Pencarian

Sepasang Pendekar Selatan 3

Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan Bagian 3


tuk memperlihatkan perbuatan Papa di hadapanku,"
kata Bong Mini mengakhiri ceritanya.
Bongkap tertunduk lesu mendengar cerita putrinya.
Ia berkesimpulan bahwa walaupun istrinya telah mati, tapi tetap memperhatikan
sepak-terjangnya sebagai
tanda cinta dan kasih sayang. Dan untuk menegurnya,
ia menyuruh Bong Mini lewat mimpi.
"Maafkan saya, Papa. Saya tak bermaksud melukai
hati Papa. Saya ingin menuruti apa yang Mama pesan-
kan pada saya lewat mimpi," lirih Bong Mini dengan
tatapan mata sendu.
"Kamu tidak salah, Sayang," kata Bongkap dengan
suara yang bergetar menahan haru. "Tapi papa juga
harus bercerita agar kamu tahu kenapa papa sampai
menjadi perampok," Bongkap menghela napas. Ma-
tanya memandang pada kejauhan.
"Sebenarnya papa juga merasa berat untuk mela-
kukan perampokan. Tapi melihat rakyat papa yang
menderita kelaparan dan selalu terdengar berita ten-
tang pencurian harta dan makanan di kalangan pen-
duduk, akhirnya papa melakukan juga. Kemudian har-
ta hasil dari rampokan itu papa bagikan kepada mere-
ka. Sedangkan sebagiannya lagi papa simpan untuk
kebutuhanmu," Bongkap menceritakan apa yang
membuatnya terseret pada kejahatan merampok.
Bong Mini mendengarkan cerita papanya itu dengan
sungguh-sungguh.
"Papa menyimpan sebagian hasil rampokan itu ka-
rena sadar bahwa kamu yang sudah beranjak menjadi
gadis remaja tentu sangat membutuhkan harta itu,"
sambung Bongkap menjelaskan.
Bong Mini yang sejak tadi mendengarkan cerita pa-
panya menjadi terharu. Ia tidak mengira sama sekali
kalau perampokan yang selama ini dilakukan papanya
merupakan tanda bukti kecintaannya pada rakyat dan
diri Bong Mini.
"Kalau memang kamu tidak puas dengan keterus-
terangan papa, kamu boleh menghukum papa. Tapi
jangan melibatkan para pengawal papa yang ikut me-
rampok!" kata Bongkap lagi penuh ksatria.
"Papa?" desah Bong Mini seraya menatap papanya
dengan tatapan sendu.
"Kau punya hak untuk melakukan itu, Sayang."
"Tidak, Papa. Siapa pun Papa dan apa pun yang te-
lah Papa lakukan selama ini, Papa tetap orangtua
saya," kata Bong Mini lirih. Butir-butir air matanya mulai menggenang kembali di
pelupuk matanya karena menahan haru. "Saya cuma menuruti perintah
Mama dalam mimpi," lanjut Bong Mini.
Bongkap terharu mendengar ucapan putrinya. Di-
rengkuhnya tubuh putrinya itu dan dipeluknya erat.
Pada saat itu, ia kembali teringat pada istrinya, Sinyin.
"Mamamu memang orang yang sangat baik, Sa-
yang," ucap Bongkap dengan suara tersendat dan ber-
getar karena menahan haru. "Dia seorang perempuan
yang patut menjadi panutanmu. Sewaktu hidupnya,
mamamu sering memperhatikan papa dan menegur
papa jika berbuat kesalahan, tanpa ada rasa takut. Seluruh hari-hari yang
dilaluinya dia curahkan untuk
mengurusmu dan papa," lanjut Bongkap, mengenang
kembali kasih sayang dan kesetiaan istrinya.
Bongkap, walaupun berjiwa beringas dan kasar, ia
selalu lembut bila sudah berada di tengah keluar-
ganya. Kepandaiannya dalam bermain ilmu silat, kega-
gahan dan keganasannya di tengah pertempuran tak
akan tampak lagi bila sudah berada di rumah. Tak sa-
tu pun orang yang dapat menaklukkan dia atau mere-
dakan kekasarannya, hanya Sinyin, istrinya. Lewat ke-lembutan hatinya, Sinyin
dapat meluluhkan keberin-
gasan Bongkap. Lewat nalurinya sebagai perempuan,
ia berhasil menggiring Bongkap untuk menjadi orang
bijak. Membuat Bongkap semakin cinta dan sayang sa-
ja kepada istrinya. Sehingga kematian istrinya yang
tragis ketika melawan pasukan kerajaan yang mengha-
langi kepergian mereka sangat meluluhkan hatinya.
"Papa," desah Bong Mini dalam dekapan papanya.
"Hm..." Ada apa, Sayang?" Bongkap mengusap-usap
kepala putrinya.
"Maukah Papa mengabulkan satu permintaan
saya?" "Katakan. Katakan, Sayang. Papa akan mengabul-
kannya," kata Bongkap cepat.
Bong Mini melepaskan pelukannya. Dipandangnya
wajah papanya dengan senyum lembut dan wajah ber-
seri. "Papa sungguh-sungguh?"
"He-em!"
"Begini, Pa," kata Bong Mini mulai mengemukakan
keinginannya. "Kebutuhan saya sekarang sudah terpe-
nuhi. Rakyat pun sudah kelihatan hidup membaik.
Jadi saya mengajukan suatu permintaan kepada Papa
untuk tidak lagi melakukan perampokan," lanjut Bong
Mini, mengajukan permohonannya.
Bongkap tercenung beberapa saat mendengar per-
mintaan putrinya. Dia tidak mengira kalau hanya itu
yang menjadi permintaan putrinya.
"Papa mau mengabulkannya, kan?"
"Sebuah permintaan yang mulia, tentu saja akan
papa kabulkan!" sahut Bongkap tersenyum.
"Benarkah itu, Papa?" tanya Bong Mini meyakinkan.
Bongkap mengangguk.
"Oh, Papa!" keluh Bong Mini. Dipeluknya papanya
sekali lagi. Baginya tidak ada hari yang lebih berharga dan penuh suka cita
selain hari itu.
*** 7 Yang Seng, pemimpin Partai Persatuan Ular Hitam
bersama anak buahnya sedang mencari Bongkap. Me-
reka menyusuri dari warung ke warung, lembah ke
lembah sampai akhirnya mencari ke seluruh hutan be-
lantara di kawasan itu. Tapi orang yang mereka cari
tidak diketemukan, sampai akhirnya mereka beristira-
hat karena lelah.
Di saat rombongan Partai Persatuan Ular Hitam
tengah duduk beristirahat di Bukit Londa, tiba-tiba
mereka tersentak mendengar derap langkah kuda yang
datang dari kejauhan.
"Tuanku!" seru Aloy, salah seorang anak buah Yang
Seng yang tangan kanannya sudah terputus karena
sabetan pedang Bongkap. "Bukankah orang yang ber-
kuda itu si Achiang?" lanjut Aloy dengan pandangan
mata yang tak henti-hentinya memperhatikan dua pe-
nunggang kuda yang berjalan ke arah mereka.
Yang Seng menyipitkan mata, mengawasi dua pe-
nunggang kuda itu.
"Hm..., ada apa lagi dengan anak buahku itu," gu-
mam Yang Seng ketika melihat seorang anak buahnya
tampak tertelungkup tak berdaya di punggung kuda,
di belakang Achiang.
"Halau mereka dan suruh ke sini!" perintah Yang
Seng kepada anak buahnya.
"Siap, Tuan!" ucap Aloy. Dengan ilmu peringan tu-
buhnya ia melesat cepat untuk menghadang temannya
yang sedang memacu kuda.
Tidak lama kemudian, Aloy telah kembali lagi ber-
sama-sama temannya yang berkuda tadi.
Yang Seng langsung mendekati anak buahnya yang
tergeletak mati di atas punggung kuda. Kemudian wa-
jahnya mendadak berubah tegang saat menatap tiga
anak buahnya yang lain yang membawa mayat itu.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Yang Seng
geram. "Kami..., kami mendapat rintangan dari seorang pe-
rempuan asing ketika hendak membawa anak gadis
pemilik warung itu, Tuanku!" jawab Achiang. Ternyata keempat orang itu adalah
orang-orang yang telah dikalahkan oleh Bong Mini ketika terjadi perkelahian di
halaman warung nasi. Dan orang yang mati itu bernama
Bodong. "Goblok!"
Plak! Plak! Yang Seng menampar wajah Achiang dengan keras,
sehingga lelaki itu meringis kesakitan.
"Kenapa" Kenapa kalian semua jadi goblok begini"
Si Aloy yang kusuruh memimpin pengawalan barang
untuk mengantar ke seberang Pantai Cina tidak becus.
Barang habis dan tangannya buntung karena terbabat
pedang perampok yang bernama Bongkap. Sekarang
kau yang kusuruh menagih hutang dan bunganya ke-
pada pemilik warung tua-renta itu pun tidak becus.
Dan kali ini lebih memalukan. Karena si Bodong mati
di tangan seorang perempuan. Puih!" geram Yang
Seng. Diludahinya wajah Achiang. Matanya berkilat-
kilat merah bagai kobaran api yang siap menjilat dan membakar.
"Tapi, Tuanku...!"
"Sudah, jangan kasih alasan! Kekuasaanku di nege-
ri ini telah kalian coreng dengan kebodohan kalian.
Sekarang juga kalian harus menghapus coreng itu!"
potong Yang Seng kepada seluruh anak buahnya.
"Bagaimana caranya, Tuanku?" tanya Achiang ta-
kut-takut "Puih!" Yang Seng kembali meludahi wajah Achiang
yang semakin ketakutan. "Inilah akibatnya kalau di
otak kalian hanya bersarang perempuan, perempuan,
perempuan!"
Semua anak buahnya terdiam dengan wajah me-
nunduk. Tak seorang pun berani melihat kemarahan
Yang Seng, pemimpin mereka.
"Kalian semuanya harus mencari kedua orang itu
sampai dapat. Kalau perlu, penggal leher mereka dan
kepalanya bawa kepadaku!" perintah Yang Seng. Ke-
mudian ia melompat ke punggung kuda dan mema-
cunya cepat menuju markas.
"Ini semua gara-gara kamu!" kini Aloy yang ganti
memarahi Achiang.
"Kau juga sama!" berang Achiang.
"Aku wajar. Karena yang mengalahkanku seorang
pemimpin perampok. Tapi kau...! Oleh seorang perem-
puan" Bagaimana pemimpin kita tidak mau marah?"
sengit Aloy, membela diri.
"Sudahlah, jangan bertengkar! Yang penting seka-
rang juga kita harus mencari mereka!" tukas salah
seorang lain berusaha menengahi. Akhirnya gerombo-
lan yang berada di bawah panji Partai Persatuan Ular Hitam berangkat untuk
melanjutkan pencarian menangkap Bongkap dan Bong Mini.
*** Bongkap dan Bong Mini atau lebih tepat disebut
Sepasang Pendekar dari Selatan, tengah menunggang
kuda perlahan-lahan. Keduanya menikmati peman-
dangan yang cukup indah. Apalagi saat itu waktu
menjelang senja. Sehingga pemandangan di ufuk barat
terlihat begitu mempesona, dihiasi dengan pancaran
warna lembayung.
Waktu terus merayap perlahan-lahan. Matahari
yang kini tergelincir di ufuk barat mulai menyembunyi-kan dirinya di balik
perbukitan. Sedangkan pesta war-na di cakrawala pun mulai pudar perlahan-lahan.
Ber- ganti dengan kabut yang mulai turun menyelimuti
bumi. Malah pohon-pohon pegunungan yang mengelili-
ngi mereka telah lenyap ditelan kabut yang amat tebal.
"Sudah hampir malam. Kita percepat kudanya,
Sayang," kata Bongkap, ketika melihat sekelilingnya
mulai temaram. Tanpa memberi sahutan, Bong Mini langsung me-
macu kudanya dengan cepat, mengimbangi lari kuda
Bongkap. Baru saja beberapa ratus meter mereka memacu
kuda, tiba-tiba Bongkap memberi isyarat kepada putrinya untuk waspada. Sedangkan
langkah kudanya mu-
lai diperlambat
"Ada apa, Papa?" tanya Bong Mini yang tidak men-
gerti maksud papanya.
"Papa merasakan ada banyak orang di sekitar kita,"
jawab Bongkap sambil memasang pendengarannya
yang cukup peka.
Mendengar penjelasan papanya, Bong Mini segera
menyebar pandangan ke sekelilingnya. Tapi matanya
tidak melihat siapa pun. Kecuali pepohonan yang mu-
lai tertutup kabut.
"Saya tidak melihatnya, Papa," desah Bong Mini.
"Mereka bersembunyi di balik pepohonan," sahut
Bongkap sambil terus memasang kepekaan telinganya,
mengikuti langkah-langkah orang yang belum diketa-
hui batang hidungnya.
"Apakah mereka berniat tidak baik kepada kita?"
tanya Bong Mini sambil bersiap siaga.
"Begitulah tampaknya."
Bong Mini mendesah. Matanya kembali liar menga-
wasi sekitarnya.
"Kamu tetap di sini bersama papa. Kalau memang
harus bertempur layani mereka semampumu. Tapi ka-
lau sudah terdesak kau harus langsung keluar per-
tempuran dan hubungi para pengawal," kata Bongkap
setengah berbisik.
"Bagaimana kalau sekarang saja sebelum mereka
menyergap kita?"
"Itu akan membahayakanmu. Sebagian dari mereka
tentu akan mengejar dan menangkapmu. Itu berarti
akan mengganggu perhatian papa saat melayani se-
rangan mereka," sergah papanya dengan pandangan
yang terus waspada.


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bong Mini mengangguk mengerti. Lalu menyebar-
kan pandangannya kembali ke arah semak-semak
yang berada di sekitar mereka.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya Sepasang
Pendekar dari Selatan itu mulai melihat beberapa ke-
pala manusia muncul dari kegelapan kabut. Langkah-
langkah mereka terdengar halus ketika menghampiri
Sepasang Pendekar dari Selatan yang terdiri dari ba-
pak dan anak tersebut.
"Jumlah mereka cukup banyak, Papa," ujar Bong
Mini agak khawatir juga. Sebab selama ini ia belum
pernah bertempur dengan lawan yang lebih dari lima
orang. Tapi kini, para pengepung yang menghampiri
mereka berjumlah sekitar dua puluh orang. Sungguh
bukan suatu tandingan yang seimbang.
"Kau jangan gentar sebelum bertanding, Putriku!"
Bongkap memperingatkan dengan pandangan yang te-
rus waspada ke arah rombongan yang mulai mendeka-
ti mereka. "Papa!" pekik Bong Mini tiba-tiba. "Tiga orang dari
mereka pernah saya kenal. Mereka orang-orang yang
pernah saya kalahkan di warung tempo hari," lanjut
Bong Mini sambil terus memperhatikan ketiga orang
yang pernah dikalahkannya itu. Mereka tidak lain
Achiang, Japra, dan Kedot.
"Bagus. Kalau begitu mereka satu kelompok."
"Maksud Papa?"
"Tangan lelaki yang buntung itu merupakan ke-
nang-kenangan dari papa ketika merampok mereka,"
jawab Bongkap menjelaskan.
"Hm...," gumam Bong Mini. "Jadi Papa merampok
harta perampok?"
"Yah, ini suatu kebetulan," sahut Bongkap. Kalau
bukan dalam suasana seperti itu mungkin mereka su-
dah tertawa. Karena merasa lucu ada perampok yang
dirampok. Tidak lama kemudian, gerombolan itu sudah me-
ngelilingi Sepasang Pendekar dari Selatan.
"Hi hi hi..., rupanya kita bertemu lagi!" cetus Bong Mini. Ia tertawa melihat
ketiga orang yang pernah dikalahkannya itu.
"O, jadi perempuan ini yang mengalahkanmu dan
membunuh si Bodong?" tanya Aloy kepada Achiang,
setengah mengejek.
Achiang mendengus. Ia merasa malu.
"Ya. Mereka telah dikalahkan oleh putriku. Dan kau
sendiri telah kehilangan satu tanganmu oleh sabetan
pedangku," Bongkap menjawab dengan nada setengah
mengejek. Kini Aloy yang ganti mendengus. Wajahnya berubah
geram saat memandang Bongkap.
"Kemarin lalu kau boleh menang. Tapi sekarang,
kau tidak akan kubiarkan hidup!" bentak Aloy geram.
Bongkap tertawa terbahak-bahak begitu mendengar
ucapan Aloy. "Jangan bermulut besar! Nanti malah kepala bo-
takmu yang terbelah dua!" ejek Bongkap, membuat
Aloy yang berkepala botak itu semakin geram.
"Bangsat! Jangan kau pikir karena tanganku bun-
tung lalu tak bisa menghadapimu, heh!" dengus Aloy
dengan muka merah menyala. Bersamaan itu pula
tangan kirinya menarik pedang yang terselip di pung-
gungnya. Sreset! Bongkap tertawa tergelak-gelak melihat musuhnya
yang berkepala botak mencabut pedang.
"Sebaiknya kau urungkan niatmu itu untuk mem-
balas dendam. Aku tidak sampai hati membelah kepa-
lamu yang licin itu!"
Lagi-lagi Bongkap mengejek, membuat Aloy naik pi-
tam. "Seraaang!"
Aloy memberi komando kepada teman-temannya.
Maka secepat itu pula orang-orang dari Partai Persa-
tuan Ular Hitam segera menyerang Sepasang Pendekar
dari Selatan dengan cepatnya.
"Hiaaat!"
Orang-orang itu menyerang Bongkap dan Bong Mini
dengan jurus-jurus kungfunya. Mereka melompat se-
rempak sambil mengarahkan tendangannya ke arah
pasangan bapak dan anak itu.
Sepasang Pendekar dari Selatan yang sejak tadi su-
dah siap menunggu serangan mereka, dengan mudah
mengelakkan serangan itu. Tubuh keduanya melompat
dan berputar-putar di atas. Kemudian turun kembali
dan berdiri tegak di atas tanah dengan ringannya.
"Hiaaat!"
Bong Mini menyerang lawan dengan jurus-jurus
kungfunya yang hampir sempurna. Dia melompat sam-
bil menendangkan kakinya ke arah lawan. Tapi dengan
gesit pula lawannya mengelak sambil mengadakan se-
rangan yang disertai pukulan-pukulan tenaga dalam.
"Hiaaat! Huh!"
Tubuh Bong Mini berguling-guling di atas tanah un-
tuk menghindari pukulan-pukulan yang beruntun.
Celaka! Aku harus benar-benar waspada mengha-
dapi mereka, bisik hatinya seraya memasang jurus-
jurus kungfunya. Namun, belum sempat ia menarik
napas, tiba-tiba serangan dari berbagai penjuru telah datang menghujaninya.
Bong Mini kembali melompat ringan. Lalu turun
dengan membuat gerakan salto. Begitu berdiri, tangan kanannya telah menggenggam
sebilah pedang. Ia merasa kewalahan menghadapi musuh yang begitu ba-
nyak. Sementara itu, Bongkap masih tegar menghadapi
lawannya yang berjumlah sepuluh orang. Lewat jurus-
jurus kungfu 'Tanpa Bayangan', ia berhasil menghada-
pi lawannya dengan baik.
"Hiaaat!"
Trak! Bongkap melompat dengan gerakan berputar seperti
gangsing. Lalu kedua kakinya diadukan dengan dua
kepala lawannya dengan keras. Sehingga kedua kepala
lawannya itu retak, diiringi darah segar yang mengalir serta jeritan kematian
yang menggetarkan hati. Sehingga kedua orang itu ambruk dengan kepala yang
mengerikan. Itulah salah satu jurus kungfu 'Tanpa Bayangan'.
Gerakannya yang begitu cepat tanpa terlihat lawan.
Setiap gerakan pasti merenggut nyawa lawan.
Melihat kedua temannya mati mengenaskan, bebe-
rapa orang di antara mereka menjadi gentar. Pikir mereka, lebih baik mati di
ujung pedang daripada mati
menderita dengan kepala terbelah dua seperti itu.
Sedangkan di pihak lain, Bong Mini pun mati-
matian membela diri dengan mengeluarkan jurus-
jurus kungfu dan pedangnya. Jurus 'Pedang Samber
Nyawa' yang ia keluarkan pada pertempuran dahsyat
itu sedikit membantunya untuk dapat bernapas dan
bergerak bebas.
"Hiaaat!"
Bret! Bong Mini mengeluarkan jurus 'Gangsing'. Badan-
nya diputar di udara. Kemudian dengan gerakan me-
nendang, kedua kakinya turun di atas kepala lawan
seraya mengayunkan pedangnya dengan cepat. Aki-
batnya, salah seorang lawannya terkena sasaran pe-
dang pada bagian samping lehernya.
Sret! "Aaakh!"
Seketika itu juga lawan yang terkena sabetan pe-
dang Bong Mini tergolek tanpa nyawa.
Pertempuran berlangsung semakin gesit. Tiga orang
dari Partai Persatuan Ular Hitam telah terguling bersimbah darah. Sehingga para
pengeroyok berkurang
menjadi enam belas orang. Namun demikian tetap
membuat Bong Mini kewalahan. Karena serangan-
serangan dari lawannya semakin gencar dan beringas.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba tubuh Bong Mini melenting tinggi dan tu-
run tepat di dekat Aloy.
Bret! Bret! Sabetan pedang Bong Mini merobek perut Aloy dua
kali. Membuat Aloy yang sejak tadi hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan
Bongkap tersudut oleh te-
man-temannya berdiri limbung. Hanya sebentar ia ber-
tahan berdiri, lalu ambruk dengan perut menganga le-
bar sehingga isi perutnya terlihat jelas.
Melihat terkaparnya Aloy di tangan Bong Mini, se-
mua penyerangnya ternganga. Mereka tidak menyang-
ka kalau lompatan Bong Mini yang tinggi itu justru untuk menyambar Aloy yang
sedang lengah. "Bangsat!"
Geram mereka dengan mata merah menyala mena-
tap Bong Mini. Sret! Sret! Mereka mencabut pedang dan golok dari sarungnya.
Lalu serentak menyerang Sepasang Pendekar dari Se-
latan itu dengan sabetan-sabetan pedang dan golok-
nya. Waktu terus merayap.
Matahari di ufuk barat telah terlena di peradu-
annya. Berganti dengan kabut pekat yang perlahan-
lahan turun menyelimuti bumi.
Sementara itu, pertempuran terus berlangsung. Se-
bagian pasukan Partai Persatuan Ular Hitam telah ba-
nyak yang tergeletak bermandi darah. Ketinggian ilmu
silat orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam memang sudah terbaca oleh Bongkap.
Mereka masih berada
jauh di bawah kemampuannya. Malah satu tingkat di
bawah kemampuan putrinya, Bong Mini. Namun de-
mikian bukan berarti Sepasang Pendekar dari Selatan
ini dapat dengan mudah menjatuhkan para lawan. Se-
bab yang mereka hadapi bukan dua atau tiga orang.
Melihat keadaan suasana semakin gelap, hanya di-
sinari oleh rembulan yang remang-remang, Bong Mini
ingin mengakhiri pertempuran secepatnya. Namun la-
wannya masih begitu banyak, menyerang dengan ga-
nasnya. Sehingga tidak mungkin baginya untuk meng-
akhiri pertempuran secepatnya yang diharapkan.
Bong Mini segera membuka jurus barunya yang
bernama jurus 'Loncat Kodok'. Jurus ini digunakan
untuk membingungkan lawan dengan gerakan melom-
pat-lompat sambil mencari kelengahan lawan.
Trangngng! Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar
api. Dan pijaran api itu terlihat terang karena berada dalam kegelapan.
Wettt! Bong Mini menyabetkan pedangnya ke arah lawan.
Tapi kali ini gagal, karena dengan cermat lawan yang berada di depannya melompat
sambil melancarkan serangan balasan ke arah Bong Mini. Disusul dengan se-
rangan lawan yang ada di sekitarnya.
Wet! Wet! Dua bilah pedang lawan menyambar kakinya yang
sedang melompat-lompat bagai kodok. Tapi untung
Bong Mini melihat serangan itu dengan cermat. Lalu
tubuhnya bersalto dan berdiri tepat di dekat papanya yang sibuk melancarkan
serangan. Kedua punggung kedua bapak dan anak itu saling
bersentuhan. Mereka sama-sama menangkis dan me-
lancarkan serangan.
Trangngng! Bong Mini berhasil menangkis serangan. Untuk se-
rangan yang kedua, mau tidak mau ia bersalto, begitu pula dengan Bongkap. Karena
serangan itu sangat cepat dan penuh tenaga.
Trangngng! Trangngng! Trangngng!
Tubuh Bong Mini terguling ke tanah dengan keras
sekali. Benturan golok lawan dengan pedangnya me-
nyebabkan ia semakin terdesak ke belakang. Sedang-
kan tenaganya sudah hampir terkuras habis.
Lima orang lawannya semakin gencar menyerang-
nya. Mereka mengurung Bong Mini dari setiap sudut.
Membuat gerakan Bong Mini semakin menyempit. Se-
dang dari depan, sebilah pedang lawan siap menghu-
jam ke arahnya.
Dalam keadaan tidak berdaya, tiba-tiba sebuah sa-
betan pedang serta pukulan mendarat di tubuh para
pengeroyok Bong Mini, sehingga dua di antara penge-
royok itu terkapar dengan kepala terpisah dari badannya. Dan pada kesempatan
yang baik itu, tubuh Bong
Mini segera melesat ke atas lalu hinggap di atas se-
buah batang pohon. Di sana ia istirahat sejenak untuk mengembalikan tenaganya
sambil menyaksikan papanya yang melawan delapan orang dari Partai Persa-
tuan Ular Hitam.
Bongkap sudah kehilangan kesabaran. Ia ingin se-
gera mengakhiri pertempuran itu dengan mengerahkan
kepandaian ilmu kungfunya yang paling tinggi. Se-
hingga dalam waktu singkat kedelapan lawannya jatuh
tersungkur bermandi darah, lalu tergeletak tak sadarkan diri.
Bongkap berdiri tegak melihat tubuh para lawan
yang sudah tergeletak dalam kegelapan. Ia menarik
napas lega sambil memandang ke atas pohon. Bertepa-
tan dengan itu, tubuh Bong Mini sudah melesat turun
dengan ringan. Kemudian disambut oleh kedua tangan
Bongkap yang kekar.
"Hep!"
Dengan tepat Bongkap menangkap tubuh putrinya
yang mungil itu dan menggendongnya. Dan dalam ge-
lap itu keduanya tersenyum dan berpelukan dengan
gembira. "Ayo, kita pulang!" ajak Bongkap seraya menurun-
kan tubuh putrinya. Lalu keduanya naik ke punggung
kuda. Dua bayangan mereka melesat cepat menembus


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegelapan. *** Malam bertambah larut. Kegelapan semakin pekat,
tanpa cahaya bulan dan bintang sedikit pun. Sedang-
kan kabut sudah sepenuhnya menutupi pepohonan
hingga tak jelas bentuknya.
Di pertengahan jalan, ketika hampir sampai di ru-
mah, tiba-tiba mereka berpapasan dengan empat orang
pengawalnya. Ashiong, Achen, dan Sang Piao dan A
Ing. Bongkap heran melihat keempat pengawal keper-
cayaannya seperti dikejar-kejar hantu.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Bongkap dengan
wajah cemas. "Ada penyerangan mendadak!" jawab Ashiong de-
ngan napas yang tak beraturan.
"Maksudmu?"
"Segerombolan orang bertopeng telah menyerang
tempat tinggal Tuan!"
"Siapa lagi orang yang mencari masalah ini!" suara
Bongkap terdengar begitu geram. Baru saja ia menye-
lesaikan satu persoalan, kini datang lagi persoalan
lain, pikirnya.
"Hanya tujuh pengawal yang bisa menyelamatkan
diri. Kami berempat dan tiga orang lagi pergi entah ke mana dengan menyelamatkan
tiga dayang," lanjut Ashiong memaparkan.
"Bangsat! Kenapa tidak kalian lawan saja"!"
"Kami sudah berusaha mengadakan perlawanan,
Tuanku. Tapi jumlah mereka sangat banyak. Daripada
kami dan para dayang mati konyol, lebih baik meng-
hindar agar dapat mengabarkan hal ini kepada Tua-
nku," jawab Ashiong memberi alasan.
"Kita harus buat perhitungan!" kini Bong Mini yang
terlihat geram. Karena saat itu malam, wajahnya yang berubah merah tidak
terlihat. Setelah Bongkap dan Bong Mini mendapat ketera-
ngan itu, mereka pun segera memacu kuda menuju
rumah mereka. *** Bongkap dan Bong Mini atau Sepasang Pendekar
dari Selatan berdiri menatap para pengawalnya yang
terkapar mati bersimbah darah. Wajah keduanya tam-
pak gusar menahan marah.
"Mereka terbunuh saat menghalangi orang-orang
bertopeng yang akan mencari harta Tuanku!" Ashiong
menjelaskan. "Ada yang berhasil mereka bawa?" tanya Bongkap
dengan pandangan mata yang masih tertuju ke arah
mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Tidak ada, Tuanku."
Hening. Bongkap dan Bong Mini melihat-lihat bekas sera-
ngan yang dilancarkan oleh kawanan orang bertopeng.
Seluruh isi rumah habis diobrak-abrik oleh kawanan
orang bertopeng itu. Membuat hati mereka semakin
terbakar untuk melakukan balas dendam.
Setelah semua ruangan diteliti, Bongkap kembali
keluar dan duduk di bangku kebesarannya.
"Kita benar-benar harus buat perhitungan," geram
Bongkap. "Benar, Tuanku. Tapi dengan pasukan kita yang se-
perti ini, apa kita mampu mengalahkan mereka?"
tanya Ashiong. "Kamu gentar?" tanya Bongkap dengan mata mena-
tap tajam. "Sama sekali tidak. Selama darahku masih berwar-
na merah, selama itu pula kesetiaanku terhadap
Bongkap!" sahut Ashiong.
Bongkap mengangguk-angguk kagum.
"Lalu kenapa kamu ragu?"
"Saya hanya tidak ingin kita mengorbankan orang-
orang lemah yang tidak berdosa!"
"Jadi?"
"Tuanku harus benar-benar memilih orang-orang
tangguh berkepandaian kungfu yang bisa diandalkan!"
Bongkap kembali mengangguk-angguk. Dia mem-
benarkan cara berpikir Ashiong. Namun sebelum ia
menimpali ucapan Ashiong, tiba-tiba salah seorang
pengawal dari tiga orang yang menyelamatkan diri bersama tiga orang dayangnya
datang, ia bersimpuh di
hadapan Bongkap dengan napas terengah-engah.
Bongkap dan Bong Mini meloncat kaget dari kursi-
nya seraya memandang kedatangan pengawal itu.
"Apa yang terjadi" Dan mana kedua temanmu yang
membawa ketiga dayang itu?" tanya Bongkap dengan
napas yang memburu saking marahnya.
"Maafkan saya, Tuanku. Sekelompok orang yang tak
dikenal telah menyerang kami. Dua pengawal mati se-
dangkan para dayang Tuanku telah dibawa kabur oleh
mereka," lapor pengawal itu.
Bongkap mendengus keras. Malam itu ia benar-
benar menghadapi persoalan-persoalan berat. Belum
selesai persoalannya dengan kawanan orang bertopeng
itu, sudah datang lagi persoalan baru. Dia benar-benar pusing dan geram. Urat-
urat di sekitar keningnya kelihatan menonjol pertanda bahwa pikirannya tengah
di- landa ketegangan yang memuncak.
"Ini pasti pekerjaan mereka!" dengus Bong Mini
dengan berdiri garang sebagaimana seorang pendekar.
"Siapa mereka?" Bongkap terperanjat mendengar
ucapan putrinya.
"Orang-orang yang baru saja kita kalahkan tadi,"
jawab Bong Mini.
Bongkap lagi-lagi mendengus. Dia benar-benar ma-
rah terhadap orang-orang liar yang selalu memburu
perempuan itu. "Kita harus cepat-cepat bertindak, Papa!" usul Bong
Mini, gusar. "Itu sudah menjadi pikiranku, Putriku!" sahut
Bongkap, sementara matanya menatap kosong ke de-
pan. "Tapi kita harus punya perhitungan yang ma-
tang!" "Maksud Papa?"
"Kita bukan hanya akan berhadapan dengan para
penculik itu, tetapi juga akan berhadapan dengan ke-
tua mereka yang tentunya tidak bisa diremehkan!" sa-
hut papanya. Bong Mini terdiam mengerti
"Ashiong!"
"Saya, Tuanku!"
"Persiapkan dirimu. Latih kembali jurus-jurusmu,
aku akan melihatnya!" kata Bongkap kepada Ashiong
dan keempat pengawal lainnya.
"Baik, Tuanku!"
"Kau juga, Putriku!" Bongkap menoleh pada pu-
trinya. "Apa yang Papa katakan akan saya turuti," sahut
Bong Mini, sigap.
Setelah mendapat perintah itu, Bong Mini dan para
pengawal lainnya yang hanya tinggal lima orang segera menuju tempat mereka
berlatih. "Aku harus segera menyingkirkan segala macam ko-
toran yang ada di tanah tempatku berpijak ini!" Bongkap bergumam seperti
berjanji pada dirinya sendiri.
Lalu ia pun segera menuju tempat di mana putrinya
dan para pengawal berlatih jurus-jurus kungfu.
*** 8 Dengan langkah-langkah gagah, Bong Mini bersama
para pengawal kepercayaan papanya memasuki rua-
ngan latihan silat. Disusul kemudian dengan kehadi-
ran Bongkap. "Ashiong!" ujar Bongkap seraya mendekati mereka
yang sudah berkumpul, siap melaksanakan latihan.
"Cobalah kamu uji kemampuan putriku!" perintah
Bongkap. Hal itu karena Ashiong mempunyai ilmu ju-
rus kungfu yang setingkat lebih tinggi dari pengawal lainnya. Apalagi jika
dibandingkan dengan putrinya.
"Siap, Tuanku!" ucap Ashiong membungkuk hor-
mat. "Dan kau putriku. Berlatihlah sungguh-sungguh.
Anggaplah latihan ini sebagai pertempuran dua orang
lawan yang hendak saling menjatuhkan!" kata Bong-
kap kepada putrinya.
"Ya, Papa!" sahut Bong Mini patuh.
"Nah, mulailah!" ucap papanya memberi aba-aba.
Lalu ia bersama para pengawal lainnya mengambil
tempat duduk di sudut ruang latihan untuk menonton.
Sedangkan Ashiong dan Bong Mini meletakkan pe-
dangnya masing-masing. Kemudian kembali ke tengah
ruang latihan silat dengan kuda-kuda yang saling berhadapan seperti dua naga
yang benar-benar hendak
bertarung. Segala macam perasaan tidak enak karena
saling kenal segera mereka hilangkan. Begitu pula
dengan Ashiong yang tidak lagi memandang Bong Mini
sebagai putri raja, melainkan dianggapnya sebagai
musuh besar agar latihan keduanya benar-benar se-
perti dalam pertempuran sungguhan.
Karena keduanya sudah saling menganggap musuh,
maka keduanya pun lebih dulu mengamati lawannya
dengan sinar mata yang tajam dan penuh penilaian.
Ashiong melihat betapa Bong Mini tersenyum kecil ke
arahnya. Sedangkan sikap Bong Mini sendiri seperti
memandang rendah ke arahnya. Ditambah dengan wa-
jahnya yang berseri, seakan-akan hatinya tengah ber-
gembira. Di hati Ashiong timbul rasa suka. Ia membe-
rikan penilaian bahwa gadis yang berusia enam belas
tahun di hadapannya itu mempunyai watak periang.
Sehingga pandangannya yang semula menganggap
Bong Mini sebagai lawan berubah menjadi kasihan.
Akhirnya dia berpikir untuk menjaga tubuh putri ra-
janya agar tidak sampai cidera.
"Bong Mini segeralah menyerangku!" tantang A-
shiong. Dia ingin segera memulai latihan yang serius itu. Karena selama ini ia
tidak punya kesempatan un-
tuk berlatih. Terkecuali bertempur dan bertempur lagi.
"Baiklah. Tapi alangkah baiknya engkau dulu yang
melakukan serangan. Bukankah engkau sebagai peng-
ujiku?" kata Bong Mini dengan bibir tersenyum lebar.
"Baiklah kalau itu kehendakmu. Bersiaplah!" kata
Ashiong sambil menerjang dengan memainkan jurus
'Bangau Mematuk Mangsa'. Jari-jari kedua tangannya
dipertemukan lurus seperti paruh burung bangau me-
matuk pelan, namun mengandung tenaga dalam yang
amat dahsyat Wuttt! Bong Mini agak kaget juga ketika merasakan sam-
baran angin pukulan yang amat kuat itu. Tetapi dia
sendiri maklum karena pemuda yang ada di hadapan-
nya itu bukan orang yang sembarangan. Hampir se-
mua jurus kungfu telah dimilikinya. Dan jurus 'Ba-
ngau Mematuk Mangsa' baru kali ini ia lihat. Terma-
suk Bongkap dan para pengawal lainnya.
Memang benar kalau selama ini Ashiong belum per-
nah mengeluarkan jurus 'Bangau Mematuk Mangsa'.
Selama ini jurus yang sering ia keluarkan hanya jurus-jurus yang diberikan
Bongkap kepadanya. Termasuk
saat menghadapi lawan.
Bong Mini cepat mengelak melihat Ashiong melan-
carkan serangan dengan kedua tangannya yang me-
lengkung seperti leher bangau. Tetapi dengan cepat
pula tangan Ashiong meluncur ke pundak dan leher-
nya. Kali ini serangannya menjadi lebih cepat dan berbahaya dari sebelumnya.
Namun Bong Mini sendiri
yang mempunyai tubuh mungil dengan tangkas meng-
imbangi kecepatan gerak jurus-jurus Ashiong. Dengan
kecepatannya itu, kaki Bong Mini berhasil mengirim-
kan tendangan ke perut Ashiong.
Des! Ashiong terpaksa menarik kembali tangannya keti-
ka perutnya terhajar tendangan Bong Mini. Lalu ia
mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menya-
bet ke kaki Bong Mini yang bergerak menendang kem-
bali. Tetapi dengan cepat Bong Mini menyelamatkan
kakinya dengan cara memutar tubuh sehingga luput
dari sabetan tangan Ashiong. Namun belum sempat ia
menarik napas, Ashiong sudah menerjang kembali. Se-
rangannya kali ini merupakan satu jurus cengkeraman
tangan ke arah ubun-ubun Bong Mini. Lalu disusul
dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Bong Mini.
"Ihhh...!" Bong Mini berseru keras dan segera me-
narik tubuh ke belakang dengan posisi miring. Se-
dangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk
menangkis tonjokan tangan lawan yang mengarah ke
dadanya. Dibarengi dengan tusukan dua jari tangan
kirinya yang balas menyerang ke arah mata lawan.
Diam-diam Ashiong mengagumi gerakan balasan
Bong Mini yang indah dan berbahaya itu. Maka dia
pun segera menangkis dengan memutar lengannya.
Duk! Desss! Dua kali sepasang tangan itu bertemu, mengaki-
batkan tubuh keduanya terdorong ke belakang.
Plok! Plok! Plok!
Bongkap yang menyaksikan latihan seru itu segera
memberi isyarat untuk berhenti dengan menepuk ta-
ngan liga kali.
Bong Mini dan Ashiong segera bangun dengan nafas
yang terengah-engah.
"Cukup. Sudah lebih dari cukup. Kalian telah mem-
perlihatkan kepandaian yang mengagumkan!" puji
Bongkap seraya menghampiri Ashiong dan putrinya.


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah lama aku tidak melihat kalian berlatih. Dan
sekali melihat, kalian telah membuatku terkagum-
kagum. Gerakan jurus-jurus kalian nampak begitu ce-
pat dan hampir mencapai kesempurnaan."
Bong Mini dan Ashiong saling berpandangan dan
tersenyum senang karena mendapat pujian dari orang
yang selama ini disegani.
"Mari kita kembali ke tempat!" lanjut Bongkap,
mengajak para pengawal setianya. Mereka semua me-
langkah meninggalkan ruang latihan.
Tidak lama kemudian mereka telah berada di ruang
tengah yaitu sebuah tempat pertemuan khusus bila
mereka mengadakan pembicaraan penting. Di sana
mereka duduk melingkar dengan menghadapi meja hi-
dangan yang cukup luas.
"Ashiong, Sang Piao dan kalian semua. Malam ini
kita akan membicarakan masalah khusus tentang la-
wan-lawan yang akan kita hadapi!" kata Bongkap
membuka percakapan.
Empat orang pengawal setianya tampak mengang-
guk-angguk. Sedangkan mata mereka terus tertuju ke-
pada Bongkap dengan penuh perhatian.
"Mulai besok kita harus sudah mencari orang-orang
tangguh yang mau berkorban untuk kesejahteraan ra-
kyat. Karena biar bagaimanapun keselamatan dan ke-
tenteraman rakyat ada di tangan kita. Apalagi kehadiran kita ke sini sebagai
orang asing yang telah dipercaya oleh mereka. Dan kepercayaan itu tentu saja ha-
rus dipertanggungjawabkan sebagai balas budi!" lanjut Bongkap.
Keempat pengawal dan putrinya kembali mengang-
guk-angguk. Segala hal yang menjadi pertimbangan
dan pemikiran Bongkap sangat dihargai oleh empat
orang pengawal dan putrinya. Oleh karena itu tidak
terlalu banyak komentar. Melainkan tetap duduk sam-
bil mendengarkan setiap ucapan Bongkap dengan
baik. Setelah beberapa lama Bongkap memberikan gaga-
san dan pengarahan kepada empat orang pengawal-
nya, mereka pun segera meninggalkan ruang perte-
muan dengan membawa satu kesepakatan; berjuang
demi rakyat! Walaupun darah dan nyawa yang menjadi
taruhannya. *** Dari hari ke hari, negeri Selat Malaka semakin dice-
kam oleh kecemasan. Para penduduk yang tadinya hi-
dup tenteram kini diburu oleh rasa takut terus-
menerus. Apalagi jika waktu malam tiba, tak satu pun di antara mereka yang
berani keluar rumah.
Senja itu ketika matahari rebah sepenggalah di ufuk
barat, seorang gadis bertubuh mungil dengan pakaian
silat ketat warna merah tampak berjalan dengan te-
nang. Rambutnya yang dibiarkan bebas lepas tampak
berayun-ayun, ditiup oleh semilir angin senja.
Gadis mungil dan cantik itu tidak lain adalah Putri
Bong Mini. Sengaja hari itu ia tidak menggunakan ku-
danya. Dia ingin lebih menyatu lagi dengan kehidupan alam negeri Selat Malaka,
sebagaimana para penduduk
aslinya. Sesekali ia pun singgah pada tempat-tempat yang
dicurigai. Siapa tahu dia bisa berpapasan dengan
orang-orang Topeng Hitam. Atau ia mampir ke warung-
warung dengan harapan bisa berjumpa dengan orang
yang dicarinya, para pendekar yang mau diajak berga-
bung untuk melawan para pengacau negeri.
Sedang asyiknya ia berjalan, tiba-tiba terdengar su-
ara orang yang tertawa terkekeh.
"He he he..., sungguh luar biasa bila ada seorang
gadis cantik berjalan sendirian di tempat sepi ini!"
Bong Mini tersentak kaget sambil memutar badan-
nya untuk memandang. Di sana, dari jarak sepuluh
meter, Bong Mini melihat tiga lelaki berdiri menyeringai ke arahnya. Umur ketiga
lelaki itu sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun. Ketiganya mengena-kan
pakaian pangsi. Yang seorang bertubuh tinggi be-
sar dengan otot-otot terlihat kokoh kuat dengan sepasang mata liar. Seorang lagi
berperawakan sedang
dengan jenggot panjang dan kusam di dagunya. Se-
dangkan yang ketiganya bertubuh gendut pendek se-
perti bola. Dan semua wajah mereka kelihatan hitam
pekat seperti suku-suku primitif yang hidup terbela-
kang. "Siapa kalian" Dan mengapa membuntuti perja-
lananku?" tanya Bong Mini tenang namun penuh te-
naga. Sehingga kalimat yang dilontarkannya itu ter-
dengar tegas berwibawa.
Ketiga lelaki tadi tertawa terkekeh mendengar per-
tanyaan Bong Mini.
"Apakah Nona ingin berkenalan dengan kami" De-
ngan senang hati kami menerimanya!" seloroh si muka
hitam yang berjenggot kambing tak terurus.
"Puih! Siapa yang sudi berkenalan dengan kalian.
Jangankan perempuan, lelaki pun akan berpikir dua
kali untuk berkenalan denganmu!" ketus Bong Mini
dengan sepasang matanya mendelik indah.
Ketiga lelaki di depannya saling berpandangan. Wa-
jah mereka terlihat geram.
"Kurang ajar sekali perempuan ini!" gumam seorang
lelaki yang bertubuh tinggi dan berotot.
"Tenang. Gadis muda seperti dia memang lebih ba-
nyak emosinya!" temannya yang berjenggot kambing
menenangkan. Setelah ketiganya kembali bersikap tenang, orang
pendek yang berperut buncit melangkah maju men-
dekati Bong Mini. Sesaat ia tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Hanya
sinar matanya saja yang
mencorong mengamati wajah gadis itu.
"Nona, apakah tidak tahu dengan siapa Nona ber-
hadapan?" kata lelaki berperut gendut itu. Suaranya
begitu kecil seperti suara tikus yang tergencet beban.
Sehingga kedengarannya begitu lucu di telinga Bong
Mini. "Siapa pun kalian aku tidak mau peduli. Kalian te-
lah berlaku lancang karena membuntuti dan mengha-
langi perjalananku!" ketus Bong Mini.
Lelaki berperut buncit itu tersenyum kecil. Ia masih mencoba bersikap sabar.
"Nona berbicara sangat lancang!" ucap lelaki berpe-
rut gendut itu.
"Hm.... Orang yang kuhadapi pun bukan orang-
orang sopan. Jadi untuk apa berbaik-baik dengan ka-
lian!" balas Bong Mini dengan bibir mencibir.
Si pendek gemuk itu menahan napas geram. Tata-
pan matanya semakin tajam mencorong ke arah gadis
yang juga tengah menatapnya tanpa berkedip.
"Kuperingatkan sekali lagi, Nona. Mintalah maaf ke-
pada kami agar nyawa Nona bisa selamat!" geram lela-
ki gendut itu. Tapi kegeraman itu membuat Bong Mini
tertawa dalam hati. Sebab suaranya yang kecil itu dipaksakan untuk berteriak
keras sehingga nafasnya
tersengal-sengal.
"Heh, Babi Gendut. Jangan bicara seenaknya. Aku
juga bisa membeset perutmu itu agar beranak!" ejek
Bong Mini dengan sikap tubuh siap melakukan perla-
wanan. Wajah hitam pekat lawannya itu bertambah kelam
saja ketika mendengar ucapan Bong Mini yang berna-
da mengejek. Sepasang matanya yang merah itu sema-
kin menyala seperti hendak mengeluarkan jilatan api.
"Bocah perempuan. Berani engkau menghinaku!"
hardik lelaki berperut gendut itu dengan wajah panas seperti terbakar akibat
kebencian yang berbau darah
dan maut. Setelah ia berkata, tubuh lelaki gendut itu menerjang ke arah lawan
dengan dahsyat. Kedua tangannya membentuk cakar untuk menyerang, seperti
hendak mencengkeram seekor kelinci. Sedangkan dari
kerongkongannya terdengar suara menggeram seperti
binatang buas yang bertemu mangsanya. Lalu dari ja-
ri-jari tangan yang membentuk cakar itu, menyembur
hawa yang amat kuat dibarengi oleh uap putih dan
bau amis darah.
Melihat serangan aneh yang baru dilihatnya itu,
Bong Mini segera menggerakkan kakinya dengan mu-
dah. Lelaki berperut gendut itu terbelalak kaget. Baru
kali ini ia bertemu dengan seorang gadis yang mempu-
nyai kepandaian ilmu silat. Sehingga ia berpikir bahwa untuk menghadapi gadis
yang satu ini tidak bisa dengan main-main. Salah-salah nanti dia sendiri yang
dipermainkan lawannya.
Setelah serangan pertamanya gagal, lelaki berperut
gendut itu kembali menyerang lawannya dengan ceng-
keraman. Akan tetapi cengkeraman itu bertemu de-
ngan lengan Bong Mini. Dan ketika kedua lengan yang
mengandung tenaga itu bertumbukan, tubuh si gendut
langsung terjengkang ke belakang. Lalu menggelinding di tanah seperti bola yang
ditendang. Tetapi sebentar kemudian tubuh bulat itu sudah kembali bergerak
bangun dengan muka merah. Disusul kemudian de-
ngan gerak tangannya yang mencabut sebilah pedang
pendek berwarna kecoklat-coklatan. Sebagai tanda
bahwa pedang itu sudah sering dilumuri racun.
Dua orang bermuka hitam lainnya segera mencabut
goloknya masing-masing ketika melihat sahabatnya
sudah terjengkal dalam beberapa gebrakan. Kemudian
mereka melompat ke tengah pertempuran.
Walaupun ia sudah dikepung oleh tiga orang la-
wannya, tetapi gadis berpakaian merah ini tetap berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Dia nampak tenang-tenang saja. Tak ada sedikit pun rasa gentar yang
menyelimuti hati dan pikirannya. Malah bibirnya terse-
nyum-senyum seperti seorang guru yang melihat mu-
rid kecilnya yang nakal.
Sikap Bong Mini yang melecehkan itu memang sa-
ngat beralasan. Sebab ia telah membaca kemampuan
lawannya masing-masing. Ketiga lawannya itu mem-
punyai kepandaian yang masih jauh di bawahnya.
Maklumlah, ia sendiri telah mendapat gemblengan dari papanya sejak berumur empat
tahun. Dan kehadiran-nya di tengah dunia persilatan pun sudah cukup
punya pengalaman.
Ketika melihat Bong Mini masih berdiri bertolak
pinggang, lelaki berperut gendut itu segera menyerang dengan pedang pendeknya.
Begitu pula dengan dua
orang teman lainnya yang menerjang dengan golok me-
reka masing-masing. Tapi belum sempat senjata me-
nyentuh sasaran, tubuh Bong Mini segera mencelat ke
atas dengan cepat. Dan dengan gerakan yang sukar di-
ikuti pandangan ketiga lawannya, Bong Mini telah berdiri kembali di belakang
mereka sambil tertawa kecil.
Geli melihat ketiga lawannya yang celingukan seperti kambing congek.
Ketika melihat lawan telah berdiri di belakang me-
reka sambil tersenyum, lelaki gendut itu kembali me-
nyerang dengan bacokan pedang. Diikuti oleh dua
orang temannya yang juga turut menyerang dengan go-
lok masing-masing.
Menghadapi keroyokan tiga lawannya yang bersen-
jata itu, Bong Mini kembali menyelamatkan diri de-
ngan membuat gerakan-gerakan cepat yang dinama-
kan jurus 'Tanpa Bayangan'. Dia melompat sambil
berputar bagai gangsing. Lalu dengan cepat pula jari telunjuknya menotok pundak
si gendut yang pendek
itu. Begitu cepat gerakannya sehingga sangat sulit untuk dihindari lawannya.
Maka dalam sekejap lelaki
pendek dan gendut itu terjatuh lemas tanpa tenaga.
Sedangkan pedangnya terlepas dari tangan.
Tanpa memberikan kesempatan kepada kedua la-
wan yang masih berdiri dengan golok di tangan, Bong
Mini kembali menyerang bertubi-tubi. Sehingga ter-
dengarlah teriakan kesakitan ketika kedua tubuh la-
wannya roboh. Sedangkan golok mereka terlepas dari
genggaman tangan masing-masing. Mereka terjatuh
tepat di dekat temannya yang bertubuh gendut.
"Belajarlah lebih baik lagi kalau kalian ingin menja-di lelaki sejati!" ucap
Bong Mini seraya tersenyum melecehkan.
Kedua lelaki yang tadi terjatuh itu tidak segera me-
nyahut. Mereka bergegas bangkit sambil menggotong
tubuh lelaki gendut yang masih lemas. Lalu segera
membawanya keluar dari tempat pertempuran. Diikuti
oleh pandangan Bong Mini yang tersenyum lega.
Setelah punggung lawannya tak terjangkau oleh
pandangan matanya lagi, Bong Mini kembali melan-
jutkan perjalanan.
Di langit matahari sudah semakin condong ke ba-
rat. Sinarnya yang tadi terang-benderang, kini berubah redup. Cahayanya pun
sudah tidak begitu menyengat.
Membuat daun-daun yang semula menadahi hujaman
sinar matahari, kini perlahan-lahan merunduk.
Dengan wajah tetap berseri, Bong Mini terus berja-
lan sampai akhirnya ia tiba di sebuah kota kecil yang bernama Kota Girik.
Kemudian ia masuk ke sebuah
rumah makan untuk mengisi perutnya yang sudah
melilit. Ketika sampai di dalam, ternyata ruangan rumah
makan itu sudah penuh sekali. Tapi untung masih ada
sebuah meja kosong di sudut belakang.
"Silakan, Nona!" seorang pelayan keturunan Cina
segera menghampiri Bong Mini dan mempersila-
kannya. Bong Mini mengangguk sambil tersenyum ramah.
Lalu kakinya melangkah menuju sudut belakang. Dan
sebelum ia sempat menarik kursi makan, pelayan tadi
telah mendahuluinya. Kemudian dengan sikap sopan
pula pelayan keturunan Cina itu mempersilakan Bong
Mini duduk. Setelah Bong Mini duduk, ia segera
memesan beberapa macam lauk dan nasi putih. Ter-
masuk air teh tentunya.
Sambil menunggu pesanan datang, Bong Mini me-
nyebar pandangannya pada sekeliling ruangan, terma-


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suk pada pengunjung yang memadati rumah makan
itu. Hm..., tampaknya kebanyakan dari mereka adalah
orang berkebangsaan Cina sepertiku, gumam Bong
Mini ketika melihat pengunjung yang rata-rata berma-
ta sipit. Bahkan di antara mereka hampir semuanya
menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa asal negerinya.
Ternyata banyak juga orang-orang sebangsa de-
nganku yang merantau ke negeri timur ini, gumam
Bong Mini lagi. Dan bersamaan dengan itu seorang pe-
layan yang tadi menyapa Bong Mini telah datang de-
ngan membawa pesanannya. Kemudian makanan itu
pun diletakkan di atas meja.
Setelah pesanan tersedia semua, Bong Mini segera
menyantap hidangannya dengan penuh kenikmatan.
Hm..., pantas saja banyak orang yang makan di si-
ni, masakannya lezat, nilai hati Bong Mini sambil terus melahap makanannya.
Tanpa disadari oleh Bong Mini, semua tingkah-
lakunya diperhatikan oleh sepasang mata dari sudut
lain di ruangan rumah makan itu. Sepasang mata itu
milik seorang lelaki muda yang umurnya kurang lebih
sekitar tiga puluh tahun. Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa. Tubuhnya
sedang namun padat dan
tegak. Sehingga kelihatan kuat. Pakaiannya rapi dan
sederhana. Sedangkan wajahnya tampak begitu gagah.
Berkulit segar dan kemerahan. Sepasang matanya ber-
sinar tajam melukiskan kecerdikannya.
Bong Mini telah selesai makan. Ia langsung berdiri
dan melangkah menuju pemilik warung untuk mem-
bayar. Setelah itu kakinya melangkah keluar dengan
sikap tenang dan lega karena perutnya yang tadi ko-
song telah terisi.
Lelaki muda yang tadi memperhatikan Bong Mini di
rumah makan itu segera meneguk habis araknya. Lalu
ia segera meninggalkan rumah makan itu. Dan ketika
jaraknya sudah hampir dekat dengan Bong Mini, lelaki itu mempercepat langkah
seperti tergesa-gesa.
Bong Mini yang melangkah di depannya sempat
menoleh ke arah lelaki itu. Namun lelaki tadi seperti tak menghiraukan pandangan
Bong Mini. Ia terus melangkah cepat mendahului Bong Mini.
Bong Mini menghela napas lega sambil melanjutkan
langkahnya. Tanpa sedikit pun menaruh curiga terha-
dap lelaki yang berjalan mendahuluinya itu. Ia berpikir bahwa lelaki tadi
seorang penduduk biasa yang hanya
mempunyai kesibukan bekerja dan mengisi perut.
Setelah agak jauh berjalan, tiba-tiba Bong Mini me-
rasakan langkahnya tengah diikuti oleh beberapa
orang. Tapi ia tetap terus melangkah tanpa menengok
ke belakang agar tidak mencurigakan para penguntit-
nya. Namun demikian, sebagai wanita jantungnya ber-
debar juga. Dia baru menyadari bahwa sekarang ini
seorang gadis tidak bisa berjalan sendirian keluar rumah. Karena negerinya telah
dimasuki oleh orang-
orang jahat Bong Mini sebenarnya ingin sekali mengetahui
orang-orang yang membayanginya itu. Untuk mene-
ngok, tentu saja tidak mungkin, sebab akan menim-
bulkan kecurigaan dan perkelahian. Namun tiba-tiba
Bong Mini mendapat akal. Ia dengan sengaja menja-
tuhkan saputangan yang sejak tadi digenggamnya.
Kemudian dengan gerakan seperti yang tidak disengaja ia membungkuk dan
berjongkok mengambil saputangan yang dijatuhkannya tadi. Pada kesempatan itulah
ia pergunakan untuk melirik ke belakang. Walaupun
hanya sekilas ia melirik, tapi matanya dapat menang-
kap wajah-wajah yang membayanginya. Mereka ber-
jumlah enam orang dengan pakaian pangsi hitam-
hitam. Sedangkan satu di antara keenam orang itu
memakai pakaian putih dengan baju berlengan pan-
jang dan rapi. Dialah lelaki yang memperhatikannya
sejak di dalam ruangan rumah makan.
Setelah dapat membaca dan menghitung orang-
orang yang membayanginya itu, Bong Mini segera me-
lanjutkan langkahnya kembali. Langkahnya begitu
lembut seakan-akan tidak mengetahui keenam orang
yang mengikutinya.
Bagaimanapun tenangnya ia berjalan, dadanya te-
tap juga berdebar-debar. Apalagi ketika ia merasakan
bahwa keenam lelaki itu kini sedang mengatur posisi
dengan menyebar ke seluruh penjuru. Dan apa yang
menjadi firasatnya itu benar. Karena dengan tiba-tiba dua lelaki berpakaian
pangsi hitam-hitam meloncat
dari arah kiri dan kanannya.
Bong Mini tersentak kaget sambil mundur dua lang-
kah dengan tubuh membalik. Sehingga empat orang
yang ada di belakang terlihat jelas. Mereka melangkah mendekatinya dengan
tenang. Wajah mereka tampak
angker dengan pedang di punggung masing-masing.
Keempat lelaki itu menghentikan langkahnya dalam
jarak tiga meter dari tempat gadis yang dihadangnya.
Mata mereka mencorong ke arah Bong Mini dengan ta-
jam. Sedangkan wajah mereka tak sedikit pun menam-
pakkan kesan ramah. Bengis dan kusut. Hanya lelaki
yang berpakaian putih saja yang kelihatan sedap di-
pandang. Walaupun wajahnya kelihatan asam tanpa
senyum sedikit pun.
"Siapa kalian"! Dan kenapa menghalangi perja-
lananku"!" tanya Bong Mini dengan suara lantang. Se-
dangkan sepasang matanya yang tajam menusuk mata
lelaki yang berpakaian putih.
Lelaki yang mendapat tatapan tajam dari seorang
gadis yang berpakaian merah itu tidak menjawab.
Hanya tatapannya saja yang tajam, membalas tatapan
mata Bong Mini. Kemudian dia memberi isyarat kepa-
da teman-temannya dengan gerakan kepala. Lima
orang temannya yang berpakaian hitam-hitam segera
bergerak mendekati gadis berpakaian merah. Cara ja-
lan mereka tegang. Wajah kelimanya bengis seperti
hendak menerkam mangsa.
Melihat gelagat yang tidak baik, Bong Mini mundur
perlahan. Sedangkan matanya dengan gesit mengawasi
gerak-gerik kelima lelaki yang mengepungnya.
"Tangkap saja. Jangan pakai senjata!" cetus lelaki
yang berpakaian putih dan rapi itu ketika lima orang temannya menarik golok
masing-masing dari sarungnya. Mendapat peringatan itu, kelima temannya segera
memasukkan kembali golok mereka. Kemudian dua
orang dari mereka segera menerjang ke arah Bong
Mini. Tetapi gadis mungil berwajah cantik itu bukan
gadis sembarangan. Dia seorang gadis yang sejak kecil telah mendapat gemblengan
ilmu bela diri dari papanya.
Ketika kedua orang itu menyerang Bong Mini dari
dua arah, dipergunakan tubuhnya yang mungil untuk
menunduk sedikit. Membuat serangan kedua orang itu
luput. Malah tubuh mereka bertabrakan cukup keras.
Sedangkan Bong Mini dengan cepat melompat ke bela-
kang dan berdiri menatap kedua lawannya dengan ter-
senyum tipis. "Makanya hati-hati kalau hendak melompat!" ledek
Bong Mini. Namun sikapnya tetap waspada, takut ka-
lau yang lainnya menyerang tiba-tiba.
Mendapat ejekan Bong Mini, kedua lelaki itu men-
jadi marah. Dengan geram mereka kembali menyerang.
Namun dengan gesit pula Bong Mini dapat melompat
menghindar. Sedangkan kedua kakinya digunakan un-
tuk mendorong kedua pantat lawannya. Akibatnya me-
reka jatuh tersungkur.
"Hi hi hi..., lagi nangkap kodok, Bang?" Bong Mini
tertawa terkikik. Sedangkan panggilan bang kepada
mereka karena ia merasa yakin kalau para penge-
royoknya itu penduduk pribumi, penduduk Pulau
Bangka. Melihat kedua lelaki itu dipermainkan begitu rupa
oleh gadis ingusan, ketiga temannya yang sejak tadi
hanya menonton, kini bergerak mengepung Bong Mini
dengan golok terhunus.
"Hiaaat!"
Sing! Sing! "Hi hi hi.... Bagus sekali tindakan kalian. Sehingga aku dapat berlatih silat
lebih baik lagi!" ejek Bong Mini lagi sambil mengeluarkan pedang yang tersangkut
di punggungnya. Kemudian dengan permainan pedang-
nya yang cukup baik, Bong Mini segera menangkis go-
lok-golok lawan yang mengarah kepadanya.
Trang trang trang...!
Bunga-bunga api berpijar ketika golok-golok mereka
tertangkis oleh pedang gadis berbaju merah itu. Ke-
mudian diputar-putarnya pedang itu dengan kecepa-
tan sampai tak terlihat oleh mata. Membuat kelima
penyerangnya merasa kesulitan. Lalu tubuh mereka
berloncatan beberapa langkah ke belakang dan me-
ngurung gadis mungil itu.
"Hi hi hi..., majulah kalian! Aku ingin lihat sampai di mana kemampuan kalian
dalam berhadapan dengan
seorang gadis kecil sepertiku!" tantang Bong Mini.
"Kelinci sombong. Rasakan seranganku!" salah seo-
rang dari pengeroyok itu mendengus marah. Kemudian
dengan cepat goloknya menyambar dahsyat. Tetapi
alangkah kagetnya lelaki itu, karena dengan cepat gadis berusia enam belas tahun
yang ditabraknya me-
nyambut dengan pedang. Kedua senjata itu langsung
berbenturan keras dan golok lawan terbelah dua!
Belum sempat lelaki itu mengatur posisinya, pedang
Bong Mini yang berujung runcing telah lebih dulu me-
nembus lambungnya. Seketika lelaki itu rubuh tak be-
da dengan seonggok kayu kering.
Empat orang lainnya menjadi terkejut dan marah.
Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan ta-
ngan kirinya pun turut menyerang dengan mengelua-
rkan jurus menotok jalan darah dengan tiga jari tan-
gan mereka masing-masing.
Namun, sebagai gadis kecil yang sudah punya pe-
ngalaman dalam dunia persilatan, dengan tenang dan
tersenyum Bong Mini menghadapi keroyokan mereka.
Ia telah dapat membaca batas kemampuan semua la-
wannya. Sehingga setiap babatan golok dapat dihalau
dengan mudah oleh pedangnya yang selalu berkelebat
cepat. "Mampuslah kau!" teriak seorang lelaki pada saat
goloknya tertangkis oleh pedang Bong Mini. Dengan
cepat ia menggerakkan tiga jarinya untuk menotok da-
da Bong Mini. Tetapi dengan gesit pula Bong Mini
menghindari totokan itu dengan melengkungkan ba-
dannya ke belakang. Lalu secepat kilat pedang yang
tadi digunakan untuk menangkis, diarahkan ke tubuh
lelaki yang hendak menotoknya.
Brettt! Pedang Bong Mini merobek tubuh lelaki itu dari ulu
hati sampai ke pantatnya. Kemudian disusul dengan
serangan-serangan ke arah tiga lawannya yang masih
berdiri kaku melihat kematian temannya. Dalam waktu
singkat, lima orang pengeroyoknya tersungkur jatuh
tanpa dapat bergerak lagi.
Lelaki muda berpakaian putih dan rapi terbelalak
kaget ketika melihat kelima temannya mati dalam se-
kejap. Dia tidak mengira sama sekali kalau teman-
temannya yang mahir memainkan golok dan gerakan
menotok dapat dikalahkan seorang gadis mungil. Na-
mun ia sendiri tidak gentar melihat kenyataan itu. Malah dengan kemarahan yang
memuncak dan kebencian
yang meluap, ia mendekati putri Bong Mini yang sudah sejak tadi menunggu
reaksinya. "Kau boleh bangga dapat mengalahkan kelima
orang temanku. Tapi jangan mengira kau dapat me-
ngalahkanku!" usai berkata, lelaki itu langsung me-
nyerangnya dengan sebilah pedang di tangan.
"Bagus. Keberanianmu ini yang sebenarnya ku-
tunggu-tunggu sejak tadi!" ujar Bong Mini seraya me-
nangkis serangan pedang lawan dengan pedangnya,
sehingga menimbulkan benturan yang amat keras.
Disusul dengan patahnya pedang lelaki muda itu.
Lelaki muda berpakaian putih itu melemparkan pe-
dangnya yang patah. Setelah itu menyerang kembali
dengan tangan kosong.
Melihat lawannya tanpa senjata, Bong Mini pun me-
lemparkan pedangnya ke tanah dan menyambut se-
rangan lawannya dengan tangan kosong pula. Dengan
tenang ia menghindari serangan lawan. Tubuh diputar
sambil mengibaskan kedua tangannya untuk menang-
kis serangan lawan yang menyerangnya dengan jurus
menotok. Menyadari betapa gadis itu mempunyai ilmu kungfu
yang tidak bisa dianggap remeh, pemuda berbaju putih kembali melancarkan
serangan bertubi-tubi dengan
sepasang tangan dan kakinya yang dapat mengirim ha-
jaran berbahaya. Serangannya susul-menyusul bagai
gelombang samudera yang tiada henti.
Bong Mini sangat terkejut mendapat serangan yang
tiada putus-putus itu. Dalam hati ia mengakui bahwa
lawannya kali ini amat tangguh. Kalau ia hanya men-
gelak dan menangkis, itu akan membuat dirinya teran-
cam. Oleh karena itu, setelah lawannya mendesak
sampai belasan jurus, Bong Mini membalas dengan ju-
rus kungfu 'Tanpa Bayangan' disertai pengerahan te-
naga dalam. Membuat lawan yang mencoba menangkis
serangannya, merasa seperti dilanda badai. Tubuhnya
terlempar ke belakang seperti daun kering yang tertiup
angin. Lalu tubuhnya membentur sebuah batu besar
dengan amat keras.
Dug! Pemuda itu terkulai lemah ketika punggungnya ter-
hantam batu besar. Sedangkan dari mulutnya me-
nyembur, darah segar. Lalu tubuhnya menggelepar-


Putri Bong Mini 01 Sepasang Pendekar Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelepar seperti ayam dipotong. Sampai akhirnya diam
tak berkutik lagi.
Bong Mini menghela napas dalam. Lalu kakinya me-
langkah menghampiri lawannya yang sudah tidak ber-
kutik itu. Di sana ia tercenung menyesali kematiannya.
Sebab dengan matinya pemuda itu ia tidak akan bisa
mengetahui asal-usulnya.
"Apa yang kau sesali, pendekar wanita?" tiba-tiba
suara lembut terdengar berbisik di telinganya. Sedangkan bahunya terasa seperti
ada yang menyentuh. De-
ngan cepat Bong Mini menoleh ke samping.
"Papa!" keluh Bong Mini ketika mengetahui kalau
orang yang menyentuh pundaknya adalah papanya.
Bongkap tersenyum kagum menatap putrinya.
"Papa, saya menyesal telah membunuh mereka," li-
rih Bong Mini lagi.
Bongkap menggeleng sambil tersenyum bijak.
"Kematiannya akibat perbuatannya sendiri," ucap
Bongkap. "Saya menyesal karena belum sempat mengetahui
asal-usul mereka," Bong Mini mengungkapkan penye-
salan yang sesungguhnya.
"Papa yakin mereka adalah orang-orang yang kita
cari selama ini!"
"Orang-orang bertopeng yang menyerang tempat ki-
ta, maksud Papa?"
"Ya. Atau bisa juga orang-orang yang menculik keti-
ga dayangmu!" sahut papanya.
Bong Mini tercenung sambil mengangguk lamat.
"Sudahlah. Mari kita pulang untuk istirahat. Sete-
lah itu kita lanjutkan pencarian kita untuk mengetahui dan mencari orang-orang
bertopeng yang menyerang
rumah kita!" ajak Bongkap serta menggandeng pu-
trinya. Bong Mini tidak menolak. Dan dengan sikap manja,
tubuhnya dirapatkan dalam pelukan papanya. Mereka
berjalan beriringan menuju utara untuk melanjutkan
pencarian orang-orang bertopeng yang telah menye-
rang rumah mereka.
Siapa sebenarnya orang-orang bertopeng hitam
yang melakukan serangan ke tempat Sepasang Pen-
dekar dari Selatan" Dan siapa pula keenam orang yang menyerang Bong Mini" Untuk
mengetahuinya ikutilah
serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode: 'Hi-langnya Seorang Pendekar'.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** *** *** 6 *** *** *** *** 7 *** *** *** *** 8 *** SELESAI Pedang Dewa Naga Sastra 1 Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong Gelang Kemala 6
^