Pencarian

Bunga Di Batu Karang 28

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 28


Tetapi lawannya adalah Pangeran Ranakusuma. Seorang Pangeran yang disegani. Bahkan beberapa orang terkemuka di Surakarta menganggap bahwa Pangeran Ranakusuma me miliki ke ma mpuan setingkat dengan Pangeran Mangkubumi, Karena itulah, ketika Tume nggung Sindura mengayunkan kerisnya mendatar, Pangeran Ranakusuma meloncat surut, la tahu benar bahwa keris ditangan Tumenggung itu adalah keris yang me miliki ke ma mpuan yang t inggi. Bahkan Pangeran Ranakusumapun harus me mperhitungkan ke mungkinan yang paling buruk jika keris itu se mpat menggores kulitnya. Namun Pangeran Ranakusumapun percaya, bahwa keris Tumenggung Sindura itu tentu tida k lebih ba ik dari kerisnya sendiri. Itulah sebabnya, maka hatinya menjadi tatag. Dengan keris ditangan kiri dan pedang ditangan kanan, Pangeran Ranakusuma melawan dua orang Senapati Surakarta lainnya, yang me miliki na ma yang me nggetarkan pula. Dala m pada itu, Pangeran Yudakusumapun telah menyesuaikan diri. Pangeran itu mengakui, bahwa Tumenggung Sindura me miliki penga la man yang lebih banyak dari dirinya sendiri. Karena itu untuk menghadapi Pangeran Ranakusuma, Pangeran Yudakusuma lebih banyak mengikuti dan mengisi setiap kese mpatan diantara serangan-serangan yang dilancarkan oleh Tumenggung Sindura. Betapapun tinggi ilmu yang dimiliki oleh Pangeran Ranakusuma. na mun me lawan dua orang Senapati besar sekaligus ternyata ia harus me meras tenaga dan ke ma mpuannya. Tumenggung Sindura dengan keris dan perisainya bergerak dengan cepat mengitarinya. Namun setiap saat, senjata Pangeran Yudakusuma me matuknya dengan cepat dari arah sa mping. Dala m keadaan yang demikian, Pangeran Ranakusuma hanya dapat meloncat menghindar. Namun dengan tiba-tiba
saja ia telah pedangnya. meloncat ke mbali sa mbil mengayunkan Tetapi setiap kali, kedua lawannya bagaikan berpencar. Mereka menga mbil arah yang berbeda. Dengan demikian, maka Pangeran Ranakusuma harus bersikap sangat berhatihati. Sementara pertempuran disekitar perang Senapati itupun masih berlangsung dengan sengitnya. Setiap kali terdengar sorak yang bagaikan meledak. Namun ke mudian yang terdengar adalah jerit kesakitan dan desah yang tertahan disela-sela dentang senjata yang sedang beradu. Dala m keadaan yang seolah-olah saling berbaur itu, terasa betapa beratnya bagi Pangeran Ranakusuma yang harus bertempur me lawan dua orang Senapati. Ketika ia berusaha menyerang Pangeran Yudakusuma dengan ujung pedangnya, maka Tumenggung Sindura dengan sigapnya telah meloncat sa mbil menjulurkan kerisnya. Namun Pangeran Ranakusuma yang me miliki ke ma mpuan yang dikagumi oleh setiap Senapati itu, seolah-olah dapat bergeser dari tempatnya tanpa menggerakkan kakinya. Karena itulah, setiap kali ayunan pusaka Tumenggung Sindura bagaikan sekedar menyentuh angin. Tetapi Tumeriggung Sindura adalah Senapati yang pilihan pula. Ia sadar sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan. Dan iapun sadar sepenuhnya bahwa pertempuran itu akan menentukan sa mpai batas akhir. Karena itulah, maka Tumenggung Sindura berusaha untuk mengenda likan diri. Ia tida k boleh tergesa-gesa menga mbil sikap menghadapi Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia dida mpingi oleh Senapati pilihan pula. Pangeran Yudakusuma. Meskipun Pangeran ini masih lebih muda dala m usia dan pengalaman, namun Pangeran inipun me miliki kelebihan-kelebihan tersendiri.
Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma merasa akan sangat berat menghadapi kedua Senapati besar dari Surakarta ini. Na mun ia sudah menjatuhkan tekat, bahwa ia akan me lawan pasukan Surakarta yang seolah-olah telah dibius oleh kekuasaan Kumpeni itu. Dala m pada itu, ketika terjadi goncangan-goncangan dimedan, Tumenggung Sindura yang merasa gelisah oleh keadaan medan seluruhnya itupun se mpat me mberi peringatan kepada Pangeran Ranakusuma setelah keringatnya me mbasahi jari-jarinya. "Pangeran" katanya "kita masih me mpunyai waktu untuk me mbuat pertimbangan-pertimbangan dan barangka li menyelesaikan persoalan diantara kita dengan cara lain. Namun sekarang kita berada di medan menghadapi pemberontakan yang akan dapat menggoncangkan ke kuasaan Surakarta. Apakah Pangeran tidak me mpertimbangkannya lebih panjang." "Sudah aku jawab. Jangan kau ulang-ulang lagi pertanyaanmu se maca m itu" jawab Pangeran Ranakusuma "sekali lagi aku katakan, lebih baik aku melawan Kumpeni daripada melawan adimas Mangkubumi. Karena itu, dengarlah. Aku me mang segan bertempur dengan keluarga sendiri. Keluarga besar prajurit Surakarta. Jika kau ingin me lawan adimas Pangeran Mangkubumi, lakukanlah. Aku tidak akan mengha langimu, asal kau me mberi kese mpatan kepadaku untuk menusuk langsung kedala m induk pasukanmu dan berhadapan dengan Kumpeni. Aku ingin me nghancurkan mereka sa mpa i orang terakhir. Baru ke mudian, kau dan Senapati besar yang bernama Pangeran Yudakusuma ini akan dapat menangkap aku. Aku tidak akan me lawan dan a kupun tidak akan berkeberatan menerima hukuman dari Kangjeng Susuhunan. Ingat, Kangjeng Susuhunan. Bukan Kumpeni." Tumenggung Sindura menggera m. Katanya "Yang Pangeran kehendaki adalah yang tidak akan terpenuhi.
Baiklah, dengan demikian maka tidak ada jalan lain bagiku selain berte mpur." Pangeran Ranakusuma tidak menjawab lagi. Ia sudah siap menghadapi segala ke mungkinan, meskipun ia sadar, bahwa setiap kali ia harus berusaha me lepaskan diri dari libatan kedua orang lawan yang sangat berat itu. Na mun beberapa orang Senapati pembantunya tidak melepaskannya pula. Meskipun ke ma mpuan mereka sangat terbatas, namun dala m keadaan tertentu, merekapun berusaha mengganggu Tumenggung Sindura dan Pangeran Yudakusuma. Dala m pada itu, pasukan Pangeran Mangkubumi telah menghanta m pasukan Surakarta yang menebar mengha langinya. Tetapi ternyata pasukan Surakarta itu terkejut bukan buatan. Dalam kere mangan fajar yang mulai menyingsing, ketika pasukan itu sudah mendekat. Senapati yang me mimpin prajurit-prajurit Surakarta itu baru me nyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan, ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi tidak me mpergunakan gelar ge latik neba. Meskipun obor yang menyala na mpa k berserakan, tetapi sebenarnyalah pasukan Mangkubumi berada dala m gelar Cakra Byuha. Gelar yang bulat padat dan bergerigi bergulunggulung bagaikan a lun yang datang me landa pantai dengan dahsyatnya. "Gila. Kita rubah ge lar kita" teriak Senapati yang ke mudian me lihat kedatangan gelar lawan. Tetapi kese mpatan mereka hanya sedikit sekali. Pasukan yang menebar itu dengan tergesa-tergesa ditarik untuk menghadapi lawan dala m gelar yang dahsyat itu. Pada benturan yang pertama telah terasa, betapa beratnya menghadapi pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Beberapa langkah pasukan Sura karta harus mundur sa mbil me ngatur diri. Baru ke mudian mere ka berhasil me nyusun pasukannya untuk melawan Cakra Byuha yang sempurna dari pasukan Pangeran Mangkubumi.
Namun ternyata bahwa prajurit Surakarta itu tidak me mpunyai kekuatan yang memadai. Mereka dipersiapkan sekedar untuk menahan usaha melarikan diri dari pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Na mun kini mereka bukannya menahan sebuah pasukan yang pecah tercerai berai mencari selamat, tetapi kini mereka harus menghadapi pasukan yang utuh dala m ge lar Cakra Byuha. Karena itu, maka merekapun segera terdesak mundur. Meskipun prajurit-prajurit Surakarta itu berhasil menyusun diri, tetapi seluruh pasukannya tidak dapat bertahan pada garis benturan antara prajurit-prajurit itu dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Sementara itu, Pangeran Mangkubumi telah me merintahkan Ki Wandawa untuk me ndapat keterangan dari pertempuran yang telah terjadi didala m pasukan Sura karta itu sendiri, agar Pangeran Mangkubumi dapat menga mbil sikap dalam keadaan yang harus diatasi dengan cepat. Apakah mereka akan bertempur terus, atau seperti yang telah direncanakan. Sekedar menunjukkan diri bahwa pasukan itu me mang ada dan ke mudian menghilang menyusuri jalan yang sudah ditentukan, karena pasukan yang berada di Sukawati sudah siap menyergap prajurit-prajurit Surakarta dan Kumpeni bila mere ka mengejar terus. Ki Wandawa yang ada didalam lingkaran gelar Cakra Byuha itupun ke mudian me merintahkan beberapa orang petugas sandi untuk me lihat keadaan diseluruh me dan. Mereka sejauh mungkin dapat me lihat, apa yang sebenarnya sudah terjadi, "Ki Wandawa, apakah aku dapat ikut bersama mere ka?" bertanya Buntal. Ki Wandawa mengge lengkan kepalanya "Kau tetap berada disini. Mereka yang bertugas didala m perang yang belum kita ketahui keadaannya ini akan mengenakan pakaian keprajuritan Surakarta. Hanya mereka me mbawa ciri khusus
yang dapat mudah dikena i, dan kata-kata sandi yang sudah kita sepakati bersa ma." Buntal mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia kecewa, bahwa ia harus berada didekat Ki Wandawa. Bahkan seka lisekali terdengar ia berdesah. "Kakang" bertanya Arum sambil berbisik "apakah yang sebenarnya terjadi atas kita berdua ?" "Apa maksudmu ?" "Apakah sebenarnya kita ini dicurigai dan tidak boleh lepas dari pengawasan Ki Wandawa ?" "Ah. aku tidak berpikir de mikian. Tetapi sebenarnya aku juga kecewa bahwa a ku tida k berada digerigi gelar ini." Arum t idak me nyahut. Dengan wajah yang tegang ia me mperhatikan pertempuran yang terjadi dise kitarnya. Apalagi ketika cahaya pagi menjadi se makin terang. Maka iapun segera melihat betapa dahsyatnya pertempuran yang telah berlangsung. Dala m pada itu, beberapa orang pasukan sandi telah me mencar untuk mendapatkan ga mbaran dari seluruh pertempuran yang telah berlangsung itu. Diekor pasukan Surakarta, perlahan-lahan Senapati yang me mimpin pasukan berkuda dapat menguasai keadaan. Kekuatan Raden Juwiring yang tidak begitu besar, segera dapat dibatasi. Betapapun dahsyatnya kemampuan Senapati muda itu, namun ia tidak dapat mela mpaui batas ke ma mpuan diri sendiri. Karena itulah, maka pasukan berkuda yang lain dan sebagian dari kumpeni berhasil me ngepung mereka dan me mbatasi pertempuran. Tetapi Raden Juwiring sa ma sekali tida k gentar. Yang justru menjadi sasaran utamanya adalah kumpeni. Itulah sebabnya, maka serangannya bagaikan berpusat pada dinding kepungan yang dilakukan oleh kumpeni saja.
Gerakan itu me mang sangat menarik perhatian. Beberapa orang prajurit berkuda yang mengepung Raden Juwiring itu semakin la ma sema kin menyadari sikapnya yang semula agak terasa aneh. Seolah-olah Raden Juwiring salah hitung dan mencoba mene mbus kepungan pada dinding yang terdiri dari kumpeni itu. Tetapi lambat laun, prajurit-prajurit Surakarta mengerti bahwa serangan Raden Juwiring me mang sebagian besar ditujukan kepada kumpeni. Dengan demikian ma ka korban yang paling banyak jatuh adalah justru kumpeni. Prajurit Surakarta mencoba me lindungi mereka sejauh mungkin dengan jumlah yang cukup banyak. Tetapi ternyata diekor gelar Supit Urang itu, prajurit-prajurit berkuda yang masih muda me mpunyai sikap dan pertimbangan tersendiri. Tidak ada yang me merintah mereka untuk me lakukannya. Tetapi ha mpir bersa maan tumbuh dida la m hati prajurit-prajurit muda itu. Merekapun ke mudian menjadi segan bertempur me lawan prajurit-prajurit berkuda dari kelompok Raden Juwiring yang dianggap me mberontak bersa ma dengan ayahandanya di sapit kiri. Untuk menghapus jejak dari sikap mereka, maka prajuritprajurit muda itupun berpura-pura berte mpur juga. Tetapi mereka hanya me macu kudanya berlari-larian melingkarlingkar dan me mbiarkan kumpeni-kumpeni itu me ne mui kesulitan melawan pasukan berkuda di bawah pimpinan Raden Juwiring. Demikian pula disapit kiri. Sasaran utama dari pasukan Pangeran Ranakusuma adalah kumpeni. Tetapi agaknya sikap Pangeran Yudakusuma dan Tumenggung Sindura telah me mbuat prajurit-prajurit mereka bertempur bersungguhsungguh sehingga perlahan tetapi pasti pasukan Pangeran Ranakusuma terdesak. Sedangkan Pangeran Ranakusuma sendiri yang harus bertempur melawan Pangeran Yudakusuma
dan Tumenggung Sindura harus me meras ke ma mpuannya untuk tetap dapat bertahan.
segenap Semua yang terjadi itu, berhasil diamati oleh petugaspetugas sandi dari pasukan Pangeran Mangkubumi. Meskipun tidak tepat sampai bagian yang sekeril-kerilnya, tetapi demikianlah keadaan pada umumnya dapat dilaporkannya kepada Ki Wandawa. Untuk beberapa saat Ki Wandawa sempat berbincang dengan Pangeran Mangkubumi. sementara pasukannya berhasil mendesak maju prajurit-prajurit Surakarta yang kurang kuat. "Bagaimana Mangkubumi dengan Juwiring ?" bertanya Pangeran
"Raden Juwiring menga la mi kesulitan Pangeran. Pasukannya yang jumlahnya tidak begitu banyak telah terkepung" Pangeran Mangkubumi termenung sejenak. Seolaholah ia sedang membuat penilaian atas peristiwa yang terjadi tanpa dilihatnya. Namun ternyata ketajaman perasaan Pangeran Mangkubumi se lalu menghasilkan uraian yang hampir tepat atas keterangan yang hanya sekedarnya. Sejenak kemudian ternyata Pangeran Mangkubumi telah menjatuhkan perintah bagi seluruh pasukannya "Perintahkan sekelompok pasukan untuk me mbantu Juwiring. Ke mudian perintahkan
kepada setiap pimpinan yang ada didalam gelar Cakra Byuha ini. Gelar ini tidak akan ditarik dan mundur untuk seterusnya menghilang seperti rencana se mula. Kita akan bertempur terus. Potong jalur hubungan yang dapat dijalin oleh prajuritprajurit Surakarta dengan pimpinan prajurit di kota Surakarta, dan perintahkan pasukan Sukawati untuk bergerak langsung ke Pandan Karangnangka karena kita tida k akan lewat jalan yang sudah ditentukan. Kita akan bertempur disini sa mpai tuntas." Sejenak ke mudian beberapa orang penghubungpun sudah menebar. Se mentara itu Ki Wandawa telah menyiapkan sekelompok pasukan untuk me nyelamatkan Raden Juwiring. "Buntal" berkata Ki Wandawa "kau sekarang mendapat tugas yang barangkali cukup menarik bagimu." "Apa Ki Wandawa.?" "Kau harus mengena kan ciri-ciri yang kita kenal. Ke mudian pergilah keekor pasukan Surakarta. Kau akan dituntun oleh seorang penghubung. Kau akan disertai sekelompok pasukan untuk me mbantu Raden Juwiring yang mengala mi kesulitan." Terasa bulu-bulu tengkuk Buntal mere mang. Ia me mang sudah menunggu perintah se maca m itu, sehingga karena itu maka jawabnya justru tergagap "Baik, baik Ki Wandawa. Aku akan berangkat." "Aku ?" bertanya Arum. Buntal me mandang Ki Wandawa sejenak seolah-olah ia mmta pertimbangan, apa yang dapat dila kukan oleh gadis itu. Ki Wandawa menarik nafas dalam. Katanya "Arum. Aku mengerti bahwa kau me miliki ke ma mpuan bertempur. Tetapi jika kau benar anak tunggal Kiai Danatirta, maka aku raguragu untuk melepaskanmu."
"Tida k Ki Wandawa. Ayah sudah mengizinkan aku pergi. Padahal ayah sudah mengetahui bahwa aku akan pergi kedaerah pertempuran seperti ini." sahut Arum. Ki Wandawa termangu-mangu sejenak, lalu "Kau dapat menga mbil keputusan Buntal." Buntal termenung sejenak, la lu "Tetapi jika kau ingin pergi bersamaku Arum, kau harus berhati-hati. Kau tidak boleh bersikap menurut kesenanganmu sendiri." "Aku berjanji" jawab Arum. Buntal me mandang Arum dengan tajamnya. Dengan raguragu iapun ke mudian berkata "Baiklah Ki Wandawa. Biarlah Arum pergi bersa maku." "Bersiaplah. Aku a kan menarik sekelompok prajurit dari gelar ini." "Tetapi bagaimana dengan Pangeran Ranakusuma." Bukankah menurut laporan, pasukannya juga terdesak ?" "Gelar Cakra Byuha ini akan segera menusuk sa mpai keinduk pasukan Supit Urang. Mudah-Mudahan dengan demikian sebagian prajurit yang sedang bertempur disapit kiri akan terhisap oleh kehadiran gelar ini." "Tetapi apakah bija ksana kita melawan ge lar Supit Urang dengan gelar Cakra Byuha. Bentuk gelar ini tidak menguntungkan." "Jika jumlah pasukan seimbang me mang tidak menguntungkan. Tetapi untuk se mentara kita menganggap pasukan kita lebih kecil. Apalagi kita tahu bahwa gelar Supit Urang itu sudah rusak sa ma sekali karena pergolakan didala m tubuh sendiri." Buntal tidak bertanya lagi. Iapun ke mudian mengikuti Ki Wandawa. Setelah memaka i ciri-ciri yang dikenal oleh pasukan dalam keseluruhan maka Buntalpun menyiapkan sepasukan
pengawal untuk me mbantu Raden Juwiring. Demikian juga Arum pun telah siap untuk mengikutinya dala m pasukan yang dibentuk dengan tergesa-gesa itu. Sejenak ke mudian maka seke lompok pasukan kecil itu me misahkan diri dari ge larnya. Dituntun oleh seorang petugas sandi, kelompok kecil itu melingkari arena pertempuran dan langsung menuju keekor gelar Supit Urang yang sudah menjadi se makin kacau. Demikianlah pertempuran itupun ke mudian berlangsung dengan jelas dan pasti. Matahari yang merayap terus dilangit wajah matahari itu, rasa-rasanya bagaikan sehelai tirai yang tipis seolah-olah ikut menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itu. Ketika selembar awan terbang dipermukaan yang melindungi matahari dari pertunjukan yang mengerikan diatas bumi. diantara anak-anak manusia yang sedang bertengkar mela mpaui pertarungan binatang yang paling buas ditengah-tengah hutan yang pa ling lebat. Dala m pada itu, kehadiran Buntal bersa ma pasukan kecilnya diekor gelar Supit Urang itu telah mengejutkan prajurit-prajurit Surakarta yang sedang bertempur. Juwiringpun terkejut pula karenanya, ketika tiba-tiba saja pasukan itu langsung me nyerang prajurit-prajurit berkuda yang mengepungnya. Kepungan itupun ke mudian menjadi goyah. Beberapa bagian dari dinding kepungan itu terpaksa me layani serangan sekelompok pasukan yang datang dan langsung menyerang mereka. Arum yang ada didala m pasukan itu menjadi berdebardebar. la berusaha untuk menyesuaikan diri dengan gerak seluruh pasukan. Meskipun keinginannya untuk menyerbu kedala m kelompok pasukan kumpeni, namun ia harus menahan diri. Buntal sudah berpesan kepadanya, bahwa ia harus tetap berada didala m barisan.
Dengan kehadiran pasukan kecil itu, maka kepungan pasukan berkuda dan kumpeni diekor gelar supit urang yang sudah retak itu me njadi aga k longgar. Juwiring dengan cepat me mpergunakan kesempatan itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa Pangeran Mangkubumi tentu sudah mengirimkan pasukan itu. "Luar biasa" berkata Juwiring didala m hatinya "pa-manda Pangeran Mangkubumi selalu menga mbil sikap yang cepat. Petugas sandinyapun me miliki ketaja man penglihatan. Mereka me lihat kesulitan yang aku alami disini dan dengan cepat pula mengirimkan pasukannya." Apalagi ketika Buntal dan pasukannya sudah berhasil me mecah kepungan dan menghubungkan pasukannya dengan pasukan Raden Juwiring. "Buntal" Raden Juwiring berteriak. Buntal yang sedang bertempur tidak dapat berpaling. Tetapi ia se mpat mela mba ikan senjatanya sebagai jawaban panggilan Raden Juwiring itu. Untuk beberapa saat lamanya, Buntal dan pasukannya me mang menga la mi kesulitan untuk me mbedakan pasukan berkuda yang berpihak kepada Raden Juwiring dan sebaliknya Namun ke mudian pasukan itu telah menarik garis batas. Pasukan berkuda itu tidak lagi dapat mengepung pasukan Raden Juwiring yang menjadi se makin banyak karena kehadiran seke lompok pasukan Pangeran Mangkubumi. Senapati yang me megang pimpinan diekor ge lar itu menjadi gelisah melihat kehadiran sekelompok pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Apalagi ketika kepungannya menjadi pecah dan tidak lagi dapat disusun me lingkari pasukan Raden Juwiring.
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
Dengan tergesa-gesa Senapati itupun me manggil seorang peng hubung dan diperintahkannya untuk menarik sekelompok prajurit dari induk pasukan. "Cepat, bawa mereka ke mari untuk menghancurkan pasukan yang berkhianat itu, sekaligus sepasukan pemberontak yang tiba-tiba saja telah ikut didala m pertempuran ini." Prajurit penghubung itupun segera meningga lkan pertempuran die kor gelar itu dan langsung mencari Senapati yang berada di induk pasukan. Namun ternyata bahwa prajurit diinduk pasukanpun sedang terlibat dala m perte mpuran yang sengit. Mereka harus menghancurkan pasukan Pangeran Ranakusuma. Bahkan kumpeni yang berada diinduk pasukanpun sedang me meras tenaga untuk me mpertahankan diri, karena tekanan terberat justru pada pasukan kumpeni itu. Namun sebenarnyalah bahwa pasukan kumpeni itu me mang me miliki ke ma mpuan berperang yang cukup. Pengalaman penge mbaraan mereka, telah me mbuat mereka menjadi prajurit-prajurit yang gigih. Meskipun mere ka tidak sempat me mpergunakan senjata api, namun senjata mereka yang pada ujung larasnya diberi sangkur, dapat mereka pergunakan sebagai ujung tombak yang runcing. Bahkan ada diantara mereka yang mele mparkan senjata mereka dan menarik pedang dari sarungnya. Dan ternyata kumpeni me mang prajurit-prajurit yang terlatih baik. Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan induk pasukan. Mereka menghadapi prajurit-prajurit Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Ranakusuma, yang bertempur bagaikan orangorang yang kehilangan aka l. "Ka mi me merlukan bantuan" desis penghubung dari ekor gelar.
"Pertahankan diri sejenak. Pertempuran ini tentu tidak akan la ma. Sebentar lagi pasukan Pangeran Ranakusuma akan segera hancur. Sebagian dari ka mi akan me mbantu prajuritprajurit yang sedang bertempur melawan pasukan Pangeran Mangkubumi. Sebagian akan ka mi kirim ke e kor barisan." "Dima nakah Pangeran penghubung itu. Yudakusuma ?" bertanya
"Terlibat dala m pertempuran langsung melawan Pangeran Ranakusuma." Penghubung itu termangu-mangu sejenak. Pertempuran diinduk pasukanpun na mpaknya sangat seru. Tetapi prajuritprajurit Surakarta dan kumpeni agaknya segera akan berhasil mendesak dan menguasai keadaan. "Tetapi berapa lama ka mi harus menunggu ?" bertanya penghubung itu. "Tida k la ma." "Aku minta sekelompok kecil lebih dahulu. Pertimbangkan sebelum ekor gelar ini menjadi kacau." Senapati itu berpikir sejenak. Agaknya memang t idak begitu sulit bagi prajurit-prajurit yang ada diinduk pasukan untuk melawan pasukan Pangeran Mangkubumi, sehingga agaknya me mang dapat dipertimbangkan untuk me ngirimkan bantuan ke-ekor gelar yang sema kin kacau. Namun sebelum putusan itu diberikan, terasa pasukan itu seluruhnya bagaikan diguncang. Sejenak Senapati itu termangu-mangu. Na mun ke mudian seorang prajurit penghubung datang dengan tergesa-gesa dan berkata dengan suara gemetar "Pertahanan didepan ge lar sudah pecah. Pasukan Pangeran Mangkubumi langsung menusuk keinduk pasukan." Senapati itu tercenung sejenak. Rasa-rasanya darahnya menjadi se makin la mbat menga lir. Laporan yang didengarnya
itu me mberikan arti yang mendebarkan. Pasukan Pangeran Mangkubumi telah berhasil langsung menusuk induk pasukan sementara induk pasukan sedang berusaha menghancurkan sepasukan di sapit kiri dari gelar supit urang yang telah me mberontak itu. Untuk beberapa saat Senapati itu justru terdia m, la adalah Senapati yang bertanggung jawab atas induk pasukan. Bukan keseluruhan gelar. Panglima dari gelar supit urang ini adalah Pangeran Yudakusuma. Tetapi Pangeran Yudakusuma kini sedang terlibat dalam perang me lawan Pangeran Ranakusuma. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah sekedar menggerakkan induk pasukan. Ia mengharap bahwa Tumenggung Sindura juga telah menerima laporan dan me mbagi pasukan di supit kanan. Sebagian masih harus menumpas pemberontakan didala m gelar, dan sebagian yang lain me nahan arus pasukan Pangeran Mangkubumi. Demikianlah Senapati itupun segera menga mbil sikap. Setelah darahnya mengalir wajar ke mba li, ma ka iapun berkata kepada penghubung dari ekor gelar "Kau mendengar sendiri laporan itu. Jagalah agar pasukan berkuda dan kumpeni yang ada diekor gelar dapat menjaga keseimbangan. Tugas induk pasukan menjadi se makin berat." Penghubung yang mendengar langsung laporan dari bagian depan gelar yang retak itu tidak dapat berbuat apa-apa. Iapun segera kembali keekor gelar yang sudah rusak pula dan menya mpaikan apa yang telah didengarnya. "Gila. Ternyata kita telah terperosok kedala m kandang harimau lapar" desis Senapati itu "tetapi kita cukup me m punyai kekuatan untuk ke luar dari kandang ini dan meninggalkan bangkai dari seluruh penghuninya." Dala m pada itu Senapati yang ada diinduk pasukanpun segera memberikan perintah kepada setiap pemimpin
kelompok untuk me mbagi diri. Sebagian tetap menghadapi prajurit-prajurit Surakarta sendiri yang sudah me mberontak, sedang yang lain harus menyongsong pasukan Pangeran Mangkubumi. Namun ternyata bahwa pasukan yang datang dari sapit kananpun telah mendapat laporan pula. Karena Senapati pengapit sedang bertempur bersama Pangeran Yudakusuma me lawan Pangeran Ranakusuma, ma ka Senapati tertua yang merasa bertanggung jawab, segera me mberikan perintah serupa. "Kita sudah berada diperang brubuh" berkata Senapati itu "hati-hatilah. Kalian harus berusaha agar kalian akan dapat me mulihkan gelar ini ke mbali setelah pasukan yang me mberontak itu kita singkirkan, bahkan kita binasakan." Demikianlah ma ka benturan antara pasukan Pangeran Mangkubumi dengan pasukan Surakarta diinduk pasukan benar-benar telah menggetarkan seluruh me dan. Pasukan Pangeran Mangkubumi masih tetap berada dala m ge lar Cakra Byuha yang utuh sehingga lingkaran bergigi itu seolah-olah telah me mbe lah pertahanan prajurit Surakarta yang semula berada diluar gelar, dan langsung menyobek induk pasukan yang me mang sedang goncang itu. Prajurit-prajurit Surakartapun ke mudian berusaha menyesuaikan diri menghadapi musuh yang datang itu. Merekapun adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Demikian pula kumpeni yang ada didala m pasukan Itu. Mereka segera menga mbil sikap menghadapi keadaan yang baru itu. Dala m pada itu. pertempuran telah terjadi hampir dise luruh bagian dari pasukan Surakarta. Bahkan ke mudian pasukan Surakarta itulah yang seolah-olah telah dikepung. Mereka harus menghadapi musuh dari tiga arah. Dari sayap kiri gelarnya sendiri. Dari depan, dan dari belakang, yang dilakukan oleh sebagian dari pasukan berkuda yang dipimpin
oleh Juwiring dan sekelompok pasukan yang dikirim oleh Ki Wandawa dan dipimpin oleh Buntal. Pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Jumlah pasukan Surakarta cukup banyak untuk me lawan seluruh pasukan Pangeran Mangkubumi dita mbah dengan prajuritprajurit yang me mberontak itu sendiri. Apalagi sebagian dari oasukan Pangeran Mangkubumi me mang bukan prajurit. Mereka belum me miliki pengala man yang cukup meskipun mereka telah berlatih sebaik-sebaiknya. Karena itulah meskipun jumlah mere ka me madai, namun ke ma mpuan mereka masih be lum setinggi prajurit-prajurit Surakarta dan kumpeni yang telah menje lajahi benua dan sa modra. Namun demikian sengitnya. pertempuran itu berjalan dengan
Dala m pada itu matahari yang sudah me la mpaui puncak langit telah mulai turun keujung Barat. Prajurit-prajurit Surakarta justru telah mulai berhasil menyusun diri, se mentara pasukan Pangeran Mangkubumi masih tetap me mberikan tekanan yang sangat berat Tetap! sementara itu. beberapa orang didala m pasukan Pangeran Mangkubumi telah menjadi letih. Meskipun tekad mereka masih menyala didala m dada. namun ternyata bahwa ke ma mpuan jasmaniah mereka tidak sekuat prajurit-prajurit yang berpengalaman. Beberapa orang diantara mereka tidak lagi ma mpu berte mpur dengan lincah dan tangkas. Satu dua orang mulai kelelahan. Tangan mereka baga ikan tida k dapat digerakkan lagi. Sedangkan beberapa orang lagi diantara. mereka, bukan saja kelelahan, tetapi mereka telah terbaring ditanah dengan darah yang mengalir dari luka. Mereka adalah beban-ten dari perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Rakyat Surakarta untuk mengusir penjajahan. Semuanya itu t idak lepas dari pengawasan Pangeran Mangkubumi, karena Pangeran Mangkubumi bukan saja
berteriak me mberikan aba-aba, tetapi Pangeran Mangkubumi sendiri telah menerjunkan diri kedala m kancah peperangan. Kelelahan dan korban yang jatuh diantara anak buahnya, me mbuat Pangeran Mangkubumi menjadi se makin marah. Karena itu maka iapun menjatuhkan perintah kepada setiap orang yang memiliki ke ma mpuan jasmaniah me la mpaui kawan-kawannya, agar dengan segenap tenaganya, bertempur untuk menentukan, siapakah yang akan berhasil me menangkan perang yang menjadi semakin dahsyat itu. Menurut perhitungan Pangeran Mangkubumi, pasukan Pangeran Ranakusuma akan tetap bertahan, dan pasukan Raden Juwiring yang dibantu oleh sekelompok kecil dari pasukannya, akan mendesak masuk kedala m induk pasukan. Perhitungan Pangeran Mangkubumi tidak meleset jauh. Meskipun pasukannya tidak dapat mendesak lebih maju lagi kedala m induk pasukan, namun seperti yang diduganya, bahwa pasukan Juwiringlah yang justru berhasil mendesak lawannya. Kepungan yang telah pecah itu me mberikan ja lan kepada Raden Juwiring dan prajuritprajuritnya yang terlatih baik untuk mendesak maju menyerang induk pasukan dari arah yang la in. Buntal, yang mendapat kesempatan menunjukkan pengabdiannya telah bertempur sebaik-baiknya. Demikian pula Arum. Meskipun ia seorang gadis, tetapi latihan-latihan yang berat dipade-pokannya telah
me mbentuknya menjadi seorang gadis yang me miliki daya tahan jasmaniah yang mengagumkan. Beberapa orang prajurit Surakarta yang berdiri dibelakang Raden Juwiring, bahkan pasukan Pangeran Mangkubumi sendiri, kadang-kadang mencari kese mpatan untuk dapat sekedar me lihat Arum bertempur, "Tida k menyangka sama sekali, bahwa seorang gadis ma mpu bertempur sede mikian garangnya. Bahkan sampai saat matahari condong ke Barat, ia masih ma mpu mengayunkan pedangnya dengan dahsyatnya." Namun sebenarnyalah bahwa Arum sudah mulai diganggu oleh perasaan letih. Keringatnya telah me mbasahi segenap pakaiannya. Terik matahari yang bagaikan membakar kulit, me mbuat Arum merasa haus. Meskipun ia sudah terlampau sering disengat oleh panas matahari disawah dan bahkan dalam latihan-latihan khusus, tetapi bertempur untuk waktu yang lama dan se kaligus dipanggang dala m terik matahari, me mbuatnya merasa lelah, haus dan gelisah. Apalagi Arum me mang belum pernah mengala mi peperangan sedahsyat itu. Disana-sini ia me lihat tubuh yang bergelimpangan berlumuran darah. Meskipun demikian Arum sadar, jika ia lengah, maka dirinyalah yang akan terbaring diantara sosok-sosok tubuh yang terbujur lintang ditanah itu. Dala m keadaan yang demikian, maka Pangeran Mangkubumi me ncoba untuk me mecahkan kesulitan yang diala minya. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa pasukannya bukanlah terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang sudah terlatih untuk bertahun-tahun la manya. Tetapi pasukannya mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh prajurit! Surakarta. Pasukannya yang kurang terlatih itu me miliki ge lora perjuangan yang menyala dida la m dadanya untuk mengusir orang-orang asing yang telah menja mah
kebebasan Surakarta. Bahkan perlahan-lahan orang asing itu berhasil mengendalikan pe merintahan dan roda perdagangan di-seluruh negeri. Hanya karena api yang menyala didala m dada itu sajalah yang me mbuat pasukannya tetap bertahan. Tetap bertempur dengan tenaga yang semakin le mah dipanggang oleh teriknya matahari dan tekanan yang terasa semakin berat dari prajuritprajurit Surakarta. Desakan pasukan Raden Juwiring dan Buntal dari ekor gelar terasa juga pengaruhnya. Beberapa bagian dari prajurit diinduk pasukan terpaksa berpaling dan menahan serangan serangan yang semakin la ma sema kin terasa karena pasukan diekor gelar itu sendiri tidak lagi ma mpu bertahan. Apalagi diantara mereka, meskipun tidak terla mpau banyak, ada kesengajaan untuk tida k berte mpur bersungguh-sungguh. Namun pengaruh itu tidak cukup kuat untuk me mbantu mendesak induk pasukan itu dari arah yang lain. Ketika matahari menjadi se makin condong, maka pasukan Pangeran Mangkubumi terasa menjadi se makin le mah. Beberapa orang prajurit Surakarta yang berdiri dibelakang Raden Juwiring, bahkan pasukan Pangeran Mangkubumi seponi, kadang-kadang mencari kese mpatan untuk dapat sekedar me lihat Arum bertempur. Meskipun diantara mereka masih ada yang berte mpur tanpa nampak susut kekuatannya, tetapi ada pula yang hanya sekedar ma mpu bertahan untuk beberapa la ma saja oleh kelelahan, panas dan haus. Pertempuran itu merupakan pengala man bagi Pangeran Mangkubumi. Ia mula i me mpertimbangkan lagi untuk menyingkir dari medan. Na mun se muanya sudah terlanjur. Pasukannya sudah berada didalam lingkungan pasukan lawan. Meskipun gelar Cakra Byuha yang disusunnya belum pecah, namun ke ma mpuannya sudah jauh berkurang. Untunglah
bahwa prajurit-prajurit Surakarta dibawah pimpinan Pangeran Ranakusuma masih ma mpu bertahan. Meskipun Pangeran Ranakusuma sendiri terlibat dala m perang Senapati. Betapa beratnya Pangeran Ranakusuma melawan dua orang Senapati terpilih dari Surakarta. Namun setiap kali pengawalpengawalnya selalu berusaha menolongnya dari kesulitan yang menentukan. Dala m pada itu, selagi Pangeran Mangkubumi me mbuat pertimbangan-pertimbangan sambil bertempur dengan dahsyatnya, mulai terasa, bahwa pasukannya telah benarbenar terdesak. Karena itulah ma ka Pangeran Mangkubumi menjadi se makin marah marah dan menga muk bagaikan seekor banteng yang terluka. Ia tidak me nghiraukan lagi, apakah pedangnya menembus dada seorang pemimpin prajurit, apalagi Senapati yang memimpin beberapa kelompok. Prajuritpun jika menghalanginya tentu dibinasakannya. Lawan-Lawannya yang langsung bertemu dengan Pangeran Mangkubumi dimedan menjadi ngeri. Seolah-olah tubuh Pangeran Mangkubumi itu berlapis baja. Seorang prajurit yang kehilangan akal telah me lontarkan tombak pendeknya langsung kepunggung Pangeran Mangkubumi. Tetapi ujung tombak itu sa ma sekali tidak melukainya. Untuk menenteramkan kegoncangan yang timbul didala m hati ia berkata kepada diri sendiri "Tomba kku mengenai wrangka keris dipunggung Pangeran Mangkubumi." Demikian pula ketika seorang kumpeni berhasil mengisi senjatanya dan me mbidik kearah Pangeran Mangkubumi. Ledakan senjatanya sama sekali tidak menarik perhatian Pangeran Mangkubumi. Apalagi melukai dan me mbunuhnya. Tetapi seperti kawan-kawannya yang lain yang mengalami peristiwa seperti itu berkata kepada diri sendiri "Sulit mene mba k seseorang dala m perang yang kisruh ini."
Namun bagaimanapun juga Pangeran Mangkubumi menghantui setiap orang lawannya, pasukannya semakin la ma menjadi se makin le mah. Bahkan mulai bergeser setapak de mi setapak. Pangeran Mangkubumi me njadi sangat prihatin. Sekilas ia me lihat matahari. Agaknya matahari masih terla mpau tinggi untuk menunggu gelap yang bakal melingkupi seluruh Surakarta. Demikianlah maka Pangeran Mangkubumi menjadi sangat gelisah. Ia sama seka li tidak me mikirkan diri sendiri. Tetapi ia me mikirkan anak buahnya. Jika mereka tidak dapat bertahan lagi, maka korban akan jatuh se makin la ma se makin banyak. Tetapi dalam pada itu, selagi Pangeran Mangkubumi mencari akal dan cara untuk me mbebaskan pasukannya dari ke mungkinan yang lebih buruk, seorang penghubung berlari-lari mencarinya. Tanpa menghiraukan pertempuran yang terjadi, ia berusaha langsung menjumpai Pangeran Mangkubumi. "Ada apa ?" bertanya Pangeran Mangkubumi dengan dada yang semakin berdebar-debar. "Pangeran, Pangeran, mereka telah datang." "Siapa ?" sekilas terbayang bantuan yang datang dari Surakarta.
Agaknya pasukan sandinya yang memotong jalur hubungan dengan Surakarta bekerja kurang ba ik, sehingga ada utusan yang berhasil lolos dan me manggil bantuan secukupnya. "Pangeran pasukan itu telah datang." "Ya. Pasukan siapa?" "Dari Sukawati. Pasukan yang sedianya harus mengganggu pasukan Surakarta apabila mengejar kita yang menurut rencana akan segera menarik diri. " "Pasukan dari Sukawati ?" Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dala m. "terpujilah na ma Tuhan yang masih me lindungi kita semuanya." "Pangeran" berkata penghubung itu "mere ka berhenti diluar me dan. Mereka menunggu perintah Pangeran." "Baiklah" berkata Pangeran Mangkubumi "mereka harus langsung masuk ke medan. Pasukan Surakarta kini bertempur menghadap ketiga arah. Menghadapi pasukan Pangeran Ranakusuma, pasukan Raden Juwiring dan pasukanku. Maka pasukan dari Sukawati akan menjadi pasukan kee mpat yang akan menyerang dari arah kee mpat pula." Penghubung itu tidak menunggu perintah Pangeran Mangkubumi diulangi. Iapun segera meninggalkan medan ke mbali menghubungi pasukan yang baru datang itu. Sementara itu Pangeran Mangkubumi yang seakan-akan. mendapatkan tenaga baru itupun bertempur sema kin gigih. Demikian pula para Senapati dan para pemimpin yang lain, yang ada didala m pasukannya Beberapa orang Pangeran justru telah menga muk seperti burung garuda dirusak sarangnya. Sejenak ke mudian ma ka pasukan dari Sukawati itupun telah mendekati arena dari arah kee mpat. Pasukan yang masih segar itu, meskipun tidak terla mpau besar, namun
me miliki ke ma mpuan yang akan menentukan dala m medan yang sudah mula i le lah. Kedatangan pasukan Sukawati itu benar-benar telah mengejutkan pasukan Surakarta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa Pangeran Mangkubumi masih me mpunyai pasukan cadangan yang kuat, yang segera menggoyahkan seluruh pasukan Surakarta. Dala m pada ito pasukan sapit kanan dari gelar Supit Urang yang sudah semakin rusak, masih tetap berada disapit kiri Meskipun sebagian dari pasukan itu berada diinduk pasukan me lawan pasukan Pangeran Mangkubumi, namun Tumenggung Sindura sendiri tidak na mpa k pada seluruh pasukannya, karena ia masih harus berte mpur melawan Pangeran Ranakusuma bersa ma Pangeran Yuda kusuma. Karena itu Senapati yang berada diinduk pasukanlah yang harus menga mbil pimpinan. Ia harus me mbagi pasukannya me lawan pasukan Pangeran Mangkubumi yang bara datang dari Sukawati. Namun, kedatangan pasukan yang segar itu benar-benar telah merusak keseimbangan. Serangan yang menyentak itu bagaikan gotncangan yang terasa disegenap pasukan dalam gelar yang sudah rusak sa ma sekali itu. Dengan demikian, maka prajurit Surakarta dan kumpeni harus me meras tenaga melawan kekuatan yang kini menjadi lebih besar. Bahkan terasa jauh lebih besar. Senapati yang ada di induk pasukanpun ke mudian meneria kkan perintah, agar pasukan Surakarta bertempur dengan segenap ke ma mpuan yang ada. "Kalian adalah kesatria dari Surakarta" teriak Senapati itu "kalian harus menjunjung tinggi martabat kalian, Surakarta adalah negara yang me mancarkan wahyu perlindungan. Karena itu harus kalian pertahankan dengan bertaruh nyawa."
Teriakan itu me mang dapat menyentuh hati setiap prajurit Surakarta. Darah didalam setiap dada rasa-rasanya bagaikan mendidih karenanya. Namun dalam pada itu, tiba-tiba terdengar bagaikan jawaban seorang Senapati dari pasukan lawan menjawab "Marilah kita bertempur me lawan prajuritprajurit yang telah kehilangan pegangan. Hanya kesatria sejati sajalah yang bertempur dengan sadar, bahwa yang dila kukan didasari atas cita-cita yang luhur. Nah, prajurit-prajurit dari Surakarta. Katakan, apakah yang sedang kalian la kukan sekarang " Kalian bertempur me lawan ke luarga sendiri sekedar untuk me lindungi orang kulit putih itu ?" Jawaban itu benar-benar telah menggoncangkan setiap dada. Prajurit-prajurit Surakarta yang sudah mulai menggelora itupun, terasa terpengaruh juga oleh jawaban lawannya. Dan bahkan beberapa orang diantara mereka mulai berpikir "Apakah yang sebenarnya telah aku lakukan ?" Tetapi sebenarnyalah mereka tida k se mpat berpikir lebih panjang lagi. Sejenak ke mudian, pe mimpin mereka telah berteriak pula me mberikan aba-aba, sehingga yang terjadi ke mudian adalah peperangan yang se makin dahsyat. Namun, kedatangan pasukan dari Sukawati benar-benar telah mendebarkan jantung setiap Senapati dari Surakarta. Tenaga mereka yang masih segar, segera mengatasi kesulitan yang diala mi oleh Pangeran Mangkubumi, Dala m keadaan yang lebih baik itulah, maka Pangeran Mangkubumi mula i me mikirkan Senapati-senapati lawannya. Bahkan Panglima pasukan Surakarta yang dikenalnya dengan baik, karena sebenarnyalah Senapati Agung itu adalah saudaranya sendiri. Setelah Pangeran Mangkubumi yakin, maka iapun segera me manggil seorang Pangeran yang mengikutinya didala m pasukannya. Pangeran Hadiwijaya. Dengan mantap Pangeran Mangkubumi berkata "Peganglah pimpinan. Aku akan mencari dan langsung mene mui Pangeran Yuda kusuma, Panglima
pasukan Surakarta yang kini dipersiapkan mengge mpur Pandan Karangnangka. Ke mudian a ku juga a kan berusaha bertemu dengan Tumenggung Sindura, sebelum aku menggilas kumpeni sa mpa i habis didala m pasukan lawan." "Adimas" berkata Pangeran Hadiwijaya "serahkan Tumenggung Sindura kepadaku. Aku akan mene mukannya meskipun ia sudah tidak berada disayap kanan gelarnya yang rusak." "Kau tetap disini. Pimpinan pasukan ada di tanganmu." Pangeran Hadiwijaya tidak dapat mengelak lagi. Ia harus me megang pimpinan gelar Cakra Byuha dan sekaligus me mberikan perintah dan imbangan pada pasukannya yang ada diarah la in. Bahkan pasukannya yang dibawa oleh Buntal me mbantu Raden Juwiring diekor ge lar lawan. Demikianlah Pangeran Mangkubumi berusaha melepaskan diri dari gelar keseluruhan. Ia berusaha untuk dapat bertemu dengan Senapati Agung dari Sura karta, atau orang kedua yang memiliki kelebihan dari Senapati-senapati yang lain, yaitu Tumenggung Sindura, karena orang yang sebenarnya paling diperhitungkan oleh Pangeran Mangkubumi, yaitu Pangeran Ranakusuma, ternyata menentukan sikap lain dipeperangan itu. Namun Pangeran Mangkubumi tidak dapat mengaba ikan pertempuran secara keseluruhan. Ternyata pasukan yang datang dari Sukawati itu terla mpau cepat me mpengaruhi medan. Tenaga mereka yang masih segar mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sekali! terdengar mereka bersorak seperti membelah langit, diikuti dengan gerak maju yang mengejutkan lawan. Kumpeni yang ada didala m pasukan Surakarta mengumpat tidak habis-habisnya. Seorang perwira menggera m "Orangorang terbelakang masih juga me mpergunakan mulutnya dimedan perang."
Desakan pasukan yang datang dari Sukawati itu benarbenar me mpengaruhi se luruh medan. Karena sebagian pasukan Surakarta terhisap oleh serangan baru itu, maka dibagian-dibagian yang Iainpun pasukan Sura karta menjadi semakin le mah. Ternyata pasukan Surakarta dan Kumpeni itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Disayap kiripun prajurit-prajurit Surakarta yang saling bertempur itu menjadi parah sekali. Sehingga perubahan keseimbangan yang terjadi, benar-benar telah menentukan keseluruhan peperangan itu. Sejenak ke mudian ternyata bahwa pasukan Surakarta tidak dapat bertahan lagi. Senapati tertinggi dida la m pasukan merekapun segera me merintahkan, pasukan Surakarta tidak lagi bertahan lebih la ma. Dan sesaat kemudian perintah yang diberikan secara rahasia itupun telah beredar diseluruh kelompok pasukan Surakarta. Merekapun perlahan-perlahan menguncup dan bersiap untuk melakukan gerakan surut. Sementara langit menjadi se makin la ma sema kin bura m. Matahari yang menjadi semakin rendah, cahayanya me merah seperti mata seorang gadis yang menangisi kekasihnya yang gugur dime dan perang. Ternyata prajurit-prajurit Surakarta mengambil kese mpatan dengan baik. Mereka bertahan untuk beberapa lama, sehingga matahari benar-benar telah hilang dibalik cakrawala. Demikian senja menjadi se makin bura m, maka jatuhlah perintah yang sebenarnya dari pimpinan prajurit-prajurit Surakarta, bahwa sisa pasukan Surakarta dan Kumpeni yang parah, diperintahkan untuk mundur dan meningga lkan medan. Perintah itu telah menggerakkan arena dala m keseluruhan. Pertempuran itu seakan-akan telah mengalir dan bergeser dari tempatnya dengan cepat Tetapi prajurit Surakarta adalah prajurit-prajurit terlatih. Karena itu, mereka tidak mundur dari
medan seperti segerombolan kanak-kanak yang ketakutan, lari bercerai-berai. Pasukan Surakarta dan Kumpeni masih tetap berada dalam kesatuan meskipun tidak lagi berbentuk gelar perang. Mereka mundur sambil berte mpur sesuai dengan kebulatan pasukannya. Namun pasukan Sura karta dan Kumpeni itupun masih harus me lepaskan korban-korban berikutnya disepanjang garis surut. Tetapi pasukan Pangeran Mangkubumipun tidak luput dari bebanten, Saat-saat mereka mendesak pasukan Sura karta, masih juga ada pengawal-pengawal yang harus dilepaskan pergi untuk sela ma-la manya. Dala m pada itu, pasukan Raden Juwiring dan Buntal harus menyingkir menghindari gerakan mundur pasukan Surakarta itu. Mereka tidak me mpunyai kekuatan yang cukup untuk menahan, agar prajurit-prajurit Surakarta itu tetap berada ditempatnya sampai orang terakhir. Sehingga dengan demikian, justru pasukan Raden Juwiringlah yang harus me mberikan jalan kepada mereka untuk menarik pasukannya. Semakin la ma maka mala mpun menjadi sema kin gelap. Tidak ada seorangpun yang sempat menyalakan obor dimedan yang mulai menjadi kisruh. Ba ik prajurit Surakarta maupun para pengawal dari Pandan Karangnangka dan dari Sukawati. harus berhati-hati menentukan lawan. Didala m gelap, tidak mudah untuk segera mengenal, siapakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Karena itulah, maka Pangeran Mangkubumipun menyadari, bahwa pasukannya akan mene mui kesulitan apabila perang masih terus dilakukan. Sehari penuh pasukannya telah bertempur melawan prajurit-prajurit Surakarta yang terlatih baik. Karena itulah, maka Pangeran Mangkubumipun t idak me mbiarkan pasukannya kehilangan banyak korban yang tidak
menentu didala m perang yang gelap. Dan Pangeran Mangkubumi harus tetap tidak dikejar oleh gejolak perasaannya saja karena kebenciannya kepada kumpeni. Ternyata Pangeran Mangkubumi tetap menyadarinya. Meskipun keinginannya untuk me numpas se mua orang asing didala m pasukan Surakarta itu be lum dapat dilaksanakan tetapi Pangeran Mangkubumi mengetahui, bahwa sudah banyak sekali korban yang jatuh diantara kumpeni. Kesadaran atas keadaan itulah, yang telah mendorongnya untuk me merintahkan pasukannya menghentikan pertempuran, dan menarik pasukannya yang sedang mendesak prajurit-prajurit Sura karta yang sudah kehilangan tenaga dan tekad. Mala m yang gelaplah yang agaknya telah menolong prajurit-prajurit Surakarta dan Kumpeni yang tersisa. Namun yang tersisa itupun benar-benar bagaikan seorang prajurit yang telah kehilangan tangannya. Tidak bertenaga sama sekali. Sedangkan yang pa ling parah diantara pasukan Surakarta itu adalah kumpeni. Demikianlah, maka pasukan Pangeran Mangkubumi itupun akhirnya telah me lepaskan pasukan Sura karta yang bergerak surut. Dengan kecewa mereka ke mbali keinduk pasukan karena mereka masih melihat beberapa orang kumpeni yang sempat melarikan diri didala m pasukan Sura karta itu. Ketika pasukan itu telah berkumpul, barulah mereka sempat mulai menyalakan obor. Ketika api yang ke merahmerahan menerangi medan, mereka masih me lihat prajuritprajurit Surakarta; ada diantara mereka. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit Surakarta yang dipimpin oleh Raden Juwiring dan Pangeran Ranakusuma. Dengan ragu-ragu Raden Juwiringpun ke mudian mendekati pamandanya. Sambil me mbungkukkan kepalanya dalam-
dalam ia berkata "A mpun pa manda. Ternyata tidak sepadan apa yang sudah aku dapatkan dari tanah ini." Pangeran Mangkubumi menepuk bahunya sambil berkata "Juwiring, kau sudah berbuat sebaik-baiknya. Kau telah menunjukkan bakti dan kesetiaanmu kepada Surakarta me la mpaui segala-segalanya. Aku sudah mendengar pula, bahwa kaulah erang yang mendapat kepercayaan untuk me mbawa berita penyergapan atas Pandan Karangnangka dan diterima oleh saudara seperguruanmu Buntal atas perintah Ki Wandawa. Dan kau telah ikut pula meringkihkan perlawanan Kumpeni dimedan ini. Kau dapat bertindak tepat pada waktunya tanpa ada pengkhianatan dari anak buahmu. Dan itu pertanda bahwa kau adalah seorang Senapati yang ditaati dan berwibawa. Selebihnya, ternyata bahwa kau telah mendapat bimbingan yang benar. Bukan saja oleh gurumu, tetapi ayahandamupun telah ikut me mbentuk kau menjadi seorang pejuang yang baik." Kata-Kata itu bagaikan mengingatkan Juwiring kepada ayahandanya. Karena itu maka katanya "Tetapi aku belum me lihat ayahanda. Ketika pasukan Surakarta mundur, seharusnya ayahanda ikut me mberikan tekanan disayap yang pecah itu" Pangeran Mangkubumi mengerutkan keningnya. Kemudian me mandang prajurit-prajurit Surakarta yang semula berada di sapit kiri "Dima nakah Senapati pengapit yang telah membantu kami me nghalau kumpeni itu ?" Beberapa orang prajurit termangu-ma ngu. Seorang lurah prajurit menjawab "Disaat terakhir hamba masih melihat Pangeran Ranakusuma bertempur melawan Tumenggung Sindura, dibantu oleh Pangeran Yuda kusuma yang telah terluka." "Pamanda Yudakusuma terluka?"
"Ya. Oleh Pangeran Ranakusuma. Tetapi Pangeran Yudakusuma masih berte mpur terus. Ke mudian arena berguncang, sehingga semuanya agak menjadi kacau, sampai saatnya gelap menyelimut i medan dala m keseluruhan." Wajah Raden Juwiring menjadi tegang. Sejenak ia mencoba me mandang berkeliling. Tetapi gelap yang pekat bagaikan dinding yang tidak tertembus oleh tatapan matanya. "Kita lihat dibekas arena pertempuran. Kita cari ditempat lurah prajurit itu me lihat terakhir." "Apakah prajurit-prajurit Sura karta sempat menangkapnya" desis seorang pengawal Pangeran Mangkubumi. "Tida k" sahut Juwiring "tida k ada seorangpun yang dapat menangkap ayahanda, kecuali jika ayahanda telah gugur dipeperangan." Pengawal Pangeran Mangkubumi itupun terdia m. Ia mengerti bahwa tidak mudah menangkap Pangeran Ranakusuma. Dan jika ada orang yang ma mpu menangkapnya, maka Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan mudah menyerahkan diri dala m keadaan hidup apabila ia sudah menentukan sikap seperti yang dilakukannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi, para Pangeran yang lain didala m pasukannya, Juwiring dan prajurit-prajuritnya adalah mencari Pangeran Ranakusuma. Beberapa orang yang membawa obor telah mendahuluinya. Mereka menerangi ha mpir seluruh arena di sayap kiri gelar supit urang yang telah dipasang oleh pasukan Surakarta. Untuk beberapa saat mereka mendekati setiap tubuh yang terbaring. Sekaligus mereka mencari orang-orang yang terluka, tetapi masih hidup untuk mendapat perawatan seperlunya. Baik pasukan Pangeran Mangkubumi maupun prajurit-prajurit Surakarta. Merekalah yang mendapat
perhatian terlebih dahulu daripada tubuh yang telah me mbeku dan tidak bernyawa lagi. Meskipun adalah menjadi kuwajiban pula untuk menguburkan mayat yang gugur dipeperangan dari kedua belah pihak. Dala m pada itu, seorang prajurit y"ng mendekati tubuh demi tubuh yang terbaring itu, tiba-tiba berteriak "Pangeran hamba me ne mukan Pangeran Ranakusuma" Juwiringlah yang pertama-tama berlari me ndekati orang itu, diikuti oleh orang-orang lain. Seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, sebenarnyalah mereka mene mukan tubuh Pangeran Ranakusuma terbaring ditanah. Namun agaknya Pangeran Ranakusuma masih bernafas betapa sendatnya. "Ayah, ayahanda" Juwiring berteriak sambil berlutut disisi tubuh ayahnya. Kemudian mengangkat kepala ayahnya dan diletakkannya dipangkuannya. "Ayahanda" desis Juwiring. Pangeran Ranakusuma me mbuka matanya. Dilihatnya dalam kere mangan mala m, dan kekaburan pandangannya, beberapa orang mengerumuninya. Cahaya obor yang ke merah-merahan mengusap wajah-wajah yang tegang yang ada disekitarnya. "Siapa kau" suara Pangeran Ranakusuma lirih. "Ha mba ayahanda Juwiring." Nampa k Pangeran Ranakusuma tersenyum. ternyata bahwa keadaannya telah terlampau le mah. Na mun
"Ayahanda terluka ?" bertanya Juwiring karena ia tidak me lihat luka ayahandanya sama sekali. Apalagi Juwiring percaya bahwa peluru kumpeni dan ujung senjata lawannya, tidak mudah dapat mene mbus kulit Pangeran Ranakusuma.
Pangeran Ranakusuma mengangguk. Lalu suaranya tersendat-sendat "Siapakah orang-orang itu Juwiring." Sebelum Juwiring menjawab, Pangeran Mangkubumi telah berjongkok pula disisinya. "Ka mas, ka mi telah menghadap." "Siapa ?" "Mangkubumi." Pangeran Ranakusuma yang lemah itu berusaha mengangkat kepalanya, tetapi kepala itupun kemudian terkulai lagi di-pangkuan Juwiring. Sedang dari bibirnya terdengar Pangeran Ranakusuma berdesis "Adimas. Adimas Mangkubumi." Pangeran Mangkubumi mende kat sambil menjawab "Ya kamas." "Akhirnya aku meyakini kebenaran sikapmu. Agaknya kau adalah tumpuan harapan rakyat Surakarta." Pangeran Mangkubumi bergeser semakin dekat. Katanya "Ka mas. Baiklah ka mi berusaha untuk menolong ka mas. Mungkin diantara pasukan ka mi ada seorang tabib yang ba ik." Tetapi Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepa lanya. Katanya "Adimas. Aku kira, sudah tidak ada lagi kese mpatan bagiku untuk se mbuh dari luka ini." "Tetapi ayahanda tidak terluka." desis Juwiring. Pangeran Ranakusuma tersenyum. Katanya "Kau tida k melihat lukaku Juwiring. Luka yang sangat parah. " "Tetapi tida k ada setitik darahpun ditubuh ayahanda." "Lihatlah pergelangan tanganku" Juwiring termangu-mangu sejenak. Ia ragu-ragu untuk me lihat pergelangan jtangan ayahandanya. Namun Pangeran Mangkubumi-lah yang ke mudian mengangkat tangan itu dan menga mat-a matinya dengan saksa ma.
Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Ia melihat luka yang menganga tergores dipergelangan tangan itu meskipun t idak menitikkan darah. Tetapi disekitar luka itu nampak warna yang hitam ke merah-merahan seperti luka bakar. Sementara ditangan Pangeran Ranakusuma na mpak noda yang kebiru-biruan dibeberapa tempat. "Pamanda " suara Juwiring tersekat dikerongkongan. "Luka ini agaknya me mang berbahaya. Semacam racun yang keras telah bekerja didala m tubuh ka mas Ranakusuma." "Jadi ?" Pangeran Mangkubumi berpaling, Dengan isyarat ia me manggil seorang tabib yang me ma ng dibawanya ke medan. Perlahan-lahan tabib itu menga mat-a mati luka ditangan Pangeran Ranakusuma. Sejenak na mpa k wajahnya berkerut dalam. Pangeran Ranakusuma berdesis serak "Tidak ada gunanya lagi kalian mencoba mengobati aku. Racun itu me mang terlampau keras. Racun itu berasal dari sebilah keris yang tidak ada duanya." "Ayahanda" Juwiring menjadi se makin ce mas, "Adimas Mangkubumi" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian "Didekat tubuhku terbaring ini, terdapat tubuh Tumenggung Sindura yang sakti itu. Hanya kerisnya sajalah yang dapat meluka i kulitku. Na mun iapun harus menebus pula dengan jiwanya. Ka mi telah sa mpyuh dime dan setelah aku berhasil me luka i adimas Yudakusuma. Tetapi agaknya adimas Yudakusuma se mpat me mbebaskan dirinya dari ujung senjataku." "Ya ka mas. Pangeran Yudakusuma se mpat menarik diri diantar pasukannya,"
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Na mun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil menggera m "Bagaimana dengan kumpeni" Aku sudah bertempur mejawan kedua Senapati tertinggi dari Surakarta. Aku ingin agar pasukanku se mpat menghancurkan kumpeni." "Kumpeni menga la mi kerugian yang besar seka li ka mas. Mereka ha mpir musna dipeperangan ini." "Mereka harus ditumpas." "Ya ka mas. Mereka me mang harus ditumpas." Kepala Pangeran Ranakusumapun terkulai lagi dengan le mahnya. Sementara itu tabib yang melihat lukanya mengge lengkan kepalanya dengan tanpa harapan. Pangeran Mangkubumipun menjadi tegang me lihat keadaan Pangeran Ranakusuma yang semakin la ma menjadi sema kin le mah itu. ' "Adimas Pangeran Mangkubumi" berkata Pangeran Ranakusuma "kenapa hal ini harus terjadi " Ternyata aku telah me mbunuh seorang Senapati besar dari Sura karta. Tumenggung Sindura dan me luka i Senapati yang cerdik, Pangeran Yudakusuma. Aku sendiri harus mati dipeperangan sebelum aku me lihat mayat terakhir dari kumpeni yang ada dibumi ini." "Ka mas sudah berjuang sebaik-ba iknya bagi tanah ini" berkata Pangeran Mangkubumi. Tetapi Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepa lanya. Katanya "Aku hanya ma mpu saling berbunuhan dengan kadang sendiri. Adimas. Kau adalah pejuang yang sebenarnya. Kau berjuang atas sikap dan keyakinanmu." "Ka mas juga. Ka maslah sebenarnya yang telah menentukan ke menangan dibenturan pertama ini, meskipun agaknya korban cukup besar."
Tetapi Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya sambil tersenyum "Tida k adimas. Aku sama sekali bukan seorang pejuang yang berkeyakinan seperti kau. Kau benarbenar berjuang atas dasar cita-cita yang luhur bagi tanah ini. Tetapi jika kita bersikap jujur, aku bertempur karena denda m pribadi." "Tentu bukan Mangkubumi. hanya karena itu" potong Pangeran
"Baru ke mudian tumbuh kesadaran perjuangan itu. Tetapi itupun kurang berarti. Yang na mpak dida la m hatiku adalah dendam se mata-mata. Kematian anakku Rudira, dan isteriku yang telah dicemarkan na manya oleh orang-orang asing dan masih banyak lagi yang dilakukan, telah me mbuat aku semakin kuna menjadi se makin muak." Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-da la m "tetapi berbeda dengan kau adimas. Kau sejak se mula me mang orang pejuang. Aku iri me lihat sikapmu itu." "Ka mas harus meyakini. Ka mas sudah berjuang pula." Tetapi sekali lagi Pangeran Ranakusuma mengge leng "Aku adalah orang yang menda mbakan denda m dihati. Tanpa dendam aku t idak a kan berbuat apa-apa. Bahkan mungkin akulah yang harus berhadapan dengan adimas Pangeran Mangkubumi dipeperangan." "Apapun alasannya kamas, tetapi kamas telah berbuat sesuatu. Kamas telah berjasa bagi Surakarta, karena ternyata bahwa dipeperangan yang baru saja terjadi, kumpeni telah banyak sekali kehilangan. Kehilangan orang-orangnya dan senjatanya." Pangeran Ranakusuma tersenyum betapapun pahitnyaKemudian ia mencoba menggeliat sambil menyeringai. Katanya "Aku tidak akan dapat bertahan lagi." "Ayahanda" desis Juwiring.
Pangeran Ranakusuma me mandang Juwiring sejenak, lalu "Juwiring, kau adalah satu-satunya anak laki-laki. Sepeninggalku, kau akan menggantikan kedudukanku. Tetapi sudah barang tentu kau t idak a kan dapat ke mbali ke Surakarta jika kau tidak ingin digantung. Lupakan saja apa yang ada dirumah kita. Barang-barang mewah yang sebagian justru berasal dari kumpeni." "Ya ayahanda." "Tetapi dirumah itu ada sesuatu yang berharga bagi kita. Sangat berharga." "Apa ayahanda. ?" "Warih" "O. Diajeng Warih" "Ya." "Apakah aku harus menga mbilnya ?" Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya. Katanya "Tida k. Ia sudah dibawa keluar kota. Ia berada di padepokan Jati Aking. Untuk sementara ia aku t itipkan pula kepada Kiai Danatirta karena aku percaya kepadanya, karena ia telah menghasilkan anak-anak muda seperti kau dan Buntal." "Siapakah yang me mbawanya ke sana?" "Dipana la," suara Pangeran Ranakusuma menjadi se makin le mah "Juwiring, kau adalah kakaknya, Kau bertanggung jawab atasnya." "Ka mas" desis Pangeran Mangkubumi yang keadaan kakak seayah itu menjadi se makin le mah. melihat
"Perjuanganmu suci adimas Pangeran Mangkubumi. Kau berhak meneruskannya. Tetapi aku t idak. Perjuanganku bernoda dendam. Karena itu namaku tidak pantas disebut bersama na ma mu. Dan aku lebih senang jika na maku
dilupa kan orang, karena setiap disebut namaku, akan tersirat pula meskipun tidak diucapkan, nama-na ma Rudira yang telah terbunuh oleh kumpeni dan Raden Ayu Sontrang." "Setiap orang akan menarik batas diantara kamas dan orang lain meskipun keluarga ka mas sendiri." "Itu tidak perlu. Aku sudah merasa puas bahwa disaat terakhir aku sudah dapat meringankan bebanmu adimas.". suara Pangeran Ranakusuma terputus. Nampak wajahnya menjadi tegang "Ayahanda" panggil Juwiring. Pangeran Ranakusuma mengerahkan tenaganya yang masih tersisa "Juwiring, sala mku buat saudara-saudara seperguruanmu Buntal dan gadis yang disebut-sebut sebagai Bunga Dibatu Karang itu." "Mereka ada disini ayahanda." Pangeran Ranakusuma tersenyum ketika sa ma-sama nampak Buntal dan Arum mende katinya. Perlahan-lahan ia mengangguk, dengan susah payah. "Ambillah Warih menjadi adikmu. Bukankah kalian sudah dipersaudarakan dan diangkat anak oleh Kiai Danatirta" desis Pangeran Ranakusuma kepada Buntal: "Nah, Juwiring, ayahmu ke mudian adalah Kiai Danatirta, Aku tidak akan dapat
menungguimu lebih la ma. Lupakan yang pernah terjadi atasmu dan lupakan pula seorang Pangeran yang bernama Ranakusuma " "Ka mas." desis Pangeran Mangkubumi "Adimas, perjuanganmu masih panjang Lanjutkan. Kau tentu akan berhasil. " Pangeran Ranakusuma sudah kehilangan segenap tenaganya. Ia benar-benar sudah lemah sekali, dan tabib yang sudah berada disisinya merasa tidak ma mpu lagi berbuat apaapa untuk menolongnya "Aku minta diri" desisnya "batillah dengan keris yang telah me lukai tanganku. Juwiring, keris itu agaknya masih menuntut korban de mi korban. Karena itu, carilah keris yang bertangkai kayu cangkring. Labuhlah keris itu diatas gunung Lawu. Biarlah keris itu beristirahat disana untuk selamanya. Mudahmudahan tidak ada seorangpun yang akan mene mukannya" "Ya ayahanda" jawab Juwiring. Tetapi suaranya hampir tidak dapat meluncur dari kerongkongannya yang terasa panas sekali. Sesaat kemudian, na mpaknya Pangeran Ranakusuma sudah tidak dapat bertahan lebih la ma lagi. Nafasnya menjadi semakin sendat. Dengan matanya yang buram dipandanginya orang-orang yang ada disekitarnya. Ketika terlihat olehnya samar-sa mar Pangeran Mangkubumi ma ka btbirnyapun bergerak "Sela mat berjuang adimas." Pangeran Mangkubumi tida k sempat menjawab. Mata Pangeran Ranakusuma itupun ke mudian terpeja m, dan dengan sisa tenaganya ia menggerakkan tangannya bersilang didada. Tidak seorangpun yang dapat berbuat apa-apa. Pangeran Ranakusumapun ke mudian menarik nafas dalam-dala m. Ketika nafas itu dilepaskannya, maka nafas itu adalah nafasnya yang
terakhir. Pangeran Ranakusuma gugur dipangkuan anak la kilakinya yang pernah disisihkannya dari istananya. Sejenak rasa-rasanya Juwiring me mbeku. Tetapi t idak setitik airpun yang menge mbun dimatanya. Betapa kesedihan me landa jantungnya. Namun Juwiring ada lah seorang prajurit yang berada dimedan perang yang menunggai ayahandanya, juga seorang prajurit linuwih yang telah gugur didala m perjuangannya, apapun alasannya. Tetapi Pangeran Ranakusuma telah berjuang untuk menghancurkan kumpeni yang me mpunyai kedudukan se makin kuat di Sura karta. Pangeran Mangkubumi ke mudian berdiri dengan kepala tunduk. Tetapi gugurnya Pangeran Ranakusuma telah menjadi cambuk bagi perjuangannya. Sejenak ke mudian. Pangeran Mangkubumi itupun berdesis "Juwiring. Biarlah para prajurit menyelenggarakan tubuh ayahandamu yang telah dilepaskannya dalam perjuangan ini. Karena sebenarnyalah ia akan menjalani hidupnya yang kekal. Tubuh itulah yang justru tidak akan dapat dipertahankan betapapun tinggi ilmu yang akan dicapai oleh manusia untuk tetap dapat hidup sebagaimana hidup itu sendiri akan kekal adanya, didalam satu jaman yang kekal disisi Tuhan Yang Maha Esa." Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian iapun beringsut pula, dan menyerahkan wadag yang telah kosong itu kepada para prajurit yang setia kepada Pangeran Ranakusuma. "Kita tida k akan dapat terlalu la ma berada dite mpat ini" berkata Pangeran Mangkubumi "meskipun menurut perhitungan, Kumpeni dan prajurit Surakarta tentu tidak akan segera datang mengepung tempat ini, karena keadaan pasukan mereka. Na mun ke mungkinan yang demikian, betapapun kecilnya masih harus diperhitungkan. Pangeran Yudakusuma ada lah seorang Senapati yang tra mpil dan bertindak cepat. Perhitungannyapun cukup mantap. Apalagi
disa mpingnya terdapat beberapa orang perwira Kumpeni yang harus diakui ketajaman perhitungannya atas medan, sebagaimana pengala man yang pernah mereka peroleh dala m pengembaraan mereka melintasi benua dan sa modra." "Ka mba pa manda." jawab Juwiring sa mbil menunduk dalam-da la m. "Karena itu, kita harus segera bersiap-bersiap meninggalkan te mpat ini. Kita akan menarik diri dengan me mbawa se mua korban. Sementara itu, bukan berarti bahwa kita sa ma sekali t idak berperike manusiaan jika kita meninggalkan korban lawan dimedan ini. Karena kitapun percaya, bahwa orang-orang Surakarta dan prajurit Surakarta yang ada, masih juga me mpunyai rasa perike manusiaan yang cukup untuk menyelenggarakan tubuh-tubuh yang terbaring dimedan ini." berkata Pangeran Mangkubumi. "Ha mba pa manda" jawab Juwiring "na mun ha mba masih harus mela ksanakan pesan ayahanda. Hamba masih harus mencari tubuh Tumenggung Sindura dan menga mbil keris yang telah me mbunuh ayahanda itu." Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Carilah bersa ma beberapa orang prajurit. Aku akan me mpersiapkan pasukan ini bersama pe mbantu-pe mbantuku dan menentukan langkah se lanjutnya. Kau akan diberi tahu, apa yang harus kita lakukan bersa ma." Juwiring mengangguk sa mbil menjawab "Ha mba Pa manda. Jika hamba telah selesai, maka hamba akan menghubungi pamanda." Pangeran Mangkubumipun ke mudian me ningga lkan Juwiring untuk mengatur penarikan pasukannya. Meskipun pada benturan pertama itu, pasukannya mendapat ke menangan, namun yang terjadi itu tida k akan dapat dilepaskan dengan denda m yang me mbara dihati Pangeran Ranakusuma. Jika Pangeran Ranakusuma tidak menga mbil
langkah seperti yang dila kukannya itu, maka yang dila kukan Pangeran Mangkubumipun akan berbeda. Ia akan melakukan rencana yang telah disusunnya. Menyerang, kemudian menarik diri, sementara pasukan dari Sukawati akan menyerang pasukan Surakarta dan Kumpeni yang akan mengejar pasukan itu. Tetapi yang terjadi tidaklah demikian. Tanpa diketahui lebih dahulu oleh Pangeran Mangkubumi, ma ka Pangeran Ranakusuma telah me lakukan satu tindakan yang menguntungkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Tetapi yang terjadi itupun merupakan satu pengala man tersendiri bagi Pangeran Mangkubumi. Dala m pertempuran itu, ternyata korban yang paling besar adalah justru orang orang Surakarta sendiri. Meskipun Kumpeni menga la mi kerugian yang besar, tetapi masih belum sebesar prajurit Surakarta. Sawahpun menjadi rusak. Tana man padi yang sedang saatnya berbunga itupun menjadi hancur terinja k ka ki para prajurit, dan parit serta pe matangpun pecah dan terputus oleh kaki kuda yang me lingkar-melingkar dala m perang yang baru saja terjadi. Sementara itu dua Senapati besar dari Surakarta telah sampyuh dimedan. Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-da la m. Yang terjadi itu bukanlah yang dikehendaki. Yang menjadi musuh utama baginya adalah Kumpeni. Meskipun Kumpeni bertempur bersama prajurit Surakarta, namun ia harus mencari jalan, bahwa sasaran utamanya adalah Kumpeni. Pengalaman itu ternyata telah mempengaruhi cara yang dipergunakan oleh Pangeran Mangkubumi untuk menghadapi Kumpeni di Surakarta. Sementara itu, selagi Pangeran Mangkubumi me mpersiapkan pasukan itu untuk menarik diri, sebelum
Surakarta menga mbil sikap tertentu, maka Juwiring masih sibuk mencari tubuh Tumenggung Sindura. Akhirnya, Juwiring dapat menemukannya. Tumenggung Sindura yang terbaring itu masih menggengga m keris yang telah tergores ditubuh ayahandanya. "Inilah keris itu" desis Juwiring. Buntal dan Arum yang masih berada dimedan bersama Raden Juwiring itupun menyaksikan, betapa keris ditangan Tumenggung Sindura itu bagaikan menyala. "Keris yang menurut ayah, selalu dibayangi oleh denda m" berkata Raden Juwiring "keris yang sakti ini harus aku labuh sesuai dengan pesan ayahanda sebelum keris iri menuntut korban berikutnya dan berikutnya lagi." Buntal bergeser mende kat. Ia melihat sebilah keris yang nampaknya masih belum siap benar. Wilahannya yang kasar dan apalagi hulunya yang dibuat seolah-olah sekedarnya saja. Namun de mikian, oleh mata wadag, meskipun bagi seseorang yang tidak mengerti sa ma sekali tentang keris dan wesi aji, akan dapat melihat bahwa keris itu me miliki sesuatu yang terpancar oleh tuahnya. "Pantas" desis Juwiring. "Apa ?" bertanya Arum. "Bahwa keris ini berhasil menggores tangan ayahanda dan bahkan telah menyebabkan ayahanda gugur dipeperangan ini" jawab Juwiring. Arum mengangguk-angguk. Ia melihat, betapa keris itu seakan-akan tidak mau terlepas dari tangan Tumenggung Sindura. Namun akhirnya Juwiring berhasil menga mbil keris itu dari tangan. Tumenggung Sindura. Bahkan ke mudian dia mbilnya pula wrangka yang terselip dipunggungnya. Namun seperti
keris itu sendiri, ma ka wrangkanyapun ternyata sangat sederhana. Bahkan tidak pantas sebagaimana wrangka keris seorang Senapati besar seperti Tumenggung Sindura. Namun didala m kesederhanaan ujud itu, ternyata keris itu adalah keris yang jarang dicari bandingnya. "Mudah-mudahan keris ini tida k me mpengaruhi jiwaku" berkata Raden Juwiring. "Me mpengaruhi bagaimana ?" bertanya Arum. "Keris yang bertuah akan dapat me mpengaruhi mereka yang me mbawa atau menyimpannya" jawab Raden Juwiring. Namun ke mudian Buntal menyahut "Ya. Wesi aji me mang me mpunyai pengaruh tertentu kepada pemiliknya atau orang yang menyimpannya. Namun ha l itu tergantung pula kepada setiap pribadi yang bersangkutan. Jika pribadi yang bersangkutan cukup kuat dan mapan, maka tidak akan ada pengaruh yang dapat menggoncangkan kepribadian itu." "Nah, bukankah begitu" Arum mena mbahnya "bukankah ayah pernah berkata bahwa kematangan pribadi akan sangat berarti bagi perke mbangan jiwa kita selanjutnya. Aku kira termasuk ke mungkinan pengaruh wesi aji seperti yang dikatakan oleh Raden Juwiring itu." "Sebut na maku. Bukankah kita bersaudara" desis Juwiring, Arum menarik nafas dalam-dala m. Sementara itu Juwiring berkata "Mudah-mudahan pribadiku cukup besar untuk mengatasi pengaruh keris yang luar biasa milik Tumenggung Sindura dari yang telah merenggut jiwa ayahanda." "Dengan keyakinan yang teguh" sahut Buntal. Raden Juwiring mengangguk-angguk. Katanya "Pusaka ini tidak akan terlalu la ma berada ditanganku. Aku harus segera me labuhnya tanpa diketahui oleh orang lain, sehingga keris ini tidak akan jatuh ketangan orang yang tidak berhak, yang-akan
dapat menjadi saluran denda m yang tersimpan dida la m keris ini." Buntal mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Raden Juwiring harus me lakukannya dengan baik dan sangat berhatihati. Bahkan Raden Juwiringpun harus menjaga, agar dirinya sendiri tida k terdorong kedala m satu keinginan untuk nieniiliki pusaka yang jarang ada bandingnya itu. Dala m pada itu, ternyata Pangeran Mangkubumi telah selesai dengan mengatur pasukannya. Mereka yang mendapat tugas untuk mengumpulkan para korbanpun telah selesai pulai Karena itulah, maka Pangeran Mangkubumipun segera me mbawa pasukannya meninggalkan medan. Ada juga terbersit keragu-raguan untuk meninggalkan korban lawan begitu saja. Namun Rangeran Mangkubumi tidak me mpunyai waktu lagi. Iapun masih tetap me mperhitungkan ke mungkinan, pasukan Surakarta dan Kumpeni akan datang dalam ke kuatan yang berlipat. Tetapi Pangeran Mangkubumipun percaya, bahwa hal itu tentu sudah diperhatikan pula oleh para prajurit Surakarta dan mungkin orang-orang yang berada dipadukuhan terdekat. Tetapi sudah tentu bukan. Pandan Karangnangka yang telah kosong. Karena itulah, maka sejenak ke mudian pasukan Pangeran Mangkubumipun me mbawa pasukannya ketempat yang sudah ditentukan, yang hanya diketahui oleh beberapa orang terpenting saja. Namun dala m pada itu, pasukan Pangeran Mangkubumi justru telah bertambah. Para prajurit Sura karta yang semula berada dibawah pimpinan Pangeran Ranakusuma dan sebagian dari pasukan berkuda yang berada dibawah pimpinan Raden Juwiringpun telah berada dida la m pasukan Pangeran Mangkubumi.
"Kita sudah melangkah" berkata Pangeran Mangkubumi "kita tidak a kan dapat surut lagi." Dengan demikian, ma ka setiap orang yang telah mene mpatkan diri keda la m pasukan Pangeran Mangkubumipun menyadari, bahwa peperangan demi peperangan akan terjadi. Pertempuran-pertempuran yang seru masih akan menunggu kapanpun. Dala m pada itu, yang menjadi angan-angan Buntal adalah justru padepokan Jati Aking. Mungkin para Senapati di Surakarta dan para perwira Kumpeni yang cerdas, akan sempat mengura i peristiwa yang baru terjadi. Didala m pasukan Surakarta, Pangeran Ranakusuma telah me mberontak bersa ma anaknya Raden Juwiring. Se mentara Raden Juwiring me mpunyai hubungan yang sangat erat dengan Jati Aking. Tidak mustahil, bahwa para perwira di Surakarta dan para perwira Kumpeni pada akhirnya dapat menga mbil satu kesimpulan bahwa jalur yang telah me mbocorkan rencana Surakarta dan Kumpeni menyerang Pandan Karangnangka adalah Pangeran Ranakusuma lewat puteranya Raden Juwiring yang menya mpaikan berita itu me lalui Padepokan Jati A king. Karena itu, didala m perjalanan meninggalkan bekas arena itu Buntal berbisik kepada Raden Juwiring "Apakah kita tidak berusaha untuk menga mankan Jati Aking ?" "Maksudmu ?"bertanya Raden Juwiring. Buntalpun ke mudian menguraikan pendapatnya tentang ke mungkinan-ke mungkinan itu. Lalu katanya "Bukankah Rara Warih berada di Jati Aking pula ?" "Ya" sahut Juwiring. "Jika hal itu diketahui, oleh para petugas sandi dari Surakarta, maka mungkin akan dapat me mbahayakan keadaannya dan seluruh isi padepokan."
Raden Juwiring mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa ke mungkinan seperti yang dikatakan oleh Buntal itu akan dapat terjadi. Karena itu, maka iapun bertanya "Bagaimana menurut pertimbanganmu Buntal ?" "Kita pergi ke Jati Aking. Ke mudian kita akan menyusul pasukan Pangeran Mangkubumi." jawab Buntal. Raden Juwiring me ngangguk-angguk. Lalu katanya "Baiklah. Aku akan mohon ijin pa manda Pangeran. Jika pamanda Pangeran mengijinkan, aku sependapat, bahwa Warihpun harus disela matkan disa mping ayah Danatirta sendiri." "De mikianlah menurut pertimbanganku" sahut Buntal. Raden Juwiringpun ke mudian menghadap pa manda Pangeran Mangkubumi untuk menya mpaikan permohonannya, agar ia diperkenankan untuk melihat keadaan adik perempuannya lebih dahulu. Pangeran Mangkubumi berpikir sejenak. Ke mudian katanya "Bertemulah dengan Ki Wandawa. Katakan niatmu dan katakan pula kepadanya, bahwa kau sudah menyampaikan permohonan itu kepadaku." "Ha mba pa manda" sahut Raden Juwiring. Iapun mengerti, bahwa dala m beberapa hal yang menyangkut persoalan sandi dan pengamanan ada pada Ki Wandawa, sehingga karena itu, maka Raden Juwiringpun segera mene mui Ki Wandawa yang berjalan tidak terlalu jauh dibelakang Pangeran Mangkubumi. "Raden akan pergi bersama kedua anak Jati Aking itu ?" bertanya Ki Wandawa. "Ya pa man." jawab Juwiring. "Baiklah. Jika Raden akan pergi ke Jati Aking, aku persilahkan segera. Kemungkinan seperti yang Raden
cemaskan itu me mang dapat terjadi. Karena itu, daripada Raden akan datang bersama petugas sandi dari Sura karta, lebih baik Raden datang lebih dahulu. Menurut pendapatku, Padepokan itu me mang harus disela matkan seperti yang Raden ma ksudkan." Raden Juwiring tida k ke mba li lagi kepada pa mandanya, karena Ki Wandawa sudah mengatakan, bahwa ia sendirilah yang akan menyampa ikannya kepada Pangeran Mangkubumi. Karena itulah, setelah Raden Juwiring menyerahkan pasukannya bekas sebagian dari Pasukan berkuda, kepada Ki Wandawa agar ditunjuk pimpinan yang akan me nggantikan untuk se mentara, maka Raden Juwiringpun mohon diri bersama Buntal dan Arum, untuk pergi ke Jati Aking, karena menurut Pangeran Ranakusuma, sesaat sebelum segalanya terjadi, Warih telah diserahkan kepada Ki Dipanala untuk dibawa ke Padepokan Jati Aking. "Hati-hatilah" pesan Ki Wandawa "keadaan sudah menjadi semakin gawat. Tentu akan terjadi se maca m perlombaan, siapakah yang bertindak cepat aritara pasukan Surakarta bersama Kumpeni dan pasukan Pangeran Mangkubumi. Selain itu, akan terjadi pula pacuan ketajaman penglihatan dan kecerdasan nalar antara para petugas sandi dari kedua belah pihak, karena hal itu akan ikut menentukan a khir dari setiap peristiwa." "Terima kasih" jawab Raden Juwiring "a ku mohon restu. Mudah-Mudahan yang akan terjadi selalu berada dibawah perundungan Tuhan Yang Maha Esa." Demikianlah, ketiga orang itupun segera meningga lkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Mereka menga mbil arah me mintas langsung menuju ke padepokan Jati Aking. Seperti pesan Ki Wandawa, mereka harus segera sampai ke padepokan itu sebelum justru para prajurit Sura kartalah yang datang lebih dahulu.
Ketiga anak-anak muda itu berpacu dengan kecepatan tinggi. Disepanjang jalan, beberapa orang petani melihat dengan hati yang berdebar-debar. Mereka telah mengetahui, bahwa baru saja terjadi perang yang mengerikan. Beberapa orang yang melihat peristiwa itu pada sisa-sisanya di pagi hari, telah menceriterakan hal itu kepada setiap orang yang dijumpainya. Dengan demikian maka berita itu segera me loncat dari mulut ke mulut, merayap keseluruh daerah yang luas. Tetapi ketiga anak-anak muda itu tidak menghiraukannya. Bahkan se makin la ma kuda mereka seolah-olah berlari semakin cepat menuju ke padepokan Jati Aking. Dala m pada itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ranakusuma. Warih me mang sudah berada di padepokan Jati Aking. Ki Dipanala yang mendapat tugas untuk mengantarkannya, telah menyerahkan gadis itu kepada Kiai Danatirta demi kesela matannya. "Lalu, apa yang akan kau lakukan Ki Dipana la ?" bertanya Kiai Danatirta. "Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku tidak akan berani ke mbali keistana Ranakusuman lagi, justru setelah peristiwa itu terjadi. Meskipun a ku belum tahu, bagaimanakah akhir dari peristiwa yang tentu akan sangat mendebarkan itu. namun aku sudah dapat me mbayangkan bahwa istana Ranakusuman akan ditutup oleh Kumpeni." "Bagaimana dengan ke luarga mu ?" bertanya Kia i Danatirta. "Aku sudah me mbawa mereka pergi sehari sebelumnya" jawab Ki Dipanala "mereka berada didesa terpencil te mpat asalnya." Kiai Danatirta katanya mengangguk-angguk. Namun ke mudian
"Tetapi bagaimana padepokan kecil ini."
menurut pertimbanganmu tentang Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Karena Rara Warih berada didalam, ma ka Ki Dipanalapun ke mudian berkata "Pangeran Ranakusuma telah me milih jalan yang paling dekat. Bersama Raden Juwiring ia telah menentukan sikap. Karena itu, ma ka me mang tidak mustahil, bahwa padepokan ini akan berada dalam putaran perhitungan para perwira prajurit Surakarta dan Kumpeni. Mereka tentu akan menghubungkan dengan masa la mpau Raden Juwiring. Ia pernah berada dipa depokan ini. Dengan demikian, maka penghianatan Pangeran Ranakusuma menurut pendapat mereka, tentu disalurkan lewat anak laki-lakinya dan hubungan itu akan dila kukan me lalui padepokan ini." Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya "Kita akan menunggu hasil dari pertempuran yang tentu sudah berlangsung atau bahkan masih berlangsung pagi ini. Mungkin Pasukan Pangeran Mangkubumi ikut terlibat kedala m pertempuran itu, tetapi jika Pangeran Mangkubumi telah meninggalkan padukuhan itu, dan tida k melihat apa yang terjadi, maka kemungkinan yang paling pahit akan terjadi atas Pangeran Ranakusuma dengan seluruh pasukannya." Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Na mun katanya ke mudian "Tetapi aku kira Pangeran Mangkubumi masih meninggalkan sebagian pasukannya seandainya ia benarbenar meninggalkan dan mengosongkan padukuhan itu. Namun menurut perhitunganku, Pangeran Mangkubumi akan me mperguna kan cara yang terbiasa dikatakan dan dalam latihan-latihan diperguna kan, adalah cara menyerang dan ke mudian me nghilang. Dengan pasukan kecil, Pangeran Mangkubumi akan berhasil menjatuhkan korban yang cukup besar." "Jika masih ada Pasukan Pangeran Mangkubumi ditempat itu, mungkin keadaan akan berbeda. Mungkin Pangeran
Ranakusuma dan pasukannya betapapun kecilnya."
akan mendapat bantuan Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Namun dala m pada itu, Kiai Danatirta berkata "Jika de mikian, maka bukankah seba iknya kita me mpersiapkan diri menghadapi segala ke mungkinan ?" "Sudah tentu" jawab Ki Dipanala "tetapi apa yang dapat kita lakukan selain menyela matkan diri. Jika beberapa utusan sandi datang ke mari dan menangkap kita, maka apakah kita akan dapat mengelak?" "Jika yang datang hanya satu atau dua orang saja, kenapa kita harus berce mas hati ?" bertanya Ki Danatirta pula "Jika yang datang sepuluh orang dan terpilih pula. Apakah para cantrik akan dapat berbuat sesuatu ?" desis Ki Dipana la. Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Lalu katanya "Jalan yang paling baik me mang menghindar. Apakah kita akan meninggalkan padepokan ini ?" Kiai Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Tetapi Kiai me mang harus menga mbil langkah-langkah tertentu." Kiai Danatirta menyadari gawatnya keadaan. Memang tidak mustahil, bahwa para perwira di Sura karta akan melihat padepokan ini sebagai salah satu te mpat yang menjadi jalur hubungan antara orang-orang dalam dengan mereka yang dianggap telah me mberontak, justru karena sikap Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring yang diketahui pernah tinggal dipadepokan ini." Karena itu, maka Kiai Danatirtapun berkata "Baiklah. Aku akan me mberitahukan kepada para cantrik, untuk se mentara biarlah mereka kemba li kerumah masing-masing. Padepokan ini me mang harus dikosongkan." "Lalu, Kiai Danatirta sendiri akan pergi ke mana ?" bertanya Ki Dipana la.
Kiaj Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Aku tidak tahu. Tanpa putri yang diserahkan oleh Pangeran Ranakusuma, aku a kan dapat mencari te mpat untuk diri sendiri. Aku dapat mene mui Kiai Sarpasrana dan berada didala m lingkungannya. Tetapi dengan Putri Warih, aku harus mendapatkan tempat yang baik dan terlindung. Tidak mustahil bahwa Kumpeni akan berbuat licik dengan menangkap putri itu untuk dipergunakan sebagai ja minan, agar Raden Juwiring menyerahkan diri." "Me mang mungkin se kali" berkata Ki Dipanala. "Aku akan me mikirkannya ke mudian" desis Ki Danatirta "sekarang, aku akan memanggil para cantrik dan me mberi kesempatan kepada mereka untuk meninggalkan padepokan ini." "Silahkan Kiai" jawab Ki Dipanala "se mentara itu, mungkin ada pikiran yang baik bagi Kiai Danatirta." Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun iapun ke mudian bangkit dan melangkah dengan langkah lesu keruang belakang. Seorang cantrik yang kebetulan lewat dipanggilnya. Katanya "Panggillah kawan-kawanmu. Aku ingin berbicara dengan ka lian semuanya." Cantrik itu termangu-mangu. Na mun ke mudian iapun me langkah surut. Kawan-kawannyapun menjadi heran. Na mpaknya ada persoalan yang sangat penting yang akan disa mpaikan, kepada mereka. Biasanya Kiai Danatirta tidak pernah bersikap demikian sungguhi dan rasa-rasanya bahkan agak menyimpang dari kebiasaannya. Tetapi para cantrik itupun akhirnya berkumpul pula. Bahkan rasa-rasanya mereka tida k sabar lagi menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Kiai Danatirta itu.
Namun akhirnya, dengan hati yang berdebar-debar para cantrik itu mendengar, betapa gawatnya keadaan. Dengan hati-hati Kia i Danatirta berusaha untuk menjelaskan "Persoalannya tidak menyangkut kalian masing-masing. Tetapi sebaiknya kalian me ma klumi. Keadaan tidak menentu sekarang ini akan dapat menyulitkan kalian. Karena itulah, maka untuk se mentara, aku anjurkan, agar ka lian pulang kerumah masing-masing. Sudah barang tentu hanya untuk sementara. Pada saatnya, aku akan me manggil kalian ke mba li kepadepokan" Para cantrik itu menjadi se makin gelisah. Tetapi merekapun sudah mendengar ke melut' yang terjadi di Surakarta. Namun mereka t idak mengetahui dengan jelas, hubungan yang langsung antara kemelut itu dengan padepokan mereka, sehingga mereka harus meninggalkannya. Tetapi merekapun menyadari, seandainya tidak ada masalah yang sangat penting, maka Kiai Danatirta tentu tidak akan me mperlakukan mere ka de mikian. Karena para cantrik itu na mpaknya masih saja termangumangu, maka Kia i Danatirta itupun berkata "Jangan menjadi bingung atau kehilangan pegangan. Keadaan memang menghenda ki de mikian. Pada saatnya semuanya akan lampau. Dan kalian akan berada dipadepokan ini ke mba li dengan damai." "Kapan Kiai ?" bertanya seorang cantrik. Kiai Danatirta tersenyum. Jawabnya "Aku tidak dapat menjawab. Tetapi kita akan berdoa bersama-sama, agar saat itu segera akan datang." Kecewa dan gelisah me mbayang disetiap wajah para cantrik. Namun Kiai Danatirta menekankan "Untuk kepentingan kalian, segeralah bersiap. Kalian tidak me mpunyai waktu banyak. Hari ini kalian harus sudah meninggalkan padepokan kecil ini."
Dengan demikian, betapapun perasaan kecewa menghentak dada para cantrik, na mun merekapun segera ke mbali ke bilik masing-masing. Mereka me mpersiapkan barang-barang milik mereka yang pada umumnya tidak banyak. Hanya beberapa lembar pakaian yang mereka pergunakan dala m kehidupan mere ka yang sederhana di padepokan itu. Sementara para cantrik menge masi barang-barangnya, Kiai Danatirta jtelah berada kembali di pendapa. Dengan sungguhsungguh ia masih saja berbincang dengan Ki Dipanala tentang ke mungkinan-ke mungkinan yang baka l datang. Dala m pada itu, tiba-tiba saja Rara Warih muncul dengan ragu-ragu kependapa. Dengan tatapan mata yang penuh pertanyaan dipandanginya Kiai Danatirta dan Ki Dipanala berganti-ganti. "Marilah puteri, apakah ada sesuatu yang ingin puteri katakan kepada ka mi ?" bertanya Kiai Danatirta. Rara Warih termangu-mangu. Namun ke mudian terloncat pertanyaannya "Kiai, apakah para cantrik akan pergi meninggalkan padepokan ini ?" -ooo0dw0ooo-
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 21 KIAI DANATIRTA me mandang Rara Warih sekilas. Na mun ke mudian iapun menarik nafas sambil berpaling kepada Ki Dipanala. "Katakan Kiai" desis Ki Dipana la "sudah saatnya puteri me lihat kenyataan di sekitarnya" Kiai Danatirta beringsut sejenak. Lalu katanya "Silahkan duduk puteri. Mungkin ada beberapa keterangan yang perlu puteri ketahui" Rara Warihpun melangkah mendekat dan kemudian duduk di sebelah Ki Dipanala. Tatapan matanya yang memancarkan kegelisahan dan seribu maca m pertanyaan me mbuat Kiai Danatirta justru termangu-mangu. Na mpaknya tatapan matanya itu begitu bersih dan jujur. Sesaat Kiai Danatirta justru terdia m. Ketika ia me mandang Ki Dipana la, orang itupun sedang menundukkan kepalanya. Terasa betapa beratnya untuk mengatakan kebenaran tentang keadaan Surakarta dala m keseluruhan kepada Rara Warih.
Namun sebaiknya gadis itu mengetahui, apa yang sedang berkecamuk dan bahkan telah mulai me mbakar Sura karta. "Puteri" berkata Kia i Danatirta ke mudian "para cantrik me mang akan meningga lkan padepokan ini" "Kenapa Kiai?" bertanya Warih. Namun Kiai Danatirtapun telah me nduga, bahwa Rara Warih telah dapat menjajagi peristiwa yang mungkin bakal terjadi. Meskipun Rara Warih termasuk seorang gadis yang manja sebelumnya, tetapi ia adalah seorang gadis yang cerdas. Karena itu, maka Kiai Danatirtapun menjawab "Puteri. Mungkin Puteri telah dapat menduga, apa yang dapat terjadi atas padepokan ini dala m ke me lut yang se makin panas dan mulai menyala di Surakarta ini. Padepokan ini adalah padepokan yang pernah menjadi tempat tinggal Raden Juwiring" Rara Warih menundukkan kepalanya. Namun terdengar desis le mbut "Aku kurang me ngerti Kiai, apakah yang sudah dilakukan oleh ayahanda dan kakanda Juwiring dala m pergolakan sekarang ini" Kiai Daniatirta menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Puteri telah dibebaskan dari persoalan itu dengan me mbawa puteri ke mari. Tetapi menurut perhitungan ka mi di sini, maka kamipun harus menga mbil satu sikap" "Kenapa dengan padepokan ini Kia i?" bertanya Warih. "Kakanda puteri, Raden Juwiring, pernah tinggal di padepokan ini. Puteri, pagi ini perang telah mulai berkobar. Tetapi kumpeni tentu mendapat kesan, bahwa telah terjadi pengkhianatan dari antara pe mimpin prajurit Surakarta sendiri. Dan ke mudian akan ternyata bahwa Raden Juwiring telah dengan sengaja menyusup di antara prajurit berkuda di Surakarta, namun dala m keyakinan yang tetap, yaitu untuk mengusir kumpeni dari Tanah ini" jawab Kiai Danatirta,
"Ya Kiai. Aku sudah menduga, bahwa kakanda Juwiring akan bersikap demikian. Bahkan meskipun aku tidak pasti, tetapi menurut pengamatanku, sikap itu sudah diketahui oleh ayahanda" sahut Rara Warih. "Ya puteri. Tetapi apakah puteri mengetahui sikap ayahanda puteri?" bertanya Kiai Danatiijta. Rara Warih ragu-ragu sejenak. Namun ke mudian ia menjawab sa mbil menggeleng "Aku tidak yakin. Tetapi kebencian ayah kepada kumpeni pada akhirnya akan me mba kar jantungnya" "Tepat puteri" berkata Kiai Danatirta ke mudian "dan semuanya itulah yang kami pertimbangkan di sini, sehingga padepokan ini harus dikosongkan. Apalagi jika ada petugas sandi yang mengetahui, bahwa puteri ada di sini" Rara Warih mengangguk kecil. Sementara Kiai Danatirta me lanjutkan "Kita masih belum mengetahui dengan pasti hasil terakhir dari pertempuran yang terjadi. Kitapun tidak tahu pasti, apakah Pangeran Mangkubumi akan meninggalkan padukuhan itu sepenuhnya, atau akan melakukan perlawanan dengan caranya" Rara Warih menarik nafas dalam-dala m. Dengan suara rendah ia berkata "Aku mengerti Kiai. Dan akupun mengerti, kenapa padepokan ini harus dikosongkan. Itukah agaknya maka para cantrik harus meninggalkan padepokan ini" "Benar puteri. Dan ka mi berduapun sedang me mikirkan apakah yang sebaiknya kami lakukan. Ka mi berdua dan sudah barang tentu puteri" sendiri, juga harus meninggalkan padepokan ini" berkata Kiai Danatirta. Rara Warih menunduk sa mbil berguma m lirih "Aku hanya dapat me mbuat orang lain menjadi sibuk dan kesulitan" "Tida k. Bukan begitu puteri" sahut Kia i Danatirta dengan serta merta "Dalam keadaan seperti ini, maka kita semua akan
menjadi sibuk. Seandainya puteri tidak berada di sinipun, kami tentu sudah membuat pertimbangan-pertimbangan serupa sehingga akupun merasa wajib untuk menyela matkan para cantrik" "Terlebih-lebih setelah aku berada di sini" desis Warih. "Itu sudah menjadi kewajibanku, puteri" Dipanala lah yang menyahut "tugasku tida k terlalu berat jika dibandingkan dengan tugas kakanda puteri, Raden Juwiring, yang harus hadir di me dan dengan dua wajah. De mikian pula ayahanda puteri. Pangeran Ranakusuma dan prajurit-prajurit yang setia di dala m pasukannya" Rara Warih menundukkan kepalanya semakin da la m. Terbayang dua orang anak muda yang pernah tinggal bersama kakandanya di padepokan ini, yang menurut pendengarannya telah menyatukan diri dengan pasukan Pangeran Mangku-bumi, seperti juga yang dilakukan oleh kakandanya, namun dengan cara yang berbeda. Sementara itu, para cantrikpun telah selesai me mpersiapkan diri. Mereka telah berkumpul di pendapa untuk minta diri kepada Kiai Danatirta. "Baik-baiklah di perjalanan" berkata Kiai Danatirta "mungkin kalian akan bertemu dengan pasukan yang manapun juga. Kalian tidak perlu gelisah. Jika mereka bertanya kepada kalian, katakan bahwa kalian sedang mene mpuh perjalanan pulang, setelah kalian beberapa lama berada di rumah sanak kadang. Jika tidak terpaksa, jangan sebut padepokan Jati Aking. Nama padepokan ini mungkin akan menyulit kan ka lian. Para cantrik mulai mengerti akan kedudukan padepokan itu. Karena itu, ma ka merekapun menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Kiai Danatirta adalah se mata-mata bagi keselamatan mere ka se muanya.
Kiai Danatirta masih me mberikan beberapa pesan kepada para cantrik itu. Baru ke mudian iapun-berkata "Nah, aku tidak dapat memberikan beka l apapun juga dalam keadaan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan kalian sela mat di perjalanan sampai ke tempat keluarga kalian masing-masing. Sampaikan salamku kepada orang tua kalian, dan aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat mengantarkan kalian masing-masing. Sebenarnya aku ingin menyiapkan kalian untuk me mbantu perjuangan Pangeran Mangkubumi, tetapi waktunya terlalu sempit, sehingga kalian belum siap untuk langsung turun ke medan. Karena itu, kembalikan kepada keluarga kalian. Mungkin ada yang dapat kalian lakukan di padukuhan ka lian masing-masing" Betapa beratnya, namun para cantrik itupun ke mudian mohon diri meninggalkan padepokan itu. Rasa-rasanya kaki mereka t idak mau melangkah lagi, ketika mereka sudah berada di regol padepokan. Ada semaca m kecintaan yang sulit untuk di tanggalkan terhadap isi padepokan itu. Tanaman yang hijau segar, Buah-buahan dan terbersit pula di dalam hati mereka, siapakah yang akan meme lihara ternak dan binatang peliharaan yang terdapat di padepokan itu" "Apakah Kiai Danatirta akan mengge mbala kan ka mbing dan menaburkan makanan bagi ayam dan itik?" bertanya para cantrik itu di dala m hatinya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Keadaan Surakarta dalam keseluruhan me nuntut mereka menyela matkan diri dari tangan kumpeni atau orang-orang yang telah berkiblat kepada mereka. Sementara itu, sepeninggal para cantrik. Kiai Danatirta dan Ki Dipana la telah merencanakan untuk berbuat sesuatu bagi keselamatan binatang peliharaan di padepokan itu. Kiai Danatirta berniat untuk me mbagi saja ka mbing, itik dan ayam kepada orang-orang di padukuhan sebe lah. Dengan demikian,
maka binatang itu akan tetap terpelihara, sementara orangorang padukuhan itupun akan berterima kasih kepadanya. "Ki Dipanala" berkata Kiai Danatirta ke mudian "se muanya harus kita lakukan dengan segera. Baru kemudian, kita akan meninggalkan padepokan ini juga" "Apakah Kiai sudah me mpunyai satu ga mbaran yang pasti, ke manakah Kiai akan pergi?" bertanya Ki Dipana la. "Aku belum menentukan. Tetapi tujuan kita yang pertama, dan untuk sementara kita akan dapat tinggal, adalah padepokan saudara sepupuku. Padepokan Karangsari. Kita akan tinggal untuk se mentara. Dan aku yakin, bahwa tidak ada orang yang akan menelusuri kita sampa i ke padepokan yang kecil dan terpencil itu" jawab Kiai Danatirta "sela ma itu, aku akan mencari hubungan dengan Raden Juwiring yang berada di dala m pasukan Pangeran Mangkubumi atau dala m kedudukan yang khusus. Jika Raden Juwiring masih belum bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi, maka aku akan dapat berhubungan dengan Buntal atau Kiai Sarpasrana" Ki Dipanala mengangguk-angguk. Lalu katanya "Baiklah. Jika demikian, marilah. Kita akan menyerahkan ternak itu. Apakah kita mengundang orang-orang yang akan kita serahi, atau kita akan mengantarkan kepada mereka. Sementara puteri sempat berke mas sehingga kitapun akan segera dapat berangkat" Namun dala m pada itu, selagi Kiai Danatirta me mbicarakan ke mungkinan yang paling baik untuk me mbagi ternak dan hewan yang ada di padepokan itu, mereka telah terkejut oleh derap kaki kuda mendekati gerbang padepokan. Dengan tergesa-gesa Kiai Danatirta berdesis "Masuklah puteri" Warihpun mengerti. Karena itu, maka iapun dengan cepatnya menyelinap me masuki pintu pringgitan dan hilang di ruang dala m.
Kiai Danatirta dan Ki Dipana la tetap duduk di pendapa. Meskipun debar jantungnya mereka menjadi se makin cepat, seperti derap kaki kuda yang semakin dekat. Namun mereka nampaknya masih tetap tenang. Sejenak ke mudian, beberapa ekor kuda dengan penunggangnya telah me masuki hala man padepokan. Ternyata denyut jantung kedua orang itu seakan-akan telah berhenti, ketika mereka melihat orang-orang yang dengan wajah yang garang menarik ke kang kuda mereka di hala man. Para penunggang kuda itupun segera berloncatan. Dengan tergesa-gesa mereka mena mbatkan kuda mereka pada patokpatok yang memang disediakan. Tetapi karena jumlah kuda itu lebih banyak dari patok-patok yang ada. maka sebagian dari kuda-kuda itu telah ditambatkan pada batang-batang perdu yang ada di hala man itu. Kiai Danatira dan Ki Dipanalapun saling berpandangan sesaat. Namun merekapun ke mudian bangkit berdiri menyongsong orang-orang berkuda yang kemudian berdiri tegak di ha la man. Kiai Danatirta dan Ki Dipanala yang sudah berada di halaman itupun mengangguk hormat. Dengan suara dalam Kiai Danatirta berkata "Marilah Ki Sanak. Aku persilahkan Ki Sanak se muanya naik ke pendapa" Orang yang nampaknya menjadi pe mimpin sekelompok orang-orang berkuda itu maju beberapa langkah mendekati Kiai Danatirta dan Ki Dipanala. Dengan suara parau ia bertanya "Apakah aku berhadapan dengan Kiai Danatirta?" "Ya. Ki Sanak me mang berhadapan dengan Kiai Danatirta" jawab Kia i Danatirta dengan hati yang berdebar-debar "tetapi silahkan. Mungkin Ki Sanak me mang me mpunyai kepentingan dengan aku?"
"Terima kasih Kia i" jawab orang itu. Lalu katanya "Baiklah aku langsung pada persoalannya. Waktuku hanya sedikit" "Apakah ada sesuatu yang penting sekali?" bertanya Kiai Danatirta. "Ya. Memang pent ing sekali" jawab orang itu "sebelumnya, baiklah aku me mperkena lkan diri. Kami sekelompok ini, adalah kelompok prajurit berkuda dari Surakarta. Kami sengaja tidak me mperguna kan tanda-tanda keprajuritan agar, tidak terlalu menarik perhatian" "O, jadi Ki Sanak dari pasukan berkuda di Surakarta?" bertanya Kiai Danatirta. "Ya. Dan kami menge mban tugas dari pimpinan ka mi untuk berbicara langsung dengan Kiai Danatirta" berkata pe mimpin prajurit berkuda itu. "Baiklah. Marilah me mpersilahkan. silahkan duduk" Kiai Danatirta
Tetapi sekali lagi orang itu menolak. Katanya "Terima kasih. Waktuku hanya sedikit. Aku datang untuk bertanya tentang Raden Juwiring" "O, kenapa Danatirta. dengan Raden Juwiring?" bertanya Kiai
"Kau tentu sudah tahu. Apa yang dila kukan oleh Raden Juwiring dan ayahandanya, Pangeran Ranakusuma, Raden Juwiring ada lah murid padepokan ini. Banyak yang dapat aku tuduhkan kepada mu Kia i. Tetapi sebaiknya tidak sekarang. Marilah, ikut aku ke Surakarta jika Raden Juwiring sekarang tidak berada di te mpat ini" "Ki Sanak" berkata Kiai Danatirta "berita yang Ki Sanak bawa benar mengejutkan aku. Aku me mang tidak mengetahui apapun juga. Raden Juwiring telah lama tida k berada di padepokan ini. Sejak adindanya yang bernama Raden Rudira itu meninggal, Raden Juwiring telah diambil ke mba li oleh
ayahandanya. Sejak itu. ia tidak pernah datang lagi ke padepokan ini" "Katakanlah kepada para perwira tinggi di Surakarta. Mungkin Kiai juga akan berurusan dengan perwira kumpeni yaug bertugas di Surakarta. Jangan kau katakan apapun juga kepadaku" jawab pe mimpin dari sekelompok pasukan berkuda yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan itu. Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Dengan suara berat ia berkata "Ki Sanak. Aku me mpunyai pekerjaan yang cukup banyak di padepokan ini. Agaknya sulit bagiku untuk meninggalkan padepokan ini meskipun hanya satu hari saja" "Kia i Danatirta" berkata pe mimpin prajurit berkuda itu "seharusnya Kiai sudah mengetahui bahwa Kiai tida k dapat menjawab seperti itu. Sibuk atau tidak sibuk. Mau atau tidak mau. Kia i harus ikut aku ke Surakarta. Katakan segala sesuatu tentang Raden Juwiring, Dan barangkali kau dapat juga mengatakan, bahwa padepokan ini menjadi te mpat pertemuan antara Raden Juwiring yang me mbawa berita dari ayahandanya bagi Pangeran Mangkubumi yang sudah jelas me mberontak terhadap Kangjeng Susuhunan" "Ki Sanak" potong Kiai Danatirta "Apakah yang kau katakan itu" Aku tidak mengerti sa ma se kali apa yang kau maksud" "Sudahlah" sahut pemimpin pasukan berkuda itu "cepatlah berkemas. Aku masih me mpunyai banyak tugas" Kiai Danatirta termangu-mangu sejenak. di luar sadarnya ia telah menghitung jumlah kuda yang terikat di ha la man itu. "Sepuluh" desisnya bagi diri sendiri "Betapa beratnya menghadapi sepuluh orang sekaligus. Tetapi agaknya akan lebih baik daripada harus menghadap ke Surakarta" Namun Kiai Danatirta tidak melupakan Rara Warih. Ia tidak boleh jatuh ke tangan prajurit berkuda, yang pernah menjadi kesatuan kakandanya yang dianggap me mberontak. Jika Rara
Warih jatuh ke tangan mereka, maka orang-orang itu akan dapat me maksa Raden Juwiring untuk menyerah. Karena itu, maka Kiai Danatirtapun berniat untuk me mberi kesempatan kepada Rara Warih untuk menghindar. Jika terjadi benturan kekuatan, siapapun yang akan binasa, maka prajurit-prajurit itu tentu akan mencari siapapun yang ada di dalam. padepokan ijtu. Karena itu, ma ka Kiai Danatirtapun berkata "Baiklah Ki Sanak. Apapun yang akan aku lakukan, maka aku harus bersedia mela kukan perintah Ki Sanak" lalu katanya kepada Ki Dipanala "Aku titipkan padepokan ini kepada mu" "Tida k" bentak pemimpin prajurit itu "semuanya ikut bersama ka mi" Kiai Danatirta tertegun sejenak. Lalu katanya "Ki Sanak. Orang ini adalah ta muku. Ia bukan penghuni padepokan ini. Ia datang untuk menjengukku, karena ia seolah-olah tidak ubahnya seperti saudara kandungku sendiri." Pemimpin prajurit berkuda itu ragu-ragu sejenak. Namun tiba-tiba dari antara prajurit berkuda iitu, seorang yang bertubuh tinggi maju ke depan sambil berdesis "Bukankah orang ini Ki Dipana la" Salah seorang abdi Pangeran Ranakusuma " "He?" pe mimpin prajurit berkuda itu terkejut "jadi ia salah seorang abdi Ranakusuman?" "Ya. Aku pasti" desis orang yang bertubuh tinggi itu. Ki Dipanala tidak dapat menge lak lagi. Namun seperti Kiai Danatirta, ia sudah bertekad untuk lebih baik bertempur di padepokan ini daripada harus menghadap perwira kumpeni di Surakarta.
Dendam Makhluk Alam Roh 1 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bende Mataram 17
^