Pencarian

Hilangnya Seorang Pendekar 3

Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Bagian 3


Sebenarnya tebasan golok Prabu Jalatunda tidak
begitu parah bagi lawannya. Kalau hanya mengandal-
kan ketajaman goloknya, lawan masih bisa bertahan
dalam beberapa jurus lagi. Tapi yang membuat lawan-
nya mati itu justru getaran goloknya ketika mengenai sasaran. Getaran golok itu
begitu dahsyat hingga bisa merontokkan seluruh isi perut. Akibatnya lawan yang
terkena sabetan golok Prabu Jalatunda mengerang-ngerang karena merasa isi
perutnya yang demikian
nyeri. Di lain pihak Bong Mini dapat bertahan menghadapi
serangan-serangan gencar yang dilakukan Giwang.
Namun pertahanannya kali ini tidak begitu tangguh
bila dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran
sebelumnya. Selain orang yang dihadapinya begitu
tangguh dengan kepandaian ilmu yang setingkat mele-
bihi kemampuan Bong Mini, juga karena tenaganya
sudah habis terkuras menghadapi orang-orang berto-
peng sebelumnya. Sedangkan Giwang baru saja bebe-
rapa menit turun ke medan pertempuran. Itu pun
hanya berhadapan dengan Bong Mini yang tenaganya
mulai menurun. Tubuh Bong Mini berguling-guling di tanah. Namun
ketika ia hendak bangkit berdiri, tiba-tiba sebuah totokan bersarang di
lehernya, membuat ia jatuh lemas
tanpa tenaga sama sekali.
Melihat Bong Mini terkulai, Giwang segera mema-
sukkan pedangnya kembali. Kemudian tubuh Bong
Mini yang mungil itu dengan ringan dipapahnya. De-
ngan gerakan yang ringan pula Giwang melompat ke
atas kudanya dan menghelanya sambil membawa tu-
buh Bong Mini. "Bong Mini! Bong Mini dibawa kabur!" tiba-tiba ter-
dengar teriakan Ningrum dari dalam kereta kuda. Ia
mengetahui jelas peristiwa itu karena sejak Bong Mini turun dari kereta kuda,
Ningrum selalu mengawasinya dari tirai jendela.
Mendengar teriakan itu, Bongkap semakin kalap.
Dia mencoba menoleh ke arah Giwang yang membawa
kabur Bong Mini. Namun usahanya sia-sia, yang ia lihat hanya kegelapan yang
menyelimuti alam.
"Setan roban! Demi yang Maha Kuasa akan kuhan-
curkan orang-orang Perguruan Topeng Hitam!" geram
Bongkap. Dicabutnya pedangnya yang lain dari balik
punggung. Sreset! Bongkap berdiri tegak dengan kedua tangan meme-
gang pedang. Baru kali ini ia bertempur memperguna-
kan dua bilah pedang sekaligus. Padahal biasanya, bagaimanapun banyaknya musuh
yang menyerang, ia
tak pernah mempergunakan kedua pedangnya. Tapi
sekarang, karena yang terancam adalah jiwa putrinya, yang dalam bayangannya
sudah pasti menjadi santa-pan orang-orang budak nafsu, maka kedua pedang itu
dikeluarkan. Dengan jurus 'Tanpa Bayangan' yang di-
padukan dengan jurus 'Pedang Samber Nyawa', tubuh
Bongkap melesat cepat ke arah pasukan bertopeng.
Dia berkelebat ke sana kemari dengan ganas. Mirip
seekor singa lapar yang mencari mangsa.
Bret! Bret! Bret!
Tiga orang bertopeng langsung mati di mata kedua
pedangnya. Ketika melihat ketiga lawannya tersungkur dan ti-
dak bisa bangun lagi, Bongkap segera meloncat ke
arah orang-orang bertopeng lain yang sedang bertem-
pur dengan para pengawalnya. Dengan gerakan tubuh-
nya yang cepat dan sulit dijangkau oleh pandangan
lawan. Sementara kancah pertempuran di kedua belah pi-
hak mulai agak sepi. Seluruh anak buah Prabu Jala-
tunda sudah menemui ajalnya melawan orang-orang
bertopeng karena jumlah yang tidak seimbang. Se-
dangkan Prabu Jalatunda sendiri tampak kewalahan
menghadapi serangan yang dilancarkan tiga orang la-
wannya. Sejak turun ke ajang pertempuran tidak ha-
bis-habisnya ia mendapat serangan. Mati yang satu
muncul penyerang lain. Sehingga tenaganya yang per-
kasa terkuras habis.
"Hiaaat!"
Trang! Trang! Trang!
Golok yang dipegang Prabu Jalatunda bergerak kian
kemari untuk menangkis serangan lawan. Lalu tubuh-
nya berguling-guling di tanah menghindari serangan
lawan. Belum sempat ia berdiri lagi, sabetan-sabetan pedang dari tiga lawan
kembali mengarah ke tubuhnya.
Trang! Tubuh Prabu Jalatunda berguling cepat. Benturan
tiga pedang sekaligus dengan goloknya membuat diri-
nya semakin tersudut. Dalam keadaan seperti itu, Pra-bu Jalatunda hanya mampu
berkelit di tanah tanpa
memberikan serangan balasan.
Dug! Tanpa disadari sebelumnya, bibir Prabu Jalatunda
terantuk sebuah batu besar saat ia berguling-guling menghindari serangan.
Seketika itu juga darah mengucur dari mulut Prabu Jalatunda.
Melihat darah mengucur dengan rasa sakit yang tak
terkira di mulutnya, Prabu Jalatunda segera berdiri sebelum ketiga orang
bertopeng itu menyerang lagi.
"Hiah!"
Tubuh Prabu Jalatunda yang baru bisa berdiri be-
berapa saat melenting ke atas dengan deras.
"Aaa...!"
Prabu Jalatunda mengerang kesakitan karena tu-
buhnya membentur sebuah batu besar dengan keras.
Matanya terpejam menahan sakit, tanpa mampu ber-
gerak menghindari serangan lawan. Ia merasa ajalnya malam ini akan tiba.
Tubuhnya terkulai pasrah ketika ketiga lawannya dengan penuh nafsu berlari
memburunya. Tetapi saat ketiga lawannya hendak menginjak-in-
jak tubuh Prabu Jalatunda, tiba-tiba dua buah pedang berkelebat menebas leher
ketiga orang bertopeng itu.
Sehingga dalam waktu singkat tubuh mereka roboh
berlumur darah dengan kepala terlepas dari badan.
Bongkap yang menyabetkan pedang ke arah ketiga
orang bertopeng itu segera membawa tubuh Prabu Ja-
latunda menuju kereta kuda.
"Kakang, Kakang Prabu! Kau tidak apa-apa?" Ning-
rum terpekik kaget ketika melihat tubuh suaminya di-gotong Bongkap.
"Kau tetaplah di sini, Prabu. Biar aku sendiri yang akan menumpas orang-orang
Perguruan Topeng Hitam
itu!" usai berkata begitu, Bongkap kembali mencelat ke tengah pertempuran.
"Hiaaat!"
Dua pedang di tangan Bongkap berkeliaran mencari
sasaran. Sehingga dalam waktu yang tidak begitu la-
ma, ia berhasil merobohkan semua lawannya. Hanya
dua orang yang dibiarkan hidup.
"Katakan! Siapa nama Ketua Perguruan Topeng Hi-
tam!" bentak Bongkap kepada kedua orang Perguruan
Topeng Hitam yang tak berdaya karena berada dalam
ancaman dua pedang Bongkap.
"Mereka, mereka suami istri!" gugup terdengar sua-
ra seorang bertopeng itu.
"Jelaskan namanya!" bentak Bongkap lagi dengan
kedua mata yang melotot mereka.
"Kidarga dan Nyi Genit!"
Bongkap mendengus geram mendengar nama itu,
walau ia baru mendengarnya.
"Sampaikan salamku pada kedua pemimpinmu
yang cabul itu. Aku, Singa Liar akan menghancurkan
Perguruan Topeng Hitam. Demi Yang Kuasa! Tak akan
kubiarkan anak cicit Perguruan Topeng Hitam untuk
tetap hidup!" geram Bongkap kepada kedua anak buah
Perguruan Topeng Hitam. Dan selesai berkata begitu, pedang Bongkap membabat
tangan kanan mereka.
Kedua orang Perguruan Topeng Hitam yang menda-
pat 'hadiah' itu, meraung kesakitan sambil melihat
tangan kanannya yang buntung.
*** Giwang telah membawa pergi tubuh Bong Mini jauh
dari arena pertempuran. Namun di tengah perjalanan
ia menghentikan langkah kudanya karena tubuh Bong
Mini yang tadi terkulai lemas berangsur-angsur pulih kembali. Totokan yang
dilakukannya tadi memang
hanya totokan sementara untuk melemahkan persen-
dian. "Lepaskan! Lepaskan aku, Biadab!" teriak Bong Mini
seraya meronta-ronta dalam rangkulan Giwang.
"Hanya orang bodoh yang mau melepaskan buruan
yang telah di tangan!" setelah berkata begitu, Giwang langsung menotokkan dua
jarinya ke leher Bong Mini.
Pada detik itu juga tubuh Bong Mini terkulai lemas, tak sadarkan diri.
Merasa telah aman, Giwang kembali bersiap-siap
untuk melanjutkan perjalanannya menuju Perguruan
Topeng Hitam. Tapi tanpa diduga, kuda yang ditung-
ganginya mendadak mengamuk, meronta-ronta se-
hingga tubuhnya terpental ke tanah.
"Kuda sialan!" maki Giwang sambil menahan sakit
di bagian pantat yang terbentur. Kemudian diletakkan tubuh Bong Mini yang
pingsan di tanah. Lalu ia bangkit mendekati kudanya yang mendadak ngamuk itu
dan berusaha menjinakkannya.
Di saat Giwang sedang sibuk menjinakkan kuda-
nya, tanpa sepengetahuannya, melesat sesosok tubuh
dan langsung meraih tubuh Bong Mini dan cepat
membawanya menembus kegelapan.
Bersamaan dengan menghilangnya bayangan ma-
nusia yang membawa tubuh Bong Mini dalam kegela-
pan, saat itu pula kuda Giwang yang tadi binal ber-
ubah jinak kembali.
Giwang menghela napas panjang. Nafasnya turun
naik kecapaian. Ketika pandangan matanya tertuju ke tempat Bong Mini
dibaringkan, wajahnya berubah terkejut. Di sana, ia tidak melihat tubuh Bong
Mini lagi. Giwang penasaran. Kakinya melangkah mendekati
tempat itu untuk meyakinkan penglihatannya. Tapi di sana ia tidak melihat apa-
apa, kecuali rerumputan
yang terlihat samar-samar karena berselimut kegela-
pan. "Bangsat! Pasti ada seseorang yang mengambil ga-
dis itu. Dan orang itu pula yang telah berbuat jahil kepada kudaku!" geram
Giwang dengan gigi-gigi gemeru-
tuk menahan marah.
"Siapa orang yang telah berani mempermainkan
aku!" geram Giwang seraya menyebarkan pandangan
ke sekelilingnya. Tapi yang terlihat hanya bayang-
bayang dedaunan di hamparan kegelapan. Kemudian
dengan menahan marah. Giwang kembali lagi ke arena
pertempuran disertai pandangannya yang tak henti-
hentinya menyebar, mencari-cari siapa tahu dapat bertemu dengan orang-orang
membawa Bong Mini.
*** 8 Dua murid Perguruan Topeng Hitam yang tangan-
nya dibuat buntung oleh Bongkap telah sampai di Goa Setan. Beberapa murid
Perguruan Topeng Hitam yang
bertugas jaga di luar goa menjadi terkejut ketika melihat tangan kanan kedua
temannya buntung dengan
darah yang masih menetes. Ketika beberapa langkah
lagi sampai di mulut goa, tubuh kedua orang itu terhuyung jatuh dan tak sadarkan
diri karena terlalu banyak mengeluarkan darah hingga wajah mereka tam-
pak pucat-pasi.
Melihat kedua temannya ambruk, para pengawal
yang sedang berjaga itu segera menghampiri dan mem-
bawa mereka ke dalam. Di sana kedua orang itu diba-
ringkan di atas dipan untuk segera mendapat pengobatan. Sedangkan dua orang lain
bergegas menuju ruang tengah di mana Kidarga dan Nyi Genit sedang duduk di kursi
kebesarannya. "Ampun, Guru!" kedua murid Perguruan Topeng Hi-
tam itu segera berlutut hormat.
"Ada apa?" tanya Kidarga, masih duduk tenang di
atas kursi kebesarannya.
"Hamba ingin melapor bahwa dua orang murid
Guru terluka bacok dengan tangan kanan buntung,"
salah seorang dari muridnya berkata.
Mendengar laporan itu kedua tokoh Perguruan To-
peng Hitam menjadi terkejut. Mereka saling bertatapan dengan wajah gusar. Tanpa
banyak bertanya lagi, Kidarga dan Nyi Genit segera menuju ruangan di mana
kedua orang muridnya dirawat oleh murid-murid lain.
Kidarga dan Nyi Genit tertegun beberapa saat meli-
hat kedua muridnya yang mendapat luka parah itu.
Wajah mereka berubah tegang dengan kedua mata
yang merah menyala menahan marah.
"Ke mana yang lain?" tanya Kidarga sambil memen-
dam rasa marahnya.
"Mereka belum kelihatan, Guru," sahut salah seo-
rang muridnya. Kidarga berdiri angkuh.
"Ini suatu penghinaan buat Perguruan Topeng Hi-
tam!" dengus Kidarga dengan pandangan buas.
Murid-murid Kidarga yang jumlahnya sudah tak
terbilang itu hanya berdiri terpaku, seolah menunggu keputusan Kidarga
selanjutnya. Sementara, kedua muridnya yang tadi tak sadarkan
diri sudah mulai siuman. Dengan keadaan tubuh yang
masih lemah, keduanya berusaha untuk duduk di atas
dipan. Kidarga menoleh ke arah kedua muridnya yang ter-
luka dengan tatapan mata tajam.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Kidarga.
Suaranya tenang namun tajam.
"Ampun, Guru. Kami gagal melakukan perampo-
kan!" ucap salah seorang dari mereka yang terluka.
"Maksudmu?" tanya Kidarga tak mengerti.


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketika kami pulang dari Kampung Gunung Muda
dengan membawa hasil rampokan, tiba-tiba kami ber-
papasan dengan sebuah kereta kuda yang dikawal oleh beberapa prajurit. Kemudian
kami mencegatnya untuk
melihat apa yang ada di dalam kereta kuda itu. Tapi salah seorang dari mereka
melakukan pemberontakan
sehingga terjadilah pertempuran. Semula kami merasa menang karena jumlah mereka
sedikit dibanding dengan kami. Tapi pimpinan mereka ternyata orang yang
mempunyai jurus-jurus tangguh. Sehingga banyak pihak kita yang mati di
tangannya," cerita anak buahnya.
"Hm..., siapa dia"!"
"Kami kurang tahu, Guru. Namun dia pernah bilang
kepada kami bahwa dia menyebut dirinya dengan ju-
lukan Singa Liar."
"Singa Liar?" Kidarga berkernyit seperti mengingat-
ingat nama itu.
"Benar, Guru. Dia bilang; dia akan menghancurkan
perguruan ini sampai ke anak cucu!" tambah murid-
nya itu seolah sengaja hendak membakar kemarahan
Kidarga. Kidarga tertawa terbahak-bahak mendengar penje-
lasan muridnya itu.
"Perguruan Topeng Hitam tidak akan lenyap. Kare-
na Kidarga dan Nyi Genit tidak akan mati!" ujar Kidarga dengan angkuh.
Murid-muridnya tertawa senang memuji-muji gu-
runya. "Bagaimana dengan Giwang?" tanya Kidarga dengan
merubah wajahnya menjadi serius. Tapi belum sempat
ia mendapat jawaban, empat orang murid yang diutus
untuk melakukan perampokan datang dan bersujud di
hadapan Kidarga dan Nyi Genit. Mereka adalah seba-
gian anak buah Kidarga yang menyelamatkan diri keti-ka melakukan perampokan
pertama. Mereka kabur ka-
rena tidak ingin mengalami nasib seperti pemimpinnya yang hangus terbakar oleh
orang bertopeng putih.
"Ada apa lagi dengan kalian?" tanya Kidarga yang
sudah mempunyai firasat tidak enak.
"Lapor, Guru. Pimpinan kami Pho Pho telah mati
terbakar melawan seorang bertopeng putih!"
Mendengar laporan muridnya itu, Kidarga dan Nyi
Genit menjadi terkejut. Baru saja ia mendapat laporan tentang kekalahan murid-
muridnya yang dipimpin Giwang, sekarang empat orang murid lain melaporkan
bahwa pemimpin pasukan mereka terbunuh oleh
orang bertopeng putih.
"Siapa orang bertopeng putih itu?" tanya Kidarga
geram. "Kami tidak tahu, Guru. Sebab ketika kami sedang
bertempur melawan para pengawal kereta barang, tiba-tiba orang bertopeng itu
sudah berada di arena. Dan entah dengan pukulan apa, tiba-tiba Pho Pho
mengerang-ngerang. Lalu mati dengan tubuh hangus terba-
kar!" jawab seorang dari keempat muridnya yang baru datang itu.
"Apakah kereta kuda itu dipimpin oleh seorang lela-
ki keturunan Tiongkok yang berambut panjang dan se-
lalu diikat?" tanya anak buah Kidarga yang mendapat luka di tangan kanannya.
"Benar."
"Ada seorang gadis cantik yang rambut depannya
diponi?" "Benar," jawab temannya cepat.
"Kalau begitu tidak salah, Guru. Dialah yang men-
juluki dirinya Singa Liar. Dan gadis cantik itu mungkin anaknya yang sudah
berhasil dibawa Giwang terlebih
dahulu," sela murid yang terpotong tangan kanannya
menjelaskan. "Tapi kenapa Giwang sampai saat ini belum muncul
juga?" keluh Kidarga setengah curiga.
Belum lama ia berkata, tiba-tiba Giwang datang
menghadap. "Ampun, Guru!" ucap Giwang menyembah.
"Mana gadis yang kau culik itu?" Kidarga langsung
bertanya mengenai gadis yang menurut keterangan
muridnya telah dibawa Giwang.
"Ampun, Guru. Di tengah perjalanan menuju kema-
ri, tiba-tiba kudaku mengamuk. Lalu aku menaruh ga-
dis yang pingsan itu di rerumputan. Sedangkan saya berusaha menjinakkan kuda
yang mendadak liar itu.
Tapi setelah kuda itu jinak, tiba-tiba gadis yang kuba-wa tidak ada lagi di
tempat. Saya mencoba menca-
rinya, tapi tidak berhasil. Pasti ini pekerjaan seseorang yang mempunyai
kepandaian sangat tinggi. Sebab ku-da itu pun berubah liar tak wajar!" jawab
Giwang, memberikan pendapat.
"Bedebah! Jadi kau gagal membawa darah perawan
untuk ramuan obatku"!" bentak Kidarga dengan kedua
mata merah menyala seperti ingin menerkam.
"Ampun, Guru. Saya akan berusaha lagi menda-
patkannya!" ucap Giwang berjanji.
"Sekarang kalian pergi dan cari orang-orang yang
telah mencoreng mukaku itu. Bunuh mereka semua-
nya dan bawa kepala orang yang menamakan dirinya
Singa Liar itu kemari!" perintah Kidarga dengan suara yang membludak karena
marah. "Siap, Guru. Kami akan melaksanakan!" ucap mu-
rid-muridnya. Kemudian dengan langkah gagah mere-
ka bergegas keluar termasuk Giwang.
"Baru kali ini ada orang yang berani mencoreng
mukaku!" geram Kidarga saat memandang kepergian
murid-muridnya. "Mereka harus merasakan akibatnya
dariku," lanjut Kidarga lagi.
"Sudahlah, Kakang. Biar orang-orang kita yang me-
nangani persoalan itu!" bujuk Nyi Genit sambil meng-gayutkan kedua tangannya di
pundak Kidarga.
Kidarga mengalihkan pandangan ke wajah Nyi Ge-
nit. Dan saat itu pula kemarahannya mereda melihat
pesona yang dipancarkan wajah istrinya.
*** Setelah menghadapi perlawanan orang-orang Pergu-
ruan Topeng Hitam, Bongkap dan Prabu Jalatunda
membatalkan perjalanan mereka menuju Gunung Mu-
da. Padahal tempat yang mereka tuju itu sudah terlihat, karena mereka sudah
berada di sekitar wilayah
Desa Gunung Muda.
Batalnya perjalanan mereka bukan karena letih se-
habis bertempur atau karena Prabu Jalatunda yang
masih merasakan nyeri di tubuhnya yang membentur
batu. Tetapi penculikan Bong Mini oleh orang Pergu-
ruan Topeng Hitam justru yang membuat mereka re-
sah, terutama Bongkap. Karena selama ini putrinya selalu berada di sampingnya,
baik di rumah maupun da-
lam bertempur. "Apakah kau masih ingin tetap mencari putrimu,
Bongkap?" tanya Prabu Jalatunda.
"Benar, Prabu. Sampai kapan pun aku harus dapat
merebut kembali putriku dari orang-orang Perguruan
Topeng Hitam itu," sahut Bongkap dengan nada geram
menahan marah. "Tapi menurutku, lebih baik kau istirahat dulu di
sini sejenak untuk memulihkan kembali tenagamu.
Sebab menurutku, putrimu sudah ada di dalam mar-
kas mereka. Sedangkan untuk mendapatkan putrimu
kembali kita harus berhadapan dahulu dengan murid-
muridnya yang jumlahnya tidak terhitung itu. Belum
lagi guru mereka yang merupakan tokoh-tokoh sakti
dari aliran sesat," tutur Prabu Jalatunda mencoba
memberikan saran.
"Tidak, Prabu. Bagaimanapun kekuatan mereka,
aku akan menghadapinya demi anakku. Aku tidak in-
gin putriku menderita terlalu lama di sarang orang-
orang biadab itu!" tegas Bongkap, bersikeras hendak mengadakan perhitungan
dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Dia berjanji dalam hatinya; demi
ketenteraman rakyat dan putrinya, akan ia hancurkan semua murid-murid Perguruan
Topeng Hitam bersama
dua gurunya, Kidarga dan Nyi Genit.
Prabu Jalatunda tidak bisa lagi mencegah kehendak
Bongkap. Dia mengerti bagaimana galaunya perasaan
sahabatnya itu mengingat nasib putrinya yang berada dalam kekuasaan orang-orang
Perguruan Topeng Hitam. Ia sendiri bersama istrinya Ningrum, selalu mengingat
putranya Baladewa. Memikirkan kebutuhannya.
Padahal putranya itu berada di tengah seorang guru
yang bijak. Setelah beberapa saat suasana hening, Bongkap
melirik keempat anak buahnya.
"Kalian masih ingin menyertaiku?"
"Tuanku yang bijak. Sejak masih berada di negeri
Manchuria kami selalu setia mendampingi Tuanku,
kenapa sekarang tidak?" sahut Ashiong yang dipercaya memimpin pasukan pengawal.
"Tapi sekarang lain, Ashiong. Orang-orang yang
akan kita hadapi merupakan orang-orang tangguh
yang tak berperikemanusiaan," pancing Bongkap. Ia
ingin tahu sampai di mana kesetiaan keempat pengaw-
al kepercayaannya itu.
"Tuanku. Dulu kita sama-sama datang ke sini kare-
na satu tekad hendak membebaskan rakyat dari kera-
kusan kaisar. Sekarang kita juga bertekad hendak
memberantas orang-orang Perguruan Topeng Hitam
demi ketenteraman rakyat. Tidak ada bedanya, kan?"
kata Ashiong. Bongkap terharu mendengar jawaban Ashiong. Tan-
pa memikirkan kedudukan antara raja dan pengawal,
lalu Bongkap mendekati Ashiong dan memeluknya,
penuh persahabatan. Begitu pula dengan Ashiong yang membalas dengan pelukan
erat. Prabu Jalatunda yang menyaksikan adegan itu, di-
am-diam menjadi terharu. Betapa dekat hubungan an-
tara Bongkap dengan pengawalnya, pikirnya. Dan hal
itu sangat jarang ia jumpai di kerajaan mana pun.
"Saya ada saran, Tuanku!" ucap Ashiong ketika
Bongkap telah melepaskan pelukannya.
Bongkap diam beberapa saat. Matanya mengamati
wajah Ashiong. "Coba jelaskan saranmu itu!" kata Bongkap akhir-
nya. "Menurut hemat saya, bagaimana kalau pencarian
Putri Bong Mini kita bagi menjadi dua arah. Satu kelompok menuju selatan dan
satu kelompok lagi menu-
ju utara!" kata Ashiong mengemukakan sarannya.
Bongkap mengangguk-angguk.
"Karena menurut pertimbangan saya, kita bukan
saja mencari Putri Bong Mini, tetapi juga menghancurkan para pengacau negeri
ini!" lanjut Ashiong.
Bongkap kembali mengangguk-angguk.
"Sungguh baik saranmu itu. Aku terima!" putus
Bongkap, langsung menyetujui.
"Terima kasih, Tuanku!" ucap Ashiong dengan wa-
jah berseri karena sarannya diterima.
"Sekarang, kalian bertiga pergi ke arah selatan. Sedangkan aku dan Sang Piao
berangkat menuju utara!"
kata Bongkap, membagi tugas.
"Baik, Tuanku!" sahut para pengawal setianya.
Setelah berunding dengan empat orang pengawal-
nya, pandangan Bongkap beralih pada Prabu Jalatun-
da. "Prabu, dengan sangat menyesal kita berpisah untuk sementara waktu. Aku
harus benar-benar pergi
hari ini juga untuk mendapatkan kembali putriku,"
ucap Bongkap dengan sikap sopan dan berwibawa.
"Kalau memang itu menjadi tekadmu, aku tidak
akan memaksa. Tapi izinkanlah pula agar aku turut
menyertaimu!" sahut Prabu Jalatunda yang juga ingin turut membantu.
"Sebaiknya Prabu tetap saja di sini. Pulihkanlah
kembali kesehatan Prabu!" kata Bongkap menyaran-
kan. "Tidak, sahabatku. Kita sama-sama mengemban tu-
gas yang mulia, mengembalikan kembali kesejahteraan rakyat dengan memerangi
orang-orang Perguruan Topeng Hitam!" sahut Prabu Jalatunda. Ia benar-benar
merasa terpanggil untuk turut berjuang bersama
Bongkap. Bongkap terdiam sambil menimbang-nimbang ke-
inginan Prabu Jalatunda.
"Tapi bagaimana dengan istrimu, Rayi Ningrum?"
tanya Bongkap setelah beberapa saat terdiam. "Pada
suasana tegang seperti ini, Rayi Ningrum sangat membutuhkan perlindungan!"
Sebelum Prabu Jalatunda menjawab, tiba-tiba mun-
cul Rayi Ningrum dari dalam kamar. Ia keluar karena telah mendengarkan semua
percakapan antara Bongkap dengan suaminya.
"Kakang Prabu!" desah istrinya sambil terus me-
langkah mendekati mereka yang sedang berkumpul.
Prabu Jalatunda menoleh ke arah istrinya. Begitu
pula dengan Bongkap dan para pengawal.
"Kalau memang Kakang hendak turut berjuang, be-
rangkatlah. Saya rela melepaskan. Tapi harapan saya temuilah dulu Putri Bong
Mini. Dan bawalah ke sini.
Saya sangat kehilangan dia!" tuturnya, hampir kehilangan tenaga suaranya. Air
mata Ningrum perlahan
menggenangi dua bola matanya yang redup. Perlahan
air mata itu bergulir membasahi kedua pipinya yang
masih kelihatan segar.
Melihat kesedihan Ningrum, bukan cuma Prabu Ja-
latunda yang terharu. Semua yang hadir di situ juga merasakan keharuan. Terlebih
lagi Bongkap. Walaupun dirinya adalah Singa Perang, namun kalau ingat
nasib putrinya, hatinya akan terenyuh dan sedih.
"Saya sangat menyayangi dia, Kakang," ucap Ning-
rum lagi. Kali ini punggungnya berguncang-guncang
menahan isak tangis.
Prabu Jalatunda sangat maklum dengan kesedihan
istrinya. Apalagi dia tahu betul bahwa istrinya sangat mencintai dan menyayangi
Putri Bong Mini. Bukan karena dia sebagai putri raja. Tetapi karena sejak dulu
istrinya sangat mendambakan seorang anak perempuan. Kehadiran Bong Mini di
tengah mereka tentu sa-ja sangat menyenangkan hati Ningrum. Sehingga Nin-
grum langsung menganggap Putri Bong Mini sebagai
anaknya sendiri. Walaupun tak pernah diungkapkan
langsung, tapi gerak dan sikap yang diberikannya pada


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bong Mini telah menunjukkan hal itu.
Ketika istrinya menangis sedih seperti itu, Prabu Jalatunda segera mendekati
istrinya dan memeluknya
dengan lembut agar dapat meredakan kesedihannya.
"Sudahlah, Rayi. Putri Bong Mini tidak bisa kita temukan kembali dengan hanya
menangis dan bersedih
hati. Berdoalah kepada Yang Kuasa agar kakang,
Bongkap, dan para pengawal bisa mendapatkannya
kembali!" bujuk Prabu Jalatunda dengan tetap meme-
luk istrinya. "Saya senantiasa berdoa untuk keselamatan Putri
Bong Mini, Kakang!" lirih Ningrum di sela-sela isaknya.
Mendengar ucapan istri Prabu yang tulus itu, diam-
diam hati Bongkap tersentuh. Ia tidak mengira sama
sekali kalau istri Prabu Jalatunda benar-benar sangat mencintai dan menyayangi
putrinya. Padahal mereka
baru dua kali bertemu, tetapi hatinya begitu melekat pada putrinya. Tidak jauh
berbeda dengan perhatian
Sinyin, istrinya, ketika masih hidup.
Setelah istrinya sudah dapat tenang kembali, Prabu
Jalatunda melepaskan pelukannya.
"Kami akan berangkat sekarang juga, Rayi!" ucap
Prabu Jalatunda. Disentuhnya kedua bahu perempuan
itu. "Berangkatlah, Kakang. Doaku selalu menyertaimu.
Juga untuk keselamatan Putri Bong Mini!" sahut Ningrum mencoba bersikap tegas.
Walaupun hatinya ingin
kembali menangis. Ia berusaha menahannya agar ti-
dak memberatkan kepergian suaminya. Termasuk
Bongkap dan para pengawal.
Setelah mendapat izin dari Ningrum, keenam orang
gagah itu segera keluar dan memacu kudanya masing-
masing untuk mencari jejak Putri Bong Mini.
*** 9 Siang itu matahari bersinar garang. Panasnya tera-
sa seperti mematangkan kulit, memaksa para pejalan
kaki berlindung di bawah payung.
Di tengah siraman sinar matahari yang membakar
bumi itu, tiga lelaki tampak memacu kudanya dengan
cepat. Membuat jalan di sekitarnya dipenuhi kepulan debu yang ditinggalkan oleh
tapak-tapak sepatu kuda.
Ketika sampai di kota Girik, tiga penunggang kuda itu memperlambat lari kudanya.
Sedangkan mata mereka
menyebar pada hiruk-pikuk orang yang berlalu-lalang di sekitar situ.
"Bagaimana kalau kita isi perut dulu. Biar bisa kuat sampai di tujuan," usul
seorang penunggang kuda
yang mengenakan baju lurik berlengan panjang de-
ngan kain dililit sebatas lutut. Sedangkan pada pinggangnya melilit ikat
pinggang yang lebarnya kurang lebih sejengkal. Dialah Prabu Jalatunda.
"Sebaiknya memang begitu," sahut lelaki berjubah
merah dan berambut panjang diikat. Dialah Bongkap.
Sedangkan seorang lagi tidak lain Sang Piao. Dia mengenakan pakaian pangsi warna
putih dengan ujung
celana yang dililit oleh tali sepatu sampai sebatas lutut. Sama seperti Bongkap.
Setelah Bongkap menyetujui usul Prabu Jalatunda,
mereka memacu kuda perlahan untuk mencari warung
nasi. Kebetulan tak jauh dari situ ada sebuah rumah makan merangkap penginapan
yang bernama Rumah
Makan Tan Lok. Nama itu diambil dari nama pemilik-
nya yang berkebangsaan Cina. Tidak heran jika rumah makan itu banyak menyediakan
masakan-masakan
khas Cina. Para pengunjungnya pun memang keba-
nyakan orang-orang bermata sipit.
Seorang pelayan segera menyambut ramah ketika
Bongkap, Prabu Jalatunda dan Sang Piao memasuki
rumah makan itu, lalu mengantar mereka ke sebuah
meja makan yang masih kosong.
"Tolong sediakan nasi putih tiga, lengkap dengan
ikan dan cap-cay-nya. Juga teh dan anggur!" pinta
Bongkap kepada pelayan tadi.
Pelayan tadi membungkuk sopan. Lalu segera
mengambilkan pesanan tamunya.
Sambil menunggu datangnya pesanan, Bongkap
menyebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Di
sana ia melihat banyak sekali orang-orang Cina. Mere-ka asyik menikmati hidangan
sambil sesekali ngobrol dengan orang yang duduk semeja.
Sedang asyiknya Bongkap menikmati suasana
ruangan rumah makan yang ramai oleh pengunjung,
tiba-tiba muncul seorang pemuda dari luar. Umurnya
kurang lebih sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya biasa saja. Bercelana panjang
warna putih dengan baju berlengan panjang yang juga berwarna putih.
Jika dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, pe-
muda itu seperti seorang bangsawan atau seorang
kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-
geriknya. Pemuda itu
langsung melangkah ke barisan meja di mana Bong-
kap, Prabu Jalatunda, dan Sang Piao berada.
Aduh, lapar sekali perutku ini. Tapi tempat ini su-
dah penuh! Gumam pemuda itu dengan mata bergerak
ke sana kemari mencari-cari meja yang kosong. Dan
tanpa disengaja pemuda itu melihat satu bangku ko-
song di dekat Bongkap.
"Maaf saudara-saudara gagah perkasa. Saya meng-
ganggu sebentar!" ucap pemuda itu dengan sikap so-
pan memandang ke arah Bongkap, Prabu Jalatunda,
dan Sang Piao yang tengah duduk menanti hidangan.
Belum sempat ketiganya membuka mulut, pemuda itu
sudah kembali melanjutkan ucapannya. "Seandainya
saudara-saudara tidak keberatan, bolehkah saya me-
numpang di meja ini untuk makan" Tapi seandainya
keberatan tidak mengapa...."
Melihat pemuda berpakaian rapi dengan sikap yang
sopan seperti itu, ketiga orang itu menyambutnya dengan ramah pula. Mereka
berdiri untuk membalas
penghormatan pemuda itu.
Prabu Jalatunda dan Sang Piao memandang Bong-
kap, sebagai isyarat agar Bongkap yang mengambil ke-putusannya.
"Kita sama-sama tamu di restoran ini. Kalau me-
mang saudara suka, kita bisa sama-sama duduk di
meja ini. Silakan!"
"Terima kasih, terima kasih...! Saudara-saudara
sungguh baik sekali!" ucap pemuda itu sambil ter-
senyum senang. Kemudian pandangannya menoleh
pada seorang pelayan yang tak jauh dari tempat itu.
"Pelayan. Tolong hidangkan nasi putih semangkok
dengan ikan serta tiga macam sayuran dan air teh!"
sambungnya kepada pelayan itu yang segera meng-
angguk dan berlalu ke ruang masakan. Bersamaan
dengan itu Bongkap dan tiga orang yang mengelilingi meja itu segera duduk
kembali. "Kalau boleh saya tahu, siapakah nama Saudara?"
tanya Bongkap sambil menatap tajam pada pemuda
yang duduk di hadapannya.
"Nama saya Kian Liong. Seorang pendatang yang
baru dua hari di sini," sahut pemuda itu menyebut
namanya. Karena pemuda itu telah memperkenalkan na-
manya, maka Bongkap, Prabu Jalatunda, dan Sang
Piao pun menyebutkan nama pula.
"Terima kasih Saudara Bongkap dan Saudara ber-
dua. Saya sangat senang sekali bisa duduk di sini dan berkenalan dengan saudara
bertiga!" ucap Kian Liong.
Wajahnya benar-benar girang karena ia merasa disam-
but hangat oleh ketiga lelaki yang baru dikenalnya.
Pada saat itu, dua orang pelayan datang dengan
membawa makanan yang dipesan oleh Bongkap dan
Kian Liong. Kemudian makanan itu dihidangkan di
atas meja. Tiga nasi putih dengan ikan bersama cap-
cay dihidangkan pada Bongkap dan dua orang pengi-
kutnya, Prabu Jalatunda, dan Sang Piao. Sedangkan
nasi putih, ikan bersama tiga macam sayuran dihi-
dangkan di dekat Kian Liong.
"Mari kita makan sama-sama!" ajak Bongkap kepa-
da Kian Liong. Sedangkan pemuda itu menyambut
dengan anggukan dan senyuman ramah. Lalu keem-
patnya sudah terlihat menikmati makanannya masing-
masing dengan lahap.
Tidak lama kemudian, Bongkap, Prabu Jalatunda,
Sang Piao dan Kian Liong telah selesai makan.
"Saya punya urusan penting, Saudara Kian Liong.
Jadi maaf kalau kami bertiga keluar lebih dulu!" pamit Bongkap.
"Ah, tidak apa. Kesediaan kalian bertiga yang telah memberikan tempat untukku
itu pun sudah cukup!"
sahut Kian Liong.
Setelah menyampaikan perkataan maafnya, ketiga
orang gagah perkasa itu keluar ruangan kedai setelah terlebih dulu membayar
makanan yang dipesan mereka tadi. Ketika sampai di luar, ketiganya segera naik
ke punggung kuda. Tapi sebelum menarik tali kekang,
seorang pemuda menyerukan nama Bongkap di depan
pintu rumah makan.
"Bongkap tunggu!"
Ternyata orang yang berseru itu Kian Liong. Ia nam-
pak melompat dengan ringannya ke arah Bongkap.
"Ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepada Anda!"
"Apa itu?" tanya Bongkap dengan kening berkerut.
"Apa Anda mengenal Bong Kian Fu?" tanya Kian
Liong. Bongkap dan Sang Piao sama terkejutnya. Mereka
saling berpandangan heran. Karena nama yang dis-
ebutkan pemuda itu adalah namanya sendiri. Nama
asli ketika ia tinggal di negeri Manchuria.
"Apa ada sesuatu yang penting dengan orang itu?"
Bongkap balik bertanya.
"Begitulah, Saudara Bongkap. Saya ingin menemui
dia karena hendak meminta bantuannya," sahut Kian
Liong. Bongkap tampak mengangguk lamat.
"Kalau begitu mari kita pergi sama-sama untuk
mencari tempat yang lebih baik. Aku ingin mendengar ceritamu," ajak Bongkap.
"Apakah Anda kenal dengan Bong Kian Fu?"
"Walau tidak kenal, tapi bila sudah mendengar
maksudnya, saya bisa turut menolongmu untuk men-
carinya," sahut Bongkap, menyembunyikan dirinya.
Kian Liong mengangguk. Lalu ia segera menghampi-
ri kudanya dan melompat ke punggungnya. Secepat itu pula mereka berempat telah
memacu kuda masing-masing.
Selang sepeminum teh, mereka berhenti di sebuah
hutan. Lalu keempatnya turun dari punggung kuda
dan duduk pada tempat yang terlindung oleh daun pe-
pohonan yang rindang.
"Kalau boleh saya tahu, dari mana asalmu?" tanya
Bongkap langsung pada pembicaraan pokok.
"Saya berasal dari negeri Tiongkok. Tepatnya dari
negeri Manchuria," kata Kian Liong, menjelaskan asal usulnya.
Lagi-lagi Bongkap dan Sang Piao terkejut mende-
ngar penjelasan Kian Liong. Dan yang membuatnya
heran, kenapa pemuda itu tidak mengenali dirinya sebagai Bong Kian Fu" Padahal
nama itu telah banyak
dikenal oleh orang-orang penduduk negeri Manchuria.
Bukan saja oleh kalangan atas, tetapi juga oleh kaum rakyat jelata. Tapi kini,
pemuda di hadapannya, yang mengaku berasal dari negeri Manchuria tidak mengenal
dirinya. "Apakah Saudara Kian Liong mengenali wajah Bong
Kian Fu?" tanya Bongkap dengan pandangan mata pe-
nuh selidik. "Saya tidak begitu mengenalnya, Saudara Bongkap.
Kebetulan saya dulunya tinggal di negeri Yunan dan
belum berapa lama ini pindah ke negeri Manchuria,"
jawab Kian Liong.
Bongkap mengangguk-angguk. Dia mulai mengerti
kenapa pemuda itu tidak mengenal dia sebagai Bong
Kian Fu yang dicarinya.
"Keperluanmu sekarang dengan Bong Kian Fu?"
"Saya ingin minta bantuan beliau untuk dapat me-
nolong rakyat Manchuria. Karena pada saat ini rakyat tengah dicekam oleh rasa
takut dan kemiskinan. Raja Manchuria semakin bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat. Melakukan pemerasan dan kekerasan
lewat upeti-upeti yang dimintanya," jelas pemuda itu.
"Terus?" tanya Bongkap ingin mengetahui sedalam-
dalamnya. "Menurut penduduk yang sudah lama tinggal di sa-
na, dulu pernah ada yang menentang kehendak raja
itu. Orang itu bernama Bong Kian Fu yang lebih di-
kenal dengan nama Kapten Kang karena dia seorang
Panglima Perang Kerajaan Manchuria. Dialah yang
kemudian melakukan perlawanan terhadap raja dan
membawa sebagian pengikutnya ke negeri ini ketika
berhasil mengalahkan pasukan raja. Oleh karena itu
saya datang ke sini untuk mencarinya agar bisa mem-
bantu rakyat yang sedang menderita kembali. Sekali-
gus ingin menyampaikan kabar lain kepadanya," urai
Kian Liong panjang lebar.
"Kabar apa itu?" tanya Bongkap lagi semakin ingin
tahu. "Raja Manchuria akan menuntut balas terhadap
Bong Kian Fu yang telah berhasil mengalahkan pasu-
kannya. Lalu secara bertahap dia mengirimkan orang-
orang pilihan ke negeri ini untuk menangkapnya, baik hidup atau mati!"
Bongkap kembali mengangguk-angguk. Pantas ada
orang perampok bertopeng yang mengetahui namaku
ketika terjadi pertempuran saat melakukan perjalanan menuju Bukit Gunung Muda,
pikirnya. Mungkin mereka orang-orang yang dikirim Raja Manchuria untuk
melakukan penyergapan terhadapnya. Dan di sini me-
reka bergabung dengan orang-orang Perguruan Topeng
Hitam. "Saudara Bongkap. Kalau boleh saya tahu, kenapa
Anda begitu bersikeras untuk mengetahui tujuanku
mencari Bong Kian Fu?" kini Kian Liong yang balik
bertanya. Bongkap menghela napas sambil memandang Kian


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong dengan tajam.
"Ketahuilah Saudara Kian Liong. Orang yang kamu
cari itu sekarang berada di sini," ujar Bongkap dengan sikap tenang.
Kian Liong bukan main terperanjatnya mendengar
penjelasan Bongkap. Lalu sepasang matanya menatap
pada Bongkap dan Sang Piao bergantian, mencoba
menebak-nebak yang bernama Bong Kian Fu.
"Akulah yang bernama Bong Kian Fu!" akhirnya
Bongkap memperkenalkan diri.
"Apa Anda tidak main-main, Saudara Bongkap?"
tanya Kian Liong dengan wajah yang masih menun-
jukkan keterkejutan.
Bongkap menggeleng sambil tersenyum.
"Dan Sang Piao ini adalah pengikut setiaku yang tu-
rut bertempur melawan kelaliman Raja Manchuria!"
kembali Bongkap menjelaskan, meyakinkan orang di
hadapannya. Kian Liong mengangguk-angguk dalam keterpana-
annya. "Di negeri ini kuubah namaku dengan sebutan
Bongkap agar orang-orang Manchuria tidak mengeta-
hui siapa sebenarnya Bongkap itu," ungkap Bongkap
lagi. Kian Liong kembali mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana dengan keputusan Anda dengan
maksud saya tadi?" tanya Kian Liong ingin segera
mengetahui. Sebab bagaimana pun juga ia sangat ber-
harap kalau Bongkap mau membantunya. Karena wa-
lau ia sudah berada di negeri ini, tentu Bongkap pun tidak akan melupakan negeri
asalnya. Negeri yang telah melahirkan dan membesarkannya.
"Apa yang kau sampaikan tadi mengenai nasib rak-
yat negeri Manchuria, tentu menjadi pemikiranku pu-
la. Tapi aku tidak bisa segera meluluskan permoho-
nanmu dan berangkat ke sana. Sebab pada saat ini
aku pun sedang dalam urusan penting. Mencari putri-
ku yang diculik orang-orang bertopeng," sahut Bong-
kap menjelaskan.
Kian Liong terdiam. Hatinya sedikit menyimpan ke-
kecewaan terhadap Bongkap yang tidak bisa segera berangkat bersama ke negeri
Manchuria. "Bukan berarti aku mendahulukan kepentingan pri-
badiku, tetapi karena putriku itu satu-satunya yang dapat memberikan semangat
perjuanganku. Jika sekarang aku berangkat ke sana akan sia-sia jadinya. Sebab
pikiranku selalu terganggu oleh bayangan putriku yang nasibnya belum kuketahui,"
tutur Bongkap lagi
seperti dapat menangkap kekecewaan Kiang Liong.
Kian Liong menghela napas. Ia mulai maklum de-
ngan keadaan Bongkap.
"Tidak apa jika Saudara Bongkap tidak bisa segera
ke sana. Tapi saya berharap, jika putri Anda telah berhasil diketemukan kembali,
segeralah ke sana. Kami
benar-benar sangat mengharapkan!" pinta Kian Liong
penuh harap. "Bila Yang Kuasa memberiku umur dan putriku bi-
sa diketemukan kembali, aku akan segera ke sana. Karena bagaimanapun juga,
Manchuria negeri kelahiran-
ku sendiri!" janji Bongkap.
"Terima kasih Saudara Bongkap. Tapi izinkanlah
saya untuk menyertai Anda di sini. Kita sama-sama
mencari putri Anda!" ucap Kian Liong.
"Terima kasih atas kesediaanmu yang ingin turut
serta dengan kami. Tapi dengan berat hati saya tidak dapat menerimanya!" tolak
Bongkap hati-hati agar tidak menyinggung perasaan pemuda di hadapannya.
"Kenapa" Apakah Saudara Bongkap meragukan ke-
mampuanku?" tanya Kian Liong agak tersinggung de-
ngan penolakan Bongkap.
Bongkap menggeleng sambil tersenyum.
"Bukan begitu Saudara Kiang Liong. Justru dengan
kemampuanmu itu aku berharap kau bisa kembali ke
negeri Manchuria. Sebab di sana, orang-orang lebih
membutuhkanmu. Ajarilah mereka ilmu-ilmu yang
kamu miliki agar pada waktunya nanti pasukan kita
sudah terhimpun dan siap melakukan pemberonta-
kan!" kata Bongkap mengemukakan alasannya.
Kian Liong mengangguk paham. Perasaan tersing-
gungnya telah berubah menjadi kegembiraan setelah
mendengar alasan Bongkap. Saran Bongkap itu pun
diterimanya dengan senang hati.
"Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan kita ma-
sing-masing!" ajak Bongkap lagi sambil berdiri. Se-
sungguhnya ia tak ingin membuang-buang waktu lagi.
Ia ingin segera kembali merebut putrinya dari tangan orang-orang Perguruan
Topeng Hitam. Prabu Jalatunda, Sang Piao, dan Kian Liong turut
bangkit dari duduknya. Mereka berjalan menuju kuda
masing-masing. "Selamat jalan, Kian Liong. Dan ingat! Jangan bica-
rakan pertemuanmu denganku kepada siapa pun, se-
belum aku datang ke sana!" pesan Bongkap sebelum
menarik tali kekang kudanya.
"Jangan khawatir, Saudara Bongkap. Itu sudah jadi
pertimbanganku!" sahut Kian Liong sambil tersenyum.
Lalu ia segera menarik tali kekang kudanya dengan
penuh rasa gembira. Disaksikan oleh tiga pasang mata yang memandang kepergiannya
sampai pemuda itu
menghilang ditelan rimbun pepohonan Hutan Roban.
Setelah itu, barulah mereka bertiga memacu kudanya
menuju utara. Belum jauh kuda yang ditunggangi mereka berjalan,
tiba-tiba sekelompok pasukan orang berkuda datang
menghadang dari arah yang berlawanan. Jumlah me-
reka cukup banyak. Kurang lebih mencapai dua puluh
orang. Tubuh mereka sedang-sedang saja, namun ga-
gah. Mereka rata-rata bercelana pangsi warna hitam
dengan baju rompi yang juga berwarna hitam. Seperti halnya wajah mereka yang
juga berwarna hitam meng-kilat karena terkena sinar matahari.
"Mereka pasti orang-orang Perguruan Topeng Hi-
tam!" cetus Bongkap dengan mata tak berkedip me-
mandang dua puluh orang yang menghadang mereka.
Dan ketika jarak mereka telah berada sekitar sepuluh meter, Bongkap segera
menghentikan kudanya. Begitu
pula dengan Prabu Jalatunda dan Sang Piao.
"Siapakah kalian ini. Dan kenapa menghalangi per-
jalanan kami?" tanya Bongkap lembut namun penuh
waspada. Salah seorang di antara mereka yang menjadi pe-
mimpin pasukan menarik tali kekang kudanya untuk
maju selangkah.
"Kami adalah orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Kalian sendiri siapa?" tanya pemimpin pasukan ber-
kuda itu dengan wajah bengis.
"Kebetulan sekali kalau begitu. Kedatanganku ke
sini justru untuk berjumpa dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam, terutama
pemimpinnya," sahut
Bongkap dengan geram setelah mendengar kata-kata
lelaki tadi. Ia yakin, merekalah yang telah melakukan perampokan di Desa Gunung
Muda dan menculik putrinya. Hanya saja sekarang ini mereka berhadapan
tanpa menggunakan topeng.
"Apa maksud kalian hendak menghubungi pemim-
pin kami?" tanya pemimpin pasukan berkuda itu.
"Kau sebagai budak Perguruan Topeng Hitam tak
perlu tahu. Nah, menyingkirlah!" halau Bongkap. Se-
ngaja ia mengejek untuk memancing kemarahan la-
wannya. "Bangsat. Beraninya kau menghinaku!" geram pe-
mimpin pasukan berkuda itu. Kemudian tangannya
segera memberi aba-aba kepada teman-temannya. Ma-
ka serentak pasukan berkuda itu maju dengan golok-
golok terhunus. Sedangkan pihak Bongkap sendiri su-
dah siap untuk melakukan perlawanan. Pada detik itu pula, terjadi pertempuran
sengit yang tidak seimbang.
Tiga lawan sembilan belas orang.
Tringngng! Trangngng!
Senjata yang saling berbentur keras itu menimbul-
kan suara dentingan yang amat nyaring. Malah pijar-
pijar api yang ditimbulkannya terlihat berkerjap. Walaupun cahaya percikan api
itu pucat karena tertimpa cahaya matahari yang bersinar kuat.
Menghadapi empat orang pengeroyok, Bongkap sa-
ma sekali tidak gentar. Malah dengan lincah dan gigih dia menangkis, meloncat
dan bersalto. Bahkan sesekali ia membabatkan pedangnya dengan cepat ke arah
lawan. Wettt! Wettt! Angin keras yang ditimbulkan oleh sabetan golok
lawan terasa berseliwer di sekitar tubuh Bongkap. Serangan golok pertama
menyambar ke arah leher, se-
dangkan golok lawan lainnya menyambar ke kaki
Bongkap. Tapi dengan kemampuan jurus-jurus kung-
funya, Bongkap menghindari serangan-serangan yang
amat gencar itu. Bahkan pada kesempatan yang ada,
ia dapat menjulurkan tangannya untuk mencengkeram
leher lawan yang paling dekat.
"Aaakh!"
Salah seorang lawannya terpekik tertahan. Lalu tu-
buhnya berkelojotan berputar bagai ayam disembelih
sampai akhirnya tak berkutik lagi dengan leher mem-
biru akibat cengkeraman Bongkap yang demikian ke-
ras karena mengandung tenaga dalam. Kemudian, se-
telah berhasil membunuh seorang lawannya, Bongkap
menarik tubuhnya kembali ke belakang seraya me-
nangkis serangan-serangan ketiga golok lawannya.
Senjata lawan menyambar-nyambar dengan kecepa-
tan deras, tanpa memberikan kesempatan sedikit pun
kepada Bongkap untuk melakukan perlawanan, kecua-
li menangkis, bersalto dan berguling-gulingan di atas tanah. Dalam keadaan
bergulingan itu, diam-diam
Bongkap mengambil segenggam tanah yang bercampur
pasir. Campuran tanah dan pasir dilemparkan ke mata ketiga lawannya, sehingga
ketiga lawannya yang lengah itu langsung menghentikan serangan karena ma-
ta mereka terkena siraman pasir. Pada kesempatan
yang baik itu, Bongkap segera bangun dan mengayun-
kan pedangnya ke tubuh ketiga lawannya yang masih
sibuk mengucek-ucekkan mata.
Bret! Bret! Bles!
Dengan tenang pedang Bongkap merobek dan me-
nusuk perut lawannya. Dalam sekejap ketiga lawannya roboh bersimbah darah.
Setelah ketiga pengeroyoknya mati, Bongkap tidak
membuang-buang waktu lagi. Dia segera melompat
dan menyambar tubuh orang-orang Perguruan Topeng
Hitam yang sedang menyerang Prabu Jalatunda.
Singngng...! Sinar pedang Bongkap menyambar leher seorang
pengeroyok Prabu Jalatunda. Orang yang terkena sa-
betan pedang itu terhuyung berputar, dan akhirnya
ambruk dengan kepala yang hampir putus dari badan-
nya. Tanpa melihat bagaimana nasib lawannya yang ter-
kena sabetan pedangnya, Bongkap melanjutkan sera-
ngan ke arah orang-orang Perguruan Topeng Hitam
lain. Crokkk! Pedang Bongkap yang mengarah pada leher lawan-
nya yang lain dapat ditahan lawannya. Akibatnya, tangan lawan yang digunakan
untuk menangkis pedang
Bongkap terbabat putus sampai sebatas siku. Namun
demikian lawannya yang terkena sabetan pedang itu
tetap memberikan perlawanan, tanpa menghiraukan
tangan kirinya banyak mengucurkan darah segar.
Dengan mudah Bongkap menangkis lalu menyerang
kembali lawannya yang buntung itu dengan memba-
batkan pedangnya ke tangan kanan lawan hingga bun-
tung pula. Melihat lawannya tidak berdaya, Bongkap tidak
membuang-buang waktu lagi. Ditinggalkan lawannya
yang buntung itu. Lalu beralih pada lawan lain yang sedang mengeroyok Prabu
Jalatunda dan Sang Piao.
Di saat Bongkap membantu Prabu Jalatunda dan
Sang Piao, sepintas matanya mampu menangkap pe-
mimpin pasukan orang bertopeng menarik tali kekang
kudanya untuk lari meninggalkan kancah pertempu-
ran. Bergegas Bongkap melompat dengan mengguna-
kan ilmu peringan tubuhnya untuk menghadang.
"Mau lari ke mana kau, Cacing Kremi!" bentak
Bongkap seraya menuding ke arah pemimpin pasukan
itu dengan pedangnya yang berlumur darah.
Orang itu terkejut bukan main dihadang tiba-tiba
seperti itu. Namun ia mencoba bersikap tenang kemba-li. Lalu sambil menarik tali
kekang kudanya, pemimpin pasukan itu langsung menyerang Bongkap dengan
pedangnya. Trangngng! Trangngng!
Dua sinar berkelebat ketika kedua pedang itu dige-
rakkan ke arah lawan masing-masing.
Cringngng! Trangngng!
Tangan pemimpin pasukan berkuda itu bergetar
hebat ketika pedangnya ditangkis dengan cepat oleh
lawan. Sehingga tubuhnya terlompat dari punggung
kuda. Bongkap tidak ingin memberikan kesempatan kepa-
da lawannya itu. Ia segera menyerang dengan pedang-
nya yang berkelebat di sekitar tubuh lawan.
"Kamu harus mati di tanganku, Pengecut!" teriak
Bongkap sembari menyambarkan pedangnya ke arah
lawan. Tapi dengan mudah serangan itu dielakkan oleh lawan. Sehingga terkaman
pedang Bongkap luput dari
sasaran. Walaupun lawannya mempunyai kepandaian ilmu
silat masih di bawahnya, Bongkap diam-diam memuji.
Ketangguhan pemimpin pasukan ini lebih gigih diban-
dingkan dengan temannya yang lain. Sedangkan la-
wannya pun sangat terkesan dengan kehebatan Bong-
kap. Dia mengakui sendiri bahwa kepandaiannya ma-


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih jauh di bawah lawan. Namun demikian ia tetap berusaha bertahan sedapat
mungkin. Trangngng! Dua pedang yang berlainan arah kembali bertemu
dengan keras, hingga tubuh keduanya terdorong mun-
dur dua tindak. Mereka mengakui kehebatan tenaga
dalam masing-masing yang disalurkan lewat pedang
mereka. Pemimpin pasukan ingin segera menyelesaikan per-
tarungan dengan cara melarikan diri. Tapi sayangnya dia tidak mempunyai
kesempatan untuk itu. Sebab
Bongkap sendiri berniat hendak menyelesaikan perke-
lahian itu dengan menghabisi lawannya. Oleh karena
itu ia tidak henti-hentinya menerjang dan mencecar.
Pedang pemimpin pasukan segera berkelebat dari
samping untuk menangkis senjata lawan, disertai de-
ngan pengerahan tenaga dalam yang mempunyai daya
tempel yang sangat kuat. Sehingga ketika kedua pe-
dang itu kembali bertemu, maka pedang itu terus me-
lekat dan hal ini sangat terasa oleh Bongkap. Lalu bersamaan dengan itu pula
tangan kiri musuh sudah
menghantam ke arah dada Bongkap dengan telapak
tangan terbuka. Sehingga bila telapak tangannya itu dihentakkan ke dada Bongkap,
maka ia akan terkejut
dan dengan mudah pedangnya menusuk bagian tubuh
lawan. Tapi orang yang dihadapinya itu bukan orang
yang baru terjun ke dunia persilatan. Malah boleh dikatakan dia lebih banyak
hidup di tengah dentingan
suara pedang dan baunya amis darah. Oleh karena itu, di saat lawannya hendak
memukulkan ilmu tenaga dalam lewat tangan kirinya, Bongkap pun segera mena-
hannya lewat tangan kiri pula dengan jari-jari tangan terbuka dan mendorongnya
dengan cepat. Plak! Dua telapak tangan itu saling bertemu dan saling
menempel hingga sukar untuk dilepaskan kembali.
Begitu pula dengan kedua pedang mereka yang tetap
masih menempel, hingga jalan satu-satunya yang ha-
rus mereka lakukan adalah mengerahkan ilmu tenaga
sakti untuk merobohkan lawan. Dan untuk terakhir ini keduanya harus mengerahkan
ilmu tenaga dalam yang
amat kuat. Siapa yang kalah tentulah dia yang akan
putus nyawanya. Dan kebetulan dalam hal adu tenaga
ini, Bongkap lebih banyak menguasai ketimbang la-
wannya. Sehingga dalam beberapa saat saja, lawannya merasakan betapa kuat
dorongan tenaga Bongkap,
membuat tubuhnya gemetaran. Keringat dingin pun
mulai bercucuran di sekitar wajahnya. Sedangkan uap putih mengepul dari
kepalanya. Aku benar-benar akan mati hari ini..., pikir pimpi-
nan pasukan itu. Dan untuk mengelaknya tidak lain ia harus tetap mempertahankan
diri sampai akhir hayat-nya.
"Aaakh!"
Tiba-tiba pimpinan pasukan itu terpekik tertahan.
Dia merasakan tubuhnya panas seperti terbakar. Wa-
jahnya yang hitam semakin gersang. Begitu pula de-
ngan kedua matanya yang berubah merah bagai darah
mendelik mengerikan. Sedangkan dari mulutnya ke-
luar darah kental kehitam-hitaman seperti habis digo-dok. Dan bersamaan itu pula
tubuhnya langsung ro-
boh disertai pekikan yang sangat mengerikan. Lalu telapak tangannya yang tadi
menempel pada telapak
tangan Bongkap terlepas dan berubah hangus. Se-
dangkan Bongkap sendiri tubuhnya terasa lemas kare-
na tenaganya yang hampir terkuras. Sedangkan keri-
ngatnya membasahi sekujur tubuhnya. Namun demi-
kian dengan perasaan lega dan puas, ia menatap pim-
pinan pasukan orang-orang Perguruan Topeng Hitam
itu. Lalu ia melangkah menuju tempat di mana Prabu
Jalatunda dan Sang Piao sedang bertempur. Di sana ia melihat pertempuran menjadi
seimbang. Empat dari
pihak Perguruan Topeng Hitam berhadapan dengan
Prabu Jalatunda dan Sang Piao. Sedangkan lima belas orang-orang Perguruan Topeng
Hitam semuanya sudah
tergeletak di tanah disertai lumuran darahnya sendiri.
Melihat pertempuran yang mulai seimbang itu,
Bongkap hanya duduk santai menyaksikan. Sekaligus
memulihkan kembali tenaganya yang sudah terkuras
habis. Singngng! Singngng! Wuttt! Wuttt!
Pedang Sang Piao menyambar dengan kecepatan
penuh serta terisi kekuatan yang amat dahsyat sehing-
ga tampak berkilauan diiringi suara bersuitan ketika pedangnya membelah udara.
Kejadian itu tak lepas da-ri pengamatan Bongkap yang memperhatikannya den-
gan terkagum-kagum. Ia benar-benar memuji keheba-
tan dan keindahan gerakan ilmu pedang yang dimiliki Sang Piao. Kemudian mata
yang terkagum-kagum itu
berubah terbelalak terkejut. Karena dalam waktu yang begitu cepat, pedang Sang
Piao telah menebas perut
dan leher kedua lawannya. Hingga dalam detik itu pula kedua lawannya roboh
dengan badan berlumur darah.
Di pihak lain, Prabu Jalatunda pun telah berhasil
membunuh seorang lawannya. Tinggallah kini ia ber-
hadapan dengan seorang lawannya lagi. Tapi ketika
melihat teman-temannya sudah tergeletak semuanya
dengan bermandikan darah, orang itu segera mundur
untuk mengambil langkah seribu. Namun baru bebe-
rapa langkah, tubuhnya jadi terpental hebat dan
membentur sebuah batang pohon yang tumbuh di se-
kitar situ. Ternyata Bongkap yang melakukan itu. Ia memukul orang Perguruan
Topeng Hitam itu dengan
menggunakan pukulan jarak jauh.
Bongkap segera menghampiri lawan yang meringis-
ringis menahan sakit itu. Dan dengan sikap tubuh
yang gagah, ia berdiri di hadapan lawannya yang ma-
sih duduk menahan sakit di punggung dan pantatnya.
"Sebelum aku membebaskanmu, cepat kau kata-
kan, di mana putriku kalian sembunyikan!" bentak
Bongkap sembari menuding muka orang itu dengan
ujung pedangnya.
"Aku..., aku tidak tahu mengenai putrimu!" sahut
orang itu terbata karena menahan sakit dan rasa ta-
kut. "Bohong!" bentak Bongkap dengan suara meninggi.
Sepasang matanya memancar penuh kemarahan. "Sa-
lah seorang pemimpin pasukan kalian telah membawa
lari putriku dan tentunya kamu sebagai orang Pergu-
ruan Topeng Hitam mengetahui, di mana sekarang pu-
triku berada!"
Lelaki dari Perguruan Topeng Hitam itu diam bebe-
rapa saat. Dia sudah menduga bahwa pimpinan pasu-
kan yang dimaksud itu adalah Giwang, yang melaku-
kan perampokan kemarin malam dan berhasil mem-
bawa seorang gadis. Namun dalam laporannya, Giwang
menyatakan bahwa gadis itu raib saat ia menjinakkan kudanya yang mendadak
mengamuk. Apakah laporannya benar atau tidak, ia sendiri tidak tahu. Sebab ia
tidak ikut dalam pasukan yang dipimpin Giwang. Ia
bersama teman-temannya yang lain ditugaskan untuk
memata-matai orang yang dianggap mencurigakan.
"Aku..., aku benar-benar tidak tahu mengenai pu-
trimu!" gemetaran tubuh lelaki itu ketika menjawab.
"Bedebah!" geram Bongkap. Kemudian pedang yang
sejak tadi diarahkan ke muka lelaki itu segera menebas perutnya. Hingga dalam
detik itu juga lelaki tadi mengerang-ngerang dan akhirnya diam selama-lama-nya.
Prabu Jalatunda dan Sang Piao sangat terkejut me-
lihat kebuasan Bongkap dalam menghabisi lawannya.
Tetapi mereka sendiri maklum. Karena kekalapan
Bongkap disebabkan oleh perbuatan orang-orang Per-
guruan Topeng Hitam yang menculik putri kesaya-
ngannya, Putri Bong Mini.
Bongkap memandang puas mayat-mayat yang ber-
gelimpangan di hadapannya. Kemudian dengan sikap
tenang dan berwibawa ia memasukkan pedangnya ke
dalam sangkur yang terbuat dari perak. Lalu ia duduk seperti orang beristirahat.
Begitu pula dengan Prabu Jalatunda dan Sang Piao.
"Apakah kita harus melanjutkan perjalanan untuk
mencari Putri Bong Mini, Tuan?" tanya Sang Piao.
"Ya. Bagaimanapun kita harus mencarinya," sahut
Bongkap cepat. "Apakah sebaiknya tidak ditunda dulu, Bongkap?"
tanya Prabu Jalatunda mencoba menyampaikan saran.
"Bagaimana mungkin, Prabu" Menunda waktu be-
rarti kita telah membiarkan nasib putriku semakin tak karuan. Apalagi sekarang
ini putriku berada di tangan orang-orang kotor. Orang-orang Perguruan Topeng
Hitam yang sudah kita kenal kebiadabannya!" kilah
Bongkap tidak menyetujui usul sahabatnya.
"Tapi, walaupun kita terus mencarinya, tak akan
mungkin kita segera mendapatkannya. Orang-orang
Perguruan Topeng Hitam berjumlah tak terbilang. Dan mereka pun mempunyai
pemimpin pasukan yang tidak
bisa dianggap remeh. Diperkuat lagi dengan berga-
bungnya Yang Seng dengan mereka. Karena bagaima-
napun juga kehadiran Yang Seng di perguruan itu ha-
rus kita perhitungkan!" kata Prabu Jalatunda membe-
rikan alasan. Bongkap terdiam. Ia membenarkan alasan yang di-
kemukakan sahabatnya.
"Kita tak mungkin dapat menembus ke markas Per-
guruan Topeng Hitam berada. Karena hampir di setiap tempat mereka mengirim
antek-anteknya!" tambah
Prabu Jalatunda lagi.
Bongkap terangguk-angguk. Ia memang menyadari
sepenuhnya betapa banyak jumlah orang-orang Pergu-
ruan Topeng Hitam yang tersebar di seluruh pelosok.
Bukan saja di perkampungan, tetapi juga di setiap bukit dan hutan-hutan.
Penjagaan mereka benar-benar
ketat seperti lapis baja yang sulit ditembus.
"Baiklah, saran Prabu saya terima. Tentang putriku,
kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Aku yakin Dia
selalu berpihak pada orang-orang yang benar dan sela-lu memberikan pertolongan-
Nya!" kata Bongkap, pe-
nuh kepasrahan terhadap nasib putrinya, Bong Mini.
Prabu Jalatunda dan Sang Piao tersenyum. Lalu ke-
tiganya naik ke punggung kuda dan memacunya. Tu-
juan mereka adalah mencari para pendekar untuk ber-
gabung memerangi kebiadaban orang-orang Perguruan
Topeng Hitam. Gabungan kekuatan yang terbentuk
nanti diharapkan mampu menumpas Perguruan To-
peng Hitam yang telah menjadi wabah kejahatan.
Nah, di manakah sebenarnya Putri Bong Mini bera-
da" Berhasilkah Bongkap dan Prabu Jalatunda mene-
mukannya" Lalu, bagaimana dengan permintaan Kian
Liong, yang mengharapkan Bongkap untuk me-
nyelamatkan negeri Manchuria dari tekanan seorang
raja yang lalim" Apakah Bongkap sanggup mengabul-
kan permohonan Kian Liong tersebut"
Nah, untuk jawabannya silakan Anda ikuti serial
Putri Bong Mini dalam episode: 'Pedang Teratai Merah'.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** *** 5 *** 6 *** *** 7 *** *** 8 *** *** 9 SELESAI Lembah Nirmala 20 Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 11
^