Pencarian

Bunga Di Batu Karang 22

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 22


Arum menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Kau tentu mengenal dengan ba ik" "Siapa?" Arum termangu-mangu sejenak. di luar sadarnya ia berpaling kepada ayahnya. Baru ketika Kiai Danatirta mengangguk, Arum berkata "Pemimpin dari pasukan berkuda itu adalah Raden Juwiring" Seperti yang sudah diduga, maka Buntalpun terkejut bukan buatan. Sejenak ia me mandang Arum dengan tajamnya, ke mudian wajannya menjadi tegang. Sura sejenak kemudian ia bertanya "Maksudmu Raden Juwiring putera Pangeran Ranakusuma yang pernah berada di padepokan Jati Aking ini" Arum me nganggukkan kepalanya. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Katanya seakan-akan kepada diri sendiri "Alangkah cepatnya perubahan itu terjadi di dalam diri seseorang. Hampir tidak masuk akal bahwa Raden Juwiring tiba-tiba saja sudah menjadi seseorang Senapati dari pasukan berkuda Surakarta. Ia tentu merupakan seorang Senapati yang baik meskipun ia masih belum dapat menya mai Raden Mas Said. Tetapi jarang seorang Senapati semuda Raden Juwiring di dala m pasukan Sura karta" "Me mang ha mpir tidak masuk aka l" sahut Arum "Tetapi itulah kenyataannya. Aku tidak dapat ingkar dari kenyataan itu" "Apakah Raden Juwiring dicarinya di sini?" mendapat keterangan yang
"Tida k. Meskipun ia datang juga ke padepokan ini. Tetapi aku tidak me mberikan keterangan apapun juga kepadanya" Buntal mengangguk! kecil. "Ayah sama sekali t idak me njumpainya"
"Jadi, Raden Juwiring ke mbali tanpa me mbawa keterangan apapun?" Arum bergeser setapak. Jawabnya "Mungkin ada beberapa keterangan. Tetapi barangkali tentang empat orang yang hilang itu a kan tetap gelap baginya" Buntal menjadi ge lisah. Ternyata Raden Juwiring, saudara angkat dan seperguruannya itu kini telah berada di seberang. Namun dala m pada itu, di hati kecilnya yang dala m, me mbersit pikirannya yang lain. Semakin jauh Raden Juwiring itu berdiri dari padepokan ini, baginya akan menjadi sema kin baik. Ia tentu akan semakin jauh pula dari Arum. Jika terjadi perselisihan, ma ka tidak akan ada lagi keseganan di dalam diri masing-masing. Namun Buntalpun ke mudian menjadi ma lu kepada diri sendiri. Ternyata ia telah terdorong ke dalam sikap me mentingkan dirinya sendiri. Ha mpir saja ia terseret kepada suatu keadaan yang tidak sewajarnya bagi seorang yang sedang berjuang untuk tujuan yang besar. Bukan sekedar untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, ketika ia menyadari kesalahan di dala m angan angannya ia berusaha untuk meluruskannya, seolah-olah ada seseorang yang dapat melihat perasaannya "Jadi, jadi Raden Juwiring tidak berhasil mendapatkan keterangan apapun juga" Sayang sekali" Arum menjadi heran, sehingga karena itu maka iapun bertanya "Apa maksudmu kakang" Apakah yang kau sayangkan?" Sekati lagi Buntal tergagap. Jawabnya "Maksudku, sayang sekali bahwa Raden Juwiring kini justru menjadi seorang perwira prajurit Surakarta" "Tetapi kita tidak boleh berprasangka terla mpau jauh Buntal" berkata Kia i Danatirta "mungkin karena kedudukannya
sebagai seorang putera Pangeran, maka ia tida k dapat menge lakkan diri dari kedudukan keprajuritan di Surakarta" Buntal mengangguk-angguk, tetapi Arum menyahut "Tetapi sikapnya sudah berbeda sama sekali ayah. Jika ayah sempat mene muinya, maka Raden Juwiring bersikap seperti seorang bangsawan yang utuh. Ia ingin me maksakan orang lain me menuhi keinginannya. Tidak ubahnya seperti Raden Rudira. Hanya keinginan yang harus dipenuhi itu sajalah yang berbeda" Kiai Danatirta tidak menyahut lagi. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk kecil. "Tetapi Arum" berkata Buntal ke mudian untuk menghindarkan diri dari kegagapan "Apakah kau tahu yang sebenarnya, yang tidak kau katakan kepada Raden Juwiring, tentang empat orang yang sedang dicari oleh para prajurit dari Surakarta itu?" Arum mengangguk kecil. Katanya "Aku mengetahui kakang. Dan pa man Surapun mengetahuinya" Buntal menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Ka mi dari Sukawati sudah menduga, bahwa petugas-tugas sandi itu tentu hilang ditelan oleh kekuatan Raden Mas Said" Arum mengerutkan keningnya. Namun ke mudian iapun menganggukkan kepalanya "Ya. De mikianlah agaknya" "Dan apakah yang telah terjadi seutuhnya?" Arumpun ke mudian menceriterakan apa yang pernah diala minya. Diceriterakannya pula bagaimana keempat orang itu hilang, dan di antaranya telah terbunuh Buntal menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Itupun sudah aku duga. Hanya ada dua tebakan. Jika tidak laskar Raden Mas Said yang kebetulan ternyata dipimpin oleh Sura di daerah ini, tentu kekuatan yang tersembunyi di Jati A king"
"Raden Juwiringpun berpendapat de mikian" guma m Arum hampir kepada diri sendiri "karena itulah ma ka ia ha mpir me ma ksa aku untuk mengatakan tentang keempat orang itu justru karena aku mempunyai dua untai kalung merjan, meskipun yang seuntai sudah a ku berikan kepada orang lain" Buntal mengangguk-angguk. Katanya "Memang tidak akan ada dugaan lain. Barangkali Raden Juwiring masih me mpunyai satu sasaran lagi, yaitu laskar Sukawati" Arum tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk kecil. "Jika de mikian, semuanya menjadi jelas bagiku. Aku akan menghadap Kiai Sarpasrana dan menya mpaikan hasil kunjunganku kepadepokan ini" bertanya Kiai Danatirta. "Kau akan segera kemba li?"
"Ya ayah. Aku mendapat pesan agar aku segera ke mbali. Mala m ini" "Tetapi masih ada waktu sedikit. Tingga llah untuk sejenak barangkali sudah disiapkan makan buatmu" Buntal tidak dapat menolak. Karena itu maka katanya "Terima kasih Kiai. Aku akan menunggu. Mungkin ada baiknya juga aku makan dahulu agar aku tidak kelaparan di perjalanan" Kiai Danatirtapun ke mudian me mberi isyarat kepada Arum, agar gadis itu pergi ke belakang menyiapkan hidangan bagi Buntal.
Sepeninggal Arum, Kiai Danatirta masih berbicara untuk beberapa saat sehingga kemudian ia berkata "Jika kau akan mencuci ka kimu lebih dahulu, pergilah ke pakiwan sebelum makan" Buntalpun ke mudian turun ke hala man dan pergi ke belakang. Ada sesuatu yang menyentuh hatinya ketika ia me langkahkan kaki di hala man samping padepokan Jati Aking. Hala man yang dahulu selalu dia mbahnya ha mpir siang dan ma la m. Tanaman yang masih tetap terpelihara. Meskipun hanya di bawah sinar obor di regol butulan, namun Buntal dapat melihat bahwa tana man itu masih tetap terpelihara rapi. Ketika Buntal sa mpa i di ha la man belakang, dilihatnya Arum me mbawa ke lenting untuk menga mbil air ke perigi. Karena itu maka dengan tergesa-gesa ia menyusulnya dan berkata "Arum, buat apa kau menga mbil air di saat begini. Dan apakah tidak ada orang lain yang dapat kau suruh?" Arum terhenti sejenak. Lalu jawabnya sambil tersenyum "Bukan kebiasaanku menyuruh orang la in ka kang. Bukankah sejak kau masih ada di sini, aku sering menga mbil air untuk mengisi gentong di dapur?" "Tetapi setelah ge lap begini?" "Menurut orang tua-tua, gentong di dapur harus selalu penuh. Gentong itu ternyata tinggal separo isi, karena para pembantu harus mencuci beras dan mengisi gendi" "Dan kaulah yang harus mengisi gentong itu" Arum tersenyum. Katanya "Biarlah aku mengisinya. Semuanya sedang sibuk menyiapkan ma kan buatmu" "O" Buntalpun tertawa "Terima kasih. Jika de mikian biarlah aku me mbantumu, menimba air dari perigi, dan kaulah yang me mbawanya ke dapur"
Demikianlah maka Buntal menimba air, mengisi ke lenting ke mudian Arumlah yang me mbawa ke lenting itu ke dapur dan menuangkannya ke da la m gentong. Tetapi ketika gentong itu sudah penuh, Arum masih juga pergi ke perigi. Dibiarkannya saja Buntal menuangkan a ir dari timba yang terbuat dari upih ke dala m kelent ingnya. Namun ke mudian dibiarkannya saja kelenting itu terletak di pinggir sumur. "Sudah penuh" berkata Arum. "O, kau tidak mengatakannya sebelumnya" "Biar sajalah berada di ke lenting" "Jika de mikian a ku akan mengisi je mbangan di pakiwan. Aku akan mandi" Arum tidak menyahut. Dibiarkannya Buntal menimba air dan mengisi je mbangan. Tetapi ia t idak beranjak pergi. Setelah jembangan di pakiwan itu penuh, ma ka Buntalpun berkata sekali lagi "Aku akan mandi sebelum menikmati hidanganmu, makan ma la m. Sudah la ma akn t idak m-i-kan ma la m di padepokan Jati Aking" "Apakah kau sering ma kan siang di sini sejak kau pergi?" Buntal tertawa "Juga tidak" "Jadi, bukan sekedar ma kan ma la m" "Ya" Buntal berdesis "Aku akan mandi" Tetapi Arum t idak beranjak pergi. Bahkan ke mudian ia pun duduk di atas sebuah batu di bibir sumur. "He, jangan duduk di situ" Buntal me mperingatkan. "Kau takut a ku terperosok ke dala m?" "Ya" "Aku cukup hati-hati"
Buntal menarik nafas, la tidak tahu pasti, apakah maksud Arum. Dengan demikian maka untuk beberapa saat keduanya. saling berdiam diri. Buntal masih saja berdiri bersandar batang senggot timba, sedang Arum masih tetap duduk di atas batu. Namun tiba-tiba saja Arum berkata "Kakang Buntal. Kenapa aku tidak boleh ikut bersa ma mu?" Buntal mengerutkan keningnya, lalu "Tentu bukan aku saja yang berkeberatan Arum. Ayah tentu juga keberatan, dan belum ada tempat di Sukawati. Yang diperlukan adalah perempuan yang ce katan di dapur. Belum diperlukan seorang gadis yang cakap berma in senjata saat ini" "Aku akan bekerja di dapur. Tetapi aku ingin ikut bersama mu ke Sukawati" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Katanya kemudian "Tentu tidak da la m waktu yang pendek Arum. Meskipun kau mau juga bekerja di dapur, tetapi rasa-rasanya kau me miliki sesuatu yang lebih baik daripada sekedar bekerja di dapur. Karena itu, sebaiknya kau tetap di sini" "Kenapa aku tidak boleh bekerja di dapur" Jika pada saatnya diperlukan tenagaku, maka a ku dapat meninggalkan dapur dan berbuat lebih banyak lagi. Tetapi sebelum itu, aku bersedia bekerja di dapur saja" Buntal mengge lengkan kepalanya "Arum. Kau dapat me mbantu ka mi di Sukawati dengan tetap tinggal di sini. Jika saat ini kau tidak ada di Jati Aking, maka aku tentu tidak akan semudah ini mendapat keterangan tentang pasukan Surakarta, apalagi yang ternyata dipimpin oleh Raden Juwiring. Dan terutama keterangan tentang empat orang yang hilang itu" Arum menarik nafas dalam-da la m. la dapat mengerti keterangan Buntal. Kehadirannya di Jati Sari me mang pentng bagi Buntal. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang
mendesaknya untuk dapat ikut serta bersa ma Buntal ke Sukawati. Samar-sa mar ta mpak diangan-angan Arum bahwa menyenangkan sekali jika ia sempat pergi bersama Buntal ke Sukawati. "Bukan karena perjuangan yang wajib kau la kukan di Sukawati, Arum" rasa-rasanya terdengar suara di relung hatinya "Tetapi sekedar terdengar oleh keinginanmu untuk pergi tersama dengan Buntal" Arum menundukkan kepalanya dalam-dala m. Meskipun tidak ada orang lain mendengar suara di hatinya itu, namun wajahnya tiba-tiba saja menjadi merah pada m, la merasa ma lu kepada dirinya sendiri, bahwa ia telah didesak oleh kepentingan pribadinya. Karena itu. maka Arumpun ke mudian t idak me maksa lagi untuk dapat pergi ke Sukawati. Kepalanya yang tunduk masih saja tunduk untuk beberapa saat la manya. Arum terkejut ketika ia mendengar suara Buntal "Arum. Mala m rasa-rasanya menjadi semakin gelap. Aku harus ke mbali ke Sukawati. Karena itu. apakah pekerjaanmu sudah selesai dan aku dapat mencuci kaki dan tanganku" "O" Arum tersipu-sipu. Perlahan-lahan ia berdiri. Tetapi ia tidak segera meninggalkan Buntal. "Apakah kau akan pergi ke dapur?" "Buntal" Arum berdesis. Tetapi suaranyapun kemudian tersangkut di kerongkongan. Buntalpun ke mudian berdiri seolah-olah me mbe ku. Ditatapnya Arum yang juga terdiri me mandanginya. Keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun. Tetapi tatapan mata mereka yang beradu. rasa-rasanya telah terlampau banyak melontarkan isi hati mereka. Na mun
bagaimanapun juga tangkapan hati mere ka masih tetap merupakan sentuhan yang sama, karena tidak seorangpun di antara mereka berdua yang mengucapkan perasaannya dengan kata-kata sehingga dapat dijadikan pegangan karena telah menyentuh indera wadag. Arum me mang menunggu. Tetapi Buntal pa ma seka li t idak mengatakan apapun juga. Me mang ada sesuatu yang rasa-rasanya mendesak ingin me loncat lewat bibirnya, tetapi rasa-rasanya bibirnya telah me mbe ku sehingga tidak sepatah kaIapun yang terucapkan. Namun de mikian, hampir se luruh tubuh kedua anak muda itu lelah basah oleh keringat yang menge mbun di seluruh permukaan kulit. Perlahan-lahan Buntal ke mudian dapat menguasai perasaannya sepenuhnya. Karena itu. maka perlahan-lahan ia berkata "Silahkan Arum. Mungkin ayah menunggu ka mi di pendapa. Aku akan mencuci tangan sejenak" Ada kekecewaan me mbersit di wajah Arum. Ternyata Buntal tidak mengatakan apapun. Tetapi sepercik harapan telah me lontar di hatinya. Tatapan mata Buntal me mancarkan arti baginya. Demikianlah ma ka sejenak ke mudian Arumpun menga mbil kelentingnya dan meninggalkan Buntal sendiri di de kat pakiwan. Untuk beberapa saal Buntalpun masih saja merenung. Baru ke mudian ia merasa bahwa tangannya menjadi gemetar, la me mang ingin me ma ksa untuk mengatakan sesuatu kepada Arum. Mungkin ia t idak akan mene mukan kese mpatan serupa itu lagi. Tetapi setiap kali kata-katanya sama sekali tidak dapal me loncat. Bahkan sekilas terbayang olehnya Raden Juwiring dalam pa kaian seorang bangsawan dan seorang perwira prajurit di Surakarta. Tentu jauh seka li bedanya dengan dirinya sendiri, la adalah seseorang yang tidak dikenal darah keturunannya meskipun ia dapat menceriterakannya. Dan kini
ia tidak lebih dari seorang laskar dari pasukan Pangeran Mangkubumi yang sedang disusun di Sukawati. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia me langkahkan kakinya masuk ke pakiwan. Ia tidak lagi bernafsu untuk mandi, selain mencuci wajahnya, tangan dan kakinya. Kemudian dikibaskannya tangan dan kakinya supaya segera kering. Seperti yang sudah diduganya. Kiai Danatirta me mang sudah terlalu lama menunggu di pendapa. Bahkan sebagian hidanganpun telah berada di atas tikar pandan yang putih. Asap mengepul dari dala m ceting yang penuh dengan nasi panas. "Marilah Buntal" ajak Kia i Danatirta "Ma kan sajalah dahulu. Baru kau kembali kepada Kiai Sarpasrana. Seandainya kau terlambat barang sesaat, tentu Kiai Sarpasrana tidak akan marah karena kau datang sambil me mbawa keterangan yang kau cari di sini" Buntalpun ke mudian ma kan dengan lahapnya, la me mang agak lapar. Apalagi ia masih harus me ne mpuh perjalanan di ma la m hari. Karena itu, maka iapun ma kan sekenyangnya. Demikianlah setelah beristirahat sejenak. Buntalpun ke mudian minta diri untuk ke mba li ke Sukawati. Tugasnya harus ditunaikannya sebaik-baiknya. Apalagi ia adalah orang baru di Sukawati meskipun ia termasuk seorang ana k muda yang me miliki bekal yang cukup untuk menjadi pengikut Pangeran Mangkubumi. "Hati-hatilah Buntal" pesan Kiai Danatirta "Kau dapat bertemu dengan kumpeni, dengan prajurit Surakarta atau dengan laskar Raden Mas Said. Meskipun pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, namun kadang-kadang ada juga perasaan bersaing di antara mereka yang justru berada di bawah. Mereka merasa bahwa medan yang mereka hadapi akan
bersilang. Itulah sebabnya ma ka laskar Raden Mas Said dan laskar Sukawati kadang-kadang sering berebut pengaruh. Itu perlu kau perhitungkan. Kecuali jika pada suatu saat pada keduanya benar-benar tidak terdapat berbedaan apapun lagi, maka kau tidak usah me mpertimbangkan apapun juga tentang pasukan Raden Mas Sa id itu" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku mengerti ayah" "Nah, pergilah. Sampaikan sala mku kepada Kiai Sarpasrana. Pada saat yang tepat aku ingin mengunjunginya" Demikianlah Buntalpun mohon diri pula kepada Arum dan kepada para pe mbantu di padepokan itu. Arum me lepaskannya dengan tatapan mata yang aneh. Terasa oleh Buntal bahwa ada sesuatu yang terpancar dari mata itu. Tetapi tidak sepatah katapun yang me mberikan penjelasan tentang gejolak perasaan Buntal kepada Arum. Demikianlah ma ka kuda Buntal itupun ke mudian berpacu menyusur jalan pedukuhan yang gelap. Baru ketika kuda itu keluar dari Jati Sari dan berlari di bulak persawahan, rasarasanya mala m menjadi agak terang meskipun bulan tidak nampak sa ma seka li. Angin mala m yang sejuk terasa mengusap wajah Buntal yang berlari kencang. Setiap kali ia teringat pesan Kiai Danatirta, bahwa ada kemungkinan ia bertemu dengan pihak lain di sepanjang jalan. Tetapi agaknya Buntal sa ma sekali tida k berte mu dengan siapapun juga di sepanjang jalan. Hanya sekali-sekali ia me lihat seseorang yang sibuk me mbuka pe matang sawahnya untuk mengalirkan air yang mengalir la mbat di parit yang dangkal. Jika air itu tidak disadap di wa ktu ma la m, maka sawahnya tentu akan kering dan tanamannya akan mati. "Mereka mencintai tanamannya seperti keluarganya sendiri" desis Buntal kepada diri sendiri. Namun sebenarnyalah bahwa
tanaman di sawah adalah nyawa dari hidup keluarganya. Apalagi bagi petani-petani yang miskin. Namun tiba-tiba saja Buntal terkejut ketika tampak olehnya warna merah di langit. Bukan merahnya fajar, karena malam masih terla mpau panjang. "Kebakaran" desis Buntal di da la m hatinya. Seperti yang diduganya, maka di kejauhan terdengar suara kentongan bergema. Tiga kali ganda berturut-turut. Semakin la ma menjalar se ma kin luas. Buntal me mperla mbat kudanya. Bahkan kemudian ia terhenti sama sekali. Tetapi Buntal tidak berniat untuk berbelok. "Tentu tetangga-tetangganya sudah banyak yang me mbantu. Jika kebakaran itu menjalar se makin besar, akupun tidak a kan banyak dapat me mbantu, karena aku hanya seorang diri" berkata Buntal di dala m hatinya. Namun ke mudian suara, kentongan tiga ganda itu se makin la ma menjadi se makin sumbang. Ada irama lain yang didengar oleh Buntal pada suara kentongan itu. Barulah kemudian ia menjadi jelas. Titir. Buntal menjadi berdebar-debar. Tentu bukan sekedar rumah yang terbakar. Titir adalah pertanda kejahatan bahkan mungkin pe mbunuhan. Sejenak Buntal termangu-mangu. Ia harus sa mpai di Sukawati sebelum fajar. Tetapi suara titir itu sangat menarik hatinya. "Aku ingin me lihatnya. Mungkin tidak me merlukan waktu terlampau panjang" Hampir diluar sadarnya Buntalpun ke mudian menarik kekang kudanya berbelok lewat jalan sempit menuju ke tempat kebakaran itu.
Semakin dekat Buntal dengan rumah yang terbakar itu. hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Suara titir itu bahkan ha mpir lenyap sama se kali justru di sekitar te mpat kebakaran. Malahan di Padukuhan-padukuhan lain suara titir itu masih tetap bergema. "Ada sesuatu yang tidak pada te mpatnya" desis Buntal. Anak muda itupun ke mudian me mbawa kudanya masuk kepategalan dan mengikatnya di balik pepohonan yang rimbun. Ia sendiri ke mudian merayap me masuki padukuhan yang sedang dilanda oleh hiruk pikuk. Buntal berlindung di ba lik rimbunnya segerumbul be lukar ketika ia melihat beberapa orang berlari-larian. Ternyata perempuan dan anak-anak, bahkan beberapa orang la ki-laki. "Apa yang telah terjadi" desis Buntal di dala m hatinya "Jika sekedar kebakaran, mereka tentu akan membantu me mada mkan api yang tidak terla mpau besar itu. Bukan justru berlari keluar padukuhan" Karena itulah ma ka Buntal merayap semakin mende kat. Meskipun Buntal tidak berani menyusuri jalan, namun melintasi kebun dan halaman, iapun menjadi se makin dekat dari rumah yang terbakar itu. Barulah ke mudian ia mengetahui bahwa yang terjadi adalah sebuah perampokan yang kasar. Beberapa orang perampok telah me masuki beberapa buah rumah dan me mba kar sebuah
di antaranya. Bahkan ketika Buntal berada di belakang sebuah rumah beberapa ratus langkah dari api, ia masih mendengar seseorang me mbentak-bentak di dala m rumah itu "Ka lian harus menyumbang apa saja bagi perjuangan Raden Mas Said" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Inilah satu contoh dari aka l kumpeni" Karena itu Buntal menjadi se makin bernafsu. "Jika aku sempat menangkap satu di antara mereka. Menangkap hiduphidup" Tetapi Buntal ke mudian terpaksa surut dan berlindung di dalam kegelapan. Ternyata di dalam rumah itu masih terdapat beberapa orang. Bahkan ia melihat dua orang yang lain berkeliaran di ha la man dengan senjata telanjang. "Beberapa orang yang mendapat tugas melakukan perampokan seperti ini?" bertanya Buntal di dalam hatinya "Na mun tentu sekelompok yang cukup kuat, karena di daerah ini ada ke mungkinan mereka benar-benar bertemu dengan laskar Raden Mas Said yang sebenarnya" Karena Buntal hanya seorang diri, maka ia tida k dapat dengan tergesa-gesa bertindak. Ia me merlukan perhitungan yang matang. Tetapi agaknya ia tidak akan mendapat kesempatan. Beberapa saat kemudian ia melihat beberapa orang keluar dari rumah itu. La mat-la mat ia mendengar seseorang mengerang kesakitan. Tentu pe milik rumah yang sudah disa kiti oleh para perampok itu. "Gila" gera m Buntal. Namun ia masih tetap berusaha. Dengan dia m-dia m ia mengikut i beberapa orang itu ke jalan padukuhan. Namun ternyata di simpang e mpat telah berkumpul beberapa orang
yang lain. Sedang kuda-kuda mereka, mereka tambatkan pada batang-batang kayu di sekitar simpang e mpat itu. "Apakah kita sudah selesai" berkata salah seorang dari mereka. "Aku kira sudah cukup. Banyak orang yang berlari-lari mencari se la mat dan meninggalkan rumah mereka begitu saja. Mereka tentu akan pergi ke padukuhan lain. Dan mereka tentu akan berceritera tentang laskar Raden Mas Said yang sedang mera mpok padukuhan ini" Terdengar suara tertawa pendek. Lalu "Marilah. Kita sudah cukup me mberikan kesan, bahwa perampokan ini dila kukan oleh anak buah Raden Mas Said yang me mberontak itu" Orang-orang itupun ke mudian bersiap untuk me ningga lkan padukuhan itu. Merekapun segera berloncatan ke atas punggung kuda dan kemudian berderap meninggalkan simpang e mpat itu. Buntal termangu-mangu sejenak. Namun berdasarkan perhitungan ia sa ma sekali tida k akan berbuat apa-apa. Karena itu maka Buntal hanya dapat menahan gelora di dalam dadanya. Namun ia masih saja tetap berdiri di tempatnya. Ia mengikuti derap kuda-kuda itu dengan scrot mata yang me mancarkan ke marahan dan bahkan denda m di dalam hati. Sejenak ke mudian ma ka derap kaki-ka ki kuda itupun semakin menghilang. Yang didengarnya ke mudian hanyalah gemeretak kayu dan ba mbu yang sedang dima kan api. Perlahan-lahan Buntal me langkah mendekatinya. Namun yang diketemukan hanyalah bara dan abu saja setelah nyala api menjadi susut. Tetapi Buntalpun segera bergeser dan bersembunyi lagi ketika ia mendengar derap kaki-ka ki kuda mendekat. Ia menduga bahwa orang-orang yang telah merampok itu
ke mbali lagi karena ada sesuatu yang tertinggal atau sesuatu yang belum diselesaikan. Dengan dada yang berdebar-debar Buntal bersembunyi di balik sebuah gerumbul perdu. Sejenak ia menunggu dengan gelisah. Menurut perhitungannya kuda yang datang itu tidak sebanyak yang telah pergi meninggalkan api yang sedang menjilat dan menelan rumah itu. "Mungkin hanya dua atau tiga" desis Buntal. Maka timbullah harapannya untuk dapat melakukan rencananya, menangkap satu atau dua orang hidup-hidup. "Mungkin yang terjadi justru sebaliknya. Akulah yang mereka tangkap. Tetapi apaboleh buat. Kemungkinanke mungkinan yang de mikian me mang dapat terjadi di dala m keadaan seperti ini" Setelah beberapa saat menunggu, Buntal melihat dua orang berkuda mendekati api itu. Mereka sama sekali tidak turun dari kudanya. Namun tangan mereka telah siap berada di la mbung, meraba hulu senjata. Ketika wajah orang itu tersentuh merahnya cahaya api, Buntal terkejut karenanya. Salah seorang yang berkuda itu sudah dikenalnya dengan baik. Ki Dipanala. "Kenapa ia berada di sini?" timbullah kecurigaan di hati Buntal. Ia telah mendengar ceritera tentang Raden Juwiring Sedang Ki Dipanala adalah orang yang de kat dengan Raden Juwiring itu. Apakah dengan demikian berarti bahwa Ki Dipanalapun kini terlibat dala m usaha kumpeni untuk me mburukkan na ma Raden Mas Said dengan cara yang licik ini. Untuk beberapa saat Buntal justru me mbeku. Na mun ke mudian ia me ndengar Ki Dipana la berkata "Se muanya sudah selesai. Agaknya yang direncanakan itu telah dilakukan dengan baik"
Kawannya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk kecil. Pembicaraan yang pendek itu telah membuat Buntal menjadi se makin curiga kepada Ki Dipanala. Karena itu timbullah niatnya untuk langsung berbicara agar ia mendapat kepastian, apakah benar Ki Dipanala itu terlibat atau tidak. Karena itulah maka Buntalpun ke mudian merayap semakin dekat. Dan tiba-tiba saja ia meloncat keluar dari persembunyiannya dan berdiri tegak di hadapan kedua orang itu. Ki Dipanala dan kawannya terkejut bukan buatan, Mereka sama sekali tida k menduga bahwa tiba-tiba saja seseorang telah berdiri di hadapannya. Apalagi ketika Ki Dipanala melihat wajah itu, seorang anak muda yang berna ma Buntal. "Buntal" Ia berdesis. "Ya Ki Dipana la. Agaknya Ki Dipana la masih mengenal aku" "Tentu, aku tentu mengenalmu" "Terima kasih Ki Dipanala" jawab Buntal ke mudian, lalu "Tetapi di dala m keadaan seperti ini, perkenankanlah aku bertanya, apakah yang Kiai lakukan di sini" Baru saja sekelompok orang me mbakar dan mera mpok di padukuhan ini. Ke mudian Ki Dipanala datang berdua seolah-olah melihat hasil dari perbuatan yang ganas itu" Ki Dipanala termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian jawabnya "Hanya suatu kebetulan bahwa aku lewat di te mpat ini. Aku mendengar suara kentong titir, sehingga aku singgah sejenak untuk me lihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Dan di sini a ku me lihat sebuah rumah sedang terbakar" "Ki Dipana la. Agaknya Ki Dipanala baru da la m perjalanan. Dari mana atau akan pergi ke mana?"
Ki Dipanala menjadi agak bingung. Jawabnya "Sekedar nganglang untuk me lihat perke mbangan keadaan Buntal" "Tetapi Ki Dipanala rasa-rasanya menilai peristiwa ini sebagai suatu keadaan yang sudah selesai, dan sebagai suatu rencana yang sudah dikerjakan dengan ba ik?" "Ah, kau jangan mengada-ada. Aku benar-benar kebetulan saja lewat di daerah ini" "Paman" berkata Buntal ke mudian "Aku minta maaf bahwa aku terpaksa berbuat sesuatu yang barangkali tidak menyenangkan bagi pa man. Tetapi apa boleh buat" Buntal menarik nafas dala m-da la m, ke mudian "Apakah pa man terlibat di dala m perbuatan ini?" "Buntal" Ki Dipanala me motong "Kau jangan berprasangka yang demikian terhadapku" "Beberapa saat yang lampau, Jati Sari telah dibayangi oleh petugas sandi. Ketika petugas sandi itu hilang, maka sepasukan prajurit datang untuk mencarinya. Dan pasukan berkuda yang datang itu ternyata dipimpin oleh Raden Juwiring" "Apa hubungannya dengan aku sekarang?" "Paman adalah orang yang dekat sekali dengan Raden Juwiring. Jika Raden Juwiring ternyata kemudian tergelincir ke dalam sikapnya sekarang, maka Ki Dipanalapun agaknya tidak akan sulit untuk sa mpai ke ja lan serupa" Ki Dipanala menjadi sema kin gelisah. Katanya "Kau menga mbil kesimpulan yang salah Buntal. Aku sa ma seka li tidak ikut serta di dalam pergolakan ini. Aku berdiri di luar sama seka li" "Tentu kau dapat berkata begitu sekarang paman. Namun kehadiran pa man, dan penilaian pa man atas yang terjadi ini sangat mencurigakan. Ketika a ku mendengar bahwa Raden Juwiring kini menjadi seorang Senopati dari pasukan berkuda
Surakarta yang bekerja bersama dengan kumpeni, aku menjadi sangat kecewa. Dan sekarang aku melihat sikap Ki Dipanala yang t idak dapat aku mengerti" "Sudahlah. Baiklah aku pergi. Jika kau anggap bahwa kehadiranku di sini dapat menumbuhkan kecurigaanmu" "Begitu saja pergi?" sahut Buntal "Maaf paman. Sebaiknya paman a ku antarkan me nghadap Kiai Sarpasrana dan bahkan menghadap Pangeran Mangkubumi" "Pangeran Mangkubumi" Kenapa aku harus menghadap Pangeran Mangkubumi" Jika sekiranya kau menganggap tindakanku merugikan perjuangan Pangeran Mangkubumi, maka kau tidak berhak me mbawa aku kepadanya" "Paman" berkata Buntal "Paman tentu tahu, bahwa perbuatan orang-orang yang me mbakar dan mera mpok ini sangat merugikan perjuangan Raden Mas Said. Jika pa man me mang terlibat, maka pa manpun telah melakukan sesuatu yang merugikan perjuangan menentang kekuasaan asing itu. Nah, setiap orang merasa bertanggung jawab atas ke merdekaan negerinya dan berjuang untuk menghapuskan pengaruh kumpeni yang semakin la ma semakin mencengka m Surakarta, sehingga tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Surakarta benar-benar akan kehilangan dirinya sendiri" Ki Dipanala menjadi semakin gelisah. Katanya kemudian disela debar jantungnya yang sema kin cepat "Jangan berprasangka terlampau jauh Buntal. Baiklah kita berpisah saja" "Tida k pa man. Bersalah atau tidak bersalah paman terpaksa aku bawa menghadap Pangeran Mangkubumi" "Bukankah tuduhanmu tinda kanku ini merugikan perjuangan Raden Mas Said, bukan Pangeran Mangkubumi?"
"Meskipun ada bedanya, tetapi di dalam ha l ini terpaksa aku la kukan. Ba ik Pangeran Mangkubumi maupun Raden Mas Said tentu akan berkepentingan dengan sikapmu" "Buntal" suara Ki Dipanala menjadi dala m "Kau sudah me lakukan kesalahan pula. Pangeran Mangkubumi sa mpai saat ini belum me lakukan sesuatu tindakan yang dapat dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap Surakarta. Hanya karena sikap iri dan dengki beberapa orang bangsawan, Pangeran Mangkubumi menjadi se makin tersudut. Tetapi apakah kau pernah mendapat perintah untuk me lakukan perlawanan atas Surakarta secara terbuka?" Buntallah yang ke mudian terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sadar bahwa Ki Dipanala adalah seorang yang me miliki bukan saja pengertian yang jauh lebih luas daripadanya tentang pemerintahan, tetapi juga me miliki pengala man yang cukup. Karena itu, ma ka untuk sejenak ia kebingungan untuk menjawab pertanyaan itu. "Buntal" berkata Ki Dipanala ke mudian "seandainya aku kau anggap orang Surakarta yang sedang melakukan perbuatan yang licik, maka kau sa ma sekali tidak berhak berbuat sesuatu. Apalagi atas nama Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian kau sudah mendahuluinya me lakukan perlawanan terbuka, karena kau telah me lakukan tinda kan terhadapku" Sejenak Buntal me matung, dan Ki Dipanala berkata seterusnya "Karena itu, Buntal. Pergilah. Aku juga akan pergi. Masih banyak kese mpatan untuk berbuat sesuatu" Tetapi Buntal yang bimbang itu tiba-tiba berkata "Jangan Ki Dipanala. Jangan pergi" "Maksudmu?" "Bukan maksudku mendahului tindakan Pangeran Mangkubumi. Tetapi perbuatanmu dan beberapa prajurit Surakarta telah benar-benar merugikan perjuangan Raden Mas Said. Dengan demikian kau harus me mpertanggung
jawabkan. Kau akan aku bawa, apapun yang a kan terjadi. Sebab aku kira persoalannya akan menjadi sema kin jelas jika kau berhadapan dengan orang yang memiliki pengertian dan pengalaman yang jauh lebih luas daripadaku. Seandainya keputusannya kelak, paman dilepaskan dan dipersilahkan ke mbali ke Surakarta, itu bukan lagi menjadi persoalanku" "Jangan keras kepala Buntal" berkata Ki Dipanala "Kau masih terla mpau muda. Tindakanmu merugikan perjuangan Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian kau sudah menyusutkan Pangeran Mangkubumi ke dala m kesulitan yang lebih parah lagi dari sekarang" "Kau menggertak" tiba-tiba saja Buntal berkata tegas "Kau ingin aku me lepaskanmu. Tidak. Aku t idak akan melepaskan pamandan kawan pa man itu" "Ah" "Marilah. Serahkan senjata pa man. Kita pergi ke Sukawati. Terserah apa yang akan mereka lakukan atas paman. Mungkin paman akan dilepaskan, tetapi mungkin pula pa man akan diserahkan oleh para pemimpin di Sukawati kepada Raden Mas Said. Tetapi masih ada ke mungkinan-ke mungkinan lain yang aku tidak tahu" "Kau jangan berpikir terla mpau pendek Buntal" "Waktuku sudah habis. Aku harus segera menghadap Kiai Sarpasrana" "Jika de mikian ke mbalilah" "Aku akan ke mba li bersama pa man" Ki Dipanala termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa murid Jati Aking ini tida k akan dapat diredakan begitu saja. Karena itu ia menjadi gelisah. Namun dala m pada itu, selagi Ki Dipanala be lum mene mukan cara yang sebaik-baiknya untuk menghindarkan
diri dari persoalan yang akan menjadi se makin rumit dengan murid Jati Aking ini, kawannya yang belum pernah bergaul dengan Buntal, tidak dapat menahan perasaannya lagi. Selama itu ia menyerahkan persoalannya kepada Ki Dipanala. Tetapi agaknya Ki Dipanala dipengaruhi oleh hubungan yang pernah ada sebelumnya. Karena itu, maka kawan Ki Dipanala itupun segera menyahut "Ki Dipanala. Kau sudah terlalu sabar menghadapi anak muda yang bernama Buntal itu. Kau sudah mengatakan segalanya yang dapat kita katakan. Tetapi ia tidak percaya. Karena itu, marilah kita tinggalkan saja anak itu. Kita tidak me merlukannya dan kita tidak berurusan dengannya. Tetapi jika ia akan menghalang-halangi kita, maka kita berhak menolong diri kita sendiri" Ki Dipanala menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Aku kenal anak itu dengan baik. Ia adalah saudara seperguruan Raden Juwiring. Tetapi agaknya ia sangat terpengaruh oleh keadaan sehingga ia tidak dapat menahan hatinya lagi" "Sudahlah Ki Dipanala. Marilah kita ke mbali ke Surakarta sekarang" "Kau menghina aku" t iba-tiba Buntal menggeram "Aku me mang belum me ngenalmu sebelumnya. Aku belum pernah me mpunyai urusan apapun dengan kau. Tetapi aku tidak dapat me mriarkan pengkhianatan ini" Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Ki Dipana la dengan tajahlnya. Namun Ki Dipanala mengge lengkan kepalanya. Katanya "Aku sependapat dengan kau. Marilah kita tinggalkan saja Buntal" "Ki Dipanala. Aku tahu, bahwa kati adalah orang terdekat dengan Raden Juwiring. Kau adalah orang yang me miliki ke ma mpuan yang dikagumi. Tetapi apaboleh buat. Aku harus me ma ksa kau datang menghadap Pangeran Mangkubumi atau orang yang dikuasakannya me meriksa persoalanmu"
Ki Dipanala dan kawannya yang sudah turun dari atas punggung kudanya itupun segera mengikatkan kudanya pada sebatang pohon perdu. Dengan ragu-ragu Ki Dipanalapun berkata "Buntal. Apakah kau tidak dapat mengendalikan hatimu barang sedikit agar tidak terjadi sesuatu di antara kita?" "Persetan. Serahkan senjatamu, dan menyerahlah" Tetapi Ki Dipanala menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku tahu bahwa kau adalah anak muda yang me miliki ilmu yang luar biasa. Kau adalah saudara seperguruan Raden Juwiring. Jika Raden Juwiring ke mudian mendapat tambahan ilmu dari ayahandanya, maka kaupun tentu mendapat tambahan ilmu dari Kiai Sarpasrana. Dan aku yakin, bahwa apa yang kau miliki tidak akan ka lah dari Raden Juwiring" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "Buntal, tentu aku tidak akan berani melawan Raden Juwiring, bukan karena ia seorang putera Pangeran, tetapi ilmunya me mang luar biasa. Karena kau me miliki ke ma mpuan seperti Raden Juwiring, maka akupun sebenarnya tidak akan berani melawanmu. Tetapi jika kau tetap memaksa aku untuk ikut bersa ma mu, maka apaboleh buat. Aku akan me mpertahankan kebebasanku" Buntal mengerutkan keningnya. Ditatapnya Ki Dipanala dengan sorot mata yang memancarkan keragu-raguan. Ia tahu benar bahwa Ki Dipanala adalah orang yang baik. Tetapi di dala m keadaan seperti itu, Buntal tidak me mpunyai pilihan lain kecuali me ma ksanya untuk ikut bersa manya. "Jika aku biarkan Ki Dipanala lepas, maka ia akan dapat banyak berceritera tentang diriku kepada Raden Juwiring" berkata Buntal di da la m hatinya. Karena itu maka Buntalpun berkata "Maaf Ki Dipana la, jika Ki Dipanala tidak mau pergi bersama ku, aku akan me ma ksamu"
Ki Dipana la tidak segera menjawab. Tetapi kawannyalah yang menyahut "Tentu ka mi a kan bertahan. Kami sudah cukup me nahan hati se la ma ini, karena ka mi me nyadari bahwa kami adalah orang-orang tua yang harus lebih berdada longgar daripada anak muda-muda. Na mun jika ke mudian menyangkut kebebasan dan keselamatan, maka terpaksa aku harus berbuat sesuatu bersama Ki Dipanala. Mungkin ka mi berdua tidak me miliki ke ma mpuan me mpertahankan kebebasan dan keselamatan kami setingkat dengan ke ma mpuanmu, na mun apaboleh buat. Ka mi t idak akan menyerahkan diri tanpa perlawanan" Buntal menjadi tegang. Ada pertentangan di dalam dirinya justru karena ia mengenal Ki Dipanala dengan baik. Namun ke mudian iapun menggeretakkan giginya sambil berkata "Adalah salah kalian jika kalian berdiri di ja lan yang salah" Ki Dipanala tida k menyahut lagi. Ia sadar, bahwa pembicaraan berikutnya tidak akan ada gunanya. Karena itu, maka iapun bersiaga untuk menghadapi segala ke mungkinan. Buntalpun ke mudian bersiap pula. Perlahan-lahan ia mende kati Ki Dipanala sambil berkata "Maaf paman. Mungkin aku akan me nyakiti pa man" Ki Dipanala masih tetap berdiri diri. Tetapi berdua dengan kawannya iapun segera melangkah saling menjauhi untuk me mecah perhatian Buntal. Tetapi Buntal tidak gentar, la merasa bahwa ilmunya cukup kuat untuk menghadapi dua orang yang siap melawannya itu. Demikianlah ma ka di antara mereka tidak lagi dapat dikete mukan cara yang baik untuk me mperte mukan niat masing-masing. Dengan de mikian maka ja lan yang terakhir yang mereka te mpuh adalah kekerasan. Ki Dipanala, orang yang sudah kenyang makan gara mnya kehidupan, sekali-seka li masih juga menarik nafas dalamdalam. Tetapi seperti kata kawannya, jika persoalannya
menyangkut harga diri, kebebasan dan keselamatan, maka terpaksa iapun melayani gejolak darah Buntal yang masih muda. Sejenak kemudian Buntal telah mulai menyerang. Seperti yang diduga oleh Ki Dipana la, maka geraknya mantap penuh tenaga, la adalah murid perguruan Jati Aking dan sudah barang tentu. Buntal masih mendapat beberapa unsur tata gerak dari perguruan Kiai Sarpasrana yang dapat diluluhkan dengan ilmunya yang diterima dari Jati Aking. Dengan demikian, di dala m perkelahian berikutnya. Ki Dipanala me lihat, bahwa Buntal adalah anak muda yang me miliki bekal yang cukup Raden Juwiring yang me luluhkan ilmu dari perguruan Jati banyak untuk terjun di dalam gelanggang keprajuritan seperti Aking dengan ilmu yang diwarisinya dari ayahandanya, seorang Senapati yang tidak banyak tandingnya di Sura karta. Tetapi pada saat itu Ki Dipana la tidak berdiri seorang diri. Ia berkelahi bersama seorang kawannya. Seorang yang lebih muda sedikit dari Ki Dipanala. Na mun yang ternyata bukan sekedar seorang pengikut yang berlindung di ba lik punggung. Ketika perkelahian itu me ningkat sema kin seru, terasa oleh Buntal, bahwa kedua lawannya adalah lawan yang berat. Kedua orang itu tidak seringan kee mpat orang yang diceriterakan oleh Arum, menyelidiki dan mencari keterangan tentang Jati Sari, namun yang ke mudian hilang dibawa oleh Sura selain yang terbunuh. Kedua orang itu me miliki ke ma mpuan berte mpur berpasangan sehingga terasa oleh Buntal, bahwa ia mendapat lawan yang cukup tangguh. Setiap kali Buntal me musatkan serangannya kepada salah seorang dari mereka, maka setiap kali yang lain dengan garangnya menyerang dari arah yang lain. Bukan sekedar serangan yang dapat mengganggu pe musatan perhatian dan
serangannya sendiri, berbahaya baginya.
tetapi serangan itu benar-benar Ketika Buntal dengan sepenuh tenaganya menyerang Ki Dipanala, dan mencoba melumpuhkannya, maka kawan Ki Dipanala itupun menyerangnya seperti air banjir menghantam tanggul. Ternyata bahwa sebelum ia berhasil menyentuh Ki Dipanala, terasa pundaknya menjadi nyeri. Kawan Ki Dipanala justru telah berhasil me mukul pundaknya itu dengan ujung jari-jarinya yang merapat. Buntal terkejut bukan buatan. Pukulan itu benar-benar pukulan yang berbahaya. Untunglah bahwa Buntal berhasil me mutar tubuhnya searah dengan arah pukulan itu, sehingga pukulan itu t idak mere mukkan tulang-tulangnya. Namun selain karena perasaan sakit yang menyengat pundaknya, Buntalpun merasa heran, bahwa pukulan itu rasarasanya pernah dikenalnya. Pukulan dengan ujung jari yang merapat, dan pukulan justru dengan ujung ibu jari mengarah kepangkal leher. "O, Raden Juwiring" ha mpir saja Buntal berteriak, la ingat betul. Pada saat-saat Raden Juwiring telah berada kembali di istananya, tetapi sekali-sekali masih datang ke Jati Aking dan kadang-kadang masih berlatih bersa ma, ia sering melihat pukulan serupa itu. Pukulan dengan ujung jari yang merapat, dan pukulan dengan ujung ibu jari. "Siapakah orang ini" Buntal menjadi berdebar-debar. Dan dengan de mikian ma ka perhatiannya dipusatkannya kepada oiang yang belum dikenalnya itu. Seorang yang berpakaian seperti Ki Dipanala, seperti seorang abdi di rumah para bangsawan di Surakarta. Tetapi semakin la ma Buntal menjadi se makin curiga. Orang itu tentu bukan sembarang abdi. Mungkin ia seorang prajurit sandi atau petugas-tugas yang lain. Bahkan kemudian Buntal merasa seakan-akan ia pernah me lihat wajah seperti itu.
Namun Buntal tidak se mpat mengingat-ingat. Serangan kedua tawannya rasa-rasanya menjadi se makin berat. Bahkan kadang-kadang ha mpir di luar ke ma mpuannya untuk menge lakkan diri. Akhirnya Buntal kehilangan semua pertimbangannya. Ketika sekali lagi tangan kawan Ki Dipanala itu berhasil menyentuh la mbungnya, sehingga perutnya menjadi mual, dan bahkan rasa-rasanya isi perutnya akan tertumpah keluar, maka ia sudah kehilangan pengekangan diri. la merasa bahwa kedua lawannya ternyata memiliki ke ma mpuan yang bukan saja dapat mengimbanginya, tetapi justru terasa terlampau berat untuk dilawan. Karena itu ma ka ha mpir tanpa se mpat berpikir lagi, Buntal telah menarik senjatanya. Ia tidak lagi dapat me mpertimbangkan siapa kah yang dihadapinya. Dan ia tidak sempat me mperhitungkan bahwa ia berniat menangkap Ki Dipanala dan kawannya itu hidup-hidup dan me mbawanya menghadap Kiai Sarpasrana. Kedua lawannya terkejut melihat Buntal kini telah menggengga m senjata. Bahkan keduanya meloncat surut. Ki Dipanala menjadi sangat tegang. Dengan suara bergetar ia berkata "Buntal. Jangan menjadi wuru. Kau sebaiknya tetap sadar, bahwa kita hanya sekedar bergurau. Kenapa kau tibatiba sudah menggengga m senjata?" "Aku tidak bergurau. Jika kalian berdua tidak bersedia me menuhi niatku, me mbawa ka lian menghadap Pangeran Mangkubumi atau yang dikuasakannya, maka lebih baik aku me mbunuh ka lian di sini. Bagaimanapun juga aku sudah berbuat sesuatu bagi tanah ini. Aku sudah me mbantu mengurangi penjilat-penjilat yang sela ma ini me mpersubur kekuasaan orang asing" "Buntal" Ki Dipana la menjadi ce mas "Kau masih sangat muda. Kau belum me mpunyai pertimbangan yang baik. Jika kau mau mendengar kata-kataku, pergilah kepada Ki
Sarpasrana. Jika kata-katamu didengar, dan Kiai Sarpasrana me merlukan aku, kau tidak usah bertempur apalagi dengan senjata. Biarlah Kiai Sarpasrana menyuruh seorang cantriknya atau kau sendiri datang ke rumahku dan me manggilku. Aku akan datang. Tetapi tidak dala m keadaan seperti sekarang ini" "Aku tidak peduli. Jangan mencoba menyela matkan dirimu dengan muslihat se maca m itu" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Yang dihadapinya adalah seorang anak muda yang darahnya masih terlampau panas. Karena itu. maka ia menjadi agak bingung untuk meng hindarkan diri dari bentrok senjata dengan anak muda dari Jati Aking. Tetapi Buntal tidak me mberinya kesempatan. Dengan sigapnya ia mula i mengayunkan senjata dan siap untuk me loncat menyerang. Tidak ada pilihan lain dari Ki Dipana la dan kawannya kecuali me mpertahankan diri. Karena itulah maka keduanyapun ke mudian telah mencabut pedang masing-masing. "Buntal, masih ada wa ktu untuk menyadari segala tindakanmu se karang ini" berkata Ki Dipanala. "Aku sadar sepenuhnya. Aku harus menangkapmu, hidup atau mati" Ki Dipanala menarik nafas dala m-da la m. Ia mengerti sepenuhnya, betapa darah muda di dalam tubuh Buntal yang dibakar oleh gairah perjuangannya itu sedang mengge legak. Namun dengan demikian ia menjadi se makin ce mas, bahwa akan datang saatnya ia harus me mpertaruhkan nyawanya me lawan anak muda yang baik itu. Namun sebelum Ki Dipana la menyahut, kawannya sudah mendahuluinya "Apaboleh buat. Aku dan Ki Dipanalapun pernah belajar bermain senjata. Carangkah kami berdua masih sempat berusaha menyela matkan diri"
Buntal tidak me nunggu kalimat itu selesai. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Ujung pedangnya mematuk seperti ujung paruh seekor burung garuda yang menukik dari udara, menyambar dada kawan Ki Dipanala. Tetapi kawan Ki Dipanala itu benar-benar tangkas. Dengan sigapnya ia meloncat ke samping. Bukan saja menghindari serangan Buntal, tetapi Ia masih se mpal menyerang anak muda itu. Dengan sekuat tenaganya ia me mukul senjata Buntal. Buntal sama sekali tidak menduganya bahwa lawannya ma mpu berbuat secepat itu, sehingga karena itu, ia tidak siap menghadapinya. Ternyata pedangnya telah bergetar dan telapak tangannya bagaikan disengat oleh ujung senjata itu, sehingga senjata itu terlepas dari tangannya. Hanya karena Buntal telah terlatih dengan baik, maka dengan gerak naluriah ia masih sempat me mungut pedangnya dan meloncat menjauhi lawannya. Ternyata lawannya tidak mengejarnya. Ki Dipanalapun tidak segera menyerangnya. Tetapi keduanya termangumangu untuk beberapa saat memandang Buntal yang me mperbaiki kesalahan. Namun dala m pada itu, Buntal yang masih pedih mencoba menila i keadaan. benar bukan orang kebanyakan. Semula lawannya tidak akan lebih ba ik dari Ki ternyata kawan Ki Dipana la itu me miliki tinggi. merasa tangannya Lawannya benaria me ngira bahwa Dipana la. Namun ke ma mpuan yang
Meskipun de mikian se muanya sudah terlanjur dimula i. Buntal adalah seorang anak muda yang keras hati sehingga karena itu maka ia tidak berniat untuk menarik diri dari perkelahian itu. Sejenak ia mencoba menila i keadaan. Dicobanya menggengga m pedangnya erat-erat meskipun tangannya
masih nyeri Sa mbil menggeretakkan giginya Buntalpun me langkah maju. Pedang yang sudah berada di tangannya lagi itupun diacukannya. Tetapi ia tidak berani lagi bertindak dengan tergesa-gesa agar pedangnya tidak lagi terloncat dari tangannya. Kedua lawannya bergeser selangkah. Namun dala m pada itu, Ki Dipanala masih se mpat berkata "Buntal, apakah kau masih akan me lanjutkan perkelahian yang tidak akan ada artinya apa-apa ini" "Persetan" Buntal benar-benar telah dibelit oleh perasaannya yang meluap-luap. Karena itu, ia tidak me mpunyai pilihan lain kecuali berte mpur "Adalah sudah wajar, jika di dalam perke lahian, akan jatuh korban" katanya lebih lanjut "dan kita akan bertempur terus. Jika aku tidak berhasil me mbawa-Ki Dipanala dan kawanmu itu, maka biarlah mayatku terkapar di sini" "Ah, jangan berbicara tentang sesuatu yang mengerikan Buntal. Masih banyak jalan yang dapat dite mpuh" Tetapi Buntal tidak menghiraukan. Kali ini ia meloncat menyerang Ki Dipanala. Namun Ki Dipanala sudah siap menghadapi keadaan itu, sehingga ia masih se mpat mengelak. Tetapi Ki Dipanala tidak setangkas kawannya. Buntal masih sempat berputar dan mengayunkan pedangnya mendatar. Tetapi Ki Dipanala berhasil menangkis serangan itu meskipun ia harus berloncatan surut. Buntal tida k ingin melepaskan lawannya. Ia ingin mengurangi kekuatan lawannya. Meskipun se mula tidak terlintas sama seka li niatnya untuk me mbunuh, apalagi ki Dipanala, namun dala m keadaan yang kalut itu, ia tidak dapat mengingat lagi untuk mengekang dirinya. Bahkan meskipun ia sudah mengerahkan tenaganya, ia masih belum dapat berbuat banyak terhadap kedua lawannya itu.
Ternyata bahwa kema mpuan Buntal me mang lebih tinggi dari Ki Dipanala. Namun Ki Dipanala yang me miliki pengalaman jauh lebih banyak, masih se mpat mencari kesempatan untuk me mbebaskan diri dari serangan Buntal yang datang bagaikan banjir bandang. Tetapi dala m pada itu, kawan Ki Dipanala t idak me mbiarkannya berada dala m kesulitan. Dengan tangkasnya ia meloncat mende katinya dan menolongnya. Dengan serangan mendatar kawan Ki Dipanala itu telah me motong serangan Buntal, dan me maksanya untuk menghadapinya. Sekali lagi Buntal kini berhadapan dengan kawan Ki Dipanala. Dengan garangnya Buntal memutar senjatanya dan menyerang dengan cepatnya. Tetapi sekali lagi terasa, bahwa lawannya me mang me miliki kelebihan. Dengan sekedar menarik sebelah kakinya dan me miringkan tubuhnya, serangan Buntal sa ma sekali tidak berhasil menyentuhnya. Namun Buntalpun berpikir cepat. Dengan sekuat tenaganya ia menggerakkan pedangnya mendatar. Karena pedang itu berada terlampau dekat dengan tubuhnya, maka kawan Ki Dipanala itu sudah tidak se mpat lagi menge lak. Tetapi ia masih se mpat menyilangkan senjatanya menangkis serangan Buntal yang tergesa-gesa itu. Sekali lagi terjadi benturan antara kedua senjata. Karena Buntal tidak se mpat mengayunkan senjatanya dengan sepenuh tenaga, dan lawannyapun hanya sekedar menangkisnya sair maka benturan itu tidak banyak menimbulkan akibat dikedu, belah pihak. Na mun de mikian sekali lagi Buntal merasa, senjatanya bagaikan menyentuh sebuah dinding baja yang kokoh. Buntal se mpat me loncat menjauhi lawannya. Sekali lagi ia mencoba menga mati, siapakah sebenarnya kawan Ki Dipanala
itu. Namun kini orang itulah yang menyerangnya dengan cepatnya sambil menjulurkan pedangnya. -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 16 "Kita sudah terlalu la ma bergurau di sini" katanya "perkelahian ini harus segera selesai" Buntal menghindari serangan itu. Na mun dadanya menjadi berdebar-debar. Dan ternyata orang itu tidak hanya berbicara saja tentang perkelahian yang sudah terlalu la ma. Dengan sigapnya ia menyerang terus. Ketika Buntal mencoba menangkis serangan orang itu dengan pedangnya, maka tiba-tiba saja orang itu telah me mutar mata pedangnya yang sedang bersentuhan dengan senjata Buntal. Akibat dari sentuhan itu benar-benar tidak terduga. Pedang orang itu telah berhasil me mutar senjata Buntal dan me le mparkannya dari tangannya. Sejenak Buntal menjadi termangu-ma ngu. Dengan mata terbelalak ia me lihat ujung pedang yang mengarah ke dadanya. Tetapi darah muda yang menggelegak di dala m dadanya telah me manasi seluruh tubuhnya. Tidak ada niat sama seka li padanya untuk menyerah dalam keadaan apapun. Karena itu,
maka Buntal masih tetap mencari jalan, agar ia tidak harus pasrah diri di ujung pedang lawannya. "Kau tidak me mpunyai kese mpatan lagi Buntal" berkata orang yang mengacukan pedang itu. Buntal me mandangnya dengan wajah yang tegang. Sejenak ia mencoba me mperhitungkan keadaan. Sekali-sekali ia me mandang Ki Dipana la dengan sudut matanya. Namun agaknya Ki Dipanala me mbiarkan saja kawannya menyelesaikan persoalannya. "Nah, apakah yang akan kau lakukan sekarang?" bertanya orang itu. Buntal tetap berdia m diri sa mbil menggeretakkan giginya. Sekali-seka li ia terpaksa melangkah surut jika ujung pedang lawannya menyentuh dadanya. "Katakan apa yang akan kau lakukan se karang. Menyerah, atau kau masih ingin bertempur atau kau me mpunyai keputusan lain" Buntal menggera m. Dan t iba-tiba saja di luar dugaan lawannya ia menjatuhkan dirinya sambil menendang pergelangan tangan lawannya. Gerak itu sama sekali tidak diduga, sehingga karena itu, maka tendangan kaki Buntal yang kuat itu berhasil menggeser ujung pedang lawannya meskipun ia tidak berhasil me lontarkan pedang itu dari genggaman. Kemudian dengan sigapnya Buntal melenting, disusul dengan sebuah tendang mendatar mengarah lambung lawannya. Tetapi sekali lagi Buntal gagal. Dan keadaan yang tidak disangka-sangka itu, ternyata lawannya dapat berbuat lebih cepat daripadanya. Tendangan mendatar itu masih se mpat dihindarinya. Dan bahkan yang juga tidak diduga oleh Buntal,
kawannya masih se mpat menyerangnya pula. Tidak dengan pedangnya, tetapi dengan kakinya. Buntal yang tidak menyangka itu, tiba-tiba saja merasa dadanya bagaikan dihantam oleh kekuatan yang tidak terkirakan sehingga rasa-rasanya nafasnya terputus seketika. Matanya menjadi berkunang-kunang, dan kesadarannyapun perlahan-lahan menjadi kabur. Sejenak ke mudian Buntal tidak tahu lagi apa yang terjadi atas dirinya. Pingsan. Tetapi agaknya Buntal tidak pingsan terlalu la ma. Terasa silirnya angin, dan dinginnya air yang me mbasahi tubuhnya menyegarkan badannya. Perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih ke mbali. Ia masih mendengar derap kaki kuda yang la mat-la mat menjauh. Dan ketika ia dengan tangan yang le mah meraba dirinya, terasa seluruh pakaiannya telah basah kuyup tersira m air. Perlahan-lahan Buntal mencoba bangkit. Ia masih me lihat nyala api yang semakin redup. Dan ia me lihat senjatanya masih tergolek di tempatnya. Tertatih-tatih Buntal mencoba berdiri. Berkali-kali ia meraba pakaiannya yang basah kuyup, seakan-akan ia baru saja ditimpa oleh hujan yang lebat. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya, dilihatnya sebuah timba upih yang basah, sehingga karena itu ia mengerti, agaknya Ki Dipana la telah menga mbil air dan menyira mnya sebelum ia ditinggalkannya. Buntal termangu-mangu sejenak. Ia menjadi menga la mi perlakuan Ki Dipanala dan kawannya. heran
"Aku akan menangkap mereka" berkata Buntal "Tetapi mereka t idak berbuat apa-apa atasku" Sambil terhuyung-huyung ia melangkah me mungut pedangnya. Sekali lagi ia berguma m "Mungkin Ki Dipanala
tidak sampai hati melihat aku pingsan dan ditinggalkannya begitu saja. Itulah agaknya yang mendorongnya ia menyiram aku dengan air, dan menunggu sampai aku ha mpir sadar" ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi kawannya itu" Buntal benar-benar dicengka m oleh keheranan. Kawan Ki Dipanala ternyata me miliki ke ma mpuan yang luar biasa. Jika ia ingin me mbunuhnya, ma ka Buntal sendiri tentu sudah mati terkapar di te mpat itu. Tetapi ia tida k berbuat de mikian. "Aku tidak peduli" t iba-tiba Buntal yang muda itu menggera m "Aku masih hidup dan sehat. Aku harus menghadap Kiai Sarpasrana dan menyampaikan laporanku kepadanya. Sudah barang tentu dengan peristiwa yang baru saja terjadi ini" Perlahan-lahan Buntalpun ke mudian me langkah meninggalkan tempat itu. Badannya masih terasa lemah dan dadanya masih pepat. Nafasnya kadang-kadang masih terasa terganggu oleh rasa sakit yang menyengat. Tetapi Buntal dapat bertahan. Ia mendapat latihan yang berat di Jati Aking dan selama ia berada di Sukawati sehingga ketahanan tubuhnyapun cukup kuat untuk mengatasi perasaan sakitnya. Akhirnya Buntal dapat mencapai kudanya yang dise mbunyikannya. Iapun segera naik ke atas punggungnya dan kemudian berpacu kembali ke Sukawati. Tetapi Buntal tidak berani lagi me larikan kudanya terlampau cepat, karena perasaan sakit di dadanya. Namun dengan de mikian maka Buntal mengala mi sedikit kela mbatan, la sa mpai di Sukawati setelah terang tanah. Kedatangannya dengan langkah yang letih dan nafas yang terengah-engah telah mengejutkan Kia i Sarpasrana. Karena itu, setelah Buntal duduk sejenak. Kiai Sarpasrana ingin segera mengetahui apa yang sudah diala mi Buntal di perjalanannya.
Dengan nafas yang berkejaran Buntal mulai menceriterakan perjalanannya. Mula-mula ia menceriterakan hasil kunjungannya ke Jati Aking. Keterangan yang didapatkannya dan yang tidak diduganya adalah bahwa Raden Juwiring kini tengah me mimpin sepasukan prajurit berkuda dari Surakarta, mencari kee mpat orang yang hilang itu. Ki Sarpasrana mendengarkan ceritera itu dengan saksa ma. Namun Buntal juga merasa heran, bahwa Kiai Sarpasrana tidak terkejut dan heran mendengar ceriteranya. Bahkan dengan tenangnya ia berkata "Raden Juwiring tidak akan dapat ingkar. Ia adalah putera seorang Pangeran, sehingga ia tentu akan dibebani tugas keprajuritan. Apalagi ayahnya adalah seorang Senapati terpilih di Surakarta." "Tetapi Kiai, menilik sikapnya selagi ia masih berada di Jati Aking, Raden Juwiring menunjukkan pendiriannya yang berlawanan dari yang dila kukannya sekarang" "Kita me mang harus berhati-hati menghadapi suasananya yang tidak menentu ini. Perubahan masih se lalu a kan terjadi" Buntal menundukkan kepalanya, la teringat kepada tanggapan Kiai Danatirta atas Raden Juwiring. Agaknya orangorang tua itu terla mpau banyak pertimbangan sehingga raguragu menentukan sikap. "Buntal" berkata Kiai Sarpasrana kemudian "Tetapi kenapa kau tampak terla lu letih dan nafasmu bagaikan a kan terputus. Apalagi kau datang agak la mbat dari waktu yang sudah ditentukan?" bertanya Kiai Sarpasrana ke mudian. Buntal bergeser sedikit. Ketika semangkuk minuman hangat diletakkan di hadapannya, maka tanpa menunggu lagi iapun segera meneguknya. "Aku haus se kali Kiai" desisnya. Kiai Sarpasrana tersenyum. Tetapi ia dia m saja.
Buntalpun ke mudian menceriterakan pertemuannya yang aneh dengan Ki Dipanala, sehingga ia terlibat di dalam perkelahian. "O, kau bertempur melawan Ki Dipanala?" "Tida k ada pilihan lain Kia i. Aku mencurigainya. Ia berada di tempat yang sedang mengala mi ke kisruhan. Aku yakin bahwa orang yang diupah oleh kumpeni sedang berusaha me mpengaruhi sikap rakyat Surakarta terhadap pasukan Raden Mas Said" "Kau tidak mengena l siapa kawannya itu?" "Tida k Kia i, tetapi aku melihat ciri yang pernah aku lihat sebelumnya" "Apa?" Buntalpun menceriterakan sikap tangan kawan Ki Dipanala itu. Ia pernah melihat hal itu pada Raden Juwiring. Kiai Sarpasrana mengangguk-angguk. ternyata sangat menarik baginya. Ceritera Buntal
"Kau sa ma seka li t idak dapat menduga, siapakah kawan Ki Dipanala itu?" Pertanyaan Kiai Sarpasrana yang diulang itu me mang menarik perhatian Buntal. Tetapi ia tetap menggelengkan kepalanya sambil menjawab "Tida k Kia i. Aku tidak dapat menduganya" Kiai Sarpasrana menarik nafas. Katanya "Di ma la m hari me mang sukar untuk mengena l seseorang yang belum dikenalnya baik-ba ik. Tetapi mungkin kau me mang belum pernah me lihatnya. Sudah barang tentu orang itu bukan Raden Juwiring, karena betapapun ge lapnya kau tentu akan dapat mengenalnya"
"Bukan Raden Juwiring Kiai" jawab Buntal "kecuali aku tentu dapat mengenalnya, maka ia tentu tidak akan berpakaian seperti seorang ha mba atau pe layan" "Baiklah" Kia i Sarpasrana menyahut "beristirahatlah. Laporanmu akan a ku teruskan. Ternyata bahwa keadaan sudah menjadi se ma kin gawat. Raden Mas Said sudah tidak dapat menahan hati lagi. Sudah terlalu la ma ia mencoba mengendorkan perjuangannya. Tetapi agaknya kumpeni justru berbuat sebaliknya. Dan kini bukan saja Raden Mas Said, tetapi Pangeran Mangkubumipun menga la mi tekanan yang semakin berat justru oleh saudara-saudaranya sendiri yang dikendalikan oleh kumpeni itu. Karena itu. maka kita wajib me mpersiapkan diri sebaik-ba iknya Buntal" Buntal mengangguk. Katanya "Kita sudah la ma menunggu perintah. Jika sekiranya Raden Mas Said dapat diajak berbicara dengan baik dan me mbagi pe kerjaan yang berat ini. mungkin keadaan akan segera berubah" "Tentu, kenapa tidak" Raden Mas Said dan Raden Mas Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi itu me mpunyai tujuan yang sama. Tetapi agaknya Pangeran Mangkubumi ingin mene mpuh jalan yang lebih lunak meskipun agak jauh. Setiap korban yang jatuh menjadi perhatian Pangeran Mangkubumi. Ia bersedih jika ia melihat seseorang bersedih. Juga jika ia melihat orang yang menangis karena kehilangan anak laki-lakinya, atau kehilangan suaminya. Tetapi jika tidak ada ialan la in. maka Pangeran Mangkubumi dapat berubah bagaikan seekor banteng yang terluka di medan perang. Jarang ada seorang Senapati yang dapat mengimbanginya. Mungkin ayahanda Raden Juwiring yang bergelar Pangeran Ranakusuma. Senapati yang pilih tanding itu dapat mengimbangi ilmu Pangeran Mangkubumi. tetapi ada perbedaan di antara keduanya. Pangeran Mangkubumi yakin akan perjuangannya, sedang Pangeran Ranakusuma tidak mengerti untuk apa sebenarnya ia berperang. Apalagi
sepeninggal puteranya yang dimanjakannya Raden Rudira, dan sejak isterinya sela lu dibayangi oleh gangguan jiwani" Buntal mendengarkan keterangan itu dengan saksa ma. Bahkan ke mudian ia seolah-olah tidak sabar lagi, kapan ia diperkenankan berada di medan perang melawan kumpeni dan orang-orang Surakarta sendiri yang berpihak kepada mereka. Tetapi Kiai Sarpasrana ke mudian berkata "Kau tidak boleh tergesa-gesa Buntal. Kau harus menunggu perintah untuk itu. Karena itu, semua tinda kanmu harus kau pikirkan masakmasak "Kia i Sarpasrana berhenti sejenak, lalu "Seperti yang baru saja kau lakukan Buntal, itu adalah hasil gejolak perasaanmu se mata-mata" Buntal mengerutkan keningnya. Sedang Kiai Sarpasrana tersenyum sambil berkata "Untunglah, bahwa kedua orang itu tidak sa mpai hati mence lakaimu" "Kia i" berkata Buntal sambil menundukkan kepalanya "Jika sekiranya aku harus mati, itu sudah menjadi kesanggupan seorang laki-laki yang berbuat sesuatu atas keyakinannya" Kiai Sarpasrana mengangguk-angguk. Katanya "Benar Buntal. Kau me mang seorang anak muda yang tabah. Tetapi ada persoalan lain yang harus kau perhatikan. Jika sekiranya kau berhasil me mbunuh salah seorang dari mereka, sedang yang lain se mpat me larikan diri, tentu orang itu akan mengadu di istana Surakarta, bahwa seorang kawannya telah dibunuh oleh pengikut Pangeran Mangkubumi. Jika demikian, apakah kau dapat membayangkan, bagaimana perasaan Pangeran Mangkubumi apabila Pangeran ada di istana pula?" Buntal mengerut kan keningnya. tunduk menjadi se makin tunduk. Dan kepalanya yang
Tetapi Kia i Sarpasrana masih saja tersenyum. Katanya "Sudahlah. Ka li ini kau dapat me mperguna kannya sebagai pengalaman. Karena kedua orang itu selamat, aku kira mereka
tidak akan mengadu justru karena Ki Dipanala mengenalmu dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Ceriteramu dan hasil pengamatanmu di Jati Sari merupa kan laporan yang penting bagi Pangeran Mangkubumi. Aku akan segera menya mpaikannya" "Tetapi Kiai" Buntal me motong "Apakah Mangkubumi kini berada di sini atau di istana?" Pangeran
Kiai Sarpasrana justru tertawa. Katanya "Pangeran Mangkubumi berada dimana saja yang dikehendaki. Ah pertanyaanmu aneh Buntal. Pangeran Mangkubumi dapat saja hadir di istana, setelah itu dengan tergesa-gesa memacu kudanya ke mari" Tetapi Buntal me mpunyai tanggapan lain. Ia me mang pernah mendengar bahwa Pangeran Mangkubumi me miliki ilmu yang luar biasa. "Apakah benar Pangeran Mangkubumi me miliki ilmu Sepi Angin?" Buntal bertanya kepada diri sendiri. Bahkan Buntal dapat menyebut bermacam-maca m ilmu yang lain yang menurut pendengarannya dimiliki oleh Raden Mas Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi itu. "Buntal" berkata Kiai Sarpasrana ke mudian "se karang kau dapat beristirahat. Jika ada persoalan yang lain, kau akan dipanggil dan barangkali kau akan mendapat tugas-tugas baru yang lebih berat" "Aku akan selalu bersedia me lakukannya Kiai" "Tetapi tidak dikuasai oleh perasaanmu melulu" Buntal menundukkan kepa lanya "Nah, pergilah ke belakang. Barangkali kau sudah lapar" Buntalpun ke mudian pergi ke belakang. Ia me mang lelah dan ingin beristirahat. Tetapi ia sama seka li tida k merasa lapar.
Di biliknya Buntal berbaring sambil mengenang apa yang baru saja terjadi. Ia mencoba mengingat-ingat bentuk dan wajah kawan Ki Dipana la. Namun ia tidak dapat mene mukan, siapakah orang itu sebenarnya. Dengan demikian, maka orang itu merupakan teka-teki yang tida k terpecahkan bagi Buntal. Bukan saja siapakah orang itu, tetapi juga sikapnya me mbuatnya tidak habis berpikir, kenapa ia masih tetap hidup setelah ia tidak berdaya lagi. "Mungkin Ki Dipanalalah yang mencegah agar orang itu tidak me mbunuhku" berkata Buntal di dala m hati "Tetapi bukankah dengan demikian aku tetap merupakan orang yang berbahaya bagi Ki Dipanala dimanapun ka mi akan berte mu?" Buntal menggelengkan kepalanya, ia mencoba menyingkirkan angan-angan itu barang sejenak. Tetapi ia tidak ma mpu mela kukannya. Demikianlah maka Buntal sela lu saja dibayangi oleh peristiwa itu. Bukan hanya hari itu, tetapi di hari-hari ke mudian, di dala m kesibukannya sehari-hari ia kadangkadang masih merenung di luar sadarnya. Dala m pada itu, selagi di Sukawati rakyat dengan penuh gairah me mpersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan, di istana Surakarta telah timbul persoalan-persoalan baru yang menyangkut kedudukan Tanah Sukawati. Beberapa orang bangsawan benar-benar tidak dapat menahan perasaan iri me lihat kebesaran Pangeran Mangkubumi dan penguasaannya atas Tanah Sukawati. Sebagian dari mereka mendapat hasutan dari kumpeni, agar mereka me mohon kepada Susuhunan untuk meninjau ke mba li Tanah Palenggahaii Pangeran Mangkubumi di Sukawati itu. Ternyata sikap dan pendirian Susuhunan menjadi goncang. Beberapa orang bangsawan setiap saat memperbincangkan Tanah Sukawati. Bahkan di antara mereka ada yang dengan sengaja menumbuhkan kegelisahan hati Susuhunan.
"Banyak bangsawan yang tidak dapat menerima sikap yang tidak adil itu Kangjeng Susuhunan" seseorang telah menya mpaikan persoalan itu kepada Susuhunan dengan nada yang buram "Jika Kangjeng Susuhunan tida k segera menga mbil sikap, maka di dala m waktu yang dekat, tentu akan timbul persoalan di antara saudara-saudara kita sendiri" Persoalan itu me mbuat Kangjeng Susuhunan menjadi bingung. Ia menyadari bahwa Pangeran Mangkubumi me miliki hak atas Tanah Sukawati sesuai dengan janji Susuhunan sendiri. Tetapi jika ia tidak mendengarkan pendapat para bangsawan dan para pemimpin pe merintahan, terutama pepatih di Surakarta, maka persoalannyapun akan menjadi gawat. Karena itu, Susuhunan Paku Buwono benar-benar diliputi oleh kebingungan dan kege lisahan. Terlebih-lebih lagi Kangjeng Susuhunan mengetahui, bahwa kumpeni tidak tinggal dia m melihat saja keadaan itu. Bahkan Kangjeng Susuhunan menyadari, bahwa kumpenipun telah ikut serta me mperguna kan kesempatan itu untuk keuntungannya. Dala m kese mpatan itu pula kumpeni mengadakan tekanantekanan atas Kangjeng Susuhunan. untuk me mperluas hakhak kumpeni. Pangeran Mangkubumi yang sudah me miliki benih-benih perlawanan tidak dapat menahan hatinya lagi. Dan itulah sebabnya maka perselisihan tidak dapat dihindarkan. Pangeran Mangkubumi tidak lagi me ngekang diri ketika ia harus berbantah dengan pimpinan tertinggi kumpeni yang datang dari Betawi di paseban. Dan itulah yang me mbuat Pangeran Mangkubumi se makin terjepit. Sikap kumpeni tidak dapat dimaafkannya lagi. Sikap para pemimpin Surakarta yang justru berpihak kepada kumpenipun tidak dapat dimaafkannya lagi. Dan sikap Patih Pringgalayapun benar-benar tidak dapat dimengertinya.
Peristiwa itu me mbuat Kangjeng Susuhunan benar-benar menjadi prihatin. Ia tidak dapat menolak tuntutan kumpeni atas Tegal dan Pekalongan, serta pengawasan sesala macam bea masuk dan keluar Kerajaan. Tetapi ia tidak akan dapat menahan Pangeran Mangkubumi untuk tetap bersabar menghadapi keadaan itu. Bahkan ke mudian Kanjeng Susuhunan dengan desakan yang tidak terelakkan lagi dari Dara bangsawan dan kumpeni yang marah atas sikap Pangeran Mangkubumi telah me mutuskan, betapapun berat di hati. mengambil ke mbali Tanah Sukawati dari tangan Pangeran Mangkubumi. "Sukawati menjadi neraka yang berbahaya" desak kumpeni "Karena itu Sukawati harus dilepaskan dari tangan Pangeran Mangkubumi yang telah berani me lawan dengan terbuka perintah Gubernur Jenderal" Sedang para Pangeran dan bangsawan yang lain mendesak "Jika tida k segera dia mbil t indakan ma ka iri hati a kan dapat me mba kar Surakarta. Apakah yang ditakutkan pada Panaeran Mangkubumi. Surakarta adalah Kerajaan yang kuat. Apalagi kini kita berada di bawah perlindungan kumpeni" Perintah penarikan kemba li Tanah Sukawati yang me mang sudah diduga itu sama sekali tidak mengejutkan Pangeran Mangkubumi. Tetapi ha i itu benar-benar sangat menyinggung perasaan. Bagi Pangeran Mangkubumi. Sukawati sebagai sebidang tanah yang luas dan subur, sebenarnya tidak begitu banyak menarik perhatiannya. Pangeran Mangkubumi adalah seorang Pangeran yang tidak terla mpau cenderung kepada kekayaan lahiriah justru karena rakyat Surakarta sema kin la ma menjadi semakin me larat. Tetapi yang menyakitkan hati adalah justru tanah itu ditarik setelah ia berhasil me mbina Sukawati menjadi alas yang kuat baginya, sehingga penarikan itu akan sangat menguntungkan kumpeni.
Tentang para Pangeran yang iri hati atas tanah kelenggahannya yang terlalu luas dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Pangeran Mangkubumi tidak akan menghiraukannya, seandainya Pangeran Mangkubumi tidak mengetahui bahwa sebagian besar dari para Pangeranpun sebenarnya telah dipengaruhi pula oleh kumpeni untuk me mperkuat tuntutannya atas penarikan Tanah Sukawati itu. Karena itu, ketika Kangjeng Susuhunan dengan resmi menarik tanah ini, dan diumumkannya di da la m sidang para pemimpin pe merintahan dan para bangsawan, rasa-rasanya jantung Pangeran Mangkubumi telah disentuh oleh bara api. Tetapi Pangeran Mangkubumi tetap berhasil menahan perasaannya justru karena ia tahu, bahwa kakandanya, Kangjeng Susuhunan sama sekali tidak bermaksud berbuat demikian. Ia tidak bermaksud me mbuat Pangeran Mangkubumi ma lu dan sakit hati. Ke le mahannyalah yang me ma ksanya untuk melakukan se mua desakan kumpeni dan para Pangeran yang iri hati kepadanya, yang dengan tamak mengharap, bahwa Sukawati akan terbagi kepada para Pangeran itu. "Kakanda Susuhunan" Pangeran Mangkubumi me nanggapi penarikan atas tanah Sukawati itu "adalah wewenang kakanda untuk berbuat apa saja atas Tanah Sukawati, karena sebenarnya hamba hanya sekedar memelihara selagi tanah itu dikuasakan kepada ha mba. Sebenarnyalah bahwa tanah itu adalah milik Sura karta. Karena itu, hamba tida k akan berkeberatan apapun juga seandainya tanah itu benar-benar ditarik dengan jujur untuk kepentingan Surakarta" Kangjeng Susuhunan Paku Buwono itu termangu-mangu sejenak. Terasa hatinya ikut tersentuh melihat sikap Pangeran Mangkubumi. Karena sebenarnya, sebagai seorang kakak maka Pangeran Mangkubumi adalah adiknya yang dikasihinya.
Bahkan Kangjeng Susuhunan pernah meletakkan harapan kepada adiknya ini untuk me mperkuat kedudukan Surakarta. Tetapi ternyata Surakarta menjadi sema kin le mah karena kele mahannya sendiri. Kenapa ia tidak, berani bersikap seperti Pangeran Mangkubumi" Dan kenapa Pangeran-Pangeran yang lainpun bersikap le mah dan menjilat?" Selagi Kangjeng Susuhunan itu termangu-ma ngu, maka Pepatih Surakarta menyela "A mpun Kangjeng Susuhunan. Apakah hamba diperkenankan untuk berbicara?" Kangjeng Susuhunan me mandang Patihnya itu sejenak. Kemudian dengan ragu-ragu menganggukkan kepalanya. "Berbicaralah jika kau menganggap perlu" "Ampun Kangjeng Susuhunan. Sebenarnyalah penarikan Tanah Sukawati sudah dipertimbangkan sebaik-baiknya oleh Kangjeng Susuhunan. Berdasarkan keadilan dan kepentingan Kerajaan Surakarta seluruhnya. Mengingat pendapat Kumpeni dan kegelisahan para Pangeran, maka tidak ada jalan lain kecuali menga mbil ke mbali Tanah Sukawati yang diberikan sebagai hadiah jika seseorang berhasil me mada mkan pemberontakan Raden Mas Said. Sedang yang terjadi adalah sekedar menghentikan kegiatan Raden Mas Said untuk sementara karena Raden Mas Said dan Martapura kini sudah mulai me lakukan kegiatannya menentang pemerintahan Surakarta lagi. Bahkan mungkin ha mba menjadi curiga, bahwa saat-saat Raden Mas Said dan Pangeran Martapura tidak lagi me lakukan kegiatan itu hanya sekedar kesempatan baik bagi Pangeran Mangkubumi" "Paman Patih" Pangeran Mangkubumi tidak dapat menahan hati lagi sehingga ia kehilangan suba sita. Namun sebelum berkepanjangan terdengar Kangjeng Susuhunan berkata "Adimas Pangeran Mangkubumi. Kau berada di paseban. Selama ini aku masih duduk di atas tahta. Berbicaralah kepadaku"
"Ampun ka mas Susuhunan. Kata-kata Ki Patih terasa panas di telinga ha mba" "Yang menentukan adalah aku, Susuhunan Paku Buwana kedua di Sura karta. Jika ada persoalan atas keputusanku, hendaknya disa mpaikan kepadaku" Pangeran Mangkubumi menggeram, la masih menghormati Kangjeng Susuhunan sebagai raja dan saudara tuanya. Itulah sebabnya dengan susah payah ia menahan perasaannya yang bergejolak. "Jika kau segan menya mpaikannya sekarang adimas Mangkubumi, senja nanti aku me mberi waktu kepadamu untuk datang menghadap sendiri di luar sidang di paseban" Pangeran Mangkubumi menye mbah. Ke mudian katanya "Hamba mohon diri kakanda. Jika ha mba tetap berada di antara orang-orang ini. mungkin ha mba akan kehilangan adat, sopan santun. Karena itu, hamba mohon ijin untuk menghadap kakanda Susuhunan senja nanti" "Aku tida k berkeberatan. Aku menyediakan waktu bagimu" Pangeran Mangkubumipun ke mudian meninggalkan sidang dengan wajah yang merah pada m. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat lagi berbuat dengan lunak untuk menghindari benturan kekerasan. Apalagi apabila diingatnya, bahwa kumpenilah yang sebenarnya berdiri di be lakang mereka yang menghasut Susuhunan sela ma ini untuk me mecah be lah ke kuatan Surakarta, sehingga dengan demikian Surakarta akan menjadi
rinskh dan tidak berdaya menghadaoi tekanan kumpeni yang semakin la ma terasa semakin mence kik leher rakyat Surakarta dan kekuasaan Sura karta itu sendiri. Sepeninggal Pangeran Mangkubumi. maka beberapa orang bangsawan mendapat kesempatan untuk menge mukakan pendapat mereka tentang Pangeran Mangkubumi. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak akan berani berbuat apa-apa. Jika ia ingin menyatukan diri dengan Raden Mas Said, maka tentu Raden Mas Said mencurigainya karena Pangeran Mangkubumi pernah berusaha me mada mkan pe mberontakannya untuk mendapatkan Sukawati. "Sukawati kini menjadi ajang penempaan kekuatan bagi pengikut Pangeran Mangkubumi" berkata salah seorang bangsawan. "Ampun Kangjeng Susuhunan" yang la in menyahut "Tidak ada kekuatan yang berarti di Sukawati" Namun de mikian kumpeni tida k tinggal dia m me nanggapi sikap Pangeran Mangkubumi. Kumpeni yang me mpunyai pengalaman perang yang dapat dibanggakan, dapat menangkap sikap dan pertimbangan yang tajam pada Pangeran Mangkubumi. Kecuali petugas-tugas sandinya sudah dapat mengetahui apa yang terjadi di Sukawati, juga karena kumpeni mengerti watak dan tabiat Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya. Karena itu, sebagai prajurit-prajurit yang pemah mengarungi sa modra dan melintasi benua dari ujung bumi, maka kumpeni tidak ingin mengala mi kegagalan di sebuah pulau yang jauh lebih kecil dari benua hita m yang pernah dilintasinya. Tetapi pulau yang kecil ini adalah pulau yang lebih besar dari negerinya sendiri. Dengan de mikian, maka kumpeni benar-benar me mpersiapkan diri menghadapi ke mungkinan yang terjadi
dengan sikap Pangeran Mangkubumi itu, meskipun dengan perhitungan, bahwa Surakarta harus merasa dirinya tidak ma mpu mengatasi dan minta bantuan kepada mereka. Dengan demikian ma ka kumpeni dapat me mungut keuntungan dari permintaan bantuan itu. Bahkan dari pertentangan itu seluruhnya. Ternyata bukan hanya kumpeni sajalah yang me mpersiapkan diri dengan dia m-dia m. Para Senapati di Surakartapun mendapat perintah agar bersiap-siap menghadapi ke mungkinan yang ba kal terjadi. Tetapi sebagian dari mereka menganggap bahwa jika Pangeran Mangkubumi me lakukan pe mberontakan, maka yang terjadi tidak akan lebih dari menyalakan obor belarak. Obor daun ke lapa kering. Mula-mulanya nyalanya me lonjak sampai menggapai langit, namun beberapa saat kemudian, api itu akan pada m dengan sendirinya karena belarak terlampau cepat dimakan api. Yang akan tersisa adalah sekedar abunya saja. "Meskipun de mikian, kita harus mengawasi mereka" berkata Ki Patih da la m pertemuan dengan para Pangeran dan para Senapati. Dan di antara mereka adalah Pangeran Ranakusuma. "Bagaimana pendapat Pangeran?" bertanya Ki Patih kepada Pangeran Ranakusuma "Pangeran adalah seorang Senapati yang disegani di Surakarta. Juga Pangeran Mangkubumi merasa segan kepada Pangeran. Pangeran adalah Senapati yang pilih tanding. Bahkan seorang perwira kumpeni yang pernah menjelajahi bumipun dapat Pangeran kalahkan" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Katanya "Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang me miliki ke ma mpuan yang luar biasa. Menurut pendengaranku ia me miliki beberapa ilmu yang tidak dapat digolongkan dala m ilmu kewadagan. Bukan saja prigel oleh senjata, tetapi juga ilmu yang tidak dapat dicapai dengan na lar"
"Misa lnya?" bertanya seorang Pangeran yang masih sangat muda. "Misa lnya aji Pa me ling. Aji Welut Put ih dan se macamnya" "Ah" potong Ki Patih "Pangeran Ranakusuma adalah gedung perbendaharaan ilmu. Jangankan Pangeran Ranakusuma, sedang puteranya, Raden Juwiring, kini sudah nampak, bahwa ia akan menjadi seorang Senapati yang mumpuni. Pada suatu saat maka Surakarta akan berani menghadapkan Raden Juwiring dengan Raden Mas Said" "Ia bukan tandingnya" jawab Pangeran Ranakusuma. "Sekarang belum. Tetapi ke majuan Raden Juwiring agaknya mela mpaui pesat lajunya seekor kuda yang paling tegar" Pangeran Ranakusuma tidak menyahut lagi. Tetapi na mpak bahwa ia sedang berpikir. Agaknya Pangeran Mangkubumi benar-benar orang yang harus diperhitungkannya. "Pangeran" berkata Ki Patih "menurut pendengaranku, Pangeranpun me miliki aji Le mbu Se kilan yang lebih mantap dari aji Welut Putih. Aji Panggenda m dan aji Ta meng Waja. Bahkan masih banyak lagi yang be lum a ku sebutkan. Dengan demikian maka Pangeran Mangkubumi bukannya lawan yang berat bagi Pangeran. Apalagi di antara para Senapati yang lain masih ada yang dapat disebut namanya untuk menda mpingi Pangeran di peperangan jika hal itu sungguh-sungguh akan terjadi" "Ya" Pangeran Ranakusuma mengangguk "sebagai seorang Senapati aku tidak boleh me milih lawan, meskipun lawan itu adalah saudaraku sendiri dan me miliki ilmu yang betapapun sempurnanya. Namun sudah barang tentu bahwa setiap perbuatan itu harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Demikian juga untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi. Aku kira kita harus me mbuat perhitungan yang secermat-cermatnya"
"Terserahlah kepada para Senapati. Dan tentu Kangjeng Susuhunan akan percaya kepada para Senapati" "Senja nanti Pangeran Mangkubumi akan menghadap" desis Ki Patih. Pangeran Ranakusuma merenung sejenak, la lu terdengar suaranya yang datar "Apakah kira-kira yang akan dibicarakan?" "Tentu Pangeran Mangkubumi akan mengadu, seolah-olah kami hanya sekedar didorong oleh perasaan iri. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami mengetahui persiapan yang sudah dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi di Sukawati" sahut seorang Pangeran yang lain. Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya, lalu jawabnya "Tentu Adimas akan berbuat demikian. Tetapi tentu tidak dengan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang sudah dewasa cara berpikir dan bertindak" "Jadi, apakah yang akan dilakukan me nurut ka kang-mas" "Ia tidak akan sekedar mengadu. menyatakan pendapatnya dan sikapnya" Tetapi ia akan
Yang lain mendengarkan percakapan itu dengan dahi yang berkerut merut. Mereka sependapat bahwa Pangeran Mangkubumi tentu t idak hanya akan sekedar mengadu. "Kenapa Kangjeng Susuhunan me mberinya waktu untuk menghadap sendiri" desis Ki Patih ke mudian. "Itu adil" Pangeran Ranakusuma lah yang menjawab "sela ma ini yang didengar oleh kakanda Susuhunan adalah ceritera tentang Pangeran Mangkubumi. Tentu harus datang giliran bahwa Pangeran Mangkubumilah yang didengar ceriteranya"
"Tetapi sebenarnya tidak perlu" sahut Pangeran yang masih muda itu "kakangmas tentu sudah mengerti, bahwa sikap Pangeran Mangkubumi sela ma ini berbeda dengan sikap kita semua, seolah-olah Pangeran Mangkubumi bukan saudara kita. Seolah-olah ia ada lah orang la in. Dengan de mikian kita semua dan juga kakanda Susuhunan dapat berbuat seperti itu" "Itulah bedanya antara kau dan seorang raja yang bijaksana. Bagaimanapun juga ia harus berbuat seadil-adilnya meskipun ia tahu bahwa adiknya bersikap lain" Yang lainpun ke mudian terdiam. Beberapa orang di antara mereka hanya sekedar mengangguk-angguk saja. Namun ke mudian Ki Patih berkata "Terserahlah kepada para Senapati. di dalam hal ini para Senapati tentu lebih mengetahui karena persoalannya akan menyangkut segi keprajuritan. Namun di dalam hal ini kumpeni tentu tidak akan tinggal dia m. Kita akan mendapat bantuannya apabila kita me merlukan. Dan kita percaya kepada mereka. Mereka adalah prajurit yang berpengalaman menje lajahi bumi dari ujung sa mpai keujung. Tentu bagi mereka Pangeran Mangkubumi tidak akan banyak artinya" "Apa artinya pengalaman mereka itu bagi kita" tiba-tiba Pangeran Ranakusuma menyahut "Mereka bukan dewa-dewa yang turun dari langit. Aku berhasil me mbunuh seorang perwira dala m perang tanding. Dan itu berarti bahwa Pangeran Mangkubumi a kan dapat melakukannya pula. Juga di peperangan. Demikian pula setiap prajurit Surakarta dan orang-orang Sukawati akan dapat berbuat de mikian pula atas prajuritprajurit kumpeni itu" Ki Patih menarik nafas dala m-dala m. la mengerti bahwa Pangeran Ranakusuma me mpunyai denda m pribadi pada kumpeni. Bukan saja bahwa puteranya. menurut berita yang didengarnya ternyata terbunuh oleh kumpeni, tetapi juga
isterinya yang cantik itu ternyata telah berhubungan dengan orang-orang asing itu apapun a lasannya. Karena itu Ki Patih tidak me mpersoalkannya lagi. la sadar, bahwa jika hal itu berkepanjangan. Pangeran Ranakusuma akan menjadi marah dan bahkan mungkin akan me mpengaruhi sikapnya terhadap Pangeran Mangkubumi. Karena itu, Ki Patih t idak menca mpurinya lagi. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada para Pangeran dan para Senapati perang. Apapun yang akan mereka lakukan untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi apabila karena kecewa dan sakit hati Pangeran Mangkubumi menga mbil sikap yang keras dan bahkan mungkin sebuah pe mberontakan. Sebenarnyalah bahwa para Senapati sadar, dalam keadaan itu mereka akan mengala mi pukulan yang berat jika Pangeran Mangkubumi benar-benar akan mengangkat senjata. Mereka me mperhitungkan pula ke mungkinan yang dapat ditimbulkan oleh Raden Mas Said dan Martapura. Namun sebagian besar dari mereka percaya bahwa Surakarta tetap besar dan kuat. Terlebih-lebih lagi dengan bantuan kumpeni yang me mpunyai senjata petir. Hanya dengan menarik sebuah pelatuk senjatanya, maka sebuah peluru akan terbang dan menya mbar dada lawannya. "Aji Le mbu Sekilanpun tidak akan dapat menahan laju peluru yang me luncur secepat tatit di langit" guma m seorang Pangeran yang sudah dicengkam oleh pengaruh orang-orang asing itu. Yang kemudian ditunggu-tunggu oleh para Pangeran itu adalah hasil pe mbicaraan Pangeran Mangkubumi dan Kangjeng Susuhunan senja itu. Beberapa orang bangsawan dan Senapati berpendapat, bahwa Pangeran Mangkubumi me mang akan menentukan sikapnya. Ketika ke mudian matahari menjadi se makin condong ke Barat, dan sinarnya menjadi semakin pudar, maka para
bangsawan dan Senapati menjadi se makin berdebar-debar. Bahkan ada di antara mereka yang me merintahkan para abdi dan pelayannya untuk berhati-hati menjaga hala man istana masing-masing. "Siapa tahu, dendam Pangeran Mangkubumi ditumpahkan kepadaku" berkata mereka di da la m hati. akan
Dengan demikian maka para abdi dan pelayan menjadi terheran-heran. Tetapi mereka yang bertugas di regolpun me mpersiapkan senjata masing-masing seakan-akan Surakarta telah benar-benar dibakar oleh api peperangan. Dala m pada itu, selagi matahari tenggela m dan langit di atas Surakarta menjadi temaram, sebuah kereta berderap meninggalkan istana Pangeran Mangkubumi menuju ke istana Kangjeng Susuhunan di Sura karta. Seperti yang sudah dikatakan, Pangeran Mangkubumi pergi menghadap ka kandanya. Susuhunan Paku Buwana kedua di Surakarta untuk menumpahkan sega la maca m persoalan di dalam hatinya. Namun sementara kereta itu berderap, maka yang tinggal di istana Mangkubumenpun telah sibuk berke mas. Pangeran Mangkubumi telah me ngatakan kepada ke luarganya, bahwa agaknya suasana akan me mburuk. Dan mereka harus dengan ikhlas meninggalkan istana Mangkubume n. Jika perlu mereka akan tinggal di gubug-gubuk ba mbu, di antara rakyat banyak yang hidupnya semakin sulit karena penindasan kumpeni yang semakin terasa di bumi Sura karta. Dengan gelisah Kangjeng Susuhunan menerima kedatangan Pangeran Mangkubumi di bangsal yang khusus. Tidak ada orang lain di dala m bangsal itu kecuali Kangjeng Susuhunan sendiri dan ke mudian Pangeran Mangkubumi. "Adimas Pangeran" berkata Kangjeng Susuhunan ke mudian "Aku menyesal sekali bahwa aku harus menjatuhkan keputusan untuk menga mbil ke mbali Tanah Sukawati. Aku
tahu bahwa hal itu akan menyakitkan hati adimas Pangeran. Namun aku tida k me mpunyai pilihan lain. Para bangsawan, bahkan para Bupati dan Pringga layapun berpendapat bahwa aku harus berbuat de mikian" "Ampun kakanda. Bagaimana sikap kumpeni da la m ha l ini?" Kangjeng Susuhunan menarik nafas dalam-da la m. Kemudian dengan nada yang datar dan terputus-putus ia menjawab "Aku minta maaf kepadamu adinda. Aku tidak akan ingkar a kan kele mahanku. Seharusnya aku tidak berbuat demikian. Tetapi aku tidak me mpunyai keberanian untuk me lakukannya" "Apakah kakanda tidak percaya bahwa kita me miliki ke ma mpuan untuk berdiri tegak melawan kumpeni?" "Tetapi sikap saudara-saudaramu sangat meragukan. Dan baiklah a ku mengucapkannya sendiri daripada kau yang mengatakan, bahwa aku tida k me miliki kepribadian yang kuat untuk berbuat seperti itu" Pangeran Mangkubumi justru menjadi bimbang karena Susuhunan dengan jujur lelah mengakui ke le mahannya. Sebenarnya ia ingin menjelaskan hal itu dan me mohon agar Kangjeng Susuhunan ke mba li kepada sikap seorang Raja yang dihormati dan berwibawa. Namun agaknya Kangjeng Susuhunan akan terla mpau sulit me lakukannya. Meskipun de mikian Pangeran Mangkubumi bertanya pula "Ampun kakanda. Hamba tidak berkeberatan atas Tanah Sukawati itu. Tetapi apakah kakanda dapat menunjukkan kepada hamba bahwa hal itu bukan karena kece masan kumpeni melihat kesiagaan ha mba di Sukawati?" Kangjeng Susuhunan me mandang Pangeran Mangkubumi dengan wajah yang sayu. Kemudian dengan sayu pula ia menjawab "Adimas. Itulah sebabnya aku sengaja menerima mu tanpa ada orang lain. Aku tahu bahwa kau akan
menelanjangiku. Kau akan menunjukkan semua cacat cela yang ada padaku" "Ampun kakanda. Bukan maksud ha mba. Ha mba hanya sekedar didorong oleh perasaan muak terhadap kumpeni dan saudara-saudara hamba yang telah menjilat kepada mereka" "Kau tidak bersalah adinda. Dan aku me mang harus mengakui. Aku me mang dapat menjawab, bahwa keputusan itu berdasarkan pendapat para Pangeran dan pe mimpin pemerintahan. Aku dapat menjawab bahwa keputusanku aku dasarkan kepada keadilan dan ketenteraman Sura karta, karena perasaan iri itu me mang dapat menumbuhkan banyak akibat" "Tetapi kakanda . . . . . " "Nanti dulu adimas" potong Kangjeng Susuhunan "Aku tahu apa yang akan kau katakan. Kau tentu akan menyebutkan bahwa itu hanya sebagian kecil dari persoalan yang sebenarnya, karena di belakang para Pangeran dan para Pemimpin pemerintahan itupun berdiri kumpeni. Bukankah begitu?" Pangeran Mangkubumi tida k menjawab. Tetapi kepalanya ke mudian tertunduk da la m-dala m justru karena pengakuan yang jujur dari Susuhunan Paku Buwono itu. "Aku tidak akan ingkar adimas. Dan akupun tidak akan ingkar bahwa sebenarnyalah aku adalah orang yang kurang teguh pada pendirian dan sikap" Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dala m, lalu dengan nada yang dalam ia berkata la mbat "A mpun kakangmas. Sebenarnyalah bahwa itulah yang telah me mbuat hati hamba kecewa. Hamba tidak akan mungkin untuk selalu menahan hati seperti sekarang. Jika pada suatu saat hamba me lihat seorang perwira kumpeni berdiri di paseban dan apalagi bersikap seakan-akan ia lah yang paling berkuasa, maka ha mba tidak yakin bahwa ha mba dapat menahan diri
dan tidak me mbunuhnya di te mpat itu juga" Pangeran Mangkubumi berhenti sejenak, lalu "karena itu. menurut pertimbangan ha mba, lebih baik ha mba tidak me lakukannya. Jika terjadi demikian mungkin a kibatnya akan sangat buruk bagi Surakarta" Kangjeng Susuhunan me mandang Pangeran Mangkubumi dengan tatapan yang tanpa berkedip. "Karena itu ka kangmas, sebaiknya hamba menyingkir dari lingkungan ha mba yang semakin la ma menjadi sema kin tidak sesuai lagi" "Maksudmu?" "kakanda. Jika sekiranya hamba tidak me njauhkan diri dari suasana yang bagi ha mba menjadi se makin me muakkan ini, hamba t idak tahu, apakah yang akan terjadi" "Jika kau menjauhinya?" Pangeran Mangkubumi tidak segera dapat menjawab. Iapun sadar, meskipun ia menjauhi istana ini, namun hatinya yang bergejolak sudah t idak a kan dapat dikekangnya lagi. "Adimas Pangeran Mangkubumi" berkata Kangjeng Susuhunan "Aku tahu perasaan yang tersimpan di dala m hatimu. Karena itu, akupun dapat menduga, apakah yang sebenarnya akan kau la kukan. Kau tidak akan dapat lagi sejalan dengan saudara-saudaramu. Dengan aku dan apalagi dengan kumpeni. Apapun yang kita usahakan bersama, maka jalan kita me mang bersimpangan" "Ampun kakanda " kepala Pangeran Mangkubumi me njadi semakin tunduk. Ia menyadari sepenuhnya bahwa yang duduk di hadapannya itu ada lah saudara tuanya. Tetapi iapun menyadari bahwa sebenarnyalah jalan mereka me mang bersimpangan.
"Adinda Pangeran Mangkubumi" berkata Kangjeng Susuhunan seterusnya "Baiklah aku kini berbicara sebagai saudaramu, saudara tuamu. Dan kaupun aku minta berkata dengan nuranimu. Aku berjanji bahwa aku akan menyingkirkan sebutanku Susuhunan Pa ku Buwana ke II di Surakarta" Pangeran Mangkubumi mengangkat wajahnya. Dengan tatapan mata yang tajam ia bertanya "Apakah sebenarnya maksud kakanda" "Adinda, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan jika kau sudah menjauhi istana ini. Kau tentu tidak akan dapat ke mbali ke Sukawati, karena dengan resmi Sukawati sudah aku a mbil ke mbali "Ampun ka kanda" Pangeran Mangkubumi menjadi raguragu. Namun ke mudian dipaksakannya berkata "Kakanda tentu dapat menebak gejolak di dala m dada ha mba" "Ya. Aku mengerti Kau a kan mengangkat senjata" Meskipun sebenarnyalah demikian, tetapi terasa juga dada Pangeran Mangkubumi bergetar. "Bukankah begitu?" "Kakanda" suara Pangeran Mangkubumi tersendat di kerongkongan "ha mba me mang tidak akan dapat menghindarikan diri dari t indakan itu. Ha mba me ma ng akan mengangkat senjata. Karena itu, sekaligus hamba mohon diri. Tetapi jika kakanda berkeberatan, dan jika kakanda sekarang berdiri sebagai Raja di Surakarta yang bergelar Susuhunan Paku Buwana ke II tidak me mbenarkan ha mba akan berjuang me lawan kumpeni, maka ha mba tida k akan melawan jika kakanda me merintahkan para prajurit untuk menangkap hamba. Ha mba masih menghormati kakanda sebagai saudara tua, pengganti ibu bapa, dan sebagai Raja yang aku sembah di Sura karta"
Kangjeng Susuhunan Paku Buwana tidak segera dapat menjawab. Terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan pelupuk matanya menjadi panas. "Adinda" katanya kemudian "Kau me mang adikku yang aku kasihi. Aku kini benar-benar berdiri di simpang ja lan. Aku berbangga bahwa di antara saudara-saudaraku masih ada yang berdiri tegak di atas kepribadian sendiri. di atas kepentingan rakyat Surakarta dan dengan dada tengadah me lawan kumpeni. Tetapi aku juga merasa bersalah karena aku menyalahi tugasku sebagai raja yang adil di Surakarta, bahwa setiap perlawanan harus ditindas" Pangeran Mangkubumi menundukkan kepalanya pula. "Karena itu adimas Pangeran. Jika adimas tidak ada lagi, maka aku tentu tidak akan merasa selalu dikejar oleh pertentangan di hatiku sendiri seperti ini" Pangeran Mangkubumi terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi ia t idak tahu artinya dengan pasti. "Adinda Pangeran" berkata Susuhunan selanjutnya "karena itu, sebaiknya di istana Surakarta me mang tidak ada lagi seorang Pangeran seperti adinda" Pangeran Mangkubumi masih tetap termangu-mangu. Namun ke mudian hatinya menjadi berdebar-debar. Bahkan sebuah gejolak yang dahsyat telah melanda dinding jantungnya. Dengan hampir tidak berkedip ia melihat Susuhunan Paku Buwana ke II itu berdiri dari tempat duduknya. Perlahan-lahan ia melangkah ke tempat pusaka di sisi ruangan. Beberapa batang tombak berdiri tegak dengan megahnya di sisi sebuah songsong yang kuning kee masan. Dengan tangan ge metar Susuhunan menggega m tangkai sebuah dari tomba k-tombak yang terpancang itu. Perlahanlahan ia mengangkat tombak itu dengan wajah yang tegang.
Sesaat kemudian ia berdiri menghadap te mpat Pangeran Mangkubumi duduk bersila. Sejenak ia berdiri me matung. Namun ke mudian selangkah de mi selangkah Susuhunan Paku Buwana itu mendekati Pangeran Mangkubumi. "Adinda Pangeran Mangkubumi" suara Susuhunan menjadi sangat dalam "Kau tentu kenal tombak ini. Tombak pusaka yang tidak ada duanya di Surakarta" Pangeran Mangkubumi termangu-ma ngu. "Dengan tombak ini, leluhur kita Pane mbahan Senapati telah berhasil menyelesaikan tugasnya, ketika terjadi pertentangan antara Pajang dan Jipang" Pangeran Mangkubumi masih belum menjawab. Tetapi di dalam hatinya terdengar ia berdesis "Kangjeng Kiai Pleret" "Adinda Pangeran" berkata Susuhunan ke mudian "tombak ini adalah Kangjeng Kiai Pleret. Tidak ada orang yang dapat menahan kesaktian tombak ini. Meskipun ia me miliki aji rangkap sembilan, na mun tomba k ini akan dapat mene mbus kulitnya. Biar ia merangkap ilmu Le mbu Sekilan, Tameng Waja dan ilmu ke kebalan yang lain, tetapi kekuatan aji itu tidak akan ada artinya untuk melawan tomba k yang tiada duanya ini. Apakah kau mengerti?" Wajah Pangeran Mangkubumi menjadi me mandang ujung tombak yang masih wrangkanya dan ditutup oleh sebuah Seuntai bunga melati yang sudah tersangkut di bawah se longsongnya. merah. Sejenak ia berada di dala m selongsong putih. kekuning-kuningan
Dada Pangeran itu benar-benar terguncang ketika ia me lihat Kangjeng Susuhunan mengangkat tangkai tombak itu di atas dahinya, dan kemudian me meja mkan matanya sejenak. Kemudian perlahan-lahan tomba k itu diturunkannya. Dengan tangannya yang semakin ge metar Kangjeng Susuhunan meraba selongsong tombaknya.
Pangeran Mangkubumi duduk me matung di te mpatnya. Dan dengan nafas yang sema kin cepat mengalir Pangeran itu mendengar kakandanya berkata "Adinda Pangeran Mangkubumi. Apakah kau benar-benar bertekad untuk me mberontak?" Untuk sesaat Pangeran Mangkubumi termangu-mangu. Namun ia adalah seorang Pangeran yang berhati baja. Apapun yang dihadapinya tidak akan dapat menggeser pendiriannya. Juga seaninya ia harus mendapat hukuman mati sekalipun di ruang ini. Karena itu maka iapun ke mudian me nyahut "Kakanda. Sebenarnyalah bahwa adinda tidak akan me mberontak. Yang akan ha mba la kukan adalah menegakkan harga diri kita sebagai bangsa dan melepaskan se mua ikatan yang semakin la ma terasa semakin me njerat leher rakyat Surakarta. Hamba akan berjuang me lawan kumpeni" "Bukankah itu sa ma artinya dengan me lawan ke kuasaan Surakarta. Jika aku sudah me mberikan beberapa wewenang kepada kumpeni, ma ka penolakan atas wewenang itu sama artinya dengan tidak menga kui lagi kuasaku" Pangeran Mangkubumi menjadi bimbang. Ia melihat perubahan sikap Kangjeng Susubunan. Na mun Pangeran Mangkubumi tida k melepaskan sikapnya. Jawabnya "Kakanda. Hamba tidak dapat ingkar akan kekuasaan kakanda di Surakarta. Juga atas wewenang yang kakanda berikan. Tetapi bukankah kakanda me ngakui babwa se muanya itu lahir karena kele mahan hati kakanda, bukan karena pertimbangan dan perhitungan sehingga wewenang itu benar-benar merupakan hak yang kakanda berikan atas kuasa kakanda. Bukan justru karena kele mahan" Kangjeng Susuhunan me mandang Pangeran Mangkubumi dengan tajamnya. Ke mudian perlahan-lahan tangannya yang sudah menggengga m selongsong tomba k itupun ditariknya. Disangkut kannya selongsong tomba k yang tidak ada duanya
itu di pundaknya. Dan kemudian tangannya telah me mbuka wrangka tombak itu sekaligus. Sekali lagi Kangjeng Susuhunan itu mengangkat tomba k di atas keningnya. Debar jantung Pangeran Mangkubumi serasa semakin cepat menghentak-hentak di dadanya. Ia sadar, bahwa tombak Kiai Pleret adalah tombak yang tiada duanya. Aji Lembu Sekilan, Tameng Waja, Gedong Maruta, dan segala macam ilmu tidak akan darat menyelamatkaninya dari ujung tombak Kia i Pleret itu. Apalagi ternyata kemudian ia melihat, mata tombak itu bagaikan me mbara. Pangeran Mangkubumi sudah mengenai tombak itu dengan baik. Jika tomba k itu dimandikan di ujung tahun, ma ka ia selalu hadir. Karena itu. ia seakan-akan dapat mengenal segala tabiat dan sifat dari tombak itu. di saat-saat tombak itu dimandikan, ma ka mata tombak itu tidak pernah menyala seperti bara seperti pada saat itu. Dan seperti yang pernah didengarnya, jika mata tombak itu sedang me mbara, maka itu adalah pertanda bahwa sesuatu akan terjadi dengan tombak itu. Kangjeng Susuhunanpun mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia mengangkat tangkai tombak itu di depan keningnya. Namun ujung mata tombak itu masih saja bercahaya ke merah-merahan. "Adimas Pangeran" berkata Kangjeng Susuhunan "hanya orang yang berhak atas Kangjeng Kiai Pleret sajalah yang berani me mandang tomba k ini di saat mata tomba k ini me mbara" Pangeran Mangkubumi menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja timbullah gejolak yang dahsyat di hatinya. Ia sadar bahwa tombak itu adalah tomba k yang tiada taranya. Tetapi apakah jangkauannya itu hanya akan sampai sekian. Apakah sepeninggalnya Kangjeng Susuhunan akan berjuang me mbela rakyat Surakarta" Dan apakah Raden Mas Said dan Martapura
akan dapat melanjutkannya dan menarik anak buahnya yang ditinggalkannya seperti sapu lidi kehilangan ikatannya. Tiba-tiba saja Pangeran Mangkubumi me nggeram di dala m dadanya "Tidak. Aku bukan tikus clurut. Aku setia kepada kakanda Kangjeng Susuhunan sebagai raja dan saudara tua. Tetapi apakah aku harus setia sampai mati dengan mata yang buta?" Terasa sesuatu bergetar di dadanya. di luar sadarnya Pangeran Mangkubumi meraba hulu kerisnya. Keris itu me mang t idak me miliki kesaktian seperti Kiai Pleret. Tetapi kerisnyapun bukan keris kebanyakan. Keris pusaka yang ada di punggungnya, adalah keris yang jarang sekali dipakainya. Hanya dalam saat yang gawat sajalah keris itu ke luar dari simpanan. Namun Pangeran Mangkubumi terkejut ketika Susuhunan Paku Buwana bertanya "Adimas. Apakah kau akan me mperbandingkan kerismu dengan tomba k Kangjeng Kiai Pleret?" Kepala Pangeran Mangkubumi tertunduk ke mbali. dan terdengar suaranya lambat "Tidak kakangmas. Tidak, sama sekali tidak. Karena hamba tahu, bahwa keris hamba me mang tidak sebanding sa ma seka li dengan tombak Kangjeng Kiai Pleret" "Jadi?" Wibawa Kangjeng Kiai Pleret ternyata memang besar sekali. Rasa-rasanya dada Pangeran Mangkubumi tergetar karenanya. Namun imbangan kekuatan jiwanyalah yang mendorongnya untuk menjawab "Kakanda, hamba merasa bersukur bahwa hambapun me miliki sebuah pusaka yang akan dapat hamba pergunakan untuk sipat kandel dala m perlawanan hamba terhadap kumpeni. Ha mba sudah bertekad. Dan hamba akan me mpertaruhkan nyawa hamba kapanpun ha mba harus mulai dengan perjuangan ha mba "
Tampak kerut menit di kening Kangjeng Susuhunan Paku buwana. Setapak demi setapak ia semakin mendekati adiknya. Kemudian dengan suara yang bergetar ia bertanya "Jadi kau sudah benar-benar menga mbil keputusan adimas?" "Ha mba kakanda" "Kau akan meninggalkan istana mu?" "Ha mba kakanda. Ha mba me mang akan mohon diri Ha mba harus sudah mulai" "Kapan?" Dan tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya Pangeran Mangkubumi menjawab "Sekarang" Kangjeng Susuhunan menundukkan kepa lanya. Sesuatu rasa-rasanya menusuk hatinya. Wajahnya yang tegang menjadi buram. Dan dengan suara yang lemah ia berkata "Aku mengerti Pangeran Mangkubumi yang perkasa. Aku tidak akan sakit hati. Aku menyadari kebesaran jiwa dan tekadmu. Terasa di dalam nada suaramu, bahwa kau mulai me misahkan sikap antara saudara tua dan kepentingan Sura karta" "Kakanda" "Tida k adimas. Aku tida k apa-apa. Kesetiaan seseorang terhadap raja dan saudara tuanya memang terbatas sampai pada titik keyakinannya mulai tersentuh. Dan aku dapat mengerti. Karena itu aku sama sekali tidak berkeberatan jika kau akan meningga lkan Surakarta dan akan mulai dengan sebuah perjuangan yang panjang" "Kakanda" desis Pangeran Mangkubumi yang tidak menyangka. Na mun sekali-sekali ia masih me ma ndang ujung tombak Kangjeng Kiai Pleret yang me mbara. Aku mengerti adimas, bahwa kau setia kepadaku. Bahkan sampai mati sekalipun. Tetapi t idak untuk me lindungi
The Wednesday Letters 4 Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Pedang Seribu Romansa 2
^