Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 29

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 29


Bahkan mereka berusaha untuk sampai ke Sangkal Putung
hari itu juga meskipun larut malam atau bahkan sampai fajar.
Seolah-olah mereka mendapat suatu firasat, bahwa memang
terjadi sesuatu di Sangkal Putung.
Kiai Gringsing agaknya melihat kegelisahan dihati ketiga anakanak
muda itu. Maka untuk menenangkan mereka orang tua
itu berkata, "Anakmas bertiga. Kenapa Anakmas menjadi
sedemikian tergesa-gesa sperti dikejar hantu?"
Ketiga anak-anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Kiai
Gringsing. Sejenak mereka saling berdiam diri, tetapi sejenak
kemudian mereka tersenyum.
"Bukankah Kiai ingin segera sampai ke kademanan itu" Kita
harus berjalan siang dan malam."
"Tetapi tidak seperti dikejar hantu. Aku melihat kalian berjalan
meloncat-loncat. Perjalanan kita cukum jauh. Kalau anak mas
berjalan seperti itu, maka kita pasti akan kelelahan sebelum
kita sampai ke Sangkal Putung."
Kembali anak-anak muda itu tersenyum. Yang menjawab
kemudian adalah Swandaru, "Jadi apakah lebih baik kita
berjalan perlahan-lahan" Mungkin aku akan mendapat banyak
waktu untuk mendapatkan binatang buruan. Bahkan mungkin
aku akan dapat membawa oleh-oleh buat ayah dan ibu
dirumah." Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Tidak terlampau cepat, tetapi
tidak terlalu lambat. Sedang."
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab lagi. Tetapi kini
mereka tidak lagi meloncat-loncat seperti orang yang
ketakutan. Ketika malam datang, maka Sangkal Putung sudah tidak
terlalu jauh lagi. Meskipun mereka masih berada dihutan yang
tidak begitu lebat, namun mereka bertekad untuk berjalan
terus. "Bukankah kita sudah sampai dihutan tempat orang-orang
Jipang dahulu berkemah?" gumam Agung Sedayu.
"Ya," sahut Kiai Gringsing.
"Kalau begitu kita tidak usah bermalam lagi," berkata
Swandaru. "Kita berjalan terus, meskipun perutku terlampau
kosong. Justru karena itu aku harus segera sampai dirumah.
Mungkin masih ada sisa nasi di dapur."
"Kalau tidak?" potong Sutawijaya.
"Aku akan berburu."
"Di mana kau akan berburu?"
"Di kandang ayam," jawab Swandaru.
Yang mendengar jawaban itu tertawa. Swandaru pun tertawa
pula meskipun sekali-sekali ia harus menyerigai karena
kakinya terantuk kayu atau batu-batu padas.
Tetapi mereka berempat benar-benar tidak ingin berhenti
berjalan. Kiai Gringsing membiarkan saja anak-anak muda itu
mengambil sikap. Namun tampak juga, bahwa anak-anak
muda itu telah mulai dirayapi oleh perasaan lelah. Meskipun
demikian, tak seorang pun yang ingin berhenti dijalan.
Sebelum fajar mereka harus sudah sampai di Sangkal Putung.
Yang dapat mereka lakukan hanyalah memperlambat
perjalanan untuk mengurangi kelelahan mereka. Tetapi tidak
untuk berhenti. Meskipun demikian, meskipun mereka berjalan malam hari,
namun mereka tidak menempuh jalan yang terpendek. Mereka
masih juga memperhitungkan Argajaya dan Sidanti. Argajaya
itu dua hari yang lalu pasti sudah bertemu dengan Sidanti.
Paman Sidanti itu pasti sudah banyak berceritera, dan
Sidantipun telah banyak bercerita pula. Karena itu, maka
dendam mereka pasti akan berganda. Gurunya Ki Tambak
Wedi pasti tidak pula akan tinggal diam. Karena itu, maka
mereka harus menghindari kemungkinan itu, kemungkinan
bertemu dengan Sidanti, meskipun Swandaru sama sekali
tidak ingin melakukannya.
Ternyata sedikit lewat tengah malam mereka telah mendekati
Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah sampai disebuah
padang rumput yang tidak begitu luas. Karena itu mereka
harus berjalan agak labih cepat. Sebab di padang rumput,
maka bayangan mereka pasti akan lebih mudah dilihat oleh
siapapun, meskipun mereka telah bergeser beberapa puluh
langkah dari jalan yang terdekat.
Semakin dekat dengan mereka Kademangan Sangkal Putung,
maka hati mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak
melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak
melihat kelainan daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas
Kademangan itu, maka mereka pasti melihat suatu perubahan
apapun. Mereka masih melihat lampu-lampu yang sinarnya
kadang-kadang meloncat dari celah-celah dinding rumah. Di
mulut lorong mereka masih melihat sebuah pelita yang
menyala. Tiba-tiba Swandaru memperlambat jalannya sambil menarik
nafas dalam-dalam. "Hem, ternyata Sangkal Putung tidak
mengalami sesuatu." Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
menjawab "Begitulah agaknya."
"Kalau begitu, sejak kini aku akan berjalan lambat-lambat.
Bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa."
"Ah, kau", sahut Agung Sedayu, "akulah kini yang tergesagesa.
Bukankah kau masih ingin berburu?"
Swandaru tertawa. Tetapi tiba-tiba ia menguap. "Aku tidak
terlalu lelah tetapi aku mengantuk."
Namun mereka tidak lagi merasa gelisah. Apalagi ketika
mereka sudah memasuki padesan. Namun agaknya
Swandaru ingin mengejutkan orang-orang di kademangan,
karena itu katanya, "Marilah kita tidak melalui jalan. Kita
membuat kejutan bagi orang-orang kademangan."
Kedua kawan-kawannya tidak membantah. Kiai Gringsing pun
menuruti saja kemauan muridnya yang aneh itu. Tetapi ketika
mereka memasuki halaman kademangan lewat belakang,
mereka benar-benar terperanjat. Ternyata kademangan itu
benar-benar tidak seperti biasanya. Bahkan lamat-lamat
Swandaru mendengar tangis perempuan. Tangis ibunya.
Mereka berempat itu pun tertegun sejenak. Suara tangis yang
lamat-lamat itu masih mereka dengar. Sejenak mereka saling
berpandangan. Namun tak seorang pun yang tahu, apakah
sebenarnya yang telah terjadi.
Menilik tanda-tanda yang mereka jumpai di sepanjang jalan,
mereka sama sekali tidak melihat bekas-bekas keributan. Dari
tempat mereka menyelinap di antara pepohonan sambil
meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka
melihat gardu-gardu peronda masih juga seperti biasanya.
Memang mereka melihat kesiapsiagaan yang agak lebih ketat
dari kebiasaan. Tetapi mereka menyangka bahwa keadaan
sekedar meningkat menjadi lebih genting, tetapi belum
terlambat. Swandaru menjadi bertambah cemas ketika tangis itu tidak
juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis karena hal-hal
yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit,
tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit
gigi, maka ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras
kali ini. "Agaknya memang telah terjadi sesuatu," bisik Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk, "Ya."
"Tetapi tidak ada tanda-tanda yang kita temui," sahut
Sutawijaya. Mereka pun kemudian terdiam. Ketika mereka berpaling
kepada Kiai Gringsing, orang tua itu pun sedang termenung.
"Bagaimana Kiai?"
Kiai Gringsing menggeleng, "Aku tidak tahu. Marilah kita lihat."
"Sebenarnya aku ingin bermain-main. Aku ingin mengejutkan
orang-orang kademangan. Diam-diam aku ingin tidur,
sehingga besok pagi mereka pasti terkejut melihat kami di
pendapa, atau di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus
berbuat lain." "Agaknya kita tidak sedang menghadapi persoalan yang dapat
dibawa untuk bergurau," gumam Kiai Gringsing. "Marilah
jangan terlampau lama."
Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian mengikuti langkah
Kiai Gringsing. Mereka tidak lagi berkata apa pun. Kiai
Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau saja Kiai
Gringsing menjadi gelisah, maka persoalan yang mereka
hadapi pasti bukan sekedar persoalan yang ringan.
Memang sekali-kali Swandaru hanya menganggap bahwa
ibunya pasti sedang sakit gigi. Sebab baik di setiap sudut
penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak melihat
kekhususan yang mencolok. Tetapi anggapan itu tidak
diyakininya sendiri. Setiap kali dadanya terasa berdesir,
semakin lama menjadi semakin tajam.
Mereka berhenti ketika mereka melihat dua orang berjalan di
bagian belakang halaman itu. Supaya tidak menimbulkan
kegaduhan maka merekapun berhenti dan menyelinap di balik
pepohonan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu
lama, sebab kedua orang itu ternyata menuju ke tempat yang
agak terlindung. Pada saat itulah baru mereka mengetahui,
bahwa di sudut yang gelap itu ternyata telah diadakan sebuah
penjagaan. Penjagaan di tempat itu tidak pernah ada sebelumnya.
Penjagaan di bagian belakang ini berada di samping regol
yang telah ditutup mati hanya malam hari apabila keadaan
mengkhawatirkan. Sedang penjagaan yang biasa terdapat di
tikungan, di gardu perondan. Sekarang di tempat itu ternyata
ada sebuah penjagaan sehingga dengan demikian mereka
dapat menduga sesuatu benar-benar telah terjadi.
Tiba-tiba Swandaru menjadi tidak bersabar lagi. Dengan
terbata-bata ia berbisik, "Kiai, aku akan melihat apakah yang
telah terjadi." "Tunggu," cegah Kiai Gringsing. "Jangan mengejutkan para
penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau
mereka melihat kita berempat, maka meka pasti menyangka
bahwa mereka menghadapi bahaya. Dengan demikian, maka
kegaduhan pasti akan timbul. Karena itu, biarlah aku sendiri
menemui mereka dan mengatakan bahwa kalian telah
kembali." "Baik Kiai," sahut Swandaru tidak sabar.
Kiai Gringsing pun kemudian melangkah maju. Perlahan-lahan
dan hati-hati. Ternyata para penjaga itu pun belum melihatnya.
Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka Kiai Grinsing itu
pun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari tempat yang terlindung
ia mendengar seseorang menyapanya, "He, siapakah itu?"
"Aku, Tanu Metir."
"Oh," terdengar seseorang berdesah. "Kenapa Kiai berada di
situ?" Kiai Grinsing tidak segera menjawab. Bahkan ia masih juga
terbatuk-batuk. (***) Buku 20 AKHIRNYA dari tempat yang terlindung itu Kiai Gringsing
melihat dua orang mendekatinya.
"Benarkah kau, Kiai?"
"Ya, aku datang bersama dengan Anakmas Swandaru dan
Agung Sedayu." "Oh, di mana mereka sekarang?"
"Itu, di situ. Kami tidak ingin mengejutkan kalian. Kalau kalian
melihat kami berempat, maka kalian akan terkejut dan
mungkin berbuat sesuatu diluar perhitungan kami."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu
Swandaru yang tidak sabar telah keluar dari
persembunyiannya diikuti oleh Sutawijaya dan Agung Sedayu.
"Seluruh kademangan menunggu kalian," kata penjaga itu. "
Kita telah menjadi bingung."
"Apakah mereka mencemaskan nasib kami?" bertanya
Swandaru. "Dan karena itu ibu menangis?"
"Bukan saja karena itu," jawab penjaga, "kami menghadapi
soal yang lain." Dada Swanadru berdesir mendengar jawaban penjaga itu.
Karena itu dengan serta-merta ia bertanya, "Apakah ada soal
lain yang penting?" "Ya," sahut penjaga itu.
"Apa?" Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Pendapa
Kademangan itu itu tinggal beberapa puluh langkah lagi. Di
sana duduk para pemimpin Kademangan Sangkal Putung dan
para pemimpin prajurit Pajang yang akan dapat memberi
penjelasan sebaik-baiknya kepada anak itu. Karena itu maka
prajurit itu menjawab, "Biarlah Ki Demang sendiri memberi penjelasan. Ki Demang
berada di pringgitan."
Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Tanpa menjawab
sepatah katapun ia segera meloncat dan berjalan tergesagesa
ke pendapa. Di belakangnya berjalan Agung Sedayu dan
Sutawijaya bersama Kiai Gringsing.
Di pendapa Swandaru melihat beberapa orang prajurit Pajang
masih juga duduk dalam beberapa gerombol. Di sana-sini
mereka agaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang
cukup penting. Tetapi kesan yang didapat oleh Swandaru
adalah bahwa tidak ada penyerbuan yang gawat telah terjadi.
Kalau demikian, soal apakah yang penting itu.
Dengan langkah yang panjang anak-anak muda itu bersama
Kiai Gringsing itu masuk kedalam pringgitan. Beberapa orang
yang melihatnya menyapa pendek, dan mereka pun menyapa
pendek pula. Ketika pintu pringgitan terbuka, maka setiap orang yang duduk
melingkar di sekeliling sebuah pelita minyak kelapa, berpaling
memandang ke arah pintu. Hampir bersamaan mereka melihat
Swandaru melangkah masuk dan hampir bersamaan pula
mereka berdesis, "Kau, Swandaru?"
Swandaru tertegun. Ia melihat beberapa orang pemimpin
kademangan dan prajurit Pajang lengkap. Karena itu dadanya
menjadi berdebar-debar. "Masuklah," terdengar Untara mempersilakannya.
Swandaru tersadar dari kegelisahannya yang mencekam
dadanya. Ia pun kemudian melangkah dan meletakkan
busurnya di sisi pintu. Tetapi pedangnya masih juga
menggantung di lambungnya. Agung Sedayu dan Sutawijaya
pun kemudian meletakkan busur-busur mereka dan berjalan di
belakang Swandaru duduk di dalam lingkungan para


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemimpin itu. "Hem," Ki Demang Sangkal Putung berdesah. Ditatapnya
wajah anaknya yang gemuk bulat itu dalam pandangan yang
aneh, setelah dipersilahkannya pula Kiai Gringsing duduk di
antara mereka. "Kau pergi ke Mentaok?" bertanya Ki Demang.
"Ya, Ayah, bersama dengan Putranda Panglima Wira
Tamtama. Mas Ngabaehi Loring Pasar."
"Oh," Ki Demang pun menganggukkan kepalanya. Ia tidak
dapat langsung marah kepada anaknya yang gemuk itu
karena kehadiran Sutawijaya.
Untara pun harus menahan kejengkelannya pula akan
kepergian adiknya tanpa seijinnya.
Tetapi mereka tidak berani menegurnya, menegur Swandaru
dan Agung Sedayu, sebab di ruangan itu hadir juga putera Ki
Gede Pemanahan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah
berdesah di dalam dada masing-masing, sambil sekali-sekali
memandangi wajah ketiga anak-anak muda itu berganti-ganti.
Tetapi kedatangan mereka bersama-sama dengan Kiai
Gringsing yang selama ini seakan-akan menghilang
menimbulkan teka-teki pula di dalam hati mereka. Apakah Kiai
Gringsing pergi juga bersama mereka" Ataukah memang Kiai
Gringsing yang telah membawa ketiga anak-anak muda itu
untuk bertamasya ke Alas Mentaok"
"Sepeninggalmu Swandaru, kademangan ini menjadi geger,"
berkata Ki Demang penuh tekanan.
Swandaru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera
bertanya. Ia mengharap ayahnya menceriterakan apa yang
telah terjadi. Dan ayahnya itu berkata pula, "Kami, seluruh isi kademangan,
termasuk para prajurit dari Pajang menjadi bingung. Bingung
dan cemas, sebab kami tidak tahu kemana kalian pergi. Kami
hanya mendengar bahwa kalian akan pergi ke Alas Mentaok.
Dan kami mengerti bagaimana buasnya alas itu."
Swandaru menundukkan kepalanya. Di dalam hati ia berkata,
"Kalau hanya aku sajalah yang dicemaskannya, maka
sebenarnya kademangan ini tak perlu menjadi gelisah." Tetapi
kata-kata itu tidak terlontar lewat bibirnya.
Sutawijaya yang merasa telah membawa kedua anak-anak
muda itu pun menundukkan kepalanya. Kini baru terasa
olehnya akibat dari keterlanjurannya. Dengan demikian ia
dapat membayangkan, bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan
pun pasti akan marah pula kepadanya. Tetapi semuanya telah
terlanjur. Semuanya telah terjadi. Mekipun di dalam hati
kecilnya ia berkata, "Bukankah kami telah cukup dewasa.
Adalah tidak sepantasnya kami harus selalu berada di dalam
pengawasan seperti kanak-kanak supaya kamu tidak
terperosok ke dalam kubangan."
Tetapi pula pada mereka yang baru datang, bahwa
sebenarnya yang telah terjadi bukanlah sekedar kecemasan
mengenai kepergian mereka. Tetapi pasti telah terjadi pula
sesuatu di kademangan ini sepeninggal mereka. Kecemasan
atas kepergian anak-anak muda itu pasti tidak akan
menimbulkan penjagaan yang semakin ketat seperti kini.
Karena itu maka Swandaru kemudian bertanya kepada
ayahnya, "Ayah, apakh hanya karena kepergianku itu ayah
telah memperkuat penjagaan di halaman ini dan di sudutsudut
padesan?" Ki Demang mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Tentu tidak.
Apakah kau dengar tangis ibumu?"
Swandaru mengangguk. "Ya, Ayah."
"Kau sangka ibumu menangisimu?"
Swandaru tidak menjawab. Tetapi hantinya bergumam,
"Tidak." "Dengarlah Swandaru. Sudah dua mala mini ibumu menangis
tanpa berhenti di malam hari. Hanya di siang hari agaknya ia
dapat sekedar menahan diri."
Debar di dada Swandaru menjadi semakin cepat berderak,
seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu ayahnya berkata.
Dengan tatapan mata yang tegang ia memandangi wajah
ayahnya itu. Tiba-tiba orang tua itu berpaling kepada Kiai Gringsing yang
duduk terpekur ambil menggerak-gerakkan jari-jarinya.
Seakan-akan Ki Demang itu pun berkata pula kepadanya,
kenapa ia selama ini tidak pula berada di kademangan"
"Kiai," berkata Ki Demang itu kemudian, "isteriku telah
kehilangan miliknya yang paling disayanginya."
Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak dapat
segera mengucapkan sesuatu.
"Ya, tetapi apa yang hilang itu, Ayah?" desak Swandaru yang
kehabisan kesabaran. Apakah perhiasan ibu, emas, intan
berlian, atau apa?" Ki Demang menggeleng. "Yang hilang itu adalah adikmu,
Swandaru." "He," Swandaru berjingkat dari duduknya sehingga bergeser
selangkah maju. Tetapi bukan saja Swandaru, Agung Sedayu
pun tidak kalah terkejut. Bahkan Sutawijaya dan Kiai Gringsing
pula. Dengan terbata-bata Swandaru berkata, "Mirah, jadi Sekar
Mirah yang ayah maksud?"
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, Sekar
Mirah telah hilang sejak kemarin."
"Bagaimana maka Sekar Mirah itu dapat hilang Ki Demang?"
bertanya Agung Sedayu terpatah-patah.
"Ya bagaimana?" sahut Ki Demang. "Ia hilang begitu saja.
Hilang dari kademangan ini. Aku pun bertanya seperti itu,
kenapa Sekar Mirah dapat hilang?"
Kiai Gringsing masih juga berdiam diri. Ia tahu benar betapa
perasaan Ki Demang menjadi gelap, sehingga dengan
demikian maka orang itu akan mudah menjadi marah.
"Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Swandaru," berkata
Ki Demang itu, "apa yang kau dapat dengan perjalananmu itu"
Kalau kau ada di rumah, mungkin keadaan akan berbeda."
Yang terdengar adalah Swandaru menggeretakkan giginya.
Dengan gemetar ia kemudian bertanya, "Apakah tak seorang
pun yang tahu, dengan siapa Sekar Mirah pergi" Apakah ia
sengaja pergi dengan suka-rela, apakah seseorang telah
menculiknya?" "Pertanyaanmu itu gila sekali. Apakah kau sangka adikmu itu
sebinal kau ini" Kenapa kau dapat berpikir bahwa adikmu itu
dengan suka-rela meninggalkan kademangan" Kau sangka
adikmu sudah tergila-gila pada Sidanti dan pergi mencarinya?"
Tetapi dada Swandaru pun sudah sesak pula, sehingga ia
menjawab, "Habis, bagaimana aku harus menanggapi
persoalan ini" Beri aku jalan untuk berbuat sesuatu ayah.
Malam ini juga aku akan berbuat."
Wajah Ki Demang pun menjadi kian tegang. Hampir berteriak
ia berkata, "Terlambat. Terlambat. Apa artinya kepergianmu
selama ini?" Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengepalkan tinjunya.
"Tak ada yang kau dapatkan. Tetapi kalau kau mati juga di
perjalanan maka ibumu akan mati membeku, tahu" Sekarang
adikmu telah hilang. Hilang masuk ke dalam lingkungan yang
tidak mudah dapat disusupi."
"Ya, kemana. Kemana ia pergi."
"Seseorang melihat, bahwa pada pagi-pagi hari ketika adikmu
pergi ke warung, tiba-tiba ia diterkam oleh seorang laki-laki.
Bukan seorang laki-laki kademangan ini. Tetapi orang yang
melihat itu telah mengenalnya. Namanya Sidanti."
"Sidanti. Sidanti. Jadi, adikku dibawa oleh Sidanti?" teriak
Swandaru. "Ya. Orang yang melihatnya itu pun hampir saja mati
ketakutan. Tetapi Sidanti tidak berrbuat sesuatu atasnya.
Bahkan anak itu berkata, "Katakan kepada ayahnya, bahwa
akulah yang telah membawa Sekar Mirah."
Terdengar gigi Swandaru berderak. Justru dengan demikian
maka sejenak ia terbungkam. yang terdengar hanyalah
dengus nafasnya yang berkejaran lewat lubang-lubang
hidungnya. Untara, Widura, dan Kiai Gringsing sejenak hanya dapat
mendengarkanaya. Persoalan itu hampir merupakan
persoalan keluarga, sehingga mereka tidak segera dapat turut
campur. Sedang Sutawijaya pun menjadi seakan-akan
terbungkam. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah
membawa Swandaru pergi. Tetapi apakah apabila Swandaru
ada di rumah, hal itu dapat dihindari" Tiba-tiba Sutawijaya
teringat kepada Argajaya. Apakah ada hubungannya dengan
dendam yang telah ditanamnya di dalam dada orang itu"
Dada Sutawijaya pun menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi Agung Sedayu mempunyai sikap yang lain, Meskipun
ia bukan salah seorang keluarga Ki Demang Sangkal Putung,
tetapi ia pun merasa kehilangan pula. Sehingga tiba-tiba ia
pun berkata lancing, "Tak ada lingkungan yang tidak dapat
disusupi. Tak ada dinding yang tidak dapat dipecahkan."
Agung Sedayu itu pun kemudian berpaling kepada kakaknya.
"Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom. Dari sana
aku akan memanjat lereng Merapi untuk menemukan Sekar
Mirah kembali." Kini barulah Untara dapat turut berbicara. "Seharusnya
memang demikian, Agung Sedayu. Tetapi di lereng Merapi itu
tidak hanya terdapat Sidanti seorang diri."
"Di Sangkal Putung tidak hanya terdapat Sekar Mirah sendiri.
Tidak hanya terdapat Ki Demang sendiri. Tetapi Sidanti dapat
mengambil Sekar Mirah. Apakah aku tidak dapat melakukan
hal yang sebaliknya?" sahut Agung Sedayu tidak kalah
lantangnya dengan suara Swandaru.
Tetapi Sutawijaya yang merasa, bahwa ia telah terlibat pula
dalam persoalan itu karena ia telah membawa kedua anakanak
muda itu, berkata pula, "Aku ikut serta. Kita pergi bertiga.
Kita masuki padepokan Tambak Wedi. Kita bakar segenap
isinya setelah kita membebaskan puteri Ki Demang itu."
Semua orang yang mendengar suara Sutawijaya itu berpaling
kepadanya. Mereka segera melihat wajah anak muda itu
berwarna kemerah-merahan menahan perasaannya. Bahkan
tangannya pun telah dikepalkannya dan diketuk-ketuknya
pahanya dengan tinjunya itu.
Tetapi terdengar kemudian Untara menjawab, "Sayang Adi
Sutawijaya. Ayahanda berpesan kepadaku, bahwa adi
Sutawijaya harus segera kembali ke Pajang. Demikian Adi
datang ke Sangkal Putung ini, maka secepat mungkin Adi
harus menyusul ayahanda supaya ayahanda tidak terlampau
cemas dan Gusti Adiwijaya pun tidak terlampau lama menantinanti
kedatangan Adimas." Wajah Sutawijaya yang tegang itu menjadi berkerut-merut.
Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Jadi ayah sudah kembali ke
Pajang?" "Ya. Sebagaimana Adimas lihat. Di sini ayahanda sudah tidak
ada lagi. Hanya beberapa orang prajurit pilihan berkuda telah
ditinggalkannya untuk membawa Adi kembali."
Sutawijaya terhenyak dalam kekecewaan. Namun tiba-tiba ia
berkata, "Baik. Baik, aku akan kembali bersama prajurit
pengawal itu. Tetapi biarlah aku turut menyelesaikan masalah
ini dahulu. Hilangnya Sekar Mirah merupakan tantangan yang
harus dijawab. Bukan sekedar direnungkan dan ditangisi."
Untara menganggukkan kepalanya. Bahkan dada Ki Demang
Sangkal Putung pun menjadi berdebar-debar pula karenanya.
"Adi Sutawijaya benar. Tetapi kita tidak boleh kehilangan
keadaran dalam berbuat. Kita tahu benar siapakah Sidanti,
siapakah Ki Tambak Wedi. Dan siapakah yang berada
bersama-sama dengan mereka di dalam sarangnya. Bagi
Adimas, gambaran padepokan itu masih terlampau kabur. Kita
belum tahu pasti kekuatan mereka. Bahkan bagi kita masih
jauh lebih jelas melihat kekuatan Tohpati daripada kekuatan
Tambak Wedi." Sutawijaya mengerutkan keningnya. Naluri keprajuritannya
kini membenarkan pendapat Untara itu mengatasi nafsu
mudanya. Kembali ia mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
ia pun terdiam. Tetapi dalam pada itu terdengar Agung Sedayu berkata,
"Kakang Untara, kita tidak dapat membiarkan Sekar Mirah
terlampau lama di sarang Sidanti. Itu terlampau berbahaya
baginya. Bagi seorang gadis."
"Kita berangkat sekarang," potong Swandarau. "Sidanti
mampu mengambil Sekar Mirah di Sangkal Putung. Kenapa
kita tidak mampu mengambilnya?"
"Ada bedanya Adi Swandaru. Di sini Sekar Mirah bebas tanpa
pengawasan. Sehingga karena itulah maka di pagi-pagi itu
Sidanti berhasil menunggunya di pinggir jalan di tempat yang
terlindung .Tetapi sudah tentu tidak demikian bagi Sekar Mirah
di padepokan Tambak Wedi. Di sana ia pasti terkurung di
tempat yang selalu mendapat pengawasan.
"Kalau begitu kita serbu padepokan itu dengan kekuatan
segelar sepapan. Semua anak-anak Sangkal Putung siap
melakukannya demi kehormatan kami, nama kademangan ini.
Sekar Mirah bukan saja adik kandungku, tetapi Sekar Mirah
merupakan kembang dari kesucian kami, kesucian nama
keluarga kami. Setiap noda yang melekat padanya, adalah
noda yang tercoreng di wajah kami. Di wajah Kademangan
Sangkal Putung." Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Ki Demang pun menjadi
bertambah tegang. Ia pun sadar apa yang dapat terjadi atas
gadisnya itu. Karena itu maka tiba-tiba orang tua itu pun
berkata, "Kita akan menyusulnya ke lereng Merapi. Setiap lakilaki
akan turut serta merebut anak itu kembali."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah seorang
senopati. Ia tidak dapat berbuat menurut nafsu yang menyalanyala.
Ia tidak dapat berbuat hanya berdasarkan perasaan,
tidak berdasarkan perhitungan. Karena itu ia berkata, "Benar
Ki Demang. Kita akan segera menyusul Sekar Mirah ke
padepokan Ki tambak Wedi. Tetapi kita tidak boleh terjerumus
dalam kesalahan karena penglihatan kita tertutup oleh
kemarahan yang meluap-luap. Dan itulah yang dikehendaki
oleh Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sehingga kita akan
kehilangan kejernihan pikiran."
"Kita sudah cukup lama berpikir. Bagi Sangkal Putung tidak
akan ada jalan lain daripada menerobos masuk ke dalam
sarang orang gila itu," sahut Swandaru, yang disambung oleh
Agung Sedayu, "Hilangnya Sekar Mirah, adalah tantangan dan
penghinaan bagi kami yang berada di kademangan ini pula.
Bukankah dengan demikian Sidanti ingin mengatakan bahwa


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ada laki-laki di kademangan ini" Tak ada seorang pun
yang mampu melindungi gadis itu?"
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa
perasaan adiknya itu pun sedang terbakar. Ia tahu perasaan
yang tersimpan di dada anak muda itu terhadap Sekar Mirah,
sehingga dengan demikian maka hatinya pun menjadi gelap.
Anak yang biasanya selalu mempergunakan berbagai macam
pertimbangan dalam setiap tindakan, bahkan lebih mirip
dengan sifat yang selalu ragu-ragu, kini tiba-tiba tidak lagi
dapat membuat pertimbangan-pertimbangan sama sekali.
Tetapi menghadapi wajah-wajah yang tegang, hati-hati yang
tegang dan pikiran-pikiran yang gelap, Untara menjadi cemas.
Apalagi ketika Ki Demang sendiri berkata, "Swandaru, kita
siapkan orang-orang kita besok. Kita segera menyusul
adikmu." Untara benar-benar kehilangan cara untuk mencegahnya.
Tetapi ia tahu benar bahaya yang dapat terjadi. Bahaya bagi
pasukan Sangkal Putung. Sudah tentu bahwa pasukannya
sendiri tidak akan dapat membiarkan orang-orang Sangkal
Putung itu bertindak. Tetapi dengan cara yang demikian itu,
maka ia akan berbuat suatu kesalahan bagi seorang senopati.
Bertindak dengan tergesa-gesa ebelum tahu benar imbangan
kekuatan yang ada. Sebab bukan mustahil bahwa di
padepokan Ki Tambak Wedi telah tersusun kekuatan yang
sangat rapi. Bukan pula mustahil bahwa Ki Tambak Wedi telah
membuat rencana tertentu. Masuk ke dalam kademangan ini
selagi kademangan ini menjadi kosong. Itulah sebabnya ia
harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih masak
menghadapi hantu lereng Merapi itu.
Untara menjadi semakin bingung menghadapi orang-orang
yang telah dibakar oleh perasaannya itu. Swandaru yang
mendapat perintah ayahnya itu segera menyahut, "Baik, Ayah.
Malam ini juga aku akan mempersiapkan anak-anak muda
Sangkal Putung." Untara menjadi bertambah gelisah. Tiba-tiba tanpa
disadarinya ditatapnya wajah pamannya, Widura, kemudian
Kiai Gringsing yang masih saja berdiam diri seakan-akan
minta pertimbangan, bagaimana mengatasi persoalan yang
sedang dihadapinya. Kiai Gringsing yang selama itu hanya berdiam diri sambil
mendengarkan persoalan yang terjadi di Sangkal Putung itu
pun mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan tetapi jelas ia
berkata, "Memang, kita harus segera menemukan kembali
Angger Sekar Mirah."
Untara menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi dibiarkannya Kiai
Gringsing berkata seterusnya, "Kita tidak akan sampai hati
membiarkannya terlampau lama di tangan Angger Sidanti."
Swandaru pun dengan serta-merta menyambung, "Nah.
Bukankah begitu, Kiai. Kita harus segera menemukan Sekar
Mirah." "Secepatnya," sahut Kiai Gringsing.
"Ya, secepatnya," Agung Sedayu memotong. "Sekarang kita
harus segera mempersiapkan diri."
"Tetapi ingat. Kita harus menyelamatkannya. Karena itu
secepatnya, namun tidak boleh kehilangan maksudnya,
menyelamatkannya." Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Namun yang bertanya adalah Ki Demang Sangkal Putung,
"Maksud Kiai?" "Kita harus menyadari bahwa Sekar Mirah kini berada di
tangan Sidanti." Ki Demang menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia
berkata, "Ya, kita menjadi bingung karena Sekar Mirah berada
di tangan anak gila itu."
"Nah, karena itu kita harus memperhitungkan gadis itu. Gadis
yang harus kita selamatkan. Kita tidak boleh terbakar oleh
nafsu dan kemarahan tanpa menghiraukan titik bidik yang
sebenarnya. Kita hanya memperhitungkan kekuatan pasukan
yang mungkin akan mampu memecahkan pertahanan
padepokan Ki Tambak Wedi dan kemudian menjadikannya
karang abang. Tetapi kita lupa bahwa Sekar Mirah berada di
sana, di dalam kekuasaan orang-orang itu, di dalam
pertahanan yang ingin kita pecahkan." Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Dilihatnya sorot pandangan mata yang keheranheranan
di sekitarnya. Ki Demang, Swandaru, Agung Sedayu,
dan beberapa orang Sangkal Putung yang lain.
"Ki Demang," berkata Kiai Gringsing seterusnya, "Sidanti dan
Ki Tambak Wedi adalah orang-orang yang dapat berbuat halhal
yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Kalau kita dengan
serta-merta memecahkan pertahanan mereka, maka dengan
demikian kita hanya menuruti nafsu sendiri. Kita telah
kehilangan tujuan kita, menyelamatkan Sekar Mirah. Sebab
apabila pertahanan mereka tidak dapat melindungi padepokan
mereka, maka nyawa Sekar Mirah menjadi terancam. Mereka
akan melepaskan kemarahan mereka pada Sekar Mirah.
Mungkin dengan sengaja mereka membuat kita menjadi ngeri.
Dengan alat gadis itu mereka membalas kekalahan mereka.
Membalas sakit hati mereka. Nah, bayangkanlah, apa yang
akan dapat terjadi dengan Sekar Mirah?"
Ki Demang yang hampir-hampir tidak dapat mengekang
dirinya itu tiba-tiba menyadari keadaannya dan keadaan
puterinya itu. Dengan demikian maka terasa dadanya menjadi
kian pepat, bahkan hampir-hampir meledak.
Sedang Swandaru dan Agung Sedayu dapat mendengar
keterangang Kiai Gringsing itu dengan baik. Kata demi kata.
Dengan demikian berbenturanlah perasaan mereka dengan
pengertian mereka yang mereka dengar dari Kiai Gringsing
itu. Sejenak suasana di pringgitan itu dicengkam oleh kesepian.
Kesepian yang seakan-akan membakar jantung.
Tiba-tiba terdengar suara Ki Demang menyobek, "Lalu,
apakah yang harus kita lakukan, Kiai" Apakah kita akan
membiarkan saja semuanya itu terjadi tanpa berbuat sesuatu"
Pendapat Kiai memang benar. Memang dapat diterima oleh
nalar. Tetapi apabila kita hanya berpangku tangan, apakah
Sekar Mirah itu akan dilepaskan atau akan dapat melepaskan
dirinya sendiri" Atau kita harus menunggu sampai Sidanti dan
orang-orang liar di padepokan itu sudah puas dengan segala
macam perbuatannya atas gadis itu dan melemparkannya ke
luar sarang mereka, atau membunuhnya?"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
orang tua itu tidak kehilangan ketenangannya. Dengan sareh
ia berkata, "Tentu tidak, Ki Demang. Kita pati harus berusaha.
Tetapi usaha kita itulah yang harus kita pertimbangkan masakmasak.
Kita dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan
airnya, bahkan membinasakan ikan itu sendiri."
Ki Demang terdiam sejenak. Tetapi hatinya masih juga
bergolak. Seakan-akan ia akan segera meloncat saat itu juga
ke padepokan Tambak Wedi di lereng Merapi. Dalam pada itu
terdengar Untara berkata, "Kita harus mempunyai persiapan
yang baik untuk merebut kembali Sekar Mirah. Bukan saja
merebut Sekar Mirah, tetapi sekaligus membinasakan orangorang
Jipang yang tidak mau mempergunakan kesempatan
yang baik, yang telah aku berikan kepada mereka."
"Ah," desah Ki Demang, "aku akan membantu membinasakan
Sanakeling dengan segenap kekuatannya. Tetapi rencana itu
jangan menghambat usahaku membebaskan anak itu. Kalian
jangan berpihak pada kepentingan kalian sendiri. Jangan
berpihak pada pandangan searah. Mungkin bagi kalian tidak
ada bedanya, apakah kita akan menyerang Sanakeling,
Sidanti, dan Tambak Wedi itu sekarang, atau besok, atau lusa,
asal kalian yakin kekuatan kita sudah cukup, kita menyerang.
Kita hancurkan mereka. Tetapi aku tidak dapat berbuat
demikian. Aku harus segera membebaskan anakku sebelum
terjadi sesuatu atasnya."
Untara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar
jawaban Ki Demang Sangkal Putung yang lebih banyak
dipengaruhi oleh perasaan seorang ayah daripada seorang
demang yang menghadapi lawan di peperangan. Demikian
juga agaknya Swandaru dan Agung Sedayu. Bahkan segenap
orang-orang Sangkal Putung. Bukan saja orang-orang
Sangkal Putung, sebagian prajurit-prajurit Pajang sendiri
merasa apa yang dilakukan oleh Sidanti itu merupakan
penghinaan dan tantangan yang harus segera mendapat
pelayanan sewajarnya. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing. "Ki Demang
benar. Kita tidak dapat membuat pertimbangan dari segi yang
timpang. Kita tidak boleh memberatkan kepentingan Angger
Untara sebagai seorang Senopati Pajang. Tetapi kita pun tidak
boleh hanya menuruti perasaan sendiri. Harga diri yang
berlebih-lebihan sebagai laki-laki pilihan. Harga diri yang
terbakar karena penghinaan itu. Dengan demikian, maka
kalian sudah kehilangan sasaran yang sebenarnya. Angger
Untara terlalu memberatkan tugasnya sebagai seorang
senopati, sedang Ki Demang terlalu dibebani oleh nilai-nilai
kejantanan yang sedang terhina. Namun kedua-duanya tidak
akan menguntungkan Sekar Mirah. Terlalu cepat maupun
terlalu lambat." "Ki Tanu Metir," sahut Ki Demang, "Mirah adalah seorang
gadis yang berada di antara laki-laki yang buas. Apakah yang
dapat terjadi padanya?"
"Bermacam-macam," sahut Kiai Gringsing.
"Nah, bukankah Kiai menyadari kemungkinan yang
bermacam-macam itu?" bertanya Ki Demang.
"Ya, bermacam-macam. Di antaranya mencincang Sekar
Mirah dan mengikat mayatnya di pintu gerbang yang akan kita
lalui dengan pasukan segelar sepapan."
"He," mata Ki Demang terbeliak. Namun kemudian wajah yang
menyala itu tertunduk lesu. Jawaban Kiai Gringsing tepat
mengenai sasarannya. Kemungkinan itu pun memang dapat
terjadi seperti kemungkinan-kemungkinan yang lain.
"Tetapi, lalu bagaimana?" terdengar suara Ki Demang
menurun. Kini kembali pringgitan itu terdampar pada kesenyapan yang
tegang. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri.
Apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan untuk
membebaskan kembali Sekar Mirah dari tangan Sidanti"
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi kian gelisah, seakanakan
mereka itu duduk di atas bara. Terdengar gigi mereka
gemeretak dan nafas mereka saling memburu. Di sisi mereka,
Sutawijaya duduk tepekur. Kepalanya menjadi pening.
Sebenarnya banyak hal yang ingin dikatakannya, tetapi ia
harus kembali ke Pajang. Tidak mungkin baginya untuk
menolak perintah ayahnya lagi. Karena itu betapa kecewanya,
betapa ia menyesal telah mengajak kedua anak-anak muda
itu. dan kini ia dikecewakan pula karena ia tidak mendapat
kesempatan untuk ikut serta merebut kembali Sekar Mirah.
Bukan karena Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik,
tetapi Sutawijaya pun merasa tersinggung pula atas perbuatan
Sidanti itu. Dalam pada itu terdengar suara Ki Demang bernada rendah,
"Apakah aku akan membiarkan secercah noda melekat pada
kademangan ini karena keluargaku" Apakah aku harus
membiarkan Sekar Mirah menjadi korban karena persoalan
yang seharusnya dipikul oleh kekuatan jantan di kademangan
ini" Oh, persoalan itu akan menjadi saling mengait. Seperti
senjata Sidanti yang mengerikan itu. nenggal beujung
rangkap. Dengan ujung dan pangkalnya, ia mampu membuat
kita luka rangkap sekali gerak."
"Itulah yang sebenarnya kita hadapi, Ki Demang," sahut Ki
Tanu Metir. "Dengan demikian kita harus berhati-hati
menghadapinya. Kita tidak boleh tergesa-gesa tanpa
memperhitungkan setiap kemungkinan. Namun yang pertamatama
harus kita perhatikan adalah keselamatan Sekar Mirah.
Kalau kita berhasil membebaskan Sekar Mirah dengan
selamat, maka kedua-duanya telah dapat kami jawab
sekaligus, seperti kita juga menggerakkan senjata yang tajam
di kedua ujungnya." "Ya, demikianlah," gumam Ki Demang. "Tetapi, bagaimana"
Pertimbangan dan pertimbangan saja tidak akan banyak
bermanfaat." "Memang tidak bermanfaat. Tetapi perbuatan tanpa
pertimbangan pun akan sama saja jeleknya."
"Baiklah, Kiai," berkata Ki Demang, "sekarang bagaimana
pertimbangan Kiai?" Kiai Gringsing menegakkan punggungnya. Seakan-akan
punggung itu menjadi sangat pegal. Kemudian orang itu pun
menarik nafasnya dalam-dalam.
Kepada Untara Kiai Gringsing itu pun bertanya, "Angger
Untara, apakah ada kekuatan yang cukup kini di Sangkal
Putung?" Untara memandang wajah orang tua itu dengan penuh
pertanyaan. Senopati di tempat itu adalah dirinya. Tetapi
agaknya Kiai Gringsing mampu pula membuat perhitunganperhitungan
menurut tata keprajuritan.
Namun Untara tahu benar, bahwa Kiai Gringsing memang
bukan orang kebanyakan, sehingga dengan demikian ia
merasa tidak berkeberatan untuk menjawab. "Tidak terlampau
cukup Kiai. Ebagian dari prajurit Pajang sedang mengawal
orang-orang Jipang yang telah menyerah bersama Ki Gede
Pemanahan. Mereka sampai saat ini belum kembali. Bahkan
menurut Ki Gede Pemanahan, akan datang pula sepasukan
prajurit yang lain, yang harus pergi bersama aku ke Jati Anom
untuk menyelesaikan persoalan Sanakeling dan Sidanti."
"Bagus," berkata Kiai Gringsing. "Jadi akan datang pasukan
baru yang segar, sedang yang lain tetap berada di Sangkal
Putung ini bersama Angger Widura?"
*** "Demikianlah seharusnya menurut perhitungan Ki Gede
Pemanahan. Sebab Ki Tambak Wedi dapat dengan tiba-tiba
saja berada di sekitar tempat ini selagi kita berada di Jati
Anom." Kini Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya satu demi satu anak-anak muda yang sedang
dilanda oleh arus kemarahan yang hampir tak tertahankan.
Tetapi Kiai Gringsing sendiri tidak segera menemukan jalan,
bagaimanakah sebaiknya yang harus dilakukan.
Dalam keheningan yang kemudian mencengkam pringgitan itu
terdengar beberapa kali Swandaru berdesah. Sekali-sekali ia
menggeser duduknya dengan gelisah.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi yang lebih dulu bertanya adalah Agung Sedayu, "Lalu
bagaimana Kiai" Apakah yang harus kita kerjakan?"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Kita harus berpikir dengan kepala yang dingin. Kita
harus mampu mempertimbangkan tanpa diburu oleh nafsu
supaya perimbangan kita menjadi jernih."
"Ya, lalu bagaimana perimbangan yang jernih itu?" sahut
Swandaru. "Apakah kita harus pergi segelar sepapan ke Jati
Anom ataukah kita harus menunggu saja?"
Adalah sangat sulit untuk menenangkan hati anak-anak muda
itu. karenanya maka Kiai Gringsing pun harus segera berbuat
sesuatu untuk memecahkan ketegangan hati mereka. Kalau
ketegangan yang telah memuncak itu tidak dapat tersalur
secara wajar, maka mereka pasti akan berbuat sesuatu yang
justru menguntungkan Sidanti. Bukan mustahil kalau Ki
Tambak Wedi telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk
menjebak mereka. Rencana penculikan itu pun mungkin
adalah hasil dari perasan otak hantu tua itu. karena itu maka
yang harus dilakukannya adalah terlampau rumit.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing itu harus menemukan
suatu pemecahan. Pemecahan yang tidak membahayakan
Sekar Mirah, tidak merugikan Untara sebagai senopati yang
mempunyai tanggung jawab yang besar. Bukan hanya
sekedar soal Sekar Mirah saja, tetapi persoalan yang jauh
lebih luas lagi, namun tidak pula menahan arus kemarahan
anak-anak muda itu, Swandaru dan Agung Sedayu. Karena itu
maka orang tua itu pun berkata, "Swandaru, marilah kita lihat
persoalan ini dari beberapa kemungkinan. Di antaranya
adalah, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan Sekar
Mirah sebagai perisai."
"Tidak, Kiai," sahut Swandaru, "Sidanti benar-benar
memerlukan Sekar Mirah sebagai kelanjutan hubungan
mereka di kademangan ini dahulu. Dengan demikian maka
sangat besar kemungkinannya bahwa Sekar Mirah akan tetap
hidup. Tetapi akibat-akibat lain daripada itulah yang harus
kami cegah." "Mungkin juga, tetapi ada juga kemungkinan yang lain. Kalau
Sidanti harus lari meninggalkan padepokannya karena
serbuan pasukan Sangkal Putung dan Pajang, maka Sidanti
tidak akan sempat membawa gadis itu. Nah, daripada ia
kehilangan Sekar Mirah, maka lebih baik baginya apabila
Sekar Mirah itu dibinasakannya sama sekali. Itulah yang harus
kita hindari." "Oh," Swandaru memegang kepalanya dengan kedua
tangannya, "soal itu akan selalu kembali dan melingkarlingkar.
Tetapi kita tidak dapat membiarkannya dengan
berbantah tanpa berbuat sesuatu di sini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Muridnya itu agak
terlampau berani menjawab setiap kata-katanya. Tetapi Kiai
Gringsing yang sudah lanjut itu dapat mengerti, apakah
sebabnya maka Swandaru dan Agung Sedayu itu seakanakan
menjadi kehilangan pengamatan diri.
Maka jawab orang tua itu kemudian, "Karena itu Swandaru.
Coba dengarlah, aku akan memberikan beberapa cara yang
mungkin dapat ditempuh." Kiai Gringsing berhenti sejenak.
Kepada Untara ia berkata, "Angger. Senapati di daerah ini
adalah Angger Untara. Meskipun demikian perkenankanlah
saya mengusulkan beberapa cara yang mungkin dapat
ditempuh." "Silahkanlah, Kiai," sahut Untara.
"Apakah pasukan yang sekarang mengawal orang-orang
Jipang ke Pajang itu akan segera kembali dan bahkan
bersama-sama dengan pasukan yang baru untuk Angger
Untara?" "Demikianlah menurut Ki Gede Pemanahan."
"Bagus. Kalau yang berkata demikian adalah Ki Gede
Pemanahan maka pasti akan terjadi," sejenak Kiai Gringsing
itu berhenti, kemudian diteruskannya, "Kalau demikian, maka
sebaiknya Angger Untara menunggu kedatangan pasukan itu
di sini." "Kenapa harus menunggu Kiai," potong Agung Sedayu,
"bagaimana kalau pasukan itu tidak segera datang?"
"Kita tinggal akan menemukan Sekar Mirah yang telah
menjadi klaras. Menjadi daun yang telah kering tanpa arti,"
sambung Swandaru. "Tunggu dulu," sahut Kiai Gringsing, "bukan maksudku bahwa
kita hanya menunggu saja sampai pasukan itu datang. Kita
harus memperhitungkan, bahwa di belakang Sidanti dan
Sanakeling itu berdiri Ki Tambak Wedi," Kiai Gringsing itu
terdiam sejenak. Tampaklah kerut-merut menjadi semakin
dalam di dahinya. Kemudian ia berkata pula, "Kita harus
bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agal ataupun halus.
Karena itu pasukan Angger Untara itu sangat kami perlukan.
Namun sementara itu kita tidak akan tinggal diam. Kita harus
berusaha mendekati padepokan Ki Tambak Wedi dengan
diam-diam. Nah, tugas itu dapat diserahkan kepadaku."
"Bersama aku," hampir bersamaan Agung Sedayu dan
Swandaru berteriak. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik,
baik," katanya, "kami bertiga pergi mendahului pasukan
Pajang. Tetapi pesanku Sangkal Putung jangan dikosongkan.
Sangkal Putung harus tetap dijaga dengan kekuatan yang
cukup. Ini adalah tugas Angger Widura. Mudah-mudahan kita
dapat memecah perhatian Ki Tambak Wedi, seperti Ki
Tambak Wedi berhasil membuat kepala kita menjadi pening.
Mudah-mudahan perhatian KI Tambak Wedi tertarik pada
pasukan Untara yang segera akan mendekati padepokan
mereka. Sementara itu kami bertiga mendapat kesempatan
untuk mendekat. Mudah-mudahan kita akan dapat melihat
setidak-tidaknya mendengar nasib Sekar Mirah."
Pringgitan itu kini terdiam, seakan-akan ingin mencernakan
kata-kata Kiai Gringsing itu. Beberapa otang saling
berpandangan untuk mendapatkan pertimbangan, meskipun
hanya lewat sorot mata masing-masing.
Ki Demang Sangkal Putung mengagguk-anggukkan
kepalanya sambil berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
Yang mula-mula berbicara adalah Widura, yang selama ini
lebih mendengarkan daripada menyatakan pendapatnya,
katanya, "Apakah menurut pertimbangan Kiai, Ki Tambak
Wedi masih akan kembali lagi ke kademangan ini" Apakah Ki
Tambak Wedi mempunyai kepentingan yang sama seperti
Tohpati terhadap Sangkal Putung?"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
"Aku kira demikian. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat
menyediakan makan yang cukup untuk waktu yang panjang
kepada Sanakeling dan anak buahnya. Mereka pada suatu
saat pasti memerlukan lumbung yang dapat disadap untuk
kepentingan makan mereka."
"Apakah tidak ada daerah yang lebih dekat dari Sangkal
Putung, Kiai. Misalnya Jati Anom."
"Tentu mungkin. Tetapi kenapa Tohpati memilih kademangan
ini daripada kademangan-kademangan lain" Pasti Tohpati itu
pun mempunyai alasan yang telah memaksanya berbuat
demikian. Bukan mustahil bahwa Ki Tambak Wedi pun
mempunya pilihan yang sama. Sebab menurut penilaian oangorang
di luar kademangan ini, di Sangkal Putung tersimpan
kekayaan yang berlipat ganda dibandingkan dengan
kademangan-kademangan yang lain, sehingga pengorbanan
yang diberikan untuk merebut kademangan ini tidak akan siasia."
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Di dalam
hati kecilnya terbersit pula secercah kebanggaan atas pujian
itu, tetapi kebanggaan itu benar-benar harus ditebus dengan
sangat mahal. Bahkan kini anak gadisnya harus direbutnya
dari tangan orang-orang yang memuakkan itu.
Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seperti
Ki Demang ia merasa, bahwa Sangkal Putung menelan
tebusan yang mahal. Tetapi Widura adalah seorang prajurit.
Seorang prajurit yang bukan saja harus mempertahankan
lumbung-lumbung yang akan dapat memberi makan kepada
lawan, tetapi prajurit memang harus melindingi hak dan milik
rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu, seandainya Sangkal
Putung itu tak ada apa-apa pun, adalah kuwajiban setiap
prajurit Pajang untuk menjaga dan melindunginya dari pihakpihak
yang dapat menelan daerah itu, memperkosa hak dan
kemanusiaan. Yang bertanya kemudian adalah Swandaru, "Nah, apakah kita
akan berangkat sekarang?"
"Jangan tergesa-gesa dan kehilangan perhitungan," jawab
gurunya. "Beristirahatlah. Besok kita berangkat setelah kita
membuat persiapan-persiapan secukupnya."
"Kenapa besok, guru?" sahut Agung Sedayu. "Waktu yang
sekejap sangat berguna bagi kita. Yang sekejap itu akan
dapat meluluhkan segenap masa depan bagi Sekar Mirah.
Yang sekejap itu akan bernilai seumur hidupnya."
"Itu kalau kita dapat memanfaatkan waktu yang sekejap itu,"
sahut Kiai Gringsing. "Tetapi kalau kita gagal sama sekali
karena kita ditelan oleh nafsu, maka bagi kita bukan saja
kehilangan waktu yang sekejap, tetapi kita akan kehilangan
semuanya. Sekarang sebaiknya kita beristirahat. Kita dapat
menilai pembicaraan ini. Mungkin kita akan menemukan
pikiran-pikiran yang ternyata lebih bernilai dari pikiran-pikiran
yang kita temukan dengan tergesa-gesa dalam pertemuan ini.
Pertemuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu
kemarahan, kecemasan dan ketergesa-gesaan daripada
perhitungan yang cermat. Apalagi perhitungan yang
bersasaran luas. Hubungan yang bersangkut-paut dengan
sikap Pajang terhadap Sanakeling dan Sidanti dan sikap
Sangkal Putung atas hilangnya Sekar Mirah. Kita masingTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
masing tidak dapat memandang dari satu segi. Sebab keduaduanya
memiliki nilainya sendiri-sendiri yang tak dapat saling
dipisahkan." Ki Demang Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ia
mencoba untuk dapat mengerti keterangan itu. Keterangan Ki
Tanu Metir. Ketika ia memandang Untara, maka anak muda
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Tanu
Metir benar-benar berpandangan cukup luas, mencakup
segenap kepentingan yang dihadapi. Untuk mendapatkan
Sekar Mirah bukan berarti dapat merusak segenap rencana
sikap yang harus ditempuh oleh para prajurit Pajang. Sekar
Mirah bagi Pajang hanya merupakan salah satu soal dari
seribu macam soal yang harus diatasi. Meskipun demikian
Untara tidak akan dapat mengabaikannya. Apalagi Untara
menyadari, bahwa adiknya, Agung Sedayu dan Swandaru
benar-benar terbakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah.
Demikianlah maka akhirnya pertemuan itu pun dibubarkan.
Swandaru segera pergi ke bilik ibunya. Ditemuinya ibunya
masih juga menangis ditunggui oleh beberapa orang
perempuan. Ketika dilihatnya Swandaru masuk ke dalam
biliknya maka tiba-tiba tangisnya mengeras. Seakan-akan
diteriakkan kepedihan hatinya sepuas-puasnya.
"Oh, anakku Ngger, kemana kau pergi selama ini"
Sepeninggalmu ternyata adikmu hilang dicuri orang. Apakah
kau akan membiarkannya saja" Apakah kau tidak akan
berusaha untuk mengambilnya kembali" Swandaru, kalau
adikmu tidak dapat diketemukan, o, lebih baik aku mati saja
sama sekali." Dada Swandaru seakan-akan terbelah mendengar tangis
ibunya. Dengan dada yang sesak ia berjongkok di samping
pembaringan ibunya. Perlahan-lahan ia berkata, "Ibu, aku
berjanji bahwa aku akan mengambil Sekar Mirah kembali
bersama kakang Agung Sedayu dan guru Kiai Gringsing. Aku
tidak akan kembali sebelum aku membawa anak itu
menghadap ibu." Mendengar janji anaknya, tangis ibunya bahkan seakan-akan
meledak. Namun di antara suara tangisnya terdengar ia
berkata, "Tidak sia-sia aku melahirkanmu Swandaru. Kau
adalah anak laki-laki yang harus dapat aku banggakan.
Ayahmu menjadi semakin tua. Kaulah yempat kami
bergantung. Juga kali ini."
Terasa dada Swandaru itu seolah-olah menggelegak. Hampirhampir
ia kembali kehilangan pengamatan diri. Hampir-hampir
ia meloncat dan berteriak, bahwa mala mini juga ia akan
berangkat ke lereng Merapi. Tetapi kemudian kesadarannya
berhasil mengekangnya. Ia tidak dapat memaksa gurunya
berangkat sekarang. Ia pun tidak akan dapat berangkat sendiri
masuk ke dalam sarang hantu Merapi itu. Karena itu, maka
betapa dadanya menjadi sesak, namun ia harus bersabar
sampai gurunya bersedia membawanya pergi.
Bilik itu pun kemudian sepi. Yang terdengar hanyalah isak
tangis Nyai Demang yang sedang kehilangan anak gadisnya.
Hilang diseret masuk ke dalam sarang yang penuh dengan
serigala yang sedang kelaparan.
Ternyata sisa malam itu sama sekali tidak bermanfaat apapun
bagi pemimpin-pemimpin Sangkal Putung dan prajurit-prajurit
Pajang di Sangkal Putung. Mereka tidak berhasil menemukan
pikiran-pikiran baru, meskipun mereka sama sekali tidak dapat
memejamkan mata mereka. Dengan demikian mereka tidak
juga dapat beristirahat. Malam itu, di padepokan Ki Tambak Wedi, Sidanti duduk
menunggui Sekar Mirah. Sekali-sekali terdengar isak gadis itu
memecah kesenyapan. Namun kemudian yang terdengar
adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi betapa kemarahan
memuncak di dalam dada Sekar Mirah, namun ia sama sekali
tidak dapat berbuat sesuatu.
Tiba-tiba Sekar Mirah terkejut ketika ia mendengar suara
Sidanti. Meskipun suara itu hanya perlahan-lahan, namun
sudah cukup untuk menghentak dadanya. "Mirah."
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya mata Sidanti yang memerah
liar seperti mata binatang buas yang ingin menerkam
mangsanya. "Kau sekarang berada di padepokanku. Di padepokan guruku.
Kanapa agaknya kau tidak merasa senang di sini?"
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi sorot matanya
mamancarkan kebencian yang tiada taranya.
"Kau tidak usah mengingkari, bahwa perasaan kita pernah
bertaut. Betapapun orang lain menyebut aku sebagai seorang
yang paling kotor di muka bumi ini, tetapi aku memiliki
kesetiaan. Apakah kau jua memilikinya" Kau yang dikatakan
orang sebagai sekar lati kademangan Sangkal Putung itu?"


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Mirah masih berdiam diri.
"Aku tidak akan dapat melupakannya Mirah. Aku sadar bahwa
kedatangan setan kecil yang bernama Agung Sedayu itu telah
mengganggu hubungan kita. Aku sadar pula, bukan saja
hubungan kita telah diganggunya, tetapi namaku di mata
orang-orang Sangkal Putung telah direbutnya. Anak itu
berhasil memenangkan perlombaan memanah di alun-alun di
muka Banjar Desa Sangkal Putung. Bahkan sebalumnya,
kedatangannya untuk menyelamatkan Sangkal Putung telah
mendesak kebanggaanku sebagai anak muda yang paling
jantan di kademangan itu." Sidanti berhenti sejenak.
Ditatapnya wajah Sekar Mirah. Tetapi wajah itu seakan-akan
menyala karena kemarahan yang membara di dalam dadanya.
"Mirah," Sidanti meneruskan, "itulah sebabnya maka
dendamku kepadanya bertimbun-timbun sampai ke langit.
Apalagi pada saat terakhir ini datang pamanku dari Menoreh.
Adalah kebetulan sekali bahwa paman yang bernama
Argajaya itu bertemu dengan tiga anak-anak muda si
perjalanan. Aku tahu pasti bahwa kedua dari anak-anak muda
itu pasti Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka telah
menghinakan Paman Argajaya itu pula. Sehingga
kemarahanku tidak dapat lagi aku tahankan. Itulah sebabsebab
yang telah mendorongku mengambil kau dari Sangkal
Putung." "Pengecut!" tiba-tiba Sekar Mirah itu berteriak sehingga
Sidanti terkejut karenanya. "Kau tidak berani berhadapan
dengan sikap jantan dengan Kakang Agung Sedayu dan
Kakang Swandaru yang pernah kau tampar pipinya beberapa
kali itu, karena mereka kini telah menemukan guru yang dapat
menyaingi gurumu. Sekarang kau hanya berani mengambil
aku, seorang gadis yang lemah."
Sidanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa.
"Mirah, dengan mengambil kau dari Sangkal Putung aku akan
mendapatkan beberapa kemenangan sekaligus. Bukankah
dengan demikian adalah pertanda bahwa Sidanti mempunyai
banyak kelebihan dari orang-orang Sangkal Putung. Kalau
tidak, bagaimana mungkin aku dapat masuk ke dalam
kademangan itu dan mengambilmu" Alangkah ringkihnya
pertahanan kademangan itu sekarang sepeninggalku.
Seorang gadis, puteri Demang Sangkal Putung masih juga
sempat dilarikan orang."
"Tutup mulutmu!" potong Sekar Mirah beras-keras.
Kembali Sidanti terkejut, tetapi kembali ia tertawa. Bahkan ia
berkata, "Bukankah cara ini merupakan cara yang paling baik
untuk menantang salah seorang daripada kedua anak muda
itu. Agung Sedayu atau Swandaru. Apabila mereka benarbenar
jantan, maka mereka pasti akan mengambilmu kemari.
Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari betina-betina pengecut.
Sudah lebih dari sehari semalam kau berada d padepokan ini,
tak seorang pun datang menyusulmu. Apa yang disebut
pasukan Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang itu pun
sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk membelamu."
"Kau mengigau," jawab Sekar Mirah. "Kau mengambil
kesempatan pada saat Kakang Agung Sedayu dan Kakang
Swandaru tidak ada di kademangan. Kau hanya berani
berbuat demikian selagi mereka tidak ada. Apakah dengan
demikian kau merasa bahwa kau telah berbuat secara jantan.
Bukankah kau sendir betina pengecut tiada taranya?"
"Oh," Sidanti mengernyitkan keningnya, "jadi apakah saat ini
Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada di rumah" Aku sama
sekali tidak mengetahuinya. Bahkan aku mengharap, bahwa
aku akan dapat bertemu dengan mereka. Bertempur melawan
keduanya di sarang mereka sendiri."
"Bohong!" potong Sekar Mirah. "Kau sendiri mengatakan,
bahwa pamanmu secara kebetulan bertemu dengan kedua
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Di mana mereka
bertemu" Mereka sama sekali tidak bertemu di Sangkal
Putung." Sidanti terkejut mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia tidak
menduga sama sekali bahwa gadis itu ternyata cukup cerdas
menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tak
diduganya bahwa ia mampu mempertentangkan kata-katanya
yang dianggapnya berlawanan.
Tetapi sejenak kemudia Sidanti itu pun berhasil menguasai
perasaannya kembali. Dengan demikian maka ia menjadi
tenang, dan bahkan kembali tertawa. Katanya, "Mirah, aku
tidak menyangka bahwa kau memiliki otak yang cerdas. Aku
sangka kau hanya mampu mengingat macam-macam bumbu
di dapur untuk bermacam-macam jenis masakan. Namun
agaknya kau mampu juga menangkap tentangan-tentangan
yang ada di sepanjang ceriteraku. Bagus. Baiklah aku berkata
sebenarnya, bahwa memang Paman Argajaya bertemu
dengan Agung Sedayu dan Swandaru di Prambanan. tetapi
kemudian paman itu sudah berjalan sampai di padepokan Ki
Tambak Wedi ini. Menurut perhitungan, maka jarak antara
Prambanan kemari dan Prambanan ke Sangkal Putung tidak
terlampau banyak terpaut. Sehingga dengan demikian maka
Agung Sedayu dan Swandaru pasti sudah ada di kademangan
pada saat aku mengambilmu."
"Bohong! Kau bohong! Kalau kau katakan, bahwa kau ingin
bertemu dengan mereka, maka kau pasti sudah berdusta.
Bukankah aku mempunyai ayah" Kalau kau jantan dan
berkesopanan kau akan datang kepada ayah. Minta aku untuk
kau bawa kemari. Kalau ayah tidak boleh, maka kau tantang ia
berkelahi dalam perang tanding. Kalau ayah tidak bersedia
melakukan sendiri, ayah dapat menunjuk orang lain. Kakang
Untara misalnya atau Paman Widura yang pada saat itu
berada di kademangan."
Sidanti itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia
menjawab, "Perbuatanku ini pun aku tujukan pula kepada
mereka berdua. Apakah gunanya prajurit-prajurit Pajang itu
berada di Sangkal Putung" Mereka hanya mampu
menghabiskan beras rakyat Sangkal Putung tanpa dapat
berbuat sesuatu. Kau, anak Demang Sangkal Putung, yang
member para prajurit itu makan pagi, siang, dan malam, hilang
tanpa seorang pun yang mencarinya?"
Terdengar gigi Sekar Mirah gemeretak. Kemarahannya benarbenar
telah mendidihkan segenap urat darahnya. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya wajahnyalah yang
menjadi merah menyala dan matanya bagaikan berlapis
darah. "Mirah," tiba-tiba suara Sidanti menjadi lunak, "kau tidak usah
marah. Marilah kita kenang kembali masa-masa di mana kita
selalu bersama-sama. Bukankah kau sering memijit pundakku
apabila tanganku kelelahan dalam peperangan" Bukankah
kau juga yang membalut lenganku yang terluka ketika aku
berkelahi melawan Tohpati" Mirah. Aku tahu bahwa kau tidak
dapat melupakan aku seperti aku tidak dapat melupakan kau."
"Diam!" teriak Sekar Mirah. Tetapi Sidanti tertawa. Bahkan
kemudian ia pun berdiri sambil menggeliat.
"Padepokan ini adalah padepokan guruku. Guruku tidak
berputra dan berputri. Akulah muridnya dan aku pulalah
anaknya. Aku mempunyai kekuasaan di sini seperti
kekuasaan Ki Tambak Wedi sendiri. Nah, renungkan katakataku.
Aku sengaja membawamu untuk banyak kepentingan.
Memancing orang-orang Sangkal Putung untuk masuk ke
dalam perangkapku, termasuk orang-orang Pajang. Dan
apabila kau tetap berkeras kepala, maka aku akan
mendapatkan kau dengan tidak ada rasa hormat sama sekali.
Aku dapat berbuat apa saja."
Dada Sekar Mirah hampir meledak karenanya. Tetapi sebelum
ia menjawab, maka Sidanti itu pun telah melangkah pergi
meninggalkannya seorang diri.
"Tinggallah di situ sampai ada perubahan keadaan yang akan
membawamu ke luar," kata-kata itu terlontar dari sisi pintu
yang sesaat kemudian telah didorong dan terbanting keras.
Kembali Sekar Mirah tersekat dalam bilik tertutup. Kembali ia
melihat dinding-dinding yang membatasi ruangan itu, seperti
memisahkannya dari dunia yang membatasi ruangan itu. Tibatiba
ia merasa terdampar ke dalam sebuah dunia yang asing.
Dunia yang sempit yang dipenuhi oleh perasaan benci,
dendam, muak, dan bahkan putus asa.
Dada Sekar Mirah itu pun semakin lama menjadi semakin
sesak. Nafasnya seakan-akan tersumbat di kerongkongannya.
Sejenak kemudian ia terhenyak dalam perasaan yang tidak
menentu. Namun tiba-tiba ia pun berteriak sedemikian
kerasnya sambil menjatuhkan dirinya telungkup ke atas
sebuah amben bambu. Sekar Mirah itu kini sama sekali tidak dapat menahan
tangisnya yang meledak-ledak tanpa dapat dikendalikan.
Tetapi betapa kerasnya ia menangis, ia masih mendengar
tiba-tiba pintu bilik itu pun terbuka kembali. Ia melihat Sidanti
dengan tergesa-gesa meloncat masuk sambil berteriak pula,
"Kenapa kau, Sekar Mirah?"
Oleh pertanyaan itu justru tangis Sekar Mirah terhenti.
Diangkatnya kepalanya dan dipandanginya anak muda itu
dengan sorot mata semerah nyala api. "Pergi! Pergi kau
pengecut! Kau hanya berani berbuat atas seorang gadis.
Kalau kau jantan, ayo, tantang Agung Sedayu untuk
berperang tanding!" Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berlega
hati ketika ia melihat Sekar Mirah masih sanggup mengangkat
wajahnya dan mengumpatnya.
"Kau mengejutkan aku Mirah, bahkan guruku pun terkejut,
sehingga disuruhnya aku menengokmu."
"Aku tidak memerlukan kau."
"Baik-baik. Kini kau tidak memerlukan aku. Tetapi suatu ketika
kau akan merasa sepi. Dan kau akan menganggap aku adalah
satu-satunya temanmu yang paling baik di sini."
"Enyah, enyah kau dari sini!"
"Alangkah kerasnya hatimu Mirah. Tetapi hati yang keras itu
pun pasti akan lekas dapat aku patahkan."
"Hanya mautlah yang dapat mematahkan hatiku," bentak
Sekar Mirah. Mendengar jawaban itu hati Sidanti Berdesir. Disadarinya
bahwa gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah puteri
Demang Sangkal Putung dan adik seorang anak muda yang
bernama Swandaru Geni. Betapa keras hati ayah dan
kakanya, maka hati gadis inipun pasti tidak jauh terpaut
daripada mereka. Namun justru karena itulah, maka hasrat di dalam hati Sidanti
untuk menaklukkannya pun menjadi semakin besar. Semakin
keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di
dalam dada Sidanti. Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan
kasar, maka Sidanti merasa bahwa kesanggupan yang ada di
dalam dirinya pasti mratani. Juga untuk menundukkan gadis
ini. Sejenak kemudian maka kembali Sidanti tersenyum. Sambil
melangkah ke pintu ia berkata, "Baiklah Mirah. Aku menyadari
bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang
garang. Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhatihati,
tetapi aku harus bersabar hati."
Sekar Mirah kini tidak mau menjerit lagi. Ia tahu bahwa jeritnya
pasti akan mengundang Sidanti itu masuk kembali ke dalam
biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau jauh.
"Lebih baik aku mati daripada di jamah oleh iblis itu," desis
Sekar Mirah di dalam hatinya. TIba-tiba tangannya meraba
ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika tangannya
menyentuh sebuah benda yang kecil. Patremnya masih
terselip diikat pinggangnya.Ternyata kemarin Sidanti tidak
mengetahuinya, pada saat membawanya ke lereng ini dalam
keadaan pingsan. "Kalau ia mendekat, maka patrem ini akan membunuhnya
atau membunuh diriku sendiri."
Tetapi terasa bilik itu menjadi semakin sempit. Ketika kembali
malam mencekam lereng Gunung Merapi, maka kembali bilik
kecil itu menjadi gelap. Tetapi hati Sekar Mirah jauh
melampaui gelapnya malam yang paling pekat sekalipun.
Ketika Sekar Mirah mendengar pintu bergerit cepat-cepat ia
bergeser menjauh. Tangannya segera melekat pada tangkai
patremnya yang kecil. Tetapi patrem itu akan dapat mencapai
jantungnya apabila ditusukkannya tepat di dada.
Tetapi yang masuk adalah seorang yang bertubuh kecil.
Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu. Ketika terlihat
olehnya Sekar Mirah berdiri di sudut bersandar dinding, maka
tampaklah seleret giginya yang kemerah-merahan oleh sinar
pelita yang dibawanya. "Heh, heh, heh," terdengar orang kecil itu tertawa, " aku
mendapat tugas untuk memasang lampu ini Sekar Mirah.
Jangan takut." Sekar Mirah tidak menyahut. Ia menjadi ngeri melihat wajah
itu. Kecil tapi liar. Ketika orang yang bertubuh kecil itu telah meninggalkan
biliknya, maka kepedihan di dalam dada Sekar Mirah menjadi
semakin menyekat dadanya. Kini biliknya tidak lagi menjadi
gelap. Sebuah pelita yang kecil telah terpancang di dinding.
Tetapi justru sinar yang samar-samar itu telah menjadikan
Sekar Mirah bertambah ngeri.
"Oh," desahnya, "kenapa aku terlempar ke dalam sarang
hantu-hantu semacam ini." Namun ketika terasa dadanya
mendesak air matanya menetes, ditahannya hatinya. Ia harus
tetap dapat menguasai dirinya. Ia harus tetap melihat dan
mendengar keadaan di sekitarnya.
"Aku tidak boleh tenggelam," desahnya.
Pada saat yang bersamaan, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu
menunggu di depan pendapa Kademangan Sangkal Putung
dengan gelisah. Keberangkatan mereka tertunda karena
perkembangan keadaan di Sangkal Putung. Hari itu datang
seorang pesuruh dari Pajang yang mengabarkan bahwa
pasukan Pajang sedang di perjalanan. Pasukan yang akan
diberikan kepada Untara untuk menghadapi hantu di lereng
Merapi bersama Sanakeling dan pasukannya. Tetapi ternyata
sampai lewat senja pasukan itu belum juga datang.
"Kenapa kita harus menunggu Kiai?" bertanya Agung Sedayu.
"Maksudku, aku akan dapat melihat pasukan itu lebih dahulu.
Kemudian apabila kita dapat melihat kekuatan Tambak Wedi,
maka segera kita akan dapat membuat perbandingan."
"Ah. Apakah kita perlu menunggu lebih lama lagi?" bertanya
Swandaru pula. Biarlah kita berangkat. Hari telah menjadi
gelap. Kita telah kehilangan waktu lagi satu hari."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah kita segera berangkat. Lebih baik kita berangkat lebih
dahulu." Kiai Gringsing itu pun segera menemui Untara dan Widura.
Diberitahukannya kepada Senapati itu bahwa ia tidak dapat
menunggu lebih lama lagi.
"Kalau keberangkatan kami tertunda, Ngger, maka akibatnya
pasti kurang baik bagi adikmu, Ki Demang dan Swandaru.
Apalagi kalau kedatangan kami di lereng Merapi ternyata
terlambat, maka kesalahan pasti akan ditimpakan kepadaku
dan Angger." Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Tetapi
Untara masih mencoba menahannya, "Aku kira pasukan itu
pasti datang hari ini Kiai. Kiai akan segera dapat melihat
kekuatan itu dan langsung dapat menilainya. Perjalanan Kiai
kemudian akan mendapat dua nilai sekaligus. Melihat
keadaan Sekar Mirah dan memperbandingkan kekuatan kita
dan kekuatan Tambak Wedi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudut
pandangan itu akan bermanfaat bagi Untara sebagai seorang
Senapati. Tetapi ia tidak sampai hati untuk membiarkan kedua
murid-muridnya menjadi tegang, Ketegangan itu akan
berbahaya bagi anak-anak muda. Mereka akan dapat
kehilangan pertimbangan dan bertindak di luar perhitungan
oleh desakan perasaan mudanya.
Karena itu sejenak Kiai Gringsing menjadi bimbang. Menurut
pendapatnya, selisih waktu yang beberapa saat pasti tidak
akan banyak pengaruhnya. Kalau Agung Sedayu dan
Swandaru dapat menunggunya lagi, maka prajurit Pajang itu
pasti akan datang, Namun perasaan kedua anak muda itu
agaknya telah mencengkam mereka, sehingga nalar mereka
tidak lagi dapat bekerja dengan baik.
"Angger Untara," berkata Kiai Gringsing itu kemudian,
"sebenarnya aku dapat mengerti perhitungan Angger. Tetapu
adik Angger itu benar-benar telah menjadi waringuten.
Demikian pula Swandaru. Kalau kami tidak segera berangkat,
aku menjadi cemas bahwa mereka akan pergi lebih dahulu
tanpa aku. Nah, apabila demikian keselamatan mereka pasti
terancam." Untara menarik nafas dalam-dalam. Demikian juga Widura.
Tetapi agaknya Widura yang telah lebih tua dari Untara itu
lebih dapat merasakan perasaan kedua anak-anak muda itu.
Karena itu maka katanya, "Untara, biarlah mereka berangkat.
Tetapi Kiai Gringsing pasti akan dapat mengatur perjalanan
mereka, sehingga mereka akan dapat melihat kekuatanmu
nanti di Jati Anom. Yang penting bagi mereka adalah segera
berangkat meninggalkan Sangkal Putung. Mereka hanya ingin
segera berbuat sesuatu."
Akhirnya Untara tidak dapat menahan Kiai Gringsing lebih
lama lagi, kalau dengan demikian akan berbahaya bagi
adiknya dan Swandaru. Meskipun demikian mereka sempat
juga membicarakan cara-cara yang terbaik untuk
menyelesaikan tugas mereka.
"Kalau malam ini pasukan itu telah datang, Kiai," berkata
Untara, "dalam waktu yang singkat aku pasti sudah berada di
Jati Anom. Kiai dapat melihat kekuatan itu di sana. Aku akan
memasang rontek dan umbul-umbul untuk sedikit memberi
sentuhan pada perasaan orang-orang Jipang. Mudahmudahan
mereka segera akan terpengaruh, sehingga mereka
pun akan menjadi berkecil hati."
"Bagus, Ngger," sahut Kiai Gringsing, "berilah tanda-tanda.
Kebesaran pasukanmu akan memperkecil daya tahan orangorang
Jipang. Dengan demikian, maka pekerjaanku mencari
Sekar Mirah pun akan menjadi lebih mudah. Mudah-mudahan
perhatian mereka terpecah. Mudah-mudahan mereka tidak
menjadi gila dan berbuat liar di luar batas-batas
perikemanusiaan atas Sekar Mirah."
"Baiklah, Kiai," berkata Untara kemudian, "mudah-mudahan
Kiai besok sempat menghubungi aku di Jati Anom untuk
segala keperluan." Kiai Gringsing pun segera mengabarkan kepada Agung
Sedayu dan Swandaru, bahwa mereka dapat berangkat
segera. Agung Sedayu dan Swandaru pun dengan tergesagesa
minta diri kepada Untara, Widura dan Ki Demang
berdua. Sekali lagi Swandaru berjanji kepada ibunya bahwa ia
akan membawa Sekar Mirah kembali bersama guru dan
saudara seperguruannya. Sedang ibunya melepas anak itu
seperti melepasnya masuk ke dalam api peperangan. Orang
tua mereka sadar, bahwa apa yang mereka lakukan adalah
lebih berbahaya daripada menghadapi lawan di dalam garis
perang. Sesaat kemudian maka mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung
Sedayu, dan Swandaru pun segera berangkat meninggalkan
induk Kademangan. Langkah mereka tampaknya tergesagesa
seakan-akan sesuatu telah menunggu mereka di luar
sana. Namun mereka hampir-hampir tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Yang terdengar hanyalah gemerisik langkah mereka. Kadangkadang
angin yang agak kencang bertiup menggerakkan
dedaunan. Dan malam pun menjadi semakin lama semakin
pekat, meskiupn di langit bintang bertabur seperti biji padi di
sawah. Tetapi tiba-tiba langkah mereka itu pun tertegun. Di kejauhan
mereka melihat dua tiga buah obor berjalan kea rah
Kademangan Sangkal Putung.
Sejenak mereka bertanya-tanya di dalam hati. Namun
kemudian terdengar Kiai Gringsing bergumam, "Aku kira
mereka itulah pasukan yang datang dari Pajang."
"Mungkin," sahut Agung Sedayu.
"Apakah kita akan menunggu?" bertanya Kiai Gringsing pula.
"Tidak," jawab Swandaru, "apakah gunanya?"
"Dengan pasukan itu kita akan lebih banyak dapat berbuat."
"Menyerang padepokan Ki Tambak Wedi?" bertanya
Swandaru, " Bukankah itu akan sangat berbahaya bagi Sekar
Mirah" Seperti tadi Kiai mengatakannya."
*** "Tidak, Swandaru. Tetapi pasukan itu dapat menarik perhatian
setiap orang di dalam padepokan itu, sehingga perhatian
mereka terbagi. Mereka tidak saja terikat untuk mengawasi
Sekar Mirah di dalam ruang yang menahannya."
"Pasukan itu dapat datang kemudian," berkata Agung Sedayu,
"Lebih baik kita berusaha memasuki padepokan itu. Apabila
kemudian pasukan kakang Untara datang maka keadaan kita
akan menjadi lebih baik. Kalau terjadi sesuatu dengan Sekar
Mirah karena pasukan kakang Untara, kita dapat
mengawasinya, dan mudah-mudahan dapat
membebaskannya." Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perasaan anakanak
muda yang sedang terbakar memang kadang-kadang
kurang mempunyai nilai pemikiran. Tetapi Kiai Gringsing tidak
membantah. Seperti seorang yang memancing ikan. Sekalikali
talinya diulurnya, Namun sekali-sekali ditariknya pula.
"Baiklah, Ngger. Kita tidak menunggu. Tetapi aku ingin melihat
jumlah pasukan itu."
"Apakah gunanya?"
"Kita akan membuat perbandingan."
"Itu adalah pekerjaan Kakang Untara," sahut Swandaru. "Itu
adalah pekerjaan petugas sandi dari Pajang. Tugas kita
adalah melepaskan Sekar Mirah."
Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam,
"Baiklah," katanya dalam nada yang rendah. Meskipun
demikian Kiai Gringsing itu sudah dapat menduga dengan
pasti bahwa segera Untara sudah berada di Jati Anom.
Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing itu pun tertegun. Dengan nada
yang datar ia berkata, "Apakah mereka itu benar-benar
pasukan dari Pajang yang akan diperbantukan kepada Angger
Untara?" Agung Sedayu dan Swandaru pun mengerutkan keningnya,
Dengan serta merta mereka bertanya, "Lalu siapakah mereka
itu, Kiai?" Kembali terdengar suara Kiai Gringsing, "Bagaimana kalau
mereka itu orang-orang Sanakeling atau orang-orang Sidanti
atau bahkan bersama-sama?"
Kedua anak muda itu tertegun. Terasa denyut jantung mereka
menjadi lebih cepat. "Apakah mungkin demikian?" desis Agung Sedayu.
"Kenapa tidak?" sahut Kiai Gringsing. "Mereka tahu bahwa
sebagian dari prajurit Pajang sedang pergi mengantarkan
orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemlalnahan.
Bukankah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang
Sangkal Putung?" "Kalau demikian, maka para penjaga dan para peronda pasti
akan mengetahuinya dan akan segera memberi tanda kepada
Kakang Untara. Mungkin dengan panah sendaren, panah api
atau kentongan." "Benar. Namun dengan demikian mereka akan menjadi
terlampau tergesa-gesa. Persiapan, mereka pasti kurang
matang." "Lalu, maksud Guru?" bertanya Swandaru.
"Kita tunggu sejenak. Kita tidak akan menjumpai mereka,
siapa pun mereka itu. Kalau mereka pasukan yang datang dari
Pajang, maka kita tinggal saja mereka pergi tanpa
menyapanya supaya langkah kita tidak tertunda lagi. Tetapi
kalau mereka orang-orang Sanakeling, maka kita wajib
mengabari Untara supaya korban kita tidak bertambahtambah."
"Bagaimana kita akan mengabarinya" Kita tidak membawa
tanda apapun." "Serahkan kepadaku," sahut Kiai Gringsing. "Meskipun aku
sudah bertambah tua, tetapi aku masih juga seorang pelari
yang cukup baik." Agung Sedayu dan Swandaru terdiam. Bahkan mereka
menjadi canggung akan pertanyaan mereka sendiri. Yang
berdiri di hadapan mereka itu adalah Kiai Gringsing. Guru
mereka. Kenapa mereka masih juga bertanya berbagai
macam hal seperti sedang mengujinya. Namun yang
mendorong mereka sebenarnya adalah kegelisahan mereka
atas keselamatan Sekar Mirah. Karena itu mereka segera
ingin dapat berbuat sesuatu. Apa saja yang segera dapat
dilakukan. Tetapi kini mereka tidak berkata apapun lagi. Mereka
mengikuti saja ketika guru mereka yang tua itu bersembunyi di
balik rimbunnya dedaunan di sudut pategalan.
"Jangan membuat suara apapun. Kalau mereka orang-orang
Pajang, dan melihat kehadiran kita maka mau tidak mau kita
harus menyambutnya. Bahkan mungkin kita terpaksa kembali
ke kademangan. Sedang apabila mereka orang-orang
Sanakeling, tinggallah di sini. Jangan sampai kalian terpaksa
lari karena mereka beramai-ramai menyerang kalian. Biarlah
aku saja yang memberitahukan kehadiran mereka itu kepada
Angger Untara." Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun
mereka pun segera herlindung di balik dedaunan. Obor-obor
itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Namun tiba-tiba dada mereka berdesir. Mereka melihat
remang-remang sebuah pasukan yang kuat, hampir sekuat
pasukan Widura di Sangkal Putung. Ternyata barisan itu
adalah prajurit-prajurit dari Pajang. Sebagian adalah prajuritTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
prajurit Widura yang kembali ke induk pasukannya setelah
mengantarkan orang-orang Jipang, sedang sebagian lagi
adalah prajurit-prajurit yang baru yang akan diserahkan
kepada Untara untuk langsung dipimpinnya, memecahkan
pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi.
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menahan
nafasnya. Mereka tidak mau terlihat oleh orang-orang di dalam
pasukan itu, supaya mereka tidak usah menampakkan dirinya
dan terpaksa kembali lagi ke kademangan untuk ikut serta
dalam upacara penyambutan. Bagi mereka adalah lebih baik
meneruskan perjalanan ke Jati Anom daripada kembali ke
Sangkal Putung. Ketika pasukan itu telah lewat, maka barulah mereka meloncat
ke luar dari persembunyian mereka.
"Sebuah pasukan yang kuat dan meyakinkan," gumam Kiai
Gringsing. "Tetapi pasukan itu adalah suatu gabungan dengan pasukan
Paman Widura," sahut Agung Sedayu.
"Ya. Tetapi menilik derap langkah mereka, maka aku benarbenar
yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi keadaan."
Ketiganya kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Tanpa sesadar mereka, mereka berdiri saja di tengah jalan
mengagumi iring-iringan yang sudah menjadi semakin jauh.
Perlahan-lahan terdengar Kiai Gringsing bergumam, "Mudahmudahan
semuanya akan segera selesai. Mudah-mudahan
besok mereka sudah berada di Jati Anom. Nah, pekerjaan kita
akan menjadi lebih mantap."
Seperti orang terbangun dari tidurnya, maka Agung Sedayu
dan Swandaru itu pun berkata hampir bersamaan, "Marilah
Kiai, kita berjalam terus."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Marilah." Kembali mereka meneruskan langkah mereka. Namun tibatiba
Agung Sedayu berkata, "Kita memilih jalan yang mana,
Kiai?" "Kita jalan Timur. Bukankah jalan itu lebih pendek dari jalan
yang Angger pilih dahulu" Bukankah Angger memilih jalan
Kali Asat. Sekarang kita memilih jalan yang lain. Aku tidak
berani lewat ujung Bulak Dawa. Di pohon randu alas itu ada
Gendruwo Bermata Satu. Bukankah begitu?"
Betapa kisruhnya perasaan Agung Sedayu tentang hilangnya
Sekar Mirah, namun sempat juga ia bergumam, "Ah. Itu sudah
lama terjadi, Kiai. Dan di bulak itu pula aku bertemu dengan
seorang penari topeng yang kehilangan niaganya."
Kiai Gringsing tertawa kecil, namun Swandaru hanya dapat
bersungut-sungut saja. Ia tidak tahu ujung pangkal dari
pembicaraan itu. Demikianlah, maka mereka pun segera berjalan semakn cepat
menembus gelapnya malam. Ditelusurinya pematangpematang
sawah dan tegalan. Mereka menempuh jalan yang
sedekat-dekatnya yang dapat mereka lalui.
Ternyata Kiai Gringsing telah mengenal segala lekuk dan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudut daerah itu. Bahkan pematang-pematang sawah pun
dikenalnya dengan baik. Mereka berjalan dari satu desa ke
desa yang lain. Sehingga kemudian mereka pun sampai ke
sebuah hutan yang tidak terlampau lebat. Hampir tengah
malam maka mereka sampai ke suatu pedukuhan kecil.
Mereka datang dari arah Timur lewat sebuah simpang tiga.
"Nah," berkata Kiai Gringsing, "apakah kalian berdua
mengenal tempat ini?"
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama menggelengkan
kepalanya. Dan hampir bersamaan pula mereka menjawab,
"Tidak, Kiai." "Aneh. Apalagi Angger Agung Sedayu. Sebelum pecah
peperangan antara Pajang dan Jipang apakah Angger berdua
belum juga pernah kemari?"
"Belum, Kiai," jawab mereka hampir bersamaan pula.
"Aku tidak percaya," sahut Kiai Gringsing, "terutama Angger
Agung Sedayu." Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa Kiai Gringsing itu tidak
mempercayainya. Ia sejak kecil memang jarang sekali pergi
menjelajahi daerah-daerah kecil dan pedukuhan-pedukuhan
kecil. Meskipun agaknya padukuhan ini tidak terlampau jauh
dari Jati Anom. "Entahlah, Kiai," berkata Agung Sedayu kemudian. "Mungkin
aku memang pernah datang ke padukuhan ini pada masa
kecilku. Tetapi di malam hari begini aku tidak dapat
mengenalnya lagi." "Angger ingat simpang tiga itu?"
Agung Sedayu mencoba mengingat-ingat.
"Lihatlah jalan ini, Ngger."
Tiba-tiba Agung Sedayu mengangkat alisnya.
"Jalan ini adalah jalan ke Macanan. Apakah Angger ingat
sekarang" Simpang tiga itu adalah simpangan yang
membawa kita ke Sagkal Putung lewat dua jalan. Ke Barat kita
akan melewati Kali Asat, sedang ke Timur adalah jalan yang
kita lewati tadi." Agung Sedayu pun kemudian seakan-akan bertemu dengan
seorang kenalan lamanya. Kini ia ingat dengan jelas
pedukuhan itu. Ya, ia pernah mengenalnya. Tidak hanya satu
kali. "Jalan ini jalan ke Macanan, Kiai?"
"Bukankah begitu, dan jalan ini akan sampai ke Tangkil."
"Simpang tiga itu adalah simpang tiga yang menuju ke Kali
Asat?" "Nah, kenalilah."
"Oh," Agung Sedayu mencoba memandangi jalan yang
membujur di hadapannya. Sebuah kelokan kecil yang
memasuki padukuhan kecil itu. Tiba-tiba ia berkata,
"Bukankah jalan ini menuju ke rumah dukun tua di dukuh
Pakuwon?" Kiai Gringsing tertawa, "Ya, begitulah."
"Siapakah dukun tua itu," bertanya Swandaru yang
mendengarkan pembicaraan itu dengan wajah berkerut-merut.
"Kau kenal juga orang itu, Adi Swandaru."
"He," wajah Swandaru yang gemuk itu menjadi aneh.
"Namanya Ki Tanu Mtetir."
"Oh," Swandaru menarik nafas, "jadi di Dukuh Pakuwon inikah
rumah Kiai?" "Ya. Di sinilah rumahku."
"Lalu bagaimana dengan rumah itu saat Kiai tinggalkan
selama ini?" "Aku pernah mengunjunginya sebelum aku menetap di
Sangkal Putung. Aku titipkan rumah itu kepada seorang
tetangga yang baik, yang mau memelihara rumah tua dan
halaman yang kotor itu."
Kedua muridnya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Semula rumah dan halaman itu tidak menimbulkan persoalan
di hati Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba kini tumbuhlah
pertanyaan di dalam dadanya. Apakah benar Ki Tanu Metir itu
memang seorang dukun yang sejak masa kanak-kanaknya
berasal dari padukuhan yang kecil itu"
Pertanyaan itu demikian mendesaknya sehingga Agung
Sedayu tidak dapat menahannya lagi dan meloncatlah
pertanyaannya, "Kiai, apakah Kiai memang sejak kecil
berdiam di padukuhan ini?"
Kiai Gringsing memandangi wajah Agung Sedayu. Tetapi
sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya
menyelusur jalan yang membujur di hadapannya. Dengan
nada rendah ia berkata, "Ya, Ngger. Sejak kecil aku berada di
padukuhan ini." Tetapi jawaban itu sama sekali tidak meyakinkan Agung
Sedayu. Jawaban itu terlampau datar menyentuh hatinya,
sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, "Ah, aku berpendapat
lain, Kiai." Sekali lagi Kiai Gringsing memandangi wajah muridnya itu.
Tetapi tiba-tiba ia berkata "Marilah kita brjalan lebih cepat lagi.
Kita masih belum sampai ke Tangkil."
Yang segera menyahut adalah Swandaru, "Marilah Kiai."
Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Ia tahu bahwa
Swandaru menjadi kesal mendengar pembicaraan yang tidak
diketahuinya. Karena itu, maka ketika langkah-langkah
mereka menjadi semaki panjang dan cepat, mereka tidak lagi
bercakap-cakap. Mereka melangkah di dalam malam yang
gelap, verjalan diatas jalan berbatu-batu. Tetapi jalan itu kini
kering. Tidak digenangi air yang seolah-olah ditumpahkan dari
langit, seperti pada saat Agung Sedayu datang berkuda ke
padukuhan ini bersama kakaknya Untara, yang pada saat itu
sedang terluka. Bukan saja jalan ini yang kini menjadi jauh berbeda dengan
saat-saat ia melewatinya dahulu, tetapi hatinya pun kini sama
sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Ia
tidak lagi hampir pingsan melihat tonggak yang tegak di
pinggir jalan disambar oleh sinar tatit. Dan ia tidak lagi menjadi
lemas melihat sebuah bambu yang menyilang di tengah jalan.
Seandainya ia kini bertemu dengan apa yang ditemuinya saat
ia berjalan dengan kakaknya, maka hatinya justru akan
menjadi gembira. Apalagi kalau yang ditemuinya di jalan ini
adalah Sidanti. Tetapi jalan yang ditempuhnya itu amatlah lengang. Tak
seorang pun yang mereka jumpai di perjalanan. Bahkan
rumah-rumah dipadukuhan kecil itu pun tampaknya gelap dan
tidak berpenghuni. Hanya kadang-kadang saja terdengar
lamat-lamat rengek anak-anak yang kepanasan oleh udara
yang kering. Namun sejenak kemudian suara itu pun terputus.
Buru-buru ibunya menyumbatkan air susu ke dalam mulut
anaknya. Mereka yang berjalan di malam yang kelam itu pun
merasakan betapa daerah ini tertekan oleh suatu keadaan
yang tidak menyenangkan. Dan Agung Sedayu pun
menyadari, apalagi setelah Tohpati meninggal, maka laskar
Jipang pasti akan menjadi semakin garang berkeliaran di
daerah ini. Dalam kekelaman malam itu Kiai Gringsing dan kedua
muridnya berjalan semakin cepat. Ternyata jalan yang mereka
tempuh bukanlah jalan yang dahulu dilewati Agung Sedayu
bersama Untara. Jalani ini adalah jalan nyidat, langsung dari
Dukuh Pakuwon ke Jati Anom. Bahkan kadang-kadang
mereka harus meloncati parit-parit dan menyeberangi sungai.
Menerobos pategalan dan sawah-sawah menyusup lewat
padesan-padesan kecil. Padesan kecil yang sepi.
Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat. Tetapi mereka
baru semakin dekat dengan Jati Anom. Mereka masih balum
mendaki lereng Merapi mencari padepokan orang yang
bernama Ki Tambak Wedi. Padepokan itu masih jauh di arah
Barat. Ketika mereka sampai di jalan yang cukup lebar, maka segera
Agung Sedayu mengataui bahwa mereka telah berada di
Sendang Gabus. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Ia adalah anak Jati Anom sejak kecil, tetapi ternyata Kiai
Gringsing lebih banyak mengenal lekuk-lekuk padesan di
sekitar tempat kelahirannya.
Tetapi Agung Sedayu kemudian tergagap ketika ia mendengar
Kiai Gringsing bertanya, "Nah, kita sudah sampai di Sendang
Gabus. Apakah kita akan pergi ke Jati Anom, ataukah kita
mempunyai tujuan lain?" Agung Sedayu tidak dapat segera
menjawab. Seharusnya ialah yang mengajukan pertanyaan
itu. Bukan gurunya. Ternyata Kiai Gringsing pun berkata seterusnya, "Angger
berdua. Sudah tentu kita tidak akan dapat langsung masuk ke
padepokan Tambak Wedi malam ini. Kita masih belum
mengenal jalan-jalan di daerah itu dengan baik. Kita masih
harus mendengar apakah yang ada di padepokan itu. Sudah
tentu bahwa Ki Tambak Wedi menyadari keadaan mereka
setelah mereka dengan dada terbuka menentang kekuasaan
Pajang. Kalau Di Tambak Wedi tidak mempunyai kekuatan
yang cukup, maka ia tidak akan berani berbuat demikian.
Sehingga dengan demikian, maka sudah pasti bahwa
padepokan itu akan dibentengi oleh kekuatan yang dapat
mereka percayai. Karena itu, maka kita hrus mencari tempat
peristirahatan. Tempat yang baik sebagai pancadan menuju
ke padepokan Tambak Wedi itu."
Agung Sedaya dan Swandaru tidak segera menjawab. Baru
sekarang mereka menyadari, bahwa apa yang mereka
lakukan itu adalah suatu pekerjaan yang berbahaya. Meskipun
mereka sama sekali tidak takut menghadapi bahaya, namun
sudah tentu bahwa mereka menginginkan pekerjaan mereka
berhasil. Sedang apa yang mereka hadapi kini adalah suatu
daerah yang masih gelap bagi mereka. Suatu daerah yang
seolah-olah berada dibelakang tabir yang tak tertembus oleh
penglihatan. Dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata pula,
"Bagaimanakah pendapat kalian?"
Agung Sedayu dan Swandaru tidak tahu, bagaimana mereka
harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi terasa oleh mereka,
bahwa sebenarnya mereka telah dibakar oleh kemarahan
yang hampir tak terkendali.
"Jadi," berkata orang tua itu "apa yang akan kita lakukan
sekarang" Bukankah aku hanya menuruti kehendak kalian?"
Agung Sedayu dan Swandaru masih juga terbungkam. "Nah,"
berkata orang tua itu kemudian, "Jadikanlah kali ini pelajaran
buat kalian. Kalian ternyata masih terlampau mudah dibakar
oleh persaan tanpa mempertimbangkan nalar. Aku telah
membawa kalian ke kaki Gunung Merapi seperti yang kalian
kehendaki. Agaknya sampai ditempat ini kalian masih belum
tahu apa yang akan kalian lakukan. Seandainya kalian berdua
pergi tanpa aku, apakah kalian akan langsung mendaki kaki
Gunung Merapi dan masuk ke dalam padepokan Tambak
Wedi?" Agung Sedayu dan Swandaru masih belum dapat menjawab.
Namun kini mereka menjadi semakin menyadari keadaan.
Ketika sekali lagi Kiai Gringsing menasehati mereka, maka
perasaan merekapun segera tersentuh. Berkatalah orang tua
itu, "Tetapi apa yang terjadi ini merupakan suatu pelajaran
yang berharga bagi kalian."
Kini sejenak mereka terdiam. Langkah mereka terdengar
berdesah diantara daun-daun kering yang menyentuh tubuhtubuh
mereka yang basah oleh keringat.
Jati Anom kini sudah berada di hadapan hidung mereka. "Kita
berhenti di Jati Anom" berkata Kiai Gringsing. "Bukankah ada
rumahmu di Jati Anom" katanya kemudian kepada Agung
Sedayu. "Ya Kiai," sahut Agung Sedayu, "tetapi rumah itu agaknya
telah kosong. Hanya seorang perempuan tua dan anaknya
yang masih kecil sajalah yang menungguinya, pada saat kami
tinggalkan." "Kita hanya menumpang tidur," berkata Kiai Gringsing pula.
Segera mereka pun menuju ke rumah Agung Sedayu. Dalam
malam yang semakin dalam maka jalan-jalan di padukuhan itu
pun telah benar-benar sepi. Namun kesepian padukuhan itu
agaknya terasa berlebih-lebihan. Hampir tak terlihat nyala
pelita dari rumah-rumah di tepi-tepi jalan. Bahkan regol-regol
halaman pun tertutup rapat-rapat. Tak ada peronda di gardugardu
ronda seperti di padesan-padesan kecil yang telah
dilaluinya. Tetapi mereka pun segera memaklumi. Daerah ini adalah
daerah yang tidak terlampau jauh dari padepokan di Lereng
Merapi itu. Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang Jipang
dilereng Merapi itu berkeliaran sampai ke padukuhan ini pula.
Bahkan mungkin Alap-alap Jalatunda telah mempergunakan
daerahnya yang lama untuk mencari apa saja yang
diinginkannya. Dengan cara-cara yang lama pula. Merampok
dan menyamun. Meskipun malam menjadi semakin pekat, tetapi Agung
Sedayu mengenal daerah itu dengan baik. Setiap lorong dan
tikungan dikenalnya seperti mengenali halaman rumah sendiri.
Akhirnya mereka pun sampai ke depan sebuah regol pada
halaman yang luas. Tetapi halaman yang luas itu tampaknya
gelap bukan main. Tidak ada pelita tersangkut di halaman,
bahkan tak ada sorot yang menerobos dari sela-sela dinding
rumah itu. Mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru
berhenti sejenak. Perlahan-lahan terdengar Agung Sedayu
berkata, "Inilah rumahku, Kiai."
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, "Aku sudah
mengentahuinya, Ngger."
"He?" Agung Sedayu terkejut. "Jadi Kiai sudah mengetahui
bahwa ini adalah rumahku?"
"Tentu." "Darimana Kiai mengetahuinya?"
"Seperti ayanmu pernah mengenal ponkokku yang jelek di
Dukuh Pakuwon, maka aku pun pernah juga datang kerumah
ini." "Oh," Agung Sedayu menarik nafas dalam. Tetapi lebih-lebih
ia terkejut ketika Kiai Gringsing berkata, "Aku pernah pula
mengunjungi rumah ini bersama Angger Untara."
"Kakang Untara?"
"Ya, Angger Untara yang terluka itu harus bersembunyi. Tetapi
untuk keselamatannya sebagai seorang senapati, maka ia
harus benar-benar tidak diketahui tempatnya. Sekali-sekali
kami harus berpindah tempat. Dalam kesempatan itu kami
pernah bersembunyi pula di rumah ini."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh," Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun yang terdengar adalah pertanyaan Swandaru, "Tetapi
apakah halamanmu ini sengaja kau jadikan rumah hantu?"
"Kenapa?" sahut Agung Sedayu.
"Tercium olehku bau bunga kantil. Terbayang juga pohonnya
yang besar rimbun. Tetapi gelapnya bukan main."
Agung Sedayu tersenyum. Tiba-tiba terkenanglah masa
kanak-kanaknya. Ia sama sekali tidak berani bermain-main di
bawah pohon kantil itu, meskipun di sudut halaman rumahnya
sendiri. Tetapi kini ia mendapat kesan yang lain.
Ketika kemudian angin malam berhembus agak kencang,
terdengarlah benda berjatuhan. Tidak hanya satu dua, tetapi
lima, enam, sepuluh. "Apakah itu?" bertanya Swandaru.
"Apakah kira-kira?"
Swandaru menggeleng. "Aku tidak tahu."
Agung Sedayu tersenyum. "Di halaman itu terdapat pula
sebatang pohon kemiri. Agaknya pohon kemiri itu sedang
berbuah. Buahnya yang sudah tua akan berjatuhan ditiup
angin. "Hem," desah Swandaru, "rumahmu memang rumah hantu."
"Apakah kau takut hantu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku hanya takut kepada hantu di bekas perkemahan orangorang
Jipang itu" sahut Swandaru.
Kiai Gringsing tertawa kecil. Sedang Agung Sedayupun
kemudian mempersilahkan mereka masuk.
Terdengar sebuah gerit pintu regol itu terbuka, dan
ketiganyapun kemudian hilang ditelan oleh gelap malam di
balik regol halaman itu. Halaman itu memang gelap bukan main. Pohon-pohon yang
besar tumbuh disebelah menyebelah. Meskipun demikian
Agung Sedayu masih mengenal halamannya dengan baik.
Dengan langkah yang tetap ia berjalan lewat sisi rumahnya
langsung kebelakang, ketempat penunggu rumahnya itu
berdiam. "Mudah-mudahan ia masih berada di sana," desisnya.
"Ketika aku datang bersama Angger Untara, perempuan itu
masih disana," berkata Kiai Gringsing.
Dan ternyata di sebuah bilik kecil di belakang rumah itu masih
mereka lihat sebuah pelita yang menyala. Agung Sedayu pun
menarik nafas bergumam, "Ha itulah ia. Ternyata perempuan
itu masih di sana." Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu bilik itu. Dan
dari dalam rumah itu pun terdengar suara menyapa, "Siapa?"
"Aku. Sedayu." "Oh, Angger Sedayu" Apakah Angger datang bersama
Angger Untara?" "Tidak, Bibi. Aku bersama dua orang kawanku."
Yang terdengar kemudian adalah langkah kaki perempuan itu
perlahan-lahan. Terdengar sebuah gerit kecil dan pintu itu pun
terbuka. "Angger Agung Sedayu," desis perempuan itu.
"Ya, Bibi." "Marilah. Marilah masuk dahulu," berkata perempuan itu
terbata-bata. Tetapi hal itu mula-mula sama sekali tidak
tnenarik perhatian Agung Sedayu. Disangkanya perempuan
yang sudah lama tidak melihatnya itu hanya sekedar terkejut
melihat kehadiran yang tiba-tiba jauh di tengah malam.
Tetapi ketika mereka bertiga melangkah masuk, dengan
tergesa-gesa pintu itu pun ditutupnya sambil bergumam,
"Setiap sorot lampu yang meloncat ke luar, akan dapat
memanggil orang-orang itu untuk datang."
"Siapa?" bertanya Agung Sedayu yang mulai menjadi curiga.
Sejak perempuan itu memandangi ketiga orang yang kini
duduk di atas sebuah amben bambu. Di amben itu pula,
anaknya, seorang anak laki-laki, tidur mendekur.
Bilik itu pun kemudian menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah
tarikan nafas-nafas mereka, dan dekur anak yang sedang tidur
dengan nyenyaknya itu. Wajah perempuan itu tiba-tiba menjadi tegang. Ia telah
mengenal Agung Sedayu sejak masa kana-kanak. Ia
mengenal Agung Sedayu sebagai seorang anak laki-laki yang
manja, yang tidak berani beranjak dari sisi ibunya. Karena itu
maka sejenak perempuan itu menjadi ragu-ragu. Bahkan
kemudian ia bertanya, "Angger, apakah Angger datang hanya
bertiga di malam begini?"
"Ya, Bibi. Aku datang bertiga dari Sangkal Putung. Tetapi
siapa yang sering datang kemari?"
"Angger," bisik orang itu seakan-akan takut didengar oleh
dedaunan di luar dinding biliknya, "sebaiknya Angger Agung
Sedayu menjauhi tempat ini."
"Ya, kenapa?" Agung Sedayu menjadi tidak sabar. Kembali
perempuan tua itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya Agung
Sedayu dan kedua temannya berganti-ganti.
Akhirnya Agung Sedayu dapat memaklumi perasaan
perampuan itu. Dengan sungguh-sungguh ia berkata untuk
meyakinkan pepempuan itu, "Bibi. Katakanlah. Sekarang
barangkali aku tidak akan pingsan mendengar nama siapa
pun yang akan Bibi sebutkan. Mungkin Bibi masih
menganggapku seperti Agung Sedayu yang dahulu, yang
sambil menangis mengikuti Kakang Untara meninggalkan Jati
Anom di malam yang gelap di bawah hujan yang lebat. Tetapi
sekarang tidak, Bibi. Bukan karena aku menjadi seorang yang
sakti, tetapi aku sekarang mempunyai seorang teman yang
tidak akan dapat dilukai oleh tajamnya senjata." Sambil
menunjuk kepada Swandaru ia berkata, "Lihatlah temanku
yang gemuk ini. Ia akan mampu melindungi rumah ini."
Perempuan tua itu memandangi Swandaru dengan sorot mata
yang diwarnai oleh kebimbangan hatinya. Namun sekali lagi
Agung Sedayu meyakinkannya, "Bibi, namanya adalah
Swandaru. Swandaru Geni. Tangannya dapat menjadi
sepanas bara dan sorot matanya apabila ia sedang marah
dapat menyala seperti semburan api."
"Uh," Swandaru berdesah. Tetapi ia tidak memotong kata-kata
Agung Sedayu. Perempuan itu akhirnya dapat meyakini kata-kata Agung
Sedayu. Wajah Swandaru yang bulat itu dapat melenyapkan
keragu-raguannya, sehingga perlahan sekali ia berkata,
"Angger Agung Sedayu. Daerah ini sekarang terlalu sering
didatangi oleh orang-orang dari lereng Merapi. Bahkan rumah
ini pernah dimasukinya dan diaduk-aduk seluruh isinya.
Sambil memaki-maki mereka bertanya dengan kasar, apakah
ini rumah Untara dan Agung Sedayu. Angger Agung Sedayu,
aku ternyata tidak dapat ingkar. Mereka tahu benar bahwa
rumah ini adalah rumah Angger berdua. Kalau nanti Angger
masuk ke ruang dalam, maka Angger akan melihat, bahwa
perabot rumah ini telah menjadi rusak."
Dada Agung Sedayu menggelegak mendengar kata-kata
perempuan tua itu. Hatinya baru saja dibakar oleh peristiwa
hilangnya Sekar Mirah, sehingga di malam yang gelap ini ia
merayapi jalan-jalan kecil, pematang-pematang, dan kadangkadang
lumpur sawah untuk mendekati lereng Merapi, tempat
Ki Tambak Wedi membuat sarangnya. Dan kini ia mendengar
rumahnya diobrak-abrik orang.
Dengan gemctar Agung Sedayu kemudian bertanya, "Bibi
siapakah yang berani masuk ke rumah ini dengan kasar?"
"Orang-orang dari lereng Merapi, Ngger. Mereka sengaja
meninggalkan pesan untuk membuat Angger dan Angger
Untara marah." "Apa kata mereka?"
"Mereka menyebut nama-nama mereka dengan Sidanti,
Sanakeling, Argajaya, Alap-alap Jalatunda, dan beberapa
orang lain." Nama-nama itu telah menyengat hati Agung Sedayu demikian
dahsyatnya sehingga anak muda itu terlonjak berdiri. Dengan
suara yang bergetar Agung Sedayu bertanya, "Kapan, kapan
Bibi" Kapan mereka itu datang kemari?"
"Kemarin, Ngger. Baru kemarin. Dan hampir setiap hari ada
saja orang-orang mereka yang berkeliaran. Siang dan malam."
Kernarahan Agung Sedayu kini memuncak. Bukan saja Agung
Sedayu, tetapi Swandaru pun tiba-tiba telah terbakar pula.
Dengan lantang ia berkata, "Mari kita cari orang-orang itu."
"Mari," sahut Agung Sedayu, "mudah-mudahan kita dapat
bertemu." Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing bertanya,
"Kemana kita harus mencari mereka itu, Ngger" Mengelilingi
padukuhan ini, atau mendaki lereng Merapi?"
Agung Sedayu dan Swandaru terdiam.
"Kalau kita mengelilingi padukuhan ini, semalam suntuk,
bahkan ditambah lima hari lima malam, tetapi kebetulan
mereka tidak datang kemari, maka kita pasti tidak akan dapat
bertemu. Sedang apabila kita naik ke lereng Merapi, maka
pertanyaan yang serupa seperti tadi, tentang benteng yang
mengelilingi padepokan itu, akan berulang kembali."
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepala
mereka, Kembali mereka terpaksa menyadari ketergesagesaan
mereka. Namun meskipun demikian Agung Sedayu
masih juga menemukan sebab, supaya mereka dapat bertemu
dengan orang-orang lareng Merapi itu. Dengan serta-merta ia
berkata, "Bibi, bukalah pintunya."
Perempuan tua itu memandang Agung Sedayu dengan raguragu.
Tetapi Agung Sedayu berkata sekali lagi, "Bukalah pintu.
Biarlah sorot lampumu meloncat ke luar. Biarlah orang-orang
itu melihatnya apabila ia berada di padukuhan ini. Biarlah
mereka datang kemari. Kami ingin bertemu dengan mereka."
"Tetapi, Ngger?"".," sahut perempuan itu cemas.
"Jangan cemas, Bibi. Kami bertiga membawa senjata di
lambung kami. Aku bukan Agung Sedayu beberapa bulan
yang lampau." Tetapi perempuan tua itu masih juga ragu-ragu sehingga
sekali lagi Agung Sedayu berkata, "Bukalah bibi. Bukalah."
Bahkan kemudian Agung Sedayu berkata, "Apakah di rumah
ini ada lampu yang lain" Kalau ada pasanglah di luar rumah,
aku ingin melihat sekali lagi mereka masuk ke halaman
rumahku." Kiai Gringsing menggelengkan kepala melihat anak-anak
muda yang sedang marah itu. Tetapi ia dapat mengerti,
betapa darah muda yang sedang bcrgolak itu melampaui
bergolaknya ombak lautan yang paling dahsyat.
Meskipun demikian Kiai Gringsing merasa perlu untuk
memperingatkannya. "Angger Agung Sedayu. Apakah
perlunya kalian memanggil orang-orang Merapi itu sekarang."
Agung Sedayu menjadi heran mendengar pertanyaan
gurunya. Dengan pandangan mata yang aneh ia menjawab,
"Guru, apakah masih belum jelas, bahwa mereka telah
menghina aku beberapa kali" Hilangnya Sekar Mirah dan kini
rumahku diobrak-abriknya.
"Benar, Ngger. Angger pasti merasa terhina. Tetapi apakah
dengan perbuatan itu Angger akan mendapat keuntungan,
justru dalam usaha Angger menebus kekalahan yang pernah
terjadi." "Aku belum pernah dikalahkannya, Kiai," sahut Agung Sedayu,
sedang Swandaru menyelanya, "Kapan kami mengalami
kekalahan sejak ia meninggalkan Sangkal Putung?"
"Kekalahan itu telah membawa Angger berdua kemari.
Hilangnya Sekar Mirah."
"Itu bukan kekalahan, Kiai. Itu adalah kecurangan," sahut
Swandaru. "Ya, ya. Demikianlah," berkata Kiai Gringsing memperbaiki
istilahnya. "Kenapa usaha itu akan dapat mengganggu, Kiai?"
"Dengan demikian mereka akan mengetahui bahwa Angger
telah berada di sini. Selebihnya mereka akan dapat membawa
orang-orangnya kemari, mengepung tempat ini dan
menangkap kita bertiga. Kalau kita berhasil lolos misalnya,
maka penjagaan atas diri Sekar Mirah akan menjadi semakin
ketat." "Ah," terdengar kedua anak muda itu mengeluh, "lalu apa yang
dapat kami lakukan, Kiai. Segala perbuatan tidak dapat
dibenarkan. Apakah keperluan kita ini kemari?" bertanya
Swandaru. "Kita mencari Sekar Mirah," sahut Kiai Gringsing. "karena itu,
tahanlah perasaan kalian. Jangan menimbulkan sesuatu yang
dapat mengganggu usaha itu."
Swandaru menggeretakkan giginya, sedang Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam.
Sekarang tidurlah. Beristirahatlah dengan baik. Kecuali kalau
malam ini mereka datang dan kita tidak mempunyai waktu
untuk menyingkir, maka kita harus berkelahi. Tetapi kalau
tidak, kita harus mempergunakan saat ini sebaik-baiknya
untuk beristirahat. Waktu kita hanya sedikit, sedang pekerjaan
yang kita hadapi adalah pekerjaan yang cukup berat."
Kembali terdengar gemeretak gigi Swandaru. Tetapi anakanak
muda itu tidak membantah.
=== Tiba-tiba Wuranta itu tersenyum, meskipun hatinya masih juga
berdebar-debar. Sambil memandangi Agung Sedayu ia
berkata, "Baiklah Ki Tanu Metir. Aku akan mencoba melihat,
darimana sebaiknya Adi Swandaru harus menangkap
umpannya, tetapi tidak tersangkut kailnya, atau mungkin Adi
Agung Sedayu?" "Ah," Agung Sedayu berdesah. Tetapi Swandaru tertawa
hampir tak terkendali, sehingga Ki Tanu Metir mencegahnya.
"He, Swandaru, jangan menunggu Ki Tambak Wedi menutup
mulutmu." Suara tertawa Swandaru itu pun terhenti. Tetapi mulutnya
masih juga tersenyum. Katanya, "Nah, ternyata kita mendapat
suatu cara yang baik untuk membebaskan Sekar Mirah karena
pertolongan Kakang Wuranta." Kemudian kepada Wuranta ia
berkata, "Kakang Wuranta, mudah-mudahan usaha ini akan
bermanfaat bagi kita semua. Bagi kami yang datang dari
Sangkal Putung ini dan bagi Jati Anom.
"Mudah-mudahan, Adi," jawab Wuranta pendek.
"Sekarang," berkata Ki Tanu Metir, "Angger Wuranta harus
meninggalkan rumah ini. Usahakan supaya orang-orang
lereng Merapi mencari Angger Agung Sedayu lewat halaman
depan. Kau dapat berbuat seakan-akan kau menentangnya
dengan dengan mencegah orang-orang itu dengan tergesagesa
memasuki halaman ini. Dengan demikian kau memberi
kesempatan kepada kami untuk meninggalkan rumah ini lewat


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu belakang. Apakah kau dapat mengerti?"
"Baik, Kiai." "Nah, sekarang pergilah. Kau merasa dikejar oleh Agung
Sedayu. Kau harus dilihat oleh orang-orang yang memasuki
desa ini. Lalu kau kembali bersama mereka untuk
menunjukkan bahwa di rumah itu ada seorang anak muda
yang bernama Agung Sedayu yang mengejarmu karena kau
mengambil sesuatu dari rumah ini. Berangkatlah supaya
orang-orang lereng Merapi itu sempat melihatmu sebelum
mereka pergi meninggalkan padukuhan ini.
"Baik, Kiai." "Yang lain-lain akan menyusul. Mudah-mudahan kita akan
segera bertemu lagi. Atau tinggalkan pesan di sudut Tegal
Mlanding." "Baik, Kiai. Sekarang, baiklah aku pergi." Wuranta berhenti
sesaat, lalu katanya, "Tetapi kemana aku harus berlari.
Apakah aku harus mengelilingi padukuhan ini sampai aku
bertemu dengan orang-orang itu?"
"Kau dapat bertanya kepada seorang dua orang yang
melihatnya. Bukankah perempuan dan anak-anak tidak perlu
melarikan dirinya apabila orang-orang itu datang?"
"Sampai sekarang anak-anak dan perempuan tidak pernah
mereka ganggu Kiai. Mungkin orang-orang itu sedang
Keponakan Penyihir 3 Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Sejengkal Tanah Sepercik Darah 1
^