Pencarian

Misteri Wintersbride 3

Misteri Wintersbride Karya Sara Seale Bagian 3


berwarna abu-abu, yang dilengkapi dengan ikat pinggang. Pakaian itu pernah
dipakainya pada malam pernikahannya dulu. Miranda menyelipkan cincin kawinnya di
jari manisnya. Kemudian ia mengalungkan rantai mutiara pada lehernya. Lalu
mengoleskan kulitnya dengan minyak wangi. Dengan hati-hati ia mengoleskan minyak
wangi itu, karena takut kalau-kalau ia memakai terlalu banyak seperti dulu.
Setelah itu, Miranda pergi ke ruang makan, untuk memeriksa untuk terakhir
kalinya, apakah segalanya telah siap.
Hari sudah gelap sekali, walaupun jam belum menunjukkan pukul tujuh malam.
Miranda menyalakan pendiangan di ruang baca Adam. Sebab menurut hematnya, sinar
pendiangan itu akan membuat suasana menjadi lebih romantis. Dan ia bermaksud
tidak akan mematikan lilin-lilin yang dipasang di ruang makan, sebab ia tidak
ingin menyalakan lampu. Miranda tidak mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Tetapi ia terkejut
sekali ketika tibatiba mendengar suara kaca jendela diketuk perlahan dari luar.
Tampak sesosok tubuh pria berdiri di depan jendela. Ketika itu hari sudah mulai
agak gelap. Miranda membuka jendela. Ia hampir melompat karena terkejut. Lalu
cepat-cepat ia membuka pintu. Ia memandang pria yang berdiri diambang pintu
dengan tidak percaya. Digosok-gosoknya matanya."Ka - kaukah itu" Ah, tidak mu mungkin!" kata Miranda dengan tersendat-sendat. Ia masih juga tidak percaya akan
penglihatannya. "Mengapa tidak, Sayangku?" sahut pria itu sambil melangkah
masuk. "Mengapa kau tinggal di tengah desa seperti ini, Miranda" Ah, sungguh
sangat kusayangkan." Kini barulah Miranda merasa yakin, bahwa pria yang berdiri
dihadapannya itu, yang menyesali dirinya, adalah benar-benar Pierre! Pierre!
Miranda merasa seakan baru kemarin ia berjumpa dengannya! "Pierre... oh,
Pierre." gumam Miranda dengan setengah tertawa, setengah menangis. "Betulkah
ini. betulkah" Oh, badanmu basah kuyup!" Pierre membuka jas hujannya, lalu
melemparkan jas hujan itu ke lantai dengan seenaknya saja. Miranda menghambur,
memeluk Pierre. "Rasanya sudah lama sekali," ujar Miranda. "Kukira kau telah
lupa padaku. Pierre - Marguerite mana?" "Marguerite" Ia tinggal bersama
keluarganya." "Jadi - kau akhirnya tidak menikah dengan dia?" "Tidak. Orang
tuanya tidak setuju. Mereka menikahkan Marguerite dengan Comte de Vilbois.
Sekarang mereka sekeluarga tinggal di Ch"teu." "Ia menikah dengan laki-laki
berwajah bengis itu" Oh, kasihan sekali si Marguerite. Ia mengira
kau hanyalah seorang pelayan hotel saja." Sejenak Miranda melepaskan pelukannya.
"Dan kau, Sayangku, kau tidak mau menungguku," ujar Pierre. Mata Miranda
membelalak mendengar perkataan Pierre itu. "Aku menunggumu" Tetapi, Pierre bukankah kau yang selalu menasehatiku agar selalu berpikir dengan praktis?"
"Ya, ya, aku bicara terlalu banyak. Dan sekarang kita sudah berjumpa lagi. Aku
ingin segalanya seperti dulu." Ketika Pierre menciumnya, Miranda sadar, bahwa
sekarang segalanya telah berubah. Mereka tidak dapat lagi seperti dulu. Keadaan,
kehidupannya yang sekarang berbeda dengan kehidupannya yang dulu, di Perancis.
Dan ketika ia menyambut Pierre dengan gembira, segembira ketika mereka masih
kanak-kanak, Perre bukan lagi satu-satunya temannya yang sangat dicintainya.
"Kau tidak segembira dulu lagi, Miranda," ujar Pierre. Lalu sambil tertawa ia
mengusap titik air mata yang meleleh turun di pipi Miranda. "Dan lagi, badanmu
sekarang harum sekali!" "Ya, minyak wangi yang dulu sering kauidamidamkan
sekarang sudah kudapat," sahut Miranda sambil melepaskan dirinya dari pelukan
Pierre. Karena ia melihat Adam berdiri di ambang pintu. Miranda masih terhanyut
dalam kenangan masa lalunya, sehingga tidak menyadari bagaimana ekspresi wajah
Adam saat itu. "Adam, lihatlah siapa yang datang ini!" seru Miranda dengan
riang. "Inilah Pierre yang sering kuceritakan padamu. Pierre - ini suamiku."
"Oh, maafkan saya, karena telah datang tanpa diundang," ujar Pierre kepada Adam.
"Besok saya akan pergi. Karena itu saya datang ke mari untuk menjenguk kawan
lama saya." Lalu Pierre membungkukkan badannya dengan hormat. "Oh, apa kabar?"
tanya Adam, hambar. "Besok?" sela Miranda. "Kalau begitu kau menginap di sini
saja malam ini. Boleh kan, Adam?" "Ya, tentu saja," sahut Adam, setelah berdiam
diri sejenak. "Ehm, maaf - aku ingin menukar pakaian dulu." Pierre merasa tidak
enak hati."Kelihatannya ia tidak senang melihat kedatanganku. Ia suami yang
baik," ujar Pierre. "Mungkin ia cemburu padaku."
Malam itu benar-benar tidak menyenangkan bagi
Miranda. Acara makan malam yang telah dipersiapkannya masak-masak, hanyalah
mendapat pujian dari Pierre saja. Dan hal itu mengingatkan dia akan pesta-pesta
yang dulu sering mereka rayakan di Ste. Giselle.
"Anda tidak salah pilih," kata Pierre kepada Adam. "Karena Miranda adalah
seorang juru masak yang benar-benar ahli dan pandai sekali mengatur rumah
tangga." "Adam tidak pernah mencicipi masakanku," sela Miranda, sambil menatap wajah
Adam. Dalam hati ia begitu mengharapkan pujian dari Adam untuknya.
Adam mengernyitkan dahi. Ia melihat makananmakanan yang terhidang di atas meja,
dan bungabunga cantik yang menghiasi meja.
"Aku tidak mengira, kau begitu pandai memasak, Miranda. Tetapi, seharusnya kau
tidak usah repot-repot seperti ini." Cuma itu yang dikatakan Adam.
Miranda merasa ditegur secara halus oleh Adam. Karena itu kemudian ia hanya
bercakap-cakap dengan Pierre, mendengarkan cerita-cerita yang sudah lama ingin
sekali diketahuinya. Adam hanya mendengarkan obrolan mereka sambil memperhatikan tingkah Miranda di
antara keremangan cahaya lilin. Dengan penuh perhatian ia memperhatikan gerakgerik Miranda di kala bicara, yang tampak kadang-kadang mengernyitkan hidungnya,
dan menggerak-gerakkan tangannya tanpa ia sadari.Adam terbayang pada Simmy, yang
tersenyum penuh pengertian ketika mendengar berita kedatangan Pierre ke rumah
itu. "Oh, jadi Nyonya repot-repot masak untuk menyambut kedatangannya" Dia bilang,
cuma ingin merayakan saat-saat yang istimewa. Ternyata ia hendak menyambut
seorang tamu yang tidak disangka-sangka!" komentar Simmy.
Kemudian Adam mengajak mereka minum kopi bersama-sama. Ia berbuat itu bukan
karena ia ingin dekat terus dengan Miranda. Tetapi sebaliknya, karena ia tak
tahan melihat sikap Miranda yang begitu asyik ngobrol dengan Pierre, sehingga
seakan mereka tidak menyadari kehadirannya di situ. Adam memperhatikan mereka.
Ia berusaha menekan perasaan jengkelnya dalam-dalam. Tetapi ketika ia memandang
jauh ke luar jendela, terbayang di pelupuk matanya tingkah kedua orang itu.
Sehingga makin jengkelah hatinya.
Mereka minum kopi bersama di ruang tamul Miranda kelihatan agak kikuk ketika
tiba-tiba Simmy muncul di ruangan itu. Seakan Simmy membayangkan, bahwa Miranda
repot-repot masak hari itu hanyalah untuk menyambut kedatangan Pierre. Dan
ketika ia berkata bahwa ia tidak tahu bahwa Pierre sudah berada di Inggris dan
berniat untuk mengunjungi Wintersbride, Simny berkata sambil tersenyum penuh
arti, "Tetapi saya rasa, semua jerih payah Nyonya seharian ini tidak terbuang percuma,
bukan?" Pierre menyadari, ada sesuatu yang kurang enak sedang terjadi. Karena itu ia
terus saja bicara dengan semangat sampai Adam minta ijin untuk meninggalkan
mereka. Dengan alasan bahwa ia hendak menyelesaikan pekerjaannya. Miranda
memandangnya dengan mata melotot."Tidakkah kau ingin ngobrol-ngobrol bersama
kami sebentar"! tanya Miranda. Tetapi Adam tersenyum sinis dan menjawab,
"Ah, lebih baik tidak. Tentunya banyak hal yang ingin kaubicarakan dengan Pierre
yang tidak ada sangkut-pautnya denganku."
"Kalau begitu," ujar Simmy sambil menutup pintu, "saya pun hendak kembali ke
kamar saya, Nyonya. Karena mungkin saya pun tidak diperlukan lagi. "Hmm, itu
cuma akal licik mereka saja," ujar Pierre ketika mereka tinggal berdua saja di
ruangan itu. Mendengar itu Miranda menatapnya dengan marah.
"Kau tidak pantas berkata begitu tentang mereka," kata Miranda. 'Adam tidak akan
mengerti, dan pengasuh itu pun tidak perlu diperdulikan."
Kegembiraan yang tadi terbayang di wajah Pierre, tiba-tiba saja lenyap. Dan
berganti dengan kemurungan. "Kalau begitu, pernikahanmu tidak bahagia?" tanya Pierre kepada
Miranda. "Tidak, aku cukup bahagia. Cuma - adat Adam memang agak aneh. Ia tidak
pernah, menurut hematku, berpikiran berbelit-belit seperti kita. Ia selalu
bekerja keras. Dan sudah bertahun-tahun ia hidup sendirian." "Kalau begitu, dia
bukanlah orang yang cocok untuk jadi suamimu, Miranda. Kau masih muda, kau harus
selalu bergembira. Mengapa kau memilih dia menjadi suamimu" Mengapa kaupilih
pria yang sudah beruban itu yang mengurungmu ditengah desa seperti ini"
Sedangkan sebenarnya kau perlu kebahagiaan. Dan ia tidak tahu bagaimana caranya
membahagiakan kau.Bagaimana mungkin semua ini terjadi atas dirimu,
Miranda?""Habis bagaimana, waktu itu aku tidak punya uang, tidak punya pekerjaan
dan aku sedang sakit! Kami berjumpa secara kebetulan saja. Di samping itu, aku
memang tertarik padanya."
"Kau tertarik padanya" Benarkah kau jatuh cinta pada laki-laki Inggris yang
masih asing bagimu itu"!"
"Ya," jawab Miranda dengan mantap, sambil menarik napas. Ingin sekali Miranda
saat itu melihat Pierre jauh darinya. Karena dialah malam yang telah
dibayangkannya akan menjadi begitu indah ternyata hanya mengecewakan hatinya.
Tak lama kemudian, Miranda minta diri karena ia hendak tidur.
Hari belum lagi larut. Miranda yakin, saat itu Adam pasti belum tidur. Perlahanlahan Miranda membuka bajunya. Badannya terasa lelah sekali. Seluruh tulangnya
terasa lemas karena hatinya begitu kecewa malam itu. Sebelum naik ke tempat
tidur, Miranda membuka pintu di antara kamarnya dan kamar Adam. Kemudian ia
berbaring di tempat tidurnya, mendengarkan suara burung hantu. Ia menunggu dan
menunggu. Ketika itu telah tengah malam, ketika didengarnya Adam naik. Miranda merasakan
matanya sudah mengantuk sekali. Sejenak Adam berdiri diambang pintu pemisah
kamar mereka. Dan sewaktu Adam memegang pegangan pintu hendak menutup pintu
pemisah itu kembali, Miranda berkata dengan lembut.
'Masuklah, Adam." Lalu ia menyalakan lampu di sisi tempat tidurnya ketika Adam
melangkah masuk ke kamarnya.
"Kukira kau masih ngobrol dengan kawanmu itu," ujar Adam.B6 in Lall saya 6:27
"Tidak. Sudah sejak tadi aku menunggumu," jawab Miranda sambil menyangga
badannya dengan sikunya. "Menungguku?" Adam mengulangi perkataan Miranda dan
menatap Miranda dalam-dalam. Seakan ingin tahu apa yang terkandung di hati
Miranda. "Ada sesuatu yang ingin kaubicarakan denganku?" "Tidak. Aku cuma ingin
minta maaf. Karena apa yang kita rencanakan malam ini berantakan semua. Aku
tidak mengira Pierre akan datang malam ini." "Malam ini atau malam lain - apa
bedanya?" "Karena -" Miranda tidak melanjutkan katakatanya. Sebaliknya ia hanya
mengatakan, "Kau tidak keberatan bukan kalau Pierre menginap di sini?" Adam
menatap Miranda dengan ekspresi yang aneh sekali. "Apa alasannya aku harus
keberatan?" kata Adam, balas bertanya. "Cuma kusesalkan - me- | ngapa kau tidak
mau mengatakan padaku, bahwa kau menantikan kedatangannya!" "Tapi, Adam - aku
benar-benar tidak tahu kalau ia mau datang. Sungguh, waktu ia mengetuk kaca
jendela, kukira yang mengetuk itu kau," tukas Miranda. "Sejak kapan aku punya
kebiasaan mengetuk kaca jendela" Pernah kaulihat aku berbuat begitu?" "Ti-tidak.
Tetapi. malam ini berbeda dari | malam-malam lainnya." "Oh, begitukah pikirimu"
Hidangan malam ala Sevres, hiasan-hiasan di meja makan, masakan ala Perancis
yang dengan susah payah kaubuat. Tidak terbayang olehku, bahwa kau tertarik
dalam hal masak-memasak.?"Aku menyesal sekali, kau tidak menyambut tamuku dengan
senang hati," ujar Miranda, tanpa melihat muka Adam. "Pokoknya, aku tidak
mengundangnya datang ke mari malam ini."
"Entahlah. Tapi, mengapa kau tidak menceritakan padaku tentang - hubunganmu
dengan pria itu." "Tapi, Adam, itu semua - Tiba-tiba saja Miranda tidak ingin lagi membantah apa
yang dituduhkan Adam padanya. Kalau cara berpikirnya begitu, kalau kata-kata
Simmy tadi termakan olehnya, maka percuma saja ia menjelaskan segalanya padanya.
Sebab pertalian di antara mereka, yang baru saja mereka bangun tidak akan mampu
mementang semua itu. "Kau tidak bertanya tentang hal itu padaku," sahut Miranda dengan lembut. "Kau
sama sekali tidak ada perhatian padaku, dan pada kehidupan masa laluku, Adam."
Adam mencibirkan bibir. "Maksudmu, apakah dengan dasar perkawinan kita seperti ini aku harus juga tahu
segala sesuatu dalam kehidupan masa lalumu?"
Miranda menatap Adam. "Mengapa tidak?" tanya Miranda, memantang. 'Salahmu
sendiri bila sekarang kau membayangkan hal-hal yang buruk tentang diriku, Adam.
Dan akupun tidak akan meributkan apa-apa yang kaulakukan di Plymouth, tempat
dimana kau sering sekali menginap!" Tiba-tiba saja Adam menjadi marah sekali.
"Kalau kau ingin bebas mencari pacar, kau boleh mempertahankan prinsip hidupmu!
Kau boleh mempertahankan prinsip hidup cara Perancis-mu itu!" tukas Adam.
"Mungkin kau pikir aku ini mau menang sendiri - aku ini curang. Tetapi,
bagaimanapun syarat pernikahan kita, aku tidak inginpunya istri yang selalu
mencari hiburan di manamana! Kau mengerti"!" "Ya, Adam," jawab Miranda, yang
bersandar pada bantal tanpa bergerak-gerak. "Kau tidak ingin -" Suara Miranda
perlahan sekali, hampir tak terdengar, "-kau tidak ingin mengubah syarat-syarat
pernikahan itu?" Adam berdiri terpaku sambil memandang wajah Miranda dalam-dalam. Tangannya
dimasukkan ke dalam saku celananya. Kemudian ia tersenyum. Tak ada lagi
kelembutan terkandung dalam se
nyumnya yang tiba-tiba itu.
"Ya, mungkin saja," ujar Adam. "Tetapi saat ini, lebih baik kau mengunci
kamarmu. Karena aku juga termasuk manusia normal, yang terdiri dari darah dan
daging. Bila digoda terus-menerus, tentu aku tidak akan tahan juga. Dan kupikir,
tentu kau pun tidak ingin hal itu terjadi. Kau tidak ingin sampai akhirnya kita
harus tidur satu ranjang, bukan?"
"Tidak," sahut Miranda sambil menjauhkan wajahnya dari lampu. "Aku tidak
memperdulikan hal itu. Selamat malam, Adam."
Adam masih berdiri terpaku. Kali ini ia tampak marah dan jengkel sekali. Rasa
mendongkol, cemburu bergejolak di dalam hatinya. Ia berusaha memerangi keinginan
hatinya - ingin merangkul Miranda ke dalam pelukannya. Dilihatnya Mirandatidak
menitikkan air mata sama sekali. Ia tetap tenang saja. Adam jadi semakin panas
hatinya. Setelah mengucapkan selamat malam, ia pun berjalan menuju ke kamarnya.
Ditutupnya pintu pemisah kamar itu rapat-rapat.
Miranda terkejut sekali ketika pada keesokan harinya, melihat Adam masih berada
di rumah. Dan ternyata ia membatalkan janjinya."Kau tidak berangkat?" tanya
Miranda, yang masih bingung melihat sikap Adam yang tidak seperti biasanya hari
itu. "Kau keberatan aku tinggal di rumah?" tanya Adam, agak sinis. "Tentu saja
tidak, tetapi -" "Inilah saat terakhir untuk mengawasi tamumu itu, tahu"!" ujar
Adam. "Sayang sekali, kemarin sebelum pulang aku sudah merencanakan sesuatu yang
istimewa!" Wajah Miranda yang tadi memucat, berubah menjadi merah padam. Sebab
ia sendiri pun menganggap semalam adalah waktu yang istimewa baginya, dan juga
bagi Adam. Bagi mereka berdual Mungkinkah sekarang ia sengaja mengambil cuti
untuk menyenangkan hatinya" "Lalu, apa yang akan kaulakukan?" tanya Miranda
dengan agak acuh tak acuh sambil tersenyum. Walaupun senyum itu pun terasa
hambar. "Kau tidak usah memusingkan aku," sahut Adam. "Aku sebentar lagi juga
keluar. Bukankah sudah kukatakan, bahwa hari ini Morel hendak berangkat ke
Perancis?" "Ya," sahut Miranda, pendek. "Kau juga ingin ikut mengantarkannya?"
"Ya," jawab Miranda. Hatinya senang kembali, ketika kemudian melihat Adam
mengunci dirinya di kamar bacanya. Memang harus diakui, tingkahnya semalam
keterlaluan. Sekarang tidak mungkin lagi Adam mempercayainya. Adam tidak mungkin
percaya, kalau ia mencintai Pierre sebagai kawan karibnya, sebagai saudara satusatunya - bukan sebagai kekasihnya. Adam menceritakan kekesalan hatinya pada
keluarga Latham. Maka dalam sekejap saja, tersebarlah gosip-gosip tentang
Miranda di daerah itu. Setelah kejadian itu, barulah Adam menyadari
kesalahannya. Tetapi sekarang semua penyesalannya sudah terlambat. Semua orang
sudah tahu, Miranda menjamu seorang tamu pria muda lagi ganteng yang berasal
dari Perancis. Ibu Grace, yang memang sifatnyanyinyir, tak henti-hentinya
menanyakan ini dan itu pada Adam, ingin tahu lebih jauh ini
itu. "Kau tidak usah mengacuhkan ibuku, Adam," ujar Grace ketika suatu ketika ia
berada y. saja dengan Adam. "Ibu memang senang sekali menceritakan keburukankeburukan orang. Untunglah, sekarang pemuda itu sudah kembali ke Pe. rancis
lagi. Memang, sifat orang itu senang meng gosipkan urusan orang. Dan lagi,
Miranda itu memang masih seperti anak-anak sih."
"Apakah maksudmu - aku ini terlalu tua untuk jadi suaminya" Sehingga patut saja
kalau ia sampai mencari pria muda lagi ganteng," tanya Adam dengan terus terang.
"Bukankah perbedaannya memang banyak sekali?" ujar Grace. "Karena itu dia jadi
tidak menganggapmu." "Kalau begitu, orang-orang sekarang ramai membicarakan
urusanku?" Grace membantah dengan gerakan tangan. "Tidak sih. Cuma saja kau
sudah harus bersiapsiap untuk menghadapi hal itu," sahut Grace. "Per nikahanmu
yang dilangsungkan secara mendadak, tanpa persiapan yang matang, tanpa masa
bulan madu, dan seorang gadis yang masih terlalu muda kaujadikan istri-itu saja
sudah menjadi bahan gosip orang-orang." "Ya, mungkin saja. Aku memang tidak
berpikir panjang sebelumnya," sahut Adam. Adam tampak termenung. Rupanya ia
memba yangkan apa yang dikatakan Grace padanya. Melihat ini, Grace melanjutkan
lagi,"Adam kita berteman lama sekali. Kau kuanggap kawanku yang paling akrab.
Tetapi tak terbayang olehku, kau akan menikah dengan cara seperti itu. Mengapa,
mengapa kaulakukan hal itu?"
Adam menjawab dengan nada pasti,
"Jadi kau pikir, sebenarnya aku sama sekali tidak menyukai Miranda?"


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menyukainya" Ya, tentu saja! Tetapi kau tidak mencintainya. Dan mengapa kau
memilih ibu tiri untuk Fay - dengan sembarangan" Dia bersedia menikah denganmu
hanya karena ingin mendapat tempat berlindung - rumah! Bukan karena ia sayang
ataupun mencintaimu. Tidak terbayang dalam benakmu, bila nanti ada pemuda yang
lebih muda dan lebih menarik, yang jatuh cinta padanya, ia akan begitu saja
meninggalkanmu?" "Grace-" panggil Adam dengan lembut, lalu bangkit. "Aku tahu,
kau mengatakan ini semua karena kau menganggapku kawan terdekatmu. Tetapi
kuminta, jangan kita bicarakan hal itu lagi. Aku mau membicarakan apa saja
padamu, yang bersangkutan dengan pernikahanku. Kalau tidak, tentu aku tidak akan
datang ke mari dalam keadaan seperti ini. Maafkan aku, Grace. Lupakanlah semua
gosip yang pernah kaudengar itu. Sebab aku yakin, segala desas-desus akan hilang
dengan sendirinya. Dan tidak akan bertahan lama, sebab tidak ada kebenarannya."
Adam cepat-cepat pamit. Ia takut, kalau-kalau saat itu Grace mengeluarkan isi
hatinya padanya. Hujan turun rintik-rintik ketika Adam mengemudikan mobilnya
kembali ke rumahnya. Pikirannya terasa kacau, tidak menentu. Karena ia sadar,
bahwa segala gosip tentang pernikahannya berpangkal pada dirinya sendiri. Dialah
yang bersalah dalam hal ini. Tetapi ia meragukan hubungan Miranda dengan Pierre.
Benarkah Miranda sekarang menikah dengannya hanya sebagai batu loncatan saja
untuk mencapai cita-citanya - menikah dengan Pierre" Benarkah seperti yang
dikatakannya semalam, bahwa tidak pantas menuntut kesetiaan dalam pernikahan
mereka" Hanya karena mereka menikah didasarkan atas perjanjian" Mereka hampir
saja bercumbuan ketika itu. Andaikatapun Miranda tidak mencintainya, menurut
hematnya, ia menginginkan dirinya. Tetapi ketika ia menyaksikan Miranda dengan
Pierre, ia teringat kembali akan peristiwa yang dialaminya dengan Miranda di
dalam kamar yang remang-remang. Dan kini ia menyesali kegagalannya waktu itu.
Bulan September telah tiba. Berarti musim panas hampir berakhir. Miranda
memandangi rintikrintik hujan yang menimpa kaca jendela dari hari ke hari,
membayangkan musim dingin yang sebentar lagi akan datang. Musim dingin.
Wintersbride. tidak akan ada lagi hari-hari cerah dan hangat karena sinar
matahari yang bersinar. Dan kebun pun kehilangan warna dan kehangatannya. Yang
ada cuma hujan dan daun-daun yang hanyut, rumah yang tenang dan tertutup rapat.
Miranda tidak lagi menggunakan kamar untuk melukis, yang sebenarnya adalah
memang milik Melisande. Dan dia ingin, pikirnya, kamar anak-anak yang sudah
tidak terpakai lagi sebelum musim dingin tiba.
Miranda mengatakan keinginannya kepada Nyonya Yeo, yang akhir-akhir ini agak
baik sikapn dengannya. Tetapi setelah mendengar keinginan Miranda itu, Nyonya
Yeo kelihatan ragu-ragu. "Entahlah, Nyonya," ujar Nyonya Yeo. "Mungkin Nona Simmy tidak akan setuju."
"Simmy" Apa hubungannya dengan dia" tanya Miranda, terkejut. "Ruangan itu toh
tidak dipakai lagi, bukan?""Himm, entahlah, Nyonya. Setahu saya, Nona Simmy-lah
yang meminta pada Tuan supaya Nona Fay dipindahkan dari kamar itu. Dan kemudian
memasukkan barang-barang moderen yang jelek yang didatangkan dari London.
Menurut hemat saya, ia tidak akan pernah mau menggunakan ruangan itu lagi, sebab
dulu kamar itu dipakai oleh Nanny." 'Himm, aku tidak akan berdiam diri kalau ia
kembali mengunci kamar itu-seperti waktu ia mengunci kamar untuk melukis," ujar
Miranda. Simmy tidak mengatakan terus terang bahwa ia keberatan Miranda hendak
menggunakan kamar anak-anak. Tetapi ia mengemukakan berbagai macam alasan untuk
menghalangi niat Miranda itu, dengan mengatakan, bahwa nanti akan repot sekali
sebab harus memindahkan perabot-perabot ke ruangan lain dan sebagainya. Jelas,
ia tidak ingin Fay menggunakan kamar itu lagi.
"Bila aku menggunakan ruangan itu sebagai kamar tamuku," kata Miranda, "tentunya
ia juga akan menggunakan kamar itu. Lagipula, kamar itu lebih enak daripada
ruangan belajar yang tidak dapat sinar matahari sama sekali."
"Saya pikir, Nyonya sudah tahu mengapa ruangan itu diubah," tukas Simmy. Lalu
Miranda menjawab dengan tenang,
"Aku tahu, Simmy, kau iri akan pengaruh Nanny. Menurut perasaanku, sekarang pun
kau berusaha menjauhkan Fay dari ayahnya!"
Simmy mengernyitkan dahi.
"Lho, mengapa Nyonya mengatakan begitu" Aneh sekali!" sahut Simmy. "Tuan sendiri
yang selalu mengeluh kalau ada yang berisik."
"Apa sebabnya dulu perabot-perabot di sana itu dipindahkan?" tanya Miranda
dengan pandai sekali. Tetapi Simmy hanya tersenyum sinis mendengar pertanyaan
itu. "Saya tidak pernah menakut-nakuti Fay, bila itu yang Nyonya ingin tahu
sebenarnya," sahut Simmy. "Pakailah ruangan itu bila Nyonya mau. Tetapi saya
mohon, biarkanlah Fay menempati tempat terbaik untuknya - di kamarnya yang
sekarang." Keadaan sekarang sulit sekali, pikir Miranda, untuk mendekatkan Fay dengan
dirinya. Apalagi musim dingin telah tiba, yang menyebabkan mereka harus diam
terus-menerus di dalam rumah. Dan Fay sendiri tidak pernah lepas dari pengawasan
Simmy yang ketat. Miranda tahu kini, bahwa Simmy sedang berusaha memecahkan hubungannya dengan
Fay. Seperti yang pernah diduganya, hal itu pun pernah dilakukan Simmy terhadap
Adam. Ialah yang menjadi penyebab retaknya hubungan Adam dengan Fay!
Pernah suatu ketika, Miranda membicarakan mengenai hal itu pada Adam. Tetapi
Adam tidak memberikan tanggapan apa-apa. Tingkah Adam sekarang sudah mirip
dengan mesin. Ia tidak perduli lagi akan dirinya dan semua pekerjanya. Karena
itu tidak aneh bila melihatia pulang kerumah hanya untuk makan dan tidur saja.
Suatu ketika, Arthur Benyon datang bertamu. la mengatakan pada Miranda, bahwa
bila terus-menerus Adam tidak bisa tenang, ia pasti akan jatuh sakit.
"Ia akan terus-menerus bekerja dan bekerja. Padahal hal seperti itu tidak ada
manfaat baginya," kata Arthur Benyon dengan nada keras. "Kau harus mengajaknya
berlibur, Miranda. Aku tidak dapat
membujuknya.?"Dapatkah aku membujuk Adam untuk melakukan sesuatu yang tidak
disukainya?" tanya Miranda dengan agak sedih. "Ya, seharusnya kau dapat. Siapa
lagi yang akan membujuknya bila tidak kau sendiri?" tukasnya. Lalu ia
melemparkan pandangan tak mengerti ketika Miranda menjawab, "Aku tidak berarti
apa-apa." Kemudian Arthur Benyon bercakap-cakap dengan Adam sebelum kembali.
"Tidak seorang manusia pun yang tidak membutuhkan manusia lain - termasuk kau,
Adam," ujar Arthur Benyon. "Lihatlah Miranda sekarang kelihatan pucat dan lemah
sekali. Ajaklah ia jalanjalan, pesiar ke tempat yang banyak sinar matahari.
Bersenang-senanglah kau bersamanya." "Kami tidak pernah bermaksud untuk
berjalanjalan bersama," sahut Adam sambil mencibirkan bibir. Kelihatannya ia
tidak ingin membantah usul Arthur Benyon. ''Gila! Apa maksudmu"! Kelakuan apa
lagi yang kaulakukan dalam pernikahanmu kali ini?" tanya Arthur Benyon. Adam
terkejut. Keanehan apa yang tampak dalam pernikahannya bagi orang lain" "Aku
juga tidak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu, Arthur," sahut Adam
dengan canggung. Dan Arthur Benyon menjawab dengan perasaan agak mendongkol,
"Cari saja jawabannya dalam dirimu, Adam. Kau lebih tahu apa yang terbaik untuk
dirimu. Kupikir kau sedang merencanakan suatu bisnis dengan istrimu. Apa yang
terjadi sebenarnya, Adam" Aku mengira kau memang benar-benarjatuh cinta pada
gadis muda yang cantik itu. Apakah bayangan mendiang Melisande belum juga hilang
dari benakmu?""Gila semua itu kan sudah berlalu" | "Baik, kalau begitu apa yang
terjadi sebenarnya?"
"Kau tidak mengerti, Arthur," ujar Adam, lirih. "Kau tidak mengerti."
Pada permulaan bulan Oktober, angin badai mulai bertiup melintasi Atlantik.
Miranda sudah membayangkan, cuaca yang buruk sekali akan berlangsung di
Wintersbride. "Seringkah cuacanya seperti ini?" tanya Miranda, ketika ia membantu Simmy
menambal kaca yang berlubang karena serangan angin ribut pada pintu di sebelah
utara. "Ya, setiap kali musim dingin," sahut Simmy. "Karena rumah ini terletak di
bagian yang paling tinggi, sehingga selalu mendapat serangan angin ribut yang
kuat sekali setiap kali cuaca buruk."
"Hii, ngeri sekali," ujar Miranda. Dan Simmy pun tersenyum.
"Nanti juga Nyonya akan terbiasa," ujar Simmy, dan kemudian menambahkan, "dan
kalau tidak bisa, mendiang Nyonya kami yang akan menjadi penolong."
"Penolong" Bukankah ia sakit - dan meninggal di sini."
"Ya, dia memang meninggal di sini - mungkin itulah sebabnya ia menjadi penolong
bagi kami,"sahut Simmy. Ada sesuatu yang menakutkan terkandung pada wajah Simmy
yang panjang dan suram itu ketika ia berbalik menghadap ke arah Miranda.
Miranda tahu, bahwa Simmy hendak menakutnakutinya. Karena itu ia tidak merasa
takut sedikit pun. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan baginya, apa yang
menyebabkan mendiang Melisande merasa seperti tawanan dalam rumah itu dan
kemudian meninggal di situ?"Simmy - mungkinkah - mungkinkah ia mengidap penyakit
gila?" tanya Miranda sambil membelalakkan matanya. Simmy menyapu pecahan-pecahan
gelas, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang sampah. "Apa yang dimaksud
dengan kegilaan?" ujar Simmy sambil tersenyum. "Hanya otak yang tidak menentu
saja - seperti otak Fay, sebagai contohnya!" "Kau kejam, Simmy!" teriak Miranda
dengan kalap. Sejenak kengerian menyelubungi dirinya. "Bila ibunya saja gilatidak berarti anaknya pun -" "Mengapa tidak?" sela Simmy. Tiba-tiba angin
bertiup menderu-deru, menerjang pintu. Dan listrik padam. Miranda berbalik, lalu
kabur masuk ke perpustakaan. "Hmm, listriknya padam lagi," ujar Adam sambil
memandangi Miranda lebih cermat. Lalu menambahkan, 'Kenapa, Miranda" Apa yang
menjengkelkanmu " atau menakutkanmu?" Ya, ia takut sekali. Sehingga ia tidak
mampu menahan keinginan hatinya untuk bertanya, "Adam, aku tidak pernah
menanyakan apa pun padamu. Tetapi kali ini kau harus menceritakan segalanya
padaku. Apakah mendiang istrimu dulu gila?" "Astaga! Mengapa kau bertanya
seperti itu"!" seru Adam. "Simmy yang mengatakan itu padaku," sahut Miranda.
"Dan ia pun sudah melihat tanda-tanda itu pada diri Fay - Adam, benarkah itu"
Aku punya hak untuk menanyakan hal itu, bukan?" Sejenak Adam membisu. Kebencian
membayang pada wajahnya, membuat Miranda semakin takut. "Tidak, itu tidak
benar," sahut Adam pada akhirnya. "Tetapi kau berhak, seperti yang kaukatakan,
untuk mengetahui segalanya, Miranda. Kupikir, kejadian yang sudah lalu dan sedih
tidak perlu kuceritakan padamu. Tetapi setelah kejadian pada malam perjamuan
itu, ketika sikapku kelihatan aneh sekali padamu, aku berpendapat bahwa aku
harus menjelaskan segalanya."
Miranda kembali mengingat kejadian pada malam itu. Terbayang kembali saat itu
wajah Fay yang mengenakan baju tidur berwarna biru. Dan Adam dengan wajah pucat
pasi dan marah dengan kasar merebut gelas minuman dari tangan Fay. Sementara itu
Arthur Benyon yang menyaksikan kejadian itu berkata,
"Kau harus menjelaskan segalanya pada Miranda, Adam."
"Oh!" seru Miranda. Tiba-tiba saja ia mengerti.
"Melisande mabuk," ujar Adam dengan kasar. "Aku membawanya kemari dengan harapan
ia akan sembuh. Tetapi setelah beberapa bulan ia dinyatakan sakit dan harus
dikurung terus-menerus. Kami sudah berusaha mencari jalan keluar dan
mencegahnya. Tetapi ia sudah tidak dapat melepaskan diri lagi. Dan akhirnya
-kurasa kau pun sudah pernah mendengar - ia kecanduan minuman keras, Miranda.
Dan itu tidak dapat disembuhkan lagi! Kuharap kau tidak seperti itu, Miranda.
Hal itu benar-benar paling menyiksa jiwa. Setiap hari, setiap bulan dan aku
melihat Melisande yang begitu cantik perlahan-lahan menjadi hancur! Pikiran dan
jiwanya menjadi lemah. Hatiku terasa tersayat-sayat menyaksikan hal itu. Tetapi
aku tidak tahu harus berbuat apa!"
"Oh. malang benar kau, Adam." ujar Miranda dengan lirih. Ia dapat merasakan
betapa pedihnya hati Adam selama bulan-bulan itu. Ia mampu mengobati orang-orang
sakit. Tetapi ia tidak mampu mengobati seorang wanita yang sangat
dicintainya!"Karena itu Fay dititipkan pada Nanny. Dan Simmy merawat Melisande.
Dialah yang mengurus segalanya. Dan memang Melisande menyukai Simmy. Bahkan
waktu Melisande membenciku, Simmy-lah yang selalu menasehatinya." "Dia juga
membencimu?" "Ya. Tetapi hal itu kuanggap wajar. Karena ia menganggap akulah
sebenarnya yang menyebabkan dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.
Walaupun Simmy menyesali kecelakaan itu - aku menganggap hal itu sebagai jalan
keluar yang terbaik baginya." "Kecelakaan" Kalau begitu ia tidak meninggal di
sini" Di Wintersbride?" "Tidak. Ia terpeleset, ketika Simmy sedang cuti. Ia
ditemukan menggeletak di dekat sebuah lubang penambangan tua. Kami semua tidak
tahu, apakah ia sengaja melompat ke dalam lubang itu atau ia terpeleset. Tetapi
pegawai yang menyelidiki peristiwa itu mengatakan bahwa kematiannya disebabkan
karena kecelakaan." "Oh, mengerikan sekali!" "Ya, mengerikan - tapi, itulah yang
terbaik,"sahut Adam dengan tegas. "Kalau tidak, tentu ia masih hidup tersiksa
bertahun-tahun lagi, Miranda. Dan itu semua kuanggap sebagai kegagalanku."
Miranda duduk tak bergerak. Ingin sekali saat itu ia memeluk Adam. Tetapi ia
takut melakukannya, sebab ia tahu, Adam sedang membayangkan mendiang Melisande.
"Orang tidak dapat," ujar Miranda, terputus. Ia berusaha mencari kata-kata yang
tepat, "berbuat sesuatu di luar batas kemampuannya. Kau tidak dapat
dipersalahkan, Adam. Dan kematiannya itu tidak berarti bahwa itu kegagalan
bagimu. Menurutku, ia cuma kurang mendapat perhatian penuh darimu saja."
.Adam menatap Miranda, lama sekali. Seakan hendak mencerna apa yang ada di dalam
benak Miranda. Kegetiran dan penyesalan membayang pada wajahnya.
"Tetapi-" ujar Adam, lirih, "aku tidak mencintainya. Hal itu kuanggap sebagai
kegagalanku sebagai seorang suami."
"Kau tidak mencintainya?" Miranda mengulang. perkataan Adam, tanpa berpikir
panjang lagi. Adam berdiri di samping meja. Wajahnya kelihatan sudah cerah kembali di bawah
sinar lampu yang remang-remang itu.
"Cinta itu lain dengan nafsu, Miranda. Jangan kaucampuradukkan kedua hal itu
menjadi satu," ujar Adam. "Melisande memang pandai lagi cantik. Dan waktu itu
aku pun masih muda belia, nafsu besar. Tetapi semua itu tidak dapat memuaskan
jiwaku. Bila aku mencintainya dengan sungguhsungguh, tentu ia tidak akan
merindukan laki-laki lain. Dan tentu ia pun tidak akan sampai menghibur dirinya
dengan minuman-minuman keras. Tetapi, entahlah."
Miranda mendekap lututnya erat-erat, karena tidak ingin merangkul Adam. Sekarang
baru ia tahu dengan jelas, siapa Melisande sebenarnya. |
Perlahan-lahan beban yang selama ini mengganjal dalam hati Miranda terlepas. Ia
tidak perlu lagi memerangi cinta yang sudah mati yang tak akan pernah ada. Dan
ia tidak lagi harus membenci orang yang sudah meninggal dunia. Tetapi tetap saja
ada sesuatu dalam diri Melisande yang mungkin dapat menghancurkan segalanya.
Miranda sadar, dan tiba-tiba ia berlari ke arah Adam.
"Mengapa kau tinggal di tempat seperti ini?" tanya Miranda, mendesak. "Mengapa
kau mengajak anakmu tinggal di dalam rumah yang suram ini",
"Aku tidak ingin nantinya Fay akan meniru-niru perbuatan ibunya," sahut Adam.
"Fay sangat mirip dengan ibunya. Cantik, menggairahkan, penuh emosi." "Tidak,
tidak, kau keliru," tukas Miranda. "A- dam, kumohon dengan sangat, jangan
katakan lagi Fay anak yang suka berbohong. Simmy-lah sebenarnya yang bersifat
begitu. Ia ingin merenggangkan hubunganmu dengan Fay. Kau terlalu percaya pada
Simmy, dan itu sudah berlangsung lama, sehingga kau tidak dapat membedakan mana
yang benar mana yang salah. Buktinya, hari ini ia mencoba meyakinkan diriku,
bahwa Melisande - mengidap penyakit gila. Dan katanya, Fay pun tentu akan
menjadi gila pula." Miranda melihat keragu-raguan pada wajah Adam. Tetapi
kemudian Adam menyentuh bahunya. Matanya menatap mata Miranda. Seakan ia hendak
mengukur kebenaran kata-kata Miranda. "Kau sadar apa yang kautuduhkan itu,
Miranda?" tanya Adam. "Ya," jawab Miranda dengan nada pasti. Matanya berseri dan
begitu yakin. "Simmy menginginkan kekuatan. Sifatnya hendak memiliki. Ia selalu
mengawasi setiap gerakanmu, yang mungkin saja dapat membahayakan kedudukannya.
Bila Fay mencintaimu, maka segala tindakannya terhadapmu akan wajar seperti
kebiasaan anak-anak sebayanya. Dan bila ia diperlakukan seperti anakanak lain,
tentu ia tidak membutuhkan Simmy lagi. Pernikahanmu denganku saja sudah cukup
membuat ia mengkhawatirkan kedudukannya, walaupun ia selalu berusaha
menganggapku sebagai anakanak yang tidak tahu apa-apa. Andaikata Fay tumbuh
sebagaimana mestinya, pergi ke sekolah, bergaul dengan anak-anak lain sehingga
ia jauh dari Simmy, lalu apa gunanya lagi kedudukan Simmydalam rumah ini" Ia
tentu harus meninggalkan rumah ini, sebab pelayanannya tidak diperlukan lagi.
Tetapi kalau keadaan tetap sebagaimana biasa, ia akan tetap tinggal di rumah ini
bila ia pandai mengatur, sehingga ia tidak perlu selalu mengkhawatirkan
kedudukannya dalam rumah ini. Kumohon dengan sangat, Adam, pikirlah baik-baik
apa yang telah kukatakan tadi." Miranda merasakan Adam mencengkeram pundaknya.
Dan tiba-tiba suaranya berubah menjadi kasar, ketika ia menjawab,
"Andaikata aku menganggap apa yang kaukatakan itu benar, sampai di manakah
kebenaran itu" Tetapi Simmy. ah, rasanya tidak mungkin!"
"Pikirlah baik-baik, Adam. Fay adalah anak yang normal, sama seperti anak-anak
yang lain. Bukankah waktu ia diasuh oleh Nanny ia baik, sebaik anak yang lain"
"Ya. Tetapi aku tidak begitu memperhatikannya, karena ibunya sedang sakit.
Tetapi kemudian - ia kelihatan sangat menyukai Nanny. Aku mengira, Nannylah yang
menjadi penyebab Fay tidak menyukaiku."
"Lalu, mengapa kau memecatnya dari rumah ini?"
Adam melepaskan cengkeramannya pada bahu Miranda, lalu berbalik.
"Aku memergokinya memberikan minuman kepada Fay. Sebenarnya ia tidak dapat
disalahkan, menurutku. Karena Fay selalu dekat dengan ibunya. Dan tanpa disadari
ia terpengaruh oleh ibunya. Mungkin ia sendiri tidak menyadari akan bahaya yang
mengancam anaknya. Tetapi akukan tidak dapat membiarkan hal itu berlangsung
terus atas diri Fay."
Miranda mengernyitkan dahinya.


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan ini pun terus kaulakukan selama setahun penuh sesudah istrimu meninggal"
Tidakkah tindakanmu itu aneh dan tidak masuk akal?" "Tidak. Simmy sudah
menyadari akan hal itu, tetapi ia tidak ingin menyusahkanku. Tetapi setelah
diketahui Nanny memang benar-benar tidak dapat dipercaya, Fay diasuh olehnya."
Miranda membisu, membuat Adam menatap wajahnya dalam-dalam. Sesuatu yang
terpancar pada wajah Miranda membuat Adam tiba-tiba berteriak, "Tetapi hal itu
tidak mungkin!" "Oh, ya?" ujar Miranda dengan lembut. "Tetapi tidakkah kau
pikirkan, mengapa sampai Simmy sendiri yang harus melaporkan tentang Nanny" Apa
maksudnya sebenarnya?" "Justru Simmy memikirkan nasib Fay, bila ia tidak lagi
ada di sini." "Kalau begitu kau yang memintanya menggantikan Nanny" Dan ia
menerima permintaanmu itu dengan senang hati!" Adam menggosok-gosok matanya
dengan bukubuku jarinya. "Mungkin kita berdua ini perlu hiburan, Miranda.
Kesulitan-kesulitan yang kita hadapi sekarang membuat kepala kita pusing.
Bukankah begitu?" "Memang itu tepat sekali, Tuan!" Tiba-tiba terdengar suara
Simmy di ambang pintu. Seperti biasanya, ia masuk ke ruangan dengan perlahan
sekali, sehingga tak satu pun di antara mereka yang menyadari kehadiran Simmy.
Dan Miranda sendiri tidak tahu sudah berapa lama Simmy berdiri di situ. "Kau
pikir ia harus beristirahat, Simmy?" tanya Adam. Nada suaranya berubah. "Ya,
istirahat memang sangat diperlukan bagi mereka yang sedang kalut pikiran," sahut
Simmy dengan suara yang hambar. "Kalau terlalu lama terkungkung dalam satu
tempat, orang menjadi pengkhayal, membayangkan yang tidak-tidak. Bukankah
begitu, Tuan?" "Mungkin saja," sahut Adam, tanpa embel-embel lagi. Dan Simmy
tersenyum. "Saya datang hanya untuk mengingatkan Tuan, takut kalau-kalau Tuan
lupa untuk berganti pakaian. Sebab sekarang sudah pukul setengah delapan." Adam
mengernyitkan dahi. Untuk pertama kalinya ia kelihatan tidak senang melihat
tingkah Simmy, sebab ia merasa Simmy terlalu mengaturnya. "Kami tidak ingin
berganti pakaian," sahut Adam dengan kasar. "Lain kali jangan terlalu
memusingkan urusan kami, Simmy. Biarkan saja, kalau kami hendak makan tentu kau
akan kuberitahukan!" Keadaan ruangan itu sangat gelap, sehingga tidak mungkin
mengetahui ekspresi wajah Simmy saat itu. Tetapi Miranda melihat ia menggerakkan
tangannya dengan cepat ke sisi. "Baiklah, maafkan saya telah mengganggu Tuan,"
ujar Simmy dengan tenang. Lalu ia meninggalkan ruangan itu.
BAB ENAM KEESOKAN harinya Miranda membujuk Adam supaya bersedia menemaninya dan Fay
berjalanjalan. Kesempatan itu dipergunakan Miranda untuk membuktikan apa yang pernah
dikatakannya kepada Adam. Fay ngobrol dengan riang tentang segala sesuatu yang
dilihatnya, membuat Adam jadi meragukan anggapannya tentang diri Fay. Ia
memperhatikan tingkah Fay dan Miranda. Ia tidak dapat menolak bila Miranda
mengatakan bahwa Fay sebenarnya adalah anak yang normal, yang memerlukan kasih
sayang dan sifatnya baik. Semua itu kini dilihatnya dengan jelas. Ia, seperti
juga Miranda, tidak percaya, bahwa Fay adalah anak yang memerlukan perhatian
khusus karena jiwanya tidak stabil. Seperti yang sering dikatakan oleh Simmy.
Dan ketika berjalan pulang, Fay tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangannya. Adam
dengan gembira menggenggam erat tangan Fay dan tersenyum manis padanya. Dan Fay
sendiri, dengan agak malu-malu dan terkejut, membalas senyuman Adam. Nyonya Yeo
terpaksa harus tinggal di kamarnya karena terserang penyakit flu. Karena itu
kini Miranda-lah yang menggantikannya memasak. Ia
dengan gembira melaksanakan tugasnya itu. "Maafkan saya, Nyonya - karena
sekarang Nyonya terpaksa harus repot-repot memasak," kataNyonya Yeo pada
Miranda. "Tidak banyak orang yang baik seperti Nyonya, yang mau menggantikan
pelayannya masak. Bahkan mendiang nyonya dulu pun tidak pernah melakukan hal
itu. Bukan maksud saya memuji Nyonya dan menjelek-jelekkan mendiang nyonya yang
sudah meninggal. Tetapi apa yang saya katakan itu adalah kenyataan. Tuhan pun
tahu. Mendiang nyonya saya dulu tidak pernah memikirkan orang lain." Miranda
merasa bangga karena ternyata ia masih mampu menyaingi kebaikan nama Melisande.
"Ya, tentu saja ia tidak mungkin dapat memikirkan orang lain, Nyonya Yeo. Sebab
kalau sedang dalam keadaan sakit, tentu pikiran jadi tak menentu," sahut Miranda
dengan lembut. "Ya, itu memang benar, Nyonya," ujar Nyonya Yeo, sambil
menganggukkan kepala. Kemudian Nyonya Yeo bertanya lagi, dengan agak pedas, "Apakah Nona Simmy sudah menceritakan apa yang terjadi pada mendiang Nyonya
Melisande?" "Tidak. Tuanlah yang menceritakan pada saya," jawab Miranda. "Bagus.
Jangan sampai dia yang menceritakan segalanya pada Nyonya. Karena dia itu ular
kepala dua. Senang membalikkan kenyataan!" Miranda duduk di ranjang. "Nyonya
Yeo, tentunya kenal baik dengan Nanny, bukan?" tanya Miranda. "Apakah Nyonya
pikir ia memang patut dipecat dari sini?" Tiba-tiba saja wajah Nyonya Yeo
memerah padam. Sejenak ia mencibirkan bibirnya, seakan ia menahan untuk tidak
mengatakan hal yang buruk. Kemudian ia menjawab dengan hati-hati, "Entahlah,
Nyonya. Saya tidak tahu-menahu tentang hal itu. Nyonyalah orang yang pertama
kali menanyakan hal itu pada saya. Dan saya ingin tahu, apa sebabnya Nyonya
menanyakan hal itu."
"Karena," ujar Miranda dengan hati yang berdebar-debar gembira, "menurutku,
semua keterangan hanya disampaikan oleh Simmy. Mungkin Simmy mempunyai alasan
tertentu, sehingga ia menginginkan Nanny keluar dari sini, dengan harapan ia
tidak akan pernah kembali lagi."
"Nyonya Yeo menarik napas dalam-dalam. "Memang betul, Nyonya," sahut Nyonya Yeo,
wajahnya semakin memerah. "Saya pun sudah mengatakan hal itu kepada Tuan. Tetapi
Tuan sudah termakan kata-katanya. Ia tidak ingin mendengar gosip lagi, katanya.
Tuan mengatakan, bahwa kami menentang Nona Simmy karena kami merasa iri hati
akan kedudukannya di rumah ini. Dan Tuan pun menyatakan, bahwa ia punya alasan
kuat apa sebabnya ia mempercayai Simmy dan harus merasa berterima kasih padanya.
Ia melakukan semuanya demi kebaikan Fay. Saya sendiri tidak tahu, apa yang
disampaikan oleh Nona Simmy kepada Tuan sehingga Tuan begitu percaya padanya.
Tetapi Nanny sendiri bersumpah, bahwa ia tidak memasukkan apa-apa ke dalam
botol-botol itu, selain sejenis minuman yang dibuatnya sendiri dari tanaman yang
berbunga kuning. Kalaupun seekor lalat menghirup minuman itu, lalat itu tidak
mungkin mati. Biasanya Nanny memang sering memberikan minuman itu dengan
dicampur gula kepada mendiang Nyonya. Ia bermaksud memberikan kesenangan pada
mendiang Nyonya, yang memang senang sekali minuman keras. Tentu Nyonya mengerti
apa yang saya maksud, bukan?"
"Dan apa yang terjadi atas diri Nanny?" Nyonya Yeo menatap terkejut pada
Miranda. "Ia tinggal kira-kira lima belas kilometer dari
tempat ini, di tempat di mana ia dilahirkan," sahut Nyonya Yeo. "Ia tinggal di
peternakan kakaknya,sejak lima tahun yang lalu. Ia selalu menulis surat pada
saya untuk menanyakan keadaan Nona Fay." "Seandainya aku ke rumahnya, kaupikir apakah ia mau bicara denganku?" Nyonya Yeo tidak segera menjawab pertanyaan
Miranda. Ia menatap Miranda dengan ragu-ragu. "Entahlah, Nyonya. Saya tidak
dapat mengatakan dengan pasti. Karena semua itu sudah berlalu. Dan lebih baik
membiarkannya hidup dengan tenang," ujar Nyonya Yeo. "Nyonya Yeo," ujar Miranda
dengan hati-hati. "Saya punya alasan dan saya pun yakin, Nyonya pun menganggap
Simmy-lah yang menjadi penyebab utama semua kerusuhan di dalam rumah ini. Tetapi
saya harus membuktikan semua itu kepada Tuan. Sebab ia sudah lama sekali percaya
pada Simmy, dan tidak mudah mengubah kepercayaannya itu. Tidakkah lebih baik,
menurut pendapat Nyonya, saya menanyakan hal itu langsung pada Nanny" Sebab
mungkin dialah satu-satunya orang yang tahu apa yang terjadi sebenarnya."
Ekspresi keheranan terpancar pada wajah Nyonya Yeo. "Nyonya memang cerdik
sekali, padahal kelihatannya Nyonya masih anak-anak," sahut Nyonya Yeo.
"Pergilah Nyonya ke rumah Nanny. Saya akan memberikan alamatnya pada Nyonya."
Ternyata Miranda tidak dapat cepat-cepat pergi ke rumah Nanny. Sebab Bessie dan
gadis yang membantunya juga terserang flu. Sehingga Miranda tidak punya
kesempatan luang untuk pergi. Selama itu Miranda selalu makan malam bersama Adam
di ruang tamu. Mereka menyediakan sendiri apa-apa yang mereka inginkan, tanpa
dilayani pelayan. Miranda senang sekali dengan cara makan mereka seperti itu. Ia
selalu memasak makanan-makanan baru, yang belum pernah dicicipi
Adam sebelumnya. Sambil makan ia menceritakan segala kegiatan dan apa saja yang
terjadi pada hari itu. Tetapi sewaktu-waktu ia tidak dapat berpurapura melupakan
peristiwa yang dialaminya ketika Pierre berkunjung ke situ. Miranda melihat Adam
selalu memperhatikannya. Kadang-kadang ia memandang ragu-ragu padanya. Tetapi
kadangkadang pula ia menatapnya dengan mesra.
Menjelang awal Nopember, suasana di rumah itu kembali seperti biasa. Miranda
berniat untuk segera mempergunakan waktu luangnya ketempat Nanny.
Perjalanan yang ditempuhnya dengan bis menuju ke desa itu jauh sekali. Tetapi
akhirnya Miranda dapat sampai juga ke tempat tujuannya. Ia berjalan menelusuri
jalan kecil berbatu-batu yang menuju ke pintu gerbang sebuah peternakan. Ia
berjumpa dengan seorang laki-laki yang keluar dari kandang lembu dengan membawa
seember susu. "Dapatkah saya bertemu dengan Nona Coker?" sapa Miranda dengan sopan.
Laki-laki itu meletakkan ember susunya. Lalu memandang Miranda dengan curiga.
"Cuma kunjungan persahabatan saja," ujar Miranda, menenteramkan hatinya.
"Oh, mungkin kau salah seorang anak asuhnya, ya?" sahut laki-laki itu sambil
senyum meringis. "Kadang-kadang mereka datang ke mari. Tetapi ia bilang,
kebanyakan mereka lupa setelah mereka menjadi dewasa. Ayo mari, lewat jalan
belakang, Nona. Ia mungkin sedang bekerja di dapur."
Miranda mengikuti laki-laki itu melewati halaman, menuju ke belakang rumah.
Laki-laki itu membuka pintu belakang sambil berteriak,
"Hei - ini ada tamu untukmu! Siapa nama Nona?""Saya Nyonya Chantry," sahut
Miranda dengan malu-malu. Ketika tiba-tiba pintu terbuka lebar, terdengar suara
seorang wanita berseru, "Oh, astaga!" Miranda berdiri terpaku di ambang pintu.
Ia tahu, dirinya diawasi dua pasang mata. Miranda tidak dapat melihat wajah
wanita yang tadi berteriak, karena ia berdiri di balik dinding. Tetapi terdengar
suara laki-laki itu berseru, "Chantry!" Dan tampak ia hendak menutup pintu
kembali. "Biarkanlah, Tom," ujar wanita itu dengan logat daerah barat yang
lembut. "Coba kuperhatikan dulu - tentunya Anda nyonya yang baru. Marisilakan
masuk!" Dengan langkah perlahan Miranda memasuki dapur yang berlangit-langit
rendah itu, lalu berhenti. Nanny Coker berwajah bulat, berambut keriting dan
sudah beruban. Matanya cerah dan kelihatan baik, tetapi bisa berubah galak kalau
sedang marah. Pipinya kelihatan sudah agak mengerut, walaupun sebenarnya ia
belum begitu tua. Tetapi kulitnya kelihatan halus dan kemerah-merahan seperti
buah apel. "Duduklah di dekat pendiangan itu. Saya hendak menyediakan minuman
dulu," kata Nanny, "Teruskanlah pekerjaanmu, Tom. Aku hendak ngobrol berdua
saja." Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu. Mendengar nama Wintersbride saja ia
sudah tidak senang, apalagi sekarang orang yang tinggal di sana datang ke
rumahnya. Tetapi setelah Nanny menganggukkan kepala lagi padanya, ia keluar dan
menutup pintu. "Nah, lepaskanlah mantelmu. Kita tidak usah formil-formilan, kan?" ujar Nanny.
"Kalau mantel itu kaulepaskan, nanti kalau kau keluar dari ruangan ini, baru
kaurasakan betapa menyenangkannya tinggal di sini. Dan bagaimana kabarnya dengan
Fay" Apakah dia menitipkan salam untuk Nanny tua ini, atau ia sudah diajar untuk
melupakanku?" Miranda duduk di atas sebuah bangku bulat yang rendah di dekat
tempat yang terbuka ke arah peternakan yang luas itu. "Tak seorang pun tahu
kedatanganku ke mari," sahut Miranda dengan lembut. "Aku yakin, bila Fay tahu
aku akan ke mari, tentu ia akan menitipkan salam untukmu. Tetapi ia masih sering
menceritakan tentang kau padaku." "Himm," gumam Nanny ketika mereka duduk di
dekat pendiangan sambil minum teh, "kau datang ke mari, menempuh perjalanan
jauh, tidak hanya untuk membicarakan hal-hal yang tidak berguna, bukan" Mengapa
tiba-tiba kau datang ke mari" Jangan karena dia, aku tidak mau mendengar tentang
dia lagi. Ia tentu akan mencegahmu bila ia tahu kau datang ke mari!" 'Simmy" Apa
alasannya melarangku datang ke mari?" tukas Miranda. Tetapi Nanny cuma
tersenyum. Jelas, ia tidak akan memulai pembicaraan lebih dulu. Miranda
menghirup tehnya. Banyak sekali yang ingin dikatakannya. Tetapi ia tidak tahu di
mana harus dimulai dan di mana harus berakhir. Dan Nanny sendiri, bila ia tahu
Miranda berniat datang ke rumahnya, mungkin ia akan mengira Miranda hendak
menyelidikinya. Pandangan Miranda tertuju pada sebuah botol tinggi yang ditempel
etiket, diletakkan di atas sebuah lemari. "Kalau begitu, kau masih membuat
minuman itu," ujar Miranda. Nanny menatap tajam pada Miranda. "Karena itukah kau
datang ke mari?" tanya Nanny dengan tegas. "Hanya untuk membangkit-bangkit
cerita lama?"Miranda meletakkan cangkir tehnya. Lalu ia mendekap lututnya dan
mendekatkan diri dengan pendiangan. "Bukan," sahut Miranda. "Aku hanya ingin
menanyakan hal yang sebenarnya." "Tidakkah Tuan sudah menceritakan semua nya?"
tanya Nanny. "Dia sudah menceritakan padaku, apa yang dianggapnya benar. Tetapi
semua yang diceritakannya itu didapatnya dari Simmy, bukan karena ia tahu
sendiri. Nanny-" Miranda menatap Nanny dengan pandangan memelas, "aku bukan
ingin membangkit-bangkitkan hal yang sudah lalu, sungguh! Tetapi aku mencintai
Fay. Dan sekarang aku menyadari apa yang hendak dilakukan Simmy. Kalau kau tidak
mau menolongku, tentu aku tidak akan pernah dapat membuat suamiku mengerti hal
yang sebenarnya." Nanny mengambil salah satu kaos kaki adiknya, lalu mulai
menisik kaos yang hampir setengah jadi itu. "Memang sudah lama aku mencurigai
tindakan Simmy. Dan suatu hari aku benar-benar menangkap basah apa yang sedang
dilakukannya. Peristiwa itu terjadi dua hari sebelum kematian mendiang
Melisande, nyonyaku. Tetapi kemudian ia minta padaku, supaya aku tidak
melaporkan apa yang dilakukannya karena ia juga bermaksud akan keluar dari rumah
itu. Maka aku mengabulkan permintaannya. Sebab menurut hematku, bila hal itu
kulaporkan juga tidak akan ada gunanya. Namun ternyata ia tidak juga berhenti
dari pekerjaannya. Sampai akhirnya aku menunjukkan pada Tuan bahwa ia sudah
tidak diperlukan lagi di Wintersbride. Dan ia selalu menjengkelkan hati para
pelayan lain, . Tiba-tiba saja, ia membalikkan persoalan
sebab selalu memerintah, seakan dialah nyonya baru. Ia mengatakan akulah yang
sudah tidak diperlukan lagi di rumah itu. Ia menemukan salah sebuah botol anggur
buatanku. Dan ia mengadukan bahwa botol itu berisi minuman bir. Aku tak kuasa
membela diri. Sebab memang akulah yang selalu membawa botol kepada mendiang
Nyonya, dan semua pelayan juga tahu akan hal itu." "Tetapi, tidakkah kaujelaskan
bahwa anggur buatanmu itu sama sekali tidak berbahaya?" tanya Miranda. Nanny
berhenti menisik, matanya kelihatan sedih. "Ya, aku sudah menjelaskan," sahut
Nanny, perlahan. "Tetapi sayang, Nyonya - aku tidak dapat melawannya. Seandainya
aku tahu, Simmy berbuat itu untuk merebut kedudukanku, tentu aku akan berusaha
mempertahankan diri. Tetapi semua itu sudah berlalu. Yang penting sekarang kau
tahu apa yang sebenarnya. Nah, apa yang akan kaulakukan sekarang?" "Entahlah,"
sahut Miranda, mencoba untuk menenangkan pikirannya. "Tetapi akhir-akhir ini
kelihatan tindakan Simmy agak sembrono. Ia mencuri dengar pembicaraanku dengan
Adam. Dan tentunya, ia sekarang ketakutan akan kehilangan kedudukannya - karena
tampaknya sekarang Adam tidak begitu mempercayainya lagi. Mungkin ia berbuat
salah - aku juga tidak tahu dengan pasti. Tetapi kalau saatnya tiba, aku
menangih janjimu, Nanny, bahwa kau akan menjelaskan semuanya demi keselamatan
Fay - dan mungkin juga untuk keselamatanku. Karena Simmy pun telah menyakitiku."
"Ya, aku berjanji," ujar Nanny. Dan tiba-tiba saja Miranda menangis tersedu-sedu
di pangkuan Nanny, sementara tangan Nanny merangkulnya dengan penuh kasih
sayang."Diamlah, jangan menangis lagi, seperti anak kecil saja. Banyak hal yang
harus kauselesaikan. Tumpahkanlah semuanya pada suamimu. Bila kau hendak
menangis, datanglah padanya. Apakah ia terlalu sibuk atau memang tidak mau
mengerti?" "Dia tidak mencintaiku," kata Miranda. "Ah, masa begitu. Ia tidak mencintai
siapa-siapa. Jangan biarkan pikiran buruk menghantui benakmu. Tanamkan dalam
pikiranmu, bahwa ia memerlukan dirimu. Lupakanlah hal-hal lain. Berusahalah
untuk memenuhi apa yang dirindukannya." Ah, ia begitu lembut hati, pikir
Miranda. Tidak heran bila Fay sangat mencintainya. Dan tak heran pula bila Simmy
takut padanya. Miranda mengeringkan air matanya. "Nanny -" ujar Miranda sambil
mengenakan mantel dan selendangnya, "-bila keadaan sudah memungkinkan kembali
seperti biasa - aku dengan rendah hati memohon-kau kembali lagi tinggal di
Wintersbride." "Ya, aku tentu saja bersedia," sahut Nanny Coker. "Dan bila kau
sudah punya bayi, mungkin Nanny yang sudah tua ini masih dibutuhkan bantuannya.
Sampai di sini dulu obrolan kita, karena aku takut kau nanti ketinggalan bis.
Aih, lihat! Kabut turun tebal sekali! Mari kuantarkan kau sampai ke
persimpangan, supaya jangan tersesat." Bis berjalan perlahan-lahan, sebab kabut
yang turun tebal sekali sehingga sukar melihat jalan dengan jelas. Adam sudah
menunggunya. "Dari mana saja kau?" tanya Adam. "Sejak tadi aku
mengkhawatirkanmu. Lihat, kabut turun tebal sekali." "Dari rumah Nanny," sahut
Miranda. "Maksudmu, Nanny Coker yang dulu tinggal di sini?" tanya Adam. "Aku
tidak tahu ia masih tinggal di sekitar sini."
"Oh, jadi - kau tidak tahu bahwa Nanny tinggal bersama adiknya di peternakan
Sowton?" Adam tampak terkejut. "Tidak. Bagaimana keadaannya sekarang" Kadangkadang aku merasa, aku menuduhnya yang tidak-tidak. Aku juga ragu-ragu kalau
dikatakan, ia tidak dapat dipercaya dan telah mengkhianati keluargaku." "Ya, kau
memang telah menuduhnya yang tidaktidak," sahut Miranda. "Seharusnya kau
menanyakan hal itu langsung kepadanya, bukan kepada orang lain." Sejenak Adam
berdiam diri. Ia merasakan apa yang dikatakan Miranda memang benar. "Himm, ayo
masuk - mengapa kita ngobrol tentang masa lalu di tempat lembab seperti ini,"
kata Adam. "Lebih baik kita ngobrol di perpustakaan." Mereka berjalan masuk
rumah tanpa bicara. Adam membiarkan pintu depan rumah terbuka. Ketika Miranda
melangkah masuk ke ruang tamu, mendahului Adam, ia mendengar suara orang bicara
di perpustakaan. "Oh, jadi kau masuk ke mari untuk membaca buku-buku yang
terlarang itu?" Terdengar suara Simmy. "Bukankah sudah kukatakan, bahwa sekolah
yang akan kaumasuki nanti tidak sama dengan sekolah yang diceritakan Miranda


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadamu. Keadaannya tidak sama seperti yang diceritakan di dalam buku-buku yang
dibelikannya untukmu! Kau tidak ingin masuk sekolah bukan, Fay" Katakanlah pada
ayahmu, bahwa kau tidak ingin masuk sekolah. Bahwa kau selamanya ingin tinggal
di Wintersbride ini bersama Simmy. Kau mau, bukan?" Adam yang hendak membuka
pintu ruang perpustakaan mengernyitkan dahi mendengar perkataan Simmy. Tetapi
Miranda segera menarik lengannya.
"Tunggu," bisik Miranda. "Tetapi aku ingin sekali masuk sekolah." Terdengar Fay
berkata. "Aku ingin punya teman bermain. Dan Miranda bilang, kalau libur aku
boleh mengajak kawan-kawanku ke mari. Aku tidak pernah punya teman, Simmy selain Miranda." "Miranda bukan temanmu, Fay," tukas Simmy. "Dia tidak
menyukaimu, tidak sayang padamu, seperti juga ayahmu tidak menyayangimu. Nanti
tentunya ia tidak akan mengacuhkanmu lagi." Adam melepaskan pegangan Miranda.
Tetapi untunglah Miranda cepat menangkapnya kembali. Simmy masih saja terus
bicara. "Tahukah sekolah macam apa yang akan kaumasuki nanti" Sekolah itu mirip
dengan penjara Princetown, tahu! Kau kan tidak ingin pergi ke sekolah seperti
itu, Fay" Aku dapat menolongmu, asalkan kau berjanji bahwa kau menginginkan aku
selalu tinggal di Wintersbride ini." "Aku tidak percaya padamu!" Fay yang
ditakut takuti Simmy rupanya tidak mau mengalah begitu saja. "Apa alasannya
mereka berniat mengirim aku ke sekolah seperti itu"!" "Sebab," sahut Simmy,
tiba-tiba suaranya berubah menjadi sengit, "kau mirip dengan ibumu. Dalam
darahmu mengalir darah jahat ibumu-" Adam meronta, melepaskan diri dari pegangan
Miranda. Dengan suara menggeledek ia berteriak menyebut nama Simmy dari ambang
pintu. Simmy berbalik, menghadap ke arah Adam. Tampaknya ia takut dan kecewa.
Tetapi cepatcepat ia berkata, "Oh, Tuan sudah pulang" Maafkan, saya tidak tahu.
Saya baru saja mengatakan pada Fay-" "Aku mendengar semua yang kaukatakan pada
Fay," sela Adam dengan marah sekali, membuat Miranda juga jadi ketakutan.Fay
lari melewati Adam, menuju ke arah Miranda.
"Tidak benar, yang dikatakannya tidak benar, bukan?" ujar Fay, lalu menangis
tersedu-sedu. "Ya, Sayang, hibur Miranda. "Simmy sedang tidak enak badan - karena itu apa yang
dikatakannya juga ngawur. Pergilah ke dapur bersama Nyonya Yeo. Kau diam di
situ, nanti aku datang menemuimu, ya. Nah, keringkahlah air matamu, Fay sayang.
Jangan takut, tidak apa-apa - tidak apaapa." Fay lari menuju ke dapur,
meninggalkan ruang perpustakaan yang diliputi suasana tegang. Adam berdiri
terpaku. "Malam ini juga kemaskan barangmu, dan tinggalkan rumah ini," ujar Adam
dengan suara dingin, sedingin es. "Tidakkah saya diberi kesempatan untuk memberi
penjelasan?" tanya Simmy sambil meremasremas tangannya. Matanya yang sayup
menatap Adam. "Tentunya Tuan tidak akan memecat saya begitu saja - tanpa diberi
kesempatan membela diri, bukan?" "Apakah Nanny Coker juga diberi kesempatan
untuk membela diri?" tanya Miranda. Simmy berbalik, memandang Miranda. "Nanny
memang patut mendapat perlakuan seperti itu!" "Tidak. Aku baru saja menemui
Nanny, Simmy. Kau tidak tahu bahwa dia tinggal di dekat sini, bukan" Ia telah
menceritakan semuanya padaku. Kaulah yang menghancurkan mendiang Melisande. Kau
pula yang memasukkan gin ke dalam botol anggur buatan Nanny. Dan kemudian
kaupakai sebagai barang bukti untuk menunjukkan kesalahan Nan
ny. "Benarkah begitu, Miranda?" tanya Adam dengan tegas. Wajahnya kelihatan pucat,
dan ia berusaha menenangkan hatinya. "Nanny belum pernah berdusta, sejak
kejadian hari itu sampai detik ini," sahut Miranda. "Dan mungkin, selama
hidupnya ia tidak akan pernah berdusta." "Kau, perempuan jalang!" teriak Simmy
sambil menggertakkan giginya, lalu hendak menghampiri Miranda. Untunglah Adam
sempat menangkap lengannya. "Cukuplah," kata Adam. "Aku akan minta Nyonya Yeo
menolongmu mengemasi barang-barangmu." Miranda segera pergi ke dapur, menjemput
Fay. Ketika itu Fay sedang makan kismis dengan riangnya. Kelihatannya ia telah
melupakan kejadian yang menakutkan, yang baru saja dialaminya. "Simmy akan
meninggalkan rumah ini, Fay," kata Miranda dengan lembut. "Demi kebaikan?" "Ya,
demi kebaikan kita semua. Apakah kau keberatan?" "Ah, tidak. Himm, apakah Nanny
akan kembali ke mari lagi?" tanya Fay, kekanak-kanakan. Miranda tersenyum manis.
"Kau ingin ia kembali ke mari?" tanya Miranda. Fay berhenti mengunyah kismisnya.
Wajahnya kelihatan tenang sekali, tidak seperti biasanya. "Aku tidak mengingat
kejahatannya. Yang kuingat, Nanny itu baik dan lembut hati. Dan aku senang tidur
di pangkuannya. Tentu saja aku senang kalau Nanny kembali tinggal di sini." "Dan
Nanny pun tentu mau tinggal di sini," sahut Miranda. "Kita akan tinggal bersama
Nanny lagi seperti dulu. Dan dengan ayahmu, yang sangat mencintaimu. Dan mungkin
sekarang ia mau memanjakanmu, karena kau memang anak manis, Fay. Tetapi
sekarang, ditambah lagi dengan Miranda." "Oh, Miranda sayang. aku gembira sekali
Adam menikah denganmu, bukan dengan Grace." ujar Fay. Miranda tidak tahu apa
yang dilakukan Adam terhadap Simmy. Karena tak lama kemudian, Nyonya Yeo sudah
kembali ke dapur. "Dia sudah pergi," katanya. "Rupanya ia juga marah padaku.
Waktu pergi, ia tidak melihat wajah Tuan sama sekali. Padahal Tuan yang
memberikan tasnya. Ia berjalan cepat sekali tanpa memoleh lagi." Adam sedang
mengisi kotak rokoknya, ketika Miranda masuk ke ruang perpustakaan itu. Sinar
api yang menyala di pendiangan, memantul pada wajah Adam. Sehingga garis-garis
mukanya, yang biasanya kaku karena menahan kesedihan, tampak jelas sekali.
Tetapi kini wajahnya kelihatan lebih cerah, lebih muda dan lembut. "Ke mana dia
akan pergi, Adam?" tanya Miranda pada Adam. "Simmy" Dia punya kawan yang tinggal
di Plymouth. Aku sudah menulis surat pada Arthur Benyon, supaya mengijinkannya
tinggal sementara di rumahnya. Simmy benar-benar hebat. Ia sama sekali tidak
kelihatan sedih ataupun menyesali perbuatannya." "Apakah - apakah masih ada yang
mau memperhatikannya?" "Masa bodoh, aku tidak mau perduli," sahut Adam. "Tetapi
Arthur akan mengatur segalanya." "Ya, Arthur memang baik sekali." "Sedangkan aku
tidak baik - iya" Apakah menurut hematmu dia masih patut menerima
kebaikan?""Ya," jawab Miranda, pendek. "Orang yang pikirannya tidak kacau tidak
menyadari apa yang diperbuatnya, Adam."
Adam tersenyum pahit. "Yang kutakutkan, kau menganggapku sebagai seorang suami yang tidak baik," ujar
Adam. Lalu ia menyelipkan kotak rokoknya ke dalam saku di dadanya. "Aku hendak
pergi ke rumah Nanny. Ia juga, sangat baik hati sekali. Mudah-mudahan ia mau
memaafkan kesalahanku padanya dan mau tinggal di sini lagi."
"Tentu - tentu saja ia mau," sahut Miranda. "Dia sudah mengatakan padaku, ia mau
tinggal di sini lagi, bila ia memang masih dibutuhkan. Tetapi - tidakkah lebih
baik kalau besok saja kau pergi ke rumahnya?"
"Tidak bisa, Miranda," ujar Adam. "Aku harus minta maaf padanya sekarang juga.
Kalau tidak, aku tidak akan dapat tidur nyenyak."
Miranda tersenyum penuh pengertian.
"Ah, tidak perlu begitu sikapmu," kata Miranda.
"Sebab Nanny tidak pernah menaruh dendam padamu. Boleh aku ikut serta, Adam?"
"Lebih baik kau tidak usah ikut. Lihat kau tampak sudah lelah sekali. Pergilah
beristirahat," sahut
Adam. "Lagipula lebih enak minta maaf sendirian, bukan?" Miranda tertawa, lalu
berkata, "Tidak kukira, kau pun rupanya bisa minta maaf juga, Adam!" Tiba-tiba
Adam memegang bahu Miranda. "Mengapa tidak?" ujar Adam sambil memandang lembut.
"Sebenarnya aku bukanlah orang yang keras kepala, Miranda." Kemudian Adam
mencium Miranda dengan mesra, dan pergi.
Miranda mendengarkan suara mesin mobil yang menjauh, kemudian menemui Fay.
"Jalan-jalan, yo?" ajak Fay sambil menari-nari dengan gembira. "Kita pergi ke
Shap Tor dan bermain sembunyi-sembunyian." "Hari ini aku tidak berminat main
sembunyisembunyian," sahut Miranda sambil tersenyum. "Lagipula udaranya tidak
begitu baik." "Ah, siapa bilang. Aku ingin sekali mencari batubatu kecil yang
dapat memancarkan sinar yang pernah dikatakan Simmy padaku. Dia bilang, kalau
aku menggosok batu-batu itu, batu itu akan makin mengkilap dan dapat dibuat
kalung. Dan dia pun mengatakan bahwa aku boleh pergi ke sama sendirian sore ini,
untuk mencari batu-batu itu. Tetapi kupikir, lebih enak kalau aku pergi ke sana
bersamamu." "Simmy bilang kau boleh pergi ke sana sendirian" Oh, jangan-jangan,
Fay. Tidak mungkin Simmy menyuruhmu demikian," sahut Miranda, berusaha mencegah
maksud Fay. "Sungguh, dia bilang begitu padaku. Simmy tidak suka pergi ke
pertambangan, karena itu ia menyuruhku pergi sendiri. Dan ia pun memberitahukan
aku di mana aku dapat menemukan batu-batu itu. Tentu kau pun akan gembira bila
dapat menemukan batu itu, Miranda." "Lain hari saja ya perginya?" ujar Miranda.
"Sekarang lebih baik bermain-main di kebun saja. Carilah sesuatu yang menarik
untukku." "Baiklah," sahut Fay dengan patuh. "Aku akan mencarikan sesuatu yang bagus
sekali untukmu, Miranda. Aku akan menyembunyikan benda itu di dalam rumah, dan
kau harus menemukannya."
Miranda kembali kekamar perpustakaan, setelah Fay pergi. Ia duduk di kursi besar
yang diletakkan di dekat pendiangan. Ia merasakan seluruh anggotabadan dan
pikirannya lelah sekali setelah ketegangan-ketegangan itu lepas. Kini ia tidak
perlu lagi mengkhawatirkan Fay ataupun Adam. Menjelang senja hari barulah
Miranda terbangun. Ia mendengar suara telepon berdering di kamar baca Adam.
Miranda beranjak hendak mengangkat telepon. Mungkinkah Adam yang meneleponku
karena tidak bisa pulang malam ini" Sebab salju turun tebal sekali. Pikir
Miranda. Tetapi ternyata yang terdengar di pesawat telepon itu adalah suara
Simmy! Tiba-tiba saja Miranda menggigil di ruangan yang tidak diberi alat
pemanas ruangan itu. "Kau sendirian, Miranda?" tanya Simmy. "Ya," sahut Miranda,
kebingungan. "Suamiku sedang keluar. Kau ingin bicara dengannya?" "Oh, dia
keluar?" Nada suara Simmy terdengar gembira. "Tidak, aku tidak ingin bicara
dengannya - aku hanya ingin bicara denganmu." "Ada apa, Simmy" Di mana kau
sekarang?" "Perlukah kau tahu di mana aku berada sekarang" Sebenarnya kau sudah
tahu, Miranda. Apakah Fay pergi juga ke pertambangan sore ini?" "Pertambangan?"
tanya Miranda dengan cemas. "Tidak, ia tidak pergi! Mengapa kau begitu yakin ia
akan pergi ke sana"!" "Aku sudah janji akan mengajaknya ke sana. Tidakkah ia
katakan hal itu padamu" Aku selalu memenuhi janjiku - Miranda. Dan semua itu
sudah ada di dalam pikiranku." 'Simmy - apakah ia akan pergi ke sana juga?"
tanya Miranda, mendesak. Sesaat Simmy membisu. Kemudian terdengar Simmy menjawab
dengan suara hambar, "Sudah kukatakan, ia pasti pergi ke sana. Karenaitu kau
harus mengawasinya. Apakah setelah aku pergi ia tidak lagi mematuhi katakatamu?"
|Badan Miranda mulai gemetar.
"Tentu saja tidak! Sekarang ia sedang bermain di .
kebun. Sebentar lagi tentu ia kembali," sahut Miranda. "Tetapi kau tidak tahu
dengan pasti ia sedang bermain di kebun, bukan?" Suara Simmy kedengarannya agak
riang. "Kau harus mencarinya di pertambangan, Miranda. Aku menyuruhnya pergi ke
sana. Dan aku yakin, Fay akan mematuhi perintahku. Tetapi ingat, kau harus
berhati-hati. Tempat itu sangat berbahaya. Aku tidak ingin nanti kau mendapat
celaka di tempat seperti itu. Nah, selamat tinggal, Miranda." Miranda mendengar
suara "klik" gagang telepon diletakkan, sebelum Simmy menghabiskan katakatanya.
Miranda tidak memutar telepon lagi. Ia cepatcepat lari ke dapur. "Fay ada di
sana?" tanya Miranda pada Nancy. "Tidak ada, Nyonya. Sejak sejam yang lalu,
ketika ia keluar, saya belum melihatnya lagi," sahut Nancy. "Mungkinkah ia masih
main di kebun - hari sudah hampir gelap," ujar Miranda. Nancy yang melihat
kecemasan Miranda, jadi ikut khawatir. "Kelihatannya Nyonya cemas sekali," kata
Nancy. "Mungkin Nona Fay ada di dalam kamar belajarnya. Coba nanti saya cari,
Nyonya." "Tidak usah, biarkan aku yang mencari dia." Ternyata di kamar belajar
pun tidak ada. Di mana-mana tidak ada. Miranda berdiri di tangga sambil
memanggil-manggil nama Fay. Kemudian ia lari ke kebun, juga sambil berteriak
memanggil nama Fay. Nancy menemui Miranda di belakang rumah. "Saya yakin benar,
ia tidak pergi ke luar, Nyonya," katanya. "Ia ada di dalam rumah.?"Ia pergi ke
Shap Tor- ke pertambangan!" Miranda menjelaskan dengan agak tak keruan tentang
pembicaraannya dengan Simmy di telepon. Nancy mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Pada wajahnya yang biasa tampak menyenangkan dan jujur itu kini
tercermin kecemasan. "Aku harus segera mencarinya!" "Saya ikut, Nyonya," pinta
Nancy. "Jangan," tukas Miranda. "Kau tinggal di rumah saja. Nanti kalau Tuan
pulang, beritahukan ke mana aku pergi. Nah, cepatlah ambilkan aku lampu senter!"
Miranda berjalan dengan cepat di tengah udara berkabut yang lembab itu. Ia
melintasi jembatan tua, kemudian setibanya di persimpangan ia membelok ke arah
kiri. Ia mencoba mengingat-ingat arah jalan menuju ke pertambangan itu. Kemudian
ia berjalan lurus menuruni bukit. Dan akhirnya ia sampai di pertambangan itu,
yang letaknya di balik bukit. Tetapi kabut yang turun sangat menipu
pandangannya. Sesaat ia dapat melihat jalan dengan jelas. Tetapi di saat yang
lain, ia hampir tak dapat melihat jalan karena kabut itu terlalu tebal. Kalaupun
dapat melihat, hanyalah dalam jarak beberapa meter saja. Miranda berteriak
memanggil-manggil nama Fay sambil berjalan menaiki bukit berbatu. Tetapi
suaranya terdengar kecil sekali di tengah kegelapan itu. Bahkan hampir sama
sekali takterdengar. Walaupun ia sudah berteriak kencang-kencang, tidak juga ada
suara yang menyahut. Miranda berteriak lebih keras lagi, tetapi yang terdengar
hanya gema suaranya sendiri. Kini batu baterei lampu senternya hampir habis.
Miranda mematikan lampu senter itu. Lampu senter itu baru akan dinyalakannya
lagi nanti dalam perjalanan pulang. Miranda masih terus saja berteriak memanggil
nama Fay. Dan tetap saja yang
terdengar gema suaranya sendiri. Miranda maju selangkah lagi. Dan tiba-tiba saja
ia berhenti. Badannya serasa kaku karena ketakutan yang amat sangat. Kalau saja
tidak ada udara dingin yang berhembus dan suara air yang gemercik mengalir,
tentulah jiwanya sudah melayang. Miranda menyalakan lampu senternya. Sesaat ia
terpaku memandang jurang yang sangat dalam yang menganga di depannya. Ia melihat
kemilau air di bawah kakinya. Tiba-tiba lampu senter itu terlepas dari
genggamannya, jatuh. Suaranya terdengar menggema di kegelapan itu, sampai
akhirnya terdengar mencapai dasar lubang penggalian tua itu. Miranda berdiri
terpaku dengan badan gemetar di tepi lubang itu. Ia menutup mukanya dengan kedua
belah tangannya. Kini tahulah ia sekarang, apa sebabnya Simmy tidak mau pergi ke
pertambangan itu. Rupanya di sinilah, di tempat inilah Melisande melompat bunuh
diri atau terpeleset sendiri" Sampai ia menemui ajalnya. Dan ia pun - kalau
melangkah setapak lagi, tentu ia akan mengalami nasib yang sama dengan
Melisande. Miranda tidak berani bergerak sedikit pun. Ia hanya mendengarkan gemercik air.
Tetapi tak lama kemudian terdengar suara Adam. Miranda berbalik memanggil nama
Adam. Dengan jelas ia mendengar suara Adam yang terdengar Cemas, "Miranda! Kau
tidak apa-apa"!" "Tidak," sahut Miranda. Ia mendengar suaranya yang gemetar.
"Tetapi aku tidak berani bergerak tanpa lampu senter. Aku berada di pinggir
lubang galian tua yang sangat dalam sekali." "Astaga!" Terdengar suara Adam
berteriak. Dan dalam waktu beberapa menit saja seberkas sinar menyinarinya.
Miranda dapat melihat Adam dengan samar-samar. Sesaat ia dapat melihat Adamyang
berjalan menelusuri jalan kecil menuju ke arahnya, tetapi kemudian ia tidak
dapat melihatnya lagi. "Jangan bergerak, Miranda!" ujar Adam dengan tenang.
"Sebenarnya tidak berbahaya. Tetapi papan-papan tua itu tidak akan kuat menahan
berat badanku. Ulurkan tanganmu kalau kuberi aba-aba, aku akan menarikmu." Semua
berlalu dengan cepat sekali. Miranda merasakan tangan Adam yang kuat menggenggam
tangannya. Dan sejenak kemudian ia sudah berada di sisi Adam. Adam merangkulnya
erat-erat karena gembira berhasil menyelamatkan nyawanya. "Fay." ujar Miranda
dengan setengah menangis di dada Adam. "Aku belum menemukannya, Adam." "Ia
selamat di rumah," sahut Adam dengan perasaan lega. "Ia tidak pergi ke manamana. Tadi ia bermain-main di kebun sebentar." "Oh ya" Tetapi aku berkali-kali
memanggilmanggilnya. Begitu juga Nancy," ujar Miranda, kebingungan. "Ia
mendengar kau memanggil-manggilnya. Ketika itu ia bersembunyi di dalam sebuah
lemari. Maksudnya supaya kau mencari dia." Miranda jadi tertawa geli. Tiba-tiba
Adam menampar pipinya. "Tidak perlu tertawa!" kata Adam dengan kasar. "Mengapa
tiba-tiba saja kau pergi ke tempat ini" Aku sampai kebingungan setengah mati!
Tidak pernah aku sebingung ini selama hidupku, tahu! Bukankah kau juga tahu, si
gila itu cuma ingin menakut-nakutimu saja" Ayo cepat pulang! Aku tidak mau lamalama berada di tempat terkutuk ini!" Miranda berjalan mengikuti Adam tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi ketika mereka sudah berada di dalam mobil,
Adam memeluknya. Miranda terkejut juga ketika merasakan tangan Adam yang kekar gemetar sewaktu
mengusap wajahnya. "Maafkan aku, Miranda. Aku terlalu kasar padamu," kata Adam.
"Tentunya kau terkejut sekali." Kemudian Adam tidak mengucapkan apa-apa lagi. Ia
mengemudikan mobilnya kembali ke rumah sambil merangkul Miranda dengan sebelah
tangan. Ketika mereka tiba di rumah, tampak Nanny Coker sudah menantinya, dan
kemudian memapah Miranda. "Makan di sini?" tanya Miranda dengan terkejut, ketika
Nanny mengatakan bahwa ia tidak diperbolehkan makan malam di bawah malam itu.
"Tetapi aku kan tidak sakit, Nanny"!" "Ya, benar. Tetapi Tuan sudah
memerintahkan aku untuk membawa makan malam ke atas. Dan kau harus selalu berada
dekat pendiangan. Ia akan naik ke mari untuk memeriksa badanmu." Miranda
meringis. "Seperti di rumah sakit saja, orang satu itu," kata Miranda. Nanny
mengedipkan matanya. . "Sudahlah," hibur Nanny. "Kau mungkin jengkel dengan
sikapnya hari ini. Tetapi, biarkanlah ia melayanimu dengan caranya sendiri.
Jangan kautolak dia, walaupun sikapnya seperti orang gila. Ingatlah kata-kataku
itu." Miranda tertawa. "Kalau begitu, menurutmu, stetoskop dan termometer adalah
cara yang paling mesra untuk menyatakan cinta?" tanya Miranda. "Ya, mungkin
saja," sahut Nanny sambil tersenyum.
Adam naik ke loteng setelah Nancy membereskan piring mangkuk bekas makan
Miranda. "Bagaimana rasanya sekarang," tanya Adam.
"Baik," sahut Miranda dengan tersendat-sendat."Kau bawa stetoskop?" Adam
tersenyum. "Nanny sudah mengatakan padaku, bahwa kau tidak mau diperiksa," kata
Adam dengan tenang. "Bagaimanapun juga, akhirnya toh kau harus membiasakan diri


Misteri Wintersbride Karya Sara Seale di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan keanehan sikapku. Pokoknya, aku akan terus memeriksa jantungmu itu."
"Jantungku," ujar Miranda dengan sedih, "kurasa tidak perlu perawatan."
Adam mengangkat alis matanya.
"Tapi, Miranda," tukas Adam dengan tenang, "lebih baik kalau kita bicara dengan
terus terang." Adam berdiri membelakangi pendiangan, menatap wajah Miranda. Tetapi tiba-tiba
saja Miranda merasa sulit sekali mempertemukan pandangannya dengan pandangan
Adam. "Soal apa, Adam," tanya Miranda dengan suara perlahan. "Kurasa sudah tiba
saatnya kita mengambil keputusan. Kita harus menghapus perjanjian pernikahan
kita yang dulu." Miranda tidak menjawab dan Adam melanjutkan sambil terus
memeriksa nadi Miranda dengan teliti, "Aku sadar, bahwa dalam perjanjian itu
tidak tercantum hubungan mesra di antara kita. Tetapi - aku yakin, kau juga
tidak menolak hal itu. Hanya aku saja yang selalu acuh tak acuh, sehingga
situasi menjadi buruk. Dan aku minta maaf atas perlakuanku pada Pierre Morel-mu
itu." Kemudian Adam berhenti bicara. Seakan ia menunggu jawaban Miranda. Miranda
sendiri merasa tidak mampu berbuat apa-apa ketika menatap wajah Adam yang sedang
memeriksanya. Benarkah dia menginginkan aku" tanya Miranda dalam hati dengan
sedih. Ataukah ia mengubah sikapnya untuk menutupi ketidakmampuannya untuk
mencintainya" Miranda berjalan ke jendela dan membuka tirai jendela itu. Ah,
malam itu indah sekali! Adam berkata dengan sedih, "Kalau kutilik dari sikapmu
yang diam saja, kau tidak ingin hidup bersamaku lagi, Miranda?" Miranda tetap
memandang ke luar jendela. Ia merasakan air mata menitik di pipinya ketika ia
berkata, "Padamkanlah lampunya, Adam. Aku merasa lebih enak dan lebih berani
mengatakan apa yang harus kukatakan di dalam gelap." Adam memadamkan lampu.
Tetapi tetap saja ruangan itu masih terang oleh cahaya api pendiangan. Cahaya
yang hangat itu memantul pada dinding dan langit-langit ruangan. Miranda masih
tetap berdiri di depan jendela menatap bulan yang sedang bersinar. Ia kelihatan
kecil dan sendirian. Adam berjalan menghampirinya. Ia berdiri di belakang
Miranda. Kemudian dengan lembut ia menarik kepalanya dan menyandarkannya ke
dadanya. "Kau tidak perlu takut-takut bila hendak menyatakan kebenaran," kata
Adam. "Aku pasti dapat mengerti. Andaikata - kau memang tidak dapat mengabulkan
permintaanku, aku pun tidak akan memaksamu. Percayalah, aku cuma ingin melihat
kau bahagia. Kebahagiaan mulah yang kudambakan, bukan kebahagiaanku. Walaupun
mungkin karena itu aku mungkin sangat menderita!" "Oh, mengapa kau begitu tolol
- begitu, begitu tolol!" teriak Miranda. Lalu berbalik dan merebahkan dirinya
dalam pelukan Adam sambil menangis tersedu-sedu. "Sayangku, jangan." ujar Adam,
lirih. "Aku tahu, aku memang sangat bodoh dalam hal-hal seperti
ini. Tetapi kuminta, katakanlah apa yang kauinginkan. Katakanlah. Katakanlah
dengan terus terang, walaupun itu berarti kita harus menghabiskan kontrak gila
kita itu. Aku bersedia menerima segalanya. Tapi, jangan siksa hatiku seperti
ini." Untuk pertama kalinya Miranda merasakan betapa tersiksanya Adam selama ini. Dan
itu terkandung dalam kata-katanya. Baru kini ia merasakan kehangatan dan
perlindungan yang diberikan Adam padanya. Miranda merangkul leher Adam eraterat.
"Adam... aku juga tidak dapat lebih lama lagi berpura-pura." ratap Miranda. "Aku
bukanlah orang yang berpikiran praktis, seperti yang pernah kaukatakan. aku
orang yang romantis. Bahkan aku tidak perduli, andaikata apa yang kautawarkan
padaku itu hanya karena kau seorang pria dan aku seorang wanita - aku tidak
perduli lagi. Andaikata kau mengijinkan aku mencintaimu."
Adam menundukkan kepala, menatap Miranda yang bersandar di dadanya. Kemudian ia
mempererat pelukannya. "Apa yang kaukatakan, Miranda" tanya Adam dengan kasar. "Tak pernah terbayang
dalam benakku, bahkan mengharap pun tidak - bahwa kau mencintaiku!" Miranda
mengangkat wajahnya. Dari pandangannya nyata sekali, bahwa ia tidak mungkin lagi
dapat menyembunyikan apa yang terkandung di dalam hatinya. "Ya, memang," sahut
Miranda. "Bagaimanapun akhirnya aku tidak dapat menyembunyikan hal itu terusmenerus. Dan aku takut, kalau-kalau aku hanya memalukan saja, Adam." Adam
mencium bibir Miranda. Itulah untuk pertama kalinya ia menciumnya dengan mesra.
Kemudian dengan hati yang bergejolak membara,Adam menggendong Miranda,
membawanya kembali ke dekat pendiangan.
Miranda bersandar pada Adam dengan badan agak gemetar. Lalu sambil menghapus air
matanya ia berkata, "Kalau begitu, aku tidak memalukanmu, Adam?"
Adam tertawa sambil mengangkat dagu Miranda. Kemudian ia menciumnya lagi.
"Sayangku, lalu apa gunanya semua pernyataanku padamu malam ini?" tanya Adam
sambil tertawa. "Kau memang tidak mengerti benar persoalannya," ujar Miranda. "Dan apa yang
dikatakan Nanny memang tepat, bahwa kau memang kurang pengalaman."
Tiba-tiba saja Adam berlutut di hadapan Miranda, di antara keremangan cahaya
pendiangan itu sambil memegang muka Miranda.
"Miranda - bukankah pernah kukatakan padamu, aku bersedia merendahkan diriku,
bila kau menginginkan hal itu," kata Adam. "Sekarang aku merasa tidak berarti
apa-apa, Sayang. Sebab ternyata aku tidak mampu meyakinkanmu, betapa besarnya
cintaku padamu." "Tetapi," ujar Miranda sambil tersenyum manis, "kukira kau menciumku semesra itu
hanya untuk menyenangkan hatiku saja. Karena tak pernah kau menciumku seperti
itu selama ini." Cahaya pendiangan menghangatkan rambut Miranda yang terasa
dingin. Miranda merebahkan kepalanya pada dada Adam. Beberapa lama kemudian
terdengar Adam berkata, "Dan bagaimana dengan Wintersbride, rumah kita ini,
Miranda" Apakah rumah ini akan kitajual,
atau kita tetap tinggal di sini saja" Dan tidak usah mengganti nama itu, sebagai
peringatan bagi kita?" Miranda masih tetap merebahkan badannya pada Adam.
Matanya dirasakannya berat sekali.ngantuk dan lelah. Wintersbride, nama yang
mengandung berjuta misteri, nama yang mengingatkan peristiwa sedih yang telah
berlalu. dapatkah rumah itu terus dihuni oleh pemiliknya dengan tenang" Rumah
adalah jantung hati, begitulah kata Nanny padanya. Kalau begitu, sebuah rumah
berarti suatu kebahagiaan juga" Miranda makin memendamkan kepalanya dengan
enaknya pada lekuk bahu Adam. Kemudian ia menjulurkan tangannya, mengusap-usap
wajah Adam dengan lembut. "Tidak usah dijual, Adam. Biarlah kita tetap tinggal
di sini," ujar Miranda dengan mata mengantuk. "Karena disini ada kamar anak-anak
yang sangat menyenangkan. Mungkin yang paling menyenangkan."
- TAMAT - Edit Teks - Saiful Bahri Pedang Naga Kemala 19 Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Si Cakar Rajawali 2
^