Beberapa kali terdengar ia menggeram. Bahkan ujung pedangnya kemudian dihentakhentakkannya
pada sebatang pohon di sampingnya. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan diri lagi. Dengan
hati-hati ia merayap kembali mendekati Sutawijaya. Sutawijaja terkejut mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia bersiaga. Ketika ia melihat sebuah
bayangan mendekatinya segera tombaknya ditundukkannya.
"Eh, apakah Tuan tidak mengenal aku lagi?" desis Swandaru.
"O," Sutawijaya menarik nafas, "kenapa kau kembali" Apakah
ada sesuatu?" Swandaru menggeleng, "Aku tidak sabar lagi. Darahku hampir
habis dihisap nyamuk. Maka menurut pertimbanganku, lebih
baik kita dekati saja gubug-gubug itu."
Sutawijaya tidak segera menyahut. Tetapi ia belum
menemukan suatu sikap yang baik untuk mengatasi
kebingungan mereka. "Panggil Agung Sedayu," bisik
Sutawijaya. "Aku memanggilnya?" bertanya Swandaru. "Aku datang ke
sana atau aku meneriakkan namanya?"
"Jangan berteriak. Tetapi apakah kau tahu tempatnya
bersembunyi meskipun tidak terlampau jauh."
Swandaru menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua menjadi kebingungan. Mereka tidak
mempunyai cara yang khusus, atau mereka tidak
membicarakan tanda-tanda yang perlu apabila mereka saling
memerlukan. Cara satu-satunya adalah berteriak memanggil.
Tetapi dengan demikian, maka suaranya pasti akan didengar
dari dalam gubug-gubug itu.
Dalam kebingungan Swandaru berkata, "Aku akan berteriak
saja." "Bagaimana kalau orang-orang di dalam gubug itu
mendengarnya?" bertanya Sutawijaya.
"Aku tidak berkeberatan. Apakah Tuan berkeberatan" Lebih
baik mereka segera tahu kehadiran kita. Kalau mereka
memang sengaja memanggil kita, maka kita telah menyatakan
diri kita. Sedangkan kaIau mereka tidak melihat perapian kita
dan tidak tahu bahwa kita di sini, biarlah mereka menjadi
tahu." Agaknya Sutawijaya pun telah menjadi jemu menunggu.
Karena itu maka katanya, "Panggillah."
Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia berteriak
memanggil nama Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut menerima panggilan itu. Ia menyangka
bahwa terjadi sesuatu dengan saudara seperguruannya,
sehingga dengan serta merta ia meloncat berlari ke arah
suara Swandaru. Tetapi ia menjadi heran ketika mereka
melihat Swandaru dan Sutawijaya masih saja berdiri
bersandar sebatang pohon yang besar.
"Kenapa kau berteriak-teriak adi Swandaru?" bertanya
Sedayu. "Aku telah jemu menunggu," jawab Swandaru.
Kini mereka bertiga telah berkumpul kembali. Tetapi mereka
masih belum tahu apa yang akan mereka lakukan. Mereka
sengaja berbicara keras-keras, tetapi mereka belum melihat
seorang pun yang keluar dari dalam perkemahan di halaman
itu. Tetapi mereka dengan demikian telah menemukan suatu
pengalaman, bahwa apabila mereka sengaja memisahkan diri,
mereka harus mempunyai tanda yang dapat mereka pakai
untuk menyatakan pikiran mereka. Mungkin mereka harus
berkumpul kembali, atau mungkin mereka harus tetap di
tempatnya sambil bersembunyi. Dalam pertempuran mereka
telah biasa mempergunakan tanda-tanda sandi, tetapi ketika
mereka berada dalam keadaan seperti saat itu, di mana
mereka harus mengatur diri sendiri, maka mereka telah
melupakannya. Sebab di dalam barisan, mereka tinggal
mempergunakan tanda-tanda yang telah disiapkan oleh
pemimpin mereka. Yang terdengar kemudian adalah Sutawijaya menggeram.
Iapun telah kehilangan kesabarannya. Desisnya, "Apakah kita
yang datang kepada mereka" Kita lihat setiap perkemahan
satu demi satu sehingga kita menemukan beberapa orang
atau seorang yang mungkin membuat perapian itu?"
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab. Namun
mereka pun telah kehabisan kesabarannya pula.
"Pasti ada beberapa orang atau setidak-tidaknya seorang di
dekat tempat ini," gumam Sutawijaya. "Tidak mungkin
kerangka, setan atau apapun memerlukan membuat
perapian." "Mereka memang tidak memerlukan, Tuan," sahut Swandaru,
"tetapi mereka hanya ingin mengganggu kita."
"Apakah kau percaya?"
Sejenak Swandaru berbimbang. Namun kemudian ia pun
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "Tidak."
"Nah, kalau begitu pasti seseorang telah menyalakan api dan
perapian itu." "Tetapi siapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Kita tidak tahu."
"Maksudku, siapakah yang telah berani membuat perapian
itu" Menurut perhitunganku, orang itu pasti dengan sengaja
membuatnya. Mustahil kalau orang ini tidak tahu, bahwa kita
telah membuat perapian di sebelah. Dengan demikian maka,
kita akan dapat menduga, bahwa orang itu dengan sengaja
dan setelah diperhitungkan, ingin melawan kita bertiga."
"Apakah kita akan menyingkir?" bertanya Swandaru.
"Apakah kita harus berkelahi?" sahut Agung Sedayu.
"Kalian berdua sama-sama benar. Kita tidak harus mencari
persoalan, tetapi kita juga tidak boleh lari apabila kita
menjumpai persoalan yang melibat kita dalam suatu
keharusan mempertahankan diri. Kali ini, kita pun harus
mempertahankan diri kita dari tekanan perasaan ini. Kita tidak
mau menjadi permainan." Sutawijaya berhenti sejenak.
Dicobanya menembus kepekatan malam di sekitarnya. Tetapi
nyala api yang membentur pepohonan tidak mampu mencapai
jarak yang terlampau jauh.
Di ujung cahaya api perapian itu, Sutawijaya melihat
bayangan nyala api dari perapian yang telah mereka buat
bertiga. Tiba-tiba Sutawijaya itu berkata, "Aku mempunyai pendapat.
Kita masuki perkemahan itu. Kalau kita bertemu dengan
seseorang, maka orang itu kita tanya, apakah ia ingin berbuat
jahat kepada kita atau tidak. Kalau menilik sikap, perbuatan,
dan kata-katanya ia orang yang baik, maka kita tidak perlu
berkelahi. Tetapi kalau orang itu sengaja mempermainkan kita
apalagi berbuat jahat, maka ia harus kita tangkap. Besok
orang itu kita bawa ke Sangkal Putung."
"Kita tidak jadi ke Alas Mentaok?" bertanya Swandaru.
"Kalau kita mendapatkan tawanan, kita harus kembali dahulu
ke Benda," sahut Sutawijaya.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan membuang waktu. Kita ikat saja orang itu di sini. Besok
kalau kita kembali, kita bawa ia ke Sangkal Putung."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia tertawa,
katanya, "Berapa hari kita akan berada di perjalanan" Orang
itu pasti akan sudah mati kelaparan dan kehausan. Bukankah
dengan demikian kita telah menyiksanya?"
Swandaru terdiam. Tetapi ia tidak senang apabila mereka
harus kembali. Namun kemudian ia tertawa ketika Sutawijaya
berkata, "Bagaimana kalau kita yang ditangkap, diikat di sini
untuk beberapa hari" Kita belum tahu siapa yang kita hadapi.
Kita belum tahu, apakah kita yang akan mengikat atau kita
yang akan diikat." Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa.
Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata, "Aku
sependapat dengan Tuan. Kita melihat setiap perkemahan.
Kalau kita temui seseorang, maka kita mempertimbangkan,
siapakah orang itu?"
"Baik," sahut Swandaru, "aku pun sependapat."
"Kita harus bersedia menghadapi setiap kemungkinan.
Mengikat orang itu, membawanya ke Sangkal Putung, atau
kitalah yang akan diikat di sini untuk menjadi mangsa binatang
buas." "Baik, kita terima kemungkinan-kemungkinan itu. Marilah,"
berkata Swadaru sambil melangkahkan kakinya. la telah
benar-benar dibakar oleh kejengkelan dan ketidaksabaran.
Sutawijaya dan Agung Sedayu pun segera mengikutinya di
belakang. Dengan penuh kewaspadaan mereka berjalan.
Senjata-senjata mereka telah siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. "Kemana kita?" bertanya Swandaru.
"Ke perkemahan itu," jawab Sutawijaya.
"Perkemahan yang mana?"
"Salah satu dari padanya. Pilihlah."
Swandaru segera memilih gubug yang paling ujung. Pintu
gubug itu menganga lebar. Namun di dalamnya seolah-olah
dilapisi sehelai tirai yang hitam pekat.
"Tunggu," berkata Agung Sedayu, "kita harus berhati-hati.
Marilah kita bawa obor."
Langkah Swandaru tertegun. Pendapat Agung Sedayu
memang baik. Bukan berarti mereka ketakutan, namun
mereka memang harus berhati-hati.
Agung Sedayu pun segera berlari ke samping gubug itu.
Diraihnya atap ilalang segenggam, dan kemudian ia pun pergi
ke perapian yang menyala-nyala itu, untuk menyalakan
obornya. "Perapian ini pun masih baru," desisnya kepada diri sendiri,
"orang yang mernbuat perapian pasti masih ada di sekitar
tempat ini." Kemudian dengan obor di tangan, ia kembali kepada kedua
orang kawannya dan berjalan bersama-sama ke gubug yang
paling ujung. Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu,
setapak demi setapak. Namun gubug itu agaknya terlampau
sepi. Tak ada suara apapun.
"Kosong," desis Swandaru.
"Marilah kita lihat ke dalam," berkata Sutawijaya.
"Mari," sahut kedua kawannya hampir bersamaan.
"Tetapi hati-hatilah, siapa tahu, seseorang menanti kita
dengan pedang terhunus, atau ujung tombak di sisi pintu."
Sejenak mereka bertiga pun berdiri tegang di muka pintu yang
menganga lebar itu. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun tibatiba
Sutawijaya itu pun meloncat surut selangkah, kemudian
dengan menghentakkan kakinya ia meloncat maju sambil
mengayunkan sebelah kakinya menghantam uger-uger
lawang yang terbuat dari sebatang bambu. Maka terdengarlah
suara berderak. Uger-uger itu pun menjadi berantakan,
bahkan dinding di sisi pintu itu pun roboh pula ke dalam.
Sutawijaya dan kedua kawannya menarik nafas panjang
ketika dinding bambu gubug itu telah menganga. Kini mereka
dapat melihat leluasa ke dalamnya. Tak ada apapun di dalam
gubug itu selain sebuah amben bambu yang agak lebar,
seonggok jerami kering dan sebuah jagrak bambu pula. Di
sudut mereka melihat sebuah sosok gendi dan sebuah tlundak
lampu. "Kosong," desis Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
hampir bersamaan. "Apakah gubug-gubug yang lain juga kosong?" gumam
Swandaru. "Aku kira semua gubug kosong, kecuali satu, tempat orang
yang menyalakan perapian itu bersembunyi. Mungkin di dalam
gubug itu bersembunyi lebih dari satu orang. Mungkin hanya
satu orang, tetapi orang itu bernama Tambak Wedi."
Mereka bertiga tertawa. Namun nadanya terlampau hambar.
"Mari kita lihat satu demi satu," ajak Sutawijaya, "kalau kita
raga-ragu memasukinya, kita rusakkan pintunya seperti gubug
ini." "Marilah," jawab kedua kawannya serentak.
Kini kembali mereka melangkah ke gubug berikutnya. Dengan
cara yang sama, Sutawijaya merusak pintunya, dan tanpa
memasukinya, mereka segera dapat melihat bahwa gubuggubug
itu ternyata tidak berisi.
Berkali-kali hal yang serupa dilakukan oleh Sutawijaya. Ketika
ia menjadi lelah, maka kini Swandaru-lah yang harus merusaki
pintu. Dengan pedangnya ia menghantam setiap uger-uger
pintu, kemudian mendorong dindingnya sehingga roboh.
Tetapi mereka belum juga menemukan seseorang.
Akhirnya Swandaru pun menjadi jemu pula. Katanya,
"Sekarang giliranmu Kakang Agung Sedayu. Kaulah yang
harus merusak dinding gubug-gubug berikutnya, biarlah aku
yang membawa obor." Agung Sedayu pun melangkah beberapa tindak. Sampai di
muka sebuah pintu, maka ia tidak segera meloncat
menghantam tiang-tiang pintunya, atau dengan pedangnya
memukul uger-uger pintu itu. Tetapi dengan tenangnya ia
memutuskan tali-tali yang sudah lapuk dengan ujung
pedangnya. Ketika beberapa tali telah diputusnya dengan
mudah, maka dengan ujung pedangnya ia mendorong dinding
bambu itu. Dan dinding yang ringkih itu pun robohlah ke
dalam. Sutawijaya tertawa terbahak-bahak melihat cara Agung
Sedayu itu. "Hebat," teriaknya. Swandaru pun berteriak pula
dengan serta merta, "Alangkah malasnya kau, Kakang."
"Aku dapat mencapai hasil yang sama seperti yang kalian
lakukan. Tetapi aku tidak perlu membuang tenaga seperti
kalian. Bukankah yang aku kerjakan tidak lebih jelek dari yang
kalian lakukan. Waktunya pun tidak jauh lebih lama?"
"Aku tidak telaten," gumam Swandaru.
"ltu adalah pertanda, bahwa kau memikirkan apa yang akan
kau lakukan dengan baik. Itu adalah kebiasaan yang bagus
sekali. Membuang tenaga sekecil-kecilnya untuk mencapai
hasil yang sebanyak-banyaknya."
Kembali mereka bertiga tertawa.
"Ayo, kita teruskan kerja kita. Masih ada beberapa gubug lagi,"
ajak Swandaru. Mereka bertiga pun segera melangkahkan kaki-kaki mereka
dengan segannya. Kejemuan dan kejengkelan telah melanda
dada mereka seperti angin ribut. Namun mereka belum
menemukan seseorang. Berkali-kali mereka memandangi
perapian itu, dan per-apian itu pun masih juga menyala.
Beberapa potong kayu telah menjadi bara, namun onggokan
kayu itu masih cukup banyak, sehingga apinya pun masih juga
menjilat ke udara. Namun semakin lama lidah api itu pun
menjadi semakin susut pula.
Akhirnya ketiga anak-anak muda itupun menyelesaikan
pekerjaannya. Seluruh gubug-gubug yang ada telah
dimasukinya. Gubug yang paling besar, yang pernah
dipergunakan oleh Tohpati pun telah mereka masuki pula.
Namun mereka tidak menemukan sesuatu.
"Gila," Swandaru mengumpat-umpat tak habis-habisnya,
"siapakah yang bermain gila-gilaan ini. Kenapa ia
bersembunyi?" "Jangan mengumpat-umpat," cegah Sutawijaya, "kalau orang
yang menyalakan api itu melihat kau mengumpat-umpat ia
akan menjadi bergembira sekali."
Swandaru terdiam. Namun hanya mulutnya. Hatinya masih
saja mengumpat-umpat tak henti-hentinya. la merasa sedang
dipermainkan oleh seseorang.
"Kita cari orang itu sampai ketemu. Kita bongkar hutan ini
untuk mencarinya," teriak Swandaru itu tiba-tiba untuk
melepaskan kejengkelannya.
"Kau amat bernafsu, Swandaru," desis Sutawijaya.
"Aku merasa menjadi permainan kali ini. Aku pun harus
mampu membalas, mempermainkannya."
Sutawijaya tertawa. Agung Sedayu pun tertawa pula sambil
berkata, "Jangankan mempermainkan, mencari pun kita tidak
mampu." Swandaru tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram.
"Kita coba untuk menemukan," berkata Sutawijaya kemudian.
"Apakah Tuan juga telah dibakar oleh nafsu
mempermainkannya?" bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya tertawa. Ragu-ragu ia menjawab, "Aku pun
menjadi jengkel juga, tetapi aku tidak akan membongkar hutan
ini." Tiba-tiba Swandaru menyela, "Marilah kita cari. Dengan
berbicara tak habis-habisnya kita tidak akan dapat
menemukannya." "Kemana lagi kita akan mencari?"
Swandaru tertegun sejenak. Iapun tidak tahu kemana harus
mencari orang yang telah membuat perapian itu. Gubuggubug
sudah seluruhnya dilihatnya. Kalau orang itu telah
masuk ke dalam hutan, alangkah sukarnya untuk
menemukannya di antara batang-batang pohon yang besar
dan gerumbul-gerumbul yang lebat.
Swandaru yang sedang dibakar oleh perasaan jengkel dan
marah itu kemudian bertolak pinggang sambil berteriak keraskeras,
"He, siapa yang bersembunyi itu" Siapa" Pengecut,
penakut atau orang yang licik, yang akan menyerang dari
tempat yang tersembunyi atau menunggu kami menjadi
lengah" He, siapa" Siapa?" Siapa di situ?""
Suara Swandaru menggetarkan udara malam di dalam hutan
itu. Suara itu seakan-akan menyelusur setiap dahan dan
ranting, menggema ke segenap penjuru. Anak burung-burung
liar yang sedang tidur nyenyak di dalam sarangnya, menjadi
terkejut dan mengangkat kepala-kepala mereka. Sedang
sayap-sayap induknya menjadi semakin lekat menutupi
tubuhnya, seakan-akan di kejauhan telah menggelegar guruh
yang memberikan pertanda, bahaya sedang mengancam
anak-anak mereka. Alangkah kecewanya Swandaru. Suaranya menggema
berulang-ulang. Tetapi kemudian lenyap ditelan gelapnya
malam. Sekali dua kali ia mengulangi, tetapi akhirnya ia
menjadi lelah sendiri. Sutawijaya dan Agung Sedayu tertawa berkepanjangan,
sehingga tubuh-tubuh mereka berguncang-guncang. Mereka
seolah-olah melihat sebuah pertunjukan yang lucu sekali.
Swandaru yang gemuk bulat bertolak pinggang sambil
berteriak-terik sampai serak.
"Bagaimana?" bertanya Agung Sedayu.
"Suaraku hampir habis," jawabnya parau.
Kembali kedua kawannya tertawa keras-keras.
"Kau memang aneh," berkata Sutawijaya. "Kalau orang itu
ingin keluar dari persembunyiannya, maka kau tidak perlu
berteriak-teriak memanggilnya."
"Menjengkelkan sekali," geram Swandaru. "Apakah setan itu
Ki Tambak Wedi sendiri?"
"Tak seorang pun tahu," sahut Sutawijaya. "Jangan terlampau
tenggelam dalam kejemuan, kejengkelan dan kemarahan.
Marilah kita kembali ke perapian kita sendiri. Kita memang
tidak mencari musuh. Tetapi apabila musuh itu datang, kita
sambut dengan senang hati."
"Apakah kita menunggu mereka menerkam kita selagi kita
tidur?" "Salah kita apabila kita tidur bersama-sama. Adalah haknya
untuk berbuat demikian."
Swandaru menarik nafas panjang-panjang. "Marilah,"
geramnya. Kini mereka bertiga melangkahkan kaki mereka kembali ke
perapian mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka tidak
kehilangan kewaspadaan. Tombak Sutawijaya siap untuk
mematuk setiap bahaya yang mendatanginya, sedang pedang
Agung Sedayu dan Swandaru pun masih juga dalam
genggaman. Mereka kini sudah tidak memerlukan obor lagi. Sejak gubuk
yang terakhir mereka tinggalkan obor mereka telah mereka
buang. Apalagi kini mereka menyusup di antara semak-semak
dan pepohonan. Mereka justru berusaha untuk
menghindarkan diri dari setiap mata yang mencoba
mengintainya. Mereka bertiga menemukan perapian yang mereka tinggalkan
masih menyala, meskipun lidah apinya tidak lagi menggapai
dedaunan di atas perapian itu. Namun api itu masih cukup
terang untuk menerangi keadaan di sekelilingnya.
Namun tiba-tiba kembali Sutawijaya dan kedua kawannya
terkejut. la melihat sesuatu yang tidak ada pada saat mereka
meninggalkan tempat itu. Di samping perapian itu mereka
ketemukan sebuah lincak bambu kecil.
"Hem," Swandaru menggeram kembali, "siapa yang bermainmain
hantu-hantuan ini?" "Jangan hiraukan," berkata Sutawijaya, "kita berterima kasih,
bahwa kita mendapat tempat duduk yang baik, bahkan tempat
untuk berbaring. Sekarang, marilah kita mulai giliran yang
pertama. Siapa yang tidur lebih dahulu" Lincak ini hanya
cukup untuk seorang dan yang lain harus duduk sambil
berjaga-jaga. Kau Swandaru, yang ingin tidur lebih dahulu?"
"Baik," sahut Swandaru dengan serta merta, "biarlah kepalaku
tidak pecah karena permainan ini."
"Tidurlah," sahut Sutawijaya, "biarlah aku dan Agung Sedayu
berjaga-jaga. Nanti kau akan kami bangunkan dan salah
seorang dari kami akan tidur pula sejenak."
Swandaru tidak menjawab. Setelah menyarungkan pedangnya
dan melepas busur yang menyilang di punggungnya ia segera


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaring. Angin malam berhembus semakin dingin, seolah-olah
menghunjam sampai ke tulang. Tetapi api perapian yang
masih juga menyala, meskipun semakin susut, telah menolong
ketiga anak-anak muda itu. Namun apabila mereka berdiri dan
berjalan agak menjauh, terasalah betapa dinginnya udara
malam. Suara burung hantu melengking-lengking di kejauhan, disahut
oleh gonggong anjing-anjing liar berebut makan.
Sutawijaya dan Agung Sedayu yang masih duduk di amben
bambu itu terkejut ketika sejenak kemudian mereka telah
mendengar Swandaru mendenggkur.
"Bukan main," desis Sutawijaya, "anak itu sudah tidur."
Agung Sedayu tersenyum, "Itulah mungkin sebabnya Adi
Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti itu."
Sutawijaya tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab.
Mereka berdua merasa, bahwa ada seseorang berada di
sekeliling tempat itu. Tetapi mereka tidak dapat
menemukannya. Karena itu maka mereka berdua sama sekali
tidak melepaskan kewaspadaan. Setiap gerak yang
mencurigakan, setiap suara gemerisik dan setiap apa saja,
selalu mendapat perhatian mereka dengan saksama.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan di Sangkal Putung,
di pendapa banjar desa, Ki Gede Pemanahan duduk dihadap
oleh Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para
pemimpin prajurit Pajang dan pemimpin Sangkal Putung.
Banyak yang telah mereka dengar, nasehat-nasehat,
pendapat-pendapat, dan sindiran-sindiran yang pantas
mendapat perhatian dari para pemimpin itu.
Akhirnya Ki Gede Pemanahan itu berkata, "Aku berbangga
atas hasil kerja Untara, tetapi terakhir aku kecewa atas
ketergesa-gesaannya, sehingga terjadi beberapa peristiwa
yang cukup berbahaya bagiku dan bahkan bagi Sangkal
Putung sendiri. Tetapi itu bukan salah Untara seluruhnya.
Apabila Ki Tambak Wedi tidak turut campur, maka aku kira
keadaannya akan sangat berbeda. Sehingga untuk
seterusnya, Ki Tambak Wadi harus mendapat perhatian yang
cukup banyak. Karena itu Untara, ada dua hal yang akan aku
sampaikan kepadamu sekarang. Yang pertama ada persoalan
yang telah aku bawa dari Padang, sedang soal yang kedua
adalah persoalan yang baru aku temukan setelah aku sampai
di Sangkal Putung." Untara mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah panglimanya
itu, namun kemudian ia pun segera menundukkan wajahnya
kembali. Tetapi terasa kini hatinya menjadi berdebar-debar.
Mungkin ia telah dinggap berbuat suatu kesalahan yang besar
dengan peristiwa yang hampir saja membuat bencana bagi Ki
Gede Pemanahan beserta para pengawalnya.
Untara itu pun kemudian menunggu Ki Gede Pemanahan
melanjutkan kata-katanya dengan hati yang gelisah. Beberapa
titik keringat telah membasahi keningnya.
Sejenak pendapa itu menjadi hening. Semua orang menunggu
apakah yang akan dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan itu.
Ketika angin menyusup ke dalam pendapa banjar desa itu,
maka lampu minyak yang melekat pada tiang-tiang pendapa
itu pun bergerak-gerak dengan lemahnya.
"Untara," berkata Ki Gede Pemanaham itu pula, "sejak dari
Pajang aku telah membawa sesuatu untukmu. Sesuatu bukan
saja atas kehendakku sendiri, tetapi aku membawanya dari
Adipati Pajang sendiri."
Jantung Untara terasa menjadi semakin cepat berdenyut. Dan
ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata seterusnya,
"Adipati Pajang merasa berterima kasih kepadamu, karena
kau telah bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan Pajang.
Seperti juga Adipati Pajang berterima kasih kepada mereka
yang dianggap dapat mengalahkan Arya Penangsang dan
Patih Mantahun, maka kau yang telah berhasil membunuh
Macan Kepatihan pun mendapat perhatian Adipati Pajang
sebagai seseorang yang telah memberikan jasa yang
sebaik-baiknya kepada Pajang. Meskipun Sangkal Putung adalah sebuah kademangan yang kecil dibandingkan dengan Pajang keseluruhan, namun
bahaya yang ditimbulkan Macan Kepatihan sebenarnya bukan saja terbatas di sekitar Sangkal
Putung. Macan itu akan dapat berkeliaran di seluruh
Kadipaten Pajang, bekas Kadipaten Jipang, bahkan di
seluruh bekas wilayah Demak. Itulah sebabnya, maka
kemenangan yang kau dapatkan di kademangan ini mendapat
perhatian khusus dari Adipati Pajang."
Kembali Ki Gede Pemanahan berhenti sesaat, Dan kepala
Untara yang tundukpun menjadi semakin tunduk. la sama
sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perhatian
yang sedemikian besarnya dari Adipati Pajang sendiri.
"Untara," berkata Ki Gede Pemanahan, "aku belum tahu, apa
yang akan kau terima sebagai pernyataan terima kasih itu dari
Adipati Pajang. Tetapi adalah wajar apabila kemudian setelah
semua tugasmu selesai, kau akan mendapat sebuah pangkat
yang lebih baik, tumenggung misalnya."
Untara terkejut mendengar nama pangkat itu. Ia adalah
seorang yang sama sekali tidak pernah mengharapkan
mendapat pangkat setinggi itu. Kalau ia merayap menurut
tingkat yang wajar, maka pangkat itu masih berjarak beberapa
Pewaris Keris Kiai Kuning 2 Pendekar Gila 3 Dendam Bidadari Bercadar Bonek Candi Sewu 2
^