Pencarian

Bunga Di Batu Karang 35

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 35


"Pengecut" geram Juwiring "Yang sekejap itu tentu sudah kau pergunakan untuk me mbunuhku" "Jika kau kehendaki, ka mi a kan mundur beberapa puluh langkah pada saat kau melepaskan senjata itu" sahut Buntal sambil me loncat menghindari serangan Juwiring. "Omong kosong. Kalian me mpunyai ke ma mpuan me le mparkan pisau-pisau kecil itu. Tetapi kalian tidak dapat menipu a ku lagi dengan jarak yang tentu akan dapat ka lian jangkau dengan pisau-pisau itu justru pada saat aku lengah. Namun pada saat semaca m ini, pisau-pisaumu tidak akan berdaya" teriak Juwiring marah. Buntal benar-benar ha mpir kehabisan a kal. Tetapi ia masih tetap sadar, dengan siapa ia berhadapan. Na mun justru karena itulah, maka Buntallah yang lebih dahulu na mpak dalam kesulitan. Arum yang tidak mau menghiraukan lagi siapakah yang menjadi lawannya, justru menjadi lebih mapan, sehingga dengan demikian, ma ka serangan-serangan Juwiring justru lebih banyak tertuju kepada Buntal. "Kakang Buntal" Arum ha mpir menjerit ketika ia me lihat Buntal yang terdesak harus meloncat jauh-jauh surut "Apakah kau me mang ingin mati" Jika kakang Juwiring benar-benar ingin me mbunuhmu, kenapa kau tida k bersikap serupa" Buntal menarik nafas dala m-dala m setelah ia berhasil me mbebaskan diri dari serangan Juwiring. Dengan ragu ia menjawab "Arum. Kita jangan kehilangan akal. Aku masih me mpunyai harapan untuk dapat menyelesaikan persoalan Ini tanpa jatuh korban" "Keris itu luar biasa" teriak Arum "setiap sentuhan akan merenggut nyawa. Jangankan kita atau Singaprana atau kakang Juwiring sendiri. Pangeran Ranakusumapun tidak ma mpu bertahan dengan ilmu keba lnya. Meskipun peluru
tidak mene mbus kulitnya, namun goresan kecil keris itu telah merenggut nyawanya" Buntal tidak se mpat menjawab. Juwiring yang me mandanginya dengan sorot mata yang me mbara telah me loncat me mburunya. Dengan pedangnya Buntal me lindungi dirinya, sementara Arumpun telah meloncat menyerang, sehingga Juwiring terpaksa me mbagi perhatiannya. Namun na mpaknya Arum benar-benar ma mpu bergerak cepat. Demikian Juwiring bergeser dari serangannya atas Buntal, maka ternyata pedang Arum telah menyentuh pundangnya. Terdengar Juwiring berdesis, sementara Buntal hampir berteriak "Arum. Kau me lukainya" "Aku akan me mbunuhnya" jawab Arum. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Juwiring yang marah menjadi se makin marah. Tiba-tiba saja ia menghadap kepada Arum dengan keris terjulur ke depan. Selangkah de mi selangkah ia maju me ndekati gadis itu. Tetapi Arum sudah siap. Pedangnyapun mula i bergetar. Bahkan ke mudian pedangnya telah berputar lagi me lindungi dirinya serapat dinding. Betapapun marahnya Juwiring, ia harus melihat perisai putaran pedang Arum. Me mang sulit baginya untuk dapat mene mbus meskipun ia menggengga m keris sakti. Sementara itu Buntal telah mendekatinya pula. Ia menjadi semakin ge lisah dan bingung. Juwiring telah terluka di pundaknya, sehingga bagaimanapun juga. pertempuran ini sudah meningga lkan bekasnya. Namun dala m pada itu, ternyata bukan saja luka pedang Arum sajalah yang telah mengalirkan darah. Luka-lukanya yang terdahulu, yang sudah diobatinya, mulai menge mbun lagi. Dengan mengerahkan ke ma mpuan dan kekuatannya,
maka luka-luka yang mulai ma mpat itu seakan-akan telah terkoyak lagi. Namun ternyata Arum tidak menghiraukan lagi. Ketika Juwiring maju lagi selangkah, Arum justru me loncat menyerang dengan cepatnya. Ujung pedangnya menyambar mendatar hampir menyentuh dada, sehingga Juwiring harus me langkah surut. Pada saat yang demikian, pedang Buntalpun telah siap me matuk Juwiring yang dengan tergesa-gesa menghindar. Namun ada sesuatu yang menahannya, sehingga diluar kehendaknya, pedang itu telah tergeser arahnya, sehingga sama seka li tidak menyentuh Juwiring. Tetapi justru pada saat itu Juwiring merendah pada lututnya, dengan cepat ia me mutar tubuhnya sambil mengayunkan kerisnya. Buntal terkejut. Tetapi ia masih se mpat me loncat surut Tetapi Juwiring ternyata benar benar telah terpengaruh dan kehilangan kepribadiannya, sehingga iapun telah siap me loncat me mburu Buntal yang sedang berusaha menghindar. Dala m keadaan yang demikian, maka seolah-olah tida k, ada lagi kesempatan bagi Buntal. Jika Juwiring meloncat, maka ia tentu be lum se mpat berbuat sesuatu, Yang dapat dilakukannya ke mudian adalah menga mbil keuntungan dari senjatanya yang lebih panjang dari sebilah keris. Karena itu, maka ketika Juwiring benar-benar meloncat menyerangnya, Buntal justru telah menjulurkan pedangnya. Hentakkan ke marahan Juwiring telah me mbuatnya kurang berperhitungan. Ketika tangannya terjulur lurus mengarah ke dada, Juwiring justru terkejut. Seolah-olah tiba-tiba saja ujung pedang Buntal sudah ada di depan matanya. Dengan tangkasnya Juwiring menggeliat. Tetapi kesempatannya terlalu se mpit. Ternyata bahwa ia tidak dapat
me mbebaskan diri sepenuhnya. Ujung pedang Buntal masih mengenai lengannya, sehingga kulitnya telah terkoyak. Terdengar Juwiring berdesis menahan pedih. Luka itu telah me mbuatnya semakin garang. Namun sebelum ia se mpat berbuat sesuatu, pedang Arum telah terjulur pula lurus mengarah ke punggung, "Arum" teriak Buntal yang melihat ujung pedang itu akan dapat berakibat gawat. Suara Buntal ternyata masih juga berpengaruh. Seperti yang telah dilakukan Buntal, maka Arumpun telah disentuh oleh pengaruh hubungannya yang la ma dengan Juwiring sebagai saudara seperguruan. Karena itulah maka ia telah menggeser arah pedangnya, sehingga pedang itu tidak lagi tertancap di punggung dan langsung menghunja m sampai ke jantung. Tetapi pedang itu telah mengoyak la mbung Juwiring. Juwiring terlonjak oleh kesakitan yang menyengat. Dengan serta merta ia meloncat berbalik. Dilihatnya Arum berdiri termangu-mangu dengan pedang datangannya yang gemetar. Buntal me lihat satu saat yang me mungkinnya untuk berbuat sesuatu. Justru pada saat perhatian Juwiring tertuju sepenuhnya kepada Arum, maka tiba-tiba Buntal telah meloncat dan dengan sekuat tenaganya me mukul keris yang berada di tangan Juwiring dengan
pedangnya. Juwiring sa ma sekali tida k menduga bahwa hal itu akan dilakukan oleh Buntal. Karena itu, betapa ia menjadi terkejut.
Tangannya mengendor. tergetar sehingga genggamannya telah Sebelum Juwiring sempat berbuat sesuatu, sekali lagi pedang Buntal terayun deras. Buntal tidak lagi me mukul keris di tangan Juwiring tetapi Buntal langsung me mukul pergelangan tangan Juwiring dengan punggung pedangnya. Juwiring mengaduh kesakitan. Ia benar-benar tidak ma mpu lagi menahan perasaan sakit. Karena itulah, maka kerisnya telah terlepas dari tangannya. Sambil mengumpat Juwiring dengan tergesa-gesa berusaha me mungut kembali kerisnya. Tetapi Buntal bergerak cepat. Sebelum tangan Juwiring menyentuh keris itu. maka Buntal telah menerka mnya sambil me lepaskan pedangnya. Keduanya terdorong beberapa langkah. Kemudian keduanya jatuh berguling. Untuk beberapa saat keduanya bergumul di atas tanah berbatu padas. Arum berdiri me mbatu. Dipandanginya kedua orang saudara seperguruannya yang sedang bergulay. Namun ketika keduanya mendekati lereng yang terjal, tiba-tiba saja Arum telah me mekik keras sekali. Suara Arum itu bagaikan menghanta m la mbung Gunung, mengge lepar dan berge ma me lingkar-lingkar. Ternyata suara itu telah mengejutkan Buntal dan Juwiring yang sedang bergulat. Suara itu seakan-akan bagaikan kekuatan gaib yang telah menyentuh jantung mereka, sehingga keduanyapun bagaikan berjanji telah berhenti bergulat. Buntallah yang perta ma-tama me loncat berdiri. Ketika terasa kakinya menginjak batu pada yang miring, ma ka iapun sadar, bahwa ia telah berdiri di bibir jurang yang da la m. Karena itu, maka iapun segera bergeser menjauhi lereng yang terjal itu.
Ketika Juwiring ke mudian berusaha bangkit Buntal masih sempat me mperingatkannya "Hati-hatilah. Kau berada di mulut jurang yang da la m. Jika kau tergelincir, ma ka tubuhmu akan lumat me njadi debu" Ternyata tubuh Juwiring telah menjadi se makin le mah. Darahnya mengalir se makin banyak. Namun ia masih se mpat bergeser bagaikan merangkak. Perlahan-lahan ia berdiri tertatih-tatih. Tetapi Buntal tidak berani mendekatinya. Jika Juwiring masih belum menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya, maka anak muda itu akan dapat menariknya dan kemudian mendorongnya ke dala m jurang. Arumpun ke mudian me langkah mende katinya, di tangannya masih tergenggam senjatanya yang siap dipergunakannya, Selangkah ia berada di sisi Buntal yang termangu-mangu. Juwiring yang berdiri tegak itu me mandang kedua adik seperguruannya sejenak Namun ke mudian na mpak bahwa sorot matanya menjadi se makin redup. Wajahnya tidak lagi nampak bengis dan liar. Bahkan ke mudian ia berpaling me mandang keadaan di se kitarnya. Dengan suara parau ia berdesir "Apa yang telah terjadi" "Kau sadari apa yang telah terjadi kakang?" suara Buntal rendah. Juwiring melangkah beberapa langkah maju. Na mun ke mudian ia telah tertunduk di atas batu padas. Sambil menutup, wajahnya dengan kedua belah tangannya ia bertanya "Apa yang telah aku lakukan Buntal?" Buntal melangkah mendekat. Namun Arum mengga mitnya dengan curiga. Karena itu, ma ka langkah Buntalpun tertegun. "Buntal" desis Juwiring "A ku telah menjadi gila. Aku sedang mencoba mengingat-ingat, apa yang telah terjadi. Apa yang
telah aku lakukan. Dan apa yang telah mencengka m jiwaku itu" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Iapun ke mudian me langkah mende kat. Arum tida k, lagi menahannya, meskipun ia t idak me lepaskan senjatanya. Juwiringpun ke mudian menarik nafas dalam-da la m Sekali lagi ia mengangkat wajahnya dan me mandang berkeliling. Ketika terpandang olehnya keris yang tergolek di tanah, maka dadanya menjadi berdesir. "Ya" Juwiring mengangguk-angguk "A ku ingat semuanya. Aku telah diterkam oleh pengaruh keris itu, sehingga aku tidak kuasa melawannya" "Tetapi bukankah kau sudah me lepaskan keris itu" bertanya Buntal Juwiring menarik nafas dalam sekali. Terdengar suaranya parau "Kau sudah me mbebaskan aku dari kegilaan ini, Buntal. Untunglah bahwa aku tidak berhasil menggoreskan ujung keris itu pada tubuh kalian, meskipun aku telah benar-benar ingin berbuat demikian" "Sudahlah" desis Buntal "A ku tahu. kau tidak sengaja me lakukannya" Mata Juwiring tiba-tiba terasa panas. Ketika ia menatap Arum, terasa tenggorokannyapun bagaikan tersumbat. Namun Juwiring telah berkata "Arum. Aku minta maaf. Aku merasa betapa ringkihnya hati ini" Arum me mandang, wajah Juwiring yang pucat dan lesu. Apalagi ketika terpandang olehnya mata Juwiring yang merah. Bukan karena keliarannya lagi. Tetapi rasa-rasanya Juwiring telah bertahan untuk tida k menitikkan a ir mata. Tetapi Arum adalah seorang gadis. Betapapun garangnya, namun pada suatu saat sifat-sifatnya sebagai seorang gadis tidak dapat dikekangnya lagi. Tiba-tiba saja Arum telah
terduduk. Diletakkannya senjatanya di sampingnya. Sementara kedua tangannya telah sibuk me ngusap air matanya. Buntallah yang ke mudian mende katinya sambil berkata "Jangan menangis Arum. Se muanya sudah se lesai" Arum mengusap matanya. Namun air itu masih saja menge mbun. Dala m pada itu, terdengar Juwiring berkata "Buntal. Tolong, bantulah aku mengobati luka ku" Buntalpun ke mudian me ndekat. Bahkan Arumpun mende kat pula. Merekapun me mbantu mengobati luka-luka di tubuh Juwiring. Ketika tersentuh luka oleh ujung senjatanya, tiba-tiba Arum terpekik kecil. Katanya "Akupun sudah menjadi gila kakang. Aku juga menjadi gila" "Kau tidak bersalah adikku" desis Juwiring "Kau hanya sekedar me mbela diri. Sudahlah. Seperti yang dikatakan Buntal, semuanya sudah selesai" Arum berusaha menahan tangisnya. Dengan lengan bajunya ia mengusap, matanya. Tetapi semakin ia sibuk mengusap matanya, maka a ir itupun rasa-rasanya mengalir semakin deras. Dala m pada itu, terasa oleh Buntal, betapa le mahnya keadaan Juwiring. Darah sudah terla lu banyak me ngalir dari tubuhnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdesis lemah "Buntal, apa yang akan terjadi?" Buntal terkejut. Ketika ia me mandang wajah Juwiring, wajah itu menjadi sangat pucat. "Kakang Juwiring" desis Buntal. "Pandanganku me njadi kekunang-kunang" desis Juwiring. Ketika ke mudian Buntal me megangi kedua lengannya, terasa anak muda itu me njadi ge metar.
"Berbaringlah" desis Buntal sambil me mbantu Juwiring berbaring di atas tanah berbatu padas. Nafas Juwiringpun seolah-olah telah menjadi sendat. Sementara itu Buntal berusaha untuk me mijit dadanya untuk me mbantu arus pernafasannya. Namun ternyata tubuh Juwiring sudah terlalu lemah. Sekali Juwiring berdesis. Namun ke mudian matanyapun terpejam. Pingsan. "Kakang, kakang" panggil Buntal dengan gelisah. "Kenapa, kenapa kakang Juwiring?" bertanya Arum dengan nada patah-patah. Sebelum Buntal menjawab, Arum yang melihat keadaan Juwiring, tiba-tiba saja telah menjerit. Diguncang-guncangnya tubuh itu sa mbil menangis "Kakang, kakang" "Jangan kau perla kukan begitu, Arum" Buntal mencoba mencegahnya. "Aku telah me mbunuhnya " tangis gadis itu. "Kakang Juwiring tida k mati. Ia pingsan" sahut Buntal. Arum me mandang Buntal dengan tatapan yang mengandung harapan. Maka iapun bertanya dengan nada dalam "Jadi kakang Juwiring hanya pingsan?" "Ya. Ia pingsan. Tubuhnya dan hatinya terlalu letih oleh keadaan yang tidak dikehendakinya sendiri. Kau lihat, lukalukanya sudah mulai pa mpat ke mbali. Jika tubuhnya kau guncang-guncang seperti itu, maka luka-lukanya mungkin akan dapat berdarah lagi"
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
Arum me lepaskan tubuh yang terbaring dia m itu. Sementara itu Buntalpun berkata "Tunggulah di sini. Aku akan mencari air. Air itu akan me mbuatnya sedikit sgar" "Apakah air di dala m impes itu sudah habis?" bertanya Arum. Buntalpun ke mudian pergi ke mata air yang tidak terlalu jauh, yang diketemukainnya sebelum ia terpaksa bertempur me lawan Juwiring. Dengan daun lumbu ia me mbawa a ir yang bening dan dingin. Perlahan-lahan air itupun ke mudian diusapkan ke wajah Juwiring, kerambutnya dan lehernya. Ternyata air itu membuat tubuh Juwiring menjadi sedikit segar. Perlahan-lahan anak muda itu menggerakkan pelupuk matanya. Ketika matanya terbuka, yang dilihatnya pertamatama adalah dua orang adik seperguruannya yang berjongkok di sampingnya sambil mengusap wajahnya dengan air yang sejuk. "Kakang" desis Arum ketika ia melihat anak muda itu me mbuka matanya. Juwiring berdesah. Terasa tubuhnya letih seka li. Tulangtulangnya bagaikan dilepas dari kulit dagingnya. Namun usapan yang dingin me mbuatnya semakin segar. "Beristirahatlah kakang" desis Buntal. Juwiring mengangguk kecil. Na mun ketika ia menggerakkan badannya, tulang punggungnya serasa akan patah. "Tanah ini me mang keras sekali" desis, Buntal "Tetapi lebih baik kau tetap berbaring" Arumlah yang ke mudian bangkit untuk menga mbil dedaunan pada ranting-ranting perdu. Katanya "Mungkin kurang sesuai, tetapi cobalah untuk mengurangi perasaan sakit karena keras batu-batu padas"
Buntal dan Arum telah me mbantu Juwiring untuk menggeser tubuhnya ke atas setumpuk dedaunan. Terasa tubuh Juwiring tidak terla lu sakit lagi oleh kerasnya batu-batu padas. Dala m pada itu, meskipun anak-anak muda itu tidak me mbicarakannya, namun mereka sudah sa ling mengerti, bahwa mereka harus berma la m lagi. Betapa dinginnya mala m, namun mere ka tidak akan dapat meninggalkan tempat itu karena keadaan Juwiring. Dala m pada itu, selagi Juwiring berusaha untuk me mperbaiki keadaannya, Buntal telah berusaha mene mukan tempat yang agak lunak. Ia tida k dapat me mbiarkan tubuhtubuh dari mereka yang telah terbunuh untuk ditinggalkannya begitu saja. "Sulit untuk me mbuat lubang di sini" desis Arum. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengubur mere ka pada lekuk dinding-dinding padas dan ke mudian me nimbuninya. Namun se mentara itu, keris yang masih tetap tergolek itupun merupakan persoalan tersendiri. Jika keris itu ditinggalkannya di situ saja, maka ada kemungkinan bahwa seseorang akan dapat menemukannya. Tetapi untuk me mbuangnya lebih jauh, maka anak-anak muda itu tida k lagi berniat untuk me me gangnya meskipun hanya sekejap. "Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Buntal kepada Arum yang bersama-sama sedang menunggui Juwiring yang masih terbaring di atas seonggok dedaunan. "Biarlah keris itu berada di te mpat itu sampai esok. Kita akan me mikirkan ma la m ini, apa yang sebaiknya kita lakukan" desis Arum, "Tetapi yang se mala m itu akan dapat menumbuhkan perubahan yang tidak kita kehendaki" sahut Buntal.
"Aku tida k tahu, apa yang sebaiknya kita la kukan" jawab Arum pula. Namun tiba-tiba saja Buntal berkata "Aku akan mengungkitnya dan me le mparkannya ke dala m jurang. Tanpa menyentuh langsung dengan tanganku" Arum mengerutkan keningnya. Ketika keduanya me mandang Juwiring yang masih terbaring, ternyata anak muda itu berkata perlahan-lahan "Kau dapat mencobanya Buntal. Tetapi ingat, jangan kau sentuh dengan tanganmu. Jangan pula kau ungkit dengan pedangmu. Carilah sepotong kayu yang kemudian akan kau lemparkan pula ke dalam jurang itu. karena mungkin sekali sentuhan sepotong kayu dengan keris itu akan dapat mengakibatkan sentuhan racun dari keris itu pula. Buntal mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan mencoba kakang. Tetapi aku minta kepada Arum untuk menga mati agar aku tidak me mbuat kesalahan lagi seperti yang pernah kau lakukan" "Baiklah" desis Juwiring "Kau dapat me mbantunya Arum" Buntalpun ke mudian mencari sepotong kayu. Dengan kayu itu ia mengungkit keris itu. Sedikit de mi sedikit. Sementara Arum se lalu me ngikutinya. Ternyata bahwa usaha Buntal itu berhasil. Ia berhasil mengungkit keris itu sa mpai ke bibir jurang yang dala m. Kemudian dengan satu ungkitan lagi, ma ka keris itupun telah terlempar ke dala m jurang yang dalam dan terjal, yang tidak mungkin di sentuh oleh kaki manusia. Sementara itu, Buntalpun telah mele mparkan pula sepotong kayu yang dipergunakannya untuk mengungkit keris itu. "Tetapi yang kita lakukan hanya sekedar satu usaha" berkata Buntal "Tetapi siapa tahu. bahwa ada jalan lain yang justru akan langsung sa mpai ke bagian bawah dari jurang itu"
Arum mengangguk-angguk. Katanya "Me mang mungkin kakang. Tetapi menilik keadaannya, maka jurang itu tentu tidak akan pernah di sentuh kaki manusia" Juwiring me narik nafas dala m-dala m ketika ia mendengar keterangan kedua adik seperguruannya mengenai keris itu. Meskipun hampir saja merenggut nyawanya, namun mereka bertiga telah berhasil mela kukan perintah ayahandanya yang terakhir untuk menyimpan keris itu ke tempat yang tidak pernah disentuh oleh tangan manusia. Demikianlah, di ma la m yang dingin ketiga ana k muda itu telah bermala m lagi di lereng Gunung Lawu. Mereka berusaha mengusir dinginnya mala m di lereng gunung dengan me mbuat perapian. Buntal telah mencari kekayuan dan ranting-ranting yang kering. Kemudian mereka me mbakarnya di dekat tempat Juwiring berbaring. "Tidurlah" berkata Buntal kepada Arum. Arum menarik nafas. Tetapi ia tidak sampai hati untuk tidur sementara Buntal akan berjaga-jaga se mala m suntuk. "Kita bergantian" berkata Arum "Jangan anggap aku sebagai seorang gadis kecil yang hanya pandai merenge k" Buntal menarik nafas dala m-dala m. Na mun jawabnya "Baiklah. Sekarang giliranku berjaga-jaga. Tidurlah. Pada saatnya aku akan me mbangunkanmu" Tetapi Arumpun mengerti, bahwa Buntal tida k akan me mbangunkannya. Karena itu, maka Arumpun t idak mau tidur sama sekali, meskipun ia duduk sambil me meluk lututnya dan meletakkan kepalanya di atas lututnya itu. Ketika matahari me mancar di keesokan harinya, ternyata keadaan Juwiring sudah berangsur baik. Ia sudah mau makan sepotong makanan dari bekal yang dibawanya. Bekal yang di buat persediaan untuk waktu yang cukup la ma. "Bagaimana dengan keadaanmu?" bertanya Buntal
"Apakah kau sudah merasa baik dan dapat melakukan perjalanan?" "Jangan kau paksa " desis Arum. Namun Juwiringlah yang menjawab "Aku rasa keadaanku cukup ba ik. Tubuhku sudah merasa segar. Tetapi sudah barang tentu aku me merlukan bantuan kalian untuk menuruni lereng gunung ini" "Jika perlu, kita dapat menunda sehari lagi" berkata Buntal. "Akan menjadi kurang baik bagiku" jawab Juwiring "Se makin cepat aku ke mbali di antara lingkungan kita, maka akan menjadi se ma kin baik bagiku. Kita akan dapat me mbuat laporan tentang Singaprana, tetapi lebih dari itu, aku akan mendapat pengobatan yang lebih baik. Dengan demikian, maka keadaankupun akan cepat pulih ke mbali" Kedua adik seperguruannyapun menyetujuinya pula. Karena itu, maka merekapun segera berbenah diri Bergantian Arum dan Buntal pergi ke mata air yang tidak terlalu jauh. Sementara Buntalpun telah me mbawa air yang sejuk dengan daun lumbu. Dengan air itu Juwiring mengusap wajah dan rambutnya, sehingga tubuhnya terasa menjadi se makin segar. Setelah berbenah diri, maka anak-anak muda itupun ke mudian bersiap untuk menuruni lereng. Senjata-senjata mereka sudah tergantung di lambung, sementara Buntal masih me mbawa ka mpil berisi bekal mereka yang tidak terlalu banyak. Perlahan-lahan merekapun mulai menuruni tebing Gunung Lawu. Mereka harus sangat berhati-hati, karena di antara mereka terdapat Juwiring yang le mah. Meskipun de mikian ternyata Juwiring me mang seorang anak muda yang me mpunyai daya tahan tubuh yang luar biasa. Meskipun badannya sangat letih, namun iapun menuruni gunung itu tanpa mengeluh.
Tetapi dengan keadaannya itu, ketiga anak muda itupun beberapa kali harus berhenti untuk beristirahat. Setiap kali Buntal melihat, apakah luka Juwiring berdarah lagi. Na mun agaknya setelah mendapat pengobatan, luka Juwiring itu benar-benar sudah pampat. Anak-anak muda itu ternyata memerlukan wa ktu yang berlipat untuk menuruni lereng gunung itu dibanding dengan saat mereka naik. Na mun ketiga anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dala m ketika mereka benar-benar sudah sampai pada satu tataran yang sudah sering dilalui orang. Mereka mulai berjalan di atas jalan yang lebih baik dari batu-batu padas yang miring. Apalagi mere ka mulai me masuki padukuhan yang berpenghuni. Namun keadaan mereka me mang dapat menarik perhatian satu dua orang yang mereka jumpai. Ketika seorang yang me mbawa cangkul berpapasan dengan ketiga anak muda itu, maka dengan wajah ce mas orang itu bertanya "Anak muda, kenapa kawanmu itu?" Buntal bingung sesaat. Namun akhirnya ia mene mukan jawaban "Ternyata tanah licin di lereng gunung. Kawanku tergelincir dan jatuh ke dalam jurang. Untunglah bukan jurang yang terlalu dala m" "O" orang tua itu mengangguk-angguk "sokurlah bahwa jurang itu tidak terlalu dalam. Tetapi keadaannya nampaknya cukup payah" "Mudah-mudahan segera bertambah ba ik" desis Buntal. Orang itu mengangguk-angguk. Na mun iapun ke mudian berguma m "Kalian harus berhati-hati. Daerah ini me mang daerah yang wingit" Ketiga anak muda itupun me lanjutkan perjalanannya menuju kesebuah kedai tempat mere ka menitipkan kuda mereka. Setiap kali ada orang yang bertanya, maka Buntalpun
menjawab serupa. Bahwa Juwiring telah tergelincir dan jatuh ke dala m jurang yang untungnya tida k begitu dala m. "Itulah anak-anak sekarang" desis seorang perempuan tua yang juga mendapat jawaban yang sama "Mereka sudah tidak menghormat i lagi keadaan di lereng Gunung ini. Untunglah bahwa anak yang tergelincir itu tidak mati, atau ketiga-tiganya tidak ka lap sa ma seka li di la mbung Gunung itu" Setelah mene mpuh perjalanan yang la mbat, akhirnya mereka sa mpai juga kokedai tempat mereka menitipkan kudakuda mereka. Kedatangan ketiga anak muda itu benar-benar telah mengejutkan pe milik warung itu. Apalagi ketika ia mendapat jawaban yang sa ma dari Buntal seperti ia menjawab setiap pertanyaan tentang keadaan Juwiring. "Sokurlah bahwa keadaannya berangsur baik" berkata pemilik warung itu. Bahkan beberapa orang yang sedang berada di warung itupun ikut mengangguk-angguk. Seperti beberapa orang lain, maka pe milik warung itupun menganggap anak muda yang tergelincir itu masih beruntung. "Tiga bulan yang lalu, seseorang telah meninggal" berkata pemilik warung itu. "O" Buntal mengerutkan keningnya. "Ia juga tergelincir. Tetapi agak ke Utara dari jurusan yang kalian a mbil. Empat orang mendaki bukit untuk nenepi seperti yang akan kalian la kukan. Tiga orang turun ke padukuhan untuk minta tolong agar mereka me mbantu menga mbil kawannya yang tergelincir. Juga di jurang yang tida k begitu dalam. Tetapi nyawanya tidak tertolong lagi" Na mun tiba-tiba orang itu bertanya "Tetapi baga imana ka lian dapat naik?" Buntal menjadi agak bingung. Na mun ia justru bertanya "Naik ke mana?" "Bukankah kawanmu itu tergelincir ke dala m jurang?" bertanya pemilik warung itu,
"Ya. Ia tergelincir. Terguling-guling di atas batu-batu padas dan me mbentur seonggok batu padas pula" jawab Buntal "O" pe milik warung itu mengangguk-angguk "Jadi t idak terperosok masuk ke dala m jurang yang terjal?" "Tida k" jawab Buntal. Ternyata pemilik warung itu cukup ba ik. Meskipun ketika ketiga anak muda itu berangkat, pe milik warung itu hanya mau me nerima kuda yang ditit ipkan dengan imba lan uang, namun melihat keadaan Juwiring ia menjadi iba. Pemilik warung itu telah me mberikan te mpat bagi Juwiring untuk beristirahat. Dipersilahkannya Juwiring berbaring di sebuah amben yang besar di sera mbi sa mping. Dala m pada itu, Buntalpun telah me mesan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sela in bagi Juwiring juga Buntal dan Arumpun me merlukannya. Meskipun mereka me mbawa beka l, tetapi nasi hangat dan minuman panas me mbuat tubuh Juwiring se ma kin segar. Dengan keadaan yang lebih baik, ma ka ketiga anak-anak muda Itupun merencanakan untuk segera kemba li ke te mpat kedudukan mere ka di Gebang. Mereka t idak a kan dapat berbuat untuk kepentingan mere ka sendiri tanpa menghiraukan keadaan yang setiap saat dapat berubah-rubah dengan cepatnya. Meskipun keadaan Juwiring belum pulih benar, namun ia sudah menjadi se makin kuat dan me mungkinkan mene mpuh perjalanan, Dengan de mikian, maka setelah mereka beristirahat beberapa la ma, maka merekapun segera bersiap-siap untuk meninggalkan warung di ka ki Gunung Lawu itu. Agar mereka tidak selalu menarik perhatian orang di sepanjang jalan, maka Juwiringpun telah mengganti pakaiannya yang bernoda darah dan telah dikoyak oleh senjata Singaprana, Arum dan Buntal. Tetapi paka ian yang
koyak itu telah disimpan oleh Juwiring untuk mengenang apa yang pernah terjadi atas dirinya karena pengaruh keris yang luar biasa itu. Demikianlah, setelah me mbayar makanan, minuman dan upah selama pe milik warung itu me melihara kuda anak-anak muda yang me manjat ka ki Gunung Lawu itu, ma ka merekapun segera mohon diri, "Tetapi bukankah kau masih terlalu letih?" bertanya pemilik warung itu kepada Juwiring. "Aku sudah baik" jawab Juwiring "terima kasih atas segala kebaikan bagi ka mi bertiga" Pemilik warung itu tidak menahan mereka. Bagaimanapun juga ada perasaan cemas melihat keadaan Juwiring. Tetapi karena anak-anak muda itu sudah berniat untuk pergi, maka dilepaskannya anak-anak muda itu dengan ragu-ragu. Sejenak ke mudian ketiga anak muda itu telah meninggalkan kaki Gunung Lawu. Mereka t idak berpacu terlalu cepat, mengingat keadaan Juwiring, Tetapi Juwiring sendiri nampaknya sudah tidak menghiraukan lagi keadaan dirinya. Ialah yang justru selalu berada di paling depan. "Jangan kau paksa dirimu " Buntal me mperingatkannya. "Aku tidak apa-apa. Bukankah aku tinggal duduk saja di punggung kuda?" sahut Juwiring sa mbil tersenyum. "Kau akan terguncang-guncang" sahut Buntal. Juwiring masih saja tersenyum. Tetapi ia menganggukangguk. Di perjalanan ke mba li anak-anak muda itu lebih me mperhitungkan keadaan. Jika mereka bertemu dengan lawan, maka keadaannya akan menjadi se makin gawat. Meskipun Juwiring yang sudah menjadi se makin ba ik itu akan dapat berbuat sesuatu untuk melindungi dirinya, tetapi ia tidak
berada di punca k ke ma mpuannya, sehingga jika ha l itu terjadi, maka mereka akan berada dala m bahaya. Dengan sangat berhati-hati mereka mene mpuh perjalanan ke Gebang. Mereka menelusuri ja lan yang paling aman, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ki Wandawa. Sehingga dengan demikian, mereka sama sekali tidak menga la mi ha mbatan apapun juga di perjalanan. Namun dala m pada itu, ketika mereka singgah sebuah kedai, maka mereka berhasil me ma ncing pe mbicaraan dengan pemilik kedai itu, bahwa sejak beberapa hari yang la lu, keadaan menjadi agak tenang. Memang ada peronda dari Surakarta yang bergerak, tetapi dalam jumlah kecil dan tidak terlalu jauh dari pusat-pusat pertahanan mereka. Se mentara itu pasukan Pangeran Mangkubumipun tidak bergerak pula. Tetapi ketiga anak muda itu gaga l untuk mencari keterangan, bagaimana sikap orang-orang di sekitar warung itu karena setiap orang menjadi sangat berhati-hati. Mereka tida k dengan terbuka dapat mengutarakan isi hatinya, karena mereka selalu meragukan, dengan siapa mereka berhadapan. Namun de mikian, ketiga orang anak muda itu menjadi tebih tenang. Selama mereka berada di Gunung Lawu, ternyata tidak terjadi sesuatu atas Gebang, dan mungkin juga tidak terjadi sesuatu atas Raden Ayu Galihwarit. Demikianlah, ma ka merekapun ke mudian meneruskan perjalanan mereka. Dengan selamat mereka sampa i ke tempat kedudukan mereka di Gebang. Ternyata ketiga anak-anak muda itu tida k ingin menunda laporannya. Karena itulah, setelah mereka berbincang dengan Kiai Danatirta serba sedikit, maka merekapun segera menghadap Ki Wandawa. Dengan tegang Ki Wandawa mendengarkan laporan ketiga anak-anak muda itu. Sekali-kali ia me mandang Juwiring sekilas. Ke mudian kedua adik seperguruannya, seolah-olah
ingin mengetahui apakah yang dikatakan oleh Juwiring itu benar. Di luar sadarnya, kadang-kadang Buntalpun menganggukangguk kecil, sehingga Ki Wandawa dapat menga mbil kesimpulan, bahwa yang dikatakan oleh Juwiring itu dibenarkan oleh Buntal. "Jadi Singaprana mengikuti perjalananmu?" Ki Wandawa menegaskan. "Aku terpaksa me mbunuhnya" sahut Juwiring ke mudian. Sementara itu iapun melaporkan pula apa yang telah terjadi atas dirinya. "Untunglah bahwa kalian bertiga" berkata Ki Wandawa "dengan de mikian maka ada kekuatan yang dapat mencegah pengaruh keris itu atas dirimu Raden" "Ka mi bersokur, bahwa agaknya Yang Maha Kuasa masih selalu me lindungi ka mi bertiga" sahut Juwiring "Baiklah" berkata Ki Wandawa "bagaimanapun juga ke matian Singaprana harus direlakan. Aku me mang masih belum me mpercayainya sepenuhnya. Namun bahwa ia berhasil mendengarkan pe mbicaraan kita, itu merupakan satu peringatan bagi kita, bahwa kita masih harus meningkatkan kewaspadaan dan perlindungan terhadap rahasia kita. Terutama yang menyangkut rahasia tingkah laku pasukan ini"
Ketiga anak muda itupun ke mudian minta diri. Juwiring ingin mengobati luka-lukanya dengan cara yang lebih baik. agar luka-lukanya itu me njadi se ma kin cepat se mbuh. Ketika ke mudian Kia i Danatirta me mbuka baju Juwiring dan me lihat luka-luka di tubuhnya orang tua itu menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Jarang sekali orang yang me miliki daya tahan seperti kau Raden. Luka-luka itu cukup banyak dan parah. Meskipun sudah kau pampatkan dengan obat yang kau bawa, namun luka-luka ini masih tetap merupakan lukaluka yang gawat" "Adik-adikku sangat me mbantu. Perjalanan ka mi ke mbali dari Gunung Lawu merupakan perjalanan yang sangat lambat. Hampir seperti siput yang merambat di pinggir parit" desis Juwiring. Dala m pada itu, Kiai Danatirtapun telah merawat luka-luka Juwiring yang di antaranya adalah karena ujung pedang Arum dan Buntal. Namun peristiwa itu ternyata tidak meninggalkan luka di hati. Anak-anak muda itupun telah menyadari, bahwa yang terjadi itu seolah-olah bukan karena kehendak mereka sendiri. Meskipun peristiwa itu sendiri sudah ha mpir saja merenggut jiwa sa lah seorang dari mereka. Sementara itu, keadaan Surakarta me mang agak tenang. Kumpeni sedang sibuk mencari orang yang dianggapnya berkhianat. di antara para Senapati dan perwira prajurit Surakarta, ternyata tidak dapat mereka ketemukan, dugaandugaan tentang seorang pengkhianat. "Mungkin yang terjadi itu adalah satu kebetulan saja" berkata seorang perwira Surakarta "atas dasar kema mpuan Raden Mas Said me mperhitungkan keadaan, serta pengamatan para petugas sandinya, maka da menga mbil kesimpulan bahwa serangan yang dipersiapkan kumpeni dan prajurit Surakarta, sama sekali tidak akan diarahkan kepada pasukan induk Pangeran Mangkubumi"
Seorang perwira yang sudah lebih tua menganggukangguk. Katanya "Hal itu me mang mungkin seka li. Raden Mas Said adalah seorang yang me miliki penggraita yang sangat tajam. Ha mpir seperti Pangeran Mangkubumi sendiri" "Mungkin seka li ia me mpunyai seorang guru, penasehat atau apapun yang dapat melihat isyarat atas sesuatu yang belum terjadi" desis seorang perwira prajurit Surakarta. "Omong kosong" bantah seorang perwira Kumpeni "itu hanya omong kosong. Tentu ada seorang pengkhianat, atau kecerdasannyalah yang telah menga mbil kesimpulan, bahwa kita akan datang menyerang, sehingga mereka se mpat me masang jerat" "Tetapi mereka me mpunyai perhitungan waktu yang tepat" desis perwira kumpeni yang lain. "Mungkin mereka sudah dua hari mela kukan jebakan itu" jawab perwira kumpeni yang pertama "dengan sabar mereka menunggu. Seandainya kita tidak, datang pada waktu itu, mereka akan tetap menunggu sampa i seminggu Dengan demikian kita akan mendapat kesan, bahwa mereka dapat me mperhitungkan segalanya dengan tepat" Para perwira kumpeni dan para Senapati dari Surakarta itu mengangguk-angguk. Memang masuk aka l. Sementara merekapun me nyadari, bahwa petugas sandi, baik dari pasukan Raden Mas Said maupun dari pasukan induk Pangeran Mangkubumi tentu berkeliaran di Surakarta. "Seandainya tidak ada seorang pengkhianat" berkata salah seorang Senapati "para petugas sandi yang satu dengan yang lain dapat menghubungkan persoalan yang dapat mereka amati. Ke mudian orang-orang seperti Raden Mas Said dan apalagi Pangeran Mangkubumi sendiri akan dapat menga mbil kesimpulan. Dan kesimpulan itu biasanya mendekati kebenaran"
"Ya" sahut seorang perwira Kumpeni "Kita me mang menghadapi seseorang yang tidak pernah kita perhitungkan ada di Sura karta. Ternyata mereka me mang me miliki kecerdasan yang tinggi" "Apa yang kau maksudkan?" bertanya seorang Senapati muda. Perwira kumpeni itu mengerutkan keningnya. Dengan raguragu ia menjawab "Ada juga orang pribumi yang me mpunyai kecerdasan yang baik sebagaimana Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said" "Tida k hanya dua. Tetapi lebih dari jumlah kumpeni yang ada di Sura karta" jawab Senapati muda itu. "Tentu tidak" berkata kumpeni itu pula "jika de mikian peradaban kalian tentu lebih tinggi dari se karang. Apalagi kami t idak a kan perlu berada di sini untuk me lindungi ka lian" "Me mang sebaiknya kalian pergi" desis Senapati muda itu. "Sudahlah" potong Senapati yang lebih tua "Kita sedang berbicara tentang kemungkinan-ke mungkinan yang dapat terjadi di lingkungan kita. Dengan demikian kita akan dapat menjadi salah paha m dan bahkan mena mbah ketiuak tunangan kita" Senapati muda iitu menunduk. Ia tidak me mbantah lagi. Jika ia masih juga menolak anggapan orang-orang berkulit putih itu, bahwa orang-orang Surakarta me miliki tingkat kecerdasan yang rendah, maka orang-orang yang marah itu akan dapat mengarahkan kecurigaannya kepadanya. Namun dala m pada itu, ketika kumpeni itu tidak lagi dapat mene mukan orang-orang yang dicuriga inya di antara mereka. maka mere ka mulai me lihat kepada orang-orang yang selalu berhubungan dengan mere ka terdapat Raden Ayu Galihwarit. Sementara itu, Arum, Buntal da m Juwiring yang telah berada di Gebang, merasa perlu untuk segera berhubungan
dengan Raden Ayu Galihwarit. Meskipun na mpaknya untuk beberapa hari tidak ada gerakan dari segala pihak, na mun mungkin seka li akan dapat terjadi sesuatu yang tiba-tiba. Tetapi seperti yang pernah dipesankan oleh beberapa pihak, apalagi karena keadaan kesehatannya yang masih belum me mungkinkan, ma ka hanya Buntal dan Arum sajalah yang akan pergi mene mui Raden Ayu Galihwarit. Bagaimanapun juga keadaan masih sangat gawat jika Juwiring sendiri pergi me masuki kota. Seperti biasa yang mereka lakukan, ma ka di dini hari mereka sudah siap untuk berangkat dengan me mbawa beberapa jenis barang dagangan, terutama alat-alat untuk merias diri. Sebenarnyalah bahwa Kiai Danatirta ma mpu mera mu lulur dan mangir yang baik, sehingga benar-benar dapat dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit. Bahkan seperti yang sudah dilakukannya, maka Raden Ayu Galihwarit telah menularkannya kepada beberapa orang puteri dan yang ternyata merekapun sependapat bahwa lulur dan mangir itu cukup ba ik. Kedatangan Buntal dan Arum itelah disa mbut dengan gembira oleh Raden Ayu Galihwarit, terlebih-lebih lagi Rara Warih, yang rasa-rasanya sudah tidak betah lagi tinggal di istana Eyangnya. Selagi ibundanya masih me mbenahi diri di dala m biliknya Rara Warih menerima Arum dan Buntal itu di serambi. Seperti kanak-kanak Rara Warih selalu saja bertanya apa yang pernah terjadi di padukuhan di luar kota Surakarta. Bahkan Arumpun sempat menceriterakan keadaan Raden Juwiring yang masih belum pulih benar karena keadaannya yang terjadi di luar ke mauahnya. "Aneh sekali" berkata Rara Warih "Jadi benda itu dapat me mpengaruhi kepribadian seseorang?" "Ya" jawab Arum "langsung atau tidak langsung"
"Bagaimana yang langsung dan bagaimana yang tidak langsung?" bertanya Rara Warih. "Seperti yang terjadi atas Raden Juwiring itu, benda di tangannya dengan langsung me mpengaruhinya, meskipun hal itu terjadi karena Raden Juwiring telah me mpergunakannya lebih dahulu untuk melawan orang yang bernama Singaprana" jawab Arum. Ke mudian "Sedangkan yang tidak langsung, dapat kita lihat lebih banyak lagi. Karena sesuatu benda apakah itu pusaka atau bukan, tetapi benda-benda berharga, akan dapat membuat kita kehilangan pegangan. Kau lihat, beberapa orang yang tergelincir ke dala m pengaruh kumpeni itu, bukankan juga karena pengaruh benda-benda mati seperti itu" Jarang di antara mereka yang berpegang pada satu keyakinan, bahwa kumpeni akan dapat mendatangkan kesejahteraan lahir batin bagi Surakarta. Namun sebagian dari mereka telah didorong oleh satu keinginan pribadi. Maksudku, telah dipengaruhi dengan tidak langsung oleh benda-benda berharga" Rara Warih mengangguk-angguk. Namun mereka telah terkejut ketika mendengar suara di a mbang pintu "Kau benar ngger. Pengaruh gelar keduniawian me mang sangat besar, sehingga seseorang akan dapat kehilangan kepribadiannya" Arum terkejut. Wajahnya menjadi redup ketika ia me lihat Raden Ayu Galihwarit melangkah keluar pintu. Namun gadis itu menjadi agak tenang ketika ia melihat. Raden Ayu itu masih tetap tersenyum. "Na mpaknya me mang de mikian Arum" berkata Raden Ayu Galihwarit yang ke mudian duduk bersama mereka. "Aku mendengar apa yang kau ceriterakan tentang Juwiring. Sungguh menegangkan. Untunglah bahwa Tuhan masih me lindungi kalian bertiga" "Ya Raden Ayu" desis Arum sambil menunduk da la m-dala m "Tuhan Yang Maha Penyayang masih me lindungi ka mi bertiga"
"Tetapi hal itu akan dapat ka lian jadikan pengala man. Dan tanpa kau sadari, kau dapat mengambil arti dari peristiwa itu dengan me mperbandingkan antara pengaruh yang langsung dan yang tidak langsung" berkata Raden Ayu Galihwarit selanjutnya. Arum t idak menjawab. Ia menjadi berdebar-debar lagi. Namun Raden Ayu Galihwarit itu kemudian berkata "Dengan pengala man itu Arum, kau dan saudara-saudaramu akan tetap berpegang pada keyakinanmu. Sebagaimana akhirnya Juwiring berhasil bebas dari pengaruh keris itu. Karena sebenarnyalah keris itu me mpunyai perbawa yang luar biasa, dan hal ini telah pernah aku ceriterakan, juga tentang perubahan watak yang terjadi pada Tumenggung Sindura. " Arum masih menundukkan kepalanya, sementara Buntal mengangguk-angguk. "Ah, sudahlah. Kalian dapat berbincang lebih panjang. Aku akan melihat-lihat mangirmu Arum" berkata Raden Ayu itu ke mudian. Sambil me mbawa mangir yang diserahkan Arum, Raden Ayu Galihwaritpun masuk ke mba li ke da la m biliknya se mentara Arum, Buntal dan Rara Warih masih saja berbincang sambil menunggu keterangan yang mungkin akan diberikan oleh Raden Ayu Galihwarit tentang keadaan terakhir. Namun dala m pada itu, akhirnya Warih sampai juga kepada persoalan dirinya sendiri. Kata-katanya menjadi sema kin la mbat dan terputus-putus. Seolah-olah dengan sengaja ia telah berusaha agar suaranya tidak didengar oleh ibundanya. "Aku menjadi se makin tidak kerasan tinggal di rumah ini" desis Warih. "Puteri harus menahan diri" jawab Arum yang hampir berbisik pula terpengaruh oleh suara Rara Warih "pada suatu saat, segalanya akan berakhir"
"Pada suatu saat segalanya me mang akan berakhir" jawab Warih "Tetapi untuk menunggu waktu yang kau sebut pada suatu saat itu telah me mbuat aku ha mpir menjadi gila" "Puteri me mang harus tabah. Kita se muanya harus tabah menghadapi perjuangan ini" sahut Arum. "Aku dapat mengerti. Tetapi sulit bagiku untuk menerima cara yang dipergunakan oleh ibunda. Bahkan pada saat-saat terakhir, orang-orang asing itu telah sering datang keru-mah ini. Pada ma la m buta mereka datang mengantarkan ibunda. Lewat senja mereka datang menje mput" Rara Warih berhenti sejenak, lalu "bahkan mereka telah mengotori rumah ini dengan sikap mereka yang gila" Arum tida k tahu, apa yang harus dikatakannya. Karena itu, maka ia justru menjadi termangu-mangu. Namun dala m pada itu, tiba-tiba saja Buntal bertanya hampir di luar sadarnya "Bagaimanakah sikap Pangeran Sindurata?" "Uh, eyang tidak lagi me mpedulikan apa yang terjadi. Eyang menyadari bahwa jika ia me mikirkan sesuatu, sakitnya akan dapat ka mbuh. Kepalanya menjadi pening, tengkuknya serasa kejang dan jika ia dalam keadaan yang demikian, maka eyang selalu marah-marah. Apa saja telah menumbuhkan ke marahannya sehingga kadang-kadang Eyang dapat kehilangan kesadaran dan mela kukan sesuatu yang berbahaya" jawab Warih sa mbil mengusap matanya.
Buntal tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia mengerti, sebagaimana juga Arum mengerti sepenuhnya perasaan gadis itu. Tetapi mereka be lum dapat berbuat sesuatu. Buntal tidak bertanya lebih banyak lagi. Sementara Arum pun hanya mengangguk-angguk saja. Na mun sejenak ke mudian, agaknya Warihpun merasa bahwa tidak sepantasnya ia selalu mengeluh saja di hadapan tamutamunya, sehingga karena itu, maka iapun kemudian mencoba untuk berbicara tentang berbagai hal yang berkembang di Surakarta sejak kota itu diduduki untuk setengah hari oleh pasukan Pangeran Mangkubumi. Namun dala m pada itu, selagi mereka sibuk berbincang, mereka telah dikejutkan oleh derap suara kereta memasuki halaman istana Pangeran Sindurata. Wajah Rara Warih menegang. Sambil kepalanya ia berdesis "Tentu mere ka pula" mengangkat
Buntal dan Arumpun me njadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga mere ka merasa, bahwa keduanya adalah orang-orang yang dikirim oleh para pengikut Pangeran Mangkubumi. Belum lagj mereka sempat berbuat sesuatu, Raden Ayu Galihwarit dengan tergesa-gesa telah keluar dari biliknya. Agaknya Raden Ayu itu juga mendengar derap kereta yang me masuki hala man. "Bukan maksudku untuk merendahkan ka lian" berkata Raden Ayu Galihwarit "na mun aku minta bagi kesela matan kalian untuk pergi ke be lakang" Buntal dan Arum termangu-mangu. Na mun Warihpun telah berpikir cepat, dibimbingnya Arum menyusuri sera mbi menuju ke bagian belakang istana Pangeran Sindurata. "Duduklah di sini" berkata Warih "Mereka tidak akan pernah pergi ke belakang"
Arum me ngangguk. Buntalpun ke mudian duduk pula di bagian belakang istana itu untuk menunggu sa mpai orangorang yang datang dengan kereta, yang menurut dugaan mereka ada lah orang-orang asing itu pergi. Sebenarnyalah yang datang adalah dua orang perwira kumpeni. Ternyata seorang di antara mereka masih belum pernah datang ke istana itu. Sebelum mere ka ditemui oleh Raden Ayu Galihwarit, keduanya sempat berdiri di tangga pendapa untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba yang seorang dari mereka berkata "Raden Ayu Galihwarit tingga l di sisi sebe lah kiri" Kumpeni yang belum pernah datang ke istana itupun mengangguk-angguk. Namun de mikian ia me langkah ke seketheng dan menjenguk ke longkangan da la m. "Di sini Raden Ayu tinggal?" bertanya kumpeni itu. "Ya. Tetapi ia mene mui tamu-tamunya di pendapa" jawab yang lain. Kumpeni yang seorang itu masih saja mengangguk-angguk. Nampa knya ia senang melihat kebun bunga yang ditumbuhi dengan berbagai jenis bunga yang jarang dilihatnya di barakbarak kumpeni dan bahkan di loji seka lipun. Namun sejenak ke mudian, maka Raden Ayu Galihwarit yang sudah selesai berpakaian muncul dari pintu pringgitan. Sambil tertawa cerah mereka me mpersilahkan ta munya untuk naik ke pendapa. Seperti biasanya, maka pembicaraanpun berjalan dengan lancar. Orang yang baru saja diperkena lkan kepada Radeh Ayu itupun segera dapat menyesuaikan diri, sehingga mere ka pun telah berkelakar dengan gembiranya. Meskipun yang seorang di antara mereka adalah orang baru di Surakarta, namun ia telah ma mpu berbicara sepatah-sepatah sebagaimana perwira-perwira yang lain. Jika ia mendapat kesulitan untuk
mengutarakan pikirannya, maka kawannyalah yang kemudian me mbantunya. "Raden Ayu harus datang ke dala m pesta itu" berkata perwira yang sudah la ma mengenal Raden Ayu. Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Sambil mengerling kepada perwira yang baru dikenalnya itu ia bertanya "Tetapi bukankah dala m pesta itu sudah akan hadir puteri-puteri cantik dan muda" Kedua perwira itu tertawa. Salah seorang dari mereka menjawab "Tidak ada seorangpun yang dapat menya mai Raden Ayu" Raden Ayu itupun tertawa pula me ledak. Dala m pada itu. seperti biasanya, setiap kali Rara Warih mendengar suara tertawa yang berat dan dibarengi oleh suara tertawa ibundanya, hatinya bagaikan disayat. Ia hanya dapat mengusap air matanya di dala m biliknya. Ketika teringat oleh Rara Warih bahwa di be lakang ada Buntal dan Arum, ma ka iapun merasa lebh baik berada di belakang bersama mereka. Namun ia tertegun ketika ia mendengar derap sepatu kedua kumpeni itu. "Mereka sudah akan pergi" berkata Rara Warih di dalam hatinya. Tetapi Rara Warih tida k menghiraukannya. Setelah mengusap matanya dan membenahi pakaiannya, maka iapun keluar dari pintu sa mping untuk pergi ke belakang. Namun de mikian ia me mbuka pintu, langkahnya tertegun. Ternyata dua orang perwira kumpeni itu berada di seketheng. Warih masih mendengar salah seorang kumpeni itu berkata "Sejuk se kali. Raden Ayu sendiri me me lihara ta man ini?" "Ya" jawab ibunda Rara Warih.
Namun dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit tertegun ketika ia melihat kumpeni yang seorang, yang belum pernah dikenalnya sebelumnya itu me mandang Rara Warih dengan kerut di keningnya. Kemudian dengan suara patah-patah ia bertanya "Siapakah itu?" Raden Ayu Galihwarit menjadi bimbang. Sementara itu Warih telah me langkah ke be lakang. "Anak gadisku" jawab Raden Ayu ke mudian. "O, cantik sekali. Seperti ibunya" berkata kumpeni itu "Bawa anak itu ma la m nanti ke pesta" Lalu katanya kepada kawannya "Kau menga mbil ibunya, aku akan mengambil anaknya. Kita tidak usah berebut" "Ah" sahut Raden Ayu "anak itu pemalu. Ia tidak akan mau pergi ke pesta" "Jangan begitu" sahut perwira itu "aku sudah mendengar serba sedikit tentang Raden Ayu. Tentu Raden Ayu berbangga jika anak gadis Raden Ayu itupun akan dapat menjadi bunga ros di antara perempuan-pere mpuan yang hadir di samping Raden Ayu sendiri sebagai bunga dalia" "Ah" desah Raden Ayu "Maaf, aku tidak dapat me mbawanya. Ia masih terlalu muda. Ia tidak mengerti apa yang harus dila kukannya di dala m pesta" "Jangan begitu Raden Ayu" berkata perwira yang baru itu "sebagaimana Raden Ayu pernah me mulainya, maka anak perempuan Raden Ayu itu akan dapat memulainya pula. Ia sudah sering me lihat apa yang Raden Ayu lakukan" "Tetapi ia baru sakit" jawab Raden Ayu yang mula i menjadi kebingungan. "Sakit apa?" bertanya perwira itu. "Dadanya serasa sesak" jawab Raden Ayu "bukankah tadi kau lihat, wajahnya mura m sekali"
"Aku me lihatnya cantik se kali" desis kumpeni itu "he, dimana anak itu sekarang. Aku ingin berkenalan saja" "Tunggulah sa mpa i anak itu se mbuh" jawab Raden Ayu. Tetapi perwira kumpeni itu tidak ma u menunggu. Ternyata ia masih lebih kasar dari kawan-kawannya yang sudah agak la ma berada di Surakarta. "Tunggulah" kawannya berusaha mencegahnya. Tetapi perwira itu justru me loncat-loncat di hala man sa mbil tertawa "Aku tidak pernah menunda keinginanku" "Jangan gila" kawannya ha mpir berteriak. Tetapi ia tidak berhenti. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit menjadi gelisah dan pucat. Bukan saja tentang anak gadisnya. Tetapi ia tahu bahwa di ruang belakang Buntal dan Arum sedang bersembunyi. Karena itu, maka Raden Ayu itupun berlari-lari menyusul perwira kumpeni itu, diikuti oleh perwira yang seorang lagi. Dala m pada itu, perwira baru di Sura karta itu telah me masuki ruang be lakang. Ia tertegun ketika ia melihat tiga orang berada di ruang itu, duduk di atas a mben kayu yang panjang. Terdengar perwira itu kemudian tertawa. Dengan kalimat yang patah-patah ia berkata kepada Warih "Nah, akhirnya aku ketemu juga. He, bukankah kau anak Raden Ayu itu?" Warih yang terkejut melihat kehadiran kumpeni itu menjadi gemetar. Mulutnya justru bagaikan terbungka m. "Jangan takut" berkata perwira itu "aku tidak apa-apa. Aku senang karena kau cantik. Marilah, ikut aku. Mala m nanti kita pergi ke sebuah pesta yang menarik"
Ketika perwira itu mende kap Warih bergeser setapak tetapi perwira itu justru tertawa. Sementara itu, maka Raden Ayu Galihwaritpun telah me masuki ruang itu pula dengan nafas yang terengah-engah. Dengan gagap ia berkata "Jangan, jangan kau lakukan itu terhadapnya. Apapun yang dapat kau lakukan terhadap aku, lakukanlah. Tetapi tida k terhadap anakku" Perwira yang kasar itu tertawa. Katanya "Kau sangat cantik Raden Ayu. Tetapi kau sudah terlalu tua. Anakmu ini juga cantik dan muda. Aku lebih senang me milihnya. Jika ia me mang anak Raden Ayu, apa salahnya aku me mperlakukannya seperti kawan-kawanku me mperla kukan Raden Ayu" "Tutup mulut mu" bentak Raden Ayu Galihwarit "Kau tidak dapat berbuat seperti itu terhadap anakku" Namun perwira yang lain, yang sudah lama dikenalnya itu telah mengejutkan Raden Ayu itu pula ketika ia ke mudian berkata "Sudahlah Raden Ayu. Buat apa Raden Ayu menolak permintaannya. Biarlah ia langsung berbicara dengan anak perempuan itu" "Anakku t idak dapat diperlakukan de mikian" bentak Raden Ayu. Tetapi perwira itu berkata "Ia tidak akan me mperlakukan anak itu seperti itu, jika ia belum pernah mendengar serba sedikit tentang tingkah la ku ibunya."
Kemarahan yang me munca k telah me mba kar jantung Raden Ayu Galihwarit, di luar sadarnya, dengan serta merta tangannya telah melayang menghanta m pipi perwira itu. Perwira itu terkejut. Namun ke mudian ia tertawa. Katanya "Jangan berubah menjadi begitu garang Raden Ayu. Kita sudah lama saling mengenal. Apa artinya harga diri Raden Ayu dan anak perempuan Raden Ayu itu, jika kami sudah mengetahui sifat-sifat Raden Ayu" Kemarahan Raden Ayu Galihwarit telah me munca k. Sementara itu perwira yang lain t iba-tiba saja dengan tanpa menghiraukan Buntal dan Arum telah me ndekati Rara Warih dan berusaha menangkap tangannya. Rara Warih berlari menjauhinya. Adalah di luar kehendaknya sendiri, bahwa ia telah berdiri di belakang Buntal dan Arum yang sudah bangkit pula dari te mpat duduknya. Sementara itu Buntal menjadi berdebar-debar. Ia menjadi sangat bingung. Ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan kumpeni justru di dala m kota Surakarta. Namun sudah barang tentu ia tidak akan dapat me mbiarkan kegilaan orang-orang asing itu terjadi di hadapan matanya. Dala m pada itu perwira kumpeni itupun agaknya tidak menghentikan niatnya. Dengan wajah garang ia me mbentak Buntal dan Arum "Minggir" Buntal masih tetap ragu-ragu. Namun ternyata sikap Raden Ayu telah membulatkan niatnya. Ketika perwira itu mendorongnya, terdengar Raden Ayu me mekik kecil "Jangan" Oleh kata-kata Raden Ayu itu, seolah-olah Buntal telah digerakkan untuk menola k dorongan perwira kumpeni itu. Bahkan Buntal telah mendorong kumpeni itu sambil berkata "Jangan ganggu, sebagaimana dikatakan oleh Raden Ayu"
Perwira itu terkejut bukan kepalang. Ia tida k menduga sama sekali bahwa orang yang tidak diperhitungkan itu tibatiba telah mendorongnya. Bahkan terlalu keras. Ternyata Raden Ayu Galihwaritpun terkejut pula melihat sikap Buntal. Namun bagaimanapun juga, ia me mang tidak akan mengorbankan anak pere mpuannya. Apapun yang dikatakan orang tentang dirinya, diterimanya dengan telinga dan mata tertutup. Tetapi tidak dengan anak gadisnya yang untuk beberapa la ma telah tersiksa oleh sikap ibundanya itu. Karena itu, maka Raden Ayu Galihwarit itupun ke mudian justru mengharap Buntal akan dapat melindungi Rara Warih. Perwira kumpeni yang marah itu me mandang Buntal dengan mata berapi-api. Ke mudian dengan garang ia menggera m "He, apakah kau sudah gila?" Tetapi Buntal tidak bergeser. Bahkan ia menjawab "Kau harus mendengarkan keterangan Raden Ayu. Bukankah Raden Ayu sudah membatasi keadaan diri. Kau dapat berbuat apa saja terhadap Raden Ayu. Tetapi tidak terhadap puteri" "Jangan me mbantah" gera m perwira itu. "Kau yang harus melakukan permintaan ka mi. Kaulah yang seharusnya tidak me mbantah" gera m Buntal. "Tutup mulut mu" bentak perwira kumpeni itu "minggir atau aku akan me mbunuhmu. Aku me mpunyai wewenang untuk me lakukannya tanpa ada tindakan hukum jika aku me mbunuhmu dala m keadaan seperti sekarang ini" "Aku akan me mbe la diri" Buntalpun mula i kehilangan kesabaran. itu. Wajah perwira itu me njadi merah pada m. Tiba-tiba saja tangannya melayang menyerang wajah Buntal. Na mun Buntal sudah me mperhitungkannya. Karena itu, maka iapun masih sempat menghindar.
Justru karena serangannya tidak mengenai sasaran, perwira kumpeni itu menjadi sangat marah. Dengan serta merta ia telah mencabut pedangnya yang panjang. Buntal surut selangkah. Sementara itu Arumpun telah me mbimbing Rara Warih menjauh, sedangkan Raden Ayu Galihwaritpun segera berlari mendekati pulennya. "Kau harus mat i" geram perwira itu sa mbil me ngacukan pedangnya kearah dada Buntal. Buntal menjadi berdebar-debar. Ia mengerti bahwa para perwira kumpeni pada umumnya kema mpuan bermain pedang. Karena itu maka iapun harus berhati-hati. Apalagi ia tidak me mbawa senjata panjang yang akan dapat mengimbangi pedang lawannya. Namun dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang melihat keadaan yang tidak seimbang itupun telah berteriak "Tidak adil. Jika kau benar-benar perwira yang pernah menjelajahi samodra dan benua, yang pernah mengalahkan bangsabangsa di daratan dan perompak di lautan, beri kese mpatan anak pribumi itu juga bersenjata" "Ambil senjata" teriak perwira yang marah itu "apapun yang akan diperguna kannya, aku akan me mbunuhnya" Buntal menjadi berdebar-debar. Namun perwira itu t idak me mberi kese mpatan kepadanya. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang. Pedangnya terjulur lurus me matuk dada. Buntal masih sempat mengelak. Dengan tangkas ia me loncat ke sa mping. Namun tiba-tiba pedang itu ditariknya surut. Sebuah ayunan mendatar menyerang leher Buntal, sehingga Buntal harus berloncatan pula surut. Ternyata Raden Ayu Galihwarit tidak me mbiarkan pertempuran yang tida k seimbang. Tiba-tiba saja ia berlari lewat pintu dala m masuk ke ruang tengah. di ra ihnya
sebatang tombak yang berdiri pada sebuah ploncon bersama sebatang songsong kebesaran milik Pangeran Sindurata. Sesaat kemudian Raden Ayu itu telah ke mbali ke ruang belakang. Sambil mengacukan tomba k di tangannya Raden Ayu itu berkata "Bersikaplah jantan" Perwira itu tidak menjawab. Ia masih mengayunkan senjatanya menyerang Buntal. Na mun Buntaipun menyadari. Tanpa senjata ia akan sangat sulit me lawan ilmu pedang kumpeni yang mapan itu. Karena itu, maka Buntaipun segera meloncat kearah Raden Ayu Galihwarit. Dengan serta merta maka iapun menerima tombak yang berada di tangan Raden Ayu itu. "Aku juga bersenjata sekarang" geram Buntal "dengan demikian aku tidak hanya menjadi sasaran pedangmu saja" "Kau akan mati ana k setan" sahut perwira kumpeni itu. Sementara itu, Arum telah me mbimbing Rara Warih semakin menjauh. Ruang be lakang yang luas itu ternyata tidak cukup luas untuk bertempur dengan senjata panjang. Karena itu ma ka Buntal telah berloncatan surut untuk mencari jalan ke luar dari ruangan itu. Ia tidak dapat lewat pintu yang dilalui oleh kumpeni itu, karena perwira yang seorang lagi masih berdiri di dekat pintu itu sa mbil me mperhatikan perkelahian itu dengan saksa ma. Melalui pintu butulan yang lain, Buntal berhasil meloncat keluar. Dengan de mikian ia sudah berada di longkangan belakang, sehingga ia mendapat tempat yang luas untuk bertempur dengan tombak. Raden Ayu yang cemas melihat keadaan Buntal, karena iapun telah mendengar bahwa para perwira kumpeni adalah orang-orang yang mumpuni bermain pedang, telah melangkah di luar sadarnya kearah pintu butulan itu pula. Namun tibatiba perwira yang seorang lagi berkata "Raden Ayu tidak perlu
mende kat. Nanti Raden Ayu takut melihat anak pribumi itu mati ditembus ujung pedang" perwira itu melangkah mende kat sambil berkata selanjutnya "Siapakah anak itu Raden Ayu?" "Pelayanku" jawab Raden Ayu itu tanpa berpikir lagi. Tetapi Arum yang mendengar jawaban itu sama sekali tidak merasa tersinggung, karena iapun mengerti bahwa Raden Ayu sedang berusaha menge lakkan keadaan yang sesungguhnya. "Aku tidak percaya" sahut perwira itu "ia me miliki ke ma mpuan berkelahi. Aku tahu pasti. Sebelum ia menggengga m tomba k, ia sudah ma mpu menghindari serangan-serangan pedang kawanku yang terkenal berilmu pedang yang tinggi" "Ia adalah pengawa l istana ini" jawab Raden Ayu itu pula. "Pengawal atau pelayan atau apa lagi?" suara perwira kumpeni itu menjadi se makin kasar. Dala m pada itu, hiruk pikuk itu telah menimbulkan keributan di istana Pangeran Sindurata. Beberapa orang pelayan menjadi kebingungan. Sementara itu, Pangeran Sindurata yang mendengar keributan itu telah berlari-lari ke ruang belakang. Namun langkahnya tertegun ketika tiba-tiba saja ia melihat seorang perwira kumpeni yang berdiri menghadap anak, cucunya dan anak padesan yang sering datang menjual mangir ke rumahnya itu. Bahkan demikian Pangeran Sindurata me masuki ruang itu, kumpeni itu telah mengacukan sebuah senjata api berlaras pendek. "Ka mi harus menahan ka lian se muanya" berkata perwira kumpeni itu. "Apa yang terjadi?" bertanya Pangeran Sindurata. "Keluarga Pangeran telah melawan ka mi" jawab perwira kumpeni itu.
"Tida k benar" jawab Raden Ayu Galihwarit " seharusnya kau dapat mengatakan apa sebenarnya terjadi di sini. Kau sudah menghina kan keluarga ka mi" "Apa yang sudah dilakukannya?" bertanya Sindurata. Pangeran
"Perwira kumpeni yang bertempur di luar itu ingin me ma ksa Warih untuk pergi bersa manya. Aku berkeberatan karena Warih sendiri tidak bersedia melakuannya" jawab Raden Ayu Galihwarit. "Itu hanya pura-pura" jawab kumpeni itu. "Tida k" Raden Ayu Galihwarit ha mpir berteriak "Kau sendiri berusaha mencegahnya. Tetapi kawanmu itu benar benar menjadi gila dan tidak mau me ndengar sa ma sekali" "Sudah aku katakan Raden Ayu, jika kawanku itu tidak mengenal Raden Ayu, maka ia tidak akan berbuat demikian terhadap anak perempuan Raden Ayu yang tentu sifat-sifatnya tidak akan jauh berbeda dengan ibunya" "Tida k" teria k Raden Ayu Galihwarit. Se mentara itu, dada Rara Warih bagaikan dihentak oleh sebuah pipisan batu hita m. Betapa pedih hati gadis itu. Orang lain menganggap bahwa ia tidak akan ada ubahnya dengan sifat dan tabiat ibundanya. Anggapan itu bagaikan hukuman baginya tanpa mela kukan kesalahan. Raden Ayu Galihwaritpun mengerti, betapa sakit hati puterinya. Karena itu sambil me meluk anak gadisnya Raden Ayu itu berkata "Jangan kau lumuri anak gadisku dengan tuduhan yang tidak beralasan karena dosa-dosaku" Perwira kumpeni itu tertawa katanya "Raden Ayu sudah terlalu la ma bergelima ng ke mewahan hidup yang Raden Ayu dapatkan dengan cara yang tidak terhormat itu. Tetapi dengan demikian Raden Ayu dan beberapa orang kawan Raden Ayu
sudah dapat memberikan kesenangan kepada ka mi, yang selama ini jauh dari keluarga ka mi" "Tutup mulut mu" bentak Raden Ayu "Aku tidak lagi me lakukan se muanya itu karena aku sudah menjadi budak harta benda" "Raden Ayu" potong Arum dengan serta merta. Raden Ayu Galihwarit ternyata terkejut juga. Kemarahan di dadanya hampir saja menjerumuskannya ke dala m keadaan yang sulit. Untunglah bahwa ia belum terlanjur menyebut sesuatu tentang tugasnya dalam hubungannya dengan Pangeran Mangkubumi. Namun perwira itu cukup tajam tanggapannya atas jawaban Raden Ayu itu. Karena itu maka iapun bertanya sambil mengerutkan keningnya "Jika Raden Ayu tidak berbuat untuk menumpuk harta benda dan kekayaan, apalagi yang Raden Ayu cari dengan mengorbankan harga diri itu" Tetapi Raden Ayupun cukup cerdik, meskipun ia harus berkorban perasaan lebih parah lagi, namun ia menjawab "Aku sekarang seorang janda. Aku terbiasa hidup bukan saja dalam ke mewahan, tetapi akupun terbiasa berada di lingkungan ka lian. Apalagi sekarang. Aku tidak lagi dida mpingi oleh seorang la ki-laki di rumah" Perwira kumpeni itu mengerutkan keningnya. Namun iapun ke mudian tertawa. Katanya "Jadi ada juga dorongan lain dari diri Raden Ayu sendiri" Wajah Raden Ayu Galihwarit itu menjadi tegang. Betapapun juga terasa hatinya menjadi pedih. Sementara itu, Warih seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah. Segalanya terasa sangat pahit. Meskipun ia sadar, bahwa ibunya melakukan hal itu bagi satu perjuangan yang berharga bagi Surakarta, namun ia tidak dapat ingkar dari kata hatinya.
Arumpun menjadi sangat tegang. Ia juga seorang gadis. Namun timbul juga pertanyaan di hatinya, betapa mungkin seseorang me mberikan pengorbanan yang de mikian besarnya. Tetapi bagaimanapun juga Arum tidak dapat menutup penglihatannya, bahwa yang dilakukan oleh Raden Ayu itu bukannya dari permulaan. Ia tampil da la m perjuangan setelah ia berada di dala m suasana seperti itu. Pangeran Sindurata yang berdiri termangu-mangu itupun ke mudian berkata "Aku tidak tahu apa-apa. He, aku tidak tahu apa-apa" Tetapi kumpeni itu masih saja mengacukan senjata apinya "Jangan me mbuat tindakan yang dapat mencelakai ka lian sendiri. Aku menunggu kawanku yang akan me mbunuh anak pribumi itu. Baru ke mudian a ku akan menentukan sikap terhadap kalian" Ketika Pangeran Sindurata bergeser, perwira itu menggeser ujung laras senjatanya sambil berkata "Pangeran, jika Pangeran tidak betah berdiri, aku persilahkan kalian se muanya untuk duduk. Cepat" Pangeran Sinduratapun menuju ke amben kayu diikuti oleh Raden Ayu Galihwarit, dan Arum yang me mbimbing Rara Warih. Mereka duduk berjajar bagaikan me mbeku, se mentara perwira kumpeni itu berdiri beberapa langkah diha-dapan mereka. "Aku sudah terbiasa berdiri, berjalan mondar-mandir atau bahkan berlari-lari" berkata perwira kumpeni itu sa mbil tersenyum. Dala m pada itu, selagi keempat orang di ruang belakang itu dicengka m oleh ketegangan, maka di longkangan be lakang. Buntal telah bertempur melawan perwira kumpeni yang belum la ma bertugas di Surakarta itu. Ternyata perwira kumpeni itu benar-benar menguasai ilmu pedang yang agak lain dengan ilmu pedang yang dikenal oleh Buntal. Na mun de mikian,
pengalaman Buntal cukup banyak untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh lawannya. Sambil me miringkan tubuhnya, sedikit merendah pada lututnya, perwira itu menjulurkan pedangnya. Namun me lawan sebatang tomba k ma ka perwira itu harus menyesuaikan diri. Gerakannya menjadi lebih cepat, dan kadang-kadang ia bergeser bukan saja maju dan surut selangkah, tetapi perwira itu harus berloncatan pula untuk menghindari dan menangkis ujung tombak Buntal. Demikianlah dua cabang ilmu yang datang dari dunia yang berbeda telah bertemu. Na mun keduanya telah melengkapi ilmu masing-masing dengan pengala man yang cukup panjang. Keduanya sudah saling mengena l dan menjajagi jenis ilmu lawannya. Karena itu, maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah benturan dari dua kekuatan yang dahsyat. Keduanya telah pernah menempa diri untuk menguasai ilmunya meskipun dengan cara yang berbeda. Pedang perwira kumpeni itu menyapu dengan kekuatan yang mengejutkan. Na mun Buntal ma mpu bergerak tangkas, la meloncat mundur sa mbil me mutar tomba knya. Ketika perwira kumpeni itu me mburunya dengan pedang terjulur, Buntal telah berdiri tegak. Tombaknya telah siap menunggu. Selangkah perwira kumpeni itu maju, ma ka ujung tombak Buntallah yang akan menyayat perutnya. Tetapi perwira kumpeni itu tidak terkejut melihat sikap Buntal. Ternyata ia tetap meloncat maju. Dengan pedangnya ia me mukul tomba k Buntal ke sa mping. Ke mudian pedang itu berputar mengungkit tombak lawannya. Ketika tombak Buntal terangkat, maka perwira kumpeni itu bergeser menusuk dengan ujung pedangnya langsung me ngarah jantung. Namun Buntal tida k me mbiarkannya jantungnya dikoyak oleh pedang kumpeni. Ketika ujung tomba knya terangkat,
maka ia justru me mpergunakan tangkai tomba knya. Ia berhasil menangkis serangan perwira kumpeni itu. Bahkan sekaligus tangka i tombaknyalah yang terjulur. Hampir saja ujung tangkai tomba knya yang tersalut besi baja yang bulat itu me mukul lutut kumpeni itu. Tetapi perwira kumpeni itu sadar. Jika lututnya tersentuh besi baja yang bulat pada tangkai tombak itu, maka ia akan lumpuh. Tulang pada lututnya akan pecah dan dengan demikian, ma ka ia a kan terkapar tanpa ma mpu me mberikan perlawanan. Perkelahian itu se makin la ma menjadi se makin dahsyat. Keduanya ma mpu bertempur dengan kelebihannya masingmasing. Mereka saling mendesak. Bergeser dan berputar. Melejid sa mbil mengayunkan senjatanya. Sementara itu, Arumpun menjadi tegang. Ia masih mendengar derap kaki kedua orang yang sedang bertempur itu. Dengan telinganya yang terlatih Arum dapat me mbayangkan, apakah yang kira-kira terjadi. Perkelahian itu tentu merupakan perkelahian yang sangat seru. Tetapi bukan saja Arum yang dapat membayangkan peristiwa di longkangan itu. Kumpeni yang seorang, yang mengacukan senjata berlaras pendek itupun dapat me mbayangkan. Seperti Arum ia mengerti, bahwa pertempuran yang terjadi itupun sangat dahsyatnya. Dengan demikian perwira kumpeni yang seorang itu menjadi heran. Anak pribumi yang bersenjata tombak itu ma mpu me lawan kawannya, seorang perwira yang baru saja datang di Sura karta. Seorang perwira yang me miliki ke ma mpuan yang luar biasa. "Bagaimana mungkin ha l ini terjadi" berkata perwira kumpeni itu di dala m hatinya. Namun dengan demikian ia mulai me mbayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh para Senapati dari pasukan Pangeran Mangkubumi, jika orang-
orang pribumi yang menjadi pelayan atau pengawal di istana para Pangeran itu ma mpu me lawan kawannya, seorang perwira yang pilih tanding. "Gila" tiba-tiba kumpeni itu mengumpat. di luar sadarnya, tiba-tiba saja ia sampai pada satu kesimpulan yang mengejutkan. Mengejutkan bagi dirinya sendiri dan mengejutkan bagi orang-orang yang berdiri di hadapannya. "Raden Ayu" geram perwira kumpeni itu "orang itu tentu pengikut Pangeran Mangkubumi" Wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia bertanya "Bagaimana kau dapat menga mbil kesimpulan seperti itu?" "Ternyata bahwa orang yang ka mi cari telah aku ketemukan di sini. Selama ini ka mi tidak pernah dapat menduga, siapakah yang telah berkhianat terhadap Surakarta. Serangan kami yang gagal atas Raden Mas Said dan bahkan harus ditebus dengan korban yang tidak kecil, bukan saja mereka yang menyerang pasukan Raden Mas Said itu, tetapi juga karena pada saat yang sa ma pasukan Pangeran Mangkubumi me masuki kota ini, adalah karena sikap Raden Ayu. Raden Ayu yang berada di antara para perwira kumpeni tentu dapat dengan mudah menyadap berita tentang rencana serangan yang akan dilakukan oleh kumpeni. Ternyata di rumah ini ada orang-orang Pangeran Mangkubumi, atau orang-orang Raden Mas Said yang dapat menjadi penghubung antara Raden Ayu dengan mereka" "Omong kosong. Kau tida k dapat me mbuktikannya" bantah Raden Ayu Galihwarit. "Aku akan me mbuktikannya" jawab kumpeni itu "aku t idak percaya bahwa ada orang yang ma mpu bertahan sekian la ma menghadapi kawanku itu, jika orang itu bukan, orang pilihan. Karena itu. maka yang sedang bertempur melawan kawanku
itu tentu orang yang pilih tanding. Orang itu tentu petugas sandi" Keringat dingin telah me mbasahi pakaian Raden Ayu Galihwarit. Namun mulutnya justru telah terbungka m. ia tidak dapat membantah tuduhan perwira kumpeni itu, bahwa anak muda yang bertempur di longkangan itu adalah petugas sandi dari pasukan Pangeran Mangkubumi. Sejenak kemudian perwira kumpeni itu tertawa. ia merasa menang bahwa ia telah berhasil mene mukan salah seorang pengkhianat yang telah menggagalkan segala usaha kumpeni selama ini. "Raden Ayu" berkata kumpeni itu "ternyata bukan kebetulan, apa yang selama ini kau lakukan. Bahkan mungkin sejak Pangeran Ranakusuma mengatur pengkhianatannya. Raden Ayu sudah membantunya. Raden Ayu dengan sengaja telah diselipkan di antara para perwira untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang akan menguntungkan pasukan Pangeran Mangkubumi" Perwira itu berhenti sejenak, lalu "Tetapi Raden Ayu sekarang tida k dapat ingkar lagi. Aku sudah pasti. Raden Ayulah orang yang sedang kami cari di antara para Senapati dan Panglima prajurit Surakarta" Raden Ayu Galihwarit benar-benar terbungka m. Se mentara itu, perwira itu berkata "Jangan bergerak. Aku akan mene mba k siapa saja yang me lakukan perbuatan yang tidak sewajarnya" Suasana menjadi sema kin tegang. Sementara itu Arum ma lai menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh perwira kumpeni itu. Sejenak perwira itu termangu-ma ngu. Na mun iapun ke mudian bergeser ke pintu yang menuju ke longkangan belakang. Dengan nada berat ia berkata "Aku akan mengakhiri pertempuran itu"
"Apa yang akan kau la kukan?" Raden Ayulah yang bertanya. "Aku akan mene mbak anak itu" gera m perwira kumpeni. Suasana yang tegang itu menjadi se makin mencengka m. Tiba-tiba saja Raden Ayu Ga lihwarit itu berdiri sa mbil berkata "Jika kau mau mene mba k, tembak aku. Anak itu tidak bersalah" Perwira itu tertawa. Katanya "Raden Ayu menjadi ce mas. Hal itu menguatkan keyakinanku, orang itu ada lah petugas sandi dari Pangeran Mangkubumi" "Cukup" potong Raden Ayu "te mbak aku" "Duduklah Raden Ayu" kumpeni itu masih tertawa "Aku akan me mbuat pertimbangan tersendiri bagi Raden Ayu dan bagi anak perempuan Raden Ayu yang ternyata memang cantik seperti Raden Ayu. Tetapi anak Raden Ayu itu masih muda. Se mua bunga yang sedang me kar" "Tutup mulut mu" Raden Ayu itu me mbentak. Tetapi ketika ia me langkah maju, ujung laras senjata api itu tertuju ke dadanya. "Aku benar-benar dapat merobek dadamu Raden Ayu. Kemudian me mbawa anak gadismu pergi" bentak kumpeni itu pula. Raden Ayu Galihwarit tertegun. Ketika ia me mandang lubang laras senjata perira kumpeni itu, rasa-rasanya ia menjadi ngeri. Namun dala m pada itu, Arumlah yang berbuat sesuatu. Jika ia berdia m diri, ma ka kumpeni itu a kan pergi ke pintu. Dari pintu ia akan mene mbak Buntal yang sedang berte mpur. Jika Buntal mati, apapun yang dapat dilakukannya, tentu tidak akan dapat diselesaikannya, karena Arum tidak yakin akan dapat melawan dua orang perwira itu. Arum cukup menyadari, bahwa kedua perwira itu me miliki ilmu yang tinggi sesuai
dengan cara yang mereka anut. Namun yang ternyata sulit untuk di atasi. Karena itu, ia harus menga mbil satu sikap. Ia tidak dapat menunggu, sehingga ia akan terperosok ke dalam kesulitan yang semakin gawat. "Jika aku gagal, apaboleh buat. Bahwa kumpeni dtu sudah sampai pada suatu dugaan tentang kakang Buntal sebagai petugas sandi Pangeran Mangkubumi, maka tidak ada lagi kesempatan yang boleh dilewatkan" berkata Arum didaia m hatinya. Demikianlah, ketika kumpeni itu sudah mende kati pintu, namun se mentara perhatiannya masih saja tertuju kepada Raden Ayu Galihwarit yang termangu-mangu, ma ka Arumpun telah menga mbil kesempatan itu. Sesaat ia menunggu. Ketika perwira itu ke mudian berdiri dia mbang pintu dan me mperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung, maka Arumpun sa mpai pada batas perhitungannya. Karena itu, ketika sa mbil tersenyum kumpeni itu mulai mengarahkan senjatanya keluar, tiba-tiba Arum telah meloncat berdiri. Kumpeni itu terkejut. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berpaling kearah Arum, dua buah pisau telah meluncur dengan cepatnya langsung menghunja m ke dadanya. Suatu hal yang tidak di sangkanya sa ma sekali. "Anak setan" ia mengumpat. Dengan gerak naluriah senjatanya telah berpaling. Namun ternyata Arum menjadi
lebih mapan. Sebuah pisau lagi telah me luncur menghantam pangkal lengannya. Perwira kumpeni itu menyeringai menahan sakit. Ketika ia mencoba me mbidikkan senjatanya dengan tangannya yang gemetar, sebuah lagi pisau me luncur mengoyak dada perwira kumpeni itu. Senjatanya me mang me ledak. Tetapi sama sekali tidak mengenai siapapun. Pada saat itulah Arum meloncat dengan cepatnya. Ia tidak me mpedulikan ka in panjangnya yang koyak ha mpir sejengkal. Namun pada saat yang tepat, ia telah menyerang perwira kumpeni itu dengan ibu jarinya, tepat mengenai lehernya. Nafas kumpeni itu bagaikan tersumbat. Serangan Arum telah mendorongnya selangkah. Ke mudian iapun terhuyunghuyung jatuh, justru keluar pintu. Ledakan senjatanya telah mengejutkan dua orang yang sedang bertempur di longkangan bela kang. Baik Buntal maupun perwira kumpeni yang belum la ma berada di Surakarta itu berpaling kearah pintu. Yang ke mudian mereka lihat adalah, perwira kumpeni yang terhuyung-huyung jatuh terbanting di tanah. Hal itu sanga! mengejutkan kawannya. Sejenak ia justru bagaikan me mbeku. Na mun yang sejenak itu. ternyata telah menentukan segala-galanya. Buntal cepat me mpergunakan saat itu sebaik-baiknya. Dengan cepat ia meloncat menyerang dengan ujung tomba knya. Perwira kumpeni itupun terla mbat menangkis serangan Buntal. Ujung tombak itu ternyata telah menghunja m ke dalam perutnya. Buntal tidak perlu mengulanginya. Perwira kumpeni itu terdorong surut selangkah. Ketika Buntal menarik tombaknya
maka kumpeni itupun bagaikan sebatang kayu yang jatuh di tanah. Hampir di luar sadarnya Rade Ayu Galihwaritpun berlari ke pintu. Na mun ketika ia melihat tubuh-tubuh yang terbaring di tanah dengan berlumuran darah, cepat-cepat ia berbalik dan berlari me me luk anak gadisnya. "O" Raden Ayu itu berdesah "mengerikan seka li" Rara Warihpun mengetahui, ibunya tentu melihat kumpeni yang diserang oleh Arum dan terjatuh ke luar pintu. Sementara itu, Pangeran Sinduratalah yang ke mudian menuju ke pintu itu. la masih me lihat Buntal berdiri sa mbil menggengga m tombaknya yang basah oleh merahnya darah. Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dala m. Na mun ke mudiania ia berkata "Yang terjadi ini merupakan malapetaka bagi kita" Buntal dan Arum t idak dapat menjawab. Merekapun ke mudian mulai terda mpar pada satu persoalan yang harus mereka pertanggung jawabkan. "Ke matian kumpeni di hala man rumah ini akan mengundang kesulitan bagi kita" Pangeran Sindurata itu menge luh. Buntalpun ke mudian me masuki ruangan itu. Ia masih menggengga m tombak yang tegak di sisinya. Sejenak orang-orang yang berada di ruangan itu terdia m. Mereka saling berpandangan. Sebenarnyalah mereka akan menghadapi satu persoalan yang rumit. "Tetapi mereka me mang harus mati" tiba-tiba saja Arum me mecahkan ketegangan itu. "Kenapa?" bertanya Pangeran Sindurata.
"Ada beberapa alasan Pangeran" jawab Arum "Yang terpenting, mereka sudah tahu, bahwa Raden Ayu Galihwarit me mpunyai hubungan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Hal itu akan dapat menyeret Raden Ayu ke dalam keadaan yang paling parah. Bahkan mungkin hukuman mati" "Tetapi me mbunuh kumpeni itupun akan me mpunyai akibat yang sama. Hukuman mati" jawab Pangeran Sindurata. "Tetapi ada bedanya" tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menyahut "Aku akan dapat mencari alasan yang tepat untuk me mbe la diri, kenapa kedua orang kumpeni itu terbunuh di halaman ini" "Apa alasanmu, dan apakah kau dapat menjelaskan, siapakah yang telah me mbunuhnya" bertanya Pangeran Sindurata. Raden Ayu Galihwarit itu berpikir sejenak. Na mun ke mudian katanya "Aku me mpunyai alasan ayahanda. Kedua orang perwira itu akan berlaku kasar terhadap Warih.' "Apakah hal itu cukup a lasan untuk me mbunuh?" bertanya Pangeran Sindurata. "Tentu" jawab Raden Ayu Galihwarit "Mereka akan menghinakan anak gadisku, karena mereka menganggap bahwa anakku pantas untuk ikut menanggung dosa-dosa yang selama ini aku la kukan. Tetapi anakku itu menolak" "Tetapi apakah mereka akan percaya bahwa yang telah me mbunuh kedua orang kumpeni itu adalah Warih?" bertanya Pangeran Sindurata "atau kau akan mengatakan bahwa yang telah me mbunuh itu seperti apa yang me mang terjadi?" "Tentu tidak ayahanda. Buntal dan Arum harus segera meninggalkan tempat ini. Mereka harus segera kembali ke pasukan Pangeran Mangkubumi sekarang juga" jawab Raden
Ayu Galihwarit "Apapun yang terjadi di sini, akulah yang akan me mpertanggung jawabkan" "Lalu apa yang akan kau katakan, jika mereka bertanya, siapakah yang telah me mbunuh kedua orang perwira kumpeni itu dengan luka-luka yang akan dapat mereka kena li, jenis senjata apakah yang telah meluka i mereka " Raden Ayu Galihwarit itu me mandang ayahandanya sejenak. Namun ke mudian dengan ragu-ragu ia berkata "Yang me lakukan adalah ayahanda" "Aku, he" Bagaimana mungkin kau dapat manyebut aku?" Pangeran Sindurata ha mpir berteriak. "Jangan terlalu keras ayahanda" desis Raden Ayu Galihwarit "Kita harus berbicara sebaik-baiknya untuk me mecahkan persoalan ini" "Tetapi apakah akalmu sudah terbalik. Kau akan mengorbankan aku dan melindungi anak padesan itu?" bentak Pangeran Sindurata. "Tida k ayahanda, sama sekali tidak" jawab Raden Ayu Galihwarit "ada beberapa pertimbangan yang dapat dinalar" "Aku tidak mengerti" Pangeran Sindurata mulai meraba keningnya "Kau dapat me mbuat a ku menjadi gila " "Ayahanda" berkata Raden Ayu Galihwarit "cobalah ayahanda mendengarkan pertimbanganku. Biarlah Buntal dan Arum meninggalkan rumah ini. Jika ke mudian kumpeni datang ke mari, maka ayahanda dapat mengatakan kepada mereka, bahwa ayahanda telah berusaha melindungi cucu ayahanda yang akan mengala mi perlakuan yang tidak pantas dari kedua orang kumpeni itu" "Mereka tidak a kan me mpedulikannya. Mereka akan tetap menangkap aku dan mereka akan menggantung aku di alunalun" bantah Pangeran Sindurata.
"Aku yakin hal itu tidak akan dapat dilakukan" jawab Raden Ayu Galihwarit "sebelum segala sesuatunya terjadi di halaman rumah ini, aku a kan menghadap Pangeran Yuda kusuma" "Kenapa dengan Pangeran Sindurata. Pangeran Yudakusuma?" bertanya
"Ia masih Panglima pasukan Surakarta pada saat ini. Aku akan mengadukan persoalan ini. Aku akan mengatakan kepada Pangeran Yudakusuma bahwa dua orang kumpeni telah datang ke rumah ini. Bukan untuk menje mput aku, tetap mereka ingin mendapatkan Warih. Ayahanda melihat bagaimana kedua orang kumpeni itu me maksa Warih untuk menurut i ke mauannya, sehingga ayah terpaksa mela kukan perlawanan untuk me lindungi Warih. Nah, dengan tidak terencana maka ayah telah me mbunuh kedua orang kumpeni itu" berkata Raden Ayu Galihwarit. Tetapi Pangeran Sindurata menggelengkan kepa lanya. Katanya dengan nada tinggi "Aku tida k peduli. Aku tida k mau menjadi korban dala m persoalan yang tida k aku mengerti ini. Akupun tidak peduli bahwa kedua anak padepokan ini akan ditangkap, dihukum mati atau apa saja yang akan terjadi atasnya" "Tetapi ayahanda tahu, kumpeni itu mula-mula benar-benar akan menga mbil Warih. Buntal berusaha me lindunginya, dan ke mudian Arumpun terpaksa terlibat karena keadaan berkembang se makin buruk" "Jika de mikian, kenapa harus aku" Katakan apa yang terjadi. Dan aku tida k ikut ca mpur" Pangeran Sindurata mulai me mbentak-bentak sa mbil me mijit-mijit kepalanya "Aku akan tidur" "Tunggu ayahanda" panggil Raden Ayu Ga lihwarit "Apalagi yang harus ditunggu. Aku tidak me mpunyai persoalan lagi" jawab Pangeran Sindurata.
"Bukan masalah persoalan lagi. Tetapi aku mohon waktu untuk minta diri. Mungkin justru karena sikap ayahanda itu, kita tidak akan bertemu lagi" suara Raden Ayu merendah. "Apa maksudmu?" bertanya Pangeran Sindurata. Raden Ayu Galihwarit menundukkan kepalanya. Dengan suara rendah ia berkata "Ayah. Yang terjadi ini sama sekali tidak kita maksudkan. Tetapi kumpeni itu benar-benar ingin menghinakan keluarga ka mi. Aku sendiri tidak berkeberatan menga la mi perla kuan yang bagaimanapun juga, karena aku me mang sudah berkubang di dala m lumpur, apapun alasan dan tujuannya. Tetapi aku tidak rela jika anakku ikut terpercik oleh noda itu. Karena itu, maka aku t idak berkeberatan, Buntal dan Arum me lindungi anakku, sehingga akibatnya seperti yang terjadi" Raden Ayu Galihwarit berhenti sejenak, sementara ayahandanya bertanya "Tetapi kenapa kau a kan minta diri?" "Jika ayahanda tidak mau a ku sebut na manya, maka akulah yang akan mempertanggung jawabkan. Warih me mang anakku. Biarlah ia pergi bersa ma Buntal dan Arum. Sementara aku akan mengakui segalanya yang terjadi ini, meskipun aku kira mereka tidak akan percaya bahwa akulah yang telah me lakukannya. Jika ayahanda tidak mau mengakui telah me mbunuh kumpeni itu, maka aku harus mengatakan kepada mereka, ada orang lain yang me lakukannya. Karena aku tidak dapat menghadapkan orang lain itu, maka segalanya akan dipikul oleh pundakku" Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu "Tetapi aku t idak berkeberatan. Aku akan me mikul segala tanggung jawab" "Jika kau akan dapat me mbebaskan aku dari segala tuntutan hukum kumpeni, kenapa kau tida k dapat mela kukan atas dirimu sendiri" bertanya Pangeran Sindurata "atau, kenapa kau tidak me mberikan keterangan apa adanya" "Berbeda ayahanda. Jika ayahanda mengaku me mbunuh mereka, ma ka hal itu sangat mungkin. Sementara ayahanda, me mpertahankan kehormatan keluarga ayahanda. Tetapi jika
aku menyebut nama lain, dan a ku tida k dapat me mbuktikannya, maka persoalannya akan berkembang, sehingga mungkin sekali akan sa mpa i kepada dugaan-dugaan yang berhubungan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi, seperti yang dengan tiba-tiba telah tercetus di benak kumpeni yang terbunuh itu" "Gila, gila " gera m Pangeran Sindurata "Sudahlah ayahanda. Aku hanya ingin mohon diri. Cucu ayahanda juga akan mohon diri, karena ia akan pergi ke tempat yang belum pasti dapat me mberikan perlindungan kepadanya. Aku akan menghadap Mayor Bilman. Aku akan menyerahkan diri kepadanya. Apapun yang akan dilakukannya" "Anak setan" umpat Pangeran Sindurata "Kenapa kau t idak pergi ke Pangeran Yuda kusuma?" "Jika ayahanda mau menyela matkan ka mi. Pangeran Yudakusuma harus menga mbil keputusan lebih dahulu sebelum kumpeni menga mbil tinda kan" jawab Raden Ayu Galihwarit. "O, anak Setan" Pangeran Sindurata itu telah me mukulmukul keningnya "kepala ku pusing. Aku hampir menjadi gila" Pangeran itu berhenti sejenak. Namun ke mudian ia me mbentak "Apa kau akan me mbiarkan dirimu digantung?" "Aku tidak me mpunyai pilihan lain" jawab Raden Ayu itu "dan selesailah segala persoalan yang menyangkut diri Raden Ayu Sontrang yang cantik dan me mbuat beberapa orang perwira kumpeni menjadi gila. Rakyat Surakarta pada saatnya akan berbondong-bondong pergi ke alun-alun. melihat tubuhku tergantung di tiang gantungan. Satu-satu mereka akan lewat di bawah tubuhku sambil me ludah ke tanah" "Kau tidak mau diperlakukan de mikian. Karena itu kau minta akulah yang digantung itu" gera m Pangeran Sindurata.
"Tida k ayahanda. Biar aku saja yang digantung. Aku lebih senang digantung. Aku lebih senang digantung oleh Mayor Bilman daripada orang la in" jawab Raden Ayu Galihwarit. Pangeran Sindurata menggeram. Na mun ke mudian ia terduduk lesu sambil berkata "Pergilah ke Pangeran Yudakusuma. Katakan, akulah yang telah membunuh kedua orang asing itu" "Ayahanda" desis Raden Ayu Galihwarit. Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Ya. Aku akan mengatakan kepada siapapun juga, bahwa akulah yang telah me mbunuh mereka" Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian berlari dan berlutut, di kaki ayahandanya. Tiba-tiba saja ia menangis. Dengan suara terputus-putus ia berkata "Tidak. Ayahanda sudah terlalu tua untuk me libatkan diri dala m keadaan seperti ini. " "Sudahlah" suara Pangeran Sindurata justru menjadi sareh "pergilah ke Pangeran Yudakusuma. Katakan seperti yang ingin kau katakan. Cepat, sebelum sais kereta itu mengerti, apa yang terjadi" "Tetapi . . " kata-kata Raden Ayu patah ketika ayahandanya me motong "Sudahlah. Jangan berpikir lagi. Se makin banyak kita pikirkan persoalannya akan menjadi se makin ka lut" "Jadi?" "Aku mengerti. Biarlah Buntal dan Arum me ningga lkan tempat ini. Dengan demikian ma ka mereka tidak akan menjadi bersih dari segala maca m tuduhan da la m hubungan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi" berkata Pangeran Sindurata. "Terima kasih ayahanda" suara Raden Ayu menjadi parau. "Aku akan me mberitahukan kepada setiap orang di dala m rumah ini. seperti yang kau ma ksudkan, agar setiap
pertanyaan dapat dijawab dengan baik" berkata Pangeran Sindurata. Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian mengatur segalagalanya. Ia akan pergi ke Pangeran Yudakusuma. Sementara itu Buntal dan Arum harus meninggalkan istana itu" Dala m pada itu. Warih tidak dapat berbuat lain kecuali menangis. Tetapi ibundanya berkata kepadanya "Jangan menangis lagi Warih. Kita sedang bekerja keras untuk kepentingan kita bersa ma" Warih mengangguk. Diusapnya air matanya sampai kering. Tetapi di luar kehendaknya matanya telah menjadi basah lagi. Buntal dan Arumpun segera me mpersiapkan diri. Mereka akan meninggalkan istana itu setelah Raden Ayu Galihwarit pergi ke istana Pangeran Yuda kusuma. "Bukan maksud ka mi mengingkari tanggung jawab, puteri" berkata Buntal kepada Rara Warih "Tetapi yang ka mi la kukan ini ka mi dasarkan bagi kepentingan segala piha k" Warih mengangguk. Dengan suara sendat ia menjawab "Aku mengerti. Aku berterima kasih kepada kalian. Tanpa kalian, aku tidak tahu, apa yang terjadi atas diriku" Demikianlah, setelah segala rencana dapat saling dimengerti, Raden Ayu itupun telah me mbenahi paka iannya. Kemudian iapun keluar lewat pintu pringgitan, turun tangga pendapa mendapatkan sais yang menunggu dengan tegang. Sais itu mendengar suara tembakan. Tetapi perkelahian di longkangan belakang itu terlalu jauh untuk didengarnya. Karena itulah maka ia tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ia merasa sesuatu yang mengge lisahkannya. Na mun istana yang besar dan sepi itu merupakan teka-teki baginya. Apalagi ketika Raden Ayu Galihwarit turun seorang diri dari pendapa dan mendapatkannya.
Tetapi Raden Ayu itu tertawa. Kepada sais ia berkata "Tuanmu masih belum ingin pergi. Mereka nampaknya sedang asyik berbincang dengan anak gadisku" Sais itu mengerutkan keningnya. Namun di dala m hati ia berkata "O, puteri ini sudah mengajari anaknya untuk dapat berbuat seperti dirinya sendiri" Namun Raden Ayu itupun ke mudian berkata "Sekarang antarkan aku ke istana Pangeran Yudakusuma. Aku harus menya mpaikan surat dari tuanmu" Sais itu menjadi heran. Na mun Raden Ayu itu berkata sambil tersenyum "Tuanmu me mang terlalu. Ia sedang sibuk bagi kepentingannya sendiri. Akulah yang harus menya mpaikan suratnya kepada Pangeran Yudakusuma" Sais itu tidak me mbantah. Tetapi di dala m hati ia berkata "Aku lebih baik kelaparan dari me mbiarkan anak gadisku berbuat seperti itu. Anehnya, apakah Pangeran Sindurata sama sekali tidak berkeberatan istananya menjadi ajang permainan gila ini" Namun ketika Raden Ayu Galihwarit itu sudah berada dalam kereta, maka kereta itupun berderap meninggalkan halaman istana itu. Sementara itu, de mikian kereta itu hilang di balik regol. Buntal dan Arumpun segera minta diri, "Hati-hatilah" Pangeran Sindurata justru berpesan kepada mereka sehingga kedua anak muda itu menjadi segan. Namun Buntal telah menjawabnya "Ha mba Pangeran. Hamba berdua akan berhati-hati. Agaknya suasana akan segera menjadi panas" Sejenak ke mudian kedua anak muda itupun telah meninggalkan hala man istana Pangeran Ranakusuma. Dengan cepat tetapi tidak segera menarik perhatian orang la in,
keduanya langsung menuju ke jalur jalan yang seharusnya mereka lalui. "Kita harus segera meninggalkan kota" berkata Buntal "dala m pengusutan yang kasar, mungkin satu dua orang di istana itu akan mengaku dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Jika hal itu benar-benar terjadi demikian, mungkin sekelompok prajurit akan me ngejar kita dengan marah" "Aku masih me mbayangkan, apa yang terjadi di istana itu. Mungkin kumpeni menga mbil sikap kasar terhadap Raden Ayu Galihwarit dan Rara Warih" jawab Arum "ha mpir saja aku mohon kepada Raden Ayu, agar Rara Warih diperkenankan pergi ke luar kota bersama ka mi. Na mun kepergiannya tentu akan menimbulkan kecurigaan pula kepada kumpeni" Buntal mengangguk-angguk. Katanya "Yang terjadi dengan tiba-tiba itu me mang dapat menyulit kan Raden Ayu. Tetapi jika Raden Ayu berhasil dengan rencananya, dan Pangeran Sindurata teguh dala m sikap, aku kira me mang akan dapat di atasinya" Arum mengangguk-angguk. Namun mereka berdua itupun sadar, bahwa mereka harus me mperhatikan diri mereka pula. Karena itulah, ma ka keduanyapun berjalan se makin la ma semakin cepat. Semakin jauh dari kota, maka keduanyapun merasa, bahwa tidak lagi banyak orang yang me mperhatikannya. Namun dala m pada itu, Buntaipun bertanya "He, kenapa kau dengan kain panjangmu?" "Sobek sa mpai sejengkal" desis Arum "untung hanya, selembar, sehingga tertutup oleh lapisan di da la mnya" Buntal menarik nafas dala m-da la m. Yang terjadi di istana itu me mang mendebarkan. Bahkan penyelesaiannyapun tentu akan menegangkan pula.
Dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang me mperguna kan kereta kumpeni yang terbunuh di rumahnya, telah me masuki istana Pangeran Yudakusuma. Ternyata kedatangannya telah mengejutkan Pangeran yang kebetulan ada di istananya itu. "Kedatangan Raden Ayu sangat mengejutkan aku" berkata Pangeran Yudakusuma. Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. ia sadar, bahwa Pangeran Yudakusuma adalah seorang Pangeran yang berhati teguh. Raden Ayupun tahu, bahwa Pangeran Yudakusuma adalah satu di antara dua orang yang bertempur me lawan Pangeran Ranakusuma di saat terakhir, dan bahkan Pangeran itu telah dilukai pula oleh Pangeran Ranakusuma. "Aku me mpunyai satu kepentingan yang tidak dapat ditunda lagi Pangeran" desis Raden Ayu. Pangeran Yudakusuma me ma ndang Raden Ayu Galihwarit dengan pandangan yang aneh. Sebenarnyalah Pangeran itu tidak senang terhadap sikap Raden Ayu Galihwarit sebagai seorang perempuan yang berdarah luhur di Surakarta. Hal itupun disadarinya pula oleh Raden Ayu Galihwarit. Namun ia sudah mengatur diri di sepanjang perjalanan dari istana Pangeran Sindurata sampai ke istana Pangeran Yudakusuma, Raden Ayu Galihwarit sudah merancang, apa yang akan dikatakan. Ia akan menjawab dengan pengertian yang sudah dianyamnya sebaik-baiknya. Dala m pada itu, Pangeran Yudakusumapun bertanya pula "Apakah keperluan Raden Ayu itu" Dan kenapa Raden Ayu harus menyampaikan keperluan Raden Ayu itu kepadaku" "Pangeran" suara Raden Ayu menurun "Aku keadilan" mohon
"Keadilan" Kenapa kepadaku" Aku ada lah seorang Panglima perang. Bukan seorang yang harus menengahi
persoalan dan me mutuskan perkara" berkata Yudakusuma.
Pangeran "Justru karena Pangeran adalah Panglima perang" jawab Raden Ayu "karena persoalannya menyangkut hubungan dengan kumpeni" Wajah Pangeran Yudakusuma berkerut. Dengan nada datar ia berkata "Tidak se mua persoalan dengan kumpeni aku dapat ikut ca mpur. Aku hanya dapat ikut berbicara tentang, persoalan keprajuritan. Tidak tentang prajurit kumpeni itu sendiri" Terasa betapa tajamnya kata-kata Pangeran Yudakusuma itu di telinganya. Namun Raden Ayu sudah siap menerima nya. Bahkan yang lebih tajam dari sindiriran itu seka lipun. Dengan sareh Raden Ayu menjawab "Pangeran. Aku tidak tahu. apakah persoalan yang aku hadapi ini persoalan keprajuritan atau persoalan prajurit kumpeni itu sendiri. Tetapi masalahnya akan dapat menyangkut hubungan antara kumpeni dan Sura karta" "Persoalan yang menyangkut Raden Ayu?" bertanya Pangeran Yudakusuma dengan wajah berkerut. Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. Ia me mang harus menahan hati. Jawabnya kemudian "Pangeran. Dengan tidak direncanakan lebih dahulu, dua orang kumpeni terbunuh di rumahku" "He" Pangeran Yudakusuma terkejut sehingga ia bergeser maju "Apakah aku tidak sa lah dengar" Dua orang kumpeni terbunuh di istana Pangeran Sindurata?" "Ya Pangeran" jawab Raden Ayu sambil menundukkan kepalanya. "Siapakah yang telah me mbunuhnya" bertanya Pangeran Yudakusuma.
"Ayahanda, Galihwarit.
Pangeran Sindurata" jawab Raden Ayu "Pangeran Sindurata?" Pangeran Yudakusuma tegang. "Ya Pangeran?" jawab Raden Ayu Galihwarit pula.
me njadi "Dala m persoalan apa" Apakah Pangeran Sindurata marah me lihat tingkah mereka dala m hubungan mereka dengan Raden Ayu" Atau apa?" desak Pangeran Yuda kusuma. Raden Ayu itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya iapun menceriterakan apa yang telah terjadi di istana Pangeran Sindurata menurut rencananya. Raden Ayu dapat mengatakan dengan jelas seakan-akan memang terjadi seperti yang dikatakannya itu. Pangeran Yudakusuma mendengarkan pengaduan Raden Ayu Galihwarit itu dengan sungguh-sungguh. Persoalan ternyata tidak seperti yang diduganya. "Pangeran" berkata Raden Ayu Galihwarit "Aku menyadari, bahwa aku sendiri sa ma sekali sudah tidak berharga. De mikian pula di hadapan ayahanda Pangeran Sindurata. Ayahanda tidak peduli lagi apapun yang terjadi atasku. Juga seandainya aku mati di pinggir ja lan, ayahanda tidak akan menyesalinya" Raden Ayu itu terdia m sejenak, la lu "Tetapi yang terjadi itu adalah usaha pelanggaran kehormatan seorang gadis, cucu ayahanda Pangeran Sindurata. Itulah sebabnya, maka ayahanda menjadi marah. Dan tida k dengan peringatan apapun, ayahanda telah menyerang kedua orang kumpeni itu" Wajah Pangeran Yudakusuma menjadi tegang. Namun hampir di luar sadarnya ia berkata "Persoalannya memang akan dapat menyangkut banyak pihak. Tetapi Raden Ayupun tidak akan dapat menyangkut banyak pihak. Tetapi Raden Ayupun tidak akan dapat mele mparkan tanggung jawab atas peristiwa ini, meskipun dari sudut yang berbeda. Jika gadis itu bukan anak perempuan Raden Ayu, aku kira kumpeni itupun
akan bersikap lain, karena kumpeni itu sudah terbiasa bergaul dengan Raden Ayu" Jantung Raden Ayu Galihwarit bagai ditusuk dengan sembilu. Betapa pedihnya. Tetapi dengan tabah ia menjawab "Aku mengerti Pangeran. Salah satu sebab tentu karena kelakuanku sendiri. Tetapi ternyata bahwa anak perempuanku me mpunyai pendirian yang lain. Ia me mbenci aku karena cara hidup yang aku tempuh selama ini. Dan kumpeni itu tidak mau tahu" "Apa yang dila kukan?" bertanya Pangeran Yudakusuma, "Seorang di antara kedua orang kumpeni yang datang ke rumah itu. telah berusaha melanggar kehormatan anak gadisku. Ketika anak gadisku berteriak, maka ayahanda Sindurata mendengarnya" jawab Raden Ayu Galihwarit. "Apa yang Raden Ayu lakukan?" bertanya Pangeran Yudakusuma. "Aku mencoba melindungi anak perempuanku. Tetapi kumpeni yang seorang telah me megangi a ku. Dan a ku tidak berdaya untuk melepaskan diri" jawab Raden Ayu "semula akupun mencoba me mbatasi persoalan itu. Tetapi kumpeni yang seorang bagaikan menjadi gila. Dan terjadilah pe mbunuhan itu" Pangeran Yudakusuma termangu-ma ngu sejenak. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit mulai menangis "Ka mi mohon perlindungan Pangeran. Aku menyadari keadaan diriku, tetapi bukan seharusnya kumpeni menghina kan setiap orang perempuan di Surakarta" "Ya" terdengar Pangeran Yudakusuma menggera m "Tidak seharusnya kumpeni menganggap setiap pere mpuan di Surakarta ini seperti Raden Ayu" Raden Ayu Galihwarit mengangkat wajahnya. Namun wajah itupun telah menunduk lagi. Setitik air matanya meleleh di
pipinya. Ia benar-benar menangis meskipun semula Raden Ayu itu hanya berpura-pura. Pangeran Yudakusuma yang me lihat Raden Ayu menangis itupun ke mudian bertanya "Kereta siapa yang Raden Ayu pakai itu" Kereta Pangeran Sindurata?" "Tida k Pangeran" jawab Raden Ayu "Aku me mpergunakan kereta kedua orang kumpeni yang terbunuh itu. Sais kereta itu belum mengetahui persoalannya, karena peristiwa itu terjadi di longkangan belakang. Sebenarnyalah kumpeni itu telah me mburu anak gadisku sampa i ke ruang belakang, karena anak gadisku berusaha untuk me larikan diri" Pangeran Yudakusuma berpikir sejenak. Bagaimanapun juga ia juga merasa tersinggung atas sikap kumpeni itu. Karena itu, maka Pangeran Yudakusuma berniat untuk bertemu dengan Pangeran Sindurata. Pangeran tua itu adalah seorang Pangeran yang mempunyai Hubungan yang dekat pula dengan kumpeni. Jika ia me mbunuh kumpeni. maka tentu ada alasan yang khusus, yang mungkin benar seperti apa yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, maka Pangeran Yudakusunia itupun menganggap persoalan itu bukan persoalan yan dapat dengan mudah diputuskan, bahwa karena seseorang telah me mbunuh kumpeni, maka ia akan dihukum gantung. Apalagi persoalannya menyangkut seorang Pangeran di Surakarta. "Baiklah Raden Ayu" berkata Pangeran Yuda kusuma "Aku akan melihat keadaan di istana Pangeran Sindurata" "Silahkan Pangeran, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih" desis Raden Ayu Galihwarit "mungkin Pangeran sudah mengetahui sifat-sifat ayahanda. Ia cepat menjadi marah. Demikian pula menghadapi kedua orang kumpeni itu" Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia me mang mengenal sifat-sifat Pangeran Sindurata. Justru karena sifat-sifatnya itu ia seolah-olah tidak pernah mendapat
tugas-tugas penting meskipun ia di masa mudanya adalah seorang prajurit yang mumpuni. Namun pada usianya yang semakin tua, ia tidak dapat menjadi Senapati yang baik, karena ia terlalu cepat dipengaruhi oleh luapan ke marahannya, sehingga ia bukannya seorang yang dapat menguasai diri. "Silahkan Raden Ayu mendahului" berkata Yudakusuma "Aku a kan segera datang" "Tetapi aku takut Pangeran" jawab Raden Ayu itu. "Apa yang Raden Ayu takutkan?" bertanya Pangeran Yudakusuma. "Kumpeni. Mereka a kan me mperguna kan wewenang mereka. Bukan lagi berlandaskan pada keadilan" jawab Raden Ayu. "Aku akan datang" Pangeran Yudakusuma menegaskan. Raden Ayu Galihwarit termangu-ma ngu sejenak. Na mun iapun ke mudian berkata "Baiklah Pangeran. Jika Pangeran menghenda ki aku me ndahului a ku akan mendahului" "Silahkan" jawab Pangeran Yudakusuma. Raden Ayu itupun kemudian mohon diri. Dengan kereta yang dipergunakannya di saat ia pergi ke istana itu. iapun ke mudian ke mbali ke istana ayahandanya. Ternyata Pangeran Yudakusuma pun bertindak cepat, la tahu. bahwa kumpeni yang datang ke istana Pangeran Sindurata untuk mene mui Raden Ayu Galihwarit itu tentu para perwira. Dan ke matian dua orang perwira kumpeni di Surakarta tentu akan dapat menimbulkan persoalan yang perlu di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Karena itu, demikian Raden Ayu itu sampai di rumahnya dan me mberitahukan segala sesuatunya yang dibicarakannya Pangeran
Pendekar Latah 2 Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Pedang Bayangan Panji Sakti 5
^