Pencarian

Hilangnya Seorang Pendekar 1

Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Bagian 1


HILANGNYA SEORANG PENDEKAR oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Waktu terus merayapi malam. Lampu-lampu obor
yang dipasang di setiap sudut ruangan sebuah kedai
tampak bergoyang-goyang, tertiup oleh semilir angin malam yang masuk ke ruangan
rumah makan itu.
Di warung makan yang cukup luas itu, tampak em-
pat lelaki duduk di ruang tengah sambil menikmati hidangan yang disediakan oleh
pemilik warung. Cara
makan mereka tampak begitu sopan. Tidak buru-buru
dan tanpa cakap. Kalaupun terjadi percakapan hanya
sesekali saja. Itu pun bila benar-benar perlu.
Keempat lelaki itu tampaknya orang-orang Melayu
asli. Selain matanya yang tidak sipit, pakaian yang dikenakan juga menunjukkan
kalau mereka orang-orang
pribumi. Di sudut ruangan yang agak remang, duduk seo-
rang perempuan bermata sipit berambut panjang dike-
pang dua ke belakang. Sedangkan pada bagian mu-
kanya dipotong poni sampai sebatas alis mata.
Perempuan bermata sipit dengan alis mata seperti
bentuk pedang itu bertubuh kecil. Namun demikian,
dari gurat-gurat wajahnya tampak kalau perempuan
itu sudah beranjak remaja. Dialah Bong Mini, si gadis mungil dari Tiongkok yang
berkelana di kawasan Pulau Bangka.
Mata Bong Mini terus memperhatikan empat lelaki
yang ada di depannya. Wajahnya sedikit agak kagum.
Karena selama ini ia baru melihat orang yang begitu sopan.
"Kita terpaksa harus mencari penginapan sampai
kita dapatkan orang yang kita cari," kata seorang dari keempat lelaki itu.
"Ya, apa boleh buat. Kita belum diperbolehkan pu-
lang sebelum mendapatkan orang-orang yang diingin-
kan juragan kita," sahut seorang temannya yang du-
duk menghadap ke arah Bong Mini.
Hm..., jadi mereka sedang mencari orang, gumam
Bong Mini dalam hati, yang mendengar percakapan itu dengan jelas. Lalu siapa
orang-orang yang mereka ca-ri" Sebelum Bong Mini mendengar percakapan mereka
lebih jauh lagi, tiba-tiba muncul orang-orang berwajah beringas dan kasar.
Mereka datang berempat dan duduk di salah satu meja.
Melihat kedatangan mereka, suami istri pemilik wa-
rung yang telah dikenal oleh Bong Mini tampak keta-
kutan. "Sediakan kopi, cepat!" bentak salah satu dari
keempat orang itu. Empat orang itu pun telah dikenal oleh Bong Mini. Mereka
adalah anak buah Yang Seng
yang pernah mengeroyoknya beberapa waktu lalu keti-
ka ia dan papanya hendak pulang.
Mendapat bentakan tadi, istri pemilik warung sege-
ra membuatkan empat gelas kopi dan menyuruh anak
gadisnya untuk mengantarkan. Tapi gadis itu menolak.
Baru ketika dipaksa oleh papanya, gadis itu mengan-
tarkan kopi dan meletakkannya di atas meja keempat
lelaki yang tergabung dalam Partai Persatuan Ular Hitam.
Ketika gadis itu hendak kembali ke tempat semula,
tiba-tiba seorang dari mereka segera menarik ta-
ngannya dengan kasar.
"Jangan, Bang. Jangan ganggu saya," pinta gadis
itu meronta-ronta.
"Alaaa, temani kami ngobrol di sini sebentar," kata lelaki yang menarik tangan
gadis itu sambil berusaha
memeluk bahu sang gadis yang tidak tertutup baju.
Karena kain yang dikenakannya hanya menutupi tu-
buh sampai sebatas dada.
"Jangan, Bang. Saya tidak mau!" kata gadis itu lagi sambil terus meronta-ronta
minta dilepaskan.
"Sebentar, sebentar saja," ujar lelaki itu lagi dengan tetap berusaha memeluk
dan menciumnya. Disaksikan
oleh ketiga temannya yang hanya tertawa tergelak-
gelak. Melihat anak gadisnya dipeluk-peluk secara paksa,
suami istri pemilik warung itu hanya melihat dengan wajah cemas. Mereka tidak
berani menentang. Karena
mereka tahu, siapa keempat lelaki yang tengah meng-
ganggu anak gadisnya.
Di saat keempat lelaki itu tengah berusaha mengge-
rayangi tubuh calon korbannya, tiba-tiba terdengar
suara benda yang jatuh di meja mereka.
Prak! Keempat lelaki yang sedang dilanda gejolak nafsu,
serentak menghentikan aksi mereka, lalu menoleh ke
arah orang yang melakukan itu. Ternyata Bong Mini
sudah berdiri tegak di belakang mereka.
"Lagi-lagi kau!" dengus seorang di antara mereka
yang sudah mengenal Bong Mini.
"Heh, ada perempuan cantik dari seberang yang
minta disentuh," seloroh lelaki yang belum mengenal siapa sebenarnya Bong Mini.
Sebab tiga dari keempat orang itu belum pernah ikut bertempur melawan Sepasang
Pendekar dari Selatan yang terjadi beberapa wak-tu lalu.
Lelaki itu berdiri terkekeh-kekeh di belakang Bong
Mini sambil berusaha memeluk pinggangnya. Namun
sebelum niatnya terlaksana, Bong Mini telah meng-
hadiahkan pukulan siku tangan ke dadanya, sehingga
ia terpental ke sudut ruangan. Diiringi dengan semburan darah dari mulutnya.
Lelaki yang terkena siku tangan Bong Mini menjadi
berang. Ia tidak mengira kalau gadis mungil itu mam-pu menjatuhkannya dengan
pukulan yang demikian
keras. "Perempuan sialan!" dengus lelaki yang mengelua-
rkan darah dari mulutnya itu sambil berusaha bangkit untuk menyerang Bong Mini.
Namun sebelum sera-ngannya dilakukan, tubuh Bong Mini telah lebih dulu meloncat
ke luar dan berdiri tegak di halaman warung itu. Lelaki tadi menyusul Bong Mini
ke luar dari kedai dengan rasa penasaran yang membludak di dadanya.
Sesampainya di halaman kedai, ia langsung melabrak
Bong Mini. "Hiaaat! Hih!"
Teriak lelaki itu diiringi saat tubuhnya meluruk untuk menyerang Bong Mini
dengan jurus silatnya. Teta-pi dengan tenang, Bong Mini mengelakkan badannya
sedikit ke samping, disusul dengan pukulan siku tangannya yang tepat mengenai
punggung lawan. Sehing-
ga lelaki itu terhuyung lalu jatuh mencium batu besar di hadapannya. Seketika
itu juga darah meleleh dari hidung dan mulutnya.
Melihat lelaki itu jatuh dan tak mampu bangun lagi, ketiga temannya segera
menyerang Bong Mini dengan
pekikan-pekikan yang amat keras.
"Hiaaat!"
Tubuh Bong Mini melenting ringan dengan mem-
buat putaran dua kali di udara. Lalu turun dengan gerakan menendang ke arah dua
lawan. Bug! Bug! Tendangan Bong Mini yang cukup keras mengenai
rahang dan dada kedua lawan yang berada di sisi kiri dan kanannya.
Tubuh kedua lawan yang terkena tendangan dah-
syat Bong Mini langsung terpental ke belakang. Mulut mereka mengeluarkan darah
segar. "Hm...! Kau mau coba seperti mereka!" bentak Bong
Mini pada seorang lawannya yang masih berdiri tegak, melihat nasib ketiga
temannya yang terjatuh di tanah sambil mengerang-ngerang menahan sakit.
Lelaki yang sudah mengetahui kemampuan ilmu be-
la diri Bong Mini menjadi geram. Dikeluarkan goloknya yang sejak tadi terselip
di pinggang. Srettt! Lelaki itu langsung menerjang Bong Mini dengan go-
lok terhunus. Tapi dengan ringan Bong Mini menun-
dukkan badan seraya kakinya mengait kaki lawan.
Bug! Lawannya tersungkur ke tanah dengan wajah ter-
bentur goloknya sendiri. Membuat wajahnya berlumu-
ran darah seketika itu juga.
Bong Mini tersenyum penuh kemenangan melihat
keempat lawannya sibuk mengerang kesakitan. Lalu ia menghampiri seorang dari
mereka. "Ampun, Nona..., kami janganlah dibunuh!" mohon
lawan yang dihampirinya itu. Dikiranya Bong Mini
hendak membunuhnya.
Bong Mini tersenyum mencibir pada lelaki yang ke-
takutan itu. "Aku pantang membunuh orang yang sudah tidak
berdaya seperti kau!" bentak Bong Mini. "Aku hanya
ingin menanyakan asal-usul perguruanmu dan siapa
pemimpinmu!" lanjutnya sambil menekan telapak kaki
kanannya di dada lawan yang telentang tak berdaya,
akibat pukulan keras Bong Mini.
"Aku..., aku berasal dari Partai Persatuan Ular Hi-
tam," jawab lelaki itu tergagap-gagap.
"Ular Hitam," gumam Bong Mini. Baru kali ini ia
mendengar perguruan itu. "Lalu siapa pemimpinmu?"
"Yang Seng. Dari negeri Tiongkok!"
"Hm..., terima kasih. Sampaikan salamku padanya!"
ucap Bong Mini. Kemudian ia melangkah menuju wa-
rung nasi kembali.
Pasangan suami istri pemilik warung dan anak ga-
disnya yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu
segera menyambut Bong Mini dengan hormat.
"Terima kasih atas pertolongan Nona," ucap suami
istri itu bersamaan.
Bong Mini hanya tersenyum membalas ucapan me-
reka. Lalu ia duduk di kursi di dekat pintu luar.
Keempat lelaki sopan yang menyaksikan pertempu-
ran Bong Mini duduk terkagum-kagum di tempatnya.
Namun mereka belum berani mendekat. Mereka hanya
memandang Bong Mini dalam jarak yang agak jauh.
"Ada sedikit yang ingin saya tanyakan kepada Ba-
pak dan Ibu," ucap Bong Mini kepada suami istri itu.
"Tentang apa, Non?" tanya sang suami.
"Tentang orang-orang itu," sahut Bong Mini. "Apa
benar mereka dari Partai Persatuan Ular Hitam?"
"Benar, Non," sahut lelaki pemilik warung itu.
"Pemimpinnya bernama Yang Seng?" tanya Bong
Mini lagi. "Benar," sahutnya kembali pendek.
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Memangnya kenapa, Non?" suami pemilik warung
itu balik bertanya.
Bong Mini menghela napas. Lalu memandang lelaki
pemilik warung dengan tatapan mata sungguh-
sungguh. "Bapak bisa ceritakan sedikit mengenai sepak-
terjang mereka di desa ini?" tanya Bong Mini.
Lelaki pemilik warung terdiam beberapa saat. Lalu
matanya memandang ke arah istrinya.
"Mereka orang-orang liar, Non," sahut istri pemilik warung, membantu suaminya
memberikan jawaban.
"Maksud Ibu?" tanya Bong Mini kurang mengerti.
"Mereka merupakan orang-orang yang suka meme-
ras rakyat. Memaksa penduduk untuk meminjam uang
kepada pemimpinnya dengan bunga yang berlipat. Dan
bila tidak bisa membayar sesuai dengan waktu yang
ditentukan, mereka akan menyita setiap barang yang
ada," jelas istri pemilik warung.
Bong Mini mengangguk-angguk. Tentang cerita itu
sudah ia dengar dari seorang perempuan tua yang cu-
cunya menangis beberapa waktu lalu. (Bacalah serial Bong Mini dalam episode:
'Sepasang Pendekar dari Selatan' ).
"Tapi kalau ada anak gadisnya, mereka lebih suka
membawa anak gadis itu sebagai alat bayar hutang
untuk dipersembahkan kepada pemimpinnya, Yang
Seng," lanjut istri pemilik warung.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk. Hati kecil-
nya mengutuk perbuatan mereka.
"Dan anak buahnya, Non," lanjut perempuan itu
dengan wajah serius. "Mereka selalu mengganggu
anak-anak gadis yang terlihat oleh mereka. Malah tidak segan-segan melakukan
pemerkosaan di hadapan
orangtua gadis itu!"
"Biadab!" geram Bong Mini mendengar cerita ter-
akhir itu. "Mereka benar-benar biadab, Non!" istri pemilik wa-
rung menambahkan.
Entah kenapa, setelah mendengar cerita terakhir
dari pemilik warung, tiba-tiba ia teringat mamanya
yang mati karena mempertahankan mahkotanya yang
akan direnggut oleh panglima perang ketika ia masih berada di Tiongkok.
"Sudah berapa lama mereka mengadakan aksi di
kampung ini, Bu?" tanya Bong Mini, ingin mengetahui lebih jauh.
"Sudah dua tahun, Non. Sejak Kho Sue Cheng dija-
tuhkan oleh Yang Seng."
"Kho Sue Cheng" Siapa dia?" tanya Bong Mini se-
raya mengerutkan kening.
"Dia dulu pemimpin kampung ini," kali ini suami-
nya yang menjelaskan.
"Ooo...," ucap Bong Mini mengangguk-angguk.
"Dulu ketika masih dipimpin oleh Kho Sue Cheng,
kampung ini sangat tenteram. Dia juga sering membe-
rikan pinjaman kepada rakyatnya, tapi tanpa bunga.
Pembayarannya juga tidak ditentukan. Tergantung ka-
pan si peminjam punya uang."
"Lalu, bagaimana Kho Sue Cheng bisa dibunuh oleh
Yang Seng?" tanya Bong Mini.
"Biasa, Non. Perebutan kekuasaan!" jawab lelaki itu dengan suara datar.
Bong Mini kembali mengangguk-anggukkan kepala-


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. "Bapak tahu, di mana markas mereka?"
"Tahu, Non. Di sana, di sekitar Pantai Sungai Liat,"
jawab pemilik warung itu memberitahukan.
Bong Mini kembali mengangguk lamat. Hatinya me-
rasa lega telah mengetahui markas Partai Persatuan
Ular Hitam. Besok atau lusa ia harus pergi ke sana untuk menyelamatkan kembali
tiga dayangnya yang ber-
hasil dibawa lari oleh mereka.
Setelah mendapat keterangan yang memuaskan,
Bong Mini segera meninggalkan warung itu. Sebelum
ia sampai di luar, keempat lelaki sopan yang sejak tadi mendengarkan percakapan
mereka segera memburunya.
Bong Mini membalikkan punggungnya dan menatap
salah seorang dari keempat lelaki yang memburunya
tadi. "Ada apa?" tanya Bong Mini tegas. Sepasang ma-
tanya menatap tajam ke arah lelaki itu.
"Maaf, Nona. Saya mengganggu!" ucap lelaki itu
sambil tersenyum sopan.
"Katakan saja apa maksudmu!" kata Bong Mini te-
gas, karena sejak kematian mamanya ia memang tidak
simpati terhadap kaum lelaki.
"Sebenarnya kami datang dari jauh, dari Desa Pa-
domorang," ucap lelaki itu memperkenalkan asal-usul mereka.
Bodo amat. Memangnya aku pikirkan"! Kata Bong
Mini, namun itu ia cetuskan dalam hatinya saja.
"Saya datang ke sini diutus oleh pemimpin kami,
yaitu akan mencari beberapa orang yang pandai silat untuk mengawal pengambilan
barang berupa intan
berlian dari Tiongkok," lanjut lelaki itu menjelaskan.
"Terus?" tanya Bong Mini masih bernada ketus.
"Kami ingin minta bantuan, mungkin Nona tahu
orang-orang yang saya butuhkan itu," jawabnya.
Bong Mini berpikir sejenak. Sedangkan ekor ma-
tanya begitu tajam melirik keempat lelaki itu.
"Baiklah, kalian ikut saya!" ajak Bong Mini seraya
melangkah ke luar, mendekati kuda putihnya.
Keempat lelaki itu mengikuti Bong Mini dengan wa-
jah berseri-seri. Mereka berpikir akan mendapatkan
apa yang dicari selama seharian ini.
Tubuh Bong Mini meloncat ke punggung kudanya.
Tidak lama kemudian, kuda yang ditumpangi Bong
Mini melesat dengan kecepatan tinggi, menembus ke-
gelapan malam. Diikuti oleh keempat lelaki tadi.
*** "Papa!" seru Bong Mini ketika sampai di muka pintu
rumahnya. Bongkap yang sejak tadi uring-uringan kepada para
pengawalnya, langsung lompat dari duduknya dan me-
meluk Bong Mini dengan erat.
"Dari mana saja kamu, Sayang" Papa sudah kangen
seharian tidak melihatmu," sambut Bongkap dengan
suara yang bernada khawatir.
"Saya habis bertempur, Papa," kata Bong Mini da-
lam pelukan papanya.
"Heh?" Bongkap kaget. Tapi tak lama kemudian, dia
tertawa sambil mengusap-usap kepala putrinya. "Tapi kamu tidak apa-apa, kan?"
"Siapa dulu dong, papanya!" ucap Bong Mini sete-
ngah bercanda. "Ha ha ha...!" Bongkap tertawa lepas. "Ini namanya
anak papa!" Bongkap memuji sambil menepuk-nepuk
kedua pipi putrinya.
"O, ya Pa..."
"Ada apa, Sayang?" tanya Bongkap segera.
"Saya membawa teman lelaki, Papa!"
"Heh?" lagi-lagi Bongkap terkejut. Namun kemudian
dia tersenyum sambil mendekatkan wajah ke telinga
putrinya dan berbisik, "Kamu sudah pandai memilih
lelaki, ya?"
"Idih, Papa!" muka Bong Mini merah mendengar
ucapan papanya.
"Ha ha ha...!" Bongkap tertawa melihat putrinya be-
rubah cemberut. "Mana laki-laki yang kamu bawa itu?"
"Ada di luar, Papa!"
"Suruh masuk!" perintah papanya.
Bong Mini segera keluar. Dan tak lama kemudian ia
telah kembali lagi bersama empat orang lelaki.
"O..., berempat," ucap papanya dan Bong Mini cem-
berut karena papanya masih meledek.
Sesaat Bongkap menyambut keempat lelaki itu de-
ngan ramah namun tetap berwibawa sebagaimana seo-
rang raja. "Di mana kalian bertemu dengan putri saya?" tanya
Bongkap dengan mata menatap keempat tamunya pe-
nuh selidik. "Di warung, Tuan," sahut seorang dari mereka. Lalu
ia menceritakan awal mulanya mereka bertemu dengan
Bong Mini, sehingga bisa sampai ke rumah Bongkap
bersama-sama. Bongkap tersenyum kagum karena keempat lelaki
itu datang setelah melihat kehebatan ilmu silat putrinya dalam pertempuran.
"Kalau boleh saya tahu, siapa nama kalian?" tanya
Bongkap ingin tahu.
"Nama saya Pradata dan tiga kawan saya ini ber-
nama Sengkawang, Sengkawung, dan Benggala," sahut
Pradata memperkenalkan namanya dan nama teman-
nya masing-masing.
Bongkap mengangguk-angguk sambil memandang
Sengkawang dan Sengkawung. Pikirnya, pasti kedua
orang itu kembar. Bukan saja dari namanya, wajah
kedua orang itu pun tampak begitu mirip.
"Asal kalian dari mana?" tanya Bongkap kemudian.
"Kami berasal dari Desa Padomorang," jawab Prada-
ta menyebutkan nama daerah asal mereka. "Di sana
kami mengabdi pada seorang saudagar kaya yang ber-
nama Prabu Jalatunda!"
Bongkap mengangguk-angguk. Sedangkan kening-
nya tampak berkerut, mencoba mengingat-ingat nama
yang disebutkan Pradata tadi.
"Berapa lama perjalanan dari Desa Padomorang ke
sini?" tanya Bongkap lagi.
"Satu hari, Tuanku!" jawab Pradata.
Bongkap mengangguk-angguk lagi. Sementara pan-
dangan terus tertuju kepada keempat tamunya itu
dengan tatapan mata yang tajam.
"Kedatangan kalian ke sini tentu punya maksud
dan tujuan?"
"Benar, Tuanku," sahut Pradata cepat. "Kami dipe-
rintah oleh Tuanku Prabu Jalatunda untuk mencari
beberapa orang ahli silat untuk mengawal kereta ba-
rang!" Bongkap tercekat. Matanya memandang empat pe-
ngawalnya. "Tadi saya pun sudah bicara dengan putri Tuan dan
dia mengajak kami ke sini," lanjut Pradata lagi.
Kini mata Bongkap beralih pada Bong Mini yang
duduk di sebelahnya.
"Saya bawa mereka ke sini dengan harapan Papa
dapat membantu mereka," cetus Bong Mini.
"Mengawal kereta barang, maksudmu?" Bongkap
tersinggung. "Bukan itu, Papa," kata Bong Mini cepat.
"Lalu?"
"Mungkin Papa dapat mencarikan orang-orang yang
mereka perlukan," kata Bong Mini.
Bongkap mengangguk perlahan. Rasa tersinggung-
nya mendadak hilang setelah mendengar penjelasan
putrinya. Beberapa saat suasana hening.
Bongkap terdiam karena sedang berpikir. Sedang-
kan keempat tamunya terdiam menunggu jawaban
dengan harap-harap cemas.
"Apa di sana tidak ada jago-jago silat?" tanya Bongkap kemudian.
"Beberapa hari yang lalu Prabu Jalatunda memerin-
tah para jago silat dari sana untuk pengambilan ba-
rang. Tapi ketika melewati daerah Bukit Garang, ru-
panya mereka dihadang perampok. Karena saat kami
melacak, para pengawal kereta barang itu sudah ter-
kapar semuanya dengan tubuh bersimbah darah. Se-
dangkan barang-barang yang ada dalam kereta itu le-
nyap," tutur Pradata menjelaskan.
Bongkap, Bong Mini, dan keempat pengawalnya ter-
kejut mendengar penjelasan Pradata. Mereka merasa
yakin bahwa kereta barang yang dimaksud Pradata
adalah kereta yang mereka rampok beberapa hari lalu.
"Prabu Jalatunda sudah berusaha mencari peram-
pok itu?" tanya Bongkap menutupi ketercengangan-
nya. "Tidak, Tuanku. Beliau seorang yang bijak. Dan ke-
tika mendengar barang-barangnya dirampok, beliau
hanya berkata; biarlah. Mudah-mudahan Yang Kuasa
menggantinya dengan yang lebih baik lagi," urai Pradata, menjelaskan sifat
majikannya. Mendengar penjelasan itu, bukan keterkejutan yang
tampak dari wajah Bongkap. Justru rasa malu dan pe-
rasaan sangat berdosa. Karena yang ia rampok ter-
nyata seorang saudagar berhati bersih dan bijak. Be-naknya langsung membayangkan
sosok Prabu Jala-
tunda yang menurut perkiraannya pasti berwajah lem-
but dan agung. Tercermin dari para utusannya yang
begitu sopan duduk di hadapannya.
"Baiklah. Aku dan para pengawalku bersedia men-
jadi pengawal kereta barang saudagarmu. Dan besok
kita sama-sama berangkat menghadap Prabu Jalatun-
da," ucap Bongkap dengan sikap tenang.
Jawaban Bongkap rupanya sangat mengejutkan
Bong Mini dan para pengawalnya. Bagaimana mungkin
seorang raja di kawasan mereka itu mau bekerja sebagai pengawal" Sedangkan
Pradata dan ketiga teman-
nya, wajah mereka tampak berseri-seri mendengar ja-
waban Bongkap yang menyenangkan itu.
"Terima kasih atas kesediaan Tuanku!" ucap Prada-
ta dengan hati gembira.
"Nah sekarang, kau persiapkan orang-orang kita
untuk pengawalan besok!" perintah Bongkap kepada
Ashiong yang masih terheran-heran.
"Baik, Tuan!" sahut Ashiong. Lalu ia pun segera ke-
luar ruangan. Diikuti oleh ketiga temannya.
"Sekarang kalian istirahat dulu. Besok pagi-pagi ki-ta berangkat!" kata Bongkap
lagi kepada keempat ta-
munya. "A Ing!" teriak Bongkap lagi, memanggil pengawal-
nya. "Siap, Tuan!" A Ing segera masuk ruangan.
"Antar mereka ke kamar untuk beristirahat!"
"Baik, Tuan!" sahut pengawalnya. Lalu ia segera
mengajak keempat tamu itu menuju kamar tempat is-
tirahat mereka.
*** 2 Prabu Jalatunda adalah saudagar kaya yang sangat
disegani oleh masyarakat sekitar Desa Padomorang.
Hal itu bukan karena ia pandai dalam ilmu silat dan
bukan pula karena harta kekayaannya yang berlim-
pah. Melainkan karena ia selalu saling asah, asuh,
asih terhadap penduduk. Kekayaan yang dimiliki tidak membuatnya menjadi angkuh,
tapi sebaliknya membuat ia rendah hati. Hidupnya diisi kebaikan dengan sesama
dan memberi pada orang-orang yang hidupnya
serba kekurangan. Karena sifat welas asih tersebut, masyarakat sekitar daerah
itu segan terhadapnya.
Prabu Jalatunda mempunyai seorang istri yang can-
tik bernama Ningrum. Dan ia pun tidak berbeda sifat dengan suaminya. Ia selalu
banyak bergaul dengan
masyarakat di sekitarnya sambil melihat-lihat keadaan mereka. Bila ada penduduk
yang hidup dalam kepa-paan, Ningrum tidak sungkan-sungkan memberikan
pertolongan. Dari pembawaannya tersebut, ia pun sa-
ngat disenangi dan dikagumi penduduk Desa Padomo-
rang. Dari hasil perkawinan antara Prabu Jalatunda de-
ngan Ningrum telah lahir seorang anak laki-laki tampan dan gagah bernama
Baladewa, yang kini berusia
sekitar enam belas tahun. Namun sejak usia sebelas
tahun, Baladewa sudah tidak bersama mereka. Dia di-
kirim ayahnya ke Bukit Gunung Muda untuk mempe-
lajari ilmu-ilmu kesaktian. Dan sejak berada di Gu-
nung Muda, ia tak pernah datang ke rumahnya. Begitu pula dengan Prabu Jalatunda
dan istrinya, sangat jarang menengok anaknya. Mereka hanya bertemu seta-
hun sekali. Itu pun kalau pengiriman makanan untuk
anaknya diperkirakan sudah habis.
Jarangnya mereka bertemu dengan buah hati yang
disayanginya itu, bukan karena tidak ada rasa kangen.
Melainkan karena saran dari guru silat Baladewa yang melarang agar jangan
terlalu sering menengoki, sebab hal itu akan membuat si anak menjadi manja dan
ti- dak konsentrasi terhadap pelajaran yang diberikan gurunya karena selalu ingin
dekat dengan kedua orang-
tuanya. "Ajari dia hidup prihatin sejak dini, agar kelak menjadi manusia yang tangguh
dan terbiasa dalam meng-
hadapi liku-liku hidup!" kata Kanjeng Rahmat Suci,
guru Baladewa ketika menyampaikan larangannya ke-
pada Prabu Jalatunda dan Ningrum saat menengok
anaknya beberapa tahun yang lalu.
Prabu Jalatunda juga mempunyai sepuluh anak
buah yang berkepandaian silat cukup dibanggakan.
Empat diantaranya sedang diutus untuk mencari be-
berapa pendekar tangguh untuk mengawal barang-
barang berharga yang datang dari Tiongkok.
Sebenarnya bisa saja Prabu Jalatunda menyuruh


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para pendekar yang ada di desanya. Tapi hal itu tidak dilakukannya lagi setelah
melihat kematian para pengawal kereta barangnya yang begitu menyedihkan di
tangan para perampok.
Malam itu, Prabu Jalatunda tengah berada di ka-
marnya. Sesekali kedua matanya memandang istrinya
yang juga terbaring di sampingnya dengan kedua mata yang menerawang kosong
seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkan.
"Malam ini kamu kelihatan murung, Rayi. Ada
apa?" tanya Prabu Jalatunda sambil membelai-belai
rambut istrinya yang tidur dengan memiringkan ba-
dan. Ningrum membalikkan badannya dan menatap su-
aminya dengan pandangan sendu.
"Sudah beberapa hari ini aku merasakan kerinduan
yang sangat dalam, Kakang. Hatiku rindu pada Bala-
dewa," sahut Ningrum. Bola matanya berkaca-kaca se-
perti ada telaga bening yang membasahinya.
Prabu Jalatunda menghela napas. Matanya me-
mandang langit-langit kamar. Sesungguhnya ia pun
merasa rindu. Namun karena ia lelaki, kerinduan itu tidak ditampakkannya.
"Ingin sekali rasanya aku bertemu dengan anakku,"
keluh Ningrum lagi seraya menelentangkan tubuhnya.
Pada saat itu terlihat garis bening yang bergetar di sepasang bola matanya.
Kemudian bias bening itu bergulir perlahan-lahan di kedua pipinya. Lalu jatuh
mene-tesi bantal di bawah kepalanya.
"Sebenarnya apa yang kau rasakan itu tidak jauh
berbeda dengan apa yang kurasakan," ucap Prabu Ja-
latunda mengemukakan perasaannya.
"Kakang juga merindukannya?" tanya Ningrum
dengan pandangan yang diselimuti air mata.
Prabu Jalatunda tersenyum.
"Orangtua mana yang tidak merindukan anak kan-
dungnya sendiri, Rayi?" Prabu Jalatunda balik ber-
tanya. "Tapi tidak serindu perasaanku, kan?" sergah Ning-
rum sendu. Kembali Prabu Jalatunda tersenyum.
"Sebenarnya takaran kerinduan kita sama, Rayi.
Namun cara membawa kerinduan itu yang berbeda.
Kerinduan hatiku terhadap anak kita masih diimbangi dengan pikiranku. Sedang
kau, sepenuhnya kerinduan
itu tersimpan dalam perasaan hingga membuat kau
begitu terpengaruh," urai Prabu Jalatunda.
Ningrum diam saja mendengar kata-kata suaminya.
Pikirannya, bagaimana pun kasih sayang antara wani-
ta dengan lelaki memang jauh berbeda.
"Anak kita itu pasti sudah tumbuh besar, tampan
dan perkasa!" desah Ningrum membayangkan keadaan
anaknya. Wajahnya yang tadi murung berubah berseri
seperti benar-benar melihat kedatangan anaknya, Ba-
ladewa. "Kalau dia datang akan kusambut dengan pe-
lukan dan ciuman yang bertubi-tubi. Oh..., Baladewa anakku!" tiba-tiba wajah
Ningrum kembali muram.
Prabu Jalatunda terharu melihat sikap istrinya yang begitu mendambakan kehadiran
buah hatinya. Tubuh
istrinya didekapnya dengan hangat. Sedangkan bibir-
nya mencium pipi istrinya yang masih segar dan lem-
but. "Rayi jangan terlalu memikirkannya. Nanti akan
mengganggu kesehatan Rayi," bisik Prabu Jalatunda
ke telinga istrinya.
"Bagaimana aku bisa menghilangkan pikiran dan
perasaan rindu ini kalau orang yang kurindukan itu
anakku sendiri," desah Ningrum dengan bibir bergetar menahan tangis yang sudah
tiba di tenggorokannya.
Sedangkan pipinya masih dibasahi air mata yang me-
rambat dari celah-celah bulu matanya.
Prabu Jalatunda terus mendekap serta membelai-
belai rambut istrinya. Sesekali diusapnya air mata
yang mengalir di pipi istri yang dicintainya itu.
Akhirnya sentuhan-sentuhan jari tangan Prabu Ja-
latunda melenakan Ningrum. Dia tertidur dengan air
mata di pipi. *** Paginya, ketika Prabu Jalatunda tengah duduk di
ruang tamu, tiba-tiba datang seorang penjaga pintu
gerbang. Dia terduduk di hadapan Prabu Jalatunda
sambil memberi hormat.
"Ada apa, penjaga?" tanya Prabu Jalatunda, semen-
tara matanya menatap tajam pada orang yang bersim-
puh di hadapannya.
"Hamba datang membawa kabar, Tuanku!" ucap
penjaga pintu gerbang itu.
"Kabar apa?" tanya Prabu Jalatunda ingin tahu.
"Keempat utusan Tuanku telah tiba. Mereka mem-
bawa orang-orang yang Tuanku butuhkan," jawab pen-
jaga pintu gerbang itu menjelaskan.
"Hm..., baik. Suruh mereka masuk dan bawa ke
ruang pertemuan!" perintah Prabu Jalatunda.
"Perintah Tuanku akan hamba laksanakan!" ucap
penjaga pintu gerbang itu sambil membungkuk. Ke-
mudian pergi meninggalkan Prabu Jalatunda.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ningrum yang baru saja
keluar dari kamar dengan mata sembab karena habis
menangis semalam.
"Para pengawal kereta barang yang kita butuhkan
telah datang," jawab Prabu Jalatunda.
"Berapa banyak?" tanya Ningrum ingin tahu.
"Entahlah. Aku baru ingin menemuinya. Kau mau
ikut, Rayi?"
"Tidak, Kakang. Bukankah itu urusan laki-laki?"
jawab Ningrum yang memang tak pernah mau men-
campuri urusan laki-laki, kecuali bila suaminya me-
minta. "Baiklah kalau begitu. Tapi tolong Rayi sediakan hidangan yang nikmat untuk
mereka!" pinta Prabu Jala-
tunda. "Baik, Kakang!"
"Saya pergi dulu, Rayi!"
Ningrum mengangguk sambil melepaskan kepergian
suaminya dengan tersenyum.
Ketika sampai di ruang pertemuan, semua utusan-
nya berdiri hormat seraya memberi jalan buat Prabu
Jalatunda. Kecuali Bongkap, Bong Mini, dan empat
orang pengawalnya. Mereka berdiri tegak sambil terus memandang Prabu Jalatunda
yang melangkah ke arah
mereka dengan gagah.
Satu persatu Prabu Jalatunda menyalami mereka
dengan hormat. "Silakan duduk!" Prabu Jalatunda mempersilakan
tamunya. Sedangkan ia sendiri mengambil duduk di
kursi khususnya yang mengarah pada keenam ta-
munya. Beberapa saat suasana hening.
Prabu Jalatunda memperhatikan tamunya satu per-
satu. Dia begitu kagum. Karena selain tubuh mereka
yang kekar-kekar, di punggung mereka terselip pedang masing-masing.
Pasti mereka orang-orang tangguh. Apalagi mereka
datang dari negeri Tiongkok, gumam Prabu Jalatunda
langsung menebak.
"Siapa pemimpin di antara kalian?" tanya Prabu Ja-
latunda penuh wibawa.
"Saya, Prabu," Bongkap menyahut dengan suara be-
rat dan penuh wibawa.
Prabu Jalatunda mengangguk-angguk kepala. Di-
pandangnya Bongkap dengan penuh kagum.
Ditilik dari penampilannya, jelas dia bukan orang
sembarangan, cetus hati Prabu Jalatunda lagi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya Prabu Jalatunda me-
nyebutnya dengan panggilan kisanak, sebagai panggi-
lan kehormatan buat orang yang belum dikenalnya.
"Namaku Bongkap!" jawab Bongkap tenang.
Mendengar nama itu, Prabu Jalatunda meloncat
kaget dari tempat duduknya. Dugaannya kalau Bong-
kap bukan orang sembarangan, benar. Lalu ia me-
manggil keempat pengawalnya yang membawa Bong-
kap kepadanya. "Ada apa, Tuanku?" tanya Pradata, hormat.
"Kalian telah lancang, membawa Bongkap dan
orang-orangnya ke sini!"
Bongkap, Bong Mini, dan para pengawalnya terdo-
ngak heran melihat kemarahan Prabu Jalatunda ke-
pada pengawalnya. Mereka tidak tahu apa yang mem-
buat Prabu Jalatunda marah.
"Kami hanya melaksanakan titah, Tuanku!" sahut
Pradata. "Aku memang telah memerintahkanmu mencari pa-
ra pengawal barang, tapi bukan mereka yang mestinya kalian bawa ke sini!" Prabu
Jalatunda semakin marah.
Mendengar kata-kata Prabu Jalatunda, Bongkap,
Bong Mini dan para pengawalnya terkejut bukan kepa-
lang. Kata-kata Prabu Jalatunda telah menyakitkan telinga mereka. Namun dengan
tenang Bongkap mereda-
kan kemarahan Bong Mini dan para prajuritnya yang
hendak memaki Prabu Jalatunda.
Setelah memarahi keempat pengawalnya, Prabu Ja-
latunda kembali menghadap Bongkap sambil berdiri
hormat. "Maafkan atas kelancangan para pengawalku, Bong-
kap!" ucap Prabu Jalatunda.
Lagi-lagi Bongkap, Bong Mini, dan para pengawal-
nya dibuat terheran-heran dengan sikap Prabu Jala-
tunda. Kalau tadi mereka terkejut karena ucapan Pra-bu Jalatunda seperti
mengandung penghinaan, kini
mereka terkejut karena Prabu Jalatunda justru me-
minta maaf pada Bongkap dengan sikap hormat.
"Saya jadi tidak mengerti dengan sikap Prabu," kata Bongkap mengemukakan rasa
bingungnya. "Ah, Anda terlalu merendah, Bongkap," kata Prabu
Jalatunda lagi membuat Bongkap dan orang-orangnya
semakin tidak mengerti.
"Saya sangat malu dengan kelancangan para pe-
ngawalku. Tapi saya gembira karena seorang raja de-
ngan segala kerendahan hatinya berkenan berkunjung
ke tempat kami!" lanjut Prabu Jalatunda.
Plong! Rasa keterkejutan Bongkap dan Bong Mini
serta para pengawalnya menjadi lemas seketika. Mere-ka baru tahu bahwa persoalan
itulah yang membuat
Prabu Jalatunda marah besar pada para pengawalnya.
Memang bisa dimengerti kalau Prabu Jalatunda itu
marah pada para pengawalnya. Karena Bong Mini dan
para pengawalnya sendiri masih bingung dengan sikap Bongkap yang mau menjadi
pengawal kereta barang.
Hal itu sebenarnya yang ingin ditanyakan Bong Mini
sejak semalam. Tapi keinginan untuk bertanya sampai sekarang belum terlaksana
karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Dengan segala kehormatan, akhirnya Bongkap dan
Bong Mini diajak ke ruang pribadi Prabu Jalatunda. Di sana kedua bapak beranak
ini diperkenalkan kepada
istri Prabu Jalatunda, Ningrum.
"Aku akan membatalkan kehendak Bongkap untuk
menjadi pengawal kereta barang," ucap Prabu Jala-
tunda ketika mereka duduk berdua saja di ruang pe-
ranginan. "Tidak usah, Prabu. Lanjutkan saja!" ujar Bongkap
tetap pada kehendaknya.
"Saya harus menjaga wibawa Anda sebagai raja,"
sanggah Prabu Jalatunda mengemukakan alasannya.
Bongkap tersenyum.
"Kewibawaan tergantung dari sepak-terjang kita,
Prabu. Bukan dari tinggi rendahnya kedudukan. Wa-
lau kita mempunyai kedudukan atau jabatan yang
baik, tapi kalau sepak-terjang kita rendah di mata rakyat, apakah mereka akan
menghormati kita?" tanya
Bongkap. "Sepak-terjang Kerajaan Manchuria, di mana dulu aku menjadi panglima di
sana menjadi cermin
buatku agar tidak mengikuti jejak langkahnya," lanjut Bongkap.
"Apakah sepak-terjang Raja Manchuria begitu hina
dipandang masyarakat?" tanya Prabu Jalatunda ingin
tahu. "Dia memanfaatkan kedudukannya sebagai raja.
Memeras rakyat dengan mengambil upeti yang demi-
kian tinggi. Karena itu aku mengundurkan diri sebagai panglima. Kemudian
mengajak rakyat untuk pindah ke
Selat Malaka," tutur Bongkap menjelaskan.
Prabu Jalatunda termangu-mangu mendengar ceri-
ta Bongkap. Hatinya benar-benar memuji sikap yang
dimiliki Bongkap. Sebab jarang seorang panglima mau mengorbankan kedudukannya
demi kesejahteraan rakyat "Prabu, kapan pengambilan barang dari dermaga
akan dilaksanakan?" tanya Bongkap mengalihkan
pembicaraannya.
"Besok pagi. Tapi saya minta Anda tetap berada di
sini. Kalaupun Anda memaksa, biarlah para pengawal
Anda yang mengawal kereta barang," kata Prabu Jala-
tunda tetap mencegah Bongkap untuk tidak ikut da-
lam pengawalan kereta barang.
"Begitu juga bagus!" sahut Bongkap setuju. Dengan
penuh persahabatan, keduanya melangkah menuju ru-
ang makan untuk makan bersama. Sekaligus meraya-
kan persahabatan mereka yang baru saja terjalin.
*** 3 Pukul enam pagi pengiriman dan pengambilan ba-
rang telah dilaksanakan. Empat pengawal kepercayaan Bongkap ditambah lima
pengawal Prabu Jalatunda segera berangkat mengawal kereta barang. Dan dua jam
dari keberangkatan mereka, Bongkap dan Bong Mini
pun segera mohon diri.
Sebenarnya Prabu Jalatunda dan Ningrum meng-
hendaki kedua bapak beranak itu untuk menginap
semalam lagi. Tapi karena Bongkap dan Bong Mini su-


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar ditahan, akhirnya dengan segala keterpaksaan mereka pun melepaskan kepergian
Sepasang Pendekar
dari Selatan. "Sering-seringlah Nak Mini ke sini!" begitu kata
Ningrum, istri Prabu Jalatunda ketika mereka sudah
duduk di atas punggung kuda.
Bong Mini hanya membalas dengan anggukan diser-
tai senyum. Lalu mereka pun segera memacu kuda
meninggalkan rumah Saudagar Prabu Jalatunda.
"Papa," ucap Bong Mini ketika keduanya sudah ber-
ada di pertengahan jalan dengan memacu kuda lam-
bat-lambat. "Hm..." Ada apa?" tanya Bongkap.
"Kita harus segera mendapatkan ketiga dayang yang
diculik itu," ungkap Bong Mini.
"Ya. Tapi ke mana harus mencarinya?"
"Saya sudah tahu markas mereka, Papa," sahut
Bong Mini. "Hm...!" Bongkap menoleh pada putrinya.
"Orang-orang yang menculik ketiga dayang kita me-
rupakan orang-orang yang tergabung dalam Partai Persatuan Ular Hitam," ujar Bong
Mini menjelaskan.
"Ular Hitam?" Bongkap mengerutkan keningnya.
"Ya, Papa. Mereka dipimpin oleh seorang keturunan
Tiongkok yang bernama Yang Seng," jawab Bong Mini
menjelaskan. "Yang Seng?" mendadak kuda yang dinaiki Bongkap
berhenti. "Ada apa, Papa?" tanya Bong Mini ketika melihat
papanya terkejut.
"Papa seperti mengenal nama orang itu," gumam
Bongkap. "Siapa, Papa?" Bong Mini pun turut menghentikan
kudanya. "Kalau tidak salah dia anak seorang Raja Manchu-
ria yang diusir beberapa tahun silam," kata Bongkap sambil mengingat-ingat.
"Benarkah itu, Papa?" Bong Mini terkejut.
"Ya. Waktu itu kau belum lahir. Dan mama pun be-
lum mengandungmu!"
"O, pantas jika aku tak tahu," gumam Bong Mini.
"Kenapa dia sampai diusir, Papa?" tanya Bong Mini,
ingin segera tahu.
"Masalah kotor," ucap Bongkap kurang jelas.
"Maksud Papa?" tanya Bong Mini tidak mengerti.
Ujung alisnya yang bagai pedang terangkat.
"Dia main asmara dengan seorang perempuan yang
menjadi selir papanya," jawab Bongkap menjelaskan.
"Hm...!" terdengar helaan napas Bong Mini.
"Kenapa kamu?" tanya papanya seraya melirik Bong
Mini. "Pantas saja dia dan pengikutnya sekarang ini sela-
lu gentayangan mencari wanita!" dengus Bong Mini.
"Begitulah, Anakku. Tabiat orangtua, entah itu baik atau buruk pasti akan
melekat pada salah seorang
anaknya. Ibarat buah, tergantung akarnya. Kalau
akarnya baik pasti menghasilkan buah yang baik pula.
Tapi kalau akarnya kurang baik maka hasilnya pun
kurang memuaskan!" jelas Bongkap, setengah membe-
ri pengetahuan kepada anaknya.
"Wah, jawaban Papa sungguh mengagumkan!" ucap
Bong Mini, ia tersenyum bangga.
Bongkap membalas senyum putrinya dengan se-
nyuman pula. Lalu ia turun dari punggung kudanya
dan duduk di bawah sebuah pohon. Sedangkan ku-
danya diikat di sebuah pohon yang tak jauh dari situ.
"Semua itu papa dapatkan dari kakekmu ketika
masih hidup beberapa puluh tahun lalu," ucap pa-
panya sambil duduk bersandar di batang pohon.
"Apakah kakek seorang yang sakti, Pa?" tanya Bong
Mini yang sejak lahir belum sempat bertemu kakeknya.
"Kakekmu seorang pendekar ulung di daratan tanah
Tiongkok. Hampir semua perguruan silat waktu itu
menyatakan tunduk kepada kakek," Bongkap menje-
laskan. "Dan dari kakek pula papa mendapatkan ilmu-
ilmu kungfu itu."
"Apakah hanya ilmu kungfu yang kakek ajarkan
kepada Papa?"
"Tidak. Banyak ilmu-ilmu yang beliau berikan de-
ngan cara semadi. Kakek bilang, belajar ilmu lewat
semadi akan sangat banyak manfaatnya. Di antaranya
mendidik kita untuk bisa hidup prihatin dan tidak berlaku sombong serta welas
asih kepada sesama. Sebab
dalam semadi, kita menghindari diri kita dari hal-hal yang sifatnya menjurus
pada keduniawian," jawab
Bongkap memberikan pengertian kepada putrinya.
Bong Mini termangu mendengar cerita papanya.
"Papa juga mengharapkan kamu agar mengikuti je-
jak papa yang baik dan tinggalkan bila ada yang buruk menurut pandanganmu," kata
Bongkap. Dipeluknya
bahu Bong Mini.
"Papa?" keluh Bong Mini.
"Kita ini makhluk yang paling sempurna. Sehingga
dalam diri kita ada sisi baik dan sisi buruk. Tapi kita berusaha untuk berbuat
baik sesuai dengan kemampuan," kata Bongkap menasihatkan.
"Papa," keluh Bong Mini lagi seraya menyandarkan
kepalanya di dada papanya yang bidang. "Saya merasa bahagia mempunyai orangtua
seperti Papa."
"Papa juga bahagia mempunyai putri sepertimu,
Sayang. Cantik, lincah dan patuh!" puji Bongkap pula sambil mempererat
pelukannya. Sedang asyiknya mereka dicekam kebahagiaan yang
teramat sangat, puluhan orang berwajah garang sudah mengelilingi mereka. Mereka
orang pribumi yang ber-naung di bawah Partai Persatuan Ular Hitam.
"He he he...! Mesranya bapak dan anak hingga lupa
keadaan sekeliling," ejek seorang dari mereka sambil tertawa terkekeh.
Bongkap dan Bong Mini berdiri terkejut. Mata me-
reka menyebar ke sekeliling.
"Lagi-lagi bajingan Ular Hitam," gumam Bong Mini
dengan mata menatap berkeliling.
"Jadi ini anak-anak buah Yang Seng?" tanya Bong-
kap. "Ya. Mereka orangnya!" jawab Bong Mini yang me-
ngenal beberapa orang dari mereka.
"He he he.... Kau tak mungkin lepas sekarang, ke-
linci manis," kata seorang pemimpin pasukannya.
"Mau apa kalian!" bentak Bong Mini. Wajahnya mu-
lai merah karena menahan marah.
"Mau apa" He he he..., tentu saja ingin menang-
kapmu dan menikmati dagingmu yang masih muda
itu!" sahut pemimpin pasukan dengan kata-kata cabul.
"Heh! Kutil Setan! Jaga mulutmu yang busuk itu bi-
ar tidak kurobek!" geram Bong Mini dengan memelo-
totkan mata. Pemimpin pasukan itu makin terkekeh-kekeh meli-
hat Bong Mini marah.
"Dasar kelinci manis. Semakin marah semakin
menggairahkan!"
"Tutup mulutmu, Kurap Monyet!" bentak Bongkap
dengan suara yang meledak.
"Kambing! Rasakan sabetan tongkatku ini!" usai
berkata begitu, Ketua Pasukan Ular Hitam segera me-
nyerang Bongkap seraya memutar-mutarkan tongkat-
nya. Wet wet wet...!
Tubuh Bongkap segera melompat dan bersalto
menghindari sabetan-sabetan tongkat yang begitu ce-
pat. "He he he...!"
Penyerangnya tertawa-tawa melihat Bongkap kewa-
lahan. Tapi tiba-tiba tawanya terhenti ketika mera-
sakan punggungnya dipukul orang.
Bug! Rupanya Bong Mini sudah tidak bisa lagi menahan
ledakan kegusarannya. Dia memukul lelaki itu tanpa
maksud membokongnya. Biar bagaimanapun jiwa ke-
pendekarannya tidak akan sudi melakukan hal itu. Dia hanya mengalihkan perhatian
lelaki tadi. "Kelinci liar! Rasakan tongkatku ini!" sejurus kemudian tongkat yang tadi
menyerang Bongkap beralih ke arah Bong Mini. Tapi Bong Mini segera melompat lalu
hinggap di atas sebuah batang pohon.
Lawannya melongo melihat Bong Mini dengan ri-
ngan berdiri di atas ranting pohon.
Sementara itu, Bongkap tengah sibuk mengadakan
perlawanan dengan para pengeroyoknya.
"Hiaaat!"
Bong Mini meloncat ke arah para pengeroyok pa-
panya. Srettt! Pedang Bong Mini menebas, membelah dada seo-
rang lawan. Membuat orang itu terhuyung-huyung se-
bentar, lalu ambruk.
Orang-orang Ular Hitam segera berpencar dalam
dua kelompok. Sebagian menyerang Bong Mini dan se-
bagian lagi menyerang Bongkap.
Terpecahnya serangan mereka membuat Bong Mini
lega. Ia menyerang lawan secara tiba-tiba justru hendak memberi peluang pada
papanya untuk bergerak
dan mengadakan serangan balik.
Melihat penyerangnya demikian banyak, Bong Mini
segera mencabut pedangnya yang lain. Sehingga dua
pedang kini berada di kedua tangannya. Dia siap un-
tuk mengeluarkan jurus pedang 'Samber Nyawa'.
"Hiaaat!"
Trang! Trang! Trang! Bles!
Pedang di tangan kiri Bong Mini menangkis sera-
ngan-serangan senjata lawan. Sedangkan pedang di
tangan kanan menembus ulu hati seorang lawan sam-
pai ke punggungnya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan lawan yang terkena tusukan pe-
dang Bong Mini. Seketika itu juga dia jatuh tak berkutik lagi.
Setelah mencabut pedang dari tubuh lawan, Bong
Mini kembali mengadakan serangan dengan kedua pe-
dangnya yang kini berlumuran darah.
Sementara itu, Bongkap pun dengan ganas tengah
menyabet-nyabetkan pedangnya ke arah lawan yang
jumlahnya kurang lebih dua belas orang. Jurus pe-
dang 'Samber Nyawa' yang diolah menjadi satu dengan jurus kungfu 'Tanpa
Bayangan' membuat ia semakin
ganas di tengah pertempuran. Putaran badan yang be-
gitu cepat bagai baling-baling kapal membuat lawan-
nya kewalahan. Julukan Singa Perang yang dulu dida-
pat ketika berada di Tiongkok, kini tampak kembali.
Herrr..., sret, sret!
Hembusan angin dan putaran pedang yang demi-
kian cepat membuat para lawan melongo tanpa mela-
kukan serangan. Sehingga pedang yang berputar-putar itu menebas tiga tubuh lawan
sekaligus. "Aaa...!"
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Jerit kesakitan dari tiga lawan hanya sesaat terde-
ngar. Setelah itu mereka roboh dengan tubuh masing-
masing terbelah.
Melihat nasib ketiga temannya yang begitu menge-
rikan, pemimpin pasukan itu tercengang, serta sedikit gentar. Namun perasaan
gentar itu lenyap, saat melihat kesempatan yang diperkirakannya tepat.
Dep! Sebuah totokan yang dilancarkan oleh pemimpin
pasukan itu tepat mengenai punggung Bong Mini yang
sedang lengah. Dalam sekejap tubuh Bong Mini terku-
lai lemas. Dan sebelum sempat jatuh, tangan pemim-
pin pasukan itu sudah merangkul dan menggendong-
nya. "He he he..., lihatlah ke sini Bongkap. Putrimu su-
dah berada dalam pelukanku. Kau tak akan menang!"
teriaknya disertai tawa yang terkekeh-kekeh.
"Iblis cabul. Lepaskan putriku!" teriak Bongkap ke-
tika melihat Bong Mini berada dalam pelukan lelaki itu
dengan tubuh yang sama sekali tidak berdaya akibat
totokan yang menghentikan aliran darahnya.
Pemimpin pasukan itu malah tertawa terkekeh-
kekeh melihat kemarahan Bongkap. Setelah itu tubuh-
nya melesat pergi meninggalkan arena pertempuran
dengan cepat. "Jahanam! Setan licik!" geram Bongkap, melihat
anaknya dibawa pergi oleh pemimpin pasukan itu. De-
ngan gerakan yang kacau namun memikat, Bongkap
menyabet-nyabetkan pedangnya ke arah lawan yang
masih belumlah banyak.
Bles! Ujung pedang Bongkap menembus perut lawan.
Kemudian pedang itu diangkatnya bersama-sama tu-
buh lawan dan dilemparkannya tinggi-tinggi. Sehingga tubuh lawan itu terpental
jauh entah jatuh di mana.
*** Pemimpin pasukan itu terus berlari membawa tu-
buh Bong Mini, disertai tawanya yang terkekeh-kekeh.
Sedangkan Bong Mini dengan gerakan-gerakan yang
lemah terus meronta-ronta minta dilepaskan.
Ketika dirasa telah jauh dari arena pertempuran,
pemimpin pasukan itu segera menghentikan larinya.
Kemudian dibaringkannya tubuh Bong Mini di antara
semak-semak. "He he he..., akhirnya kudapatkan juga tubuhmu
yang mungil dan segar ini, kelinci manis," desisnya disertai tawa terkekeh.
Bong Mini berusaha menguras tenaganya untuk bi-
sa lari dari tempat itu. Namun apa yang dilakukannya itu sia-sia. Jangankan
untuk berlari. Bangun saja dia tidak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya meng-
geser-geserkan tubuh saja agar bisa menjauh dari lela-


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ki yang hendak berbuat jahat kepadanya.
Melihat tubuh Bong Mini yang merayap-rayap itu,
pemimpin pasukan itu malah memandangi sambil ter-
kekeh-kekeh. Perlahan dihampirinya Bong Mini dan
membalikkan tubuhnya agar telentang.
"Lepaskan aku lelaki cabul! Lepaskan!" teriak Bong
Mini tanpa tenaga karena sudah terkuras habis.
Teriakan-teriakan Bong Mini sia-sia saja. Lelaki
yang telah dirasuki iblis itu malah membiarkannya
dengan tawa menyeringai. Lalu dengan terkekeh-
kekeh, ia membungkukkan badan dan meraba-raba
kedua pipi Bong Mini dengan lembut dan penuh pera-
saan. "He he he...! Baru kali ini aku bisa merasakan keha-lusan wajah seorang gadis,"
ucap lelaki itu terkekeh.
"Lepaskan cabul! Lepaskan!" tubuh Bong Mini me-
ronta-ronta. Namun rontaan Bong Mini yang lemah ju-
stru merangsang birahi Ketua Pasukan Partai Persa-
tuan Ular Hitam.
Dengan penuh nafsu, ia membuka kancing baju
Bong Mini. Sehingga dua buah bukit yang masih
mengkal itu jelas terlihat. Kemudian dengan napas
yang memburu, dia menundukkan kepala dan menci-
umi pipi dan leher Bong Mini yang putih mulus itu.
Bong Mini terus berusaha meronta-ronta sambil
memaki-maki lelaki yang sedang dirasuki nafsu jaha-
nam itu. Namun rontaan-rontaan tubuh Bong Mini ju-
stru dianggap sebagai geliat yang merangsang kelela-kiannya. Membuat pemimpin
pasukan itu semakin
bernafsu mendekap dan memeluki tubuh Bong Mini.
Di saat tubuh Bong Mini terkulai lemas dan pasrah
terhadap apa yang akan menimpa dirinya, tiba-tiba tubuh pemimpin pasukan itu
terpental beberapa meter
dari tubuh Bong Mini. la menggelepar-gelepar dengan
tubuh menghitam hangus.
Bong Mini terkejut melihat kejadian itu. Lalu de-
ngan kesempatan yang ada, ia segera memperbaiki
kancing bajunya yang terbuka. Kemudian perlahan tu-
buhnya merayap menghampiri mayat pemimpin pasu-
kan yang hangus itu dengan pandangan tak percaya.
"Siapa yang menjadi dewa penolongku?" gumam
Bong Mini sambil menyebar pandangannya ke sekeli-
ling. Tapi matanya tidak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan sedikit pun.
"Kau tak apa-apa?" terdengar suara lelaki entah da-
ri mana, tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
"Kaukah yang tadi menyelamatkan jiwaku dari ke-
jahatan lelaki ini?" tanya Bong Mini ketika melihat sosok lelaki yang wajahnya
tertutup kain hitam. Hanya mata dan mulutnya saja yang terlihat.
"Bukan aku. Tapi Yang Menguasai dirimu yang me-
nyelamatkanmu," jawab lelaki itu.
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Kelak kau akan mengerti," jawab lelaki itu cepat.
"Sekarang balikkan tubuhmu!" lanjut lelaki itu.
Bong Mini tanpa menaruh rasa curiga segera meng-
ikuti perintah lelaki itu.
Sesaat ketika ia memunggungi lelaki itu, ia merasa
dua jari tangan lelaki itu menyentuh punggungnya.
"Nah, sekarang kembalilah pada papamu!" ucap le-
laki itu. Lalu tubuhnya segera melesat dan lenyap entah ke mana.
Bong Mini terlolong-lolong di tempat. Ia ingin berteriak memanggil, tapi nyaris
tertelan di tenggorokan karena lelaki itu sudah keburu hilang. Tinggal ia
terpaku di tempat.
Setelah terpaku beberapa saat, Bong Mini segera
berdiri. Dan betapa kagetnya ia karena tubuhnya yang
tadi dirasakan lemas kini segar kembali. Seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
"Luar biasa lelaki itu. Ilmunya benar-benar tinggi,"
puji Bong Mini. Kemudian tanpa menunggu waktu lagi, ia segera berlari menuju
tempat papanya bertempur
dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh.
Sampai di tempat pertempuran, Bong Mini melihat
papanya telah menewaskan banyak lawan. Kini tinggal lima orang yang masih
berhadapan dengannya.
"Ini bagianku, Papa!" teriak Bong Mini sambil mele-
sat ke arah lawan yang tinggal lima orang itu.
Sret! Sret! Sret!
Dua pedang yang tergenggam di kedua tangannya
langsung menebas leher tiga lawan sekaligus hingga
nyaris putus. Melihat kehadiran Bong Mini yang tampak segar
kembali, Bongkap menjadi heran. Padahal ia sudah
berpikir kalau anaknya tidak mungkin bisa disela-
matkan. Bukan jiwanya, tapi kegadisannya.
Ketika ketiga temannya jatuh dengan leher yang
hampir putus, kedua temannya langsung mengambil
langkah seribu, meninggalkan kancah pertempuran
yang sudah dibanjiri oleh darah dan bau amis.
"Kau tidak apa-apa, Sayang?" tanya Bongkap, lalu
cepat mendekap putrinya.
"Seperti yang Papa lihat," sahut Bong Mini dengan
tersenyum cerah.
"Papa mengira kalau kau sudah digagahi oleh lelaki
cabul itu," kata Bongkap mengemukakan perkiraan-
nya. "Tadinya memang begitu. Tapi tiba-tiba datang dewa
penyelamat sehingga saya terbebas dari nafsu iblis lelaki tadi."
"Siapa dewa penyelamat itu?" tanya Bongkap ingin
tahu. "Saya sendiri tidak tahu, Papa. Wajahnya tertutup
kain hitam. Tapi dari suaranya, saya dapat memperkirakan bahwa dia seorang
lelaki," jawab Bong Mini.
"Lelaki bertopeng?" Bongkap mengernyitkan ke-
ningnya. "Ilmunya sangat tinggi, Papa. Dalam satu pukulan
jarak jauh, lelaki yang ingin memperkosaku terpental jauh dengan tubuh hangus
terbakar," cerita Bong Mini, memuji kehebatan lelaki yang menolongnya.
"Hm..., siapa dia, ya?" gumam Bongkap lagi.
"Tapi dia menolak ketika saya mengatakan kalau
dia yang menolongku. Dia menjawab, yang menolong-
ku adalah Yang Menguasai diriku," kata Bong Mini.
"Yang Menguasai dirimu?"
"Begitulah katanya, Papa. Papa mengerti maksud
kata-katanya?"
"Nanti saja kita bicarakan lagi di rumah," sahut
Bongkap. Dibimbingnya Bong Mini menuju kuda mere-
ka masing-masing. Tak lama setelah itu mereka telah memacu kudanya dengan
kecepatan yang amat tinggi,
melanjutkan perjalanan menuju markas Partai Persa-
tuan Ular Hitam.
*** 4 Hari itu, Yang Seng dan puluhan pengawal pribadi-
nya sedang berpesta pora. Bermacam makanan dan
minuman yang memabukkan tersedia begitu banyak.
Ditambah lagi dengan tari-tarian yang dilakukan lima wanita anggota Partai
Persatuan Ular Hitam, menam-
bah suasana semakin hangat dan meriah.
Beberapa puluh pasang mata lelaki yang sudah se-
tengah mabuk tampak tidak berkedip ketika kelima
penari meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai. Apa-
lagi ketika pinggul lima wanita yang padat berisi itu berputar meliuk-liuk
membuat penonton lelaki anggota Partai Persatuan Ular Hitam berdebar-debar
hatinya. Yang Seng menyaksikan kegembiraan anak buah-
nya dengan wajah berseri-seri. Sesekali matanya melihat pada lima wanita yang
sedang meliuk-liukkan tu-
buh dengan gemulai.
Apa lagi yang tidak kudapatkan sekarang ini" Har-
ta, tahta, wanita, semuanya sudah kumiliki. Walaupun dengan jalan kekerasan,
merampok dan merebut perempuan-perempuan orang. Aku tidak peduli dengan
sumpah serapah orang terhadap kekejianku. Aku juga
tidak mau pusing dengan kesesatan pikiranku. Yang
penting, aku hidup penuh kesenangan! Gumam hati
Yang Seng sambil memperhatikan kegembiraan anak
buahnya. Hidup ini penuh kesenangan. Dan kesenangan ha-
rus kita nikmati. Itulah hukum dunia. Sedangkan pa-
hala dan dosa merupakan perhitungan yang terakhir.
Karena hukum akhirat hanya berlaku jika manusia
sudah mampus! Ceracau hatinya lagi dengan wajah
gembira. Lalu ia menuangkan arak dalam kendi yang
sejak tadi digenggamnya ke dalam gelas. Kemudian di-reguknya dengan penuh
nikmat. "Wahai kalian semuanya!" teriak Yang Seng seraya
melangkah ke tengah-tengah anak buahnya yang se-
dang berpesta pora. "Meriahkan dan nikmatilah pesta ini sepuas-puasnya. Dunia
ini diciptakan untuk kesenangan dan kenikmatan. Hanya orang-orang bodoh
yang menentang dan menjauhi kesenangan yang kita
ciptakan ini," lanjut Yang Seng dengan wajah yang berubah merah karena pengaruh
arak yang mulai menja-
lar ke seluruh syarafnya.
Orang-orang yang hadir di pesta itu menyambut
ucapan Yang Seng dengan tawa dan wajah berseri.
"Nah, aku akan segera meninggalkan ruangan ini
untuk menikmati kesenanganku sendiri di kamar. Jadi jagalah pesta ini sebaik
mungkin!" lanjut Yang Seng.
Lalu ia pun segera menuju kamarnya.
Sampai di muka pintu kamar, dua wanita cantik
yang menjadi selirnya segera menyambut penuh ke-
hangatan. Mereka mengiringi langkah Yang Seng me-
nuju ranjang. Kemudian tangan-tangan halus mulus
itu bergerak memijit-mijit bahu Yang Seng, sementara bibir mereka tersenyum
genit. Sedangkan Yang Seng
sendiri hanya diam berbaring, merasakan kelembutan
tangan-tangan lembut yang memijiti bahunya.
"Inilah malam yang penuh kegembiraan!" desah
Yang Seng sambil menatap langit-langit kamar. "Apa-
kah kalian juga turut merasakan kegembiraan ini?"
tanya Yang Seng yang menatap kedua wajah selirnya
bergantian. "Tentu saja kami menikmatinya, Tuan," sahut seo-
rang selir dengan senyum genitnya.
Sementara itu, di kamar paling belakang terdapat
tiga perempuan yang terbaring di masing-masing dipan dengan keadaan kedua tangan
dan kaki terikat. Sedangkan pakaian bagian muka terlihat robek-robek.
Sehingga dua buah bukit dengan anak gunungnya ter-
lihat jelas. Mereka adalah dayang-dayang Bong Mini
yang berhasil diculik oleh anak buah Yang Seng.
Ketiga dayang itu tampak terbaring lemas di atas
dipan. Sedangkan air mata meleleh di sekitar pipi mereka. Mereka saling
memandang dengan tatapan mata
sendu. Mahkota ketiganya telah direnggut oleh anak
buah Yang Seng secara paksa dan bergantian, mening-
galkan bercak-bercak darah di sekitar paha mereka.
Di ruang tamu, pesta tuak dan tarian erotik sema-
kin panas. Lima penari wanita yang bertubuh seksi-
seksi itu mulai membuka pakaiannya satu persatu
sambil terus meliuk-liukkan pinggulnya yang aduhai.
Kemudian dilemparkan pakaiannya itu kepada salah
seorang lelaki yang masing-masing ditaksirnya terlebih dahulu.
Kini para penari itu hanya mengenakan rok bawah
saja. Sedangkan bagian atas hanya memakai selipan
beha, membuat penonton lelaki tidak berkedip.
Pada saat tarian semakin erotik, lima lelaki mabuk
yang mendapat lemparan pakaian penari itu segera
menghampiri dan merangkul pinggul mereka. Lalu se-
muanya menari berpasang-pasangan.
Melihat kelima temannya menari dengan lima pena-
ri wanita itu, lelaki lainnya merasa iri dan tergiur.
Dengan jalan sempoyongan, mereka menghampiri dan
merebut wanita itu dari tangan temannya. Tentu saja hal ini membuat marah
temannya yang sedang menari.
Sehingga terjadi tarik-menarik, memperebutkan wanita itu diselingi ocehan-ocehan
yang menyebarkan bau
arak. Akhirnya pertengkaran mulut dan tarik-menarik tangan wanita itu berubah
menjadi ajang perkelahian.
Dalam waktu singkat, pesta yang hangat itu berubah
menjadi pesta senjata.
Lima orang penari perempuan segera menarik diri
dari tempat itu. Mereka mundur perlahan ke sudut
ruangan dengan kedua tangan menyilang di antara
dadanya yang terbuka. Wajah mereka tampak meringis
ketakutan ketika mendengar senjata saling beradu.
Seorang yang sudah mabuk berat segera bangkit
dari duduknya. Dengan kedua mata kuyu dan langkah
sempoyongan, lelaki yang sudah mabuk berat itu
menghampiri sepuluh temannya yang sedang berkela-
hi. "Kenapa sih kalian ribut-ribut, heh?" tanya lelaki mabuk itu dengan suara
lemah tak bertenaga, mencoba melerai teman-temannya. Tapi karena pengaruh
arak yang demikian tinggi dan menghilangkan akal pikiran mereka, teman yang
melerainya itu malah ter-
kena bacokan golok.
Bet! Darah langsung mengucur dari bahunya yang ham-
pir putus. Kemudian orang itu berdiri limbung bebe-
rapa saat dan jatuh di lantai dengan tubuh bermandi darah.
Di luar, puluhan lelaki bertopeng sedang mengintip
keadaan orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam dari balik semak-semak.
Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin
penyerangan itu segera memberi aba-aba dengan ta-
ngannya untuk maju.
Dengan gerakan cepat tanpa suara, orang-orang
bertopeng hitam itu segera mendekati beberapa penja-ga yang setengah mabuk lalu
menotoknya dengan mu-
dah. Dep! Totokan tangan dari orang-orang bertopeng menda-
rat di tubuh penjaga pintu gerbang yang berjumlah li-ma orang. Dan kelimanya
langsung terkulai tak sadarkan diri. Kemudian dengan gerakan ringan pula, satu
persatu mereka masuk ke ruangan dalam dan menyerang orang-orang yang ada di sana


Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan jurus kung-fu yang sudah terlatih sempurna.
Sesaat kemudian ruangan itu telah dipenuhi oleh
dentingan-dentingan senjata dan teriakan-teriakan peperangan. Berbaur pula
dengan teriakan kelima penari perempuan yang ketakutan.
Mendengar kegaduhan di luar, Yang Seng yang se-
dang bercengkerama dengan dua selirnya segera be-
ranjak dari ranjang untuk mengenakan pakaiannya.
Setelah itu, kakinya melangkah keluar kamar untuk
mengetahui apa yang terjadi.
Betapa kagetnya ia ketika sampai di luar, melihat
anak buahnya bertempur mati-matian melawan pulu-
han orang bertopeng hitam.
"Sial! Ada saja orang-orang yang usil dengan kese-
nanganku!" geram Yang Seng sambil menyerbu ke are-
na pertempuran.
"Hiat!"
Segarang singa lapar, tubuhnya bergerak cepat me-
nyerang orang-orang bertopeng.
"Hiaaat!"
Dug! Dug! Dug! Pukulan beruntun yang dilakukan Yang Seng me-
ngenai seorang lawan hingga tubuhnya menggeliat-
geliat lalu mati. Kemudian ia menyerang orang bertopeng lain dengan ganas.
Jurus 'Tinju Baja' yang sudah dikuasainya membu-
ru ke arah lawan-lawannya dan mengenai beberapa
sasaran dengan telak.
"Aaakh...!"
Teriakan-teriakan kematian dari kedua belah pihak
terus memadati ruangan disertai cucuran darah dari
tubuh mereka yang memerahi lantai.
Pertempuran antara pasukan Partai Persatuan Ular
Hitam dengan orang-orang bertopeng yang tadi hanya
di dalam ruangan, kini meluas sampai ke halaman
rumah. Jurus-jurus kungfu yang dikerahkan oleh ke-
dua belah pihak membuat suasana pertempuran se-
makin seru dan sengit.
Di luar pertempuran, seorang lelaki dan perempuan
terlihat tengah menyaksikan pertempuran itu. Mereka tidak lain Bongkap dan Bong
Mini yang kini tengah
mengawasi kedua pasukan yang sedang bertukar se-
rangan dari atas sebuah pohon.
"Ternyata ada perguruan lain yang mendahului se-
rangan kita," cetus Bong Mini.
"Ya. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang ki-
ta cari," balas Bongkap.
"Maksud Papa?"
"Orang-orang bertopeng itu pasti yang pernah mela-
kukan serangan ke rumah kita dan membunuh enam
orang pengawal," jawab Bongkap.
Bong Mini mengangguk-angguk sambil terus meng-
awasi jalannya pertempuran yang berlangsung di ha-
laman markas Partai Persatuan Ular Hitam.
"Lalu apa tindakan kita sekarang, Papa?" tanya
Bong Mini, ingin mengetahui rencana Bongkap selan-
jutnya "Kita harus tahan diri dulu dan melihat pertempu-
ran mereka. Sebab selain jumlah mereka yang banyak, jurus-jurus silat mereka pun
tidak bisa diremehkan."
Di saat keduanya asyik memperhatikan pertempu-
ran itu, dua lelaki lari tergopoh-gopoh hendak memasuki halaman markas Ular
Hitam. Bong Mini yang mengetahui siapa mereka, langsung
bergerak hendak menyerang. Tapi cepat-cepat dicegah oleh papanya.
"Jangan gegabah!"
Bong Mini kembali diam di tempat, mengikuti peri-
ngatan papanya.
Ketika kedua lelaki yang tergopoh-gopoh itu mema-
suki halaman rumah, mereka langsung diserang oleh
hujaman pedang dari dua orang bertopeng.
Bret! Kepala kedua orang yang pernah melawan Bong
Mini dan Bongkap itu langsung terpental dari lehernya.
Dan semua peristiwa itu tidak terlepas dari pandangan Bong Mini yang berdecak-
decak kagum. Pertempuran antara pasukan Ular Hitam dengan
orang-orang bertopeng itu terus berlangsung dengan
sengit. Dalam sekejap saja markas Partai Persatuan
Ular Hitam menjadi berantakan. Kursi, meja, dan se-
mua benda yang ada di situ hancur. Lantainya pun di-genangi darah, menebar bau
anyir ke segenap rua-
ngan. Pasukan Ular Hitam tampak kewalahan menghada-
pi lawannya ketika pertempuran itu berlangsung beberapa jam. Selain jumlah
penyerang yang sangat ba-
nyak, orang-orang bertopeng itu pun mempunyai ju-
rus-jurus andalan yang tidak bisa diremehkan.
Prak! Tiba-tiba atap rumah itu jebol. Bersamaan dengan
itu dua orang terlihat menerobos keluar dan mengadakan perkelahian di atas atap.
Jurus-jurus pedang mereka sama-sama hebat, berkelebatan cepat mencari sasaran.
"Yang Seng," gumam Bongkap ketika pandangannya
mengarah pada atap rumah itu. Walaupun keadaan
temaram, ia masih mampu melihat wajah Ketua Partai
Persatuan Ular Hitam.
"Itukah orang yang bernama Yang Seng, Papa?"
tanya Bong Mini saat melihat kedua orang yang sedang bertempur di atas atap.
"Ya. Dialah orangnya."
"Ilmu permainan pedangnya sangat bagus," gumam
Bong Mini memuji sambil tak henti berdecak.
"Dia bukan tandinganmu, Anakku!"
"Tapi suatu saat saya akan mencoba berhadapan
dengannya, Papa," sahut Bong Mini tanpa bermaksud
menyombongkan diri.
"Sia-sia, Anakku. Kepandaian jurus-jurus kungfu
yang dimiliki Yang Seng masih jauh lebih tinggi dibandingkan milikmu," kata
Bongkap, memperingatkan pu-
trinya. Suasana pertempuran mulai sepi. Orang-orang Par-
Misteri Goa Malaikat 1 Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Suling Emas 11
^