Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 20

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 20


Ternyata berita itu telah membuat Samekta menjadi semakin
pening. Tetapi ia tidak akan segera memberitahukannya kepada
Pandan Wangi. Biarlah gadis itu melepaskan diri untuk
sementara dari persoalan perang. Biarlah ia menunggui ayahnya
yang sedang sakit, sebagai seorang gadis yang meletakkan
harapannya, bahwa orang yang sedang sakit itu kini merupakan
satu-satunya orang tempat bergantung. Ia tinggal satu-satunya
orang yang akan dapat melindunginya.
Karena itu, maka diam-diam digamitnya Wrahasta dan Kerti.
Mereka bergeser beberapa langkah, dan dengan perlahan-lahan
sekali mereka membicarakan apa yang sebaiknya mereka
lakukan. "Marilah kita bicarakan dengan tenang," minta Wrahasta.
"Tidak sekarang. Kalian dapat memikirkannya, apakah yang
sebaiknya kita lakukan. Kita tidak akan dapat meninggalkan Ki
Gede dalam keadaannya. Aku sudah memberikan perintah
sementara untuk mempersiapkan semua kekuatan di tempat
pengungsian dan desa ini. Tidak terpecah belah, di samping satu
kekuatan berkuda yang akan selalu mengimbangi gerakan
Sidanti. Pasukan itu harus dapat bergerak cepat, mencapai
segala penjuru dengan tiba-tiba dan melepaskan diri dengan
tiba-tiba. Kalau perlu mereka harus membuat gerakan di sekitar
padukuhan induk untuk mengelabuhi Sidanti dan Ki Tambak
Wedi." Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Tanpa sesadarnya, mereka berpaling dan memandang Ki Gede
yang sedang terbaring. Sedang Pandan Wangi dengan penuh
kecemasan berdiri di sisinya. Sekali Pandan Wangi meraba
tubuh ayahnya. Tiba-tiba saja ia hampir terpekik. Ketika ia tidak
melihat Kerti berdiri di sampingnya, maka segera ia berpaling
mencarinya. "Paman," desis Pandan Wangi ketika tampak olehnya Kerti
berdiri bersama Samekta dengan Wrahasta , "Tubuh ayah sudah
tidak panas lagi." Hampir terloncat Samekta, Wrahasta, dan Kerti mendekat
dengan tergesa-gesa. Hampir bersamaan pula mereka meraba
kaki Ki Gede. Dan benarlah kata Pandan Wangi, kaki itu sudah
tidak panas lagi. Tetapi justru dengan demikian Kerti menjadi
berdebar-debar. Karena apabila panas bagian kepala dan kaki
tidak seimbang, maka keadaan yang demikian akan sangat
berbahaya bagi Ki Gede. Karena itu, maka perlahan-lahan Kerti beringsut maju.
Perlahan-lahan pula dirabanya tangan Ki Gede. Tangan itu pun
kini sudah tidak panas pula. Kemudian dengan tangan gemetar
Kerti mencoba meraba leher Ki Argapati. Secercah warna yang
cerah membayang di wajahnya. Leher itu pun telah menjadi
sejuk seperti tubuhnya sendiri.
Dengan penuh pengharapan Kerti berkata perlahan-lahan,
"Ya. Tubuh Ki Gede sudah tidak panas lagi."
"Pernafasannya pun telah berjalan wajar," sahut Wrahasta.
"Kita akan berdoa terus," gumam Samekta.
Kerti dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Mereka memang selalu berdoa di dalam hati. Ternyata
doa mereka telah didengar-Nya.
Dengan penuh pegharapan kini mereka menunggui Ki Gede
yang sedang terbaring. Wajah-wajah mereka tidak lagi dilukisi
kecemasan dan kebingungan. Tetapi wajah-wajah itu tampak
diwarnai oleh kesegaran nafas Ki Argapati yang semakin lancar.
"Ayah," Pandan Wangi berdesis ketika ia melihat ayahnya
membuka matanya. Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Seolah-olah ia menjadi terlampau haus menghirup kesegaran
udara Tanah Perdikan Menoreh.
"Ayah," Pandan Wangi mengulangi.
Yang pertama-tama dipandang oleh Ki Argapati adalah wajah
puterinya. Kemudian orang-orang di sekitarnya. Samekta,
Wrahasta, Kerti, dan orang-orang lain.
Sekali lagi Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
perlahan-lahan berkata, "Mudah-mudahan aku dapat mengatasi
kesulitan di dalam diriku."
Tubuh Ki Gede telah menjadi sejuk. Agaknya darah Ki Gede
pun mengalir dengan wajar.
Kepala Ki Argapati bergerak-gerak. Ia mengangguk kecil
sambil berkata lirih, "Obat yang kita terima dari anak yang gemuk
itu ternyata terlampau baik."
"Bagaimana ayah?" potong Pandan Wangi. "Apakah itu suatu
bentuk pengkhianatan."
"O, kau salah terima Wangi," jawab Ki Argapati. "Kita harus
berterima kasih kepadanya. Tak ada obat semujarab obat yang
diberikan kepadaku. Seadainya aku tidak mendapat obat
daripadanya, maka keadaan ini akan sangat jauh berbeda,
Wangi. Berterima kasih pulalah kita kepada Yang Maha
Bijaksana, yang telah mempertemukan aku dengan orang
bercambuk itu." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
bertanya, "Orang bercambuk, Ayah?"
"Ya." Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi ia tidak segera
mengucapkan kata-kata. Teringatlah olehnya, seorang anak
muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala.
Seorang anak muda yang mempersenjatai dirinya dengan
cambuk. "Kenapa Wangi" Apakah kau heran mendengar sebutan
orang bercambuk itu?"
Pandan Wangi beringsut setapak. Perlahan-lahan ia
mengangguk sambil menjawab, "Ya, Ayah. Siapakah orang
bercambuk itu?" "Aku tidak begitu jelas, Wangi. Tetapi aku yakin, bahwa ia
bermaksud baik." "Di manakah ayah mengenalnya sebelum ini?"
"Ketika ayah masih muda, di dalam lingkungan istana
Demak." Pandan Wangi terkejut mendengar jawaban itu. Dengan
kening yang berkerut-merut ia bertanya, "Berapa kira-kira umur
orang bercambuk itu ayah?"
"Seumur ayah." "Tidak," tiba-tiba Pandan Wangi membantah. "Ia masih muda.
Bahkan lebih muda dari Kakang Sidanti."
Kini Ki Argapatlah yang mengerutkan keningnya. Kemudian
perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Digerakkannya
tangannya sedikit, kemudian kakinya.
"Pandan Wangi," orang tua itu bergumam, "aku mengenalnya
ketika kami masih sama-sama muda. Tidak mungkin ia kini
nampak lebih muda dari Sidanti." Ki Argapati berhenti sejenak,
lalu tiba-tiba terbayang sebuah senyum dibibirnya, "O, barangkali
kau pernah melihat orang yang bersenjatakan sebuah cambuk"
Seorang anak muda yang gemuk hampir bulat?"
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia
berkata, "Jangan bangun, Ayah. Lebih baik Ayah berbaring
sejenak, sampai keadaan Ayah menjadi cukup baik."
Ki Argapati yang ingin mencoba untuk bangkit meletakkan
kepalanya kembali. Kerti dan Samekta pun mencegahnya pula.
"Luka itu akan berdarah lagi Ki Gede," berkata Kerti.
"Ya, sebaiknya Ki Gede beristirahat secukupnya," sambung
Samekta. "Aku sudah merasa cukup baik."
Pandan Wangi menggeleng, "Belum, Ayah. Ayah masih perlu
beristirahat." Ki Argapati menganguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian ia kembali kepada persoalan orang bercambuk.
Katanya, "Bukankah yang kau lihat anak muda yang gemuk
bulat" Anak itulah yang memberi aku obat yang sangat baik ini."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah tidak
dicengkam oleh kecemasan yang hampir tidak tertahankan.
Wajah ayahnya, meskipun masih pucat, tetapi sudah tidak lagi
seputih kapas. Dengan ragu-ragu ia menjawab pertanyaan
ayahnya, "Aku tidak mengenal seorang anak muda yang gemuk
bulat ayah?" Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia beringsut.
Kemudian, "Lalu siapakah yang kau maksud dengan seorang
yang masih lebih muda dengan Sidanti itu?"
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah
Kerti, Samekta, Wrahasta, dan orang-orang lain di sekitarnya.
Baru sejenak kemudian ia berkata, "Beberapa orang pengawal
pernah juga melihatnya. Seorang gembala yang sering
menggembalakan kambingnya di sekitar daerah perbatasan
sebelum kami menarik diri."
"Oh," Argapati tersenyum, "sudah tentu bukan seorang
gembala yang aku maksudkan. Yang aku maksudkan dengan
seorang bercambuk adalah seseorang yang mempergunakan
cambuk sebagai ciri pribadinya atau lebih tepat, sebagai
senjatanya." "Ya, begitulah gembala itu ayah. Seorang gembala yang
masih muda semuda Kakang Sidanti, bahkan masih lebih muda
lagi." Argapati mengerutkan dahinya. Sekali lagi menarik nafas
dalam-dalam. Ditelekankannya tangannya pada dadanya di
bawah lukanya. Kemudian ia bergeser sedikit sambil bergumam,
"Apakah ada orang lain yang mempunyai ciri yang serupa.
Tetapi bagaimanakah dengan anak muda yang kau katakan itu"
Apakah ia berbuat baik terhadap kau atau sebaliknya?"
"Ia seorang gembala, Ayah."
"Hanya sekedar seorang gembala" Di sini ada berpuluh-puluh
gembala yang membawa cambuk. Tetapi agaknya yang seorang
ini agak lain. Apakah tanggapanmu memang demikian?"
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya ia
memandang wajah Wrahasta dengan sudut matanya. Tetapi
orang yang bertubuh raksasa itu sedang menekurkan kepalanya.
"Ia mempunyai beberapa kelebihan dari gembala-gembala
yang lain, Ayah." Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Wrahasta
yang tiba-tiba mengangkat wajahnya.
"Apakah kelebihan itu?"
"Ia mampu berkelahi seperti seorang pengawal."
"Ah," desah Argapati, "hampir setiap anak muda di daerah ini
dapat sekedar membela dirinya."
"Bukan sekedar membela dirinya," sahut Pandan Wangi.
Tetapi sejenak ia terdiam dalam keragu-raguan.
Argapati tidak segera mendesaknya. Bahkan ia berkata,
"Orang lain yang mempunyai ciri serupa itu, sebuah cambuk,
adalah seorang anak muda yang bertubuh gemuk. Ia menyebut
dirinya sebagai anak orang bercambuk yang tidak
menampakkan diri. Mungkin orang itulah yang pernah kau lihat
dan mengaku sebagai seorang gembala, tetapi mempunyai
beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain."
"Tetapi anak muda itu tidak gemuk, Ayah."
"Apakah kau kenal namanya?"
Sekali lagi Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi
tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Wrahasta. Tetapi
Wrahasta tidak sedang memandangnya, justru ia sedang
memandangi wajah Ki Gede yang menunggu jawaban anaknya.
Namun akhirnya Pandan Wangi menyebutnya juga,
"Namanya Gupita, Ayah."
"He?" Argapati mengingat-ingat. Sambil memandang wajah
Kerti ia berkata, "Anak yang gemuk itu menyebut dirinya
bernama Gupala." "O," dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut, "kalau
begitu, kedua anak muda itu memang bersaudara. Menurut
Gupita, ia mempunyai seorang saudara laklaki dan seorang
ayah. Mereka adalah gembala-gembala yang tinggal di tlatah
Menoreh." Kini Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia bergumam, "Hem, sekarang aku mempunyai
sedikit bayangan tentang mereka. Jadi ada dua anak muda yang
mengaku dirinya anak orang bercambuk itu."
"Yang satu bernama Gupala dan yang lain bernama Gupita,"
Kerti menyahut. "Ya, begitulah menurut pengakuan mereka." Argapati berhenti
sejenak, lalu kepada Pandan Wangi ia bertanya, "Wangi, apakah
kelebihan gembala yang kau maksudkan itu" Apakah ia sudah
berbuat sesuatu yang menyatakan dirinya, sehingga kau
mengambil kesimpulan demikian tentang anak itu ?"
Pandan Wangi mengangguk perlahan-lahan. Kini, ketika
sekali lagi ia berpaling ke arah Wrahasta, pandangan mereka
pun beradu. Cepat Pandan Wangi menundukkan kepalanya.
Betapa pun juga ia adalah seorang gadis. Hatinya berdebar
ketika ia melihat sorot yang aneh terpancar dari sepasang mata
Wrahasta. Sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Tanpa sesadarnya ia
meraba-raba kaki ayahnya. Tetapi Argapati tidak tahu, apakah
yang sebenarnya bergetar di dalam dada puterinya. Ia tidak
tahu, bahwa Wrahasta menaruh hati kepada gadis itu, dan
bahwa gembala yang memiliki cambuk yang aneh itu telah
menumbuhkan suatu perasaan yang aneh pada puterinya.
Karena itu, maka Ki Gede itu mendesaknya, "Apakah
kelebihan yang kau maksud pada gembala itu Wangi?"
Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi sehingga dengan
demikian betapa pun beratnya ia harus menjawab, "Ayah,
bukankah Ayah sudah mendengar bahwa aku terpaksa
bertempur melawan Ki Peda Sura karena aku terpisah dari
pasukanku?" Ki Argapati mengangguk. "Dan bukankah Ayah tahu, bahwa aku tidak akan mungkin
mengalahkan Ki Peda Sura dalam keadaanku sekarang?"
Sekali lagi Argapati mengangguk sambil berkata, "Tetapi
kemampuanmu tidak terpaut banyak menurut penilaianku,
Wangi." "Ya, namun aku tidak akan dapat melepaskan diriku dari
padanya. Ia sudah bertekad untuk menangkap aku hidup-hidup.
Tanpa melukai kulitku dan apalagi membunuhku."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
menyadari, bahwa keadaan itu benar-benar merupakan keadaan
yang sangat berbahaya bagi puterinya. Ki Peda Sura yang
menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya merupakan
lawan yang pasti tidak akan dapat diimbangi oleh Pandan
Wangi. Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi berhasil melepaskan
dirinya dengan selamat, sehingga karena itu Ki Argapati
bertanya, "Tetapi kau selamat sampai saat ini, Wangi. Bahkan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika aku memasuki padesan ini dengan mata berkunangkunang
dan pikiran yang kusut karena aku merasa kehilangan
kau, kau sempat beristirahat dengan tenangnya."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia
bergumam, "Ya, Ayah. Aku sempat melarikan diri dari tangan Ki
Peda Sura dan pasukannya."
"He, Ki Peda Sura dan pasukannya?" Ki Argapati menjadi
heran, "Jangan sombong, Anakku. Ki Peda Sura sendiri pun
pasti akan mampu menangkapmu kalau ia mau."
"Benar, Ayah. Kami melepaskan diri daripadanya. Bahkan
kami sempat melukai Ki Peda Sura yang kemudian dipapah oleh
orang-orangnya meninggalkan medan, tepat pada saat pasukan
Kakang Sidanti datang membantu."
"O," Ki Argapati mengerutkan keningnya, "aku menjadi
pening. Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian"
Tetapi siapakah yang kau maksud dengan kami?"
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali lagi
ditatapnya wajah-wajah yang ada di seputar ayahnya berbaring.
Dan ketika tatapan matanya berbenturan dengan mata Wrahasta
maka sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam.
"Ayah," suara Pandan Wangi menjadi terlampau dalam.
Adalah terlampau sulit baginya untuk berceritera tentang anak
muda yang menyebut dirinya Gupita itu. Meskipun mereka
bertemu di medan perang, namun betapapun juga, Pandan
Wangi adalah seorang gadis. Meskipun demikian dipaksakannya
ia berceritera. "Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa gembala itu
mempunyai kelebihan dari gembala-gembala yang lain. Ketika
aku sudah hampir kehilangan akal dalam perlawananku atas Ki
Peda Sura yang memang ingin menangkap aku hidup-hidup aku
sudah memutuskan untuk lebih baik mati daripada tertangkap.
Aku dapat membayangkau apa yang akan terjadi atas diriku,
seandainya Peda Sura benar-benar dapat membawa aku hiduphidup."
Pandan Wangi berhenti sejenak. Tampaklah wajahnya
menjadi semburat merah. Suaranya menjadi semakin dalam dan
hampir-hampir tidak terdengar. Lalu sambungnya, "Dalam saat
seperti itu. datanglah gembala yang menyebut dirinya bernama
Gupita. Ia mencoba melepaskan aku dari tangan Ki Peda Sura,
sehingga ketika kami melawan bersama-sama, Ki Peda Sura itu
terluka." Ki Argapati mendengar ceritera itu dengan dada ber-debardebar.
Ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bercambuk itu
mempunyai kepentingan dengan daerah ini. Meskipun ia tidak
tahu, kepentingan apa saja yang mengikatnya, namun
kehadirannya dalam keadaan seperti ini membuat Ki Argapati
berharap-harap cemas. Berbeda dengan tanggapan orang-orang lain yang berada di
ruangan itu yang menganggap bahwa kehadiran anak muda
yang menyebut dirinya Gupita sebagai suatu kurnia, maka
Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menangkapnya dari sudut
yang berbeda. Ketika dengan sudut matanya Pandan Wangi
mencoba melihat kesan di wajah Wrahasta, maka terasa sebuah
desir yang lembut menyentuh jantungnya. Wajah anak muda
yang bertubuh raksasa itu mejadi tegang. Dan sejenak kemudian
dengan suara gemetar ia berkata, "Apakah Ki Gede dapat
mempercayainya?" Ki Gede menggerakkan kepalanya. Ia mengerutkan
keningnya ketika tampak olehnya wajah Wrahasta yang
menegang. "Maksudmu, ceritera Pandan Wangi?" bertanya Ki Gede.
"Bukan," jawab Wrahasta. "Mungkin Pandan Wangi
mengatakan sebenarnya apa yang dialaminya. Tetapi anak yang
menamakan dirinya Gupita itu."
Ki Gede tidak segera menjawab. Tapi tampaklah keheranan
terpancar di pandangan matanya.
"Kita sama sekali belum mengenalnya dengan baik. Kita tidak
tahu, apakah maksudnya menolong Pandan Wangi," sambung
Wrahasta. "Apakah itu bukan sekedar suatu permainan yang
sudah diatur olehnya dengan Sidanti dan Peda Sura?"
Pandan Wangi terkejut mendengarnya. Maka tanpa
sesadarnya ia menyahut, "Ki Peda Sura sendiri terluka pada saat
itu." Tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. Dengan wajahnya
yang aneh ia menjawab, "Itu mungkin sekali. Dengan demikian ia
akan berhasil mengelabuhi tanggapanmu atasnya. Gembala itu
akan mendapat kepercayaan daripadamu dan terlebih-lebih lagi
dari Ki Gede. Dalam suatu kesempatan ia akan menikam kita
dari belakang." Wrahasta berhenti sejenak. Suara tertawanya
telah lenyap. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata,
"Tetapi seandainya tidak demikian, seandainya ia tidak
mempunyai hubungan dengan Sidanti maka ia pasti akan
memanfaatkan keadaan di Tanah Perdikan ini. Ia mungkin sekali
akan mengail di air keruh untuk kepentingan pribadinya."
Sekali lagi wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah,
bibirnya menjadi gemetar, tetapi tidak sepatah kata pun yang
meloncat. Sementara itu Samekta dan Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa mereka sengaja mereka berpaling dan
saling memandang. Dari loncatan sorot mata mereka, mereka
telah saling berbicara. Mereka segera dapat menangkap isi hati
masing-masing. Dan mereka seolah-olah berbicara satu sama
lain, "Wrahasta merasa tersinggung, kenapa bukan ia sendirilah
yang menolong Pandan Wangi. Lebih daripada itu ia merasa
kuwatir, bahwa anak muda yang bernama Gupita itu dapat
mengganggu hubungan yang sedang dirintisnya dengan Pandan
Wangi." Namun orang-orang tua itu tidak segara ikut serta
menanggapi persoalan itu secara langsung. Mereka harus
berhathati. Dalam keadaan serupa ini, setiap percikan
kekecewaan akan dapat mengganggu keadaan yang semakin
lama menjadi semakin gawat.
Ki Gede yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya
tidak segera menjawab. Tetapi keheranannya masih
membayang di wajahnya. Kenapa tanggapan Wrahasta
terlampau miring. Padahal orang-orang yang menyatakan ciri
pribadi mereka dengan cambuk itu, telah menunjukkan maksud
baik mereka. Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dicobanya untuk
mengerti tanggapan Wrahasta. Betapa pun buramnya, namun Ki
Gede melihat juga arah yang dapat dipakai sebagai dasar pikiran
Wrahasta. "Wrahasta terlampau hathati," berkata Ki Gede didalam
hatinya. "Ia sendiri belum pernah mengenal orang-orang
bercambuk itu, sehingga kecurigaannya itu pun beralasan."
Dengan demikian maka ruangan itu menjadi sepi sejenak.
Namun di dalam kesenyapan itu, dada Pandan Wangi telah
digelisahkan oleh gemuruhnya perasaannya. Ia mengerti,
apakah sebabnya Wrahasta bersikap demikian. Sebagai
seorang gadis ia merasakan getaran yang memancar dari hati
anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tetapi sebagai seorang
gadis ia pun merasakan getar di dalam dadanya sendiri, apabila
ia mengenang, atau berbicara apalagi menyebut nama anak
muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala itu.
Dalam keheningan itu terdengar Ki Argapati bertanya,
"Pandan Wangi, aku ingin mendengar, apakah yang sebenarnya
telah terjadi atasmu pada saat kau bertempur melawan Ki Peda
Sura. Aku ingin kau berceritera dari awal sampai akhir, berurutan
seperti apa yang telah terjadi sebenarnya."
Terasa dada Pandan Wangi berdentangan. Sebenarnya ia
memang ingin menceriterakan, sehingga bagian-bagian yang
paling kecil sekalipun. Ia ingin berceritera bahwa anak muda itu
telah menolongnya sehingga mereka jatuh berguling di atas
tanah yang kotor. Ia ingin berceritera bahwa anak muda yang
menyebut dirinya bernama Gupita itu menarik tangannya berlarilari
di atas pematang dan tanah yang becek berlumpur. Di atas
genangan air yang memantulkan cahaya bulan yang penuh,
yang bergayutan di langit yang biru bersih.
Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengatupkan bibirnya rapatrapat.
Ia menggeram di dalam hatinya, "Tidak. Aku adalah
seorang dari sekian banyak pengawal Tanah Perdikan ini. Yang
menarik perhatianku seharusnya bukan pantulan cahaya bulan
yang bulat. Bukan birunya langit yang digantungi oleh bintang
gemintang. Bukan selembar awan putih yang hanyut dalam
hembusan angin dari samodra. Bukan. Bukan. Yang penting
bagiku, Peda Sura telah kami lukai. Aku telah berhasil
melepaskan diri dari tangannya dan pasukanku telah berhasil
mengundurkan diri dengan korban yang sekecil-kecilnya."
Namun justru dengan demikian, tidak sepatah kata pun yang
meloncat dari bibirnya. Samekta dan Kerti pun menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu
betapa sulitnya Pandan Wangi mengatakan apa yang telah
dialaminya menilik ceriteranya yang baru dikatakannya
sepotong-sepotong. Apalagi ketika mereka melihat, wajah
Wrahasta yang menjadi tegang. Apabila Pandan Wangi
menceriterakan sekali lagi, bahkan lebih banyak lagi tentang
anak muda yang mengaku sebagai seorang gembala itu, maka
mereka menjadi cemas bahwa perasaan Wrahasta akan benarbenar
terluka. Karena itu, maka sebelum Pandan Wangi dapat
mengatasi kebimbangannya, terdengar Samekta berkata, "Ki
Gede, ada banyak soal yang harus kita bicarakan. Sebenarnya
Ki Gede masih harus banyak beristirahat. Karena itu, sebaiknya
ceritera-ceritera itu dapat ditunda untuk lain kali. Sekarang kami
mengharap Ki Gede menenteramkan hati, dan apabila mungkin
tidur meskipun hanya sekejap."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata
sambil tersenyum, "Kau benar Samekta. Aku memang harus
beristirahat. Tetapi mendengarkan ceritera Pandan Wangi
bagiku merupakan suatu kesegaran baru di dalam diri yang
tegang selama ini. Aku akan berbangga dan bahkan mengagumi
anak ini. Dengan demikian, segala kepahitan atas kekalahan
yang aku alami ini akan terhibur karenanya."
"Tetapi bukankah Ki Gede tidak kalah?" potong Kerti, "Semua
yang terjadi, sehingga Ki Gede menderita luka, bukanlah suatu
kekalahan. Tetapi itu adalah suatu kecurangan. Ki Gede tidak
akan terluka apabila Ki Tambak Wedi sanggup bertempur
beradu dada." Ki Gede tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja
Pandan Wangi menyahut, "Apakah Tambak Wedi berbuat
curang sehingga Ayah terluka parah di dadanya?"
Kerti mengangguk. Jawabnya, "Akalmu telah membawa aku
menyaksikan apa yang terjadi. Karena kami menyangka bahwa
kau lari lagi dari halaman dan pergi ke Pucang Kembar, maka
aku pun telah pergi ke sana pula. Agaknya kau memang
bermaksud demikian."
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya
ditundukkannya dalam-dalam, seolah-olah ia sedang mencoba
menyembunyikan perasaan yang mengambang di wajahnya.
"Hem," tiba-tiba Samekta menarik nafas dalam-dalam, "Kita
telah terlibat lagi dalam suatu pembicaraan. Biarlah Ki Gede
beristirahat sejenak, agar lukanya menjadi semakin baik. Apalagi
apabila Ki Gede dapat tidur. Karena itu, maka marilah kita
tinggalkan ruangan ini."
Mereka yang berdiri di seputar pembaringan Ki Gede itu
saling berpandangan sejenak. Kemudian terdengar suara Kerti,
"Baiklah. Sekarang marilah kita tinggalkan ruangan ini. Ki Gede
memang perlu beristirahat."
Ketika Kerti dan Samekta berpaling ke arah Wrahasta, maka
dilihatnya wajah anak muda itu masih juga tetap tegang.
"Marilah, Wrahasta," berkata Kerti sareh.
Wrahasta masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
bergumam, "Marilah."
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Ki
Gede, "Kami minta diri sejenak, Ki Gede. Kami masih
menyimpan banyak persoalan. Nanti apabila Ki Gede sudah
beristirahat, kami akan menyampaikan persoalan-persoalan itu."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk
sejenak. Terasa sesuatu yang kurang wajar terjadi di antara
orang-orangnya itu. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah yang
kurang itu. Meskipun demikian ia mengangguk sambil berkata,
"Silahkan. Silahkan. Aku memang ingin beristirahat. Tetapi aku
minta Pandan Wangi tetap berada di sini menungguiku. Mungkin
aku haus atau lapar atau memerlukan apa pun."
"Tentu, Ayah," sahut Pandan Wangi dengan serta-merta
sebelum orang lain menyahut. Ia tidak mau apabila ia harus
menyingkir pula dari samping ayahnya. Ia ingin menungguinya,
dan lebih daripada itu, serasa dadanya dipenuhi oleh ceritera
yang harus ditumpahkannya kepada ayahnya. Hanya kepada
ayahnya. Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Tanpa
mereka sadari keduanya memandang Wrahasta dengan sudut
mata mereka. Untunglah bahwa Wrahasta tidak memperhatikan
sikap itu sehingga tidak menimbulkan persoalan apa pun di
dalam dirinya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kerti berkata,
"Wangi, ayahmu minta kau tetap menungguinya. Layanilah.
Kami akan minta diri sejenak."
"Silahkanlah, Paman," sahut Pandan Wangi.
Sejenak kemudian maka ruangan itu pun telah menjadi
lengang. Yang tinggal di dalamnya adalah Ki Argapati yang
berbaring di pembaringan bambu dan Pandan Wangi, yang
menungguinya duduk di pembaringan itu pula. Sementara itu
Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain pergi ke
tempat yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan
sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Supaya persoalan mereka, terutama Wrahasta, terbatas pada
masalah Tanah Perdikan, tidak langsung menyentuh soal
pribadi, maka Samekta segera membawa mereka ke dalam
suatu pembicaraan mengenai laporan yang didengarnya, bahwa
seseorang dari desa ini telah lolos untuk melaporkan keadaan Ki
Gede yang senyatanya kepada Ki Tambak Wedi.
"Laporan itu berbahaya bagi kita di sini," berkata Samekta,
"sebab apabila Ki Tambak Wedi yakin akan keadaan Ki Argapati,
maka ia akan segera mengambil keputusan."
Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Bahaya itu memang terbayang di dalam kepala mereka. Apabila
dalam saat yang pendek Sidanti membawa seluruh pasukannya
ke desa ini, maka keadaan akan menjadi sangat gawat.
Meskipun seluruh pasukan pengawal yang tersebar di segala
tempat ditarik, maka untuk mempertahankan diri, pasti akan
terlampau sulit. *** Buku 39

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"AKU sudah menyebarkan perintah untuk menarik semua
pasukan. Dan aku juga sudah menyiapkan pasukan berkuda
yang akan mengimbangi semua gerak lawan, kalau perlu
dengan melakukan kekerasan dan mengorbankan beberapa
buah rumah penduduk yang kelak akan kita perhitungkan."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam
angan-angannya seakan-akan sekelompok burung elang yang
terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Pasukan yang
demikian memang dapat maempengaruhi pertimbanggan lawan
dan kadang-kadang dapat mengalihkan gerakan pasukan. Tetapi
orang-orang yang berada di dalam pasukan itu harus benarbenar
orang-orang terpilih. Bukan saja kemampuannya
bertempur, tetapi lebih dari pada itu, adalah ketabahan hati
mereka menghadapi semua keadaan, kesadaran mereka akan
perjuangannya dan ketiadaan pamrih bagi diri sendiri.
"Apakah orang-orangnya sudah dipilih?" Wrahasta kemudian
bertanya. "Sebab untuk menjadi anggauta pasukan itu, beberapa
syarat harus dipenuhi. Apalagi apabila ada di antara mereka
yang mempunyai cacad pribadi. Maka mereka pasti akan
melakukan hal-hal yang merugikan nama baik pasukan
Pengawal Tanah Perdikan ini."
"Aku mengharap demikian," sahut Samekta. "Pada saat
terakhir aku sendirilah yang akan menentukan orang-orangnya
dari mereka yang telah ditunjuk."
Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Mereka mencoba membayangkan, apakah yang akan dapat
terjadi apabila dalam waktu yang singkat kedua pihak harus
berbenturan lagi. Keduanya akan menjadi semakin parah. Tetapi
terlebih parah lagi adalah pasukan Ki Argapati. Sudah tentu Ki
Tambak Wedi akan ikut di dalam pasukan itu bersama Sidanti
dan Ki Argajaya. Mungkin Ki Peda Sura dan orang-orang lain
yang belum diketahuinya. Jika demikian, maka sulitlah bagi pasukan Pengawal Tanah
Perdikan Menoreh untuk mempertahankan diri. Mungkin
pasukan berkuda itu akan mampu mengurai pemusatan pasukan
Sidanti. Namun sudah tentu tidak akan cukup kuat untuk ikut
menentukan akhir dari keseluruhan.
"Tetapi kita berusaha. Kita memang harus berbuat sesuatu,"
tiba-tiba saja Kerti berdesis. "Kita tidak akan menyerahkan diri
kita untuk dibantai tanpa melakukan perlawanan. Setiap laklaki
harus ikut di dalam pasukan."
Samekta mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya,
"Sampai saat ini hampir tidak ada laklaki yang tersisa. Yang kita
harapkan untuk menambahkan kekuatan adalah orangg-orang
tua yang sampai saat ini justru telah meletakkan senjata mereka,
tetapi mereka cukup mempunyai pengalaman dan kemampuan.
Mereka harus kita bawa kembali ke medan-medan dan menarik
senjata-senjata mereka dari wrangkanya. Mereka akan
didampingi oleh anak-anak muda yang merupakan kekuatan
mereka, sedang mereka, dengan pengalaman dan kemampuan
mereka, akan mengarahkan kekuatan itu ke sasaran yang
benar." Sekali lagi Kerti den Wrahasta itu mengangguk-anggukkan
kepala. "Aku harus mendapat laporan tentang perintahku," berkata
Samekta kemudian. Lalu katanya, "Kalian ada pendapat?"
Kerti dan Wrahasta menggelengkan kepala mereka. "Aku kira
untuk sementara, gerakan itu sudah cukup," sahut Kerti.
"Kita memerlukan senjata jarak jauh lebih banyak lagi,"
berkata Wrahasta kemudian. "Tekanan pada pintu-pintu masuk
padesan ini perlu kita kurangi dengan panah-panah apabila
mereka benar-benar datang. Kita harus membuat tempat-tempat
yang mapan di atas bambu-bambu ori untuk menempatkan
pasukan panah kita."
"Ya, aku kira kau dapat melakukannya. Berikan perintah itu
kepada pasukan yang berkepentingan."
Wrahasta menganggukkan kepalanya. Ia tidak menunggu
sehingga waktu akan terlalu habis oleh meningkatnya keadaan.
Segera ia berdiri dan melangkah ke luar, mempersiapkan
keadaan pintu gerbang masuk ke padesan di empat penjuru
dengan menempatkan pasukan berpanah di sela-sela pering ori.
Samekta dan Kerti masih saja berbicara tentang keadaan
pasukan mereka. Kesulitan-kesulitan yang akan mereka hadapi
dan cara-cara yang akan dapat ditempuh untuk mengatasi setiap
kesulitan itu. "Pada saatnya kita harus menyampaikan kepada Ki Argapati
supaya kita tidak salah jalan," berkata Kerti. "Meskipun saat ini
masih belum memungkinkan karena lukanya, namun aku
mengharap bahwa sesudah ia beristirahat, ia akan dapat dibawa
berbincang-bincang. Meskipun Ki Gede sendiri tidak akan ikut
turun ke peperangan, tetapi nasehatnya sangat kita perlukan."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih
belum dapat membayangkan, seandainya Ki Gede mengetahui
semua persoalan, apakah ada seseorang yang dapat
mencegahnya, supaya ia tidak meninggalkan pembaringannya,
turun ke medan perang meskipun lukanya belum sembuh"
"Tetapi kita harus berhathati," desis Samekta. "Kita
mengenal sifat Ki Gede Menoreh baik-baik."
"Ya," sahut Kerti. "Hampir saja aku tidak berhasil
mengajaknya masuk ke desa ini. Demikian ia mendengar bahwa
Pandan Wangi terpisah dari pasukanya, hampir saja ia
kehilangan kesadaran dirinya."
"Karena itu, maka untuk sementara kita akan berusaha
mengatasi semua persoalan di sini tanpa mengganggu Ki
Argapati," berkata Samekta kemudian.
"Ya, tetapi bagaimanakah kira-kira perasaan Ki Gede, apabila
suatu ketika kita minta ia meninggalkan desa ini karena pasukan
Sidanti sudah di ambang pintu dan tidak dapat dibendung lagi?"
Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
menjawab, "Aku mempunyai perhitungan, bahwa keadan yang
demikian tidak akan terlampau cepat terjadi. Aku percaya
kepada Wrahasta dan aku mengharap hahwa pasukan berkuda
yang akan tersusun itu dapat mengganggu susunan rencana Ki
Tambak Wedi. Aku masih mengharap mudah-mudahan Ki
Argapati cepat sembuh dan mampu memimpin pasukannya."
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Obat
yang didapatkannya dari orang bercambuk itu benar-benar baik.
Setelah mengalami benturan yang dahsyat di dalam tubuhnya.
Ki Argapati tampak menjadi segar."
"Tetapi apakah masih ada sisa obat itu?"
Kerti menggelengkan kepalannya. "Tidak. Semua sudah
habis ditaburkan di atas lukanya. Kalau daya penyembuh obat
itu tidak berkurang, maka aku mengharap Ki Gede akan bisa
lekas sembuh." Samekta tidak menyahut. Tetapi wajahnya menunjukkan
keragu-raguan. Biasanya obat hanya mempunyai daya
penyembuh yang sangat terbatas, sehingga setiap kali obat itu
harus diganti. Meskipun demikian Samekta tidak
mengatakannya. Bahkan ia berdoa mudah-mudahan obat yang
satu ini mempunyai kelebihan dari obat-obat yang lain. Sehingga
terloncat dari bibirnya, "Apabila Ki Gede lekas sembuh, maka
kita akan hidup kembali. Kita akan menengadahkan kepala kita.
Pasukan yang ada masih cukup kuat untuk merebut kembali
seluruh Tanah ini dari pengkhianatan."
Kerti mengangguk-angguk pula. Tetapi tiba-tiba ia bergumam,
"Persoalan yang harus didengar oleh Ki Gede bukan saja
persoalan Tanah Perdikan ini."
"Apa lagi?" "Pandan Wangi."
"Kenapa Pandan Wangi" Meskipun ia seorang gadis tetapi ia
adalah seorang senapati yang baik. Bahkan terlampau baik.
Bahwa ia terpisah dari pasukannya, adalah karena rasa
tanggung jawabnya yang berlebih-lebihan, apalagi ia sama
sekali belum berpengalaman."
"Bukan itu. Aku tahu bahwa ia adalah seorang senapati yang
baik di medan perang. Tetapi ia adalah seorang gadis. Itulah
lihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi
oleh yang harus diketahui oleh Ki Argapati."
Samekta mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menangkap
reaksi dari Kerti. Namun ia mengangguk-angukkan kepalanya
ketika ia mendengar Kerti berkata, "Maksudku, persoalan
Pandan Wangi sebagai seorang gadis. Bukankah kau pernah
berkata, bahwa sesuatu tergetar di dalam dada Wrahasta
tentang Pandan Wangi."
"O," sahut Samekta penuh pengertian, "ya, itu pun merupakan
suatu persoalan bagi Ki Argapati."
"Mudah-mudahan Pandan Wangi tidak mempersoalkannya
sekarang dengan ayahnya"
"Mungkin ia asyik berceritera tentang gembala itu." Tiba-tiba
Samekta mengangkat wajahnya seolah-olah ia sedang
mengenang sesuatu "Gembala itu?"
"Kenapa dengan gembala itu?" bertanya Kerti.
"Aku pernah menyangkanya seorang gembala yang jujur
tetapi dungu," desis Samekta. "Tetapi ternyata akulah yang
dungu." "Kau pernah bertemu dengan gembala itu?"
Samekta tersenyum. Jawabnya "Terlalu sekali. Ketika aku
mendengar ia menyebut namanya, aku katakan kepadanya,
bahwa namanya terlampau baik, lebih baik dari namaku. Apa
jawabnya setelah ia mengetahui namaku" Katanya, "Ya,
memang namaku lebih baik dari Samekta, meskipun Samekta
juga sudah cukup baik, tetapi tidak sebaik Gupita.?"
"O," Kerti pun tersenyum.
"Aku menyangkanya seorang yang dungu. Ketika aku melihat
kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh
bayangan harapan dari seorang gembala untuk mendapatkan
perlindungan," suara Samekta menurun. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Pantas, kata-katanya saat itu,
betapa terasa kedunguannya, namun cukup membuat aku
pening. Ia bertanya, "Apakah kalau ada seseorang yang
merampas kambing-kambingku, merampas hakku, orang itu
tidak dihukum?" Dan pertanyaan itu membuat aku pening."
"Apa jawabmu?" "Kalau aku tahu tentang anak itu sebenarnya, jawabku pasti
lain. Tetapi saat itu aku menjawab, "Bahwa mereka yang
melanggar peraturan, merampas kambing, merampas hak
seseorang itu mempunyai pedang di lambungnya. Untuk
menghukumnya, diperlukan pedang yang lebih tajam dari
pedang mereka.?" Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta
berkata, "Tentu ia mentertawakan jawabanku saat itu, seolaholah
ketetapan dan tegaknya peraturan itu semata-mata berada
di ujung pedang." "Ternyata ia bukan anak yang dungu seperti yang kamu
sangka." " Ya. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itulah
yang menolongnya, dan bersama-sama melukai Ki Peda Sura,
maka kilatan matanya saat itu adalah pertanda bahwa ia
mempunyai sesuatu yang tersimpan di dadanya. Sekarang aku
menyadari keadaanya saat itu. Itulah agaknya sebabnya ia sama
sekali tidak menyingkirkan kambing-kambingnya ketika orangorang
liar yang berada di pihak Sidanti mendatanginya. Ternyata
ia siap untuk menghadapi keenam orang yang tetah mencegat
Pandan Wangi saat itu."
Kerti masih mengagguk-anggukkan kepalanya. Namun timbul
kekhawatiran di dalam dadanya. Pandan Wangi adalah seorang
gadis. Kalau ia sudah mulai mengagumi seorang anak muda,
maka kadang-kadang seorang gadis tidak lagi mampu
memisahkannya, apakah ia mengaguminya sebagai seorang
prajurit yang tangkas di peperangan, ataukah ia mengaguminya
sebagai seorang anak muda yang lembut, atau justru sikapnya
yang kasar, yang telah menyentuh hatinya, atau perasaan apa
pun. Perasaan yang berbeda-beda dalam bentuk dan sifatnya
itu, kadang-kadang dibaurkan menjadi satu di dalam hati
seorang gadis. Namun hal yang demikian adalah suatu hal yang sudah
wajar. Kalau tidak ada persoalan-persoalan yang lain, maka hal
itu tidak perlu dipersoalkan, atau dicemaskan.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Pandan Wangi.
Sebelum Pandan Wangi berbicara tentang gembala itu, maka
seorang anak muda yang lain, yang hampir setiap hari keduaya
bertemu pandang, telah lebih dulu mengaitkan cita-cita hidupnya
kepadanya. Dan anak muda itu mempunyai peranan yang cukup
penting bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Samekta agaknya menangkap getar perasaan Kerti, sehingga
ia berkata lirih, "Sudah tentu hadirnya gembala itu merupakan
persoaIaan baru bagi Ki Argapati. Mungkin persoalan ini akan
dapat berkepanjangan. Gembala itu pasti bukan tanpa maksud
melibatkan dirinya dalam masalah Tanah Perdikan Menoreh."
Jawab Kerti, "Ternyata gembala itu masih akan bertambah
satu lagi dengan seorang anak muda yang gemuk, yang
menyebut dirinya bernama Gupala."
Samekta tidak segera menyahut. Kadang-kadang ia
menyesali keadaan itu, keadaan yang kurang menguntungkan
pada saat-saat serupa ini. Justru karena Pandan Wangi seorang
gadis. Kalau Pandan Wangi bukan seorang gadis, kehadiran
gembala itu akan dapat menumbuhkan harapan yang pasti,
selagi ia bermaksud baik dan tanpa pamrih yang dapat
merugikan tanah perdikan ini. Tetapi keadaannya agak berbeda
karena Pandan Wangi adalah seorang gadis.
Sementara itu, di induk Tanah Perdikan Menoreh, Ki Tambak
Wedi, Sidanti, Argajaya, dan beberapa orang pemimpin
pasukannya sedang sibuk berbicara tentang Ki Argapati.
Petugas sandinya yang berhasil keluar dari padesan tempat
pemusatan pasukan Menoreh, telah sampai dengan selamat di
padukuhan induk dan langsung menemui pimpinan tertingginya.
"Apakah kau pasti bahwa sakit Argapati cukup parah?"
"Ya," jawab orang tua itu, "aku pasti. Aku melihat sendiri,
bagaimana ia turun dari kuda, kemudian dengan susah naik ke
rumah yang disediakan untuk puterinya, Pandan Wangi. Aku
mendengar langsung dari seorang pengawal yang mendapat
tugas untuk mencari seorang dukun yang cukup baik."
"Apakah kau tidak menawarkan Ki Wasi. Bukankah Ki Wasi
dahulu hampir tidak pernah terpisah dari Ki Argapati."
Kakek petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Ketika
mengedarkan pandangan matanya ia melihat seorang laklaki,
berkumis dan berjanggut pendek tersenyum kepadanya. Tanpa
ditanya orang itu berkata perlahan-lahan, "Sayang. Aku tidak
dapat mengikuti jalan pikiran Ki Airgapati yang telah sampai hati
memusuhi puteranya sendiri. Adalah tidak pantas bagi seorang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayah berbuat demikian. Betapapun besar kesalahan seorang
anak, tetapi ia adalah setitik dari darahnya. Apakah seorang
anak terpaksa melakukan perlawanan atas ayahnya, maka
kesalahan yang sebenarnya pasti terletak kepada ayah itu
sendiri. Setidak-tidaknya ia tidak berbasil membentuk anaknya
menjadi seorang anak yang berbakti. Apalagi sikap yang
terlampau keras seperti yang dilakukan oleh Ki Gede saat ini
terhadap satu-satunya puteranya yang justru kelak akan
mewarisi Tanah ini."
Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka menjadi semakin yakin dan mantap
untuk berperang di pihak Sidanti. Namun beberapa orang yang
lain acuh tidak acuh saja mendengar kata-kata itu. Orang-orang
yang datang dari luar Menoreh sama sekali tidak peduli, apakah
yang mereka persoalkan. Apakah ada perselisihan antara anak
dan ayah, apakah ada sekelompok yang sedang
mamperjuangkan cita-cita, apakah ada pihak-pihak yang sedang
menuntut haknya, apakah ada apa pun juga, namun semua itu
akan dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka
masing-masing. "Persetan," berkata salah seorang dari mereka di dalam
hatinya. "Aku tidak peduIi. Tetapi persengketaan ini harus segera
menjalar. Sampai saat ini aku belum berhasil mendapatkan apa
pun. Ternyata setan-setan yang lain telah mendahului aku.
Kecuali sebuah pendok sepuhan dan sebuah timang kecil, aku
belum mendapat apa-apa lagi."
Berbeda dengan mereka, maka getar dalam dada Sidanti
terasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia menyadari bahwa
pemahaman Ki Wasi atas dirinya ternyata keliru. Apakah kata
orang tua itu seandainya ia tahu, bahwa Sidanti sama sekali
bukan titik darah Ki Argapati"
Tetapi ditahankannya perasaan itu jauh-jauh di dalam
dadanya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada kakek petugas
sandi itu, "Siapakah yang memberi obat kepada Ki Argapati?"
Kakek tua itu menggeleng. "Kami tidak tahu. Tetapi mereka
sedang mencari." Tiba-tiba dari sela-sela mereka yang berada di dalam ruangan
itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Seorang laklaki
tua, berkumis, berjanggut, dan berambut jarang, tertawa sampai
terangguk-angguk. Ikat kepalanya yang dililitkan begitu saja di
kepalanya tanpa menutupi sebagian daripadanya, menunjukkan
kejarangan rambutnya di ubun-ubun. Di kedua belah tangan lakiTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
laki tua itu mempergunakan sepasang binggel akar kayu berlian,
dan di lehernya tersangkut berbagai macam benda-benda yang
dianggapnya keramat. Taring celeng mati ngurak, biji asam
berangkai genap, sepotong besi berwarna kuning, tiga bongkah
batu kecil berwarna telon bersap tiga, dan beberapa macam
benda-benda yang lain. Sedang pada ikat pinggangnya
tergantung sebuah tempurung kecil berisikan berbagai reramuan
obat-obatnya dan sebuah kantong kain berisikan barbagai
macam bunga-bunga yang dianggapnya aneh. Bunga semboja
bermahkota genap. Bunga telasih putih, bunga pohung
sungsang, dan bunga sekar jagad.
Sejenak semua mata terpancang kepada orang tua itu.
Dengan matanya yang tajam orang tua itu memandang kepada
petugas sandi yang memberitakan terutama keadaan Argapati.
Sejenak kemudian ia berkata, "Apakah Argapati atau orangorangnya
tidak menyebut namaku?"
Petugas sandi itu menggeleng. Namun tiba-tiba ia berkata,
"Ya, nama Kiai disebutnya juga."
"Apa kata Argapati tentang aku?"
"Bukan Argapati, tetapi salah seorang pengawal yang
bertugas mencari dukun yang dapat dipercaya."
"Apa katanya?" "Argapati mencari seorang dukun. Tetapi bukan Ki Wasi dan
Ki Muni." Sekali lagi suara tertawa laklaki tua, yang bernama Ki Muni
itu meledak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Tetapi
tiba-tiba suara tertawanya terputus. Dikerutkannya dahinya
sambil berkata, "Tetapi aku tidak mempunyai alasan yang sama
seperti Ki Wasi. Pada saat Argapati masih berkuasa, Ki Wasi
betah duduk sehari muput, bahkan semalam suntuk,
menjagainya denggan setia. Mengurut kakinya dan mengobati
luka-lukanya kalau kakinya terantuk tlundak pintu. Tetapi aku
tidak. Sejak semula aku menentangnya. Aku pernah
menantangnya berperangg tanding. Tetapi Argapati tidak
bersedia. Karena itu, sampai saat ini pun aku tetap
menentangnya." "Jangan ngundat-undat, Kakang Muni," potong Ki Wasi. "Kau
tidak berkata dengan jujur. Apakah yang pernah kau lakukan
saat itu hampir setiap orang mengertahuinya. Tetapi aku tidak
perlu mengungkapnya kembali. Yang penting adalah apa yang
kini sedang kita hadapi. Sokurlah kau mampu menghadapi Ki
Argapati itu dalam perang tanding seperti Ki Tambak Wedi.
Dengan demikian maka nama Ki Muni akan segera dipasang di
samping nama-nama Ki Argapati, Ki Tambak Wedi, dan namanama
lain yang sejajar dengan nama-nama itu."
Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Muni. Tiba-tiba
wajah itu menjadi tegang. Dari sepasang matanya memancar
kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Dengan suara
yang berat ia menggeram, "Persetan dengan kau, Adi Wasi. Apa
kau sangka aku tidak mampu meremas mulutmu itu, he" Dahulu
kau menjilat telapak kaki Argapati, sekarang kau bersimpuh di
hadapan Angger Sidanti. Huh, orang seperti kau memang tidak
dapat dipercaya sepenuh hati."
Ki Wasi menarik nafas dalam-dalam. Tampak betapa ia
terlampau sulit menahan perasaannya. Tetapi ia masih dapat
berkata sareh, "Apakah kita akan berbantah dan saling
mengungkapkan kenistaan di masa lampau" Kalau itu yang kau
kehendaki, maka aku akan bersedia. Bahkan kalau kau masih
juga belum puas, dan kau menghendaki yang lain, maka
meskipun aku sudah merasa cukup tua, tetapi aku masih ingin
mencoba mempertahankan harga diriku, Kakang."
Sekali lagi suara tertawa Ki Muni meledak memenuhi
ruangan. Beberapa orang ikut terseret dalam ketegangan itu.
Sejenak mereka hanyut dalam perbantahan yang semakin seru.
Tetapi tiba-tiba Argajaya tersenyum dalam hatinya. Ia mengenal
kedua orang itu dan ia mengetahui apa yang telah mereka
lakukan di masa-masa lampau mereka.
Karena itu, adalah sangat menggelikan apabila orang
berbicara tentang diri sendiri di saat ini, di mana keadaan telah
meningkat menjadi semakin panas.
Agaknya Ki Muni masih juga ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba
Ki Tambak Wedi memotong, "Ya, aku tahu semuanya. Aku
bukan seorang yang tuli. Aku telah mendengar tentang kalian
selengkapnya. Tetapi marilah kita lupakan masa lampau itu. Kita
kini sedangg menghadapi tugas yang cukup berat. Kami
mengharap kalian berdua selau berada dalam tugas kalian
sebaik-baiknya. Aku tidak akan menempatkan Ki Muni di medanmedan
perang untuk menghadapi langsung Ki Argapati atau
menempatkan Ki Wasi sebagai seorang senapati perang untuk
merebut Karang Sari atau Patemon, atau daerah-daerah lain
yang kini masih dikuasai oleh orang-orang Argapati. Tetapi aku
minta setiap saat kalian dapat menyembuhkan orang-orang yang
terluka di peperangan. Itu adalah tugas kalian. Kalian tidak usah
bertengkar berebut benar tentang pendirian masing-masing. Baik
di saat ini maupun di saat-saat lampau."
Keduanya tidak menjawab. Sesaat mereka saling
memandang, namun kemudian mereka melemparkan
pandangan mata mereka jauh-jauh keluar dari ruangan itu ke
titik-titik di kejauhan. "Yang perlu kita pertimbangkan sekarang, apakah yang
sebaiknya kita lakukan," berkata Ki Tambak Wedi. "Kalau benarbenar
Argapati terluka parah, apakah ia akan dapat sembuh"
Mungkin ada dukun-dukun kecil yang mencoba mengobatinya
pula. Tetapi apakah mereka mampu membersihkan racun pada
luka Ki Argapati itu. Kalau tidak, maka betapapun lambatnya,
luka itu akan menjalar dan akan menghancurkan kulit dan
dagingnya." "Tetapi Ki Argapati sendiri mengerti, bagaimana ia harus
mengobati luka-luka," berkata Ki Wasi.
"Ya, ilmu itu sekedar dimilikinya seperti aku juga mengerti
serba sedikit. Tetapi untuk melawan luka yang parah, diperlukan
sorang yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang itu
seperti Ki Wasi dan Ki Muni."
"Tentu," sahut Ki Muni. "Kalau benar ia terluka parah, maka
biarkan saja ia sehari dua hari. Ia akan mati dengan sendirinya."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sebagai seorang yang cukup mempunyai pertimbangan tentang
peperangan ia berpendirian lain. Ia tidak dapat menunggu
sampai Argapati itu mati dengan sendirinya. Ia tidak dapat
menunggu waktu yang tidak berkepastian. Sebagai seseorang
yang mempunyai perhitungan medan, pikirannya agak lain dari
pikiran Ki Muni. Maka katanya, "Memang Argapati mungkin akan
mati dengan sendirinya. Tetapi kita tidak dapat melepaskan
waktu ini, di saat-saat Argapati menjelang hari terakhirnya. Kita
harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya."
"Apakah yang akan kita lakukan Kiai?" bertanya Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Tetapi ia melihat
kilatan mata Sidanti, bahwa anak ini telah menangkap
maksudnya. Bahkan Sidantlah yang mendahului berkata, "Kita
hancurkan sisa-sisa pasukan Argapati itu selagi mereka belum
mampu bangun dari pingsan. Kalau kita menunda-nunda lagi,
mungkin ada sesuatu yang dapat menolong Argapati sehingga
keadaan akan segera berubah."
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang
senopati pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak
dapat berpendirian lain, kecuali membenarkan sikap Sidanti.
Tetapi betapa pun juga terasa sesuatu berdesir di dadanya.
Argapati yang sedang dibicarakan itu adalah kakaknya.
"Tetapi aku sudah bertekad untuk menyingkirkannya,"
katanya di dalam hati. "Kemudian, aku harus menempuh
perjuangan dalam babak yang baru. Aku pasti tidak akan dapat
melihat Sidanti menjadi kepala Tanah Perdikan ini. Dan aku juga
tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya, bahwa
ia akan memberi kesempatan kepadaku ikut serta di dalam
pemerintahan. Apalagi apabila dengan landasan Tanah Perdikan
ini Ki Tambak Wedi dapat membawa Sidanti merayap ke
singgasana Pajang." Argajaya terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi
bertanya kepadanya, "Bagaimanakah sebaiknya" Apakah kau
sependapat dengan Sidanti."
"Ya. Ya," Argajaya tergagap, "aku sependapat. Memang tidak
ada jalan lain yang dapat kita tempuh sekarang."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang menurut perhitungan yang paling tepat, pasukannya
harus segera bergerak, memukul pasukan Argapati yang sedang
terluka parah itu. Menurut perhitungan keprajuritan, maka
pasukan Argapati tidak akan dapat bertahan. Mereka tidak
mempunyai pimpinan yang dapat mengimbangi para pemimpin
dari pasukan Sidanti. Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih tampak ragu-ragu.
Sekalsekali dipandanginya wajah Sidanti, kemudian wajah
Argajaya, lalu beredar kepada orang-orang yang berada di
dalam ruangan itu. "Kita harus segera melakukannya, Guru," berkata Sidanti
kemudian. "Lebih cepat lebih baik. Selama orang-orang Argapati
masih berada dalam kegelisahan."
"Ya, ya," Ki Tambak Wedi mengangguk-angguk, "tetapi kita
jangan kehilangan perhitungan. Kita harus mempertimbangkan
keadaan dari segala segi."
"Apalagi yang harus kita pertimbangkan, Guru" Kita sudah
siap. Seandainya sekarang pun kita sudah siap untuk
melakukannya. Tetapi menurut pertimbanganku, nanti malam
kita bergerak. Kita tidak usah menunggu besok."
Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Kita cukup kuat bergerak di siang hari. Bagiku gerakan di siang
hari dalam keadaan ini akan lebih menguntungkan. Kesempatan
untuk melarikan diri lebih kecil bagi Argapati yang sakit itu. Kita
akan dapat melihat segala gerakan timbal-balik. Kita akan dapat
menunjukkan kemenangan-kemenangan kita kepada para
pengikut Argapati itu, sehingga nafsu perlawanan mereka pun
pasti akan terpengaruh."
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia menganggukanggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, "Dapat banyak terjadi
dalam waktu semalam ini. Mungkin timbul berbagai macam
perubahan keadaan." "Itu memang mungkin sekali," jawab Ki Tambak Wedi, "tetapi
kita jangan tergesa-gesa, sehingga kita kehilangan
pertimbangan nalar."
"Apalagi yang dapat menghambat gerakan kita?" bertanya
Sidanti. "Marilah kita perhitungkan," berkata Ki Tambak Wedi,
kemudian. "Peristiwa yang terjadi atas sekelompok orang yang
telah aku persiapkan di sekitar Pucang Kembar telah
menumbuhkan banyak pertanyaan di hatiku."
"Itu pasti pokal pasukan-pasukan Argapati yang memang
telah dipersiapkan dahulu."
"Mereka sama sekali tidak mengetahui, tentang sekelompok
orang kita itu." "Kelompok mereka pun akan melakukan seperti apa yang kita
persiapkan atas Guru."
"Aku tidak berkesan demikian, Sidanti. Aku melihatnya lebih
jauh dari sekedar kebetulan itu."
"Lalu apakah yang telah terjadi menurut pertimbangan Guru?"
"Aku menjumpai keanehan. Aku telah menemukan bekas
perkelahian antara sekelompok orang-orang kita itu dengan
lawan mereka. Tetapi aku tidak dapat membayangkan, siapakah
lawan mereka itu. Kalau mereka adalah sekelompok orangorang
Menoreh, maka akibat dari pertempuran itu pasti berbeda.
Aku tidak banyak menemukan bekas-bekas dari perkelahian itu.
Aku hanya melihait tiga mayat yang terbaring di sana. Kemudian
ke manakah perginya yang lain?"
"Mereka berselisih dan saling bertempur. Bukankah aku telah
mengatakan, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi?"
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia bergumam, "Memang kemungkinan ini dapat terjadi. Tetapi
kemungkinan itu terlampau kecil. Mereka berangkat dalam
keadaan yang baik tanpa ada tanda-tanda perselisihan apa pun


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di antara mereka. Sedangkan seandainya demikian, di antara
kedua pihak itu yang masih hidup pasti akan sampai kepada kita
untuk melaporkan keadaan itu."
"Tidak, Guru. Aku pasti bahwa sebagian dari mereka ingin
berkhianat. Sebagian ingin mencegah. Tetapi agaknya mereka
yang berada di pihak yang teguh itu terlampau lemah. Mungkin
memang hanya tiga orang itu yang semuanya mati terbunuh."
"Lalu apakah yang dilakukan oleh yang lain?"
"Mereka melarikan diri."
Ki Tambak Wedi mengernyitkan keningnya. Ia tidak melihat
keuntungan apa pun dari mereka yang disangka melarikan diri
itu. Tetapi seandainya demikian, maka luka-luka pada ketiga
mayat itu pasti akan berbicara, bahwa mereka telah terbunuh
dalam perkelahian yang tidak seimbang. Tetapi luka-luka pada
mayat itu sangat mencurigakannya.
"Apakah Guru masih tetap ragu-ragu?"
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Dengan nada
yang dalam ia bergumam, "Lalu siapakah yang telah melukai Ki
Peda Sura itu" Seorang anak muda yang tiba-tiba saja berkelahi
di pihak Pandan Wangi?"
Tidak seorang pun yang segera dapat menjawab. Ki Peda
Sura sendiri masih belum bernafsu untuk berceritera tentang
anak muda yang melukainya bersama Pandan Wangi. Agaknya
orang itu memang berusaha untuk berdiam diri tentang luka
yang dideritanya. "Tidak masuk akal," gumam Ki Peda Sura di dalam hatinya
ketika orang-orang yang berusaha mengetahui persoalannya
telah pergi. "Anak muda itu hanya bersenjata sehelai cambuk."
Dengan demikian maka orang-orang lain tidak mendapat
gambaran yang jelas tentang anak muda yang telah berhasil
melukai Ki Peda Sura itu bersama Pandan Wangi. Agaknya Ki
Peda Sura telah tersinggung harga dirinya, karena senjata
lawannya hanya sehelai cambuk.
Tetapi pertanyaan Ki Tambak Wedi tentang orang yang telah
melukai Ki Peda Sura itu memang menumbuhkan persoalan di
dalam hati Sidanti. Betapa pun juga ia berusaha
menyembunyikan perasaannya tentang hal itu, untuk sekedar
menuruti nafsunya yang menyala-nyala, namun ia tidak dapat
ingkar, bahwa sebenarnya ia merasakan adanya suatu kekuatan
yang kurang dikenalnya ikut campur di dalam persoalan Tanah
Perdikan Menoreh. Kekuatan yang sampai saat ini masih
diselubungi oleh kabut yang tebal.
Ketika angan-angannya terbang melintasi Kali Praga dan
melintasi Alas Mentaok, maka Sidanti tiba-tiba menggeram,
"Persetan, seandainya mereka hadir di sini, maka umur mereka
pasti akan tinggal seumur kembang bakung."
Namun kadang-kadang tumbuh pula getar di dalam hatinya.
Angan-angannya kadang-kadang tidak hanya terhenti pada jarak
yang dekat dari Alas Mentaok. Namun kadang-kadang ia sampai
pada persoalan Tanah Alas Mentaok itu sendiri. Ia pernah
mendengar betapa keras tuntutan Ki Gede Pemanahan atas
Bumi Mentaok yang oleh Adiwijaya telah disanggupkan akan
diberikan kepadanya setelah ia berhasil menyingkirkan Aryo
Penangsang. Terbayang di dalam angan-angannya seorang anak muda
dengan sebatang tombak pendek di tangannya.
"Tidak mungkin. Anak itu tidak akan berkeliaran di sini."
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya wajahnya
dan dipandanginya bayang-bayang dedaunan di halaman yang
bergerak-gerak. "Apa yaug kau pikirkan, Sidanti?" bertanya Ki Tambak Wedi.
"Memang mungkin ada kekuatan dari luar Tanah ini, Guru."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Itulah yang akan aku katakan kepadamu, kepada
Angger Argajaya, dan kepada semuanya di sini. Kekuatan yang
masih samar-samar tetapi sudah terasa kehadirannya ini harus
kita pertimbangkan sebaik-baiknya."
"Kekuatan dari manakah menurut dugaan Ki Tambak Wedi?"
bertanya Ki Muni yang lehernya dikalungi dengan berbagai
macam jimat. "Kami belum tahu."
Sekali lagi Ki Muni tertawa. Katanya, "Kita kadang-kadang
memang dibayangi oleh dugaan-dugaan kita yang samar-samar
tetapi menakutkan. Kalau ada kekuatan itu, maka berapakah
jumlah mereka" Segelar sepapan atau berapa?"
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Ki
Muni, kekuatan yang hanya satu dua orang, tetapi memiliki
beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan, akan sangat
berarti bagi kita masing-masing. Katakanlah bahwa pasukan kita
di sini dan pasukan Argapati telah sama-sama mengalami luka
parah. Katakanlah bahwa kekuatan kami kini seimbang. Maka
setiap kehadiran kekuatan itu akan segera merubah
keseimbangan itu." "Ah," Ki Muni mengeluh, "Kiai adalah seorang yang memiliki
pengalaman yang pasti jauh lebih banyak dari aku di sini. Tetapi
tampaknya Kiai terlampau hathati. Cobalah perhitungkan. Kalau
selama ini kekuatan pasukan kita seimbang dengan kekuatan
Argapati, maka kita pasti tidak akan berhasil mendesaknya.
Padahal seperti yang kau ketahui, Kiai, kita di sini belum
mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ki Wasi dan aku
masih belum ikut berbuat sesuatu kecuali mengobati orang sakit.
Meskipun kami tidak setangkas Ki Tambak Wedi, tetapi cobalah,
pada suatu ketika aku ingin bertemu dengan orang yang
bernama Argapati itu."
Ki Tambak Wedi menarik keningnya. Ia melihat wajah Sidanti
yang berkerut. Tetapi ketika Sidanti itu akan menjawab, maka
segera anak muda itu digamitnya. Ia tahu benar bahwa Sidanti
dan Argajaya menjadi muak mendengar orang itu membual.
Meskipun demikian mereka tidak juga meniadakan kekuatan
yang ada pada orang itu. "Baiklah, Ki Muni," sahut Ki Tambak Wedi, "suatu ketika
keinginanmu itu akan terjadi. Suatu ketika Argapati akan sembuh
dari sakitnya dan kau akan mendapat kesempatan pertama
untuk melawannya." Tiba-tiba wajah Ki Muni menjadi tegang. Namun hanya
sejenak. Sejenak kemudian terdengar suara tertawanya,
"Sayang. Sayang sekali. Aku menjadi cemas bahwa cita-cita
yang demikian itu tidak akan pernah dapat terjadi. Besok atau
lusa, Argapati akan mati."
"Bagaimana kalau ia tetap hidup?"
"Tidak mungkin," jawab orang yang berkalung jimat di
lehernya itu. "Seandainya ada obat untuknya, maka aku akan
melawannya dengan cara lain. Aku akan membunuhnya dengan
caraku. Aku akan menenungnya. Aku dapat membunuh tanpa
meraba tubuhnya." Dan suara tertawa orang itu menggema lagi
di seluruh ruangan. Ki Wasi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kawannya
yang seorang ini memang mempunyai tabiat yang aneh. Tetapi
tidak seorang pun yang berhasrat untuk mencegahnya. Hampir
semua orang telah mengenalnya sebagai seorang pembual
terbesar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kecuali
seorang pembual sebenarnyalah bahwa memang ia seorang
dukun yang baik. Ia terkenal bukan hanya sekedar mengobati
luka-luka lama dan baru, mengobati penyakit di dalam tubuh
seseorang, atau penyakit-penyakit yang tiba-tiba, tetapi ia
memiliki kekuatan gaib yang dapat dipergunakan untuk tujuantujuan
tertentu. Setiap orang memperkatakannya sebagai
seorang juru tenung yang sakti.
"Baiklah," berkata Ki Tambak Wedi yang mempelajari juga
ilmu semacam itu, meskipun ia lebih mementingkan olah
kanuragan. "Tetapi kita harus membuat perhitungan-perhitungan
lahiriah. Kita barus memperhitungkan setiap kemungkinan
adanya kekuatan yang ikut campur dalam persoalan ini."
Ki Muni kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang ia tidak dapat ingkar, bahwa menghadapi persoalan
perang antara keluarga ini, perhitungan-perhitiungan atas dasar
penilaian keprajuritan harus dimatangkan. Hanya dalam
perselisihan pribadi sajalah, maka caranya itu dapat diterapkan.
Kekuatan tenungnya pun ternyata hanya terbatas. Dan mau
tidak mau Ki Muni harus mengakui di dalam hatinya, bahwa Ki
Tambak Wedi pun memiliki pengetahuan yang serupa.
"Lalu apakah yang sebaiknya kami lakukan menurut Guru?"
bertanya Sidanti. "Kita harus menjajagi keadaan," jawab gurunya.
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat
mengerti apakah yang dimaksud dengan gurunya. Namun Ki
Tambak Wedi pun kemudian menguraikan rencananya,
menjajagi keadaan dalam waktu sehari dua hari sambil
mengikuti perkembangan keadaan Ki Gede Menoreh yang
terluka parah itu. Demikianlah kedua belah pihak telah memperkuat diri sendiri,
membuat rencana untuk menghadapi setiap perkembangan
keadaan dan mencoba untuk saling mengetahui rencana dan
usaha masing-masing pihak.
Sementara itu, malam pun kemudian hadir di permukaan
bumi. Semakin lama menjadi semakin gelap. Di tempat
pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta
tempat pengungsian para keluarga yang juga dijaga cukup kuat,
para peronda telah hilir-mudik dengan kewaspadaan tertinggi.
Mereka berjalan dari gardu ke gardu, menyusuri setiap lorong
dan menjaga setiap pintu keluar dan masuk padesan.
Di mulut-mulut lorong, pada tempat-tempat tertentu telah
dibuat tempat-tempat di antara duri dari pering ori, planggrangan
untuk para pengawal yang akan memperkuat pertahanan
tempat-tempat kedudukan para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh dengan senjata-senjata jarak jauh, panah dan bandil,
pelempar tombak kecil-kecil dan pelempar batu-batu dengan
ujung-ujung bambu yang lentur.
Namun begitu tegang hati para pemimpin pengawal tanah
perdikan, mereka sama sekali tidak ingin mengganggu Ki
Argapati pada saat-saat ia masih habis bergulat dengan lukanya.
Dibiarkannya Ki Argapati beristirahat ditemani oleh puterinya,
meskipun Pandan Wangi sendiri banyak berceritera tentang
pertempuran yang telah dialaminya. Namun Pandan Wangi tidak
menggelisahkan ayahnya dengan kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi dalam waktu singkat. Pandan Wangi sendiri
tidak tahu pasti, bahwa ada seorang petugas sandi yang lolos
dari tempat ini dan yang akan dapat mengabarkan tentang
keadaan Ki Gede, sehingga akibat daripadanya akan berbahaya
bagi pertahanan para penggawal.
Samekta sendiri pada saat itu hilir-mudik bersama-sama
dengan Wrahasta memeriksa setiap gardu-gardu terpenting.
Melihat kesiap-siagaan pasukan pengawal yang ditempatkan di
depan mulut-mulut lorong masuk di empat penjuru. Melihat
kelengkapan senjata-senjata jarak jauh dan bahkan Samekta
sendiri telah mengunjungi padesan di sebelah, tempat keluarga
mereka diungsikan, dijaga oleh kekuatan yang cukup untuk
melindungi mereka dari setiap sergapan. Samekta telah
mengatur pasukannya sedemikian, sehingga kedua tempat itu
akan selalu dapat diamatinya dengan baik. Dan arus
pasukannya akan dapat berpindah-pindah dengan cepat dan
lancar. Telah diperhitungkannya kemungkinan pasukan lawan
berusaha untuk memotong hubungan antara kedua tempat itu,
atau menyerang dari arah yang lain.
Namun demikian, Ki Argapati bukan seorang pemalas yang
hanya ingin berbaring diam di pembaringannya. Bagaimanapun
juga, ketajaman perasaan keprajuritannya telah
memperhitungkan semua persoalan yang telah terjadi. Meskipun
Ki Argapati tidak tahu bahwa ada seorang yang telah
melepaskan berita tentang sakitnya yang parah, namun ia
memperhitungkannya seandainya hal yang demikian itu terjadi.
Karena itu, maka setelah ia cukup puas berbicara dengan
Pandan Wangi, seseorang disuruhnya memanggil Samekta
menghadapnya. Tanpa diduga-duga Ki Gede bertanya, "Bagaimana dengan
persiapanmu, Samekta?"
Samekta menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, "Cukup baik,
Ki Gede. Tetapi kita tidak perlu cemas untuk saat-saat yang
pendek ini. Aku memperhitungkannya bahwa setidak-tidaknya
malam ini tidak akan terjadi sesuatu."
Tetapi dada Samekta berdebar-debar ketika ia melihat Ki
Argapati mengernyitkan keningnya sambil berkata, "Apakah kau
tidak mempersiapkan pasukanmu dalam kesiagaan tertinggi?"
Samekta menjadi ragu-ragu.
"Kalau kau menganggap bahwa malam ini tidak akan terjadi
sesuatu maka kau ternyata telah lengah Samekta."
Samekta menjadi semakin ragu-ragu menghadapi
pembicaraan itu. "Samekta," berkata Ki Gede lirih, "kita sudah kehilangan
waktu satu senja. Karena itu kejarlah keterlambatan itu
sekarang. Kau harus berusaha mempersiapkan orang-orangmu
seolah-olah malam ini pasukan lawan akan menyerang kita.
Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan itu.
Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan bahwa berita
tentang lukaku yang parah ini akan sampai ketelinga Ki Tambak
Wedi. Bukankah begitu" Dengan demikian maka apabila
perhitungan Tambak Wedi sejalan dengan perhitunganku,
kesempatan ini pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak
ada seorang pun yang akan mampu berhadapan seorang lawan
seorang dengan Ki Tambak Wedi. Apalagi di dalam pasukannya
telah ada Sidanti dan Argajaya. Peda Sura yang barangkali telah
berangsur baik dan beberapa orang lain."
Sesaat Samekta tidak dapat menyahut. Ternyata meskipun ia
tidak membicarakannya dengan Ki Argapati tentang
perkembangan terakhir, maka itu tidak berarti bahwa ia telah
memberi kesempatan kepada Ki Argapati untuk beristirahat
dengan tenang dan tanpa memikirkan persoalan perang yang
sedang berkobar itu. Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Ki Argapati
mendesaknya, "Apakah dasar perhitunganmu, bahwa malam ini
tidak akan terjadi sesuatu?"
Samekta tidak dapat ingkar lagi. Maka dengan terus terang ia
berkata, "Ki Gede. Sebenarnya kita memang telah berada dalam
kesiagaan tertinggi. Sebenarnya aku mempunyai perhitungan
yang serupa. Tetapi kami tidak bermaksud untuk mengganggu Ki
Gede sehingga kami memang sengaja membuat suasana
seolah-olah tidak menegang."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia merasakan, betapa orang-orangnya
berusaha dengan sungguh-sungguh membantunya dalam


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan yang paling sulit. Bukan saja untuk mempertahankan
kekuasaannya di atas Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga
berusaha sungguh-sungguh untuk membuatnya tenang dalam
keadaannya kini. Perlahan-lahan terdengar Ki Argapati berkata, "Terima kasih,
Samekta. Aku memang sudah menyangka, bahwa kalian tidak
akan sebodoh itu, membiarkan diri kita kehilangan
kewaspadaan. Usaha kalian untuk membuat hatiku tenteram
sangat aku hargai. Namun sebaiknya jangan membuat aku
seperti kepompong yang tidak mengerti arah. Sebaiknya kalian
membicarakan semua masalah dengan aku."
Samekta tidak menyahut. Ditundukkanya kepalanya dalamdalam.
Ia sudah tidak akan dapat ingkar lagi. Tetapi ia menarik
nafas ketika ia mendengar Ki Argapati berkata, "Tetapi aku tahu
bahwa maksud kalian baik. Dan karena itulah maka aku
mengucapkan terima kasih."
Samekta hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Namun ia menjadi sadar, bahwa ketajaman perasaan Ki
Gede sebagai seorang prajurit memang tidak dapat diselebungi
dengan cara apa pun. "Untuk seterusnya Samekta," berkata Ki Gede itu kemudian,
"sampaikan semua persoalan kepadaku. Meskipun aku sadar,
bahwa aku masih belum mampu berbuat terlampau banyak,
tetapi mudah-mudahan aku masih dapat ikut berbicara dan
berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan."
"Maafkan kami, Ki Gede," berkata Samekta kemudian. "Untuk
seterusnya aku akan selalu melaporkan semua perkembangan
kepada Ki Gede." "Terima kasih," Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang aku ingin mendengar apa yang telah kau kerjakan."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
dengan singkat diberitahukannya apa saja yang telah
dipersiapkan. Pasukan yang bersenjata panah di mulut-mulut
lorong, pasukan berkuda dan kesiagaan di seluruh padesan ini
dan padesan tempat para keluarga ditempatkan. Jalur hubungan
di antara keduanya dan segala macam kemungkinan yang lain.
"Ternyata kalian benar-benar tidak mengecewakan. Kalian
telah mencoba membuat imbangan yang baik dalam keadaan
yang sulit serupa ini. Baiklah, sekarang pergilah ke pasukanmu
yang sedang bersiap-siap itu. Aku ingin mendengar laporan
setiap kali. Kau dapat menyuruh orang lain menemui aku. Kerti
atau Wrahasta atau orang lain lagi."
"Baiklah, Ki Gede," sahut Samekta yang kemudian minta diri
kembali ke pasukannya. Ke rumah yang dipergunakan sebagai
pusat pimpinan pasukan pengawal yang sedang tersisih dari
induk Tanah Perdikan Menoreh.
*** Belum lagi Samekta sampai kerumah itu, ia tertegun melihat
Wrahasta berjalan tergesa-gesa menemuinya. Sebelum ia
bertanya Wrahasta telah berkata, "Aku sangka kau masih berada
di tempat Ki Gede beristirahat."
"Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Ya," sahut anak muda bertubuh raksasa itu,
"Apakah yang sudah terjadi?"
"Seorang petugas sandi melihat gerakan pasukan lawan
menuju kemari." Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Tetapi hal itu
memang sudah termasuk dalam perhitungannya. Karena itu
maka sambil mengangguk-angguk ia menjawab, "Bukankah
semua bagian di dalam pasukan kita sudah siap pada tugasnya
masing-masing" Wrahasta mengangguk sambil menjawab, "Ya. Semua sudah
di tempatnya masing-masing."
"Bagaimana dengan pasukan berkuda?"
"Pasukan itulah yang menunggu perintah."
Samekta berpikir sejenak. Kemudian katanya, "Panggilah
pemimpin pasukan berkuda itu."
Wrahasta pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi untuk
memanggil orang yang mendapat kepercayaan memimpin
pasukan berkuda. Pasukan yang khusus dibentuk untuk
menanggapi keadaan yang sulit itu. Pasukan yang terdiri dari
anak-anak muda yang sudah cukup berpengalaman bertempur
di atas punggung kuda. Memiliki keberanian dan kecepatan
berpikir. Pasukan ini adalah pasukan andalan yang akan dapat
mempengaruhi keadaan. Sejenak kemudian, di rumah tempat pimpinan pasukan
Pengawal Tanah Perdikan, seorang anak muda yang bertubuh
tegap, berjambang lebat dan bermata tajam menghadap
Samekta dengan dada tengadah. Wajahnya memancarkan api
tekad yang menyala di dadanya. Di lehernya tersangkut secarik
kain putih sebagai pertanda keikhlasan hatinya di dalam
pengabdiannya. "Wigatri," berkata Samekta, "kepadamulah kami meletakkan
harapan. Kami mengharap bahwa pasukanmu berhasil setiap
kali merubah suasana. Tetapi ingat, kalian jangan bertindak
terlampau jauh. Kalian harus tetap ingat, bahwa semua pihak
yang sedang bertengkar ini adalah saudara kita sendiri. Memang
ada beberapa orang yang mencoba menarik keuntungan dari
peristiwa ini. Tetapi hal itu jangan kau jadikan alasan untuk
berbuat sewenang-wenang." Samekta berhenti sejenak, lalu,
"Kalian dapat berbuat agak keras untuk menarik perhatian lawan
ke arahmu. Tetapi jangan mengorbankan rakyat yang tidak tahumenahu
tentang pertengkaran yang sedang terjadi ini. Apakah
kau dapat mengerti?"
Anak muda yang bernama Wigatri itu menganggukkan
kepalanya, "Ya, Paman, aku mengerti."
"Nah, kuasai tugasmu baik-baik. Kalian dapat menimbulkan
kebingungan dan bahkan dapat menyalakan api di malam hari,
namun korban yang kau berikan harus seimbang dengan tujuan
tindakanmu itu. Apakah kau mengerti?"
"Ya, Paman." "Mungkin ada anak buahmu yang terlampau dikendalikan
oleh perasaannya. Nah, itu adalah tanggung jawabmu." Samekta
berhenti sejenak, lalu, "Sekarang, kalian harus berusaha berada
di luar lingkaran pasukan Sidanti yang bergerak kemari."
Anak muda yang bernama Wigatri itu mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Hanya debar jantungnya
sajalah yang terasa rnenjadi semakin keras memukul dinding
dadanya. Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya, "Sekarang
pergilah. Atau masih ada pertanyaan?"
Wigatri menyahut, "Apakah Sidanti sudah mulai bergerak?"
"Pasukannya bergerak kemari. Tidak mustahil padesan ini
dikepungnya. Karena itu, kau harus segera pergi, supaya kalian
tidak berada juga di dalam kepungan.
"Baik, Paman. Bukankah kami harus membuat kesan bahwa
pasukan Menoreh telah menyerang di tempat-tempat tertentu?"
"Ya. Tetapi kalian harus menunggu isyarat. Kalau tidak ada
isyarat itu, kalian harus tetap berada di sekitar tempat ini.
Mungkin kalian kami perlukan untuk memecah kepungan Sidanti
dan menyerang mereka dari belakang"
"Baik." "Ingat, segala macam isyarat akan kami berikan seperti yang
sudah kami beritahukan."
"Baik, Paman," jawab Wigatri. "Sekarang, perkenankan kami
pergi." "Hathatilah." Wigatri pun segera minta diri kepada para pemimpin yang
lain. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pasukannya yang ternyata
selalu siap sedia di segala saat. Wigatri tidak memerlukan waktu
lama untuk mempersiapkan diri dan seluruh pasukannya.
Sejenak kemudian, kesepian malam telah dipecahkan oleh
derap kakkaki kuda yang berlarlari meninggalkan padesan.
Sementara itu Samekta telah mengirim penghubung
menghadap Ki Gede menyampaikan semua berita tentang
pasukan Sidanti dan persiapan yang dilakukannya.
Di luar padesan itu, Wigatri membawa pasukannya berpacu
ke arah yang telah ditunjuk oleh para pemimpin pasukan
Pengawal Tanah Perdikan ke arah yang berbeda dari arah
gerakan pasukan Sidanti. Tidak terlampau jauh dari padesan mereka berhenti,
menunggu perkembangan keadaan. Para pemimpin di padesan
yang baru saja ditinggalkan pasti akan memberinya isyarat untuk
melakukan sesuatu gerakan.
Meskipun demikian, Wigatri tidak lengah dengan
menempatkan beberapa orang anggautanya untuk mengawasi
keaadan. Ketegangan yang merata telah mencengkam seluruh
padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh dan tempat-tempat pengungsian keluarga mereka.
Para pengawal sama sekali tidak melepaskan senjata-senjata
mereka dari tangan. Bahkan hampir setiap laklaki, tua muda
yang meskipun bukan pasukan pengawal, namun mereka telah
menempatkan diri dalam barisan.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka ketegangan pun
menjadi semakin memuncak. Beberapa orang petugas sandi
secara terus-menerus melaporkan tentang gerakan lawan.
"Mereka telah berada di depan hidung kita," berkata salah
seorang petugas sandi. Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain
berdiri tegak di mulut lorong desa, di luar regol. Mata mereka
beredar di kegelapan, seolah-olah ingin melihat, apa saja yang
tersembunyi di balik layar yang hitam pekat itu.
Tiba-tiba hampir berbareng mereka tersentak. Mereka melihat
seleret api di kejauhan. Obor.
"Aku melihat obor," desis Kerti.
"Ya," sahut Wrahasta.
Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika
tiba-tiba obor itu seolah-olah terpecah menjadi percikan api yang
berpuluh-puluh jumlahnya dan berpencaran di hadapan
pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pada
jarak yang tidak terlampau jauh.
"Mereka berusaha untuk mengepung padesan ini," desis
Samekta. Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Tanpa sesadarnya mereka berpaling dan melihat beberapa buah
planggrangan pada carang-carang pering ori. Beberapa orang
pengawal dengan busur di tangan mereka telah siap untuk
menyambut kedatangan lawan.
"Mereka sudah siap," desis Wrahasta. "Pasukan yang lain pun
telah siap. Kita akan menutup regol ini dan menyambut mereka
dengan lontaran tombak-tombak apabila mereka mencoba
memecahkan pintu. Pasukan kita tidak akan mendekati pintu itu,
sehingga dengan demikian tidak akan mungkin terjadi salah
bidik." "Bagus," sahut Samekta. "Kita bertahan di dalam lingkungan
pering ori. Tetapi siapakah yang memimpin pasukan di tempat
pengungsian itu?" "Untuk sementara mereka dipimpin oleh pimpinan kelompok
masing-masing sambil menunggu perintah lebih lanjut."
Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Salah
satu orang dari kita harus ke sana."
"Aku akan pergi" sahut Kerti.
Kerti tidak menunggu jawaban. Segera ia pergi mengambil
seekor kuda. Bersama dua orang pengawal ia meninggalkan
desa itu menuju ke desa sebelah untuk memimpin pasukan
pengawal yang sedang berusaha melindungi para pengungsi
dan anak-anak. Seorang penghubung telah dikirim pula oleh Samekta untuk
memberitahukan hal itu kepada Ki Argapati sambil melaporkan
segala persiapan yang telah dilakukannya.
Ki Argapati mendengarkan laporan itu dengan dada yang
berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Setelah
ia menjadi tenang, maka ia menyadari betapa lukanya itu sangat
berbahaya, apabila ia tidak berhasil mengendalikan diri. Tetapi
apabila keadaan menjadi semakin memuncak, apakah ia akan
berbaring terus di pembaringannya"
Dengan pandangan mata yang sayu dan wajah yang pucat ia
berkata kepada Pandan Wangi, "Lihatlah apa yang terjadi."
"Baik, Ayah," jawab Pandan Wangi.
"Aku harus mendengar setiap perkembangan yang terjadi."
"Ya, Ayah" Dan Pandan Wangi itu pun segera minta diri kepada ayahnya,
turun ke halaman dan pergi ke ujung lorong. Dengan langkah
yang tetap dan dada tengadah ia berjalan menyusuri jalan
padesan. Tangan kanannya tanpa disadarinya telah merabaraba
hulu pedangnya. Tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat seorang
anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di pinggir jalan sambil
membungkuk hormat kepadanya.
"Ah," Pandan Wangi berdesah.
"Kemana kau, Wangi?" bertanya Wrahasta.
"Ayah menyuruh aku melihat apa yang sebenarnya terjadi ke
ujung jalan." "Desa ini sudah dikepung."
"Itulah yang akan aku lihat."
"Kita harus bekerja dengan sepenuh tenaga. Bukan kita
berkecil hati, Wangi, tetapi kita tidak boleh mengabaikan
kenyataan, bahwa kita berada dalam kesulitan."
Pandan Wangi menyadari pula akan hal ini. Karena itu maka
ia pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya
Wrahasta. Kita semua menyadarinya. Tetapi kita tidak dapat
berbuat lain daripada bertempur. Bertempur sampai
kemungkinan yang terakhir."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mungkin masih ada jalan. Kita masih dapat surut beberapa
langkah ke padesan yang lain. Seandainya hal ini harus terjadi,
maka kita harus berdasar pada suatu kemungkinan, bahwa kita
akan dapat merebut semua kedudukan kembali."
Pandan Wangi tidak menjawab, Tetapi debar jantungnya
menjadi semakin cepat. Apalagi ketika ia mendengar Wrahasta
berkata, "Meskipun demikian, Wangi, aku masih menyisihkan
waktu untuk kepentingan pribadiku."
"Ah," sekali lagi Pandan Wangi berdesah, "kita semua sedang
disibukkan oleh tugas kita masing-masing."
"Pandan Wangi," kata-kata Wrahasta menurun, "mungkin aku
tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi. Namun
sebelum itu aku ingin mendengar jawabanmu. Aku ingin
kepastian, Wangi, bukan sekedar teka-teki."
Terasa tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar oleh debar


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang semakin meugguncang dadanya. Namun dengan demikian
justru mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam.
"Kenapa kau diam saja, Wangi?"
Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu,
jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Beberapa saat yang
lalu ia telah mencoba memberikan harapan di hati anak muda
yang bertubuh raksasa itu, meskipun tidak memancar dari lubuk
hatinya. Dan kini sekali lagi ia dihadapkan pada kesulitan yang
sama. Untuk mengalihkan pembicaraan, Pandan Wangi mencoba
mengelak, "Ayah menunggu aku, Wrahasta. Aku harus segera
pergi ke gardu di ujung lorong ini."
"Kau hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengucapkan
sepatah kata, Wangi."
Dada Pandan Wangi menjadi semakin pepat. Sedang
punggungnya telah menjadi basah oleh keringat dingin. Saat
yang dihadapi oleh Tanah Perdikan Menoreh adalah saat yang
paling gawat. Kalau saja ia bukan puteri Kepala Tanah Perdikan,
maka Wrahasta tidak akan dapat mempergunakan saat-saat
yang demikian ini untuk menekankan maksudnya.
Meskipun Pandan Wangi tidak menyangsikan kesetiaan
Wrahasta atas Tanah ini, namun ia menyadari, bahwa keadaan
anak muda ini dapat menggoncangkan perasaannya apabila ia
menjadi kecewa. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Pandan Wangi menarik
nafas dalam-dalam ketika ia melihat sekelompok peronda lewat.
Dengan serta-merta ia bertanya, "Di manakah paman Samekta
dan paman Kerti?" Tetapi yang menjawab adalah Wrahasta, "Paman Samekta
berada di regol desa, sedang Paman Kerti pergi ke tempat
pengungsian. Ia harus memimpin pasukan yang berada di sana."
Dada Pandan Wangi kembali menjadi berdebar-debar ketika
para peronda itu meneruskan langkahnya.
Sejenak kemudian mereka berdua berdiri mematung dalam
kediaman. Yang terdengar lamat-lamat adalah suara angkup
nangka dan derik jengkerik di kebun.
Namun tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar
langkah tergesa-gesa menuju ke arah mereka. Beberapa
langkah lagi orang itu berhenti, sambil berdesis, "Wrahasta?"
"Ya," sahut Wrahasta.
"Ki Samekta memanggilmu."
"Mengapa?" "Obor-obor itu mulai bergerak."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah
dengan tergesa-gesa meninggalkan Pandan Wangi yang masih
berdiri termangu-mangu, diikuti oleh orang yang memanggilnya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Untuk sementara
ia dapat melepaskan dirinya dari cengkaman kebingungan.
Namun kemudian kakinya segera terayun menyusul Wrahasta.
Ia pun ingin segera tahu, apa yang telah terjadi.
Di muka regol Samekta berdiri dengan tegangnya. Ketika
Wrahasta kemudian telah berada di sampingnya, ia berkata,
"Lihat, orang-orang Sidanti benar-benar ingin mengepung
padesan ini dari segala arah."
"Bodoh sekali," desis Wrahasta.
"Jangan segera mengambil kesimpulan itu. Kita tidak tahu
kemantapan pasukan mereka. Mereka mungkin hanya
menyebarkan obor keliling desa ini, sedang ia menempatkan
kekuatan mereka pada tempat yang telah mereka perhitungkan."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tiba-tiba mereka
berpaling ketika mereka mendengar suara Pandan Wangi,
"Tetapi gelar itu bukan gelar yang baik untuk menyerang."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
mantap ia menyahut, "Kau benar, Wangi. Ternyata
pandanganmu mengenai gelar keprajuritan cukup tajam
meskipun kau belum pernah mempelajarinya dengan sungguhsungguh.
Dengan menebarkan orang-orangnya, Sidanti pasti
akan mengambil sikap itu."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi
berkerut mendengar pujian itu. Apalagi ketika disadarinya bahwa
beberapa orang memandanginya dengan berbagai macam
tanggapan yang kurang dimengertinya.
"Meskipun demikian," berkata Samekta, "kita tidak boleh
lengah. Kita tidak dapat melihat apa yang telah mereka
persiapkan sebenarnya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di
kegelapan itu. Kita hanya melihat obor-obor itu terpencar. Tetapi
apakah orang-orang mereka benar-benar terpencar, masih
belum kita ketahui. Kita masih menunggu beberapa petugas
sandi kita." Pandan Wangi akan menyahut. Tetapi terasa bahwa Samekta
telah meluruskatn tanggapannya atas pasukan lawan meskipun
sebagian terbesar pendapatnya dibenarkan.
"Ayah minta aku memberitahukan apa yang terjadi," berkata
Pandan Wangi kemudian. "Ya, tunggulah sampai ada perkembangan seterusnya.
Sampai saat ini kita tidak melihat sesuatu yang mencemaskan."
"Tetapi ayah menunggu."
"Seseorang akan menghubungi Ki Argapati dan
menyampaikan laporan bahwa keadaan tidak berubah. Kau
masih tetap di sini menunggu perkembangan."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada
penghubung itu ia berpesan, bahwa apabila keadaan meningkat,
ia sendiri akan datang memberitahukan kepada ayahnya.
"Kita dapat beristirahat sejenak," berkata Samekta,
"sementara pengawasan akan diperketat."
"Bagaimana dengan pasukan berkuda?"
"Aku sudah memesan mereka, agar mereka tidak
meninggalkan padesan ini sebelum ada isyarat. Mereka akan
jemu menunggu perkembangan berikutnya tanpa berbuat
sesuatu." "Tidak, mereka pasti juga melihat obor-obor itu,"
Wrahasta tidak menjawab. Sejenak kemudian para pemimpin itu pun pergi ke tempat
pimpinan untuk beristirahat dan berbicara tentang keadaan.
Pandan Wangi ikut bersama mereka. Ia tidak mau terpisah dari
orang-orang lain, supaya Wrahasta tidak mendapat kesempatan
untuk menyudutkannya ke dalam kesulitan.
Sementara itu, di seputar padesan, pasukan Sidanti
mengepung dengan seluruh kekuatan. Meskipun demikian,
mereka memang tidak akan segera menyerang. Mereka sedang
mempertimbangkan kekuatan yang ada di kedua belah pihak.
Gerakannya kali ini hanya sekedar memberikan tekanan-tekanan
kepada hati pasukan Argapati, sambil menjajagi keadaan.
Karena itu, maka pasukan itu tidak segera mengadakan gerakan
sama sekali. Mereka berada di tempatnya sambil menggenggam
senjata masing-masing. Meskipun demikian mereka memerlukan
seluruh kekuatan yang ada, supaya apabila setiap saat justru
pasukan Argapati yang menyergap mereka, mereka tidak
menjadi terpecah-belah dan kalang kabut.
Bahkan di dalam pasukan itu ikut pula Ki Tambak Wedi
sendiri, beserta Sidanti dan Argajaya.
"Apakah yang dapat kita ketahui dengan penjajagan ini,
Guru?" bertanya Sidanti.
"Kita sekedar melihat suasana. Apabila keadaan yang
demikian ini terjadi berulang-ulang, maka pasti akan
berpengaruh atas kebulatan hati mereka. Semakin lama mereka
pasti akan menjadi kecut dan berkecil hati. sehingga pada
saatnya, kita akan meruntuhkan segenap keberanian mereka.
Sementara itu kita akan dapat mengetahui apakah sebenarnya
kekuatan yang mencampuri keadaan ini cukup berat sehingga
kita perlu memperhitungkannya."
Sidanti mengerutkan keningnya. Sambil bertolak pinggang ia
berdiri tegak memandangi cahaya lampu yang berkeredipan di
dalam padesan di hadapannya yang meloncat dari sela-sela
rimbunnya pering ori yang melingkari desa itu. Sebuah obor
menyala di pintu regol. Lamat-lamat Sidanti dapat melihat
beberapa orang yang hilir-mudik di bawah obor di luar regol itu.
"Mereka tidak menutup pintu regol," desis Sidanti
"Mereka bukan orang-orang yang terlampau bodoh," sahut
Argajaya, "sehingga mereka mengerti, bahwa cara kita ini sama
sekali bukan gelar untuk menyerang mereka. Obor-obor yang
tersebar itu hanya sekedar memberikan kesan bahwa kita akan
mengepung mereka supaya mereka terpisah dari lingkungan di
luar kedua desa sebelah-menyebelah ini. Tetapi mereka pun
sadar bahwa mereka pasti akan dapat memecahkan kepungan
yang terlampau tipis ini."
"Ya," sahut Tambak Wedi, "memang bukan itu tujuan kita. Kita
akan membuat mereka menjadi cemas, gelisah, dan perasaanperasaan
lain yang tidak menentu. Apalagi dalam saat Argapati
sedang luka parah. Aku mengharap bahwa Argapati tidak dapat
mengendalikan diri, sehingga keadaan ini telah membuatnya
semakin parah." Argajaya tidak menyahut. Ia dapat mengerti tujuan Ki Tambak
Wedi yang mempergunakan berbagai cara untuk mtnghancurkan
lawannya. Tidak saja dengan kekuatan badaniah, tetapi denggan
memypengaruhi segi kejiwaan lawannya, ia berusaha
memperlemah daya perlawanaan mereka.
Tetapi yang terlebih penting adalah usaha Ki Tambak Wedi
untuk menilai kekuatan lawan secara langsung. Ternyata
beberapa orang yang berhasil merayap mendekati regol di
dalam kegelapan, telah kembali kepadanya.
"Apa yang kau lihat?" bertanya Sidanti tidak sabar.
"Beberapa orang pemimpin yang berdiri di luar regol," jawab
penghubung itu. "Tetapi sekarang mereka telah masuk lagi."
"Ya, mereka pasti menganggap bahwa gerakan ini tidak
terlampau berbahaya, meskipun mereka cukup bersiaga," sahut
Sidanti. "Tetapi siapakah yang kau lihat?"
"Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang
pemimpin pengawal yang lain."
"Apakah ada orang yang belum kau kenal yang pantas kau
curigai sebagai orang yang bukan berasal dari tanah perdikan ini
di antara mereka?" Orang Sidanti yang berhasil mendekati regol padesan tempat
pemusatan pasukan pengawal tanah perdikan itu mencoba
mengingat-ingat siapa sajakah di antara mereka yang berada di
regol desa. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang tidak
asing lagi baginya, meskipun ada di antara mereka yang belum
dikenalnya. Tetapi sama sekali tidak ada kesan bahwa di antara
mereka ada orang yang tidak dikenal.
Karena itu maka jawabnya sambil menggelengkan kepalanya,
"Aku tidak melihat yang pantas aku curigai. Mereka adalah
orang-orang Menoreh."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Teka-teki tentang
kelompok kecilnya di Pucang Kembar sampai saat itu masih
belum terjawab. "Tidak ada orang lain," tiba-tiba Sidanti berdesis.
"Belum dapat dipastikan," sahut Ki Tambak Wedi, "mungkin
mereka berada di dalam regol."
Orang yaug berhasil keluar dari padesan itu pun tidak
mengatakan bahwa ada orang-orang yang tidak dikenal berada
di dalam desa itu. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
"Yang datang bersama Ki Argapati yang terluka itu pun hanya
Pandan Wangi, Kerti, dan beberapa pengawal yang semua telah
di kenalnya sebagai orang-orang Menoreh," sambung Sidanti
pula. "Ya, ya," sahut Ki Tambak Wedi, "mungkin juga begitu. Tetapi
hatiku belum mantap. Aku masih ingin melihat dan menunggu
beberapa hari. Tetapi padesan ini harus tetap kita awasi. Kita
akan meletakkan sebagian dari kekuatan kita di padesan
terdekat, dengan jalur-jalur penghubung yang baik dengan induk
tanah perdikan ini."
Sebelum Sidanti menjawab terdengar suara tertawa Ki Muni
yang berdiri di belakang Ki Tambak Wedi, "Kapan pun kita
melakukannya akibatnya tidak akan jauh berbeda. Kita tidak
perlu tergesa-gesa. Tetapi seandainya sekarang pun, tidak akan
banyak terdapat rintangan-rintangan. Aku sudah melihat apa
yang akan terjadi. Dari ilmuku aku tahu bahwa Argapati
sekarang sedang sekarat. Malam nanti, selambat-lambatnya
besok pagi, ia akan mati. Memang terdapat perlawanan yang
baik dari dalam dirinya yang memiliki kekuatan yang luar biasa.
Tetapi kekuatan itu juga terbatas." Ki Muni berhenti sejenak.
Sambil mengerutkan dahinya ia berkumat-kamit. Kemudian
katanya, "Pada saat Argapati mati, maka seluruh kekuatan
pasukannya akan terpukul dari dalam diri mereka sendiri.
Keberanian, tekad, dan kemauan mereka akan runtuh bersama
mayat Argapati yang akan dikuburkan di dalam bumi. Nah, kalian
tidak akan terlampau sulit untuk mengalahkannya. Dengan
bersorak-sorak dan berteriak-teriak saja kalian akan dapat
mematahkan perlawanan mereka. Dan mereka pun akan tidak
ubahnya seperti kerbau yang paling bodoh."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tidak
mempergunakan perhitungan serupa itu menghadapi Argapati.
Tetapi ia tidak menolak keterangan Ki Muni itu. Sebab menurut
keyakinan Ki Tambak Wedi sendiri, memang ada ilmu yang
dapat melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, seperti apa
yang pernah dipelajarinya meskipun tidak mendalam. Tetapi
menghadapi Argapati, ia lebih cenderung mempergunakan
perhitungan tata keprajuritan. Keteguhan hati Argapati pasti akan
mempersulit penglihatannya melalui ilmu-ilmunya yang masih
belum sempurna. Namun ia tidak mengerti, betapa jauh Ki Muni menguasai ilmu
serupa itu. Tetapi apa yang dikatakannya memang masuk akal.
Argapati akan mati, malam ini atau besok pagpagi. Pasukannya
akan kehilangan gairah perlawannya dan akan segera dapat
dikalahkan. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi masih juga ragu-ragu.
"Kita pasti tidak akan memasuki tempat itu malam ini," tibatiba
ia bergumam. "Kita masih belum mendapatkan
kemantapan." "Itu pun tidak menjadi soal," jawab Ki Muni. "Adalah lebih baik
apabila kita menunggu Argapati mati. Kita tidak akan
melepaskan korban terlampau banyak."
"Tetapi bagaimana kalau ia nanti dapat sembuh," potong
Sidanti. "Penglihatanku tidak pernah salah," sahut Ki Muni. "Hanya
oleh sebab yang tidak terduga-duga hal itu dapat terjadi. Tetapi
hal yang tidak terduga-duga itu pun tidak aku lihat, sehingga
sembilan dari sepuluh kemungkinan, Argapati akan mati."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Ki Muni dapat juga melihat hadirnya kekuatan dari
luar Menoreh pada pihak Ki Gede?" bertanya Sidanti tiba-tiba.
Wajah Ki Muni menjadi berkerut-merut. Ditatapnya wajah
Sidanti sejenak. Kemudian sambil menggelengkan kepala ia
menjawab, "Aku belum berusaha melihatnya. Aku baru berusaha
melihat kemungkinan yang akan terjadi pada Ki Gede. Aku
ternyata khilaf, bahwa aku tidak melihat kemungkinan itu sama
sekali." Sidanti menarik keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun, ia
agak kurang tertarik dengan cara yang dipergunakan oleh Ki
Muni. Baginya, perhitungan jasmaniahlah yang paling baik
dipergunakan didalam gelar perang seperti saat ini.
"Baiklah, kita menunggu segala kemungkinan dan
perkembangan keadaan. Tetapi kita tetap di tempat. Kita kepung
desa ini supaya pasukan Argapati menjadi tintrim dan cemas
menghadapi keadaan mereka di saat-saat mendatang.
Seandainya kita masih belum mendapatkan kepastian, maka
besok malam hal yang serupa ini pun akan kita lakukan,
sementara itu petugas-petugas sandi akan berusaha melihat apa
yang ada di dalam lingkungan pagar pering ori itu."
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Argajaya agaknya
telah kehilangan gairah untuk ikut campur dalam percakapan itu.
Betapapun juga Argapati adalah saudara kandungnya.
Kemungkinan bahwa kakaknya itu akan mati, ternyata
mempengaruhi pikirannya pula. Kadang-kadang timbullah
keragu-raguannya atas kemungkinan yang akan dapat dicapai
dengan caranya ini. Sesudah Argapati dikalahkan, bagaimana
dengan dirinya" Apakah ia akan berhasil mengusir Ki Tambak
Wedi dan Sidanti" "Tetapi Sidanti bukan trah Argapati dan ia tidak akan berhak
untuk mempergunakan nama itu dan gelar Ki Gede Menoreh,"
katanya di dalam hati, namun kemudian, "Tetapi apakah aku
mampu menghadapinya, dan apakah orang-orang Menoreh
mempercayainya seandainya aku mengatakan keadaan yang
sebenarnya." Keragu-raguan yang tajam telah meledak di dalam hati
Argajaya. Sekalsekali disambarnya wajah Sidanti, kemudian
wajah Ki Tambak Wedi. Kedua wajah itu memang mirip. Sidanti
memang bukan hanya sekedar murid Ki Tambak Wedi.
Terbayang di rongga mata Argajaya bayangan wajah kakak
iparnya, Rara Wulan. Menurut anggapannya saat itu, Rara
Wulan adalah seorang perempuan yang paling baik yang
dikenalnya. Seorang penurut. Seorang yang sangat berbakti
kepada suaminya. Seorang yang tidak pernah menimbulkan
persoalan di dalam rumah tangganya.
"Semua itu hanya sekedar tebusan dari dosa-dosanya,"
gumamnya di dalam hati. Ketika Argajaya menarik nafas dalam-dalam, ia melihat
Sidanti memandanginya. Hanya sekilas, kemudian anak muda
itu melangkah beberapa langkah dan duduk di atas rerumputan
yang basah oleh embun. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi
pun melangkah pergi diiringi oleh Ki Muni, sedang Argajaya
masih tetap berada di tempatnya.
Argajaya pun kemudian meletakkan dirinya pula, duduk di
atas sebuah batu sambil memandangi padesan di depannya.
Desa kecil yang berpagar rapat dengan batang-batang pering
ori. Beberapa berkas cahaya lampu memancar menggores
gelapnya malam. Sekali lagi Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia terkejut
ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Ki
Wasi duduk di belakang. "He," sapa Ki Wasi, "apakah yang kau renungkan?"
"Tanah ini," sahut Argajaya.
Ki Wasi bergeser selangkah maju dan duduk di sisi Argajaya.
Tanpa sesadarnya ia pun merenungi desa di hadapannya.
Kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya.
Tidak ada orang lain yang berada di dekatnya.
"Akhirnya api berkobar tanpa dapat dikendalikan," desis Ki
Wasi. Argajaya menganggukkan kepalanya. "Ya. Tanah ini telah
terbakar hangus. Kelak kita hanya akan mendapatkan abunya
saja." Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
kehilangan pertimbangan, yang manakah sebenarnya yang
paling baik aku lakukan. Ketika aku melihat kau berdiri di pihak
Sidanti, maka aku yang dicengkam oleh keragu-raguan segera
memisahkan diri dari Ki Argapati."
"Ya," sahut Argajaya.
"Sayang, bahwa Argapati lebih senang kepada kedudukannya
daripada kepada anak laklakinya, yang sebenarnya dapat
menjadi penerus cita-citanya."
Terasa dada Argajaya berdesir. Namun ia menjawab terbatabata,
"Ya, ya. Kakang Argapati tidak mau mengalah."
"Angger Argajaya," berkata Ki Wasi, "apakah Angger Argajaya
sama sekali tidak mempunyai pengaruh untuk memperingatkan
Ki Argapati agar ia mengurungkan niatnya memusuhi puteranya
sendiri" Yang paling menderita dalam persoalan ini adalah
Menoreh. Pertentangan antara ayah dan anak itu akan
membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Tanah ini.
Apabila Ki Argapati bersedia mengalah, kemudian memberikan
kesempatan kepada yang muda untuk ikut memimpin
pemerintahan meskipun masih tetap dalam pengawasan yang
tua-tua, maka keadaan akan menjadi berbeda. Sebaliknya
Sidanti juga jangan meninggalkan ayahnya sama sekali, yang
sampai saat ini telah menunjukkan kemampuannya, menjadikan
Menoreh Tanah Perdikan yang besar dan disegani."
Argajaya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya, Ki Wasi. Memang seharusnya demikian."
Tetapi Argajaya tidak mengatakan kepada Ki Wasi hubungan
yang sebenarnya antara Argapati dan Sidanti. Juga hubungan
antara Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan dirinya sendiri dengan
Pajang. Juga tidak tentang nafsu yang menyala-nyala di dalam
dada Sidanti dan sudah tentu di dalam dadanya sendiri, untuk
meloncat ke jenjang yang paling atas dari segala macam
jabatan. "Sekarang keadaan telah menjadi parah," sambung Ki Wasi.
"Ki Argapati sendiri mengalami luka-luka parah dan tidak
seorang pun yang dapat menolongnya. Aku pun tidak, meskipun
sebelum ini aku terlampau dekat dengan Ki Gede."
Argajaya tidak menyahut. Ketika ia berpaling dilihatnya mata
Ki Wasi menjadi suram. Pandangan mata yang suram itu seolaholah
meluncur jauh menembus dinding pering ori yang rapat itu.
Dan tiba-tiba Argajaya mendengar Ki Wasi bergumam, "Lepas
dari semua masalah, adalah kewajibanku untuk menyembuhkan
orang yang sakit. Sebenarnya aku ingin pergi mendapatkan Ki
Argapati. Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri telah menutup
kemungkinan itu. Ki Argapati atau orang yang dekat denganya,
mungkin Samekta, mungkin Kerti, atau mungkin Angger
Wrahasta, telah melarang dan menolak aku dan Ki Muni."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tanpa ilmu macam apa pun, memang sudah dapat
diramalkan bahwa Ki Argapati akan menemui ajalnya." suara Ki
Wasi merendah. "Sayang. Sayang sekali."
Argajaya seolah-olah membeku di tempatnya. Seperti Ki
Wasi, ia pun kemudian memandangi keredip lampu minyak di
dalam padesan itu. Ditatapnya kemudian nyala obor di depan
regol. Kemudian terdengar ia berdesah perlahan-lahan.
Sementara itu, Samekta, Wrahasta, dan Pandan Wangi
sedang duduk melingkari lampu minyak di atas ajuk-ajuk yang
rendah. Mereka berkesimpulan bahwa Sidanti tidak akan
menyerang malam ini. "Mereka ingin meruntuhkan ketahanan hati kita," berkata
Samekta. "Meskipun demikian, kita tidak boleh kehilangan
kewaspadaan." "Mereka pasti menyangka bahwa luka Ki Gede menjadi
semakin parah," sahut Wrahasta.
"Tetapi pasti ada sesuatu yang menahan mereka. Kalau
mereka yakin Ki Gede menjadi semakin parah, maka mereka
pasti akan menyerang malam ini. Dan sudah tentu mereka tidak
akan memasang gelar seperti saat ini."
"Kita hanya dapat menunggu perkembangan berikutnya."
"Kita tahan dulu pasukan berkuda itu untuk tidak melakukan
gerakan apa pun. Terasa bahwa ada sesuatu yang masih harus
dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Sesuatu yang kita masih
belum tahu dengan pasti."
Wrahasta menganguk-anggukkan kepalanya. Tanpa
disengaja dipandanginya mata Pandan Wangi yang suram.
Tetapi gadis itu menunduk dalam-dalam.
Meskipun Pandan Wangi seolah-olah tidak ikut di dalam
pembicaraan itu, namun di dalam hatinya ia sedang mencoba
mencarcari kebenaran kata-kata Samekta, bahwa Ki Tambak
Wedi masih harus mempertimbangkan sesuatu. Sesuatu yang
belum dapat dimengertinya. Tetapi dalam pada itu Pandan
Wangi mencoba menghubungkannya dengan orang-orang
bercambuk yang telah memberi obat kepada ayahnya dan yang
telah melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.
"Mereka tidak hanya satu orang," berkata Pandan Wangi di
dalam hatinya. "Yang aku lihat pasti bukan yang dilihat oleh
ayah. Bukan karena namanya berbeda. Nama dapat dibuat
seribu macam bagi seseorang. Tetapi ciri orang yang
menolongku itu sama sekali tidak sama dengan anak muda yang
menyerahkan obat itu kepada ayah. Yang menurut ayah, adalah
seorang anak muda yang gemuk. Persamaan di antara mereka
adalah keduanya mempergunakan cambuk sebagai senjata
mereka, atau sebagai tanda pengenal mereka. Orang-orang
itulah agaknya yang sedang dipertimbangkan oleh Ki Tambak
Wedi. Mungkin yang dikatakan oleh Gupita ayahnya itulah yang
harus diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi. Ayah Gupita yang
sampai saat ini masih belum dapat dikenal siapakah orangnya."
Tetapi Pandan Wangi menyimpan pendapatnya itu di dalam
hati. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia tidak ingin
mempersoalkan anak-anak muda bercambuk itu di hadapan
Wrahasta. Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Para
penjaga dan para peronda tidak melihat gerakan-gerakan yang
berbahaya dari pasukan Sidanti. Beberapa di antara obor-obor
mereka telah padam karena kehabisan minyak. Tetapi petugaspetugas
sandi telah tersebar di tengah-tengah sawah, di antara
kedua pasukan yang telah siap itu. Petugas sandi dari kedua
belah pihak. Mereka saling mengintai untuk melihat apabila ada
gerakan-gerakan yang aneh dan tanpa terduga-duga.
Di tepi pategalan, di ujung bulak, pasukan berkuda yang
dipimpin oleh Wigatri menunggu dalam kegelisahan. Tetapi
karena mereka melihat obor yang berkeredipan di seputar desa
tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,
maka segera mereka menyadari, bahwa pasukan Sidanti benarbenar
telah mengepung desa itu. Karena itu, maka mereka
terpaksa menyabarkan diri mereka, menunggu isyarat yang akan
diberikan, apabila diperlukan.
"Apakah kita hanya akan menunggu semalam suntuk?"
bertanya salah seorang dari mereka kepada Wigatri.
"Kita hanya dapat menunggu. Aku mendapat pesan, bahwa
setiap gerakan yang akan kita lakukan, harus berdasarkan
kepada isyarat yang akan diberikan. Mungkin kita harus pergi
dan menarik perhatian pasukan lawan itu di tempat-tempat lain
dengan menyalakan api yang cukup besar. Tetapi mungkin juga
kita diperlukan untuk membantu mengurangi kepungan itu."
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, anak muda yang
bertanya kepadanya melangkah pergi, kembali ke kudanya.
Namun tampak kegelisahan menyekat rongga dadanya.
Meskipun demikian mereka masih cukup sabar menunggu
segala macam perintah dan mentaatinya.
Sebenarnya Wigatri sendiri pun telah menjadi gelisah pula.
Sekalsekali dibelainya leher kudanya yang diikatkannya pada
sebatang pohon. Kemudian berjalan hilir-mudik sambil
menundukkan kepalanya. Beberapa orang yang lain duduk
terpencar di atas rerumputan sambil membelai senjata-senjata
mereka. Namun demikian, beberapa di antara mereka yang
sedang bertugas untuk mengawasi keadaan, telah berada di
tempatnya dengan sepenuh kewaspadaan.
"Kalian dapat beristirahat sebaik-baiknya," berkata Wigatri
kepada kawan-kawannya yang tidak sedang bertugas. "Kalian
boleh berbaring atau apa pun. Tetapi setiap saat kalian harus
sudah siap meloncat ke punggung kuda kalian."
Maka beberapa orang dari mereka pun kemudian dengan
tenangnya berbaring di rumput yang basah oleh embun. Tetapi
kehangatan dada mereka membuat mereka sama sekali tidak
merasakan betapa dinginnya malam. Bahkan ada di antara
mereka yang duduk di antara sadar dan tidak karena diserang
oleh kantuk. Sebagian terbesar dari mereka memperhitungkan,
bahwa malam ini mereka hanya sekedar berpindah tidur saja
dari barak-barak mereka di dalam padesan.
Sebenarnyalah bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang
terjadi. Menjelang fajar, Sidanti telah menarik pasukannya.
Namun seperti yang telah dipesankan Ki Tambak Wedi untuk
menempatkan beberapa bagian dari pasukannya di tempat yang
lebih dekat dengan padesan tempat pemusatan pasukan
pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita harus berusaha agar mereka tidak mendapat
kesempatan mengumpulkan bahan makanan," berkata Ki
Tambak Wedi. "Tetapi persediaan mereka masih cukup banyak," jawab
Sidanti. Tetapi Ki Muni menggeleng. "Tidak. Aku yakin bahwa mereka
akan kehabisan padi. Tetapi sebelum itu mereka pasti sudah
menyerah apabila Argapati mati. Hanya satu dua orang saja dari
Mine Take 2 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Cermin Alam Gaib 1
^