Pencarian

Iblis Pulau Neraka 3

Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka Bagian 3


tanya yang menyala-nyala. Rambutnya yang panjang
ikal tak terurus bergerak-gerak ke depan, menutupi
wajahnya yang hitam gersang.
Giwang dan dua puluh lima murid Perguruan To-
peng Hitam dalam ruangan itu tampak terdiam dengan
kepala tertunduk. Malah tubuhnya semakin menciut
ngeri. "Kalian hanya mampu membantai dan merampok
penduduk yang tidak mempunyai kepandaian dan ke-
kuatan apa-apa. Kenapa hanya berhadapan dengan
seorang gadis kecil, nyali kalian menciut" Malah si Yang Seng sendiri mati
bersimbah darah. Di mana kemampuan kalian" Di mana kekuatan tenaga iblis kali-
an!" geram Kidarga lagi dengan nafsu yang meluap-
luap. Sehingga bentakannya terdengar menggema la-
pat-lapat. Dua puluh enam muridnya masih bungkam, tak be-
rani bersuara. Kecuali menunduk sambil sesekali melirik ke arah pemimpinnya yang
berdiri angker di hadapan mereka.
Gadis itu pasti memiliki kepandaian yang sangat
tinggi sehingga mampu menandingi Yang Seng dan pa-
sukannya. Ini berarti, aku harus melakukan penggoj-
lokan lebih keras lagi terhadap pengikutku, gumam
Kidarga dalam hati.
Kidarga menghela napas berat. Kedua matanya
yang merah dan tajam itu diarahkan kepada murid-
muridnya satu persatu. Tegang dan penuh wibawa.
"Aku tidak mungkin berhadapan langsung dengan
gadis itu!" sambung Kidarga dengan suara berat dan
datar. Kemarahannya mulai menurun. Sehingga mu-
rid-muridnya yang menunduk ketakutan tampak me-
narik napas lega. Seolah-olah baru terlepas dari bahaya yang mencekam.
"Walaupun begitu aku tidak tinggal diam. Aku akan
ajari kalian ilmu silat yang lebih tangguh lagi agar dapat meringkus gadis itu!"
lanjut Kidarga lagi.
Semua murid-muridnya yang ada dalam ruangan
itu tampak senang mendengar janji Kidarga. Itulah
yang mereka harapkan. Karena selama ini mereka tak
pernah mendapatkan ilmu dari Kidarga. Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada
beberapa muridnya saja, seperti Giwang dan Yang Seng yang telah memiliki ilmu
'Angin Setan Mencekik Leher'. Selebihnya cukup de-
ngan kepandaiannya masing-masing.
"Ada yang mau bicara?" tanya Kidarga dengan sua-
ra tenang. Giwang yang sejak tadi hendak mengatakan sesu-
atu segera mengangkat jarinya.
"Katakan!" singkat Kidarga.
"Sejak tadi aku mendengar tentang gadis kecil yang
membunuh Yang Seng. Kalau boleh tahu, bagaimana
ciri-ciri gadis itu, Ketua?" tanya Giwang yang memang baru tahu mengenai
pembunuhan terhadap Yang
Seng. Kidarga langsung menceritakan ciri-ciri gadis itu sesuai dengan laporan anak
buahnya yang diutus meng-
hubungi Yang Seng malam kemarin. Namun karena
malam itu terjadi pertempuran antara Yang Seng de-
ngan seorang gadis kecil, utusannya tidak jadi meng-hubungi Yang Seng, kecuali
mengendap-endap sambil
mengamati ciri-ciri gadis itu. Setelah didapatnya ciri-ciri orang yang diintai,
utusan Kidarga pun kembali ke perguruan untuk melaporkan kejadian itu kepada
Kidarga. Mendengar laporannya, Kidarga langsung memerin-
tahkan sepuluh anak buahnya untuk membantu Yang
Seng. Tapi ketika sampai di sana mereka melihat Yang Seng telah tewas. Sedangkan
gadis yang melakukan
pembunuhan telah lama lenyap dan tanpa diketahui
ke mana jejaknya.
"Kalau memang gadis itu yang Ketua maksudkan,
tidak salah lagi. Dialah orang yang telah membantu
pasukanku dalam melawan orang-orang Iblis Pulau
Neraka!" sergah Giwang.
"Maksudmu?" tanya Kidarga bingung.
Giwang langsung menceritakan mengenai kehadiran
Bong Mini saat pasukan yang dipimpinnya itu mende-
rita kekalahan.
"Begitulah, Ketua. Karena kehadiran gadis itu aku
bisa meloloskan diri dan melaporkan hal ini kepada
Ketua!" ucap Giwang mengakhiri ceritanya.
Kidarga diam. Pikirannya ruwet karena terganggu
oleh masalah gadis yang membingungkan itu. Kalau
kemarin malam gadis itu melakukan pembunuhan ter-
hadap Yang Seng dan pasukannya, sekarang justru
membantu pasukan Giwang dengan melakukan penye-
rangan terhadap Perkumpulan Iblis Pulau Neraka.
"Ada yang lebih mengejutkan lagi, Ketua!" tambah
Giwang. "Apa itu?" tanya Kidarga cepat.
"Khian Liong. Dia hadir bersama-sama gadis itu dan
turut membantu melawan orang-orang Iblis Pulau Ne-
raka!" ujar Giwang menjelaskan.
"Khian Liong?" gumam Kidarga dengan kening ber-
kernyit, mengingat-ingat nama orang yang disebutkan Giwang tadi. Dan ketika ia
ingat, ia pun berkata seperti kepada dirinya sendiri. "Khian Liong. Sudah lama
dia tak terdengar lagi kabar beritanya. Sekarang dia hadir dengan sebuah
kejutan!" Kidarga menoleh pada Giwang. "Seharusnya kau menunggu dia dan
mengajak- nya ke sini!"
"Itulah yang aku sesalkan, Ketua. Saat itu piki-
ranku tidak sampai ke situ!" sahut Giwang.
"Karena kau memikirkan keselamatan nyawamu
sendiri!" geram Kidarga dengan mata mencorong.
Giwang menunduk diam. Ia tidak berani memban-
tah tuduhan pemimpinnya. Dalam hati ia membenar-
kan tuduhan Kidarga itu.
Di saat suasana hening seperti itu, tiba-tiba datang seorang anak buahnya yang
bertugas menjaga pintu
mulut goa. Dia melangkah dengan tubuh yang ter-
bungkuk-bungkuk.
"Maaf, Ketua!" sela muridnya itu.
"Ada apa?" sahut Kidarga tanpa reaksi.
"Di luar ada seorang pemuda yang ingin bertemu
dengan Ketua!" kata muridnya itu memberitahukan.
"Siapa dia?" tanya Kidarga dengan kening berker-
nyit. "Entahlah, Ketua. Tapi pemuda itu memiliki lukisan
naga emas di baju bagian dadanya!"
"Tidak salah, Ketua. Dialah Khian Liong!" celetuk
Giwang dengan wajah berseri.
Kidarga yang memang mengharapkan kedatangan
Khian Liong segera memerintahkan muridnya itu un-
tuk membawa Khian Liong ke ruangan.
Setelah mendapat perintah itu, murid yang melapor
tadi segera keluar kembali untuk menyambut tamu-
nya. Tidak berapa lama kemudian, muridnya tadi telah kembali bersama pemuda
tampan yang tiada lain
Khian Liong. Kidarga yang melihat kehadiran pemuda itu lang-
sung menjabat tangan Khian Liong dengan penuh ke-
hangatan. Suasana yang tadi suram, mendadak ber-
ubah gembira. "Maafkan aku Ketua, jika baru kali ini sempat da-
tang!" ucap Khian Liong dengan gaya seperti seorang terpelajar.
"Ah, tidak mengapa. Yang penting sekarang kau te-
lah datang berhadapan denganku!" sahut Kidarga ra-
mah. Wajahnya begitu berseri. Berbeda dengan sebe-
lumnya. "O, ya. Mana Rayi Nyi Genit?" tanya Khian Liong
sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling
ruangan. "Dia sudah dua hari ini pergi ke Desa Larangan!"
sahut Kidarga. "Ooo...!" hanya itu yang keluar dari mulut Khian
Liong. Seperti yang dikatakan Kidarga, memang sudah dua
hari Nyi Genit pergi ke Desa Larangan, tempat asal me-
reka. Kunjungannya ke desa itu tidak lain ingin melakukan tindakan balas dendam
terhadap orang-orang
yang telah menelanjanginya dan mengaraknya saat ia
dan Kidarga berbuat mesum sekian puluh tahun yang
lalu. Kunjungan itu sekaligus dia manfaatkan untuk
mencari darah perawan dan darah perjaka untuk me-
nambah kesaktian dirinya dan Kidarga.
Kidarga mengajak Khian Liong ke ruang khusus
yang terletak di ruangan tengah disertai Giwang yang mengikuti dari belakang.
"Apa yang telah kau kerjakan selama ini, Khian
Liong?" tanya Kidarga setelah mereka bertiga duduk di sebuah kursi batu yang
telah diukir, hingga menyeru-pai kursi biasa.
"Sungguh banyak, Ketua. Dan kedatanganku ke sini
pun untuk menceritakan hal itu kepada Ketua!" sahut Khian Liong.
"Kalau begitu segeralah ceritakan!" kata Kidarga tidak sabar.
"Begini, Ketua!" kata Khian Liong sambil membe-
narkan letak duduknya. "Aku memang sengaja tidak
datang ke sini selama dua tahun ini. Hal ini aku lakukan tidak lain untuk
menutupi mata Bongkap agar ti-
dak tahu mengenai persekutuanku dengan Perguruan
Topeng Hitam!" kata Khian Liong melanjutkan.
"Jadi kau sudah bertemu dengan Bongkap?" potong
Kidarga dengan wajah sungguh-sungguh.
"Begitulah!" sahut Khian Liong. Kemudian dia men-
ceritakan hasil penyelidikannya selama ini. Mulai dari pertemuannya dengan
Bongkap sampai pertemuannya
dengan Bong Mini.
"Bahkan aku telah mengetahui tempat Bongkap se-
karang!" tutur Khian Liong mengakhiri ceritanya.
Hening. Khian Liong meneguk air di gelas yang tersedia. Se-
dangkan Kidarga tampak tercenung.
"Apakah putri Bongkap tahu mengenai pasukan
yang dibantunya ketika berhadapan dengan Iblis Pulau Neraka?" tanya Kidarga.
"Aku rasa dia tidak sempat berpikir begitu. Dia
membantu karena tidak tega melihat Giwang yang ma-
ti-matian melawan sepuluh orang pasukan Iblis Pulau Neraka!" sahut Khian Liong
berpendapat. "Siapa nama gadis itu?" sela Giwang ingin tahu.
"Bong Mini!" pendek Khian Liong.
Kidarga dan Giwang tampak mengangguk-angguk
kembali. Hati keduanya puas mendengar cerita yang
dituturkan Khian Liong. Tinggal mengatur siasat ba-
gaimana caranya agar mereka dapat menangkap
Bongkap dan putrinya.
"Kalau kau sudah mengenal baik Bongkap dan pu-
trinya, aturlah siasat agar kita berhasil meringkus mereka!" kata Kidarga
setelah beberapa saat hening.
"Itu masalah yang mudah, Ketua. Tapi Ketua sendiri
harus ingat terhadap janji yang telah diberikan ke-
padaku!" jawab Khian Liong.
"Maksudmu?" Kidarga mengerutkan keningnya.
"Memberikan kedudukan tertinggi buatku jika ber-
hasil menangkap mereka berdua!" ujar Khian Liong
mengingatkan. "O, tentu. Setiap pekerjaan pasti ada upahnya. Begi-tu pula dengan perjuanganmu
pasti ada balasannya!"
kata Kidarga senang. Begitu pula dengan Khian Liong.
Kehidupan indah dan menyenangkan terbayang di pe-
lupuk matanya. Itulah Khian Liong. Sikapnya yang begitu ramah
dan penuh simpatik, ternyata hanya merupakan kedok
belaka. Karena di balik semua itu ternyata ia salah
seorang yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hi-
tam. Ucapannya yang manis untuk mengajak Bongkap
membebaskan rakyat negeri Manchuria hanya tipu
daya saja. Untung saja ketika dia mengajak Bongkap
pergi ke negeri Manchuria, Bongkap menolaknya kare-
na masih mencari Putri Bong Mini yang hilang. Kalau tidak, tentu di tengah
perjalanan menuju negeri Manchuria dia dikepung, ditangkap dan dipersembahkan
kepada kaisar negeri Manchuria yang telah lama mem-
burunya. *** 8 Siang itu udara terasa panas. Matahari yang berdiri tegak lurus di cakrawala
gencar memancarkan sinar-nya yang membakar.
Saat itu, seorang gadis berpakaian merah ketat de-
ngan selendang kuning tersampir di pundak kanannya
tampak melangkah tenang. Seolah tidak mempeduli-
kan terik matahari yang hendak memanggang tubuh-
nya. Gadis berpakaian merah ketat yang sedang berjalan
tenang itu tidak lain Putri Bong Mini. Ia baru saja sampai di Kampung Dukuh
setelah menempuh perjalanan
seharian dari Bukit Birnam. Sebenarnya bisa saja ia berjalan cepat agar bisa
sampai di Kampung Dukuh
dalam waktu setengah hari, tapi sengaja hal itu tidak dilakukan. Sebab tidak ada
sesuatu yang diburu. Dia kembali ke Kampung Dukuh hanya ingin mengetahui
kabar yang diceritakan Khian Liong kepada Bongkap.
Setelah sampai di Kampung Dukuh, Bong Mini
langsung masuk ke sebuah gubuk tempat tinggal
Bongkap dan pengikutnya. Namun sampai di dalam
hatinya kecewa. Di dalam rumah itu ia tidak menda-
patkan orang-orang yang dimaksud. Kecuali Ratih Purbasari yang ditemani Gagap
dan Ontohod, dua dari
empat orang pengikut pasukan Yang Seng yang telah
tunduk dan mengikuti perjuangan Bong Mini. Sedang-
kan yang seorang lagi adalah gadis yang mengalami
gangguan jiwa. Melihat kedatangan Bong Mini, Ratih Purbasari dan
dua orang mantan Perguruan Topeng Hitam itu lang-
sung berdiri dengan sikap hormat.
"Papa dan yang lainnya ke mana?" tanya Bong Mini.
"Paman baru saja keluar bersama empat orang pe-
ngikutnya!" sahut Ratih Purbasari.


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana?" tanya Bong Mini dengan kening berker-
nyit. "Katanya ke Pulau Neraka. Menyusulmu!"
"Hah"!" Bong Mini terbelalak kaget. Ia terkejut kare-na Bongkap terlalu
memaksakan diri untuk menindak
orang-orang Iblis Pulau Neraka. Padahal kesehatannya belum pulih benar. Maka
ketika mendengar Bongkap
menyusulnya, tubuhnya segera melesat ke luar dengan mengerahkan ilmu peringan
tubuh. Sehingga dalam
waktu sekejap, Bong Mini sudah lenyap di balik rimbu-nan pohon.
*** Di lain tempat, di Pulau Neraka, lima orang berkuda
sedang bergerak menuju sebuah bangunan yang cu-
kup besar, rumah yang dikelilingi oleh dinding yang amat tinggi dan kokoh. Sepi.
Sementara pepohonan
yang lebat dan tinggi mengepung rumah itu.
Lima orang yang menunggang kuda di Pulau Neraka
itu tidak lain, Bongkap, Ashiong, Sang Piao, bersama Geblek dan Gunala, dua dari
empat orang mantan
pengikut pasukan Yang Seng yang telah takluk dan turut berjuang bersama pasukan
Bong Mini. Kini, me-
reka datang ke Pulau Neraka untuk melakukan penye-
rangan bersama-sama Bongkap.
Setelah mencapai jarak kurang lebih sepuluh meter,
Bongkap mengangkat tangannya. Pertanda bahwa pe-
ngikutnya harus menghentikan langkah kuda.
Bongkap dan empat orang pengikutnya menghenti-
kan langkah kuda masing-masing. Mereka duduk te-
gak di punggung kuda. Sedangkan mata mereka terus
tertuju ke arah pintu gerbang rumah yang dikelilingi benteng kokoh itu. Tak
seorang pun yang terlihat di sekitar benteng atau di pintu gerbangnya.
Siut siut! Tiba-tiba dua buah jarum hitam berkelebat ke arah
mereka dan menembus tubuh dua ekor kuda yang di-
tunggangi Geblek dan Gunala. Dua ekor kuda yang
terkena jarum hitam beracun itu langsung roboh tak
berkutik lagi. Bongkap dan pengikutnya kaget melihat kematian
kuda yang ditunggangi Geblek dan Gunala. Kemudian
Bongkap mengangkat kepalanya, sehingga tampak o-
lehnya empat orang tinggi gagah berdiri di atas benteng dengan pedang di tangan
masing-masing. Siut siut siut!
Empat orang gagah yang berdiri di atas tembok ben-
teng itu tiba-tiba melepaskan jarum-jarum hitam beracunnya ke arah pasukan
Bongkap lewat tangan-tangan
mereka yang merentang lurus ke depan. Jarum-jarum
hitam beracun itu terus meluncur seperti titik-titik hujan yang mengancam tubuh
kelima penunggang kuda
itu. Namun dengan lincah mereka menghindari serbu-
an senjata rahasia itu. Dengan tangkas, mereka me-
lompat dari atas punggung kuda lalu bergulingan di
atas tanah sampai tubuh mereka lenyap di balik pepohonan.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba sesosok tubuh mungil dengan pakaian
merah ketat melesat ke arah benteng yang tinggi dan kokoh itu. Begitu cepat,
sehingga empat orang di atas tembok benteng itu tidak sempat berbuat apa-apa.
Bagai kilat, wanita mungil berbaju merah itu meng-
hajar keempat lelaki tadi dengan pedang yang selalu memancarkan sinar merah
berbentuk bunga teratai.
Sehingga dalam sekejap terdengar pekikan melengking yang susul-menyusul,
disertai ambruknya empat sosok tubuh dari atas benteng dengan tubuh bersimbah
darah. Setelah keempat orang itu ambruk, wanita berbaju
merah yang tidak lain Bong Mini segera melompat dan hinggap di atas tanah di
dekat dua ekor kuda yang ma-ti mengejang.
"Putriku!" tiba-tiba Bongkap keluar dari balik pepohonan dan menghampiri Bong
Mini. Begitu pula de-
ngan empat orang lainnya. Kemudian mereka sama-
sama berdiri tegak, memandang ke arah pintu gerbang rumah yang cukup besar itu.
"Hey, Iblis Penghuni Pulau Neraka! Keluar kau!" terdengar suara Bong Mini yang
lantang. "Kalian jangan hanya bisa bersembunyi di balik tembok!"
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu
bergema di sekitar tempat itu. Cukup lantang! Dan kalau di pulau itu ada rumah
selain rumah yang dihada-pi gadis itu, tentu penghuninya akan mendengar teriakan
Bong Mini yang demikian nyaring.
Krekkk...! Bukkk!
Pintu gerbang yang terbuat dari papan-papan kokoh
itu terbuka berderit. Disusul kemudian dengan mun-
culnya sepuluh orang bersenjata tombak dan pedang
dari dalam rumah besar itu. Mereka serentak berlom-
patan ke luar sambil memamerkan kepandaiannya da-
lam memainkan pedang dan tombak panjang. Sehing-
ga senjata mereka berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari yang demikian terik.
Dan dalam waktu yang cepat kesepuluh orang bersenjata itu telah mengepung ke-
enam orang tersebut.
"Hm...," terdengar suara seorang di antara mereka
yang bernama Jaim bergumam ketika melihat gadis
bertubuh mungil itu. "Rupanya kau belum mampus,
Tikus Kecil!" lanjut Jaim geram. Dia masih mengenal gadis berbaju merah yang
diserangnya lewat jarum hitam beracun ketika sampai di rumah Bongkap yang te-
lah menjadi reruntuhan waktu itu.
Mendengar ucapan seorang lelaki yang mengelili-
nginya, Bong Mini menjadi sadar, serangan gelap yang membuatnya pingsan waktu
itu dilakukan oleh lelaki
tadi lewat jarum-jarum hitam beracun.
"Dugaanmu memang meleset, Setan Buduk! Aku
datang ke sini tidak lain ingin menghabiskan seluruh Perkumpulan Iblis Pulau
Neraka, sebagaimana kalian
telah menghabiskan para korban kebiadaban kalian!"
geram Bong Mini. Matanya mulai berapi-api.
"Sombong sekali ucapanmu itu, Cecurut!" bentak
Jaim ketika telinganya merasa panas oleh kata-kata
gadis yang berdiri di hadapannya. Namun ia sendiri tidak berani bertindak
gegabah. Karena dia tahu bahwa gadis itu pasti orang yang telah membantai teman-
temannya ketika akan melakukan penyerangan ke Per-
guruan Topeng Hitam.
"Wah, ada tamu cantik rupanya. Kenapa tidak se-
gera masuk!" tiba-tiba terdengar suara dari pintu gerbang. Ketika mereka
menoleh, ternyata telah berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang
berjubah merah berjumbai-jumbai sebatas lutut. Lelaki itu berdiri tegak dengan
wajah berhias senyuman cerah ke arah
Bong Mini. Dialah Gonggo Gung. Dia keluar setelah
mendengar suara ribut antara anak buahnya dengan
seorang gadis. Semula Gonggo Gung marah ketika keluar dari ka-
marnya. Apalagi saat melihat anak buahnya yang ditugaskan menjaga pintu gerbang
tewas dengan tubuh
bermandi darah. Namun ketika melihat gadis cantik
bertubuh mungil di antara kepungan sepuluh anak
buahnya, sikapnya menjadi tenang. Malah dengan ke-
ramah-tamahan yang dibuat-buat ia menyambut keda-
tangan Bong Mini dengan mengulum senyum. Pikir-
nya, biar bagaimanapun, gadis itu lebih berharga di-bandingkan dengan nyawa
keempat anak buahnya
yang sudah tewas. Ia merasa yakin bahwa gadis itu
yang dimaksud oleh Jaim dan Danu. Gadis yang memi-
liki kepandaian luar biasa. Terlihat dari ciri-cirinya yang mirip dengan
penuturan kedua anak buahnya
itu. Ditambah lagi dengan keberanian gadis itu, hingga makin kuatlah dugaannya.
Walaupun ia sudah bersikap tenang dalam me-
nyambut Bong Mini, namun hatinya terkejut pula keti-ka matanya tertumbuk pada
seorang lelaki bermata sipit dengan jubah putih menutupi tangan kirinya yang
buntung. Dia kenal betul dengan lelaki setengah baya itu. Sebab dialah yang
langsung memimpin Pasukan
Perkumpulan Iblis Pulau Neraka ketika melakukan pe-
nyerangan dan perampokan ke rumah Bongkap.
"Punya nyali juga rupanya kau, sehingga mau ke-
luar dari sarangmu!" dengus Bongkap ketika melihat
Gonggo Gung berdiri di pintu gerbang. Dia pun sudah sejak tadi mengenali lelaki
itu. "Wah, umurmu masih panjang rupanya, Bongkap!"
ucap Gonggo Gung setengah mengejek. Keramah-ta-
mahan yang dibuat-buatnya tadi terhadap Bong Mini
berubah seketika. Pikirnya, kalau gadis itu sudah bersekutu dengan Bongkap,
pasti ia tidak akan dapat
membujuknya agar mau bersekutu dengan Perkumpu-
lan Iblis Pulau Neraka yang akan melancarkan sera-
ngan ke Perguruan Topeng Hitam.
"Para iblis lebih menyukai nyawa dan tubuhmu se-
bagai budaknya selama ini. Oleh karena itu aku da-
tang ke sini untuk mengirimkan nyawamu kepada ib-
lis-iblis yang selama ini kau sembah!" timpal Bongkap tidak kalah sengit.
Matanya liar dan tajam memandang Gonggo Gung yang perawakannya lebih tinggi
darinya. Mendengar ucapan itu, Gonggo Gung tertawa terba-
hak-bahak. Begitu keras, hingga menggema ke seki-
tarnya. "Terlalu sombong kau berbicara, Monyet Buntung!"
ejek Gonggo Gung di sela tawanya yang meledak-ledak.
"Aku memang pantas berlaku sombong pada orang
yang lebih berani menyerang dari belakang seperti
kau!" timpal Bongkap lagi.
"Setan congek! Kau mau cari mati rupanya. Serang
dan bunuh mereka!" Gonggo Gung yang merasa terhi-
na dengan ucapan Bongkap itu segera memerintahkan
kesepuluh anak buahnya yang sejak tadi sudah men-
gepung Bongkap, Bong Mini, dan empat orang pengi-
kutnya. Ketika mendapat perintah itu, kesepuluh anak buahnya segera bergerak
menyerang Bongkap, Bong
Mini, dan pengikutnya dengan pedang dan tombak
yang tergenggam di tangan masing-masing.
Trang trang! Serangan pedang dan tombak yang dilancarkan
orang-orang Iblis Pulau Neraka itu tertangkis oleh pedang-pedang lawannya. Malah
setelah menangkis, me-
reka dapat melakukan serangan balik ke arah para penyerang. Sehingga orang-orang
yang mengepung Bongkap dan pengikutnya menjadi berantakan
"Hiaaat!"
Bongkap melenting ke udara sambil kakinya me-
nendang muka salah satu pengeroyoknya. Begitu cepat dan keras! Sehingga orang
yang terkena tendangan
kakinya itu terjungkal ke belakang dan membentur sebuah batu besar
Dug! "Aaakh!"
Jeritan pendek dari mulut orang itu terdengar. Di-
susul dengan pecahnya kepala orang itu ketika mem-
bentur batu besar. Dalam waktu singkat tubuhnya tergeletak mengerikan!
Sementara itu, Bong Mini pun tampak lincah meng-
hadapi tiga orang Iblis Pulau Neraka yang menge-
royoknya dengan pedang dan tombak. Namun karena
ia telah berpengalaman menghadapi keroyokan, bah-
kan sering menghadapi keroyokan lebih dari lima o-
rang, ia tampak masih tenang menghadapinya. Bah-
kan dengan gerakan yang cepat dan tiba-tiba, dihu-
jamkan ujung pedangnya ke salah seorang pengero-
yoknya dengan gerakan menusuk.
Creb! Seorang lawan yang terkena tusukan pedangnya itu
langsung menggeliat dan roboh di tanah tanpa ampun
lagi. Dia mati dengan mata mendelik mengerikan.
Bersamaan dengan tewasnya musuh yang terkena
tusukan pedang Bong Mini, Sang Piao, Ashiong, Geblek dan Gunala telah pula
menyelesaikan lawan dengan
kematian yang mengerikan. Kini tinggal Bong Mini dan Bongkap yang masih
bertarung melawan dua orang
lawan masing-masing.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan teriakan pan-
jang. Disusul dengan gerakan tubuh yang berputar cepat seperti baling-baling
kapal. Itulah jurus 'Tanpa Bayangan' dan jurus 'Pedang Samber Nyawa' yang
terkenal hebat dan sadis. Sehingga Pedang Teratai Merah berputar kencang tanpa
memperlihatkan bentuknya.
Tanpa diketahui oleh mata lawan, tiba-tiba pedang itu merobek perut kedua
lawannya sekaligus.
Bret bret! Dua lawan yang terkena sabetan pedangnya yang
dahsyat itu langsung roboh tanpa mengeluarkan peki-
kan sedikit pun.
Di pihak lain, Bongkap yang pernah terkenal seba-
gai Singa Perang, telah pula menghabisi kedua lawannya. Sehingga lawan yang
sekarang masih ada tinggal Gonggo Gung sendiri, karena memang sejak tadi dia
hanya menyaksikan pertempuran itu dari arah pintu
gerbang. Takkk! Tongkat yang sudah dikeluarkan dari balik jubah
merahnya dihentakkan keras oleh Gonggo Gung. Mem-
buat batu besar yang terkena hentakan ujung tongkat itu langsung berantakan. Bayangkan! Bagaimana kalau tongkat itu mengenai kepala manusia"
Tentu tidak ada ampun lagi. Itulah jurus 'Tongkat Hitam Penyebar Racun'.
"Kalian memang orang-orang yang perlu diberi pela-
jaran!" geram Gonggo Gung dengan sorot mata yang
merah menyala. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah
loncatan ke depan sambil melintangkan tongkat hi-
tamnya di depan dada. Kemudian dengan gebrakan
menusuk, Gonggo Gung mengarahkan tongkatnya pa-
da tubuh Bongkap.
Tak! Jurus 'Tongkat Hitam Penyebar Racun' terhalang
oleh pedang Bong Mini yang dipakai untuk menangkis, memaksa Gonggo Gung cepat
menarik kembali tongkat
hitamnya. Karena pada saat beradu dengan pedang
Bong Mini tangannya terasa begitu panas dan perih.
"Biarkan aku yang menghadapi iblis jelek ini, Papa!"
seru Bong Mini dengan sikap gagah dan mata yang
memandang tajam pada lawannya.
Bongkap yang sejak berkumpul dengan Bong Mini
belum sempat melihat perkembangan kepandaian silat
putrinya, langsung menyetujui kehendak Bong Mini,
walaupun ia tetap waspada dan berjaga-jaga bila pu-


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

trinya nanti kewalahan menghadapi Ketua Perkumpu-
lan Iblis Pulau Neraka.
Gonggo Gung kembali menyerang, bukan pada
Bongkap tetapi pada Bong Mini dengan memutar tong-
katnya ke atas untuk menghantam kepala Bong Mini.
Wuttt! Serangan tongkat Gonggo Gung itu kandas dan
hanya menghantam udara kosong. Pada saat tongkat
hitam itu mengarah pada kepala lawannya, Bong Mini
segera menggabungkan ilmu peringan tubuh dengan
'Halimun Sakti'. Dia mengelak dengan cara menunduk, lalu langsung dilanjutkan
dengan gerakan melompat
ke atas dengan kecepatan seperti kilat. Membuat tu-
buhnya yang mungil itu raib dari pandangan orang-
orang yang ada di sekitar tempat itu, akibat ilmu 'Halimun Sakti' yang
digunakannya. Sebuah ilmu kesak-
tian yang membuat tubuhnya menghilang dari pan-
dangan, seolah-olah terhalang kabut hingga samar.
Gonggo Gung terkejut bukan main ketika matanya
tidak melihat tubuh lawan yang diserangnya. Dan be-
lum sempat ia mencari-cari ke mana perginya orang
yang diserang, tiba-tiba tubuh Bong Mini melayang turun kembali.
Melihat kehadiran musuhnya yang tiba-tiba itu,
Gonggo Gung kembali melancarkan serangan tongkat
hitamnya. Trakkk! Tongkat hitam yang tertangkis tangan Bong Mini itu
menimbulkan suara yang amat keras. Disusul kemu-
dian dengan tongkat hitam Gonggo Gung yang terpo-
tong dua. Sedangkan tubuh pemiliknya sendiri terpe-
lanting dengan wajah pucat melihat tangan kanan
Bong Mini yang meluncur deras ke dahinya.
"Hiyyy!"
Gonggo Gung terpaksa bergulingan di tanah. Pada
saat bergulingan itu tangannya mengambil sebuah
tombak yang kebetulan tergeletak di dekatnya. Dan ketika bangkit, tangan
kanannya sudah menggenggam
tombak yang panjangnya dua meter itu. Sedangkan
tangan kirinya yang sudah disalurkan ilmu 'Tenaga
Besi' dikepalkan kuat-kuat untuk menangkis sera-
ngan. Kehebatan ilmu 'Tenaga Besi' yang dikerahkan oleh
Gonggo Gung dapat menghalau serangan lawan dan
bisa tahan terhadap benturan keras, sebagaimana
yang dilakukan Bong Mini tadi ketika menangkis tongkat hitam dengan tangan
kirinya. "Hiyaaat!"
Gonggo Gung melengking tinggi dengan tubuh ber-
lari ke arah lawan yang berdiri di hadapannya. Se-
dangkan tombak yang digenggamnya bergerak cepat,
membuat ujung tombak di tangannya terlihat banyak.
Ujung tombak yang tampak banyak itu bergerak amat
dahsyat, menyambar-nyambar bagian-bagian tertentu
tubuh lawannya.
Wut wut wuttt! Angin yang diciptakan oleh tombak itu terasa seper-
ti bergulung-gulung di sekitar tempat itu. Rambut
Bong Mini dan orang-orang yang berada di tempat itu tampak menggelepar tertiup
angin yang ditimbulkan
oleh putaran tombak Gonggo Gung.
Menghadapi serangan seperti itu, Bong Mini pun
melakukan gerakan serangan yang sama. Dia meng-
ambil ranting kayu pohon dan mematahkannya seuku-
ran tombak yang digunakan lawannya. Kemudian rant-
ing pohon yang dijadikan tombak itu diputar demikian cepat sehingga seperti
berjumlah dua puluh lebih,
membentuk bayangan ujung tongkat yang amat meng-
getarkan dada. Seketika itu juga terjadilah pertandingan tombak yang sangat seru
dan aneh! Karena jurus serangan tombak yang dilakukan oleh keduanya itu
bergerak sama. Bongkap, Ashiong, Sang Piao, Geblek dan Gunala
kelihatan terkagum-kagum menyaksikan pertandingan
itu. Terutama kepada Bong Mini. Selain karena ilmu
peringan tubuh yang membuatnya dapat melesat de-
ngan kecepatan luar biasa setiap kali menggenjot kedua kakinya, juga karena
jurus tombak yang diguna-
kan oleh Bong Mini sama dengan jurus tombak lawan
tandingnya. "Hm..., putriku benar-benar telah memiliki kepan-
daian yang sangat tinggi!" gumam Bongkap dengan wa-
jah terkagum-kagum dan mata tak berkedip menyaksi-
kan kehebatan putrinya sendiri.
Gonggo Gung yang melihat gadis itu menggunakan
jurus tombak ciptaannya menjadi marah bukan main.
Selama ini, jurus tombak yang diciptakannya itu be-
lum ia turunkan kepada siapa pun. Sekarang ia meli-
hat seorang gadis cantik menggunakan jurus ilmu
tombaknya dengan kecepatan yang lebih tinggi lagi,
maka marahlah ia. Sehingga dengan cepat ia merubah
serangan tombaknya dengan cara membuat lingkaran
besar, menyambar-nyambar di atas kepala. Inilah yang disebut dengan jurus
'Tombak Hulahup'. Dan kehebatan jurus 'Tombak Hulahup' ini, bila ujung
tongkatnya yang sedang berputar itu mengenai kepala lawan, ma-ka tidak ada ampun
lagi! Tubuh lawan akan roboh
dengan kepala yang hancur berkeping-keping seperti
batu kerikil. Dengan tangan kanan yang terus memutarkan
tongkat hitamnya di atas kepala, Gonggo Gung mela-
kukan pukulan maut ke arah lawan lewat tangan kiri-
nya yang sudah dialiri ilmu 'Tenaga Besi'.
Trakkk! Trak tak takkk!
Tombak hitam yang digunakan Gonggo Gung dan
tongkat kayu yang dipegang Bong Mini beradu dengan
keras. Dalam sekejap mata, kedua senjata yang digu-
nakan mereka patah menjadi dua bagian. Disusul de-
ngan bertemunya dua lengan mereka.
Dep! Gonggo Gung yang menjadi Ketua Iblis Pulau Nera-
ka ini mengaduh kesakitan dan melemparkan tombak-
nya yang patah. Sedangkan tangan kanannya mengu-
rut-urut lengan kirinya. Hatinya heran, tangan kirinya yang selama ini ampuh,
dapat menahan senjata lawan
bagaimanapun kerasnya, kini berubah seperti bambu
yang bertemu besi. Tulang-belulangnya retak dan sakit bukan main. Tapi demi
menjaga nama baiknya, Gonggo Gung kembali berhadapan dengan Bong Mini. Ke-
dua matanya telah benar-benar merah membara. Per-
tanda tubuhnya telah sepenuhnya dirasuki nafsu iblis yang selama ini dipujanya.
"Bersiaplah sekarang, Tikus Kecil! Aku benar-benar
akan mengantar nyawamu ke neraka!" geram Gonggo
Gung. "Silakan kalau kau mampu!" tantang Bong Mini de-
ngan bibir tersenyum tipis.
Gonggo Gung tidak menanggapi ucapan lawannya.
Kecuali segera mencabut dua batang pedang yang se-
jak tadi terselip di pinggangnya dan tertutup oleh jubah merahnya yang panjang
berjumbai-jumbai.
Sreset! Sepasang pedang berukuran panjang telah tergeng-
gam di kedua tangannya. Kemudian tanpa memberi
kesempatan yang lebih panjang, tubuhnya segera me-
lesat menyerang Bong Mini lewat jurus 'Pedang Mem-
belah Langit'. "Hiyaaat!"
Trang! Trang! Sepasang pedang yang berkelebat cepat ke arahnya
segera disambut oleh Bong Mini dengan gerakan me-
nangkis serta menyerang Gonggo Gung menggunakan
Pedang Teratai Merah-nya.
Cuarrr! Cuarrr!
Cahaya merah berbentuk bunga terarai bergulung-
gulung cepat ketika Bong Mini melakukan gerakan me-
nangkis dan menyerang.
Bongkap dan pengikutnya yang lain kembali terka-
gum-kagum. Kali ini kekaguman mereka bukan pada
Bong Mini tetapi justru pada pedangnya yang dianggap ajaib dan sakti. Terbukti
dari setiap gerakan pedang yang selalu menimbulkan cahaya merah menyala dengan
bentuk bunga teratai.
Pertandingan pedang yang dilakukan Gonggo Gung
dan Bong Mini berlangsung seru. Gonggo Gung lewat
kedua pedangnya ternyata mampu membuat lawannya
tersudut kewalahan.
Trang! "Aaakh!"
Benturan dua pedang Gonggo Gung dengan pedang-
nya membuat tangan Bong Mini terasa pedas. Belum
lagi rasa nyeri di tangannya memupus, sebuah sera-
ngan berupa tendangan kaki ke dadanya menyusul,
membuat ia terhuyung jatuh ke belakang. Sedangkan
Pedang Teratai Merah terlepas dari genggamannya dan terpental ke udara.
Semula Gonggo Gung gembira melihat lawannya
terjatuh, ia akan segera menghabisi lawannya. Namun ketika melihat pedang Bong
Mini yang menukik deras
ke arahnya, Gonggo Gung segera melakukan tangkisan
dengan kedua pedangnya.
Trang! Trang! Pedang Teratai Merah terjatuh ke atas tanah dengan
keras. Namun pedang itu hanya tergeletak sebentar,
lalu kembali bergerak ke arah Gonggo Gung dengan
gerakan seperti hendak menyerang.
Melihat pedang yang bergerak secara ajaib itu, mata Gonggo Gung terbelalak bukan
main. Tapi dia segera
tersadar ketika pedang itu telah mendekat ke arahnya segera tangannya melakukan
tangkisan-tangkisan se-kuatnya.
Trang! Trang! Berulang-ulang benturan senjata yang berlainan
arah itu terjadi, namun begitu, Pedang Teratai Merah milik Bong Mini terus
melakukan serangan. Bahkan
pedang itu bergerak demikian cepat, membuat Gonggo
Gung kewalahan menghadapinya.
Sampai suatu saat....
Trang! Creb! Pedang Teratai Merah milik Bong Mini itu menancap
di dada Gonggo Gung. Kemudian pedang yang menan-
cap dalam itu bergerak-gerak sendiri, seolah-olah hendak merobek-robek dan
mengeluarkan isi dada lawan-
nya. Gonggo Gung yang sudah tersungkur di tanah,
mengerang-erang dengan tubuh menggelepar-gelepar
seperti ikan yang terdampar di pinggir sungai. Setelah itu, tubuh tinggi besar
itu pun tidak bergerak-gerak la-gi. Gonggo Gung tewas dengan mata dan mulut
terbu- ka lebar. Melihat Gonggo Gung tewas, Pedang Teratai Merah
mencabut diri dari perut lawan. Lalu bergerak meluncur ke arah Bong Mini yang
tampak memandang tak-
jub ke arahnya.
Setelah dekat dengan Bong Mini, pedang itu mem-
perlambat gerakannya. Lalu rebah dalam pelukan
Bong Mini. Bong Mini menyambut kedatangan Pedang Teratai
Merah itu dengan wajah gembira. Dipeluk dan dicium-
nya gagang pedang itu bertubi-tubi.
"Terima kasih, 'sahabat'ku. Terima kasih! Engkau
telah turut berjuang menegakkan kebenaran!" ucap
Bong Mini, bersama dua butir air mata yang menitik di kedua pipinya. Dia
menangis terharu. Pikirnya, pedang saja mau berbuat kebajikan dan tahu mana
perbuatan salah dan yang benar, kenapa manusia yang sudah di-
bekali akal pikiran dan perasaan justru berbuat seperti iblis yang selalu ingin
berbuat kejahatan di muka bu-mi"
Bongkap, Ashiong, Sang Piao, Geblek dan Gunala
yang sejak tadi terpaku melihat kesaktian pedang Bong Mini, segera melangkah
mendekati gadis mungil itu.
"Papa!" desah Bong Mini seolah-olah baru menya-
dari kalau di dekatnya ada lelaki setengah baya yang selama ini membimbingnya.
Kemudian dengan butiran
air mata yang masih melekat di kedua pipinya, ia langsung memburu Bongkap dan
merebahkan kepalanya
di dada Bongkap.
"Kau benar-benar putriku yang hebat!" puji Bong-
kap bergetar, terharu melihat perkembangan Bong Mi-
ni yang demikian cepat.
"Bukan aku, Pa. Tapi ini!" sahut Bong Mini sembari
mengangkat Pedang Teratai Merah yang masih digeng-
gamnya. Bongkap tersenyum sambil mengamati Pedang Te-
ratai Merah yang sejak tadi membuatnya terkagum-
kagum. "Bagaimana kau bisa memiliki pedang sakti ini?" ta-
nya Bongkap sambil mencoba memegang gagang pe-
dang itu. "Aku mendapatkannya dari Putri Teratai Merah!"
sahut Bong Mini, cepat.
"Putri Teratai Merah?" Bongkap mengerutkan ke-
ningnya. "Benar, Pa. Apakah Papa mengenalnya?" Bong Mini
balik bertanya.
"Tidak, Sayang. Mendengarnya pun Papa baru kali
ini!" sahut Bongkap.
"Dia seorang pendekar wanita yang sulit dicari tan-
dingannya saat ia masih hidup beberapa ratus tahun
yang lalu!" jawab Bong Mini menjelaskan.
"Ratusan tahun yang lalu?" tanya Bongkap terbela-
lak. "Ya, Papa!"
"Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengannya?" ta-
nya Bongkap lagi, keheranan.
"Aku sendiri tidak tahu. Sebab pertemuanku de-
ngan Putri Teratai Merah tanpa kurencanakan sebe-
lumnya. Saat itu, ketika aku melakukan tapa sampai


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari yang keempat puluh, tiba-tiba tubuhku seperti
melayang di udara. Sebelum sempat menyadari apa
yang terjadi, tiba-tiba aku sampai di Istana Putri, tempat kediaman Putri
Teratai Merah. Di situlah aku mendapatkan warisan pedang ini!" tutur Bong Mini
menceritakan dengan singkat mengenai Pedang Teratai Me-
rah yang didapatnya.
Bongkap mengangguk-angguk. Dan saat itu pula ia
mulai yakin bahwa putrinya sekarang ini benar-benar telah memiliki kepandaian
yang telah mengungguli kepandaiannya sendiri. Kalau dia hanya memiliki jurus-
jurus ilmu kungfu, maka putrinya, selain pandai main kungfu juga telah memiliki
ilmu kesaktian yang amat ampuh, termasuk Pedang Teratai Merah.
*** 9 Matahari telah berdiri sepenggalan. Sinarnya yang
kekuning-kuningan terasa menghangatkan tubuh.
Membuat seluruh makhluk di permukaan bumi ini
bersemangat di dalam menjalankan tugas rutinnya se-
hari-hari. Pagi itu, Bong Mini tampak duduk di Telaga Ungu
yang letaknya sekitar empat puluh kilo dari pesisir Selat Malaka. Dia duduk di
tempat yang terlindung oleh semak-semak dengan tangan memegang kail. Ketika
tadi ia melewati danau itu, matanya melihat banyak
ikan yang berkeliaran, terutama di tempat ia duduk.
Sehingga timbul keinginannya untuk memancing ikan
sebagai pengisi perutnya yang lapar. Pikirnya, mengisi perut dari hasil
memancing akan lebih terasa nikmat walaupun harus menunggu terlebih dahulu
sampai berjam-jam. Yang lebih menarik keinginannya justru
karena memancing menyimpan keindahan tersendiri.
Karena itu ketika pertama kali melihat banyak ikan di Telaga Ungu, cepat-cepat
ia mencari warung untuk
membeli kail. Sedangkan mata kailnya ia beli dari seseorang yang turut memancing
di Telaga Ungu.
Dengan tenang dan sabar, Bong Mini menunggu
umpannya digigit ikan. Namun sampai dua jam lebih
tak satu ikan pun yang menyambar umpannya. Pa-
dahal di sekitar tempat itu tidak ada lagi orang yang memancing. Tidak seperti
tempat lain yang agak jauh dari tempatnya duduk.
Karena sudah dua jam lebih belum ada ikan yang
memakan umpannya, hati Bong Mini yang tadinya sa-
bar berubah menjadi kesal.
Huh, ikan sialan! Apakah kalian tidak merasakan
lapar" Atau kalian masih pada tidur" Kalau memang
benar masih tidur berarti kalian pemalas. Tidak mengindahkan peringatan matahari
yang menyuruh kalian
bangun dan bekerja. Atau kalian pergi rekreasi sekeluarga, sebagai hiburan akhir
pekan" Bong Mini meng-umpat dalam hati panjang lebar dengan kesal. Tapi tidak
lama kemudian, bibirnya yang merah merekah ter-
senyum geli seperti menertawakan dirinya sendiri.
Heh, apa benar ada ikan yang tidur" Tanyanya bi-
ngung sendiri. Lalu ia termenung dengan bertopang
dagu di atas lututnya. Bukankah dia juga makhluk hidup yang membutuhkan makan,
tidur, dan istirahat
sebagaimana manusia" Dan, apakah benar ikan itu ju-
ga suka rekreasi bersama istri, anak, dan cucu-cucu-
nya" Membayangkan gambaran yang menggelitik ha-
tinya itu Bong Mini menjadi tertawa terkikik. Apalagi di sekitarnya tidak ada
orang lain, membuat ia semakin bebas tertawa.
Membayangkan keadaan hidup ikan itu, ternyata
membuat Bong Mini lupa terhadap perutnya yang la-
par. Malah ia semakin asyik duduk di sana sambil memegangi kail. Tak peduli
dengan terik matahari yang mulai menghujam di atas kepala.
Bersamaan dengan bergeraknya matahari di atas
kepala, saat itu pula kailnya mulai terasa bergerak.
Seperti ada seekor ikan yang menyentuh umpannya. Ia tersentak senang.
Perhatiannya pun tercurah sepenuhnya ke ujung kail.
Namun kegembiraannya itu tiba-tiba berubah men-
jadi rasa dongkol. Karena pada saat ia hendak mendapatkan ikan, perahu kecil
melintas di tempat ia me-
ngail. Kedatangan perahu itu tentu saja membuat air di sekitarnya bergoyang
bagai ombak kecil, sehingga ikan yang tadi hendak menyantap umpannya menjadi
kabur. Bong Mini mengangkat wajahnya dan menatap ke
arah orang yang mendayung perahu itu dengan marah.
"Apakah kamu tidak tahu kalau di sini ada orang
yang sedang memancing ikan?" ketus Bong Mini de-
ngan mata yang mendelik indah.
Penumpang perahu yang sudah berada beberapa
meter di hadapan Bong Mini segera bangkit berdiri. Namun demikian, mata Bong
Mini sedikit pun tak dapat
melihat wajah menumpang perahu kecil itu, karena
penumpang perahu itu mengenakan caping yang ter-
buat dari tikar sebagai pelindung wajah dari terik sinar matahari. Hanya
pakaiannya saja yang bisa dilihat
oleh Bong Mini, berwarna putih lembut dengan tangan
dan celana panjang yang agak melebar.
"Maaf, Nona. Aku tidak tahu kalau perahu ini meng-
ganggu keasyikanmu!" hatur penumpang perahu itu
dengan sikap sopan. Sedangkan dari bibirnya tampak
sekilas senyum yang amat lembut.
"Hm...! Kau minta maaf setelah ikan-ikan itu pergi
jauh"!" hardik Bong Mini lagi dengan kedongkolan
yang menjadi-jadi. "Kau tahu, umpanku baru saja di-
sentuh seekor ikan besar. Tapi begitu perahumu da-
tang, ikan itu segera kabur. Padahal sejak tadi perutku sudah lapar, hendak
menyantap ikan hasil pancingan-ku!" lanjut Bong Mini, tetap bernada sewot.
Wajahnya bersemu merah karena sejak berjam-jam terkena cahaya matahari.
"Sayang sekali!" gumam penumpang perahu kecil
itu yang juga menunjukkan sikap menyesalnya. "Kalau begitu biar aku mengganti
ikanmu yang hilang itu!"
Dalam keadaan masih berdiri di atas perahu kecil-
nya, pemuda itu segera memegang dayungnya dengan
tangan kanan. Kepalanya yang tertutup caping lebar
tampak menunduk. Menunjukkan bahwa lelaki itu se-
dang mengamati permukaan air telaga yang sudah ke-
lihatan tenang.
Setelah beberapa saat pemuda itu terpaku menga-
mati air telaga, tiba-tiba dayung yang dipegangnya diangkat lalu secepat kilat
digerakkan ke permukaan air.
Kemudian ia berjongkok dengan tangan kiri me-
nyentuh air telaga. Dan ketika tangan kirinya itu te-rangkat, terlihatlah seekor
ikan sebesar paha. Ikan itu mati karena terpukul dayung pemuda tadi.
"Terimalah, Nona. Sebagai pengganti ikan tangka-
panmu yang kabur itu!" kata lelaki itu sambil melempar ikan ke samping Bong
Mini. Melihat itu Bong Mini terbelalak. Ia merasa yakin
bahwa lelaki yang naik perahu kecil itu bukan lelaki sembarangan. Paling tidak
ia memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dianggap remeh. Terbukti dari
dayungnya yang begitu mudah membunuh seekor ikan
besar. Secara tidak langsung, lelaki itu memamerkan kepandaian di hadapannya.
"Aku ingin mendapatkan ikan lewat seni mengail.
Kalau hanya seperti yang kau lakukan, sudah sejak
tadi aku mendapatkannya!" kilah Bong Mini. Dan de-
ngan keadaan tubuh yang masih duduk tenang, Bong
Mini memperhatikan permukaan air telaga. Lewat per-
mukaan air yang tenang dan jernih itu, mata Bong
Mini dapat melihat dengan jelas beberapa ekor ikan
besar berenang-renang di dekatnya. Lalu dihujamkan-
nya tangkai kail ikan yang terbuat dari bambu. Kemudian tangkai kail itu segera
diangkat kembali. Di ujung kailnya, seekor ikan tengah menggelepar-gelepar.
Bong Mini meletakkan ikan buruannya itu di darat.
Kemudian tangkai kail itu dihujamkan kembali ke da-
lam air. Tidak lama kemudian ia mengangkat kembali
tangkai kailnya. Kini dua ekor ikan yang cukup gemuk tertancap di ujungnya.
"Ckckck..., bukan main Nona ini. Rupanya Anda
seorang gadis yang mempunyai kepandaian yang sa-
ngat tinggi!" puji pemuda yang mengendarai perahu
kecil, terkagum. "Maafkan aku kalau tadi mengganggu kail Anda yang sudah hendak
mendapatkan ikan!" lanjut lelaki itu dengan suara lembut dan sopan. Kemu-
dian ia kembali duduk dan perlahan mendayung pera-
hunya dengan tenang.
Bong Mini memperhatikan laju perahu itu sambil
berdiri sampai hilang dari pandangan matanya karena terhalang oleh semak-semak
yang rimbun. Kemudian
ia menghela napas ringan. Matanya beralih meman-
dang empat ekor ikan gemuk yang mati akibat tusukan ujung pancingnya dan pukulan
dayung lelaki tadi.
"Maafkan aku, sobat. Sebenarnya aku hendak me-
makan dagingmu dengan cara memancing. Tapi kare-
na lelaki tadi telah memamerkan kepandaian ilmunya
maka aku pun terpaksa melakukan ini!" ucap Bong
Mini sambil menatap keempat ikan yang berada di ta-
ngannya itu dengan wajah yang berbinar penuh canda.
Bong Mini membawa empat ekor ikan itu ke tepi te-
laga. Di sana ia membersihkan sisik ikan dengan ku-
kunya yang agak panjang dan meruncing. Sungguh
menakjubkan! Dalam sekejap sisik-sisik ikan itu telah bersih dari badannya.
Setelah sisik ikan itu dibersih-kan, ia pun menggores perut ikan dengan kuku
kecil- nya yang tumbuh di jari kelingking. Kemudian isi perut ikan itu dibuang dan
dicucinya dengan air telaga. Setelah ikan itu benar-benar bersih, ia pun segera
melumuri empat ekor ikan itu dengan bumbu yang sudah
disiapkan. Selanjutnya, keempat ikan itu pun dima-
sukkan ke tusukan bambu dan memanggangnya di
atas api yang membara.
"Hm..., sedapnya!" gumam Bong Mini ketika hidung-
nya yang mungil dan mancung mencium aroma yang
disebarkan ikan panggang itu. Untuk beberapa saat, hidungnya yang mungil dan
bangir itu berkembang
kempis sangat lucu.
Tidak begitu lama ikan itu berada di atas bara api, Bong Mini segera
mengangkatnya dan meletakkannya
di atas daun beberapa saat, agar pada waktu dimakan ikan itu tidak terlalu
panas. Setelah ikan panggang itu mulai menghangat, baru-
lah Bong Mini menyantapnya dengan penuh nikmat.
Rasa gurih dan manis yang ditebaskan oleh bumbu
ikan membuat ia semakin berselera menyantapnya.
"Alangkah gembiranya jika aku diminta membantu
untuk menghabiskan ikan panggang yang beraroma
sedap itu!" tiba-tiba terdengar suara lembut dari balik semak-semak.
Bong Mini yang sedang asyik menyantap ikan men-
jadi terkejut. Ia segera menghentikan makannya dan
menoleh ke arah suara tadi. Di sana matanya melihat lelaki yang mengenakan
caping tengah duduk berpeluk lutut, memperhatikan Bong Mini yang sedang memegang
seekor ikan panggang.
"Kamu sengaja tidak pergi rupanya," kata Bong Mini
dengan pandangan mata setengah curiga kepada lelaki yang bercaping itu. Dan ia
tahu kalau lelaki bercaping itu tidak lain orang yang di perahu kecil tadi.
"Maaf, Nona. Tadi aku memang sudah berniat hen-
dak pergi. Tapi ketika baru beberapa meter dari sini, hidungku mencium aroma
sedap dari ikan yang Nona
bakar, membuat saya membatalkan niat dan berbalik
haluan!" ucap lelaki itu mengemukakan alasan kenapa ia berada di tempat itu
lagi. "Hm...! Terus kamu mau apa setelah berada di si-
ni?" tanya Bong Mini dengan pandangan tajam meneli-
ti. Bibir pemuda itu tersenyum kecil.
"Aku hanya ingin mencium bau ikan sedap itu lebih
dekat lagi. Tapi kalau ditawari untuk turut menikmatinya, aku akan menerimanya
dengan senang hati!"
sahut pemuda itu dengan suara yang tetap ramah.
Bong Mini diam sejenak. Sesungguhnya ia sendiri
tidak mungkin dapat menghabiskan empat ekor ikan
panggang besar itu sekaligus. Terbukti, baru dua ekor saja yang disantap,
perutnya sudah terasa kenyang.
Melihat gerak-gerik pemuda itu tidak mencurigakan,
malah bersikap sopan kepadanya, maka Bong Mini
pun mengajak pemuda itu untuk makan sama-sama.
Mendapat tawaran yang tak disangka-sangka itu,
pemuda tadi melonjak girang. Malah berkali-kali tu-
buhnya membungkuk di hadapan Bong Mini sambil
mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Nona. Terima kasih.... Nona benar-
benar berhati baik!" puji pemuda itu dengan wajah
berseri. "Sudahlah. Langsung saja nikmati ikan panggang
itu. Bukankah kau pun ikut menangkapnya?" kata
Bong Mini seakan tidak peduli dengan ucapan terima
kasih pemuda itu.
Pemuda itu menurut. Lalu ia duduk di hadapan
Bong Mini. Sedangkan tangannya mengambil seekor
ikan panggang yang tergeletak di atas daun lalu me-
nyantapnya. Diam-diam ekor mata Bong Mini melirik pada pe-
muda yang sedang menyantap ikan bakar dengan la-
hap. Walau ia berkali-kali mencuri pandangan ke arah lelaki itu, matanya tetap
tak dapat menangkap wajah itu dengan jelas karena terhalang oleh capingnya yang
lebar. Selain itu tampaknya dia sengaja hendak me-nyembunyikan wajah. Terlihat
dari sikapnya yang sela-lu menunduk.
Ikan panggang di tangan Bong Mini hanya tinggal
tulang saja. Kini matanya jelalatan mencari air minum.
Padahal ia tahu kalau sejak tadi tidak membawa tem-
pat air minum. Tanpa disadari, tingkah Bong Mini tidak luput dari
perhatian lelaki di depannya. Sambil terus mengunyah ikan di tangannya, pemuda
itu menyodorkan botol minuman ke arah Bong Mini.
"Apa ini?" tanya Bong Mini dengan mata meneliti ke
arah minuman. "Pengganti air minum!"
"Aku tidak bisa meneguk minuman keras," kata
Bong Mini setelah mencium mulut botol yang menye-
barkan bau arak.
"Itu bukan arak. Hanya sebotol anggur yang manis
dan segar. Juga tidak memabukkan!" lelaki itu menjelaskan tentang minuman yang
dibawanya. Bong Mini menatap lelaki itu sekilas. Kemudian
tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia menung-
gingkan mulut botol yang digenggamnya. Sehingga air anggur itu turun ke mulutnya
tanpa menyentuh permukaan botol. Hal itu ia lakukan untuk menghindari


Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bau amis mulutnya agar tidak menempel pada mulut
botol. Lelaki yang kini sudah menghabiskan dua ekor ikan
panggang tampak tersenyum melihat cara Bong Mini
minum. Dia tahu maksud Bong Mini meneguk botol
minuman seperti itu. Sehingga timbul rasa kagum di
hatinya. "Anggur yang kau bawa ini memang enak!" ucap
Bong Mini sembari memberikan botol minuman itu ke-
pada lelaki tadi.
Lelaki yang mengenakan caping itu segera menyam-
but botol yang diberikan Bong Mini. Kemudian ia pun segera menuangkan anggur itu
langsung dari botolnya.
"Ah..., hari ini aku benar-benar lega. Bisa bertemu wanita cantik sekaligus
menikmati hasil masakannya!"
ucap lelaki itu sambil meletakkan botol anggurnya.
"Cantik?" tanya Bong Mini dengan wajah ragu-ragu
memandang wajah lelaki yang tersembunyi di balik capingnya.
"Ya. Bukan saja cantik tetapi juga lincah dan me-
narik!" sambung lelaki itu menambahkan pujiannya
pada perempuan berbaju merah yang baru dilihatnya
itu. "Hm..., baru kali ini aku mendapat pujian langsung dari seorang lelaki!"
kata Bong Mini tanpa memperlihatkan perubahan sikapnya.
"Aku mengatakan yang sebenarnya kalau kau me-
mang seorang gadis yang menarik!"
"Apanya yang menarik?" pancing Bong Mini. Senga-
ja pertanyaan itu ia ajukan. Ia ingin mengetahui jawaban lelaki itu. Karena dari
jawaban itu ia akan dapat menilai pribadi lelaki di hadapannya.
"Entahlah, sukar untuk menentukan yang pasti.
Tapi ada beberapa daya tarik yang kau miliki berda-
sarkan penilaianku sendiri. Matamu, hidungmu, bibir-mu yang selalu basah dan
memerah. Dan yang lebih
penting adalah kesederhanaan serta kelembutan hati-
mu!" tukas lelaki bercaping itu, memberikan penilaian.
Sebagai gadis yang baru menginjak remaja, tentu
saja Bong Mini senang mendapat pujian itu. Selama ini ia belum pernah
mendapatkan pujian langsung dari
seorang lelaki kecuali papanya sendiri.
Memang lelaki yang ada di hadapannya kali ini ber-
beda dengan lelaki lain yang seringkali mempunyai
niat buruk. Yang selalu memandangnya dengan soro-
tan mata penuh nafsu birahi, bercampur kata-kata
rayuan yang mengandung kekurangajaran. Pemuda
yang bercaping itu jelas berbeda dengan mereka. Ia
mengatakan apa adanya, polos dan sama sekali tidak
memberikan kesan kurang ajar. Sehingga ketika men-
dengar pujian pemuda yang baru dilihatnya itu, Bong Mini langsung tersenyum
senang. Setelah memberikan pujian, lelaki itu mendadak
berdiri. "Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak mengambil
sesuatu!" katanya, dan tanpa menunggu sahutan dari
Bong Mini lelaki itu segera melesat pergi.
Bong Mini memandang bayangannya dengan terhe-
ran-heran. Ia masih bertanya-tanya dalam hati me-
ngenai lelaki misterius yang tak pernah memperli-
hatkan wajahnya sehingga menimbulkan rasa penasa-
ran di hati Bong Mini.
Sebenarnya Bong Mini ingin sekali mengetahui na-
manya dan melihat wajahnya. Tapi niatnya itu segera ia kubur. Menurutnya, kurang
baik bila ia yang me-nanyakannya terlebih dahulu. Karena secara tidak
langsung akan menurunkan harga dirinya sebagai wa-
nita. Mungkin hal itu dianggap wajar bagi wanita lain, tapi bagi dirinya sendiri
hal itu sangat tabu. Biarlah lelaki itu yang lebih dulu memperkenalkan diri,
pikir Bong Mini.
Saat tercenung seperti itu, tiba-tiba muncul lelaki tadi membawa buah nangka
yang sudah masak.
"Untuk cuci mulut kita yang bau amis!" ucap lelaki
itu sebelum Bong Mini mengajukan pertanyaan. Tanpa
menunggu lagi, lelaki tadi segera berlutut dan membelah buah nangka itu dengan
kedua tangannya yang
sudah disalurkan tenaga dalam. Dalam sekejap mata
buah nangka yang kuning masak itu terbuka. Memper-
lihatkan isinya yang kuning ranum, mengundang se-
lera. "Ayo!" ajak lelaki itu sambil memberikan sebelah
nangka kepada Bong Mini. Sedangkan sebelah lagi un-
tuk dirinya sendiri.
"Kau pandai pula membaca seleraku!" kata Bong
Mini saat menggigit sebutir isi nangka dan mengu-
nyahnya penuh nikmat. Nangka memang salah satu
buah yang menjadi kegemarannya.
"Cuma kebetulan!" lelaki itu merendah sambil terus
menyantap daging nangka.
"Dari mana kau dapatkan ini?"
"Dari sini juga. Di sebelah timur telaga ini!"
Keduanya terdiam. Sama-sama asyik menikmati
buah nangka. Sehingga dalam waktu sekejap buah
nangka yang besar itu telah habis disantap mereka
berdua. Kemudian keduanya memandang belahan
buah nangka yang hanya tinggal kulit luarnya itu.
Mendadak keduanya saling berpandangan dibarengi
tawa renyah bersama-sama.
"Heh, kenapa kau tertawa?" tanya lelaki itu heran.
"Kamu sendiri kenapa tertawa?" balik Bong Mini.
"Aku cuma heran dengan perutku sendiri. Tadi wak-
tu menyantap dua ekor ikan, perutku sudah terasa
kenyang. Tapi begitu dapat buah nangka ini dengan
cepat kita menghabiskannya!" sahut lelaki itu.
"Wah, kalau begitu sama. Aku juga berpikir begitu!"
celetuk Bong Mini seraya melepaskan senyum.
"Kalau begitu kita punya perasaan dan selera yang
sama!" seloroh lelaki itu.
"Maksudmu?" tanya Bong Mini. Ditatapnya wajah
lelaki itu sungguh-sungguh.
"Kita sudah menangkap ikan sama-sama. Menikma-
tinya bersama pula, termasuk memakan buah nangka.
Sehingga memberi kesan kalau kita sudah saling ber-
kenalan cukup lama," tutur lelaki itu. Membuat Bong Mini lagi-lagi terkejut.
Sebab pikiran itu pun sedang bergeliat di benaknya. Jadi benar apa yang
dikatakan oleh pemuda itu kalau mereka berdua punya selera
dan perasaan yang sama.
Bong Mini tersenyum sambil memandang tubuh le-
laki itu dengan mata berpijar.
"Namaku Bong Mini!" ucap Bong Mini menyebutkan
namanya tanpa ragu lagi. "Kau sendiri siapa" Dan kenapa selalu bersembunyi di
balik capingmu yang lebar
itu?" lanjutnya.
"Apakah kau ingin mengetahui rupaku?"
"Sepantasnya memang begitu. Tak baik kan, kalau
kita bicara berhadapan tanpa saling menatap muka?"
sahut Bong Mini dengan senyum tersembul.
Sekilas bibir lelaki itu tersenyum. Kemudian kedua
tangannya bergerak menuju caping yang selama ini
menutupi kepala dan wajahnya. Ketika caping itu telah turun dari kepala dan
bersandar di punggungnya,
Bong Mini menjadi tertegun. Mulutnya terkunci de-
ngan kedua mata terbelalak!
Berhasilkah perjuangan Khian Liong, salah seorang
sekutu Perguruan Topeng Hitam yang akan membujuk
Bong Mini untuk bersekutu dengan Iblis Pulau Neraka, setelah mengetahui Gonggo
Gung, pemimpinnya, tewas
di tangan Bong Mini" Dan siapakah pemuda yang ada
di hadapan Bong Mini" Bagaimana rupa pemuda itu
sehingga Bong Mini terbelalak saat pemuda itu mem-
perlihatkan wajahnya"
Untuk mengetahuinya, ikutilah serial Putri Bong
Mini selanjutnya dalam episode: 'Darah Para Tumbal'.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** 3 *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** *** 9 SELESAI Scan/Edit: Clickers
Ratu Perut Bumi 2 Gento Guyon 4 Bayar Nyawa Singa Gurun 2
^