Pencarian

Darah Para Tumbal 1

Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal Bagian 1


DARAH PARA TUMBAL Oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Telaga Ungu terlihat tenang. Angin lembut melun-
cur di permukaan airnya, menciptakan riak kecil yang menyatu dalam warna
kehijauan. Pepohonan cemara
mengelilingi telaga tersebut, seolah barisan pengawal yang tak kenal lelah
menjaga kedamaian tempat itu.
Sepasang anak muda yang belum saling mengenal
tampak duduk berhadapan. Yang satu adalah seorang
pemuda bercaping lebar terbuat dari anyaman kulit
bambu. Sedangkan yang lain, seorang gadis bertubuh
mungil dengan pakaian merah ketat. Dia adalah Putri Bong Mini yang baru saja
menikmati ikan bakar bersama pemuda itu (baca episode: 'Iblis Pulau Neraka').
Dengan bibir mengulum senyum serta pandangan
lembut ke arah Bong Mini, tangan pemuda itu berge-
rak membuka caping lebarnya. Sehingga wajah yang
semula terhalang oleh caping, kini terlihat jelas oleh gadis yang duduk di
hadapannya. Beberapa saat Bong Mini diam terpaku. Sepasang
matanya memandang pemuda itu tanpa berkedip.
"Baladewa...!" desis Bong Mini dalam keterpanaan-
nya. "Bagaimana bisa sampai di sini?" lanjutnya de-
ngan suara tertahan, berusaha menekan rasa terke-
jutnya. "Aku memang sengaja mencarimu," sahut Baladewa
tenang. Bong Mini tersenyum.
"Bagaimana kabar orangtuamu?" tanya Bong Mini.
Seolah-olah tidak mempedulikan ucapan Baladewa ta-
di. "Mereka baik-baik saja!"
"Kau cerita tentang aku yang berguru pada Kanjeng
Rahmat Suci?"
"Tidak. Aku hanya menceritakan tentang keadaan-
ku selama berada di Gunung Muda," sahut Baladewa.
Bong Mini menghela napas. Sebenarnya itu yang ia
harapkan. Sebagaimana halnya ia tidak bercerita me-
ngenai pertemuannya dengan Baladewa pada papanya.
Biar mereka sendiri yang mengetahui nanti, pikirnya.
Bong Mini menoleh ke arah Baladewa. Pemuda itu
pun tengah memandang wajahnya dengan tatapan ma-
ta yang berpijar-pijar.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya
Bong Mini, menutupi perasaannya yang langsung ber-
getar hebat ketika bertatapan dengan mata Baladewa.
"Tak tahukah kau penyebabnya?" Baladewa balik
bertanya. Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Baladewa diam beberapa saat. Matanya yang sendu,
tetap memandang gadis yang duduk di hadapannya.
"Aku mencintaimu!" ucap Baladewa dengan suara
tersendat. Bagaimanapun tenangnya perasaan Bong Mini
menghadapi pemuda itu, tapi hatinya bergetar juga
mendengar pernyataan yang diungkapkan Baladewa.
Kemudian dengan tatapan mata sendu ia berkata, "Se-
benarnya kita mempunyai perasaan yang sama. Tapi
untuk saat ini belum waktunya kita bercinta!"
"Maksudmu?" tanya Baladewa cepat.
"Masih ada yang lebih penting daripada urusan cin-
ta!" tandas Bong Mini.
Baladewa termangu tak mengerti.
"Cinta kita sekarang ini milik rakyat. Dan kita ha-
rus memberikannya dengan cara mengembalikan ke-
bahagiaan dan kedamaian mereka, yang selama ini di-
rampas oleh manusia-manusia berhati iblis!" kata
Bong Mini. Membuat pemuda yang duduk di hadapan-
nya tergugu mendengarkan.
Tidak mengherankan jika cara berpikir Bong Mini
lebih matang dari Baladewa. Usia mereka memang sa-
ma-sama delapan belas tahun. Tapi dalam persamaan
usia itu, cara berpikir Bong Mini rupanya lebih matang dibandingkan Baladewa.
"Aku tidak mengira kau berpikir sejauh itu," puji
Baladewa. "Kurasa semua orang akan berpikir demikian. Ha-
nya cara pengungkapannya saja yang mungkin berbe-
da!" sahut Bong Mini.
Baladewa masih termangu kagum pada gadis yang
duduk di hadapannya itu. Kalau dulu ia mengagumi
kecantikannya, maka sekarang ia mengagumi seluruh
yang ada dalam diri Bong Mini. Baik hati maupun pikirannya. Baginya itu suatu
keberuntungan. Baru per-
tama kali kenal dengan wanita, ia langsung bertemu
dengan gadis yang menarik perhatian.
"Apa rencanamu selanjutnya?" Baladewa mengalih-
kan pembicaraan.
"Membersihkan negeri ini dari manusia-manusia ib-
lis seperti Perguruan Topeng Hitam!" tegas Bong Mini.
"Kalau begitu kita harus secepatnya bertindak!"
sambut Baladewa penuh semangat.
"Memang begitu seharusnya!" sambut Bong Mini se-
raya berdiri, begitu pula dengan Baladewa. Sehingga keduanya berhadapan. Karena
tubuh Baladewa lebih
tinggi, maka Bong Mini pun berkata dengan kepala
menengadah. "Sebaiknya kita melakukan tugas secara terpisah.
Ini akan memudahkan kita dan mempercepat pembas-
mian orang-orang biadab seperti Perguruan Topeng Hitam!" kata Bong Mini
berpendapat. Baladewa termangu menatap wajah Bong Mini. Ia
merasa seperti ada beban yang menggayuti dinding-
dinding hatinya.
Bong Mini tersenyum lembut, melihat sikap Bala-
dewa yang berdiri bimbang. Ia sudah dapat menerka,
perasaan apa yang sedang menggeluti hati pemuda
yang berhasil mencuri hatinya itu.
"Aku mengerti, kau memberatkan perpisahan ini.
Tapi inilah salah satu perjuangan yang harus kita
tempuh. Mengorbankan kepentingan pribadi dan
mengutamakan kepentingan orang banyak, merupa-
kan langkah kita yang paling utama!" tutur Bong Mini dengan sorot matanya yang
berpijar-pijar.
"Aku mengerti!" ucap Baladewa dengan suara lirih.
"Tapi aku minta kau berjanji!"
"Janji apa?" Bong Mini mengerutkan keningnya.
"Kau tidak akan tertarik pada pemuda lain, selain
diriku!" Bong Mini mengembangkan senyumnya.
"Percayalah! Aku bukan tipe wanita yang mudah ja-
tuh cinta!"
"Kau...!" desah Baladewa tanpa melanjutkan kata-
katanya. Hanya tangannya saja yang menyentuh ke-
dua bahu gadis di depannya, lalu didekap ke dalam pelukannya.
Ketika kepalanya rebah dalam dada bidang pemuda
tampan itu, Bong Mini langsung merasakan satu kese-
jukan dan kedamaian yang tak dapat diuraikan de-
ngan kata-kata. Ia semakin terlena dalam dekapan Baladewa. Sementara itu,
Baladewa sendiri membelai-
belai lembut rambutnya dengan ujung jari.
Setelah agak lama berpelukan, keduanya berdiri
berhadap-hadapan dengan tatapan sendu.
"Selamat berjuang, Baladewa!" desah Bong Mini.
"Selamat berpisah...!" balas Baladewa dengan suara
bergetar, menahan rasa berat terhadap perpisahan
yang sebentar lagi diterimanya.
Usai Baladewa mengucap kata perpisahan, Bong
Mini segera melesat ke arah utara tanpa menoleh, karena tak ingin semangat
juangnya pudar sedikit pun.
*** Sementara itu, di Pulau Neraka, sebelas lelaki gagah
tampak berdiri termangu menyaksikan mayat-mayat
yang bergelimpangan di hamparan tanah berumput.
Wajah mereka tampak tegang dan geram. Mereka tidak
lain sisa-sisa pasukan Iblis Pulau Neraka yang baru saja tiba. Ketika tiba di
sana, mereka terkejut karena teman-temannya tewas dalam keadaan mengerikan,
terbungkus darah yang sudah mengering dan menye-
barkan bau busuk.
"Ini pasti perbuatan orang-orang Perguruan Topeng
Hitam!" geram seorang di antara mereka. Dialah yang bernama Ong Lie. Orang yang
dipercaya Gonggo Gung
untuk melakukan misi pendekatan terhadap Putri
Bong Mini agar mau bekerja sama dengan orang-orang
Iblis Pulau Neraka.
Ong Lie seorang lelaki gagah dan tampan. Bermulut
kecil dan bermata sipit. Rambutnya yang panjang di-
sisir ke belakang dan terikat di tengah kepalanya.
Tingginya sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter.
Dia paling tinggi di antara kesepuluh orang lainnya.
Berpakaian terpelajar yang berlapis jubah warna ku-
ning. Kumisnya tipis, sedangkan umurnya sekitar tiga puluh lima tahun.
"Apa mungkin pasukan Perguruan Topeng Hitam
datang ke sini dan menewaskan pemimpin kita?" tanya seorang di antara mereka,
ragu. Ia tidak percaya kalau Gonggo Gung yang terkenal tangguh dan sadis itu
dapat dikalahkan oleh pasukan Perguruan Topeng Hitam.
"Siapa lagi kalau bukan mereka" Bukankah tempo
hari pasukannya berhasil kita kalahkan?" kata Ong Lie mempertahankan
pendapatnya. "Bagaimana kalau gadis mungil dan pemuda yang
memiliki baju berlukis naga emas yang melakukan ini semua" Bukankah pada saat
kita bertempur dengan
Perguruan Topeng Hitam, sepasang anak muda ini
menyerang pasukan kita?" sela Jurik, seorang anggota pasukan berbaju seperti
piyama berwarna hitam dengan sepasang golok di pinggang kiri dan kanannya.
Rambutnya ikal panjang sebatas bahu dengan menge-
nakan ikatan kepala berwarna merah. Dialah orang
yang selamat dari amukan Bong Mini dan Khian Liong
beberapa waktu lalu.
"Aku pikir tidak! Mereka mempunyai perhitungan
yang matang dan tak mungkin datang ke sini hanya
berdua saja. Apalagi sampai menewaskan pemimpin
kita!" tukas Ong Lie.
Teman-temannya mengangguk-angguk.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Jurik ti-
dak sabar. Ia ingin cepat-cepat mendapat keputusan
dari Ong Lie yang menjadi pemimpin pasukan terse-
but. Ong Lie diam beberapa saat, menimbang-nimbang
keputusan yang akan diambilnya.
"Bagaimana kalau kita melanjutkan misimu menca-
ri wanita yang memiliki Pedang Teratai Merah dan
meminta bantuannya?" Jurik mengajukan pendapat.
Ong Lie terhenyak dari ketercenungannya. Ia baru
ingat kembali pada misi yang akan dijalaninya.
"Kalau memang kau menyetujui, biar kami yang
melakukan penyerangan terhadap orang-orang Pergu-
ruan Topeng Hitam!" lanjut Jurik lagi.
Ong Lie mengangguk-angguk. Dia menyetujui pen-
dapat temannya itu. Dan dia merasa yakin kalau pen-
dekatannya terhadap Bong Mini akan membawa hasil.
Sebab selama ini tak seorang pun yang tahu kalau dia salah seorang dari pasukan
Iblis Pulau Neraka. Karena
setiap melaksanakan aksi, ia tak pernah diikutsertakan. Kecuali tugas-tugas
khusus seperti yang akan ia laksanakan kali ini.
"Aku menyetujui usulmu. Dan sebaiknya kita lak-
sanakan tugas ini sekarang juga!" ucap Ong Lie, me-
mutuskan. "Memang demikianlah seharusnya!" sambut Jurik
yang sudah tidak sabar hendak berhadapan dengan
orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
"Kalau begitu, kau kutugaskan untuk memimpin
pasukan!" kata Ong Lie memberi kepercayaan kepada
Jurik. "Akan kulaksanakan!" sambut Jurik. Kemudian tu-
buhnya melesat ke punggung kuda. Diikuti oleh sembilan temannya yang lain. Dalam
sekejap saja, kuda
yang mereka tunggangi bergerak meninggalkan Pulau
Neraka. Setelah itu, barulah Ong Lie melangkah untuk melaksanakan niatnya
menemui Bong Mini.
*** 2 Senja mulai merayap. Matahari jatuh ke arah barat.
Sinarnya yang siang tadi begitu menyengat, berubah
redup. Daun-daun pepohonan yang semula tegak me-
nadahi cahaya matahari, kini perlahan-lahan merun-
duk serta menari-nari, ditiup semilir angin senja.
Di Desa Buncit, suasana tampak lengang. Hanya
beberapa orang saja yang terlihat hilir-mudik di luar rumah, seolah-olah desa
itu tenang, penuh kedamaian.
Padahal jika menilik lebih jauh, maka akan terlihat sikap was-was yang terpancar
dari wajah dan mata me-
reka. Bila mereka berpapasan dengan orang yang tak
dikenal, baik di perkampungan maupun di pasar, ma-
ka mereka memandang penuh kecurigaan yang amat
dalam dan penuh waspada pada orang tersebut.
Sikap khawatir dan saling curiga di kalangan pen-
duduk ini cukup beralasan. Orang-orang Iblis Pulau
Neraka memang telah diganyang habis oleh Bong Mini.
Sedang orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak
melakukan aksinya lagi. Namun bukan berarti kejaha-
tan orang-orang tersebut akan berhenti. Sebab selama Ketua Perguruan Topeng
Hitam, Kidarga dan Nyi Genit masih hidup, tentu kejahatan akan terus berlangsung
meski untuk beberapa hari ini menghilang bagai dite-lan bumi.


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada dua keresahan yang sekarang mencekam pen-
duduk negeri Selat Malaka, khususnya penduduk De-
sa Buncit. Pertama mengenai Kidarga yang mengum-
pulkan para tokoh sesat untuk bergabung dengannya,
baik dari dalam maupun dari luar negerinya. Terutama sekali dari negeri
Manchuria, tempat ia menjalin persahabatan dengan raja negeri tersebut. Kalau
hal itu terus berlangsung, lalu suatu saat Kidarga mengerahkan mereka untuk
menghadapi orang-orang yang me-
nentangnya, maka kiamatlah negeri Selat Malaka. Apalagi kalau orang-orang
Perguruan Topeng Hitam benar-benar berkuasa di negeri itu.
Keresahan yang kedua, terutama bagi penduduk
Desa Buncit yang dihantui kematian-kematian menge-
rikan. Para korban terdiri dari bayi lelaki dan anak muda berumur sekitar dua
puluh tahun. Setiap kematian para korban, selalu ditandai dengan lehernya yang
berlubang. Diperkirakan, si pembunuh sadis itu melakukan aksinya dengan cara
menggigit leher korban
dan mengisap darahnya.
Beberapa orang yang sempat menjadi saksi menga-
takan, kalau yang melakukan tindakan biadab itu ada-
lah seorang wanita cantik berumur sekitar tiga puluh tahun. Karena itu, para
penduduk mencurigai setiap
perempuan asing yang datang ke desa mereka. Bahkan
beberapa orang jago silat telah dikumpulkan untuk
melakukan penangkapan terhadap wanita keji itu, hi-
dup atau mati. Waktu merayap tanpa terasa. Langit yang remang,
perlahan-lahan menjadi gelap. Disusul dengan kabut
yang turun menutupi permukaan gunung dan seba-
gian rumah-rumah penduduk di Desa Buncit. Sehing-
ga makin cepatlah kegelapan menyelimuti desa itu.
Dengan turunnya kegelapan di Desa Buncit, seiring
itu pula kesunyian tercipta. Jalan-jalan sepi dan lengang. Seluruh pintu rumah
dan jendela penduduk
terkunci rapat, sehingga tak seorang pun terlihat berada di luar.
Dalam suasana sepi dan mencekam itu, seorang ga-
dis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat serta usia tak lebih dari delapan
belas tahun, berjalan tenang sambil menyebarkan pandangannya ke sekitar
rumah penduduk yang berjajar rapi.
Hm..., sepi sekali desa ini, gumam gadis bertubuh
mungil dalam hati, yang tidak lain Putri Bong Mini. Dia berjalan di desa itu
dalam rangka meneliti keadaan
penduduk kampung yang selama kepulangannya tak
pernah dilakukan.
Tanpa disadari oleh Bong Mini, empat lelaki tengah
berjalan membayanginya dari jarak dua puluh meter.
Mereka terdiri dari orang-orang gagah bertubuh tinggi besar serta wajah yang
beringas. Hm..., di desa ini tak sebuah kedai pun yang tam-
pak! Gumam hati Bong Mini dengan pandangan mata
menyebar, mencari warung nasi. Perutnya sudah tera-
sa perih. Di saat kaki Bong Mini melangkah tenang dengan
mata mencari warung nasi, tiba-tiba telinganya men-
dengar langkah yang mencurigakan.
Bong Mini memperlambat langkahnya. Dipasang te-
linganya lebih tajam lagi agar dapat mengira-ngira, berapa jumlah orang yang
membayanginya. Belum sem-
pat ia menebak, tiba-tiba empat sosok tubuh ber-
kelebat ke arahnya dan langsung mengurung.
Bong Mini cepat menghentikan langkah. Sedangkan
matanya memandang keempat pengepungnya.
"Siapa kalian" Mengapa menghalangi langkahku?"
tanya Bong Mini tenang. Satu persatu ia menatap para pengepungnya dengan penuh
waspada. "Nona nampaknya bukan penduduk asli sini!" kata
seorang dari mereka. Ia mempunyai perawakan yang
tinggi besar dengan kulit sawo matang. Pakaiannya
model piyama berwarna hitam dengan kain sarung
membelit pinggangnya. Sedangkan di balik kain sarung itu terselip sepasang
golok. Umurnya sekitar empat puluh tahun, seperti ketiga temannya yang lain.
Begitu pula penampilannya. Hanya wajahnya saja yang membedakan lelaki itu dengan
ketiga temannya. Kalau dia memiliki kumis yang melintang lebat sehingga
memberikan kesan angker, sedangkan ketiga temannya tidak.
Sementara rambut mereka semua dibiarkan bebas ter-
gerai sampai sebatas pundak.
"Kalau aku bukan penduduk sini, memang kena-
pa?" tanya Bong Mini. Dengan sikapnya yang tenang.
"Hm...," lelaki itu terdengar bergumam. "Ketahuilah, Nona! Bahwa setiap wanita
asing yarg datang ke sini harus kami curigai!" lanjut lelaki itu.
"Termasuk aku juga?" tanya Bong Mini.
"Begitulah! Dan aku berharap kepada Nona untuk
ikut bersama kami ke rumah kepala desa. Tapi kalau
Nona menolaknya, terpaksa kami melakukan kekera-
san!" katanya tegas.
"Hm...!" kini Bong Mini yang terdengar bergumam.
Tampaknya sesuatu telah terjadi di desa ini. Dan
orang-orang ini merupakan kepercayaan kepala desa
untuk mengusut semua orang asing yang menginjak-
kan kakinya ke desa ini! Nilai hati Bong Mini.
"Ayolah, Nona. Jangan mengulur-ulur waktu hingga
habis kesabaran kami!" ujar lelaki berkumis tebal itu lagi, tanpa menunjukkan
sikap manis dan lembut kepadanya sedikit pun. Begitu pula dengan ketiga lelaki
lainnya yang sejak tadi hanya diam, mendengarkan
percakapan antara Bong Mini dengan lelaki berkumis
tebal. "Baiklah, kalau memang itu kehendak kalian!" sa-
hut Bong Mini. Lalu kakinya melangkah mengikuti le-
laki berkumis tebal. Sedangkan ketiga temannya
menggiring Bong Mini dari kiri, kanan, dan bela-
kangnya. *** Malam merayap perlahan. Angin yang bertiup di
malam itu terasa sepoi-sepoi basah. Begitu dingin,
hingga menusuk sampai ke tulang sumsum.
Tidak berapa lama mereka berjalan, sampailah
Bong Mini dan keempat orang itu di rumah kepala de-
sa. Rumah itu cukup besar. Halamannya luas, banyak
ditumbuhi oleh pepohonan yang tinggi dan besar-
besar. Sedangkan di samping pintu rumah itu, terda-
pat sebuah dipan yang terbuat dari belahan bambu.
Dan di atas dipan itu, tergantung lampu alit dengan lidah apinya yang bergoyang
ke sana kemari, tertiup angin malam yang berhembus semilir. Bila dilihat dari
jauh, lampu itu mirip sebuah bintang yang berkelip-kelip di langit yang luas.
Rumah kepala desa terbuat dari dinding setengah
papan. Bagian atasnya disambung dengan bilik yang
sudah usang termakan usia. Sementara atapnya ditu-
tupi oleh anyaman rumbia.
Bong Mini dan ketiga lelaki yang mengawalnya ber-
diri tenang, memandang lelaki berkumis yang sudah
mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, dari balik pin-tu itu muncul sesosok laki-
laki yang sudah tua. Usianya sekitar enam puluh tahun. Kulitnya sawo matang
dengan kedua pipi yang mulai kendur dan keriput. Sedangkan tubuhnya pun terlihat
agak kurus. Matanya
cekung dengan sorot yang tajam. Menunjukkan kalau
lelaki tua itu sedikit banyaknya mempunyai kepan-
daian silat yang patut dibanggakan. Buktinya dia diangkat menjadi kepala desa.
"Ada apa, Kundala?" tanya kepala desa itu dengan
suara pelan dan berat. Menunjukkan kewibawaannya.
"Maafkan kami jika kedatangan ini mengganggu isti-
rahat Bapak!" ucap lelaki berkumis melintang yang ternyata bernama Kundala
dengan sikap hormat. Hal itu
sesuai dengan perkiraan Bong Mini terhadap kepala
desa itu kalau ia memang bukan orang sembarangan.
Buktinya, walaupun sudah tua dengan kulit wajah
yang keriput, lelaki muda dan gagah perkasa seperti Kundala begitu hormat
kepadanya. "Katakan saja maksud kedatanganmu," pinta kepala
desa yang malam itu hanya mengenakan piyama war-
na merah dengan kain sarung yang berwarna merah
pula. Sedangkan pinggangnya dibelit sabuk berwarna
hijau muda yang lebarnya sekitar lima belas sentimeter. "Begini, Bapak Kepala
Desa! Kami datang ke sini membawa seorang gadis asing yang sempat kami curigai!"
lapor Kundala. "Hm...," terdengar gumam kepala desa itu. Kemu-
dian dia keluar pintu dua langkah lalu mengamati wa-
jah Bong Mini dengan tajam.
Bong Mini menyambut tatapannya dengan meng-
anggukkan kepala seraya tersenyum, sebagai tanda
hormat. "Ayo, silakan duduk," ucap kepala desa itu yang
ternyata mempunyai sikap ramah terhadap Bong Mini.
Kemudian dia duduk di atas dipan terlebih dahulu. Setelah itu, Bong Mini dan
keempat lelaki yang memba-
wanya menyusul.
Beberapa saat suasana hening. Kepala desa itu te-
rus mengamati wajah Bong Mini lebih lama lagi. Hatinya menduga kalau gadis
bertubuh mungil yang masih
muda belia itu bukan seorang gadis lemah seperti kebanyakan gadis di desa itu.
Penilaian itu berdasarkan sebilah pedang yang tersandang di balik punggung
Bong Mini, serta keberaniannya yang berjalan sendiri di desa yang akhir-akhir
ini rawan dari bermacam kejahatan. Terutama pembunuhan terhadap anak-anak
muda dan penculikan bayi.
"Tampaknya kau seorang gadis keturunan Tiong-
hoa!" ucap kepala desa itu menebak, karena melihat
sepasang mata Bong Mini yang sipit.
"Aku memang dari Tiongkok. Tepatnya dari negeri
Manchuria!" sahut Bong Mini menyebutkan nama ne-
geri asalnya. "Baru pertama kali menginjak ke desa ini?" tanya
kepala desa lagi dengan mata yang tidak berkedip memandang wajah Bong Mini.
"Begitulah, Bapak Kepala Desa!" sahut Bong Mini
seraya tersenyum ramah.
"Apa tujuanmu?" tanya kepala desa.
"Aku tidak punya tujuan apa-apa. Kecuali melihat-
lihat keadaan kampung ini," jawab Bong Mini jujur.
Lelaki tua itu tampak mengangguk-angguk sambil
meneruskan pertanyaannya. "Siapa namamu?"
"Namaku Bong Mini!" sahut Bong Mini singkat.
Mendengar nama itu disebutkan, kepala desa terce-
kat kaget. Begitu pula dengan keempat lelaki yang
membawa Bong Mini ke rumah kepala desa itu.
"Maafkan empat utusanku yang lancang telah men-
curigaimu!" kata kepala desa. Sikapnya yang tadi tegang berwibawa, kini tampak
lunak dan sedikit meng-
hormati Bong Mini. Sebab ia tahu kalau gadis yang
duduk di hadapannya itu seorang anak raja yang na-
manya tersohor di negeri Selat Malaka.
Memang benar! Selama Bong Mini berpetualang dan
membasmi kejahatan di setiap desa yang dilaluinya,
namanya mulai dikenal oleh seluruh rakyat negeri Selat Malaka, terutama oleh
para penduduk desa yang
merasa telah ditolong oleh Bong Mini. Namun demi-
kian, tidak membuat Bong Mini tinggi hati dan mele-
cehkan orang lain yang di bawah kepandaiannya. Bah-
kan ketika mendengar ucapan kepala desa itu, Bong
Mini menjawab dengan bibir tersenyum. "Tidak ada kesalahan yang diperbuat oleh
keempat utusan Bapak.
Malah aku bangga atas kewaspadaan mereka terhadap
semua orang asing yang memasuki wilayah Desa Bun-
cit ini!" Kepala Desa Buncit dan keempat orang yang tadi
mencurigai Bong Mini tampak terdiam. Mereka merasa
malu terhadap kebesaran jiwa dalam diri gadis bertubuh mungil itu.
"Kalau boleh tahu, siapa nama Bapak dan keempat
utusan Bapak ini?" kini Bong Mini yang balik bertanya.
"Namaku Ki Maja. Dan keempat orang ini masing-
masing bernama Kundala, Bergajul, Harewong dan
Kumaha!" jawab kepala desa itu memperkenalkan na-
manya dan nama keempat utusannya.
Bong Mini mengangguk setelah mendengar dan me-
ngetahui nama-nama orang di sekelilingnya.
"Apa ada sesuatu yang bisa Bapak jelaskan kepada-
ku?" "Maksudmu?" tanya Ki Maja dengan kening berke-
rut "Sejak pertama aku dibuntuti oleh keempat kepercayaan Bapak ini, aku mulai
menduga kalau di desa
ini telah terjadi sesuatu. Apa memang begitu?" tanya Bong Mini.
"Apa yang kau duga memang benar. Dalam bebe-
rapa minggu ini, wargaku mengalami keresahan yang
teramat sangat, baik siang atau malam," tutur Ki Maja menjelaskan.
Bong Mini menautkan alis rapat-rapat. Matanya
memandang wajah lelaki tua itu sungguh-sungguh.
"Apa penyebabnya, Pak?" tanya Bong Mini ingin ta-
hu. "Selain perampokan dan pemerkosaan yang dilaku-
kan oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam di desa ini, juga ada pembunuhan
terhadap para pemuda dan
penculikan bayi. Pembunuhan itu dilakukan secara
keji dengan menggigit leher korban dan mengisap da-
rahnya. Sedangkan terhadap bayi, si pelaku berbuat
lebih keji lagi. Dia mengisap darah, sumsum dan otak si bayi sekaligus, setelah
itu membuangnya begitu sa-ja," cerita Ki Maja, mengenai penyebab keresahan
penduduk Desa Buncit yang dipimpinnya itu.
Bong Mini bergidik seram mendengar kejadian yang
mengerikan itu. Namun begitu, hatinya masih ingin
mendengar cerita Ki Maja lebih lanjut.
"Apakah ada warga yang mengetahui pelakunya?"
tanya Bong Mini lagi.
"Inilah yang menyulitkan kami untuk melacaknya.
Namun yang pasti, kejahatan itu dilakukan oleh seo-
rang wanita cantik!" jawab Ki Maja dengan wajah yang menunjukkan kesedihan
mendalam. Bong Mini mengangguk-angguk sambil berpikir. Na-
mun sebelum berpikir lebih jauh, seorang lelaki setengah baya bercelana dan
berbaju pangsi serta kain sarung yang tersampir di pundaknya datang tergopoh-
gopoh ke arah mereka.
"Gawat..., gawat, Pak Kepala Desa!" seru lelaki itu dengan suara tersendat-
sendat. Ki Maja segera bangkit begitu melihat kedatangan
lelaki berselendang sarung itu, dan dia langsung bertanya, "Ada apa, Kumang?"
"Ada perampok di ujung jalan ini!" kata lelaki yang bernama Kumang, lelaki


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertubuh kurus dengan umur
sekitar lima puluh tahun.
"Di rumah siapa?" tanya Ki Maja. Karena di ujung
jalan yang dimaksud Pak Kumang banyak terdapat
rumah penduduk.
"Di rumah Pak Jajang!" Pak Kumang menjelaskan.
"Bangsat! Mereka pasti orang-orang Perguruan To-
peng Hitam yang mulai melaksanakan aksinya kemba-
li!" geram Ki Maja sambil terus masuk ke dalam untuk mengambil goloknya. Setelah
itu, ia melesat ke luar, diikuti empat orang kepercayaannya. Sedangkan Bong
Mini secara diam-diam membuntuti lari mereka.
*** Malam itu udara terasa dingin menusuk. Apalagi
angin bertiup sepoi-sepoi basah, membuat para pen-
duduk Desa Buncit semakin malas keluar rumah.
Tidak lama berlari, Ki Maja dan keempat orang ke-
percayaannya sampai di rumah yang ditunjuk Pak
Kumang. Dua orang di antara mereka langsung men-
dobrak pintu rumah. Di sana, mereka melihat Pak Ja-
jang tengah duduk di kursi dalam keadaan terikat.
Mulut tampak disumbat sepotong kain. Sementara itu
istrinya sedang berusaha melepaskan diri dari cengke-
raman orang-orang bertopeng hitam yang hendak
menggagahinya. "Kalian anjing-anjing lapar yang perlu diberi pelajaran!" geram Ki Maja
menyaksikan peristiwa itu.
Mendengar bentakan itu, orang-orang bertopeng ta-
di terkejut. Tanpa banyak cakap lagi, mereka melesat ke luar disertai serangan
ke arah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya.
Sedangkan lelaki yang bernama Pak Kumang sudah
sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon. Dia tidak berani turun ke dalam
kancah pertempuran, karena tidak memiliki kepandaian silat. Namun begitu, ia
tetap berusaha membantu perjuangan kepala desanya
dengan cara memata-matai dan melaporkan setiap ke-
jadian yang dilihatnya seperti yang dilakukannya tadi.
"Hiyaaat!"
Enam lelaki bertopeng segera melancarkan sera-
ngan yang kemudian disambut dengan tangkisan dan
pukulan oleh Ki Maja serta empat orang kepercayaan-
nya. Des! Des! Des! Tiga di antara enam orang bertopeng tersungkur ja-
tuh ketika mendapat pukulan dari lawan-lawannya.
Namun mereka segera bangkit kembali dengan menca-
but goloknya masing-masing.
Sret! Sret! Sret!
Dari cara mencabut golok terlihat kalau mereka cu-
kup pandai dalam memainkan senjata itu. Tampak pu-
la dari serangan mereka yang begitu cepat dan gencar ke arah Ki Maja dan empat
orang kepercayaannya.
Wut! Wut! Wut! Golok yang berputar di tangan keenam perampok
bertopeng itu menimbulkan deru yang demikian keras
dan bergulung-gulung. Saat golok mereka masih ber-
putar seperti baling-baling kapal, keenam orang berto-
peng tadi melakukan gerakan melompat ke depan se-
tinggi satu meter dan langsung menyerang lawan.
Trang! Trang! Trang!
Benturan senjata dari arah berlawanan menimbul-
kan suara yang amat keras. Membuat tangan kedua
pihak tergetar hebat, juga menimbulkan rasa perih di telapak tangan mereka.
Sementara itu, di bawah sebuah pohon yang tak
jauh dari kancah pertarungan, Bong Mini terus meng-
awasi jalannya pertempuran. Ia kagum pada keberani-
an dan ketangkasan Ki Maja serta empat orang keper-
cayaannya dalam menghadapi lawan.
"Hiaaat!"
Crokkk! "Aaakh!"
Sabetan golok Ki Maja membabat leher seorang la-
wan. Seketika itu juga terdengar pekik mengerikan dari mulut lawan. Disusul
dengan robohnya tubuh orang
bertopeng itu dengan leher hampir putus.
Para penduduk desa yang semula hanya berani
mengintip dari rumah masing-masing, kini mulai bera-ni keluar untuk menyaksikan
pertarungan lebih dekat.
Bahkan sebagian di antara mereka turut ambil bagian dengan kayu pemukul dan
golok terhunus di tangan
masing-masing. Hingga tak lama kemudian pertaru-
ngan pun berakhir dengan tewasnya semua perampok
anak buah Perguruan Topeng Hitam.
Setelah para perampok bertopeng tewas bermandi-
kan darah, Ki Maja segera masuk ke dalam dan mem-
bebaskan Pak Jajang. Sedangkan di atas dipan, istri Pak Jajang tergolek dalam
keadaan tak sadarkan diri.
Dia pingsan karena kehabisan tenaga dan rasa takut
saat berada dalam cengkeraman orang-orang berto-
peng tadi. "Terima kasih! Terima kasih atas pertolongan Ba-
pak!" ucap Pak Jajang, merasa dirinya terbebas dari marabahaya.
Ki Maja hanya membalas ucapan itu dengan meng-
anggukkan kepala.
"Tenangkanlah dirimu dan jagalah istrimu itu!" kata Ki Maja.
"Apakah dia tidak apa-apa, Pak?" tanya Pak Jajang
dengan wajah cemas saat melihat istrinya tergolek
pingsan. "Tidak apa-apa. Istrimu hanya kehabisan tenaga.
Nanti pun akan sadar sendiri," sahut Ki Maja. Kemu-
dian kakinya melangkah ke luar menemani para war-
ganya yang masih berkumpul di tempat kejadian itu.
"Jagalah keamanan rumah kalian masing-masing.
Jangan cepat tidur. Kalau ada di antara kalian yang melihat perampokan di salah
satu tetangga, segera laporkan seperti yang dilakukan oleh Pak Kumang. Ka-
rena bantuan Pak Kumang, aku dan pengikutku bisa
datang ke sini dan menggagalkan perampokan serta
perkosaan yang hampir saja menimpa keluarga Pak
Jajang!" kata Ki Maja mengingatkan warganya.
Para penduduk yang berkerumun di halaman ru-
mah Pak Jajang mengangguk-angguk. Setelah itu satu
persatu mereka meninggalkan tempat itu.
Setelah keadaan sekeliling sepi, barulah Ki Maja
dan empat orang kepercayaannya kembali ke tempat
mereka. Diikuti oleh Bong Mini.
"Itulah salah satu contoh yang membuat warga pen-
duduk Desa Buncit ini resah. Mungkin setelah ini ada lagi perampokan-perampokan
yang terjadi di tempat
lain," ucap Ki Maja menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk dengan pikiran
yang terus berjalan, membayangkan keresahan yang
melanda warga Desa Buncit.
"Kalau kau tidak keberatan, sudilah kiranya kau
menginap beberapa hari di rumahku. Aku yakin, seba-
gai putri raja yang sering membela rakyat, kau pasti tidak akan membiarkan
kejahatan yang terjadi di de-panmu," kata Ki Maja lagi setelah mereka sampai di
halaman rumah kepala desa itu.
"Terima kasih atas tawaran Bapak yang menye-
nangkan itu," sahut Bong Mini ramah. "Ketika baru
sampai di desa ini, aku bermaksud hendak menginap
di salah satu rumah penduduk. Tapi belum sempat
mendatanginya, keempat utusan Bapak keburu men-
cegat dan menggiringku ke sini," lanjut Bong Mini.
Empat orang kepercayaan kepala desa itu tampak
tersenyum malu.
"Tapi ada untungnya kalian berempat menggiringku
ke sini. Kalau tidak, tentu aku tak mungkin berkenalan dengan Ki Maja dan
menginap di rumahnya!" tam-
bah Bong Mini, berusaha menutupi rasa malu mereka.
Saat mereka hendak memasuki rumah Ki Maja, ti-
ba-tiba terdengar tangis bayi yang menyayat hati. Di-tingkahi oleh lengkingan
seorang perempuan yang berteriak meminta pertolongan. Suara itu terdengar
sayup-sayup tertiup angin. Pertanda tempatnya agak
jauh dari mereka. Namun begitu, Bong Mini, Ki Maja
serta empat orang kepercayaannya segera melesat ke
arah utara, asal suara itu.
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di tem-
pat kejadian. Di sana, mereka melihat puluhan penduduk desa berkerumun di salah
satu rumah. Ki Maja dan Bong Mini segera menyeruak kerumu-
nan orang itu dan masuk ke dalam rumah yang dike-
rumuni. Di sana, mereka melihat seorang perempuan
muda menangis terisak-isak dalam dekapan seorang
lelaki muda yang diperkirakan suaminya.
"Apa yang telah terjadi di sini?" tanya Ki Maja keheranan.
Mendapat teguran itu, lelaki muda yang berumur ti-
ga puluh tahun tadi menoleh ke arah Ki Maja. Kemu-
dian ia melepaskan pelukannya dan berdiri di hadapan Ki Maja dengan sikap penuh
permohonan. "Bapak Kepala Desa, tolonglah kami, Pak!" ucap le-
laki muda itu dengan wajah menunjukkan kecemasan.
"Tolonglah bayi kami, Pak!"
"Ada apa dengan bayimu?" tanya Ki Maja.
"Bayi kami diculik oleh seorang perempuan cantik!"
lelaki muda itu menjelaskan.
Ki Maja dan Bong Mini terkejut bukan main. Mereka
saling bertatapan dengan wajah tegang.
"Ke mana perempuan itu lari?" tanya Bong Mini,
"Ke..., ke arah sana, Non!" sahut lelaki muda itu pa-nik seraya menunjuk ke arah
kanan jalan di depan rumahnya.
Tanpa membuang waktu lagi, tubuh Bong Mini se-
gera melesat ke arah jalan yang ditunjuk oleh lelaki muda tadi. Diikuti oleh Ki
Maja dan empat orang kepercayaannya.
*** Malam semakin larut. Udara dingin semakin menu-
suk sampai ke tulang sumsum.
Ketika Bong Mini, Ki Maja serta empat orang keper-
cayaannya sampai di sebuah tempat yang tak jauh dari tempat kejadian tadi, tiba-
tiba mata mereka melihat sesosok bayangan tengah berdiri di balik semak-semak.
Settt! Bong Mini meloncat ke depan dengan ketinggian se-
kitar dua meter. Ketika tubuh semakin dekat dengan
orang yang dilihatnya, kaki kanan Bong Mini bergerak menendang punggung orang
itu. Dukkk! Karena tidak menyadari serangan mendadak, tubuh
orang itu langsung terhuyung ke depan. Namun de-
ngan cepat dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar
dapat menahan diri. Sehingga tubuh yang terhuyung
itu tidak sempat jatuh. Melainkan berbalik arah lalu berdiri memandang orang
yang menyerangnya. Tapi
karena suasana di sekitar gelap, orang tadi hanya dapat melihat tubuh Bong Mini
samar-samar. Begitu pu-
la dengan Bong Mini dan Ki Maja serta empat orang
kepercayaannya yang baru sampai di tempat itu.
"Siapa kalian! Mengapa menyerangku secara tiba-
tiba!" terdengar jelas suara geram perempuan itu. Sedangkan kedua tangannya
tampak memeluk seorang
bayi. "Perempuan iblis! Kembalikan bayi itu!" bentak
Bong Mini. Matanya mencorong ke arah wanita di ha-
dapannya. Mendapat bentakan itu, wanita tadi tertawa ngikik.
Suaranya mirip kuntilanak. Membuat suasana malam
di sekitar tempat itu terasa menakutkan.
"Kalau memang itu yang kau minta, kenapa harus
melakukan serangan segala!" kata perempuan itu ke-
mudian. "Nih, ambillah!" lanjut perempuan itu sembari melemparkan bayi yang
digendongnya ke arah Bong
Mini. Bong Mini sangat terkejut melihat perempuan itu
seenaknya melemparkan bayi. Dengan cepat ia me-
nangkapnya. "Heppp!"
Bong Mini semakin terkejut ketika melihat bayi
yang sudah berada di tangannya. Bayi itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Di
leher dan ubun-ubunnya
terlihat luka gigitan. Rupanya perempuan itu telah
mengisap darah dan otaknya!
"Iblis terkutuk!" geram Bong Mini seraya meman-
dang ke depan kembali. Tetapi matanya tak melihat
perempuan tadi. Rupanya perempuan pengisap darah
itu telah menghilang ketika Bong Mini menangkap
mayat bayi tadi.
Dengan kemarahan yang memuncak, lalu Bong Mini
dan Ki Maja serta empat orang kepercayaannya segera melesat, mengejar perempuan
pengisap darah tadi.
Namun usaha mereka sia-sia. Mereka kehilangan jejak.
Akhirnya mereka kembali ke tempat semula dengan
membawa bayi yang sudah tidak bernyawa lagi.
Kedua orang-tua bayi itu menangis meraung-raung
ketika Bong Mini menyerahkan bayi mereka. Malah
ibunya jatuh pingsan saat melihat luka pada ubun-
ubun anaknya yang baru berumur empat puluh hari
itu. "Aku akan berusaha mencari wanita itu!" janji Bong Mini kepada orang-tua
lelaki bayi itu. Kemudian ia
bersama Ki Maja dan pengikutnya kembali ke rumah
Ki Maja dengan membawa sejuta kekesalan karena tak
berhasil membekuk perempuan yang selama ini mem-
buat onar di Desa Buncit.
*** 3 Siang itu matahari gencar memancarkan panasnya.
Seakan hendak membakar seluruh permukaan bumi.
Sehingga banyak makhluk hidup yang tak kuasa me-
nahan terik matahari yang menyengat, membakar tu-
buh. Seorang perempuan tampak berjalan sendiri di le-
reng Bukit Buncit. Sebuah bukit kecil yang letaknya masih berada dalam wilayah
Desa Buncit. Sehingga
namanya pun sama dengan desa tersebut.
Wanita yang mengayunkan langkah di lereng bukit


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berwajah cantik. Walaupun wanita itu sudah berumur tua, sekitar lima puluh
tahun, namun wajahnya
memancarkan daya tarik tersendiri. Bahkan keriput-
keriput kulit hampir tak terlihat pada wajahnya.
Wanita itu berjalan gontai seperti tak bertenaga.
Sehingga pinggulnya yang padat berisi bergoyang ke
kiri kanan, mengundang gairah lelaki yang melihatnya.
Rambutnya yang panjang dan lebat digelung sedikit,
sehingga bagian bawahnya tergerai sebatas pinggul.
Kuku tangannya yang meruncing seperti kuku kucing
dipoles oleh warna kuning daun pacar, sehingga terlihat lebih manis dan menarik.
Pakaian yang dikena-
kannya pun indah, tipis dan ketat. Seakan-akan se-
ngaja memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggai-
rahkan! Sedangkan pada pinggangnya membelit selen-
dang hitam panjang, membuat penampilan wanita itu
benar-benar menarik.
Wanita cantik yang tengah berjalan itu tidak lain
Nyi Genit. Seorang tokoh sesat dari Perguruan Topeng Hitam. Melihat keadaannya
saat itu, orang tidak akan mengira kalau dia tokoh Perguruan Topeng Hitam.
Selain penduduk negeri itu tidak tahu bagaimana rupa
Nyi Genit, murid-murid Perguruan Topeng Hitam juga
mengenal Nyi Genit hanya sebagai seorang perempuan
tua berumur sekitar enam puluh tahun, berkeriput
dan tidak menarik. Bahkan ketika meninggalkan Bukit Setan menuju Desa Larangan,
tempat tinggalnya dulu, wajah Nyi Genit mirip seorang nenek sihir yang jahat dan
menyeramkan! Dia mengunjungi Desa Larangan
dengan tujuan hendak balas dendam terhadap pendu-
duk yang telah menelanjangi dan mengaraknya keliling kampung saat tertangkap
basah berbuat mesum dengan Brata yang sekarang bernama Kidarga. Namun un-
tuk membalas sakit hatinya kepada mantan suaminya
belum kesampaian. Ia tidak tahu kalau suaminya yang bernama Sunggih itu telah
pindah ke Gunung Muda
dan mengganti namanya dengan Kanjeng Rahmat Suci.
Sekarang, dalam perjalanannya menuju Bukit Se-
tan, wajah Nyi Genit telah berubah muda dan cantik
berseri dengan tubuh yang menggairahkan!
Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa ia sa-
ngat gemar minum darah pemuda berumur sekitar dua
puluh tahun. Kegemaran itu sebenarnya merupakan
satu syarat untuk menambah kesaktiannya. Namun ji-
ka ditambah dengan mengisap darah, otak, dan sum-
sum seorang bayi lelaki berumur di bawah empat pu-
luh hari, maka dalam waktu sekejap penampilannya
akan berubah muda kembali seperti seorang wanita
yang berumur dua puluh tahunan.
Semua persyaratan itu telah ia dapatkan ketika ka-
kinya menjejak tanah Desa Larangan, tempat kelahi-
rannya. Sebuah desa yang terletak di kawasan Pulau
Jawa. Di sana, selain melakukan pembantaian sebagai tindakan balas dendam, ia
pun mencari para lelaki untuk diisap darah, otak dan sumsumnya. Kebetulan di
desa itu banyak pemuda tanggung berumur belasan
tahun. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan sega-
la keinginannya itu.
Sekarang, dalam perjalanannya menuju Bukit Se-
tan, wajah Nyi Genit yang telah berubah muda dan
cantik itu tampak berseri-seri. Karena di Desa Buncit ia sempat mendapatkan
mangsa, empat bayi berumur
di bawah empat puluh hari dan pemuda berumur dua
puluh tahun sebanyak empat orang. Sehingga tidak
heran jika penampilannya kali ini semakin muda
menggairahkan! Saat ia berjalan tenang, tiba-tiba ia terkejut dan segera menghentikan
langkahnya. Namun beberapa saat
kemudian, bibirnya yang merah menggoda itu terse-
nyum manis. Matanya berbinar-binar penuh kegaira-
han saat melihat enam lelaki muda berdiri mengha-
dangnya dengan sikap gagah. Gerak matanya terlihat
jalang, membayangkan kepuasan dan kekaguman. Be-
gitulah sikap Nyi Genit jika berhadapan dengan pemu-da tampan yang usianya di
bawah tiga puluhan. Wani-
ta gila pria ini selalu berdebar tegang setiap melihat pemuda gagah dan tampan.
Seperti memandang buah
yang ranum mengundang selera.
"Siapa kalian berenam" Kenapa menghadangku"
Apakah memang sengaja hendak berjumpa dan berke-
nalan denganku?" tanya Nyi Genit dengan lenggak-
lenggok pinggulnya yang dibuat-buat, agar dapat me-
mancing gairah keenam lelaki muda yang mengha-
dangnya itu. "Iblis perempuan tua yang tak tahu malu! Masih
suka mengumbar nafsu!" ejek seorang pemuda yang
berdiri paling depan. Rupanya, dialah yang menjadi pemimpin dari kelima pemuda
lain. Enam lelaki itu rata-rata berumur dua puluh lima
tahun. Tubuhnya gagah, berpakaian yang menunjuk-
kan kalau mereka ahli silat. Gerak-gerik mereka yang ringan cekatan membuktikan
pula kalau mereka bukan orang sembarangan.
Wanita yang bernama Nyi Genit itu memainkan bola
matanya nakal, memandangi wajah keenam pemuda
itu secara bergantian. Dan sambil mengulum senyum
serta tubuh yang masih bergerak genit, ia berkata,
"Wah wah wah..., belum saling kenal sudah main ben-
tak dan marah saja," Nyi Genit mencoba bersikap ra-
mah agar dapat membujuk keenam pemuda yang
menggiurkan hatinya itu.
"Ketahuilah, Wanita Iblis! Kami berenam adalah
orang yang menamakan diri Enam Pendekar dari Desa
Buncit!" kata seorang yang menjadi Ketua Enam Pen-
dekar dari Desa Buncit itu. Dia bernama Galih. Se-
dangkan lima teman yang dipimpinnya masing-masing
bernama Ujun, Dadam, Junet, Juling dan Juher. Pa-
kaian yang mereka kenakan sama. Baju koko berwar-
na putih dengan celana pangsi berwarna hitam. Dibelit oleh kain sarung di
pinggangnya, seolah-olah kain sarung itu dijadikan ikat pinggang untuk
menyelipkan golok mereka masing-masing. Mereka baru saja kem-
bali setelah melakukan pelacakan ke hutan-hutan dan bukit-bukit mencari wanita
pengisap darah. Menurut
mereka, orang yang melakukan tindakan keji itu bi-
asanya tinggal di tempat-tempat sepi seperti hutan dan pegunungan. Karena itu
mereka tidak tahu tentang peristiwa pengisapan darah yang terjadi semalam. Kini,
secara kebetulan mereka berpapasan dengan wanita
cantik yang mereka curigai.
"Ck ck ck!" bibir wanita muda itu berdecak-decak
sambil tak henti-hentinya tersenyum kagum. "Kalau
begitu, kalian orang-orang kepercayaan penduduk de-
sa ini!" "Begitulah! Dan aku peringatkan kepadamu untuk
meninggalkan tempat ini!" geram Galih dengan sorot
mata tajam penuh amarah.
"Mengapa?" tanya Nyi Genit terkejut.
"Karena kau telah mengganggu ketenteraman desa
dengan membunuh para bayi serta anak-anak muda!"
kata Galih, langsung menuduh. Karena pada setiap kejadian, ia selalu menanyakan
orang-tua si bayi atau saksi mengenai ciri-ciri wanita pengisap darah. Dan ci-
ri-ciri itu mirip dengan wanita yang dihadapinya sekarang ini.
"Aiiih, kalian salah duga. Aku adalah wanita baik-
baik yang baru menginjakkan kaki di bukit ini!" elak Nyi Genit.
"Jangan coba-coba mengelak, Iblis Pelacur! Aku ta-
hu perbuatanmu!" geram Galih.
Menyadari perbuatannya diketahui oleh keenam le-
laki itu, Nyi Genit pun segera mengambil sikap.
"Kalau aku tidak mau meninggalkan tempat ini, ka-
lian mau apa?"
"Aku akan mencincangmu!"
"Hi hi hi..., boleh kalau kalian bisa melakukannya!"
tantang Nyi Genit di sela tawanya yang berderai genit.
Sret sret sret!
Enam Pendekar dari Desa Buncit segera mencabut
golok besar ketika mendengar ucapan Nyi Genit yang
mengandung tantangan itu. Keenam pendekar itu me-
mang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan jurus andalan yang diberi nama
'Golok Pembelah Bumi'. Selain itu mereka juga sangat mahir dalam ilmu menotok
jalan darah yang diberi nama 'Semut Gigit Kuping Gajah'. Semacam ilmu menotok
yang menggunakan te-
lunjuk dan ibu jari. Ketika mendaratkan kedua jari itu, mereka akan mencubit
kecil hingga terasa sakit seperti gigitan semut. Selanjutnya orang yang terkena
totokan akan menggelepar-gelepar dan pingsan. Itulah sekilas mengenai ilmu-ilmu
dahsyat yang dimiliki Enam Pendekar dari Desa Buncit.
"Siaaat...!"
Wut wut wut! Keenam pendekar itu langsung menghujamkan go-
loknya ke arah leher dan kaki wanita cantik itu.
"Hi hi hi..., kalian memang tangkas-tangkas dalam
bermain golok! Tentu kalian pun akan lebih tangkas
dan bergairah lagi jika bermain asmara!" ledek Nyi Genit sambil mengelak
menghindari serangan. Saat me-
ngelak, ia mengeluarkan sebuah tongkat hitam yang
panjangnya sekitar setengah meter dari balik selen-
dang hitam yang membelit pinggangnya. Ini merupa-
kan senjata istimewa yang ia miliki. Terbuat dari sepotong ranting kayu jati
yang ukuran bulatnya sekitar lima sentimeter. Namun demikian senjata itu bukan
tongkat sembarangan seperti kebanyakan tongkat lain.
Tongkat hitam yang dimiliki Nyi Genit ini mengandung kekuatan yang luar biasa.
Karena dipadukan dengan
ilmu tongkat 'Karang Setan'.
Trang trang trang...!
Bunga api berpijar-pijar ketika golok lawan-lawan-
nya tertangkis oleh tongkat hitam Nyi Genit. Kemudian tongkat mini berwarna
hitam itu diputar-putar dengan kecepatan yang sulit dijangkau pandangan manusia
biasa. Sehingga yang terlihat hanya kilatan-kilatan dan angin yang bergulung-
gulung di sekitarnya. Membuat
keenam pendekar itu mendapat kesulitan untuk mela-
kukan serangan.
"Hey, kenapa terdiam" Lelah" Wah, payah! Bagai-
mana nanti kalau aku ajak berkencan!" ujar Nyi Genit, ketika melihat
penyerangnya kebingungan mencari kesempatan untuk menyerang.
"Perempuan rendah!"
"Hina!"
"Pelacur!"
"Iblis jalang!"
Keenam pemuda itu marah sekali mendengar kata-
kata Nyi Genit yang kotor tadi. Kemudian seorang dari mereka melompat ke depan
setinggi dua meter dengan
golok yang menyambar-nyambar dahsyat, namun tiba-
tiba saja Nyi Genit membuka gelungan rambutnya
yang ternyata amat panjang sampai sebatas mata kaki.
Adapun keistimewaan rambutnya, bukan cuma karena
berwarna hitam, tebal dan menyebarkan aroma yang
harum memikat, tetapi juga dapat dipergunakan seba-
gai senjata yang amat ampuh.
Siuttt! Wut! Nyi Genit menyabetkan rambutnya ke arah Ujun,
seorang dari keenam pendekar dari Desa Buncit yang
mengeroyoknya. Kemudian rambut berbentuk cambuk
itu menggulung golok Ujun. Disusul dengan hantaman
tangan kiri Nyi Genit pada tengkuk orang itu dengan gerakan membacok.
Duggg! "Aaakh!"
Ujun merintih sejenak. Lalu roboh tak dapat berdiri kembali. Sebab pukulan
membacok dari tangan Nyi
Genit itu telah dialiri totokan istimewa yang disebut ilmu 'Jerat Asmara'.
Sehingga tubuh itu langsung lumpuh, hanya mata dan telinganya saja yang masih
dapat melihat dan mendengar.
Lima orang lain terkejut bukan main ketika melihat
temannya terkulai tanpa daya. Mereka memutar golok-
nya lebih gencar lagi. Bahkan tangan kiri mereka turut membantu dengan serangan
totokan 'Semut Gigit Kuping Gajah' yang amat ampuh.
Namun lawan mereka bukan perempuan sembara-
ngan. Dia memiliki ilmu kesaktian yang diberi nama
ilmu 'Jayadiguna'. Sehingga dalam menghadapi sera-
ngan itu ia hanya terkikik mempermainkan lima pe-
ngeroyoknya. Trang trang trang!
Setiap golok yang menyambar ke arahnya, selalu
dapat ditangkis dengan tongkat hitamnya yang beru-
kuran setengah meter. Sedangkan rambutnya yang
panjang tergerai seperti mengandung kekuatan gaib
yang bisa menyambar-nyambar ganas.
"Matilah kau, Iblis!" seru Galih sambil mengirim sebuah totokan 'Semut Gigit
Kuping Gajah'. Cep! Ibu jari dan telunjuk Galih yang dipergunakan un-
tuk menotok tepat mengenai buah dada Nyi Genit se-
belah kiri yang besar. Namun ketika ujung jarinya menyentuh dan mencubit buah
dada besar itu, ia hanya
merasakan sesuatu yang kenyal dan hangat. Sedang-
kan totokan jarinya sendiri tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap lawannya
itu. Malah sambil tersenyum genit wanita yang menjadi tokoh Perguruan To-
peng Hitam itu pun berkata, "Wih, nafsu amat kamu!
Belum apa-apa sudah main colek dan cubit dada saja!"
Muka Galih, Ketua Enam Pendekar dari Desa Bun-
cit berubah merah mendengar kata-kata yang dilon-
tarkan mulut Nyi Genit tadi. Ia merasa malu disangka mencolek dada perempuan
itu. Tapi hatinya sendiri heran, mengapa ilmu totok yang dimilikinya tidak mem-
berikan reaksi apa-apa terhadap wanita cantik yang
genit itu" Padahal dia dapat melihat dan merasakan
dengan jelas kalau jarinya tadi menotok jalan darah perempuan centil itu di buah
dadanya yang besar.
Dengan hati yang dihinggapi rasa penasaran, ia kem-
bali menyerang bersama empat temannya.
Di lain pihak, Nyi Gehit sudah kehilangan kesaba-
rannya. Ia sudah tidak ingin berlama-lama melakukan pertempuran dengan pemuda-
pemuda yang mengundang birahinya itu. Maka lewat kesaktian yang dimiliki,
rambutnya yang panjang dan tebal segera bergerak
mengibas-ngibas bagai cemeti yang dipergunakan un-
tuk memacu kuda.
Wut..! Tarrr! Wut...! Tar tar tarrr...!


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empat dari lima pemuda yang menyerangnya roboh
terkena sabetan ujung rambut. Mereka tak dapat
bangkit lagi. Kecuali memandang dan mendengar se-
perti yang dialami lelaki pertama.
Ujun kaget melihat lima temannya roboh tanpa
daya. Namun demikian, ia tidak merasa gentar sedikit pun. Malah dengan darah
bergolak serta murka yang
meluap-luap, ia memaki wanita cantik di hadapannya.
"Perempuan iblis hina! Aku tidak akan pergi sebelum dapat menghabisi nyawamu dan
membeset-beset wa-jahmu yang mengundang malapetaka itu!"
"Hi hi hi! Kau tak akan berkata begitu bila sudah
merasakan kehangatan bibirku!" Nyi Genit tertawa genit. Kemudian ia mengerahkan
ilmu 'Tiupan Iblis' dari mulutnya.
"Fuuuh!"
Bibir yang merah tebal dan merangsang itu berge-
rak berbentuk huruf O. Kemudian dari mulutnya itu
berhembus angin dahsyat ke arah Ujun.
Wesss...! "Aaakh!"
Ujun terpekik kaget mendapat dorongan angin yang
demikian keras. Tubuhnya terpental ke belakang se-
perti dihantam sebuah batu besar. Sebelum ia sempat bangkit, ujung rambut Nyi
Genit telah menyambar dan membelit leher pemuda itu.
Pemuda itu berusaha melepaskan jeratan rambut
Nyi Genit yang melilit di lehernya dengan kedua ta-
ngan. Namun ketika wanita cantik itu menggerakkan
kepalanya, rambut itu terpecah menjadi lilitan-lilitan kecil. Sebagian membelit
leher dan sebagian lagi membelit pergelangan tangan pemuda itu, hingga pemuda
itu tidak dapat bergerak sama sekali.
"Nah, kesinilah pemuda tampan! Nikmati kehanga-
tan bibirku ini. Agar mulutmu tidak memaki-maki diri-ku!" ucap Nyi Genit dengan
sorot mata yang berbinarbinar, mengandung birahi. Seolah-olah hendak menci-
umi dan melumat pemuda itu dengan segera.
Pemuda yang terbelit rambut Nyi Genit benar-benar
tak berdaya. Ia hanya dapat memandang dan berkedip
ke arah lima temannya yang juga tengah tergeletak
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya.
Libatan rambut Nyi Genit semakin erat pada tubuh
Ujun. Dan saking eratnya, pemuda itu merasa sesak
untuk bernapas. Sedangkan tubuhnya sendiri semakin
dekat dengan tubuh Nyi Genit.
Ketika tubuh Ujun menempel dengan tubuh Nyi
Genit, hidungnya mencium aroma harum yang ditim-
bulkan oleh rambut panjang wanita tersebut. Hingga
napasnya yang sesak perlahan-lahan lega kembali.
Bahkan menimbulkan rangsangan yang kuat pada da-
rah pemuda itu.
Dengan sorot mata penuh nafsu birahi, wanita can-
tik itu segera mendekap tubuh pemuda itu lebih rapat lagi ke tubuhnya dengan
kedua tangan. Kemudian bibirnya yang tebal dan merah terbuka lebar dengan lidah
yang panjang menjulur ke arah pemuda di depan
matanya, siap menjilat dan melumat bibir lawan yang hanya mampu mengedip-
ngedipkan mata.
Melihat keadaan Ujun, lima temannya tampak me-
mandang ngeri. Mereka sudah dapat menduga, apa
yang akan dilakukan oleh wanita itu terhadap Ujun
yang berada dalam pelukannya yaitu mencium lalu
mengisap darahnya.
Di saat bibir tebal dan merah itu hendak menempel
di bibir pemuda itu, tiba-tiba sebuah tamparan keras menghantam wajah Nyi Genit.
Plakkk! Tubuh Nyi Genit terlempar dua meter ke samping
kanan. Sedangkan rambut yang membelit tubuh pe-
muda itu terlepas.
Dengan mata mendelik penuh amarah, Nyi Genit
bangkit dan memandang orang yang telah berani me-
lakukan penyerangan kepadanya.
Di sana, di bawah sebuah pohon, berdiri seorang
gadis mungil dengan baju merah ketat serta pedang
tersandang di punggungnya. Dia berdiri tegak dengan
sorot mata yang mencorong tajam ke arah Nyi Genit.
Wajahnya merah menahan kemarahan.
Sebelum Nyi Genit melontarkan kata-kata ke arah
gadis bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini itu, muncul lima lelaki
lain dari balik semak-semak dan langsung mengurung Nyi Genit. Mereka tidak lain
Ki Maja, Kepala Desa Buncit dan empat orang kepercayaannya.
"Bocah perempuan sialan! Berani benar kau kurang
ajar kepadaku!" geram Nyi Genit dengan mata menco-
rong tajam. Senyum genit yang selama ini diumbarnya hilang seketika. Berubah
dengan wajah bengis, tak be-da dengan iblis yang gagal membuat tipu daya pada
manusia. "Siapa yang takut menghadapi iblis betina seperti
kau?" balas Bong Mini tak kalah geram.
"Bocah tengik! Kurobek mulutmu yang kotor itu!"
geram Nyi Genit dengan tubuh siap meloncat mener-
jang Bong Mini. Namun sebelum niatnya terlaksana, Ki Maja dan empat pengikutnya
telah mendahului menyerang wanita itu dengan golok masing-masing.
"Hiyaaat!"
Trang trang trang!
Golok-golok terhunus itu segera disambut oleh Nyi
Genit dengan tongkat hitamnya yang berukuran sete-
ngah meter. "Kalian berlima ingin cari mampus rupanya!" hardik
Nyi Genit seraya mengibaskan rambutnya yang tebal
ke arah lima penyerangnya.
Tarrr tarrr! Dua orang pengikut Ki Maja yang terkena sabetan
rambut wanita itu langsung roboh. Ketika jatuh di tanah, nasibnya sama dengan
Enam Pendekar dari Desa
Buncit, berkedip-kedip tanpa bisa bangun lagi.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba tubuh Bong Mini melesat di udara setinggi tiga meter ke arah Nyi Genit
disertai tendangan ke wajahnya. Namun dengan cepat wanita cantik yang haus
darah perjaka itu mengelak ke belakang. Sedangkan
rambutnya yang tebal dan panjang menyambar tubuh
Bong Mini. Wut wut wut! Kibasan-kibasan rambut Nyi Genit yang demikian
cepat menimbulkan angin yang demikian dahsyat.
Terpaksa Bong Mini menarik kembali kakinya.
"Huppp!"
Dengan menggunakan peringan tubuhnya yang
hampir sempurna, Bong Mini meloncat ke belakang
dan langsung berdiri tegak di atas tanah.
"Ki Maja, mundurlah! Ini bagianku!" seru Bong
Mini. Ki Maja dan dua orang pengikutnya yang masih ber-
diri tegak, langsung mundur dari arena pertempuran mengikuti perintah Bong Mini.
Mereka telah mendengar kehebatan gadis mungil itu dalam menghadapi
musuhnya. Oleh karena itu mereka tidak khawatir ke-
tika Bong Mini menghadapi wanita haus darah itu seorang diri.
"Bocah sombong! Sebutkan namamu sebelum nya-
wamu kukirim ke neraka!" dengus Nyi Genit geram.
"Namaku Putri Bong Mini. Siapa pula namamu"!"
kata Bong Mini.
Walaupun baru bertemu saat itu, Nyi Genit tersen-
tak kaget mendengar nama Bong Mini disebutkan. Se-
bab ia tahu siapa Bong Mini, seorang gadis mungil
yang selama ini menjadi penghalang bagi pekerjaan
anak buahnya yang terkumpul dalam Perguruan To-
peng Hitam. Nyi Genit yang selama ini tidak pernah keluar dan
tidak diketahui bagaimana rupa sesungguhnya segera
menyebutkan nama samaran, agar siapa pun yang be-
rada di sekitar situ tidak mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Namaku, Tinting!" ujar Nyi Genit mengenalkan na-
ma samarannya. "Sekarang, bersiaplah kau untuk ma-
ti, Tikus Tengik!" lanjut Nyi Genit sambil memper-
siapkan serangan.
Bong Mini yang belum mengetahui siapa sebenar-
nya wanita yang sedang dihadapinya itu, karena belum pernah bertemu dengan Nyi
Genit, tampak tenang-tenang saja mendengar nama asing itu disebutkan. Na-
ma yang tak pernah didengarnya selama terjun dalam
dunia persilatan. Ia hanya menduga kalau wanita itu pasti baru terjun dalam
dunia persilatan. Dan peker-jaannya dalam mengisap darah pemuda dan bayi, pasti
untuk ilmu kesaktian yang dimilikinya. Salah satunya kesaktian rambut panjang
yang baru saja disaksikan
Bong Mini, begitu pikir Bong Mini. Karena itu ia tenang-tenang saja menghadapi
wanita cantik di hada-
pannya. Setelah keduanya saling memperkenalkan diri, me-
reka pun kembali berhadapan dengan sikap hati-hati.
Khawatir di antara mereka ada yang mendahului me-
nyerang. Dan Bong Mini sendiri harus hati-hati menghadapi lawannya setelah
melihat kesaktian rambutnya saat menyambar tubuh kedua pengikut Ki Maja. Ketika
matanya melihat rambut tebal itu menyambar kedua
orang pengikut Ki Maja, diam-diam Bong Mini mempe-
lajari bagaimana cara mengelakkan rambut panjang
milik wanita cantik yang mengandung kesaktian itu.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dengan lengki-
ngan panjang, rambutnya yang tebal dan panjang me-
nyambar ke depan menuju leher Bong Mini. Tak cuma
itu, ia pun menyambarkan tongkat hitamnya ke arah
lawan. Wuttt...! Ujung rambut wanita cantik itu langsung membelit
leher gadis bertubuh mungil yang tampaknya diam,
tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. Namun keti-
ka tongkat hitam menyambar ke arahnya, Bong Mini
langsung menangkap dan menariknya dengan keras.
"Hiy!"
Tasss! Tongkat hitam yang berhasil ditarik Bong Mini itu
segera digunakan untuk membabat rambut lawannya
yang membelit lehernya. Dalam sekejap mata rambut
yang mengandung kesaktian itu putus.
"Aowww!"
Wanita cantik pengisap darah menjerit kaget ketika
melihat rambut kesayangannya putus terbagi dua. Se-
belum ia sempat membalikkan tubuhnya, Bong Mini
kembali melancarkan serangan dengan telapak ta-
ngannya yang terkembang.
Plakkk! Tangan kanan Bong Mini mendorong hebat pung-
gung lawannya, hingga wanita cantik itu jatuh lemas seperti lumpuh. Karena pada
saat telapak tangannya
menempel pada punggung lawan, Bong Mini langsung
mengerahkan ilmu 'Penyerap Tenaga', membuat tenaga
dalam tubuh wanita itu terkuras habis. Sedangkan da-ri mulut wanita cantik itu
keluar darah segar.
Wanita cantik pengisap darah itu merangkak ba-
ngun dengan sorot mata tajam ke arah Bong Mini. Pe-
nuh dengan rasa dendam.
"Kelinci kecil! Aku tidak akan membiarkan penghi-
naan ini!" setelah berkata begitu, Nyi Genit langsung pergi meninggalkan tempat
pertempuran. Ki Maja dan kedua pengikutnya yang masih segar
segera bergerak untuk mengejar wanita tadi. Tapi de-
ngan cepat Bong Mini menahan.
"Tidak baik menyiksa orang yang sudah tidak ber-
daya!" cegah Bong Mini.
"Tapi dia telah berbuat keji. Membunuh bayi-bayi
dan pemuda yang tidak berdosa!" kilah Ki Maja dengan napas memburu. Ia bernafsu
hendak menangkap wanita itu.
"Semua telah berlalu. Yang penting bagi kita seka-
rang ini, wanita tadi telah pergi dan mudah-mudahan tidak akan mengganggu
ketenteraman penduduk desa
ini!" kata Bong Mini.
Ki Maja dan pengikutnya tertegun mendengar uca-
pan gadis mungil itu. Sedangkan Bong Mini tanpa me-
nunggu lebih lama lagi segera menghampiri enam pe-
muda dan dua orang kepercayaan Ki Maja yang terja-
tuh lemas. Kemudian, ia mengerahkan ilmu 'Pembang-
kit Tenaga', pasangan dari ilmu 'Penyerap Tenaga'. Ketika dua jari tangan Bong
Mini yang telah disalurkan ilmu 'Pembangkit Tenaga' itu menempel ke dada seorang
pemuda, tangannya mengalirkan hawa dingin
yang menjalar ke seluruh tubuh pemuda itu. Selanjutnya, tubuh pemuda itu
langsung dapat digerakkan dan berdiri seperti semula. Begitu pula dengan yang
lain setelah dialiri ilmu 'Pembangkit Tenaga' oleh Putri Bong Mini.
"Ki Maja, tugasku sudah selesai. Aku akan kembali
melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Selamat tinggal!" usai berkata, tubuh
Bong Mini langsung melesat cepat. Sehingga dalam sekejap, tubuhnya telah lenyap
dari pandangan mereka yang masih berdiri terkagum-kagum.
*** 4 Senja tiba. Terik matahari yang sejak siang tadi
membakar Desa Gilirang, perlahan-lahan redup. Begi-
tu pula dengan angin panas yang siang tadi bertiup
kencang, kini perlahan-lahan pudar. Berganti dengan kesejukan. Karena angin yang
bertiup di senja itu ber-campur dengan kabut yang mulai turun ke permukaan
bumi. Malah sebagian sudah menutupi puncak gu-
nung yang menjulang tinggi. Sedangkan cahaya mata-
hari dari sebelah barat sesekali ditutupi oleh gumpalan awan hitam yang berarak.
Sehingga alam terkadang terang, terkadang pula redup.
Dalam suasana alam yang teduh serta hembusan
angin yang bertiup semilir, empat orang berpakaian silat warna hitam dengan
gelang bahar pada tangan
masing-masing tampak memasuki Desa Gilirang. Se-
buah desa kecil yang bersebelahan dengan Desa Bun-
cit. Wajah mereka tampak begitu letih seperti baru menempuh perjalanan yang amat
jauh. Sedangkan keri-
ngat tampak mengucur membasahi wajah mereka yang
tegang dan hitam gesang. Jika ditilik dari raut wajahnya, umur mereka rata-rata
sekitar empat puluh ta-
hun. "Bagaimana kalau kita makan dulu sambil istira-
hat?" usul lelaki berperawakan tinggi besar dengan tiga buah cincin sebesar mata
berjejer di jari tangan kanan dan kirinya. Sedangkan sabuk merah yang lebarnya
kurang lebih sepuluh sentimeter tampak melingkar


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada pinggangnya. Ia bernama Barong.
"Sebuah usul yang baik!" jawab lelaki di sebelahnya yang juga mempunyai
perawakan tak berbeda dengan
Barong. Bedanya, lelaki itu mempunyai kumis yang
panjang melintang serta berewok yang lebat di sekitar wajahnya. Ia bernama
Jegal. "Kalau begitu kita segera saja cari warung nasi!" temannya yang bernama Jargon
mengusulkan. Tubuh-
nya tinggi dan agak kurus dengan gigi depan menjorok keluar, memperlihatkan
warnanya yang kekuning-ku-ningan dan hitam di sela-selanya. Menandakan kalau
Pendekar Super Sakti 8 Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut Dendam Si Anak Haram 7
^