Pencarian

Sepasang Pendekar Selatan 1

Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan Bagian 1


SEPASANG PENDEKAR
DARI SELATAN oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Di pesisir utara Pulau Bangka, berdiri sebuah ru-
mah kuno yang sudah tidak utuh lagi. Di beberapa ba-
gian temboknya sudah banyak yang runtuh. Namun
tembok yang mengelilinginya masih kelihatan kokoh,
mirip sebuah benteng pertahanan.
Bangunan kuno itu dihuni oleh seorang pemimpin
yang bernama Bong Kian Fu, seorang keturunan
Tionghoa berkebangsaan Manchuria. Ia berbadan pen-
dek, tetapi besar dan berotot. Rambutnya yang pan-
jang selalu diikat ekor kuda. Begitu pula janggutnya yang tipis dibiarkan
panjang sampai sebatas dada. Sedangkan mata hitamnya yang sipit serta tajam itu
memberikan suatu kesan keangkeran, sehingga ba-
nyak orang tak mampu beradu pandang lebih lama.
Sebenarnya bukan hanya Bong Kian Fu sendiri
yang menghuni rumah itu, tetapi juga ditemani oleh
puluhan anak buah yang masih kelihatan muda dan
gagah. Juga oleh putri satu-satunya yang bernama
Bong Mini, berumur kurang lebih enam belas tahun. Ia diberi nama Bong Mini
karena perawakannya yang
mungil. Bong Mini mempunyai wajah yang sangat cantik.
Berkulit putih mulus seperti kebanyakan wanita Tionghoa. Di atas matanya yang
hitam dan sipit, terukir alis mata yang lebat dan panjang. Mirip dengan bentuk
ujung pedang. Rambutnya yang hitam dan panjang,
selalu dibiarkan lepas tergerai dengan bagian depan-
nya disisir poni sebatas alis. Sedangkan bibirnya yang merah dan segar tampak
selalu basah, sehingga siapa
pun yang melihatnya pasti tertarik.
Sebagai gadis yang beranjak remaja sudah tentu
Bong Mini ingin tampil menarik. Khususnya dalam hal
memilih pakaian. Menurutnya, walaupun cantiknya
seseorang bila tak ditunjang dengan pakaian yang rapi dan cocok, maka kecantikan
itu akan kehilangan daya
tariknya. Sehingga dalam berpakaian Bong Mini selalu memilih warna-warna yang
sesuai kulitnya. Biru serta merah merupakan warna yang sangat ia sukai.
Kehadiran Bong Kian Fu bersama pengikutnya di si-
tu, sebenarnya hanya merupakan pelarian. Waktu itu,
di negerinya ia mengadakan pembangkangan terhadap
kaisar dengan menolak pemungutan pajak pada ra-
kyat. Dia menilai bahwa jumlah pajak yang diminta
kaisar terlalu besar dan ia tidak sampai hati untuk
memeras harta rakyat yang sudah demikian miskin.
"Ampun, Baginda! Hamba tak dapat melaksanakan
perintah yang mulia!" ucap Bong Kian Fu ketika itu,
saat ia menghadap kaisar tanpa upeti.
"Kenapa?" tanya kaisar penuh amarah.
"Upeti yang Tuanku minta terlalu besar jumlahnya.
Sedangkan mereka sendiri hidup serba kekurangan.
Hamba tidak sampai hati melaksanakannya!" jawab
Bong Kian Fu dengan sikap hormat.
Mendengar jawaban itu, kaisar bukan berpikir, tapi
malah murka kepada Bong Kian Fu. Dengan mata me-
rah menahan marah, sang Kaisar berkata dengan ke-
ras, "Bong Kian, kamu tahu tugasmu di sini"!"
"Hamba mengerti, Yang Mulia!" sambut Bong Kian
Fu seraya membungkukkan badannya sebagai tanda
hormat. "Kalau kamu mengerti, laksanakan perintahku!"
hardik kaisar sambil mengacungkan tangannya.
"Tapi..."
"Bong Kian Fu, masalah rakyat adalah urusanku.
Aku adalah raja di negeri ini. Sedangkan urusanmu
mengikuti segala perintahku!" potong kaisar dengan
suara berapi-api.
"Baik, Tuanku! Hamba akan laksanakan!" setelah
berkata begitu, Bong Kian Fu segera meninggalkan is-
tana raja. Sepulangnya Bong Kian Fu dari istana, ia segera
mengumpulkan beberapa wakil rakyat di rumahnya.
Para wakil rakyat yang datang ke sana saling ber-
pandangan dan saling bertanya mengenai undangan
Bong Kian Fu itu. Sebab tidak biasanya orang keper-
cayaan kaisar seperti Bong Kian Fu mengumpulkan
banyak orang di rumahnya. Biasanya ia bertemu rak-
yat kalau memungut upeti saja.
"Aku mengucapkan terima kasih kepada para wakil
rakyat Manchuria yang telah memenuhi undangan ini,"
ucap Bong Kian Fu, membuka pertemuan.
Para wakil rakyat yang berjumlah kurang lebih dua
puluh orang itu duduk bersila dengan tegak sambil
memandang sungguh-sungguh wajah Bong Kian Fu.
"Aku mengundang Saudara semua ke sini karena
ada sesuatu yang ingin dimusyawarahkan," lanjut
Bong Kian Fu lagi seraya menatap wajah orang-orang
yang hadir satu persatu, ingin mengetahui reaksi me-
reka. "Sebagai rakyat Manchuria, kalian tak akan bisa ke-
luar dari upeti yang telah ditentukan oleh kaisar kita.
Sedangkan ketentuan upeti itu terasa benar mencekik
leher kita. Susah-payah kita menanam padi dan me-
nuainya, tapi hasilnya diserahkan kepada raja. Begitu seterusnya tanpa ada
perubahan. Sedangkan aku sendiri yang langsung memungut upeti kepada kalian me-
rasa tidak tega melihat penderitaan rakyat. Oleh kare-na itu, hari ini kita
harus mencari jalan keluarnya,"
kata Bong Kian Fu mengajak.
Orang-orang yang hadir di situ saling berpandangan
satu dengan yang lain. Lalu kembali memandang Bong
Kian Fu dengan wajah berseri.
"Untuk menghindari upeti yang demikian banyak,
tidak ada jalan lain bagi kita kecuali pergi dari negeri ini. Bagaimana, apa
kalian setuju?"
Orang-orang yang hadir kembali berpandangan,
seolah-olah minta pendapat satu sama lain.
"Apakah mungkin kita bisa keluar dari negeri ini,
Kapten Kang?" tanya salah seorang yang hadir di situ.
"Kenapa tidak" Apabila rakyat setuju dan bersatu,
kita pasti bisa lolos dengan selamat. Walaupun harus berhadapan dulu dengan para
prajurit raja," jawab
Bong Kian Fu memberi semangat.
Orang-orang yang hadir di situ masih diam. Mereka
saling menunggu komentar dari yang lain.
"Bagaimana, setuju?" tanya Bong Kian Fu menatap
mereka satu persatu.
Mata mereka kembali saling berpandangan. Tidak
ada yang berani menyahut Masing-masing menanti ja-
waban dari temannya.
"Saya setuju, Kapten Kang," cetus salah seorang
yang hadir sambil mengacungkan telunjuknya ke atas.
"Namun kami juga harus menghubungi yang lain."
Bong Kian Fu mengangguk-angguk.
"Yang lain?"
"Kami setuju!" sahut mereka serempak, akhirnya.
Bong Kian Fu tersenyum senang dengan jawaban
itu. Berarti gagasannya diterima. Tinggal menunggu
kesepakatan penduduk lain yang tidak hadir di situ.
"Baiklah. Sekarang kalian tinggal menghubungi
penduduk lain. Kalau mereka setuju, kita segera pin-
dah. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk berta-
han lebih lama di sini," kata Bong Kian Fu, menutup
pembicaraannya.
Setelah acara ditutup, orang-orang yang hadir da-
lam musyawarah tadi segera keluar untuk mendatangi
rumah penduduk satu persatu. Membujuk agar mere-
ka mau meninggalkan Kerajaan Manchuria dan men-
cari penghidupan yang baru.
Usul Bong Kian Fu untuk mengadakan pemberon-
takan dan lari dari negeri itu ternyata mendapat du-
kungan dari rakyat Mereka yang dulu membenci Bong
Kian Fu karena menjadi utusan raja dalam pemungu-
tan pajak, kini bergabung dengan Bong Kian Fu.
Untuk melaksanakan rencananya itu memang tidak
begitu mudah. Bong Kian Fu bersama pengikutnya ha-
rus menghadapi puluhan prajurit raja yang mengha-
dang di sekitar pesisir laut, tempat Bong Kian Fu dan pengikutnya akan melarikan
diri. Melihat puluhan prajurit raja yang berjajar mem-
buat pagar betis di sekitar tepi laut, Bong Kian Fu bu-kannya takut, malah
menjadi berang. Kegagahannya
sebagai panglima perang ketika masih mengabdi pada
raja kembali mencuat. Matanya yang hitam dan tajam
yang selama ini membuat lawan gemetar, kini terlihat berkobar.
"Mau apa kalian!" bentak Bong Kian Fu dengan su-
ara menggelegar. Wajahnya terlihat tegang menahan
marah. Seorang utusan raja yang menggantikan Bong Kian
Fu sebagai panglima perang tertawa terbahak-bahak.
"Kami hendak mengikuti perintah kaisar!" jawab
panglima perang itu setelah menghentikan tawanya.
"Kalau kalian hendak menghalangi kepergian rakyat
Manchuria, aku akan menentangnya!" ujar Bong Kian
Fu tanpa rasa gentar sedikit pun.
Panglima perang itu kembali tertawa terbahak-
bahak. "Kau jangan mimpi, Bong Kian Fu. Dulu kau dis-
ebut Kapten Kang karena kehebatanmu menumpas
musuh sebagai panglima perang. Dan kemenangan itu
pun karena bantuan para prajurit raja. Jadi, sekarang ini kau tidak lagi
mendapat sebutan Kapten Kang karena sebentar lagi sebutan itu akan kurebut!"
teriak panglima perang yang baru itu.
"Boleh saja kau menyandang gelar Kapten Kang ka-
lau kau mampu melangkahi mayatku!" tantang Bong
Kian Fu dengan sikap tenang. Namun kata-kata yang
keluar dari mulutnya terdengar begitu panas di telinga panglima perang.
"Bangsat! Serbu...!" panglima perang itu memberi-
kan aba-aba kepada prajuritnya dengan suara yang
menggelegar. Puluhan prajurit kerajaan yang sejak tadi duduk di
punggung kuda dengan tombak panjang di tangan, se-
rentak menyerang Bong Kian Fu dan pengikutnya. Te-
riakan riuh rendah mengiringi suara derap langkah
kuda. Bong Kian Fu bersama pengikutnya tidak tinggal di-
am. Bersama pengawal kepercayaannya Ashiong,
Achen, dan Sang Piao segera disambutnya serangan
itu dengan gesit.
Trangngng! Puluhan senjata dari arah yang berlawanan saling
beradu dengan keras. Mereka menangkis serangan
masing-masing dengan lihainya. Pedang dengan tom-
bak atau pedang dengan pedang saling memapaki,
menjaga hantaman senjata yang siap menerkam jiwa
lawan. Bong Kian Fu yang ketika jadi panglima perang du-
lu, memang tidak sia-sia mendapat sebutan Kapten
Kang. Kelincahan dan keberaniannya di medan perang
sudah tak diragukan lagi. Setiap ayunan pedang yang
diarahkan ke tubuh lawan selalu berhasil mengenai
sasaran. Itulah Bong Kian Fu. Di rumah ia menjadi
seorang suami dan bapak yang baik dan lembut. Se-
dangkan di tengah peperangan, ia akan berubah men-
jadi singa lapar yang siap menerkam mangsanya.
Brettt! Blesss!
Pedang Bong Kian Fu yang telah banyak menelan
korban kembali bersarang pada leher dan dada dua
orang prajurit kerajaan. Sehingga dalam waktu sing-
kat, tubuh kedua orang prajurit itu rebah di perut bu-mi dengan tubuh bersimbah
darah. "Hei, Panglima pengecut, majulah! Jangan diam se-
perti kambing congek begitu!" teriak Bong Kian Fu,
sengaja memanasi panglima kerajaan yang sejak tadi
hanya duduk di punggung kuda sambil menyaksikan
prajuritnya yang mati-matian membela diri.
Mendengar teriakan Bong Kian Fu yang mengan-
dung ejekan itu, panglima perang segera menerjang ke arah Bong Kian Fu dengan
wajah beringas penuh marah.
"Hiaaat!"
Panglima perang mengarahkan pedangnya ke tubuh
Bong Kian Fu. Tapi karena Bong Kian Fu telah berpe-
ngalaman dalam peperangan, serangan panglima itu
dapat digagalkan dengan meloncat dari punggung ku-
da. Lalu segera berdiri tegak di atas tanah dengan gagah, siap menghadapi
serangan lawan.
Menyadari dirinya dalam posisi yang menguntung-
kan, panglima segera menerjang Bong Kian Fu bersa-
ma kudanya. "Hiaaat!"
Bong Kian Fu mengelak dengan bertiarap sambil
mengarahkan pedangnya mendatar, hingga menggores
kaki kuda. Membuat kuda tunggangan panglima me-
lompat-lompat sambil meringkik menahan sakit.
*** Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu-
ran itu menjadi terkagum-kagum melihat kepandaian
papanya dalam memainkan pedang. Ingin ia turut ser-
ta ke medan pertempuran itu, tapi ia ingat mamanya
harus ditemani. Sehingga ia tetap duduk di kereta ku-da, di samping mamanya.
Brettt! Tiba-tiba tirai penutup kereta kuda dirobek orang.
Ternyata orang yang merobek tirai kereta kuda itu seorang prajurit raja. Dia


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak duduk di atas kuda
sambil menyeringai ke arah Bong Mini.
"Benar-benar cantik putrinya Kapten Kang," ucap
prajurit itu sembari menjilat bibirnya.
Bong Mini yang melihat kehadiran prajurit raja itu
menjadi pucat Duduknya menggeser ke belakang. Bu-
kan karena takut, melainkan untuk menjaga kesela-
matan mamanya..
"Mari, kita bersembunyi di rumahku!" kata prajurit
itu sambil terus menyeringai. "Tidak baik wanita cantik seperti kalian berada di
medan pertempuran."
Bong Mini melotot geram. Wajahnya yang cantik
dan putih itu berubah merah menahan marah.
"Wah, gadis cantik sepertimu kalau marah pasti
bertambah cantik," rayu prajurit itu seraya mendekat.
"Menjauhlah kamu. Aku akan bersikap keras kalau
kau mengganggu kami!" bentak Bong Mini dengan me-
lototkan matanya.
Prajurit itu tertawa berderai. Dan pada kesempatan
itu, Bong Mini melancarkan serangan dengan menen-
dang dada sang Prajurit.
Bug! Prajurit yang tertawa tadi terpental dari punggung
kuda sambil menahan sakit di dadanya. Sedangkan
dari mulutnya menetes darah segar, akibat tendangan
Bong Mini yang begitu keras.
"Bocah perempuan sialan! Dibujuk halus malah ku-
rang ajar!" kata prajurit itu sambil mengusap darah
yang ada di mulutnya. Kemudian dengan wajah tegang
menahan marah, kakinya melangkah mendekati Bong
Mini. "Mama, diamlah di sini. Saya akan membereskan
prajurit yang genit ini," kata Bong Mini kepada ma-
manya. Tubuhnya langsung meloncat keluar dari kere-
ta kuda, siap untuk bertempur.
"Sebaiknya Nona menyerah saja. Sia-sia perlawanan
Nona," tiba-tiba terdengar suara lelaki dari arah bela-kangnya. Dan ketika
menoleh, wajahnya berubah me-
merah. Sebab lelaki itu seorang prajurit kerajaan. Berarti ia menghadapi dua
orang lawan sekaligus.
Tanpa diduga oleh prajurit tadi, Bong Mini melan-
carkan serangan berupa tendangan, dan tepat bersa-
rang pada daerah larangan. Sehingga prajurit itu men-gaduh sambil memegangi
'burung' kesayangannya.
Melihat temannya meringis-ringis di tanah, prajurit
yang mengeluarkan darah dari mulutnya menjadi naik
pitam. Ia menyerang Bong Mini dengan beringas.
Bong Mini yang memang sudah menguasai jurus-
jurus ilmu papanya, dengan mudah dapat menghindari
serangan lawan itu. Lalu tubuhnya bersalto sambil melancarkan serangan balik.
Tapi kali ini serangannya
sia-sia karena musuhnya dengan mudah dapat meng-
hindar dengan berkelit ke samping. Dan ketika ia berdiri tegak, di hadapannya
telah berdiri tiga orang pra-
jurit lain. Jadi, kini ia berhadapan dengan empat orang lawan.
Hm, aku harus sungguh-sungguh melawan mereka,
gumam Bong Mini dalam hati. Lalu dengan gerak yang
tangkas ia mencabut pedang yang tersandang di pung-
gungnya. "Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Nona!" saran
seorang prajurit yang baru datang itu.
"Cih!" Bong Mini meludah geram. "Majulah kalau
kalian memang laki-laki!"
"Saya tidak ingin melukai tubuh Nona yang mulus
itu. Saya hanya ingin membawa Nona dan melindungi,"
kata prajurit tadi. .
"Puih! Dasar banci. Maunya hanya berhadapan
dengan perempuan," kata Bong Mini sambil pura-pura
meninggalkan arena pertempuran. Tapi ketika para
prajurit itu hendak memburu dan merejangnya, satu
tendangan yang begitu cepat mendarat pada tubuh
seorang prajurit, disusul dengan sabetan pedangnya.
Brettt! Ujung pedang Bong Mini menebas perut seorang la-
wan. Sehingga pada detik itu juga, prajurit yang terkena sabetan pedangnya jatuh
tersungkur dengan isi
perut yang hampir keluar.
Melihat temannya mati mengenaskan, ketiga praju-
rit lain menjadi naik pitam.
"Aku tidak menyangka, perempuan secantikmu ber-
hati iblis!" geram salah seorang lawannya sambil terus menerjang ke arah Bong
Mini. Kali ini serangan ketiga lawannya tidak main-main. Tapi sebagai orang yang
sudah terlatih dengan jurus-jurus silat, Bong Mini dapat mengelakkan serangan-
serangan itu dengan baik.
Walaupun ia merasa cukup kewalahan.
*** Bong Kian Fu terus menahan serangan-serangan
lawan sambil sesekali melakukan serangan. Hal itu bukan karena ketangguhan
panglima, melainkan karena
ia diserang oleh lima orang lawan yang mengelili-
nginya. "Umurmu hanya sampai di sini, Bong Kian!" kata
panglima itu, siap mengayunkan pedangnya ke arah
Bong Kian Fu yang semakin terdesak. Tapi ketika ma-
tanya melihat ada perempuan di dalam kereta kuda,
niatnya segera diurungkan.
"Istrimu cantik juga, Bong Kian," ucap panglima itu
sambil terus melesat ke arah kereta kuda.
Wajah Bong Kian Fu menjadi merah mendengar
ucapan panglima itu. Lalu ia berusaha keluar dari ke-pungan para lawan untuk
menyelamatkan istrinya.
Tapi karena serangan empat lawannya begitu ketat
membuat ia terhalang untuk mendekati kereta kuda
yang dipakai istrinya.
"Tolong! Bong Mini! Papa, tolooong!"
Bong Mini yang tengah sibuk melawan tiga prajurit
raja menoleh ke arah kereta kuda. Di sana ia melihat mamanya tengah dirangkul
paksa oleh panglima.
"Bangsat. Panglima bejat!" geram Bong Mini sambil
meluruk ke arah mamanya yang sudah berada di atas
pundak panglima. Siap untuk dibawa lari.
Langkah Bong Mini terhalang oleh serangan ketiga
lawannya. Sehingga ia terpaksa harus meladeni ketiga lawannya itu dengan ganas.
Kilatan-kilatan pedangnya menari-nari di udara saat tertimpa cahaya matahari.
*** Sinyin meronta-ronta dalam dekapan panglima. Te-
tapi semakin ia meronta, semakin kuat panglima me-
meluknya sambil terus berusaha untuk menciumi wa-
jah Sinyin yang memang cantik dan menggiurkan.
Ketika panglima kerajaan begitu bernafsu hendak
mencumbui Sinyin, tiba-tiba mulutnya berteriak kesa-
kitan sambil melepaskan pelukannya. Ternyata Sinyin
berhasil menggigit bibir panglima dengan keras.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sinyin se-
gera melepaskan diri dari pelukan panglima. Ia berlari sekencang-kencangnya.
Namun karena ia seorang perempuan yang tidak mempunyai kepandaian silat, ak-
hirnya ia tersusul oleh panglima.
"Kau tidak akan dapat meloloskan diri dari deka-
panku, Perempuan Cantik," kata panglima sambil ter-
kekeh-kekeh. "Jangan! Jangan sentuh aku!" Sinyin mundur keta-
kutan ketika panglima itu melangkah mendekatinya.
Panglima kerajaan itu kembali terkekeh-kekeh.
"Hanya lelaki bodoh yang melepaskan perempuan
cantik begitu saja!" desis panglima itu sambil mendekap tubuh Sinyin dan merobek
baju yang dikenakan-
nya. Brettt! Baju bagian depan Sinyin terbuka. Sehingga da-
danya yang membusung ke depan jelas terlihat oleh
panglima. Panglima itu semakin tergetar hatinya melihat ke-
montokan dada Sinyin. Dengan jiwa yang sudah diku-
asai nafsu iblis ia segera menjarah tubuh Sinyin. Ia berusaha untuk dapat
menyentuh dua buah bukit yang
putih dan montok itu.
Sinyin terus meronta-ronta sambil berusaha melin-
dungi dua buah bukitnya. Tapi apa yang dilakukannya
sia-sia. Karena setiap kali Sinyin berontak, saat itu pu-la birahi panglima
terangsang. Sinyin benar-benar tak berdaya. Tenaganya sudah
habis terkuras. Panglima mempergunakan kesempatan
itu sebaik-baiknya untuk melucuti pakaian Sinyin
dengan tenang. Namun ketika ia hendak menggagahi,
tiba-tiba pedang yang ditaruhnya di sisi Sinyin bergerak menembus perutnya.
"Akh!" teriak panglima menahan rasa sakit. "Perem-
puan jahanam!" maki panglima itu sambil mengayun-
kan pukulan ke arah Sinyin dan tepat mengenai ulu
hatinya. Sehingga darah tersembur dari mulut Sinyin disertai teriakan yang
mengenaskan. Dan pada saat itu pula tubuh Sinyin ambruk tak berdaya.
Bertepatan dengan ambruknya Sinyin, tiba-tiba se-
buah pukulan yang cukup keras mendarat di pung-
gung panglima. Tubuhnya langsung terhuyung lalu ja-
tuh. Tapi kemudian ia cepat bangkit dan memandang
orang yang memukulnya. Ternyata seorang gadis can-
tik sedang berdiri menantang dengan gagahnya.
"Lelaki biadab! Rasakanlah seranganku ini!" teriak
Bong Mini sambil melancarkan serangan. Tapi tidak
berhasil. Membuat ia semakin bernafsu, ia terus me-
lancarkan serangan dengan membabi buta.
"Mundurlah anakku. Biar papa yang menghadapi
tikus busuk ini!" tiba-tiba Bong Kian Fu berdiri di samping Bong Mini dan
langsung menerjang panglima.
Panglima prajurit yang sudah terkena tusukan pe-
dang oleh Sinyin menjadi gusar. Tapi karena tubuhnya sudah agak sempoyongan
akibat banyak mengeluarkan darah, ia tidak dapat berbuat banyak.
Brettt! Pedang Bong Kian Fu menebas leher panglima de-
ngan cepat dan keras. Seketika itu juga kepala pang-
lima terpisah dan badannya.
Bong Kian Fu berdiri tegak menyaksikan kepala
musuhnya dengan hati puas. Setelah itu melangkah
menghampiri Bong Mini yang tengah menutup mu-
kanya. Gadis itu tidak kuasa melihat kematian pang-
lima yang mengerikan.
"Di mana mamamu, Sayang?" Bong Kian Fu me-
nyentuh kedua bahu putrinya.
Bong Mini tidak menjawab. Ia menyandarkan tu-
buhnya ke dalam pelukan papanya sambil melangkah
lesu ke tempat tubuh ibunya terkapar bersama ayah-
nya tercinta. Bong Kian Fu menitikkan air matanya ketika meli-
hat istri yang dicintainya itu sudah tak bernyawa lagi.
Begitu pula dengan Bong Mini. Dia menangis terisak-
isak sambil memeluki tubuh Sinyin.
"Mama. Maafkan saya, Mama," isak Bong Mini. Ia
merasa menyesal karena terlambat menyelamatkan ji-
wa mamanya yang dicintainya itu.
Beberapa saat suasana menjadi hening. Hanya isak
tangis Bong Mini saja yang terdengar.
"Sudahlah, Sayang. Kematian mamamu merupakan
kematian yang terhormat Mama mati karena memper-
tahankan kehormatannya," ucap papanya. Sesungguh-
nya ia sendiri tak tahan melihat kematian istrinya itu.
"Mama tidak akan bersama-sama kita lagi, Papa,"
ucap Bong Mini sendu. Air matanya begitu deras me-
ngalir. Meliuk-liuk di pipinya bagai sungai yang mencari lautan bebas.
"Tapi cinta dan kasih sayangnya akan tetap melekat
di hati kita, Sayang," sahut papanya dengan suara tersendat menahan tangis.
Bong Mini tak tahan mendengar kata-kata papanya.
Ia mengangkat wajahnya dan menjatuhkan kepalanya
dalam pelukan papanya sambil menangis tersedu-
sedu. Setelah beberapa lama kedua bapak dan anak ini
dicekam oleh keharuan, akhirnya mereka membawa
mayat Sinyin menuju kapal kerajaan yang berhasil me-
reka rampas untuk dibawa ke pesisir Pulau Bangka.
Sedangkan di pinggir pantai, mayat-mayat tampak ber-
gelimpangan bagai ikan laut yang terdampar.
*** 2 "Di sini kita akan memulai hidup baru. Dan hari ini
pula, gelar Kapten Kang akan kucabut dan kuganti
dengan Bongkap. Karena di tempat ini, aku yang akan
memimpin kalian!" seru Bong Kian Fu ketika mereka
telah berada di pesisir Pulau Bangka. Ia menobatkan
dirinya sebagai Bongkap yang berarti raja.
"Hidup Bongkap! Hidup Bongkap!" teriak para peng-
ikutnya sambil mengacung-acungkan tangan. Sedang-
kan wajah mereka tampak begitu gembira karena telah
terbebas dari upeti raja yang begitu mencekik leher
mereka. Dengan resminya Bong Kian Fu menjadi raja, maka
seluruh pengikutnya pun mulai membenahi diri. Se-
mak belukar yang rimbun di sekitar bangunan kuno
itu dibersihkan dengan cara bergotong-royong. Rimbu-
nan ilalang yang tumbuh tinggi tak beraturan dipo-
tong. Sebagian pepohonan besar pun telah mereka
pangkas, agar cahaya matahari bebas bersinar ke tem-
pat yang sekian lama tenggelam dalam bayangan ke-
lam dan lembab karena tak dihuni oleh seorang manu-
sia pun. Terkecuali satu kilo meter dari tempat me-
reka, banyak rumah penduduk berdiri dengan tanah
halaman yang luas.
Setelah tanah yang sebelumnya tak terurus itu di-
bersihkan, kemudian mereka sama-sama mengumpul-
kan batu bata, semen, pasir, balok-balok kayu, gen-
teng atau atap rumbia. Lalu mereka bahu-membahu
mendirikan rumah-rumah sebagai tempat tinggal me-
reka nanti. Tua-muda, laki-perempuan, semua bekerja.


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga tak heran dalam waktu yang tak begitu lama, rumah-rumah itu telah
berdiri rapi. Termasuk rumah
kuno sebagai tempat tinggal Bongkap, Bong Mini, para dayang, dan beberapa orang
pengawalnya. Malah re-runtuhan benteng rumah itu dipugar, sehingga tembok
benteng itu kembali berdiri dengan kokoh.
Walaupun ia menjadi raja bagi para pengikutnya,
Bong Kian Fu atau Bongkap hampir setiap hari mem-
pelajari kehidupan penduduk pribumi secara sem-
bunyi-sembunyi. Ia mencoba mempelajari dan me-
ngenal kebiasaan atau adat-istiadat mereka, serta berusaha mengerti pikiran
mereka. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa
penduduk negeri itu merupakan orang-orang yang se-
derhana. Tidak seperti mereka yang tinggal di negeri asalnya, Tiongkok. Di sana
rakyatnya cerdik dan penuh dengan sikap curiga. Hal ini disebabkan karena
kelaparan yang terus melanda dan perjuangan yang
tanpa ampun untuk hidup mereka.
Berbeda dengan di sini, di sekitar pesisir Pulau
Bangka ini rakyatnya terlihat kuat dan perkasa, walaupun agak polos. Hal yang
mereka tahu hanyalah ten-
tang perkebunan lada. Mereka hanya paham pada ke-
perluan perutnya saja. Di luar itu mereka sama sekali tidak tahu. Apalagi
tentang ilmu bela diri, mereka benar-benar buta. Ini disebabkan karena mereka
hidup serba kecukupan.
Ketika pagi hari Bongkap berkeliling kampung dan
melihat perkebunan lada mereka, ia nampak terlihat
mengangguk-angguk dan tersenyum melihat kesung-
guhan penduduk kampung dalam bekerja. Dengan te-
rengah-engah dan tubuh bercururan keringat, mereka
terus bekerja sampai waktu matahari tenggelam di
ufuk timur. Pada suatu hari, ketika musim kemarau panjang te-
lah tiba, para penduduk tampak begitu ketakutan. Ka-
rena bibit lada yang mereka tanam tidak menghasilkan apa-apa. Bibit-bibit lada
yang tumbuh mulai berubah
warnanya. Lalu perlahan-lahan kering dan mati.
Dalam keadaan seperti itu, penduduk mulai dilanda
kegelisahan. Hampir tiap hari di antara mereka terjadi perkelahian memperebutkan
air untuk mengairi sa-wahnya dari sebuah sungai yang juga tengah dilanda
kekeringan. Bahkan tidak sedikit para penduduk yang
kehilangan ternak atau hasil ladangnya.
Kemiskinan dan kelaparan itu bukan saja melanda
penduduk asli Pulau Bangka, tetapi juga melanda ra-
kyat yang berasal dari negeri Manchuria. Hampir se-
tiap hari mereka mengeluh dan menangis karena tidak
mendapatkan makanan. Sedangkan harta kerajaan
yang berhasil dirampas Bongkap telah habis untuk ke-
butuhan mereka sehari-hari.
Mendapat kenyataan itu, Bongkap tidak sampai ha-
ti. Ia tidak ingin rakyatnya menderita. Ia juga tidak ingin mereka saling baku
hantam karena rasa lapar yang mencekam. Ia harus bertanggung jawab untuk menye-
jahterakan rakyat yang dipimpinnya. Karena dialah
yang telah mengajak mereka untuk berpindah tempat.
Maka pada suatu malam, ketika Bong Mini telah
tertidur lelap, diam-diam ia bersama pengawal keper-
cayaannya pergi mengarungi Selat Malaka. Di sana
mereka melakukan aksi perampokan terhadap kapal-
kapal saudagar yang membawa barang-barang berhar-
ga. "Serbuuu!" Bongkap memberikan aba-aba kepada
para prajuritnya untuk menyerbu setelah berhasil me-
rapatkan kapalnya ke kapal saudagar itu.
Dengan serta-merta, para prajurit kepercayaan
Bongkap keluar dari kapalnya dan berloncatan ke kap-
al saudagar bersama Bongkap sendiri.
Mendapat serbuan yang tidak diduga ini para pe-
ngawal kapal barang milik saudagar menjadi terkejut.
Mereka berdiri serentak sambil mencabut pedang dan
golok masing-masing, siap mengadakan perlawanan.
"Siapa kalian?" tanya salah seorang pengawal kapal
yang ternyata pemimpinnya.
Bongkap tersenyum sinis mendengar pertanyaan
itu. "Namaku Bongkap. Penguasa Pantai Selat Malaka
ini!" jawab Bongkap dengan suara berwibawa.
"Lalu apa maumu menyerbu kapal kami"!" bentak
pemimpin pengawal kapal itu.
Bongkap tertawa terbahak. Lalu kembali terdiam
mengamati wajah lawannya.
"Tidak ada penyerbuan bila tidak ada maksud!" ja-
wab Bongkap dengan sikap tenang.
"Kalian ingin menghalangi perjalanan kami?"
"Tidak!" jawab Bongkap cepat.
"Lalu?"
"Kami hanya menginginkan barang-barang yang ada
dalam kapal ini. Setelah itu kalian boleh melanjutkan perjalanan kembali!" kata
Bongkap dengan sikap yang
tetap tenang dan penuh wibawa.
"Sudah aku duga bahwa kalian adalah para peram-
pok!" "Mungkin. Tapi saudagar kalian juga seorang pe-
rampok!" jawab Bongkap, masih dalam keadaan te-
nang. "Kamu lancang!" geram pemimpin pengawal kapal
itu. Bongkap tersenyum mengejek.
"Membeli hasil perkebunan rakyat dengan harga
murah dan secara paksa, bukankah itu perampokan?"
sindirnya. Telinga lelaki di hadapannya terasa panas seperti
dibakar ketika mendengar kata-kata Bongkap. Ma-
tanya mendadak merah menahan marah.
"Bangsat! Kalian telah menghina saudagar kami.
Serang mereka!" perintah pemimpin pengawal kapal
itu. "Berhenti!" sergah Bongkap pada para pengawal barang yang hendak
menyerangnya. "Kalau kalian me-
nyerang kami, itu berarti telah lebih dahulu melaku-
kan perampokan terhadap diri kami!"
"Jangan dengarkan omongannya yang busuk itu.
Cepat serang!" perintah pemimpin pengawal itu.
Para pengawal kapal barang saudagar yang berjum-
lah dua puluh orang itu segera menyerbu para prajurit Bongkap yang berjumlah
sepuluh orang. Mereka berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan golok dan pe-
dang ke arah lawan.
Prajurit Bongkap tidak tinggal diam. Mereka me-
nyambut serangan-serangan itu dengan pedang yang
tergenggam di tangan mereka masing-masing .
"Lawan mereka! Tapi jangan sampai mematikan!"
teriak Bongkap kepada anak buahnya yang sedang si-
buk memberikan perlawanan. Tapi karena para pe-
ngawal kapal begitu bernafsu hendak menjatuhkan la-
wannya, terpaksa anak buah Bongkap pun melakukan
kekerasan untuk melindungi diri dari serangan lawan
yang mematikan itu.
Brettt! Pedang milik seorang anak buah Bongkap merobek
pakaian lawan sampai tembus ke tubuhnya. Seketika
itu juga, pengawal kapal yang terkena sabetan ujung
pedang anak buah Bongkap terhuyung jatuh sambil
memegangi perutnya yang tersayat mengeluarkan da-
rah. Lalu diam tak berkutik lagi.
Melihat kematian seorang lawannya, Bongkap men-
jadi gusar. Sebab ia tidak menginginkan pertumpahan
darah. Ia hanya menginginkan barang-barang yang
ada dalam kapal itu, bukan jiwa. Maka untuk mengu-
rangi jatuhnya korban, Bongkap segera menerjang pe-
mimpin pengawal itu dan mengajaknya bertanding.
Pemimpin pengawal kapal barang itu segera menca-
but pedang ketika Bongkap berdiri di hadapannya. La-
lu segera menerjang Bongkap dengan bengis.
Trangngng! Pedang Bongkap dengan pedang lawannya saling
beradu. Mereka saling menangkis dan melakukan se-
rangan, sama-sama ingin menjatuhkan lawan.
"Kau punya keahlian bermain pedang rupanya," ka-
ta Bongkap sambil terus berkelit menghindari se-
rangan-serangan yang dilancarkan lawan.
"Kamu kira hanya kau saja yang pandai!" sahut la-
wannya sambil terus melakukan serangan dengan gen-
car. Darahnya semakin menggelegak mendengar uca-
pan Bongkap yang setengah mengejek itu.
"Tapi kau harus banyak latihan lagi agar tidak me-
ngurus tenaga seperti itu!" kata Bongkap lagi, me-
mancing emosi lawannya.
Mendengar ejekan Bongkap, wajah pemimpin pe-
ngawal kapal barang itu menjadi merah. Baru kali ini ada orang yang berani
mengejekku, pikirnya.
Wettt! Pedang pemimpin pengawal kapal barang itu me-
nyerang ke arah kaki Bongkap. Tapi Bongkap dapat
melihat serangan lawannya dengan cermat. Tubuhnya
bersalto dan kembali berdiri tegak menghadap lawan.
"Kita cepat selesaikan saja pertandingan ini. Aku tidak sampai hati melihat anak
buahmu terkapar ber-
simbah darah," ucap Bongkap.
"Bangsat!" hardik lawannya geram. Ia menyerang
dengan gigihnya. Ia begitu bernafsu hendak memati-
kan Bongkap. Tapi Bongkap sebagai orang yang ber-
pengalaman di medan perang dan berjaya sebagai
panglima kerajaan ketika di Manchuria, tentu saja tidak mudah untuk ditaklukkan.
Apalagi oleh seorang
lawan yang kepandaiannya sudah terbaca. Maka un-
tuk mempersingkat waktu dan tidak membuang-buang
tenaga, Bongkap segera menyerang lawannya dengan
sungguh-sungguh.
Brettt! Dengan cepat pedang Bongkap menyambar bahu
lawannya hingga putus.
Pemimpin pengawal kapal barang itu meringis ke-
sakitan, seraya memegangi bahu kanannya yang ba-
nyak mengeluarkan darah. Sedangkan pedangnya ter-
lepas bersama tangannya.
"Sudah kukatakan, kau harus banyak berlatih agar
permainan pedangmu lebih mahir lagi," kata Bongkap
sambil mendekati lawannya yang sedang terduduk di
sudut kapal sambil menahan rasa nyeri.
"Cukup!" Bongkap segera rnemberi aba-aba kepada
anak buahnya yang masih gigih bertarung.
Seketika itu juga, dentingan senjata tidak terdengar lagi. Baik anak buah
Bongkap maupun lawannya berhenti melakukan serangan. Mereka serentak meman-
dang ke arah Bongkap.
"Aku tidak ingin menambah banyak korban. Kalian
tinggal pilih; menyerahkan barang-barang yang ada
dalam kapal ini atau nasib kalian seperti pemimpinmu ini!" kata Bongkap sambil
mengangkat tangan kiri pemimpin pengawal kapal barang dan memperlihatkan
luka lelaki itu kepada para anak buahnya.
Melihat pimpinan mereka sudah tidak berdaya de-
ngan tangan yang terputus, para pengawal itu menja-
tuhkan diri dan bersujud mengakui kekalahannya di
hadapan Bongkap.
Bongkap tersenyum penuh kemenangan. Lalu ia se-
gera mendudukkan kembali pemimpin pengawal kapal
dan menyuruh para pengawal kapal saudagar untuk
memindahkan barang-barang yang ada dalam kapal
itu ke kapalnya.
Dengan penuh rasa takut, para pengawal barang
segera mengikuti perintah Bongkap untuk mengangkut
barang-barang milik saudagarnya ke kapal Bongkap.
Sedangkan Bongkap dan anak buah hanya memperha-
tikan kerja mereka saja sambil sesekali meneliti ruangan kapal, khawatir masih
ada barang-barang yang
tersembunyi. Setelah seluruh barang yang ada dalam kapal sau-
dagar itu dipindahkan ke kapal Bongkap, hingga tidak tersisa lagi, anak buah
Bongkap pun segera berloncatan ke kapalnya dengan gerakan yang gesit dan ringan.
"Terima kasih atas bantuan kalian. Dan sampaikan
salamku kepada saudagarmu!" seru Bongkap kepada
para pengawal kapal barang itu. Setelah berkata begi-tu, lalu tubuhnya segera
melesat menuju kapalnya.
Disaksikan oleh para pengawal kapal barang dengan
pandangan mata yang takjub.
*** Sementara itu, Bong Mini masih tergolek di atas
ranjang. Ia baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terbangun karena mendapat
mimpi bertemu dengan Si-
nyin, mamanya. Dalam mimpi itu Bong Mini melihat
mamanya tersenyum manis padanya. Lalu perlahan
mamanya melangkah menghampirinya dan berkata,
"Jaga dirimu dan papamu baik-baik, anakku! Tegurlah
papa jika melakukan kesalahan. Engkaulah satu-
satunya pengganti mama yang menyayangi papa!" usai
berkata begitu, mamanya kembali melangkah menjau-
hi Bong Mini kemudian lenyap. Bersamaan dengan le-
nyapnya mamanya, Bong Mini terjaga dari tidur.
"Mama?" keluh Bong Mini sambil menyebarkan
pandangannya ke seluruh ruangan kamar. Tetapi ia
tidak mendapatkan wanita yang dicarinya. Kemudian
ia mengeluh sambil membaringkan tubuhnya di atas
ranjang. Matanya menatap sayu langit-langit kamar.
"Mama. Kenapa mama pergi lagi?" desah Bong Mini.
Matanya mulai mengeluarkan telaga bening. Lalu me-
ngalir membasahi kedua pipinya, meliuk-liuk bagai
anak sungai yang mengalir menuju muara.
Perlahan-lahan Bong Mini bangkit dari ranjangnya
dan melangkah menuju jendela kamar. Dikuakkannya
jendela kamar itu. Di sana hanya terlihat kegelapan
malam yang menyelimuti bumi. Pepohonan yang tum-
buh di sekitar tempat itu pun menjadi suram. Tak jelas bentuknya karena
diselimuti kepekatan.
Bong Mini berdiri tercenung di muka jendela itu.
Membiarkan anak rambutnya menghalangi pandangan
karena terhela hembusan angin malam yang terasa


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin sampai ke tulang sum-sum.
Tatapan mata Bong Mini terus tertuju pada kegela-
pan malam. Begitu sendu dan kosong. Karena piki-
rannya masih mengawang pada pertemuan dengan
mamanya di alam mimpi. Ingin rasanya ia bertemu lagi dengan mamanya lebih lama.
Tapi tidak mungkin. Dan
kehadiran mamanya di alam mimpi itu pun hanya se-
cara kebetulan saja, tanpa ia sengaja.
Dalam lamunannya malam itu, tiba-tiba ia teringat
pesan mamanya dalam mimpi tadi bahwa ia disuruh
menjaga papanya dengan kasih sayang dan menegur-
nya bila berbuat kesalahan.
Pantaskah itu" Beranikah ia menegur papanya jika
berbuat salah" Sedangkan ia sendiri masih berada da-
lam asuhan dan didikan papanya.
Bong Mini menghela napas dalam. Ditutupnya kem-
bali daun jendela itu. Kemudian kakinya melangkah
keluar kamar. Berjalan perlahan ke ruangan depan,
khawatir membangunkan papanya.
Sampai di ruang depan, Bong Mini kembali terce-
nung. Ia merasa ada satu kejanggalan dalam rumah
itu. Matanya tidak melihat orang-orang kepercayaan
papanya. Mungkin di luar, pikir Bong Mini sambil membuka
pintu. Namun ketika ia melongok keluar, di sana pun
ia tidak mendapatkan pengawal papanya seorang pun
juga. Ke mana perginya mereka"
Tiba-tiba Bong Mini mempunyai firasat yang tidak
enak dengan tidak adanya pengawal rumah itu. Lalu ia menutup kembali pintu rumah
dan melangkah menuju
kamar papanya. Pelan-pelan Bong Mini membuka pintu kamar pa-
panya. Lalu ia tercenung di muka pintu kamar itu
sambil menatap ke arah ranjang papanya. Dan di da-
lam keremangan kamar itu, Bong Mini tidak menda-
patkan papanya di sana. Ranjang itu kosong. Hanya
ada guling dan beberapa buah bantal yang berserakan.
Ke mana perginya papa" Tanya batin Bong Mini.
Wajahnya mulai menampakkan gelisah. Lalu ia buru-
buru ke kamar belakang untuk menemui para dayang.
Sesampainya di kamar belakang, dilihatnya ketiga
dayang sedang tertidur pulas.
"Bi.... Bibi!" panggil Bong Mini, membangunkan seo-
rang dayangnya.
Dayang yang dibangunkan tadi segera terbangun
dan langsung duduk ketika melihat kehadiran Bong
Mini. "Ada apa, Nona?" tanya dayang itu tersentak. Tidak
biasanya Bong Mini masuk ke kamarnya.
"Bibi tahu ke mana papa pergi?" tanya Bong Mini.
"Tidak tahu, Nona. Bibi sudah tertidur," jawab
dayang itu. Bong Mini menghela napas. Pikirannya masih dili-
puti oleh tanda tanya.
Ke mana papa pergi malam-malam begini" Bersama
para pengawal lagi. Apa memang setiap malam papa
keluar" Kalau memang benar, apa yang dilakukan pa-
pa bersama pengikutnya" Batin Bong Mini.
Melihat anak majikannya termangu dengan wajah
sedih, dayang yang terbangun itu segera mendekati.
"Apakah Tuan sebelumnya memberitahukan kepada
Nona ke mana dia pergi?"
Bong Mini menggeleng pelan.
"Kalau papa memberitahukan sebelumnya, mana
mungkin saya mencari dan bertanya pada Bibi?"
Dayang itu menundukkan kepala. Ia malu sendiri
terhadap pertanyaannya yang bodoh.
"Kalau saja mama masih ada, tentu keadaannya ti-
dak begini," gumam Bong Mini lirih. Sedangkan kedua
matanya yang sendu sudah nampak berkaca-kaca se-
perti ada telaga bening yang menggenanginya.
Dayang tadi mengangkat wajahnya dan memandang
Bong Mini dengan tatapan mata kasihan.
"Sudahlah, Non. Jangan terlalu diingat. Biarkan
nyonya besar tenang di tempatnya yang kekal!" hibur
dayang itu lembut Dia tidak ingin melihat anak maji-
kannya yang cantik, periang serta manja itu berubah
sedih hanya karena mengingat kematian mamanya.
Bong Mini hanya diam mendengar ucapan wanita
setengah baya yang mencoba menghiburnya. Ia masih
sulit untuk dapat melupakan kematian mamanya.
Apalagi kehadiran mamanya dalam mimpi tadi, mem-
buat ia teringat pada semua kenangannya waktu kecil.
Sikap Bong Mini yang tidak bisa melupakan keper-
gian mamanya memang bisa dimengerti. Sebab sebagai
anak tunggal, ia selalu disayang oleh kedua orangtuanya. Terlebih lagi oleh
mamanya. Bila ia hendak tidur, beliau selalu menemani di sampingnya sambil
memeluk dan mengusap-usap punggungnya. Kalau sudah
tertidur, barulah beliau pergi menuju kamarnya. Begi-tu pula jika bermain,
beliau selalu menjaga dan me-
nemani Bong Mini.
Pernah Bong Mini menjerit dan menangis ketika ia
sedang bermain di halaman rumahnya saat masih
tinggal di Tiongkok. Sebabnya, ketika ia sedang asyik bermain-main dengan
boneka, tiba-tiba seekor cacing
merayap di ujung kakinya. Melihat binatang yang men-
jijikkan itu berjalan di kakinya, Bong Mini langsung menjerit dan menangis.
Melihat Bong Mini seperti itu, mamanya yang meng-
awasinya agak jauh dari tempatnya bermain segera
menghampiri dan menggendongnya. Kemudian ketika
mengetahui penyebabnya, beliau langsung membuang
cacing itu. "Kenapa tidak dimatikan saja, Ma?" tanya Bong
Mini ketika itu, saat ia berumur delapan tahun.
Mamanya menggeleng sambil tersenyum.
"Kita tidak boleh membunuhnya. Dia juga ciptaan
Tuhan. Lagi pula dia tidak jahat, kan?"
"Tapi dia merayap di kaki Mini, Ma," rajuknya.
"Tak menggigit, kan" Hanya kamu saja yang takut!"
kata mamanya mencubit hidung Bong Mini.
Mengingat masa kanak-kanaknya itu, Bong Mini ja-
di tersenyum sendiri.
"Ada apa, Non" Kok senyum sendirian?" usik da-
yangnya. Sebab wajah Bong Mini yang sejak tadi me-
nunjukkan kesedihan berubah berseri tanpa dia sada-
ri. "Tidak apa-apa, Bi," desah Bong Mini dengan bibir tersenyum malu. Ia sadar
kalau sikapnya mendapat
perhatian dayangnya sejak tadi. Kemudian ia bangkit
dari tepi ranjang dayangnya dan berkata, "Lanjutkan-
lah tidur Bibi. Saya mau kembali ke kamar."
"Perlu ditemani, Non?"
Bong Mini menggeleng. Kakinya melangkah mening-
galkan dayangnya menuju kamarnya kembali. Di sana,
ia langsung merebahkan tubuh di atas ranjang.
Malam semakin larut.
Keheningan mencekam dalam rayapan waktu.
Hanya suara-suara jangkrik yang terdengar mengerik,
mengantarkan Bong Mini kembali dalam kelenaan ti-
durnya. *** 3 Yang Seng adalah seorang keturunan Cina Tiongkok
yang beberapa tahun lalu datang ke Pulau Bangka dan
tinggal di kawasan Sungai Liat. Di sana ia mendirikan sebuah perguruan yang
bernama Partai Persatuan Ular
Hitam dengan anggota mencapai puluhan orang.
Sebagai orang keturunan Tiongkok, tentu saja Yang
Seng mempunyai ilmu bela diri atau ilmu kesaktian
yang amat tangguh. Semacam jurus-jurus kungfu. Dan
ilmu itu sebagian ia turunkan kepada para anak buah-
nya, termasuk ilmu kepandaian bermain pedang.
Kehadiran Yang Seng di sekitar Sungai Liat itu tidak lain ingin menguasai daerah
tersebut. Dan untuk menguasai kawasan itu, tentu saja tidak begitu semudah yang
dibayangkan. Di sana ia harus berhadapan dengan tokoh-tokoh silat yang sangat
tangguh. Terutama sekali ia harus mengalahkan penguasa bernama Kho
Sue Cheng. Dengan modal ilmu kesaktian yang diperolehnya
dari negeri Tiongkok, akhirnya Yang Seng berhasil juga menjatuhkan Kho Sue Cheng
dengan jurus-jurus maut
yang mematikan. Sehingga Kho Sue Cheng terbunuh
dengan tubuh terkoyak bersimbah darah.
Keberhasilan Yang Seng dalam pertempuran mela-
wan Kho Sue Cheng tentu saja sangat mengejutkan
anak buah Kho Sue Cheng. Mereka tidak menyangka
kalau pemimpin mereka yang selama ini dianggap jago, dapat dijatuhkan oleh
seorang anak muda kemarin.
Setelah Kho Sue Cheng terbunuh, maka yang meng-
ambil alih kekuatan adalah Yang Seng. Segala harta
kekayaan Kho Sue Cheng yang menjadi saudagar itu
direbut oleh Yang Seng. Begitu pula dengan para anak buah yang harus tunduk dan
patuh terhadap perin-tahnya. Bila ada seorang dari mereka yang membantah
peraturan yang dibuatnya, maka Yang Seng tidak se-
gan-segan memberikan hukuman mati. Membuat anak
buah lainnya ketakutan.
Anggota Partai Persatuan Ular Hitam selain berang-
gotakan kaum lelaki, juga ada sekitar sepuluh orang kaum perempuan. Dan para
perempuan itu ia peroleh
dari para penduduk yang tidak bisa membayar hutang
kepadanya. Karena selain pembelian hasil kebun pen-
duduk dengan harga murah, ia memang suka membe-
rikan pinjaman uang dengan bunga dua kali lipat
Kalau orang yang memimjam itu tidak bisa men-
gembalikan hutangnya, maka Yang Seng akan menyita
tanah atau sawah yang dimiliki. Tapi kalau kebetulan mempunyai seorang istri
atau perempuan yang cantik,
maka Yang Seng akan mengambil mereka dengan
membebaskan-pembayaran hutang.
Perempuan yang dijadikan sebagai alat bayar hu-
tang itu dibawa ke markas dan dijadikan sebagai te-
man bercengkerama. Apabila perempuan itu sudah ti-
dak lagi menarik perhatian Yang Seng, maka ia pun
menyerahkannya kepada anak buahnya. Tak peduli
mau dijadikan apa perempuan itu, yang penting ia ha-
rus mendapatkan perempuan baru sebagai penggan-
tinya. Semua perilaku dan kebejatan moral orang-orang
Partai Persatuan Ular Hitam ini sudah bukan menjadi
rahasia umum lagi. Semua orang telah mengetahuinya.
Namun mereka sendiri tidak punya daya dan kebera-
nian untuk menentang atau menghentikannya. Takut
nyawa mereka sendiri yang akhirnya melayang.
Pernah ada beberapa orang penduduk yang mem-
punyai kepandaian silat mencoba untuk mengakhiri
sepak-terjang mereka. Tapi belum sempat bertemu
dengan Yang Seng, mereka sudah kewalahan mengha-
dapi anak buahnya. Sehingga dalam beberapa gebra-
kan saja nyawa mereka langsung lenyap dengan tubuh
yang koyak-moyak.
Sejak itu, tiada lagi para penduduk yang mencoba
menentang kehendak orang-orang Ular Hitam. Mereka
pasrah terhadap kenyataan yang ada. Mereka hanya
dapat menangis dan mengurut dada jika istri atau
anak perawan mereka dibawa oleh orang-orang Ular
Hitam, tanpa melakukan perlawanan sedikit juga.
"Mudah-mudahan Yang Kuasa menurunkan seo-
rang juru selamat untuk menentang kelaliman mere-
ka!" demikian doa para penduduk jika orang-orang
Ular Hitam mulai turun ke perkampungan untuk men-
cari mangsa. Melihat penduduk kampung Sungai Liat yang tidak
berdaya dan takut terhadap orang-orang Ular Hitam,
maka mereka pun semakin senang. Malah tingkah-
polah mereka semakin menjadi. Kalau dulu mereka
mengambil keuntungan dengan cara meminjamkan
uang, maka sekarang pinjaman itu dihilangkan. Hanya
pada orang-orang tertentu saja mereka meminjamkan
uang. Seperti warung-warung nasi atau beberapa pen-
duduk lain yang mempunyai anak gadis. Selain itu me-
reka langsung mengambil harta para penduduk. Baik
berupa hasil tani maupun perkebunan. Bila mereka
mempertahankan barang-barang yang dimintanya,
maka secepat kilat orang-orang Ular Hitam menghabisi nyawa mereka dengan keji.
Siang itu, Yang Seng kelihatan sedang duduk di se-
buah dipan di depan rumahnya. Sambil mengisap ro-
kok cerutu, ia terus bermain-main dengan pikirannya.
Sesekali menyungging senyuman puas dari wajahnya
yang cerah. Apa lagi yang harus aku lakukan" Kewibawaanku di
sini telah terlihat dengan jelas. Semua penduduk akan pucat dan bergetar bila
melihatku, bagai orang kehilangan darah. Kalau aku keluar, semua orang akan
berhenti berjalan. Lalu berdiri dan membungkuk hor-
mat padaku. Apa saja yang aku minta mereka selalu
memberi dengan cepat. Ikhlas atau tidak pemberian
itu, aku tidak peduli. Yang penting bagiku, mereka
tunduk dan taat kepadaku. Serta memberikan apa saja
yang aku minta! Yang Seng berkata sendiri pada ha-
tinya. Lalu ia pun tersenyum puas karena keinginan-
nya selama ini untuk menguasai penduduk kampung
Sungai Liat telah terlaksana.
Sedang asyiknya ia bercakap-cakap dengan batin
dan pikirannya, tiba-tiba muncul lima belas anak
buahnya. Dengan gerakan reflek, ia meloncat dari du-
duknya. Lalu berdiri tegang memandang anak buah-
nya yang melangkah takut-takut. Terutama pada dua
orang yang sedang membimbing tubuh Aloy, pemimpin
pasukan kapal barang miliknya.
"Kenapa dia?" tanya Yang Seng sambil melihat ta-
ngan kanan Aloy yang putus terkena sabetan pedang
Bongkap. Beberapa anak buahnya menggigil ketakutan. Apa-


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi ketika melihat mata Yang Seng yang tajam dan beringas memandang mereka satu
persatu. Melihat anak buahnya diam saja, Yang Seng sema-
kin marah. Lalu ia mendekati anak buahnya dengan
wajah tegang. "Kenapa kalian diam"!" bentak Yang Seng dengan
mata melotot dan suara yang menggelegar.
"Ada bajak laut yang menghadang kami, Tuanku,"
lapor seorang anak buahnya yang sedang memegangi
tubuh Aloy yang tak berdaya.
"Hm...," Yang Seng geram.
"Setelah kapal kami dirapatkan oleh kapal pemba-
jak itu, mereka segera berloncatan ke dalam kapal dan meminta barang-barang
Tuanku," lanjut anak buah-
nya itu. "Terus?"
"Kami mempertahankannya, Tuanku. Lalu kami
melakukan serangan terhadap mereka. Tapi serangan
kami tiba-tiba terhenti melihat tangan Aloy yang putus dari badannya. Ia dibacok
oleh pemimpin bajak laut
itu. Sedangkan sepuluh orang dari kami mati bersim-
bah darah tertebas oleh pedang para pembajak," kata
anak buahnya menjelaskan.
"Bodoh! Kalian bodoh semuanya!" bentak Yang Seng
dengan mata merah menahan marah. Sedangkan urat-
urat di keningnya tampak menonjol keluar karena be-
rang. Ia benar-benar marah karena orang yang menja-
di andalannya dibuat tak berdaya.
"Siapa nama pemimpin perampok itu?" tanya Yang
Seng dengan suara menghardik.
"Kalau tidak salah namanya Bongkap," jawab seo-
rang anak buahnya.
"Bongkap?" tanya Yang Seng sambil mengingat-
ingat. Sedangkan anak buahnya terdiam dengan hati
cemas. "Berapa orang jumlah mereka?" tanya Yang Seng.
Suaranya agak rendah, namun tekanannya masih me-
ngandung kemarahan.
"Sepuluh orang, Tuanku," sahut seorang anak
buahnya yang lain.
"Sepuluh orang?" tanya Yang Seng membelalakkan
matanya lantaran kaget. "Kalian yang berjumlah dua
puluh orang kalah dengan lawan yang hanya sepuluh
orang?" "Mereka tangguh-tangguh, Tuanku."
"Itu bukan alasan!" bentak Yang Seng marah. Ma-
tanya menatap pada anak buahnya dengan tajam se-
perti meneliti. "Kalian tahu bahwa dengan kalahnya
Aloy, berarti telah mencoreng arang di mukaku!" ben-
tak Yang Seng lagi.
Kesembilan anak buahnya yang masih selamat
tampak menunduk, tak berani menatap mata Yang
Seng. "Baru kali ini ada orang yang berani melawan Partai
Persatuan Ular Hitam. Bahkan sempat menjatuhkan
orang kepercayaanku," gerutu Yang Seng dengan wa-
jah menegak angkuh.
"Besok kalian harus berangkat mencari para peram-
pok itu. Tebus kekalahan kalian!" tegas Yang Seng.
Kembali ditatapnya anak buahnya satu persatu.
Kesembilan anak buahnya terdongak kaget. Lalu
saling menatap satu sama lain.
"Kenapa" Takut?" tanya Yang Seng dengan wajah
serius. "Bagaimana mungkin kami mampu, Tuanku. Ke-
cuali jumlah pasukan ditambah lagi," jawab seorang
anak buahnya. Mendengar ucapan anak buahnya, Yang Seng ter-
tawa terbahak-bahak.
"Apa kalian pikir aku tega membiarkan kalian me-
nyerang sendiri tanpa pengawalanku?"
"Jadi, Tuanku ikut serta?"
"Ya. Akan kuhadapi pemimpin perampok yang ber-
nama Bongkap itu. Aku ingin melihat batang hidung-
nya," kata Yang Seng, membuat anak buahnya agak
lega. *** Bongkap bersama para pengawalnya baru pulang
berlayar. Mereka satu persatu sibuk menurunkan ba-
rang-barang hasil rampokannya. Kemudian barang-
barang rampokan yang masih terbungkus peti itu se-
gera diangkut ke markas Bongkap.
"Letakkan barang-barang itu di sini!" perintah
Bongkap setelah membuka gudang yang selama ini tak
pernah disentuhnya. Karena selain banyak debu juga
disebabkan letaknya agak menyudut di belakang. Se-
hingga tidak begitu terlihat.
Anak buahnya memasukkan peti-peti barang itu
dengan segera. "Ayo, cepat. Jangan sampai nanti putriku tahu!" se-
ru Bongkap lagi. Sementara matanya mengawasi cara
kerja anak buahnya. Setelah peti-peti barang itu tersu-sun rapi di dalam gudang,
Bongkap segera me-
nguncinya kembali dan mengajak anak buahnya ke-
luar. "Aku akan ingatkan sekali lagi pada kalian agar ja-
ngan membocorkan perbuatan kita semalam. Apalagi
sampai terdengar ke telinga putriku. Kalau ini terjadi, pedangku yang akan
berbicara!" ancam Bongkap,
memperingatkan anak buahnya.
"Segala kehendak Bongkap akan kami laksanakan!"
sahut anak buahnya sambil menunduk hormat
"Sekarang, laksanakan tugas kalian seperti biasa!"
perintah Bongkap lagi.
"Siap. Kami laksanakan!" sahut anak buahnya yang
berdiri hormat. Lalu mereka berpencar menuju tempat
kerja mereka masing-masing.
Setelah anak buahnya tidak terlihat dari panda-
ngannya, Bongkap masuk ke dalam untuk menemui
putrinya. Dibuka pintu kamar putrinya perlahan-
lahan. Di pembaringan, Bongkap melihat putrinya se-
dang menelungkupkan tubuh di kasur. Bahunya ber-
guncang naik-turun menahan tangis.
Bongkap segera menghampiri. Ia terkejut ketika
mendengar isak tangis putrinya. Kemudian, perlahan-
lahan Bongkap menyentuhkan telapak tangannya pada
kepala Bong Mini dengan lembut lalu mengusap-
usapnya. Bong Mini merasakan usapan tangan Bongkap yang
lembut itu. Lalu kepalanya mendongak untuk meman-
dang siapa yang mengusap-usap kepalanya dengan
lembut itu. "Papa?" keluh Bong Mini dengan air mata berderai.
Ia menjatuhkan kepalanya dalam pangkuan papanya.
Ia menangis tersedu-sedu.
"Ada apa, Sayang?" tanya Bongkap sambil memeluk
kepala putrinya dan terus membelai-belainya dengan
penuh kasih sayang.
Bong Mini tidak segera menjawab. Ia masih asyik
dengan tangisnya.
"Apa yang terjadi, Sayang?" ulang Bongkap lagi
dengan suara berbisik di telinga Bong Mini.
"Saya teringat mama," sahut Bong Mini di sela isak
tangisnya. "Sudahlah. Jangan terus mengingatnya. Mamamu
sudah tenang hidup di alam lain," bujuk Bongkap de-
ngan suara yang lembut.
"Saya belum bisa melupakannya, Papa," desah Bong
Mini mengangkat wajahnya serta memandang Bong-
kap. "Memang tidak mudah untuk melupakan orang
yang kita cintai. Apalagi dia mamamu, istri papa juga.
Tapi jangan sampai hal itu menghanyutkan perasaan
kita. Sehingga kita terus terselubung dalam suasana
duka dan tangis," tutur Bongkap, menasihati putrinya.
Bong Mini diam. Sedangkan punggung jari telun-
juknya mengusap sisa-sisa air mata yang masih sem-
pat mengalir di pipinya yang nampak merah merona.
Sesungguhnya Bongkap sendiri mengakui bahwa
dirinya pun masih mengingat-ingat Sinyin, istri yang dicintainya itu. Tetapi
setiap kali bayangan istrinya muncul, Bongkap selalu berusaha menghilangkannya
dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia
tidak ingin menitikkan air mata terlalu lama. Sebab
menurutnya, air mata itu akan meluluhkan ketega-
rannya sebagai seorang lelaki. Namun kala ia rindu
sendiri terhadap istrinya, Bongkap selalu mengunjungi Bong Mini dan memandang
wajah putrinya itu lama
sekali. Wajah Bong Mini memang sangat mirip dengan
wajah istrinya, Sinyin.
"Kematian mamamu memang sangat meluluhkan
hati kita. Tapi kita harus berusaha tegar menghada-
pinya. Apalagi kamu sebagai calon pendekar wanita
yang akan menggegerkan seluruh penghuni jagat ini,"
lanjut Bongkap mengangkat dagu putrinya.
Bong Mini memandang papanya dengan tatapan
mata sendu. Tapi kemudian ia tersenyum manis.
Bongkap gembira melihat gadis cantik yang dis-
ayanginya itu dapat tersenyum. Kemudian ia meme-
luknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Papa," desah Bong Mini dalam pelukan papanya.
"Hm..." Ada apa?"
"Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan," kata Bong
Mini melepaskan pelukannya.
Bongkap mengerutkan kening. Baru kali ini ia men-
dengar putrinya hendak bertanya. Padahal selama ini
putrinya tak pernah menanyakan sesuatu. Bila sedang
berlatih silat pun, Bong Mini tak pernah banyak ber-
tanya. Ia hanya diam dan mendengarkan nama-nama
jurus silat yang diajarkan papanya.
"Semalam saya terbangun," lanjut Bong Mini. "Ke-
mudian saya keluar untuk menemui Papa. Tapi ketika
sampai di kamar, saya tidak mendapatkan Papa," Bong
Mini menghentikan ucapannya sejenak. Mengulum bi-
birnya yang selalu basah itu dengan lembut
"Setelah mengetahui Papa tidak ada di kamar, saya
mencarimu lagi di luar. Namun di luar pun saya tidak melihat Papa berikut para
pengawal. Lalu saya tanyakan kepada para dayang, tetapi mereka juga mengata-
kan tidak tahu ke mana Papa pergi," Bong Mini meng-
hentikan ceritanya.
Bongkap yang mendengar ucapan Bong Mini agak
tersentak juga. Ia khawatir apa yang dilakukan bersa-ma anak buahnya diketahui
putrinya. "Ke mana sih, Papa semalam?" tanya Bong Mini
dengan tatapan mata meneliti.
Bongkap menghela napas sambil mencoba ter-
senyum pada putrinya.
"Papa tidak ke mana-mana. Papa mengajak para
pengawal untuk keliling kampung. Khawatir kalau ada
penduduk kampung yang kurang aman," jawab Bong-
kap berdusta. "Sampai pagi-pagi begini?" tanya Bong Mini sete-
ngah tidak percaya.
"Ya. Karena sepulang dari keliling kampung, papa
dan para pengawal pergi ke pantai. Di sana, selain pa-pa menikmati udara pantai,
juga melihat-lihat kapal.
Khawatir ada kerusakan-kerusakan yang harus digan-
ti," jawab Bongkap berusaha meyakinkan putrinya
agar percaya. Walaupun hati kecilnya merasa bersalah karena telah membohongi
putrinya sendiri.
Bong Mini mengangguk-angguk. Penjelasan papa-
nya bisa dimengerti.
"Kamu sudah percaya dengan penjelasan papa?"
tanya Bongkap sambil menatap wajah putrinya lekat-
lekat. Khawatir kalau ceritanya itu tidak dipercayai Bong Mini.
"Saya percaya, Papa," sahut Bong Mini cepat. "Ta-
pi...." "Tapi apa, Sayang?" potong Bongkap cepat.
Bong Mini tersenyum manis sambil merebahkan
kepalanya di pundak papanya dengan sikap manja.
"Tapi apa, hm...?" tanya Bongkap seraya mengusap-
usap kepala putrinya.
"Ng..., Papa percaya tidak sama mimpi?" Bong Mini
balik bertanya, sementara tangannya memainkan tali
baju pangsi papanya.
"Kadang-kadang percaya, kadang tidak," jawab
Bongkap. "Lho, kok begitu?"
Bongkap tersenyum.
"Karena mimpi pun ada yang benar, ada juga yang
tidak," jawab papanya menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk mengerti.
"Kenapa tiba-tiba membicarakan soal mimpi?" tanya
Bongkap. "Apa semalam kamu mimpi?"
"Benar, Papa!" jawab Bong Mini cepat.
"Hm..., mimpi apa?"
"Mimpi bertemu dengan mama," kata Bong Mini
sembari mengangkat kepalanya dari sandaran pundak
Bongkap. Lalu kakinya melangkah perlahan menuju
jendela kamar. Dikuakkannya pintu jendela kamar itu
lebar-lebar, sehingga semilir angin pun berhembus ke dalam ruangan kamar.
"Hm..., terus?" tanya Bongkap ingin tahu.
"Dalam mimpi itu, mama tersenyum kepada saya
dan menghampiri. Kemudian mama berpesan kepada
saya agar bisa menjaga diri dan menjaga Papa."
"Menjaga papa?" tanya Bongkap agak terkejut. Ia
merasa aneh kenapa justru anaknya yang dipesan un-
tuk menjaga dirinya, bukan sebaliknya.
"Ya, Papa," sahut Bong Mini sambil membalikkan
badan lalu memandang wajah papanya yang nampak
masih keheranan. "Saya disuruh menegur Papa jika


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbuat salah."
Bongkap benar-benar terkejut mendengar cerita
Bong Mini. Mimpi putrinya semalam itu seperti petun-
juk buat Bong Mini. Sebab bertepatan dengan mim-
pinya itu, dia sedang melakukan perampokan terhadap
sebuah kapal barang saudagar.
"Kenapa, Papa?" tanya Bong Mini ketika melihat wa-
jah papanya berubah seperti keheranan.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," sahut Bongkap cepat.
Namun sikapnya agak gugup. Dan itu jelas terlihat
oleh Bong Mini.
Bong Mini menghampiri papanya. Lalu berjongkok
dengan kedua tangan menyentuh lutut papanya.
"Papa kelihatan gugup?" hati-hati Bong Mini berka-
ta. Khawatir kalau pertanyaannya itu mengundang
kemarahan lelaki yang amat dicintainya. Tapi yang
dikhawatirkan itu tidak terjadi. Malah dengan lunak
papanya mengusap-usap kepala Bong Mini.
"Papa gugup karena merasa heran," jawab Bongkap.
"Kenapa justru kamu yang disuruh menjaga papa?"
Bong Mini tersenyum. Dan senyumnya kali ini begi-
tu lembut dan manis. Mirip senyum mamanya ketika
masih hidup. "Ketika masih hidup mama pernah bilang pada saya
bahwa lelaki itu setiap melakukan sesuatu selalu de-
ngan pikirannya. Sedangkan perempuan bertindak
dengan perasaannya," kata Bong Mini, menceritakan
kembali apa yang pernah dikatakan mamanya ketika
ia mulai beranjak remaja. Dan kata-kata mamanya itu
selalu ia ingat sampai sekarang.
Bongkap mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti
makna mimpi Bong Mini itu. Mungkin putrinya dis-
uruh menjaga dirinya untuk mengimbangi tindakan-
nya yang selama ini selalu mengandalkan pikirannya,
tanpa disaring dengan perasaan yang ada.
"Tapi itu hanya mimpi kan, Pa?" desah Bong Mini.
Bibirnya tersenyum, menghibur papanya. Ia tidak ingin kalau mimpi itu menjadi
beban pikiran papanya berha-ri-hari.
Bongkap tersenyum cerah. Lalu kedua tangannya
yang kekar itu kembali memeluk putrinya dengan pe-
nuh kasih sayang.
*** 4 Pagi yang cerah.
Matahari telah menampakkan dirinya di ufuk timur.
Cahayanya yang kuning pucat memancar terang ke
wajah bumi. Seakan memberi peringatan kepada selu-
ruh penghuni dunia untuk kembali melakukan tugas-
nya sehari-hari.
Di pagi yang cerah itu, Bong Mini telah rapi berpa-
kaian. Baju dan stelan celana panjang yang berwarna
biru cerah tampak melilit tubuhnya dengan ketat. Per-paduan antara kulitnya yang
langsat dengan warna
pakaiannya yang merah cerah menjadikannya bertam-
bah cantik. Apalagi rambutnya yang sebatas bahu di-
biarkan bebas lepas, membuatnya semakin menarik
dan terlihat dewasa.
Bong Mini tersenyum-senyum melihat penampilan-
nya di muka cermin. Terkadang tubuhnya berputar ke
kiri dan kanan untuk meneliti bagian-bagian pakai-
annya yang kurang rapi. Setelah merasa yakin tidak
ada kekurangan, ia pun segera mengambil pedang
yang terpampang di sudut kamar dan menyelipkannya
di punggung. Lalu ia pun segera keluar kamar untuk
menemui papanya.
Dengan wajah cerah berseri, putri Tiongkok yang
berumur enam belas tahun itu melangkah menuju ka-
mar papanya. Namun ketika pintu kamar itu dikua-
kkan, tidak dilihatnya siapa pun di kamar itu. Dengan hati-hati ia kembali
menutup kamar papanya dan melangkah ke ruang depan. Siapa tahu papanya ada di
sana, begitu pikirnya. Tetapi sampai di ruang depan ia pun tidak melihat
papanya. Ke mana, ya" Pikirnya berdiri tercenung. Mungkin
di belakang! Lanjut Bong Mini sambil terus melangkah menuju belakang rumahnya.
Sesampainya di pekarangan belakang, Bong Mini
melihat papa dan beberapa orang pengawalnya sedang
meneliti beberapa ekor kuda.
"Papa!" seru Bong Mini sambil berlari kecil. Sedang-
kan bibirnya tampak tersenyum manis.
Bongkap dan para pengawalnya segera menoleh ke
arah Bong Mini. Mereka tercengang sambil berpanda-
ngan. Terlebih lagi dengan Bongkap. Ia seolah-olah tidak percaya kalau gadis
mungil yang berpakaian war-
na merah cerah dengan pedang di punggungnya itu
adalah putrinya. Ini dikarenakan penampilannya yang
berbeda dengan hari biasanya. Segar, cantik, dan lincah.
"Lho, kok pada termangu?" tanya Bong Mini setelah
berada di dekat papanya. Sepasang matanya yang hi-
tam gemerlap, memandang papa dan para pengawal-
nya secara bergantian.
Mendapat teguran putrinya itu, Bongkap tersentak
sadar. Lalu ia merubah sikapnya dengan tersenyum
lunak pada Bong Mini.
"Sungguh luar biasa anak papa ini!" Bongkap ber-
decak kagum. Matanya terus memandang putrinya
tanpa berkedip.
"Memangnya kenapa, Pa?" tanya Bong Mini dengan
suara yang manja.
"Hari ini putri papa cantiknya bukan main. Mau ke
mana, hm...?" puji Bongkap sambil bertanya.
Bong Mini senyum tersipu-sipu mendapat pujian
papanya yang langsung itu. Dengan wajah menunduk
ia menjawab, "Saya mau jalan-jalan, Papa!"
"Jalan-jalan ke mana?" tanya Bongkap.
"Hanya sekitar sini, Papa. Bukankah selama tinggal
di sini saya belum melihat keadaan di luar?" kata Bong Mini dengan sikap manja.
"Hm...," gumam Bongkap setengah berpikir.
"Boleh ya, Papa?" Bong Mini mendesak.
"Tapi jangan jauh-jauh, ya?" Bongkap akhirnya
mengizinkan. "Ya, Papa," sahut Bong Mini dengan wajah gembira.
Lalu mendekati papanya dan mencium kedua pipinya.
"Terima kasih, Papa!" kata Bong Mini seraya melang-
kah. Tapi ketika baru dua langkah, papanya menahan
dengan pertanyaan.
"Tidak bawa pengawal?"
"Idih, Papa. Memangnya saya anak kecil lagi," sahut
Bong Mini sembari mendelikkan mata sehingga terlihat lebih indah dan cantik.
Bongkap tersenyum mendengar jawaban putrinya.
"Bukan apa-apa. Gadis cantik sepertimu biasanya
suka banyak yang ganggu."
"Jangan khawatir. Saya bisa melayaninya dengan
jurus-jurus yang Papa ajarkan," jawab Bong Mini se-
raya tersenyum.
Bongkap tertawa. Dia senang melihat sikap putrinya
yang demikian berani.
"Sudah ya, Pa. Saya pergi dulu," ucap Bong Mini.
Bara Diatas Singgasana 18 Gento Guyon 7 Topeng Hina Kelana 37
^