Pencarian

Bunga Di Batu Karang 27

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 27


Tetapi Buntal masih saja tidak menghiraukannya. Bahkan tiba-tiba ia meloncat maju sambil mengacukan pedangnya, dekat sekali ke dada Raden Juwiring.
Raden Juwiring surut selangkah. Namun dala m pada itu, ia masih tetap tenang. "Raden Juwiring. Cepat ambil senjatamu. Aku tidak akan me mbunuh orang yang berpangku tangan. Kita adalah muridmurid yang terpercaya dari Jati Aking. Karena itu, aku tidak akan merendahkan perguruan kita dengan me mbunuhmu sebelum kau menggengga m senjata. Aku tahu, bahwa setelah kau tinggalkan Jati Aking dan ke mudian berkhianat atas citacita kita bersa ma, kau adalah murid dari ayahandamu, seorang Pangeran yang me miliki ilmu tiada taranya. Tetapi aku pun mendapat imbangan ilmu dari Kia i Sarpasrana. Nah, sekarang, siapakah di antara kita yang dapat menyebut dirinya murid terbaik dari Kiai Danatirta" "Buntal" potong Arum. Namun Raden Juwiring berkata "Buntal. Bukankah baru sekarang kau katakan, bahwa sebenarnya kau me mpunyai harapan untuk hidup bersama Arum. Agaknya selama ini kau bersembunyi dari kenyataan suara hatimu sendiri" "Bukan hanya aku Raden. Ternyata kau juga berbuat serupa" potong Buntal, lalu "tetapi aku akan me lupakan persoalan itu, persoalan perempuan. Yang ada adalah persoalan antara penjilat kumpeni dan pengikut setia Pangeran Mangkubumi. Hanya itu. Kita tidak perlu berbicara tentang perempuan yang manapun juga" Wajah Arum menjadi merah padam. Dengan lantang ia berbicara "Kau menyinggung perasaanku kakang Buntal. Jika kau menjadi gelap mata dan kehilangan akal, karena sebenarnya kau berpikir tentang perempuan. Aku sadar, bahwa kau me mang mencintai aku meskipun kau tidak mengatakannya dengan tegas. Dan akupun tidak dapat ingkar bahwa aku me mang me ncintaimu. Tetapi kata-katamu, seolah-olah aku adalah pere mpuan yang hanya dapat menumbuhkan pertengkaran adalah sangat menyakit kan hati"
"Buntal" berkata Raden Juwiring ke mudian "Kau harus menyadari kela mbatanmu. Kau adalah seorang laki-laki. Tentu tidak mungkin Arum harus datang kepadamu dan mengatakan isi hatinya. Ia seorang gadis yang terikat oleh batasan-batasan hidup sebagai seorang gadis yang beradab" "Baik. Baiklah aku menyadari bahwa aku terlambat Sekarang kau sudah terlebih dahulu mendapatkannya. Tetapi aku tidak percaya bahwa persoalannya hanya sekedar karena kela mbatanku. Jika semula aku melihat sepercik sinar di dalam hati Arum karena kau tidak ada Raden. Aku hanyalah sekedar pengisi kekosongan se mata-mata. Sekarang, karena agaknya Arum sudah mendapatkan apa yang ditunggunya, maka aku tidak akan berarti lagi bagi hidupnya. Dan akupun tidak akan berjongkok untuk mohon belas kasihan. Aku datang sebagai utusan Pangeran Mangkubumi. Dan kedatanganmu ke mari ternyala kurang menguntungkan, karena sejenak lagi akan datang seorang utusan dari Surakarta. Dan orang itu akan me lihat mu di sini dan sekaligus akan dapat menjadi sa ksi pengkhianatanmu kepada semua orang di sekitarmu" "Buntal" berkata Raden Juwiring "jika kau mengerti bahwa akan datang seorang petugas sandi dari Surakarta, kenapa hal itu kau katakan kepadaku" Bukankah dengan demikian kau sudah mengucapkan rahasia yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang la in?" "Karena sebentar lagi kau a kan mati di sini Raden"
"Buntal" suara Arum me lengking "Kau me mang picik. Kau tidak mengerti akan dirimu sendiri" Buntal tertegun ketika ia melihat air mata me leleh di pipi Arum. Ia seorang gadis yang keras hati. Bahkan ia seorang gadis yang kadang-kadang hanya menuruti kehendaknya sendiri. Tetapi ia kini menangis. Buntal menahan getaran tangannya yang hampir saja mengayunkan pedangnya. Sekilas ia melihat beberapa orang berdiri di muka pintu. Tetapi tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu. "Untunglah bahwa agaknya Kiai Danatirta tidak ada di padepokan" desis Buntal "Tidak akan ada orang yang dapat mengha langi aku me mbunuh Raden. Juwiring" Tetapi air mata di pelupuk Arum me mbuatnya agak raguragu. "Kakang Buntal" berkata Arum "Kau me mang seorang anak muda yang diburu oleh kebencian dan denda m. Keadaanmu sejak kau terle mpar ke dala m keadaan yang tidak menentu, telah mendasari hatimu, sehingga meskipun ke mudian kau mendapat tuntunan dari ayah dan ke mudian kau menunjukkan sikap yang baik, tetapi pada suatu saat kebencian dan denda m yang mengendap di dasar hatimu sejak kau kanak-kanak itu tidak dapat kau se mbunyikan lagi" "Cukup" potong Buntal "Kau tidak usah mengungkap masa itu Arum. Aku berterima kasih kepadamu, bahwa selama ini aku sudah mendapat perlindungan dan bahkan kebaikan yang tidak ada taranya. Aku akan tetap mengenangnya. Tetapi sekarang, aku mempunyai persoalan dengan Raden Juwiring. Tidak dengan kau" "Jangan ingkar Buntal. Meskipun sebenarnya aku malu sekali mengatakan, tetapi di dasar hatimu, kau sekali lagi merasa kehilangan cinta. Dahulu kau kehilangan cinta kasih orang tuamu dan orang-orang di sekitarmu. Sekarang kau
merasa bahwa kau telah kehilangan cintaku. Buntal, aku mencintaimu. Aku berkata dengan jujur" "Tetapi apa yang kau lakukan sekarang dengan Raden Juwiring?" Buntal me mbentak "persetan. Aku tidak peduli apapun juga. Aku akan me mbunuhnya" Tiba-tiba wajah Arum menjadi merah. Dan tiba-tiba saja gadis itu meloncat meraih pedang yang tergantung di dinding. Buntal terkejut melihat sikap Arum. Ternyata gadis itu ke mudian menggengga m pedang dan mengacukan pula kepadanya. "Kakang Buntal. Raden Juwiring kali ini adalah tamuku. Aku berhak melindunginya meskipun ia ma mpu me lindungi dirinya sendiri. Tetapi agaknya Raden Juwiring tidak bersedia menanggapi sikapmu, ternyata ia sama sekali tidak menarik senjatanya" "Arum" suara Buntal me njadi ge metar. "Ya. Kita sama-sama murid dari perguruan Jati Aking. Jika Raden Juwiring mendapat ilmu rangkap dari ayahandanya, dan kau dari Kiai Sarpasrana, maka aku tidak mendapatkan ilmu dari orang lain kecuali Kiai Danatirta. Tetapi meskipun demikian, aku tidak akan menyerah. Aku akan menunjukkan bahwa aku ma mpu mengimbangi kalian dengan ilmu ka lian masing-masing" "Arum" desis Buntal "sebaiknya kau t idak ikut ca mpur. Serahkan persoalan antara aku dan Raden Juwiring kepada kami. Ka mi adalah laki-laki yang tahu bagaimana ka mi harus berhadapan sebagai laki-laki" "Aku tida k peduli apakah aku La ki-laki atau pere mpuan. Tetapi kau wajib tunduk kepadaku karena akulah yang me miliki rumah ini. Jika ayah tidak ada, akulah yang bertanggung jawab"
Wajah Buntal menjadi merah pada m. Ke mudian dipandanginya Raden Juwiring sambil berkata "Raden Juwiring Apakah kau me mbiarkan dirimu mendapat perlindungan dari seorang perempuan" Ataukah kalian me mang sudah bersepakat untuk mengkhianati perjuangan Pangeran Mangkubumi" Buntal menjadi tida k sabar lagi ketika ia masih mendengar Raden Juwiring berkata "Sebaiknya kita berbicara dengan mulut kita. Tidak dengan senjata teracu. Arum, kau jangan me mbiarkan perasaanmu berbicara. Aku berharap bahwa Buntalpun akan menyadari kesalahannya" "Persetan. Aku tidak bersalah" "Di antara kita telah terjadi salah paham, Buntal. Kau terburu nafsu. Ketika kau me lihat aku duduk berdua dengan Arum, maka kau sudah kehilangan pikiran warasmu" "Dia m, dia m" "Raden. Agaknya kakang Buntal memang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi" "Kenapa tidak. Aku mengharap kau dapat berbicara sebaikbaiknya" "Cukup. Cukup" potong Buntal. Raden Juwiring menjadi termangu-mangu sejenak. Sekilas ia melihat kegelisahan di luar pintu. Beberapa orang berusaha mencari Kiai Danatirta untuk melaporkan apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak berani minta pertolongan kepada orangorang padukuhan Jati Sari, karena mereka tentu tidak akan ma mpu berbuat apa-apa. Tetapi mereka tidak segera mene mukan Kiai Danatirta. Karena itu salah seorang dari merekapun segera berlari-lari ke sawah untuk mencarinya. Barangkali Kiai Danatirta sedang berada di sawah menunggui air.
Dala m pada itu, keadaan di bilik yang tegang itu menjadi semakin tegang. Buntal tidak dapat mengelak lagi dari amukan api ce mburu. Mau tidak mau ia harus mengakui, bahwa ia bukan saja mengacukan pedangnya karena da pengikut Pangeran Mangkubumi, tetapi juga karena perasaannya yang dihantaui oleh kesepian. Seperti yang dikatakan Arum, Buntal menjadi sangat ketakutan bahwa ia akan kehilangan cinta sekali lagi, setelah cinta kasih orang tuanya direnggut selagi sedang berke mbang. Dan kini, cintanya sebagai seorang anak muda terhadap seorang gadis akan patah selagi bersemi. Dengan suara gemetar Buntal itupun ke mudian berkata "Baiklah aku mengaku Arum. Aku harus mempertahankan harga diriku. Meskipun aku a kan kehilangan sekali lagi setelah kasih sayang orang tuaku, maka satu-satunya yang aku miliki adalah harga diriku. Harga diri sebagai seorang laki-la ki, dan harga diri sebagai seorang pejuang" Buntal berhenti sejenak "dan kini jika kau me mang me milih orang la in Arum, apaboleh buat. Dan jika kaupun telah mengkhianati perjuangan Pangeran Mangkubumi, maka se kali lagi aku katakan, apaboleh buat" "Hatimu menjadi gelap kakang. Cobalah dengarkan Raden Juwiring me mberi penje lasan" La lu katanya kepada Raden Juwiring "kenapa kau dia m saja Raden. Kau harus mengatakan sebelum terla mbat. Kakang Buntal benar-benar sudah menjadi mata gelap. Dan baginya tidak ada jalan lain kecuali pedang kita harus beradu" Raden Juwiring termangu-mangu sejenak. Na mun Buntal sudah mendahului "Aku t idak me merlukan penjelasan apapun" Selangkah ia ma ju dan pedangnya benar-benar telah menyentuh tubuh Raden Juwiring yang masih belum menarik senjata.
"Kau takut he?" bentak Buntal "Aku masih me mberimu kesempatan. Jika waktu itu habis, bersenjata atau tidak, aku akan me mbunuhmu" "Tida k" teriak Arum "Aku berhak me lindunginya" Arumpun ke mudian maju se langkah. Pedangnya benarbenar teracu ke arah tubuh Buntal. Katanya "Kakang Buntal. Kau harus menyadari, bahwa jika aku mau aku dapat me mbunuh seorang kumpeni yang aku jumpai di parit itu. Jika kau masih juga berkeras hati, akupun a kan kehilangan segala pertimbangan" Buntal me mandang Arum dengan ragu-ragu, se mentara Arum berkata lantang "Raden Juwiring, kenapa kau dia m saja. Katakan apa yang hendak kau lakukan di sini, sebelum semuanya terlanjur. Apakah kau me mang menunggu kesempatan yang de mikian?" Raden Juwiring me mandang Buntal yang wajahnya menjadi tegang. Selangkah ia surut. Kemudian katanya "Buntal Aku minta untuk yang terakhir kalinya. Dengarlah aku. Ke mudian jika kau akan me mbunuhku, lakukanlah. Atau jika kau mau berperang tanding, aku akan melayanimu. Apakah kau mau?" Buntal termangu-mangu sejenak. "Jika masih ada sisa rasa persaudaraanmu, dengarlah aku" Buntal masih tegang. "Kau mau?" "Jangan mencoba bergurau" bentak Buntal "Apakah dengan demikian kau mengharap hatiku menjadi luluh dan me mberimu maaf atas kesalahan ganda mu" "Dengar berteriak. dahulu kata-katanya" potong Arum hampir
Juwiring me mberi isyarat agar Arum berdia m diri saja. Tetapi kegelisahan di hati Arum me maksanya untuk bergeser semakin de kat dengan pedang di tangan. "Buntal" berkata Juwiring "Aku me mang menunggu saat yang tegang ini. Sebenarnya aku sudah ingin mengucapkan persoalanku dengan padepokan ini, tetapi tiba-tiba saja aku ingin mendengar pengakuanmu. Dala m keadaan yang wajar, kau dan Arum tidak a kan dapat mengucapkan pengakuan cintamu masing-masing. Tetapi sekarang, kau sudah mengatakannya dan Arumpun sudah mengakuinya pula. Kalian tidak perlu saling berdia m diri dan saling menunggu. Kalian me mang sa ling me ncintai, dan kalian adalah anak-anak muda yang sepantasnya untuk mengikat perasaan masingmasing" Wajah Buntal dan Arum menjadi merah. Bahkan Arum yang menggengga m pedang itupun ke mudian menundukkan kepalanya. Pedangnyapun seakan-akan merunduk karenanya. Tetapi Buntal masih tetap dalam sikapnya. Katanya "Kau akan me mbuat aku lengah" "Tida k Buntal. Seharusnya kaupun bersikap jantan menghadapi Arum. Kau harus berani datang kepadanya dan berkata bahwa kau cinta kepadanya. Semuanya akan berlangsung seperti yang kau harapkan" "Cukup. Sekarang apalagi yang akan kau katakan. Kau akan mengatakan bahwa aku telah terlambat dan Arum sudah terlanjur berjanji kepada mu untuk menjadi isterimu" Isteri seorang bangsawan yang mempunyai seribu maca m ke lebihan dari aku?" "Kakang" pekik Arum. Juwiring menggeleng "Tidak Buntal. Aku tidak akan berkata demikian. Sekarang aku menunggu keputusanmu, apakah yang akan kau lakukan. Aku merasa bahwa tugasku bagi adikadikku sudah se lesai"
Buntal menjadi termangu-mangu. Namun pedangnya masih teracu. "Kenapa kau ragu-ragu" Buntal masih tetap tegak di te mpatnya, Juwiring yang berdiri beberapa langkah di hadapannya masih nampa k tenang. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menarik senjatanya. Bahkan ke mudian ia tersenyum sa mbil berkata "Nah. Bukankah sudah je las bagimu Buntal. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku justru telah mendengar pengakuan dari kalian berdua. Kemudian, terserahlah kepada kalian berdua, apa yang akan kalian perbuat di antara kalian" Arum perlahan-lahan telah bergeser surut. Bahkan ke mudian ia me malingkan wajahnya yang menjadi ke merahmerahan. Sedang Buntal berdiri termangu-mangu di tempatnya. Namun sejenak kemudaan Buntal masih menggera m "Raden Juwiring. Mungkin aku dapat me mpercayaimu, bahwa kau me mang tidak akan me mbawa Arum. Tetapi kau telah me mperguna kan keadaan ini untuk me mpersulit kedudukanku. Kau adalah seorang pengkhianat. Aku tidak akan dapat me mbiarkan kau pergi. Tetapi jika aku bertindak atasmu, maka seolah-olah kau menuduh bahwa aku telah dibakar oleh gelap hati karena cemburu. Bahkan Arum menyebutku sebagai dendam dan kebencian yang tersembunyi di dala m hatiku, yang pada suatu saat telah terungkat, pada saat-saat aku menjadi ketakutan a kan kehilangan cinta. Karena itu, sebaiknya aku tidak bertindak sendiri. Aku a kan me mbawa mu menghadap Kiai Sarpasrana atau Ki Wandawa" Raden Juwiring mengerutkan keningnya. "Raden" berkata Buntal "di da la m hal ini kau tidak akan dapat me mbujuk a ku. Ada atau tidak ada persoalan dengan Arum, kau me mang wajib ditangkap"
Arum me ngangkat wajahnya. Dipandanginya Juwiring yang sesaat menjadi tegang.
Raden "Buntal" berkata Raden Juwiring "Apakah kau percaya kepadaku bahwa aku tidak akan mengganggu hubunganmu dengan Arum" "Yang aku persoalkan adalah pengkhianatmu" Raden Juwiring me mandang Arum yang juga me mandanginya. Katanya "Arum, sebagai seorang yang tertua dari perguruan Jati Aking, aku berharap bahwa kalian tidak akan menjadi salah paha m lagi. Aku tida k akan menjadi sakit hati jika persoalan yang ada di antara aku dan Buntal ke mudian bukan karena kau, tetapi karena alasan la in" Arum tida k menyahut Dan Buntal berkata "Nah, jika demikian menyerahlah. Biarlah Ki Wandawa menga mbil keputusan atasmu" "Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?" "Menangkapmu" "Bagaimana dengan petugas sandi yang bakal datang itu nanti. Apakah kau biarkan ia datang tanpa mene muimu?" Buntal menjadi termangu-mangu. menjadi agak bingung. Sebenarnyalah ia
Namun ke mudian ia berkata "Raden Juwiring. Aku harus menangkapmu. Menyimpanmu di dala m tempat yang meyakinkan aku bahwa kau tida k akan melarikan diri, sehingga saatnya kau akan aku bawa menghadap Ki Wandawa" "Kalau aku t idak mau" bertanya Juwiring. "Aku akan me maksa mu"
"Sudahlah Raden" berkata Arum "bukankah Raden mengatakan bahwa wa ktunya terlampau se mpit" Dan Raden masih saja me mbuang-buang wa ktu" Juwiring mengerut kan keningnya, sedang Buntal menjadi tegang "Apakah maksudmu?" "Tida k apa-apa" sahut Juwiring "sebenarnyalah waktuku me mang terlampau se mpit. Buntal, jika persoalan Arum me mang sudah se lesai dan kau yakini, maka marilah kita me mpersoalkan masalah yang barangkali penting bagimu. Sebaiknya kau mendengarkan a ku berbicara tanpa menggengga m senjata" Tetapi Buntal justru mengangkat senjatanya teracu kearah Juwiring sambil berkata "Kau mencari kesempatan" "Tida k Buntal" desis Raden Juwiring perlahan-lahan "Marilah kita berbicara. Apakah kau pernah mendengar ceritera tentang Bintang Selatan?" "He" pertanyaan Juwiring itu rasa-rasanya telah menghentak dada Buntal. Sejenak ia berdiri tegang dengan tatapan yang menusuk langsung ke dada Juwiring. Juwiring masih tersenyum di te mpatuya. Katanya "Sarungkan dahulu senjatamu. Kau me mang berhadapan dengan Bintang Selatan, Sebutlah ciri sandimu, atau aku harus nangkap kau karena aku sudah terlanjur menyebutkan sandi itu?" Buntal masih berdiri dengan perlahan-lahan mulutnya menyebut "Angin Utara, apakah aku harus menjawab demikian?" Juwiring tertawa. Wandawa?" Katanya "Bagaimana kah pesan Ki
Buntal masih tetap berdiri dalam kebingungan. Yang dilakukan ke mudian ha mpir di luar sadarnya. Dengan tangan gemetar ia menyarungkan pedangnya betapapun ia
dicengka m oleh keragu-raguan. Tetapi ia sudah mendengar Juwiring menyebutkan kata sandi itu. Bintang Selatan. Dan sebutan itu adalah sebutan yang dimiliki oleh petugas khusus dari Surakarta. "Buntal" berkata Juwiring "sebenarnya aku juga tidak mengerti bahwa kita akan bertemu. Tetapi justru karena kau sudah mengatakan bahwa akan ada petugas sandi dari Surakarta yang datang, maka aku menduga, bahwa kaulah yang mendapat tugas dari para pimpinan petugas sandi pamanda Pangeran Mangkubumi, Karena itu aku justru sempat menunggumu berbicara tentang Arum" Rasa-rasanya segenap tubuh Buntal menjadi ge metar. Ia terduduk di a mben kecil dengan le mahnya. "Nah, kemudian kita akan berbicara tentang perjuangan rakyat Surakarta" berkata Juwiring ke mudian. Buntal mengusap keringat yang menge mbun di keningnya. Tanpa disadarinya ia me mandang Arum yang masih berdiri. Tetapi Arum sudah me mutar tubuhnya dan me mbelakanginya "Arum" berkata Raden Juwiring "ke marilah, dan duduklah" Arum tida k beranjak dari tempatnya. Ia berdiri dengan kepala tunduk. Tetapi iapun telah menyarungkan pedangnya dan kemudian me letakkannya di atas aju-aju di sudut ruangan. Sementara itu orang-orang yang berada di luar ruangan menjadi heran. Mereka tidak tahu dengan pasti apa yang telah dilakukan oleh anak-anak muda di da la m ruangan itu. Mereka hanya mendengar sepatah-patah mereka bertengkar, dan ke mudian pertengkaran itu mereda, tanpa mengetahui arti kata-kata mereka. Orang-orang itu ikut menarik nafas lega. Yang menari Kiai Danatirta ternyata masih juga belum ke mba li, karena Kiai Danatirta me mang tidak diketemukan di sawahnya.
Buntal ke mudian duduk dengan kepala tunduk. Perlahanlahan ia mula i menilai sikapnya. Ternyata Raden Juwiring me mang lebih dewasa dari dirinya. Anak muda itu tida k cepat kehilangan pegangan. Bahkan ia masih se mpat me manfaatkan keadaan yang tegang itu. Ketika da mendengar Juwiring tertawa pendek melihat sikap Buntal dan Arum, ma ka Buntal itupun berkata "Kau telah me mperma inkan aku Raden" "Tida k Buntal. Aku mengerti bahwa kau me merlukan suatu saat yang khusus untuk me mbuka hatimu. Dan aku me lihat, agaknya saat itu dengan tiba-tiba saja telah datang" Raden Juwiring berhenti sejenak, la lu "sekarang baiklah kita berbicara tentang Surakarta. Dengarlah. Aku sudah mendapat kepastian, bahwa menje lang dini hari ma la m ini, pasukan Surakarta yang lengkap akan me ngepung Pandan Karangnangka." "Menjelang dini hari" Dan Raden masih se mpat bergurau sekarang ini?" "Aku hanya menyita waktu sedikit. Sekarang kau harus segera kemba li ke Pandan Karangnangka dengan berita itu. Pasukan itu akan dipimpin oleh Senapati Agung dari Surakarta didampingi oleh perwira kumpeni. Sepasukan kumpeni akan ikut di dala m penyergapan itu" "Jadi maksud Raden, Pangeran Mangkubumi harus bersiap melawan mere ka"
"Tergantung kepada perhitungan pa manda Pangeran Mangkubumi Tetapi pasukan yang akan datang, adalah pasukan yang kuat sekali. Senapati itu adalah pamanda Pangeran Yudakusuma, ke mudian dida mpingi oleh pengapit Tumenggung Sindura dan ayahanda Ranakusuma" Buntal mengerutkan keningnya, Ke mudian dari Raden Juwiring ia mendengar penjelasan terperinci dari ke kuatan yang akan mengepung Pandan Karangnangka itu Sejenak Buntal termangu-ma ngu. Ada semacam keraguraguan yang mengendap di hatinya. Selama ini ia melihat Raden Juwiring sebagai seorang Senapati muda dari pasukan berkuda. Namun kini tiba-tiba saja Raden Juwiring itu ternyata tetap berada pada pendiriannya sejak ia masih berada di padepokan Jati Aking. "Buntal" berkata Raden Juwiring "kenapa kau na mpak ragu-ragu" "Tida k, aku tidak ragu-ragu" Tetapi Buntal tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang terbersit ditatapan matanya. Karena itu maka Raden Juwiring berkata "Sepantasnya kau ragu-ragu Buntal. Tetapi jika tidak ada orang dalam, di dala m lingkungan keprajuritan Surakarta, maka rahasia se maca m ini tida k akan pernah sampai kepada Pa manda Pangeran Mangkubumi. Karena itu, harus ada orang yang bersedia berkorban, Setidak-tidaknya mengorbankan perasaannya atas tuduhan yang keliru" "Maaf Raden" "Bukan maksudku. Justru demikianlah seharusnya. Kau harus berdiri di atas sikap dan pendirianmu. Se mentara aku me mang sudah me nyerahkan diri ke dala m tugas ini. Jika kau mengetahui bahwa aku t idak sebenarnya berpihak kepada Surakarta, maka rahasiaku akan mungkin sekali terbuka "
"Tetapi aku tentu akan tetap me megang rahasia itu seandainya aku mengetahui" "Bukan aku tidak percaya kepadamu Buntal. Tetapi itu adalah suatu sikap berhati-hati" Raden Juwiring berhenti sejenak, lalu "sekarang, tugas kita masing-masing harus segera kita selesaikan. Kau kemba li ke Pandan Karangnangka, dan aku harus menyusup ke mbali ke dala m pasukanku" Buntal masih saja termangu-mangu. Sekilas dipandanginya wajah Arum. Wajah yang masih saja bura m. "Arum" berkata Buntal "kau mau me maafkan a ku bukan?" Arum tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya justru menunduk dala m-dala m. "Agaknya kau lebih dahulu mengetahui bahwa Raden Juwiring tetap berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi" "Tentu" sahut Arum "sebab Raden Juwiring percaya kepadaku, karena aku..." Arum t idak dapat melanjutkan katakatanya. Meskipun ia ingin menyatakan kejengke lannya, namun suaranya bagaikan tersumbat. Raden Juwiring justru tertawa mendengarnya. Katanya "Sudahlah. Itu adalah salah paha m se mata-mata. Menurut pendengaranku, di dalam kehidupan keluarga salah paham akan sering terjadi. Dan, kalian harus berhati lapang untuk me lupakannya apabila kalian sudah mene mukan persesuaian. Demikian juga salah paham yang telah terjadi. Kalian harus me lupakan saat ini dan untuk seterusnya tidak akan ka lian singgung-singgung lagi" Arum menjadi se makin tunduk. Bahkan Buntalpun menjadi tersipu-sipu karenanya. "Nah" berkata Raden Juwiring ke mudian "se muanya sudah selesai. Tugas kita sekarang adalah menyela matkan pasukan pamanda Pangeran Mangkubumi"
Buntal menarik nafas dalam-da la m. Namun ke mudian "tetapi, apakah guru tidak ada di rumah?" Raden Juwiring me mandang Arum sejenak, lalu "Aku juga belum berte mu dengan ayah" Arum me nggelengkan kepalanya sa mbil berkata "Aku t idak tahu, kemana ayah pergi" Tetapi sebelum mere ka berkata lebih jauh lagi, terdengar suara, justru dari ruang dala m "Aku di sini ana k-anak" Semuanya terkejut mendengar suara itu. Apalagi ke mudian mereka melihat Kiai Danatirta benar-benar muncul dari ruang dalam. "Ayah ada di rumah?" bertanya Arum. Kiai Danatirta tertawa. Katanya "Ya, aku ada di rumah. Aku juga tahu, dua tiga orang pelayan berlari-lari mencari a ku. Dan aku juga tahu apa yang telah terjadi" Tiba-tiba saja Arum berlari keayahnya. Sambil mencubit lengannya bertubi-tubi ia berkata "Ayah me mang nakal. Ayah me mbiarkan ka mi bertengkar tida k ada ujung pangkalnya" Kiai Danatirta masih tertawa perlahan-lahan. Sa mbil duduk di atas amben kecil itu pula ia berkata "Aku me mang berharap sekali-ka li kalian bertengkar. Se mula aku me ma ng akan menje laskan persoalannya. Tetapi karena menurut pendapatku, angger Juwiring telah me milih cara yang tepat, maka akupun justru berse mbunyi saja di ruang da la m" Ketika Arum mencubit lagi, ayahnya bergeser sambil berkata "Sudahlah Arum. Nanti ayah menjadi merah biru" "Tetapi ayah mengganggu ka mi" "Aku mengerti bahwa akhirnya semua akan selesai dengan baik, karena aku tahu pasti, bahwa Raden Juwiring sedang menge mban tugas, dan Buntalpun de mikian pula"
"Jadi ayah tahu bahwa Raden Juwiring sampai saat ini tetap berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi?" Kiai Danatirta mengangguk. Katanya "Aku adalah satusatunya orang yang diberitahu oleh Raden Juwiring tentang dirinya. Dan akupun harus menyesuaikan diriku pula. Aku tidak mengatakannya kepada siapapun" "Ayah telah membuat ka mi kebingungan sela ma ini" berkata Arum "dan apakah ayah sudah tahu pada saat Raden Juwiring datang mencari merjan?" Ayahnya mengangguk sa mbil tersenyum. "Terlalu, terlalu sekali" Arum mencubit lengan ayahnya lagi berkali-kali. "Jangan Arum, jangan. Tanganmu bukan tangan gadis kebanyakan" Buntal yang sebenarnya juga merasa heran, Ia hanya dapat menarik nafas dalam-dala m. Sedang Raden Juwiring tersenyum sambil berkata "Akulah yang harus minta maaf Arum. Aku me mang berpesan kepada Kiai Danatirta agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Bukan berarti aku tidak me mpercayai kalian berdua. Tetapi se mata-mata karena aku menjaga ketenangan diri dala m tugasku" Arum t idak menyahut. Sedang Buntal termangu-mangu. "Arum" berkata ayahnya "bagaimanapun juga aku percaya bahwa semuanya akan berakhir dengan baik. Aku menganggap bahwa Raden Juwiring telah bersikap dewasa, karena ia me mang tertua di antara kalian. Sedangkan ka lian yang lebih muda kadang-kadang masih terla mpau mudah disentuh oleh api ke marahan sehingga tanpa disengaja, rahasia yang ada di da la m diri kalian terloncat keluar" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Ia menyadari hal itu. Baru saja ia telah me mbuat suatu kesalahan sebagai petugas
sandi hanya karena hatinya dibakar oleh perasaan yang tidak menentu. "Sekarang" berkata Kiai Danatirta ke mudian "Kau tentu menyadari betapa pentingnya tugasmu. Hari telah menjadi semakin ma la m. Sedang saat ini pasukan Surakarta tentu sudah bersiap. Menjelang dini hari mereka harus sudah mengepung Pandan Karangnangka. Pada saat matahari terbit mereka a kan menyerang padukuhan itu dari satu jurusan dengan gelar yang lengkap, sedang di tempat lain, mereka sudah siap mengepung sehingga tidak seorangpun akan dapat lolos dan melarikan diri. Bukankah begitu Raden?" "Ya Kiai" "Karena itu Buntal. Bukan berarti aku akan mengusirmu. Tetapi lakukan tugas ini sebaik-baiknya" Buntal me mandang Raden Juwiring sejenak. Dilihatnya Raden Juwiring mengangguk sa mbil berkata "De mikianlah Buntal. Akupun harus segera berada dipasukanku ke mbali. Aku akan ikut menyerang Pandan Karangnangka di bawah Senapati Pengapit Pangeran Ranakusuma. "Tetapi bagaimana dengan ayahanda Raden?" "Aku adalah puteranya. Aku harus tunduk atas segala perintahnya. Tetapi jika Pandan Karangnangka telah kosong, bukankah a ku tidak akan bertempur dengan siapapun juga?" "Tetapi bagaimana jika Pangeran Mangkubumi menga mbil keputusan untuk melawan?" Juwiring tersenyum. Katanya "Aku akan mene mukan jalan keluar. Tetapi sebenarnyalah pasukan Sura karta terlampau kuat" , "Tetapi Pangeran Mangkubumi adalah seorang prajurit sejati"
"Menghindari perang yang tidak seimbang bukan berarti lari atau ingkar akan kuwajiban. Tetapi itu berdasarkan atas pertimbangan yang masak untuk tujuan terakhir dari peperangan" Buntal mengangguk-angguk sambil berkata "Baiklah. Aku harus segera menyampaikan persoalan ini kepada Ki Wandawa" ia terdiam sejenak, lalu "Jika de mikian Kia i, aku mohon diri untuk segera ke mbali ke Pandan Karangnangka" "Aku berdoa untuk ka lian. Bukankah Raden Juwiring juga harus segera ke mbali kepasukannya?" "Ya Kiai. Aku juga akan segera mohon diri" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya "Perjuangan kalian masih akan me merlukan waktu dan tenaga. Hatihatilah" Kedua anak muda itupun ha mpir bersamaan telah berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun dala m pada itu, tiba-tiba Arum berdesis "Ayah" Kiai Danatirta berpaling kepadanya. Sejenak ia termangumangu. Na mun ke mudian ia bertanya "Ada apa Arum" Apakah ada yang akan kau katakan?" Arum hanya menundukkan kepalanya. "Apakah kau akan ikut?" Sejenak Arum dia m. Tetapi ke mudian kepalanya terangguk kecil. "Ada dua orang yang akan pergi kearah yang berlainan. Yang manakah yang akan kau ikuti?" Wajah Arum menjadi merah. Sekali lagi ia mencubit lengan ayahnya bertubi-tubi sambil berdesah "Ayah selalu mengganggu aku"
Kiai Danatirta tertawa. Namun ke mudian Juwiringpun tertawa "Kau tentu me milih ikut aku Arum" Buntallah yang kemudian menjadi tersipu-sipu. Tetapi ia tersenyum meskipun tidak menyahut sa ma seka il "Baiklah Arum" berkata Kia i Danatirta ke mudian "Aku tahu. bahwa kau benar-benar berniat untuk pergi. Pergilah. Tetapi kau harus tetap berhati-hati di dalam segala tingkah lakumu. Kau tidak dapat bersikap ke kanak-kanakan terus-menerus di mana-mana. Kau harus menyesuaikan dirimu. Jika kau dituntut oleh keadaan karena kepere mpuananmu di dala m menentukan kuwajiban, maka kau jangan ingkar" Arum me ngangguk. "Dan sudah barang tentu kau harus tunduk kepada pimpinanmu. Mungkin kau akan mendapat tempat yang lain dengan kakakmu. Dan kau t idak boleh mengikuti perasaanmu saja" Sekali lagi Arum mengangguk. "Cepatlah berke mas. Waktu hanya sedikit sekali." Arumpun segera berkemas, sementara seorang pelayan menyiapkan kudanya. "Aku titipkan Arum kepada mu Buntal. Aku kira sebentar lagi Jati Aking tidak akan aman lagi baginya. Jika orang-orang Surakarta mengetahui peranan Taman di kaki Bukit ini, maka semuanya akan menjadi sulit" Buntal me mandang wajah gurunya dengan tajam. Kemudian terloncat pertanyaan dari mulutnya "Guru, apakah pada suatu saat, ada kemungkinan padepokan ini akan menjadi sasaran prajurit di Surakarta?" "Bukan mustahil Buntal. Tetapi baiklah hal itu kita bicarakan ke mudian. Sekarang pergilah menunaikan kuwajibanmu sebaik-baiknya"
Ketiga anak-anak muda itupun sekali lagi minta diri. Kemudian mere ka meninggalkan Jati Aking untuk mela kukan tugas masing-masing. Juwiring ke mbali kepasukannya yang sudah siap bergerak mengepung Pandan Karangnangka dan ke mudian menghancurkan padukuhan itu menjelang pagi. Buntal yang kemudian menga mbil kudanya dan Arumpun berpacu secepat-cepat dapat dilakukan. Hanya kadang-kadang mereka harus me mperla mbat derap kudanya karena jalan yang licin atau berlubang-lubang. di sepanjang jalan tidak banyak yang mereka bercakapkan. Kecua li Arum dan Buntal masih di antarai oleh keseganan masing-masing karena salah paham yang baru saja mereka selesaikan, merekapun ingin segera sampai ke Pandan Karangnangka untuk menyampaikan berita yang sangat penting itu. "Tida k mustahil kita bertemu dengan pengawas yang sudah dipasang oleh orang-orang Surakarta" berkata Buntal. Arum tida k menjawab, sehingga Buntal menjadi termangumangu sejenak. Tetapi karena yang akan dikatakannya adalah persoalan yang dianggapnya penting, maka iapun berkata pula "sebaiknya kita tidak mene mpuh jalan induk. Juga tidak me lalui ja lur yang menuju ke Surakarta selain jalan induk. Kita akan melalui jalan yang bertentangan, karena jalan dari Surakarta atau bahkan mungkin dari Pandan Karangnangka, sudah mendapat pengawasan" Arum menarik nafas dalam-dala m. Ia masih segan untuk terlalu banyak berbicara. Meskipun de mikian ia mengangguk sambil menjawab "Aku mengikutimu jalan ma napun yang kau tempuh" Buntal menarik nafas. Tetapi ia dapat mengerti perasaan Arum. Demikian mereka berdua kemudian menga mbil jalan me lingkar seperti saat Buntal me masuki padepokan Jati Sari.
Dengan demikian mere ka akan mengurangi ke mungkinan pengawasan dari para petugas sandi di Surakarta. Ternyata usaha Buntal itu berarti tanpa mereka sadari. Jalan yang menuju ke Pandan Karangnangka me mang mendapat pengawasan secermat-cermatnya sebelum pasukan Surakarta mengepung padukuhan itu. Terutama ja lan masuk dari jurusan Surakarta. Tetapi Buntal menga mbil ja lan yang lain. Seperti ketika ia me masuki padukuhannya, Jati Sari, maka ia menjadi sangat berhati-hati. Dengan de mikian maka beberapa orang petugas sandi yang berada di tepi jalur jalan dari Surakarta tidak melihat kedatangannya. Beberapa kali para pengawas itu me lihat beberapa orang peronda yang berjalan mengitari Pandan Karangnangka. Tetapi para peronda itu sa ma sekali tidak me lihat mere ka. Dala m pada itu, Buntal dan Arum dengan diam-dia m telah sampai di regol padukuhan. Para penjaga yang menghentikannya, kemudian me mpersilahkan mere ka berdua untuk segera menghadap Ki Wandawa. "Marilah Buntal" Ki Wandawa me mpersilahkannya ketika ia berada di depan pintu. "Aku datang bersa ma adikku Ki Wandawa" Ki Wandawa mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya "Siapakah adikmu itu?" "Arum" "Arum" Seorang gadis?" "Ya" Ki Wandawa terdia m sejenak. Ke mudian ia berkata dengan nada yang tinggi "Masuklah. Bawa adikmu masuk"
Keduanyapun kemudian masuk ke dalam ruangan itu. Seperti pada saat Buntal menerima perintah, maka ruangan itu masih tetap kosong, selain Ki Wandawa sendiri, seolaholah Ki Wandawa tidak bergerak dari te mpatnya sejak ia me mberikan perintah kepada Buntal untuk pergi ke taman di kaki bukit. "Buntal" bertanya Ki Wandawa dengan nada yang datar "kenapa kau bawa adikmu itu. Bukankah kau sedang menja lankan tugas yang cukup berat" Buntal termangu-mangu mendengar pertanyaan itu. Na mun ke mudian ia menjawab "ia ingin ikut berjuang bersa maku Ki Wandawa" "Siapa yang mengatakan begitu?" "Adikku" "Apakah kau tahu apa yang dikatakannya itu sesuai dengan yang dipikirkannya?" "Aku tahu pasti" "Tida k. Kau sudah berbuat kesalahan yang besar sekali. Tidak ada orang yang boleh mengetahui hubungan yang sedang kau lakukan. Adikmu, ayahmu dan saudara-saudaramu tidak" "Tetapi, aku berani menanggung segala akibatnya Ki Wandawa. Jika adikku berbuat sesuatu yang dapat merugikan perjuangan ini, biarlah aku yang digantung" "Tetapi jika kesalahan itu sudah terlanjur me mbawa korban, tidak ada artinya kau digantung setinggi pohon kelapa sekalipun. Karena itu, pergilah. Kau tidak akan mendengar penjelasan apapun lagi. Tetapi kau akan segera berada di bawah pengawasan beberapa orang petugas" "Ki Wandawa"
"Kau sudah melakukan kesalahan yang besar di dala m tugasmu. Jika kau tida k dala m tugas rahasia bahkan sangat rahasia, kami akan menerima kedatangan adikmu dengan baik. Tetapi dala m keadaan ini se muanya harus diyakinkan lebih dahulu, apakah kau tidak terdorong dalam suatu perangkap yang dapat merugikan keseluruhan kita" "Tetapi aku belum melaporkan, apa yang baru saja aku lakukan Ki Wandawa. Jika me mang aku dianggap bersalah, aku tidak a kan ingkar. Tetapi aku a kan me mberikan laporan lebih dahulu. Yang aku dengar me mang penting seka li bagi Pandan Karangnangka" "Dan yang penting sekali itu sudah bocor ke telinga orang lain. Jika besok atau lusa, akibat dari kecerobohanmu ini akan mulai na mpak, maka kau t idak a kan dapat dia mpuni lagi" "Kakang" desis Arum. Buntal mengga mit Arum. Ke mudian iapun menjawab "Aku akan bersedia menerima hukuman apapun. Tetapi sebaiknya aku akan me laporkan tugasku" "Adikmu harus dibawa pergi lebih dahulu. Baru kau berbicara" "Ia sudah mengetahuinya" "Itulah yang sudah aku duga. Dengan demikian maka kau dan adikmu akan se lalu berada di bawah pengawasan untuk beberapa lama" "Bukan aku yang me mberitahukan kepadanya" Ki Wandawa mengerutkan keningnya. Suaranya menjadi dalam "Siapa?" "Bintang Selatan" "He" wajah Ki Wandawa menjadi merah. Katanya kemudian "Kau berbohong. Orang yang mendapat kepercayaan dari
petugas sandi di Surakarta tidak akan begitu bodoh mengatakan rahasia itu kepada setiap orang" "Tetapi de mikianlah yang telah terjadi. Ketika aku datang, justru hampir terjadi salah paham antara aku dan Bintang Selatan yang sudah aku kenal sebelumnya" Ki Wandawa termangu-mangu. "Ki Wandawa" berkata Buntal ke mudian "pada waktu itu di Taman di kaki Bukit itu me mang telah bertemu Bintang Selatan, Angin Utara dan Bunga di Batu Karang" Ki Wandawa menjadi bingung. Katanya "Aku adalah orang tertinggi di pasukan Pangeran Mangkubumi yang mengurusi masalah sandi. Tetapi aku belum pernah mendengar Bunga dibatu Karang" "Me mang bukan na ma sandi. Tetapi jika dikehendaki, aku akan bertanggung jawab. Karena itu, Ki Wandawa sebaiknya segera mendengar laporanku. Ke mudian terserah apa yang akan Ki Wandawa lakukan terhadap ka mi berdua" Ki Wandawa me mandang, tatapan mata Buntal yang tajam. Ia adalah seorang yang me miliki pengala man yang masak, sehingga karena itu, maka Ki Wandawa itu dapat menjajagi perasaan yang terberat di dalam dada Buntal. Apalagi ketika ia me lihat wajah gadis yang dikatakan oleh Buntal sebagai adiknya itu. Ia me lihat wajah itu na mpak bersih. Karena itu, maka Ki Wandawapun kemudian berkata "Buntal, katakanlah Tetapi lebih dahulu sebutlah alasanmu mengapa kau menyebut Bunga di Batu Karang" "Tida k Ki Wandawa. Sebenarnya aku hanya sekedar mengatakan tanpa maksud tertentu. Yang menyebutnya sebagai Bunga di Batu Karang untuk yang pertama ka li menurut ingatanku adalah Raden Rudira, putera Pangeran Ranakusuma ketika anak muda itu menginginkan adikku untuk
dijadikan selirnya. Ia menganggap tempat tinggalku sebagai batu karang yang keras dan gersang" Ki Wandawa menarik nafas dalam-da la m. Ternyata sebutan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas-tugas sandinya. Karena itu maka katanya "Baiklah. Sekarang, katakan apa yang kau dapat dari Bintang Se latan" Buntal termangu-mangu sejenak. "Bintang Selatan adalah saudara tuaku" "Itulah sebabnya, adikku dapat mendengarnya juga" "Suatu kesalahan. Tetapi cepat katakan" Buntalpun segera menceriterakan apa yang didengarnya dari Raden Juwiring, bahwa pasukan Surakarta sudah siap mengepung Pandan Karangnangka. Wajah Ki Wandawa jadi tegang. Lalu "Jadi kepungan itu akan berlangsung sekarang?" "Ya. Sebentar lagi" Ki Wandawa merenung sejenak. Ke mudian katanya "Kau tetap berada di sini. Aku akan menghadap langsung Pangeran Mangkubumi. Mungkin kau diperlukan keteranganmu" Buntal termangu-mangu. Tetapi ia tidak se mpat bertanya, karena Ki Wandawa itu telah lenyap di ba lik pintu. Kemudian katanya
"O" Ki Wandawa tidak menghiraukannya.
Tetapi demikian Ki Wandawa tidak na mpak lagi, Buntal me lihat dua orang bersenjata berdiri di depan pintu bilik itu. Sambil menarik nafas dalam-dala m ia berkata kepada Arum "kita harus tetap berada di sini Arum" "Sa mpai kapan?" "Sa mpai kita diijinkan pergi" Arum mengerutkan keningnya. Dengan malasnya ia duduk di sebuah a mben ba mbu. Tetapi dengan demikian Arum dapat mengetahui, bahwa ada semacam peraturan yang ketat berlaku di dalam lingkungan laskar Pangeran Mangkubumi, sehingga ia me mang tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya sendiri. Dala m pada itu, atas permohonan Ki Wandawa, Pangeran Mangkubumi telah me manggil orang-orang terpenting untuk me mbicarakan keterangan yang mereka terima lewat Buntal. Mula-mula mereka me nilai apakah berita itu dapat dipercaya. "Aku me mpercayainya" berkata Ki Wandawa "keterangannya jelas dan terperinci. Tingkat sumber beritapun menurut ketentuan yang sudah kita setujui bersama dengan para petugas di dala m kota" "Tetapi apakah Ki Wandawa mengetahui, siapakah yang telah berhasil menyadap berita yang tentu sangat dirahasiakan itu" Jika Ki Wandawa dapat menyebutnya, atau menyebut nama sandinya, maka tida k akan ada persoalan lagi" bertanya seorang Senopati. "Sayang" berkata Ki Wandawa "Aku hanya mengenal pembawa beritanya. Bintang Selatan. Tetapi nama itu bagiku merupakan ja minan bahwa berita yang dibawanya bukannya berita isapan je mpol bela ka" Para pemimpin yang ada di dala m perte muan itu ke mudian hanya saling menunggu keputusan Pangeran Mangkubumi.
Sejenak ke mudian, di dala m keheningan yang tegang, Pangeran Mangkubumi berkata dengan suara yang berat "Aku me mpercayainya" Tidak ada lagi yang me mpersoalkannya. Pangeran Mangkubumi me mpunyai tanggapan yang sangat tajam. Firasatnya dan nalurinya untuk bertindak mela mpaui kebanyakan orang sehingga orang menganggapnya me mpunyai ke kuatan lain dari kekuatan nalarnya. Orang-orang Surakarta percaya bahwa Pangeran Mangkubumi me mpunyai aji Sapta Pangrungu, Sapta Pangrasa dan bermaca m-maca m aji yang lain. Bahkan sepi-angin dan panglununan. "Ke mudian, apakah yang harus hamba lakukan?" bertanya Ki Wandawa. "Mencari petugas sandi yang mengawasi jalur ja lan di sekitar tempat ini Menurut kemungkinan mereka menghubungi atasannya, kemudian kita harus meninggalkan padukuhan ini. Kita belum siap me lawan mereka da la m gelar yang utuh. Kita harus menyiapkan diri di luar kepungan, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi kita akan segera meninggalkan arena perte mpuran. Kita a kan pergi ke Utara, sementara pasukan dari Sukawati harus sudah meninggalkan tempatnya pula, karena mereka harus mengganggu prajurit Surakarta yang mengejar ka mi" "Mereka harus menjebak pasukan dari Surakarta?" "Tida k. Mereka hanya akan menyerang dan ke mudian meninggalkannya seperti yang kita lakukan" Ki Wandawa mengerti apa yang harus dilakukan. Ia harus mengirimkan petugas sandi ke Sukawati secepatnya agar mereka dapat segera me mpersiapkan diri. Tetapi dalam pada itu Pangeran Mangkubumipun ke mudian berkata pula "Menje lang pertempuran yang akan terjadi
perempuan dan ana k-anak harus sudah disingkirkan. Mungkin prajurit Surakarta tidak akan mengganggu mereka, karena mereka adalah Saudara-saudara mereka sendiri. Tetapi kita tidak dapat mempercayai kumpeni sama sekali. Ia akan me mbunuh pere mpuan dan anak-anak seperti ceritera yang pernah kita dengar terjadi dibenua lain dala m penje lajahan orang-orang kulit putih. Bahkan dibenua lain orang pribumi ditangkap dan diperdagangkan sebagai buda k-budak belian" Pangeran Mangkubumi berhenti sejenak. Ke mudian "Ki Wandawa. Lakukan segera semua persiapan sebelum mereka datang. Tetapi aku perlu bertemu dengan anak muda yang langsung mendapat hubungan dari Bintang Se latan" Ki Wandawapun segera meninggalkan perte muan itu. Demikian pe mimpin-pe mimpin yang lain. Mereka harus mulai me lakukan tugas masing-masing, karena waktu sudah terlampau se mpit. Dala m pada itu, beberapa orang petugas sandi segera menyebar. Mereka yakin, sebelum pasukan yang besar itu datang untuk mengepung Pandan Karangnangka, maka petugas-tugas sandinya tentu sudah bertebaran lebih dahulu. "Kita harus meningga lkan padukuhan ini kearah yang tidak mendapat pengawasan" berkata Ki Wandawa kepada anak buahnya yang harus me mpersiapkan perjalanan bukan saja pasukan Pangeran Mangkubumi, tetapi juga perempuan dan anak-anak, karena mereka pernah mendengar ceritera-ceritera yang mengerikan tentang orang-orang kulit putih yang sering berburu manusia. Ceritera yang mula-mula terloncat dari mulut orang-orang kulit put ih itu sendiri apabila mereka sedang menyombongkan diri atau sedang mabuk. Sementara beberapa orang petugas sandi mencari jalan keluar dari daerah Pandan Karangnangka, Buntal mendapat kehormatan untuk langsung menghadap Pangeran Mangkubumi di da la m sebuah bilik yang kecil. di dala m ruangan itu tidak ada orang lain kecuali Pangeran
Mangkubumi sendiri. Tetapi Buntal harus menghadap seorang diri, sehingga Arum harus tetap tingga l di luar. "Buntal" suara Pangeran Mangkubumi berat "Kau mengenal Bintang Se latan sebelumnya?" "Ha mba Pangeran. seperguruan hamba " "Ya" "Raden Juwiring pernah tinggal bersa ma ha mba beberapa la ma di Padepokan Jati Sari" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya ke mudian "Kita kadang-kadang tida k tahu, siapakah yang akan dikirim oleh petugas-tugas sandi di dalam kota. Mereka harus melindungi orang-orangnya dengan penuh rahasia. Tetapi bukankah Juwiring itu putera Pangeran Ranakusuma?" "Ha mba Pangeran" Pangeran Mangkubumi mengerutkan keningnya. Pangeran Ranakusuma adalah seorang Pangeran yang dekat dengan kumpeni. Meskipun ada kekecewaan yang terselip di hatinya, namun ia tetap seorang yang berbahaya. Pangeran Ranakusuma adalah Senapati yang mumpuni. Mungkin ia menjadi agak jauh dengan perwira-perwira kumpeni karena persoalan pribadi. Tetapi ia adalah sapu kawat Surakarta, "Tetapi Juwiring agaknya dapat dipercaya" berkata Pangeran Mangkubumi ke mudian, lalu "Kau tetap berada di sini. Ada orang lain yang sudah diperintahkan ke Sukawati. Mungkin tenaga mu diperlukan oleh Ki Wandawa" "Ha mba Pangeran" "Sekarang, pergilah kepada Ki Wandawa untuk me mbantunya" Buntalpun ke mudian meninggalkan bilik yang sempit itu. di Bintang Se latan adalah saudara
luar ia me ne mui Arum dan bersa ma-sa ma mene mui Ki Wandawa untuk mendapat perintah-perintah selanjutnya. Dala m pada itu Ki Wandawa benar-benar telah tenggelam dalam kesibukan. Ia sudah menyebarkan beberapa orang petugas sandi untuk merintis jalan keluar dari Pandan Karangnangka. Bukan saja agar arah kepergian mereka tidak diketahui oleh prajurit Surakarta, tetapi juga agar prajurit Surakarta tidak mengetahui bahwa padukuhan itu sudah kosong, sehingga mereka merasa dirinya gagal pada tindakan yang pertama. Kesan itu akan selalu me mpengaruhi tindakantindakan mereka berikutnya. Sementara itu, beberapa orang petugaspun segera dikirim ke Sukawati setelah para petugas sandi meyakinkan arah yang tidak mendapat pengawasan dari petugas-tugas sandi dari Surakarta. Mereka harus melaporkan semua persoalan yang sudah dibicarakan di Pandan Karangnangka. "Tida k ada satu katapun yang boleh terloncat dari mulut mu, jika ka lian tidak bertemu dengan Ki Sarpasrana atau Ki Wandan Putih" pesan Ki Wandawa "jika sesuatu terjadi di perjalanan, kau tahu apa yang harus kau la kukan" Demikianlah petugas sandi itupun segera meningga lkan Pandan Karangnangka. Mereka berkuda beriringan pada jarak beberapa langkah, sehingga apabila terjadi sesuatu, ada kesempatan bagi salah seorang untuk me lepaskan diri. Sedang rahasia yang mereka bawa, harus mereka pertahankan sampai mati jika mereka bertemu atau bahkan tertangkap oleh lawan. Di lain arah, beberapa orang petugas sandi benar-benar dapat melihat petugas-tugas dari Surakarta. Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka berusaha untuk menghindari dan sekedar me ngawasi. Seorang petugas sandi yang me mbawa cangkul dala m pakaian petani yang akan mengairi sawahnya, pura-pura tidak
me lihat sa ma sekali bayangan dua orang yang berusaha bersembunyi di dala m gerumbul yang tipis di pinggi jalan. Kedua petugas sandi itu termangu-mangu sejenak melihat petani itu berjalan dengan tenangnya seolah-olah sa ma seka li tidak mengetahui apa yang akan terjadi di padukuhan Pandan Karangnangka. "Sekarang ia menga iri sawahnya di ma la m begini" berkata salah seorang petugas sandi dari Surakarta itu "sebentar lagi sawahnya akan menjadi kubangan raksasa jika terjadi peperangan" "Yang akan menjadi ajang peperangan bukan sawah orang itu. Tetapi sawah di sekitar padukuhan" sahut yang lain. Kawannya mengangguk-angguk. Petani itu sudah t idak dilihatnya lagi di balik kegelapan. Yang terdengar kemudian adalah gemericik air yang menga lir di parit di sebelah gerumbul itu. Sesaat kemudian laporan tentang jaring-jaring petugas sandi dari Surakarta telah sampai kepada Ki Wandawa. Meskipun pasti masih ada yang dilampaui, tetapi mereka sudah me mpunyai ga mbaran, daerah manakah yang mendapat pengawasan yang paling ketat. "Jalan ke Surakarta benar-benar telah tertutup" berkata Ki Wandawa kepada Buntal "mereka menjaga agar tidak ada seorang petugas sandi yang dapat menyampaikan rencana sergapan ini kepada kita. Untunglah bahwa berita itu sudah sampai kepada Pangeran Mangkubumi. Dan pengawasan yang ketat itu agak me mperkuat kepercayaan kita bahwa mala m ini Pandan Karangnangka benar-benar a kan dihancurkan" Setelah Ki Wandawa mendapat bayangan jaring-jaring pengawasan petugas-tugas sandi dari Surakarta, maka iapun segera me merintahkan menyiapkan pere mpuan dan anakanak.
"Kalian harus segera meninggalkan padukuhan ini" berkata Ki Wandawa kepada mereka "bawalah Barang-barang yang penting saja" Perempuan dan ana k-anak menjadi terlalu sibuk. Beberapa orang anak kecil menangis di dala m dukungan ibunya. Tetapi mereka harus pergi untuk kesela matan mereka, karena yang akan datang di utara pasukan Sura karta adalah kumpeni. "Sepasukan pengawal akan menyertai kalian" berkata Ki Wandawa kemudian "Yang lain akan menyusul ke mudian. Kalian tidak a kan pergi ke Sukawati. Tetapi kalian akan di tempatkan di tempat yang sudah kami tentukan. Kalian akan mengetahuinya setelah kalian berada di tempat itu besok" Perempuan dan anak-anak itu tidak bertanya. Mereka mengerti bahwa tempat itu masih dirahasiakan untuk kepentingan kesela matan mereka sendiri. Setelah semuanya siap, ma ka sepasukan pengawal telah berjalan mendahului. Kemudian disusul dengan sebuah iringiringan yang panjang, yang berjalan tanpa obor di dala m kegelapan, dida mpingi oleh beberapa orang pengawal pula. Di bagian belakang dari iring-iringan itupun diiringi pula oleh sekelompok pengawa l yang siap untuk me lindungi perempuan dan anak-anak itu apabila terjadi sesuatu di perjalanan. Sementara perempuan dan anak-anak me ningga lkan padukuhan Pandan Karangnangka, maka Pangeran Mangkubumi me mimpin sendiri pasukannya untuk menghadapi sergapan prajurit-prajurit Surakarta dan terutama kumpeni. "Kita berada di luar padukuhan" perintah Pangeran Mangkubumi kepada pasukannya "kita akan menunggu sampai prajurit Surakarta mengepung Pandan Karangnangka. Kita akan melihat bagaimana mere ka merayap masuk. Kemudian baru kita akan menyerang mereka. Kita tidak akan
terlibat dalam perang yang besar. Kemudian kita akan mengundurkan diri. Sepanjang pengejaran itulah pasukan dari Sukawati harus siap. Mereka harus menyerang dengan tibatiba, dan menghilang pula dengan tiba-tiba. Kecuali dengan pertimbangan lain. Apabila menurut pertimbangan kita dapat menghancurkan mere ka, ma ka kita akan berte mpur terus" Demikianlah setelah pasukan Pangeran Mangkubumi siap, merekapun segera meninggalkan padukuhan. Tetapi mereka dengan sengaja tidak me mada mkan la mpu-la mpu dan oborobor di gardu-gardu. Bahkan mere ka dengan sengaja meninggalkan satu dua orang yang ditugaskan untuk me mukul kentongan, dengan nada dara muluk. Sekedar me mberi pertanda waktu dala m keadaan a man dan tenang. Ternyata perhitungan waktu Pangeran Mangkubumi hanya berselisih sekejap. Tepat pada saat pasukannya meninggalkan Pandan Karangnangka, sepasukan yang besar dan kuat telah mende kati padukuhan itu. Namun pasukan Pangeran Mangkubumi dapat menghindarkan diri dari penga matan para petugas sandi dari Surakarta, sehingga ketika pasukan Surakarta mendekati Pandan Karangnangka, mereka sa ma sekali tidak me ngira, bahwa padukuhan itu telah kosong. Apalagi karena mereka masih me lihat obor-obor yang tetap menyala di sudut-sudut desa dan di gardu-gardu. Bahkan rumah-rumah yang na mpak dari kejauhan masih juga diterangi nyala la mpu minyak di regol-regolnya. Dala m pada itu, Pangeran Mangkubumi yang me mimpin sendiri pasukannya, telah me mbawa mereka kesebuah padukuhan kecil yang tida k begitu jauh dari Pandan Karangnangka. Sebuah bulak pendek telah me misahkan kedua padukuhan itu, sehingga setiap perkembangan keadaan, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya akan segera mendengar laporan dari para pengawas.
Ketika kentongan dengan nada dara-muluk terdengar dari jantung padukuhan Pandan Karangnangka, maka Senapati perang yang memimpin pasukan Sura karta itupun menarik nafas dalam-dala m. Pandan Karangnangka agaknya masih diliputi oleh suasana tenang. "Mereka tidak menyadari apa yang akan terjadi sebentar lagi atas padukuhan itu" berkata seorang perwira kumpeni kepada kawannya "Aku ingin me lihat padukuhan itu dibakar habis dengan segala isinya" Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian "Banyak orang-orang pribumi yang cantik. Barangkali satu dua orang perempuan masih kita perlukan" "Perempuan desa yang kotor, di kota masih banyak perempuan yang bersih dan cantik" Kawannya tidak menjawab. Mereka merayap maju se makin dekat. Dengan isyarat yang sudah ditentukan, maka pasukan Surakarta itupun berhenti beberapa pula tonggak dari Pandan Karangnangka. Kemudian para Senapatinya berunding sejenak untuk menentukan langkah terakhir. "Kita bergerak mulai sekarang" berkata Senapati perang. Yang lain tida k menyatakan pendapatnya. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, sehingga Pandan Karangnangka benar-benar harus sudah dikepung. Setelah mendengarkan penje lasan dari beberapa orang petugas sandi yang mendahului pasukan itu, maka Pangeran Yudakusumapun menentukan sikapnya. "Kita a kan me masang ge lar. Gelar yang paling baik adalah gelar supit urang. Kita akan mene mpatkan pasukan berkuda diekor gelar, dan Senapati pengapit akan berada disapit kiri dan kanan. Kemudian pasukan cadangan akan berada di perut dan sementara itu, beberapa kelompok akan berada di hadapan gelar Supit Urang untuk menahan pasukan lawan
yang akan mengundurkan Pangeran Ranakusuma dan Tumenggung mengangguk-angguk. Sedang seorang perwira bertanya "Dimana ka mi kau te mpatkan?"
diri" Sindura kumpeni
"Kita ada di ujung gelar. Kita adalah kepala dari gelar supit urang itu" "Darimana kita melakukan gerakan pertama?" bertanya kumpeni itu pula. Ia sudah mengerti serba sedikit tentang gelar supit urang. Dan iapun dapat melihat manfaatnya meskipun bagi kumpeni ada beberapa bagian yang sebenarnya tidak perlu "Apakah kita akan melakukan gerakan pertama dari kepala atau justru dari sapit kedua be lah pihak?" Pangeran Ranakusuma yang mendengar pertanyaan itu me mandang Pangeran Yudakusuma dengan taja mnya Pangeran yang cerdik itu tentu mempunyai perhitungan yang menguntungkan bukan saja bagi seluruh gelar. Tetapi juga bagi dirinya sendiri. Dan jawaban yang diduga itupun terloncat dari mulut Pangeran Yudakusuma "Gerakan akan dimulai dari kedua sapit gelar kita untuk mendorong lawan masuk ke da la m jebakan yang lebih da la m" Ketika perwira kumpeni itu mengangguk-angguk, maka Pangeran Ranakusuma tersenyum di dalam hati. Bagaimanapun juga tatag dan beraninya Pangeran Yudakusuma, tetapi ia masih mene mpatkan Senapati pengapit pada kedudukan yang paling berat menghadapi Pangeran Mangkubumi secara pribadi. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak me mberikan tanggapan apapun juga. Apalagi seluruh pasukan itu mengetahui bahwa orang yang paling seimbang untuk berhadapan secara pribadi dengan Pangeran Mangkubumi adalah Pangeran Ranakusuma. Jika ada beberapa kekurangan pada Pangeran Ranakusuma, maka Senapati-Senapati yang menda mpinginya akan dapat
mengisi kekurangan itu. Orang kedua adalah justru Tumenggung Sindura. Dengan pengawal-pengawalnya yang kuat ia akan dapat dihadapkan kepada Pangeran Mangkubumi apabila kebetulan Pangeran Mangkubumi ada di sayap kanan. Sedang apabila Pangeran Mangkubumi langsung menghadapi induk pasukan, barulah Pangeran Yudakusuma dengan perwira-perwira kumpeni yang bersenjata petir akan me lawannya. Karena tidak ada tanggapan apapun, maka Pangeran Yudakusuma segera me mutuskan untuk mela kukan gerakan terakhir mendekati Pandan Karangnangka. Mereka harus menyerang sebelum fajar dengan gerakan yang tiba-tiba dan sekaligus untuk menghancurkan se mua ke kuatan induk Pangeran Mangkubumi. Jika kekuatan induk itu sudah hancur, maka kekuatan yang lain tidak a kan banyak berarti. Kekuatan Pangeran Mangkubumi di Sukawati bukan merupakan kekuatan yang sulit untuk dikuasai. "Pangeran Mangkubumi ingin menge labui Surakarta dengan mene mpatkan ke kuatannya di sini" berkata Pangeran Yudakusuma "ia tentu mengharap serangan yang pertama justru menuju ke Sukawati. Tetapi ia tidak dapat menipu ketajaman penga matan pasukan sandi Surakarta" Demikianlah pasukan Sura karta itu bergerak dengan tertib. Setiap isyarat dapat mereka terima dan dapat mereka mengerti sehingga karena latihan-latihan dan pengala man yang matang maka gerakan yang harus mereka la kukan berjalan dengan cepat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Pangeran Yudakusuma, Dengan demikian maka sejenak ke mudian Pandan Karangnangka telah benar-benar terkepung. Tidak ada lubang seujung jarumpun yang akan dapat dite mbus. Tida k ada orang yang akan dapat lolos dari jaring-jaring kepungan yang teratur dan mapan.
Namun sebenarnyalah bahwa Pandan Karangnangka telah kosong. Orang yang terakhir, yang me mukul kentongan dengan nada dara mulukpun telah meninggalkan padukuhan itu. Dalam pada itu, pasukan yang telah mengepung Pandan Karangnangka itupun me nunggu sejenak. Pangeran Yudakusuma telah me merintahkan kepada setiap Senapati pengapit, Senapati yang lain dan pe mimpin-pe mimpin kelompok, untuk me mperhatikan isyarat yang sudah ditentukan. Jika ayam jantan mulai berkokok di padukuhan Pandan Karangnangka maka se mua orang di da la m pasukan Surakarta itu harus me mpersiapkan diri, karena sebentar ke mudian Senapati tertinggi di dala m pasukan itu akan menjatuhkan perintah untuk menyerang. Sementara itu, pasukan Pangeran Mangkubumi yang telah berada di padukuhan yang lain, mengikuti perke mbangan keadaan dengan seksama. Petugas-tugasnya selalu menga mati medan dan mengirimkan laporan kepada Pangeran Mangkubumi. Ki Wandawa adalah orang yang paling sibuk pada saat itu. Ia harus menerima laporan yang dilihat oleh petugastugasnya, kemudian mengura i dan menga mbil kesimpulankesimpulan. Kesimpulan-kesimpulannya itupun disa mpaikannya pula sebagai pertimbangan kepada Pangeran Mangkubumi. Buntal yang ada di dekat Ki Wandawa mengikuti kesibukannya dengan berdebar-debar. Ketika ada kesempatan maka Buntalpun me mberanikan diri untuk bertanya "Ki Wandawa, apakah mereka takan me nyerang Pandan Karangnangka setelah siang?" "Kita be lum mendapatkan tanda-tanda" sahut Ki Wandawa. "Jika de mikian, apakah kita tetap pada rencana kita untuk menyerang mereka dan menghilang" di siang hari gerakan itu agak sulit dilakukan"
"Tida k. Sama sekali tida k. Kita akan menghindari ke tempat yang sudah ditentukan. Se mentara pasukan dari Sukawati sekarang sudah siap menunggu di sebuah tikungan untuk menjebak mereka. Tetapi merekapun harus segera menarik diri dan menghilang" "Bagaimana jika mereka mengejar terus?" -oo0-d-o0o-w-0oo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 20 "KITA bukan sekedar lari. Kita me mberikan perlawanan sambil menarik diri. Kita berpendapat bahwa mereka tidak akan berani mengejar terus setelah pasukan dari Sukawati menyerang mereka. Bahkan seandainya mereka mengejar kita, kitalah yang akan mengambil peranan didala m pertempuran itu. Dari beberapa laporan kami sudah dapat menguatira kan beberapa besar pasukan mere ka." "Pasukan itu terla mpau besar." "Jumlah kita cukup banyak untuk me lawan mereka, karena mereka lah sebenarnya yang tidak mengetahui jumlah pasukan kita yang sebenarnya. Meskipun sebagian dari pasukan kita adalah orang-orang yang baru sedikit mendapatkan ilmu keprajuritan, tetapi sebagian yang lain adalah orang-orang yang sudah mendapat tempaan yang dapat dipercaya. Kecuali ku, merekapun didasari oleh hasrat berjuang yang menyalanyala, sehingga mereka akan merupakan kekuatan yang tangguh."
Buntal mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa jumlah pasukan Pangeran Mangkubumi cukup besar. Apalagi apabila pasukan dari Sukawati telah terjun pula ke medan perang. Meskipun de mikian Buntal menjadi berdebar-debar ketika langit menjadi se ma kin merah. Apalagi ketika Ki Wahdawapun ke mudian berkata "Buntal, Kau dan adikmu tetap bersama aku. Mungkin aku me merlukan tenagamu setiap saat " Buntal mengangguki ia sadar, bahwa ia tidak termasuk dalam kelompok yang manapun juga di Pandan Karangnangka karena ia sebenarnya berada di Sukawati. Karena itu, da langsung berada dibawah perintah Ki Wandawa bersama Arum, setelah Buntal serba sedikit menceriterakan tentang gadis itu serta ke ma mpuan yang ada padanya. Demikianlah ma ka saat-saat menjelang ayam jantan berkokok di dini hari menje lang fajar, merupakan saat-saat yang sangat tegang. Baik bagi prajurit-prajurit Surakarta dan kumpeni yang mengepung Pandan Karangnangka, maupun bagi Pangeran Mangkubumi yang menunggu kapan prajuritprajurit Surakarta mulai bergerak, "Kita akan menyerang mereka, sesudah mereka mulai dengan sergapan mereka, sehingga perhatian mereka sebagian besar tertuju kepada pusat pertahanan yang mereka duga masih ada di padukuhan Pandan Karangnangka." berkata Ki Wandawa kepada Buntal "Pangeran Mangkubumi sendiri akan me mimpin sergapan ku. Aku harus mengikutinya. Dan kau berdua bersa ma aku di medan." Buntal dan Arum mengangguk, "Ingat. Kalian tidak boleh lupa sebutan sandi, Jika kau berada diantara kelompok-ke lompok yang belum kau kenal dan terpisah daripadaku, kau harus dapat menjawab panggilan sandi itu. Apakah kau ingat ?" "Ya Ki Wandawa. Aku harus me njawab setiap panggilan sandi dengan kata bandang. "
"Ya. Banjir dan kau jawab bandang. Jangan keliru. Sebab sepatah kau tergelincir, dadamu akan tertembus ujung tombak kawan sendiri. " Arum mengerutkan keningnya. Ia belum pernah berada dimedan yang sesungguhnya. Karena itu, selalu mengingatingat panggilan sandi agar ia tida k keliru mengucapkannya. Setiap kali ia berguma m "Banjir" bandang. Banjir "tendang." Ketika langit menjadi ke merah-merahan di Timur, maka sua-sanapun menjadi se makin tegang. Pangeran Yudakusuma hampir tidak sabar lagi menunggu. Seakan-akan waktu berjalan terla mpau la mban. "Apakah' orang-orang Pandan Karangnangka sudah kelaparan dan menyembe lih se mua ayam jantan yang ada dipadukuhan itu" Pangeran Yuda kusuma menggera m "jika demikian maka ayam-ayam jantan dipadukuhan lain akan berkokok juga, dan suaranya betapapun lamat-la matnya akan terdengar juga dari padukuhan yang paling dekat. " Namun dala m pada itu, selagi se muanya menjadi tegang, maka Raden Juwiring yang berada diantara pasukan berkudapun na mpak sangat gelisah. Seperti Pangeran Yudakusuma ia menganggap waktu mera mbat seperti siput yang lumpuh. La mbat, dan ha mpir tidak bergerak sama sekali. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-da la m. Bahkan kadang-kadang ia berjalan mondar-mandir sa mbil menuntun kudanya diekor gelar Sipit Urang yang se mpurna. Pada saat yang bersamaan, disapit kiri dari gelar supiturang itu, Pangeran Ranakusuma me manggil beberapa orang pemimpin ke lompoknya. Pemimpin kelompok yang setia kepadanya, dan selalu patuh kepada perintah-perintahnya, apapun yang harus mereka lakukan. "Saatnya telah tiba" berkata Pangeran Ranakusuma "sebentar lagi pasukan Surakarta akan bergerak. Dan pada
saat itu aku akan menuntut kesetiaan kalian yang paling menda la m." Pemimpin-pe mimpin kelompok itu tidak ada yang menyahut. Mereka hanya menundukkan kepala saja. Tetapi terpancar didalam wajah mereka kesediaan berkorban sa mpai titik darah terakhir bagi segala perintah Pangeran Ranakusuma. "Aku mengerti, sebenarnya aku tidak berhak berbuat demikian. Tetapi aku mohon kepada kalian." Para pemimpin ke lompok itu me njadi heran. Seharusnya Pangeran Ranakusuma dapat menjatuhkan perintah. Bukan sekedar permohonan, apapun yang harus mereka lakukan. Dala m pada itu, selagi mereka sibuk mendengarkan penjelasan yang kemudian diberikan oleh Pangeran Ranakusuma, tentang segala sesuatu yang harus mereka lakukan, maka tiba-tiba telah terjadi keributan kecil didala m lingkungan sayap kiri dari gelar supit urang itu. "Apa yang terjadi ?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Pangeran" berkata seorang petugas sandi dari pasukan Pangeran Ranakusuma "orang ini akan berkhianat. " "Kenapa ?" bertanya Pangeran Ranakusuma sa mbil me mandang seseorang yang dihadapkan kepadanya dengan ujung pedang yang me lekat pada punggungnya. "Ia akan keluar dari pasukan dan sudah terang tentu akan menya mpaikan rahasia kita kepada pihak la in" "Tida k" orang itu ha mpir berteriak "aku tida k akan berkhianat. Aku hanya akan me lihat-lihat." "Bukan waktunya untuk melihat-lihat." Pangeran Ranakusuma me mandang orang itu dengan tajamnya. Perlahan-lahan tangannya meraba hulu kerisnya.
Setiap orang sudah menduga bahwa keris itu akan segera mengakhiri hidup orang yang akan berkhianat itu. Prajuritprajurit itu sudah mengenal sikap Pangeran Ranakusuma dipeperangan. Namun tiba-tiba para Senapati itu mengerutkan keningnya. Pangeran Ranakusuma yang sudah, menarik kerisnya perlahan-lahan tiba-tiba me ngurungkannya dan menyarungkannya ke mbali. "Aku tidak a kan me mbunuhnya" katanya dalam suara yang parau "ikat sajalah pada sebatang pohon. Ia harus tetap berada ditempatnya sampai se muanya selesai." Para Senapati me mandang wajah Pangeran Ranakusuma yang tegang, namun akhirnya menjadi bura m. Bahkan ke mudian ia berdiri dan me mandang jauh kedala m kegelapan ma la m. Mala m yang tegang dan senyap. Nampa k pada tatapan mata dan sikapnya, kegelisahan yang mencengka m. Tetapi Pangeran Ranakusuma tetap seorang Senapati yang besar, yang tidak kehilangan pengaruh dan wibawa atas anak buahnya. "Sebentar lagi ayam berkokok" katanya "dan kita semuanya harus sudah siap. Aku yakin bahwa yang akan terjadi berbeda dengan yang kita rancangkan sejak dari Surakarta. Aku berharap, kalian sudah me mbe kali diri dengan sikap dan keputusan yang sudah kita a mbil. Jika didala m tindakan selanjutnya terjadi pengkhianatan, maka setiap Senapati didala m pasukanku berhak me nga mbil keputusan. Bahkan me mbunuhnya sa ma sekali. " Para perwira didalam pasukan Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari tugas yang harus mereka lakukan. Tugas sebagai prajurit Bukan prajurit yang melakukan segala perintah tanpa me mperguna kan pertimbangan nalar. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang bercita-cita.
Sejenak ke mudian, saat yang dinanti-nantikan itupun datang. Mula-Mula yang terdengar adalah kokok ayam jantan dipadukuhan tetangga. Lamat-La mat, tetapi hampir setiap orang didala m gelar supit urang itu mendengar. Apalagi ke mudian setiap ayam jantan dipadukuhan Pandan Karangnangka berkokok pula Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba Hampir dise luruh kelompok didala m ge lar supit urang. Pangeran Yudakusuma berdiri dengan sebatang tombak ditangannya. Tunggul kerajaan yang dibawa berada didala m gengga man prajuritprajurit pilihan dengan pengawalan yang kuat. Sedangkan para Senapati yang lainpun menjadi berdebar-debar karenanya. Perwira-perwira kumpeni telah mengatur pasukannya dalam barisan yang khusus meskipun mereka tetap berada didalam induk pasukan. Ditangan setiap orang didala m barisan yang khusus itu tergenggam senjata yang dapat meledak dan melontarkan peluru yang dapat menembus dada. Sedang diujung senjata itu dikaitkan sebuah pisau yang runcing, sehingga senjata itu dapat dipergunakan, dala m perang campuh sebagai sebatang tombak pendek pula. Kokok ayam itu telah menggerakkan Tumenggung Sindura pula. Perlahan-lahan ia melangkah keujung pasukannya. Sambil me mandang kejantung padukuhan Pandan Karangnangka ia me masang perisai ditangannya. Adalah menjadi kebiasaannya dimedan perang me mpergunakan sebuah perisai yang tidak begitu besar dan sebilah pedang ditangan kanan. Dala m keadaan yang paling gawat sajalah ia akan menarik keris pusaka kebanggaannya. Ternyata kokok ayam itu telati menggetarkan jantung Pangeran Ranakusuma. Dimedan sperang yang manapun ia tidak pernah merasa gelisah seperti saat ia me ndengar kokok ayam jantan di padukuhan Pandan Karangnangka itu. Na mun ia masih dapat menguasai dirinya sebagai seorang Senapati yang besar.
Sekilas Pangeran Ranakusuma me ma ndang langit yang ke merah-merahan. Rasa-rasanya ia masih ingin melihat matahari terbit. Rasa-rasanya untuk selanjutnya ia tida k akan dapat melihatnya lagi. "Ah" desisnya "a ku sudah pernah berada dipeperangan berpuluh kali. Aku akhirnya dapat melepaskan diri dari maut. Sekarang, kenapa aku menjadi ge lisah." Tetapi kegelisahan didadanya itu tidak dapat diusirnya. Sejenak Pangeran Ranakusuma masih berdiri tegak. Angin di dini hari yang sejuk mengusap wajahnya yang tegang. Sekilas Pangeran Ranakusuma teringat kepada anak gadis yang ditinggalkannya. Namun ke mudian ia menggertakkan giginya sambil menggera m "Dimedan ini ada Juwiring. Ia harus menjadi Senapati yang pilih tanding kela k. Mudahlan ia berhasil lolos dari kepahitan yang paling tajam dipepetangan yang baru pertama kali diikutinya. Peperangan yang sebenarnya." Pangeran Ranakusuma tida k dapat berangan-angan lebih la ma lagi. Ketika didengarnya isyarat, maka ia sadar sepenuhnya bahwa pasukannya harus mula i bergerak. Seperti yang ditentukan, gerakan akan dimulai dari kedua sayap dan menekan lawan se makin dala m masuk kepedukuhan Pandan Karangnangka. Ke mudian induk pasukan akan menggilas mereka sa mpai tuntas. Sedang pasukan yang berada disisi lain akan menghancurkan siapa saja yang me larikan diri. Isyarat yang sudah terdengar, seolah-olah telah me mbangunkan Pangeran Ranakusuma. Dengan tangan gemetar ia me manggil seorang Senapati dengan isyarat pula. Kemudian dari Senapati itu Pangeran Ranakusuma menerima senjata yang selalu dibawanya ke medan perang. Sebuah trisula, bertangkai pendek. "Bersiaplah. Kita harus mendahului se muanya" guma m Pangeran Ranakusuma.
Senapati yang ada didala m pasukannya, yang telah mendengar segala penjelasan Pangeran Ranakusumapun me mpersiapkan diri. Seperti Pangeran Ranakusuma, merekapun seolah-olah merasa bahwa mereka tidak akan sempat melihat matahari terbit. Tetapi langit sudah menjadi se ma kin merah. Sejenak ke mudian terdengarlah Pangeran Ranakusuma menggertakkan gigi dan disusul dengan suaranya yang parau meneria kkan aba-aba. Maka pasukannyapun segera bergerak. Disebelah menyebelahnya dua orang Senapati pilihan berjalan dengan wajah yang tegang. Kemudian pasukannya perlahan-lahan mulai me nebar. Tetapi Pangeran Ranakusuma agaknya telah me milih ja lan yang ditentukan sendiri. Ia tidak langsung menusuk kepusat pertahanan lawan di Pandan Karangnangka seperti yang diperhitungkan. Tetapi Pangeran Ranakusuma menga mbil jalan lain melingkari padukuhan itu. Gerakan itu ternyata telah dapat dilihat oleh petugas sandi Pangeran Mangkubumi. Dengan tergesa-gesa seorang diantara mereka segera melaporkannya kepada Ki Wandawa, bahwa pasukan Surakarta dan kumpeni sudah mula i merayap mende kati Pandan Karangnangka da la m ge lar yang se mpurna. Laporan itupun sejenak ke mudian telah sa mpa i pula kepada Pangeran Mangkubumi. Ki Wandawa sendiri menghadap untuk me mberikan pertimbangan-pertimbangannya. "Kita harus cepat bergerak. Jika mereka menyadari bahwa padukuhan itu kosong, mereka se mpat me mbuat pertimbangan lain." berkata Ki Wandawa. Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Ke mudian iapun menentukan sikap seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.
Beberapa orang Pangeran yang ada pula didala m pasukannya kemudian pergi kepasukan masing-masing. Mereka sudah siap bergerak untuk me mukul pasukan Surakarta dan Kumpeni. Namun ke mudian me nghindar ketempat yang sudah ditentukan. Jika pasukan Surakarta mengejar, maka pasukan dari Sukawati sudah bergerak pula untuk mencegat mereka i Dan seorang penghubung dari Sukawati telah datang melaporkan se mua persiapan berjalan dengan baik. Sesaat kemudian, maka Pangeran Mangkubumipun telah me mberikan isyarat Pasukannya telah beroda diujung padukuhan yang menghadap ke Pandan Karangnangka. Jarak antara kedua padukuhan itu tidak begitu jauh. Jika perintah telah jatuh, maka pasukan itu akan menyerbu dengan cepat dan mengejutkan. "Se mua obor harus dinyalakan de mikian bergerak." perintah Pangeran Mangkubumi. "Langit menjadi se makin terang." "Tetapi obor yang ketabahan hati mereka." bertebaran akan mempengaruhi kita mulai
Ki Wandawa mengangguk-angguk. Dan sebagian dari oborobor itu hanya sekedar untuk me mpengaruhi lawan, karena kekuatan yang sebenarnya justru tidak terletak pada pasukan yang akan berpencar sa mbil me mbawa obor itu. Ketika Pangeran Mangkubumi menganggap wa ktunya telah tiba maka iapun telah bersiap untuk menjatuhkan .perintah. Tetapi ia tertegun sejenak, ketika seorang petugas sandi datang bergegas-gegas dengan nafas terengah-engah. "Apa yang kau lihat ?" bertanya Ki Wandawa. "Ki Wandawa" desisnya disela-sela engah1 nafasnya. Bahkan ke mudian "A mpun Pangeran. Hamba tida k bermimpi.
Hamba mengetahui dan kawan-kawan yang lain disekitar Pandan Karangnangkapun melihat, bahwa di Pandan Karangnangka telah terjadi pertempuran. " "He ?" Ki Wandawa terkejut. Pangeran Mangkubumipun terkejut pula sehingga untuk beberapa saat ia tertegun. "Kau mengigau" desis Ki Wandawa "kau tahu, semua pasukan yang ada bahkan semua penghuni pedukuhan itu telah pergi?" "Ya Ki Wandawa. Tetapi sebenarnyalah telah terjadi pertempuran." Sejenak ke mudian laporan itu t idak dapat dibantah lagi. Dari padukuhan Karangnangka telah terdengar ledakanledakan senjata api yang telah dilepaskan oleh kumpeni. "Pangeran" Ki Wandawa menjadi tegang "yang terjadi adalah diluar pertimbangan dan perhitungan kita." Pangeran Mangkubumi ternyata me mang seorang pemimpin yang besar dan yang me nguasai ha mpir setiap persoalan yang harus dipecahkannya. Karena itu maka katanya "Panggil para Senapati terpenting dari pasukan kita." Semua orang dida la m pasukan itu harus bekerja cepat. Cepat sekali. Apalagi keadaan ternyata berkembang diluar perhitungan. Ketika para Pangeran dan Senapati telah menghadap, maka Pangeran Mangkubumi berkata "Tentu terjadi sesuatu. Ketika mereka me nyadari kegagalan mere ka, ma ka mereka telah menjadi saing mencurigai'. Tentu ada diantara mereka yang dituduh berkhianat dan harus ditangkap." Buntal dan Arum yang diperkenankan mengikut Ki Wandawa hampir diluar sadarnya berdesis "Raden Juwiring."
Ki Wandawa berpaling. Ke mudian "Bagaimana dengan Raden Juwiring."
iapun bertanya "Bintang Selatan. Dan ia ada dipasukan itu." "Mungkin bukan Juwiring" sahut Pangeran Mangkubumi "tetapi orang yang lebih penting daripadanya." Ki Wandawa mengangguk-angguk. "Jadi, apakah yang harus ka mi kerjakan sekarang Pangeran." "Cepat, kembali kepasukan masing-masing. Lakukan sesuai dengan rencana. Tetapi hati-hati1ah, karena tentu ada diantara mereka yang justru harus mendapat perlindungan kita." "Tugas ini akan me njadi se ma kin sulit." "Tetapi mungkin akan berakhir lain. Jangan meningga lkan medan seperti yang direncanakan sebelum mendengar isyarat sandi dari Ki Wandawa." Semua Senapatipun segera kemba li kepasukan masingmasing, sedang Ki Wandawa sela lu ada didekat Pangeran Mangkubumi. Ia harus mena mpung segala perintahnya dan menya mpaikan kepada seluruh pasukan dengan cara yang sudah disetujui bersa ma. Demikianlah, maka perintahpun segera jatuh. Hampir bersamaan waktunya para prajurit yang sudah1 ditentukan, menyalakan obor-obor mereka meskipun langit sudah menjadi semakin cerah. Ke mudian serentak mereka maju dengan cepat, seperti banjir bandang yang baru saja me mecahkan bendungan menuju kepadukuhan Pandan Karangnangka. Sebenarnyalah dipadukuhan Pandan Karangnangka telati terjadi pertempuran yang benar-benar mengejutkan Pangeran Yudakusuma. Sejenak Pangeran Yudakusuma termangu-mangu. Se mula pasukan Surakarta menyangka, bahwa pasukan Pangeran
Mangkubumi telah menyongsong langsung induk pasukan sebelum pasukan yang dipimpin oleh Senapati pengapit mendesak mere ka masuk kepadukuhan Pandan Karangnangka. "Pangeran" seorang penghubung melaporkan dengan nafas terengah-engah "serangan datang justru dari la mbung." "Bagaimana dengan pasukan di sayap kiri." "Sangat kabur. Tetapi pertempuran me mang sudah terjadi dengan sengitnya." Sejenak Pangeran Yudakusuma merenung. Lalu "Apakah kau mengenal satu dua orang lawan, atau ciri-ciri yang dapat kau sebutkan?" "Mereka adalah prajurit-prajurit Surakarta" "Gila" teriak Pangeran Yudakusuma. "Aku sendiri akan me lihatnya. Amati pasukan itu sebaik-ba iknya. Aku masih akan me mberikan beberapa perintah lebih dahulu." Penghubung itupun segera ke mbali kete mpatnya. Sementara itu Pangeran Yudakusuma mencari hubungan dengan sapit kanan dan me merintahkan untuk bergerak sesuai dengan rencana. Tetapi baru saja penghubung itu pergi, datanglah seorang. yang dikirim oleh Tumenggung Sindura menghadap Pangeran Yudakusuma. "Pangeran. kosong." Padukuhan Pandan Karangnangka telah
"He ?" sekali lagi Pangeran Yudakusuma terkejut. "Apakah kalian sedang bermimpi " Dila mbung kiri telah terjadi pertempuran. Dan kau katakan Pandan Karangnangka telah kosong ?"
"Ha mba Pangeran. Tidak ada seorangpun yang dijumpai oleh pasukan disapit kiri. Bahkan rumah-ruma h telah kosong meskipun la mpu masih menyala." Pangeran Yudakusuma menjadi tegang. Lalu perintahnya "Masuklah lebih dala m lagi. Kuasai daerah yang dapat kalian kuasai. Jika me mang tidak ada lawan yang kalian jumpai, kalian harus langsung masuk sa mpa i kesayap kiri dan melihat apa yang telah jterjadi. Aku belum berhasil menghubungi Senapati Pengapit disayap kiri." Ketika Penghubung itu pergi, maka perte mpuranpun berkobar semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba saja Pangeran Yudakusuma terkejut ketika terjadi pertempuran diekor barisannya. "Gila, semua orang sudah gila." teriak Pangeran Yudakusuma. Ketika seorang prajurit datang menghadap dengan darah yang me mbasahi tubuhnya, ia me mbentak "Apa yang terjadi" Apa?" "Sebagian pasukan berkuda telah berkhianat Pangeran." "Berkhianat. Kelompok yang mana ?" "Dibawah pimpinan Raden Juwiring." "O, gila. Gila. Aku bunuh anak itu." "Kini telah terjadi perte mpuran yang sengit diantara pasukan berkuda diekor barisan. Sebagian dari pasukan berkuda yang berkhianat itu langsung menusuk kedala m pasukan kumpeni." "Mereka akan dibungka m dengan senjata api." "Sebagian besar dari kumpeni itu tida k sempat meleda kkan senjatanya, karena sergapan yang begitu tiba-tiba dan tanpa diduga-duga." Pangeran Yudakusuma me nggeretakkan giginya. Tetapi ia masih se mpat me mbuat pertimbangan-pertimbangan. Karena
itu, maka ia-pun ke mudian me mberikan perintah lewat penghubung-penghubumgnya "Bawa pasukan kesayap kiri." Lalu "Perintahkan Senapati pengapit kanan untuk maju terus. Dan pasukan yang bersiaga untuk menyergap pasukan lawan yang melarikan diri, supaya segera menyesuaikan dengan keadaan baru. Perintah selanjutnya akan menyusul." Tetapi belum lagi para penghubung itu bergerak, datang laporan, pasukan dari padukuhan sebelah datang dala m jumlah yang besar. Pangeran Yudakusuma me njadi se makin marah. Ia sadar, bahwa yang datang itu tentu pasukan Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya. Tetapi disamping itu, iapun sadar, bahwa didala m pasukannya telah terdapat prajurit-prajurit Surakarta yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi. Dengan lantang Pangeran Yudakusuma berteriak "Pasukan yang mengepung Pandan Karangnangka, dan tidak termasuk dalam ge lar, agar menahan pasukan Pangeran Mangkubumi yang datang. Kami akan menyelesaikan pe mberontakan didala m pasukan ini sebentar sebelum ka mi akan datang menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Tumenggung Sindura, aku perintahkan untuk me mbantu penyelesaian kedala m sebelum pasukannya akan menghadapi pasukan Pangeran Mangkubumi." Demikianlah perte mpuranpun segera berkobar dengan sengitnya hampir disegala te mpat. Untuk beberapa saat la manya prajurit-prajurit Surakarta dicengka m oleh keributan yang me mbingungkan. Na mun se makin la ma keadaanpun menjadi sema kin je las. Mereka mulai dapat me misahkan diri. Yang mana yang berada dipihak Pangeran Yuda kusuma dan Senapati-senapati yang setia kepadanya, dan yang manakah yang dengan tiba-tiba telah memberikan perlawanan terhadap mereka. Sementara itu, pasukan yang ada diluar gelar, yang semula disiapkan untuk menahan arus .pengunduran diri dari.
pasukan Pangeran Mangkubumi, dengan tergesa-gesa telah me mutar haluan dan dengan berdebar-debar menghadapi pasukan yang datang menyerbu kepadukuhan Pandan Karangnangka. Seorang Senapati yang me mimpin pasukan Surakarta itupun segera meneriakkan aba-aba. Pasukan itupun mulai menebar mengimbangi tebaran pasukan Pangeran Mangkubumi. "Mereka me mpergunakan gelar glatik neba." desis Senapati itu. Seorang pengawal yang berdiri disa mpingnya menganggukkan kepalanya. Obor-obor yang mendekat itu me mang bertebaran tidak beraturan. Seolah-olah pasukan Pangeran Mangkubumi me mang me mpergunakan ge lar glatik neba. Sementara itu langit telah menjadi semakin merah. Bintang-bintang telah mula i lenyap dari kebiruan wajah mala m yang menjelang fajar. Namun de mikian, Pangeran Yudakusuma masih be lum berhasil mencari hubungan dengan Pangeran Ranakusuma yang berada disapit kiri. "Kita harus segera mengetahui nasib Pangeran Ranakusuma. Sayap kiri agaknya telah me lawan perintahnya dan me mberontak justru kita sudah berada dihadapan pasukan Pangeran Mangkubumi. Kita ternyata sudah diperbodohnya dan mengepung padukuhan yang kosong sama sekali. Ternyata semua petugas sandi dari Surakarta adalah petugas-petugas yang berkepala kosong" Pangeran Yudakusuma yang marah itu se lalu mengumpat-umpat. Namun yang didengarnya segera adalah berita yang telah mengguncangkan jantungnya. Berita yang didengarnya bagaikan ledakan petir yang me nyambar kepalanya.
"Pangeran" berkata seorang penghubung "ha mba tidak berhasil mencari hubungan dengan Senapati di sapit kiri. Karena sebenarnyalah yang hamba dengar bahwa perlawanan sayap kiri itu justru dipimpin sendiri oleh Pangeran Ranakusuma." "He" wajah Pangeran Yudakusuma menjadi merah pada m "apakah kau berkata sebenarnya?" "De mikian menurut pendengaran ha mba." "Gila. Tidak seorang petugas sandi dari Surakarta yang dapat menemukan keterangan-keterangan yang benar. Kau lihat. Pandan Karangnangka ternyata telah kosong sama sekali. Tidak ada" seorang petugas sandipun yang mengetahui. Dan sekarang kau mengigau bahwa Pangeran Ranakusuma me mimpin perlawanan itu." "Tetapi tidak na mpa k pertentangan disayap kiri Pangeran. Mereka serentak menyerang lambung. Itu tidak dapat terjadi tanpa ikatan yang berwibawa diantara mereka. Padahal tidak ada orang lain yang me miliki ke lebihan dari Pangeran Ranakusuma, sehingga dengan de mikian menurut, penilaian hamba, sebenarnya telah terjadi de mikian." Pangeran Yudakusuma mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Memang mungkin terjadi. Jika benar, maka sasaran utamanya tentu kumpeni." ia berhenti sejenak "tetapi jika demikian, Pangeran Ranakusuma telah me langkahi hak dan wewenangku sebagai Panglima dida la m peperangan ini. Dan itu me mang suatu pengkhianatan." "De mikianlah Pangeran. Hamba me mang menganggapnya demikian." Pangeran Yudakusuma menggeretakkan giginya. Di sekitarnya pertempuran menjadi sema kin seru. Setiap kali! masih terdengar ledakan senjata api yang dilepaskan oleh kumpeni. Tetapi kesempatan untuk me mpergunakannya terlampau se mpit. Mereka tidak me mpunyai wa ktu untuk
mengisi pe luru dan me mbersihkan laras. Sehingga dengan demikian mereka me mpergunakan senjata mereka dala m pertempuran jarak pende k dengan me masang sangkur diujung laras. Pasukan Raden Juwiring yang ada diekor barisanpun ternyata telah mengacaukan keseluruhan pasukan berkuda. Mereka bertempur pada jarak yang terla mpau se mpit. Sedang disayap kiri prajurit-prajurit Pangeran Ranakusuma telah menyerang la mbung dan langsung menusuk kepusat pasukan Surakarta. Seperti yang diduga oleh Pangeran Yudakusuma, sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma telah muak me lihat kekuasaan kumpeni di Surakarta. Ia mula-mula telah terbius oleh gemerlapannya harta dan kekayaan duniawi sehingga ia telah kehilangan arti dari sifat kesatria Surakarta. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan gejolak didala m hatinya, sehingga pada saat yang menentukan itu, ia telah berhasil me mecah kungkungan yang mengikat. Sebenarnya bukan tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma menentukan sikap. Sudah la ma ia bertekad untuk berbuat demikian bersama puteranya Raden Juwiring. Tetapi ia tidak dapat 'berbuat dengan terbuka. Yang dapat dilakukannya adalah bertindak dengan sangat hati-hati. Karena itu pulalah maka berita tentang sergapan atas Pandan Karangnangka itu dapat sampai ketelinga Pangeran Mangkubumi betapapun dirahasiakannya. Dan dalam pada itu, Pangeran Yudakusumapun mengumpat "Tentu Pangeran Ranakusuma yang telah mengirimkan utusan kepada Pangeran Mangkubumi, agar ia meninggalkan Pandan Karangnangka. Benar-benar suatu pengkhianatan yang tidak dapat dia mpuni lagi." Dengan ke marahan yang tidak tertahankan lagi, maka Pangeran Yudakusumapun segera mengirimkan berita itu
kepada Tumenggung Sindura. Dengan tegas ia menjatuhkan perintah "Kita bersama-sa ma me mbinasakan Pangeran Ranakusuma sebelum kita akan berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi." Dan perintah yang sa mapun telah diberikan kepada beberapa orang perwira kumpeni, sehingga mereka telah mengirimkan beberapa orang yang akan mengawal Pangeran Yudakusuma menghadapi induk ke kuatan sayap kiri yang berkhianat itu. Demikianlah Pangeran Yudakusuma sendiri maju menghadapi pasukan yang datang dari sayap kiri. Prajuritprajuritnya telah bertempur dengan gigih, karena mereka tidak mau me mbiarkan diri mereka terbunuh oleh siapapun. Baik oleh pasukan Pangeran Mangkubumi maupun oleh prajurit-prajurit Surakarta sendiri. Dengan atau tidak dengan cita-cita, namun mereka tetap ingin hidup lebih la ma lagi. Tumenggung Sindura yang mendengar pesan dan perintah Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia me mang sudah menduga, bahwa gerakan disayap kiri tentu dipimpin oleh Pangeran Ranakusuma sendiri. Dengan demikian, ma ka Tumenggung Sincfurapun ke mudian me musatkan gerakan pasukannya menghadapi prajurit-prajurit Surakarta sendiri. Ia sependapat dengan Pangeran Yudakusuma, bahwa lebih baik menghancurkan pengkhianatan lebih dahulu sebelum menghadapi pasukan Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya. Karena itu, maka diapun ke mudian dengan tergesa-tergesa maju ke medan diantara pasukan dala m ge lar itu sendiri. Dengan beberapa orang pengawalnya yang terpilih Tumenggung Sindura berusaha untuk dapat bertemu dengan Pangeran Ranakusuma langsung. Jika Pangeran Ranakusuma dapat dikuasai hidup atau mati, maka pasukannyapun akan dengan mudah dikuasainya pula.
Ternyata dari induk pasukan Pangeran Yudakusumapun bersikap serupa. Dengan beberapa orang kumpeni ia maju mende kati peperangan dila mbung kiri. Sementara mere ka sibuk me nahan sergapan prajuritprajurit Surakarta disayap kiri, maka diekor pasukan itu, Raden Juwiring bagaikan menga muk diantara pasukan berkuda sendiri. Beberapa orang yang berusaha menangkapnya telah bergeser mundur karena senjata Raden Juwiring yang berputaran ditangan kanannya. Sementara anak buahnyapun telah bertempur dengan tidak menghiraukan keselamatan mere ka sendiri. Meskipun jumlah pasukan berkuda Raden Juwiring tidak terlampau banyak, na mun Senapati yang me mimpin e kor dari gelar supit urang tidak segera dapat menguasainya. Bahkan ada beberapa orang prajurit yang menjadi ragu-ragu. Meskipun mereka bukan dari kelompok yang dipimpin oleh perwira muda yang bernama Juwiring itu, na mun beberapa orang muda didala m pasukan berkuda itu menjadi termangumangu. Raden Juwiring bagi mereka adalah seorang perwira yang baik dan terpuji. Dengan demikian, ma ka didala m pergaulan sehari-haripun banyak orang yang senang dan dekat kepadanya. Tiba-Tiba saja kini dimedan perang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Sementara itu, Tumenggung Sindura yang langsung masuk keinduk pasukan dari sayap kanan telah berada digaris perang. Sedang dari induk pasukan Pangeran Yudakusumapun telah berada diarena pula. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi sema kin sengit. Pertempuran antara kesatuan-kesatuan prajurit Surakarta sendiri yang me miliki tuntunan dan latihan-latihan yang serupa, sehingga karena itulah maka perte mpuran itupun me njadi sangat seru. Namun ternyata bahwa prajurit Surakarta yang berada di sapit kiri itu, ke mudian harus menghadapi lawan yang terlampau banyak jumlahnya. Pasukan dari sapit kanan yang
seimbang dengan pasukan di sapit kiri, dan induk pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma sendiri. Tetapi prajurit-prajurit Surakarta yang memberontak terhadap induk pasukannya itu bagaikan orang-orang yang sedang wuru. Mereka seolah-olah bertempur dengan tidak menghiraukan apapun juga. Mereka me mutar senjata mereka dengan gairah yang me mbakar jantung. Apalagi apabila mereka harus berhadapan dengan kumpeni. Maka tidak ada pilihan lain daripada me mbunuh atau dibunuh. Namun de mikian tekanan yang datang dari pasukan Tumenggung Sindura dan yang langsung dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma me mang terasa sangat berat. Diekor pasukan Juwiring kadang-kadang berhasil menarik perhatian dan bahkan mengacaukan induk pasukan. Tetapi hanya disatu sisi. Prajurit-prajurit berkuda dan sebagian kumpeni berhasil menahannya untuk tidak langsung menerobos masuk keinduk pasukan yang sedang bertempur melawan pasukan Ranakusuma. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma bertempur bagaikan singa yang terluka. Dengan ditangan kanan dan keris pusakanya ditangan menga muk diujung pasukannya. Yang menjadi ke marahannya, terutama adalah kumpeni. sendiri pedang kiri, ia sasaran
Beberapa orang kumpeni yang mencoba menahannya, tidak ma mpu menahan a mukan pedangnya. Beberapa orang terluka karenanya. Dan yang lahi harus bergeser surut. Apalagi pengawal khusus Pangeran Ranakusuma itu bertempur seperti Pangeran Ranakusuma sendiri. "Aku akan me nghentikannya" desis seorang perwira kumpeni yang ada disisi Pangeran Yudakusuma setelah ia berhasil menjumpa i Pangeran yang dianggapnya me mberontak itu,
"Apa yang akan kau lakukan ?" bertanya Pangeran Yudakusuma. "Peluruku akan mene mbus dadanya. Dan ia akan mati. Tidak seorangpun yang dapat lepas dari bidikanku. Aku adalah penembak tepat sejak aku masih sangat muda," Pangeran Yudakusuma tidak menyahut. Kemudian ia me lihat kumpeni itu me mbidikkan senjatanya. Tetapi sebelum pelurunya meloncat dari ujung laras, Pangeran Yudakusuma tiba-tiba saja berkata "Pangeran Ranakusuma pernah mengatakan, peluru tidak akan dapat mene mbus tubuhnya. " "Bohong" geram kumpeni itu. Namun tiba-tiba saja keraguraguan yang sangat telah melanda jantungnya. Dengan suara terbata-bata ia berkata "Orang-orang terbelakang me mang percaya akan tahayul." Pangeran Yudakusuma terdiam. Na mun ia me lihat ujung laras senjata itu agak bergetar. Sejenak ke mudian terdengar senjata itu meledak. Tidak terla mpau mengejutkan karena bunyi senjata api masih saja terdengar meledak dimana-mana. Tetapi yang mengejutkan adalah, bahwa Pangeran Ranakusuma yang seolah-olah tidak mendengar bunyi ledakan itu, sama seka li tidak merasa tersentuh oleh apapun. Ia masih tetap bertempur seperti seekor singa jantan. Senjatanya masih menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Menyayat kulit lawan, dan merobek la mbung mere ka yang berani mengha langinya. Seorang
kumpeni yang tidak sempat mengisi senjatanya, melawan dengan sangkur diujung laras. Tetapi ia sama sekali tidak berdaya. Dadanya bagaikan terbelah dan darah menga lir seperti pancuran dipinggir sunga i. Kompeni yang me lepaskan tembakan itu menjadi berdebardebar. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata "Aku tidak pernah meleset. Bidikanku tentu mengenai sasaran." "Tetapi tanganmu Yudakusuma. "Tida k." "Jika demikian, Pangeran Yudakusuma me mang tidak dapat dilukai oleh pe luru," "Persetan" "Miinggirlah" berkata Pangeran Yudakusuma ke mudian "jika ia tidak dapat terluka oleh pe luru, maka kerisku akan me lukainya." Demikianlah ma ka Pangeran Yudakusumapun segera maju menyongsong kedatangan Pangeran Ranakusuma. Beberapa orang pengawalnya telah melindunginya dari serangan prajurit-prajurit yang lain, sehingga ia benar-benar mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan Senapati yang disegani itu. Dala m pada itu, seorang kumpeni yang lain telah me mbidikkan senjatanya pula. Kumpeni yang telah gagal me mbunuhnya dengan peluru itupun berbisik "Cepat, sebelum mereka terlibat dala m perang tanding." Sekali lagi sepucuk senjata api me ledak. Tetapi Pangeran Ranakusuma tetap berdiri tegak seperti batu karang. "Gila" desis kumpeni yang mene mbak itu "a ku tidak pernah salah bidik." ge metar" berkata Pangeran
"Tetapi tanganmu juga ge metar" berkata kawannya yang telah lebih dahulu gagal. "Tida k. Tanganku tidak ge metar"l alu "apakah ia hantu atau iblis." "Tida k. Tentu tanganmu ge metar dan dala m hiruk pikuk pertempuran seperti ini. kesalahan bidik tentu akan terjadi." Kawannya tidak menyahut. Tetapi sejenak kemudian tidak seorangpun yang sempat me mbidikkan senjatanya, karena Pangeran Yudakusuma sudah menghadapinya langsung. "Kenapa kau Yudakusuma. me mberontak ?" bertanya Pangeran
"Tida k banyak alasan yang dapat aku kemukakan. Tetapi sebenarnya aku sudah muak me lihat perma inan kita. Kau dan juga aku sendiri." Wajah Pangeran Yudakusuma menjadi merah. Lalu "Aku tidak peduli pendapatmu itu. Tetapi kau sudah ingkar akan kesetiaanmu kepada Kangjeng Susuhunan." "Mungkin akan dapat dinilai de mikian. Tetapi yang aku lakukan adalah sekedar me lepaskan himpitan perasaan yang tidak tertahankan lagi." "Itu adalah masalah yang terla mpau pribadi. Tetapi kau sudah me mpengaruhi seluruh rencana kita, justru pada saat kita sudah berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi." "Tida k apa-apa. Kalau kau serahkan semua kumpeni yang ada didala m pasukan kita, ma ka aku akan berdiri tegak dipaling depan me nghadapi Pangeran Mangkubumi." "Gila. Dendam pribadimu kau pertaruhkan atas seluruh keselamatan Surakarta." "Sudah la ma kita bersama-sa ma me mpertaruhkan Surakarta bagi kepentingan pribadi kita masing-masing."
"Cukup" "Me mang sudah cukup." Keduanya tidak berbicara lagi. Tetapi senjata merekalah yang mulai bergetar. Dan sejenak ke mudian, keduanya sudah terlibat dala m perte mpuran yang sengit. Tetapi keduanya seolah-olah telah terpisah dari pertempuran yang terjadi disekitarnya. Para pengawal dari kedua belah pihak telah terlibat perang diantara mereka, sehingga yang terjadi ke mudian adalah perang tanding yang sangat dahsyat. Keduanya adalah Senapati pilihan di Surakarta. Keduanya adalah kesatria terpilih. Namun ke mudian ternyata bahwa Pangeran Ranakusuma yang memiliki pengala man lebih banyak dan ternyata juga ke ma mpuan yang lebih tinggi, berhasil mendesak Pangeran Yudakusuma. Meskipun pasukan Pangeran Ranakusuma yang jumlahnya lebih kecil tidak akan dapat bertahan terlalu lama. namun Senapatinya tidak dapat dikalahkan oleh Panglima pasukan Surakarta itu. Sejenak kemudian na mpak bahwa Pangeran Yudakusuma sudah terdesak. Betapa gigihnya Pangeran Yudakusuma me mpertahankan diri, na mun seolah-olah ia bukan saja me lawan seorang Pangeran Ranakusuma, tetapi beberapa orang Pangeran Ranakusuma yang berdiri diatas empat keblat diseputarnya. Bahkan senjata Pangeran Ranakusuma, pedang ditangan kanan dan keris ditangan kiri itu bagaikan menjelma menjadi puluhan pedang dan puluhan keris yang berterbangan diseki-tarnya. Pangeran Yudakusuma menjadi se makin Jantungnya terasa berdetak semakin cepat. bingung.
"Sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma seorang yang pilih tanding. Seorang Senapati yang barangkali dapat mengimbangi ke ma mpuan Pangeran Mangkubumi." desis beberapa orang prajurit yang se mpat melihat tandangnya.
Tetapi kini Pangeran Ranakusuma tida k melawan Pangeran Mangkubumi, tetapi ia menghadapi Pangeran Yudakusuma. Tetapi Pangeran Yudakusumapun seorang prajurit yang tanggon. Seorang prajurit yang menyadari tugas dan kuwajibannya menurut keyakinannya. Karena itulah ma ka Pangeran Yudakusuma berte mpur dengan gigihnya. Apapun yang dapat terjadi atasnya, namun ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri dari medan. Ia masih me mpunyai kepercayaan pada diri sendiri, bahwa ia akan ma mpu bertahan sampai prajurit-prajuritnya berhasil mengusir atau bahkan me mbinasakan sa ma sekali prajuritprajurit yang berpihak kepada Pangeran Ranakusuma. Jika demikian, ma ka Pangeran Ranakusuma akan bertempur seorang diri, sehingga betapapun ia me miliki ke ma mpuan dan ilmu yang tinggi, na mun ia tidak akan berhasil me mpertahankan dirinya menghadapi sekelompok Senapati pilihan yang akan bertempur bersa manya. Tetapi ternyata bahwa kemajuan prajurit dari pasukan induk itu terlampau la ma. Pasukan di sapit kiri bertempur tanpa pertimbangan keselamatan diri. Karena itulah maka kekuatan mereka bagaikan menjadi berlipat ganda. Kenyataan itu tidak dapat diingkar oleh Pangeran Yudakusuma. Ia sudah terdesak terus sehingga keadaannya menjadi se makin berbahaya. Bahkan kadang-kadang ujung pedang Pangeran Ranakusuma rasa-rasanya sudah mulai menyentuh paka iannya. Usaha pengawal-pengawalnya untuk me mbantunya agaknya dapat dibendung oleh pengawal-pengawal Pangeran Ranakusuma. Seolah-olah mereka dengan sengaja ingin me lihat perang tanding yang dahsyat itu. Perang tanding antara dua orang Senapati dari Surakarta sendiri. Dala m kesulitan yang ha mpir t idak teratasi, tiba-tiba arena pertempuran itu telah bergeser. Seakan-akan terjadi desakan
oleh sekelompok prajurit yang datang kemudian, langsung masuk kege langgang perte mpuran yang seru itu. Ternyata yang datang adalah Tumenggung Sindura dengan pengawalnya. Tidak seorangpun yang dapat menahan Tumenggung Sindura yang marah. Pengawal-pengawal Pangeran Rana-kusumapun bagaikan menyibak meskipun mereka sudah pasrah diri dala m sentuhan ma ut. Sejenak Pangeran Ranakusuma me mandang orang yang baru datang itu. Ia melihat Tumenggung Sindura me masuki arena. Dada Pangeran Ranakusuma berdesir ketika ia melihat Tumenggung Sindura justru menyarungkan pedangnya. Dengan wajah yang tegang, Tumenggung Sindura itupun ke mudian menarik keris pusakanya yang jarang sekali dipergunakannya apabila ia tida k merasa menghadapi kesulitan dipeperangan. "Pangeran Ranakusuma" berkata Tumenggung Sindura "aku menghormati Pangeran Ranakusuma sebagai Senapati yang tidak ada duanya. Tetapi aku kecewa melihat sikap Pangeran, justru pada keadaan yang gawat ini." "Aku hanya menuntut agar kumpeni yang ada dipasukan ini diserahkan kepadaku." "Bukankah ha l itu tidak mungkin ?" "Kenapa ?" "Kita bersa ma-sama Mangkubumi" menghadapi pasukan Pangeran
"Bagiku, kumpeni ada lah musuh yang jauh lebih jahat dari Pangeran Mangkubumi," "Tetapi bukankah kita sudah menyusun rencana yang bersama-sama kita setujui " Apakah arti tindakan Pangeran Ranakusuma dimedan seperti ini"
"Sebuah, ledakan hati yang tidak tertahankan lagi." Pangeran Yudakusuma yang berwajah kemerah-merahan bukan saja oleh ke marahan, tetapi juga oleh cahaya matahari yang mulai mereka berteriak "Kita hancurkan pasukannya." Tumenggung Sindura mengangguk-angguk. Ke mudian iapun me mpersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Katanya "Aku akan melawannya Pangeran. Aku ingin me mbuktikan apakah kini Pangeran Ranakusuma masih me mpunyai banyak aji yang dapat menyelamatkan dirinya dari kerisku." "Kita bertempur bersa ma" sahut Pangeran Yudakusuma "bukan saatnya untuk menunjukkan harga diri. Pasukan Pangeran Mangkubumi sudah terlibat dalam pertempuran dengan pasukan kita diluar gelar. Kita masih harus me mperbaiki susunan gelar yang dikacaukan oleh Pangeran Ranakusuma ini." "Baiklah" sahut Pangeran Ranakusuma "marilah. Majulah bersama-sama." Pangeran Yudakusuma tidak menyahut lagi. Iapun langsung menyerang meskipun ia sadar Pangeran Ranakusuma masih akan dapat mengela k. Namun sejenak kemudian disusul serangan Tumenggung Sindura yang tidak ka lah dahsyatnya. Ditangan kiri ia masih me megang perisai kecilnya, sedang ditangan kanan ia menggengga m sebilah keris yang diterima tumurun dari nenek moyangnya.
Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung 1 Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur Misteri Kapal Layar Pancawarna 12
^