Pencarian

Pedang Tanduk Naga 6

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 6


sampai dapat melakukan perbuatan yang sehina itu. Tetapi saat itu pun ia
menyadari bahwa dirinya telah dicelakai oleh Dewi Bayangan sehingga tak kuasa
menguasai dirinya lagi, ia benci sekali kepada Dewi Bayangan.
"Liong koko, engkau sedang memikirkan apa. Mengapa engkau tak mempedulikan
aku?" ulang Yok Lan karena sampai lama Gin Liong-diam saja.
Air mata dara itupun bercucuran.
Dengan suara sarat penuh rasa malu Gin Liong berkata: "Aku tengah berpikir
apabila aku telah melakukan suatu hal yang berdosa kepadamu."
"Tidak, Liong koko, engkau takkan berbuat salah kepadaku..." cepat Yok Lan
menukas. Hati Gin Liong seperti disayat sembilu.
"Lan-moay, kalau aku benar2 berbuat salah kepadamu."
"Tentulah bukan karena kehendakmu sendiri, tentu karena terpaksa atau terkena
suatu pengaruh yang sukar engkau atasi. Dalam keadaan begitu, apapun kesalahan
Liong koko, aku takkan menyesalimu." kata Yok Lan dengan tegas.
Hampir Gin Liong tak percaya pada pendengarannya, semula ia kira Yok Lan tentu
tak mau memaafkannya, sekalipun begitu batinnya tetap tersiksa.
Melihat Gin Liong mulai tegang, Yok Lan segera mencekal kedua tangan sukonya,
Tak tahan lagilah hati Gin Liong, air matanya bercucuran.
Tiba2 pintu terbuka, Gin Liong dan Yok Lan pun cepat loncat masuk kedalam kamar,
Yok Lan terus masuk kedalam kamarnya sendiri. Dilihatnya Li Kun masih tidur,
Tetapi ketika menghampiri dan melihat keadaannya, menjeritlah dara itu: "Liong
koko, kemarilah lekas!"
Gin Liong terkejut dan cepat lari menghampiri Diiihatnya mata Li Kun menutup
rapat muka merah, bibir seperti darah. Kening dan rambutnya basah kuyup dengan
keringat, tubuhnya memancarkan bau harum yang aneh. Cepat Yok Lan membaca
ilmu Hian-kang dalam hati dan bau wangi itupun lenyap.
Gin Liong juga terkejut sekali, ia tak kira bubuk wangi dari Dewi Bayangan itu
mempunyai daya pengaruh yang begitu hebat, Diam2 ia mengambil keputusan
untuk membasmi wanita siluman itu
Teriakan Yok Lan telah menyadarkan Li Kun. Begitu melihat Yok Lan, air mata
jelita itu berhamburan keluar dan berkata dengan nada gemetar: "Adik Lan..!"
"Taci Kun, engkau sakit!" seru Yok Lan dengan lembut.
Li Kun tak dapat berkata apa2 kecuali hanya bercucuran air mata,
"Taci Kun, badanmu panas sekali, jangan banyak bicara, tidurlah saja," kata Yok
Lan pula. Li Kun menghela napas, Ketika melihat Gin Liong berdiri di muka ranjang, iapun
terbeliak. Begitu pula Gin Liong. hatinya makin tersiksa, ia merasa berdosa
telah merusak kehormatan seorang gadis yang suci, ia pun merasa tak layak menjadi
seorang pendekar karena dirinya sudah melakukan perbuatan yang serendah
binatang. Wajah Li Kun makin meraih keringat makin mengucur deras. Tiba2 Yok Lan teringat
sesuatu. "Liong koko, manakah mangkuk kumala hijau yang tempo hari Liong-li locianpwe
memberikan kepadamu itu?" tanyanya.
Walaupun tak tahu apa maksudnya, tetapi Gin Liong pun segera mengambil keluar
benda itu dan menyerahkan kepada Yok Lan, Yok Lan memeriksa mangkuk itu.
Sebuah mangkuk batu kumala hijau yang memancarkan beribu sinar, jelas mangkuk
itu sebuah benda pusaka yang jarang terdapat di dunia.
Kemudian dara itu suruh Giu Liong mengambilkan air. Gin Liong menurut, setelah
mengambil air lalu dituangkan kedalam mangkuk kumala itu.
"Lan-moay, apakah maksudmu?" tanya Gin Liong.
"Bukankah tempo hari Liong-li lo-cianpwe juga memberi minum aku katak-salju
direndam air?" balas Yok Lan.
"Ya, karena saat itu masih punya..." belum sempat Gin Liong mengatakan "katak-
salju", tiba2 air dalam mangkuk itu mendidih dan mengeluarkan busa kecil2 lalu
berobah warnanya seperti susu.
Gin Liong terbeliak lalu bergegas menyuruh Yok Lan segera meminumkan air itu
kepada Li Kun. Yok Lan pun segera minta Li Kun minum air dalam mangkuk kumala
itu, Tanpa ragu2 jelita itupun terus meminumnya.
Bermula ia kira air itu hanya dari pil atau obat pemunah racun tetapi demi
melihat wajah Yok Lan dan Gin Liong begitu tegang, ia pun lantas meminumnya sampai
habis. Serentak ia rasakan badannya makin dingin, Kepalanya yang peningpun makin
jernih, kesadaran pikirannya makin terang.
Bermula Gin Liong masih cemas dan menanyakan bagaimana perasaan Li Kun saat
itu. Si jelita terus duduk dan berseru: "Ah. sungguh obat dewa yang mujarab
sekali, Bukan saja hawa panas telah hilang, pun tubuhku serasa segar sekali."
Mendengar itu Yok Lan tercengang, serunya:
"Aneh, tempo hari sehabis minum, badanku terasa panas sekali, pikiranku kabur
dan mataku ngantuk sekali dan terus tidur sampai hampir dua jam, Tetapi mengapa
keadaan taci Kun berlawanan dengan aku..."
"Karena air itu direndam dengan katak-salju," Gin Liong menjelaskan.
"Katak-salju?" teriak Yok Lan, "mana binatang itu!"
"Kumakan !" sahut Gin Liong,
"Bagaimana engkau dapat memakannya ?"
Gin Liong segera menceritakan tentang peristiwa dilereng gunung Hwe-sian-hong
dulu. Mendengar itu, Li Kun berkata: "Oh, itulah sebabnya mengapa engkau mampu
memukul mundur sam-ko. Memang toa-ko saat itu sudah menduga kalau engkau
tentu mendapat suatu penemuan yang luar biasa. Seorang pemuda seumurmu, tak
mungkin dapat memiliki tenaga yang sedemikian saktinya."
Demikian ketiganya lalu makan, Setelah itu, pak tua pun menyiapkan kuda mereka.
Nenek tua dan gadisnya pun berada dihalaman, singkatnya Gin Liong bertiga segera
melanjutkan perjalanan lagi.
Menjelang tengah hari mereka tiba disebuah kota sebelah timur dan kecamatan Ki-
he-koan. Mereka mencari rumah makan besar yang mempunyai tempat untuk
kuda. Setelah jongos menyambut kuda, mereka pun lalu masuk.
Tak banyak tetamu di rumah makan itu. Kebanyakan mereka hanya pedagang2
biasa, jarang tetamu orang persilatan Gin Liong bertiga duduk di meja yang dekat
dengan jendela. Dari situ mereka dapat melihat dijalanan.
Ketika Yok Lan memandang keluar, ternyata dimuka rumah makan itu juga sebuah
rumah makan. Dan pada meja dekat jendela ia melihat empat orang imam tua
berjubah kelabu, Yang ditengah seorang imam berumur 50-an tahun, rambutnya
sudah menjunjung uban, alis gundul, muka bopeng, sikapnya gelisah dan matanya
memandang kearah tempat Yok Lan bertiga.
Sedang ketiga imam yang lain masih sibuk membuat perhitungan rekeningnya.
Rupanya mereka bergegas hendak meninggalkan rumah makan itu.
Yok Lan curiga lalu membisiki suko dan Li Kun: "Cobalah kalian lihat, imam tua
yang duduk di rumah makan sebelah muka itu!"
Ketika Gin Liong dan Li Kun memandang keluar jendela ternyata keempat imam itu
sudah turun dari loteng. "Lan-moay, apakah engkau anggap mereka mencurigakan?" tanya Li Kun.
Sambil memandang Gin Liong, Yok Lan bertanya: "Apakah bukan imam tua Hian
Leng dari partai Kiong-lay-pay?"
"Mungkin." kata Gin Liong.
"Taci Kun, mengapa kalian kenal mereka?" tanya Yok Lan.
Li Kun segera menceritakan peristiwa di gunung Hok-san dimana mereka telah
berjumpa dengan imam itu.
Demikian setelah selesai makan mereka bertiga pun segera melanjutkan perjalanan
lagi, Dengan adanya imam yang mencurigakan itu, mereka pun berlaku hati2.
Dengan ketiga ekor kuda yang pesat larinya, dalam beberapa waktu saja mereka
sudah mencapai 10-an li. Disitu terdapat sebuah gunung yang hanya berpuncak
satu dan luasnya tak sampai sepuluh li.
Mereka berkuda disepanjang kaki gunung itu. Tak berapa lama mereka melihat
disebelah muka sebuah bangunan yang merah gentengnya.
Gin Liong menghela napas dan berkata seorang diri: "Walaupun tak tinggi tetapi
gunung tentu indah pemandangannya. walaupun tak dalam, telaga tentu ada
raganya. Membangun biara di gunung ini, setiap hari membaca kitab suci, pikiran
akan jernih, batin pun mendapat penerangan. Tentu tak sukar akan mendapat
kesucian dan jalan mencapai kedewaan."
Mendengar itu wajah Yok Lan serentak berobah dan berpaling memandang
sukonya dengan pandang rawan.
Juga Li Kun terkejut, matanya berlinang-linang hendak menitikkan air mata, ia
mempunyai perasaan bahwa Gin Liong sudah jemu akan dunia yang penuh lumpur
kedosaan ini. Diam2 iapun berjanji dalam hati, Apabila Gin Liong benar hendak
masuk menjadi murid biara, ia pun akan mencari sebuah biara yang sunyi dan
menjadi rahib. Saat itu mereka tiba dimuka gunung, Ternyata gunung itu walaupun tak berapa
tinggi tetapi puncaknya tak kurang dari seratusan tombak luasnya. Gunung penuh
dengan hutan pohon siong, Biara itu pun sudah terlihat pintunya.
Memandang kemuka, lebih kurang setengah li jauhnya tampak tiga orang tegak
berjajar menghadang jalan.
Ketika memandang dengan seksama Gin Liong tertawa dingin.
Yok Lan pun tahu bahwa yang ditengah itu adalah imam tua bermuka bopeng yang
berada dirumah makan tadi, demikian pula yang dua. Tetapi yang seorang lagi ia
belum tahu. 31. Pedang salju putih Gin Liong bertiga hentikan kudanya pada jarak lima tombak dari rombongan imam
itu dan berseru: "Totiang bertiga, mengapa tiada sebab apa2 menghadang jalan
kami ?" Imam tua bermuka bopeng itu memang Hian Leng loto, segera ia menyahut: "Pinto
Hian Leng telah menerima perintah dari kepala biara Ki-he-kwan, Tiau Ing totiang
untuk menunggu tempat ini. Harap siau-sicu bertiga suka singgah minum teh ke
dalam biara." Karena ingin cepat2 melanjutkan perjalanan, Gin Liong segera memberi hormat:
"Aku masih mempunyai urusan penting, tak berani membuang waktu. Harap
lotiang bertiga suka menyampaikan terima kasih kami kepada kepala biara Ki-he-
kwan atas kebaikannya".
Hian Leng totiang tertawa: "Walaupun bagaimana penting urusan sicu, namun
kalau hanya berhenti sebentar untuk minum teh, tentu tak akan menghambat
perjalanan sicu. Apalagi sicu bertiga menaiki kuda yang hebat, dalam waktu
singkat tentu dapat mencapai kota Ki-he-koan Tiau Ing totiang sudah lama mendengar sicu
memiliki kepandaian yang tinggi dan ilmu pedang yang tiada tandingannya."
Li Kun tahu bahwa Hian Leng totiang hendak mengulur waktu saja, maka iapun
marah dan terus membentak: "Tutup mulutmu"
Cepat ia mencabut pedang dan mendamprat pula: "Jelas hendak menuntut balas
pada peristiwa di lembah gunung Hok san, mengapa pakai alasan suruh singgah ke
dalam biara. Kalau mempunyai kepandaian lekaslah engkau cabut pedangmu, tak
usah banyak bicara. Kalau merasa tak punya kepandaian lebih baik kalian
menyingkir jika masih ribut, pedang Pek-soang-kiam ditanganku ini akan
mengantar jiwa kalian ke akhirat."
Mendengar nama pedang Pek-soang-kiam atau pedang Salju-putih, berobahlah
wajah Hian Leng seketika, ia tak sangka bahwa nona jelita itu ternyata murid
dari rahib tua Liong San loni.
Gin Liong dan Yok Lan pun baru tahu kalau Li Kun mempunyai pedang yang disebut
Pek-soang kiam. Menilik wajah Hian Leng berubah pucat, jelas pedang itu tentu
sebuah pedang pusaka yang hebat.
Imam Kong Beng dan Ceng Beng yang berdiri disisi Hian Leng, sudah pucat,
Matanya memandang kearah biara Ka-hian-kwan dilereng gunung.
Hian Leng tertawa mengekeh.
"Heh... heh, kalian budak2 kecil berani membunuh dua orang tianglo kami.
Dendam itu tidak mungkin kami maafkan. walaupun kepandaianku rendah, tapi aku
tetap hendak mengadu jiwa dengan kalian. Demikian pula kepala dari biara Ki-he-
kwan itu adalah sahabatku yang tak akan memberi jalan kepada kalian."
Habis berkata ia terus mencabut pedang, Melihat itu Li Kun makin marah,
teriaknya: "Aku tak mempunyai waktu untuk meladeni kalian, Ayoh, majulah saja tiga orang
serempak." Mendengar itu Hian Leng tertawa nyaring. Sebaliknya imam Ceng Beng dan Kong
Beng makin pucat. Tetapi karena Hian Leng sudah mengeluarkan pedang, terpaksa
kedua imam itupun mencabut pedangnya.
"Kalau kalian tak lekas menyerang, akulah yang akan menyerang." seru Li Kun,
seraya loncat turun dari kuda terus dengan jurus Yan-swat-hui-hwa atau Salju-
berlebar-bunga-berhamburan, menyerang Hian Leng.
Kong Beng dan Ceng Beng membentak dan menyerang dari kanan kiri, Sedang Hian
Leng pun segera bergerak maju.
Yok Lan pun sudah loncat turun dari kuda, ia terkejut karena ketiga imam itu
benar2 maju bertiga, Berpaling kebelakang dilihatnya Gin Liong masih tetap duduk
diatas kudanya. Li Kun mendengus, ia segera mainkan jurus Ce-gwat-kiau hui atau Bulan-bintang-
beradu-cahaya, berpencar menyongsong Kong Beng dan Ceng Beng. Karena tahu
akan kelihayan pedang si jelita. kedua imam itupun menyurut mundur lima
langkah. Saat itu pedang Hian Leng itupun sudah tiba dimuka Li Kun, Ternyata serangan
pada kedua imam tadi hanya suatu gerak kosong untuk memikat Hian Leng, Selekas
Hian Leng benar2 menyerang, Li Kun berteriak nyaring, menengadahkan tubuh dan
secepat kilat pedang segera diganti dengan jurus It-cut-keng-thian atau
Sebatang- tiang-menyanggah-langit. Rupanya Hian Leng memang benar2 hendak mengadu jiwa, Dia tak mau merobah
jurusnya, Tring!, pedangnya pun segera terpapas kutung, Tetapi sedikit pun imam
tua itu tak terkejut. Bahkan dengan meraung keras, tangannya mengendap
kebawah dan tusukkan kutungan pedang ke perut si nona.
Dalam pada itu Kong Beng dan Ceng Beng tadipun serempak membacok kedua
bahu Li Kun, diserang dari tiga jurusan itu, keadaan Li Kun memang berbahaya.
Gin Liong membentak keras terus loncat dari kuda, sedang Yok Lan pun loncat
menerjang. Tiba2 Li Kun melengking keras. Tubuh condong kemuka, menahan pedang kutung
lawan dengan pedangnya lalu dengan meminjam tenaga benturan itu, ia enjot
tubuhnya berjumpalitan kebelakang.
Gin Liong terkejut dan hentikan gerakannya. Demikian pula Yok Lan.
Karena penghindaran yang luar biasa dari Li Kun itu maka bacokan Kong Beng dan
Ceng Beng mengenai angin kosong ,Tetapi Hian Leng tetap tak berhenti, dengan
kalap ia tetap menusuk kemuka. Sudah tentu kedua kawannya menjerit kaget dan
menangkis. "Tring . ." mereka bertiga saling berhantam pedang sendiri, Dan karena sama2
menggunakan kekuatan, benturan itu menyebabkan mata mereka ber-kunang2.
Dan karena takut kalau Li Kun menyerang, cepat mereka berputar diri lalu
membolang-balingkan pedang kekanan kiri.
Tiba2 pada saat itu dari lereng gunung terdengar sebuah suitan nyaring,
Mendengar itu semangat ketiga imam itu bangun kembali.
Gin Liong pun memandang kearah gunung, Tampak sesosok bayangan berlari
secepat terbang menuruni gunung, Ternyata yang datang itu seorang imam tua
yang rambutnya putih mengenakan jubah kelabu, punggungnya menyanggul
sebatang pedang. Gin Liong cepat menduga bahwa imam itu tentulah imam Tiau Ing, kepala dari biara
Ki-he-kwan. Pada saat imam Tiau Ing tiba di kaki gunung, dari arah biara itupun segera
muncul berpuluh imam juban kelabu.
Saat itu Tiau Ing sudah melayang tiba ditengah Hian Leng, Lebih dulu ia
memandang muka muka Hian Leng yang begap karena saling bentur dengan
kawannya sendiri tadi. "Kwan-cu", segera imam Hian Leng memberi keterangan, "yang membunuh kedua
tianglo dari perguruanku tempo hari, ialah budak itu." ia menuding Gin Liong
yang berdiri diapit oleh dua nona.


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak memandang Gin Liong bertiga, imam Tiau Ing itu tertawa nyaring lalu
berseru lantang: "Kukira seorang manusia yang berkepala tiga berlengan enam kiranya hanya
seorang budak yang belum hilang bau pupuknya."
Nadanya congkak sekali seolah tak memandang mata kepada Gin Liong yang dapat
merubuhkan dua orang tianglo partai Kiong-lay-pay. Dengan sikapnya itu, orang
menduga ia tentu memiliki kepandaian yang sakti.
Gin Liong kerutkan alis dan tertawa dingin: "Sebagai kepala dari biara Ki-he-
kwan, lotiang tentulah seorang imam yang berilmu tinggi dan dapat membedakan
kejahatan dan kebaikan, salah dan benar. Melanggar pantangan bagi kaum imam
yakni temaha, congkak, bohong."
Imam Tiau Ing cepat tertawa menukas.
"Budak yang tak kenal tingginya langit dalamnya lautan, berani benar engkau
menilai diriku!" Li Kun tak sabar lagi. Tanpa menunggu imam itu menyelesaikan kata2nya, ia terus
tampil ke muka dan menggeram, "Karena engkau memang seorang imam yang tak
mengerti nalar dan tak kenal sifat manusia, mengapa banyak mulut. Lekas cabut
pedangmu agar jangan banyak pejalan yang keburu datang di tempat ini."
Imam tua Tiau Ing melihat bahwa disekeliling tempat itu memang telah banyak
pejalan2. Anak buah biara Ki-he-kwan pun juga banyak yang datang, ia tertawa
makin angkuh. "Sudah berpuluh tahun aku tak pernah menggunakan pedangku Untuk melayani
seorang budak perempuan seperti dirimu, mengapa aku perlu memakai senjata?"
Li Kun tak mau banyak bicara lagi. ia terus maju menyerang Cepat dan dahsyat,
dengan tertawa gelak2. Tiau Ing kebutkan lengan jubah seraya menghindar
kesamping. Li Kun tertawa dingin. ia robah jurus ilmu pedangnya dengan jurus Pok-coh-hun-
coa atau Memukul-rumput-mencari-ular, segulung sinar pedang segera
berhamburan menimpah lawan.
Baru kaki tegak, pedang sudah memburunya lagi, benar2 membuat imam tua itu
terkejut. Dengan membentak keras, ia menyurut mundur tiga langkah, kemudian maju lagi
merebut senjata lawan dengan ilmu Gong jiu-peh-jiu atau dengan tangan kosong
merebut senjata. Li Kun mendengus geram. Setelah menyalurkan tenaga dalam ke pedang, ia
berturut-turut menyerang tiga kali.
Selama ini belum pernah kepala biara Ki-he-kwan itu menyaksikan suatu ilmu
pedang yang sedemikian hebatnya. Apabila ia tak menguasai ilmu pedang dan
pukulan, mungkin saat itu perutnya sudah pecah berhamburan.
Tetapi Li Kun sendiri juga terkejut ketika tiga kali serangannya itu musuh dapat
menghindarnya, tak berani memandang rendah lagi.
Juga Gin Liong yang terus memperhatikan pertempuran itu, diapun juga terkejut
melihat kepandaian ketua biara Ki he-kwan itu. hanya dengan tangan kosong ia
mampu melayani serangan pedang Li Kun.
Sedangkan Yok Lan hanya tegak dengan cemas, ia kuatir kalau imam itu
menggunakan pedang, kemungkinan Li Kun tentu kalah.
Bertempuran berjalan makin seru, bayangan pukulan sederas hujan mencurah,
sinar pedang bagaikan kilat menyambar, walaupun dengan tangan kosong tetapi
tamparan lengan jubah Tiau Ing itu seperti gelombang mendampar, secepat angin
melanda. Li Kun pun tak kurang gesitnya, ia berencana dengan tangkap selincah burung
sikalam. Makin lama makin gagah sehingga sukar untuk mengenali kedua orang itu.
Diam2 Yok Lan menimang bahwa setelah menghadapi kelima imam, seharusnya
beristirahat dulu, Diam2 ia memutuskan untuk menggantikannya.
Setelah mengambil keputusan, diam2 ia segera menghafalkan beberapa jurus ilmu
pedang ajaran Hun Hu siantiang. Setelah itu baru berseru: "Taci Kun, harap
beristirahat dulu, Biarlah aku yang menggantikan."
Sehabis berkata dengan gerak laksana burung hong, ia melayang kemuka.
"Lan-moay, kembalilah . . ." Gin Liong berseru kaget.
Tetapi serempak dengan itu Hian Leng loto sudah merebut pedang imam Kong
Beng dan terus menerjang Yok Lan. Nona itupun hentikan gerakannya, balikkan
tangan dan tusukkan ujung pedangnya kebatang pedang Hian Leng.
Hian Leng mengerang tertahan karena pedangnya tersiak kesamping. Secepat itu
pula Yok Lan meneruskan membacok siku lengan kanan lawan.
Hian Leng menjerit kaget, ia lepaskan pedang dan loncat mundur, keringatnya
bercucuran deras. Setelah mengundurkan Hian Leng, Yok Lan pun lanjutkan gerakannya menerjang
imam Tiau Ing. Melihat kedatangannya, Tiau Ing tertawa gelak2.
"Ha, ha, bagus, aku hendak menguji sampai mana kepandaian ilmu pedangmu !"
serunya, ia tinggalkan Li Kun dan lari menyongsong Yok Lan. juga seperti
menghadapi Li Kun, imam itu tetap menggunakan kibasan lengan jubahnya.
Li Kun marah, dengan memekik nyaring ia hendak menerjang lagi. tetapi saat itu
Yok Lan malah menghentikan permainan pedangnya, imam Tiau Ing tertawa dingin,
kedua tangannya menampar dengan cepat kearah lengan dan bahu dara itu.
Gin Liong dan Li Kun terkejut. Keduanya serempak menjerit kaget.
Melihat si dara tak menangkis pun tak menghindar, dengan mendegus geram Tiau
Ing lanjutkan kedua tangannya menjadi suatu pukulan yang sungguh2.
Dalam detik2 yang berbahaya itu, tiba2 Yok Lan gerakkan pedang menusuk
tenggorokan si imam. Kecepatannya bagaikan kilat menyambar.
Tiau Ing terkejut sekali, Dengan gopoh ia kebutkan lengan jubah seraya menyurut
mundur. Tetapi Yok Lan tak mau memberi kelonggaran lagi, ia loncat maju dan
menabas, cres . . . . lengan baju kepala biara Ki-he-kwan seketika terpapas
kutung. Yok Lan hentikan serangannya dan berdiri tegak. Saat itu baru Gin Liong dan Li
Kun mengakui bahwa apa yang diagungkan orang persilatan bahwa ilmu pedang Hun
Hu siantiang itu merajai dunia persilatan memang bukan suatu pujian kosong.
Dua buah gerakan Yok Lan tadi, menunjukkan suatu jurus ilmu pedang yang luar
biasa, penuh perobahan yang tak terduga, tenang laksana air telaga, cepat
laksana kilat menyambar, lincah bagai ular terkejut, ringan bagai daun kering gugur di
tanah. Sungguh suatu ilmu pedang yang jarang terdapat didunia persilatan.
Hian Leng dan berpuluh anak murid biara Ki he-kwan, terlongong-longong heran.
Diam2 mereka menggigil dalam hati. Kepala biara Ki-he-kwan memiliki ilmu
permainan pedang dan pukulan yang hebat, jarang orang dapat menandinginya.
Tetapi menghadapi seorang dara baju putih yang tak terkenal, kepala biara itu
dipaksa harus mengucurkan keringat dingin.
Diantara orang2 yang berkerumun dijalan itu terdapat juga orang2 persilatan.
Tanpa disadari mereka berteriak memuji.
Ketika imam Tiau Ing berdiri dan melihat jubahnya terbabat rompal, seketika
wajahnya membesi, jenggotnya sampai gemetaran. Sepasang matanya
memandang Yok Lan dengan pandangan kejut keheranan.
Sesaat mendengar sorak sorai orang yang menyaksikan pertempuran itu, Tiau Ing
makin merah padam mukanya, serentak ia menengadahkan kepala dan tertawa
nyaring lalu berseru dengan congkak.
"Selama aku menggunakan pedang, jarang aku bertemu dengan orang yang
mampu menandingi. Sejak berpuluh tahun, tiada seorang yang mampu melayani
pedangku sampai sepuluh jurus."
Habis berkata ia memandang Gin Liong bertiga dan berseru nyaring: "Diantara
kalian bertiga barang siapa mampu melayani aku sampai satu setengah jurus,
kalian bebas melanjutkan perjalanan..."
"Hm, apakah engkau yakin dapat menghalangi kami." tukas Li Kun yang marah
terhadap kesombongan imam tua itu.
Dengan mata memancar dendam, Tiau Ing memandang ketiga anak muda itu lalu
tertawa dingin. Kemudian mengangkat tangannya dan tahu2 sudah mencabut
pedang dari bahunya. Wajah Gin Liong berobah seketika, ia tahu bahwa pedang imam itu sebuah pedang
pusaka, ia meragu, demikian pula Li Kun.
Tetapi Yok Lan yang sudah gemas segera menantang: "Totiang sebagai seorang
kepala biara, apa yang lotiang ucapkan tentu dapat kita percaya. Baik, akulah
yang akan menerima pelajaran barang beberapa jurus dari lotiang . . ." ia tersenyum-
senyum sambil siapkan pedang, menunggu serangan.
Kepala biara Ki-he-kwan sudah berpuluh tahun meyakinkan ilmu pedang, Melihat
sikap dara itu, seketika berubah wajahnya. Dilihatnya dara itu mencekal pedang
lurus kemuka, semangat dan hawa murni telah dipusatkan satu.
Kesemuanya itu merupakan sikap dari ilmu pedang tingkat tinggi, Benar2 imam itu
tak habis mengerti mengapa dalam dunia persilatan telah muncul seorang dara
yang memiliki ilmu pedang sedemikian saktinya.
Diam2 imam Tiau Ing mengeluh dalam hati karena hilang kepercayaan pada
dirinya, adakah ia mampu memenangkan dara itu. seketika terlintas suatu
pemikiran dalam benaknya, ia tertawa gelak2, serunya:
"Jangan kuatir nona, pinto tak nanti menelan kata2 pinto lagi. Asal engkau mampu
melayani sampai sepuluh jurus, pinto tentu akan melepaskan kalian bertiga."
Diam2 Yok Lan sudah dapat membaca isi hati lawan, jika tadi imam itu mengatakan
hanya satu setengah jurus, sekarang dia menghendaki sepuluh jurus, tetapi
sebagai seorang dara yang masih berdarah panas, Yok Lan pun tak menyangkal.
"Baiklah, janji telah kita sepakati, silahkan lotiang segera mulai!"
Tiau Ing tertawa gelak, serunya: "Pinto sudah berumur 80 tahun. rambut sudah
putih semua, sudah tentu tak layak untuk menyerang lebih dulu, Engkaulah yang
menyerang lebih dulu !"
Walaupun nadanya tenang tapi wajah imam itu memang tegang, kerut
kesombongannya sudah tak terlihat lagi.
Mendengar Tiau Ing bermula menyebut diri sebagai kwan-cu atau kepala biara
kemudian turun dalam sebutan pinto, tahulah Gin Liong dan Li Kun bahwa imam itu
sudah terdesak dalam keadaan sulit, ibarat orang naik dipunggung harimau.
Bahwa dalam sekali gebrak saja, dara baju putih itu sudah dapat mengalahkan Hian
Leng, tahulah Gin Liong bahwa imam Tiau Ing itu sudah tak mempunyai harapan
untuk menang, ia hanya berharap tidak sampai kalah saja.
Yok Lan yang cerdas, cepat dapat megetahui isi hati kepala biara Ki he-kwan itu.
ia tertawa hambar, sebelah mengiakan ia terus taburkan pedangnya dalam jurus
burung hong-keluar-sarang. Dua sinar pedang sekali berhambur mengarah kedua
bahu Tiau Ing. Kepala biara Ki-he-kwan itu menyadari bahwa hal itu ia berhadapan dengan
seorang lawan yang tangguh, ia tak berani memandang rendah lagi, Diam2 ia
segera kerahkan tenaga dalam kelengannya lalu mengalir kebatang pedang.
Dengan mengandalkan pedang pusakanya ia hendak coba merebut kemenangan.
Selekas Yok Lan menyerang kedua bahunya, Tiau Ing lalu gunakan jurus Hun-hoa-
hud-liu untuk membabat pedang dara itu.
Yok Lan menyaksikan selainkan cepat pun gerakan pedang imam itu mengandung
tenaga dalam yang kuat sekali, Mau tak mau, iapun harus berhati-hati untuk
menghadapinya. Berputar tubuh dan mengisar langkah, ia endapkan pedang dan menabas pinggang
lawan. Melihat dua buah jurus yang dimainkan dara itu merupakan jurus biasa,
semangat Tiau Ing bangkit kembali, demikian pula dengan kesombongannya pun
timbul. Dengan membentak keras, tiba ia robah gerakan pedangnya, Dengan ilmu pedang
yang dipelajari selama berpuluh tahun, ia segera melancarkan serangan yang deras
dan dahsyat. Setiap gerakan pedangnya tentu merupakan serangan maut dan
mematikan Demikian terjadilah suatu pertempuran pedang yang dahsyat dan mengagumkan.
Deru angin dan sinar pedang yang menyilaukan mata. segera melihat tubuh Yok
Lan dalam lingkaran sinar pedang yang ketat.
Dalam kepungan sinar pedang maut itu, tak hentinya mulut Yok Lan melengking
dan menjerit mengiring permainan pedangnya untuk menangkis, Beberapa saat
kemudian sinar pedang imam Tiau Ing itupun makin menyurut sekalian orang yang
menyaksikan pertempuran itu terkejut sekali.
Di lain pihak pedang Yok Lan masih tetap melancar bagaikan air bengawan yang
mengalir tiada hentinya, Setiap kali tentu terdengar suara mendering ketika
ujung pedang dara itu menutuk batang pedang lawannya.
Pedang kepala biara Ki-he-kwan itu makin lamban gerakannya, gulungan sinarnya
pun makin pudar, sambil berlincahan ke kanan kiri, ia terus menerus terdesak
mundur. Dari menyerang ia berbalik diserang habis2an oleh si dara, sehingga
keadaannya pontang panting tak keruan.
Terdengar desuh dan desah disertai seruan tertahan dari orang2 yang menyaksikan
ditepi jalan. Berpuluh-puluh imam anak buah biara Ki-hian-kwan serempak
berobah pucat wajahnya dan berdebar-debar keras.
Tak kecewa kepala biara Khi-he-kwan itu sebagai seorang jago pedang yang telah
mempelajari ilmu pedang selama berpuluh tahun, walaupun terdesak dan
berlincahan menghindar mundur tetapi dia tetap dapat menutup diri dengan ketat
sedikitpun tak terpengaruh suara hiruk dari penonton.
Tujuan Yok Lan hanyalah menyelesaikan sepuluh jurus dengan cepat. Tetapi karena
lawan telah berganti dengan sikap bertahan, maka iapun memperlambat
serangannya. Sebagai seorang jago pedang kawakan, sudah tentu kepala biara Ki-he-kwan itu
dapat mengetahui isi hati si dara, Tetapi ia tak berdaya untuk merobah situasi
karena pedang si dara itu masih tetap melancar dengan ketat. tanpa memberi
kesempatan lawan untuk mengisi lubang kelemahannya."
Demikian dalam beberapa kejap saja, pertempuran telah berlangsung sepuluh
jurus, Tiba2 imam Tiau Ing tertawa gelak2 dan terus loncat mundur sampai dua
tombak. Yok Lan pun hentikan pedangnya.
"Ilmu pedang totiang, benar2 jarang terdapat dalam dunia, Terima kasih atas
pelajaran berharga yang totiang berikan." seru dara itu.
Puas tertawa, kepala biara Ki-he-kwan itu berseru nyaring: "Selama berpuluh
tahun, baru kali ini pinto bertemu dengan orang yang mampu melayani pedang
pinto sampai sepuluh jurus."
Yok Lan geli dalam hati. Imam tua itu masih besar mulut, tak menyadari bahwa
sesungguhnya ia memang tak mau menyerang lebih dahsyat lagi.
Kepala biara Ki-he-kwan berputar tubuh dan berseru kepada anak buahnya: "Beri
jalan dan pulang ke biara."
Selekas menyimpan pedang tanpa menunggu penyahutan Yok Lan lagi, imam itu
terus kebutkan lengan jubah dan terbang lari kelereng gunung.
Karena pemimpinnya sudah pergi, kawanan imam itupun segera berbondong-
bondong lari mengikuti. Karena gelagatnya jelek, Hian Leng, Kong Beng dan Ceng Beng ketiga imam pun ikut
rombongan mereka. Yok Lan pun cepat mengajak Gin Liong dan Li Kun: "Mari kita lekas pergi, orang2
berbondong-bondong kemari."
Gin Liong dan Li Kun tertawa.
"Mereka sudah bubar, yang dari utara menuju ke selatan, yang dari selatan menuju
ke utara, Apabila lewat disini. merekapun hanya ingin memandangmu sejenak."
kata Li Kun tertawa. Biau-biau Sian-kho Demikian mereka bertiga segera naik kudanya pula, Saat itu matahari sudah mulai
condong ke barat, Diam2 Gin Liong berkata dalam hati: "Ah, mungkin akan terjadi
sesuatu lagi." Berpaling kebelakang dilihat Li Kun berkuda dibelakang tetapi ketika memandang
kebelakang lagi, ia terkejut.
Dibelakang ketiga ekor kuda mereka, tak berapa jauh jaraknya, tampak seorang
rahib menunggang seekor kuda putih kembang. Rahib itu masih muda dan
berparas cantik, Usianya diantara duapuluh empat dua puluh lima tahun, mukanya
berbentuk seperti buah tho kulit putih halus, alis melengkung rebah seperti
bulan tanggal satu, mata jeli bersinar bening, bibir merekah merah, hidung mancung,
mulut mengulum senyum madu, menimbulkan kesan yang memikat hati.
Rambutnya yang dikonde keatas menurut seorang rahib, berhias dengan sebuah
tusuk kundai kumala, jubahnya berwarna kuning susu, mengenakan pakaian luar
warna jambon. Bahu menyanggul sebatang hud-tim atau kebut pertapaan. Ia
memandang Gin Liong lekat2.
Tergetar hati Gin Liong ketika beradu pandang dengan rahib muda itu. Wajahnya
bertebar merah, Buru2 ia tenangkan hati dan berkata kepada Li Kun.
"Taci Kun, hari sudah gelap, mari kita percepat perjalanan."
Mereka bertiga segera mencongklangkan kuda lebih pesat. Tetapi rahib itu masih
tetap mengikuti Tiba2 Gin Liong membau tebaran angin yang membawa bau harum yang aneh. Li


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun yang pertama dapat mencium bau aneh itu,ia mendengus dan deliki mata
kepada rahib itu. Sejak tadi Yok Lan tak memperhatikan soal rahib itu, Ketika mendengar Li Kun
mendengus geram, barulah ia melihat rahib yang terus menerus memandang Gin
Liong itu. Entah bagaimana hati Gin Liong makin berdebar keras, ia tak berani memandang
rahib itu lagi. Li Kun heran melihat kegelisahan Gin Liong, Demikian pula Yok
Lan. Diam2 Yok Lan menilai rahib itu. Seorang rahib itu seorang biarawan yang sudah
mensucikan diri. Mengenakan pakaian warna yang begitu menyolok sudahlah tidak
pantas, Begitu pula naik seekor kuda yang begitu tegar, ia mendapat kesan bahwa
rahib itu tentu seorang murid agama yang murtad.
"Taci Kun, mari kita cepatkan kuda!" karena muak, Yok Lan segera mengajak Li
Kun. Li Kun kembali mendengus geram lalu melarikan kudanya.
Rahib itu memandang Li Kun lalu tertawa dingin, walaupun mendengar, tetapi Li
Kun dan Yok Lan tak ambil peduli. Demi melanjutkan perjalanan keduanya tak mau
cari urusan. Gin Liong tak mau melihat rahib itu, pun tak mau memandang Li Kun, ia segera
memacu kudanya. Tiba2 rahib muda itu tertawa, serunya: "Siau-siangkong, setelah mempunyai kawan
perjalanan dua nona cantik, lalu tak kenal lagi padaku?"
Mendengar itu Gin Liong tertegun. juga Yok Lan terkesiap, Hanya Li Kun yang tak
dapat menahan kemarahannya lalu mendampratnya. "Sungguh tak tahu malu,
siapa yang kenal padamu?"
Rahib cantik itu pun berobah wajahnya dan menjawab dengan nada dingin: "Entah
siapa yang tak punya malu, hm, tak tahu diri."
Sudah tentu Li Kun merah padam mukanya. Dengan menjerit keras ia segera
mencabut pedang Pek song-kiam.
Rupanya rahib cantik itu juga marah, serunya: "Hm, kalau tak diberi sedikit
pelajaran, engkau tentu belum kenal kelihayanku." Habis berkata ia terus
terjangkan kudanya kemuka.
Orang2 dijalan yang sudah terlanjur bubar memang terus pergi. Tetapi yang belum
berapa jauh, kembali lagi untuk melihat ramai-ramai.
Melihat rahib itu melarikan kuda kearahnya, Li Kun hentikan kuda, lintangkan
pedang untuk menunggu. Selekas tiba, rahib cantik itu segera mencabut hud-tim lalu ditampar kearah dada
Li Kun. Li Kun benar2 marah terhadap tingkah rahib itu. Kuda putih dikisarkan menghindar
kesamping lalu diputar kebelakang kuda si rahib, dengan diantar teriakan
melengking, ia balas menusuk rahib itu.
Rahib itu terkejut sehingga ia loncatkan kuda kemuka. Kuda putih yang bernama si
Putih milik Li Kun itu memang seekor kuda yang tegar, ditambah pula Li Kun mahir
mengendarainya, Cepat ia pun memacu kudanya memburu kemuka. Dengan jurus
Pek hun kian-jit atau Menyingkap-awan-memandang-matahari, ia membabat
pinggang rahib itu. Ketika berpaling terkejutlah rahib itu, Dengan melengking keras ia ayun tubuhnya
loncat dari kudanya dan melayang ketempat kerumunan orang2 yang menonton.
Karena orang2 itu berjumlah banyak, Li Kun tak leluasa mengejar, ia hentikan
kuda dan mendamprat: "Cis, tak tahu malu, tak pegang kesucian . . ."
Ternyata rahib cantik itu masih berada ditengah orang banyak, Dengan santai ia
menukas kata Li Kun: "Perempuan hina, pada suatu hari engkau pasti akan kenal
kelihayan Biau Biau sian-kho tunggu saja!"
Saat itu Yok Lan menghampiri dan meminta Li Kun tak usah meladeni rahib
semacam itu, sedangkan Gin Liong menganggap rahib itu tentu kurang waras
pikirannya. Kalau tidak masakan memanggil-manggil orang lelaki.
Demikian mereka bertiga segera melanjutkan perjalanan lagi.
"Adik Liong, apakah rahib itu benar2 kenal padamu ?" tanya Li Kun.
"Eh, jangan omong sembarangan aku tak pernah melihatnya," kata Gin Liong.
"Mengapa dia tahu engkau orang she Siau?"
Gin Liong kerutkan dahi: "Ya, aneh, mengapa dia tahu she-ku ?"
Melihat sikap Gin Liong yang heran sendiri, Li Kun pun tak mau mendesak lebih
lanjut. Dengan cepat mereka melalui tiga buah kota. Walaupun ketiga ekor kuda mereka
sudah basah kuyup dengan keringat tetapi kecepatan larinya masih tak berkurang.
Saat itu matahari sudah tenggelam di sebelah berat. Kabut malam mulai bertebar,
jauh disebelah muka samar2 tampak pintu kota Lay-yang-koan.
"Taci Kun, lebih baik. kita ambil jalan besar saja, Kalau mengambil jalan
mengitar tentulah akan kehilangan jejak Liong-li locianpwe."
Kedua nona itu setuju. Begitu mereka segera menuju ke kota Lay-yang-koan. Empat
buah lentera besar tergantung pada pintu kota.
Memang Lay-yang-koan sebuah kota yang besar dan ramai. Tiba dipintu utara,
tampak prajurit penjaga pintu siap dengan senjatanya.
Gin Liong bertiga turun dari kuda dan masuk kedalam pintu, Melihat ketiga anak
muda itu mengenakan pakaian orang persilatan dan menyanggul pedang, segera
penjaga itu tahu kalau mereka tentu berasal dari daerah Kwan-gwa atau luar
perbatasan. Demikian Gin Liong dan kedua kawannya terus masuk ke dalam kota, Kota itu
memang benar2 ramai, penuh dengan toko2 dan orang2 yang berjalan memenuhi
sepanjang jalan. Kehidupan malam, tampak meriah.
"Siau siauhiap!" tiba2 terdengar seruan seseorang.
Li Kun dan Yok Lan terkejut lalu hentikan kuda dan berpaling kearah suara itu.
Diantara kerumun orang, tampak seorang nona baju hijau tengah melambaikan
tangan ke arah Gin Liong.
Usia nona itu baru diantara enambelas-tujuhbelas berwajah cantik dan masih
bersikap seperti kanak2. Melihat Gin Liong terkejut tetapi tak menyahut, dara itu berseru pula dengan
kurang senang: "Siausiauhiap, apakah engkau tak kenal padaku?"
Tak pernah Gin Liong menduga bahwa di kota itu ia bakal bertemu dengan dara
yang nakal, setelah tenangkan diri ia tertawa:
"O, kiranya nona Ik, bagaimana dengan kedua orang tua nona?"
Dara itu memang Ik Siu Ngo. Melihat Gin Liong sudah mengenalnya, ia tertawa.
"Mereka juga disini, berada dirumah penginapan itu" ia menunjuk sebuah hotel
dibelakangnya, Kemudian bertanya: "Siau siauhiap, apakah engkau tak mau
bertemu dengan ayah-bundaku" Mamah tetap teringat kepadamu, ia mengatakan
kau nakal tetapi menyenangkan."
Gin Liong pun teringat akan peristiwa ia bersembunyi dibalik batu untuk
mempermainkan nenek Ban atau ibu dari Siu Ngo tempo hari, ia pun tertawa geli.
"Nona Ik, sungguh menyesal sekali, karena kami masih mempunyhai urusan
penting, terpaksa kami akan melanjutkan perjalanan. Lain hari kami tentu akan
menemui locianpwe berdua,"
Tiba2 Li Kun menyelutuk. Gin Liong terkesiap, Terpaksa ia minta maaf kepada Siu Ngo agar menyampaikan
salam dan hormat kepada kedua orang tuanya."
"Eh, mengapa engkau tak memperkenalkan kedua nona yang naik kuda itu
kepadaku?" Siu Ngo tertawa.
Gin Liong tertawa, Menunjuk pada Li Kun dan Yok Lan, ia memperkenalkan: "Inilah
nona Tio Li Kun dari gunung Mo-thian-san. Dan ini adalah sumoayku Ki Yok Lan."
Kepada kedua nona itu dengan tertawa kekanakan Siau Ngo memberi hormat, Li
Kun dan Yok Lanpun balas menghormat.
"Nona Ik." kata Yok Lan, "kami hendak melanjutkan perjalanan ke selatan. Apabila
kalian juga ke selatan, kelak kita tentu masih banyak kesempatan untuk berjumpa
lagi." Siu Ngo girang: "Baik, kalau begitu kelak kita pasti berjumpa lagi. sekarang
silahkan kalau kalian hendak melanjutkan perjalanan."
Setelah minta diri, Gin Liong bertiga menuju kepintu selatan sekeluarnya dari
pintu kota itu. mereka tiba disebuah hutan kecil yang gelap. Sekeliling penjuru sunyi
senyap, Tetapi pada jarak belasan li disebelah muka tampak cahaya lampu
berkelipan. Tentulah sebuah rumah makan. Karena lapar mereka segera menuju ke
tempat itu. "Kita berhenti di rumah makan ini." kata Yok Lan setelah tiba di tempat itu.
Jongos cepat menyambut kuda mereka.
Atas pertanyaan Gin Liong jongos menerangkan bahwa kota ini adalah Lay-yang-
koan. Dua belas li disebelah selatannya adalah kota Lay-hok-tin.
Bertanya pula Gin Liong, apakah dalam beberapa hari ini pernah kedatangan
seorang li-hiap (pendekar wanita) yang mengenakan mantel merah.
"Tak pernah terdapat lihiap semacam itu yang lalu disini." menerangkan jongos.
Ternyata rumah makan itu juga sebuah rumah penginapan Gin Liong menempati
sebuah kamar dan Li Kun berdua dengan Yok Lan sebuah kamar. Selesai makan
malam, merekapun masuk kamar masing2.
Tengah tidur, tiba2 Gin Liong dikejutkan oleh kesiur angin halus dari kibaran
pakaian ia terkejut, cepat turun dari pembaringan terus membuka jendela dan
loncat kehalaman belakang lalu melayang keatas atap dan bersembunyi ditempat
gelap. Memandang kesekeliling penjuru, ia melihat sesosok bayangan kecil sedang
berlompatan ke atap deretan kamar disebelah muka, Gerak orang itu hampir tak
menimbulkan suara apa2. Gin Liong terkejut atas kelihayan ilmu ginkang orang
itu. ia duga, orang itu tentu mempunyai maksud tertentu.
Sejenak berhenti tiba2 bayangan itu lari kearah tempat Gin Liong bersembunyi.
Sudah tentu Gin Liong kaget, Buru2 ia menyurut kebalik talang.
Ah, ternyata bayangan itu bukan lain adalah rahib cantik Biau Biau siankho siang
tadi, seketika timbullah rasa muak dan geram dalam hati Gin Liong.
Sambil berdiri di atas tembok halaman,
Matanya memandang lekat2 pada pintu kamar. Ketika melihat pintu belum
bertutup, wajahnya berseri girang, Cepat ia melayang turun kehalaman dan sekali
loncat ia sudah berada dimuka pintu.
Rahib itu mengintip kedalam kamar, hendak masuk tapi ragu2. Tetapi akhirnya
masuk jugalah ia. Gin Liong pun cepat melayang turun kehalaman. Dari celah jendela ia mengintai
dan melihat Biau Biau sian-kho menghampiri tempat tidur. Wajahnya penuh
memancar hawa kecabulan Seketika Gin Liong tahu apa maksud rahib itu. ia hendak menghajar rahib itu
tetapi tiba2 ia teringat akan ikrarnya ketika di lembah gunung Hok-san, seketika hawa
pembunuhan, pun mengendap.
Tetapi ketika mendapatkan ranjang itu kosong Biau Biau sian-kho kecewa sekali,
wajahnya segera menampil kemarahan. Cepat ia keluar dan melayang keatas
rumah pada deretan kiri. Gin Liong tetap bersembunyi di balik talang.
Saat itu Biau Biau sian-kho menggunakan ilmu bergelantungan kaki dikaitkan pada
tiang penglari dan kepala menjulai kebawah untuk melihat keadaan dalam kamar
itu. Ternyata rahib cantik itu hendak mencari Gin Liong tetapi karena tak dapat
menemukannya terpaksa mengangkat tubuh keatas atap lagi. Ketika berpaling,
kejutnya bukan alang kepalang, pemuda yang dicarinya itu ternyata tegak
dibelakangnya. Memang tadi setelah melihat gerak gerik rahib itu, dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh, Gin Liong loncat dibelakang rahib itu.
Karena kejutnya, Biau Biau sian-kho menjerit dan menyurut mundur, Tetapi
alangkah kagetnya ketika kakinya menginjak angin, ia tahu kalau akan jatuh maka
cepat ia kebutkan lengan baju dan selekas menginjak tanah ia melayang lagi
keatas atap rumah sebelah barat lalu lari.
Saat itu Li Kun dan Yok Lan berhamburan loncat keatas wuwungan. Melihat Gin
Liong memandang kemuka dengan marah, kedua nona itupun memandang ke
muka juga. Dilihatnya Biau Biau sian-kho sudah melewati dua deret kamar dan
tengah melarikan diri ke arah barat.
Li Kun marah. Cepat ia loncat mengejar, Gin Liong dan Yok Lan terpaksa menyusul.
Tetapi melihat dirinya dikejar, Biau Biau sian-kho mempercepat larinya, Dalam
sekejab mata sudah tiba di luar kota.
"Liong koko, mengapa engkau tadi tak menghadang rahib itu?" seru Yok Lan
setengah heran melihat sikap Gin Liong.
"Tak leluasa bertempur dalam kota, lebih baik menghajarnya diluar kota." jawab
Gin Liong, ia terus pesatkan larinya mengejar rahib itu.
Tiba2 rahib itu berhenti, melengking dan taburkan kebutnya ke arah Li Kun yang
datang paling dulu, Li Kun mendengus dingin, ia membabatkan pedangnya kearah
kebut rahib itu. Melihat tadi Gin Liong tak turun tangan, Biau Biau Sian-kho mempunyai tafsiran
kalau pemuda ini takkan mencelakainya. Maka besarlah nyalinya, Berputar tubuh ia
menyelinap kebelakang Li Kun dan mengebut lengan nona itu.
Li Kun sudah terlanjur membenci setengah mati kepada rahib cabul itu, Dengan
tangkas ia segera gunakan jurus Heng-toan-kiang-ho atau Memotong-sungai-
bengawan, menabas pinggang Biau Biau sian-kho.
Rahib itu menggeliat mundur, kebutnya ditutukkan kemuka Li Kun, Kembali Li Kun
tertawa dingin, Sambil condongkan kepala kesamping lalu menusuk, cret . .
pakaian bagian bawah dari Biau Biau sian-kho rompal, Rahib itu menjerit kaget dan
menyurut mundur. Li Kun mengejar, pedangnya secepat kilat menabas batang leher Biau Biau sian-
kho. "Taci, jangan membunuhnya . ." teriak Gin Liong.
Li Kun terkejut, gerakannyapun agak lambat dan rahib itupun tundukkan kepala
menyurut mundur, Cret . . sanggul rambut rahib itu terpapas jatuh.
Serasa terbang semangat rahib itu, ia menjerit nyaring dan lari kearah utara,
Gin Liong, Yok Lan dan Li Kun tak mau mengejar.
"Biau Biau sian-kho, harap engkau dapat merobah kelakuan dan kembali kejalan
yang benar." seru Gin Liong.
Dari jauh kedengaran rahib itu berseru menjawab: "Hm, jangan kalian pura2
menjadi orang baik. Pada suatu hari aku tentu akan mencincang tubuh kalian".
Li Kun menggeram: "Rahib itu memang sudah gelap pikiran, Lain kali kalau bertemu
lagi, aku tak mau mengampuninya."
Saat itu sudah lewat tengah malam. Lonceng genta di kota berbunyi tiga kali,
Tiba2 dari arah barat laut terdengar derap kuda berlari cepat sekali dan tak berapa
lama samar2 tampak empat sosok bayangan hitam lari mendatangi.
"Tengah malam berkuda melintasi hutan, tentulah kawanan orang persilatan, Lebih
baik kita bersembunyi." kata Li Kun.
Ternyata keempat kuda itu memang sangat cepat sekali, Dalam beberapa kejab,
mereka sudah tiba pada jarak puluhan tombak.
Gin Liong memandang kesekeliling. Sepuluh tombak disekeliling tempat itu tiada
tempat untuk menyembunyikan diri. Selagi ia masih meragu, keempat penunggang
kuda itu sudah tampak, Untuk menyembunyikan diri jelas sudah tak keburu lagi.
Keempat ekor kuda itu tegar dan perkasa, berbulu hitam dan putih, Keempat
penunggangnya mengenakan pakaian ringkas kaum persilatan. Yang dimuka,
seorang tua berumur 50 tahun, pendek gemuk, muka brewok, mulut dan hidung
besar, tulang keningnya menonjol, pertanda seorang tokoh yang tinggi ilmu
lwekangnya. punggungnya menyanggul sepasang senjata poan-koan-pit, matanya
bersinar tajam sikapnya angkuh sekali. Dia tentulah pemimpin dari rombongannya.
Sedang yang tiga orang, mengenakan pakaian persilatan warna biru, rata2
berwajah bengis. Yang disebelah kiri, bertubuh kurus, muka kuning dan
menyanggul pedang. Yang disebelah kanan, bermuka hitam, brewok dan menyelip
sepasang kapak pada pinggangnya Sedang orang yang dibelakang, telinga kirinya
hilang, pinggang menyelip sebatang golok bian-to.
Secepat angin keempat penunggang kudi itu melewati tempat Gin Liong. Mereka
dapat pula untuk memandang Gin Liong bertiga.
Untuk menyingkir dari taburan debu, Gin Liong bertiga segera menyurut mundur
sampai dua tombak. Melihat itu ketiga penunggang kuda yang dibelakang tertawa
gelak. Li Kun marah, ia segera hendak mencabut pedang, Tetapi sesaat itu
terdengar lelaki bertelinga satu berseru.
"Yu thancu, menilik pakaiannya, seperti kawanan budak yang diceritakan orang
itu," katanya. Orang tua pendek gemuk yang berada di muka mendengus dan berpaling, hentikan


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda lalu berputar kembali.
Gin Liong jengkel, ia tak ingin terlibat urusan tetapi selalu dikejar-kejar
urusan saja. Sedang Li Kun diam2 gembira karena ia memang muak dengan keempat
penunggang kuda itu. Tring!, ia mencabut pedang.
Lebih kurang tujuh tombak jauhnya, keempat orang itu loncat turun dari kuda lalu
menghampiri ke tempat Gin Liong. Orang tua itu tak mengacuhkan Li Kun yang
sudah menghunus pedang, ia berjalan dengan dada membusung.
Yok Lan cepat menduga bahwa keempat orang itu tentu bukan orang baik. Sedang
Gin Liong tetap tegak dengan tenang, Hawa pembunuhan meluap, sesaat ia lupa
akan ikrarnya. Setelah dekat, orang tua pendek gemuk itu berseru: "Aku adalah thancu ketiga
dari perkumpulan Thian-leng-kauw, namaku Yu Ting Su bergelar Gun-se-poan-koan.
Menerima perintah kaucu, aku hendak mencari jejak orang tua pemilik kaca wasiat
yang konon berada dilembah gunung Hok-san. Menurut kabar2 yang tersiar di kota
Hoan-san-koan, kaca wasiat itu telah diberikan oleh seorang pemuda baju putih
yang membawa pedang, pemuda itu she Siau nama Gin Liong."
Sejenak berhenti untuk memandang wajah Gin Liong, orang tua pendek itu
bertanya: "Menilik pakaianmu tampaknya engkau mirip dengan pemuda itu, Benar atau tidak,
lekas engkau kasih tahu kepadaku Aku hendak lekas2 pulang melapor pada kaucu."
Gin Liong tak sabar lagi melihat sikap dan kata2 orang tua yang begitu congkak,
cepat ia menyahut: "Benar, memang akulah Siau Gin Liong."
Tiba2 lelaki yang bertelinga satu tertawa gelak2, serunya: Yu thancu, bukankah
pandanganku tepat" Mohon thancu memberi ijin kepadaku untuk menangkap
budak itu." Tanpa menunggu jawaban, dia terus melangkah maju dan mencabut golok bian-to
lalu ditaburkan menjadi segulung sinar perak yang menyilaukan mata.
"Tio Hiangcu, tunggu dulu," seru Yi Ting Su. "biarlah dia menyerahkan sendiri
pusaka itu agar kita jangan membuang waktu harus turun tangan."
Gin Liong marah sekali, ia tertawa nyaring: "Benar, kaca wasiat itu memang
berada padaku, jika kalian mampu, silahkan mengambil."
Berobahlah wajah Yu ling Su seketika.
"Budak yang tak tahu tingginya gunung Thay-san, Engkau berani bersikap kurang
adat di-adapanku !" Habis berkata ia terus memberi perintah kepada lelaki bertelinga satu untuk
menangkap Gin Liong. "Budak," seru lelaki bertelinga satu, "jika raja Akhirat memanggilmu tengah
malam, siapa yang berani menahan engkau sampai esok hari" Engkau cari mati sendiri,
jangan persalahkan aku Tio-toaya seorang ganas, Baiklah engkau serahkan saja
kaca wasiat itu agar jangan engkau menderita, heh, heh . . ."
"Kalian telah ditipu orang." seru Yok Lan, "cobalah kalian pikir, jika sekian
banyak jago2 silat ternama tak mampu memiliki kaca wasiat itu, bagaimana kita dapat
memperolehnya?" Lelaki bertelinga satu itu deliki mata.
"Tuanmu tiada waktu untuk adu lidah, lekas engkau menyingkir!" serunya. ia terus
membabatkan dengan golok.
Li Kun yang sejak tadi muak melihat tingkah laku keempat orang itu, segera
loncat menyongsong dan membentak: "Siapa sudi bicara dengan engkau, enyahlah."
Li Kun menutup katanya dengan taburkan pedang kesiku lengan lelaki bertelinga
satu itu, walaupun tahu permainan pedang nona itu lihay tetapi si lelaki
bertelinga satu tak menghiraukan. Dengan tertawa dingin ia menghindar lalu secepat kilat
membacok bahu Li Kun. Li Kun cepat merapat maju menusuk muka lawan, Lelaki bertelinga satu itu
menjerit kaget, ia tak menyangka si nona dapat bergerak begitu cepat serentak ia
menyurut mundur. Tetapi Li Kun sudah dirangsang kemarahan. Dengan tertawa
geram ia tetap memburu maju dan menabas.
33. Pedang hitam mulus "Aduh..." terdengar lelaki itu menjerit kesakitan karena telinganya sebelah
kanan terpapas jatuh, Dengan begitu ia tak mempunyai telinga sama sekali, Lelaki itu
kucurkan keringat dingin.
Setelah memapas daun telinga, Li Kun tak mau menyerang lagi, ia hanya tertawa
dingin. "Hm, kantong nasi yang tak berguna, masih berani cari perkara." serunya.
Wajah Yu Ting Su berobah seketika, setitik pun ia tak menyangka bahwa hanya satu
gebrak saja, Tio hiangcu sudah kehilangan daun telinga lagi.
Tiba2 kedua anak buahnya berteriak keras dan hendak maju menyerang. Tetapi
cepat Yu Ting Su mencegah: "Kembalilah, kalian."
Kedua orang itu terpaksa hentikan langkah dan mundur kembali.
"Kita hanya diperintah untuk menyelidiki jejak orang tua itu, bukan untuk
berkelahi. Tugas kita hanya melaporkan kepada kaucu, jangan engkau kotorkan
tangan berkelahi dengan kawanan budak tak ternama." serunya, ia terus berputar
tubuh dan mengajak ketiga kawannya menghampiri kuda.
Li Kun tertawa dingin: "Enak saja kalian ngomong, mengatakan pergi terus mau
angkat kaki begitu saja."
"Engkau mau apa?" tiba2 kedua lelaki berputar tubuh dan membentak.
"Sudah tentu meminta pertanggungan jawab kalian." seru Li Kun,
Yu Ting Su menengadahkan kepala dan tertawa nyaring: "Benar2 seorang budak
perempuan yang bermulut besar. Aku tak mau cari perkara, kalian malah cari mati.
Baik, akan kusuruh engkau tahu kelihayanku."
Segera ia menghampiri Li Kun.
"Baik, akulah yang akan mencoba sampai dimana kelihayanmu itu." seru Gin Liong.
Ilmu pedang Li Kun, Yu Ting Su sudah menyaksikan tapi ia belum tahu sampai
dimana kepandaian Gin Liong, Dengan deliki mata ia segera hantamkan kedua
tangannya kearah pemuda itu. segulung angin dahsyat yang mampu
menghancurkan batu, segera melanda Gin Liong.
Pemuda itu tertawa dingin lalu menghindar kesamping, menyelinap kebelakang Yu
Ting Su. Tetapi baru ia berdiri tegak, tiba2 lelaki yang bersenjata ruyung
segera hantamkan senjatanya ke kepala Gin Liong.
Gin Liong marah. Menghindar kesamping, dengan menggembor keras ia gunakan
jurus Liong-hok-song-hou atau Naga-mendekam-sepasang-harimau, ia hantamkan
kedua tangannya kedua orang yang menyerang itu.
Bum . . lelaki bersenjata ruyung, mengerang tertahan, ter-huyung2 beberapa
langkah lalu rubuh Lelaki bersenjata kapak menjerit kaget karena kapaknya
terlempar ke udara. Maju selangkah Gin Liong menyusuli dengan sebuah tamparan
kemuka lelaki itu, Orang itu menjerit ter-huyung2 dan muntahkan segumpal darah
segar. "Hai, budak, mengapa tak berani menyambut pukulanku?" teriak Yu Ting Su, ia
lontarkan sebuah hantaman dahsyat pula.
Gin Liong tertawa nyaring. Setelah menghimpun tenaga dalam kearah lengan, ia
segera menghantam. Bum! terdengar letupan keras disusul dengan hamburan debu dan percikan batu
yang bertebaran keempat penjuru.
Gin Liong tersurut dua langkah kebelakang, kedua bahunya tergetar, sedang Yu
Ting Su bergeliatan me-regang2 ketika tubuhnya terlempar kebelakang.
Bum!, tubuhnya yang kate dan gemuk itu terbanting ke tanah, jatuh terduduk.
Ketiga anak buahnya walaupun tahu, tetapi tak berani menolong. Mereka takut
kepada pukulan Gin Liong.
Wajah Yu Ting Su pucat, keringat dingin bercucuran, pejamkan mata dan berusaha
untuk mengambil pernapasan. Ketika mendapatkan tubuhnya tak menderita luka,
ia tercengang, Memandang kemuka dilihatnya Gin Liong masih tegak berdiri
dengan santai. Yu Ting Su penasaran, serentak ia loncat bangun dan lari menghantam Gin Liong:
"Aku akan mengadu jiwa dengan engkau!"
"Hm, kalau sudah bosan hidup, akan kuantarkan ke akhirat." Gin Liong geram
sekali melihat orang tua yang tak tahu diri itu. ia menghindar terus menyelinap
kebelakang Yu Ting Su. Tetapi rupanya Yu Ting Su sudah bersiap, cepat ia putar tubuh, menggembor keras
dan kakinya segera menyapu.
Gin Liong juga ingin menggunakan kaki, setelah menghindar dari kaki lawan, ia
mengirim tendangan yang tepat mengenai pantat orang. Tubuh pendek gemuk dari
Yu Ting Su seperti bola yang ditendang melambung ke udara. ia menjerit-jerit dan
meluncur ketempat ketiga kawannya. Ketiga orang itu terkejut lalu beramai-ramai
menyanggapi tubuh Yu Ting Su. Kemudian diletakkan di tanah.
Sambil mendekap pantat, Yu Ting Su meringis, pandang matanya serasa kabur,
kepala pening. Melihat tingkah laku si pendek gemuk itu, Yok Lan tertawa geli,
Sambil memandang kepada Gin Liong, Yu Ting Su berseru: "Budak, kali ini aku
mengaku kalah, Tetapi janganlah kalian bergirang dulu, Pada suatu hari kalian
tentu harus merasakan kelihayan dari partai Thian-leng-kau."
Gin Liong tertawa hambar.
"Jangankan hanya gerombolan tak ternama seperti Thian-leng-kau. sekalipun partai
persilatan besar yang manapun juga kalau tindakannya jahat, aku tentu akan
menggempurnya!" Yu Ting Su marah tetapi ia terpaksa menahan diri, serunya: "Apakah kalian berani
datang ke gunung Ke-kong-san?"
"Gunung sekecil Ke-kong-san, masakan kami takut. Hanya kalau aku kesana,
dikuatirkan kalian tentu tiada mempunyai batang kepala lagi."
Berhenti sejenak ia berseru dengan bengis: "Lekas kalian enyah, Paling lama
dalam waktu sebulan lagi, aku tentu akan datang ke Ke-kong-san untuk meminta batang
kepala yang kutitipkan diatas tubuhmu itu."
Hampir pecah dada Yu Ting Sun mendengar kata2 itu. Tubuhnya menggigil keras.
Tetapi ia tak dapat berbuat apa2, kecuali deliki mata lalu ngeluyur menghampiri
kuda dan terus kabur. "Mari kita kembali rumah penginapan lagi." kata Yok Lan.
"Dimanakah letak gunung Ke kong-san itu?" tanya Gin Liong.
Tetapi kedua nona itu mengatakan tak tahu.
"Baik, besok kita tanyakan pada jongos rumah penginapan," kata Gin Liong,
Merekapun segera pulang. Keesokan harinya, Gin Liong bertanya pada jongos tentang gunung Ke-kong-san.
Jongos itu gelagapan, rupanya dia juga tak tahu.
"Hai, siapakah yang bertanya tentang gunung Ke-kong-san itu?" tiba2 terdengar
suara orang berseru nyaring dari sebuah kamar.
Seorang lelaki berwajah merah, kepala besar dan mengenakan pakaian orang
persilatan warna hijau muncul dan tegak dengan sikap congkak diambang pintu
sebuah kamar. Tubuhnya kekar, tampaknya gagah perkasa.
"O, selamat pagi, toaya," kata jongos, "tuan inilah." ia menunjuk Gin Liong.
Setelah memandang Gin Liong beberapa saat, orang itu berkata: "Ke-kong-san
terletak di karesidenan Kong-ciu-koan propinsi Ho-lam, dengan naik kuda yang
tegar, setengah hari dapat mencapai gunung itu."
Habis berkata ia terus masuk lagi kekalam kamar.
"Terima kasih, toaya," seru si jongos, Kemudian ia minta Gin Liong kembali
kedalam kamar, ia hendak mempersiapkan kuda dan makanan pagi.
Sambil makan, Gin Liong menceritakan tentang orang lelaki tegar yang
memberitahu tentang letak gunung Ke-kong-san tadi.
Demikian telah selesai membayar rekening, Gin Liong bertiga segera keluar.
Ketiga ekor kudapun sudah siap. Ketika hendak pergi, Gin Liong bertanya kepada jongos
apakah dalam beberapa hari yang lalu, pernah melihat seorang wanita muda baju
merah yang tiba dikota sini.
"Ada!" seru jongos," bajunya merah, umurnya diantara 26-27 tahun . . ."
"Berapa lama?" cepat Gin Liong menukas, "Pagi tadi, Rupanya semalam dia
menginap dalam kota," kata jongos.
Mendengar itu girang Gin Liong bukan kepalang. Hampir ia tak percaya apa yang
didengarnya, Kalau malam ini tak berhasil, besok pagi tentu dapat juga menyusul
Liong-li locianpwe Pikirnya.
Ketika melanjutkan perjalanan, hari masih pagi sekali, Beberapa li jauhnya
disebuah muka, terdapat sebuah rumah. Samar2 mereka mendengar suara orang
membentak. Kemudian disusul dengan gelak tawa yang nyaring.
"Liong suko," kata Yok Lan, "rasanya dalam hutan itu terjadi pertempuran dari
dua tokoh yang berilmu tinggi, Lebih baik kita berjalan mengitari saja."
Gin Liong dan Li Kun setuju tetapi sekeliling tempat itu hanya daerah
persawahan. Kasihan kalau sampai merusakkan sawah2 petani.
Memandang kemuka, Gin Liong melihat dua sosok bayangan tengah berhantam
dahsyat. Tiba2 terdengar suara teriakan nyaring, Segulung asap tebal berhamburan
dari hutan itu dan kedua sosok tubuh itupun tercerai, terhuyung-huyung. Rupanya
keduanya habis beradu pukulan.
"Anjing, mengapa engkau terus menerus mengikuti perjalananku seperti seekor
lalat" Apa maksudmu?" seru sebuah suara.
Gin Liong terkejut ia serasa kenal dengan nada suara itu. Tetapi ia lupa.
Kembali terdengar suara orang itu tertawa keras.
"Tua bangka, engkau hendak mencari budak itu" Terus terang saja. tak semudah
itu, Kalau aku tak bisa mendapatkannya, jangan harap engkau pun
memperolehnya!" Orang itu tertawa pula. "Soal ini hanya kita berdua yang tahu. Agar rahasia itu jangan sampai ketahuan
lain orang, salah satu dari kita berdua harus mati."
"Anjing tua, mengapa engkau tak mau bunuh diri dulu?" bentak suara yang
melengking tajam penuh kemarahan.
Tiba2 suasana dalam hutan itu diam. Mungkin karena mendengar derap lari ketiga
ekor kuda Gin Liong dan kedua nona.
Saat itu ketiga pemuda itu hanya terpisah setengah li dari hutan. Tiba2
terdengar suara melengking tajam lagi: "Lekas hadang, yang datang tiga ekor kuda bagus!".
Dua sosok tubuh meluncur keluar dan hutan dan menghadang ditengah jalan.
"Hai kedua orang itu hendak merampas kuda kita." seru Yok Lan, Li Kun pun cepat
mencabut pedangnya. Kembali kedua orang itu saling berebut, "Tua bangka, engkau sudah memiliki
pedang pusaka Oh-kim-cek-bak-kiam. Kali ini akulah yang berhak mendapat pedang
mereka." Melihat kedua orang itu, Gin Liong mendengus geram: "Kedua manusia jahat itu
memang sukar diperbaiki kali ini tak dapat diberi ampun lagi."
Ternyata kedua orang yang mengghadang ditengah jalan itu seorang imam tua dan
seorang lelaki tua. Si imam berwajah monyet, mulut lancip, mata kecil,
mengenakan jubah biru, mencekal sebatang hudtim bahunya menyanggul sebatang
pedang. Sedang orang tua itu bermuka pesegi, alis gombyok, mata bundar, jenggot
bercampur uban, mengenakan pakaian biru langit.
Saat itu Li Kun dan Yok Lan sudah tiba pada jarak tujuh tombak dari kedua orang
itu, tetapi mereka tetap tak kenal, Tetapi Gin Liong dapat mengenali mereka
sebagai kepala dari pulau Cui-leng-to dan pertapa Long Ya cinjin, ia memberi
isyarat agar kedua nona berhenti.
Melihat Gin Liong, kedua orang itu terkesiap lalu tertawa gembira.
"Sungguh besar sekali rejeki kita, Menyusur ujung langit tak ketemu, tanpa
banyak membuang tenaga ternyata sudah datang sendiri, Rupanya Kaca wasiat itu
memang sudah ditakdirkan menjadi milikku." seru Long Ya cinjin. ia terus maju


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampiri Gin Liong. Yok Lan heran mengapa begitu melihat Gin Liong mereka terus tahu kalau Gin Liong
memiliki kaca wasiat itu.
"Tua bangka, berhenti." seru kepala pulau Cui-leng-to, "tahukah engkau betapa
hebat ilmu Meringankan-tubuh dari budak itu" Hati2, jangan sampai dia lolos
lagi, Lebih baik engkau terima usulku tadi. Lebih dulu kita berserikat untuk menangkap
budak itu lalu kita adu kesaktian lagi siapa yang berhak hidup dan siapa yang
pantas mati, untuk menentukan siapa yang harus memiliki benda pusaka itu."
Long Ya cinjin keluarkan mata dan hentikan langkah. Rupanya ia terpengaruh juga
atas ucapan kepala pulau Cui-leng-to.
Dengan masih naik kuda, Gin Liong muak terhadap kedua manusia itu, Percuma
saja ia hendak menasehati mereka, Lebih baik ditindak dengan kekerasan ia segera
ajukan kuda menuju ke tempat Long Ya cinjin.
Bukan takut kebalikannya Long Ya malah tertawa gembira karena ia mempunyai
kesempatan untuk merampas kaca wasiat dari Gin Liong. Kepala pulau Cui-leng-to
tahu isi hati Long Ya cinjin, ia segera berdiri dibelakang cinjin itu. Jika
dapat biarlah Long Ya bertempur dengan Gin Liong dulu, baru ia nanti turun tangan untuk
menyelesaikan mereka. Yok Lan segera mencabut pedang dan berdiri disamping Li Kun, Karena melihat
sikap Gin Liong yang begitu hati2, kedua nona itu menduga musuh tentu tokoh
yang berat. Kepala pulau Cui-leng-to hanya tahu bahwa Gin Liong hebat dalam ilmu ginkang.
Tetapi ia tak tahu sampai dimana kepandaian silat pemuda itu. Maka iapun tak
memandang mata terhadap Gin Liong.
Gin Liong tetap ajukan kudanya kemuka. Tiba2 Long Ya cinjin menggerakkan kedua
tangannya mendorong kearah Gin Liong. Segulung dingin pukulan yang dahsyat
segera melanda dada pemuda itu.
Gin Liong mendengus dingin, iapun segera songsongkan kedua tangannya kemuka,
sebuah gelombang angin pukulan yang dahsyat segera meluncur. Melihat itu
kepala pulau Cui-leng-lo terkejut cepat kebutkan lengan baju dan melayang
setombak kesamping. Bum!, terdengar letupan dahsyat, disusul dengan debu dan batu yang beterbangan
kesegenap penjuru, Long Ya cinjin dan Gin Liong sama2 terhuyung mundur sampai
tiga langkah. Secepat kilat kepala pulau Cui-leng-to segera melangkah mnju sambil
mengendapkan tubuh dan membentak: "Budak, sambutlah sebuah pukulanku lagi .
. ." Karena melihat Gin Liong yang baru berdiri tegak sudah dihamtam lagi, Yok Lan
dan Li Kun melengking kaget. Melihat itu Gin Liong marah sekali, bentaknya: "Apa susahnya menerima sepuluh
kali pukulanmu lagi!"
Ia gerakkan kedua tangan untuk melepaskan sebuah tamparan yang dahsyat,
Kembali terdengar letupan yang disertai dengan debu dan percikan batu yang
tebal. Kepala pulau Cui-leng-to terhuyung mundur sampai beberapa langkah, wajahnya
merah padam. Tetapi Gin Liong juga ter-huyung2 kebelakang, ia merasa tenaga pukulan kepala
pulau Cui-leng-to itu lebih hebat dari Long Ya cinjin.
"Terima sebuah lagi!", Gin Liong berteriak dan melangkah maju, Pada saat ia
hendak menghantam tiba2 ia dikejutkan oleh jerit teriakan keras. Ketika
berpaling dilihatnya Long Ya cinjin menerjang Yok Lan.
Rupanya hendak menjadikan nona itu sebagai sandera, Cepat Gin Liong tinggalkan
kepala pulau Cui-leng-to untuk menyerang Long Ya cinjin.
Long Ya cinjin tertawa dingin lalu enjot tubuh melayang beberapa tombak,
Rupanya ia bermaksud hendak memikat Gin Liong kelain tempat.
Tepat pada saat itu kepala pulau Cui-leng to menyelinap kebelakang Li Kun, terus
menerkam bahu nona itu. Yok Lan terkejut. Dengan melengking keras ia gunakan jurus Pek-coa-tho sin atau
Ular-putih menjulur lidah, menusukkan ujung pedangnya kesiku lengan kanan
kepala pulau itu. Tetapi kepala pulau Cui-leng-to tertawa dingin, tangan yang sedianya diterkamkan
ke bahu Li Kun secepat kilat diputar, dengan tiga buah jari tangan ia menjepit
batang pedang Yok Lan. Li Kun melengking seraya melangkah maju dan Yok Lan pun cepat menarik pulang
pedangnya, Gin Liong loncat menerjang pertapa itu, Long Ya cinjin tertawa
mengekeh dan menghindar. Walaupun Yok Lan cepat menarik pedang tetapi masih kalah cepat dengan kepala
pulau Cui-leng-to yang lebih dulu berhasil menjepit pedang nona itu lalu sekali
kerahkan tenaga, pedang Yok Lan pun putus jadi dua. Kemudian dengan tertawa
keras, ia taburkan ujung kutungan pedang kemuka Gin Liong.
Gin Liong mendengus geram, ia condongkan bahu kesamping, lontaran kutungan
pedang itu luput dan menghantam Long Ya cinjin yang berada dibelakang Gin
Liong. Saat itu Long Ya cinjin memang hendak menerkam bahu Gin Liong dari belakang,
Terkaman luput ia tak sempat memperhatikan lontaran pedang kepala pulau Cui-
leng-to. Untung ia masih dapat miringkan kepala sehingga hanya jenggotnya yang
terpapas habis, Ketika tangan merabah, ternyata dagunya juga berdarah ia marah
sekali. Saat itu Gin Liong sudah menyerbu kepala pulau Cui-leng-to sehingga orang itu
kelabakan dan memekik-mekik. ia menghantam kalang kabut sekuat tenaganya,
Gin Liong enjot tubuh melambung ke udara melampau kepala lawan. Pada saat
kepala pulau Cui-leng-to menengadah memandang ke atas. dengan suatu gerak
yang cepat dan tak terduga-duga. Gin Liong dapat menangkap kedua siku lengan
lawan. Kepala pulau Cui-leng to berontak sekuat-kuatnya.
"Enyah!" dengan meminjam tenaga dari kepala pulau Cui leng-to itu. Gin Liong
yang sudah turun ketanah segera mendorong sekuatnya.
Tubuh kepala pulau Cui-leng-to itupun seperti layang2 putus tali, terlempar ke
tempat Long Ya cinjin. Pertama karena ingin merebut sendiri kaca wasiat yang berada pada Gin Liong,
Kedua, karena marah jenggotnya ditabur kutungan pedang tadi, melihat kepala
pulau melayang ketempatnya Long Ya cinjin, diam2 mencabut pedang dan selekas
kepala pulau Cui leng-to tiba dihadapannya, ia segera menabas pinggangnya.
Terdengar jeritan ngeri, diiring dengan hamburan darah dan rubuhlah tubuh kepala
pulau Cui-leng-to. Karena terpapas kutung menjadi dua . . .
Sehabis menyelesaikan kepala pulau Cui-leng to, Long Ya cinjin tengadahkan
kepala tertawa nyaring. Nadanya penuh dengan kebanggaan dan keganasan yang menyeramkan.
Kumandangnya sampai jauh menyusup kelangit....
Yok Lan dan Li Kun tercengang. Karena tak menduga dan dilakukan cepat sekali Gin
Liong pun tak sempat lagi menolong kepala pulau Cui-leng-to.
Gin Liong marah melihat sikap dan tindakan Long Ya cinjin yang ganas dan
sombong. Cepat ia menggerung dan loncat menerjang.
Long Ya cinjin terkejut. Dengan menggembor keras ia membabatkan pedangnya
kearah Gin Liong. Anak muda itu terkejut juga, Cepat ia loncat kesamping sampai dua tombak,
sekalipun demikian mukanya terasa perih seperti tertusuk jarum karena dilanda
angin pedang lawan. Long Ya cinjin tertawa bangga, setelah menyelipkan hudtim kebelakang punggung,
ia terus menghampiri Gin Liong.
Gin Liong tak mau memberi hati lagi, Serentak iapun mencabut pedang Tanduk
Naga, seketika disekeliling tempat itu terbaur oleh cahaya merah.
Tanduk Naga, Oh-bak dan Pek-soang-kiam, tiga buah pedang pusaka serempak
muncul di tempat itu. Sesaat pedang Tanduk Naga keluar maka pedang Oh-bak-kiam atau pedang Hitam-
mulus yang dipegang Long Ya cinjin segera memancarkan dering yang melengking-
lengking. seketika berobahlah wajah Long Ya cinjin. ia mengenali pedang Tanduk
Naga itu sebagai pedang pusaka nomor satu dari suku Biau, Langkahnya pun
lambat dan matanya memandang lekat2 pada pedang Gin Liong.
Kini Gin Liong pun maju menyongsong Long Ya cinjin, ia anggap Long Ya itu
seorang manusia ganas yang wajib dilenyapkan.
Rupanya Long Ya cinjin hendak mendahului menyerang. Dengan jurus Liong-hi-
song-cia-tau Naga-bermain-sepasang-mutiara, pedang Oh-bak-kiam segera
ditaburkan menusuk kedua bahu Gin Liong.
Tetapi pemuda itu secepat kilat melancarkan jurus Heng-toan-kiang-ho atau
membabat-sungai-bengawan.
Long Ya cinjin terkejut, sambil mengendapkan tangannya yang hendak diserang
lawan, ia terus meluncur mundur sampai dua meter.
34. Taman Hiburan dewa-dewi Tetapi Gin Liong tak mau memberi kelonggaran lagi. Sret, sret, sret, ia maju dan
menabas tiga arah, alis, lutut kaki dan menusuk perut. Gerakan yang dahsyat dari
pedang Tanduk Naga itu diiring dengan deru angin yang keras.
Long Ya cinjin men-jerit2 seraya berlincahan menghindar kian kemari. Tetapi ia
tampak sibuk sekali dan terdesak mundur.
Setelah dapat menguasai lawan, Gin Liong memperkembangkan permainan
pedangnya makin gencar, Membabat, menusuk dan menabas. Gerak pedangnya
tak ubah seperti arus sungai yang mengalir tiada putus2nya.
Long Ya cinjin hanya mengandalkan kelincahan untuk bertahan diri,
kecongkakannya lenyap, tubuhnya mandi keringat.
Saat itu kaki Gin Liong kebetulan akan membentur mayat kepala pulau Cui-leng-to.
Dia harus berkisar kesamping, pada saat ia melakukan gerak mengitar itu,
pedangnya pun agak lambat.
Kesempatan itu tak di-sia2kan Long Ya cinjin, cepat ia lancarkan serangan. Sinar
pedang hitam bertaburan mengarah dada dan perut Gin Liong.
Keduanya sangat hati2 sekali kepada pedangnya, Maka mereka tak mau
membenturkan pedang dengan pedang lawan karena kuatir akan merusakkan
pedang pusakanya. Oleh karena itu maka Gin Liong pun terpaksa harus mundur.
Walaupun dalam ilmu pedang, Li Kun telah mendapat gemblengan dari Bong-san
loni tetapi ia belum pernah menyaksikan pertempuran pedang yang sedemikian
dahsyatnya, Diam2 ia mengakui bahwa ia masih kalah dengan Long Ya cinjin.
Sementara Yok Lan yang mengikuti jalannya pertempuran itu, hatinya gelisah
sekali sehingga tangannya berkeringat. ia sudah dapat mengetahui kelemahan dari ilmu
pedang Long Ya cinjin jika dilawan dengan ilmu pedang ajaran Huan Ho sian-tiang,
seharusnya tangan kanan Long Ya tadi sudah terpapas kutung, ia gelisah karena
saat itu ia tak mempunyai pedang.
Tiba2 terdengar Gin Liong memekik keras dan pedang Tanduk Naga menghindar
kesamping untuk sengaja membuka sebuah lubang kelemahan.
Sudah tentu Long Ya cinjin tak mau mensia-siakan kesempatan itu, bagaikan kilat
menyambar, pedang Oh-bak-kiam segera menusuk perut pemuda itu.
Gin Liong menggembor keras dan tahu2 pedang Tanduk Naga sudah tiba dileher
lawan, Gerak lingkaran pedang itu bukan olah2 cepatnya sehingga Long Ya cinjin
menjerit kaget dan meluncur mundur.
"Cret . . . ." secarik jubah yang terbuat dari sutera biru terbabat rompal,
serentak dengan jurus Sun-cui-hui-coh pula maka Gin Liong pun menusuk dada cinjin itu.
Kali ini Long Ya cinjin rasakan semangatnya benar2 seperti terbang. Dengan
memekik keras ia tabaskan pedangnya, Dalam keadaan terdesak seperti saat itu, ia
nekad hendak mengadu pedang.
Gin Liong tahu maksud orang, ia tertawa keras, mengendapkan pedang Tanduk
Naga dan sekonyong-konyong terdengarlah jerit Long Ya cinjin yang nyaring dan
ngeri. Sinar hitam dari pedang Oh-bak-kiam pun lenyap, pedang itu terlempar ke udara
karena tangan kanan Long Ya terbabat kutung.
Tetapi Gin Liong sudah terlanjur mengumbar kemarahan. Sekali pedang Tanduk
Naga berputar lagi maka batang kepala Long Ya cinjin pun terlepas dari tubuhnya,
dan darah merah yang menyembur keras.
Sambil mengawasi tubuh Long Ya cinjin yang masih berkelejotan, teringatlah Gin
Liong akan kata2 orang tua kurus di gunung Hok-san tempo hari.
"Dalam keadaan terpaksa membunuh orang, mungkin engkau tak dapat
menghindari lagi." "Adik Lan," tiba2 Li Kun berseru gembira, "engkau yang ambil pedang di tegalan
dan aku yang akan mengambil kerangkanya di tubuh imam jahat itu."
Yok Lan melesat ke tegal untuk menjemput pedang Oh-bak-kiam yang sudah
menancap hampir masuk semua ke dalam tanah.
Kemudian setelah Yok Lan kembali dengan membawa pedang itu, Li Kun pun sudah
siap dengan kerangkanya. Ketika dipadu dengan Tanduk Naga, ternyata pedang Oh-
bak-kiam itu hampir tak ada bedanya. Hanya kalau pedang Oh-bak-kiam itu
memancarkan sinar hitam, pedang Tanduk Naga bersinar merah.
Ketika memeriksa kerangka, ternyata kerangka pedang itu terdapat ukiran seekor
naga terbang yang ditabur dengan batu permata.
"Benda pusaka, senjata pusaka harus dimiliki orang yang berbudi jika pedang ini
jatuh ke tangan adik Lan, barulah mendapat pemilik yang sesuai." kata Li Kun
tertawa. Tetapi Yok Lan menolak, Kemudian sambil memandang ke mayat Long Ya cinjin, ia
berkata lebih lanjut: "Walaupun pedang ini hebat sekali tetapi aku tak suka
memakainya." Li Kun heran tetapi Gin Liong tertawa, serunya: "Jika adik Lan tak mau, kasih
saja padaku". Ia segera mengambil pedang dari Yok Lan dan kerangka dan Li Kun. Tetapi Li Kun
tak puas. "Engkau sudah punya pedang Tanduk Naga mengapa masih menginginkan Oh-bak-
kiam lagi?" serunya.
Gin Liong tertawa: "Sudah tentu pedang Tanduk Naga pemberian Liong-li
locianpwe itu dapat kuhaturkan kepada Lan-moay."
"Tidak, itu pemberian dari Liong-li locianpwe kepadamu." Yok Lan menolak.
"Tetapi engkoh Liong berhak juga memberikan kepadamu," kata Li Kun tertawa,
Tanpa berkata apa2 lagi ia terus menyambar pedang Tanduk Naga dari punggung
Gin Liong lalu hendak dicabutnya, Tetapi karena dicabut, kain pembalut kerangka
pedangpun ikut terbuka, Dan ketiga anak muda itupun terkejut.
Sejak menerima pedang Tanduk Naga, Gin Liong tak pernah memeriksa dan
disanggulkan dibelakang bahu, Kini baru ia mengetahui bahwa kain pembungkus
kerangka pedang itu ternyata bertabur lukisan burung cenderawasih dari batu
permata. "Ah. rupanya sudah kehendak Thian bahwa pedang ini harus menjadi milik adik
Lan." kata Li Kun gembira. ia mencabut pedang itu dan seketika memancarlah sinar
gilang gemilang yang menyilaukan mata, Samar2 pedang itu seperti mengulum
dering suara. "Aaah! kedua pedang ini memang dicipta berpasangan." akhirnya Li Kun menarik
kesimpulan. Merah wajah Yok Lan mendengar keterangan itu.
"Mungkin Cici Kun benar," kata Gin Liong, "baiklah kita nanti tanyakan kepada
Liong-li locianpwe, tetapi Liong-li locianpwe mengatakan bahwa pedang Tanduk
Naga itu merupakan pedang nomor satu dari daerah Biau...."
"Sudah tentu yang nomor satu," seru Li Kun, "karena kata2 Ci Hiong (betina-
jantan) itu, huruf Ci yang didepan, baru Hiong, Sejak dulu orang mengatakan Ci hiong-
kiam bukan Hiong-ci-kiam."
Gin Liong dan Yok Lan tertawa, Tiba2 Gin Liong berseru kaget: "Hujan!"
Mereka pun cepat naik kuda lagi dan terus mencongklang kedalam hutan, Hutan
itu gelap sekali, Tak berapa lama mereka dapat melintas keluar dari hutan itu.
Hujan pun mulai berkurang.
Mereka girang karena tak berapa jauh disebelah depan tampak sepercik sinar api.
Segera mereka menuju ke tempat itu, Ternyata percik sinar api itu berasal dari
lereng sebuah gunung karang, Dan mereka girang sekali setelah tiba ditempat itu,
mereka berhadapan dengan halaman sebuah rimba panjang pohon liu, akhirnya
mereka tiba di sebuah pintu besar bercat merah. Belum sempat apa-apa, hujan
mencurah keras lagi. Terpaksa mereka larikan kuda naik ke titian, menuduh
dibawah payon pintu. Ketika sepercik kilat memancar, mereka sempat membaca papan nama yang


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergantung diatas pintu, seketika ketiga anak muda itu terkejut sampai menyurut
mundur setengah langkah. Empat buah huruf besar warna merah yang tertera pada papan nama itu berbunyi:
Sian Ki Lok Wan atau Taman hiburan dari dewa dewi.
Ditengah huruf2 itu tertancap empat batang badik yang berkilau-kilauan, Ketiga
ekor kuda itu pun terus menerus mendesus tak tenang. Juga ketiga anak muda itu
tak tenteram perasaannya.
"Liong koko," seru Yok Lan pelahan," lebih baik kita lekas lanjutkan perjalanan
lagi. Tempat ini mungkin apa yang disebut dunia persilatan sebagai Liu-to-hun jiu...."
Liu to-hun-jiu artinya meninggalkan golok hendak membalas dendam.
Pembunuhan dalam dunia persilatan, kebanyakan dilakukan secara menggelap,
Masing2 fihak sering membasmi juga orang yang mengetahui rahasia dirinya. Kita
tak boleh berada disini, agar jangan terlibat. Menilik gelagatnya, orang yang
mencari permusuhan itu tak sedikit jumlahnya." kata Li Kun.
Sambil memandang tulisan di papan itu ia menyatakan pula. "walaupun kita tak
takut tetapi tiada gunanya kita harus terlibat urusan mereka, Apalagi kita harus
lekas2 mengejar jejak Liong-li locianpwe."
"Tetapi hujan lebat sekali, bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan?" jawab
Gin Liong. Kedua gadis itupun terdiam. Memang hujan lebat sekali, sukar untuk melakukan
perjalanan. Sambil memandang ke papan nama, berkatalah Gin Liong: "Rupanya
orang yang hendak mencari permusuhan itu sudah pergi dan meninggalkan badik
pada papan nama." Baru berkata begitu, dari atas loteng pintu besar itu berhamburan angin berbau
anyir (amis). Gin Liong terkejut dan menanyakan kedua nona apakah juga mencium bau darah.
Kedua itu mengangguk, Ketiganya segera menarik kesimpulan bahwa pemilik
bangunan itu tentu bukan. juga mereka melihat sepasang thong-hoan (gelang
baja). "Kemungkinan besar orang yang mencari balas itu apakah sudah berhasil." kata Gin
Liong. Tetapi kecuali kilat yang menyambar, disekeliling penjuru itu sunyi senyap,
Tiba2 Li Kun berteriak: "Lihatlah !"
Menurutkan arah yang ditunjuk nona itu. Gin Liong dan Yok Lan melihat di ujung
pintu terdapat sebuah benda dan ketika mereka menghampiri ternyata benda itu
sebuah tangan manusia yang kutung dan masih bercucuran darah.
Mereka anggap kesimpulan Gin Liong tadi benar, orang yang menuntut batas itu
tentu sudah berhasil dan pergi.
Mereka segera memasuki pintu itu. Ternyata merupakan sebuah lorong panjang
menuju kelereng gunung, sebelah kiri dari lorong itu merupakan sebuah taman
bunga yang merentang sampai ke gunung, Di tengah taman bunga dihias dengan
gunung2an, pagoda dan cemara kate.
Saat itu hujan sudah berhenti dan Yok Lan segera mengajak melanjutkan
perjalanan lagi, Tetapi saat itu Gin Liong sudah loncat ke sebuah tikungan kiri.
Li Kun dan Yok Lan melihat disebelah muka menggeletak sesosok tubuh manusia
tanpa kepala. Keduanya terpaksa menghampiri ketempat Gin Liong, Kepala orang
itu terhampar di luar lorong, ditimpah air hujan, Di pagoda kecil di tengah
taman itupun seperti terbaring dua sosok mayat, Ke tiga anak muda itu segera
menghampiri. Ternyata kedua mayat itu dari dua orang gadis yang dadanya
berlubang menganga lebar, mengerikan sekali.
"Pembunuhnya benar2 seorang manusia ganas. Bahkan dua orang gadis yang
lemah, pun dijagal begitu kejam." kata Gin Liong.
"Jika begitu jelas kita takkan menemukan manusia yang hidup ditempat ini." kata
Yok Lan. "Begitulah tingkah orang persilatan. Untuk membasmi saksi hidup mereka tentu
mencabut sampai ke akarnya." kata Li Kun.
"Kita masuk kedalam bangunan ini, mungkin masih terdapat korban yang dapat kita
tolong." kata Gin Liong terus hendak loncat keluar dari pagoda kecil itu, tetapi
tiba2 beberapa percik sinar penerangan di lereng gunung itu padam semua sehingga
suasana gelap sekali, "Cepat, penjahat itu tentu masih berada digunung." seru Gin Liong terus lari
menuju ke lereng, Kedua nona itupun mengikutinya.
Dalam beberapa kejap mereka sudah tiba ditengah lereng. Mereka tak berani
langsung menyerbu melainkan bersembunyi dimuka sebuah gunungan palsu.
Disebelah muka tampak sebuah ruang besar dimuka ruang terbentang sebuah
panggung yang lebar dan berbentuk persegi, di atas panggung dikelilingi oleh
pagar batu dan bertingkat sampai belasan titian, Titian panggung itu menuju kesebuah
pintu besar mencapai ruang besar.
Dimuka ruang besar itu penuh di hias dengan lentera model keraton yang ber-
goncang2 tertiup angin. Ruang gelap gelita, hanya tampak bayang2 lentera itu,
Karena letaknya tinggi, Gin Liong bertiga tak dapat melihat keadaan ruang itu.
Gin Liong menjemput sekeping batu kecil lalu dilontarkan ke arah ruang besar,
Bluk!, batu itu jatuh ke tubuh manusia atau mungkin pada lembar kulit tebal.
Setelah tak ada reaksi apa2, Gin Liong melesat kemuka panggung, serentak
hidungnya terbaur bau anyir dari darah manusia yang berasal dari ruang diatas.
Mereka bertiga segera mendaki naik ke arah pintu, Gin Liong siap dengan pedang
Oh-bak-kiam, Demikian pula dengan Li Kun dan Yok Lan.
Ketiga pedang pusaka itu memancarkan sinar berkilat yang menerangi sekitar
tempat itu. Tetapi serempak itu Li Kun dan Yok Lan menjerit dan mundur dua
langkah, Ternyata ruang besar itu penuh dengan tumpukan mayat. Darah mengalir
sampai keluar ruang. Gemetar tubuh Gin Liong karena marah menyaksikan pembunuhan terkutuk itu.
Ternyata mayat2 itu terdiri dari gadis2 berpakaian indah. Hanya terdapat empat
lima orang lelaki yang mengenakan baju bersulam benang emas, Korban2 itu
kebanyakan dada dan perutnya berhamburan dan yang lelaki tangan dan kepalanya
hilang. "Ah, tak kira didunia terdapat manusia yang begini kejamnya," Gin Liong
menggeram, ia terus melangkah masuk kedalam ruang, Yok Lan dan Li Kun
melindungi dibelakangnya, Mereka teruskan masuk ke dalam dan mendorong pintu
tengah. Tetapi tak melihat barang seorang manusiapun juga.
Yok Lan mendapat akal, ia menyulut sebuah lentera ternyata minyaknya habis.
Tiba2 mereka mendengar tebaran pakaian didera angin, Setelah diperhatikan,
ternyata bunyi itu berasal dari seorang yang memiliki ilmu ginkang hebat tengah
lari keatas gunung, Menilik suaranya tentu bukan hanya seorang saja, Entah siapa
pendatang itu, lebih baik bersembunyi dulu, Mereka bertiga segera bersembunyi
dibalik pintu tengah. Tetapi pada lain saat Gin Liong merasa, pendatang itu tentu akan curiga dan
tentu akan mudah mengetahui persembunyiannya. ia hendak mendorong Yok Lan keluar
tetapi terlambat, Kawanan pendatang itu benar2 cepat sekali, Mereka sudah
memasuki ruang, Terpaksa Gin Liong batalkan maksudnya.
Beberapa saat kemudian tiba2 terdengar jeritan seorang gadis, Ternyata dalam
rombongan pendatang itu terdapat juga seorang anak perempuan yang tentu ngeri
melihat pemandangan dalam ruang itu.
Yang datang ternyata tiga orang, Terdengar mereka ber-bisik2 merundingkan
rencana, Gin Liong hanya dapat menangkap pembicaraan mereka ter-putus2.
Seorang bersuara kering kedengaran berbisik: . . jangan kuatir . . kepandaian
tinggi , . benda itu . . bukan tandingan .."
Seorang bernada dingin rupanya penasaran: " . . apabila . . dan tak siap . ."
Gadis tadi menangis terisak-isak.
Orang bersuara parau seperti menghibur: " , . . . jangan menangis . . . mereka .
. . tidak disi-ni. atau . . . kelain tempat. . ."
Orang yang bersuara dingin tadi berkata: " . . . . ke lain .. .
menyelidiki . . . dapat. . .
bertemu mereka." Tetapi gadis itu rupanya bertabiat keras kepala, ia menangis: "Tidak, aku
akan .. . . melihat... tadi . . . , ada lentera..."
Pembicaraan mereka terhenti dan suasana diluar ruang pun sunyi lagi.
Tuk, tuk, tuk . . . terdengar tongkat besi mendebur lantai disertai derap
langkah kaki orang, Mereka memasuki ruang,
"Korek!" kata orang yang bersuara dingin, Pada lain saat ruang itupun terang
benderang, Terdengar orang bersuara parau menghela napas.
"Hm, Golok-terhang Ui It Liong benar2 berhati buas sekali?" serunya.
Gin Liong terkejut, Rasanya ia pernah kenal dengan nada suara orang itu, ia
hendak menyiak tubuh Yok Lan untuk melongok keluar, Tetapi saat itu ruang terdebur
tongkat dan langkah kakipun berderap-derap kian kemari.
"Budak perempuan, mana budak laki itu?" seru orang yang bersuara dingin.
Kini tak sangsi lagi Gin Liong siapa orang itu, cepat ia berseru: "Apakah diluar
itu bukan Ik locianpwe berdua ?"
Terdenggar suara orang tertawa gelak2. Dia bukan lain adalah Kaki-tunggal-
bertongkat-besi Ik Bu It yang menggetarkan wilayah Lu-lam.
"Bagus budak, mengapa engkau tak keluar dari tempat persembunyianmu" Budak
perempuan kami selalu ribut memikirkan dirimu kalau sampai dimakan oleh
siluman2 ruba disini!" seru isterinya atau nenek Ban yang berlengan satu.
Gin Liong tertawa lalu keluar bersama Yok Lan. Li Kun juga ikut keluar, Melihat
Gin Liong bertiga, gadis yang menangis atau Siu Ngo segera tertawa. Ketiga nona itu
saling berpelukan girang.
Gin Liong perkenalkan Yok Lan dan Li Kun kepada kedua suami isteri Ik Bu It.
Setelah kedua nona itu memberi hormat, Ik Bu It mengatakan bahwa mereka
segera akan melanjutkan perjalanan lagi.
"Diantara tumpukan korban2 ini tak terdapat siluman rase itu, mungkin dia masih
dapat lolos atau masih belum pulang dari pengembaraannya," kata nenek Ban, ia
terus melangkah keluar Atas pertanyaan Gin Liong, Ik Bu It mengatakan: "Melintasi gunung karang, tujuh
delapan li lagi kami akan tiba di tempat itu."
"Ih, apa engkau hendak mengunjungi rumah Li Ka Tun atau Li jenggot itu?" seru
nenek Ban. Ik Bu It mengiakan. Kemudian ia mengajak ketiga anak muda itu,
"Siau sauhiap, kalian naik kuda dan tunggu kami di jalan besar, Kuda kami berada
di kuil bawah gunung, Kami akan mengambilnya dulu." kata Ik Bu It. la, isteri dan
anaknya segera lari menuju ke kaki gunung.
Demikian setelah bertemu di jalan besar lagi, mereka segera bersama-sama
melanjutkan perjalanan. Kuda Ik Bu It dilarikan sepesat angin. Melihat itu nenek
Ban berkata kepada Gin Liong: "Budak, aku hendak menguji sampai dimana tenaga
kudamu!" Nenek itu dan Siu Ngo segera menconglangkan kudanya, Gin Liong tersenyum lalu
jalankan kudanya juga diikuti Yok Lan dan Li Kun.
Nenek Ban tertawa gembira, Tetapi alangkah kejutnya ketika berpaling kebelakang
ia melihat kuda Gin Liong sudah berada tiga tombaK dibelakangnya.
Nenek itu menggeram. ia memacu kudanya makin cepat, Kuda suaminya, dilaluinya
juga, Siu Ngo tertinggal dibelakang.
Yok Lan dan Lii Kun tertawa mhelihat nenek Ban masih beradat seperti orang muda
yang ingin menang. Gin Liong saat itupun sudah menyusul Siu Ngo tetapi karena ia sungkan melampaui
Ik Bu It, terpaksa ia lambatkan kudanya.
Ik Bu It mendongkol karena dilampaui isterinya.
"Hai, perempuan tua. engkau gila" Hati-hati kusambar pinggangmu!" serunya,
Tar, ia terus mencambuk kudanya, Bagai anak panah dilepas dari busur, kuda Ik Bu
It segera meluncur kearah kuda nenek Ban.
Enam ekor kuda tegar seolah berlomba dan dalam beberapa kejab saja mereka
sudah beberapa li jauhnya dari gunung karang itu, Beberapa li disebelah muka
samar2 tampak sebuah perkampungan. Tetapi kakek ik Bu It masih ngotot
melarikan kudanya. Dan belum satu li, ia sudah dapat menyusul kuda istennya.
Ketika berpaling dan melihat Gin Liong masih dibelakang ia tertawa.
Mereka segera memasuki perkampungan itu.
"Kepala desa disini sahabatku lama, Seorang yang jujur dan suka blak-blakan,
Karena memiliki jenggot lebat orang menggelarinya sebagai Li Jenggot-terbang . .
." Saat itu mereka tiba dimuka pintu, Nenek Ban pesan supaya Gin Liong bertiga
menunggu diluar pintu, habis berkata nenek itu terus menghampiri pintu dan
mendebur dengan tongkatnya.
"Hai, kalau masuk semua saja masuk, jangan engkau seorang diri saja," seru Ik Bu
It seraya turun dari kuda. Siu Ngo pun mengikuti.
Begitu pintu didebur, terdengarlah suara sahutan seorang pemuda.
"Lekas keluar menyambut kuda kami!" bentak nenek Ban seraya menyerang
dengan tongkatnya. Rupanya pemuda baju hitam sudah tahu siapa yang datang. Sambil menghindar ia
berseru girang: "Ah, kiranya Ik toama . . ."
Tetapi nenek Ban sudah menyapukan tongkatnya ke perut sehingga pemuda itu
terkejut dan loncat mundur lagi.
"Li Cun koko, lekas turut perintah mamah, bawalah kuda kesamping gedungmu!"
teriak Siu Ngo kepada pemuda baju hitam itu,
Melihat dara itu, gembira sekali pemuda baju hitam itu, Dari dalam ruang
memancar sinar lampu dan serentak terdengar seorang nenek yang kuat nadanya:
"Apakah Ban lomoay yang datang" hayo. lekas keluar!"
Pintu terbuka dan seorang lelaki tua berjanggut lebat dan seorang nenek muncul
keluar. Kakek itu bermata bundar, wajah hitam dan mengenakan pakaian warna hitam
sehingga tampak menyeramkan, sedang si nenek bertubuh kurus rambut agak
kusut. Ik Bu It dan nenek Ban serempak tertawa gelak2: "Malam ini akan kuperkenalkan
tiga tetamu kepada kalian."
Demikian Gin Liong dan kedua nona, diperkenalkan kepada tuan rumah, Tuan
rumah mengajak tetamunya masuk kedalam. Setelah duduk, maka si Jenggot-
terbang Ki Heng bertanya:
"Tok gan lote, mengapa pada saat begini engkau baru datang kemari" Apakah
terjadi sesuatu ditengah jalan?"
Ik Bu It tertawa: "Karena aku hendak memberi tahu tentang suatu peristiwa yang
mengejutkan kepadamu."
"Istana Sian-ki wan di gunung karang itu telah dibasmi oleh Golok-terbang Ui It
Liong, apakah tidak mengejutkan?" seru nenek Ban.
"Benarkah itu?" suami isteri Li Heng terkejut.
Gin Liong segera menuturkan peristiwa yang dilihatnya dalam Sian-ki-wan itu. Li
Heng menghela napas: "Ah, Golok-terbang Ui It Liong memang terlalu ganas
sekali." Tiba2 pemuda baju hitam tadi muncul, Nenek Ban segera memperkenalkan
pemuda itu kepada Gin Liong bertiga.
Sejenak memandang pemuda baju hitam. nenek Li segera berkata dengan hati
longgar: "setelah Hian-ki-wan diobrak-abrik, Ah Cun pun tak perlu bersembunyi
dalam rumah lagi." Gin Liong heran, ia hendak bertanya tetapi nenek Ban sudah mendahului tertawa,
serunya, "Jangan bergirang dulu kalian ini. sekalipun sarangnya diobrak-abrik,
tetapi siluman rase itu masih hidup."
"Siapakah yang Ban locianpwe sebut sebagai siluman rase itu?" Gin Liong
bertanya. "Budak, apakah engkau benar2 tak tahu?" nenek Ban balas bertanya.
"Siau siauhiap," seru kakek Ik Bu It, "apakah engkau tak tahu bahwa ditiga
wilayah Ik, Lu dan Wan (propinsi Holam-Hopak, Shoatang, An-hwe) telah muncul tiga
mahluk indah?" Gin Liong mengatakan bahwa dia baru saja turun gunung tak tahu pengalaman
apa2. "Ketiga mahluk cantik itu, yang satu adalah Dewi Bayangan, yang seorang Biau
Biau sian-kho dan yang ketiga ialah kepala dari Sian-ki-wan yakni Ceng Jun sian-
ki . . .."

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

35. Langkah ajaib istana ungu Melihat wajah Gin Liong agak berkerut, Ik Bu It bertanya: "Eh, apakah Siau-
siauhiap sudah pernah berjumpa dengan Ceng Jun sianki?"
Merah muka Gin Liong, serunya: "Tidak, tetapi pernah bertemu dengan Dewi
Bayangan dan Biau Biau siankho . . ."
"Eh, budak, kalau melihat wajahmu merah, mungkin engkau pernah menderita
sesuatu dari siluman-siluman rase itu," seru nenek Ban.
Teringat akan peristiwa Dewi Bayangan, seketika meluaplah kemarahan Gin Liong
sehingga hawa pembunuhan menampil pada wajahnya. Suami isteri Li Heng
terkejut dan diam2 memuji anak muda itu benar2 memiliki ilmu tenaga dalam yang
hebat. Melihat sikap Gin Liong, nenek Ban pun terkejut dan tak berani bertanya lebih
lanjut. "Siau siauhiap, dimanakah engkau berjumpah dengan Dewi Bayangan dan Biau
Biau sian-kho?" tanya kakek Ik Bu It.
Gin Liong menyadari kalau ia terlanjur tak dapat menekan emosi, maka buru2 ia
menenangkan perasaannya dan berkata: "Ketika bermalam di rumah Suma Tiong
tayhiap, aku pernah bertemu dengan Dewi Bayangan. Karena tak tahu bahwa
wanita itu banyak dosanya, maka telah kubiarkan lolos, Dan ketika di biara Ki-
he- kwan telah bertemu dengan Biau Biau siankho. . . ."
Li Heng menghela napas. "Ilmu Bi-jin-sut (make up atau berhias) dari Biau Biau siankho memang lihay
sekali. lebih lihay dan ilmu Loan-sin biang (harum pemabuk semangat) dari Ceng Jun
sianki dan Bi-lim-poh (sapu tangan pengikat jiwa) dari Dewi Bayangan, Entah berapa
banyak jago2 silat yang telan terpikat oleh wanita itu sehingga hancur namanya."
"Rasanya mereka tak perlu disayangkan," kata nyonya Li Heng, "walaupun Biau
Biau siankho memang lihay, tetapi asal hatimu lurus dan bersih, ilmu Bi-jin-
sutnya tentu tak mempan." Li Heng dan Ik Bu It mempunyai kelemahan yang sama. Keduanya takut isteri.
Nenek Ban juga ikut bicara: "Biau Biau siankho ibarat tukang pancing ikan. Siapa
yang mau dipancing, itu salahnya sendiri."
"Tetapi sampai dimanakah kelihayan dari bau wangi Loan-sin-hiang itu?" tanya Gin
Liong. Sebelum Ik Bu It menyahut, Li Heng sudah mendahului memberi keterangan: "Jika
kelak Siau siauhiap bertempur dengan Ceng Jun sianki, jangan sampai siauhiap
kalah angin kalau tidak apa bila terkena racun dari Loan-sin-hiang itu, tentulah
. . ." "Tentu bagaimana?" desak Gin Liong.
"Kesadaran pikiranmu tentu limbung dan terus mengikuti dia, pasrah diri akan
diapakan saja olehnya", kata Ik Bu It tertawa gelak2.
Gin Liong teringat akan sapu tangan dari Dewi Bayangan yang membangkitkan
rangsang nafsu, iapun segera berkata: "Jika berhadapan dengan Ceng Jun sianki,
kita harus menutup pernapasan."
Li Heng dan Ik Bu It tertawa gelak2.
"Loan-sin-hiang dari Ceng Jun sianki itu tak mengeluarkan suatu bau apa dan tak
berwarna, ia melancarkan serangan dikala engkau lengah. Asal dia berada di atas
angin atau memikat engkau dengan pembicaraan dan senyuman, tanpa engkau
sadari, dia telah melancarkan serangan Loan-sin-hiang." kata Li Heng.
"Dengan begitu Loan-sin-hiang dari wanita siluman itu merupakan senjata yang
tiada tandingnya di dunia persilatan?" tanya Li Kun.
"Loan-sin-biang itu memang aneh, terhadap kaum wanita tidak dapat
mengeluarkan khasiat, terhadap orang tua yang sudah berumur tujuh puluhan
tahun pun tak mempan. "Jika demikian, mengapa para cianpwe tidak bersatu untuk membasmi kawanan
siluman itu?" tanya Yok Lan.
"Ah, nona Yok Lan belum tahu," sahut nenek Ban, "ketiga siluman itu selain
memiliki senjata lihay juga berkepandaian tinggi sekali, Jago2 silat biasa tentu
sukar mengalahkannya, paling banyak hanya dapat melayani sampai sepuluh jurus saja."
Sejenak melirik pada Li Kun, berkata pula nenek itu: "Bukan aku menjunjung-
junjung siluman itu tetapi apabila nona berdua bertemu mereka, baiklah
menghindari supaya jangan sampai bertempur dengan mereka saja."
Tahu bahwa nenek itu memang bersungguh hati memberi nasihat, Yok Lan pun
menghaturkan terima kasih, Tetapi Li Kun yang berhati tinggi, wajahnya pucat dan
tubuh menggigil karena menahan kemarahan.
"Lo-moay." seru nenek li dengan cepat, "kalau engkau mengatakan siluman rase itu
lihay sekali, mengapa kalian bersama rombongan, Siau siauhiap berani memasuki
sarangnya di Siang-ki wan?"
Kemudian menunjuk pada Ik Bu It, ia berseru pula dengan tertawa: "Apakah
engkau tak takut milikmu yang tua akan hilang, bukankah Tok-gan belum tujuh
puluh tahun umurnya?"
Terdengar orang tertawa gelak2.
"Kita hanya menguatirkan Siau-sihiap kalau sampai dicelakai siluman rase itu,
barulah kami bergegas-gegas menyusulnya."
"O, kalian tidak bersama-sama Siau siauhiap?" tanya nyonya Li Heng.
Gin Liong lalu menuturkan pengalamannya, Tiba2 ia hentikan penuturannya dan
memberi isyarat agar sekalian orang diam.
Saat itu terdengar sebuah suitan panjang yang berasal dari tempat sejauh tujuh
delapan li. Rupanya kumandang suara suitan itu pelahan-lahan menuju ke rumah
kediaman Li Heng. Li Heng segera memadamkan lampu, loncat keluar dan terus melambung ke atas
rumah. Gin Liong dan sekalian orang pun segera menyusul tindakan tuan rumah.
Gin Liong melihat wajah suami isteri Li Heng tegang sekali demikian pula Ik Bu
It dan nenek Ban. Dan suitan itu terus menerus berkumandang di angkasa,
menghampiri ke tempat kediaman Li Heng.
Tiba2 Gin Liong berkata kepada pemuda baju hitam: "Saudara Li, dimanakah kuda
kami" Harap saudara bawa kemari."
Sekalian orang terkejut dan memandang Gin Liong, Pemuda itu menjelaskan: "Yang
datang itu tentulah orang2 dari Sian-ki-wan yang setelah tahu sarangnya dibasmi
habis2an, mereka lalu mengejar kemari, Kita harus menyongsong diluar
perkampungan agar jangan melibatkan Li locianpwe."
Sekalian orang menyetujui dan nenek Ban pun segera memerintahkan pemuda
baju hitam untuk lekas2 mengeluarkan kuda mereka, Bahkan Gin Li-ong, Yok Lan
dan Li Kun segera mengikuti pemuda baju hitam itu untuk mengambil kuda. Ik Bu It
dan Siu Ngo juga menyusul.
Begitu tiba dikandang kuda, nenek Ban sudah mencongklangkan kudanya
menerobos dari rumah belakang. Kemudian Ik Bu It dan Siu Ngo. Gin Liong bertiga
cepat loncat ke kuda masing2 dan melarikan menyusul kedua suami isteri Ik Bu It.
Ketika Gin Liong bertiga tiba diluar desa tampak nenek Ban sudah turun dari
kudanya dan tegak berdiri dibawah sebatang pohon, Ik Bu It pun menambatkan
kuda berdiri di dekat isterinya, sedang Siu Ngo tegak disamping ayahnya.
Saat itu suara suitan sudah berhenti. Pada saat Gin Liong bertiga pun sudah
loncat dari kudanya dan menghampiri mereka, Kini mereka berdelapan tegak menunggu
kedatangan orang yang bersuit itu dengan penuh pertanyaan, lawankah atau
kawan. Pada saat itu segera terdengar kibaran pakaian dideru angin, Nenek Ban serentak
bersiap dengan tongkat kepala burung hong.
Ternyata yang datang itu hanyalah Li Heng dan isteri serta puteranya. Mereka
segera bertanya apakah musuh sudah datang.
"Belum," sahut Ik Bu It, "nanti apabila terjadi pertempuran harap saudara Li
berdua dengan putera bersembunyi di tempat gelap."
Tetapi sampai beberapa saat suasana masih tetap sunyi, Yang terdengar hanya
lolong kawanan anjing diperkampungan.
"Oh, mungkin karena takut kepadamu, mereka tak jadi datang kemari," nyonya Li
Heng berseru dan tertawa kepada nenek Ban.
Li Heng pun mengatakan bahwa karena hari sudah hampir terang tanah, lebih baik
mereka kembali ke rumahnya untuk makan pagi. Tetapi Gin Liong dan kedua nona
menolak karena hendak melanjutkan perjalanan. Juga Ik Bu It mengatakan
memang Gin Liong mempunyai urusan penting yang harus segera diselesaikan.
"Hendak kemanakah Siau siauhiap ini?" tanya Li Heng,
"Untuk membalas dendam kematian suhuku, aku hendak memburu jejak
seseorang, maka sukar untuk menentukan arah yang hendak kutuju." Gin Liong
memberi keterangan Dan Li Heng pun dapat mengerti
"Nona Yok Lan, kalian hendak menempuh jalan mana saja?" tanya nenek Ban
kepada Yok Lan. "Lebih dulu ke Ciau-koan lalu ke gunung Cin-san, setelah itu baru menentukan
arah yang akan kita tempuh," sahut Yok Lan.
"Jika begitu kita seperjalanan. Kami juga pulang ke Thay-san." seru Siu Ngo
gembira. Yok Lan tak keberatan. Demikian mereka berenam segera berangkat Pada waktu
terang tanah, mereka melihat sebuah kota di sebelah depan, kira2 hanya beberapa
li jauhnya. Ik Bu It menerangkan bahwa mereka lebih dulu akan melintasi sebuah sungai,
Setelah menyeberang sungai, baru kita nanti berhenti makan.
Gin Liong walau pun tak lapar tetapi terpaksa menurut, Setelah menyeberang
sungai, mereka segera mencari rumah makan.
"Nona, nona . . ." tiba2 terdengar suara orang memanggil Li Kun. Li Kun
berpaling dan terkejut melihat dua orang berpakaian seperti pedagang, lari dari sebuah
rumah penginapan, menghampirinya.
?"Ah, engkau Tio hiang . . Mengapa kalian disini?" tegur Li Kun terkejut. Kedua
orang itu adalah anak buah dan keluarga Tio di gunung Thiat san.
Kedua orang itu mempersilahkan Li Kun dan rombongannya kedalam rumah
penginapan mereka. Mereka juga menyewa kamar disitu, Ternyata Siu Ngo sudah
menyediakan air hangat dan meminta Gin Liong serta Yok Lan cuci muka, Ketika
melalui sebuah kamar disebelah, keduanya terkejut mendengar Li Kun menangis
dalam kamar itu. Buru2 mereka masuk menjenguknya.
Setelah didesak dan dihibur, barulah Li Kun mau memberi keterangan bahwa kedua
anak buahnya itu memang mencarinya untuk menyampaikan berita penting.
"Hwat-kiang-si, Hek Bu Siong dan Lak-ti-seng dari kawanan Thiat-san-pat-koay
telah mengundang beberapa tokoh silat sakti, menyiarkan berita bahwa nanti tanggal
lima bulan lima akan menghancurkan Mo-thian-nia dan membasmi ketujuh
saudara Tio. Gin Liong terkejut. Adalah karena dirinya maka Thiat-san-pat-koay dan ketujuh
saudara Tio telah bermusuhan.
"Harap taci Kun jangan kuatir, sebelum tanggal itu aku tentu sudah datang ke
gunung Thiat-san. Taci Kun dan Lan-moay pulang dulu ke puncak Mo thian-nia,
setelah dapat mengejar Liong-li locianpwe, aku segera kembiali ke Mo thian-nia."
Tetapi Li Kun menolak, ia akan kembali pulang sendiri dan Yok Lan biar ikut pada
Gin Liong. Ringkasnya setelah makan, Li Kun segera berangkat pulang dengan kedua anak
buah. Setelah itu Gin Liong meminta keterangan kepada suami isteri Ik Bu It tentang
perkumpulan Thian-leng-kau yang bermarkas digunung Ke-kong-san.
"Ya, memang terdapat perkumpulan itu di Ke kong-san. Kabarnya didirikan oleh
dua kakak beradik." kata nenek Ban.
"Baru setengah tahun ini Thian-leng-kau bergerak di dunia persilatan," kata Ik
Bu It, "mereka menerima anggauta dari kalangan hitam. Bahkan ada beberapa tokoh
hitam yang telah masuk."
"Kabarnya, kedua kakak beradik itu mempunyai kepandaian yang luar biasa," kata
nenek Ban pula, "setiap orang yang hendak masuk, lebih dulu tentu diuji ilmu
silatnya. Siapa yang mampu mengalahkan keduanya, akan diangkat sebagai ketua."
"O, dengan begitu tentu akan menarik perhatian tokoh2 yang temaha kedudukan
tinggi." kata Gin Liong.
"Eh, apakah engkau juga hendak merebut kedudukan itu?" seru Ik Bu It tertawa.
"Ah, mungkin kursi mereka tak enak," Gin liong tertawa,
Nenek Ban memperhatikan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dalam hati Yok
Lan, maka iapun bertanya: "Apakah kalian juga hendak adu kepandaian kesana?"
"Tidak," kata Yok Lan, "tetapi karena marah taci Li Kun telah menerima tantangan
dari seorang thaucu Thian-leng kau untuk datang ke Ke-kong-san nanti satu
setengah bulan lagi, Walanpun taci Li Kun pulang tetapi kita akan mewakilinya
datang kesana." Menduga bahwa kepandaian Yok Lan tentu takkan mampu mengalahkan orang
Thian-leng-kau, maka nenek Ban segera berseru: "Ih tidak. jangan terlalu
membanggakan kepandaianmu dan gegabah membawa nona Yok Lan kesana.
Walaupun bukan sarang naga dan harimau, tetapi markas Thian-leng-kau itu penuh
dengan tokoh2 yang sakti...."
"Ucapan seorang lelaki harus ditepati." Ik Bu It menyelak. "sekali sudah
menerima tantangan, harus dipenuhi, Kalau engkau kuatir, mengapa engkau tidak ikut pergi
kesana?" Sengaja ia hendak membakar hati isterinya lagi: "Huh, engkau sendiri bernyali
kecil, pura2 memberi peringatan kepada orang . . ."
Sudah tentu nenek Ban marah sekali. Bluk!, ia gentakkan tongkat ke lantai dan
berseru: "Hmm, sekalipun Thian-leng-kau di Hu kong-san itu tempat Raja Akhirat, akupun
tetap akan kesana." "Bagus, bagus !" seru Ik Bu It, "aku ingin melihat engkau menduduki kursi ketua
Thian-leng-kau" Nenek Ban deliki mata kepada suaminya dan mendengus: "Huh, aku sih tidak
kepingin kursi perkumpulan semacam itu."
Kuatir kalau kedua orang tuanya bertengkar lebih hebat, Siu Ngo segera alihkan
pembicaraan kepada Yok Lan: "Berapa lama taci Li Kun tiba dirumah?"
"Kalau menempuh perjalanan siang malam, enam tujuh hari tentu dapat." kata Yok
Lan. "Eh, dimanakah rumahnya?"
"Puncak Mo-thian-nia gunung Thiat-san," kata Yok Lan.
"O, kiranya nona Li Kun itu salah seorang dari ketujuh saudara Tio, bukan?" seru
Ik Bu It. Gin Liong mengiakan. "Oh, makanya kuperhatikan wajahnya kurang senang ketika kuceritakan bahwa
Ceng Jun sianki itu tinggi kepandaiannya. Memang dalam ketujuh persaudaraan
Tio, ialah yang paling menonjol sendiri kepandaiannya." kata Ik Bu It.
Demikian setelah beromong-omong beberapa waktu lagi, mereka berlima segera
masuk ke dalam kamar masing2 untuk beristirahat.
Menggunakan kesempatan itu Gin Liong mengambil kaca wasiat dan diperiksanya,
Dalam pancaran sinarnya yang kemilau, tampak beberapa huruf kecil2 warna
merah. Ternyata suatu pelajaran ilmu pernapasan tenaga dalam, ia mengisar lagi
kaca itu dan melihat tulisan berbunyi Kitab pelajaran ilmu pukulan Naga-harimau,
cenderawasih-ular. Memutarnya ke bawah ia melihat beberapa telapak kaki warna merah yang malang
melintang tak keruan. Ketika memeriksa hurup2 merah pada sampingnya ia
terkejut. Ternyata terdapat tulisan berbunyi Sing-hoan-cek-kiong poh atau gerak langkah
bayangan dari Istana-wungu. Tetapi sampai lama sekali belum juga ia mengerti apa
yang tertera disitu, Setelah merenungkan dan membayangkan tentang gerak
langkah Liong li-biau ajaran Ban Hong Liong-li, serentak ia menyadari,
perhatiannya makin terpikat. Setelah menghafalkan beberapa dalam hati, ia akan turun dari tempat tidur,
Maksudnya hendak berlatih ilmu yang dipelajarinya itu. Tetapi alangkah kejutnya
ketika melihat Yok Lan tahu2 sudah tegak diambang pintu.
Buru2 Gin Liong menyimpan kaca wasiat dan melambai kearah Yok Lan:


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemarilah, Lan-moay."
Yok Lan heran mengapa saat itu Gin Liong tampak gembira sekali. Ia pun
melangkah masuk. "Lan-moay lihatlah." seru Gin Liong seraya menyingkap baju luarnya.
"Hai kaca wasiat!" seru Yok Lan terkejut. Menyusul ia segera bertanya dari mana
Gin Liong mendapatkannya.
Gin Liong dengan terus terang menceritakan tentang diri orang tua aneh yang
memiliki kaca wasiat itu dan telah menyerahkannya kepadanya.
"Apakah Ik-locianpwe dan Siu Ngo tahu?" tanya Yok Lan.
"Tidak." sahut Gin Liong, Kemudian ia membuka baju luarnya lagi dan suruh Yok
Lan memeriksa dengan teliti.
Yok Lan terkejut karena melihat tanda2 telapak kaki yang malang melintang tak
keruan. "Liong koko, apakah ini bukan gerak langkah Cek kiong-poh yang termasyhur dalam
dunia persilatan itu ?"
Gin Liong mengiakan: "Setelah kupadu dengan ilmu gerak langkah ajaran Liong-li
locianpwe, ternyata Cek-kiong-poh ini lebih hebat."
"Coba engkau katakan apa pelajaran dari liong-li locianpwe itu." kata Yok Lan.
Gin Liong menurut. Tetapi ketika ia mengucapkannya, Yok Lan menunduk untuk
memeriksa kaca wasiat itu, sikapnya seolah meremehkan ilmu gerak langkah Liong-
li-biau. Ia ulurkan tenaga hendak menyambar tubuh Yok Lan tetapi ternyata nona
itu sudah lenyap. Gin Liong terkejut menyaksikan gerakan yang sedemikian cepatnya dari
sumoaynya. Setelah direnungkan barulah ia tahu bahwa gerakan Yok Lan itu
merupakan langkah pertama dari ilmu langkah Cek-kiong-poh. Ia menyimpan kaca
lalu melesat keluar, Dilihatnya Yok Lan berdiri tegak ditengah halaman, Mata
terbeliak, mulut menganga. Rupanya dia juga terkejut membaca ilmu gerak langkah
Cek-kiong-poh yang hebat itu.
Gin Liong menuding kedalam bajunya dan melambaikan tangan kearah Yok Lan
dapat menangkap artinya tetapi ketika ia hendak menghampiri ternyata Siu Ngo
muncul. "Taci Lan, apa engkau tak beristirahat?" seru gadis itu,
"Sudah," kata Yok Lan. sementara itu Gin Liong sudah menyusup masuk kedalam
kamarnya. Ik Bu It pun keluar dan menanyakan kapan hendak berangkat.
"Ik locianpwe, kalau sekarang kita menyeberang sungai apakah sebelum petang
kita sudah dapat mencapai kota Ciau-koan?" tanya Yok Lan.
"Kota itu seratusan li jauhnya, mungkin tengah malam baru tiba disana." sahut Ik
Bu It. Kemudian kakek itu memerintahkan Siu Ngo supaya menyiapkan hidangan.
"Kami tahu bahwa nona berdua dengan Siau siauhiap itu saudara seperguruan
tetapi kami belum tahu siapakah sesungguhnya suhu nona itu?" tanya Ik Bu It.
Dengan nada sarat, Yok Lan mengatakan bahwa dia tak mempunyai perguruan dan
tak tergolong pada suatu aliran persilatan Yang mengasuhnya hanya Liau Ceng
taysu, kepala gereja Leng-hun-si di gunung Hwe-siang~hong.
Nenek Ban kerutkan dahi dan bertanya kepada suaminya apakah pernah mengenal
Liau Ceng taysu. Rupanya Ik Bu It dapat menangkap arti kata-kata isterinya maka ia berkata kepada
Yok Lan: "Mungkin suhu nona itu tentu seorang paderi yang mengasingkan diri.
Apalagi kami sering pergi keluar perbatasan sehingga tak beruntung mengenal
suhu nona, Apabila nona dapat menyebutkan namanya sebelum menjadi paderi,
kemungkinan kami tentu tahu."
Yok Lan mengatakan bahwa sejak belajar silat, ia tahu suhunya itu sudah menjadi
paderi dan ia pun tak berani menanyakan asal usulnya.
Saat itu Gin Liong muncul bersama empat pelayan yang membawa hidangan.
Mereka segera melahap hidangan Kemudian mereka berangkat lagi, Mereka naik
perahu besar menyeberang.
Setelah tiba di seberang tepi, mereka lanjutkan perjalanan lagi, Dalam beberapa
kejap sudah mencapai belasan li. Tiga li lagi mereka melihat orang2 berkerumun
melihat dua sosok bayangan bertempur.
"Ada orang bertempur, mari kita lihat," seru nenek Ban terus larikan kuda
menghampiri. "Hai, tak perlu, jangan sampai menelantarkan urusan Siau siauhiap," Ik Bu It
mencegah. Mendengar itu nenek Ban lambatkan kudanya. jaraknya hanya terpisah satu li dari
tempat pertempuran itu. Ternyata kedua orang itu bertempur disebuah tanah
lanah lapang ditepi jalan besar, Para penonton berkeliling pada jarak beberapa
tombak jauhnya, Gin Liong heran mengapa mereka harus menyingkir sedemikian
jauhnya dari tempat pertempuran.
36. Melarikan diri Ternyata salah seorang yang bertempur itu seorang wanita yang berpakaian merah
menyala dan lawannya seorang paderi tua berjubah kelabu.
Gerakan wanita baju merah itu luar biasa anehnya, berlincahan bagai kupu2
hinggap di bunga, Dengan sepasang tangan ia menghadapi serangan tongkat si
paderi, Tampaknya wanita itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Paderi itu juga bukan tokoh yang lemah, Tongkatnya menyambar-nyambar laksana
halilintar, dahsyatnya bukan kepalang, tetapi tetap ia tak dapat merubuhkan
wanita yang memiliki gerakan luar biasa itu.
Gin Liong mendapat kesimpulan bahwa sesungguhnya wanita itu memang sengaja
hendak mempermainkan kawannya. Marahlah Gin Liong, ia hendak bertindak
tetapi segera ia teringat akan peringatan Ik Bu It kepada nenek Ban tadi,
Terpaksa ia tak menghentikan kudanya,
Jejak Jejak Kematian 1 Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego Si Pedang Tumpul 4
^