Pencarian

Darah Para Tumbal 2

Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal Bagian 2


lelaki itu seorang pecandu rokok berat. Sedang yang seorang lagi bernama
Buraong. Bertubuh tinggi besar dengan mata kanan tertutup oleh kain hitam, agar
matanya yang cacat tak tampak oleh orang lain.
Setelah keempatnya mendapat kata sepakat, me-
reka pun segera melangkah mencari warung nasi. Se-
pasang kaki mereka yang tak beralas tampak begitu
ringan berjalan. Sehingga bila dilihat sekilas, langkah keempat orang itu
seperti tidak menyentuh tanah.
Tidak begitu lama mereka berjalan, sampailah di
sebuah warung makan. Tanpa ragu-ragu lagi mereka
langsung masuk ke ruang dalam. Di sana, mereka
langsung mengambil tempat duduk di sudut ruangan
serta memesan makanan yang disukai masing-masing.
Sambil menunggu pesanan datang, Barong, salah
satu dari keempat orang itu tampak menyebarkan pan-
dangan ke sekeliling ruangan. Sepasang matanya yang bulat besar dan hitam
kemerah-merahan terhenti pada lelaki yang sedang asyik menikmati hidangan.
Kemudian pandangannya beralih pada seorang pemuda yang
tengah asyik menikmati hidangan.
"Rupanya banyak pula orang dari negeri lain yang
datang ke tempat ini!" gumam Barong pada keempat
lelaki, ketika melihat seorang pemuda yang tampaknya keturunan Tionghoa.
Ketiga temannya serentak menoleh pada lelaki yang
dimaksud Barong. Mata mereka turut meneliti wajah
serta pakaian berlapis jubah wama kuning yang dipa-
kai oleh pemuda bermata sipit itu.
Pemuda bermata sipit yang sedang mereka perhati-
kan itu tidak lain Ong Lie. Orang kepercayaan kawa-
nan Iblis Pulau Neraka yang sedang melakukan penca-
rian seorang gadis bernama Bong Mini. Namun sampai
saat itu, ia belum juga bertemu sampai akhirnya beris-tirahat di warung nasi
tersebut. Empat lelaki berwajah kasar yang sejak tadi mem-
perhatikan pemuda tampan itu segera mengalihkan
pandangannya, ketika dua pelayan membawa maka-
nan yang dipesan. Dan ketika dua pelayan itu selesai menaruh hidangan di atas
meja mereka, Barong segera menarik salah seorang lengan pelayan tadi.
"Apakah perjalanan menuju Bukit Setan masih jauh
dari sini?" tanya Barong dengan suara pecah. Sehingga walaupun ia bertanya
lembut, namun terdengar besar
di telinga pelayan itu.
Pelayan itu kelihatan terkejut mendengar nama Bu-
kit Setan yang disebutkan oleh Barong. Tapi kemudian dia segera mengubah
sikapnya kembali ketika melihat wajah yang menegurnya bertampang garang
menakutkan. "Masih..., masih jauh, Tuan! Sekitar satu hari satu malam lagi untuk bisa sampai
ke bukit itu!" kata pelayan tadi dengan suara gugup serta wajah yang agak pias.
"Arahnya ke mana?" tanya Barong lagi.
"Kalau dari sini, Tuan bisa mengambil arah utara!"
sahutnya lagi, masih gugup.
Barong mengangguk-angguk. Hatinya lega. Kemu-
dian tangan kekarnya yang berbulu lebat dan panjang itu segera melepaskan
cekalannya. Lalu ia segera menyusul temannya yang sudah asyik menikmati hida-
ngan. Sementara itu, pelayan yang tadi ditegur Barong,
segera meninggalkan tempat itu. Sesaat dia berdiri di tengah pintu, memandang
kembali wajah keempat lelaki itu dengan wajah pucat dan sikap takut
Rasa takut yang menghinggapi diri pelayan itu me-
mang bisa dipahami. Selain wajahnya bengis, mereka
juga tidak memiliki sikap ramah. Terlebih ketika Barong menanyakan Bukit Setan
tempat Kidarga dan Nyi
Genit serta puluhan pasukannya.
Begitu pula dengan orang-orang di ruangan itu. Ke-
tika mendengar kata Bukit Setan dari mulut Barong,
mereka bergegas menghabiskan hidangannya dan me-
ninggalkan rumah makan itu setelah membayar ma-
kanan. Hanya Ong Lie saja yang tidak beranjak dari
tempat duduknya. Ia tetap bersikap tenang sambil mereguk anggur.
Ketika Barong dan ketiga temannya telah selesai
makan dan keluar, diam-diam Ong Lie pun meninggal-
kan warung nasi itu untuk membuntuti mereka.
*** Matahari terus merayap tanpa terasa. Sehingga raja
siang yang semula begitu angkuh menyoroti bumi, perlahan-lahan tenggelam ke arah
barat. Meninggalkan
bias-bias cahaya di sekitarnya. Sehingga alam menjadi temaram.
Belum jauh keempat lelaki tadi meninggalkan ru-
mah makan, tiba-tiba mata mereka melihat tiga lelaki gagah yang berjalan dari
arah sebelah kiri. Ketiga lelaki itu tampak mengangkat tangan kanannya, seolah-
olah memberi isyarat kepada Barong dan ketiga temannya.
Barong dan ketiga temannya segera menghentikan
langkahnya. Ketika ketiga lelaki itu sudah dekat ke arahnya, Barong segera
menegur. "Siapa kalian dan kenapa menghalangi perjalanan
kami?" "Kami adalah Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak!
Nama kami Resmolo, Sentanu, dan aku sendiri berna-
ma Gombreh!" kata lelaki yang bernama Gombreh,
memperkenalkan julukan mereka serta nama masing-
masing. Gombreh bertubuh tinggi besar, tidak berbeda de-
ngan Barong, kecuali pakaiannya. Dia bersama dua
temannya mengenakan celana hitam model pangsi dan
berbaju model rompi tanpa kancing. Sehingga kalung
bermata tengkorak yang melingkar di leher mereka terlihat jelas. Sedangkan di
pinggang ketiga orang itu melingkar kain warna merah, seolah-olah menyembunyi-
kan golok yang terselip di sana. Rambut mereka berge-lombang sampai sebatas
bahu. Barong dan ketiga temannya mengangguk-angguk
kasar. Sedangkan mata mereka terus mencorong ke
arah Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak dengan pan-
dangan penuh selidik.
"Kalau tidak keberatan, boleh kutahu siapa kalian
berempat?" tanya Gombreh ingin tahu.
"Kami Pendekar Bermata Iblis. Aku bernama Ba-
rong, sedangkan tiga temanku bernama Jegal, Jargon, Buraong. Asal kami dari
negeri Ngarumpuyuk. Negeri
paling ujung daratan Pulau Jawa!" kata Barong dengan suara tegas menggelegar.
"Lalu negeri asalmu dari ma-na?"
"O, ya. Aku hampir lupa menyebutkan asal kami!"
sahut Gombreh. "Kami pun berasal dari daratan Pulau Jawa. Dari negeri Lumajang!"
lanjut Gombreh.
"Lalu, apa maksud kalian menahan perjalanan ka-
mi?" tegas Barong dengan mata tak berkedip.
"Aku hanya ingin bertanya, ke mana jalan menuju
Bukit Setan?" jawab Gombreh. "Ketika dari jauh tadi kulihat persimpangan jalan,
aku bingung menentukan
arah yang tepat untuk menuju Bukit Setan. Kebetulan
di persimpangan ini aku melihat kalian, karena itu aku memanggil!" sambung
Gombreh. Barong dan tiga temannya tercenung ketika men-
dengar ucapan Gombreh yang ingin menuju ke Bukit
Setan. "Ada keperluan apa kau pergi ke sana?" tanya Ba-
rong lagi, ingin tahu. Matanya menatap tajam penuh
selidik. "Kami dengar, Perguruan Topeng Hitam yang ber-
markas di sana mencari para pendekar untuk berseku-
tu dengannya. Karena itu kami ingin mencoba berga-
bung dengan Perguruan Topeng Hitam," tutur Gomb-
reh menjelaskan maksud tujuannya.
Barong dan ketiga temannya mengangguk-angguk.
"Kalau begitu kita punya tujuan yang sama!" kata
Barong hangat, merubah sikap curiganya menjadi pe-
nuh persahabatan.
"Apakah kalian juga hendak bersekutu dengan Per-
guruan Topeng Hitam?" tanya Gombreh.
"Ya. Sekarang, kami pun hendak menuju ke sana!"
sahut Barong. "Kalau begitu kita sama-sama saja ke sana!" usul
Gombreh. "Memang itu yang aku kehendaki. Ayo!" ajak Ba-
rong. Dia siap melangkah, melanjutkan perjalanan
kembali. Karena jalan di hadapan mereka terbagi empat ja-
lur, maka Barong mengambil jalan kiri yaitu jalan menuju Bukit Setan. Namun
sebelum mereka melangkah
lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara yang ditujukan kepada mereka.
"Apakah ilmu kalian sudah hebat hingga ingin ber-
sekutu dengan Perguruan Topeng Hitam"!"
Tujuh orang bertubuh kekar yang hendak melan-
jutkan perjalanan itu segera menghentikan langkah.
Mereka terkejut mendengar suara yang menggetarkan
jantungnya itu. Mereka langsung sadar kalau orang
yang mengeluarkan suara itu memiliki tenaga dalam
yang amat kuat.
Dengan sigap, ketujuh orang itu langsung meloncat
mundur sejauh tiga langkah, sambil melintangkan go-
lok mereka masing-masing di depan dada. Sedangkan
sepasang mata ketujuh orang itu menatap tajam pada
pemuda yang entah datangnya dari mana, tiba-tiba
sudah berada di depan mereka.
Barong dan ketiga temannya terkejut melihat keha-
diran pemuda tampan itu. Karena pemuda tampan
yang mengenakan baju berlapis jubah kuning itu tidak lain lelaki yang pernah
dilihatnya ketika di warung makan. Dan kini dia muncul tiba-tiba dan langsung
menghadang mereka.
"Rupanya sejak tadi dia membayangi perjalanan ki-
ta!" bisik Barong kepada ketiga temannya. Sedangkan kedua biji matanya terus
mencorong ke arah pemuda
itu. "Siapakah kau, pemuda asing" Mengapa begitu berani menghalangi perjalanan
kami?" geram Barong.
Darahnya mendidih sejak mendengar ucapan pemuda
yang mengandung ejekan tadi.
Pemuda berjubah kuning melangkah setapak men-
dekati ketujuh lelaki berwajah beringas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan
rasa gentar. Malah bibirnya memperlihatkan senyum ketika menatap mereka.
Sedangkan ketujuh orang yang ditatapnya bergerak
mengatur posisi, sehingga ketika dia sudah berada di tengah-tengah, tubuhnya
langsung dikurung.
"Aku bukan menghalangi perjalanan kalian. Aku
hanya bertanya, sejauh mana kemampuan kalian hing-
ga begitu bersemangat hendak bersekutu dengan Per-
guruan Topeng Hitam!" kata pemuda berjubah kuning
tenang. Bibirnya masih mengembangkan senyum.
"Phuih! Apa pedulimu, Anak Ingusan!" rutuk Ba-
rong dengan sorot mata berkilat-kilat menahan marah.
"Tentu saja ini menjadi tugasku. Karena kalian ti-
dak akan bisa melaksanakan niat kalian menuju Per-
guruan Topeng Hitam sebelum dapat mengalahkanku!"
tantang pemuda berjubah kuning yang tidak lain ber-
nama Ong Lie. Ketujuh orang itu semakin geram mendengar uca-
pan Ong Lie. Walaupun ucapannya lembut, tapi jelas
mengandung penghinaan. Meremehkan ilmu yang me-
reka miliki. "Dari cara kalian memegang golok, aku dapat me-
nilai kalau ilmu kalian masih mentah!" lanjut pemuda itu seperti sengaja
memancing kemarahan tujuh orang yang dihadapinya.
"Setan kurap! Kau benar-benar harus diberi pelaja-
ran!" bentak Barong yang dilanjutkan dengan meloncat ke depan setinggi setengah
meter sambil membacok-kan goloknya ke tubuh lawan.
Wut wut wuttt! Gebrakan yang dilancarkan Barong berhasil dielak-
kan Ong Lie dengan cara merunduk dan melompat.
Sehingga golok itu tak berhasil mengenai tubuhnya.
Melihat serangannya tidak mengenai sasaran, Ba-
rong semakin murka. Kemudian dengan lengkingan
tinggi, tubuhnya kembali bergerak menyerang pemuda
berjubah kuning itu.
Wut wut wuttt! Serangan goloknya kali ini lebih gencar mencecar
tubuh lawan. Tapi dengan mudah pula Ong Lie menge-
lak. Bahkan pada kesempatan lain dia berhasil balas menyerang.
Teppp! Duggg! Tangan kiri Ong Lie berhasil mencekal pergelangan
tangan lawan yang memegang golok. Sedangkan ta-
ngan kanannya berhasil memukul dada lawan dengan
telak. "Aaakh!"
Barong mengerang. Goloknya terlempar sejauh tiga
meter dari tangannya. Sedangkan tubuhnya sendiri
langsung tersungkur di tanah dengan mulut memun-
tahkan darah segar. Dalam sekejap tubuh Barong
mengejang-ngejang seperti ayam yang disembelih. Se-
lanjutnya tubuh itu kaku dengan mata mendelik.
"Bangsat! Kau benar-benar ingin cari mati rupa-
nya!" geram Jargon ketika mengetahui temannya mati
dalam satu gebrakan di tangan pemuda berjubah ku-
ning. Bersama dua temannya yang lain, dia segera ma-ju untuk menyerang Ong Lie
bertubi-tubi. "Hiaaat!"
Trang trang trangngng!
Lengkingan tiga Pendekar Bermata Iblis serta den-
ting senjata membuat suasana jadi ramai.
Ong Lie yang menyadari serangan lawan begitu ber-
tubi-tubi, segera mencabut pedang yang terselip di
pinggang kirinya. Kemudian pedang itu dipergunakan
untuk menghalau serta menyerang lawan.
"Hiyyy...!"
Crattt blesss! Dengan permainan pedang yang cukup hebat, Ong
Lie berhasil membabat leher seorang lawan di depan-
nya hingga putus. Dilanjutkan dengan gerakan menu-
suk ke perut seorang lawan lagi yang berada di sebelah kirinya. Dalam detik itu
juga, kedua tubuh lawan yang terkena babatan pedangnya roboh tanpa mengeluarkan
suara sedikit pun.


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat ketiga temannya mati dalam keadaan me-
ngerikan, muka Jegal langsung memucat. Kemudian
kakinya bergerak hendak melarikan diri. Namun ketika baru mencapai sepuluh meter
dari tempat pertempuran, Ong Lie langsung melemparkan pedangnya ke
arah lawan. Singngng...! Clebbb!
Pedang Ong Lie yang mengarah lurus ke tubuh Jeg-
al langsung mengenai punggungnya hingga tembus ke
perut. Membuat Jegal roboh seketika itu juga.
Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang menyak-
sikan peristiwa itu tercengang kaget menyaksikan empat Pendekar Bermata Iblis
yang mati dalam waktu
singkat di tangan lelaki berjubah kuning yang masih muda itu.
"Kalian bertiga ingin mencoba seperti mereka?" ta-
nya Ong Lie dengan sikap tenang serta senyum me-
ngembang. Tapi di balik ketenangannya itu, ia mem-
punyai sifat sadis. Sekali bertemu lawan yang dicurigai, pantang baginya untuk
melepaskan. Kepada keempat Pendekar Bermata Iblis, ia pun be-
gitu kejam. Sebab sejak di warung nasi tadi hatinya mulai geram saat Barong
menanyakan letak Bukit Setan kepada seorang pelayan. Pikirnya, pasti mereka
akan bersekutu. Dan kalau hal itu terjadi, akan semakin kuatlah Perguruan Topeng
Hitam. Sehingga pasu-
kannya yang hanya sepuluh orang pasti akan kalah
menghadapinya. Karena pertimbangan itu, sebelum
Perguruan Topeng Hitam mendapat pendekar-pende-
kar baru, lebih baik ia melakukan penjegalan.
Mendapat pertanyaan itu, Gombreh segera mengem-
bangkan senyum ramah dan berkata, "Kami bukan
orang-orang yang menyukai kekerasan dan saling
menguji kekuatan!" kata Gombreh, menutupi hatinya
yang kecut setelah mengetahui ketelengasan pemuda
itu. "Hm..., bagus!" puji Ong Lie dengan wajah sungguh-
sungguh. Pikirannya mulai merasa, kalau ketiga orang itu pasti dapat dibujuk
untuk bergabung dengannya.
"Nama kalian siapa dan berasal dari mana?" lanjut
Ong Lie seraya maju lima langkah ke arah mereka.
"Kami menamakan diri dengan sebutan Tiga Se-
rangkai Berkalung Tengkorak. Aku bernama Gombreh
dan kedua temanku ini bernama Resmolo dan Senta-
nu. Sedangkan kami berasal dari negeri Lumajang, sebelah timur Pulau Jawa!" urai
Gombreh, memperke-
nalkan diri. "Kau sendiri siapa, Pemuda Tampan?" ia balik bertanya.
"Namaku Ong Lie berasal dari negeri Lanoa!" sing-
kat Ong Lie. Gombreh dan dua temannya tampak mengangguk-
angguk. Mereka merasa lega karena pemuda itu mau
diajak bercakap-cakap dan bersahabat.
"Apa maksud kalian hendak menuju Bukit Setan?"
tanya Ong Lie lagi ingin tahu.
Tanpa ragu-ragu lagi, Gombreh yang menjadi pe-
mimpin kedua temannya, menceritakan maksud me-
reka yang hendak bersekutu dengan Perguruan Topeng
Hitam. "Aku mendengar perguruan itu memiliki kesaktian
yang sukar tertandingi hingga kami datang ke sini untuk berguru pada
pemimpinnya!" kata Gombreh.
"Apakah kalian tidak tahu sepak-terjang Perguruan
Topeng Hitam?" tanya Ong Lie dengan sorot mata pe-
nuh selidik. "Secara samar aku mendengar kalau mereka mela-
kukan tindakan-tindakan keji terhadap rakyat negeri ini," jawab Gombreh.
"Kalau memang tahu, kenapa kalian hendak berse-
kutu dengan mereka?" pancing Ong Lie.
"Karena mereka yang sekarang berjaya di negeri
ini," sahut Gombreh cepat
"Walaupun mereka berjaya, bukan berarti mereka
bisa hidup tenang," tukas Ong Lie.
"Maksudmu?" tanya Gombreh kurang paham.
"Ketua Perguruan Topeng Hitam saat ini sedang
mencari para pendekar tangguh, itu berarti kalau mereka sedang mengalami
keresahan akibat perlawanan
yang dilakukan oleh orang-orang tangguh di dalam negeri ini. Salah seorang yang
akan menghancurkan Perguruan Topeng Hitam adalah diriku. Karena itu aku
membunuh keempat orang tadi sebelum mereka sam-
pai di tempat tujuan!" tutur Ong Lie menjelaskan.
"Kalau memang begitu, aku dan dua temanku ini
akan membantumu!" ujar Gombreh yang mendadak
berubah niat. Ong Lie tersentak mendengar pernyataan itu, wa-
laupun semula, ia berniat hendak membujuk mereka
untuk bersekutu dengannya.
"Mengapa tiba-tiba kau berubah niat?" pancing Ong
Lie. Walau bagaimanapun ia harus mengetahui alasan
dari pernyataan Gombreh yang tiba-tiba itu.
"Setelah mengetahui ada pemberontakan di sini dan
salah satunya kau sendiri, hatiku langsung memihak
padamu. Karena aku yakin kau berada di pihak golo-
ngan putih yang menentang segala macam kesesatan
dan kelaliman!" sahut Gombreh.
Golongan putih! Bisik hati Ong Lie. Ia tercenung beberapa saat mendengar kata-
kata itu. Karena ia me-
nyadari kalau dirinya pun tidak lebih dari manusia hitam yang penuh nafsu iblis.
Dan pertentangannya de-
ngan Perguruan Topeng Hitam bukan karena berpihak
pada rakyat, melainkan untuk merebut kekuasaan.
Karena itu ia mencari Bong Mini agar dapat membantu menghancurkan Perguruan
Topeng Hitam, dengan alasan membantu penderitaan rakyat yang terjajah oleh
Perguruan Topeng Hitam. Bila ia dan Bong Mini berha-
sil menghancurkan Perguruan Topeng Hitam, maka
akan mudah menduduki negeri Selat Malaka. Sedang-
kan Bong Mini akan dibunuh dengan caranya sendiri
setelah semua selesai.
"Kenapa kau tercenung?" tanya Gombreh heran.
"Ah, tidak! Tidak apa-apa. Aku hanya kagum atas
pernyataan kalian yang tiba-tiba!" sahut Ong Lie cepat.
Sekadar menutupi perasaannya sendiri.
"Semua itu tak akan terjadi bila tak bertemu de-
nganmu!" sahut Gombreh seraya tersenyum.
"Kalau begitu, kita harus cepat mengatur siasat.
Pergilah kalian mencari sepuluh orang temanku. Me-
reka sedang bergerak menuju Bukit Setan untuk me-
lakukan serangan. Mereka mengenakan baju koko dan
celana pangsi!" kata Ong Lie.
Gombreh dan kedua temannya mengangguk.
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Aku akan melakukan penyergapan terhadap orang-
orang yang akan bersekutu dengan Perguruan Topeng
Hitam seperti yang kulakukan pada keempat orang ta-
di!" jawab Ong Lie.
Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak itu mengang-
guk-angguk. Kemudian mereka pun segera berpisah.
Ong Lie menuju pantai Selat Malaka, sedangkan Tiga
Serangkai Berkalung Tengkorak bergerak mencari se-
puluh orang berkuda yang dimaksud pemuda berjubah
kuning itu. *** 5 Waktu terus berputar tanpa terasa. Dari siang ke
malam, hari ke minggu, minggu ke bulan, dan terus
melaju demikian cepat.
Di pantai Malaka yang biasanya hanya disinggahi
beberapa kapal dagang, kini kelihatan ramai. Bahkan di darat banyak orang-orang
yang hilir-mudik. Mereka berasal dari berbagai negeri. Kedatangan mereka ke
tempat itu bukan sebagai orang biasa, melainkan sebagai pendekar dan orang-orang
gagah. Ini bisa diken-al lewat pakaian dan sikap mereka. Tidak sedikit dari para
pendekar atau orang-orang gagah ini mengenakan pakaian-pakaian aneh dan nyentrik
seperti pakaian
pertapa atau ala pengemis, butut, dan compang-
camping. Para pendekar yang datang ke tempat itu bukan sa-
ja berkelompok, tetapi juga ada yang datang per-
orangan. Mereka datang dengan penampilan menarik
dan wajah berseri. Karena tempat yang baru mereka
pijak itu bisa dijadikan ajang perkenalan antar sesama pendekar. Baik pendekar
yang datang dari berbagai
negeri maupun yang datang dari pelosok kampung.
Apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh para
pendekar itu" Tak seorang pun yang tahu pasti. Apa-
kah akan bergabung dengan Perguruan Topeng Hitam
yang memang sengaja mencari orang-orang gagah un-
tuk menggulingkan Bongkap dan pengikutnya yang
masih merongrong kekuasaannya, atau justru sebalik-
nya, hendak membela penderitaan rakyat negeri Selat Malaka dari penindasan
orang-orang Perguruan Topeng Hitam, tak ada yang tahu. Sebab pendekar yang
datang ke tempat itu, menyembunyikan maksudnya
masing-masing. Di antara banyaknya pendekar yang terdiri dari tua-
muda, laki-perempuan yang datang ke situ, tampak
seorang wanita bertubuh mungil dengan umur kurang
lebih sekitar delapan belas tahun. Rambutnya yang hitam panjang tampak melambai-
lambai ketika terhela
angin pantai, menutupi wajahnya yang selalu berseri-seri. Sedangkan matanya yang
sipit dan tajam di-
arahkan kepada para pendekar yang berada di sekitar pantai itu. Seakan-akan
tengah memberikan penilaian terhadap mereka.
Namun sebenarnya tidak demikian. Sorot matanya
yang lincah itu bukan karena sedang memberikan pe-
nilaian, melainkan karena ia merasa suka terhadap
tingkah laku serta pakaian yang dikenakan oleh setiap pendekar, tanpa memberikan
penilaian sedikit pun pa-da mereka.
Menurutnya, menilai seseorang tidak bisa hanya di-
lihat dari tingkah laku, perbuatan, keturunan, pangkat, pendidikan ataupun
pintar bodohnya seseorang.
Sebab penilaian seperti ini akan membuahkan hasil
yang palsu. Berdasarkan hal itu, Bong Mini selalu mengambil
sikap apa adanya. Bagi Bong Mini, kalau dirinya bersih dari segala penilaian,
maka dia akan bisa menghadapi apa pun dengan hati dan pikiran yang bebas. Tanpa
membedakan antara si kaya dan si miskin, pintar atau bodoh. Jika manusia sudah
lepas dari segala macam
penilaian, selanjutnya dia hanya berhadapan dengan
sesama manusia tanpa embel-embel yang mengotori
diri manusia itu sendiri. Baik itu kedudukan, pangkat, kekayaan, bangsa, ras,
agama dan sebagainya. Dari
sini, ego yang selalu ingin menang sendiri akan lenyap.
Karena tidak mempunyai penilaian siapa diriku dan
siapa dirimu. Namun demikian, kewaspadaan tetap
harus dipelihara. Waspada terhadap diri sendiri. Mengamati terus sampai sifat
buruk yang kita punyai terlihat dan berusaha menggantinya dengan sifat-sifat
baik. Di saat Bong Mini mengalihkan pandangannya pada
keramaian, tiba-tiba sepasang matanya yang sipit itu
menangkap seorang pemuda sedang duduk malas di
dekat sebatang pohon kelapa di pinggir pantai. Pemu-da itu berwajah tampan.
Rambutnya yang panjang di-
gelung ke atas, memperlihatkan bentuk wajahnya yang bulat telur. Sedangkan
pakaiannya terlihat indah, berjubah sutera berwarna kuning.
Bong Mini tertarik melihat penampilan pemuda
yang umurnya sekitar tiga puluh lima tahun itu. Dan ketika kaki pemuda itu
mengikuti empat lelaki berkepala botak, Bong Mini mengikutinya secara diam-diam.
Keempat lelaki berkepala botak terus berjalan me-
nuju Hutan Roban. Tubuh mereka yang tinggi besar
dan berotot dibiarkan telanjang dada. Sehingga dada bertato kepala macan yang
mulutnya menganga sangat
jelas terlihat. Mereka terus berjalan gagah sambil menikmati pemandangan di
sekitar lereng bukit yang menakjubkan!
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang demikian
keras, membuat keempat lelaki berkepala botak itu
terkejut seraya menghentikan langkahnya. Mereka
berdiri tegak. Mata mereka memandang ke segenap
penjuru, mencari asal suara itu. Namun sampai begitu lama mengedarkan pandangan,
keempat lelaki itu tidak melihat seorang pun di atas bukit kecuali mereka
sendiri. Mereka menjadi yakin kalau orang yang menghentikan langkah mereka pasti
seorang pendekar yang memiliki kepandaian tenaga dalam yang cukup tinggi.
Belum sempat mereka berkata, tiba-tiba seorang
pemuda berjubah kuning yang tidak lain Ong Lie telah berdiri tegak di hadapan
mereka dengan wajah berseri, penuh senyum.
"Siapa kau, Anak Muda" Apa tujuanmu menghala-
ngi perjalanan kami?" tanya seorang lelaki berkepala botak yang memegang tongkat
panjang kira-kira dua
meter. Sepasang telinganya dihiasi anting besar. Sedangkan celananya model
pangsi berwarna hitam.
Umurnya kurang lebih lima puluh tahun. Sama de-
ngan ketiga temannya.
Ong Lie tersenyum sambil berjalan dua langkah ke
depan. Membuat jarak mereka semakin dekat.
"Seharusnya aku yang bertanya. Bukankah kalian
orang-orang Tiongkok yang baru menginjakkan kaki ke negeri ini?" tanya Ong Lie.
Matanya terus mengamati mata sipit keempat lelaki berkepala botak itu.
"Sombong sekali kau, Bocah!" dengus lelaki yang
mengenakan anting di kedua telinganya tadi. "Tapi,
baiklah! Sebagai pendatang di negeri ini, aku terpaksa mengalah!" katanya sambil
menggerakkan tubuh agar
lebih enak dan gagah. "Kami adalah Empat Iblis Pen-
cabut Nyawa!" lanjut lelaki beranting itu.
Ong Lie mengangguk-angguk.
"Apa tujuan kalian datang ke negeri ini?" tanya Ong Lie, seperti mendikte.
Mendengar pertanyaannya, Empat Iblis Pencabut
Nyawa tersinggung. Baru kali ini mereka merasa di-
dikte. Apalagi didikte oleh anak muda. Wajah mereka yang putih berubah merah
seakan darahnya hendak
merembes lewat pori-pori tubuh.
"Apa urusanmu, Bocah Tengik"!" geram lelaki yang
menjadi pemimpin ketiga temannya.
"Tentu saja urusanku. Sebab kalian telah menjejak-
kan kaki di negeri ini," sahut pemuda itu masih de-
ngan sikap tenang. "Atau kalian memang ingin berse-
kutu dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam?"


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keempat lelaki berkepala botak itu terkejut. Mereka saling berpandangan. Tidak
menyangka bila niat mereka telah terbaca oleh pemuda bau kencur.
"Kalau memang ya, mau apa?" tanya lelaki berant-
ing dengan sikap geram.
"Aku akan melarang!" sahut Ong Lie kalem.
"Apa hakmu?" bentak lelaki yang memiliki senjata
tongkat itu. "Karena aku tidak ingin negeri ini dikotori oleh o-
rang-orang semacam kalian!"
"Angkuh sekali ucapanmu, Bocah Tengik!" geram le-
laki berkepala botak lagi. Matanya yang sipit mulai terlihat merah seperti bara
api yang siap membakar.
"Hei, Cacing Kremi! Sebutkan namamu sebelum aku
membeset mulutmu yang busuk itu!" seorang teman-
nya yang sejak tadi hanya berdiam diri mulai angkat bicara. Dilepaskannya
senjata rantai berujung bola
berduri ke atas tanah.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Kalau memang
berani, hadapilah segera!" tantang Ong Lie tenang.
"Bangsat!" geram lelaki beranting. Dengan wajah
terbakar serta sinar merah menyala di kedua matanya, lelaki itu maju dua tindak.
"Bersiaplah untuk mampus, Bocah Tengik!" geramnya lagi.
"Bagus! Berarti kalian memang orang-orang yang
punya nyali. Nah sekarang, bersiaplah!" ucap Ong Lie.
Sementara itu, di atas sebuah cabang pohon yang
terlindung oleh dedaunan rimbun, sosok tubuh mungil tampak sedang asyik duduk
berongkang-ongkang kaki.
Sudah sejak tadi ia berada di atas pohon, menyaksikan empat lelaki berkepala
botak dan seorang pemuda
tampan yang siap bertarung.
Sikap pemuda berjubah kuning itu tampak tenang.
Tak ada tanda-tanda seperti hendak menyerang. Ke-
cuali matanya saja yang meneliti keadaan lawan.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba tubuh Ong Lie mencelat ke arah lelaki beranting dengan ketinggian
sekitar dua meter. Kedua
tangannya melebar. Tangan kiri lurus ke depan, se-
dangkan tangan kanan ke belakang dengan gerakan
hendak memukul. Inilah yang disebut dengan jurus
'Bacokan Maut'. Sebuah serangan membacok dengan
sisi telapak tangan.
"Hiiih...!"
Ong Lie langsung melayangkan bacokan tangannya
ke arah lawan. Namun segera lawannya menyambut
serangan itu dengan jurus 'Kincir Angin'. Tangan kirinya menyilang ke dada untuk
menahan tangan kiri la-
wan, sedangkan tangan kanan menyilang ke atas un-
tuk menangkis dan menangkap tangan kanan lawan
yang membacok ke arahnya. Dan kalau salah satu
tangannya yang dipergunakan untuk menangkis dapat
menyambar tangan lawan, maka secepat kilat dia akan membalikkan tubuh sambil
memutar tubuh lawan
dengan kecepatan yang amat dahsyat sebagaimana pu-
taran kincir angin.
"Huppp!"
Ong Lie segera mencelat, membalikkan tubuhnya di
udara ketika lawannya mampu menangkis. Tubuhnya
melewati kepala lawan. Begitu kedua kakinya mengin-
jak tanah, ia kembali menggenjot tenaganya untuk melakukan serangan dengan
tendangan. Dukkk! Lelaki botak yang mengenakan anting di kedua te-
linganya itu tersentak kaget manakala kaki kanan lawan mendarat di dadanya.
Karena pada saat ia mem-
balikkan tubuh, saat itu pula tendangan lawan mendarat ke dadanya tanpa mampu
dielakkan lagi. Akibat-
nya, ia terdorong keras ke belakang sejauh dua meter.
Sehingga pada saat tubuhnya roboh di tanah, mulut-
nya langsung mengeluarkan darah segar. Namun lelaki itu bangkit kembali tanpa
menghiraukan luka dalam
tubuhnya. Sreset! Tangannya mencabut kedua pedang yang tersang-
kut di pinggang. Kemudian tubuhnya melabrak lawan
dengan sepasang pedang yang menyambar-nyambar.
Inilah jurus 'Pedang Samber Nyawa'. Salah satu jurus yang banyak dimiliki oleh
orang Tiongkok. Sedangkan dahsyat tidaknya jurus ini tergantung dari kemampuan
masing-masing pemiliknya.
"Hiyaaat..!"
"Hup hup huppp!"
Lelaki beranting terbelalak kaget melihat pemuda
itu menangkap ujung pedangnya. Sebab selama ia ter-
jun dalam dunia persilatan, belum pernah ia melihat seorang pendekar yang berani
menangkap ujung pedang yang sangat tajam itu. Tapi pemuda di hadapan-
nya begitu gagah menangkap kedua ujung pedangnya
tanpa merasa takut akan luka.
"Hih!"
Lelaki beranting mencoba menarik kedua pedang-
nya kembali. Maksudnya agar tangan lawan terputus.
Tapi alangkah kaget ia, karena ketika menarik kedua pedangnya itu, tangan lawan
malah semakin memper-erat genggamannya, seolah-olah tak ingin melepaskan.
"Hiyaaat...! Hahhh!"
Ong Lie mengeluarkan lengkingan tinggi seraya me-
narik ujung pedang yang digenggamnya ke bawah. Tu-
buh lawannya terhuyung ke depan dengan kedua pe-
dang yang terlepas dari kedua tangannya. Pada saat
itulah pemuda tampan berjubah kuning itu membalik-
kan ujung pedang agar dapat memegang gagangnya.
Selanjutnya, ujung pedang itu diarahkan pada lawan
dengan gerakan menusuk.
Creb! Creb! Tanpa menimbulkan erangan sedikit pun, tubuh le-
laki beranting langsung roboh dengan kedua pedang
yang menembus perutnya.
Tiga orang dari Iblis Pencabut Nyawa yang sejak ta-
di hanya berdiri menyaksikan pertempuran menjadi
terbelalak kaget melihat temannya tewas di tangan
pemuda itu. Kemudian kaki mereka melangkah dua
tindak dan memandang pemuda itu dengan geram.
"Bangsat! Berani kau mempermainkan Iblis Penca-
but Nyawa!" geram lelaki yang tadi membawa rantai
berujung bola besi. Wajahnya bengis. Saat berkata,
kumisnya yang panjang tebal bergerak-gerak. Sedang-
kan di tengah kepalanya yang botak, terkucir beberapa helai rambut yang
panjangnya sekitar dua puluh lima sentimeter. Kemudian senjata yang panjangnya
sekitar tiga meter di tangannya mulai diputar perlahan-lahan.
Bila gandulan besi itu mengenai kepala lawan, sung-
guh sangat sulit untuk dibayangkan!
Sementara ia memutar-mutar rantai besinya, kedua
teman lainnya pun siap pula dengan senjatanya ma-
sing-masing. Seorang lelaki berkalung kepala naga memutar-
mutar tongkatnya di atas kepala dengan kecepatan
yang luar biasa, hingga menimbulkan desingan keras.
Sedangkan sepasang matanya yang merah menyala
mencorong tajam ke arah lawan.
Apa yang dilakukan dua orang itu diikuti oleh te-
mannya yang berada di sebelah kiri lawan. Wajahnya
yang dipenuhi berewok terlihat begitu angker ketika menatap lawan. Tubuhnya
melompat ke kiri dan kanan. Tangan kanannya diangkat ke atas kepala sambil
memegangi tombak yang panjangnya tiga meter. Kemudian tombak itu diayun-ayunkan
dengan gerakan menusuk. Pemuda yang terkepung itu berdiri tegak menatap
lawannya satu persatu. Senyum yang selalu mengem-
bang kini sirna sama sekali. Karena pikiran dan pandangannya terpusat pada tiga
pengeroyok. Pikirnya, ia harus sungguh-sungguh menghadapi tiga dari Empat
Iblis Pencabut Nyawa. Apalagi senjata mereka merupakan senjata berbahaya
dibanding sebilah pedang. Apalagi rantai berujung bola berduri itu. Lengah
sedikit, kepala akan remuk berkeping-keping.
"Sikaaat!"
Tiba-tiba terdengar lengkingan lelaki botak berkucir, membuat kedua temannya
saat itu juga bergerak menyabet-nyabetkan senjata masing-masing dengan ke-
cepatan lebih dahsyat
Tongkat dan tombak mengarah dari sisi kiri dan
kanan Ong Lie. Sedangkan rantai bergandul bola ber-
duri berputar di atas kepalanya dengan kecepatan
tinggi, menyulitkan pemuda itu untuk melakukan ge-
rakan mengelak. Bila dia melakukan lompatan sedikit saja, maka kepalanya pasti
membentur senjata itu.
Sedangkan untuk mengelak ke depan, tongkat dan
ujung tombak dua lawannya menyambar-nyambar pu-
la dengan ganas. Julukan Iblis Pencabut Nyawa bagi
mereka benar-benar tepat sesuai dengan serangan
mematikan mereka seperti saat itu.
Di negeri Kuraci yang berada di wilayah Tiongkok,
nama San Hong, Cao Hui, Tek Chiang dan Gak Bun
Ben yang bersatu dalam Iblis Pencabut Nyawa memang
terkenal sadis. Hampir semua pendekar dan tokoh
sakti di negeri Kuraci dapat dikalahkan. Bahkan me-
reka menjadi pembunuh bayaran bagi para bangsawan
di negeri tersebut. Dan sekarang, Gak Bun Ben mati di tangan seorang pemuda
ingusan. Tentu saja tiga ka-wannya yang lain menjadi terkejut dan kalap.
Sehingga senjata yang sudah lama tak dipakai itu, kini dipergunakan kembali
untuk menghabisi nyawa lawan.
"Hiaaat!"
Buggg! Tiba-tiba Ong Lie membuat gerakan yang tak terdu-
ga. Tubuhnya digulingkan ke arah Cao Hui, pemilik
rantai bergandul bola berduri. Kemudian ia melompat setinggi setengah meter
dengan gerakan menerkam ke
arah Cao Hui yang sedang memutar-mutar senjatanya.
"Huggg!"
Napas Cao Hui terhenti sejenak saat kepala Ong Lie
tepat menubruk ulu hati lawan. Akibatnya, rantai besi di tangan Cao Hui
terlepas, melayang di udara dan akhirnya menancap di sebatang pohon.
Werrr ... Creb!
Tubuh Cao Hui jatuh telentang. Sedangkan Ong Lie
langsung bangkit kembali dan segera menjauhi dua
lawannya yang lain.
Melihat mangsa yang diburunya lepas, lelaki yang
memegang tombak bernama Tek Chiang, langsung me-
lempar tombaknya ke arah lawan.
Singngng...! Sret!
"Uhhh!"
Ujung tombak itu berhasil menggores bahu kiri la-
wan. Rupanya Tek Chiang berhasil mengelabui perhi-
tungan lawan. Pada saat tombak itu meluncur, Ong Lie mengira kalau ujung tombak
itu meluncur ke arah kanan. Namun ketika ia memiringkan tubuhnya ke
samping, ternyata tombak itu meluncur ke sebelah ki-ri. Ujung tombak itu pun
menyabet bahu kirinya, wa-
lau tidak parah.
Ong Lie berusaha memperbaiki posisi. Namun tiba-
tiba tubuhnya terasa seperti terbakar, panas, dan tidak bertenaga. Akhirnya ia
jatuh tanpa dapat menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Rupanya ujung tombak
yang melukai bahunya telah dilumuri racun yang amat dahsyat. Sedikit saja
menggores tubuh lawan, racun
tersebut langsung bereaksi dan meresap ke seluruh
peredaran darah.
Tubuh Ong Lie bergetar hebat, panas, dan lemah.
Hanya dua biji matanya yang bergerak-gerak menatap
tiga lawan yang sedang berjalan mendekatinya.
Ong Lie segera memejamkan kedua matanya dalam
kepasrahan ketika ujung tombak yang tadi menggores
bahunya diarahkan Tek Chiang ke tubuhnya. Dan....
Dukkk! Wuttt! Tiba-tiba sebuah tendangan keras mendarat di wa-
jah Tek Chiang, hingga tubuhnya terhuyung lalu jatuh ke belakang. Sedangkan
tubuh Ong Lie langsung di-sambar oleh orang yang tadi memukul.
Menerima serangan yang tiba-tiba, tentu saja me-
reka tersentak kaget, terlebih Tek Chiang. Ketika mereka membalikkan tubuh,
seorang wanita bertubuh
mungil yang tidak lain Putri Bong Mini tampak berdiri gagah menghadap mereka.
Sedangkan di belakang gadis itu, tubuh Ong Lie terbaring lunglai.
"Siapa kau, Kelinci Kecil"! Beraninya kau mencam-
puri urusan orang lain!" geram Tek Chiang. Kedua matanya mencorong tajam ke arah
gadis bertubuh mungil dengan perasaan dongkol.
"Hanya lelaki pengecut yang menganiaya orang yang
tidak berdaya!" sindir Bong Mini dengan sikap tenang.
Ditatapnya ketiga lelaki bertubuh tinggi besar dengan tampang beringas itu.
"Bedebah! Akan kukirim nyawamu ke nereka!" ge-
ram Tek Chiang karena merasa ditantang oleh seorang anak kecil.
"Wah, hebat sekali kalau kau mampu melakukan-
nya. Tapi aku memilih dikirim ke surga saja biar enak!"
seru Bong Mini dengan wajah berseri-seri, mirip seorang anak yang mendapat kabar
gembira. Mendengar kata-kata Bong Mini yang mengandung
ejekan barusan, ketiga lelaki tadi bertambah geram.
Mereka serentak mengepung Bong Mini. Mereka sadar
kalau gadis kecil itu bukanlah seorang gadis semba-
rangan. Buktinya, ia mampu menyelamatkan tubuh
pemuda tadi dalam waktu sekejap, tanpa sepengeta-
huan mereka. Di saat ketiga lawan dengan beringas maju untuk
melakukan serangan, Bong Mini segera memutar tu-
buhnya cepat seperti baling-baling kapal. Tubuhnya
yang berputar itu mengandung tenaga dalam yang
amat dahsyat, sehingga menimbulkan angin yang ber-
tiup sangat keras. Dedaunan di sekitarnya berguguran.
Inilah jurus 'Ilmu Tanpa Bayangan' yang pertama kali didapat dari papanya.
Melihat jurus yang dikerahkan Bong Mini demikian
dahsyat, ketiga lelaki tadi langsung menyerangnya sebelum didahului.
"Hiaaat!"
Wut wut wuttt! Tongkat, tombak, dan pedang lawan menyambar-
nyambar tubuhnya dari berbagai arah. Namun Bong
Mini yang telah memadukan jurus 'Tanpa Bayangan'
dengan ilmu 'Halimun Sakti' tampak tak mengalami
kesulitan. Malah tubuhnya kini bergerak perlahan seperti kabut yang turun ke


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bumi. Kemudian tubuh
mungil itu menyelinap di antara ketiga lelaki yang menyerangnya.
"Ssst...!"
Tek Chiang menoleh ke arah desisan di samping ki-
rinya. Tapi belum sempat dia mengetahui siapa yang
berdesis, sebuah pukulan keras dari Bong Mini meng-
hantam mukanya.
Dukkk! "Aaakh!"
Tubuh Tek Chiang terlempar sejauh dua meter di-
sertai erangan kesakitan.
Melihat lawan yang dipukulnya jatuh tersungkur,
tanpa menunggu lebih lama, Bong Mini melakukan ge-
rakan menendang ke tubuh seorang lawan lagi.
Dukkk! Tendangan kaki kanan Bong Mini mengenai dada
lawan, hingga tubuh Cao Hui terjengkang ke belakang.
"Aaakh!"
Jeritan kematian keluar dari mulut Cao Hui. Ketika
tubuhnya ambruk di tanah, ia tak dapat berkutik lagi.
Tek Chiang yang masih terhuyung-huyung serta
San Hong, tampak tersentak melihat temannya dapat
dirobohkan oleh gadis bertubuh mungil itu dalam wak-tu sekejap. Padahal selama
ini, Iblis Pencabut Nyawa tak pernah tertandingi oleh pendekar mana pun,
termasuk pemuda yang hampir mati tadi. Tapi sekarang
mereka menghadapi kenyataan lain.
"Kelinci kecil, siapa kau sebenarnya!" dengus San
Hong penuh kemarahan.
Bong Mini tersenyum.
"Kenapa itu yang kau tanyakan" Apakah untuk
mengirim seseorang ke neraka kau harus mengetahui
namanya dulu?" sindir Bong Mini dengan suara kalem.
"Bocah sombong! Kau jangan bermimpi untuk me-
menangkan pertempuran ini!" dengus San Hong de-
ngan biji mata melotot merah. Kemudian dia segera
bertindak dengan tongkat mautnya. Ia merasa harus
mencabut nyawa gadis bertubuh mungil itu. Maka de-
ngan tongkat hitamnya ia menyerang Bong Mini de-
ngan dahsyat. Begitu pula dengan Tek Chiang yang
menyerang dengan ujung tombak yang meruncing. Me-
reka bersama-sama mengepung Bong Mini dengan
pandangan mata penuh nafsu, bagai seekor kucing
yang siap menerkam mangsa.
Wut wut wuttt! Tongkat hitam di tangan San Hong berkelebat ke
sana kemari, menyambar tubuh lawan. Tapi dengan
tangkas gadis bertubuh mungil itu menghindari sera-
ngan maut San Hong. Dalam kesempatan berikutnya
ia sudah menggunakan ilmu 'Halimun Sakti', bagian
dari ilmu 'Pancaran Sinar Sakti' warisan Putri Teratai Merah.
Bong Mini terus melangkah pelan dan ringan di an-
tara kedua musuhnya yang tampak jelalatan, mencari-
cari dirinya. Sedangkan orang yang dicari justru tengah senyum-senyum di
belakang punggung keduanya.
Sifat jahil Bong Mini timbul. Dia mencolek kedua bahu lawannya. Begitu menoleh,
kedua tangannya yang
lembut itu menampar wajah mereka.
Plakkk, plakkk!
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Kedua lelaki itu langsung terjengkang ke belakang
seraya meraba wajahnya yang terasa panas akibat
tamparan tangan Bong Mini, tanpa menyadari kalau
tamparan jari Bong Mini tadi membekas di pipi kedua lelaki itu dengan warna
hitam gesang. Bentuknya mirip bunga teratai yang baru tumbuh.
"Heh, Iblis Pencabut Nyawa!" hardik Bong Mini sam-
bil menatap kedua musuhnya yang mulai bangkit kem-
bali. "Jika kalian ingin selamat, gagalkan niatmu untuk bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam! Tapi
kalau kau terus membangkang, aku tidak akan segan-
segan membunuhmu!"
"Aku tidak akan mengubah niat semula hanya kare-
na gertakan bocah kecil sepertimu!" dengus San Hong.
Siap untuk melakukan pertempuran kembali. Begitu
pula dengan temannya.
Begitulah salah satu sifat Iblis Pencabut Nyawa. Mereka tidak akan mundur
setapak walau sudah terde-
sak. Mereka harus menuntut balas hari itu juga atas kematian dua temannya. Lebih
baik mati sama-sama
daripada melarikan diri atau takluk di hadapan mu-
suh. Sehidup semati! Semboyan itu yang mereka pe-
gang kuat-kuat. Maka ketika Bong Mini mengajukan
pilihan, mereka lebih baik memilih mati seperti kedua temannya, daripada kembali
ke negerinya dengan
membawa kekalahan.
San Hong telah menggenggam kembali tongkatnya.
Begitu pula dengan Tek Chiang yang sudah sejak tadi siap dengan tombak
runcingnya. Kemudian dengan
senjata yang sudah siap di tangan masing-masing, tubuh mereka langsung melesat
ke arah Bong Mini disertai lengkingan tinggi.
"Hiyaaat!"
Deggg! Bong Mini cepat menangkap tongkat hitam San
Hong yang mengarah padanya. Ditariknya sedikit, di-
sertai tendangan kaki ke dada lawan. Sehingga tubuh yang terkena tendangan itu
terjengkang ke belakang
sejauh lima meter, disertai erangan kematian yang
memilukan. Lalu tubuh lawan pun ambruk dengan biji
mata mendelik. Sedangkan dari mulutnya keluar da-
rah kehitam-hitaman.
"Jahanam! Kubunuh kau!" gertak Tek Chiang ketika
melihat kematian temannya. Ia langsung menyerang
Bong Mini membabi-buta dengan tombaknya. Tapi se-
rangan tombak itu dapat ditangkis tangan kanan Bong Mini yang sekeras baja.
Kemudian tombak itu pun di-rebut dan dihentakkan ke dada musuhnya.
Creb! "Aaakh!"
Ujung tombak yang runcing itu langsung menem-
bus dada Tek Chiang. Saat itu juga tubuhnya mengge-
lepar-gelepar dan roboh dengan lidah menjulur keluar.
Bong Mini menghela napas panjang sambil menatap
keempat mayat yang terkapar di tanah. Kemudian ka-
kinya melangkah mendekati pemuda tampan yang se-
jak tadi hanya mampu menyaksikan pertempuran tan-
pa dapat bergerak sedikit pun. Tanpa banyak cakap
lagi, Bong Mini langsung mengerahkan ilmu 'Pelebur
Racun' yang disalurkannya melalui ilmu 'Batin Raga
Sakti' warisan Kanjeng Rahmat Suci dengan cara me-
narik, menahan, lalu menyentakkan napas lewat tela-
pak tangannya yang terkembang dan mengarah ke da-
da Ong Lie. Karena kalau telapak tangannya me-
nyentuh dada yang diobati, akan meninggalkan bekas
berwarna hitam.
"Oekkk!"
Pemuda itu memuntahkan gumpalan darah hitam
dari mulutnya. Disusul dengan cairan kuning. Itulah racun yang ditebarkan lewat
ujung tombak lawan.
Setelah semua gumpalan darah hitam dan cairan
kuning habis, Ong Lie memejamkan matanya seperti
tertidur. Bong Mini memandang wajah pemuda tampan itu
sekilas. Setelah itu, ia bangkit dan melesat ke arah pantai Malaka.
*** 6 Di Kampung Dukuh, pagi itu terasa cerah. Matahari
memancar hangat dari sebelah timur, kembali mene-
rangi bumi yang selama semalaman diselimuti kegela-
pan. Daun-daun pohon yang menderita kedinginan ka-
rena kabut menyelimuti sejak senja kemarin, kini terlihat segar berseri, menari-
nari, mengikuti nyanyian burung yang tiada hentinya di pagi itu.
Dalam suasana pagi yang indah itu, seorang gadis
cantik tampak duduk seorang diri di pinggir Sungai
Bokor yang mengalir di Kampung Dukuh. Tubuh gadis
itu amat bagus, berpinggang ramping. Wajahnya bulat telur, berhidung mancung
dengan sepasang mata sipit.
Rambutnya yang panjang sebatas punggung tampak
tersisir rapi. Di bagian kiri-kanan rambut itu diikat, sedangkan bagian rambut
belakang dibiarkan bebas
tergerai. Sementara bagian atasnya ditata menyerupai bunga yang baru berkembang.
Dia terlihat masih mu-da sekali. Usianya sekitar enam belas tahun.
Gadis yang mengenakan baju dan celana kuning
muda dengan hiasan ikat pinggang warna hitam itu
tampak duduk termenung sambil menyaksikan gemer-
cik air pegunungan yang terjun ke sungai.
Nasib perjalanan anak manusia mungkin seperti air
sungai itu. Setelah jatuh dari pegunungan, air itu terus melaju, berkelok-kelok
menghindari batu-batu terjal!
Gumam gadis itu dalam hati dengan bibir tersenyum-
senyum menyaksikan kejernihan air sungai yang
mengalir bebas.
Siapakah gadis remaja yang cantik itu" Dia seorang
gadis yang hilang ingatan, yang ditolong oleh Sang Piao beberapa waktu lalu. Dan
sekarang gadis itu sudah
sembuh benar karena perawatan Sang Piao yang begi-
tu telaten. Gadis yang asyik menikmati gemerciknya suara air
sungai itu tiba-tiba terhenyak ketika telinganya mendengar gerakan semak-semak.
Dia langsung berdiri
dan memalingkan wajahnya ke belakang. Di sana, ma-
tanya melihat seorang pemuda gagah berjubah putih.
Dia adalah Sang Piao yang sengaja menyusul gadis itu.
Selama ini, Sang Piao yang terus merawatnya hingga
sembuh. Melihat pemuda tampan itu tersenyum padanya, ga-
dis itu membalas dengan penuh keheranan.
"Siapakah kau?" pertanyaan itu diajukan karena
memang selama ini dia tidak mengenal Sang Piao sama sekali. Dia tidak tahu bahwa
ia dirawat oleh pemuda itu selama mengalami sakit jiwa. Sehingga ketika ia
sembuh, kesadaran pada sekitarnya pun kembali, termasuk pada pemuda yang berdiri
di hadapannya sam-
bil mengembangkan senyum.
Mendapati tanggapan yang diberikan gadis cantik
itu, hati Sang Piao menjadi lega. Karena dari sikap dan ucapannya telah
menunjukkan kalau ia benar-benar
telah sembuh dari tekanan batin yang selama ini me-
nyiksanya. Dan Sang Piao tahu, kenapa gadis itu tidak mengenalnya.
"Aku sangat gembira kau telah sembuh!" kata Sang
Piao sambil terus melangkah mendekati, hingga akhirnya dia tegak di hadapan
gadis itu. "Sakit?"
"Begitulah! Kau dalam keadaan hilang ingatan saat
kutemukan di Bukit Lodan."
"Hilang ingatan" Jadi penyakit itu yang membuat
aku tidak mengenal kau selama ini?" tanya gadis itu.
"Begitulah! Dan sekarang kau telah sembuh dari pe-
nyakit yang menekan batinmu selama ini!" kata Sang
Piao ramah dengan bibir yang tak henti-hentinya me-
nyunggingkan senyum.
Dalam ketermanguan itu, wajah gadis yang putih
bersih tiba-tiba bersemu merah. Tapi kemudian wajah cantik itu berubah menjadi
sangat pias. Dia ingat peristiwa naas sebelum mengalami tekanan batin yang
sangat hebat itu.
Terbayang oleh gadis itu, bagaimana neneknya mati
dibantai empat orang dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka, ketika berusaha
menyelamatkan dirinya yang
hendak diperkosa. Pada saat itu dua orang dari me-
reka menyeret lengan neneknya lalu membantai pe-
rempuan tua itu dengan sebilah pedang hingga tewas.
Setelah melihat perempuan tua yang tidak berdaya itu tewas, keempat orang itu
segera memaksanya untuk
melayani nafsu birahi hingga ia tak sadarkan diri.
"Nenek! Oh, nenekku!" keluh gadis itu seraya menu-
tup wajahnya yang mulai dibasahi telaga bening yang mengalir lewat celah-celah
bulu matanya. "Tenanglah!" ucap Sang Piao menenangkan.
"Tidak, nenekku telah mati oleh orang-orang Iblis
Pulau Neraka!" sahutnya dalam isak tangis. "Aku ha-
rus membalas dendam pada iblis-iblis terkutuk itu!"
lanjut gadis tadi dengan suara yang bernada geram.
Sang Piao tersenyum sambil menyentuh kedua ba-
hu gadis itu dengan lembut.
"Tenanglah, orang-orang Iblis Pulau Neraka telah
kami serang. Dan sekarang mereka sudah tidak lagi
berkeliaran di negeri ini. Mereka sudah tewas semu-
anya!" kata Sang Piao. Dia tidak tahu kalau sebelas orang dari pasukan Iblis
Pulau Neraka masih ada yang hidup. Karena sejak penyerangan itu, tidak ada lagi
kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka. Bahkan ia sendiri
tak pernah melihatnya lagi.
"Kau...! Kau telah membunuh orang-orang jahat
itu?" tanya gadis itu termangu-mangu.
"Bukan aku. Tapi seluruh keluarga Bongkap!"
"Bongkap?" samar-samar gadis itu mengetahui na-
ma yang baru saja disebutkan oleh Sang Piao. Menurut neneknya ketika masih
hidup, di negeri Selat Malaka telah berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh
seorang lelaki gagah berani dari keturunan Tionghoa yang bernama Bongkap.
"Jadi, sekarang aku berada dalam lingkungan raja?"
tanya gadis itu lagi.
Sang Piao mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, terima kasih atas pertolonganmu!" ucap gadis
itu. Lalu dia menjatuhkan diri dan berlutut di depan Sang Piao.
"Siapa namamu?" tanya Sang Piao yang sejak mem-
bawa gadis itu ia belum mengenal namanya.
"Namaku Thong Mey. Almarhum orang-tuaku ber-
asal dari negeri Tiongkok. Sedangkan aku sendiri dila-hirkan di sini!" sahut
gadis itu sambil menjelaskan as-al keturunannya.
"Nah, Thong Mey, bangkitlah! Janganlah kau ber-
simpuh begitu di depanku. Aku bukan pembesar yang
patut kau hormati. Aku hanya seorang pengawal kera-
jaan!" kata Sang Piao merendah, tidak dibuat-buat. Ia memang merasa risih
mendapat penghormatan yang


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlebihan seperti itu.
"Tapi kau telah berjasa. Kau telah menyelamatkan
aku dari penderitaan yang menyuramkan masa depan-
ku. Jika saja kau tidak menemukan diriku, entah ba-
gaimana nasibku selanjutnya. Mungkin aku telah mati dengan keadaan tubuh
menyedihkan!" sahut gadis itu
dengan menengadahkan wajahnya untuk menatap pe-
muda tampan yang masih berdiri di hadapannya.
Melihat wajah gadis yang menengadah itu, disertai
mata sendu serta sisa-sisa air mata yang meleleh di pi-pinya, darah Sang Piao
mendadak bergelora. Tubuhnya panas.
Oh, alangkah cantiknya gadis menengadah seperti
itu! Bisik hati Sang Piao. Kemudian dia membungkuk
seraya mengulurkan tangannya ke arah sang gadis.
Dan gadis itu pun menyambut dengan uluran tangan-
nya pula. Sehingga tangan lembut dan halus serta jari-jemarinya yang lentik itu
berpegangan erat dengan
tangan kasar Sang Piao. Saat berpegangan, Thong Mey perlahan-lahan bangkit dan
berdiri tepat di hadapan Sang Piao dengan jarak yang cukup dekat.
Ada sesuatu kehangatan yang menyelusup ke selu-
ruh tubuh Sang Piao manakala tangannya memegang
tangan lembut gadis itu. Sehingga dalam gejolak dadanya yang tidak menentu itu,
ia berkata dengan suara bergetar.
"Thong Mey!"
Thong Mey itu mendongakkan kepalanya sedikit
dan menatap wajah pemuda di depannya dengan tata-
pan sendu. Sedangkan bibirnya yang mungil dan me-
rah asli itu terbuka sedikit, membuat jantung Sang
Piao berdetak-detak hebat. Baru kali ini ia merasakan detak jantung yang
demikian kuat. Menggoncangkan
seluruh perasaan dan saraf-sarafnya.
"Maukah kau mendengar kata hatiku yang selama
ini kupendam?" tanya Sang Piao dengan jantung yang
masih berdetak-detak.
"Katakanlah kalau memang hal itu penting dan
berhak untuk kuketahui!" desah Thong Mey.
Sang Piao diam sejenak. Lidahnya menjilat bibirnya
yang mengering.
"Ketahuilah Thong Mey, semenjak pertama kali aku
melihatmu dan melihat penderitaan yang kau alami,
timbul rasa iba dan sayang dalam hatiku!" kata Sang Piao. Kemudian dia terhenti
untuk menenangkan detak jantungnya sambil menelan ludah. "Oleh karena
itu," Sang Piao melanjutkan kata-katanya yang terputus, "jika kau tidak
keberatan, aku hendak mengam-
bilmu sebagai istriku!"
Thong Mey terkejut sekali mendengarnya. Dia me-
rasa berhutang budi pada pemuda tampan yang telah
menyelamatkan jiwanya dari penganiayaan dan teka-
nan batin yang cukup hebat. Dan sekarang, pemuda
itu menyatakan secara berterus-terang rasa cintanya yang tulus dan hendak
menjadikannya sebagai istri.
Sebenarnya hati Thong Mey sangat gembira men-
dengar keterus-terangan pemuda itu. Sejak ia melihat
pemuda itu hatinya memang langsung terkesan. Apa-
lagi ketika mendengar tutur katanya yang lemah-
lembut. Namun ketika menyadari dirinya telah kotor, tidak suci lagi akibat
perbuatan empat orang Iblis Pulau Neraka yang memperkosanya beramai-ramai, ia
menjadi sedih. Dan dengan wajah serta suara sendu,
gadis itu berkata: "Ja..., jangan, Koko! Jangan mencintai aku!" ucap gadis itu
tersendat. Sedangkan kepalanya tampak tertunduk.
"Mengapa" Apakah karena aku seorang pengawal
raja?" tanya Sang Piao agak tersentak.
"Bukan. Bukan itu!" sahut Thong Mey cepat.
"Lalu?" desak Sang Piao.
"Aku bukanlah gadis yang patut dicintai. Aku tak
mempunyai kehormatan yang dapat dibanggakan lagi!"
jawab Thong Mey dengan butir-butir air mata yang
kembali merembesi celah-celah bulu matanya. Lalu
meliuk-liuk ke pipi seperti air sungai yang mengalir di dekatnya.
"Aku tahu. Aku tahu semua itu," sahut Sang Piao
cepat. "Tapi apakah lantaran kau telah ternoda, kau tidak berhak menerima cinta
serta kasih sayang dari lelaki yang benar-benar ingin menjadikanmu sebagai
istri?" Thong Mey diam. Ia masih sibuk dengan isak ta-
ngisnya. "Tidak, Thong Mey. Semua orang berhak menerima
cinta dan kasih sayang, walau bagaimanapun rusak
dan hinanya orang tersebut. Sebab cinta dan kasih sayang merupakan anugerah
Tuhan yang diberikan ke-
pada setiap orang. Walaupun kadar cinta dan kasih
sayang yang dimiliki berbeda-beda!" lanjut Sang Piao dengan semangat yang
menyala-nyala. Betapa terenyuhnya hati Thong Mey mendengar tu-
tur kata lembut dan puitis yang diucapkan oleh pemu-
da itu. Baru kali ini ia berjumpa dengan seorang pemuda. Dan sekali berjumpa,
langsung berhadapan
dengan lelaki tampan yang mempunyai perasaan halus
serta menghargai kehormatan wanita. Oleh karena itu, ia semakin terharu
mendengar kata-kata yang diungkapkan dengan penuh perasaan oleh Sang Piao.
"Apa kata orang nanti jika Koko yang memiliki wa-
jah tampan dan berjiwa ksatria memiliki istri yang sudah ternoda" Apa itu tak
akan merusak nama Koko
yang harum?" desah Thong Mey setelah dapat mena-
han tangis dan getaran hatinya.
"Kewibawaan dan keharuman nama seseorang bu-
kan dari pengaruh kekasih atau istri yang mendam-
pinginya. Tapi dari perbuatan orang tersebut. Kalau tingkah laku kita buruk maka
akan buruk pula nama
yang kita sandang. Tapi kalau perangai dan budi pe-
kerti kita baik, maka harum pula nama yang kita sandang itu!" kata Sang Piao
penuh pemikiran matang. Ini wajar! Karena usianya jauh lebih tua dibanding
dengan usia gadis di hadapannya. Tiga puluh lima dan enam
belas tahun. Sungguh perbedaan yang mencolok.
Lagi-lagi Thong Mey terkesan dengan kalimat-kali-
mat yang meluncur dari bibir pemuda yang berdiri di depannya itu. Sehingga ia
hanya dapat diam dan mendengar dengan penuh kekaguman.
"Aku tidak menerima alasanmu seperti itu. Tapi ka-
lau kau menolak cintaku dengan alasan lain, aku tidak memaksa. Cinta bukan
paksaan. Cinta lahir dari na-runi yang murni!" kata Sang Piao akhirnya.
Hening. Hanya desauan angin yang mengusik tubuh kedua
orang itu. Sehingga rambut mereka tampak meriap-
riap. Seolah-olah turut menyejukkan hati keduanya.
"Koko...!"
"Sang Piao namaku!"
"Apakah Koko Sang tidak menyesal?" tanya Thong
Mey dengan sepasang matanya yang redup.
Sang Piao menggeleng.
"Sungguh?"
"Kau bisa buktikan."
Thong Mey melenguh.
"Tapi aku punya satu permintaan!"
"Apa itu?" tanya Sang Piao cepat.
"Ajari aku ilmu silat agar tidak selalu ditindas oleh orang-orang yang gemar
mengumbar nafsu iblis!"
"Tentu. Tentu! Aku akan mengajarkan apa yang ku-
miliki padamu. Malah seluruh orang yang bergabung
dengan keluarga Bongkap!" sahut Sang Piao cepat. Disertai wajahnya yang berseri-
seri. "Sungguh?" tanya Thong Mey dengan sendu.
"Aku bukan orang yang suka mengumbar keboho-
ngan dan kepalsuan-kepalsuan untuk kepentingan
pribadi!" tegas Sang Piao meyakinkan.
Wajah Thong Mey tampak segar berseri-seri men-
dengar ucapan pemuda yang mencintainya itu. Mata-
nya pun tampak berkerjap-kerjap ketika memandang
Sang Piao. "Perkenalkan aku dengan Bongkap!" ucap Thong
Mey mengalihkan pembicaraan. Sejak pemuda tadi me-
nyebut nama Bongkap keinginan itu menggayuti ha-
tinya. "Tentu. Sekarang juga aku akan mengajakmu
menghadapnya!" sahut Sang Piao dengan wajah gembi-
ra. Senang karena telah mendapatkan calon istri yang selama ini diidamkan. Dan
calon istri itu seorang gadis cantik yang masih muda belia.
*** Waktu terus berjalan.
Matahari bergeser, tepat di atas kepala. Membuat
panasnya seakan hendak membakar seluruh penghuni
bumi. Dalam keadaan panas seperti itu, dua belas pe-
nunggang kuda tampak di atas Bukit Tengkorak, se-
buah bukit yang berdekatan dengan Bukit Setan. Se-
hingga bila orang-orang Perguruan Topeng Hitam hen-
dak keluar, mereka harus melewati bukit itu.
Dua belas penunggang kuda bercelana hitam model
pangsi serta berbaju hitam model koko adalah orang-
orang Iblis Pulau Neraka dan Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang masing-
masing bemama Gombreh,
Resmolo, dan Sentanu. Mereka bergabung dengan Iblis Pulau Neraka setelah
mendapat persetujuan dari Ong
Lie, pengganti Gonggo Gung yang telah tewas akibat
gempuran Bong Mini, Bongkap, dan pengikutnya. Dan
sekarang, sisa pengikut Iblis Pulau Neraka tengah melakukan penyergapan terhadap
orang orang Perguruan
Topeng Hitam yang dituduh telah menggempur Pulau
Neraka dan membunuh pemimpinnya.
Dari arah yang berlawanan, dua puluh penunggang
kuda lain tampak memacu kuda tempat di mana ke-
dua belas orang tadi berada, adalah orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang
hendak terjun ke perkam-
pungan-perkampungan untuk melaksanakan aksi. Me-
rampok, memeras rakyat, dan menculik wanita-wanita
cantik. Di antara dua puluh orang Pasukan Perguruan To-
peng Hitam yang dipimpin oleh Giwang itu, tampak
seorang pemuda gagah dan tampan yang memiliki lu-
kisan naga emas di bagian dada kanan bajunya yang
berwarna kuning. Pemuda itu tidak lain Khian Liong.
Dia tampak bercakap-cakap sebentar dengan Giwang,
pemimpin pasukan, kemudian bersama empat orang
lain dia memacu kuda lebih cepat lagi, meninggalkan Giwang dan pasukan.
"Hm..., ternyata orang yang memiliki baju berlukis
naga emas adalah seorang sekutu Perguruan Topeng
Hitam!" gumam seorang dari kawasan Iblis Pulau Ne-
raka yang terus mengamati gerak-gerik mereka. Dia
bernama Jurik yang dipercaya Ong Lie untuk memim-
pin pasukan. "Lalu, siapa gadis bertubuh mungil yang dulu ikut
menyerang pasukan kita bersama pemuda itu?" tanya
Seyton yang menunggang kuda di sebelahnya (lihat episode 4: 'Iblis Pulau
Neraka'). "Itulah yang menjadi tanda tanya bagi kita," sahut
Jurik. "Apakah gadis itu juga pengikut Perguruan Topeng
Hitam?" "Entahlah! Tapi aku sendiri tidak yakin bila gadis
semuda dan secantik itu mau bersekutu dengan o-
rang-orang semacam mereka!" sahut Jurik yang sem-
pat melihat Bong Mini pada pertempuran beberapa
waktu lalu. "Aku pun berpendapat demikian. Nyatanya, gadis
itu tak terlihat di antara pasukan itu!" sambut Seyton pula sependapat.
Iring-iringan pasukan berkuda mulai mendekati le-
reng bukit. Dan ketika mereka sudah benar-benar
hampir dekat dengan pasukan Iblis Pulau Neraka, tiba-tiba Jurik yang menjadi
pemimpin pasukan memberi
aba-aba. "Seraaang...!"
Saat itu juga, sebelas orang lainnya langsung meng-
hambur ke arah pasukan Perguruan Topeng Hitam, di-
sertai lengkingan-lengkingan tinggi, membelah kehe-
ningan di sekitar Bukit Tengkorak.
Trek trek trekkk!
Trang trang trangngng!
Suara derap langkah kuda dan denting pedang-
pedang terhunus dari sisa pasukan Iblis Pulau Neraka yang diarahkan ke pasukan
Perguruan Topeng Hitam
terdengar susul-menyusul.
Pasukan Perguruan Topeng Hitam yang dipimpin
oleh Giwang dan Khian Liong tampak terkejut menda-
pat serangan mendadak itu. Sehingga pasukan berku-
da yang tadi bergerak rapi, kini menjadi kacau-balau.
Bahkan lima di antara mereka ada yang langsung tum-
bang dan mati terkena tebasan pedang lawan.
"Lawan...! Mereka orang-orang Iblis Pulau Neraka!"
teriak Khian Liong. Dia mengenal orang-orang Iblis Pulau Neraka dari pakaian
yang dikenakannya.
Enam belas penunggang kuda dari Perguruan To-
peng Hitam langsung menyambut lawan. Apalagi keti-
ka melihat empat temannya mati terkena senjata la-
wan, mereka semakin geram.
Tidak begitu lama, Bukit Tengkorak yang biasanya
sepi dan jarang dilalui orang, kini ramai oleh pekikan dari kedua pasukan serta
denting senjata yang beradu.
Trang trang trangngng!
Benturan senjata dari masing-masing lawan serta
kilatan-kilatan sinarnya, menambah ramai suasana.
Suasana penuh darah.
Pasukan Perguruan Topeng Hitam berhasil mene-
waskan enam lawan. Tetapi pasukan Iblis Pulau Nera-
ka pun tidak sedikit membunuh lawannya. Bahkan
ada pula di antara mereka yang terluka dan tak mam-
pu melakukan serangan lagi.
Pasukan Iblis Pulau Neraka terus mendesak dan
mengepung lawan dengan dahsyat, hingga tidak heran
kalau lawannya banyak yang berjatuhan tanpa dapat
bernapas lagi. Sehingga dalam waktu singkat, keme-
nangan berada di tangan mereka. Hanya Giwang dan
Khian Liong saja yang berhasil menyelamatkan diri


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kembali ke markas mereka di Bukit Setan, me-
ninggalkan enam lawan yang masih duduk gagah di
atas punggung kuda.
"Apa yang harus kita perbuat selanjutnya?" tanya
Seyton ketika Giwang dan Khian Liong menghilang dari pandangan matanya.
"Kita tidak mungkin terus ke Bukit Setan dalam
jumlah yang seperti ini. Oleh karena itu, sebaiknya ki-ta mencari Ong Lie untuk
melaporkan pemuda yang
memiliki lukisan naga emas itu!" sahut Jurik berpendapat.
"Aku pikir juga begitu!" timpal Seyton sependapat.
Kemudian mereka berenam menghela kudanya cepat,
meninggalkan Bukit Tengkorak.
Gelang Naga Soka 3 Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Matahari Esok Pagi 5
^