Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 16


Sejenak kemudian perlahan-lahan ia bertanya, "Kenapa kau
bertanya tentang Pandan Wangi?"
"Jangan mempersulit. Katakan di mana Pandan Wangi
sekarang." "Jangan mendesak seperti itu, Wrahasta. Tetapi dengan
demikian aku tahu bahwa kau telah mencarinya di dalam rumah
dan kau tidak menemukannya. Bukankah begitu?"
Dada Wrahasta berdesir. Tetapi ia tidak sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan. Sambil menganggukkan kepalanya
ia menjawab, "Ya. Aku telah mencarinya."
"Pada saat kau melihat aku dan kedua kawan-kawanku keluar
dari rumah itu?" "Ya." "Kenapa" Kenapa kau mempergunakan waktu itu untuk
bertemu dengan Pandan Wangi" Justru pada saat aku pergi
keluar?" Wrahasta tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu.
Dengan demikian sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian
ia menjawab, "Kalau kau akan mempersoalkan hal itu, baiklah
kita persoalkan kelak. Tetapi di mana Pandan Wangi sekarang?"
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Maka dijawabnya dengan
nada datar, yang meskipun perlahan-lahan, tetapi benar-benar
telah menggoncangkan dada Wrahasta, "Pandan Wangi ternyata
tidak ada di dalam rumah itu. Itulah sebabnya aku sekarang
sedang mencarinya di halaman rumah ini."
Sejenak Wrahasta membeku di tempatnya. Namun gemuruh
di dadanya serasa akan memecahkan jantungnya. Bahkan
serasa ia tidak yakin akan pendengarannya. Apakah benar Kerti
berkata demikian" Bahwa Pandan Wangi tidak ada di dalam
rumah" Karena Wrahasta tidak segera berkata sesuatu, maka
terdengar suara Kerti seolah-olah bergumam saja di dalam
mulutnya, "Ia masuk ke dalam biliknya. Aku sangka ia ingin
beristirahat atau apabila mungkin tidur. Tetapi ternyata ia lenyap
seperti ditelan hantu. Tetapi menurut dugaankn, amatlah sulit
untuk keluar dari halaman ini tanpa dilihat oleh seseorang."
Terdengar Wrahasta menggeram. Kemudian jawabnya patahpatah,
"Ya. Memang tidak mungkin keluar dari halaman rumah
ini." "Marilah kita mencoba mencarinya. Tetapi tidak usah
membuat gaduh. Biarlah mereka yang tidak tahu tidak menjadi
ikut gelisah karenanya."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Marilah,"
desisnya. Kerti dan Wrahasta kemudian meninggalkan tempat itu ke
arah yang berbeda-beda ,seperti kedua kawan Kerti yang lain.
Mereka menyusup ke segenap sudut dan tempat-tempat yang
terlindung. Bahkan kandang kuda pun mereka lihat pula, kalaukalau
Pandan Wangi baru sekedar bersembunyi sebelum
mendapat kesempatan pergi.
Tetapi belum juga salah seorang dari mereka berhasil
menemukan Pandan Wangi, sehingga mereka menjadi gelisah.
Kerti yang kemudian berjalan di sepanjang dinding halaman,
akhirnya menemukan juga tempat-tempat yang menurut
penilaiannya cukup lemah. Satu dua penjaga ternyata duduk
sambil terkantuk-kantuk. "Apakah mungkin Pandan Wangi meloncat dinding halaman
ini?" pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun akhirnya Kerti berkesimpulan, bahwa hal itu memang
mungkin sekali dilakukan. Pandan Wangi bukan seorang gadis
biasa. Bahkan ia berada di atas semua laklaki di tanah perdikan
itu dalam olah kanuragan, sehingga sangat mungkin baginya
untuk mengelabuhi satu dua orang pengawas yang berjaga-jaga
di seputar rumahnya. Beberapa saat kemudian, Kerti, kedua kawannya, dan
Wrahasta telah berkumpul di dalam pringgitan. Tampaklah
wajah-wajah mereka menjadi tegang dan nafas mereka seakanakan
berkejaran lewat lubang hidung mereka karena
kegelisahan. "Kita ternyata tidak dapat menemukannya," gumam Kerti
seolah-olah kepada diri sendiri.
"Ya," sahut Wrahasta, "anak itu seolah-olah hilang ditelan
hantu." "Aku mencemaskannya apabila ia pergi ke Pucang Kembar,"
berkata Kerti kemudian. "Apakah ia bermaksud demikian?" bertanya Wrahasta.
"Ia selalu menyatakan keinginannya itu."
"Kalau begitu, aku akan menyusulnya."
"Jangan berbuat bodoh. Pikirkan lebih dahulu setiap
tindakan," sahut Kerti, "apakah sudah sepantasnya kau
meninggalkan tanggung jawabmu atas halaman dan rumah ini."
"Pandan Wangi termasuk sebagian, bahkan yang terbesar
dari tanggung jawabku. Karena itu, sudah seharusnya aku
mencarinya sampai ketemu."
Kerti yang tua itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Jangan Wrahasta. Kau bertanggung jawab atas halaman ini
seisinya. Kalau halaman ini kau tinggalkan dan malam ini juga
Sidanti memasuki rumah ini, maka kesalahan terbesar terletak di
bahumu. Sedang Pandan Wangi, serahkanlah ia kepadaku. Aku
akan mencarinya dan membawanya kembali ke dalam rumah
ini." Sejenak Wrahasta menahan nafasnya. Wajahnya menjadi
semakin tegang. Ia mengerti maksud Kerti, tetapi perasaannya
seolah-olah tidak dapat lagi dikekangnya. Ia menjadi terlampau
cemas atas nasib Pandan Wangi.
"Jangan kau terlampau menuruti perasaanmu anak muda,"
berkata Kerti kemudian, "aku tidak akan mencampuri
persoalanmu, persoalan anak-anak muda. Tetapi kau harus
dapat memisahkan kepentingan yang satu dengan yang lain.
Persoalan yang menyangkut tanah perdikan ini dan persoalan
pribadimu." "Oh," Wrahasta berdesah, "darimana kau tahu, Paman?"
"Aku adalah orang tua. Aku dapat menangkap getar dalam
dada anak-anak muda. Karena itu, dengarlah nasehatku. Kau
tinggal di sini. Aku akan pergi. Aku tahu apa yang harus aku
kerjakan. Aku akan pergi ke Pucang Kembar, tanpa
mengganggu perang tanding itu. Sebab apabila Ki Gede
Menoreh mengetahui kehadiranku, atau salah seorang dari kita,
maka alangkah marahnya. Kalau aku terlambat, dan Pandan
Wangi telah ada di sana pula, maka aku pun akan menerima
akibat yang sama. Bahkan kehadiran Pandan Wangi apabila
diketahui oleh ayahnya benar-benar merupakan bahaya yang
pasti bagi Ki Gede."
Wrahasta tidak segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya
menunduk. "Tinggallah kau di sini anak muda,"berkata Kerti kemudian,
"kedua kawanku ini pun akan tinggal di sini pula. Setiap saat
Sidanti dan Argajaya akan merayap memasuki induk tanah
perdikan ini. Adalah menjadi kewajibanmu untuk bertahan di
sini." Wrahasta masih belum menjawab. Kepalanya kini benarbenar
telah tertunduk dalam-dalam. Tampaklah ia sedang
berpikir. Dicobanya untuk mengatasi gelora perasaannya, dan
menempatkannya pada keadaan yang wajar. Wajar bagi
seorang pemimpin pasukan pengawal yang mendapat perintah
untuk bertanggung jawab atas halaman dan rumah ini.
"Apakah kau mengerti maksudku?" bertanya Kerti.
Perlahan-lahan Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Ya, aku mengerti. Tetapi apakah kau
akan pergi seorang diri?"
"Aku akan singgah ke banjar. Aku akan menemui Samekta.
Mungkin aku akan mendapat kawan yang baik dari banjar.
Sebab kita sadar, siapakah yang kini sedang berada dan
berperang tanding di bawah Pucang Kembar itu."
Wrahasta mengangguk pula, "Baiklah. Aku akan tinggal di
sini. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dan membawa
anak itu kembali ke rumah ini."
"Aku akan berusaha," sahut Kerti, "nah, baiklah aku segera
berangkat. Aku akan membawa kuda, supaya aku datang lebih
cepat dari Pandan Wangi."
Sesaat kemudian seekor kuda berderap lari meninggalkan
halaman rumah Pandan Wangi. Suaranya gemeretak di atas
jalan berbatu-batu, memecah sepinya malam. Semakin lama
semakin jauh dan beberapa saat kemudian hilang dari
pendengaran. Wrahasta masih berdiri di regol halaman. Debar jantungnya
masih terasa menghentak-hentak di dadanya. Ia telah
dicengkam oleh kecemasan tentang hilangnya Pandan Wangi.
Cemas bahwa ia untuk seterusnya tidak akan dapat
mengharapkannya, dan cemas atas tanggung jawab yang di
bebankan kepadanya. Tetapi Wrahasta mencoba untuk menumpahkan segala
harapannya kepada Kerti. Ia kenal orang tua itu. Ia tahu
kemampuan yang tersimpan di dalam diri pemomong Pandan
Wangi itu. Karena itu maka ia masih belum berputus asa.
Sementara itu Kerti memacu kudanya menyusup dalam
keremangan malam. Sekalsekali ditengadahkan wajahnya.
Dilihatnya bulan yang bulat semakin meninggi. Seperti Pandan
Wangi, terbayang di dalam angan-angannya, sebuah
perkelahian antara hidup dan mati yang dahsyat telah terjadi di
Pucang Kembar. Perkelahian antara dua orang yang pilih
tanding. "Hem," orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah
ingin menghirup kesejukan malam sebanyak-banyaknya.
"Pandan Wangi benar-benar anak yang keras hati. Mudahmudahan
aku tidak terlambat."
Kerti pun mencoba memacu kudanya semakin cepat, supaya
ia dapat mendahului Pandan Wangi. Kalau kedatangan Pandan
Wangi itu diketahui oleh ayahnya, maka rusaklah perang tanding
itu. Ketika Kerti sampai dimuka halaman banjar, maka segera ia
menarik kekang kudanya. Seorang penjaga regol mendekatinya
dengan tombak menunduk, "Siapa?"
"Aku, Kerti. Apakah Samekta ada di dalam banjar?"
"O, kau Kiai, masuklah."
Kerti segera memasuki halaman. Setelah kudanya
diikatkannya pada sebatang kayu, maka dengan tergesa-gesa ia
menemui Samekta yang duduk dengan beberapa orang
pemimpin pengawal di pendapa.
"He, kau sendiri datang kemari?" bertanya Samekta.
Kerti mengangguk, "Ya," jawabnya pendek.
"Kau nampak terlalu bersungguh-sungguh. Aku menjadi
berdebar-debar." "Memang seharusnya kau menjadi berdebar-debar," jawab
Kerti yang masih juga sempat bergurau, "aku memang ingin
melihat kau menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas, supaya
aku tidak dicengkam perasaan demikian seorang diri."
"O, jadi kau memerlukan kawan dalam kebingungan" Baiklah.
Aku akan menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas. Tetapi
aku harus tahu apakah sebabnya, maka kau menjadi demikian."
"Dengarlah baik-baik. Berpeganganlah pada tiang, supaya
kau tidak terjatuh dan pingsan."
"Katakanlah. Aku sudah terlanjur cemas. Dadaku sudah
berdebar-debar dan darahku serasa semakin cepat mengalir."
"Baiklah," jawab Kerti yang wajahnya kini menjadi
bersungguh-sungguh, "Pandan Wangi ternyata tidak berada di
rumahnya." "He," Samekta tergeser secengkang, "kau berkata
sebenarnya?" "Hal ini benar-benar telah terjadi."
Sejenak Samekta tidak dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Ditatapnya saja wajah Kerti, seakan-akan ingin melihat apa
yang tersembunyi di balik wajah yang sudah mulai dilukai oleh
kerut-merut itu. "Apakah kau kurang percaya?"
Samekta tidak segera menjawab. Tetapi sejenak kemudiaa ia
menggeleng, "Bukan. Bukan karena aku tidak percaya. Hal itu
memang mungkin sekali terjadi. Apabila benar demikian, maka
anak itu sudah lari untuk kedua kalinya dari rumahnya. Tetapi
apakah kalian lengah mengawasinya."
"Sudah tentu. Kalau tidak, ia tidak akan dapat keluar dari
halaman." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
"Memang tidak perlu untuk mencari siapakah yang bersalah.
Tetapi apakah kau dapat menduga, ke mana perginya" Yang
terpenting sekarang adalah menemukannya, bukan
mempersoalkan siapakah yang bertanggung jawab atas
hilangnya itu." "Bagus. Ternyata pikiranmu masih cukup sehat," sahut Kerti,
yang kemudian menceriterakan apa yang dilihat dan
didengarnya di dalam rumah Ki Argapati. Bagaimana sikap dan
keinginan Pandan Wangi, sehingga pada suatu saat ia
menemukan bilik itu kosong.
"Kalau begitu kita harus cepat pergi," berkata Samekta, "tetapi
apakah aku dapat meninggalkan banjar ini?"
"Bukan kau sendiri. Tetapi kau dapat menunjuk seseorang
yang paling kau percaya untuk menemaniku."
"Kau akan pergi?"
"Ya. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sambilan. Aku harus
menemukannya. Sedang kita tahu, di bawah Pucang Kembar itu
kini sedang terjadi benturan yang dahsyat antara dua orang
rakrasa yang perkasa."
Samekta mengerutkan keningnya sambil menganggukangguk.
Ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu maka
dipilihnyalah dua orang pemimpin pengawal yang paling kuat di
antara sekian banyak kawan-kawannya untuk pergi ke Pucang
Kembar. "Usahakan, supaya Ki Argapati tidak tahu apa yang terjadi.
Kau harus menemukan Pandan Wangi sebelum Pandan Wangi
berhasil mendekat. Kalau kau mempergunakan kuda, maka kau
pasti akan jauh lebih cepat daripadanya, sehingga kau dapat
mencegatnya sebelum ia naik ketebing itu."
"Ya. Aku akan berangkat sekarang."
"Pergilah." Kerti pun segera pergi bersama dua orang pemimpin
pengawal yang terpilih. Mereka segera memacu kuda-kuda
mereka seperti angin. Setiap kali mereka harus memperlambat
derap kakkaki kuda itu di depan gardu-gardu peronda, untuk
menjawab berbagal pertanyaan yang hampir bersamaan satu


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lainnya. Namun betapa mereka menjadi jemu, mereka
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Maka semakin lama ketiga orang itu menjadi semakin dekat
dengan Pucang Kembar. Tetapi mereka masih belum
menemukan atau melampaui Pandan Wangi, sehingga Kerti
semakin lama menjadi semakin gelisah karenanya.
"Derap kuda kita agaknya telah mendorong Pandan Wangi
untuk bersembunyi," berkata Kerti perlahan-lahan.
"Ya. Beberapa puluh langkah di muka, suara derap kuda ini
sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi, semakin kita maju,
maka Ki Argapati di bawah Pucang Kembar pun akan
mendengarnya pula," sahut salah seorang temannya.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
memperlambat lari kudanya ia berkata, "Jangan terlampau
cepat, supaya derap kakkaki kuda kita tidak terlampau keras."
Ketiganya kemudian meneruskan perjalanan mereka dengan
langkah-langkah yang lebih lamban. Kuda-kuda mereka berlari
perlahan-lahan, sehingga sentuhan kakkaki kuda itu di atas
tanah berbatu padas tidak meninmbulkan suara terlampau keras.
"Kita sudah terlampau dekat," berkata Kerti beberapa saat
kemudian. "lebih baik kita turun. Kita sembunyikan kuda kita, lalu
kita mendekat dengan berjalan kaki. Kalau kita terlampau dekat,
maka apabila kuda-kuda itu meringkik, rusaklah segala acara."
Kawan-kawannya menyetujuinya, sehingga mereka
bertigapun meneruskan perjalanan itu sambil berjalan kaki. Hatihati
dan dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka
seolah-olah tidak terpisah lagi dari hulu pedang mereka. Sedang
kawan Kerti yang seorang, yang bertubuh kecil, mempunyai
beberapa bilah pisau di ikat pinggangnya yang lebar, selebar
telapak tangan. Tangannya yang pendek itu terlampau cepat
melepaskan pisau-pisaunya, dengan bidikan yang tepat. Ia
hampir tidak pernah gagal mengenai sasarannya. Apalagi
sasaran yang diam, sedang sasaran bergerak pun hampir pasti
dapat dikuasainya. *** Semakin dekat mereka dengan Pucang Kembar, mereka
menjadi semakin berhathati. Mereka berjalan di antara semaksemak
yang rimbun. Kemudian membungkuk-bungkuk dan
berlarlari kecil dari satu gerumbul kegerumbul yang lain.
Namun mereka sama sekali tidak menemukan Pandan
Wangi. Mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apapun
tentang gadis itu. Sehingga dengan demikian, maka Kerti pun
menjadi semakin berdebar-debar. Keringat dingin telah mengalir
di segenap wajah kulitnya. Bajunya menjadi basah, dan di
keningnya mengembun beberapa titik keringat.
Beberapa langkah lagi mereka menjadi semakin dekat.
Dengan dada berdebar-debar mereka menjengukkan kepala
mereka dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Terasalah
desir yang tajam di dalam dada mereka, ketika remang-remang
di kejauhan mereka melihat dua bayangan seperti endog
pangamun-amun, bergetar di dalam keremangan cahaya
rembulan yang bulat. Sesaat mereka saling berpandangan. Meskipun tidak sepatah
kata pun yang terucapkan, namun seolah-olah mereka saling
dapat menangkap isi hati masing-masing.
Kerti dan kedua orang kawannya adalah orang-orang yang
memiliki pengalaman yang cukup sebagai pengawal-pengawal
tanah perdikan. Namun mereka seperti kanak-kanak yang baru
pertama kalinya melihat seekor kuda berpacu. Mereka melihat
bayangan yang seakan-akan melayang-layang itu dengan mulut
ternganga. Alangkah dahsyatnya.
Namun sejenak kemudian, Kerti menyadari keadaannya.
Dengan berbisik perlahan sekali ia berkata, "Kita tidak melihat
Pandan Wangi di sini."
"Mungkin ia berada di depan kita, semakin dekat dengan
perkelahian itu." "Mungkin. Tetapi dengan demikian, sangat berbahaya
baginya dan bagi Ki Argapati. Kalau kakinya menyentuh daundaun
kering itu, maka gemersik suaranya akan didengar oleh
kedua orang yang luar biasa itu. Nah, kau pasti akan tahu
akibatnya." Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Sedang Kerti berbisik pula, "Tetapi mungkin
Pandan Wangi belum sampai ke tempat ini."
"Baiklah kita menunggu saja di sini. Tempat ini cukup jauh,
meskipun lamat-lamat kita melihat bayangan mereka yang
berkelahi," sahut kawannya.
Kerti mengangguk sambil berdesis, "Kita sulit membedakan
keduanya selain dari bentuk senjata mereka. Yang bertombak itu
pasti Ki Argapati, sedang yang bersenjata lebih pendek itu
adalah Ki Tambak Wedi."
Demikianlah, maka mereka bertiga tetap berada di tempat itu,
di balik sebuah gerumbul yang rimbun. Dengan sepenuh hati
mereka mengikuti perkelahian antara kedua orang yang pilih
tanding. Perkelahian yang te!ah sampai pada pucaknya dengan
bertaruh nyawa. Seolah-olah mereka sedang melanjutkan
perkelahian yang pernah terjadi di bawah Pucang Kembar itu
pula beberapa puluh tahun yang lampau.
Sementara itu, Sidanti, dan Argajaya, sedang sibuk mengatur
pasukannya. Mereka merasa, bahwa telah sampai saatnya,
mereka berangkat untuk merebut induk Tanah Perdikan
Menoreh. "Kita akan memasuki padukuhaan induk itu dari Timur,
Paman," berkata Sidanti ketika pasukan mereka telah siap,
"seperti pesan guru."
"Ya," sahut pamannya, "apakah pasukan yang akan
memancing para pengawal itu telah siap pula."
"Sudah. Aku sediakan sepasukan yang cukup kuat untuk
bertahan beberapa lama, sementara pasukan induk kita masuk
dari arah lain. Pasukan yang akan memancing perhatian itu akan
datang dari arah Barat."
"Bagus. Biarlah pasukan itu berangkat lebih dahulu."
"Kita berangkat bersama-sama. Tetapi kita berpisah di jalan.
Aku mengharap bahwa waktu yang kita perlukan tidak terpaut
banyak. Kalau kita terlambat, pasukan yang datang dari Barat itu
pasti sudah hancur lumat. Menurut pengamatan petugaspetugas
sandi kita, pasukan pengawal Menoreh telah benarbenar
dalam keadaan siaga."
"Tetapi pasukan kita tidak berselisih banyak, Sidanti.
Kekuatan kita pun cukup besar."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia adalah
orang yang cukup berpengalaman. Namun ia kagum melihat
ketangkasan Sidanti berpikir, merencanakan serangan atas
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya
pengetahuan Sidanti selama ia menjadi prajurit, di alasi oleh
darah Paguhan yang mengalir di dalam tubuhnya,
menjadikannya seorang yang cerdas.
Maka sejenak kemudian Sidanti, Argajaya, dan kedua
pasukannya telah siap. Setelah Sidanti memberi beberapa
penjelasan kepada kedua pasukan itu, maka mereka itu pun
segera berangkat. Pasukan yang pertama, yang sekedar
memancing perlawanan pasukan-pasukan pengawal Menoren,
telah diserahkan kepada seseorang yang dipercayanya, justru
bukan orang Menoreh. Pasukan itu sebagian besar memang
terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal di tanan perdikan ini.
Mereka terdiri dan orang-orang yang sama sekali tidak
mempunyai tanggung jawab apa pun. Mereka sekedar berkelahi
untuk kepentingan pribadi masing-masing. Dengan berkelahi
mereka mengharap mendapatkan keuntungan-keuntungan yang
jauh lebih banyak daripada apabila mereka bekerja wajar. Tetapi
mereka menyadari, bahwa taruhannya adalah leher mereka.
"Merampok pun aku harus mempertaruhkan kepala," pikir
salah seorang dari mereka, "kini aku mendapat kesempatan
untuk melakukannya secara terbuka."
"Kenapa kita dijadikan umpan di dalam gelar ini?" salah
seorang dari mereka berdesis kepada kawannya.
Kawannya menggelengkan kepalanya, "Tidak. Pasukan induk
itu akan segera menarik perhatian para pengawal. Kita akan
mendapat banyak kesempatan. Kalau kita masuk ke induk tanah
perdikan ini bersama Sidanti dan Argajaya, maka setiap gerak
kita akan diawasinya. Tetapi dari jurusan ini, kita akan bebas
melakukan apa saja yang kita kehendaki."
"Tetapi tugas ini terlampau berat. Sebelum pasukan induk itu
datang, kita akan bertempur melawan kekuatan yang jauh
melampaui kekuatan kita."
"Sidanti sudah berjanji, bahwa waktu yang diperlukannya
tidak terpaut banyak."
"Bagaimana kalau ia ingkar, justru menunggu sampai kita
binasa?" "Tidak ada gunanya kita membunuh diri. Kalau menurut
pertimbangan kita, pekerjaan kita terlampau berat, kenapa kita
tidak lari saja dan kemudian memukul sendiri Sidanti dari arah
yang lain. Kita akan mendapat hadiah dari Ki Argapati, seperti
apa yang dijanjikan Sidanti. Bahkan kalau kita sempat, biarlah
kedua pasukan itu saling berhantam. Kita akan mengambil apa
saja yang dapat kita ambil."
Keduanya tertawa pendek. Pekerjaan yang mereka hadapi
sama sekali lidak memerlukan tanggung jawab apa pun, selain
menuggu upah yang dijanjikan oleh Sidanti, dan kemungkinankemungkinan
yang dapat dilakukan sepanjang pertempuran itu
berlangsung. Demikianlah, maka kedua pasukan itu telah membelah gelap
malam menyelusur jalan yang menuju ke induk Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi Sidanti tidak terlampau bodoh untuk menempuh jalan
terdekat. Ia yakin, bahwa di sepanjang jalan terdekat itu, telah
berhamburan petugas-petugas sandi dan pengawas-pengawas
dari pasukan Ki Argapati. Karena itu, maka dipilihnya jalan yang
lain. Jalan kecil yang agak melingkar. Namun menurut
perhitungannya adalah jalan yana paling aman.
Semakin lama, maka pasukan itupun menjadi semakin dekat
dengan induk tanah perdikan. Beberapa orang yang tinggal di
rumah di pinggir jalan terkejut mendengar langkah kaki seperti
air yang mengalir. Tidak henthentinya, seakan-akan tanpa
ujung. Tetapi di dalam rumah itu pada umumnya sudah tidak ada
lagi seorang laklaki pun. Mereka telah menempatkan diri
mereka menurut keyakinan masing-masing. Sebagian dari
mereka berada di banjar Tanah Perdikan Menoreh, dan
sebagian lagi turut serta dalam arus pasukan Sidanti yang
menelusur jalan kecil seperti seekor ular raksasa yang sedang
bergerak perlahan-lahan. Ketika pasukan itu telah sampai di tempat yang mereka
tentukan, maka pasukan ini pun segera berhenti. Di tempat itulah
pasukan akan berbagi. Sebagian akan membelok ke Barat dan
akan masuk melalui padukuhan-padukuhan kecil di sebelah
Barat induk tanah perdikan, dan yang lain akan menuju ke
Timur, untuk seterusnya masuk ke pedukuhan induk dari arah
yang berlawanan dari arah pasukan yang pertama.
"Aku percayakan pasukan ini kepadamu," berkata Sidanti
kepada pemimpin pasukan yang bertugas memancing dari arah
Barat. Seorang yang datang dari seberang Kali Bogowanta, yang
menamakan dirinya Ki Peda Sura. Meskipun namanya tidak
begitu dikenal, namun ia adalah seorang yang berpengaruh. Ki
Peda Sura adalah seorang yang mempunyai kekuatan tersendiri,
karena ia datang ke tanah perdikan ini bersama beberapa orang
anak buahnya, bahkan merupakan satu pasukan kecil tersendiri.
Seperti orang-orang lain, maka Ki Peda Sura mendapat janji
yang menyenangkan. Ia akan mendapat daerah yang subur di
sisi Barat Tanah Perdikan Menoreh selama Sidanti memerintah
tanah perdikan itu. Itulah sebabnya, maka ia berkeras hati untuk
membantu dan memenangkan perlawanan Sidanti atas ayahnya,
Ki Argapati, meskipun Ki Peda Sura telah mengenal Argapati
pula. "Selama Argapati berkuasa di Menoreh, aku tidak akan
mendapat keuntungan apa-apa daripadanya," katanya di dalam
hati, "tetapi agaknya berbeda dengan Sidanti. Aku dapat
mengharap banyak daripadanya. Ia tidak akan dapat ingkar janji
sebab selain aku dan orang-orangku banyak sekali orang-orang
yang telah dilibatkannya dalam pertengkaran ini. Kalau ia ingkar,
maka selamanya tanah ini tidak akan dapat tenteram meskipun
di sini ada Ki Tambak Wedi."
Sesaat kemudian Ki Peda Sura telah membawa pasukannya
membelok kearah Barat, menyusur sebuah pematang yang
sempit. Mereka akan sampai pada sebuah jalan kecil untuk
segera memasuki sebuah padesan kecil pula. Ki Peda Sura,
meskipun bukan orang Menoreh, tetapi ia cukup mempunyai
pengetahuan tentang daerah itu, sehingga ia menduga bahwa ia
harus berhathati menghadapi peronda-peronda yang mungkin
dipasang oleh Argapati di desa kecil itu.
Sedangkan Sidanti dan Argajaya bersama-sama berada di
dalam induk pasukannya. Mereka akan memasuki induk tanah
perdikannya dari arah yang berlawanan. Yang masuk ke rumah
Argapati harus mendapat pengawasan sebaik-baiknya, sehingga
Sidanti dan Argajaya berdua bersama-sama merasa perlu
berada di induk pasukan itu.
"Rumah itu harus diselamatkan," desis Sidanti, "isinya
maupun bangunannya."
"Ya," sahut pamannya. "tidak boleh sehelai papan pun yang
pecah pada rumah itu. Apalagi kehilangan harta milik. Orangorang
gila yang ikut dalam pasukan Peda Sura adalah
perampok-perampok yang buas. Biar sajalah mereka akan
dihancurkan oleh pasukan Argapati."
"Jangan Paman. Kita masih memerlukan mereka untuk saatsaat
mendatang." "Kalau kita sudah menduduki padukuhan induk, kita tidak lagi
memerlukan mereka." Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi itukah
alasannya, kenapa Paman tadi sebelum berangkat berpendapat
bahwa pasukan itu harus berangkat lebih dahulu?"
Argajaya tidak segera menjawab.
"Jangan sekarang Paman," berkata Sidanti kemudian, "seperti
Guru berpesan, mereka kita manfaatkan sampai selesai."
"Apabila kita sudah selesai, maka sulitlah bagi kita untuk
menyingkirkan mereka."
"Itu adalah tugas Guru. Tetapi aku kira tidak demikian. Kita
dapat membuat persoalan sehingga mereka saling berkelahi,
karena kita tahu kepentingan mereka di sini satu dengan yang
lainnya berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama. Mereka ingin
merampok dan memiliki apa saja sebanyak-banyaknya."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Tetapi lebih lama mereka tinggal di sini, maka tanah ini
akan menjadi semakin rusak."
"Kita akan mempergunakan mereka sampai Argapati sama
sekali tidak mampu lagi melawan kita. Baik Argapati sendiri
apabila ia berhasil lolos dari tangan Guru, maupun orangorangnya."
"Tidak mungkin Sidanti. Tidak mungkin Kakang Argapati akan
lolos dari tangan gurumu dan pembantu-pembantunya."
Sidanti tidak menjawab. Tetapi timbullah pertanyaan di dalam
dirinya, "Kenapa Argajaya itu berpihak kepadaku" Tetapi
dijawabnya sendiri, "Ah, biarlah itu diurus oleh Guru. Sudah tentu
sikap itu mengandung pamrih, sebab Argapati adalah kakaknya
sendiri." Namun terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sampai
saat terakhir, saat gurunya berceritera kepadanya, ia pun
menganggap bahwa Argapati itu adalah ayahnya. Bahkan
sikapnya sama sekali tidak berbeda terhadapnya dan terhadap
Pandan Wangi. Dan kini, tiba-tiba saja ia harus memusuhinya.
Melawan orang yang selama ini dianggapnya sebagai ayahnya.
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pada akhirnya
ia harus berpihak kepada ayahnya yang sebenarnya. Ki Tambak
Wedi. Dan orang itupun terlampau baik kepadanya selama ini.
Karena itu pula agaknya Ki Tambak Wedi memanjakannya jauh
melampaui seorang murid biasa.
Sementara itu, pasukan Sidanti kedua-duanya menjadi
semakin dekat, sehingga mereka harus berjalan lebih berhatihati
lagi. Baik Ki Peda Sura, maupun Sidanti, telah melepaskan
beberapa orang yang harus berjalan mendahului pasukanpasukan
mereka yang sebenarnya. Dalam pada itu, di rumah Ki Argapati, Wrahasta menjadi
terlampau gelisah. Ia berjalan hilir mudik di halaman. Kadangkadang
ia masih berusaha mencari Pandan Wangi di sudutsudut
gelap di halaman, tetapi ia sama sekali tidak
menemukannya. "Hem," desahnya, "anak itu memang anak yang terlampau
keras hati. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari, apakah yang
sedang terjadi di dalam tanah perdikan ini. Ia tidak menyadari,
betapa besarnya bahaya di sepanjang jalan dan bahaya yang
menunggunya di bawah Pucang Kembar."
Tetapi tiba-tiba Wrahasta itu terperanjat, ketika salah seorang
kawan Kerti yang ditinggalkan berjalan-jalan tergesa-gesa
menemuinya. "Mengapa?" bertanya Wrahasta yang menjadi berdebar-debar
karenanya. "Wrahasta, ternyata Pandan Wangi ada di dalam rumahnya."
"He," Wrahasta itu hampir saja terlonjak, "kau gila. Apakah
kau ingin membuat aku semakin bingung?"
"Ikutlah aku," jawab orang itu pendek tanpa memperhatikan
kata-kata Wrahasta. Orang itupun sama sekali tidak menunggu
jawaban. Denqan tergesa-gesa ia berjalan mendahului, langsung
menuju ke pringgitan. Sedang di belakangnya Wrahasta pun
berjalan mengikutinya tanpa bertanya lagi.
Ketika mereka melampaui pintu pringgitan, dada Wrahasta
benar-benar berguncang. Ia melihat Pandan Wangi itu duduk
bersama seorang kawan Kerti yang tidak ikut bersamanya.
"Pandan Wangi," Wrahasta berkata dengan serta merta,
"permainan apakah yang sedang kau lakukan" Di manakah kau
selama ini?" Pandan Wangi tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia
berkata, "Duduklah, Wrahasta. Dengarlah baik-baik, apakah
sebenarnya maksudku dengan permainan ini."
Wrahasta tidak menyahut. Seolah-olah di luar sadarnya ia
melangkah mendekati Pandan Wangi dan duduk di hadapannya
bersama kawan Kerti yang seorang lagi.
"Wrahasta," berkata Pandan Wangi, "aku memang sengaja
bersembunyi, supaya kalian mencari aku. Aku memanjat pohon
duku di halaman samping. Tidak seorang pun yang melihatku.
Aku memang sengaja membuat kesan supaya Kerti menyangka
aku pergi ke Pucang Kembar menyusul Ayah."
"Apakah maksudmu Pandan Wangi" Apakah kau tidak sadar,
bahwa permainan itu adalah permainan yang sangat berbahaya.
Berbahaya bagi jiwa Kerti yang menyusulmu, dan berbahaya
bagi Ki Argapati?" "Mungkin demikian Wrahasta, tetapi mungkin sebaliknya. Aku
mendapat firasat, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini tidak akan
berbuat dengan jantan dan jujur. Apabila Kerti mencari aku ke
sana, maka setidak-tidaknya Ayah mempunyai seorang saksi,
apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi."
Getar jantung Wrahasta terasa semakin cepat berdentangan
di rongga dadanya. Namun kecemasan yang sangat telah
menguasai perasaannya. Ia tahu benar, apakah akibat yang
dapat timbul, seandainya Ki Argapati mengetahui, bahwa
seseorang telah meliht perkelahian itu. Maka katanya, "Apakah
menurut pertimbanganmu saksi itu akan menguntungkan
kedudukan Ki Argapati" Justru dengan hadirnya seorang saksi,
maka pemusatan kemampuan Ki Argapati akan terganggu. Nah,
kau dapat membayangkan, sedikit saja gangguan pada salah
seorang dari mereka, maka ia akan kehilangan kesempatan
untuk melakukan perang tanding itu seterusnya"
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Memang
kemungkinan yang demikian itupun dapat juga terjadi. Tetapi ia
menjawab, "Wrahasta. Kerti tahu benar, bahwa hal yang serupa
itu dapat terjadi. Tetapi aku pun percaya, bahwa Kerti bukan
anak-anak lagi. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia datang ke
Pucang Kembar sama sekali tidak dengan maksud untuk
menarik sebagian dari pemusatan pikiran Ayah. Ia tahu hal itu,
dan karena itu ia akan berhathati. Tetapi lebih daripada itu, aku
merasa bahwa Ayah justru sedang diintai oleh bahaya yang
tersembunyi. Wrahasta, aku tidak dapat mengatakan, tetapi
firasatku berkata, Ki Tambak Wedi akan berbuat curang."
"Maksudmu, Ki Tambak Wedi tidak datang seorang diri dalam
gelanggang perkelahian itu?"
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Wrahasta sejenak terdiam, sehingga suasana di dalam
ruangan itu menjadi sepi. Sepi yang tegang. Masing-masing
hanyut dalam arus angan-angan sendiri.
Dikejauhan terdengar suara burung-burung malam
menggetarkan udara. Suaranya yang ngelangut serasa
mengetuk hati yang sedang gelisah.
Didalam keheningan itu" tiba-tiba bergetar derap suara kakikaki
kuda membelah sepinya malam. Gemeretak di atas tanah
berbatu-batu. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak
kemudian suara suara derap kakkaki kuda itu berhenti. Namun
sesaat berikutnya, derap itu telah bergetar di halaman.
"Siapakah itu?" bertanya Pandan Wangi.
Wrahasta menggelengkan kepalanya, "Mudah-mudahan
bukan Kerti. Kalau kau berfirasat buruk atas Ki Tambak Wedi,
sebaiknya memang Kerti akan dapat menyaksikannya. Tetapi ia
seharusnya dapat membawa diri."
"Lihatlah, siapakah orang yang baru datang."
Wrahasta pun kemudian berdiri dan melangkah keluar. Tetapi
ketika ia membuka pintu, hampir saja ia membentur seseorang
yang dengan tergesa-gesa melangkah masuk.
"Oh, kau," desis Wrahasta ketika ia melihat seorang pengawal
yang dengan nafas terengah-engah berdiri di depan pintu.
"Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Ya. Aku akan menemui Pandan Wangi."
"Masuklah." Orang itupun segera masuk, diikuti oleh beberapa orang
pemimpin tanah perdikan yang sedang duduk-duduk di pendapa.
Mereka melihat gelagat yang membuat jantung mereka menjadi
berdebar-debar. Ketika mereka telah duduk melingkar di atas tikar, maka
orang yang baru saja datang itu segera berkata, "Aku mendapat
tugas untuk menyampaikan berita kemari."
"Ya," sahut Pandan Wangi pendek.
"Beberapa orang petugas sandi telah melihat gerakan
pasukan yang mendekati padukuhan induk ini"
Sederet warna merah membayang di wajah Pandan Wangi.
Hampir-hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. Seperti
mimpi ia membayangkan, apakah mungkin kakaknya, Sidanti,
yang bermain-main dengannya di masa-masa kecil itu benarbenar
telah sampai hati menggerakkan pasukan untuk melawan
ayahnya" Apakah mungkin, bahwa Sidanti yang tinggal di dalam
rumah ini di masa kanak-kanaknya sebagai anak dari ibunya dan
mendapat perlakuan tidak ubahnya seperti anak sendiri dari
ayahnya, Ki Argapati, kini telah sampai hati melawan dengan
kekerasan, dan bahkan dengan cara yang curang dan licik"
"Ki Tambak Wedi," katanya di dalam hati, "ini pasti pokal Ki
Tambak Wedi. Aku tidak percaya bahwa Kakang Sidanti akan
berbuat demikian menurut hasratnya sendiri." Namun tiba-tiba
Pandan Wangi itu menjadi kecewa ketika di dalam hatinya itu
pula ia menyadari, bahwa sebenarnyalah bahwa Sidanti adalah
anak Ki Tambak Wedi. Darah yang mengalir di dalam tubuh
kakaknya itu selain darah ibunya seperti yang juga mengalir di
dalam dirinya adalah darah dari orang tua yang licik itu, yang di
dalam masa mudanya telah berhubungan terlampau rapat
dengan ibunya. "Oh," Pandan Wangi berdesah. Hampir saja ia memekikkan
perasaan pedih di dalam hatinya. Namun untunglah bahwa
segera ia menyadari kedudukannya kini. Ia adalah seorang yang
kini sedang mewakili ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh,
meskipun ia seorang gadis.
Karena itu, maka Pandan Wangi segera berusaha menguasai
perasaannya. Dengan nada yang datar ia bertanya, "Dari
manakah gerakan itu datang?"
"Dari arah Barat. Sepasukan orang-orang yang tidak dikenal
merayap mendekati padukuhan induk ini. Justru sebagian
terbesar dari mereka bukan orang-orang Menoreh. Agaknya
mereka akan menyerang dari arah Barat pula."
"Apakah Paman Samekta telah mendapat laporan yang
serupa?" "Ya. Kawanku yang seorang telah menyampaikan berita ini
kepada Ki Samekta." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
kepada Wrahasta, "Orang ini belum tahu, apakah yang akan
dilakukan oleh Paman Samekta, karena ia langsung menuju
kemari. Aku harus mendengar gerakan yang akan dilakukan oleh
Paman Samekta. Nah, kau dapat memerintahkan dua orang
untuk menemuinya." "Orang yang datang bersamaku akan singgah kemari setelah
bertemu dengan Ki Samekta," potong orang itu.
"Biar sajalah. Tetapi aku minta Wrahasta mengirim orang ke
sana segera." Wrahasta mengerutkan keningnya. Terasa kini bahwa gadis
itu ternyata mempunyai pribadi yang kuat yang terpancar pada
perbawanya atas dirinya. Karena itu, maka tidak ada kesempatan lagi bagi Wrahasta
untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Kata-kata
Pandan Wangi tidak lebih dan tidak kurang dari suatu perintah.
Perintah atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Wrahasta pun kemudian berdiri. Katanya sambil melangkah
keluar, "Aku akan segera melakukannya. Aku akan mengirim
dua orang untuk menemui Paman Samekta."
Sejenak kemudian, maka di halaman terdengar derap kaki
dua ekor kuda yang memecah sepinya malam, meluncur
menyusup keluar regol. Dua orang telah dikirim oleh Wrahasta
untuk menemui Samekta. Dan sejenak berikutnya, Wrahasla
telah berada kembali di dalam pringgitan.
"Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Paman
Samekta?" bertanya Pandan Wangi.
"Sudah tentu mengerahkan pasukan pengawal ke arah yang
dikatakan itu," sahut Wrahasta.
Tetapi Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "Terlampau sederhana."
Wrahasta heran mendengar tanggapan Pandan Wangi,
sehingga ia bertanya, "Apakah maksudmu, Pandan Wangi?"
"Baiklah, kita tunggu kedua orang itu datang. Sekarang kau
pun harus menyiapkan orang-orangmu di halaman ini, Wrahasta.
Aku memperhitungkan, bahwa gerakan Kakang Sidanti tidak
sesederhana itu. Datang dari arah Barat, kemudian menyerang
dalam gelar yang sempurna di malam hari begini."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya di luar
sadarnya. Pikiran itu memang dapat diterimanya. Justru karena
itu, maka sekali lagi Wrahasta mengaguminya. Pandan Wangi
adalah seorang gadis yang selama ini tidak pernah atau hampir
tidak berminat untuk ikut serla di dalam kegatan-kegiatan
ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan. Hanya kadangkadang
ia ikut dalam pembicaraan-pembicaraan dan kadangTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
kadang sekali melihat para pengawal mengadakan latihanlatihan.
Tetapi ternyata dalam keadaan ini, ia menunjukkan
ketangkasannya berpikir. "Pasukanmu harus kau atur sebaik-baiknya Wrahasta. Kita
tidak tahu cara apa yang akan ditempuh oleh Kakang Sidanti
dengan penasehatnya sekaligus gurunya yang licik itu. Mungkin
ia akan mempergunakan cara yang licik pula."
"Ya, aku mengerti, Pandan Wangi."
"Jangan membiarkan dirimu didekap di dalam dinding
halaman yang sempit ini. Tetapi kau harus berusaha agar
mereka tidak dapat masuk lewat jalan manapun juga,
seandainya Kakang Sidanti membuat pasukan yang khusus
menembus langsung ke jantung tanah perdikan ini."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia benarbenar
berada di bawah pengaruh puteri Kepala Tanah Perdikan
itu. Sekali lagi Wrahasta berdiri dan melangkah keluar untuk
mengatur orang-orangnya. Dinding halaman itu dirubahnya
menjadi benteng yang kuat. Setiap sudut, bahkan setiap jengkal
dinding dijadikannya tempat bertahan. Bahkan Wrahasta
mempersiapkan pula senjata-senjata jarak jauh, untuk melawan
arus apabila lawan datang terlampau banyak. Tetapi bulan di
langit betapa pun terangnya, namun bayangan pepohonan akan
menjadi tempat bersembunyi yang sebaik-baiknya bagi lawan
yang akan menghindarkan diri dari bidikan anak panah.
Sejenak kemudian, lamat-lamat mereka telah mendengar
derap kakkaki kuda yang datang mendekat. Dua orang yang
diperintahkan oleh Wrahasta rnenemui Samekta di banjar desa
telah kembali. Mereka segera dibawa masuk ke pringgitan oleh Wrahasta,
agar mereka dapat langsung berbicara dengan Pandan Wangi.
"Bagaimanakah sikap Paman Samekta?"


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan segera dikirim pasukan untuk menyongsong sergapan
itu." "Berapa bagian dari kekuatan Paman Samekta yang
berangkat." "Sebagian terbesar. Ki Samekta berhasrat untuk
menghancurkan sama sekali pasukan itu, supaya untuk
seterusnya tidak ada lagi kekuatan untuk mengganggu
ketenangan tanah perdikan ini."
"Apakah Paman Samekta menarik semua pasukan di
padesan disekitar padukuhan induk ini?"
Sejenak orang itu terdiam. Kemudian salah seorang dari
mereka menjawab, "Tidak dikatakannya."
Pandan Wangi tampak berpikir sejenak. Tetapi ia tidak puas
dengan tindakan Samekta itu, meskipun alasan-alasannya cukup
kuat. Tetapi seperti yang terjadi dengan ayahnya, kali ini pun
Pandan Wangi mempunyai firasat yang lain dari perhitungan
Samekta itu. Sidanti tidak akan melakukan perang terbuka
dengan beradu dada. Selain sifat-sifat licik gurunya, Sidantipun
harus memperhitungkan, bahwa pasukannya tidak akan cukup
kuat untuk melakukan perang dengan cara itu. Karena itu maka
tiba-tiba ia berkata, "Aku akan menemui Paman Samekta."
"Pandan Wangi," tiba-tiba saja Wrahasta memotong, "kau
tidak dapat meninggalkan halaman ini. Ini adalah rumah Kepala
Tanah Perdikan. Dari sinilah kau harus mengatur kekuatan dan
perlawananmu." "Paman Samekta yang mendapat tugas itu berada di banjar.
Bagaimana aku dapat berbicara dengannya, apabila aku tidak
pergi menemuinya, atau Paman Samekta pergi kemari" Tetapi
karena tugas Paman Samekta yang berat, maka biarlah aku
pergi ke banjar sekarang."
"Pandan Wangi," sekali lagi Wrahasta memotong, "jangan
mengabaikan pesan Ki Gede Menoreh. Aku harus melidungimu
di sini. Kau tidak boleh pergi."
"Aku adalah wakil Ayah sekarang. Aku adalah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh. Aku bukan tawananmu, Wrahasta."
"Tetapi, tetapi," wajah Wrahasta menjadi merah.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat akan sikap Wrahasta
beberapa saat sebelum ayahnya pergi. Tersirat pula kembali di
dalam hatinya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan
oleh Wrahasta, apabila ia diterkam oleh kekecewaan. Karena itu,
maka betapa pahitnya, Pandan Wangi itu kemudian berkata,
"Lepaskan aku pergi kali ini, Wrahasta. Persoalan ini adalah
persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan menempatkan
setiap persoalan yang lain pada waktu dan tempatnya sendiri.
Kalau kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap
apa pun daripadaku. Tetapi kalau kau menurut perintahku, maka
aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan sebaik-baiknya.
Kita dapat berbicara di kali lain."
Terasa desir yang tajam tergores di dalam dada Wrahasta.
Sejenak ia membeku di tempatnya sambil memandangi Pandan
Wangi tajam-tajam. Berbagai macam perasaan bergolak di
dalam dirinya. Ia menyadari tanggung jawabnya atas keamanan
seluruh isi halaman rumah ini, termasuk Pandan Wangi seperti
yang dipesankan oleh Ki Gede Menoreh. Tetapi kalau ia tidak
mau melepaskan Pandan Wangi, maka kepentingan pribadinya
atas gadis itu akan tertutup sama sekali.
Dalam pada itu, orang-orang lain yang mendengar
pembicaraan mereka berdua hanya dapat memandang dengan
mulut ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak mengerti
ujung dan pangkal dari pembicaraan itu, sehingga dengan
demikian, tidak dapat berbicara apa-apa.
Sedangkan Wrahasta sendiri, masih saja diselubungi oleh
kebimbangan yang bahkan semakin memuncak. Ia melihat
kepentingan yang bertentangan. Tanggung jawabnya,
kepentingan pribadinya, dan kecemasannya tentang
keselamatan Pandan Wangi apabila ia melepaskannya pergi.
"Bagaimana pertimbanganmu, Wrahasta," bertanya Pandan
Wangi kemudian. Wrahasta terperanjat atas pertanyaan itu. Ia sama sekali
belum siap untuk menjawabnya. Karena itu, maka dengan
gelisah ia bergeser setapak. Dipandanginya Pandan Wangi
dengan ragu-ragu. "Wrahasta, sebenarnya tidak seharusnya aku minta ijin
kepadamu. Yang wajib aku lakukan adalah memberitahukan,
bahwa aku akan pergi ke banjar menemui Paman Samekta.
Hanya itu, karena akulah kini Kepala Tanah Perdikan sampai
Ayah datang." Dada Wrahasta semakin terguncang mendengar kata-kata itu.
Tanpa dikehendakinya sendiri, diedarkannya pandangan
matanya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang-orang tua duduk
dengan wajah yang tegang penuh pertanyaan.
Namun kata-kata itu hampir tidak menyentuh perasaan
Wrahasta. Apa pun yang dikatakan oleh Pandan Wangi,
meskipun terlampau keras sekalipun, karena Pandan Wangi
masih juga dipengaruhi oleh kemudaannya. Tetapi yang paling
mendebarkan adalah tantangan Pandan Wangi mengenai
masalah pribadinya yang membuat pertimbangannya menjadi
sangat terpengaruh. Sejenak kemudian, ternyata Wrahasta mencoba mencari
alasan-alasan di dalam dirinya unluk membenarkan sikap
Pandan Wangi pergi ke banjar menemui Samekta. Dengan
demikian, maka Pandan Wangi akan bersedia untuk berbicara
dengan dirinya mengenai masalah-masalah pribadi.
"Tetapi bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan anak itu,"
katanya di dalam hati, "aku akan dimarahi oleh Ki Argapati dan
lebih dari pada itu aku akan kehilangan." Wrahasta menjadi
semakin ragu-ragu. Namun terngiang kembali kata-kata Pandan
Wangi. "Kalau kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat
mengharap apa pun daripadaku."
"Hem," Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya
untuk segera menemukan keputusan, apalagi setelah Pandan
Wangi mendesaknya, "Bagaimana Wrahasta. Setiap saat harus
kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kalau kita membiarkan diri kita
sendiri diombang-ambingkan oleh keragu-raguan, maka kita
akan segera ditelan oleh pasukan Kakang Sidanti. Di ujungujung
padukuhan dan bahkan sebentar lagi kita di sini."
Tergagap Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,
ya. Aku sadar Pandan Wangi. Tetapi pilihan yang kau hadapkan
di mukaku sekarang ternyata terlampau sulit untuk dipecahkan.
Tetapi apabila kau berkeras untuk pergi kepada Paman
Samekta, dan tidak dapat aku cegah lagi, baiklah. Namun kau
harus memperhitungkan setiap keadaan. Kau tidak dapat pergi
tanpa pengawalan." "Baiklah," sahut Pandan Wangi. Kemudian, "Aku akan
membawa dua orang pengawal yang ditinggalkan oleh Kerti di
sini." Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya,
Dipandanginya kemudian orang-orang yang berada disekitarnya.
Orang-orang tua yang duduk mendengarkan pembicaraan itu
dengan kepala pening. "Bagaimana pendapat Paman-paman sekalian?" tiba-tiba
Wrahasta bertanya kepada mereka.
Orang-orang tua itu tidak segera menjawab. Sejenak mereka
saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari
mereka berkata, "Terserahlah kepada pertimbanganmu, Ngger.
Didalam keadaan serupa ini, kau pasti lebih tahu tentang
keadaan dan keharusan yang berlaku di tanah yang sedang
dibakar oleh api kedengkian ini."
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mendapatkan
pertimbangan dari orang tua-tua itu. Namun ia sadar, bahwa ia
harus segera bersikap. Maka katanya, "Baiklah Pandan Wangi.
Kalau kau akan menemui Paman Samekta untuk membicarakan
sesuatu, sebaiknya kau segera pergi sekarang bersama kedua
pengawal ini. Tetapi apabila pembicaraan itu sudah selesai kau
harus segera kembali. Kau sebaiknya setiap saat dapat ditemui
di dalam rumah ini untuk segala macam kepentingan. Tetapi
ingat, kau hanya pergi ke banjar. Tidak ke tempat lain. Kedua
pengawal akan mencegahmu apabila kau mempunyai tujuan
yang lain." "Baiklah, aku akan segera pergi dan segera pula kembali
apabila pembicaraan sudah selesai," desis Pandan Wangi, yang
sejenak kemudian segera berdiri dan berkata selanjutnya, "Aku
akan pergi berkuda."
Beberapa orang segera menyiapkan tiga ekor kuda untuk
Pandan Wangi dan dua orang pengawalnya. Dengan tergesagesa
mereka meninggalkan halaman rumah itu, pergi ke banjar
untuk menemui Samekta yang sedang mempersiapkan
perlawanan. Kedatangan Pandan Wangi di banjar itu ternyata telah
mengejutkan Samekta, sehingga dengan serta-merta ia
bertanya, "Kenapa kau pergi ke banjar, Pandan Wangi?"
"Aku perlu menemui, Paman, dalam saat yang meruncing
serupa ini. Aku perlu bertanya dan mengetahui semua gerakan."
"Aku akan memberikan laporan setiap saat lewat orangorangku.
Kalau kau memerlukan sekali bertemu dengan aku,
Ngger, maka sebaiknya kau memanggil aku."
Samekta berhenti sejenak, kemudian gumamnya kepada diri
sendiri, "bagaimana dengan Wrahasta. Kenapa dilepaskannya
Angger Pandan Wangi pergi?" Dan orang tua itu menjadi
semakin heran, bahwa Wrahasta telah melepaskan Pandan
Wangi pergi. Bukankah Wrahasta mempunyai kepentingan
pribadi dengan gadis itu" Mustahil kalau Wrahasta
melepaskannya meninggalkan daerah wewenangnya seperti
yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh. Sehingga tiba-tiba saja
Samekta itu teringat sesuatu dan bertanya, "Apakah Angger
Pandan Wangi meninggalkan halaman itu tanpa setahu
Wrahasta" Oh bukankah Kerti memang sedang mencarimu ke
Pucang Kembar?" Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah
Samekta yang keheran-heranan melihat kehadirannya. Tetapi
Pandan Wangi dapat mengerti sepenuhnya perasaan orang tua
itu. Kerti pasti singgah ke banjar ini sebelum ia pergi ke Pucang
Kembar mencarinya. Sejenak kemudian, barulah Pandan Wangi itu menjawab. "Ya
Paman. Paman Kerti pasti mencariku ke Pucang Kembar.
Apakah ia singgah kemari sebelum ia berangkat?"
"Ya. Ia singgah kemari dalam kegelisahan karena ia
kehilangan kau, Ngger. Bersama dua orang ia pergi
menyusulmu." "Jadi, Paman Kerti pergi bertiga?"
"Ya. Sebab pamanmu mengerti, siapakah yang sedang
berada di bawah Pucang Kembar. Bukan berarti bahwa
pamanmu Kerti merasa cukup kuat bersama dua orang
kawannya itu, tetapi apabila ada sesuatu yang penting, maka
mereka dapat berbincang." Samekta berhenti sebentar, namun
dalam keheranan itu ia bertanya, "Tetapi ternyata Angger
sekarang masih berada di sini."
Dengan singkat Pandan Wangi menceriterakan keadaannya.
Kegelisahannya dan perhitungannya. Tetapi kalau tidak
ditempuh cara itu, maka tidak seorang pun yang akan bersedia
pergi ke Pucang Kembar. Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bergumam, "Tetapi aneh sekali bagiku. Sebenarnya Angger tidak
perlu mempergunakan cara yang aneh-aneh itu. Ternyata
sekarang Angger dapat meninggalkan halaman rumah itu pula.
Kalau Angger pergunakan cara ini sejak semula, bukankah
Angger sendiri dapat pergi ke Pucang Kembar?"
"Sebelum Kerti pergi, sebelum ada laporan tentang gerakan
Kakang Sidanti, aku pasti tidak akan dapat keluar Paman. Aku
tidak ubahnya seperti seorang tawanan."
"Bukan maksudnya Ngger. Tetapi demi kebaikan semuanya
dan atas perintah ayah, Ki Argapati."
"Ya. Aku mengerti Paman, semuanya dapat aku mengerti.
Yang kini akan aku persoalkan adalah mengenai gerakan
Kakang Sidanti." Samekta menarik nafas. Kemudian katanya, "Duduklah. Kita
berbicara tentang gerakan Sidanti itu."
Mereka pun kemudian duduk di pringgitan banjar tanah
perdikan itu. Di tengah-tengah lingkaran para pemimpin
pengawal dari Pandan Wangi beserta kedua pengawalnya,
sebuah lampu minyak berada di atas sebuah ajuk-ajuk pendek.
"Bukankah kau sudah mendapat laporan tentang gerakan itu
dan sudah mendengar gerakan perlawanan yang aku lakukan?"
bertanya Samekta sejenak kemudian setelah mereka duduk.
"Aku ingin mendengar langsung dari Paman. Dan apakah
pasukan pengwal yang Paman persiapkan sudah mulai bergerak
pula menyongsong pasukan Kakang Sidanti?"
"Sudah Ngger. Mereka sudah berangkat. Petugas-petugas
sandi melihat gerakan itu menuju ke Barat. Sebagian besar dari
pasukan pengawal telah aku kirim, supaya aku dapat
menghancurkan mereka sama sekali. Supaya mereka besok
atau lusa tidak bangkit lagi dan membuat kegaduhan-kegaduhan
baru." "Aku mengerti Paman. Tetapi soalnya tidak sedemikian
sederhana. Apakan Paman yakin, bahwa yang dilihat oleh
petugas sandi itu seluruh pasukan Kakang Sidanti?"
"Tentu tidak Ngger. Tentu bukan seluruh pasukan. Mungkin
Angger Sidanti akan mengambil kesempatan lain, pada saat
pertempuran itu terjadi. Tetapi aku masih menyimpan beberapa
bagian dari pasukan cadangan."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Apakah petugas sandi itu dapat mengatakan, siapa
sajakah yang berada di dalam pasukan itu?"
Samekta menggelengkan kepalanya, "Tidak Ngger. Mereka
tidak dapat mengatakan siapakah yang memimpin pasukan itu."
"Lalu apakah sikap Paman seterusnya"
"Aku sebentar lagi akan menyusul pasukanku. Berkuda. Aku
akan melihat sendiri benturan yang bakal terjadi itu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam
diri. Dipandanginya kedua pengawalnya bergantganti. Lalu tibatiba
ia bergumam, "Aku akan pergi juga bersamamu Paman."
"He," kata-kata itu ternyata telah mengejutkan semua orang
yang mendengarnya. Beberapa pemimpin pengawal yang tingga
di banjar, Samekta sendiri dan kedua pengawalnya.
"Jangan Ngger," sahut Samekta kemudian, "jangan berbuat
hal-hal yang dapat membahayakan dirimu."
"Kenapa aku tidak boleh berada di medan itu" Tidak seorang
pun yang melarang, seandainya Kakang Sidanti menghendaki
demikian. Bahkan setiap orang akan mengatakan, bahwa itu
adalah kewajibannya. Orang akan menertawakannya apabila ia


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru ingkar, dan tidak mau terjun ke gelanggang."
"O, persoalannya lain sekali Ngger. Angger Sidanti memang
berkewajiban. Tetapi tidak dengan kau."
*** "Karena aku seorang perempuan dan Kakang Sidanti lakilaki?"
Samekta tidak segera menjawab. Sejenak ia berdiam diri.
Tetapi ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan tajamnya.
"Begitu Paman?" desak Pandan Wangi.
Samekta mengangguk perlahan-lahan. Dengan ragu-ragu ia
berkata, "Ya Ngger. Begitulah. Meskipun itu hanya salah satu
alasan saja." "Masih adakah alasan yang lain, yang lebih baik dan lebih
dapat aku terima dengan nalar?"
"Angger belum berpengalaman."
"Kalau aku menghindari pengalaman yang pertama, maka
selamanya aku tidak akan dapat langsung menginjak
pengalaman yang kedua."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban itu
memang benar. Tetapi seandainya Pandan Wangi benar akan
pergi ke gelanggang, maka ia tidak berani menanggung akibat
yang dapat terjadi atasnya. Kalau anak itu mendapat cidera,
maka ia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Ki Gede
Menoreh. Karena itu, maka Samekta itu menggelengkan kepalanya,
"Jangan Ngger. Jangan mempersulit diriku. Sebaiknya Angger
kembali saja pulang. Angger dapat memberikan perintah apa
saja. Tetapi tidak pergi sendiri ke medan pertempuran itu."
Dada Pandan Wangi tergetar mendengar jawaban Samekta.
Meskipun ia dapat mengerti alasannya, tetapi keinginannya
untuk melihat sendiri pertempuran itu seakan-akan tidak dapat
lagi dibendungnya. Namun kesulitan yang di hadapi Samekta
itupun mempengaruhinya pula.
Sejenak Pandan Wangi terpaku diam di tempatnya. Di dalam
dadanya terjadi benturan-benturan perasaan yang sulit
mendapat pemecahan. Dalam pada itu, Samekta berkata
selanjutnya, "Angger Pandan Wangi. Menurut perhitunganku,
maka perang yang bakal terjadi, pasti bukan perang di dalam
gelar yang baik, meskipun aku sudah mempersiapkannya. Yang
paling mungkin terjadi di dalam peperangan ini adalah perang
brubuh. Menurut laporan dari beberapa pengawas yang melihat
gerakan itu, maka sama sekali tidak ada persiapan untuk
menyusun gelar. Tetapi kemungkinan untuk bertempur di dalam
gelar yang baik masih ada. Pasukan Sidanti akan dapat
menyusun dirinya, setelah berhadapan dengan lawan. Tetapi
perbuatan yang demikian akan sangat berbahaya. Meskipun
demikian, kemungkinan itu bisa juga terjadi apabila orang-orang
yang memimpin pasukan itu kurang menguasai keadaan medan,
tetapi juga mungkin karena meremehkan kekuatan lawan atau
merasa dirinya terlampau kuat. Dalam kemungkinan yang
pertama Ngger, yaitu perang brubuh, maka kehadiranmu di
medan pertempuran akan sangat berbahaya. Tidak seorang pun
yang dapat meluangkan waktunya untuk mengawasi dan
melindungi orang lain."
"Aku menyadari Paman. Meskipun aku belum pernah
menghayati perang yang sebenarnya dalam bentuk apa pun,
perang gelar maupun perang brubuh, namun aku berniat untuk
melihat perang itu. Aku juga tidak perlu mendapat perlindungan
dari siapa pun. Aku akan mencoba melindungi diriku sendiri."
"Ya, ya aku tahu Ngger. Tetapi, terlampau berbahaya. Itulah
kata-kata yang paling tepat aku pergunakan. Terlampau
berbahaya. Aku tidak dapat menjelaskannya lebih jauh."
"Aku ingin melihat Paman, betapa pun besarnya bahaya itu."
"Kalau Ki Gede ada Ngger, terserahlah kepada ayahmu itu.
Apa pun yang akan terjadi adalah tanggung jawab ayahmu.
Tetapi sekarang Ki Gede tidak ada. Betapa mungkin aku
membawamu ke medan peperangan yang masih belum dapat
dibayangkan bentuknya" Menurut para pengawas dan para
petugas sandi, sebagian terbesar dari mereka adalah orangorang
yang tidak dikenal. Kita masih belum dapat
membayangkan kekuatan mereka dan kemampuan mereka
seorang demi seorang."
"Aku pernah menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu,
Paman. Enam orang sekaligus. Paman datang terlambat,
sehingga Paman tidak menyaksikan aku berkelahi, meskipun
aku aku, bahwa aku tidak mampu melawan mereka berenam
bersama-sama, tetapi aku masih menyediakan diri untuk
mencoba melawan lima orang di antara mereka."
Hati Samekta tergetar mendengar jawaban Pandan Wangi
yang dikatakan itu benar-benar telah terjadi. Pandan Wangi
memang pernah berkelahi melawan enam orang, dan Pandan
Wangi tidak binasa oleh mereka. Karena itu, maka sejenak
Samekta terdiam. Ia terdorong ke sudut yang sulit untuk
mengatasi. Dengan demikian ternyata baginya dan bagi Pandan
Wangi itu, meskipun tidak terkatakan, bahwa sebenarnya
kemampuan Pandan Wangi itu berada jauh di atasnya.
Meskipun demikian, bertempur di dalam perang brubuh
terutama, yang diperlukan bukan ketrampilan perseorangan saja,
tetapi juga pengalaman dan ketajaman naluri membawakan diri,
di dalam hiruk pikuk ayunan senjata dan benturan-benturan
kekuatan. Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Pandan,
Wangi mendesaknya, "Bagaimanakah pendapat Paman?"
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mencoba
memberikan beberapa penjelasan tentang segala macam
kemungkinan yang dapat terjadi.
"Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun,
Paman. Aku adalah salah seorang anak yang dilahirkan di atas
Bumi Menoreh. Aku merasa mengemban kewajiban seperti
anak-anak yang lain. Apalagi aku adalah puteri Kepala Tanah
Perdikan." Samekta menjadi semakin bingung. Dan dalam puncak
kebingungannya ia mendengar Pandan Wangi berkata, "Paman.
Sebaiknya aku memang tidak membuat Paman Samekta
menjadi semakin sulit. Baiklah Paman, kini memikirkan perang
yang akan terjadi itu saja. Jangan hiraukan aku. Aku akan
berbuat atas hakku sendiri. Dalam keadaan yang paling jauh dari
setiap kemungkinan kita sependapat, maka aku akan berdiri
sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Aku tidak akan minta
ijin kepada siapa pun, tetapi aku akan memerintah di sini kepada
siapa pun yang aku kehendaki, sepanjang orang itu masih setia
kepada Bumi Menoreh dan kepada Kepala Tanah Perdikannya."
Dada Samekta kini benar-benar bergelora. Seolah-olah akan
meledak. Dia masih menyimpan banyak sekali tugas-tugas yang
harus diselesaikan segera. Tiba-tiba kini ia dihadapkan kepada
sikap yang keras dari Pandan Wangi. Sehingga betapa pun ia
mencoba mengendalikan dirinya, namun akhirnnya ia merasa
bahwa nasehat-nasehatnya sama sekali tidak mendapat
perhatian. Karena itu, supaya ia tidak terpancing dalam
pembicaraan itu saja ia berkata, "Pandan Wangi, aku sudah
mencoba mencegahmu. Tetapi kau sama sekali tidak
menghiraukannya, bahkan kau telah mempergunakan
wewenang tertinggi yang ada di tanganmu sekarang. Karena itu,
maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Namun setiap
peristiwa yang terjadi atas dirimu, apabila aku dan pasukanku
tidak mungkin bagi mencegahnya, adalah akibat dari sikapmu
dan kekerasan hatimu. "Bagus," tiba-tiba Pandan Wangi memotong, "sekarang
Paman jangan memikirkan aku lagi. Apakah yang akan Paman
kerjakan dengan pasukan Paman, lakukanlah."
"Aku akan menyusul pasukan yang telah berangkat lebih
dahulu." "Aku akan pergi bersama Paman."
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, ia
tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. Tetapi
adalah di luar kemampuannya saat ini untuk mencegah Pandan
Wangi. Namun dalam pada itu, kedua pengawalnyalah yang
kemudian berusaha mencegahnya. Salah seorang dari mereka
berkata, "Pandan Wangi, bukankah kau sudah berjanji, bahwa
kau tidak akan pergi ke tempat lain kecuali ke banjar ini" Kau
harus segera kembali sesuai dengan kata-katamu sendiri
kepada Wrahasta di rumahmu."
Terasa dada Pandan Wangi bergetar. Wrahasta memang
harus mendapat perhatian khusus daripadanya. Bukan saja
karena ia adalah seorang pemimpin pengawal yang mendapat
kepercayaan dari ayahnya untuk mengawal rumahnya seisinya,
yang menurut tafsiran Wrahasta termasuk dirinya, tetapi juga
karena Wrahasta mempunyai kepentingan pribadi.
Karena itu, sejenak Pandan Wangi tidak dapat menyahut.
Namun Samekta dapat melihat jelas di wajah gadis itu, bahwa ia
tidak akan dapat dicegah lagi.
Dan sejenak kemudian pengawal itu mendesaknya,
"Bukankah kau berjanji, Pandan Wangi" Supaya aku tidak
dianggap bersalah, kau sebaiknya kembali ke rumah."
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Dalam kebingungan
mencari jawab, Pandan Wangi telah terdorong lagi ke dalam
suatu keadaan yang lebih menyulitkan hubungannya dengan
Wrahasta. Karena gadis itu tidak ingin menyakitkan hati anak
muda yang bertubuh raksasa itu, maka katanya, "Kembalilah.
Kembalilah kepada Wrahasta, dan katakan kepadanya, bahwa
aku pun akan kembali. Jangan digelisahkan kepergianku. Sebab
aku tidak mempuayai tempat lain untuk berteduh, selain rumah
itu. Biarlah ia menungguku di sana, sampai saatnya aku
kembali." Kedua pengawalnya itu tidak dapat menangkap maksud gadis
itu. Karena itu salah seorang dari mereka berkata, "Tetapi kau
harus kembali bersamaku."
"Dengar perintahku," tiba-tiba gadis itu menggeram, sehingga
kedua pengawalnya itu terkejut, "kalian berdua kembali atau mau
ikut bersamaku. Tetapi tidak menghalang-halangi aku. Kalian
hanya dapat menyebut salah satu dari kedua pilihan itu."
Keduanya tidak segera dapat menjawab. Tetapi hati mereka
menjadi berdebar-debar. Sejenak mereka saling berpandangan
dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab,
"Kalau demikian Pandan Wangi, maka aku tidak akan dapat
keluar daripada ikut bersamamu. Kau harus kembali bersama
kami. Kalau kau tidak mau kembali, maka aku pun tidak akan
kembali ke rumahmu."
"Terserah kepadamu," sahut Pandan Wangi, lalu katanya
kepada Samekta, "Kapan kau berangkat Paman" Apakah kau
menunggu pertempuran itu selesai?"
Pertanyaan itu mengejutkan hati Samekta. Namun dengan
demikian terasa olehnya kekerasan hati Pandan Wangi. Maka
jawabnya, tidak kalah kerasnya, "Kalau kau tidak datang kemari,
Ngger, aku pasti sudah berangkat. Seandainya kini kedua
pasukan itu sudah bertemu, aku pasti sudah ikut di dalam
pertempuran itu." "Jadi Paman mencoba untuk membebankan kesalahan
kepadaku seandainya terjadi sesuatu di peperangan itu."
"Bukan maksudku, tetapi kedatanganmu dan keinginanmu
untuk pergi ke medan peperangan itu menimbulkan soal baru
bagiku." "Kalau begitu, sebaiknya aku pergi sendiri. Aku tidak usah
pergi bersama Paman, atau berbicara apa pun dengan Paman."
Debar di dada Samekta menjadi semakin tajam. Dengan
tergesa-gesa ia memotong, "Tidak Ngger. Bukan begitu.
Mungkin aku telah mengucapkan kata-kata yang tidak
menyenangkan hatimu," Samekta berhenti sejenak. Ia merasa
bahwa umurnya telah jauh lebih tua, sehingga ia tidak boleh
hanyut dalam kekerasan sikap masing-masing. "Kalau begitu
baiklah, aku minta maaf."
Pandan Wangi justru terbungkam mendengar kata-kata
Samekta itu. Sejenak ia mematung, namun kemudian terdengar
ia menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi Ngger," berkata Samekta kemudian, "kalau Angger
berkeras hati akan pergi ke garis peperangan, biarlah salah
seorang dari kedua orang itu kembali untuk menyampaikan
keputusan itu kepada Wrahasta, supaya ia tidak menjadi
terlampau gelisah menunggumu."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya,
kemudian katanya kepada kedua pengawalnya, "Salah seorang
dari kalian harus kembali, dan mengatakan kepada Wrahasta
seperti yang telah aku katakan."
Sekali lagi keduanya saling berpandangan. Tetapi sebelum
mereka berkata sesuatu, Pandan Wangi telah berkata lebih
dahulu, "Paman harus segera berangkat."
"Oh," desah Samekta, "baiklah kita akan segera berangkat."
Samekta pun segera menyiapkan diri. Bersama beberapa
orang pengawal tanah perdikan, Pandan Wangi dan seorang
pengawalnya, mereka segera berangkat menyusul pasukan
yang telah berangkat lebih dahulu.
Pasukan yang tinggal di banjar telah diserahkannya kepada
pembantunya. Kepadanya telah diberikan pesan tentang segala
kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan bahwa Sidanti
akan mempergunakan setiap kesempatan untuk menyusup
masuk ke dalam induk tanah perdikan ini.
Tetapi satu hal yang tidak diperhitungkan oleh Samekta
adalah bahwa justru induk pasukan Sidantlah yang akan
datang dari jurusan yang lain dari tanah perdikan ini. Pasukan
yang telah siap untuk menghancurkan semua rintangan di
sepanjang jalannya. Sejenak kemudian terdengarlah derap kakkaki kuda
menyelusur jalan pedukuhan, menuju kearah Barat sepasukan
pengawal yang kuat yang telah lebih dahulu berangkat.
Sementara itu, pasukan pengawal yang telah berangkat lebih
dahulu, berjalan menurut tiga jalur lorong kecil menuju ke tempat
yang ditunjukkan oleh para pengawas. Mereka akan
menghadapi lawan mereka dari ketiga arah itu. Seandainya
mereka harus bertempur dalam gelar yang baik, maka untuk
menyusun gelar dari keadaan itu tidaklah terlampau sulit. Tetapi
seandainya mereka di hadapkan pada perang brubuh, maka
mereka tidak akan mudah terkurung dalam suatu lingkaran
kekuatan lawan. Mereka akan menghadapi lawan mereka dalam
garis yang cukup luas. Apalagi Samekta yakin, bahwa kekuatan
pasukannya pasti melampaui kekuatan pasukan lawannya.
Setiap pemimpin kelompok pasukan pengawal itu telah
mendapat petunjuk-petunjuk yang jelas, apa yang harus mereka
lakukan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam pada itu, pasukan Sidanti yang dipimpin oleh Ki Peda
Sura pun menjadi semakin dekat. Jarak antara kedua pasukan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu susut dengan cepatnya. Hal itu disadari sepenuhnya oleh
kedua pemimpinnya. Mereka masing-masing mengetahui,
bahwa di hadapan mereka, pada jarak yang semakin pendek,
lawan telah menanti. Ki Peda Sura berhenti pada sebuah pedukuhan kecil yang
dilampauinya. Di emper gardu peronda di mulut lorong yang
memasuki padukuhan itu, sebuah pelita masih menyala. Di
dalam gardu itu mereka masih menemukan beberapa buah
mangkuk dan air hangat. "Setan," geram Ki Peda Sura, "iblis-iblis yang ada di dalam
gardu ini sempat meloloskan diri."
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang dari mereka berkata, "Bukankah di padukuhan ini
terdapat beberapa orang penghuni yang cukup mampu."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Peda Sura.
"Kami ingin melepaskan perasaan geram kami, karena kami
telah kehilangan buruan kami."
"Jangan sekarang!" bentak Ki Peda Sura, "kalian akan
mendapat waktu untuk mencari harta benda di dalam rumahrumah
yang mungkin menyimpannya. Tetapi jangan dengan
demikian kalian menjadi lengah. Sebentar lagi pasukan Argapati
pasti akan datang menerkammu, selagi kau sibuk dengan
urusanmu itu." "Apakah kita menunggu leher kita terpotong menjadi empat?"
"Kenapa?" bertanya Peda Sura.
"Kalau kita menunggu pasukan Argapati, kita akan kehabisan
waktu. Kita akan menjadi umpan dan mati berkubur di kaki Bukit
Menoreh ini." "Lalu apakah kepentinganmu datang kemari?" bertanya Peda
Sura. Orang itu tidak menjawab. Tetapi tampak kerut merut di
keningnya menjadi semakin dalam.
"Kita datang kemari untuk membantu Sidanti berperang
melawan ayahnya. Kelak kita akan mendapat imbalan dari jerih
payah kita, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Tetapi
selebihnya, kita akan mendapatkan atas usaha kita sendiri. Kita
akan dilepaskan di dalam kandang domba. Kita tinggal memilih
menurut selera kita masing-masing. Tetapi kita harus dapat
membawa diri, supaya kita tidak saling berbenturan. Itulah
sebabnya, maka kita harus mengekang diri kita sendiri, dan
berusaha berbuat seadil-adilnya di antara kita." Ki Peda Sura
berhenti sejenak, lalu dengan suara lantang ia berkata, "Tetapi
tidak sekarang. Kita jangan sampai mati tanpa mengadakan
perlawanan, karena kita lengah. Rumah-rumah itu, dan rumahrumah
yang lain tidak akan dapat lari dari tempatnya."
Tidak seorang pun yang menjawab, meskipun di antara
orang-orang sewaan itu ada yang tidak sependapat. Tetapi
mereka mengenal, siapakah Ki Peda Sura. Didalam pasukan itu
ia tidak berdiri sendiri. Sebagian besar anak buahnya ada
bersamanya. Dan orang-orang itu mengenal pula, siapakah
sebenarnya Ki Peda Sura. Seorang yang ditakuti dan disegani
oleh lingkungannya. "Marilah kita tinggalkan padukuhan ini. Jangan dibangunkan
orang-orang yang sedang tidur nyenyak, supaya mereka tidak
menghindar malam ini. Nanti, setelah Sidanti memasuki induk
tanah perdikannya, yang dengan demikian menghisap segala
kekuatan perlawanan Menoreh atas kita, maka kita akan
mendapat kesempatan itu."
Orang-orang sewaan di dalam pasukan itu masih saja
berdiam diri. Meskipun wajah-wajah mereka menunjukkan
kekecewaan, namun mereka tidak berani berbuat sesuatu.
Mereka tidak berani menentang keputusan Ki Peda Sura, karena
di dalam pasukan itu terdapat sebagian besar dari anak
buahnya. Kecuali anak buah Ki Peda Sura, maka pasukan Sidanti yang
ikut di dalamnya yang terdiri dari orang-orang Menoreh, mereka
tidak senang melihat sikap mereka. Namun jumlah mereka tidak
terlampau banyak. Yang dapat mereka lakukan hanyalah
berdiam diri, namun pada saatnya hal itu pasti akan mereka
sampaikan kepada Sidanti dan Argajaya. Kini yang penting bagi
mereka adalah menggilas kekuatan Argapati dan pengikutpengikutnya.
Pasukan itupun kemudian bergerak maju menyusup
padukuhan kecil itu, dan muncul kembali masuk ke dalam bulak
yang tidak begilu panjang, Di hadapan mereka masih terdapat
beberapa pedukuhan-pedukuhan kecil yang sepi.
"Kita harus berhathati," berkata Ki Peda Sura. "Siapa tahu,
bahwa di dalam pedesan-padesan itu bersembunyi pasukan
Menoreh. Kita akan disergap dari dalam kegelapan, dan kita
akan kehilangan kesempatan untuk melawan."
"Lalu, apakah kita akan menunggu di sini?"
Peda Sura menggeleng, "Tidak. Kita akan maju. Tetapi kita
tidak akan masuk ke dalam pedesan kecil itu lewat lorong ini.
Kita akan melingkar melampaui sawah dan petegalan. Kita akan
melihat dari sisi padesan itu, apakah di dalam padesan itu di
tempatkan pasukan-pasukan Menoreh atau tidak. Kalau tidak,
kita tidak akan singgah. Tetapi kalau di sana bersembunyi orangorang
Argapati, kita pancing mereka keluar. Kita akan bertempur
di tempat yang terbuka. Cahaya bulan yang terang, akan banyak
memberi keuntungan kepada kita. Mungkin jumlah kita lebih
sedikit dari jumlah mereka, tetapi kita mempunyai kelebihan diri
dalam perkelahian seorang lawan seorang. Karena itu, kita akan
memilih perang tanpa gelar. Kalau kita harus memilih gelar,
maka kita akan mempergunakan gelar Gelatik Neba, untuk
seterusnya kita akan sampai juga kepada perang brubuh."
Orang-orang di dalam pasukan itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka memang tidak pernah memikirkan gelar
apa pun yang akan mereka lakukan. Mereka berkelahi dengan
cara mereka, dengan kebiasaan dan selera masing-masing.
Cara itu tidak dimiliki oleh para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Meskipun mereka mendapat latihan perlawanan
seorang demi seorang, tetapi mereka bukan orang-orang yang
berpengalaman berkelahi orang demi orang seperti orang-orang
sewaan itu. Mereka tidak dapat berlaku kasar dan licik. Berbuat
apa saja untuk memenangkan pertempuran.
Meskipun demikian, namun ternyata Ki Peda Sura cukup
mengenal bentuk-bentuk perlawanan dalam gelar. Ia memiliki
segala macam pengalaman perang dalam segala macam
bentuknya. Perang dalam susunan gelar yang sempurna,
sampai pada cara perang yang paling kasar dan liar sekalipun.
Demikianlah, maka pasukan Ki Peda Sura itu maju terus.
Semakin lama menjadi semakin dekat dengan induk tanah
perdikan. Dua buah padukuhan telah dilampauinya. Tetapi di
dalam kedua padukuhan itu sama sekali tidak dijumpainya
pasukan Argapati, sehingga tumbuhlah keheranan di dalam hati
Peda Sura. "Apakah orang-orang Menoreh masih belum mengetahui
gerakan pasukan ini?" bertanya Ki Peda Sura di dalam hatinya,
namun kemudian dijawabnya sendiri, "Mustahil. Aku yakin
bahwa petugas-petugas sandi telah melaporkan gerakan ini. Dan
kami selanjutnya tinggal menunggu, di mana kami akan dijebak
dan masuk perangkap."
Meskipun demikian, Ki Peda Sura tidak menghentikan
pasukannya. Tetapi ia menjadi semakin berhathati, ketika ia
mendekati padesan berikutnya.
"Kita berhenti di sini," desis Ki Peda Sura kemudian.
Pasukannya pun kemudian berhenti. Beberapa orang pemimpin
kelompok mendekatinya sambil bertanya, "Adakah sesuatu yang
menarik perhatian?" "Lihat," berkata Peda Sura, "padesan itu justru terlampau
gelap. Aku mengira, bahwa di dalam desa itu bersembunyi
pasukan Argapati." Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang dari mereka bergumam, "Kita lebih baik segera berbuat
sesuatu. Adalah menjemukan sekali, berjalan saja di sepanjang
malam. Aku kira malam telah menjadi terlampau malam. Bahkan
mungkin kita telah sampai ke tengah malam, melihat bulan yang
telah berada di atas kepala ini."
Peda Sura mengangguk-angguk. Dipandanginya padesan di
hadapannya dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin langsung
memandangi, apa saja yang tersembunyi di balik bayang-bayang
dedaunan yang kelam itu. "Kita harus segera menemukan mereka," berkata orang yang
lain, "kita terlampau disiksa oleh ketegangan tanpa ujung. Kalau
benar orang-orang Menoreh bertahan di desa itu, maka marilah
kita langsung masuk, menyergap ke dalamnya. Aku tidak yakin,
bahwa orang-orang Menoreh mampu mempergunakan
pedangnya. Mereka hanya orang-orang yang terlampau banyak
tingkah dan banyak bicara."
Namun kata-kata itu terpotong oleh sebuah jawaban, "Kau
jangan terlampau sombong. Kalau kau berbuat sedemikian gila,
maka lehermu akan menjadi taruhan. Jangan menghina orangorang
dari Tanah Perdikan Menoreh."
Orang yang berbicara pertama mengerutkan keningnya.
Kemudian terdengar ia bertanya, "Siapa yang menyahut katakataku
itu" Apakah ia orang Menoreh juga."
"Ya, aku adalah orang Menoreh," dijawab orang itu.
"Nah, marilah kita lihat, apakah orang-orang dari Menoreh
mampu menahan pedangku."
"Cobalah." "Gila," Ki Peda Sura hampir berteriak, "ternyata kalian
termasuk bilangan orang-orang gila. Kalau kalian tidak mampu
menahan diri dalam keadaan serupa ini, marilah kita batalkan
saja niat kita untuk membantu Sidanti dalam perjuangannya.
Kalian adalah orang-orang yang terlampau mementingkan diri
sendiri dan pamrih-pamrih pribadi. Tetapi kalian harus
menyadari, bahwa aku mendapat kekuasaan untuk memimpin
pasukan ini. Aku mempunyai wewenang berbuat apa pun juga.
Aku dapat membunuh kalian tanpa bertanggung jawab apa pun
kepada siapa pun." Kedua orang yang berbantah itupun terdiam. Mereka
menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Ki Peda Sura.
Berhadapan dengan orang yang benar-benar harus
diperhitungkan sikap dan kata-katanya. Sebagian besar orang
tahu, apa saja yang pernah dilakukan oleh Ki Peda Sura ini.
Beberapa orang bahkan pernah melihat Ki Peda Sura itu
membunuh seseorang sambil mengunyah jenang alot. Tangan
kanannya memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya, sedang
dengan tangan kirinya ditusukkannya perlahan-lahan ujung pisau
belati pada arah jantung seseorang yang sudah tidak berdaya
tersandar pada dinding batu.
"Nah, kita akan memancing mereka," berkata Ki Peda Sura
kemudian, "aku ingin berkelahi di tempat terbuka. Aku ingin
melihat setiap kali ujung senjataku menghunjam lambung
lawan." "Apakah yang akan kita lakukan?" bertanya salah seorang
pemimpin kelompoknya. "Kita dekati desa itu. Tetapi beberapa puluh langkah
daripadanya kita bergeser ke kiri. Kita akan masuk ke dalam
pategalan itu. Pategalan itupun cukup rimbun untuk
bersembunyi. Tetapi kita tidak akan bersembunyi. Kalau di
dalam padesan itu ada pasukan Menoreh, mereka akan
berusaha menyergap kita di dalam pategalan. Tetapi kita akan
menyongsong mereka. Kita akan berkelahi di bawah terang
bulan seperti yang sedang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi di
bawah Pucang Kembar."
Beberapa orang mengerutkan keningnya. Cara itu kurang
menguntungkan. Langkah yang pertama, masuk ke dalam
pategalan itu dapat dipahami. Tetapi kemudian mereka tidak
usah menyongsong lawan di tempat terbuka, mereka dapat
menunggu orang-orang menoreh itu di bawah bayangan
dedaunan di pategalan. Menyergap mereka selagi mereka
melangkahkan kakinya masuk ke daerah kegelapan.
Tetapi orang lain bertanya, "Bagaimanakah seandainya
mereka tidak memburu kita ke pategalan itu?"
"Kita akan maju mendekat. Kita akan menyergap mereka dari
lambung, namun kemudian menarik mereka keluar dari padesan.
Itulah sebabnya, maka hanya ujung pasukan kita sajalah yang
akan mulai menyentuhkan senjatanya di padesan itu, kemudian
kita membiarkan mereka mendesak kita. Berkelahi di dalam
padesan atau pategalan sama sekali tidak menarik. Apalagi
jumlah kita mungkin kalah. Pepohonan dan gerumbul-gerumbul
dapat memberi banyak perlindungan bagi mereka yang licik,
yang tidak berani bertempur beradu dada."
Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ternyata Ki Peda Sura terlampau berbangga atas
keperkasaannya. Ia tahu benar, bahwa Ki Argapati telah terikat
dalam perkelahian melawan Ki Tambak Wedi. Bahkan menurut
perhitungan mereka, Ki Argapati tidak akan dapat lagi keluar dari
daerah Pucang Kembar itu. Karena itu, maka di atas Tanah
Perdikan Menoreh, tidak akan ada lagi orang yang dapat
melawannya. Maka pasukan Ki Peda Sura itupun merayap maju. Semakin
lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan kecil di
hadapan mereka. Menurut perhitungan Ki Peda Sura, di situlah
pasukan Menoreh akan bertahan. Mereka sudah pasti tidak akan
bertahan di bibir padukuhan induk mereka. Sedang padukuhan
di depan mereka itu, adalah padukuhan terakhir sebelum mereka
memasuki induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah pedukuhan
yang besar dan ramai. Ternyata perhitungan Ki Peda Sura itu tidak sisip. Di dalam
padukuhan itu bersembunyi pasukan Menoreh. Bahkan Samekta
dan Pandan Wangi pun telah sampai ke tempat itu pula. Mereka
segera menghubungi para pemimpin kelompok dan memberikan
beberapa petunjuk yang mereka perlukan.
Belum lagi Samekta selesai, maka datanglah seorang
pengawas kepadanya sambil berkata, "Di depan kita berjalan
sepasukan orang-orang Sidanti seperti yang telah dilaporkan
lebih dahulu." "Apakah mereka menuju kemari?" bertanya Samekta.
"Ya, mereka menuju kemari."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
berjalan kaki ia pergi ke ujung lorong untuk melihat pasukan
yang disebutkan olen pengawas itu.
"Hem," desis Samekta, "pasukan itu agaknya ingin
membunuh dirinya. Mereka langsung maju ke padukunan ini
dalam iring-iringan seperti orang mengantar mayat ke kuburan."
Pandan Wangi yang melihat bayangan-bayangan remangremang
di bawah sinar bulan yang cerah, mengerutkan
keningnya. Pasukan itu agaknya memang tidak bersiap sama
sekali. Mereka berjalan seenaknya, seolah-olah tidak melihat


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya yang menunggu di hadapan mereka.
"Pasukan itu tidak terlampau besar," gumam Samekta, "aku
memang sudah menyangka, bahwa pasukan Sidanti tidak
terlampau besar. Tetapi jumlah yang datang itu benar-benar di
luar dugaanku. Jumlah itu terlampau sedikit bagi pasukanku."
"Paman jangan terlalu menganggap diri terlampau kuat.
Bukankah Paman sudah memperhitungkan pula, bahwa
mungkin Kakang Sidanti menyisakan pasukannya untuk tujuan
khusus." "Ya. Tetapi menghancurkan pasukan yang datang itu, apalagi
apabila mereka memasuki padukuhan ini dengan cara itu,
adalah pekerjaan yang terlampau ringan. Separo dari pasukanku
akan dapat menyelesaikannya sebelum fajar. Apalagi seluruh
pasukan ini." "Jangan memandang mereka terlampau rendah, Paman."
"Tidak Ngger. Aku tidak memandang mereka terlampau
rendah. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan. Perhitungan
yang telah di alasi dengan pengalaman yang bertahun-tahun."
"Paman Argajaya adalah orang yang cukup berpengalaman
pula. Sedang Kakang Sidanti adalah bekas seorang prajurit yang
baik." Samekta tidak menjawab. Tetapi dipandanginya bayangan di
dalam cahaya bulan itu yang semakin lama menjadi semakin
jelas. Mereka berjalan beriringan.
Samekta tersenyum melihat pasukan yang mendekat itu.
Perlahan-lahan ia bergumam, "Aku tidak menyangka, bahwa
pasukan Sidanti akan sedemikian lengah menghadapi lawan
yang jauh lebih kuat."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi firasatnya
terasa mengetuk hatinya, bahwa sesuatu akan terjadi atas tanah
perdikan ini. Justru kebodohan yang berlebih-lebihan dari
pasukan Sidanti itu membuatnya bercuriga.
Tiba-tiba dengan serta-merta ia berkata, "Paman, apakah
Paman sendiri tidak lengah menghadapi pasukan itu" Sampai
saat ini Paman belum membuat perintah apa-apa."
"Oh," peringatan itu telah membuat dada Samekta berdesir. Ia
memang belum berbuat apa-apa justru karena ia menganggap
lawannya terlampau kecil. Maka sejenak kemudian ia berkata
kepada setiap pemimpin kelompok pasukannya, "Semua masuk
ke dalam dinding halaman. Kita biarkan pasukan itu masuk ke
lorong ini, kemudian kita sergap mereka setelah semuanya
berada di dalam padukuhan. Aku akan memberikan aba-aba
yang harus disambut oleh setiap pemimpin kelompok dan
kemudian oleh setiap pengawal. Suara yang bersahut-sahutan
akan membuat mereka semakin bingung."
Setiap pemimpin kelompok tidak menunggu perintah itu
diulangi. Segera mereka berloncatan ke pasukan masingmasing.
Dan sebelum Pandan Wangi menyadari keadaan itu,
semua pasukan telah hilang di balik dinding batu di sepanjang
jalan padukuhan. Bahkan kuda Pandan Wangi pun sudah tidak
tampak lagi di tempatnya.
Pandan Wangi menarik nafas. Pasukan Menoreh memang
terlatih baik. Mereka dapat berbuat dengan cepat tanpa banyak
menimbulkan keributan. "Tetapi pasukan Kakang Sidanti yang terdiri dari orang-orang
Menoreh pun akan sebaik itu pula," gumam Pandan Wangi di
dalam hatinya. Tetapi sebelum gadis itu sempat bertanya, maka
dilihatnya pasukan yang sudah menjadi terlampau dekat di
hadapan mereka itu berhenti.
"Mereka agaknya mulai menyusun diri," berkata Samekta
kepada Pandan Wangi. "Ternyata mereka tidak sebodoh yang kita sangka."
Samekta tidak menjawab. Tetapi matanya seakan-akan
hendak meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat pasukan itu
bergeser. Ternyata mereka tidak maju lagi, tetapi mereka
berjalan memintasi pematang. Namun sejenak kemudian
Samekta tersenyum, "Biar saja mereka memilih lawan."
Pandan Wangi tidak mengerti, apakah yang dimaksud oleh
Samekta. Tetapi ia tidak bertanya. Beberapa langkah ia maju
meskipun ia masih tetap terlindung oleh bayangan dedaunan
yang rimbun. "Kemana mereka akan pergi Paman?"
"Mungkin mereka melihat tanda-tanda, bahwa kita menunggu
mereka di sini. Mungkin beberapa orang pengawas mereka
berhasil mendekat tanpa setahu kita. Karena itu mereka
merubah arah. Agaknya mereka akan berlindung untuk
sementara di pategalan itu sambil menyusun pasukan mereka
menjadi pasukan yang agak pantas untuk maju ke medan
perang." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
melihat kesan yang aneh di wajah Samekta. Apalagi ketika ia
bergumam, "Kita akan melihat, apa yang akan terjadi di
pategalan itu." Sepercik pertanyaan menyala di wajah Pandan Wangi,
meskipun tidak terucapkan, dan Samekta pun dapat menangkap
pertanyaan itu. Katanya, "Marilah Ngger, kita maju beberapa
langkah lagi. Kita menunggu, apa yang akan terjadi kemudian."
"Paman tidak menyiapkan sesuatu untuk menyongsong
perubahan tata gelar lawan?"
"Tentu Ngger. Aku akan berbuat sesuatu."
Tiba-tiba terdengarlah suara suitan pendek dari mulut
Samekta, tetapi kemudian berubah seperti suara derik angkup
kering. Berturut-turut menusuk sepinya malam. Meskipun suara
itu tidak terlampau keras, tetapi cukup dapat didengar oleh
pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.
Sekejap kemudian, para pemimpin kelompok itu telah
berkumpul. Dan dengan singkat Samekta memberitahukan,
bahwa pasukan lawan telah menggeser arah dan pergi ke
pategalan di sebelah. "Oh," pemimpin pengawal yang tertua di antara mereka
bertanya, "lalu apakah yang harus kita lakukan?"
"Kita bersiap. Kita akan segera menyusul mereka."
"Bagaimana dengan sayap kiri dari pasukan ini?"
"Pada saatnya kita panggil pemimpinnya dengan isyarat.
Kemudian mereka harus bergeser dan menempati tempat ini.
Kita akan pergi ke pategalan di sebelah."
"Apakah sayap itu tidak akan ikut dalam pertempuran nanti."
"Kita melihat perkembangan. Kalau kita tidak segera dapat
mengatasi lawan kita, maka sayap itu kita bawa masuk ke dalam
peperangan." "Apakah kita tidak akan menyusun gelar?"
"Kita lihat keadaan lawan. Tetapi bahwa mereka terperosok
ke pategalan itu dalam keadaannya, maka rasa-rasanya kita
tidak akan menyusun gelar. Kita akan terlibat dalam perang
brubuh seperti yang sudah kita duga sebelumnya."
"Lalu apakah yang akan kita lakukan dahulu?"
"Bersiap bersama pasukan masing-masing. Aku akan
memberikan perintah kepada kalian, apabila datang saatnya
kalian harus pergi ke pategalan itu."
Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke dalam
kelompok masing-masing. Tetapi sejenak kemudian, para
pengawal sudah tidak lagi bersembunyi dan berlindung di balik
pagar-pagar batu. Mereka kini bahkan telah meloncat kembali
kelorong padukuhan itu. "Aku tidak mengerti Paman," gumam Pandan Wangi.
"Ini adalah pengalaman Angger yang pertama berada di
medan. Angger harus mencoba menyesuaikan diri." Samekta
berhenti sebentar, lalu, "Tetapi maafkan Ngger, kalau aku kau
anggap menyinggung perasaaanmu. Maksudku agar kau tidak
terperosok ke dalam keadaan yang tidak kau mengerti
sebelumnya." Sekali lagi Samekta berhenti, ia menjadi ragu-ragu untuk
meneruskannya. Namun akhirnya ia berkata juga, "Angger
Pandan Wangi. Aku mengharap bahwa, Angger mencoba
menyesuaikan diri dengan peperangan yang bakal terjadi.
Jangan langsung terjun ke dalam hiruk-pikuk perang brubuh.
Angger akan melihat hal-hal yang mungkin belum pernah
terbayangkan. Betapapun tangkasnya kau, namun kau adalah
seorang gadis. Seorang perempuan. Kau akan sangat
terpengaruh oleh penglihatanmu dalam perang semacam itu.
Orang akan mudah sekali kehilangan kepribadian karena
pengaruh dentang senjata. Apalagi orang-orang yang datang itu
adalah orang-orang liar yang tidak mengenal peradaban."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengerti
keterangan Samekta. Sebenarnyalah bahwa ia agak tersinggung
pula. Seolah-olah Samekta masih saja menganggapnya anakanak
yang perlu selalu dilindungi. Tetapi ia tidak membiarkan
perasaan itu berbicara. Karena itu maka ia pun bertanya,
"Apakah maksud Paman Samekta dengan kehilangan
kepribadian itu?" "O, Ngger," jawab Samekta, "mungkin kau pernah melihat
darah mengalir dari luka. Mungkin kau bahkan pernah
mengalami bertempur melawan enam orang laklaki liar serupa
itu. Tetapi kau belum pernah berada dalam perang brubuh.
Orang-orang yang terlibat di dalamnya akan kehilangan otaknya.
Yang berkuasa di dalam arena yang demikian adalah ujung
senjata. Lebih dari itu. Setiap orang akan berusaha melepaskan
kemarahan, dendam dan kebencian, sehingga tingkah lakunya
jauh melampaui tingkah laku binatang yang paling buas
sekalipun." Dada Pandan Wangi berdesir. Kini ia mengerti maksud
Samekta. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengenal bentuk
peperangan dari dekat. Ia ingin mendapat pengalaman, apalagi
apabila benar-benar ayahnya menganggap, bahwa ia sudah
sepantasnya untuk mengganti kedudukan ayahnya itu. Kalau ia
gagal pada pengenalannya atas bentuk peperangan yang
pertama kali dan menjadi korban karenanya, maka itu adalah
akibat yang wajar dari peperangan.
Karena itu maka katanya, "Terima kasih Paman. Aku akan
berusaha untuk menyesuaikan diri. Tetapi aku akan tetap berada
dalam pasukan ini." Samekta menarik nafas. Tetapi sebelum ia menjawab, ia
mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara
isyarat. Panah sendaren. "Kita harus bersiap," desisnya. Sekali lagi terdengar suara
suitan dari mulut Samekta, kemudian berubah menjadi derik
angkup kering. Dan sekali lagi para pemimpin kelompok
berloncatan mendekatinya.
"Siapkan pasukan. Kita akan pergi ke pategalan." Sekali lagi
Pandan Wangi melihat para pemimpin kelompok itu seolah-olah
lenyap ditelan gelap malam. Namun sekejap kemudian pasukan
di padukuhan itu telah siap untuk menyergap lawannya.
Kelompok demi kelompok. Sama sekali tidak tersusun dalam
gelar yang sempurna. Pandan Wangi terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar sorak
bergeletar di pategalan sebelah. Sehingga dengan serta-merta ia
bertanya, "Siapakah yang bersorak itu Paman?"
"Kedua pasukan itu telah bertemu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia masih belum
mengerti, pasukan siapakah yang sudah bertemu itu. Karena itu
dipandanginya Samekta dengan dahi yang berkerut merut.
Sementara itu, Peda Sura pun terkejut bukan buatan. Tanpa
disangka-sangkanya, ketika ia merasa bahwa di hadapannya
bersembunyi pasukan Menoreh, ia mencoba untuk menariknya
keluar dengan caranya. Tetapi ternyata bahwa di dalam
pategalan itupun dijumpainya pasukan Menoreh yang telah siap
menunggunya. Sorak yang meledak itu membuatnya sekejab menjadi
bingung. Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke
dalam keadaan yang mantap. Dengan lantangnya ia berteriak,
"Tarik mereka keluar."
Orang-orangnya yang telah terjebak itu, segera bergeser
surut. Mereka berusaha untuk bertempur di luar pategalan yang
dibayangi oleh dedaunan dan pohon-pohon buah-buahan yang
rimbun. Ternyata orang-orang Peda Sura adalah orang-orang yang
memang cukup liar, namun cukup mempunyai pengalaman di
dalam keliarannya. Segera mereka berkelahi dengan buasnya,
sambil bergeser setapak demi setapak. Mereka pun berteriakteriak
tidak menentu, jauh lebih keras dari suara orang-orang
Menoreh yang mengejutkan mereka untuk pertama kali.
Perkelahian yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang
kisruh. Bukan sekedar perang brubuh, tetapi benar-benar
campuh seperti debu dalam putaran angin pusaran.
Di padesan sebelah Samekta telah menyiapkan pasukannya.
Dengan isyarat pemimpin pasukan di sayap kiri telah datang
kepadanya. Samekta segera memberinya beberapa pesan, dan
memerintahkan pasukan di sayap kiri itu segera berada di
tempat induk pasukan yang akan segera bergeser ke sayap
kanan. "Kalau keadaan memaksa, kalian akan mendapat isyarat
untuk bertempur di sayap itu pula."
"Ya," jawab pemimpin sayap kiri itu, "kami akan selalu bersiap
menghadapi setiap kemungkinan."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
berkata kepada setiap pemimpin kelompok, "Kita berangkat.
Kelompok demi kelompok. Kita akan menghadapi perang brubuh
yang tidak beraturan sama sekali." Lalu kepada Pandan Wangi
ia berkata, "pertimbangkan kata-kataku, Ngger."
"Terima kasih Paman, tetapi aku ingin melihat, apa yang
terjadi itu." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia
berkata pula, "Kalau kau berkeras hati Ngger, maka aku hanya
dapat berpesan, berhathatilah. Berhathati sekali."
"Terima kasih, Paman."
Samekta pun kemudian bersiap dengan segenap
pasukannya. Pemimpin pasukan sayap kiri telah pergi
mengambil pasukannya. Sejenak kemudian, maka iring-iringan
pasukan itu telah berada di tengah-tengah bulak pendek,
menyeberang ke padukuhan itu.
"Pasukan itu telah datang. Marilah kita berangkat," desis
Samekta yang kemudian memberikan perintah kepada
pemimpin-pemimpin kelompoknya untuk segera melibatkan diri
ke dalam perang yang ribut itu.
Sejenak kemudian maka mengalirlah pasukan Samekta itu,
keluar dari padukuhan tempat mereka berlindung. Di antara
mereka terdapat Pandan Wangi yang berdebar-debar, tetapi ia
sama sekali tidak ragu-ragu. Ia memang sudah bertekad bulat
untuk pergi berperang. ***

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun di sepanjang jalan ia masih mencoba mengerti,
apakah yang sedang terjadi. Ternyata bahwa pasukan Samekta
itu dibagi menjadi tiga kelompok besar.
"Paman Samekta tidak pernah mengatakannya dengan pasti,"
desisnya, "yang kini bertempur itu adalah sayap kanan pasukan
Paman Samekta." Tetapi angan-angan Pandan Wangi itu segera terputus, ketika
ia melihat seseorang berlarlari menyongsong pasukan yang
sedang bergerak itu. "Siapakah orang itu Paman?"
Samekta menggeleng, "Aku tidak tahu. Aku kira seorang
penghubung." Ternyata dugaan Samekta itu benar. Orang itu adalah
seorang penghubung. Belum lagi orang itu berkata sesuatu, Samekta telah lebih
dahulu bertanya, "Kenapa kalian bertempur di luar pategalan?"
"Pasukan lawan memancing kami keluar."
"Dan kalian mengejar mereka keluar seperti yang mereka
kehendaki." "Mereka mendesak kami keluar."
"He?" Samekta mengerutkan keningnya.
"Mereka terlalu kuat buat sayap kanan. Mereka masuk dalamdalam.
Kami memang menjebaknya. Dengan serta-merta kami
menyerang mereka. Tetapi mereka mampu mendesak kami.
Karena itu kami segera memerlukan bantuan."
"Ya, aku sudah mendengar isyarat kalian dengan panah
sendaren." "Tetapi aku dikirim untuk langsung memberitahukan, bahwa
yang memimpin pasukan lawan adalah seorang yang bernama
Peda Sura." "He," Samekta terperanjat. Ia sudah pernah mendengar nama
itu. Dan ia menyadari kini, dengan siapa ia harus berhadapan.
"Bagus," desisnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh
kemarahan yang meluap-luap. Tetapi ia tidak dapat menutup
kenyataan, bahwa Peda Sura bukanlah lawannya untuk
bertempur seorang lawan seorang. Namun Samekta adalah
seorang pengawal yang cukup berpengalaman pula. Segera
disusunnya satu kelompok kecil dari orang-orang yang
dipilihnya, untuk bersama-sama dengan dirinya sendiri
menghadapi Ki Peda Sura. Tanpa cara yang demikian, ia tidak
akan dapat berhasil. Kepada orang-orangnya ia berpesan
berantai, "Jangan menghadapi lawan seorang lawan seorang.
Bentuklah kelompok-kelompok kecil yang tidak terpisahkan oleh
perang yang betapa pun kisruhnya. Meskipun kita tidak dapat
mengimbangi mereka seorang lawan seorang, tetapi jumlah kita
jauh lebih banyak." Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata, "Kau sudah
mendengar Ngger, siapa yang berada di pasukan lawan. Kau
harus berada di dalam kelompokku, untuk bersama-sama
melawan Ki Peda Sura."
Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Ia menyadari, bahwa
Samekta mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak
daripadanya. Karena itu, maka sambil menganggukkan
kepalanya ia berkata, "Baik Paman. Aku akan berada di
kelompok itu." Samekta menarik nafas panjang. Ternyata Pandan Wangi
tidak terlampau membiarkan perasaannya melambung tanpa
batas. Dengan demikian ia akan dapat langsung mengawasi
gadis itu, dan sekaligus Pandan Wangi akan merupakan
kekuatan yang harus diperhitungkan oleh Ki Peda Sura.
Kepada beberapa orang prajurit yang dipilihnya, Samekta
berpesan untuk melindungi kelompok kecil yang nanti akan
bertempur melawan Ki Peda Sura, supaya tidak terganggu oleh
orang-orang yang telah dipersiapkan pula oleh pemimpin
pasukan lawan yang garang itu.
Dari penghubung yang datang kepadanya, Samekta sama
sekali tidak mendapat keterangan tentang Sidanti dan Argajaya.
Mereka masih belum terlihat berada di pasukan yang sedang
bertempur itu, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu
telah menimbulkan persoalan di hati Samekta.
Pandan Wangi yang belum terlampau banyak memiliki
pengalaman dan pengetahuan perang pun bertanya di dalam
hatinya, "Kenapa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya tidak
berada di dalam pasukan itu?" Berbagai dugaan tumbuh di
dalam hati gadis Menoreh itu. Bahkan ia sampai pada suatu
kesimpulan, "Pasti ada kekuatan lain yang dipimpin oleh Kakang
Sidanti. Bahkan mungkin masih ada yang lain pula yang dipimpin
oleh Paman Argajaya."
Tetapi Pandan Wangi tidak menyatakan pikirannya itu. Ia
menganggap, bahwa Samekta pasti telah mempunyai
perhitungan-perhitungan yang cukup baik. Dan anggapannya
itupun ternyata kemudian ketika Samekta memanggil seorang
penghubung datang kepadanya.
Pemimpin pasukan Menoreh itu ternyata menjadi gelisah
pula, karena Sidanti dan Argajaya tidak ada di dalam
peperangan itu. Katanya kepada penghubungnya, "Kau segera
kembali ke pasukan sayap kiri. Menurut pengamatan
penghubung dari sayap kanan, belum seorang pun yang melihat
Sidanti dan Argajaya berada di dalam pasukan mereka. Pasukan
itu dipimpin oleh Ki Peda Sura. Dengan demikian mereka harus
lebih berhathati." Penghubung itu menganggukkan kepalanya.
"Bawalah seorang kawan dari sayap kiri," berkata Samekta
selanjutnya, "hubungi pasukan cadangan di banjar, supaya
mereka mendengar hal ini pula. Kemudian sampaikan pula
kepada Wrahasta. Berita ini harus sampai pula kepada setiap
gardu peronda di manapun juga. Pergilah segera. Berkuda.
Bawalah tanda-tanda sandi apabila diperlukan di sepanjang
perjalananmu. Panah api atau panah sendaren."
"Baik,"sahut penghubung itu, yang dengan segera meloncat
berlari melakukan tugasnya. Ia harus mengambil kuda di
padesan yang baru saja ditinggalkan dan seorang kawan.
Samekta pun kemudian melanjutkan langkahnya, dengan
tergesa-gesa menuju ke pategalan. Di sepanjang bulak yang
tidak terlampau panjang itu ia sempat membentuk beberapa
kelompok-kelompok lain. Seandainya Sidanti ada di dalam
pasukan lawan, apalagi bersama Argajaya pula, maka mereka
pun tidak akan dapat dilawan oleh siapa pun juga dalam perang
seorang lawan seorang. Karena itu, mereka harus dihadapi oleh
kelompok-kelompok terpilih.
Sejenak kemudian, mereka telah dapat melihat hiruk pikuk
pertempuran di luar pagar pategalan. Terdengar teriakan yang
melengking-lengking di antara dentang senjata, disahut oleh
umpatan-umpatan kasar dan gemeretak gigi. Ternyata orangorang
yang tidak banyak dikenal di Menoreh itu berkelahi
dengan kasarnya. Mereka berbuat apa saja tanpa kendali,
sehingga kadang-kadang menggoncangkan hati para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh. Namun anak-anak Menoreh itu telah
dibekali tekad di dalam dadanya, bahwa mereka bertempur
untuk tanah kelahiran mereka. Tanah yang selama ini telah
memberinya tempat untuk membangun suatu bebrayan yang
rukun dan damai. Tanah yang telah disadapnya setiap saat
untuk makan dan minumnya.
Dorongan itulah yang membuat mereka tabah menghadapi
keliaran orang-orang yang datang untuk membuat tanah
perdikan ini menjadi semakin parah.
Namun orang-orang yang berkelahi dengan buasnya itu
mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman mereka
mempergunakan senjata, kebiasaan mereka berbuat kasar dan
sewenang-wenang, bahkan tangan-tangan mereka yang telah
terlampau sering dibasahi oleh darah, menempatkan mereka
pada kesempatan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, betapapun juga
dilandasi oleh tekad yang bulat, namun kadang-kadang mereka
masih juga ragu-ragu untuk menghunjamkan pedang mereka
terlampau dalam ke tubuh lawan seandainya mereka mendapat
kesempatan. Tetapi saat-saat yang demikian itu ternyata telah
menutup setiap kemungkinan berikutnya baginya. Sebab orangorang
di pasukan lawan itu akan mempergunakan segala
kesempatan yang mereka peroleh.
Tepat pada saatnya, Samekta dan pasukannya berhasil
menolong keadaan. Kelompok demi kelompok pasukan
pengawal Menoreh dari induk pasukan itu melanda perkelahian
yang sedang berlangsung, seperti arus banjir yang melanda
tanggul. Kelompok demi kelompok mereka langsung melibatkan
diri dalam perkelahian yang hiruk-pikuk. Perang brubuh,
sehingga tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan. Mereka
harus mengenal setiap kawan-kawan mereka dari bentuk,
pakaian dan jenis senjata yang di pergunakan. Seperti pesan
Samekta, maka para pengawal dari Menoreh telah mencoba
untuk berkelahi dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau
empat orang tanpa terpisahkan. Apabila keadaan memaksa,
maka setidak-tidaknya mereka bertempur berpasangan. Duadua.
Tidak sukar bagi Samekta untuk segera dapat menemukan Ki
Peda Sura. Orang itu ternyata telah menimbulkan terlampau
banyak korban. Senjatanya, sepasang bindi yang panjang telah
melumpuhkan korban-korban di pihak para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Sepasang senjata itu berputaran seperti
sepasang baling-baling, kemudian terayun-ayun mendatar, dan
menyambar-nyambar seperti burung garuda.
"Itulah setan itu," desis Samekta, "kita harus
menghentikannya. Semakin lama ia akan menjadi semakin gila.
Bau darah akan membuatnya semakin buas." Lalu kepada
Pandan Wangi ia berkata, "Hathatilah, Ngger. Perang brubuh
adalah jenis perang yang paling tidak menyenangkan."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ia sudah
menggenggam sepasang pedangnya. Namun ternyata bahwa
pengenalannya yang pertama atas peperangan telah membuat
hatinya menjadi berdebar-debar.
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak ingin surut. Ia benarbenar
ingin melihat dan menghayati perang. Apalagi kali ini,
pada saat tanah perdikannya terancam.
Namun sebenarnyalah, bahwa bukan tiba-tiba saja Pandan
Wangi ingin melibatkan dirinya di dalam peperangan.
Peperangan ini adalah penyaluran yang dapat diketemukannya
untuk melepaskan masalah-masalah yang telah membuat
dadanya semakin pepat. Persoalan yang sedikit demi sedikit
tertimbun di hatinya. Sejak ia melihat kakaknya pulang dengan
tabiat yang aneh. Sejak ia berkelahi dengan Sidanti di halaman
rumah Ki Sentol. Kemudian sifat-sifat Sidanti yang sangat
berubah dari sifat-sifatnya yang pernah dikenalnya dahulu.
Pertentangan pendapat antara ayahnya dan Ki Tambak Wedi,
kemudian memuncak pada saat ia mendengar ceritera ayahnya
tentang Sidanti, tentang ibunya dan tentang persoalan mereka.
Sejak saat itulah terasa di dalam dada Pandan Wangi
melonjak-lonjak suatu perasaan yang tidak dapat dimengertinya.
Ancaman terhadap tanah perdikan ini telah membuatnya
menjadi seorang yang seakan-akan menyimpan dendam di
dalam dirinya. Meskipun ia masih mencoba menemui kakaknya
dan berbicara dalam suasana yang baik, tetapi telah menyala api
di dalam dirinya, yang setiap saat dapat meledak dan membakar
seluruh hati dan jantungnya.
Itulah sebabnya, maka peperangan kali ini telah sangat
menarik perhatiannya. Seolah-olah ia menemukan tempat untuk
menyalurkan dendam dan kebenciannya. Dendam dan
kebencian yang selama ini berkembang di dalam dirinya,
meskipun ia tidak akan dapat menyebutkannya kepada siapa ia
mendendam dan siapakah yang telah dibencinya. Namun
selama ini ia mencoba mencari sasaran yang paling mungkin
untuk melepaskan dendam dan kebencian itu. Orang yang paling
mungkin disangkutkannya sebagai sumber bencana itu adalah Ki
Tambak Wedi. Dan Pandan Wangi mencoba memusatkan
segenap kebencian dan dendamnya kepada Ki Tambak Wedi.
Tetapi Ki Tambak Wedi kini sedang berkelahi dengan ayahnya.
Yang ada di peperangan ini adalah orang-orang Ki Tambak
Wedi. Kepadanyalah dendam harus ditumpahkan.
Tetapi ketika ia telah berada di tengah-tengah perang brubuh
yang liar dan buas itu, terasa betapa asingnya dunia yang ada di
sekitarnya. Ia sama sekali tidak membayangkan sebelumnya,
bahwa di dalam peperangan jiwa seseorang benar-benar tidak
berharga. Ia mendengar orang yang berteriak-teriak dengan
umpatan-umpatan kasar, kemudian pekik orang kesakitan. Yang
lain mengerang dan yang lain lagi mengaduh di sela-sela
terkaman-terkaman senjata yang saling berbenturan. Ia melihat
dunia yang jauh berlawanan dengan dunianya sendiri. Ia setiap
kali melihat seorang ibu mendukung bayinya. Setiap nyamuk
yang menggigit bayi itu selalu diusirnya. Setiap goresan kukukukunya
sendiri yang memerah pada kulitnya, selalu di
lumurinya dengan minyak. Apabila bayi itu merasa badannya
kurang sehat dan menangis, merengek-rengek, betapa ibunya
menjadi bingung malam sampai sehat kembali.
Tetapi di peperangan ini, ia melihat jiwa yang sama sekali
tidak dihargai lagi. Dada yang sobek oleh luka ujung senjata.
Darah merah yang mengalir membasahi tanah. Tangan yang
patah dan lengan yang lemah terkulai tidak berdaya lagi.
"Dua dunia yang jauh berlawanan," desisnya di dalam hati. Di
dunia yang satu, setiap gangguan pada sesamanya, selalu
mendapat pertolongan sejauh-jauh dapat dilakukan. Betapa
orang berusaha menyelamatkan setiap jiwa yang terancam. Oleh
sakit maupun kecelakaan. Betapa orang berusaha menyambung
jalan atas kemungkinan, umur yang dijamah oleh maut. Tetapi di
dunia yang sekarang diinjaknya, maka setiap orang berusaha
melenyapkan jiwa sesama. Bunuh membunuh dengan penuh
nafsu dan kebanggaan. Semakin banyak jiwa yang dijemput oleh
maut, maka semakin riuhlah sorak sorai orang-orang yang masih
dapat bertahan dari dekapan kematian. Dan orang-orang yang
Pedang Tanduk Naga 6 Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Bunga Pedang Embun Hujan 3
^