Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 2


gelapnya malam. Sekar Mirah itu tersadar ketika ia mendengar kakaknya
berdesis di belakangnya, "Marilah kita masuk, Mirah. Malam
terlampau dingin." Sekar Mirah mengangguk. Tetapi tiba-tiba gelap malam
membuatnya ketakutan lagi. Dengan gemetar dipeganginya
tangan kakaknya. Di dalam kegelapan itu terbayang kembali
mayat yang bergelimpangan, membujur lintang di halaman, di
jalan-jalan bahkan bersandar pagar-pagar batu.
"Kakang," kata-katanya bergetar, dan pegangannya pada
tangan kakaknya menjadi semakin erat, "aku takut Kakang,
takut." "Apa yang kau takutkan?"
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi wajahnya
disembunyikannya di dada kakaknya.
"Marilah masuk, Mirah."
Swandaru itu pun kemudian membimbing Sekar Mirah masuk
ke dalam pondoknya, dan Sekar Mirah itu berjalan saja sambil
memejamkan matanya. Demikian mereka masuk kedalam pondok itu, maka Sekar
Mirah pun segera berkata, "Tutuplah pintunya, Kakang."
Swandaru pun segera menutup pintu. Sekar Mirah kini
kembali menjadi ketakutan dan selalu berpegangan tangan
kakaknya. Meskipun kemudian mereka telah duduk di atas
amben besar di dalam pondok itu, dan ruangan itu diterangi oleh
sebuah lampu minyak yang tersangkut di tiang, namun Sekar
Mirah masih saja ngeri karena bayangan yang mengganggunya.
Perasaan ngeri itu ternyata mempengaruhi pula perasaan
Swandaru Geni. Tetapi ia tidak menjadi ngeri dihantui oleh
bayangan mayat yang bergelimpangan. Yang mendebarkan
jantungnya adalah suasana yang dirasanya terlampau sepi.
Tanpa disengajanya maka matanya hinggap pada pedangnya
yang besar, bertangkai gading yang tergantung di dinding.
Pedang itu tidak terlampau jauh dari padanya. Sekali loncat ia
akan sudah dapat meraih senjata itu. Tetapi perasaannya telah
memaksanya untuk berdiri sejenak.
"Kau akan kemana, Kakang?" bertanya Sekar Mirah yang
masih berpegangan tangannya.
Swandaru Geni tidak menjawab. Tetapi ia bergeser sedikit
dan meraih pedang itu. "Apakah kau akan pergi?" bertanya adiknya.
Swandaru menggeleng, "Tidak."
"Tetapi kenapa kau kenakan pedang itu di lambungmu?"
"Hanya sekedar untuk menenteramkan hati."
"Kenapa, Kakang?" Sekar Mirah menjadi semakin cemas,
"apakah ada sesuatu?"
"Tidak, tidak Mirah. Tidak ada apa-apa. Duduklah. Aku ingin
membuat hatimu dan hatiku sendiri tenteram. Di samping senjata
ini aku tidak akan mengenal takut lagi. Aku harap kau juga tidak
lagi menjadi berdebar-debar dan ketakutan."
Sekar Mirah terdiam. Keduanya kemudian duduk lagi. Tanpa
dikehendaki, Sekar Mirah bermain-main dengan juntai pedang
Swandaru yang berwarna kekuning-kuningan. Juntai yang
diterimanya dari pemberian Sutawijaya.
Di luar malam menjadi semakin kelam. Derik cengkerik dan
pekik bilalang bersahutan dengan lengking angkup nangka.
Ngelangut. Di kejauhan sekalsekali terdengar anjing liar
menyalak dan menggonggong seakan-akan menangisi
keluarganya yang hilang di peperangan.
Sekar Mirah duduk semakin merapat kakaknya. Kesepian
malam membuatnya menjadi semakin ngeri. Tetapi dengan
pedang di lambungnya Swandaru sudah tidak diganggu lagi oleh
kecemasan. Meskipun demikian setiap desir yang lemah sekalipun
seakan-akan telah membuat telinga Swandaru bergerak.
Di dalam kegelapan malam itulah Agung Sedayu melangkah
dengan hati yang berdebar-debar. Dilewatinya jalan padepokan
Tambak Wedi yang sepi. Jalan yang belum begitu dikenalnya.
Tetapi ia tahu benar arah yang harus diambilnya untuk sampai
ke banjar padepokan. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan. Ia berjalan di daerah yang belum begitu
dipahami. Dan daerah itu adalah daerah yang baru saja dilanda
oleh pertempuran. Di ujung jalan ini kemarin berserakan mayat
dan orang-orang yang terluka. Di halaman-halaman dan di
kebun-kebun di sekitar banjar.
Tidak pula mustahil apabila di balik rimbunnya pepohonan itu
masih ada satu dua orang yang bersembunyi, mengintai
perjalanannya. Sisa-sisa orang Tambak Wedi atau orang Jipang
yang berhasil bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul dan
rerungkutan, atau di dalam kebun-kebun salak yang terbentang
di sela-sela kebun-kebun bambu yang padat.
Gemerisik angin malam menggoyangkan dedaunan dan
ranting kecil. Dingin malam di lereng pegunungan mulai terasa
membelai kulit. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia
berjalan terus. Selangkah demi selangkah menembus gelapnya
malam. Pedangnya tergantung di lambung kirinya. Bergerakgerak
seirama dengan langkah kakinya.
Meskipun jarak yang akan dilalui Agung Sedayu dari
pondoknya ke banjar padepokan itu tidak jauh, tetapi di dalam
jarak yang dekat itu menunggu berbagai kemungkinan yang
tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Dalam gelap malam Agung Sedayu melangkah terus, seperti
hatinya yang sedang gelap pula. Kadang-kadang timbul niatnya
untuk berbuat sekehendak hatinya tanpa menghiraukan apa pun
yang akan dikatakan kakaknya nanti. Bahkan ia akan bersedia
melakukan akibat yang bagaimana pun juga. Tetapi kemudian
tumbuhlah sifat-sifatnya yang tidak dapat ditinggalkannya. Raguragu.
Tiba-tiba langkah Agung Sedayu tertegun. Ia sudah melihai
lamat-lamat nyala obor di halaman. Tetapi dekat, hanya
beberapa langkah daripadanya, ia melihat bayangan hitam yang
bergerak-gerak. Menilik sikapnya, bayangan itu pasti bukan
prajurit Pajang. Hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar dan curiga.
Selangkah ia maju mendekati bayangan itu, tetapi bayangan itu
pun kemudian menjauhinya selangkah pula.
Debar di dada Agung Sedayu menjadi semakin keras.
Perlahan-lahan ia bertanya, "Siapa kau?"
Tetapi ia tidak mendengar jawaban. Sekilas angan-angannya
meloncat kepada Wuranta. Apakah orang itu Wuranta" Lalu
apakah maksudnya ia menungguku di kegelapan.
Agung Sedayu menggeleng lemah, "pasti bukan Wuranta."
Namun di dalam hatinya itu terdengar, "Mungkin. Ia sedang
menungguku. Bukankah sikapnya pada saat-saat terakhir sangat
membingungkan?" Selangkah Agung Sedayu maju, dan selangkah orang itu
menjauh. Segera Agung Sedayu mengerti, bahwa orang itu
sedang memancingnya. Karena itu, maka ia menjadi semakin
berhathati. Mungkin orang itu cukup berbahaya baginya.
Tetapi hati Agung Sedayu saat itu sedang disaput oleh
kegelapan. Betapapun ia mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya
dan dengan penuh kewaspadaan, namun tiba-tiba kemarahan,
kejemuan, dan segala macam perasaan yang tidak
menyenangkannya, serasa terungkat. Sekali terdengar anak
muda itu menggeram. Lalu sekali lagi ia bertanya, "Siapa kau,
he?" Masih belum ada jawaban. Karena itu maka kemarahan di
dada Agung Sedayu menjadi semakin membara, Ia merasa
dipermainkan oleh bayangan yang tidak dikenalnya.
Agung Sedayu yang sedang pepat itu, sama sekali tidak
sempat untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih.
Memang sekali terkilas di dalam hatinya sebuah pertanyaan
"Apakah orang ini Ki Tambak Wedi yang berhasil kembali ke
dalam padepokan ini?"
Tetapi pertanyaan yang demikian dijawabnya sendiri, "Tidak.
Kalau orang ini yang bernama Ki Tambak Wedi, ia tidak
memancing aku. Dengan sekali loncat ia sudah berhasil
menerkam aku dan membuatku pingsan atau membunuhku
sama sekali. Orang ini pasti bukan Ki Tambak Wedi."
"Sidanti, Argajaya?"
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia melihat
bentuk bayangan dalam keremangan malam, maka ia mencoba
meyakinkan dirinya sendiri, "Bukan keduanya," desisnya.
"Aku tidak peduli apakah orang itu Sidanti, Argajaya, atau
Tambak Wedi sekalipun," geramnya kemudian.
Agung Sedayu kemudian benar-benar menjadi bermata
gelap. Hatinya yang bingung karena persoalan-persoalan yang
bertubtubi menggoda perasaannya telah membuatnya
kehilangan pertimbangan. Sikap Wuranta yang tidak
dimengertinya, sikap kakaknya, dan persoalan yang membuat
hatinya menjadi kisruh. Kini ia ingin menumpahkan segala macam perasaannya itu.
Segala macam kejemuan, kejengkelan, kebingungan, dan apa
saja. Tiba-tiba Agung Sedayu menggeretakkan giginya. "Aku sudah
cukup dewasa untuk menentukan sikap. Juga terhadap ini, aku
tidak perlu berlarlari melaporkannya kepada Kakang Untara.
Aku hanya akan dimarahinya. Diejeknya dan barangkali dimakimakinya.
Apalagi kalau orang ini ternyata orang-orang yang
berbahaya, yang kemudian berhasil melepaskan diri. Aku pasti
dikiranya seorang pengecut yang hanya berani berbuat di antara
orang-orang dapat melindungiku."
Dengan serta-merta Agung Sedayu pun segera meloncat
mengejar bayangan itu. Demikian tiba-tiba sehingga bayangan
itu pun terkejut. Namun orang yang berada di dalam kegelapan
itu masih mampu menghindarkan dirinya dan berlari membelok
ke dalan lorong yang sempit.
Agung Sedayu sudah tidak dapat berpikir jernih lagi.
Dikejarnya orang yang berlari itu. Ia sudah tidak lagi
menghiraukan apa pun, meskipun mereka kemudian memasuki
lorong-lorong yang makin sempit dan rimbun. Lorong-lorong
yang jarang sekali dilalui oleh peronda-peronda prajurit Pajang.
Namun betapapun juga, naluri Agung Sedayu masih
mencegahnya ketika bayangan itu meloncat masuk ke dalam
sebuah kebun yang kosong. Kebun yang gelap pepat ditumbuhi
oleh gerumbul-gerumbul liar, dan rumpun-rumpun bambu. Di
sana-sini tumbuh pohon yang besar dan rimbun.
"Ia memancing aku masuk," geram Agung Sedayu. Tapi ia
kini dicengkam oleh keragu-raguan. Perlahan-lahan ia
menenangkan diri, menjernihkan pikirannya. Kini ia mencoba
untuk menduga, siapakah orang itu.
"Ada beberapa kemungkinan," katanya di dalam hati, "tetapi
kemungkinan bahwa orang itu satu di antara tiga, Sidanti,
Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri adalah sangat tipis.
Menurut pengamatanku, bentuk tubuh mereka agak berbeda.
Sikap dan cara untuk melarikan diri pun berbeda pula. Agaknya
Wuranta pun bukan pula. Yang paling mungkin adalah sisa-sisa
orang Jipang atau orang-orang Tambak Wedi sendiri yang lolos
dari tangan prajurit Pajang dan berhasil bersembunyi di dalam
liarnya gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu itu."
Agung Sedayu masih saja berhenti di tempatnya. Kini ia
sudah tidak melihat bayangan itu lagi. Bayangan itu telah hilang
ke dalam rimbunnya dedaunan. Tetapi Agung Sedayu kini telah
melihat bahaya yang dapat tumbuh apabila ia masuk ke dalam
halaman yang liar itu. Ia akan dengan mudahnya disergap dari
segala penjuru. Ia tidak tahu, apakah orang itu hanya seorang
diri, atau mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak. Karena
itu, maka ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Ketka ia masih saja tidak bergerak, ia melihat bayangan yang
hitam itu muncul lagi di dalam kegelapan. Agung Sedayu melihat
bayangan itu berdiri tegak dengan kaki renggang, seolah-olah
siap untuk menyerangnya. Selangkah Agung Sedayu surut. Kesadarannya telah
memperingatkannya untuk berbuat lebih hathati. Dan tiba-tiba
saja, maka di tangan Agung Sedayu itu telah tergenggam
pedangnya. Tetapi bayangan yang hitam itu masih berdiri diam. Agaknya
ia sengaja menunggu Agung Sedayu menyerangnya. Tetapi
Agung Sedayu pun masih tetap berdiri saja di tempatnya.
Ternyata bayangan itu tidak dapat bersabar lebih lama lagi.
Sejenak kemudian terdengar suaranya berdesis, "He, prajurit
Pajang. Kau memang terlampau berani datang seorang diri ke
tempat ini." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar
bayangan itu berkata lagi, "Menurut pengamatan kami, kau
adalah seorang dari dua anak-anak muda yang menunggui gadis
itu di pondoknya." "Nah, sekarang aku ingin minta tolong kepadamu, supaya kau
memanggil seorang kawanmu itu dan gadis yang kau tunggui itu
pula, supaya kau selamat."
Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak.
"Kalau kau bersedia, marilah. Kami, beberapa orang, akan
mengantarmu kepondok itu. Tetapi ingat, jangan berbuat hal-hal
yang dapat membahayakan jiwamu," Orang itu berhenti sejenak,
lalu, "Kami sebenarnya tidak berkepentingan sama sekali
dengan kalian. Tetapi bersama-sama dengan kalian, kami akan
dapat keluar dari neraka ini. Dengan kalian, maka para penjaga
pintu regol tidak akan dapat banyak berbuat atas kami."
Agung Sedayu menggeram. Kini ia sadar, siapakah yang
dihadapinya. Mereka adalah orang-orang yang berhasil
bersembunyi di dalam padepokan ini, di antara gerumbulgerumbul
liar dan rumpun-rumpun bambu. Mungkin mereka
adalah orang-orang yang pada saat pertempuran terjadi antara
orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang, sedang
bertugas meronda atau tugas apa pun, sehingga mereka tidak
sempat menggabungkan dirinya ketika pasukan Pajang
memasuki daerah ini. "Bagalmana" Apakah kau setuju" Aku tidak akan berbuat
apa-apa. Kami hanya ingin keluar dari neraka ini. Hanya itu,
tidak lebih." Sekali lagi Agung Sedayu menggeram. Orang itu ingin
mempergunakannya bersama Swandaru dan Sekar Mirah
sebagai tanggungan, supaya mereka dapat keluar dari
padepokan ini dengan selamat.
"Mereka benar-benar bodoh," berkata Agung Sedayu di
dalam hatinya, "mereka sama sekali tidak melihat kesempatan
untuk lari lewat urung-urung itu. Atau barangkali urung-urung itu
pun sudah dijaga oleh prajurit Pajang?"
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka orang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pun berkata pula, "Nah, apakah kau setuju" Sebenarnya
bagimu sudah tidak ada pilihan lain. Salahmulah bahwa kau
terjebak di tempat ini. Kau terlampau sombong, berjalan seorang
diri di dalam gelapnya malam, di daerah yang masih kemelut
diasapi oleh sisa-sisa peperangan. Ayo, lekas, letakkan
pedangmu dan ikutlah kami menjemput gadis itu."
Yang terdengar kemudian suara Agung Sedayu gemetar,
"Darimana kau tahu, bahwa gadis itu berada di pondok
bersamaku." Terdengar suara tertawa lirih. Katanya, "Perempuanperempuan
di padepokan ini selalu berbaik hati kepada kami,
memberitahukan apa saja yang ingin kami ketahui. Ternyata
mereka mendendam sampai ke ujung rambutnya kepada orangorang
Pajang yang bengis itu."
"Tutup mulutmu!" Agung Sedayu tiba-tiba membentak.
Kemarahannya telah menyala dengan dahsyatnya. Perasaanperasaan
yang telah diendapkannya tiba-tiba teraduk kembali.
Dan sekali lagi ia berkata di dalam hatinya, "Aku bukan kanakkanak
lagi. Aku harus dapat berbuat menurut pertimbanganku
sendiri. Aku tidak perlu menggantungkan diriku kepada
siapapun." Perasaan itu telah mendorong Agung Sedayu untuk
menyelesaikan masalah yang kini sedang dihadapi. Dengan
sepenuh kekuatan ia menindas segala macam keragu-raguan
yang ada di dalam dirinya. Ia tidak mau mendengar lagi
pertimbangan-pertimbangan apa pun yang tumbuh di dalam
hatinya. Tetapi ia masih tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak mau maju
lagi masuk ke dalam perangkap.
Karena Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya, maka
bayangan itu maju setapak. "Letakkan pedangmu," suaranya
berdesis, "bagimu sudah tidak ada pilihan lain kecuali mati."
"Aku memilih mati," suara itu bergetar seperti gelora di dalam
dadanya. "Gila kau," bayangan itu pun menggeram, "jangan bodoh."
"Kalau aku mati, maka kau pun akan mati karena kau tidak
akan dapat keluar dari padepokan ini."
"Kau memang terlampau bodoh, aku dapat mendatangi
pondok itu tanpa kau. Mungkin kami perlu membawa kepalamu
saja uutuk menakut-nakuti mereka agar mereka bersedia
menuruti perintah kami."
"Lakukanlah," sahut Agung Sedayu dalam nada yang berat
penuh tekanan kemarahan. Bayangan itu terdiam sejenak. Tetapi Agung Sedayu melihat
orang itu melambaikan tangannya.
"Ia memberikan tanda kepada kawan-kawannya," berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dugaan Agung Sedayu itu ternyata tepat. Sejenak kemudian
Agung Sedayu melihat empat orang yang lain berloncatan dari
tempat persembunyian mereka.
Agung Sedayu meloncat selangkah surut. Ketika ia mencoba
menghitung orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka
dilihatnya semuanya berjumlah lima orang.
Sekali lagi Agung Sedayu bergeser. Ia mencoba untuk
mendapat tempat yang baik. Ia harus melawan kelima orang itu
sekaligus. Perkelahian yang demikian adalah suatu pengalaman
baru baginya. Tetapi pengalaman itu mengandung bahaya yang
cukup besar. "Tetapi aku bukan kanak-kanak yang hanya dapat merengek
lagi kepada kakang Untara. Kakang Untara selalu berbuat tanpa
ragu-ragu. Aku bukan pengecut. Aku sudah cukup dewasa untuk
menyelesaikan masalah ini," kata-kata itu selalu terngiang di
dalam rongga telinganya. Ia sama sekali tidak mau diganggu lagi
oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Dan tiba-tiba saja, kelima
orang itu terkejut ketika mereka mendengar Agung Sedayu
berteriak, "Aku bunuh kalian! Aku berhak juga membunuh
musuh-musuhku." Terdengar kemudian salah seorang dari kelima orang itu
berdesis, "Jangan membunuh diri. Kau sudah terkepung,
Betapapun dahsyat ilmu prajurit Pajang, tetapi melawan kami
berlima adalah mustahil"
"Ayo, kalian membunuh aku atau aku membunuh kalian."
Kelima orang itu tertegun. Ternyata mereka berhadapan
dengan seorang yang agaknya tidak berperasaan.
Dan sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu tidak mau lagi
dipengaruhi oleh segala macam perasaan ragu-ragu, bimbang,
pertimbangan-pertimbangan atau ijin dari kakaknya atau
kecemasan bahwa kakaknya akan marah, atau perasaan
apapun. Apalagi perasaan takut. Karena itu maka sikapnya pun
menjadi terlampau garang dan kasar.
"Apakah kau mencoba menakut-nakuti kami?" bertanya yang
lain. "Persetan! Apakah kau takut atau tidak bukan soalku. Ayo kita
bertempur," jawab Agung Sedayu.
Sekali lagi kelima orang itu menjadi heran. Namun mereka
tidak mendapat kesempatan untuk bertanya-tanya lagi. Tiba-tibasaja
mereka melihat Agung Sedayu menggerakkan pedangnya
sambil berkata, "Hanya ada dua kemungkinan, "membunuh atau
dibunuh." Aku memilih kemungkinan yang pertama,
"membunuh." Aku tidak peduli lagi atas kalian. Apakah kalian
akan merengek minta maaf atau minta dikasihani. Tidak ada
maaf dan belas kasihan di peperangan. Kita bersama-sama
telah menjadi buas melampaui serigala."
Kelima orang itu pun sebenarnya adalah orang-orang yang
hampir berputus asa. Mereka sebenarnya telah hampir
kehilangan pertimbangan-pertimbangan mereka. Mereka pun
sebenarnya berada dalam daerah kedua pilihan itu pula
"membunuh atau dibunuh", tetapi ternyata sikap Agung Sedayu
itu telah membuat dada mereka menjadi semakin berdebardebar.
Mereka terkejut, bahwa dalam sekejap kemudian Agung
Sedayu telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dengan
penuh nafsu ia menyerang lawan-lawannya yang telah
mengepungnya itu. Hampir bersamaan kelima orang yang berdiri melingkari
Agung Sedayu itu meloncat surut. Tetapi mereka tidak dapat
berbuat lain daripada segera melakukan perlawanan, sebab
serangan Agung Sedayu selanjutnya melanda mereka seperti
banjir. Selama ini Agung Sedayu selalu dibayangi oleh keraguraguan
dan kebimbangan. Bahkan ia menjadi bingung melihat
sikap kakaknya. Seolah-olah apa yang dilakukannya selalu saja
salah. Tiba-tiba kini ia dengan sekuat tenaganya telah
melepaskan diri dari setiap ikatan yang membelenggu
perasaannya. "Aku harus melepaskan diri dari semua ikatan," Agung
Sedayu itu berteriak di dalam hatinya. "Aku akan berbuat apa
saja yang aku inginkan. Sekarang aku ingin membunuh,
persetan dengan pendapat orang lain."
Dengan demikian maka tandang Agung Sedayu menjadi
semakin garang. Pedangnya berputaran seperti baling-baling.
Kilatan pantulan cahaya samar-samar yang memancar dari
langit tampak berkalkali meloncat dari batang pedangnya.
Tetapi kali ini ia harus bertempur melawan lima orang yang
memiliki ilmu tata bela diri pula. Ternyata mereka berlima
merupakan lawan yang cukup berat bagi Agung Sedayu.
Meskipun Agung Sedayu cukup lincah dan tangguh, namun
berkelahi melawan lima orang di dalam gelapnya malam,
merupakan pekerjaan yang cukup berat baginya.
Demikianlah maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Ketika tubuh Agung Sedayu telah basah
diusap oleh keringatnya sendiri, maka tandangnya pun menjadi
semakin garang. Dengan lincahnya ia berloncatan menghindar
dan menyerang, seperti kijang di padang perburuan. Pedangnya
terayun-ayun seperti angin pusaran yang melindungi tubuhnya,
sehingga sama sekali tidak tertembus oleh satu pun dari kelima
ujung pedang lawan-lawannya.
"Anak ini dapat berkelahi seperti hantu," berkata salah
seorang lawan Agung Sedayu di dalam hatinya. Ia sama sekali
tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu seorang diri mampu
melawan mereka berlima. Ternyata mereka yang belum banyak
mengenal anak muda, adik Senapati Pajang ini, telah membuat
salah hitung. Mereka menyangka bahwa mereka berlima, yang
masing-masing merasa mempunyai beberapa kelebihan dari
kawan-kawannya, dapat dengan mudah menangkap Agung
Sedayu dan memperalatnya.
"Ah, bagaimana kalau kami berhadapan dengan Untara
sendiri," desis yang lain di dalam dadanya. Ternyata mereka
tidak saja berhasrat menangkap Agung Sedayu, Swandaru, atau
Sekar Mirah, tetapi di dalam setiap kesempatan siapa pun
mereka kehendaki, asal orang itu cukup bernilai untuk dapat
dijadikannya tanggungan untuk melepaskan diri. Namun ternyata
kini mereka terbentur kepada seorang anak muda yang luar
biasa. Agung Sedayu. Meskipun mengalami beberapa kesulitan, tetapi Agung
Sedayu yang sedang dicengkam oleh pergolakan persoalan di
dalam dirinya itu sama sekali tidak berhasrat berkisar dari
tempatnya. Ia sudah bertekad untuk bertempur. Ia sudah
bertekad untuk meninggalkan segala macam perasaan yang ada
di dalam dadanya. Setiap perasaan yang tumbuh, maka segera
ditindasnya. "Ini adalah kungkungan keragu-raguan dan
kebimbangan yang selama ini membuat aku kehilangan
kesempatan untuk berbuat apa pun menurut kehendakku dan
keinginanku sendiri."
Namun dengan demikian, Agung Sedayu telah benar-benar
dicengkam oleh kegelapan hati. Ia tidak mau lagi melihat
pertimbangan-pertimbangan apa pun di dalam dirinya. Yang
diteriakkan di dalam hatinya adalah, "Aku adalah laklaki
dewasa. Aku dapat berbuat apa saja menurut pertimbanganku
sendiri." Dengan demikian maka serangannya pun menjadi semakin
dahsyat. Pedangnya semakin cepat berputar dan ayunannya
pun menimbulkan desing yang mendebarkan hati.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Kedua belah pihak seolah-olah sedang dicengkam oleh
perasaan yang tidak wajar. Kelima orang itu adalah orang-orang
yang sedang berputus asa. Bagi mereka tidak ada pilihan lain
daripada berkelahi matmatian. Kalau mereka kalah, maka
mereka pun akan mati pula. Kalau mereka melarikan diri pun
mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk keluar dari
padepokan ini. Karena itu maka apabila mereka masih ingin
hidup, maka mereka harus memenangkan pertempuran ini.
Pilihan mereka adalah, mati atau berhasil memperalat Agung
Sedayu untuk melepaskan diri.
Demikianlah, maka di lorong sempit itu telah terjadi
perkelahian antara hidup dan mati. Mereka bergeser dari satu
titik ke titik yang lain. Sekalsekali Agung Sedayu memerlukan
tempat yang cukup luas untuk menghadapi serangan-serangan
yang datang beruntun seperti banjir, sehingga perkelahian itu
pun bergeser masuk ke dalan halaman yang kosong. Tetapi di
saat-saat yang lain Agung Sedayu berusaha untuk
mempersempit arena. Dengan demikian maka ia berdiri hampir
melekat dinding batu di muka halaman yang kosong itu,
menghadapi kelima lawannya pada satu arah.
Gelap malam semakin lama menjadi semakin pekat, tetapi
langit menjadi semakin bersih. Bintang-bintang yang gemerlapan
di langit menjedi semakin jernih, berkilat-kilat dan berkeredipan.
Agung Sedayu sudah tidak mau berpikir lain kecuali
membunuh lawan-lawannya. Pikiran yang demikian, membunuh
lawan-lawannya tanpa ampun, sebelumnya tidak pernah terkilas
di kepalanya. Bahkan dalam peperangan yang hiruk-pikuk,
dalam perang brubuh atau di dalam gelar-gelar perang yang
lebih baik, membunuh lawannya selalu menimbulkan persoalan
di dalam dirinya. Tetapi kali ini ia benar-benar ingin membunuh lawanlawannya
itu. Semakin lama perkelahian itu berlangsung, maka
semakin tampak kegarangan Agung Sedayu. Kelincahan dan
ketangkasanya telah menempatkannya ke dalam keadaan yang
lebih baik dari lawan-lawannya, meskipun kelima orang itu masih
tetap merupakan bahaya yang setiap saat dapat merenggut
jiwanya. Apalagi ketika kelima orang lawan-lawannya itu menjadi
semakin berputus asa. Mereka seolah-olah benar-benar ingin
membunuh dirinya dengan mempergunakan tangan Agung
Sedayu. Agaknya mereka sudah tidak melihat jalan lain untuk
keluar dari padepokan ini. Kesempatan yang dianggapnya
kesempatan terakhir ini agaknya terlampau sulit untuk dapat
dipergunakannya. "Kalau kali ini kami gagal," berkata salah seorang dari mereka
di dalam hatinya, "nasib kami akan menjadi lebih jelek. Kami
akan diburu seperti memburu bajing. Beramaramai. Setelah
kami tertangkap, maka kami akan menjadi pangewan-ewan.
Karena itu, maka lebih baik mati pada saat ini dari pada
tertangkap hidup-hidup."
Dengan demikian maka tandang mereka pun menjadi
semakin dahsyat. Berlima mereka berputar-putar mengelilingi
Agung Sedayu. Sekalsekali mereka berloncatan menyerang.
Bergantganti dan kadang-kadang hampir bersamaan.
Agung Sedayu menggeram. Memang kadang-kadang ia
menjadi bingung menghadapi cara kelima lawannya itu
bertempur. Namun setiap kali ia selalu berusaha menembus
lingkaran mereka dan berdiri di luar. Setiap kali ia melontarkan
dirinya jauh-jauh, namun tiba-tiba ujung pedangnya telah
mematuk dengan garangnya.
Angin malam di pegunungan yang dingin berhembus semakin
kencang. Suaranya berdesir di antara dedaunan yang rimbun.
Ketika di kejauhan terdengar anjing hutan berteriak berebut
makan, terdengar dari kancah perkelahian itu sebuah keluhan
tertahan. Seorang dari kelima orang yang berkelahi melawan
Agung Sedayu itu meloncat surut. Tangan kirinya menggenggam
pergelangan tangan kanannya. Sepercik darah merah meleleh
dari luka yang menganga. Meskipun demikian pedangnya masih
tidak terlepas dari tangannya yang terluka itu.
Kawan-kawannya sama sekali tidak sempat untuk
menolongnya karena serangan Agung Sedayu masih saja
membadai. Bertubtubi tiada putus-putusnya. Apalagi kini
lawannya tinggal empat orang. Kesempatan baginya menjadi
semakin luas. Pedangnya menjadi semakin lincah bermain-main
di antara keempat senjata lawan-lawannya.
Tetapi ternyata orang yang terluka itu tidak segera
menyerahkan diri kepada nasibnya. Ia masih ingin berbuat
sesuatu seandainya ia harus mati. Lebih baik baginya untuk mati


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan dada terbelah, daripada mati perlahan-lahan karena
kehabisan darah atau tertangkap oleh orang-orang Pajang.
Kini pedangnya berada di tangan kirinya. Dengan garangnya
ia meloncat sambil menggeretakkan giginya. Meskipun
pedangnya berada di tangan kiri, namun karena luapan
kemarahan dan putus asa, maka tandangnya pun menjadi
semakin kasar. Tetapi baru saja orang itu menginjakkan kakinya di dalam
arena perkelahian, sekali lagi terdengar salah seorang kawannya
memekik kecil. Seorang lagi terlempar dari lingkaran. Pundaknya
tersayat oleh pedang Agung Sedayu. Darah yang merah telah
membasahi bajunya. Namun seperti kawannya, ia tidak menyerah. Bahkan dengan
wajah yang membara ia menyerang sejadjadinya.
Tetapi keadaan Agung Sedayu menjadi semakin baik.
Hatinya pun menjadi semakin terbakar pula melihat sikap lawanlawannya.
Orang-orang yang sudah terluka itu sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan dan gentar. Bahkan mereka
menyerangnya seperti angin ribut yang berputaran.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin
bernafsu. Pedangnya bergerak semakin cepat, dan tandangnya
pun menjadi semakin garang. Bahkan akhirnya ia sudah sampai
ke puncak ilmunya. Tanpa kendali. Dilepaskan segenap
kemampuannya untuk membinasakan kelima orang lawannya
yang sudah menjadi semakin lemah.
Ternyata lawannya benar-benar menjadi semakin bingung.
Sesaat kemudian seorang lagi terluka di keningnya. Darah yang
segar mengalir di wajahnya. Ketika tangan kirinya mengusapnya,
maka tangan itu pun menjadi merah seolah-olah menyala.
"Setan!" orang itu menggeram. Giginya gemeretak dan
dengan kutukan yang paling kotor ia meloncat menyerang
kembali. Semakin lama mereka bertempur, maka semakin dekatlah
Agung Sedayu pada batas kemenangannya. Tetapi kemarahan
yang meluap-luap telah benar-benar menggelapkan hatinya.
Tidak ada pikiran lain daripada membunuh lawan-lawannya.
Ia menggeram ketika ia melihat seorang lawannya kini tidak
saja terluka di tangan, pundak, atau kening. Tetapi ujung
pedangnya berhasil menggores dada. Terdengar orang itu
mengaduh, dan sejenak kemudian tubuhnya terguling di atas
tanah. Dari mulutnya meluncur desis kesakitan.
Melihat kawannya terbanting jatuh dan tidak segera dapat
bangkit lagi, maka keempat kawannya menjadi semakin kalap.
Mereka berloncatan dan menyerang membabbuta. Seperti
Agung Sedayu yang semakin lama menjadi semakin kasar dan
garang juga. Apalagi ketika lawan-lawannya sudah menjadi semakin lelah.
Beberapa orang telah benar-benar tidak mampu lagi
menghentakkan pedangnya karena darah yang semakin banyak
mengalir. Sehingga akhirnya mereka tidak lebih dari seonggok
tubuh-tubuh yang hampir tidak berdaya sama sekali.
Saat yang ditunggu-tunggu oleh Agung Sedayu itu kini telah
datang. Ia tidak akan dapat dihalang-halangi lagi. Ia tinggal
menghunjamkan saja ujung pedangnya ke dada setiap orang
yang sudah dengan lemahnya mengayun-ayunkan senjatanya.
Tetapi ayunan itu sudah tidak berarti sama sekali.
Terdengar gigi anak muda itu gemeretak. Selangkah ia surut
untuk mengambil ancang-ancang. Ia akan segera meloncat maju
dengan pedang terjulur. Satu demi satu lawan-lawannya itu akan
roboh. Mati. Ia akan dapat berkata kepada kakaknya, bahwa ia
telah membunuh lima orang sekaligus yang dengan licik
memancingnya. Ia akan berkata kepada kakaknya, bahwa ia
adalah laklaki seperti prajurit yang lain.
Lawan-lawannyapun seolah-olah telah pasrah diri. Mereka
sudah merasa tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Mereka
telah sampai pada puncak keputus-asaan, meskipun ujung
pedang mereka masih juga terangkat setinggi lambung. Tetapi
kekuatan tenaga mereka sama sekali sudah tidak memadai.
"Tariklah nafas yang terakhir sepuas-puas hati kalian," desis
Agung Sedayu, "sekejap lagi kalian akan terguling di tanah tanpa
dapat bernafas lagi."
Kelima lawannya sama sekali sudah tidak menjawab, apalagi
yang masih belum dapat tegak karena terluka di dadanya. Ia
masih duduk di tanah, walaupun tangannya masih juga
menggenggam pedangnya. Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan mereka. Di luar
dugaan kelima orang yang sudah tidak berdaya itu, dan di luar
dugaan Agung Sedayu sendiri.
Ketika Agung Sedayu menggerakkan kakinya, siap untuk
meloncat dengan pedang terjulur, tiba-tiba terasa sentuhan di
bahunya. Ketika ia berpaling, terjadi hal yang hampir tidak
masuk di dalam akalnya, pedangnya dengan serta-merta lepas
dari tangannya seperti ditarik oleh kekuatan yang sangat
dahsyat. Selangkah Agung Sedayu meloncat ke samping. Baru
sekejap kemudian ia dapat melihat, bayangan berdiri tegak di
hadapannya. Pedangnya telah berpindah ke tangan orang itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak perlu bertanya. Namun dadanya
berdesir tajam ketika ia melihat orang itu menyerahkan
pedangnya kembali sambil berkata, "Sudah cukup, Ngger. Kau
tidak perlu menyelesaiannya sendiri. Persoalan selanjutnya
adalah persoalan para prajurit Pajang."
Sejenak Agung Sedayu terbungkam. Tanpa berkedip di
tatapnya wajah yang kehitam-hitaman di dalam gelapnya malam.
Tetapi Agung Sedayu segera mengenalnya, bahwa orang itu
adalah gurunya, Ki Tanu Metir.
Tidak sepatah kata pun dapat diucapkan, tiba-tiba kepala
Agung Sedayu terkulai tunduk dalam-dalam. Sesuatu telah
menusuk langsung ke pusat jantungnya. Bukan ujung pedang
lawan, tetapi peringatan yang langsung diberikan oleh gurunya,
meskipun tidak dengan kalimat-kalimat. Ia segera menyadari
keadaannya. Tidak sepantasnya ia membunuh tanpa mengenal
batas-batas perlakuan yahg wajar. Hampir saja ia terperosok ke
dalam kegelapan karena hatinya sendiri yang sedang gelap.
Namun yang terjadi itu telah benar-benar merupakan suatu
peringatan yang dirasakannya terlampau keras. Tetapi ketika
hatinya telah mengendap, maka di sela-sela bibirnya yang
bergerak-gerak ia mengucap syukur. Perlahan-lahan sekali.
Tidak seorang pun yang mendengarnya selain dirinya sendiri.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian melangkah maju, mendekati
kelima orang yang sedang menantikan ajal itu. Terdengar ia
berkata, "Kalian lebih baik menghentikan perlawanan. Marilah
ikut kami, kami tidak akan berbuat terlampau jauh seperti yang
kalian duga. Kami akan menyerahkan kalian kepada para
peronda." Sejenak suasana menjadi hening. Tidak segera terdengar
jawaban dari kelima orang itu.
"Menyerahlah. Aku menjamin bahwa kalian akan diperlakukan
dengan wajar," berkata Ki Tanu Metir pula.
Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar
jawaban, "Kami sudah siap untuk mati."
"Jangan kehilangan akal. Kalian masih akan mendapat
kesempatan seperti kawan-kawanmu yang lain, yang telah
menyerah lebih dahulu."
Sekali lagi kelima orang itu terdiam. Dan yang terdengar
adalah suara Ki Tanu Metir kepada Agung Sedayu, "Angger
Agung Sedayu. Pergilah ke banjar, bukankah kakakmu Untara
menunggumu di sana. Kau sudah kehilangan waktu beberapa
saat untuk bermain-main di sini. Beritahukan kepada beberapa
orang peronda yang kau jumpai, bahwa di sini ada beberapa
orang yang akan menyerah."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Baik, Guru. Aku
akan pergi ke banjar. Mungkin Kakang Untara sudah terlalu lama
nenunggu aku." "Ya, pergilah."
Ketika kaki Agung Sedayu terayun, ia tertegun. Ia mendengar
salah seorang dari kelima orang itu berkata, "Aku-tidak akan
nenyerah. Aku ingin mati oleh tusukan pedang."
"Jangan membunuh diri dengan cara yang demikian."
"Tetapi pertempuran ini belum selesai. He, anak muda. Kalau
kau tinggalkan orang tua ini seorang diri di sini, aku akan
membunuhnya." Agung Sedayu memandangi orang yang berbicara itu, yang
keningnya masih menitikkan darah dari lukanya.
"Lakukanlah kalau mampu," sahut Agung Sedayu. Tetapi
dadanya kini sudah tidak dibakar lagi oleh nafsunya untuk
membunuh. "Mungkin Ki Tanu Metir bahkan akan memberimu
obat yang dapat memampatkan darah dari lukamu."
Orang itu menjadi heran. Tiba-tiba ia teringat, bagaimana
mungkin orang tua itu dapat merebut pedang Agung Sedayu
dengan mudahnya, sehingga orang ini pasti seorang yang jauh
lebih dahsyat dari anak muda itu. Tetapi sikapnya dan katakatanya
telah mencairkan hati kelima orang yang telah membatu
karena putus asa itu. Sepeninggal Agung Sedayu, kelima orang itu tidak menolak
ketika Ki Tanu Metir memberi obat pada luka-luka mereka
sekedar untuk menahan arus darah yang mengalir. "Kalian tidak
boleh kehabisan darah," berkata orang tua itu.
Sementara itu Agung Sedayu berjalan dengan kepala tunduk.
Peristiwa yang baru saja terjadi telah mengguncang dadanya. Ia
merasa menyesal, bahwa ia telah hanyut ke dalam arus
kegelapan hati. Namun kadang-kadang masih juga timbul desah
di dalam hati, "Kenapa aku tidak dapat berbuat sebebas orangorang
lain" Kenapa aku masih saja terikat sama sekali kepada
Kakang Untara?" Ketika Agung Sedayu sampai di gardu peronda, segera
diberitahukannya tentang kelima orang yang baru saja berkelahi
melawannya. "Selesaikanlah mereka menurut ketentuan yang berlaku,"
berkata Agung Sedayu. "Apakah mereka tidak melarikan diri sepeninggalmu?"
bertanya prajurit yang sedang bertugas itu.
"Mereka kini bersama Ki Tanu Metir," jawab Agung Sedayu.
"Baiklah," sahut prajurit itu kemudian, "aku akan persiapkan
orang-orangku. Bukankah mereka berlima?"
"Ya." Agung Sedayu tidak menunggui prajurit itu menyiapkan
teman-temannya. Segera ditinggalkannya gardu perondan itu
untuk pergi ke banjar padepokan menemui kakaknya.
Langkahnya semakin lama menjadi semakin cepat.
Dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak
mau lagi membayangkannya, apalagi betapa yang akan terjadi
seandainya gurunya tidak mencegahnya melakukan
pembunuhan yang tidak terkendali itu.
"Hem," Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, "aku
harus memetik pelajaran dari padanya." Tetapi ia tidak ingin
bahwa peristiwanya itu sendiri selalu membayangi perasaannya.
Sehingga dalam keragu-raguan ia bertanya kepada diri
sendiri, "Apakah aku perlu mengatakannya kepada Kakang
Untara?" Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak
perlu. Laporan itu akan datang dari para prajurit yang akan
menangkap mereka. Aku tidak perlu berkata apa pun tentang
peristiwa itu." Tetapi kemudian ia berkata pula di dalam hatinya,
"Tetapi jangan-jangan Kakang Untara menganggap aku
bersalah. Aku telah berbuat sendiri di daerah ini justru di luar
wewenangku. Ah, biarlah aku mengatakannya. Salah atau
benar, aku akan mengatakannya."
Agung Sedayu itu pun kemudian melangkah terus. Kini ia
mencoba memusatkan perhatiannya kepada kakaknya. Kepada
kepentingan yang akan disampaikan kepadanya.
Ketika beberapa puluh langkah daripadanya terpancar
seberkas sinar obor, hati Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Sinar obor itu pastilah sinar obor yang dipasang
di halaman banjar. Dan kakaknya telah menunggunya di banjar
itu pula. "Apakah yang akan dikatakannya?" gumamnya lambat.
Agung Sedayu itu menggelengkan kepalanya. "Tak seorang pun
yang tahu selain Kakang Untara sendiri. Mungkin guru, tetapi
mungkin pula tidak."
Semakin dekat Agung Sedayu dengan banjar padepokan itu
hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Ketika kemudian ia berdiri di muka regol banjar padepokan
itu, dua orang prajurit mendatanginya dan bertanya, "Siapa?"
"Aku, Agung Sedayu," sahut Agung Sedayu.
Sinar obor yang kemerah-merahan jatuh di atas wajahnya,
membuat kesan tersendiri pada kedua prajurit yang memandangi
dengan tajam. Tetapi sebelum keduanya bertanya lebih lanjut, Agung
Sedayu telah mendahuluinya membuat penjelasan, "Aku
dipanggil oleh Kakang Untara."
"Sekarang?" "Ya," sahut Agung Sedayu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Dan salah seorang
dari mereka berkata, "Silahkanlah."
Agung Sedayu segera melangkah masuk ke halaman.
Halaman banjar padepokan itu kini sudah tampak lebih bersih
dan terang. Beberapa buah obor dipasang di sudut-sudut
halaman dan sebuah lampu minyak yang cukup terang
tergantung di tengah-tengah pendapa. Beberapa orang masih
tampak duduk bercakap-cakap di pendapa itu. Sedang beberapa
orang yang lain, yang terluka berbaring-baring sambil bercakapcakap
satu sama lain. Mereka memandangi Agung Sedayu ketika anak muda itu
naik tangga dan berjalan di antara mereka, di tengah-tengah
pendapa itu. Salah seorang yang telah mengenalnya dengan
baik bertanya, "Apakah kau akan menemui kakakmu?"
"Ya," sahut Agung Sedayu.
"Ia berada di pringgitan."
Agung Sedayu sebenarnya sudah tidak memerlukan
keterangan itu lagi. Ia tahu pasti bahwa kakaknya berada di
pringgitan. Mungkin dengan beberapa orang perwira pembantupembantunya.
Mungkin bahkan sendiri sambil menunggunya.
Tetapi ia menjawab, "Terima kasih."
Dengan dada yang semakin berdebar-debar ia melangkah
menuju ke pintu pringgitan. Pintu leregan itu masih terbuka
sedikit. Sepercik sinar dian di dalam pringgitan itu sempat
meloncat keluar. Hathati Agung Sedayu mendekati pintu. Kini ia sudah
berada tepat di muka pintu. Tetapi keragu-raguannya ternyata


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat ia tertegun. Tanpa disengajanya ia berpaling,
memandangi orang-orang yang berada di pendapa banjar itu.
Agung Sedayu itu terkejut ketika tanpa disangka-sangkanya
orang yang sudah mengenalnya dan memberitahukan
kepadanya bahwa Untara berada di pringgitan itu berbicara lagi,
cukup keras, "Buka saja. Pintu itu tidak pernah dislarak."
"Terima kasih," sekali lagi Agung Sedayu menjawab. Kini
tangannya telah memegang wengku pintu yang dibuat dari
anyaman bambu wulung. Perlahan-lahan ia mendorong ke
samping. Dan pintu itu pun terbuka.
Dada Agung Sedayu berdesir. Di dalam pringgitan itu duduk
hanya dua orang saja. Kakaknya, Untara dan seorang lagi,
Wuranta. "Masuklah," terdengar suara kakaknya berat tetapi dingin.
Sedingin angin pegunungan yang bertiup semakin kencang.
"Terima kasih, Kakang," sahut Agung Sedayu. Suaranya pun
tiba-tiba bernada berat. Tetapi terasa sebuah getaran di dadanya
terpercik di antara kata-katanya.
Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya, Agung Sedayu itu
tertegun. Ia melihat Wuranta tiba-tiba berdiri dan berkata,
"Untara, aku akan keluar sebentar. Udara terlampau panas di
pringgitan ini." Terasa jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat
berdentang. Ia sadar bahwa kehadirannyalah yang seolah-olah
telah mengusir Wuranta dari pringgitan itu. Agaknya Wuranta
benar-benar tidak dapat menemuinya.
Dengan demikian maka teka-teki di dalam dada Agung
Sedayu menjadi semakin kisruh. Panggilan kakaknya telah
membingungkannya, dan kini ia menemukan suatu pertanyaan
baru yang semakin membelit hati.
"Apakah sebenarnya yang telah aku lakukan, sehingga aku
terperosok dalam keadaan yang membingungkan ini?" desis
Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi yang terdengar adalah suara Untara, "Duduklah
Wuranta." "Aku akan keluar sebentar," sahut Wuranta sambil
melangkah. Tetapi sekali lagi terdengar Untara berkata, "Duduklah."
Wuranta menggeleng. "Aku tidak betah duduk di dalam
pringgitan yang panas ini."
"Di luar udara akan lebih panas lagi. Duduklah," ulang Untara.
Tetapi Wuranta masih juga melangkah. Namun langkahnya
pun tertegun. Agung Sedayu masih berdiri tegak di muka pintu.
"Wuranta," Untara mengulanginya lagi, "kemarilah dan
duduklah. Dengar kata-kataku. Kemarilah kalian berdua. Duduk
di sini. Aku perlu dengan kau berdua."
Nada kata-kata Untara serasa semakin berat, memberati hati
kedua anak-anak muda itu. Ketika sekali lagi Untara memanggil,
maka Wuranta tidak dapat lagi menolaknya, "Wuranta. Kemari.
Duduklah di sini." Dengan wajah yang tegang Wuranta itu pun melangkah
kembali. Dengan dada yang berdebaran ia duduk di tempatnya.
Sekali matanya menyambar Agung Sedayu yang masih berdiri
tegak di muka pintu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya
pandangan matanya ke sudut ruangan.
Agung Sedayu masih tegak di tempatnya. Di lambungnya
tergantung sehelai pedang. Di wajahnya terpancar berbagai
macam pertanyaan yang telah membingungkannya.
"Jangan seperti hendak berkelahi Sedayu," tiba-tiba suara
kakaknya mengejutkan, "duduklah."
"Oh," terdengar Agung Sedayu berdesah, "terima kasih,
Kakang." "Apakah kau akan pergi berperang?"
Pertanyaan Untara terdengar begitu tajamnya menyentuh
telinganya. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menjawab
tegas, "Tidak."
Untara bergeser. Ditatapnya wajah adiknya. Tetapi Agung
Sedayu menundukkan kepalanya. Meskipun demikian jawaban
Agung Sedayu itu terasa telah menggerakkan hati kakaknya.
Dalam keadaan yang wajar, adiknya tidak akan menjawab.
Apalagi jawaban sesingkat dan tegas itu.
Tetapi Untara itu terdiam. Dipandanginya langkah Agung
Sedayu mendekatinya dan kemudian duduk di sampingnya.
Dijulurkannya pedangnya ke belakang.
Sejenak mereka saling berdiam diri, dan pringgitan itu dijalari
oleh suasana yang sepi tegang. Di kejauhan terdengar lamatlamat
suara burung hantu yang menggetarkan udara malam
yang dingin. Sesaat kemudian Untara menarik nafas dalam-dalam.
Ditatapnya adiknya dengan penuh pertanyaan. Tetapi sebelum
Untara bertanya, Agung Sedayu berkata, "Aku bertemu dengan
lima orang yang bersembunyi di balik rerungkudan. Mereka
sengaja menjebak aku."
Untara masih terdiam, dan Agung Sedayu mengatakan
dengan singkat apa yang dijumpainya di perjalanan ke banjar
padepokan ini. Terasa jantung Untara menjadi semakin cepat bergetar. Ia
merasakan suatu kebanggaan di dalam dirinya, bahwa Agung
Sedayu telah berhasil menguasai diri dalam keadaan yang tibatiba
itu dan dapat berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak ingin
menunjukkan pengaruh perasaannya itu. Bahkan wajahnya
seolah-olah tidak menunjukkan perubahan apa pun. Meskipun
demikian, Agung Sedayu menjadi agak berlega hati bahwa
kakaknya tidak menyalahkannya lagi.
Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Baru sejenak kemudian
Untara berkata kepada Wuranta tanpa mempersoalkan ceritera
Agung Sedayu, "Aku memang menunggu kesempatan semacam
ini Wuranta." Wuranta tidak menyahut, tetapi wajahnya pun tunduk
memandangi anyaman tikar yang didudukinya.
"Aku ingin setiap persoalan segera selesai. Aku tidak ingin
kalian bersikap seperti anak-anak."
Tiba-tiba Wuranta mengangkat kepalanya. Sorot matanya
menjadi tajam bercahaya. Dari sela-sela bibirnya terdengar
suaranya bergetar, "Apakah maksudmu, Untara?"
Untara mengerutkan keningnya. Ia berhadapan dengan
seorang anak muda perasa. Anak muda yang mudah
tersinggung perasaannya. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
Tetapi Untara tetap dalam pendiriannya, ia ingin menyelesaikan
persoalan ini. "Wuranta," berkata Untara, "tidak baik kau selalu dikejar oleh
perasaanmu itu. Setiap kali kau selalu menghindari pertemuan
dengan Agung Sedayu sejak kau meninggalkannya, ketika
Agung Sedayu sedang berkelahi dan mengejar Sidanti. Sejak ini,
maka anggaplah bahwa di antara kalian sudah tidak ada
persoalan lagi, sehingga hubungan kalian menjadi wajar seperti
sediakala. Agung Sedayu adalah anak Jati Anom seperti kau,
seperti aku juga. Ia untuk seterusnya akan menetap pula di Jati
Anom, kalian akan selalu bertemu di jalan-jalan, di perapatan
atau di gardu-gardu perondan. Kalau hubungan kalian tidak
dapat pulih kembali maka akibatnya pun akan mempengaruhi
seluruh anak-anak muda Jati Anom."
Wajah Wuranta sesaat menjadi pucat. Keringat dinginnya
mengalir membasahi pakaiannya. Namun justru karena itu maka
ia pun terbungkam. Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu
persoalan apakah yang sedang dihadapinya. Tetapi yang telah
menyengat hatinya adalah kepastian kakaknya bahwa ia akan
tinggal untuk seterusnya di Jati Anom. Dengan demikian maka
segera ia menemukan kesimpulan, bahwa hal inilah yang akan
dikatakan kakaknya kepadanya, di samping persoalan yang
masih tidak jelas baginya, hubungannya dengan Wuranta yang
menjadi serasa tegang "Aku dapat merasakan perasaan kalian," berkata Untara
seterusnya, "tetapi aku tidak sependapat bahwa perasaan itu
akan terlampau berkuasa di hati kalian. Kalian harus
mengimbanginya dengan nalar dan pikiran, bahwa kalian adalah
anak-anak muda Jati Anom. Bahkan kalian adalah harapan bagi
kampung halaman. Kalian harus dapat menyingkirkan semua
persoalan pribadi untuk kepentingan-kepentingan yang lebih
besar. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?"
Wuranta masih terdiam. Keringatnya semakin banyak
mengalir di seluruh wajah kulitnya.
Buku 27 SEJENAK ketiga anak-anak muda itu saling berdiam diri,
sehingga pringgitan itu sekali lagi menjadi sepi. Dan sekali lagi
terdengar burung hantu seolah-olah merintih menggetarkan
udara malam. Di halaman daun-daun yang kuning berguguran
oleh sentuhan angin lereng bukit yang semakin keras.
Gemerasak seperti gemerasaknya nafas Agung Sedayu dan
Wuranta. Yang memecahkan keheningan itu adalah suara Untara
memberat, "Pikirkanlah. Kalian bukan lagi anak kecil yang
manja." Ketika Untara terdiam, tiba-tiba udara pringgitan itu digetarkan
oleh suara Wuranta setajam getar jantungnya, "Aku tidak
mengerti apa yang kau katakan, Untara."
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku kira cukup
jelas." "Kau agaknya menganggap, bahwa selama ini aku selalu
menghindari pertemuan dengan Agung Sedayu. Kau salah
sangka. Aku tidak pernah berpikir demikian. Adalah kebetulan
sekali bah"wa aku tidak bertemu dengan Adi Agung Sedayu
untuk beberapa lama."
Untara menarik nafas dalam-dalam, "Kau aneh Wuranta. Kita
sudah cukup dewasa. Aku tahu benar perasaanmu. Jangan
ingkar." Baju Wuranta telah menjadi basah oleh keringat. Namun ia
masih berkata, "Jangan mencarcari, Untara. Katakan saja apa
maksudmu sebenarnya."
Untara terperanjat mendengar kata-kata itu. Ia adalah
seorang senapati perang di daerah ini. Ia adalah orang tertinggi
dalam tata keprajuritan Pajang di daerah lereng Merapi. Tetapi
kemudian disadarinya, bahwa di hadapannya duduk seorang
anak muda Jati Anom. Bukan seorang prajurit Wira Tamtama.
Seorang anak muda kawannya bermain semasa kanak-kanak,
sehingga bekas-bekas pergaulan di masa kecilnya itu tidak
dapat dihapuskannya. Sikap itulah yang masih dibawa oleh
Wuranta kali ini. Sekali lagi Untara menghela nafas dalam-dalam untuk
menahan hatinya. Persoalan yang akan dibicarakannya memang
bukan masalah-masalah keprajuritan, meskipun akibatnya akan
menyentuh pula. Wuranta merasa bahwa ruangan itu menjadi semakin lama
semakin panas, seperti tungku yang dipanasi dengan bara api
kayu mlandingan. Yang terdengar kemudian adalah suara Untara, "Wuranta,
tidak baik apabila aku terpaksa mengatakan dengan berterus
terang. Tetapi seharusnya kau dapat menangkap maksudku dan
kau tidak perlu menghindarinya lagi. Marilah persoalan ini kita
selesaikan. Kemudian, kalian akan dapat hidup seperti sedia
kala. Tanpa perasaan canggung dan segan."
Gigi Wuranta menjadi semakin terkatup rapat untuk menahan
gelora perasaannya. Dentang jantung di dadanya serasa
menjadi semakin cepat dan keras. Seperti kentong titir yang
memekik-mekik hampir-hampir mematahkan seluruh tulang
iganya. Tetapi Agung Sedayu pun tidak pula kalah gelisahnya. Ia
belum tahu, apakah yang akan dikatakan kakaknya itu
kepadanya. Tetapi menilik pembicaraannya dengan Wuranta,
maka ia sudah dapat meraba ujung dan bahkan pangkalnya.
Dengan dada yang semakin berdebar-debar ia mendengar
Untara melanjutkannya, "Apakah kau dapat mengerti" Dan kau
dapat mernpertimbangkan dengan pikiran yang jernih. Tidak
sekedar dengan perasaan saja."
Kini tubuh Wuranta menjadi gemetar. Dipandanginya Untara
dan Agung Sedayu bergantganti. Kemudian terdengar Wuranta
itu menggeram, "Lalu apakah yang harus aku lakukan menurut
pertimbanganmu, Untara" Apakah aku harus minta maaf dan
berjanji untuk melupakan persoalan ini."
"Tidak perlu," sahut Untara, "tidak ada yang salah dan tidak
ada yang benar. Tetapi apabila kalian melupakan persoalan di
antara kalian, maka dengan demikian sudah terlepas dari
per"soalan itu."
Wuranta tidak menjawab. Sekali lagi tatapan matanya jatuh di
atas anyaman tikar yang silang-menyilang.
Tetapi Wuranta itu kemudian bergumam seperti kepada diri
sendiri, "Apakah yang harus aku lakukan" Aku tidak mengerti.
Apakah aku setiap hari harus pergi ke mana pun bersama Adi
Sedayu atau aku harus menunggunya di banjar ini atau di
kademangan Jati Anom" Dan aku juga tidak mengerti, apakah
yang harus dilakukan oleh Adi Agung Sedayu dalam hal ini."
Tampaklah sebersit warna merah di wajah Agung Sedayu.
Sesaat ia mengangkat wajahnya. Sorot matanya menghunjam
langsung ke wajah Wuranta, seolah-olah ingin melihat apakah
yang sedang bergulat di dalam kepala anak muda itu.
Betapa dahsyatnya jantungnya bergetar, sehingga ia tidak
mampu untuk duduk mematung, mendengarkan pembicaraan
yang tidak begitu jelas baginya, yang hanya dapat dirabarabanya
saja. Karena itu, maka terloncat katanya dengan suara
gemetar, "Aku tidak tahu, apakah yang sedang kita bicarakan."
Kedua anak-anak muda yang lain, Untara dan Wuranta,
serentak berpaling kepadanya. Namun Wuranta kemudian
segera melontarkan pandangan matanya ke sudut pringgitan,
sedang Untara menarik nafasnya dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata, "Seharusnya kau pun sudah tahu. Setidaktidaknya
kau dapat merabanya."
Agung Sedayu sendiri tidak mengerti, kekuatan apakah yang
tiba-tiba mendorongnya, sehingga ia berkata, "Kakang ingin
menyelesaikan masalah yang agaknya menyangkut diriku.
Menurut tangkapanku adalah masalah antara aku dan Kakang
Wuranta. Aku tidak ingkar, bahwa aku merasakan hubungan
antara aku dan Ka"kang Wuranta menjadi aneh. Aku tidak tahu,
siapakah yang menyebabkannya. Tetapi itu adalah kenyataan,
Kakang menghendaki persoalan ini harus segera mendapat
pemecahan dalam sikap yang cukup dewasa. Tetapi
menghadapi persoalan yang harus aku hayati dengan sikap
dewasa itu aku hanya dapat meraba-raba."
Untara terperanjat mendengar jawaban adiknya. Jawaban
yang sama sekali tidak diduga-duganya. Dengan tajam


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditatapnya wajah Agung Sedayu yang kemudian tertunduk.
Seolah-olah anak muda itu baru pertama kali ini dilihatnya.
Di dalam hati Untara bergetar beberapa macam pertanyaan
tentang adiknya itu. Namun kemudian ia berkata di dalam
hatinya itu, "Anak ini telah benar-benar meningkat menjadi
dewasa. Ia agaknya telah menemukan sesuatu pada dirinya.
Sikap dan kepercayaan diri. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan
arah." Wuranta pun menjadi gelisah mendengar jawaban Agung
Sedayu itu. Terasa dadanya bergetar dan wajahnya menjadi
semakin tegang. Yang berkata kemudian adalah Untara, "Ya, Sedayu. Kau
benar. Kau harus mendengar dengan pasti apakah
persoalannya." Tiba-tiba Wuranta memotong, "Kau dapat memperbesar
persoalan itu, Untara. Seolah-olah persoalan yang cukup penting
dibicarakan oleh seorang senapati seperti kau. Kalau kau tidak
mempersusah dirimu dengan soal yang sama sekali tidak
bersangkut-paut dengan jabatanmu itu, maka aku kira persoalan
ini pun akan dapat selesai dengan sendirinya."
Untara menggelengkan kepalanya, "Tidak, Wuranta.
Meskipun kemungkinan yang demikian itu ada, tetapi
kemungkinan yang lain pun dapat terjadi. Persoalan itu akan
menjadi semakin parah."
Wajah Wuranta menjadi kemerah-merahan.
"Sebaliknya aku berterus terang. Kalian harus melupakan
persoalan kalian," berkata Untara kemudian, "persoalan yang
dapat mengganggu hubungan kalian, hubungan antara anakanak
muda Jati Anom pada umumnya."
"Ya, aku tahu," sahut Agung Sedayu, "aku akan melupakan
persoalan itu. Tetapi persoalan yang mana" Persoalan, bahwa
aku siang tadi tidak datang menghadiri upacara pelepasan
jenazah atau persoalan lain."
"Ah," Untara mengerutkan keningnya, "kau tidak
memperlancar pembicaraan ini. Baiklah, aku akan
mengatakannya. Aku ingin kalian melupakan Sekar Mirah.
Biarlah gadis itu kembali ke Sangkal Putung. Kalian adalah
anak-anak muda Jati Anom. Kalian berdua termasuk orangorang
penting, terutama di lingkungan anak-anak muda."
Wajah-wajah Agung Sedayu dan Wuranta berubah sesaat.
Wajah-wajah itu dijalari oleh warna kemerah-merahan.
Keduanya menundukkan kepalanya. Dan untuk sejenak
keduanya tidak menyahut. "Nah, aku sudah berterus-terang. Kalian agaknya
menghendaki aku berkata begitu. Dan aku sudah
mengatakannya," Un"tara berkata selanjutnya. Alisnya tampak
berkerut, dan ia berkata-pula, "Sudah cukup persoalan yang
disebabkan oleh gadis itu. Salah satu sebab dari kepergian
Sidanti dari Sangkal Putung adalah gadis itu pula. Kalau tidak
ada Sekar Mirah di sana, yang agak-nya akan
mengecewakannya, maka ia masih harus mempertimbangkan
sepuluh kali lagi untuk meninggalkan Sangkal Putung."
Agung Sedayu dan Wuranta masih berdiam diri. Namun
dengan demikian Agung Sedayu kini telah mendapat kepastian,
bahwa dugaannya selama ini ternyata benar. Tetapi dengan
demikian pula, maka wajahnya menjadi semakin memerah. Ia
menjadi malu atas persoalan yang melibatnya. Apalagi apabila
diingatnya, bahwa Wuranta adalah kawan sepermainan,
meskipun umurnya agak lebih tua sedikit daripadanya.
"Kalian tidak usah ingkar. Kalian sama-sama mencintai gadis
itu. Itulah sebabnya, maka kalian seolah-olah menjadi bersaing.
Mungkin karena Agung Sedayu telah mengenal gadis ilu lebih
dahulu, maka hubungannya menjadi agak lebih rapat dari
Wuranta. Hal itulah yang telah timbul pada kalian. Hal itu pulalah
yang telah merenggangkan hubungan kalian."
Keduanya masih berdiam diri. Dan Untara meneruskan,
"Kemudian kalian harus bercermin pada padepokan Tambak
Wedi. Langsung atau tidak langsung, kehancuran padepokan ini
sebagian dipengaruhi pula oleh kehadiran gadis itu di sini.
Perkelahian antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda adalah
karena Sekar Mirah. Kemudian perkelahian itu menjalar menjadi
pertempuran yang menyala antara orang-orang Tambak Wedi
dan orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sanakeling. Nah,
apakah persoalan yang dapat ditumbuhkan oleh Sekar Mirah itu
tidak juga belum berakhir" Dan kini kalian berdua terlibat pula
dalam masalah itu seperti Sidanti dan Alap-alap Jalatunda."
Keduanya tidak segera menjawab. Dengan demikian ketika
Untara berhenti sejenak, maka pringgitan itu sekali lagi menja"di
sepi. Sekali lagi di kejauhan terdengar suara burung hantu. Lalu
terdengar pula anjing-anjing liar menggonggong bersahutsahutan.
Tetapi kesepian malam itu terasa menekan dada Agung
Sedayu seperti hendak menghimpit patah tulang-tulang iganya.
Ketika ia mencoba mengangkat wajahnya dan memandangi
Wuranta, maka anak muda itu masih menundukkan kepalanya.
Terdengar kemudian suara Untara memecah kesepian,
"Bagaimana" Apakah kalian dapat mengerti" Aku mempunyai
perhitungan atas kalian berdua. Kau, Wuranta. Kau akan
menjadi seorang tetindih anak-anak muda Jati Anom. Kau akan
dapat memperdalam pengetahuanmu tentang olah kanuragan.
Dan kau akan dapat menjadi tempat untuk meletakkan dasar
kekuatan Jati Anom." Untara berhenti sejenak, lalu kepada
Agung Sedayu berkata, "Dan kau, Sedayu. Kau masih terlalu
muda. Masa depanmu masih sangat panjang. Karena itu, maka
sebaiknya kau membentuk dirimu lebih dahulu sebelum kau
tertarik akan hal-hal lain. Semula aku tidak menaruh keberatan
apapun atas hubunganmu dengan Sekar Mirah. Tetapi ternyata
aku melihat sendiri, bahwa hubungan itu akan dapat
mengganggumu, yang kini tampak di mataku adalah
hubunganmu dengan Wuranta sudah terganggu. Ternyata kau
lebih mementingkan gadis itu daripadanya. Sedang kau tahu,
bahwa Wuranta adalah seorang yang cukup penting dalam
pertempuran yang baru saja terjadi. Bahkan seakan-akan turut
menentukan permulaan yang menjadi pembuka jalan masuk ke
padepokan ini." Meskipun Agung Sedayu sudah menyangka, bahwa
kakaknya akhirnya akan sampai juga pada persoalan dan
pendirian itu, namun kata-kata itu masih juga membuatnya
terperanjat sekali. Terasa seakan-akan dadanya sejenak
menjadi pepat, dan nafasnya seolah-olah terhenti.
Untara melihat wajah adiknya yang tiba-tiba menjadi pucat itu.
Tetapi sejenak kemudian wajah yang pucat itu menjadi merah
membara. Mata Agung Sedayu seakan-akan menyala karena
desakan-desakan di dalam dadanya. Sesaat dipandangnya
wajah kakaknya, sesaat kemudian matanya hinggap pada wajah
Wuranta. Tetapi anak Jati Anom itu menundukkan wajahnya
meskipun hatinya juga bergolak seperti hati Agung Sedayu.
Namun betapa hati Wuranta bergolak, tetapi ada perbedaan
tingkat di antara keduanya. Wuranta kini merasa bahwa apa
yang dikatakan oleh Untara itu adalah wajar. Sebagai seorang
pemimpin, ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang
tumbuh di antara orang-orang yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Ketika ternyata Untara tidak menjadi berat sebelah, tidak
memihak kepada Agung Sedayu dan menyalahkannya, maka
sejak itu hati Wuranta mempunyai tangkapan lain terhadap
usaha penyelesaian yang dilakukan oleh Untara. Tiba-tiba
hatinya menjadi sangat terpengaruh oleh cara senapati muda itu.
Bahkan kemudan ia menghargainya. Ternyata Untara
mempanyai sikap yang tidak disangka-sangkanya. Semula ia
menyangka, bahwa Untara pasti akan membela adiknya.
Menyalahkannya dan berusaha untuk membela kebenaran
Agung Sedayu. Tetapi ternyata tidak. Untara tidak berbuat
demikian menurut penilaian Wuranta.
Bahkan Untara itu berkata, bahwa mereka berdua, Agung
Sedayu dan Wuranta bersama-sama harus melupakan gadis itu.
Gadis yang telah membuat Agung Sedayu dan Wuranta seolaholah
saling menjauhi. Betapapun berat perasaannya, namun ia
merasa bahwa hal itu sebaiknya dilakukan. Melupakan Sekar
Mirah. Dengan demikian, maka antara dirinya dan Agung
Sedayu tidak akan ada lagi batas yang menghalang-halangi
seperti yang mereka alami pada saat-saat terakhir.
Tetapi untuk melupakan Sekar Mirah pasti akan terampau
sulit. Itulah sebabnya, maka Wuranta masih tetap membisu
sambil menundukkan kepalanya. Dadanya yang bergolak terasa
menjadi semakin pepat. Namun ia dapat mengerti pendirian
Untara. Bagi Untara tidak ada jalan yang lebih baik dari jalan
yang ditempuhnya kali ini.
Berbeda dengan Wuranta, maka pendirian Untara itu serasa
telah membelah jantung Agung Sedayu. Ia tidak tahu, kenapa
tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia dihadapkan pada suatu
tantangan yang harus dijawabnya berdasarkan atas keyakinan
sendiri. Apabila selama ini pendiriannya sebagian besar
tergantung kepada kakaknya, maka kali ini tiba-tiba ia merasa
kakaknya sebagai orang asing baginya. Orang yang tidak dapat
mengerti tentang dirinya dan yang tidak dapat dimengertinya.
Tetapi karena kepepatan hatinya, karena gelora yang dahsyat
melanda dadanya seperti kawah gunung Merapi, maka untuk
se"jenak Agung Sedayu justru terbungkam. Hanya matanya
sajalah yang bergetar memancarkan perasaannya yang
membara. Untara dapat menangkap perasaan adiknya. Terasa hatinya
pun menjadi berdebar-debar. Adiknya kini ternyata bukan
adiknya beberapa waktu yang lalu, yang menangis sambil
berpegangan ikat pinggangnya, di perjalanan ke Sangkal Putung
ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya dengan Alap-alap
Jalatunda dan Pandai Besi dari Sendang Gabus. Tetapi nyala
pandangan mata Agung Sedayu kini adalah pancaran perasaan
seseorang yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri.
Dengan demikian maka Untara merasa, bahwa ia harus
berhathati menghadapi adiknya ini. Adiknya yang bagi Untara
masih terlampau muda untuk menentukan sikap dan jalan
hidupnya. Adiknya yang menurut pandangan Untara masih
terlampau hijau dalam pengalaman dan pengamatan hidup.
Mungkin ia sudah merasa dewasa karena keadaan yang
memaksanya bersikap dewasa. Tetapi kedewasaan yang
demikian bukanlah kedewasaan yang matang. Bahkan mungkin
keyakinan diri dalam keadaan yang demikian akan dapat
menjerumuskan Agung Sedayu ke dalam tindakan yang salah
dan berbahaya. Namun untuk sesaat, mereka seolah-olah terbungkam.
Mereka tidak segera menemukan kata-kata untuk memecahkan
kesenyapan yang tegang. Hanya nafas mereka sajalah yang
berdesahan memenuhi ruangan pringgitan banjar padepokan
Tambak Wedi. Tetapi akhirnya Untara memecahkan kesepian itu. Katanya,
"Aku kira kalian dapat mengerti, bahwa tidak ada jalan lain yang
dapat kalian tempuh. Mungkin untuk sesaat, perasaan kalian
akan menjadi sakit. Kalian akan merasa kehilangan sesuatu.
Tetapi sesuatu itu memang belum pernah menjadi milik kalian.
Karena itu, biarlah segera Sekar Mirah kembali ke Sangkal
Putung. Aku akan menyediakan pengawalan yang kuat sehingga
meyakinkan bahwa mereka akan selamat sampai ke
kademangan itu, meskipun seandainya mereka bertemu dengan
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya di perjalanan. Kalian
berdua akan tetap tinggal di sini. Sebentar lagi kalian akan
berhasil melupakannya dan kalian akan segera tenggelam dalam
kesibukan yang lain. Kalian adalah anak-anak muda yang
memiliki kemampuan yang cukup. Agung Sedayu akan dapat
menjadi seorang Wira Tamtama yang pilih tanding. Sedang
Wuranta akan dapat menjadi landasan kekuatan Jati Anom.
Apabila semuanya itu telah kalian capai, maka jalan hidup kalian
akan kalian tentukan sendiri. Aku adalah saudara tua Agung
Sedayu. Karena itu, maka aku wajib menuntunmu."
Dada Agung Sedayu benar-benar akan pecah mendengar
kata-kata kakaknya. Betapa ia berusaha untuk menahan gelora
di dalam dadanya, namun kegelisahannya memancar juga lewat
matanya. Bahkan segenap pergolakan di dalam dirinya.
Tetapi justru karena itu, maka ia tidak segera dapat
mengucapkan sesuatu. Agung Sedayu itu duduk saja seperti
patung mati, membeku. Namun dalam kebekuannya itu, Untara
dapat membaca pada sorot matanya, betapa hati adiknya itu
sedang menyala. Meskipun demikian, Untara merasa wajib untuk
mempertahankan pendiriannya itu. Senapati itu mengharap,
bahwa dengan demikian adiknya yang masih terlampau muda itu
akan terbebas dari pengaruh yang dapat membuatnya tetap
kerdil. Menurut ja"lan pikiran Untara, Agung Sedayu harus
mendapatkan dahulu kesempatan yang sebak-baiknya di dalam
lapangan yang sesuai bagi seorang laklaki. Ternyata kini Agung
Sedayu telah dapat menyingkirkan perasaan takutnya yang
berlebih-lebihan, dan telah memiliki kecakapan dan ilmu yang
pantas untuk menjadi seorang prajurit. Bukan saja seorang
prajurit kebanyakan, tetapi ia mempunyai bekal yang cukup
untuk dalam waktu yang singkat menjadi seorang lurah Wira
Tamtama. Melihat wajah dan sorot mata adiknya, Untara dapat
mengetahui bahwa agaknya Agung Sedayu berpendirian lain.
Karena Agung Sedayu tidak segera menyahut, maka Untara
itu pun bertanya, "Bagaimana" Apakah kalian dapat mengerti."
Wuranta masih menundukkan kepalanya. Tetapi dari sikap
dan pandangan matanya, Untara pun dapat mengerti, bahwa
agak"nya Wuranta dapat menerima penjelasannya. Berbeda
dengan adiknya, Agung Sedayu.
Sejenak mereka bertiga terdiam. Pringgitan itu dikuasai oleh
kesenyapan. Tetapi setiap hati ketiga anak-anak muda yang
berada di dalamnya, berdentangan bagaikan seribu genta yang
berbunyi bersama-sama di dalam dada mereka.
Namun Agung Sedayu masih berdiam diri. Wajahnya yang
tegang telah menjadi basah oleh keringatnya. Terasa keningnya
berdenyut dan kepalanya menjadi pening.
Seperti ketakutan baru di kepalanya, ia mendengar kakaknya
langsung bertanya kepadanya, "Bagaimana pendirianmu, Agung
Sedayu?" Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sepenuh tenaga ia
mencoba memenangkan hatinya. Tetapi ia tidak segera dapat
menjawab. Terlampau banyak masalah yang berdesakan di
dalam dadanya. Namun seolah-olah masalah yang terlampau
banyak itu desak-mendesak berebut dahulu, sehingga justru
karena itu, maka meskipun mulutnya bergerak-gerak, tetapi
belum sepatah kata pun yang terloncat dari sela-sela bibirnya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena Agung Sedayu masih diam, maka sekali lagi Untara
bertanya, "Bagaimana Agung Sedayu. Kenapa kau diam saja?"
Agung Sedayu menggeser diri setapak surut. Titik-titik
keringat di keningnnya jatuh satu-satu di pundaknya.
Terbata-bata terdengar ia berkata, "Kakang, aku tidak dapat
melakukannya." Hanya itulah yang dapat diucapkan. Beribu macam kata-kata
masih tetap tersimpan di dalam hatinya. Beribu persoalan yanq
tidak terucapkan karena justru berdesakan di dalam dadanya.
Tetapi jawabannya yang singkat itu telah melontarkan pokok
persoalan yang bergelora di dalam dadanya. Jawaban yang
singkat itu telah menyebabkan dada Untara dan Wuranta
berdesir. Meskipun Untara telah dapat meraba lewat sorot
matanya, tetapi bah"wa dengan tegas Agung Sedayu
menyatakan pendapatnya itu, telah mengejutkannya.
Karena itu, maka Untara itu pun kemudian menyahut, "Agung
Sedayu. Aku sudah menyangka, bahwa kau akan menjawab
demikian. Aku sudah menyangka bahwa kau pasti akan
berkeberatan. Tetapi aku yakin, bahwa kau akan mampu
mengendalikan perasaanmu. Kau sudah bukan anak-anak lagi.
Kau harus sudah dapat membedakan, mana yang baik dan
mana yang buruk." "Kakang," suara Agung Sedayu masih bergetar, "aku tidak
dapat." "Kenapa, Sedayu?" bertanya Untara.
Dada Agung Sedayu masih berdentangan. Dengan susah
payah ia berkata, "Aku bersama Adi Swandaru pergi dari
Sangkal Putung. Aku akan kembali ke Sangkal Putung bersamasama."
Kata-kata Agung Sedayu masih belum dapat tersusun
baik. Ia mengatakan apa saja yang dapat dikatakannya. Tetapi
Untara dapat mengerti maksudnya. Maka jawabnya, "Itu tidak
penting, Sedayu. Kau dan Swandaru telah menemukan Sekar
Mirah. Biarlah Swandaru membawa adiknya kepada orang
tuanya. Swandaru akan dapat mengatakan bahwa kau akan
tetap tinggal di Jati Anom."
"Tidak," kata-kata Agung Sedayu terlampau singkat.
Untara mengerutkan keningnya. Ia masih berkata dengan
tenang, "Aku kakakmu, Agung Sedayu. Selama ini kau tidak
pernah bersikap demikian terhadapku. Apalagi bersitegang
tentang sesuatu pendirian. Aku merasa bahwa aku masih
bertanggung jawab terhadapmu sebagai seorang kakak. Aku
adalah pengganti ayah dan ibu."
endengar kata-kata Untara yang terakhir itu terasa dada
Agung Sedayu seperti terhimpit pecahan Gunung Merapi. Ia
ingin menjerit sekeras-kerasnya. Ia ingin menyebut nama ayah
dan ibunya sambil berteriak sepuas-puasnya untuk mengurangi
kepepatan dadanya. Tetapi ia tidak dapat melakukannya.
Yang didengarnya kemudian adalah suara kakaknya itu lagi,
"Agung Sedayu, sebagai saudara tua aku ingin melihat kau maju
di dalam perkembangan yang wajar. Seperti Sidanti, ia mencoba
mulai di bidang keprajuritan. Tetapi sayang, ia ternyata sesat
jalan sehingga kemungkinan yang baik tertutup seluruhnya
baginya. Kau akan dapat mulai dengan itu pula. Menjadi seorang
prajurit. Maka harapan akan terbuka di hadapanmu untuk segera
memanjat pada tingkat-tingkat yang tebih tinggi, karena kau
mempunyai cukup kemampuan untuk itu."
Tetapi sekali lagi Untara terkejut mendengar jawaban Agung
Sedayu, "Tidak, Kakang. Aku tidak ingin menjadi seorang
prajurit." Jawaban Agung Sedayu itu benar-benar mendebarkan hati
Untara. Ia belum pernah melihat sikap Agung Sedayu yang
demikian kerasnya. Namun dengan demikian, maka ia menarik
kesimpulan, bahwa pengaruh seorang gadislah yang telah
membuat adiknya menjadi berkeras kepala.
Meskipun demikian Untara masih berusaha menahan katakatanya.
Ia masih berusaha untuk berkata dengan tenang,
"Agung Sedayu. Kenapa kau tidak ingin menjadi seorang
prajurit" Setiap laklaki ingin dapat menjadi seorang prajurit
yang baik, yang berguna bagi negara dan tanah kelahirannya."
Gejolak di dada Agung Sedayu menjadi semakin bergelora.
Tetapi ia tidak segera dapat menjawab.
"Prajurit adalah suatu lapangan kebaktian yang paling baik
bagi seorang laklaki muda yang mempunyai bekal yang kuat
seperti kau. Ayah juga mengharap aku menjadi seorang prajurit.
Dan aku telah mencoba untuk memenuhi harapan ayah itu."
Tetapi tanpa diduga-duga Agung Sedayu menjawab,
"Kakang, apakah ayah dan ibu juga mengharap aku menjadi
seorang prajurit?" Sebersit warna merah merayap di wajah Untara. Namun
kemudian ia masih mencoba tersenyum. Jawabnya, "Agung
Sedayu, kalau ayah mengharap aku menjadi seorang prarjurit,
maka ayah pun akan bergembira sekali seandainya sempat
melihat kau sudah berubah sifat sama sekali, alangkah
senangnya. Kau sekarang sudah tidak takut lagi terhadap
Gendruwo Bermata Satu di tikungan Randu Alas. Kau sudah
tidak takut lagi terhadap Sidanti. Alangkah senangnya."
"Tetapi, Kakang," suara Agung Sedayu sendat, "ibu akan
menjadi sedih kalau aku menjadi seorang prajurit. Seandainya
ibu masih ada, maka ibu pasti akan berpendirian lain."
"Ah," kesabaran Untara sedikit demi sedikit menjadi larut,
seperti sebongkah garam yang benamkan ke dalam air, "itu
adalah, karena kau pada waktu itu seorang penakut. Tetapi kau
harus berbangga, bahwa kau sekarang bukan lagi seorang
penakut. Kau kini seorang laklaki penuh. Dan kau pantas untuk
menjadi seorang prajurit."
"Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit, Kakang."
"He," wajah Untara menjadi tegang. Sedang Wuranta yang
dudut membeku itu pun menjadi tegang juga. Ia kini tinggal
mendengarkan saja pembicaraan kakak beradik yang lebih
condong pada persoalan keluarga itu. "Kau harus mendengarkan
nasehatku, Agung Sedayu. Aku dapat memilih lapangan yang
pantas buatmu." Terasa getar di dada Agung Sedayu seolah-olah telah
merontokkan iga-iganya. Ia merasakan kata-kata kakaknya yang
tajam. Perlahan-lahan tumbuhlah keseganannya kepada
saudara tuanya itu, meskipun ia tidak dapat mengerti dan
menerima petunjuknya. "Agung Sedayu. Tak ada orang lain yang mencoba
menempatkan kau di tempat yang sebaik-baiknya selain aku.
Kalau kau tidak ingin menjadi seorang prajurit, lalu kau ingin
menjadi apa?" Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab. Selama ini ia
memang belum pernah berpikir, lapangan apakah yang paling
sesuai dengan dirinya, sifat-sifatnya, dan kemampuannya.
Karena itu, ketika kakaknya mengajukan pertanyaan itu, ia
menjadi bingung. "Coba katakan, apakah kau sudah mempunyai pilihan?"
Perlahan-lahan Agung Sedayu menggeleng, "Belum,
Kakang." "Nah, kau masih belum tahu apa yang akan kau lakukan. Kau
masih belum menemukan tempat berpijak, tetapi kau sudah
menambatkan hatimu kepada seorang gadis. Coba, apa yang
akan kau lakukan dengan gadis itu. Dan apa pula yang akan
terjadi dengan dirimu sendiri."
Dada Agung Sedayu terasa terhantam guntur yang meledak
di depan hidungnya. Terasa dadanya menjadi pepat dan
nafasnya menjadi sesak. Justru karena itu, maka pikirannya
menjadi gelap. Dan ia tidak tahu, apa yang harus dikatakannya.
"Sadari, Sedayu. Sadari. Aku adalah kakakmu. Tidak akan
aku menjerumuskan kau ke dalam keadaan yang pahit. Aku
ber"usaha untuk membantumu, menemukan hari depan yang
baik. Kau harus mengerti."
Ketika Untara terdiam sejenak, maka keadaan pringgitan itu
menjadi terlampau sepi. Di halaman sudah tidak terdengar lagi
suara para prajurit. Sepi. Sepi sekali.
Sejenak mereka tenggelam di dalam angan-angan masingmasing.
Betapa dinginnya malam, tetapi dada Agung Sedayu
terasa hangus terbakar. Ia sama sekali tidak dapat menerima
pendirian kakaknya. Tiba-tiba keinginannya untuk mengantarkan
Sekar Mirah ke Sangkal Putung justru menjadi semakin besar.
Terbayang di ruang matanya, wajah gadis itu menangis. Dengan
suaranya yang pedih memanggil-manggilnya sambil
melambaikan tangannya. Tiba-tiba hatinya berteriak, "Aku akan pergi ke Sangkal
Pu"tung." Tetapi mulutnya tetap terbungkam.
"Pikirkan, Agung Sedayu. Dengarlah nasehatku. Kau
seharusnya menemukan tempat untuk berpijak lebih dahulu.
Baru kemudian kau berpikir tentang seorang gadis. Apakah kau
dapat mengerti" Apalagi gadis itu telah beberapa kali membuat
bencana. Langsung atau tidak langsung, terhadap orang-orang
yang menaruh perhatian atasnya. Bukankah itu kau rasakan
juga." Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi hatinya memekik tinggi,
"Tidak. Tidak benar."
"Nah. Sebaiknya kau mendengarkan kata-kataku. Kau tetap
di sini. Besok lusa kila kembali ke Jati Anom. Mungkin kita dapat
mengadakan sekedar keramaian atas kemenangan kita. Tetapi
tidak berlebih-lebihan dan tidak meninggalkan kewaspadaan.
Sesudah itu, Swandaru dan Sekar Mirah akan diantarkan ke
Sangkal Putung. Kau dan Wuranta tetap berada di Jati Anom.
Kalau kelak kau sudah cukup dewasa, dan cukup mempunyai
alas yang kuat, terserahlah, apa yang akan kau lakukan."
Kata-kata kakaknya serasa menyayat dada Agung Sedayu.
Kini pendirian itu sudah tegas. Ia tidak boleh pergi ke Sangkal
Putung mengantarkan Sekar Mirah. Bahkan ia tidak boleh lagi
berhubungan dengan gadis itu.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak dapat mendengar
alasan kakaknya yang berkepanjangan itu. Tentang umurnya
yang masih terlampau muda, tentang kemungkinankemungkinan
yang masih panjang baginya, kesempatan untuk
menjadi seorang prajurit dan lainnya lagi. Yang berputar di
kepalanya adalah pendirian kakaknya itu pasti sudah
dipengaruhi oleh Wuranta. Kehadiran Wuranta di antara mereka
ternyata telah membuat hatinya menjadi pedih.
Namun semuanya itu hanya bergolak saja di dalam dadanya.
Ia tidak dapat mengatakannya kepada kakaknya. Sampai saat ini
kakaknya ternyata masib terlampau disegani, sehingga
bagaimanapun juga hatinya bergolak, tetapi ditahannya saja di
dalam dadanya, sehingga dada itu seolah-olah akan meledak.
"Bagaimana, Agung Sedayu?" pertanyaan itu telah
menyengat telinganya, sehingga Agung Sedayu bergeser ke
samping. Ia menjadi sangat gelisah. Melampaui Wuranta pada
saat melihat kedatangannya.
Sejenak Agung Sedayu masih juga membeku. Tetapi hatinya
seakan-akan meronta-ronta ingin melepaskan diri dari pendirian
kakaknya yang sama sekali tidak dapat diterimanya itu. Betapa
ia ingin berbuat atas kehendak sendiri dan tanggung jawab
sendiri seperti apa yang dapat dilakukan oleh Swandaru dan
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, meskipun
kemudian mereka harus dimarahi justru oleh ayah-ayah mereka.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Untara
mendesaknya lagi, "Bagaimana, Sedayu, apakah kau
sependapat" Aku ingin mendengar jawabanmu. Kau tidak usah
pergi ke Sang"kal Putung. Dan untuk sementara kau masih
belum perlu mengadakan hubungan dengan Sekar Mirah dan
gadis mana pun juga. Umurmu masih terlampau muda."
Alangkah sakitnya dada Agung Sedayu. Semuanya itu
bertentangan dengan kehendaknya. Tetapi ia tidak dapat
menyatakannya. Dan akhirnya ia menyadari, bahwa ia takut
untuk menyatakan perasaannya yang bergolak itu. Ia takut
mengatakan apa yang sebenarnya dikehendaki.
Ketika sekali lagi Untara bertanya kepadanya, "Bagaimana,
Sedayu?" Maka tanpa disadarinya sendiri, dengan gemetar
kepalanya mengangguk lemah.
"Kau dapat mengerti?"
Sekali lagi kepalanya mengangguk perlahan sekali.
"Kau tetap tinggal di Jati Anom bersama aku dan Wurata. Kau
harus mendapat kesempatan untuk menjadi seorang laklaki.
Lapangan yang paling baik adalah lapangan keprajuritan. Aku
akan dapat mencarikan kesempatan untukmu. Dan aku akan
dapat menuntunmu." Dan sekali lagi kepala itu mengangguk.
"Bagus, kau mengerti Agung Sedayu. Dan ternyata kau
ma"sih Agung Sedayu yang dahulu. Kau masih tetap seorang
adik yang mengerti bahwa aku adalah pengganti ayah dan ibu."
Kini kepala Agung Sedayu tertunduk lemah. Jalur-jalur
pandan pada anyaman tikar yang didudukinya menjadi semakin
lama se"makin kabur, seperti hatinya yang tidak dapat lagi
melihat dirinya dan kehendak sendiri.
Meskipun demikian, ia masih mendengar kakaknya berkata,
"Untuk seterusnya kau pasti akan menjadi seorang prajurit yang
pilih tanding. Nah, bagaimanakah kau malam ini" Apakah kau
akan tetap tinggal di sini atau kau ingin kembali ke pondokmu"
Sebaiknya untuk seterusnya kau tetap tinggal di sini supaya kau
tidak terpengaruh lagi oleh gadis itu. Tetapi kalau malam ini kau
akan kembali ke pondok itu, maka besok pagi kau harus sudah
berada di banjar ini. Seterusnya kau tidak boleh terlampau
banyak berhubungan dengan kedua kakak beradik itu. Bukan
karena soal-soal lain, bukan karena masalah keprajuritan, tetapi
sekedar masalahmu. Itulah sebabnya, supaya tidak
menimbulkan salah paham, kau malam ini masih aku
perbolehkan kembali lagi ke pondok itu."
Dada Agung Sedayu seakan-akan terbakar menjadi abu.
Hangus tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Bagaimana, Sedayu?" bertanya kakaknya.
Bukan saja mata Agung Sedayu, telinganya pun seolah-olah
menjadi kabur. Ia benar-benar telah kehilangan akal dan nalar.
"Malam ini sebaiknya kau kembali ke pondok itu. Kau harus
dapat membuat alasan yang tidak menimbulkan salah paham
tentang keputusanmu untuk tidak pergi ke Sangkal Putung. Kau
mengerti?" Agung Sedayu seolah-olah hanya dapat menganggukkan
kepalanya. Dan kali ini pun ia mengangguk.
"Kalau begitu pergilah," berkata kakaknya kemudian. "Hatihati,
jangan menimbulkan salah paham."
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk, tetapi ia masih duduk
saja di tempatnya, sehingga kakaknya bertanya, "Bagaimana"
Kenapa kau masih duduk saja?"
"Oh," baru Agung Sedayu serasa sadar dari mimpinya yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat. Baru ia merasa bahwa bajunya basah oleh keringat
dinginnya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berkata, "Aku akan kembali ke
pondok, Kakang." "Hathati Sedayu. Kau bukan anak-anak lagi. Jangan
menumbuhkan sakit hati, supaya hubungan Sangkal Putung dan
prajurit Pajang yang masih berada di sana tidak terpengaruh
oleh kesalahaamu." Sedayu mengerutkan keningnya. Kalau terjadi demi"kian,
maka ia lagilah yang bersalah. Dan kakaknya pasti akan
mengatakan bahwa sumber kesalahan itu juga adalah
hubungannya dengan Sekar Mirah.
Karena itu, maka dada Agung Sedayu rasa-rasanya benarbenar
akan meledak. Kepalanya bertambah pening dan nalarnya
menjadi pepat, sehigga ia berdiri saja tegak seperti patung.
"He, kenapa kau tegak saja di situ?" terdengar suara
kakaknya. "Apakah masih ada yang akan kau tanyakan?"
"Oh," Agung Sedayu tergagap. "Tidak, Kakang. Aku minta
diri." "Hathatilah," pesan kakaknya sekali lagi.
Agung Sedayu segera melangkah meninggalkan pringgitan
itu. Tetapi ia sama sekali tidak ingat untuk minta diri kepada
Wuranta. Baru ketika ia sudah berada di pendapa luar pintu
pringgitan, ia teringat kepadanya. Tetapi Agung Sedayu tidak
melangkah kembali. Ia berjalan terus dengan kaki gemetar di
antara beberapa orang yang sudah tertidur di pendapa. Satu dua
masih terjaga dan Agung Sedayu mendengar mereka terbatukbatuk.
Wuranta, yang masih duduk bersama-sama dengan Untara,
ternyata merasa tersinggung juga akan sikap Agung Sedayu,
sehingga ia berkata, "Kalau hubunganku dengan adikmu itu
kemudian tidak juga dapat menjadi baik, sama sekali bukan
salahku. Kau lihat sendiri bagaimana sikapnya kepadaku. Ketika
ia meninggal"kan pringgitan ini ia sama sekali tidak menyapaku.
Apalagi minta diri."
"Ia masih terlampau muda. Perasaannya masih lebih banyak
berbicara daripada pikirannya. Kau sendiri pernah juga
mengalami masa-masa di mana kau kehilangan pegangan.
Sekarang kau sudah menemukan keseimbangan. Kau harus
dapat mengerti keadaan Agung Sedayu. Karena itu kau akan
dapat memaafkannya."
Wuranta tidak menjawab. Bagaimanapun juga, Untara adalah
kakak Agung Sedayu, sehingga untuk menyalahkannya ia agak
segan-segan juga. Namun sikap Agung Sedayu itu benar-benar
menyinggung perasaannya. Justru karena di antara mereka ada
persoalan yang seakan-akan menjadi kabut yang membatasi
mereka itu. Ketika Agung Sedayu keluar dari regol halaman bandar
padepokan Tambak Wedi, maka ia seakan-akan tidak dapat lagi
menahan hatinya. Ingin ia berteriak sekeras-kerasnya. Ingin ia
menjerit dan melontarkan suaranya sampai kepuncak Gunung.
Tetapi yang dirasakannya hanyalah pepat di dadanya.
Hanya tiba-tiba saja meledaklah geramnya seperti gelegak
perut Gunung Merapi, "Tidak. Aku tidak dapat melakukannya.
Aku akan pergi ke Sangkal Putung, malam ini juga."
Ternyata Agung Sedayu tidak kuasa menahan dirinya.
Tekanan-tekanan yang diberikan oleh Untara hanya dapat
menahan anak itu di hadapannya. Tetapi setelah ia
meninggalkan pringgitan, maka ia sama sekali telah melupakan
kesanggupannya yang dinyatakannya karena perasaan segan
dan takut, tetapi yang sebenarnya sama sekali tidak dapat
diterima oleh perasaannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu seolah-olah didorong oleh
desakan-desakan di dalam dadanya, langkahnya pun menjadi
semakin cepat. Bahkan ia berlarlari kecil seperti takut
kamanungsan karena kokok ayam jantan di kejauhan.
Ia terkejut, ketika tiba-tiba saja di perapatan ia bertemu
dengan dua orang peronda yang menyapanya, "He, siapa kau?"
Agung Sedayu berhenti sejenak, tetapi ia tidak segera
menjawab, sehingga kedua peronda itu mengulanginya, "Siapa
kau?" Agung Sedayu menjawab dengan malasnya, "Agung
Sedayu." "O," orang itu menyahut, "Apakah kau baru dari banjar?"
"Ya," jawab Sedayu.
Meskipun demikian, salah seorang dari kedua peronda itu
mendekati dan mengamat-amatinya dengan seksama. "Kemana
kau malam-malam begini?" bertanya peronda itu.
"Kembali ke pondokku."
"O," peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"silahkan." Agung Sedayu meneruskan langkahnya. Tergesa-gesa.
Dadanya serasa selalu mendesaknya untuk segera sampai ke
pondoknya, untuk kemudian mengatakan kepada Swandaru dan
Sekar Mirah, bahwa mereka harus segera bersiap. Malam ini
juga pergi ke Sangkal Putung.
Ketika nyala lampu di regol halaman pondoknya sudah
dilihatnya, maka Agung Sedayu semakin mempercepat
langkahnya. Jarak yang sudah menjadi semakin pendek itu,
terasa terlampau la"ma dilampauinya. Ia ingin sekali loncat dan
langsung sampai ke dalam pondoknya.
Karena itu, maka Agung Sedayu itu kemudian berlari sekuatkuatnya
seolah-olah takut di kejar hantu.
Swandaru dan Sekar Mirah yang belum juga dapat tidur
terkejut mendengar langkah berlarlari di halaman. Swandaru
segera meloncat berdiri. Tangannya tanpa disadarinya telah
melekat di hulu pedangnya.
"Siapa, Kakang?" bertanya Sekar Mirah yang menjadi cemas.
"Duduklah, Mirah."
Sekar Mirah yang telah berdiri di belakang Swandaru
mendesaknya, " Siapa, Kakang?"
"Aku tidak tahu. Tenanglah."
Tetapi kecemasan Sekar Mirah menjadi semakin dalam
mengusik jantungnya, sehingga dadanya menjadi berdentangan.
Langkah di luar itu kini terputus. Sejenak kemudian terdengar
pintu rumah itu diketuk orang.
Swandaru melangkah mendekati pintu. Ketika Sekar Mirah
ingin mengikutinya, maka didorongnya gadis itu surut perlahanlahan
sambil berbisik, "Jangan dekat-dekat. Mungkin aku harus
menarik pedangku." Wajah Sekar Mirah menjadi berkeringat. Dan ia mendengar
Swandaru menyapa, "Siapa di luar?"
Terdengar sebuah jawaban dengan suara bergetar, "Aku,
Agung Sedayu." "He," Swandaru terkejut. Ia tidak dapat mengerti, kenapa
Agung Sedayu terpaksa berlarlari. Karena itu, maka dadanya
men"jadi berdebar-debar. Hanya oleh hal-hal yang luar biasa
sajalah, maka Agung Sedayu terpaksa berlari. Karena itu maka
cepat ia meloncat meraih palang pintu. Sekali renggut, maka
pintu itu pun telah terbuka.
Maka dilihatnya Agung Sedayu berdiri di muka pintu dengan
wajah yang pucat dan tubuh gemetar. Karena itu maka
Swandaru pun menjadi semakin cemas. Dengan terbata-bata ia
bertanya, "Apa yang telah terjadi, Kakang?"
Agung Sedayu yang sedang kebingungan itu menjadi
sema"kin bingung mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja
ketika ia telah berdiri di muka Swandaru dan Sekar Mirah, ia
menjadi ragu-ragu un"tuk mengatakan apa yang sebenarnya
telah terjadi atas dirinya.
"Apa yang telah terjadi, Kakang" Apakah Kakang sedang
dalam bahaya?" Swandaru melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya.
Dan terdengar kata-katanya perlahan, "Tidak, Adi Swandaru.
Aku ti"dak apa-apa."
"Tetapi," Swandaru berhenti sejenak. Diamat-amatinya Agung
Sedayu yang gemetar. Nafasnya masih terdengar berkejaran
lewat lubang hidungnya. "Tetapi," Swandaru mengulang, "kau baru saja berlari."
Agung Sedayu mengangguk lemah, "Ya," jawabnya.
"Kenapa Kakang berlarlari?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
menenangkan hatinya yang sedang terlampau gelisah dan
bingung. "Aku akan masuk dahulu," desisnya tiba-tiba.
"Oh," Swandaru tergagap, "Marilah. Masuklah."
Agung Sedayu itu pun kemudian masuk ke dalam pondoknya.
Swandaru-lah yang kemudian menutup pintu dan menyelaraknya
dengan sepotong kayu. Agung Sedayu kemudian duduk di amben besar yang ada di
dalam ruangan itu. Ia mencoba menenteramkan hatinya dan
mencoba berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan.
Kini ia menjadi ragu-ragu untuk berkata sesungguhnya. Hal
itu pasti akan menyinggung perasaan anak-anak muda Sangkal
Putung kakak beradik itu. Dan Agung Sedayu masih sempat
mengingat kata-kata kakaknya, bahwa apabila terjadi demikian,
maka hal itu akan dapat menyulitkan kedudukan prajurit-prajurit
Pajang di Sangkal Putung di bawah pimpinan pamannya,
Widura. Dan nalarnya tidak menghendaki hal itu terjadi.
*** Tetapi untuk tetap berdiam diri, dan kemudian menuruti
perintah kakaknya untuk tinggal di Jati Anom dan menjadi
seorang prajurit, sama sekali tidak terlintas di dalam anganangannya.
Ia tidak ingin tinggal di Jati Anom. Ia tidak ingin lagi
selalu berada bersama-sama dengan kakaknya seperti pada
masa kanak-kanaknya. Kini ia telah berani menghadapi
kehidupan ini seorang diri. Ia telah berani tampil sebagai
seorang laklaki yang berpribadi.
Swandaru dan Sekar Mirah yang kemudian duduk di amben
itu pula menjadi heran melihat keadaan Agung Sedayu. Mereka
melihat anak muda itu pucat dan gelisah. Bahkan sekalsekali
menarik nafas dan berdesah. Tetapi Swandaru tidak ingin
mendesaknya sekali lagi. Ia tahu, bahwa Agung Sedayu sedang
kebingungan dan ia tidak ingin menambah anak muda itu
menjadi semakin bingung. Sejenak mereka bertiga saling berdiam diri. Meskipun
Swan"daru dan Sekar Mirah selalu memandangi Agung Sedayu
yang ge"lisah, tetapi mereka tidak bertanya sepatah katapun.
Mereka hanya menyimpan keheranan dan kecemasannya di
dalam dadanya. Di luar gemersik dedaunan menjadi semakin keras ditiup
angin lereng pegunungan yang mengalir dari Selatan. Dinginnya
menembus dinding pondok yang tidak terlampau rapat,
menyusup menyentuh kulit.
Sementara itu, dada Agung Sedayu masih saja bergolak.
Dicarinya cara yang sebaik-baiknya untuk mengatakan
keadaannya tanpa menyinggung perasaan kedua kakak beradik
itu, seolah-olah mereka sama sekali sudah tidak diperlukan lagi
di sini dan diusir untuk segera pergi kembali ke Sangkal Putung.
Sekali lagi Agung Sedayu berdesah. Kediamannya telah
membuat ruangan itu semakin lama semakin tegang. Dan untuk
melepaskan ketegangan itu tiba-tiba saja terloncat dari bibirnya
pertanyaan, "Apakah kalian belum tidur?"
Kini Swandaru-lah yang menarik nafas dalam. Pertanyaan itu
memang dapat mengurangi ketegangan perasaan masingmasing.
Dengan menggelengkan kepalanya, Swandaru
menjawab, "Belum, Kakang. Kami tidak segera dapat tidur."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
kehilangan pertanyaan yang akan diucapkannya. Karena itu,
sejenak mereka terdorong di dalam kesenyapan kembali, dan
kali ini menegangkan lagi.
Baru sejenak kemudian, Agung Sedayu dapat mengucapkan
kata-kata, "Malam telah larut. Beristirahatlah."
Swandaru mengangguk, "Kami sebenarnya juga ingin
beristirahat, tetapi kegelisahan dan malam yang terlampau sepi
ini membuat kami tidak dapat memejamkan mata."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Ia melihat pedang
Swandaru tergantung di lambungnya. Hal itu telah mengatakan
kepadanya, bahwa anak muda Sangkal Putung itu pun pasti
benar-benar sedang digelisahkan oleh sepi malam yang telah
membakar perasaannya. Setelah sekian lama Agung Sedayu berusaha, maka
ditemukannya kalimat-kalimat yang dapat diucapkannya. Maka
katanya, "Aku sudah dapat ijin dari Kakang Untara untuk
meninggalkan padepokan ini."
"He," ternyata kalimatnya itu telah mengejutkan Swandaru
dan Sekar Mirah, sehingga mereka pun bergeser mendekati.
"Jadi, bagaimanakah maksudmu, Kakang" Apakah itu bararti
kita tidak ada keberatan apa pun lagi untuk segera
meninggalkan padepokan ini dan kembali ke Sangkal Putung?"
bertanya Sekar Mirah. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Dengan susah
payah ia kemudian menjawab, "Ya, begitulah."
"Oh," wajah Sekar Mirah segera berseri. "Jadi kita dapat
segera pulang kepada ayah dan ibu" Kalau begitu, kita akan
segera pulang ke Sangkal Putung. Bagaimana kalau sekarang?"
Tetapi kata-katanya terputus ketika tiba-tiba diingatnya, bahwa
menurut kedua anak-anak muda itu dan bahkan menurut Kiai
Gringsing, Sidanti mungkin berkeliaran di sekitar tempat itu.
Swandaru dan Agung Sedayu pun tidak segera menyahut
kata-kata Sekar Mirah itu. Bahkan sejenak mereka saling
berpandangan di dalam kediaman mereka.
Sekar Mirah yang menjadi ngeri membayangkan
kemungkinan yang dapat terjadi apabila Sidanti mencegat
perjalanan mereka, menggigit bibirnja. Sekali dipandanginya
wajah kakaknya Swandaru dan sekali wajah Agung Sedayu.
Seandainya Kiai Gringsing tidak pernah mengatakannya, maka
Sekar Mirah tidak akan menjadi demikian ngeri.
Tetapi tiba-tiba, baik Sekar Mirah maupun Swandaru terkejut,
ketika mereka mendengar Agung Sedayu berkata, "Kita memang
dapat segera meninggalkan tempat ini. Bahkan sekarang pun
dapat." Kini Swandaru dan Sekar Mirah-lah yang saling
berpandangan. Tiba-tiba terasa suasana menjadi demikian
tegangnya. Dengan gemetar Sekar Mirah bertanya, "Jadi kita
benar-benar dapat kembali ke Sangkal Putung sekarang?"
"Ya," sahut Agung Sedayu pendek.
Dalam kegelapan, maka jalan inilah yang akan ditempuh oleh
Agung Sedayu. Pergi meninggalkan padepokan ini dan
meninggal"kan kakaknya. Ia tidak ingin tinggal di Jati Anom,
apalagi men"jadi seorang prajurit. Karena itu, ia harus segera
lari. Lari dari padepokan ini dan menjauhinya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sikap Agung Sedayu itu ternyata menimbulkan
berbagai macam pertanyaan di dalam dada Swandaru. Semula
Agung Sedayu menyatakan keberatannya untuk segera
meninggalkan padepokan ini dengan berbagai alasan. Ketika
Sekar Mirah mencoba memaksa untuk minta diantar segera ke
Sangkal Putung, maka Agung Sedayu telah mencoba
menahannya. Kemudian Kiai Gringsing pun menahan mereka itu
pula. Kini tiba-tiba Agung Sedayu sendirilah yang seakan-akan
ingin segera meninggalkan padepokan ini.
Swandaru yang hampir-hampir tidak pernah berpikir
mengenai persoalan yang dapat membuatnya pening, kini
mencoba menghubungkan sikap Agung Sedayu dan apa saja
yang baru terjadi atasnya. Baru saja Agung Sedayu berlarlari
seperti orang yang sedang ketakutan dengan wajah yang pucat.
Lalu tiba-tiba kini Agung Sedayu berkeinginan untuk segera
mengantarkan Sekar Mirah ke Sangkal Putung.
Begitu tajamnya pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu
perasaannya, sehingga ia tidak dapat lagi menahannya. Dengan
nada datar ia bertanya, "Kakang, apakah hal itu tidak akan
menimbulkan prasangka yang kurang baik?"
"Siapakah yang akan berprasangka?" bertanya Agung
Sedayu. "Bukankah ayah dan ibumu, sudah sekian lamanya
menunggu" Bagi mereka, kedatangan kalian semakin cepat
akan menjadi semakin baik."
"Ya," sahut Sekar Mirah, "semakin cepat semakin baik."
"Nah, bukankah kau juga sudah rindu kepada ayah ibumu?"
bertanya Agung Sedayu pula.
"Tentu," sahut Sekar Mirah, "apabila sekarang kita memang
dapat berangkat kembali ke Sangkal Putung, aku akan senang
sekali." Sekar Mirah itu terdiam sejenak, lalu tiba-tiba suaranya
menjadi sangat perlahan-lahan, "Tetapi, bagaimana dengan
Sidanti?" "Ah," desah Agung Sedayu, "aku tidak takut dengan Sidanti.
Aku dan kakakmu, Adi Swandaru akan menjagamu."
"Bagaimana dengan Ki Tambak Wedi?"
Agung Sedayu terdiam mendengar pertanyaan itu. Ditatapnya
wajah Swandaru yang bulat. Tetapi sepasang mata pada wajah
itu memancarkan beribu macam pertanyaan yang bergelora di
dalam dada anak muda yang gemuk itu.
"Kakang," berkata Swandaru, "aku pun sebenarnya ingin
segera pulang ke Sangkal Putung. Tetapi betapa tumpul otakku,
namun aku merasakan sesuatu yang tidak wajar. Aku tidak tahu,
apakah perasaanku yang tidak wajar, apakah memang
sebenarnya sedang terjadi sesuatu atasmu. Aku masih belum
tahu, apakah sebabnya kau berlarlari di halaman. Dan
sekarang aku pun masih belum tahu, apakah yang
menyebabkan kau tergesa-gesa meninggalkan padepokan ini?"
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu.
Te"tapi kemudian ia menyadari, bahwa pertanyaan yang
demikian itu justru adalah pertanyaan yang wajar. Dicobanya
untuk menahan gelora di dadanya. Dan dicobanya untuk
memperhitungkan keadaan yang dihadapinya dengan tenang.
Tetapi hatinya benar-benar menjadi pepat. Karena itu, sejenak ia
berdiam diri saja. Direnunginya kini sudut ruangan itu dengan
pandangan mata yang kosong.
Sekali lagi Swandaru melihat kebingungan yang
mencengkam hati Agung Sedayu. Dan sekali lagi ia tidak ingin
menambah hati anak muda itu menjadi semakin bingung. Karena
itu, maka ia pun tidak mendesak lagi. Kini Swahdaru pun duduk
merenung. Tanpa sesadarnya tangannya telah membelai hulu
pedangnya yang dibuatnya dari gading.
Sedang Sekar Mirah pun menjadi bingung sendiri. Ia tidak
tahu persoalan apakah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Tetapi seperti juga Swandaru, ia pun merasakan pula sebuah
sentuhan yang tidak sewajarnya pada perasaannya. Tetapi ia
pun tidak bertanya sesuatu.
Namun sekali lagi Swandaru dan Sekar Mirah terkejut, ketika
mereka mendengar Agung Sedayu bergumam lirih, "Tetapi aku
harus segera meninggalkan padepokan ini."
Ketika Swandaru dan Sekar Mirah berpaling kepadanya,
Sedayu masih saja merenungi sudut ruangan itu.
Sejenak Swandaru masih tetap berdiam diri. Tetapi kini
gejolak di dalam dadanya menjadi semakin tajam. Bahkan tibatiba
tumbuhlah berbagai masalah di dalam dadanya. Dan seperti
juga Agung Sedayu yang bergumam perlahan-lahan, maka
Swandaru pun kemudian bertanya perlahan-lahan, seperti
seseorang yang sedang bergumam, "Kakang, apakah
sebenarnya yang telah terjadi" Apa"kah kehadiran kami, aku
dan Sekar Mirah di sini tidak dikehendaki" Dan apakah Kakang
sedang mencoba menyingkirkan kami dengan cara yang tidak
kami ketahui, supaya kami tidak tersinggung karenanya?"
Meskipun kata-kata Swandaru itu diucapkan perlahan-lahan,
bahkan hampir tidak terdengar, tetapi Agung Sedayu terperanjat
karena"nya. Diangkatnya kepalanya, dipandanginya wajah anak
muda yang gemuk itu. Setapak ia bergeser, dan hampir ia
berteriak, "Darimana kau mengetahuinya?"
Untunglah, bahwa mulutnya segera dapat dikuasainya. Dan
Agung Sedayu tidak mengucapkan kata-kata itu.
Sejenak Agung Sedayu berjuang untuk menenangkan
hati"nya. Ketika ia mendengar suara burung hantu di kejauhan,
maka ia menarik nafas dalam-dalam.
"Kau salah tafsir, Adi Swandaru," desis Agung Sedayu.
Namun suaranya bernada datar dan diwarnai oleh keraguraguan
hatinya. Swandaru tidak segera menyahut.
"Tidak ada seorang pun yang berpendirian demikian di
padepokan ini. Kalian di sini sama sekali tidak mengganggu
siapa pun, sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang
merasa berkeberatan atas kehadiranmu di sini." Tetapi hati
Agung Sedayu berkata lain. Ia tahu benar, bahwa kakaknya
menghendaki agar Sekar Mirah segera meninggalkan
padepokan ini. Lebih cepat lebih baik.
Besok atau lusa kakaknya akan menyelenggarakan sebuah
pertemuan untuk menyatakan kebesaran hati para prajurit
Pajang dan orang-orang Jati Anom, karena mereka telah
berhasil menyelesaikan tugas-tugas mereka yang berat.
Kemudian setelah itu, segera Sekar Mirah akan diantar ke
Sangkal Putung oleh sepasukan prajurit, supaya gadis itu
terpisah daripadanya, dan tidak lagi menimbulkan persoalanpersoalan
di antara anak-anak muda.
Tetapi keringat dingin mulai mengalir di punggungnya ketika
Swandaru bertanya, "Tetapi apakah sebabnya Kakang menjadi
terlampau gelisah" Kakang berbuat sesuatu yang sama sekali
tidak dapat aku mengerti, dan Kakang bersikap tidak wajar
dalam tangkapanku. Mudah-mudahan aku keliru."
Agung Sedayu memang tidak dapat menyembunyikan
perasaannya. Cemas, gelisah dan bingung. Ia tidak mau
menuruti perintah kakaknya. Ia ingin lari malam ini meninggalkan
padepokan Tambak Wedi. "Tetapi tidak ada tujuan lain, selain Sangkal Putung," katanya
di dalam hati. "Untuk itu aku harus pergi bersama-sama dengan
Swandaru dan Sekar Mirah. Tetapi bagaimana aku menjelaskan
persoalan ini." Pengalaman Agung Sedayu yang sedikit, tidak dapat
membuka banyak kemungkinan baginya. Ia tidak dapat perpikir
untuk lari tidak ke Sangkal Putung. Lari entah ke mana. Mungkin
ke daerah Pesisir Utara. Mungkin ke pantai Selatan, menyusur
Pegunungan Kidul ke Barat atau ke Timur. Agung Sedayu tidak
tahu betapa luasnya bumi. Karena itu, maka tidak ada anganangannya
untuk pergi ke Blambangan di ujung Timur atau ke
Banten di ujung Barat. Yang ada di kepalanya Jati Amon dan
Sangkal Putung. Kademangan Sangkal Putung, tempat tinggal
Sekar Mirah dan Ka"kaknya Swandaru Geni. Kadang-kadang
tumbuh juga angan-angannya untuk pergi sejauh-jauhnya. Ke
Mentaok atau ke daerah-daerah yang pernah disebut-sebut oleh
Sutawijaja dan Kiai Gringsing. Mangir misalnya.
Tetapi di sana Agung Sedayu tidak akan dapat bertemu
de"ngan Sekar Mirah. Dan selama ia pergi, maka akan banyak
sekali peristiwa yang dapat terjadi. Mungkin suatu ketika
Wuranta akan pergi ke Sangkal Putung dan membuat hubungan
pula dengan Sekar Mirah. Mungkin juga suatu ketika Sidanti
akan dapat menculiknya lagi.
Karena itu, maka tidak ada pikiran lain yang ada padanya
kemudian, selain pergi mengantarkan Sekar Mirah ke Sangkal
Putung. Ia akan mengatakan persoalannya kepada pamannya
Widura. Tidak sebagai seorang prajurit di bawah perintah
kakaknya Untara, tetapi sebagai seorang paman. Ia mengharap,
bahwa pengaruh pamannya akan dapat membantunya.
"Kalau perlu aku harus membuat tekanan terhadap Kakang
Untara. Swandaru adalah pemimpin anak-anak muda Sangkal
Putung. Sikapnya pasti akan berpengaruh terhadap kekuatan
Pajang. Aku tidak peduli, apakah dengan demikian aku akan
dianggap bersalah oleh Kakang Untara," desisnya di dalam
hatinya. Tetapi Agung Sedayu itu terperanjat ketika Swandaru
berkata, "Aku dan Sekar Mirah ingin penjelasan Kakang.
Seandainya memang kehadiran kami di sini tidak dikehendaki,
maka kami bersedia untuk meninggalkan tempat ini. Tidak usah
menunggu besok. Tetapi malam ini. Aku dan Sekar Mirah tidak
perlu takut terhadap Sidanti, bahkan Ki Tambak Wedi. Untuk
pergi ke Sang-kal Putung ada seribu jalan. Dan Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya tidak berada di seribu tempat. Kalau
memang seharusnya kami berdua mati di tangan mereka, maka
itu adalah akibat yang wajar yang tidak perlu disesali dalam
keadaan serupa ini. Adalah kesalahan ayah dan ibu pula, bahwa
mereka tidak mengirimkan sepasukan anak-anak muda untuk
menjemput kami. Karena kami yakin, bahwa Sangkal Putung
dapat membangun kekuatan pengawal-pengawal kademangan
segelar sepapan. Dan sudah tentu kami berharap, bahwa
kademangan kami akan dapat mempertahankan dirinya tanpa
seorang prajurit Pajang pun di daerah kami kelak."
"Kau salah paham, Adi," sahut Agung Sedayu dengan sertamerta.
Tetapi ia tidak segera menemukan kalimat-kalimat yang
dapat meyakinkan Swandaru dan Sekar Mirah.
"Kalau demikian, maka apakah yang sebenarnya terjadi?"
Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Akhirnya ia tidak
dapat menemukan jawaban yang dianggapnya cukup baik dan
beralasan, selain daripada dirinya sendiri. Maka katanja, "Ada
perselisihan antara aku dan Kakang Untara."
Swandaru mengerutkan alisnya, sedang Sekar Mirah menjadi
semakin bertanya-tanya di dalam hatinya.
"Apakah soalnya?" bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa hatinya
menjadi semakin tegang. Swandaru dan Sekar Mirah pun menjadi tidak kalah
tegangnya. Mereka menunggu apakah yang akan dikatakan oleh
Agung Sedayu. Kenapa kakak beradik itu tiba-tiba saja
berselisih. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, dan karena
desakan perasaan ingin tahu yang tidak dapat ditahankannya,
maka Swandaru mendesaknya, "Apakah yang menyebabkan
kalian berselisih?" Agung Sedayu tidak dapat untuk terus menerus berdiam diri
tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Karena itu, maka
ketika ia tidak dapat mengelak lagi, maka dijawabnya saja
sekenanya, "Kakang Untara ingin aku menjadi seorang prajurit
seperti dirinya." "He," Swandaru mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia
menarik nafas dalam-dalam. "Suatu kesempatan yang sangat
baik bagimu, Kakang."
Kini Agung Sedayu-lah yang terkejut. Ia tidak menyangka,
bahwa demikian tanggapan Swandaru tentang tawaran
kakaknya padanya untuk menjadi seorang prajurit.
"Tetapi kenapa Kakang menjadi tampak cemas dan gelisah"
Bahkan sampai berlarlari?"
Pertanyaan itu memang terlampau sulit untuk dijawab. Tetapi
Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri lagi. Ia harus memberi
penjelasan supaya tidak terjadi salah paham. Dan penjelasan itu
harus disusunnya, dikarangkannya lebih dahulu.
Sorot mata Swandaru memancarkan ketidak-sabaran hatinya.
Seolah-olah mata itu telah mendesaknya untuk mengatakan
sesuatu. Terdengar Agung Sedayu berdesah. Perlahan-lahan dan
penuh kebimbangan ia menjawab, "Adi Swandaru. Ternyata aku
berbeda pendirian dengan Kakang Untara. Aku tidak ingin
menjadi seorang prajurit."
"Ah," dengan serta merta Swandaru menyahut, "mustahil.
Mustahil seorang laklaki yang mempunyai bekal yang cukup
menolak kesempatan untuk menjadi Wira Tamtama. Kakang,
kelak aku pun ingin menjadi seorang Wira Tamtama."
Agung Sedayu mencoba menganggukkan kepalanya.
Katanya, "Mungkin. Mungkin pada suatu ketika aku pun ingin
untuk men"jadi seorang prajurit Wira Tamtama. Tetapi tidak
sekarang." Swandaru mengerutkan keningnya. Dari sela-sela bibirnya
meluncur pertanyaanya, "Sekarang?"
"Ya. Kakang Untara ingin memaksaku untuk pergi ke Pajang
dan langsung menghadap Ki Gede Pemanahan. Aku harus
Memburu Si Penjagal Mayat 2 My Silly Engagement Karya Dewi Sartika Pedang Pembunuh Naga 4
^