Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 30


mengambil hati orang-orang Jati Anom."
"Demikianlah. Dan kau pasti cukup bijaksana."
Kemudian Wuranta itu pun minta diri kepada Kiai Gringsing
dan kedua anak muda, murid orang tua itu. Dengan tergesagesa
meninggalkan rumah itu. Sampai di luar regol halaman ia
menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun berlari
kearah Barat. Tiba-tiba ia berhenti ketika terdengar seorang perempuan
memanggilnya dari balik pintu regol. Ketika Wuranta
mendekat, perempuan itu berbisik, "Sst, Wuranta, larilah.
Orang-orang itu berada beberapa puluh langkah darimu. Dua
halaman di sebelah barat itu."
Dada Wuranta berdesir mendengar bisik orang itu. Sejenak ia
menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia dapat melakukan tugas
yang diberikan kepadanya itu" Ia tahu pasti bahwa Ki Tanu
Metir dan Agung Sedayu bukanlah prajurit-prajurit Padang
yang berwenang untuk memberinya tugas-tugas demikian.
Apakah ia akan sampai hati untuk melakukan pekerjaanpekerjaan
yang kemudian diberikan kepadanya oleh orangorang
lereng Merapi, yang mungkin akan sangat bertentangan
dengan hatinya. Apakah kata orang-orang Jati Anom sendiri
tentang dirinya dan apakah orang-orang itu kelak akan dapat
mengerti, bahwa apa yang dilakukan itu justru untuk
kepentingan mereka. Dalam keragu-raguan itu, kembali Wuranta mendengar
perempuan di belakang regol itu berkata, "Cepat, masuklah
kemari Wuranta. Cepat. Mereka berada di halaman sebelah
barat itu." Tetapi Wuranta kini benar-benar tidak dapat berbuat lain.
Pada saat itul ia melihat beberapa orang laki-laki dengan
senjata dilambungnya keluar dari halaman di sebelah Barat itu
berantara satu pomahan. Ketika tampak oleh mereka itu seorang anak muda berdiri di
depan regol, maka tiba-tiba salah seorang dari mereka
melambaikan tangan mereka memanggil Wuranta mendekat.
"Masuklah," desis perempuan di belakang regol.
"Mereka telah melihat aku," desis Wuranta perlahan.
"Oh, kau terlambat, Nak," kata perempuan itu sambil
bergegas-gegas meninggalkan regol halamannya naik ke
rumah. Dengan tergesa-gesa pula didorongnya pintu leregnya
dan kemudian diselaraknya rapat-rapat.
Wuranta berjalan dengan hati yang berdebar-debar mendekati
orang-orang itu. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka
tahulah ia bahwa orang-orang itu hanyalah berjumlah enam
orang. Ketika dilihatnya seorang anak muda di antara mereka
yang berwajah tampan namun keras, segera dikenalnya anak
muda itu. Anak muda itu adalah Sidanti, seperti yang
dikatakan oleh beberapa orang kawan-kawannya yang pernah
ditangkap pula. Di dalam rombongan kecil itu pula dilihatnya
seorang yang bersenjatakan tombak pendek. Maka iapun
menduga, bahwa orang itulah yang sering disebut oleh kawankawannya
bernama Argajaya. Ketika Wuranta menjadi semakin dekat, maka kini ia menjadi
semakin jelas. Di samping kedua orang yang berada di depan
itu, maka yang lain hanyalah beberapa orang prajurit
pengawalnya saja. "Kemarilah," berkata anak muda yang disangkanya bernama
Sidanti. Wuranta melangkah perlahan-lahan. Dadanya diamuk oleh
kecemasan dan keragu-raguan. Namun akhirnya ia
membulatkan tekadnya bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya
seperti yang dipesankan oleh Ki Tanu Metir.
"Siapakah kau anak muda?" bertanya orang yang
disangkanya Sidanti itu. Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung Wuranta.
Perlahan-lahan ia menjawab, "Namaku Wuranta, Tuan."
"Nama yang baik," desis orang yang bertanya itu. "Sebaiknya
kau mengenal aku pula. Namaku Sidanti."
"O," Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku telah
pernah mendengar nama Tuan. Apakah Tuan yang membawa
tombak pendek itu bernama Argajaya?"
Sidanti tertawa, "Darimana kau mengenal kami?"
"Kawan-kawanku mengatakan kepadaku, Tuan."
"O," desis Sidanti, "aku memang pernah bertemu dengan
beberapa anak-anak muda dari Jati Anom. Sayang di antara
kita belum ada sentuhan perasaan yang dapat mempererat
hubungan kita. Sebagian dari anak-anak muda Jati Anom
sengaja menghindari apabila kami datang ke kademangan ini
untuk memperkenalkan diri."
"Ya, Tuan. Kami, anak-anak Jati Anom kadang-kadang
menjadi takut kepada Tuan-tuan."
"Kenapa takut?" bertanya Sidanti.
"Justru karena kami belum mengenal Tuan."
Sidanti tertawa. "Alasanmu bagus sekali. Kita terperosok ke
dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal dan berujung.
Kalian takut berkenalan dengan kami, karena itu kalian selalu
menghindari kami. Adapun sebabnya kalian takut karena
kalian belum mengenal kami. Begitu?"
Wuranta tersenyum pula. Senyum yang dipaksakannya.
Tetapi kini ia telah mencoba melakukan pekerjaannya. Berkalikali
ia berpaling ke belakang dengan gelisahnya. Ia
mengharap Sidanti akan bertanya tentang sikapnya itu.
Ternyata harapannya itu berlaku. Dengan adhi yang berkerutkerut,
Sidanti bertanya, "Apakah kau sedang menunggu
seseorang?" "Tidak, Tuan," sahut Wuranta. "Tetapi seseorang tadi
mengejarku. Hampir aku bersembunyi di halaman sebelah
seandainya Tuan tidak memanggilku."
"Siapa yang mengejarmu?" bertanya Sidanti dengan serta
merta. "Dan kenapa kau dikejar orang?"
"Ah, soalnya agak memalukan, Tuan."
"Kenapa?" "Hanya sebilah keris"
"Bagaimana dengan sebilah keris?" Argajaya tidak dapat
bersabar. "Aku mendapatkan sebilah keris di sebuah rumah yang aku
sangka kosong, Tuan. Tiba-tiba dari belakang datang seorang
anak muda penghuni rumah itu. Penghuni yang sebenarnya
telah lama sekali menghilang."
"Siapa?" "Agung Sedayu, Tuan."
"He," terasa darah Sidanti tersirap, "kau berkata bahwa Agung
Sedayu berada di rumahnya?"
"Ya, Tuan. Agung Sedayu adalah lawan berkelahi sejak kami
masih kanak-kanak." Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah. Dengan mata
yangmenyala ia bertanya, "Wuranta, mari tunjukkan di mana
Agung Sedayu sekarang?"
"Di rumahnya, Tuan. Baru saja aku dikejarnya."
"Apakah kau tidak berani melawan Agung Sedayu?"
"Aku tidak bersenjata, Tuan."
"Kalau kau bersenjata?"
Wuranta terdiam sejenak. Dipandanginya Sidanti dengan
wajah bertanya-tanya. Tiba-tiba Sidanti tertawa. Katanya, "Mungkin kau memang
tidak akan dapat melawannya. Agung Sedayu tumbuh
terlampau cepat. Tetapi serahkan ia kepadaku."
"Siapakah anak muda itu?" bertanya Argajaya. "Agung
Sedayu?" "Ya." "Yang aku jumpai di Prambanan?"
"Nah, itulah, Paman. Agung Sedayu."
Dada Argajaya pun berdesir. Ia mengenal tiga anak-anak
muda di Prambanan. Tetapi Agung Sedayu itu bukanlah anak
muda yang berkelahi melawannya.
"Apakah mereka juga bertiga?" bertanya Argajaya.
Wuranta mengerutkan keningnya. Kenapa Argajaya itu dapat
menebak bahwa Agung Sedayu datang bertiga" Tetapi
maksud Argajaya adalah tiga anak-anak muda, Agung
Sedayu, Swandaru, dan seorang lagi yang mengaku bernama
Sutajia. Untunglah bahwa Wuranta segera ingat pesan Ki Tanu Metir,
bahwa Agung Sedayu datang seorang diri ke rumahnya. Maka
jawabnya, "Sendiri Tuan. Agung Sedayu hanya seorang diri
menurut penglihatanku, Tetapi entahlah aku tidak tahu apakah
ia datang bersama kawan-kawannya."
"Beruntunglah kalau aku dapat bertemu dengan setan itu,"
desis Argajaya. "Sidanti," katanya kepada kemenakannya,
"serahkan anak itu kepadaku."
Sidanti tersenyum. Jawabnya, "Jangan seperti berebut durian
runtuh, Paman. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup.
Membawanya kembali ke padepokan dan
mempertemukannya dengan Sekar Mirah. Tetapi tidak dalam
keadaan yang wajar. Aku ingin supaya Sekar Mirah melihat,
Agung Sedayu akan aku ikat seperti anjing. Aku pukuli sampai
Sekar Mirah mau menerima aku sebagai suaminya."
"Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri Sidanti. Kau
tidak mengingat bahwa kita berada dalam keadaan perang
melawan Pajang. Persoalan-persoalan pribadi akan dapat
mengganggu bagi persoalan-persoalan yang lebih penting."
Sidanti masih saja tersenyum. Tetapi kini ia tidak dapat
menjawab kata-kata pamannya. Kepada Wuranta ia berkata,
"Ayo bawa aku kepadanya. Kalau kau berhasil menunjukkan
di mana Agung Sedayu berada, maka kau akan mendapat
keris yang kau kehendaki dan bukan itu saja. Mungkin kau
mempunyai beberapa permintaan."
"Baik, Tuan," sahut Wuranta. "Marilah, sebelum anak itu lari."
Mereka pun kemudian berjalan beriringan dengan tergesagesa.
Wuranta berjalan di paling depan dengan tegapnya.
Sekali-kali ia meloncat berlari-lari seakan-akan ia benar-benar
segera ingin melihat Agung Sedayu itu tertangkap.
Di belakangnya, Sidanti dan Argajaya berjalan sambil
memperhatikan Wuranta. Sambil tersenyum Sidanti berkata
lirih, "Lagaknya anak itu. Seakan-akan ia sendirilah yang akan
menangkap Agung Sedayu. Ternyata ia lari pontang-panting
ketika dikejarnya." Argajaya tidak menjawab. Tetapi dendamnya kepada Sutajia
masih belum dapat dilupakannya, kalau nanti ia benar-benar
bertemu dengan Agung Sedayu maka sekali lagi ia ingin minta
kepada Sidanti agar menyerahkan anak muda itu kepadanya,
sebagai pelepas dendamnya. Namun tiba-tiba di kepalanya
melontar sebuah pertanyaan, "Bagaimanakah kalau Sutajia itu
kini bersama Agung Sedayu itu pula?"
Tanpa disengajanya ia berpaling. Di belakang berjalan empat
orang prajurit dengan senjata di lambungnya. Tetapi bagi
Argajaya, empat orang prajurit itu sama sekali tidak banyak
berarti apabila mereka benar-benar bertemu dengan ketiga
anak-anak muda yang ditemuinya di Prambanan.
Semakin dekat mereka dengan regol halaman rumah Agung
Sedayu, maka hati mereka pun menjadi semakin berdebardebar.
Wuranta menjadi cemas, apakah Agung Sedayu benarbenar
akan berhasil melepaskan dirinya, sedang Sidanti dan
Argajaya menjai cemas kalau anak itu telah meninggalkan
rumahnya. Sampai di muka regol halaman, Wuranta berhenti. Ia menjadi
ragu-ragu. Dalam keragu-raguan itu terdengar Sidanti
bertanya, "Kenapa berhenti?"
"Aku akan memanggilnya, Tuan."
"Tak usah. Kita masuki saja rumahnya."
"Bagaimana kalau Agung Sedayu membawa beberapa orang
kawan?" Sidanti tersenyum, katanya, "Aku pun membawa beberapa
orang kawan pula." Tetapi Argajaya-lah yang menyahut, "Panggil anak itu keluar.
Kita lebih baik tidak menampakkan diri. Kita akan lebih mudah
menangkapnya apabila kita telah melihat orangnya."
Sidanti tidak membantah. Pendapat itu baik juga agaknya.
Karena itu maka katanya kepada Wuranta, "Bagaimana
caramu untuk memanggilnya. Apakah ia akan keluar juga?"
"Tunggulah, Tuan. Aku akan membuat ia marah."
Sidanti tersenyum. Katanya, "Lakukanlah."
Wuranta itu pun kemudian berdiri di tengah-tengah regol
halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi sebelum berteriak,
sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti sambil berkata, "Tetapi,
Tuan jangan melepaskan aku sendiri. Aku akan dibunuhnya
nanti." "Penakut," geram Sidanti. "Aku disini. Jangan takut." Beberapa
orang di belakang Sidanti hampir tidak dapat menahan tertawa
mereka melihat sikap Wuranta. Sedang Argajaya dengan
garangnya berkata, "Lekas, jangan membuang waktu."
Wuranta memandangi rumah itu lagi. Dilihatnya pintu depan
rumah Agung Sedayu tertutup. Tetapi ia mengharap bahwa
Agung Sedayu dan kawan-kawannya telah melihatnya dari
bilik dinding. Sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti, dan dilihatnya mata
anak muda itu hampir saja meloncat dari pelupuknya.
Wuranta itu pun kemudian menengadahkan wajahnya.
Dengan lantang ia berteriak, "He, Agung Sedayu. Kenapa kau
bersembunyi" Hampir mati kepayahan aku menunggumu di
prapatan. Ayo , kalau kau benar-benar jantan!"
Masih belum terdengar jawaban, dan Wuranta berteriak lagi
"He, kalau kau tidak berani keluar, jangan sebut dirimu Agung
Sedayu! Jangan sebut dirimu putera Ki Sadewa dan jangan
sebut dirimu adik Untara! Ayo, keluarlah!"
Dada Sidanti tiba-tiba berdesir, sedang jantung Argajaya
terasa berderak ketika mendengar suara dari dalam halaman,
"Wuranta, jangan terlampau sombong. Halaman ini cukup luas
untuk mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Jangan lari.
Marilah kita jajagi, siapakah yang jantan di antara kita."
Tiba-tiba Wuranta tertawa menyakitkan hati. Dengan nada
yang tinggi ia berkata, "O, kau agaknya ingin menjebak aku,
he" Ayo keluarlah dari regol halaman rumahmu. Kalau kita
berkelahi di dalam halaman, maka mungkin kau menyimpan
kawan di dalam rumahmu yang jelek itu. Ayo, keluarlah!"
"Kaukah yang menjebak aku" Apakah kau sudah mendapat
kawan baru sehingga kau kembali lagi ke halaman ini" Ha,
jangan ingkar. Aku melihat kau sekali-sekali berpaling.
Siapakah kawanmu he?"
"Tunggulah, Tuan. Aku akan membuat ia marah."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sidanti tersenyum, katanya, "Lakukanlah."
Wuranta itu pun kemudian berdiri di tengah-tengah regol
halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi sebelum berteriak,
sekali lagi berpaling kepada Sidanti sambil berkata, "Tetapi
Tuan jangan melepaskan aku sendiri. Aku akan dibunuhnya
nanti." "Penakut," geram Sidanti. "Aku di sini. Jangan takut."
Beberapa orang dibelakan Sidanti hampir tak dapat menahan
tertawa mereka melihat sikap Wuranta. Sedang Argajaya
dengan garangnya berkata, "Lekas, jangan membuang
waktu." Wuranta memandangi rumah itu lagi. Dilihatnya pintu depan
rumah Agung Sedayu tertutup. Tetapi ia mengharap bahwa
Agung Sedaya dan kawan-kawannya telah melihatnya dair
balik dinding. Sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti, dan
dilihatnya mata anak muda itu hampir saja meloncat dari
pelupuknya. Wuranta itu pun kemudian menengadahkan wajahnya.
Dengan lantang ia berteriak, "He, Agung Sedayu. Kenapa kau
bersembunyi" Hampir mati kepayahan aku menunggumu di
prapatan. Ayo kalau kau benar-benar jantan."
Tidak segera terdengar jawaban dari dalam rumah itu. Sidanti
dan Argajaya menjadi gelisah. Mereka masih berdiri di balik
dinding halaman, sehingga mereka tidak melihat ke dalam
halaman. "Agung Sedayu!" teriak Wuranta kemudian. "He, Agung
Sedayu! Kenapa kau tidak mengejarku terus" Aku
menunggumu di prapatan."
Masih belum terdengar jawaban, dan Wuranta berteriak lagi,
"He, kalau kau tidak berani keluar, jangan sebut dirimu Agung
Sedayu. Jangan sebut dirimu putera Ki Sedewa dan jangan
sebut dirimu adik Untara. Ayo, keluarlah!"
Dada Sidanti tiba-tiba berdesir, sedang jantung Argajaya
terasa berderak ketika mereka mendengar suara dari dalam
halaman. "Wuranta, jangan terlampau sombong. Halaman ini
cukup luas untuk mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang.
Jangan lari. Marilah kita jajagi, siapakah yang jantan di antara
kita." Tiba-tiba Wuranta tertawa menyakitkan hati. Dengan nada
yang tinggi ia berkata, "O, kau agaknya ingin menjebak aku
he" Ayo, keluarlah dari regol halaman rumahmu. Kalau kita
berkelahi di dalam halaman, maka mungkin kau menyimpan
kawan di dalam rumahmu yang jelek itu. Ayo, keluarlah!"
"Kaukah yang akan menjebak aku" Apakah kau sudah
mendapat kawan baru sehingga kau kembali lagi ke halaman
ini" Ha, jangan ingkar. Aku melihat kau sekali-sekali berpaling.
Siapakah kawanmu, he?"
"Persetan! Aku bukan pengecut. Ayo, kemarilah!" sahut
Wuranta. Namun dada Sidanti-lah yang tidak tahan lagi. Seakan-akan
dana itu akan bengkah. Ia bukan pengecut yang hanya berani
bersembunyi, kemudian menyerang lawanya dalam
kelengahan. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak
menahan diri. Ternyata Argajaya pun hampir-hampir tidak dapat menguasai
perasaannya lagi. Dengan parau ia menggeram, "Jangan
bermain sembunyi-sembunyian. Ayolah Sidanti, kita
selesaikan tikus itu."
Sidanti tidak menunggu ajakan berikutnya. Cepat ia meloncat
dari balik diding regol hampir bersamaan dengan Argajaya.
"Agung Sedayu!" teriak Sidanti. "Kita bertemu kembali. Apakah
kau memang mencari aku."
"O," sahut Agung Sedayu, "kaukah itu Sidanti" Dan yang satu
itu bukankah pamanmu yang bernama Argajaya" Apakah kau
datang bersama gurumu Ki Tambak Wedi?"
Kata-kata itu terasa seperti bara api menyentuh telinga
Sidanti. Dengan gigi gemeretak ia menjawab, "Agung Sedayu.
Jangan merasa dirimu jantan sendiri. Aku bersedia untuk
sekali lagi melakukan perang tanding dengan jujur. Ayo,
turunlah. Kita berhadapan sebagai laki-laki."
Terdengar Agung Sedayu tertawa. Nadanya menyakitkan hati.
Katanya, "Wuranta, itukah minta-srayamu?"
"Jangan hanya berbicara!" sahut Wuranta. "Sekarang kau
sudah berhadapan dengan lawanmu."
"Pengecut! Agaknya kau hanya berani bersembunyi di balik
punggungnya." "Jangan menghina Wuranta! Aku terpengaruh oleh keadaan,
karena aku berada di dalam rumahmu tanpa ijinmu," Jawab
Wuranta. Sidanti hampir tidak sabar lagi mendengar percakapan yang
tidak ada ujung pangkalnya, sekali lagi ia membentak,
"Sedayu, ayo, kita mulai!"
Agung Sedayu terdiam. Tampaklah wajahnya menjadi tegang.
Keringat dingin mengalir dari keningnya. Ia mendapat pesan
dari gurunya, untuk kepentingan yang lebih besar, ia harus
menghindari perkelahian kali ini. Ia harus masuk kedalam
rumahnya dan lari bersama-sama lewat pintu belakang dan
meloncati dinding halaman belakan. Tetapi ketika ia melihat
Sidanti telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba darahnya
menggelegak. Hampir-hampir ia tidak dapat mengingat lagi,
apa yang harus dilakukan seandainya gurunya tidak berbisik
dari balik dinding "Tinggalkan mereka. Cepat, kita lari sebelum
rencana ini bubrah."
Agung Sedayu masih diam mematung. Bahkan tangan
Swandarupun menjadi gemetar. Dengan penuh kekecewaan
ia berkata, "Guru, kenapa mereka tidak kita bantai sekarang"
Bukankah guru dan kami berdua mampu melakukannya"
Wuranta itu tidak lagi perlu mencari jalan untuk masuk
kedalam padepokan Tambak Wedi."
"Kau tidak ingin adikmu kembali" Dan apakah kau ingin
melihat Jati Anom menjadi karang abang?"
Swandaru terdiam. Yang terdengar kemudian adalah suara
Sidanti, "Turunlah atau aku akan naik ke rumahmu?"
"Cepat Agung Sedayu!" perintah gurunya dari balik dinding.
"Katakan kepadanya, suatu ketika kau akan menerimanya
menjadi tamumu." Mulut Agung Sedayu serasa terbungkam. Namun ketika Kiai
Gringsing berkata, "Agung Sedayu, taati perintah gurumu,"
maka Agung Sedayu itu pun tidak dapat menolak lagi. Ketika
ia melihat Sidanti maju setapak maka iapun berteriak "Sidanti
kali ini aku berkeberatan menerimamu. Tetapi lain kali aku
harap kau sudi berkunjung ke rumahku lagi."
Agung Sedayu tidak menunggu jawaban Sidanti. Hatinya
sendiri berguncang dahsyat sekali karena ia harus
meninggalkan lawan bebuyutan itu.
Melihat Agung Sedayu meloncat dan hilang di balik pintu,
Sidanti terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa begitu cepat Agung Sedayu
meniggalkannya dengan tergesa-gesa. Ia mengharap bahwa
Agung Sedayu menerima tantangannya dan berkelahi
dihalaman. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berlari seperti tikus
melihat kucing. Justru karena itu maka sejenak ia berdiri diam seperti patung.
Argajaya terkejut pula. Sifat anak itu sama sekali berubah dari
sifat Agung Sedayu yang ditemuinya di Prambanan, yang
melihat ujung senjata dengan tegadah. Apalagi anak muda
yang bernama Sutajia. Tetapi adalah mengherankan kalau kali
ini tanpa malu-malu Agung Sedayu itu meloncat berlari sipat
kuping. Sejenak kemudian Sidanti menyadari keadaanya. Menyentak
ia berkata, "Setan itu harus aku tangkap."
Tetapi ketika Sidanti meloncat terdengar Wuranta berkata,
"Tuan. Tunggulah."
Sidanti tertegun. Diawasinya wajah anak muda Jati Anom itu
dengan heran. "Tuan, siapa tahu di dalam rumah itu ada beberapa orang
yang telah siap menjebak Tuan."
Sidanti ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian ia bertanya,
"Bukankah kau berkata bahwa Agung Sedayu hanya seorang
diri saja." "Itu menurut penglihatanku, Tuan. Tetapi siapa tahu, bahwa
sepuluh atau dua puluh orang telah siap menanti Tuan."
Argajaya ternyata tidak sabar menunggu mereka berbincang.
Ia tanpa berkata sepatah kata pun segera meloncat
mendahului. Sidanti berlari melintasi halaman rumah Agung
Sedayu. Sidanti pun segera menyusul sambil berkata, "Kalau
kau takut, tinggallah di luar. Kalau ia tidak sendiri, maka
mereka pasti sudah beramai-ramai mengejarmu tadi."
Wuranta tidak menjawab lagi. Ia mengharap bahwa waktu
yang diusahakannya telah cukup panjang bagi Agung Sedayu
dan kedua kawannya. Dalam pada itu Argajaya telah naik ke pendapa disusul oleh
Sidanti. Dengan kasarnya ia mendorong pintu sambil
berteriak, "He pengecut! Di manakah kejantananmu" Pilihlah
di antara kami, siapakah yang akan kau jadikan lawanmu."
Suara Argajaya itu berderak memukul dinding-dinding rumah
yang kosong. Sama sekali ia tidak mendengar jawaban.
Meskipun demikian ia tidak dapat masuk dengan tanpa
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Peringatan Wuranta ternyata mempengaruhinya juga.
"Ayo, keluarlah. Siapa yang berada dirumah ini?"
Masih tak ada jawaban. Sidanti pun kini telah berada didalam
rumah itu. Tangannya telah melekat dihulu pedangnya.
Bahkan orang-orangnya yang berada di belakangnya telah
menggenggam senjata masing-masing. Sedang tombak
pendek Argajaya pun telah siap bergerak apabila terjadi
sesuatu dengan tiba-tiba.
"Agung Sedayu," terdengar Sidanti memanggil-manggil.
Masih tidak ada jawaban. Dengan marahnya Sidanti pun segera menendang pintu-pintu
dan perabot rumah yang memang telah porak-poranda.
Suaranya berderak-derak tak keruan. Orang-orangnya pun
menirukan saja apa yang diperbuat oleh Sidanti itu.
Tiba-tiba terdengar Sidanti berkata, "Kita cari ke belakang."
Mereka pun kemudian berlari kehalaman belakang. Wuranta
pun ikut pula deng mereka, bahkan seperti mereka juga
Wuranta ikut menendang-nendang beberapa macam barang.
"Sedayu!" teriak Sidanti.
Sepi. Tak seorang pun yang menyahut.
"Agung Sedayu, pengecut!"
Suara itu saja yang melontar menyentuh dedaunan. Seolaholah
memenuhi seluruh pedukukan Jati Anom.
"Gila," geram Sidanti, "apakah aku akan kehilangan dia?"
Tiba-tiba Sidanti itu melihat sesuatu yang bergerak-gerak di
dalam bilik belakang. Cepat ia meloncat mendekati. Dengan
gerak seperti kilat pedangnya telah tergenggam di dalam
tangannya. Kali ini ia tidak membawa pusakanya, neggala.
"Keluar!" teriaknya. "Ayo keluar! Apakah kau Agung Sedayu?"
Yang terdengar kemudian adalah suara tangis kanak-kanak
yang meledak. Dengan penuh ketakutan seorang perempuan
dengan anak laki-laki yang masih kecil terbongkok-bongkok
keluar dari bilik kecil itu.
"O, gila kau," bentak Sidanti. "Di mana Agung Sedayu, he?"
"Agung Sedayu lari, Tuan," sahut perempuan itu.
"Suruh anak itu diam!" teriak Argajaya sambil menunjuk kepala
anak itu dengan ujung tombaknya.
"Cup, Ngger," desis perempuan itu sambil menggigil .
Didekapnya anak itu di dadanya.
"Suruh anak itu diam!" bentak Argajaya pula.
Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Dengan gemetar
ia mencoba manahan tangis anaknya, "Cup diam ya Ngger."
Tetapi anak itu masih juga menangis.
"Di mana Sedayu?" sekali lagi Sidanti membentak.
"Lari, Tuan. Ia lari meloncat pagar dinding itu."
"Kau berkata sebenarnya" Apakah anak itu tidak kau
sembunyikan?" "Tidak, Tuan. Tuan dapat mencari di seluruh halaman ini."
"Kalau aku ketemukan dia, aku penggal kepalamu."
Perempuan itu tidak menjawab, tetapi ia menggigil ketakutan.
"Ayo, tunjukkan di mana ia bersembunyi!" perintah Argajaya.
Tiba-tiba Wuranta maju selangkah sambil berkata, "Maaf
Tuan-tuan, perempuan ini adalah bibiku. Memang ia menjadi
pembantu dan penunggu rumah Agung Sedayu sejak ayahnya
masih hidup. Karena petunjuknya pula aku ingin mengambil
keris hari ini, tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu itu datang."
Argajaya dan Sidanti serentak berpaling memandangi
Wuranta. Dan Wuranta mencoba meyakinkan, "Ia berada di
pihakku, Tuan. Ia tidak akan menyembunyikan Agung
Sedayu." Sidanti dan Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya
wajah Wuranta dan perempuan itu berganti-ganti. Kemudian
berkata Sidanti, "Apakah kau berkata sebenarnya?"
"Buat apa aku membohong, Tuan. Bibi inilah yang
mengatakan bahwa Untara telah menyimpan sebuah pusaka
berbentuk keris di dalam rumah ini. Tetapi ketika aku mencoba
mencarinya, aku masih belum menemukannya. Malahan hari
ini Agung Sedayu yang datang tanpa disangka-sangka telah
mengejarku." Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka
tidak segera berbuat sesuatu.
Ketika mereka masih saja berdiri diam, maka tiba-tiba
bertanyalah Wuranta kepada perempuan tua itu, "Bibi,
kemana Agung Sedayu melarikan dirinya" Ke samping atau
ke belakang?" "Ke belakang, Ngger," sahut perempuan itu ragu-ragu.
"Apakah Tuan masih akan mengejarnya?" bertanya Wuranta.
Sidanti dan Argajaya tiba-tiba tersadar. Tanpa berkata
sepatah katapun segera mereka berlari dan dengan
tangkasnya mereka meloncat dinding di bagian belakang.
Wurantapun tidak ketinggalan pula. Ternyata ia pun cukup
tangkas untuk meloncat dinding itu tanpa kesulitan.
Tetapi mereka sudah tidak menemukan seseorang di
belakang dinding itu. Meskipun demikian mereka masih
mencoba mencarinya ke sekitar halaman rumah Agung
Sedayu, bahkan sampai ke halaman rumah tetanggatetangganya.
NAmun mereka sudah tidak menemukan Agung
Sedayu. "Sayang," desis Wuranta.
"Apa yang sayang?" bertanya Sidanti.
"Monyet itu."

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh," Argajaya mencibirkan bibirnya. "Apa yang dapat kau
lakukan seandainya kami menemukannya" Kau hanya
mampu lari terbirit-birit seperti anjing kena cambuk."
Terasa dada Wuranta berdesir. Sesaat darahnya bergolak,
namun sesaat kemudian ia tersenyum kecut. Tetapi ia tidak
menjawab sepatah katapun. Meskipun demikian, terasa
alangkah menyakitkan kata-kata Argajaya itu. Ia tahu, bahwa
orang-orang dari lereng Merapi adalah orang-orang yang pilih
tanding. Bahkan anak muda yang bernama Sidanti itu memiliki
kemampuan bertempur yang hampir di luar kemampuan
prajurit biasa. Argajaya itu adalah pemimpin yang agaknya
disegani juga. Tetapi untuk mendengarkan hinaan dari mereka
terasa telinganya menjadi sakit juga.
Meskipun demikian Wuranta harus menahan diri. Ia sedang
melakukan tugas yang sangat berat. Karena itu ia harus dapat
mengorbankan perasaannya dan bahkan harga dirinya.
"Pekerjaan yang tidak menyenangkan," ia berdesah di dalam
hantinya. Namun sedikit banyak terasa olehnya, bahwa orang-orang
lereng Merapi sampai saat itu tidak mencurigainya.
Pekerjaannya kini tinggallah mencari kepercayaan yang lebih
besar dan berusaha untuk turut serta ke sarang mereka.
Setelah mereka tidak dapat menemukan jejak Agung Sedayu,
maka Sidanti kemudian berkata, "Apakah yang harus kita
lakukan kini, Paman?"
Argajaya tidak segera menjawab. Diawasinya wajah Wuranta
yang kemudian berpaling. Ia tidak mau berpandangan mata
dengan paman Sidanti yang kasar itu supaya ia tetap dapat
menahan diri dalam tugasnya.
"Bertanyalah kepada pengecut itu," jawab Argajaya, "apa saja
yang ingin dilakukan di kampung halamannya ini."
Sidanti mengerutkan keningnya. Baginya pamannya memang
terlampau kasar menghadapi orang-orang yang sedang
dipancing untuk berpihak kepada mereka.
"Baiklah," akhirnya Sidanti itu menjawab, dan kepada Wuranta
ia bertanya, " Wuranta, apakah yang sebaiknya kita lakukan.
Apakah ada yang menarik di kademangan ini untuk
dikunjungi?" Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu arti pertanyaan
itu. Sidanti dan Argajaya ingin menemukan sesuatu yang
mungkin berharga bagi mereka.
Tetapi Wuranta pura-pura tidak mengerti maksud Sidanti.
Karena itu ia bertanya, "Apakah maksud Tuan?"
Sidanti tersenyum. Kemudian katanya, "Apakah kau tahu, di
mana kami mendapat sesuatu yang dapat disumbangkan
untuk perjuangan kami melawan ketamakan orang-orang
Pajang" Pusaka misalnya atau perhiasan untuk menambah
bekal?" "Di rumah Agung Sedayu ada pusaka, Tuan, tetapi beberapa
hari aku sudah mencarinya, namun belum juga ketemu."
"Bodoh kau!" bentak Argajaya. "Apakah kau tahu, di mana ada
orang-orang kaya di kademangan ini?"
"O," desis Wuranta. Sekali lagi telinganya menjadi pedih.
"Tetapi Tuan, rumah-rumah itu telah pernah Tuan kunjungi."
Mata Argajaya terbelalak karenanya. Hampir ia mengumpat
sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti-lah yang mendahului sambil
tertawa, "Baik. Memang barangkali kau benar. Hampir setiap
rumah yang cukup menarik telah kami kunjungi. Lalu
barangkali kau mempunyai pertimbangan lain?"
Wuranta menggelengkan kepalanya.
"Selain harta benda apakah yang dapat kau sumbangkan?"
bertanya Sidanti. "Apakah maksud Tuan?"
Sidanti tidak meneruskan kata-katanya. Tetapi sambil
tersenyum ia berkata, "Ah, hari telah siang. Apakah kita sudah
cukup, Paman?" "Lalu anak ini?" berkata Argajaya sambil menunjuk kepada
Wuranta. Sebelum Sidanti menjawab Wuranta telah mendahului,
"Apakah Tuan akan segera kembali naik ke lereng Merapi"
Aku menjadi takut Tuan apabila nanti Agung Sedayu datang
kembali." Sidanti tersenyum melihat Wuranta yang kecemasan itu,
katanya, "Lalu" Apa yang kau kehendaki?"
Wuranta tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua
pemimpin dari lereng Merapi itu berganti-ganti. Namun
agaknya Argajaya tidak begitu senang melihat sikapnya. Maka
katanya, "Kenapa kau bertanya kepadanya" Biarkan saja, apa
yang akan dilakukannya."
(***) Buku 21 SEKALI lagi Sidanti tersenyum. Betapapun dadanya bergolak
karena lepasnya Agung Sedayu, namun terhadap anak muda
Jati Anom ini ia ingin bersikap baik, sebagai permulaan dari
hubungannya dengan anak-anak muda di kademangan ini.
"Ia menjadi ketakutan, Paman. Mungkin aku dapat
menolongnya." "Apakah pedulimu atas pengecut itu?"
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Hubungan yang baik antara kita dan anak-anak muda Jati
Anom akan berakibat baik, Paman."
Argajaya menggeram. Namun ia tidak menjawab. Meskipun
demikian pandangan matanya yang tajam seolah-olah telah
menghunjam menembus jantung Wuranta.
"Wuranta," berkata Sidanti kepada anak Jati Anom itu,
"apakah kau menyangka bahwa suatu ketika Agung Sedayu
akan kembali kemari?"
"Itu adalah hal yang mungkin sekali, Tuan. Bahkan mungkin
tidak akan terlampau lama lagi. Hari ini, siang, atau malam
nanti." "Lalu bagaimana dengan kau?"
Wuranta terdiam sejenak. Kemudian desisnya perlahan-lahan,
"Agung Sedayu melihat aku datang bersama Tuan-tuan. Aku
sangka ia pasti mendendamku."
"Lalu?" "Aku harus bersembunyi, Tuan."
Sidanti mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Dan ia
tiba-tiba bertanya, "Apakah kau ingin ikut aku?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ditunggu-tunggunya.
Tetapi meskipun demikian Wuranta tidak segera menjawab.
Wajahnya tampak ragu-ragu.
"Buat apa kau bawa anak itu?" bertanya Argajaya.
"Apa salahnya kita menolongnya, Paman. Mungkin anak muda
ini dapat membantu kita."
"Hanya seorang pemberani yang bermanfaat bagi kita. Bukan
seorang pengecut. Seandainya daerah ini kelak, seperti
diduga oleh Ki Tambak Wedi, akan menjadi landasan bagi
Untara untuk meloncat ke padepokan di lereng Gunung
Merapi itu, maka anak semacam itu tidak akan bermanfaat."
"Tidak, Paman. Mungkin ia akan berguna kelak."
"Buat apa" Ia tidak akan berani menginjak tanah ini kembali.
Kalau kita memerlukan seorang anak muda yang dapat
memberi kita beberapa keterangan, ia harus seorang anak
yang berani. Berani berada di kampung halamannya untuk
menyampaikan sesuatu kepada kita. Tetapi anak ini" Biar
sajalah ia mampus dibunuh Agung Sedayu."
Sidanti menegangkan wajahnya sejenak. Namun kemudian ia
tertawa. Katanya, "Paman adalah seorang pengawal yang
berani. Karena itulah Paman merasa muak melihat seorang
yang berada di dalam ketakutan. Tetapi adalah jauh berbeda,
Paman dan anak muda Jati Anom ini."
Wuranta memperhatikan pembicaraan tentang dirinya yang
berlangsung di hadapan hidungnya, dengan demikian ia pun
mampunyai penilaian atas kedua orang itu. Argajaya adalah
seorang pemberani yang lugu. Yang terlampau percaya pada
kekuatan diri. Sedang Sidanti adalah seorang iblis yang licik.
Keduanya pasti akan sangat berbahaya baginya. Bahkan
disadarinya, bahwa kepercayaan Sidanti kepadanya itu pun
harus diterima dengan sangat hati-hati. Namun bagaimanapun
juga ia melihat kebenaran anggapan keduanya. Argajaya pun
mempunyai alasan yang kuat untuk menolaknya. Karena itu,
maka ia meyesal, bahwa ia telah bersikap terlampau takut
menghadapi keadaan. Tetapi semuanya telah terlanjur. Ia
harus dapat memanfaatkan apa yang masih dipunyainya
sekarang. Yang bertanya kepadanya kemudian adalah Sidanti,
"Wuranta. Apakah kau ingin turut aku?"
Kembali Wuranta terdiam. "Kau akan tinggal bersama pasukanku di padepokan guruku.
Mungkin kau akan mengalami hal-hal yang baru, yang dapat
merubah sikapmu itu."
Dengan ragu-ragu Wuranta kemudian bertanya, "Lalu apakah
tugasku di sana, Tuan?"
"Huh," Argajaya berdesah, "hanya orang-orang yang
terlampau bodoh yang bertanya demikian."
"Ya," sahut Sidanti, "ternyata kau memang agak terlampau
bodoh. Tetapi tak apalah. Sebenarnya melihat wajahmu aku
mempunyai harapan, bahwa kau akan berguna bagi kami,
tetapi agaknya otakmu terlampau tumpul untuk wajah yang
cerah itu." Sekali lagi dada Wuranta berdesir. Kembali ia membuat
kesalahan. Namun agaknya ia masih mempunyai harapan
ketika Sidanti berkata, "Yang pertama kau ucapkan adalah
kesanggupan. Mungkin kau harus berbuat sesuatu yang dapat
membahayakan jiwamu. Bukankah kami terdiri dari prajuritprajurit
yang sedang memperjuangkan suatu cita-cita?"
"Tak akan ia ketahui apakah yang kau sebut cita-cita itu
Sidanti. Baginya tak akan dimengerti, apakah arti Pajang dan
Jipang. Apakah arti perjuangan Ki Tambak Wedi menentang
kekuasaan Pajang sekarang ini. Untuk apa dan bagaimana?"
Sidanti terdiam. Tiba-tiba anak muda itu merenungi wajah
pamannya. Di dalam hati kecilnya sendiri terbersit suatu
pertanyaan, "Apakah pamannya mengetahuinya" Apakah
pamannya menyadari, bahwa di padepokan gurunya sekarang
ada dua pihak yang mempunyai pancadan yang berbeda
menghadapi Pajang" Dan apakah pamannya sendiri
menyadari sepenuhnya, untuk apa ia berjuang" Untuk apa Ki
Tambak Wedi menentang Pajang?"
Sebenaranya Sidanti sendiri telah beberapa lama berusaha
mencari alasan yang tepat yang dapat dipergunakannya untuk
membenarkan sikapnya menentang Pajang. Tetapi ia tidak
dapat menemukannya. Sementara ia dapat memuaskan
dirinya dengan alasan yang dicari-carinya. Mungkin ia dapat
mengatakan kepada orang lain, bahwa ternyata Pajang
berbuat sewenang-wenang. Pajang sebenarnya tidak berhak
untuk melintir kedudukan Demak, merajai hampir seluruh
pulau Jawa. Mungkin ia dapat berpura-pura membenarkan
sikap Arya Penangsang dari Jipang.
Tetapi ia tidak dapat berbuat demikian kepada diri sendiri. Ia
tidak dapat berkata bahwa Pajang tidak berhak mewarisi
kekuasaan Demak. Ia tidak dapat mengatakan kepada dirinya
sendiri bahwa Pajang berbuat sewenang-wenang. Beberapa
usaha dari bupati-bupati di sepanjang pesisir untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Demak setelah Demak jatuh,
tidak dapat disejajarkan dengan usahanya itu. Meskipun dari
segi kekuatan dan jumlah prajurit yang akan dapat
dihimpunnya Sidanti tidak perlu cemas. Di belakangnya
terbentang suatu daerah yang luas di Pegunungan Menoreh.
Sisa-sisa kekuatan Jipang dan pengaruh Ki Tambak Wedi di
sekitar lereng Merapi. Bupati-bupati di pesisir pasti tidak akan
dapat berbuat seperti apa yang dilakukan oleh sisa-sisa
prajurit Jipang yang putus asa itu.
Sidanti yang kebingungan itu hanya dapat menemukan
jawaban yang sama sekali tidak dikehendakinya. Meskipun
demikian setiap kali terdengar suara yang tidak diinginkannya
itu, suara dari relung yang jauh di dasar hatinya, bahwa
pemberontakan ini hanya sekedar didorong oleh nafsu,
ketamakan, dendam, dan kebencian. Inikah cita-cita" Nafsu
untuk berkuasa dan kedudukan yang baik dengan cepat,
ketamakan yang berlebih-lebihan, dendam yang menyalanyala
di dalam dadanya karena kegagalan-kegagalannya
selama ini. Sementara itu hatinya dibakar oleh kebencian yang
hampir-hampir tidak dapat terkendali lagi.
Wuranta, anak muda Jati Anom masih berdiri di mukanya
dengan wajah termangu-mangu. Kata-kata Argajaya benarbenar
telah mencemaskannya. Ia melihat orang itu sebagai
seseorang yang banyak harus mendapat perhatiannya. Orang
itu pada saat pertama telah tidak menyenanginya. Maka
bahaya daripadanya adalah bahaya yang pasti akan menjadi
paling besar. Karena Sidanti dan Wuranta masih juga berdiam diri, maka
Argajaya-lah yang berkata pula, "Nah, Sidanti tanyakanlah,
untuk apa ia ikut ke padepokan Ki Tambak Wedi. Kau akan
tau dan kau akan dapat mengukur sampai di mana tingkat
kecerdasan otaknya."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam
kebimbangan terdengar ia bertanya, "Ya, untuk apa kau ingin
ikut bersama kami, Wuranta?"
Pertanyaan itu telah mendebarkan jantung Wuranta. Untuk
masuk ke padepokan Ki Tambak Wedi memang bukan
pekerjaan yang mudah. Ia harus berhati-hati menilai
pertanyaan itu. Ia tidak akan dapat menjawab dengan alasan
yang dibuat-buatnya seolah-olah ia memihak kepada Jipang
untuk menentang Pajang. Alasan yang terlampau dibuatbuatnya
pasti akan menimbulkan kecurigaan atas mereka
berdua setelah mereka kecewa terhadapnya karena
kebodohannya. Karena itu maka dicobanya untuk menghindari jawaban atas
pertanyaan itu, katanya, "Bukankah Tuan yang telah
menawarkan kepadaku untuk turut ke padepokan lereng
Merapi?" Argajaya mengerutkan keningnya. "Gila," desisnya. "Agaknya
kau pandai juga berbantah. Tetapi jawaban itu hanya
menambah keyakinanku bahwa kau benar-benar anak yang
bodoh." Kemudian kepada Sidanti ia berkata, "Lepaskan
keinginanmu untuk membawanya."
Tetapi agaknya Sidanti berpendirian lain. Tenyata anak muda
itu tertawa, "Jawabanmu benar," katanya, "memang akulah
yang telah menawarkan kepadamu apakah kau ingin turut
dengan aku ke lereng Merapi."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu bagaimana maksudmu, Sidanti?"
"Aku bawa orang ini, Paman. Mungkin justru kebodahannya itu
akan dapat membantu kami dalam beberapa kepentingan
yang sesuai dengan sifatnya itu."
"Terserahlah kepadamu, Sidanti. Mungkin juga ia dapat
membantu mengambil air di pancuran atau memanjat kelapa
di kebun-kebun." Sidanti mengangguk-angguk sambil berkata, "Mungkin,
Paman, tetapi mungkin juga untuk kepentingan yang lain."
Argajaya tidak mau berdebat lagi dengan kemenakannya. Ia
merasa bahwa Sidanti lebih banyak berwenang dari padanya.
Karena itu maka katanya kemudian, "Aku akan kembali."
"Baiklah, Paman. Kita kembali ke padepokan." Kemudian
kepada orang-orangnya ia berkata, "Kita kembali sekarang."
Argajaya tidak menunggu mereka. Segera ia melangkahkan
kakinya mendahului berjalan ke arah Barat, memunggungi
matahari yang sedang memanjat lebih tinggi menghadap
lereng Merapi yang ujungnya menjadi kemerah-merahan
seperti sedang terbakar. Dari mulutnya mengepul asap yang
putih, membumbung tinggi, namun kemudian menghambur
karena sentuhan angin pagi.
Orang-orang Sidanti itu pun kemudian berjalan pula menyusul
Argajaya di belakangnya, sedang Sidanti berjalan paling
belakang bersama Wuranta. Ketika mereka meninggalkan
tlatah Jati Anom maka bertanyalah Sidanti, "Kau benar-benar
ingin meninggalkan kampung halamanmu?"
Wuranta memandangi wajah Sidanti dengan heran. Denga
hati-hati ia bertanya, "Kenapa meninggalkan, Tuan" Apakah
aku kelak tidak akan dapat kembali lagi?"
"Tentu. Kau tentu akan kembali. Bahkan hari ini kau dapat
juga kembali ke kademangan ini."
Hal 12- Wuranta heran mendengar jawaban Sidanti itu. Hari ini ia
dapat kembali ke Kademangan Jati Anom, apakah
maksudnya" Tetapi ia tidak segera menjawab atau bertanya.
Ia menunggu Sidanti itu menyatakan maksudnya. Ia harus
sangat berhati-hati mengnadapi anak muda yang tampaknya
selalu tersenyum-senyum saja ini. Namun di balik wajahnya
yang terang itu, Wuranta merasakan sifat-sifat yang tidak
dapat dijajaginya. "Wuranta," berkata Sidanti itu kemudian, "kembali atau tidak
kembali ke Jati Anom itu sangat tergantung kepadamu sendiri.
Kepergianmu ke lereng Merapi ini, meskipun berdasarkan atas
tawaranku, tetapi aku terdorong oleh keinginanku
melindungimu karena kau takut terhadap Agung Sedayu."
"O," Wuranta hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apabda kau suatu ketika merasa berani datang kembali ke
kampung halamanmu, apakah keberatannya?"
"Tentu," sahut Wuranta dengan wajah yang bersungguhsungguh,
"aku tentu berani datang kembali ke kedemangan
ini." "Kenapa kau sekarang takut kami tinggalkan?"
"Aku dapat kembali di malam hari, Tuan. Meskipun
seandainya Agung Sedayu ada di rumahnya, maka aku akan
dapat memilih jalan yang tak mungkin dilihatnya. Meskipun
kami sama-sama anak Jati Anom, namun beberapa bulan
terakhir Agung Sedayu tidak ada di rumah. Ia tidak melihat
keadaan terakhir dari kampung halamannya, sehingga sudah
tentu aku lebih mengenalnya, apalagi di malam hari dan lebihlebih
lagi apabila aku bersenjata seperti Agung Sedayu."
"Kau ingin membawa pedang seperti aku?"
"Aku memang pernah belajar bermain pedang."
"Siapakah yang mengajarimu?"
Wuranta mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Justru ayah Agung Sedayu semasa hidupnya."
"Ki Sadewa?" Sidanti terkejut.
Wuranta mengangguk. "Jadi kau murid Ki Sadewa?"
"Tidak sepenuhnya, Tuan. Aku belum menjadi muridnya. Ki
Sadewa agaknya ingin melihat apakah aku mampu menjadi
muridnya. Tetapi sampai saat meninggalnya, aku tidak pernah
dijadikannya muridnya. Mungkin pengaruh yang demikian
itulah yang menyebabkan aku takut terhadap anak-anak Ki
Sadewa. Apalagi dengan Untara. Kalau ia yang datang
dengan tiba-tiba saat ini, mungkin aka sudah mati membeku."
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mempunyai
penilaian yang agak berbeda terhadap Wuranta yang
disangkanya sekedar anak yang terlampau bodoh. Mungkin
otak anak muda itu memang tidak terlampau baik sehingga Ki
Sadewa tidak meneruskan maksudnya untuk menuntun anak
itu, apalagi menjadikan muridnya.
Tetapi mungkin pula karena sebab-sebab lain. Kali ini Wuranta
berusaha untuk mencuri pusaka yang terdapat di dalam rumah
Agung Sedayu. "Mudah-mudahan sifat anak itu tidak terlalu baik. Dengan
demikian aku akan dapat mempergunakannya untuk
kepentingan yang barangkali sesuai dengan sifatnya yang
tidak baik itu," pikir Sidanti sambil melangkahkan kakinya di
samping Wuranta. Tiba-tiba Sidanti itu bertanya, "Kalau kau membawa pedang
apakah kau berani melawan Agung Sedayu seorang melawan
seorang?" Wuranta terdiam sejenak. Sekali lagi ia membuat penilaian
atas pertanyaan-pertanyaan Sidanti. Dan kali ini ia menjawab,
"Sebenarnya belum tentu aku dapat dikalahkan, Tuan. Tetapi
aku merasa bahwa Agung Sedayu adalah anak Ki Sadewa.
Sebenarnya aku tidak hanya belajar kepada Ki Sadewa
sendiri, Tuan. Aku juga belajar kepada tetangga-tetangga
yang lain, bahkan anak-anak muda di Jati Anom ini
menganggap aku melampaui diri mereka. Tak ada seorang
pun yang berani melawan aku berkelahi."
"Bagaimana dengan Untara dan Agung Sedayu?"
"O," Wuranta menelan ludahnya. Ia harus memainkan
peranannya, cukup baik. Kalau tidak, anak muda yang
dihadapi itu agaknya cukup tajam untuk menangkap
kesalahan-kesalahan yang kecil sekali pun. "Keduanya itu
terkecuali, Tuan." Sidanti tersenyum. Ia mendapat kesan baru pada anak muda
Jati Anom itu. Dan ia tidak menyembunyikan kesannya.
Katanya, "Kau anak muda yang sombong. Tetapi aku tidak
yakin bahwa kau dapat memenuhi sepersepuluh dari katakatamu
itu." "Kenapa, Tuan?" sahut Wuranta dengan tiba-tiba sehingga
langkahnya terhenti. "Kenapa tidak?"
"Kau berani kembali ke Jati Anom sekarang?"
"O," Wuranta terdiam. Sementara itu Sidanti tertawa.
"Jangan sekarang, Tuan."
"Baik. Nanti malam?"
"Tentu, Tuan, apakah sebabnya aku tidak berani."
"Wuranta," berkata Sidanti, "kau akan menjadi kawanku yang
terpercaya kalau kau dapat melakukan pekerjaan yang akan
aku berikan kepadamu."
"Pekerjaan apakah itu, Tuan?"
"Tidak terlalu sulit. Kau hanya akan mondar-mandir saja. Dari
padepokanku ke Jati Anom dan sebaliknya."
"Untuk apa, Tuan?"
"Apakah anak-anak muda di Jati Anom menaruh kepercayaan
kepadamu?" "Tentu, Tuan," sahut Wuranta. "Aku adalah tetua anak-anak
muda di sini meskipun tidak dinyatakan secara resmi.
Memang ada satu dua anak yang tidak mau tunduk kepadaku
dan kepada sebagian besar dari anak-anak muda Jati Anom,
tetapi dalam kesempatan seperti sekarang ini, mereka pasti
akan segera aku singkirkan."
"Singkirkan bagaimana?" bertanya Sidanti.
Wuranta mengerutkan keningnya, jawabnya, "Aku pernah juga
melakukannya, Tuan. Aku bunuh anak yang melawan
kehendakku beberapa hari yang lalu."
Kini Sidanti tersenyum di dalam hati. Ia menemukan seorang
anak muda yang menyenangkan. Pengecut, sombong,
pendendam, pembual, dan licik. Namun Sidanti bukan anak
kemarin sore untuk segera mempercajainya. Sidanti cukup
berhati-hati menghadapi anak-anak muda yang baru saja
dikenalnya. Terhadap Wuranta ini pun Sidanti cukup waspada meskipun
tidak tampak pada wajah serta sikapnya. Meskipun seakanakan
ia dapat mempercayai setiap kata-kata Wuranta, namun
setiap kali Sidanti itu mempersoalkannya di dalam hatinya.
Perjalanan mereka itu pun semakin lama menjadi semakin
dekat dengan padepokan Ki Tambak Wedi di lereng Merapi.
Mereka kini telah melewati Randu Lanang. Dan beberapa
ratus langkah lagi mereka telah memasuki tlatah padepokan
Ki Tambak Wedi. Namun yang beberapa ratus langkah itu terdiri dari jurangjurang
yang curam, tebing yang terjal di antara hutan yang
membujur di ereng-ereng Gunung Merapi.
"Inilah padepokan kami," berkata Sidanti kepada Wuranta
ketika mereka melihat sebuah padepokan di antara rimbunnya
dedaunan dan dikitari oleh hutan-hutau yang tipis. "Di sinilah
aku berprihatin selama bertahun-tahun membentuk diri di
bawah pimpinan Ki Tambak Wedi. Dan kini sebagian dari
prajurit Jipang pun berada di sana pula."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat
berkeliling, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Setiap kali
ia melihat ujung tombak mencuat dari balik batu-batu dan dari
belakang pepohonan. Beberapa kali pula ia melihat dua orang
yang asyik duduk di atas sebongkah batu. Namun ternyata
bahwa kedua orang itu adalah dua orang di antara para
pengawas yang bertebaran.
"Penjagaan di sini cukup baik," desis Wuranta di dalam hati.
"Alangkah sulitnya untuk dapat masuk tanpa diketahui
meskipun malam hari."
Tetapi Wuranta tidak segera menjadi putus asa melihat
kerapatan penjagaan itu. Ia yakin, bahwa di suatu tempat,
akan dapat diketemukan tempat-tempat yang lelnah dari
penjagaan itu. "Apakah yang sedang kau renungkan," tiba-tiba Wuranto
terkejut mendengar pertanyaan Sidanti.
"Tidak apa-apa," sahut Wuranta, "tetapi aku heran apakah di
tempat ini dapat diperoleh makan yang cukup bagi seluruh isi
padepokan?" "Pertanyaanmu yang pertama-tama berhubung dengan tempat
ini adalah soal makan. Kenapa?"
Wuranta tidak segera menjawab. Ternyata setiap kata-katanya
mendapat penilaian cukup cermat.
"Kenapa kau tidak bertanya tentang kekuatan yang tersimpan
di dalam padepokan ini" Atau siapa saja yang tinggal di
padepokan ini sekarang. Atau di mana saja kamt
menempatkan para penjaga "kami?" Wuranta tiba-tiba tersenyum. Katanya, "Itu tidak menarik
perhatianku, Tuan. Aku adalah seorang petani. Ketika aku
melihat tanah di lereng ini, aku segera menyangka bahwa di
sini tidak banyak dibangun tanah-tanah persawahan meskipun
aku melihat parit yang mengalirkan air yang cukup.
"Kau salah Wuranta," jawab Sidanti, "agak di bagian atas kau
akan melihat sawah yang bertingkat-tingkat. Sebuah air terjun
yang cukup besar dan kebun-kebun salak yang luas. Nanti
kau akan menyaksikan sendiri, bahwa padepokan ini tidak
kalah ramainya dengan Kademangan Jati Anom. Tetapi bagi
kaum dagang, padepokan kami tidak menarik perhatian. Tidak
seperti Jati Anom yang reja. Apalagi Sangkal Putung yang
merupakan persimpangan jalan bagi para pedagang keliling.
Sehingga setiap kali orang-orang kami harus turun
menukarkan hasil bumi kami dengan orang-orang di bawah
kaki Gunung Merapi. Dengan Kademangan Jati Anom
misalnya. Tetapi kalau kau bertanya tentang pande besi, maka
pande besi kami jauh lebih baik dari pande besi di mana pun.
Lebih baik dan lebih banyak. Pande besi Sendang Gabus
yang terbunuh itu pun bukan seorang yang mengagumkan di
daerah kami, darah Tambak Wedi."
"Nama apakah sebenarnya Tambak Wedi itu, Tuan?"
"Nama tempat. Padepokan kami adalah Padepokan Tambak
Wedi. Orang yang bertanggung jawab atas padepokan kami
kemudian disebut orang Ki Tambak Wedi."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
mengedarkan pandangan matanya menebar ke sekitar
Padepokan Tambak Wedi. Ternyata memang tanah itu adalah
tanah yang subur. Adalah di luar dugaannya bahwa
padepokan setinggi itu ternyata berpenduduk cukup padat.
Kini padepokan itu menjadi semakin padat karena orangorang
Jipang di bawah pimpinan Sanakeling berada di sana
pula. Sejenak kemudian maka mereka pun telah memasuki
Padepokan Tambak Wedi itu. Mereka menyusup sebuah regol
yang besar pada dinding padepokan yang tebal, kuat dan
tinggi. Dinding batu hitam yang diatur cukup baik melingkar
seputar padepokan yang ramai.
"Dinding ini pun merupakan sebuah persoalan," desis Wuranta
di dalam hatinya. "Apakah seseorang akan dapat meloncati
dinding setinggi ini" Mudah-mudahan ada bagian-bagian yang
setidak-tidaknya mungkin dapat dipanjat."
Tetapi Wuranta kemudian tidak mendapat kesempatan lagi
untuk berangan-angan. Segera ia sampai ke sebuah rumah
yang cukup besar. Sidanti membawanya masuk ke dalam
rumah itu. Dan di dalam rumah itu ditemuinya para pemimpin
yang lain. Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan yang lain-lain.
Dengan canggung Wuranta duduk di antara mereka, di antara
orang-orang yang belum dikenalnya. Dengan demikian maka
ia harus menjadi lebih berhati-hati. Setiap katanya harus
dipertimbangkannya masak-masak supaya ia tidak terjerumus
dalam kesulitan. Beberapa orang dari mereka menerima kedatangan Wuranta
dengan sikap acuh tak acuh. Ada yang sama sekali tidak
memperhatikannya lagi seperti Argajaya. Kehadiran Wuranta
bagi mereka sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tetapi ada juga di antara mereka yang menyambutnya
dengan ramah. Hubungan yang baik dengan Jati Anom akan
sangat menguntungkan mereka. Terutama dalam segi
kekuatan. Setidak-tidaknya Jati Anom jangan sampai menjadi


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangkalan yang baik bagi Untara seperti Sangkal Putung.
Kalau anak-anak mudanya tidak membantu, maka kedudukan
Untara pun tidak akan sekuat kedudukan Widura di Sangkal
Putung. Demikian jugalah harapan Sidanti. Ia mengharap Wuranta
dapat membantunya, membuat Jati Anom benteng pertama
bagi pertahanan Tambak Wedi. Tetapi dalam waktu yang
pendek ini dia belum dapat mengirimkan pasukannya ke Jati
Anom karena berbagai pertimbangan. Terutama pertimbangan
tentang kekuatan yang belum mencukupi untuk dibagi-bagi.
Kalau ia menempatkan sebagian dari kekuatannya di Jati
Anom, maka kekuatannya itu pasti tidak akan dapat melawan
seandainya Untara datang dengan prajurit segelar-sepapan.
Sedangkan menurut perhitungannya, maka kedatangan
Untara pasti tidak akan terlalu lama lagi.
Maka yang dapat dikerjakannya sekarang adalah
mempengaruhi anak-anak muda Jati Anom, supaya mereka
tidak dapat bekerja bersama dengan orang-orang Pajang,
meskipun Untara dan Agung Sedayu sendiri berasal dari Jati
Anom. Wuranta adalah salah seorang dari anak-anak muda Jati
Anom yang akan dijadikannya alat untuk itu.
Karena itu, maka setelah mereka duduk bersama sejenak,
maka diajaknya kemudian Wuranta berjalan-jalan didalam
padepokan itu. Ditunjukannya beberapa bagian dari
kekuatannya di Padepokan Tambak Wedi itu.
Diberitahukannya beberapa nama yang dapat menggetarkan
dada anak muda Jati Anom itu. Tetapi sampai demikian jauh,
Sidanti masih tetap menyimpan rahasia-rahasia yang penting.
Ia masih belum dapat mempercayai anak muda yang baru
saja dibawanya itu. "Apakah yang menarik perhatianmu, Wuranta?" bertanya
Sidanti kemudian. "Tuan," jawab Wuranta, "padesan yang di tengah-tengahnya
dibelah oleh sebuah sungai adalah padesan yang baik.
Kehidupan di atasnya pasti diliputi oleh suasana tenteram dan
damai seperti padukuhan ini. Apalagi menurut penglihatan
sepintas, padukuhan ini pun dikelilingi oleh jalan yang cukup
lebar. Bukankah begitu?"
"Memang padesan ini dibelah oleh sebuah sungai," sahut
Sidanti. "Tetapi tidak dikelilingi penuh oleh jalan seperti yang
kau maksud. Di sisi Timur dan Utara memang membujur jalan
yang cukup lebar. Di sisi Barat sebuah jalan sempit, tetapi di
sisi Selatan padepokan ini berbatasan dengan sebuah
pategalan." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak
segera bertanya. "Kau memang seorang petani yang tekun," berkata Sidanti.
"Perhatianmu yang pertama-tama tertuju pada sungai, jalan
dan parit. Apakah kau tidak tertarik kepada hal-hal yang lain?"
"Tentu, Tuan," jawab Wuranta, "aku tertarik juga akan
kekuatan prajurit di Tambak Wedi ini. Aku tertarik kepada
ketabahan hati mereka."
"Apakah kau tidak ingin menjadi seorang prajurit" Bukankah
kau sudah pernah belajar bermain pedang?"
"Tentu, Tuan, aku ingin menjadi seorang prajurit yang baik.
Seperti Tuan, misalnya."
Sidanti tertawa. "Kau pasti akan dapat menjadi seorang
prajurit yang baik."
Wuranta tertawa pula. Katanya, "Tuan berolok-olok."
Sidanti masih juga tertawa, tetapi ia tidak menjawab kata-kata
Wuranta itu. Sejenak ia berdiam diri sambil melangkah
mengelilingi padepokannya yang cukup luas. Setiap kali
mereka bertemu dengan beberapa orang laki-laki yang garang
dengan pedang di lambung masing-masing.
"Hem," desah Wuranta di dalam hatinya, "padukuhan ini
penuh dengan senjata yang siap menyambut pasukan Pajang
apabila mereka datang kemari. Alangkah sulitnya untuk
mencapai padepokan ini. Di antara cerung-cerung jurang dan
tebing, pasukan Tambak Wedi mendapat kesempatan yang
cukup banyak untuk menyambut pasukan Pajang apabila
mereka merayap naik."
"Wuranta," tiba-tiba Sidanti berkata, "kau dapat mencoba
membantu kami apabila kau mau. Tetapi kau harus yakin
bahwa kami akan dapat mengenyahkan kekuasaan Pajang,
setidak-tidaknya untuk sementara dari tlatah di sekitar Gunung
Merapi. Pengaruh Ki Tambak Wedi cukup luas di sini.
Sekarang baru dihimpunnya orang-orang yang percaya
kepada kekuatannya. Orang-orang dari segenap sudut daerah
ini. Orang-orang dari Prambanan, Mayungan, Pucangan,
Asem Gede, bahkan kelak pasti dari daerah yang lebih jauh,
Wanakerta dan Mangir. Sedang aku sendiri adalah Putera
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang luas. Semuanya itu
akan merupakan landasan yang kuat untuk melawan Pajang
yang kini agaknya harus menghadapi kekuatan para bupati di
Pesisir Utara. Suatu ketika pasukan Pajang akan menjadi
semakin lemah, sedang kita menjadi semakin kuat. Suatu
ketika maka Untara dan Widura pasti akan ditarik kembali
untuk menghadapi pemberontakan di sebelah timur
kekuasaan Demak lama. Nah, dalam pada itu kami akan
dapat membangun kekuatan. Kau tahu, bahwa Jati Anom
akan dapat menjadi benteng yang kuat dari kekuasaan Ki
Tambak Wedi di sini" Kelak Jati Anom pasti akan menjadi
pintu gerbang yang ramai dari suatu daerah yang besar yang
dapat menyaingi Pajang sekarang ini. Sebentar lagi Paman
Argajaya akan kembali ke Menoreh. Paman akan segera
kembali membawa kekuatan yang lebih besar dari kekuatan
Pajang di daerah ini, sementara itu kita akan membangun
terus. Dalam pada itu, bantuan anak-anak muda Jati Anom
sangat kami harapkan. Kami tidak akan melupakan jasa-jasa
yang telah kalian berikan. Terutama kau apabila kau mampu
menghubungi anak-anak muda sebayamu."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengar
sebuah rencana yang besar dari seorang putera kepala Tanah
Perdikan. Ia percaya bahwa Sidanti dapat mengerahkan
tenaga manusia cukup banyak dari tanah pegunungan
Menoreh. Ia percaya bahwa di tanah yang garang seperti
Menoreh, pasti telah dilahirkan laki-laki yang kuat dan garang
pula, yang sesuai benar dengan tugas seorang prajurit dalam
keadaan seperti Sidanti dan Argajaya kini. Dan ia dapat juga
mempercayainya bahwa pengaruh Ki Tambak Wedi memang
cukup luas di daerah lereng Gunung Merapi. Beberapa-orang
terkenal yang tersebar di beberapa daerah telah mengakuinya
sebagai seorang guru dalam olah kanuragan dan kebatinan.
Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri. Sekalisekali
Sidanti mencoba memandang wajah anak muda Jati
Anom itu. Tetapi Sidanti tidak segera mendapat kesan sesuatu
pada wajah itu. Namun sejenak kemudian Sidanti mendengar
Wuranta itu bergumam, "Bukan main."
"Apa yang bukan main?"
"Tuan, dan Ki Tambak Wedi. Apakah kelak Tuan akan dapat
menjadi Sultan?" Sidanti tertawa semakin keras. Katanya, "Tidak setiap orang
dapat menjadi Sultan. Tetapi siapa tahu, bahwa suatu ketika
aku mendapatkan tombak Kangjeng Kiai Pleret atau sepasang
keris Nagasasra dan Sabuk Inten atau keris yang keramat Kiai
Sengkelat." "Apakah pengaruh senjata-senjata itu?" bertanya Wuranta.
"Senjata-senjata itu adalah senjata-senjata kebesaran.
Senjata itu mempunyai pengaruh atas orang-orang yang
memilikinya." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang
pernah mendengar bahwa pernah terjadi perjuangan yang
dahsyat untuk memperebutkan keris-keris Kiai Nagasasra dan
Sabuk Inten. Tetapi ia tidak membuat tanggapan sepatah kata
pun. "Nah, pikirkanlah Wuranta. Mungkin kau akan dapat menjadi
seorang demang atau seorang kepala tanah perdikan seperti
ayahku. Tetapi apakah kau berani pulang ke Jati Anom?"
"Kenapa tidak, Tuan?"
"Kalau bertemu dengan Agung Sedayu?"
"Sudah aku katakan, Tuan. Aku akan datang malam hari,
sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan Agung Sedayu
dapat dihindari." "Bagaimana mungkin kau dapat bertemu dengan anak-anak
muda yang lain?" "Aku kunjungi rumahnya masing-masing. Kalau aku sudah
mempunyai cukup kawan, maka aku akan dapat
menyingkirkan Agung Sedayu."
"Kalau Untara datang bersama pasukannya?"
"Kami akan menyingkir."
"Jangan. Biarlah kalian tinggal di rumah kalian masing-masing.
Kalian akan merupakan pembantu yang baik. Kalian dapat
memberitahukan kepada kami apa saja yang telah dilakukan
oleh Untara. Tidak perlu kau sendiri, sebab Agung Sedayu
telah pernah melihat kau datang bersama aku. Kau dapat
menempatkan beberapa orang di Jati Anom. Dari mereka kau
akan mendapatkan beberapa keterangan yang akan kau bawa
kemari." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana?" "Akan aku coba, Tuan," sahut Wuranta.
Sidanti tersenyum. Tetapi senyumnya itu sangat meragukan
hati Wuranta. Ia tidak dapat menduga tepat arti daripada
senyumnya itu. "Apakah kau masih ingin berjalan-jalan?" tiba-tiba Sidanti
bertanya. "Ya, Tuan. Di manakah sawah yang bertingkat-tingkat itu?"
bertanya Wuranta. "Perhatianmu sebagian besar masih tertuju pada sawah dan
parit. Tetapi baiklah. Marilah kita kembali, kau akan mendapat
kawan yang baik." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Diikutinya
Sidanti berjalan kembali ke banjar ke tempat para pemimpin
laskar di Padepokan Tambak Wedi. Kemudian dipanggilnya
seorang anak muda yang sebaya dengan Wuranta. Alap-alap
Jalatunda. "Adi," berkata Sidanti kepada Alap-alap itu. "Kau mendapat
seorang kawan. Kawan dari Jati Anom yang bersedia
membantu perjuangan kita. Ia ingin melihat-lihat daerah
padepokan ini. Tetapi perhatiannya sebagian besar tertarik
pada sawah dan parit-parit. Nah, bawalah ia berjalan-jalan
supaya ia mengenal daerah ini dengan baik."
Alap-alap Jalatunda memandangi Wuranta sejenak. Matanya
yang tajam telah menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati
Wuranta. Tetapi betapa tajam mata anak muda itu, namun
anak muda ini pasti tidak selicik Sidanti.
"Baiklah," jawab Alap-alap Jalatunda dengan ragu. "Marilah,
ke mana kau ingin berjalan-jalan?"
Terasa bahwa anak muda yang disebut bernama Alap-alap
Jalatunda ini agak terlampau kasar. Namun Wuranta tidak
akan dapat menolaknya. "Pergilah, dan bawalah ke mana kau suka," berkata Sidanti
kemudian. Keduanya pun kemudian melangkah keluar. Tetapi belum lagi
mereka meninggalkan halaman, terdengar Sidanti memanggil
Alap-alap Jalatunda. Ketika mereka sudah berhadapan di
muka pintu, maka Sidanti pun berbisik perlahan, "Jangan kau
anggap anak muda itu seperti seekor kelinci yang bodoh.
Ternyata ia cerdik melampaui kancil. Awasi dan ingat-ingat
apa saja yang ingin dilihatnya."
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda tersenyum, "Apakah maksudmu,
aku harus menyelesaikannya dan melemparkannya ke sawah
atau ke sungai?" "Jangan. Kita harus mendapatkan kepastian, apakah ia dapat
kita pergunakan atau tidak."
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum. Katanya, "Hanya itu
pesanmu?" "Ya, dan tumbuhkan kekagumannya atas kekuatan kita."
Alap-alap Jalatunda pun kemudian membawa Wuranta
berjalan berkeliling padepokan. Seperti yang dikatakannya,
Wuranta ingin melihat sawah yang bertingkat-tingkat dan parit
yang membelah sawah dan padepokan mereka. Tetapi hampir
seluruh padepokan dijelajahinya, namun belum juga
ditemukannya apa yang dicari. Jalan untuk memasuki
padepokan itu. "Aku tidak boleh tergesa-gesa," katanya di dalam hati. "Kalau
mereka mencurigai aku, maka selesailah tugasku. Mungkin
kepalaku besok akan ditemukan oleh Agung Sedayu di muka
rumahnya." Akhirnya mereka pun kembali ke tempat para pemimpin.
Kembali Wuranta duduk dengan kaku di tengah-tengah orang
yang belum begitu dikenalnya. Sementara itu ia mendengar
Sidanti berkata, "Wuranta, kau akan segera menerima
tugasmu setelah kau sehari berada di antara kita. Tugas yang
masih sangat ringan. Malam nanti kau harus turun kembali ke
Jati Anom. Lihat apakah yang terjadi di sana, dan coba lihat,
apakah Agung Sedayu masih di sana pula."
Wuranta menjadi berdebar-debar mendengar perintah itu. Ia
tidak dapat meraba tepat maksud Sidanti. Ia melihat anak
muda itu tersenyum. Dan senyumnya memancarkan seribu
satu macam kemungkinan. Karena Wuranta tidak segera menjawab, maka berkatalah
Sidanti, "Bagaimana, apakah kau sanggup melakukannya"
Kau tidak perlu takut terhadap siapa pun. Kau harus belajar
berani menghadapi bahaya apabila kau benar-benar ingin
menjadi seorang prajurit yang baik. Kau dapat mengatakan
kepada kawan-kawanmu di Jati Anom tentang apa yang kau
lihat di sini. Kekuatan Tambak Wedi tidak akan dapat
digoyahkan hanya oleh kekuatan Untara. Kalau seluruh
prajurit Pajang di sepanjang pantai utara dan di seluruh
daerah Bang Wetan ditarik, mungkin Tambak Weii dapat
bedah. ltupun baru suatu kemungkinan. Apalagi sebentar lagi
kalau prajurit dari Menoreh sudah datang. Maka tidak akan
ada kekuatan yang dapat memasuki daerah Tambak Wedi.
Semuanya pasti akan hancur selagi mereka mencoba
memanjat tebing Gunung Merapi ini."
Wuranta masih berdiam diri. Tetapi terasa detak jantungnya
menjadi semakin keras memukul dinding dadanya.
"Nah, pergilah. Kalau kau masih belum berani bertemu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Agung Sedayu, maka tugasmu hanyalah melihat
apakah ia masih berada di Jati Anom."
Wuranta tidak akan dapat terus-menerus berdiam diri tanpa
menanggapi perintah itu. Karena itu maka kemudian jawabnya
per-lahan-lahan, "Baiklah, tuan. Aku akan pergi ke Jati Anom."
Sidanti tertawa. "Kenapa kau ragu-ragu" Kau takut?"
"Tidak, Tuan," sahut Wuranta.
"Baik," tetapi Sidanti masih tertawa, "kalau kau berangkat
senja nanti, maka besok pagi-pagi kau sudah kembali kemari.
Kau akan langsung memberitahukan tugasmu itu kepadaku.
Apakah yang telah terjadi di Jati Anom dan apakah Agung
Sedayu masih berada di tempat itu."
"Baik, Tuan," sahut Wuranta.
"Hubungi anak-anak muda yang dapat mengerti apa yang
akan kau katakan kepada mereka. Kepada yang berkeras
kepala kau dapat memberikan gambaran bahwa Tambak
Wedi akan mampu menggilas Jati Anom apabila dikehendaki.
Mereka yang menentang akan hancur, sedang mereka yang
memilih perjuangan kami akan menikmati kemenangan."
"Baik, Tuan." "Nah, sekarang beristirahatlah. Berangkatlah senja nanti. Kau
tidak perlu menemui aku lagi." Kemudian kepada salah
seorang yang berada di tempat itu Sidanti berkata,
"Tempatkan anak muda ini di rumah Kakek Kriya."
Wuranta pun kemudian dibawa pergi. Ke pondokan yang
diperuntukkannya. Ia harus beristirahat sejenak supaya senja
nanti ia dapat melakukan tugasnya. Berjalan kembali ke Jati
Anom dan pagi-pagi besok ia harus sudah menghadap
Sidanti. Sepeninggal Wuranta, Sidanti meiihat Argajaya berdiri sambil
bergumam, "Buat apa kau pelihara anak gila itu. Apa pula
gunanya kau bawa ia berkeliling padepokan ini kemudian kau
lepaskan kembali ke Jati Anom?"
Sidanti tersenyum, jawabnya, "Sudah aku katakan, Paman. Ia
akan merupakan alat yang baik untuk menakut-nakuti anakanak
muda Jati Anom. Sedangkan kalau anak itu seperti yang
dikatakannya, mempunyai pengaruh yang baik, maka ia akan
dapat menjadi jembatan untuk mengenal anak-anak muda
yang lain." "Kau terlalu percaya kepadanya," berkata Sanakeling.
"Apakah kau yakin bahwa ia tidak akan berkhianat?"
"Sidanti tidak akan sebodoh itu," sahut Sidanti. "Aku ingin
melihat, apakah ia tidak sekedar alat Agung Sedayu atau
Untara untuk menjebak dan memasukkan orang-orangnya
kemari. Karena itu maka aku minta nanti senja apabila ia
pergi, Adi Alap-alap Jalatunda mengikutinya. Lihatlah, apakah
ia berhubungan dengan Agung Sedayu atau tidak. Kalau ia
menemui Agung Sedayu, maka anak itu besok akan
tergantung di ujung Kademangan Jati Anom. Mayatnya akan
tergantung-gantung selama seminggu sebelum kita memaksa
orang-orang Jati Anom mengambil dan menguburkannya."
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Argajaya
yang sudah melangkahkan kakinya, tertegun dan berpaling
kepada Sidanti. Katanya, "Kau telah membuang waktu untuk
mengurus anak bodoh itu. Tetapi ada juga baiknya kau
mengirimkan seseorang untuk melihatnya."
Sidanti tidak menjawab. Ketika ia melihat wajah Alap-alap
Jalatunda, maka dilihatnya anak muda itu tertawa sambil
berkata, "Aku tidak saja ingin menggantungnya di ujung
Kademangan, bahkan aku ingin menggantung Agung Sedayu
itu sendiri." "Jangan sombong," desis Sidanti, "kau hanya mengamatamati
anak itu. Kalau ia memasuki rumah Agung Sedayu,
cobalah lihat, tetapi hati-hati supaya bukan lehermu yang
dijerat oleh Agung Sedayu, apakah Wuranta menemui Agung
Sedayu atau seorang perempuan tua di rumah itu yang
diakunya sebagai bibinya" Kalau ia menemui Agung Sedayu,
maka semuanya sudah jelas. Kau tidak usah berbuat apa-apa.
Tinggalkan saja ia pergi supaya kau tidak mati dibunuh oleh
adik Untara itu. Besok anak itu akan datang kemari lagi untuk
menyerahkan lehernya."
"Aku sendiri dapat menyelesaikannya, Kakang," berkata Alapalap
Jalatunda. "Kurang menyenangkan. Kita bersama-sama akan membuat
perhitungan dengan anak itu."
"Tetapi," berkata Sanakeling, "apakah rahasia Tambak Wedi
dengan demikian sudah diketahui oleh Agung Sedayu?"
"Tak ada yang dapat dikatakan tentang padepokan ini selain
kekuatan yang tangguh. Ia tidak melihat suatu kelemahan pun.
Aku belum tahu, rahasia apa yang sebenarnya
disembunyikannya di balik keinginannya untuk melihat sawahsawah
dan sungai di daerah ini."
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kepada Alap-alap Jalatunda ia berpesan, "Hati-hatilah kau,
supaya bukan kau yang tergantung di ujung Kademangan Jati
Anom." Alap-alap Jalatunda tertawa mendengar pesan Sanakeling.
Pesan itu terdengar sebagai suatu ucapan sendau-gurau saja.
Hatinya menjadi gembira mendapat suatu pekerjaan yang
baginya dapat memberi kesegaran setelah beberapa lama ia
duduk saja terkantuk-kantuk di padepokan itu. Kerjanya hanya
berjalan hilir mudik, atau memberi beberapa petunjuk kepada
para prajurit dan orang-orang baru yang berasal dari daerah
sekitar padepokan itu, atau orang-orang yang datang dari
berbagai daerah karena pengaruh nama Ki Tambak Wedi atas
keluarga mereka atau orang-orang yang mereka hormati.
*** Tetapi kini ia harus mengikuti seorang anak muda dari Jati
Anom itu. Mengawasi dan kemudian berbuat sesuatu apabila
perlu. Namun dalam pada itu terdengar Argajaya berkata, "Jadi
kalau kali ini anak Jati Anom itu tidak menjumpai Agung
Sedayu, kau akan mempercayainya untuk seterusnya?"
"Bukan berarti begitu, Paman," jawab Sidanti. "Untuk
seterusnya pun anak itu perlu diawasi. Baru setelah terbukti
kesetiaannya, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat
dilepaskan." "Tidak banyak gunanya," gumam Argajaya. "Anak itu tidak
akan banyak memberikan apa-apa kepada kita. Pada saat kau
dapat suatu keyakinan bahwa ia dapat dipercaya, maka
Untara sudah berada di hadapan hidungmu."
"Pada saat yang demikian kita memerlukan bantuan anakanak
muda Jati Anom. Setidak-tidaknya mereka tidak
membantu pasukan Untara. Tidak menyediakan makan bagi
mereka, apalagi memberikan bahan-bahannya."
"Untara dapat berbuat dengan kekerasan."
"Itulah yang kita inginkan. Anak-anak muda itu akan
merupakan minyak di dalam bumbung bambu. Kalau kita
mampu menyalakan, maka meledaklah bumbung itu."
Argajaya tidak menjawab. Kemudian ia meneruskan
langkahnya keluar dari dalam bilik itu. Meskipun demikian ia
bergumam, "Kalau tekadmu telah bulat untuk melawan
Pajang, sebaiknya kau mengambil orang-orangmu dari
Menoreh." Sidanti tidak menjawab, karena Argajaya pun tidak berhenti.
Sejenak kemudian orang itu telah hilang di balik pintu.
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pun kemudian
meninggalkan bilik itu pula. Sekali lagi Sidanti berpesan
kepada Alap-alap muda itu, "Jaga, jangan sampai ia
mengetahui bahwa kau mengikutinya supaya ia berbuat
seperti yang dikehendakinya."
"Apakah ia berangkat senja nanti sebelum malam?"
"Kau takut dilihatnya?"
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, kemudian
jawabnya, "Sebelum gelap adalah sangat sulit untuk
mengikutinya tanpa diketahuinya."
"Usahakan agar ia berangkat setelah matahari turun di bawah
cakrawala." Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia berjalan terus
meninggalkan ruangan itu di belakang Sanakeling.
Ketika mereka sampai ke halaman, Sanakeling masih
mencoba memperingatkan Alap-alap Jalatunda, "Hati-hatilah
kau, Alap-alap kecil."
Alap-alap Jalatunda mempercepat langkahnya. Desisnya,
"Apa sulitnya pekerjaan itu" Kalau anak itu berbuat yang
aneh-aneh aku tidak perlu menunggu besok. Malam nanti
anak itu akan aku gantung di ujung Kademangan Jati Anom."
"Jangan membuat perkara. Turuti saja kata-kata Sidanti, anak
gila itu. Dengan demikian kita tidak akan banyak menemui
kesulitan di sini." "Mau apa saja dia terhadapku" Aku tidak takut terhadap murid
Tambak Wedi itu." "Kau memang terlampau sombong. Kau masih belum dapat
menyamainya meskipun kau berlatih seorang diri hampir
setiap malam. Kau sangka Sidanti itu tidak berbuat sesuatu
untuk mempertinggi ilmunya?"
"Tidak," sahut Alap-alap Jalatunda, "ia hanya menunggui bilik
gadis itu saja siang dan malam. Tetapi ia pengecut. Ia tidak
berani masuk." Sanakeling berpaling memandangi wajah Alap-alap Jalatunda.
Kemudian katanya, "Jangan hiraukan gadis itu. Tetapi jangan
pula berbuat sesuatu yang merugikan kedudukan kita di sini.
Sementara kita harus menerima saja keadaan ini. Kalau anak
Jati Anom itu benar-benar menemui Agung Sedayu, katakan
saja hal itu kepada Sidanti, jangan kau lakukan sendiri
hukuman atasnya." Alap-alap Jalatunda tidak menjawab.
"Beristirahatlah," berkata Sanakeling, "kau malam nanti akan
berjalan sepanjang malam."
"Baiklah," jawab Alap-alap itu, yang kemudian berjalan ke
pondoknya yang didiaminya dengan beberapa orang anak
buahnya. Senja itu Alap-alap Jalatunda telah menyiapkan diri mondarmandir
di jalan kecil di tengah-tengah padepokan itu. Pedang
di lambungnya berkali-kali dirabanya, seakan-akan tangannya
sudah terlampau gatal untuk mempergunakan. Dengan
gelisah ia mengawasi regol halaman rumah tempat Wuranta
beristirahat. Kalau-kalau anak Jati Anom itu berangkat
menunaikan perintah Sidanti.
Tetapi akhirnya ia tidak sabar lagi. Alap-alap Jalatunda itulah
yang kemudian mendatangi pondokan Wuranta.
"Kau akan pergi sekarang?" bertanya Alap-alap itu.
"Ya, sebentar lagi," sahut Wuranta. "Sekarang telah senja."
"Masih terlampau siang. Sebaiknya kau berangkat sesudah
gelap." "Kenapa?" "Tak seorang pun melihatmu kecuali para penjaga. Mungkin
ada orang-orang yang sengaja memata-matai padepokan ini.
Mereka akan melihatmu dan mungkin kau akan mendapat
bahaya di perjalanan."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah,"
katanya, "aku akan berangkat sesudah gelap."
Mendengar jawaban Wuranta itu maka Alap-alap Jalatunda
tersenyum di dalam hati. Kalau anak itu bersedia berangkat
sesudah gelap, maka pekerjaannya tidak akan terlampau sulit.
Ia merasa bahwa ia pasti jauh lebih berpengalaman dari anak
muda yang bernama Wuranta itu, sehingga ia akan mendapat
banyak kesempatan untuk melakukan tugasnya.
Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, dan
tenggelam di balik punggung Gunung Merapi, maka lereng di
sebelah timur itu pun menjadi semakin suram. Warna
kemerah-merahan yang berpencaran di langit pun semakin
lama semakin pudar, sehingga akhirnya perlahan-lahan kabut
yang hitam turun menyelimuti lereng Gunung Merapi itu.
Ketika seseorang menyalakan pelita di dalam bilik itu, maka
berkata Alap-alap Jalatunda, "Hari telah mulai gelap. Apakah
kau sudah siap untuk berangkat?"
"Aku sudah siap sejak tadi," sahut Wuranta.
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, tetapi kemudian
dipaksakannya bibirnya tersenyum, "Baik. Marilah aku antar
kau sampai ke perbatasan."
"Aku berani berjalan sendiri."
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya.
Tetapi sekali lagi pula ia memaksa bibirnya untuk tersenyum,
"Kau memang berani. Tetapi supaya tidak menimbulkan salah
paham dengan para penjaga yang belum mengenalmu
dengan baik." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan itu
memang masuk di akalnya. Karena itu maka jawabnya,
"Terima kasih."
"Apakah kau juga memerlukan senjata?" bertanya Alap-alap
Jalatunda. Wuranta berpikir sejenak. Lalu jawabnya, "Aku memang
memerlukannya. Apakah kau mempunyai senjata rangkap?"
"Setiap orang mempunyai senjata rangkap di sini. Bahkan
setiap orang apabila dikehendaki dapat membawa tiga atau
empat pedang sekaligus. Pande besi di padepokan ini
melimpah ruah." "Terima kasih. Apakah kau dapat memberi aku sebuah
pedang yang tidak terlampau besar?"
Alap-alap Jahtunda mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian jawabnya, "Marilah kita berangkat. Aku akan
mengambil sebilah pedang untukmu sambil berjalan."
Keduanya pun kemudian berangkat meninggalkan rumah itu.
Ketika mereka sampai di gardu dekat regol halaman rumah
itu, Alap-alap Jalatunda berkata kepada salah seorang
penjaganya, "Beri aku pedangmu itu. Kau akan dapat
mengambilnya lagi." Orang itu diam termangu-mangu. Tetapi Alap-alap Jalatunda
berkata lagi, "Berikan pedangmu itu. Cepat! Dengan
wrangkanya." Orang itu tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya pedang
beserta wrangkanya, dan diserahkannya kepada Alap-alap
Jalatunda. "Terima kasih," berkata Alap-alap Jalatunda sambil
menyerahkan pedang itu kepada Wuranta. "Anak muda ini
adalah anak muda yang berasal dari Jati Anom. Ia adalah
kawan kita. Kenalilah baik-baik."
Orang-orang di dalam gardu itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian keduanya meneruskan perjalanan mereka. Di
sepanjang jalan itu, Alap-alap Jalatunda masih sempat
berceritera tentang Padepokan Tambak Wedi. Berceritera
tentang dirinya dan tentang orang-orang Jipang yang berada
di padepokan itu. "Kekuatan Tambak Wedi benar-benar di luar dugaanku,"
berkata Wuranta. "Alangkah besar pengaruh Ki Tambak Wedi,
sehingga ia mampu mengumpulkan sekian banyak laki-laki
yang siap untuk bertempur di pihaknya."
"Huh," Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya, "omong
kosong. Siapakah yang berkata demikian?"
"Sidanti. Bahkan Sidanti akan dapat mengambil kekuatan
yang tidak terhingga dari Bukit Menoreh."
"Anak itu memang seorang pembual. Sejak kita berada di sini
ia berkata, bahwa ia akan dapat menyusun kekuatan yang
tidak akan dapat terkalahkan."
"Bukankah kekuatan itu kini telah terbentuk?"
"Kekuatan ini adalah kekuatanku. Mereka adalah orang-orang
Jipang yang setia kepadaku. Sepeninggal Tohpati, tak ada
orang lain yang dapat mereka percaya selain aku."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam
kepalanya menjalar suatu pengertian baru, bahwa para
pemimpin di padepokan itu ternyata saling berebut pengaruh.
"Jadi siapakah sebenarnya yang berkuasa di sini?"
Alap-alap Jalatunda terdiam sejenak. Pertanyaan itu sukar
dijawabnya. Namun kemudian katanya, "Akulah yang
berkuasa atas orang-orang Jipang. Tetapi karena Sidanti di
sini adalah tuan rumah, maka aku wajib menghormatinya. Ia
adalah murid Ki Tambak Wedi. Seorang yang memiliki
padepokan ini." Wuranta masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali
lagi ia bertanya, "Bagaimanakah hubungan Sidanti dengan
orang-orang Jipang yang berada di bawah pimpinanmu itu?"
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda mendapat pertanyaan yang
sulit. Tetapi akhirnya ia menjawab, "Orang-orang Jipang di sini
menghormatinya. Bukan karena anak itu sendiri, tetapi karena
gurunya, Ki Tambak Wedi."
Wuranta terdiam sejenak. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa
Sidanti telah membawa lari seorang gadis Sangkal Putung.
Adik Swandaru seperti yang diceriterakan kepadanya. Karena
itu maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk bertanya,
"Apakah Sidanti telah beristri?"
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. "Belum,"
jawabnya. "Ia adalah laki-laki pengecut. Ia menyimpan
seorang gadis di padepokan ini. Tetapi ia tidak berani
mendekatinya. Kalau gadis itu dibiarkannya saja, maka ia
akan menyesal. Akulah nanti yang akan mendapatkannya."
Alap-alap itu kemudian tertawa terbahak-bahak, sehingga
beberapa orang yang sedang berjaga-jaga di tepi jalan
menjadi terkejut karenanya. Namun tiba-tiba ia berhenti
tertawa dan berkata, "He, sampai ke mana aku
mengantarmu?" Wuranta tertegun mendengar pertanyaan itu sehingga
keduanya tiba-tiba saja berhenti. Sejenak Wuranta
memandangi wajah Alap-alap Jalatunda, dan sejenak
kemudian ia berkata, "Terserahlah kepadamu. Tetapi agaknya
kau sudah berjalan terlampau jauh."
Alap-alap Jalatuda mengerutkan keningnya. Katanya, "Kita
sudah berjalan sampai beberapa puluh langkah dari regol
padepokan. Tetapi kau masih belum lepas dari lingkaran
pengawasan orang-orangku. Marilah, aku antar kau beberapa
puluh langkah lagi sampai penjagaan yang terakhir."
"Aku kira kau sudah mengantarku cukup jauh."
"Biarlah. Marilah."
Kembali mereka berjalan bersama-sama. Dan kembali Alapalap
Jalatunda mulai membual. Berceritera tentang dirinya dan
tentang orang-orang Jipang di padepokan itu.
"He, apakah yang sedang kita bicarakan tadi ?" bertanya Alapalap
Jalatunda itu. "Seorang gadis," sahut Wuranta.
"Ya, seorang gadis cantik. Sidanti mengambilnya dari Sangkal
Putung." "Apakah gadis itu bakal isterinya?"
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak.
Jawabnya, "Dicurinya gadis itu di tengah jalan. Gadis itu
adalah anak Demang Sangkal Putung."
"Tetapi bukankah maksud Sidanti mengambil gadis itu menjadi
isterinya?" "Darimana kau tahu?"
"Aku bertanya."
Alap-alap Jalatunda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
jawabnya, "Mungkin. Tetapi mungkin pula tidak. Melihat
sikapnya yang cukup hati-hati, aku kira memang gadis itu
akan diperisterikannya. Kalau tidak, maka Sekar Mirah pasti
sudah menjadi korbannya. Tetapi Sidanti itu pun nanti akan
tinggal menggigit jari."
"Kenapa?" "Gadis itu cantik sekali. Kau kira aku seorang laki-laki yang
buta akan kecantikan seorang gadis?"
"Tetapi bukankah gadis itu seakan-akan milik Sidanti?"
"Omong kosong. Gadis itu adalah barang curian. Aku akan
dapat mencurinya, meskipun bukan membawanya lari."
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar. Gadis itu pasti adik
Swandaru. Ia menjadi bertambah cemas karenanya. Seorang
gadis di dalam lingkungan laki-laki sekasar Alap-alap
Jalatunda, Sanakeling dan Sidanti pasti akan sangat
berbahaya, seperti seekor ayam yang berada di dalam sarang
musang. Tetapi bukankah dengan demikian akan dapat timbul
pertentangan yang semakin tajam di antara mereka"
Meskipun demikian, meskipun pertentangan itu akan dapat
menguntungkan Pajang, namun umpan yang diberikan
ternyata terlampau mahal. Tidaklah sewajarnya, bahwa Sekar
Mirah harus dibiarkan saja di dalam sarang hantu-hantu
supaya mereka saling berkelahi satu sama lain.
Wuranta itu tiba-tiba terkejut ketika Alap-alap Jalatunda
bertanya, "He, apa yang kau renungkan" Apakah kau ingin
gadis itu juga?" "Aku belum pemah melihatnya. Sehari aku berada di
padepokanmu, tetapi aku tidak bertemu dengan seorang gadis
cantik. Yang aku lihat hanyalah perempuan-perempuan yang
garang seperti kalian."
Suara tertawa Alap-alap Jalatunda terdengar lagi memenuhi
ereng-ereng Gunung Merapi. Dua orang pengawas yang
duduk di atas sebuah batu sebesar punggung gajah,
mengawasinya dalam kegelapan malam sambil bersungut,
"Suara itu adalah suara Alap-alap Jalatunda."
"Ya, agaknya ia mendapat sesuatu," sahut yang lain.
Mereka terdiam ketika Alap-alap Jalatunda itu kemudian
berjalan di sisi batu tempat mereka duduk.
"He, siapa di sini?"
"Aku, ki Lurah," sahut pengawas itu.
"Buka matamu baik-baik. Anak muda yang bernama Wuranta
ini adalah kawan kita di sini. Kalau nanti ia kembali dari Jati
Anom, maka ia tidak boleh diganggu. Beritahu semua kawankawanmu
yang bertugas malam ini. Ingat, namanya Wuranta."
"Baik, ki Lurah."
Kedua anak muda itu meneruskan perjalanannya. Kini
Wuranta justru berusaha menahan Alap-alap Jalatunda untuk
tetap berjalan bersamanya.
"Apakah gadis itu disembunyikan?" bertanya Wuranta.
"Kenapa ?" "Aku ingin melihatnya. Aku ingin menilai, apakah kau benarbenar
mengerti kecantikan seorang gadis."
"Besok kau akan melihatnya apabila kau masih hidup."
"Apakah aku nanti malam akan mati?"
Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kemudian katanya, "Nah,
pergilah. Aku sudah cukup jauh mengantarmu. Kau sudah
melampaui pengawasan terakhir. Hati-hatilah di jalan.
Lakukan pekerjaanmu baik-baik."
"Kalau aku berhasil, apakah aku akan mendapat hadiah gadis
yang cantik itu?" "Huh, apa artinya kau buat gadis itu" Gadis itu akan menjadi
milikku." "Kau harus menyisihkan Sidanti."
"Huh, Sidanti tidak banyak berarti bagiku," sahut Alap-alap
Jalatunda, namun kemudian ia berkata, "sekarang pergilah.
Besok pagi kau harus sudah menghadap Sidanti."
"Kenapa tidak menghadap kau saja" Bukankah pengaruhmu
atas orang-orang Jipang jauh lebih besar daripada Sidanti?"
"Padepokan ini adalah padepokannya."
"Dan gadis itu?" Wuranta sengaja membakar hati Alap-alap
muda itu, meskipun hatinya masih saja diselubungi oleh
kecemasan. Mudah-mudahan segala sesuatunya tidak terjadi
seperti yang dikatakan oleh Alap-alap muda yang buas itu.
Alap-alap Jalatunda tidak segera menjawab. Pertanyaan itu
telah mendebarkan jantungnya. Tetapi di dalam hatinya ia
sibuk menilai diri. Apakah ilmu Sidanti masih juga jauh berada
di atas kepandaiannya" Selama ini ia telah mencoba
menempa diri sendiri dengan bekal ilmu yang telah dimilikinya.
Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya untuk
mencoba meningkatkan ilmunya. Dengan tekun ia
memperbesar kekuatannya dengan berbagai macam alat-alat
yang dapat diketemukan: pasir, batu dan pepohonan. Hampir
setiap hari, apabila ia pergi mandi ke sungai, ia selalu melatih
jari-jarinya hampir seperempat hari dengan pasir tepian.
Kemudian latihan itu diulanginya di malam hari. Dicobanya
pula untuk meningkatkan kelincahan kakinya dengan
meloncat-loncat dari batu ke batu. Kemudian berlari di tebingtebing
sungai yang curam. Meloncat terjun, kemudian kembali
berlari mendaki lereng-lereng yang terjal.
Alap-alap Jalatunda berharap bahwa ilmunya akan menjadi
semakin sempurna, sehingga apabila sekali lagi ia bertemu
dengan Agung Sedayu, maka ia tidak akan menjadi malu.
Tetapi sasaran itu ternyata tidak saja ditujukan kepada Agung
Sedayu. Kini, setelah ia melihat seorang gadis yang cantik itu,
tiba-tiba ia mulai menilai dirinya kembali. Namun kini ia
mencoba memperbandingkan dirinya dengan Sidanti.
Kedua anak muda itu, Wuranta dan Alap-alap Jalatunda untuk
sejenak saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desir
kaki mereka menyentuh kerikil yang tersebar di sepanjang
jalan. Sekali-sekali di kejauhan terdengar bunyi burung hantu
yang seakan-akan sedang meratap.
Wuranta menunggu jawaban Alap-alap itu. Tetapi ternyata
Alap-alap Jalatunda masih saja berdiam diri.
Tiba-tiba sekali lagi Alap-alap Jalatunda berkata, "He, sampai
ke mana aku mengantarmu?"
Wuranta berpaling. Dipandangi wajah Alap-alap Jalatunda.
Namun di dalam kegelapan malam, ia tidak mendapatkan
suatu kesan apapun. Meskipun demikian, dada Wuranta
berdesir melihat ketajaman mata anak muda itu.
"Sudahlah. Aku akan berjalan sendiri. Mungkin langkahku
akan lebih cepat. Besok pagi-pagi aku mengharap akan dapat
melihat gadis yang kau katakan."
"Kau akan menjadi orang ketiga yang menginginkan gadis itu
besok." "Tidak ada orang lain?"
"Hampir semua laki-laki di sini. Tetapi yang lain tidak berani
berbuat apa-apa. Bahkan kakang Sanakeling pun lebih baik
menutup matanya daripada berhadapan dengan Sidanti."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut
penilaiannya Sanakeling adalah seorang laki-laki yang kasar.
Tetapi agaknya orang itu lebih senang melihat darah di medan
perang daripada kecantikan paras seorang gadis. Meskipun
demikian laki-laki yang kasar itu tidak dapat diabaikan dalam
memperhitungkan keselamatan Sekar Mirah.
Tetapi kali ini Wuranta belum tahu, di manakah Sekar Mirah
itu disimpan. Alap-alap Jalatunda pun kemudian berhenti, melepaskan
Wuranta berjalan sendiri. Ketika anak muda itu melangkahkan
kakinya, Alap-alap itu berkata, "Hati-hatilah. Kau akan
melampaui hutan-hutan, meskipun tidak terlampau lebat, satu
dua sungai yang curam, dan Tegal Mlanding yang justru lebih
lebat dari hutan. Mungkin kau akan bertemu dengan harimau,
tetapi lebih celaka lagi kalau kau bertemu dengan gerombolan
anjing-anjing liar yang ganas."
"Tentu. Aku akan sangat berhati-hati. Tetapi aku tidak takut
menghadapi binatang-binatang itu, karena aku cukup pandai
memanjat." Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya, "Aku sangka kau tidak
takut karena pedang di lambungmu."
Wuranta pun tertawa pula. Sambil meneruskan langkahnya ia
berkata, "Sampai ketemu lagi."
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ditatapnya punggung
Wuranta sampai anak muda itu lenyap ditelan oleh kelamnya
malam. Ketika Wuranta telah tidak tampak lagi Alap-alap Jalatunda itu
menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba hatinya menjadi
berdebar-debar ketika disadarinya, apa saja yang telah
dikatakan kepada Wuranta. Ia belum tahu, apakah Wuranta itu
berpihak kepadanya atau kepada Sidanti. Mulutnya begitu
saja membual seperti apabila ia berada di tengah-tengah
orang-orang Jipang. "Gila," desisnya, "kalau anak itu berkhianat, maka akan aku
patahkan lehernya. Atau kenapa tidak sekarang saja?"
Alap-alap Jalatunda itu menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Sidanti menghendaki ia hidup."
Alap-alap Jalatunda kemudian menggeretakkan giginya.
Tetapi ia tidak begitu menyesal akan ketelanjurannya. Bahkan
kemudian berkata, "Kalau aku benar-benar berhasil
mendapatkan gadis itu sebelum Sidanti, maka aku tidak akan
perlu merahasiakannya lagi. Aku pasti akan menengadahkan
dada untuk menerima tantangannya. Aku sekarang bukan lagi
beberapa bulan yang lalu. Mudah-mudahan usahaku dan
ketekunanku selama ini mendapat imbalan sewajarnya."
Alap-alap Jalatunda itu pun kemudian melangkahkan kakinya
lagi. Sambil meraba-raba hulu pedangnya ia berkata, "Aku
harus mengikutinya. Mudah-mudahan ia benar-benar
menemui Agung Sedayu. Besok anak itu pasti akan digantung
di ujung Kademangan Jati Anom."
Dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda itu pun


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempercepat langkahnya. Ia harus tidak kehilangan Wuranta.
Tetapi beberapa puluh langkah saja, Alap-alap Jalatunda yang
bermata setajam mata burung Alap-alap segera melihat
sebuah bayangan yang berjalan beberapa jauh di mukanya
menuju ke Jati Anom. Bayangan itu adalah Wuranta, yang
sama sekali tidak menyadari bahwa sepasang mata yang
tajam selalu mengikutinya.
Langkah Wuranta pun semakin lama menjadi semakin cepat.
Ia ingin segera sampai ke Jati Anom. Ia ingin segera bertemu
dengan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing beserta Swandaru
untuk menceriterakan pengalamannya yang pendek itu.
Jalan yang ditempuh oleh Wuranta adalah jalan yang cukup
gelap. Apalagi ia belum pernah berjalan melewati daerah itu.
Tetapi Wuranta mempunyai pegangan arah. Ketika ia berjalan
bersama Sidanti naik ke lereng Merapi, ia dapat mengenali
bahwa tidak ada jalan lain selain jalan yang dilewatinya itu.
Meskipun di beberapa tempat jalan itu tampaknya seakanakan
terputus oleh semak-semak, namun Wuranta berhasil
menembusnya. Sebelah menyebelah jalan itu adalah pepohonan hutan, yang
meskipun tidak lebat tetapi cukup gelap. Wuranta seakanakan
tidak dapat lagi melihat jalan di hadapan kakinya karena
kepekatan malam. Karena itu maka anak muda itu berjalan
sambil menengadahkan kepalanya. Diikuti saja celah-celah
dedaunan yang menjelujur sepanjang jalan.
Tetapi yang masih belum diketahuinya adalah, bahwa di
belakangnya seorang anak muda yang garang telah
mengikutinya. Justru ingin melihat apakah Wuranta menemui
Agung Sedayu atau tidak. Karena itu, maka Wuranta sama
sekali tidak memperhitungkan bahaya yang kini sedang
mengikutinya. Ketika malam menjadi semakin malam, maka Wuranta pun
segera semakin mempercepat langkahnya. Angin malam yang
sejuk berhembus membawa udara lembab yang dingin.
Meskipun demikian, namun tubuh Wuranta telah menjadi
basah karena keringatnya yang mengalir dari lubang-lubang
kulitnya. Sementara itu, di belakangnya Alap-alap Jalatunda pun
terpaksa mempercepat langkahnya pula. Anak muda ini pun
sama sekali tidak merasa betapa sejuknya malam karena
hatinya sedang dibakar oleh tugasnya. Ia pun ingin segera
sampai ke Jati Anom untuk melihat apa saja yang akan
dilakukan oleh Wuranta. Bahkan sekali-sekali timbulah
keinginannya untuk menyelesaikan tugasnya dengan
membunuh anak muda itu. Sudah terlampau lama ia tidak
meneteskan darah lawan dengan pedangnya. Rasa-rasanya
sudah bertahun-tahun. Tetapi selalu saja diingatnya, bahwa
Sidanti menghendaki Wuranta itu besok hidup-hidup
menghadapnya. Kalau ternyata Wuranta itu berkhianat maka
Sidanti sendiri agaknya yang akan mendapat permainan.
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu menggerutu di dalam hatinya.
"Huh, Sidanti ingin mendapat permainan tetapi ia tidak mau
mengambilnya sendiri malam ini."
Dalam pada itu maka jarak yang mereka tempuh pun semakin
lama menjadi semakin jauh, dan sejalan dengan itu, maka Jati
Anom pun menjadi semakin dekat pula.
Sekali-sekali Wuranta mendengar suara binatang-binatang
buas yang berkeliaran di hutan-hutan. Terasa bulu kuduknya
meremang. Tetapi ketika tersentuh tangkai pedangnya, maka
kembali ia menengadahkan wajahnya sambil berdesis
seorang diri, "Ayo, siapa yang ingin mencoba tajam
pedangku?" Tetapi ia menjadi ngeri ketika didengarnya gonggong anjing
liar di kejauhan. Anjing liar itu akan dapat merupakan bahaya
yang jauh lebih besar dari bahaya seekor harimau, karena
anjing itu biasanya bergerombol sampai berbilang puluhan.
Meskipun demikian Wuranta masih dapat menghibur dirinya.
"Aku pandai memanjat, sedang anjing-anjing itu tidak akan
dapat mengejarku." Namun sejenak kemudian ia berdesis,
"Tetapi dengan demikian aku tidak akan dapat menyelesaikan
tugasku. Kembali besok pagi-pagi ke lereng Mierapi."
Kadang-kadang Wuranta menjadi berdebar-debar
mengenangkan tugasnya. Apakah sebenarnya yang dimaksud
oleh Sidanti" Apakah cukup apabila ia besok mengatakan
bahwa Jati Anom tidak ada perubahan sesuatu dan Agung
Sedayu masih berada di rumahnya" Apakah dengan demikian
Sidanti akan datang dengan beberapa orang untuk
menangkap Agung Sedayu"
Dalam kebingungan itu ia bergumam, "Lebih baik aku
beritahukan saja kepada Agung Sedayu. Orang tua yang
bernama Ki Tanu Metir itu pasti akan dapat memberinya
beberapa pertimbangan yang baik baginya dan bagi aku.
Bukankah nasibku sendiri bagaikan sebutir telur di ujung
tanduk yang runcing?"
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin menyerahkan
bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan kepada Ki
Tanu Metir. Dalam pada itu, di belakangnya seorang anak muda sedang
mengintainya. Apakah ia nanti akan menemui Agung Sedayu
atau tidak. Perjalanan Wuranta dan Alap-alap Jalatunda itu pun semakin
mendekati Jati Anom. Alap-alap Jalatunda menjadi heran
terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia menjadi berdebar-debar"
"Persetan dengan Agung Sedayu," tiba-tiba ia bergumam
perlahan-lahan. "Kalau aku nanti dilihatnya, baiklah, aku akan
mencoba apakah aku sudah berhasil menyamainya." Tetapi
meskipun demikian dada Alap-alap Jalatunda masih terus
bergetar betapapun ia mencoba menenangkannya.
Kedua anak muda itu berjalan dengan berbagai persoalannya
sendiri-sendiri. Tetapi keduanya masih harus meraba-raba,
apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Mereka,
seperti malam itu juga, berjalan di dalam kelam. Kakinya tidak
akan dapat menghindar seandamya seonggok duri berada
tepat di bawah telapak kakinya yang sudah hampir
menginjaknya. Tetapi tiba-tiba Wuranta itu tertegun sejenak. Telinganya
seakan-akan mendengar desir di balik dedaunan di sisi jalan
itu. Tetapi ketika dicobanya untuk mendengar sekali lagi,
maka suara itu pun lenyap.
"Siapa?" desisnya di dalam hati. Dengan demikian maka
langkahnya pun menjadi kian lambat.
Alap-alap Jalatunda yang melihat langkah anak muda itu
tertegun-tegun menjadi heran. Kenapa" Bahkan kadangkadang
ia melihat Wuranta itu berhenti sama sekali untuk
sesaat. Sehingga dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda
itu harus bersembunyi di belakang pepohonan atau
berjongkok di samping rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar
di pinggir-pinggir jalan. Namun setiap kali suara desir itu di
dengar lagi oleh Wuranta.
Wuranta bukanlah seorang penakut. Tetapi karena ia hampir
belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa semacam itu,
maka hatinya pun semakin lama menjadi semakin berdebardebar.
Sekali-sekali ia berpaling dan ditebarkannya
pandangan matanya tajam-tajam berkeliling. Tetapi yang
dilihatnya hanyalah kelamnya malam. Pepohonan yang tegak
membisu. Sekali-sekali dilihatnya dedaunan bergerak-gerak
disentuh angin malam. Wuranta menarik nafas. Untuk menenteramkan hatinya ia
berkata kepada diri sendiri, "Tak ada sesuatu yang perlu
mendapat perhatian yang berlebih-lebihan."
Wuranta pun kemudian berjalan kembali. Ditenangkannya
hatinya. Ditetapkannya langkahnya seperti semula. Namun
terasa setiap kali jantungnya menghentak semakin keras.
"Beberapa langkah lagi aku akan sampai ke ujung hutan,"
gumamnya. Tetapi di ujung hutan itu didapatinya sebuah
hutan perdu. Baru sesudah hutan perdu itu ia akan sampai ke
daerah persawahan dan pategalan dari desa-desa kecil
sebelum ia sampai ke Kademangan Jati Anom.
Ketika suara berdesir itu masih saja di dengarnya, maka
Wuranta-pun mempercepat langkahnya. Aku harus segera
sampai ke daerah persawahan. Aku harus berada di tempat.
Terbuka supaya tidak seorang pun yang dapat mengikuti aku
dengan sembunyi-sembunyi.
Ternyata kegelisahan itu tidak saja melanda Wuranta, Alapalap
Jalatunda pun menjadi gelisah. Apakah anak muda itu
merasa bahwa beberapa langkah di belakangnya, seseorang
sedang mengikutinya" Tetapi Alap-alap Jalatunda sama sekali
tidak tahu, bahwa Wuranta sedang diganggu oleh suara
berdesir di antara pepohonan di sisi jalan.
Sedang Wuranta sendiri akhirnya tidak mempedulikan lagi
suara itu. Terdengar ia menggeram perlahan, "Kalau ada
sese"orang yang ingin mengganggu aku, marilah, Aku tidak
akan gentar." Dengan demikian maka Wuranta seakan-akan tidak lagi
merasa seseorang berada di sisi jalan dan mengikuti
langkahnya. Dibiarkannya saja suara berdesir yang sekalisekali
masih juga didengarnya. Meskipun demikian, namun
tangan Wuranta itu selalu meraba hulu pedangnya. Di dalam
hati ia berkata, "Tidak bersenjata pun aku berani melewati
jalan ini. Apalagi kini aku mempunyai sebilah pedang."
Yang didengarnya kemudian adalah gonggong anjing liar di
kejauhan. Kemudian disahut oleh sebuah auman yang
dahsyat. Terbayanglah di dalam kepala Wuranta, bahwa
sedang terjadi bertarungan yang sengit antara segerombol
anjing-anjing liar melawan seekor harimau. Anjing adalah
binatang yang seakan-akan disediakan menjadi makanan
harimau. Tetapi kalau anjing-anjing itu sedang lapar, maka
suatu ketika terjadi harimau menjadi makanan anjing-anjing
liar itu. Tetapi ketika hiruk-pikuk itu semakin menjauh, kembali
ter"dengar sebuah desir yang lembut. Kini semakin dekat di
pinggir jalan, bahkan seolah-olah desir itu adalah desir
kakinya sendiri yang menyentuh daun-daun perdu. Namun
yang dilihatnya tidak lebih dari batang-batang kayu dan
dedaunan. Kegelisahan Wuranta semakin lama menjadi semakin kuat
melanda hatinya. Namun karena anak muda itu belum
memiliki pengalaman yang cukup, maka ia sama sekali tidak
dapat menanggapinya. Bahkan kemudian di cobanya
menenangkan hatinya dan menganggap bahwa sebenarnya
tidak ada apa-apa sama sekali. Telinganya sajalah yang
seakan-akan melihat hantu, tetapi yang sebenarnya tidak ada
apa-apa. Yang disangkanya hantu itu tidak lebih dari sebuah
ranting yang kering, atau selembar kelaras kering ditiup angin.
Tetapi semakin lama Wuranta justru menjadi semakin yakin,
bahwa yang didengarnya itu bukan sekedar daun kering yang
gugur ditiup angin. Dengan demikian maka akhirnya Wuranta tidak lagi dapat
menghibur dirinya dengan macam-macam dugaan. Mau tidak
mau ia harus mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa yang
didengarnya itu adalah langkah seseorang. Bahkan kemudian
ia mendengar suara nafas yang semakin deras dan desis
perlahan-lahan. Karena itu maka Wuranta harus menyiapkan
dirinya menghadapi segala macam kemungkinan.
"Siapakah yang mengikuti aku?" katanya di dalam hati.
"Apakah ia orang lereng Merapi yang sengaja di kirim oleh
Sidanti untuk mengawasi aku, atau orang lain yang
menyangka justru aku orang dari padepokan Ki Tambak
Wedi." Dalam kegelisahannya Wuranta itu berhenti. Dihadapinya
suara berdesir yang semakin dekat itu dengan hati yang
berdebar-debar. Bahkan untuk mengatasi kegelisahannya,
tiba-tiba Wuranta itu berkata keras, "He, siapa yang berada di
balik pepohonan. Ayo, tampakkan dirimu!"
Namun tidak terdengar jawaban. Yang terkejut bukan
kepalang mendengar sapa itu adalah Alap-alap Jalatunda.
Ketika ia melihat Wuranta berhenti, Alap-alap Jalatunda
segera berdiri di belakang sebatang pohon yang cukup besar
melindungi tubuhnya, "Apakah Wuranta telah melihat aku?"
Sekali lagi ia mendengar Wuranta berkata, "Ayo, keluarlah dari
persembunyianmu!" Masih tak ada jawaban. Sedang kegelisahan Alap-alap
Jalatunda pun menjadi semakin meningkat.
Dalam kegelapan malam ia melihat bayangan Wuranta berdiri
tegak seperti patung. Tetapi ia tidak melihat Wuranta itu
melangkah kembali ke arahnya.
"Apakah yang di lihat anak itu?" desis Alap-alap Jalatunda di
dalam hatinya. Tetapi berbeda dengaa Wuranta, Alap-alap
muda itu telah menyimpan banyak sekali pengalaman di
dalam dirinya. Ia menganggap bahwa Wuranta sedang
diganggu oleh firasatnya. Mungkin Wuranta itu merasa
sesuatu yang tidak pada tempatnya dan sekedar menganggap
bahwa seseorang sedang mengikutinya. Tetapi Alap-alap
Jalatunda tidak yakin bahwa sebenarnya anak itu telah
melihatnya. Karena itu maka Alap-alap Jalatunda masih saja bersembunyi
dibalik sebatang pohon. Di dalam malam yang gelap tidak sulit
baginya untuk berusaha supaya Wuranta tidak dapat
melihatnya meskipun seandainya Wuranta itu berpaling ke
arahnya. Dari sisi pohon tempatnya berlindung, Alap-alap Jalatunda
berusaha melihat bayangan anak muda Jati Anom yang
tampaknya menjadi sangat gelisah.
"Apakah anak itu dicekik hantu?" gumam Alap-alap Jalatunda
perlahan-lahan. Tetapi ia mendengar Wuranta berteriak lagi, "Ayo, siapakah
yang bersembunyi?" "Uh," desis Alap-alap Jalatunda, "penakut itu hampir menjadi
gila." Tetapi kemudian tumbuh pertanyaan di dalam hatinya,
"Apakah ia telah melihat aku, dan akulah yang di panggilnya?"
Hati Alap-alap yang buas itu berdesir. Bahkan terdengar
giginya gemeretak. Sekali lagi ia bergumam di dalam hatinya,
"Setan, jangan terlampau sombong. Kalau kau menantang
Alap-alap Jalatunda maka lehermu benar-benar akan aku
patahkan." Kalau saja Alap-alap Jalatunda itu tidak selalu mengingat
pesan Sidanti untuk membiarkan Wuranta itu hidup, maka ia
pasti sudah menyergapnya, membunuhnya dan melemparkan
mayatnya ke dalam parit. "Sidanti ingin setan kecil itu hidup sampai besok," katanya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula di dalam hatinya, "tetapi kalau ia menyerangku, apa boleh
buat. Aku harus membunuhnya, dan membawa kepalanya
kembali ke padepokan. Tetapi aku tidak akan mendahuluinya.
Aku akan menunggu di sini sampai anak itu datang untuk
membunuh dirinya." Namun tiba-tiba Alap-alap itu terkejut. Ia melihat Wuranta
meloncat surut dan mencabut pedangnya. Dengan tegangnya
anak muda Jati Anom itu siap menghadapi segala
kemungkinan dengan pedang yang datar setinggi dada.
"Hem," desah Alap-alap Jalatunda, "anak itu benar-benar telah
menjadi gila karena ketakutan. Tetapi melihat gerak
tangannya ia memang memiliki sedikit kecakapan bermain
pedang." Namun belum delesai Alap-alap Jalatunda berdesah kepada
diri sendiri, ia kini benar-benar terkejut ketika ia melihat
dengan tiba-tiba sebuah bayangan lain yang melontar dari
dalam gerumbul di sisi jalan langsung menyerang Wuranta.
"O," Alap-alap muda itu menggeram, "ternyata Wuranta tidak
sedang gila. Tetapi orang yang menyerangnya itulah yang
gila. Tetapi siapa orang itu" Dan apakah maksudnya
menyerang Wuranta?" Alap-alap Jalatunda itu pun menjadi tegang pula. Dengan
tajam ia mencoba melihat apa yang seterusnya terjadi.
Dan yang terjadi adalah sebuah perkelahian yang sengit.
Ternyata orang yang menyerangnya itu memiliki kemampuan
yang cukup baik seperti Wuranta yang ternyata mampu pula
mempertahankan diri. Dalam gelap malam Alap-alap Jalatunda melihat dua
bayangan hitam yang melontar berputaran. Serang
menyerang dengan serunya.
"Hem," Alap-alap Jalatunda itu menarik nafas untuk mencoba
melepaskan ketegangannya, dan kemudian berkata di dalam
hatinya, "ternyata Wuranta itu pandai juga bermain pedang,
meskipun ayunan tangannya masih juga seperti orang
membelah kaju." Tetapi perkelahian itu sendiri telah membingungkan Alap-alap
Jalatunda. Bagaimana ia harus bersikap menghadapi
pertempuran itu" Kalau kemudian Wuranta dapat
memenangkan perkelahian itu, maka rencananya sama sekali
tidak berubah. Ia hanya mengikuti saja anak itu meneruskan
perjalanannya ke Jati Anom. Tetapi bagaimana kalau Wuranta
itu terdesak" "Setan," Alap-alap itu menggeram. "Siapakah yang berani
mengganggu perjalanan ini. Orang itu pasti tidak tahu bahwa
di sini ada Alap-alap Jalatunda."
Pedang Dan Kitab Suci 17 Tentang Cinta Karya Naura Laily Naga Naga Kecil 13
^