Pencarian

Bunga Di Batu Karang 24

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 24


Setelah minta diri kepada Juwiring dan Warih. maka Pangeran Ranakusumapun segera berangkat ke istana untuk menghadiri pe mbicaraan-pe mbicaraan yang sangat penting. Sementara itu, Pangeran Mangkubumi yang telah meninggalkan Surakartapun telah me ngadakan pe mbicaraan penting dengan para pengikutnya. Pangeran Mangkubumi menyadari sepenuhnya bahwa kepergiannya itu akan berakibat luas. Bukan saja bagi Sura karta dan sekitarnya, tetapi bagi seluruh negeri dan daerah yang berada di dala m lingkungan kesatuan Surakarta. Namun sebenarnya para pengikut Pangeran Mangkubumi me mang sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Jika mereka mendapat perintah sewaktu-waktu untuk bergerak, maka merekapun akan segera dapat melakukannya. Semuanya sudah di siapkan bagaikan sekelompok prajurit pilihan. Bahkan jalur-jalur jalan yang akan menjadi jalur hubungan di antara mereka sudah ditentukan. Dala m pada itu, kepergian Pangeran Mangkubumi dari kota dengan diam-dia m telah didengar pula oleh Raden Mas Said. Untuk menentukan sikap seterusnya, Raden Mas Said telah mengirimkan beberapa orang petugas sandinya untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan pasti. Jika Pangeran Mangkubumi sendiri akan me mimpin perlawanan terhadap Surakarta dan kumpeni, maka Raden Mas Saidpun harus menyesuaikan diri. Karena tida k mungkin mereka dapat bergerak sendiri-sendiri. Demikianlah, se mua pihak di Surakarta benar-benar menga la mi ketegangan. Para pemimpin dan Senapati di Surakarta, kumpeni dan pengikut-pengikutnya, Raden Mas Said, Martapura, dan Pangeran Mangkubumi sendiri. Tetapi yang ha mpir pasti bahwa perang yang besar akan segera pecah. Perang di antara saudara sendiri. Saudara sekandung, sebangsa dan se tanah kelahiran.
Namun dengan suatu keyakinan, bahwa perjuangan Pangeran Mangkubumi bukannya sekedar perjuangan untuk kepentingan pribadi. Tetapi kekuasaan orang asing itu me mang harus dilenyapkan, atau Setidak-tidaknya dibatasi. Ternyata bahwa Pangeran Mangkubumi dan para Pangeran yang lain itu tidak berbuat sia-sia. Demikian beberapa pemimpin di padesan mendengar sikap itu, merekapun segera mencari hubungan dengan Pangeran Mangkubumi. Mereka yang semula masih ragu atas sikap Pangeran Mangkubumi. kini menjadi yakin bahwa yang diperjuangkan oleh Pangeran Mangkubumi sebenarnya adalah gejolak perasaan rakyat Surakarta. Dala m pada itu, Raden Mas Said yang sudah me ndapat kepastian atas sikap Pangeran Mangkubumipun segera me mpersiapkan diri. Dengan sepenuh harapan Raden Mas Said menunggu perke mbangan keadaan. Se mentara itu ia bersama dengan Martapura telah mela kukan penga matan dengan dia m-dia m atas daerah pertahanannya. Di dala m perjalanan itulah Raden Mas Said sempat bertemu dengan para pemimpin pasukannya. Ternyata berita kepergian Pangeran Mangkubumi benar-benar telah menumbuhkan suasana yang lain bagi setiap orang di dala m pasukan Raden Mas Said. "Kita harus segera mendapatkan hubungan dengan pamanda Pangeran Mangkubumi" berkata Raden Mas Said kepada Martapura setelah mereka melihat kesiagaan pasukannya. Martapura mengangguk-angguk. Katanya me mang sudah tiba. Kita harus be kerja bersama " "Saatnya
"Kita menggantungkan harapan atas sikap pamanda Pangeran. Selama ini pamanda Pangeran terlampau berhatihati, sehingga aku ha mpir tida k telaten menga mati sikapnya itu"
"Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang sudah cukup la ma me lihat penderitaan rakyat Surakarta. Itulah sebabnya Pangeran Mangkubumi mengharap penyelesaian yang tidak mena mbah titik darah yang sudah banyak tertumpah. Na mun ternyata bahwa usahanya harus melalui perjuangan senjata pula akhirnya" Raden Mas Said merenungi kata-kata Martapura itu. Namun sebagai seorang yang masih muda, kadang-kadang ia masih juga mengharapkan sikap yang lebih cepat dan keras. Dala m pada itu, selagi mereka berbincang di dala m gubug yang mereka pergunakan sebagai te mpat tingga l se mentara, karena mereka se lalu berpindah-pindah, seorang pengawal datang kepada mereka dengan ragu-ragu. "Ada apa?" bertanya Pangeran Martapura. "Pangeran, ada seseorang yang ingin me nghadap" "Siapa?" bertanya Raden Mas Said. "Seorang tua dari padepokan di atas gumuk di sebelah Timur sungai Dengkeng" "Ya, siapa?" "Ia akan menghadap dan mengatakan se muanya kepada Raden Mas" Raden Mas Said termangu-mangu sejenak. Adalah jarang sekali orang-orang di luar lingkungannya yang mengetahui dimana ia berada pada suatu saat. Namun demikian ia berkata kepada pengawal itu "Suruhlah ia masuk jika ia tidak mencurigakan menurut penilaianmu" "Orang itu sudah tua Raden Mas. Nampa knya ia adalah orang yang hidup di dalam padepokan yang terpencil dan menekuni olah kajiwan" Raden Mas Said mengangguk-anggukkan kepa lanya. Sekilas dipandangnya wajah Martapura. Tetapi wajah itu tidak
me lontarkan kecurigaan sa ma sekali. Sehingga karena itu maka katanya "Baiklah. Aku akan menerimanya" Pengawal itupun ke mudian meninggalkan ruangan dala m gubug itu. Sejenak Raden Mas Said dan Martapura menunggu dengan berbagai pertanyaan di dala m dada mereka. Bahkan Martapura mencoba menghubungkan orang itu dengan keputusan Pangeran Mangkubumi. "Apakah orang itu utusan Pangeran Mangkubumi?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Sesaat kemudian, masuklah seorang yang sudah bera mbut dan berjanggut putih. Dengan bersandar pada sebatang tongkat ia melangkah me masuki ruangan itu dengan raguragu. "Marilah, silahkan Kia i" Raden Mas Said me mpersilahkan. "Terima kasih Raden Mas. Aku mohon maaf, bahwa aku sudah me mberanikan diri datang menghadap Raden Mas" "O" Martapura mengerutkan keningnya "Kau sudah mengena l ka mi Kiai?" "Tentu Pangeran. Setiap orang di Surakarta mengenal, siapakah Raden Mas Said, seperti setiap orang mengenal Pangeran Mangkubumi"
"Tetapi Kia i tentu belum pernah mengenal ka mi berdua secara pribadi" "Me mang be lum Pangeran. Tetapi ka mi sudah sering me lihat Raden Mas Said berkuda di tengah-tengah bulak persawahan. Kadang-kadang berjalan berdua diiringi oleh beberapa pengawal di mala m hari" Martapura menjadi se makin heran. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dan Raden Mas Saidlah yang kemudian bertanya "Darimana Kia i tahu bahwa ka mi saat ini ada di sini?" Orang tua itu tersenyum. Lalu "Me mang sulit untuk menerangkan Raden Mas. Tetapi kesibukan di daerah ini agak lain dari biasanya. Karena itu, aku berkeras menduga bahwa Raden Mas ada di padesan ini" "Tetapi siapakah yang menunjukkan gubug ini. Tentu bukan para pengawal. Mereka harus mendapat persetujuan kami berdua sebelum mereka menunjukkan kepada orang dibiar lingkungan ka mi, dimana ka mi berdua berada" "Raden Mas adalah seorang pemimpin yang baik di medan. Tetapi bagi orang-orang tua, kadang-kadang ada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan nalar. Kita me mang sulit untuk mengerti, bahwa seekor laba-laba hijau yang juga disebut ke mladean, mengerti, bahwa hujan akan turun meskipun langit masih bersih, sehingga laba-laba itu segera bersembunyi di bawah atap atau dedaunan meskipun sebelumnya ia me mbuat jaring di te mpat terbuka" "Maksud Kiai?" Orang tua itu termenung sejenak. Dipandanginya Raden Mas Said dan Martapura berganti-ganti. Kemudian katanya "Ada semacam firasat yang menuntun aku ke mari. Itulah Raden Mas, maka aku me ngatakan bahwa kadang-kadang orang-orang tua berbuat sesuatu di luar perhitungan nalar. Gubug ini bagiku rasa-rasanya mempunyai pertanda, bahwa hari ini Raden Mas ada disini"
Raden Mas Said tidak segera menjawab. Direnunginya wajah itu beberapa saat. Lalu katanya "Mungkin a ku dapat mengerti meskipun di luar pertimbangan nalar. Tetapi siapakah Kiai ini sebenarnya" Orang itu menjawab. mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
Raden Mas Said termangu-mangu sejenak, lalu desaknya "Siapakah na ma mu Kiai, dan dari manakah asalmu. Jika kau utusan seseorang, siapakah yang mengutusmu, tetapi jika kau datang atas kemauanmu sendiri, maka apakah ma ksudmu menjumpai a ku" Orang tua itu nampak ragu-ragu. Namun ke mudian katanya "Raden Mas. Mungkin yang akan aku katakan kepada Raden Mas bagaikan ceritera yang tiada artinya sama sekali. Meskipun demikian aku tidak berkeberatan, apapun tanggapan Raden Mas" "Katakan" "Raden Mas. Aku akan menyebut namaku dan kepentinganku pada saatnya. Aku datang untuk mengundang Raden Mas pergi ke sebuah bukit kecil di daerah Matesih" Raden Mas Said mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pangeran Martapura sesaat. Namun agaknya Martapurapun menjadi ragu-ragu me nanggapi kata-kata orang tua itu. "Apakah Raden Mas bersedia?" Raden Mas Said tida k segera menjawab. Kerut keningnya me mbayangkan keragu-raguan hatinya. "Tida k ada yang penting Raden Mas. Tidak ada yang menarik. Aku hanya ingin Raden Mas pergi ke bukit kecil itu. Tidak lebih dan tidak kurang" "Aku tida k mengerti Kiai" jawab Raden Mas Said "Apakah gunanya aku pergi ke bukit kecil di Matesih itu?"
"Me mang tidak ada Raden Mas. Memang tidak ada kepentingan apa-apa" Jawaban itu justru sangat menarik dan menggelitk keinginan Raden Mas Said untuk me menuhi permintaan orang tua itu. Tentu saja dengan perhitungan yang matang. Menurut perhitungan Raden Mas Sa id, permintaan itu tentu bukan sebuah pancingan dari kumpeni. Kumpeni tentu tida k akan berada di Matesih dala m keadaan seperti ini. Tetapi keinginan yang melonja k di hati Raden Mas Sa id sulit untuk dike kangnya, sehingga akhirnya ia bertanya "Kapan aku harus datang ke bukit kecil itu?" "Pada saat bulan tidak nampak di langit semala m suntuk Raden Mas" "Ya, kapan" Hari apa?" "Aku persilahkan Raden menghitung sendiri" Raden Mas Said menjadi semakin ragu-ragu. Namun keinginannya untuk mengetahui lebih banyak menjadi sema kin mendesak. Karena itu maka katanya "Kiai, bagaimana kalau hasil perhitunganku la in dengan perhitungan Kiai, sehingga aku datang pada waktu yang tidak sa ma?" "Jika kau berada tiga hari t iga mala m di bukit itu. Raden tentu akan bertemu dengan aku" "Tiga hari t iga mala m?" "Ya" Sesuatu bergejolak di hati Raden Mas Said. Namun demikian sesuatu seakan-akan mendesaknya untuk menjawab "Baiklah. Aku akan datang dan aku akan berada di sana tiga hari tiga mala m. Aku akan menunggu pada hari-hari itu. Tetapi jika kita tidak bertemu, aku tentu akan me mbuat pertimbangan khusus tentang hal ini"
"Baik. baik Raden. Aku akan me menuhi segala janji yang pernah aku katakan" Raden Mas Said mengangguk-angguk. Dicobanya menatap wajah orang itu setajam-tajamnya untuk mendapatkan kesan lebih dala m tentang dirinya. Tetapi ia tidak mene mukan sesuatu. "Raden Mas" berkata orang itu "Jika demikian, aku akan segera minta diri. Aku akan ke mbali ke padepokanku" Dengan ragu-ragu. Raden Mas Sa id berkata "Silahkan Kia i. Akupun akan me menuhi janjiku, dan aku akan datang pada saatnya" Demikianlah orang itupun segera minta diri. Se mentara itu Raden Mas Said segera me manggil seorang pengawalnya yang sangat dipercayanya. "Ikuti orang tua itu ke manapun ia pergi. Kau harus mengetahui, darimana ia datang dan hubungan apa saja yang dilakukan olehnya di sekitar te mpat ini" Pengawal itupun ke mudian dengan tergesa-gesa menyusul orang tua yang baru saja meninggalkan gubug itu dala m tugas sandinya. Ketika ia ke luar dari pedukuhain, ia masih me lihat orang tua itu berjalan dengan tongkatnya terbungkuk-bungkuk di bulak yang pendek. Perlahan-lahan pengawal itu mengikuti dari kejauhan. Namun ketika orang itu ha mpir me masuki padukuhan di hadapan mereka, pengawal itu me mpercepat langkahnya, agar ia tidak kehilangan orang yang sedang diawasinya, sehingga dengan de mikian, maka jarak merekapun menjadi semakin pende k. Ketika orang itu masuk ke dala m regol padukuhan, pengawal itupun sudah berada dia mbang. Karena itu beberapa saat kemudian, iapuin sudah mela mpaui regol padukuhan.
Tetapi tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar. Ia melihat jalan lurus terbentang di hadapannya. di sebelah menyebelah jalan berdiri dinding batu yang meskipun tidak tinggi, tetapi tidak terla mpau mudah untuk diloncati, apalagi oleh seorang tua yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkat di tangannya. Sejenak pengawal itu termangu-mangu. Namun ke mudian ia berlari dan meloncat ke atas dinding batu di sebelah menyebelah. Tetapi ia tidak me lihat seorangpun pada kedua sisi ja lan itu. Pengawal itupun ke mudian berdiri termenung. Jalan itu sepi sekali. Tida k ada seoraingpun yang lewat. Bahkan hala man rumah di sebelah menyebelahpun na mpaknya sepi-sepi saja. Tetapi orang tua itu bagaikan hilang begitu saja. Beberapa saat pengawal itu menunggu. Namun ia tidak mene mukan orang tua itu sama sekali. Jejak arahnyapun tidak. Dengan hati yang berdebar-debar dilaporkannya apa yang dilihatnya itu kepada Raden Mas Said. Sejak ia ke luar dari padukuhannya, sehingga oraing itu bagaikan hilang seperti asap. Hal itu justru mena mbah ke inginan Raden Mas Said untuk pergi ke bukit kecil di Matesih. Ia ingin tahu, apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Namun demikian Raden Mas Said tidak meningga lkan kewaspadaan. Ia segera memerintahkan petugas-tugas sandinya untuk meneliti keadaan Matesih. Apakah orang tua itu sekedar menjebaknya dengan mempersiapkan sepasukan kumpeni di sekitar bukit itu. "Tetapi kapankah hari-hari yang ditentukan itu paman?" bertanya Raden Mas Said. "Tentu maksudnya bukannya sekedar hari-hari terakhir bulan ini" jawab Martapura "Tetapi, menurut dugaanku,
bahwa saat ini Sura karta me mang sedang dala m kegelapan. Seperti di da la m ge lapnya mala m tanpa bulan sa ma se kali" Raden Mas Said mengangguk-angguk. Lalu "Jadi, kapan aku harus datang?" "Besok mala m. Kita sudah berada di hari-hari terakhir dari bulan ini" "Tetapi apakah ini bukan berarti mengikat aku untuk selama t iga hari, dan se la ma itu sesuatu dapat terjadi?" "Sebaiknya se mua dipersiapkan dengan matang" "Baiklah pa man. Aku serahkan semuanya kepada paman. Aku akan datang kebulkit itu" "Tida k sendiri. Raden Mas dapat menempatkan beberapa orang di se kitar bukit itu. Sejak hari ini" Demikianlah beberapa orang kepercayaan Raden Mas Said telah berangkat mendahuluinya ke Matesih, ke sekitar bukit kecil yang dikatakan oleh orang tua itu, sementara Raden Mas Said me mpersiapkan untuk me nghadapi segala ke mungkinan selama ia tida k ada di antara pasukannya. Dala m pada itu, selagi Raden Mas Said sibuk dengari tekateki itu. Pangeran Mangkubumi telah mene mpatkan diri tidak langsung di daerah Sukawati, tetapi di daerah Pandan Karangnangka. di daerah ini Pangeran Mangkubumi mene mpatkan pasukannya. Pasukannya yang masih belum banyak berkembang, tetapi yang me mang sudah dipersiapkannya lebih dahulu. Namun ternyata yang terbanyak di antara pasukan yang berada di sekitar daerah Pandan Karangnangka itu adalah para petani dari daerah Sukawati. Dala m pada itu, Kiai Sarpasrana yang dengan setia mengikut i jejak Pangeran Mangkubumi, telah berada pula di Pandan Karangnangka bersama murid-muridnya. di antara
mereka termasuk Buntal. Anak muda yang dengan cepat mendapat kepercayaan dari Kiai Sarpasrana, karena sejak Buntal datang kepadanya, ia sudah me mbawa beka l yang cukup, yang diperolehnya dari padepokan Jati Aking. Dala m ketegangan itu, Kia i Danatirta di Jati Akingpun t idak dapat lagi menye mbunyikan berke mbangan keadaan Surakarta kepada anak perempuannya. Bahkan berita tentang kepergian Pangeran Mangkubumi dari Surakartapun telah didengarnya pula. "Ayah" berkata Arum kepada ayahnya "saatnya agaknya sudah datang. Aku harap kakang Buntal tidak ingkar" "Kenapa ingkar?" bertanya ayahnya. "Bukankah kakang Buntal me mbawa ku ke Sukawati?" a kan menje mput ku dan
"Se muanya sedang mulai. Tentu pasukan Pangeran Mangkubumi sedang menyiapkan diri. Jika se muanya sudah mapan, Buntal baru akan mendapat kesempatan untuk menje mputmu. Saat ini Pangeran Mangkubumi tentu sedang menyusun kekuatan di daerah Pandan Karangnaingka" "Ayah" bertanya Arum "Kenapa Pangeran Mangkubumi tidak langsung menyusun kekuatan di Sukawati?" "Pangeran Mangkubumi me mpunyai perhitungan medan yang cermat. Jika semuanya berada di Sukawati. maka apabila kumpeni dan pasukan Sura karta yang kuat mengepung daerah itu, maka pasukan Pangeran Mangkubumi akan menga la mi kesulitan. Tetapi kini lawannya harus me mperhitungkan dua pusat kekuatan Pangeran Mangkubumi yang tidak diketahui dengan pasti oleh lawan-lawannya. Yang manakah yang sebenarnya menjadi pusat kekuatan, dan dimanakah sebenarnya Pangeran Mangkubumi berada" Arum mengangguk. Lalu "Ayah. Aku sudah siap untuk berada di dala m lingkungan mereka "
"Tetapi kau harus menunggu Arum. Kau tida k dapat berbuat sendiri" berkata ayahnya "Bukan saja untuk menggabungkan dirimu, tetapi juga di padepokan ini kau harus tetap tersembunyi agar kau t idak menga la mi kesulitan sebelum kau berada di antara pasukan pengawal Pangeran Mangkubumi" Arum me mandang ayahnya sejenak. Kemudian sa mbil menundukkan kepalanya ia berguma m "Sa mpa i kapan aku harus menunggu" Sa mpai perang selesai, atau sa mpai Raden Juwiring datang dengan sepasukan prajurit untuk menangkap kita?" Kiai Danatirta merenung sejenak, lalu "Aku kira Raden Juwiring tidak a kan me lakukannya" "Siapa tahu ayah. Tentang kalung merjan itupun Raden Juwiring sudah menunjukkan sikap yang keras. Apalagi dala m keadaan yang gawat seperti sekarang" Arum berhenti sejenak, lalu "sedangkan kita sadar sepenuhnya, bahwa Raden Juwiring tentu mengetahui sikap kita menghadapi keadaan yang berkembang di Surakarta ini" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun ia berkata "Kau benar Arum. Tetapi setiap tindakan harus kita perhitungkan sebaik-baiknya. Kita akan menunggu Buntal. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Dan ia tahu benar, bagaimana ia harus menghargai wa ktu sebaik-baiknya apalagi di dala m keadaan seperti sekarang ini" Arum tidak menjawab lagi. Meskipun sebenarnya masih ada persoalan di dala m dirinya, tetapi ia akan me matuhi nasehat ayahnya. Menunggu sa mpai Buntal datang. Hari-hari terakhir ada lah hari-hari yang panasnya me muncak di Surakarta. Para Senapati sudah siap menunggu perintah. Tetapi mereka tidak mengerti, apakah sebabnya, Kangjeng Susuhunan tidak segera menentukan sikap. Bahkan seakan-akan pintu istana itu me njadi tertutup karenanya.
Tetapi akhirnya para Senapati itu mengetahui bahwa hampir setiap saat kereta para perwira kumpeni hilir mudik me masuki gerbang, "Mereka sedang menentukan sikap" berkata salah seorang Senapati. "Tetapi agaknya pendapat mereka belum bertemu" sahut yang lain. Sebenarnyalah kumpenipun ha mpir tida k sabar lagi menghadapi sikap Kangjeng Susuhunan. Na ma-na ma yang mereka ke mukakan tidak mendapatkan persesuaian. Bahkan kadang-kadang Kangjeng Susuhunan Pakubuwana minta kepada kumpeni untuk merenungkan pendapat mereka dan dengan alasan kesehatannya, ia minta waktu barang sehari. "Terla mbat" desis kumpeni "Jika Kangjeng Susuhunan tidak berbuat cepat, maka kami akan menjadi sangat cemas, bahwa kedudukan ka mi akan terancam di Surakarta" "Aku akan bertindak secepat-cepatnya" "Kela mbanan inilah yang me mbahayakan kita semuanya" "Datanglah besok. Aku akan menentukan, apakah aku setuju dengan pendapatmu" Kumpeni tida k dapat mema ksa. Kesehatan Kangjeng Susuhunan me mang na mpak me mburuk. Wajahnya pucat dan kadang-kadang menjadi ge metar. Namun dala m pada itu. apabila Kangjeng Susuhunan itu telah berada di dala m biliknya, ia berdoa di da la m hatinya agar Tuhan me mberikan perlindungan kepada Surakarta, tetapi juga kepada adiknya yang dikasihinya, Pangeran Mangkubumi. "Mudah-mudahan adikku selalu sela mat. Mudah-mudahan ia mene mukan ja lan lurus me nuju kebebasan yang dicitacitakannya"
Tetapi Kangjeng Susuhunan tidak akan terus dapat menghindarkan diri dari suatu sikap. Para Senapati, para bangsawan dan kumpeni akhirnya tidak akan dapat dengan sabar menunggu. Jika Kangjeng Susuhunan tidak segera menga mbil sikap, maka mereka tentu akan berbuat menurut keinginan mereka sendiri. Itulah sebabnya, maka Kangjeng Susuhunan tidak akan dapat mengela kkan diri lagi. Namun dala m pada itu. Kangjeng Susuhunan mengharap di dalam hatinya "Mudah-mudahan Pangeran Mangkubumi telah hilang dari daerah jangkau kumpeni dan prajurit-prajurit Surakarta sebelum ia berhasil melindungi dirinya dengan kekuatan yang cukup" Tertundanya hari-hari untuk menga mbil keputusan itu, telah me mbuat para pe mimpin di Surakarta sema kin tegang. Sehingga pada suatu hari mereka dipanggil menghadap untuk menentukan sikap selanjutnya. Tetapi sementara itu, saat-saat yang ditunggu Raden Mas Said telah berlalu. Selagi mala m-ma la m yang menyelimuti Surakarta menjadi sangat kela m karena di langit tidak ada bulan, maka Raden Mas Said seperti yang sudah dijanjikan, benar-benar pergi ke bukit kecil di daerah Matesih. Para petugas sandinya telah meyakinkan, bahwa di daerah itu sama sekali tidak ada jebakan apapun yang dapat memancingnya ke dalam kesulitan. Mala m-mala m yang kela m sudah dila luinya. di mala m yang pertama Raden Mas Said tida k menjumpai apapun dan siapapun juga. Daerah di sekitar bukit yang rimbun oleh belukar yang liar itu na mpa k sepi. Angin ma la m yang basah mengusap dedaunan dan me mbuat suara ge merisik. Tetapi tidak seorangpun yang na mpak di antara se mak-se mak. Tetapi Raden Mas Said tidak me ningga lkan te mpat itu. Ia berdiri saja di atas bukit itu dan kadang-kadang berjalan
beberapa langkah hilir mudik. Bahkan ke mudian me mang timbul niatnya untuk mesu diri, mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa, apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi hari-hari terakhir di Surakarta. Apakah ia akan tetap berdiri terpisah dari Pangeran Mangkubumi, apakah ada jalan lain yang harus ditempuh, atau bahkan ia harus me musuhi Pangeran Mangkubumi yang justru dapat mengha mbat perjuangannya. Meskipun di ma la m perta ma Raden Mas Said t idak mendapatkan apapun juga. namun rasa-rasanya ia mene mukan ke mantapan di dala m hatinya. Itulah sebabnya ia bertekad untuk berada di tempat itu, tiga hari tiga mala m terus-menerus. Meskipun di siang hari berikutnya matahari me mbakar kepalanya, Raden Mas Said sama sekali tidak berteduh. Dibiarkannya kulitnya menjadi hita m leka m disengat oleh sinar yang bagaikan me mbara. Sedangkan di ma la m hari ke mudian, dinginnya rasarasanya sampai menusuk tulang. Na mun Raden Mas Said masih berada di atas bukit itu. Bahkan seja k ia berada di atas bukit kecil itu, masih tetap berdiri dan selangkah dua langkah berjalan hilir mudik di atas batu-batu padas. Pada mala m kedua, Raden Mas Said sa ma sekali t idak mengharap lagi siapapun juga. Ia tidak mengharap lagi kedatangan orang tua yang pernah berjanji akan mene muinya di bukit ini. Raden Mas Said lebih condong kepada mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Suci, agar mendapat petunjuk di dala m perjuangannya yang berat. Dipunca k permohonannya Raden Mas Said tidak lagi me langkah setapakpun. Ia berdiri dan tetap berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. Kepalanya terangkat me mandang kelebaran bintang di langit me mandang
kebesaran ciptaan Sang Khalik. Betapapun besar ilmu manusia, hampir tidak berarti bagi kebesaran Yang Maha Pencipta. Seperti setetes air di lautan. Namun dari padanya Raden Mas Said menemukan dirinya sendiri. Bahwa yang sedang dilakukan adalah sekedar usaha bagi kemanusiaan. Hubungan dengan sesa ma manusia dan juga hubungan dengan Sang Pencipta. Menjelang dini hari Raden Mas Said masih tetap berdiri. Ia masih tetap me mandang bintang-bintang di langit. Bahkan seluruh perhatiannya seakan-akan telah diarahkannya kepada kebesaran Tuhan. Tuhan Yang Maha Besar. Meskipun de mikian inderanya yang terlatih masih dapat mendengar desir langkah seseorang. Karena itu, maka perlahanlahan Raden Mas Said seakan-akan kemba li menjejakkan kakinya di atas tanah. Dan itu adalah naluri manusiawi yang masih belum mencapai kesempurnaan yang sejati. Dan dengan sadar Raden Mas Said menilai dirinya dan seksama. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang ma mpu mencapai kesempurnaan yang sejati. Yang Sempurna adalah Yang Maha Sempurna itu sendiri. Ketika Raden Mas Said kemudian menarik nafas dalamdalam, dilihatnya sesosok bayangan di dalam kela mnya ma la m. Dan dalam se lintas Raden Mas Said segera dapat
mengenal, orang tua itulah yang telah datang kepadanya dan berjanji untuk bertemu di atas bukit ini. "Sela mat mala m Raden Mas Said yang pinunjul" sapa orang tua itu. Raden Mas Said yang sudah masak jiwanya tidak terpengaruh sama sekali oleh kata-kata yang manapun juga. Karena itu ia menjawab "Sela mat ma la m Kia i. Sebutan itu bukan seharusnya kau berikan kepadaku. Jangan membantah. Sebaiknya kita bersikap sebagai orang-orang tua" "Itulah yang me mpesona aku Raden Mas. Dan itulah yang pinunjul" "Sudah cukup Kia i. Sekarang, apakah Kiai akan mengatakan sesuatu kepadaku. Tentang diri Kiai, atau tentang Surakarta yang sedang kalut?" Orang tua itu melangkah sema kin dekat. Sementara itu Raden Mas Said masih tetap berdiri di te mpatnya. "Raden Mas memang seorang yang mengagumkan" desis orang tua itu. "Segala puji hanya untuk Tuhan se mesta alam, dan apakah pujian itu masih saja akan berkepanjangan Kia i. Aku minta Kiai mengatakan sesuatu" "Raden Mas" berkata orang tua itu "sebenarnya memang tidak ada yang akan aku katakan kepadamu se lain tentang diriku sendiri" "Sebutlah dirimu" "Na maku Adirasa. Ajar Adirasa" "Adirasa" ulang Raden Mas Said. "Ya Raden Mas" "Ke mudian"
"Aku berasal dari padepokan kecil di atas sebuah gumuk di tepi sungai Dengkeng" "Ya, dan setelah aku mengetahui na ma mu dan tempat tinggalmu?" "Tida k ada apa-apa lagi. Hanya itulah yang akan aku katakan kepada Raden Mas" "Jadi hanya untuk mengenal nama mu dan tempat tinggalmu aku harus berada di sini tiga hari tiga ma la m?" "Sekarang baru mala m kedua. Terserah kepada Raden Mas, apakah Raden Mas akan melanjutkan atau tidak di mala m ketiga besok" Raden Mas Said termangu-mangu sejenak. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi marah dan merasa diperolok-olokkan oleh Ajar tua itu. Bahkan kemudian timbul tanggapan di dalam dirinya, bahwa tentu ada sesuatu maksud yang terkandung dibalik sikap yang na mpaknya seperti sekedar berolok-olok itu. "Nah Raden Mas" berkata Ajar Adirasa itu "Tidak ada yang perlu lagi aku katakan kepada Raden Mas. Selamat tinggal. Terserah kepada Raden Mas, apakah Raden Mas akan mengakhiri perbuatan sia-sia ini, atau menyelesaikannya genap tiga hari" Raden Mas Said tidak menjawab. Dipandanginya saja orang tua itu sehingga hilang di da la m kegelapan. Raden Mas Said menarik nafas dala m-dala m. Rasa-rasanya udara di ujung ma la m itu menjadi se makin dingin. Justru langit yang sudah menjadi semburat merah, seakan-akan menghisap semua panas yang ada di muka bumi, sehingga bumi a kan menjadi beku karenanya. Tetapi Raden Mas Said tetap berdiri di tempatnya. Ia telah menyilangkan tangannya ke mbali. Me mandang kepada langit yang semburat merah di ujung Timur. Tetapi Raden Mas Said tetap berdiri tegak.
Namun de mikian, pikiran Raden Mas Sa id tidak lepas dari sikap yang aneh dari orang tua yang menyebut dirinya Ajar Adirasa itu. "Jika tida k ada ma ksud tersembunyi, ia tida k akan berbuat segila itu" berkata Raden Mas Said di dala m hatinya. Dengan demikian, maka tekadnya menjadi se makin bulat untuk tetap berada di te mpat itu sa mpai akhir mala m ketiga. Matahari yang ke mudian terbit di langit dan semakin tinggi, seakan-akan telah me mbakar bukit bersama Raden Mas Said di atasnya. Tetapi Raden seolah-olah sa ma sekali tidak merasa, betapa sinar menyengat kulitnya merayap kecil itu Mas Said matahari
Demikianlah Raden Mas Said justru mengikuti putaran perjalanan matahari, sambil berdiri sejak terbit sehingga terbenam di ujung Barat Ketika matahari kemudian tenggela m di bawah Cakrawala, maka ke mbali udara mala m yang dingin menusuk sa mpai ke tulang sumsum. Tubuh Raden Mas Said yang baru saja terbakar oleh panas matahari, rasa-rasanya menjadi nyeri dan pedih karena gigitan udara yang dingin. Namun betapapun juga, rasa-rasanya Raden Mas Said bagaikan menunggu sesuatu di atas bukit ku. Meskipun tidak ada yang menjanjikannya, tetapi rasa-rasanya bahwa akan ada sesuatu terjadi pada mala m itu. Karena itu maka Raden Mas Said se makin tekun merenungi ma la m yang gelap dan dirinya sendiri di dala mnya. Seakanakan ia berada di dala m satu dunia yang asing, dunia yang sendiri. Di seke lilingnya hanyalah kegelapan yang hitam. Yang tampak olehnya adalah gemerlapnya bintang di langit yang bertebaran dari ujung ca krawala sa mpai ke ujung cakrawala. Semakin dala m ma la m yang kela m, Raden Mas Said menjadi sema kin berdebar-debar. Tetapi tidak ada sesuatu
yang terjadi. Tidak ada tanda-tanda apapun yang dilihat atau didengarnya, selain pertanda bunyi ma la m yang nge langut. Tetapi Raden Mas Said ternyata adalah orang yang tabah. Betapapun juga ia tidak berkisar dari tempatnya. Setiap waktu ia berharap, tetapi setiap waktu dilaluinya tanpa ada persoalan apapun juga. Meskipun de mikian Raden Mas Said tidak kehilangan kesabaran. Ia masih tetap berdiri dan bersilang tangan di dada. Bahkan setelah mala m ha mpir sa mpai pada akhirnya, Raden Mas Said sampai pada suatu keadaan yang tiada berpengharapan lagi. Namun de mikian ma la m itu akan diakhirinya sa mpai tuntas. Tetapi bagi Raden Mas Said, ternyata ada sesuatu yang didapatkannya dalam ketiadaan apa-apa itu. Ia ternyata me miliki ketabahan yang telah diujinya sendiri. Ia me mpunyai jiwa yang keras dan tidak lekas berputus asa. Ketika fajar menyingsing, barulah Raden Mas Sa id menarik nafas dalam-dala m dan beranjak dari te mpatnya. Namun justru pada saat itu ia melihat sesuatu. Beberapa langkah saja dari tempatnya ia melihat bayangan yang kehita man. Bukan bayangan seseorang, tetapi sesuatu yang teronggok di tanah. Debar jantung Raden Mas Sa id menjadi se makin keras me mukul dinding dadanya. Tetapi ia tidak tergesa-gesa mende katinya. Dengan tajamnya ia menga mati bayangan itu dari tempatnya berdiri. Ia menjadi heran bahwa ia tidak mendengar sa ma sekali ge merisik langkah seseorang, atau desir dedaunan. Bayangan hitam itu telah begitu saja berada di te mpatnya. Sejenak ke mudian ma ka Raden Mas Saidpun yakin, bahwa yang dihadapinya adalah benda-benda mati, karena ia tidak
mendengar desah nafas dan tidak merasakan getar kehidupan sama sekali. Namun dengan demikian, ia menjadi sema kin heran, bahwa benda-benda itu dengan tiba-tiba saja telah berada di sana. Menurut perhitungannya, ia tentu mendengar desir langkah seseorang, jika ada yang dengan sengaja me letakkan benda-benda itu di situ. Sekilas terkenang olehnya orang tua yang menyebut dirinya Kiai Adirasa. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya kepada diri sendiri "Apakah Kiai Adirasa yang aneh itu yang telah meletakkan Barang-barang itu di situ?" Sejenak Raden Mas Said me mbe ku di te mpatnya. Namun matahari yang sema kin me mbayang di langit, ke mudian mengua kkan kegelapan yang menyelimuti bukit itu. Perlahan-lahan Raden Mas Said mendekatinya. Namun demikian ia masih saja dicengka m oleh keragu-raguan. Bahkan seakan akan ia berkata kepada diri sendiri "Itu tentu suatu jebakan. Mungkin Barang-barang itu dapat meledak seperti senjata kumpeni" Dengan demikian maka langkah Raden Mas Saidpun terhenti sejenak. Tetapi ia tidak meninggalkan benda-benda itu. Dala m keragu-raguan itulah maka seka li lagi Raden Mas di kejutkan oleh kehadiran seseorang tanpa diketahuinya. Ia menyadari bahwa seseorang berdiri beberapa langkah di belakangnya ketika orang itu tertawa perlahan-lahan. Dengan sigap Raden Mas Sa id me loncat menghadap suara itu dan bersiap menghadapi segala ke mungkinan. Tetapi yang dihadapinya adalah seorang yang berpakaian kusut di balik bayangan sebuah gerumbul, di atas kepalanya terletak sebuah tutup kepala yang agak lebar berujung runcing.
Sekali lagi Raden Mas Said heran. Seharusnya ia dapat mendengar langkah seseorang yang tidak begitu jauh di belakangnya. Telinganya adalah telinga yang terlatih baik. Namun ternyata bahwa ia sama sekali tida k mengetahui kehadirannya. "Siapa kau?" bertanya Raden Mas Said dengan ragu-ragu, karena ia sadar, bahwa orang itu tentu memiliki banyak kelebihan dari orang kebanyakan. Orang itu tertawa. Beberapa helai daun pohon perdu menutup wajahnya yang kehita m-hitaman sehingga Raden Mas Said tidak dapat me mperhatikannya dengan je las. "Apakah kau yang menyebut dirimu Adirasa?" "Bukan Raden Mas. Aku tahu bahwa Kiai Ajar Adirasalah yang telah me mberikan petunjuk agar Raden berada di te mpat ini, di mala m-mala m terakhir bulan ini" Raden Mas Said t idak segera menjawab. Ia mencoba me mandang wajah orang itu. Tetapi setiap saat, orang itu berusaha me mbayangi wajahnya dengan dedaunan. "Apakah kau mengena l Ajar Adirasa?" bertanya Raden Mas Said ke mudian. "Ya, aku mengena l Raden Mas" "Kau tentu seperti Kia i Ajar Adirasa yang berusaha menyelubungi dirinya dengan rahasia. Tetapi aku masih akan mencoba barangkah kau termasuk orang biasa. Siapa kau?" Orang itu tertawa. Katanya "Sebaiknya Raden Mas tidak usah bertanya. Jawabku tentu tidak akan memberikan kepuasan bagi Raden Mas. Yang penting, silahkan Raden Mas menga mbil Barang-barang itu" "Apakah Barang-barang itu, dan apakah kau yang telah me letakkannya di situ?" "Bukan"
"Jadi siapa?" "Pertanyaan Raden Mas sia-sia. Ada seribu jawab yang dapat aku berikan. Tetapi Seribu nama itu tidak penting bagi Raden Mas" "Kenapa" "Silahkan Raden Mas melihat, Barang-barang itu barangkali berguna bagi Raden Mas" Raden Mas Said termangu-mangu. Namun ke mudaan mende kati benda-benda itu dengan hati-hati. Selain ia me mperhatikan benda itu dengan saksama, Raden Mas Saidpun harus berhati-hati. Mungkin orang itu bermaksud buruk, dan tiba-tiba saja ia menyerangnya. Tetapi orang itu tida k beranjak dari tempatnya. Perlahanlahan Raden Mas Said melangkah semakin dekat. Dilihatnya selembar kain menyelubungi sesuatu. Sejenak Raden Mas Said termangu-mangu, ke mudian selubung itu dibukanya perlahan-lahan. namun
"Sebuah panji-panji" desis Raden Mas Sa id. Dan ketika ia menga mati benda yang sudah berselubung lagi, ia berkata pula "sebuah kerangka genderang" Raden Mas Said termenung sejenak sambil menga mati kedua maca m benda itu berganti-ganti. La mat-la mat ia masih mendengar seseorang berkata "Se le mbar panji-panji bernama Kiai Duda dan kerangka genderang bernama Kia i Sla met. Nah, barangkali dala m keadaan ke melut seperti sekarang. keduanya me mpunyai arti bagi Raden Mas" Raden Mas Said masih termenung. Dengan ragu-ragu dirabanya kerangka genderang itu. Benar-benar sebuah kerangka genderang dari kayu. "Apakah artinya ini?" ia berdesis. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"Apakah ma ksudnya?" Raden Mas Said mengulang. Tetapi yang terdengar hanya desir angin yang le mbut. Karena tidak ada juga jawaban dari orang yang berdiri di belakang gerumbul itu, maka Raden Mas Saidpun ke mudian berpaling. Tetapi sekali lagi ia terkejut sehingga darahnya serasa berhenti mengalir. Orang yang berdiri di belakang bayangan dedaunan itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Hampir di luar sadarnya Raden Mas Saidpun meloncat mencarinya. Beberapa buah gerumbul telah dilihatnya. Namun ia tidak dapat mene mukan seorangpun. "Bukan main" Ia berguma m "Tentu bukan orang kebanyakan. Orang itu tentu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain" Dala m kebimbangan itu Raden Mas Said me langkah perlahan-lahan ke mbali ke tempat benda-benda yang dikete mukan di atas bukit itu. Benda-benda itu masih tetap ada di te mpatnya. "Siapa?" pertanyaan itu selalu ke mbali mengganggunya. Namun tiba-tiba wajah Raden Mas Said yang mulai me mucat setelah sela ma tiga hari ia berada di atas bukit kecil itu berkerut. Sesuatu agaknya telah melintas di dalam kepalanya. Sambil me ma ndang gerumbul yang tidak begitu lebat, tempat orang yang me makai tutup kepala yang runcing itu berdiri, Raden Mas Said mulai mencoba me mbayangkan
ke mbali wajahnya. Wajah orang itu, yang kotor dan sedikit tertutup oleh dedaunan, "Apakah ia telah dengan sengaja mene mui a ku di sini " Raden Mas Said berguma m. Ketika ia berpaling dan me mandang dua buah benda yang teronggok itu, hatinya berdesir. Seperti di luar sadarnya ia berkata "Apakah ini suatu isyarat, bahwa semuanya harus segera dimula i?" Raden Mas Said untuk beberapa saat berdiri dalam kebimbangan. Na mun ke mudian ia menga mbil kedua benda yang disebut bernama Kiai Duda dan Kiai Sla met itu sambil mereka-reka di dala m hatinya "Tentu bukannya tanpa maksud bahwa yang aku ketemukan di sini adalah sebuah panji-panji dan beraneka genderang" ia tertegun sejenak, lalu "orang itu, apakah mataku sudah kabur karena aku berada di sini tiga hari tiga ma la m pati-geni tanpa ma kan dan dipanggang di panas matahari di siang hari dan dibekukan oleh embun di ma la m hari?" Dada Raden Mas Said berdebaran ketika mulutnya bergerak dan menyebut "Orang itu agaknya mirip sekali dengan pamanda Pangeran Mangkubumi" Namun Raden Mas Said tidak dapat meyakinkannya karena orang itu sudah tidak ada lagi. Karena itu maka iapun ke mudian me mbawa dua buah benda yang diketemukannya itu turun dari bukit kecil tempat ia mesu diri sela ma tiga hari tiga mala m. Tiba-tiba saja Raden Mas Said merasakan bahwa langkahnya mulai la mban. Sekali-sekali ia terpaksa berpegangan pada batang pohon-pohon perdu. Namun ia masih bertahan karena kekuatan tubuhnya yang luar biasa. Meskipun sela ma tiga hari ia berdiri di atas bukit tanpa makanan yang berarti, namun ia masih tetap menguasai keadaan dirinya sebaik-baiknya.
Hanya kadang-kadang terasa kakinya bergetar. Tetapi dengan imbangan niat yang besar, maka se muanya itu seakan-akan tidak me ngganggunya sa ma sekali. Ketika Raden Mas Said telah turun dari bukit kecil itu dan berjalan beberapa langkah, mulailah ia me nyadari bahwa beberapa orang pengawalnya ada di sekitar bukit itu untuk mengawasi apabila terjadi kecurangan kumpeni dan sengaja menjebaknya. Atau orang-orang yang telah diupah oleh mereka. Dengan demikian, maka yang pertama-tama dilakukan oleh Raden Mas Said adalah mencari mereka itu dan bersa ma-sama meninggalkan daerah Matesih. Seorang demi seorang pengawalnya dapat dijumpa inya di tempat yang sudah ditentukan. Yang lainpun ke mudian dipanggil pula oleh kawan-kawannya dan berkumpul mengerumuni Raden Mas Sa id yang duduk di atas sebuah batu. Dengan singkat Raden Mas menceriterakan apa yang dilihat dan didengarnya. Tentang dua orang yang aneh itu dan tentang dua buah benda yang aneh ini pula. Para pengawalnya tidak dapat memberikan tanggapan apapun selain mengangguk-angguk dengan herannya, karena tidak seorangpun dari para pengawal itu yang melihat seseorang naik ke atas bukit kecil yang diawasinya itu. "Kita harus segera kembali ke induk pasukan kita" berkata Raden Mas Said. "Apakah keadaan Raden Mas sudah me mungkinkan?" bertanya salah seorang pengawalnya. "Kenapa tidak?" Raden Mas Salur menyahut, namun ke mudian "Tetapi cobalah, carikan a ku setitik a ir untuk me mbasahi mulutku"
"Mungkin Raden Mas me merlukan ma kan?" Raden Mas mengge leng. Demikianlah maka seseorang dari antara para Pengawal itupun mencari air dari sebuah mata air yang jernih. Dengan air itu Raden Mas Said me mbasahi mulut dan kerongkongannya beberapa titik saja. Tetapi yang beberapa titik itu ternyata telah me mbuat tubuh Raden Mas Said menjadi segar, dan bahkan seakan-akan segala kekuatannya telah menjadi pulih ke mbali, "Apakah Raden Mas tidak ingin makan meskipun hanya sesuap nasi?" pengawalnya masih bertanya. "Sudah aku katakan, aku tidak akan makan sekarang" jawab Raden Mas Said, lalu "Aku sudah selesai. Marilah kita ke mbali mene mui pa man Martapura. Apakah kalian mendengar sesuatu telah terjadi selama aku berada di atas bukit?" Para pengawal djtu berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka menjawab "Tidak Raden Mas. Ka mi belum mendengar perkembangan baru yang terjadi di Surakarta" "Apakah Kangjeng Susuhunan dan kumpeni sudah mulai bertindak terhadap Pangeran Mangkubumi?" "Ka mi belum mendengar" Raden Mas Said mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan belum ada tindakan apa-apa. Baik atas Pangeran Mangkubumi ma upun atas kita" Para pengawalnya tidak menyahut. "Marilah kita tinggalkan te mpat ini. Aku ingin berbicara dengan paman Martapura tentang benda-benda yang aku dapatkan di atas bukit kecil itu dan sekaligus tentang orangorang aneh yang aku te mui di atas bukit itu pula"
Demikianlah maka merekapun segera meninggalkan bukit itu dan menuju ke te mpat yang mereka rahasia kan. Te mpat yang dipergunakan oleh Pangeran Martapura me megang pimpinan sela ma Raden Mas Said tidak ada di antara anak buahnya. Para pengawal Raden Mas Said benar-benar menjadi heran. Hanya oleh beberapa titik air, rasa-rasanya Raden Mas Said sudah pulih ke mbali. Tida k ada bekas-bekas sama seka li padanya, yang menunjukkan bahwa ia baru saja melakukan mesu raga sela ma tiga hari pati-geni. Wajahnya sudah nampak menjadi merah ke mbali, dan sorot matanya menunjukkan kegairahannya atas masa-masa yang mendatang. Meskipun de mikian, ketika mereka lewat di rumah seorang pengikut Raden Mas Said yang dengan sandi tetap berada di lingkungannya, maka Raden Mas Saidpun me merlukannya singgah. Agar tidak. menimbulkan kecurigaan, maka para pengawalpun telah berpencaran. Sebagian me ndahului, sebagian lagi berada di belakang dan berhenti di bawah pohon yang rindang, seperti seorang pejalan yang sejenak berlindung dari teriknya matahari. Di te mpat itu Raden Mas Said mendapat sebuah kelapa muda. Airnya semakin menyegarkan tubuhnya, dan kelapa muda yang kemudian dima kannya telah me mberikan ke kuatan baru padanya. Karena itulah maka perja lanan berikutnya menjadi se ma kin lancar dan cepat. Namun ma la m itu Raden Mas Said masih belum langsung me njumpai Pangeran Martapura. Ia masih harus berhenti dan beristirahat pada seorang pengikutnya yang lain yang dala m tugas sandinya pula tetap berada di rumahnya bersa ma keluarganya. Pada mala m itu Raden Mas Said telah me merintahkan para pengawalnya untuk mencari keterangan, apakah yang telah terjadi di Surakarta.
Sementara itu, Kangjeng Susuhunan telah mengambil keputusan yang sangat mengejut kan. Bukan saja para Senapati, tetapi juga para pemimpin pe merintahan. Kangjeng Susuhunan ternyata demikian terpengaruh oleh pendapat kumpeni, sehingga me mutuskan mengangkat seorang Senapati yang mengecewa kan sekali. Beberapa orang Senapati yang menghadap Kangjeng Susuhunan dan mendengar keputusan itu menjadi bertanyatanya di dala m hati, apakah yang dapat dilakukan oleh seorang Senapati yang masih muda dan yang hanya me mpercayakan ke ma mpuannya pada olah perang yang disadapnya dari kumpeni. Meskipun lia sendiri selalu me mbawa senjata api berlaras pendek yang diselipkan di la mbungnya, namun senjata itu t idak akan berguna sama sekali untuk me nghadapi Pangeran Mangkubumi. "Kenapa Pangeran Yudakusuma " Senapati kepada seorang kawannya. bertanya seorang
Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu. Tetapi agaknya kumpenilah yang mendesak agar Kangjeng Susuhunan mengangkat seorang Senapati yang dapat dikendalikan oleh kumpeni" "Tetapi ia tidak akan berarti sa ma sekali" "Mungkin apabila ia harus berhadapan dala m perang tanding. Tetapi jika terjadi perang, bukannya perang tanding. Perang antara pasukan dalam jumlah yang cukup besar. Dan Senapati yang terpilih itu tentu akan me mpergunakan cara yang baru bagi Surakarta. Cara yang sudah selalu kita pakai, dengan gelar-gelar perang yang sesuai dengan ke kuatan prajurit kita akan digabungkannya dengan cara orang-orang asing itu bertempur dalam garis datar. Sejauh-jauhnya dalam gelar yang mirip dengan Wulan Punanggal" Para Senapati itu tidak menanggapi lebih jauh lagi. Tetapi hampir setiap orang di antara mereka berpendapat, bahwa
pengangkatan itu benar-benar atas desakan kumpeni, karena Pangeran Yudakusuma adalah seorang Pangeran yang dekat sekali dengan kumpeni. Tetapi lepas dari kema mpuannya, setiap orang mengakui bahwa Pangeran yang masih cukup muda ini me miliki keberanian dan ketegasan sikap. Bahkan sebenarnya ia bukannya seorang yang amat lemah dibandingkan dengan Senapati-Senapati sebayanya. Ia me miliki perhitungan yang jauh dan berani menga mbil sikap dala m keadaan yang sulit. Demikianlah maka Surakarta telah menetapkan seseorang yang akan me mimpin prajuritnya yang akan menghadapi segala kemungkinan dengan kepergian Pangeran Mangkubumi dari istananya dengan dia m-dia m. Meskipun ha mpir setiap prajurit menganggap bahwa keputusan itu terla mpau la mbat datangnya, dan yang ternyata mengecewakan, tetapi itu lebih baik daripada tidak menga mbil sikap apapun. Apalagi para petugas sandi sudah selalu melaporkan, bahwa Pangeran Mangkubumi telah benar-benar menyusun kekuatan prajurit. Setiap hari para petugas sandi me lihat beberapa orang berdatangan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti, aoakah Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati atau berada di daerah Pandan Karangnangka. Keduanya merupakan daerah yang harus diperhitungkan. Ternyata Pangeran Yudakusuma yang masih cukup muda itu ma mpu bergerak cepat. Dala m waktu yang singkat sesaat setelah ia diangkat menjadi Senapati Agung menghadapi keadaan yang buram di Surakarta itu, ia telah memanggil para Senapati untuk berte mu. Keputusan tentang pengangkatannya Itu telah disambut dengan dingin oleh Pangeran Ranakusuma. Tetapi sebagai seorang prajurit Pangeran Ranakusuma tetap me matuhi kuwajibannya. Ia ditetapkan menjadi Senapati pengapit disayap kiri, gelar apapun yang akan disusunnya di dalam keadaan medan yang akan dihadapi kelak. Sedang Senapati
pengapit yang seorang lagi disayap kanan adalah seorang Senapati yang cukup masak dan berpengala man meneguk pahit getirnya peperangan. Senapati itu adalah Tumenggung Sindura. Seorang Tumenggung yang meskipun bukan seorang bangsawan pada tingkat pertama, namun me muliki ke ma mpuan yang selalu diperhitungkan oleh Surakarta. Dan agaknya Pangeran Yudakusuma me mpercayakan kekuatannya pada kema mpuan Tumenggung Sindura. Jika benar-benar Pangeran Mangkubumi t idak dapat dilukai dengan peluru senjata api kumpeni, maka adalah menjadi tugas Tumenggung Sindura untuk melawannya. Tumenggung Sindura me mpunyai pusaka yang dapat diandalkan. Sebilah keris yang sangat disegani oleh setiap orang yang pernah melihatnya. Keris yang disebutnya Kiai Cangkring. Tetapi tidak seorangpun yang dapat dengan pasti menghubungkan keris itu dengan keris yang pernah menggetarkan Singasari karena kutukan mPu Gandring. yang me mbuat keris itu, sehingga beberapa orang telah terbunuh karenanya. "Tida k seorangpun yang tahu dengan pasti bentuk dan ujud dari Kiai Cangkring yang dibuat oleh mPu Gandring itu" berkata seorang Senapati "sehingga kita tidak akan dapat mengatakan apakah keris Tume nggung Sindura itu berasal dari mPu Gandring" Meskipun para Senapati selengkapnya telah disusun di dalam perang yang besar di saat yang tepat, namun Pangeran Yudakusuma me mutuskan untuk me mberikan tekanantekanan sebelumnya kepada setiap kedudukan Pangeran Mangkubumi dengan bagian-bagian dari seluruh pasukan. Dengan de mikian Surakarta akan dapat menjajagi ke kuatan Pangeran Mangkubumi mes kipun tidak dengan pasti. "Kita akan mengirimkan pasukan pasukan untuk mendekati daerah pertahanannya. Kita harus tahu sebelumnya, di daerah dan padukuhan yang mana kah ke kuatan Pangeran Mangkubumi terpusat. Baik bagi induk kekuatannya di Sukawati maupun di Pandan Karangnangka. Kita akan
me mancing benturan-benturan kecil sebelumnya, sehingga pada suatu saat kita yakin akan kema mpuannya. Pada saatnya kita akan me mukul kekuatan terbesarnya. Tetapi dengan sekali pukul kita tida k boleh gagal. Jika kita gagal, maka yang akan terjadi adalah peperangan yang berkepanjangan. Sementara kita dapat mengabaikan ke kuatan Said dan Martapura. Karena itu, kita harus secepatnya menyelesaikan Kamas Mangkubumi" Beberapa orang Senapati segera menyatakan persetujuannya. Untuk langsung bertindak atas Pangeran Mangkubumi akan sa ma artinya dengan meloncat ke dala m gelap tanpa mengetahui betapa dala mnya jurang yang diloncatinya. Dengan demikian maka Senapati Agung yang sudah ditentukan itupun segera me merintahkan kepada para Senapati untuk me mpersiapkan pasukan masing-masing. Setiap saat palsukan itu dapat diperintahkan untuk maju mende kati pertahanan Pangeran Mangkubumi dala m kelompok-kelompok kecil. "Tetapi kita tidak akan mengorbankan ke lompok-kelompok kecil itu sehingga tumpas dibantai oleh para petani dan orangorang kasar yang sudah dapat dipengaruhi oleh Pangeran Mangkubumi" berkata Pangeran Yudakusuma "karena itu, maka pasukan berkuda akan penting artinya di setiap keadaan. Setiap kelompok pasukan akan disertai oleh beberapa orang dari pasukan berkuda yang dapat menghubungkan pasukan yang sedang bergerak itu dengan induk pasukan yang segera akatn me mbuat perke mahan di luar kota menghadapi pusat-pusat pertahanan Pangeran Mangkubumi" Seorang Senapati yang berkumis lebat ke mudian bertanya "Kenapa harus dibuat perke mahan di luar kota?" "Jika Pangeran Mangkubumilah yang menga mlbil pra karsa menyerang Surakarta, maka kita tida k akan mengorbankan
kota. Karena kelengahan kita Kartasura sudah hancur di dalam geger Pacina yang mengejutkan itu. Karena itu, maka sekarang, setiap gerbang kota dan jalur-jalur jalan harus mendapat pengawasan yang kuat" jawab Pangeran Yudakusuma. Para Senapatipun me matuhi perintahnya. Mereka mene mpatkan diri di bawah pimpinan tunggal yang telah ditetapkan oleh Kangjeng Susuhunan. Pangeran Ranakusuma yang lebih tua disegala bidangpun tidak banyak me mpersoalkannya. Ia jalankan perintah Pangeran Mudakusuma sebaik-baiknya. Dihimpunnya pasukan yang ada di bawah perintahnya. Sebagian dari mereka adalah pasukan berkuda. Sekelompok dari pasukan berkuda itu di bawah pimpinan seorang ana k muda yang paling dipercayanya Raden Juwiring. Surakarta bagaikan bangkit dari tidurnya. Betapapun diusahakan untuk tetap me melihara ketenangan, namun kesibukan para prajurit telah me mbuat hati penduduknya menjadi gelisah. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa Pangeran Mangkubumi telah lolos, disusul oleh Pangeran Hadiwijaya dan kemudian ternyata telah lenyap pula Pangeran Wijil. Dengan prihatin Kangjeng Susuhunan me mperhatikan perkembangan keadaan. Dengan prihatin pula ia setiap ka li mendengarkan laporan tentang persiapan yang sudah dia mbil oleh Pangeran Yudakusuma. "Aku tidak menyangka, bahwa orang itu dapat berbuat selincah itu" berkata Kangjeng Susuhunan kepada diri sendiri. Tetapi Kangjeng Susuhunanpun telah menduga, bahwa Pangeran Yudakusuma tentu banyak mendapat nasehat dari perwira-perwira kumpeni. Dala m pada itu, semua yang berkembang di Surakarta, di dalam istana Kangjeng Susuhunan dan di luar istana telah
didengar oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumipun telah menerima laporan pula, bahwa yang ke mudian me megang pimpinan tertinggi pasukan Surakarta yang dipersiapkan untuk menindasnya apabila ia benar-benar me mperguna kan kekerasan senjata adalah Pangeran Yudakusuma. "Aneh" berkata seorang Senapati yang berada di pihak Pangeran Mangkubumi "Tidak seorangpun me mperhitungkan bahwa yang akan me megang pimpinan ke mudian adalah Pangeran Yudakusuma " "Kenapa aneh?" bertanya Pangeran Mangkubumi. "Pangeran Yudakusuma bukan seorang Senapati yang dapat disejajarkan dengan Pangeran Ranakusuma. Bahkan di medan perang, Tumenggung Sindura yang menjadi Senapati pengapitnya bersama Pangeran Ranakusuma, adalah Senapati yang lebih ma ntap meskipun ia bukan seorang Pangeran" "Pangeran Ranakusuma sudah terlampau tua" berkata Pangeran Mangkubumi. "Ah, tentu belum Pangeran" sahut Senapati itu "Ia masih sanggup berhubungan dengan adik isterinya itu dengan sembunyi-se mbunyi. Dan ia adalah Senapati yang berpengalaman. Mungkin Tumenggung Sindura karena derajatnya tidak dapat me merintah para Pangeran. Tetapi bahwa yang terpilih Pangeran Yudakusuma adalah mengherankan sekali. Masih ada na ma-na ma yang pantas"
Pangeran Mangkubumi tersenyum. Katanya "Tetapi menurut penga matanmu, siapa kah di antara mereka yang paling cakap me mpergunakan gelar dan tata peperangan yang mirip dengan kumpeni?" Senapati itu menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Memang Pangeran Yudakusuma sengaja me mpe lajari cara tata gelar seperti orang asing itu" Dan ia lebih percaya kepada senjata api berlaras pendek itu daripada kerisnya yang disebutnya bernama Kiai Sa mpir. Keris yang sebenarnya sangat berwibawa itu" "Benar Pangeran. Dan itulah lawan yang dihadapkan kepada Pangeran" "Bagiku akan lebih ba ik. Aku lebih senang jika Panglima pasukan Surakarta itu langsung dipegang oleh orang asing. Dengan demikian, maka aku tidak akan dipengaruhi lagi oleh keragu-raguan dan lebih banyak dibayangi oleh hubungan keluarga, karena para Senapati itu adalah saudara-saudaraku sendiri" Senapati itu mengangguk-angguk. Ia mengerti betapa beratnya perasaan Pangeran Mangkubumi. Kangjeng Susuhunan adalah kaka knya yang justru mengasihinya. Tetapi ternyata bahwa jalan mereka telah bersimpang. Sementara itu. Raden Mas Said telah ke mbali pada induk pasukannya. Kepada Martapura, Raden Mas Said segera menunjukkan benda-benda yang didapatnya di atas bukit kecil itu. "Siapakah yang me mberikan benda-benda ini kepada Raden Mas?" bertanya Martapura, Raden Mas Said mengge lengkan kepalanya. Kemudian diceriterakannya, bagaimana ia mendapatkan benda-benda itu.
Martapura merenungi panji-panji dan kerangka genderang itu sambil mencoba menebak teka-teki yang rumit itu. Na mun agaknya ia tidak segera berhasil. "Jadi pada saat anak mas mendapatkan benda itu anak mas dengan pasti me lihat seseorang di atas bukit itu pula?" "Ya pa man" "Anak mas" berkata Martapura "kadang-kadang kita terganggu oleh bayangan-bayangan yang sebenarnya hanya ada di da la m angan-angan kita. Apalagi da la m keadaan seperti yang terjadi pada anakmas saat itu sesudah tiga hari tiga ma la m me lakukan pati geni" "Ah" desah Raden Mas Said "Aku tetap sadar tentang diriku dan keadaan di sekelilingku. Panji-panji dan kerangka genderang inipun bukan sekedar Barang-barang yang hanya ada di dala m angan-angan kita" "Dan seperti yang kau ceriterakan, orang itu rasa-rasanya pernah kau kenal?" "Ya. Orang itu pernah aku kenal. Apalagi aku tahu bahwa pamanda Pangeran Mangkubumi sering me mpergunakan pakaian seorang petani. Kadang-kadang seorang perantau" Martapura mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya "Raden Mas Said. Agaknya tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Mangkubumi. Siapapun orang yang kau lihat, tetapi kau telah mendapatkan isyarat itu. Kau harus menegakkan panji-panji yang selama ini sudah kau kibarkan, dan kau harus mencanangkan genderang perang melawan orang-orang asing yang sudah kau mulai. Saat itu sudah tiba. Dan kau sudah sepantasnya bekerja bersama da la m satu langkah dengan Pangeran Mangkubumi. Kedua benda yang kau temukan itu adalah isyarat gaib yang kita terima dengan jelas" Raden Mas Said mengerutkan keningnya. Namun iapun ke mudian mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa tidak
ada perbedaan pokok dari perjuangannya dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi. Jika sebelumnya mereka tidak berjalan teriring, karena mereka mempunyai pertimbanganpertimbangan tersendiri. Tetapi bukan perbedaan pada pangkal pendirian mereka. Ternyata kedua benda itu telah se makin mende katkan hati Raden Mas Said kepada pa mandanya, seolah-olah kedua benda itu merupakan aba-aba untuk menjunjung panji-panji perjuangannya semakin tinggi, dan menge mandangkan genderang perang keseluruh wilayah Surakarta. Dari ujung sampai ke ujung. Namun demikian baik Raden Mas Said maupun Pangeran Mangkubumi masih belum mengadakan hubungan secara resmi. Agaknya mereka masing-masing masih akan me mperhitungkan ke mungkinan. yang diambil oleh Surakarta dan kumpeni. Na mun mere ka telah berusaha untuk saling mengisi apabila benar-benar terjadi benturan bersenjata. Dan karena itulah sebabnya maka Raden Mas Said dan Martapura ke mudian bergeser dan mene mpatkan kekuatan di sebelah Utara. Dan karena Martapura semula adalah Bupati Grobogan yang tidak berseda tunduk kepada ke kuasaan kumpeni yang semakin besar di Surakarta, maka sumber ke kuatan Martapura adalah dukungan rakyat Grobogan, ditambah dengan rakyat di daerah daerah yang pernah dila lui oleh pasukannya yang mengerti arti perjuangannya bersa ma Raden Mas Said. Dua pemusatan pasukan yang besar itu memang harus diperhitungkan oleh Panglima pasukan Surakarta dan kumpeni. Tetapi arah pandangan Pangeran Yudakusuma yang pertama-tama adalah Pangeran Mangkubumi. Yang terjadi kemudian di sekitar Surakarta adalah kesibukan para prajurit. Pasukan Surakarta telah mulai me mpersiapkan diri di luar kota dan di sepanjang perbatasan. Padukuhan-padukuhan kecil di perbatasan merupakan pemusatan pasukan yang terpencar tetapi di bawah satu
perintah. Setiap kali pasukan yang terpencar itu akan segera ma mpu berkumpul di te mpat yang sudah ditentukan. Namun demikian setiap kelompok pasukan me mpunyai tanggung jawab mereka sendiri sesuai dengan susunan tangga pimpinan mereka. Seperti yang direncanakan, maka Pangeran Yudakusumapun mulai me ngirimkan peronda-peronda dala m jumlah yang cukup besar mendekati daerah yang dianggapnya berbahaya. Bahkan sebagian dari para peronda itupun telah me masuki padukuhan Jati Sari pula. Kiai Danatirta yang tinggal di padukuhan terpencil tidak dapat melepaskan diri dari perke mbangan keadaan itu. Bahkan ia harus menyaksikan pasukan Surakarta yang setiap saat me masuki padukuhannya. "Ayah" berkata Arum ketika ia berte mu dengan beberapa orang prajurit di jalan pulang dari sawah "prajurit-prajurit itu nampaknya sudah dala m kesiagaan perang" Ayahnya tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan, karena anaknya tentu sudah mendengarnya pula. Maka katanya "Ya Arum. Keadaan me mang sudah menjadi gawat. Bahkan sudah merayap ha mpir sa mpai ke punca k" "Tetapi ka kang Buntal sa ma sekali tidak me mberi kesempatan kepadaku untuk ikut serta di dalam perjuangan ini. Jika sa mpai saatnya kakang Buntal masih tetap berdia m diri, aku akan datang sendiri menghadap Senapati dari pasukan Pangeran Mangkubumi yang pa ling dekat" Ayahnya menarik nafas. Namun ke mudian katanya "Arum. Kau me mang berhak ikut di ja lani perjuangan me mbebaskan Surakarta dari kekuasaan orang-orang asing yang semakin la ma terasa semakin dala m mencengka m. Tetapi kau tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Tunggulah dengan sabar, bahwa pada saatnya kau akan mendapat kese mpatan. Jika kau tidak berada di antara pasukan yang sudah siap untuk
bertempur itu. bukan berarti bahwa kau t idak a kan mendapat kesempatan. Mungkin kau dapat me lakukannya dengan cara lain" "Apakah yang dapat aku lakukan di sini ayah" Menunggu sampai aku tidak dapat mencetak lagi karena pasukan berkuda yang dipimpin oleh Raden Juwiring itu me nangkapku" Ayahnya menggeleng. Katanya "Percayalah, bahwa Raden Juwiring tidak akan menangkapmu. Bagaimanapun juga ia adalah saudara seperguruanmu" "Ayah tidak melihat, bagaimana ia menganca mku hanya karena kalung merjan itu" Ayahnya me mandang gadis yang sedang dibakar oleh hasrat perjuangannya. Memang Arum me miliki ke lainan dari gadis-gadis kawannya bermain. Gadis-gadis itu pada umumnya hanya dapat berdesah dengan cemas, karena mereka tida k me mpunyai bekal untuk berbuat lebih banyak daripada menyediakan makan dan minum apabila mereka terhimpun di dala m pasukan yang sedang berjuang itu. Tetapi Arum ma mpu berma in pedang. Namun de mikian ayahnya masih juga menyabarkannya sambil berkata "Tunggulah untuk beberapa la ma Arum. Buntal tentu akan segera datang" "Surakarta sudah mengangkat seorang Senapati besar ayah. Keadaan sudah demikian gawat. Seperti yang ayah lihat prajurit Surakartalah yang justru sudah berkeliaran di sini. Bukan dari pasukan Pangeran Mangkubumi atau dari pasukan Raden Mas Said" "Aku mengerti Arum. Tetapi kau harus menunggu" Arum t idak me njawab lagi. Ia masih ingin me menuhi permintaan ayahnya dalam satu dua hari. Tetapi jika keadaan me ma ksa ia merasa lebih aman berada di antara pasukan bersenjata Pangeran Mangkubumi bersama Buntal daripada
berada di padukuhannya. Setiap saat Raden Juwiring dapat bertindak, karena Raden Juwiring mengetahui bahwa ia me miliki ke ma mpuan untuk berbuat sesuatu. "Tetapi apakah sekedar didorong oleh hasrat untuk berjuang semata-mata?" tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam hatinya. Meskipun tidak ada orang lain yang mengerti pertanyaan yang melonja k di dala m hati itu, na mun wajah Arum menjadi ke merah-merahan. Ia tidak dapat ingkar, bahwa sebenarnya bukan saja karena ia ingin menyumbangkan tenaganya bagi tanah tercinta, tetapi juga didorong oleh perasaan yang kadang-kadang dise mbunyikannya sendiri. Na mun de mikian, se makin la ma menjadi semakin nyata bagi dirinya sendiri, bahwa ia merasa lebih tenang berada di dekat Buntal Tetapi sebagai seorang gadis ia terpaksa menahan diri. Ia masih harus menjaga agar ia t idak kehilangan kepribadiannya sebagai seorang gadis meskipun ia me miliki ke lainan di dala m olah kanuragan. Karena itulah, maka Arum masih tetap berada di padukuhannya. Seperti biasa ketika matahari terbit, Arum sibuk me mbersihkan rumahnya, sementara beberapa orang pembantu rumahnya sibuk me mbersihkan hala man dan yang lain be kerja di dapur. Jika kemudian matahari semakin tinggi, Arum pergi bersama beberapa orang kawan-kawannya berbelanja di ujung padukuhannya, untuk menyiapkan ma kan yang akan mereka bawa ke sawah menjelang siang hari. Tetapi ketika itu, gadis-gadis padukuhan Jati Sari me njadi ketakutan. Mereka yang sudah berada di depan gardu tidak berani meneruskan langkahnya menuju ke ujung padukuhan untuk berbelanja. "Ada apa?" bertanya Arum yang kemudian juga datang sambil me mbawa bakul kecil.
"Pasukan berkuda" desis seorang gadis "Aku me lihatnya sepasukan berkuda di bulak di luar padukuhan ini " Dada Arum menjadi berdebar-debar. "Apakah pasukan yang pernah datang kemari untuk mengurus merjan itu?" bertanya Arum "Bukankah ka lian mengenal kakang Juwiring" Apakah pasukan itu dipimpin oleh kakang Juwiring juga" "Ka mi tidak dapat me lihat dengan jelas" sahut gadis yang lain, yang juga melihat pasukan berkuda itu di luar padukuhan. Arum termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian katanya "Tentu mereka tidak akan mengganggu kita. Mereka hanya meronda" Tetapi kawan-kawannya masih tetap termangu-ma ngu. "Aku akan menengoknya" berkata Arum "Jika agaknya mereka t idak berbahaya, aku akan pergi berbe lanja juga. Siapa ikut?" "Tetapi apakah mereka tida k akan menangkap kita?" "Kita lihat dari balik regol. Tentu kita akan dapat menduga, apakah mereka a kan berbuat jahat atau tidak. Tetapi seharusnya mereka justru melindungi kita dari ketakutan di masa yang kalut ini" Gadis-gadis itupun saling me mandang yang satu dengan yang lain. Ke mudian salah seorang berkata "Ba iklah. Marilah kita lihat. Mungkin mereka hanya akan lewat. Persoalan merjan itu agaknya sudah tidak akan mereka ulangi lagi" Demikianlah gadis-gadis itupun ke mudian pergi beriringan ke mulut lorong. Ketika mereka sampai ke regol, maka merekapun ke mudian mencoba untuk melihat apa yang dilakukan oleh seke lompok pasukan berkuda yang berhenti di bulak di dekat padukuhan Jati Sari.
Tetapi mereka tidak melihat apakah yang sedang mereka lakukan selain berdiri berkelompok. Na mpaknya mereka sedang beristirahat. Mereka mengikat kuda-kuda mereka pada pohon-pohon perdu di pinggir ja lan. "Mereka tida k berbuat apa-apa" desis Arum. "Ya. Mereka hanya berdiri saja dala m ke lompok-kelompok kecil bertebaran" Gadis-gadis itu berdesakan di sisi regol sambil berlindung. Na mun mereka ingin me lihat apa yang dilakukan oleh prajuritprajurit itu. Namun sejenak kemudian barulah gadis-gadis itu tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Ke lompok-kelompok prajurit itu ternyata terbagi dalam tiga arah di simpang tiga. "He, kau lihat beberapa orang itu?" "Kumpeni" "Ya" sahut yang lain. Yang baru dapat melihat kumpeni itu setelah para prajurit berpencar. "Beberapa orang" desis yang la in pula. Arum menarik nafas dalam-dala m. Ternyata di antara prajurit itu terdapat beberapa orang kumpeni. Kedatangan mereka di Jati Sari tentu bukannya tanpa maksud. Namun yang me mbuat Arum agak tenang, bahwa di antara mereka tidak terdapat Raden Juwiring. Tetapi tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri di dala m hatinya "Siapa tahu
bahwa kakang Juwiring justru menugaskan orang lain untuk menangkap aku, karena ia sendiri tidak ma u melakukannya karena perasaan segan terhadap ayah" Sementara itu gadis-gadis yang sedang mengintip dari balik dinding regol itu melihat, bahwa prajurit-prajurit itu mulai menghentikan orang-orang yang berjalan di bulak itu. Orangorang yang sudah terlanjur berada di ja lan itu. "Mereka merampas segala jenis senjata" desis seorang gadis. "Ya. Keris, pedang dan bahkan parang pembelah kayu yang dibawa oleh para petani ke sawah" Arum menjadi se makin berdebar-debar. Iapun me lihat, prajurit-prajurit itu mera mpas senjata yang dibawa oleh orang-orang yang lewat dan akan pergi ke sawah. Beberapa orang yang senjatanya, terutama keris, perlakuan yang kasar. berkeras mempertahankan agaknya harus mengala mi
"Keris itu tentu bernilai tinggi. Jika bukan karena tuahnya, tentu pondoknya dari e mas" berkata seorang gadis pula. "Mungkin. Tetapi juga karena kumpeni dan prajurit-prajurit itu menjadi ketakutan bahwa senjata-senjata itu dapat dipergunakan untuk melawan mereka. Sekarang setiap orang dicuriga i, bahwa mereka berada di pihak Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Said" sahut Arum. Kawan-kawannya berpaling kepadanya. Namun merekapun ke mudian mengangguk. Demikianlah untuk beberapa saat gadis-gadis itu me lihat apa yang terjadi. Satu dua orang yang lewat tidak akan dapat lolos lagi. Meskipun mereka me mberikan alasan apapun juga. "Aku me merlukan senjata untuk melindungi diri di perjalanan" seseorang mencoba me mpertahankan senjatanya.
Tetapi ia tidak ma mpu menge lak ketika para prajurit itu me ma ksanya. Apalagi ketiga orang kumpeni itu agaknya tidak dapat diajak berbicara lagi. Bahkan kadang-kadang merekalah yang nampaknya me mimpin para prajurit Sura karta. Hati Arum menjadi panas. Tetapi ia t idak dapat berbuat apa-apa. Seperti kawan-kawannya iapun masih tetap berlindung di mulut regol. "Apakah kita akan pergi berbelanja?" t iba-tiba seseorang berdesis. "Kita pergi ke ujung lewat lorong-lorong di dala m padukuhan dan melintas hala man" sahut yang la in. Gadis-gadis itupun berpikir sejenak. Dan ke mudian menjawab "Marilah. Tetapi hati-hati" Arumpun
Sejenak mereka masih me lihat kumpeni-kumpeni itu hilir mudik di ja lan di hadapan padukuhan itu. Kemudian dengan hati-hati mereka beringsut dan meningga lkan te mpat itu. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan lewat lorong-lorong sempit dan kadang-kadang melintasi hala man-hala man rumah. "He, kenapa kalian berjalan beriringan lewat lorong-lorong sempit?" bertanya seseorang. "Ka mi akan pergi berbe lanja" "Kenapa lewat lorong ini, dan tidak me lalui jalan di pinggir padesan?" "Ada prajurit-prajurit berkuda dan kumpeni" "O" yang bertanya itupun termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian setelah gadis! itu meneruskan perjalanannya, orang itu me mbisikkannya ke telinga tetangganya. Demikianlah berita itu segera tersebar. Juga orang-orang yang urung pergi ke sawah setelah dari mulut padukuhan
mereka melihat prajurit-prajurit itu. Hanya mereka yang sudah terlanjur sajalah yang tidak dapat kembali lagi untuk menghindari kecurigaan. Namun yang terjadi itu telah sangat menggelisahkan. Bukan saja penghuni padukuhan Jati Sari, tetapi orang-orang yang lewat me mbawa berita itu sa mpai ke te mpat yang jauh. Mereka yang kehilangan keris dan senjata-senjata merekapun dengan sangat bernafsu menceriterakan. bagaimana prajuritprajurit Surakarta dan kumpeni telah mera mpas senjatanya. Ternyata yang terjadi tidak hanya di daerah Jati Aking. Tetapi pada saat yang hampir bersa maan, di sekitar kita Surakarta telah dilakukan hal yang serupa. Terutama di daerah yang diduga sering dilalui oleh orang-orang yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Sa id. Sikap prajurit-prajurit Surakarta itu ternyata benar-benar telah menggera kkan hati setiap orang yang masih me miliki harga diri. Apalagi di antara para prajurit itu terdapat beberapa orang asing, yang bahkan seakan-akan berkuasa atas prajurit-prajurit Surakarta sendiri. Ketika Arum ke mbali dari ujung padukuhannya, maka ceriteranya tentang prajurit-prajurit itu mengalir seperti banjir. Bahkan ke mudian sa mbil berdiri dan menghentakkan tangannya ia berkata "Ayah. Apakah kita masih harus berdia m diri?" "Tida k Arum" sahut ayahnya "Kita tidak boleh berdia m diri. Tetapi kita harus mulai pada saat yang tepat" "Ayah. Daerah ini tentu sudah mendapat perhatian lebih dari daerah-daerah yang lain. Ternyata mereka melakukan hal itu tepat di hadapan padukuhan ini. Tentu mereka dengan sengaja melakukannya untuk menekan perasaan dan barangkali keberanian untuk berpihak kepada Pangeran Mangkubumi"
"Aku mengerti Arum. Tetapi apakah yang dapat kita lakukan. Kita me mang sedang menunggu Buntal" Arum termangu-mangu sejenak, Jalu "Tetapi ayah, jika prajurit Surakarta itu tetap mengadakan pengawasan terus menerus atas daerah ini, apakah kakang Buntal akan dapat me masuki padepokan ini dengan a man?" "Ah, kau aneh Arum. Jalan me masuki padukuhan ini bukan hanya satu. Buntal tentu akan dapat me milih jalan. Jalan dari arah lain dapat juga sa mpai ke padepokan ini" Arum tida k menyahut. Tetapi ia masih diliputi oleh kecemasan. Jika Buntal t idak menyadari siapa yang ada di sepanjang jalan itu, ma ka ia akan dapat terjebak. Apalagi jika di antara para prajurit itu ada yang mengenalnya, baik di padepokan ini pada masa hidupnya Raden Rudira, atau selama Buntal berada di Ranakusuman bersa ma dengan Juwiring dan dirinya sendiri. Kegelisahan itu me muncak ketika Arum mengetahui bahwa para prajurit itu masih tetap berada di bula k sa mpai lewat tengah hari. Bukan saja Arum mengurungkan niatnya untuk pergi ke sawah. tetapi juga digelisahkan oleh ke mungkinan yang buruk apabila Buntal datang. "Ayah" berkata Arum ke mudian "Kita setiap saat mengharap kedatangan kakang Buntal. Sehingga mungkin sekali kakang Buntal datang pada saat yang demikian" Ayahnya menarik nafas dalam-da la m. Sebenarnya iapun telah tersentuh oleh kekhawatiran yang sama. Tetapi ia masih mencoba me nyembunyikannya. Maka katanya "Buntal me mpunyai ketajaman pandangan seorang prajurit. Dengan demikian ia akan dapat melihat apa yang akan terjadi jika ia mende kati prajurit-prajurit yang ada di tengah bulak itu. Jangan kau cemaskan. Tetapi jika prajurit-prajurit itu berada di bula k itu sa mpai petang hari, maka barulah kita mulai mence maskannya"
Arum mengangguk-angguk meskipun ia kurang yakin. Jika Buntal terlanjur me masuki jalur jalan di bulak itu. dan ke mudian karena ia tidak mau terjebak, dan mencoba menghindar, ma ka sekelompok dari prajurit itu akan mengejarnya. Tetapi Arum mencoba menenteramkan hatinya. Ia mencoba untuk me mpercayai ayahnya, karena ayahnya me miliki pengala man dan pengetahuan yang jauh lebih banyak daripadanya. "Jika ayah masih belum mence maskannya, akupun t idak perlu ce mas" Arum mencoba me nenangkan hatinya sendiri. Karena itu, Arum ingin me lupakannya dengan kesibukan di dapur. Seperti biasanya jika ia tidak pergi ke sawah, maka iapun ikut me masak di dapur. Bahkan ia lah yang menyiapkan makan bagi ayahnya, sedang para pembantunya tinggal menyiapkan makan buat para pekerja dan penghuni padepokan itu yang lain. Namun selagi Ara m sibuk me motong kangkung, tiba-tiba saja ia terkejut. Ia mendengar derap kaki kuda me masuki halaman rumahnya, sehingga karena itu. maka iapun segera me loncat berlari ke ruang dala m. "Ayah" desisnya "Siapakah yang datang?" Ayahnya termangu-mangu sejenak. Kuda itu telah berhenti di hala man. "Aku akan menengoknya" desis berganti pakaian" ayahnya "Aku akan
"Tunggu, kita lihat siapakah yang datang. Jika tidak perlu, kau tidak usah mengena kan paka ian la ki-laki itu" Dengan hati yang berdebar-debar Kiai Danatirtapun me langkah ke pintu. Namun belum lagi ia me mbuka pintu depan, seorang pembantunya me masuki ruangan itu dari
pintu butulan sa mbil berkata "Kia i, Buntal dan seorang kawannya telah berada di hala man" "Buntal" ulang Kia i Danatirta. Dan Arumpun terlonjak sambil berdesis "Kakang Buntal" Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa keluar ke pendapa. Seperti yang dikatakan oleh pe mbantunya, yang datang adalah Buntal dan seorang kawannya. "Buntal" suara Kiai Danatirta bergetar "Marilah. Naiklah" Buntal dan kawannya itupun ke mudian naik ke pendapa. Dengan dada yang berdebar-debar Arum ikut mene mui kedua ta munya. Namun hatinya menjadi tenang ketika ia me lihat wajah Buntal yang tetap cerah. sekali tidak na mpa k kegelisahan dan kecemasan me mbayang ditatapan matanya. pula agak Sama yang
"Apakah kau mela mpaui prajurit-prajurit yang berada di bulak itu Buntal?" bertanya Kiai Danatirta pertama-ta ma. "Ah. tentu tidak ayah. Aku lewat arah lain. Mereka tidak me lihat ka mi" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. De mikian juga Arum. Dan karena itu ma ka Kiai Danatirta bertanya pula "Jadi, kau menga mbil jalan yang mana?" "Aku me motong jalan kecil yang langsung masuk ke padepokan ini ayah, sehingga ka mi telah dilindungi oleh padukuhan Jati Sari dari penglihatan prajurit-prajurit itu" "Apakah kau sudah mengetahui bahwa di bulak itu ada prajurit-prajurit Surakarta, bahkan beberapa orang kumpeni?" "Justru aku mendapat perintah untuk mengawasi mereka dari padukuhan ini. Kia i Sarpasrana mengetahui bahwa aku berasal dari Jati Aking. Maka a kulah orangnya yang paling tepat untuk mengawasi mere ka"
"Jadi Kiai Sarpasrana sudah mengetahuinya?" "Ka mi mendapat laporan tentang kegiatan prajurit-prajurit Surakarta itu. Dan ka mipun segera berpencar" "Berpencar" Maksudmu?" "Prajurit Surakarta yang berada di bawah pengaruh kumpeni hari ini me lakukan kegiatan serentak. Tidak hanya di hadapan padukuhan Jati Sari. Tetapi di beberapa tempat, mereka mera mpas senjata orang-orang yang lewat, siapapun mereka" Kiai Danatirta mengangguk. Kini ia mendapat gambaran bahwa sebenarnya peperangan memang sudah dimulai. di beberapa tempat kumpeni sudah me mancing persoalan. "Apakah mereka merasa terlampau kuat untuk berbuat demikian Buntal?" bertanya Kiai Danatirta. "Mungkin ayah. Tetapi yang penting, mereka menjajagi kekuatan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said" "Darimana kau tahu?" Buntal tersenyum. Jawabnya kemudian "Aku me ndapat perintah dan pe mberitahuan dari atasanku ayah" Kiai Danatirta mengangkat keningnya, lalu "Apakah kau mendapat perintah untuk melakukan sesuatu?" "Ya ayah. Kita me mang sudah mulai. Kita harus menunjukkan bahwa kita meniiliki ke ma mpuan untuk melawan mereka" Kiat Danatirta me mandang wajah Buntal sejenak. Tetapi wajah itu nampaknya justru me mbayangkan kecerahan seperti anak-anak yang akan berma in goba k dimakm terang bulan. "Jadi apa yang akan kau lakukan Buntal?"
"Kita akan menyerang mereka ayah. Tetapi kita harus dapat me mbuat kejutan bagi prajurit Sura karta dan kumpeni itu" "Maksudmu?" "Kita harus menghancurkan mereka ayah" "O" wajah Kiai Danatirta menjadi tegang "Jadi kau mendapat perintah untuk me mbinasakan prajurit-prajurit Surakarta itu?" "Tida k ayah. Perintah itu tidak berbunyi de mikian. Agaknya Pangeran Mangkubumi tidak sa mpai hati untuk me mulai dengan pe mbantaian terhadap saudara-saudara sendiri" "Jadi apa yang harus kau la kukan?" "Ka mi harus dapat me mecah kesatuan itu. Mencerai beraikan mereka untuk me mberikan kesan bahwa ka mi cukup kuat untuk melawan orang asing dan pengaruhnya di Surakarta. Tetapi perintah itu disertai pesan, jangan menimbulkan ke matian sejauh dapat dihindari" Dengan tiba-tiba saja Arum me motong "Perintah yang sangat sulit. Kau tidak boleh me mbunuh, tetapi bagaimana jika mere ka me mbunuhmu?" "Ka mi mengerahkan pasukan dala m jumlah yang besar. Kami harus dapat menguasai mereka sebaik-baiknya. Me mecah mereka dan mencerai-beraikan. Sesudah itu, kita tinggalkan mereka dengan kesan bahwa kekuatan kami tidak akan dapat terlawan" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia bertanya Arum sudah mendahului "Apakah ka kang juga akan berbuat demikian terhadap pasukan yang ada di depan regol itu?" "Ya Arum" "Kakang hanya berdua"
"Ada sepasukan laskar yang sudah siap. Aku hanya akan mengawasi mereka. Aku dapat melihat gerak-gerik mereka yang ada di bula k itu dari padukuhan ini. Pada saatnya aku akan me mberikan isyarat" "Kakang akan menyergap mereka di bulak itu?" bertanya Arum "Tentu kakang akan meninggalkan kesulitan bagi padukuhan ini. Mereka tentu akan melepaskan dendam mereka terhadap padukuhan di sekitarnya. Apalagi apabila jatuh korban di antara mereka. Tetapi Buntal tertawa sambil menjawab "Tidak Arum. Kita sudah me mperhitungkan segala-galanya. Kita menunggu mereka ke mbali ke Surakarta. Aku akan me mberikan isyarat. Dan ka mi akan menyergap mereka di pinggir hutan perburuan itu" "O" tiba-tiba wajah Arum menjadi cerah, katanya "Aku ikut bersama mu kakang" Tetapi wajah itu segera menjadi tegang ketika ia me lihat Buntal menggelengkan kepalanya "Tentu tidak mungkin Arum. Aku akan berada di dala m sebuah pasukan. Pasukan yang sudah me miliki bentuknya. Kehadiranmu akan dapat menimbulkan persoalan. Apalagi sebagian terbesar dari mereka belum mengenalmu. di dala m perte mpuran yang riuh, maka akan dapat timbul salah paha m" "Aku akan me ma kai ciri seperti orang-orang di dala m pasukanmu" "Itupun tidak akan banyak menolong. Lawan yang dihadapi adalah Kumpeni prajurit Surakarta yang terlatih baik. Sehingga pertempuran yang akan terjadi adalah pertempuran yang seru" Arum menjadi kecewa sekali. Tetapi ia tidak lagi me ma ksanya ketika ayahnyapun kemudian berkata "Kehadiranmu hanya akan mena mbah beban ka kakmu Buntal. Bukan karena kau tida k ma mpu menjaga dirimu, tetapi
kehadiranmu akan menimbulkan perhatian khusus bagi kawan-kawannya, agar mereka tidak keliru di dala m perang brubuh yang mungkin terjadi" Arum t idak menyahut. Na mun di wajahnya yang ke mudian tertunduk, nampaklah ia menjadi sangat kecewa. Dala m pada itu, maka Kiai Danatirtapun ke mudian bertanya pula kepada Buntal "Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang" Apakah kau akan pergi ke bulak itu?" "Ya ayah. Aku akan melihat mereka. Jika kekuatan mereka jauh me la mpaui kekuatan ka mi, ma ka akupun harus me mberikan isyarat sebelumnya, agar segala sesuatunya dapat disiapkan" "Baiklah. Ka mi akan me mbantu apa yang dapat kami lakukan" "Aku hanya akan menitipkan kuda-kuda ka mi ayah. Dan kami akan pergi ke regol untuk me lihat prajurit-prajurit di bulak itu" "Arum" berkata Kiai Danatirta "barangkali sekarang kau dapat ikut kakakmu. Agaknya dengan demikian akan mengurangi perhatian banyak orang terhadap Buntal yang sudah la ma tidak kelihatan di padepokan ini" Arum me mberengutkan wajahnya Katanya "Aku hanya boleh ikut sampai ke regol. Tetapi aku tida k boleh ikut kebutan perburuan itu"
"Lain ka li a kan datang saatnya Arum" Arum t idak menjawab. Tetapi iapun ke mudian berdiri. "He, kau akan ke mana Arum" bertanya ayahnya "Berganti pa kaian ayah" "Tida k usah. Kau dengan paka ianmu itu. Pergilah, kawani kakakmu Buntal. Jika kau berganti pakaian, justru kaulah yang akan menarik perhatian. Kau tidak akan berbuat apa-apa selain mengintip prajurit-prajurit di bula k itu" Arum menarik nafas dala m-dala m. Tetapi iapun ke mudian duduk lagi di sebelah ayahnya Sejenak ke mudian Buntalpun minta diri untuk pergi ke regol padukuhan melihat apa yang akan dilakukan oleh prajuritprajurit Surakarta dan beberapa orang kumpeni itu, bersama seorang kawannya dan Arum. Di regol, ketika Arum belum ada di sebelahnya, kawan Buntal berbisik di telinganya "Siapakah gadis itu" Kenapa ia ingin ikut ke medan jika terjadi perang?" Buntal tersenyum. Jawabnya "Adikku. Ia me mang anak nakal sekali. Peperangan dianggapnya seperti sebuah permainan saja. Dikiranya di peperangan ada sesuatu yang menarik hati" "Ah, kau bohong. Tentu ada sesuatu yang me mbuatnya percaya kepada diri sendiri, bahwa ia akan dapat menjaga diri" Buntal masih saja tersenyum. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena Arum sudah ada di antara mereka sa mbil berkata "Marilah. Tetapi apakah mere ka masih ada di sana?" Ketiganyapun kemudan meningga lkan hala man padepokan Jati Aking menyusur jalan padukuhan Jati Sari. Beberapa orang sempat berpaling me mandang kepada ketiga anak-anak
muda itu. Tetapi mereka tidak banyak menaruh perhatian, karena mereka sudah mengenal dua di antara mereka. Namun de mikian, timbul pula di hati mere ka pertanyaan "Ke mana saja anak-anak itu" Bukankah di bula k ada beberapa orang prajurit dan bahkan kumpeni yang sedang merampas senjata orang-orang yang lewat?" Tetapi mereka tidak menanyakannya kepada anak-anak muda itu. Sejenak ke mudian Arum bersa ma Buntal dan kawannya telah sampai ke regol padukuhan. Dari balik dinding batu mereka me mperhatikan setiap ke mungkinan. Ketika mereka yakin bahwa te mpat itu tidak akan mendapat banyak perhatian, maka merekapun ke mudian mencari te mpat yang baik untuk me lihat tingkah laku para prajurit itu dari balik dinding batu dan rimbunnya dedaunan. "Tetapi seperti yang disebut dala m laporan itu" desis Buntal. "Apa?" bertanya Arum. Buntal berpaling. Ke mudian dipandanginya kawannya yang termangu-mangu. "Apa yang kau katakan?" desak Arum. "Prajurit-prajurit itu. Yang dilakukan tepat seperti yang dilaporkan" "Siapa yang me laporkan?" bertanya Arum pula. "Seorang kawan" jawab Buntal. "Ya, tetapi siapa" "Petugas sandi Pangeran Mangkubumi" "Siapakah petugas sandi itu?"
"Ah" Buntal berdesah "Kau belum mengenalnya, dan kau tentu tidak akan me ngerti" "Tetapi aku ingin tahu. Barangkali aku pernah mengenalnya sebelum ia berada di pasukanmu" Buntal menarik nafas dala m-dala m. Dan karena Buntal tidak segera menjawab, Arum mendesak "Aku sudah tahu, bahwa pasukan sandi t idak boleh disebut kan na manya dan kedudukannya kepada setiap orang. Tetapi kepadaku boleh. Bukankah aku bukan kaki tangan kumpeni" Buntal mengangkat keningnya. Lalu "Na manya Raksa" "Bohong. Aku tahu kau berbohong karena kau tahu, bahwa kebohonganmu tida k ada artinya bagiku. Siapapun yang kau sebut tidak akan ada bedanya" Kawan Buntal tertawa. Baru saja ia bergaul dengan Arum, tetapi sifat gadis itu sangat menarik. Dan dengan sikap itu, ia semakin yakin, bahwa Arum bukan sekedar gadis padesan yang hanya pandai masak dan me mbawa makanan ke sawah. Tetapi ia t idak bertanya lebih banyak lagi. Buntal hanya dapat mengangkat keningnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Dari te mpat mereka, ketiga ana k muda itu dapat melihat apa yang dilakukan oleh prajurit-prajurit itu. Karena sudah tidak banyak orang yang lewat, maka prajurit-prajurit itupun hampir tida k berbuat apa-apa selain berkeliaran. Ternyata orang yang lewat ke arah yang berbeda-beda telah me mberitahukan ke segenap penjuru, bahwa jalan itu telah ditunggui oleh prajurit-prajurit yang mera mpas senjata apa saja. Bahkan keris dan pendok yang berharga. Ternyata mereka tidak sedang mencari senjata untuk menga mankan kedudukan mereka saja, tetapi juga emas dan berlian yang me lekat pada ukiran dan pendok keris. "Mereka tentu akan segera pergi" desis Arum tiba-tiba.
"Ya. Mereka sudah tidak berbuat apa-apa lagi. Tetapi mungkin mereka masih menganggap perlu berada di te mpat itu sa mpai sore " sahut Buntal. "Sebentar lagi senja akan turun" berkata kawan Buntal. Tetapi ketika mereka menengadahkan wajah ke langit, dilihatnya matahari masih cukup tinggi. Na mun Buntal berkata "Kita mengharap mereka akan berada di tempat itu sampai menje lang gelap. Kita akan menunggu dan me mecah pasukan mereka. Se makin gelap se makin baik. Tetapi apabila mereka ke mbali di sore haripun, apaboleh buat" Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut. Untuk beberapa la manya ketiga anak muda itu masih mengawasi prajurit-prajurit di simpang tiga itu, karena mereka tidak mau kehilangan kese mpatan untuk me ncegat mereka. Namun ternyata bahwa prajurit-prajurit itu tidak segera pergi. Mereka me mbawa be kal ma kan mere ka untuk sehari. Menjelang sore, prajurit-prajurit itu mula i me mbenahi pasukan mereka. Mereka mula i berkumpul meskipun masih belum meninggalkan te mpat itu. Beberapa orang pe mimpin mereka sedang me mbicarakan beberapa masalah yang barangkali penting. Namun t idak la ma ke mudian, merekapun segera menyusun diri dala m barisan. "Lihat" berkata Buntal "susunan barisan itu sama sekali tidak seperti susunan gelar yang kita kenal bagi pasukan di medan. Susunan itu adalah susunan prajurit orang-orang asing itu" "Me mang ada perbedaan" sahut kawannya. "Nah, sebentar lagi mereka akan pergi. Marilah kita mendahului" "Bagaimana dengan jumlah itu?"
"Tida k terla mpau menyelesaikan"
banyak. Kita akan segera dapat Arum yang mendengar pe mbicaraan. itupun segera bertanya "Apakah kalian akan pergi ke hutan perburuan di tepi jalan ke Surakarta atau ke Sukawati" "Ah" sahut Buntal "Tentu jalan ke Surakarta. Prajuritprajurit itu adalah prajurit Surakarta yang akan ke mbali ke Surakarta, tidak ke Sukawati" Arum tida k menyahut. Tetapi na mpak keningnya berkerut merut. "Marilah" berkata kawan Buntal "Kita mendahului mereka. Kita harus me mpersiapkan diri" Buntal mengangguk, jawabnya "Marilah" "Tetapi kalian harus makan dahulu. Tentu para pelayan sudah masak untuk kalian" Buntal dan kawannya saling berpandangan sejenak. Tetapi Buntal me mberi isyarat sambil berkata "Baiklah. Kita akan makan dahulu" Demikianlah ma ka ketiganyapun dengan tergesa-gesa ke mbali ke padepokan. Jati Aking. Seperti saat mereka pergi, maka di saat mereka ke mbali, tidak seorangpun yang me mperhatikan mereka dengan sungguh-sungguh. Bahkan satu dua orang berguma m "Anak-anak muda itu agaknya me mang kurang kerja. Apakah untungnya mengintip prajuritprajurit yang sedang marah itu. Jika mere ka mengetahui, maka akibatnya tentu akan disesalinya" Dala m pada itu ketiga anak muda itu langsung na ik ke pendapa. Ketika Kiai Danatirta me mpersilahkan mereka duduk Buntal berkata "Kita akan segera mendahului prajurit-prajurit itu ayah. Kita harus me mpersiapkan diri me njelang mereka lewat"
Kiai Danatirta mengangguk kecil. Tetapi Arum berkata "Kalian harus makan dahulu. Kita sudah terlanjur menangkap empat ekor gura meh sebesar kau" Buntal me mandang Arum sejenak. Lalu sambil tersenyum ia berkata "Terima kasih Arum. Tentu kau tahu, bahwa aku tidak boleh terla mbat" "Tetapi kau sudah berjanji" "Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu" Buntal justru bertanya "Apakah sebaiknya aku makan dahulu atau tidak?" Sebenarnyalah Arum mengetahui bahwa mereka tergesagesa dan taruhannya adalah nyawa beberapa orang. Karena itu, ia tidak akan dapat menahan. Tetapi pertanyaan Buntal itu sangat menjengke lkan, sehingga iapun menjawab "Terserahlah kepada kakang. Mana yang baik, mana yang tidak" Buntal tertawa. Dan kawannyapun tertawa pula. Sifat Arum semakin menarik perhatiannya. "Baiklah Arum" berkata Buntal "A ku me mang tergesa-gesa. Tetapi jika kau tidak berkeberatan, aku ingin me mbawa e mpat ekor gura meh itu. Kawan-kawanku tentu akan senang seka li mendapatkannya" Arum masih me mberengut. Tetapi iapun ke mudian pergi ke dapur, dan dengan tergesa-gesa me mbungkus e mpat ekor ikan gura meh itu. Sejenak ke mudian ma ka kuda kedua anak muda itu sudah berpacu. Mereka mengambil jalan seperti pada saat mereka datang. Mereka harus mendahului prajurit-prajurit itu sa mpai ke hutan perburuan. Dala m pada itu, para prajurit yang berada di bulak panjang di hadapan padukuhan Jati Sari itupun telah bergerak pula. Tetapi na mpaknya mereka tidak terlalu tergesa-gesa, sehingga
ke mudian barisan berkuda yang menyusuri jalan di tengah sawah itupun tidak berlari terla mpau cepat. Karena itulah maka Buntal telah sa mpai lebih dahulu di hutan perburuan. Dengan singkat ia melaporkan apa yang dilihatnya selama ia berada di Jati Sari. "Jadi mereka sudah bergerak?" bertanya seorang yang telah berjanggut putih meskipun masih nampa k tegap dan tangkas. Ialah yang saat itu mendapat tijgas untuk me mimpin sekelompok pasukan Pangeran Mangkubumi yang bertugas merusak barisan prajurit dari Surakarta meskipun perintah itu masih diberi sedikit keterangan, jangan menimbulkan ke matian pada prajurit Surakarta jika tida k perlu seka li, kecua li orang-orang asing itu. "Ya pa man" jawab Buntal "sebentar lagi mereka akan sampai di ujung hutan ini" Orang berjanggut putih itu menengadahkan wajahnya. Tetapi langit masih cukup terang meskipun bayangan yang me merah sudah mewarnai langit. "Apakah mereka akan datang sebelum gelap?" "Ya" sahut Buntal. "Kita akan menahan mereka di sini. Gelap atau belum. Kita akan bertempur seperti yang dipesankan oleh Kiai Sarpasrana. Karena Pangeran Mangkubumi tida k menghendaki korban yang terlampau banyak" "Perintah yang sulit sekali" jawab Buntal. "Ya. Kita akan mencobanya. Kita akan menyerang dan bertempur dengan cara yang lain. Kita tidak akan menghadapi mereka dala m satu gelar. Tetapi kita akan bertempur seperti burung sikatan. Menyerang, kemudian menghindar se mentara orang lain telah menyerang pula"
Buntal mengangguk le mah. Agaknya me mang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Meskipun de mikian mereka harus mencoba. Mereka akan me mpergunakan kecepatan bergerak untuk me mbuat lawan menjadi bingung dan kehilangan keseimbangan. Harapan terakhir, bahwa lawan akan terpancing dan terpecah-pecah dalam bagian-bagian yang kecil. Baru ke mudian pasukan itu harus menyusun langsung ke dala m pasukan yang pecah itu dan mencerai beraikan mereka. Tetapi pe mimpin yang berjanggut putih itu me mperingatkan pasukannya "Ingat. Yang kalian hadapi bukan anak-anak yang sedang mengejar bajing. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang matang, yang telah menda la mi ilmu keprajuritan, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dan gelar. Gelar yang kita pergunakan selama ini, dan gelar yang baru mereka sadap dari orangorang berkulit putih itu" Setiap orang di dalam pasukan yang siap menunggu prajurit dari Surakarta itu termangu-mangu. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dada mereka. Agaknya kini mereka benarbenar telah berada dipersimpangan ja lan dengan saudarasaudaranya yang masih tetap berada di dalam pasukan Surakarta. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang kumpeni. Dada Buntalpun menjadi berdebar-debar. Ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan, bahwa ia memiliki bekal yang cukup bagi perjuangan seperti yang sedang dilakukannya itu. Sejenak ke mudian pasukan yang bersembunyi di hutan yang tidak terlampau lebat itu sudah siap. Dua orang berada di balik pepohonan di ujung hutan. Mereka harus me mberikan isyarat apabila pasukan lawan mende kati hutan itu. Sejenak kedua pengawas itu menunggu. Dengan waspada mereka menatap jalan yang panjang di hadapan mereka.
Namun ternyata yang terpandang oleh kedua orang itu bukannya jalan yang menjelujur itu saja, yang me mbelah tanah persawahan. Tetapi keduanyapun melihat batangbatang padi yang sedang tumbuh dengan suburnya di sebelah menyebelah jalan di luar hutan perburuan itu, di seberang padang rumput yang se mpit. Jika pertempuran berkobar dengan sengitnya, dan berlangsung seperti yang direncanakan, maka padang rumput yang sempit itu tentu tidak akan dapat mena mpung pertempuran itu seluruhnya. Jika demikian, maka batangbatang padi yang subur itu akan segera menjadi berserakan diinja k oleh kaki-ka ki kuda. Bahkan titik-titik darah akan menoda i hijaunya daun padi yang terhampar sa mpai ke ujung cakrawala itu. Pengawas itu menarik nafas dala m-dala m. Ketika angin di sore hari berhe mbus, daun padi itu mengombak seperti wajah lautan yang hijau ke merahmerahan oleh bayangan cahaya senja yang segera akan turun. "Apaboleh buat" desis mereka di dalam hati "batang-batang padi itu terpaksa dikorbankan" Tetapi keduanya terkejut ketika mereka melihat debu mengepul. Ke mudian dilihatnya sepasukan prajurit berkuda muncul di hadapan mereka. Sebuah tunggul kerajaan dari panji-panji berwarna kuning dan dibatasi oleh tepi yang berwarna hitam mela mbai dit iup angin. Panji-panji dari kesatuan pasukan berkuda yang menggetarkan itu. "Mereka telah datang" desis sa lah seorang pengawas itu. "Ya. Berikan isyarat" Sejenak kemudian terdengar suitan burung srigunting me mecah sepinya hutan. Beberapa kait seperti yang disetujui bersama, bahwa itu merupa kan isyarat bahwa musuh telah datang.
Isyarat itupun segera didengar oleh pe mimpin pasukan yang berjanggut putih itu. Iapun segera mengatur pasukannya. Beberapa dari mereka harus menyongsong pasukan lawan itu di padang rumput yang sempit di sebelah menyebelah jalan. Sedang yang lain kemudian harus menusuk ke tengah-tengah pasukan yang akan terpancing oleh serangan-serangan yang datang dan pergi. Buntal yang masih muda itu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia me miliki ilmu yang cukup ba ik, na mun ia masih belum me miliki pengala man yang luas. Namun ia bertekad bahwa ia harus dapat me mbuktikan, bahwa ia adalah murid dari Jati Aking. Sejenak pasukan itu menunggu di antara pepohonan hutan. Sebagian dari mereka berada di seberang jalan, juga bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi hutan di sebelah tidak sekias di sisi jalan yang lain. Karena itu, maka yang bersembunyi di seberangpun tidak begitu banyak seperti di sebelah lain. Dari kejauhan pasukan berkuda dari Surakarta itupun menjadi semakin dekat. Isyarat keduapun telah terdengar pula. Karena itulah maka bagian terdepan dari pasukan yang siap menunggu itupun mulai bergerak menepi. Tanpa disadarinya Buntal mengusap leher kudanya. Seolaholah ia mengharap bantuan daripadanya. Dalam pertempuran berkuda yang riuh, maka ketabahan hati kudanyapun akan me mpengaruhi pula. "Kau sudah sering bergulat di da la m latihan-latihan" berkata Buntal perlahan-lahan di telinga kudanya Lalu "Sekarang kau akan me nghadapi perte mpuran yang sebenarnya. Jangan nakal dan apalagi menjadi liar. Jika kau tidak me mbantuku, aku akan mendapatkan kesulitan"
Buntal mengangkat wajahnya ketika sekari lagi ia mendengar isyarat. Isyarat terakhir sebelum pasukan itu harus me loncat keluar dari persembunyian. Tetapi ternyata bahwa para prajurit Surakarta itupun me miliki ketajaman penga matan. Tiba-tiba saja orang yang berada di paling depan mengangkat tangannya. Sejenak ke mudian maka pasukan berkuda itupun berhenti. "Ada sesuatu yang tidak wajar" berkata orang yang berada di paling depan" Seorang kumpeni yang ada di dalam pasukan itupun ke mudian berada di sisi orang itu sambil bertanya "Apa yang kau lihat" Orang itu tidak menjawab. Namun ia menatap lurus ke ujung hutan itu. Ternyata bahwa tidak semua kuda dapat berse mbunyi dengan baik. Karena itu. maka goncangan ranting dan dedaunan di tepi hutan itu telah memancing ketajaman penglihatan prajurit-prajurit itu. Karena itulah, maka tiba-tiba pe mimpin prajurit berkuda itu berteriak "Bersiaplah. Kita menghadapi sesuatu di hutan itu. Mungkin bukan ha mbatan yang berat, tetapi mungkin mereka adalah pasukan pe mberontak yang kuat" Tiba-tiba saja prajurit-prajurit berkuda itu telah menggengga m senjata di tangan. Merekapun mula i bergeser mene mpatkan diri untuk menghadapi segala ke mungkinan. Dala m pada itu, sekelompok pasukan yang ada di hutan yang tidak begitu lebat itupun menjadi termangu-mangu. Ternyata bahwa pasukan berkuda dari Sura karta itu tidak maju terus sehingga mereka tidak akan dapat menyergap mereka di padang rumput yang tidak begitu luas di pinggir hutan.
Sejenak pemimpin pasukan yang ada di dalam hutan itu termangu-mangu. Apalagi pemimpin pasukan itu sadar, bahwa di antara para prajurit Surakarta itu terdapat beberapa orang kumpeni yang me mbawa senjata api. Sepucuk berlaras panjang dan sepucuk berlaras pendek. Yang berlaras panjang itu biasanya diberi pisau pada ujungnya yang dengan demikian senjata itu akan dapat dipergunakan sebagai tombak apabila kumpeni itu tidak se mpat mengisi pe luru ke dala mnya setelah setiap kali dipergunakan di dala m perang brubuh. Tetapi selain senjata api, kumpeni itu juga me mbawa sebilah pedang di la mbung. "Jika kita menyerang mereka" berkata pe mimpin pasukan yang ada di dala m bulak itu. di dala m hatinya "ma ka setidaktidaknya beberapa orang akan menjadi sasaran peluru beberapa orang kumpeni itu. Dan jika ada seorang saja di antara kami yang jatuh, maka sulitlah untuk mengendalikan perasaan mereka dan me mbatasi agar tidak jatuh korban terlampau banyak" Namun dala m pada itu, orang-orangnya telah menjadi gelisah. Mereka tidak dapat menunggu la ma. karena sebagian dari mereka telah melihat prajurit Surakarta di luar hutan itu. "Apa yang kita tunggu" desis seorang pemimpin kelompok yang ada di sisi pe mimpin yang berjanggut putih itu. Orang berjanggut putih itu menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Kita tidak mau mengorbankan meskipun hanya satu orang sebelum perte mpuran yang sebenarnya mula i" Pemimpin kelompok itupun menyadari bahwa senjata kumpeni itu me ma ng dapat me mungut nyawa lawan sebelum mereka mende kat. Dan untuk melawan peluru, agaknya perisai tida k begitu banyak artinya. Buntal yang mendengar pembicaraan itu tiba-tiba menyela "Aku akan me mancing perhatian mere ka"
Pemimpin ke lompok itu me mandanginya dengan tajamnya. Lalu iapun bertanya "Apa yang akan kau lakukan?" "Aku akan menyerang mereka dari arah yang tidak mereka duga. Pada saat aku berpacu pada jarak yang agak jauh, maka mereka tentu akan mene mbak. Aku tidak yakin bahwa mereka dapat mengena i seseorang yang berkuda dengan kencangnya" "Mereka sudah terlatih baik" "Tetapi mereka akan dipengaruhi oleh suasana medan" Pemimpin berjanggut put ih itu termenung sejenak, lalu "Baiklah. Tetapi tidak hanya satu orang. Kita mengirimkan beberapa orang dari arah yang berbeda-beda. Kalian harus berpacu secepat-cepatnya. Kemudian jika kalian telah mendengar te mbakan, cepatlah mendekat dan me libatkan diri dalam pertempuran supaya mereka tida k se mpat mene mbak lagi. Karena mereka tentu juga me mbawa senjata serupa yang berlaras pendek. Sementara kami akan menyerang mereka gelombang pertama seperti yang kita rencanakan sebelum kita me mecah pasukan itu bercerai berai" Buntal mengangguk-angguk. Laki iapun bertanya "Siapakah yang akan pergi bersa maku" "Aku sahut pemimpin ke lompok yang ada di sisi orang berjanggut putih "Aku a kan mengerahkan pimpinan kelompokku" Pemimpin berjanggut putih itu mengangguk-angguk pula. Kemudian disiapkannya lima orang yang akan me mancing perhatian kumpeni-kumpeni itu. Sedang untuk me ngurangi ke mungkinan yang parah, beberapa orang akan datang dari arah yang berbeda-beda dan melontarkan anak panah ke dalam pasukan berkuda itu. Meskipun orang berjanggut putih itu menyadari bahwa anak panah itu tidak a kan banyak bermanfaat sebagai senjata di saat yang demikian, namun pengaruhnya tentu ada pula.
Setelah para penghubung me mberitahukan rencana itu kepada kelompok yang terpisah di seberang jalan, maka Buntalpun ke mudian bersiap di bibir hutan itu bersa ma e mpat orang lainnya. Bahkan yang seorang akan muncul dari ujung hutan di seberang ja lan. Sejenak ke mudian, ketika terdengar sebuah isyarat, maka kuda Buntalpun segera meloncat. Sesaat kemudian kuda itu telah berpacu di padang rumput di tepi hutan. Beberapa langkah di belakangnya menyusul seekor kuda yang lain, disusul pula yang ketiga dan keempat. Sedang dari seberang jalan seekor kuda yang lain telah berpacu pula dengan kencangnya. Buntal tidak langsung menuju ke kelompok prajurit Surakarta itu. Ia melingkar agak jauh dengan kecepatan yang tinggi. De mikian juga kawan-kawannya yang lain. Kehadiran Buntal benar-benar telah menarik perhatian. Beberapa orang kumpeni yang ada di da la m pasukan lawan itupun segera me mpersiapkan senjata apinya yang berlaras panjang. "Tuan dapat mene mbak mereka" berkata pemimpin prajurit Surakarta. Tetapi kumpeni itu tidak segera me lakukannya "Mereka akan se makin dekat" berkata pe mimpin prajurit berkuda itu. Ternyata kumpeni itu benar-benar me miliki penga matan yang cermat atas medan yang dihadapinya, sehingga iapun menjawab "Itulah yang aku tunggu. Biarkan saja anak itu berlari-lari" Pemimpin prajurit berkuda itupun mengeratkan keningnya, dan kumpeni itu berkata selanjutnya "Apakah yang dapat dilakukannya dengan berpacu me lingkar-lingkar"
Kisah Pendekar Bongkok 6 Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 6
^