Pencarian

Sepasang Pendekar Selatan 2

Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan Bagian 2


Tubuh mungilnya melompat ke punggung kuda dan
menghelanya sehingga keluar meninggalkan halaman
rumah. Diiringi oleh tatapan Bongkap yang masih ter-
senyum-senyum kagum.
Beberapa menit setelah Bong Mini hilang dari pan-
dangannya, Bongkap segera memanggil para penga-
walnya yang ikut merampok kemarin malam.
Para pengawal yang dipanggilnya itu segera datang
seraya memberi hormat.
"Ada apa, Tuanku?" tanya salah seorang pengawal,
mewakili teman-temannya.
"Coba dua atau tiga orang di antara kalian pergi gu-
dang yang semalam dan bawa dua peti ke sini!" perin-
tah Bongkap. "Baik, Tuanku!" sahut pengawal tadi, lalu memberi-
kan isyarat kepada dua orang temannya untuk pergi
ke gudang penyimpanan barang-barang.
Mendapat isyarat itu, dua orang temannya segera
melangkah ke dalam. Tidak lama kemudian mereka
kembali lagi dengan membawa dua buah peti hasil
rampokan semalam.
"Coba langsung dibuka!" perintah Bongkap ketika
kedua peti itu diletakkan di hadapannya.
Kedua pengawal yang membawa peti tadi segera
membukanya. Dan mereka sangat terkejut ketika peti
itu telah terbuka.
"Apa isinya?" tanya Bongkap ketika melihat keterke-
jutan anak buahnya.
"Isinya emas, Tuanku!" sahut seorang pengawal
yang membuka peti itu, memberitahukan.
Para pengawal lainnya tersentak gembira ketika
mendengar pemberitahuan temannya itu. Sedangkan
Bongkap dengan langkah tenang menghampiri peti
yang terletak beberapa meter di hadapannya.
"Hm...," gumam Bongkap kagum. Lalu ia membung-
kukkan badan dan mengambil seraup emas. Diperha-
tikannya emas yang tergenggam pada tangannya itu
lebih dekat lagi.
"Ambilkan kantong kain!" perintah Bongkap lagi.
Dua orang pengawal tadi segera bergegas ke dalam
untuk mengambil kantong kain yang dibutuhkan
Bongkap. Kemudian mereka kembali lagi dan me-
nyerahkan setumpuk kantong kain kepada Bongkap.
Bongkap mengambil kantong kain itu dan meng-
isinya satu persatu dengan emas yang ada dalam peti
tadi. Setelah semua kantong kain itu terisi oleh emas,
Bongkap melemparkannya satu persatu ke arah para
pengawalnya. "Ini jatah kalian pada setiap satu peti emas," ujar
Bongkap memberitahukan.
Para pengawal itu menerimanya dengan wajah gem-
bira. "Sedangkan sisa kantong-kantong ini akan kita ba-
gikan kepada para rakyat yang menderita kemiskinan,"
lanjut Bongkap memberitahukan. "Dan tentunya isi
kantong-kantong ini setengah dari isi kantong yang
ada di tangan kalian!"
Para pengawal itu memperhatikan isi kantongnya
masing-masing. Kemudian membandingkan dengan
kantong yang ada di tangan rajanya. Dan ternyata isi kantong yang ada di tangan
para pengawal itu memang
lebih banyak daripada isi kantong emas yang akan di-
bagikan kepada rakyat. Hal ini dilakukan Bongkap
dengan pertimbangan bahwa para pengawalnya telah
berjasa membantunya dalam melakukan perampokan.
"Nah, selagi putriku sedang keluar, secepatnya kita
bagikan hasil rampokan ini kepada rakyat," kata
Bongkap lagi. Lalu kakinya segera melangkah menuju
kudanya, diikuti oleh para pengawalnya yang setia.
"Ashiong dan Achen saja yang ikut bersamaku.
Yang lainnya tetap berjaga-jaga di sini," sergah Bongkap dari atas punggung
kudanya. Para pengawal lain yang sudah hendak menung-
gang kuda, mengurungkan niat dan kembali ke tempat
tugas mereka. Hanya Ashiong dan Achen saja yang
menyertai Bongkap.
*** Di bawah terik matahari yang menyengat, seorang
gadis berumur enam belas tahun berpakaian merah
yang membungkus tubuhnya serta bertudung topi di
kepalanya, tampak tengah menunggang kuda dengan
tenang. Pandangan matanya menyebar pada rumah-
rumah penduduk yang sebagian berbentuk rumah
panggung. Gadis cantik itu tidak lain putri Bong Mini. Dia baru saja mengadakan perjalanan
untuk melihat keadaan
kampung-kampung yang berada di bawah kekuasaan
papanya. Sesekali ia pun mengadakan percakapan
dengan para penduduknya. Dalam percakapan itu
Bong Mini mendapat kesan bahwa penduduk yang be-
rada di bawah kekuasaan papanya tengah dilanda ke-
miskinan. Malah sebagian penduduk yang ditemuinya
banyak menderita kelaparan, karena sawah dan la-
dangnya mengalami kekeringan akibat musim kema-
rau. Melihat kenyataan itu, sebagai gadis yang mempu-
nyai perasaan halus, Bong Mini merasa iba hatinya.
Sehingga perbekalan uang yang ia bawa, sebagian te-
lah diberikan kepada para penduduk yang benar-benar
sedang kelaparan.
Di lain pihak, hatinya pun turut terhibur manakala
melihat para penduduk bersikap sopan kepadanya.
Malah tidak sedikit di antara mereka yang bersikap
berlebihan. Misalnya, kalau ia berjalan banyak para
penduduk di sekitarnya menyingkir memberi jalan
sambil membungkukkan badan padanya sebagai tanda
hormat. Karena sebagian dari mereka tahu bahwa ga-
dis asing bermata sipit dan berwajah cantik itu adalah seorang anak raja yang
baru. Raja yang mempunyai
banyak perhatian kepada rakyatnya.
Sebagai gadis yang rendah hati, Bong Mini merasa
keberatan dengan sikap hormat penduduk yang berle-
bihan itu. Ia tidak ingin penghormatan yang berlebihan itu hanya karena ia
seorang putri raja. Justru hal itu yang ingin ia jauhi. Ia hanya ingin dihormati
kalau penduduk itu kagum karena perilaku yang ditampil-
kannya sendiri. Bukan karena pengaruh papanya se-
bagai raja di negeri Selat Malaka ini. Oleh karena itu ia terkadang memberikan
pengertian kepada penduduk
untuk tidak menghormatinya secara berlebihan karena
didatangi seorang putri raja.
"Hormatilah aku sebagai manusia biasa tanpa di-
hubungkan dengan kebesaran nama papaku!" kata
Bong Mini, memberikan pengertian pada para pendu-
duk pada suatu kali.
Sedang santainya Bong Mini menunggang kuda, ti-
ba-tiba telinganya mendengar tangisan seorang anak
kecil. Tangisan anak itu begitu menyayat hatinya.
Dengan rasa ingin tahu, Bong Mini turun dari pung-
gung kuda dan menghampiri rumah, di mana terde-
ngar tangisan anak itu. Di dalam rumah itu, Bong Mini melihat seorang perempuan
tua sedang memeluk dan
membujuk anak perempuannya yang menangis.
Bong Mini terharu menyaksikan adegan kedua ibu
beranak itu. Lalu dengan langkah perlahan ia men-
dekat lalu duduk di sebelah perempuan tua itu.
"Kenapa dia, Bu?" tanya Bong Mini pelan.
Perempuan tua yang tengah memeluk anak perem-
puan itu menoleh pada Bong Mini sekilas. Ternyata perempuan tua itu pun turut
menangis. Terlihat dari kedua pipinya yang keriput dibanjiri air mata.
"Cucuku minta makan," sahut perempuan tua itu
dengan suara gemetar menahan tangis.
"Memangnya tidak ada makanan?" tanya Bong Mini.
Perempuan tua itu menggeleng lemah.
"Sudah dua hari ini kami tidak makan nasi. Se-
dangkan jagung pun telah habis kami makan kema-
rin," perempuan tua itu menjelaskan.
Bong Mini benar-benar terharu mendengar penutu-
rannya. Tanpa disadarinya, dua bulir air mata bergulir membasahi kedua belah
pipinya. Cepat-cepat Bong
Mini mengambil perbekalan makanan yang sengaja ia
bawa ketika berangkat dari rumahnya tadi. Kemudian
diberikannya perbekalan itu kepada perempuan tua
itu. Betapa gembiranya wajah perempuan tua itu mene-
rima pemberian Bong Mini. Walaupun makanan itu
hanya cukup untuk dimakan cucunya.
"Tenang. Berhentilah menangis, Cucuku. Ini ada
makanan untuk mengganjal perutmu yang sakit," bu-
juk perempuan tua itu sambil cepat-cepat membuka
kain pembungkus makanan. Setelah itu diberikannya
makanan pemberian Bong Mini itu kepada cucunya.
Anak perempuan yang menangis itu, yang berumur
sekitar empat belas tahun, segera mengambil makanan
yang diberikan neneknya dengan tangan gemetar kare-
na sejak kemarin sore menahan lapar. Dinikmatinya
makanan itu dengan lahap. Sehingga dalam waktu
singkat, makanan yang ada dalam rantang itu habis
tanpa sisa. Bong Mini tersenyum haru karena makanan yang
dibawanya itu tidak sia-sia.
"Terima kasih, Non...."
"Mini. Nama saya Bong Mini," potong Bong Mini
memperkenalkan namanya.
"Ya, terima kasih, Non Mini," ucap perempuan tua
itu sambil meneliti keadaan pakaian Bong Mini yang
terlihat begitu bagus. Matanya berbinar kagum. Apa-
lagi ketika melihat sebilah pedang yang terselip di
punggung Bong Mini.
"Nona Mini seorang pendekar?" tanyanya, langsung
menebak. Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Saya perempuan biasa, Nek," sahut Bong Mini.
"Tapi biasanya kalau perempuan menyandang sebi-
lah pedang di punggungnya, itu berarti ia seorang pendekar," kata perempuan tua
itu lagi. "Mungkin. Tapi saya bukan pendekar," elak Bong
Mini merendah. "Tapi pedang itu?" tanya perempuan tua itu sambil
menunjuk ke arah pedang yang disandang Bong Mini.
Bong Mini lagi-lagi tersenyum padanya.
"Pedang ini hanya untuk membela diri. Khawatir
ada orang jahat yang mengganggu," jawab Bong Mini.
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Namun
hatinya tetap mengatakan kalau wanita muda dan
cantik di sisinya adalah seorang pendekar.
"Benar, Non Mini. Sekarang ini kalau kita keluar
mesti hati-hati!" ujar perempuan tua itu setengah
memperingatkan.
"Memangnya kenapa, Nek?" Bong Mini ingin tahu.
"Kampung ini telah dimasuki oleh perampok-peram-
pok yang bertopeng dermawan," jawab perempuan tua
itu menjelaskan.
"Maksud Nenek?" tanya Bong Mini tidak mengerti.
"Mereka berpura-pura menjadi dermawan yang
memberikan pinjaman uang. Tapi kalau kita tidak me-
lunasi pinjaman bersama bunga yang telah ditentukan
tepat pada waktunya, mereka akan menjarah harta
benda yang kita miliki. Tapi kalau kita mempunyai
anak gadis yang cantik, maka anak gadis kita akan dibawa pulang oleh mereka
sebagai pembayar hutang,"
tutur perempuan itu menjelaskan.
Mendengar cerita perempuan tua itu, emosi Bong
Mini menjadi bergejolak. Darahnya mendidih, mema-
naskan sifat kependekarannya. Sedangkan matanya
yang tadi lembut, berubah berkilat-kilat sebagai tanda kemarahannya.
Sejak kematian mamanya di tangan seorang pang-
lima, Bong Mini menjadi sangat benci terhadap kaum
lelaki. Jangankan bercakap-cakap, melihatnya pun ia sudah tidak sudi. Kematian
mamanya yang begitu tragis telah membunuh nurani kasihnya terhadap kaum
lelaki. Hanya papanya satu-satunya lelaki yang ia kasihi. Karena selain papa
yang mendidik dan membe-
sarkannya, ia juga sangat mengerti sifat papanya yang lembut dan penuh kasih
sayang terhadap mamanya
ketika masih hidup. Termasuk pada dirinya sendiri.
Padahal di luar keluarganya, papanya akan berubah
sikap menjadi garang dan sadis. Bahkan dijuluki sebagai singa perang ketika
masih mengabdi di Kerajaan
Manchuria. "Jahanam!" umpat Bong Mini tanpa sadar, menang-
gapi cerita perempuan tua itu.
"Ada apa, Non?" tanya perempuan tua itu kaget.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Bong Mini cepat
sambil memperlihatkan sikap lembutnya. Kemudian ia
bangkit dari duduknya dan berdiri tegak sebagaimana
seorang pendekar.
"Ini untuk Nenek," kata Bong Mini lagi seraya mem-
berikan beberapa keping uang yang diambilnya dari
balik baju. Perempuan tua itu menerima pemberian uang dari
Bong Mini dengan perasaan gembira. Sehingga sampai
beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada
Bong Mini. "Saya permisi dulu, Nek. Lain kali saya mampir la-
gi," ucap Bong Mini. "O, ya. Nama adik siapa?" tanya Bong Mini pada gadis kecil
yang tadi menangis.
"Namaku Thong Mey," ucap gadis kecil itu. Dia seo-
rang anak yang dilahirkan dan dibesarkan di tempat
itu. "Baiklah Thong Mey, saya pergi dulu. Lain kali kita bertemu lagi!" kata


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bong Mini. Setelah itu ia pun melangkah keluar, kemudian melesat cepat bersama
ku- danya. Tanpa terasa ia sudah jauh berlalu dari tempat tadi.
Kini ia sampai di Kampung Dukuh yang cukup ramai
penduduknya. Di sana dilihatnya dua kedai yang ja-
raknya agak berjauhan. Kemudian Bong Mini masuk
ke salah satu kedai yang letaknya begitu menyudut
tersendiri. Kedai itu sepi. Tak seorang pun terlihat di situ. Kecuali sepasang suami istri
pemilik kedai yang sedang duduk lesu di belakang meja makan. Ketika melihat
Bong Mini masuk ke dalam kedainya, pasangan suami
istri itu segera berdiri menyambutnya dengan wajah
gembira. Seolah sejak pagi mereka belum menda-
patkan langganan.
Dengan sikap ramah Bong Mini mendekati mereka
untuk memesan makanan. Setelah itu ia pun duduk
pada sebuah bangku yang terletak agak menyudut.
Tidak lama kemudian, makanan yang dipesannya
telah diantar oleh seorang pemilik kedai itu dan mena-ruhnya, di atas meja.
"Terima kasih," ucap Bong Mini. Lalu ditariknya pi-
ring nasi pesanannya dan menyantapnya dengan pe-
nuh kenikmatan.
Sedang asyiknya ia menyantap makanan, tiba-tiba
masuk empat lelaki dengan golok terselip di pinggangnya masing-masing. Mereka
datang ke situ dengan si-
kap kurang sopan. Tiga orang yang berwajah hitam
dan berkumis langsung mendekati pemilik kedai. Se-
dangkan seorang lagi hanya duduk mengangkat kaki di
kursi. Sedangkan pedang yang dibawanya diletakkan
di atas meja. Yang satu itu nampaknya bukan asli orang sini,
gumam Bong Mini dalam hati, mengamati lelaki yang
membawa pedang. Ia begitu leluasa memperhatikan
tingkah laku keempat orang yang tidak dikenalnya. Hal itu disebabkan karena
tubuhnya yang mungil tertutup
oleh meja makan sampai sebatas dada. Sehingga
hanya bagian kepalanya saja yang nampak. Itu pun
terhalang oleh tudung yang dikenakannya.
Di balik meja makanan, pasangan suami istri tadi
kelihatan merengket ketakutan. Wajah mereka yang
tadi berseri-seri ketika menyambut kedatangan Bong
Mini, berubah menjadi pucat.
"Kalian tentu sudah tahu maksud kedatangan kami
ke sini," kata seorang dari ketiga lelaki yang meng-
hampiri pemilik warung.
"Ya. Ya. Kami..., kami mengerti maksud kedatangan
Tuan semua," sahut pemilik warung yang lelaki.
Ketiga lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar
jawaban pemilik warung.
"Berarti kalian sudah mempersiapkannya," ucap
seorang dari ketiga lelaki itu setelah menghentikan tawanya. Sedangkan dua teman
lainnya masih tetap ter-
tawa sambil mengambil tempat duduk di dekat pe-
mimpin kelompok mereka yang keturunan Tionghoa.
Sepasang suami istri pemilik warung itu saling ber-
pandangan takut.
"Heh, kenapa diam?" tanya lelaki yang masih berdiri
itu. "Maaf, Tuan. Saya..., saya belum bisa melunasinya,"
mohon lelaki pemilik warung dengan badan gemetar.
"Apa" Belum bisa melunasi?" ulang lelaki itu sambil
menggebrak meja di depannya. Karuan saja, nasi,
lauk-pauk, dan semua makanan yang ada di situ me-
lompat karena getaran. Bahkan sebagian ada yang ter-
jatuh ke tanah.
Mendengar gebrakan meja yang demikian kencang,
pasangan suami istri itu mundur ketakutan.
"Kalau kalian tidak bisa melunasinya hari ini, ka-
lian harus menyerahkan rumah ini kepada kami," an-
cam lelaki berwajah bengis itu. Lalu ia melangkah dan duduk bersama-sama
temannya yang lain.
"Jangan, Tuan. Kalau rumah ini diambil, di mana
kami harus tinggal?" iba lelaki tua pemilik warung itu dengan wajah memelas.
"Itu urusan kalian. Yang penting hari ini kalian ha-
rus bayar hutang kepada saudagarku. Mengerti"!" ben-
tak lelaki beringas itu lagi.
"Tapi...," kata lelaki tua pemilik warung seraya men-
dekat untuk meminta belas kasihan.
"Ah..., sudah!" hardik lelaki tadi sambil mendorong
tubuh lelaki tua pemilik warung hingga jatuh.
Melihat suaminya terjatuh, perempuan tua pemilik
warung menjerit ketakutan. Sehingga anak gadisnya
yang sejak tadi berada di dalam, keluar untuk menge-
tahui apa yang terjadi.
Melihat kecantikan gadis yang keluar tergopoh-go-
poh itu, mata lelaki berwajah bengis tadi memperhatikan dengan penuh birahi.
"Rupanya diam-diam kau mempunyai seorang anak
gadis juga, Pak Tua," kata lelaki tadi, masih meman-
dangi sang gadis.
Mendengar kata-kata itu, istri pemilik warung sege-
ra mendekap anaknya erat-erat. Ia sudah tahu mak-
sud ucapan lelaki itu.
"Pak Tua, hutangmu kubebaskan. Dengan syarat
anak gadis itu harus ikut bersama kami," ucap lelaki bengis itu kembali,
disambut gelak tawa teman-temannya.
"Jangan, Tuan. Berilah tempo kepada kami tiga hari
lagi. Kami akan melunasi!" pinta lelaki tua pemilik warung sambil menyembah-
nyembah. "Puih! Aku muak dengan tempo yang kamu janjikan
itu!" bentak lelaki tadi. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri anak gadis
pemilik warung itu. Diikuti
oleh kedua temannya.
"Cantik juga anakmu ini!" seloroh lelaki bengis itu, sementara tangannya
menyentuh pipi anak gadis pemilik warung.
Gadis itu mundur ketakutan sambil memegang erat
pinggang ibunya.
"Jangan takut, manis. Kami akan membahagia-
kanmu di sana," kata lelaki tadi sambil memeluk bahu
sang gadis, dibantu oleh kedua temannya sehingga
anak gadis itu terlepas dari pelukan ibunya.
"Lepaskan. Jangan ganggu aku!" gadis itu meronta-
ronta. Namun usahanya untuk memberontak malah
membuat ketiga lelaki itu semakin senang.
Lelaki bermata sipit yang sejak tadi hanya duduk
sambil tersenyum melihat tingkah teman-temannya
segera bangkit dan menghampiri.
"Bodong, bawa anak gadis itu ke dalam! Ini ba-
gianku yang pertama," ujar lelaki bermata sipit itu.
Lelaki berwajah bengis yang bernama Bodong me-
noleh ke arah temannya yang bermata sipit.
"Bukankah ini untuk persembahan saudagar kita?"
tanya si Bodong.
"Sekali-sekali saudagar kita mendapatkan ampas-
nya tidak apa-apa, bukan?" jawab lelaki bermata sipit, diiringi gelak tawa
teman-temannya. Lalu mereka menarik paksa gadis itu untuk masuk ke dalam kamar.
"Lelaki pengecut! Beraninya hanya pada lelaki tua
dan perempuan yang tak berdaya!" tiba-tiba terdengar bentakan seorang perempuan
yang tak lain suara Bong
Mini yang sejak tadi memperhatikan sepak-terjang
keempat lelaki itu.
Laki-laki bermata sipit, Bodong dan kedua teman-
nya serentak menoleh ke sudut ruangan, di mana
Bong Mini duduk dengan tenang memperhatikan me-
reka. "He..., rupanya sejak tadi ada perempuan cantik di
kedai ini," kata lelaki sipit dengan mata memperhatikan Bong Mini. Wajahnya
terkagum-kagum karena ke-
cantikan Bong Mini.
"Puih!" Bong Mini membuang ludah sebagai tanda
kebenciannya. Lalu kakinya melangkah sampai ke de-
kat pintu. "Lepaskan perempuan itu!" bentak Bong
Mini tegas. Sorot matanya tajam menandakan kemara-
hannya. Mendapat bentakan dari seorang perempuan cantik
yang mungil itu, keempat lelaki tadi tertawa terbahak-bahak.
"Tentu..., tentu. Asal Nona bersedia menggantikan-
nya," ledek lelaki bermata sipit, diiringi oleh gelak ta-wa. "Boleh. Asal bisa
melangkahi mayatku!" jawab Bong Mini menantang. Tanpa menunggu lama lagi,
tubuhnya segera melesat ke luar kedai.
Beberapa saat keempat lelaki itu tercengang melihat
lompatan Bong Mini yang demikian ringan dan cepat.
Tapi tak lama kemudian mereka pun tertawa sambil
menghampiri Bong Mini yang sudah berdiri tegak
menghadap mereka.
"Rupanya nona cantik ini memiliki ilmu peringan
tubuh yang cukup lumayan," tukas lelaki bermata sipit itu di sela-sela tawanya.
"Kalian jangan hanya bermulut besar. Majulah ka-
lau memang kalian mengaku sebagai lelaki!" tantang
Bong Mini, memancing emosi lawan.
Mendapat tantangan itu, lelaki bermata sipit kem-
bali tertawa keras. Begitu pula dengan ketiga teman-
nya. "Aku tidak sampai hati melukai tubuh Nona yang
mulus itu. Apalagi tubuh Nona begitu kecil yang ting-ginya hanya setengah dari
badan kami," ucap lelaki
bermata sipit itu setengah mengejek.
Betapa marahnya Bong Mini mendapat ejekan se-
perti itu. Namun ia mencoba bersikap tenang.
"Jangan banyak bicara, Kecoa Kakus! Ayo, maju-
lah!" tantang Bong Mini.
"Japra, majulah kamu sendiri. Kau pasti bisa meng-
gendong gadis mungil itu," perintah lelaki bermata sipit diiringi gelak tawa
kedua temannya.
Bong Mini benar-benar marah. Ia merasa dileceh-
kan oleh lawannya. Maka ketika Japra dengan santai
hendak memeluknya, Bong Mini segera menyambut
dengan sebuah tendangan. Tepat mengenai lehernya.
Sehingga Japra terjatuh ke samping.
Ketiga temannya tertawa tergelak-gelak ketika meli-
hat Japra terjatuh.
"Ayo bangun, Japra! Masa' kalah dengan anak ke-
cil"!" teriak lelaki bermata sipit.
Japra bangun dengan muka merah. Ia merasa telah
dibuat malu oleh gadis yang dianggapnya kecil itu. La-lu ia pun menghampiri
dengan sikap hati-hati.
Bong Mini yang sudah dikuasai marahnya kembali
menyambut lawannya dengan tendangan tipuan. Lalu
disusul dengan tendangan melintir sehingga Japra terjatuh agak keras.
Bug! "Bangsat! Kau tidak boleh dikasih hati rupanya!" ge-
ram Japra. Langsung bangun dan menerjang Bong
Mini. Tapi Bong Mini memanfaatkan tubuhnya yang
mungil. Ia menjatuhkan diri ke depan, lalu berbalik
menyerang Japra dengan tendangan yang begitu keras.
Tepat mengenai 'burung'nya.
Tubuh Japra terhuyung ke depan sambil memegan-
gi burungnya yang nyaris pecah.
Bug! Tubuh Japra tersungkur ke tanah. Wajahnya mem-
bentur batu dengan keras, sehingga mengeluarkan da-
rah dari hidung dan mulutnya.
Melihat Japra tak bisa bangun lagi karena menahan
sakit pada wajah dan burungnya, lelaki bermata sipit menjadi geram. Ia segera
memerintah kedua temannya,
Kedot dan Bodong untuk menangkap Bong Mini. Tapi
sebelum mereka menyentuh tubuh Bong Mini, Bong
Mini segera membuang satu lompatan ke atas lantas
sepasang kakinya menendang kedua lawan sekaligus.
Bodong dan Kedot terjerembab ke belakang. Sebab
walaupun tubuh Bong Mini lebih kecil dari lawannya,
tapi setiap pukulan selalu diiringi dengan ilmu tenaga dalam. Dan ilmu tersebut
yang pertama kali dite-rapkan Bongkap kepada putrinya. Mengingat tubuh
Bong Mini yang kecil itu takkan mampu menjatuhkan
lawan dengan pukulan sekeras apa pun, bila tidak di-
imbangi dengan ilmu tenaga dalam.
Kedua lawannya bangkit kembali. Wajah mereka be-
rubah bengis. Tidak menyangka kalau gadis bertubuh
mungil itu mempunyai pukulan yang demikian keras.
"Gadis ini tidak boleh diajak main-main kalau kita
tidak mau dibuat malu!" geram Bodong kepada Kedot.
Lalu ia meluruk dengan cepat ke arah Bong Mini. Di-
susul dengan serangan yang dilakukan oleh Kedot. Ta-
pi dengan gesit, Bong Mini segera melompat dan hing-
gap dengan ringan di sebuah batang pohon.
"Hi hi hi...!" Bong Mini tertawa melihat lawannya
hanya menatap melongo ke arahnya. "Inilah kelebihan
orang bertubuh kecil!" teriak Bong Mini.
"Hm..., dia benar-benar memiliki kepandaian ilmu
bela diri yang tidak boleh dianggap remeh!" gumam lelaki bermata sipit sambil
memandang Bong Mini yang
dengan santai duduk di atas sebatang pohon.
"Hei, bocah perempuan tengik, turunlah! Aku ke-
pingin menguji kehebatan ilmu yang kau miliki!" teriak lelaki bermata sipit.
"Nah, begitu dong. Saya baru serius melawan ka-
lian!" teriak Bong Mini sambil meloncat dengan ringan ke bawah.
"Ayo, majulah kalian biar urusan cepat selesai,"
tantang Bong Mini dengan kuda-kuda siap mengada-
kan perlawanan.
"Bangsat! Kau benar-benar bocah perempuan tengik
yang tidak boleh dikasih hati!" maki lelaki bermata sipit seraya menyerang Bong
Mini, diikuti oleh kedua
temannya. Mendapat serangan serentak dari tiga lawannya,
tubuh Bong Mini meloncat dan bersalto. Lalu kembali
berdiri tegak. Bahaya. Kalau aku tidak mempergunakan pedang
ini, perkelahian akan berlarut-larut, bisik hati Bong Mini. Lalu tangannya
segera mencabut pedang.
Sreset! Pedang Bong Mini berkilat-kilat karena ditimpa si-


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nar matahari yang memancar panas.
Melihat Bong Mini mengeluarkan pedang, ketiga la-
wannya mulai berhati-hati. Mereka merasa bahwa
Bong Mini benar-benar akan membunuh mereka. Ma-
ka dengan serentak ketiga lawannya itu menyerang
Bong Mini dari berbagai penjuru. Tapi dengan kelebi-
han yang dimiliki tubuhnya, Bong Mini kembali melen-
ting sambil mengayunkan pedangnya ke salah seorang
lawan. Srettt! Pedang Bong Mini membabat pundak Kedot dengan
keras. Membuat lawannya itu meringis kesakitan sam-
bil memegangi bahunya yang banyak mengeluarkan
darah. Lelaki bermata sipit bersama Bodong tidak tinggal
diam. Mereka menyerang Bong Mini dengan gencar.
Namun Bong Mini tak kalah gesit. Tubuhnya melompat
kian kemari dan sesekali bersalto dengan lincah. Se-
hingga lawannya bingung melihat tubuh Bong Mini
berputar-putar bagai baling-baling kapal.
Bong Mini mempergunakan kesempatan itu dengan
melancarkan serangan kilat.
Bug! Bug! Srettt! Dua pukulan beruntun mengenai rahang lelaki
bermata sipit dan punggung Kedot. Sedangkan pedang
yang digenggamnya menyabet Bodong. Tepat pada pu-
sarnya yang menyembul sehingga dalam sekejap tu-
buhnya terjatuh tanpa berkutik lagi.
"Maaf, lain kali kita lanjutkan lagi!" seru Bong Mini.
Lalu tubuhnya melesat duduk di atas punggung kuda
lantas memacunya dengan cepat.
Japra, Kedot, dan lelaki bermata sipit itu meman-
dang kepergian Bong Mini sambil meringis menahan
sakit. Pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Bong
Mini tadi telah membuat keduanya muntah darah.
*** 5 Malam itu, Bongkap dan para pengawalnya tampak
begitu gelisah. Bong Mini, putri kesayangan satu-
satunya belum juga pulang. Padahal sebelum putrinya
keluar, ia sudah memperingatkan untuk tidak berja-
lan-jalan jauh. Tapi nyatanya sampai malam begini, ia belum pulang juga.
Dua orang pengawal yang disuruh mencari Bong
Mini sejak sore tadi sudah kembali. Tapi mereka tidak berhasil mendapatkan Bong
Mini. Padahal, nanti malam Bongkap bersama para pengawalnya akan mela-
kukan aksi perampokan lagi yang kali ini akan dilaku-
kan di daratan. Karena menurut informasi, nanti ma-
lam akan lewat kereta barang yang dibawa dari kapal
di Selat Malaka menuju Padangmoro, sebuah kota kecil di mana saudagar pemilik
kereta barang itu berada.
Kalau sampai tengah malam nanti Bong Mini belum
juga pulang, tentu rencana itu dibatalkan. Jika renca-na itu diteruskan, ia
khawatir Bong Mini akan mencu-
rigainya, lalu pada akhirnya memergoki sepak-
terjangnya selama ini.
Bongkap mendesah kesal. Kalau saja bukan Bong
Mini yang membuatnya gelisah, tentu ia akan marah.
Tapi karena yang membuat ulah itu putrinya, maka
kemarahannya ia simpan sebisanya. Bagaimanapun
juga ia tidak ingin memarahi putri yang dikasihinya
itu. Pada saat seisi rumah itu gelisah, tiba-tiba terdengar suara dari luar.
"Pa...!"
Bongkap yang sejak tadi gelisah di kursinya menda-
dak berubah gembira. Ia berdiri menyambut kedatan-
gan putrinya. "Kau, Sayang. Dari mana saja, hm...?" tanya Bong-
kap seraya merangkul putrinya dan membelai-belai
rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Maafkan saya, Papa. Saya telah membuat Papa dan
seisi rumah ini gelisah," ucap Bong Mini sambil menatap Bongkap dengan wajah
berseri. "Ya. Ya. Papa maafkan. Tapi tolong jelaskan dulu
dari mana kamu?" sahut Bongkap sambil bertanya.
"Saya telah melanggar janji, Papa."
"Hm...?" Bongkap tidak mengerti.
"Saya telah pergi jauh, Papa," jawab Bong Mini,
mengakui terus terang akan pelanggaran janjinya.
"Pergi jauh ke mana, hm...?" tanya papanya ingin
tahu. Bong Mini melepaskan pelukannya, melangkah me-
nuju kursi. Sedangkan pedangnya diletakkan di atas
meja. Kemudian ia menceritakan peristiwa-peristiwa
yang dilihat dan dialaminya. Bong Mini juga menceri-
takan mengenai perjumpaannya dengan seorang pe-
rempuan tua dan seorang anak perempuan yang te-
ngah kelaparan.
"Rupanya masih ada penduduk sekitar sini yang
menderita kelaparan," tutur Bong Mini seraya meman-
dang papanya sungguh-sungguh.
"Itu salah satu cermin kehidupan manusia. Ada
yang kaya, ada yang miskin," sahut Bongkap. "Terus-
kan!" Bong Mini menghela napas.
"Dari perempuan tua itu saya banyak mendengar
cerita yang sangat menarik. Dia mengatakan bahwa
penduduk sekitar Desa Grojogan tengah diguncang
prahara. Ada seorang perampok yang menyamar seba-
gai dermawan!"
Bongkap kaget mendengar keterangan putrinya itu.
Begitu pula dengan para pengawalnya. Mereka khawa-
tir kalau perkataan Bong Mini tadi merupakan tudu-
han buat dirinya. Bukankah hasil rampokannya ia ba-
gikan kepada para penduduk" Kalau memang benar
yang dimaksud, berarti ada orang yang mengetahui
perbuatannya, tapi siapa"
Bongkap mencoba bersikap tenang. Ia tidak ingin
putri yang disayanginya itu menaruh curiga padanya.
"Siapakah gerombolan perampok itu?" pancing
Bongkap ingin tahu.
Bong Mini kemudian menceritakan sepak-terjang
para perampok itu. Sesuai dengan keterangan dari pe-
rempuan tua yang ia kunjungi. Ia juga menceritakan
tentang kerakusan para perampok tersebut dalam
menghadapi perempuan.
"Bila melihat perempuan, mereka langsung memak-
sanya. Diri para perampok itu telah dikuasai oleh iblis-iblis liar," cetus Bong
Mini dengan nada suara yang
agak marah. Bongkap menghela napas lega. Perampok yang di-
katakan Bong Mini ternyata bukan dia.
"Setelah saya keluar dari rumah nenek itu, saya ba-
ru sadar kalau perjalanan sudah demikian jauh. Ke-
mudian saya berniat untuk kembali pulang. Sebelum
itu saya mampir ke sebuah warung di Kampung Du-
kuh untuk makan. Tapi ketika saya sedang asyik me-
nikmati makanan, tiba-tiba datang empat lelaki berwajah garang. Ternyata mereka
perampok yang berpura-
pura dermawan itu," ungkap Bong Mini.
"Jadi kamu langsung bertemu dengan para peram-
pok itu?" tanya Bongkap. Ia mengira pasti terjadi perkelahian antara putrinya
dengan keempat perampok
itu. "Ya, Papa. Malah saya sempat bertempur dengan
keempat perampok itu ketika mereka hendak menodai
seorang anak gadis pemilik warung itu," sahut Bong
Mini. "Papa sudah menduga. Tapi bagaimana kelanjutan-
nya?" "Satu dari keempat orang itu tewas. Sedangkan ke-
tiga lelaki lain saya buat cidera untuk bukti kekalahan di hadapan pemimpin
mereka nanti," jawab Bong Mini.
Kemudian bibirnya tersenyum bangga.
Bongkap mengusap-usap kepala putrinya dengan
bangga pula. Ia senang kalau putrinya telah mampu
menghadapi empat orang lawan, sekaligus menga-
lahkannya. "Papa kagum atas kemampuanmu. Tapi ingat, ke-
berhasilanmu itu jangan dijadikan sebagai satu ke-
sombongan. Sebab walaupun ada manusia yang hebat,
tak pernah tertandingi oleh siapa pun juga, tapi masih ada yang bisa
mengalahkannya dengan seketika," ucap
Bongkap mengingatkan putrinya.
Bong Mini tercekat kaget. Ia heran, orang yang tak
pernah terkalahkan seperti kata papanya tadi, kok masih bisa dikalahkan"
"Siapa yang dapat mengalahkan orang jago itu, Pa-
pa?" tanya Bong Mini ingin tahu.
"Yang Maha Kuasa," jawab Bongkap tenang. Namun
cukup membuat putrinya, para pengawal serta da-
yang-dayangnya tercengang. Mereka tercengang karena
baru kali ini mendengar Bongkap menyebut nama
Yang Kuasa. "Kau harus ingat kata-kata papa yang satu ini!"
"Apa, Papa?"
"Jangan sombong!" kata papanya memperingatkan.
Sebab walaupun ia sekarang menjadi seorang pemim-
pin perampok, ia tidak ingin sifat-sifat jeleknya itu menurun pada anaknya. Dia
berharap, biarlah sifat-sifat Bong Mini menyerupai ibunya, Sinyin. Sedangkan
keberanian di medan perang, Bong Mini harus mengikuti
jejaknya. Karena memang itu persyaratan orang yang
terjun ke medan perang. Berani dan harus sadis. Ka-
lau mau jadi singa, jadilah singa jantan, jangan betina.
Itu prinsip Bongkap kala ia berada di medan laga.
"Kesombongan tidak akan abadi. Kita akan hancur
ditelan kesombongan itu sendiri!" lanjut Bongkap me-
nasihati putrinya.
Bong Mini menatap papanya dengan penuh keka-
guman. Bibirnya tersenyum dan papanya dipeluk erat.
"Sekarang pergilah makan dan istirahat. Tentu kau
lapar dan lelah," bisik Bongkap ketika membalas deka-
pan putrinya. "Ya, Papa!" Bong Mini melepaskan rangkulannya.
Lalu dengan lincah ia masuk ke dalam.
"Bibi, temanilah putriku!" perintah Bongkap kepada
tiga orang dayangnya.
Ketiga dayang itu membungkuk memberi hormat.
Lalu mereka menggeser badan ke belakang. Setelah
mundur dua langkah dari Bongkap, mereka berdiri
dan langsung melangkah ke dalam. Itu adalah salah
satu adat kerajaan, di mana bawahan harus tetap tun-
duk dan hormat. Berdiri tidak sama tinggi. Duduk pun tidak sama rendah. Itulah
pepatah yang lebih tepat untuk perbedaan raja dan bawahan.
Sepeninggalan putrinya, Bongkap jadi berpikir. Ka-
lau tadi ia cemas karena putrinya belum pulang, kini ia cemas dengan cerita Bong
Mini yang telah berhasil merobohkan empat orang lawannya. Sebab tidak mus-tahil
tiga di antara empat orang yang dibiarkan hidup itu akan melapor kepada pemimpin
mereka. Dan bila
dugaan ini benar, maka putrinya akan terancam ba-
haya yang lebih besar. Mereka akan berusaha mencari
putrinya. Berusaha menangkap dan menyerangnya.
Sehingga mau tidak mau akan melibatkan dirinya dan
para pengawal kerajaan. Bila benar, kelanjutan peristiwa putrinya akan menjadi
masalah yang besar.
Sebenarnya bukan masalah penyerangan yang ia
khawatirkan. Baginya, masalah pertempuran atau pe-
kik kematian di tengah bau amis darah merupakan hal
yang sudah biasa. Itu sudah menjadi bagian hidup
Bongkap bersama para pengikutnya. Tapi yang ia
khawatirkan kalau pertempuran itu akan melibatkan
para penduduk yang tidak berdosa. Padahal penduduk
negeri Selat Malaka yang berada di bawah pimpinan-
nya itu tengah mengalami bencana kemiskinan dan ke-
laparan. Tapi kalau memang harus terjadi, apa boleh buat.
Sebagai raja baru di negeri Selat Malaka ini aku harus bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan dan kea-manan rakyat. Baik dalam masalah kebutuhan hidup
mereka sehari-hari maupun terhadap rongrongan pi-
hak luar! Pikir Bongkap akhirnya, mengambil keputu-
san. Lalu ia pun menjatuhkan diri di kursi kerajaan
untuk melepaskan ketegangan pikirannya. Tanpa tera-
sa ia tertidur di singgasananya.
*** "Bibi. Tinggalkanlah saya sendirian di sini," ucap
Bong Mini kepada ketiga dayangnya ketika sampai di
kamar. "Tapi papa Nona menyuruh kami untuk menemani
di sini!" ucap seorang dayang yang sangat patuh ter-
hadap perintah rajanya.
"Tidak apa-apa, Bibi. Papa tidak akan marah. Kalau
papa bertanya, bilang saja bahwa itu kemauanku!" ki-
lah Bong Mini. Ketiga dayang itu saling berpandangan. Mereka me-
rasa serba salah. Kalau kemauan putri Bong Mini di-
ikuti, berarti mereka telah menentang perintah ra-
janya. Tapi kalau tetap berpegang pada perintah raja, Bong Mini sendiri meminta
mereka untuk meninggal-kannya sendirian di kamar. Namun akhirnya ketiga
dayang itu mengikuti kehendak Bong Mini. Pikir mere-
ka, Bong Mini merupakan putri kesayangan raja satu-
satunya. Tentu raja akan mengabulkan kehendak
Bong Mini. Dan tentunya mereka tidak akan dimarahi.
Setelah membungkuk hormat kepada Bong Mini,
ketiga dayang itu segera melangkah keluar. Meninggalkan putri rajanya sendirian
di dalam kamar.
Bong Mini menghela napas lega. Lalu segera mere-
bahkan badannya di atas kasur dengan mata meman-
dang langit-langit kamar. Sedangkan pikirannya terus tertuju pada peristiwa-
peristiwa yang dilihat dan dialaminya ketika ia keluar rumah seharian suntuk.
Kasihan para penduduk di sini, harus mendapat te-
kanan-tekanan dari pihak luar. Padahal mereka orang-
orang polos dan jujur. Yang selalu bersikap ramah-
tamah terhadap siapa pun tanpa rasa curiga berlebi-


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

han. Malah kehadiranku di negeri ini pun mereka
sambut dengan baik dan penuh penghormatan. Begitu
pikiran yang ada di benak Bong Mini setelah mengada-
kan perjalanan keliling kampung. Karena perjala-
nannya itu bukan sekadar melihat-lihat keadaan kam-
pung, tetapi juga mencoba memahami segala adat dan
kebiasaan para penduduknya. Sebab bagaimanapun
juga adat dan kebiasaan negeri Selat Malaka akan berbeda dengan adat
kebiasaannya sebagai orang yang
berasal dari negeri Tiongkok. Oleh karena itu ia ingin mencoba mempelajari dan
mengikuti adat di negeri
yang belum lama diinjaknya ini.
Setelah pikirannya terpusat pada nasib dan keada-
an penduduk, kini pikiran Bong Mini beralih pada em-
pat orang lelaki yang telah dikalahkannya. Dia berpikir bahwa kematian salah
seorang dari mereka di tangannya itu pasti akan menimbulkan dendam yang
berkepanjangan. Mereka tentunya akan kembali men-
carinya dengan jumlah yang lebih banyak.
"Apa pun yang terjadi nantinya, harus kuhadapi.
Setiap perbuatan akan membawa akibat dan akibat itu
sudah aku perhitungkan!" desah Bong Mini. Lalu ia
pun memejamkan kedua matanya yang sudah perih.
*** "Bagaimana dengan rencana kita, Tuanku?" tanya
Ashiong, salah seorang pengawal setia Bongkap yang
sejak tadi berada di dalam, menunggu rajanya yang
tertidur di kursi kebesaran.
Bongkap yang baru saja terbangun dari tidurnya
tersentak kaget. Teguran Ashiong telah mengingatkan-
nya pada rencana semula. Lalu dengan sikap hati-hati, karena takut ketahuan
putrinya, Bongkap mendekati
Ashiong dan berkata setengah berbisik.
"Siapkan saja kuda-kuda kita di luar dan jaga. Aku
akan ke kamar putriku dulu!"
"Baik, Tuan!" ucap Ashiong. Lalu dia dan pengawal
lainnya keluar untuk mempersiapkan kuda.
Bongkap belum beranjak dari kursinya. Hatinya
mulai bimbang pada rencana perampokan yang akan
dilakukannya. Apakah ia akan melaksanakan rencana
itu atau dibatalkan. Bila dilaksanakan, ia khawatir diketahui putrinya. Sehingga
nanti putrinya akan perlahan-lahan membencinya. Tapi kalau dibatalkan, ia me-
rasa sayang. Sebab kereta kuda yang akan mereka
rampok nanti malam memuat emas dan berlian yang
tentu harganya sangat mahal.
"Hhh...!" Bongkap mendesah sambil menjatuhkan
kepalanya pada sandaran kursi belakang.
Sementara itu waktu terus berputar tanpa terasa.
Malam pun terus merangkak menghampiri sunyi. Se-
hingga suasana malam benar-benar senyap. Hanya
suara jangkrik yang terdengar mengerik di balik pepohonan dan rumputan.
Bongkap bangkit dari duduknya, lalu melangkah
mendekati kamar putrinya. Di sana ia melihat putrinya sudah tergolek pulas.
Mungkin karena rasa letih setelah sehari penuh berkeliling kampung dan bertempur
hingga ia tertidur begitu lelap.
Bongkap menarik napas lega melihat putrinya su-
dah tertidur. Dengan langkah pelan ia meninggalkan
kamar putrinya, langsung menuju halaman rumah di
mana para pengawalnya menunggu.
"Kita segera berangkat!" ajak Bongkap kepada para
pengawalnya yang sudah siap di punggung kuda mas-
ing-masing. "Hiaaat!" teriak Bongkap sambil menarik tali ku-
danya. Kuda yang ditungganginya melesat cepat, me-
nembus kegelapan. Diikuti oleh para pengawalnya.
*** "Mama! Mama!" teriak Bong Mini dalam tidurnya.
Tangannya menggapai-gapai seakan memanggil. "Ma-
ma jangan pergi, Ma!" teriak Bong Mini dalam igaunya.
Disusul dengan suara tangis tersedu-sedu.
Setelah beberapa saat menangis, Bong Mini tersadar
dari tidurnya. Ia membuka kedua matanya yang basah
oleh air mata. Lalu pandangannya menyebar ke selu-
ruh ruangan kamar.
Bong Mini menghela napas panjang.
"Hm..., ternyata aku bermimpi," desah Bong Mini
dengan lesu. Lalu kembali dibaringkan tubuhnya un-
tuk tidur. Namun sebelum ia memejamkan kedua ma-
tanya, tiba-tiba ia teringat pada ucapan mamanya da-
lam mimpi tadi.
"Pergilah ke utara malam ini juga!" itulah kalimat
yang diucapkan mamanya dalam mimpi tadi.
Pergi ke utara" Malam ini juga" Pikir Bong Mini. La-
lu ia duduk kembali di atas ranjang. Ada apa, ya" Dan kenapa mama menyuruhku
berangkat malam ini juga"
Kenapa tidak besok pagi saja" Pikir Bong Mini.
Sebenarnya Bong Mini malas pergi malam itu. Se-
lain badannya masih terasa letih, ia juga masih merasa
ngantuk. Tapi untuk membuktikan ucapan mamanya
dalam mimpi itu, Bong Mini akhirnya beranjak juga
dari tempat tidur. Mengganti pakaian dengan pakaian
silat dan menyelipkan pedangnya di punggung.
Bong Mini melangkah menghampiri jendela kamar.
Dibukanya jendela kamar itu perlahan. Dengan mem-
pergunakan ilmu peringan tubuh, ia meloncat keluar.
Setelah itu ia berjalan mengendap-endap, khawatir diketahui oleh para pengawal
papanya. Bong Mini menyelinap lewat belakang menuju kan-
dang kuda. Di sana matanya melihat penunggu kan-
dang kuda sedang berjaga-jaga sambil sesekali meng-
uap menahan kantuk. Ketika melihat kedatangan Bong
Mini ke tempat itu, ia menjadi terkejut.
"Ada apa Nona Mini malam-malam begini datang ke
sini?" tanya penjaga kuda itu keheranan.
"Ssst!" Bong Mini memberi isyarat dengan menem-
pelkan jari telunjuknya ke bibir. "Saya mau keluar.
Tapi jangan bilang papa, ya?" bisik Bong Mini. Lalu ia memberikan tiga keping
uang dari balik bajunya kepada penjaga itu. Ia mengira Bongkap dan para penga-
walnya tidak keluar rumah.
Mendapat tiga keping uang dari Bong Mini, penjaga
kuda tadi tersenyum-senyum senang. Lalu tanpa me-
nunggu perintah Bong Mini, ia masuk ke kandang ku-
da dan mengambil kuda Bong Mini yang berwarna pu-
tih. "Ini, Non kudanya!"
Bong Mini tersenyum seraya mengambil tali kuda
dari tangan penjaga itu. Kemudian ia melompat dan
duduk di atas punggung kuda.
"Ingat pesan saya tadi, ya?" Bong Mini memper-
ingatkan penjaga kuda itu sebelum memacu kudanya.
"Pokoknya beres, Non!" sahut penjaga kuda itu
nyengir-nyengir karena masih gembira mendapatkan
uang dari Bong Mini.
Bong Mini tersenyum. Lalu ia menarik tali kudanya
pelan-pelan agar langkah-langkahnya tidak menimbul-
kan suara. Ketika sampai di luar halaman, barulah ia memacu kudanya lebih cepat
lagi. Setelah agak lama ia memacu kuda, Bong Mini tiba-
tiba menarik tali kudanya agar berjalan perlahan. Di sana ia melihat
persimpangan jalan. Yang satu menuju Dusun Buncit dan satu lagi ke Bukit Garang.
Bong Mini berpikir, jalan mana yang harus ia lalui.
"Hm..., aku ambil jalan sini saja," gumam Bong Mini
mengambil jalan ke arah utara yaitu menuju Bukit Ga-
rang. Setelah beberapa kilo jalan dilalui Bong Mini, tiba-
tiba ia melihat serombongan orang berkuda sedang
berjalan di balik bukit. Mereka begitu banyak, sekitar lima belas orang.
"Hm..., siapa mereka. Dan apa yang akan mereka
kerjakan malam-malam begini?" gumam Bong Mini.
Terus diikutinya rombongan orang berkuda itu. Dan
betapa terkejutnya ia ketika melihat papanya ada di
antara rombongan orang berkuda itu. Papanya me-
nunggang kuda dengan gagah. Sedangkan rombongan
itu pun sangat dikenalnya. Itulah para pengawal pa-
panya. Walau di malam hari, wajah orang-orang ber-
kuda itu terlihat jelas oleh Bong Mini karena sorotan sinar bulan yang tidak
begitu terang. "Orang yang duduk dengan gagah itu pasti papa!"
desah Bong Mini, meyakinkan penglihatannya. Lalu,
ada apa malam-malam begini papa keluar rumah de-
ngan membawa pasukan yang banyak dan bersenjata"
Bong Mini bertanya-tanya dalam hati sambil terus
mengikuti papanya dan para pengawalnya.
Bong Mini memperlambat jalan kudanya. Mencoba
mengatur jarak agar tidak terlalu dekat, sehingga tidak terlihat oleh rombongan
papanya. Ia tampak begitu heran. Para pengawalnya yang biasanya terlihat sopan
dan ramah kini berubah beringas. Sikap mereka tam-
pak begitu garang, seperti hendak bertempur.
"Mereka berhenti," gumam Bong Mini yang juga
menghentikan langkah kudanya.
"Segera buat penghalang!" perintah Bongkap de-
ngan suara keras berwibawa memecah kesunyian ma-
lam. Heh" Aku baru mendengar suara papa yang demi-
kian garang, pikir Bong Mini tersentak kaget. Tapi tubuhnya tetap diam sambil
terus memperhatikan ting-
kah-laku para pengawal papanya yang tengah men-
gangkat sebatang pohon tumbang dan meletakkannya
di tengah jalan.
Para pengawal papa membuat penghadang jalan
agar kuda atau kereta tidak bisa melalui jalan itu. Ini jelas bahwa papa dan
pasukannya hendak mengadakan penyerangan. Tapi siapa musuh papa" Selama ini
aku tidak mendengarnya. Kecuali ketika masih tinggal di Tiongkok. Itu pun telah
berbaik kembali. Karena pa-ra musuh papa dahulu adalah orang-orang kecil yang
sekarang menjadi pengikut papa. Tapi di sini, siapa
yang menjadi musuh papa" Bong Mini bertanya jawab
dalam batinnya. Dan jawaban itu pun belum ia dapat
secara pasti. Setelah merasa yakin bahwa papanya dan para
pengawal tidak akan ke mana-mana lagi, Bong Mini
segera mengikat kudanya pada sebuah pohon yang ter-
lindung dari penglihatan rombongan papanya. Se-
dangkan ia sendiri memanjat sebuah pohon rimbun
dan duduk pada salah sebuah batang yang cukup be-
sar dan cukup nyaman untuk diduduki. Di situ, ia
dengan leluasa dapat melihat tingkah-laku papanya
bersama para pengawal.
Malam semakin larut. Sinar rembulan yang tadi
samar-samar memancar ke segenap penjuru bumi,
perlahan-lahan sirna ditelan oleh awan yang berge-
rombol, sehingga suasana menjadi pekat.
Setelah melaksanakan tugasnya dengan baik, para
pengawal bersama Bongkap segera bersembunyi di ba-
lik semak-semak.
Bong Mini semakin keheranan melihat tingkah papa
bersama para pengawalnya. Ada apa sebenarnya"
Apakah papa dan para pengawalnya benar-benar akan
melakukan penyerangan" Kalau memang benar pasti
mengasyikkan! Sebab ia akan menyaksikan pertempu-
ran yang amat seru. Sekaligus melihat jurus-jurus il-mu silat papa yang memikat
itu. Dan ia merasa yakin
pasti kemenangan berada pada pihak papanya. Tapi
yang membuat Bong Mini heran adalah musuhnya.
Sebab selama ini papanya tidak pernah bercerita me-
ngenai musuh-musuhnya. Lagi pula mereka belum la-
ma tinggal di negeri itu.
Malam terus merangkak. Kegelapan malam yang ta-
di terlihat begitu pekat, perlahan-lahan lenyap. Pohon-pohon yang tumbuh di
sekitar tempat itu mulai kelihatan bentuknya. Walaupun masih samar-samar.
Dari ufuk timur, cahaya merah mulai tampak. Per-
tanda bahwa waktu pagi telah menjelang. Dan itu te-
rus terjadi setiap pagi, sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Yang
Maha Kuasa. Dalam keremangan cahaya surya pagi yang me-
nembus kabut tebal, Bong Mini dengan jelas dapat me-
lihat orang-orang yang menjadi pengawal papanya itu.
Ada yang tertidur, ada pula dua orang yang tetap ber-
jaga-jaga, khawatir orang yang ditunggu mereka telah melewati jalan itu.
Bong Mini menguap panjang. Matanya tampak
kuyu. Begitu pula dengan wajahnya yang putih, kelihatan makin pucat karena
semalaman suntuk ia terus
terjaga karena ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
Dari jarak beberapa meter, Bong Mini melihat pa-
panya terbangun. Dia berdiri sambil menggeliat pan-
jang. Disusul kemudian dengan menghentak-hen-
takkan kaki yang menyentuh para pengawal yang se-
dang tidur pulas.
Para pengawal yang tertidur itu bangun satu persa-
tu ketika merasa tubuhnya ada yang menendang.
"Bersiap-siaplah kalian!" kata Bongkap, memper-
ingatkan para pengawalnya. Sedangkan ia sendiri
mengambil pedang yang tergeletak di tanah dan me-
nyelipkan di punggungnya.
Cahaya terang dari ufuk timur semakin jelas. Warna
merah jingga yang dipancarkan sinar matahari ber-
ubah menjadi warna kuning keperakan. Kemudian ca-
haya kuning keperakan itu bergeser dari balik pepohonan dan berdiri sepenggalah.
Membuat alam menjadi
terang-benderang. Mengusir kabut yang sejak sore
kemarin menyelimuti pepohonan.
Bong Mini hampir saja terjatuh kalau saja tidak ce-
pat-cepat berpegangan pada sebuah ranting pohon, ke-
tika ia hampir terlena oleh semilir angin yang mem-
buatnya tertidur beberapa saat. Ia benar-benar sudah mengantuk. Namun tetap
dipaksakan juga, karena ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh papanya
bersama para pengawal.
*** 6 Bong Mini hampir tertidur lagi, ketika sepasang ma-
tanya yang merah dan perih itu terlena oleh semilir
angin yang berhembus. Tapi ia mendadak tercekat ka-
rena telinganya mendengar derit kereta kuda disertai kepulan debu yang


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterbangkan oleh telapak kaki ku-da. Kereta kuda itu tampak dikawal delapan
orang dan melaju ke arah rintangan batang pohon yang sengaja
diletakkan di jalan itu oleh para pengawal Bongkap.
"Berhenti!" salah seorang pengawal kereta kuda
yang berada di depan memberi aba-aba.
Derit kereta kuda itu terhenti.
"Rupanya perjalanan kita ada yang menghalangi,"
kata orang itu lagi yang rupanya pemimpin mereka.
Pandangannya menyebar ke sekitar tempat tersebut,
meneliti dengan tatapan mata yang tajam.
Inikah yang sejak semalam ditunggu papa bersama
para pengawalnya" Tanya Bong Mini dalam hati. Sebe-
lum ia menerka lebih jauh lagi, tiba-tiba ia melihat papanya memberi komando
penyerangan kepada para
pengawalnya. Mendapat komando dari Bongkap, para pengawal
itu dengan sigap menarik tali kuda masing-masing dan memacu ke arah rombongan
kereta kuda itu. Diimban-gi oleh suara ringkik kuda, para pengawal itu me-
ngurung kereta barang bersama para pengawalnya. Se-
telah mereka mengurung, barulah Bongkap keluar
menunggang kudanya dengan gagah.
Pemimpin pengawal kereta barang segera mengeta-
hui situasi yang kurang baik. Namun dengan sikap
yang tetap tenang, ia memandang Bongkap. Namun
tangannya telah siap mencabut pedang.
"Mau apa kau!" bentak pemimpin pengawal kereta
barang itu. Bongkap tertawa tergelak-gelak mendapat perta-
nyaan itu. "Bila ada sekelompok orang yang tak dikenal me-
ngelilingimu, menurut perkiraanmu apa?" Bongkap ba-
lik bertanya. "Kalau memang ingin berniat jahat, aku akan segera
menentangnya!" bentak pemimpin rombongan kereta
barang dengan lantang.
Bongkap kembali tertawa terbahak-bahak.
"Apa kau sudah merasa hebat menantangku?"
"Aku cuma ingin mempertahankan hakku!" jawab
pemimpin pengawal kereta barang dengan sikap gagah.
"Hak apa" Hak dari hasil pemerasan terhadap rak-
yat?" Pemimpin pengawal kereta barang mendengus. Ma-
tanya merah menyala bagai bara api.
"Hati-hati kalau kau berbicara!" bentaknya kemu-
dian. "Hati-hati pula kalau kau berhadapan denganku!"
balas Bongkap tak kalah nyaring.
"Aku tak pernah takut pada siapa pun!" tantang pe-
mimpin pengawal kereta kuda dengan gagah.
Wajah Bongkap mendadak merah. Darahnya bergo-
lak, menyembur ke seluruh tubuhnya.
Bong Mini yang sejak tadi memperhatikan dan men-
dengar percakapan papanya jadi terkejut. Apa benar
papaku mau berniat jahat kepada para pengawal kere-
ta barang itu" Tanya Bong Mini dalam hati. Kedua ma-
tanya tak berkedip memandang ke arah arena.
Belum sempat Bong Mini berpikir lebih lanjut, tiba-
tiba ia memekik tertahan ketika melihat papanya men-
cabut pedang dan mengarahkannya pada pemimpin
pengawal kereta barang. Tetapi untunglah lelaki yang diserangnya cekatan
sehingga dengan cepat dapat
mengelak dari serangan Bongkap dan meminggirkan
kudanya. Trangngng! Serentak para pengawal dari kedua belah pihak me-
nyerbu, diiringi pekikan-pekikan keras. Delapan orang pengawal kereta barang
mati-matian melawan lima belas pengawal Bongkap. Denting yang tercipta akibat
benturan antar senjata terdengar sangat nyaring. Di-
timpali oleh jeritan orang-orang yang terluka karena sabetan pedang yang
dilancarkan anak buah Bongkap
mengenai sasaran.
"Aaakh...!"
Jeritan kematian itu terdengar begitu menyayat.
Para pengawal Bongkap memang merupakan orang-
orang pilihan. Jurus-jurus kungfu sampai permainan
pedang telah mereka kuasai dengan baik. Sedangkan
permainan pedang pihak lawan sudah terbaca oleh
Bongkap dan anak buahnya. Sehingga mereka dengan
mudah dapat dijatuhkan.
Trangngng! Trangngng! Brettt!
Suara-suara itu bersatu kacau. Para pengawal ke-
reta kuda tampak tidak berdaya. Mereka satu persatu
jatuh dari kudanya dengan tubuh berlumur darah.
Bongkap sengaja tidak mengulur-ulur waktu dalam
pertempuran kali ini. Ia ingin secepatnya membabat
habis para pengawal kereta kuda itu. Hal ini disebabkan rasa kekhawatirannya
terhadap Bong Mini yang
mungkin akan mengetahui perbuatannya. Karena pe-
rampokan yang dilakukan kali ini terlalu banyak me-
makan waktu untuk menunggu. Sehingga baru bisa
diselesaikan ketika sinar matahari telah menjangkau
permukaan bumi.
Dengan terbunuhnya para pengawal kereta barang
itu, dua orang pengawal Bongkap segera melompat ke
dalam kereta kuda, lalu melemparkan barang-barang
yang ada dalam kereta itu pada teman-temannya yang
menunggu di luar. Barang-barang itu kini berpindah
ke tangan Bongkap dan anak buahnya.
"Ayo, cepat selesaikan! Hari sudah siang!" teriak
Bongkap dengan mata tetap mengawasi kerja anak
buahnya. Di tempat persembunyian, Bong Mini jadi terce-
ngang. Dia merasa yakin sekarang, bahwa papanya
dan para pengawal telah melakukan perampokan.
Jadi untuk pekerjaan inikah selama dua malam pa-
pa dan para pengawalnya keluar" Untuk mengadakan
perampokan" Pikir Bong Mini.
Bong Mini menghela napas panjang. Pantas kalau
selama ini papanya selalu memberikan intan berlian
serta barang-barang berharga lain. Dan semua barang
yang diberikan papanya kepadanya merupakan hasil
dari rampasan. Sebenarnya, sejak pertama ia mendapatkan barang-
barang berharga itu, ia ingin menanyakan kepada pa-
panya. Tapi niatnya itu ia urungkan. Ia yakin bahwa
barang-barang yang diberikan kepadanya itu merupa-
kan hasil dari jerih payah papanya. Ia juga tidak ingin kalau pertanyaannya itu
akan membuat papanya ke-cewa. Karena secara tidak langsung pertanyaan itu
pasti akan menyinggung perasaan papanya.
Sekarang, Bong Mini telah mengetahui dan melihat
dengan mata kepala sendiri kalau papanya seorang pe-
rampok. Merampas harta yang bukan miliknya dengan
cara melakukan pembunuhan yang sangat keji.
Sembari menahan marah dan tangis, Bong Mini se-
gera turun dari atas pohon, tempat persembunyian.
Setelah itu ia melarikan kuda sekencang-kencangnya.
Hatinya menjerit sakit melihat perbuatan papanya
yang tidak ia duga sama sekali.
*** Sampai di rumah, Bong Mini segera menyerahkan
kuda putihnya pada penjaganya. Sedangkan wajahnya
tampak sudah dibanjiri oleh air mata.
Setelah menyerahkan kuda putihnya, Bong Mini se-
gera menghambur menuju kamarnya. Menjatuhkan di-
ri di ranjang sambil menangis sekeras-kerasnya de-
ngan merapatkan wajah ke bantal.
Beberapa saat lamanya, Bong Mini dicekam oleh
suasana duka dan sedih. Hatinya masih tersayat-sayat pilu mengingat sepak-
terjang papanya. Punggungnya
naik turun menahan isak tangis.
Tiba-tiba Bong Mini membalikkan tubuhnya dengan
pandangan menatap langit-langit kamar. Kata-kata
mamanya teringat kembali di benaknya.
Inikah makna mimpi semalam" Inikah maksud
mama kenapa aku disuruh pergi ke utara malam itu
juga" Tanya batinnya sedih. Sementara air matanya
masih terus menetes membanjiri kedua pipinya.
Dengan hati luluh dan perasaan hancur, Bong Mini
turun dari ranjang. Diselipkan kembali pedangnya di
punggung. Kemudian dengan berlinang air mata, Bong
Mini melangkah keluar, menuju kandang kudanya.
"Mau ke mana, Non?" tanya penjaga kuda itu heran
melihat wajah Bong Mini dialiri air mata.
Bong Mini tidak segera menjawab. Ia langsung ma-
suk ke kandang kuda dan menarik kuda putihnya ke-
luar dan segera naik ke punggung kuda.
Bong Mini menoleh pada penjaga kuda itu sebelum
memacu kudanya.
"Kalau papa menanyakan tentang aku, katakan ka-
lau aku pergi dan tak usah dicari," kata Bong Mini
berpesan. "Non Mini mau pergi ke mana?" tanya penjaga kuda
itu khawatir. "Saya mau mengembara!" setelah menjawab begitu,
Bong Mini langsung memacu kudanya cepat sekali.
*** Setengah jam setelah kepergian Bong Mini, Bongkap
dan para pengawalnya datang dengan membawa hasil
rampokannya. "Segera masukkan barang-barang itu lewat bela-
kang!" perintah Bongkap sambil melemparkan kunci
gudangnya kepada Ashiong. Kemudian ia melangkah
tenang ke dalam, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Sampai di dalam, Bongkap duduk di kursi dengan
santai. Sikapnya begitu tenang. Tidak menunjukkan
bahwa ia baru saja melakukan perampokan.
Hanya beberapa saat ia duduk, lalu melangkah lagi
ke ruang dalam. Kali ini ia hendak menengok putrinya.
Tapi betapa kagetnya ia ketika pintu itu dibuka. Sebab ia tak melihat putrinya
di sana. "Hm...!" keluh Bongkap. "Ke mana lagi perginya pu-
triku ini?"
Bongkap menutup kembali pintu kamar putrinya.
Dan terus melangkah ke ruang belakang menemui tiga
dayangnya. "Bibi!" panggil Bongkap dengan suara yang dalam.
Ketiga dayang yang tengah mengerjakan sulaman
serentak menghentikan gerakan tangannya. Lalu me-
reka merubah sikap duduknya dan menghormat.
"Kalian melihat putriku?" tanya Bongkap dengan
mata menatap tajam.
"Nona Mini sejak pagi tadi tidak keluar, Tuan," sa-
hut seorang dayangnya.
"Apa Bibi tidak salah bicara?" tanya Bongkap. Tatap
matanya lebih tajam.
"Tidak, Tuan. Sejak tadi pagi saya tidak melihat-
nya!" sahut dayang yang tadi.
Bongkap menghela napas kesal.
"Coba kalian lihat di kamarnya!" perintah Bongkap.
Ketiga dayang itu melangkah menuju kamar Bong
Mini. Diikuti oleh Bongkap. Mereka langsung ter-
nganga karena tidak melihat Bong Mini di kamarnya.
"Inilah salah satu kelalaian kalian. Kalian tidak becus menjaga putriku!" bentak
Bongkap. Kemarahannya
mulai meledak. Ketiga dayang diam tertunduk. Mereka mengakui
kesalahannya. "Sekarang, panggil penjaga kuda ke sini!" perintah
Bongkap. Lalu ia melangkah ke ruang tamu dan duduk
di kursinya. Dengan wajah dan sikap penuh ketakutan, ketiga
dayang itu segera ke belakang. Tidak lama kemudian
mereka kembali bersama seorang penjaga kuda.
"Tuan memanggil saya?" ucap penjaga kuda itu
sambil memberi hormat
"Hm...," sahut Bongkap pendek. Wajahnya menun-
jukkan kemarahan yang tersimpan.
"Kamu lihat putriku?"
"Maaf, Tuan. Tadi Non Mini keluar bersama ku-
danya," jawab penjaga kuda itu.
"Keluar" Keluar kemana?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Karena ketika saya tanya-
kan dia bilang ingin mengembara dan berpesan agar
Tuan tidak mencarinya," jawab penjaga kuda itu men-
jelaskan. Bongkap meloncat kaget dari duduknya. Ia tidak
mengerti mengapa putrinya berubah sikap seperti itu.
Kemudian dengan wajah cemas, ia keluar dan meng-
ambil kudanya. "Ashiong, Achen, ikut aku!" seru Bongkap kepada
dua orang pengawal kepercayaannya. Lalu ia segera
memacu kudanya dengan cepat. Diikuti oleh Ashiong
dan Achen. *** Bong Mini memperlambat jalan kudanya ketika
sampai di Bukit Garang, di mana papanya bersama pa-
ra pengawal melakukan perampokan. Kemudian ia me-
lompat dari punggung kuda dan mendekati mayat-
mayat yang tergeletak bersimbah darah itu.
"Maafkan atas kekasaran papaku!" desah Bong Mini
pada pengawal kereta barang yang dibunuh oleh
Bongkap dan para pengawalnya. Sementara kedua ma-
tanya yang sebelumnya sudah kering, kini kembali di-
genangi oleh telaga bening. Kemudian perlahan-lahan
telaga bening itu merembes lewat celah-celah bulu matanya. Lalu bergulir,
meliuk-liuk di pipinya bagai anak sungai yang mencari lautan bebas.
Setelah beberapa saat ia terpaku di hadapan mayat-
mayat yang bergelimpangan itu, Bong Mini pun mena-
rik tali kudanya dengan langkah gontai. Sedangkan air matanya dibiarkan tetap
mengalir sampai menyentuh


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bibirnya. Perlahan-lahan Bong Mini menarik kudanya. Tak
dipedulikannya sinar matahari menyengat kulitnya. Ia terus menjalankan kudanya
tanpa tujuan yang pasti.
Ketika ia sudah berjalan jauh dari tempat mayat-
mayat yang bergelimpangan tadi, Bong Mini mengikat
tali kudanya pada sebatang pohon. Sedangkan ia sen-
diri duduk bersandar melepaskan rasa lelah.
Sambil melepaskan rasa lelah, Bong Mini terme-
nung memikirkan sepak-terjang papanya yang demi-
kian berubah. Apakah semua itu karena kematian
mama" Pikir Bong Mini.
"Oh, Mama. Seandainya Mama masih menyertai
kami, tak mungkin keadaan seperti ini terjadi!" keluh Bong Mini. Kembali ia
teringat pada mamanya yang
sudah tiada. Air matanya kembali mengalir membasahi
pipinya yang kemerah-merahan karena tersengat sinar
matahari. Mama. Apakah Mama juga melihat keadaan Papa
dan saya seperti ini" Keluh batin Bong Mini. Lalu ia menjatuhkan kepalanya pada
kedua lututnya. Punggungnya berguncang-guncang, menangis tersedu-sedu.
Pada saat ia menangis terisak-isak, tiba-tiba ia me-
rasa ada sentuhan tangan lembut yang mengusap ke-
palanya. Bong Mini terdongak kaget dengan wajah ber-
linangan air mata. Ternyata orang yang mengusap-
usap kepalanya itu papanya sendiri.
"Ada apa, Sayang" Kenapa kamu pergi meninggal-
kan papa?" tanya Bongkap lembut.
Bong Mini diam saja sambil memalingkan wajah.
Dagunya bersandar pada kedua lututnya sambil me-
mandangi rumput dengan tatapan mata yang kosong.
Entah kenapa, sejak ia melihat peristiwa perampo-
kan yang dilakukan papanya itu, Bong Mini begitu
membencinya. Cinta kasih yang diberikan papanya te-
rasa begitu menyesakkan perasaan. Sentuhan tangan
papanya yang lembut terasa bagai sengatan matahari
yang memanasi seluruh tubuh. Kata-kata syahdu yang
terungkap lewat mulut papanya kini berubah laksana
lebah yang menyengat telinganya.
"Anakku sayang. Kenapa kamu diam saja, hm..."
Jika memang papa mempunyai kesalahan kepadamu,
katakan terus terang," bujuk Bongkap sambil menyen-
tuhkan tangannya ke bahu Bong Mini. Tapi cepat-
cepat Bong Mini menghentakkannya dan berdiri men-
jauhi papanya. Bongkap merasa, pasti ada persoalan besar yang
dihadapi anaknya. Lalu ia berdiri dan mendekati dua
orang pengawalnya yang sejak tadi memperhatikan
tingkah-laku bapak dan anak itu.
"Kalian pulang duluan. Aku akan membujuk putri-
ku!" kata Bongkap kepada kedua pengawalnya.
Ashiong dan Achen mengangguk hormat. Kemudian
mereka segera berlalu meninggalkan Bongkap dan pu-
trinya. Setelah kepergian kedua pengawalnya, Bongkap
kembali menghampiri putrinya.
"Sebenarnya persoalan apa yang sedang kamu ha-
dapi, Sayang?" tanya Bongkap, berdiri di belakang
Bong Mini sambil menyentuh kedua bahunya.
Bong Mini masih diam tanpa bergeming sedikit pun.
Hal ini membuat Bongkap prihatin. Putrinya yang se-
lama ini lincah, manja dan penuh senyum, berubah
seperti dihujam penderitaan yang amat dalam.
"Papa...," desah Bong Mini akhirnya. Tapi badannya
tetap tak bergerak.
"Hm..." Ada apa, Sayang?" tanya Bongkap dengan
wajah agak gembira karena putrinya yang sejak tadi
terdiam, kini sudah mulai berbicara.
"Ke mana Papa pergi semalam?" tanya Bong Mini
lagi Wajah Bongkap tersentak kaget. Namun dengan ce-
pat ia merubah sikapnya.
"Papa jalan-jalan, cari udara malam," dusta Bong-
kap. Bong Mini membalikkan badannya. Matanya yang
tajam menatap kedua mata papanya. Tepat mengenai
manik-maniknya. Membuat perasaan Bongkap berge-
tar. Baru kali ini ia melihat tatapan putrinya demikian menusuk hatinya.
"Kenapa Papa selalu berdusta setiap saya menanya-
kan kepergian Papa pada waktu malam?" suara Bong
Mini begitu tegas dan menyengat telinga Bongkap.
"Papa.... Papa tidak bohong, Sayang," jawab Bong-
kap gugup. Wajahnya tampak gusar.
Bong Mini menarik napas. Lalu maju dua langkah
ke depan dengan pandangan mata yang jauh dan ko-
song. "Saya tidak menduga sama sekali kalau selama ini
Papa memberi saya makan dengan cara yang tidak
halal!" Bongkap benar-benar kaget mendengar perkataan
putrinya itu. Wajahnya yang sejak tadi kelihatan gu-
sar, berubah menjadi pucat.
"Kamu jangan menuduh papa seperti itu, Sayang.
Papa memberi kamu makan dari hasil jerih payah dan
keringat papa sendiri," kata Bongkap tetap bersuara
lunak. "Tapi perjuangan yang selama ini Papa lakukan te-
lah menimbulkan banyak korban," sergah Bong Mini.
Lalu tubuhnya dibalikkan dan bersitatap dengan pa-
panya. "Saya sedih, Papa. Orang yang selama ini saya kagumi dan saya hormati
ternyata hanya seorang perampok! Papa..., saya anak perampok! Saya anak pe-
rampok!" Bong Mini menjatuhkan tubuhnya lesu sam-
bil menangis tersedu-sedu di hamparan rumput.
Ucapan Bong Mini terdengar bagai halilintar di
siang bolong di telinga papanya. Karena perbuatan jahat yang selama ini ditutup-
tutupi oleh Bongkap ak-
hirnya terbongkar juga.
"Bagaimana kamu tahu kalau papa telah melaku-
kan perampokan?" tanya papanya penuh selidik.
Sambil terisak menangis, Bong Mini menceritakan
mimpinya yang bertemu dengan mamanya.
"Ternyata apa yang disuruh Mama itu tidak lain un-
Memburu Bah Jenar 1 Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring Senja Jatuh Di Pajajaran 6
^