Pencarian

Hilangnya Seorang Pendekar 2

Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Bagian 2


tai Persatuan Ular Hitam yang bertempur di halaman
rumah sudah banyak yang mati oleh babatan pedang
lawan. Sementara itu, di ruangan dalam pun hanya tiga
sampai lima orang yang masih bertempur. Sedangkan
yang lain sudah tergeletak bermandi darah. Dan mere-ka yang mati kebanyakan dari
Partai Persatuan Ular
Hitam. Dalam suasana pertempuran yang sepi itu, bebera-
pa orang bertopeng hitam masuk ke dalam dan mem-
buru lima penari cantik tadi yang kini tengah menggigil ketakutan di sudut
ruangan. Sedangkan kedua tangan
mereka menyilang menutupi dua buah bukit yang
hanya tertutup beha.
Melihat orang-orang bertopeng mendekat, kelima
perempuan yang tadi menari itu mundur beberapa
langkah dengan mata menyipit ngeri. Tapi dengan
tangkas orang-orang bertopeng memburu. Kelima pe-
rempuan itu menjadi tidak berdaya ketika leher mere-ka terkena totokan. Dalam
keadaan lemah, orang-
orang bertopeng itu segera menggendong mereka dan
membawa lari meninggalkan ruangan. Sedangkan
orang-orang bertopeng lain menyebar ke kamar-kamar
untuk melakukan tindakan yang sama.
"Papa, lihat!" pekik Bong Mini ketika melihat sege-
rombolan orang-orang bertopeng berlari dalam kegelapan dengan membawa perempuan
di pundaknya ma-
sing-masing. "Pasti di antara perempuan itu ada tiga orang da-
yang kita," lanjut Bong Mini.
"Ya. Ayo kita kejar mereka!"
Bongkap dan putrinya segera melompat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh. Sehingga gerakan
mereka sedikit pun tidak menimbulkan suara. Gera-
kan keduanya begitu cepat, hanya menampakkan
bayangan yang berkelebat. Kemudian bayangan bapak
dan anak atau Sepasang Pendekar dari Selatan terus
menembus ke arah pepohonan hutan yang lebat, di
mana orang-orang bertopeng tadi melarikan beberapa
wanita. Walaupun mereka sudah mencapai tempat yang
agak jauh untuk mencari orang-orang bertopeng, tapi Sepasang Pendekar dari
Selatan itu tak mendapatkan
para buruan yang dicari. Mereka kehilangan jejak karena tersapu kegelapan malam.
Juga karena orang-
orang bertopeng itu menggunakan ilmu peringan tu-
buh yang cukup sempurna dalam melarikan mang-
sanya. Dengan lesu dan menyesal, Bongkap dan Bong Mini
melangkah meninggalkan hutan yang pekat itu untuk
kembali ke markas Partai Persatuan Ular Hitam.
*** Di markas Partai Persatuan Ular Hitam, pertempu-
ran sudah surut. Pasukan, baik dari Partai Persatuan Ular Hitam maupun dari
Perguruan Topeng Hitam telah banyak yang mati dengan tubuh berlumur darah.
Hanya kedua pemimpin mereka yang masih alot. Ber-
tempur dengan mengerahkan kepandaian tarung mas-
ing-masing. "Hiaaat, mampuslah kau!" bentak Yang Seng. Tu-
buhnya melayang dengan cepat ke arah lawan, disertai acungan pedangnya.
Melihat lawan bergerak demikian cepat, pemimpin
pasukan bertopeng segera mengelak sambil membalas
dengan totokan tangan kiri menuju ke pergelangan
tangan Yang Seng yang memegang pedang. Tapi de-
ngan cepat pula Yang Seng menarik kembali pedang-
nya dan melanjutkan serangan secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihannya.
Ilmu permainan pedang
yang hampir dikuasai sepenuhnya berkelebat begitu
cepat kian kemari, menyambar-nyambar tubuh lawan.
Karena cepatnya, pedang Yang Seng yang berkelebat
itu hampir tak terjangkau oleh pandangan manusia biasa. Seolah-olah hanya
tangannya saja yang bergerak.
Melihat ketangkasan lawan, pemimpin pasukan ber-
topeng itu tidak ingin memandang rendah lawannya.
Walaupun ia sendiri dengan mudah dapat menghindari
setiap serangan lawan.
Wuttt! Plak! Plak!
"Aduh!"
Yang Seng terlempar ke samping, lalu jatuh bergu-
lingan di tanah. Pundaknya terasa remuk terkena tamparan tangan lawannya. Jadi,
ketika dia menyerang
dari kiri, mendadak lawannya sudah mencengkeram
rambutnya yang agak panjang lantas menyentakkan
sedemikian rupa sehingga tusukan pedangnya menye-
leweng. Tubuhnya menjadi miring. Sebelum ia sempat
memperbaiki posisi tubuh, pundaknya telah terkena
tamparan yang membuat tubuhnya terguling.
Dengan cepat ia bangun kembali untuk melakukan
serangan. Tapi belum sempat kakinya berpijak dengan
kokoh, pedang tipis yang memancarkan sinar merah
kembali mengancam.
Singngng...! Singngng...! Siuttt...!
Yang Seng terpaksa mengerahkan seluruh ilmu pe-
ringan tubuhnya untuk mengelak dengan berloncatan
ke sana-sini. Kemudian gerakan itu dipercepat kembali ketika melihat musuhnya
terus menerjang tanpa mem-berinya kesempatan sedikit pun untuk melakukan per-
lawanan. Pertandingan kali ini memang merupakan pertandi-
ngan yang hebat luar biasa. Keduanya kali ini merasakan perlawanan yang menguras
seluruh tenaga dan
ilmu masing-masing.
"Hiyyy, mampus kau!" tubuh pemimpin pasukan
bertopeng itu cepat melayang ke arah Yang Seng seper-ti seekor elang menyambar
mangsa. Deg! Deg! Dua totokan tangan pemimpin pasukan bertopeng
mendarat di leher dan punggung Yang Seng. Seketika
itu juga tubuhnya terkulai lemas. Sedangkan pedang
yang digenggamnya terlepas ke tanah. Serangan yang
dilancarkan oleh pemimpin pasukan bertopeng itu
memang merupakan serangan menotok untuk meng-
hentikan peredaran darahnya.
Tubuh Yang Seng jatuh telentang tanpa daya. Ha-
nya kedua matanya saja yang berkedip-kedip. Malam
ini kematian benar-benar telah siap menjemput, pikirnya. Oleh karena itu ketika
lawannya datang mendekat dengan pedang di tangannya, Yang Seng pasrah. Ia
sudah tidak dapat melakukan apa pun untuk meng-
hindar dari mata pedang pemimpin pasukan bertopeng
yang bisa saja mencincang tubuhnya.
Di lain pihak, pemimpin pasukan bertopeng tidak
ingin mempercepat kematian lawannya. Ia menyadari
kehebatan dan ketangguhan lawan yang bisa diandal-
kan untuk membantu rencana-rencana Perguruan To-
peng Hitam. Oleh karena itu ketika mendekat, ia sege-ra berkata kepada lawannya.
"Karena aku telah melihat kepandaian dan ketang-
guhanmu, maka aku memberikan dua pilihan kepada-
mu; hidup atau mati. Jika kamu masih menginginkan
hidup, aku akan membebaskan totokan itu asal kau
bersedia menjadi pengikut Perguruan Topeng Hitam
yang dipimpin oleh Kidarga dan Nyi Genit. Tapi kalau tidak, malam ini juga
pedangku ini akan mencincang-cincang tubuhmu!" tuturnya memberikan pilihan ke-
pada Yang Seng.
Mendapat kesempatan itu, girang bukan main hati
Yang Seng. Pikirnya, walaupun ia belum mengetahui
secara persis tentang kegiatan Perguruan Topeng Hi-
tam, ia yakin kegiatan itu akan menguntungkan diri-
nya. Sekalipun kegiatan itu bersifat buruk. Bukankah ia sendiri selama ini
melakukan tindakan perampokan dan kejahatan lainnya" Maka ketika mendapat
pilihan itu, ia segera menyahut untuk memilih yang pertama.
"Aku bersedia menjadi pengikut Perguruan Topeng
Hitam!" sahut Yang Seng lemah karena masih dipenga-
ruhi oleh totokan yang dilancarkan lawan.
Mendengar jawaban itu, pemimpin pasukan berto-
peng mengembangkan senyumnya. Lalu dia pun ber-
jongkok di depan tubuh Yang Seng yang masih terba-
ring di tanah. "Telungkupkan badanmu!" perintahnya.
Yang Seng mencoba menggerakkan tubuhnya. Na-
mun sia-sia karena tubuhnya terlalu lemah, tanpa kekuatan untuk bergerak sama
sekali. Akhirnya pemim-
pin pasukan bertopeng itu turut membantu menelung-
kupkan badannya. Kemudian ia pun membebaskan
pengaruh totokan yang menghentikan jalan darah
Yang Seng dengan cara merapatkan kedua telapak
tangannya di punggung Yang Seng disertai penyaluran hawa murni.
Setelah beberapa saat kedua telapak tangan itu me-
lekat di punggungnya, Yang Seng merasakan sekujur
tubuhnya dingin. Lalu perlahan tubuhnya menjadi se-
gar. Tanpa ia sadari, tubuhnya yang tadi lemah tiada daya, kembali dapat
digerakkan seperti semula.
Yang Seng girang bukan main merasakan tubuhnya
segar kembali. Dengan wajah gembira, ia bersujud di hadapan pemimpin pasukan
bertopeng "Terima kasih atas pertolonganmu!"
Lelaki bertopeng di hadapannya tersenyum angkuh
seraya berdiri.
"Siapa namamu?" tanyanya pada Yang Seng.
"Namaku Yang Seng!" sahut Yang Seng sambil ber-
diri. "Nah, Yang Seng. Sekarang ikutlah kau ke Pergu-
ruan Topeng Hitam. Akan kuperkenalkan kau pada
pemimpin kami!" ajak pemimpin pasukan orang berto-
peng. Lalu tubuhnya segera melesat pergi meninggal-
kan markas Partai Persatuan Ular Hitam yang porak-
poranda. Diikuti oleh Yang Seng. Mereka melayang cepat di udara bagai dua burung
malam yang menembus
kegelapan. Bersamaan dengan hilangnya kedua tubuh lelaki
itu, muncul Sepasang Pendekar dari Selatan dari balik kegelapan. Mereka berdiri
di muka pintu gerbang. Tentu saja mereka adalah Bongkap dan Bong Mini yang
baru sampai di markas Yang Seng atau Partai Persa-
tuan Ular Hitam.
"Kita terlambat, Papa!" ucap Bong Mini ketika ma-
tanya tak melihat lagi orang-orang yang bertempur.
"Ya. Tapi dari mayat-mayat yang berserakan ini kita dapat melihat siapa yang
kalah," sahut Bongkap dengan mata yang terus meneliti ke arah mayat-mayat
yang bergelimpangan.
"Orang-orang Persatuan Ular Hitam telah dikalah-
kan oleh orang-orang bertopeng itu," ungkap Bongkap setelah lama meneliti mayat-
mayat itu satu persatu.
"Bagaimana Papa bisa memastikan itu?" tanya Bong
Mini, agak heran.
"Dari mayat-mayat yang kuperiksa, tak kulihat tu-
buh Yang Seng atau pemimpin pasukan bertopeng itu!"
sahut Bongkap. "Mungkin salah satu di antara mereka melarikan di-
ri, Papa." Bong Mini memberikan pendapat lain.
"Mungkin juga. Tapi bisa pula Yang Seng yang ka-
lah, lalu diajak berkomplot dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam."
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Kalau perkiraan Papa itu benar, berarti Perguruan
Topeng Hitam akan semakin kuat dan merajalela," ka-
ta Bong Mini dengan suara yang mengandung ke-
khawatiran. "Pendapatmu benar. Dan kita harus cepat-cepat
mencegahnya sebelum korban bertambah di pihak rak-
yat jelata!" ucap Bongkap sama khawatirnya.
"Tapi dengan jumlah kita yang hanya beberapa
orang tak mungkin dapat mengalahkan mereka!" kilah
Bong Mini merasa yakin kalau untuk sekarang ini me-
reka tidak akan mampu mengalahkan orang-orang
Perguruan Topeng Hitam. Apalagi pemimpinnya.
Bongkap mengangguk perlahan, membenarkan pen-
dapat putrinya. Sedangkan sampai saat ini mereka belum mendapatkan para pendekar
yang mau bergabung
untuk menentang kebiadaban orang-orang Perguruan
Topeng Hitam. Malah sebaliknya, banyak pendekar aliran putih yang tidak mau
menanggung resiko akhirnya berkomplot dengan Perguruan Topeng Hitam.
"Kita harus terus berusaha menghubungi para pen-
dekar yang mau bergabung dengan kita," kata Bong-
kap akhirnya. "Apa bisa kita mendapatkan orang-orang yang kita
harapkan itu" Sudah lama kita berusaha mencari, tapi sampai sekarang kita belum
menemukan juga," keluh
Bong Mini pesimis.
"Selama ini kita tidak sungguh-sungguh mencari
mereka, Putriku. Karena setiap perjalanan kita selalu terhalang oleh orang-orang
Perguruan Topeng Hitam
atau orang-orang Ular Hitam."
Bong Mini terdiam. Hatinya mengakui bahwa sela-
ma ini mereka memang belum sepenuhnya mencari
para pendekar. Sebab setiap kali hendak melaksana-
kan tujuan itu selalu bentrok dengan orang-orang Ular Hitam atau Perguruan
Topeng Hitam. Setelah meneliti keadaan sekeliling markas Partai
Persatuan Ular Hitam yang sudah berantakan, Bong-
kap dan Bong Mini segera keluar melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini,
perjalanan mereka untuk menca-ri ketiga dayangnya dibatalkan. Karena mereka
yakin tak akan mampu berhadapan dengan orang-orang bertopeng yang jumlahnya tak
terbilang. Karena itu mere-ka berbalik arah menuju Desa Padomorang, di mana
sahabat baru Bongkap, Prabu Jalatunda tinggal.
*** Sementara itu, di lain tempat, empat orang keper-
cayaan Bongkap dan lima anak buah Prabu Jalatunda
yang dipercaya untuk mengawal kereta barang tengah
sibuk pula dengan puluhan orang-orang bertopeng
yang menghadang untuk mengadakan perampokan.
Ashiong, Achen, Sang Piao dan A Ing, berusaha
mengerahkan semua jurus-jurusnya untuk menja-


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuhkan para penyerang.
Trang! Trang! Trang!
Benturan senjata kedua belah pihak menimbulkan
suara yang sangat nyaring. Sehingga pijar-pijar api jelas terlihat dalam
kegelapan malam itu.
"Hiaaat..., mampus!"
"Eit, nggak kena!" elak Sang Piao dengan membung-
kukkan badannya sambil melakukan serangan bala-
san. Bret! Pedang Sang Piao yang diarahkan ke kaki lawan te-
pat mengenai sasaran. Dalam sekejap mata kaki itu
mengatung-ngatung hendak putus.
Lelaki bertopeng yang terkena babatan pedang Sang
Piao itu hilang keseimbangannya dan roboh. Pada ke-
sempatan itu Sang Piao menjejakkan kakinya ke dada
lawan hingga muntah darah. Lawannya mengerang-
ngerang sebentar, lalu mati dengan lidah menjulur keluar. Sedangkan kedua
matanya melotot mengerikan.
Semua itu terlihat jelas oleh Sang Piao karena ia sempat menyambar topeng hitam
yang dikenakan lawan-
nya. Ia ingin mengetahui wajah orang bertopeng itu.
Tapi sebelum ia meneliti lebih jauh lagi, sebuah serangan mendadak melesat ke
arahnya. Sret! Bahu Sang Piao terkena goresan ujung pedang la-
wan. "Bangsat!" teriak Sang Piao melihat darah keluar
dari bahunya. Lalu ia membalas serangan lawan de-
ngan menggunakan jurus 'Pedang Samber Nyawa'. Pe-
dangnya diputar-putar dengan kencang bagai baling-
baling kapal. Lalu diarahkan kepada lawannya.
Siuttt! Dengan kecepatan yang sulit dijangkau pandangan,
pedang yang dilempar Sang Piao menembus dada la-
wannya. Blep! Lawannya jatuh menggeliat-geliat di tanah, lalu am-
bruk tak berkutik lagi.
Dengan penuh rasa puas, Sang Piao mencabut
kembali pedangnya yang menembus perut lawan. Ke-
mudian tubuhnya melenting ke dalam kancah pertem-
puran teman-temannya yang mati-matian memperta-
hankan nyawa. Sementara itu Ashiong bersalto menghindari sera-
ngan lawan yang begitu gencar. Kemudian dia berdiri lagi dengan mengerahkan ilmu
tenaga dalamnya.
"Hiaaat...!"
Bug! Bug! Bug! Dua tendangan kakinya yang dahsyat karena dialiri
ilmu tenaga dalam itu membentur dada dua lawannya
hingga terpental jatuh disertai cairan merah yang ter-sembur dari mulut mereka.
Sedangkan kedua ta-
ngannya berhasil mencekal kedua kepala lawan lain
lalu mengadukannya, hingga kedua batok kepalanya
itu pecah dengan otak berhamburan.
Pertempuran antara pengawal kereta barang dengan
perampok bertopeng tak berlangsung lama. Empat di
antara lima anak buah Prabu Jalatunda mati tertikam pedang. Sedangkan di pihak
lawan beberapa orang
menerima ajal amat mengerikan. Ada yang kepalanya
pecah, ada yang perutnya robek dengan isi perut ter-burai keluar dan masih
banyak lagi yang mengalami
kematian yang mengerikan.
Empat orang perampok bertopeng yang masih hidup
segera mengambil langkah seribu untuk menyela-
matkan diri dari hujaman pedang lawan yang sangat
dahsyat. Mereka merasa tidak mampu lagi untuk ber-
tempur, apalagi untuk melawan empat anak buah
Bongkap. "Ayo, lanjutkan perjalanan pulang kita!" ajak Ashi-
ong. Dengan gerakan sigap ia melompat ke punggung
kuda dan menarik tali kekangnya.
Seperti halnya setiap peperangan, serakan mayat
selalu menjadi saksi bisu atas ketamakan manusia dalam hidup. Anyir darah,
lalat-lalat, burung-burung
pemakan bangkai tetap ingin mewarnai peristiwa yang terlewat dalam catatan
kebuasan manusia terhadap
yang lain. *** 5 Bukit Setan merupakan satu bukit yang amat ang-
ker. Pepohonan besar tumbuh lebat mengapit setiap
jalan serta jurang-jurang yang ada di sekitarnya. Membuat Bukit Setan menyerupai
hutan belantara.
Apabila temaram merambah, suasana di sekitar bu-
kit itu menjadi sepi dan gelap pekat. Cahaya purnama pun tidak sanggup menembus
karena terhalang oleh
lebatnya pepohonan. Karena kegelapan yang meng-
hampar bagai bayangan segerombol makhluk raksasa,
tidak ada orang yang berani melewati jalan di bukit itu.
Bahkan waktu siang pun hanya beberapa kendaraan
berkuda saja yang melintas. Selebihnya hanya kelen-
gangan dan kesunyian yang mencekam jalan itu.
Di sebelah selatan bukit itu terdapat sebuah goa be-
sar yang cukup luas sehingga bisa menampung ratu-
san orang. Di dalam goa itu banyak tulang-belulang
manusia berserakan. Biasanya serakan kerangka ma-
nusia itu berawal dari orang-orang yang tersesat. Mereka masuk untuk istirahat
beberapa hari di dalam
goa. Namun pada malam harinya, orang-orang itu di-
cabik-cabik oleh binatang buas yang ada di sekitar
tempat itu. Kebetulan goa itu adalah sarang berbagai macam binatang liar.
Goa Setan yang dulu terkenal angker, saat itu ber-
ubah menjadi ramai. Puluhan tokoh sakti banyak yang datang ke sana dan tinggal
menetap di Goa Setan. Kebanyakan orang-orang yang tinggal di situ merupakan
tokoh golongan hitam yang datang dari berbagai daerah. Mereka bersatu untuk
membentuk sebuah pergu-
ruan yang diberi nama Perguruan Topeng Hitam.
Untuk menyesuaikan dengan nama perguruannya,
maka seluruh anggotanya tidak diperkenankan mema-
kai pakaian yang berwarna lain. Semuanya harus ber-
pakaian hitam-hitam. Begitu pula bila keluar rumah, mereka tidak diperbolehkan
menampakkan wajah, kecuali pada waktu siang hari. Bila hendak melakukan
aksinya, walaupun siang harus mengenakan kedok
yang terbuat dari lapisan kain hitam. Hanya pada bagian mata saja yang diberi
lubang agar dapat melihat.
Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh pasangan
suami istri bernama Kidarga dan Nyi Genit. Mereka sebenarnya berasal dari Desa
Larangan. Tapi karena suatu peristiwa yang menyakitkan, keduanya pergi me-
ninggalkan Desa Larangan dan bersembunyi di Goa
Setan. Di sana keduanya melakukan tapa selama sera-
tus hari tanpa makan dan minum, bahkan tidak berge-
rak sama sekali. Hingga badan mereka kurus kering,
persis manusia tengkorak.
Selesai bertapa selama seratus hari, Kidarga dan
Nyi Genit langsung membentuk satu perguruan besar
yang diberi nama Perguruan Topeng Hitam, sesuai pe-
san seseorang yang datang dari alam gaib.
Pagi itu, Kidarga dan Nyi Genit sedang berada di dalam kamar. Keduanya sama-sama
terdiam. Seolah-olah
ada sesuatu yang sedang mereka pikirkan.
Kidarga menghela napas. Ia bangkit dari ranjang.
Rambutnya yang panjang, kotor dan memutih dibiar-
kannya tergerai bebas, menutupi sebagian wajahnya
yang hitam gersang. Sedangkan tubuhnya yang tinggal tulang berbalut kulit,
dibiarkan terbuka tanpa pakaian. Hanya bagian bawahnya saja yang mengenakan ce-
lana pangsi warna hitam.
"Ke mana orang-orang itu pergi"!" tanya Kidarga
dengan suara yang agak serak. Sedangkan wajahnya
menampakkan kekesalan.
"Mungkin mereka mendapat rintangan!" sahut Nyi
Genit yang tetap duduk di sisi ranjang sambil menyisir rambutnya yang setengah
beruban dan kumal itu.
Keadaan tubuhnya pun tak beda dengan Kidarga, hi-
tam dan kurus. Ia hanya mengenakan celana pangsi
serta stagen sebagai penutup dadanya sampai sebatas pusar.
"Tiga orang yang kusuruh untuk mencari perem-
puan muda belum datang, sekarang enam orang yang
kusuruh untuk menyusulnya pun lenyap tiada kabar
berita!" lanjut lelaki yang berusia kurang lebih enam puluh tahun itu dengan
nada kesal. Tiga orang yang dimaksud Kidarga ini tidak lain
orang yang berperut gendut bersama dua orang berwa-
jah hitam yang bertarung melawan Bong Mini. Kemu-
dian ketiga orang yang mencegat Bong Mini di tengah perjalanan itu berhasil
dikalahkan, hingga lari tung-
gang-langgang. Sedang keenam lelaki yang disuruh
menyusul mereka tidak lain orang yang mengikuti Pu-
tri Bong Mini ketika baru keluar dari warung makan di Kota Girik. Keenam lelaki
itu dipimpin oleh seorang berpakaian putih dan rapi, yang semuanya dapat
dikalahkan oleh sabetan-sabetan pedang Bong Mini. Hing-
ga akhirnya keenam lelaki itu tak berkutik tanpa nya-wa. "Mungkin mereka
melarikan diri dari perguruan kita karena merasa tidak betah," lagi-lagi Nyi
Genit berkata seperti menyabarkan.
"Mana mungkin, Nyi. Mereka itu adalah orang-orang
patuh yang selalu menurut terhadap perintah kita. La-gi pula mereka sudah
merasakan kenikmatan dunia
yang ada di dalam perguruan kita!" sahut Kidarga,
membantah perkiraan istrinya.
Keduanya kembali terdiam. Mereka bermain dengan
pikiran masing-masing.
Setelah beberapa saat suasana hening, Kidarga me-
langkah menuju sudut kamar yang terdapat sebuah
batu besar. Kemudian tubuhnya membungkuk seperti
mencari-cari sesuatu di balik batu besar itu. Tak berapa lama ia kembali berdiri
tegak sambil memegang dua botol berukuran sedang. Satu botol yang digenggamnya
diberikan kepada Nyi Genit, istrinya.
"Ramuan obatku sudah habis, Nyi!" ucap Kidarga
saat memperhatikan isi botol yang tinggal sepertiganya.
"Ramuanku juga, Ki!" ucap Nyi Genit pula sambil
memperhatikan isi botolnya sendiri. "Paling ramuan ini hanya bisa diminum dua
sampai tiga kali!" lanjut Nyi Genit. Lalu ramuan obat itu segera diteguknya
dengan kedua mata yang terpejam. Seolah-olah merasakan
kenikmatan yang ditimbulkan oleh ramuannya itu.
Apa yang dilakukan Nyi Genit, dilakukan pula oleh
Kidarga. Ketika mulut botol itu menjauh dari bibirnya, terlihatlah warna merah
seperti darah segar menempel di sana.
Di saat keduanya sedang diliputi oleh keresahan, ti-ba-tiba terdengar suara
seorang murid memanggil dari luar kamar.
"Guru! Guru!"
Kidarga segera melangkah menuju pintu kamar lalu
membukanya. "Ada apa?" tanya Kidarga. Sepasang mata cekung-
nya yang merah menatap muridnya dengan tajam.
"Maaf, Guru! Saya ingin memberitahukan bahwa ti-
ga murid yang diutus keluar dua hari yang lalu telah kembali!" lapor muridnya
itu memberitahukan. Sedangkan tubuhnya terbungkuk-bungkuk sebagai tan-
da hormat. "Suruh mereka tunggu!" ujar Kidarga.
"Baik, Guru!" sahut muridnya. Lalu ia pun segera
meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Kidarga kemba-
li masuk ke dalam untuk mengambil baju kokonya
yang berwarna hitam dan memakainya.
"Kita temui mereka, Nyai!" ajak Kidarga pada istri-
nya yang juga tengah mengenakan baju.
"Baik, Ki!" sahut Nyi Genit seraya meraih tongkat
berkepala ular naga. Begitu pula dengan Kidarga. Lalu keduanya beriringan menuju
ruang depan. Di ruang depan, kedua suami istri itu langsung me-
mandang tajam pada ketiga anak buahnya. Tiba-tiba
saja mata mereka terbelalak kaget ketika menyaksikan anak buahnya yang berperut
gendut. "Ada apa dengan dia?" tanya Kidarga sambil terus
memandang si gendut yang masih terkulai lemas aki-
bat totokan Bong Mini.
"Ampun, Guru. Kami mengalami kegagalan!" ucap
seorang dari mereka sambil bersujud hormat.
"Maksudmu?" tanya Kidarga dengan matanya yang
mencorong. "Ketika kami hendak membawa seorang gadis mu-
ngil untuk Tuanku, tiba-tiba gadis itu mengadakan
perlawanan. Ternyata dia bukan gadis biasa, boleh dikata seorang pendekar
wanita," cerita anak buahnya
tadi, melaporkan pengalaman mereka ketika berhada-
pan dengan Bong Mini.
"Terus?" desak Kidarga.
"Terpaksa kami bertiga bertempur untuk menakluk-
kan gadis itu. Tapi rupanya dia mempunyai kepan-
daian yang sangat tinggi, hingga pada satu kesempa-
tan ia berhasil menotok jalan darah si gendut!"
"Setelah si gendut terkulai, kalian melarikan diri, begitu?" tanya Nyi Genit.
"Benar, Guru. Dia terlalu pandai!" sahut anak
buahnya itu. Mendengar jawaban muridnya seperti itu, tongkat
berkepala ular naga yang sejak tadi digenggamnya kini terangkat. Lalu ujung
tongkat itu dihentakkan ke dada muridnya yang melapor. Dalam sekejap darah
mengucur dari mulutnya, akibat hentakan tongkat Nyi Genit yang demikian keras.
"Aaakh...!" pekiknya tertahan. Beberapa saat kemu-
dian tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa daya.
Melihat kejadian itu, tubuh temannya yang masih
segar segera mengkeret. Dia merasa yakin kalau na-
sibnya akan sama dengan temannya tadi.
"Kalian ternyata hanya menang tampang! Sedang-
kan jiwa kalian jiwa pecundang!" setelah berkata begitu, ujung tongkat Nyi Genit
kembali bergerak ke dada muridnya yang mengerut ketakutan. Kali ini sentu-
hannya terlihat amat pelan. Namun akibat begitu he-
bat. Murid yang tersentuh ujung tongkat itu langsung jatuh lemas seperti orang
yang terkuras habis tenaganya.
Melihat muridnya jatuh lemas, Nyi Genit tertawa


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cekikikan. Mirip suara kuntilanak yang tengah meng-
goda orang. "Hi hi hi..., kalian berdua harus menyusul kematian temanmu itu. Tapi sebelum
kurenggut nyawamu, aku
akan lebih dulu mengisap darahmu. Lumayan, untuk
melanggengkan kesaktianku!" seringai Nyi Genit sam-
bil mendekati kedua tubuh yang masih terdiam lemah.
"Jangan, Guru! Jangan lakukan itu! Kasihanilah
saya!" rengek seorang muridnya. Tapi Nyi Genit sendiri sudah kebal dengan
rengekan-rengekan semacam itu.
Tanpa peduli, jari-jari Nyi Genit segera mencengkeram leher seorang anak buahnya
hingga lidahnya menjulur.
Kemudian lidah anak buahnya yang keluar itu lang-
sung dikulum dengan mulutnya yang sudah peot itu.
Lelaki yang bibirnya dicium dengan dahsyat itu
hanya dapat merintih dengan dua matanya mendelik
karena menahan sakit. Kemudian dari mulutnya itu
keluar darah segar. Karena lewat ciuman itu, Nyi Genit telah menggigit bibir dan
lidah anak buahnya itu hingga pecah-pecah. Lewat bibir dan lidah yang pecah-
pecah itu, Nyi Genit mengisap darahnya dengan penuh nafsu. Belum puas
mendapatkan darah dari lidah dan
bibir anak buahnya itu, Nyi Genit mengalihkan ci-
umannya pada leher.
Seorang pengikut Perguruan Topeng Hitam yang di-
isap darahnya itu meronta-ronta seperti seekor ayam yang disembelih. Matanya
melotot memandang ke arah
teman-temannya seperti meminta tolong. Lalu tubuh-
nya kelihatan berkelojotan ketika Nyi Genit yang be-
rumur enam puluh tahun itu mengisap darahnya lewat
lehernya. Urat-urat besar di lehernya ditembus oleh gi-gi runcing Nyi Genit.
Melihat nasib temannya, lelaki berperut gendut
yang tubuhnya masih bersandar lemas menjadi terbe-
lalak penuh kengerian. Dan ia langsung mengira bah-
wa nanti ia pun akan mendapat siksaan yang sama
dari pemimpinnya. Oleh karena itu, ia memejamkan
kedua matanya kuat-kuat, tak tahan menyaksikan
pemandangan yang mengerikan di depan hidungnya.
Kini, murid Perguruan Topeng Hitam yang darahnya
diisap itu terlihat tak berdaya lagi. Matanya yang tadi melotot, berubah menjadi
meredup tanpa sinar. Wajahnya makin pucat. Lalu tubuh yang lemas itu perlahan-
lahan meregang dari pelukan Nyi Genit dan am-
bruk ke tanah. Sedangkan Nyi Genit sendiri tampak
tersenyum-senyum puas karena telah dapat menikmati
darah anak buahnya. Walaupun darah yang diisapnya
hanya dapat melanggengkan kesaktiannya.
"Hi hi hi..., sekarang giliranmu, Gendut!" kata Nyi Genit seraya menghampiri
lelaki gendut yang masih
memejamkan kedua matanya karena ngeri.
Tubuh si gendut tidak bergeming. Kedua matanya
pun tidak berani dibuka. Dia sudah memasrahkan di-
rinya terhadap segala sesuatu yang akan terjadi.
Demikianlah, untuk yang kedua kalinya, Nyi Genit
melakukan perbuatan keji itu, mengisap darah mang-
sanya yang sudah tidak berdaya. Itu dilakukan pada
anak buahnya yang tidak becus dan bernyali kecil.
Oleh karena itu, bagi anak buahnya yang berpikir panjang, lebih baik mati di
tangan musuh ketimbang ha-
rus kembali ke markas perguruan yang pada akhirnya
akan mati juga dengan cara yang lebih mengerikan.
Setelah puas mengisap darah kedua anak buahnya,
Nyi Genit segera melangkah ke dalam dengan wajah
berseri serta bibir tersenyum.
Sementara itu, Kidarga yang menyaksikan perbua-
tan istrinya, turut tersenyum-senyum, memandangi
ketiga mayat anak buahnya. Sedangkan hatinya sen-
diri iri. Ingin menikmati darah sebanyak yang diisap istrinya. Tapi ia sendiri
tidak bisa berbuat apa-apa. Karena darah perawan yang dibutuhkan tidak ada. Oleh
karena itu, dia hanya bisa diam mendongkol.
"Lemparkan mayat-mayat itu ke jurang!" perintah
Kidarga kepada anak buahnya yang ada di situ.
Tiga orang anak buahnya segera bergerak dan me-
narik mayat temannya keluar goa. Ketika sampai di
luar goa, mereka membopongnya menuju jurang yang
tak jauh dari situ.
Beberapa menit setelah ketiga mayat itu dibawa ke
jurang Bukit Setan, tiba-tiba muncul sebelas orang
bertopeng dengan membawa sepuluh wanita dan seo-
rang laki-laki bermata sipit. Mereka tidak lain orang-orang Perguruan Topeng
Hitam yang semalam menye-
rang markas Partai Persatuan Ular Hitam di bawah
pimpinan Yang Seng. Adapun sepuluh wanita yang
mereka bawa itu merupakan hasil dari penyerangan
semalam. Sedangkan lelaki bermata sipit itu tidak lain pemimpin Partai Persatuan
Ular Hitam yang berhasil
dikalahkan pemimpin pasukan orang bertopeng.
Setelah mereka sampai di markasnya, barulah me-
reka membuka topeng yang selama dalam aksinya me-
nyembunyikan wajah mereka. Kini terlihatlah wajah
asli mereka. Wajah-wajah hitam pekat, kumal dengan
sorot mata yang memancar tajam menakutkan. Se-
hingga memberi gambaran bahwa mereka adalah
orang-orang bengis. Terutama pemimpin pasukan yang
mempunyai wajah hitam pekat dengan rambut kumal
panjang yang dibiarkan tergerai sebatas bahu. Sepa-
sang matanya yang menjorok ke dalam memberikan
kesan yang amat menyeramkan bagi siapa saja yang
melihatnya. Kemudian, setelah membuka topeng penu-
tup wajahnya, kakinya terus melangkah ke dalam un-
tuk menemui pemimpinnya, Kidarga
"Saya menghadap, Guru!" ucap pimpinan pasukan
itu seraya membungkuk hormat.
Kidarga yang baru saja duduk di kursi kebesa-
rannya segera bangkit seraya menatap anak buahnya
yang menghadap dengan pandangan mata tajam. Se-
dangkan tangan kanannya tak lepas memegang tong-
kat sakti berkepala ular naga.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Kidarga
dingin. Namun kedua matanya tetap mencorong ke
arah anak buahnya yang tengah berdiri menghormat.
"Beres, Guru. Malah hasilnya melebihi apa yang
Guru perintahkan kepada kami!"
"Maksudmu?" Kidarga maju dua langkah mende-
kati. "Rumah yang kami rampok itu ternyata sebuah
markas perguruan yang bernama Partai Persatuan
Ular Hitam. Dan di markas itu kami melakukan per-
tempuran-pertempuran sengit. Tapi akhirnya, kami
dapat mengalahkan mereka. Bahkan pemimpin yang
bernama Yang Seng menyatakan tunduk dan bersedia
menjadi pengikut Perguruan Topeng Hitam!" lapor pe-
mimpin pasukan, menceritakan pengalamannya.
Kidarga tertawa terbahak-bahak mendengar penu-
turan pengikutnya yang ditugaskan merampok. Ta-
ngannya menepuk-nepuk pundak anak buahnya seba-
gai tanda kagum.
"Kau memang hebat. Tidak sia-sia aku mengangkat-
mu sebagai pemimpin pasukan!" puji Kidarga sambil
terus tertawa. "Terima kasih, Guru!" ucapnya. Bibirnya memperli-
hatkan senyum bangga karena dipuji.
"Sekarang, aku akan melihat tampang Ketua Partai
Persatuan Ular Hitam yang berhasil kamu kalahkan
itu!" "Baik, Guru. Saya akan mengantarnya!" katanya la-
gi, seraya membuntuti langkah Kidarga.
Sampai di luar goa, Kidarga meneliti orang-orang
yang ada di depannya. Lalu pandangannya tertuju pa-
da sepuluh wanita yang duduk ketakutan. Apalagi ke-
tika ia melangkah mendekat.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar hebat, Giwang. Baru
kali ini aku melihat perempuan-perempuan cantik se-
perti ini. Benar-benar mengundang gairah semangat-
ku!" Kidarga kembali tertawa terbahak. Lalu panda-
ngannya beralih pada Yang Seng.
"Inikah Ketua Partai Persatuan Ular Hitam yang
kamu maksudkan itu?" tanyanya kepada pemimpin
pasukan yang bernama Giwang.
"Benar, Guru. Dia mempunyai kepandaian silat
yang dapat diandalkan untuk membantu cita-cita Per-
guruan Topeng Hitam!" sahut Giwang, menjelaskan
tentang kepandaian silat yang dimiliki Yang Seng.
"Ya, ya. Aku telah membaca kepandaiannya dari si-
nar matanya!" kata Kidarga. Ditatapnya mata Yang
Seng dengan tajam, tepat pada manik-maniknya.
"Kau bersedia mengabdi dan mematuhi segala pe-
rintah dan peraturanku?" tanya Kidarga dengan suara berat dan serak.
"Peraturan apa pun yang ada di perguruan ini, saya
bersedia menerima dan melakukannya, Guru!" sahut
Yang Seng dengan hormat.
Kidarga kembali tertawa terbahak. Bukan saja gem-
bira pada jawaban Yang Seng yang spontan, tetapi juga gembira karena Yang Seng
langsung memanggilnya
dengan sebutan guru.
"Nah, sekarang, masuklah kalian ke dalam dan
amankan perempuan-perempuan itu ke kamarku!" pe-
rintah Kidarga kepada anak buahnya.
Mendapat perintah itu, serentak anak buahnya ma-
suk ke dalam dengan membawa ke sepuluh wanita
menuju kamar khusus.
"Giwang!" panggil Kidarga ketika Giwang hendak
masuk ke dalam.
Giwang menghentikan langkah, lalu berbalik ke
arah Kidarga. "Besok pagi carilah wanita muda untukku!" perin-
tah Kidarga. "Bukankah Guru telah memerintahkan si gendut
dan dua orang temannya serta enam orang yang me-
nyusul mereka?" tanya Giwang.
"Memang aku telah menyuruh muridku yang lain.
Tapi si gendut dan dua orang temannya telah mati di tangan Nyi Genit. Sedangkan
enam orang lainnya entah pergi ke mana. Mungkin mereka pun sudah pada
mampus!" kilah Kidarga dengan suara yang amat ge-
ram. "Baiklah, Guru. Kalau begitu besok saya akan men-
carinya!" kata Giwang menyetujui. Setelah itu, keduanya melangkah masuk ke dalam
goa. *** 6 Dengan dikalahkannya Partai Persatuan Ular Hitam
dan bergabungnya Yang Seng bersama beberapa anak
buahnya pada Perguruan Topeng Hitam, membuat
orang-orang Perguruan Topeng Hitam bertambah se-
mena-mena. Setiap hari orang-orang dari perguruan
itu berkeliaran ke kampung-kampung. Di sana mereka
merampas harta penduduk, terutama anak-anak mu-
da. Penduduk yang tadinya tak pernah kenal minuman
keras atau berjudi, kini sudah mulai dibuai ayunan
kenikmatannya. Bagi mereka yang tetap bertahan, ti-
dak mau mengikuti jejak Perguruan Topeng Hitam,
orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak segan-
segan melakukan pembunuhan di tempat. Membuat
semua orang ngeri melihatnya.
Selain merampas harta penduduk dan menyebar-
kan segala macam perbuatan maksiat, orang-orang
Perguruan Topeng Hitam pun melakukan penculikan
terhadap kaum wanita. Bukan saja yang masih terbi-
lang perawan, wanita yang sudah bersuami pun mere-
ka culik. Malah tidak segan-segan mereka memperkosa kaum istri di hadapan
suaminya. Kalau suami itu
membangkang, tak mau melihat istrinya yang sedang
diperkosa, maka orang-orang Perguruan Topeng Hitam
akan melakukan penganiayaan terhadapnya. Mau ti-
dak mau sang Suami menyaksikan bagaimana istrinya
menderita, melayani nafsu setan beberapa lelaki dari Perguruan Topeng Hitam
dengan hati teriris tanpa
daya. Begitulah sepak-terjang orang-orang Perguruan To-
peng Hitam. Kebejatan moral yang menguasai diri
orang-orang Perguruan Topeng Hitam, disebarkan pa-
da kalangan penduduk, terutama kepada para rema-
janya. Ini membuat Yang Seng semakin senang berga-
bung dengan mereka. Karena memang itu yang sebe-
narnya ia inginkan.
Keresahan akibat sepak-terjang orang-orang Pergu-
ruan Topeng Hitam tidak saja dirasakan oleh masyarakat kelas bawah yang tidak
berdaya, tetapi juga terasa oleh orang-orang perguruan yang beraliran putih.
Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab selain jumlah mereka sangat
banyak, ada pula orang-orang
dari aliran putih yang masuk ke Perguruan Topeng Hitam karena tergiur oleh
kenikmatan semu. Berjudi,
mabuk, dan perempuan.
Apa yang dirasakan oleh rakyat dan tokoh-tokoh
aliran putih, juga dirasakan oleh Bongkap dan Prabu Jalatunda. Kini mereka
berdua sedang bercakap-cakap, ditemani oleh Bong Mini dan Ningrum, istri Prabu
Jalatunda. Mereka memperbincangkan sepak-terjang
orang-orang Perguruan Topeng Hitam
"Apa yang harus kita perbuat untuk menghentikan
sepak-terjang orang-orang Perguruan Topeng Hitam,
Bongkap?" tanya Prabu Jalatunda dengan sikap penuh
persahabatan. Mereka duduk melingkar menghadap
meja makan yang tersedia bermacam buah-buahan,
sebagai makanan selingan di saat mereka beristirahat.
Bongkap yang mendapat julukan Singa Perang ter-
diam beberapa saat. Keningnya berkerut karena berpikir untuk mencari jalan
terbaik yang harus mereka lakukan untuk menghentikan kebrutalan orang-orang
Perguruan Topeng Hitam.
"Kalau kita membiarkan sepak-terjang mereka terla-
lu lama, khawatir seluruh kampung di negeri ini menjadi tempat maksiat," tambah
Prabu Jalatunda lagi
dengan wajah yang menampakkan kemurungan.


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku pun berpikir begitu, Prabu," sahut Bongkap
dengan suara lemah tapi tetap mengandung wibawa.
"Untuk menumpas kejahatan mereka, kita harus ber-
pikir masak-masak. Mereka bukan orang-orang sem-
barangan. Terutama gurunya," lanjut Bongkap penuh
pertimbangan. "Ya, dua guru mereka merupakan tokoh sakti bera-
liran hitam yang tidak bisa dilawan oleh orang berilmu tanggung," balas Prabu
Jalatunda. "Itulah kesesatan yang diyakini!" sahut Bongkap.
"Maksudmu?" tanya Prabu Jalatunda.
"Sebuah ilmu sesat yang kalau kita yakini akan
menjadikan kekuatan yang luar biasa," jelas Bongkap.
Prabu Jalatunda mengangguk-angguk mengerti.
"Itu baru kesesatan yang diyakini, lalu bagaimana
kalau kebenaran yang diyakini, sulit dibayangkan,"
ucap Prabu Jalatunda seperti berkata pada diri sendiri.
"Tapi sayangnya, manusia cenderung meyakini ke-
sesatan ketimbang kebenaran. Karena persyaratan un-
tuk mendapatkan ilmu semacam itu sesuai dengan
keinginan-keinginan nafsunya. Berbeda dengan ilmu
putih, ilmu kebenaran. Mereka justru harus menge-
kang nafsu liarnya dan mengganti dengan keinginan
yang menjurus pada perbuatan-perbuatan baik. Jadi
mereka harus bersih jiwa raga," timpal Bongkap yang sudah mempelajari berbagai
macam ilmu walau tanpa
pendalaman yang cukup.
Prabu Jalatunda diam-diam mengagumi isi pikiran
Bongkap. Sungguh suatu keuntungan aku bisa berke-
nalan dengan orang bijak seperti Bongkap, pikirnya.
Beberapa saat suasana hening.
Bongkap dan Prabu Jalatunda masing-masing ber-
pikir mengenai cara untuk mengikis habis orang-orang
Perguruan Topeng Hitam. Itu harus benar-benar dilaksanakan. Selain untuk
menyelamatkan orang banyak,
juga untuk menyelamatkan tiga orang dayangnya dan
perempuan-perempuan yang berada dalam cengkera-
man Perguruan Topeng Hitam.
Bongkap sungguh tidak dapat membayangkan ba-
gaimana nasib ketiga dayang dan perempuan-perem-
puan yang diculik oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Tentu mereka sangat
menderita fisik dan mental menghadapi kebuasan mereka.
Dalam keheningan suasana di kamar tengah itu, di-
am-diam Ningrum, istri Prabu Jalatunda mengajak
Bong Mini meninggalkan ruangan menuju kamarnya.
Biarlah masalah orang-orang Perguruan Topeng Hitam
diselesaikan oleh orang-orang lelaki, pikirnya.
Sebenarnya Bong Mini masih ingin duduk berlama-
lama di situ, mendengarkan pendapat-pendapat dari
dua lelaki yang ia kagumi, Bongkap dan Prabu Jala-
tunda. Namun untuk menghormati istri Prabu Jala-
tunda, akhirnya ajakan itu diikuti juga.
"Untuk menumpas orang-orang Perguruan Topeng
Hitam, jalan satu-satunya kita harus mempersatukan
para pesilat dari golongan putih. Sebab hanya dengan persatuan yang kokoh kita
baru bisa mengalahkan mereka!" simpul Bongkap setelah putrinya masuk ke ka-
mar bersama istri Prabu Jalatunda.
"Betul juga. Kita harus bertindak sesuai kata sepa-
kat dan persatuan," kata Prabu Jalatunda membenar-
kan pendapat Bongkap. "Kalau begitu kita harus sege-ra mengumpulkan mereka,
bagaimana?" lanjut Prabu
Jalatunda, meminta pendapat Bongkap.
"Itu pun ada baiknya," sahut Bongkap tanpa kebe-
ratan. Setelah mendengar persetujuan Bongkap, Prabu Ja-
latunda segera memerintahkan para pengawalnya un-
tuk menghubungi tokoh-tokoh perguruan aliran putih
untuk berkumpul di rumahnya.
"Nanti siang aku pun akan menghubungi Kanjeng
Rahmat Suci dari Gunung Muda," ucap Prabu Jala-
tunda setelah memerintahkan para pengawalnya.
"Siapa dia?" tanya Bongkap.
"Beliau seorang tokoh sakti yang mempunyai ilmu
putih. Di tempatnya pula anakku, Baladewa, menuntut ilmu," jawab Prabu Jalatunda
menjelaskan. Bongkap mengangguk-angguk.
"Dan, aku berharap sekali agar kau juga bersedia
berkunjung ke sana!" lanjut Prabu Jalatunda menga-
jak Bongkap. "Saya sangat senang menerimanya, Prabu!" sahut
Bongkap seraya tersenyum. Lalu keduanya pun saling
menepuk bahu penuh persahabatan.
"Sekarang kita makan siang dulu sebelum berang-
kat ke sana!" ajak Prabu Jalatunda. Lalu ia melangkah menuju kamar, di mana
istrinya dan Bong Mini berada. "Rayi," panggil Prabu Jalatunda saat berdiri di
am-bang pintu. "Ya, Kakang!" Ningrum yang sedang duduk berca-
kap-cakap di ranjang segera bangkit menatap sua-
minya. "Tolong Rayi siapkan hidangan makan siang. Kita
makan sama-sama," kata Prabu Jalatunda.
"Baik, Kakang!" ucap Ningrum. Lalu ia segera keluar untuk menyediakan hidangan
makan siang. Dibantu
oleh Bong Mini.
Selesai makan siang, Prabu Jalatunda, Bongkap,
Ningrum dan Bong Mini segera bersiap-siap untuk be-
rangkat menuju Gunung Muda.
Sebenarnya Prabu Jalatunda tidak mengizinkan is-
trinya ikut mengingat situasi yang demikian rawan
akibat ulah orang-orang Perguruan Topeng Hitam,
namun karena istrinya tetap merengek hendak ikut
untuk melihat anaknya yang sudah lama tak bertemu,
akhirnya Prabu Jalatunda mengizinkan juga.
Prabu Jalatunda dan Bongkap duduk di depan ke-
reta kuda, sedangkan Bong Mini bersama istri Prabu Jalatunda duduk di bagian
belakang. Disertai oleh empat anak buah Bongkap dan sepuluh anak buah Prabu
Jalatunda yang mengawal mereka.
*** Perjalanan menuju Gunung Muda memang berjalan
lancar. Tidak ada hambatan-hambatan mencurigakan
yang datang dari orang-orang Perguruan Topeng Hi-
tam. Hingga hari mulai merayap menuju kegelapan.
Namun, saat mereka melewati sebuah bukit, tiba-tiba mereka melihat segerombolan
orang bertopeng berdiri di tengah jalan yang hendak dilewati.
Ashiong yang menjadi pimpinan pengawal perjala-
nan segera memberi isyarat.
"Berhenti!"
Serentak para pengawal lain berhenti. Sedang Ashi-
ong membalikkan kudanya menuju kereta kuda, di
mana Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum dan Bong
Mini berada. "Ada apa?" tanya Bongkap melihat kehadiran Ashi-
ong yang demikian terburu-buru.
"Jalan kita terhenti, Tuanku!" sahut Ashiong mem-
beri laporan. "Maksudmu?"
"Ada sekelompok orang bertopeng berada di ujung
jalan sana. Mereka berdiri membuat barisan untuk
menghadang kita!" Ashiong menjelaskan.
"Hm..., rupanya sejak tadi mereka membuntuti kita
dan baru menghadangnya di jalan ini," gumam Bong-
kap agak geram.
"Lalu bagaimana dengan perjalanan kita?" tanya
Ashiong menunggu keputusan Bongkap.
"Bagaimana, Prabu Jalatunda?" Bongkap bertanya
kepada Prabu Jalatunda karena beliaulah yang mem-
punyai rencana kepergian itu.
"Kita sudah telanjur menempuh perjalanan jauh.
Sedangkan menuju Gunung Muda tidak lama lagi akan
sampai," jawab Prabu Jalatunda.
Bongkap mengerti ucapan Prabu Jalatunda. Kemu-
dian ia segera memerintah Ashiong untuk terus melanjutkan perjalanan.
Ashiong segera menunggang kudanya kembali un-
tuk bergabung dengan para pengawal lain yang ada di depan. Tapi sebelum mereka
memacu kuda, tiba-tiba
dari arah semak-semak dan dari atas pohon bermun-
culan orang-orang bertopeng yang langsung mengelilingi mereka. Ketika orang-
orang bertopeng itu menge-
pung, pasukan bertopeng yang ada di ujung jalan se-
gera menarik tali kekang kuda untuk mendekati rom-
bongan kereta kuda.
"Ha ha ha..., akhirnya kita bertemu di sini, Bong
Kian Fu!" seru seorang lelaki bertopeng yang menjadi pemimpinnya.
Bongkap terkejut mendengar orang itu mengenal
namanya. "Siapa kau dan dari mana kau tahu namaku"!" ben-
tak Bongkap dengan suara yang memecah keheningan
malam. "Siapa pun aku, kau tidak perlu tahu. Kau pasti
sudah dapat menebak asalku!" jawab pemimpin pasu-
kan bertopeng itu.
"Hm..., dia berasal dari negeri Manchuria," gumam
Bongkap membuat Bong Mini terkejut. Hampir saja ia
ingin membuka tirai kereta kuda untuk melihat para
pengepung. Tapi untung segera dicegah Prabu Jala-
tunda. Khawatir keselamatan kedua perempuan itu te-
rancam. "Lalu apa maksudmu menghadang kami?" teriak
Bongkap lagi. "Aku ingin membawa kepalamu untuk kupersem-
bahkan kepada seorang raja yang dulu memimpinmu!"
sahut pemimpin pasukan bertopeng.
Bongkap mendengus. Ia semakin yakin kalau orang
bertopeng itu adalah seorang kepercayaan Raja Man-
churia. Namun yang masih ia herankan kenapa sam-
pai masuk ke Perguruan Topeng Hitam" Apakah
orang-orang bertopeng itu prajurit-prajurit Kerajaan Manchuria yang sengaja
membuat huru-hara sambil
mencari dirinya"
"Kenapa tidak kepalamu saja yang kau persembah-
kan kepada raja lalim itu?" teriak Bongkap geram.
"Bangsat! Rupanya kau masih sombong, Kapten
Kang?" bentak lelaki bertopeng penuh nafsu.
"Sombong lawan sombong jadi impas, bukan?"
"Bedebah! Serang mereka!" teriak pemimpin pasu-
kan bertopeng, memberi aba-aba pada orang-orangnya.
Mendapat aba-aba itu, orang-orang bertopeng yang
jumlahnya mencapai dua puluh lima orang segera me-
nyerang para pengawal kereta kuda yang berjumlah
empat belas orang.
Melihat jumlah yang tidak seimbang itu, Bongkap
segera bersiap-siap hendak mengadakan perlawanan.
"Kau tetap di sini untuk menjaga Bibi Ningrum. Dan
kalau ada apa-apa segeralah berteriak!" pesan Bong-
kap kepada putrinya yang duduk di dalam kereta ku-
da. Kemudian tubuhnya langsung melesat menuju
arena pertempuran.
"Hiaaat!"
Jurus-jurus kungfu Bongkap yang terkenal ganas
dalam menggebrak lawan langsung dikeluarkan. O-
rang-orang bertopeng harus dilawan dengan kekerasan tanpa ampun, pikirnya. Ia
bertekad untuk memusnah-kan mereka dari muka bumi.
Ketika melihat bagaimana ganasnya Bongkap me-
nyerang lawan, Prabu Jalatunda segera turun dari kereta kuda untuk membantu
pasukannya. "Mau ke mana, Kakang?" tanya Ningrum, penuh
khawatir. "Aku akan turut membantu!" jawab Prabu Jalatun-
da. "Hati-hati, Kang!" Ningrum memperingatkan.
Prabu Jalatunda mengangguk. Kemudian ia segera
melompat ke ajang pertempuran.
Sebenarnya Bong Mini sudah begitu gemas ingin tu-
run ke medan pertempuran untuk melawan pasukan
bertopeng. Namun karena di sebelahnya duduk seo-
rang perempuan yang tak memiliki ilmu bela diri, terpaksa ia duduk terpaku di
dalam sambil mendengar
teriakan-teriakan kematian. Atau sesekali membuka
tirai jendela untuk melihat pertempuran itu.
Sret! Sret! Sret!
Sambaran tiga bilah pedang lawan berkelebat ganas
untuk mencincang tubuh Bongkap. Namun dengan ge-
rakan yang manis, Bongkap mengelakkan serangan-
serangan itu. "Hiyaaa...!"
Bongkap meloncat sambil terus bersalto di atas ta-
nah. Kemudian ia kembali berdiri tegak menantang.
Sreset! Pedang yang terselip di punggungnya segera ditarik.
Kemudian dengan jurus pedang 'Samber Nyawa' yang
digabung dengan jurus 'Tanpa Bayangan', Bongkap se-
gera membalas serangan orang-orang bertopeng.
"Hiaaat!"
Bug! Sret! Tendangan dan pedang yang diarahkan Bongkap ke
tubuh lawan sangat tepat mengenai sasaran. Dua la-
wan tersungkur sekaligus di tanah. Yang satu mati
mengeluarkan darah kental dari mulutnya akibat ten-
dangan Bongkap yang begitu keras di dadanya. Sedang yang lain mati dengan leher
tergorok pedang Bongkap.
"Heh, Setan Congek! Jangan bengong di situ! Maju-
lah kalau memang menginginkan kepalaku!" tantang
Bongkap kepada pemimpin Perguruan Topeng Hitam
yang sejak tadi hanya duduk di punggung kuda me-
nyaksikan pertempuran.
"Monyet buduk! Rasakan pukulanku!" teriak Ketua
Perguruan Topeng Hitam berang sambil melancarkan
jurus 'Angin Setan Mencekik Leher'. Sejurus kemudian angin kencang berhembus ke
arah Bongkap lalu cepat
melilit lehernya.
Bongkap yang tidak menyangka kehebatan jurus


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dikeluarkan lawan menjadi kewalahan. Tubuhnya
meronta-ronta untuk menghindari serangan angin
yang melilit lehernya. Tapi usahanya sia-sia karena matanya tidak dapat
menangkap wujud angin itu.
Ketua Perguruan Topeng Hitam tertawa terbahak-
bahak melihat Bongkap yang kewalahan menghindari
jurus 'Angin Setan Mencekik Leher' yang dikeluarkan kedua tangannya.
"Malam ini nyawamu akan berakhir, Bong Kian Fu!"
teriak orang bertopeng itu disertai tawa terbahak-ba-
hak, memecah keheningan malam.
Mendengar nama papanya disebut oleh pemimpin
pasukan bertopeng itu, Bong Mini segera mendongak-
kan kepala keluar untuk mengetahui apa yang terjadi dengan papanya.
"Papa!" jerit Bong Mini ketika melihat tubuh pa-
panya berguling-guling seperti berjuang melepaskan
sesuatu yang melilit tubuhnya. Lalu ia melompat hendak memburu papanya.
"Bong Mini. Jangan, Nak!" cegah Ningrum, istri Pra-
bu Jalatunda. Namun Bong Mini sudah melesat ke
arah papanya. Istri Prabu Jalatunda menjadi cemas terhadap kese-
lamatan Bong Mini. Ia hendak turun mencoba me-
manggil Bong Mini. Tapi niatnya itu ia urungkan kembali mengingat keselamatan
jiwanya. Karena ia tidak memiliki ilmu bela diri apa-apa. Akhirnya ia hanya bisa
melihat Bong Mini yang berdiri terpaku di dekat tubuh papanya yang bergelinjang-
gelinjang liar.
Bong Mini memang hanya dapat berdiri di dekat pa-
panya. Ia ingin menolong tapi tidak bisa karena ma-
tanya tidak melihat musuh papanya. Ia hanya dapat
melihat keadaan papanya yang seperti seekor ikan ter-dampar.
"He he he..., ada perempuan juga rupanya!" ucap
pemimpin pasukan ketika melihat kehadiran Bong
Mini. Bong Mini tidak mengacuhkan ucapannya. Ia masih
terpaku melihat papanya yang mulai lemah karena te-
naganya terkuras habis.
"Pengawal! Tangkap perempuan itu dan bawa ke si-
ni!" seru Ketua Perguruan Topeng Hitam itu.
Dua orang di antara Perguruan Topeng Hitam yang
sedang melakukan serangan segera memburu ke arah
Bong Mini untuk menangkapnya.
Namun sebelum tangan kedua orang bertopeng itu
menyentuh tubuh Bong Mini, tiba-tiba tubuh kedua
orang itu terpental. Mereka terjatuh berdebum. Sebelum keduanya sempat menyadari
apa yang terjadi, tu-
buh mereka diserang rasa panas luar biasa. Mereka
menggelepar-gelepar dan pelan-pelan tubuh kedua
orang itu hangus lalu tidak berkutik lagi.
Melihat kedua anak buahnya jatuh mendadak de-
ngan tubuh hangus, ketua pasukan bertopeng itu ter-
belalak kaget. "Bangsat! Siapa yang melakukan ini!" geramnya
dengan mata menyebar ke sekelilingnya. Tapi yang terlihat hanya kegelapan malam
yang menyeluruh.
"Hei, siapa pun dirimu, perlihatkanlah! Jangan ber-
sembunyi seperti keong!" maki orang bertopeng itu.
Namun tak ada tanda-tanda ada orang di kegelapan
malam. Sementara itu pertempuran antara para pengawal
dengan pasukan bertopeng praktis terhenti ketika melihat dua orang bertopeng
mati mendadak dengan tu-
buh hangus terbakar. Mereka sama-sama ingin menge-
tahui siapa orang yang melakukan serangan menda-
dak itu. Mereka yakin kalau orang itu bukan orang
sembarangan. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncul se-
seorang berpakaian putih-putih dengan wajah tertutup kain putih pula. Hanya pada
bagian matanya saja yang terbuka.
"Bangsat! Rupanya kau yang ikut campur dalam
pertempuran ini!" bentak pemimpin pasukan berto-
peng. "Aku tidak sengaja," jawab lelaki itu dari balik kain yang menutupi.
"Setan roban! Rasakan pukulanku ini!" teriak pe-
mimpin pasukan bertopeng seraya mengirim serangan
'Angin Setan Mencekik Leher' kembali.
"Kembalilah kau kepada orang yang telah memeli-
hara dan memerintahmu!" seru lelaki yang wajahnya
tertutup kain putih tanpa bergerak sedikit pun.
Setelah dia berkata begitu, mendadak lawannya ter-
pelanting dari punggung kuda sambil mengerang-
ngerang. Tak berapa lama kemudian pemimpin pasu-
kan bertopeng tak berkutik dengan leher membiru se-
perti dicekik. Bersamaan dengan kematian Ketua Perguruan To-
peng Hitam itu, tubuh Bongkap perlahan-lahan pulih
kembali. Rasa sakit pada lehernya hilang seketika.
Melihat pemimpinnya mati dengan tubuh yang
mengerikan, orang-orang dari Perguruan Topeng Hitam itu segera mengambil langkah
seribu. Mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama.
"Terima kasih. Kau telah menolongku dari kema-
tian!" ucap Bongkap ketika orang-orang bertopeng itu sudah tidak terlihat lagi.
"Bukan aku. Tapi Yang Menguasai dirimu!" ujar le-
laki yang menutupi wajahnya dengan kain putih itu.
Sebelum sempat orang-orang di sekitarnya bertanya,
lelaki itu telah berkata kembali, "Batalkan rencana kepergian kalian!" Setelah
berkata begitu, tubuhnya segera melesat pergi lalu hilang ditelan kegelapan.
Orang-orang yang menyaksikan kehebatan lelaki itu
menghela napas kagum.
"Saya yakin, dialah yang dulu pernah menyela-
matkan saya dari pemerkosaan beberapa hari lalu.
Hanya penutup mukanya saja yang diganti," ucap
Bong Mini kepada papanya.
"Bagaimana kau bisa memastikan itu, Putriku?"
tanya Bongkap. "Dari jawabannya, bukan aku, tapi yang menguasai
dirimu!" ujar Bong Mini, mengulang ucapan lelaki tadi.
Bongkap menghela napas. Ia memang pernah men-
dengar jawaban itu dari putrinya ketika memenangkan pertempuran dengan orang-
orang Ular Hitam.
Setelah diam sejenak, Bongkap menoleh pada Prabu
Jalatunda. "Bagaimana dengan perjalanan kita ini, Prabu?"
"Lebih baik tetap kita lanjutkan. Sebab pada waktu
subuh nanti, kita sudah sampai di tujuan. Sedang kalau kita kembali lagi seperti
yang dikatakan orang tadi, maka kita harus menempuh perjalanan seharian lagi,"
sahut Prabu Jalatunda mempertimbangkan.
"Aku pikir juga begitu, Prabu. Kita sudah terlanjur menempuh jarak yang jauh,
bahkan bertempur pula,"
kata Bongkap sependapat.
Setelah mendapatkan kata sepakat, akhirnya me-
reka kembali melanjutkan perjalanan dengan penga-
walan yang berkurang empat orang karena terbunuh
dalam pertempuran tadi.
*** 7 Perjalanan menuju Gunung Muda kali ini berjalan
aman. Bongkap dan Prabu Jalatunda merasa bahwa
perjalanan mereka sudah tidak mendapatkan gang-
guan lagi. Apalagi hari sudah mulai merayap ke waktu subuh. Berarti tidak lama
lagi mereka akan sampai di tempat tujuan. Tapi ketika sekitar lima kilo lagi
mereka tiba ke Desa Gunung Muda, tiba-tiba mata mereka me-
lihat serombongan kuda menembus kegelapan dari
arah yang berlawanan.
Belum sempat mereka berpikir lebih jauh, rombo-
ngan orang berkuda itu telah berpapasan dengan me-
reka. Orang-orang bertopeng lagi, gumam Bongkap ketika
melihat orang-orang yang menunggang kuda itu me-
ngenakan topeng hitam.
Ternyata dugaan Bongkap memang benar. Mereka
merupakan orang-orang dari Perguruan Topeng Hitam
yang ditugaskan untuk mengadakan perampokan di
Desa Gunung Muda yang dipimpin oleh Giwang orang
kepercayaan guru mereka, yang berhasil mengalahkan
Yang Seng. Sebenarnya mereka baru saja hendak pulang ke
Perguruan Topeng Hitam setelah mendapatkan hasil
rampokan dari para penduduk Tetapi berpapasan de-
ngan kereta kuda yang ditunggangi oleh Bongkap dan
Prabu Jalatunda, maka mereka pun menghentikan
perjalanan dan menghadang pasukan Bongkap. Siapa
tahu ada barang-barang berharga di dalam kereta ku-
da itu untuk dibawa, pikir mereka. Karena biasanya
orang yang menempuh perjalanan dengan mengguna-
kan kereta kuda pasti membawa barang-barang ber-
harga. "Periksa isi kereta kuda itu!" perintah Giwang dari punggung kudanya.
Empat orang yang merasa mendapat perintah itu
segera bergerak menuju kereta kuda. Tapi sebelum
mereka sempat membuka tirai penutupnya, Bongkap
segera menghadangnya.
"Kembali ke tempat! Kami tidak membawa barang
yang kalian cari!" bentak Bongkap tanpa rasa takut.
Keempat orang bertopeng itu tidak mau peduli de-
ngan ucapan Bongkap. Mereka terus merangsek hen-
dak menyingkirkan penghalangnya. Tapi Bongkap bu-
kan orang yang suka membiarkan kejahatan merajale-
la. Apalagi kejahatan itu berlangsung di depan ma-
tanya. Ketika keempat orang itu bergerak hendak me-
mukulnya, Bongkap segera menyambutnya dengan se-
buah pukulan yang tidak begitu keras tapi cukup
membuat orang itu terjatuh.
"Maaf, tidak sengaja!" ujar Bongkap tenang, sete-
ngah meledek. "Bedebah! Baru kali ini ada orang yang berani me-
nentang kehendak orang-orang Perguruan Topeng Hi-
tam!" hardik Giwang di balik topeng hitamnya. Nada-
nya begitu geram, menunjukkan kemarahannya.
"Aku cuma mempertahankan hak!" sahut Bongkap
masih kalem. Namun badannya siap untuk mengha-
dapi serangan dari orang-orang bertopeng di hadapannya.
Giwang tidak mempedulikan ucapan Bongkap. Diri-
nya telah dibakar oleh nafsu amarah.
"Seraaang...!"
Serentak orang-orang bertopeng bergerak menye-
rang Bongkap dan para pengawalnya. Namun Bongkap
dan para pengawalnya adalah orang-orang yang tang-
guh. Serangan-serangan itu dengan mudah mereka
elakkan. Sesaat kemudian tempat itu menjadi ramai oleh pe-
kikan-pekikan kematian. Ditingkahi oleh ringkikan-
ringkikan kuda yang menghentak-hentakkan kaki de-
pannya, sehingga debu-debu berterbangan memadati
udara. Giwang yang hanya menyaksikan pertempuran itu
dari punggung kuda tertawa terbahak-bahak ketika
pasukan Bongkap kewalahan menghadapi pasukannya
yang demikian banyak. Sehingga ada seorang anak
buah Bongkap yang melawan tiga lawan bahkan ada
pula yang melawan empat lawan sekaligus.
Prabu Jalatunda yang tadi duduk di belakang kuda
juga tidak ketinggalan. Ia melompat ke arena pertempuran sambil membabat-
babatkan goloknya ke tengah
pertempuran. Sebagai orang yang berpengalaman dalam bertem-
pur, Bongkap dengan tangkas menghadapi serangan
keempat lawannya lewat jurus-jurus kungfu. Teriakan-teriakan keras yang tercipta
dari mulut Bongkap dalam mengadakan serangan benar-benar memecahkan keheningan
malam. Jurus-jurus ilmu 'Tanpa Bayangan'
langsung dikeluarkan agar pertempuran tidak mema-
kan waktu lama.
"Hiaaat!"
Tubuh Bongkap melompat ke arah empat lawannya
seraya memutar badannya mencari sasaran.
Bug! Bug! Bug! Tendangan Bongkap tepat bersarang di dada dua
lawannya, membuat kedua orang itu terjungkal ke be-
lakang dengan menyemburkan darah kental dari mu-
lutnya. Sesaat mereka menggelepar-gelepar di tanah
lalu kehilangan nyawa.
Dua orang bertopeng yang tersungkur mati oleh
tendangan Bongkap tadi membuat Giwang geram. Na-
mun ia tetap berada di punggung kuda tanpa melaku-
kan serangan. Karena jumlah pasukannya masih ba-
nyak dibanding jumlah pasukan Bongkap yang hanya
tinggal delapan orang karena dua orang dari mereka
ada yang mati. Pertempuran terus berlangsung dengan sengit. Kor-
ban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pekikan kematian bersahutan, mengiringi
bau amis darah yang me-
nyebar, menembus udara malam.
Bong Mini yang selalu ikut bertempur di samping
papanya menjadi kesal karena harus terus duduk di
dalam kereta kuda menemani Ningrum, istrinya Prabu
Jalatunda. "Bibi," ucap Bong Mini kepada Ningrum yang se-
dang menyusutkan tubuhnya karena tidak kuasa me-
lihat pertempuran yang banyak menelan korban.
"Ada apa, Nak Mini?" tanya Ningrum dengan wajah
agak pucat. "Maukah Bibi tinggal di sini sendiri?"
"Nak Mini mau ke mana?" Ningrum balik bertanya.
Wajahnya menunjukkan ketakutan.
"Saya akan membantu papa, Bi."
"Ha" Jangan, Nak Mini!" cegah Ningrum terperanjat.
"Saya tidak bisa tinggal diam melihat pertempuran
yang tidak seimbang itu, Bi. Saya tidak mau korban di pihak kita bertambah
banyak!" sergah Bong Mini, mengemukakan perasaannya.
Ningrum menghela napas berat. Ia ingin tetap mela-
rang. Tapi karena ingat ucapan Bong Mini yang tidak menghendaki korban di
pihaknya, maka ia pun mengizinkan juga.


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kamu harus hati-hati!" Ningrum memperi-
ngatkan. "Ya, Bibi!" sahut Bong Mini. Lalu dengan sikap seo-
rang pendekar, ia melompat ke arena pertempuran.
"Hiaaat!"
Bret! Bret! Bles!
Pedang di sepasang tangan Bong Mini langsung me-
ngenai tiga orang bertopeng yang sedang mengeroyok
Sang Piao. Ketiga orang bertopeng itu langsung terjatuh akibat jurus 'Samber
Nyawa' Bong Mini.
Giwang yang sejak tadi memperhatikan pertempu-
ran di punggung kuda terperanjat ketika melihat Bong Mini berada di tengah
pertempuran dan membunuh
tiga orangnya. Dengan cepat ia mengadakan serangan
ke arah Bong Mini. Tujuannya bukan hendak memba-
las kematian tiga orangnya di tangan Bong Mini, tetapi justru hendak membawanya
untuk dipersembahkan
kepada pemimpin yang membutuhkan darah seorang
perawan sebagai ramuan obat.
"Hati-hati. Jangan kalian lukai tubuh gadis cantik
ini!" teriak Giwang, memberikan peringatan kepada
dua anak buahnya yang tengah mengarahkan golok
pada tubuh Bong Mini.
Teriakan Giwang tentu saja membuat Bong Mini ka-
lap. Karena sudah yakin bahwa ia akan dijadikan pe-
muas nafsu orang-orang Perguruan Topeng Hitam
yang terkenal liar dan jalang. Maka dengan beringas Bong Mini melepas serangan
kepada lawannya.
Wet! Wet! Pedang lawan berkelebatan mengancam tubuhnya.
Tapi dengan gesit Bong Mini dapat menghindar. Tu-
buhnya berguling-guling di atas tanah. Kemudian berdiri kembali dengan kuda-kuda
yang kokoh, siap me-
nahan dan melakukan serangan.
Sementara itu, Bongkap yang pernah mendapat ju-
lukan 'Singa Perang' berhasil membabat habis bebe-
rapa lawannya dengan pedangnya yang terkenal ganas.
Trang! Trang! Dua pedang beradu dengan keras. Mereka saling
menahan dan berusaha untuk bisa menembuskan
ujung pedang masing-masing ke tubuh lawan. Pada
kesempatan saling menahan itu Bongkap menjungkir-
balikkan badannya lantas berdiri di belakang lawan, disertai sabetan pedang yang
begitu cepat Bret! Bret! Bret!
Gerakan pedang Bongkap berhasil menyabet tubuh
lawan dan mencincangnya beberapa kali. Ketika la-
wannya ambruk, tampak tubuhnya yang tidak berdaya
itu berantakan bagai dicabik-cabik binatang buas.
Apa yang dilakukan Bongkap tidak berbeda dengan
apa yang dilakukan Prabu Jalatunda. Lewat jurus 'Golok Membelah Bumi', Prabu
Jalatunda berhasil meron-
tokkan beberapa tubuh lawan.
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 3 Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Pedang Kayu Harum 21
^