Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 17

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 17


masih hidup itu justru berusaha dengan sepenuh
kemampuannya, memperbanyak kematian-kematian berikutnya.
Tetapi ia sudah berada didunia itu.
Pandan Wangi tersedar dari angan-angannya, ketika ia
melihat Samekta sudah mulai memutar pedangnya. Beberapa
orang di sekitarnya pun telah siap untuk bertempur. Sebuah
kelompok kecil berhadapan dengan seorang yang telah
mendengungkan namanya dengan nada yang hitam di dalam
hiruk pikuk perang brubuh.
"Kaukah pemimpin orang-orang Menoreh itu," terdengar suara
Ki Peda Sura yang parau datar.
"Ya," sahut Samekta pendek. Tetapi pedangnya langsung
menyerang lambung lawannya. Bertubtubi dan sekejap
kemudian setiap pedang di dalam kelompok itupun segera
bergetar dan menyambar. Hanya sepasang pedang Pandan
Wangi sajalah yang masih bersilang di depan dadanya.
"Kenapa kau bawa pererapuan itu kemari?" getar suara Peda
Sura. Ternyata pertanyaan itu telah menggetarkan dada Pandan
Wangi. Sejenak kemudian terungkaplah kembali segala macam
kebenciannya terhadap orang-orang yang tidak dikenal itu.
Enam orang pernah berusaha untuk menangkapnya dengan
maksud yang paling keji yang dapat dilakukan oleh manusia.
Kemudian dendam dan kebenciannya kepada Ki Tambak Wedi
yang telah merusak tanah perdikan, dan lebih-lebih lagi
keluarganya. Ia telah memercikkan noda yang tidak terhapus
pada nama ibunya. Tetapi ibunya sendiri telah membantu
menggoreskan noda itu pula.
Meskipun demikian, Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu.
Apakah benar ia telah digerakkan oleh dendam dan kebencian
untuk memasuki dunia yang hitam kelam ini"
"Tidak," tiba-tiba Pandan Wangi menggeram di dalam hatinya,
"bukan dendam dan kebencian. Seandainya hatiku hanya
diwarnai oleh dendam dan kebencian aku dapat mengambil jalan
lain. Aku akan melepaskan dendam itu dengan cara yang lain.
Tetapi aku kini dibebani oleh tanggung jawabku atas "anah
perdikan ini. Kecintaanku atas tanah ini, atas keluargaku dan
atas rakyat Menoreh telah memaksa aku untuk masuk ke dalam
daerah yang kelam ini."
Pandan Wangi terkejut, ketika seorang pengawal telah
mendorongnya ke samping. Ketika ia menyadari keadaannya,
maka hatinya terasa berdesir. Seluruh pengawal yang ada di
tempat itu telah terlibat di dalam peperangan. Beberapa orang
terpaksa berada di sekitarnya untuk mencoba melindunginya.
Kini Pandan Wangi merasa bahwa dirinya tidak boleh
tenggelam dalam angan-angannya saja di tengah-tengah
peperangan yang kisruh itu. Dengan demikian ia benar-benar
menjadi beban orang lain yang harus mengawasi dan
melindunginya. Apalagi ketika ia melihat, betapa Peda Sura
sudah sampai pada puncak kemampuannya.
Terdengar gadis itu menggeram. Ia berpaling ketika ia
mendengar seseorang terpekik di sampingnya. Matanya menjadi
terbelalak ketika ia melihat pengawal yang mendorongnya dari
ujung senjata lawan itu memegangi lambungnya yang terluka.
Darah yang menitik dari luka itu seolah-olah titik-titik minyak
yang menyiram dadanya yang membara. Kalau semula ia
menjadi ngeri melihat darah dan luka, serta melihat kekasaran
dan keliaran lawannya, maka kini tiba-tiba ia merasa wajib,
bahwa ia harus menghentikan semuanya. Peristiwa-peristiwa
yang membuat dadanya berdebar-debar telah mendorongnya
untuk segera berbuat sesuatu.
Pandan Wangi itu menggeretakkan giginya. Selangkah ia
maju mendekat Peda Sura kini sedang bertempur melawan
beberapa orang yang mengelilingnya. Beberapa orang pengawal
terpilih. Namun meskipun demikian, para pengawal itu seolah-olah
tidak dapat berbuat terlampau banyak. Mereka hanya dapat
menyerang bergantganti dari jurusan yang berbeda-beda.
Terus-menerus untuk berusaha agar Peda Sura tidak dapat
berbuat terlampau banyak.
Tetapi Peda Sura bukan kanak-kanak. Segera ia memekik
tinggi sambil memutar kedua senjatanya. Seperti prahara ia maju
langsung menyerang orang yang memegang pimpinan pada
pasukan pengawal Tanah Perdikaa Menoreh.
Samekta terkejut melihat serangan yang langsung melibatnya
itu. Seakan-akan ia tidak mendapat kesempatan untuk
menghindar. Orang-orang lain di dalam kelompok itupun serasa telah
kehilangan kesempatan untuk mengimbangi gerak yang
terlampau cepat. Peda Sura seolah-olah sudah tidak
menghiraukan orang-orang lain kecuali Samekta.
Beberapa orang masih mencoba menahannya dan
menyerangnya dari arah yang lain. Tetapi gerak Peda Sura
dalam kesempatan ini ternyata terlampau cepat.
Samekta yang langsung mendapat serangan itu sudah tentu
tidak akan membiarkan dirinya binasa. Sejauh-jauh dapat
dilakukan ia harus memberikan perlawanan atau menghindar.
Karena itu, ketika serangan itu meluncur dengan cepatnya, maka
ia pun segera mencoba mengambil jarak dengan meloncat ke
samping. Tetapi senjata Peda Sura seolah-olah mempunyai mata.
Serangan itupun dengan cepatnya berkisar dan mengejarnya.
Sehingga dengan demikian, maka Samekta benar-benar tidak
dapat lagi menghindarinya. Kini diayunkannya pedangnya, untuk
mendapatkan kekuatan membentur serangan lawan itu.
Sejenak kemudian, terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.
Senjata di tangan kiri Ki Peda Sura yang diayunkannya ke
pundak lawannya ternyata tertahan oleh pedang Samekta.
Meskipun Ki Peda Sura tidak menumpahkan kekuatannya pada
tangan kirinya, namun kekuatan ayunan senjatanya itu telah
membuat tangan Samekta menjadi pedih. Senjata di dalam
genggamannya hampir saja terlepas dan terlempar. Hanya
dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang
ada padanya, pedangnya masih tetap berada di genggaman.
Namun dengan demikian, ia terdorong beberapa langkah surut.
Kesimbangannya pun hampir-hampir tidak dapat
dipertahankannya, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa
saat. Tetapi begitu ia berhasil tegak berdiri di atas kedua
kakinya, dadanya berdesir dengan dahsyatnya. Sebuah
bayangan meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang luar
biasa. Dua buah senjata di kedua tangannya terayun-ayun
mengarah ke tubuhnya. Dalam sekejap, Samekta segera dapat mengenal, orang itu
adalah Peda Sura yang kali ini benar-benar tidak mau
melepaskannya. Ki Peda Sura agaknya telah mengabaikan
beberapa orang di sekitarnya, dan memusatkan seranganserangannya
kepada pemimpin pasukan pengawal Menoreh.
Agaknya orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia
menyadari, bahwa kekuatan lawannya agak lebih besar dari
kekuatan pasukannya. Jumlahnya pun berselisih agak besar,
sehingga Ki Peda Sura harus mendapat cara yang secepatcepatnya,
mempengaruhi tenaga perlawanan pasukan pengawal
Menoreh. Kalau ia dapat membunuh Samekta, maka keberanian
dan tekad para pengawal itu pasti segera akan surut.
Karena itulah, maka serangannya kali ini benar telah diwarnai
oleh bayangan maut yang hampir mencengkamnya.
Sejenak Samekta menjadi bingung. Tetapi naluri
keprajuritannya telah menggerakkan tangannya untuk
menangkis serangan itu. Loncatan Peda Sura yang secepat tatit itu agaknya telah
meyakinkannya, bahwa kali ini Samekta tidak akan dapat
menghindar lagi. Kalau serangan ini tidak langsung dapat
membunuhnya, maka serangan berikutnyalah yang pasti akan
merobek dadanya. Ternyata perhitungan Peda Sura itu benar-benar tepat.
Samekta sudah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk
melawan serangan yang datang bertubtubi seperti gelombang
yang berurutan menghantam tebing.
Sekali lagi terjadi benturan antara kedua jenis senjata.
Senjata Peda Sura yang diayunkannya dengan tangan kiri untuk
kedua kalinya telah membentur senjata Samekta. Dan ternyata
kali ini Samekta sudah tidak mampu lagi bertahan. Tangannya
terasa seperti tersayat dan pedangnya pun terlepas dari
genggaman. Melihat pedang lawannya terlepas, Peda Sura tertawa. Ia
masih harus menangkis satu dua serangan dari orang-orang
yang berada di dalam kelompok Samekta. Tetapi seranganserangan
itu sama sekali tidak berarti. Yang di hadapinya
sekarang adalah Samekta yang telah siap menanti maut.
Dengan mata yang buas, Peda Sura mengangkat senjata di
tangan kanannya. Sesaat terdengar suara tertawanya yang
mengerikan, seperti suara iblis dari dalam lubang kubur.
Samekta sendiri kini sama sekali sudah tidak berdaya untuk
berbuat apapun. Yang dapat dilakukan hanyalah meloncat
menghindar. Tetapi itu tidak akan banyak berguna lagi. Karena
itu, maka hidup matinya kini sangat tergantung kepada orangorang
di dalam kelompoknya. Tetapi Peda Sura mampu memunahkan setiap serangan
dengan tangan kirinya, atau bergeser setapak-setapak surut,
dan kemudian maju lagi. Samekta yang sudah tidak bersenjata itu kini sama sekali
telah kehilangan kesempatan. Meskipun ia masih mencoba
untuk melihat seseorang yang mungkin dapat memberinya
senjata, tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi.
Ki Peda Sura kemudian telah membuat perhitungan
selanjutnya. Yang pertama-tama setelah Samekta mati, adalah
meneriakkan kemenangan itu untuk mempengaruhi setiap
ketahanan di dalam diri setiap pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang berada di dalam peperangan itu.
Tetapi tanpa disangka-sangka, Ki Peda Sura itu terkejut.
Ternyata senjatanya telah membentur suatu kekuatau yaug tidak
diduganya. Ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas
serangan yang tiba-tiba datang dari arah samping. Seperti
serangan-serangan yang lain, digerakkannya tangan kirinya
untuk menangkis serangan itu sambil berkisar, sebelum ia
mengayunkan tangan kanannya, dan mematahkan leher
Samekta yang berdiri tegak seperti patung.
Namun ternyata benturan yang terjadi telah menggetarkan
dadanya. Karena Ki Peda Sura sama sekali tidak menyangka,
maka senjatanyalah yang hampir-hampir terlepas dari
tangannya. Terdengar pemimpin dari pasukan yang liar itu menggeram.
Ia terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Namun agaknya
serangan yang datang kali ini, jauh berbeda dengan seranganTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
serangan yang terdahulu. Sepasang pedang seakan-akan
memburunya, dan dengan kecepatan yang luar biasa kedua
ujung pedang itu mematuknya dari arah yang berbeda.
"Setan betina," Ki Peda Sura berteriak, "ternyata kau mampu
juga berkelahi, he!"
Orang yang memegang sepasang pedang itu adalah Pandan
Wangi. Pada saat terakhir, ia menggeretakkan giginya dan
langsung meloncat menyerang Ki Peda Sura, ketika Samekta
benar-benar telah terancam bahaya maut. Ia dengan susah
payah telan berhasil menyingkirkan keragu-raguannya, karena ia
yakin, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu untuk
tanah ini dan untuk rakyat yang berada di dalam lingkungannya.
Itulah sebabnya, maka sambil menggeretakkan giginya,
Pandan Wangi telah meluncurkan serangan-serangan yang
sangat berbahaya bagi lawannya. Meskipun lawannya itu adalah
Ki Peda Sura. Ternyata Ki Peda Sura harus mengerahkan tenaga dan
kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan Pandan
Wangi yang mengalir seperti banjir bandang. Bertubtubi. Sekalisekali
terjadi benturan-benturan antara dua pasang senjata.
Tetapi karena Ki Peda Sura sama sekali tidak bersiap untuk
melawan serangan-serangan yang demikian, maka beberapa
kali ia terpaksa jauh-jauh menghindar untuk mendapat
kesempatan memperbaiki keadaannya. Tetapi setiap kali
Pandan Wangi telah berada di hadapannya sambil menjulurkan
kedua ujung pedangnya. Bergantganti, tetapi kadang-kadang
bersama-sama, sehingga sepasang pedang itu seolah-olah telah
berubah menjadi puluhan ujung pedang yang digerakkan oleh
puluhan tangan dari penarpenari yang menarikan sebuah tarian
maut. Tetapi Ki Peda Sura bukan anak-anak yang baru pandai
menghapus ingus di hidungnya. Ia adalah seorang yang telah
menggetarkan lingkungannya dengan berbagai macam
perbuatan dan tindakannya yang nggegirisi. Ia adalah seorang
yang telah mampu mencengkam lingkungannya dengan
kelebihan-kelebihannya yang meyakinkan.
Itulah sebabnya, betapapun sulitnya, akhirnya perlahan-lahan
Ki Peda Sura dapat menemukan keseimbangannya kembali.
Perlahan-lahan ia dapat menempatkan dirinya, dalam
perlawanan yang wajar terhadap lawannya yang kali ini ternyata
jauh melampaui segala orang di dalam peperangan itu.
Kini Ki Peda Sura telah berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Senjatanya telah mantap di dalam genggaman. Dan matanya
tajamnya memandang lawannya dengan hampir tidak berkedip,
bahkan dari sepasang mata yang buas itu seakan-akan
memancar api yang menjilat-jilat.
"Ternyata di Menoreh ada juga setan betina macam kau,"
geramnya. Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia menyadari
sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka
dipusatkannya perhatiannya kepada Ki Peda Sura.
Dipercayakannya dirinya kepada para pengawal yang selalu
berusaha menahan serangan-serangan dalam hiruk pikuk
perang brubuh itu, sehingga seolah-olah kedua orang yang
berhadap-hadapan itu telah dipisahkan dari lingkungan perang
yang semakin kisruh. "Hem," Peda Sura menggeram, "sayang sekali, bahwa gadis
secantik dan semuda kau, sudah harus mati di peperangan.
Mungkin kaulah yang bernama Pandan Wangi puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh yang gila itu. Aku pernah mendengar
namamu dan kelebihan-kelebihan yang kau miliki."
Pandan Wangi tidak menjawab. Selangkah ia maju mendekati
lawannya dengan penuh kewaspadaan. Kedua pedangnya kini
bersilang di muka dadanya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uh," Peda Sura berdesah, "bukan main. Kau memang
seorang yang luar biasa. Kau mempunyai kepercayaan yang
mantap kepada dirimu sendiri. Aku kira kau pun pernah
mendengar namaku. Tetapi agaknya kau benar-benar tidak
gentar." Pandan Wangi sama sekali tidak merasa perlu untuk
menjawab. Karena itu ia hanya mengatupkan mulutnya rapatrapat.
Kini jarak mereka menjadi semakin dekat, dan pandangan
mata keduanya sama sekali tidak berkisar dari senjata lawan.
Sementara itu, Samekta telah berhasil memperoleh
senjatanya kembali. Meskipun tangannya masih terasa pedih,
namun ia tidak akan dapat membiarkan perkelahian antara
Pandan Wangi dan Peda Sura itu berlangsung tanpa bantuan
orang lain. Meskipun Pandan Wangi cukup mempunyai bekal
dan kemampuan, namun Peda Sura menyimpan pengalaman
yang jauh lebih banyak dari gadis yang baru untuk pertama
kalinya terjun di peperangan. Apalagi perang brubuh. Karena itu,
maka ia pun segera mendekat bersama beberapa orang di
dalam kelompoknya. "Ha," berkata Ki Peda Sura, "lihat, kawanmu yang hampir
menjadi bangkai itu mendekat pula. Agaknya ia benar-benar
ingin mati di peperangan ini."
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak berpaling. Bahkan
setelah Samekta berada di sampingnya. Ia mengerti benar,
bahwa Peda Sura mampu bergerak secepat tatit.
Peda Sura mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ia melihat
banyak kelebihan pada gadis itu. Keyakinan kepada diri sendiri,
penuh kewaspadaan dan otak yang terang. Dengan demikian,
maka dadanya telah diamuk oleh kecemasan. Kini ia tidak yakin,
bahwa ia akan dapat berbuat sekehendaknya atas lawanlawannya.
Kesempatan untuk membunuh Samekta seolah-olah
telah lenyap, sedang ia menyadari, bahwa jumlah pasukan
Menoreh lebih banyak dan lebih kuat dari pasukannya.
Namun demikian Peda Sura masih mempunyai harapan.
Sebentar lagi pasukan Sidanti akan masuk ke induk padukuhan
Menoreh. Pada saat itulah, maka pasukan Menoreh pasti akan
dapat di pecahnya. "Tetapi bagaimanakah seandainya Sidanti sengaja
memperpanjang waktu menunggu pasukan ini hancur?"
pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya
sendiri, "tentu tidak. Tentu tidak. Ia masih memerlukan kami."
Dan Ki Peda Sura tidak dapat berangan-angan
berkepanjangan. Pandan Wangi melangkah semakin dekat dan
pedangnya yang bersilang kini mulai bergetar.
"Betina ini benar-benar seperti iblis," desis Ki Peda Sura di
dalam hati. Dan ternyata bahwa sekejap kemudian Pandan Wangi telah
meloncat ke samping, menggerakkan pedangnya dan langsung
menyerang dengan sengitnya.
Bukan saja Ki Peda Sura yang menggeram, tetapi Samekta
pun menggeram pula oleh keheranan yang menyesak di
dadanya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pandan
Wangi yang luruh itu dapat berubah menjadi demikian
garangnya. Samekta pun tidak mau melewatkan setiap kesempatan.
Selagi ia mendapat kesempatan, maka ia pun mendekat pula
dan menyerang bersama-sama dengan beberapa orang di
dalam kelompok kecil itu.
Baru kini Ki Peda Sura merasa, bahwa ia sebenarnya lagi
berperang. Dengan lincahnya ia berloncatan sambil
menggerakkan sepasang senjatanya. Tetapi kini dengan penuh
kewaspadaan dan sepenuh kemampuannya. Ia tidak lagi dapat
bermain-main. Dengan demikian, maka perkelahian itupun menjadi semakin
lama semakin seru. Tidak hanya di dalam lingkaran yang
memutari Ki Peda Sura, tetapi di seluruh daerah perang brubuh
itu. Satu-satu korban jatuh di tanah, dan darah pun mengalir dan
luka, memerahi tanah dan batu-batu padas. Erang kesakitan,
dan pekik yang mengerikan membelah hiruk pikuk dentang
senjata. Pada saat yang demikian itulah, dua ekor kuda berlari
berderap memecah kesepian malam di dalam padukuhan.
Mereka singgah dari gardu ke gardu memberitahukan, bahwa
Sidanti masih belum dijumpai di peperangan. Akhirnya orang itu
sampai pula di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
ditunggui oleh sepasukan kecil dibawah pimpinan Wrahasta.
"Hem," Wrahasta menggeram, "bagaimana dengan pasukan
cadangan di banjar?"
"Pasukan itu telah aku beritahukan pula. Mereka
mengumpulkan kuda sebanyak-banyaknya dapat mereka
peroleh, supaya sebagian dari mereka dapat bergerak cepat ke
manapun juga." "Bagus. Dan apakah kau telah memberitahukan semua
penjaga dan semua peronda?"
"Hampir seluruhnya. Berita ini akan berkembang dengan
secara beranting, bagi gardu-gardu di padukuhan-padukuhan
yang agak jauh." Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
menjadi berdebar-debar. Kepergian Pandan Wangi ke medan
peperangan telah membuat hatinya gelisah. Dan berita yang
didengarnya itupun telah menambah kegelisahan dan
kecemasannya. "Sekarang, kalian akan pergi ke mana lagi?"
"Aku akan meneruskan perjalanan ke gardu-gardu di sebelah
Timur. Sokurlah kalau berita beranting itu telah sampai, kalau
belum maka mereka harus segera mendengarnya pula."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Hathatilah. Musuh dapat berada di segala tempat."
Sesaat kemudian derap kaki dua ekor kuda itu kembali
memecah kesenyapan malam. Menyelusur jalan padukuhan,
singgah di gardu-gardu di mulut lorong dan di sudut-sudut desa.
Namun dengan serta-merta, kedua penunggang kuda itu
menarik kekang kudanya ketika ia bertemu dengan seorang
penunggang kuda yang datang dari arah yang berlawanan. Kuda
itu berpacu seperti angin. Dalam kilatan cahaya bulan keduanya
melihat bahwa orang itu membawa senjata terhunus di
tangannya. "Penghubung yang pasti membawa berita terlampau penting."
"Ya, ternyata senjatanya telah berada di dalam genggaman."
Kini keduanya menjadi semakin berhathati. Namun semakin
dekat, mereka segera mengenal, bahwa penunggang kuda
itupun seorang pengawal dari Menoreh.
Penunggang kuda yang seorang itu, yang membawa senjata
terhunus, telah melihat kedua orang yang berkuda pula di
hadapannya. Karena itu maka segera diperlambatlah derap
kudanya. Belum lagi mereka berpapasan, orang itu telah berkata
keras-keras, "Pasukan yang besar datang dari arah Timur."
Kedua orang yang menunggunya terkejut, "Pasukan siapa?"
"Setan," hampir bersamaan keduanya menggeram.
"Langsung dipimpin oleh Sidanti dan Argajaya."
"Pasukan cadangan telah siap."
"Tidak cukup. Pasukan itu terlampau kuat."
"Lalu maksudmu?"
"Semua yang ada harus dikerahkan. Sebagian harus ditarik
dari peperangan di medan sebelah Barat."
Keduanya mengerutkan keningnya. Kini penghubung yang
bersenjata itu telah berhenti pula. Katanya, "Kembalilah. Salah
seorang dari kalian pergi kepada Ki Samekta. Yang seorang
kepada Wrahasta dan aku akan pergi ke banjar, mengambil
pasukan cadangan yang dapat segera digerakkan."
Mereka tidak terlampau banyak berbincang. Keadaan akan
segera memuncak. Karena itu, maka ketiganya segera memacu
kuda mereka berderap ke jurusan masing-masing. Mereka
merasa betapa berat tugas pasukan pengawal kali ini,
menghadapi kawan-kawan sendiri dan orang-orang liar yang
tidak mereka kenal yang terjun di dalam perselisihan di antara
keluarga. Wrahasta yang mendengar tentang gerakan itu
menggeretakkan giginya. Hampir saja ia lupa, bahwa ia bertugas
untuk menjaga rumah Kepala Tanah Perdikan itu seisinya.
Dengan kemarahan yang meluap-luap ia menggeram,
"Seandainya aku tidak terikat oleh tanggung jawab ini. Aku ingin
tahu, apakah benar-benar Sidanti telah melonjak terlampau jauh
dari anak-anak muda sebayanya di tanah perdikan ini."
"Tetapi kau tidak boleh meninggalkan halaman rumah ini,"
berkata seorang pengawal yang lain.
"Ya, dan aku kecewa karenanya."
"Tugasmu telah ditentukan," sahut penghubung yang
memberitahukan gerakan Sidanti itu kepadanya, "aku
memberitahukan kepadamu, supaya kau berwaspada. Mungkin
pasukannya dapat meresap sampai ke halaman ini. Setiap orang
harus menyiapkan diri menghadapi kemungkinan."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Aku akan menyongsong setiap orang dari pasukan
lawan di luar halaman. Tidak boleh setapak kaki pun yang
mengotori halaman rumah Ki Argapati."
Penghubung itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Baiklah, aku kini pergi kebanjar."
Tetapi kata-katanya terpotong ketika mereka yang berada di
halaman itu mendengar derap kaki kuda. Bergemeretak di atas
tanah berbatu-batu. Berurutan meluncur secepat loncatan tatit di
langit. Mereka adalah bagian dari pasukan cadangan yang
langsung menyongsong pasukan Sidanti. Menurut perhitungan
mereka, pasukan itu pasti sudah berbenturan dengan para
peronda yang telah menarik diri dari gardu-gardu mereka dan
berkumpul untuk menahan arus pasukan Sidanti. Tetapi jumlah
mereka terlampau sedikit, sehingga pengaruhnya pun tidak akan
terlampau terasa pada pasukan lawan. Namun kedatangan para
pengawal berkuda itu pasti akan segera mengganggu laju
pasukan lawan itu. "Mereka telah berangkat," desis Wrahasta, "darimana mereka
mendengar bahwa pasukan Sidanti maju disebelah Timur?"
"Bersama aku seorang penghubung langsung pergi ke banjar
dan ke medan disebelah Barat untuk memberitahukan kepada
Paman Samekta. Seandainya Samekta mempunyai kelebihan
kekuatan, maka kekuatan itu akan dialirkan ke medan di sebelah
Timur." Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
mencoba melihat bayangan yang meluncur berurutan di
hadapannya. Tetapi yang dilihatnya tinggallah orang yang paling
belakang. "Jumlah pengawal berkuda itupun tidak terlampau banyak."
Tetapi cukup untuk menahan pasukan Sidanti sampai
pasukan cadangan yang lain datang."
"Pasukan cadangan itupun tidak begitu banyak."
Penghubung itu tidak menyahut. Menurut pendengarannya,
pasukan Sidanti yang datang dari Timur itu cukup kuat, sehingga
untuk menahannya diperlukan pasukan yang kuat pula.
Sejenak kemudian mereka melihat pasukan cadangan dari
Banjar, dengan tergesa-gesa menuju ke Timur, lewat jalan di
alun alun kecil di hadapan rumah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Bahkan mereka berlarlari kecil berloncatan, seakanakan
tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengun pasukan
lawan. Ternyata pasukan Sidanti yang kuat sama sekali tidak
menemukan perlawanan yang berarti. Para peronda di gardugardu
dan para pengawal yang di tempatkan di padukuhanpadukuhan
kecil tidak terlampau bodoh untuk membunuh diri
dengan menahan arus gerakan lawan. Mereka segera
menghindar, menarik diri dan mencoba berkumpul dalam
kelompok yang lebih besar. Tetapi jumlah mereka masih
terlampau sedikit untuk melakukan perlawanan, sehingga
dengan demikian, mereka masih tetap mundur dan bergabung
dengan lima atau sepuluh orang di setiap padukuhan-padukuhan
kecil. Baru ketika jumlah mereka menjadi lebih banyak, mereka
mencoba mengganggu pasukan lawan dengan panah-panah
dari jarak yang agak jauh. Mereka menyerang pasukan lawan
dari pedukuhan-pedukuhan di hadapan gerakan pasukan
Sidanti, namun kemudian hilang di dalam kegelapan dan
mencoba menghindar dari benturan terbuka.
"Setan," Sidanti menggeram, "mereka licik seperti kancil.
Mereka tidak berani berhadapan beradu dada."
Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia mengagumi cara yang
dipergunakan oleh para pengawal itu. Ia termasuk salah seorang
yang menganjurkan cara itu untuk melawan kekuatan yang jauh
melampaui kekuatan sendiri. Dan cara itu kini dipergunakan
untuk melawannya sendiri.
Para peronda yang mengundurkan diri itu akhirnya
mendengar derap kakkaki kuda semakin mendekat. Dengan
serta-merta, kegembiraan melonjak di hati mereka. Mereka akan
segera mendapatkan kawan yang cuku berarti untuk melawan
pasukan Sidanti. Meskipun mereka tetap ragu-ragu, apakah
usaha itu akan berhasil, karena pasukan Sidanti itu agak
terlampau besar. Dengan tergesa-gesa mereka menahan para pengawal
berkuda itu, supaya mereka tidak langsung terjun ke dalam
jebakan lawan. Dengan berapa petunjuk dari para peronda itu,
akhirnya mereka bersepakat, bahwa mereka akan
mempergunakan cara yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Setiap kali menunggu pasukan lawan mendekati padukuhan.
Kemudian menyerang mereka dengan senjata-senjata jarak
jauh. Kini, mereka menambah cara penyerangan dengan para
pengawal berkuda. Pada saat mereka sibuk menangkis
serangan-serangan senjata jarak jauh, maka para pengawal
berkuda itu harus menyerang mereka dengan tiba-tiba, tetapi
kemudian menghilang lagi, untuk muncul pula disaat yang lain.
Demikianlah, maka mereka mencoba mempergunakan cara
itu. Pertama kali, ketika Sidanti mendengar ringkik kuda, ia
terkejut. Beberapa orang berkuda tiba-tiba saja meloncat dari
dalam bayangan pepohonan, langsung menyerang mereka
dengan melontarkan tombak-tombak panjang. Kemudian
menebaskan pedang-pedang mereka. Sesaat kemudian kudakuda
itu telah lenyap menghilang sambil meninggalkan beberapa
orang korban. Tetapi cara itu tidak akan dapat mereka ulangi. Sidanti dan
Argajaya bukanlah orang-orang yang terlampau bodoh. Itulah
sebabnya, maka para pengawal yang menyadari keadaan, harus
mempergunakan cara yang lain untuk menyergap lawan mereka.
Tetapi cara-cara yang mereka pilih tidak selalu berhasil.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kadang-kadang mereka terpaksa mengurungkan penyerangan
mereka, dan menghindar jauh-jauh. Namun pada dasarnya,
mereka selalu menghindarkan diri dari benturan-benturan
terbuka, sambil menunggu kedatangan pasukan cadangan yang
menyusul mereka dengan berjalan kaki.
Tetapi pasukan Sidanti yang datang dari arah Timur ini
ternyata terlampau kuat. Para pengawal berkuda, segera dapat
menilai, bahwa pasukan cadangan itupun tidak akan mampu
untuk bertahan dari arus pasukan lawan. Karena itu, maka
segera mereka berusaha menghubungi setiap peronda, dan
bahkan setiap orang yang mungkin dapat memperkuat pasukan
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Satu dua dan kadang-kadang lima orang atau lebih berhasil
berhimpun menjadi kelompok-kelompok kecil dan bergabung
dengan pasukan pengawal, yang masih menunggu pasukan
yang lebih besar lagi untuk melakukan perlawanan terbuka.
Namun dalam pada itu, pasukan Sidanti maju terus dengan
cepatnya. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh.
Setiap orang dari para pengawal itu menjadi berdebar-debar.
Ketika mereka menerima seorang penghubung dari pasukan
cadangan, mereka menjadi berbesar hati, Pasukan itu telah
berada dan menunggu lawannya di sebuah pedukunan kecil di
belakang mereka. "Kami tahu, bahwa pasukan Sidanti cukup besar," berkata
penghubung itu, "karena itu, maka kami tidak membawanya di
tempat terbuka, supaya kami dapat sedikit perlindungan dari
keadaan di sekitar kami."
"Baiklah,"jawab seorang pengawal yang tertua di antara
mereka yang telah bergabung menjadi kelompok-kelompok kecil,
"kami akan bergabung. Tetapi kami akan mencari jalan lain,
supaya tidak segera diketahui oleh pasukan lawan."
(***) Buku 37 PASUKAN kecil itupun segera menghilang dari pengawasan
Pasukan Sidanti. Mundur dengan tergesa-gesa, merangkak di
antara batang-batang jagung muda, supaya mereka dapat
bergabung dengan pasukan cadangan yang agak besar, yang
menunggu di padukuhan kecil di belakang mereka. Mereka
mencoba menghilangkan segala macam jejak, agar Sidanti tidak
mengetahui dengan pasti, bahwa mereka telah ditunggu di
padukuhan kecil itu. Sedang para pengawal berkuda, menyingkir
ke arah yang lain agak jauh. Namun mereka telah
mempersiapkan diri untuk dengan tiba-tiba terjun di peperangan.
Ketika Sidanti menyadari, bahwa lawannya yang kecil telah
menghilang, maka segera ia bercuriga. Mereka pasti akan
menyerang lagi dengan tiba-tiba. Dan Sidanti telah
mempersiapkan dirinya. Beberapa orang berperisai berada di
depan pasukannya, agar perisai itu dapat melindungi mereka
dari anak-anak panah yang dilontarkan oleh lawan-lawan
mereka Tetapi naluri Sidanti sebagai seorang prajurit, telah
memperingatkannya, bahwa di depan pasukannya di dalam
padukuhan kecil itu, bahaya yang lebih besar sedang
menunggunya. Dan Sidanti agaknya mempercayai sentuhan
nalurinya itu, sehingga dengan demikian, ia telah
mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya.
Karena itu, ketika Sidanti memasuki padukuhan kecil itu,
mereka sama sekali tidak terkejut ketika tiba-tiba saja pasukan
pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyergap mereka. Yang
sejenak kemudian disusul oleh pasukan berkuda yang tidak
terlampau banyak jumlahnya. Dengan menggeretakkan giginya,
Sidanti dan Argajaya telah menyambut lawan-lawannya dengan
penuh nafsu. Senjata-senjata mereka segera berputaran seperti
angin ribut, menyerang setiap orang yang berada di sekitarnya.
Perang yang terjadi di medan inipun adalah perang brubuh.
Dengan kekuatan yang lebih kecil, pasukan pengawal Menoreh
mencoba bertahan dari arus yang melanda seperti banjir
bandang. Apalagi di antara mereka terdapat Sidanti dan
Argajaya. Pada saat benturan itu mulai, sudah terasa oleh para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh, bahwa arus itu ternyata
terlampau kuat. Sehingga menurut perhitungan mereka, mereka
pasti tidak akan dapat menahannya dalam keadaan serupa itu.
Karena itu, maka mereka harus memanggil kawan-kawan
sebanyak-banyaknya, untuk bertahan, agar Tanah Perdikan
Menoreh tidak digulung oleh Sidanti, Argajaya. dan orang-orang
yang telah berpihak kepadanya.
"Kita tidak punya kesempatan," geram pemimpin pasukan
Menoreh, "para penghubung akan memerlukan waktu untuk
menghubungi orang-orang yang bersedia dengan suka rela
bertempur saat ini."
"Hampir semua laklaki dan anak-anak muda telah berada di
barisan." "Siapa pun juga. Panggil mereka dengan tanda."
"Kentongan." "Ya, titir." "Apakah tidak akan menimbulkan kecemasan dan
kebingungan?" "Terpaksa kita lakukan. Keadaan sangat gawat di sini."
Penghubung itu tidak membantah. Ia mencari kesempatan
untuk melepaskan diri dari perang brubuh. Kemudian dengan
berlari secepat-cepat mungkin dapat dilakukan, ia menuju ke
gardu terdekat. Dan sejenak kemudian, menggemalah suara
kentongan dalam irama titir yang panjang mengumandang
membelah sepinya malam. Ternyata suara itu telah menggemparkan setiap gardu-gardu
perondan. Gardu-gardu yang biasanya ditunggui oleh lima atau
enam orang, kini tinggal diisi oleh dua orang, karena yang lain
sudah ditarik di medan-medan peperangan. Dan suara titir itu
telah memanggil mereka pula untuk membantu langsung ke
medan-medan. Tetapi sebelum mereka meninggalkan gardu
mereka, maka lebih dahulu mereka telah menyambung suara titir
itu merambat dari gardu ke gardu, sehingga akhirnya, seolaholah
seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah meneriakkan irama
kecemasan oleh pertentangan di antara mereka sendiri.
"Titir," desis seseoragg di sebuah gardu, "iramanya rata
diseling oleb pukulan dua dua."
"Ya, pertanda bahwa bahaya datang dari Timur."
Setetah menyambung suara titir itu sejenak, maka kedua
orang di gardu itupun segera berlarlari menuju ke padukuhan
kecil di sebelah Timur padukuhan induk Tanah Perdikan
Menoreh. Namun meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
masih mungkin meninggalkan tugasnya mengalir satu-satu ke
medan di sebelah Timur, namun ternyata kekuatan Sidanti
bagaikan badai yang dahsyat melanda daun alang-alang yang
ringkuh. Sehingga sejenak kemudian, maka korban pun segera
berjatuhan membujur lintang di atas tanah kelahiran yang
dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.
Sementara itu, di medan sebelah Barat, pasukan Samekta
telah hampir berhasil menguasai lawannya, meskipun pasukan
sayap kirinya masih belum dipergunakannya. Namun akhirnya
Samekta tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. Ia berhasrat untuk
segera memanggil sisa pasukannya, agar pertempuran itu
semakin cepat berakhir, dan korban pun tidak bertambahtambah
lagi. Tetapi dalam pada itu hatinya berguncang, ketika lamat-lamat
ia mendengar suara kentongan, merayap semakin lama semakin
dekat. Kemudian suara itu seolah-olah telah melingkar bergema
di segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh. Berkumandang
memukul lereng pebukitan, kemudian memantul kembali sahut
menyahut. Dada Samekta yang berguncang itu terasa semakin
menggelapar, ketika ia mendengar suara Peda Sura datar, "Kau
dengar suara kentongan itu?"
Samekta menggeram. "Pasukan Sidanti yang kuat telah datang dari arah Timur."
Samekta tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya
gemeretak. Suara titir itu telah langsung memberitahukan
kepadanya, bahwa pasukan cadangan tidak cukup kuat untuk
menahan arus lawan yang baru itu. Bahkan keadaan mereka
pasti sangat berbahaya. Tiba-tiba terbersit ingatan di kepalanya, "Pasukan sayap kiri."
Belum lagi Samekta berbuat sesuatu, seorang penghububung
dengan susah payah, setelah menerobos perang brubuh itu
berhasil mendekatinya. Dan sebelum orang itu mengucapkan
sepatah kata pun, Samekta mendahuluinya, "Kau memerlukan
bantuan?" Orang itu mengangguk, "Ya."
"Di padukuhan sebelah, sayap kiri dari pasukan ini masih
belum melibatkan diri dalam peperangan."
Orang itu menganggukkan kepalanya. Tanpa menunggu
perintah berikutnya, ia bergeser untuk dengan cepat
menghubungi pasukan yang masih belum melibatkan diri dalam
peperangan itu. Namun langkahnya terhenti ketika Samekta
memanggilnya, "Tunggu!"
Pengawal itu tertegun sejenak. Tetapi dilihatnya Samekta
menjadi ragu-ragu. Sejenak Samekta telah melepaskan diri dari
perkelahian melawan Peda Sura, dan membiarkan Pandan
Wangi dan beberapa orang lain yang membantunya bertempur
terus. "Apakah keadaan sangat parah?"
Orang itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia
menggangguk. Sekali lagi Samekta tertegun-tegun dalam keragu-raguan.
Sejenak dipandanginya Pandan Wangi yang sedang bertempur
itu. Ternyata kemampuan gadis itu jauh berada di atas
kemampuannya sendiri, tetapi masih belum dapat mengimbangi
kemampuan Peda Sura yang ganas, garang, dan bahkan
kadang-kadang di luar perhitungan.
Betapapun banyaknya bekal yang dibawa Pandan Wangi
dalam olah kanuragan dan keprigelan, tetapi di dalam
peperangan apalagi perang brubuh melawan orang-orang yang
sama sekali tidak mengenal unggah-ungguh, tanggung jawab
terhadap keperwiraan dan kesatriaan dan bahkan tata
kesopanan olah peperangan, Pandan Wangi adalah orang baru
sama sekali. Ia harus mendapat banyak tuntunan dan petunjuk
untuk menerapkan bekalnya yang cukup banyak itu.
"Ia dapat tersesat," berkata Samekta di dalam hatinya, "ia
dapat menjadi ngeri dan kehilangan kemampuan untuk tetap
bertahan setelah melihat darah dan kebiadab ini berlangsung di
depan matanya. Tetapi apabila ia cukup tabah, maka ia dapat
nenjadi salah mengerti. Disangkanya, bahwa memang
demikianlah isi dari peperangan. Orang dapat melepaskan
segala sifat-sifat kemanusiaan dan peradaban sehingga
seseorang di dalam peperangan dapat berbuat apa saja tanpa
bertanggung jawab." Pandan Wangi, meskipun ia orang baru di medan
peperangan, ternyata tanggapan terhadap keadaan demikian
tajamnya, sehingga seolah-olah ia mengerti apa yang terpikir di
dalam kepala Samekta. Namun meskipun demikian, di dalam
kepalanya sendiri terjadi juga keragu-raguan dan kebimbangan.
Ada hasratnya untuk meninggalkan medan ini dan pergi ke
medan yang sedang parah, itu terdorong oleh tanggung
jawabnya sebagai seorang puteri kepala tanah perdikan. Tetapi
ia ragu-ragu, apakah ia dapat menghadapi Sidanti, kakaknya
sendiri, sebagai lawan di peperangan, meskipun ia yakin, bahwa
kini seorang lawan seorang, ia tidak berada di bawah
kemampuan kakaknya itu Namun tiba-tiba ia berkata, "Paman, tinggalkanlah aku di sini.
Aku akan mencoba menyelesaikan tugas pengawal-pengawal
Menoreh di sini. Silahkanlah Paman pergi ke medan di sebelah
Timur yang memerlukan bantuan itu, sambil membawa pasukan
sayap kiri yang masih utuh di padukuhan sebelah."
Samekta mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia masih
diombanga-ambingkan oleh keragu-raguan. Terasa dadanya
berdesir ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata seterusnya,
sambil memutar pedangnya, melawan serangan-serangan Peda
Sura yang membadai, "Pergilah Paman. Sekejap dalam keadaan
ini akan sangat bermanfaat. Jangan buang-buang waktu dengan
terus menerus dicengkam kebimbangan."
"Hem," Samekta menggeram di dalam hatinya, "justru Pandan
Wangi yang memberi petunjuk kepadaku. Tetapi aku kira
memang tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan tanah ini."
Karena itu, maka Samekta itupun menyahut, "Ya Ngger. Aku
akan pergi. Tinggallah di sini bersama pasukan ini." Lalu kepada
orang tertua di dalam kelompok kecil yang sedang melawan
Peda Sura itu, ia berpesan, "Kau mempunyai pengalaman jauh
lebih banyak dari Angger Pandan Wangi. Kau dapat memberinya
banyak petunjuk. Tetapi kekuasaan ada di tangannya
sepeninggalku." Orang itu mengangguk, "Ya, aku akan mencoba."
Samekta masih juga ragu-ragu. Tetapi ia tidak banyak
mempunyai waktu. Ia harus segera berbuat sesuatu. Dan ia pun
segera mengambil keputusan. Kepergiannya tidak akan banyak
berpengaruh di medan ini, tetapi mungkin akan berguna di
medan yang lain. Sejenak Samekta masih berdiri di tempatnya. Agaknya ia
masih mencoba meyakinkan dirinya, apakah Pandan Wangi
dapat ditinggalkannya. Dan sekali lagi ia melihat, betapa gadis
itu dengan lingahnya meloncat-loncat melayani lawannya,
dibantu oleh beberapa orang terpilih dari para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. "Hathatilah Ngger," desis Samekta kemudian. Sejenak ia
menunggu dan didengarnya Pandan Wangi menyahut di selasela
dentang senjatanya, "Baik Paman."
Samekta segera meninggalkan arena itu. Disumbatnya
segenap keragu-raguan dengan menggeretakkan giginya. Ia
mencoba melepaskan segala macam kebimbangan, dan ia pun
segera menerobos perang brubuh yang kisruh, menuju ke
padepokan di sebelah Tanah Perdikan Menoreh memang sedang memerlukan
tenaganya. Ia harus memimpin pasukan yang tersisa itu. Namun
demikian, hatinya terasa terlampau gelisah. Ia telah salah
memperhitungkan cara yang akan ditempuh oleh Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar seorang prajurit yang baik. Ia
memancing para pengawal dengan pasukan yang tidak
terlampau kuat. Namun kemudian induk pasukannya justru
menyerang dari arah lain.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami telah kehilangan kesempatan," gumam Samekta di
dalam hatinya, "kalau kami berhadapan bersama-sama, maka
kekuatan Menoreh pasti lebih besar dari kekuatan Sidanti.
Seandainya kami bertempur dalam gelar, maka dapat dipastikan
bahwa pasukan Sidanti akan pecah. Tetapi dengan cara ini,
pasukan Menoreh banyak kehilangan. Sidanti berhasil
membinasakan pasukan Menoreh sedikit demi sedikit. Waktu
yang dipergunakan oleh Sidanti, untuk mengurangi sebanyakbanyaknya
kemampuan perlawanan pasukan Menoreh."
Tiba-tiba Samekta menggeram. Ia adalah orang yang telah
cukup makan pahit asamnya peperangan. Namun kali ini ia tidak
berhasil menanggulangi siasat Sidanti.
"Mudah-mudahan aku tidak terlambat sekali."
Samekta kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke
padukuhan sebelah, menemui pemimpin sayap kirinya. Dengan
singkat, pasukan itu mendapat penjelasan apa yang harus
dilakukan. Dengan tergesa-gesa Samekta segera membawa pasukan
kecil itu menuju ke medan di sebelah Timur. Dengan berlarlari
kecil ditelusurinya pematang, diloncatinya parit dan ladangladang
terpaksa di sasaknya tanaman-tanaman di pategalanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
pategalan untuk menempuh jalan yang memintas. Jalan yang
paling pendek untuk mencapai medan sebelah Timur, hampir
mencapai padukuhan induk.
Kedatangan pasukan Samekta, beserta Samekta sendiri,
memberikan gairah baru bagi pasukan Menoreh yang
sebenarnya telah terlampau parah. Korban telah banyak
berjatuhan dan daya perlawanan mereka pun telah hampir
punah. Tetapi pasukan yang segar ini telah membawa udara
baru. Dengan cara seperti yang telah ditempuhnya membuat
kelompok-kelompok kecil, para pengawal menghadapi Sidanti
dan Argajaya. Mereka harus berusaha untuk mengurung kedua
orang itu pada tempat tertentu, supaya kedahsyatan ujung
senjata mereka tidak menjalar di seluruh medan.
Sejenak desakan pasukan Sidanti agak tertahan. Tetapi
sejenak kemudian Samekta pun segera merasakan, bahwa
tekanan pasukan lawan itu benar-benar tidak dapat dibendung
lagi. Pasukannya datang ketika pasukan yang terdahulu sudah
hampir tidak berdaya sama sekali, sehingga seakan-akan
pasukan yang baru itu sajalah yang kini harus bertempur
melawan seluruh kekuatan Sidanti.
Samekta itu menggeram, ketika ia mendengar jerit seseorang
di dekatnya. Sebatang tombak telah menembus dadanya,
menyusup di antara tulang-tulang rusuknya meraba jantung.
"Perlawanan ini tidak dapat dipertahankan," berkata Samekta
di dalam hatinya, "kami akan ditumpasnya seperti batang ilalang
yang disapu angin pusaran yang dahsyat."
Tiba-tiba Samekta mengambil sesuatu keputusan yang
berbahaya, tetapi yang paling mungkin dilakukan. Selagi
pasukannya masih cukup segar, maka diperintahkannya
seseorang untuk segera menghubungi Wrahasta, "Sampaikan
kepadanya, pasukan akan mundur sampai ke induk Padukuhan
Menoreh. Ungsikan sedapat mungkin semua penghuninya. Kami
akan bertahan bergabung dengan pasukan Wrahasta. Itu yang
paling mungkin kami lakukan, karena Wrahasta tidak akan dapat
meninggalkan halaman menurut perintah Ki Gede. Setidaktidaknya,
kami akan bertempur di padukuhan induk. Dengan
demikian kami akan mendapat banyak bantuan daripadanya."
Penghubung itupun segera meninggalkan medan, langsung
menemui Wrahasta di halaman rumah Ki Argapati. Wajah
Wrahasta segera menjadi tegang dan menyala. Katanya, "Jadi
pasukan Menoreh tidak mampu menahan arus kekuatan
Sidanti?" Penghubung itu menggeleng.
Wrahasta berdiri tegang di tempatnya. Ia dapat mengerti cara
berpikir Samekta meskipun itu suatu permainan yang sangat
berbahaya. Namun seandainya tidak demikian, dan pasukan
Samekta itu tertumpas habis, maka Sidanti pun pasti akan
berhasil merebut rumah Ki Argapati ini. Karena itu, memang
tidak ada jalan lain daripada menarik pasukan itu dan bergabung
dengan pengawal rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka tidak akan menunggu pasukan Sidanti memasuki
halaman, tetapi mereka akan menyongsong mereka di ujung
pedukuhan. Maka Wrahasta pun kemudian menggeram, "Sampaikan
kepada Paman Samekta, pasukanku akan menunggu di ujung
pedukuhan." Penghubung itu tidak menunggu apapun lagi. Segera ia
meloncat berlari kembali ke medan. sementara Wrahasta
berusaha untuk menyingkirkan perempuan dan anak-anak
meninggalkan pedukuhan induk, ke padukuhan yang
dianggapnya aman. Dengan Samekta dan pasukan-pasukan
yang lain telah dibuat kesepakatan, bahwa apabila terpaksa,
mereka memang harus menempatkan keluarga mereka di
padukuhan tersebut. Bahkan dalam keadaan serupa itu,
kemungkinan yang paling pahit pun harus dipikirkan. Apalagi
pasukan mereka terpaksa mundur, maka mereka akan
menempatkan diri di padukuhan di hadapan padukuhan
pengungsian itu. Dan Wrahasta pun harus menyiapkan
penghubung-penghubung untuk keperluan tersebut. Sebab ia
tidak akan dapat menghindarkan diri dari kenyataan, sesuai
dengan laporan penghubung yang datang dari medan di sebelah
Timur. Dengan susah payah penghubung yang telah berhasil
menemui Wrahasta itu dapat melaporkan hasilnya kepada
Samekta, meskipun ia harus menembus perang yang semakin
sengit berkobar di medan itu. Dan Samekta pun tidak menunggu
lebih lama lagi. Ia tidak dapat membiarkan orang-orangnya
menjadi semakin parah. Karena itulah, maka segera ia
memerintahkan penghubung-penghubungnya menyampaikan
perintahnya ke segenap kelompok dan bahkan ke segenap
orang, supaya di antara mereka tidak ada yang tertinggal, untuk
menarik diri sampai ke ujung padukuhan induk.
Ternyata pasukannya yang telah menjadi semakin parah
itupun agaknya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Disaat-saat
terakhir mereka telah mencurahkan segenap sisa kemampuan
mereka untuk bertahan terus. Seandainya Samekta tidak
mengeluarkan perintah itu, maka pasukan Menoreh justru akan
terpecah tanpa dapat dikendalikan lagi.
Kini sambil mempertahankan hidup masing-masing, para
pengawal itu menarik diri. Mereka belum tahu pasti apakah yang
akan terjadi setelah mereka sampai di padukuhan induk. Sudah
tentu Samekta tidak dapat meneriakkan rencananya itu di medan
perang. Namun meskipun demikian, beberapa orang pemimpin
kelompok dapat segera memahami maksud Samekta, karena
mereka tahu benar, bahwa di padukuhan induk masih tersisa
beberapa bagian dari kekuatan pasukan pengawal Menoreh.
Demikianlah, seperti didorong oleh banjir bandang, maka
dengan cepatnya peperangan itu bergeser. Menyeberangi
sebuah bulak kecil menuju ke padukuhan induk.
Sidanti dan Argajaya memang memperhitungkan juga, bahwa
di padukuhan induk itu pasti masih ada kekuatan yang akan
dapat membantu pasukan Menoreh. Tetapi mereka yakin, bahwa
kekuatannya sudah tidak akan dapat dibendung lagi. Kekuatan
Menoreh yang telah dihancurkannya sedikit demi sedikit, kerena
siasatnya yang berhasil, tidak akan mampu menghimpun diri
dalam waktu yang terlampau pendek. Dengan demikian, mereka
sudah memastikan, bahwa malam ini rumah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh akan jatuh ketangan mereka.
"Kita tinggal mengatur, bagaimana kita harus
mempertahankan padukuhan induk itu untuk seterusnya,"
berkata Sidanti di dalam hatinya.
Sementara itu, medan yang bergeser itupun semakin lama
menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Dentang
senjata, pekik sorak, dan keluhan yang tertahan, mewarnai
malam yang semakin dalam. Di kejauhan masih juga terdengar
satu-satu suara kentongan. Namun telah kehilangan gairah dan
bahkan seakan-akan menjadi ngelangut, seperti nada-nada
tembang dalam keputus-asaan.
Dan ternyata bahwa suara titir yang ngelangut itu telah
mempengaruhi medan di sebelah Barat. Sepeninggal Samekta,
pasukan Menoreh telah dilanda oleh kegelisahan yang dahsyat.
Kalau semula mereka hampir berhasil menguasai keadaan,
maka semakin lama harapan itupun menjadi semakin tipis.
Pengaruh suara tetir yang seolah-olah meneriakkan pedih yang
menyengat jantung Tanah Perdikan Menoreh, agaknya membuat
para pengawal itu kini menjadi cemas. Mereka justru
mencemaskan nasib kawan-kawan mereka di medan sebelah
Timur daripada memikirkan nasib mereka sendiri.
Meskipun demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
masih tetap dalam keadaan yang cukup baik. Orang-orang Peda
Sura masih belum mampu untuk merubah keadaan terlampau
banyak. Meskipun kini mereka tidak terlampau tertekan, namun
mereka masih juga belum dapat bernafas leluasa.
Namun sementara itu, suara titir yang bergema menggetarkan
seluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, terdengar pula dari Pucang
Kembar. Ki Argapati yang sedang bertempur antara hidup dan
mati, melawan Ki Tambak Wedi, mendengar juga suara dan
irama titir itu. Karena itu, maka sejenak ia terpengaruh.
Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut.
"Ha," berkata Ki Tambak Wedi sambil menyerangnya, "kau
dengar suara titir yang memekik-mekik itu" Dengarlah.
Bukankah suaranya seperti tangis bayi yang memanggil-manggil
ibunya, karena ketakutan melihat seekor harimau yang
mendekatinya sambil memperlihatkan taringnya serta kukukukunya
yang tajam?" Argapati tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram
sambil memutar tombaknya.
"Jangan berpura pura Argapati. Kau harus tahu, bahwa
pasukan pengawalmu saat ini sedang dilanda oleh arus pasukan
Sidanti. Kalau kau masih selamat Argapati, kau akan melihat
bangkai bertimbun-timbun."
Argapati masih tetap membisu. Tetapi senjatanya masih tetap
mematuk-matuk dengan dahsyatnya.
"Huh," Ki Tambak Wedi melanjutkan, "agaknya kau terlampau
mementingkan dirimu sendiri. Kau sama sekali tidak berpikir
tentang orang-orangmu yang sedang sekarat." Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak. Ia terpaksa menghindar jauh-jauh karena ujung
tombak Argapati menyambar lambungnya. Hampir saja
lambungnya itu tersobek oleh senjata lawannya.
"Alangkah garangnya kau," ia melanjutkan, "tetapi bayangkan,
apakah kau yakin, bahwa Pandan Wangi mampu
menyelamatkan dirinya, meskipun ia seorang gadis yang
garang" Kali ini jangan diharapkan Sidanti akan menolongnya
lagi seperti pada saat ia hampir dibantai oleh orang-orang liar
yang berdiri di pihak kami. Ha, kau harus tahu, bahwa sudah ada
kesepakatan, bahwa Sidanti tidak akan menghalang-halangi lagi
siapa pun yang dapat menangkap puterimu yang cantik itu untuk
diperlakukan sekehendak hati."
Tiba-tiba Argapati menggeram dahsyat sekali, seolah-olah
udara malam tergetar karenanya. Kata-kata Ki Tambak Wedi,
yang sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi perasaan
Argapati, benar-benar mencapai sasarannya. Tetapi akibatnya
justru sebaliknya. Argapati tidak menjadi bingung dan kehilangan
akal. Namun tiba-tiba Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
seolah-olah berubah menjadi seperti banteng yang sedang
terluka. Dan luka itu justru menambahnya menjadi lebih
berbahaya. Ki Tambak Wedi terkejut melihat perubahan itu. Ia mengharap
Ki Argapati menjadi lengah dalam kebingungannya. Namun
agaknya Argapati adalah seorang yang benar-benar telah
matang. Meskipun ia marah bukan buatan, tetapi dalam
kesadarannya ia tidak menjadi mata gelap dan kehilangan
pegangan. Dengan sepenuh kesadaran ia berkata di dalam
dirinya, "Aku harus berbuat sebaik-baiknya, supaya aku dapat
keluar dari perkelahian ini."
Kemarahan yang didasari sepenuh kesadaran, membuat Ki
Argapati menjadi semakin garang. Tombaknya menyambarnyambar
dari segenap arah dan mematuk dengan tiba-tiba,
seperti seekor ular yang bersayap.
"Setan alas," Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya,
"orang ini justru menjadi semakin gila. Apakah suara titir itu tidak
didengarnya?" Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa tekanan Argapati justru semakin sengit. Beberapa kali Ki
Tambak Wedi harus menghindar sambil melangkah surut,
sebelum ia mapan untuk melawan. Agaknya senjata Ki Tambak
Wedi yang sudah tidak genap sepasang itu mempengaruhinya
pula, karena senjata Ki Argapati agak lebih panjang dari
senjatanya, meskipun berujung rangkap.
"He, apakah kau tuli, Argapati," berteriak Tambak Wedi itu
pula, "apa kau tidak mendengar suara titir itu" Mungkin anakmu
kini telah terbunuh. O, itu lebih baik baginya, tetapi bagaimana
kalau Pandan Wangi itu dapat ditangkap oleh orang-orang liar
yang kemarin mencegatnya?"
Argapati masih tetap berdiam diri. Namun serangannya
menjadi semakin dahsyat. Putaran tombaknya menimbulkan
goncangan pada pepohonan dan ranting-ranting disekitarnya,
seolah-olah sedang dilanda angin pusaran.
"Hem," Tambak Wedi berdesah, "tak ada pilihan lain. Semakin
lama orang ini menjadi semakin gila. Aku harus segera
membinasakannya, supaya aku sempat melihat Sidanti
memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi segera
mempertimbangkan untuk memanggil orang-orangnya yang
bersembunyi. Ia kini ingin segera selesai. Ia sudah menjadi
muak melihat tingkah laku Argapati. Tidak, bukan karena muak.
Sebenarnyalah bahwa ia justru mengaguminya. Tetapi
kegarangan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu membuatnya
terlampau marah dan cemas. Sehingga orang itu memang
segera harus dibinasakan.
Ki Tambak Wedi yang masih selalu harus menghindari
serangan-serangan Argapati yang membadai itu tiba-tiba
meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar sebuah
suitan nyaring. Nyaring sekali membelah sepinya malam di
bawah sepasang Pucang Kembar.
Argapati terkejut mendengar suitan itu. Meskipun ia sudah
meragukan kejantanan Ki Tambak Wedi kini, namun tanda sandi


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu telah menggetarkan jantungnya. Sehingga tiba-tiba ia pun
tertegun tegak di tempatnya seperti sebatang tonggak yang
membeku. Baru sejenak kemudian terdengar ia menggeram, "Aku
memang sudah menduga Tambak Wedi, bahwa akan datang
saatnya, kau kehilangan watakmu sebagai Paguhan yang
perkasa." "Terserahlah penilaianmu, Argapati. Sebentar lagi kau akan
binasa. Tak ada jalan lagi bagimu untuk keluar dari daerah ini."
"Aku menyadarinya Tambak Wedi. Setitik air akan dapat
merubah keseimbangan yang mantap ini. Kau dan aku masih
juga dalam keadaan yang serupa dengan beberapa puluh tahun
lampau. Apabila sekarang kau memanggil seseorang yang
paling lemah sekalipun, maka keseimbangan yang mantap
inipun akan segera menjadi goyah."
"Hem," Tambak Wedi berdesah, lalu, "kalau begitu, kenapa
kau tidak menyerah saja?"
"Ah, jangan begitu Tambak Wedi. Meskipun aku tahu, bahwa
aku akan binasa, tetapi lebih baik bagiku mati sambil
menggenggam tombak ini daripada mati di dalam bantaian."
"Baiklah. Untuk kepuasanmu, Argapati, aku akan
memenuhinya." Argapati menggeram mendengar kata-kata terakhir Tambak
Wedi itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang segera
berloncatan dari balik gerumbul. Keduanya kemudian berjalan
berurutan mendekati arena perkelahian.
"Itukah kawan-kawanmu, Tambak Wedi?" bertanya Argapati.
Tambak Wedi mengangguk. Namun betapapun juga terasa
segores luka yang pedih di hatinya. Seorang yang bergelar Ki
Tambak Wedi telah melakukan kecurangan di dalam perang
tanding. Bukan saja kecurangan ini yang dilakukannya, tetapi
kecurangan-kecurangan yang lain, dan bahkan kecurangan yang
paling memalukan. Kecuali dua orang itu, ia masih bersedia
sekelompok orang-orang yang telah menyiapkan dirinya pula
untuk membinasakan Argapati apabila ia berhasil lolos dari Ki
Tambak Wedi dan kedua temannya.
Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Tambak Wedi.
Hampir saja ia berteriak mengusir kedua orang itu, dan kembali
berkelahi seorang lawan seorang. Namun kemudian ia
menggeretakkan giginya dan mengusir perasaan itu. Yang
dipahatkan di hatinya adalah, "Orang ini harus segera binasa
bersama rahasia tentang dirinya dan Sidanti."
Argapati masih berdiri tegak. Tangannya menggenggam
tombaknya erat-erat. Sedang kakinya yang renggang seakanakan
menghunjam ke dalam bumi. Sejenak dipandanginya
kedua orang yang berjalan dengan langkah yang tetap
mendekatinya, dan sejenak kemudian dipandanginya Ki Tambak
Wedi. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Menurut
pengamatannya kedua orang itupun bukan orang kebanyakan,
meskipun tidak terlampau berbahaya. Tetapi bertiga bersama Ki
Tambak Wedi, maka seolah-olah keputusan telah jatuh, bahwa
Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu harus binasa di bawah
Pucang Kembar itu. Tanpa disadarinya, Argapati menengadahkan wajahnya.
Dilihatnya bulan yang bulat seakan-akan tergantung di langit,
disaput oleh awan yang tipis, mengalir lambat dihembus angin
dari selatan. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya bulan yang
bulat kekuning-kuningan itu tajam-tajam, seolah-olah untuk yang
terakhir kalinya. Setelah puas Argapati memandangi bulan yang bulat di langit
maka sambil menggeram dipandanginya Ki Tambak Wedi
dengan tegangnya. Dalam keremangan cahaya bulan, dilihatnya
wajah orang tua itu seperti wajah burung pemakan daging yang
paling buas dengan paruhnya yang lengkung dan matanya yang
tajam dan liar. Dan sejenak kemudian Ki Argapati itu berkata di dalam,
hatinya, "Apapun yang terjadi, Argapati bukan pengecut yang
takut melihat beberapa ujung senjata bersama-sama mengarah
ke tubuhnya." Karena itu, maka Argapati pun berdiri semakin mantap.
Tombak di dalam genggamannya tampak bergetar, dan
ujungnya menunduk setinggi dada.
"Marilah Tambak Wedi," terdengar suaranya dalam nada yang
datar, "kalau kau menganggap perlu membawa orangmu itu
bermain-main bersama. Aku berterima kasih atas kehormatan
ini. Bahwa seorang yang bernama Paguhan dan bergelar
Tambak Wedi, memerlukan dua orang kawan untuk melayani
Argapati." Ki Tambak Wedi menggeram. Kata-kata itu menggores
jantungnya terlampau dalam. Betapa pedihnya. Namun ia tidak
mau melangkah surut. Ia mencoba untuk memaksa dirinya
menjadi seorang pengecut yang paling licik. Bahkan dengan
menggeretakkan giginya, mengusir segala macam perasaan
malu dan segan ia berkata lantang, "Tidak hanya mereka berdua
Argapati. Kalau kami bertiga ini gagal, maka aku masih
menyediakan sebuah pasukan kecil untuk membinasakan kau.
Maaf, bahwa aku berbuat curang dan licik. Mungkin melampaui
demit. Tetapi keputusan kami telah jatuh. Argapati harus binasa."
"Kenapa kau tunggu sekian lama, baru sekarang orangmu ini
kau panggil?" "Biarlah aku berterus terang kepada seseorang yang sudah
akan dikubur. Aku memang mencoba untuk berkelahi seorang
lawan seorang. Mungkin perkembangan yang terjadi antara kau
dan aku agak berbeda, sehingga seorang diri aku dapat
membinasakan kau. Dengan demkian, aku masih dapat
menepuk dada, dan bangga atas harga diriku sendiri. Tetapi
ternyata aku tidak berhasil. Karena aku sudah menyangka
demikian sebelumnya, maka biarlah aku kini berbuat curang.
Tetapi kecurangan ini aku lakukan untuk suatu tujuan yang
penting. Penting sekali Argapati."
"Penting bagi kau dan Sidanti. Tetapi sama sekali tidak berarti
bagi aku dan rakyat Menoreh."
"Ha, kau membuat tafsiran menurut kepentinganmu. Sudah
tentu aku membuat tafsiran sesuai dengan kepentinganku pula
dan kepentingan anak itu. Kau mengerti?"
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
mengerti Tambak Wedi. Memang apa yang baik untukmu tidak
terlalu baik bagi orang lain. Aku tahu pula, bahwa kau sekarang
dapat berpikir, bahwa apa yang baik buatmu dan anak itu,
meskipun harus mengorbankan orang lain, namun tetap kau
lakukan juga. Kau ingin menempatkan anak itu pada kedudukan
yang baik, meskipun beralaskan bangkaiku. Sahabatmu dan
orang yang pernah dipanggil ayahnya."
Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Ternyata dadanya
bergetar dahsyat sekali mendengar kata-kata itu. Sejenak ia
berdiri tegak dengan wajah yang tegang, sedang kedua orang
yaug di panggilnya telah berdiri di sampingnya.
Tetapi Tambak Wedi masih tegak seperti patung. Dan ia
mendengar Argapati berkata pula, "Tetapi tidak mengapa
Tambak Wedi. Lakukanlah. Aku sudah sedia untuk bertempur
melawan kalian bertiga, apapun yang akan terjadi atas diriku."
Tambak Wedi masih tegak di tempatnya. Terjadilah
pergolakan yang menggoncangkan perasaannya. Keraguraguan
yang tajam telah mencengkam jantungnya.
Sementara itu, di balik gerumbul yang rimbun, tidak terlampau
jauh dari Pucang Kembar, tiga pasang mata memandang apa
yang terjadi itu dengan dada yang berdebar-debar. Sama sekali
tidak terlintas di hati mereka, bahwa orang yang bernama Ki
Tambak Wedi itu telah menyiapkan sebuah perangkap yang keji
buat Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka hati
mereka pun serasa terbakar. Meskipun mawantu-wantu Ki Gede
Menoreh berpesan, tidak boleh ada seorang pun yang melihat
perkelahian itu, namun mereka sama sekai tidak akan
membiarkan sesuatu terjadi atas kepala tanah perdikannya.
Kerti, yang tertua dari ketiga orang itu menggeram. Perlahanlahan
ia berdesis, "Apakah kita dapat melihat kecurangan itu
terjadi." "Tidak," sahut kawannya yang kecil. Ternyata tangannya telah
meraba tangkai pisau-pisaunya, "Kita harus berbuat sesuata.
Aku dapat membunuh mereka dari jarak yang cukup."
"Jangan berkesimpulan demikian. Kau memang pandai
membidik. Kau dapat mengenai seekor burung yang terbang di
langit. Tetapi belum tentu kau mampu mengenai salah seorang
dari mereka. Mereka memiliki kelebihan dari seekor burung di
langit. Mereka mempunyai ketrampilan yang luar biasa untuk
mengelak." Kawannya yang kecil mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Lalu apakah yang akan kita lakukan?"
"Kalau benar mereka berkelahi bersama-sama, apa salahnya
kita pun terjun di dalam arena it," sahut kawannya yang lain.
Kerti menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan membuat
Ki Argapati menjadi marah.
Tetapi seandainya dengan demikian, Argapati terselamatkan,
maka ia akan bersedia menanggung segala macam akibatnya.
Ia akan bersedia menjalani hukuman apapun yang akan
diberikan oleh Argapati atasnya.
Kerti itu berpaling ketika kawannya yang kecil menggamitnya.
Dan ketika ia melihat telunjuk kawannya itu mengarah kebawah
Pucang Kembar, maka Kerti pun memandang ke sana pula.
Yang dilihatnya kedua orang kawan Ki Tambak Wedi telah
mempersiapkan senjatanya, dan mereka melihat ketiga orang
lawan Argapati itu telah mendekat. Tetapi mereka tidak
mendengar apa yang dikatakan oleh hantu dari lereng Gunung
Merapi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah berhasil menekan
perasaannya. Menekan kejantanan yang menuntut di dalam
hatinya. Dan ia sudah berkeputusan untuk beramaramai
membunuh Argapati beserta kedua kawannya.
Karena itu, maka sesaat kemudian ia menggeram dahsyat
sekali untuk menekankan keputusan itu di dalam hatinya. Untuk
mengusir sama sekali sisa-sisa harga diri yang masih
membayang di dalam dadanya. Sejenak kemudian,
dikerahkannya segenap tenaganya untuk melontarkan perintah
lewat mulutnya, "Jangan berdiri saja mematung. Kita sudah
sampai pada saat yang kita tunggu. Lenyapkan orang yang
benama Argapati ini."
Serentak kedua orang itu berloncatan ke arah yang berbeda.
Mereka akan menghadapi Argapati dari sisi seberang
menyeberang, sedangkan Ki Tambak Wedi akan melawannya
dari depan, berhadapan. "Bagus," desis Argapati, "kita sudah siap. Marilah, kita
tentukan akhir dari permainan ini dengan cara yang kau pilih,
Tambak Wedi." Ki Tembak Wedi tidak menjawab. Dikatupkannya bibirnya
rapat-rapat. Namun sejenak kemudian, selangkah ia maju.
Senjatanya telah bergetar di tangannya.
Sesaat ia memandangi wajah kepala tanah perdikan itu.
Wajah yang memancarkan kemarahan dan kebencian tiada
taranya. Wajah itu seakan-akan wajah Arya Teja beberapa puluh
tahun yang lalu. Dari sepasang matanya memancar perasaan
sakit hati yang tidak terhingga.
Sesaat keempat orang itu berdiri tegak seperti patung.
Masing-masing telah mempersiapkan senjatanya. Tidak seorang
pun yang sempat berkedip, karena mereka yakin, bahwa setiap
saat waktu yang sekejap itu akan dapat menentukan hidup dan
mati. Bulan di langit masih memancarkan cahayanya yang kuning
keemasan. Sepotong awan yang putih telah terhembus,
menyingkir dari wajah bulan yang bulat, oleh sepercik angin
yang semilir. Sejenak keempat orang itu masih tetap berdiri diam di atas
kedua kaki masing-masing yang merenggang. Lutut mereka
agak merendah dan tangan-tangan mereka telah bergetar.
Namun sekejap kemudian, terdengarlah geram yang dahsyat,
seperti dengus seekor banteng jantan. Hampir tidak dapat
dipercaya, bahwa seseorang mampu bergerak secepat itu.
Ternyata Argapati yang dibakar oleh kemarahan yang meluapluap
telah mulai dengan serangannya. Kali ini serangannya tidak
tertuju kepada Ki Tambak Wedi, tetapi kepada kawannya yang
berdiri di sisinya sebelah kanan. Serangan ini benar-benar
mengejutkan. Orang yang berdiri di sebelah kanannya, meskipun
sudah siap benar, namun tidak menyangka sama sekali, bahwa
serangan yang pertama itu datang sedemikian cepatnya. Seperti
tatit ia melihat tombak Argapati menyambar dadanya, sehingga
karena itu, ia sama sekali tidak sempat untuk dapat
mengelakkan dirinya. Yang dapat dilakukannya adalah berusaha
menangkis serangan itu. Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Serangan Argapati
ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun
lawannya berhasil menangkis ujung tombaknya, namun
kekuatan mereka tidak seimbang, sehingga senjata orang itupun
terlepas dan terlempar dari tangannya yang seolah-olah
tersayat. Bukan hanya itu. Tombak itu hampir tidak terpengaruh,
meskipun arahnya berubah sedikit. Namun agaknya yang sedikit
itu telah menyelamatkan nyawanya. Meskipun demikian, orang
itu memekik pendek. Sebuah luka segera menganga di
pundaknya. Demikian derasnya sentuhan tombak Argapati itu, sehingga
lawannya terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan
terbanting jatuh di tanah.
Agaknya kesempatan itu tidak diluangkan oleh Argapati. Ia
sudah siap untuk menyelesaikan satu dari ketiga lawannya.
Karena itu, maka segera ia mempersiapkan dirinya untuk
segera menghujamkan tombaknya pada tubuh yang sedang
roboh itu. Tetapi ternyata bahwa di antara ketiga lawannya itu terdapat
Ki Tambak Wedi yang mampu berbuat seperti yang
dilakukannya itu. Orang tua itu ternyata tidak membiarkan
seorang kawannya terbunuh pada serangan yang pertama.
Dengan demikian, maka ia pun berteriak nyaring sambil
melontarkan sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Senjatanya yang mengerikan itu diputarnya seperti baling-baling,
kemudian meluncur dengan cepatnya, melanda Argapati yang
sudah siap untuk membinasakan lawannya.
Dengan demikian, maka serangan Argapati itu menjadi urung.
Ia terpaksa menyiapkan dirinya untuk menghadapi Ki Tambak
Wedi. Ia tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi adalah orang yang
jauh lebih berbahaya dari orang yang sudah terluka itu.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga dengan demikian, maka ia segera melontarkan dirinya,
menyiapkan senjatanya untuk menyambut senjata lawannya
yang berbahaya itu. Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang kali ini jauh lebih
dahsyat lagi dari yang telah terjadi. Keduanya adalah orangorang
yang mumpuni, yang memiliki kekuatan raksasa. Namun
karena kekuatan mereka seimbang, maka kedua senjata itu
masih tetap di dalam genggaman masing-masing. Namun
sepercik bunga api telah meloncat di udara, seperti ribuan
kunang-kunang yang berloncatan berusaha menghindarkan diri
dari pengaruh benturan-benturan yang sedang terjadi itu.
Kedua orang yang sama-sama memiliki kelebihan dari orangorang
kebanyakan itu, masing-masing terdorong beberapa
langkah surut. Keduanya sedang menahan nafas masingmasing,
dan mencoba menyalurkan segenap kemampuan dan
ketahanan mereka, mengatasi getar yang terjadi di dalam dirinya
karena benturan yang terjadi itu. Namun, belum lagi Argapati
berhasil menguasai diri sepenuhnya, sebuah serangan yang lain
telah meluncur dari samping. Ternyata kawan Tambak Wedi
yang lain tidak membiarkan lawannya itu beristirahat dan
memperbaiki keadaannya. Meskipun serangannya tidak
berbahaya seperti serangan Ki Tambak Wedi, namun Argapati
sadar, bahwa ujung senjata itu akan mampu merobek kulitnya
apabila berhasil mengenainya. Karena itu, maka sekali lagi ia
harus menghindar. Dan sekaligus Argapati berhasil memukul
senjata lawannya itu dengan kerasnya, meskipun tidak sepenuh
tenaga. Terasa tangan orang itu seakan-akan menggenggam bara
yang sedang menyala. Seperti kawannya yang terluka, maka ia
pun tidak mampu mempertahankan senjatanya di dalam
genggaman, sehingga senjata itupun meloncat beberapa
langkah daripadanya. Namun sementara itu, Ki Tambak Wedi telah siap pula. Ia
telah berhasil menguasai diri sepenuhnya dan bersiap untuk
segera meluncurkan serangan-serangan berikutnya. Ia harus
berusaha menarik segenap perhatian Argapati untuk memberi
kesempatan kedua kawannya menguasai senjatanya kembali.
Dan Argapati pun telah menyadarinya. Sebelum mereka mulai
bertempur bersama-sama, memang Argapati telah
memperhitungkannya. Kekuatan yang betapapun kecilnya, pasti
akan segera merubah keseimbangan di dalam pertempuran itu.
Namun Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak
ngedap. Ia tidak segera berputus asa dan membiarkan dirinya
dirobek oleh ujung-ujung senjata lawan. Betapapun juga
kematangan sikapnya, telah membuatnya tetap tenang. Dalam
keadaan yang demikian, betapa dadanya dibakar oleh
kemarahan yang menyala, namun ia tetap sadar, bahwa ia harus
tetap mempergunakan otaknya.
Sejenak kemudian, maka Ki Tambak Wedi pun telah mulai
menyerang dengan dahsyatnya. Senjatanya berputaran seperti
baling-baling. Mematuk dengan sebelah tajamnya, kemudian
ditariknya sambil menyambar dengan tajamnya yang lain, seperti
tandang seekor ular berkepala dua di ujung dan pangkalnya.
Sementara Ki Argapati melayani serangan-serangan itu,
maka usaha Ki Tambak Wedi untuk memberi kesempatan kedua
kawannya itupun berhasil, yang seorang dengan sigapnya
meloncat memanggul senjatanya, meskipun tangannya masih
terasa pedih. Sedang yang lain dengan nafas terengah-engah
bangkit berdiri. Tetapi ia tidak segera memungut senjata yang
terlempar jatuh. Tetapi dirabanya lengannya yang luka. Darah
yang mengalir dari luka itu kini telah berubah menjadi kehitamhitaman.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, betapa
berbahayanya senjata Ki Argapati itu. Kalau ia tidak segera
berhasil menahan arus darahnya yang mengental, maka
nyawanya pasti tidak akan tertolong lagi.
Karena itu, maka segera diambil sebungkus obat yang
disimpannya di dalam bumbung kecil pada kantong ikat
pinggangnya. Diambilnya obat itu sebutir, kemudian diremasnya
dan ditaburkannya pada luka dan sekitarnya.
Terasa luka itu menjadi sangat pedih, seperti ditusuk-tusuk
dengan duri. Tetapi kemudian tampaklah sepercik darah yang
segar. Sejenak kemudian, maka arus darah itupun menjadi
semakin lambat dan akhirnya berhenti.
"Setan," geramnya. Kini ia berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Hampir saja ia berteriak sambil menepuk dada.
Namun tiba-tiba maksudnya itu diurungkannya, ketika ia melihat
Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi yang sedang berkelahi.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang sukar dicari
bandingannya. Dengan demikian, maka terdengar ia berkata lirih
kepada dirinya sendiri, "Lalu apakah gunanya aku hadir di sini.
Semula aku sudah ragu-ragu, apakah kehadiranku berdua akan
berpengaruh." Namun kemudian sekali lagi ia menggeretakkan giginya.
Katanya, "Kalau aku berkelahi melawan Argapati, mungkin aku
tidak akan berani. Tetapi kali Argapati baru berkelahi melawan Ki
Tambak Wedi, yang mempunyai kemampuan seimbang. Maka
tugasku adalah membantunya, mengganggu dan menyerang
dengan cara yang licik dan paling curang."
Maka kemudian. diambilnya senjatanya. Dilihatnya dalam
cahaya bulan yang kuning, kawannya pun telah siap benar,
meskipun agaknya masih sedang menunggu kesempatan untuk
menyerang dengan cara yang telah dipilihnya, curang.
Namun, mereka berdua itu tidak menunggu lebih lama lagi.
Ketika Ki Argapati sedang sibuk melayani Ki Tambak Wedi,
maka mulailah mereka melakukan perlawanan, langsung
bersama-sama maju dari arah yang berlawanan, langsung
bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi mereka melibatkan diri
dalam perkelahian. Tetapi mereka berdua tidak berkelahi beradu
dada. Mereka meloncat maju menyerang, namun kemudian
menjauh beberapa langkah, sementara kawannya yang lain
menyerang dari arah yang lain, kecuali serangan-serangan Ki
Tambak Wedi sendiri. Mengalami serangan-serangan itu, Ki Argapati menggeram.
Dalam keadaan yang demikian, ia tidak sedang melayani orangorang
yang lemah bersama-sama mengeroyoknya. Namun di
antara mereka ada Ki Tambak Wedi. Itulah kesulitan yang harus
dihadapinya. Sedikit saja perhatiannya tertarik oleh kedua
lawannya itu, maka Ki Tambak Wedi pasti akan dapat
mempergunakan kesempatan itu untuk membinasakannya.
Karena itu, terasa oleh Ki Argapati, bahwa ia mulai
menemukan kesulitan dalam pertempuran itu. Meskipun
demikian, dengan mengerahkan tenaga yang ada padanya, ia
masih mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Namun yang
terjadi Ki Argapati hanya mampu menghidar, dan menangkis
serangan-serangan yang datang bertubtubi, tetapi
kesempatannya menyerang menjadi semakin tipis.
*** Dalam keadaan yang demikian, Kerti menahan nafasnya
yang terengah-engah. Terasa dadanya seolah-olah akan
meledak melihat sikap yang licik dan curang itu, sehingga
sejenak kemudian ia menggeram, "Ternyata aku pun tidak dapat
berdiam diri saja di sini melihat peristiwa itu. Aku harus berbuat
sesuatu." "Ya, kita harus berbuat sesuatu," sahut kawannya.
"Apapun yang akan terjadi atas kita, termasuk kemarahan Ki
Argapati yang akan ditimpakan kepada kita," sambung yang lain.
Namun mereka masih tetap belum beranjak dari tempat
masing-masing. Mereka masih dicengkam keragu-raguan yang
belum dapat mereka ke sampingkan.
Kerti, yang tertua di antara mereka pun masih tetap di
tempatnya, tanpa berkedip mereka melihat betapa ketiga orang
lawan Argapati menyerangnya bergantganti dipimpin oleh Ki
Tambak Wedi, yang seolah-olah mengikat Argapati supaya ia
tidak sempat menghindari serangan-serangan dari kedua orang
kawannya. Darah Kerti serasa berhenti mengalir, ketika ia melihat Ki
Argapati terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia
terjatuh ketika kakinya terantuk segumpal batu padas.
Untunglah, bahwa ia berhasil memperbaiki keseimbangannya
dan tegak di atas kedua kakinya. Namun sebelum ia mampu
berbuat sesuatu, serangan Tambak Wedi telah melandanya,
sehingga sekali lagi ia terpaksa meloncat surut. Sedang kedua
kawan Ki Tambak Wedi pun memburunya sambil berteriak
nyaring. "Pengecut," Kerti menggeram. Ia sudah tidak mampu
menahan diri lagi. Kini ia melihat, bahwa Argapati telah benarbenar
terdesak oleh ketiga lawannya yang licik dan curang, yang
berkelahi tanpa tata kesopanan dalam olah kanuragan.
Tetapi kawan Kerti yang kecil, yang mempunyai beberapa
bilah pisau pada ikat pinggangnya, agaknya lebih tidak dapat
menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat berdiri dan
menarik pedangnya dengan tangan kanannya, sedang di tangan
kirinya telah tergenggam sebilah pisau yang siap untuk
dilemparkannya. "He," Kerti menggamitnya, "tunggu. Kita menanti kesempatan
yang sebaik-baiknya."
"Tidak ada waktu lagi. Apakah kita harus menunggu Ki Gede
Menoreh mendapat cidera. Mereka terlampau licik," jawab orang
yang bertubuh kecil itu. Ternyata pembicaraan itu telah menggoncangkan dada Ki
Argapati dan Ki Tambak Wedi beserta kedua kawannya.
Meskipun tidak begitu jelas, namun telinga-telinga mereka yang
tajam telah mendengar pembicaraan seseorang. Sehingga tanpa
mereka sengaja, maka mereka pun mencari kesempatan untuk
berpaling, dan melihat seseorang berdiri tegak beberapa puluh
langkah dari mereka. Kemudian disusul seorang lagi, dan
seorang lagi. Tiga orang.
Dada Argapati berguncang ketika ia mengenal ketiga orang,
yang melangkah perlahan-lahan mendekatinya. Orang-orang itu
adalah orang-orangnya. Sehingga dengan serta merta ia
berteriak, "He, siapakah yang menyuruh kalian datang kemari?"
Kerti tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah bertekad,
apapun yang akan terjadi atasnya dan hukuman apa yang akan
diterimanya dari Ki Gede Menoreh, namun ia tidak membiarkan
kepala tanah perdikan itu mengalami nasib yang mengerikan,
justru karena sikap yang curang dan licik.
Perkelahian itupun tiba-tiba terhenti untuk sejenak.
Tampaklah dahi Ki Tambak Wedi berkerut-merut. Dan tiba-tiba
saja terloncat dari mulutnya, "Ha, ternyata bukan aku saja yang
licik seperti demit, Argapati. Agaknya kau pun telah berlaku
curang. Kau telah menyiapkan perangkap yang serupa dengan
perangkapku. Nah, apa kataku sekarang tentang diriku."
Terasa seolah-olah darah telah mendidih di dalam tubuh Ki
Argapati. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi
mengharapkan orang-orangnya datang menolongnya. Karena
itu, maka terdengar giginya gemeretak sambil bertanya, "Siapa
yang menyuruh kalian datang kemarin, he! Kerti yang gila?"
Kerti menggelengkan kepalanya, jawabnya, "Tidak ada, Ki
Gede. Aku secara kebetulan saja datang ke tempat ini."
Kata-kata itu terpotong oleh meledaknya suara tertawa Ki
Tambak Wedi. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, "O,
alangkah pandainya kau mengajari orang-orangmu untuk
berbohong." Argapati menggeram. Dengan suara bergetar ia mengulangi
pertanyaannya, "Siapa yang menyuruh kalian kemari" Aku
sudah berpesan kepada kalian, tidak seorang pun boleh melihat
apa yang terjadi di sini, apapun alasannya. Dan bukankah kau
mendapat tugas khusus untuk mengawasi Pandan Wangi?"
"Maaf, Ki Gede," sahut Kerti, "aku memang sudah melanggar
pesan Ki Gede, untuk tidak mengganggu perang tanding ini. Dan
aku memang mendapat tugas untuk selalu mengawasi Pandan
Wangi. Nah, karena tugas itu pulalah, maka aku sampai ke
tempat ini." Dada Argapati berdesir mendengar jawaban itu. Dengan
berdebar-debar ia bertanya, "Kenapa dengan Pandan Wangi?"
"Aku akan berterus terang, supaya Ki Gede mendapat
gambaran yang sebenarnya, kenapa aku sampai ke tempat ini."
Kerti berhenti sejenak, lalu, "Pandan Wangi telah hilang dari
halaman rumah. Aku menyangka bahwa ia akan datang kemari
menyusul Ki Gede, karena sebelumnya ia selalu memperkatakan
peperangan di bawah Pucang Kembar. Tetapi agaknya ia tidak
datang kemari." Ki Gege mengerutkan keningnya. Berita tentang puterinya
membuatnya menjadi cemas. Tanpa dikehendakinya ia
bertanya, "Setelah kau tahu bahwa Pandan Wangi tidak ada di
sini, ke mana kira-kira ia pergi?"
Kerti menggeleng, "Aku tidak tahu. Tetapi yang
dipercakapkannya selain Pucang Kembar adalah Samekta.
Mungkin ia pergi kepada Samekta. Ada persoalan yang ingin
dibicarakannya dengan Samekta, tetapi ia tidak dapat
meninggalkan halaman rumahnya."
Ki Argapati termenung sejenak. Kepergian Pandan Wangi
menumbuhkan persoalan baru di dalam dirinya. Karena itu,
maka sejenak ia berdiri tegak dengan tegangnya.
Ternyata, bahwa saat-saat yang demikian itu tidak luput dari
pengamatan Ki Tambak Wedi. Kehadiran ketiga orang Menoreh
itu telah membuatnya gelisah. Dengan hadirnya ketiga orang itu,
maka usahanya untuk membinasakan Argapati menjadi
terganggu. Ketiga orang ini akan dapat menghadapi kedua orang
kawannya, dan ia harus bertempur lagi seorang lawan seorang
dengan Ki Gede Menoreh, sehingga untuk waktu yang lama
pasti tidak akan mendapat penyelesaian. Apalagi apabila ketiga
orang-orang Menoreh itu mempunyai beberapa kelebihan dari
kedua kawannya maka keadaan yang demikian akan sangat
mengganggunya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi yang licik itu segera
mencari akal. Apakah yang dapat dilakukannya untuk
membinasakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
"Kalau perlu aku akan segera memanggil orang-orangku yang
lain. Pasukan kecil yang telah aku persiapkan itu," katanya di
dalam hati. Namun sementara itu, ia masih membiarkan Argapati
berbicara kepada Kerti, "Apakah tidak seorang pun yang tahu,
kemanakah perginya anak itu" Apakah Wrahasta dan orangorangnya
yang berjaga-jaga di halaman juga tidak melihatnya?"
Kerti menggelengkan kepalanya, "Tidak seorang pun yang
melihatnya." Ki Argapati menggeram. Terloncat dari mulutnya sebuah
desis, "Anak itu memang keras kepala. Untuk kedua kalinya ia
lari. Hem." Kerti tidak menyahut. Namun ia dapat mengerti, betapa dada


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Argapati menjadi cemas karenanya. Tetapi ia tidak dapat
berbuat lain. Lebih baik ia berterus terang daripada mendengar
tuduhan Tambak Wedi, bahwa Argapati telah berbuat curang
pula dengan menyiapkan orang-orangnya.
Tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangak, Tambak Wedi merasa
menemukan kesempatan sebelum ia memanggil orangorangnya.
Pada saat Ki Argapati lengah, ia dapat berbuat
sesuatu. Meskipun dengan demikian, ia berbuat curang, namun
apakah artinya kecurangan itu di sela-sela seribu macam
kecurangan-kecurangan yang lain, yang telah dilakukannya.
Demikanlah, pada saat jatung Ki Argapati dicengkam oleh
kecemasan tentang puterinya, dan kegelisahan karena
kehadiran orang-orangnya yang tentu disangka oleh lawannya,
bahwa ia pun berbuat curang seperti Ki Tambak Wedi, maka
saat yang demikian itulah yang akan dimanfaatkan oleh
lawannya. Dengan serta merta, tanpa tanda-tanda apapun juga. Tambak
Wedi meloncat sambil berteriak nyaring, langsung menyerang Ki
Argapati yang sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan
terjadi. Karena itu, betapa ia terkejut mengalami serangan yang
bergitu tiba-tiba. Serangan yang langsung mengarah ke pusatpusat
tubuhnya. Betapapun kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, dan
betapapun ketangkasan yang dimilikinya, namun serangan yang
demikian adalah di luar kemampuannya untuk menghindarinya.
Apalagi serangan itu dilancarkan oleh seseorang yang bernama
Tambak Wedi. Namun Argapati tidak membiarkan ujung senjata lawannya itu
menghunjam di dadanya dan memecahkan jantungnya. Dalam
keadaan yang betapapun sulitnya, Argapati masih berusaha
untuk menangkisnya. Sambil menggeram ia bergeser setapak, dan mencoba
memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya. Namun
ayunan serangan Ki Tambak Wedi ternyata terlampau kuat.
Meskipun dalam keadaan yang sama kekuatan mereka
seimbang, tetapi dalam keadaan yang tidak terduga-duga itu,
Argapati masih belum sempat menghimpun segala kemampuan
yang ada di dalam dirinya.
Itulah sebabnya, maka Ki Argapati kali ini tidak dapat
melepaskan dirinya sama sekali dari senjata lawannya.
Meskipun ujung senjata Ki Tambak Wedi itu tidak mengenai
langsung kesasarannya, tetapi sebuah goresan yang panjang
telah membekas di dada Ki Argapati. Sebuah goresan yang
segera menjadi merah oleh darah.
Sejenak Kerti dan kedua kawannya terpaku di tempatnya
dengan mulut ternganga. Mereka sama sekali tidak menyangka,
bahwa seseorang yang bergelar Ki Tambak Wedi akan
melakukan kecurangan serupa itu. Puncak dari segala macam
kecurangan. Tetapi sejenak mereka seolah-olah tersentak dari sebuah
mimpi yang paling buruk. Mereka kini melihat Ki Argapati
terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Sedang Ki Tambak
Wedi telah bersiap melakukan serangan berikutnya. Serangan
yang bernafas maut, karena Ki Argapati masih belum sempat
memperbaiki kedudukannya oleh serangan yang tiba-tiba itu,
tetapi yang terutama justru karena ia terkejut bukan buatan.
Sesaat kemudian terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak
nyaring. Kakinya telah bergeser dan sekejap kemudian
serangannya yang mematikan pasti akan menghunjam di tubuh
lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki
keseimbangannya. Tetapi tanpa diduga-duga, Ki Tambak Wedi itu meloncat
surut. Terdengar mulutnya mengumpat keras-keras. Matanya
yang buas menjadi semakin liar. Ia dengan demikian telah
kehilangan kesempatan yang menentukan itu. Karena dalam
sekejap itu, Argapati telah menemukan keseimbangannya
kembali. Tombaknya telah mantap di dalam gengamannya dan
kakinya telah tegak di atas tanah. Meskipun dadanya terluka,
namun luka itu belum mengganggunya. Ketahanan tubuhnya
benar-benar sangat mengagumkannya.
"Setan alas," Ki Tambak Wedi mengumpat tidak habishabisnya.
Kemudian katanya kepada Argapati yang telah siap
menunggu serangannya, "Kau telah membawa setan kecil ini
pula Argapati. Bersujudlah kepadanya, karena ia telah
menyelematkan nyawamu kali ini."
Argapati menggeretakkan giginya. Jawabnya, "Kehadirannya
tidak aku kehendaki. Tetapi ia telah berbuat tepat. Lemparan
pisaunya hanya sekedar menghindarkan dirimu dari kecurangan
yang lebih jahat. Ia menempatkan keadaan seperti yang
sebaiknya terjadi." "Bagus," teriak Tambak Wedi, "Sekarang baiklah, kita
bertempur dalam lingkaran yang besar. Kita masing-masing
telah dihinggapi oleh rencana yang curang."
"Tidak," sahut Argapati, "aku tetap dalam pendirianku. Aku
akan bertempur seorang diri, apapun yang akan kau lakukan."
"Jangan," tiba-tiba Kerti menyahut, "itu tidak adil. Meskipun Ki
Gede sama sekali tidak menghendaki kami hadir di sini, namun
yang terjadi adalah demikian. Karena itu, kami harus meletakkan
keadaan pada keharusan yang lajim. Perang tanding adalah
perang antara seorang dengan seorang. Kami tidak akan
mengganggu perang tanding itu yang akan kami lakukan adalah
menahan orang-orang yang licik ini untuk ikut campur di dalam
perang tanding. Apapun yang akan terjadi atas Ki Gede dalam
perang tanding, kami tidak akan mencampuri, meskipun
seandainya Ki Gede terdesak dan bahkan terancam oleh maut."
"Omong kosong," teriak Ki Tambak Wedi, "seorang kawanmu
telah melontarkan pisaunya ketika aku siap untuk membunuh
Argapati." "Dengan caramu yang licik dan curang," jawab Kerti, lalu,
"Sudah tentu maksud perang tanding bukanlah demikian.
Seseorang yang bergelar Tambak Wedi seharusnya jauh lebih
mengerti daripada aku."
"Diam," bentak Ki Tambak Wedi, "ternyata kau pun harus
dibunuh dengan cara apapun."
"Aku sudah siap," Kerti menjawab dengan beraninya, "tetapi
lakukanlah dahulu perang tanding itu."
"Tidak Kerti," Ki Argapatlah yang berbicara, "pergilah.
Tinggalkan aku di sini dalam keputusanku."
"Aku memang akan pergi Ki Gede, tetapi kedua orang kawan
Ki Tambak Wedi ini akan aku bawa serta."
"Persetan," geram salah seorang dari kawan Ki Tambak
Wedi, "jangan banyak berbicara saja. Ayo, Ki Tambak Wedi.
Sebaiknya mereka kita hancurkan segera. Aku sudah muak
mendengar perdebatan yang tidak berujung pangkal ini."
Tambak Wedi memang tidak melihat cara lain. Karena itu,
maka dengan serta merta ia meloncat maju sambil memutar
senjatanya. Katanya, "Aku selesaikan Argapati yang telah terluka
itu. Adalah tugas kalian berdua untuk membinasakan kelincikelinci
yang tidak tahu diri itu."
Kedua kawan Ki Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama
lagi. Segera mereka menyerang Kerti dan kedua kawannya,
sedang Ki Tambak Wedi pun telah menyerang Argapati pula.
Terulanglah perkelahian yang sengit yang terjadi di bawah
Pucang Kembar itu. Namun perkelahian yang demikian akan
segera berubah bentuknya, karena Ki Tambak Wedi telah
memutuskan untuk memanggil orang-orangnya yang lain, yang
jumlahnya cukup banyak untuk membinasakan lawan-lawan
mereka. Namun sementara itu, sementara Ki Tambak Wedi masih
belum memberikan tanda-tanda untuk memanggil orangorangnya,
Kerti dan kedua kawannya masih mendapat
kesempatan untuk mendesak kedua lawannya. Meskipun
mereka masing-masing memiliki kemampuan yang lebih besar
dari orang-orang Menoreh itu, tetapi yang seorang dari mereka
telah terluka. Ternyata luka itu sangat mengganggunya.
Sebagian besar dari tenaganya seolah-olah telah terhisap oleh
ujung senjata lawan yang telah menggoreskan luka di tubuhnya
itu. Ki Tambak Wedi melihat keadaan kedua kawannya. Sedang
Argapati yang sudah terluka itu justru menjadi semakin garang,
meskipun darahnya masih saja meleleh dari lukanya.
Ki Tambak Wedi mengerti dan yakin, kalau ia bertahan saja
untuk waktu yang cukup lama, maka Argapati pasti aka
kehabisan tenaga karena darah yang menitik dari lukanya itu.
Tetapi ia tidak dapat mengerti, kapan saat yang demikian itu
akan datang. Ia tahu benar, betapa besarnya daya tahan tubuh
Argapati. Sehingga kemampuannya untuk bertempur terus
dalam keadaan serupa itupun, pasti masih panjang. Sedang
kedua kawannya yang harus berkelahi melayani Kerti dan
kawan-kawannya, sudah selalu terdesak terus, karena yang
seorang dari mereka telah terluka. Sehingga seolah-olah hanya
seorang saja dari mereka yang bertempur melawan ketiga
pengawal-pengawal pilihan dari Menoreh itu.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi tidak dapat menunggu
lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suitan Ki Tambak
Wedi itu sekali lagi. Kali ini panjang sekali.
Malam yang hening seakan-akan telah bergetar karena suara
suitan itu. Terlebih-lebih lagi dada Argapati yang telah terluka itu
dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Segera mereka
menangkap isyarat itu, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata telah
benar-benar menyiapkan sebuah perangkap yang mengerikan.
Sikap hantu dari Tambak Wedi itu benar-benar
mengecewakan Argapati. Bukan karena ia menjadi ketakutan
dan kecemasan menghadapi bahaya apapun juga, tetapi ia
menjadi kecewa, karena Ki Tambak Wedi telah menodai janji
mereka untuk mengadakan perang tanding sebagai pelepasan
persoalan yang telah bertahun-tahun mereka simpan di dalam
dada masing-masing. Kini Argapati dipaksa untuk menghadapi cara yang sama
sekali tidak jujur. Cara yang licik dan curang. Seandainya dalam
keadaan serupa ini terjadi sesuatu atas dirinya, dan bahkan
kemudian atas ketiga orang-orangnya, maka itu akan berarti
bahwa mereka telah terperosok ke dalam suatu perangkap yang
keji. Seolah-olah kematian yang demikian adalah kematian yang
terlampan bodoh. "Tidak," Argapati menggeram di dalam dadanya, "aku akan
mati sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun aku
datang ke bawah Pucang Kembar ini karena persoalan pribadi.
Tetapi keadaan yang berkembang adalah persoalan Menoreh.
Persoalan antara aku dan Sidanti yang telah berkembang tanpa
terkendalikan lagi. Peperangan ini akan menjadi bagian dari
seluruh peperangan yang telah membakar tanah perdikan ini."
Dengan demikian, maka Argapati menjadi semakin mantap
menggenggam senjatanya. Ia menggeram beberapa kali, dan
tandangnya pun menjadi semakin lama semakin garang.
Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat mengerti,
apakah yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan di seluruh
tanah perdikannya, terutama di padukuhan induk. Memang
terbayang di dalam kepalanya, bahwa pasukan Sidanti yang kuat
merayap semakin lama semakin dekat. Namun ia mengharap,
bahwa Samekta akan dapat mengatasi kesulitan.
Tetapi bagaimanapun juga, sepercik kecemasan mewarnai
jantungnya. Ia sadar, bahwa pasukan yang telah melawannya
itu, dipimpin oleh seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Sedang
pasukannya sekedar di bawah pimpinan Samekta, Wrahasta,
dan mungkin Pandan Wangi sendiri. Tetapi kenapa Kerti mencari
Pandan Wangi sampai ke bawah Pucang Kembar ini"
Sejenak kemudian, Argapati menggeretakkan giginya. Ia tidak
mau hanyut di dalam angan-angannya itu. Ia harus menghadapi
apa yang ada kini. Ki Tambak Wedi dan sebentar lagi
sekelompok kecil orang-orang yang telah dipersiapkan oleh
Tambak Wedi untuk mengeroyok dan kemudian membunuhnya.
Mungkin ia akan dicincang atau dibunuh dengan cara yang
sudah dipersiapkan oleh Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian,
ia akan mati dengan senjata di dalam genggaman. Mati sebagai
seorang laklaki, sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sampai sejenak kemudian, orang-orang yang
dikatakan oleh Ki Tambak Wedi telah dipersiapkan untuk
membunuh Argapati itu masih juga belum tampak seorang pun
juga. Perkelahian yang terjadi semakin lama menjadi semakin
tegang. Bukan saja karena ujung-ujung senjata yang saling
beradu, tetapi juga ditegangkan oleh kemungkinan yang
mendatang. Munculnya beberapa orang dari balik gerumbulgerumbul
liar disekitar sepasang Pucang itu.
Ternyata Ki Tambak Wedi pun menjadi gelisah pula. Sekali
lagi ia bersuit panjang. Lebih keras. Namun ia masih harus
menunggu. "Aku telah mendengar suara burung kedasih itu di kejauhan,"
berkata Tambak Wedi di dalam hatinya, "Tetapi agaknya mereka
menunggu terlampau jauh, sehingga mereka tidak segera
mendengar suara suitanku."
Sekali lagi Ki Tambak Wedi bersuit. Panjang dan lebih keras.
Suaranya menggelepar di dalam sepinya malam, menelusuri
dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Namun suara suitan itupun seolah-olah hilang lenyap tanpa
bekas, seperti hilangnya gema yang terpantul dari pegunungan.
Tidak berbekas. Karena tidak seorang pun yang dengan tergesagesa
sambil menggenggam senjata muncul dari balik dedaunan.
"Di manakah setan-setan itu?" Ki Tambak Wedi menggeram
di dalam hatinya, "Apakah mereka sengaja berkhianat" Tidak.
Aku tidak mempergunakan orang-orang Menoreh, yang setiap
saat dapat berubah pendiriannya, apalagi setelah ia melihat
Argapati. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak
mengenal Argapati sama sekali, sehingga kemungkinan untuk
berkhianat itupun terlampau kecil. Tetapi kenapa mereka tidak
segera datang setelah aku memberikan tanda beberapa kali?"
Semakin lama kegelisahan Ki Tambak Wedi pun menjadi
semakin memuncak. Seharusnya sejak ia memberikan tanda
untuk yang pertama kali, orang-orangnya tidak menunggu tanda
berikutnya. Mereka harus segera datang dan melakukan
tugasnya. "Apakah mereka terasa terlampau lama menunggu dan
kemudian merasa tidak diperlukannya lagi" Tetapi itu tidak
mungkin. Aku sudah berpesan supaya mereka menunggu
sampai selesai. Diperlukan atau tidak diperlukan," desah Ki
Tambak Wedi di dalam hatinya.
Dengan dada yang terguncang, maka sekali lagi terdengar ia
bersuit semakin keras dan semakin panjang.
"Ha," berkata Argapati, "bukankah suara suitanmu itulah yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar seperti tangis bayi yang ketakutan?"
"Persetan," geram Ki Tambak Wedi, "untuk memanggil
mereka, aku harus bersuit tiga kali. Sebelum itu, mereka baru
sekedar mempersiapkan diri. Apabila kemudian ada perubahan
sikapmu, mungkin kau menyerah, atau kami sudah berhasil
membunuhmu, maka aku tidak perlu bersuit untuk yang ketiga
kalinya." "Kau sudah terlampau pikun," desis Argapati, "kau sudah
memekik lebih dari tiga kali."
Dada Tambak Wedi berdesir. Tetapi kemudian ia menggeram
keras sekali sambil menyerang sejadjadinya. Namun meskipun
dada Argapati telah terluka, tetapi ia masih cukup segar untuk
melawannya. Di lingkaran yang lain, kawan Tambak Wedi semakin terdesak
oleh ketiga pemimpin pengawal Menoreh yang dipimpin oleh
Kerti. Seorang yang telah terluka, menjadi semakin lama
semakin lemah. Ia tidak memiliki ketahanan tubuh seperti Ki
Argapati, sehingga luka ditubuhnya itu terasa sangat
mengganggunya. Dalam pada itu, Pandan Wangi yang bertempur di medan
sebelah Barat padukuhan induk, terpaksa bekerja sekuat-kuat
tenaganya. Ternyata lawannya adalah orang yang luar biasa.
Ganas, kasar dan garang. Dengan liarnya ia berkelahi, bahkan
mirip dengan seekor binatang yang paling buas. Sekalsekali ia
berhasil mengenai lawannya dengan senjatanya. Kemudian
dengan sengaja dipertunjukkannyalah kebuasannya di hadapan
Pandan Wangi. Betapapun tabahnya hati Pandan Wangi, namun melihat
keganasan itu terasa juga hatinya menjadi ngeri. Terasa kulitnya
merinding seperti diraba hantu.
Tetapi ia tidak mau dadanya sendiri yang terluka kemudian
darahnya dihisap oleh hantu yang bernama Ki Peda Sura itu.
Dengan sepenuh kemampuannya, ia tetap bertempur bersama
beberapa orang di dalam sebuah kelompok kecil.
Ternyata yang berkelahi sebuas dan seliar itu bukan hanya
seorang yang bernama Ki Peda Sura itu. Sebagian terbesar dari
mereka, mempergunakan cara yang bersamaan. Dengan
sengaja mereka mempertunjukkan cara-cara yang paling
mengerikan. Cara itu ternyata benar-benar dapat mempengaruhi daya
perlawanan para pengawal Menoreh. Mereka menjadi ngeri dan
muak. Beberapa orang yang cukup dapat bertahan, segera
bertempur dengan garangnya. Bahkan beberapa orang yang
memiliki tabiat yang pada dasarnya kasar, segera dijalari oleh
cara-cara lawannya. Mereka pun segera tanpa sesadarnya,
berbuat dengan kasar dan buas. Senjata mereka tidak tanggungtanggung
membelah dada, kemudian menggores punggung
silang-menyilang. Mereka berusaha untuk melenyapkan
kengerian di hati masing-masing dengan cara itu. Dengan
berbuat seperti lawan-lawan mereka.
Tetapi bukanlah kebiasaan mereka berbuat seperti itu.
Pergaulan mereka di dalam kehidupan yang beradab, telah
membentuk mereka menjadi manusia yang dipengaruhi oleh
adat tata kehidupan yang beradab pula. Mereka telah terbiasa
menghargai manusia dan perikemanusiaan. Karena itu, betapa
mereka berusaha, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk
berkelahi dalam keadaan yang liar dan buas serupa itu,
sehingga daya tahan mereka pun terpengaruh pula. Apalagi
suara titir yang melengking-lengking di kejauhan seperti jerit
tangis kanak-kanak yang kehilangan ayah di medan
peperangan. Hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh terpengaruh
karenanya. Benar-benar terpengaruh. Dengan demikian, daya
perlawanan mereka pun menjadi semakin lama semakin susut.
Pandan Wangi yang ngeri melihat darah dan mayat
bergelimpangan, mencoba memaksa dirinya untuk tetap dapat
melawan. Kalau ia lengah, maka dirinya pasti akan menjadi
korban. Kalau senjata lawannya itu memecahkan dadanya, dan
membunuhnya sekaligus, maka ia tidak akan tahu apa yang
terjadi seterusnya atas dirinya. Tetapi kalau orang-orang yang
buas dan liar itu berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup,
atau melukainya sehingga ia tidak mampu lagi untuk melawan
dan kehilangan kesempatan untuk membunuh diri, maka ia pasti
akan terjerumus ke dalam neraka yang paling jahanam.
Karena itulah, maka betapapun juga ia harus bertempur terus
sebaik-baiknya. Ia harus memeras segenap kemampuan yang
ada padanya untuk tetap bertahan.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh kehadiran
seorang penghubung yang mendekatinya dengan nafas
terengah-engah. Pundaknya telah terluka, dan dari luka itu
mengalir darah yang merah segar.
"Pandan Wangi," orang itu berbisik sambil terengah-engah,
"aku menyampaikan pesan kepadamu."
"Dari?" bertanya Pandan Wangi sambil bertempur.
"Lepaskan lawanmu sejenak."
Pandan Wangi segera memerintahkan orang-orangnya untuk
bertempur. Ia memerlukan menemui penghubung itu. "Cepat
katakan, sebelum orang-orang itu dihabiskan oleh Peda Sura."
"Samekta dan Wrahasta bersama-sama memberikan pesan.
Pasukan ini sebaiknya ditarik ke padukuhan yang telah
ditentukan, apabila keadaan memaksa. Pasukan Samekta dan
Wrahasta bersama-sama telah terdesak mundur."
Berita itu menyambar telinga Pandan Wangi seperti petir yang
meledak dilangit. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Seolaholah
ia tidak percaya kepada telinganya. Namun pesan itu telah
mengiang dan melingkar di telinganya, "Pasukan ini supaya
ditarik. Pasukan ini supaya ditarik."
Pertempuran yang terjadi di sekitar Pandan Wangi itupun
menjadi semakin hiruk pikuk. Teriakan yang menghentak dan
pekik kesakitan sahut menyahut dengan geram dan gemeretak
gigi. Semakin lama tandang mereka yang sedang bertempur
itupun menjadi semakin kasar, liar dan buas, seolah-olah mereka
telah kehilangan diri mereka masing-masing. Mereka seolaholah
telah melupakan pribadi masing-masing sebagai mahluk
yang berbudi. Di dalam perang brubuh yang demikian, sukarlah
untuk dibedakan, antara manusia yang biadab dan beradab.
Karena untuk bertahan diri dari kebiadaban, mereka telah
melakukan hal-hal yang serupa pula.
Dalam kediamannya, Pandan Wangi melihat penghubung
yang datang kepadanya, dalam keremangan cahaya purnama di
langit, menyeringai menahan sakit lukanya
Dan orang itu berdesis perlahan, "Apakah kau dapat
menyetujuinya?" Pandan Wangi menahan nafasnya. Dengan dada yang
berdebar-debar ia bertanya, "Apakah yang terjadi di padukuhan
induk?" "Pasukan Sidanti dan Argajaya telah masuk. Samekta yang
mundur ke pasukan induk dan bergabung dengan Wrahasta,
masih juga tidak dapat menahan arus lawan yang kuat yang
datang dari arah Timur."
Pandan Wangi adalah seorang gadis yang lembut. Seorang
gadis yang kadang-kadang masih juga dapat meruntuhkan air
mata. Tetapi ketika ia mendengar berita tentang jatuhnya
padukuhan induk, wajahnya menjadi tegang dan merah padam.
Yang terlukis di wajahnya yang cantik itu, seakan-akan wajah
seorang iblis betina yang sedang marah. Terdengar giginya
gemeretak dan nafasnya terengah-engah.
"Aku akan pergi ke padukuhan induk," ia menggeram.
"Aku mendapat pesan untukmu mawantwanti," potong
penghubung yang sudah terluka itu, "Samekta dan Wrahasta
telah menduga, bahwa kau akan berpendirian demikian. Tetapi
kau harus menyesuaikan siasat peperangan ini dengan seluruh
pasukan. Kau tidak dapat berbuat demikian."
"Kenapa tidak" Aku akan membawa pasukan ini ke
padukuhan induk. Aku akan mengusir mereka dari halaman
rumahku dan dari seluruh tanah ini."
"Kau tidak dapat melakukannya sendiri. Menurut perhitungan
Samekta dan Wrahasta, Sidanti akan segera mengirimkan
orang-orangnya sebagian kemari. Kau akan segera mendapat
kesulitan, dan korban pun akan semakin banyak berjatuhan."
"Tetapi aku tidak dapat membiarkan mereka berada di
halaman rumahku dan di atas tanah ini."
"Aku pun telah mendapat pesan, bahwa di dalam keadaan
serupa ini, kita tidak dapat membiarkan perasaan kita berbicara.
Tetapi kita harus menemukan keseimbangan dan berbicara
dengan nalar. Kita masih mempunyai banyak sekali tugas dan
kewajiban. Kita masih harus merebut kembali tanah ini. Dengan
demikian, kita tidak boleh kehilangan akal yang akan
menyebabkan kematian yang semakin parah. Kalau kemudian
korban berjatuhan lagi, itu berarti bahwa kitalah yang bersalah.
Kitalah yang telah membunuh mereka tanpa arti sama sekali,
karena akhirnya kita akan terusir juga dari medan yang
sekarang. Tetapi perang ini tidak akan berakhir sehari atau
semalam ini. Kita masih akan menghadapi harhari yang
semakin sulit dan berat. Dan kita harus tidak kehilangan akal."
"Pengecut," tiba-tiba Pandan Wangi menggeram, "kalian ingin
memaksa aku lari dari peperangan ini" Tidak. Aku harus
mengusir mereka. Mereka harus pergi dari tanah ini."
"Ya, mereka harus pergi. Tetapi tidak dengan cara yang
salah. Kita tidak akan berhasil mengusir mereka, namun justru
kitalah yang akan dibantai oleh mereka, Dan kita akan
kehilangan segala-galanya."
"Pengecut." "Bukan, Pandan Wangi. Ini adalah suatu siasat. Kita mundur
untuk kemudian meloncat maju. Sekarang keadaan kita
terlampau sulit. Tetapi kalau kita berhimpun, dan kita mendapat
kesempatan menghimpun pula semua kekuatan yang tersebar,
kita mungkin akan berhasil."
"Itukah alasanmu" Setiap kali kau berkata, bahwa itu sekedar
siasat. Siasat. Kalau kau tidak berani berbuat sesuatu, kau pakai
alasan itu. Alasan seorang pengecut, Tidak. Aku tidak akan
mundur setapak pun, meskipun aku harus mati."
"Ya," jawab penghubung yang mulai kebingungan itu. Namun
dengan demikian ia tidak merasakan lagi luka yang mengalirkan
darah semakin deras di pundaknya. "Samekta dan Wrahasta
menduga kalau kau akan bersikap demikian. Tetapi peperangan
ini di dalam keseluruhan memerlukan cara. Cara untuk
memenangkannya. Cara yang serasi dari para pemimpin.
Pandan Wangi, kalau kita membuat perhitungan, jangan
dianggap bahwa kita adalah pengecut-pengecut, tetapi kita
harus menghadapi lawan dengan sepenuh kesadaran dan
perhitungan. Kau selama ini selalu dicengkam oleh perasaanmu.
Tetapi lihatlah. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan datang,
meskipun hanya sebagian. Pasukanmu akan tergulung habis.
Mati, meskipun sebenarnya kau dapat menghindari. Mungkin
kau bukan seorang pengecut dan seluruh pengawal di dalam
pasukan inipun bukan pengecut. Tetapi apa kata orang setelah
peperangan ini selesai dan kita ditumpas habis" Mereka akan
menyalahkan para pemimpinnya. Mereka menganggap, bahwa
kita terlampau bodoh untuk membunuh diri di medan
peperangan. Kita mati dan tanah ini tidak akan dapat kita ambil
kembali. Kecuali apabila kita memang sudah tidak
berpengharapan sama sekali untuk dapat berbuat demikian,
untuk merebutnya lagi. Maka aku pun sependapat, bahwa kita
akan bersama berkubur di atas tanah yang kita cintai ini."
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Terasa sebuah
sentuhan di hatinya. Sejenak ia mematung dan sejenak
kemudian dilihatnya penghubung itu menyeringai lagi. Agaknya
terasa lukanya menjadi terlampau sakit, sedang darah masih
saja mengalir semakin banyak.
"Pandan Wangi," tiba-tiba suara penghubung itu merendah,
"aku terluka ketika aku mencari hubungan dengan kau di dalam
perang brubuh yang buas ini. Aku tidak akan kembali atau
berhenti sebelum aku bertemu dengan kau, meskipun aku telah
terluka, karena aku bukan seorang pengecut. Luka itu agaknya
kini menjadi semakin parah, karena darah yang semakin banyak
mengalir." Ia berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin
terengah-engah. "Aku minta kepadamu, Pandan Wangi, jangan kau biarkan
Perempuan Paris 2 Pendekar Pulau Neraka 10 Mustika Dewi Pelangi Breaking Dawn 11
^