Pencarian

Bunga Di Batu Karang 9

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 9


"Nah, barangkali kau tahu maksudku. Kiai Danatirta adalah orang yang berpengaruh atas lingkungannya. Kau harus bersikap baik terhadapnya dan terhadap keluarganya" Raden Rudira sama sekali masih belum menyahut. Tetapi jantungnya seakan-akan berdetak semakin cepat. Namun demikian Raden Rudira menjadi heran, bahwa ayahnya mulai dari Kiai Danatirta. Apakah ayahnya tidak akan berbicara tentang Dipanala" "Jika kau berbuat kasar terhadap mereka, Rudira, maka orang-orang di Jati Sari akan me mpunyai kesan yang kurang baik terhadap kita. Dengan demikian maka mereka akan dengan cepat dapat dipengaruhi oleh para bangsawan yang menentang kekuasaan Kangjeng Susuhunan" Dengan suara yang dalam Raden Rudira menjawab "Ya ayahanda" Namun ia mengharap agar ayahnya hanya sekedar me mbicarakan hubungannya dengan Kiai Danatirta. Dan ia mengharap agar itulah yang dimaksud dengan ceritera Dipanala. Mungkin Kiai Danatirta pernah mengeluh kepada Ki Dipana la, atau barangkali persoalanpersoalan lain yang dike mukakan kepadanya. Atau persoalannya sekedar rentetan dari persoalan yang dahulu pada saat ia hampir saja menghukum Dipanala dengan caranya.
Namun rasa-rasanya jantungnya berhenti berdenyut ketika ayahnya kemudian berkata "Rudira, kenapa kau sakiti hati Dipanala" Tentu bukan karena sekedar dendam bahwa niatmu me mbawa ana k gadis Danatirta itu gagal" Rudira menjadi se makin gelisah. "Dipana la dan Danatirta me mpunyai hubungan yang rapat. Menurut katamu Sukawati sudah menyusun bentuk yang aneh yang menurut dugaanmu adalah suatu persiapan dari usaha mereka menyusun ke kuatan. Apakah kau ingin Jati Sari juga me mbentuk dirinya menjadi padukuhan yang dibayangi oleh rahasia seperti Sukawati" Mungkin Jati Sari tidak me mpunyai seorang seperti Adimas Pangeran Mangkubumi. Tetapi orangorang Jati Sari dapat mencari hubungan dan bergabung dengan mereka" Sekali-seka li Rudira mencoba me mandang ayahnya, namun ke mudian wajahnya tertunduk dala m-da la m. "Rudira" suara Pangeran Ranakusuma menjadi dala m "Kenapa kau mencoba me mbunuh Dipanala?" Pertanyaan itu bagaikan menghentak isi dadanya. Sejenak Rudira menjadi tegang dan bahkan terbungka m. "Kenapa?" desak ayahnya "Katakan. Kau dan ibumu sudah mencoba mela kukan pe mbunuhan dengan mengupah beberapa orang penjahat. Tetapi karena mereka tidak berhasil, dan justru sa lah seorang dari mereka tertangkap, maka kau telah me mbunuhnya" Rudira tidak segera dapat menjawab. Wajahnya bagaikan me mbe ku dala m ketegangan. Dengan mata yang tidak berkedip ditatapnya wajah ayahnya. Namun ketika ayahnya me mandangnya iapun segera mele mparkan pandangannya dan jatuh pada ujung jari kakinya. "Kenapa?" desak ayahnya.
"Aku, aku tidak mela kukan ayah" sahut Rudira tergagap setelah ia me maksa dirinya untuk menjawab. "Rudira, aku bukan orang yang terlampau dungu. Karena itu jangan menipu aku. Kau dan ibumu sudah bersepakat untuk me mbunuhnya" Raden Rudira masih akan mengingkarinya lagi. Tetapi ayahnya kemudian mele mparkan anak panah yang sudah terpotong-potong kehadapan Rudira, sehingga karena itu, maka anak muda itupun telah terbungka m lagi. "Agaknya dendam yang memba kar jantungmu sudah kau tiup-tiupkan ketelinga ibumu sehingga ibumu telah me mbantumu untuk me musna kan Dipanala, meskipun aku agak curiga, bahwa alasan itu terlampau kecil untuk menga mbil keputusan untuk me mbunuh seseorang" Rudira sama seka li tida k dapat menjawab lagi. Karena itu dengan mulut yang bagaikan terbungkam ia menundukkan kepalanya dala m-dala m. "Rudira" Ia mendengar suara ayahnya "Apakah pantas bagimu dan ibumu, bahwa karena persoalan yang kecil itu, kau sudah me mutuskan untuk me mbunuhnya" Jika masalahnya adalah masa lah Arum yang saat itu gagal kau bawa, sama sekali bukan alasan yang kuat untuk me mbunuhnya. Nah, apakah kau tahu alasan lain yang lebih dapat diterima dengan aka l, bahwa Ki Dipanala harus dibunuh?" Rudira sa ma sekali tidak menyahut "Rudira" Ayahnya mendesak "jawablah pertanyaanku. Apakah kau mengetahui a lasan lain atau alasanmu sendiri yang lebih ma ntap agar orang itu dapat dibunuh?" Rudira masih belum menjawab. "Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku, atau kau me mang tidak dapat mengatakan apapun juga?"
"Aku tida k tahu ayah. Aku sa ma sekali tidak tahu" "Jadi alasanmu satu-satunya adalah karena Dipanala se lalu mengganggu niatmu" Hanya itu?" Rudira mengangguk. "Jika itu Rudira, kau adalah anak muda yang paling kejam dan bengis. Dipanala me mpunyai keluarga. Mempunyai anakanak yang makan karena jerih payahnya. Jika kau me mbunuhnya, maka anak anak itu akan terlantar, dan kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa karena Danatirta sendiri a kan dapat mencegahnya" Rudira tidak dapat menjawab lagi. Dan kepalanya yang tunduk menjadi se makin tunduk. "Rudira" berkata ayahnya "seharusnya untuk melakukan hal serupa itu, kau harus minta pertimbangan kepadaku, kepada ayahmu. Masalahnya adalah masalah yang besar. Jiwa manusia. Dan kau agaknya hanya berbicara dengan ibumu. Aku tidak tahu kenapa ibumu dapat menyetujui rencana mu yang bengis itu" Rudira menjadi se makin tunduk. "Kenapa?" tiba-tiba ayahnya me mbentak sehingga Raden Rudira menjadi terkejut karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat menjawabnya. "Rudira, aku ingin mendengar jawabmu. Sebelum kau menjawab dengan jawaban yang dapat aku mengerti, kau masih harus tetap duduk di situ" Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia berkata "Ibunda justru menganjurkan aku me mbunuhnya ayah" "He?" Ayahnya terkejut. Tetapi kesan di wajahnya itupun segera lenyap. Bahkan wajah Pangeran Ranakusuma itu seakan-akan menjadi sema kin terang.
Raden Rudira yang mencoba me mandang wajah ayahnya sekilas me njadi heran Ayahnya tampaknya menjadi tidak marah lagi kepadanya. Bahkan ke mudian ia melihat Pangeran Ranakusuma itu tersenyum. Katanya "Jadi ibunda mu yang menganjurkan kepadamu agar Dipanala dibunuh saja?" Raden Rudira menjadi ragu-ragu. Lalu jawabnya "Ya ayah. Ibundalah yang menganjurkan agar a ku me mbunuh Dipana la" "Apakah alasan ibumu?" "Dipana la dapat mengganggu semua cita-citaku. Ia adalah orang yang berbahaya karena mulutnya berbisa" Raden Rudira berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya dengan hati yang kosong "Kenapa ayahanda selalu mendengarkan katakatanya" Ibunda kadang-kadang. merasakan suatu kejanggalan, seakan-akan Dipanalalah yang menentukan semua keputusan di sini. Ayahanda selalu menuruti pendapatnya, meskipun pendapat itu bertentangan dengan kepentinganku dan kepentingan ibunda" "He?" Se kali lagi Pangeran Ranakusuma terkejut. Namun kesan itupun segera lenyap pula dari wajahnya. Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Bahkan ke mudian timbul pertanyaan di dala m dirinya "Apakah Galihwarit mengetahui hubunganku dengan adiknya?" Tetapi iapun ke mudian menjawabnya sendiri "Tentu tidak. Jika de mikian tentu bukan Dipanala yang akan dibunuhnya" Sejenak Pangeran Ranakusuma itu merenung. Seka li-sekali dipandanginya kepala Rudira yang tertunduk. Ke mudian dile mparkannya pandangannya itu jauh mene mbus kegelapan di luar daun pintu yang terbuka. Namun dala m ada itu tumbuh pula persoalan di dala m dirinya dibumbui oleh perasaan yang selama ini dicobanya untuk menekan dala m-dala m di dala m lubuk hatinya, apabila ia melihat sikap dan rias isterinya itu agak berlebih-lebihan jika
ia pergi mengunjungi perte muan dan kadang-kadang makan dan minum bersa ma orang-orang asing itu. Dengan atau tidak dengan dirinya. Bahkan dengan bercermin kepada diri sendiri, maka t imbul pertanyaan pula "Apakah isteriku juga menyimpan suatu rahasia yang diketahui oleh Dipanala sehingga ia akan me mbunuhnya?" Sejenak ke mudian Pangeran Ranakusuma itu menganggukanggukkan kepalanya. Katanya kepada anaknya "Rudira. Kenapa kau tida k me mbicarakan rencana mu itu dengan ayahmu?" Rudira tidak berani menengadahkan wajahnya, dan sama sekali t idak me njawab. Tetapi kata ayahnya lebih lanjut sama sekali tidak diduganya. "Jika kau me mbicarakannya dengan aku, mungkin aku akan dapat me mberimu jalan sehingga kau t idak akan gagal" Tiba-tiba saja Raden Rudira mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah ayahnya dengan penuh pertanyaan. Tetapi ayahnya itu justru tersenyum kepadanya "Kau tidak percaya?" Raden Rudira tidak menyahut. Ia masih belum mengerti tangkapan yang sebenarnya dari ayahanda itu. "Rudira" bingung?" berkata ayahnya kemudian "Kau me njadi
"Aku tidak mengerti ayahanda, perasaan apakah yang sekarang bergolak di dala m hatiku" "Kau me mang sedang bingung. Tetapi baiklah. Dengarlah. Aku akan me mbantumu jika kau dapat mengatakan alasan, kenapa ibumu menganjurkan kepada mu untuk me mbunuh Dipanala" Apakah benar bahwa hal itu sekedar karena cintanya dan kasih sayangnya kepadamu" Jika de mikian, maka ia dapat mengambil jalan lain. Karena itu, untuk kepentinganmu dan kepentingan ibunda mu sendiri Rudira,
cobalah, usahakanlah mengerti, apakah alasan ibumu yang sebenarnya" "Apakah aku harus bertanya kepada ibunda?" "Terserahlah kepada mu. Tetapi hati-hati. Jangan menyakiti hati ibunda mu. Ia me mang sangat mengasihimu" ayahandanya berhenti jenak, lalu "Jika aku mengetahui a lasan yang sebenarnya itu. Maka aku akan menentukan sikap. Jika masalahnya me mang pentingi sekali dan wajar, aku akan menolongmu" Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, pergilah. Tetapi untuk selanjutnya kau harus berhatihati. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan kau sendiri dan dapat menimbulkan kesan yang tidak baik. Jika terjadi sesuatu, dan rakyat yang bodoh itu dapat dibakar, maka kita akan menjadi sasaran pertama apabila kita selalu menyakit i hati mereka" Raden Rudira mengangguk kecil sa mbil me njawab "Ya ayah. Aku akan mengingat se muanya" Sejenak kemudian maka Raden Rudirapun segera minta diri, sementara ayahandanya masih duduk di tempatnya. Jika Rudira berbasil mene mukan alasan ibundanya yang sebenarnya, dan alasan itu benar-benar dapat dimengertinya, maka hal itu pasti a kan menenteramkannya. Ia tidak akan selalu dikejar oleh perasaan curiga dan ce mas. Ia akan dapat berbuat sesuatu dengan mantap, karena sebenarnyalah Ki Dipanala tidak berguna lagi baginya sekarang. Hubungannya dengan adik kandung Raden Ayu Galihwarit telah berjalan dengan lancar tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Ki Dipanala. "Jika Galihwarit mengetahuinya dan terlebih-lebih lagi suami adik kandungnya itu, ma ka keadaan pasti akan bergejolak. Suaminya itu pasti a kan menentukan sikap dan barangkali ka mi terpaksa melakukan perang tanding" berkata
Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya "Tetapi itu tentu me ma lukan sekali meskipun aku dapat berbuat lebih dahulu dengan bantuan kumpeni" Sejenak ke mudian Pangeran Ranakusuma itupun segera berkemas. Ia me mang benar-benar harus pergi ke istana meskipun hanya sekedar untuk mendengarkan perke mbangan terakhir dari Kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Na mun yang se makin la ma tampak menjadi sema kin sura m karena selalu dibayangbayangi oleh kekuasaan asing yang se makin dala m mencengkeram ke kuasaan di Surakarta. Dala m pada itu Raden Rudira duduk termenung di ruang belakang. Tetapi ia selalu saja gelisah karena kata-kata ayahnya. Tetapi tidak seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, agar ia dapat menge muka kan alasan ibunya seperti yang dikehendaki oleh ayahandanya, tetapi hatinya justru ditumbuhi oleh kecurigaan. Bahkan setiap kali timbul pertanyaan di dalam hatinya "Apakah benar ada alasan rahasia yang tidak dikatakan oleh ibunda tentang rencana pe mbunuhan itu" Jika demikian apakah a lasan itu dapat langsung aku tanyakan kepada ibunda?" Raden Rudira menarik nafas dala m-dala m. Sekilas terbayang ibunya yang cantik dan masih ta mpak selalu muda itu berada di antara orang asing yang meskipun tidak banyak jumlahnya, tetapi cukup me nce maskannya. "Apa saja yang dilakukan oleh ibunda dan kadang-kadang bersama ayahanda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu" Apalagi jika ibunda pergi seorang diri?" Perasaan kasih seorang ibu kepada anaknya, terasa setiap saat me mbela i hati Raden Rudira, Na mun setiap kali ia selalu dice maskan oleh tindak dan sikap ibunya. Bahkan kadangkadang ia tidak rela apabila ibundanya pergi dan duduk di
dalam sebuah kereta bersama orang asing itu, meskipun kadang-kadang ibunya berkata kepadanya sebelum ia bertanya "Bagi mereka, hal serupa itu adalah menjadi kebiasaan. Mereka bukan orang-orang yang le kas menjadi cemburu seperti kita. Mereka menganggap persahabatan sebagai sesuatu yang harus dihormati, seperti mereka menghormat i diri mere ka sendiri. Karena itulah maka tidak seorangpun dari mereka yang berbuat tidak senonoh" Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya "Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian mereka tentu akan menghormati keluarga dan ikatan keluarga sahabat-sahabat mereka. Dan merekapun akan menghormati ibunda dan ayahanda, apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran" Meskipun demikian hati Raden Rudira tidak juga menjadi tenteram. Sebagai seorang anak laki-laki yang dewasa, ia dapat membayangkan ke mungkinan yang dapat timbul. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata ibunya "Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Seperti dirinya sendiri" Raden Rudira menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia ke mudian berdiri dam melangkah keluar, dilihatnya bayangan la mpu obor yang menyala di sudut istananya bergetar oleh angin ma la m yang le mbut. Tanpa maksud tertentu Rudira berjalan saja di halaman di sebelah rumahnya. Dingin ma la m yang semakin menggigit terasa membuat hatinya agak sejuk. Ketika ia ke mudian menengadahkan kepalanya, dilihatnya bintang-bintang gemerlapan di langit yang seakan-akan tanpa batas. Rudira terkejut kegelapan. ketika seseorang menyapanya dari
Namun mendengar suaranya yang agak parau, Rudira segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Mandra.
"Apakah tuan menghadap ayahanda?" bertanya Mandra. Raden Rudira menganggukkan kepalanya. "Apakah yang ditanyakan oleh ayahanda tuan kepada tuan ada hubungannya dengan kegagalan kita?" Sekali lagi Raden Rudira mengangguk sa mbil menjawab "Ya. Ayah bertanya tentang penyamun itu, tentang anak panah yang ternyata telah disimpan oleh Dipanala, dan ke mudian ayah langsung menunjuk hidungku sa mbil bertanya "Kenapa kau berusaha me mbunuh Dipanala?" "Apakah tuan mengiyakan?" "Sebenarnya aku ingin mengingkarinya seperti pesan ibunda. Tetapi aku tidak berhasil. Ayah me mpunyai alasan yang kuat untuk me nuduh a ku" Mandra menarik nafas dalam-da la m. Ke mudian ia bertanya "Dengan de mikian apakah ayahanda tuan juga menyebut na maku?" "Tida k" "Tetapi Pangeran Ranakusuma tentu mengetahuinya. Jika yang seorang Raden Rudira, maka yang seorang tentu aku" "Apaboleh buat" "Tetapi, tetapi ayahanda marah?" apakah
Rudira menggeleng. Katanya "Aku harus me ngetahui alasan ibunda yang sebenarnya, kenapa ibundapun dengan sangat bernafsu ingin me mbunuh Ki Dipana la. Akupun mulai
me mpertimbangkannya, jika tidak ada alasan yang kuat, ibunda tentu tida k akan menga mbil langkah de mikian" Mandrapun mengangguk-anggukkan kepalanya pula sa mbil berkata "Ya. Tentu ada alasan yang cukup kuat" "Itulah yang harus a ku tanyakan kepada ibunda" Mandra tidak menyahut. Tetapi menurut dugaannya, alasan itu me mang dapat saja alasan yang lain, tetapi mungkin juga bagi seorang ibu yang sangat memanja kan anaknya, kegagalan Rudira di Jati Aking, me mbuatnya marah sekali sehingga hampk di luar sadarnya ia me merintahkan agar orang yang bernama Dipanala itu dibunuh saja. Tetapi tidak mustahil pula bahwa me mang ada alasan lain yang cukup kuat bagi Raden Ayu Galihwarit. "Aku me merlukan waktu" pengiringnya yang-setia itu. berkata Rudira kepada
"Tetapi tidak terlalu la ma. Keadaan kota ini bagaikan bisul yang akan pecah. Dan itu dapat terjadi siang, mala m, pagi atau sore" Raden Rudira mengangguk-angguk. Na mun katanya "Tetapi kenapa justru ibunda semakin sering pergi dengan atau tidak dengan ayahanda" Kumpeni sama sekali tidak menghiraukan keadaan yang sebenarnya terjadi di Surakarta. Mereka masih saja mengadakan bujana makan dan minum. Justru semakin la ma bagaikan orang-orang yang tidak me mpunyai persoalan sama sekali selain ma kan, minum bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan se mua kekangan nafsunya" "Ya, demikianlah agaknya" Namun ternyata kata-kata Raden Rudira itu telah mengejutkan dirinya sendiri. Tiba-tiba saja kecurigaannya menjadi se makin me muncak. Sekali lagi terngiang katakatanya sendiri yang seolah-olah begitu saja terlontar dari
sela-sela bibirnya "Ma kan, minum, bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan se mua kekangan nafsunya" "Apakah betul begitu?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Namun pertanyaan yang lain telah membuat hatinya semakin ge lisah "Jika tidak, apa saja yang mereka lakukan" Pada suatu saat mereka tentu akan jemu makan dan minum betapa enak dan beraneka maca mnya makanan. Tetapi mereka tentu mencari kepuasan yang lain, tidak sekedar makan minum" Terasa bulu-bulu Raden Rudira mere mang. Sekilas terbayang wajah ibunya yang cantik dan masih sela lu ta mpak muda. Paka ian dan rias yang berlebih-lebihan. "Apakah ayahanda tidak pernah merasa ce mburu, atau justru karena dengan demikian ayah akan mendapatkan apa yang dikehendakinya. Jabatan, kekuasaan dan segala macam benda yang selama ini be lum pernah kita miliki?" "Tida k. Tentu tidak" tiba-tiba saja hatinya melonja k "Ayah tentu tidak akan mengorbankan harga dirinya sa mpai serendah itu. Apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran. Jika terjadi sesuatu yang menyimpang dari keterangan ibunda, bahwa mereka menghormat i persahabatan seperti dirinya sendiri, maka ayahanda tentu akan bertindak. Tentu ayahanda tidak akan menjual harga dirinya, berapapun juga mereka akan me mbeli" Tiba-tiba terasa hati Raden Rudira itu menjadi panas. Ia tidak mau, meskipun sekedar di dala m angan-angan, ibunya akan me mbagi kasih sayangnya. Ibunya mencintainya dan mencintai ayahandanya. Dan tidak boleh ada sangkutan kasih yang lain pada ibunya, apapun alasannya. Sadar atau tidak sadar, jujur atau tidak jujur. Tetapi Raden Rudira bahkan telah dicengka m oleh perasaan curiga yang amat sangat. Dan perasaan itu bagaikan mengorek dasar hatinya yang manja.
Karena itu, maka terbersit suatu keinginan di dala m hatinya untuk sekali-sekali mengetahui meskipun dari kejauhan, apakah yang sebenarnya dilakukan oleh ibunda di dala m pertemuan-pertemuan serupa itu. "O" Raden Rudira menge luh di da la m hati "Apakah aku sudah kehilangan kepercayaan kepada ibunda?" Tetapi Raden Rudira. tidak dapat menyingkirkan keinginan itu. Bahkan se ma kin ia me ncoba melupakannya, rasa-rasanya bagaikan se makin da la m menghunja m ke dala m jantungnya. Dala m pada itu, pengaruh perkembangan hubungan antara pimpinan pe merintahan di Surakarta dan kumpeni me mpunyai pengaruh di da la m kehidupan sehari-hari. Beberapa orang bangsawan dengan tegas menunjukkan penolakan atas pengarus yang semakin besar mencengka m Surakarta, sedang beberapa orang Pangeran yang lain dengan senang hati menerima keadaan itu sebagai suatu karunia bagi mereka yang haus akan kekayaan dan kemewahan yang melimpahlimpah, tanpa menghiraukan ke mungkinan apapun yang dapat terjadi atas bangsa dan negaranya. Pertentangan itulah yang bagaikan ja lur yang menyelusur dari atas sampai ke bawah. Pengaruh para Pangeran ternyata me mpunyai warna tersendiri di daerah palenggahan mereka atau di daerah pengaruh mere ka masing-masing. Dan itulah yang menyedihkan. Mereka yang tidak banyak mengerti tentang persoalan yang menyangkut pemerintahan dan hubungannya dengan perke mbangan tanah mereka, menjadi terpecah pula. Sebagian dengan sadar menentukan sikap, dan yang sebagian lagi tanpa memikirkan sebab dan akibatnya, langsung saja berpihak. Dala m keseluruhan Surakarta sudah mulai retak. Para bangsawan saling mencurigai di antara mereka. Dan de mikian juga rakyat di suatu daerah terhadap rakyat di daerah yang lain. Seakan-akan mereka bukan lagi terdiri dari kesatuan
yang selama ini telah bersama-sama me mbina Surakarta dengan segala keprihatinan. Di Jati Aking, udara yang panas itupun sudah terasa semakin. panas. Dengan demikian ma ka baik Raden Juwiring maupun Buntal telah mene mpa diri sejauh-jauh dapat dilakukan dengan cara masing-masing. Buntal masih saja mengisi segenap waktunya tanpa mengenal lelah, sedang Juwiring me mpergunakan cara yang lebih sederhana namun me mpunyai hasil yang cukup mengagumkan. Sedang Arum di bawah bimbingan khusus dari Kiai Danatirta, justru karena ia seorang gadis, meningkat dengan cepatnya pula mengiringi ke majuan kedua saudara angkatnya meskipun mereka adalah laki-laki. Namun sejalan dengan kemajuan mereka di dala m olah kanuragan, maka di mata Buntal, Arumpun berke mbang seperti kuncup yang mulai mekar. Baunya yang semerbak dan warnanya yang cerah semakin menumbuhkan kesan yang lain. di dala m dirinya. Tetapi setiap kali ia masih saja harus mengusap dadanya, betapa ia merasa dirinya terlampau kecil. Di antara dirinya dan gadis itu seakan-akan telah berdiri seorang raksasa yang perkasa. Raden Juwiring. Setiap kali Buntal me lihat Arum me maka i paka iannya yang paling bagus, yang diterimanya dari Raden Ayu Galihwarit, hatinya menjadi berdebar-debar. Sekali-sekali teringat pula olehnya Raden Rudira yang setiap saat dapat datang ke padukuhan ini atas perintah ayahandanya untuk menga mbil gadis itu. Dengan umpan yang tidak ternila i harganya atau dengan kekerasan. Tetapi seandainya Raden Rudira itu tidak datang lagi ke padepokan ini ma kar di sini masih ada Raden Juwiring. Namun hal itu telah mendorongnya untuk mene mpa diri tanpa mengenal batas waktu. Kapan saja ia ingin, ma ka hal itu dilakukannya. Bahkan kadang-kadang di tengah mala m, selagi ia terbangun dari tidurnya dan ia tidak berhasil me meja mkan
matanya kembali, ma ka iapun ke mudian pergi ke te mpat yang sepi dan jarang disentuh kaki para penghuni padepokan itu, apalagi di mala m hari, untuk me lakukan latihan seorang diri. "Meskipun aku keturunan pidak pedarakan, tetapi aku tidak mau ka lah dengan keturunan bangsawanan" katanya di dalam hati. Namun apabila ke mudian ia sadar, ia me njadi malu sendiri, seakan-akan ia telah me musuhi Raden Juwiring yang bersikap terlalu baik kepadanya. "Gila" desisnya "hatiku sudah dicengka m oleh kuasa iblis yang paling jahat. Tidak demikian seharusnya aku bersikap, di dalam perbuatan dan angan-angan terhadap saudara angkat apabila aku seseorang yang jujur" Namun setiap kali persoalan itu ke mbali mengge litik hatinya. Adalah suatu hal yang mengejutkannya ketika pada suatu hari Kiai Danatirta telah me manggilnya bersama Raden Juwiring. Dengan wajah yang bersungguhsungguh Kia i Danatirta itupun berkata "Anakanakku, ternyata keadaan kini menjadi sema kin gawat. Di sebelah Timur telah timbul kegelisahan yang sangat. Mungkin masih belum terasa dari daerah yang aman seperti Jati Sari. Namun kadang-kadang telah terjadi bentrokan yang gawat. Masih sering terjadi kesalah pahaman, sehingga seakan-a kan yang terjadi adalah perselisihan di antara rakyat Surakarta. Seolah-olah terjadi
perselisihan antara padukuhan jang satu dengan padukuhan yang lain, tetapi tidak de mikian yang sebenarnya, Persoalannya jauh lebih dalam dari persoalan padukuhan yang kecil dan barangkali persoalan kerusuhan biasa" Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Apakah sebabnya yang terjadi adalah demikian ayah" Bukankah dengan de mikian para petanilah yang menjadi korban tanpa menyentuh sasarannya. Bukankah kerusuhan yang demikian itu tidak akan berarti apa-apa bagi kumpeni?" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya. Jika yang terjadi demikian, me mang Kumpeni tida k akan merasa terguncang. sama sekali. Bahkan mereka dapat me manfaatkan bentrokan-bentrokan kecil yang telah terjadi itu. Tetapi bagaimanapun juga yang telah terjadi itu merupakan persoalan. Jika para bangsawan masih saja berbeda sikap dan pendirian, maka hal serupa itu masih saja akan terjadi. Yang parah adalah apabila Kumpeni justru dapat menga mbil keuntungan dan meniupkan pertentangan di antara kita menjadi lebih besar lagi" Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan suara yang dalam Raden Juwiring berkata "Dengan menyesal aku harus menyaksikan sikap ayahanda yang condong berpihak kepada kumpeni" "Ya" sahut Kiai Danatirta "Tetapi tanpa sesadarnya. Raden Ayu Galihwaritlah yang telah mendorongnya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Dipanala, bahwa pe mberian kumpeni yang berlimpah-limpah itu agaknya telah mengaburkan sikap satria yang seharusnya dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta" Raden Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya menjadi sema kin bura m. Agaknya sesuatu sedang bergejolak di dala m hatinya. "Anak-anakku" berkata Kia i Danatirta ke mudian "dala m keadaan yang gawat ini, sebenarnya Surakarta memerlukan
seorang yang kuat. Seorang yang dapat berdiri diatas segala kepentingan, sehingga justru tidak terjadi benturan di antara kita sendiri. Dan jauh sebelum se muanya terjadi, kita harus sudah me milih tempat. Dan aku percaya, bahwa Ki Demang di Sambi Sari akan sependapat dengan kita. Sebelum kita semua terlambat, kita harus menga mbil sikap, agar apabila banjir bandang melanda Sura karta, kita tidak akan sekedar hanyut dan hilang tenggela m tanpa arti. Kita harus merupa kan butirbutir air dala m arus banjir bandang, atau menjadi sebutir debu dari batu karang yang tidak tergoyahkan" Kedua anak-anak muda ku mengangguk-angguk. Mereka mengerti sikap guru dan sekaligus ayah angkatnya. Dalam keadaan yang paling gawat dan menentukan, mereka tidak dapat menunggu. Dan ternyata bahwa Kiai Danatirtapun ke mudian berkata "Karena itu anak-ana kku, jika kita ingin menentukan sikap, maka kita harus me milih sekarang, juga. Kita sudah dapat menduga, siapa kah yang dapat dijadikan sandaran di dala m saat yang paling gawat" Juwiring mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dan Kiai Danatirta berkata selanjutnya "Anak-anakku. Sebenarnya aku ingin mendengar pendapatmu. Yang kita kenal dan pasti, ada dua pihak yang berdiri bersebarangan di Surakarta. Katakaniah, bahwa yang satu pihak telah dipengaruhi oleh kehadiran orang asing itu dan justru me mbantunya me mperse mpit kemerdekaan diri, sedang yang lain berdiri pada atas yang sewajarnya dibumi sendiri. Bukan untuk sesuatu yang berlebih-lebihan. Mereka yang tidak dapat menerima pengaruh yang semakin besar dari orang asing itu tidak menginginkan sesuatu di luar haknya. Mereka hanya ingin agar rumah tangganya tidak terganggu. Dan itu adalah wajar sekali" Wajah Raden Juwiring menjadi se makin berkerut.
"Sekarang, menurut pendapatmu, dimana kita harus berdiri" Aku tahu bahwa Juwiring menghadapi masalah yang cukup berat bagi dirinya sendiri, karena kebetulan ia adalah putera Pangeran Ranakusuma " Wajah Raden Juwiringpun menjadi se makin tunduk. "Karena itu" berkata Kiai Danatirta lebih lanjut "pikirkanlah sebaik-baiknya. Dimanakah kau akan berdiri. Tentu kau tidak akan dapat menjawabnya sekarang. Aku tidak mau kau menga mbil keputusan yang tergesa-gesa. Hal ini akan menyangkut masa lah yang sangat luas bagimu" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. "Na mun se mentara itu Juwiring, aku ingin me mberitahukan kepada kalian, bahwa aku berniat untuk menghubungi Pangeran Mangkubumi atau orang-orangnya di Sukawati. Aku ingin me ndapat penjelasan, apakah yang telah mereka lakukan, karena menurut pendengaranku, mereka telah me mpersiapkan diri jika terjadi sesuatu" Juwiringpun ke mudian mengangkat wajahnya. Dengan ragu-ragu ia, berkata "Ayah, aku me mang menjadi bingung sekali. Tetapi pada dasarnya aku adalah salah seorang yang lahir dan dibesarkan diatas bumi Surakarta. Itulah yang mendorong aku untuk mencintai tanah ini. Meskipun aku wajib mencintai ayah dan ibunda, tetapi apakah sa lahnya bahwa aku tidak mene mpuh ja lan yang sama seperti yang dilakukan oleh ayahanda Pangeran Ranakusuma. Apalagi seperti ibunda Galihwarit" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata "Kau tergesa-gesa Juwiring. Jika aku menga mbil sikap itu adalah sikap padepokan Jati Aking. Tetapi aku tidak mengharuskan kau bersikap seperti aku. Aku tida k akan marah dan apalagi mengingkari kau sebagai murid dan anak angkatku. Aku menghargai perbedaan pendirian. Jika kita me mang harus mene mpuh jalan yang berbeda, kita akan
berjalan diatas jalan kita masing-masing. Tetapi jika kita bersetuju untuk mene mpuh satu jalan, aku akan senang sekali" "Ayah, aku seolah-olah tidak me mpunyai tempat lagi di rumah ayahanda Pangeran Ranakusuma. Karena itu, aku tidak akan dapat berada di da la m lingkungannya" "Apakah itu alasanmu" Sekedar untuk mene mpatkan diri dalam lingkungan yang baru karena kau kehilangan te mpat di lingkunganmu yang la ma?" "Tida k ayah, bukan itu. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak sesuai lagi dengan lingkungan ayahanda bukan karena aku disingkirkan, tetapi juga karena sikap ayahanda terhadap Kumpeni dan pengaruhnya" "Jadi bukan se mata-mata sebuah luapan denda m terhadap kedudukanmu dala m keluargamu?" "Sa ma sekali bukan ayah" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Lalu "Meskipun demikian kau masih me mpunyai kesempatan yang panjang untuk me mikirkannya" Kia i Danatirta berhenti sejenak, lalu "sementara itu, hubungan yang aku inginkan dengan Sukawati, akan aku teruskan" Sejenak Kiai Danatirta termangu-mangu. Namun ke mudian katanya selanjutnya "Anak-anakku. Aku ingin kalianlah yang pergi ke Sukawati. Apalagi setelah aku mendengar isi hati Juwiring. Sambil berjalan ke Sukawati ia dapat berpikir dan me mperbincangkan kedudukannya di dala m lingkungannya dengan kau Buntal. Bersikaplah jujur terhadap diri sendiri, sehingga se mua tindakan yang akan ka lian lakukan adalah tindakan yang berakar di dalam hati" Kedua anak muda itu tidak menjawab "Apakah kalian sanggup me lakukannya?" Buntallah yang lebih dahulu menjawab meskipun nada suaranya agak dalam "Tentu ka mi akan bersedia ayah. Seperti
yang selalu ayah pesankan kepada ka mi, bahwa tanah yang kami injak, air yang ka mi minum dan butir-but ir beras yang kami makan adalah bagian dari bumi yang mengandung ka mi, seperti seorang ibu yang mengandung dan kemudian me mbesarkan anaknya. Adalah wajib bagi ka mi untuk berbuat sesuatu terhadapnya sesuai dengan tuntutan keadaan dan kema mpuan ka mi masingmasing" "Bagus Buntal" Kiai Danatirta mengangguk-angguk "Jika demikian, aku percaya kepada kalian berdua. Kalian adalah anak-anakku yang akan pergi ke Sukawati. Aku sudah tidak sangsi lagi. Jika Pangeran Mangkubumi tidak ada, maka bertemulah dengan orang-orang yang dipercayanya atau Ki Demang di Sukawati" "Bagaimana ka mi dapat menghadap Pangeran Mangkubumi ayah?" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Dala m keadaan seperti ini, tentu setiap orang mempunyai prasangka terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya. Karena itu, setelah merenung sejenak, maka Kiai Danatirtapun berkata "Kau harus mene mukan jalan yang tepat. Jika tidak, kau t idak a kan sa mpai padanya" orang itu berhenti sejenak, lalu "A ku me mpunyai seorang sahabat yang tinggal di Sukawati. Aku berharap bahwa iapun ikut di dalam arus pergolakan yang telah terjadi di daerah itu. Menurut pendengaranku, orang-orang Sukawati bukan saja me mpersiapkan segala jenis senjata, tetapi merekapun sibuk menye mpurnakan ilmu mere ka lahir dan batin. Beberapa orang lelah mene mpa diri di dala m olah kanuragan. Yang lain mengasingkan diri di lereng-lereng gunung dan tebing-tebing untuk mendapatkan jalan terang dan petunjuk, namun juga untuk me mbajakan ilmu mereka dan menyadap kekuatan alam di sekitarnya"
Kedua anak-anak kepalanya.
muda itu mengangguk-anggukkan "Sahabatku adalah seorang yang memiliki ke ma mpuan yang cukup. Itulah sebabnya aku mengharap bahwa iapun me mperguna kan ke ma mpuan itu untuk kepentingan tanah kelahiran ini" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Orang itu bernama Kia i Sarpa Srana, yang sering disebut orang Kiai Sarpa Ireng. Ia adalah seorang yang menguasai hubungan dengan ular. Seakan ia dapat berbicara dengan sega la jenis ular. Ia dapat mempergunakan racun ular untuk kepentingan yaing dianggapnya baik" Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula. "Te muilah Kia i Sarpa Ireng. Katakanlah bahwa kau berdua adalah muridku. Katakanlah apa maksud kedatanganmu. Mudah-mudahan orang itu dapat menolongmu" Juwiring mengangkat kepalanya, lalu katanya "Ka mi siap me lakukannya ayah. Kapankah ka mi harus berangkat?" "Jika matahari besok terbit, kalian berangkat dari padepokan ini. Sekarang kalian se mpat menyediakan bekal secukupnya. Sukawati tidak terlalu jauh, meskipun bukan jarak yang dekat" "Baiklah ayah. Kami akan berke mas" "Kalian bukan saja harus menyediakan bekal, tetapi juga alat untuk menjaga diri" "Senjata?" "Ya" "Pedang maksud ayah, atau tombak" Kiai Danatirta menggeleng. Jawabnya "Bukan senjata yang justru dapat mengundang kesulitan. Bawalah senjata yang dapat kalian se mbunyikan"
"Pisau?" "Se macam itu. Kau dapat membawa sebilah keris dan beberapa buah pisau kecil. Bukan semata-mata karena kalian ingin berke lahi. Tetapi keadaan ternyata sangat gawat. Semakin la ma se makin panas. Jika karena sesuatu hal, di daerah Sukawati kau bertemu dengan kumpeni yang me miliki senjata yang dapat meledak dan me mbunuh dari jarak yang jauh, kau dapat melawannya dengan pisau-pisau kecil itu jika perlu, meskipun jangkau lontaran tanganmu tidak sejauh jangkau peluru" Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka me mang sudah me latih diri melontarkan pisau-pisau kecil untuk menghadapi lawan pada jarak yang tidak dapat dijangkau dengan tangan. Dan jika mereka berte mu dengan Kumpeni, maka mereka me mpunyai senjata yang dapat menyerang mereka dari jarak yang jauh. Meskipun de mikian Buntal masih juga bertanya "Ayah, apakah Kumpeni akan pergi ke Sukawati?" "Hanya suatu kemungkinan Buntal. Menurut pendengaranku, Kumpeni sangat me mbenci daerah itu. Jika mereka datang kesana, maka a kan mungkin sekali timbul bentrokan karena orang-orang Sukawati juga me mbenci mereka sa mpa i keujung ra mbut" Buntal mengangguk-angguk. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar juga dari Ki Dipanala atau kadang-kadang justru dari para pedagang yang ke luar masuk kota Sura karta, bahwa keadaan me mang me manjat sema kin panas. "Nah, sekarang kalian dapat beristirahat" berkata Kiai Danatirta "besok pagi-pagi kalian akan berangkat" Kedua anak-anak muda itupun ke mudian meningga lkan gurunya yang telah mengangkat mereka menjadi anakanaknya. Perintahnya me mberikan sesuatu yang terasa lain di hati kedua anak-anak muda itu. Jika se la ma ini mereka
ditempa untuk melatih diri di da la m ruangan yang tertutup dan hampir t idak dilihat orang lain, maka kini mereka mendapat tugas untuk pergi keluar dari lingkungan mereka, meskipun tugas itu sekedar tugas yang pendek dan hampir tidak me merlukan ke ma mpuan apapun juga, karena mereka hanya sekedar pergi untuk mene mui seseorang seperti jika mereka di hari-hari yang senggang mengunjungi kakek dan nenek di padukuhan la in. Selagi mereka berdua berada di bilik mereka, maka kedua anak-anak itupun mula i berbincang. Meskipun Kia i Danatirta tidak menyebutkan dengan jelas, tetapi mereka sudah dapat menangkap maksud- gurunya menyuruh mereka berdua menghadap Pangeran Mangkubumi atau orang yang dianggapnya berwenang. "Apa yang akan kita katakan?" bertanya Buntal. "Kita akan berterus terang. Kita akan menyerahkan semuanya kepada Pangeran Mangkubumi. Maksudku, kita menyediakan diri untuk me lakukan sega la perintahnya. Bukankah menurut tangkapanmu juga de mikian yang dimaksud oleh ayah?" "Ya. Tetapi yang siap untuk me lakukan segalanya barulah kita di padepokan ini, sedangkan rakyat Jati Sari masih me merlukan banyak persoalan" "Jika Pangeran Mangkubumi menerima penyerahan kita, maka kita akan segera mulai. Tentu rakyat Jati Sari tidak akan dapat menyamai rakyat Sukawati. Tetapi persiapan yang sedikit itu tentu akan banyak me mbantu menghadapi arus kekuasaan asing di bumi Surakarta. Setidak-tidaknya kita dapat memberikan ga mbaran siapakah yang akan kita lawan, dan kema mpuan yang ada pada mereka. Senjata mereka yang ganas itu dan cara mere ka menyerang lawan-lawannya"
"Aku kira Pangeran Mangkubumi tidak akan menolak meskipun tentu ada juga kecurigaannya terhadap kita dan padepokan Jati Aking" Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Ya, karena di Jati Aking ada aku. Dan aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma. Setiap orang di Surakarta mengetahui, bagaimana kah sikap ayahanda terhadap orang asing itu" Buntal tidak menyahut lagi. Ia tidak ingin mengorek luka itu lebih dala m lagi. Baga imanapun juga ia dapat merasakan betapa berat persoalan yang dihadapi oleh Raden Juwiring. Di satu pihak, ia merasa ikut bertanggung jawab meskipun hanya seperti setitik air, tahwa Surakarta harus dipertahankan. Bukan hanya sekedar bentuk lahiriahnya saja, tetapi juga kekuasaan dan hakekat dari kekuasaan itu. Tetapi di pihak yang lain, ia merasa wajib juga berbakt i kepada ayahandanya dan menurut perintahnya. Jika ayahandanya memerlukan untuk ikut berjalan diatas jalan yang dibuatnya, maka Raden Juwiring akan berdiri di simpang jalan. Jalan yang ditunjukkan oleh ayahnya dan jalan yang telah diyakininya. Keduanyapun ke mudian berdia m diri untuk sejenak. Dan yang mula-mula berkata adalah Juwiring "Sebaliknya kita berkemas. Mungkin kita akan bermala m beberapa mala m di Sukawati. Mungkin kita harus menunggu Pangeran Mangkubumi sehari dua hari" Buntal menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Baiklah. Apakah kita akan me mbawa pa kaian beberapa potong?" "Ya. Sepotong baju, sepotong celana dan sehelai kain panjang. Itu saja" Buntal mengangguk-angguk. Tetapi seperti kata gurunya, ia harus menyiapkan bukan saja paka ian, tetapi juga senjata. Karena itu, maka Buntalpun ke mudian me mpersiapkan pisau-pisaunya. Ia masih me mpunyai kesempatan untuk
mencobanya sekali lagi. Di dala m ruang latihannya Buntal mulai berlatih. Selain untuk me mbiasakan jari-jari tangannya, ia merasa perlu mengisi waktunya yang seakan-akan berjalan terlampau la mbat. Hampir ia t idak sabar menunggu mala m menje lang pagi. Demikianlah maka akhirnya waktu yang ditunggunya itu datang juga. Malam itu Buntal hanya tertidur beberapa saat saja. Menjelang fajar ia sudah terbangun dan ke mudian berwudhuk sebelum melakukan kewajibannya sebagai seseorang hamba yang mengakui adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ternyata Juwiringpun telah mela kukannya pula dalam waktu yang ha mpir bersamaan, sehingga sejenak kemudian merekapun segera bersiap untuk me lakukan perjalanan yang tidak diketahui apakah yang akan terjadi di sepanjang jalan karena keadaan yang tidak menentu. Mungkin mereka tidak akan menjumpai apapun di perjaianan bahkan mungkin seseorang yang baik hati akan me mberinya beberapa butir buah kelapa muda. Tetapi mungkin juga mereka akan berte mu dengan segerombolan pera mpok yang me manfaatkan setiap keadaan untuk kepentingan mereka sendiri, atau mereka akan berpapasan dengan sekelompok peronda yang di antaranya terdapat beberapa orang Kumpeni.
Tetapi betapa terkejut kedua anak-anak muda itu ketika tiba-tiba saja pintu bilik mereka itu terbuka. Ketika mereka serentak berpaling dilihatnya seseorang berdiri di muka pintu. "Aku sudah siap. Bukankah kita a kan berangkat pagi ini?" "Arum" desis Juwiring dan Buntal ha mpir berbareng. "Bukankah kita akan pergi ke Sukawati?" bertanya Arum. "Ka milah yang akan pergi. Tetapi kau t idak" "Aku juga. Ayah menyuruh kita bertiga pergi di pagi ini" Juwiring dan Buntal saling berpandangan sejenak. Na mun ke mudian Juwiring berkata "Tidak Arum. Tentu ayahmu tidak akan me mbiarkan kau pergi" "Ayah menyuruh aku pergi bersama kalian ke Sukawati menghadap Pangeran Mangkubumi. Aku tahu benar. Bukankah kita harus lebih dahulu mene mui Kiai Sarpasrana dan mengatakan maksud kedatangan kita?" Sekali lagi kedua anak muda itu saling berpandangan. Arum mengerti perincian tugas mereka, sehingga dengan de mikian mereka me njadi ragu-ragu. Apakah benar Kia i Danatirta telah me merintahkan Arum untuk pergi bersa ma mere ka. "Kenapa kalian menjadi bingung. Ayah tidak me mbedakan aku dengan kalian. Meskipun aku seorang gadis, tetapi aku juga mendapat tuntunan dari ayah dalam olah kanuragan. Aku juga diajarinya melontarkan pisau-pisau kecil jika aku bertemu dengan Kumpeni yang me mpunyai senjata yang dapat me ledak dan melontarkan sebutir peluru api. Tetapi jika aku mendapat kesempatan, maka pisaukupun ma mpu me mbunuh mereka sebe lum mere ka berhasil me ledakkan senjata mereka itu" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Dala m keragu-raguan iapun berkata "Ba iklah Arum. Aku akan mene mui Kiai Danatirta sejenak.
"Buat apa kau menemuinya" Aku sudah minta diri atas nama kalian" "Ah, kau aneh" sahut Buntal "Tentu kita harus mohon diri dan barangkali masih ada pesan-pesannya terakhir sebelum kita berangkat" "Ah, kalian seperti seorang gadis yang mau ngunggahunggahi. Akulah seorang gadis. Tetapi a ku tida k cengeng seperti kalian" "Kau me mang aneh Arum. Minta diri dan mohon restu bukan suatu sikap yang cengeng" sahut Juwiring "adalah wajar sekali jika kita menghadap ayah dan minta diri serta mohon restu agar perjalanan kita sela mat. Juga barangkali pesan-pesan terakhirnya, apakah yang sebaiknya kita la kukan dan kita sa mpaikan kepada Pangeran Mangkubumi agar Pangeran itu yakin bahwa niat kita adalah baik bagi Pangeran Mangkubumi dan bagi bumi Sura karta ini" Arum t idak menyahut. Tetapi ia berdiri saja di muka pintu. "Marilah Arum. Jika me mang Kiai Danatirta menyuruh kita bertiga pergi, marilah kita bersa ma-sama mohon restunya" Arum mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia berkata sambil bersungut-sungut "Pergilah menghadap. Aku sudah minta diri. Kalian agaknya tida k percaya kepadaku" "Sa ma sekali bukan t idak percaya" berkata Buntal "Tetapi selain restu, itu adalah kewajiban ka mi sesuai dengan tata kesopanan kita" "Pergilah, pergilah" Tetapi Arum masih berdiri di muka pintu. Bahkan ke mudian ia berpegangan tiang-tiang pintu sambil berkata lebih lanjut "Agaknya kau ingin mendapat bekal uang dari ayah" "Ka mi tidak me merlukan uang" "Jika de mikian buat apa kalian menghadap?"
"Sudah aku katakan, itu adalah kuwajiban dan tata kesopanan" Arum menarik nafas dalam-dala m. Tetapi tanpa berkata sesuatu iapun pergi meninggalkan kedua saudara angkatnya. "Apakah ia benar-benar sudah mendapat ijin dari ayah?" bertanya Buntal. "Itulah yang kita sangsikan" "Tetapi kenapa ia tahu betul tugas yang harus kita lakukan?" "Mungkin ia ke marin mengintip di balik dinding dan mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Kia i Danatirta" Keduanya termenung keduanyapun tersenyum. sejenak. Na mun ke mudian
"Me mang, boleh jadi. Dan itulah ke mungkinan yang terbesar" Demikianlah maka kedua anak-anak muda itupun pergi menghadap Kiai Danatirta untuk minta diri karena langit sudah menjadi semakin terang. Sebentar lagi matahari akan merayap naik ke atas bukit. Dan haripun a kan menjadi se makin siang karenanya. Setelah mereka mohon diri, maka Juwiringpun ke mudian bertanya "Apakah ayah me merintahkan Arum untuk pergi bersama dengan ka mi?" "Arum" kening Kiai Danatirta menjadi berkerut-merut. "Ya ayah" "Tida k. Aku tidak menyuruhnya pergi. Tentu tida k. Ia searang gadis meskipun ia ma mpu menjaga dirinya. Apalagi dalam keadaan yang gawat dan panas ini"
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Sebelum salah seorang dari mereka menjawab, Kia i Danatirta sudah bertanya "Apakah Arum mengatakan de mikian?" "Ya ayah. Bahkan Arum sudah siap dengan pakaian yang sering dipergunakan untuk berlatih" Kiai Danatirta merenung sejenak, lalu "Dimana anak itu sekarang?" "Ia masih ada di dala m" jawab Juwiring. "Panggillah ia ke mari" Juwiringpun ke mudian meninggalkan ruangan itu. Sejenak ke mudian ia telah ke mba li bersama Arum. "Duduklah Arum" berkata Kiai Danatirta kemudian dengan nada yang datar. Arumpun ke mudian duduk sa mbil menundukkan kepa lanya. Tetapi sekilas ta mpak bahwa wajahnya menjadi bura m. "Arum" berkata ayahnya kemudian "Apakah kau akan mengikut i kedua kaka kmu pergi ke Sukawati?" Arum mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi wajah itu ke mudian tertunduk lagi. "Kedua kaka kmu mengatakan bahwa kau justru sudah siap untuk berangkat dan apakah aku telah menyuruhmu?" Wajah Arum menjadi semakin mura m. Sambil bersungutsungut ia berkata "Ayah tidak adil. Kenapa hanya anak laki-la ki saja yang boleh pergi ke Sukawati" Ayah tidak me manggil aku dan menyuruh aku pergi bersama dengan ka kang Juwiring dan Buntal" "Untunglah bahwa ka kakmu datang me mberitahukan kepadaku bahwa kau akan ikut serta, bahkan kata mu, akulah yang menyuruhnya" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Arum. Jika ayah tidak menyuruhmu, tentu ayah mempunyai alasan. Bukan ayah me mbedakan murid-muridnya di dala m
olah kanuragan, tetapi menurut kodrat mu kau adalah seorang gadis. Adalah tidak pantas jika kau ikut mene mpuh perjalanan ini. Selain jalan yang akan dilalui oleh kedua kakakmu itu masih merupakan sebuah daerah yang gelap karena kita tidak tahu apa yang akan mereka jumpa i, adalah juga tida k pantas jika kau pergi bersa ma mereka. Setiap orang di padepokan dan padukuhan ini mengetahui, bahwa kedua anak muda itu sebenarnya bukan saudaramu yang sesungguhnya" "Ah apakah salahnya aku berjalan bersama kedua saudara angkatku" Aku menganggap mereka seperti sudaraku sendiri. Benar-benar seperti saudara kandung" Arum me mandang ayahnya sejenak, namun ke mudian kepalanya tertunduk lagi. Namun ia masih berkata "Dan seandainya jalan yang akan dilalui itu gawat, apakah jalan itu dapat membedakan antara seorang laki-laki dan pere mpuan" Jika jalan itu gawat bagiku, maka ja lan itu gawat juga bagi kedua kakakku. Atau barangkali ayah menganggap bahwa ke ma mpuanku lebih rendah dari ke ma mpuan kedua ka kakku" Jika de mikian, ayahpun tidak adil pula" "Ah, pikiranmu selalu bergeser jauh dari persoalan yang sebenarnya sedang kita bicarakan. Bagaimanapun juga bahaya bagi seorang gadis menurut kodratnya adalah lebih besar bagi seorang laki-laki. Jika seorang laki-laki batas bencana bagi dirinya adalah mati, maka bagi seorang gadis masih ada lagi bencana yang lebih jahat dari itu, bencana yang akan menyiksa sepanjang umurnya" "Aku mengerti ayah, tetapi aku tidak akan menyerahkan diriku untuk menga la minya, karena aku akan me milih mat i" "Kadang-kadang yang terjadi bukan yang kita pilih Arum" "Apakah aku harus menyerah sebelum berbuat sesuatu?" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Anaknya me mang keras hati. Jika ia sudah me mpunyai niat yang mantap, ma ka sulitlah untuk menahannya. Jika karena
terpaksa Arum dapat dicegah, namun ia akan mencari arah pelarian dari kekecewaannya. Kadang-kadang dengan t ingkah laku yang berbahaya. "Jadi, bagaimanakah sebenarnya niat mu Arum?" bertanya Kiai Danatirta ke mudian. "Sudah je las ayah. Aku akan ikut pergi ke Sukawati" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-da la m. Katanya "Hatimu terlalu keras Arum. Sekeras batu karang" "Aku hidup disela-sela batu karang yang keras ayah. Karena itulah jiwa ku terbentuk sesuai dengan lingkunganku" "He, siapakah yang mengatakan kepada mu?" Arum t idak me njawab. Tetapi ta mpak diwajahnya, bahwa ia sama seka li tidak ingin mengurungkan niatnya. "Arum" berkata ayahnya kemudian "Apaboleh buat, jika kau me mang berkeras untuk pergi. Tetapi aku me mpunyai beberapa syarat" "Apakah syarat itu ayah?" "Kau tidak boleh mengganggu tugas kakak-kakakmu" "Apakah aku sering me ngganggu mere ka?" "Aku belum selesai Arum, Maksudku, karena kau seorang gadis yang ha mpir t idak pernah melihat daerah yang agak jauh, kau jangan me mburu kesenanganmu sendiri. Kau jangan me mbiarkan kedua ka kakmu mengikuti keinginanmu untuk me lihat-melihat daerah yang baru bagimu. Mungkin tanah pegunungan yang hijau, sungai yang bening dan hutan-hutan perburuan dengan binatang-binatangnya yang liar tetapi me mikat" Arum me nganggukkan kepalanya. "Dan masih ada syarat lagi "
Arum me ngangkat wajahnya yang menjadi tegang. "Sebaiknya kau me maka i pakaian seorang laki-laki sepenuhnya. Itu lebih baik bagimu dan bagi perjalananmu. Hindarilah sejauh mungkin orang-orang padukuhan ini meskipun kita mengharap, agar mereka tidak mengenalmu dalam paka ian yang tidak pernah kau pergunakan keluar rumah itu" Arum me narik nafas dala m-dala m. "Masih ada lagi. Sebaiknya kau tidak berbicara di antara orang banyak, agar mereka tidak segera mengenalmu sebagai seorang gadis" Arum menjadi bersungut-sungut. Katanya seperti kepada diri sendiri "Ternyata bahwa laki-laki me mpunyai kese mpatan lebih banyak dari seorang perempuan" "Tida k Arum. Bukan itu ma ksudku" "Ternyata aku harus menjadi seorang laki-laki. Kenapa aku tidak boleh bersikap dala m keadaanku yang sebenarnya?" "Jangan sekarang. Mungkin da la m keadaan yang lain" Arum masih saja bersungut-sungut. Tetapi iapun ke mudian berkata "Jika de mikian kehendak ayah, apaboleh buat. Tetapi aku akan ikut serta" "Bagus" guma m Kiai Danatirta, namun ke mudian "Tetapi ambillah jalan yang lain dari jalan yang biasa kalian lalui. Kalian dapat menga mbil jalan bela kang padepokan ini dan menyusur jalan sempit itu sehingga kalian akan turun ke bulak panjang. Mudah-mudahan tidak banyak orang yang berada di sawah dimusim begini" Demikianlah ma ka Arumpun segera berkemas dan berpakaian sepenuhnya seperti seorang laki-laki. Dengan ikat kepalanya menutup ra mbutnya yang panjang, yang dilipatnya di bawah ikat kepalanya itu.
Juwiring dan Buntal tersenyum-senyum melihat Arum dalam pakaian la ki-laki itu. Na mun mereka terpaksa menye mbunyikan senyumnya ketika Arum bergere mang "Aku tidak mau. Jika kakang berdua mentertawakan aku, aku tidak jadi" "Itu lebih ba ik" sahut Juwiring. "Maksudku, aku tidak jadi me maka i pakaian ini. Aku akan me ma kai pakaianku yang paling ba ik, yang aku terima dari Surakarta. Biar saja ayah marah. Aku t idak peduli" "Ah, jangan merajuk. Cepatlah. Hari sudah semakin siang. Kita akan kepanasan di perjalanan" "Aku tidak takut kepanasan. Nah, ini suatu bukti bahwa tidak selalu seorang pere mpuan lebih le mah dari laki-la ki" Juwiring dan Buntal menahan senyum di bibir mereka. Namun Juwiringlah yang ke mudian berkata "Sudahlah Arum. Marilah. Aku tidak mentertawakan kau lagi" Ketiganyapun kemudian sekali lagi minta diri. Kiai Danatirta hanya dapat mengusap dadanya melihat anak perempuannya itu berjalan di antara kedua saudara angkatnya. Sikap Arum me mang lebih mirip seorang anak laki-la ki dala m pa kaiannya itu, sehingga tentu banyak orang yang tidak dapat mengenalnya lagi. Bahkan mungkin gadis-gadis kawannya bermainpun tidak akan dapat segera mengenalnya. Ketika matahari hinggap di punggung pebukitan, ketiga anak-anak muda itu ke luar dari regol butulan padepokannya diantar oleh Kiai Danatirta sa mpai kejalan se mpit di sebelah luar dinding hala man, sa mbil me mberikan pesan-pesannya. Dengan langkah yang tetap ketiganyapun kemudian berjalan semakin la ma sema kin jauh, menyusup di bawah bayangan dedaunan yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan.
Ketika ketiga anak-anak muda itu telah hilang di balik kelokan jalan, maka Kiai Danatirtapun menarik nafas dalamdalam. Di da la m hatinya ia berguma m "Anak yang keras hati, sekeras hati ibunya. Mudah-mudahan ia tidak me milih jalan yang sesat seperti jalan yang dilalui ibunya itu, sehingga yang terjadi adalah sebuah ma lapetaka" Namun seperti yang pernah terjadi, dada Kiai Danatirta menjadi berdebar-debar jika ia mengenangkan dua orang anak muda yang tinggal bersa ma di padepokannya. Dua anak muda yang me miliki sifat yang berbeda justru karena atas tempat mereka berpijakpun berbeda pula. Tetapi keduaduanya me miliki ke lebihan mere ka masing-masing di sa mping kele mahan yang wajar terdapat pada setiap orang. "Mudah-mudahan tidak akan pernah timbul persoalan di antara mereka bertiga justru karena salah seorang dari mereka adalah seorang gadis" guma m Kiai Danatirta di dala m hatinya. Dengan kepala tunduk orang tua itupun masuk ke mbali ke halaman sa mping padepokannya dan berjalan melintasi sebuah petamanan yang sempit. Akhirnya segalanya harus dipasrahkan kepada Tuhan Yang Suci. "Ke manakah mere ka pergi Kiai?" bertanya seorang cantrik. Kiai Danatirta berpaling. Dilihatnya cantriknya yang setia berdiri di belakangnya. Seorang yang telah mendekati usia setengah abad. "O" sahut Kia i Danatirta "Mereka pergi me lihat-lihat daerah di luar padepokan ini. Mereka harus me mpunyai ga mbaran tentang kehidupan di ala m yang luas. Bukan sela lu hidup dan me lihat kehidupan yang sempit di padepokan ini saja" Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Me mang pengala man itu sangat perlu. Tetapi kenapa justru saat ini?"
"Kenapa dengan saat ini?" bertanya Kiai Danatirta. "Kia i" jawab Cantrik itu "ha mpir setiap orang me mpersoalkan keadaan yang berke mbang masa kini. Rasarasanya kota Surakarta telah dipanggang diatas bara yang semakin la ma menjadi se makin panas" "Tetapi mereka tidak akan pergi ke kota cantrik. Mereka akan menyelusuri desa yang satu ke desa yang lain. Aku sudah menunjukkan kepada siapa mereka harus datang dan apakah yang harus dikatakannya" Cantrik itu mengangguk-angguk pula. Namun ia masih menjawab "Tetapi udara yang panas itu telah me manasi padesan dan padukuhan di daerah ini, Kiai, jalan yang semula aman dan tenteram, sema ki la ma menjadi se makin gelisah karena hal-hal yang tidak jelas" Kiai Danatirta tersenyum, katanya "Itulah yang sedang dilihat oleh ana k-anak itu cantrik?" Cantrik itu menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Sebenarnya hal itu terlampau berbahaya bagi mereka Kiai. Mereka masih terla mpau muda dan be lum berpenga la man" Sambil menepuk bahu cantrik itu Kiai Danatirta berkata "Terima kasih cantrik. Kau sangat me mperhatikan mereka. Mudah-mudahan mereka selamat. Tetapi sekali-sekali mereka me mang harus berlatih menjelajahi daerah ini. Mengenal lingkungan di sekitarnya dan menghayati perjalanan yang kadang-kadang sulit" Cantrik itu masih me ngangguk-angguk. "Nah, kembalilah kepada pekerjaanmu. Akupun akan pergi ke sawah. Karena kedua anak-anakku itu tidak ada di rumah, akulah yang harus me mbuka pe matang untuk mendapatkan air" "Bukankah aku dapat juga pergi Kia i?"
"Kau me mpunyai tugasmu sendiri" Cantrik itupun ke mudian pergi ke be lakang. Digapa inya kapaknya dan iapun me lanjutkan kerjanya, me mbelah kayu bakar. Dala m pada itu, ketiga anak muda dari padepokan Jati Aking itupun telah melintasi parit dan turun kejalan yang lebih besar. Untunglah tidak banyak orang yang mereka jumpai, sehingga mereka tidak perlu menjawab pertanyaanpertanyaan mereka, karena se mua orang di Jati Sari dan sekitarnya sudah mengenal mereka sebagai anak-anak angkat Kiai Danatirta. Apalagi merekapun mengetahui, bahwa Raden Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Seorang yang masih harus diagungkan dan dihormati meskipun Juwiring sendiri sa ma sekali tidak menghendakinya. Ternyata pula bahwa Arum tida k menarik perhatian mereka justru karena mereka t idak me nyangka sa ma sekali. Perjalanan itupun ke mudian menjadi se makin laju ketika mereka ke luar dari daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang telah mengenal mere ka. Daerah yang masih agak asing bagi Arum, meskipun kadang-kadang ia ikut ayahnya pergi kekenalan-kenalannya di padesan di sekitar Kademangan Jati Sari. Orang-orang yang berpapasan dengan ketiga anak-anak muda itu sa ma seka li tidak me ngira, bahwa seorang dari mereka adalah seorang gadis. Dalam pakaian laki-laki Arum me mang benar-benar seperti seorang laki-laki. Langkahnya yang tegap dan tandang geraknya yang cekatan. Hanya apabila ia berbicara, maka suaranyalah yang terutama me mperkenalkannya bahwa ia adalah seorang gadis. Kadangkadang juga kenianjaannya dan wajahnya yang berubahubah. Kadang-kadang ia tersenyum, bahkan tertawa. Tetapi hampir tanpa sebab ia me mberengut dan bersungut-sunguit. Tetapi Juwiring dan Buntal yang sudah bergaul lama dengan Arum, sudah mengenalnya dengan baik. Karena itu,
mereka ha mpir t idak terpengaruh karenanya. Dibiarkannya Arum bersungut-sungut ketika ia melintasi parit yang kotor dan mele mparkan bau yang tidak sedap di hidungnya. Tetapi ia tertawa karena ia melihat seorang anak kecil yang duduk diatas punggung kerbau yang dige mbalakannya. Ketika mereka ke mudian melintasi jalan se mpit di sebelah sebuah hutan perburuan yang tidak begitu lebat, maka Arumpun bertanya "Apakah kita tidak dapat menyusup lewat hutan ini?" "Mungkin kita akan dapat sampai pula. Tetapi aku masih menyangsikannya" sahut Juwiring. "Marilah kita coba. Kita masuk ke dala m hutan ini. Jika kita mengetahui arahnya, kita akan dapat menyelusur sa mpa i ke tepi di sebelah la in" "Ah" Buntallah yang ke mudian menjawab "Bukankah ayah sudah berpesan, jangan menuruti kesenangan sendiri" "Tetapi aku tidak berbelok dari tugas yang aku bawa. Aku tetap pergi ke Sukawati. Aku hanya ingin berjalan di dalam hutan perburuan yang belum pernah aku lihat" "Binatang buruan adalah binatang yang me mikat" sela Juwiring. "Tergantung kepada kita. Jika kita tida k terpikat, kita tidak akan terganggu karenanya" "Lebih ba ik kia berjalan di luar hutan" berkata Buntal ke mudian. "Apakah kalian takut bertemu dengan seekor harimau?" Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu iapun ke mudian bertanya "Apakah kau pernah melihat seekor harimau, Arum?" "Tentu sudah" jawab Arum dengan serta-merta "di padang perdu, di sebelah padepokan kita, masih berke liaran beberapa ekor harimau. Di pegunungan yang me mbujur ke Barat itupun
terdapat beberapa ekor yang sering mengganggu padukuhan di sekitarnya karena harimau-harimau itu sering mencuri kambing" "Harimau tutul. Harimau yang agak kecil dibanding dengan harimau ge mbong yang berkulit loreng" "Kau takut?" "Bukan takut. Tetapi perjalanan kita dapat terganggu. Kita harus me manjat dan menunggu sa mpai harimau itu pergi" "Ah, kita akan me mbunuhnya. Kita bunuh harimau itu dengan pisau-pisau kita. Kita mele mparkan bersama-sa ma tiga buah pisau. Sebuah di pangkal pahanya yang depan, sebuah dikeningnya dan yang la in diarah jantung" Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Ha mpir di luar sadarnya Juwiring bertanya "Kenapa di pangka l pahanya yang depan?" "Kau bertanya, atau sekedar ingin tahu apakah aku mengerti kata-kata yang aku ucapkan" "Ah" Juwiring tersenyum "kedua-duanya" Arum me mandangnya dengan tajam, lalu "Baiklah. Menurut ayah ketika ia menangkap seekor harimau yang berwarna kehita m-hita man, pangkal paha depan dapat me lumpuhkannya. Harimau itw tidak akan dapat lari kencang lagi" "Apakah harimau?" Kiai Danatirta pernah me mbunuh seekor
"Dahulu ketika aku masih kecil. Kalian belum ada di padepokan" Juwiring dan Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi bagaimana dengan kita?" t iba-tiba saja Arum bertanya sambil berhenti.
"Kenapa kau berhenti?" bertanya Buntal. "Aku akan menyusup hutan rindang ini" "Ah" "Jika kalian tidak mau, aku akan mene mbus hutan ini sendiri" "Kau sudah mulai rewe l Arum" desis Juwiring. "Terserahlah kepada kalian" Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka sadar, bahwa Arum me mang keras kepala. Jika t idak, ia tentu tidak akan ikut serta bersa ma mereka. "Jangankan ka mi" berkata kedua ana k muda itu di dala m hatinya "sedang Kiai Danatirtapum tidak dapat mencegahnya" "Apakah kalian akan ikut?" tiba-tiba saja Arum bertanya sambil me langkah mendekati hutan perburuan itu. Juwiring dan Buntal berpandangan sejenak. Keduanyapun ke mudian mengangkat bahunya. "Apaboleh buat" desis Juwiring. Dengan demikian maka keduanyapun segera me langkah mengikut inya. Bagaimanapun juga hati mereka bergeremang, namun mere ka tidak akan dapat mencegah gadis itu lagi. Apalagi sebenarnya keduanyapun me mpunyai keinginan betapapun kecilnya, untuk sekali-sekali melihat-melihat daerah perburuan. Kadang-kadang beberapa orang bangsawan me masuki hutan itu dan berburu kijang atau rusa. Meskipun demikian kadang-kadang mereka bertemu juga dengan seekor harimau yang besar. Adalah di luar pengetahuan ketiganya bahwa hutan perburuan itu merupakan hutan yang tertutup. Karena binatang buruan menjadi sema kin berkurang, maka hanya para bangsawan sajalah yang kemudian diperkenankan
berburu di hutan itu. Dan Juwiring yang pernah juga berburu, tidak mengetahui bahwa di saat terakhir telah dibuat peraturan serupa itu. Dengan berlari-lari kecil Arum me masuki hutan yang tidak begitu lebat itu. Hutan yang baginya merupakan te mpat bermain yang menyenangkan seka li. Juwiring dan Buntal hanya mengikutinya saja. Jika ke mudian Arum hilang dari pandangan mata mereka, merekapun sekedar berteriak me manggil. "Aku di sini" jawab Arum dari kejauhan. "Jangan terlalu jauh. Kau dapat tersesat. Atau jika kita semuanya tersesat, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tetapi jika kita bersama-sama, tersesat atau tidak, kita tetap bersama-sama " Arumpun aga knya dapat mengerti juga. Karena itu, iapun tidak lagi berlari-lari terlalu jauh. "Begitukah caramu berburu Arum" bertanya Juwiring "Jika demikian maka binatang-binatang buruan akan berlari-larian menjauh sebelum kau se mpat me lihatnya" "Ah, jangan me mperbodoh aku" sahut Arum "Bukankah kita tidak sedang berburu. Jika kita sedang berburu, kita harus mengetahui arah angin. Kita harus duduk didahan beberapa la ma, dan jika kita harus menyelusuri jejak binatang, kitapun harus berjalan sangat berhati-hati atau menunggunya dide kat sumber air di tengah hari, menunggu saat binatang buruan menjadi haus dan minum di sumber itu" Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Tetapi Juwiring segera menyahut "Tentu Kiai Danatirta yang memberi tahukan kepada mu" "Tentu. Jika bukan ayah, siapa lagi?" Kedua anak-anak muda itu tersenyum.
Namun dala m pada itu, ternyata suara mereka yang keras dan bergema di dala m hutan itu jika mereka saling me manggil, telah didengar oleh beberapa orang prajurit yang mendapat tugas meronda i hutan itu. Prajurit-prajurit itu harus mencegah jika ada pemburu liar yang mereka sebut mencuri binatang di hutan itu. Itulah sebabnya, maka sejenak ke mudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari-lari di hutan yang rindang itu. Juwiring, Buntal dan Arumpun ke mudian terkejut mendengar derap kaki kuda itu. Mereka menyangka bahwa ada seorang bangsawan yang sedang berburu. Karena itu, maka Juwiringpun berkata "Marilah kita menghindarinya. Aku tidak mau mene mui siapapun. Mungkin pe mburu itu adalah adimas Rudira, mungkin adimas atau ka mas sepupuku atau barangkali pa manda Pangeran siapapun juga" "Kenapa kita harus menghindar?" bertanya Arum "Aku ingin me lihat cara mereka berburu" "Arum, kali ini a ku minta dengan sangat. Cobalah mengerti perasaanku. Kau tidak boleh ingkar, bahwa kau mengetahui tentang diriku, bahwa aku adalah putera seorang Pangeran" Arum mengerutkan keningnya. Kemudian iapun menjawab "Apa salahnya jika kau putera seorang Pangeran. Justru mereka akan mengena lmu dan bahkan mungkin mengajak kita untuk ikut berburu" "Ah, kau aneh Arum. Aku adalah seorang putera Pangeran yang seakan-akan telah tersisih. Maka lebih baik bagiku apabila aku tidak berhubungan lagi dengan para bangsawan. Setidak-tidaknya untuk se mentara, karena aku merasa diriku telah terpisah dari mere ka" Bagaimanapun juga keras hati gadis itu, tetapi ia me lihat kesungguhan me mbayang di wajah Juwiring. Karena itu maka iapun ke mudian menganggukkan kepalanya sambil berkata
"Terserahlah kepada mu. Kau adalah saudara yang tertua di antara kami bertiga. Kaulah yang akan me nentukannya" "Baiklah" jawab Juwiring "Terima kasih" Ia berhenti sejenak untuk mendengar langkah kaki-kaki kuda yang menjadi semakin de kat. "Kita berhenti saja di sini" berkata Juwiring ke mudian. Ketiganyapun kemudian duduk di bawah sebatang kayu yang besar. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan langkah kaki-kaki kuda itu. Biar saja orang-orang berkuda itu lewat. Mereka tidak akan mengganggu. Tidak akan menyapa dan sama sekali tidak akan me mperhatikannya. Bahkan Juwiring mengharap agar orang-orang berkuda itu tidak melihatnya, agar mereka bertiga tidak usah menghormati mereka dengan tata cara yang tidak disukainya. Apalagi mereka bertiga me ma kai pa kaian petani yang sederhana. Tetapi ternyata derap kaki-ka ki kuda itu menjadi kian dekat. Kadang-kadang berhenti dan ke mudian terdengar lagi. Dala m pada itu, orang-orang berkuda yang sedang mencari anak-anak muda itu berusaha untuk mengikuti jeja k yang telah mereka kete mukan. Bekas-bekas kaki ketiga anak-anak muda itu ta mpak pada ranting-ranting perdu yang patah dan rerumputan yang roboh. "Mereka masih berada Di te mpat ini" berkata salah seorang dari mereka "Suara mereka terdengar dari arah ini" "Ya" Suara itu bergema. arahnya" Sangat sulit untuk menemukan
"Tetapi kita mene mukan jejak ka ki yang baru di daerah ini. Kita dapat mengikut i jejak ini dan ke mudian mene mukan mereka. Ternyata menilik jejaknya, mereka tidak hanya seorang diri.
"Ya. Tentu, bukan hanya seorang, karena mereka saling me manggil" Demikianlah mereka maju perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah, sehingga para prajurit itupun telah berloncatan dari punggung kuda mereka, agar mereka dapat mengikuti jejak itu dengan saksa ma. "Kita berpencar" berkata pemimpin sekelompok prajurit yang sedang menyusuri jejak itu. Jika salah seorang dari kita mene mukannya, kita akan me mberikan tanda-tanda. Di sini jejak itu berpisah. Dan kitapun berpisah" Maka sekelompok prajurit itupun ke mudian berpencar. Karena jejak yang mereka ikutipun berpencar. Jejak yang me misahkan diri itu adalah jejak Arum. Namun jejak itu tida k berpisah terla mpau la ma. Akhirnya jejak itupun bergabung kembali sehingga para prajurit itupun berkata di antara mereka "Jejak ini menyatu lagi" Pemimpin prajurit peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya mencoba me mecahkan teka-teki itu Agaknya ia kehilangan binatang buruannya" "Atau karena kawannya me manggilnya. Bukankah la matla mat kita mendengar suara mereka me manggil" sahut salah seorang prajurit. Pemimpin kelompok peronda itu mengangguk-angguk pula. Lalu katanya "Baiklah, kita maju terus. Tetapi sebaiknya kita agak menebar" Sambil menuntun kuda masing-masing maka beberapa orang prajurit itupun maju terus. Semakin la ma mereka me mang menjadi se makin ce kat dengan te mpat Juwiring dan adik-adik angkatnya duduk di bawah sebatang pohon yang besar.
Seorang prajurit yang berada di pa ling depan akhirnya me lihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga karena itu, maka iapun berhenti dan me mberitahukannya kepada pe mimpinnya. Pemimpinnyapun kemudian maju di sa mping orang itu. Dan dilihatnya tiga orang duduk di bawah sebatang pohon sambil menundukkan kepa la mereka. "He m, itulah mere ka" guma m pe mimpin kelompok itu. "Ya. Tetapi mereka tida k menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak me mbawa senjata untuk berburu" sahut seorang prajurit. "Bagaimanapun juga mereka sudah melanggar peraturan. Marilah kita dekati dan kita bertanya kepada mereka, apakah yang mereka cari disini" Maka beberapa orang prajurit itupun ke mudian mende kati mereka yang sedang duduk sa mbil menunduk itu. Juwiring, Buntal dan Arum me nyadari, bahwa beberapa orang sambil menuntun kuda mereka, telah berjalan mende kat. Menilik paka ian mereka, maka orang-orang itu adalah prajurit-prahurit Surakarta, sehingga karena itu, maka hati Juwiringpun me njadi se ma kin berdebar-debar. Beberapa langkah dari tempat ketiga anak-anak muda itu duduk, para prajurit itu berhenti. Sementara itu Juwiring berbisik kepada Buntal "jawablah pertanyaan mereka" Buntal mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti bahwa Juwiring
benar-benar ingin menye mbunyikan dirinya, agar ia tidak dikenal oleh para prajurit itu sebagai seorang bangsawan. Karena itu, ketika orang-orang itu mende katinya, maka Buntallah yang ke mudian mengangkat wajahnya. "He, siapakah kalian?" bertanya pemimpin prajurit itu. "Ka mi adalah anak-anak padepokan Jati Aking di Jati Sari tuan" "Kenapa ka lian ada di tengah-tengah hutan perburuan ini?" "Tida k apa-apa tuan. Kami hanya sekedar lewat. Kami akan me lintasi hutan ini dari sebelah sisi sampa i kesisi yang lain. Sebenarnyalah bahwa kami sedang mencari jalan yang me mintas" Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. maka iapun bertanya "Ke mana ka lian akan pergi?" Kemudian
Buntal menjadi termangu-mangu sejenak. Sedang Juwiringpun menjadi berdebar-debar. Mereka sama sekali belum mengetahui sikap para prajurit itu. Apakah mereka termasuk orang yang berpihak kepada orang-orang asing itu dan me mbenci Pangeran Mangkubumi atau sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang bersikap me musuhi kumpeni dan sependapat dengan. Pangeran Mangkubumi Karena itu Buntal tidak segera menjawab. Dipandanginya Juwiring sejenak, tetapi Juwiring masih menundukkan kepalanya. "Ke mana kalian akan pergi he?" Buntal harus segera menjawab. Karena ia tidak me mpunyai jawaban lain, maka iapun akhirnya menyahut "Ka mi akan pergi ke Sukawati tuan" "Sukawati" Kenapa kau pergi ke Sukawati he?"
Dada Buntal menjadi kian berdebar-debar. Namun ia menyahut juga "Ka mi akan menengok kake k ka mi yang tinggal di daerah Sukawati. Sudah la ma ka mi tidak menengoknya dan kakek ka mi yang sering datang ke Jati Aking sudah la ma pula t idak datang" Prajurit itu me ngerutkan keningnya. Meskipun ia sudah la ma berada dan menjadi prajurit Surakarta, tetapi ia tidak mengetahui siapakah yang disebut penghuni-penghuni Jati Aking di Jati Sari, karena tugasnya yang berpindah-pindah. Karena itu nama-na ma te mpat itu sa ma sekali tidak menarik perhatiannya. "He, kenapa kalian lewat hutan tertutup ini?" bertanya prajurit itu lebih lanjut. Buntal terkejut mendengar pertanyaan itu, apalagi Juwiring. Na mun Juwiring masih saja menundukkan kepalanya meskipun ia ingin bertanya beberapa hal kepada prajurit itu. Untunglah bahwa Buntalpun bertanya pula kepada prajurit itu "Tetapi bukankah hutan ini hutan perburuan" Menurut pendengaranku hutan ini terbuka bagi siapapun juga yang ingin berburu binatang" "Sekarang tidak lagi. Hutan ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan" "O, kami tidak mengerti tuan. Kami mohon maaf. Kami akan segera keluar dari hutan ini. Ka mi berani me masuki hutan ini karena ka mi mengira bahwa hutan ini masih bukan hutan tertutup" "Apa, begitu saja minta maaf dan akan pergi meningga lkan hutan ini?" bertanya prajurit itu. Buntal mengerutkan keningnya. "Kau sudah berbuat kesalahan. Di dalam keadaan yang panas ini, ka mi tidak dapat berbuat terlalu baik terhadap siapapun. Dan aku tidak yakin jika kalian adalah anak-anak
muda yang sekedar tida k mengetahui bahwa hutan ini adalah hutan tertutup" "Tuan" berkata Buntal "Ka mi adalah anak-anak padepokan. Kami sa ma se kali tidak mengetahui perke mbangan keadaan. Kami tida k tahu apakah yang sedang terjadi saat ini dan kamipun tidak tahu bahwa hutan ini adalah hutan larangan. Sehari-hari ka mi bergulat saja dengan padepokan ka mi. Sawah dan ladang dan sedikit olah kajiwan" "Aku tida k peduli. Kalian telah me langgar peraturan. Karena itu ka lian harus ditangkap" Dada Buntal menjadi se makin berdebar-debar. Demikian juga agaknya Juwiring dan Arum. Arum merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan mereka bertiga dalam persoalan yang tidak mereka sangka-sangka. Tetapi seperti pesan yang diterimanya, bahwa sebaiknya ia tidak berbicara kepada orang lain sehingga tida k segera menimbulkan kecurigaan. Setidaktidaknya mereka pasti a kan bertanya, kenapa berpakaian seperti seorang laki-laki. "Tuan" berkata Buntal ke mudian "Ka mi mohon maaf yang sebesar-besarnya tuan. Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa hutan ini sekarang menjadi hutan tertutup. Menurut pengetahuan kami, hutan ini ada lah hutan yang terbuka karena kami pernah juga melihat orang-orang berburu di hutan ini beberapa saat lampau tanpa kami sengaja, ketika kami dala m perjalanan seperti sekarang ini" "Omong kosong" bentak prajurit itu "ikut ka mi" Buntal menjadi bingung. Karena itu, maka digamitnya Juwiring yang masih me nunduk me me luk lututnya. "Jangan me mbantah perintah ka mi. Jika di dala m pemeriksaan selanjutnya kalian tida k bersalah, kalian akan kami lepaskan" "Apakah ka mi akan dibawa ke Surakarta?" bertanya Buntal.
"Tida k. Kalian a kan ka mi bawa ke induk penjagaan hutan ini. Mereka, pemimpin ka mi yang lebih tinggi, akan menentukan apakah kalian boleh pergi atau tidak" Buntal menjadi termangu sejenak. Jika mereka dibawa pergi ke induk penjagaan hutan ini, dan para prajurit mene mukan senjata di dalam tubuh mereka, maka hal itu pasti akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi di saat-saat seperti sekarang, saat Surakarta dipanggang diatas bara api ketidak pastian. Setiap orang tidak mengerti dengan pasti apa yang sebaiknya dilakukan selain mereka yang sudah bersikap. Karena itu, untuk menemui pe mimpin prajurit yang bertugas di hutan perburuan itupun Buntal menjadi ragu-ragu. Jika para prajurit menjadi curiga dengan senjata-senjata mereka, dengan pisau-pisau yang terselip pada ikat pinggang di bawah baju mereka, maka akan dapat timbul salah paha m dengan para prajurit itu. "Cepat" prajurit itu me mbentaknya "berdiri dan berja lan ke induk penjagaan itu. Jika kalian me mang merasa tidak berbersalah, maka kalian tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi jika ka lian menolak, ka mi akan me maksa dengan kekerasan karena itu berarti bahwa kalian me mang bersalah" Debar di dada Buntal menjadi semakin keras, Sekali-sekali dipandanginya prajurit-prajurit yang berdiri di sekitarnya dengan sudut matanya, seakan-akan Buntal ingin menjajagi ke ma mpuan para prajurit itu. Na mun de mikian ia masih sempat juga berpikir, bahwa akibatnya jika ia menolak akan berkepanjangan juga, karena ia sudah terlanjur berterus terang bahwa ia adalah penghuni padepokan Jati Aking di Jati Sari. Selagi Buntal kebingungan, maka sa mbil menundukkan kepalanya Juwiring berkata "Kita pergi bersa ma mereka"
Buntal termangu-mangu sejenak. Arum yang sudah mengangkat wajahnya, tidak jadi mengucapkan sepatah katapun, karena tiba-tiba-tiba saja ia teringat kepada pesan agar ia tidak berbicara. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Juwiringpun ke mudian berdiri meskipun kepalanya masih tetap tunduk. Ditariknya lengan Arum sa mbil berkata "Marilah" Arum dan Buntal masih tampa k merekapun ke mudian me ngangguk pula. ragu-ragu. Tetapi
"Marilah" berkata Buntal kepada prajurit itu. "Jangan berbuat sesuatu yang dapat membuat ka lian menyesal" perintah pe mimpin prajurit itu. Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab. "Ikutlah aku" perintah prajurit itu ke mudian baik ke atas punggung kuda masing-masing. Buntal, Juwiring dan Arumpun ke mudian berjalan di belakangnya. Tetapi agaknya prajurit itu tidak mau me lelahkan ka kinya untuk berjalan. Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah mengikutinya, maka iapun ke mudian me loncat ke atas punggung kudanya. Para prajurit yang lain me ngikuti di be lakang ketiga anak muda dari Jati Aking itu. Tetapi merekapun segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing. Buntal me mandang para prajurit itu dengan hati yang bergejolak. Namun ketika ia sadar, bahwa ia bersama kedua saudara angkatnya itu berpakaian seperti seorang petani yang sederhana, maka iapun mencoba untuk menenangkan perasaannya. "Betapa rendahnya martabat seorang petani, tetapi sikap itu adalah sikap yang deksura" berkata Buntal di dala m hatinya.
Namun ia masih juga berjalan terus bersa ma kedua saudara angkatnya mengikuti prajurit yang berkuda di hadapan mereka. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari kecil dan bahkan berloncatan jika mereka sa mpai di bawah sebatang pohon tua dengan dahan-dahannya yang berpatahan. Dala m pada itu selama mereka berjalan, Buntal sempat bertanya kepada Juwiring "Bagaimanakah jika mereka mene mukan senjata-senjata kita?" "Biarlah kita mengatakannya, bahwa senjata-senjata itu sekedar untuk menjaga diri" "Tetapi senjata-senjata kami bukannya senjata yang biasa dipergunakan oleh orang kebanyakan. Mereka tentu akan bertanya terus-menerus tentang senjata-senjata kita yang pasti mereka anggap aneh" Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika sekilas ia berpaling maka diketahuinya bahwa prajurit-prajurit yang me mbawanya itu belum mengenalnya atau jika ada yang pernah melihatnya, mereka tidak dapat mengenalinya karena pakaian yang dipakainya adalah pakaian seorang petani yang sederhana. "Aku harap mereka percaya" berkata Juwiring kemudian "Jika tida k, kita a kan mencari jalan lain" "Melarikan diri" Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa kita adalah anak-anak Jati Aking. Mereka pasti akan mencari kita dan jika mereka tidak mene mukan kita, maka Kiai Danatirtalah yang harus bertanggung jawab. Aku yakin bahwa Kiai Danatirta tidak akan berbohong" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Me mang agak sulit untuk me mecahkan persoalan yang tiba-tiba saja harus mereka hadapi. Tetapi Juwiring dan Buntal t idak mau me le mparkan kesalahan kepada Arum. Bagaimanapun juga mereka harus me mpertanggung jawabkan bersama-sa ma.
Hanya Arum sendirilah yang merasa di da la m hatinya, bahwa ia adalah sumber dari kesulitan ini. Bahkan tiba-tiba saja ia berbisik perlahan sekali agar suaranya yang bernada tinggi itu tidak didengar oleh para prajurit "Bagaimanakah jika kita nanti dibawa ke Surakarta?" Juwiring me mandanginya sejenak, namun iapun ke mudian tersenyum "Tidak apa-apa. Bukankah sekali-sekali kau ingin juga bertamasya ke Sura karta" "Ah kau" Arum bersungut-sungut. Na mun sebelum ia meneruskan kata-katanya, Juwiring menyahut "Bukan maksudku. Tetapi jika kita terpaksa dibawa ke Sura karta, maka aku mengharap bahwa ada satu dua orang perwira atasan yang mengenal aku, bahwa aku adalah putera ayahanda Ranakusuma. Dengan demikian, ma ka kita akan dapat bebas dari segala tuduhan, meskipun perjalanan kita terhambat" "Tetapi dengan senjata-senjata kita yang aneh ini?" "Kita me mang ingin berburu" jawab Juwiring "dan aku harap, mereka tidak akan me mperpanjang persoalan lagi" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Juwiring sendiri tida k yakin akan kata-katanya. Meskipun ia putera Pangeran Ranakusuma, ma ka kumpeni dan para bangsawan yang berpihak kepadanya akan dapat mencurigainya, karena ternyata banyak pula para bangsawan yang menentang mereka. Dala m pada itu mere kapun menjadi se makin dekat dengan induk penjagaan hutan itu. Dari kejauhan telah tampak sebuah gardu yang agak besar. Beberapa ekor kuda masih tertambat di pepohonan. Dua tiga orang prajurit duduk di serambi gardu itu sa mbil berbicara dengan asyiknya. Ketika mereka melihat prajurit berkuda yang di paling depan, maka merekapun segera berdiri. Seorang yang sudah
setengah umur me mandang prajurit itu dengan sorot mata yang tajam. "Ka mi me mbawa mereka" berkata prajurit itu sambil me loncat dari kudanya. "Siapa?" bertanya prajurit yang sudah agak lanjut usia "Anak muda yang sering mencuri binatang buruan" "Ka mi tidak pernah mencuri " Buntal me nyahut. "Dia m" bentak prajurit itu. "Dima na kau temukan anak-anak itu?" bertanya prajurit yang sudah ubanan. "Di tengah-tengah hutan ini ketika aku meronda. Mereka mencoba mencuri binatang buruan" "Tida k" sekali lagi Buntal menyahut. Namun Juwiring yang selalu menundukkan kepa lanya itupun me ngga mitnya. Prajurit-prajurit yang lainpun telah berdiri di belakang ketiga anak-anak muda itu. Tetapi mereka masih belum berbuat apa-apa. "Dima na Ki Lurah" bertanya pemimpin peronda itu kepada prajurit yang sudah setengah umur itu. "Di dala m" "Mari ikut aku" bentak pemimpin peronda itu kepada Buntal. "Ke mana?" beritanya Buntal. "Ikutlah" desis Juwiring. Buntal termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian Juwiring berbisik "Katakan bahwa kita me mang ingin berburu" -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 8 BUNTAL mengerutkan keningnya. Dan iapun bertanya perlahan "Berburu atau sekedar untuk me mbe la diri ?" "Berburu. Katakan bahwa kita akan berburu." bisik Juwiring "ke mudian jangan menola k apapun juga keputusan mereka. Kita berhadapan dengan prajurit2." Buntal menganggukkan kepalanya. Tetapi terbayang bahwa ia akan menghadapi kesulitan. "Cepat." bentak pemimpin peronda itu "ikut aku." Buntalpun ke mudian me langkah me ngikuti pe mimpin peronda itu me masuki gardu induk penjagaan hutan perburuan itu. Diruang dala m, seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap duduk diatas sebuah ambin kecil sambil bersandar tiang. Ia berpaling ketika ia melihat pemimpin peronda itu masuk bersama Buntal. "Siapa itu ?" bertanya prajurit yang tinggi jtegap itu.
"Seorang pencuri binatang buruan" jawab prajurit yang me mbawa Buntal masuk. Prajurit yang tinggi tegap, yang agaknya adalah perolmpin "liiri se luruh penjagaan hutan itupun ke mudian mengerutkan keningnya. Dipandanginya Buntal dengan tajamnya. Lalu katanya "Bawa ia masuk.Suruh ia duduk disitu." Prajurit itupun berpaling kepada Buntal dan ke mudian menyuruhnya duduk disebuah dingklik kayu yang rendah "Duduk" Buntal menjadi ber-debar2. Tetapi iapun duduk di dingklik kayu itu. Prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu me ma ndangnya dengan sorot mata yang mendebarkan jantung. Lalu katanya dengan nada yang datar "Jadi inilah orangnya yang sering mencuri binatang buruan itu, sehingga semakin la ma binatang buruan dihutan ini menjadi se makin tipis." Lalu tiba2 suaranya menyentak "He, kau dari mana?" "Aku anak padepokan Jati Aking tuan." "Jati Aking, Jati Aking" ia mendengar na ma itu." "Jadi kau anak Jati Sari" " "Ya tuan." "Kenapa kau mencuri binatang dihutan ini he?" "Aku tida k mengetahui tuan, bahwa hutan ini merupakan hutan tertutup, sehingga aku sama sekali tidak berniat untuk mencuri. Itulah sebabnya kami bertiga sa ma sekali tidak berusaha bersembunyi atau melarikan diri ketika para peronda lewat." meng-ingat2 "aku pernah
"Jati Aking terletak di padukuhan Jati Sari tuan."
"Bertiga " Jadi kau bertiga ?" "Ya tuan." . "Kalian tida k tahu bahwa hutan ini hutan tertutup ?" "Sungguh tidak tuan." "Bohong" sahut prajurit yang membawa Buntal itu masuk. "hutan itu telah diberi gawar dengan hampir segengga m lawe, berwarna kuning." Buntal mengerutkan keningnya. Jika benar hutan itu telah di beri tanda dengan gawar lawe berwarna kuning, maka pelanggaran yang dila kukan adalah pelanggaran yang cukup berat. Tetapi justru diluar dugaannya, prajurit yang bertubuh tinggi tegap itulah yang bertanya kepada prajurit yang me mbawanya "Apakah gawar itu menge lilingi seluruh hutan ini sehingga setiap lubang masuk telah ditandai " Prajurit itu mengerutkan keningnya. Jawabnya "Tidak Ki Lurah. Tetapi jalan masuk yang biasa dilalui orang sudah ka mi tandai." Prajurit yang tegap itu meng-angguk2. La lu iapun bertanya kepada Buntal "Darimana kau masuk ?" "Ka mi se mula berjalan me nyusur pinggir hutan. Tiba2 saja kami ingin masuk untuk me-lihat2. Seandainya ka mi digolongkan dengan pemburu2, maka niat kami untuk menangkap binatang buruan, hanyalah tiba2 saja tumbuh setelah ka mi berada didala m hutan itu." Pemimpin prajurit itu bergeser sejengtal, lalu "Jadi apa niatmu sebenarnya?" "Ka mi sekedar berjalan dipinggir hutan. Kami sedang dalam perjalanan kerumah ke luarga kami, kakek ka mi yang tinggal di Sukawati."
Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Dan tibatiba saja ia bertanya "Apakah orang ini me mbawa busur dan anak panah?" Prajurit yang me mbawanya ter-mangu2 sejenak. Namun ke mudian ia menggeleng sa mbil me nyahut "Tida k. Mereka tidak me mbawa busur dan anak panah." Pemimpinnya meng-angguk2. Lalu "Apakah kau hanya me mbawa keris itu " " Buntallah yang menjadi ter-mangu2 sejenak. Lalu "Ya. Aku me mbawa keris ini, dan jenis senjata kecil untuk menangkap binatang. Maksud kami apabila diperjalanan ka mi, ka mi bertemu dengan binatang2 yang harus kami lawan. Dan mungkin juga ada seekor kijang dipinggir hutan. Namun sebenarnyalah kami t idak tahu bahwa hutan ini merupakan hutan tertutup." Pemimpin prajurit itu bergeser lagi. Katanya "Jawabanmu ternyata tidak lurus. Mungkin kau ingin me ngatakan bahwa kau benar2 tidak tahu bahwa hutan ini hutan tertutup. Tetapi apakah yang kau ma ksud dengan senjata2 kecil itu ?" Buntal menjadi se makin ber-debar2. "Apa ?" desak pe mimpin prajurit itu. Sebenarnyalah Buntal menjadi bingung. Ternyata menjawab pertanyaan prajurit2 itu tida k se mudah yang diduganya. Apalagi ia me mang tidak siap menghadapi' keadaan serupa itu. "Tunjukkanlah senjata kecil yang kau ma ksud." Buntal tidak dapat berbuat lain. Dibukanya bagian dada bajunya, dan tampaklah beberapa buah belati kecil terselip diikat pinggangnya. Tiba2 saja Lurah prajurit itu melonja k berdiri. Dengan wajah yang tegang ia berkata lantang "Tidak. Kau bukan anak
Jati Aking. Kau bukan anak seorang petani yang pergi kerumah ka kekmu." Buntal terkejut sehingga iapun berdiri diluar sadarnya. Tetapi tiba2 saja prajurit itu menghentakkan bajunya dan meraba bagian belakang ikat pinggangnya. Ternyata bahwa pisau kecil itu terdapat diselingkar perutnya. Dengan nada yang berat prajurit itu berkata "Kau bukan pencuri binatang buruan. Kau bukan sekedar ingin mengunjungi kakekmu di Sukawati. Tetapi kau benar2 orang yang pantas dicurigai dala m saat2 seperti ini." "Kenapa ?" bertanya Buntal. "Jarang sekali aku menjumpai jenis2 senjata aneh seperti ini. Hanya orang2 yang khusus, yang me miliki ke ma mpuan lontar yang tinggi sajalah yang me mbawanya. Dan kau tentu salah seorang daripadanya. Sudah tentu kau adalah perusuh2 yang harus ditangkap" "Tidak tuan" Buntal mencoba menjelaskan. Seperti pesan Juwiring, maka ia harus mengaku bahwa senjata2 itu adalah senjata berburu "Kami me mpergunakannya untuk berburu tuan. Jika perlu ka mi dapat me mbuktikannya. Karena itulah maka ka mi t idak me mbawa busur dan anak panah, karena senjata ini adalah ganti daripada anak panah itu." "Bohong. Apakah kau dapat mendekati binatang buruan sedekat jarak lontaran pisau. ?" Buntal menjadi agak bingung. Tetapi ia sempat menjawab "Ka mi harus nyanggong diatas pohon tuan. Jika binatang itu lewat dibawah ka mi, ka mi me lontarkan pisau ka mi. Dua buah sekaligus mengarah kepangkal paha, kemudian disusul dengan lontaran berikutnya kearah jantung atau diantara kedua matanya apabila ka mi berkese mpatan menghadapinya."
vLurah prajurit itu mengerutkan keningnya. Ternyata Buntal dapat menyebutkan cara yang baik, meskipun Buntalpun hanya sekedar mendengar keterangan Arum. Namun de mikian, tiba2 Lurah prajurit itu me merintahkan kepada prajurit yang membawa Buntal masuk "Bawa yang lain menghadap. Apakah mereka juga me mbawa senjata serupa ini." Buntal menjadi ber-debar2. Tetapi ia tidak dapat berbuajt apa-apa. Bahkan Lurah prajurit itu ke mudian me merintahkan "Kau duduk saja disitu. Duduk. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencela kakan dirimu. Pisau2 itu me mang dapat berbahaya bagi orang lain. Tetapi tidak bagiku." Dada Buntal bagaikan menjadi pepat. Ter-lebih2 lagi ketika ia melihat beberapa orang prajurit yang lain me mbawa Juwiring dan Arum masuk keruang itu. Dengan wajah yang tegang pemimpin prajurit itu me mandang keduanya. Namun ia tidak dapat melihat wajah2 itu dengan je las, karena keduanya menundukkan kepalanya. "Anak ini juga me mbawa senjata serupa ?" bertanya Lurah prajurit itu "bawa ia maju." Seorang prajurit mendorong Arum ke-tengah2 ruangan. Dan pemimpin prajurit itu me mbentaknya Kau masih terlalu muda. Apakah kau ikut juga terlibat dala m kerusuhan2 yang sering terjadi ?" Arum tidak menjawab. Tetapi keringat me mbasahi seluruh tubuhnya. dingin telah
"Ke marilah" berkata pemimpin prajurit itu. Arum berdiri me mbe ku ditempatnya. "Kau tentu me mbawa senjata serupa itu" berkata lurah prajurit itu "buka bajumu."
Perintah itu telah menggetarkan jantung Buntal dan Juwiring. Tentu tidak mungkin Arum harus me mbuka bajunya dihadapan beberapa orang prajurit itu. "Buka bajumu, cepat" pemimpin prajurit itu berteriak. Namun Arum masih saja berdiri tegak. Sebagai seorang gadis yang jarang sekali ke luar dari padepokannya, maka perintah itu telah me mbuatnya pucat. "Cepat, apakah aku harus me maksa mu ?" prajurit itu menjadi se makin marah. Meskipun de mikian Arum masih tetap berdiri me mbe ku. Ternyata pemimpin prajurit itu tidak sabar lagi. lapun me loncat maju sa mbil menjulurkan tangannya. Namun selagi tangan itu be lum menyentuh baju Arum, Buntal dan Juwiring meloncat ha mpir berbareng, dan berdiri tepat dimuka Arum. "Jangan tuan" ha mpir berbareng pula mereka mencegah. Pemimpin prajurit itu menjadi sema kin marah bukan kepalang. Dengan tangan kirinya ia mena mpar wajah Buntal dan Juwiring ber-ganti2. Na mun kedua anak muda yang telah menga la mi pe m-bajaan diri itu,' hampir tidak tergerak karenanya. "Kau gila. Apakah kau sadar bahwa perbuatanmu ini dapat Menyeretmu ke lubang kubur?" Juwiring dan Buntal tidak menyahut. Tetapi ketika mereka sempat melihat para prajurit dise kitarnya dengan sudut mata, maka merekapun melihat ujung2 senjata yang telah terjulur kearah mereka. "Kenapa kau menghalangi aku he?" bertanya lurah prajurit itu. Juwiringlah yang ke mudian me mbuka bajunya dan berkata "Ka mi me mang me mbawa senjata serupa ini"
Pemimpin prajurit itu me mandangi ikat pinggang Juwiring. Seperti ikat pinggang Buntal, maka beberapa buah pisau kecil terdapat pada ikat pinggang itu. "Aku ingin metihat yang seorang itu. Jika berkeberatan, aku akan me mpergunakan kekerasan." kalian
"Tetapi, tetapi" suara Juwiring ter-putus2. Ia menjadi bingung, bagaimana mungkin ia mencegah lurah prajurit itu me mbuka baju Arum. "Bawa kedua anak ini menepi" perintah pemimpin prajurit itu "aku akan me lihat, apa yang tersimpan dibawah baju anak yang tampaknya paling muda ini." Juwiring dan Buntal menjadi bingung. Ter-lebih2 lagi Arum. Wajahnya menjadi se makin pucat, dan tubuhnya gemetar. Namun demikian didala m hati gadis itu, terbersit suatu tekat, jika mere ka me maksa, maka ia a kan me lawan dengan sekuat2 tenaganya. Bahkan terngiang ditelinganya kata2 ayahnya "Bagi seorang anak muda, bahaya yang paling pahit adalah mati" Dan kini Arum menga la mi, bahwa sebelum ia sa mpai pada bahaya yang paling besar bagi seorang gadis, maka yang terjadi mipun sudah ha mpir me mbuatnya pingsan. "Aku akan me milih mati." waktu itu ia menjawab. Dan ayahnya berkata bahwa kadang2 yang terjadi bukannya yang dipilihnya. Jika saat itu ia menjadi pingsan, maka ia tida k akan dapat me milih mat i itu. Ketika beberapa orang prajurit melangkah maju dan menekan-Vnn ujung pedangnya ditubuh Juwiring dan Buntal, maka t idak ada pilihan la in bagi Juwiring untuk mela kukan usaha terakhirnya.
Karena itu, ketika ujung pedang itu mene kannya semakin keras, maka tiba2 saja ia menarik ikat kepalanya yang kumal dan sama se kali me mbuka bajunya. Dengan suara yang bergejtar ia me manggil "Ki Lurah Bausasra." Lurah prajurit itu terkejut. Dengan tajamnya ia menga mati Juwiring yang tidak menundukkan kepalanya lagi, dan apalagi kini kepalanya tidak tertutup lagi oleh ikat kepala yang sudah kumal itu sebagaimana kebiasaan seorang petani. "Kau mengena l na ma ku ?" "Ya Ki Lurah. Aku me ngharap Ki Lurah juga mengenal aku atau se-tidak2nya salah seorang dari kalian." Lurah prajurit yang berna ma Bausasra itu menjadi terheran2. Dipandanginya anak muda yang menyebut namanya itu dengan saksama. Dengan suara yang ragu2 ia bertanya "Siapa kau, siapa ?" "Pandanglah aku. Adalah kebetulan kita sudah pernah bertemu. Kebetulan sekali kau pernah datang kerumahku, dan kita pernah ber-cakap2. Tentu kau lupa kepadaku, karena kau adalah seorang prajurit yang menunaikan tugasmu tidak disatu tempat. Tetapi aku tida k lupa kepada mu." "Siapa, siapa ?" Bausasra bertanya semakin keras "sebut nama mu jika na ma itu dapat mengingatkan aku kepada mu. Namun meskipun kau sudah mengenal aku, itu bukan berarti bahwa aku dapat melepaskan tanggung jawabku sebagai seorang prajurit yang menjaga hutan buruan ini." Juwiring menarik keningnya. Sambil meng-angguk2kan kepalanya ia berkata "Kau benar. Meskipun aku mengenal kau dan kau mengenal a ku, itu bukan berarti bahwa kau dapat me lepaskan tanggung jawabmu. Kau kini sedang bertugas mengawasi hutan bunian ini, dan me larang setiap orang berburu disini. Bukankah itu tugasmu " Tugasmu sa ma seka li tidak untuk menangkap orang da la m tuduhan yang lain kecua li me larang peraturan hutan tutupan ini."
"Tida k. Aku adalah seorang prajurit. Jika aku menjumpai kesalahan yang lain, apalagi perusuh2, meskipun tidak-sedang berada didaerah tugasku, aku me mang wajib menangkapnya. Dan sekarang kalian menimbulkan kecurigaanku karena sikapmu, senjatamu dan itentu ada suatu rahasia yang tersembunyi pada anak yang masih terlalu muda itu." "Ki Lurah" berkata Juwiring ke mudian "marilah kita batasi persoalan kita. Kau bertugas dihutan buruan ini. Dan menurut peraturan, para bangsawan diperkenankan berburu dihutan ini. Dan aku pernah melihat Raden Rudira berburu disini." "Tentu, apakah yang kau maksud adalah Raden Rudira putera Pangeran Ranakusuma?" "Ya." "Tentu. Raden Rudira boleh berburu, dan ia memang sering berburu ke mari." "Dan aku ?" Ki Lurah Bausasra menjadi ter-mangu2. Orang yang tinggi tegap itu memandang Juwiring dengan tajamnya. Kini dia matinya anak muda itu dari ujung kaki sampai keujung rambutnya. "Siapa kau ?" suaranya menjadi rendah. Juwiring tersenyum. Katanya "Apakah benar2 tidak ada seorangpun yang mengenal aku disini." Ki Lurah me mandang berkeliling. Beberapa orang prajurit menjadi ter-mangu2. Dan yang lain menggelengkan kepalanya. Tetapi dalam ruang yang tidak begitu luas itu seorang dari antara mereka tiba2 mendesak maju sambil berkata "Maaf, apakah aku boleh berbicara?" "Apa yang akan kau katakan ?" "Apakah aku boleh menyebut anak muda ini, meskipun barangkali tidak benar."
Pemimpin prajurit yang tegap itu me ngangguk "Sebut namanya." "Apakah, apakah tuan berasal dari istana Ranakusuman juga seperti Raden Rudira ?" perajurit itu justru bertanya. Juwiring tersenyum mendengar pertanyaan itu. Hatinya menjadi agak dingin. Jika ada seorang saja dari antara mereka yang mengenal, maka keadaannya akan menjadi sema kin baik. Namun dala m pada itu, pemimpin prajurit yang tegap dan bernama Bausasra itu terkejut. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya "Dari Ranakusuman ma ksudmu?" Prajurit itu mengangguk. Jawabnya "Ya. Aku pernah me lihatnya dahulu. Sudah agak la ma. Tetapi aku masih ingat." "Jadi siapa anak muda ini, siapa ?" Ki Lurah Bausasra menjadi tida k sabar. " "Kalau aku t idak salah, tetapi kalau tidak salah, bukankah anak muda ini Raden Juwiring." "Raden Juwiring. He" Apakah anak muda ini Raden Juwiring ?" Juwiring menganggukkan kepalanya. Katanya "Ya Ki Lurah Hausasra. Aku adalah Juwiring, Juwiring dari Ranakusuman. Karena itu aku mengenalmu meskipun kau t idak lagi dapat mengenali a ku." "O, jadi, jadi?" Ki Lurah Bausasra agak gugup. "Mungkin pakaianku dan sikapku me mbuat mu se makin tidak mengenal aku." Bausasra menga mati Raden Juwiring dengan saksa ma. Dan sejenak kemudian ia berteriak "Pergi, semuanya pergi dari ruangan mi. Biarlah ketiga anak2 muda ini tinggal bersama aku."
Para prajurit itupun menjadi ter-mangu2. Pedang yang masih telanjangpun ke mudian tertunduk lesu. "Pergi" sekali lagi. Bausasra berteriak. Beberapa orang prajurit yang ada didalam ruangan itupun ke mudian me langkah surut dengan dada yang bcr-debar2. Dan ketika mereka sudah sa mpai dipintu, maka merekapun ber-desak2an meloncat keluar, se-akan2 ruangan itu menjadi terlampau panas bagi mere ka. Ketika mereka sudah ada diluar, maka seorang dari prajurit itu berdesah "Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi " Jika Raden Juwiring itu menjadi marah, maka kita semuanya akan " kena akibatnya," "Aku ha mpir tidak mengena lnya lagi. Baru ketika ia melepas ikat kepalanya sama sekali dan ke mudian menyebut nama Raden Rudira. Bukankah Raden Rudira itu adiknya ?" "Aku kurang mengerti. Dan barangkah aku me mang kurang mengenalnya karena aku hampir tidak pernah bertugas didala m kota Surakarta sendiri. Apalagi aku belum la ma menjadi seorang prajurit." Prajurit ijtu berhenti sejenak, lalu "tetapi yang aneh adalah Ki Lurah Bausasra. Kenapa ia tidak mengenal putera Pangeran Ranakusuma" Seharusnya ia mengenalinya." "Bukan hanya Ki Lurah Bausasra. Sebagian terbesar dari kita harus sudah mengena lnya. Tetapi pakaiannya dan keadaan yang tampak pada lahiriahnya, ia seperti seorang petani biasa. Petani kecil yang sederhana." Dan tiba2 seorang prajurit yang sudah beruban dikening menyahut "Bukankah Raden Juwiring sudah beberapa saat tidak berada diistana Ramakusuman " Adalah benar kata anak muda yang pertama, bahwa mereka adalah anak2 Jati Sari. Raden Juwiring itu tentu berada di padepokan yang disebutnya Padepokan Jati Aking itu."
Prajurit2 itu terdiam sejenak. Tetapi mereka masih tetap berdebat. Pangeran Ranakusuma adalah seorang Pangeran yang berpengaruh diistana, apalagi di-saat2 terakhir ketika orang2 asing menjadi se makin banyak di Surakarta. Namun dala m pada itu didalam ruang dala m, Juwiring berkata kepada Ki Lurah Bausasra sa mbil tersenyum "Bukan salahmu Ki Lurah." "Ka mi mohon maaf Raden. Kami benar2 tidak mengenal K adai Juwiring. Tetapi tentu Raden Tidak percaya. Aku memang pernah berbicara dengan Raden ketika aku menghadap ayahanda l'angeran Ranakusuma, sebelum aku bertugas ke Timur untuk beberapa la manya. Setelah aku ke mbali sa mpai sekarang, barulah kali ini aku bertemu lagi dengan Raden Juwiring. dan itupun dala m keadaan yang tidak aku duga sama seka li." Juwiring masih tersenyum. Katanya "Tidak apa2. Aku tahu bahwa kau menja lankan tugas yang dibebankan kepada mu, meskipun barangkali kau tida k sesuai dengan tugas ini." Ki Lurah Bausasra menarik nafas dala m2. Dengan ragu2 ia berkata "Me mang Raden. Dida la m suasana yang panas ini, setiap prajurit ingin berbuat sesuatu yang besar. Yang bernilai bagi seorang anak Surakarta. Tetapi aku justru mendapat tugas mengawasi binatang buruan. Hanya mengawasi beberapa ekor kijang dan harimau kumbang." Juwiring meng-angguk2kan. Katanya "Itu adalah tugas yang dapat diberikan kepada mu se karang. Mungkin para pemimpin di Surakarta masih belum yakin akan sikapmu, sehingga kau masih belum mendapatkan tugas yang lebih baik dari mengawasi sebuah hutan tertutup." Ki Lurah Bausasra menarik nafas dalam2. Sejenak dipandanginya anak2 muda yang ke mudian dipersilahkan duduk dia mben ba mbu.
"Mungkin Raden benar" sahut Ki Lurah "a ku me mang sudah jauh ketinggalan dari keadaan yang berkembang. Karena itu pula aku tidak me ngenal Raden lagi. Sekali lagi ka mi mohon maaf Raden." Raden Juwiring tertawa. Katanya "Jangan kau sebut lagi hal itu. Sebenarnya kami me mang tidak bermaksud mengejutkan kalian. Sebenarnyalah ka mi tida k mengetahui bahwa hutan ini sekarang menjadi hutan tertutup. Jika kau tidak me ma ksa adikku ini untuk me mbuka bajunya, maka aku t idak akan menyatakan diriku. Kami masih berusaha untuk dapat me mbebaskan diri tanpa me mperkena lkan diriku yang sebenarnya. Tetapi kecurigaan kalian beralasan. Senjata2 Ini me mang senjata yang aneh, yang tidak lazim, dipaka i oleh para pemburu Tetapi ka mi dapat me mperguna kannya dengan baik." Ki Lurah mengangguk. Tetapi ia bertanya "Siapakah yang Raden ma ksud dengan adik Raden?" "Keduanya adalah adik seperguruanku didala m olah kajiwan dan kanuragan. Ssperti yang sudah dikatakan, ka mi kini tinggal ber-sama2 dipadepokan Jati Aking. Dan adikku yang bungsu ini ada lah anak Kia i Danatirta dari Jati Aking. " "O, aku minta maaf. Aku tidak mengerti. Tetapi penolakan Raden terhadap permintaanku sangat mena mbah kecurigaanku." "Kau benar. Tetapi bertanyalah, siapakah nama anak itu" Arum termangu-mangu mendengar kata-kata Juwiring. Tetapi iapun ke mudian mengerti maksudnya. Karena itu ketika Bausasra me mandang kepadanya, ia menjawab "Na maku Arum." "He" mata Bausasra terbelalak karenanya. Dengan suara gemetar ia bertanya "Apakah kau seorang gadis, atau suaramu sajalah yang seperti suara seorang gadis."
Legenda Kematian 1 Satu Tiket Ke Surga Karya Zabrina A. Bakar Kemelut Di Majapahit 9
^