Pencarian

Bunga Di Batu Karang 7

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 7


diri untuk meningga lkan istana ini. Tetapi Ki Dipanala tidak. Ia masih tetap saja berkeliaran setiap hari" Namun hal itu agaknya telah me matangkan rencananya untuk me lenyapkan saja Ki Dipanala itu. Untuk mela kukan hal itu Raden Ayu Galihwarit sa ma sekali tidak berbicara lebih dahulu dengan sua minya. Ia tidak ingin Pangeran Ranakusutna bertanya kepadanya, dan mendesaknya, kenapa hal itu dilakukannya. Karena itu, maka satu-satunya orang yang dibawanya berbicara adalah anak la ki-lakinya, Raden Rudira. Tetapi ternyata bahwa Raden Rudirapun bertanya kepada ibunya "Kenapa orang itu harus dilenyapkan ibu?" "Ia sangat berbahaya bagi kita Rudira" "Ya, tetapi kenapa" Aku sudah lama merasakan bisa ludahnya. Seakan-akan ayahanda tidak dapat ingkar a kan kata-katanya" Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Aku tidak tahu Rudira. Mungkin ada rahasia yang tersimpan antara ayahandamu dan Ki Dipanala. Tetapi yang pasti, kehadirannya sangat merugikan aku dan terutama kau. Jika orang itu dilenyapkan, ma ka banyak hal yang dapat kau kerjakan tanpa gangguan. Sebab sebenarnyalah jika ayahanda berkeberatan tentang apa pun juga, asalnya dari mulut Dipanala itu pula"
Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku dapat me mbunuhnya bersama Mandra"
Guma mnya Raden Ayu Galihwarit me mandanginya sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Mungkin kau dan Mandra dapat me lakukannya Rudira. Tetapi sebaiknya bukan kau tangani sendiri. Semula aku juga ragu-ragu. Apakah kau sendiri bersama Mandra atau orang lain. Tetapi jika gagal karena sesuatu sebab, maka kau tidak akan dapat ingkar lagi bahwa kau sudah berusaha me mbunuhnya" "Tetapi jika orang lain ibunda" jawab Rudira "persoalannya hampir sa ma saja. Jika ia tertangkap, maka ia akan berceritera tentang kita, bahwa kitalah yang telah menyuruhnya me mbunuh Ki Dipanala" "Amat-a mati dari kejauhan. Jika ia gaga l, kau dapat menyelesaikannya. Bukankah kau pandai berburu" "Maksud ibu, aku harus me mbunuh Dipanala dengan panah?" "Jika mungkin. Jika tidak, maka orang-orang yang harus me mbunuh Dipana la itulah yang harus kau bunuh?" Raden Rudira mengangguk-angguk. la sadar, bahwa dengan demikian mereka akan menghilangkan jejak. Karena itu, sambil mengangguk-angguk ia berkata "Aku mengerti ibu, tetapi apakah ayahanda sudah mengetahui rencana ini?" "Aku tidak usah mohon kepada ayahandamu. Sebenarnya ayahandamu juga berniat de mikian. Tetapi karena ada semaca m hubungan yang sudah terla mpau la ma terjalin, maka ayahandamu tidak akan sa mpai hati me lakukannya. Namun jika Dipanala itu masih saja berada di istana ini, ia akan menjadi iblis yang paling jahat" Raden Rudira masih mengangguk-angguk. Katanya ke mudian "Jadi, aku harus mencari orang yang ma mpu me lakukannya dan dapat dipercaya"
"Ya" Raden Rudira menarik nafas dala m-dala m. Sejenak ke mudian ia berkata "Aku akan berbicara dengan Mandra. Mungkin ia dapat mene mukan orangnya. Tentu tidak hanya seorang Ki Dipana la adalah bekas seorang prajurit. Tentu ia me miliki ke ma mpuan untuk berkelahi. Mungkin Mandra harus menyiapkan tiga atau e mpat orang yang yakin a kan dapat me mbunuh Dipana la itu" Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Katanya ke mudian "Kita sudah mulai. Kita tidak boleh berhenti sa mpai di tengah. Jika Dipanala sudah tersingkir, akan datang giliran Juwiring sehingga ia tidak akan dapat lagi menuntut hak atas warisan ayahandamu. Tetapi selama Dipanala masih ada, semuanya itu pasti akan dihalanginya" Rudira mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah ibu, serahkan semuanya kepadaku. Aku dan Mandra akan menyelesaikan sebaik-ba iknya, meskipun barangkali aku me merlukan uang yang cukup untuk mengupah orang-orang yang akan melakukan pe mbunuhan itu" "Jangan cemas" sahut ibunya "Aku akan menyediakan uang berapa saja yang kau perlukan" Rudira termenung sejenak. Ke mudian iapun minta diri kepada ibunya untuk mene mui Mandra. "Kau harus secepatnya mengatakan kepadaku jika kau sudah mendapatkan orang itu" pesan ibunya. "Baik ibu. Aku akan segera me mberitahukan" Demikianlah Rudira pergi mene mui Mandra tanpa orang lain yang mendengar percakapan mereka. Meskipun sebenarnya bagi Rudira, Mandra yang sekarang ini masih belum sebaik Sura sebelum ia berkhianat, namun agaknya orang inipun cukup me madai juga. "Kenapa bukan aku sendiri?" bertanya Mandra.
"Kau sudah cukup dikenal, bahwa kau adalah pengiringku. Aku juga sudah minta kepada ibunda, karena bukan aku dan kau. Tetapi ibunda ragu-ragu. Dan ibunda me mutuskan untuk menga mbil orang lain, tetapi di bawah pengawasan kita" lalu diceriterakannya apa yang harus dilakukan seandainya usaha itu mengala mi kegagalan. "Tida k mungkin gagal" berkata Mandra "meskipun Dipanala seorang bekas prajurit tetapi ia menjadi se makin tua. Kema mpuannya tidak lagi berkembang, justru menurun karena ia tidak berusaha me malangkan pelepasan tenaga cadangan" "Tetapi bagaimanapun juga ia cukup berbahaya" "Baiklah. Aku akan me ncari liga atau e mpat orang yang sama seka li belum dikenal" "Ya. Kita akan mengatur segala sesuatunya. Ayahanda atau ibunda akan menyuruh Ki Dipana la pergi ke Jati Aking untuk menya mpaikan sesuatu kepada ka mas Juwiring. Pada saat itulah, Ki Dipanala harus dibinasakan" Mandra mengangguk-angguk. "Kau harus menyiapkan orang itu di bulak Jati Sari. Lebiti baik jika kau beri paka ian kepada mereka seperti petani dari Sukawati itu. Jika mungkin seseorang melihat meskipun dari kejauhan, ma ka ia akan dapat mengatakannya" "Lebih baik kita lakukan di mala m hari" "Tentu, Tetapi ada ka lanya di ma la m hari orang pergi ke sawah me lihat a ir" Mandra mengangguk-angguk pula. Katanya "Baik, baik. Aku akan me lakukan dengan cermat. Tetapi tentu dengan kerja sama yang baik dengan ibunda Raden Rudira supaya waktu yang ditentukan itu tidak me leset"
"Tentu. Pada saatnya kita akan menyusun rencana seba ikbaiknya" Dengan demikian, maka di luar pengetahuan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan anak laki-lakinya sedang menyusun rencana untuk membunuh Dipana la, orang yang dianggap paling berbahaya baginya. Akhirnya Mandra dan Rudira menemukan juga orang yang dapat dipercayanya untuk melakukan tugas itu. Mereka adalah kawan-kawan Mandra yang hidup da la m dunia yang gelap, sebagai orang yang mendapatkan nafkahnya dengan cara yang dikutuk oleh sesama. "Tetapi kau harus mereka. berhasil" berkata Mandra kepada
Salah seorang dari mereka tertawa. Katanya "Pekerjaan itu sama sekali bukan pe kerjaan yang sulit bagi ka mi. Me mbunuh Dipanala apa kah sukarnya?" "Jangan berkata begitu" sahut Mandra "kadang-kadang ada masalah lain yang berada di luar perhitungan" "Jangan cemas. Pokoknya ka mi a kan me mbunuhnya, dan kami harus mendapat upah seperti yang ka mi minta" "Aku sudah menyanggupi. Tetapi jika gagal, kalian harus me larikan diri. Jangan sampai ada di antara kalian yang tertangkap hidup dan mengatakah, bahwa akulah yang menyuruh kalian me lakukan pe mbunuhan itu" "Ka mi bukan anak-anak mengatakan pesan itu?" lagi. Kenapa ka lian harus
"Jangan sombong. Kele mahanmu justru karena kau terlampau sombong. Aku tahu, bahwa kau me miliki ke ma mpuan. Tetapi yang kau hadapi jangan kau anggap ringan, agar kau tida k terjerumus da la m kegagalan"
"Kau terlalu banyak bicara. Nah, beritahukan waktunya, kapan ka mi harus mencegatnya di bulak Jati Sari" "Ka mi akan me ngatur sebaik-ba iknya" Demikianlah, maka se muanya segera diatur serapi-rapinya. Raden Ayu Galihwarit berusaha untuk mengetahui dengan pasti, kapan Ki Dipanala a kan pergi ke Jati A king. "Sudah la ma kita tidak mengirimkan perbekalan bagi Juwiring" berkata Raden Ayu Galihwarit. Pangeran Ranakusuma menjadi heran. Biasanya Galihwarit tidak pernah me mpersoalkan perbekalan bagi Juwiring yang tinggal di Jati Aking. Tetapi tiba-tiba kali ini ia me mpersoalkannya. "Siapakah yang a kan pergi mengirimkan perbekalan?" bertanya Pangeran Ranakusuma yang mula i curiga, bahwa kesempatan ini akan dipergunakan oleh Raden Rudira, karena menurut keterangan yang didengarnya Rudira telah tertarik pada gadis padepokan Jati Aking yang bernama Arum, yang me mbuat Rudira dan Juwiring, dua orang saudara seayah, menjadi se makin renggang. Tetapi jawaban Raden Ayu Galihwarit ternyata tidak diduganya sama se kali "Bukankah biasanya Ki Dipanala juga yang me mbawanya ke Jati A king?" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Ternyata ia terlampau berprasangka terhadap isteri dan anaknya. Isteri yang justru paling berpengaruh atasnya. "Baiklah" berkata Pangeran Ranakusuma "biarlah dipersiapkan perbe kalan bagi Juwiring. Biarlah Ki Dipanala me mbawanya ke Jati Aking" "Se muanya sudah siap. Tentu kita tidak usah mengirimkan beras, karena Jati Sari adalah lumbung beras yang subur"
"Apakah aku pernah mengirimkan beras ke Jati Aking?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Tida k. Me mang tidak. Maksudku, biarlah Ki Dipanala me mbawa beberapa le mbar kain dan uang. Ki Danatirta tentu me merlukan uang untuk me mbeayai padepokannya. Mungkin beberapa lembar juga untuk gadis itu" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Akhirnya isterinya menyebut gadis itu juga. Na mun dengan demikian Raden Ayu Galihwarit telah menghilangkan kecurigaan Pangeran Ranakusuma, tentang hal yang lain-la in. Menurut dugaannya, Raden Ayu Galihwarit sedang menga mbil hati gadis itu. yang dengan perlahan-lahan akan dipancing ke rumah ini. Tentu saja bagi Raden Rudira. Tetapi Pangeran Ranakusuma tida k berkeberatan dengan cara itu. Asal Rudira tidak me lakukan kekerasan dan mera mpas gadis itu dari padepokan Kiai Danatirta. Jika dengan cara itu, Arum berhasil dia mbil masuk ke istana Ranakusuman dan tidak menumbuhkan persoalan apapun dengan Kiai Danatirta, maka Pangeran Ranakusuma tidak akan mencegahnya. "Mungkin Danatirta me mang perlu disumbat mulutnya dengan uang atau Barang-barang lainnya, sehingga ia tidak berkeberatan. melepaskan anaknya. Sedang gadis itu sendiri tidak akan banyak menimbulkan persoalan apabila ayahnya sudah menyerahkannya" berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya. Karena bagi beberapa orang bangsawan hal serupa itu bukannya hal yang baru pertama kali a kan terjadi. "Bahkan kadang-kadang jika seorang gadis sudah mengandung, maka diserahkannya gadis itu kepada abdinya sebagai triman untuk mendapat pengesahan perkawinan. Ternyata Pangeran Ranakusuma sa ma sekali t idak menduga, bahwa saat yang ditentukan untuk mengutus Ki Dipanala ke Jati Aking itu menjadi perhatian Raden Rudira dan Mandra. Merekapun segera menyiapkan segala sesuatunya.
Orang-orang yang ditugaskannya untuk me mbunuh Dipanala itupun sudah diberitahukannya. "Jika kalian bere mpat gagal, maka hancurlah se mua rencana. Kalianpun akan digantung karena kalian berusaha me mbunuh seseorang jika kalian tertangkap" Salah seorang dari orang-orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya "Kau me mang banyak bicara Mandra" "Kaulah yang terlampau sombong" jawab Mandra "Kau tahu bahwa aku dapat membunuh orang seperti kau dengan mudah. Tetapi aku tida k menganggap pekerjaan ini terla mpau ringan" Orang itu masih tertawa. Namun katanya "Baiklah. Aku akan bertindak hati-hati seka li" "Jangan lupa. pakai pakaian seperti yang aku katakan" "Agar ujud ka mi tidak seperti perompok. Tetapi seperti petani biasa, begitu maksudmu?" "Sebagian begitu" "Tetapi bagimu sebenarnya lebih aman jika kami berpakaian seperti yang kami paka i. Justru kami akan me mpertegas bentuk kami sebagai perampok. Orang-orang akan mengatakan, jika ada. yang melihat, bahwa Ki Dipanala telah dira mpok orang. Dan habis perkara" Mandra mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ada niat lain pada Raden Rudira. Ia ingin me mberikan kesan, bahwa petani perantau yang mengaku dari Sukawati itu dan kawankawannya ternyata telah merampok Dipanala pula di bulak Jati Sari. Demikianlah se muanya sudah ditentukan. Tetapi ternyata sangat sulitlah bagi Raden Ayu Galihwarit untuk me maksakan keinginannya agar Ki Dipanala dapat pergi ke Jati Aking di
ma la m hari. Yang dapal diusahakan hanyalah me mperla mbat persiapan agar Dipanala berangkat di sore hari. "Tunggulah sebentar" berkata Raden Ayu Galihwarit ketika Dipanala mohon diri kepada Pangeran Ranakusuma untuk berangkat ke Jati Aking "Aku masih me mpunyai sele mbar kain lurik yang halus untuk anak Danatirta itu" "Pe mberian Pangeran Ranakusuma sudah banyak kali ini Raden Ayu" berkata Ki Dipanala. terlampau
"Aku sudah menyediakannya, dan aku ingin me mberikan kepadanya" Ki Dipanala tidak dapat menola k lagi. lapun terpaksa menunggu beberapa saat ketika Raden Ayu Galihwarit masih berpura-pura mencarinya. "Aku sudah menyediakannya. Aku simpan kain itu baikbaik. Tetapi karena itu aku justru lupa. dimana aku menyimpannya" Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dalam-da la m, sedang Pangeran Ranakusumapun tidak dapat berbuat apaapa. Ia tahu, bahwa isterinya akan menjadi sangat kecewa jika ka in yang sudah la ma disedia kan itu tidak dapat dibawa serta. Meskipun demikian ketika Raden Ayu Galihwarit terlalu la ma belum juga dapat mene mukannya, Pangeran Ranakusuma berkata "Biarlah lain kali Dipana la me mbawanya. Ia masih a kan pergi lagi ke Jati Aking" "Tida k. Tidak untuk lain kali. Tetapi aku ingin kain itu segera sampai ke tangan gadis itu" Ketika kain yang dicari itu ketemu, ma ka matahari sudah mulai condong ke Barat. Sejenak Raden Ayu Galihwarit me mberikan beberapa pesan agar disa mpaikan kepada Kiai Danatirta.
"Katakan kepadanya" berkata Raden Ayu Galihwarit "Aku sama sekali tidak me mpunyai maksud apa-apa. Persoalannya lepas sama se kali dengan persoalan yang pernah timbul karena tingkah Rudira. Aku benar-benar ingin me mberikan sesuatu tanpa pamrih apapun juga" "Baik Raden Ayu. Biarlah ha mba sa mpaikan kepada Kiai Danatirta dan kepada anak gadis itu sendiri" "Dan pesanku kepada Juwiring" berkata Raden Ayu Galihwarit "Ia berada di padepokan Jati Aking untuk me mpe lajari ilmu kajiwan dan kesusasteraan. Jangan terlampau banyak me mbuang waktunya untuk belajar bertani. Itu tidak penting baginya kelak. Jika ternyata kita melihat hasil yang baik, maka pada saatnya Juwiring ke mbali ke istana ini, Rudiralah yang akan me mpe lajari ilmu yang serupa" Ki Dipana la dan Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan, seakanakan mereka mendapat kesan yang sama, bahwa sebenarnya Raden Ayu Galihwarit me mang ingin me misahkan Juwiring dari Arum dan me mberikan kesempatan kepada Raden Rudira, meskipun cara yang dipakainya adalah cara yang tampaknya wajar sekali, bahkan terlalu baik terhadap anak tirinya.
Demikianlah mereka berbicara beberapa saat la manya. Kemudian Ki Dipanalapun minta diri kepada kedua sua mi isteri itu. "Ha mba akan sa mpa i di Jati Aking senja hari Pangeran" berkata Dipanala. "Kau akan bermala m?" "Ya. Hamba me mang sering berma la m di padepokan itu" "Baiklah" "Tetapi, masih ada satu yang terlupa" berkata Raden Ayu Galihwarit "Aku masih me mpunyai sesuatu buat anak-anakmu" "O, terima kasih. Ha mba akan langsung berangkat ke Jati Aking. Besok jika ha mba ke mbali, ha mba akan menghadap lagi" "Ah, kau. Jangan terlalu malas. Bukankah kau dapat me lintas hala man belakang dan lewat pintu butulan sejenak menyerahkannya kepada anak-anakmu" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Tetapi iapun mengangguk sa mbil menjawab "Ha mba mengucapkan beribu terima kasih" Maka dengan demikian sebelum berangkat Ki Dipanala masih harus pulang sejenak, untuk me nyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada anak-anaknya. "O, jadi ayah belum berangkat?" bertanya anaknya yang kebetulan ada di hala man. "Segera akan berangkat. Simpanlah" "Apakah ini ayah?" "Nanti kau akan tahu. Ayah akan segera berangkat" "Apakah aku boleh me mbukanya" "Bukalah di da la m rumah. Ayah tergesa-gesa sekali"
"Dima nakah ayah me mbeli ini?" "Bukan ayah yang me mbeli. Tetapi itu adalah hadiah dari Raden Ayu Galihwarit" "O, hadiah dari Raden Ayu Galihwarit" anaknyapun ke mudian berlari mengha mbur masuk ke dala m rumah untuk segera mengetahui isi bingkisan kecil itu. Ki Dipanalapun ke mudian dengan tergesa-gesa kembali ke istana Ranakusuman untuk seka li lagi mohon diri dan me mberitahukan bahwa hadiah itu sudah diserahkannya kepada anak-anaknya. Ketika kudanya mulai berlari di luar regol istana Ranakusuman Ki Dipanala menengadahkan wajahnya kelangit. Matahari sudah semakin condong. Karena itu maka katanya di dalam hati "Aku a kan sa mpai ke Jati Aking sesudah padepokan itu menjadi gelap. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan kakang Danatirta" Sekali Ki Dipanala berpaling. Dia matinya sebungkus kain dibagian be lakang kudanya. Kemudian dirabanya sebuah kampil kulit yang diikatkan di la mbung kuda itu pula. Di dala m kampil itu disimpannya uang yang harus diserahkannya kepada Kia i Danatirta. "Banyak sekali yang harus aku bawa kali ini" berkata Ki Dipanala di dala m hati. Sebenarnya ia merasa heran, kenapa tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menjadi begitu baik terhadapnya. Masih terasa tali-tali yang mengikatnya pada sebatang pohon sawo ketika Raden Rudira menjadi sangat marah kepadanya. Hampir saja ia menjadi pengewan-ewan. Dan sekarang, tiba-tiba anak-anaknyapun telah menerima hadiah dari Raden Ayu yang garang itu. Tetapi Ki Dipanala sa ma sekali t idak me ngerti bahwa jumlah Barang-barang dan uang yang dibawanya adalah jumlah yang dijanjikan oleh Raden Rudira kepada kee mpat kawan-kawan Mandra. Jika mereka dapat membunuh Dipanala
maka apa yang dibawanya dapat diambilnya. Uang dan Barang-barang yang sebelumnya sudah disetujui jumlahnya. Bagi Ki Dipanala, Raden Ayu Sontrang itu sedang berusaha untuk me mbujuk secara halus, agar Arum akhirnya dapat juga dia mbil ke istana bagi Raden Rudira. Tidak lebih dari dugaan itu. Meskipun dugaan itu sudah cukup me mbuatnya berkeluh kesah. "Apakah yang dapat aku katakan kepada kakang Danatirta jika iapun menaruh curiga pula?" Ki Dipanala bertanya kepada diri sendiri. Tetapi Ki Dipana lapun ke mudian mengge lengkan kepalanya. Dipacunya kudanya semakin cepat. Seleret teringat pula olehnya bulak Jati Sari yang panjang itu. "Jika ada seseorang yang mengetahui aku me mbawa barang-barang dan uang, ada juga bahayanya bulak panjang di Jati Sari itu" katanya di dalam hati. Tetapi bagi Ki Dipanala, hal itu tidak begitu dihiraukannya meskipun se kali-se kali ia menyentuh hulu keris yang diselipkan di la mbungnya. Demikianlah kuda itu berpacu semakin la ma seakan-akan menjadi sema kin cepat. Apalagi ketika Ki Dipana la sudah meninggalkan pintu gerbang kota. Kudanya berlari seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Di perjalanan Ki Dipanala seakan-akan tida k berhenti sa ma sekali untuk beristirahat. Hanya jika kudanya terasa terlalu lelah berlari, maka dikuranginya kecepatannya sedikit, dan sekali diberinya kesempatan kudanya minum beberapa teguk air jernih dari parit di pinggir jalan yang dilaluinya. Meskipun demikian, maka seperti yang sudah diperhitungkan bahwa ketika ia mulai me masuki daerah Jati Sari, ma ka gelap mala mpun mulai turun perlahan-lahan.
Tetapi jaraknya sudah tidak terlampau jauh lagi. Ki Dipanalapun mulai merasa tenteram, bahwa ia akan dapat menya mpaikan Barang-barang itu kepada yang berhak. Dala m kere mangan mala m yang semakin temara m Ki Dipanala me mandang bulak Jati Sari yang panjang. Di ujung bulak itu terletak salah satu desa kecil dari kelompok pedukuhan Jati Sari. Dan di seberang bulak se mpit berikutnya terletak padepokan kecil Jati Aking. Sementara itu, disebuah batu ditanggul parit yang me mbujur di sepanjang bula k itu duduk seseorang yang berpakaian seperti pakaian seorang petani. Tetapi dengan kain yang membe lit la mbung dan sebuah tutup kepala bambu yang lebar, agaknya petani itu baru saja mene mpuh sebuah perjalanan yang jauh. Ia telah duduk diatas balu itu sejak senja mulai turun. Sekali-seka li ia mengedarkan pandangan matanya ke daerah di sekitarnya. Sawah yang terbentang luas. Batang-batang padi yang hijau segar. Satu dua masih dilihatnya beberapa orang berjalan pulang kedesanya masing-masing yang terpencar di sekitar bulak yang luas itu. "Tentu ada di antara mereka yang sudah melihat aku duduk disini" berkata petani itu di dala m hatinya. Dan iapun tetap duduk saja Di te mpatnya ketika seorang petani Jati Sari lewat di ja lan di hadapannya" Petani Jati Sari itupun tidak berhenti dan tidak menyapanya. Ia belum mengena l orang itu. Ia hanya dapat menduga bahwa orang itu adalah seseorang yang sedang beristirahat setelah lelah berja lan. Dan karena petani yang sedang beristirahat itu tidak mengatakan apa-apa, ma ka menurut pendapatnya, ia me mang tidak me merlukan bantuan apapun juga. Namun ketika senja menjadi gelap, ternyata bahwa petani itu tidak hanya seorang diri. Ternyata dua orang lainnya telah
menyusulnya dan ke mudian duduk di pe matang, terlindung oleh batang batang padi, dan seorang lagi duduk di seberang jalan, sehingga jumlah mere ka se muanya adalah e mpat orang. "Apakah orang itu justru sudah lewat?" bertanya salah seorang dari antara mereka kepada kawannya. Petani yang bertudung lebar dan duduk diatas batu itulah yang menyahut "Aku berada di sini sejak senja. Ia belum lewat" Kawannya menarik nafas. Katanya "Jika kita terlambat, kita harus mene mpuh ja lan lain" "Apa?" bertanya kawannya. "Mendatangi padepokan itu" "Gila. Kau sangka di padepokan itu tida k ada orang lain?" "Cantrik-cantrik maksudmu" Yang biasanya hanya menyabit rumput" Mereka sa ma sekali tida k berarti" "Raden Juwiring?" "Ah, kita buat ia pingsan dengan sebuah pukulan di tengkuk. Ke mudian kita bunuh Dipanala. Kita ra mpas ke mba li semua Barang-barang dan uang yang sudah diserahkan kepada Danatirta. Dan jika ada, justru kekayaan padepokan itu dapat kita bawa sa ma sekali" "Kau me mang gila" Percakapan itu tiba-tiba terhenti ketika mereka mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Sejenak mereka mengangkat kepala untuk mendengarnya. Ketika mereka sudah pasti, maka orang yang berpakaian petani itu berkata "Berse mbunyilah. Aku akan menghentikannya" Yang lainpun segera bersembunyi rapat-rapat. Mereka berjongkok di dala m lumpur berlindung batang-batang padi.
Gelap mala m yang se makin bura m telah menyembunyikan orang-orang itu se makin rapat. Sejenak ke mudian derap kaki-kaki kuda itu me njadi semakin dekat. Meskipun sudah menjadi pekerjaan dan kebiasaan mereka mera mpok dan menyamun, na mun ka li ini keempat orang itu masih juga berdebar-debar, karena yang bakal mereka hadapi adalah Ki Dipanala. "Ia sudah semakin tua" desis salah seorang dari mereka tanpa disadari. "Kenapa?" bertanya kawannya. "Ia tidak akan dapat apa-apa untuk me mbela dirinya" "Kau takut?" "Tida k. Sebaliknya. Kenapa kita harus menyembunyikan diri dan menyergap dengan tiba-tiba" Kawannya me mandanginya sejenak. Namun tiba-tiba kawannya itu tersenyum sambil berbisik "Kau berdebar-debar. Jangan ingkar. Aku juga" "Ah" Tetapi ia tidak menyahut. Derap kuda itu terdengar semakin keras seperti detak jantungnya yang menjadi sema kin berdentangan di dala m dadanya. Me mang terasa aneh sekali, bahwa kedatangan orang setua Dipanala masih juga mendebarkan jantung. Apalagi mereka bere mpat, yang selama ini telah menyimpan banyak sekali pengala man bagaimana mereka harus melayani orangorang yang akan disa munnya. Dala m kere mangan ma la m yang menjadi se ma kin gelap, orang yang duduk diatas batu itu masih juga melihat seekor kuda yang tegar berlari. Se makin la ma se makin de kat. Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dilepaskan tudungnya yang lebar serta dila mba ikannya sebagai suatu isyarat.
Bukan saja kuda yang berlari itulah yang agak terkejut karenanya, tetapi Dipanala juga terkejut karena tiba-tiba saja orang yang semula duduk dia m itu meloncat ketengah-tengah jalan yang dilaluinya. Dengan serta-merta Ki Dipanala menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berdiri tegak sa mbil meringkik. Tetapi sesaat kemudian kuda itu sudah dapat dikuasainya dan menjadi tenang ke mbali. "Ki Sanak" berkata orang yang berpakaian petani dengan tudung yang besar itu "Apakah Ki Sanak akan pergi ke Jati Aking?" Ki Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu iapun bertanya "Siapakah kau?" "Aku petani dari Sukawati. " "He?" Ki Dipanala menjadi ragu-ragu. Dicobanya menga mati wajah orang itu. Ia belum pernah mengenal orang yang berdiri di tengah jalan itu. Meskipun wajahnya yang samar di bawah bayangan kege lapan, namun Ki Dipanala pasti, bahwa ia belum pernah me lihat orang itu. Namun na ma petani dari Sukawati seperti yang pernah didengarnya me mbuat hatinya menjadi berdebar-debar. Nama itu menurut pendengarannya me mpunyai arti yang tersendiri. Sebagai bekas seorang prajurit Ki Dipanala me mpunyai naluri yang taja m dala m menghadapi persoalan-persoalan yang meragukannya. Karena itu, sebelum ia berbuat sesuatu, maka iapun me mandang ke sekitatnya tanpa disengajanya. "He, kenapa kau tida k turun dari kuda?". berkata orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu. "Apakah maksudmu Dipanala. menghentikan aku?" bertanya Ki
"Turunlah. Kita akan berbicara. Aku me mpunyai beberapa pesan yang harus kau sa mpaikan kepada Juwiring" Ki Dipanala menjadi se makin ragu-ragu. Sejenak ia seakanakan me mbeku diatas punggung kudanya. "Turunlah " Hampir saja Ki Dipanala me loncat turun, jika tangannya tidak menyentuh ka mpil uang yang diikat di la mbung kuda itu, serta beberapa macam barang yang harus diberikannya kepada Juwiring, Kia i Danatirta dan Arum. "Turunlah " "Katakanlah pesan itu" berkata Ki Dipana la ke mudian "Aku akan segera melanjutkan perjalanan" "Turunlah. Kau harus berbuat sopan terhadapku" "Siapa kau sebenarnya?" "Petani dari Sukawati" Sekali lagi jantung Ki Dipanala dija mah oleh kebimbangan yang sangat. Tetapi ia masih tetap bertahan duduk diatas kudanya sambil menjawab "Kenapa aku harus turun dari kuda jika a ku berhadapan dengan seorang petani meskipun dari Sukawati?" "Kau belum pernah mendengar siapakah petani dari Sukawati itu?" Ki Dipana la mengge leng "Aku belum pernah mendengar" "Aku adalah Pangeran Mangkubumi" "Bohong" tiba-tiba Ki Dipana la berteriak. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan bahaya. Katanya "Pangeran Mangkubumi yang berpakaian petani tidak a kan berkata bahwa inilah Pangeran Mangkubumi. Apakah arti pakaian petani baginya jika ia masih menyebut dirinya Pangeran Mangkubumi"
Namun ternyata penyamun itu masih dapat menjawab dengan tenang "Kepada orang lain aku tidak me mperkenalkan diriku yang sebenarnya. Tetapi karena aku me mpunyai kepentingan dengan, kau dan Juwiring, maka aku mengatakan siapakah aku. Bukankah Juwiring sudah mengetahui bahwa petani di Sukawati itu sebenarnya adalah Pangeran Mangkubumi?" Tetapi Ki Dipanala masih juga menjawab dengan keyakinan "Jika benar kau Pangeran Mangkubumi, kau tidak akan menunggu aku lewat, karena kau tidak tahu bahwa a ku lewat" "Kau lupa bahwa aku me mpunyai aji Sapta Pa meling dan Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapta Pangrasa. Aku tahu bahwa kau akan lewat dan karena itu a ku menunggumu di sini" "Sekali lagi kau berbuat kesalahan. Jika kau me mpunyai aji Sapta Pameling, maka kau t idak me merlukan aku untuk menya mpaikan pesanmu kepada Raden Juwiring. Kau dapat duduk di sini dan me manggil Raden Juwiring menghadap dengan aji Sapta Pa me lingmu" Orang yang menga ku petani dari Sukawati itu dia m sejenak. Namun ke mudian sa mbil menggeretakkan giginya ia berkata "Turun dari kuda mu. Aku tidak peduli apakah kau percaya tentang aku atau tidak" "Katakan, apa maksudmu" jawab Ki Dipanala tegas. "Turun dahulu, sebelum aku menyeretmu" "Aku tida k akan turun" Orang itu menggeram. Selangkah ia maju, namun Ki Dipanalapun segera me mpersiapkan dirinya menghadapi setiap ke mungkinan yang baka l terjadi. Kini ia benar-benar harus berbuat sesuatu untuk me mpertahankan tugasnya, dan sudah barang tentu me mpertahankan hidupnya.
Sejenak kemudian, petani itu berdiri tegak. Tetapi ia tidak mau kehilangan korbannya. Jika kuda itu meloncat dan berlari, maka akan lepaslah ia dari tangannya. Karena itu selagi hal itu belum terjadi ma ka iapun segera me mberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Dada Ki Dipana la menjadi berdebar-debar. Ia benarbenar berhadapan dengan empat orang penyamun. Namun de mikian timbul juga pertanyaan di dala m hati "Darimana orang ini mengetahui beberapa masalah me ngenai Petani dari Sukawati, Raden Juwiring dan bahwa aku akan lewat membawa Barang-barang dan uang bagi padepokan Jati A king. Sekilas me mang terlintas di dala m benaknya, bahwa di istana Ranakusuman banyak terdapat orang yang tidak menyuka inya. Orang-orang yang menjilat dan bahkan Pangeran Ranakusuma berdua. Apalagi Raden Rudira dan orang-orang yang berdiri di be lakangnya. Salah seorang dari mereka dapat saja berhubungan dengan para penyamun dan me mberitahukan bahwa ia me mbawa Barang-barang berharga ke Jati Aking. Tetapi di saat yang gawat itu ia tidak dapat sekedar mencari-cari, siapakah yang telah berbuat jahat dan berkhianat atasnya itu. Yang harus dilakukannya adalah me mpertahankan barang-barang yang menjadi tanggung jawabnya. -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 06 "MENYERAHLAH" berkata orang yang se mula me ngaku petani dari Sukawati itu "Kau me mang me mpunyai pandangan yang tajam. Kau tidak segera percaya bahwa aku adalah petani dari Sukawati itu" Ki Dipana la sa ma sekali t idak me njawab. "Nah, menyerahlah. Kami akan me mperlakukan kau sebaikbaiknya" Berkata orang itu pula "serahkan se mua Barangbarang yang akan kau bawa ke Jati Aking" Ki Dipana la masih tetap berdia m diri. "Kau hanya seorang diri. Kau tidak akan dapat mengharapkan bantuan siapapun juga di sini. Aku me mang masih melihat, seorang dua orang lewat sebelum kau, Jika sekarang masih ada juga yang melihat kita berdiri di sini, mereka t idak a kan berani berbuat apapun juga " "Aku tidak mengharap siapapun juga" desis Ki Dipanala "Aku percaya kepada diriku sendiri"
"Omong kosong" Orang yang mengaku petani, dari Sukawati itu tertawa "suaramu bergetar. Kau sedang ketakutan" "Aku adalah lekas seorang prajurit. Adalah suatu anugerah bahwa aku masih tetap hidup setelah tugasku selesai. Dengan demikian maka mati bagiku bukan lagi bayangan yang menakutkan. Tetapi mungkin bagi ka lian, karena selama hidup kalian, ka lian se lalu berbuat dosa, sehingga mat i adalah a khir yang paling mengerikan bagi kalian, kalian akan sengsara di akhirat" "Tutup mulut" bentak penyamun itu "Jangan menakutnakuti aku dengan kepercayaan tahyul semaca m itu. Tidak seorang pun yang dapat berbicara tentang mati. Tidak ada kehidupan setelah mati itu" "Jika benar demikian, kenapa aku takut mati?" potong Dipanala "Apalagi aku percaya bahwa ada kehidupan akhirat yang abadi dan surga yang dijanjikan bagi mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Suci dan tidak ada sekutu bagiNya, dan kepercayaan itulah yang me mbuat aku se ma kin tidak takut kepada mati" "Persetan" sahut penyamun itu "Jika kau tidak takut kepada mati, maka kau akan takut menjelang saat-saat matimu, karena ka mi bere mpat dapat berbuat apa saja atasmu sebelum kau mati" "Aku tida k akan menyerahkan leherku untuk kau jerat" "Tetapi kau tidak a kan berdaya menghadapi ka mi berempat. Pilihlah. Menyerah, dan aku akan membunuhmu segera, atau kau akan melawan tetapi berakibat sangat buruk di saat menjelang mati" "Yang kedua. Tetapi tidak seluruhnya. Aku akan melawan dan me mbuat ka lian me nyesal sebelum kalian mati"
"Omong kosong" salah seorang dari para penyamun yang selama itu mengikuti pe mbicaraan menjadi sangat marah. Lalu "Kita terlalu banyak berbicara. Mari. kita seret dan kita bunuh segera" "Ya, sekarang" sahut yang lain. Ki Dipanala tida k menyahut. Tetapi tiba-tiba kerisnya telah digengga m tangannya. Hampir berbareng kee mpat orang itu menyerang. Na mun Ki Dipanala sudah bersiap meskipun ia masih diatas punggung kudanya. Tetapi ternyata bahwa kejutan-kejutan yang sengaja dilakukan oleh orang-orang itu, me mbuat kuda Ki Dipanala sukar dikendalikan sehingga kadang-kadang hampir saja ia kehilangan kesempatan untuk menghindar dan menangkis serangan-serangan yang mula i berdatangan. Karena itu, tidak ada cara lain daripadanya adalah turun dari kudanya. Ia sudah tidak melihat lagi ke mungkinan untuk mene mbus kepungan kee mpat orang itu, karena dua dari mereka berdiri di depan dan dua yang lain di belakang. sehingga ka li ini ia harus benar-benar berke lahi. "Tetapi tentu satu atau dua dari orang-orang ini akan me larikan kuda ku" berkata Ki Dipanala itu di da la m hati. Tetapi itu lebih baik bagi Ki Dipanala daripada dadanya ditembus ujung pedang. Katanya pula di dala m hati "Jika aku berlasil menangkap seorang saja dari keempatnya, maka aku akan dapat mendengar keterangannya dan mencari kuda serta muatannya ke mbali. Atas perhitungan itulah maka Ki Dipana lapun ke mudian me loncat turun dari kudanya. Dengan demikian ia justru merasa menjadi lebih lincah untuk melawan kee mpat orang yang mengeroyoknya.
Ternyata bahwa dugaannya tentang kudanya adalah keliru. Tidak seorangpun dari kee mpat orang itu menghiraukan kuda yang kemudian menepi dan seakan-a kan berdiri melihat apakah pemiliknya akan dapat mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Me mang tidak seorangpun dari kee mpat lawannya yang menghiraukan kuda itu. Tugas mereka tida k sekedar mera mpas Barang-barang yang dibawa oleh Ki Dipanala, tetapi me mbinasakannya. Itulah sebabnya maka yang penting bagi mereka justru ke matian Dipanala. Baru mereka akan menghitung uang dan Barang-barang yang ada padanya, apakah sesuai atau tidak dengan pe mbicaraan yang telah diadakan. Tetapi ternyata, meskipun Ki Dipanala sudah menjadi semakin tua, namun ia masih ma mpu bergerak secepat burung sikatan. Kakinya dengan ringan melontar-lontarkan tubuhnya dan kerisnyapun menya mbar-nyambar dengan dahsyatnya di antara kilatan keempat ujung pedang lawannya. Meskipun pedang lawan-lawannya jauh lebih panjang dari keris Ki Dipanala. na mun kecepatannya bergerak ma mpu mengimbangi kecepatan keempat ujung pedang yang lebih panjang itu. Demikianlah mereka segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Keempat orang penyamun itupun segera mengerahkan ke ma mpuan mereka untuk mengatasi kecepatan bergerak lawannya. Namun bagaimanapun juga, ternyata bahwa Ki Dipanala me mang tidak dapat mengimbangi kee mpat lawan-lawannya yang juga cukup berpengala man. Perlahan-lahan se ma kin jelas, bahwa tenaganya terpaksa harus diperasnya untuk me mpertahankan diri. Tetapi dengan demikian ma ka tenaga itupun menjadi cepat surut. Sejenak ke mudian, maka Ki Dipana lapun mulai terdesak. Ujung senjata lawannya seakan-akan telah mengurungnya,
sehingga ia tida k mendapat kese mpatan sama se kali untuk menyerang. Semakin la ma se makin terasa olehnya, bahwa senjatanya memang terla mpau pendek. Namun demikian tidak terkilas pada Ki Dipanala untuk menyerah. Ia harus bertahan atau menyelamatkan diri. Bukan karena ia takut mat i. Tetapi ia harus mendapat keterangan, apakah latar belakang dari penyamun ini. Sekedar Barangbarangnya, atau benar-benar suatu usaha pembunuhan atas dirinya. Jika sekedar perampokan, maka ia harus mendapat keterangan, siapakah yang sudah berkhianat dan me mberitahukan kepada para penyamun tentang keberangkatannya dan tentang Barang-barang yang dibawanya. Tetapi menilik tingkah la ku dan sikap kee mpat orang itu, maka perhatian perta ma dari mereka adalah ke matiannya. Dengan de mikian, maka Ki Dipanala kadang-kadang terpaksa mencari jalan untuk melepaskan diri dari kepungan itu. Namun ternyata ia bahwa kepungan itu cukup rapat, sehingga usahanya selalu sia-sia. Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi Ki Dipanala se lain berkelahi sejauh-jauh dapat dilakukan. Jika ia akhirnya harus mati, ma ka ia harus me mberikan bekas pada perkelahian itu. Lawannyapun harus ada yang mati pula bersa manya. Karena itu, maka perlawanan Ki Dipana la justru menjadi semakin sengit. Ia berkelahi dengan sepenuh tenaga yang ada padanya, meskipun tenaga itu sudah menjadi sema kin susut. Selagi Ki Dipanala tidak lagi dapat melepaskan diri dari kesulitan itu, ma ka tiba-tiba seseorang telah berlari-lari diatas pematang yang pendek. Dengan langkah yang ringan ia me loncati parit dan sejenak ke mudian ia sudah berdiri di pinggir jalan, di sebelah dari arena perke lahian itu. "Kenapa ka lian berkelahi di sini?" t iba-tiba saja ia bertanya lantang.
Keempat pera mpok itu menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka menjawab "Jangan hiraukan yang terjadi. Kami adalah penya mun yang sedang menyelesaikan korban kami. Jika kau ikut campur, maka kaupun akan menjadi korban pula meskipun kalian tida k me mpunyai apa-apa" "Aku me mang tidak me mpunyai apa-apa" berkata orang itu "karena aku kebetulan saja melihat perkelahian ini selagi aku mengikut i arus air untuk mengairi sawah. Tetapi perkelahian yang tidak seimbang ini sangat menarik perhatianku" "Pergilah, aku tidak me merlukan kau" berkata salah seorang perampok itu "Atau kalau mau nonton, nontonlah, bagaimana ka mi me mbantai korban ka mi yang melawan kehendak ka mi. Ka mi tidak me merlukan kau, karena bajupun kau tidak me mpunyai" Orang itu tidak segera pergi. Bahkan selangkah ia maju mende kat. Katanya "Sebenarnya aku tidak baru saja datang ke tempat ini. Aku sudah melihat kau sejak senja. Duduk diatas batu dan mengaku dirimu petani dari Sukawati. Itulah yang menarik perhatianku" Keempat orang yang sedang berkelahi melawan Ki Dipanala itu tanpa mereka sadari telah menghentikan seranganserangan mereka, meskipun mereka tetap berdiri me lingkari korbannya. Dengan bertanya-tanya di dala m hati mereka me mandang orang yang justru berja lan mendekat itu. "Aku tertarik pada pakaian dan pengakuanmu kepada paman Dipanala" berkata orang itu kepada yang berpakaian seperti petani dari Sukawati "semula aku menyangka, karena aku hanya me lihat dari jarak yang agak jauh bahwa kau benar-benar petani dari Sukawati itu. Itulah sebabnya aku menunggu sejenak dan ke mudian berusaha mendekat. Tetapi ketika aku melihat kau menyamun, maka aku me mastikan bahwa kau sama seka li tidak ada hubungan dengan petani dari Sukawati itu"
"Persetan. Siapa kau?" bentak orang yang menga ku petani dari Sukawati itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia melangkah se makin dekat. Dala m kere mangan mala m, maka se makin dekat, Ki Dipanalapun me njadi se makin jelas, siapakah orang yang dalang itu. Meskipun ia belum begitu rapat mengenal anak muda itu serapat Raden Juwiring, namun akhirnya ia mengenal juga. Karena itu, maka katanya kemudian "Buntal. Bukankah kau Buntal?" "Ya pa man. Aku tahu benar, bahwa paman sedang dalam bahaya, karena sudah agak lama aku berada di sini, justru karena orang yang berpakaian seperti petani dari Sukawati itu. Pakaian itu sangat menarik perhatianku, sehingga aku mende katinya dengan diam-dia m, karena aku masih meragukannya. Aku mula i curiga karena orang itu tidak mengetahui kedatanganku, sehingga orang itu pasti tidak me mpunyai aji Sapta Pangrungu, atau jika bukan aji Sapta Pangrungu maka pendengarannya masih be lum terlatih cukup baik untuk menangkap kehadiran seseorang di sekitarnya" "Gila" potong orang itu "Kau berada pada jarak yang terlampau jauh bagi pendengaran yang bagaimanapun juga tajamnya" "O. Mungkin begitu. Tetapi a khirnya aku yakin, bahwa paman Dipanala telah dicegat oleh beberapa orang penyamun di bulak Jati Sari yang panjang ini" "Ya. Aku tidak ingkar. Bukankah a ku sudah mengatakan sejak kau datang" "Tetapi tentu tidak mungkin bahwa aku harus begitu saja meninggalkan pa man Dipanala yang sedang menghadapi bahaya maut" "Siapa, kau sebenarnya, siapa?"
"Paman Dipanala sudah menyebut nama ku, Buntal. Aku tinggal bersama-sa ma Raden Juwiring di padepokan Jati Aking" Sejenak para penyamun itu termenung. Namun ke mudian salah seorang berkata "Ya, bukankah nama itu disebut-sebut juga oleh kawan kita itu?" Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti bahwa orang inilah yang dimaksud oleh Mandra, anak muda yang ada di padepokan yang harus diperhitungkan juga. "Ya" sahut yang lain "anak ingusan ini me mang suka menca mpuri urusan orang lain" la lu katanya kepada Buntal "Buntal, aku masih me mberimu kese mpatan. Aku akan mera mpok semua milik Ki Dipanala dan me mbunuhnya sekali karena sudah melawan kehenda kku sejak pertama kali aku me mberinya peringatan. Pergilah, atau kalau kau mau nonton, nontonlah. Kemudian katakan kepada Raden Juwiring, bahwa kirima n baginya sudah habis dira mpok orang, sedang Ki Dipanala sudah terbunuh di tengah jalan sebagai seorang pahlawan yang me mpertahankan tanggung jawabnya. Kau mengerti?" "Sayang, bahwa aku tidak dapat berbuat begitu" jawab Buntal "Aku mengenal Ki Dipanala dengan baik. Aku mengenal Raden Juwiring yang akan menerima Barang-barang itu, dan bahkan aku tentu akan mendapat bagian pula apabila barangbarang yang akan kau ra mpok itu sa mpa i ke padepokan" "He, kau sekedar ingin mendapat bagian" Aku akan me mberimu" sahut pera mpok itu. "Itu tidak baik. Aku akan menerima barang-barang yang sudah bernoda darah meskipun jika Ki Dipanala terbunuh, tidak ada yang akan dapat mengatakan darimana aku mendapatkannya. Tetapi pada suatu saat orang-orang dari Ranakusuman akan mengenal barang-barang itu. Dan aku
akan digantungnya pula. Tetapi jika aku me nerimanya langsung dari Ki Dipanala, aku dapat mema kainya dengan tenang" "Dia m" bentak orang yang berpakaian seperti petani dari Sukawati "Kau mau pergi atau tidak?" Buntal mengge leng "Tidak" "Jika tida k, aku a kan me mbunuhmu" "Silahkan. Aku akan me mbantu Ki Dipanala. Jika aku dapat mengurangi seorang saja dari kee mpat lawannya, maka paman Dipana la akan dapat berte mpur dengan baik melawan tiga orang di antara kalian" "Persetan" tiba-tiba orang yang berpakaian petani itu menggera m "bunuh anak ini. Serahkan Dipanala kepadaku berdua, dan kalian berdua me mbunuh anak yang gila itu, supaya pekerjaan kita cepat selesai. Setelah anak itu mati dan kau le mparkan ke dala m parit, kita bunuh Dipanala pula " "Ya" sahut yang lain " menca mpuri persoalan orang lain. Orang-orang itu tidak menunggu lebih la ma lagi. Sejenak ke mudian mere ka sudah berloncatan menyerang. Yang dua orang menyerang Buntal, dan dua yang lain menyerang Ki Dipanala. Menurut perhitungan mere ka, me mbunuh Buntal tidak me merlukan waktu sepanjang me mbunuh Ki Dipanala. Namun baik Buntal, maupun Ki Dipanala sudah siap pula menghadapi segala ke mungkinan, sehingga karena itu, maka merekapun masih sempat mengelakkan serangan-serangan pertama itu, dan me mba las dengan serangan-serangan yang tidak ka lah cepatnya pula. Dala m pada itu, Buntal yang t idak siap untuk bertempur, tidak me mbawa senjata yang me madai untuk me lawan dua buah pedang di tangan dua orang penyamun yang garang. Yang ada padanya hanyalah sebuah parang pembelah kayu yang dibawanya bersama sebuah cangkul ke sawah. Dan
parang itulah yang kemudian diperguna kannya bertempur me lawan sepasang pedang lawannya.
untuk Orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu menyangka, bahwa dua orang kawannya akan segera me mbunuh Buntal. Dengan de mikian maka mereka akan segera dapat menyelesaikan Dipanala yang sudah hampir kehabisan tenaga itu. Meskipun ia masih tetap lincah. Tetapi me lawan e mpat orang, ternyata ia tidak dapat berbuat banyak. Tetapi ternyata perhitungan itu tidak tepat. Meskipun hanya me mpergunakan sebilah parang pe mbe lah kayu, namun anak muda yang berna ma Buntal itu ternyata me miliki ke ma mpuan yang tinggi. Para penyamun itu tidak mengetahui, betapa tekunnya anak muda ini berlatih. Bagaimana Buntal setiap hari berusaha mena mbah ke kuatan jasmaniah dan keprigelan bermain senjata. Karena itulah, maka melawan dua orang penyamun itu, ia tidak segera dapat mereka kuasai. Bahkan sebaliknya. Buntal sekali-sekali berhasil me mbuat lawangnya menjadi bingung. Dala m pada itu, meskipun tenaga Ki Dipanala sudah susut, tetapi kini seakan-akan ia hanya menghadapi separo dari lawan-lawannya yang terdahulu. Karena itu, maka iapun masih juga sempat bernafas. Sekali-kali bahkan ia se mpat menyaksikan bagaimana Buntal dengan kekuatannya yang luar biasa kadang-kadang berhasil mendesak lawannya. Setiap benturan senjata, membuat tangan lawannya menjadi sakit dan pedih. Jika Buntal saat itu menggengga m pedang yang kuat, maka ia akan segera berhasil mele mparkan senjata-senjata lawannya apabila lawan-lawannya tidak menghindari benturan langsung dengari senjatanya. Kali ini lawan-lawannyalah yang berusaha melepaskan senjata buntal. Mereka menyangka bahwa parang pembelah kayu itu akan segera terlepas dari tangan anak muda itu. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Tangan kedua orang
itulah yang menjadi pedih. Sehingga karena itu, selanjutnya mereka telah mencoba menghindari benturan-benturan langsung dengan parang itu. Namun Buntal sendiri menyadari, bahwa parangnya sudah mulai pecah-pecah di bagian taja mnya, karena parang itu tidak terbuat dari besi baja yang baik. Tetapi dengan demikian maka taja m parang Buntal itu bahkan seakan-akan menjadi bergerigi mengerikan. Demikian perkelahian dikedua lingkaran itu menjadi semakin seru. Ternyata Ki Dipanala yang hanya melawan dua orang lagi itu masih juga ma mpu bertahan. Bahkan kadangkadang ia masih se mpat mendesak lawannya pula. Sekalisekali ia berhasil menyerang dengan garangnya sehingga hampir saja mengenai sasaran. Namun, kerja sama dari kedua lawannya benar-benar sangat rapi, sehingga setiap kali, Ki Dipanala harus menarik serangannya karena ia harus menghindari serangan dari lawannya yang lain. Meskipun demikian, setelah lawannya tinggal dua orang, perkelahian itu tidak lagi me mbahayakan jiwanya, jika ia tida k me mbuat suatu kesalahan di dala m perlawanannya. Buntal yang masih muda ternyata agak berbeda dengan Ki Dipanala. Bukan saja ia me miliki ke kuatan yang sangat besar, tetapi keringat yang mula i me mbasahi tubuhnya, membuatnya semakin panas. Apalagi setiap kali kedua lawannya. itu. me mbuat gerakan-gerakan yang dapat me mbingungkannya dan bahkan kadang-kadang ha mpir me mbahayakan kedudukannya. Itulah sebabnya maka darah mudanyapun semakin la ma menjadi sema kin panas, dan akhirnya, ketika ujung pedang lawannya menyentuh kulitnya, ia tidak lagi dapat mengekang dirinya. Ternyata bahwa ujung pedang lawannya itu telah menitikkan darahnya di antara titik-titik keringat. Meskipun tidak begitu dalam dan panjang, tetapi goresan itu benarbenar telah me mbakar jantungnya.
Meskipun demikian ia tetap sadar, bahwa kedua lawannya me mpunyai keuntungan dengan senjata yang lebih panjang dan lebih baik daripadanya, apalagi lawannya bertempur berpasangan Tetapi Buntal telah berlatih tidak mengenal waktu untuk me mantapkan ilmunya. Karena itu, maka sejenak ke mudian ketika ia sudah sampai pada puncak ke marahannya, maka tandangnyapun menjadi se makin garang. Seranganserangannya tidak lagi terkendali. Tangannya yang terjulur tidak lagi ditariknya jika ia melihat lawannya menyeringai. Kini tangannya bagaikan bergerak bebas menurut kehendak sendiri, meskipun t idak lepas dari pusat ke mauannya. Demikianlah akhirnya Buntal se makin sering dapat menguasai lawannya. Semakin la ma se makin nyata, sehingga kedua lawannya hampir tidak se mpat mela kukan perlawanan sebaik-baiknya selain me loncat-loncat surut. Dala m pada itu, jika Ki Dipanala menghenda ki, kese mpatan untuk me lepaskan diri kini sudah terbuka luas. Tetapi Ki Dipanala tida k mau me lakukannya lagi, karena di antara perkelahian itu terdapat Buntal. Dengan demikian, maka iapun telah menga mbil keputusan untuk berte mpur terus bersamasama dengan anak muda yang telah menolongnya itu. Tetapi keadaan Ki Dipanala sudah menjadi se makin baik. Ia dapat bertahan dari serangan-serangan kedua orang lawannya bagaimanapun juga mereka berusaha. Bahkan sekali-sekali ia masih sempat me lihat di da la m kere mangan mala m, Buntal me lontarkan diri dengan kecepatan yang mengagumkan, menyerang kedua lawannya berganti-ganti. Ternyata bahwa kedua lawan Buntal itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Mereka benar-benar mendapat lawan yang tidak terduga-duga. Mereka yang menyangka bahwa untuk me mbunuh anak muda itu tidak diperlukan wa ktu yang la ma, tetapi ternyata bahwa dua orang itu justru semakin la ma menjadi se makin terdesak.
Dala m pada itu, orang yang mengaku dirinya petani dari Sukuwati itu harus menga mbil langkah untuk mengatasi kesulitan ini. Karenu itu, maka dengan tergesa-gesa ia ke mudian berkata kepada seorang kawannya yang berkelahi bersama-sama me lawan Ki Dipanala "Bantulah kedua kawankawanmu itu untuk me mpercepat kerja mereka. Bunuh saja anak itu tanpa belas kasihan karena ia sudah mengganggu tugas ka mi. Serahkan Ki Dipanala kepadaku" Seorang kawannya itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian dilepaskannya Ki Dipanala dan iapun segera bergabung dengan kedua kawannya yang lain. Dengan demikian maka orang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati itu harus bertempur melawan Ki Dipanala seorang lawan seorang. Betapapun, beratnya ia harus berusaha bertahan, meskipun hanya sekedar berloncatloncatan. Ia berharap bahwa tiga orang kawannya itu akan segera dapat menyelesaikan anak muda yang bernama Buntal itu. Namun ke marahan Buntal me njadi kian me muncak. Ia sama sekali tida k gentar menghadapi tiga orang lawan. Bahkan seakan-akan ia mendapat kese mpatan untuk berlatih menghadapi bahaya yang sebenarnya. Bukan sekedar latihanlatihan di dala m sebuah bangsal yang tertutup rapat, bersama dengan orang-orang yang setiap hari sudah diketahui tingkat ilmunya dan yang berke mbang bersa ma-sa ma. Ternyata bahwa Buntal ma mpu bertahan melawan ketiga orang itu. Bahkan ketika ia mengerahkan segenap ke ma mpuannya, masih ta mpa k bahwa ia kadang-kadang me miliki kese mpatan untuk menguasai perke lahian itu meskipun dengan susah payah, karena lawan-lawannyapun telah me meras segenap kema mpuan mereka untuk segera menghentikan perke lahian. Tetapi agaknya kedua belah pihak tidak segera berhasil. Kedua belah pihak seakan-akan me miliki kesempatan yang seimbang.
Tetapi petani yang menyebut dirinya berasal dari Sukawati itulah yang ke mudian menga la mi, kesulitan karena ia harus me lawan Ki Dipanala seorang diri. Meskipun Ki Dipanala seorang diri. Meskipun Ki Dipana la sudah menjadi se ma kin tua, tetapi bahwa ia bekas seorang prajurit yang me miliki ke ma mpuan yang tinggi masih tampak pada sikap dan tata geraknya. Apalagi agaknya Ki Dipanala tidak mau melepaskan peluang itu, selagi la mendapat kese mpatan. Karena itulah maka ia justru berusaha segera menga lahkan lawannya, sebelum ketiga orang penya mun yang lain dapat mengalahkan Buntal. Tetapi baik yang berkelahi melawan Ki Dipanala, maupun yang bertempur bertiga me lawan Buntal, sama se kali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan dapat memenangkan perkelahian itu. Itulah sebabnya penyamun yang me nyebut dirinya petani dari Sukawati itu harus menyadari keadaannya. Ia tidak boleh mengingkari kenyataan itu. Bahwa pada suatu saat, maka dirinya pasti akan dikalahkan oleh Ki Dipanala. Ke mudian ketiga kawannya itupun seorang de mi seorang akan berjatuhan. "Tentu tida k menyenangkan digantung di alun-alun karena aku telah menya mun utusan Pangeran Ranakusuma" berkata penyamun itu di dala m hatinya "dan terlampau sulit bagiku untuk mengkaitkan diriku dengan Raden Rudira. Dengan mudah ia akan dapat ingkar, dan justru menuduhku telah me mfitnahnya" Berbagai pertimbangan di kepa la penyamun itu, agaknya telah mendorongnya untuk me nga mbil suatu sikap. Daripada ia harus mengala mi siksaan untuk mengaku siapakah yang telah me merintahkannya, jika tidak, dari siapa ia mengetahui bahwa Dipanala me mbawa Barang-barang berharga, dan ke mudian digantung di alun-a lun, maka lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri. Ke mungkinan itulah satu-satunya yang
dapat ditempuh dala m, keadaan seperti ini, selagi kekuatan mereka masih utuh, sehingga sa mbil melarikan dri, mereka masih dapat me lawan sejauh-jauh dapat dilakukan apabila kedua lawannya mengejarnya. Akhirnya, penyamun yang berpakaian seperti seorang petani itu menga mbil keputusan, bahwa mereka harus lari. Karena itu, maka iapun segera me mberikan isyarat, dengan sebuah suitan yang nyaring, agar kawan-kawannya me lepaskan lawannya. Demikianlah, maka seperti berebut dahulu, para penyamun yang tidak dapat mengingkari kenyataan itu berloncatan menjauhi lawannya, dan kemudian bersa ma-sama me larikan diri meningga lkan calon korbannya yang gagal. Tetapi ternyata bahwa Buntal tidak melepaskan mereka begitu saja. Dengan serta merta ia meloncat dan menerka m salah seorang penyamun itu, yang justru baru saja me lepaskan Ki Dipana la dan berlari tidak jauh dari Buntal menyusul kawan-kawannya. Sejenak mereka berguling-guling. Namun Buntal tida k mau me lepaskannya. Dengan sekuat tenaganya, penyamun yang mengaku dirinya sebagai petani dari Sukawati itu mencoba melepaskan diri. Tetapi kejutan-kejutan yang tiba-tiba, dan yang karena itu telah me mbantingnya ke tanah, telah melepaskan senjatanya dari tangannya. Karena itu yang dapat dilakukannya adalah me lawan Buntal dengan tangannya. Tetapi Buntalpun cukup tangkas. Sebuah pukulan mengenai tengkuk orang itu, sehingga pandangan matanyapun ke mudian menjadi berkunang-kunang. Ha mpir saja ia menjadi pingsan. Namun dengan de mikian, maka kekuatannyapun bagaikan lenyap sama seka li. Selagi ia bertahan agar matanya tidak menjadi gelap sa ma sekali, Buntal telah berhasil me milin
tangannya ke punggungnya dan menekan tubuhnya pada tanah berbatu-batu. Dala m pada itu, kawan-kawannya yang sedang berlari sejenak berhenti termangu-mangu. Tetapi mere ka melihat Ki Dipanala telah siap untuk me lawan mereka. Apa lagi ketika mereka melihat kawannya itu sa ma sekali tida k berdaya. Karena itulah maka mereka menganggap bahwa lebih ba ik lari menyela matkan diri daripada ikut tertangkap seperti kawannya yang seorang itu. Ki Dipana la yang sebenarnya sudah cukup payah tidak mengejar ketiga penyamun yang sedang berlari. Baginya cukup seorang saja yang dapat ditangkap. Yang seorang ini pasti akan dapat memberikan banyak, keterangan. Bahkan dari yang seorang ini pasti akan diketahui dimana persembunyian ketiga kawan-kawannya itu. Karena itu, ketika Ki Dipanala me lihat Buntal me milin tangan orang itu sehingga orang itu menyeringai kesakitan iapun segera mendekatinya. "Jangan, jangan kau patahkan tanganku" Orang itu ha mpir berteriak. "Kau harus dibunuh karena kau sudah berniat me mbunuh paman Dipana la" "Tida k. Aku tidak benar-benar akan membunuhnya. Aku hanya akan merampas Barang-barangnya" "Aku tidak percaya. Kau sudah siap me mbunuhnya. Karena itu, kaupun harus mati. Buntal yang marah itupun segera menarik ra mbut orang yang sudah tidak berdaya itu. Sekali ia me mbenturkan kepala orang itu pada batu yang berserakkan di sepanjang jalan. "Jangan" Orang berteriak. "Jangan" terdengar suara Ki Dipanala di be lakang Buntal.
"Aku akan me mbunuhnya" berkata Buntal "Aku akan me mbunuh dengan tanganku" "Kau tidak dapat me mbunuhnya. Orang ini harus diserahkan kepada wewenang yang akan mengadilinya. Kita tidak dapat menghukumnya sendiri" "Tetapi ia adalah seorang penyamun pa man. Ia akan me mbunuh kita jika kita t idak me mbunuhnya" "Ia tidak berhasil me mbunuh kita" "Kita me mbela diri" "Kita sudah menangkapnya. Ia sudah tidak akan dapat me lawan lagi" "Tida k ada orang yang tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya" "Kita masing-masing mengetahuinya" Buntal menarik nafas dalam-da la m. Sekilas terbayang saat dirinya sendiri terbaring di jalan ini pula. Di buIak Jati Sari, pada saat ia diketemukan oleh Juwiring dan Kiai Danatirta. Orang-orang hampir saja me mbunuhnya pula karena ia disangka berbuat jahat atas Arum. Padahal ia tidak berbuat apa-apa pada waktu itu. Sedang orang ini adalah seorang penyamun. Namun ia masih mendengar Ki Dipanala berkata "Kita harus dapat menguasai diri kita sendiri. Sebagai seorang yang berperi-ke manusiaan, kita wajib menghidupinya. Selain itu kita masih me mpunyai kepentingan dengan orang ini. Ia adalah sumber keterangan yang dapat kita pergunakan untuk mencari jejak perampokan ini" Buntal mengangguk-angguk. Perlahan-lahan dilepaskannya orang yang sudah tidak berdaya itu. Ketika Buntal sudah berdiri, maka Ki Dipanalapun berkata kepada penyamun itu "Berdirilah. Aku me merlukan kau"
Dengan tubuh ge metar orang itupun merangkak. Dari dahinya masih mengalir darah yang hangat, meskipun tidak begitu banyak. Buntalpun ke mudian me mungut pedang orang itu dan parangnya sendiri. Ia masih me merlukan parang itu untuk me mbe lah kayu di padepokan atau untuk kepentingan yang serupa di sawah. "Cepat berdiri" berkata Ki Dipanala "Kita akan meneruskan perjalanan ini ke Jati Aking. Kau akan tinggal semala m di sana. Besok kau akan aku bawa ke Surakarta, dan aku serahkan kepada yang berwenang mengadilimu. Tetapi sebelumnya aku ingin tahu, siapa kau dan siapakah yang menunjukkan kepada mu tentang Barang-barang dan uang yang aku bawa" Orang itu sa ma seka li tidak menyahut. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang me leleh didahinya. "Cepat. Kita akan segera meneruskan perjalanan Jati Aking sudah dekat" Tertatih-tatih orang itu berdiri. Badannya masih terasa lesu dan lemah. Tangannya terasa sakit bukan buatan karena Buntal benar-benar ha mpir me matahkannya. "Kita berjalan" berkata Ki Dipanala "Kita tidak akan berbicara di sini tetapi di Jati Aking" Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun Buntal mendorongnya sambil berkata "Cepat, sebelum a ku mendorongmu dengan ujung pedang Berterima kasihlah bahwa kau masih tetap hidup" "Tetapi, tetapi aku tida k tahu apa-apa. "Jangan berkata sekarang. padepokan Jati Aking". Kita akan berbicara di
Orang itu terdia m. Ketika ujung pedangnya sendiri yang kini berada di tangan Buntal menyentuh punggungnya, maka iapun. berjalan dengan langkah yang sangat berat. "Ambil tudung kepala mu" berkata Buntal, ke mudian "supaya lengkap pa kaianmu. Paka ian petani dari Sukawati" "Bukan maksudku" sahut orang itu ge metar "Aku hanya, ingin menakut-nakuti Ki Dipanala" "Ambillah" Orang itupun segera me mbungkuk menga mbil tudung kepalanya yang terjatuh di tengah-tengah jalan. Adalah di luar dugaan siapapun, bahwa sesuatu yang mengejutkan telah terjadi. Ketika orang yang me mbungkukkan badannya menga mbil tudung kepalanya itu berdiri tegak, maka tibatiba saja ia me mekik tinggi. Sejenak tubuhnya terhuyunghuyung, sehingga Buntal dengan serta-merta menangkapnya. "Kenapa?" Dipanala. bertanya Ki
Orang itu mengerang sekali. Na mun ke mudian tubuhnya menjadi tida k berdaya. "Panah ini pa man. Panah" "He?" Dan keduanya dengan mata terbelalak melihat sebuah anak panah menancap tepat di dada orang itu.
"Gila" teria k Ki Dipanala. Buntal tidak berkata apapun juga. Diletakkannya orang itu, ke mudian iapun meloncat berlari ke arah anak panah itu dilepaskan. "Buntal, Buntal, jangan" teriak Ki Dipanala "berbahaya bagimu" Tetapi Buntal tidak menghiraukannya. Ia belari terus sambil berloncatan di tanggul parit, untuk menghindari bidikan anak panah atas dirinya. Tetapi terlambat. Sebelum Buntar mene mukan seseorang di dala m kegelapan, ia me lihat dua sosok bayangan di kejauhan menghilang ke dalam gerumbul. Ia masih akan mengejar terus. Namun sejenak ke mudian derap dua ekor kuda yang meluncur dari balik gerumbul itu telah me mecah sepinya ma la m. "Gila. Gila" teria k Buntal seorang diri. Di saat ia dapat mengerti betapa pentingnya orang yang ditangkapnya itu bagi keterangan seterusnya, maka seseorang telah membunuhnya dengan licik sekali. Sambil mengumpat-umpat Buntal berlari-lari ke mbali mendapatkan orang yang telah terbaring di tanah. Diam. Meskipun masih terdengar nafasnya satu-satu, tetapi orang itu hampir sudah tidak me miliki kesadaran akan dirinya lagi. Sambil mene mpelkan mulutnya di telinga orang itu Ki Dipanala berkata "Sebutkan, siapakah yang telah menyuruhmu mencegat aku. Tentu orang yang membunuhmu itu. Aku berjanji akan mencarinya dan me mbalas denda m bagimu" Yang terdengar hanyalah desah nafas yang semakin la mbat dan tidak teratur.
"Apakah kau masih dapat mendengar suaraku" desak Ki Dipanala "sebut saja namanya. Aku akan berbuat sesuatu untukmu dan untuk diriku sendiri" Orang itu mencoba menggerakkan bibirnya. Tetapi ia hanya ma mpu menyeringa i dan berdesah. Kemudian sebuah tarikan nafas yang panjang. Sesaat kemudian maka orang itupun telah melepaskan nafasnya yang terakhir. "Ia sudah mati" desis Ki Dipana la. Buntal menggeretakkan giginya. Bukan saja ia ikut merasa kehilangan ke mungkinan untuk mengetahui siapakah orang ini sebenarnya, tetapi ia juga merasa tersinggung oleh perbuatan pengecut itu. Dengan wajah yang tegang Buntal me nyaksikan Ki Dipanala menarik anak panah dari tubuh orang itu, dan ke mudian me mperhatikannya dengan saksama. Tetapi di dalam gelapnya mala m ia tidak dapat mene mukan. sesuatu pada anak panah itu. Karena itu ma ka katanya "Aku akan me mbawa anak panah ini" Buntal mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu me mperhatikan anak panah itu, karena perhatiannya tiba-tiba saja tertarik kepada kuda Ki Dipanala yang justru sedang mengunyah rumput yang segar. Tetapi niatnya me minja m kuda itu untuk me ngejar orangorang yang lelah membunuh penyamun itu dengan licik diurungkannya karena ia menyadari bahwa pada kuda itu tersangkut Barang-barang yang bernila i dan uang. Buntal tersandar ketika Ki Dipanala me manggilnya dan berkata "Marilah kita bawa orang ini ke padepokanmu" "Baik, baik pa man" "Marilah Kita sangkutkan saja tubuhnya pada kuda itu. Kita akan melaporkannya besok kepada Ki De mang di Jati Sari, agar ada kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi"
Demikianlah mayat orang itupun ke mudian disangkutkannya pada Kuda Ki Dipanala, setelah Barangbarang yang akan diserahkan kepada orang-orang di Padepokan Jati Aking disisihkan, agar tidak bernoda darah. Di dala m kere mangan mala m, Ki Dipanala dan Buntal berjalan menuntun kuda yang membawa mayat penyamun yang terbunuh itu. Beribu-ribu pertanyaan bergulat di dala m hati mereka. Dan adalah tiba-tiba saja Buntal itu bertanya "Siapakah orang yang me mbunuh penyamun ini pa man" Apakah ia ingin menolong kita, atau sebaliknya?" "Sebaliknya Buntal" jawab Ki Dipanala "Orang itu pasti berhubungan rapat dengan penyamun ini. Bahkan menurut dugaanku, orang itulah yang telah menyuruh penya mun ini mera mpok dan me mbunuhku" "Jika de mikian, kenapa ia tidak me mbunuh pa man saja dengan anak panahnya?" "Mungkin a ku berdiri di ba lik orang yang terbunuh itu, sehingga seolah-olah aku telah dilindunginya tanpa sengaja. Tetapi mungkin atas dasar perhitungan yang lain. Jika ia me mbunuh aku, ma ka kau akan dapat bertindak cepat. Menyingkirkan orang itu dan berusaha mendapatkan orang yang telah me lepaskan anak panah itu" "Orang itu dapat menyerang aku selagi aku menghindari panah dari kawan mereka" "Kau dapat melumpuhkannya dengan cepat, tanpa me mbunuhnya dan mele mparkannya ke dalam parit atau di balik pe matang. Dan orang yang bersembunyi itu tentu tidak yakin, apakah ia dapat me mbunuhmu, karena ia melihat bagaimana kau dengan tangkas berhasil melawan penyamunpenyamun itu" sahut Ki Dipanala, la lu "Atau atas perhitungan yang lain lagi, aku t idak tahu. Tetapi yang paling pasti bagi mereka untuk menghilangkan jejak percobaan pe mbunuhan
ini adalah me mbunuh orang yang dapat menjadi sumber keterangan" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. merenungi kata-kata Ki Dipanala itu. Sejenak ia
Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika dari arah yang berlawanan mereka melihat sebuah bayangan hitam mende kat. Semakin la ma se makin de kat. Namun agaknya bayangan ilupun menjadi ragu-ragu. Langkahnya diperla mbat dan sikapnya menjadi sangat berhatihati. "Siapa?" Buntallah yang bertanya pertama-tama. "Buntalkah itu?" terdengar orang itu justru bertanya. "Ya, aku" "Aku mengena l suara mu" "Kakang Juwiring. Aku juga mengenal suaramu. Aku datang bersama pa man Dipana la" "O" bayangan yang ternyata adalah Raden Juwiring itupun ke mudian menjadi se makin de kat, lalu "Ka mi di padepokan menjadi ce mas karena kau terlalu la mbat pulang. Ternyata kau bertemu dengan pa man Dipanala di bulak Jati Sari" "Ya" sahut Buntal. Namun ketika Juwiring menjadi kian dekat, maka dilihatnya sesosok tubuh yang tersangkut di kuda Ki Dipanala, sehingga dengan serta-merta ia bertanya "Siapakah itu paman Dipanala?" Ki Dipanala me narik nafas dalam-dala m. Katanya "Ceriteranya cukup panjang Raden. Tetapi pada pokoknya, ada usaha untuk me mbunuhku" "Dan pa man me mbunuhnya lebih dahulu?"
Ki Dipanala mengge lengkan kepalanya. Jawabnya "Bukan aku yang me mbunuhnya dan bukan Buntal" "Jadi?" Sebelum Ki Dipanala menjawab, Juwiring berseru dengan tegang "Petani itu?" "Bukan" sahut Juwiring "Bukan petani itu. Justru ia berpakaian mirip sekali" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Lalu "Baiklah. Aku akan bertanya lebih banyak lagi di padepokan. Tadi ayah Danatirta menjadi sangat ce mas, kenapa Buntal terla mbat sekali ke mbali ke padepokan dari sawah. Ternyata ada sesuatu yang telah terjadi" Demikianlah maka mere kapun berjalan se ma kin cepat ke mbali ke padepokan Jati Aking. Untunglah bahwa di sepanjang jalan mereka tidak berte mu lagi dengan seseorang. Bahkan ketika mereka me milih jalan se mpit di padukuhan sebelum mere ka sampa i ke padepokan Jati Aking, mereka juga tidak me njumpai seorangpun. Apalagi dengan sengaja mereka menghindari ja lan yang di tunggui oleh para peronda di gardu-gardu. Ketika mereka sa mpai di padepokan, ternyata bahwa sosok mayat itu telah mengejutkan penghuni-penghuninya. Arum yang masih juga duduk di pendapa bersa ma ayahnya menunggu kedatangan Buntal dan Juwiring. menjadi termangu-mangu. "Aku telah mengejut kan kakang Danatirta" berkata Ki Dipanala. "Ya. Aku terkejut sekali. Tetapi marilah, na iklah" Setelah mengikat kenda li kudanya, maka Ki Dipanalapun segera naik ke pendapa. Sekali-seka li ia masih berpaling me mandang mayat yang tersangkut di punggung kudanya. Namun ia masih juga me mbiarkannya.
"Kau benar-benar mengejutkan. aku. Siapakah yang kau bawa diatas punggung kuda itu?" "Kita harus melaporkannya kepada Ki De mang, kakang. Agar ada kesaksian, bahwa aku tidak me mbunuh orang" Ki Danatirta mengangguk-angguk. Katanya "Tetapi kau belum mengatakan kepadaku, siapakah orang itu. Dan dimana kau berjumpa dengan Buntal dan Juwiring" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Raden Juwiring juga ingin mendengar tentang orang itu. Aku belum mengatakan kepadanya. Tetapi Buntal mengetahui sendiri, apa yang sudah terjadi di bulak Jati Sari" Kiai Danatirta me mandang Juwiring dan Buntal bergantiganti. Namun ke mudian kalanya kepada Ki Dipanala "Katakanlah" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian iapun mulai mericeriterakan apa yang dia la minya di bula k Jati Sari yang panjang itu. Kiai Danalirla, Arum dan Juwiring mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan sekali-kali mereka menganggukangguk, dan kadang-kadang menggeleng-gelengkan kepalanya "Aku me mang ha mpir mati" berkata Ki Dipanala. Lalu "Untunglah Buntal berhasil menolongku. Aku belum se mpal mengucapkan terima kasih kepadanya" "Aku hanya sekedar me mbantu" berkata Buntal "Pa man sendirilah yang sebenarnya telah menyela matkan diri sendiri" Seakan-akan tidak mendengar kata-kata Buntal, Ki Dipanala berkata selanjutnya "Aku ikut berbangga, bahwa anak padepokan Jati Aking me miliki ketangkasan jasmaniah seperti Buntal, dan sudah barang tentu Raden Juwiring" Mereka melatih diri mere ka sendiri sahut Kiai Danatirta.
Ki Dipana la tidak me mbantah, tetapi senyum di bibirnya me lantarkan suatu sikap hatinya terhadap anak-anak muda yang berada di padepokan Jati Aking. Namun ke mudian terdengar Kiai Danatirta bertanya "Jadi kau sama se kali tidak mengetahui, siapakah yang sudah me lepaskan anak panah itu?" Dengan ragu-ragu Ki Dipanala menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Tidak kakang" "Apakah peristiwa ini didahului dengan kejadian-kejadian yang dapat menarik suatu dugaan tentang peristiwa itu?" Sekali lagi Ki Dipanala Jawabnya "Juga tidak" menggelengkan kepa lanya.
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya "Jika de mikian persoalan ini akan tetap menjadi gelap. Apakah kau tidak me mpunyai bahan sama sekali untuk mengurai peristiwa ini?" Ki Dipana la masih mengge lengkan kepalanya. "Tida k ka kang. Tida k ada apa-apa yang dapat aku pergunakan sebagai bahan" katanya ke mudian. "Baiklah" berkata Kiai Danatirta "besok kita akan me mperhatikan tempat itu. Mungkin kita dapat mene mukan sesuatu" ia berhenti sejenak, lalu "sekarang, bagaimana dengan mayat itu?" "Aku akan me mbawanya kepada Ki De mang agar aku tidak mendapat tuduhan yang bukan-bukan" sahut Ki Dipanala. "Baiklah. Buntal akan menyertaimu" "Aku akan ikur serta dengan pa man Dipanala" berkata Raden Juwiring.
Kiai Danatirta berpikir sejenak. Kemudian jawabnya "Pergilah. Kalian dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi" Demikianlah maka mere ka bertigapun segera pergi ke Kademangan meskipun ma la m menjadi sema kin ma la m. Mereka tidak ingin terla mbat apabila ke mudian timbul persoalan karena ke matian penyamun itu. Barulah ketika Ki De mang di Jati Sari mengerti akan persoalan yang sebenarnya terjadi, Ki Dipanala dapat bernafas lega, seakan-akan ia telah terbebas dari kemungkinan yang dapat menyeretnya ke dala m kesulitan. "Biarlah anak-anak meletakkan mayat itu di banjar" berkata Ki De mang ke mudian "besok mereka a kan menguburnya" "Baiklah Ki De mang. Aku mengucapkan terima kasih atas pengertian Ki De mang tentang peristiwa ini" Demikianlah, maka mayat itupun ke mudian diusung oleh anak-anak muda yang sedang meronda ke banjar Kademangan untuk mendapat perawatan sebagaimana seharusnya besok pagi. Dala m pada itu, Ki Dipanala bersa ma Juwiring dan Buntalpun segera ke mbali ke Padepokan. Setelah mereka me mbersihkan diri masing-masing, maka merekapun duduk ke mbali di pendapa. Tetapi Ki Dipana la tidak mena mbah keterangannya mengenai orang yang terbunuh itu. "Orang itu akan tetap merupakan suatu teka-teki Ki Dipanala" berkata Kia i Danatirta "Ia sudah me mbawa rahasia tentang dirinya ke da la m kubur" Ki Dipanala hanya mengangguk-angguk saja. Namun ketika tiba-tiba ia teringat akan Barang-barang dan uang yang dibawanya, maka iapun segera berkata "Aku akan menyerahkan Barang-barang itu kepada kakang Danatirta
sekarang. Barang-barang itu membuat diriku diintai oleh bahaya maut" "Aku mengucapkan banyak terima kasih" berkata Kiai Danatirta. Ki Dipanala t idak menyahut. Iapun segera pergi ke kudanya dan menga mbil Barangbarangnya serta uang di dalam ka mpil yang tersangkut di lambung kudanya pula. "Bukan main" berkata Kiai Danatirta "pe mberian Pangeran Ranakusuma bagi Juwiring dan keluarga padepokan ini terla mpau banyak sekali ini. Ditambah lagi dengan uang dan kain untuk Arum" Raden Juwiring mengerutkan keningnya melihat Barangbarang itu. Ia belum pernah menerima kirima n sebanyak itu. Namun sejenak kemudian ia tersenyum "Kita akan mengucapkan terima kasih kepada ayahanda Pangeran Ranakusuma dan ibunda Galihwarit" Ki Dipanala tersenyum. Jawabnya "Aku. akan menya mpaikannya bersama laporan tentang diriku sendiri" Demikianlah pe mberian itu bukan hanya, untuk Juwiring saja, tetapi keluarga padepokan Jati Aking itu mendapat bagiannya masing-masing. Namun de mikian hal itu ternyata justru telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Kia i Danatirta meskipun tidak diucapkannya. Sekali-seka li dipandanginya wajah Ki Dipanala
yang seolah-olah di saput oleh mendung yang me mbayangi sebuah rahasia. Tetapi Kiai Danatirta tidak bertanya apapun. Bahkan dengan sebuah senyum di bibir ia berkata "Nah anakanak, bawalah pemberian yang banyak sekali ini ke dala m. Simpanlah baik-baik dan. kita akan me mpergunakan dengan baik pula" "Baiklah" sahut Raden Juwiring. Lalu diajaknya Buntal dan Arum me mbawa Barang-barang itu masuk ke dala m. "Tetapi uang ini?" bertanya Juwiring kepada Kiai Danatirta. "Bawalah masuk. Simpanlah. Kita akan me merlukannya" Ketiga anak muda itupun segera masuk ke da la m. Disimpannya Barang-barang itu dengan baik. Na mun sekali-sekali Arum masih juga me lekatkan ka in di badannya sambil berkata "Bagus seka li. Aku kira aku pantas me mpergunakan kain ini" "Pantas sekali" berkata Juwiring "kau akan bertambah cantik" "Ah" wajah Arum menjadi ke merah-merahan. Diletakkannya kain itu sa mbil berkata "Terla lu ba ik. Aku tidak pantas me maka inya" "Kenapa?" bertanya Juwiring "Ayahanda Galihwarit menghadiahkannya kepada mu" dan ibunda
Arum tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ka in itu diraihnya dan dibentangkannya diatas amben sa mbil tersenyumsenyum. Buntal yang duduk di sudut ruangan merasa seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah cermin untuk melihat dirinya sendiri. Tidak ada seorangpun yang mengirimkan apapun kepadanya seperti Juwiring. Tida k ada sanak ke luarganya yang me miliki sesuatu untuk diberikannya kepada Arum. Apalagi kain sebagus itu, dan sebenarnyalah akan me mbuat Arum se ma kin
cantik. Bahkan untuk dianya sendiri, ia kini menggantungkan sama seka li kepada pe mberian Kiai Danatirta. Buntal menarik nafas dalam-da la m. Ia merasa dirinya menjadi se makin kecil disisi Juwiring. Juwiring putera seorang Pangeran yang kaya. Meskipun ia tersisih, tetapi ayahnya masih juga mumberikan barang-barang sejumlah itu. Ia tidak dapat membayangkan, berapa nilai barang-barang itu. Apalagi Pangeran Ranakusuma masih juga menyertakan uang di dalam ka mpil untuk Kiai Danutirta. Buntal terkejut ketika Juwiring berkata "He Buntal, kau dapat me milih. Manakah yang paling sesuai bagimu?" Anak muda itu me ma ksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya "Aku sesuai dengan se muanya itu" Juwiring tertawa pendek. Lalu "Kita akan me milih sendri mana yang kita suka i dari kirima n-kiriman ini" ia berhenti sejenak, lalu "dan yang paling berhak me milih lebih dahulu adalah Buntal, selain yang me mang khusus untuk Arum, karena Barang-barang ini ha mpir saja lenyap dibawa penyamun. Bukan saja Barang-barang ini, tetapi bahkan jiwa paman Dipana la sendiri" "Ya" sahut Arum "tanpa kau kakang Buntal, maka kita tidak akan melihat paman Dipanala me mbawa barang-barang ini sampai ke padepokan" "Ah" Buntal berdesah "hanya suatu kebetulan" "Bukan suatu kebetulan saja. Jika kau tidak tertarik kepada orang yang berpakaian petani, itu, maka yang terjadi akan berbeda sekali" Buntal tida k menyahut. "Nah pilihlah. Ke mudian aku akan me milih pula setelah Kiai Danatirta dan tentu saja kita tidak akan dapat melupakan paman Dipanala. Hidupnya sendiri tida k begitu baik. Ia
menerima upah yang sangat sedikit dari ayahanda. Tetapi ia adalah orang yang setia" Dala m pada itu, selagi anak-anak muda di dala m sedang sibuk me mbicarakan Ki Dipanala, di pendapa, Kiai Danatirta mulai bertanya bersungguh-sungguh "Dipanala. Apakah kau benar-benar tidak dapat menduga, siapakah yang sudah me lakukannya dan apakah kau tidak mendapatkan tanda apapun dala m perkelahian itu?" Ki Dipanala me ma ndang pintu yang sudah tertutup. Kemudian ia berkata la mbat "Mungkin a ku dapat menduga kakang. Tetapi sekedar me nduga. Jika dugaanku salah, maka aku sudah berdosa menuduh orang yang tidak bersalah" "Tetapi bukankah kau be lum berbuat apa-apa" sahut Kiai Danatirta "Kita baru menduga. Tentu saja dugaan kita mungkin keliru" Ki Dipana la itupun tiba-tiba berdiri. Katanya "Aku me mbawa anak panah yang menghunja m di dada orang yang terbunuh itu" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menyahut Ki Dipanala sudah me langkah turun dari pendapa. Dari pelana yang dilepasnya dari punggung kudanya, ia menga mbil sepucuk anak panah dan dibawanya naik ke pendapa. Ia berhenti sejenak di bawah nyala pelita. Sambil mengerutkan keningnya ia menga mat-a matinya dengan saksama. "Kau mengena lnya?" bertanya Kia i Danatirta. Ki Dipanalapun ke mudian duduk ke mbali di hadapan Kiai Danatirta. Keningnya masih berkerut-merut Sedang tatapan matanya menjadi agak tegang, "Bagaimana?"Kiai Danatirta mendesak.
"Kakang. ada semaca m perasaan takut padaku untuk menerima kenyataan ini. Aku me mang sudah mencurigainya. Pemberian Pangeran Ranakusuma yang berlebih-lebihan dan caranya melepaskan a ku pergi ketika aku berangkat" "Jadi bagaimana?" "Se mula aku tida k me mikirkannya, bahwa Raden Ayu Galihwarit berusaha me mperla mbat keberangkatanku. Adaada saja alasannya, sehingga aku akhirnya berangkat sesudah lewat tengah hari, bahkan sudah sore hari. Dengan demikan menurut perhitungan mereka, aku akan sa mpa i di bulak Jati Sari setelah gelap" Kiai Danatirta mengangguk-angguk ketika Ki Dipanala menceriterakan kemba li, bagaimana sikap Raden Ayu Galihwarit sebelum ia berangkat. "Dan anak panah itu?" Ki Dinanala menarik nafas dala m-dala m. Sekali lagi ia menga mat-a mati anak panah yang bernoda darah itu. "Ada seribu anak panah yang mirip bentuknya" berkata Ki Dipanala. "Ya" sahut Kiai Danatirta "barangkali kau tidak akan dapat mengenal anak panah sebuah de mi sebuah. Tetapi apakah sepintas lalu, kau pernah me lihat anak panah seperti itu?" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Mungkin belum. Tetapi aku sudah dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya, sehingga karena itu, aku merasa seakanakan aku me ngenal anak panah ini" Kiai Danatirta mengerut kan keningnya. Katanya "Ya, kau me mang takut melihat kenyataan. Kau kecewa sekali bahwa hal semaca m itu sudah terjadi atasmu, sehingga kau berusaha untuk mengaburkan penglihatanmu atas kenyataan itu. Ternyata kau masih seorang yang setia terhadap Pangeran Ranakusuma. meskipun ada se maca m persoalan yang
bergejolak di dala m hatimu. Tetapi kesetiaanmu ternyata berbeda dengan kesetiaan Sura pada waktu itu dan mungkin Mandra pada waktu ini. Kau adalah seorang yang benar-benar setia. Bukan sekedar menjilat dan menundukkan kepala dalam-da la m. Tetapi kau berani menyebut kesalahan dan kecurangan keluarga istana Ranakusuman justru karena kesetiaanmu itu. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti, bahwa demikianlah adanya. Justru karena itulah, maka kau menjadi orang yang pa ling dibenci di Ranakusuman" "Mungkin kakang benar. Aku me mang ce mas dan bahkan takut melihat perkembangan yang terjadi di istana Ranakusuman. Mungkin aku me mang orang yang setia, yang ingin me mperingatkan dengan niat baik. Kadang-kadang aku mencoba mencegah dan bahkan aku mengha lang-halangi" "Kenapa mereka tidak mengusir kau saja daripada mereka harus bertindak kasar dan licik se maca m itu" Meskipun kau belum mengatakan, tetapi aku sudah menduga, apa yang ada di dala m hatimu. Yang menakut-nakutimu dan yang me mbual kau menghindari penglihatanmu atas kenyataan itu" Ki Dipana la tidak menyahut. "Ki Dipanala, apakah anak panah itu. anak panah Raden Rudira?" Ki Dipanala tidak segera menyahut. Wajahnya menjadi ke merah-merahan. Sesuatu agaknya sedang bergejolak di dalam hatinya. Sejenak ke mudian terdengar suaranya parau "Aku tidak tahu kakang. Aku tidak tahu" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Kali ini kau tidak usah mengingkari kata hatimu Dipanala. Kau sudah berada di ujung tanduk seekor kerbau liar yang dungu. Kau harus me lihat kenyataan itu dengan dada terbuka" Ki Dipana la tidak segera menjawab.
"Menurut urutan ceritera mu Dipanala, ternyata bahwa orang orang di istana Ranakusuman, Setidak-tidaknya sebagian dari mereka me mang berusaha me mbunuhmu. Kau tidak disuka i di Ranakusuman, tetapi mereka tidak dapat mengusirmu. Dan kau juga tidak dapat meninggalkan mereka seperti Sura, karena kau bukan sekedar penjilat yang akan lari jika tidak ada lagi tulang-tulang yang dile mparkan kepadanya. Kau adalah seorang yang sadar akan diri dan harga dirimu" Kiai Danatirta berhenti sejenak! lalu "Na mun de mikian kaupun harus melihat kenyataan yang dapat terjadi" Ki Dipanala menjadi tegang sejenak. Namun ke mudian kepalanya terangguk-angguk kecil. "Dipana la. Sebenarnya kau dan aku sependapat. Setidaktidaknya kita menduga, benar atau salah, bahwa ada yang dengan sengaja menjerumuskan kau ke dala m suatu perangkap pembunuhan. Salah atau benar, kita sama-sama menduga bahwa yang berusaha menutup mulut penyamun itu untuk sela ma-la manya adalah orang-orang Ranakusuman. Karena kita tahu, bahwa Raden Rudira adalah seorang pemburu yang cakap, maka ia akan dapat me mbidik dengan tepat meskipun di ma la m hari" Kepala Ki Dipanala menjadi se makin tunduk. Kata-kata Kiai Danatirta itu bagaikan guruh yang melingkar-lingkar di kepalanya. Namun ia tida k dapat lari dari suara itu, karena di dalam hatinya suara itupun telah berkumandang sebelum Kiai Danatirta mengucapkannya. "Bagaimana menuruti pendapatmu Dipanala?" "Ki Dipanala masih terdia m sejenak. "Apakah kau tidak berani me lihat ha l itu?" Ki Dipanala menarik nafas dalam sekali. Katanya "Aku me mang takut melihatnya. Tetapi aku tida k dapat lari dari pengakuan itu" "Kau sependapat?"
Ki Dipana la menganggukkan kepalanya "Ya ka kang" "Nah, jika kau sependapat, maka kita a kan dapat melhat lebih jauh lagi. Kenapa di saat kau dijerumuskan ke dala m tangan para penyamun justru kau harus me mbawa Barangbarang yang cukup banyak beserta uang seka mpil?" Ki Dipana la menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Aku tdak tahu kakang. Mungkin orang-orang yajg ingin me mbunuhku itu benar-benar me mbuat kesan, seakan-akan aku telah dira mpok" "Jika Barang-barang itu hilang, atau jika kau sama sekali tidak me mbawa apa-apa, bukankah sa ma saja akibatnya bagi orang lain yang mene mukan kau mati di tengah bulak?" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Na mun sekali lagi ia menggeleng "Aku tidak mengerti. Perhitungan apakah yang me mbuat mere ka berbuat de mikian" "Kita me mang tidak dapat menebak semua teka-teki dari percobaan pembunuhan ini. Tetapi bersukurlah kepada Tuhan bahwa kau telah terlepas dari bencana" Ki Dipanala tida k segera menyahut. Namun iapun menyadari bahwa ia masih dilindungi oleh Tuhan Yang Tunggal, sehingga ia sela mat dari tangan para penyamun itu, dengan me mbiarkan Buntal tetap berada di sawah meskipun langit menjadi bura m, karena ia melihat orang yang berpakaian seperti petani dari Sukawati itu. "Se mua itu adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" katanya di dala m hati. "Dipana la" berkata Kiai Danatirta ke mudian "Jika kita tetap tidak dapat me mecahkan teka-teki tentang Barang-barang yang justru kau bawa, apakah kau dapat mencari alasan, kenapa kau akan dibunuhnya" Apakah sekedar karena kau pernah berusaha mencegah Raden Rudira me mbawa Arum?"
Ki Dipana la menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Aku dan Sura me mang pernah diikat pada sebatang pohon di hala man istana Pangeran Ranakusuma. Aku dan Sura a kan mendapat hukuman ca mbuk di hadapan para abdi di Ranakusuman" "Tetapi bukankah keluarga Sura dan ke luarga mu tinggal di dalam dan di be lakang ha la man istana itu?" Ki Ki Dipanala mengangguk. "Jadi bagaimana jika keluarga mu, anak-anakmu dan anakanak Sura me lihatnya?" "Mungkin me mang itulah yang dima ksudkannya" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. "Tetapi aku dapat me maksa Pangeran Ranakusuma dan isterinya yang cantik itu untuk mengurungkan niatnya" desis Dipanala. "Itulah yang aku heran. Kadang-kadang kau berhasil me ma ksakan pendapatmu" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Tetapi hal itu pulalah agaknya yang telah me mbuat mereka ingin me mbunuhmu. Memang ada dua kemungkinan. Raden Rudira yang me mbencimu karena ayahandanya selalu mendengarkan kata-katamu atau Pangeran Ranakusuma sendiri atau Raden Ayu Galihwaritlah yang ingin me mbunuhmu, karena kau terla mpau berpengaruh atas mereka karena sesuatu sebab" "Agaknya kedua-duanya kakang. Meskipun yang satu tidak tahu alasan yang tepat dari yang lain, namun ada semaca m pertemuan pendapat, bahwa aku me mang harus dilenyapkan. Raden Rudira tentu tahu rencana ini, ternyata jika dugaan kita benar, maka ia telah me mbunuh penyamun itu. Menurut dugaanku pula Raden Ayu Galihwaritpun tahu akan rencana ini, karena ia telah me mperla mbat keberangkatanku" "Bagaimana dengan Pangeran Ranakusuma?"
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu kakang. Tetapi tampaknya Pangeran Ranakusuma acuh tidak acuh saja atas rencana ini" Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. Na mun ke mudian ia bertanya "Tetapi apakah alasan Raden Ayu Galihwarit" Apakah seperti juga Raden Rudira yang sakit hati karena Pangeran Ranakusuma selalu mendengar kata-katamu " Ki Dipana la terdia m sejenak. Sekali lagi ia berpaling me mandang piatu yang sudah tertutup. "Kakang, dima nakah anak-ana k itu?" "Mereka ada di dala m. Agaknya mereka sedang sibuk dengan barang-barang kiriman yang kau bawa. Selama ini mereka hanya mengenal kain lurik yang kasar. Sedang yang kau bawa adalah kain yang halus dan Barang-barang yang jarang dan bahkan ha mpir t idak pernah dilihat oleh Arum dan Buntal" Ki Dipanala mengangguk-angguk pula. Tetapi seakan-akan ia tidak yakin bahwa anak-anak itu tidak mendengar pembicaraan itu. "Ada yang ingin aku katakan kakang. Tetapi aku berharap agar anak-anak itu tidak mendengarnya. Pengaruhnya agak kurang baik bagi mereka " Kiai Danatirtapun me ngangguk. Agaknya yang akan dikatakan oleh Ki Dipanala adalah suatu rahasia yang lama disimpannya. "Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya kepada siapapun. Juga kepada kakang, orang yang pa ling aku percaya. Tetapi karena tindakan yang telah dia mbilnya adalah suatu pembunuhan, maka ada ba iknya orang lain mengetahuinya. Jika pada suatu saat aku benar-benar mati, maka ada orang yang tahu alasan sebenarnya atas ke matianku itu"
Kiai Danatirta merenungi wajah Ki Dipanala sejenak. Kemudian iapun berdiri sa mbil berkata "Coba aku lihat anakanak itu" Ketika Kia i Danatirta masuk ke ruang dala m, maka ternyata ruangan itu sudah sepi. Barang-barang yang-semula di bentang selembar de mi sele mbar, telah tersusun rapi dan diletakkan dala m tumpukan yang teratur di geledeg. Bahkan di sampingnya terletak ka mpil yang berisi uang. Kiai Danatirta menarik nafas. Anak-anak, itu tentu menganggap bahwa t idak akan ada seorangpun yang akan mengusik Barang-barang itu. Apalagi menga mbilnya, karena padepokan ini me mang tida k pernah kehilangan karena tangan seseorang. Jika ada barang yang hilang itu hanyalah disebabkan kekurang telitian dari antara mereka yang menyimpan Barang-barang itu dan barang itu tida k dapat dikete mukan lagi. Tetapi mungkin sebulan dua bulan barang yang hilang itu tanpa disengaja telah dijumpai oleh seseorang yang justru tidak sedang me ncarinya. Dengan hati-hati Kiai Danatirta pergi ke bilik Arum. Dilihattiya dari sela-sela daun pintu yang tidak tertutup rapat, gadis itu telah terbaring di pe mbaringannya meskipun agaknya belum tertidur. Dari bilik Arum, Kia i Danatirta pergi ke bilik Juwiring dan Buntal. Keduanyapun sudah ada pula di dalam biliknya, meskipun keduanya masih berbicara tentang sesuatu. Kiai Danatirta itupun segera ke mba li ke pendapa. Mereka sengaja berbicara di pendapa, tidak di pringgitan, agar tidak mudah orang lain ikut mendengarnya justru karena pendapa itu terbuka. "Kakang" berkata Ki Dipanala ke mudian "sebenarnya ceritera ini sudah berlangsung lama. Dan karena ceritera inilah maka a ku seakan me mpunyai pengaruh di Ranakusuman meskipun aku tidak disukai oleh siapapun juga "
Kiai Danatirta tidak menyahut. Dibiarkannya Ki Dipanala meneruskan ceriteranya. "Adalah suatu kebetulan pula bahwa aku melihat hal itu terjadi. Dan karena itu pula aku seakan-akan me mpunyai perbawa atas Raden Ayu Galihwarit. Sebenarnya aku sama sekali t idak berniat untuk me merasnya. Aku sudah berjanji untuk merahasiakan apa yang sudah terjadi itu. Namun agaknya Raden Ayu. Galihwarit selalu dihantui oleh bayangannya sendiri, la selalu curiga kepadaku. Bertahuntahun hal itu terjadi. Tetapi pada suatu saat, karena persoalan-persoalan lain yang berkembang, agaknya sampai juga suatu keputusan pada Raden Ayu Galihwarit untuk me mbunuhku" Kiai Danatirta hanya mengangguk-angguk saja. Ia ingin segera mendengar ceritera yang sesungguhnya, sehingga Raden Ayu Galihwarit harus menga mbil sikap itu. Me mbunuh atau mendengar setiap pendapat Dipanala. "Pada saat itu. Raden Ayu Galihwarit sedang berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menyingkirkan Juwiring. Dengan berbagi maca m cara dan hasutan, sehingga akhirnya Pangeran Ranakusuma mulai mendengar kata-kata itu" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "Na mun di sa mping itu, Raden Ayu Galihwarit mulai dihinggapi penyakit yang sekarang menjadi se makin parah" Kiai Danatirta hanya mengangguk-angguk saja. mengangguk-angguk dan
"Pada suatu mala m, selagi aku pergi ke te mpat seorang saudaraku, aku me lihat sebuah kereka berhenti di pinggir jalan di pinggir kota, di bawah bayangan kegelapan. Aku menjadi curiga. Semula aku mengira saisnya tentu sedang me mpunyai kepentingan di kege lapan. Dan menurut dugaanku kereta yang bagus itu tentu kosong. Jika ada penumpangnya, sais itu tentu tidak akan berani berhenti. Apalagi menurut dugaanku kereta itu tentu kereta seorang perwira kumpeni" Ki
Dipanala berhenti sejenak, kemudian di teruskannya "Tetapi ke mudian aku me lihat sais itu berdiri bersandar sebatang pohon agak jauh dari keretanya. Kemudian berjalan mondarmandir. Aku menjadi se makin heran. Timbullah keinginanku untuk mengetahui, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Karena itu, dengan diam-dia m a ku mendekati kereta itu tanpa diketahui oleh saisnya" tiba-tiba saja Ki Dipanala menjadi tegang. Katanya "Kakang, peristiwa berikutnya adalah peristiwa yang paling kotor yang pernah aku lihat" "Apa?" "Setelah aku berhasil mendekati kereta yang me mang berada di kegelapan itu, aku mendengar suara di dala mnya. Suara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Menilik warna suaranya tentu seorang laki-laki asing" nafas Ki Dipanala serasa menjadi se makin cepat menga lir "Kakang, aku tidak tahan menyaksikan hal serupa itu. Orang asing itu telah mengotori kota ini dengan kebiadaban. Aku mengira bahwa mereka yang katanya me mbawa peradaban yang tinggi, ternyata memiliki tata kesopanan yang sangat rendah. Mereka akan mence markan na ma kota ini dengan perbuatan yang kotor di jalan-ja lan. Karena itu, dengan tidak sabar aku me loncat. Dengan sekuat tenaga aku tarik pintu kereta yang sekaligus terbuka" Dada Ki Dipanala menjadi seakan-akan berdebaran meskipun ia hanya sekedar berceritera. Lalu suaranya menjadi terputus-putus "Tetapi, tetapi sama sekali tidak aku duga. Ketika pintu itu terbuka, seseorang telah terdorong dan jatuh keluar. Seorang perempuan. Ke mudian disusul seorang laki-laki asing meloncat pula. Tetapi, yang sama sekali tidak aku duga. ternyata perempuan itu bukannya perempuan yang aku sangka dia mbilnya di pinggir jalan. Perempuan itu adalah Raden Ayu Galihwarit yang sejak sore pergi me menuhi undangan perwira asing yang mengadakan pertemuan makan bersa ma dengan beberapa orang bangsawan. Tetapi karena kesibukannya, maka Pangeran Ranakusuma sendiri tidak dapat datang dan me mbiarkan
isternya dijemput dan diantar ke mba li ke istana Ranakusuman. Tetapi agaknya yang mengantar Raden Ayu Galihwarit saat itu adalah seorang perwira kumpeni yang, gila dan setengah mabuk" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Terasa bulu-bulunya meremang juga. Itulah sebabnya maka istana Ranakusuman menjadi penuh dengan berbagai maca m Barang-barang hadiah dari orang-orang asing itu. Barangbarang yang tidak terdapat di Surakarta sendiri. Sejenak kemudian, setelah menarik nafas dala m-dala m, Ki Dipanala meneruskan "Kakang dapat me mbayangkan, bagaimana perasaan Raden Ayu Galihwarit yang kemudian dibantu oleh orang asing itu berdiri me mandang a ku. Meskipun di dala m kegelapan, tetapi ia segera mengenal aku pula. "Dipana la" katanya dengan suara gemetar. Aku menjadi bingung. Tetapi akupun mengangguk sa mbil menjawab "Ya Raden Ayu" ke mudian
Sejenak Raden Ayu Galihwarit me mandang aku. Kemudian terdengar la menggera m "Apakah kau sudah gila?" "Maaf Raden Ayu, hamba tidak tahu" "Gila. Kenapa kau mencampuri persoalan orang lain. Seandainya kau tidak tahu siapa yang ada di dala m, apakah hubunganmu dengan hal ini?" "Ampun Raden Ayu.Hamba adalah seorang penghuni kota ini. Ha mba tersinggung bahwa hal ini sudah terjadi di jalanjalan raya di kota Surakarta yang amat hamba junjung tinggi ini" "Tetapi itu bukan urusanmu" "Terdorong oleh rasa tanggung jawab hamba semata-mata, atas kota ini"
"Kakang Danatirta, sebenarnya aku sudah akan berlutut minta maaf kepada Raden Ayu Galihwarit. Tetapi orang asing yang agaknya sudah dapat mempergunakan bahasa kita itu ikut me maki. "Kau me mang anjing tidak tahu diri" katanya. Dan Raden Ayu itu t idak me lindungi aku sa ma seka li, bahkan iapun me ma ki "Kau merupakan malapetaka bagiku Dipana la" "Ampun Raden Ayu, hamba tidak akan berbuat apa-apa. Hamba akan pergi dan melupa kan apa yang pernah hamba lihat ini" Raden Ayu Galihwarit me mandangku dengan tajamnya. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit t idak me mpercayaiku. "He anjing busuk" berkata kumpeni itu "Kau berani mengganggu Raden Ayu dan aku ya" Kau sudah menghina aku" "Ia sangat berbahaya bagiku" berkata Raden Ayu Galihwarit kepada orang asing itu. "Jadi apakah maksud Raden Ayu orang ini dilenyapkan saja?" Dadaku berdesir mendengar pertanyaan itu. Dan apalagi setelah aku mendengar jawabnya "Terserahlah kepada tuan" Hatiku bergejolak mendengar orang asing itu tertawa. Apalagi ketika tiba-tiba saja tangannya meraba sesuatu di balik bajunya. Aku tahu, bahwa ia menga mbil senjata api. Jika senjata api itu meletus, sebutir peluru akan mene mbus dadaku dan aku akan mat i seketika, sedang tidak akan seorangpun di sekitar tempat itu yang akan berani berbuat sesuatu, karena mereka sadar bahwa suara itu adalah suara senjata yang sangat menakutkan. Tetapi alangkah takutnya aku kepada mati pada waktu itu. Kematian bagiku lebih menakutkan daripada kumpeni itu dan juga daripada Raden Ayu Galihwarit. Itulah sebabnya aku tiba-
tiba saja berbuat sesuatu untuk menghindarkan diri dari ke matian. Ketika aku me lihat tangan orang asing itu menggengga m benda yang menakutkan itu tibatiba saja aku kehilangan pertimbangan la in. Aku menganggap bahwa me mbe la diri ada lah jalan satu-satunya untuk me lepaskan diri dari ketakutanku akan mati. Karena itu ketika orang asing itu mengacungkan senjatanya kepadaku, tiba-tiba saja aku me loncat. Dengan kakiku aku berhasil menghantam pergelangan tangannya sehingga senjata itu terloncat dari tangannya sebelum me ledak. Tetapi orang asing itu sama sekali tidak kehilangan akal. lapun segera mencabut pedangnya yang panjang. Dengan serta merta ia mencoba menusuk dada ku dengan pedang itu. Untunglah aku masih sempat menghindar. Namun ia benarbenar bertekad membunuhku, sehingga iapun segera me mburu. Akupun telah bertekad me mbe la diriku. Karena itu maka tiba-, tiba saja kerisku sudah berada di da la m gengga man tanganku. Ternyata bahwa orang asing itu tida k begitu pandai berkelahi. Ia hanya dapat mengayun-ayunkan pedangnya. Tetapi kakinya seolah-olah mati. Ia me mpercayakan tata
geraknya pada gerak tangannya. Tetapi aku tidak de mikian bodohnya. Aku me mpergunakan semua anggauta badan kita. Kaki dan tangan. Karena itu, ketika aku me loncat-loncat ia menjadi bingung. Aku sendiri tidak ingat lagi. Aku sadar ketika aku mendengar orang asing itu mengeluh tertahan. Suaranya serak dan ke mudian hilang ditelan seninya mala m. Yang terdengar kemudian adalah suara tubuh itu roboh di tanah. Mati. Ternyata aku telah menusuknya tepai di dadanya. Raden Ayu Galihwarit melihat perkelahian itu dengan tubuh gemetar. Dengan suara yang parau ia berkata "Kau gila Dipanala. Kau dapat dibunuh oleh kumpeni. Kau sudah me mbunuh seorang perwira. Dan kau akan menebus kebodohanmu" "Tida k ada orang yang melihat pe mbunuhan ini" "Aku dan sa is itu" Aku berpaling. Aku lihat sais itupun ketakutan berdiri disisi sebatang pohon yang besar. "Sais itu tida k mengenal ha mba " kataku. Aku tidak tahu dari mana aku me mpunyai keberanian untuk berbantah dengan Raden Ayu Galihwarit. "Aku mengena lmu. Aku dapat mengatakan kepada Pangeran Ranakusuma dan kepala pimpinan kumpeni bahwa kau telah me mbunuh sa lah seorang dari mereka" "Raden Ayu tidak akan mengatakannya" "Kenapa tidak" Aku akan mengatakannya. Dan kau akan digantung di alun-alun, atau dipancung di perapatan" Tetapi aku tetap mengge leng dan berkata perlahan-lahan "Jangan terlalu keras Raden Ayu. Hamba tidak mau sais itu mendengar dan mengetahui tentang hamba " "Aku akan mengatakan. Aku akan mengatakan"
"Raden Ayu tidak akan mengatakan. Baik kepada kumpeni, kepada Pangeran Ranakusuma ma upun kepada sais itu. Bukankah dengan de mikian Raden Ayu akan membuka rahasia Raden Ayu sendiri" Sela ma ini Pangeran Ranakusuma kadangkadang bertanya-tanya juga, kenapa Raden Ayu sering sekali mengunjungi ma kan bersama dengan orang-orang asing itu meskipun pada saat-saat Pangeran Ranakusuma berhalangan. Ternyata justru saat-saat yang demikian itulah yang menyenangkan bagi Raden Ayu. Apakah Raden Ayu tidak mengetahui, bahwa perasaan seorang suami kadang-kadang tergetar jika isterinya berbuat seperti apa yang Raden Ayu lakukan meskipun tidak melihatnya sendiri" Apakah Raden Ayu tidak mence maskan ke mungkinan yang buruk bagi Raden Ayu jika Pangeran Ranakusuma mengetahui hal ini" "Tida k ada yang mengetahuinya" "Ha mba dan sais itu. Jika tuan berusaha menjerumuskan hamba ke tiang gantungan atau hukuman apapun, maka hambapun akan sa mpai hati pula mengatakan kepada siapapun tentang Raden Ayu" "Kumpeni tidak akan percaya. Seandainya percaya, maka mereka pasti akan merahasia kannya, karena banyak sekali di antara mereka yang terlibat daja m keadaan yang sama. Bahkan bukan dengan aku sendiri. Ada puteri-puteri bangsawan yang lain yang melakukan seperti yang aku lakukan" "Tetapi Raden Ayulah yang paling menonjol di antara mereka itu" "Tutup mulut mu" "Dan Raden Ayupun akan menutup mulut. Jika Raden Ayu sampai hati me mbunuh ha mba, hambapun a kan sa mpai hati mengatakan yang terjadi. Mungkin Kumpeni tidak akan me mpercayai bahwa ada perwira-perwiranya yang berbuat demikian, atau dengan sengaja menyembunyikan kenyataan
itu, karena sebagian besar dari mereka terlibat. Namun hati Pangeran Ranakusuman pasti a kan terketuk. Jika Pangeran Ranakusuma menangkap getaran isarat dalam lubuk hatinya, maka tuan akan menga la mi nasib yang kurang baik. Bukankah isteri Pangeran Ranakusuma tidak hanya seorang" Dan bukankah isteri yang lain meskipun tidak selincah Raden Ayu tetapi ia adalah seorang isteri yang setia" Dan apakah tuan tahu, betapa pahitnya perasaan seorang suami jika mengetahui bahwa isterinya tidak setia seperti Raden Ayu meskipun Pangeran Rana kusuma adalah seorang sua mi yang longgar, yang memberi banyak kesempatan kepada Raden Ayu untuk keluar rumah tanpa suaminya. Apalagi tuan sudah berbuat tidak senonoh dengan seorang asing, seorang bule" "Dia m, dia m" "Jangan berteriak. Aku mencegah. Tetapi wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi pucat. "Nah Raden Ayu" kataku ke mudian "terserahlah kepada Raden Ayu. Sebelum ada orang yang mengetahui tentang aku, maka aku akan pergi. Tetapi jika hamba ditangkap oleh siapapun juga karena me mbunuh kumpeni. hamba akan mengatakannya juga kepada siapapun. bahwa tuan sudah berbuat sesat. Maka nama Raden Ayu, seorang puteri bangsawan yans menjadi isteri seorang Pangeran pula. akan tercemar. Dan tuan akan tersisih dari pergaulan. Mungkin Raden Ayu akan disingkirkan dari Ranakusuman dan ayahanda Raden Ayu tidak akan menerima Raden Ayu lagi. Dengan demikian Raden Ayu akan dapat me mbayangkan apa yang akan terjadi pada Raden Ayu. Terasing dan dihina kan oleh seluruh rakyat Surakarta. Yang terbayang pada Raden Ayu hanyalah tinggal satu jalan, semakin jauh terperosok ke dalam kesesatan" "Tida k, tidak" t iba-tiba Raden Ayu Galihwarit menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Terdengar isak tangisnya tertahan-tahan.
Pendekar Baja 12 Dewi Ular 57 Asmara Mumi Tua Terkurung Di Perut Gunung 1
^