Pencarian

Bunga Di Batu Karang 6

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 6


Ketika sebuah lubang persegi terbuka, Dipanala berdiri tepat di muka lubang itu, sehingga wajahnya seakan-akan telah me menuhi seluruh lubang persegi itu. O, Ki Dipanala" desis para penjaga itu. Namun terasa suara mereka menyimpan nada yang lain dari kebiasaan mereka. "Agaknya orang-orang ini sudah mengetahui apa yang terjadi" berkata Ki Dipanala di dala m hatinya. Sejenak kemudian pintu regol itu berderit, dan perlahanlahan terbuka. Yang mula-mula berdiri di muka pintu yang terbuka itu me mang Ki Dipanala yang me megangi kenda li kudanya. Namun ke mudian para penjaga itupun me lihat, bahwa Dipana la tidak datang sendiri. Para penjaga itu seakan-akan me mbeku sejenak ketika mereka melihat Sura berdiri di be lakang Ki Dipanala. Melihat wajah-wajah yang tegang itu Surapun bertanya "Kenapa ka lian me mandang aku seperti itu?" "Kau ke mbali seseorang. "Ya, kenapa?" Para penjaga itu saling berpandangan sejenak. Tetapi Sura tidak menghiraukannya lagi. Seperti Ki Dipanala iapun langsung me masuki regol Ranakusuman sa mbil menuntun kudanya. "Orang itu sudah Gila" berbisik para penjaga. "Apakah ia me miliki nyawa rangkap sehingga ia berani datang lagi ke hala man ini" desis sa lah seorang dari mereka. "Ia tidak akan dapat lari, karena ia harus me mbawa keluarganya. Kecuali jika ia ingin menyelamatkan dirinya sendiri tanpa menghiraukan anak isterinya" sahut yang la in. juga ke Ranakusuman ini?" bertanya
Dan seorang yang berkumis lebat berkata "Bagaimanapun juga Sura adalah seorang yang berani. Ia bukan seorang yang licik menghadapi persoalan-persoalan yang gawat. Ia berani bersikap jantan, akibat apapun yang akan dihadapi" Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Bagaimanapun juga ada kekaguman dari para penjaga terhadapnya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, ia tidak melarikan diri seperti seorang pengecut. Namun ternyata di halaman Ranakusuman tidak ada persiapan apapun untuk menunggu kedatangan Sura. "Barangkali mereka me mang menganggap bahwa aku tidak akan datang lagi ke hala man rumah ini" desis Sura di dala m hatinya. Bersama Ki Dipanala merekapun langsung pergi ke halaman sa mping. Kuda merekapun segera diikat pada sebatang pohon di be lakang gandok. Tanpa mereka sadari, ternyata keduanya telah menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang melihat kehadiran mereka. Ketika mereka sejenak berdiri termangu-mangu di bawah pohon tempat mereka mena mbatkan kuda-kuda mereka, ternyata beberapa pasang mata mengawasi mereka dengan sorot yang aneh. Tiba-tiba seorang dari antara mereka menyeruak kedepan sambil me ngumpat. Dengan tangan di pinggang orang yang bertubuh raksasa itu berkata "Sura, apakah kau sudah gila dan karena itu berani me masuki hala man ini lagi?" Sura yang mendengar suara itu berpa ling. Dilihatnya Mandra berdiri di antara beberapa orang pengawal yang lain yang agaknya masih berkumpul di serambi gandok. Sura tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Mandra yang tegang dan sorot matanya yang berapi-api.
"Sura. Kau benar-benar tidak tahu ma lu. Kau sudah berkhianat dan bahkan me mberontak. Kenapa kau datang lagi ke mari" Apakah kau sedang mengantarkan nyawa mu, atau kau akan bersimpuh sa mbil mohon a mpun atas pengkhianatanmu dan pemberontakanmu" sia-s ia Sura. Tidak ada orang yang dapat mengampuni kau. Juga kawanmu yang merasa dirinya me mpunyai pengaruh atas isi ha la man ini. Kalian a kan menyesal, karena semuanya sudah pasti, bahwa kalian adalah musuh dari Raden Rudira, berarti musuh dari seluruh isi hala man ini" Sura yang hatinya mulai terbakar ingin menjawab. Tetapi Dipanala mengga mitnya sambil berdesis "Jangan kau tanggapi. Kita tidak me merlukan orang itu. Kita me merlukan Pangeran Ranakusuma" "Tetapi bagaimana dengan orang itu?" "Biarkan. Kita berdiri saja di sini sa mbil menunggu kesempatan. Jika Raden Rudira me ngetahui kehadiran kita, ia pasti akan berbuat sesuatu. Aku mengharap, aku akan mendapat kese mpatan, karena semua tinda kan yang dia mbil di hala man ini biasanya mendapat perhatian dari Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit " Sura tidak me mbantah. Ia percaya kepada Dipana la, karena selama ini Dipanala me mang mendapat beberapa kesempatan yang lebih baik dari orang-orang lain, meskipun Dipanala adalah orang yang tidak disukai. Tetapi Mandra masih saja bertolak pinggang sa mbil berkata "Sura, apakah kau sekarang tuli atau bisu" Atau barangkali kau me mang me mpunyai nyawa yang liat, yang tidak dapat lepas dari tubuhmu" Dan sekali lagi Dipanala berdesis "Biarkan saja ia berteriak. Suaranya akan me manggil Raden Rudira dan ibundanya yang banyak ikut ca mpur dala m setiap persoalan"
Sura menggera m. Tetapi ia masih tetap berdiam diri "Sura. Sura" Mandra berteriak semakin keras. Sikap Sura yang diam itu me mbuatnya sema kin marah. -ooo0dw0ooo-
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 05 MANDRA berpaling. Ketika ia melihat Raden Rudira. maka ia pun segera berkata "Tuan. Cucunguk itu datang ke mari" "Siapa?" "Sura dan Dipana la" "Sura dan Dipana la?" Raden Rudira terkejut. "Itulah mereka " Raden Rudira me mandang ke dala m kere mangan cahaya la mpu yang sayup-sayup saja sampai. Tetapi iapun segera mengenal mereka berdua. Mereka benar-benar Sura dan Dipanala. Terdengar Raden Rudira menggeretakkan giginya. Lalu tiba-tiba keluar perintahnya sebelum ia se mpat berpikir "Kepung mereka. Jangan sampa i keduanya dapat lari dari halaman ini. Ikat mereka pada pohon sawo di halaman depan. Kita akan menunjukkan kepada semua abdi dan pengawal, bahwa yang terjadi adalah akibat dari pengkhianatan mereka"
Sejenak para pengawal menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Mandra mendahului me langkah mende kati Sura. maka yang lainpun segera mengikutinya. "Jangan melawan Sura " bisik Dipanala. "Apakah aku akan me mbiarkan diriku mati dengan sia-sia " "Apakah kau masih percaya kepadaku?" Sura merenung sejenak. Na mun ke mudian ia menganggukkan kepa lanya sambil berdesis "Ya. Aku masih percaya kepada Ki Dipanala " "Jika kau masih percaya kepadaku, jangan melawan. Aku masih mengharap bahwa kita tidak akan mati sa mbil terikat" "Aku tidak ma u mati dengan tangan terikat. Aku ingin mati dengan pedang di tangan" "Percayalah kepadaku" Sura menarik nafas dala m-dala m. Se mentara itu orangorang yang mengepungnya menjadi se ma kin rapat. Namun Sura tidak berbuat apa-apa seperti juga Dipanala. "Tangkap mere ka. Jika mereka tangannya" teriak Raden Rudira. me lawan, patahkan
Ki Dipanala me mandanginya sejenak, lalu jawabnya "Kami tidak akan melawan" "Bagus. Jika de mikian ikat tangan mereka pada pohon sawo di ha la man depan" Terdengar gigi Sura yang gemeretak. Tetapi ia tidak me lawan seperti yang dinasehatkan Ki Dipanala, meskipun sebenarnya hatinya tidak mau menerima perlakuan itu. Dengan kasarnya Mandra mendorongnya dan ke mudian beberapa orang mengikat tangannya dan menyeretnya kesebatang pohon sawo di hala man depan.
"Tutup pintu regol. Jangan seorangpun yang diperbolehkan masuk" berkata Raden Rudira dengan lantang. Para penjaga di regol halaman, segera menutup pintu yang sudah tertutup itu menjadi se makin rapat dan me malangnya kuat-kuat. "Aku curiga, bahwa sebenarnya Sura tidak datang hanya berdua saja. Awasi semua sudut" Mandra mengerutkan keningnya, lalu berkata kepada kawan-kawannya "Benar juga. Mungkin mereka tidak hanya berdua saja. Awasi semua sudut" Beberapa orangpun segera memencar. Di dala m keremangan mereka mengawasi dinding-dinding hala man Dale m Ranakusuman. Mereka me mperhatikan setiap desir dan setiap gerak. Tetapi tidak ada seorangpun yang mereka jumpai. Meskipun de mikian mereka tetap Di tempatnya masing-masing. "Kau a kan tetap terikat sa mpai besok Ki Dipanala" berkata Rudira "dan kau Sura, barangkali nasibmu akan lebih jelek lagi" Sura me mandang Ki Dipanala sejenak, na mun tampa knya wajah orang itu masih tetap tenang-tenang saja. Tetapi ketenangan Dipanala agaknya membuat hati Rudira semakin panas, sehingga iapun ke mudian berteriak "Nasibmupun tida k perlu kau sesali. Besok, jika matahari na ik sampai keujung pepohonan, semua abdi dari istana ini akan berkumpul di hala man dan menyaksikan bagaimana aku me mukul ka lian dengan rotan sa mpa i tubuh kalian tidak berbentuk. Setelah itu aku akan mele mparkan kalian keluar regol hala man rumah ini untuk sela manya" Dipanala tidak menyahut sama sekali. Tetapi wajahnya masih tetap tenang dan seakan-akan yakin, bahwa tidak akan pernah terjadi sesuatu atas dirinya.
Ternyata keributan dan teriakan-teriakan Raden Rudira telah me mbangunkan seisi istana itu. Bahkan Pangeran Ranakusuma yang telah nyenyakpun terbangun pula. Sambil bangkit dari pe mbaringannya ia berdesah "Apalagi yang dilakukan anak itu" Dengan wajah yang kusut Pangeran Ranakusuma keluar dari biliknya dan me mukul sebuah bende kecil disisi pintu biliknya. Seorang pelayan dalam berlari-lari kecil mendekatinya. Beberapa langkah di hadapan Pangeran Ranakusuma pelayan itupun segera berjongkok sambil menundukkan kepalanya dalam-da la m. "Ada apa di luar?" Pangeran Ranakusuma bertanya. "Raden Rudira sedang marah tuan" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia berpaling ketika didengarnya suara isterinya, Raden Ayu Galihwarit "Siapakah yang kali ini dimarahinya?" "Menurut pendengaran ha mba, agaknya Raden Rudira marah-marah kepada Sura dan Ki Dipanala" "He?" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Tetapi yang bertanya lebih dahulu adalah Raden Ayu Sontrang "Maksudmu Ki Dipanala abdi Ranakusuman ini?" "Ha mba dengar de mikian" Sejenak Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang. Tetapi iapun berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. "Dima nakah mereka sekarang?" "Di hala man depan tuan" Pangeran Ranakusuma termenung sejenak. Lalu ia bertanya kepada isterinya "Apakah ia mengatakan sesuatu tentang kedua orang itu?"
"Ya ka mas. Ia merasa dikhianati oleh keduanya. Ia tidak berhasil menga mbil gadis Jati Aking itu" "Gadis Jati A king" Siapa?" "Anak Danatirta" "He" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya "Jadi Rudira ingin menga mbil ana k gadis Danatirta?" "Ya ka mas. Aku me ma ng me merlukan seorang pelayan untuk menjediakan kinangan dan botekan, khusus buatku" "Tetapi kenapa anak Danatirta" Aku sudah menit ipkan Juwiring di padepokan itu, dan sekarang Rudira ingin menga mbil anaknya" "Apakah salahnya?" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Katanya kemudian "Tidak. Aku tida k boleh me mbiarkannya. Keluarga kita tidak boleh menyakit i hatinya. Aku yakin, bahwa Danatirta tentu keberatan me mberikan anaknya itu, dan Rudira tidak boleh me maksanya" "Tetapi itu dapat berarti menurunkan martabat kita ka mas" "Kenapa?" "Akan menjadi kebiasaan seorang rakyat kecil menolak perintah seorang bangsawan, apalagi seorang Pangeran seperti ka mas Ranakusuma" "Tetapi perintah itu sa ma sekali tidak wajar" "Kenapa tidak" Bukankah sudah menjadi kebiasaan seorang bangsawan untuk menga mbil seorang perempuan yang disukainya?" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak dapat me mbantah karena ia pernah melakukannya, dan isterinya itupun mengetahuinya pula. Namun demikian, ia
masih berkata "Tetapi mengasuh anakku pula"
Danatirta adalah seorang yang "Ah, kamas masih selalu me mikirkannya. Kamas masih selalu me mperhitungkan ana k itu, sedangkan yang sekarang menghadapi persoalan ada lah Rudira, Putera ka mas pula" Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-mangu. Setiap kali ia dihadapkan pada persoalan yang rumit. Dan kali ini, ia berdiri disimpang jalan yang sangat me mbingungkan. Selagi ia termangu-mangu, maka Raden Rudirapun berjalan bergegas masuk ke ruang tengah dan langsung ke pintu bilik ayahandanya yang terbuka, sedang ayah dan ibunya masih berdiri di muka pintu dihadap seorang pe layan. "Ayahanda masih belum tidur?" "Aku terkejut mendengar kau berteriak-teriak di ha la man, aku baru bertanya apa yang sudah terjadi" "Aku telah menangkap Sura dan Ki Dipanala, keduanya aku ikat pada pohon sawo kecik di hala man untuk menjadi pengewan-ewan" "Rudira" ha mpir berbareng ayah dan ibunya memotong. Namun hanya ayahanyalah yang melanjutkannya "Kau akan menghukum mereka?" "Ya ayahanda. Aku akan menghukum kedunya" Wajah Ranakusuma me njadi tegang sejenak. Tanpa disadarinya ia berpaling me mandang wajah Raden Ayu Galihwarit. Ternyata wajah itupun menegang pula. "Rudira" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian "Sura dan Dipanala adalah abdi-abdi Ranakusuman yang telah bertahun. Karena itu, setiap hukuman bagi mereka harus dipertimbangkan sebaik-ba iknya" "Aku sudah me mpertimbangkan ayahanda. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang harus dihukum. Mereka telah
menghina aku sebagai seorang putera Pangeran. Keduanya telah mencegah ke inginanku menga mbil seorang gadis dari padepokan Jati Aking. Mereka sama sekali tidak berhak berbuat demikian ayah" Pangeran Ranakusuma merenung sejenak. Dan sebelum ia menyahut. Raden Ayu Sontrang sudah mendahuluinya "Jangan berbuat sewenang-wenang terhadap keduanya Rudira. Terutama Ki Dipanala" "Kenapa dengan Ki Dipanala?" bertanya Rudira "Ia tidak ada bedanya dengan abdi yang lain, sehingga karena itu, maka iapun wajib mendapat perlakuan yang sa ma seperti Sura" Sejenak ayah dan ibu Rudira itu termenung. Na mun kegelisahan yang sangat telah me mbayang di wajah mereka. Karena itu, tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma berkata "Aku ingin melihat mereka" "Tida k usah sekarang ayahanda. Biarlah mereka merasakan betapa dinginnya sisa ma la m ini" "Mereka tida k akan kedinginan karena hatinya yang panas" "Jika de mikian, biarlah mereka merasakan panasnya sengatan rotan di punggung mereka besok siang" "Jangan kehilangan keseimbangan Rudira. Aku me merlukan Dipanala" "Ya" sa mbung Raden Ayu Ga lihwarit " Setidak-tida knya Dipanala harus mendapat pertimbangan lebih banyak" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan di dalam hatinya, apakah Raden Ayu Sontrang juga me mpunyai kepentingan dengan Dipanala seperti dirinya" Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertanya kepada isterinya. Kepada pelayan dalam ia berkata "Antarkan aku ke halaman depan"
"Ayahanda" Raden Rudira berusaha mencegah "biarkan mereka terikat sa mpai besok menje lang tengah hari. Biarlah mereka se karang kedinginan, dan besok kepanasan" Tetapi Pangeran Ranakusuma t idak menjawab. Ia me langkah diikuti oleh Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira. Di belakang mereka adalah pelayan dalam yang mendapat perintah untuk mengikutinya pula. "Aku masih me merlukan Dipanala" "Ya" sahut Raden Ayu Sontrang "Kau harus melepaskan Dipanala, Rudira" "Apakah yang lain pada Dipanala" Kenapa ayahanda agak terikat kepadanya?" Ayahnya tidak menyahut. Tetapi jantung Raden Ayu Galihwaritpun menjadi berdebar-debar. Jika Rudira bertanya demikian kepadanya ma ka ia akan me ngala mi kesulitan untuk mencari jawabnya. Untunglah bahwa Rudira tidak bertanya kepadanya. Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak menjawab pertanyaan Raden Rudira. Pelayan dala m itu bergegas me mbuka pintu sa mping ketika Pangeran Ranakusuma berkenan mela lui pintu yang sudah ditutup rapat itu. Seusap angin mala m yang berhe mbus dari Selatan telah me mbuat Pangeran Ranakusuma berdesis. Tetapi ketegangan di dala m hatinya me mbuatnya seolah-olah sa ma seka li tidak kedinginan. Bahkan beberapa titik keringat telah menge mbun di dahinya. Kedatangan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira me mbuat Sura menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak mengerti, kenapa justru Ki Dipanala tersenyum karenanya. Senyum yang sama sekali tida k dapat dibaca maknanya.
Beberapa orang prajurit yang ada di halaman itupun segera berjongkok. Berbagai pertanyaan telah timbul di dala m hati mereka. Apakah Pangeran Ranakusuma tidak sabar menunggu sampai besok". Sejenak ke mudian Pangeran Ranakusuma sudah berdiri di hadapan Ki Dipanala. Dengan taja mnya ia me mandang orang yang terikat itu. Namun sejenak ke mudian, ia berpaling kepada Sura. Dan pertanyaan yang pertama-tama diberikan adalah justru kepada Sura "Sura, apakah benar kau sudah berkhianat?" "Bukan ma ksud ha mba berkhianat Pangeran" jawab Sura terbata-bata. "Jadi apakah ma ksudmu?" "Ha mba sekedar mulai berpikir dan menila i perbuatanperbuatan hamba sendiri" "Apakah selama ini kau tidak pernah me mikirkan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakanmu?" Sura mengge lengkan kepalanya "Tida k tuan. Selama ini hamba t idak me mikirkan perbuatan ha mba" "Untuk apa sebenarnya kau mengabdikan dirimu, sehingga kau kehilangan kepribadianmu?" Sura menundukkan kepa lanya. me mbe lit hatinya kuat-kuat. Pertanyaan itu telah
"Ya. untuk apa?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Dan tiba-tiba saja ia menemukan jawab "Ha mba ingin me mbuat ke luarga, anak dan isteri hamba hidup agak ba ik tuan. Hamba telah menjual kepribadian ha mba untuk itu" "Bukankah keputusan yang kau ambil itu juga hasil pemikiran" Apakah dengan de mikian, bukan sebaliknya yang terjadi, bahwa justru sekaranglah kau telah kehilangan
kesempatan untuk berpikir" Untuk me mikirkan keluarga mu" Apakah dengan de mikian, justru baru sekarang kau telah kehilangan arti dari dirimu sendiri" Kau me miliki ke ma mpuan yang disertakan ala m sejak kelahiranmu, dan kau dapat me mperguna kannya sebaik-baiknya atas pertimbangan nalar untuk kesejahteraan keluarga mu" Sura menarik nafas dalam-dala m. Jawabnya "Ampun tuan. Jika ha mba me mandang dari segi itu, agaknya me mang demikian. Hamba sudah kehilangan arti dari ke ma mpuan yang hamba miliki bagi keluarga hamba. Tetapi pengenalan arti yang hamba maksudkan adalah pengena lan atas baik dan buruk, atas kebenaran yang kesesatan" "O" Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya "Kau mulai berguru olah kajiwan. Apakah kau ikut serta dengan Juwiring belajar pada Kiai Danatirta" Atau tibatiba saja kau mendapat ilha m yang mengajarmu tentang baik dan buruk dan tentang kebenaran dan kesesatan?" "Ampun Pangeran. Hamba tidak me mpe lajarinya dari Kiai Danatirta. Tetapi hamba me mpelajari dari jalan hidup ha mba sendiri. Meskipun pengenalan atas baik dan buruk itu ada sejak aku sadar akan diriku di masa kanak-kanak, tetapi pengakuan dan penghayatannya itulah yang seakan-akan telah me mbuat aku manusia yang lahir ke mba li sekarang ini" "He, darimana kau belajar menyusun pe mbelaan ini" Kau me mang mengagumkan Sura. Aku kira kau tidak pernah belajar apapun juga, dan tidak me mpelajari ilmu kajiwan dan pandangan hidup. Tetapi kau dapat menyebut kalimat-kalimat yang bernafas kajiwan. Bahkan aku telah mengagumi katakatamu" Sura menunduk dala m-dala m. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Menurut pengertiannya, tiba-tiba saja ia menyadarinya. Dan ia t idak dapat menyebutkan sumber yang manakah yang telah menga liri hatinya, sehingga ia ma mpu mengucapkan kata-kata itu.
"Sura" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian "Sayang, bahwa justru pengalamanmu atas dirimu sendiri itulah yang me mbuat mu telah berkhianat. Berkhianat kepada bendara dan berkhianat kepada kesadaranmu berkeluarga. Jika kau dihukum karenanya, maka ke luarga mu pasti akan terlantar" Dada Sura menjadi berdebar-debar. Sekilas ia me mandang wajah Ki Dipanala yang masih terikat. Tetapi wajah itu masih tetap tenang dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa atasnya. "Apakah justru Ki Dipanala ini sekedar berpura-pura untuk menjebakku. Ke mudian ia a kan terlepas dari se mua tanggung jawab yang mereka tuduhkan pengkhianatan ini?" "Sura" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian "Kau adalah abdi yang sudah la ma. La ma sekali. Tetapi sekarang kau dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa kau terpaksa mendapat hukuman. Sudah barang tentu bahwa itu adalah sekedar akibat dari keke liruanmu" Sura sama sekali tida k menjawab. "Tetapi kau me mang seorang laki-laki. Kau menghadapi semuanya dengan sikapmu yang jantan. Itulah yang masih ada padamu satu-satunya. Kejantanan" Sura masih tetap berdiam diri. Ia mengangkat wajahnya sebentar ketika Pangeran Ranakusuma ke mudian berpaling kepada Ki Dipanala "Dipanala. Persoalanmu agak berbeda dengan Sura. Jika kau bersedia minta maaf kepadaku dan kepada Rudira. kau a kan dibebaskan dari segala tuntutan" Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Sura. Jika Dipanala sekedar minta maaf, dan kemudian dilepaskan tanpa menghiraukan dirinya, maka sadarlah ia bahwa sebenarnya Dipanala telah menjebaknya sehingga ia tidak melawan sama sekali ketika kedua tangannya diikat.
Tetapi jawaban Dipanala benar-benar mengejutkannya "Tuan. Hamba tida k bersalah. Karena itu hamba tidak akan mohon maaf kepada siapapun juga" "Dipana la" tiba-tiba saja wajah Ranakusuma tegang. me njadi
"Ha mba hanya sekedar mencoba me luruskan jalan yang dilalui oleh Raden Rudira terhadap Arum, anak gadis Kiai Danatirta. Apakah hal itu sudah cukup kuat dipergunakan sebagai alasan untuk menyebut pengkhianat dan mengikat hamba di sini?" "Kenapa kau ikut menca mpuri persoalan ini?" "Barangkali ha mba me mang suka menca mpuri persoalan orang lain. Bukan baru kali ini ha mba menca mpuri persoalan penghuni Dale m Ranakusuman ini" "Cukup" tiba-tiba Raden Ayu Ga lihwarit berteriak me motong. Semua orang berpaling kepadanya. Bahkan Pangeran Ranakusuma me mandangnya dengan heran. Apalagi Raden Rudira. Namun Raden Ayu Galihwarit segera menyadari keadaannya sehingga ia berkata seterusnya "Kau tidak usah mengigau. Seandainya kau me mang pernah menca mpuri urusan orang lain pula, aku tidak peduli. Tetapi aku minta kau jangan menca mpuri persoalan anakku" Dipanala me narik nafas dala m-dala m. Sekilas terbayang peristiwa-peristiwa yang suram yang terjadi di dala m hala man istana Ranakusuman ini. Na mun ke mudian ia berkata "Terserahlah kepada penilaian tuan. Tetapi ha mba dan kawan hamba ini tidak bersalah. Jika ha mba akan dihukum, maka sudah tentu hamba tidak akan mau mengala mi derita seorang diri atau hanya berdua dengan Kawan ha mba ini" Raden Ayu Galihwarit menggigit bibirnya. Namun wajah Pangeran Ranakusumapun menjadi tegang.
"Jangan hiraukan orang itu ayahanda" berkata Raden Rudira ke mudian "Aku akan me manggil para pengiring besok setelah matahari terbit. Aku dapat menghukum keduanya dengan cara yang paling menarik, selain hukum picis" "Apa yang dapat kau la kukan Rudira?" "Maca m-maca m sekali ayah. Aku dapat memba kar dua potong besi sehingga me mbara. Jika ujung-ujung besi itu tersentuh mata keduanya, maka a kibatnya akan dapat dibayangkan" Terasa bulu-bulu tengkuk Raden Ayu Galihwarit mere mang. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Pangeran Ranakusuma telah mendahului "Rudira. Kita hidup pada jaman peradaban. Kita bukan lagi orang-orang liar yang dapat dengan sekehendak hati kita me mperlakukan sesa ma manusia" Rudira menjadi heran mendengar kata-kata ayahnya. Ayahnya tentu tahu, bahwa ia tidak akan me mperla kukan kedua orang itu seperti yang dikatakan. Tetapi ia benar-benar akan mendera keduanya dengan ca mbuk atau rotan. Belum lagi keragu-raguan itu mereda, tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma berkata "Lepaskan Dipanala" Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantung Raden Rudira. Namun selain Rudira, Surapun menjadi berdebar-debar pula. Perintah Pangeran Ranakusuma hanya berlaku bagi Dipanala. Tetapi tidak berlaku baginya. Namun ternyata Dipanala bertanya "Apakah aku akan dilepaskan sendiri?" "Ya, kau akan dilepaskan atas perintahku. Kau sudah la ma sekali t inggal di rumah ini. Karena itu, aku masih juga me mpunyai perasaan iba" "Tuan" berkata Dipanala "Masa pengabdianku dan Sura tidak terpaut banyak. Karena itu, hamba mohon agar Sura juga mendapatkan kese mpatan seperti ha mba "
"Gila" bentak Pangeran Ranakusuma "Aku me maafkan engkau. Itu tergantung atas kehendakku"
hanya "Jika tuan tidak berbuat adil, maka biarlah ha mbapun menga la mi perla kuan seperti yang akan diala mi Sura. Hambapun tidak berkeberatan mengala mi dera dengan cambuk atau rotan seratus kali pada badan ha mba" "Dipana la. kau jangan berbuat bodoh dan gila. Aku tidak mau berbuat lain kecuali menga mpuni kau meskipun Rudira tidak setuju. Sedang Sura, bagiku bukan seseorang yang aku perlukan lagi" "Tuan, soalnya bukan diperlukan atau tidak diperlukan. Soalnya aku dan Sura dapat dianggap berbuat kesalahan yang sama" "Tida k. Jauh berbeda" sahut Raden Rudira "meskipun aku ingin menghukum ka lian berdua, namun sebenarnya kesalahan Sura jauh lebih besar dari kesalahanmu. Sura dengan tegas menentang kehendakku. Ia berani melawan Mandra yang bertindak atas na maku" Dipanala mengerutkan keningnya. Namun katanya "Tergantung kepada Pangeran. Tetapi ha mba mohon Sura juga dilepaskan" "Tida k. Jika ayahanda ingin me maafkan kau Ki Dipanala, aku masih dapat mengerti, karena sela ma ini kau na mpaknya me mpunyai pengaruh atas ayahanda. Tetapi tidak dengan Sura. Ia benar-benar sudah berkhianat. Bukan saja dengan angan-angan. tetapi sudah dilakukan dengan perbuatan" "Dipana la" berkata Pangeran Ranakusuma "Kau hanya me mpunyai dua pilihan. Menja lani hukuman bersa ma Sura, atau kau mohon maaf dan aku lepaskan" "Ha mba me mang me mpunyai dua pilihan. Dilepaskan bersama-sama atau harus menja lani hukuman bersa manya. Perbedaan hukuman dan penga mpunan sa ma sekali tidak adil.
Dan hambapun sa ma sekali tidak berbuat kesalahan menurut hemat ha mba" Raden Rudira menggeretakkan giginya. Katanya "Aku akan menghukum kedua-duanya " Sejenak Pangeran Ranakusuma termenung. Ketika ia berpaling me mandang isterinya, tampaklah betapa ketegangan yang me muncak me mbayang di wajahnya. "Apakah pertimbanganmu?" Ranakusuma bertanya. tiba-tiba Pangeran
Raden Ayu Galihwarit mendapatkan kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu Pangeran Ranakusuma mendesaknya "Apa yang baik kita la kukan sekarang?" Tubuh ibunda Raden Rudira itu menjadi ge metar. Diselasela deru nafasnya ia berkata "Yang manapun yang ba ik menurut kakanda" Dipanala me njadi berdebar-debar juga. Memang ia me mpunyai keuntungan dengan sikapnya. Tetapi ke mungkinan yang lain justru pahit sekali. Baik Pangeran Ranakusuma, maupun Raden Ayu Galihwarit dapat me merintahkan untuk segera me mbunuhnya, agar mulutnya tidak lagi dapat mengucapkan kata-kata. "Jika demikian yang terjadi, apaboleh buat. Tetapi aku pasti masih me mpunyai kesempatan untuk berteriak meskipun hanya beberapa kata. Dan yang beberapa kala itu akan me mbawa Pangeran Ranakusuma sua mi isteri untuk bersamasama menga la mi kenyerian yang tiada taranya meskipun berbeda bentuknya. Namun Pangeran Ranakusuma tida k segera berbuat sesuatu, la masih berdiri saja me matung me mandang Dipanala yang terikat itu. Sekali-sekali dipandanginya pula wajah Sura yang tegang.
Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Keduanya adalah abdi yang termasuk paling la ma bekerja di Ranakusuman. Tetapi Sura bagi Pangeran Ranakusuma tidak lebih dari benda-benda mati. Jika ia tidak terpakai lagi, maka apa salahnya jika ia dibuang. Tetapi agaknya tidak de mikian dengan Dipanala. Na mun karena itu, Dipanala menjadi lebih tidak disukai lagi. Bahkan me mang terlintas di angan-angan Pangeran Ranakusuma "Kenapa orang ini tidak segera mati saja?" Selagi Pangeran Ranakusuma termangu-mangu, maka Raden Rudira berkata "Serahkan kepadaku ayahanda. Mungkin ayahanda tidak akan sampai hati karena orang-orang ini sudah terlalu la ma berada dan mengabdikan diri kepada ayahanda. Tetapi penghinaan yang diberikan kepadaku sepantasnya untuk diperhitungkan sebaik-ba iknya. Dan aku tidak berkeberatan sa ma sekali untuk me lakukannya. Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi se makin tegang. Keringat dingin mulai me ngalir di punggung dan tengkuknya. Raden Rudira menjadi heran me lihat sikap ayahandanya. Bahkan sikap ibundanya Ga lihwarit. Seakan-akan ada sesuatu yang menghantui mereka berdua, sehingga mereka berdua tidak segera berani me nga mbil suatu sikap terhadap Dipanala. Setelah menga la mi perjuangan yang berat di dala m jantungnya, tiba-tiba dengan suara gemetar Pangeran Ranakusuma berkata kepada anaknya "Lepaskan mere ka" "Ayahanda" Raden Rudira hampir berteriak "Mereka telah menghina aku. Sura terlebih-lebih lagi. Ia menghina aku di Sukawati dan kemudian di padepokan Jati Aking. Apakah ia harus dilepaskan?" Terasa tubuh Pangeran itu menjadi semakin gemetar. Dipandanginya wajah Dipanala yang tenang. Lalu iapun menggera m "Kau me mang licik seperti setan, Dipanala. Tetapi
jangan kau berharap bahwa me mperguna kan aka l licikmu ini"
lain kali kau dapat "Tuan" berkata Dipanala "ha mba sa ma sekali tidak ingin berbuat licik. Ha mba hanya me mohon agar tuan sudi me mpertimbangkan untuk me lepaskan ka mi, karena ka mi tidak bersalah. Sehingga karena itu maka ka mi berkeberatan untuk me mohon maaf kepada Raden Rudira" "Dia m, dia m kau" teriak Pangeran Ranakusuma yang menjadi se makin marah. Tiba-tiba saja tangannya telah mena mpar mulut Dipana la, sehingga wajah Dipanala terdorong dan me mbentur batang sawo. Namun ke mudian dengan suara yang bergetar Pangeran Ranakusuma berkata "Lepaskan mere ka. Lepaskan setan-setan licik ini" "Ayahanda" "Lepaskan, lepaskan. Apakah kalian mendengar?" Raden Rudira menjadi tegang. Apalagi ketika ia melihat beberapa orang berdiri termangu-mangu di kejauhan. Di antara mereka adalah Mandra. Karena Rudira masih termangu-mangu, maka ayahandanya Pangeran Ranakusuma berteriak sekali lagi "Lepaskan. Lepaskan, apakah kalian tuli he?" Selagi Raden Rudira berdiri termangu-mangu, maka ibunya, Raden, Ayu Galihwarit mendekatinya sa mbil berbisik "Jangan me mbantah perintah ayahanda, Rudira. Lepaskan. Kau tidak me merlukan keduanya" Terasa kerongkongan Raden Rudira seperti tersumbat. Bahkan matanya terasa menjadi panas. "Tetapi, tetapi . . " ia masih akan berkata lebih banyak lagi. Namun dengan jari-jarinya ibunya menyentuh bibir puteranya sambil berkata pula "Rudira, bukankah kau satu-satunya Putera ayahanda yang paling patuh" Nah, lepaskan mereka seperti yang diperintahkan oleh ayahanda"
Betapa kecewa menghentak-hentak dada Raden Rudira. Hampir saja ia berteriak dan menangis terlolong-lolong. Kekecewaan yang datang beruntun me mbuat hatinya serasa pecah. Dan kali ini ayahandanya dan ibundanya sendirilah yang me mbuatnya kecewa. Kecewa sekali, seperti saat ia gagal menga mbil Arum. "Ibu me mbiarkan aku pergi ke Jati Aking" suara Rudira terputus-putus "Tetapi ibu me mbiarkan pula a ku terhina " "Bukan ma ksudku Rudira. tetapi sebaiknya kau melakukan perintah ayanda" Raden Rudira tidak dapat me mbantah lagi. Dengan mata yang menjadi merah, ia berteriak kepada pelayan dala m yang berdiri me matung "Lepaskan, lepaskan" Pelayan dalam itu termangu-mangu sejenak, na mun ke mudian ia maju beberapa langkah dan melepaskan tali pengikat kedua orang itu pada batang-batang sawo di halaman itu. Ketika tali-tali itu terlepas, maka Dipanala dan Sura ha mpir berbareng menarik nafas dalam-dala m. Dengan nada yang dalam Dipanala berkata "Tuan, hamba mengucapkan beribu terima kasih" "Dia m, dia m" Pangeran Ranakusuma berteriak. Dipandanginya Dipana la dan Sura sejenak. Na mun iapun ke mudian segera me langkah meninggalkan ha la man depan itu ke mbali me masuki ruangan dala m istananya diikut i oleh isterinya. Raden Rudira masih berdiri sejenak di hala man. Sorot matanya yang me mbara itu baga ikan me nyala. Dengan suara gemetar ia berkata "Dipanala, apakah kau dapat menyihir dan me ma ksa ayahanda mengambil keputusan itu lewat tatapan mata mu?" "Tida k tuan. Aku sa ma se kali tidak mengenal ilmu itu"
"Tetapi kau sanggup me maksa ayah me lepaskan kau berdua. Tetapi jangan tertawa atas kemenanganmu kali ini. Kau tahu siapa Raden Rudira. Pada suatu saat, aku akan menebus se mua kegagalanku sekaligus. Petani Sukawati, Arum dan kau berdua" Dipanala wajahnya. tidak menyahut. Bahkan ditundukkannya
Dan Rudira masih berkata "Dengan ke menanganmu sekarang ini ternyata telah mendekatkan kau kejalan ke matianmu. Kau harus tahu, bahwa aku sama sekali tidak dapat menerima keadaan serupa ini" Dipanala masih tetap berdiam diri. lapun mengerti, betapa kecewa hati anak muda itu. Karena itu, ia tidak ingin me mba karnya sehingga dapat menghanguskannya sama sekali. Dala m pada itu di dala m istana, Pangeran Ranakusuma duduk dengan wajah yang suram. Isterinya, Raden Ayu Galihwarit berdiri bersandar bibir pintu biliknya. "Kenapa kau kali ini bersikap lain?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Maksud Pangeran?" "Kau biasanya terlalu me manja kan anakmu. Tetapi kenapa kali ini kau me mbenarkan sikapku?" "Pertanyaan Pangeran sangat aneh" sahut isterinya "bukankah aku berusaha untuk ikut me mberikan bimbingan kepada Rudira, dan mendidiknya untuk me matuhi perintah ayahandanya" Pangeran Ranakusuma tidak bertanya lagi. Terasa sesuatu yang lain pada sikap isterinya saat itu. Kenapa ia tidak justru me ma ksanya untuk menyerahkan Dipanala dan Sura kepada Rudira"
Tetapi Pangeran Ranakusuma tida k bertanya lagi. Apalagi ketika anak gadisnya terbangun pula dan datang mendekati ibunya "Apa yang terjadi ibunda?" "Tida k apa-apa sayang. Tidurlah" "Saat apakah sekarang ini" Apakah masih belum pagi?" "Belum. Hari masih ma la m" "Tetapi kenapa ayahanda dan ibunda tidak t idur pula?" "Ka mi terbangun karena keributan di ha la man. Kakanda mu Rudira sedang sibuk dengan hamba-hamba istana yang licik dan berkhianat" "O, apakah ka mas Rudira sedang menghukum mereka" "Ya" "Aku akan melihatnya" "Jangan, jangan" tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit menangkap lengan anaknya. Kemudian dibimbingnya anak itu masuk ke dala m biliknya sambil berkata kepada Pangeran Ranakusuma "Perkenankan aku menidurkan ana k ini ka mas" Pangeran Ranakusuma menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab sepatah ka lapun. Sepeninggal Raden Ayu Galihwarit, Pangeran Ranakusuma masih saja duduk di te mpatnya. Terbayang sekilas beberapa peristiwa yang tidak akan dapat dilupakan. Dan peristiwa itulah yang me ma ksanya untuk tidak dapat me mbiarkan Dipanala menerima hukuma nnya, apabila ia tidak ingin terseret ke dalam kesulitan. "Setan itu sebaliknya lekas mati. Aku akan segera berusaha me meras aku. tetapi pada suatu saat ia dapat berbahaya bagiku" Tetapi melenyapkan Dipanala bukan suatu pekerjaan yang mudah. Pangeran Ranakusuma tahu benar, bahwa Dipanala
adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Tetapi kini ia hampir tidak pernah bersikap dengan berlandaskan kepada ke ma mpuannya dalam olah kanuragan. Namun de mikian, di dalam keadaan yang me maksa, maka Dipana la adalah seekor harimau yang garang. Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Harimau itu kini ta mpaknya menjadi jinak. Bahkan ia sama sekali t idak berbuat apa-apa ketika Rudira dan pengiringnya mengikatnya pada pohon sawo. Apabila Dipanala dan Sura itu me lakukan perlawanan, maka a kibatnya seisi istana Kapangeranan ini akan terlibat. Untuk berhasil menundukkan kedua orang yang bekerja bersa ma itu, diperlukan waktu dan tenaga. Dala m kebingungan itu Pangeran Ranakusuma melihat Raden Rudira me masuki biliknya tanpa berkata sepatah katapun. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya dengan kesalnya. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak menghiraukannya. Ia masih tetap duduk sa mbil merenung. Di bilik yang lain. Raden Ayu Galihwarit berbaring disisi anak gadisnya. Sekali-sekali puterinya itu bertanya, namun. Raden Ayu Galihwarit selalu menghindar dan menjawab "Tidurlah. Tidurlah" "Sebentar lagi hari a kan menjadi terang. Aku tidak dapat Tidur lagi ibu" "Kalau begitu, ibulah yang akan tidur. Ibu terlalu lelah" Puterinya tidak menyahut. Dibiarkannya Ibundanya berbaring dia m disisinya. Tetapi ketika ia me mandang wajah ibundanya dengan sudut matanya, ternyata mata Raden Ayu Galihwarit itu tidak terpejam. Dala m pada itu. Raden Ayu Galihwarit yang me mandangi atap biliknya itu benar-benar sedang dige lisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang beruntun terjadi. Na mun yang paling
mengge lisahkannya adalah karena Dipanala sudah tersangkut pula di dala mnya. "Setan itu me mang licik "Ia berkata di dala m hatinya "kenapa la tidak mati saja" Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-da la m, sehingga desah nafasnya telah me mbuat puterinya berpaling. Tetapi gadis itu sa ma se kali tidak bertanya. Persoalan yang diketahuinya itu agaknya telah dipergunakannya sebagai alat untuk menyela matkan diri Bahkan mungkin di saat-saat mendatang ia berbuat lebih berani lagi" Raden Ayu Ranakusuma itu me neruskan di dala m hati "meskipun sa mpai saat ini ia belum pernah mela kukan pemerasan, tetapi apakah hal itu pada suatu suat tidak terjadi" Raden Ayu Galihwarit itupun me njadi heran, bahwa sikap Pangeran Ranakusuma t iba-tiba saja menjadi begitu lunak terhadapnya. Bahkan Pangeran Ranakusuma terpaksa menurut i permintaan Dipanala untuk me lepaskan Sura pula. "Pengaruh apa pula yang ada pada Dipanala terhadap kamas Ranakusuma?" Pertanyaan itu ternyata telah sangat mengganggunya. Jika tidak ada sesuatu yang menyebabkannya. Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan berbuat sedemikian lunaknya terhadap Dipanala dan kepada Sura. Meskipun kadang-kadang Pangeran Ranakusuma tidak sependapat dengan tingkah laku anak laki-lakinya. tetapi ia jarang sekali mengurungkan keputusan yang sudah dia mbil oleh anak itu. Namun kali ini. Pangeran Ranakusuma telah menggaga lkan niat Raden Rudira untuk menghukum kedua orang itu. Mutlak. Ketika Raden Ayu Galihwarit berpaling, dilihatnya puterinya telah tertidur nyenyak di sampingnya. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bangkit dan meningga lkan pe mbaringan itu.
Raden Ayu Galihwarit me narik nafas dala m-dala m ketika dari celah-celah pintu ia masih melihat Pangeran Ranakusuma duduk termenung. Tetapi ia sama sekali tidak menyapanya, bahkan Raden Ayu Galihwarit itu pun langsung pergi ke pembaringannya sendiri. Dala m pada itu, di hala man Sura masih berdiri termangumangu. Seperti bermimpi ia melihat orang-orang yang sudah siap untuk menghukumnya itu berlalu. Sejenak ke mudian ia menarik nafas dala m-da la m. Dipandanginya Dipana la sejenak. Na mun a khirnya ia tidak dapat menahan keinginannya untuk mengetahui, apakah sebabnya semuanya itu sudah terjadi. "Apakah seperti kata Raden Rudira, kau sudah menyihirnya Ki Dipana la?" bertanya Sura. Ki Dipanala me mandang Sura sejenak. Namun iapun ke mudian tersenyum sa mbil menyahut "Aku tidak mengenal ilmu itu" Tetapi kenapa Pangeran Ranakusuma me menuhi permintaanmu, bahkan me lepaskan aku sekaligus" Ki Dipanala menjawab. mengangkat bahunya. Namun ia tidak
"Dan yang lebih mengherankan lagi, karena Raden Ayu Sontrang itu kali ini tidak me maksakan kehendak anak la kilakinya yang manja itu" Jika Raden Ayu Galihwarit itu mencoba menekan Pangeran Ranakusuma, jangankan a ku dan kau, sedangkan isterinya yang lain telah disingkirkannya, dan bidikan puteranya Raden Juwiring" Dipanala tida k menjawab. Tetapi kepa lanya teranggukangguk kecil. "Apakah sebabnya?" Sura mendesak.
Tiba-tiba saja Dipanala menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Aku tidak begitu mengerti Sura. Tetapi aku masih me mpunyai keyakinan bahwa kata-kataku masih juga didengar, justru oleh yang tua-tua. Tidak oleh Raden Rudira sendiri, karena ia belum mengenal aku sejauh-jauhnya" "Tida k banyak yang mengenal kau ki Dipanala. Meskipun kita bersama-sa ma berada di rumah ini bertahun-tahun, tetapi aku masih juga tida k mengerti, apa yang sebenarnya telah kau lakukan terhadap isi istana ini, sehingga seakan-akan kata-katamu merupa kan keputusan bagi mere ka" Sekali lagi Ki Dipanala menggeleng. Katanya "Entahlah. Mungkin karena aku mereka anggap sebagai orang tua di sini. Atau barangkali karena aku sudah terlalu la ma t inggal di rumah ini" Sura me mandang Dipanala dengan tatapan mata yang aneh. Namun seolah-olah Ki Dipanala itu diliputi oleh suatu rahasia yang tidak dapat diduganya. Tetapi Sura tidak bertanya lagi. Ia mengerti, bahwa Ki Dipanala tidak akan mengatakannya meskipun ia berulang ka li mendesaknya. "Yang harus kau ketahui Sura" berkata Ki Dipanala ke mudian "bahwa karena kata-kataku seakan-akan harus mereka dengar itulah, maka sebenarnya aku berada di ujung bahaya"
Sura menjadi se makin tidak mengerti. Karena itu ia berkata "Kau bagiku seperti bayangan dikegelapan. Aku tidak dapat me lihat garis-garis bentukmu Ki Dipanala" "Mereka lebih senang melihat aku mati daripada aku masih harus berbicara, karena kata-kataku ternyata masih harus mereka dengarkan" "Aku menjadi se makin tida k mengerti. Tetapi Ki Dipanala tidak akan menjelaskannya kepadaku" "Ya. Karena persoalannya me mang tida k dapat dijelaskan" Sura menarik nafas dala m-dala m. "Sudahlah" berkata Ki Dipanala "Marilah kita ke mbalikan kuda-kuda itu ke kandangnya" Sura tidak menjawab. Diikutinya saja Ki Dipanala yang menga mbil kudanya dan menuntunnya. "Kita a kan lewat regol depan" Sura mengangguk. Na mun ke mudian ia bertanya "Apakah aku masih akan dapat masuk lagi?" "Kau akan me masuki ha la man ini bersama ku" Sura mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanyapun kemudian menuntun kuda-kuda mereka keluar hala man. Setelah mengitari dinding sa mping maka merekapun me masukkan kuda itu di kandangnya. di hala man belakang rumah Ki Dipanala. "Aku tidak mengerti Ki Dipanala. apakah sebaiknya aku tetap berada di Dale m Ranakusuman" "Kau belum diusir. Tetapi jika kau ingin pergi, sebaiknya kau siapkan te mpat baru itu, supaya keluarga mu tidak terlantar"
"Tetapi jika terjadi sesuatu dengan aku di Dale m Ranakusuman, apakah isteri dan anak-anakku harus menyaksikannya?" Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepa lanya, ia dapat mengerti keberatan itu, sehingga katanya "Memang, sebaiknya kau bawa keluargamu pergi. Tetapi kau harus minta diri kepada Pangeran Ranakusuma, selagi a ku masih dapat berbuat sesuatu untuk keselamatanmu dan keluarga mu. Jika sampai saatnya aku sendiri akan dipancung, maka se muanya sudah akan lewat. Aku tidak a kan dapat berbuat apa-apa lagi" Sura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia berguma m "Apakah aku dapat menghadap Pangeran Ranakusuma untuk minta diri?" "Aku akan me ngusahakan. Dan itu harus terjadi segera, sebelum keadaan berubah. Mungkin aku sudah tidak diperlukan lagi atau mungkin aku sudah terbunuh" "Lalu bagaimana dengan Ki Dipanala sendiri" Apakah Ki Dipanala t idak a kan meninggalkan Dale m Ranakusuma n?" Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sorot matanya me mancarkan keragu-raguan. Na mun ke mudian ia mengge leng "Se mentara ini belum. Aku masih didengar oleh Pangeran Ranakusuma. Senang atau tidak senang" "Tetapi apakah Ki Dipanala dapat mengetahui, sa mpai kapan Ki Dipana la akan mendapatkan kepercayaan itu, maksudku, bahwa kata-kata Ki Dipanala masih didengar oleh Pangeran Ranakusuma?" Ki Dipanala menggeleng. Jawabnya "Aku tidak tahu" Keduanyapun kemudian saling berdia m diri sejenak. Namun Ki Dipanala ke mudian berkata Sura, kita masih me mpunyai kesempatan sedikit untuk beristirahat. Meskipun langit sudah menjadi merah, na mun kita masih se mpal tidur meskipun hanya sekejap dan kita akan bangun kesiangan"
"Apakah kita tidak ke mbali ke Ranakusuman?" "Besok saja kita ke mba li ke Ranakusuman. Para penjaga regol itu akan menjadi jengkel, jika setiap kali kita minta mereka me mbuka pintu untuk kita" Sura tidak menyahut. Diikutinya saja Ki Dipanala pergi ke serambi depan rumahnya yang tidak begitu besar. "Kau dapat berbaring di amben ini. Aku tidak dapat me mpersilahkan kau tidur di dala m, karena tidak ada lagi tempat" "Dan kau?" "Aku akan tidur di ketepe itu" "Apakah anyaman belarak itu masih ada?" "Untuk apa?" "Aku juga lebih suka tidur di lantai, diatas ketepe belarak seperti kau" Ki Dipanala termenung sejenak Na mun ke mudian iapun mengetuk pintu rumahnya untuk menga mbil tikar. "He, apakah kita benar-benar tidak akan t idur di dala m?" bertanya Ki Dipanala ke mudian "meskipun hanya di lantai?" "Aku akan tidur di luar saja" Namun Ki. Dipanalapun ke mudian berbaring juga diatas tikar pandan di sa mping Sura. Ternyata Sura masih juga se mpat tidur mende kur. Meskipun agak gelisah, tetapi ia masih se mpat melepaskan ketegangan di dalam hatinya. Tidur adalah suatu pelepasan yang baik bagi orang-orang yang mengala mi himpitan perasaan seperti Sura. Tetapi Ki Dipanala sendiri sa ma sekali tidak dapat me meja mkan matanya. Ia ternyata lebih gelisah dari Sura.
Yang terbayang di da la m angan-angan Ki Dipanala justru karena ia masih juga me mpunyai pengaruh yang mantap terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. "Tetapi pada suatu saat, mereka akan melenyapkan pengaruh ini, karena pengaruh itu terjadi bukan karena persoalan yang wajar. Bukan karena aku orang tua, bukan karena aku sudah terlalu lama berada di Dalem Ranakusuman, dan bukan karena nasehat-nasehatku me mpunyai pengaruh yang sangat baik, atau bukan karena aku seorang yang pandai dan mumpuni" berkata Ki Dipanala di dala m hatinya. Sambil berbaring terbayang kemba li peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Peristiwa yang hanya karena kebetulan saja ia berkese mpatan untuk menga mbil keuntungan daripadanya. Dipanala menarik nafas dalam-da la m Na mun ia t idak mencoba untuk me mbayangkan ke mba li apa yang sudah terjadi dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Namun, betapa Ki Dipanala dicengka m oleh kegelisahan, tetapi oleh lelah dan udara yang dingin segar, maka Ki Dipanala itupun terlena meskipun hanya sebentar. Dan ternyata bahwa Ki Dipanalapun telah terbangun lebih dahulu. Dibiarkannya saja Sura masih terbaring diatas tikar sambil me meja mkan matanya. Agaknya ia dapat juga tidur nyenyak dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Namun tidak la ma ke mudian, Surapun sudah terbangun pula. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pakiwan untuk me mbersihkan dirinya dan me mbenahi paka iannya. "Kita pergi ke Dale m Ranakusuman Ki Dipanala" bertanya Sura. "Sepagi ini?" "Tida k ada pagi tida k ada sore bagiku sekarang"
Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kegelisahan yang sangat telah merayapi dada Sura begitu ia terbangun dari tidurnya. Ia justru ingin segera masuk ke halaman istana Ranakusuman. Ia ingin segera mengerti, akibat atau hukuman apa lagi yang akan diterimanya. Dan apakah masih ada kesempatan baginya untuk meninggalkan halaman itu tanpa meninggalkan kepalanya. Karena agaknya Raden Rudira benar-benar menganggapnya sebagai seorang pengkhianat. "Baiklah Sura" berkata Ki Dipanala "Me mang t idak ada batasan waktu bagimu sekarang. Marilah, aku antarkan kau masuk ke hala man itu" "Jika aku masih mendapat kese mpatan" berkata Sura "Aku akan segera meninggalkan Ranakusuman bersama seluruh keluargaku" "Kau belum me mpersiapkan tempat untuk keluarga mu Sura?" "Aku me mpunyai sekedar warisan meskipun hanya sejengkal. Dan aku sudah me mperluasnya sedikit dengan uang yang aku terima sela ma aku menjilat di Ranakusuman" "Apakah rumah warisan itu sudah siap kau pergunakan?" "Siap atau tidak siap. Soalnya, semakin la ma aku tinggal di Ranakusuman, maka ke mungkinan-ke mungkinan yang buruk akan selalu dapat terjadi. Kadang-kadang akupun kehilangan pengendalian diri apabila aku melihat tampang Mandra" Ki Dipanala mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Sura, bagaimana ia merasa dirinya didesak oleh Mandra dan tersingkir karenanya. Ketika mula-mula Raden Rudira menjumpai Arum di bula k Jati Sari, sebelum mereka selalu dihantui oleh wajah Petani dari Sukawati, ma ka Sura masih menjadi orang pertama di antara para pengiring dan pengawal di Ranakusuman. Na mun kini Sura ha mpir sudah
tidak berarti lagi, bahkan ha mpir saja ia mengala mi hukuman cambuk yang sangat pedih. Demikianlah keduanyapun segera kemba li masuk ke halaman Ranakusuman lewat regol depan. Para penjaga yang me lihat kedatangan mereka hanya menarik nafas dalamdalam. Ternyata keduanya adalah orang-orang aneh di dala m pandangan mereka. Bahkan seakan-akan keduanya dengan sengaja hilir mudik me ma merkan diri. Namun ketika salah seorang abdi berdesis di sa mping Sura yang kebetulan lewat "Kau datang kembali Sura?" Maka Sura menjawab tanpa berhenti "Untuk yang terakhir ka linya" "Mudah-mudahan kau dapat keluar lagi dari hala man ini" sahut abdi itu. Tetapi Sura sudah se makin jauh sehingga ia sama seka li tidak mendengarnya. Dala m pada itu, Ki Dipanalalah yang berusaha untuk dapat menghadap Pangeran Ranakusuma. Lewat seorang Pelayan Dala m, Kj Dipanala menyampa ikan permohonan untuk mendapat waktu beberapa saat saja. "Ampun tuan" berkata Pelayan Dalam itu sambil berjongkok dan menyembah. "Persetan dengan Dipanala. Katakan kepadanya, aku tidak me mpunyai waktu. Suruh ia pergi sampai saatnya aku me manggilnya" Pelayan Dalam itu me mbungkukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia pergi Raden Ayu Galihwarit berkata "Berilah orang itu waktu barang sekejap ka mas. Aku ingin mendengar, apa yang akan dikatakannya" Pangeran Ranakusuma mengerut kan keningnya. Ditatapnya wajah isterinya sejenak, namun ketika Galihwarit tersenyum, Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m sa mbil berkata "Aku hanya me mpunyai waktu sedikit"
Pelayan Dalam itu me mbungkuk sekali lagi sa mbil menye mbah, ke mudian bergeser surut sa mbil berjongkok. Baru ketika ia sudah menuruni tangga, iapun berdiri terbungkuk-bungkuk. Ki Dipanala dan Surapun ke mudian dibawanya menghadap. Namun ketika Pangeran Ranakusuma yang duduk di sera mbi belakang melihat kehadiran dua orang itu ia mengerutkan keningnya. Kemudian tampak se mburat merah terlintas di wajahnya sambil menggera m di dala m hati "Apakah Dipanala itu sekarang mula i me meras" Aku kira ia tidak a kan berbuat sejahat itu waktu itu. Kalau saja aku tahu, aku pasti sudah me mbunuhnya " Pangeran Ranakusuma masih be lum beranjak ketika kedua orang itu kemudian seolah-olah merangkak dan duduk di hadapannya, Sejenak kedua orang itu duduk sa mbil menundukkan kepalanya. Sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu, mereka berdua sa ma sekali tidak berani berkata apapun juga. Baru ke mudian Pangeran Ranakusuma bertanya "Apakah maksudmu me mohon waktu untuk menghadap?" Ki Dipanala mengangkat wajahnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, dilihatnya Raden Ayu Galihwarit sudah berdiri di bela kang Pangeran Ranakusuma. Pere mpuan bangsawan itu me mandanginya sejenak dengan sorot mata yang penuh kecurigaan. Ki Dipanala me narik nafas dalam-da la m. Dan terdengar Pangeran Ranakusuma me mbentaknya "Cepat, katakan. Aku tidak me mpunyai banyak waktu untuk melayanimu" "Maaf tuan" berkata Ki Dipana la "ha mba berdua me mberanikan diri untuk me mohon waktu sekedar. Sebenarnya bukanlah hamba yang me mpunyai kepentingan, tetapi Sura. Suralah yang ingin menyampa ikan suatu permohonan kepada tuan"
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Sura yang masih tetap menunduk itu sejenak. Lalu tiba-tiba ia me mbentak "Cepat cepat katakan" "Ampun Pangeran" Sura terkejut sehingga ia tergeser sejengkal surut. "Hamba ingin mengajukan permohonan kehadapan tuan" "Katakan, katakan" "Ya tuan" suara Sura bergetar juga betapapun ia berusaha untuk berbuat setenang-tenangnya "hamba sudah cukup la ma bekerja dan mengabdi di hadapan Pangeran. Namun agaknya akhir akhir ini ha mba tidak lagi ma mpu mengikuti perkembangan yang terjadi di Dale m Kapangeranan ini, khususnya Raden Rudira, sehingga seakan-akan hamba tidak lagi diperlukan di sini, bahkan menurut istilah yang dipergunakan oleh Raden Rudira, hamba telah berkhianat. Maka dengan t idak mengurangi perasaan terima kasih bahwa selama ini ha mba seakan-akan telah mendapatkan te mpat berteduh di Dale m Ranakusuman ini, maka perkenankanlah kini hamba mohon diri. Semisal ha mba ini selembar daun, maka agaknya daun itu sudah menguning dan sa mpai saatnya lepas dari tangka inya" Terasa sesuatu berdesir di hati Pangeran Ranakusuma. Bagaimanapun juga, Sura adalah orangnya yang sudah lama sekali bekerja padanya dan kemudian mendapat kepercayaan mengasuh dan me lindungi anak laki-lakinya. Namun sa mpai pada suatu saat, orang itu telah dianggap berkhianat oleh anak laki-la kinya itu. Meskipun de mikian Pangeran Ranakusuma telah berusaha menye mbunyikan perasaannya itu. Bahkan dengan kasar ia me mbentak "Jika kau merasa telah berada di rumah ini untuk waktu yang la ma kenapa kau berkhianat?" "Pangeran, benar-benar tidak terlintas di hati ha mba, bahwa hamba akan berkhianat. Hamba yang sudah merasa
mapan menjadi abdi di Dale m Kapangeranan ini, kenapa hamba harus berkhianat" Na mun barangkali bahwa hamba telah mencoba me mberikan pendapat hamba itulah, maka terutama Raden Rudira menganggap ha mba tidak lagi tunduk kepada perintahnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin Raden Rudira tidak mendapatkan kesulitan di hari mendatang, terlebih-lebih lagi sehubungan dengan Petani dari Sukawati yang menurut pendapat hamba adalah tida k la in adalah dari Pangeran Mangkubumi itu sendiri" "Bohong, bohong" tibatiba saja terdengar suara Rudira dari dalam biliknya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di ruangan itu, ia langsung me langkah kehadapan Sura dengan wajah yang merah pada m. Bahkan dengan serta merta ia mengayunkan kakinya menghanta m pundak Sura. Sura terdorong surut. Meskipun ia ma mpu bertahan apabila ia ma u, tetapi ia terjatuh berguling. Na mun ke mudian dengan tergesa-gesa ia bangkit dan duduk ke mba li sa mbil menundukkan kepa lanya. Agaknya Raden Rudira masih belum puas. Ia telah dikecewakan oleh ayahnya, karena ia tidak boleh me mukul kedua orang itu dengan rotan selagi mereka terikat di pohon sawo. Namun sebelum ia berbuat lebih jauh Ki Dipanala berkata "Ampun tuan. Hamba mengharap bahwa tuan mencegah t indakan puteranda lebih jauh lagi"
Terasa sesuatu bergetar di hati Pangeran Ranakusuma. Ada sesuatu yang seakan-akan menekan hatinya sehingga terasa nafasnya menjadi sesak. "Persetan" Raden Rudira menggera m. Namun Pangeran Ranakusuma ke mudian mencegahnya "Rudira. Cobalah berbuat dengan nalar. Kau sudah menjadi semakin dewasa. Unsur dari perbuatanmu sebaiknya bukan saja penimbangan perasaan, tetapi juga nalar. Jika kau tidak ma mpu me ndapatkan keseimbangan nalar dan perasanmu, maka se misal timbangan, kau akan menjadi berat sebelah, sehingga tinda kan-tindakan yang lahir darimu, bukannya tindakan-tindakan yang terpuji" Wajah Raden Rudira yang merah menjadi sema kin merah. Ditatapnya wajah ibunya yang penuh dengan kebimbangan, la mengharap bahwa kali ini ibunya dapat me mbantunya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa ketika ibunya berkata "Bersabarlah Rudira. Seperti kata ayahandamu, kau sudah menjadi sema kin dewasa" Kata-kata ibunya itu me mbuat dada Raden Rudira me njadi semakin pepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika sekilas ia me mandang wajah ibunya, wajah itu bukan saja dibayangi oleh kebimbangan, tetapi rasa-rasanya Raden Ayu Sontrang bagaikan berdiri di depan sarang hantu. Ketakutan. Raden Rudira benar-benar tidak dapat mengerti, apakah sebabnya bahwa ayah dan ibunya sama se kali tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Dipana la. Namun Raden Rudira tidak ingin bertanya di hadapan kedua orang itu. Karena itu, maka sa mbil menghentakkan ka kinya, iapun segera pergi meninggalkan mereka yang masih terpancang Di tempat masing-masing. "Sura" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian setelah Rudira pergi "ada bermaca m-maca m tanggapan terhadapmu
sekarang. Tetapi baiklah, aku menga mbil kesimpulan, bahwa sebenarnya kau memang sudah tida k diperlukan lagi di rumah ini. Karena itu. jika me mang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan kau pergi meninggalkan te mpat pengabdianmu yang sudah kau lakukan bertahun-tahun, karena tiba-tiba saja kau telah dicengka m oleh mimpi yang kau anggap dapat me mberi kepuasan batiniah itu" Sura tidak menyahut. Rasa-rasanya memang terla mpau berat untuk meninggalkan pengabdian yang sudah lama dilakukan dengan penuh kesetiaan bahkan seakan-akan tanpa sempat me mikirkan benar dan salah. "Nah, jika kau me mang akan pergi, pergilah. Tetapi ingat Sura. Kau pernah menjadi abdi yang setia di rumah ini. Akupun merasa seakan-akan kau telah termasuk di dala m lingkup keluarga. Tetapi kau ternyata tidak menyesuikan dirimu lagi. Itu tidak apa. Tetapi kau jangan sebenarnya berkhianat. Pengkhianatan adalah bentuk yang paling jahat dari hubungan antar manusia. Apakah kau mengerti?" "Ya Pangeran. Ha mba mengerti" "Dan kau Dipanala" Apakah kau juga a kan berkhianat?" Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Tidak tuan. Me mang tidak terlintas di hati ha mba untuk berkhianat. Dan Surapun tidak. Karena hamba sadar, pengkhianatan yang sebenarnya adalah perbuatan bukan saja yang paling jahat dari hubungan antar manusia, tetapi juga yang paling licik, pengecut, dan segala macam ist ilah yang pa ling buruk. Na mun sayang sekali, bahwa setiap orang me mpunyai penila ian yang berbeda-beda tentang arti dari pengkhianatan itu. Bahkan sebagian orang melihat pernyataan kebenaran justru sebagai suatu pengkhianatan" "Dia m, dia m" Pangeran Ranakusuma me mbentak keras sekali sehingga Dipana la terkejut karenanya. Namun ia masih tetap dapat menguasai perasaannya. Bahkan ia masih se mpat
me mandang wajah Raden Ayu Galihwarit yang menjadi pucat karenanya. Namun Dipanala itu ke mudian berkata "Ampun tuan. Hamba akan berusaha mengartikan pengkhianatan itu sebagaimana yang tuan kehendaki" Hampir saja Pangeran Ranakusuma kehilangan kesabarannya. Untunglah bahwa ia masih me nyadari keadaannya, sehingga ia masih tetap berhasil menguasai dirinya. Bahkan tiba-tiba saja terasa tangan isterinya. Raden Ayu Galihwarit meraba pundaknya sambil berkata "Sudahlah kamas. Biarkan mereka pergi. Mereka tidak lagi kita perlukan" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Katanya "Yang akan pergi hanyalah Sura saja. Biarlah Dipanala tetap berada di rumah ini. Aku masih mengharap bahwa ia mene mukan dirinya kembali sebagai seorang pemomong yang sudah puluhan tahun berada di sini. Dengan umurnya yang semakin tua, ia seharusnya menjadi sema kin mende katkan dirinya pada ketenangan. Bukan justru sebaliknya" Ki Dipana la mengangguk-angguk. Katanya "Ha mba tuan. Me mang ha mba tidak berniat untuk meninggalkan istana ini. Hamba akan mencoba menyesuaikan diri ha mba yang menjadi semakin tua ini" "Baiklah, suruh Sura pergi jika itu yang dikehendaki. Aku mengijinkan ia me mbawa semua miliknya yang ada dipondoknya di hala man Kapangeranan ini" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu katanya kepada Sura "mudah-mudahan kau mene mukan hari-hari tuamu tanpa keprihatinan yang semakin mencengka m karena pokalmu sendiri" "Ya tuan. Hamba akan mencoba hidup sebagai seorang petani di padukuhan ha mba dengan secuwil sawah dan pategalan"
"Tetapi kau dapat menjadi orang yang berbahaya bagi padukuhanmu, justru karena kau merasa me miliki ke lebihan dari orang lain. Sela ma ini kau hidup dengan bekal ke ma mpuanmu berke lahi. Kebiasaan itu tida k akan dapat lenyap sehari dua hari. Dan malanglah nasib tetanggatetanggamu itu" Sura menarik nafas dala m-dala m. Tetapi peringatan itu justru menjadi ca mbuk baginya, bahwa ia adalah manusia biasa yang harus dapat hidup sebagai manusia biasa yang lain. Kelebihan itu adalah suatu kebetulan saja. Tetapi dengan kelebihan itu ia tidak akan dapat hidup terpisah dari manusia yang lain. Demikianlah, maka pada hari itu, Sura benar-benar meninggalkan hala man Ranakusuman. Dengan sebuah pedati ia me mbawa barang-barangnya yang tidak begitu berarti. Namun ketika pedati itu meningga lkan regol Ranakusuman, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Seakan-akan ia kini merasa menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mengerti hubungannya antara dia dengan Tuhan Yang Menciptakannya, dan antara dia dengan sesa ma manusia dan lingkungannya. Sura sendiri, tidak tahu, darimana kah ia mene mukan kesadaran itu justru setelah ia mengalami benturan yang dahsyat ketika, ia sama sekali tidak berdaya melawan petani dari Sukawati itu. Namun hatinya masih bergejolak ketika ia melihat Mandra yang berdiri di sebelah regol sambil bertolak pinggang me mandanginya. Suara tertawanya yang semakin la ma menjadi se makin keras terasa menggelitik hati. Tetapi ketika ia melihat Ki Dipanala berdiri dengan tenangnya justru di sebelah Mandra itu terasa hatinya bagaikan disentuh oleh titik air yang sejuk dingin. Namun de mikian di sepanjang jalan. Sura tidak habis berpikir, apakah sebabnya Dipana la me mpunyai pengaruh yang begitu besar, meskipun jelas, bahwa ia bukan orang
yang disenangi oleh Pangeran Ranakusuma, apalagi oleh Raden Rudira. "Apakah benar-benar ia me mpunyai ilmu se maca m ilmu sihir yang ma mpu me mpengaruhi perasaan orang lain dengan tatapan mata nya?" pertanyaan itu masih saja selalu terngiang di hatinya. Namun Surapun ke mudian tidak me mpedulikannya lagi. Kini ia sudah tidak me mpunyai hubungan apapun juga dengan istana Ranakusuman. Dengan Raden Rudira dan dengan Mandra. Tetapi tiba-tiba terlintas di kepalanya bayangan seorang dari keluarga Ranakusuman yang justru tidak tingga l di istana itu. Seorang anak muda yang meskipun agak mirip dengan Raden Rudira pada bentuk lahiriahnya, namun me mpunyai sikap dan pandangan hidup yang berbeda. Jauh berbeda. Tiba-tiba saja timbul keinginan Sura untuk mene mui Raden Juwiring. bahkan tiba-tiba saja timbul ke inginannya untuk lebih dekat lagi dengan putera Pangeran Ranakusuma yang pernah disingkirkannya itu. "Aneh, kenapa saat itu Ki Dipanala justru me mbawanya pergi" Padahal ia me mpunyai pengaruh yang kuat terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Jika ia menghenda ki maka ia pasti akan dapat mencegahnya, sehingga Raden Juwiring masih a kan tetap berada di istana. Demikian juga dengan orang-orang lain yang telah tersingkir" Namun Sura tidak kunjung mene mukan jawabnya, sehingga ia sampai ke padukuhannya dan me mulai suatu kehidupan baru sebagai seorang petani. Mula-mula me mang agak canggung hidup di dala m dunia yang baru baginya. Seperti kata Pangeran Ranakusuma, me mang ada tersembul nafsu untuk menguasai orang-orang di sekitarnya justru karena ia merasa memiliki kelebihan. Tetapi untunglah, bahwa ia menyadarinya sehingga ia selalu
berhasil menahan diri dan mencoba hidup seperti orang kebanyakan. Meskipun kadang-kadang sebagai orang baru ia mendapat berbagai ma ca m kesulitan karena ada juga orang erang yang keras kepala dan menganggap Sura sebagai seorang yang tidak pantas berada di antara mereka. Namun Sura telah berhasil mela mpaui masa itu. Bahkan ia lelah berhasil luluh di dala m kehidupan para petani tanpa me mperlihatkan kekerasan dan ke ma mpuannya. Meskipun demikian ia masih belum berhasil me lupakan keinginannya untuk mene mui Raden Juwiring di padepokan Jati Aking. "Pada suatu saat aku akan pergi ke padepokan itu" berkata Sura di da la m hatinya "mudah-mudahan kehadiranku di padepokan itu tidak menimbulkan persoalan bagi Raden Juwiring. Sebab kebencian Raden Rudira terhadap kakaknya itupun me lonjak setinggi langit, sehingga dapat saja ia menuduh ka kaknya telah berhubungan dengan aku, seorang pengkhianat" Dan keragu-raguan semaca m itulah yang selalu menundanunda kepergian Sura ke padepokan Jati A king di Jati Sari. Namun dala m pada itu, anak-anak muda yang berada di Jati Aking ternyata mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Mereka dengan tekun melatih diri, seakan-akan ada firasat yang me mbisikkan ketelinga mere ka, bahwa sesuatu akan terjadi. Bahkan kadang-kadang Kia i Danatirta menjadi heran, kesungguhan yang luar biasa, bahkan agak berlebih-lebihan telah mendorong Buntal berlatih tanpa mengenal waktu. Bukan saja di saat-saat seharusnya ia berlatih di mala m hari, atau di saat-saat lain yang ditentukan oleh gurunya. Tetapi juga di saat-saat ia seharusnya beristirahat setelah ia bekerja keras di sawah, kadang-kadang dipergunakannya juga untuk me matangkan ilmu yang dikuasainya.
Namun di dala m tangkapan gurunya, Buntal anak muda yang sedang tumbuh itu, me mang sedang dibakar oleh gairah yang menyala-nyala di dala m dadanya. Sekali-sekali Kiai Danatirta terpaksa me mperingatkan, agar ke mauan yang begitu keras itu tidak justru mengganggu kesehatannya. "Kau harus me njaga keseimbangan hasrat dan batas ke ma mpuan wadagmu Buntal" berkata gurunya "Aku senang sekali melihat perke mbangan yang pesat padamu dan pada Juwiring, tetapi aku tidak dapat membiarkan kau tenggelam dalam latihan yang berlebih-lebihan. Dengan de mikian, jika terjadi sesuatu dengan kesehatanmu, akulah yang harus me mpertanggung jawabkannya" Setiap kali Buntal hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian menunduk dala m-dala m. "Kau mengerti?" Sekali lagi Buntal me ngangguk sa mbil berdesis la mbat sekali "Ya guru. Aku mengerti" Tetapi setiap kali, tanpa disadarinya, terasa sesuatu yang me macunya untuk berlatih lebih banyak. Dan ha mpir di luar sadarnya, kadang-kadang terbersit perasaan "Aku tidak boleh kalah dari Raden Juwiring. Raden Juwiring adalah seorang bangsawan, sedang aku adalah seorang pidak-pedarakan yang di kete mukan di pinggir jalan. Jika aku tida k dapat mengimbangi ilmunya, maka aku adalah seorang anak muda yang tidak akan berarti apa-apa dlpadepokan ini" Namun setiap kali Buntal menjadi malu sendiri. Apalagi apabila terpandang olehnya tatapan mata Arum yang lunak sejuk seperti tatapan mata ayahnya, Kiai Danatirta. Meskipun Buntal me mpergunakan waktu yang lebih banyak dari Raden Juwiring untuk berlatih, namun ha mpir t idak dapat dimengerti oleh Buntal sendiri, bahwa setiap kali mereka berlatih bersa ma, ilmunya ternyata tidak lebih matang dari ilmu Raden Juwiring. Ia hanya me mpunyai kelebihan tenaga
sedikit saja dari putera Pangeran itu, namun justru ke ma mpuan menguasai tata gerak dan kecepatan, Raden Juwiring masih mela mpauinya. Dan itulah kelebihan Raden Juwiring dari Buntal. Raden Juwiring seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali, jika Buntal me mpergunakan ha mpir setiap waktu untuk mene mpa diri. Raden Juwiring kadang-kadang pergi saja berjalan-jalan di kebun belakang dan duduk di bawah batang-batang kayu yang rindang, atau tinggal di dala m biliknya, berbaring sambil me mandangi atap biliknya. Tetapi Buntal t idak tahu, bahwa Raden Juwiringpun me mperguna kan waktu-wa ktu senggangnya untuk me matangkan ilmunya. Tetapi ia me mpunyai cara yang lain dari cara yang dipa kai oleh Buntal. Raden Juwiring ternyata tidak me mpercayakan diri pada tenaga wadagnya semata-mata. Tetapi ia me mpergunakan otaknya pula. Sambil duduk di bawah pohon yang rindang di sore hari di kebun belakang, atau jauh mala m hari, bahkan menje lang dini hari di dala m biliknya, Raden Juwiring bermainma in dengan rontal dan kertas-kertas yang berwarna kekuning-kuningan. Dibuatnya beberapa buah ga mbar yang meskipun kurang ba ik na mun dapat menyatakan gejolak di dalam batinnya mengenai tata gerak ilmunya. Raden Juwiring ternyata tidak hanya berlatih dengan badannya, tetapi ia ma mpu me mbuat rencana tata gerak yang bermanfaat bagi ilmunya. Kadang-kadang dipadukannya beberapa maca m unsur gerak yang ada dan yang pernah dipelajarinya. Bahkan dengan unsur-unsur gerak ala m dan binatang. Dan itulah sebabnya Raden Juwiring sering duduk termenung merenungi burung-burung yang berterbangan. Burung-burung kecil yang lincah cekatan menyambar bila lang. Tetapi juga burung elang yang dengan garangnya menyambar anak ayam. Bahkan juga bagaimana seekor domba me mbenturkan kepalanya pada
lawannya jika terpaksa mereka berlaga. Ayam jantan, dan kadang-kadang dilihatnya kerbau jantan yang sedang-marah. Bukan saja binatang yang ada di sekitarnya. Tetapi terbayang juga, bagaimana seekor harimau menerka m mangsanya dan bagaimana seekor kelinci menghindarkan diri justru menyusup di bawah kaki binatang-binatang yang menerka mnya. Betapa lucunya gerak seekor kera na mun betapa gesitnya ia memanjat, menangkap sesuatu dan berloncatan. Itulah yang selalu dipikirkan oleh Raden Juwiring. Dan hal itu sama sekali tidak terlintas di kepala Buntal. Dan perbedaan perhatian itulah yang merupakan perbedaan kepribadian mereka. Buntal lebih senang langsung me mantapkan tata gerak dan kekuatan jasmaniahnya, namun Raden Juwiring me mperkaya tata gerak dari paduan gerak yang beraneka maca m dan kegunaannya yang berlain-la inan. Namun mereka berdua berkembang dengan pesatnya menurut jalur yang digariskan oleh gurunya, Kia i Danatirta. Sebagai seorang yang berpengalaman, maka Kiai Danatirta me lihat perbedaan di da la m diri kedua muridnya itu. Na mun Kiai Danatirta tidak melihat keberatannya sama sekali atas perkembangan kepribadian masing-masing. Bahkan di dala m latihan-latihan bersa ma Kiai Danatirta dapat memanfaatkan ke majuan kedua muridnya itu dan meramunya dala m satu ciriciri ilmu yang tidak terpisah. Hanya karena perbedaan kepribadian itu sajalah, tampak perbedaan pula dalam ungkapan inti ilmu perguruan Jati Aking, namun pada dasarnya keduanya sama. Berbeda dari keduanya adalah Arum. Ia langsung mendapat tuntunan dari ayahnya menurut petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehatnya. Arum lebih me mentingkan pada kecepatan bergerak dan kema mpuannya menguasai arah gerak. Kadang-kadang ia justru dapat menga mbil keuntungan dari serangan lawannya karena dorongan gerak serangan itu
sendiri. Dala m keadaan yang khusus Arum mendapat latihan untuk me mpergunakan tenaga dorong lawannya. Bahkan Arum ma mpu me mpergunakan tenaga lawannya untuk me le mparkan dirinya sendiri apabila diperlukan, dan dalam kesempatan tertentu Arum dapat merobohkan lawannya karena ayunan tenaga lawan itu sendiri. Bagaimanapun juga, ma ka Kiai Danatirta tidak mau meninggalkan keturunannya sendiri di dalam olah kanuragan. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh Juwiring dala m keragaman unsur geraknya beserta kegunaannya, dan sejalan dengan kemajuan kekuatan tenaga Buntal, maka Arum adalah seorang gadis yang lincah cekatan, seperti seekor kijang di padang rumput yang hijau segar. Dala m ujudnya masing-masing, ketiga murid Kiai Danatirta itu berkembang dengan pesatnya, justru oleh dorongan di dalam diri murid-murid itu sendiri. Me mang kadang-kadang ada juga kecemasan di hati orang tua itu, bahwa muridmuridnya sudah terjerumus ke dalam suatu pacuan yang berbahaya. Namun atas kebija ksanaannya, Kiai Danatirta ma mpu mengarahkannya sesuai dengan ajaran-ajaran keagamaan dari padepokan Jati Aking. Murid-muridnya bukan saja mendapat tempaan kanuragan, tetapi mereka mendapat pengarahan yang mantap di bidang agama. Mereka langsung diperkenalkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka ditunjukkan, bahwa pertanggungan jawab tertinggi dari perbuatan manusia adalah pertanggungan jawab terhadap Tuhannya. Meskipun demikian, Buntal adalah seorang anak muda yang lengkap. Yang utuh. Jasmaniah dan rohaniah. Itulah sebabnya maka Buntalpun mengena l apa yang dikenal oleh orang lain. Di wa ktu matahari terbit, Buntal kadang-kadang berdiri di ujung hala man sa mbil me mandang cahaya yang kemerahmerahan di langit. Ujung pegunungan nampa k seperti
seonggok batu akik yang berukir dalam berbagai warna antara hijau dan merah. Juga di mala m hari Buntal kadang-kadang merenungi kilauan bintang yang berha mburan di langit. Dikala bulan terang, anak muda itu ma mpu juga me nangkap sesuatu yang menyentuh perasaannya. Ternyata bahwa Buntal, seorang anak muda yang ditemukan di pinggir jalan itu, me mpunyai selera rohaniah yang lengkap. Dan karena itulah ia mengena l bentuk-bentuk ke indahan. Bukan saja bentuk-bentuk keindahan yang tersebar di sekitarnya, namun ada sesuatu yang indah yang setiap hari direnunginya. Se makin la ma justru menjadi se makin me mikat. Yang lebih indah dari yang paling indah dari a la m di sekitarnya itu adalah Arum yang mekar seperti mekarnya bunga menur yang berwarna putih. Betapapun juga ia mencoba mengela k, namun ia selalu dibayangi oleh kenyataan itu. Berterima kasihlah Buntal, bahwa Tuhan telah rezeki berbentuk mata yang dapat melihat, melihat keindahan dari alam di sekitarnya. Namun keindahan yang satu ini ternyata telah me mbuatnya selalu berdebar-debar. Selalu cemas dan kadang-kadang menjadi bingung. Sebenarnya iapun mengucapkan terima kasih bahwa setiap hari ia dapat menikmati keindahan itu. Tetapi tanpa disadarinya, ia dirayapi oleh suatu keinginan, bukan saja menikmatinya sebagai suatu bentuk ke indahan, namun lebih daripada itu. "O, aku menjadi se makin gila" ke luh Buntal. Sudah beberapa lama ia bertahan dan bahkan mencoba me ngusir perasaan itu. Namun yang terlontar dari dirinya adalah ke mauan yang semakin keras untuk melatih diri. Seolah-olah ia sedang berpacu untuk mencapai garis batas terlebih dahulu dengan taruhan yang tiada taranya.
"Tida k. Arum bukan barang taruhan. Ia dapat menentukan sikapnya sendiri. Dan tidak seorangpun dapat merubah keputusan yang akan dia mbilnya" Demikianlah ketenangan padepokan itu rasa-rasanya mulai terganggu. Terasa dadanya bergetar jika ia me lihat Arum sedang bergurau dengan Juwiring. "Sejak aku pertama ka li menginjakkan kakiku di padepokan ini, keduanya telah sering bergurau" Buntal ingin mencoba me mperguna kan nalarnya. Namun setiap kali ia tenggelam dalam arus perasaannya. Tetapi Buntal selalu menekan perasaan itu da la m-dala m di dasar hatinya. Endapan yang semakin la ma menjadi sema kin tebal itu tidak luput dari tatapan mata hati Kiai Danatirta. Gurunya itu melihat, bahwa Buntal semakin la ma menjadi semakin da la m terenda m oleh kedia man yang murung. Justru karena itulah, maka Buntalpun kadang-kadang tampak me nyendiri duduk sa mbil merenungi bintik-bintik di kejauhan. Namun sejenak kemudian iapun segera berlari ke bangsal tempat berlatih. Dicurahkannya segenap ke murungannya pada gerak-gerak jasmaniahnya. Seolah-olah anak muda itu tida k mengenal le lah sa ma seka li. Di saat-saat yang demikian itu, kedua saudara seperguruannya kadang-kadang me mperhatikannya juga. Bahkan di da la m hati merekapun tumbuh berbagai maca m pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah bergolak di hati anak muda itu. Buntal terkejut ketika pada suatu ketika ia sedang me larikan diri di dala m bangsal latihan itu. seseorang telah menyapanya "Buntal" Buntal mulai menahan tenaganya, sehingga akhirnya ia berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya Arum berdiri di sudut bilik itu.
Buntal menarik nafas. Tetapi nafas itu setiap kali seakanakan saling me mburu. "Apakah kau tidak lelah?" Buntal me mandang Arum sejenak. Dan Arum yang kini bukan lagi Arum yang manja yang berlari-larian di pe matang sambil me nyingsingkan kain panjangnya. Meskipun setiap ka li Arum masih juga pergi ke sawah mengantarkan makanan, tetapi sikapnya sudah lain dari Arum yang terkejut melihat kehadirannya diatas gardu sawahnya. "Kau berlatih terla mpau banyak Buntal" Buntal menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan raguragu ia menjawab "Tidak Arum. Aku belum lelah" "Kau me miliki tenaga dan ketahanan nafas yang luar biasa. Tetapi kau harus beristirahat. Setiap kali kau me mpunyai waktu tertuang, kau selalu berada di dala m bangsa l ini" Buntal tida k menyahut. "Beristirahatlah" Buntal masih tetap dia m. "Marilah. Kita pergi ke dapur. Makan sudah tersedia" Buntal me mandang Arum dengan tajamnya, dan di luar sadarnya ia bertanya "Dimana Raden Juwiring" Arum mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab, dengan tergesa-gesa Buntal menya mbung "Maksudku, apakah ia akan ma kan bersa ma kita?" "Ya. Kakang Juwiring sudah ada di dapur" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya " aiklah. Aku akan me mbersihkan diri dahulu" Arum menganggukkan kepalanya. Dipandanginya langkah Buntal yang lesu dengan kepa la tunduk. Sa ma se kali tidak
segairah ketika ia berlatih seperti yang baru saja dilakukannya di bangsal ini. "Apakah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya?" Arum bertanya kepada diri sendiri. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tida k akan dapat mene mukan jawabnya. Dengan langkah yang berat Buntal pergi ke pakiwan. Ia berdiri saja sejenak di bawah sejuknya dedaunan sebelum ia me mbersihkan dirinya. Dibiarkannya keringatnya susut. Dan barulah ke mudian ia mencuci muka, ka ki dan tangannya. Ketika ke mudian ia me masuki pintu dapur, hatinya tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Dilihat Arum dan Juwiring duduk di a mben yang panjang. Agaknya keduanya sedang asyik berbincang. Pembicaraan keduanya berhenti ketika mereka melihat Buntal masuk. Sambil tersenyum Juwiring berkata "Marilah. Aku menunggumu. Bukankah kita akan makan bersa ma-sama seperti biasanya?" Buntal menganggukkan kepalanya. Dicobanya pula untuk tersenyum sambil menjawab "Aku agak lupa waktu karena aku berada di bangsal latihan" "Arum menyusulmu?" "Ya" jawab Buntal pendek. Keduanyapun ke mudian ma kan bersa ma, dan seperti biasanya Arum melayani kedua saudara seperguruannya dan yang telah dijadikannya saudara angkatnya itu. Demikianlah, dari hari ke hari, kedia man Buntal me njadi semakin menarik perhatian. Juwiring yang masih juga selalu bersama-sama pergi ke sawah menjadi heran. Meskipun setiap kali Buntat masih berusaha menunjukkan senyum dan tawanya, tetapi rasa-rasanya senyum dan tertawa itu ha mbar. Ternyata bahwa yang paling besar menaruh perhatian atas keadaan Buntal adalah justru gurunya. Karena itu, tanpa
disangka-sangka oleh Buntal, gurunya telah me manggilnya bersama dengan kedua saudara angkatnya. Dan tanpa diduganya pula, maka Kiai Danatirta telah langsung bertanya kepadanya "Buntal. Jangan kau merasa tersinggung jika aku me merlukan bertanya kepadamu. Kau adalah tidak ubahnya dengan anakku sendiri. Karena itu pengamatanku atasmu tidak ada bedanya dengan pengamatanku atas Arum dan Juwiring" Kiai Danatirta terdiam sesaat, lalu "Akhir-akhir ini Buntal, aku melihat sesuatu yang lain padamu. Sesuatu yang perlahan-lahan tumbuh pada sikap dan kebiasaanmu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari. Tetapi bagaimanapun juga, pasti ada sebab yang membuat kau menjadi de mikian. Mungkin sebab itu seharusnya dapat diabaikan. Namun mungkin pula, bahwa aku, guru dan sekaligus orang tua mu, saudarasaudaramu. dapat me mbantumu mene mukan jalan yang baik, yang dapat me mbawa mu ke luar dari suasana yang sekarang. Suasana yang tampaknya tidak begitu cerah seperti di hari-hari yang lewat" Terasa dada Buntal menjadi berdeburan. Seakanakan isi dadanya telah bergolak dengan dahsyatnya. Dan dala m pada itu Kiai Danatirta meneruskan "Jangan kau simpan persoalan itu di dala m hatimu Buntal. Jika de mikian kau akan menjadi tertekan sendiri, sedang saudara-saudaramu dan aku tidak dapat ikut me mecahkannya. Karena itu, katakanlah. Kami bukan orang la in lagi bagimu"
Kepala Buntal tertunduk dala m-dala m. Bagaimana mungkin ia akan dapat mengatakan persoalannya itu. Persoalan yang bagi dirinya sendiri masih dianggapnya sebagai suatu persoalan yang gila. Dan nalarnyapun menganggapnya bahwa perasaan yang tumbuh di dala m dirinya itu adalah perasaan yang tidak waras. "Kau tidak usah merasa segan terhadap kami Buntal" berkata Juwiring ke mudian "anggaplah aku sebagai saudara tuamu dan Arum sebagai adikmu. Ka mi sudah me ningkat dewasa, dan karena itu, kami sudah ma mpu me mbuat pertimbangan-pertimbangan yang barangkali dapat me mbantumu" Jika sekiranya Buntal masih kanak-kanak, ingin rasanya ia menjerit dan menangis sekeras-kerasnya untuk melepaskan himpitan di dala m hati. Tetapi dala m keadaannya kini, ia t idak akan dapat me lakukannya. Ia adalah seorang laki-laki dewasa yang sudah ditempa di padepokan Jati Aking. Karena itu, ia bukan lagi seorang anak yang cengeng yang menangis meronta-ronta jika hatinya tersentuh sedikit saja. Namun Buntal menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berdiam diri. Ia harus menjawab pertanyaan gurunya dan saudara-saudara angkatnya. Karena itu, Buntal terpaksa berbohong "Ayah" suaranya bergetar di bibirnya "sebenarnya apa yang tersangkut di dala m hati ini tidak pantas aku katakan" "Tetapi juga tidak sebaiknya kau simpan di dala m hati sedang wajahmu ha mpir setiap saat tampak mura m. Dala m perkembangan berikutnya, hatimu akan terpengaruh dan kau dapat terperosok ke dala m suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagimu sendiri" Buntal mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Ayah, tiba-tiba saja sebuah kenangan tentang keluargaku lelah
me mbayangi a ku untuk beberapa hari terakhir. Ada semaca m kerinduan yang tidak dapat aku singkirkan, meskipun aku tahu. bahwa aku tidak akan pernah dapat menjumpai mereka lagi. Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Itulah agaknya yang merisaukan hatimu" Buntal tidak menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. Tiba-tiba saja ia merasa suatu beban baru telah tersangkut di hatinya. Ia sudah berbohong. Dan kebohongan itu harus dipertahankan. Bahkan untuk menyembunyikan suatu kebohongan ia kadang-kadang harus me ngatakan kebohongan- kebohongan yang la in. Buntal tiba-tiba merasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Namun ia tida k akan berani me ngatakan perasaannya yang sebenarnya. "Buntal" berkata gurunya "Aku dapat mengerti. Me mang tebuah kenangan kadang-kadang tiba-tiba saja me mpengaruhi perasaan kita. Namun kau harus ma mpu me mbuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar, agar hidupmu tidak disaput oleh kenangan dan bayangan-bayangan yang terpisah dari kehidupanmu yang sebenarnya" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita sudah lama berkumpul di padepokan ini. Dan kita harus me lihat kenyataan ini. Orang tuamu sekarang adalah aku, dan saudara-saudaramu adalah Juwiring dan Arum. Me mang kita tidak dapat me mbendung hadirnya sebuah kenangan pada diri kita, seperti kita me mbendung a ir di paritparit. Namun kita harus ma mpu menguasai perasaan kita dan me mbuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar" Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu "Me mang ada semaca m kerinduan apabila kenangan itu hinggap pada diri kita.
Kerinduan pada masa la mpau. Tetapi kita harus sadar, bahwa kita tidak akan dapat ke mbali kepada masa la mpau itu" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ditatapnya wajah Kiai Danatirta yang bersungguh-sungguh. Dan Buntalpun merasa bersalah pula, bahwa ia telah me ma ksa orang tua itu menasehatinya sedang persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang lain. "Nah, cobalah" berkata Kiai Danatirta mudah-mudahan kau berhasil. Mudah-mudahan kau dapat menjadikan masa la mpaumu sebagai kenangan yang dapat mendorongmu menje lang masa depan yang cerah" "Ya ayah" jawab Buntal dengan suara ge metar. "Pandanglah saudara-saudaramu. Juwiring juga me mpunyai kenangan yang dapat me mbuatnya rindu pada masa la mpaunya di istana Ranakusuman. Arum juga me mpunyai masa la mpaunya sendiri dala m pe lukan kasih sayang ibunya. Dan kaupun me mpunyai kerinduan pada masa la mpau itu. Tetapi masa la mpau itu jangan merusak masa kini dan apalagi menyura mkan masa-masa datangmu" Buntal menarik nafas dalam-da la m. Ia berusaha untuk menga mbil arti dari nasehat gurunya, meskipun persoalan yang sebenarnya, berbeda dengan yang sedang diala minya. "Nah, kita akan semakin banyak mengisi waktu kita dengan latihan-latihan kanuragan" berkata Kiai Danatirta ke mudian "dengan de mikian kalian telah me mbangun hari depan kalian, di sa mping ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Kalian tidak boleh me lupakan me mbaca kitab suci yang berisi nasehatnasehat dan petunjuk-petunjuk tentang hidup dan jawaban dari persoalan-persoalan kita" Ketiga anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Di padepokan itu mereka me mang mendapat ilmu yang ha mpir menyeluruh. Aga ma, pengetahuan dan Kanuragan.
"Nah" berkata Ki Danatirta ke mudian "Kalian boleh mendengar serba sedikit, apa yang terjadi di Surakarta. Keadaan agaknya menjadi se makin panas. Orang asing itu menjadi sema kin deksura. Kekuasaan Surakarta menjadi semakin terbatas. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pangeran tidak mau menerima keadaan ini. Bagaikan api semakin la ma menjadi sema kin me mbara, sehingga pada suatu saat, kemungkinan yang paling dekat adalah me ledaknya api itu dan me mbakar seluruh Surakarta. Karena itu, kalian harus me mpersiapkan diri. Siapa tahu, bahwa tenaga kalian yang le mah itu diperlukan bersa ma dengan anak-anak muda yang lain" Buntal mengangkat wajahnya sejenak, lalu kepala itu tertunduk lagi. Ada semacam perasaan malu yang menyelinap di sudut hati. Selagi orang-orang di Surakarta me mpersoalkan negara dan bangsanya, ia dicengka m oleh kegilaannya sendiri. Demikianlah, maka ketiga anak-anak muda itu di hari-hari berikutnya berlatih se makin mantap. Dengan susah payah Buntal berusaha untuk menghilangkan kesan ke murungan dari wajahnya. Meskipun de mikian, di luar sadarnya. kadangkadang ia me mandang Arum dari kejauhan. Baik selagi ia berlatih dala m olah kanuragan, maupun apabila gadis itu menga mbil air untuk mencuci mangkuk di dapur. Buntal menarik nafas dala m-dala m. la tidak dapat menentang gerak a la miah bagi seorang laki-laki. Yang dapal dilakukannya adalah sekedar me mbatasi diri dengan nalar seperti yang dikatakan oleh gurunya, meskipun dala m persoalan yang berbeda. Dala m pada itu, sebenarnyalah bahwa suasana menjadi semakin buruk. Udara Surakarta seakan-akan menjadi semakin panas. Beberapa orang Pangeran tidak dapat menerima keadaan yang sedang dihadapinya, namun beberapa orang yang lain justru memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya bagi keuntungan diri sendiri.
Demikianlah yang terjadi di istana Ranakusuman. Istana itu nampaknya semakin la ma menjadi se makin cerah. Barangbarang pecah belah yang se la manya belum pernah dimiliki oleh Pangeran yang manapun juga, telah terdapat di Ranakusuman. Hadiah yang mengalir seperti menga lirnya Ka li Bengawan yang diterima oleh Raden Ayu Galihwarit, me mbuat istana Ranakusuman menjadi se makin ce merlang. Namun dala m pada itu, Raden Rudirapun menjadi se makin manja. Kekayaan yang ada pada keluarganya membuatnya menjadi sema kin sombong dan bahkan ia merasa menjadi seorang putera Pangeran yang paling kaya di seluruh Surakarta, tanpa mengerti dari mana kekayaan itu didapatnya. Ia hanya pernah mendengar ibunya berkata kepada ayahandanya "Sikap kakanda yang bersahabat terhadap orang asing itu ternyata menguntungkan sekali. Aku sering menerima hadiah yang tidak aku mengerti darimana dan dari siapa, meskipun aku tahu, pasti dari salah seorang sahabat kakanda itu" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m, la me mang telah terjerumus ke dala m sikap yang menguntungkan orang-orang asing itu. Bukan saja karena Pangeran Ranakusuma t idak me mpunyai keyakinan yang teguh atas kemampuan Sura karta untuk tegak sebagai suatu negara yang berkuasa, namun rumahnya seakan-akan sudah menjadi ajang pertemuan bagi orang-orang asing itu. Isterinya yang ramah dan me mpunyai ke lincahan bergaul me mbuat istana Ranakusuman menjadi sering dikunjungi oleh orangorang asing. Karena itu. Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak mengerti kenapa isterinya kadang-kadang mengingkarinya. Isterinya mengatakan kepadanya, bahwa kadang-kadang ia tidak mengerti dari siapa hadiah-hadiah itu datang, meskipun isterinyalah yang lebih banyak berhubungan dengan orangorang asing itu.
Dan bagi Raden Ayu Galihwarit, hubungannya dengan orang-orang asing itu banyak me mberikan pengala man baru. Pengalaman rohaniah dan jasmaniah, sehingga ia mengenal adat dari orang-orang asing itu di dalam tata pergaulannya serba sedikit. Hubungan tata pergaulan yang belum pernah diala mi sebelumnya. Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak menghiraukan, apabila di dala m pertemuan-perte muan resmi para Pangeran, beberapa orang isteri Pangeran duduk me mpercakapkannya. Sambil berbisik-bisik mereka me mandanginya dengan sudut mata. "Mereka adalah orang-orang yang dengki dan iri hati" berkata Raden Ayu Galihwarit di dala m hatinya. Namun di saat-saat terakhir. Raden Ayu Galihwarit merasa terganggu oleh sikap Dipanala. Sepeninggal Sura, rasarasanya Dipanala justru dengan sengaja berbuat banyak hal yang me mbuatnya berdebat. Setiap kali ia menjadi curiga apabila Dipanala me nghadap Pangeran Ranakusuma untuk kepentingan apapun, sehingga setiap ka li ia selalu berusaha mengetahui atau mendengar percakapan mere ka. Tetapi demikian juga agaknya Pangeran Ranakusuma. Ia tidak pernah me mbiarkan Dipanala menghadap isterinya untuk kepentingan apapun, sehingga setiap abdi terdekatnya dan pelayan dalam, dipesannya agar mendengar apa saja yang dikatakan oleh Dipanala kepada siapapun juga. Ternyata betapa kebencian me munca k di hati Pangeran Ranakusuma serta Raden Ayu Galihwarit, namun mereka tidak dapat berbuat banyak atas orang itu. Mereka tidak dapat mengusir dan apalagi menghukumnya. Hal itu sa ma se kali tidak dapat dime ngerti oleh Raden Rudira. Baginya Dipanala bagaikan duri di dala m daging. Setiap kali orang itu mengha lang-halangi niatnya, ayahanda dan ibundanya tidak dapat mencegahnya. Jika dahulu sebelum Sura meninggalkan istana, Dipanala jarang atau hampir tidak
pernah menca mpuri persoalan ayahanda dan ibunda, na mun kini, Dipana la justru menjadi lebih sering menghadap. "Aku harus mengetahui, kenapa setan itu tidak disingkirkan atau dibunuh saja oleh ayahanda Ranakusuma. Kenapa ia masih-bebas berkeliaran dan bahkan kadang-kadang dipanggil menghadap oieh ayahanda dan ibunda?" bertanya Raden Rudira di dala m hatinya. Sebenarnyalah bahwa Dipanala me mang sering dipanggil baik oleh Pangeran Ranakusuma, maupun oleh Raden Ayu Galihwarit. Namun sebenarnya Dipanala sama sekali tidak sedang diajak berunding. Bahkan Pangeran Ranakusuma selalu menganca mnya dan menakut-nakutinya. Ki Dipanala sendiri me mang tida k pernah berniat jahat. Ia menyadari keadaannya dan sama sekali t idak timbul niatnya untuk mencelaka kan orang lain. Tetapi kadang-kadang ia berani juga mencegah niat yang bertentangan dengan nuraninya. "Kau terlalu banyak menca mpuri persoalanku Dipanala" berkata Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala pada suatu saat. "Apa yang sudah ha mba la kukan Pangeran" Ha mba t idak pernah berbuat apa-apa" "Kau sudah me mbuat anakku me mbencimu. Dan kadangkadang kau berani berterus terang memperingatkan tingkah lakuku di hadapan anak itu. Kau tidak usah mengurusi hubunganku dengan asing, atau hubungan Rudira dengan Juwiring dan petani dari Sukawati itu. Kau harus merasa berterima kasih bahwa kau dapat hidup layak di belakang istana ini. Aku masih tetap me mberikan penghasilanmu, meskipun kau sama sekali tida k bermanfaat bagiku" "Justru karena hamba masih se lalu menerima pe mberian tuanku itulah, ha mba kadang-kadang ingin juga me mberikan sedikit bahan pertimbangan. Juga atas hubungan tuan dengan
orang asing itu dan niat Raden Rudira yang tidak ada redanya untuk mence lakakan kakandanya. Hamba tahu, bahwa Raden Rudira menaruh perasaan cemburu, karena di padepokan itu ada seorang gadis cantik yang bernama Arum. Tetapi sebenarnyalah bahwa tidak ada hubungan apapun antara Raden Juwiring dengan Arum" Kedua orang yang sedang berbicara itu terkejut ketika tibatiba saja mereka mendengar suara Raden Ayu Galihwarit "Dipana la. Aku akan memberimu tambahan penghasilan jika kau berjanji tidak a kan mengganggu gugat masalah-masalah kami. Masalah kakanda Pangeran dala m hubungannya dengan orang asing itu, dan masalah anakku. Bahkan sebaiknya kau me mbujuk Kiai Danatirta, agar ia mau menyerahkan anaknya ke mari. Aku me mang me merlukannya. Sedang hubungan kakanda Pangeran dengan orang asing itu mendatangkan banyak keuntungan bagi ka mi, bagi rumah tangga kami. Istana kami adalah istana yang paling cerah dari semua istana Kapangeranan di Surakarta. Sahabat-sahabat kakanda Pangeran telah mengirimkan hadiah yang tidak ternilai dan yang sebelumnya belum pernah kita lihat dan apalagi kita miliki" Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Ditatapnya wajah Raden Ayu Galihwarit sejenak. Sekilas Dipanala melihat kecantikan yang me mancar di wajah itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit sudah me miliki dua orang anak yang menjelang dewasa, namun ia sendiri masih ta mpak segar dan cantik. Tetapi kecantikan lahiriah itu sama sekali tidak bersumber pada kecantikan rohaniah. Kulitnya yang kuning bersih tida k mencerminkan hatinya yang sebenarnya buram, yang dikuasai oleh nafsu ketamakan yang tiada taranya. Ketamakan akan harta dan kekayaan, sehingga apapun yang ada padanya telah dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan dan harta benda yang diinginkan.
"Pangeran" berkata Ki Dipana la ke mudian "ha mba senang sekali apabila hamba mendapatkan ta mbahan penghasilan yang dapat memperbaiki kehidupan ha mba sekeluarga. Tetapi hambapun ce mas me lihat mendung yang menga mbang diatas Surakarta sekarang ini. Orang asing itu tidak disuka i oleh beberapa orang Pangeran" "Bodoh sekali. Itu adalah suatu kebodohan" Raden Ayu Galihwaritlah yang menjawab "Apakah keberatan mereka atas kehadiran orang-orang asing itu" Hanya karena mereka tidak berhasil bersahabat dengan mereka dan tidak pernah mendapatkan pe mberian apapun juga, mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak disenangi di Surakarta" Ki Dipana la tidak segera menjawab. Sudut pandangan Raden Ayu Galihwarit berbeda dari sudut pandangan dan sikap pemerintahan di Surakarta. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit itu sa ma sekali tidak mau tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Surakarta ini. "Sudahlah Dipanala " berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian "Seperti yang aku katakan, kau jangan terlampau banyak menca mpuri persoalan ka mi. Aku tidak senang. Kau mengerti?" "Ha mba Pangeran. Hamba tidak akan banyak menca mpuri persoalan yang ada di istana ini. Namun perkenankanlah hamba me mperingatkan, bahwa sikap Pangeran Mangkubumi terhadap orang-orang asing itu menjadi se makin tegas" "Aku sudah mengerti...!!!" Pangeran Ranakusuma me mbentak. Namun suaranya kemudian menurun "Tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa" "Mudah-mudahan" sahut Dipanala. "Seandainya ia akan berbuat sesuatu, apakah yang dapat dilakukan" Meskipun ia seorang Pangeran yang pilih tanding, tetapi ia akan berdiri seorang diri. Dan ia t idak a kan berani menentang kekuasaan Susuhunan Paku Buwana, sehingga
apabila Susuhunan Paku Buwana sudah menentukan, maka semua Pangeran a kan tunduk?" "Tetapi bagaimana dengan beberapa orang Pangeran yang telah meningga lkan kota dan me lakukan perlawanan?" "O, apakah yang dapat mereka lakukan" Mereka hanya berlari-lari dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, dan sama sekali jauh dari kota Surakarta. Sebentar lagi mereka akan digiring dan dipaksa untuk me nyerah" "Tetapi jika ke mudian di antara mereka terdapat Pangeran Mangkubumi?" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Raden Ayu Galihwarit telah menyahut "Apa bedanya Pangeran Mangkubumi dengan yang lain-lain itu?" Ki Dipanala me mandang Raden Ayu Galihwarit sejenak, lalu berpindah kepada Pangeran Ranakusuma "Apakah benar Pangeran dan Raden Ayu tidak tahu kelebihan Pangeran Mangkubumi" "Cukup, cukup" bentak Pangeran Ranakusuma "kenapa kau mengajukan pertanyaan yang gila itu?" Ki Dipana la menarik nafas dala m-dala m. Baginya hal itu merupakan pengakuan, betapa Pangeran Ranakusuma segan kepada saudara mudanya itu. Namun ternyata bahwa Raden Ayu Galihwaritlah yang menjawab "Aku tahu, kelebihan Pangeran Mangkubumi adalah pada ilmu kanuragan. Meskipun ia kebal atas segala macam senjata tajam, namun ia tidak akan dapat melawan senjata orang kulit putih itu. Sebutir peluru akan menembus jantungnya, dan ia akan mati seperti kebanyakan orang mati. Dan ia tida k akan dapat hidup ke mbali" Tiba-tiba saja kepala Pangeran Ranakusuma tertunduk dalam-da la m. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya.
Bagaimanapun juga, ia tidak dapat ingkar bahwa kulitnya tidak seputih kulit orang asing itu. Meskipun seandainya ia tidak me mperhitungkan warna kulit, namun ia tahu benar niat kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta. Seperti Pangeran Mangkubumi ma ka iapun merasa ce mas melihat perkembangan Surakarta. Tetapi kadang-kadang se muanya itu lenyap jika ia me lihat kepada dirinya sendiri. Apakah arti pengabdiannya kepada Surakarta, jika kedatangan orang asing itu menguntungkan dirinya. Pribadinya. "Apakah yang dapat aku petik dari ke kuasaan Surakarta ini sekarang secara langsung?" pertanyaan itu kadang-kadang me lonjak di hatinya "sedangkan orang-orang asing ini banyak me mberikan sesuatu yang memang aku perlukan, dan yang diperlukan oleh isteriku" Tetapi jika ke mudian terbayang pergaulan yang terlalu rapat antara orang-orang asing itu dengan isterinya. maka hatinya menjadi berdebar-debar pula. Namun untuk dalam hatinya, "Pergi, pergi kau kami. Aku dapat kasar" mengusir perasaan yang bercampur aduk di tiba-tiba Pangeran Ranakusuma berteriak Dipanala. Awas jika kau masih mengganggu berbuat baik, tetapi aku juga dapat berbuat
"Ampun tuan" berkata Ki Dipanala ke mudian. Tetapi ia masih juga berkata "Sebelum ha mba mohon diri, hamba mohon agar tuanku bertanya kepada puteranda Raden Rudira. apakah yang diketahuinya tentang Sukawati" "Dia m, dia m" Pangeran Ranakusuma berteriak "Aku tidak mau mendengar lagi tentang adinda Pangeran Mangkubumi" "Tida k Pangeran, bukan tentang Pangeran Mangkubumi itu sendiri, tetapi tentang orang-orang di daerah Sukawati dan sekitarnya. Daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi" "Aku tida k mau mendengar. Pergi"
Ki Dipana lapun mengangguk dala m-dala m. Ke mudian ia berdesis "A mpun tuan. Sekarang perkenankanlah ha mba mengundurkan diri" Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, sedang Raden Ayu Galihwarit berdiri dengan gelisah. Orang itu memang berbahaya baginya. Dan tiba-tiba saja ia mengumpat di dala m hati "Kenapa orang itu tidak disa mbar petir saja kepalanya?" Dari lubang pintu yang terbuka Raden Ayu Galihwarit me lihat Ki Dipanala keluar dari serambi bela kang. Langkahnya lurus menuju ke pintu butulan di dinding belakang. Orang itu sama seka li tidak berpaling. Namun terasa sesuatu berdesir di hati Raden Ayu Galihwarit ketika ia melihat seorang raksasa berdiri bertolak pinggang me mandangi langkah Ki Dipanala. Tetapi raksasa itu sama seka li tidak berbuat apa-apa. "Mandra" desis Raden Ayu Galihwarit di dala m hatinya "sepeninggal Sura, orang itulah yang dipercaya oleh Rudira" Sejenak Raden Ayu Galihwarit berdiri me mbeku. Terbersit di dala m hatinya "Jika Dipanala tidak juga disa mbar petir, kenapa tidak ada orang yang me mbinasakannya saja" Dengan demikian semua persoalan yang diketahuinya tentang diriku akan ikut terkubur bersamanya" Raden Ayu Galihwarit itu menggigit bibirnya. Namun pikiran itu tiba-tiba saja me lekat di hatinya. Dan ia me mpunyai kekuatan untuk mela kukannya. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah dan berani bersama beberapa orang pengiringnya. Namun untuk beberapa lamanya, ia masih harus menyimpan pikiran itu sebaik-ba iknya sebelum dipertimbangkannya masak-masak. Tetapi dari hari kehari Dipanala benar-benar merupakan duri di pusat jantungnya. Setiap detak dan setiap tarikan nafas
terasa jantungnya menjadi pedih. Kenangan peristiwa itu benar-benar telah menghantuinya.
mengenai "Jika Dipanala menjadi gila, maka a kupun akan dibuatnya gila pula. Lenyaplah semua rencana dan harapan yang telah tersusun ini" na mun ke mudian "Tetapi jika ia ingin mence lakakan a ku, kenapa tidak sekarang, atau saat aku mengusir Juwiring atau karena perbuatan-perbuatanku yang lain?" Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. Me mang terasa olehnya bahwa sampai saat ini Ki Dipanala tidak berniat berbuat jahat kepadanya. Namun dala m keadaan yang terpaksa maka orang itu dapat menjadi orang yang paling berbahaya baginya. "Rudira akan dapat menyelesaikannya" berkata Raden Ayu Galihwarit di dala m hati "bersa ma Mandra, Dipanala bukan lawan yang berat baginya meskipun Ki Dipanala pernah menjadi seorang prajurit. Tetapi akan lebih baik apabila Mandra dan Rudira sendiri tidak ikut menangani, agar tidak mena mbah beban lagi bagiku jika usaha ini gagal. Mereka dapat mencari seseorang yang dapat dipercaya. Atau katakanlah sekelompok kecil orang-orang yang diperhitungkan dapat mela kukan tugas itu" Demikianlah ternyata bahwa di dalam tubuh Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu tersimpan hati yang keras dan hitam. Dan agaknya, pikiran itu tetap dipertimbangkannya. Semakin hari justru terasa semakin mendesak. Apalagi setiap kali ia masih me lihat Ki Dipanala berada di hala man istana Ranakusuman seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun atasnya. "Orang itu me mang berhati batu" berkata Raden Ayu Galihwarit di dala m hatinya" Ia sa ma sekali tidak merasa bahwa ia tida k diperlukan lagi di sini. Agaknya Sura yang kasar itu masih juga me miliki perasaan, sehingga karena itu ia minta
Riwayat Lie Bouw Pek 10 Lembah Patah Hati Lembah Beracun Karya Khu Lung Kuil Perawan Ganas 2
^