Pencarian

Bunga Di Batu Karang 10

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 10


"Ia me mang seorang gadis, meskipun bentuknya seperti seorang anak laki2." "O" keringat yang dingin me nge mbun didahi Ki Lurah Bausasra "Aku minta maaf yang se-besar2nya. Untunglah disini ada Raden Juwiring." Arum tertunduk dala m2. Dipipinya me mbayang warna semburat merah. Tetapi iapun tersenyum pula seperti Juwiring dan Buntal. "Sudahlah" berkata Juwiring "marilah kita lupakan saja peristiwa ini. Aku akan segera melanjutkan perjalananku ke Sukawati." Ki Lurah Bausasra masih dicengka m oleh kegelisahan. Bahkan ke mudian ia berkata "Aku minta maaf kepada kalian semua. Aku benar2 tidak mengerti, bahwa aku berhadapan dengan Raden Juwiring dan kedua adik seperguruannya. Apalagi seorang daripadanya adalah seorang gadis." "Bukan salahmu Ki Lurah. Aku tahu, kau dan para. prajurit itu sedang melakukan kuwajibannya. Akupun minta maaf, bahwa aku telah me mbuat kau dan prajurit mu menjadi sibuk." "Tida k. Tidak. Raden tidak bersalah Raden berhak berburu dihutan ini seperti juga Raden Rudira dan putera2 Pangeran yang lain." "Terima kasih. Ka mi tidak ingin berburu." Ki Lurah Bausasra mengerutkan keningnya. Namun Juwiring tertawa dan berkata "Mungkin keterangan kami berbelit2 dan kadang2 saling bertentangan. Jika kalian tidak mengenal ka mi, maka ka lian tentu akan me njadi se ma kin curiga. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami me mberikain keterangan yang tidak sebenarnya, karena semula ka mi tidak bermaksud me ngatakan tentang diri ka mi masing2 yang sebenarnya. Terutama aku sendiri, sehingga ka mi mencoba
untuk men-cari2 alasan, sehingga keterangan ka mi menjadi ber-belit2."
dengan demikian Ki Lurah Bausasra tidak menyahut. Dan Raden Juwiring berkata selanjutnya "Tetapi sebenarnyalah kami hanya ingin lewat Ka mi akan pergi ke Sukawati." Ki Lurah Bausasra meng-angguk2. "Oleh guru ka mi, ka mi dibekali dengan senjata2 kecil ini. Justru karena keadaan semakin la ma menjadi se makin kisruh dan tidak me nentu." Ki Lurah Bausasra masih meng-angguk2. "Ka mi sengaja tidak me mbawa senjata yang menyolok selain keris dan pisau2 belati kecil ini. Senjata2 ini dapat sekedar melindungi diri ka mi apabila ka mi perlukan, namun tidak me mancing perhatian dan persoalan, karena ka mi dapat menye mbunyikannya dibawah baju ka mi." "Ka mi mengerti" jawab Ki Lurah Bausasra "kini aku percaya. Semula keterangan Raden dan adik2 seperguruan Raden memang me mbingungkan dan mencurigakan. Tetapi kini ka mi dapat mengerti, kenapa Raden dan adik2 Raden berusaha untuk meng hindarkan diri dari pertanyaan2 kami dan tidak menjawab sebenarnya seperti yang akan Raden lakukan." "Ya. Terima kasih atas pengertian Ki Lurah. Dan sekarang kami a kan minta diri." "Tetapi tentu bukan untuk mengunjungi seorang ka kek yang sudah la ma tida k berte mu." Raden Juwiring tersenyum. "Sebenarnya aku juga menunggu kese mpatan, kapan aku dapat menghadap Pangeran Mangkubumi." desis Bausasra. "He ?" Juwiring mengerutkan keningnya. Namun iapun ke mudian menarik nafas dalam2. Ia harus hati2 menghadapi
orang yang tidak begitu dikenalnya. Mungkin Bausasra hanya sekedar me mancingnya, dan kemudian melaporkannya kepada pimpinan prajurit di Surakarta, yang mempunyai wewenang untuk me lakukan penangkapan atas para bangsawan. Namun tiba2 Ki Lurah Bausasra itu menjadi sangat gelisah. Dan dengan suara yang bergetar ia bertanya "Tetapi Raden. Apakah Raden akan menghadap pamanda Pangeran Mangkubumi ?" Juwiring masih tetap ber-hati2, meskipun se-akan2 acuh tidak acuh saja ia menjawab "Tidak Ki Lurah. Ka mi t idak akan menghadap pa manda Pangeran Mangkubumi. Ka mi akan pergi kepada seorang sahabat Kiai Danatirta." "O" Ki Lurah Bausasra menjadi se makin gelisah. Na mun seperti tidak terjadi apapun juga Raden Juwiring berkata "Nah, sekarang kami akan minta diri. Sekali lagi ka mi minta maaf bahwa ka mi sudah mengganggu ka lian. Tolong katakan kepada prajuritmu, bahwa kita lupakan saja apa yang sudah terjadi dan apa yang sudah kita perbuat masing2." "Baik, baik Raden. Terima kasih atas kese mpatan ini. Mudah-mudahan la in kali ka mi tidak me mbuat kesalahan. Nanti aku akan me merintahkan agar gawar lawe yang berwarna kuning itu tidak hanya disangkutkan pada lorong2 masuk kedala m hutan ini, tetapi direntangkan disekitar hutan yang menghadap kejalan yang Raden lalui, agar orang lain nanti tidak terjebak dalam kesalahan yang sama seperti Raden yang tidak mengetahui bahwa hutan ini adalah hutan tertutup. Untunglah bahwa Raden memang berhak melakukannya. Jika terjadi atas orang lain, akibatnya akan tidak menyenangkan bagi orang itu, meskipun sebenarnya ia me mang tidak bersalah. " "Baiklah." berkata Raden Juwiring. "Aku minta diri." Buntal dan Arumpun ke mudian minta diri pula kepada Ki lurah Bausasra, Merekapun kemudian diantar oleh Ki Lurah itu
sampai kehala man dan selanjutnya meningga lkan barak penjagaan prajurit Surakarta itu. Beberapa langkah ke mudian, Buntal bertanya kepada Juwiring "Jadi, bukankah Ki Lurah Bausasra agaknya tidak berpihak kepada Kompeni, atau se-tidak2hya tidak terlalu menjilat mereka " "Mungkin seka li. Tetapi aku masih ragu2. Kita tidak dapat berbuat ter-gesa2 terhadap orang yang belum kita kenal dengan baik. Mungkin Ki Lurah Bausasra sedang me mancing kita. Tetapi menilik sikapnya, aku me mpunyai dugaan, bahwa sebenarnya ia tidak ber-pura2. Ternyata ia justru menjadi gelisah." "Kenapa justru ge lisah ?" "Ki Lurah Bausasra mengerti ka lau aku adalah Putera ayahanda Ranakusuma. Dan Ki Lurah Bausasrapun tahu, bagaimana sikap ayahanda terhadap perkembangan keadaan kini." Buntal dan Arum meng-angguk2kan kepalanya. Agaknya Ki Lurah Bausasra menjadi gelisah, karena menurut dugaannya Raden Juwiring pasti me mpunyai sikap seperti ayahandanya. Tetapi mereka tida k me mpersoalkannya lagi. Arum yang merasa tidak akan terganggu lagi di hutan tutupan itu mulai tertarik lagi pada gerumbul2 liar yang berserakan diantara pepohonan yang sema kin la ma se ma kin pepat. "Dala m gerumbul itu tentu berse mbunyi binatang buruan. Kijang atau rusa." desisnya. "Atau harimau." sahut Buntal. "Apa salahnya seekor harimau." "Tentu bukan harimau. Dise kitar tempat ini tentu tidak ada seekor harimaupun saat ini." desis Juwiring. "Kenapa kau tahu ?" beritanya Arum.
"Lihat. Disini banyak kera berkeliaran. Jika didaerah ini ada seekor harimau atau seekor ular yang besar, maka tentu tidak akan ada seekor kerapun yang tampak. Mereka akan menyisih jauh2. Bahkan jika seekor ular besar sedang lapar dan mengikatkan ujung e kornya pada sebatang dahan yang besar, bukan saja tidak ada seekor kerapun yang tampak, tetapi juga burung2 akan berterbangan pergi. Apabila arah angin tepat bertiup kearah kita, ma ka kita akan me ncium bau yang langu." "Kau mengetahui banyak tentang hutan dan perburuan" "Aku dahulu sering ikut berburu seperti adinda Rudira. Tetapi kema mpuan berburu adinda Rudira berkembang karena ia ke mudian mendapat kese mpatan untuk pergi berburu sendiri dengan beberapa orang pengiring. Tetapi aku ke mudian mendapat kese mpatan lain. Me mpelajari olah kanuragan, kajiwan serta' ilmu pergaulan dan tata pemerintahan dari Kiai Danatirta, meskipun adinda Rudira pasti juga mendapat dari orang lain." Buntal dan Arum ineng-angguk2. Tanpa mereka sedari mereka merasakan betapa pahitnya perasaan Raden Juwiring, karena ia telah tersisih dari lingkungan keluarganya, apapun alasannya. Namun sejenak kemudian perhatian Arum telah tertuju kepada hutan disekitarnya. Jika Juwiring dan Buntal setiap kali tidak mencegahnya, maka ia pasti sudah ber-lari2an diantara semak2 yang lebat. "Ada beberapa kemungkinan Arum" berkata Juwiring "kau bukannya berburu, tetapi diburu oleh binatang liar, atau tersesat. " "Mungkin aku dapat tersesat. Tetapi seandainya ada binatang liar, akulah yang akan menangkapnya. Bukankah yang ada hanyalah rusa atau kijang " Bukankah disini tidak ada harimau. Bahkan seandainya ada harimau se kalipun aku
tidak takut. Aku dapat memanjat dan me mbunuhnya dengan pisau2 ini." "Bukan seekor harima u Arum. Tetapi yang paling berbahaya bagi pemburu ada lah ular kecil yang berbisa. Hanya orang2 tertentu sajalah yang dapat mengobati gigitan ular weling, welang atau bandotan. Tetapi tidak kalah bahayanya adalah serangga2 yang berbisa. Laba2 biru atau lebih kendit, yang bergaris putih dipinggangnya yang ramping." Arum mengerutkan keningnya. Namun ke mudian sa mbil rnemberengut ia berkata "Kau me mbohongi aku. Aku percaya kalau dihutan ini banyak ular berbisa. Tetapi tidak dengan serangga2 semaca m itu." "Sebaiknya kau me mpercayainya Arum" berkata Buntal "Kakang Juwiring me mpunyai pengalaman dan pengenalan atas hutan ini dan barangkali di-hutan2 yang lain." Arum tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi gelap. Dan tiba2 saja ia berkata "Kita ke luar dari hutan ini. Jika kita bertemu dengan peronda yang lain lagi, yang belum mengetahui tentang kita, maka kita harus berurusan lagi dengan mereka, dan Lurah itu akan me maksa lagi aku me mbuka baju." Juwiring dan Buntal tersenyum.
"Kalian mentertawakan aku?" "Mereka tida k tahu Arum. Justru karena itu me mbukt ikan bahwa kau pantas berpakaian seperti seorang laki-laki" sahut Buntal. Arum tidak menjawab. Tetapi ia berjalan lebih cepat lagi mendahului kedua saudara seperguruannya. Demikianlah akhirnya merekapun ke luar dari hutan tertutup itu. Mereka berjalan menyusur jalan se mpit dipinggir hutan itu. Dan sebenarnyalah mereka dibeberapa tempat melihat gawar lawe berwarna kuning sebagai pertanda bahwa hutan itu adalah hutan tertutup. Perjalanan merekapun tidak terganggu lagi oleh keinginan Arum mencari binatang buruan dihutan, setelah mereka menjadi se makin jauh dari hutan tertutup itu. Bahkan ke mudian mereka sa mpai didaerah pategalan yang sudah ditanami dengan berbagai maca m pohon buah2an. Dan sejenak ke mudian merekapun sa mpa i ilibulak persawahan yang panjang. Ketika matahari menjadi se makin rendah di Barat, maki merekapun berist irahat dibawah sebatang pohon yang rindang. Na mun mereka sa ma sekali masih belum dapat duduk dengan tenang, karena Sukawati masih cukup jauh. Apalagi perjalanan mereka terganggu oleh prajurit2 yang bertugas di hutan tutupan itu. Dengan bekal yang hanya sedikit, mereka mengisi perut mereka sebe lum me lanjutkan perjalanan dibawah terik matahari menjelang sore. Meskipun panasnya sudah mulai susut, namun rasa2nya masih juga menyengat kulit yang se-akan2 menjadi merah seperti tembaga. Pakaian mereka telah basah oleh keringat dan kotor oleh debu. Tetapi mere ka berjalan terus.
"Kita harus sampai kerumahnya" berkata Juwiring seakan kepada diri sendiri. Tetapi Buntal menyahut "Ya. Kita harus langsung sampai kerumah Kiai Sarpasrana meskipun lewat tengah mala m." Arum tidak berkata apapun. Tetapi ia tidak berkeberatan seandainya ia masih harus berjalan sa mpai lewat tengah ma la m. Mes kipun ia seorang gadis, tetapi latihan2 yang teratur dan mapan, me mbuat ketahanan tubuhnya menjadi sangat tinggi, seperti juga luwiring dan Buntal. Dala m pada itu, mataharipun se makin la ma menjadi semakin rendah. Langit menjadi ke-merah2an oleh sinarnya yang lemah. Dan ujung mega di atas pegunungan bagaikan me mbara. Arum yang se-akan2 telah mandi keringat, sempat me mandang langit yang ditaburi oleh sisa2 sinar matahari menje lang senja. Angin yang lembut mengusap wajahnya yang basah. Sekali2 gadis itu mengusap keringat dikeningnya dengan lengan bajunya dengan acuh tidak acuh. Perhatiannya sedang dicengka m oleh warna2 yang dengan cepatnya berubah2 disore hari. Juwiring yang berjalan agak didepan menundukkan kepalanya. angan2nya telah mendahuluinya mene mui Kiai Sarpasrana. Berbagai maca m ga mbaran telah bergerak di kepalanya. Mungkin orang itu akan menyambutnya dengan baik, tetapi mungkin sebaliknya. Dala m pada itu, Buntal untuk beberapa saat terlempar kedala m dunia kenangan. Di-saat2 ia berjalan tanpa tujuan. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit dengan warnanya, yang semakin gelap. Seperti warna yang pernah dilihatnya di bulak Jati Sari. Betapa warna itu bagaikan bayangan hantu yang akan menerka mnya saat itu.
Se-akan2 masih terasa tengkuknya bagaikan patah ketika orang orang Jati Sari memukulinya. Masih juga terngiang pekik Arum yang terkejut me lihatnya diatas gubug. Buntal menarik nafas dalam2. Diluar sadarnya dipandanginya wajah Arum sekilas. Hanya sekilas. Tetapi Buntal me lihat ujung ra mbutnya yang ber-gerak2 ditiup angin yang lembut, bagaikan rumbai2 yang menghiasi seraut wajah yang bulat cerah. Buntal menarik nafas dalam2. Setiap kali ia mencoba mengusir pikiran gila itu dari kepalanya. Namun setiap ka li wajah itu ter bayang juga meskipun ia sudah berusaha untuk mengenyahkannya. "Kenapa aku harus me mbayangkan wajahnya" Buntal me mbentak dirinya sendiri didala m hati "anak itu ada disini. Aku dapat memandanginya se-puas2nya. Bukan sekedar bayangan didala m angan2" Buntal terkejut ketika ia mendengar suara Juwiring "Di ma la m hari, lebih sulit bagi kita untuk mene mukan rumah Kiai Sarpasrana." Sejenak Buntal tergagap. Namun iapun ke mudian menjawab "Ya. Tidak ada tempat untuk bertanya." "Mungkin di gardu2 parondan" sahut Arum. Juwiring meng-angguk2. Katanya "Ada dua kemungkinan. Di gardu2 peronda kita akan mendapat petunjuk, atau justru dicuriga i dala m keadaan seperti sekarang ini." "Ya" Buntal menyahut "kita dapat dicurigai seperti prajurit2 itu mencuriga i kita. Agaknya saat ini adalah saat saling curiga mencurigai diantara sesama orang Surakarta dan wilayahnya" "Ya. Kedatangan orang2 asing itulah yang telah menggunjingkan sendi2 kehidupan di Surakarta." Juwiring berhenti sejenak, lalu "apakah ka lian sependapat, apabila kita teruskan perjalanan kita sampai ke Sukawati mala m ini,
meskipun sampai j"uih dan bahkan lewat tengah mala m" Tetapi baru besok pagi2 !" iia mencari rumah Kiai Sarpasrana?" Tetapi Arum menggelengkan kepa lanya "Kita sampai kerumahnya mala m ini. Jika kita menunggu dimanapun juga, masih akan ada ke mungkinan2 lain yang dapat terjadi." Buntal menganggukkan kepalanya "Ya. Tentu didaerah Sukawati peronda2 selalu nganglang ha mpir setiap saat. Lebih baik kita berterus terang kepada mereka." Juwiring me ng-angguk2 pula. Katanya "Baiklah. Kita akan berusaha untuk mene mukan rumah itu" Ketiga anak muda itupun ke mudian terdia m sejenak. Sementara langit menjadi bura m dan ujung pegunungan telah menjadi pudar. Hampir tanpa mereka sadari, ma ka per-lahan2 ma la mpun mulai turun. Cahaya matahari yang tersangkut ditepi langit telah padam sa ma sekali. Bintang2 satu demi satu mulai me mancar didala m kegelapan. Ketiga anak2 muda itupun berhenti pula sejenak untuk me lepaskan le lah. Meskipun mereka cukup terlatih menguasai diri, tenaga dan tubuh, namun mereka masih juga me merlukan beristirahat sejenak. Membasahi kaki mereka dengan air parit yang bening. Bahkan ke mudian tangan dan wajah mereka yang bagaikan hangus dibakar sinar matahari. "Kita duduk sejenak" berkata Arum ke mudian "bukan karena lelah Tetapi aku ingin menikmati segarnya udara" Juwiring dan Buntal tersenyum, na mun mereka t idak menjawab. Meskipun de mikian Arum berkata "Kalian tidak percaya?" "Tentu ka mi percaya" jawab Juwiring "akupun ingin duduk sebentar. Angin terasa sejuk sekali."
"Apakah perjalanan kita masih jauh?" bertanya Arum ke mudian. "Tida k begitu jauh lagi" jawab Juwiring "aku kira tidak sampai tengah mala m kita sudah akan mencapai daerah Sukawati." Arum tidak bertanya lagi. Ia duduk diatas rerumputan sambil bersandar sebatang pohon. Namun ke mudian sa mbil berpaling me mandang kedala m kegelapan bayangan pepohonan ia berkata "Bukankah aku tida k bersandar sebatang pohon hutan tutupan?" "Tida k Arum" Buntallah yang menjawab "kita berada di daerah pategalan." "O" Arum menyandarkan dirinya lagi sambil me mandang kekejauhan. Namun tiba2 Arum terkejut. Hampir bersa maan Juwiring dan Buntalpun mengangkat kepa la mereka me mandang kekejauhan. "Beberapa buah obor" desis Arum. "Ya" Juwiring dan Buntal ha mpir bersamaan. "Siapakah mereka?" bertanya Arum pula Juwiring menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu." Arumpun ke mudian berdiri. Dilihatnya beberapa buah obor itu berjalan beriringan. Tidak banyak. Ada tiga buah yang jaraknya agak berjauhan. "Mereka menuju ke mari" desis Buntal yang telah berdiri pula. "Ya. Obor itu menuju ke mari."
Ketiganyapun ke mudian berdiri ter-mangu2. Mereka me mandangi obor yang se makin la ma menjadi se ma kin de kat itu dengan saksa ma. "Mereka akan melewati ja lan ini" berkata Arum ke mudian Juwiring merenung sejenak, la lu "Kita bersembunyi." "Menyingkir?" beritanya Arum. "Tidak. Aku ingin melihat siapakah mereka." Buntal menganggukkan kepa lanya sambil berguma m "Ya kita bersembunyi dibalik se mak2 untuk melihat, siapakah mereka itu." Demikianlah ketiganyapun ke mudian segera bersembunyi di-balik se ma k2 yang rimbun. Apalagi didala m gelapnya ma la m. "Hati2lah, jangan menimbulkan suara apapun yang dapat menarik perhatian mereka" berkata Juwiring. Kedua adik2 seperguruannya itu tida k menjawab. Tetapi mereka menyadari, bahwa apabila mereka me mbuat kesalahan, maka akibatnya (tidak dapat dibayangkan karena mereka t idak me ngetahui siapakah yang akan lewat itu. Arum yang telah mendapat pengalaman dari kesulitan yang diala minya dihutan tertutup itupun menjadi agak ber-hati2. Apalagi apabila mere ka berhadapan dengan orang2 yang sama sekali tidak diketahuinya. Mungkin perampok2, mungkin prajurit2 yang sedang mengejar perampok atau mencari apapun, (tetapi mungkin juga orang2 asing yang kadang2 dapat menjadi buas menghadapi gadis2, seperti cerita yang pernah didengarnya. Bahkan ketika obor2 itu menjadi sema kin dekat, Arum telah menahan nafasnya, agar tidak terdengar oleh orang2 yang ke mudian lewat di jalan dipinggir pategalan itu. Ketiga anak2 muda itupun ke mudian me mperhatikan sebuah iring2an yang mendebarkan jantung. Sebagian
terbesar dari mereka adalah laki2 bersenjata Bahkan ada diantara mereka yang berpakaian seperti prajurit Surakarta. Sedang dibagian tengah dari iring-iringan itu, adalah beberapa orang perempuan dan bahkan anak2. Hampir saja Arum me mbuka mulutnya untuk bertanya kepada Buntal yang ada disebelahnya. Untunglah bahwa ia segera sadar sehingga niatnya itupun diurungkannya. Namun yang paling tegang dari ketiga anak2 muda itu adalah Juwiring. Dibawah cahaya obor yang menerangi terutama dibagian pere mpuan dan anak2 itu, dilihatnya seorang yang pernah dikenalnya. Sejenak ketiganya seakan2 telah me mbeku. Tetapi dengan de mikian mereka berhasil tida k menarik perhatian orang2 yang lewat beberapa langkah saja dihadapan mereka. Baru ketika iring2an itu sudah lewat agak jauh, ketiga anak2 muda itu bangkit dari perse mbunyiannya Perlahan2 mereka bergeser maju. Dengan hati2 mereka menyusup diantara semak2 dan muncul dijalan yang baru saja dilalui oleh iring2an yang mendebarkan jantung itu. "Siapakah mereka ?" desis Arum, Buntal mengge lengkan kepalanya. Katanya "Aku tidak tahu" "Apakah belum ada orang yang kau kenal sa ma seka li ?"
Sekali lagi Buntal mengge leng. Katanya "Belum. Aku belum pernah mengenal mereka." Arum menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ketika ia berpaling kepada Juwiring, dilihatnya didala m kesura man ma la m, anak muda iiu merenung. "Apakah ada yang kau kenal ?" bertanya Arum kepada Juwiring. Juwiring t idak segera menjawab. Ia masih me mandang cahaya obor dikejauhan, yang se-akan2 bagaikan seberkas bara yang berterbangan didala m gelapnya mala m. Bahkan Arum berdesis seperti kepada diri sendiri "Seperti beberapa ekor burung ke ma mang." Juwiring meng-angguk2. Katanya kemudian "Se-akan2 aku pernah mengenainya salah seorang dari mereka." "Siapa "." bertanya Buntal dan Arum ha mpir bersamaan. "Yang berjalan diluar iring2an. Kebetulan saja ia me lintas disebelah obor yang ada didepan pere mpuan dan anak2 itu." "Ya siapa ?" Arum tidak sabar. "Juga seorang bangsawan" "Bangsawan " Siapa " Raden Rudira " Atau siapa " Laki-laki atau perempuan ?" bertanya Arum. Juwiring masih belum menjawab, sehingga Arum mendesaknya lagi "Yang. kau maksudkan seorang laki2 atau seorang perempuan " "Seorang laki2" desis Juwiring. "Na manya " Tentu ia me mpunyai na ma." "Raden Mas Said." "Raden Mas Said" Arum dan Buntal me ngulang. "Siapakah Raden Mas Sa id itu?" bertanya Buntal.
Juwiring menarik nafas dalam2. Katanya "Aku tidak yakin, apakah aku benar. Tetapi jika benar ia Raden Mas Said, maka ia adalah puteranda pa man Aria Mangku Negara." "Tetapi apakah yang dilakukannya dengan perempuan dan anak2 itu ?" "Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik sikapnya, apabila ia benar2 Raden Mas Said, maka ia pasti sedang menyingkir dari Surakarta. Laki2 bersenjata itu adalah pasukannya dan perempuan itu pasti keluarga mereka. Sikap pa manda Aria Mangku Negarapun sudah jelas bagi Surakarta." Buntal menarik nafas dalam2. Sa mbil meng-angguk2kan kepalanya ia berkata "Ternyata bahwa Surakarta benar2 terbelah. Bahkan keluarga Ranakusumapun terbelah " "Lebih dari itu Buntal. Banyak diantara para bangsawan yang hatinya sendiri terbelah. Penuh ke-ragu2an dan tidak menentu. Bahkan tidak tahu apa yang sedang dila kukannya" Buntal meng-angguk2kan kepalanya. Ia dapat me mbayangkan betapa kacaunya sikap para bangsawan dan pimpinan pemerintahan di Surakarta. Prasangka, curiga mencurigai, dan saling menfitnah. Setiap orang dapat menanggapi keadaan sesuai dengan kepentingan masing2. Tetapi bahwa api mulai berkorbar di Surakarta, agaknya sudah tidak dapat diingkari lagi. Dala m pada itu Arumpun ke mudian bertanya "Lalu apa yang harus kita lakukan?" "Se mentara ini tidak berbuat apa2" berkata Raden Juwi-miir "Kita melanjutkan perjalanan. Mala m ini kita akan mene mukan rumah Kia i Sarpasrana. Ternyata banyak ceritera yang dapat k:ta katakan kepadanya. Mungkin ia tahu agak banyak tentang pasukan yang baru saja lewat" Marilah" sahut Arum. "Kita jangan terlampau la ma berdiri saja disini sa mbil berbicara tanpa ujung pangka l."
"Ya. Kita melanjutkan perjalanan. Mungkin kita harus segera berbuat sesuatu apabila kita sudah bertemu dengan Kiai Sarpasrana." Ketiga anak2 muda itupun ke mudian meneruskan perjalanan mereka ke Sukawati. Meskipun mereka telah mene mpuh perjalanan yang cukup panjang, namun karena ke mauan yang mantap didala m liati, maka tampaknya mereka sama sekali tida k menjadi le lah. Apalagi tubuh mereka telah cukup terlatih, sehingga mereka ma mpu mengatur tenaga yang ada didala m diri mereka se-baik2nya. Disepanjang perjalanan mereka ke mudian, hampir t idak seorangpun yang berbicara. Mereka berjalan saja dengan langkah yang cepat. Angan2 mereka ternyata telah dipengaruhi oleh bayangan mereka masing2 tentang iring2an yang baru saja mereka lihat. "Ada yang membawa senjata api" berkata Juwiring didala m hatinya, karena secara kebetulan pula ia me lihat seseorang didala m iring2an itu me mbawanya "tentu didapatnya dari orang asing-asing itu dengan ke kerasan." Tetapi Raden Juwiring tida k mengatakannya kepada kedua adik seperguruannya. Demikianlah, tanpa beristirahat lagi, merekapun me masuki tlatah Sukawati. Karena itu, mereka menjadi se makin berhati2. Sukawati agak berbeda dari padukuhannya. Meskipun Sukawatipun termasuk daerah yang tidak banyak diganggu oleh penjahat, namun agaknya Sukawati me mpunyai persiapan yang khusus me nghadapi keadaan yang sema kin me muncak di Surakarta. Apalagi merekapun sadar, bahwa banyak orang2 di Sukawati yang me miliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga apabila mereka kurang ber-hati2, maka mereka akan terjerumus kedala m kesulitan.
Karena itu, agar mereka tida k me mbuat sa lah paha m, maka mereka berkeputusan untuk langsung pergi kegardu yang pertama2 akan mereka temui dan langsung bertanya, dimanakah rumah Kiai Sarpasrana yang juga sering disebut Kiai Sarpa Treng. "Belum tengah mala m" bisik Buntal ketika ia menengadahkan kepa lanya melihat bintang2 yang bersinar di langit "Ya" sahut Juwiring "bintang Gubug Penceng sudah ha mpir tegak lurus. Sebentar lagi kita akan menginjak tengah mala m. Dan mudah2an kita sudah sa mpai pada Kiai Sarpasrana." Arum meng-angguk2kan kepalanya menyahut sa ma sekali. meskipun ia tidak
Demikianlah, ketika mereka melihat cahaya obor digardu perondan, maka mere kapun langsung mengha mpirinya. Lebih baik mereka bertanya lebih dahulu daripada mereka dicurigai oleh para peronda itu. Para peronda yang ada didala m gardu itupun terkejut. Mereka segera berloncatan turun ketika mereka me lihat tiga orang anak muda yang belum mereka kenal me ndekati gardu mereka. "Siapakah kalian ?" bertanya pemimpin peronda itu. "Ka mi datang dari Jati Sari Ki Sana k" Juwiringlah yang menyahut "Siapa ?" "Na maku Juwiring. Keduanya adalah adikku." Peronda itu ter-mangu2 sejenak, sedang Juwiring menjadi berdebar. Ia tidak sempat menye mbunyikan namanya, apalagi me mbuat na ma buat Arum jika ia dipaksa untuk menyebutnya.
"Mudah2an mereka tidak mengenal Raden Juwiring dari Ranakusuman" berkata Juwiring dida la m hatinya. Untunglah bahwa peronda itu sama sekali tidak me mpersoalkan na manya dan t idak bertanya pula na ma kedua adik seperguruannya. Yang ditanyakan kemudian adalah "Ke manakah ka lian akan pergi dima la m begini ?" "Ka mi ke mala man di jalan. Ki Sana k. Tetapi kami tidak berani berhenti dan bermala m dija lan. Karena itulah ka mi me ma ksa diri untuk meneruskan perjalanan." "Kalian akan pergi ke mana ?" desak peronda itu. "Ka mi akan mengunjungi pa man Sarpasrana yang juga disebut Sarpa Ireng Karena kami belum pernah melihat rumahnya, maka ka mi sengaja datang ke gardu ini. Juga agar tidak timbul salah paha m, karena kami me masuki padukuhan ini ditengah ma la m. " Peronda itu merenung sejenak. Ke mudian iapun berpaling kearah kawan2nya, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan sesuatu. "Apa hubungan kalian dengan Kiai Sarpasrana ?" bertanya peronda itu. "Ayahkulah yang me mpunyai hubungan dengan Kiai Sarpasrana, tetapi tidak lebih dari seorang sahabat. Sekarang aku disuruh oleh ayahku untuk datang mene muinya. Tetapi kami belum pernah melihat rumahnya." "Apakah kepentinganmu atau kepentingan ayahmu itu ?" "Tida k ada kepentingan apa2. Ayahku sudah lama tidak bertemu Lalu disuruhnya aku menengoknya, apakah Ki Sarpasrana sehat2 saja."
Peronda itu menjadi ragu2. Ditatapnya saja wajah Juwiring yang menjadi se makin ke-merah2an oleh cahaya obor digardu pemuda itu. "Orang ini tentu tidak a kan berani berbohong" berkata prajurit itu didala m hatinya "Kiai Sarpasrana bukanlah orang kebanyakan. Seandainya orang2 ini berhasil mene muinya, tentu mereka tidak akan berani berbuat jahat. Seandainya mereka berani, maka merekapun pasti akan segera dibinasakan oleh Kia i Sarpasrana dan murid2nya." Dala m ke-ragu2an itu, ia ke mudian bertanya lagi "Apakah benar kalian tidak bermaksud apa2?" "Tentu" jawab Juwiring "ka mi akan mengunjunginya. Hanya mengunjunginya saja. Tentu kami tidak akan dapat berbuat maca m2 dihadapan Kia i Sarpasrana." Peronda itu menarik nafas dalam2. Anak muda itu se-olah2 dapat me mbaca isi hatinya. Dan sejenak ke mudian ia berkata "Baiklah. Tetapi jangan mencoba mencelaka i dirimu sendiri dengan perbuatan yang aneh2 dihadapan Kiai Sarpasrana. Jika kalian berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, maka kalian pasti akan me nyesal, karena Kiai Sarpasrana adalah orang yang keras. Sangat keras." Juwiring menganggukkan kepalanya sambil menyahut "Tentu. Ka mi tidak akan mencelakai diri ka mi sendiri." Peronda itupun ke mudian menyuruh dua orang kawannya untuk mengantar Juwiring dan adik2 seperguruannya kerumah Kiai Sarpasrana yang juga disebut Kiai Sarpa Ireng. Namun disepanjang jalan para peronda itupun cukup ber-hati2. Dipersilahkannya Juwiring dan kedua adik seperguruannya itu berjalan didepan. Ternyata untuk mencapai rumah Kia i Sarpasrana mereka masih harus berjalan beberapa lamanya. Mereka masih me lalui beberapa gardu peronda dan sebuah bulak kecil,
karena Kiai Sarpasrana itu terletak disebuah padukuhan kecil yang terpisah dari padukuhan induk Sukawati. "Itulah rumahnya" berkata peronda yang mengantar ketiga anak2 muda itu "ber-hati21ah. Kiai Sarpasrana adalah orang yang dihormati. Meskipun tampa knya ia agak kasar, tetapi ia adalah orang yang baik. Ia mengerti perasaan orang2 Sukawati sehingga karena itulah maka iapun de kat dengan Pangeran Mangkubumi." "O" Juwiring menganggukkan kepalanya. "Dida la m olah kanuragan, iapun me miliki beberapa kelebihan meskipun aga knya ia be lum mendekati Pangeran Mangkubumi" Ketiga anak muda itu masih me ng-angguk2. Sekilas terbayang wajah seorang tua yang keras hati. Namun melintas juga bayangan seorang Pangeran yang luar biasa, yang pilih tanding. Bahkan me nurut beberapa orang, Pangeran Mangkubumi me miliki beberapa maca m ilmu yang jarang dikuasai oleh orang la in. "Tetapi apakah Kiai Sarpasrana tidak menjadi marah karena kedatangan kami ditengah mala m begini?" tiba-tiba saja Buntal bertanya. "Jika kau me mpunyai alasan yang kuat, ma ka Kiai Sarpasrana tentu tidak akan marah Bagi orang yang belum mengenalnya, sikapnya memang seperti orang yang sedang marah. Tetapi kemudian sikap itu akan berubah. Apakah kau sudah sering berte mu dengan orang itu ?" Juwiring menggelengkan kepa lanya. "Apakah ayahmu juga berpesan kepada mu. tentang sifat dan kebiasaan Kiai Sarpasrana itu ?" Juwiring ragu2 sejenak. Na mun ke mudian jawabnya "Hanya sedikit. Tetapi ka mi sudah me mpunyai ga mbaran tentang orang itu."
"Jadi ka lian sa ma sekali belum pernah mene muinya" Maksudku jika seka li2 Kiai Sarpasrana itu berkunjung kepada ayahmu yang kata mu ada lah sahabatnya ?" "Belum. Ka mi me mang be lum pernah berte mu dengan Kiai Sarpasrana. Tetapi menurut pesan ayahku, jika aku menyebut bahwa aku adalah anak2nya, maka Kiai Sarpasrana pasti akan segera mengenal aku." Peronda itu meng-angguk2Dala m pada itu, merekapun sudah berdiri didepan regol halaman rumah Kia i Sarpasrana. Hala man yang cukup luas dengan berbagai macam pepohonan. Didala m gelapnya ma la m Juwiring t idak segera dapat mengenal, pohon apa sajalah yang tumbuh di halaman rumah itu. "Masuklah" berkata peronda itu "regol ini t idak pernah diselarak." Juwiring ragu2 sejenak. Lalu iapun bertanya "Apakah kalian tidak masuk." Peronda itupun menjadi ragu2 pula. Namun salah seorang dari mereka berkata "Baiklah. Marilah, kami antar kau mengetuk pintu pendapa." Demikianlah dengan hati2 mereka me mbuka pintu regol hala man Per-lahan2 mereka ma ju me lintasi hala man me nuju ketangga pendapa. "Naiklah, dan ketuklah pintu pringgitan" berkata peronda itu. Tetapi agaknya peronda itu sendiri ragu2 pula.
"Apa boleh buat" berkata Juwiring "ka mi sa ma sekali tidak berniat jelek." Tetapi ketika Juwiring baru menginjak anak tangga yang pertama, hampir saja mereka terlonjak karena terkejut. Peronda2 itu-pun terkejut pula ketika mereka mendengar suara seseorang dari kegelapan "Jangan mengetuk pintu." Semua orang berpaling kearah suara itu. Didala m kegelapan bayangan dedaunan mereka me lihat seseorang yang berdiri tegak dengan ka ki renggang. "O" peronda itu hampir berbareng berdesis. Kemudian yang seorang melanjut kan "ka mi sekedar mengantar tiga anak muda ini ingin menghadap Kiai Sarpasrana" "Dima la m hari begini " Apakah kau sangka Kia i Sarpasrana itu sebangsa ular yang tidak pernah tidur " Dan apabila sudah mulai tidur sebulan sa ma se kali tidak terbangun ?" "Tetapi, tetapi anak2 ini akan dapat memberikan penjelasan lenapa mereka baru sampai disini ditengah ma la m." "Penjelasan atau tidak dengan penjelasan, ternyata kalian datang tengah malam. Kalian sebenarnya mempunyai otak untuk berpikir bahwa dimala m begini pada umumnya seseorang sedang tidur." "Tetapi ada juga yang karena sesuatu hal belum tidur." Juwiring mencoba menyahut "misalkan ka mi dan maaf, barangkali Ki Sanak juga" "Persetan" geram orang itu "itu bukan bicara seseorang yang cukup bijaksana. Sekarang kalian harus pergi sebelum Kiai Sarpasrana merasa terganggu." "Tetapi" Juwiring masih ingin menjelaskan lebih lanjut. Agar ia segera mendapat perhatian, maka katanya "Tetapi kami adalah putera2 Kia i Danatirta di Jati Aking."
"He ?" orang itu agaknya me mang menaruh perhatian atas nama itu Na mun ke mudian ia berkata "Siapapun kalian, namun ka lian t idak dapat mengganggu Kiai Sarpasrana." "Ki Sanak" berkata Juwiring "sebenarnya kami me mang tidak ingin mengganggu. Tetapi kami terpaksa datang kerumah Kiai Sarpasrana ditengah mala m. Jika ka mi se mpat mene muinya, ka mi akan dapat me mberikan keterangan tentang perjalanan ka mi." Orang itu dia m sejenak. Lalu "Pergilah. Sebaiknya kalian pergi saja dari halaman rumah ini. Sebaiknya para peronda itu ke mbali saja kegardu kalian." Para peronda itu ter-mangu2. "Ke mbalilah. Kalian me mbawa orang2 ini. Dan orang2 ini sudah sampai kepadaku. Tinggalkan mereka. Aku akan me ma ksa mereka pergi. Tetapi tugasmu sudah selesai. Ka lian tidak akan bersangkut paut lagi dengan anak2 gila ini." Para peronda itupun ke mudian melangkah surut sa mbil berkata "Baiklah. Ka mi minta diri. Ka mi sekedar menunjukkan ketiga anak muda ini." "Baiklah. Pergilah sebelum Kiai Sarpasrana bangun dan marah pula kepadamu" Para peronda itu memandang Juwiring, Buntal dan Arum ber-ganti2. Namun merekapun ke mudian melangkah surut sambil berkata "Ka mi sudah me mbawa kalian sa mpai ketempat yang ka lian cari." "Terima kasih" sahut Juwiring. Para peronda itupun ke mudian dengan ter-gesa2 pergi. Ketika mereka sudah hilang dibalik pintu regol, maka orang didala m kegelapan itu berkata lagi "Kalianpun harus cepat pergi. Jika Kiai Sarpasrana mengetahui bahwa dengan sangat bodoh kalian minta agar Kiai dibangunkan, maka ia pasti akan marah sekali. Bukan karena ia dibangunkan, karena meskipun
tidak, tetapi jika ia mengetahui pikiran gila mu untuk me mbangunkannya ditengah mala m, ia akan marah. Meskipun baru didala m angan2mu seka lipun, jika itu dapat dimengertinya, ia pasti akan marah karena ada seseorang yang sama sekali tidak menghormatinya, yang berniat, jadi atau tidak jadi, untuk me mbangunkannya selagi ia tidur nyenyak." Juwiring menjadi ragu2 sejenak. Ditatapnya wajah Buntal yang kemudian menjadi tegang "Bagaimana ?" bertanya Juwiring kepada Buntal perlahanlahan sekali. "Me mang me mbingungkan. Tetapi jika kita dapat bertemu dengan Kiai Sarpasrana sendiri, kita akan se mpat mengatakan kepentingan kita, dan siapakah kita ini." "He, kenapa ka lian saling berbisik" bertanya orang didala m kegelapan itu "cepat pergi." "Tunggu Ki Sanak" Buntallah yang kemudian berbicara "Ka mi minta kesempatan untuk mengetuk pintu. Jika ke mudian Kiai Sarpasrana marah, biarlah marah kepada ka mi. Apapun yang akan dilakukan atas kami. ka mi tidak akan menge lak. Tetapi jika ka mi berkese mpatan mengatakan bahwa kami adalah anak2 Kia i Danatirta, mudah2an Kiai Sarpasrana tidak menola k kehadiran ka mi disini." "Persetan" geram orang itu "aku me mpunyai wewenang menerima atau menolak setiap orang yang akan mene mui Kiai Sarpasrana." "Tetapi siapakah Ki Sanak sebenarnya ?" "Aku adalah Putut Srigunting Aku me mpunyai ke kuasaan seperti Kiai Sarpasrana diha la man rumah ini." Juwiring me narik nafas dalam-dala m. Sejenak ditatapnya wajah Buntal yang tegang. Sementara Arum me mandang kedua anak2 muda itu berganti-ganti.
"Cepat pergi sebelum aku menjadi marah" berkata orang yang menyebut dirinya Putut Srigunting. "Ki Sanak" berkata Juwiring "apakah salahnya jika kami mencoba mene mui Kiai Sarpasrana." "Kalian benar2 tidak tahu sopan santun. Kau lihat bintang Gubug Penceng yang sudah bergeser ke Barat itu " Kini tengah mala m sudah lewat. Dan kalian akan mengejutkan Kiai Sarpasrana yang sedang tidur nyenyak?" Juwiring tida k segera menjawab. Ia me mang mengharap agar perbantahan itu menjadi se makin keras dan dapat me mbangunkan Kiai Sarpasrana. Jika Kiai Sarpasrana menengoknya keluar, dan bertanya tentang dirinya dan kedua adik seperguruannya, maka mereka tentu akan diterima, meskipun mungkin Kiai Sarpasrana akan me m-bentak2nya dengan kasar karena sifatnya. "He, kenapa kalian masih saja berdiri disitu ?" bertanya Putut itu. "Ki Sanak. Ba iklah. Jika ka mi tidak dapat diterima ma la m ini. biariah ka mi menunggunya sampa i fajar. Kami akan duduk saja dipendapa ini tanpa mengganggunya" berkata Juwiring ke mudian. Baginya itu lebih ba ik daripada pergi meninggalkan halaman rumah ini dan berkeliaran disepanjang jalan. Tetapi jawab Putut itu "Tida k. Kalian harus pergi. Aku tidak mau melihat kalian berkeliaran dihala man rumah ini Ka lian telah me mbuat halaman ini menjadi kotor. Kami tidak biasa menerima ta mu se maca m ka lian, apalagi me maksa untuk mene mui Kiai Sarpasrana dimala m hari. Hanya orang2 besar sajalah yang dapat menemuinya. Bukan petani2 miskin seperti kalian." Terasa dada ketiga anak2 muda itu berdesir. Ternyata ada alasan lain dari Putut Srigunting itu untuk menola knya. Dan penolakan itu benar2 telah menyakitkan hati. Karena itu maka Juwiringpun berkata "Ki Sanak. Jangan menghinakan ka mi
petani2 miskin. Apakah di Sukawati ini tidak ada petani miskin " Dan apakah Pangeran Mangkubumi juga me mbenci petani2 miskin" "Aku tidak peduli orang2 Sukawati. Aku tidak peduli sikap Pangeran Mangkubumi. Tetapi aku tida k dapat me mbiarkan kalian, petani2 miskin dari Jati Sari untuk mene muinya. Bukan Danatirta tinggal dipadukuhan Jati Aking di Kade mangan Jati Sari" " "Ya Ki Sanak." "Nah, pergi kepada Danatirta. Beritahukan bahwa ia tidak berhak me mbuat hubungan dengan Kiai Sarpasrana. Martabat keduanya tidak sa ma. Danatirta adalah seorang petani miskin yang tinggal dipadepokan kecil, kotor dan buruk. Tetapi Kiai Sarpasrana tinggal disebuah padukuhan tersendiri. Besar dan berpengaruh" Kata2 itu benar2 menyakit kan bati ketiga anak2 muda itu. Hampir saja Arum menjawabnya dengan marah. Tetapi ketika ia melangkah maju, Buntal se mpat mengga mitnya. "Ki Sanak" berkata Juwiring "ka mi tidak menyangka, bahwa kami akan mendapat sambutan yang begini hangat. Menurut Kiai Danatirta, kami akan diterima dengan baik oleh Kiai Sarpasrana, karena Kiai Danatirta adalah sahabat baik Kiai Sarpasrana. Tetapi yang kami jumpai justru sebaliknya." "Danatirtalah yang tidak tahu diri Ia membayangkan dirinya sejajar dengan Kiai Sarpasrana." orang itu berhenti sejenak, lalu "sekarang pergi Cepat pergi " "Baik" suara Juwiring menjadi bergetar "tetapi aku masih ingin mengatakan kepada mu Putut. Jika aku sempat bertemu dengan Kiai Sarpasrana sendiri, tentu kami tidak akan menjumpai sikap sekasar sikapmu. Mungkin Kiai Sarpasrana akan marah kepada ka mi. Tetapi ia me mang berhak marah. Dan ka mipun tidak a kan sakit hati karenanya. Tetapi kau, apa
hakmu marah kepada ka mi. Kau adalah seorang Putut. Seharusnya kau menya mpaikan persoalan ini kepada Kiai Sarpasrana. Jika kau tidak berani me mbangunkan, aku sendiri akan mengetuk pintu. Dan jika kau mendapat pesan agar Kiai Sarpasrana tidak diganggu, kau t idak usah bersikap begitu bodoh terhadap kami. Betapa rendahnya martabat Kiai Danatirta, tetapi ia adalah bapaku, guruku dan aku menghormat inya. Jika kau hinakan bapaku dan seka ligus guruku itu, maka adalah wajar sekali apabila aku merasa tersinggung karenanya." "O, kau merasa tersinggung. Danatirta-memang orang yang bodoh, yang mengirimkan ana k2 ingusan itu untuk datang kemari. Jangan kau sangka bahwa Kiai Sarpasrana akan menundukkan kepalanya jika ia mendengar nama Danatirta. Akupun mengenal orang yang bernama Danatirta itu. Nah, kalian mau apa ?" Juwiring yang masih muda seperti juga Buntal dan Arum itu ternyata sulit untuk menguasai perasaannya. Bagi Juwiring dan kedua adik2 angkatnya itu. Kiai Danatirta adalah orang yang paling dihormati. Karena itu, maka Juwiringpun berkata "Putut Srigunting- Aku tetap menghormati Kiai Sarpasrana, karena gurukupun menghormatinya. Tetapi maaf, aku sama sekali tida k dapat menghormatimu. Seharusnya kau masih belum pantas untuk menjadi seorang Putut. Kau masih harus magang untuk beberapa tahun lagi sebelum kau menjadi seorang cantrik. Apalagi Putut atau Jejanggan." Orang didala m kegelapan itu menggera m. Selangkah ia maju sa mbil berkata "Kau me mang gila. Aku adalah Putut Srigunting murid terpercaya dari Kiai Sarpasrana. Kau ternyata berani menghinakan a ku. Apakah kau sudah je mu hidup" "Ternyata kau bukan murid yang baik. Kepercayaan Kiai Sarpasrana telah kau sia2kan. Mungkin Kiai Sarpasrana tidak pernah melihat sikap sombongmu itu." Juwiring berhenti sejenak, lalu "me mang seorang budak yang bodoh kadang2
ingin bersikap garang me la mpaui tuannya. Tetapi dengan demikian setiap orang tahu, bahwa sebenarnyalah ia belum pantas mendapat sedikit kekuasaan yang sudah mulai di salah gunakan." "Dia m, dia m" orang itu berteriak. Juwiring terdia m. Tetapi ia menjadi heran. seorangpun yang terbangun di padepokan ituTidak
"Apakah Kiai Sarpasrana tidak ada dipadepokan ?" ia bertanya didalam hatinya. Namun yang terdengar adalah orang itu berkata lebih lanjut "Kau me mbuat aku marah. Jika sekali lagi kau me nghina akU, aku akan me mbunuhmu." "Aku tidak pernah berhasrat untuk menyombongkan diri. Aku sama sekali tida k pernah berniat untuk me ma merkan ilmu Jati Aking. Tetapi sudah sepantasnya kalau aku harus me mpertahankan diriku, me mpertahankan martabatku dan martabat guruku." "O, kau me mang ingin mati. Jika aku me mbunuh orang dipadepokan ini, tida k ada orang yang berani mengurusnya, karena tidak ada orang yang berani menentang Kiai Sarpasrana. Bahkan Pangeran Mangkubumipun tidak." "Dan hal itu bagimu merupakan alasan yang paling ba ik untuk berbuat se-wenang2." Juwiring yang marah menjadi gemetar karenanya. Bahkan Buntal merasa se-akan2 dadanya sudah retak oleh ke marahan yang meng-hentak2. Sedang Arum, yang merasa dirinya anak Kiai Danatirta mengatupkan giginya rapat2. Dala m pada itu orang didala m kegelapan itupun telah menggertakkan giginya. Dengan suara gemetar karena marah ia berkata "Aku tidak pernah berbuat se-wenang2. Tetapi aku dapat berbuat apa saja yang aku kehendaki dihala man padepokan Kiai Sarpasrana selama Kiai Sarpasrana tidak
me larang. Dan kini kau harus menyadari, bahwa Kiai Sarpasrana tidak mencoba mencegah aku meskipun a ku yakin bahwa Kiai Sarpasrana mendengar perbantahan ini. Dengan demikian, maka berarti bahwa umurmu tidak akan sa mpai besok pagi." "Dan kaupun jangan mengharap dapat melihat matahari terbit besok" Putut Srigunting tidak dapat menahan diri lagi. Tiba2 ia berkata lantang sambil me loncat menyerang "Kau me mang sombong sekali. Mulut mu me mang harus dire mas sa mpai lumat." Tetapi Juwiringpun sudah siap. Karena itu. ketika serangan itu me luncur kedadanya. ia masih se mpat menghindar. Bahkan dengan putaran diatas tumitnya, kakinya terayun mendatar menebas la mbung. Namun Purut Srigunt ingpun lincah se kali. Dengan loncatan ganda ia berhasil menghindari serangan Juwiring. Bahkan yang paling menyakitkan hati, ternyata bahwa ia tidak saja menghindari serangan Juwiring, tetapi sekaligus ia menyerang Buntal yang berdiri ter-mangu2. Buntal terperanjat menerima serangan itu Untunglah bahwa loncatan Putut itu tidak begitu cepat, sehingga Buntal masih sempat menjatuhkan dirinya dan menghindarkan serangan yang langsung mengarah ke dadanya. Dengan cekatan ia meloncat bangkit dan siap untuk menyerang Srigunting pula.
Tetapi Srigunting itu sudah meloncat menjauh. Sejauh ia menga mati lawan2nya. Kemudian sa mbil merendahkan dirinya ia merentangkan tangannya. Juwiring yang sudah mapan, mendahuluinya menyerang. Serangannya datang bagaikan hentakkan tenaga angin yang dahsyat. Namun Putut Srigunting masih ma mpu me nghindar dengan lincahnya bahkan sekaligus iapun mencoba untuk menyerang sasaran ketiga seorang anak muda yang sejak semula hanya berdiri sa mbil mengatupkan giginya rapat2. Juwiring terkejut melihat serangan itu. Hampir bersamaan dengan Buntal ia berteriak "Arum hati2" Arum me nyadari serangan itu berbahaya baginya. Karena itu, iapun segera meloncat kesa mping. Tetapi Putut itu masih akan menyerangnya. Ketika Putut itu menggerakkan tangannya, maka datanglah serangan bersama2 dari jurusan yang berbeda. Buntal meloncat dengan kaki mendatar mengarah kedada Putut itu. sedang Juwiring me mperguna kan sisi telapak tangannya menghantam tengkuk. Serangan Putut Srigunt ing itupun diurungkan karena ia terpaksa menghindari serangan Juwiring dan Buntal yang hampir bersamaan itu. Na mun ternyata bahwa Putut Srigunting benar2 lincah dan ma mpu bergerak secepat angin. "Bagus" katanya "kalian bertiga harus terlibat dalam perkelahian ini supaya ada alasanku untuk me mbunuh kalian. Jika yang lain tidak, maka sulitlah basiku untuk me mpertanggung jawabkan pe mbunuhan ini terhadap Kiai Sarpasrana." Ketiga anak-anak muda itu t idak me nyahut. Namun merekapun bertempur se makin sengit. Sedang Putut Sriguntingpun bergerak sema kin cepat pula. Perkelahian itu se makin la ma menjadi se makin dahsyat. Ketiga anak-anak muda itu mengerahkan se"enap
ke ma mpuan mereka. Bukan saja untuk me mpertahankan hidup mere ka, tetapi juga martabat perguruan Jati Aking. "Inilah murid2 Jati Aking" berkata Putut itu "kalian bertiga tidak dapat mengalahkan aku." "Ka mi bukan murid yang paling baik di Jati Aking" sahut Buntal "jika ka mi bertiga tidak dapat segera membunuhmu, bukanlah salah perguruan Jati Aking. Tetapi itu adalah karena kebodohan ka mi- Tetapi dengan demikian. Jati Aking akan mengirimkan muridnya yang terbaik untuk me mbunuhmu pula pada suatu saat. " "O" Putut itu tertawa "jangankan muridnya terbaik. Aku ingin Danatirta sendiri datang ke mari." "Persetan" Arum tidak dapat menahan diri lagi, sehingga iapun menggera m sa mbil menyerang. Putut Srigunting se mpat menghindari serangan Arum. Bahkan ia masih juga tertawa dan berkata "Nah, aku sudah menduga, seorang dari kalian bukannya seorang laki2. Bukankah yang bernama Arum ini seorang perempuan. Bagus, perguruan Kia i Sarpasrana tidak me mpunyai murid seorang gadis. Kau harus tinggal disini dan menjadi seorang endang." "Tutup mulutmu" gera m Buntal Serangannya menjadi semakin dahsyat disusul oleh serangan2 Juwiring dan Arum berurutan seperti datangnya banjir bandang. Tetapi ternyata bahwa Putut itu benar2 lincah dengan cekatan. Ia masih saja ma mpu me nghindarkan dirinya dari serangan2 yang datang beruntun itu. Bahkan sekali2 ia masih juga sempat menyerang sambil berbicara "Jika a ku me mbunuh kedua laki2 ini, maka kia i Sarpasrana tentu akan menghadiahkan gadis ini kepadaku." "Jangan mengigau" bentak Juwiring. Na mun betapa ia mengerahkan tenaganya, namun Putut itu masih juga ma mpu menghindarkan dirinya.
Perkelahian itu se makin la ma menjadi se makin cepat. Serangan anak Jati Aking itupun menjadi se makin dahsyat pula. Namun Putut Srigunting me mang ma mpu bergerak seperti seekor burung Srigunting. Cepat dan serangan2nya benar2 berbahaya Juwiring yang paling tua dari ketiga anak2 muda itu mulai menilai keadaan. Sebenarnyalah bahwa Putut Srigunting me mpunyai banyak kelebihan dari mereka bertiga ber-sa ma2. Serangan2 yang dilancarkannya, sepenuh tenaga dan ke ma mpuan, sama sekali tida k berhasil menyentuhnya. Bahkan sekali2 tubuh mereka justru telah mulai disentuh oleh tangan Putut Srigunting itu. Namun demikian, untuk menjunjung na ma perguruan mereka, Juwiring tidak akan meningga lkan gelanggang. Apalagi Putut itu tahu benar, bahwa ketiganya datang dari Jati Aking, murid2 Kiai Danatirta. Karena itu. Juwiring telah me mbulatkan tekadnya, ia akan berkelahi sampai ke mungkinan yang terakhir, meskipun benar-benar seperti yang dikatakan oleh Putut itu, bahwa ia t idak akan dapat lagi me lihat esok pagi. Tetapi ternyata bahwa Putut itu benar2 lincah dan cekatan. Ia masih ma mpu menghindarkan dirinya dari serangan2 yang datang beruntun itu. Ternyata Buntalpun telah berpendirian demikian pula. Dikerahkan segenap kema mpuan yang ada padanya untuk me mpertahankan dirinya dan martabat perguruannya Karena itu maka iapun sa ma seka li tida k menghiraukan lagi, apakah yang akan terjadi atas dirinya diakhir perkelahian ini. Tetapi yang paling ge lisah adalah Arum. Ia mulai menyadari kebenaran yang dikatakan oleh ayahnya. Ketika ia berada dihutan perburuan yang tertutup itu, ia masih dapat menge lakkan peristiwa itu sebagai suatu ketidak-sengajaan. Tetapi kini ia pasti, bahwa Putut Srigunting bukan se kedar
tidak sengaja, tetapi justru dirinyalah yang menjadi sasaran setelah Putut itu mengetahui bahwa ia adalah seorang gadis. Namun dengan demikian, Arum menjadi sema kin mua k. Iapiun berte mpur se ma kin cepat. Serangan2nya datang beruntun isi mengisi dengan kedua kaka k seperguruannya. Tetapi serangan2 itu se-akan2 tidak berarti sama sekali bagi Putut Srigunting Ia ma mpu bergerak lebih cepat lagi. Serangan ketiga orang bergantian yang datang kepadanya, sama seka li tidak dapat mengenai sasarannya. Juwiring mulai menjadi ge lisah. Bukan karena dirinya sendiri. Ia sadar, bahwa ia tidak perlu me mpertanggung jawabkan dirinya sendiri apabila ia terbunuh diperkelahian ini. Tetapi bagaimana dengan Arum. Jika Arum benar2 akan dipaksa untuk tinggal dipadepokan ini, maka pertentangan inipun akan menjalar menjadi se makin besar. Kiai Danatirta tentu tidak akan tinggal dia m. Dan ia pasti akan berjuang untuk menga mbil anaknya. "Alangkah bodohnya aku" berkata Juwiring didala m hati "ternyata aku tidak dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Jika hal ini dapat ditebus dengan mati, persoalannya akan segera selesai. Tetapi bagaimana dengan Arum" Bukan saja Juwiring yang digelisahkan oleh pikiran itu. Tetapi juga Buntal. Hatinya serasa terbakar mendengar kata2 Putut Srigunting itu. Se-akan2 Putut itu dengan sengaja menghinanya. Tetapi se muanya itu harus diselesaikan dengan kekerasan. Tidak ada jalan penyelesaian lain kecua li bertempur mati2an. Dengan de mikian, maka perte mpuran itu se makin la ma menjadi se makin dahsyat. Juwiring, Buntal dan Arum adalah murid2 Kiai Danatirta yang sudah diberinya bekal yang cukup. Namun menghadapi Putut Srigunting, ketiganya se-akan2 tidak berdaya-Mereka sama sekali tida k ma mpu berbuat apa2, selain menghindari serangan2 Putut itu. Bahkan kadang2
mereka bertiga menjadi bingung dan yang dapat mereka lakukan hanyalah menghindarkan diri jauh2, sebelum mereka dapat menyusun diri mereka ke mbali. Setiap kali terdengar Putut itu tertawa nyaring. Suara tertawa yang sangat menyakitkan hati. Suara tertawa yang seakan2 dengan sengaja diperdengarkan untuk me manaskan hati ketiga anak2 muda. dari Jati Aking itu. Akhirnya Juwiringpun sa mpai kepada puncak usahanya. Tidak ada jalan lain baginya untuk menyela matkan Arum selain dengan terpaksa sekali me mpergunakan senjata2 mereka. Apabila mungkin tanpa membunuh seseorang, tetapi jika itu harus terjadi, apaboleh buat. Karena itu, ketika Juwiring sudah tidak lagi dapat berbuat lain, maha betapapun beratnya dan betapa semula ke-ragu2an me mbe lit hatinya, akhirnya Juwiring telah menggengga m kerisnya. "Ha" Putut Srigunt ing tertawa pula "kau sekarang bersenjata" "Apaboleh buat" berkata Juwiring "kegilaanmu me mang harus dihentikan. Kau tentu berbuat serupa dengan orang2 lain yang bermaksud baik. Orang2 yang tidak se mpat menghadap Kia i Sarpasrana karena pokalmu." "Jangan banyak bicara. Ayo, kalau kau ingin berke lahi dengan senjata, lakukanlah."
Juwiring t idak me njawab lagi. Dengan hati2 ia mendekati lawannya dengan senjata ditangannya. Ia sadar, bahwa dengan demikian ia dapat me ma ksa Putut Srigunting itu untuk me mperguna kan senjatanya pula, namun ia me mang harus berkelahi mati2an. Apapun yang akan terjadi. Bahkan ia sadar sepenuhnya bahwa jika ia harus menyelamatkan Arum dengan me lukai atau me mbunuh Putut itu, ma ka tanggapan Kiai Sarpasrana tentu tidak akan sebaik yang diharapkan "Mudah2an Kiai Sarpasrana benar2 berjiwa besar. Dan dapat mendengar dan mengerti apa yang telah terjadi." Dala m pada itu, karena Juwiring telah menggengga m kerisnya, maka ha mpir diluar sadarnya, Buntal dan Arumpun telah bersenjata pula. Dengan dada yang bergelora mereka mengepung Putut Sri gunt ing dari tiga arah. Putut Srigunting me mperhatikan ketiga lawannya yang kini telah bersenjata itu dengan saksa ma. Kini ia benar2 harus berhati2. Tiga ujung keris dari Jati Aking itu dapat benar2 me mbunuhnya apabila ia tergores meskipun hanya seujung rambut. Sejenak kemudian, Juwiring yang me mimpin kedua adik seperguruannya itu mulai menyerang ke mbali disusul oleh Buntal dan Arum. Meskipun ta mpak ketiga anak2 muda itu masih ragu2 me mpergunakan senjatanya, namun dengan keris ditangan, Putut Srigunting tida k dapat lagi dengan leluasa bergerak. Bahkan ketika mereka sudah terlibat lagi dala m pertempuran yang sengit, tampaklah Putut Srigunting mulai terdesak-Tiga ujung keris ditangan ketiga anak2 muda itu benar2 berbahaya baginya. Juwiringpun me lihat hal itu. Setapak demi setapak ketiga anak anak muda itu dapat mendorong Putut Srigunting kesudut hala man.
"Kau akan mati" berkata Juwiring "kecua li jika kau bersedia menya mpaikan kedatanganku kepada Kiai Sarpasrana." Putut Srigunting tidak menjawab. Tetapi ia masih saja bertempur terus dengan se kuat tenaganya. Namun ia masih tetap lincah dan cekatan menghindari serangan2 ketiga anak2 muda itu. Bahkan sekali2 ia masih ma mpu menyerang, mene mbus putaran ketiga ujung keris anak2 muda itu. Tetapi lambat laun, semakin jelas, bahwa Putut Srigunting tidak akan dapat melawan ketiga anak2 muda yang bersenjata itu. Meskipun demikian Juwiring dan kedua adik2nya menyadari bahwa Putut Srigunting masih be lum me mpergunakan senjata. Agaknya ia benar2 seorang yang sangat sombong, yang ingin menghadapi ketiga lawannya dengan tanpa senjata. Tetapi Putut Srigunting t idak dapat bertahan terus. Karena ia selalu terdesak, dan bahkan akhirnya ia sudah tersudut pada dinding hala man, ia tidak dapat berbuat lain daripada me lawan juga. dengan senjata. Dala m keadaan yang sulit, tiba2 saja Putut Srigunting itu berbuat sesuatu yang mengejutkan sekali. Ketika ia berdiri tersandar dinding hala man yang tinggi, sedang ketiga ujung keris anak2 muda yang melawannya itu teracu kepadanya, Putut Srigunting ta mpaknya tidak akan lagi dapat berbuat apapun. Dalam keadaan itu Juwiring masih se mpat berkata "Putut Srigunting. Sejak semula ka mi tidak ingin berkelahi. Kamipun tidak ingin mencela kai siapapun, apalagi me mbunuh. Satu2nya keinginan ka mi adalah bertemu dengan Kiai Sarpasrana. Karena me mang itulah tujuan kedatangan, ka mi" Putut Srigunting tidak menjawab. "Karena itu, Putut Srigunting. Meskipun ka mi akan dapat me mbunuhmu se karang, namun ka mi masih tetap ingin menghindari nya. Berjanjilah bahwa kau akan menyampaikan kedatangan ka mi kepada Kiai Sarpasrana."
Putut Srigunting itu me mandang ketiga lawannya dengan wajah yang tegang. Namun tiba2 saja ia berkata "Anak2 yang bodoh. Jika Kiai Sarpasrana bersedia menerima kedatangan kalian, aku tentu tidak usah menyampa ikan kepadanya sekarang. Ia tentu mendengar apa yang terjadi. Karena itu, jangan berbuat sia-sia. Pergilah dan katakan kepada Danatirta bahwa ia tidak berhak berhubungan dengan Kia i Sarpasrana sekarang" "Jangan menghina lagi" Juwiring me mbentak "tangan ka mi sudah ge metar. Kami akan mengala mi kesulitan untuk menahan perasaan ka mi." "Jangan berbuat bodoh. Pergi sajalah dari ha la man ini." "Tida k" Buntallah yang menjawab "kita harus me mbuat sebuah perjanjian. Perjanjian jantan yang harus kita tepati. Kita akan melepaskan kau jika kau berjanji untuk me mbawa kami menghadap. Apapun yang akan dilakukan oleh Kiai Sarpasrana atas kami, sa ma seka li bukan urusanmu lagi." "Persetan. Kalian tidak dapat me maksa aku Biarlah aku menga la mi apapun juga, tetapi aku akan tetap pada pendirianku. Dan aku sudah bertekad untuk me mbunuh kalian." "Kau tida k akan mendapat kesempatan lagi. Ujung keris kami telah siap untuk menerka m dada mu. Apakah kau akan mengingkari kenyataan ini?" "Kenyataan apakah yang sedang aku hadapi sekarang" Kalian benar2 anak-ana k yang bodoh. Apa yang dapat kau lakukan atasku sekarang. ?" "Apakah kau tidak melihat kenyataan ini" Buntal menjadi tidak sabar lagi. Dan bahkan Arum mena mbahkan "Agaknya kau ingin me milih mati." Orang itu masih dapat tertawa- Katanya "Apa artinya mati bagiku " Tetapi ka lian tidak dapat me mbunuh aku. Aku adalah
Putut Srigunting. me lakukannya."
Cobalah jika kalian me mang dapat Suara tertawanya me mang benar2 menyakitkan hati. Karena itu, maka Juwiring ingin me mbungka m suaranya itu meskipun ia tidak benar2 ingin me mbunuhnya, karena ia masih me mpertimbangkan ke mungkinan yang dapat terjadi jika Kiai Sarpasrana kehilangan Putut yang agaknya paling dipercayainya. Dengan sebuah gerakan mendatar Juwiring mengayunkan kerisnya. Ia me mang tida k ingin me nggoreskan keris itu ditubuh Putut Srigunting, sehingga karena itu, keris itu sama sekali t idak me nyentuhnya. Namun Putut itu benar2 telah me mbakar hati ketiga anak muda itu. Ia masih saja tertawa dan berkata "Kalian tidak akan berani menyentuh tubuhku. Sentuhan kerismu berarti mati Dan kalian tidak a kan berani me mbunuhku dihala man padepokan ini karena kalian tidak akan dapat me mpertanggung jawabkannya kepada siapapun. Kepada Kiai Sarpasrana dan kepada Ki Demang di Sukawati. Karian adalah penjahat2 yang me mbunuh orang dirumahnya sendiri." "Kau me mang gila" Juwiring menggera m "tetapi aku dapat me mbuat mu jera tanpa me mbunuhmu." Dengan ke marahan yang serasa menghentak dadanya, Juwiringpun ke mudian me loncat menyerang orang itu dengan kakinya. Serangan yang cepat dan keras sekali, sambil mengerahkan ilmu dan ke kuatan yang ada padanya. Tetapi orang itu se mpat menghindar kesamping sehingga kaki Juwiring justru mengenai dinding batu yang kuat itu. Karena itulah ma ka Juwiring menge luh tertahan. Rasa2nya kakinya akan retak karenanya Ternyata dinding itu tidak roboh karenanya, meskipun kekuatan Juwiring yang mengagumkan itu ma mpu me ngguncang dan me mbuat sebuah retak kecil me mbujur kebibir atas.
"Bukan ma in" Putut itu masih se mpat berkata "kekuatanmu adalah kekuatan raksasa." Tetapi Putut itu terpaksa menutup mulutnya, karena serangan Buntal telah menyusul pula. Buntal tidak menyerang dengan kakinya, tetapi dengan tangan kirinya mengarah kepelipis Putut itu. Tetapi Buntal se mpat me mperhitungkan jarak jangkaunya sehingga ketika Putut itu me mbungkukkan dirinya, tangannya tidak menghantam dinding. Namun demikian Putut itu me mbungkukkan kepalanya, kaki Arumlah yang terayun mengarah kekeningnya. Bahkan hampir berbareng serangan Juwiringpun telah me luncur pula. Sisi telapak tangannya terayun dengan derasnya mengarah keteng-kuk Putut itu. Ternyata Putut itu benar lincah. Ia masih se mpat menghindar kesa mping sambil se makin merendahkan tubuhnya condong hampir rata dengan tanah Buntal tidak me-nyia2kan kesempatan itu. lapun segera me loncat dengan garangnya. Meskipun ia masih tetap sadar, bahwa ia tidak akan me mperguna kan kerisnya jika tidak terpaksa sekali. Dengan kakinya ia berusaha menyerang Putut yang seakan2 telah terbaring ditanak Disusul dengan serangan
Arum dan Juwiring seka ligus.
Dan yang terjadi itulah yang ha mpir tidak masuk akal bagi ketiga anak2 muda itu. Putut itu se mpat me mbuat suatu gerakan yang tidak dapat dimengerti.
Ketiga serangan2 itu meluncur, Putut itu se mpat meloncat. Tidak dengan kakinya, tetapi justru dengan tangannya. Kakinyalah yang terle mpar keatas. Dan dengan kekuatan lontar tangannya Puput itu me lenting t inggi. Ketiga anak2 muda yang kehilangan sasaran itu menjadi bingung sejenak. Dan ketika mereka menyadari keadaannya, maka mere ka melihat Putut itu telah bertengger, berjongkok diatas dinding ha la man itu. Yang terdengar adalah suara tertawanya. berkepanjangan sehingga tubuhnya ter-guncang2. Tertawa
Ketiga anak2 muda itu menggertakkan giginya. Hampir saja ketiganya meloncat menyusulnya, meskipun hati mereka dicengka m oleh keheranan yang tiada taranya. Kemampuan yang diperlihatkan oleh Putut itu benar2 telah me mbuat mereka sangat kagum. Tetapi sebelum ketiga anak2 muda itu berloncatan naik, maka terdengar Putut itu berkata "Jangan meloncat naik. Tidak ada gunanya" Ketiganya ter-mangu2 sejenak. Dan Juwiringpun berkata "Jangan mencoba melarikan diri." "Aku tidak akan lari meskipun aku dapat melakukannya dengan leluasa. Aku dapat meloncat keluar dari ha la man ini dan pergi ke manapun aku mau. Tetapi aku masih akan me mbunuh kalian." Tiba-tiba saja timbul sebuah pikiran dikepala Juwiring sehingga iapun bertanya "He, apakah kau bukan Putut dari padepokan ini?" Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya "Aku me mang bukan Putut dari perguruan Ki Sarpasrana." "Gila. Seharusnya aku me mbunuhmu." sahut Buntal.
"Aku sudah mencoba mencegah kalian, tetapi kalian t idak mendengarkan." "Siapa kau he " Apakah kau pencuri " Pencuri yang justru sedang mencuri dipadepokan ini ?" Orang itu masih saja tertawa. Katanya kemudian "Jika kau mendengarkan a ku, kau tidak a kan terlibat dala m kesulitan dengan aku. Tetapi kau me mang keras kepala. Dan jangan menyesal, aku tidak akan me mbiarkan kau hidup dan meninggalkan padepokan ini. Sebenarnyalah bahwa Kiai Sarpasrana tidak akan dapat mene mui ka lian, karena aku sudah me mbunuhnya." "He" serentak ketiga anak2 muda itu bergeser "kau me mbunuh Kia i Sarpasrana" "Ya" "Tida k mungkin" sahut Buntal "kau ,tidak akan dapat me mbunuh Kia i Sarpasrana." "Kau ingin me lihat mayatnya?" "Omong kosong" Juwiringpun ha mpir berteriak "jangan mengigau. Kiai Sarpasrana bukan anak ingusan. Dan kau tidak akan dapat lari dari ujung keris ka mi." "Kau ingin me lihat jenis senjataku ?" "Senjata apapun juga, ka mi tidak gentar." Orang itu ter-mangu2 sejenak. Na mun ke mudian ia mengura i sehelai rantai baja yang dilingkarkan dila mbungnya. Pada ujung rantai baja itu terdapat sebuah cakra m bergerigi. "Kalian akan digigit oleh senjataku ini. Kerismu sa ma sekali tidak akan berarti apa2." Juwiring dan kedua adik seperguruannya ter-mangu2 me lihat senjata itu. Senjata itu me mang lebih panjang dari kerisnya. Kema mpuannyapun agaknya dapat dibanggakan
Namun ketiga anak2 muda itu tidak mau menyerah. Hampir berbareng pula mereka meraba pisau2 kecil mere ka yang terselip diikat pinggang. "Apakah kalian masih akan melawan ?" bertanya orang vzng berdiri diatas dinding batu itu. "Ya., Kami akan me lawan dan akan me mbunuhmu sa ma sekali" Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menjadi tegang ketika ia melihat tiba2 saja Juwiringpun telah meloncat na ik diatas dinding itu pula disusul oleh Buntal, sedang Arum tetap berada di bawah orang yang berdiri diatas dinding itu. "Kau tetap disitu Arum" berkata Juwiring "jika ia lari turun kehala man itu, kau harus berbuat sesuatu. Kau dapat me le mparnya dengan pisau2mu. Jika ia lari keluar, Buntallah yang harus mencegahnya. Aku akan mencoba berkelahi diatas dinding dengan pisau2 kecil ini" Tanpa mendapat perintah lagi, maka Buntalpun bersiap menghadapi segala ke mungkinan. Tetapi ia tidak me loncat keluar. Ia masih berdiri diatas dinding batu, seberang menyeberang dengan Juwiring. Sejenak mereka terpaku dia m. Na mun .sejenak ke mudian dengan herannya Juwiring, Buntal dan Arum me lihat orang yang berdiri diatas dinding itu me lipat senjatanya sambil berkata "Aku menyerah." Ketiga anak2 muda itu menjadi heran. Orang itu sama sekali be lum mencoba me lakukan perlawanan dengan senjatanya. Bahkan ia se-akan2 merasa sangat yakin akan senjatanya itu. Namun tiba2 saja ia menyatakan dirinya menyerah. "Apakah pisau2 kecil ini telah menggetarkan jantungnya ?" bertanya ketiga anak muda itu didala m hatinya
Tanpa menghiraukan ketiga lawannya orang itupun segera me loncat turun masuk kehala man padepokan Kia i Sarpasrana, beberapa langkah disebelah Arum. Arum yang semula dicengka m keheranan, tiba2 saja telah bersiaga. Ia menduga, bahwa orang itu sedang mencari kesempatan selagi ia lengah. Dengan sigapnya, Arum telah menggengga m sehelai pisau ditangan kanannya, sedang kerisnya berpindah ditangan kiri. Jika orang itu mencoba menyerangnya, maka pisau itu siap untuk dile mparkannya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berbuat apa2. Ia hanya berpaling saja ketika mereka mendengar Juwiring dan Buntalpun berloncatan turun. "Aku sudah menyerah" berkata orang itu "aku benar2 tidak akan berkelahi lagi," "Siapakan kau sebenarnya ?" desak Juwiring. "Nanti kau akan mengetahuinya Jika sekarang aku mengatakannya, ma ka kaupun tidak akan percaya." Juwiring me njadi heran. Dan ia mencoba mendesak lagi "Jangan me mpermainkan ka mi." "Tida k. Aku tida k me mperma inkan kalian. Marilah dan duduklah dipendapa." Keheranan didala m dada ketiga anak2 muda dari Jati Aking itu menjadi sema kin mencengka m. Meskipun de mikian mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Ketiganya masih saja menggengga m senjata masing2, dan balikan Arum masih juga menggengga m sebilah pisau selain kerisnya. Orang itu naik kependapa tanpa segan2- Ke mudian dipersilah-kannya ketiga anak2 muda itu naik pula. Katanya "Duduklah. Aku akan masuk sebentar." Juwiring dan kedua adik seperguruannya saling berpandangan sejenak. Mereka menjadi semakin ber-debar2
ketika dengan suatu isyarat, seseorang yang bertubuh kekar, tinggi dan berwajah tenang berumur dipertengahan abad keluar dari ruang da la m. "Te muilah mere ka lebih dahulu" Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk hormat. Jawabnya "Baik Kia i." "Mereka datang dari Jati Aking. Mereka adalah murid2 pamanmu Danatirta." lalu katanya kepada Juwiring dan kedua adik seperguruannya "Inilah Putut Srigunting yang sebenarnya. Tubuhnya yang seperti raksasa itu sama sekali tidak pantas mena makan dirinya Srigunt ing, karena Srigunting adalah seekor burung yang la mping." Ketiga anak-anak muda dari Jati Aking itu menjadi se makin bigung. Mereka t idak tahu apa yang sedang dihadapi sebenarnya. Sejenak ke mudian ma ka orang yang telah berke lahi itupun masuk keda la m, dan orang yang bertubuh tinggi ke kar itu me langkahh mendekat. Wajahnya yang tenang itu bagaikan air yang sa ma sekali tida k bergerak. "Silahkan duduk Ki Sanak" suaranyapun dalam sekali, seakan berputar didala m dadanya saja. Juwiringlah yang ke mudian me njawab "Terima kasih. Tetapi ka mi menjadi bingung. Ka mi tidak mengerti, apakah yang telah terjadi." Wajah itu berkerut sejenak Na mun ke mudian sebuah senyum yang le mbut ta mpak dibibirnya. Berkata orang yang disebut bernama Putut Srigunt ing yang sebenarnya itu "Jangan cemas. Duduklah." "Tetapi siapakah sebenarnya orang yang mengaku bernama Putut Srigunting itu, dan ke mudian menyebut Ki Sanak juga berna ma Putut Srigunting."
"Disini hanya ada seorang yang berna ma Putut Srigunting. Benar akulah yang berna ma Putut Srigunting itu." "Dan orang itu ?" "Ia akan segera mene mui kalian dan ia akan segera menyebut na manya yang sebenarnya." Juwiring menjadi sema kin bingung. De mikian pula Buntal dan Arum- Ha mpir diluar sadarnya Buntal bertanya "Tetapi apakah orang itu juga penghuni Padepokan ini?" "Ya. Ia juga penghuni padepokan ini." "Ia menyebut dirinya Putut Srigunting, ke mudian me ngaku bahwa ia tidak berasal dari padepokan ini. Sekarang ia masuk kedala m se-akan2 sudah menjadi kebiasaannya. Kami benar2 menjadi bingung Ki Sanak." "Sebentar lagi kalian akan meyakini sebenarnya telah terjadi. Jangan cemas." apakah yang
Juwiring dan kedua adik seperguruannya mengangguk. Ketika ke mudian pintu bergerit, mereka melihat orang yang menyebut dirinya Putut Srigunting itu keluar. Tetapi rasa2nya kesan diwajahnya telah berbeda sekali dengan wajah itu pula, yang dilihatnya didala m ge lapnya mala m Meskipun pada wajah itu masih ta mpak ke kerasan hati dan sikap, tetapi wajah itu kini dihiasi oleh senyum yang ramah. Orang yang mula2 menyebut dirinya Putut Srigunting itupun ke mudian duduk pula diantara mereka. Rambutnya yang terjurai sedikit diluar ikat kepalanya, tampak sudah keputih2an dibawah cahaya obor dipendapa. "Iapun sudah berumur tidak kurang dari setengah abad" berkata Juwiring didala m hati setelah ia dapat melihat wajah itu dengan je las. Orang yang mula2 menyebut dirinya Putut Srigunting itupun telah duduk diantara mereka. Dengan sorot mata yang
tajam ia me ma ndang ketiga ana k muda itu ber-ganti2. Kemudian sa mbil tersenyum ia berkata "Kalian benar2 anak2 Danatirta." Juwiring dan kedua adik seperguruannya tidak segera mengerti ma ksud orang itu. Sejenak mereka saling berpandangan, namun tidak seorangpun yang mengucapkan kata2 "Anak2ku" berkata orang itu "tentu tidak setiap orang dapat langsung me mpercayai keterangan orang lain yang belum pernah dikena lnya. Akupun tidak segera dapat me mpercayai kalian, jika kalian mengatakan bahwa ka lian adalah murid2 Kiai Danatirta. Itulah sebabnya, aku harus meyakinkan." "Tetapi" suara Juwiring sendat maksudku, siapa kah Kiai ini?" "siapakah Ki Sanak,
Orang itu tertawa. Katanya "Akulah orang yang kau cari" "Jadi, Kiailah yang berna ma Kia i Sarpasrana ?" "Ya. Akulah Sarpasrana." "O" ha mpir berbareng ketiga anak2 muda itu berdesis. "Jadi, Kiaikah yang kami cari ?" suara Juwiring terputus2 "ka mi sa ma seka li tida k mengetahui, bahwa Kiailah yang ka mi cari sehingga ka mi berani berbuat deksura, dan bahkan berani me lawan Kiai. Jika ka mi tahu, ka mi tidak a kan berani menyombongkan diri ka mi" "Tida k apa2" berkata Kiai Sarpasrana "aku me mang me mancing perkelahian. Karena itu aku me mbuat kalian marah dengan segala maca m cara. Jika tidak terjadi perkelahian, aku tidak akan tahu, apakah kalian benar2 murid Kiai Danatirta." Juwiring termenung sejenak. Dan Kia i Sarpasrana berkata terus "Hanya dengan cara itu aku dapat mengetahui, bahwa
kalian benar2 murid Kiai Danatirta. Aku mengenalnya dengan baik. Dan bahkan aku mengenal ilmunya. Ketika kita bertempur, sejak mula2 aku percaya, bahwa tata gerak dan sikap kalian adalah tata gerak dan sikap Kia i Danatirta, meskipun pada anak2 muda yang dua ini sudah mendapat perkembangannya sendiri, sedang pada angger yang bernama Arum, ilmu Kiai Danatirta masih lebih murni, tetapi angger Arum ternyata me miliki kelincahan yang luar biasa." "Maafkan ka mi Kia i" berkata Juwiring ke mudian "aku adalah yang tertua dari kami bertiga. Akulah yang bertanggung Jawab atas kesalahan ini" "Tida k. Kalian tidak bersalah. Jika kalian tidak berani berkelahi, ka lian tentu bukan murid Kiai Danatirta." Ketiga anak2 muda itu meng-angguk2. Itulah sebabnya, meskipun ada hiruk pikuk dihala man, tidak seorangpun yang tampak terbangun dan apalagi ke luar hala man. Ternyata yang berkelahi itu adalah Kia i Sarpasrana sendiri. Dan orang yang bertubuh tinggi, ke kar dan berna ma Putut Srigunting itu pasti mengetahui pula dan bahkan mungkin dari cela2 dinding ia mengikut i perke lahian itu. Betapa ketiga anak2 muda itu kini dicengka m oleh perasaan yang aneh. Ternyata Kiai Sarpasrana mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui kebenaran pengakuan mereka. Ketiga anak muda itu mengangkat wajah mereka, ketika Kiai Sarpasrana kemudian berkata "Aku bangga terhadap kalian seperti aku se lalu kagum melihat Kia i Danatirta, apalagi dimasa mudanya. Agaknya sifat2nya menurun kepada kalian, dan bahkan kepada seorang gadis." "Arum adalah puteri Kiai Danatirta Kiai" "He?" Kia i Sarpasrana mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata "Jadi gadis ini puteri Kiai Danatirta ?"
"Ya Kiai" Sejenak Kia i Sarpasrana merenung. Ia me mang pernah me lihat seorang gadis puteri Kiai Danatirta. Tetapi menurut ingatannya, gadis itu tentu sudah jauh lebih tua dari gadis yang bernama Arum. Namun itu sudah la ma lampau. Setelah itu, ia tidak se mpat bertemu lagi dengan sahabatnya. Tetapi tanpa di-sangka2nya, suatu ketika dijumpainya Danatirta itu didaerah Jati Sari. Na mun sayang, bahwa saat itu ia tidak sempat menanyakan tentang seluruh ke luarganya. "Mungkin Kia i Danatirta me mpunyai anak se lain gadis yang pernah aku lihat itu" Kia i Sarpasrana berguma m didala m hatinya. Namun agar tidak menumbuhkan salah paham, ia tidak bertanya lebih jauh lagi kepada anak2 muda itu tentang Arum. "Sekarang" berkata Kiai Sarpasrana "kalian masih mendapat waktu untuk berist irahat Kalian dapat me mbersihkan diri di pa kiwan, ke mudian ka lian dapat tidur nyenyak digandok. Sedang Arum dapat menempati bilik di ruang dala m." Arum mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua kakak seperguruannya ber-ganti2. Ia lebih senang t inggal bersama kedua kakak seperguruannya digandok. Bukan karena ia tidak percaya kepada Kiai Sarpasrana. tetapi ia merasa lebih tenang berada diantara kedua saudaranya itu. Agaknya Kiai Sarpasrana dapat me mbaca perasaan Arum, sehingga sambil tersenyum ia berkata "Baiklah Arum. Jika kau berkeberatan, kau dapat berada digandok bersama saudara2 seperguruanmu. Disana ada sebuah ruangan yang cukup luas dan amben ba mbu yang besar, yang cukup untuk berbaring sepuluh orang sekaligus. Meskipun sebenarnya lebih ba ik bagimu untuk berada didala m bilik yang lain" Arum tidak menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang tertunduk dala m2.
"Baiklah. Saat ini kau bukan seorang gadis. Tetapi kaupun seorang laki2." Kiai Sarpasrana masih saja tersenyum "sekarang kalian dapat pergi ke pakiwan. Aku tahu, banyak masalah yang akan kau katakan. Tetapi katakanlah besok pagi. Kalian tentu lelah dan barangkali kalian juga belum makan." Ketiga anak2 muda itu tidak segera menjawab. "Nah. jika kalian me mang belum makan, kalian dapat makan dahulu sebelum tidur." "Ka mi sudah me mbawa beka l sekedarnya Kiai. Dan kami sekarang tidak lapar." jawab Juwiring. Kiai Sarpasrana tertawa. Katanya "Aku tahu. Meskipun seandainya kalian tidak me mbawa bekal sekalipun, murid Kiai Danaratirta tidak akan kelaparan hanya karena sehari tidak makan. Tetapi dala m keadaan yang wajar, makan perlu untuk kekuatan jasmaniah. Karena itu, jangan menolak. Aku akan menja mu ka lian tua kan setelah ka lian me mbersihkan diri" "Tetapi itu akan merepotkan Kiai." "Tida k" Kiai Sarpasrana menggelengkan kepalanya "bagi orang tua seperti aku, maka te mpat nasiku dan tenong lauk pauk, tentu selalu terisi. Siang dan mala m. Karena rumah ini menjadi sasaran penghubung dari Surakarta, dan selain itu juga sanak kadangku sendiri yang datang dari jauh tanpa mengingat waktu." Kiai Sarpasrana berhenti sejenak, lalu "tetapi tidak se muanya mengala mi sa mbutan seperti kalian. Selain aku me mang belum mengenal ka lian, juga karena kalian menyebut nama Kia i Danatirta, sehingga aku ingin meyakinkannya. " Ketiga anak2 muda itu tidak menyahut. "Nah, pergilah kepakiwan." Juwiring dan kedua adik seperguruannyapun ke mudian pergi me mbersihkan dirinya. Kakinya, tangannya dan
wajahnya Mereka iida k se mpat untuk mandi, karena mereka menyadari, bahwa Kiai Sarpasrana dan Putut Srigunting sedang menunggunya. Demikianlah maka ketika mereka sudah se lesai dengan me mbersihkan diri, merekapun segera dija mu oleh Kiai Sarpasrana. Mereka duduk me lingkar dipringgitan menghadapi hidangan yang meskipun sudah dingin, namun kele lahan dan gelisah yang sebelumnya mencengka m mereka, me mbuat mereka bernafsu untuk makan se-banyak2nya. Apalagi Kiai Sarpasrana dan Putut Srigunting ikut makan pula bersama mereka. Namun dala m pada itu, selagi mereka ma kan, Juwiring ingin Me mpergunakan kese mpatan yang sedikit itu. Meskipun agak ragu2 iapun ke mudian berkata "Kia i, diperjalanan ka mi bertemu dengan iring2an orang bersenjata. " "He" Kiai Sarpasrana tertarik pada ceritera itu "dimana dan apakah kau mengetahui iring2an itu ?" Juwiring menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata "Yang aku ketahui, diantara mereka terdapat Raden Mas Said. Tetapi mungkin aku keliru, karena aku tidak berani mendekati iring2an itu" Kiai Sarpasrana menarik nafas dalam2. Sejenak ia merenung dan tanpa disadarinya kepalanya ter-angguk2 kecil. Dari sela2 bibirnya ia berkata "Api me mang sudah mulai menyala di Sura karta." Juwiring dan kedua adik seperguruannya saling berpandangan sejenak, lalu mereka mendengar Kiai Sarpasrana meneruskan "Me mang hal itu tidak akan dapat dihindari. Api itupun akan berkobar di Sukawati" Juwiring merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan tentang gurunya. Karena itu maka iapun berkata "Kiai, sebenarnya dalam soal itu pula lah aku bertiga diutus oleh guru kami me nghubungi Kia i."
Tetapi ketiga anak2 muda itu menjadi heran ketika mereka me lihat justru Kia i Sarpasrana tertawa "Sudahlah. Ma kanlah. Jika ka lian mengatakan tentang api se maca m itu lebih panjang lagi, maka ka lian tidak akan dapat menikmati nasi liwet dari Sukawati yang sudah dingin ini. Sekarang makanlah, dan ke mudian ka lian akan dapat, tidur nyenyak. Nanti pagi2 kalian tidak usah ter-gesa2 bangun. Kalian dapat tidur sampai tengah hari. Barulah ke mudian ka lian berceritera tentang padepokanmu, gurumu dan keperluanmu." Juwiring t idak dapat meneruskan kata2nya. Sambil me mandangi kedua saudara seperguruannya, ia menyuapi mulutnya sehingga perutnya terasa kenyang. Sebenarnyalah, baru dihari berikutnya, ia akan mendapat kesempatan untuk berbicara agak panjang dengan Kiai Sarpasrana,, sehingga saat itu, Juwiring tidak berani me ma ksakannya lagi. Setelah selesai makan, maka merekapun segera diantar kegandok oleh Putut Srigunting yang sebenarnya. Dipersilahkannya mereka tidur diatas sebuah amben yang besar diruang yang terbuka. Mula2 mereka agak segan juga, karena meskipun tampaknya mereka sebagai tiga orang anak-anak muda, tetapi sebenarnyalah bahwa mereka mengetahui bahwa seorang dari mereka ada lah seorang gadis Tanpa berjanji ma ka Arumpun me milih ujung a mben yang besar itu, sedang kedua saudaranya dengan sendirinya berada diujung yang lain. Oleh sejuknya angin ma la m yang menyusup dinding gandok itu. merekapun segera dipengaruhi oleh perasaan kantuk. Sehingga selelah makanan yang mereka makan tidak lagi terasa sesak didada. mereka, maka merekapun segera berbaring di-ujung2 a mben itu.
Oleh perasaan letih diperjalanan dan perkelahian yang mereka lakukan, maka merekapun segera jatuh tertidur pula. Arum dan Juwiring yang tidak me mpunyai perasaan apapun tidak menunggu terlalu la ma, dan merekapun segera tenggelam kedala m mimpi yang segar. Tetapi Buntal tidak dapat segera tertidur. Bahkan sekali2 ia me mandang Arum dengan sudut matanya. Arum yang tidur dengan nyenyaknya diujung lain. Dala m sepinya mala m, Buntal tidak dapat melawan perasaannya yang terasa mencengka m dadanya. Ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa sebenarnyalah wajah yang sedang tenang didalam tidurnya itu adalah wajah yang sangat cantik baginya Sekali2 Buntal menarik nafas dala m2. Dicobanya ia me meja mkan matanya dan me mbela kangi Arum yang tidur diujung lain. menghadap Juwiring yang juga tertidur nyenyak. Tetapi setiap kali ha mpir diluar sadarnya iapun mene lentang menghadap atap yang. ke-hita m2an. Na mun setiap kali pula sudut matanya mencuri pandang kewajah yang bening, bagaikan wajah ana k2 yang belum, me ngetahui apapun juga. "Hatikulah yang sangat kotor " berkata Buntal didala mi hatinya. Namun de mikian, kadang2 timbul juga perasaan aneh didala m dadanya, apalagi setiap kali ia sadar, bahwa Juwiring me mpunyai ke lebihan didala m segala ha l daripadanya. "Ah" bahkan Buntal itu berdesah. Dicobanya untuk me meja mkan matanya. Setelah lama ia berjuang, barulah ia berhasil pada saat ayam jantan berkokok menjelang fajar, terlena beberapa lama. Sebenarnyalah bahwa Kiai Sarpasrana tidak mengganggu anak-anak muda yang sedang .tidur nyenyak itu. Dibiarkannya saja mereka me nikmati sejuknya pagi dipe mbaringan. Tetapi kebiasaan ketiga anak2 muda itu bangun pagi, telah me mbangunkan mereka. Yang mula2 bangkit adalah Juwiring.
Tetapi derit pembaringan yang besar itu se-akan2 telah me mbangunkan kedua adik seperguruannya. "Matahari telah terbit" desis Juwiring. "Kita agak terlambat bangun." sahut Buntal "marilah kita pergi ke Pakiwan." "Pergilah kau dahulu Arum" berkata Juwiring ke mudian. Demikianlah ketiganya ber-ganti2 me mbersihkan dirinya. Arum masih juga mengenakan paka ian laki2nya ketika mereka ke mudian menghadap Kiai Sarpasrana di pringgitan Dipendapa Putut Srigunting sedang duduk bersama dua orang yang agaknya juga penghuni padepokan itu. Mereka sedang berbincang ber-sungguh2. Tetapi Juwiring dan kedua adik seperguruannya itu tidak mendengar, apa saja yang mereka percakapkan. "Apakah kalian sudah tidak mengantuk ?" bertanya Kiai Sarpasrana. "Tida k Kia i. Kami sudah cukup la ma tidur." jawab Juwiring "dan perkenankanlah sekarang ka mi menyampa ikan pesan2 dari guru ka mi." "Tunggu, kalian belum makan pagi." "Ah" Juwiring berdesah "ka mi t idak biasa makan pagi, Kiai." "Tetapi kalian adalah ta muku Kalian harus me ngikuti kebiasaanku disini." Ketiga anak2 muda itu hanya dapat menarik nafas dala m2 dan saling berpandangan. Mereka masih harus menyimpan pesan itu dida la m hatinya, sehingga mereka selesai makan pagi. Baru setelah mereka selesai makan pagi, Kiai Sarpasrana berkata "Nah, semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi yang
harus kalian kerjakan. Sekarang, katakanlah pesan gurumu itu." Juwiring, yang tertua dari ketiga murid Kia i Danatirta itupun ke mudian menge mukakan persoalan yang dibawanya. Hubungan yang mungkin dapat dijalin antara Jati Sari dan Sukawati dimasa yang gawat ini. "Apa yang diketahui oleh gurumu tentang Pangeran Mangkubumi, sehingga ia me ngirimkan kalian ke mari?" "Menurut pendengaran ka mi, Pangeran Mangkubumi adalah, seorang yang dapat mengurai keadaan sekarang dengan se-baik2nya. Pangeran Mangkubumi bukan seorang yang begitu saja dapat ditakar oleh perasaannya, tetapi penilaiannya terhadap keadaan kini adalah yang pahng sesuai bagi Kiai Danatirta" "Coba katakan, apakah yang kira2 akan dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi menurut dugaanmu atau dugaan gurumu." "Kia i" Juwiring menarik nafas dala m2 "agaknya guru sesuai dengan sikap Pangeran Mangkubumi, bahwa Pangeran Mangkubumi tida k ingin mengorbankan harga diri kita sebagai bangsa dan merunduk dibawah ke kuasaan bangsa la in." Kiai Sarpasrana meng-angguk2kan kepalanya. Katanya "Gurumu dapat menila i dengan tepat. Dengan demikian maka ia tidak sekedar sedang menjajagi. Tetapi apakah gurumu sudah me mpertimbangkan ke mungkinan2 yang dapat terjadi atas dirinya dan Jati Aking" " "Guru sudah menyebutnya." Kiai Sarpasrana meng-angguk2 pula. Tetapi agaknya masih ada yang belum me muaskan baginya, la masih merasakan sesuatu yang kurang mapan. Setelah merenung sejenak, ma ka dengan hati2 orang tua itupun bertanya "Menurut keteranganmu Arum adalah puteri
Kiai Danatirta Tetapi siapakah kalian berdua" Maksudku, sebelum ka lian me njadi murid Kiai Danatirta. Aku melihat secara lahiriah, perbedaan yang jauh dari kedua anak2 muda ini." Juwiring mengerut kan keningnya, sedang dada Buntal menjadi berdebaran. Pertanyaan itu se-akan2 menghadapkan dirinya pada sebuah cermin sehingga ia me lihat kekurangan yang jauh pada dirinya dari Juwiring. Namun dala m pada itu. Kiai Sarpasrana melanjutkan "Maksudku, aku tidak me mbedakan siapa kah kalian, karena ke-dua2nya adalah murid Kiai Danatirta. Dan aku percaya bahwa Kiai Danatirta bukan anak2 sehingga pilihannyapun dapat dipercaya pula. Tetapi jika aku bertanya tentang kalian, justru karena aku melihat pada yang seorang ini, tetesan darah seorang bangsawan. Aku justru minta maaf, bahwa aku ingin tahu tentang hal itu, karena sikap para bangsawan yang ber-beda2." Juwiringlah yang ke mudian menjadi ber-debar2 Ternyata Kiai Sarpasrana adalah seorang yang teliti menghadapi persoalan ini. Na mun Juwiring t idak ingin berbohong. Ia ingin mengatakan tentang dirinya dengan jujur. "Kia i" katanya kemudian "aku adalah putera Pangeran Ranakusuma." Tersirat sesuatu diwajah orang tua itu. Kiai Sarpasrana tahu benar siapakah Pangeran Ranakusuma. Meskipun ia belum pernah berhubungan secara pribadi, tetapi nama Pangeran Ranakusuma telah termasuk didala m urutan na ma para Pangeran yang tidak disukainya. Ternyata Juwiring cukup cerdas menangkap siratan diwajah orang tua itu. Maka katanya "Kiai, tentu Kiai sudah pernah mendengar na ma ayahanda. Aku adalah puteranya yang sulung yang disingkirkan dari istana kapangeranan" "O" Kiai Sarpasrana terkejut "kenapa ?"
"Persoalannya adalah persoalan ke luarga saja." "Dan kau mendenda m?" "Tida k. Aku tida k menyangkut kan persoalan pribadiku dengan persoalan yang berkembang di Sura karta sekarang. Pendirianku banyak dipengaruhi oleh sikap dan pendirian guruku." "Kenapa kau dapat berada di padepokan Jati Aking ?" "Maksud ayahanda, aku harus berguru kepada seorang yang dianggapnya mengerti masa lah2 kajiwan. Bukan kanuragan. Paman Dipana lalah yang menunjukkan te mpat itu bagiku. " Kiai Sarpasrana menarik nafas dala m2. Dipandanginya Juwiring sejenak. Lalu dipandanginya Buntal tajam2. Dari sela2 bibirnya terdengar orang tua itu berdesis "Dan kau ?". Buntal bergeser sejengkal. Katanya ragu2 "Aku adalah anak kabur kanginan Kiai. Aku terle mpar ke Jati Aking tanpa sengaja." "O" Kiai Sarpasrana mengerutkan keningnya, dan dengan singkat Buntalpun berceritera tentang dirinya. Kiai Sarpasrana meng-angguk2kan kepalanya. Kesannya me mang lain dengan anak muda yang pertama. Buntal adalah anak yang se-akan2 terbuang karena ia me mang kehilangan orang tuanya, tetapi Juwiring terbuang karena persoalan yang timbul dida la m ke luarganya dan menyangkut orang tuanya. Namun yang meragukan Kia i Sarpasrana adalah justru karena Juwiring adalah putra Pangeran Ranakusuma. Juwiring agaknya dapat merasakan ke-ragu2an itu Karena itu ia mencoba untuk meyakinkan sikapnya. Katanya "Kiai, persoalanku dengan ke luargaku sudah la ma aku lupa kan. Aku sudah pasrah pada keadaanku, pada kemungkinan yang dapat aku capai di Jati Aking. Tetapi jika kemudian timbul sikap yang
berbeda dengan ayahanda Pangeran Ranakusuma didala m persoalan yang sedang ke melut, sama se kali tidak ada sangkut pautnya lagi dengan denda m dan tuntutan pribadi atas keluargaku. " Kiai Sarpasrana meng-angguk2kan kepalanya. Ia melihat kesungguhan pada wajah Juwiring, sehingga karena itu, iapun dapat mempercayainya. Meskipun de mikian ia masih juga harus bersikap hati2. Jika ia salah hitung, maka ia akan menyesal. Persoalan yang dihadapinya bukannya sekedar persoalan dirinya sendiri, bukan sekedar padepokan kecilnya atau bahkan Kademangan Sukawati. Tetapi persoalannya adalah persoalan ke langsungan hidup Surakarta Adalah jauh berbeda sikap dan pendirian Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Ranakusuma. "Tetapi tentu bukannya tanpa alasan jika Kiai Danatirta telah mengirimkannya ke mari" berkata Kia i Sarpasrana didala m hatinya. Karena Kiai Danatirta tahu benar akibat yang dapat timbul jika ia sa lah pilih. Ketiga anak2 muda yang kehilangan sasaran itu menjadi bingung sejenak. Dan ketika mereka menyadari keadaannya, maka mereka melihat Putut itu telah bertengger berjongkok diatas dinding ha la man itu. Namun sepercik ke-ragu2an masih saja me mbayang diliatinya. "Bagaimana kah jika justru Kiai Danatirta itu sekarang sudah terpengaruh oleh Pangeran Ranakusuma ?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi pertanyaan itu dibantahnya sendiri "Tentu tidak mungkin Aku mengenal Kiai Danatirta dengan baik." Juwiringpun dapat melihat ke-ragu2an yang me mbayang pada sorot mata Kiai Sarpasrana. Tetapi iapun dapat mengerti. Bahkan kadang2 ia menyesali dirinya sendiri, bahwa ia telah dilahirkan didala m lingkungan keluarga yang tidak me mberi kebanggaan sama sekali bagi tanah ke lahirannya.
Dala m pada itu. Kia i Sarpasranapun ke mudian berkata "Baiklah anak2. Tinggallah kalian hari ini disini. Aku akan me mpersoalkan pesan gurumu dengan orang2 yang berkepentingan disini. Tentu kami disini akan menyambut dengan gembira sikap gurumu itu. Tetapi kami disinipun harus me mperhitungkan setiap ke mungkinan yang dapat terjadi. Kami t idak ingin meng-ha mbur2kan korban terla mpau banyak dengan hasil yang terla mpau sedikit. Itulah sebabnya ka mi berbuat dengan hati2 Memang kadang2 anak2 muda tidak dapat mengikuti sikap ka mi. Bahkan ada diantara mere ka yang sudah langsung bertindak dengan kekerasan. Aku dan kami disini menghargai sikap itu. Tetapi kami disini ingin berbuat sebaik2nya dengan korban yang se-kecil2nya. " Juwiring meng-angguk2kan kepalanya. Katanya "Baiklah Kiai. Ka mi a kan tinggal disini me nunggu Kiai." Kiai Sarpasrana tidak mengatakan ke mana ia akan pergi. Dan ketiga ana k2 muda itupun tidak a kan berani bertanya ke mana ia a kan pergi. Dengan de mikian, maka Juwiring dan adik seperguruannya itu berada di padepokan Kiai Sarpasrana bersama Putut Srigunting dan beberapa orang murid Kiai Saroasrana yang lain Berbeda dengan Kia i Danatirta. ma ka Kia i Sarpasrana me mpunyai beberapa orang murid yang berlatih dalam olah kanuragan. Tetapi mereka me mpunyai kedudukan yang lain dari murid2nya yang sebenarnya, seperti Putut Srigunting, meskipun umurnya hampir sebaya dengan Kiai Sarpasrana sendiri. Yang berlatih dipadepokan Kiai Sarpasrana adalah beberapa orang anak muda. Mereka sekedar me mpelajari tata gerak dasar secukupnya, sebagai bekal apabila mereka menghadapi bahaya. Mereka sekedar mengetahui bagaimana mereka me mbela diri, dan me mpunyai sedikit kelebihan dari anak2 muda yang lain. Jika mereka sudah cukup, maka
merekapun segera ke mbali kerumah masing-masing dan disusul dengan serombongan anak-anak muda yang la in. "Darimana saja mereka itu datang ?" bertanya Juwiring kepada Putut Srigunting yang setiap kali mewa kili Kiai Sarpasrana apabila ia berha langan. "Mereka adalah anak2 muda Sukawati dan sekitarnya." jawab Srigunting Juwiring meng-angguk2kan kepa lanya. Ia sadar bahwa Sukawati benar2 telah mempersiapkan dirinya. Sehingga apabila benar2 terjadi sesuatu, maka Sukawati bukannya sekedar berbuat tanpa perhitungan, tetapi Sukawati benar2 sudah siap. "Orang2 asing dan prajurit Surakartapun mengala mi latihan latihan sebelum mereka me njadi prajurit" berkata Putut Srigunting "bahkan se la ma mereka bertugas, mereka masih selalu berusaha meningkatkan bekal mereka." Juwiring dan kedua adik seperguruannya meng-angguk2. Dengan tidak langsung Putut Srigunting sudah me mperbandingkan kekuatan anak2 muda Sukawati dengan orang2 asing yang berada di Sura karta. "Menurut pendengaranku" berkata Putut Srigunting "orang2 asing itu mengala mi pene mpaan yang berat sebelum mereka dikirim ke tanah ini. Itulah sebabnya, maka kitapun harus berusaha mengimbanginya, agar kita tidak sekedar mengumpankan diri , pada senjata2 mereka yang meledak itu. " Murid2 Jati Aking itu masih saja meng-angguk2, "Dari padepokan ini, anak2 muda itupun masih se lalu berlatih Ka mi mengirimkan cantrik2 terbaik dari padepokan ini untuk me mbantu mereka. Bahkan ada diantara mereka yang dengan tekun mesu diri ditempa i yang terasing agar latihan2nya tidak terganggu. Dengan ilmu dasar yang mereka
kuasai, kadang2 mere ka berhasil mencapai t ingkat yang mengagumkan. "Inilah Sukawati" berkata Buntal didala m hatinya "yang terjadi adalah jeritan hati rakyat Surakarta yang sebenarnya karena tingkah laku orang asing." Buntal dapat me mbayangkan, apa saja yang mereka lakukan ketika ia masih tinggal mengha mba kan diri dirumah seorang Tumenggung yang sering menerima kehadiran orang2 asing itu dimala m hari dala m ke mewahan yang me limpah2. Dan kini ia menyadari ke maksiatan apa saja yang sudah terjadi apabila orang2 asing itu menjadi mabuk. Dan yang paling me muakkan adalah kesediaan sebagian bangsa sendiri untuk me layaninya. Tetapi suasana di Sukawati adalah jauh berbeda, Disini ia serasa hidup dalam nafas yang penuh dengan perjuangan untuk merebut masa depan yang baik. Bukan masa kini yang me-limpah2 buat diri sendiri, tetapi sama sekali menutup ke mungkinan bagi anak cucu Disini justru rakyat Surakarta me mikirkan hari depan yang jauh. Memikirkan anak cucu yang akan merupakan kelanjutan dari hidup mereka. Jika kini mereka gagal me mbina masa depan itu, maka masa depan itu akan menjadi sangat suram. Dipadepokan Kiai Sarpasrana ketiga murid dari Jati Aking itu mendapat pengala man baru. Kiai Sarpasrana dan murid2nya sama seka li tida k me mbatasi dinding padepokannya. Mereka tidak berlatih sambil berse mbunyi didala m bangsal tertutup, bahkan para cantrik dari padepokan sendiripun ha mpir tidak mengetahuinya. Tetapi bangsal latihan Kiai Sarpasrana selalu terbuka. Dan itulah kelainan yang pokok dari kedua padepokan itu, dan pengaruh lingkungannya. Sukawati se-akan2 telah me mpunyai bentuk yang mantap karena daerah ini adalah daerah Palenggahan Pangeran Mangkubumi, sehingga sikap dan pendirian Pangeran
Mangkubumi merupa kan sikap dan pendirian se luruh rakyat Sukawati. "Apakah salahnya jika padepokan Jati Aking itupun dibuka pula seperti padepokan ini"." pertanyaan itu telah me mpengaruhi hati mereka. Namun merekapun menyadari, bahwa Jati Sari dala m keseluruhan sangat berbeda dengan Sukawati. Meskipun de mikian, masih dapat diusahakan, agar sikap dan pendirian padepokan Jati Aking dapat menjalar keseluruh Jati Sari; Apalagi apabila anak2 mudanya berhasil dipengaruhinya menghadapi keadaan yaag bagaikan ha mpir me ledak ini. Demikianlah se-hari2an ketiga anak2 muda dari Jati Aking itu se mpat melihat bagaima na Putut Srigunt ing me latih anak2 muda Sukawati. Mereka dikumpulkan diha la man belakang bersama2 tida k kurang dari duapuluh orang. Mereka berlatih berpasangan ditunggui oleh e mpat orang murid Kiai Sarpasrana dibawah pimpinan Putut Srigunting. "Bagaimana latihan ini dimula i?" bertanya Juwiring. "Mereka ber-sama2 harus menirukan unsur gerak pokok dari ilmu yang diturunkan oleh Kiai Sarpasrana. Jika unsur2 gerak itu telah mereka kuasai dengan baik, meskipun hanya pokok2nya saja, maka mulailah mereka mendapat petunjuk penggunaannya dan hubungan yang dapat dijalin antara unsur gerak yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka mereka mendapatkan bentuk yang mengalir dari unsur2 itu untuk me mbe la diri, bukan sekedar unsur2 gerak yang dengan urut dapat ditirukan tanpa mengerti maknanya, karena unsur2 gerak ini sa ma seka li bukan unsur2 gerak tari" Juwiring meng-angguk2, sedang Buntal bertanya "Berapa la ma mereka berlatih dipadepokan ini?" "Tida k tentu, tergantung dari ketekunan dan kemauan mereka masing2."
Ketiga murid dari Jati Aking itu masih saja meng-angguk2 Dan Putut Srigunting itu berkata selanjutnya "Tetapi rata2 mereka berada dipadepokan ini sela ma tiga bulan." "Tiga bulan" Buntal mengulang. "Ya. Selama tiga bulan mereka mendapatkan tuntunan pokok-pokok tata gerak dan cara mempergunakan senjata. Berkelahi seorang lawan seorang dan bertempur dalam kelompok2 besar dan kecil." "Mereka adalah prajurit2" guma m Juwiring. "Ya. Prajurit2 me mang mendapat latihan sela ma tiga bulan sebelum mereka ditetapkan. Tetapi pada umumnya mereka sudah me miliki ke ma mpuan dasar sebelumnya. Sedangkan anak2 muda ini baru disini mendapatkan pengetahuan olah kanuragan. Selebihnya mereka harus berusaha sendiri." "jadi bagaimana dengan mereka ke mudian ?" bertanya Buntal pula "apakah mereka puas dengan ilmu mereka yang tiga bulan ini?" "Tida k. Seperti sudah aku katakan. Mereka me mperdala m ilmu mereka diluar padepokan. Kadang2 ka mi me ngirimkan seorang dua orang murid yang sebenarnya dari padepokan ini untuk berlatih bersa ma mereka. Ternyata bahwa tekad mereka t idak mereda. Justru sema kin panas udara di Surakarta, mereka menjadi se makin keras berlatih." Buntal meng-angguk2. Terbayang didala m angan2nya, bahwa Jati Saripun harus berbuat seperti yang dilakukan oleh Sukawati meskipun tidak dapat menyamainya. Tetapi bahwa rakyat Surakarta harus me mpersiapkan diri, se makin la ma semakin diyakini oleh Buntal. Ketika matahari ke mudian menjadi se makin rendah dan langit menjadi redup, maka ketiga anak2 muda dari Jati Aking itupun duduk dipendapa bersama Putut Srigunting. Mereka berbicara mengenai banyak persoalan yang terjadi
dipadepokan itu. Na mun setiap kali Juwiring atau Buntal bertanya tentang persiapan yang telah dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi, Putut Srigunting selalu menge lakkan diri- Ia sela lu me mutar pe mbicaraan kearah yang tidak menyinggung na ma Pangeran itu, meskipun juga mengenai Suka-wati.. Sebelum sinar matahari lenyap dari wajah langit yang suram, ma ka Kiai Sarpasrana telah kemba li kepadepokannya. Ternyata ia tidak pergi ketempat yang jauh. Agaknya ia hanya mengunjungi oiang2 yang dianggapnya perlu di padukuhan Sukawati. Juwiring Ha mpir tidak sabar menunggu. Ketika Kiai Sarpasrana telah duduk diantara mereka, dan setelah ia meneguk se mangkuk air, maka Juwiringpun segera bertanya "Kia i, apakah Kiai bertemu dengan Pangeran Mangkubumi?" "Pangeran Mangkubumi ?" Kia i Sarpasrana mengerutkan keningnya "aku t idak mene mui Pangeran Mangkubumi. Seandainya aku pergi menghadap pula, belum tentu Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati." "O, maksudku, jika bukan Pangeran Mangkubumi, tentu orang2 penting lainnya di Sukawati." Kiai Sarpasrana rheng-angguk. "Aku sudah bertemu dengan beberapa orang dari mereka." "Lalu, keputusan apakah yang dapat kami sa mpa ikan kepada Kia i Danatirta." "Keputusan " Kenapa kau bertanya tentang keputusan ?" Juwiring menjadi heran. Buntal dan Arumpun me mandang wajah Kiai Sarpasrana dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan. "Kia i" berkata Juwiring "bukankah sudah ka mi sampa ikan keinginan Jati Aking untuk ikut serta didalam setiap gerak
dan" kegiatan Sukawati, karena Kia i Danatirta menyadari apakah yang sebenarnya berkembang didaerah Surakarta sekarang." "Sudah aku katakan, ka mi tentu akan senang sekali. Dan ternyata bahwa orang2 yang mendengar keinginan itupun menyatakan kege mbiraan hati" "Jika de mikian, apakah yang harus ka mi lakukan di Jati Aking Kiai, dan apakah yang diperintahkan oleh Pangeran Mangkubumi kepada ka mi atau oleh orang yang dikuasakannya." "O, tentu Pangeran Mangkubumi atau orang2 yang dikuasakannya tidak akan me mberikan perintah apapun kepada kalian. Kalian me mang harus me mpersiapkan diri. Tetapi kami disini belum dapat berbuat apa2 atas kalian sekarang ini." Ketiga anak2 muda dari Jati Aking itu masih saja terberan2. Dan bahkan Kiai Sarpasrana itupun berkata "Sa mpaikan kepada Kiai Danatirta, agar ia sering mengirimkan utusannya kemari." "Baiklah Kiai. Kami akan menyampaikannya kepada guru. Dan tentu kami akan sering datang ke Sukawati. Tetapi perintah apakah yang segera dapat ka mi la kukan ?" Kiai Sarpasranalah yang menjadi heran Lalu katanya "Tentu tidak ada perintah apa2. Seperti yang aku katakan, satu2nya pesan, sering datanglah ke mari." "Hanya itu ?" bertanya Buntal dengan herannya. "Itulah perintah yang kau ma ksud." Ketiga anak2 muda itu tida k mengerti. Kenapa mereka hanya sekedar harus dalang setiap kali ke Sukawati. Meskipun mereka mengerti bahwa hal itu penting bagi Kiai Danatirta untuk mengetahui perke mbangan keadaan. Tetapi kenapa
tidak ada pesan2 lain yang penting bagi Jati Aking didala m keadaan yang gawat ini. "Sudahlah" berkata Kiai Sarpasrana "jangan menjadi bingung. Sa mpaikan saja pesanku besok jika kau ke mba li kepada Kiai Danatirta. Sering2 sajalah menyuruh kalian datang ke mari." Ketiga anak2 muda itu meng-angguk2. Ternyata me mang tidak ada perintah lain. Kia i Sarpasrana tidak me mberitahukan kepada mereka, apa saja yang sudah dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi di Surakarta. Di mana persiapan untuk me lakukan perlawanan bersenjata jika diperlukan dan apa saja yang harus dilakukan jika Surakarta benar2 telah dibakar oleh api pertentangan yang tidak teratasi lagi. "Ternyata yang dipesankan oleh Kia i Sarpasrana hanyalah agar ka mi sering datang ke Sukawati. Hanya itu." Tetapi ketiga anak2 muda itu tidak dapat me maksa agar Kiai Sarpasrana berkata lebih jauh, atau me maksa untuk me mbawa mereka mene mui orang2 terpenting di Sukawati. Mereka harus puas dengan sekedar pesan itu. Namun hasil yang telah mere ka peroleh, adalah ja lan yang datar untuk me lakukan hubungan selanjutnya. Demikianlah ketiga anak2 muda Jati Aking itu bermala m semala m lagi dipadepokan Kiai Sarpasrana Dipagi hari berikutnya mereka mohon diri untuk segera kembali ke Jati Sari. Tetapi seperti dihari sebelumnya. Kiai Sarpasrana telah me ma ksa mereka untuk ma kan pagi lebih dahulu. "Itu adalah kebiasaan ka mi disini" katanya. Ketiga anak2 muda itu tidak dapat menolak. Apalagi mereka sadar, bahwa perjalanan ke mba li a kan me makan waktu sehari penuh, sehingga ada juga baiknya mereka makan pagi lebih dahulu.
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 20 Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat Suling Emas Dan Naga Siluman 25
^