Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 9

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 9


membelah sepi malam. Sekali-sekali terdengar sebuah jerit
yang membumbung tinggi. Tajam pedang berkilat-kilat dalam sinar obor yang
kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu telah bertambah
merah karena darah yang tertumpah.
"Perang brubuh" desah Widura "keduanya tidak lagi pasang
gelar. Tetapi tiba-tiba Widura terkejut. Diantara riuhnya
pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat dengan
lincahnya. Sekali-sekali pedannya terjulur dan kemudian
terayun deras sekali. Widura itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "itulah Sanakeling" desisnya. "Pedang ditangan
kanan dan bindi ditangan kiri."
Widura tidak dapat membiarkannya menyambar-nyambar
diantara laskarnya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia
meloncat langsung menghadapi pemimpin laskar Jipang dari
utara itu. "He" Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Widura hadir
dalam pertempuran itu. Widura kini telah tegak dihadapannya dengan sebuah
pedang yang khusus. Pedang yang tidak terlalu tajam, namun
ujungnya runcing seruncing ujung jarum.
"Aku memang mengharap dapat bertemu dalam
pertempuran ini." Berkata Sanakeling.
"Sekarang kau telah berhadapan dengan Widura. Menyesal
bahwa pertempuran kita kali ini tidak terlalu leluasa." Sahut
Widura. Sanakeling menggeram. Widura telah lama dikenalnya, dan
ia telah mengenal pula kemampuan yang tersimpan didalam
dirinya. Mereka dulu adalah kawan yang baik meskipun tidak
terlalu akrab. Namun keadaan yang memisahkan Pajang dan
Jipang sesudah Sultan Trenggana wafat, telah memutuskan
hubungan mereka pula. Dan Sanakelingpun tahu, siapa yan memimpin laskar
Pajang di Sangkal Putung. Dari Tohpati dia mendengar,
bahwa Widura beberapa waktu dahulu, setelah ia memimpin
sendiri laskar Pajang di Sangkal Putung. Mungkin karena
tanggung jawab yang sepenuhnya berada dipundaknya.
Mungkin karena ketekunannya berlatih. Dan dari Tohpati ia
mendengar bahwa dalam barisan Widura itu pula terdapat
seorang anak muda yang bernama Sidanti, murid Ki Tambak
Wedi. Sanakeling menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan
salah satu diantara keduanya. Kalau ia harus melawan Sidanti
maka Plasa Irenglah yang harus melawan Widura atau
sebaliknya. Sedangkan Tohpati akan dapat dengan leluasa membuat
rencana mengatur laskarnya untuk langsung menembus
jantung Sangkal Putung. Mungkin Plasa Ireng masih belum
memadai kekuatan Widura atau Sidanti,namun Alap-alap
Jalatunda akan dapat menyelesaikannya. Betapapun, tetapi
anak muda yang menamakan dirinya Alap-alap Jalatunda
memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang lain didalam
laskar Tohpati yang diperkuat itu.
Dan kini, ternyata yang tampil dihadapannya adalah
Widura. Karena itu maka katanya "Apakah aku berhadapan
dengan induk pasukan?"
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berpaling dan
berkata kepada seseorang yang berdiri tegak disampingnya
dengan sebuah tombak pendek ditangan. Orang itu adalah
seorang penghubung yang memang sedang menunggu
perintah. Karena itu ia tidak turut bertempur.
"Sampaikan kepada laskar yang tinggal, bahwa aku tetap
berada di Sangkal Putung. Sebab aku bertemu kawan lamaku
Sanakeling." Orang itu mengangguk, namun ketika ia sedang bergerak
maka Sanakeling itu berteriak "tungggu"
Orang itu berhenti, namun Widura memberi isyarat untuk
berjalan terus. "He" teriak Sanakeling "berhenti"
Tetapi orang itu tidak berhenti. Karena itu Sanakeling
berteriak pada anak buahnya "hentikan orang itu"
Seseorang meloncat maju memburunya. Namun orang itu
telah tenggelam dibalik lindungan beberapa orang kawannya,
sehingga Sanakeling seterusnya hanya mengumpat-umpat.
"He,Widura " bertanya Sanakeling itu pula "apakah aku
berhadapan dengan induk pasukan?"
Widura berpikir sejenak "kemudian katanya "ya, kau
berhadapan dengan induk pasukan."
Sanakeling mengerutkan keningnya, namun kemudian ia
tertawa terbahak-bahak. Katanya "jadi inikah induk pasukan
Sangkal Putung yang kau bangga-banggakan?"
"Aku tak pernah membangga-banggakannya. Sekarang kau
melihatnya sendiri."
"Hem" Sanakeling menggeram pula. Sekali lagi ia
memandang pertempuran itu. Ia kini benar-benar terkejut.
Dalam pertempuran itu terjadi banyak sekali perubahan hanya
dalam waktu yang sangat pendek. Ternyata kehadiran laskar
Widura benar-benar telah merubah keseimbangan
pertempuran itu. "Gila" Sanakeling mengumpat dengan kasarnya "ketahuilah
Widura, dibelakangku masih ada bagian dari laskar yang jauh
lebih kuat dari laskar ini. Kalau aku sudah berhadapan dengan
induk pasukan maka pasukanmu yang lain sesaat kemudian
pasti sudah akan musnah. Dan kemudian akan datang
saatnya induk pasukanmu ini musnah pula.
Widura tersenyum. Jawabnya "Ya, aku tahu. Sisa-sisa
laskar Jipang agaknya benar-benar telah dipusatkan disekitar
Sangkal Putung. Kalau sempalan laskarnya disini dipimpin
Sanakeling, maka dibagian yang lain masih ada Tohpati
sendiri, Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan siapa lagi?"
"Gila, kau sadari kedudukanmu Widura, kalau begitu kau
telah benar-benar siap mati. Nah lihatlah, Sangkal Putung
untuk yang terakhir kalinya.
Widura bergeser setapak. Disekitarnya pertempuran masih
berkecamuk. Namun mereka seolah-olah sama sekali tak
menghiraukan kedua pemimpin yang asyik bercakap-cakap
itu. Tetapi kini mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi.
Mereka masing-masing telah mengangkat pedang, dan
terdengar Sanakeling itu berkata "kau harus mati dulu Widura.
Laskarmu akan buyar dengan sendirinya."
"Aku atau kau" sahut Widura.
Sanakeling tidak menjawab. Digerakkannya pedangnya
sambil berkata "apakah dadamu sudah berperisai baja."
Widura menyilangkan pedangnya dimuka dadanya sambil
,menjawab "Inilah perisaiku."
Sanakeling sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada
menyelesaikan dahulu orang ini, pemimpin laskar Sangkal
Putung itu. Dengan demikian maka laskar Sangkal Putung itu
akan menjadi tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau
laskar Tohpati kemudian datang melanda desa yang sedang
ketakutan itu maka semuanya akan segera selesai. Meskipun
ia menjadi cemas juga melihat perkembangan pertempuran
itu. Karena itu maka segera ditundukkannya pedangnya.
Dengan gerakan pendek dijulurkannya pedang itu kedada
Widura. Gerak Sanakeling itu menjadi isyarat dari suatu perkelahian
yang akan menjadi dasyat sekali. Sebab Widura kemudian
mundur selangkah sambil menangkis dengan pedangnya.
Sentuhan dari kedua pedang itu untuk yang pertama kalinya,
disusul dengan sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Semakin
lama menjadi semakin dasyat. Dan berkobarlahh pertempuran
antara Widura dan Sanakeling itu. Kedua-duanya adalah
pemimpin yang telah cukup banyak makan asam garamnya
peperangan. Masing-masing telah banyak memiliki
perbendaharaan pengalaman didalam dirinya. Karena itu
maka perkelahian itu segera menjadi perkelahian yang sengit.
Sanakeling pernah mendengar keteguhan perlawanan Widura
dari Tohpati sehingga ia dapat membandingkannya dengan
apa yang pernah dilihatnya atas orang itu dahulu. Sedang
Widura pernah mendengar tentangsn dari berbagai pihak.
Ketrampilannya, kecepatannya dan ketangguhannya.
Kini mereka berhadapan dalam satu pertempuran. Dan
ternyata apa yang telah mereka dengar itu sebenarnyalah
demikian. Sanakeling terpaksa mengagumi ketangguhan
lawannya, sedang Widura terpaksa berhati-hati karena
ketrampilan Sanakeling itu benar-benar mengherankan.
Dalam pada itu, penghubung yang mendapat perintah
Widura memberitahukan keadaan Sangkal Putung itu kepada
Untara, segera melakukan tugasnya. Dengan berlari-lari kecil
ia menghampiri kudanya yang ditambatkannya didalam gelap
tidak jauh dari pertempuran itu, ditunggui oleh beberapa orang
kawannya. Dengan tangkasnya ia meloncat keatas punggung
kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya ketempat
kedudukan Untara, diujung Barat dari sebuah desa kecil dari
kademangan Sangkal Putung.
Untara menerima berita itu denga mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya "baik. Aku terima beritamu."
Sesaat kemudian Untara segera mengurai keadaan yang
dihadapinya. Kini ia benar-benar memimpin induk pasukan
yang diserahkan oleh Widura itu kepadanya.
Ketika ia melihat Sidanti diantara mereka, maka anak muda
itu segera dipanggilnya "Sidanti, sampai saat ini belum ada
laporan bahwa induk pasukan Tohpati akan merubah arah.
Kalau ia menempuh jurusan ini, maka kita segera akan
berhadapan. sekarang, kau aku serahi untuk memimpin laskar
sayap kanan. Atas nama kakang Widura, yang dikuasakan
kepadku, ambillah pimpinan itu. Kalau Tohpati telah terlibat
dalam pertempuran dengan induk pasukan ini, maka ambillah
arah lambung dan usahakan serangan itu dengan sangat tibatiba"
Tetapi Untara itu terkejut ketika Sidanti menjawab sama
sekali diluar dugaannya "Aku adalah anak buah kakang
Widura. berilah perintah kepada kakang Widura. dan biarlah
kakang Widura yang memberi perintah kepadaku"
Untara mengerutkan keningnya. Meskipun demikian
ditahannya hatinya, katanya "Aku disini mendapat kekuasaan
dari kakang Widura" Sidanti itu tersenyum. "Aneh, pangkat serta jabatanmu lebih
tinggi dari kakang Widura. Apakah wajar kalau kau
mewakilinya?" Untara menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya
melontar jauh menembus gelapnya malam, telah siap
menerkamnya, Macan Kepatihan beserta laskarnya yang
benar-benar telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada
pada mereka. Karena itu, betapa darahnya bergolak, namun Untara
mencoba sekuat-kuat tenagana untuk melawannya. Bahkan
katanya kemudian "Sidanti, kau benar-benar perasa. Dalam
keadaan seperti sekarang ini, marilah kita lupakan segala
persoalan diantara kita masing-masing. Marilah kita lupakan
seandainya ada perselisihan diantara pribadi kita masingmasing.
Marilah kita pusatkan kemampuan yang ada pada kita
untuk menghadapi lawan kita. Macan Kepatihan beserta
laskarnya" Sidanti mendengar kata-kata Untara itu. Terasa juga
sesuatu menyentuh dadanya, sehingga karena itu katanya
"Baiklah. Untuk kali ini aku penuhi perintah yang tidak lewat
saluran yang sewajarnya itu, demi keselamatan Sangkal
Putung" "Terima kasih Sidanti" sahut Untara
Sidanti itupun segera pergi kesayap kanan. Atas nama
pimpinan laskar Sangkal Putung ia memegang pimpinan
sayap kanan. Apabila induk pasukan telah terlibat dalam
pertempuran, maka ia harus segera menyerang dari arah
lambung. Beberapa orang yang berada disayap kanan itu menjadi
kecewa atas kehadirannya. Tetapi mereka dalam keadaan
yang genting, sehingga Karena itu mereka tidak berbuat apaapa.
mereka menyadari bahwa Sidanti adalah kekuatan yang
tangguh untuk melawan setiap pimpinan yang namanya
menakutkan dari pihak lawan. Para anggota itupun telah
mendengar bahwa didalam pasukan lawan itu terdapat pula
nama-nama Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda, Sanakeling dan
yang lain-lain. Diseberang kegelapan malam, Tohpati sedang sibuk
menilai keadaan pula. ketika didengarnya tanda bahaya
meraung-raung diseluruh Sangkal Putung, maka Macan
Kepatihan itu tertawa. katanya kepada Plasa Ireng "Mudahmudahan
laskar Pajang ditarik sebaian besar kearah suara itu"
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda yang muda itu tertawa
pula. sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka
berkata "Tanda bahaya itu pasti akan menarik sebagian besar
dari mereka. Karena itu marilah kita menerobos langsung
kepusat kademangan Sangkal Putung. Sebagian dari kita,
masih akan sempat menyelamatkan laskar Sanakeling,
apabila ia keroban lawan.
Macan Kepatihan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya "Bagus. Marilah kita bergerak"
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda segera pergi ke
kekelompoknya masing-masing. Dan sesaat kemudian
Tohpati itupun segera memerintahkan laskar induk itu untuk
maju. Ternyata laskar induk itu tidak saja berjalan dalam
gerombolan yang liar. Mereka berada dalam sebuah garis
yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun
tidak sempurna. Sengaja Tohpati memisahkan sayap-sayapnya dengan
jarak yang cukup untuk memberi kesempatan kepada sayapsayapnya
itu melakukan kebijaksanaan menurut keadaan.
Apabila ternyata laskar lawan tidak begitu berat, maka sayapsayap
pasukannya dapat berjalanterus menuju kejantung
Sangkal Putung. Menduduki tempat-tempat yang penting,
terutama lumbung-lumbung padi serta tempat-tempat
perbekalan yang lain. Kemudian kademangan dan banjar
desa. Tetapi kalau lawan yang dihadapi cukup kuat, maka
mereka harus menempuhnya dari lambung.
Pengawas yang dipasang oleh Widura segera melihat
kedatangan laskar lawan itu dalam tebaran yang luas. Karena
itu segera ia merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampaikan berita itu kepada induk pasukannya.
Untara yang menerima berita itu segera mengatur
laskarnya. Dipecahnya sebagian dari induk pasukan itu, untuk
dengan tergesa-gesa menempati sayap kiri.
"Citra Gati memimpin sayap ini?" berkata Untara.
Citra Gati termangu-mangu sejenak. Dipandangnya Agung
Sedayu dengan sudut matanya. Namun ia tidak bertanya
sesuatu. Meskipun demikian Untara memaklumi. Katanya
"Citra Gati, pimpinlah sayap ini. Biarlah Agung Sedayu
besertamu. Ia bukan salah seorang dari laskar paman Widura,
sehingga ia tidak dapat memegang pimpinan apapun. Tetapi
ia akan dapat memberimu bantuan."
Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun kini ia tidak
gemetar lagi, namun bagaimanapun juga, ia masih selalu ingin
bersama-sama dengan kakaknya. Tetapi ia tidak dapat
membantah. Karena itu maka katanya "Baik, kakang."
"Cepat, berangkatlah."
Citra Gati dan Agung Sedayu itupun segera membawa
sebagian laskar Pajang dan beberapa anak-anak muda
Sangkal Putung beserta mereka. Diantara mereka adalah
Swandaru yang seolah-olah ingin berada didekat Agung
Sedayu. Kini Untara tinggal menantikan kedatangan laskar Tohpati.
Namun Untara tidak ingin bertempur didalam desa yang gelap
pekat. Karena itu, maka dibawanya laskarnya menyongsong
induk laskar Tohpati yang semakin lama semakin dekat.
Setelah Untara itu menempuh jarak beberapa puluh
langkah dari pedesaan maka laskarnya segera dihentikan.
Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing
sedemikian, sehingga tidak segera dapat dilihat oleh lawanlawan
mereka yang sedang mendekati. Apalagi dalam malam
yang gelap segelap malam itu. Hanya cahaya bintang yang
berkedipan dilangit sajalah yang dapat memberi kemungkinan
untuk dapat memandang pada jarak yang dekat.
Tetapi ternyata laskar Tohpati itu tidak maju langsung
dalam gelarnya. Ternyata beberapa orang diperintahkan oleh
Macan Kepatihan itu merambas jalan. Mereka berkewajiban
untuk mengetahui, apakah jalan yang mereka tempuh itu tidak
berbahaya. Sebab Tohpati memang sudah menyangka,
bahwa laskar Widura tidak akan menunggunya saja dipadesan
yang berada dimukanya itu.
Meskipun demikian, namun laskar yang dipimpin oleh
Untara itupun memiliki pengalaman yang cukup. Karena itu,
ketika mereka telah mengendap dibalik pematang, maka
dibiarkannya tiga orang laskar Tohpati yang mendahului
barisannya untuk berjalan dengan tenang. Dibiarkannya orang
itu melampaui barisan Untara yang diam-diam menunggu
kehadiran lawannya. Karena itulah maka, laskar Tohpatipun berjalan dengan
tenangnya setenang ketiga orang yang mendahuluinya itu.
Mereka tidak menduga bahwa laskar Widura yang dipimpin
Untara beserta anak-anak muda Sangkal Putung itu telah
menunggu mereka dibalik lindungan bayangan pematang
yang hitam kelam.Maka ketika laskar Tohpati itu sudah
semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara Untara memecah
sepi malam, mengatasi suara angin yang berdesah diantara
daun-daun padi yang masih sangat muda. Diantara heningnya
malam terdengar suara itu "Sergap?".!"
*** Seperti kuda yang lepas dari ikatan, maka laskar Untara
itupun berloncatan dari balik-balik pematang, langsung
menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut.
Ternyata mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk
melenyapkan desir yang menggoncangkan dada mereka.
Dengan serta-merta mereka menjulurkan senjata-senjata
mereka untuk menyongsong laskar Pajang yang melibat
mereka seperti badai. "Setan" geram Tohpati.
Dengan lantang ia berkata
"Sayap kanan dan kiri, lihat
perkembangan keadaan"
Sayap-sayap kanan dan kiri
itupun tidak segera meneruskan perjalanan mereka menyusup langsung kejantung Sangkal Putung.
Mereka menunggu sesaat untuk melihat perkembangan
keadaan induk pasukannya.
Tiga orang yang mendahului gelar laskar Macan Kepatihan
itu ternyata terkejut bukan kepalang. Cepat mereka
berloncatan kembali dan langsung melibatkan diri dalam
pertempuran melawan orang-orang Pajang. Keadaan itu
benar-benar tak disangkanya. Ternyata orang-orang Pajang
telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan menyergap
pasukannya. Pertempuran itupun segera berkobar dengan sengitnya.
Tetapi pertempuran ini tidak berlangsung ditengah-tengah
desa yang rimbun dalam gelap pepat. Diudara terbuka, maka
mereka masih mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk
mengamati kawan dan lawan. Meskipun demikian
pertempuran itu tidak berlangsung terlalu cepat. Masingmasing
masih juga ragu-ragu untuk mengayunkan pedangpedang
mereka dengan lepas. Karena itu, baik laskar Macan
Kepatihan maupun laskar Widura dibawah pimpinan Untara
itupun menganggap perlu bahwa beberapa orang diantara
mereka menyalakan obor-obor.
Ternyata laskar yang dihadapi oleh Tohpati itu cukup berat,
sehingga terdengar suara Macan Kepatihan itu lantang
"Sayap-sayap kanan dan kiri, ikutlah menghancurkan lawan
disini. Baru kemudian kami bersama-sama memasuki Sangkal
Putung" Untara mendengar pula aba-aba itu. Tetapi ia tidak
memberi aba-aba imbangan. Dibiarkannya sayap-sayapnya
menyergap kemudian setelah pertempuran menjadi riuh.
Sayap-sayap kanan dan kiri dari laskar Tohpati itupun
kemudian segera menyergap lawannya dari arah lambung.
Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi
bertambah sengit. Ketika sekali lagi Untara mengawasi
pertempuran itu, maka hatinya menjadi tenang. Jumlah
laskarnya kini telah seimbang dengan laskar Tohpati. Namun
meskipun demikian, kemudian disadarinya, bahwa anak-anak
muda Sangkal Putung yang ikut serta dengan mereka, masih
belum memiliki kekuatan yang sama dengan laskar Pajang
sendiri. Karena itu maka Untara kemudian memerintahkan
kepada dua orang penghubung untuk segera menggerakkan
sayap-sayap laskar mereka.
Macan Kepatihan itu tersenyum melihat keseimbangan
pertempuran. Menurut perhitungannya, maka ia akan dapat
mengatasi lawannya itu. Namun ia tidak tahu, bagaimanakah
keadaan laskar Sanakeling. Kalau induk pasukan Pajang telah
ditarik untuk melawan laskar Sanakeling, maka keadaan
Sanakeling pasti akan gawat. Karena itu maka Macan
Kepatihan segera mengerahkan segenap kekuatan yang ada
padana untuk menebus kekalahan kecil yang dialaminya pada
benturan pertama. Tetapi semakin lama Macan Kepatihan itu menjadi semakin
yakin, bahwa laskarnya akan dapat menjebolkan pertahanan
pasukan Pajang dan akan dapat langsung memasuki induk
desa Sangkal Putung. Namun tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya sekumpulan pasukan
muncul diarah selatan, langsung menyerbu kedalam
perkelahian itu. Sesaat ia berdiri tegak seperti patung,
kemudian terdengar suaranya lantang "Sayap kiri, siap
melawan sayap lawan"
Yang berdiri disayap kiri terkejut mendengar teriakan itu.
Seorang anak muda dengan mata yang tajam setajam mata
alap-alap menengadahkan wajahnya. dilihatnya sekelompok
laskar langsung menyerbu kearah mereka yang sedang
menghantam lawan dari arah lambung iu. Dengan tergesagesa
anak muda itu menarik beberapa orangnya, yang
dengan tergesa-gesa pula melepaskan lawan-lawan mereka.
Dengan marahnya anak muda yang memimpin sayap
kanan laskar Macan Kepatihan itu menggeram. Kemudian
dengan senjata ditangan ia mendahului anak buahnya
menloncat menyongsong laskar yang datang itu.
Yang berdiri dipaling depan dari laskar Pajang adalah Citra
Gati. Ketika ia melihat lawan menyongsongna, segera
ditundukkannya pedangnya. Dan tanpa berkata sepatah
katapun maka kedua orang itu telah terlibat dalam satu
perkelahian, sedang anak buah merekapun segera
menghambur, dan dengan sengitnya kemudian campuh
beradu senjata. Agung Sedayu yang berada didalam sayap itu melihat Citra
Gati bertempur dengan sekuat tenaganya. Lawannya adalah
seorang anak muda yang lincah, namun serangannya kuat
dan garang. Tiba-tiba dada Agung Sedayu bedesir "Alap-alap
Jalatunda" desisnya. Namun ia tidak berbuat sesuatu atas
perkelahian diantara kedua pemimpin sayap itu. Ketika kedua
belah pihak telah tenggelam dalam suatu pertempuran, Agung
Sedayupun ikut bertempur pula. pertempuran ini adalah
pertempuran yang pertama kali dialami. Meskipun dengan
pedangnya ia mampu melawan setiap serangan yang datang
kepadanya, namun terasa sesuatu bergolak didalam dadanya.
Ketika sekali pedangnya terayun, memukul pedang lawannya
dengan kekuatannya yang tercurah sepenuhnya, maka
pedang lawannya itu terpental jatuh. Kini kesempatan terbuka
baginya. Lamat-lamat ia melihat wajah orang itu dalam cahaya
obor dikejauhan menyeringai pedih. Dilihatnya betapa wajah
itu menjadi ketakutan melihat pedangnya. Ketika tangan
Agung Sedayu terjulur, dan ujung pedangnya hampir
menembus dada lawannya, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.
Ketakutan yang terbayang diwajah lawannya yang telah tidak
bersenjata itu membangkitkan iba dihatinya. Ia belum pernah
membunuh orang. Dan ia sendiri pernah mengalami, betapa
sakit perasaan yang dikejar-kejar oleh ketakutan. Karena itu
maka tiba-tiba tangannya yang sudah terjulur itu digerakkan
kesamping, sehingga pedangnya tidak menembus dada
lawannya yang telah berputus asa.
Lawannya terkejut bukan main. Matanya telah menjadi
gelap dan harapannya telah putus. Sekilas terbayang istrinya
yang masih muda menunggunya, serta anaknya yang baru
berumur tiga bulan. Anak yang masih belum pernah
ditimangnya, sebab selama ini ia selalu mengembara dari satu
tempat kelain tempat bersama-sama dengan Alap-alap
Jalatunda atau pemimpin-pemimpin Jipang yang lain.
Tetapi tiba-tiba terasa kaki lawannya itu mendesak
dadanya, dan terdengar suaranya lirih "Pergi. Kalau kau masih
berdiri disitu, aku bunuh kau"
Orang itu benar-benar tidak mengerti. Namun secepat kilat
ia meloncat kesamping, menyusup diantara teman-temannya
dan dengan nafas terengah-engah ia berdiri dibelakang
pertempuran itu. Sesaat ia mencoba untuk mengenangkan
apa yang baru saja terjadi. "Mustahil, mustahil" katanya dalam
hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun
ternyata ia masih hidup. Ketika ia menggeleng-gelengkan
kepalanya, maka yang dilihatnya masih saja perkelahian yang
seru. Ia tidak sedang mimpi. Karena itu segera ia meloncat
kembali, mengambil pedang seorang kawannya yang terluka
"Mari, berikan senjata itu kepadaku"
Kawannya yang terluka itu merangkak kesamping.
Diberikannya pedangnya kepada kawannya sambil berdesah
"Bunuhlah. Bunuhlah siapa saja yang kau temui. Aku sudah
dilukainya. Dan lukaku parah"
Orang itu menerima pedang itu dengan tangan gemetar.
Kawannya dilukai dadanya, sedang dirinya sendiri, yang telah
pasrah pada nasib, tiba-tiba mendapat kesempatan untuk
hidup. Dan apakah sekarang ia harus membunuh"
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan ntuk berpikir lebih
panjang. Sekali lagi ia meliat seorang kawannya jatuh
terlentang dengan luka didadanya. Karena itu segera ia
meloncat kembali memasuki arena pertempuran yang menjadi
kian sengit. Agung Sedayu masih juga bertempur dengan gagahnya.
Namun ketika ia melihat beberapa orang kawan dan lawannya
terluka, maka kepalanya menjadi serasa pening. Kini lututnya
sudah tidak gemetar karena ketakutan. Apalagi setelah
ternyata ia dapat melepaskan diri dari berbagai bahanya.
Namun ia masih belum sampai hati untuk membunuh orang,
meskipun dalam pertempuran.
Tetapi sementara itu pertempuran berjalan terus. Citra Gati
dengan gigihnya bertempur melawan Alap-alap Jalatunda.
Alap-alap yang masih muda itu bertempur dengan
tangkasnya. Pedangnya menyambar-nyambar seperti beratusratus
pedang. Tetapi Citra Gatipun cukup berpengalaman. Pedangnyapun
berputar seperti baling-baling. Dengan sepenuh tenaga
dicobanya untuk melawan Alap-alap Jalatunda. Namun Alapalap
Jalatunda itu mempunya I beberapa kelebihan
daripadanya. Kelincahan dan kecepatannya. Sekali ia
menyambar dari samping, namun dengan cepatnya
pedangnya telah terjulur kearah lambung.
Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari
pertempuran itu kadang-kadang dapat menyaksikannya
dengan cermat. Ia melihat, bahwa Alap-alap Jalatunda itu
benar-benar tangkas. Tetapi meskipun demikian, kini Agung
Sedayu itu tidak menjadi gentar seperti pada saat ia melihat
Alap-alap Jalatunda bertempur melawan kakaknya. Bahkan
tiba-tiba terungkatlah kebenciannya kepad Alap-alap
Jalatunda itu. Sebab ia adalah salah seorang dari mereka
yang menyebabkan kakaknya terluka pada waktu itu.
Karena itu untuk melepaskan kebimbangannya melawan
setiap orang yang belum pernah dikenalnya dalam laskar
lawannya, maka tiba-tiba Agung Sedayu itupun meloncat
mendekati Citra Gati. Ia sama sekali tidak cemas lagi melihat
pedang Alap-alap Jalatunda itu. Meskipun demikian, ia
menjadi berdebar-debar juga. Kalau ia terpaksa terlibat dalam
pertempuran yang seimbang, apakah ia harus membunuh
lawannya" Namun demikian, ada juga keinginannya untuk
melepaskan gelora yang tersekap didalam dadanya. Gelora


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarahannya kepada Sidanti yang belum ditumpahkannya.
Alap-alap Jalatunda yang sedang bertempur melawan Citra
Gati itu melihat seseorang mendekati perkelahian itu. Karena
itu segera ia berteriak "Ha, siapa lagi yang ingin bertempur
melawan Alap-alap Jalatunda?"
Dalam pada itu seorang prajurit Jipang tiba-tiba menyerang
Agung Sedayu. Namun dengan tangkasnya Agung Sedayu
menghindari serangan itu, bahkan dengan kerasnya ia
memukul pedang lawannya, kearah yang sama, sehingga
justru Karena itu, maka pedang itupun meloncat dan terlepas
dari tangannya. Alap-alap Jalatunda sempat menyaksikan ketangkasan itu.
Karena itu maka segera perhatiannya tertarik kepada lawan
yang mendekatinya. Sambil bertempur melawan Citra Gati ia
berkata "He, alangkah tangkasnya anak itu. Siapakah kau"
Apakah kau ingin melawan Alap-alap Jalatunda?"
Agung Sedayu tidak segera menjawab. namun diamatinya
perkelahian antara alap-alap itu melawan Citra Gati. Baru
sesaat kemudian ia berkata "Aku Agung Sedayu, adik Untara
yang cegat berempat disekitar Macanan"
"He, kaukah itu" Pengecut yang selama ini aku cari-cari"
"Kita bertemu disini. Apakah aku benar-benar pengecut?"
Citra Gati menjadi heran. Apakah mereka sudah
berkenalan" Tetapi kemudian diingatnya cerita Agung Sedayu
tentang perjalanannya malam-malam ia pertama kali datang di
Sangkal Putung. Karena itu maka katanya sambil
menggerakkan pedangnya, menangkis serangan Alap-alap
Jalatunda "Apakah kau bertemu dengan kawan lama?"
"Ya" sahut Agung Sedayu.
"Kalau kau yang bertempur melawan aku sekarang, maka
aku akan dapat melepaskan sakit hatiku. Bukankah kakakmu
yang namanya Untara itu membunuh tiga orang kawankawanku?"
teriak Alap-alap Jalatunda.
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian katanya "Kau
masih marah?" "Setan" desis Alap-alap Jalatunda. "Kalau kau tidak
melarikan diri waktu itu, maka kau telah aku cincang dibawah
randu alas ditikungan"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. "Ya" katanya
dalam hati. "Kalau pada saait itu Kiai Gringsing tidak
menolongku, mungkin aku benar-benar telah dicincangnya"
Kemudian jawabnya "Tetapi sekarang kita bertemu lagi"
"Jangan lari. Setelah aku menyelesaikan yang seorang ini,
akan datang giliranmu"
Citra Gati tersinggung mendengar kata-kata itu. Karena itu
ia memperketat serangannya sambil berteriak "Apa kau
sangka aku ini dapat kau kalahkan?"
Alap-alap Jalatunda terkejut. Serangan Citra Gati benarbenar
berbahaya. Sedang seorang yang lain telah menyerang
Agung Sedayu pula. namun sekali lagi dengan mudahnya
Agung Sedayu dapat menghindarinya. Bertempur beberapa
saat, kemudian dengan sejuat tenaga melawan serangan
orang itu dengan serangan pula, sehingga kedua senjata
mereka beradu. Ketika pedang lawannya itu masih bergetar
ditangannya, mak dengan cepatnya Agung Sedayu memukul
pedang itu sehingga terlepas pula dari genggamannya.
Namun sekali lagi ia ragu-ragu untuk membunuhnya. Maka
dibiarkannya lawannya itu berlari menyusup diantara riuhnya
pertempuran. Kini, setelah beberapa kali Agung Sedayu meyakinkan
kemampuannya, maka dengan tangkasnya ia meloncat
mendekati Citra Gati sambil berkata "Lepaskan anak muda itu
paman. Biarlah ia melawan aku dahulu"
Citra Gati mengangkat dahinya. Sebenarnya ia ingin
menyobek mulut Alap-alap Jalatunda yang telah menghinanya
itu. Tetapi ia tidak mampu. Karena itu maka jawabnya
"Silakan. Kalau kawan lama sudah bertemu, maka aku akan
menyingkir" "Kau mau bunuh diri?" teriak Alap-alap Jalatunda
"Beberapa waktu yang lalu kau melarikan dirimu, sekarang
kau bersombong diri, melawan aku"
"Pada waktu itupun aku tidak lari" sahut Agung Sedayu
yang mencoba menutupi kekecewaannya atas masa lampau
itu "Waktu itu aku sedang menyelamatkan kakang Untara"
Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya. Anak muda itu
dapat mengingatknya dengan baik ketika Agung Sedayu
berdiri dengan gemetar melihat Untara bertempur seorang diri.
Tetapi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar menjadi heran,
bahwa kini Agung Sedayu benar-benar berani melawannya
atas kehendak sendiri. bahkan sengaja mendatanginya dan
menyatakan dirinya untuk bertempur melawannya.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Citra
Gati yang kemudian melepaskan lawannya, segera mendapat
serangan dari orang-orang Alap-alap Jalatunda yang
menyangka bahwa Agung Sedayu dan Citra Gati akan
mengeroyok pimpinan sayapnya. Tetapi Citra Gati segera
berkisar dari tempatnya, dan menyambut serangan itu dalam
jarak yang cukup dari Alap-alap Jalatunda.
Kini Alap-alap Jalatunda berdiri bebas tanpa lawan seperti
Agung Sedayu. Anak buahnya segera mengerti bahwa
mereka beruda akan berhadapan sebagai lawan. Demikian
juga dengan anak buah Citra Gati. Karena itu maka mereka
tidak akan mengganggu kedua orang yang sudah siap untuk
bertempur itu. Bahkan mereka sedang sibuk melayani lawan
masing-masing. Alap-alap Jalatunda itu sekali melayangkan pandangannya
kearena yang tidak begitu luas itu. Perkelahian masih
berlangsung dengan sengitnya. Terasa bahwa jumlah
lawannya agak sedikit lebih banyak. Tetapi beberapa orang
diatara mereka adalah anak-anak muda yang belum begitu
tangkas mempergunakan senjata-senjata mereka, sehingga
mereka terpaksa bertempur berpasangan. Tetapi anak buah
Widura sendiri, telah bertempur mati-matian. Dan sebenarnya
tandang mereka ngedap-edabi. Dengan demikian maka anakanak
muda Sangkal Putung yang berbekal tekad yang
menyala didalam dada mereka itupun menjadi garang pula.
diantara mereka, Swandaru tampak mempunyai beberapa
kelebihan. Bahkan kini ia tidak kalah tangkas dengan setiap
orang didalam pasukan kecil itu. Pedangnya yang besar
berputar menyambar-nyambar seperti baling-baling. Dan
setiap benturan, langsung terasa oleh lawannya bahwa
kekuatannya benar-benar bukan main. Karena itulah maka
Swandaru itu benar-benar mengamuk seperti banteng yang
terluka. Alap-alap Jalatunda itu kemudian memandang Agung
Sedayu yang telah siap beridir dimukanya. Dengan wajah
yang tegan Alap-alap Jalatunda itu membentak "He, apakah
kau sekarang sudah mendapat seorang guru yang pilih
tanding" Yang mampu meremas prahara"
Agung Sedayu masih juga berdebar-debar. Meskipun
demikian ia merasa bahwa ia tidak takut lagi menghadapinya.
Karena itu maka katanya "Alap-alap Jalatunda, aku telah
mendapat guru yang sangat bauk. Aku berguru pada keadaan
dan waktu. Akhirnya aku beranimenghadipmu kini"
Alap-alap Jalatunda tertawa. katanya "Nah, berperisailah
dengan segala macam mantra, doa, aji dan ilmu. Namun
sebentar lagi dadamu akan tembus oleh ujung pedangku"
"Tidak. Aku hanya berperisai dengan keyakinan akan
kebenaran perjuanganku. Mudah-mudahan Tuhan
membenarkan pula" "Huh, setiap orang meyakini kebenaran perjuangannya.
Akupun yakin, Karena itu jangan membual tentang kebenaran"
"Kau benar" sahut Agung Sedayu "Tetapi marilah kita cari
kebenaran yang jujur. Kebenaran yang dibenarkan oleh Tuhan
kita. Bukankah kau juga mengakui kebenaran yang mutlak
itu?" "Pandangan kita tak akan bertemu"
"Mungkin tidak. Tetapi apa yang kau lakukan selama ini,
perampokan, pencegatan, perkosaan atas kebebasan dan
kemanusiaan adalah sama sekali tidak mencerminkan
kebenaran perjuanganmu"
"Jangan menggurui aku. Kita sudah memegang pedang
ditangan masing-masing"
"Bagus. Aku sudah siap"
Alap-alap Jalatunda tidak berbicara lagi. Segera ia
meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Namun Agung
Sedayupun telah siap pula. ia telah banyak mengalami
penempaan selama ini. Dari kakaknya dimasa kanakkanaknya,
dari ayahnya dan akhirnya dari pamannya. Namun
ia sendiri telah menemukan banyak persoalan yang dapat
dipecahkannya lewat lukisan-lukisannya yang telah
disempurnakan oleh kakaknya, sehingga dengan demikian,
maka Alap-alap Jalatunda benar-benar menjadi heran. Agung
Sedayu adalah anak muda yang perkasa.
Demikianlah mereka terlibat dalam perkelahian yang sengit.
Alap-alap Jalatunda yang ber tanggung-jawab atas anak
buahnya, segera mengerahkan segenap kemampuannya
untuk secepat-cepatnya berusaha menyelesaikan
pertempuran itu. Sedang Agung Sedayu kemudian
melawannya dengan gigih. Namun dalam pada itu, tiba-tiba timbullah berbagai
pertanyaan didalam diri Agung Sedayu. Ia belum pernah
mengalami pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, ia
menjadi heran. Apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak
bertempur dengan segenap kemampuannya" Apakah anak
muda itu sengaja memancingnya atau membiarkannya
menjadi lelah" Sampai sedemikian lama, Agung Sedayu sama sekali tidak
merasakan sesuatu kesulitan untuk melawan Alap-alap
Jalatunda yang ditakutinya. Ia dapat melawan dengan baik,
bahkan kadang-kadang ia mampu melibat lawannya dalam
keadaan yang sangat sulit. Karena itu maka Agung Sedayu
justru menjadi bingung. Ia akhirnya menyangka bahwa Alapalap
Jalatunda belum bertempur dengan sepenuh
kemampuannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun
berusaha menyimpan sebagian dari tenaganya untuk
menghadapi setiap saat apabila Alap-alap Jalatunda itu
mengerahkan ilmunya. Tetapi sebenarnya bahwa Alap-alap Jalatunda telah
berjuang mati-matian untuk membinasakan lawannya. Namun
betapa ia menjadi heran. Lawannya itu menjadi seperti hantu
yang sangat membingungkannya. Sekali-sekali ia dapat
menghadapinya dengan mantap, namun tiba-tiba
bayangannya telah melontar mengitarinya seperti bayangan
hantu yang tidak berjejak diatas tanah. Karena itu, maka
keringat dingin telah mengalir disegenap wajah kulitnya.
Meskipun demikian Alap-alap Jalatunda itu masih bertempur
dengan garangnya. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Agung Sedayu. Ia
masih menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum
bertempur sebenarnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu itupun masih
menunggu. Disimpannya sebagian dari tenaganya. Apabila
saatnya datang, maka segera ia siap untuk bertempur matimatian.
Bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu masih juga
terpengaruh kenangan masa-masa lampaunya. Ia masih
menganggap bahwa Alap-alap Jalatunda adalah seorang anak
muda yang perkasa. Karena itu maka ketika ia mengalami
pertempuran melawan alap-alap itu, ia menjadi ragu-ragu.
Sebab dalam perkelahian itu ternyata, bahwa Alap-alap
Jalatunda sama sekali tidak segarang yang disangkanya,
sehingga dengan demikian ia tetap mengira, bahwa Alap-alap
Jalatunda masih menyimpan sesuatu yang akan dipakainya
untuk mengakhiri pertempuran.
Demikianlah maka mereka berdua masih berempur dengan
serunya, didalam riuhnya pertempuran antara laskar Widura
dan anak-anak Sangkal Putung disatu pihak dan laskar
Tohpati dilain pihak. Sementara itu, induk pasukan merekapun bertempur
dengan serunya pula. mereka telah berjuang sekuat-kuat
tenaga mereka. Sejak munculnya laskar yang dipimpin oleh
Citra Gati itu maka Macan Kepatihan yang cerdik segera
dapat menduga, bahwa akan datang pula serangan dari sayap
lain. Karena itu segera ia berteriak "Siapkan sayap kiri"
Dan sebenarnyalah laskar Pajang yang dipimpin oleh
Sidanti itupun segera melanda lawannya seperti arus banjir
yang berusaha memecahkan tebing. Bergulung-gulung
gelombang demi gelombang.
Sidanti telah mengatur anak buahnya dalam sap-sap yang
tipis. Sebagian anak buahnya langsung berusaha masuk
kedalam barisan lawan. Sedang lawan-lawan mereka yang
berdiri dibaris terdepan, harus berhadapan dengan lapis-lapis
yang berikutnya. Dengan demikian, maka mereka menjadi
ragu-ragu. Karena itu itu maka pertempuran yang ribut itu
berlangsung dalam suasana yang tidak menentu. Apalagi
malam yang pekat telah melindungi wajah-wajah mereka
sehingga sukar untuk membedakan siapakah lawan dan yang
manakah kawan. Tetapi dengan demikian Sidanti telah
berhasil mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan bagi
mereka yang masih belum lanyah mempermainkan senjata,
sebab dalam keadaan demikian, mereka bertempur
berpasang-pasang, bahkan kadang-kadang dalam jumlah tiga
atau empat bersama-sama. Dalam keadaan demikian itulah maka kedua belah pihak
memandang perlu untuk menyalakan obor-obor lebih banyak
lagi sehingga oleh sinar obor-obor itu mereka dapat sedikit
membedakan, antara lawan dan kawan.
Namun Plasa Ireng tidak membiarkan pertempuran itu
menjadi kisruh tidak menentu. Karena itu maka segera ia
berteriak "Jangan berkisar dari satu titik. Merengganglah, dan
carilah jarak diantara kawan sendiri"
Arena pertempuran yang mula-mula justru menjadi kian
sempit itu, maka perlahan-lahan menebar kembali. Laskar
Jipang bukan pula laskar kemarin petang. Karena itu segera
mereka dapat menempatkan diri mereka dengan baik.
Sidanti yang memimpin laskar Pajang itupun segera dapat
melihat siapakah yang memegang perintah dalam laskar
lawannya. Karena itu maka tanpa berkata apapun segera ia
meloncat menyerbunya. Plasa Ireng terkejut melihat anak muda itu. Sekali ia


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meloncat kesamping kemudian dengan menggeram ia berkata
"Siapakah kau?"
"Sidanti" sahut Sidanti. Namun sementara itu, senjatanya
yang berujung tajam dikedua sisinya berputar dengan
cepatnya. Sekali-sekali mematuk dan sekali-sekali
menyambar hampir menyentuh wajah Plasa Ireng.
Plasa Ireng itu menjadi marah bukan buatan. Dengan
menangkis setiap serangan Sidanti ia menggeram "apakah
kau sudah jemu hidup?"
Sidanti menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia
menjawab "Kita berada dimedan pertempuran. Jangan ribut"
Plasa Ireng itupun kemudian berteriak nyaring. Dengan
garangnya ia melawan serangan-serangan Sidanti. Iapun
bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah
tertumpah. Plasa Ireng adalah prajurit sejak mudanya.
Seakan-akan ia memang dilahirkan untuk memanggul senjata.
Demikianlah perkelahian itu cepat menanjak menjadi
dahsyat sekali. Sidanti bergerak dengan lincahnya, sedang
Plasa Ireng bertempur dengan tangguhnya. Keduanya
memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Namun ketika Plasa Ireng sempat memperhatikan senjata
lawannya, maka iapun menjadi berdebar-debar. Ciri yang ada
ditangan Sidanti itu adalah ciri perguruan Tambak Wedi.
"Hem" desisnya sambil bertempur "Apakah kau murid Ki
Tambak Wedi?" Sidanti menjadi berbangga hati mendengar pertanyan itu
"Ya" jawabnya singkat.
Sekali lagi Plasa Ireng menggeram "Jangan berbangga.
Aku mendengar nama Ki Tambak Wedi dari Macan Kepatihan.
Karena itu aku akan mencoba, apakah berita tentang Tambak
Wedi itu benar-benar mendebarkan hati"
Sidanti menjadi tersinggung karenanya. Maka senjatanya
menjadi semakin dahsyat berputar-putar mengitari tubuh
lawannya. Bagaimana Plasa Irengpun telah mencapai puncak
kemarahannya. Dengan demikian maka pertempuran itu
menjadi bertambah seru. Sebenarnyalah Sidanti memiliki
beberapa keanehan. Ia mampu meloncat-loncat seperti kijang,
namun kadang-kadang ia menyambar seperti elang. Dengan
penuh tekad, ia ingin menunjukkan kelebihannya dari setiap
orang dari kedua belah pikak. Ia ingin membunuh lawannya
itu, dan karena itu ia ingin membanggakan dirinya kepada
setiap orang di Sangkal Putung.
Tetapi Plasa Ireng itupun ingin berbuat serupa. Ia ingin
segera membinasakan murid Ki Tambak Wedi itu. Dengan
demikian iapun akan dapat membanggakan dirinya pula.
Plasa Ireng pernah mendengar dari Macan Kepatihan
bahwa murid Ki Tambak Wedi ternyata telah berhasil
menyelamatkan dirinya ketika ia bertempur melawan Macan
Kepatihan itu sendiri "Tetapi ia akan mati kali ini" berkata
Plasa Ireng didalam hatinya. Dengan demikian maka
pertempuran diantara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing berhasrat untuk membunuh lawannya. Tanpa ampun, tanpa pertimbangan lain. Ketika keuda sayapnya telah mendapatkan lawan masing-masing, maka kini Tohpati menjadi tenang. Kini
ia tinggal mengatur induk
pasukannya. Ketika dengan
seksama ia memperhatikan pertempuran itu, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
Ia menyesal bahwa kunci pertempuran itu telah dibuka
oleh laskar Pajang. Sesaat yang pendek itu ternyata benarbenar
berpengaruh atas laskarnya."Hem" ia menggeram.
"Sekali lagi dapat disegap oleh Widura. Jaringan
pengawasannya benar-benar luar biasa. Tetapi sejak
pertempuran ini dimulai, aku belum melihatnya. Aku belum
melihat seorangpun yang memberi aba-aba pada laskar ini"
*** Sasaat ia masih berdiri tegak dibelakang garis
pertempuran. Namun kemudian ia tidak akan berdiri saja
seperti patung. Keitka ia melihat bahwa jumlah laskar
lawannya agak lebih banyak maka ia mengerutkan keningnya
"Tidak akan berpengaruh apa-apa" desah Tohpati itu. Namun
ia heran juga, kenapa mereka tidak terpancing oleh tanda
bahaya yang bergema diseluruh Sangkal Putung itu sehingga
jumlah mereka masih cukup banyak. Apakah jumlah laskar
Widura itu telah ditambah"
Namun mata Macan Kepatihan itu benar-benar tajam.
Sekali-sekali ia melihat satu duda orang diantara laskar
Widura yang mempunyai cara dan sikap yang agak berbeda
dari kawan-kawan mereka. Karena itu maka segera Tohpati
dapat mengambil kesimpulan bahwa laskar Widura ini telah
bergabung dengan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
"Biarlah aku memberikan tekanan kepada laskar lawan itu.
Mungkin dengan demikian Widura akan menghampiri aku"
berkata Tohpati itu didalam hatinya.
Karena itu maka segera ia meloncat menyusup diantara
anak buahnya, sehingga sesaat kemudian senjatanya telah
berputaran diarena itu. Tongkatnya yang putih mengkilap
dengan ujung yang kekuning-kuningan segera
memberitahukan kepada lawan-lawannya bahwa Tohpati
sendiri telah hadir digaris peperangan. Karena itu, sebelum
mereka sempat berbuat apa-apa, maka seorang dua orang
telah terpelanting jatuh. Setiap ia bergerak, maka tak ada
seorangpun yang berani menyongsongnya seorang diri. Kalau
terpaksa mereka harus melawan Macan Kepatihan itu, maka
mereka berusaha untuk melawan berpasangan, tiga empat
orang sekaligus. Tetapi lawan-lawan mereka yang lainpun
segera menyerang mereka juga, sehingga setiap titik yang
dihampiri oleh Tohpati itu, maka seseorang dari laskar
lawannya pasti akan jatuh.
Tetapi Tohpati itu tidak terlalu lama dapat berbuat
demikian. Tiba-tiba dari laskar Pajang, muncullah seseorang
dengan sebuah pedang ditangan. Ketika tongkat Tohpati itu
terayun dengan derasnya kearah salah seorang prajurit
Pajang yang telah menjadi berputus asa karenanya, maka
tiba-tiba pedang itu telah menyentuhnya. Tidak terlalu keras,
namun dari arah yang tepat sehingga tongkat Tohpati itu
tergeser dari arahnya. Tohpati menggeram keras sekali. Ketika ia melihat orang
yang menyentuh senjatanya itu didalam remang-remang
cahaya obor ia terkejut. Hampir berteriak ia berkata "He,
adakah kau adi Untara?"
Orang yang memegang pedang itu menyahut "Ya"
Sekali lagi Tohpati menggeram. Kini ia menemukan lawan
yang sebenarnya. Karena itu maka ia tidak mau membuang
waktu. Betempur melawan Widura, Sidanti atau siapapun,
Tohpati tidak akan memerlukan waktu yang terlalu banyak.
Namun kini Untara berdiri dihadapannya, maka dengan
demikian ada kemungkinan ia harus bertempur lebih lama lagi,
mungkin setengah malam, mungkin lebih.
Untara kini telah benar-benar siap untuk melawannya.
Pedangnya terjulur setinggi dada. "Kakang Tohpati" katanya
"Aku mendapat tugas untuk menyambut kedatanganmu"
Tohpati menggertakkan giginya. Dengan sekali loncat,
tongkatnya telah mulai menyerang Untara. Namun Untara
telah benar-benar siap. Meskipun Untara tidak mempunyai
senjata khusus seperti Tohpati itu, namun Untara mampu
mempergunakan setiap senjata untuk melawan Tohpati.
Karena itu ketika tongkat Tohpati itu terayun kearah
kepalanya, dengan tangkasnya ia merendahkan dirinya,
sedang tangannya segeramenggerakkan pedangnya,
mematuk lambung lawannya. Namun Tohpatipun mampu
bergerak secepat kilat, sehingga dengan memiringkan
tubuhnya, serangan pedang Untara telah dapat dihindari.
Kin Tohpati itu kembali mempersiapkan sebuah serangan.
Tongkatnya telah mulai berputaran seperti baling-baling.
Bahkan kemudian seakan-akan menjadi sebuah gumpalan
cahaya yang putih. Sedang kepala tongkatnya itu menjadi
seakan-akan seleret cahaya kuning yang beterbangan
diantara gumpalan yang berkilat-kilat itu.
Dalam pada itu terdengar Tohpati itu menggeram "Kenapa
kau berada disini adi?"
Untara tersenyum. pada saat itu tongkat Tohpati
menyambarnya kembali. karena itu, ia terpaksa bergeser
surut, namun kemudian ia meloncat maju dengan tangkasnya.
Kini ia menyerang dengan sebuha sabetan menyilang. Tohpati
terkejut. Cepat ia menarik diri setengah langkah, dan
mencondongkan badannya kebelakang. Ketika pedang Untara
itu lewat, maka tongkatnyalah kini langsung menyambar
tangan Untara itu. Namun Untarapun cukup cekatan. Dengan
lincahnya ia memutar dirinya dan menarik tangannya,
sehingga tongkat lawannya terayun tanpa menyentuhnya.
Meksipun mereka telah bertempur semakin cepat, namun
Untara masih sempat berkata "Huh. Hampir aku tidak sempat
menjawab untuk selama-lamanya. Nah kakang, aku datang
kemari khusus untuk menerima kedatangan kakang"
"Gila" Tohpati mengumpat "Apakah paman Widura sudah
ditarik ke Pajang?" "Kakang mencari paman Widura?"
"Aku hampir membunuhnya" sahut Tohpati. Dalam oada itu
serangannya telah meluncur kembali.
Tetapi Untara sama sekali tidak lengah. Setiap saat ia
selalu siap menghadapi serangan lawannya. Bahkan dengan
garangnya Untara itupun segera menyerang kembali.
Untara dan Macan Kepatihan itupun kemudian terlibat
dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru.
Mereka masing-masing adalah pemimpin yang mendapat
kepercayaan. Pada masa Jipang masih tegak, maka
disamping Mantahun sendiri, pepatih Jipang, maka Tohpatilah
prajurit yang paling dipercaya. Sedang Untara walaupun
masih agak lebih muda dari Tohpati, namun ia telah
menunjukkan kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain,
sehingga panglima Wiratamtama memberinya kepercayaan
didaerah-daerah yang gawat, disekitar lereng gunung Merapi.
Tohpati itu bertempur semakin lama menjadi semakin
garang. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti elang,
sedang kakinya meloncat-loncat dengan cepatnya, seperti
seorang yang sedang menari diatas bara api. Tetapi Untara
mampu melawannya dengan gigih. Seperti seekor banteng ia
siap menghadapi kemungkinan apapun juga. Tenang tetapi
yakin. Anak buah masing-masingpun terpengaruh pula oleh
pertempuran kedua pemimpin itu. Merekapun kemudian
melepaskan segenap kemampuan yang ada pada mereka.
Karena itu, maka diarena pertempura itu semakin lama
menjadi semakin riuh. Suara senjata beradu, diselingi pekik
mereka yang lengah sehingga ujung senjata lawannya
hinggap ditubuhnya. Malam yang gelap itu menjadi semakin gelap. Perlahanlahan
bintang-bintang dilangit merabat melewati garis
edarnya. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan
mengusap tubuh mereka yang sedang basah oleh keringat.
Dipinggir selatan induk desa Sangkal Putung, Widura
sedang berjuang dengan gigihnya. Sanakeling yang
melawannya telah memeras segenap kemampuan yang ada
padanya. Ternyata apa yang pernah didengarnya tentang
Widura, adalah bukan sekedar cerita belaka. Kini ia
berhadapan langsung dengan orang yang bernama Widura
itu. Tidak saja ia mempunyai kecepatan dan ketrampilan
bertempur, namun caranya mengatur anak buahnya benarbenar
mengagumkan. karena itu, maka Sanakeling harus
bertempur mati-matian sehingga dengan demikian ia akan
dapat mempengaruhi keadaan keseimbangan laskar mereka.
"Kalau aku mampu membunuh Widura, maka laskar mereka
akan dapat aku cerai-beraikan" pikir Sanakeling itu. Namun
ternyata Widura tidak mudah didesaknya. Bahkan semakin
lama menjadi semakin terasa bahwa Widura menjadi semakin
mapan. karena itu, maka timbullah berbagai persoalan didalam
dirinya. Sudah cukup lama Sanakeling berusaha
mempertahankan kedudukannya. Namun laskar yang lain,
masih belum dilihatnya memasuki Sangkal Putung. Apalagi
kemudian terasa bahwa laskar Sangkal Putung itu benarbenar
sulit untuk dikuasai. Anak-anak muda Sangkal Putung
sendiri bertempur dengan gigihnya, disamping laskar Widura
yang telah masak menghadapi segala macam keadaan
pertempuran. karena itu, maka Sanakeling itu sama sekali
tidak dapat memberikan tekanan-tekanan seperti yang
diharapkan, apalagi merambas jalan kekademangan,
Tetapi Sanakeling bukannya prajurit yang berpikiran
pendek. Ia bukan seorang yang lekas menjadi berputus asa.
Ia masih tetap dalam pendiriannya, kalau ia dapat membunuh
Widura maka pekerjaannya akan dapat dilakukan dengan
baik. Dalam keadaan yang demikian itulah pertempuran itu
menjadi semakin sengit. Laskar Widura dan laskar Sangkal
Putung ternyata melebihi jumlah laskar lawan. Namun ternyata
bahwa laskar Sanakeling memiliki pengalaman dan kelincahan
lebih baik dari laskar Sangkal Putung sendiri. Untunglah
bahwa laskar Widura mampu mengimbanginya, meskipun
jumlahnya tidak dapat memadai.
Dibagian lain, Agung Sedayu masih juga bertempur
melawan Alap-alap Jalatunda. Laskar Citra Gati disayap
itupun ternyata mampu mengimbangi lawannya. Beberapa
orang laskar Sangkal Putung ang tidak saja terdiri dari anakanak
muda, tetapi beberapa orang tua, namun justru bekas
prajurit-prajurit dimasa mudanya, ternyata memberinya banyak
bantuan. Meskipun tenaga orang-orang tua itu sudah tidak
sekuat anak-anak muda, namun pengalamannya benar-benar
dapat memberi beberapa keuntunga. Mereka masih dapat
membingungkan lawan-lawan dengan gerak-gerak yang aneh.
Kadang-kadang mereka menghilang didalam keriuhan
pertempuran, namun dengan tiba-tiba mereka muncul kembali


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sebuah serangan yang mengejutkan. Bahkan kadangkadang
mereka bertempur berpasangan dengan anak-anak
muda sambil memberi beberapa petunjuk kepada mereka.
Citra Gati yang melihat cara mereka bertemput, sempat
juga tersenyum. mereka adalah bekas prajurit Demak yang
tangguh dimasa muda mereka.
Tetapi Agung Sedayu sendiri, masih saja merasa
kebingungan. Ia ragu-ragu untuk segera mengakhiri
pertempuran. Kalau ia segera mengerahkan segenap
kemampuannya, apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak menjadi
beruntung karenanya" Apakah Alap-alap Jalatunda sengaja
membuatnya tidak sabar, dan menunggu sampai ia menjadi
lemah" karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk melayani
saja lawannya. Dibiarkannya lawannya mengambil sikap lebih
dahulu, baru kemudian ia akan menyelesaikannya.
"Biarlah" katanya dalam hati "Akan aku layani Alap-alap
Jalatunda ini. Sehari, dua hari atau seminggu sekalipun. Kalau
ia masih mampu menggerakkan senjatanya, masa aku tidak
dapat melawannya dengan senjataku"
Dengan demikian Agung Sedayu itu bertempur saja
sekedar untuk melindungi dirinya dari sentuhan senjata
lawannya. Tetapi disayap yang lain, keadaan Sidanti agak lebih sulit.
Laskar Plasa Ireng benar-benar memiliki kemampuan yang
baik. Dengan dahsyatnya mereka berhasil menekan laskar
yang dipimpin oleh Sidanti, sehingga pertempuran itu telah
bergeser beberapa langkah surut. Sidanti terpaksa mengambil
kebijaksanaan untuk menarik laskarnya mendekati induk
pasukan. Diharapkannya bahwa induk pasukan akan dapat
memberinya bantuan. Untarapun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Beberapa
kali ia mencoba untuk menilai induk pasukan itu. Namun
keadaan induk pasukan itu sendiri tidak sedemikian baiknya.
Ternyata laskar Tohpatipun mampu mengimbangi laskar
Untara. Bahkan terasa bahwa anak-anak muda Sangkal
Putung telah mulai susut tenaganya. Mereka belum biasa
memeras tenaganya untuk waktu yang lama, apalagi dalam
kesibukan yang membingungkan. Karena itu, maka Untara
menjadi prihatin. Walaupun demikian, ia berusaha untuk
memberi isyarat kepada Hudaya. Isyarat sandi yang sudah
mereka bicarakan sebelumnya.
Hudaya melihat gerak tangan kiri Untara. karena itu, maka
ia mengerutkan keningnya. Didalam hati ia bergumam "Biarlah
Sidanti itu mampus. Kenapa Untara itu memerintahkan aku
untuk membantunya?" Sebenarnya bahwa isyarat sandi Untara itu adalah "Hudaya
dan beberapa orang, pergi membantu sayap kanan" Bantuan
itu memang hampir tak berarti. Tetapi sedikit banyak cukup
berpengaruh sekedar untuk mengurangi kesibukan Sidanti.
Sidanti melihat Hudaya dan beberapa orang memisahkan
diri dari induk pasukannya dan pergi kesayap yang
dipimpinnya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa. Bantuan itu
sama sekali tidak berarti. Bahkan tersembullah suatu
prasangka didalam hati Sidanti yang mudah menjadi panas
itu. "Hem. Untara sengaja membiarkanku dalam kesulitan.
Setan. Telah menjadi sumpahku, bahwa Untara itu harus
disingkirkan" Dan ternyata bahwa bantuan Hudaya itu hampir tak berarti.
Namun Hudaya sendiri telah berusaha sebaik-baiknya.
Bahkan hampir seperti orang yang kehilangan kesadaran diri.
Mengamuk sejadi-jadinya. Namun hal itu telah mendorong Sidanti untuk berbuat lebih
banyak. Kemarahannya kepada Plasa Ireng, dirangkapi oleh
kemarahannya kepada Untara menjadikannya berjuang
sekuat-kuat tenaganya. Tetapi betapapun juga, kehadiran
Hudaya didalam sayapnya, telah mengurangi kesibukan
pikirannya. Ia menjadi agak tenang untuk menghadapi Plasa
Ireng tanpa banyak berpikir tentang laskarnya. Meskipun
bantuan yang didapatnya tidak banyak memberi kekuatan
pada laskarnya, namun ternyata banyak membantu
ketenangannya. Ia kini mencoba memusatkan perhatiannya
kepada lawannya. Plasa Ireng. Ia mencoba untuk sesaat
melupakan orang-orang lain didalam sayapnya yang dalam
keadaan sulit itu. Dalam keadaan yang demikian itu, maka Sidanti benarbenar
menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Kalau
beberapa saat yang lampau ia berhasil menyelamatkan dirinya
setelah bertempur beberapa lama melawan Tohpati, maka kini
ia berusaha memeras segenap kemampuan yang ada
padanya untuk membinasakan lawannya. Selain itu, ternyata
Sidantipun seorang yang keras hati. Sekali ia bertekad untuk
membunuh lawannya, maka tak ada alasan apapun yang
dapat mencegahnya. Kali inipun ia bertekad membunuh Plasa
Ireng, seperti Plasa Ireng berusaha membunuhnya. Tak ada
pikiran lain didalam benaknya. Membunuh. Hanya itu.
Membunuh. Dengan demikian maka Sidanti itupun kemudian memeras
segenap kemampuan yang ada padanya. Senjatanya
bergerak berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah
berubah menjadi asap yang hitam kebiru-biruan. Senjata yang
hanya sebatang, namun berujung sepasang timbal-balik itu,
seakan-akan berubah menjadi senjata serupa yang berpuluhpuluh
jumlahnya. Menyerang tubuh Plasa Ireng dari segenap
arah. Meskipun Plasa Ireng bukan seorang prajurit yang baru
saja belajar memegang senjata, namun tiba-tiba ia menjadi
bingung menghadapi permainan Sidanti. Permainan murid Ki
Tambak Wedi itu benar-benar memeningkan kepalanya.
Meskipun demikian, Plasa Irengpun tidak segera menjadi
cemas. Plasa Ireng adalah seorang prajurit yang tabah.
Berpuluh bahkan beratus kali ia mengalami kesulitan didalam
peperangan dan perkelahian perseorangan. Namun berpuluh
bahkan beratus kali ia dapat menghindarkan kesulitan itu.
karena itu, maka dengan sekuat-kuat tenaga yang ada
padanya, maka ia berusaha untuk mematahkan gumpalan
sinar hitam kebiru-biruan yang melandanya.
Tetapi gumpalan sinar hitam kebiru-biruan itu benar-benar
seperti asap yang tak dapat disentuh oleh senjatanya. Sidanti
yang menjadi semakin bernafsu itu, telah menyerangnya
tanpa pertimbangan kecuali membinasakan.
Sekali-sekali Plasa Ireng itupun meloncat muundur. Ia
menjadi berbesar hati ketika ia melihat laskarnya berhasil
menekan laskar Sidanti. Tetapi ia tidak dapat menutup
kenyataan bahwa desing senjata Sidanti itu seakan-akan
sebuah siulan maut yang selalu mengejarnya.
karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi cemas. Kalau
perlu ia dapat menarik satu dua orang untuk mengganggu
Sidanti. Hudaya yang bertempur didekat Sidanti melihat kelebihan
Sidanti dari lawannya. Meskipun kebenciannya kepada anak
itu sampai keujung rambutnya, tetapi, dalam menghadapi
musuhnya, Hudaya berbesar hati juga melihat kemenangan
Sidanti. karena itu, maka ia berusaha untuk selalu berada
didekatnya. Ia sudah dapat memperhitungkan apa yang kirakira
akan terjadi. Sebagai seorang prajurit yang telah
bertahun-tahun hidup didalam arena pertempuran, maka ia
dapat menduga, bahwa apabila terpaksa Plasa Ireng pasti
tidak akan segan-segan memanggil satu dua orang untuk
membantunya. Demikianlah pertempuran disayap kanan itu menjadi
semakin ribut. Laskar Sidanti menjadi semakin lama menjadi
semakin sulit pula. Plasa Irengpun semakin lama menjadi
semakin sulit pula. sekali-sekali ia meloncat berkisar disekitar
garis pertempuran berlindung dibelakang beberapa orang
laskar yang sedang berjuang. Namun akhirnya Sidanti berhasil
menekannya semakin dalam. Sidantipun mampu
memperhitungkan keadaa, bahwa daya tahan laskarnya masih
lebih baik dari daya tahan Plasa Ireng. Sehingga meskipun ia
melupakan laskarnya sejenak, tetapi ia akan mencapai hasil
yang pasti lebih baik. Sehingga karena itu, maka Sidanti kemudian memusatkan
segenap kemampuannya untuk membinasakan lawannya itu.
Plasa Irengpin benar-benar merasakan, betapa seranganserangan
Sidanti semakin menekannya. Senjatanya yang
aneh benar-benar telah berputar-putar ditelinganya.
Betapapun Plasa Ireng mencoba mempertahankan dirinya,
namun Sidanti itu mendesaknya semakin kuat.
Akhirnya Plasa Ireng itu menganggap bahwa tak akan ada
gunanya ia bertahan seorang diri. Dalam peperangan, tak
akan ada celanya, apabila ia harus bertempur berpasanan.
karena itu, tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring.
Sidanti mendengar suara suitan itu. Terasa dadanya
bergetar. Iapun tahu pasti, bahwa Plasa Ireng memanggil
seorang atau dua orang untuk membantunya.
Dan sebenarnyalah, seseorang yang bertubuh tinggi,
namun tidak cukup besar dibandingkan dengan tingginya,
meloncat sg lincahnya, menyerbu ketempat pertempuran
antara Plasa Ireng dan Sidanti. Ditangannya tergenggam
sebilah tombak pendek. Dengan cepatnya ujung tombak itu
bergetar, dan dengan tangkasnya ia memotong seranganserangan
Sidanti. Sidanti surut selangkah. Terdengar ia menggeram parau
"Setan. Apakah kau sudah kehabisan akal?"
Plasa Ireng tertawa "Didalam pertempuran, maka setiap
orang dipihak lawan adalah musuhnya. Panggillah orangorangmu
untuk ikut serta dalam pertempuran berpasangan ini"
Sidanti menjadi semakin marah. Plasa Ireng ternyata
mampu memperhitungkan kekuatan laskarnya. karena itu,
maka sekali lagi Sidanti dipengaruhi oleh keadaan laskarnya.
Namun tiba-tiba tanpa diduga-duga, Hudaya yang dengan
cepatnya memperhitungkan kemungkinan itu, meloncat
dengan cepatnya. Pedangnya terjulur lurus, langsung
kelambung orang yang tinggi itu. Orang itu terkejut, sekali ia
melangkah kesamping dan kemudian dengan memutar
tombaknya ua mencoba menghindarkan serangan Hudaya
berikutnya. Tidak saja orang yang tinggi itu yang terkejut. Plasa
Irengpun terkejut pula. ia sama sekali tidak melihat tandatanda
Sidanti memanggil seseorang untuk melibatkan diri
dalam pertempuran diantara mereka. Tetapi Hudaya bukan
seorang yang hanya mampu berbuat karena diperintah. Iapun
mampu mengambil sikap dalam setiap pertempuran.
Demikianlah pada saat-saat yang penting itu Hudaya mampu
membuat perhitungan-perhitungan yang cermat. Ia menjadi
marah pula, ketika ia melihat saat-saat terkhir dari lawan
Sidanti itu diganggu oleh orang lain.
Dalam keadaan yang demikian itulah Sidanti yang berotak
cerdas itu mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Pada
saat orang yang tinggi itu masih dalam usaha menyelamatkan
dirinya, maka Sidanti meloncat dengan garangnya. Memutar
senjatanya dan mendesak Plasa Ireng sejadi-jadinya.
Plasa Ireng benar-benar terkejut dan karena itu sesaat ia
kehilangan keseimbangan. Keseimbangan gerak dan
keseimbangan pikiran. Dengan demikian maka justru ia lupa
untuk memberi isyarat kepada orang lain lagi untuk
membantunya. Perhatiannya tercurah sepenuhnya dalam
usahanya untuk mempertahankan dirinya. Tetapi ketika
kembali terasa nyawanya seakan-akan telah melekat diujung
senjata Sidanti, maka barulah ia teringat kembali kepada
orang-orang yang berdiri mengitarinya.
Tetapi Plasa Ireng itu telah terlambat. Getar senjata Sidanti
telah benar-benar memusingkan kepalanya. Maka demikian
terdengar ia bersuit dua kali untuk memanggil orangnya yang
lain, maka demikian pundaknya tergores oleh senjata Sidanti.
Plasa Ireng terkejut bukan buatan. Sekali ia melontar mundur,
namun Sidanti itu sempat mengejarnya, dengan satu loncatan
pula. Dan sebelum seseorang berhasil datang membantunya,
terdengarlah Plasa Ireng memekik pendek. Sekali lagi senjata
ciri perguruan Tambak Wedi yang dahsyat itu merobek
dadanya. Kini Plasa Ireng benar-benar telah kehilangan
keseimbangannya. Matanya kemudian seakan-akan mejadi
gelap, dan sinar-sinar obor disekitarnya itu serasa menjadi
padang bersama-sama. Yang terasa kemudian sekali lagi
seubha tusukan menghunjam dadanya, langsung menembus
jantungnya. Plasa Ireng itu mengaduh sekali, kemudian ketika
Sidanti menarik senjatanya yang berlumuran darah, Plasa
Ireng itu terseret selangkah maju untuk kemudian jatuh
terjerebab dibawah kaki anak muda itu.
Ketika seseorang datang mendekatinya, orang itu terkejut.
Yang dilihatnya adalah Sidanti berdiri tegak diatas tubuh Plasa
Ireng. Karena itu betapa marahnya orang itu. Dengan sertamerta
ia menyerang Sidanti tepat didadanya.
Tetapi serangan itu tidak banyak berarti buat Sidanti. Sekali
Sidanti mengelak dan ketika senjata orang itu terjulur
disamping tubuh Sidanti, maka tangan Sidanti bergerak
dengan cepatnya. Sebuah goresan yang panjang telah
melukai lambung orang itu. Ketika orang itu berteriak ngeri,
maka sekali lagi Sidanti menusuk perutnya. Orang itupun
terbanting jatuh disamping tubuh Plasa Ireng.
Tetapi agaknya kemaran Sidanti masih belum tercurahkan
seluruhnya. Ketika sekali lagi ia melihat tubuh Plasa Ireng,
maka terungkatlah geram dihatinya. Karena itu dengan sertamerta
ia menggerakkan senjatanya, menyobek punggun
lawannya yang sudah tidak bernafas itu. Sekali, dua kali dan
dipuaskannya hatinya. Hudaya yang semula tersenyum melihat kemenangan
Sidanti, tiba-tiba mengerutkan keningnya. Sambil melayani
lawannya ia melihat betapa Sidanti berbuat melampaui batas.
Hudaya sama sekali tidak menyangka, bahwa didalam hati
Sidanti itu tersimpan kekerasan, kekejaman dan kekasaran.
Ditubuh anak muda itu ternyata mengalir darah yang buram,
sehingga dengan tangannya, anak muda itu sampai hati
berbuat demikian atas lawannya yang sudah tidak dapat
melawannya. "Anak setan" geram Hudaya itu "Alangkah kotornya tangan
anak muda itu" Sidanti itu benar-benar seperti orang yang sedan
kesurupan. Dengan mata yang merah liar dan gigi gemeretak,


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disobeknya tubuh lawannya yang terbaring diam
"Adi Sidanti" desis Hudaya yang tidak tahan lagi melihat
perbuatan Sidanti "Sudahlah. Jangan kau turuti hatimu yang
gelap" "Tutup mulutmu" Sidanti itu membentak.
Dan Hudaya menutup mulutnya. Dalam keadaan itu, ia
lebih baik tidak membuat persoalan, sebab kemungkinan
menjadi salah paham sangat besar. Pada saat Sidanti sedang
kehilangan segenap pertimbangannya. karena itu, maka h
lebih baik memusatkan perhatiannya pada lawannya.
Diputarnya senjatanya dan dengan dahsyatnya ia menyerang
seperti taufan. Tetapi bukan saja Hudaya yang heran melihat perbuatan
Sidanti. Hampir setiap orang, baik dari laskar Pajang maupun
dari laskar Jipang, hatinya tergetar melihat perbuatan itu.
Perbuatan yang melampaui batas-batas yang dibenarkan
dalam tata pergaulan keprajuritan. Apalagi anak-anak muda
Sangkal Putung. Mereka menjadi ngeri. Bagi mereka, lebih
baik memalingkan wajah-wajah mereka, dan memusatkan
segenap perhatian mereka untuk menyelamatkan diri mereka
dari kemungkinan yang sama dengan Plasa Ireng.
Perbuatan Sidanti itu ternyata berpengaruh bagi lawannya.
Mereka menjadi ngeri dan cemas. Selain kematian pemimpin
mereka, maka apa yang mereka lihat itu benar-benar telah
mengerutkan hati mereka. Setelah puas dengan perbuatannya, Sidanti tegak berdiri
diatas mayat lawannya, satu kakinya menginjak punggung,
dan satu kakinya diatas kepala. Dengan lantang ia berkata
kepada laskar Jipang yang masih bertempur dengan gigihnya
"He, laskar Jipang yang keras kepala. Lihatlah, pemimpinmu
telah terbunuh mati oleh tangan Sidanti. Ayo, siapa yang
berani mengangkat diri menjadi senapati. Inilah Sidanti, murid
Tambak Wedi" Suara Sidanti itu menggelegar, menyusup diantara dentang
senjata dan jerit kesakitan, menggema berputar-putar didalam
malam yang kelam, seakan-akan getar suara dari neraka,
memanggil-manggil setiap nama yang ikut serta dalam
pertempuran itu. Malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang yang
gemerlapan dilangit bergeser setapak-setapak kebarat dalam
hembusan angin malam yang dingin. Selembar-selembar
awan yang putiih mengalir keutara seperti gumpalangumpalan
kapuk raksasa yang sedang hanyut.
Pertempuran diperbatasan kademangan Sangkal Putung
masih berlangsung dengan sengitnya. Disayap kanan, laskar
Jipang seakan-akan telah kehilangan semangat untuk
bertempur, setelah mereka menyaksikan pemimpin mereka
jatuh. Kekasaran Sidanti, meskipun menumbuhkan kengerian
didalam dada laskar Jipang, namun didalam dada itu juga
menyala dendam yang tiada taranya. Dendam yang seakanakan
tidak akan kunjung padam. Betapa perbuatan Sidanti itu
tergores didinding jantung mereka. Sebelum nyawa mereka
melayang, maka peristiwa itu tidak akan mereka lupakan.
Beberapa orang yang tidak dapat menahan hatinya melihat
pemimpinnya mendapat perlakuan yang sedemikian
menyakitkan hati, segera menyerbu bersama-sama. Namun
Sidanti benar-benar memiliki tenaga dan ketrampilan yang luar
biasa. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama,
namun anak muda itu masih saja mampu untk mengalahkan
mereka. Tetapi, ketika lawan Sidanti menjadi semakin banyak, maka
Hudaya juga berasa bertanggung-jawab pula atas
kemenangan yang harus mereka perjuangkan, betapapun
hatinya menjadi pedih melihat perbuatan Sidanti, namun ia
datang juga untuk membantunya.
Kemenangan-kemenangan yang didapatnya itu telah
mendorong Sidanti lebih jauh kedalam ketamakan dan
kesombongannya. Kematian Plasa Ireng merupakan racun
yang tajam yang menusuk langsung keotaknya. Dengan
membunuh Plasa Ireng maka Sidanti merasa bahwa ia wajar
untuk menerima kehormatan yang jauh dari semestinya.
Bahkan kematian Plasa Ireng itu telah menumbuhkan suatu
impian yang mengerikan.Laskar Jipang yang kehilangan
pemimpinnya itupun kemudian menjadi semakin kacau.
Seorang yang bertubuh tinggi kurus, yang bertempur melawan
Hudaya mencoba untuk mengambil alih pimpinan.
Dipanggilnya beberapa orang untuk menggantikan
perlawanannya terhadap Hudaya, dan ia sendiri meloncat
kesana kemari, memekik tinggi memberikan aba-aba kepada
sisa-sisa laskarnya. Namun usahanya itu tidak banyak
memberikan perubahan apaapa.
bahkan dengan demikian maka ia memberi kesempatan
kepada Hudaya untuk menghindari seitap lawannya,
dan membantu Sidanti yang
harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
*** Serangan orang-orang lain yang berusaha untuk
mencegahnya, terpaksa berhadapan dengan laskar Pajang
yang lain pula. Demikianlah maka laskar Jipang disayap itu menjadi
semakin lemah. Kini orang yang tinggi kurus itulah yang
mengambil alih kebijaksanaan, mendekati induk pasukannya.
Didalam induk pasukan itu Tohpati bertempur dengan
dahsyatnya melawan Untara. Murid kepatihan Jipang yang
mendapat julukan Macan Kepatihan itu menggeram tidak
habis-habisnya. Untara ternyata mampu menandingi dalam
segala hal. Ketrampilannya, kecepatannya, bahkan
kekuatannya. karena itu, maka Tohpati itu semakin lama
menjadi semakin marah. Namun Untara tetap tak dapat
diatasinya. Sedang Untarapun terpaksa mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Tetapi bekal yang didapatnya
dari ayahnya Ki Saewa, ternyata cukup banyak untuk
menghadapi murid Mantahun ini.
Ketika mereka itu masih dicengkam oleh ketegangan,
karena pertempuran yang dahsyat diantara mereka, datanglah
seoran enghubung yang dengan hati-hati memberitahukan
kekalahan yang terjadi disayap kiri laskar Jipang itu. Dengan
tanda sandi, penghubung itu mengabarkan bahwa Plasa Ireng
terbunuh dipeperangan. Alangkah terkejutnya Tohpati itu. Sekali ia meloncat jauh
kebelakang sambil berteriak nyaring "Siapa disayap laskar
Pajang itu?" Orang itu berhenti sejenak untuk berpikir. Iam endengar
pimimpin laskar Pajang itu sesumbar menyebut namanya
sendiri. ketika kemudian teringat olehnya nama itu, maka
jawabnya "Namanya Sidanti"
"Sidanti?" ulang Tohpati
Yang menjawab adalah Untara "Orang itu berkata benar"
Tohpati menggertakkan giginya. Ingin pada saat itu ia
meremas tulang murid Tambak Wedi itu. "Hem, kenapa aku
tidak berusaha membunuhnya beberapa waktu dahulu" Aku
terlambat sesaat sehingga paman Widura mampu
membebaskannya" katanya dalam hati.
Kini Sidanti itu telah sempat membunuh seorang
kepercayaannya, Plasa Ireng. karena itu, maka kemarahan
Tohpati itupun telah meluap sampai keubun-ubunnya. Namun
ia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk
menumpahkan kemarahannya kepada Sidanti, sebab
dihadapannya masih berdiri Untara. Dan Untara ini masih
belum dapat dikalahkannya. karena itu, maka segera ia
menggeram "Pertahankan diri pada keadaan kalian kini.
Usahakan untuk menahan Sidanti dengan dua tiga kekuatan.
Sebentar lagi aku akan datang membunuhnya".Orang itu
kemudian menghilang didalam hiruk-pikuk perkelahian,
kembali kesayap kiri. Disampaikannya pesan tu kepada orang
yang tinggi kurus, yang mengambil aluh pimpinan dari tangan
Plasa Ireng. Mendengar pesan itu maka orang itupun berteriak
"Pertahankan keadaan kalian. Macan Kepatihan sendiri
segera akan datang, membalaskan dendam kakang Plasa
Ireng" "Plasa Ireng" desis Sidanti. Jadi orang yang dibunuhnya itu
adalah orang yang namanya ditakuti pula hampir seperti
Macan Kepatihan sendiri. dan karena itulah maka Sidanti itu
menjadi semakin membanggakan dirinya.
Berita itu telah membangkitkan kembali semangat
bertempur prajurit-prajurit Jipang itu. Sebagian dari mereka
segera menyerbu dengan dahsyatnya, sedang sebaigan yang
lain berusaha untuk tetap mengurung Sidanti dalam satu
lingkaran yang pepat. Tetapi Hudaya tidak membiarkannya terpisah dari
laskarnya. karena itu, maka iapun segera berusaha
memecahkan kepungan itu, dan bertempur bersama-sama
dengan Sidanti. Namun meskipun Sidanti melihat usahausaha
yang dilakukan oleh Hudaya itu, tetapi ia tetap merasa,
bahwa dirinya sumber kemenangan dari laskar Pajang. Ia
yakin bahwa kekalahan sayap ini akan memperngaruhi
pertempuran keseluruhannya.
Tohpati yang marah itupun kini benar-benar memeras
tenaganya. Untara harus segera dibinasakan. Namun
membinasakan Untara adalah pekerjaan yang sulit. Tohpati itu
terpakasa melihat kenyataan yang dihadapinya, bahwa Untara
adalah seorang anak muda yang perkasa.
karena itu, maka perkelahian antara Macan Kepatihan dan
Untara itupun menjadi semakin sengit. Masing-masing telah
sampai kepuncak kemampuan mereka. Namun kini Untara
dapat memusatkan segenap perhatiannya pada lawannya
yang menakutkan ini, sebab dari pertanda yang ditangkapnya,
maka agaknya keadaan sayap kiri lawannya menjadi parah.
Dan Untara itu dapat memperhitungkan pula, bahwa Sidanti
berhasil membinasakan pimpinan sayap itu.
Namun Tohpati yang marah itu sedang membuat
perhitungan pula atas keadaannya. karena itu, maka kini ia
membiarkan Untara menyerangnya dan Tohpati
menempatkan dirinya dalam suatu pertahanan yang rapat. Ia
mencoba menilai sayap-sayap lainnya dan laskar yang dibawa
oleh Sanakeling. "Disamping Untara dan Sidanti masih ada paman Widura"
katanya dalam hati. Namun Tohpati itu masih memiliki satu
kelebihan menurut dugaannya. Alap-alap Jalatunda.
"Meskipun demikian anak itu mampu mempengaruhi
keseimbangan keadaan"
Menurut perhitungan Macan Kepatihan yang berotak cair
itu, maka Widuralah yang telah mundur kembali ketika
didengarnya tanda bahaya, dan menyerahkan pimpinan
kepada Untara. karena itu, maka Tohpati mengharap bahwa
Widura itu akan menemukan lawannya yang seimbang,
Sanakeling. Sedang Alap-alap Jalatunda akan merupakan
seorang yang akan dapat menggilas laskar Pajang
diarenanya. Kalau orang-orang disayap kiri mampu bertahan
terhadap Sidanti, mak orang-orangya disayap kanan pasti
akan dapat menguasai lawannya dibawah pimpinan Alap-alap
Jalatunda. Perhitungan Macan Kepatihan itu hanya sebagian saja
yang tepat. Namun ia tidak tahu, bahwa disayap kiri lawannya,
terdapat seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu.
Yang meskipun masih sangat hijaunya, namun ia memiliki
persiapan yang jauh dari cukup. Persiapan-persiapan yang
selama ini tersimpan saja didalam dirinya. Kini sedikit demi
sedikit kekuatan yang membeku itu mulai dicairkannya.
Demikianlah maka akhirnya Tohpati mengambil
kesimpulan, bahwa keadaan laskarnya tidak terlalu parah.
Tetapi kemenangan-kemenangan kecil yang semula mulai
tampak dipihaknya, kini telah runtuh satu demi satu. Dengan
penuh tanggung-jawab Tohpati telah mengirim beberapa
orang untuk membantu sayap yang lemah disebelah kiri.
Orang-orang itu diharap dapat membantu menutup kebebasan
gerak Sidanti. Beru kemudian ia memusatkan perhatiannya
atas lawannya. Untara. Untara yang bertempur dengan dahsyatnya itupun
menyadari, bahwa ia harus memeras segenap
kemampuannya. Dan kini hal itu telah dilakukannya. Sehingga
betapapun Tohpati berusaha untuk menguasainya, namun
usaha itu akan sia-sia saja.
Bahkan ketika Untara telah sampai kepuncak segala
macam ilmu yang tersimpan didalam dirinya, terasa bahwa
Macan Kepatihan bukanlah seorang yang tak dapat
dikalahkan. Dalam remang-remang cahaya obor, Untara yang
menerima turunan ilmu ayahnya itu, ternyata sempat
membingungkan Macan Kepatihan. Tongkat putih yang
menakutkan berujung kuning itu, sama sekali tidak lebih
mengerikan dari gerak pedang Untara. Pedang itu mampu
berputar dan mematuk dari segenap arah, menembus
gumpalan cahaya putih dan garis-garis kuning yang
membentengi Tohpati. Sekali-sekali terdengar kedua macam
senjata itu beradu, dan meloncatlah bunga-bunga api keudara.
Senjata Tohpati itu memang sebenarnya merupakan
senjata yang luar biasa. Hampir dalam setiap benturan
dengan pedang Untara, pasti meninggalkan bekas luka pada
pedang itu. Beberapa bagian tajamnya telah terpecah-pecah
sehingga pedang itu benar-benar mirip sebuah gergaji.
Untunglah pedang yang dipinjamnya dari Widura itu bukan
pula sembarang pedang. Sehingga betapapun kerasnya
benturan yang terjadi diantara kedua senjata yang digerakkan
oleh tenaga-tenaga raksasa itu, namun pedang itu tidak juga
dapat dipatahkan. Meskipun demikian, menyadari perbedaan
sifat kedua senjata itu, Untara kemudian tidak mau
membenturkan senjatanya langsung dalam arah yang
bertentangan. Untara selalu berusaha untuk memukul senjata
lawannya agak kesamping. Namun Untara itupun terpaksa
memperhitungkan apabila perkelahian itu berlangsung terlalu
lama, maka senjatanya akan menjadi semakin lemah.
Tetapi kelincahan, ketangkasan dan ketrampilan Untara
yang telah memeras segala macam ilmu yang dimilikinya itu,
ternyata benar-benar membingungkan Tohpati. Tohpati yang
ditakuti disetiap pertempuran dan bahkan setiap prajurit
musuhnya tidak berani menyebut namanya, namun ternyata


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini ia menemukan lawan yang tanggon. Nama Untarapun
merupakan nama yang mengerikan bagi laskar Jipang hampir
disetiap garis peperangan. Disamping kecerdasannya
mengatur laskarnya, Untarapun memiliki beberapa kelebihan
dari beberapa senapati yang lain. Dan ternyata Untarapun
mempunyai beberapa kelebihan dari Tohpati.
Keadaan Tohpati semakin lama menjadi semakin sulit.
Apalagi ketika disadarinya, bahwa laskarnya disayap kiri
benar-benar hampir pecah bercerai berai. karena itu, maka
Macan Kepatihan yang garang itu menjadi cemas. Cemas
akan nasib laskarnya yang sudah tidak begitu besar lagi
jumlahnya, yang dengan susah payah dikumpulkan dari
segala medan khusus untuk merebut daerah perbekalan ini.
Namun sekali lagi Macan Kepatihan itu terpaksa mengumpat
tak habis-habisnya. Ia merasa kini, bahwa gerakannya pasti
sudah tercium oleh hidung Untara itu sebelumnya, sehingga
Sangkal Putung benar-benar sudah siap menghadapi
kedatangannya. Dua kali ia dikecewakan oleh laskar Pajang di Sangkal
Putung "Namun akan datang saatnya aku menebus setiap
kekalahan" geramnya.
Tetapi Untara itu seakan-akan menjadi semakin lama
menjadi semakin lincah. Pedangnya berputaran mengitari
segenap tubuhnya dari segala arah. Bahkan kemudian, sekalisekali
terasa ujung pedang itu menyentuhnya.
"Setan" geramnya. Dan diputarnya tongkatnya semakin
cepat. Tetapi Untarapun bergerak semakin cepat pula. anak
muda, yang mendapat kepercayaan langsung dari panglima
Wiratamtama itu benar-benar tidak mengecewakan. Dan ia
benar-benar dapat menanggulangi kedahsyatan Tohpati.
Alangkah terkejutnya Macan Kepatihan itu, ketika dalam
sebuah benturan yang dahsyat, tongkatnya tergetar
kesamping. Hanya sesaat yang sangat pendek, ia melihat
pedang Untara terjulur lurus kedadanya. Tohpati berusaha
untuk memukul pedang itu kembali dengan tongkatnya,
namun pedang itu berputar, dan dengan cepatnya pedang itu
menyentuh lengannya. Ketika Untara menarik pedang itu,
maka tajamnya yang menyerupai gergaji itu meninggalkan
bekas luka ditangan Tohpati. Luka yang menganga seperti
luka bekas gergaji. Terdengar Tohpati menggeram pendek.
Dengan cepatnya ia meloncat kesamping, dan sesaat ia
berusaha menjauhi Untara. Ketika ia memandang lengannya,
dilihatnya darah mengalir dari lukanya yang menganga,
seolah-olah dagingnya telah disayat dengan sebuah gergaji
yang tumpul. "Gila kau Untara" desis Tohpati. Matanya yang meyala
menjadi semakin merah karena kemarahannya yang
memuncak. Mulutnya itu meskipun terkatub rapat, namun
terdengar giginya gemeretak. Dengan sebuah teriakan tinggi
Macan Kepatihan itu meloncat dengan garangnya, langsung
menyerang Untara dengan tongkatnya. Sebuah ayunan yang
deras sekali menyambar kepala Untara. Namun Untara tidak
tertidur karena kemenangan kecil itu. Dengan demikian segera
ia merendahkan dirinya dan tongkat Tohpati itu terbang lewat
diatas kepalanya. Pertempuran yang sangat seru segera berkobar kembali.
Tohpati yang membara karena kemarahannya, melawan
Untara yang dengan sekuat tenaga ingin segera
menyelesaikan pekerjaannya yang sudah mulai tampak akan
berhasil. Sehingga dengan demikian kembali mereka
bertempur dalam puncak ilmu masing-masing.
Namun kali inipun segera terasam bahwa Untara memang
luar biasa. Meskipun ia masih lebih muda dari Tohpati, namun
Tohpati itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara
mampu menandinginya dari selaga segi.
Kini Tohpati terpaksa membuat pertimbangan-pertinbangan
baru. Ia tidak boleh tenggelam dalam arus perasaan melulu. Ia
harus mampu meninjau pertempuran itu dalam segala segi,
segala kemungkinan dan segala akibat yang dapat timbul
karenanya. Keringkihan disayap kiri benar-benar sangat
mengganggunya. Sedang Alap-alap Jalatunda yang diharap
akan dapat menimbulkan pengaruh yang baru bagi
perimbangan kedua pihak, ternyata masih belum mampu
berbuat apa-apa. Karena itu maka Tohpati terpaksa sampai
pada suatu keputusan untuk menghindarkan laskarnya dari
kehancuran. Dalam kekalutan itu, sekali lagi Tohpati mencoba melihat
pertempuran itu. Namun malam sangat pekatnya. Ia hanya
melihat titik pertempuran disayap kirinya telah bergeser jauh
kebelakang, dan sayap kanannya masih saja belum mencapai
kemajuan. Sedang diinduk pasukannya, meskipun laskarnya
mendapat beberapa kesempatan yang baik, namun ia sendiri
telah terluka. Untara yang telah masak itu melihat setiap kemungkinan
yang akan dilakukan oleh Tohpati. Ketika ia melihat sikapnya,
serta usahanya untuk melihat seluruh laskarnya, maka Untara
dapat meraba maksudnya. karena itu, maka tekanannya
diperketa, sehingga hampir-hampir Tohpati itu tidak sempat
berbuat lain daripada mempertahankan dri dari ujung pedang
Untara yang seakan-akan terbang memgelilingi kepalanya.
Sementara itu, laskar Tohpati disayap kiri telah benar-benar
hampir lumpuh, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk
bertahan sendiri. mereka itu kemudian segera
menggabungkan diri dengan induk pasukan mereka.
Keadaan kedua pasukan diinduk pasukan itu kini menjadi
semakin ribut. Pertempuran diantara mereka menjadi seakanakan
tidak teratur lagi. Tetapi meskipun demikian, kedua
laskar itu masih tetap bertempur dengan gigihnya. Hanya
anak-anak muda Sangkal Putung kini benar-benar telah
menjadi pening. Meskipun beberapa orang laskar Widura
terus menerus berusaha untuk menuntun mereka dan bahkan
selalu mendampingi mereka, namun keadaan mereka itu agak
berbeda dengan laskar Pajang maupun laskar Jipang.
Sehingga dengan demikian maka keseimbangan kedua laskar
itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah pula. Tetapi
dipihak Pajang mempunyai kelebihan yang ikut serta
menemtukan keseimbangan itu. Sidanti yang lepas tidak
mempunyai lawan yang seimbang itu, mengamuk seperti
serigala lapar. Namun beberapa orang Jipang yang berani
telah mengepungnya. Mereka berusaha untuk selalu
membatasi gerak Sidanti itu. Tetapi setiap saat Hudaya selalu
berhasil memecahkan kurungan itu, dan melepaskan Sidanti
untuk bertempur seperti elang yang merajai udara.
Tohpati adalah seorang pemimpin yang bertanggungjawab.
Ia tidak mau membiarkan korban berjatuhan tanpa arti.
Setelah memperhitungkan keadaan masak-masak, maka
yakinlah ia, bahwa ia tidak akan dapat menembus benteng
yang dipertahankan oleh Untara itu. Bahkan tangannya yang
telah terluka itu, semakin lama menjadi semakin lemah. Dan
darah yang mengalir menjadi semakin banyak pula.
Betapa Macan Kepatihan itu menjadi marah, dan betapa ia
menjadi sangat buas, namun ia tidak dapat menuruti
perasaannya tanpa menghiraukan kenyataan.
Sesaat kemudian terdengarlah Macan Kepatihan itu bersuit
panjang. Suitannya itu segera disambut oleh beberapa
pemimpin kelompok didalam pasukannya. Dan sesaat
kemudian menyalalah berpuluh-puluh anak panah berapi.
Untara terkejut melihat hal itu. Tetapi sebelum ia sepat
berbuat apa-apa, maka panah-panah api itu seperti hujan
berjatuhan didaerah laskarnya.
"Gila" Untara mengumpat. Ia tidak menyangka bahwa hal
itu akan dilakukan oleh laskar Tohpati. Meskipun ia tahu betul
bahwa Macan Kepatihan membuat anak panah api, tetapi
disangkanya anak panah itu hanya untuk dipergunakan untuk
membakar rumah atau apapun di Sangkal Putung sehingga
menimbulkan kekacauan dan mempengaruhi ketahanan
orang-orang Sangkal Putung.
Usaha Tohpati itu sebagian berhasil. Beberapa anak-anak
muda Sangkal Putung menjadi kacau dan hampir kehilangan
akal. Namun tiba-tiba terdengar Untara berteriak "Berlindung
didaerah lawan" Anak-anak muda Sangkal Putung mula-mula tak mengerti
maksud aba-aba itu. Namun orang-orang Widura mendahului
mereka, menyerang dan langsung menyusup kedaerah
perlawanan musuh. Tetapi suitan itu ternyata mempunyai arti
yang lain pula. demikian laskar Pajang berusaha masuk dalam
garis pertahanan itu, maka laskar Jipangpun surut
kebelakang. Bahkan semakin lama menjadi semakin cepat.
Dan kemudian ternyatalah bahwa laskar Jipang sedang
menarik diri. Untara melihat kenyataan itu. Ia berusaha untuk tidak
melepaskan lawannya. Mereka harus dapat melumpuhkan
pasukan Macan Kepatihan, sehingga untuk seterusnya tidak
mendapat kesempatan berbuat serupa. Menyerang Sangkal
Putung dengan kekuatan yang berbahaya.
Demikian pula terjadi disayap kanan laskat Tohpati itu.
Agung Sedayu yang menunggu kekuatan terakhir yang akan
diungkapkan oleh Alap-alap Jalatunda menjadi bertanya-tanya
didalam hati. Apakah Alap-alap Jalatunda itu sudah sampai
pada puncak kekuatannya" Kalau demikian, apakah yang
didengar tentang Alap-alap Jalatunda hanya sekedar
dongengan untuk menakutkan orang-orang yang
mendengarnya. Atau kemampuan dirinya telah cukup
mengatasi alap-alap itu dengan mudah"
Dalam kebingungan itulah Agung Sedayu melihat laskar
lawannya surut dengan cepat. Betapa ia berusaha mengejar
lawannya, namun Alap-alap Jalatunda itu kemudian
menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk laskarnya. Mereka
mundur sambil melawan serta melepaskan anak panah.
"Bukan main" desah Agung Sedayu. "Mereka
mempergunakan anak panah" Agung Sedayu itu menyesal
bahwa ia tidak membawa anak panah dan busur. Tetapi tibatiba
ia terngat, bahwa dalam sakunya ada beberapa butir batu.
Timbullah keinginannya untuk bermain-main dengan batu itu.
Sekali ia melepaskan sebuah batu, maka terdengarlah
seorang lawannya yang sedang membidikkan anak panah
memekik tinggi, dan dalam remang-remang Agung Sedayu
melihat orang itu jatuh terjerebab. Sesaat ia melihat orang itu
menggeliat dan menahan sakit.
Agung Sedayu terkejut melihat akibat perbuatannya. Orang
itu tampaknya menjadi sangat menderita. karena itu, maka
tiba-tiba ia berlari-lari mendekatinya.
"Kenapa kau?" terndengar Agung Sedayu bertanya.
Orang itu masih menggeliat dan menyeringai kesakitan.
Dipegangnya perutnya sambil mengaduh tak habis-habisnya.
Sementara itu kawan-kawannya telah semakin jauh, mundur
dari pertempuran. Agung Sedayu mencoba menangkap lawannya yang
kesakitan itu dan dicobanya untuk menenangkannya "Jangan
berguling-guling" Tetapi alangkah terkejutnya Agung Sedayu itu, karena
sesaat kemudian orang itupun menjadi diam membeku.
"Oh" desah Sedayu "Apakah kau mati he?"
Dan sebenarnya orang itupun telah mati. karena itu, maka
Agung Sedayu menyesal bukan main. Tetapi ia tidak akan
dapat menghidupkannya lagi.
Swandaru juga melihat Agung Sedayu sibuk dengan orang
itu mendekatinya sambil bertanya "Kenapa dengan orang itu?"
"Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi orang ini mati"
"Kenapa kalau mati" Bukankah orang itu orang Jipang?"
Agung Sedayu kini telah tegak berdiri. Digigitnya bibirnya.
Dan terasa sesuatu berdesir didadanya. "Ya" katanya dalam
hati. "Apakah kita sudah sampai sedemikian jauh menyimpang
dari peradaban manusia" Meskipun orang itu orang Jipang,
Pajang atau orang yang ditemuinya dipinggir jalan sekalipun
namun selama ia masih bernama manusia, apakah kita
biarkan saja mereka mati selagi masih ada kesempatan untuk
menolongnya?" Tetapi ketika Agung Sedayu melayangkan pandangan
matanya, maka dilihatnya diberbagai tempat, tubuh-tubuh
yang terbaring membeku. Tetapi ada juga diantaranya
terdengar merintih menahan sakit. Agung Sedayu belum
pernah melihat medan pertempuran. Kali ini adalah kali yang
pertama. Karena itu ia menjadi ngeri. Meskipun kini ia tidak
tahut lagi untuk bertempur, tetapi apa yang dilihatnya benarbenar
mendirikan bulu romanya. Namun sesaat kemudian Agung Sedayu itu mendengar
Swandaru berkata "Marilah. Musuh kita masih berada
dipelupuk mata kita"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sesaat
kemudian dilihatnya Swandaru meloncat dan berlari kearah
laskar Jipang mengundurkan dirinya. Agung Sedayupun
kemudian mengikutinya pula, namun hatinya benar-benar
digelisahkan oleh pengalamannya yang pertama itu.
Meskipun demikian, ada sesuatu yang didapatkannya
dimedan peperangan itu. Disadarinya kemudian bahwa Alapalap
Jalatunda pada saat-saat bertempur, sama sekali bukan
sekedar menunggunya lelah sambil menyimpan kekuatan
terakhirnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Maka hatinya
menjadi semakin besar. Agung Sedayu itu semakin melihat
kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. Ternyata Alapalap
Jalatunda yang pernah menghantuinya itu tidak lebih
daripada yang disaksikannya itu, yang ternyata masih berada
dibawah kepandaiannya bermain pedang.
"Aneh" desahnya didalam hati. "Apakah yang selama ini
memagari keberanianku untuk berbuat seperti ini?"
Agung Sedayu itu menjadi semakin percaya kepada diri
sendiri. Tetapi ia masih belum dapat melihat tubuh-tubuh yang
bergelimpangan dibekas medan pertempuran itu.
Laskar Jipang itupun kemudian mengundurkan dirinya
dengan cepat sambil melawan terus, sehingga dengan
demikian maka laskar Pajangpun tidak dapat berbuat banyak.
Mereka hanya dapat mendesak laskar musuhnya itu. Dalam
keadaan yang demikian, maka laskar dikedua belah pihak
hampir bercampur baur dalam satu lingkaran pertempuran.
Namun kemudian laskar Jipang itu menyebar dan dengan
cepat berusaha menyusup kedalam sebuah desa yang
pertama-tama mereka temui.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diujung selatan induk desa Sangkal Putung, Sanakeling
melihat diarah barat, panah api menari-nari diudara. karena
itu, maka ia menjadi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa
laskar induknya terpaksa mengundurkan diri. "Kalau demikian"
katanya dalam hati "Maka laskar yang aku hadapi dan
dipimpin oleh Widura sendiri ini bukan laskar induk. Jadi
siapakah yang memimpin laskar induk lawan ini?"
Tetapi Sanakeling tidak mendapat jawabannya. Dan ia
tidak sempat untuk menanyakannya. Kini ia harus mematuhi
perintah itu meskipun sebenarnya keadaan laskarnya sendiri
sama sekali tidak mengkhawatirkan. Tetapi kalau laskar induk
lawannya yang telah ditinggalkan oleh laskar Jipang itu
mengepungnya, maka laskarnya pasti akan tumpas. karena
itu, maka tidak ada pilihan lain daripada mengundurkan diri
pula. Demikianlah maka seluruh pasukan Tohpati itu kini telah
ditarik mundur. Widurapun tidak berusaha mengejar lawannya
terlampau jauh. Sanakeling berhasil juga mengundurkan
dirinya dengan teratur, sehingga dari pihaknya tidak terlalu
banyak korban yang jatuh.
Induk pasukan yang dipimpin oleh Untara itu mengejar
lawannya sampai kedesa pertama yang dapat dicapai oleh
laskar lawannya. Demikian mereka memasuki desa itu, maka
seakan-akan mereka telah lenyap ditelan kegelapan. Oborobor
mereka segera menjadi padam, dan orang-orang
merekapun segera menyelinap dan hilang dibalik daundaunan
yang rimbun serta rumpun-rumpun bambu yang lebat.
Laskar Pajang sejenak menjadi ragu-ragu. Mereka sama
sekali tidak mendengar seorangpun memberikan aba-aba
kepada mereka. Apakah mereka harus mengejar lawan itu
terus atau mereka harus berhenti dibatas desa itu. Sebab
alangkah berbahayanya melakukan pengejaran didalam gelap
yang pekat itu. Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti "He,
apakah yang harus kami lakukan?"
Tak ada suara yang menyahut. Karena itu sekali lagi
Sidanti berteriak "Apakah laskar Pajang ini laskar yang liar,
yang dapat berbuat sekehendak diri kita masing-masing" Ayo,
bagi yang memegang pimpinan, berikan perintah"
Kembali suara itu bergulung-gulung dan hilang ditelan
kabut malam. Semua yang mendengar suara Sidanti itu menjadi tegang.
Mereka menunggu jawaban dari pimpinan mereka. Namun
jawaban yang ditunggunya itu tidak juga kunjung datang.
Hudaya, Sidanti dan beberapa orang lagi menjadi gelisah.
Citra Gati dan Agung Sedayu dari sayap yang lainpun telah
bergabung dalam induk pasukan itu pula.
Dalam ketegangan itu terdengar suara Agung Sedayu
gelisah "Kakang Untara, kakang Untara"
Tetapi Untara tidak menyahut. Karena itu seluruh laskar
Pajangpun menjadi gelisah. Dalam hiruk pikuk pengejaran
mereka tidak melihat kemana Untara pergi. Beberapa orang
dari mereka masih melihat Untara berhasil melukai Tohpati.
Dan kemudian berusaha mengejarnya. Tetapi tiba-tiba Untara
itu seakan-akan menjadi hilang lenyap ditelan oleh malam
yang kelam. Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang.
Ternyata Untara telah hilang. Dengan demikian, maka laskar
Pajang iu benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak tahu
apa yang mereka lakukan. Dalam ketegangan itu terdengar suara Citra Gati "Siapakah
yang melihat ki Untara untuk yang terakhir kalinya?"
"Aku" jawab salah seorang "Pemimpin kita itu telah melukai
Macan Kepatihan. Tetapi dalam hiruk pikuk pengejaran aku
tidak melihatnya" "Dimana?" bertanya Citra Gati pula.
"Digaris pertempuran tadi"
"Mari kita cari"
Beberapa orang segera bergerak kembali kegaris
pertempuran beberapa langkah dibelakang mereka. Tetapi
terdengar Sidanti berkata "Kenapa kita cari ia disana.
Bukankah ia telah berhasil melukai Macan Kepatihan dan
mengejarnya. Marilah kita cari kedepan, kedalam desa ini"
Citra Gati berpikir sejenak. Untara pasti tidak akan berbuat
demikian. Berbuat sendiri dan meninggalkan laskarnya dalam
keragu-raguan. Pemimpin yang bodohpun akan tahu, bahwa
keragu-raguan dalam barisannya adalah sangat berbahaya.
Maka sesaat kemudian ia menyahut "Kita cari digaris
pertempuran?"Tidak" sahut Sidanti "Jangan membuang waktu"
**** Buku 07 Ketegangan menjadi semakin memuncak karenanya.
Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan sendirisendiri.
Sidantipun kemudian sudah bergerak diikuti oleh
beberapa orang yang kebingungan, siap memasuki padesan
dihadapannya. Tetapi terdengar Citra Gati berteriak "Jangan berbuat halhal
yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam usaha
yang sia-sia. kalau kita pasti Untara ada didepan kita, maka
biarlah kita pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi
kemungkinan itu tipis sekali"
"Kau jangan menghinanya" sahut Sidanti keras-keras.
"Apakah kau sangka Untara terluka" Untara adalah seorang
yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya.
karena itu, maka tak akan ia terluka dan terbaring diantara
orang-orang yang luka. Aku hormati dia aku kagumi dia"
Kata-kata itu masuk akal pula. karena itu beberapa orang
menjadi mempercayai perhitungan itu. Tetapi Citra Gati tetap
pada pendiriannya. Seandainya Untara tealh terlanjur
memasuki desa itu, maka pasti ia akan segera kembali dan
memberikan aba-aba kepada mereka yang mengikutinya.
Dalam ketegangan yang dipenuhi oleh keragu-raguan itu
tiba-tiba terdengar kembali Sidanti berkata "Taati perintahku.
Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling
baik diantara kalian"
"Tidak!" Citra Gati tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya
"Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang memiliki
kedudukan tertua diantara kalian. Ket kakang Widura
meninggalkan Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang
diserahi pimpinan" "Persetan dengan tata cara
itu. Sekarang aku mengkat diri
menjadi pemimpin kalian. Apa
maumu" Apakah aku harus
membunuhmu?" "Jangan berlagak jantan
sendiri Sidanti. Aku tahu kau
memiliki beberapa kelebihan dari
kami. Tetapi kami bukan kelincikelinci
yang patuh karena kami kau takut-takuti. Dengan meninggalkan tata cara yang
ditetapkan dalam keprajuritan
Pajang, maka kau adalah seorang pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yang
patuh pada tugas kami, maka nyawa kami akan kami
pertaruhkan untuk menumpas setiap pemberontakan"
"Gila" teriak Sidanti "Ayo, siapakah yang menenang Sidanti,
majulah" Citra Gati bukan seorang penakut. Betapapun ia menyadari
keringkihannya untuk melawan Sidanti, tetapi ia adalah
soerang prajurit yang bertanggung-jawab. karena itu, maka ia
tidak gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra
Gati itupun telah terbakar oleh perasaannya, sehingga ia lupa
pada pokok persoalannya. Hilangnya Untara. Apalagi ketika
Citra Gati menyadari, bahwa sebagian besar laskarnya
condong kepadanya, sehingga dengan demikian hampirhampir
ia menjatuhkan perintah untuk bersama-sama
menangkap Sidanti yang telah melanggar tata cara
keprajuritan. Tetapi dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu
memecah ketegangan dan kepekatan malam. Katanya
"Persetan dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit
Pajang, bukan pula laskat Sangkal Putung. Aku disini dalam
kedirianku sendiri, dalam tugas yang aku bebankan sendiri
dipundakku, sehingga aku ikut bertempur bersama-sama
kalian. Tetapi aku tidak diperintah oleh pemimpin yang
manapun. Bertempurlah diantara kalian. Aku akan mencari
kakang Untara. Aku sependapat dengan kakang Citra Gati,
kakang Untara masih berada dibelakang kita. Dan siapakah
diantara kalian yang masih memiliki kesetiaan kepadanya
ikutlah aku. Yang merasa diri kalian prajurit-prajurit yang baik,
tunggulah sampai salah seorang berhasil membunuh orangorang
lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin laskar
Pajang. Sedang tak seorangpun diantara kalian yang
berusaha memberitahukan hal ini kepada paman Widura,
pemimpin yang sebenarnya atas kalian. Dan siapa yang
mencoba menghalangi Agung Sedayu, maka pedangku akan
berbicara" Kata-kata Agung Sedayu itu seakan-akan merupakan suatu
pemecahan yang dapat mereka lakukan. tiba-tiba salah
seorang dari mereka, seorang penghubung berlari kearah
padesan idbelakang mereka. Disanalah kudanya ditambatkan.
"He, kemana kau?" teriak Sidanti yang menjadi marah.
"Aku akan melaporkannya kepada Ki Widura"
Sidanti tidak mencegahnya. Sikap itu agaknya telah
mendapat dukungan dari setiap orang dalam pasukan itu.
Sedang Agung Sedayu kemudian tidak memperdulikan
apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung kegaris peperangan
untuk mencari kakaknya. Dalam hirukpikuk perkelahian itu,
adalah sangat mungkin bagi seseorang untuk mendapat
serangan tanpa diketahuinya, apalagi Untara yang saat itu
sedang menumpahkan perhatiannya kepada Tohpati.
Citra Gati, Hudaya dan sebagian besar dari mereka
kemudian berjalan mengikuti Agung Sedayu. Mereka berjalan
sambil memperhatikan keadaan disekeliling mereka. Dengan
beberapa buah obor ditangan mereka mencoba mengamati
setiap tubuh yang terbaring. Dengan demikian maka sekaligus
mereka dapat menemukan beberapa orang yang terluka,
namun kiwanya masih mungkin diselamatkan.
"Rawat mereka" berkata Agung Sedayu. Ia tidak tahu lagi
apakah ia berhak berkata demikian atau tidak. Namun
menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam
masalah kemanusiaan. Berhak atau tidak berhak.
Dalam kesibukan itu, maka mereka mendengar derap
beberapa ekor kuda yang datang dari Sangkal Putung. Ketika
mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka
melihat kedatangan Widura beserta beberapa orang
pengawalnya. "Apa yang sedang kalian lakukan?" bertanya Widura masih
dari atas kudanya. "Kami mencari kakang Untara" sahut Agung Sedayu.
Widura mengerutkan keningnya. Sukar dimengerti olehnya
bahwa Untara terluka, dan terbaring diantara mereka yang
jatuh didalam pertempuran itu.
"Apakah menurut perhitunganmu, hal itu mungkin terjadi
Sedayu?" bertanya Widura.
Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar suara
Sidanti lantang "Aku sudah mengatakan kepada mereka,
bahwa Untara tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat
bahwa Untara yang melukai Tohpati bukan Untara yand
dilukai" Wajah mengerutkan keningnya. Dipandangnya Agung
Sedayu yang masih termangu-mangu. Namun kemudian
jawabnya "Kalau kakanf Untara tidak terluka, maka ia pasti
sudah kembali. Apakah menurut dugaan paman, kakang
Untara tidak terluka tetapi justru tertangkap oleh Tohpati?"
"Tidak mungkin" sahut Widura serta-merta.
"Nah kalau begitu kemana" Terluka tidak, tertangkap tidak.
Apakah kakang Untara mengejar musuh itu seorang diri tanpa
memberikan perintah kepada kami disini?"
Widura menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya "Juga
tidak" "Lalu bagaimana?" bertanya Agung Sedayu yang menjadi
sangat gelisah karena kehilangan kakaknya. Semula, ketika ia
masih digenggam oleh perasaan takut setiap saat, maka
kakaknya adalah satu-satunya tempat untuk melindungkan
dirinya. Namun kini, meskipun ia merasa bahwa akhirnya
dirinya sendirilah yang paling baik untuk menyelamatkan
dirinya itu, maka yang tinggal adalah suatu ikatan kasih
sayang seorang adik terhadap seorang kakak yang telah
melindunginya bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah
banyak berkorban untuknya. Seorang kakak yang telah
berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membentuknya
menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya, meskipun
kakaknya itu telah hampir menjadi berputus asa atas
kemajuan yang dicapainya. Namun kini ia telah menemukan
dirinya. Dan karena itu maka terasa didalam dirinya suatu
kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan kakaknya
itu. Apapun yang akan dihadapinya.
Widura itupun kemudian meloncat pula dari kudanya.
Setelah ia melayangkan pandangan matanya sejenak
berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam "Aku
sependapat dengan kau Sedayu" Kemudian kepada seluruh
laskarnya Widura itu mengeluarkan perintah "Semua mencari
diantara orang-orang yang terluka"
Beberapa orang kemudian tersebar disepanjang garis
pertempuran. Mereka berusaha untuk melihat satu persatu
dibawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yang
berjalan mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar
ia bergumam "Tak ada gunanya"
Agung Sedayu sama sekali tidak memperhatikannya.
Dengan tekun ia mencari kakaknya bersama-sama dengan
Citra Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama
dengan beberapa orang lainpun telah ikut mencari pula
diantara mereka. Tiba-tiba dalam kesepian malam itu terdengar seseorang
berteriak lantang sambil melambai-lambaikan obornya "Inilah.
Inilah yang kita cari"


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu benar-benar terkejut mendengar teriakan
itu. Seperti kuda yang terlepas dari ikatan, ia meloncat hampir
melanggar beberapa orang lain yang berdiri disampingnya.
diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring ditanah. Bahkan
beberapa kali kakinya telah terperosok kedalam lubang-lubang
dipematang. Demikian pula dengan beberapa orang yang lain.
Widurapun terkejut bukan main. Seperti Agung Sedayu segera
ia meloncat berlari kearah suara itu.
Ketika mereka sampai, dan ketika mereka melihat orang
yang terbaring diam dengan darah yang memerahi tubuhnya,
ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya
telah menjadi sangat lemahnya, karena darah yang banyak
Sepasang Walet Merah 1 Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Siluman Hutan Waringin 2
^