Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 19

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 19


lama semakin tidak bernah didengarnya lagi.
Kini, tiba-tiba ia mendengar ledakan serupa. Ledakan cambuk
itu, ketika ia sedang dalam keadaan yang sulit.
Kerti dan kedua kawannya pun seolah-olah membeku pula.
Dilihatnya wajah Ki Gede yang pucat itu, membayangkan
sebuah yang menjadi rahasia.
"Apakah Ki Gede mengenal suara itu?" berkata Kerti.
Perlahan-lahan Ki Gede menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan pula ia berdesis, "Panggil anak muda yang
bernama Gupala itu mendekat."
Kerti menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berpaling dan berkata
kepada Gupala, "Ki Gede memanggilmu."
Gupala melangkah maju. Kemudian berjongkok di samping Ki
Gede. "Apakah benar kau anaknya?"
"Ya, Ki Gede," sahut Gupala.
Coba, tujukkan kepadaku, apakah kau mempunyai cambuk
pula seperti ayahmu?"
Gupala tidak menjawab. Ia masih tetap ragu-ragu. Tanpa
disadarnya dipandanginya tombak pendek yang masih tetap di
dalam genggaman Ki Gede Menoreh.
"Gupala," desis Ki Gede, "kalau kau mempunyai juga, coba
tunjukkanlah kepadaku."
Gupala tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia meraih
cambuknya yang melingkar di bawah bajunya. Dengan tangan
gemetar ditunjukkannya cambuk itu kepada Ki Gede Menoreh.
Tangan Ki Gede yang masih lemah itu pun meraba cambuk
Gupala. Terasa sesuatu yang aneh menjalari perasaannya. Tibatiba
ia berkata, "Buktikan kepadaku, bahwa kau anaknya. Kau
pasti pandai bermain cambuk pula. Kalau kau mampu
meledakkan seperti ayahmu, meskipun tidak sesempurna itu,
maka aku percaya kepadamu dan kepada ayahmu."
Gupala masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Tetapi ia
berdiri juga dan melangkah beberapa langkah surut.
"Maafkan, Ki Gede," katanya, "aku akan mencobanya."
"Silahkan," sahut Ki Gede.
Kerti dan kedua kawannya mengerutkan keningnya.
Disiapkannya dadanya dan telinganya untuk mendengar cambuk
itu meledak, supaya dadanya tidak menjadi pedih dan telinganya
menjadi mengiang-ngiang. Sesaat kemudian cambuk itu meledak, memekakkan telinga,
meskipun tidak sekeras suara cambuk yang lebih dahulu.
Namun demikian, Kerti dan kedua kawannya terpaksa
menggeleng-gelengkan kepalanya, karena serasa sesuatu
kemudian menyumbat telinganya.
Argapati menangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Kemudian ia berkata lirih, "Kini aku percaya
kepadamu. Berikan obat itu kepada Kerti. Biarlah ia
menaburkannya di atas lukaku." Ki Gede berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi kenapa ayahmu itu tidak datang sendiri kemari
mengantar obat ini" Aku tidak akan mempersoalkan lagi, apalagi
ia sendiri sudi datang kepadaku dalam saat-saat yang seperti ini.
Aku tidak perlu bercuriga dan bertanya-tanya."
Sejenak Gupala terdiam. Namun sejenak kemudian ia
mengambil obat dari kantong bajunya, menyerahkannya kepada
Kerti sambil menjawab, "Inilah obat itu. Menurut ayah, obat itu
harus ditaburkan di sekeliling luka dan pada luka itu sendiri."
Kerti menerima obat itu sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bergeser maju mendekati Ki Argapati.
Sementara itu Gupala berkata, "Menurut pesan ayah, ayah
belum dapat menemui Ki Gede sekarang. Ada sesuatu yang
mencegahnya. Karena itu, ayah menyuruhku menyerahkannya
kepada Ki Gede." Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumannya, "Aku tidak
tahu, apa yang telah menghalang-halangi ayahmu menemui aku.
Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan apa pun. Tetapi
baiklah, sampaikan kepadanya, bahwa aku sangat berterima
kasih atas pemberian ini. Aku berharap, bahwa pada suatu
ketika kita akan dapat bertemu."
Gupala mengangguk-angguk kepalanya. Katanya, "Aku akan
menyampaikannya kepada ayah."
Sementara itu, Kerti telah mulai menabur-naburkan obat yang
terbungkus dengan daun kelaras. Perlahan-lahan, merata di atas
guratan luka yang panjang.
Sejenak kemudian, terasa arus yang dingin menjalari
pembuluh-pembuluh darah Ki Argapati. Perasaan pedih yang
menyengat-nyengat menjadi berangsur berkurang, meskipun
tidak lenyap sama sekali. Namun yang memberinya harapan
adalah kemampuan obat itu memampatkan lukanya, sehingga
hampir tidak percaya kepada penglihatannya, Kerti berkata,
"Apakah benar, bahwa darah itu tiba-tiba saja berhenti
mengalir?" Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tubuhnya
terasa terlampau lemah, namun ia tersenyum, "Sampaikan
kepada ayahmu itu Gupala, aku benar-benar berterima kasih
kepadanya. Aku ingin segera bertemu dan meyakini, bahwa ia
berputerakan seorang anak muda segemuk kau ini?"
Terasa dada Gupala berdesir. Tetapi ia tidak menyahut.
"Aku sekarang merasa, bahwa seolah-olah aku tetap hidup
lagi setelah aku meninjau ke daerah maut. Sebenarnya aku
sama sekali sudah tidak berpengharapan, karena darahku sudah
tidak dapat dibendung lagi oleh obat yang dibawa oleh Kerti.
Tetapi obat ayahmu benar-benar obat yang telah menumbuhkan
harapanku kembali." "Mudah-mudahan, Ki Gede," sahut Gupala, "mudah-mudahan
obat itu dapat menyembuhkan luka Ki Gede."
"Tetapi sampaikan kepada ayahmu, Gupala, bahwa pada
saatnya aku ingin bertemu. Terserah kepadanya, kapan ia
bersedia. Kalau aku yang harus datang kepadanya, aku pasti
akan datang. Tetapi kalau ia bersedia datang kepadaku, akan
aku terima dengan segala senang hati."
"Ya, Ki Gede. Aku akan menyampaikannya," jawab Gupala,
kemudian, "kini perkenankanlah aku kembali kepada ayah."
Ki Argapati menganggukkan kepalanya, "Baiklah, sekali lagi
aku mengucapkan terima kasih."
Gupala pun segera minta diri. Kemudian dengan langkah
yang tetap, ditinggalkannya Ki Gede Menoreh yang terbaring
dilingkari oleh Kerti dan kedua kawannya.
Namun beberapa langkah kemudian ia tertegun. Ia tidak
dapat menahan dirinya yang dijalari oleh sifat-sifat yang aneh.
Karena itu, maka tiba-tiba ia berpaling. Dipandanginya wajah
Kerti yang samar-samar di dalam cahaya bulan yang bulat.
Kemudian tiba-tiba ia bertanya, "Kiai, Kiai Kerti. Bukankah nama
Kiai demikian" Nah, apakah Kiai masih ingin membawa aku
beserta dengan kalian."
Kerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Yang
terdengar sekedar desis dari sela-sela bibirnya.
Karena Kerti tidak menjawab, maka Gupala pun kemudian
melangkahkan kakinya pula sambil berkata, "Terima kasih, kalau
Kiai tidak membutuhkan aku lagi."
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa tertahan.
Kerti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun ia mendengar
Argapati tertawa lirih, "Anak itu suka bergurau."
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu
ia bertanya, "Siapakah sebenarnya mereka itu, Ki Gede?"
"Aku pernah mengenalnya. Seorang yang baik hati. Tetapi
sudah agak lama aku kehilangan hubungan. Kini tiba-tiba ia
datang ketika aku sedang di dalam bahaya. Orang itu memang
seorang ahli obat-obatan yang baik."
"Apakah Ki Gede ingat, siapakah namanya?"
"Nama tidak penting baginya. Ia adalah seorang yang
bersembunyi di belakang seribu satu macam nama."
"Tetapi ia mempunyai kecirian yang tidak berubah seperti
perubahan namanya itu."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Itulah
yang sukar untuk dikatakan. Tetapi menurut hematku, ia bukan
seorang yang tidak berarti."
"Orang yang hidupnya ditabiri oleh seribu macam rahasia."
"Tepat. Apa kau sangka, bahwa anak yang bernama Gupala
itu pun tidak berlatih merahasiakan dirinya" Aku tidak yakin,
bahwa ia anak orang bercambuk itu. Entahlah, aku tidak tahu,
kenapa aku berprasangka demikian." Sejenak Ki Gede berhenti,
lalu, "Tetapi sebaiknya kita tidak usah menjadi pening
karenanya." Kerti menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dengan demikian, maka sejenak suasana dicekam oleh
kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desir angin pada daun
pucang yang bergerak-gerak, seperti sedang melambai kepada
bulan yang semakin rendah di ujung Barat.
Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh gonggong anjinganjing
liar di kejauhan. Ki Gede yang masih lemah itu pun
berkata, "Apakah kalian akan berada di sini semalam suntuk?"
"Oh," Kerti seolah-olah baru tersadar dari lamunannya.
Terbata-bata ia menjawab, "Tidak, Ki Gede. Marilah, marilah kita
berangkat ke induk pasukan."
Kedua kawan Kerti pun kemudian memapah Ki Gede. Kedua
lengan Ki Gede melingkar di pundak kedua orang itu di kedua
sisinya, sedang Kerti dengan senjata terhunus berjalan di paling
depan. Mereka menyadari, bahwa perjalanan yang pendek itu
adalah perjalanan yang justru penuh dengan bahaya.
Sejenak mereka berjalan tertatih-tatih di atas tanah berbatu
cadas. Kemudian meloncati tebing-tebing kecil, menyusup
gerumbul-gerumbul liar, meninggalkan sepasang batang pucang
yang masih tegak menjulang tinggi, seolah-olah ingin meraih
bulan yang bulat di langit dengan daun-daunnya yang bergerakgerak
seperti jari jemari yang panjang.
"Bukankah Ki Gede tadi sore berangkat dengan naik kuda?"
bertanya Kerti. Ki Gede mengangguk, "Ya, aku membawa seekor kuda."
"Kami juga membawa kuda," berkata Kerti pula.
Merekapun segera berusaha menemukan kuda-kuda itu.
Dengan hathati Ki Gede dipapah, didudukkannya di atas
kudanya. "Aku akan duduk di belakang Ki Gede," berkata Kerti.
Ki Gede tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk pula.
Dipercayakannya saja dirinya yang terluka itu kepada pengawalpengawalnya.
Kerti pun kemudian duduk di belakang Ki Gede Menoreh,
sedang kudanya diserahkannya kepada kawannya. Diikatkannya
kendali kuda itu pada pelana kudanya sendiri, dan dengan
demikian maka kuda itu akan selalu mengikutinya.
Meskipun demikian, perjalanan mereka belum berarti lepas
sama sekali dari bahaya. Di sepanjang perjalanan mereka akan
dapat bertemu dengan sepasukan lawan. Sepasukan yang
besar, atau segerombol peronda yang nganglang dari pihak
Sidanti. Dengan demikian, maka mereka pun tetap berhathati, setiap
saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam
kemungkinan yang datang dengan tiba-tiba. Apalagi pada saat
itu, Ki Argapati sedang dalam keadaan terluka cukup parah,
sehingga tidak mungkin baginya untuk berbuat sesuatu, apabila
mereka bertemu dengan lawan.
Demikianlah, maka dalam silirnya angin malam, kuda-kuda itu
berjalan tidak terlampau cepat. Menyusur jalan sempit di hutanhutan
perdu yang jarang. "Kita harus berusaha mencari jalan yang paling aman,"
berkata Kerti, "Kalau benar padukuhan induk sudah tidak dapat
dianggap aman, maka kita harus menuju ke padesan yang lain."
Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya dalam,
"Aku sudah menasehatkan, kalau terpaksa mereka tidak dapat
menahan diri dari arus kekuatan Sidanti, maka aku minta para
keluarga mereka disingkirkan ke Patemon. Sehingga seandainya
pasukan Menoreh benar-benar terdesak, aku kira mereka pun
akan menyingkir ke padesan itu pula.
"Baiklah, aku akan melihat padesan itu lebih dahulu," berkata
salah seorang kawan Kerti.
"Jangan sekarang. Nanti setelah kita mendekati padesan itu.
Di perjalanan setiap tenaga kami sangat diperlukan."
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
menyadari, bahwa memang seharusnya ia tidak meninggalkan
rombongan kecil yang parah itu.
Namun belum lagi mereka terlampau jauh dari Pucang
Kembar. Mareka mendengar derap kaki kuda dari arah depan.
Semakin lama semakin dekat, sehingga Kerti menarik kekang
kudanya sambil berdesis, "Apakah kalian mendengar pula?"
"Derap kakkaki kuda."
"Ya. Derap itu menuju ke arah ini."
Wajah Kerti dan kawan-kawannya segera menjadi tegang.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka tidak
segera berbuat sesuatu. "Kita menyingkir dahulu," terdengar suara Ki Argapati lambat,
"kita bersembunyi di belakang semak-semak."
"Oh," seolah-olah Kerti baru sadar dari angan-angannya.
Tanpa menunggu lagi dibawanya kudanya masuk ke belakang
semak-semak yang agak rimbun. Demikian pula kedua
kawannya pun bersembunyi di balik dedaunan.
Tetapi Kerti segera meloncat dari kudanya sambil berkata
lirih, "Aku ingin melihat, siapakah mereka itu Ki Gede."
"Hathatilah." Kerti mengangguk sambil berjalan tergesa-gesa, menyusup di
bawah dedaunan untuk mengintip kuda-kuda yang akan lewat di
jalan sempit di mukanya. Jalan yang baru saja ditelusuri pula.
Semakin dekat, maka tampaklah kuda-kuda itu semakin jelas
bersama penunggangnya. Tiga ekor kuda.
Kerti menahan nafasnya ketika kuda-kuda itu menjadi
semakin dekat. Semakin jelas olehnya, siapakah yang berada di
punggung kuda itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
"Benarkah mereka itu?"
Ketika kuda itu beberapa langkah lagi lewat di depannya,
maka tiba-tiba Kerti pun segera meloncat dari dalam gerumbul,
dan berdiri tegak di tepi jalan sambil memamggil, "He, berhenti.
Berhenti!" Orang-orang berkuda itu terkejut. Seekor di antara mereka
telah mendahului. Mendengar teriakan itu segera kuda itu
berhenti sambil meringkik, kemudian dengan tangkasnya
berputar menghadap ke arah Kerti. Sedang dua ekor yang lain,
yang masih belum melampaui Kerti segera berhenti. Demikian
tegang penunggangnya menarik kekang kuda itu, sehingga
kuda-kuda itu terlonjak berdiri.
Setelah kuda-kuda itu agak tenang, maka bertanyalah Kerti,


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemanakah kalian akan pergi?"
Ketiga orang itu hampir bersamaan menarik nafas dalamdalam.
Salah seorang dari mareka berkata, "Kau mengejutkan
kami." "Aku harus hathati. Aku tidak menyangka, bahwa kalian
akan datang kemari."
"Kami datang menyusul Ki Argapati."
"Kenapa" Bukankah Ki Argapati berbesan bahwa tidak
seorang pun boleh ikut campur dalam persoalan pribadinya?"
"Kami tidak akan mencampuri persoalannya. Tetapi apabila Ki
Gede sudah selesai, maka aku akan memberitahukan, bahwa
pasukan Menoreh terpaksa ditarik dari padukuhan induk.
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada yang
rendah, "Ki Gede sudah menduga. Suara tanda yang
mencemaskan terdengar dari bawah Pucang Kembar."
"Darimana kau tahu bahwa Ki Gede sudah menduga"
Apakah kau sudah menemuinya?"
Kerti mengangguk. Katanya, "Ki Gede sekarang ada di sini.
Dadanya terluka agak parah."
"He," ketiga orang itu terperanjat mendengar berita yang tidak
terduga-duga itu. Justru karena itu mereka terdiam. Tetapi sorot mata mereka
seakan-akan tidak mempercayai berita itu. Ki Argapati tidak
boleh terluka. Ki Argapati tidak akan dapat dilukai oleh siapa
pun. Kerti melihat kebimbangan pada sorot mata itu, sehingga ia
perlu menjelaskan, "Ki Argapati memang terluka."
Pengawal yang datang bertiga di atas punggung kuda itu
saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang dari
mereka bertanya dengan nada penuh kebimbangan, "Apakah
kau berkata sebenarnya?"
"Aku berkata sebenarnya."
"Kalau kau berkata sebenarnya, siapakah yang melukainya?"
"Ki Tambak Wedi."
"He," wajah-wajah itu pun segera menjadi tegang, "apakah Ki
Argapati tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tambak Wedi?"
"Bukan begitu. Tetapi bukan saat kini kita bercerita."
Kalau kau mengenal jalan yang paling baik, marilah kita
segera pergi ke induk pasukan yang telah ditarik itu."
"Oh, baiklah." "Tunggu, aku akan memanggil Ki Gede."
Kerti pun kemudian meloncat hilang di balik gerumbul, untuk
memberitahukan kehadiran ketiga pengawal Tanah Perdikan
yang telah beruaha menghubungi Ki Gede untuk melaporkan
keadaan pasukannya. Sejenak kemudian Ki Gede yang terluka itu pun muncul pula
dari balik gerumbul di atas punggung kuda bersama Kerti yang
menjaganya. Kehadirannya benar-benar telah membuat ketiga
pengawal yang baru datang itu menjadi berdebar-debar.
Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar terluka di
dadanya. "Marilah, berjalanlah di depm. Jangan terlampau cepat,"
barkata Kerti kepada ketiga pengawal itu.
Salah seorang dari mereka agaknya masih ingin bertanya,
tetapi Kerti mendahuluinya, "Jangan terlampau banyak bertanya.
Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Ki Tambak
Wedi kembali dengan membawa prajurit segelar sepapan."
"Oh," orang itu mengurungkan niatnya, "marilah."
Ketiganya segera mendahului berjalan di depan. Kemudian
Kerti yang sedang menjaga Ki Gede yang masih terlampau
lemah. Di belakang mereka adalah kedua kawan-kawan Kerti
yang telah ikut berkelahi melawan orang-orang Ki Tambak Wedi.
Perjalanan itu adalah perjalanan yang tegang. Setiap saat
mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan.
Dalam keadaan itu, bagi Menoreh, tidak ada lagi batas yang
dapat digoreskan, yang akan memisahkan daerah kekuasaan
pasukan Sidanti dan daerah kekuasaan pasukau Samekta.
Keduanya mungkin berada de segala tempat, dan keduanya
mungkin merondai segala jalan di telatah Tanah Perdikan
Menoreh. Sehingga dengan demikian, maka sukarlah bagi siapa
pun untuk dapat segera mengenal kawan atau lawan apabila
mereka bertemu di perjalanan.
"Kita melingkari padukuhan Sampit," berkata sahah seorang
dari ketiga orang yang berkuda di depan.
"Kemana kita akan pergi?" terdenger suara Ki Argapati.
"Kita akan pergi ke Karang Sari, Ki Gede. Dan kita harus
melingkari padukuhan Supit, supaya kita berjalan dekat dengan
daerah Wurawari." Kenapa kita memilih jalan Wurawari?" bertanya Kerti.
Ketiga orang yang berkuda di depan itu tidak ada yang
segera menjawab. Bahkan mereka sejenak saling
berpandangan. "Kenapa?" desak Kerli.
Belum seorang pun yang menjawab.
Ternyata kediaman mereka telah menimbulkan kecurigaan
pada Kerti, sehingga ia mendesak lebih keras lagi, "Kenapa, he"
Apakah ada rahasia yang harus kalian sembunyikan?"
"Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi aku ragu-ragu apakah
beritaku tidak akan mengejutkan. Terutama bagi Ki Gede."
"Bodoh kau," bentak Kerti. "Kepada siapa kau akan
menyampaikan semua persoalan kalau tidak kepada Ki Gede?"
"Tetapi Ki Gede sedang terluka,"
"Apa bedanya?" Tetapi ketiga orang itu masih tetap ragu-ragu. Meskipun
mereka tidak berpaling, namun tampak bahwa mereka menjadi
gelisah. "Katakanlah," desis Ki Gede Menoreh kemudian, "apa pun
yang akan kau katakan, aku akan mendengarkannya. Aku tidak
boleh terpengaruh oleh keadaan apa pun. Adalah kewajibanku
untuk mendengar semua persoalan. Yang baik, dan yang
menyulitkan sekalipun."
Salah seorang dari ketiga pengawal itu menarik nafas dalamdalam.
Sejenak dipandanginya wajah kedua kawannya bergantiganti.
Tetapi yang dilihatnya wajah-wajah itu masih tetap
memancarkan kebimbangan hati.
"Katakanlah," desak Ki Gede dalam nada datar.
"Baiklah, Ki Gede. Tetapi perkenankan aku menyampaikan
penyesalan yang sedalam-dalamnya dari kakang Samekta,
Wrahasta, dan para pengawal seluruhnya."
"Ya, ya." "Pandan Wangi belum tampak di antara para prajurit yang
mengundurkan diri." "He?" betapapun juga terasa sesuatu menghentak di dada Ki
Gede Menoreh. Ia tidak akan terkejut dan apalagi bingung
seandainya ia mendengar berita bahwa rumahnya telah menjadi
karang abang, karena dibakar oleh Sidanti. Ia tidak akan
tersentak sehingga nafasnya serasa terhenti, kalau ia
mendengar bahwa seluruh padukuhan induk telah diduduki oleh
Ki Tambak Wedi. Tetapi berita yang didengarnya ini adalah,
bahwa Pandan Wangi belum ada di antara para pengawal yang
mngundurkan diri. "Di manakah anak itu agaknya," terdengar suara Ki Argapati
dalam nada yang dalam. "Karena itulah maka aku mencarinya kemari," sahut Kerti.
"Oh, kau keliru," potong salah seorang dari ketiga orang
berkuda itu. "Pandan Wangi ternyata telah menemui Kakang
Samekta, bahkan ikut bertempur di medan sebelah Barat.
Kemudian Kakang Samekta meninggalkannya karena ia harus
pergi ke medan yang baru. Ketika pasukan itu mundur, Pandan
Wangi tidak ada di antara mereka."
Kecemasan yang dalam telah tergores di dinding hati Ki
Argapati. Pandan Wangi adalah satu-satunya keturunan yang
diharapkannya dapat menyambung namanya kelak, setelah
ternyata Sidanti tidak dapat diharapkannya lagi. Tetapi ternyata
bahwa gadis itu hilang di peperangan.
"Kenapa gadis itu dapat terlepas sehingga ia sendiri terjun di
dalam peperangan?" terdengar suara Ki Argapati datar.
Meskipun Ki Argapati seolah-olah hanya bergumam kepada
diri sendiri, namun kata-kata itu telah membuat Kerti tertunduk
sambil berdesah, "Aku minta maaf Ki Gede. Bagaimana kami di
rumah mencoba menahannya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah
lenyap." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
lemah, "Ya. Tidak seorang pun dapat dipersalahkan. Anak itu
mempunyai kaki untuk melangkah dan mempunyai kehendak
untuk mendorong kakinya itu. Anak itu memang keras kepala."
Kerti tidak menjawab lagi. Meskipun Ki Gede tidak langsung
menyalahkannya, namun ia adalah salah seorang yang diserahi
untuk mengawasi anak itu. Dan ternyata anak itu kini hilang.
Tetapi Ki Argapati menjadi semakin terperanjat ketika orang
yang menyusulnya itu berkata, "Beberapa orang melihat, Pandan
Wangi terlibat dalam pertempuran melawan, Ki Peda Sura.
Ketika pasukannya mundur, ia tertahan. Maksudnya dapat jelas
kami tangkap, melindungi kami yang mundur dari senjata Peda
Sura yang ganas itu. tetapi akhirnya, ia sendiri terpisah dari
pasukannya." *** "Jadi Pandan Wangi bermpur melawan Ki Peda Sura?"
bertanya Argapati yang menjadi semakin cemas.
"Ya, Ki Gede." "Seorang melawan seorang?"
"Ya, Ki Gede." "Oh," Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
sesadarnya terdengar kata-kata dari sela-sela bibirnya. "Hanya
kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat melepaskannya. Peda
Sura belum akan dapat dilawannya. Meskipun ia mempunyai
bekal yang cukup namun pengalaman setan itu jauh lebih
banyak dan luas. Ia tidak mempunyai batas bagi perbuatannya.
Apa pun dapat dilakukannya untuk mencapai tujuannya."
Para pengawal yang mendengar kata-kata itu pun menjadi
semakin cemas pula. Tidak seorang pun yang dapat
membayangkan, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.
Dan tiba-tiba saja mereka terperanjat ketika Ki Gede beekata,
"Kita pergi ke bekas pertempuran itu. Aku ingin melihat sendiri,
apakah yang sudah terjadi."
Dada Kerti menjadi berdebar-debar. Betapapun ia merasa
bersalah, namun diberanikan dirinya berkata, "Ki Gede.
Bukankah tempat itu masih terlampau berbahaya?"
"Ya, sangat berbahaya," sahut salah seorang dari ketiga
pengawal yang menjemputnya. "Peda Sura agaknya
meninggalkan sekelompok orangnya di sekitar bekas
pertempuran itu." "Apa pun yang akan terjadi aku akan melihat," kata-kata
Argapati tiba-tiba menjadi tajam. "Aku ingin melihat, apakah aku
dapat menetnukan mayat anakku. Kalau tidak maka ia pasti
dibawa oleh Peda Sura. Jika demikian, maka Pandan Waugi
akan mengalami penderitaan yang mengerikan." Ki Gede
berhenti sejenak. Lalu terdengar ia menggeram, "Kalau demikian
halnya, maka aku sendiri akan memimpin langsung pasukan
Menoreh yang ada untuk merebut kembali semua kedudukan.
Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam segala kadaan dan
menemukan kembali keutuhan Tanah Perdikan Menoreh,
meskipun kini sudah tersayat-sayat."
Dada Kerti berdesir mendengar kata-kata itu. Ki Gede adalah
seorang yang keras hati. Hampir setiap kata-katanya
dilakukannya dengan baik. Karena itu maka dengan hathati ia
berkata, "Tetapi bukankah Ki Gede kini sedang terluka?"
"Lukaku tidak seberapa. Aku sudah sembuh dan aku
berterima kasih kepada orang bercambuk itu."
"Tetapi," Kerti masih mencoba menahannya, "apabila Ki Gede
langsung terjun di peperangan maka luka itu akan berbahaya."
"Jadi maksudmu, aku baiknya tidur di pembaringan, sedang
anakku dan seluruh Tanah Perdikan Menoreh sedang dibakar
oleh api kedengkian, nafsu dan pamrih yang melonjak-lonjak?"
suara Ki Gede menjadi semakin keras, dan bahkan hampir
berteriak. Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan yang
merambat di dadanya menjadi semakin dalam tergores di
dinding jantungnya. Ki Gede sudah mulai menentukan sikap.
Jika demikian, maka sulitlah baginya, dan bagi siapa pun untuk
mengurungkannya. Kerti adalah seorang yang sudah cukup lama berada di
samping Ki Gede. Ia tahu benar sifatnya dan tabiatnya. Namun
pengetahuannya tentang watak Ki Gede itulah yang kini
membuatnya bingung dan tidak menentu.
"Cepat!" tiba-tiba Ki Gede berteriak. "Pacu kuda ini."
"Oh," Kerti berdesah.
"Cepat, kau dengar?"
"Baiklah, Ki Gede."
Kerti Tidak dapat berbuat lain kecuali mempercepat langkah
kudanya. Dengan demikian maka yang lain pun menjadi semakin
cepat pula. "Kita tidak hanya sekedar lewat di daerah Wura-wari. Tetapi
kita akan singgah di padesan itu. Bukankah maksudmu,
pertempuran berlangsung di daerah itu" Bukankah begitu?"
berkata Ki Gede kepada ketiga pengawalnya yang berkuda di
depan. "Ya, Ki Gede," jawbab salah seorang dari mereka, "tetapi
tempat itu benar-benar berbahaya. Kalau kita lewat di sekitarnya,
mungkin kita akan mendapat bahan untuk mengetahui di mana
Pandan Wangi berada. Tetapi kalau kita langsung masuk ke
daerah Wura-wari dalam keadaan serupa ini, maka kita telah
kehilangan perhitungan."
"Persetan," sahut Argapati, "aku sendiri akan melihat daerah
itu. Aku bukan seorang yang terlampau bodoh dan tidak
empunyai perhitungan. Tetapi aku akan melihat bekas
pertempuran." "Ki Gede," suara Kerti merendah, "bagaimana mungkin Ki
Gede akan melakukannya" Baiklah, aku dengan kedua kawanku
inilah yang melihatnya. Kami dapat mempergunakan cara apa
pun, sambil bersembunyi atau merangkak di antara tumbuhtumbuhan.
Tetapi kami tidak sedang terluka seperti Ki Gede saat
ini." Terdengar Ki Gede Menoreh menggeretakkan giginya.
Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengar kata-kata Kerti itu.
Bahkan ia berkata dengan lantangnya, "Kaalau perlu aku akan
masuk ke padesan yang sudah diduduki pasukan Sidanti. Aku
ingin tahu dengan pasti, apakah yang sudah terjadi dengan
Pandan Wangi." Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Ki Gede Menoreh


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih terlampau lemah. Hanya kadang-kadang saja ia
menghentakkan dirinya, namun kemujan ia tersandar kembali ke
dada Kerti yang duduk di belakangnya.
"Jangan terlampau banyak bergerak Ki Gede. Aku takut kalau
luka itu kembali berdarah lagi," berkata Kerti kemudian.
Ki Gede tidak menjawab. Tatapan matanya jauh menembus
kabut malam yang keputih-putihan di bawah sinar bulan yang
sedang purnama. Setitik embun jatuh dari dahan di atas mereka.
Dingin. Namun betapa hangatnya dada Kerti yang gelisah itu. Kalau
benar-benar Ki Gede kehilangan pengamatan diri karena
hilangnya Pandan Wangi, maka keadaan akan menjadi semakin
sulit. Kalau terjadi sesuatu atas Ki Gede, maka pasukan
Menoreh akan kehilangan induknya, seperti sapu lisi kehilangan
suhnya. Mawut bertebaran terserak-serak di halaman.
Ketika mereka telah melampaui bulak di sebelah padukuhan
Supit yang kecil, hati Kerti menjadi semakin berdebar-debar.
Sebentar lagi mereka akan sampai ke pategalan, berseberangan
dengan padukuhan kecil tempat pasukan Samekta menunggu
gerombolan Ki Peda Sura. Tiba-tiba ketiga pengawal yang berkuda di depan merapat
dan saling berbisik, "Kita bawa Ki Gede ke pategalan. Bekas
pertempuran di pategalan itu sajalah yang kita tunjukkan
kepadanya supaya ia tidak mendekat ke padesan di sebelah.
Aku yakin bahwa di padesan itu pasti dijaga oleh pasukan
Sidanti." "Ya," jawab yang lain, "dengan demikian pasti akan lebih
aman bagi Ki Gede." Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan dengan
demikian maka mereka agak menjadi tenteram. Karena mereka
tahu, bahwa Ki Argapati benar sedang dalam keadaan parah.
Karena itu, ketika mereka sampai ke simpang tiga yang
menuju ke pategalan yang agak rimbun itu, ketiga pengawal
yang berada di depan itu pun berbelok.
"He, kenapa mereka berbelok," bertanya Ki Gede.
"Tunggu," teriak Kerti.
Ketiga pengawal itu pun segera menarik kekang kuda
mereka. Salah seorang dari mereka berpaling sambil meletakkan
jari telunjuknya di depan mulut, "Sst, di padesan itu sedang
berjaga-jaga pasukan Sidanti," desis salah seorang dari mereka
setelah Kerti mendekat. "Tetapi kenapa kalian berbelok kemari?" bertanya Ki Argapati.
"Bukankah kita masih harus maju lagi untuk mencapai Wurawari?"
"Pertempuran itu terjadi di pategalan itu Ki Gede," jawab salah
seorang dari mereka. Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia menggeram,
"Aku ingin melihat."
Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan itu. Ketika
mereka sampai di ujung pategalan, maka mereka pun segera
berhenti. Satu-satu mereka turun dari kuda mereka dengan
penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka telah melekat di
hulu pedang masing-masing.
Dengan hathati Kerti menolong Ki Gede turun dari kudanya
dan memapahnya berjalan perlahan-lahan memasuki pategalan
yang sunyi itu. Smentara itu, seorang dari mereka berdiri di luar
pategalan untuk mengawasi kuda-kuda mereka.
Demikian mereka memasuki pategalan itu, maka segera Ki
Gede menggeram. Ketiga pengawal itu tidak menipunya. Ki
Gede masih sempat melihat bekas pertempuran. Bahkan masih
dilihatnya beberapa sosok mayat yang terbaring di tanah. Mayatmayat
itu akan tinggal di tempatnya sampai besok. Kalau orangorang
Sidanti di padukuhan sebelah sempat, maka mayat-mayat
itu baru akan dikuburkan.
"Hem," Ki Gede berdesah, "perang yang kisruh."
"Ya, Ki Gede, perang brubuh."
Ki Gede tidak menyahut. Perlahan-lahan sambil berpegangan
leher Kerti ia melangkah maju semakin dalam. Dilihatnya bekas
peperangan itu dengan tegangnya. Hampir setiap mayat yang
dijumpainya ditatapnya dengan tajamnya dan bahkan kadangkadang
diamatinya dengan seksama. Kadang-kadang memang
dijumpainya mayat-mayat orang yang pernah dikenalnya,
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Apakah pasukan Peda Sura telah membersihkan medan ini
dengan mengambil mayat kawan-kawannya dan mereka yang
terluka parah?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Aku kira belum, Ki Gede. Mayat masih banyak berserakan.
Kalau Ki Gede sempat memperhatikan seluruh bekas medan
ini." Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Menilik korban yang jatuh, seharusnya pasukan Menoreh tidak
dapat terdesak mundur."
"Kalau keadaan tidak berubah, Ki Gede. Tetapi suara titir
yang menjalar dari Timur telah menarik sebagian pasukan ini
bersama Ki Samekta seudiri. Sedangkan Pandan Wangi tetap
berada di medan ini."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia masih
juga melangkah maju menyusur bekas medan yang bosahbaseh.
"Aku akan menyusur garis surut pasukan Menoreh," tiba-tiba
Ki Gede bergumam. Kerti terperanjat. Sehingga dengan serta-merta ia berkata,
"Terlampau berbahaya Ki Gede."
Ki Gede tidak menjawab, tetapi ia melangkah terus sambil
berpegangan pundak Kerti.
"Ki Gede masih terlampau lelah. Seandainya tidak ada
bahaya apa pun di perjalanan, maka Ki Gede akan terlampau
banyak membuang tenaga."
"Aku tergantung di pundakmu."
"Itu bukan berarti Ki Gede tidak mengeluarkan tenaga."
"Tetapi tenagaku masih cukup. Jangan kau cemaskan. Aku
tidak akan mati karena berjalan menyusur jalan surut sampai ke
tempatnya yang sekarang. Di sepanjang jalan mundur itu aku
akan mencari mayat Pandan Wangi."
Kerti menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berhenti, karena
Ki Gede yang tergantung di lehernya masih benjalan selangkahselangkah
terus, meskipun dengan susah payah.
Tetapi yang mencemaskan Kerti dan pengawal-pengawal
yang lain, bukanlah tenaga yang akan dikeluarkan oleh Ki Gede
itu sendlri, meskipun hal itu pun harus mendapat perhatian,
tetapi bahwa di garis surut para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh itu, pasti akan ditemui suatu pengawalan yang ketat
dari orang-orang Sidanti.
"Ki Gede," berkata salah seorang dari ketiga pengawal yang
menjemput Ki Gede, "kalau kita akan menyelusur garis surut itu,
berarti kita harus berjalan dari sini sampai ke Karang Sari."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Apabila ia ingin
menyusur bekas peperangan sampai ke tempat para pengawal
itu menarik diri, memang ia harus berjalan dari pategalan itu,
lewat Wura-Wari melalui beberapa bulak lagi sampai ke Karang
Sari. Meskipun demikian Ki Gede bergumam, "Tetapi aku akan
menemukan puteriku di sepanjang daerah itu."
Tak seorang pun yang segera dapat menjawab. Mereka
terpaksa berjalan menurut bekas-bekas peperangan di
pategalan itu. Semakin lama semakin menepi. Para pengawal
yang menjemput Ki Gede tahu benar, bahwa sebentar lagi
mereka harus melalui daerah persawahan yang terbuka semakin
dekat dengan tempat-tempat yang mungkin dihuni oleh orangorang
Sidanti. Ketika mereka melangkah semakin maju lagi, tiba-tiba salah
seorang dari ketiga pengawal itu berkata, "Ki Gede, tidak ada
gunanya kita mencarinya lebih jauh."
Ki Gede memandangnya dengan penuh keheranan,
"Kenapa?" "Di sini Pandan Wangi bertempur."
"Aku tahu, aku tahu," jawab Ki Gede, "tetapi bukankah
mereka mundur?" "Yang mundur adalah pasukan pengawal. Pandan Wangi
mencoba melindungi kami. Aku tahu, betapa besar tanggung
jawabnya sebagai putera Ki Gede. Kami sudah mencoba untuk
membawanya serta. Tetapi ia tidak bersedia. Sedang keadaan
peperangan telah memaksa kami untuk selangkah demi
selangkah mundur terus, kalau kami tidak ingin binasa sesuai
dengan perintah Pandan Wangi sendiri sebagai pimpinan kami
waktu itu sepeninggal Samekta."
Wajah Ki Gede menjadi semakin tegang.
"Pandan Wangi terpaksa bertempur seorang lawan seorang
melawan Ki Peda Sura."
Tiba-tiba terdengar Ki Gede menggeram. Sejenak ia berdiri
membeku tergantung di pundak Kerti. Namun kemudian ia
berkata lantang, "Kita kembali ke induk pasukan di Karang Sari.
Aku akan memimpin pasukan itu langsung ke padepokan induk.
Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam keadaan apa pun."
Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Dan mereka
mendengar Ki Gede berkata, "Disini aku tidak menemukan
mayatnya. Anak itu pasti dibawa oleh Ki Peda Sura."
Dada Kerti menjadi semakin bergetar. Bahkan para pengawal
itu menjadi terbungkam untuk sejenak. Namun kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Apabila demikian, maka aku akan
tinggal di sini." "Untuk apa?" "Aku akan mencoba mencari sekali lagi. Lebih teliti di daerah
peperangan ini." Ki Gede berpikir sejenak. Kemudian katanya, "Terserahlah
kepadamu. Tetapi aku akan segera menyiapkan pasukan yang
ada. Aku tidak mau menunda lagi. Hilangnya Paudan Wangi
adalah karena salahku. Aku terlalu bernafsu untuk menjaga
harga diriku dengan perang tanding itu, sehingga keadaan
Tanah Perdikan ini menjadi terpecah belah, dan anakku satusatunya
itu hilang." Ki Gede tidak menunggu jawaban apapun lagi. Bersama Kerti
ia segera kembali ke kudanya.
"Cepat, kita pergi ke Karang Sari."
Seteiah menolong Ki Gede naik, maka Kerti pun segera naik
pula. Dua dari mereka tinggal di pategalan itu untuk melihat
kemungkinan yang mengerikan apabila hal itu terjadi atas
Pandan Wangi. Sedang Ki Gede dengan tergesa-gesa segera
meneruskan perjalanan mereka ke Karang Sari.
Di perjalanan itu Ki Gede bergumam, "Kita hindari daerah
yang dikuasai Sidanti."
Kerti mengerutkan keningnya. Ia agak heran mendengar
pesan itu. Selama ini Ki Gede agaknya sama sekali tidak ingin
menghindar dari kemungkinan bertemu dengan lawan, namun
tiba-tiba pesan itu diberikannya.
"Aku akan memimpin pasukan," geramnya kemudian.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu, bahwa
Ki Gede merasa bahwa tugasnya masih belum selesai, sehingga
ia tidak mau tertahan lagi di perjalanan ini.
Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu dengan kencangnya.
Debu yang keputih-putihan meloncat di belakang kakkaki kuda
yang berderap di jalan kecil di tengah-tengah bulak yang panjang.
Sementara itu bulan di langit sudah menjadi terlampau
rendah. Di ujung Timur telah menyala cahaya fajar yang
kemerah-merahan. Semakin lama menjadi semakin cerah.
Di kejauhan terdengar suara kokok ayam yang seakan-akan
menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Sahutmenyahut
tanpa menghiraukan apa saja yang telah terjadi di
atas Tanah Perdikan Menoreh yang sedang kemelut dibakar
oleh api pertentangan di antara mereka yang selama ini
bersama-sama memelihara. Apalagi setelah ada orang-orang yang tidak dikenal mencoba
memanfaatkan keadaan untuk kepentingan mereka sendiri.
Kuda-kuda yang berlari di tengah-tengah bulak itu semakin
lama menjadi semakin dekat dengan sebuah padesan yang agak
besar, yang menjadi tempat pasukan Menoreh menarik diri, Karang Sari.
"Apakah perempuan dan anak-anak ada di Karang Sari itu
pula?" bertanya Ki Gede tiba-tiba.
"Tidak, Ki Gede," jawab salah seorang pengawal, "mereka
berada di Patemon." Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi
terdengar ia menggeram, sementara langit menjadi semakin
cerah. Namun agaknya Ki Gede tidak ingin melihat matahari terbit
dalam perjalanannya. Sehingga dengan memandangi langit yang
semburat merah kekuning-kuningan ia berkata, "Kerti, kita harus
sampai ke Karang Sari sebelum fajar."
"Kita akan berusaha, Ki Gede," sahut Kerti sambil
mempercepat kuda mereka pula.
"Aku harus segera mempersiapkan pasukan Menoreh," geram
Ki Gede. Kerti tidak menyahut. Tetapi ia sudah tidak terlampau gelisah
lagi. Mereka sudah tidak akan melampaui tempat-tempat yang
dapat dianggap berbahaya, yang mungkin menjadi tempattempat
bersembunyi bagi para peronda dari pihak Sidanti.
Karang Sari itu pun kemudian telah berada di hadapan
mereka. Sebuah padesan yang tidak begitu besar, dikitari oleh
rumpun bambu ori yang lebat, seolah-olah sengaja ditanam
sebagai benteng yang kuat untuk melindungi desa Karang Sari
dari bahaya. Di antara rumpun bambu ori yang penuh dengan durduri
yang tajam itu, terdapat sebuah lorong yang sempit menyusup di
bawah sebuah regol yang kuat. Itu adalah salah satu dari empat
jalan untuk memasuki desa Karang Sari di empat penjuru.
Ki Gede serasa tidak sabar lagi menunggu langkah kaki
kudanya. Ingin ia meloncat langsung memasuki desa yang
berpagar rapat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada
membiarkan dirinya tetap duduk di atas punggung kuda bersama
dengan Kerti. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka segera mereka
melihat beberapa pengawal bersenjata berdiri di depan regol
desa. Sikap mereka menunjukkan kesiap-siagaan mereka.
Senjata-senjata telanjang tergenggam di tangan mereka dengan
eratnya. Beberapa orang di antara mereka menyongsong maju
dengan tombak merunduk setinggi dada.
Beberapa puluh langkah dari regol itu Kerti memperlambat
langkah kudanya. Para pengawal yang lain kini berada di
belakangnya. Dengan dada berdebar-debar Kerti mengangkat
tangan kanannya ke atas tanpa senjata.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan sebelum ia menghentikan kudanya terdengar salah
seorang pengawal berteriak, "Ki Gede."
Yang lain pun segera meloncat keluar dari regol padesan itu.
Berdesak-desakan. Dan mereka melihat, bahwa sebenarnyalah
yang berada di atas punggung kuda bersama dengan Kerti itu
adalah Ki Gede Menoreh. Maka mereka pun segera menyibak, memberi jalan supaya
kuda Ki Gede Menoreh dapat melangkah maju.
Ketika sorot matahari yang pertama jatuh di atas desa Karang
Sari, maka Ki Gede pun telah berada di regol desa itu. Di antara
para pengawalnya ia merasa dirinya menjadi lebih baik. Dengan
dada yang gemetar ia berkata, "Kita harus menebus kekalahan
ini." Sejenak pengawal-pengawalnya terdiam memandangi wajah
Ki Gede yang pucat. Namun kemudian seperti hentakan yang
melonjak dari dalam dada masing-masing, mereka berteriak
menyambut, "Ya, kita harus menebus kekalahan ini."
Samekta dan Wrahasta yang mendengar suara ribut itu
segera berlarlari ke luar dari rumah di ujung desa itu, yang
mereka pakai sebagai tempat untuk melakukan pimpinan atas
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka terperanjat ketika mereka melihat Ki Argapati yang
pucat duduk di atas punggung kuda dibantu oleh Kerti.
"Apakah Ki Gede terluka," bertanya Samekta dengan sertamerta.
Ki Gede mengangguk perlahan-lahan. Dipaudanginya wajah
Samekta dan Wrahasta bergantganti. Seolah-olah ia ingin
melihat, apa saja yang telah mereka lakukan selama ini.
Sorot mata Ki Gede terasa terlampau tajam menusuk dada
kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
Perlahan-lahan kepala mereka pun kemudian tertunduk. Seolaholah
Ki Gede sedang mengamati ketidak-mampuan mereka
mempertahankan Tanah Perdikan ini dari kehancuran.
Ki Gede melihat kegelisahan di wajah kedua orang itu,
sehingga dengan nada yang dalam ia berkata, "Aku tidak dapat
menyalahkan kalian dan menyalahkan siapa pun. Aku tahu
bahwa kalian telah berbuat sebanyak-banyaknya yang dapat
kalian lakukan. Aku yakin bahwa semua orang telah berjuang
untuk mempertahankan Tanah ini, selain aku sendiri yang asyik
memanjakan perasaan tanpa nalar yang bening. Sekarang
Tanah ini terluka parah dan aku sendiri pun terluka pula."
Semua orang menundukkan kepala mereka. Tidak seorang
pun yang berani menatap wajah Ki Argapati yang sayu dan
pucat. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Ki Gede,
"Tetapi aku ingin memperbaiki kesalahan itu. Sekarang aku akan
memimpin sendiri pasukan Menoreh, merebut kembali daerah
yang terpaksa kalian lepaskan itu."
Samekta hampir-hampir tidak percaya kepada
pendengarannya. Dengan pandangan yang aneh ditatapnya
wajah Ki Gede Menoreh. Tetapi mulutnya tidak segera dapat
mengucapkan sesuatu. "Jangan menjadi gelisah. Aku sendiri yang akan memimpin
pasukan Menoreh sekarang juga."
"Tetapi," suara Samekta terbata-bata, "tetapi bukankah Ki
Gede sedang terluka."
"Lukaku tidak seberapa. Aku akan segera menjadi kuat lagi."
"Tetapi Ki Gede memerlukan beristirahat. Meskipun hanya
satu hari ini. Mungkin besok Ki Gede telah menjadi pulih kembali
dan mampu memimpin pasukan Menoreh yang masih ada untuk
merebut kembali semua tempat yang telah terpaksa kita
lepaskan." "Aku tidak dapat menunggu sampai besok. Aku harus
berangkat hari ini."
Dada setiap orang yang mendengar kata-kata Ki Gede itu
bergetar. Terjadilah pergolakan di setiap dada. Dorongan
perasaan mereka, apalagi ketika mereka melihat Ki Gede sudah
ada di antara mereka, seakan-akan telah membakar jantung
mereka dan mendidihkan darah mereka. Hampir saja para
pengawal itu berteriak, "Sekarang! Sekarang!" Tetapi apabila
mereka lihat Ki Gede yang lemah dan pucat, betapapun ia masih
tetap dijalari oleh tekad yang menyala-nyala, mereka tidak akan
dapat membenarkan sikap yang tergesa-gesa itu. Sikap itulah
yang menjadi teka-teki bagi mereka. Ki Gede Menoreh tidak
pernah kehilangan pengamatan,
seperti kali ini. Karena itu, maka baik para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, maupun para pemimpinnya, tidak segera dapat
menyahut. Mereka seakan-akan terpukau dalam kediaman
mereka. Membeku sambil memandangi wajah Ki Gede yang
pucat. Karena tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata
menyambut perintahnya, maka Ki Gede berkata pula, "Kenapa
kalian menjadi beku" Apakah kalian ragu-ragu, bahwa kita tidak
mampu lagi untuk merebut setiap kedudukan yang telah kita
tinggalkan?" Samekta menelan ludahnya. Selangkah ia maju mendekati Ki
Gede dengan dada yang berdebar-debar. Menurut
tanggapannya, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ki Gede
menjadi terlampau tergesa-gesa mengambil keputusan.
"Ki Gede," berkata Samekta dengan hathati, "marilah. Kami
persilahkan Ki Gede beristirahat. Marilah, kita membicarakannya
dengan tenang." Tetapi Ki Gede Menoreh sama sekali tidak berkenan di hati.
Dengan keras ia menjawab, "Aku tidak akan membicarakannya.
Kalau kalian masih mengakui aku sebagai Kepala Tanah
Perdikan, maka aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap
sekarang." Setiap dada terasa berdesir mendengar kata-kata Ki Gede itu.
Sejenak mereka saling berpandangan. Ki Argapati tidak pernah
demikian. Namun Samekta masih mencoba bertanya, "Ki Gede, apakah
yang menyebabkan Ki Gede harus melakukannya sekarang"
Bagaimana seandainya besok atau setiap saat apabila Ki Gede
sudah pulih kembali."
"O, kalian terlampau memikirkan diri sendiri," suara Ki
Argapati menjadi semakin keras. Kini ia duduk tegak di atas
punggung kudanya meskipun Kerti masih belum turun juga.
"Kalian tidak dapat merasakan, betapa sakit hatiku mengalami
peristiwa ini. Mungkin terlampau pribadi, dan mungkin kalian
tidak mau terseret dalam kepentingan ini. Kalau demikian
baiklah. Aku akan mengambil jalan lain. Tetapi aku harus
mendapatkannya sekarang dalam segala keadaan."
Samekta menjadi semakin tidak mengerti. Dipandanginya
sejenak wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta yang bertubuh
raksasa itu seakan-akan membeku di tempatnya. Di tubuhnya
masih tergores jalur-jalur merah, bekas-bekas luka oleh
sentuhan senjata lawan ketika ia bertempur matmatian
mempertahankan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Agaknya karena sesuatu hal, maka ia tidak mati di peperangan
itu. Seandainya pada saat itu Pandan Wangi masih ada di dalam
rumah itu, maka ia tidak akan beranjak sampai ke ujung
hidupnya. "Baiklah," berkata Ki Argapati kemudian, "beristirahatlah. Aku
akan pergi sendiri."
Samekta menjadi semakin bingung. Kerti pun menjadi
bingung pula. Apalagi ketika ia tersentuh tubuh Ki Argapati yang
menjadi terlampau panas. Panas oleh benturan yang terjadi di
dalam tubuhnya. Benturan antara obat yang memampatkan
lukanya dengan warangan yang ada pada ujung senjata Ki
Tambak Wedi yang tergores di dada Ki Gede Menoreh itu,
meskipun tidak terlampau tajam.
"Ki Gede," berbisik Kerti lirih, "tubuh Ki Gede menjadi
terlampau panas. Mungkin terjadi sesuatu di dalam tubuh Ki
Gede." "Oh," desah Ki Argapati "muugkin. Tetapi aku merasa
semakin sehat. Aku sudah hampir pulih kembali."
"Tetapi apakah agaknya yang memaksa Ki Gede untuk
berbuat sekarang?" bertanya Kerti pula. "Mungkin karena Ki
Gede merasa kehilangan Pandan Wangi?"
"Sudah aku katakan," sahut Ki Gede.
Namun agaknya pertanyaan Kerti itu telah membuat
Samekta, Wrahasta dan orang-orang lain menjadi terperanjat.
Dengan terbata-bata Samekta bertanya "Maksud Ki Gede. Ki
Gede ingin menemukan Pandan Wangi" Dan karena itu Ki Gede
akan pergi sekarang?"
"Sudah aku katakan. Itulah sebabnya maka aku sebut
persoalan ini kalian anggap terlampau pribadi. Aku terlampau
mementingkan diriku sendiri, sekedar mencari anakku yang
hilang itu." "Oh," Samekta maju lagi selangkah, "tidak Ki Gede. Tidak.
Pandan Wangi sama sekali tidak hilang."
"He?" Ki Argapati terbelalak mendengar kata-kata itu.
Samekta mengangguk lemah. Ketika sekali lagi ia
memandang wajah Ki Gede, maka wajah itu sudah menjadi
semakin pucat. Dan bahkan kini tubuh Ki Gede itu mulai
menggigil. Agaknya benturan di dalam darahnya menjadi
semakin dahsyat. Bahkan Kerti mulai bercuriga, apakah obat
dari orang yang membawa cambuk dan mengaku bernama
Gupala itu bukan justru racun yang memperkuat warangan
senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Argapati.
Tetapi Kerti tidak bertanya tentang hal itu.
"Ki Gede," berkata Samekta kemudian, "Pandan Wangi sudah
kembali dengan selamat."
"Siapa yang mengatakannya?" bertanya Argapati.
"Ia ada disini."
"Mana orangnya?"
"Ia sedang tidur. Ia terlampau lelah karena ia bertempur
melawan Ki Peda Sura."
Argapati termenung sejenak. Kata-kata Samekta itu seolaholah
sebuah mimpi saja yang mengganggunya. Perlahan-lahan
dirabanya tengkuknya. Terasa lehernya menjadi terlampau
panas. Tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya menjadi terlampau
lungkrah. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari tubuhnya.
Kini baru ia mengerti, betapa tubuhnya dalam keadaan yang
parah. Namun dengan demikian, ia bertanya di dalam dirinya sendiri,
"Apakah benar aku mendengar bahwa Pandan Wangi ada di
sini" Atau karena keadaanku, maka aku menjadi kehilangan
kesadaran, atau pingsan atau mimpi atau dalam keadaan apa
pun. Tetapi itu hanya sekedar bayangan didalam hati?"
Tetapi ia mendengar lagi Samekta berkata, "Marilah Ki Gede,
kami bawa Ki Gede kepadanya. Kepada Pandan Wangi."
Ki Gede masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, "Marilah. Tetapi kalau kalian
menipuku, maka aku dapat berbuat apa saja di luar sadarku.
Adalah di luar nalar, kalau Pandan Wangi mampu melepaskan
dirinya dari Peda Sura."
Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian segera ia
berpular dan melangkah ke rumah yang diperuntukkan bagi
Pandan Wangi. Beberapa orang yang mengerumuni Ki Gede segera
menyibak ketika kuda Ki Gede melangkah pula maju mengikuti
Samekta. Sementara itu Kerti masih juga duduk dibelakang Ki Gede. Di
belakang kuda itu para pengawal yang sedang tidak bertugas di
regol desa segera mengikutinya berbondong-bondong.
Samekta yang melangkah di depan kuda Ki Gede berjalan
semakin cepat. Seperti seorang senapati yang maju di depan
pasukannya di peperangan.
"Itulah rumah yang dipergunakannya, Ki Gede," berkata
Samekta sambil menunjuk sebuah rumah yang sedang di pinggir
jalan di dalam lingkungan pagar batang-batang pring ori.
Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak maka luka
dan keadaan dirinya sendiri terlupakan lagi. Yang dipandanginya
adalah pintu rumah yang kini telah berada di depannya.
Perlahan-lahan mereka memasuki regol halaman yang tidak
terlampau luas. Wrahasta segera menahan para pengawal yang
tidak berkepentingan agar mereka tidak turut masuk memenuhi
halaman rumah itu. Suara ribut-ribut di luar ternyata telah mengejutkan Pandan
Wangi yang sedang beristirahat di bilik dalam rumah itu. Dengan
hati yang berdebar-debar ia melangkah ke luar. Kedua
pedangnya tetap siap di lambungnya.
"Apakah yang diributkan oleh orang-orang di luar itu bibi?"
bertanya Pandan Wangi kepada seorang perempuan tua pemilik
rumah itu. "Entahlah, Ngger. Aku belum menjenguk juga."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku akan melihatnya sebentar."
Perempuan tua yang lagi duduk di belakang alat tenunnya itu
menengadahkan wajahnya. Sambil memiringkan kepalanya ia
berkata, "Ya, aku memang mendengar orang ribut di halaman."
Tetapi perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak
kemudian ia telah mulai melemparkan jarum tenunnya lagi.
Pandan Wangi menarik nafas. Agaknya perempuan tua itu
tidak tertarik lagi kepada apa pun juga selain jarum tenunnya
yang besar itu. "Apakah Paman tidak ada di rumah?" bertanya Pandan Wangi
pula. "Tidak, Ngger. Pamanmu sedang keluar," jawabnya. Tetapi
perempuan itu sama sekali tidak berpaling.
Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas.
Dan Pandan Wangi itu terperanjat ketika ia mendengar desah
langkah seseorang masuk. Sebelum ia melihat orangnya,
Pandan Wangi tdah mendengar suara orang itu memanggilnya.
"Angger Pandan Wangi. Apakab kau sudah bangun?"
"Paman Samekta," desis Pandan Wangi.
Samekta kini telah berdiri di depan pintu. Katanya
selanjutnya, "Aku telah mendengar suaramu. Tentu kau sudah
tidak tidur lagi." "Aku banya dapat tidur sekejap, Paman. Selebihnya aku
banya sekedar berbaring saja." Pandan Wangi berhenti sejenak,
lalu, "Siapakah yang berada di luar selain Paman Samekta."
"Marilah, lihatlah sendiri."
"Siapa?" "Wrahasta." "Ah," Pandan Wangi berdesah.
"Ada yang lain lagi, Ngger, marilah, lihatlah sendiri."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Tetapi Samekta
mendesaknya. "Marilah, Ngger, lihatlah siapakah yang
menunggumu di luar."
Samekta tidak menunggu jawaban Pandan Wangi. Segera ia
berbalik dan melangkah ke luar, melintas pendapa.
Dengan ragu-ragu Pandan Wangi mengikutinya di belakang.
Ketika ia melangkahi pintu, maka di bawah tangga pendapa
dilihatnya seekor kuda yang dipegangi oleh seorang pengawal.
Di belakang pengawal itu ia melihat Kerti sedang menolong
seseorang turun dengan susah payah dari kuda itu.
Tiba-tiba Pandan Wangi terpekik, "Ayah."
Dengan cepatnya Pandan Wangi meloncat berlari
menyongsong ayahnya yang baru saja turun dari punggung
kudanya. Menilik keadaannya, Pandan Wangi segera dapat
mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi atas ayahnya itu.
Karena itu maka dadanya serasa berhenti, seolah-olah
menghentikan arus nafasnya.
Ki Argapati mendengar suara anaknya. Sejenak ia
menengadahkan dadanya. Dipandangmya seseorang yang
berlari ke arahnya. Seorang gadis dengan dua buah pedang di
lambungnya sebelah-menyebelah.
"Pandan Wangi."
Pandan Wangi yang berlarlari itu langsung memeluk
ayahnya yang lemah sambil berdesis, "Ayah, kenapa ayah?"
Ayahnya tidak segera menjawab. Tetapi Pandan Wangi
terperanjat ketika tubuhnya tersentuh badan ayahnya. "Ayah
terlampau panas." Dengan tangannya yang lemah dilayani oleh Kerti Ki Argapati
membelai kepala puterinya. Terdengar suaranya terlampau
dalam, "Kau selamat Pandan Wangi."
"Ya, Ayah, aku selamat," sahut Pandan Wangi, suaranya
menjadi gemetar. Betapa ia bertahan, namun ia adalah seorang
gadis. Karena itu, maka terasa di pipinya air matanya mengalir
satu-satu. "Aku mendengar kau terlibat dalam perang tending melawan
Ki Peda Sura." "Ya, Ayah." "Hanya tangan Tuhanlah yang dapat menyelamatkanmu."
Pandan Wangi mengangguk. "Ya ayah."
Ki Argapati terdiam sejenak. Tangannya masih membelai
rambut puterinya yang kini menangis terisak-isak.
"Ki Gede," berkata Kerti yang melayaninya, "sebaiknya,
silahkan Ki Gede naik dan beristirahat."
"Oh," Pandan Wangi berdesah sambil melepaskan
pelukannya. "Ya, Ayah. Silahkan Ayah naik. Apakah Ayah
terluka?" Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya semakin
lirih, "Ya, aku terluka Wangi."
"Dan tubuh Ayah terlampau panas. Apakah luka itu
berbahaya dan parah?"
Argapati tidak segera menyahut. Dipalingkan wajahnya,
beredar di halaman rumah itu. Dilihatnya beberapa orang
pengawal berdiri mematung. Yang lain menyilangkan tombaknya
di regol, supaya orang-orang yang tidak berkepentingan tidak
masuk ke halaman. "Ayah, apakah luka Ayah cukup parah?"
Ki Argapati yang lemah itu menggelengkan kepalanya.
Desisnya, "Tidak Wangi. Lukaku tidak terlampau parah."
"Tetapi Ayah sangat pucat dan tubuh Ayah sangat panas."
Ki Argapati mencoba tersenyum. Namun tampak betapa ia
menahan gejolak di dalam tubuhnya. Perasaan yang aneh
menjalar menyusur peredaran darahnya. Di dalam dadanya
serasa menyala api yang sangat panasnya.
"Angger," potong Kerti kemudian ketika Pandan Wangi masih
ingin bertanya, "Biarlah Ki Gede Menoreh naik ke rumah dan
beristirahat." "O, marilah. Marilah Ayah."
Kerti dan Pandan Wangi kemudian membamu Ki Gede
menaiki tangga pendapa. Perlahan-lahan mereka melintas dan
masuk ke ruang dalam. "Bibi," berkata Paudan Wangi kepada perempuan tua yang
lagi menenun di sudut ruang, "Ayahku minta ijin untuk tinggal di
rumah ini pula bersamaku, Bibi. Ayah sedang terluka."
Perempuan tua itu berpaling sejenak. Dipandanginya Argapati
yang menjadi semakin lemah. Acuh tidak acuh ia menjawab,
"Silahkan. Bawalah masuk ke bilik sebelah."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu
segera melanjutkan kerjanya tanpa memperhatikan lagi orangorang
yang berada di dalam rumahnya.
Perempuan tua itu tidak berpaling ketika Pandan Wangi
menyahut, "Terima kasih, Bibi."
Namun tiba-tiba perempuan itu terbelalak. Dengan terbatabata
ia bertanya, "Siapa" Siapa yang kau katakan akan tinggal di
rumah ini bersamamu?"
"Ayah, Bibi. Ayahku."
"Maksudmu, Ki Gede Menorah?"
"Ya, Bibi." "O," dengan tergesa-gesa perempuan tua itu melepaskan
dirinya dari alat tenunnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan
berkata, "Maaf. Maafkan aku. Aku tidak menyadari bahwa yang
datang adalah Ki Gede Menoreh."
Maka terbungkuk-bungkuk perempuan tua itu melangkah ke
bilik yang lain sambil berkata, "Di sini. Di sinilah Ki Gede akan
beristirahat." Dengan tergesa-gesa pula ia mengemasi pembaringan di
dalam bilik itu. Dibentangkannya tikar pandan yang putih sambil
bergumam, "Aku tidak menyangka, bahwa Ki Gede akan sudi
singgah di rumah ini."
Ki Gede Menoreh yang terluka itu pun segera dibaringkan di
pembaringan itu. Tubuhnya ternyata menjadi semakin panas,
dan nafasnya menjadi tersengal-sengal.
Kerti, Samekta. Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa
pemimpin pengawal yang lain menungguinya dengan cemas.
Betapa garangnya Pandan Wangi, namun sebagai seorang
gadis yang menghadapi ayahnya yang terbujur dengan wajah
pucat dan tubuh menggigil, Pandan Wangi tidak dapat
menyembunyikan perasaannya. Betapa ia mumpuni
mempergunakan sepasang senjatanya, namun untuk mengatasi
keadaan ayahnya ia tidak dapat mempergunakan
kemampuannya mempergunakan sepasang pedangnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka tidak ada yang dapat
memberinya pengharapan selain Kekuasaan Yang Tertinggi.
Tidak ada senjata, tidak ada pedang, tombak atau apa pun juga
yang akan mampu menolongnya, selain Sumber Hidupnya.
Karena itu, maka baik Pandan Wangi mau pun Ki Argapati
sendiri, dalam keadaan demikian telah melepaskan dirinya dari
segala macam kemampuan diri, segala macam jenis senjata dan
ilmu yang paling dahsyat sekalipun. Kini mereka mencoba
mendekatkan diri semakin lekat kepada Penciptanya.
Namun ternyata Ki Gede Menoreh yang telah lebih dalam
menyadap pengalaman hidup, lebih cepat dapat menyandarkan
perasaannya. Ia lebih cepat meletakkan dirinya ke dalam tangan
Yang Maha Kuasa, dalam pasrah diri yang sedalam-dalamnya.
Karena itu, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk tersenyum dan berkata lirih kepada Pandan
Wangi, "Pandan Wangi, kenapa kau menjadi terlampau cemas?"
"Ayah panas sekali, bahkan menggigil."
"Luka ini sudah diobati Wangi. Jangan cemas."
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia bahkan menjadi semakin
curiga terhadap obat yang telah ditaburkan di atas luka Ki Gede.
Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, supaya Ki Gede Menorek
tidak menjadi cemas pula.
Tetapi ngaknya Ki Gede dapat mengerti kecemasan yang
tersirat di hati Kerti, sehingga sambil tersenyum ia berkata,
"Jangan mencemaskan obat yang telah kau taburkan di atas
luka itu Kerti. Aku percaya bahwa orang itu tidak akan berkhianat
meskipun aku sudah hampir tidak dapat mengingatnya lagi
siapakah dan bagaimanakah bentuk wajahnya."
Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya pula,
"Tetapi bukankah keadaan Ki Gede menjadi semakin sulit."
Ki Gede adalah seseorang yang memiliki pengetahuan yang
jauh lebih luas dari orang-orangnya. Dalam keadaan yang
demikian ia masih dapat membuat perhitungan atas dirinya
sendiri. Katanya, "Mudah-mudahan aku menjadi segera lebih
baik, Kerti. Mungkin benturan antara kekuatan racun pada
senjata Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas lukaku,
telah terjadi di dalam arus darahku. Tetapi kalau aku mampu
mengatasinya, maka aku akan segera baik."
Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang
di wajahnya, di wajah Wrahasta dan di wajah Samekta, bahkan
di wajah-wajah yang lain.
Dalam keadaan yang demikian, ternyata bahwa orang-orang
di sekitar Ki Gede itu tidak mampu lagi untuk menenteramkan
hati mereka sendiri, apalagi bagi yang sedang terluka. Setiap kali
mereka berdesah untuk melepaskan ketegangan yang
menghimpit dada mereka. Dalam ketegangan, mereka yang berada di sekitar Ki Gede
berdiri tegak dalam kediaman. Mereka memandang wajah Ki
Gede yang pucat dan suram. Yang dapat mereka lakukan
hanyalah menunggu apa yang akan terjadi atas Ki Gede
kemudian. Namun di dalam hati mereka tidak sepi dari doa dan
harapan atas kemurahan Tuhan Maha Pencipta.
Nafas Ki Gede Menoreh pun menjadi semakin deras. Arus
panas di dalam darahnya menyebabkannya basah oleh keringat.
Pandan Wangi akhirnya tidak dapat menahan ketegangan di
dalam dirinya sehingga terloncatlah pertanyaannya kepada Kerti,
"Paman, obat apakah yang telah dipergunakan oleh ayah?"
"Seseorang telah memberi obat itu di bawah Pucang Kembar,
Ngger." "Siapakab orang itu?"
Kerti mengaugkat bahunya sambil berdesah, "Aku baru
melihatnya sekali itu. Namanya Gupala."
"Oh," Pandan Wangi terperanjat, "jadi ayah mempergunakan
obat dari seseorang yang belum jelas bagi Paman dan bagi ayah
sendiri?" Kerti menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Gede yang
pucat. Namun sebelum Kerti menjawab, terdengar suara Ki
Gede lirih, "Aku tidak berprasangka jelek kepada anak yang
gemuk itu, Kerti. Aku harap bahwa aku akan menjadi semakin
baik seteiah benturan yang terjadi antara kekuatan racun dan
obat itu mereda." Kerti tidak menjawab, dan Pandan Wangi pun tidak bertanya
lagi. Mereka kini berdiri seperti patung menyaksikan Ki Gede
yang terbaring diam sambil memejamkan matanya. Dicobanya
untuk memusatkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam
perjuangannya mengatasi keadaan yang gawat pada dirinya.
Tetapi Ki Gede meletakkan dirinya pada lambaran yang mapan.
Pasrah setulus hati kepada Kekuasaan Yang Tertinggi.
Ruangan itu kini menjadi sepi. Perempuan tua pemilik rumah
itu sudah tidak menenun lagi. Meskipun ia berdiri di luar pintu,
namun ia dapat ikut merasakan, betapa ketegangan
mencengkam ruang di dalam.
Hanya nafas-nafas yang tertahan sajalah yang terdengar.
Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip. Semuanya
menatap wajah Ki Gede yang pucat pasi. Kadang-kadang
mereka memandangi nafasnya yang bekejaran dan dadanya
yang menggelombang. Tangannya yang gemetar bersilang di
atas dadanya, sedang kedua kakinya terbujur lurus di bawah
selimut kain panjang. Sekalkali mereka melihat Ki Gede menarik nafas dalamdalam.
Sekalkali Pandan Wangi mengusap keringat yang
mengembun di kening ayahnya, perlahan-lahan sekali. Tetapi
Pandan Wangi tidak berani bertanya sesuatu.
Dadanya berdesir ketika ia melihat tombak pendek ayahnya
terbaring di sisi tubuh Ki Argapati itu. Belum dimasukkan ke
dalam selongsongnya, meskipun sudah berwrangka.
Tiba-tiba dendamnya kepada Ki Tambak Wedi melonjak
sampai ke ujung ubun-ubun. Kalau terjadi sesuatu atas ayahnya,
maka segala kesalahan adalah tanggung jawab iblis tua itu.
Sejak ayahnya kawin dengan ibunya yang sudah mengandung
kakaknya Sidanti, kemudian kemelutnya Tanah Perdikan
Menoreh adalah akibat semata-mata dari kelahiran Sidanti, dan
akhirnya keadaan ayahnya yang parah saat ini.
Tanpa sesadarnya, maka Pandan Wangi menggeretakkan
giginya, sehingga Kerti berpaling ke arahnya. Orang tua itu
segera dapat menangkap betapa kemarahan menyala di hati
gadis yang perkasa itu. Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia segera
menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang akan mampu
melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Gede Menoreh. Apalagi di
lingkungan mereka terdapat orang-orang yang bernama Ki Peda
Sura, Sidanti, Argajaya, dan orang-orang yang tidak mereka
kenal sebelumnya. *** Dalam ketegangan keadaan itu, Kerti mencoba menilai
keadaan secermat-cermatnya. Pasukan Samekta telah terpukul
mundur, bahkan bersama-sama dengan para pengawal pilihan
yang dipimpin oleh Wrahasta. Tetapi apakah yang dapat
dilakukan Samekta dan Wrahasta menghadapi Sidanti dan
Argajaya" Adalah suatu keajaiban bahwa Pandan Wangi tidak
terbunuh atau tertangkap ketika ia berkelahi melawan Ki Peda
Sura. Tetapi Pandan Wangi masih belum mengatakan, apakah
sebabnya ia berhasil melepaskan dirinya.
Angan-angan mereka itu segera tersentak ketika mereka
mendengar desah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, kemudian sekali
lagi menarik nafas dalam-dalam.
"Ayah," desis Pandan Wangi. Ki Gede tidak segera
menjawab. "Ayah, Ayah," Pandan Wangi menjadi pucat, "Ayah."
Hampir saja ia menjerit sambil memeluk ayahnya, apabila
Kerti tidak segera menahannya, "Jangan, Ngger. Jangan
membuat ayah terkejut. Lihat, nafasnya menjadi semakin
teratur." "Tetapi"."
Pandan Wangi menjadi semakin bingung ketika Kerti tidak
juga melepaskannya. Lenyaplah gambaran seorang prajurit yang
tangkas di peperangan. Yang ada kini adalah seorang gadis
yang kecemasan menunggui ayahnya, satu-satunya orang
tuanya yang ada, yang sedang dibelai maut.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Ngger. Lihatlah. Ayah sedang mencoba mengatasi
kesulitan yang ada di dalam dirinya dengan memusatkan
segenap kemampuanya dan kekuatan yang tersisa. Ayah
sedang memohon kepada Tuhan dengan segenap hatinya,
segenap budinya. Marilah kita ikut berdoa di dalam hati."
"Tetapi, tetapi, bagaimanakah keadaan ayah itu nanti."
"Jangan cemas. Kita pasrahkan keadaannya kepada
Penciptanya. Tetapi menilik tata-lahir yang kasat mata, keadaan
ayahmu menjadi semakin baik."
"Tetapi, tetapi, apakah obat itu bukan justru menyesatkan?"
Pertanyaan itu menyentuh perasaan Kerti yang betapapun
kecilnya mempunyai dugaan serupa pula. Tetapi ia yakin, bahwa
Ki Gede sendiri, seorang yang hampir mumpuni, pasti dapat
membedakan, apakah yang sedang terjadi atas dirinya,
sehingga karena Ki Gede sendiri sama sekali tidak
berprasangka, maka ia tidak berbuat apa-apa.
"Paman," Pandan Wangi mendesak, "apakah tidak ada
reorang dukun yang cukup cakap untuk mengetahui, apakah
yang menyebabkan ayah menjadi terlampau panas dan parah
seperti ini." Kerti tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Seandainya ada
seorang dukun yang cakap tentang obat-obatan, namun Ki
Argapati sendiri telah mantap mempergunakan obat dari orang
yang belum begitu dikenalnya itu. Tetapi meskipun demikian,
ikhtiar itu harus dilakukan. Pendapat Pandan Wangi itu dapat
diusahakan seandainya mungkin.
Karena itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berdesis, "Memang hal itu pun akan dapat kami coba."
Kerti pun kemudian berbisik kepada seseorang yang berdiri di
belakangnya, untuk menghubungi pemimpin-pemimpin pengawal
yang lain. Yang mungkin dapat memanggil seseorang yang
mampu menolong keadaan Ki Gede yang sedang parah itu.
Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Aku akan mencoba."
"Tetapi orang itu harus benar-benar dapat dipercaya. Lebih
baik apabila orang itu tinggal di daerah ini. Orang yang selama
ini selalu berhubungan dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan
ternyata kini telah berada di pihak Sidanti."
"Ki Wasi?" bertanya orang itu.
Kerti mengangguk. "Ya, orang itu ternyata kini berpihak
kepada lawan meskipun selama ini ia selalu dekat dengan Ki
Gede dalam soal obat-obatan."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
"Tetapi bukankah obat yang dipergunakan oleh Ki Gede ini
bukan obat dari Ki Wasi."
Kerti menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku kira bukan."
Namun terbersit keragu-raguan di dalam dadanya. Apakah anak
yang gemuk itu bukan sekedar suruhan Ki Wasi untuk meracuni
Ki Argapati" "Ah, kenapa aku menjadi terlampau cemas," berkata Kerti di
dalam hatinya. "Ki Gede telah mengenal cirrciri orang yang
memberinya obat. Agaknya Ki Gede mempercayainya. Kenapa
aku menjadi terlalu gelisah?"
Kerti mengangguk ketika pengawal itu berkata, "Baiklah aku
pergi sekarang. Mudah-mudahan di padesan ini aku dapat
menemukannya. Yang benar-benar baik dan dapat dipercaya."
"Pergilah. Asal bukan Ki Wasi dan Ki Muni. Kedua-duanya
tidak lagi dapat dipercaya."
Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu, untuk
mencoba memenuhi permintaan Kerti dan Pandan Wangi.
Pandan Wangi, Wrahasta, Kerti, dan beberapa orang yang
lain masih saja mengerumuni Ki Argapati dengan dada yang
dicengkam oleh ketegangan. Ki Argapati masih terbaring diam
sambil memejamkan matanya, dengan tangan bersilang di
dadanya. "Bagaimana keadaan ayah, Paman?" Pandan Wangi berbisik
dalam kecemasan yang mencengkam.
"Kita hanya dapat menunggu, Ngger. Tetapi setidak-tidaknya
keadaannya tidak menjadi semakin parah. Bahkan, lihatlah,
pernafasannya sudah jauh lebih baik dan teratur."
"Ayah telah mengerahkan tenaganya untuk mengatur jalan
pernafasannya. Tetapi apakah ia dapat bertahan?"
Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang sangat
membayang di matanya. Keningnya yang telah berkerut, menjadi
semakin berkerut-merut. Wrahasta yang berdiri tegak di samping Kerti, sama sekali
tidak bergerak. Ia pun tidak kalah cemasnya dari Kerti dan
Samekta. Tetapi seperti juga Samekta, ia berusaha untuk
menekan kecemasannya di dalam hatinya. Apalagi mereka tidak
melihat langsung seperti Kerti, seseorang yang kurang mereka
kenal memberikan obat kepada Ki Gede, dan obat itu telah
ditaburkan di atas lukanya.
Di halaman rumah itu, pengawal yang mendapat tugas dari
Kerti untuk mencari seorang dukun, segera melakukan tugasnya.
Dengan tergesa-gesa ia berlalu dari halaman rumah itu,
menghubungi seorang penduduk untuk menanyakan apakah di
padukuhan itu ada seorang dukun yang baik untuk mengobati
luka-luka baru, luka-luka karena senjata dan racun.
Tetapi pengawal itu kecewa ketika ia melihat orang itu
menggelengkan kepala. "Sayang, di desa ini tidak ada seorang
pun yang pantas untuk mengobati luka. Apakah Ki Gede terluka
parah?" "Ya, Ki Gede terluka."
"Apakah luka itu berbahaya bagi jiwanya?"
Pengawal itu terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan
itu. Namun kediamannya telah memberikan kesan kepada orang
yang bertanya kepadanya, bahwa memang keadaan Ki Gede
cukup berbahaya. Berita tentang keadaan Ki Gede itu pun segera tersiar. Orang
orang yang berdiri di luar halaman, di gardu-gardu dan hampir di
segala tempat, telah mempercakapkan keadaan Ki Gede
Menoreh. Mereka menjadi sangat berprihatin. Pada saat tanah
perdikan ini mengalami bencana, maka pada saat yang demikian
Ki Gede berada dalam keadaan luka parah, dan bahkan
membahayakan jiwanya. Pada saat orang-orang di seluruh padesan itu sedang berdoa
untuk keselamatan Ki Gede, seluruh pengawal yang mundur ke
dalam daerah itu, dan seluruh peududuk di daerah-daerah yang
masih setia kepadanya, mengharapkan kesembuhannnya, maka
para pengawal di jurusan Timur padesan itu telah dikejutkan oleh
suara panah sendaren yang meluncur dari dalam daerah
lingkungan bambu berduri.
Suara panah sendaren itu benar-benar telah menarik
perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal yang
berada di daerah itu segera memberikan perintah. "Dua orang
pergi bersama aku." Ketiganya segera meloncat ke atas punggung kuda berlari ke
arah panah sendaren itu meluncur. Namun agaknya mereka
telah terlambat. Panah itu jatuh ke dalam sebuah pategalan yang
agak rimbun. Ketika kuda mereka mendekat, maka mereka
melihat seekor kuda meluncur dengan cepatnya, menerobos
dedaunan berlari ke jurusan induk kademangan.
"Seorang pengbubung atau petugas sandi dari Sidanti."
"Marilah kita kejar," geram salah seorang pengawal itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya,
"Tidak akan dapat kita capai. Kuda itu tidak kalah baiknya
dengan kuda-kuda kita. Kita kalah waktu dan kita pasti akan
terjebak." Tetapi panah itu sangat menarik perhatian para pengawal,
sehingga pemimpin pengawal itu berkata seterusnya, "Kita harus
melaporkan, bahwa di dalam lingkungan kita pasti ada petugas
sandi Sidanti yang telah melepaskan panah sendaren itu."
Ketiga pengawal berkuda itu segera berpacu kembali.
Dengan segera mereka pun berusaha menemui Samekta yang
sedang menunggui Ki Gede yang sedang sakit.
"Ada apa?" bertanya Samekta berbisik.
Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Beberapa langkah
ia bergeser diikuti oleh Samekta yamg mengerti maksud
pengawal itu. Lalu katanya, "Seseorang telah melepasksan
panah sendaren dari ujung desa ini."
Samekta mengerutkan keningnya. Berita itu merupakan berita
penting baginya. "Kami bertiga sudah berusaha untuk mengejar panah
sendaren itu, karena kami yakin bahwa seseorang telah
menunggunya. Tetapi ternyata kami terlambat."
"Kenapa?" "Panah sendaren itu merupakan sesuatu yang tiba-tiba bagi
kami. Ketika kami berkuda menyusul arah panah itu, maka
seekor kuda yang lain telah berlari kencang-kencang dari
petegalan sebelah." "Apakah kalian tidak mengejarnya?"
"Sudah terlampau jauh."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya.I Ia dapat
mengerti, bahwa mustahil para pengawal dapat berbuat
terlampau cepat dan tiba-tiba, memacu kudanya secepat anak
panah pula. Tetapi peristiwa itu tidak akan dapat dibiarkannya saja. Maka
sebelum ia menemukan pemecahan ia berkata, "Awasi keadaan
baik-baik. Usahakan untuk mengetahui, siapakah yang telah
melepaskan anak panah itu, atau setidak-tidaknya berusaha
untuk mencegah, jangan sampai hal serupa itu terulang."
Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya.
Kemudian ia minta diri, meninggalkan rumah itu. Sekali ia
berpaling, mencoba memandang wajah Ki Gede dari sela-sela
yang mengerumuninya. Wajah itu masih juga pucat, dan mata Ki
Gede masih saja terpejam.
Kerti yang berdiri di samping Pandan Wangi dengan
gelisahnya menunggu orang yang disuruhnya mencari seorang
dukun yang mungkin dapat membantu Ki Argapati, tetapi orang
itu masih juga belum datang. Sedang keadaan Ki Gede
merupakan teka-teki yang menegangkan bagi mereka yang tidak
begitu mengerti tentang persoalan serupa itu.
Dengan tergesa-gesa Kerti menyongsongnya, ketika orang
yang disuruhnya itu memasuki pintu. Tetapi ia menjadi kecewa
ketika orang itu mengangkat bahunya sambil berkata, "Tidak
ada. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukannya dengan
meyakinkan. Di sini memang ada dukun-dukun kecil yang hanya
mampu mengobati luka-luka kecil. Mungkin sakit sawan atau
kerasukan. Tetapi tidak untuk melawan luka yaug begitu parah."
Kerti menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi semakin
cemas. Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Perlahan-lahan ia melangkah kembali ke tempatnya di samping
Pandan Wangi. "Bagaimana, Paman?" bisik Pandan Wangi.
"Belum, Ngger. Orang itu belum menemukan. Tetapi yang lain
masih akan berusaha terus."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kecemasan yang
sangat membayang di wajahnya. Tetapi seperti juga Kerti, ia pun
tidak mampu berbuat apa-apa selain menunggu. Menunggu dan
berdoa di dalam hati. Ia masih mengharap, bahwa secepatnya
akan ada orang yang datang untuk membantu memperingan
penderitaan Ki Gede dengan segala cara. Namun sebenarnya ia
tidak akan dapat mengharap siapa pun. Kerti pun tidak, karena
orang yang disuruhnya itu, tidak lagi berusaha untuk
mendapatkan orang lain. Tidak ada orang yang dapat
diharapkannya lagi. Namun sementara itu, seseorang berjalan tertatih-tatih
mendekati gardu penjagaan. Dengan nafas terengah-engah ia
berkata kepada para penjaga, "Aku akan keluar, Ngger."
"Apakah keperluanmu, Kek?" bertanya seorang pengawal.
"Aku akan mencari seorang dukun yang baik, yang mungkin
mampu mengobati luka-luka Ki Argapati."
"Kemana kau akan pergi?"
"Kemana pun juga. Ki Samekta menyuruh aku
mendapatkannya segera di mana pun."
Beberapa orang pengawal saling berpandangan sejenak.
Ketika pemimpin pengawal menganggukkan kepalanya, maka
pengawal itu berkata, "Pergilah. Hathati, Kek. Keadaan
semakin gawat." "O, tidak ada lagi halangannya buat seorang seperti aku,
Ngger. Aku sudah tua."
"Tetapi kau harus hathati. Apalagi kalau orang lain tahu
bahwa kau mencari obat untuk Ki Argapati."
"Baik, Ngger." Orang itu pun kemudian berjalan tersuruk-suruk di panasnya
matahari meninggalkan padesan yang dilingkungi oleh pering ori
yang rapat, membentengi tempat pemusatan pasukan induk
pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak dari
padukuhan induk. Berita tentang luka Ki Argapati memang sudah tersebar
sampai hampir seluruh tanah perdikan. Tetapi tidak seorang pun
di luar lingkungan pagar pering ori yang tahu keadaan
sebenarnya dari luka Ki Gede itu. Ki Tambak Wedi yang tahu
benar tentang luka itu pun, tidak dapat membayangkan
akibatnya. Apakah yang kemudian terjadi dengan Ki Gede itu.
Apakah luka itu menjadi bertambah parah, ataukah Ki Gede
dapat mengabaikannya. Ketika Ki Tambak Wedi
meninggalkannya, tampaknya Ki Gede masih tetap segar dan
mampu melawannya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi memerlukan keterangan.
Yang diharapkannya adalah beberapa orang yang memang
sudah berada di dalam lingkungan pering ori itu, di padukuhan
kecil tempat induk pasukan Menoreh menempatkan dirinya.
Ketika seorang petugas sandinya datang dan melaporkan
bahwa sudah ada tanda panah sendaren dari seseorang di
dalam lingkungan pasukan Menoreh, maka harapan Ki Tambak
Wedi menjadi semakin besar untuk segera dapat mengetahui
apakah yang telah terjadi dengan Ki Argapati.
"Ia pasti segera datang," desisnya.
Sidanti mengannguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab. Sekilas dilihatnya wajah Argajaya dengan sudut
matanya. Wajah itu pun sama sekali tidak memberikan kesan
apa pun juga. Sementara itu, orang tua yang keluar dari daerah tertutup,
pemusatan pasukan Menoreh semakin lama menjadi semakin
jauh dari regol desa. Ketika orang tua itu berbelok dan masuk ke
dalam daerah pategalan, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam.
Punggungnya yang selama ini terbungkuk-bungkuk menjadi
tegak kembali. Sambil menggeliat ditekankannya kedua
tangannya di lambungnya sambil bergumam lirih, "Hem, serasa


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir patah punggungku."
Sejenak kemudian orang itu berpaling. Sama sekali tidak
dilihatnya seseorang menyusulnya. Daerah iu benar-benar
merupakan daerah mati. "Aku harus segera menyampaikannya kepada Sidanti, bahwa
luka Ki Argapati sangat parah, bahkan hampir merenggut
jiwanya," katanya di dalam hati.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika
ia akan melangkahkan kakinya ia mendengar gemerisik di
sampingnya. Cepat ia meloncat dan bersiaga untuk menghadapi
setiap kemungkinan. Sejenak kemudian dari balik rimbunnya dedaunan, muncul
seseorang sambil berkata, "Hem, aku sudah mengira."
Orang tua itu terperanjat. Orang yang muncul dari balik
rimbunnya dedaunan itu adalah salah seorang pengawal
Menoreh. "Apa yang kau duga?" bertanya orang tua itu.
"Aku bercuriga melihat kau keluar dari padesan untuk mencari
obat buat Ki Argapati. Ki Samekta tidak akan memerintahkan
kepadamu, seandainya ia benar-benar memerlukan. Ternyata
belum terlampau jauh, kau telah membuka kedokmu. Kau
ternyata tidak terlampau tua seperti yang kau perankan. Kau
belum begitu lemah dan belum saatnya berjalan tersuruk-suruk.
Bahkan agaknya kau masih mampu untuk bertempur."
"Hem," orang tua itu menarik nafas, "Hidung petugas sandi
pengawal Menoreh cukup tajam."
"Bukankah kau juga orang Menoreh" Kita pasti sudah pernah
berjumpa sebelum ini. Aku pernah mengenalmu, tetapi tidak
tertatih-tatih dan tersuruk-suruk seperti keadaanmu pada saat
kau keluar dari regol desa itu. Itulah yang membuat aku
bercuriga. Tetapi kau tetap dilepaskan, seolah-olah kami sama
sekali tidak menaruh perhatian atasmu. Nah, sekarang, marilah
kita kembali saja. Kalau kau tidak terlalu banyak ribut, maka kau
tidak akan mengalami nasib terlampau jelek."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia tegak
seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba, secepat kilat ia
mencabut sehelai keris kecil dari wrangkanya di bawah bajunya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi ia langsung
menyerang, menusuk dada. Tetapi pengawal dari Menoreh itu pun telah mempersiapkan
dirinya. Sehingga dengan demikian, maka ia pun mampu untuk
meloncat mneghindari serangan itu.
"Hem, kau melawan, Kek?" katanya.
Orang tua itu tidak menjawab, Tetapi serangannya telah
berulang lagi. Semakin lama semakin cepat. Kerisnya mematukmatuk
dengan dahsyatnya seperti seekor bilalang yang
melenting-lenting untuk hinggap di tubuh pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu. Dengan demikian, maka petugas sandi dari Menoreh itu tidak
dapat terus-menerus menghindar dan menghindar. Akhirnya ia
pun harus bertempur pula.
Sesaat kemudian kedua tangannya telah menggenggam
sepasang pisau belati pendek, yang segera terayun-ayun
dengan dahsyatnya, menyambar-nyambar mengimbangi gerak
keris lawannya. Demikianlah, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi
semakin sengit. Masing-masing ternyata adalah orang-orang
terpilih. Orang orang yang memiliki beberapa kelebihan dari
kawan-kawan mereka sehingga mereka mendapat tugas untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.
Setelah perkelahian itu berlangsung beberapa saat, maka
ternyata bahwa pengawal tanah perdikan yang sedang
bertempur itu memiliki beberapa kelebihan dari lawannya.
Umurnya masih jauh lebih muda dan nafasnya masih tetap
segar, meskipun ia telah memeras kemampuannya. Sedang
orang tua yang bersenjata keris itu semakin lama telah menjadi
semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggunya, dan
ketuaannya agaknya berpengaruh juga atas kelincahannya,
meskipun sebenarnya ia tidak perlu berjalan tertatih-tatih dan
tersuruk-suruk. Orang tua yang merasa dirinya terdesak itu segera
mengerahkan tenaganya. Dicobanya untuk mengimbangi
kemampuan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun
berusaha sekuat tenaganya untuk segera mengakhiri
perkelahian itu. Dalam keadaan serupa itu, maka tidak ada jalan lain bagi
orang tua itu daripada melarikan diri. Ia merasa bahwa ia
mempunyai kecakapan yang melebihi orang-oran kebanyakan.
Ia mampu berlari cepat sekali.
Namun sebelum ia mulai melepaskan langkah pertamanya,
tiba-tiba sekali lagi mereka dikejutkan oleh gemerisik dedaunan
di sekitar mereka. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu
meloncat surut ketika ia melihat bahwa orang yang datang itu
adalah orang Sidanti. "Hem, aku sudah menyangka," desis orang itu.
"Apa?" bertanya orang tua yang hampir kehabisan nafas
sambil bertolak pinggang.
"Aku menyangka bahwa perjalananmu terganggu." Kemudian
ia berpaling kepada petugas sandi yang baru saja berkelahi itu,
"Kau dapat menemukannya, bahwa ia adalah seorang petugas
kami?" Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu menjawab, "Kita
adalah orang-orang Menoreh. Sudah tentu kita sudah pernah
saling bertemu dan saling mengenal meskipun belum begitu
rapat. Aku juga pernah mengenal kau sebagai bekas pengawal
tanah perdikan ini. Kau pun pasti sudah mengenal aku pula."
"Bukan aku yang bekas pengawal tanah perdikan ini, tetapi
kau." Pengawal itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya kedua
orang pengikut Sidanti itu bergantganti.
"Jangan menyesal, karena kau mengikuti aku," berkata orang
tua itu. "Memang sudah lazimya terjadi di daerah peperangan.
Kalau seseorang gagal membinasakan lawannya, maka ia
sendirilah yang mungkin akan menjadi binasa. Bukankah
begitu?" Pengawal itu menganggukkan kepalanya. "Ya, itu sudah aku
sadari sebelumnya." Jawaban itu membuat kedua orang pengikut Sidanti terdiam
sejenak. Mereka saling berpandangan. Mau tidak mau mereka
harus mengagumi lawannya, yang menempatkan dirinya di atas
landasan yang mantap. Dan sejenak kemudian pengawal itu berkata pula, "Nah,
sekarang bagaimana" Aku tetap dalam pendirianku. Kau, Kek,
harus kembali. Bahkan kalau mungkin kau yang baru saja
menyusul, akan aku tangkap pula."
Orang tua, yang ternyata petugas sandi itu, menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Kau terlampau dibutakan oleh
kesetiaanmu yang tidak akan ada artinya, sehingga kau tidak
dapat melihat yang terbentang di hadapan hidungmu. Kau berdiri
berhadapan dengan kami berdua. Melawan aku sendiri kau tidak
segera dapat menang. Sehingga menurut takaran yang wajar,
kau tidak akan menang melawan kami berdua bersama-sama.
Tetapi kau masih juga berkata akan membawa aku kembali dan
menangkap kawanku ini."
"Apa pun yang akan terjadi atasku."
Lawannya, yang datang kemudian, tertawa pendek. Katanya,
"Orang-orang yang sampai saat ini masih juga menjadi pengikut
Argapati memang tergolong orang-orang gila serupa ini."
"Terserahlah menurut penilaianmu. Sebab aku yakin, bahwa
kau sendiri sebenarnya dapat menimbang, menilai dan membuat
perbandingan-perbandingan, antara Ki Argapati dan Sidanti.
Siapakah yang salah dan siapakah yang benar."
"Aku sudah menyangka, bahwa kau akan berpendirian serupa
itu. Orang-orang semacam kau ini memang dapat berbuat
membabi buta sampai sisa nyawamu yang terakhir. Karena itu,
kami memang tidak dapat berbicara dengan kau. Yang dapat
kami lakukan adalah memaksa kau dengan kekerasan untuk
melihat ke-nyataan, bahwa mayatmu akan terkapar di pategalan
ini. Dengan demikian maka kedatanganku di sini tidak akan siasia.
Sebab sesuai dengan perhitungan Sidanti, memang
mungkin sekali seseorang akan mengikuti kakek ini keluar.
Ternyata perhitungan itu benar. Sedang kalau aku tidak juga
segera kembali, maka tidak mustahil Sidanti akan mengirimkan
lagi lebih dari satu orang untuk menjemput aku. Jika demikian,
maka kami berharap dapat menangkap kau hidup-hidup.
Keterangammu tentang Ki Argapati dam daerah pertahanannya
yang terakhir pasti akan sangat kami butuhkan. Betapa pun juga
kau bersumpah setia, namun kami akan berusaha memeras
segala macam keterangan dari mulutmu. Selama kulitmu masih
belum sekeras baja, dan dagingmu belum menjadi batu."
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu mengerutkan
keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Apa
yang dikatakan oleh kedua orang itu memang tidak mustahil
akan terjadi atas dirinya apabila ia berhasil ditangkap hiduphidup.
"Aku masih belum terlampau jauh dari regol desa. Kalau aku
berbasil membawa mereka keluar dari pategalan ini, meloncati
tikungan, maka pasti akan ada seorang yang dapat melihat
kami," berkata orang itu di dalam hatinya. Maka dengan
demikian ia bertekad untuk dengan segala cara menyelesaikan
tugasnya sebaik-baiknya. Tetapi ia pun menyadari akibat yang
paling parah dapat terjadi atasnya pula.
Orang itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar orang
itu, petugas sandi Sidanti itu berkata, "Bagaianana" Apa sudah
kau pertimbangkan" Mati atau ikut kami. Ada dua kemungkinan
dapat terjadi atasmu apabila kau berada di antara kami. Kalau
kau menyerah dengan suka rela dan memberikan keterangan
dengan sejujur-jujurnya, kau akan mendapat tempat yang baik.
Tetapi kalau kau terpaksa kami tangkap dengan kekerasan,
akibatnya akan lain."
"Kemungkinan-kemungkinan itu semuanya tidak aku
kehendaki," jawab pengawal itu.
"Aku sudah menduga, karena itu, kami terpaksa
melumpuhkan kau. Kalau mungkin menangkap kau hidup-hidup.
Kalau tidak membunuhmu dan membiarkan bangkaimu dimakan
anjing liar di pategalan ini."
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga
sepenuhnya. Kedua pisaunya yang telah siap di tangannya
digengggamnya erat-erat. Kedua petugas dari pihak Sidanti itu pun segera bersiap pula.
Keduanya saling berpencar dan mencari sudut-sudut serangan
dari arah yang berbeda. Kakek tua dengan keris kecilnya seolaholah
mendapat tenaga baru di dalam dirinya, sedang orang yang
baru datang itu, benar-benar masih cukup segar. Selain dari
kesegaran tubuhnya, maka di tangannya tergenggam sehelai
senjata panjang. Pedang. Tetapi Pengawal yang hanya seorang diri itu tidak akan
menyerah. Ia dapat berusaha sedikit demi sedikit berkisar dari
tempatnya, dan muncul di tempat yang terbuka, dengan harapan
orang-orang yang berada di regol padesan tempat pemusatan
pasukan Menoreh dapat melihatnya, meskipun tidak terlampau
jelas. Tetapi titik-titik yang bergerak-gerak pasti akan menarik
perhatian mereka. Kedua pihak kini tidak lagi saling berbicara. Mereka telah
berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seperti mendung yang
hitam tebal tergantung di langit.
Demikianlah maka sejenak kemudian mereka telah terlibat
dalam perkelahian yang seru. Seorang berhadapan dengan dua
orang. Dengan segala kemampuan yang ada padanya, pengawal
Tanah Perdikan Menoreh itu bertahan. Sesuai dengan
rencananya, maka ia pun segera bergeser dari satu titik ke titik
yang lain. Supaya lawan-lawannya tidak segera menyadari
caranya, maka arah yang pertama-tama ditempuh justru masuk
semakin dalam ke dalam pategalarn. Namun kemudian
melingkar-lingkar dan bergeser perlahan-lahan menepi.
Tetapi ternyata kedua lawannya bukan orang-orang yang
berotak terlampau tumpul. Sesaat kemudian dada pengawal itu
menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar salah seorang
lawannya berkata, "Ha, kau akan memancing kami keluar dari
pategalan ini. Dengan demikian kau akan mengharap, kawankawanmu
di regol padesan sebelah dapat melihat kita yang
sedang berkelahi." Pengawal itu menggeram. Sejenak kemudian dikerahkannya
segenap kemampuannya sambil menggeretakkan giginya.
Tetapi betapapun juga, menghadapi dua orang lawan yang
mempunyai kemampuan yang cukup, adalah pekerjaan yang
terlampau berat baginya. Sedangkan ia sadar kalau ia tidak
berhasil, maka rahasia tentang Ki Gede yang parah itu akan
segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi.
Kalau Ki Tambak Wedi kemudian dapat mendengar tentang
keadaan Ki Argapati maka tidak mustahil, bahwa ia akan
memanfaatkan keadaan. Ki Tambak Wedi dapat mengambil
kesempatan selagi Ki Argapati masih belum dapat bangkit dari
pembaringannya dan memimpin perlawanan.
"Tidak ada orang lain yang dapat melawan Ki Tambak Wedi
selain Ki Argapati," berkata pengawal itu di dalam hatinya. Tetapi
dalam pada itu ia pun harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak
akan dapat mengalahkan kedua lawannya itu, betapapun juga
caranya. Apalagi kedua lawannya itu mengerti, bahwa ia akan
membawa mereka ke luar dari pategalan supaya para pengawal
yang bertugas di regol desa dapat melihat mereka yang sedang
berkelahi. Tetapi agaknya kedua orang itu tidak mau dipancingnya untuk
hal itu. "Jangan banyak tingkah," berkata salah seorang dari kedua
orang yang berpihak kepada Sidanti, "Kau hanya dapat memilih,
menyerah atau terbunuh."
Pengawal itu tidak menyahut, tetapi terdengar ia menggeram.
Tandangnya menjadi semakin garang. Sepasang pisau belatinya
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun untuk
mengatasi kedua lawannya memang terlampau sulit.
Semakin lama maka semakin ternyata, bahwa ia menjadi kian
terdesak. Tidak ada lagi usaha yang dapat dilakukan.
Seandainya ia berkeras hati untuk bertempur terus, maka sudah
dapat dipastikan bahwa ia akan mati. Kematiannya tidak akan
banyak memberikan arti bagi Menoreh. Sebab mayatnya akan
berkubur tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tidak ada orang
yang tahu, apakah yang sudah terjadi atasnya dan tidak akan
ada orang yang tahu bahwa seseorang akan menyampaikan
berita, keadaan Ki Gede kepada Ki Tambak Wedi.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus mencobanya," berkata pengawal itu.
Maka sekali lagi ia mencobakan caranya. Memancing kedua
lawannya menepi. Tetapi setiap kali lawannya itu tertawa sambil
berkata, "Ha, kami bukan anak-anak yang dapat kau jerat
dengan permainanmu."
"Persetan!" teriak pengawal itu. "Aku pun tidak mau mati di
tangan kalian berdua."
"Mau tidak mau, kami akan membunuhmu."
Tetapi setiap kali pengawal itu selalu menghindar dan
berloncatan menjauh. "Pengecut!" teriak orang-orang Sidanti, "Kau ternyata tidak
cukup jantan untuk melakukan tugas sandimu."
"He," orang itu tertawa pentdek, "seorang petugas sandi
kadang-kadang memang memerlukan sikap yang licik. Bahkan
kadang kadang curang. Katakan, apakah kalian cukup jantan
juga berkelahi berpasangan melawan aku seorang diri?"
"Tetapi kau sudah terjun ke arena. Prajurit hanya dapat
dihentikan oleh maut apabila ia bertempur."
"Hanya prajurit-prajurit yang tidak mempunyai otaklah yang
berpendirian demikian. Kakek ini pun tidak berbuat demikian.
Setelah ia terjun dalam perang tanding melawan aku, maka ia
telah mengingkari kejantanannya dengan membiarkan kau ikut
bersamanya, bersama-sama mengeroyok aku."
"Persetan!" sahut kakek tua. "Apa pun yang sudah kita
lakukan maka aku berkeputusan, kau harus dibinasakan."
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sempat untuk
menjawab. Kedua lawannya mendesaknya semakin sengit.
Tetapi ia telah bertekad untuk menghindarinya apabila keadaan
memang terlampau sulit baginya. Sebab hal itu akan lebih baik
bagi pasukannya. Mereka dapat mengerti dan mempersiapkan
diri sebelumnya. Tetapi ia harus menyesal, bahwa ia terpaksa melepaskan
orang yang hampir-hampir dapat ditangkapnya itu. Orang itu
pasti membawa berita tentang Ki Argapati sanpai ke telinga
lawan-lawannya. "Apa boleh buat," katanya di dalam hati, "Aku tidak mampu
mengatasinya." Dengan demikian maka ia berusaha untuk menghindarkan diri
dari perkelahian itu. Kedua orang lawannya pun tidak berani
mengejarnya terus, sebab dengan demikian, mereka akan keluar
dari pategalan dan pasti akan menumbuhkan kecurigaan kepada
orang-orang Menoreh di padesaan sebelah.
"Hem, kau benar-benar akan lari," berkata kakek tua itu,
"baiklah. Bukan aku yang menyusul kau, tetapi kaulah yang
menyusul aku. Aku tahu maksudmu, supaya aku tidak dapat
menyampaikan berita sakitnya Ki Argapati kepadi Sidanti. Tetapi
kau tidak berhasil. Kau terpaksa membiarkan kami pergi. Kami
akan segera menyampaikan berita itu, dan kau dapat
membayangkan akibatnya. Tanpa Argapati, prajurit Menoreh
akan menjadi lumpuh. Dengarlah bahwa di pihak Sidanti ada
nama-nama Ki Tambak Wedi, Sidanti sendiri, Ki Argajaya, Ki
Peda Sura, dan masih banyak lagi. Siapakah yang berada di
pihakmu" Pandan Wangi" Cobalah renungkan. Dari mana kalian
akan memenangkan peperangan ini" Seandainya kekuatan
prajurit di kedua belah pihak seimbang, maka senapatisenapatinyalah
yang akan menentukan kemenangan."
"Ada kelebihan di pihak kami yang tidak kalian miliki," jawab
pengawal itu, "yaitu pengabdian yang tulus. Kau tidak. Kau juga
tidak. Orang-orang di pihakmu berkelahi karena pamrih-pamrih
pribadi." "Pamrih-pamrih itulah yang telah mendorong kami untuk
bertekad memenangkan peperangan ini. Pamrih-pamrih yang
kami sadari. Bukan kesetiaan yang buta seperti kalian. Sebab
orang-orang seperti kalian tidak lebih dari pancadan-pancadan
yang hidup tetapi tidak mampu untuk berpikir. Kalian akan
menjadi alat tempat orang-orang besar di pihakmu itu berdiri."
"Itulah tekad kami. Sebab kami percaya bahwa orang-orang
yang akan berdiri di atas kami adalah orang-orang yang benar
berwenang dan benar-benar orang yang akan berpikir tentang
kami dan Tanah kami."
Hampir bersamaan kedua orang itu tertawa. Salah seorang
daripada mereka itu berkata, "Jadilah seperti yang kau ingini.
Tetapi bagaimana sekarang" Mati, atau menyerah atau
membiarkan kami membawa berita tentang keadaan Ki Gede
Menoreh?" Pengawal itu tidak menjawab. Ia benar-benar tersudut dalam
keadaan tanpa dapat memilih. Karena itu, maka kini ia berdiri
tegak dengan sepasang senjata di tangannya, namun ia tidak
berbuat sesuatu ketika kedua lawannya itu melangkah surut,
"Biarlah kami ampuni kau sekali ini. Kau akan tetap hidup. Sebab
aku tidak mau kau seret ke luar pategalan ini."
Pengawal itu tidak menjawab. Kenyataan itu harus
dihadapinya. Ia memang tidak mampu untuk melawan kedua
pengikut Sidanti itu, betapa pun juga ia memeras tenaganya.
Tetapi ia pun tidak mau mati sebelum menyampaikan kabar
tentang petugas sandi itu kepada pimpinannya.
Karena itu, dengan hati yang bergolak ia terpaksa
membiarkan kedua orang itu beringsut semakin jauh. Apalagi
ketika ia mendengar salah seorang dari mereka tertawa sambil
berkata, "Selamat tinggal. Berita tentang Ki Gede Menoreh akan
segera tersebar. Tetapi mudah-mudahan Argapati sendiri tidak
sempat mendengarnya karena lukanya yang parah itu. Aku tidak
yakin kalau ia akan dapat disembuhkan oleh dukun yang betapa
pun pandainya." Yang terdengar adalah gemeretak gigi pengawal itu.
Perasaannya menjadi terlampau pahit mengalami peristiwa yang
mengecewakan itu. Ia terpaksa membiarkan lawan-lawannya
pergi sambil mentertawakannya. Sedang suatu berita yang
sangat penting akan mereka bawa kepada lawan.
Sejenak kemudian kedua orang itu pun lenyap di balik
dedaunan yang rimbun, seperti lenyapnya harapan petugas
sandi dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu untuk
mempertahankan rahasia tentang sakitnya Ki Argapati.
"Peronda-peronda di gardu itu terlampau malas," ia
menggeram. "Tidak seorang pun yang melihat, apa yang telah,
terjadi di sini." Dengan penuh penyesalan ia melangkahkan kakinya kembali
kepada pemimpinnya untuk segera melaporkan peristiwa itu. Di
dalam kepalanya telah terbayang berbagai kemungkinan yang
pahit bagi pasukan Menoreh. Ki Tambak Wedi pasti akan segera
mempergunakan kesempatan untuk menghantam pasukan induk
yang masih belum berhasil menghimpun diri sebaik-baiknya itu.
Apalagi Ki Argapati sedang terluka parah dan Pandan Wangi
sedang dibebani oleh perasaan duka seorang gadis yang
sedang nenunggui ayahnya yang sudah mulai dibelai oleh
tangan-tangan maut. Dalam pada itu, tanpa setahu pengawal itu, sepasang mata
selalu mengikutinya dari balik rimbunnya dedaunan. Dengan
ragu-ragu seseorang melihat segala peristiwa yang terjadi.
Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi, dan
menerjunkan diri dalam arena perkelahian itu. Tetapi ia selalu
memegang pesan seseorang yang diseganinya. Dan pesan itu
berbunyi, "Jangan langsung mencampuri persoalan Tanah
Perdikan Menoreh. Kita harus menunggu, apabila saat itu telah
datang, barulah kita menyatakan diri dalam sikap yang pasti. Kini
kita akan berbuat dalam kesempatan-kesempatan yang sangat
terbatas. Kita mengharap bahwa orang-orang yang sedang
bertengkar itu menemukan penyelesaian yang tidak terlampau
parah." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
pengawal yang dengan tergesa-gesa meninggalkan petegalan
itu. "Keadaan sudah terlampau parah," desisnya. "Aku kira tidak
akan ada jalan untuk kembali dan menghindari benturanbenturan
yang lebih dahsyat lagi. Tetapi baiklah, aku menunggu.
Mungkin satu dua hari akan segera ternyata, sikap apa yang
akan kami ambil." Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun segera
meninggalkan pategalan itu sambil bergumam, "Aku harus
melaporkannya. Kalau Ki Tambak Wedi mengetahui keadaan Ki
Argapati, maka keadaan memang dapat menjadi semakin
panas." Maka dengan sigapnya orang itu segera meloncat menyusup
di antara rimbunnya pepohonan, sambil mengikatkan sebuah
cambuk yang berjuntai panjang di bawah bajunya.
Sementara itu, pengawal yang baru saja berkelahi dengan
orang-orang Sidanti berjalan semakin lama semakin cepat,
bahkan berlarlari kecil. Dengan nafas terengah-engah ia
mendekati regol. Belum lagi ia mendekat terdengar ia
mengumpat, "Kalian adalah orang-orang gila yang malas."
Pemimpin pengawal yang sedang bertugas mengerutkan
keningnya, "Kenapa?"
"Kalian telah berbuat suatu kesalahan, sehingga orang tua
yang berjalan tersuruk-suruk itu tolos dari tanganku."
"Kenapa justru aku yang bersalah," bertanya pemimpin itu.
"Aku tidak mampu melawan mereka berdua."
"Berdua?" "Ya. Dan kau tidak mengirimkan seorang pun untuk melihat
apa yang telah terjadi. Kalau aku mati di pategalan itu, maka
tidak seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi dan bahwa
berita tentang sakitnya Ki Gede yang parah itu telah sampai ke
telinga Tambak Wedi."
"He, apakah kau sedang bermimpi. Cobalah, katakan apa
yang sebenarnya terjadi. Orang tua yang tersuruk-suruk hampir
mati itu dapat lolos dari tanganmu?"
"Kalian bukan petugas sandi. Tetapi kalian harus dapat
memperhitungkan bahwa gila sekali apabila Sidanti benar-benar
mengirimkan orang yang sudah tidak tegak lagi berjalan."
Mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar
petugas sandi itu menceriterakan serba singkat, apa yang telah
terjadi." "Sidanti mengirimkan orangnya untuk melihat apa yang terjadi
atas petugas sandinya, ketika menurut perhitungannya jarak
yang ditetapkannya terlampau jauh."
"Jarak yang mana?"
"Antara panah sendaren dan kedatangan orang yang
mengirimkannya." *** Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia merasa bahwa ia tidak cukup cepat menanggapi keadaan.
Tetapi ia masih juga berkata, "Tetapi aku tidak dapat
memperhitungkan waktu serupa itu. Aku melepaskan kau
mengikuti orang tua itu. Aku tidak tahu batas waktu yang kau
perlukan. Aku kira kau sedang mengikutinya sampai ke pinggir
sungai untuk kemudian membenamkan orang tua itu ke
dalamnya." Petugas sandi itu tidak menjawab. Tetapi ia bergumam, "Aku
harus segera melaporkannya."
Pemimpin peronda itu pun bergumam, "Kita meninggalkan
kewaspadaan. Keadaan akan cepat meningkat."
"Nah, bukankah hal itu kau sadari," sahut pengawal yang baru
saja bertempur melawan orang-orang Sidanti itu.
"Kami, seisi padesan ini, dan bahkan seluruh pasukan
Menoreh akan menyadarinya. Sekarang, sampaikan laporan itu,
supaya kami mendapat perintah secara resmi, apa yang harus
kami lakukan di sini dan mungkin di seluruh daerah yang masih
setia kepada Ki Argapati."
Petugas sandi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ditinggalkannya regol desa itu, dan dengan tergesagesa
pergi menemui pimpinan tertinggi pengawal Tanah
Perdikan Menoreh, Samekta yang sedang menunggui Ki
Argapati yang sedang sakit.
Sementara itu, Ki Argapati yang sedang terbaring, masih juga
memejamkan matanya. Sekalsekali ia menarik nafas dalamdalam,
dan sekalsekali ujung ibu jari kakinya bergerak-gerak.
Namun kemudian diam kembali, seolah-olah sedang membeku.
Pandan Wangi mengerti, bahwa ayahnya sedang
memusatkan segenap kemampuannya, untuk menenangkan
dirinya. Ayahnya sedang mengatasi kesulitan yang terjadi di
dalam tubuhnya akibat benturan racun dari senjata Ki Tambak
Wedi dan obat yang ditaburkan di atas luka itu. Namun dalam
kegelisahan ia sekali lagi bertanya perlahan-lahan kepada Kerti,
"Paman, manakah orang itu" Apakah ia akan menunggu sampai
terlambat?" "Tidak, Ngger," bisik Kerti, "tentu tidak. Sebentar lagi ia akan
datang." Namun dalam pada itu, Kerti telah dicengkam oleh.
kegelisahannya yang baru. Sebab ia tahu benar, bahwa tidak
seorang pun lagi yang pergi mencari seorang dukun. Tetapi ia
tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Pandan Wangi
yang kecemasan itu. Samekta yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu pun
menjadi gelisah pula. Dukun manakah yang akan dapat
mengobati keadaan Ki Gede yang sudah menjadi kian parah itu"
Namun bagaimana pun juga, mereka masih mempunyai
tempat untuk menggantungkan harapan. Mereka yakin akan
kekuasan Yang Maha Besar, sehingga segala sesuatu akan
sangat tergantung ditangan-Nya.
Dalam ketegangan itu, seseorang masuk ke dalam
ruangannya langsung menemui Samekta. Mereka berbisik
sejenak, kemudian Samekta bergeser dari tempatnya.
"Seseorang telah terlibat dalam perkelahian melawan orangorang
Sidanti. Salah seorang dari mereka keluar dari desa ini.
Karena orang itu mencurigakan, maka seorang petugas sandi
mengikutinya. Tetapi kawannya sempat menolongnya, sehingga
mereka lolos." Samekta mengerutkan keningnya. Desisnya, "Kenapa ia
dapat keluar dari daerah ini tanpa pengawasan?"
"Perhitungan kami yang salah," pemimpin pengawal itu
menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi dengan
seorang kakek-kakek dari seorang petugas sandinya.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ketegangan semakin membayangi wajahnya. Ia sadar,
sepertinya pengawal menyadari, bahwa apabila berita itu sampai
kepada Ki Tambak Wedi, dan Ki Tambak Wedi meyakini akan
kebenarannya karena mendengar langsung dari mulut
petugasnya, bukan sekedar berita dari mulut ke mulut bahwa Ki
Argapati dalam keadaan parah, maka keadaan akan cepat
meningkat. Karena itu, maka katanya, "Kita harus segera mempersiapkan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Untuk sementara semua pasukan supaya ditarik untuk
melindungi desa ini dan desa pengungsian para keluarga.
Tempat tempat lain terpaksa kita lepaskan untuk sementara. Kita
tidak boleh terpotong-potong menjadi sayatan-sayatan kecil yang
akan digulung sedikit demi sedikit."
Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya.
"Tetapi apakah kau yakin bahwa orang itu orang Sidanti."
"Menurut laporannya, agaknya cukup meyakinkan."
"Di mana orang itu?"
"Ia menunggu di luar."
Samekta segera melangkah keluar. Ditemuinya petugas sandi
yang langsung berkelahi melawan orang-orang Sidanti. Dan ia
pun segera mengulangi ceriteranya, seperti ceritera pemimpin
pengawal itu. Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada pemimpin pengawal itu ia berkata, "Hubungi semua
pemimpin. Pasukan berkuda supaya dipersiapkan. Mereka harus
dapat mengimbangi dengan cepat gerakan pasukan Sidanti.
Kalau Sidanti datang menyerang, maka pasukan itu harus
meninggalkan tempat ini, menyerang kedudukan-kedudukan
Sidanti yang lemah untuk memecahkan perhatian mereka. Kalau
perlu, mereka terpaksa mengorbankan satu dua rumah yang
kelak akan kita perhitungkan untuk menimbulkan api."
Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Ia
menyadari sepenuhnya perintah itu.
"Itulah yang harus kalian kerjakan untuk sementara. Aku akan
membicarakannya nanti, dan mungkin akan datang perintah
berikutnya bagi kalian."
"Baik," sahut pemimpin pengawal itu, yang segera minta diri
untuk mempersiapkan semua kekuatan yang ada di pihak Ki
Argapati. Mereka kini tidak akan dapat mundur lagi. Mereka
harus bertahan sampai kesempatan yang terakhir apabila Sidanti
benar-benar menyerang. Dan mereka harus mempersiapkan
benar-benar pasukan berkuda yang akan terbang ke segenap
penjuru Tanah Perdikan ini. Cepat bergerak, dan cepat
menghilang apabila keadaan memaksa.
Kitab Sukma Gelap 2 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Mustika Lidah Naga 6 1
^