Api Di Bukit Menoreh 3
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 3
menunggu perintahnya untuk berbuat sesuatu, supaya aku
mendapat kepercayaan dan langsung menjadi seorang prajurit
Wira Tamtama yang terpandang."
"Oh, kesempatan yang luar biasa," tiba-tiba mata Swandaru
menjadi berserseri. Kalau saja kesempatan itu ada juga
buatnya maka ia akan menjadi sangat bergembira. Maka
katanya , "Ka"kang, tolong katakan kepada Kakang Untara,
bahwa aku pun ingin mendapat kesempatan yang serupa. Aku
tidak harus mulai dari tataran yang paling rendah. Untuk itu, aku
tidak terlampau berkeberatan, seandainya aku harus menjadi
seorang prajurit yang paling bawah dalam keadaan yang wajar.
Tetapi biasanya kesempatan untuk dapat merambat ketingkat
yang lebih tinggi terlampau sulit. Tetapi justru syarat-syarat itu
tidak pernah diperhatikan, yang diperhatikan adalah masalahmasalah
lain. Hanya orang-orang yang terdekat dengan lurahlurah
Wira Tamtama sajalah yang mendapat perhatian mengenai
kemampuan dan keprigelannya."
Agung Sedayu menjadi semakin bingung mendengar jawaban
Swandaru itu. Ternyata Swandaru justru tertarik kepada
ceriteranya yang dengan susah payah disusunnya untuk
melepaskan diri dari kebingungan. Tetapi ia kini terperosok ke
dalam kebingungan yang baru.
"Nah, bagaimana Kakang?"
Tiba-tiba Agung Sedayu menengadahkan dadanya. Ia
menemukan jawaban yang untuk sementara dapat
membebaskannya dari ketegangan ini. Katanya, "Justru itulah
yang aku tidak mau, Adi Swandaru."
Swandaru mengerutkan keningnya. Wajahnya yang bulat
menjadi berkerut merut. "Kenapa?" dengan ragu-ragu ia bertanya.
"Aku menyadari bahwa kesempatan yang diberikan oleh
Ka"kang Untara itu adalah kesempatan seperti yang kau
katakan. Aku diterima menjadi seorang Wira Tamtama, bahkan
mungkin se"orang yang langsung mendapat kedudukan yang
baik, bukan karena jasa-jasaku sebagai seorang prajurit. Hal itu
dapat terjadi karena aku adalah adik Kakang Untara. Aku tidak
mau. Aku tidak mau. Itulah sebabnya aku harus menghindarkan
diri dari padepokan ini sebelum Kakang Untara memaksaku.
Bagiku Adi Swandaru, lebih baik menjadi seorang prajurit yang
memanjat tataran demi tataran, tetapi karena hasil keringatku
sendiri daripada aku langsung mendapat kedudukan yang baik,
tetapi hanya karena aku seorang adik dari Kakang Untara. Dari
seorang senapati yang telah berjasa dapat menyelesaikan sisasisa
orang-orang Jipang di bagian Selatan ini. Tetapi yang
berjasa adalah Kakang Untara. Bukan aku. Seandainya
mendapat wisuda seharusnya juga Kakang Untara, bukan aku."
"Oh," Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari
mulutnya terdengar ia berdesis, "itukah sebabnya kau ingin
meninggalkan padepokan ini?"
"Ya," jawab Agung Sedayu, "aku tidak mau. Aku akan pergi ke
Sangkal Putung. Mungkin kelak aku ingin menjadi seorang
prajurit di sana. Pada pasukan Paman Widura."
"Tetapi Paman Widura adalah pamanmu pula Kakang. Kalau
ternyata kau mendapat kesempatan, maka kau akan
menyangka, bahwa kesempatan itu kau terima justru kau
kemanakannya." Agung Sedayu terdiam. Pertanyaan ini tidak segera dapat
dijawabnya. Sekali lagi ia mencoba memutar nalarnya untuk
membebaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang membuat
kepalanya menjadi pening.
Sekali lagi ruangan itu terdampar ke dalam kesenyapan yang
tegang. Tubuh Agung Sedayu telah menjadi basah oleh keringat
dingin yang seolah-olah diperas dari tubuhnya. Sekalsekali ia
menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenteramkan
hatinya. Baru sejenak kemudian Agung Sedayu menjawab, "Mungkin
aku mempunyai perasaan yang demikian pula, Adi Swandaru,
tetapi pasti tidak akan terlampau tajam seperti saat ini. Apabila
aku harus memenuhi perintah Kakang Untara dan menghadap Ki
Gede Pemanahan, maka segera aku akan terlempar ke atas. Itu
pasti tidak akan dapat memberi ketenteraman di hatiku. Apalagi
aku tahu, bahwa prajurit-prajurit yang kemudian berada di
bawahku ada"lah orang-orang yang telah berjuang cukup lama
dan mempunyai jasa yang cukup besar buat Pajang.
Kemampuan dan pengalaman ada pula yang melampaui aku.
Nah, aku tidak akan dapat melakukan tugas yang demikian."
Agung Sedayu memandangi Swandaru Geni untuk mencoba
menangkap kesan kata-katanya di hati adik seperguruannya itu.
Dan ia melihat Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Karena itu, maka hati Agung Sedayu menjadi agak tenteram. Ia
mengharap Swandaru dapat mempercayainya.
Dan dengan tiba-tiba saja Swandaru bertanya, "Jadi
bagaimanakah maksudmu, Kakang" Apakah kau akan segera
berangkat?" Dada Agung Sedayu kini dihentak oleh kebimbangannya.
Justru karena pertimbangan-pertimbangan yang kemudian
tumbuh di dalam hatinya. Justru karena pertanyaan Sekar Mirah
tentang Ki Tambak Wedi yang mungkin mereka temui di jalan.
"Kalau aku ingin lari dari persoalan ini, maka akulah yang
seharusnya menjumpai akibat yang betapapun beratnya. Tidak
sewajarnya aku menyeret kedua kakak beradik itu ke dalam
bencana," desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi hati itu
seakan-akan diliputi oleh kegelapan. Itulah sebabnya maka
pertimbangan-pertimbangannya menjadi kabur dan ragu-ragu.
"Kakang," terdengar Swandaru meneruskan kata-katanya,
"apabila kakang menghendaki kami ikut dengan Kakang
berangkat saat ini juga, maka kami pasti tidak akan keberatan.
Kami tahu bahwa kau sedang diamuk oleh kebimbangan dan
keragu-raguan. Mungkin aku dan Sekar Mirah kurang dapat
memahami caramu berpikir dan mempertimbangkan
persoalanmu, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin
membingungkan diriku sendiri dan menambah kau menjadi
bingung. Sekarang bagaimana pertimbanganmu" Berangkat
sekarang atau tidak" Kami akan mengikuti kau. Sebab tanpa kau
di sini, maka kami akan menjadi orang asing. Ternyata prajuritprajurit
Pajang yang di sini, sebagian terbesar bukan prajuritprajurit
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Hanya satu dua
orang sajalah yang mengenal aku dan Sekar Mirah. Selainnya
adalah orang asing bagiku, seperti aku juga orang asing bagi
mereka. Karena itu, katakanlah keputusanmu. Aku dan Sekar
Mirah tidak akan menolak. Kau bagi kami adalah orang terdekat
di sini, selain Guru."
Tetapi ternyata kata-kata Swandaru itu membuat Agung
Sedayu semakin bingung. Ia kini benar-benar tidak tahu apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus dikatakan.
Keringatnya menjadi semakin deras mengalir di punggung dan
tengkuknya. Ia sudah terperosok semakin jauh ke dalam
persoalan dan ceritera yang disusunnya, namun yang semakin
membingungkannya sendiri.
Karena itu, maka ia pun sekali lagi terbungkam. Sekalsekali
tangannya meraba keningnya mengusap titik keringat yang
menetes. Swandaru melihat wajah Agung Sedayu yang pucat itu. Ia
pun tiba-tiba menjadi bingung sendiri. Tetapi untuk mengurangi
dan meredakan ketegangan perasaan Agung Sedayu, maka
Swandaru tidak bertanya lagi.
Sekar Mirah yang duduk di dekat Swandaru pun menjadi
ti"dak kalah bingungnya. Ia tidak mengerti pendirian Agung
Sedayu, tetapi ia merasakan bahwa ada sesuatu yang telah
disembunyikan oleh anak muda itu. Dan yang disembunyikan itu
menurut dugaan Sekar Mirah, pasti menyangkut dirinya dan
kakaknya Swandaru. Namun Sekar Mirah pun tidak bertanya
sesuatu. Seperti Swandaru, ia tidak ingin membuat Agung
Sedayu bertambah bingung.
Tetapi keheningan dalam ruangan itu terasa semakin lama
semakin tegang. Keringat di punggung, tengkuk, dan kening
Agung Sedayu menjadi semakin deras mengalir.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba mereka serentak mengangkat
wajah-wajah mereka. Terdengar langkah-langkah kaki dekat
sekali di luar dinding ruangan itu. Kemudian terdengar suara
gemerisik mendekati pintu di sepanjang dinding rumah.
Agung Sedayu dan Swandaru tanpa berjanji segera meloncat
berdiri. Tangan-tangan mereka melekat di hulu pedang, sedang
Sekar Mirah pun telah berdiri pula di belakang Swandaru.
"Ah," tiba-tiba mereka mendengar suara berdesah, "daerah ini
kini adalah daerah yang aman. Kenapa kalian menjadi gelisah
dan mudah sekali menjadi terkejut?"
Ketiga anak-anak rnuda itu menarik nafas dalam-dalam.
Suara itu sudah amat mereka kenal. Suara Ki Tanu Metir.
Tergopoh-gopoh Swandaru melangkah ke pintu dan menarik
selaraknya. Ketika pintu itu terbuka, mereka melihat Ki Tanu
Metir berdiri sambil tersenyum, katanya, "Hanya kegelisahan di
hati kalianlah yang telah membuat kalian menjadi cemas
menanggapi setiap persoalan. Kalian menjadi terlampau mudah
terkejut dan kadang-kadang bingung."
Agung Sedayu dan Swandaru menundukkan kepalanya.
Kata-kata gurunya terasa tepat menyentuh jantung mereka yang
berdentangan. "Duduklah. Sebaiknya kita bersikap wajar. Kenapa kalian
menjadi gelisah, cemas dan bahkan pucat seperti melihat
hantu?" Agung Sedayu dan Swandaru menjadi semakin tunduk.
Perlahan-lahan mereka melangkah dan duduk kembali di atas
amben bambu, sementara Ki Tanu Metir sendirilah yang
menutup pintu. Ketika pintu sudah tertutup rapat, maka Ki Tanu Metir itu pun
kemudian melangkah ke amben itu pula dan duduk di antara
mereka. Di antara ketiga anak-anak muda yang sedang
dicengkam oleh persoalan yang tidak begitu jelas.
Demikian Ki Tanu Metir duduk, ia bergumam, "Pintu itu tidak
usah diselarak. Tidak akan ada orang yang masuk untuk
kepentingan apa pun di malam begini. Di sini, dalam keadaan ini,
pasti tidak ada pencuri, dan tidak akan ada orang-orang Jipang
atau orang-orang Tambak Wedi yang akan datang."
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab. Sedang
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia tahu
benar maksud kata-kata gurunya.
"Di luar dinginnya bukan main," desah gurunya itu. Tetapi
tiba-tiba nada suaranya meninggi. "Tetapi kenapa kalian" Aku
lihat baju kalian menjadi basah oleh keringat. Apakah udara di
dalam rumah ini sangat panas?"
Masih belum ada yang menjawab.
"Aku kira di dalam ini pun cukup sejuk, meskipun tidak
sedingin di luar," Ki Tanu Metir berhenti sebentar. "He, apakah
rumah ini beratap ijuk atau daun lalang" Memang kedua-duanya
dapat menahan dingin. Apabila udara dingin, maka ruangan di
sini tidak akan terlampau dingin. Tetapi apabila udara panas,
ruangan ini akan menjadi cukup sejuk, tidak seperti dipanggang
di atas bara." Belum ada jawaban. "Aku tidak begitu memperhatikan. Apakah kalian melihatnya
siang tadi?" Swandaru dan Agung Sedayu mengangkat wajah-wajah
mereka sejenak, tetapi wajah-wajah itu tertunduk kembali.
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. "Kalau
begitu kalian seolah-olah mandi keringat bukan karena panasnya
uda"ra. Mungkin kalian sedang ketakutan. Begitu?"
Kini seperti berjanji keduanya menjawab, "Tidak, Guru."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, ya,
mungkin kalian tidak sedang ketakutan. Tidak pula sedang
kepanasan. Tetapi kenapa kalian gelisah" Ketika kalian
mendengar suara kakiku berdesir di samping dinding rumah ini,
kalian terkejut. Aku mendengar gerak kalian. Kalian segera
berloncatan seperti ada seorang musuh yang mengintip. Aku
pun kemudian mengintip. Dan aku melihat tangan kalian telah
melekat di hulu pedang sebelum pintu itu terbuka. Nah, apakah
yang sudah terjadi atas kalian sehingga kalian menjadi gelisah,
dan bahkan seolah-olah ketakutan" Apakah ada persoalan yang
membuat kalian cemas" Ancaman dari seseorang misalnya,
atau tantangan dari orang yang kalian anggap jauh lebih tinggi
ilmu tata beladirinya daripada kalian?"
Sejenak Agung Sedayu dan Swandaru berdiam diri. Namun
kemudian hampir bersamaan mereka menggelengkan kepala
mere"ka, "Tidak, Guru."
"Kalau begitu, apakah yang telah merisaukan hati kalian?"
Sekali lagi anak-anak muda itu terbungkam.
"Nah, aku tahu sekarang," berkata Ki Tanu Metir sambil
tersenyum, "yang merisaukan itu pasti kalian sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sedang
Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka masih saja berdiam
diri. Tetapi yang menjawab justru Sekar Mirah, "Ya, Kiai. Yang
merisaukan kami adalah hati kami sendiri."
Ki Tanu Metir tertawa perlahan, "Begitulah. Karena itu jangan
kau turuti perasaan hati. Setiap persoalan pertimbangkan
masak-masak dengan nalar, jangan semata-mata dengan
perasaan. Dengan demikian kalian tidak akan dicemaskan oleh
hal-hal yang sama sekali tidak perlu."
Terdengar nafas Ajung Sedayu semakin cepat mengalir lewat
lubang-lubang hidungnya. Terengah-engah, seolah-olah baru
saja bergulat dengan hantu. Apalagi ketika gurunya berpaling
kepadanya dan langsung bertanya, "Apakah yang membuat kau
menjadi cemas?" Agung Sedayu tidak segera menjawab.
"Bukankah kau baru datang dari banjar padepokan
menghadap kakakmu?" "Ya, Guru. Aku memang baru saja menghadap Kakang
Untara di banjar." "Hem," Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya,
"kalau begitu, pasti ada pembicaraan yang membuat kau
bingung atau risau. Membuat kau kehilangan ketenangan dan
pertimbangan. Begitu?"
Sejenak Agung Sedayu tidak dapat mengucapkan sepatah
kata pun. Meskipun bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak
terdengar jawaban dari mulutnya.
"Baiklah, mungkin pertanyaanku membuat kau semakin
bingung," berkata Ki Tanu Metir kemudian, "karena itu, sekarang
tenangkanlah hatimu. Sebaiknya kau pergi tidur. Angger
Swandaru dan Angger Sekar Mirah pun sebaiknya pergi tidur
pula."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi justru hal itu telah membuat hati Agung Sedayu
semakin kisruh. Apabila ia harus pergi tidur, dan besok pagpagi
ia masih berada di padepokan itu, maka ia akan mengatami
kesulitan yang lebih besar. Ia harus meninggalkan pondokan itu.
Ia harus bersama dengan kakaknya. Apakah yang akan
dikatakannya kepada Swandaru dan Sekar Mirah" Tetapi yang
lebih menggelisahkan lagi adalah, bahwa ia tidak boleh
berhubungan dengan gadis itu. Ia tidak boleh pergi ke Sangkal
Putung dan seterusnya ia harus menjadi seorang prajurit.
Sebenarnya menjadi seorang prajurit itu sendiri sama sekali
tidak menakut-nakuti hati Agung Sedayu. Yang paling
menggelisahkannya adalah kemungkinan, bahwa ia harus
berpisah dengan Se"kar Mirah. Agung Sedayu yang masih
muda itu tidak tahu pasti, ikatan apakah yang ada di dalam
hatinya. Ia tidak menyadari, apa"kah yang telah membuatnya
seperti kehilangan akal karena kemungkinan perpisahan itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak segera dapat
menjawab kata-kata gurunya, tetapi ia juga tidak beranjak dari
tempatnya untuk pergi tidur di sudut amben itu juga. Bukan saja
Agung Sedayu, tetapi Swandaru dan Sekar Mirah pun sama
sekali tidak berkisar. Ki Tanu Metir itu pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu, bahwa perasaan Agung Sedayu benar-benar
sedang kacau. Ia tidak dapat lagi berpikir bening, dan ia tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Usianya memang masih
cukup muda dan pengalamannya pun masih belum cukup
banyak. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak lagi sampai hati untuk
membiarkan muridnya kehilangan akal. Meskipun agak sulit
juga, namun ia berusaha untuk menolong melepaskannya dari
kebingungan. Maka katanya, "Swandaru, tungguilah adikmu itu
beristirahat. Biarlah aku bawa kakakmu Agung Sedayu berjalanjalan
sebentar. Mungkin dengan demikian, ia akan menjadi agak
tenang." Swandaru yang telah dibingungkan oleh keadaan itu pula,
begitu saja menganggukkan kepalanya dan menjawab,
"Silahkan, Guru."
"Baiklah. Kalau dapat, tidurlah kalian berdua. Tidak akan ada
apa-apa lagi di sini. Percayalah."
"Ya, Guru," jawab Swandaru. Meskipun demikian, ia tetap
tidak mengerti akan persoalan yang dihadapinya.
Ki Tanu Metir pun kemudian membawa Agung Sedayu keluar
lagi dari rumah itu. Oleh Swandaru, pintunya pun segera ditutup
kembali. Ia menyuruh Sekar Mirah untuk mencoba berbaring dan
apabila mungkin untuk tidur, supaya badannya menjadi agak
segar. "Apakah kau juga akan tidur, Kakang?"
"Tentu, aku juga akan tidur."
Tetapi Swandaru tidak melepas pedangnya. Dicobanya juga
berbaring di amben yang besar itu pula. Tetapi ternyata
keduanya sama sekali tidak memejamkan matanya.
Sementara itu, Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah keluar
dari halaman rumah itu. Mereka terhenti ketika mereka
berpapasan dengan dua orang prajurit peronda.
"Siapa?" salah seorang dari prajurit itu menyapa.
Ki Tanu Metir terbatuk-batuk sedikit, kemudian jawabnya,
"Aku Ngger, Tanu Metir."
"O," prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "malammalam,
Kiai?" "Berjalan-jalan, Ngger. Aku tidak dapat tidur."
"Silahkan, Kiai," sahut salah seorang prajurit itu, yang
kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu.
Maka keduanya pun segera melangkahkan kaki mereka.
Mereka berjalan menyusur jalan padepokan, kemudian berbelok
ke jalan-jalan sempit yang sepi.
Tetapi Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu masih saja berdiam
diri. Ki Tanu Metir belum bertanya sesuatu, dan Agung Sedayu
tidak dapat mulai dengan sebuah percakapan apa pun.
Yang terdengar kemudian hanyalah desir kakkaki mereka di
atas tanah yang keras. Sekalsekali angin lereng yang dingin
bertiup menggugurkan daun-daun kering dan menebarkannya di
sepanjang jalan. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara
burung kedasih yang sedih.
Baru sejenak kemudian terdengar Ki Tanu Metir berkata, "Aku
mendengar percakapan kalian seluruhnya di pondok, Ngger."
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar kata-kata gurunya.
Tetapi ia tidak segera dapat menyahut.
"Aku dapat mengerti, bahwa kau sedang dalam kebingungan.
Tetapi aku menyangka, bahwa kau tidak berkata sebenarnya
terhadap Angger Swandaru dan Sekar Mirah. Ada sesuatu yang
kau sembunyikan atau bahkan apa yang kau katakan seluruhnya
tidak benar." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Setelah sekian
lama ia menahan kegelisahan di dalam dadanya, tiba-tiba ia
merasa mendapat tempat untuk menumpahkannya. Ia hampir
lupa, bahwa ia mempunyai seorang guru yang akan dapat
memberinya nasehat, dan sekaligus tempat untuk meringankan
beban yang menyesak di dadanya.
Karena itu, sebelum Ki Tanu Metir mengulangi
pertanyaannya, Agung Sedayu segera menjawab, "Ya, Kiai. Aku
telah berdusta. Aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya."
"Ya, kau tidak dapat berkata sebenarnya. Apakah soalnya?"
Agung Sedayu pun segera menceriterakan pertemuannya
dengan kakaknya dan Wuranta. Dikatakannya semua dari awal
sampai akhir, sehingga ia menjadi terlampau bingung dan ingin
meninggalkan padepokan malam ini juga.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya
ia bergumam, "Aku sudah menyangka, bahwa suatu ketika
Angger Untara akan sampai kepada keputusan itu. Beberapa
kali telah disinggungnya, seakan-akan hubungan antara Angger
Agung Sedayu dan Angger Sekar Mirah hanya akan
menghambat kemajuan Angger Sedayu dan hanya akan
menumbuhkan perselisihan saja. Tetapi Angger Untara ternyata
kurang bijaksana menanggapi persoalan-persoalan yang
demikian." Dan malam ternyata telah menjadi terlampau jauh, sehingga
tiba-tiba saja mereka telah mendengar ayam jantan berkokok
bersahutan. Seperti hantu yang takut kamanungsan, tiba-tiba
Agung Sedayu menjadi semakin gelisah dan tanpa sesadarnya
ia berkata, "Kiai, aku harus pergi sebelum pagi. Aku tidak dapat
melakukan semua perintah Kakang Untara."
"Yang mana yang tidak dapat kau lakukan, Ngger?"
Agung Sedayu tiba-tiba terdiam. Pertanyaan itu telah
memaksanya untuk bertanya pula kepada diri sendiri, "Yang
manakah yang tidak dapat dilakukannya?"
"Apakah kau memang tidak ingin menjadi seorang prajurit,
atau ada persoalan lain yang lebih mengikat dari pada itu?"
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi kepalanya kini
tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar ketika di dalam
dadanya bergolak pengakuan, bahwa yang paling memberati
dadanya adalah perpisahan dengan Sekar Mirah itu. Tetapi ia
tidak dapat mengatakan kepada Ki Tanu Metir dengan terbuka.
Sejenak keduanya terdiam. Angin yang berhembus terasa
seolah-olah menjadi semakin dingin membelai tubuh mereka.
Kokok ayam jantan pun menjadi semakin riuh pula. Ketika tanpa
mereka sadari, mereka menengadahkan wajah mereka, maka
tampaklah warna kemerah merahan di langit.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu
Metir-lah yang kemudian berkata, "Angger Sedayu, aku kira
Angger Agung Sedayu kini telah benar-benar menjadi seorang
laklaki. Itulah sebabnya aku menduga, bahwa Angger tidak
akan takut untuk menjadi seorang prajurit. Sebelum Angger
menjadi prajurit, Angger telah berani terjun di medan-medan
perang yang paling dahsyat. Angger telah ikut serta dalam
peperangan di Sangkal Putung dan di padepokan ini. Tetapi,
agaknya yang paling berat bagi Angger adalah keinginan Angger
Untara, bahwa Angger harus memutuskan hubungan dengan
Angger Sekar Mirah. Adakah begitu?"
Betapa dinginnya malam, namun baju Agung Sedayu telah
dijalari oleh keringat yang mengalir dari punggungnya. Terbatabata
ia menjawab, "Ya, Kiai."
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, "apakah
Angger tidak dapat melakukannya untuk sementara" Bukankah
di saat-saat mendatang kesempatan masih luas bagi Angger
untuk dapat bertemu dan berhubungan dengan Angger Sekar
Mirah?" Pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab oleh Agung
Sedayu, perpisahan dengan Sekar Mirah terasa terlampau berat
baginya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh Untara hanya
karena sekedar menyenangkan hati Wuranta. Maka hati Agung
Sedayu menjadi semakin tidak rela. Meskipun ia tahu peranan
apa yang telah dilakukan oleh Wuranta, seolah-olah kunci
kemenangan peperangan di padepokan ini adalah di tangan
anak muda Jati Anom itu, namun ia tidak akan dapat
melepaskan segala macam unsur kemenangan yang lain. Itulah
sebabnya, maka apabila kakaknya terlampau memberatkan
keputusannya kepada Wuranta, adalah tidak adil baginya.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu
Metir itu pun melanjutkan, "Nah, aku kira kau berkeberatan
bukan?" Tanpa sesadarnya Agung Sedayu pun mengangguk.
Ki Tanu Metir yang tua itu dapat menangkap perasaan yang
bergolak di dalam dada muridnya. Betapa sakit dan pedih. Justru
dalam umurnya yang masih terlampau muda.
Tiba-tiba Agung Sedayu mendengar gurunya bergumam,
"Angger Sedayu, biarlah aku mencoba menolongmu. Aku akan
berusaha supaya kau dapat pergi ke Sangkal Putung bersama
dengan Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah."
"Kiai," hanya itulah yang terloncat dari mulutnya.
"Ya, aku akan mencoba. Tetapi aku tidak tahu apakah
usahaku akan berhasil. Meskipun dengan demikian, Angger
Untara pasti akan membuat penilaian atas diriku dan dirimu,
tetapi baiklah aku mencobanya. Tetapi untuk seterusnya, kau
harus dapat membawa dirimu. Sebagian dari keinginan kakakmu
harus dapat kau penuhi. Kau sebaiknya memang menjadi
seorang prajurit." "Ya, Guru. Aku sama sekali tidak berkeberatan menjadi
seorang prajurit. Tetapi tidak segera. Aku masih ingin mengantar
Sekar Mirah kembali kepada ayah dan ibunya seperti yang
pernah aku janjikan."
"Baiklah. Sekarang Angger kembali saja ke pondok Angger.
Aku akan pergi ke banjar untuk berbicara dengan Angger
Untara. Aku akan berbicara dengan caraku. Mudah-mudahan
Angger Untara dapat mengerti. Jangan cemas, bahwa kau akan
terpaksa membunuh, karena dicegat oleh orang-orang yang
keras kepala itu." *** "Terima kasih, Guru," sahut Agung Sedayu.
"Nah, kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Aku akan
pergi ke banjar. Kalau Angger Untara dapat mengerti, maka
setidak-tidaknya perasaanmu menjadi agak tenang karenanya."
Maka keduanya pun segera berpisah. Ki Tanu Metir pergi ke
banjar dan Agung Sedayu kembali ke pondoknya.
Ketika ia sampai ke pintu rumah, maka ia masih mendengar
Swandaru dan Sekar Mirah bercakap-cakap. Agaknya semalam
suntuk mereka sama sekali tidak dapat tidur.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tanu Metir pun telah
sampai pula di banjar padepokan. Tetapi banjar itu masih
terlampau sepi. Hanya para penjaganya sajalah yang masih
tegak mondar-mandir di halaman, sedang sebagian yang lain
duduk mengelilingi sebuah pelita di atas ajug-ajug yang tinggi di
gardu peronda. Ketika Ki Tanu Metir sampai di halaman, maka langit di ujung
Timur telah menjadi semakin merah. Bayangan orang-orang
yang sedang bertugas itu pun telah menjadi semakin jelas.
"Ah, Kiai," desah salah seorang dari mereka, "masih
terlampau pagi, Kiai sudah datang kemari."
Ki Tanu Metir tersenyum. Jawabnya, "Aku takut kesiangan.
Apakah Angger Untara ada?"
"Ada, Kiai, tetapi agaknya Ki Untara masih tidur. Semalam
adiknya berada di sini sampai jauh malam, sehingga baru saja Ki
Untara sempat beristirahat."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku akan menunggunya. Kalau begitu lebih baik aku duduk di
gardu ini. Agaknya kalian baru saja mendapat minuman hangat."
Para peronda itu tertawa, "Marilah, Kiai. Air sere dan jahe.
Untuk mengusir dingin."
Ki Tanu Metir pun kemudian duduk di antara mereka.
Berbicara dengan para peronda itu. Bersenda-gurau dan
berkelakar. Namun setiap kali teringat oleh orang tua itu,
muridnya yang sedang bingung karena sikap kakaknya yang
keras. Sikap seorang prajurit. Tetapi agaknya Untara sendiri
belum pernah merasakan, betapa sulitnya untuk mengurai ikatan
yang telah terlanjur membelit hati dari pertautan kasih antara dua
orang remaja. Adalah berbahaya sekali untuk mengurainya
dengan paksa dan kekerasan. Itulah sebabnya, ia harus
menemui senapati muda yang hidupnya dicengkam oleh
kepatuhan yang keras akan tugas-tugasnya.
Dengan tidak terasa, maka langit pun menjadi semakin lama
semakin terang. Bintang gemintang satu-satu lenyap dari wajah
yang biru membentang dari ujung ke ujung cakrawala.
Ki Tanu Metir yang tubuhnya telah dihangatkan oleh
semangkuk air jahe, menggeliat. Dibenahinya kain gringsingnya.
Kemudian perlahan-lahan turun dari gardu.
"Ke mana, Kiai?" bertanya salah seorang penjaga.
"Mungkin Angger Untara telah bangun," jawab Ki Tanu Metir.
"Aku belum melihatnya. Biasanya, Ki Untara apabila bangun
terus pergi ke sumur untuk membersihkan diri."
"Tetapi hari telah pagi."
"Agaknya ia terlambat bangun. Tidak seorang pun yang
membangunkannya, karena setiap orang tahu, bahwa semalam
ia hampir tidak tertidur."
Sekali lagi Ki Tanu Metir menggeliat. Katanya, "Biarlah, aku
akan menunggunya di pringgitan."
"Kalau begitu, silahkanlah, Kiai."
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berjalan melintasi halaman.
Naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan.
Untara yang baru saja terbangun dari tidurnya terkejut melihai
kehadiran Ki Tanu Metir begitu pagi.
"O, apakah Kiai semalam tidur di banjar ini?" bertanya Untara.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Ngger, semalam aku berjalan saja mengelilingi
padepokan ini," "Dan sesudah itu Kiai langsung datang kemari?"
Ki Tanu Metir menggeleng, "Tidak, Ngger, aku sudah bertemu
dengan Angger Agung Sedayu."
Kening Untara segera berkerut. Anak muda yang berotak
tajam itu segera dapat mengerti, bahwa kedatangan Ki Tanu
Metir ini pasti berhubungan dengan adiknya, Agung Sedayu.
Karena itu, maka hatinya pun menjadi berdebar-debar. Ternyata
Agung Sedayu masih saja menjadi persoalan baginya. Agaknya
anak itu telah menyampaikan persoalannya kepada gurunya,
dan gurunya kini datang kepadanya untuk berusaha merubah
sikapnya. "Tidak," katanya di dalam hati, "keputusanku tentang Agung
Sedayu telah tetap. Ia harus menjadi seseorang yang cukup
mempunyai pegangan. Ia harus mempunyai kedudukan yang
baik sebelum ia tenggelam dalam hubungan dengan perempuan.
Sekar Mirah tidak akan dapat menjadikannya seorang laklaki
yang baik. Hubungan itu hanya akan menghambat kemajuankemajuan
yang seharusnya dapat dicapainya. Ia memiliki bekal
yang cukup untuk memanjat ke tempat yang setinggtingginya.
Ia kawan baik pula dari Adi Sutawijaya, yang pasti akan
berpengaruh bagi kedudukannya."
Untara itu tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir
bertanya, "Apakah Angger akan membersihkan diri dahulu?"
"Oh," Untara segera bangkit, "agaknya aku agak kesiangan."
"Belum," sahut Ki Tanu Metir.
Untara pun kemudian segera bangkit dan berjalan keluar
untuk sesuci diri, bersama Ki Tanu Metir dan Wuranta.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah duduk
berhadapan di atas bentangan tikar pandan. Wuranta yang telah
selesai pula segera duduk di antara mereka.
"Kiai datang terlampau pagi," bertanya Untara, "dan aku
menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin ada sesuatu hal
yang cukup penting yang akan Kiai katakan."
"Ya," jawab Ki Tanu Metir pendek.
Jawaban itu telah mengejutkan Untara dan bahkan Wuranta.
Mereka tidak menyangka, bahwa jawaban Ki Tanu Metir akan
terlampau pendek dan langsung. Apalagi ketika Ki Tanu Metir
kemudian berkata, "Aku telah mendengar semuanya dari Angger
Agung Sedayu tentang keputusan Angger Untara mengenai
dirinya." Untara mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya masih juga
berdebar-debar. Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa guru
Agung Sedayu pasti akan selalu mencampuri urusannya dengan
adiknya itu, seperti juga Ki Tanu Metir mencampuri urusan
keprajuritan. Tetapi Untara tidak dapat menolak. Ki Tanu Metir
telah terlampau banyak memberikan jasa-jasanya kepadanya,
sejak peperangan-peperangan yang terjadi di Sangkal Putung.
Bahkan sebelum itu. Ketika ia hampir mati di jalan ke Sangkal
Putung dari Jati Anom, di dekat Macanan ia telah bertemu
dengan Pande-besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan
kawan-kawannya. Seandainya Ki Tanu Metir tidak melindunginya saat itu, ia
pasti sudah mati dicincang oleh Plasa Ireng, dan adiknya telah
lumat oleh Alap-alap Jalatunda.
"Tetapi sebaiknya Ki Tanu Metir tidak mencampuri terlampau
banyak persoalan keluargaku," desisnya di dalam hati.
Karena Untara tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir
itu berkata pula, "Dan adikmu, Angger Agung Sedayu, kini
menjadi sangat bingung."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia
bertanya, "Apakah yang dibingungkannya?"
"Perintahmu, Ngger."
"Seharusnya Agung Sedayu tidak usah menjadi bingung.
Semuanya telah jelas. Dan ketika aku bertanya kepadanya, ia
mengiakannya. Semuanya telah dimengertinya."
"Seharusnya Angger dapat mengerti, bahwa hal itu
dilakukannya, karena ia begitu takut dan hormat kepada Angger
sebagai seorang saudara tua pengganti ibu bapa. Tetapi
perintah Angger telah menyudutkannya dalam suatu
pertentangan perasaan yang hampir-hampir tidak dapat
dipecahkanya." Dahi Untara menjadi berkerut-merut, karena debar di dadanya
seolah-olah mengguncang jantungnya. Dan demikian derasnya
getar di dadanya itu, sehingga ia bertanya, "Apakah Kiai tidak
sependapat dengan perintahku kepada adikku itu."
Ki Tanu Metir yang juga menyebut dirinya Kiai Gringsing itu
tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Untara tajamtajam.
Seolah-olah ingin membaca apa yang tersirat di wajah
anak muda Senapati Wira Tamtama, yang mendapat kekuasaan
untuk menyelesaikan masalah orang-orang Jipang di daerah
Selatan di sekitar Gunung Merapi.
Betapa besarnya nama Untara, dan betapa tangguhnya ia di
medan-medan perang menghadapi lawannya, tetapi tatapan
mata Ki Tanu Metir itu terasa terlampau tajam baginya, sehingga
sesaat kemudian Senapati muda itu menggeser sudut
pandangnya. Tetapi jawaban Ki Tanu Metir telah mengejutkannya.
Perlahan ia mendengar Ki Tanu Metir itu menjawab, "Aku
sependapat dengan kau, Ngger."
Sejenak Untara justru terbungkam. Ia tidak segera dapat
mengucapkan kata-kata. Dan didengarnya Ki Tanu Metir itu
berkata selanjutnya, "Tetapi, cara yang Angger tempuh, bagiku
terlampau tajam, sehingga Angger sama sekali tidak memberi
kesempatan kepada Angger Agung Sedayu mencari jalan yang
agak lapang bagi perasaannya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ketika debar jantungnya
telah menjadi agak tenang, maka ia pun bertanya, "Jadi,
bagaimanakah yang sebaiknya aku lakukan?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya
wajah Untara bergantganti dengan wajah Wuranta yang tegang
pula. Sesaat kemudian ia berkata, "Angger adalah seorang
prajurit di medan perang. Angger terlampau biasa menjatuhkan
perintah yang langsung tanpa aling-aling. Tetapi masalah
Angger Agung Sedayu, agak berbeda dengan keadaan yang
sering Angger hadapi. Seandainya Angger Agung Sedayu
melakukan juga perintah Angger Untara, namun hatinya pasti
akan terluka. Dan luka yang demikian itu akan sangat
berbahaya, justru usianya yang masih terlampau muda."
Untara mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah yang Kiai
maksud" Apakah aku harus memutar balikkan kata-kataku
sehingga malahan Agung Sedayu tidak tahu maksudnya."
"Bukan begitu, Ngger," jawab Ki Tanu Metir, "tetapi Angger
memerlukan kebijaksanaan. Maksud Angger tercapai, tetapi hati
adik Angger itu tidak terluka karenanya. Luka yang akan dapat
menjadi cacat sepanjang hidupnya."
"Ah, itu terlampau cengeng, Kiai," sahut Untara, "apabila
Agung Sedayu benar-benar seorang jantan, maka hal itu pasti
tidak akan terjadi atasnya. Seorang yang berpikir cukup jauh,
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang jauh lebih
besar dari yang terlampau kecil. Bukankah Kiai mencemaskan
Agung Sedayu akan menjadi patah hati" Mungkin itu akan
terjadi. Tetapi itu tidak akan lama. Ia seharusnya dapat
mengatasinya. Ia harus bangkit dan melupakan hubungan itu.
Dan ia harus menyadari bahwa hubungan itu hanya akan
menghambat kemajuannya. Lahir dan batin. Dan ia akan
berhenti sampai keadaannya yang sekarang. Kemudian, ia akan
kehilangan masa depannya. Ia akan terhenti dan segera akan
kawin. Menjadi seorang ayah, dan waktu-waktunya akan hilang
di sawah dan ladang. Maka, apakah artinya masa mudanya itu
baginya nanti" Mungkin ia akan dapat menjadi seorang
Jagabaya. Setinggtingginya seorang Demang apabila
beruntung. Tetapi tidak lebih dari itu."
Kata-kata Untara terputus ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Ki
Tanu Metir berubah. Wajah yang telah dilukisi oleh kerut-merut
ketuaannya itu tiba-tiba menjadi tegang. Tetapi hanya sesaat.
Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan
perasaannya. Dan sejenak kemudian orang tua itu tersenyum.
"Ternyata Angger memandang dunia ini hanya dari satu
sudut," berkata orang tua itu kemudian.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera
menjawab. Dibiarkannya orang tua itu meneruskannya, "Angger
memandangnya dari sudut Angger sendiri." Sekali lagi orang tua
itu terhenti, lalu dilanjutkannya. "Aku pun hanya seorang dukun
tua yang tidak berarti apa-apa, Ngger. Bahkan mungkin jauh di
bawah arti seorang Jagabaya apalagi seorang Demang."
"Ah," Untara berdesah, "bukan maksudku, Kiai. Tetapi Kiai
adalah seorang yang mumpuni di dalam bidang yang telah Kiai
pilih. Kiai agaknya tidak menyia-nyiakan harhari Kiai di masa
muda yang sangat berharga itu, sehingga Kiai mendapatkan
kemampuan Kiai seperti sekarang. Tidak hanya di bidang
pengobatan, tetapi ternyata Kiai adalah seorang yang berilmu
hampir sempurna." "Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Seleret
dikenangnya masa-masa mudanya. Tetapi sekali lagi ia mentoba
mengekang perasaannya. Masa muda itu tidak begitu cerah
baginya. Masa yang ingin sekali dapat dilupakannya. Tetapi
kadang-kadang kenangan atas masa-masa itu membersit di
hatinya. "Masa-masa yang kelam," desisnya. "Mudah-mudahan orang
lain tidak akan mengalaminya."
Tetapi ternyata kenangannya di masa muda yang seolah-olah
selalu disembunyikannya itu, telah mendorongnya untuk lebih
banyak berbuat untuk menyelamatkan perasaan muridnya,
sehingga ia kemudian berkata, "Sudahlah, Ngger. Mungkin
pendirian Angger itu pun dapat dibenarkan. Dengan demikian
maka kesempatan Angger Agung Sedayu akan lebih luas
terbuka. Tetapi apabila ia mampu mengatasi hambatan yang
tumbuh di dalam dirinya sendiri. Karena itu, Ngger, aku ingin
maksud Angger itu tercapai dengan tidak usah menyakiti
hatinya." "Maksud Kiai?" "Angger tidak usah dengan tergesa-gesa melarangnya
berhubungan dengan Angger Sekar Mirah."
"Ah," Untara berdesah, "itu adalah hambatan yang paling
besar baginya." "Seandainya Angger mengingininya, tetapi jangan dilakukan
dengan paksa. Angger harus mencari jalan sebaik-baiknya untuk
melakukannya. Aku mengerti maksud Angger, tetapi aku tidak
dapat sependapat dengan cara yang Angger tempuh."
Dahi Untara menjadi berkerut-merut mendengar kata-kata Ki
Tanu Metir itu. Seandainya yang berkata itu bukan Kiai
Gringsing, yang telah banyak berjasa, tidak saja kepadanya;
tetapi juga kepada pasukan Pajang di Sangkal Putung.
Dengan demikian maka dada Untara itu serasa menjadi
pepat. Ia tidak segera dapat memilih jalan yang sebaik-baiknya
untuk menentukan sikap. Sejenak pringgitan banjar padepokan Tambak Wedi itu
menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas mereka
yang sedang ditegangkan oleh persoalan yang mereka
bicarakan. Baru sejenak kemudian terdengar Untara bertanya, "Lalu cara
yang manakah yang Kiai anggap sebaik-baiknya."
"Aku mengharap agar Angger melakukannya dengan
perlahan," jawab Ki Tanu Metir.
"Mustahil dapat terjadi," bantah Untara, "bahkan hubungan
mereka akan menjadi semakin erat dan mendalam. Sesudah itu
tidak ada jalan lagi untuk memisahkannya. Agung Sedayu tidak
lagi dapat berpikir wajar. Seluruh hidupnya akan diikat oleh
wanita itu. Badannya dan nyawanya. Kebanggaan baginya
adalah mempertahankan perempuan itu. Dan anak itu tidak akan
ingat lagi bahwa perjuangan masih jauh untuk mewujudkan
Pajang yang besar dan kuat."
"Aku akan melakukannya," jawab Ki Tanu Metir tenang,
namun cukup mengejutkan hati Untara, "aku akan mencoba
membuat Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang baik,
yang berguna bagi negara dan tanah kelahiran. Aku tidak
mempedulikannya, apakah ia masih akan tetap berhubungan
dengan Sekar Mirah atau tidak. Seandainya ia terpisah dari
padanya pun, maka adalah menjadi kodrat seorang laklaki
untuk memilih seorang perempuan menjadi kawan hidupnya.
Tetapi apabila keinginan Angger Untara untuk membuat Angger
Agung Sedayu seorang yang kuat dalam kedudukan dan
kanuragan, maka serahkanlah kepadaku. Maksudku, Sekar
Mirah tidak akan merintanginya atau menjadi penghalangnya,
meskipun mereka masih tetap berhubungan. Seharusnya
Angger dapat membaca tabiat dan sifat Angger Sekar Mirah.
Kalau yang Angger Untara bicarakan adalah mengenai
kedudukan, pangkat, jabatan dan apa lagi, maka Angger Sekar
Mirah akan dapat menjadi pendorong yang baik. Tetapi kalau
soalnya lain, maka harus diutarakan agar hal itu dapat terjadi
perlahan-lahan tanpa melukai hatinya seperti yang telah aku
katakan." Wajah Untara menjadi semakin tegang mendengar kata-kata
Kiai Gringsing itu, dan Kiai Gringsing ternyata masih
melanjutkan. "Seandainya Angger ingin melihat Angger Agung
Sedayu tidak lagi berhubungan dengan Angger Sekar Mirah pun,
aku akan mencoba mengusahakannya pula, tetapi tidak dengan
tiba-tiba." Ketegangan di dada Untara telah memuncak. Sehingga
sejenak ia kehilangan penguasaan diri. Dengan gemetar ia
berkata, "Kiai, biarlah aku mengatur jalan hidup Agung Sedayu.
Aku adalah kakaknya, pengganti ibu bapa."
Seleret membersitlah dari sepasang mata orang tua yang
bening itu, sorot yang tajam, yang seolah-olah langsung
menghunjam ke jantung Untara. Tetapi sesaat kemudian
sepasang mata itu telah menjadi lunak kembali. Bahkan orang
tua itu tersenyum sambil menjawab, "Maaf, Ngger. Kau adalah
kakak Angger Agung Sedayu, kau adalah satu-satunya
keluarganya yang tinggal. Tetapi sebaiknya Angger ingat bahwa
aku adalah gurunya."
Dada Untara berdesir mendengar jawaban Ki Tanu Metir itu.
"Ya, orang tua itu adalah gurunya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk
menguasainya dirinya yang seolah-olah telah terbakar oleh
perasaan kecewanya terhadap sikap Ki Tanu Metir yang
terlampau banyak mencampuri urusannya. Tetapi orang tua itu
adalah gurunya. Wewenang seorang guru kadang-kadang
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melampaui wewenang orang tua sendiri terhadap seseorang.
Seseorang kadang-kadang lebih taat mematuhi perintah gurunya
dari pada orang tuanya. Dan Ki Tanu Metir itu adalah guru
Agung Sedayu. "Tetapi," suatu pergolakan telah terjadi di dalam dada Untara,
"aku mempunyai seribu pertimbangan untuk memisahkan Sekar
Mirah dari Agung Sedayu. Kecuali untuk kepentingan Agung
Sedayu sendiri, maka persoalannya dengan Wuranta pasti tidak
akan dapat selesai dengan baik. Padahal keduanya adalah
anak-anak Jati Anom. Perselisihan itu mau tidak mau pasti akan
menyentuh namaku pula, apalagi apabila keduanya menjadi lupa
diri. Sedang keduanya sama sekali tidak seimbang dalam olah
kanuragan. Kalau Agung Sedayu kehilangan pengendalian diri,
maka akibatnya akan memalukan sekali. Aku pun pasti akan
terpercik pula karenanya."
Tetapi Untara tidak dapat segera mengatakannya. Betapa
hatinya bergolak, tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa yang
duduk itu adalah Ki Tanu Metir. Orang yang telah
menyelamatkan jiwanya, dan jiwa adiknya, Agung Sedayu.
Itulah sebabnya, maka dada Untara itu seolah-olah akan
meledak. Ia dihadapkan pada suatu persoalan yang baginya
jauh lebih rumit dari persoalan Tohpati di Sangkal Putung.
Bahkan ia mengeluh di dalam hatinya, "Seandainya tidak ada
Sekar Mirah. Seandainya gadis itu tidak terlibat dalam persoalan
antara Pajang dan sisa-sisa orang Jipang."
Sekali lagi pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Tetapi
betapa dada mereka dibakar oleh debar jantung masing-masing
yang bergolak seperti kawah gunung Merapi.
Titik-titik keringat telah membasahi dahi mereka. Dan
punggung mereka pun telah menjadi basah, seakan-akan
mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan yang terlampau
berat. Tetapi ternyata dari kening Wuranta titik-titik keringat itu telah
menetes satu-satu di atas tikar pandan yang telah menjadi
kekuning-kuningan. Bibirnya tampak bergetar, secepat getar di
dalam dadanya. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi
serasa tersangkut di kerongkongan, sehingga dengan demikian,
maka wajahnya pun menjadi semakin tegang.
Kiai Gringsing yang telah cukup banyak menyimpan
pengalaman di dalam dadanya, dapat membaca betapa dada
anak muda itu hampir retak karena tekanan perasaan yang tidak
dapat dilimpahkannya keluar. Karena itu, maka sambil
tersenyum ia berkata, "Angger Wuranta, agaknya Angger ingin
mengatakan sesuatu. Tetapi Angger merasa terlampau berat
untuk melepaskannya. Katakanlah, Ngger, supaya dadamu tidak
menjadi pepat, dan kepalamu menjadi pening. Apakah yang kau
katakan itu dapat kami mengerti atau tidak, itu adalah soal yang
lain. Namun dengan demikian, dadamu pasti akan menjadi agak
lapang karenanya. Wuranta menelan ludahnya yang seolah-olah menyumbat
kerongkongannya. Sekali dipandanginya dukun tua itu, dan
sekali senapati muda yang bernama Untara itu. Namun tatapan
mata mereka terlampau tajam baginya, sehingga anak muda Jati
Anom itu menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar suara lirih
terputus-putus, "Ya, Kiai. Aku memang ingin mengatakan
sesuatu." "Nah, katakanlah. Mungkin Angger dapat membantu
melepaskan keruwetan ini," sahut Ki Tanu Metir.
Tetapi dahi Untara menjadi semakin berkerut-merut. Apabila
Wuranta menuntut supaya ia melaksanakan keputusannya,
maka perasaannya pasti akan menjadi semakin kisruh. Ternyata
Ki Tanu Metir mempunyai rencananya sendiri atas muridnya
yang tidak sesuai dengan rencananya.
Persoalan itu adalah persoalan yang paling rumit yang
membebani pikirannya. Persoalan Agung Sedayu dan Wuranta,
yang berkisar di seputar gadis Sangkal Putung yang bernama
Sekar Mirah, yang langsung atau tidak langsung telah
menghancurkan Tambak Wedi karena pertentangan yang
tumbuh di dalam tubuh padepokan ini karena gadis itu pula.
Sehingga Sidanti dan Alap-alap Jalatunda lelah berkelahi, dan
yang masing-masing telah menyeret orang-orangnya ke dalam
perkelahian yang dahsyat itu.
"Pertentangan yang demikian itu masih akan terulang?"
desisnya di dalam hati, "Apakah Agung Sedayu dan Wuranta
akan menyeret pihak masing-masing pula untuk saling
bertentangan?" Untara menahan nafasnya ketika ia mendengar Ki Tanu Metir
berkata, "Silahkan Ngger, silahkan. Katakanlah."
Wuranta menggigit bibirnya. Keringatnya semakin deras
mengalir di keningnya. Dan bajunya pun menjadi semakin kuyup
pula. "Kiai," terdengar suaranya lambat sekali, "aku minta maaf."
Kiai Gringsing dan Untara menarik kening mereka. Kata-kata
itu telah membuat mereka keheranan. Dan terdengarlah Kiai
Gringsing bertanya, "Kenapa Angger minta maaf" Bukankah
sudah seharusnya dalam suatu pembicaraan masing-masing
pihak mengemukakan pendiriannya?"
Tetapi nafas Wuranta menjadi semakin deras mengalir. Sekali
lagi ia berkata, "Aku minta maaf. Aku sama sekali tidak
bermaksud membuat kekisruhan ini."
Ki Tanu Metir dan Untara menjadi semakin heran. Sejenak
mereka justru terdiam memandangi wajah Wuranta yang telah
dibasahi oleh keringatnya. Tetapi sejenak kemudian, Ki Tanu
Metir menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menganggukanggukkan
kepalanya. Sareh ia berkata, "Tenanglah, Ngger.
Coba katakanlah, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati
Angger sejelas-jelasnya. Jangan ragu-ragu, dan jangan
mencemaskan apa pun akibat dari kata-katamu."
Wuranta masih menundukkan kepalanya. Bahkan tubuhnya
menjadi gemetar oleh getaran di dalam dadanya.
"Untara," katanya perlahan-lahan, "aku merasa bersalah,
bahwa aku telah mengganggu ketenanganmu. Selama aku
mendengar pembicaraanmu dengan Ki Tanu Metir, aku merasa
bahwa aku telah berbuat kesalahan yang besar terhadap Agung
Sedayu. Karena itu, maka jangan kau hiraukan aku lagi. Aku
menyadari, bahwa tidak seharusnya aku melibatkan diri dalam
hidupnya. Aku memang terlampau jauh tenggelam ke dalam
suatu dunia mimpi yang memabukkan, sehingga aku telah
melupakan tata pergaulan di antara kawan sendiri. Untara,
seharusnya aku menjadi malu sekali bahwa hal ini telah terjadi.
Karena itu, hanya kepadamu dan kepada Ki Tanu Metir aku
mengaku. Pembicaraanmu yang terakhir ternyata telah
membuka hatiku. Aku tidak berhak untuk mengganggu
hubungan Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. Aku telah
merasakan betapa pahitnya kehilangan tanpa memilikinya.
Apalagi Agung Sedayu. Agaknya hati mereka memang telah
terpaut. Karena itu, lupakan saja aku. Jangan kau hiraukan aku
lagi." "Wuranta," terdengar suara Untara pun tiba-tiba menjadi
bergetar. Tetapi Untara tidak meneruskan kata-katanya.
Sekali lagi pringgitan itu menjadi sepi. Sekali lagi nafas-nafas
mereka terdengar memenuhi ruangan itu. Ki Tanu Metir yang tua
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekalsekali tangannya
meraba-raba keningnya yang basah.
Dan sejenak kemudian, orang tua itu berkata perlahan, "Kau
memang berjiwa besar, Ngger."
"Ah," Wuranta berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
"Hatimu yang telah terbuka itu pasti akan banyak sekali
menolong kegelapan hati kita masing-masing," berkata orang tua
itu pula. Tetapi Untara kemudian berkata, "Apakah aku akan
membiarkan persoalan ini berlarut-larut?"
Ki Tanu Metir berpaling memandangi wajah Untara dengan
kening yang berkerut, sedang Wuranta pun mengangkat
kepalanya pula dan berkata, "Persoalan ini telah selesai Untara.
Aku lelah mengakui segala kesalahan yang telah aku lakukan.
Aku tidak akan mengganggu gugat lagi, apa pun yang akan kau
lakukan atas Agung Sedayu. Tetapi janganlah Agung Sedayu
kau korbankan hanya karena ketamakanku. Kalau terpaksa
harus memutuskan hubungan, maka akulah yang sudah
sewajarnya menarik diri, sebab aku belum pernah merasakan
getaran apa pun yang menghubungkan hati kami. Hatikulah
yang terlampau lemah. Mudah-mudahan, aku belum terlambat
untuk mengakui kesalahanku ini."
Sikap Wuranta itu sama sekali tidak diduga-duga sebelumnya
oleh Untara dan Ki Tanu Metir. Karena itu, maka tanggapan
mereka atas sikap Wuranta itu pun terasa aneh. Namun terbersit
di hati mereka kebesaran jiwa anak muda Jati Anom itu,
meskipun terlampau dicengkam oleh gelora perasaannya.
Ki Tanu Metir yang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di samping perasaan ibanya terhadap Wuranta,
orang tua itu menjadi agak lapang pula dadanya. Dengan
demikian ia mengharap, bahwa persoalan muridnya dengan
demikian akan segera selesai. Untara tidak akan lagi diganggu
oleh kemungkinan yang mencemaskannya. Kemungkinankemungkinan
yang dapat meretakkan hubungan antara anakanak
muda Jati Anom sendiri. Untara yang dapat merasakan, betapa pahitnya perasaan
Wuranta sejenak menjadi terdiam. Ia melihat betapa sakitnya
hati Wuranta, tetapi ia merasakan juga, bahwa sikap Wuranta itu
dilambari dengan keikhlasan yang dalam. Wuranta benar-benar
telah menyatakan isi hatinya, bukan sekedar untuk memulas diri,
basa-basi, atau semacam pameran keluhuran budi. Tetapi
Wuranta benar-benar ikhlas menelan kepahitan yang
dihadapinya. Setelah nalarnya mampu bekerja dengan bening,
maka anak muda itu melihat betapa ia telah dikuasai oleh
ketamakan dan kesombongan tiada taranya. Baru berapa hari ia
mengenal Sekar Mirah. Ia tidak tahu perasaan apakah yang
tersimpan di dalam dada gadis itu terhadap dirinya, maka ia
telah merasa berhak untuk berirhati terhadap Agung Sedayu
yang telah berkenalan jauh lebih lama dengan gadis Sangkal
Putung itu, bahkan di antara keduanya telah terjalin hubungan
yang betapapun lembutnya.
Namun meskipun demikian, Untara, Senapati Perang dari
prajurit Wira Tamtama itu, tiba-tiba merasa terikat oleh
keputusannya sendiri. Tiba-tiba ia merasa bahwa pendiriannya
itu adalah pendirian yang sebaik-baiknya bagi adiknya.
Karena itu, maka tiba-tiba Untara itu pun berkata, "Aku dapat
mengerti Wuranta. Aku berterima kasih kepadamu. Kau telah
membantu kami untuk menentukan sikap kami terhadap Agung
Sedayu." Untara itu berhenti sejenak. Namun Ki Tanu Metir
terkejut ketika Untara itu meneruskan, "Tetapi aku merasa,
bahwa keputusanku adalah jalan yang sebaik-baiknya bagi
Agung Sedayu. Bukan saja karena aku ingin melerai
pertentangan yang ada di antara kalian, kau dan Agung Sedayu.
Meskipun tidak tampak di dalam sikap dan tindak-tanduk, tetapi
hanya tersimpan di dalam hati. Namun aku memang
menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu menghindari
rintangan-rintangan yang akan dipasangnya sendiri sepanjang
perjalanan hidupnya."
Ketika Untara berhenti berbicara, terdengar Ki Tanu Metir
berdesah. Orang tua itu bergeser setapak maju sambil
mengernyitkan alisnya. "Hem," orang tua itu menarik nafasnya dalam-dalam sehingga
dadanya terangkat. Untara melihat sikap Ki Tanu Metir dengan dada yang
berdebar. Tetapi ia masih saja ingin meyakinkan orang tua itu,
bahwa Agung Sedayu masih harus membentuk dan menyusun
hari depannya sebaik-baiknya. Kalau pagpagi ia sudah tidak
dapat melepaskan ikatan pinjung gadis Sangkal Putung itu,
maka hari depannya pasti tidak akan dapat diharapkan. Ia tidak
akan menjadi orang yang dibicarakan di istana Pajang. Mungkin
ia akan dapat menjadi seorang gegedug, seorang yang
dipandang pilih tanding suatu daerah, di suatu kademangan atau
di suatu daerah tanah perdikan. Tetapi namanya tidak akan
sempat disebut-sebut di dalam sidang-sidang agung di istana
Pajang, karena tidak seorang pun yang dapat mengenalnya
dengan pasti. "Angger Untara," berkata Ki Tanu Metir itu kemudian, "aku
dapat mengerti perasaan Angger. Aku dapat mengerti kehendak
yang sebaik-baiknya yang tersimpan di dalam hati Angger
sebagai seorang kakak terhadap adik satu-satunya. Adalah
sudah sewajarnya, apabila Angger Untara sebagai seorang
saudara tua, seorang pengganti ibu bapa ingin melihat Angger
Agung Sedayu menjadi seorang besar, seorang yang
terpandang. Bahkan apabila mungkin menjadi seorang yang
penting di dalam pemerintahan.-
"Angger Untara, aku kagum akan sikapmu itu. Seorang
saudara tua yang benar-benar memikirkan nasib saudara satusatunya,
adiknya. Meskipun sikap ini sebenarnya tumbuh dari
persoalan yang telah bergeser dari titik tumpuannya."
Untara mengerutkan keningnya. Ia tahu benar arah
pembicaraan Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir ternyata dapat
mengerti maksudnya, tetapi orang tua itu tetap pada
pendiriannya pula. Bahkan orang tua itu menganggap, bahwa
keputusannya itu beralaskan persoalan yang mula-mula tidak
seperti yang dinyatakannya sekarang.
"Tetapi," Ki Tanu Metir meneruskan, "Angger tidak melihat
hati Angger Agung Sedayu. Angger memandang dari satu segi,
dan Angger tidak mencoba melihat dari celah-celah perasaan
Angger Agung Sedayu itu. Meskipun maksud Angger itu baik
dan Angger nyatakan dengan jujur, tetapi Angger kurang
memberikan kesempatan kepada Angger Agung Sedayu untuk
turut serta menentukan dirinya sendiri. Angger Untara dapat
memberikan arah kepada Angger Agung Sedayu, tetapi jangan
membunuh perkembangannya dengan cara yang keras. Sudah
aku katakan, Ngger, akan mencoba membantu Angger Untara.
Dan aku pun merasa bertanggung jawab pula atas Angger
Agung Sedayu, karena aku adalah gurunya. Baik-buruk, hitamputih
anak muda itu, pertama-tama pasti diukur dengan
kemampuan gurunya. Kalau ia gagal, akulah yang paling parah
menanggungnya. Aku pasti akan menjadi tempat untuk
melemparkan hinaan dan celaan. Akulah yang menanggung
malu karenanya. Seorang guru yang tidak mampu membentuk
muridnya menjadi seorang yang baik.-
"Karena itu, Ngger, percayakan ia kepadaku. Aku akan
mengikutinya ke Sangkal Putung. Kemudian membawanya
bersama Angger Swandaru untuk meninggalkan kademangan
itu. Aku ingin memberi mereka sedikit pengalaman dalam
perantauan."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jantung Untara serasa menjadi semakin cepat berdentang.
Tetapi apa yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir itu tidak dapat
disangkalnya. Tanggung jawab atas Agung Sedayu memang
lebih banyak akan dibebankan kepada gurunya daripada kepada
kakaknya. Karena itu maka Untara itu pun terdiam untuk beberapa saat.
Tampaklah ketegangan di wajahnya menjadi semakin
memuncak. "Angger Untara," terdengar Ki Tanu Metir meneruskan,
"mudah-mudahan aku dapat membantu Angger, membuat
Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang Angger harapkan.
Aku akan membentuknya sesuai dengan keadaannya dan
mempersiapkannya menjadi seorang yang cukup memiliki bekal
untuk menjadi seorang yang namanya akan disebut-sebut di
istana Pajang.- "Tentang Angger Sekar Mirah jangan kau hiraukan lagi. Aku
mengharap, bahwa Angger Sekar Mirah tidak akan menjadi
penghalang, tetapi justru akan menjadi seorang yang dapat
mendorong Angger Agung Sedayu untuk meletakkan cita-citanya
setinggi bintang di langit."
Untara masih tetap berdiam diri. Kini di dalam dadanya terjadi
pergolakan yang sengit. Ia merasa berat sekali untuk mencabut
dan merubah sikapnya, namun ia dapat mengerti dan
memahami pendirian Ki Tanu Metir.
Kini sejenak mereka yang berada di pringgitan itu saling
berdiam diri. Untara mencoba mencari kemungkinan yang
sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya.
Akhirnya Senapati muda itu berkata, "Kiai, aku dapat mengerti
pendirian Kiai. Tetapi aku juga tidak dapat melepaskan
keinginanku, bahwa adikku akan menjadi orang yang mapan di
hari depannya. Karena itu Kiai, apabila Kiai merasa, bahwa Kiai
dapat membantu aku, menyelamatkan masa depan anak itu,
maka aku dapat menyerahkannya kepada Kiai. Tetapi dengan
jaminan bahwa Agung Sedayu tidak akan segera terikat dalam
suatu ikatan yang dapat menutup kemungkinan-kemungkinan di
masa datang." "Maksud Angger Untara, agar Angger Agung Sedayu tidak
segera kawin sebelum memiliki cukup bekal untuk hidupnya.
Begitu?" potong Ki Tanu Metir.
Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk, "Ya, begitulah Kiai, dan tidak lagi mengalami
kesulitan justru karena hubungannya dengan gadis itu."
"Sebenarnya, perkawinan bukan suatu batas bagi
perkembangan seseorang. Mungkin justru di dalam masa
perkawinan itulah, seseorang mendapat dorongan untuk berbuat
sesuatu," sahut Ki Tanu Metir, "tetapi seandainya Angger
menghendaki demikian, maka aku akan mengusahakannya. Aku
akan membuatnya bersiap menghadapi masa depannya.
Seandainya ia kelak menjadi seorang prajurit, biarlah ia menjadi
seorang prajurit yang telah masak. Angger Agung Sedayu saat
ini memang masih terlampau hijau. Ia masih banyak memerlukan
pengalaman untuk mengikuti Angger Untara merayap ke tangga
istana Pajang. Khususnya sebagai seorang prajurit Wira
Tamtama." Sekali lagi Untara terbungkam. Ia tidak menemukan alasan
untuk menyangkal pikiran Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka
Untara itu pun kemudian berkata, "Baiklah, Kiai. Aku serahkan
Agung Sedayu kepada Kiai. Tetapi ingat, aku sebagai kakaknya,
pengganti ibu-bapa, ingin agar Agung Sedayu mendapat tempat
di dalam lingkungan keprajuritan, di mana ia akan mendapat
kesempatan untuk langsung mengabdikan diri kepada
negerinya. Aku akan menyesal apabila kelak Agung Sedayu
tidak lebih daripada seorang yang hanya dapat menakut-nakuti
pencurpencuri ayam di padesan yang jauh dari pimpinan
pemerintahan." Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar,
bahwa cita-cita Untara melambung tinggi ke awang-awang.
Seperti cita-citanya sendiri dalam pengabdiannya terhadap
negara dan tanah kelahirannya, ia pun mengharap adiknya akan
turut serta di dalam pengabdian itu. Tetapi sebagai manusia,
maka Untara tidak luput pula dari pamrih. Ia ingin adiknya
menjadi seorang yang namanya disebut-sebut di dalam sidangsidang
di istana, seperti juga namanya sendiri selalu disebutsebutnya.
"Baiklah, Ngger," berkata Ki Tanu Metir, "aku akan mencoba
membantu perkembangan pribadinya, meskipun sebagian
terbesar tergantung pada Angger Agung Sedayu sendiri. Aku
akan mencoba menempuh jalan yang paling mudah bagi Angger
Agung Sedayu. Kelak apabila datang saatnya, maka aku akan
datang kembali membawa Angger Agung Sedayu. Aku akan
menyerahkannya kepada Angger Untara. Seterusnya jalan akan
lebih lapang bagi Angger Agung Sedayu, apabila ia bersama
dengan Angger Untara."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan, Kiai. Semuanya terserah kepada Kiai."
Kemudian Untara itu berpaling kepada Wuranta, "Terima kasih
akan kerelaanmu mengorbankan kepentinganmu sendiri,
Wuranta. Kau telah membantu memecahkan persoalan ini."
Wuranta mengangkat wajahnya. Kemudian ia berkata, "Aku
seharusnya minta maaf langsung kepada Agung Sedayu,
kepadamu, dan kepada Ki Tanu Metir. Tetapi aku tidak cukup
berani untuk berhadapan dengan Agung Sedayu."
"Kau cukup berjiwa besar, Ngger. Kau telah mengatakannya
kepadaku dan Angger Untara. Itu sudah cukup. Aku akan
menyampaikannya kepada Agung Sedayu," sahut Ki Tanu Metir.
Wuranta tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
Dan terdengar Ki Tanu Metir berkata, "Kalau demikian, maka
biarlah aku membawa anak-anak Sangkal Putung itu pulang ke
rumahnya. Seterusnya aku akan membawa Angger Agung
Sedayu dan Angger Swandaru untuk menambah
pengalamannya yang masih terlampau sempit. Mungkin ada
tempat-tempat yang perlu dikunjungi. Mungkin aku akan dapat
memperkenalkannya dengan orang-orang yang namanya pernah
tersebar di seluruh daerah Demak lama, dan yang kini seakanakan
mengasingkan dirinya."
Untara tidak segera menjawab. Tetapi hatinya terasa berdesir
juga. Terbayang di pelupuk matanya, adiknya yang masih muda
itu akan memulai dengan sesuatu kehidupan yang baru baginya.
Kehidupan yang asing sama sekali dari kehidupannya di masa
kanak-kanaknya. Dibayangkannya, di masa kanak-anak Agung Sedayu, hampir
tidak pernah terpisah dari ujung selendang ibunya. Ke mana
ibunya pergi, Agung Sedayu hampir pasti ikut bersamanya.
Kalau sekalsekali Agung Sedayu pergi juga dengan ayahnya,
maka ibunya selalu berpesan bersungguh-sungguh, supaya
anak itu nanti kembali dengan selamat kepadanya.
Kini Agung Sedayu yang hampir tidak pernah menjenguk
keluar pagar itu, akan pergi dengan gurunya ke tempat yang
tidak menentu. Merantau untuk menambah pengalaman dan
menggembleng diri. Untara tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
"Angger Untara, aku kira tidak ada lagi kepentingan kami di sini.
Karena itu, maka biarlah kami minta diri. Kami akan pergi ke
Sangkal Putung untuk mengembalikan Sekar Mirah, kemudian
mencoba membentuk Angger Agung Sedayu dan Angger
Swandaru untuk menjadi seorang laklaki dewasa."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
tidak akan mencegah lagi, Kiai. Aku kali ini mempercayakannya
kepada Kiai. Mudah-mudahan Kiai tidak gagal. Umur Agung
Sedayu akan selalu merayap, dan tidak akan dapat diulang.
Tetapi aku minta, Kiai tidak pergi meninggalkan padepokan ini,
sekarang atau besok pagi. Aku ingin, kita bersama-sama yang
telah berbuat sesuatu untuk menyelesailan pekerjaan ini,
berkumpul bersama-sama untuk mengatakan kegembiraan hati
kita dan untuk menyatakan terima-kasih kita kepada Tuhan yang
telah memberikan jalan yang lapang kepada kita. Aku ingin kita
semuanya sempat melepaskan ketegangan yang selama ini
telah menghimpit hati kita, meskipun itu tidak berarti bahwa kita
akan kehilangan kewaspadaan."
"Ah," sahut Ki Tanu Metir, "aku kira kami tidak perlu turut serta
dalam kegembiraan itu. Bagi anak-anak Sangkal Putung itu,
kegembiraan yang paling besar kini adalah kembali kepada ayah
dan ibunya." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia berkata,
"Aku tahu, Kiai, tetapi biarlah kegembiraan kita menjadi lengkap.
Hari itu tidak akan terlampau lama. Dua tiga hari kita akan
menyelenggarakannya di Jati Anom, seperti yang telah aku
katakan. Aku sudah mengirimkan beberapa orang untuk
menemui Ki Demang di Jati Anom. Sayang, bahwa harhari
yang kita rencanakan itu tidak dapat dilakukan besok atau lusa.
Ki Demang memerlukan persiapan untuk itu, apalagi setelah Jati
Anom dikacaukan oleh kehadiran orang-orang dari padepokan
ini. Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah
Angger Untara benar-benar ingin menahan kami."
"Tentu, Kiai. Terutama Agung Sedayu. Aku harus
melepaskannya dengan beberapa pesan yang mudah-mudahan
berguna baginya. Sebab aku telah memberikan perintah lain
kepadanya. Akulah yang akan memberitahukan perubahan itu,
meskipun sebelumnya Kiai dapat mengatakan kepadanya.
Tetapi ia harus mendengar dari mulutku, bahwa perubahan itu
hanyalah sekedar perubahan cara yang harus ditempuhnya.
Bukan masalahnya ia harus tetap menyadari betapa pentingnya
membina hari depannya."
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Untara masih harus tetap menjaga kewibawaan dirinya
di hadapan adiknya itu. Dan Ki Tanu Metir tidak akan dapat
menyalahkannya. Maka jawabnya, "Kalau demikian, baiklah,
Ngger. Aku akan memberikan beberapa penjelasan
pendahuluan. Biarlah Angger Agung Sedayu datang sendiri
kepada Angger Untara."
"Baiklah, Kiai."
"Kalau begitu, aku segera minta diri, Ngger. Aku akan kembali
ke pondok, supaya aku tidak terlambat memberikan penerangan
kepada adik Angger itu."
Untara mengerutkan keningnya, "Kenapakah Agung Sedayu
itu, Kiai?" "Syarafnya menjadi tegang, hampir tidak dapat dikuasainya.
Semalam ia tidak tidur sama sekali, dan hampir-hampir saja aku
tidak dapat melihatnya lagi di padepokan ini."
"Apa yang akan dilakukan?" tiba-tiba wajah Untara-lah yang
menjadi tegang. "Kalau aku tidak segera datang dan mendengar apa yang
mereka bicarakan serta mencegahnya, maka semalam Angger
Agung Sedayu telah membawa Angger Swandaru dan Angger
Sekar Mirah ke Sangkal Putung."
"Kenapa begitu?"
"Hal-hal serupa itulah yang harus Angger ketahui.
Perasaannya tidak dapat menerima tekanan dari luar, tetapi ia
tidak berani untuk berterus terang melawannya. Ia tidak berani
menolak perintah Angger Untara, tetapi ia tidak dapat melakukan
perintah itu. Maka diambilnya jalan ketiga yang mungkin akan
dapat menjerumuskannya ke dalam bencana. Kalau mereka
bertiga benar-benar meninggalkan padepokan ini, dan di ujung
lereng tikungan di luar padepokan ini mereka bertemu dengan Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya, seandainya mereka masih
berkeliaran di sini, maka mereka pasti akan menjadi endeg
amun-amun." Untara menarik nafas dalam-dalam. Dadanya menjadi
berdebar-debar. Soal semacam ini baginya adalah soal yang
baru. Hal yang demikian tidak pernah terjadi di kalangan
keprajuritan. Tetapi Agung Sedayu hampir melakukannya.
"Jadikanlah hal ini suatu pengalaman," berkata Ki Tanu Metir.
Betapa beratnya, namun akhirnya Untara menganggukkan
kepalanya, "Ya, Kiai. Untunglah bahwa hal itu belum terjadi."
Dalam pada itu, dengan nada yang dalam Wuranta berdesis,
"Seandainya hal itu terjadi, dan seandainya mereka menemui
bahaya di perjalanan, maka aku adalah salah satu penyebabnya.
Dan aku pun pasti akan menyesal sepanjang hidupku."
"Tetapi semuanya itu belum terjadi, Ngger. Semuanya masih
belum terlambat." Wuranta tidak menyahut. Tetapi bintik-bintik keringat di
keningnya masih menitik satu-satu. Sekali ia mengusap wajah
yang basah dengan telapak tangannya. Namun wajah itu tidak
juga menjadi kering. "Sekarang," berkata Ki Tanu Metir, "kabut yang menyelimuti
Angger sekalian telah tersingkap. Mudah-mudahan harhari
berikutnya menjadi cerah."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan,
"Mudah-mudahan. Mudah-mudahan semuanya dapat terjadi
seperti yang kita inginkan."
"Tetapi kita tidak boleh menentukan, bahwa keinginan kita
pasti akan terjadi, Ngger. Kita hanya dapat berusaha sejauh-jauh
mungkin. Namun akhirnya semuanya terserah kepada Yang
Maha Besar. Meskipun demikian, kita tidak dapat menunggu
saja, dan keinginan kita itu akan terpenuhi dengan sendirinya.
Kita harus memohon. Dan kesungguhan dari permohonan kita
itu harus tercermin dari kesungguhan usaha kita. Kalau kita tidak
bersungguh-sungguh berusaha, maka permohonan kita itu pun
tidak bersungguh-sungguh pula, sehingga wajarlah bahwa hal itu
tidak terjadi." "Aku mengerti, Kiai," desis Untara.
"Tetapi kita harus percaya, bahwa usaha yang baik pasti akan
dilindungi. Kepercayaan itulah yang terungkap sebagai
kepercayaan kepada diri sendiri. Percaya kepada kesungguhan
diri sendiri dan percaya bahwa kesungguhan itu adalah
kesungguhan dari permohonan kita, yang pasti akan didengar
oleh Yang Maha Kuasa."
Untara mengangguk-angguk dan Wuranta pun menganggukanggukkan
kepalanya pula. Ketika Ki Tanu Metir berhenti berbicara, maka sekali lagi
pringgitan itu menjadi sepi. Seolah-olah mereka sedang
merenungkan kata-kata Ki Tanu-Metir itu.
Mereka terkejut ketika mereka melihat pintu pringgitan itu
bergerak. Sebuah kepala tersembul dari luar dan dengan hatihati
orang itu bertanya, "Apakah aku boleh masuk masuk?"
"Untuk apa?" bertanya Untara.
"Makan telah tersedia."
"Oh," Untara menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Seolah-olah segenap ketegangan yang menyumbat dadanya
selama ini telah dilepaskannya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bawalah masuk," katanya kemudian, "kita bertiga di sini."
"Baik," sahut orang itu.
Sejenak kemudian, orang itu pun hilang di balik pintu. Tetapi
segera muncul kembali sambil menjinjing tiga bungkus nasi.
"Letakkanlah di situ," berkata Untara.
Orang itu pun segera meletakkan ketiga bungkus nasi itu di
atas gledeg bambu. Kemudian ia pun segera meninggalkan
ruangan itu. "Marilah, Kiai. Makan telah tersedia. Makanan medan perang
nasi tanpa lauk pauk."
Ki Tanu Metir tertawa. Katanya, "Di medan perang kita masih
dapat mengharap rangsum makanan, Ngger. Tetapi di
perantauan, kita harus mencarinya sendiri. Bukankah begitu?"
Untara pun tersenyum pula. "Ya, Kiai," jawabnya. Kemudian
kepada Wuranta ia berkata, "Marilah, Wuranta."
Sejenak kemudian, maka ketiganya pun telah membuka
bungkusan masing-masing. Nasi putih dengan sejumput
serundeng yang terlalu kering. Sepotong kecil daging lembu dan
sambal lombok merah. "Alangkah nikmatnya," desis Ki Tanu Metir, "semalam aku
sama sekali tidak tidur. Karena itu, maka aku kini merasa sangat
penat dan lapar. Nasi hangat ini benar-benar telah
menghangatkan tubuhku."
Untara tidak menyahut. Tetapi ia tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika mereka telah selesai makan dan minum, maka Ki Tanu
Metir pun segera minta diri. Katanya, "Ah, aku terlampau lama di
sini. Aku telah minta diri untuk yang kesekian kalinya. Untunglah,
bahwa aku tidak segera pergi. Jika demikian, maka aku tidak
akan mendapat bagian nasi serundeng. Apalagi apabila nanti
sampai di pondokan Angger Agung Sedayu, rangsum telah
habis, dihabiskan oleh Angger Swandaru. Maka aku pun akan
menjadi kelaparan. Sekarang, setelah aku kenyang, aku akan
benar-benar minta diri, Ngger."
"Silahkan, Kiai," jawab Untara, "tetapi harapanku kali ini
tergantung pada kebijaksanaan Kiai."
"Ya, ya aku mengerti," desis orang tua itu, "aku harus segera
sampai kepada Angger Agung Sedayu. Aku takut kalau
jantungnya menjadi terlampau tegang dan justru akan berhenti
berdetak, atau karena hatinya terlampau gelap, ia telah
melakukan rencananya semalam, pergi dari padepokan ini."
"Silahkan, Kiai," sahut Untara sambil mengerutkan keningnya.
Setelah minta diri pula kepada Wuranta, maka kali ini Ki Tanu
Metir itu pun berdiri dan melangkah perlahan-lahan
meninggalkan pringgitan, diantar oleh Untara dan Wuranta
sampai ke muka pintu. Ketika orang tua itu telah turun dari pendapa, maka terdengar
Wuranta berdesis, "Aku menjadi malu sekali, Untara."
"Tak seorang pun yang tahu. Kami yang mengetahui
persoalanmu, aku dan Ki Tanu Metir, dapat memahami
perasaanmu. Dan kami mengagumi kebesaran jiwamu."
"Itu terlampau berlebih-lebihan."
"Jangan kau pikirkan lagi. Semuanya telah selesai."
"Kalau kau tetap pada pendirianmu untuk melarang Agung
Sedayu mengantar Sekar Mirah ke Sangkal Putung, maka hatiku
akan menjadi terlampau parah. Aku adalah sebab dari persoalan
ini, meskipun kau menyebut alasan-alasan yang lain, tetapi
sikapku yang gila selama ini adalah sebab yang terbesar dari
keputusanmu." "Lupakan. Semuanya sudah selesai."
"Aku akan mencoba melupakannya, Untara."
Sesaat Untara tidak menyahut. Dipandangnya langkah Ki
Tanu Metir yang ringan di halaman banjar padepokan. Sejenak
orang tua itu berhenti di gardu peronda.
Untara tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Ki Tanu Metir
dengan para penjaga di gardu itu, tetapi ia melihat Ki Tanu Metir
itu tertawa. "Sebenarnya orang tua itu adalah seorang periang," berkata
Untara di dalam hatinya. Tanpa sesadarnya, ingatannya merayap kembali kepada
masa yang telah dilampauinya. Pada saat-saat ia terluka dan
bersembunyi di rumah dukun dari Pakuwon itu. Melihat sepintas,
seseorang tidak akan menyangka, bahwa dukun dari Dukuh
Pakuwon itu adalah seorang yang mampu mengimbangi
kedahsyatan nama Ki Tambak Wedi, dan bahkan tidak akan
berada di bawah tingkatan Ki Gede Pemanahan, seorang
Panglima Wira Tamtama. "Aneh," pikir Untara, "orang ini seolah-olah sama sekali tidak
mempunyai pamrih apapun dengan keadaan di sekitarnya. Ia
berbuat seperti yang dikehendakinya. Kalau ia bersedia
menghubungkan dirinya dengan kepentingan-kepentingan
duniawi, maka ia tidak akan jauh dari kemungkinankemungkinan
yang dapat dibanggakan. Baik di dalam
kedudukan maupun di dalam olah kanuragan."
Dan keheranan itu semakin lama semakin dalam tergores di
dinding hatinya. Untara itu mengenal nama-nama seperti
Adiwijaya, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, Ki
Mancanegara, Ki Wuragil, Arya Penangsang, Mantahun,
Sumangkar, Ki Tambak Wedi dan yang lain-lain. Semuanya ada
di dalam dunianya masing-masing. Semuanya memiliki
pamrihnya sendirsendiri. Meskipun Ki Tambak Wedi tidak
berada di dalam lingkungan istana mana pun, Demak, Pajang,
atau Jipang. Juga tidak Cerbon dan Banten, namun ia justru
terlampau dikuasai oleh pamrihnya sendiri.
"Mas Karebet itu pun didorong oleh pamrih-pamrih duniawi
tertentu," berkata Untara pula di dalam hatinya, "terutama
setelah Demak menjadi kosong. Ditambah lagi dengan dua gadis
yang dijanjikan oleh Kangjeng Ratu Kalinyamat."
Tetapi orang ini benar-benar aneh. Ia tinggal di padukuhan
yang kecil sebagai seorang dukun. Tidak lebih daripada itu.
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Ia tersadar, ketika ia sudah tidak melihat lagi Ki Tanu Metir di
halaman itu. Ternyata orang tua itu telah meninggalkan gardu.
Ketika Untara itu berpaling, ia masih melihat Wuranta berdiri
di sampingnya. "Oh," Untara berdesis, "Marilah, duduklah."
Wuranta tidak menjawab, tetapi diikutinya Untara melangkah
kembali ke bentangan tikar pandan di pringgitan itu.
Sementara itu, Ki Tanu Metir berjalan tergesa-gesa ke pondok
Agung Sedayu. Ia mencemaskan anak muda itu. Seandainya
Agung Sedayu benar-benar tidak dapat menguasai
perasaannya, maka ia akan dapat berbuat hal-hal yang tidak
terduga-duga. Mungkin ia akan benar-benar membawa
Swandaru dan Sekar Mirah segera pergi ke Sangkal Putung.
Tetapi orang tua itu menarik nafas dalam-dalam ketika
ternyata Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah masih
ditemuinya di pondoknya, meskipun agaknya Agung Sedayu
sudah hampir tidak sabar lagi menantinya.
Belum lagi Ki Tanu Metir masuk ke dalam rumah, maka
Agung Sedayu sudah menyongsongnya sambil bertanya,
"Bagaimana, Guru. Apakah aku harus menjalani keputusan
Kakang Untara itu?" "Apakah aku tidak kau persilahkan masuk?" bertanya Ki Tanu
Metir. "Oh," Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia benar-benar
sudah tidak dapat menunggu lagi keterangan dari gurunya itu
tertunda-tunda. Dengan tergesa-gesa ia berkata, "Marilah, Kiai.
Silahkan duduk. Tetapi bagaimana dengan Kakang Untara?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat, wajah-wajah
Swandaru dan Sekar Mirah yang gelisah dan bingung.
Tiba-tiba orang tua itu berkata sareh, "Bukankah kalian telah
dirisaukan oleh hati kalian sendiri?"
Hampir bersamaan ketiganya menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi Sekar Marah menyahut pertanyaan itu, "Ya, Kiai, kami
memang sedang dirisaukan oleh hati kami sendiri."
"Nah, kalau demikian, tenangkanlah hati kalian. Tidak ada
alasan apa pun bagi kalian untuk menjadi risau."
Sejenak Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan.
Mereka sama sekali tidak menemukan kesan yang
mencemaskan di wajah orang tua itu. Bahkan sejenak kemudian
orang tua itu bertanya. "Apakah kalian telah mendapat
rangsum?" Agung Sedayu menggigit bibirnya. Pertanyaan itu sama sekali
tidak diharapkannya. Tetapi ia menyahut, "Sudah, Kiai. Baru
saja. Kami masih belum sempat memakannya."
"Makanlah." "Kami belum lapar, Kiai," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi mungkin Angger Swandaru dan Sekar Mirah menjadi
lapar." Keduanya bersama-sama menggelengkan kepala mereka,
"Belum, Kiai." "Kalau begitu akulah yang lapar. Di banjar aku sudah
mendapat makan, tetapi hanya satu bungkus. Berapa bungkus
kalian mendapat rangsum?"
Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
mulutnya terpaksa juga menjawab, "Empat, Kiai. Kami minta
satu untuk Kiai." "Bagus. Marilah kita makan. Kita merayakan akhir dari
keadaan yang selama ini telah membuat kalian menjadi bingung.
Kita akan sampai pada suatu keadaan yang baru. Suatu
kehidupan yang lain dari yang pernah kalian tempuh selama ini."
*** BAB III. MELINTAS HUTAN MENTAOK AWAN YANG PUTIH kemerah-merahan mengapung di langit.
Matahari yang telah perlahan-lahan turun ke punggung Gunung
Merapi. Sinarnya semakin lama menjadi semakin pudar. Burungburung
seriti terbang bergumpal-gumpal mengitari sebatang
pohon beringin. Ratusan, bahkan ribuan, sehingga seolah-olah
mendung yang gelap mengambang di langit.
Lamat-lamat terdengar kentongan di gardu, di pintu gerbang
padepokan Tambak Wedi, memecah keheningan senja.
Suaranya mengumandang memenuhi lereng Gunung Merapi.
Bertalu-talu seperti dibunyikan berulang kali.
Seorang prajurit muda yang berdiri di depan gardu di samping
regol padepokan itu berbisik kepada kawannya, "Besok kita
turun ke Jati Anom."
"Ya," sahut kawannya yang masih muda pula, "suasana yang
tegang selama ini akan berakhir. Kita akan terlepas dari cara
hidup yang keras dan kasar ini."
"Di Jati Anom akan diselenggarakan sekedar keramaian untuk
menyatakan kegembiraan hati atas kemenangan kita. Dengan
hancurnya Tambak Wedi, maka seolah-olah di bagian Selatan ini
telah tidak ada lagi gangguan apa pun bagi Pajang."
Tiba-tiba kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi
kita akan segera ditarik dan dikirim ke pesisir Utara. Kita harus
berkelahi lagi melawan orang-orang pesisir."
Kawannya menggelengkan kepalanya, "Tidak. Peperangan di
pesisir pun sudah semakin tipis. Tidak banyak lagi perlawanan
yang harus dihadapi oleh Pajang. Setidak-tidaknya kita akan
mendapatkan beberapa hari libur, pulang ke rumah dan berada
di lingkungan keluarga. Anak dan isteri, meskipun kita kelak
harus bertempur lagi."
"Pekerjaan kita memang berkelahi," sahut prajurit muda yang
pertama. "Kita adalah orang-orang yang dibentuk untuk
berkelahi." "Ya, kita memang telah menyatakan diri kita sebagai seorang
prajurit. Pekerjaan prajurit adalah bertempur. Meskipun demikian
kita adalah manusia, yang suatu ketika ingin hidup seperti
kebiasaan hidup manusia. Berkeluarga, bercakap-cakap dengan
isteri dan bermain-main dengan anak-anak."
Tiba-tiba keduanya terperanjat ketika di belakang mereka
terdengar suara, "Siapa yang berkata bahwa prajurit itu
pekerjaannya berkelahi dan bertempur?"
"Oh, Ki Lurah," desis kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Ternyata di belakang mereka berdiri seorang lurah Wira
Tamtama. "Habis, apakah yang harus kita lakukan, Ki Lurah?" bertanya
salah seorang dari kedua prajurit itu.
Lurah Wira Tamtama itu tersenyum. Namun ia bertanya pula,
"Apabila peperangan ini telah selesai, sisa-sisa orang-orang
yang berkeras kepala, bekas pengikut Arya Penangsang telah
habis dan tidak ada lagi pertentangan di seluruh wilayah Pajang,
lalu kita para prajurit harus mencari persoalan baru supaya kita
tidak menjadi seorang penganggur?"
"Ah," desah salah seorang prajurit muda itu.
"Coba katakan," bertanya lurah Wira Tamtama itu, "apa yang
harus kita kerjakan?"
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Bukankah jumlah prajurit akan
berangsur-angsur dikurangi, dan kita akan kehilangan pekerjaan
kita?" Lurah Wira Tamtama itu tersenyum, "Dan kau akan menjadi
sakit hati karenanya?"
Kedua prajurit muda itu terdiam. Sekali lagi mereka saling
berpandangan. "Coba katakan, apakah niatmu ketika kau pertama kali
memasuki lapangan ini."
Keduanya tidak segera menjawab.
"Apakah kalian hanya sekedar ingin mendapat lapangan
pekerjaan supaya kalian tidak menjadi penganggur" Hanya itu?"
Kini keduanya menggeleng, "Tidak, Ki Lurah. Aku memasuki
lapangan ini oleh suatu dorongan yang kuat."
"Katakanlah sifat dorongan itu. Supaya kau tidak mati
kelaparan" Atau supaya kau menjadi seorang yang ditakuti oleh
tetangga-tetanggamu karena kau membawa senjata di lambung"
Atau supaya kau mudah untuk mendapatkan yang kau ingini"
Karena kau prajurit, maka kau melamar gadis tetanggamu.
Apabila gadis itu menolak segera kau mengancamnya, bahwa
sekelompok kawan-kawanmu akan datang dan menangkap
orang tua gadis itu. Begitu" Atau kepentingan lain, supaya kau
dapat mengambil kambing, kerbau atau apa saja kepunyaan
tetanggamu yang kau ingini karena kau prajurit?"
"Tentu tidak, Ki Lurah. Tentu tidak. Aku bukan seorang yang
gila seperti itu. Seandainya ada seorang prajurit yang hanya
didorong oleh nafsunya yang demikian, maka ia telah menodai
Wira Tamtama." "Bagus," potong lurah Wira Tamtama. "Lalu dorongan apa
yang telah memaksamu masuk ke dalam lingkungan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keprajuritan." Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya, "Aku tidak tahu Ki.
Tetapi keinginanku menjadi seorang prajurit demikian besarnya.
Aku ingin karena aku melihat prajurit-prajurit yang lebih dahulu
daripadaku. Mereka telah banyak sekali berbuat sesuatu untuk
kepentingan orang banyak."
Lurah Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Bagus. Bagus. Kau hanya tidak pandai mengatakan. Dorongan
yang demikian itu lahir karena sifat-sifat ksatria yang ada di
dalam dirimu. Kau ingin mengabdikan diri untuk kepentingan
lingkunganmu, untuk kepentingan negara dan tanah tumpah
darah. Ingat, menjadi seorang prajurit adalah menyerahkan diri
dalam pengabdian. Ini adalah landasan pertama yang harus ada
di dalam dada setiap prajurit."
Kedua prajurit yang mendengarkan kata-kata lurah Wira
Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
mereka pun merasakan arti dari kata-kata itu, tetapi mereka tidak
pandai untuk mengatakannya.
"Nah," lurah Wira Tamtama itu meneruskan, "bukankah
dengan demikian tugas seorang prajurit tidak hanya berkelahi,
bertempur dan berperang" Tidak setiap kali mencari persoalan
supaya ada kerja yang dilakukannya?"
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Banyak sekali yang harus dilakukan," sambung lurah itu pula,
"Apabila terjadi kerusuhan, kejahatan dan sebagainya, maka
prajurit pun harus berbuat untuk melindungi rakyat yang lemah.
Tetapi itu pun masih dapat disebut berkelahi atau bertempur.
Yang lain misalnya, apabila ada bencana. Bencana alam atau
bencana apa pun, maka pengabdian prajurit harus
ditunjukkannya juga. Masa-masa yang sulit. Kekeringan air atau
malahan banjir." "Ya," kedua prajurit itu masih mengangguk-anggukkan
kepalanya." "Itu adalah kewajiban-kewajiban lahiriah yang tampak oleh
mata kita," berkata lurah Wira Tamtama itu pula. "Yang lebih
penting dari itu adalah menanamkan keyakinan, bahwa prajurit
adalah pengabdian. Maka semua tindak-tanduk bahkan anganangannya
pun akan selalu berlandaskan pada keyakinan itu.
Pengabdian. Bukan sebaliknya dari itu."
"Ya, ya, Ki Lurah," berkata salah seorang prajurit itu,
"sekarang aku tahu bagaimana mengatakannya. Tetapi demikian
itulah yang membersit di dalam dadaku sebelum aku memasuki
prajurit." "Sebelum memasuki dunia keprajuritan" Lalu, sesudah itu,
maka keyakinanmu justru berubah?"
"Tidak, tidak. Bukan maksudku. Aku pun masih tetap
memegang keyakinan itu."
"Bagus," lurah Wira Tamtama itu berdesis. "Aku percaya
kepada kalian. Nah, sebenarnya, bahwa besok kalian akan turun
ke Jati Anom. Tetapi tidak seluruhnya. Sebagian dari kalian
masih harus tetap berjaga-jaga di padepokan ini. Meskipun
kemenangan kalian dapat disebut mutlak, tetapi otak dari
padepokan ini ternyata dapat melepaskan diri."
Kedua prajurit itu menarik nafas dalam-dalam, "Siapakah
yang akan tinggal di sini?"
"Sepertiga dari seluruh pasukan akan tinggal di sini."
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalian
akan menerima perintah nanti malam. Siapakah yang besok
akan turun ke Jati Anom dan siapa yang tinggal. Tidak banyak
bedanya. Yang tinggal di sini pun pasti akan mendapat bagian
dari keramaian yang akan diselenggarakan di Jati Anom. Kalau
tidak salah, maka ada lima ekor lembu yang tersedia buat kalian
di sini." Kedua prajurit itu tidak menjawab. Tetapi kepala mereka
terangguk-angguk kecil. Dan lurah prajurit itu berkata pula, "Sepertiga dari kalian akan
tinggal di sini, sepertiga di Jati Anom dan sepertiga dari kalian
diperkenankan untuk pulang ke rumah masing-masing untuk
waktu-waktu tertentu. Demikian bergiliran, sehingga kalian pasti
akan segera mendapat giliran pula. Perintah yang serupa akan
diberikan juga kepada pasukan di Sangkal Putung. Sepertiga
dari mereka akan bergiliran, kembali ke rumah masing-masing
untuk beristirahat."
Kedua prajurit itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, lakukanlah tugasmu baik-baik," berkata lurah Wira
Tamtama itu kemudian, "meskipun seolah-olah kalian sudah
tidak berhadapan dengan bahaya, tetapi jangan lengah. Kalau
datang waktunya kalian bertugas di regol padepokan ini, maka
tugas itu harus kalian lakukan dengan baik. Suatu saat, kalian
masih akan mendapat tugas yang cukup berat. Membawa para
tawanan ke Pajang." "Ya, Ki Lurah," jawab kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Lurah Wira Tamtama itu pun segera meninggalkan gardu itu.
Perlahan-lahan ia berjalan menyusur jalan padepokan untuk
melihat gardu-gardu yang lain.
Perlahan-lahan pula, maka malam pun turun menyelubungi
lereng gunung Merapi. Cahaya kemerah-merahan di puncak
gunung itu pun semakin lama menjadi semakin pudar. Asapnya
yang putih kemerahan mengepul seolah-olah ingin menggapai
bintang yang mulai bermunculan satu demi satu.
Beberapa buah obor mulai dipasang di gardu-gardu, di
perapatan dan di jalan-jalan padepokan yang masih dianggap
belum aman sama sekali. Dan malam pun menjadi semakin malam. Sehelasehelai
kabut yang tipis mengalir menyentuh padepokan yang seakanakan
sedang lelap dalam tidur yang nyenyak.
Padepokan itu terbangun, ketika ayam jantan mulai berkokok
bersahut-sahutan. Dari ujung ke ujung terdengar betapa riuhnya,
menyongsong warna fajar yang membayang di ujung Timur.
Ketika fajar kemudian menjadi semakin terang, dan semua
prajurit telah menunaikan kewajiban masing-masing, maka
mereka pun segera bersiap-siap untuk turun ke Jati Anom.
Sepertiga dari mereka masih harus tinggal di padepokan itu,
menjaga orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang terpaksa
diperlakukan sebagai tawanan. Beberapa orang perwira akan
tinggal pula di padepokan itu, untuk menjaga setiap
kemungkinan, seandainya Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya datang kembali. "Perintah segera akan disebarkan," berkata Untara kepada
para perwira itu. "Beberapa orang prajurit akan segara pergi ke
Sangkal Putung, sebagian akan pergi ke Prambanan dan
Pangrantunan. Para prajurit di Prambanan harus mengawasi
setiap gerakan yang mencurigakan. Apalagi apabila mereka
melihat gerakan yang datang dari seberang hutan Mentaok. Dari
Mentaok misalnya, apabila dendam Sidanti benar-benar tidak
terkendali." Para perwira itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Mereka menyadari bahaya yang dapat timbul apabila Sidanti
benar-benar datang membawa pasukan dari seberang Hutan
Mentaok. Tetapi kekuatan itu pasti sudah tidak akan sedahsyat
apabila mereka bergabung dengan kekuatan sisa-sisa orang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi.
"Untunglah, bahwa kekuatan-kekuatan yang dapat
membantunya di sini sudah tidak ada lagi," desis salah seorang
perwira. "Ya," sahut Untara, "aku mempunyai perhitungan, bahwa
Sidanti tidak akan berani datang membawa pasukannya apabila
perhitungannya masih jernih. Tetapi apabila Sidanti dan Ki
Tambak Wedi itu sudah menjadi mata gelap, serta mereka
berhasil menghasut Argapati, maka kemungkinan itu akan dapat
terjadi." "Ya," para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi apakah dengan demikian tidak berarti suatu
pemberontakan yang terang-terangan melawan Pajang, yang
akibatnya akan dapat membuat Tanah Perdikan Menoreh itu
menjadi parah?" "Pemberontakan itu memang sudah dimulai dari Tambak
Wedi ini," sahut Untara. "Tetapi meskipun demikian, aku tidak
yakin, bahwa Argapati memiliki sifat-sifat seperti Tambak Wedi.
Aku kira Argapati telah salah memilih guru buat puteranya, yang
sebenarnya memiliki bekal yang kuat di dalam dirinya."
"Mungkin," sahut salah seorang perwira, "tetapi menilik sikap
Argajaya, maka Argapati pasti setidak-tidaknya memiliki sifat
serupa." "Mudah-mudahan tidak. Argapati bukan keturunan seorang
pemberontak. Ia seorang yang baik, yang berjasa bagi Demak."
Para perwira itu terdiam. Dan Untara meneruskan, "Tetapi
semua kemungkinan dapat terjadi. Kuwajiban kita adalah siaga
menghadapi setiap kemungkinan, tanpa melepaskan
kewaspadaan sama sekali."
Sekali lagi para perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian, maka sampailah saatnya pasukan Pajang
yang berada di padepokan itu sebagian turun ke Jati Anom.
Untara sendiri memimpin langsung pasukannya. Di antara
pasukan yang turun ke Jati Anom itu, terdapat beberapa orang
yang bukan prajurit-prajurit Wira Tamtama. Di bagian depan, di
sisi Untara sendiri berjalan Wuranta. Langkahnya yang lemah,
serta kepalanya yang menunduk, membayangkan perasaannya
yang belum tenang benar. Sekalsekali ia menengadahkan
wajahnya dan melihat batu-batu yang berserakan di sebelahmenyebelah
jalan yang dilaluinya, namun kepala itu kemudian
tunduk lagi. "Kita pulang ke kampung halaman," desis Untara ya berjalan
di sampingnya. Wuranta berpaling, Jawabnya, "Sesudah mengalami masa
yang menggoncangkan hati."
Untara tersenyum. Katanya, "Pengalaman yang tidak akan
dapat dilupakan. Tetapi pengalaman adalah pelajaran yang baik
buat seseorang. Ia akan dapat menggurui kita di saat-saat
mendatang, supaya kita menjadi lebih berhathati dan lebih
cermat memperhitungkan keadaan dengan nalar."
Wuranta tidak menjawab. Dianggukkannya kepalanya
perlahan. Tetapi kemudian ia bertanya, "Kau tidak berkuda?"
Untara menggeleng, "Tidak."
"Apakah sebagian dari kuda-kuda yang dibawa oleh para
prajurit itu akan ditinggalkan di padepokan Tambak Wedi."
"Ya, hanya sebagian saja yang aku bawa kembali ke Jati
Anom. Di sini kuda-kuda itu diperlukan. Apabila terjadi sesuatu,
maka beberapa orang harus dengan cepat menyampaikan kabar
itu ke Jati Anom." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah
tidak bertanya lagi. Ketika ia memandang ke kejauhan, maka
dilihatnya sebuah dataran yang lepas menghijau jauh di bawah
kakinya. Hutan yang tidak terlampau lebat, kemudian tanah yang
coklat kehijauan. Jati Anom.
Pasukan itu pun menjalar menurut jalan kecil yang berkelokkelok
di sepanjang lereng Gunung Merapi, seperti seekor ular
raksasa yang turun dari puncak gunung yang sedang terbakar.
Dan ujung Gunung Merapi itu pun sebenarnya sedang
memerah seperti bara. Sinar matahari pagi telah mewarnai
puncak Merapi itu dengan warna darah.
Di belakang pasukan yang meluncur lambat, berjalan Agung
Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Beberapa langkah di
belakang mereka adalah Ki Tanu Metir. Mereka seolah-olah
terpisah dari pasukan Wira Tamtama yang berjalan dalam
barisan di hadapan mereka. Meskipun di lambung kedua anakanak
muda itu tergantung juga pedang, tetapi keduanya
langsung dapat dibedakan dari para prajurit Wira Tamtama itu.
"Aku sebenarnya segera ingin pulang ke Sangkal Putung,
Kakang," berkata Sekar Mirah kepada Swandaru.
"Aku juga, Mirah. Sebenarnya aku gembira mendengar
Kakang Agung Sedayu mengajak kita segera meninggalkan
padepokan ini apa pun alasannya. Tetapi ternyata kita masih
harus merayap di belakang barisan ini."
"Dan kita masih harus menunggu keramaian di Jati Anom
berakhir. Apakah sebenarnya yang akan diadakan di dalam
keramaian itu" Makan bersama atau wayang beber atau tayub?"
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, "Aku pun tidak
tahu. Tetapi maksudnya adalah, sekedar melepaskan
ketegangan yang selama ini telah mencengkam hati kita masingmasing."
"Tetapi aku belum terlepas dari ketegangan itu sebelum aku
bertemu dengan ibu dan ayahku," bantah Sekar Mirah.
"Ya, aku tahu, Mirah. Tetapi ini adalah sekedar sopan-santun
untuk menunjukkan terima kasih kita. Maksud Kakang Untara
adalah baik. Supaya kita ikut bergembira di dalam keramaian itu.
Kegembiraan yang pasti akan berkesan di hati kita, terutama
kau, Mirah, setelah kau terlepas dari tangan iblis-iblis itu."
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah
kakaknya yang gemuk. Tetapi Swandaru itu sedang
memandangi gerumbul-gerumbul liar di sebelah jalan yang
sedang mereka lalui. Bahkan seolah-olah tidak mendengar katakata
Agung Sedayu. Tetapi baik Sekar Mirah maupun Swandaru, bertanya di
dalam hatinya, "Kenapa Kakang Agung Sedayu kemarin dulu
malam menjadi seperti orang bingung dan hampir-hampir
membawa kami ke Sangkal Putung?"
Tetapi keduanya tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Keduanya menyimpannya di dalam hatinya.
Pasukan Pajang itu berjalan semakin lama semakin menurun.
Jalan menjadi semakin berkelok-kelok, menyusup di antara batubatu
besar yang menjorok, seolah-olah menghadang di jalan
yang akan mereka lalui. Perjalanan itu berlangsung dengan lancar. Tidak ada sesuatu
yang menghalangi mereka, sehingga mereka pada saatnya
sampai ke Jati Anom dengan selamat.
Ki Demang Jati Anom menjadi sibuk menerima pasukan
Pajang itu. Beberapa anak-anak muda menyambut pasukan itu
dengan wajah berserseri. Apalagi ketika mereka melihat Untara
dan Wuranta. Maka tanpa menghiraukan tata barisan lagi
langsung mereka mendapatkan mereka.
"Kalian adalah anak-anak muda Jati Anom yang luar biasa,"
berkata mereka sambil mengguncang-guncang lengan Untara
dan Wuranta. Untara sama sekali tidak ingin mengecewakan mereka,
sehingga diserahkannya barisan Wira Tamtama Pajang itu
kepada perwira bawahannya untuk mengaturnya. Sementara itu,
ia melayani kawan-kawannya semasa kanak-anak yang
mengerumuninya bersama Wuranta.
Kepada Wuranta, anak-anak muda itu berkata, "Maafkan kami
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuranta. Kami tidak tahu apa yang sedang kau lakukan saat itu.
Aku sangka kau terbujuk oleh orang-orang Tambak Wedi.
Ternyata kau adalah seorang pahlawan bagi Jati Anom."
"Ah," Wuranta berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
Salah seorang dari anak muda Jati Anom itu berkata,
"Kademangan ini telah dipersiapkan untuk menyambut kalian
berdua. Untara dan Wuranta. Kalian berdua adalah anak-anak
dari kademangan ini, dan kalian berdualah yang telah berhasil
memusnahkan musuh kita itu."
"Terima kasih," Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebagai seorang senapati, maka yang dilakukan itu adalah
sebagian dari kewajibannya. Tetapi sekali lagi Untara tidak mau
mengecewakan kawan-kawannya semasa kecil.
"Marilah, marilah," ajak anak-anak muda itu, "kami sudah
menyediakan jamuan khusus buat kalian berdua di
kademangan." "Terima kasih," sahut Untara, "aku akan berada di antara
anak buahku." "Mereka pun telah mendapat sambutan secukupnya. Tetapi
kami, kawan-kawan bermain semasa kanak-anak ingin
menyambutmu secara khusus, sebelum sambutan resmi besok
malam diadakan di pendapa kademangan."
"Terima kasih," jawab Untara dan Wuranta hampir
bersamaan. "Jangan kecewakan kami."
Untara akhirnya tidak dapat menolak lagi. Dilingkari oleh
anak-anak muda Jati Anom, mereka berdua dibawa langsung ke
gandok sebelah Timur kademangan.
Ketika mereka masuk ke dalamnya, maka mereka pun segera
tertegun. Ternyata di gandok itu telah tersedia makanan yang
berlimpah-limpah. Nasi putih, beberapa buah ingkung ayam, dan
lauk pauk beraneka rupa. "Kamlah yang memasaknya," berkata salah seorang anak
muda Jati Anom. "Kau?" bertanya Untara.
"Maksudku, anak-anak muda dan gadis-gadis. Kami masak
khusus untuk kalian berdua, sedang perempuan-perempuan
yang lain masak untuk para prajurit."
Dada Untara menjadi berdebar-debar. Sambutan itu tidak
disangka-sangkanya. Apalagi Wuranta. Terasa
kerongkongannya justru menjadi kering.
"Mungkin masakan ini tidak seenak masakan yang
disuguhkan bagi para prajurit. Tetapi aku kira inilah yang paling
kami banggakan. Ini adalah ungkapan dari kegembiraan dan
terima kasih kami, karena kalian berdua telah membebaskan
kami dari ketakutan."
"Bukan kami berdua. Bukan aku dan Wuranta," sahut Untara,
"tetapi seluruh pasukan yang ada di sini, bahkan seluruh rakyat
di Jati Anom." "Apa yang telah kami lakukan selain mengungsi?" bertanya
salah seorang anak muda itu.
"Kalian telah mengungsi. Kalian tidak bersedia membantu
orang-orang Sidanti dan orang-orang Sanakeling, itu adalah
bantuan yang besar sekali bagi kami."
"Ah," desis salah seorang dari mereka, "pujian itu berlebihlebihan.
Tetapi baiklah, kami senang mendengarnya, Sekarang,
marilah. Makanlah. Kalian pasti sedang lapar dan haus."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wuranta.
Katanya, "Kita tidak dapat menolak, Wuranta."
Sentuhan-sentuhan di dada Wuranta masih terasa
mendebarkan jantungnya. Perlahan-lahan ia menganggukkan
kepalanya, "Kita tidak dapat menolak."
Mereka pun kemudian duduk di antara anak-anak muda itu.
Terdengar di sana-sini suara mereka tertawa. Sementara itu
para prajurit pun telah di tempatkan di tempat yang telah
disediakan. Pendapa, gandok yang sebelah, dan beberapa
rumah di sekitar kademangan itu.
Tetapi karena kesibukan masing-masing, maka baik Untara
maupun perwira yang diserahinya, tidak ingat lagi bahwa di
antara mereka terdapat Ki Tanu Metir, Agung Sedayu,
Swandaru, dan Sekar Mirah.
Sehingga dengan demikian, ketika para prajurit Pajang telah
mendapat tempatnya masing-masing, maka Ki Tanu Metir,
kedua muridnya, dan Sekar Mirah itu masih berada di halaman
kademangan. Sejenak mereka berdiri termangu-manggu. Prajurit-prajurit
Pajang yang berada di halaman itu semakin lama menjadi
semakin tipis, karena masing-masing segera pergi ke pondok
yang telah disediakan untuk beristirahat.
"Kemanakah kita pergi?" bertanya Sekar Mirah kepada
kakaknya. Swandaru tidak menjawab, tetapi ia berpaling memandangi
Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, namun ia pun
tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Karena Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab, maka
Sekar Mirah berkata pula, "Apakah kita memang tidak masuk
hitungan, Kakang?" "Ah," Ki Tanu Metir-lah yang menyahut, "jangan berpikir
begitu, Ngger. Suasana di kademangan ini masih berada dalam
keadaan perang. Sehingga semua perhatian bercurah kepada
para prajurit dan kelengkapannya. Tetapi aku yakin, bahwa
mereka sama sekali tidak bermaksud apa-apa terhadap kita. Ini
adalah suatu kekhilafan yang tidak disengaja saja."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
berdesis, "Dan kita harus berdiri saja di sini menunggu
seseorang mempersilahkan kita?"
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Ditebarkannya
pandangan matanya berkeliling. Ia melihat beberapa orang
perwira sibuk mengurus para prajurit itu serta beberapa
pimpinan kademangan mengatur tempat dan perlengkapannya.
"Marilah kita duduk di gardu itu sebentar. Di sini semakin lama
menjadi semakin panas."
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya, "Aku akan tetap
berdiri di sini sampai seseorang mempersilahkan aku."
(***) Buku 28 AGUNG SEDAYU menarik nafas dalam-dalam. "Jangan
Mirah. Kau akan kepanasan. Sebaiknya kita duduk sebentar di
gardu itu. Aku dapat mengurus apa yang harus kita lakukan. Aku
akan mencari Kakang Untara."
"Tidak perlu, Kakang. Kita tamu di sini. Kita tidak perlu
mencari orang untuk mempersilahkan kita. Kalau kita tetap di sini
dan tetap tidak seorang pun yang mempersilahkan kita, maka
lebih baik kita kembali hari ini ke Sangkal Putung. Ayahku pun
seorang demang seperti pemimpin tertinggi kademangan ini."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
perlahan-lahan dan hathati, "Angger Sekar Mirah. Jangan
merajuk. Suasana peperangan adalah seperti ini. Kedatangan
Angger Agung Sedayu di Sangkal Putung juga disambut
denggan perang tanding. Hal-hal serupa ini memang sering
terjadi. Dan kitalah yang harus menyesuaikan diri. "
"Tetapi sama sekali bukan permintaan kita untuk datang minta
perlindungan ke Jati Anom. Kehadiran kita di sini sama sekali
bukan atas kehendak kita sendiri."
"Ya, Ngger, Angger benar. Tetapi sebaiknya kita juga dapat
Mengerti," Ki Tanu Metir itu berhenti sejenak. "Dan bukankah
Angger Agung Sedayu di sini sama sekali bukan tamu" Ia
adalah salah seorang dari tuan rumah. Angger Agung Sedayu
dapat mempersilahkan kita, setidak-tidaknya singgah sebentar di
rumahnya." "Oh," Agung Sedayu seolah-olah tersadar dari anganangannya,
"baiklah. Marilah, aku persilahkan Kiai dan adi
Swandaru serta Sekar Mirah untuk singgah di rumah."
Swandaru berdiri saja seperti patung. Hatinya memang
dibingungkan oleh keadaan di sekitarnya. Ia dapat mengerti
keterangan Ki Tanu Metir, tetapi ia merasa seperti yang
dirasakan oleh adiknya. Sesaat mereka menjadi termangu-mangu. Sekar Mirah sama
sekali tidak beringsut dari tempatnya, di samping pagar halaman
kademangan, di bawah sebatang pohon nyiur.
"Marilah," Agung Sedayu mempersilahkan sekali lagi,
"rumahku tidak begitu jauh."
Tak ada jawaban. Sekar Mirah sama sekali tidak berkisar.
Bahkan berpaling pun tidak. Sedang Swandaru masih juga
berdiri termangu-mangu. Agung Sedayu kemudian menjadi gelisah. Setiap kali
dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut. Tetapi
agaknya Ki Tanu Metir pun belum menemukan sikap yang
sebaik-baiknya menghadapi keadaan.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang
menyapa, "He, Agung Sedayu. Kenapa kau berdiri saja di situ?"
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya seorang anak muda
berjalan menemuinya. "Untara berada di gandok Wetan," berkata anak muda itu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku
datang bersama tamu-tamu ini."
Anak muda itu memandangi mereka satu demi satu.
Swandaru dan Ki Tanu Metir serasa pernah dilihatnya. Tetapi
gadis ini sama sekali belum.
"Kenapa tidak kau persilahkan mereka masuk?" berkata anak
muda itu. "Kalianlah yang harus mempersilahkannya."
Pemuda itu menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, "Marilah
ke gandok Wetan. Di sana akan kalian temui Untara dan anakanak
muda yang lain." "Apakah mereka sedang berunding, atau membicarakan hal
yang penting?" "Tidak, kami, anak-anak muda Jati Anom sedang
menjamunya sebagai pernyataan terima kasih kami. Marilah."
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya
wajah Sekar Mirah yang menjadi kemerah-merahan karena
panas matahari yang serasa membakar halaman itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengajaknya memenuhi
pemintaan anak muda Jati Anom yang mempersilahkan mereka.
Ia masih ragu-ragu melihat wajah Sekar Mirah yang seakanakan
acuh tidak acuh. Ki Tanu Metir melihat keragu-raguan itu. Orang tua itu
mengangguk-angguk kecil. Di sini ia melihat berbagai perangai
anak-anak muda yang berbeda-beda. Yang di antaranya tanpa
sengaja telah menyinggung perasaan masing-masing.
Orang tua itu melihat watak Untara sebagai seorang senapati
muda. Seakan-akan anak itu memang dilahirkan untuk menjadi
seorang senapati yang keras dan mengikat diri dalam
kuwajibannya. Setiap soal dikaitkannya dengan pendiriannya
sebagai seorang senapati.
Adiknya, meskipun perkembangan sifatnya telah membentuk
menjadi seorang Agung Sedayu yang sekarang, tetapi ia masih
selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Anak itu belum dapat
meyakini dirinya dalam suatu pendirian. Ia masih selalu
memerlukan orang lain untuk memperkuat pendapatnya. Ia
masih memerlukan orang lain untuk memperbincangkan setiap
pikirannya. Pengaruh kakaknya sebagai seorang anak laklaki
yang jantan. Sedang muridnya yang lain, Swandaru adalah seorang yang
hampir tidak mengacuhkan apa pun kecuali kesenangannya
sendiri. Meskipun demikian, anak muda itu kadang-kadang
berhasil juga melihat suasana dalam menentukan langkahnya.
Namun setiap kali sifat-sifatnya itu lepas juga dalam peledakanpeledakan
yang sering terlampau aneh, terlampau berpusar
pada kepentingan dan selera sendiri.
Sedang Sekar Mirah adalah seorang gadis yang tinggi hati.
Kehidupannya sebagai seorang putri demang yang kaya di
daerah yang kaya telah membuatnya terlampau manja.
Meskipun gadis itu bukan gadis yang hanya duduk menghias
diri, bahkan gadis itu tidak segan-segan pula melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang cukup berat di rumahnya, tetapi
semuanya itu didorong oleh kehendak untuk memimpin gadisgadis
dan perempuan-perempuan di dalam kademangan itu. Ia
ingin memberikan contoh yang baik bagi mereka, apakah yang
harus mereka lakukan. Namun setiap sentuhan perasaan telah
membuatnya merajuk dan murung.
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali
ia harus menilai keseimbangan sifat-sifat itu. Setiap kali ia harus
melihat dan melengkapi pengamatannya atas anak-anak muda
itu. Lebih-lebih Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya adalah
murid- muridnya.Atas keduanya ia harus melihat dengan jelas.
Sifat, watak, kebiasaan dan kesenangan masing-masing.
"Sekian lama aku berada di antara mereka," berkata orang
tua itu di dalam hatinya, "tetapi aku belum menemukan pribadipribadi
mereka selengkapnya."
Dalam pada itu, sekali lagi mereka mendengar anak muda
Jati Anom mempersilahkan. "He, Agung Sedayu, kenapa kau
justru termenung. Marilah. Ajak tamu-tamumu masuk ke gandok
Wetan. Untara dan Wuranta berada di sana pula."
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi wajah
Sekar Mirah. Ia ragu-ragu untuk mengucapkan kata-kata, karena
Sekar Mirah masih juga bersikap acuh tak acuh.
Ketika Agung Sedayu memandangi wajah Swandaru,
Kutukan Makam Mummy 2 Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis Badai Awan Angin 15
menunggu perintahnya untuk berbuat sesuatu, supaya aku
mendapat kepercayaan dan langsung menjadi seorang prajurit
Wira Tamtama yang terpandang."
"Oh, kesempatan yang luar biasa," tiba-tiba mata Swandaru
menjadi berserseri. Kalau saja kesempatan itu ada juga
buatnya maka ia akan menjadi sangat bergembira. Maka
katanya , "Ka"kang, tolong katakan kepada Kakang Untara,
bahwa aku pun ingin mendapat kesempatan yang serupa. Aku
tidak harus mulai dari tataran yang paling rendah. Untuk itu, aku
tidak terlampau berkeberatan, seandainya aku harus menjadi
seorang prajurit yang paling bawah dalam keadaan yang wajar.
Tetapi biasanya kesempatan untuk dapat merambat ketingkat
yang lebih tinggi terlampau sulit. Tetapi justru syarat-syarat itu
tidak pernah diperhatikan, yang diperhatikan adalah masalahmasalah
lain. Hanya orang-orang yang terdekat dengan lurahlurah
Wira Tamtama sajalah yang mendapat perhatian mengenai
kemampuan dan keprigelannya."
Agung Sedayu menjadi semakin bingung mendengar jawaban
Swandaru itu. Ternyata Swandaru justru tertarik kepada
ceriteranya yang dengan susah payah disusunnya untuk
melepaskan diri dari kebingungan. Tetapi ia kini terperosok ke
dalam kebingungan yang baru.
"Nah, bagaimana Kakang?"
Tiba-tiba Agung Sedayu menengadahkan dadanya. Ia
menemukan jawaban yang untuk sementara dapat
membebaskannya dari ketegangan ini. Katanya, "Justru itulah
yang aku tidak mau, Adi Swandaru."
Swandaru mengerutkan keningnya. Wajahnya yang bulat
menjadi berkerut merut. "Kenapa?" dengan ragu-ragu ia bertanya.
"Aku menyadari bahwa kesempatan yang diberikan oleh
Ka"kang Untara itu adalah kesempatan seperti yang kau
katakan. Aku diterima menjadi seorang Wira Tamtama, bahkan
mungkin se"orang yang langsung mendapat kedudukan yang
baik, bukan karena jasa-jasaku sebagai seorang prajurit. Hal itu
dapat terjadi karena aku adalah adik Kakang Untara. Aku tidak
mau. Aku tidak mau. Itulah sebabnya aku harus menghindarkan
diri dari padepokan ini sebelum Kakang Untara memaksaku.
Bagiku Adi Swandaru, lebih baik menjadi seorang prajurit yang
memanjat tataran demi tataran, tetapi karena hasil keringatku
sendiri daripada aku langsung mendapat kedudukan yang baik,
tetapi hanya karena aku seorang adik dari Kakang Untara. Dari
seorang senapati yang telah berjasa dapat menyelesaikan sisasisa
orang-orang Jipang di bagian Selatan ini. Tetapi yang
berjasa adalah Kakang Untara. Bukan aku. Seandainya
mendapat wisuda seharusnya juga Kakang Untara, bukan aku."
"Oh," Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari
mulutnya terdengar ia berdesis, "itukah sebabnya kau ingin
meninggalkan padepokan ini?"
"Ya," jawab Agung Sedayu, "aku tidak mau. Aku akan pergi ke
Sangkal Putung. Mungkin kelak aku ingin menjadi seorang
prajurit di sana. Pada pasukan Paman Widura."
"Tetapi Paman Widura adalah pamanmu pula Kakang. Kalau
ternyata kau mendapat kesempatan, maka kau akan
menyangka, bahwa kesempatan itu kau terima justru kau
kemanakannya." Agung Sedayu terdiam. Pertanyaan ini tidak segera dapat
dijawabnya. Sekali lagi ia mencoba memutar nalarnya untuk
membebaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang membuat
kepalanya menjadi pening.
Sekali lagi ruangan itu terdampar ke dalam kesenyapan yang
tegang. Tubuh Agung Sedayu telah menjadi basah oleh keringat
dingin yang seolah-olah diperas dari tubuhnya. Sekalsekali ia
menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenteramkan
hatinya. Baru sejenak kemudian Agung Sedayu menjawab, "Mungkin
aku mempunyai perasaan yang demikian pula, Adi Swandaru,
tetapi pasti tidak akan terlampau tajam seperti saat ini. Apabila
aku harus memenuhi perintah Kakang Untara dan menghadap Ki
Gede Pemanahan, maka segera aku akan terlempar ke atas. Itu
pasti tidak akan dapat memberi ketenteraman di hatiku. Apalagi
aku tahu, bahwa prajurit-prajurit yang kemudian berada di
bawahku ada"lah orang-orang yang telah berjuang cukup lama
dan mempunyai jasa yang cukup besar buat Pajang.
Kemampuan dan pengalaman ada pula yang melampaui aku.
Nah, aku tidak akan dapat melakukan tugas yang demikian."
Agung Sedayu memandangi Swandaru Geni untuk mencoba
menangkap kesan kata-katanya di hati adik seperguruannya itu.
Dan ia melihat Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Karena itu, maka hati Agung Sedayu menjadi agak tenteram. Ia
mengharap Swandaru dapat mempercayainya.
Dan dengan tiba-tiba saja Swandaru bertanya, "Jadi
bagaimanakah maksudmu, Kakang" Apakah kau akan segera
berangkat?" Dada Agung Sedayu kini dihentak oleh kebimbangannya.
Justru karena pertimbangan-pertimbangan yang kemudian
tumbuh di dalam hatinya. Justru karena pertanyaan Sekar Mirah
tentang Ki Tambak Wedi yang mungkin mereka temui di jalan.
"Kalau aku ingin lari dari persoalan ini, maka akulah yang
seharusnya menjumpai akibat yang betapapun beratnya. Tidak
sewajarnya aku menyeret kedua kakak beradik itu ke dalam
bencana," desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi hati itu
seakan-akan diliputi oleh kegelapan. Itulah sebabnya maka
pertimbangan-pertimbangannya menjadi kabur dan ragu-ragu.
"Kakang," terdengar Swandaru meneruskan kata-katanya,
"apabila kakang menghendaki kami ikut dengan Kakang
berangkat saat ini juga, maka kami pasti tidak akan keberatan.
Kami tahu bahwa kau sedang diamuk oleh kebimbangan dan
keragu-raguan. Mungkin aku dan Sekar Mirah kurang dapat
memahami caramu berpikir dan mempertimbangkan
persoalanmu, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin
membingungkan diriku sendiri dan menambah kau menjadi
bingung. Sekarang bagaimana pertimbanganmu" Berangkat
sekarang atau tidak" Kami akan mengikuti kau. Sebab tanpa kau
di sini, maka kami akan menjadi orang asing. Ternyata prajuritprajurit
Pajang yang di sini, sebagian terbesar bukan prajuritprajurit
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Hanya satu dua
orang sajalah yang mengenal aku dan Sekar Mirah. Selainnya
adalah orang asing bagiku, seperti aku juga orang asing bagi
mereka. Karena itu, katakanlah keputusanmu. Aku dan Sekar
Mirah tidak akan menolak. Kau bagi kami adalah orang terdekat
di sini, selain Guru."
Tetapi ternyata kata-kata Swandaru itu membuat Agung
Sedayu semakin bingung. Ia kini benar-benar tidak tahu apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus dikatakan.
Keringatnya menjadi semakin deras mengalir di punggung dan
tengkuknya. Ia sudah terperosok semakin jauh ke dalam
persoalan dan ceritera yang disusunnya, namun yang semakin
membingungkannya sendiri.
Karena itu, maka ia pun sekali lagi terbungkam. Sekalsekali
tangannya meraba keningnya mengusap titik keringat yang
menetes. Swandaru melihat wajah Agung Sedayu yang pucat itu. Ia
pun tiba-tiba menjadi bingung sendiri. Tetapi untuk mengurangi
dan meredakan ketegangan perasaan Agung Sedayu, maka
Swandaru tidak bertanya lagi.
Sekar Mirah yang duduk di dekat Swandaru pun menjadi
ti"dak kalah bingungnya. Ia tidak mengerti pendirian Agung
Sedayu, tetapi ia merasakan bahwa ada sesuatu yang telah
disembunyikan oleh anak muda itu. Dan yang disembunyikan itu
menurut dugaan Sekar Mirah, pasti menyangkut dirinya dan
kakaknya Swandaru. Namun Sekar Mirah pun tidak bertanya
sesuatu. Seperti Swandaru, ia tidak ingin membuat Agung
Sedayu bertambah bingung.
Tetapi keheningan dalam ruangan itu terasa semakin lama
semakin tegang. Keringat di punggung, tengkuk, dan kening
Agung Sedayu menjadi semakin deras mengalir.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba mereka serentak mengangkat
wajah-wajah mereka. Terdengar langkah-langkah kaki dekat
sekali di luar dinding ruangan itu. Kemudian terdengar suara
gemerisik mendekati pintu di sepanjang dinding rumah.
Agung Sedayu dan Swandaru tanpa berjanji segera meloncat
berdiri. Tangan-tangan mereka melekat di hulu pedang, sedang
Sekar Mirah pun telah berdiri pula di belakang Swandaru.
"Ah," tiba-tiba mereka mendengar suara berdesah, "daerah ini
kini adalah daerah yang aman. Kenapa kalian menjadi gelisah
dan mudah sekali menjadi terkejut?"
Ketiga anak-anak rnuda itu menarik nafas dalam-dalam.
Suara itu sudah amat mereka kenal. Suara Ki Tanu Metir.
Tergopoh-gopoh Swandaru melangkah ke pintu dan menarik
selaraknya. Ketika pintu itu terbuka, mereka melihat Ki Tanu
Metir berdiri sambil tersenyum, katanya, "Hanya kegelisahan di
hati kalianlah yang telah membuat kalian menjadi cemas
menanggapi setiap persoalan. Kalian menjadi terlampau mudah
terkejut dan kadang-kadang bingung."
Agung Sedayu dan Swandaru menundukkan kepalanya.
Kata-kata gurunya terasa tepat menyentuh jantung mereka yang
berdentangan. "Duduklah. Sebaiknya kita bersikap wajar. Kenapa kalian
menjadi gelisah, cemas dan bahkan pucat seperti melihat
hantu?" Agung Sedayu dan Swandaru menjadi semakin tunduk.
Perlahan-lahan mereka melangkah dan duduk kembali di atas
amben bambu, sementara Ki Tanu Metir sendirilah yang
menutup pintu. Ketika pintu sudah tertutup rapat, maka Ki Tanu Metir itu pun
kemudian melangkah ke amben itu pula dan duduk di antara
mereka. Di antara ketiga anak-anak muda yang sedang
dicengkam oleh persoalan yang tidak begitu jelas.
Demikian Ki Tanu Metir duduk, ia bergumam, "Pintu itu tidak
usah diselarak. Tidak akan ada orang yang masuk untuk
kepentingan apa pun di malam begini. Di sini, dalam keadaan ini,
pasti tidak ada pencuri, dan tidak akan ada orang-orang Jipang
atau orang-orang Tambak Wedi yang akan datang."
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab. Sedang
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia tahu
benar maksud kata-kata gurunya.
"Di luar dinginnya bukan main," desah gurunya itu. Tetapi
tiba-tiba nada suaranya meninggi. "Tetapi kenapa kalian" Aku
lihat baju kalian menjadi basah oleh keringat. Apakah udara di
dalam rumah ini sangat panas?"
Masih belum ada yang menjawab.
"Aku kira di dalam ini pun cukup sejuk, meskipun tidak
sedingin di luar," Ki Tanu Metir berhenti sebentar. "He, apakah
rumah ini beratap ijuk atau daun lalang" Memang kedua-duanya
dapat menahan dingin. Apabila udara dingin, maka ruangan di
sini tidak akan terlampau dingin. Tetapi apabila udara panas,
ruangan ini akan menjadi cukup sejuk, tidak seperti dipanggang
di atas bara." Belum ada jawaban. "Aku tidak begitu memperhatikan. Apakah kalian melihatnya
siang tadi?" Swandaru dan Agung Sedayu mengangkat wajah-wajah
mereka sejenak, tetapi wajah-wajah itu tertunduk kembali.
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. "Kalau
begitu kalian seolah-olah mandi keringat bukan karena panasnya
uda"ra. Mungkin kalian sedang ketakutan. Begitu?"
Kini seperti berjanji keduanya menjawab, "Tidak, Guru."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, ya,
mungkin kalian tidak sedang ketakutan. Tidak pula sedang
kepanasan. Tetapi kenapa kalian gelisah" Ketika kalian
mendengar suara kakiku berdesir di samping dinding rumah ini,
kalian terkejut. Aku mendengar gerak kalian. Kalian segera
berloncatan seperti ada seorang musuh yang mengintip. Aku
pun kemudian mengintip. Dan aku melihat tangan kalian telah
melekat di hulu pedang sebelum pintu itu terbuka. Nah, apakah
yang sudah terjadi atas kalian sehingga kalian menjadi gelisah,
dan bahkan seolah-olah ketakutan" Apakah ada persoalan yang
membuat kalian cemas" Ancaman dari seseorang misalnya,
atau tantangan dari orang yang kalian anggap jauh lebih tinggi
ilmu tata beladirinya daripada kalian?"
Sejenak Agung Sedayu dan Swandaru berdiam diri. Namun
kemudian hampir bersamaan mereka menggelengkan kepala
mere"ka, "Tidak, Guru."
"Kalau begitu, apakah yang telah merisaukan hati kalian?"
Sekali lagi anak-anak muda itu terbungkam.
"Nah, aku tahu sekarang," berkata Ki Tanu Metir sambil
tersenyum, "yang merisaukan itu pasti kalian sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sedang
Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka masih saja berdiam
diri. Tetapi yang menjawab justru Sekar Mirah, "Ya, Kiai. Yang
merisaukan kami adalah hati kami sendiri."
Ki Tanu Metir tertawa perlahan, "Begitulah. Karena itu jangan
kau turuti perasaan hati. Setiap persoalan pertimbangkan
masak-masak dengan nalar, jangan semata-mata dengan
perasaan. Dengan demikian kalian tidak akan dicemaskan oleh
hal-hal yang sama sekali tidak perlu."
Terdengar nafas Ajung Sedayu semakin cepat mengalir lewat
lubang-lubang hidungnya. Terengah-engah, seolah-olah baru
saja bergulat dengan hantu. Apalagi ketika gurunya berpaling
kepadanya dan langsung bertanya, "Apakah yang membuat kau
menjadi cemas?" Agung Sedayu tidak segera menjawab.
"Bukankah kau baru datang dari banjar padepokan
menghadap kakakmu?" "Ya, Guru. Aku memang baru saja menghadap Kakang
Untara di banjar." "Hem," Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya,
"kalau begitu, pasti ada pembicaraan yang membuat kau
bingung atau risau. Membuat kau kehilangan ketenangan dan
pertimbangan. Begitu?"
Sejenak Agung Sedayu tidak dapat mengucapkan sepatah
kata pun. Meskipun bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak
terdengar jawaban dari mulutnya.
"Baiklah, mungkin pertanyaanku membuat kau semakin
bingung," berkata Ki Tanu Metir kemudian, "karena itu, sekarang
tenangkanlah hatimu. Sebaiknya kau pergi tidur. Angger
Swandaru dan Angger Sekar Mirah pun sebaiknya pergi tidur
pula."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi justru hal itu telah membuat hati Agung Sedayu
semakin kisruh. Apabila ia harus pergi tidur, dan besok pagpagi
ia masih berada di padepokan itu, maka ia akan mengatami
kesulitan yang lebih besar. Ia harus meninggalkan pondokan itu.
Ia harus bersama dengan kakaknya. Apakah yang akan
dikatakannya kepada Swandaru dan Sekar Mirah" Tetapi yang
lebih menggelisahkan lagi adalah, bahwa ia tidak boleh
berhubungan dengan gadis itu. Ia tidak boleh pergi ke Sangkal
Putung dan seterusnya ia harus menjadi seorang prajurit.
Sebenarnya menjadi seorang prajurit itu sendiri sama sekali
tidak menakut-nakuti hati Agung Sedayu. Yang paling
menggelisahkannya adalah kemungkinan, bahwa ia harus
berpisah dengan Se"kar Mirah. Agung Sedayu yang masih
muda itu tidak tahu pasti, ikatan apakah yang ada di dalam
hatinya. Ia tidak menyadari, apa"kah yang telah membuatnya
seperti kehilangan akal karena kemungkinan perpisahan itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak segera dapat
menjawab kata-kata gurunya, tetapi ia juga tidak beranjak dari
tempatnya untuk pergi tidur di sudut amben itu juga. Bukan saja
Agung Sedayu, tetapi Swandaru dan Sekar Mirah pun sama
sekali tidak berkisar. Ki Tanu Metir itu pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu, bahwa perasaan Agung Sedayu benar-benar
sedang kacau. Ia tidak dapat lagi berpikir bening, dan ia tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Usianya memang masih
cukup muda dan pengalamannya pun masih belum cukup
banyak. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak lagi sampai hati untuk
membiarkan muridnya kehilangan akal. Meskipun agak sulit
juga, namun ia berusaha untuk menolong melepaskannya dari
kebingungan. Maka katanya, "Swandaru, tungguilah adikmu itu
beristirahat. Biarlah aku bawa kakakmu Agung Sedayu berjalanjalan
sebentar. Mungkin dengan demikian, ia akan menjadi agak
tenang." Swandaru yang telah dibingungkan oleh keadaan itu pula,
begitu saja menganggukkan kepalanya dan menjawab,
"Silahkan, Guru."
"Baiklah. Kalau dapat, tidurlah kalian berdua. Tidak akan ada
apa-apa lagi di sini. Percayalah."
"Ya, Guru," jawab Swandaru. Meskipun demikian, ia tetap
tidak mengerti akan persoalan yang dihadapinya.
Ki Tanu Metir pun kemudian membawa Agung Sedayu keluar
lagi dari rumah itu. Oleh Swandaru, pintunya pun segera ditutup
kembali. Ia menyuruh Sekar Mirah untuk mencoba berbaring dan
apabila mungkin untuk tidur, supaya badannya menjadi agak
segar. "Apakah kau juga akan tidur, Kakang?"
"Tentu, aku juga akan tidur."
Tetapi Swandaru tidak melepas pedangnya. Dicobanya juga
berbaring di amben yang besar itu pula. Tetapi ternyata
keduanya sama sekali tidak memejamkan matanya.
Sementara itu, Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah keluar
dari halaman rumah itu. Mereka terhenti ketika mereka
berpapasan dengan dua orang prajurit peronda.
"Siapa?" salah seorang dari prajurit itu menyapa.
Ki Tanu Metir terbatuk-batuk sedikit, kemudian jawabnya,
"Aku Ngger, Tanu Metir."
"O," prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "malammalam,
Kiai?" "Berjalan-jalan, Ngger. Aku tidak dapat tidur."
"Silahkan, Kiai," sahut salah seorang prajurit itu, yang
kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu.
Maka keduanya pun segera melangkahkan kaki mereka.
Mereka berjalan menyusur jalan padepokan, kemudian berbelok
ke jalan-jalan sempit yang sepi.
Tetapi Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu masih saja berdiam
diri. Ki Tanu Metir belum bertanya sesuatu, dan Agung Sedayu
tidak dapat mulai dengan sebuah percakapan apa pun.
Yang terdengar kemudian hanyalah desir kakkaki mereka di
atas tanah yang keras. Sekalsekali angin lereng yang dingin
bertiup menggugurkan daun-daun kering dan menebarkannya di
sepanjang jalan. Di kejauhan terdengar lamat-lamat suara
burung kedasih yang sedih.
Baru sejenak kemudian terdengar Ki Tanu Metir berkata, "Aku
mendengar percakapan kalian seluruhnya di pondok, Ngger."
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar kata-kata gurunya.
Tetapi ia tidak segera dapat menyahut.
"Aku dapat mengerti, bahwa kau sedang dalam kebingungan.
Tetapi aku menyangka, bahwa kau tidak berkata sebenarnya
terhadap Angger Swandaru dan Sekar Mirah. Ada sesuatu yang
kau sembunyikan atau bahkan apa yang kau katakan seluruhnya
tidak benar." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Setelah sekian
lama ia menahan kegelisahan di dalam dadanya, tiba-tiba ia
merasa mendapat tempat untuk menumpahkannya. Ia hampir
lupa, bahwa ia mempunyai seorang guru yang akan dapat
memberinya nasehat, dan sekaligus tempat untuk meringankan
beban yang menyesak di dadanya.
Karena itu, sebelum Ki Tanu Metir mengulangi
pertanyaannya, Agung Sedayu segera menjawab, "Ya, Kiai. Aku
telah berdusta. Aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya."
"Ya, kau tidak dapat berkata sebenarnya. Apakah soalnya?"
Agung Sedayu pun segera menceriterakan pertemuannya
dengan kakaknya dan Wuranta. Dikatakannya semua dari awal
sampai akhir, sehingga ia menjadi terlampau bingung dan ingin
meninggalkan padepokan malam ini juga.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya
ia bergumam, "Aku sudah menyangka, bahwa suatu ketika
Angger Untara akan sampai kepada keputusan itu. Beberapa
kali telah disinggungnya, seakan-akan hubungan antara Angger
Agung Sedayu dan Angger Sekar Mirah hanya akan
menghambat kemajuan Angger Sedayu dan hanya akan
menumbuhkan perselisihan saja. Tetapi Angger Untara ternyata
kurang bijaksana menanggapi persoalan-persoalan yang
demikian." Dan malam ternyata telah menjadi terlampau jauh, sehingga
tiba-tiba saja mereka telah mendengar ayam jantan berkokok
bersahutan. Seperti hantu yang takut kamanungsan, tiba-tiba
Agung Sedayu menjadi semakin gelisah dan tanpa sesadarnya
ia berkata, "Kiai, aku harus pergi sebelum pagi. Aku tidak dapat
melakukan semua perintah Kakang Untara."
"Yang mana yang tidak dapat kau lakukan, Ngger?"
Agung Sedayu tiba-tiba terdiam. Pertanyaan itu telah
memaksanya untuk bertanya pula kepada diri sendiri, "Yang
manakah yang tidak dapat dilakukannya?"
"Apakah kau memang tidak ingin menjadi seorang prajurit,
atau ada persoalan lain yang lebih mengikat dari pada itu?"
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi kepalanya kini
tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar ketika di dalam
dadanya bergolak pengakuan, bahwa yang paling memberati
dadanya adalah perpisahan dengan Sekar Mirah itu. Tetapi ia
tidak dapat mengatakan kepada Ki Tanu Metir dengan terbuka.
Sejenak keduanya terdiam. Angin yang berhembus terasa
seolah-olah menjadi semakin dingin membelai tubuh mereka.
Kokok ayam jantan pun menjadi semakin riuh pula. Ketika tanpa
mereka sadari, mereka menengadahkan wajah mereka, maka
tampaklah warna kemerah merahan di langit.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu
Metir-lah yang kemudian berkata, "Angger Sedayu, aku kira
Angger Agung Sedayu kini telah benar-benar menjadi seorang
laklaki. Itulah sebabnya aku menduga, bahwa Angger tidak
akan takut untuk menjadi seorang prajurit. Sebelum Angger
menjadi prajurit, Angger telah berani terjun di medan-medan
perang yang paling dahsyat. Angger telah ikut serta dalam
peperangan di Sangkal Putung dan di padepokan ini. Tetapi,
agaknya yang paling berat bagi Angger adalah keinginan Angger
Untara, bahwa Angger harus memutuskan hubungan dengan
Angger Sekar Mirah. Adakah begitu?"
Betapa dinginnya malam, namun baju Agung Sedayu telah
dijalari oleh keringat yang mengalir dari punggungnya. Terbatabata
ia menjawab, "Ya, Kiai."
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, "apakah
Angger tidak dapat melakukannya untuk sementara" Bukankah
di saat-saat mendatang kesempatan masih luas bagi Angger
untuk dapat bertemu dan berhubungan dengan Angger Sekar
Mirah?" Pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab oleh Agung
Sedayu, perpisahan dengan Sekar Mirah terasa terlampau berat
baginya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh Untara hanya
karena sekedar menyenangkan hati Wuranta. Maka hati Agung
Sedayu menjadi semakin tidak rela. Meskipun ia tahu peranan
apa yang telah dilakukan oleh Wuranta, seolah-olah kunci
kemenangan peperangan di padepokan ini adalah di tangan
anak muda Jati Anom itu, namun ia tidak akan dapat
melepaskan segala macam unsur kemenangan yang lain. Itulah
sebabnya, maka apabila kakaknya terlampau memberatkan
keputusannya kepada Wuranta, adalah tidak adil baginya.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Tanu
Metir itu pun melanjutkan, "Nah, aku kira kau berkeberatan
bukan?" Tanpa sesadarnya Agung Sedayu pun mengangguk.
Ki Tanu Metir yang tua itu dapat menangkap perasaan yang
bergolak di dalam dada muridnya. Betapa sakit dan pedih. Justru
dalam umurnya yang masih terlampau muda.
Tiba-tiba Agung Sedayu mendengar gurunya bergumam,
"Angger Sedayu, biarlah aku mencoba menolongmu. Aku akan
berusaha supaya kau dapat pergi ke Sangkal Putung bersama
dengan Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah."
"Kiai," hanya itulah yang terloncat dari mulutnya.
"Ya, aku akan mencoba. Tetapi aku tidak tahu apakah
usahaku akan berhasil. Meskipun dengan demikian, Angger
Untara pasti akan membuat penilaian atas diriku dan dirimu,
tetapi baiklah aku mencobanya. Tetapi untuk seterusnya, kau
harus dapat membawa dirimu. Sebagian dari keinginan kakakmu
harus dapat kau penuhi. Kau sebaiknya memang menjadi
seorang prajurit." "Ya, Guru. Aku sama sekali tidak berkeberatan menjadi
seorang prajurit. Tetapi tidak segera. Aku masih ingin mengantar
Sekar Mirah kembali kepada ayah dan ibunya seperti yang
pernah aku janjikan."
"Baiklah. Sekarang Angger kembali saja ke pondok Angger.
Aku akan pergi ke banjar untuk berbicara dengan Angger
Untara. Aku akan berbicara dengan caraku. Mudah-mudahan
Angger Untara dapat mengerti. Jangan cemas, bahwa kau akan
terpaksa membunuh, karena dicegat oleh orang-orang yang
keras kepala itu." *** "Terima kasih, Guru," sahut Agung Sedayu.
"Nah, kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Aku akan
pergi ke banjar. Kalau Angger Untara dapat mengerti, maka
setidak-tidaknya perasaanmu menjadi agak tenang karenanya."
Maka keduanya pun segera berpisah. Ki Tanu Metir pergi ke
banjar dan Agung Sedayu kembali ke pondoknya.
Ketika ia sampai ke pintu rumah, maka ia masih mendengar
Swandaru dan Sekar Mirah bercakap-cakap. Agaknya semalam
suntuk mereka sama sekali tidak dapat tidur.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tanu Metir pun telah
sampai pula di banjar padepokan. Tetapi banjar itu masih
terlampau sepi. Hanya para penjaganya sajalah yang masih
tegak mondar-mandir di halaman, sedang sebagian yang lain
duduk mengelilingi sebuah pelita di atas ajug-ajug yang tinggi di
gardu peronda. Ketika Ki Tanu Metir sampai di halaman, maka langit di ujung
Timur telah menjadi semakin merah. Bayangan orang-orang
yang sedang bertugas itu pun telah menjadi semakin jelas.
"Ah, Kiai," desah salah seorang dari mereka, "masih
terlampau pagi, Kiai sudah datang kemari."
Ki Tanu Metir tersenyum. Jawabnya, "Aku takut kesiangan.
Apakah Angger Untara ada?"
"Ada, Kiai, tetapi agaknya Ki Untara masih tidur. Semalam
adiknya berada di sini sampai jauh malam, sehingga baru saja Ki
Untara sempat beristirahat."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku akan menunggunya. Kalau begitu lebih baik aku duduk di
gardu ini. Agaknya kalian baru saja mendapat minuman hangat."
Para peronda itu tertawa, "Marilah, Kiai. Air sere dan jahe.
Untuk mengusir dingin."
Ki Tanu Metir pun kemudian duduk di antara mereka.
Berbicara dengan para peronda itu. Bersenda-gurau dan
berkelakar. Namun setiap kali teringat oleh orang tua itu,
muridnya yang sedang bingung karena sikap kakaknya yang
keras. Sikap seorang prajurit. Tetapi agaknya Untara sendiri
belum pernah merasakan, betapa sulitnya untuk mengurai ikatan
yang telah terlanjur membelit hati dari pertautan kasih antara dua
orang remaja. Adalah berbahaya sekali untuk mengurainya
dengan paksa dan kekerasan. Itulah sebabnya, ia harus
menemui senapati muda yang hidupnya dicengkam oleh
kepatuhan yang keras akan tugas-tugasnya.
Dengan tidak terasa, maka langit pun menjadi semakin lama
semakin terang. Bintang gemintang satu-satu lenyap dari wajah
yang biru membentang dari ujung ke ujung cakrawala.
Ki Tanu Metir yang tubuhnya telah dihangatkan oleh
semangkuk air jahe, menggeliat. Dibenahinya kain gringsingnya.
Kemudian perlahan-lahan turun dari gardu.
"Ke mana, Kiai?" bertanya salah seorang penjaga.
"Mungkin Angger Untara telah bangun," jawab Ki Tanu Metir.
"Aku belum melihatnya. Biasanya, Ki Untara apabila bangun
terus pergi ke sumur untuk membersihkan diri."
"Tetapi hari telah pagi."
"Agaknya ia terlambat bangun. Tidak seorang pun yang
membangunkannya, karena setiap orang tahu, bahwa semalam
ia hampir tidak tertidur."
Sekali lagi Ki Tanu Metir menggeliat. Katanya, "Biarlah, aku
akan menunggunya di pringgitan."
"Kalau begitu, silahkanlah, Kiai."
Ki Tanu Metir itu pun kemudian berjalan melintasi halaman.
Naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan.
Untara yang baru saja terbangun dari tidurnya terkejut melihai
kehadiran Ki Tanu Metir begitu pagi.
"O, apakah Kiai semalam tidur di banjar ini?" bertanya Untara.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Ngger, semalam aku berjalan saja mengelilingi
padepokan ini," "Dan sesudah itu Kiai langsung datang kemari?"
Ki Tanu Metir menggeleng, "Tidak, Ngger, aku sudah bertemu
dengan Angger Agung Sedayu."
Kening Untara segera berkerut. Anak muda yang berotak
tajam itu segera dapat mengerti, bahwa kedatangan Ki Tanu
Metir ini pasti berhubungan dengan adiknya, Agung Sedayu.
Karena itu, maka hatinya pun menjadi berdebar-debar. Ternyata
Agung Sedayu masih saja menjadi persoalan baginya. Agaknya
anak itu telah menyampaikan persoalannya kepada gurunya,
dan gurunya kini datang kepadanya untuk berusaha merubah
sikapnya. "Tidak," katanya di dalam hati, "keputusanku tentang Agung
Sedayu telah tetap. Ia harus menjadi seseorang yang cukup
mempunyai pegangan. Ia harus mempunyai kedudukan yang
baik sebelum ia tenggelam dalam hubungan dengan perempuan.
Sekar Mirah tidak akan dapat menjadikannya seorang laklaki
yang baik. Hubungan itu hanya akan menghambat kemajuankemajuan
yang seharusnya dapat dicapainya. Ia memiliki bekal
yang cukup untuk memanjat ke tempat yang setinggtingginya.
Ia kawan baik pula dari Adi Sutawijaya, yang pasti akan
berpengaruh bagi kedudukannya."
Untara itu tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir
bertanya, "Apakah Angger akan membersihkan diri dahulu?"
"Oh," Untara segera bangkit, "agaknya aku agak kesiangan."
"Belum," sahut Ki Tanu Metir.
Untara pun kemudian segera bangkit dan berjalan keluar
untuk sesuci diri, bersama Ki Tanu Metir dan Wuranta.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah duduk
berhadapan di atas bentangan tikar pandan. Wuranta yang telah
selesai pula segera duduk di antara mereka.
"Kiai datang terlampau pagi," bertanya Untara, "dan aku
menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin ada sesuatu hal
yang cukup penting yang akan Kiai katakan."
"Ya," jawab Ki Tanu Metir pendek.
Jawaban itu telah mengejutkan Untara dan bahkan Wuranta.
Mereka tidak menyangka, bahwa jawaban Ki Tanu Metir akan
terlampau pendek dan langsung. Apalagi ketika Ki Tanu Metir
kemudian berkata, "Aku telah mendengar semuanya dari Angger
Agung Sedayu tentang keputusan Angger Untara mengenai
dirinya." Untara mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya masih juga
berdebar-debar. Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa guru
Agung Sedayu pasti akan selalu mencampuri urusannya dengan
adiknya itu, seperti juga Ki Tanu Metir mencampuri urusan
keprajuritan. Tetapi Untara tidak dapat menolak. Ki Tanu Metir
telah terlampau banyak memberikan jasa-jasanya kepadanya,
sejak peperangan-peperangan yang terjadi di Sangkal Putung.
Bahkan sebelum itu. Ketika ia hampir mati di jalan ke Sangkal
Putung dari Jati Anom, di dekat Macanan ia telah bertemu
dengan Pande-besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan
kawan-kawannya. Seandainya Ki Tanu Metir tidak melindunginya saat itu, ia
pasti sudah mati dicincang oleh Plasa Ireng, dan adiknya telah
lumat oleh Alap-alap Jalatunda.
"Tetapi sebaiknya Ki Tanu Metir tidak mencampuri terlampau
banyak persoalan keluargaku," desisnya di dalam hati.
Karena Untara tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir
itu berkata pula, "Dan adikmu, Angger Agung Sedayu, kini
menjadi sangat bingung."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia
bertanya, "Apakah yang dibingungkannya?"
"Perintahmu, Ngger."
"Seharusnya Agung Sedayu tidak usah menjadi bingung.
Semuanya telah jelas. Dan ketika aku bertanya kepadanya, ia
mengiakannya. Semuanya telah dimengertinya."
"Seharusnya Angger dapat mengerti, bahwa hal itu
dilakukannya, karena ia begitu takut dan hormat kepada Angger
sebagai seorang saudara tua pengganti ibu bapa. Tetapi
perintah Angger telah menyudutkannya dalam suatu
pertentangan perasaan yang hampir-hampir tidak dapat
dipecahkanya." Dahi Untara menjadi berkerut-merut, karena debar di dadanya
seolah-olah mengguncang jantungnya. Dan demikian derasnya
getar di dadanya itu, sehingga ia bertanya, "Apakah Kiai tidak
sependapat dengan perintahku kepada adikku itu."
Ki Tanu Metir yang juga menyebut dirinya Kiai Gringsing itu
tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Untara tajamtajam.
Seolah-olah ingin membaca apa yang tersirat di wajah
anak muda Senapati Wira Tamtama, yang mendapat kekuasaan
untuk menyelesaikan masalah orang-orang Jipang di daerah
Selatan di sekitar Gunung Merapi.
Betapa besarnya nama Untara, dan betapa tangguhnya ia di
medan-medan perang menghadapi lawannya, tetapi tatapan
mata Ki Tanu Metir itu terasa terlampau tajam baginya, sehingga
sesaat kemudian Senapati muda itu menggeser sudut
pandangnya. Tetapi jawaban Ki Tanu Metir telah mengejutkannya.
Perlahan ia mendengar Ki Tanu Metir itu menjawab, "Aku
sependapat dengan kau, Ngger."
Sejenak Untara justru terbungkam. Ia tidak segera dapat
mengucapkan kata-kata. Dan didengarnya Ki Tanu Metir itu
berkata selanjutnya, "Tetapi, cara yang Angger tempuh, bagiku
terlampau tajam, sehingga Angger sama sekali tidak memberi
kesempatan kepada Angger Agung Sedayu mencari jalan yang
agak lapang bagi perasaannya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ketika debar jantungnya
telah menjadi agak tenang, maka ia pun bertanya, "Jadi,
bagaimanakah yang sebaiknya aku lakukan?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya
wajah Untara bergantganti dengan wajah Wuranta yang tegang
pula. Sesaat kemudian ia berkata, "Angger adalah seorang
prajurit di medan perang. Angger terlampau biasa menjatuhkan
perintah yang langsung tanpa aling-aling. Tetapi masalah
Angger Agung Sedayu, agak berbeda dengan keadaan yang
sering Angger hadapi. Seandainya Angger Agung Sedayu
melakukan juga perintah Angger Untara, namun hatinya pasti
akan terluka. Dan luka yang demikian itu akan sangat
berbahaya, justru usianya yang masih terlampau muda."
Untara mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah yang Kiai
maksud" Apakah aku harus memutar balikkan kata-kataku
sehingga malahan Agung Sedayu tidak tahu maksudnya."
"Bukan begitu, Ngger," jawab Ki Tanu Metir, "tetapi Angger
memerlukan kebijaksanaan. Maksud Angger tercapai, tetapi hati
adik Angger itu tidak terluka karenanya. Luka yang akan dapat
menjadi cacat sepanjang hidupnya."
"Ah, itu terlampau cengeng, Kiai," sahut Untara, "apabila
Agung Sedayu benar-benar seorang jantan, maka hal itu pasti
tidak akan terjadi atasnya. Seorang yang berpikir cukup jauh,
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang jauh lebih
besar dari yang terlampau kecil. Bukankah Kiai mencemaskan
Agung Sedayu akan menjadi patah hati" Mungkin itu akan
terjadi. Tetapi itu tidak akan lama. Ia seharusnya dapat
mengatasinya. Ia harus bangkit dan melupakan hubungan itu.
Dan ia harus menyadari bahwa hubungan itu hanya akan
menghambat kemajuannya. Lahir dan batin. Dan ia akan
berhenti sampai keadaannya yang sekarang. Kemudian, ia akan
kehilangan masa depannya. Ia akan terhenti dan segera akan
kawin. Menjadi seorang ayah, dan waktu-waktunya akan hilang
di sawah dan ladang. Maka, apakah artinya masa mudanya itu
baginya nanti" Mungkin ia akan dapat menjadi seorang
Jagabaya. Setinggtingginya seorang Demang apabila
beruntung. Tetapi tidak lebih dari itu."
Kata-kata Untara terputus ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Ki
Tanu Metir berubah. Wajah yang telah dilukisi oleh kerut-merut
ketuaannya itu tiba-tiba menjadi tegang. Tetapi hanya sesaat.
Orang tua itu berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan
perasaannya. Dan sejenak kemudian orang tua itu tersenyum.
"Ternyata Angger memandang dunia ini hanya dari satu
sudut," berkata orang tua itu kemudian.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera
menjawab. Dibiarkannya orang tua itu meneruskannya, "Angger
memandangnya dari sudut Angger sendiri." Sekali lagi orang tua
itu terhenti, lalu dilanjutkannya. "Aku pun hanya seorang dukun
tua yang tidak berarti apa-apa, Ngger. Bahkan mungkin jauh di
bawah arti seorang Jagabaya apalagi seorang Demang."
"Ah," Untara berdesah, "bukan maksudku, Kiai. Tetapi Kiai
adalah seorang yang mumpuni di dalam bidang yang telah Kiai
pilih. Kiai agaknya tidak menyia-nyiakan harhari Kiai di masa
muda yang sangat berharga itu, sehingga Kiai mendapatkan
kemampuan Kiai seperti sekarang. Tidak hanya di bidang
pengobatan, tetapi ternyata Kiai adalah seorang yang berilmu
hampir sempurna." "Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Seleret
dikenangnya masa-masa mudanya. Tetapi sekali lagi ia mentoba
mengekang perasaannya. Masa muda itu tidak begitu cerah
baginya. Masa yang ingin sekali dapat dilupakannya. Tetapi
kadang-kadang kenangan atas masa-masa itu membersit di
hatinya. "Masa-masa yang kelam," desisnya. "Mudah-mudahan orang
lain tidak akan mengalaminya."
Tetapi ternyata kenangannya di masa muda yang seolah-olah
selalu disembunyikannya itu, telah mendorongnya untuk lebih
banyak berbuat untuk menyelamatkan perasaan muridnya,
sehingga ia kemudian berkata, "Sudahlah, Ngger. Mungkin
pendirian Angger itu pun dapat dibenarkan. Dengan demikian
maka kesempatan Angger Agung Sedayu akan lebih luas
terbuka. Tetapi apabila ia mampu mengatasi hambatan yang
tumbuh di dalam dirinya sendiri. Karena itu, Ngger, aku ingin
maksud Angger itu tercapai dengan tidak usah menyakiti
hatinya." "Maksud Kiai?" "Angger tidak usah dengan tergesa-gesa melarangnya
berhubungan dengan Angger Sekar Mirah."
"Ah," Untara berdesah, "itu adalah hambatan yang paling
besar baginya." "Seandainya Angger mengingininya, tetapi jangan dilakukan
dengan paksa. Angger harus mencari jalan sebaik-baiknya untuk
melakukannya. Aku mengerti maksud Angger, tetapi aku tidak
dapat sependapat dengan cara yang Angger tempuh."
Dahi Untara menjadi berkerut-merut mendengar kata-kata Ki
Tanu Metir itu. Seandainya yang berkata itu bukan Kiai
Gringsing, yang telah banyak berjasa, tidak saja kepadanya;
tetapi juga kepada pasukan Pajang di Sangkal Putung.
Dengan demikian maka dada Untara itu serasa menjadi
pepat. Ia tidak segera dapat memilih jalan yang sebaik-baiknya
untuk menentukan sikap. Sejenak pringgitan banjar padepokan Tambak Wedi itu
menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas mereka
yang sedang ditegangkan oleh persoalan yang mereka
bicarakan. Baru sejenak kemudian terdengar Untara bertanya, "Lalu cara
yang manakah yang Kiai anggap sebaik-baiknya."
"Aku mengharap agar Angger melakukannya dengan
perlahan," jawab Ki Tanu Metir.
"Mustahil dapat terjadi," bantah Untara, "bahkan hubungan
mereka akan menjadi semakin erat dan mendalam. Sesudah itu
tidak ada jalan lagi untuk memisahkannya. Agung Sedayu tidak
lagi dapat berpikir wajar. Seluruh hidupnya akan diikat oleh
wanita itu. Badannya dan nyawanya. Kebanggaan baginya
adalah mempertahankan perempuan itu. Dan anak itu tidak akan
ingat lagi bahwa perjuangan masih jauh untuk mewujudkan
Pajang yang besar dan kuat."
"Aku akan melakukannya," jawab Ki Tanu Metir tenang,
namun cukup mengejutkan hati Untara, "aku akan mencoba
membuat Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang baik,
yang berguna bagi negara dan tanah kelahiran. Aku tidak
mempedulikannya, apakah ia masih akan tetap berhubungan
dengan Sekar Mirah atau tidak. Seandainya ia terpisah dari
padanya pun, maka adalah menjadi kodrat seorang laklaki
untuk memilih seorang perempuan menjadi kawan hidupnya.
Tetapi apabila keinginan Angger Untara untuk membuat Angger
Agung Sedayu seorang yang kuat dalam kedudukan dan
kanuragan, maka serahkanlah kepadaku. Maksudku, Sekar
Mirah tidak akan merintanginya atau menjadi penghalangnya,
meskipun mereka masih tetap berhubungan. Seharusnya
Angger dapat membaca tabiat dan sifat Angger Sekar Mirah.
Kalau yang Angger Untara bicarakan adalah mengenai
kedudukan, pangkat, jabatan dan apa lagi, maka Angger Sekar
Mirah akan dapat menjadi pendorong yang baik. Tetapi kalau
soalnya lain, maka harus diutarakan agar hal itu dapat terjadi
perlahan-lahan tanpa melukai hatinya seperti yang telah aku
katakan." Wajah Untara menjadi semakin tegang mendengar kata-kata
Kiai Gringsing itu, dan Kiai Gringsing ternyata masih
melanjutkan. "Seandainya Angger ingin melihat Angger Agung
Sedayu tidak lagi berhubungan dengan Angger Sekar Mirah pun,
aku akan mencoba mengusahakannya pula, tetapi tidak dengan
tiba-tiba." Ketegangan di dada Untara telah memuncak. Sehingga
sejenak ia kehilangan penguasaan diri. Dengan gemetar ia
berkata, "Kiai, biarlah aku mengatur jalan hidup Agung Sedayu.
Aku adalah kakaknya, pengganti ibu bapa."
Seleret membersitlah dari sepasang mata orang tua yang
bening itu, sorot yang tajam, yang seolah-olah langsung
menghunjam ke jantung Untara. Tetapi sesaat kemudian
sepasang mata itu telah menjadi lunak kembali. Bahkan orang
tua itu tersenyum sambil menjawab, "Maaf, Ngger. Kau adalah
kakak Angger Agung Sedayu, kau adalah satu-satunya
keluarganya yang tinggal. Tetapi sebaiknya Angger ingat bahwa
aku adalah gurunya."
Dada Untara berdesir mendengar jawaban Ki Tanu Metir itu.
"Ya, orang tua itu adalah gurunya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk
menguasainya dirinya yang seolah-olah telah terbakar oleh
perasaan kecewanya terhadap sikap Ki Tanu Metir yang
terlampau banyak mencampuri urusannya. Tetapi orang tua itu
adalah gurunya. Wewenang seorang guru kadang-kadang
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melampaui wewenang orang tua sendiri terhadap seseorang.
Seseorang kadang-kadang lebih taat mematuhi perintah gurunya
dari pada orang tuanya. Dan Ki Tanu Metir itu adalah guru
Agung Sedayu. "Tetapi," suatu pergolakan telah terjadi di dalam dada Untara,
"aku mempunyai seribu pertimbangan untuk memisahkan Sekar
Mirah dari Agung Sedayu. Kecuali untuk kepentingan Agung
Sedayu sendiri, maka persoalannya dengan Wuranta pasti tidak
akan dapat selesai dengan baik. Padahal keduanya adalah
anak-anak Jati Anom. Perselisihan itu mau tidak mau pasti akan
menyentuh namaku pula, apalagi apabila keduanya menjadi lupa
diri. Sedang keduanya sama sekali tidak seimbang dalam olah
kanuragan. Kalau Agung Sedayu kehilangan pengendalian diri,
maka akibatnya akan memalukan sekali. Aku pun pasti akan
terpercik pula karenanya."
Tetapi Untara tidak dapat segera mengatakannya. Betapa
hatinya bergolak, tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa yang
duduk itu adalah Ki Tanu Metir. Orang yang telah
menyelamatkan jiwanya, dan jiwa adiknya, Agung Sedayu.
Itulah sebabnya, maka dada Untara itu seolah-olah akan
meledak. Ia dihadapkan pada suatu persoalan yang baginya
jauh lebih rumit dari persoalan Tohpati di Sangkal Putung.
Bahkan ia mengeluh di dalam hatinya, "Seandainya tidak ada
Sekar Mirah. Seandainya gadis itu tidak terlibat dalam persoalan
antara Pajang dan sisa-sisa orang Jipang."
Sekali lagi pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Tetapi
betapa dada mereka dibakar oleh debar jantung masing-masing
yang bergolak seperti kawah gunung Merapi.
Titik-titik keringat telah membasahi dahi mereka. Dan
punggung mereka pun telah menjadi basah, seakan-akan
mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan yang terlampau
berat. Tetapi ternyata dari kening Wuranta titik-titik keringat itu telah
menetes satu-satu di atas tikar pandan yang telah menjadi
kekuning-kuningan. Bibirnya tampak bergetar, secepat getar di
dalam dadanya. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi
serasa tersangkut di kerongkongan, sehingga dengan demikian,
maka wajahnya pun menjadi semakin tegang.
Kiai Gringsing yang telah cukup banyak menyimpan
pengalaman di dalam dadanya, dapat membaca betapa dada
anak muda itu hampir retak karena tekanan perasaan yang tidak
dapat dilimpahkannya keluar. Karena itu, maka sambil
tersenyum ia berkata, "Angger Wuranta, agaknya Angger ingin
mengatakan sesuatu. Tetapi Angger merasa terlampau berat
untuk melepaskannya. Katakanlah, Ngger, supaya dadamu tidak
menjadi pepat, dan kepalamu menjadi pening. Apakah yang kau
katakan itu dapat kami mengerti atau tidak, itu adalah soal yang
lain. Namun dengan demikian, dadamu pasti akan menjadi agak
lapang karenanya. Wuranta menelan ludahnya yang seolah-olah menyumbat
kerongkongannya. Sekali dipandanginya dukun tua itu, dan
sekali senapati muda yang bernama Untara itu. Namun tatapan
mata mereka terlampau tajam baginya, sehingga anak muda Jati
Anom itu menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar suara lirih
terputus-putus, "Ya, Kiai. Aku memang ingin mengatakan
sesuatu." "Nah, katakanlah. Mungkin Angger dapat membantu
melepaskan keruwetan ini," sahut Ki Tanu Metir.
Tetapi dahi Untara menjadi semakin berkerut-merut. Apabila
Wuranta menuntut supaya ia melaksanakan keputusannya,
maka perasaannya pasti akan menjadi semakin kisruh. Ternyata
Ki Tanu Metir mempunyai rencananya sendiri atas muridnya
yang tidak sesuai dengan rencananya.
Persoalan itu adalah persoalan yang paling rumit yang
membebani pikirannya. Persoalan Agung Sedayu dan Wuranta,
yang berkisar di seputar gadis Sangkal Putung yang bernama
Sekar Mirah, yang langsung atau tidak langsung telah
menghancurkan Tambak Wedi karena pertentangan yang
tumbuh di dalam tubuh padepokan ini karena gadis itu pula.
Sehingga Sidanti dan Alap-alap Jalatunda lelah berkelahi, dan
yang masing-masing telah menyeret orang-orangnya ke dalam
perkelahian yang dahsyat itu.
"Pertentangan yang demikian itu masih akan terulang?"
desisnya di dalam hati, "Apakah Agung Sedayu dan Wuranta
akan menyeret pihak masing-masing pula untuk saling
bertentangan?" Untara menahan nafasnya ketika ia mendengar Ki Tanu Metir
berkata, "Silahkan Ngger, silahkan. Katakanlah."
Wuranta menggigit bibirnya. Keringatnya semakin deras
mengalir di keningnya. Dan bajunya pun menjadi semakin kuyup
pula. "Kiai," terdengar suaranya lambat sekali, "aku minta maaf."
Kiai Gringsing dan Untara menarik kening mereka. Kata-kata
itu telah membuat mereka keheranan. Dan terdengarlah Kiai
Gringsing bertanya, "Kenapa Angger minta maaf" Bukankah
sudah seharusnya dalam suatu pembicaraan masing-masing
pihak mengemukakan pendiriannya?"
Tetapi nafas Wuranta menjadi semakin deras mengalir. Sekali
lagi ia berkata, "Aku minta maaf. Aku sama sekali tidak
bermaksud membuat kekisruhan ini."
Ki Tanu Metir dan Untara menjadi semakin heran. Sejenak
mereka justru terdiam memandangi wajah Wuranta yang telah
dibasahi oleh keringatnya. Tetapi sejenak kemudian, Ki Tanu
Metir menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menganggukanggukkan
kepalanya. Sareh ia berkata, "Tenanglah, Ngger.
Coba katakanlah, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati
Angger sejelas-jelasnya. Jangan ragu-ragu, dan jangan
mencemaskan apa pun akibat dari kata-katamu."
Wuranta masih menundukkan kepalanya. Bahkan tubuhnya
menjadi gemetar oleh getaran di dalam dadanya.
"Untara," katanya perlahan-lahan, "aku merasa bersalah,
bahwa aku telah mengganggu ketenanganmu. Selama aku
mendengar pembicaraanmu dengan Ki Tanu Metir, aku merasa
bahwa aku telah berbuat kesalahan yang besar terhadap Agung
Sedayu. Karena itu, maka jangan kau hiraukan aku lagi. Aku
menyadari, bahwa tidak seharusnya aku melibatkan diri dalam
hidupnya. Aku memang terlampau jauh tenggelam ke dalam
suatu dunia mimpi yang memabukkan, sehingga aku telah
melupakan tata pergaulan di antara kawan sendiri. Untara,
seharusnya aku menjadi malu sekali bahwa hal ini telah terjadi.
Karena itu, hanya kepadamu dan kepada Ki Tanu Metir aku
mengaku. Pembicaraanmu yang terakhir ternyata telah
membuka hatiku. Aku tidak berhak untuk mengganggu
hubungan Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. Aku telah
merasakan betapa pahitnya kehilangan tanpa memilikinya.
Apalagi Agung Sedayu. Agaknya hati mereka memang telah
terpaut. Karena itu, lupakan saja aku. Jangan kau hiraukan aku
lagi." "Wuranta," terdengar suara Untara pun tiba-tiba menjadi
bergetar. Tetapi Untara tidak meneruskan kata-katanya.
Sekali lagi pringgitan itu menjadi sepi. Sekali lagi nafas-nafas
mereka terdengar memenuhi ruangan itu. Ki Tanu Metir yang tua
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekalsekali tangannya
meraba-raba keningnya yang basah.
Dan sejenak kemudian, orang tua itu berkata perlahan, "Kau
memang berjiwa besar, Ngger."
"Ah," Wuranta berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
"Hatimu yang telah terbuka itu pasti akan banyak sekali
menolong kegelapan hati kita masing-masing," berkata orang tua
itu pula. Tetapi Untara kemudian berkata, "Apakah aku akan
membiarkan persoalan ini berlarut-larut?"
Ki Tanu Metir berpaling memandangi wajah Untara dengan
kening yang berkerut, sedang Wuranta pun mengangkat
kepalanya pula dan berkata, "Persoalan ini telah selesai Untara.
Aku lelah mengakui segala kesalahan yang telah aku lakukan.
Aku tidak akan mengganggu gugat lagi, apa pun yang akan kau
lakukan atas Agung Sedayu. Tetapi janganlah Agung Sedayu
kau korbankan hanya karena ketamakanku. Kalau terpaksa
harus memutuskan hubungan, maka akulah yang sudah
sewajarnya menarik diri, sebab aku belum pernah merasakan
getaran apa pun yang menghubungkan hati kami. Hatikulah
yang terlampau lemah. Mudah-mudahan, aku belum terlambat
untuk mengakui kesalahanku ini."
Sikap Wuranta itu sama sekali tidak diduga-duga sebelumnya
oleh Untara dan Ki Tanu Metir. Karena itu, maka tanggapan
mereka atas sikap Wuranta itu pun terasa aneh. Namun terbersit
di hati mereka kebesaran jiwa anak muda Jati Anom itu,
meskipun terlampau dicengkam oleh gelora perasaannya.
Ki Tanu Metir yang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di samping perasaan ibanya terhadap Wuranta,
orang tua itu menjadi agak lapang pula dadanya. Dengan
demikian ia mengharap, bahwa persoalan muridnya dengan
demikian akan segera selesai. Untara tidak akan lagi diganggu
oleh kemungkinan yang mencemaskannya. Kemungkinankemungkinan
yang dapat meretakkan hubungan antara anakanak
muda Jati Anom sendiri. Untara yang dapat merasakan, betapa pahitnya perasaan
Wuranta sejenak menjadi terdiam. Ia melihat betapa sakitnya
hati Wuranta, tetapi ia merasakan juga, bahwa sikap Wuranta itu
dilambari dengan keikhlasan yang dalam. Wuranta benar-benar
telah menyatakan isi hatinya, bukan sekedar untuk memulas diri,
basa-basi, atau semacam pameran keluhuran budi. Tetapi
Wuranta benar-benar ikhlas menelan kepahitan yang
dihadapinya. Setelah nalarnya mampu bekerja dengan bening,
maka anak muda itu melihat betapa ia telah dikuasai oleh
ketamakan dan kesombongan tiada taranya. Baru berapa hari ia
mengenal Sekar Mirah. Ia tidak tahu perasaan apakah yang
tersimpan di dalam dada gadis itu terhadap dirinya, maka ia
telah merasa berhak untuk berirhati terhadap Agung Sedayu
yang telah berkenalan jauh lebih lama dengan gadis Sangkal
Putung itu, bahkan di antara keduanya telah terjalin hubungan
yang betapapun lembutnya.
Namun meskipun demikian, Untara, Senapati Perang dari
prajurit Wira Tamtama itu, tiba-tiba merasa terikat oleh
keputusannya sendiri. Tiba-tiba ia merasa bahwa pendiriannya
itu adalah pendirian yang sebaik-baiknya bagi adiknya.
Karena itu, maka tiba-tiba Untara itu pun berkata, "Aku dapat
mengerti Wuranta. Aku berterima kasih kepadamu. Kau telah
membantu kami untuk menentukan sikap kami terhadap Agung
Sedayu." Untara itu berhenti sejenak. Namun Ki Tanu Metir
terkejut ketika Untara itu meneruskan, "Tetapi aku merasa,
bahwa keputusanku adalah jalan yang sebaik-baiknya bagi
Agung Sedayu. Bukan saja karena aku ingin melerai
pertentangan yang ada di antara kalian, kau dan Agung Sedayu.
Meskipun tidak tampak di dalam sikap dan tindak-tanduk, tetapi
hanya tersimpan di dalam hati. Namun aku memang
menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu menghindari
rintangan-rintangan yang akan dipasangnya sendiri sepanjang
perjalanan hidupnya."
Ketika Untara berhenti berbicara, terdengar Ki Tanu Metir
berdesah. Orang tua itu bergeser setapak maju sambil
mengernyitkan alisnya. "Hem," orang tua itu menarik nafasnya dalam-dalam sehingga
dadanya terangkat. Untara melihat sikap Ki Tanu Metir dengan dada yang
berdebar. Tetapi ia masih saja ingin meyakinkan orang tua itu,
bahwa Agung Sedayu masih harus membentuk dan menyusun
hari depannya sebaik-baiknya. Kalau pagpagi ia sudah tidak
dapat melepaskan ikatan pinjung gadis Sangkal Putung itu,
maka hari depannya pasti tidak akan dapat diharapkan. Ia tidak
akan menjadi orang yang dibicarakan di istana Pajang. Mungkin
ia akan dapat menjadi seorang gegedug, seorang yang
dipandang pilih tanding suatu daerah, di suatu kademangan atau
di suatu daerah tanah perdikan. Tetapi namanya tidak akan
sempat disebut-sebut di dalam sidang-sidang agung di istana
Pajang, karena tidak seorang pun yang dapat mengenalnya
dengan pasti. "Angger Untara," berkata Ki Tanu Metir itu kemudian, "aku
dapat mengerti perasaan Angger. Aku dapat mengerti kehendak
yang sebaik-baiknya yang tersimpan di dalam hati Angger
sebagai seorang kakak terhadap adik satu-satunya. Adalah
sudah sewajarnya, apabila Angger Untara sebagai seorang
saudara tua, seorang pengganti ibu bapa ingin melihat Angger
Agung Sedayu menjadi seorang besar, seorang yang
terpandang. Bahkan apabila mungkin menjadi seorang yang
penting di dalam pemerintahan.-
"Angger Untara, aku kagum akan sikapmu itu. Seorang
saudara tua yang benar-benar memikirkan nasib saudara satusatunya,
adiknya. Meskipun sikap ini sebenarnya tumbuh dari
persoalan yang telah bergeser dari titik tumpuannya."
Untara mengerutkan keningnya. Ia tahu benar arah
pembicaraan Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir ternyata dapat
mengerti maksudnya, tetapi orang tua itu tetap pada
pendiriannya pula. Bahkan orang tua itu menganggap, bahwa
keputusannya itu beralaskan persoalan yang mula-mula tidak
seperti yang dinyatakannya sekarang.
"Tetapi," Ki Tanu Metir meneruskan, "Angger tidak melihat
hati Angger Agung Sedayu. Angger memandang dari satu segi,
dan Angger tidak mencoba melihat dari celah-celah perasaan
Angger Agung Sedayu itu. Meskipun maksud Angger itu baik
dan Angger nyatakan dengan jujur, tetapi Angger kurang
memberikan kesempatan kepada Angger Agung Sedayu untuk
turut serta menentukan dirinya sendiri. Angger Untara dapat
memberikan arah kepada Angger Agung Sedayu, tetapi jangan
membunuh perkembangannya dengan cara yang keras. Sudah
aku katakan, Ngger, akan mencoba membantu Angger Untara.
Dan aku pun merasa bertanggung jawab pula atas Angger
Agung Sedayu, karena aku adalah gurunya. Baik-buruk, hitamputih
anak muda itu, pertama-tama pasti diukur dengan
kemampuan gurunya. Kalau ia gagal, akulah yang paling parah
menanggungnya. Aku pasti akan menjadi tempat untuk
melemparkan hinaan dan celaan. Akulah yang menanggung
malu karenanya. Seorang guru yang tidak mampu membentuk
muridnya menjadi seorang yang baik.-
"Karena itu, Ngger, percayakan ia kepadaku. Aku akan
mengikutinya ke Sangkal Putung. Kemudian membawanya
bersama Angger Swandaru untuk meninggalkan kademangan
itu. Aku ingin memberi mereka sedikit pengalaman dalam
perantauan."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jantung Untara serasa menjadi semakin cepat berdentang.
Tetapi apa yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir itu tidak dapat
disangkalnya. Tanggung jawab atas Agung Sedayu memang
lebih banyak akan dibebankan kepada gurunya daripada kepada
kakaknya. Karena itu maka Untara itu pun terdiam untuk beberapa saat.
Tampaklah ketegangan di wajahnya menjadi semakin
memuncak. "Angger Untara," terdengar Ki Tanu Metir meneruskan,
"mudah-mudahan aku dapat membantu Angger, membuat
Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang Angger harapkan.
Aku akan membentuknya sesuai dengan keadaannya dan
mempersiapkannya menjadi seorang yang cukup memiliki bekal
untuk menjadi seorang yang namanya akan disebut-sebut di
istana Pajang.- "Tentang Angger Sekar Mirah jangan kau hiraukan lagi. Aku
mengharap, bahwa Angger Sekar Mirah tidak akan menjadi
penghalang, tetapi justru akan menjadi seorang yang dapat
mendorong Angger Agung Sedayu untuk meletakkan cita-citanya
setinggi bintang di langit."
Untara masih tetap berdiam diri. Kini di dalam dadanya terjadi
pergolakan yang sengit. Ia merasa berat sekali untuk mencabut
dan merubah sikapnya, namun ia dapat mengerti dan
memahami pendirian Ki Tanu Metir.
Kini sejenak mereka yang berada di pringgitan itu saling
berdiam diri. Untara mencoba mencari kemungkinan yang
sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya.
Akhirnya Senapati muda itu berkata, "Kiai, aku dapat mengerti
pendirian Kiai. Tetapi aku juga tidak dapat melepaskan
keinginanku, bahwa adikku akan menjadi orang yang mapan di
hari depannya. Karena itu Kiai, apabila Kiai merasa, bahwa Kiai
dapat membantu aku, menyelamatkan masa depan anak itu,
maka aku dapat menyerahkannya kepada Kiai. Tetapi dengan
jaminan bahwa Agung Sedayu tidak akan segera terikat dalam
suatu ikatan yang dapat menutup kemungkinan-kemungkinan di
masa datang." "Maksud Angger Untara, agar Angger Agung Sedayu tidak
segera kawin sebelum memiliki cukup bekal untuk hidupnya.
Begitu?" potong Ki Tanu Metir.
Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk, "Ya, begitulah Kiai, dan tidak lagi mengalami
kesulitan justru karena hubungannya dengan gadis itu."
"Sebenarnya, perkawinan bukan suatu batas bagi
perkembangan seseorang. Mungkin justru di dalam masa
perkawinan itulah, seseorang mendapat dorongan untuk berbuat
sesuatu," sahut Ki Tanu Metir, "tetapi seandainya Angger
menghendaki demikian, maka aku akan mengusahakannya. Aku
akan membuatnya bersiap menghadapi masa depannya.
Seandainya ia kelak menjadi seorang prajurit, biarlah ia menjadi
seorang prajurit yang telah masak. Angger Agung Sedayu saat
ini memang masih terlampau hijau. Ia masih banyak memerlukan
pengalaman untuk mengikuti Angger Untara merayap ke tangga
istana Pajang. Khususnya sebagai seorang prajurit Wira
Tamtama." Sekali lagi Untara terbungkam. Ia tidak menemukan alasan
untuk menyangkal pikiran Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka
Untara itu pun kemudian berkata, "Baiklah, Kiai. Aku serahkan
Agung Sedayu kepada Kiai. Tetapi ingat, aku sebagai kakaknya,
pengganti ibu-bapa, ingin agar Agung Sedayu mendapat tempat
di dalam lingkungan keprajuritan, di mana ia akan mendapat
kesempatan untuk langsung mengabdikan diri kepada
negerinya. Aku akan menyesal apabila kelak Agung Sedayu
tidak lebih daripada seorang yang hanya dapat menakut-nakuti
pencurpencuri ayam di padesan yang jauh dari pimpinan
pemerintahan." Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar,
bahwa cita-cita Untara melambung tinggi ke awang-awang.
Seperti cita-citanya sendiri dalam pengabdiannya terhadap
negara dan tanah kelahirannya, ia pun mengharap adiknya akan
turut serta di dalam pengabdian itu. Tetapi sebagai manusia,
maka Untara tidak luput pula dari pamrih. Ia ingin adiknya
menjadi seorang yang namanya disebut-sebut di dalam sidangsidang
di istana, seperti juga namanya sendiri selalu disebutsebutnya.
"Baiklah, Ngger," berkata Ki Tanu Metir, "aku akan mencoba
membantu perkembangan pribadinya, meskipun sebagian
terbesar tergantung pada Angger Agung Sedayu sendiri. Aku
akan mencoba menempuh jalan yang paling mudah bagi Angger
Agung Sedayu. Kelak apabila datang saatnya, maka aku akan
datang kembali membawa Angger Agung Sedayu. Aku akan
menyerahkannya kepada Angger Untara. Seterusnya jalan akan
lebih lapang bagi Angger Agung Sedayu, apabila ia bersama
dengan Angger Untara."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan, Kiai. Semuanya terserah kepada Kiai."
Kemudian Untara itu berpaling kepada Wuranta, "Terima kasih
akan kerelaanmu mengorbankan kepentinganmu sendiri,
Wuranta. Kau telah membantu memecahkan persoalan ini."
Wuranta mengangkat wajahnya. Kemudian ia berkata, "Aku
seharusnya minta maaf langsung kepada Agung Sedayu,
kepadamu, dan kepada Ki Tanu Metir. Tetapi aku tidak cukup
berani untuk berhadapan dengan Agung Sedayu."
"Kau cukup berjiwa besar, Ngger. Kau telah mengatakannya
kepadaku dan Angger Untara. Itu sudah cukup. Aku akan
menyampaikannya kepada Agung Sedayu," sahut Ki Tanu Metir.
Wuranta tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
Dan terdengar Ki Tanu Metir berkata, "Kalau demikian, maka
biarlah aku membawa anak-anak Sangkal Putung itu pulang ke
rumahnya. Seterusnya aku akan membawa Angger Agung
Sedayu dan Angger Swandaru untuk menambah
pengalamannya yang masih terlampau sempit. Mungkin ada
tempat-tempat yang perlu dikunjungi. Mungkin aku akan dapat
memperkenalkannya dengan orang-orang yang namanya pernah
tersebar di seluruh daerah Demak lama, dan yang kini seakanakan
mengasingkan dirinya."
Untara tidak segera menjawab. Tetapi hatinya terasa berdesir
juga. Terbayang di pelupuk matanya, adiknya yang masih muda
itu akan memulai dengan sesuatu kehidupan yang baru baginya.
Kehidupan yang asing sama sekali dari kehidupannya di masa
kanak-kanaknya. Dibayangkannya, di masa kanak-anak Agung Sedayu, hampir
tidak pernah terpisah dari ujung selendang ibunya. Ke mana
ibunya pergi, Agung Sedayu hampir pasti ikut bersamanya.
Kalau sekalsekali Agung Sedayu pergi juga dengan ayahnya,
maka ibunya selalu berpesan bersungguh-sungguh, supaya
anak itu nanti kembali dengan selamat kepadanya.
Kini Agung Sedayu yang hampir tidak pernah menjenguk
keluar pagar itu, akan pergi dengan gurunya ke tempat yang
tidak menentu. Merantau untuk menambah pengalaman dan
menggembleng diri. Untara tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
"Angger Untara, aku kira tidak ada lagi kepentingan kami di sini.
Karena itu, maka biarlah kami minta diri. Kami akan pergi ke
Sangkal Putung untuk mengembalikan Sekar Mirah, kemudian
mencoba membentuk Angger Agung Sedayu dan Angger
Swandaru untuk menjadi seorang laklaki dewasa."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
tidak akan mencegah lagi, Kiai. Aku kali ini mempercayakannya
kepada Kiai. Mudah-mudahan Kiai tidak gagal. Umur Agung
Sedayu akan selalu merayap, dan tidak akan dapat diulang.
Tetapi aku minta, Kiai tidak pergi meninggalkan padepokan ini,
sekarang atau besok pagi. Aku ingin, kita bersama-sama yang
telah berbuat sesuatu untuk menyelesailan pekerjaan ini,
berkumpul bersama-sama untuk mengatakan kegembiraan hati
kita dan untuk menyatakan terima-kasih kita kepada Tuhan yang
telah memberikan jalan yang lapang kepada kita. Aku ingin kita
semuanya sempat melepaskan ketegangan yang selama ini
telah menghimpit hati kita, meskipun itu tidak berarti bahwa kita
akan kehilangan kewaspadaan."
"Ah," sahut Ki Tanu Metir, "aku kira kami tidak perlu turut serta
dalam kegembiraan itu. Bagi anak-anak Sangkal Putung itu,
kegembiraan yang paling besar kini adalah kembali kepada ayah
dan ibunya." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia berkata,
"Aku tahu, Kiai, tetapi biarlah kegembiraan kita menjadi lengkap.
Hari itu tidak akan terlampau lama. Dua tiga hari kita akan
menyelenggarakannya di Jati Anom, seperti yang telah aku
katakan. Aku sudah mengirimkan beberapa orang untuk
menemui Ki Demang di Jati Anom. Sayang, bahwa harhari
yang kita rencanakan itu tidak dapat dilakukan besok atau lusa.
Ki Demang memerlukan persiapan untuk itu, apalagi setelah Jati
Anom dikacaukan oleh kehadiran orang-orang dari padepokan
ini. Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah
Angger Untara benar-benar ingin menahan kami."
"Tentu, Kiai. Terutama Agung Sedayu. Aku harus
melepaskannya dengan beberapa pesan yang mudah-mudahan
berguna baginya. Sebab aku telah memberikan perintah lain
kepadanya. Akulah yang akan memberitahukan perubahan itu,
meskipun sebelumnya Kiai dapat mengatakan kepadanya.
Tetapi ia harus mendengar dari mulutku, bahwa perubahan itu
hanyalah sekedar perubahan cara yang harus ditempuhnya.
Bukan masalahnya ia harus tetap menyadari betapa pentingnya
membina hari depannya."
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Untara masih harus tetap menjaga kewibawaan dirinya
di hadapan adiknya itu. Dan Ki Tanu Metir tidak akan dapat
menyalahkannya. Maka jawabnya, "Kalau demikian, baiklah,
Ngger. Aku akan memberikan beberapa penjelasan
pendahuluan. Biarlah Angger Agung Sedayu datang sendiri
kepada Angger Untara."
"Baiklah, Kiai."
"Kalau begitu, aku segera minta diri, Ngger. Aku akan kembali
ke pondok, supaya aku tidak terlambat memberikan penerangan
kepada adik Angger itu."
Untara mengerutkan keningnya, "Kenapakah Agung Sedayu
itu, Kiai?" "Syarafnya menjadi tegang, hampir tidak dapat dikuasainya.
Semalam ia tidak tidur sama sekali, dan hampir-hampir saja aku
tidak dapat melihatnya lagi di padepokan ini."
"Apa yang akan dilakukan?" tiba-tiba wajah Untara-lah yang
menjadi tegang. "Kalau aku tidak segera datang dan mendengar apa yang
mereka bicarakan serta mencegahnya, maka semalam Angger
Agung Sedayu telah membawa Angger Swandaru dan Angger
Sekar Mirah ke Sangkal Putung."
"Kenapa begitu?"
"Hal-hal serupa itulah yang harus Angger ketahui.
Perasaannya tidak dapat menerima tekanan dari luar, tetapi ia
tidak berani untuk berterus terang melawannya. Ia tidak berani
menolak perintah Angger Untara, tetapi ia tidak dapat melakukan
perintah itu. Maka diambilnya jalan ketiga yang mungkin akan
dapat menjerumuskannya ke dalam bencana. Kalau mereka
bertiga benar-benar meninggalkan padepokan ini, dan di ujung
lereng tikungan di luar padepokan ini mereka bertemu dengan Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya, seandainya mereka masih
berkeliaran di sini, maka mereka pasti akan menjadi endeg
amun-amun." Untara menarik nafas dalam-dalam. Dadanya menjadi
berdebar-debar. Soal semacam ini baginya adalah soal yang
baru. Hal yang demikian tidak pernah terjadi di kalangan
keprajuritan. Tetapi Agung Sedayu hampir melakukannya.
"Jadikanlah hal ini suatu pengalaman," berkata Ki Tanu Metir.
Betapa beratnya, namun akhirnya Untara menganggukkan
kepalanya, "Ya, Kiai. Untunglah bahwa hal itu belum terjadi."
Dalam pada itu, dengan nada yang dalam Wuranta berdesis,
"Seandainya hal itu terjadi, dan seandainya mereka menemui
bahaya di perjalanan, maka aku adalah salah satu penyebabnya.
Dan aku pun pasti akan menyesal sepanjang hidupku."
"Tetapi semuanya itu belum terjadi, Ngger. Semuanya masih
belum terlambat." Wuranta tidak menyahut. Tetapi bintik-bintik keringat di
keningnya masih menitik satu-satu. Sekali ia mengusap wajah
yang basah dengan telapak tangannya. Namun wajah itu tidak
juga menjadi kering. "Sekarang," berkata Ki Tanu Metir, "kabut yang menyelimuti
Angger sekalian telah tersingkap. Mudah-mudahan harhari
berikutnya menjadi cerah."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan,
"Mudah-mudahan. Mudah-mudahan semuanya dapat terjadi
seperti yang kita inginkan."
"Tetapi kita tidak boleh menentukan, bahwa keinginan kita
pasti akan terjadi, Ngger. Kita hanya dapat berusaha sejauh-jauh
mungkin. Namun akhirnya semuanya terserah kepada Yang
Maha Besar. Meskipun demikian, kita tidak dapat menunggu
saja, dan keinginan kita itu akan terpenuhi dengan sendirinya.
Kita harus memohon. Dan kesungguhan dari permohonan kita
itu harus tercermin dari kesungguhan usaha kita. Kalau kita tidak
bersungguh-sungguh berusaha, maka permohonan kita itu pun
tidak bersungguh-sungguh pula, sehingga wajarlah bahwa hal itu
tidak terjadi." "Aku mengerti, Kiai," desis Untara.
"Tetapi kita harus percaya, bahwa usaha yang baik pasti akan
dilindungi. Kepercayaan itulah yang terungkap sebagai
kepercayaan kepada diri sendiri. Percaya kepada kesungguhan
diri sendiri dan percaya bahwa kesungguhan itu adalah
kesungguhan dari permohonan kita, yang pasti akan didengar
oleh Yang Maha Kuasa."
Untara mengangguk-angguk dan Wuranta pun menganggukanggukkan
kepalanya pula. Ketika Ki Tanu Metir berhenti berbicara, maka sekali lagi
pringgitan itu menjadi sepi. Seolah-olah mereka sedang
merenungkan kata-kata Ki Tanu-Metir itu.
Mereka terkejut ketika mereka melihat pintu pringgitan itu
bergerak. Sebuah kepala tersembul dari luar dan dengan hatihati
orang itu bertanya, "Apakah aku boleh masuk masuk?"
"Untuk apa?" bertanya Untara.
"Makan telah tersedia."
"Oh," Untara menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Seolah-olah segenap ketegangan yang menyumbat dadanya
selama ini telah dilepaskannya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bawalah masuk," katanya kemudian, "kita bertiga di sini."
"Baik," sahut orang itu.
Sejenak kemudian, orang itu pun hilang di balik pintu. Tetapi
segera muncul kembali sambil menjinjing tiga bungkus nasi.
"Letakkanlah di situ," berkata Untara.
Orang itu pun segera meletakkan ketiga bungkus nasi itu di
atas gledeg bambu. Kemudian ia pun segera meninggalkan
ruangan itu. "Marilah, Kiai. Makan telah tersedia. Makanan medan perang
nasi tanpa lauk pauk."
Ki Tanu Metir tertawa. Katanya, "Di medan perang kita masih
dapat mengharap rangsum makanan, Ngger. Tetapi di
perantauan, kita harus mencarinya sendiri. Bukankah begitu?"
Untara pun tersenyum pula. "Ya, Kiai," jawabnya. Kemudian
kepada Wuranta ia berkata, "Marilah, Wuranta."
Sejenak kemudian, maka ketiganya pun telah membuka
bungkusan masing-masing. Nasi putih dengan sejumput
serundeng yang terlalu kering. Sepotong kecil daging lembu dan
sambal lombok merah. "Alangkah nikmatnya," desis Ki Tanu Metir, "semalam aku
sama sekali tidak tidur. Karena itu, maka aku kini merasa sangat
penat dan lapar. Nasi hangat ini benar-benar telah
menghangatkan tubuhku."
Untara tidak menyahut. Tetapi ia tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika mereka telah selesai makan dan minum, maka Ki Tanu
Metir pun segera minta diri. Katanya, "Ah, aku terlampau lama di
sini. Aku telah minta diri untuk yang kesekian kalinya. Untunglah,
bahwa aku tidak segera pergi. Jika demikian, maka aku tidak
akan mendapat bagian nasi serundeng. Apalagi apabila nanti
sampai di pondokan Angger Agung Sedayu, rangsum telah
habis, dihabiskan oleh Angger Swandaru. Maka aku pun akan
menjadi kelaparan. Sekarang, setelah aku kenyang, aku akan
benar-benar minta diri, Ngger."
"Silahkan, Kiai," jawab Untara, "tetapi harapanku kali ini
tergantung pada kebijaksanaan Kiai."
"Ya, ya aku mengerti," desis orang tua itu, "aku harus segera
sampai kepada Angger Agung Sedayu. Aku takut kalau
jantungnya menjadi terlampau tegang dan justru akan berhenti
berdetak, atau karena hatinya terlampau gelap, ia telah
melakukan rencananya semalam, pergi dari padepokan ini."
"Silahkan, Kiai," sahut Untara sambil mengerutkan keningnya.
Setelah minta diri pula kepada Wuranta, maka kali ini Ki Tanu
Metir itu pun berdiri dan melangkah perlahan-lahan
meninggalkan pringgitan, diantar oleh Untara dan Wuranta
sampai ke muka pintu. Ketika orang tua itu telah turun dari pendapa, maka terdengar
Wuranta berdesis, "Aku menjadi malu sekali, Untara."
"Tak seorang pun yang tahu. Kami yang mengetahui
persoalanmu, aku dan Ki Tanu Metir, dapat memahami
perasaanmu. Dan kami mengagumi kebesaran jiwamu."
"Itu terlampau berlebih-lebihan."
"Jangan kau pikirkan lagi. Semuanya telah selesai."
"Kalau kau tetap pada pendirianmu untuk melarang Agung
Sedayu mengantar Sekar Mirah ke Sangkal Putung, maka hatiku
akan menjadi terlampau parah. Aku adalah sebab dari persoalan
ini, meskipun kau menyebut alasan-alasan yang lain, tetapi
sikapku yang gila selama ini adalah sebab yang terbesar dari
keputusanmu." "Lupakan. Semuanya sudah selesai."
"Aku akan mencoba melupakannya, Untara."
Sesaat Untara tidak menyahut. Dipandangnya langkah Ki
Tanu Metir yang ringan di halaman banjar padepokan. Sejenak
orang tua itu berhenti di gardu peronda.
Untara tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Ki Tanu Metir
dengan para penjaga di gardu itu, tetapi ia melihat Ki Tanu Metir
itu tertawa. "Sebenarnya orang tua itu adalah seorang periang," berkata
Untara di dalam hatinya. Tanpa sesadarnya, ingatannya merayap kembali kepada
masa yang telah dilampauinya. Pada saat-saat ia terluka dan
bersembunyi di rumah dukun dari Pakuwon itu. Melihat sepintas,
seseorang tidak akan menyangka, bahwa dukun dari Dukuh
Pakuwon itu adalah seorang yang mampu mengimbangi
kedahsyatan nama Ki Tambak Wedi, dan bahkan tidak akan
berada di bawah tingkatan Ki Gede Pemanahan, seorang
Panglima Wira Tamtama. "Aneh," pikir Untara, "orang ini seolah-olah sama sekali tidak
mempunyai pamrih apapun dengan keadaan di sekitarnya. Ia
berbuat seperti yang dikehendakinya. Kalau ia bersedia
menghubungkan dirinya dengan kepentingan-kepentingan
duniawi, maka ia tidak akan jauh dari kemungkinankemungkinan
yang dapat dibanggakan. Baik di dalam
kedudukan maupun di dalam olah kanuragan."
Dan keheranan itu semakin lama semakin dalam tergores di
dinding hatinya. Untara itu mengenal nama-nama seperti
Adiwijaya, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, Ki
Mancanegara, Ki Wuragil, Arya Penangsang, Mantahun,
Sumangkar, Ki Tambak Wedi dan yang lain-lain. Semuanya ada
di dalam dunianya masing-masing. Semuanya memiliki
pamrihnya sendirsendiri. Meskipun Ki Tambak Wedi tidak
berada di dalam lingkungan istana mana pun, Demak, Pajang,
atau Jipang. Juga tidak Cerbon dan Banten, namun ia justru
terlampau dikuasai oleh pamrihnya sendiri.
"Mas Karebet itu pun didorong oleh pamrih-pamrih duniawi
tertentu," berkata Untara pula di dalam hatinya, "terutama
setelah Demak menjadi kosong. Ditambah lagi dengan dua gadis
yang dijanjikan oleh Kangjeng Ratu Kalinyamat."
Tetapi orang ini benar-benar aneh. Ia tinggal di padukuhan
yang kecil sebagai seorang dukun. Tidak lebih daripada itu.
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Ia tersadar, ketika ia sudah tidak melihat lagi Ki Tanu Metir di
halaman itu. Ternyata orang tua itu telah meninggalkan gardu.
Ketika Untara itu berpaling, ia masih melihat Wuranta berdiri
di sampingnya. "Oh," Untara berdesis, "Marilah, duduklah."
Wuranta tidak menjawab, tetapi diikutinya Untara melangkah
kembali ke bentangan tikar pandan di pringgitan itu.
Sementara itu, Ki Tanu Metir berjalan tergesa-gesa ke pondok
Agung Sedayu. Ia mencemaskan anak muda itu. Seandainya
Agung Sedayu benar-benar tidak dapat menguasai
perasaannya, maka ia akan dapat berbuat hal-hal yang tidak
terduga-duga. Mungkin ia akan benar-benar membawa
Swandaru dan Sekar Mirah segera pergi ke Sangkal Putung.
Tetapi orang tua itu menarik nafas dalam-dalam ketika
ternyata Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah masih
ditemuinya di pondoknya, meskipun agaknya Agung Sedayu
sudah hampir tidak sabar lagi menantinya.
Belum lagi Ki Tanu Metir masuk ke dalam rumah, maka
Agung Sedayu sudah menyongsongnya sambil bertanya,
"Bagaimana, Guru. Apakah aku harus menjalani keputusan
Kakang Untara itu?" "Apakah aku tidak kau persilahkan masuk?" bertanya Ki Tanu
Metir. "Oh," Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia benar-benar
sudah tidak dapat menunggu lagi keterangan dari gurunya itu
tertunda-tunda. Dengan tergesa-gesa ia berkata, "Marilah, Kiai.
Silahkan duduk. Tetapi bagaimana dengan Kakang Untara?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat, wajah-wajah
Swandaru dan Sekar Mirah yang gelisah dan bingung.
Tiba-tiba orang tua itu berkata sareh, "Bukankah kalian telah
dirisaukan oleh hati kalian sendiri?"
Hampir bersamaan ketiganya menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi Sekar Marah menyahut pertanyaan itu, "Ya, Kiai, kami
memang sedang dirisaukan oleh hati kami sendiri."
"Nah, kalau demikian, tenangkanlah hati kalian. Tidak ada
alasan apa pun bagi kalian untuk menjadi risau."
Sejenak Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan.
Mereka sama sekali tidak menemukan kesan yang
mencemaskan di wajah orang tua itu. Bahkan sejenak kemudian
orang tua itu bertanya. "Apakah kalian telah mendapat
rangsum?" Agung Sedayu menggigit bibirnya. Pertanyaan itu sama sekali
tidak diharapkannya. Tetapi ia menyahut, "Sudah, Kiai. Baru
saja. Kami masih belum sempat memakannya."
"Makanlah." "Kami belum lapar, Kiai," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi mungkin Angger Swandaru dan Sekar Mirah menjadi
lapar." Keduanya bersama-sama menggelengkan kepala mereka,
"Belum, Kiai." "Kalau begitu akulah yang lapar. Di banjar aku sudah
mendapat makan, tetapi hanya satu bungkus. Berapa bungkus
kalian mendapat rangsum?"
Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
mulutnya terpaksa juga menjawab, "Empat, Kiai. Kami minta
satu untuk Kiai." "Bagus. Marilah kita makan. Kita merayakan akhir dari
keadaan yang selama ini telah membuat kalian menjadi bingung.
Kita akan sampai pada suatu keadaan yang baru. Suatu
kehidupan yang lain dari yang pernah kalian tempuh selama ini."
*** BAB III. MELINTAS HUTAN MENTAOK AWAN YANG PUTIH kemerah-merahan mengapung di langit.
Matahari yang telah perlahan-lahan turun ke punggung Gunung
Merapi. Sinarnya semakin lama menjadi semakin pudar. Burungburung
seriti terbang bergumpal-gumpal mengitari sebatang
pohon beringin. Ratusan, bahkan ribuan, sehingga seolah-olah
mendung yang gelap mengambang di langit.
Lamat-lamat terdengar kentongan di gardu, di pintu gerbang
padepokan Tambak Wedi, memecah keheningan senja.
Suaranya mengumandang memenuhi lereng Gunung Merapi.
Bertalu-talu seperti dibunyikan berulang kali.
Seorang prajurit muda yang berdiri di depan gardu di samping
regol padepokan itu berbisik kepada kawannya, "Besok kita
turun ke Jati Anom."
"Ya," sahut kawannya yang masih muda pula, "suasana yang
tegang selama ini akan berakhir. Kita akan terlepas dari cara
hidup yang keras dan kasar ini."
"Di Jati Anom akan diselenggarakan sekedar keramaian untuk
menyatakan kegembiraan hati atas kemenangan kita. Dengan
hancurnya Tambak Wedi, maka seolah-olah di bagian Selatan ini
telah tidak ada lagi gangguan apa pun bagi Pajang."
Tiba-tiba kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi
kita akan segera ditarik dan dikirim ke pesisir Utara. Kita harus
berkelahi lagi melawan orang-orang pesisir."
Kawannya menggelengkan kepalanya, "Tidak. Peperangan di
pesisir pun sudah semakin tipis. Tidak banyak lagi perlawanan
yang harus dihadapi oleh Pajang. Setidak-tidaknya kita akan
mendapatkan beberapa hari libur, pulang ke rumah dan berada
di lingkungan keluarga. Anak dan isteri, meskipun kita kelak
harus bertempur lagi."
"Pekerjaan kita memang berkelahi," sahut prajurit muda yang
pertama. "Kita adalah orang-orang yang dibentuk untuk
berkelahi." "Ya, kita memang telah menyatakan diri kita sebagai seorang
prajurit. Pekerjaan prajurit adalah bertempur. Meskipun demikian
kita adalah manusia, yang suatu ketika ingin hidup seperti
kebiasaan hidup manusia. Berkeluarga, bercakap-cakap dengan
isteri dan bermain-main dengan anak-anak."
Tiba-tiba keduanya terperanjat ketika di belakang mereka
terdengar suara, "Siapa yang berkata bahwa prajurit itu
pekerjaannya berkelahi dan bertempur?"
"Oh, Ki Lurah," desis kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Ternyata di belakang mereka berdiri seorang lurah Wira
Tamtama. "Habis, apakah yang harus kita lakukan, Ki Lurah?" bertanya
salah seorang dari kedua prajurit itu.
Lurah Wira Tamtama itu tersenyum. Namun ia bertanya pula,
"Apabila peperangan ini telah selesai, sisa-sisa orang-orang
yang berkeras kepala, bekas pengikut Arya Penangsang telah
habis dan tidak ada lagi pertentangan di seluruh wilayah Pajang,
lalu kita para prajurit harus mencari persoalan baru supaya kita
tidak menjadi seorang penganggur?"
"Ah," desah salah seorang prajurit muda itu.
"Coba katakan," bertanya lurah Wira Tamtama itu, "apa yang
harus kita kerjakan?"
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Bukankah jumlah prajurit akan
berangsur-angsur dikurangi, dan kita akan kehilangan pekerjaan
kita?" Lurah Wira Tamtama itu tersenyum, "Dan kau akan menjadi
sakit hati karenanya?"
Kedua prajurit muda itu terdiam. Sekali lagi mereka saling
berpandangan. "Coba katakan, apakah niatmu ketika kau pertama kali
memasuki lapangan ini."
Keduanya tidak segera menjawab.
"Apakah kalian hanya sekedar ingin mendapat lapangan
pekerjaan supaya kalian tidak menjadi penganggur" Hanya itu?"
Kini keduanya menggeleng, "Tidak, Ki Lurah. Aku memasuki
lapangan ini oleh suatu dorongan yang kuat."
"Katakanlah sifat dorongan itu. Supaya kau tidak mati
kelaparan" Atau supaya kau menjadi seorang yang ditakuti oleh
tetangga-tetanggamu karena kau membawa senjata di lambung"
Atau supaya kau mudah untuk mendapatkan yang kau ingini"
Karena kau prajurit, maka kau melamar gadis tetanggamu.
Apabila gadis itu menolak segera kau mengancamnya, bahwa
sekelompok kawan-kawanmu akan datang dan menangkap
orang tua gadis itu. Begitu" Atau kepentingan lain, supaya kau
dapat mengambil kambing, kerbau atau apa saja kepunyaan
tetanggamu yang kau ingini karena kau prajurit?"
"Tentu tidak, Ki Lurah. Tentu tidak. Aku bukan seorang yang
gila seperti itu. Seandainya ada seorang prajurit yang hanya
didorong oleh nafsunya yang demikian, maka ia telah menodai
Wira Tamtama." "Bagus," potong lurah Wira Tamtama. "Lalu dorongan apa
yang telah memaksamu masuk ke dalam lingkungan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keprajuritan." Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya, "Aku tidak tahu Ki.
Tetapi keinginanku menjadi seorang prajurit demikian besarnya.
Aku ingin karena aku melihat prajurit-prajurit yang lebih dahulu
daripadaku. Mereka telah banyak sekali berbuat sesuatu untuk
kepentingan orang banyak."
Lurah Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Bagus. Bagus. Kau hanya tidak pandai mengatakan. Dorongan
yang demikian itu lahir karena sifat-sifat ksatria yang ada di
dalam dirimu. Kau ingin mengabdikan diri untuk kepentingan
lingkunganmu, untuk kepentingan negara dan tanah tumpah
darah. Ingat, menjadi seorang prajurit adalah menyerahkan diri
dalam pengabdian. Ini adalah landasan pertama yang harus ada
di dalam dada setiap prajurit."
Kedua prajurit yang mendengarkan kata-kata lurah Wira
Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
mereka pun merasakan arti dari kata-kata itu, tetapi mereka tidak
pandai untuk mengatakannya.
"Nah," lurah Wira Tamtama itu meneruskan, "bukankah
dengan demikian tugas seorang prajurit tidak hanya berkelahi,
bertempur dan berperang" Tidak setiap kali mencari persoalan
supaya ada kerja yang dilakukannya?"
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Banyak sekali yang harus dilakukan," sambung lurah itu pula,
"Apabila terjadi kerusuhan, kejahatan dan sebagainya, maka
prajurit pun harus berbuat untuk melindungi rakyat yang lemah.
Tetapi itu pun masih dapat disebut berkelahi atau bertempur.
Yang lain misalnya, apabila ada bencana. Bencana alam atau
bencana apa pun, maka pengabdian prajurit harus
ditunjukkannya juga. Masa-masa yang sulit. Kekeringan air atau
malahan banjir." "Ya," kedua prajurit itu masih mengangguk-anggukkan
kepalanya." "Itu adalah kewajiban-kewajiban lahiriah yang tampak oleh
mata kita," berkata lurah Wira Tamtama itu pula. "Yang lebih
penting dari itu adalah menanamkan keyakinan, bahwa prajurit
adalah pengabdian. Maka semua tindak-tanduk bahkan anganangannya
pun akan selalu berlandaskan pada keyakinan itu.
Pengabdian. Bukan sebaliknya dari itu."
"Ya, ya, Ki Lurah," berkata salah seorang prajurit itu,
"sekarang aku tahu bagaimana mengatakannya. Tetapi demikian
itulah yang membersit di dalam dadaku sebelum aku memasuki
prajurit." "Sebelum memasuki dunia keprajuritan" Lalu, sesudah itu,
maka keyakinanmu justru berubah?"
"Tidak, tidak. Bukan maksudku. Aku pun masih tetap
memegang keyakinan itu."
"Bagus," lurah Wira Tamtama itu berdesis. "Aku percaya
kepada kalian. Nah, sebenarnya, bahwa besok kalian akan turun
ke Jati Anom. Tetapi tidak seluruhnya. Sebagian dari kalian
masih harus tetap berjaga-jaga di padepokan ini. Meskipun
kemenangan kalian dapat disebut mutlak, tetapi otak dari
padepokan ini ternyata dapat melepaskan diri."
Kedua prajurit itu menarik nafas dalam-dalam, "Siapakah
yang akan tinggal di sini?"
"Sepertiga dari seluruh pasukan akan tinggal di sini."
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalian
akan menerima perintah nanti malam. Siapakah yang besok
akan turun ke Jati Anom dan siapa yang tinggal. Tidak banyak
bedanya. Yang tinggal di sini pun pasti akan mendapat bagian
dari keramaian yang akan diselenggarakan di Jati Anom. Kalau
tidak salah, maka ada lima ekor lembu yang tersedia buat kalian
di sini." Kedua prajurit itu tidak menjawab. Tetapi kepala mereka
terangguk-angguk kecil. Dan lurah prajurit itu berkata pula, "Sepertiga dari kalian akan
tinggal di sini, sepertiga di Jati Anom dan sepertiga dari kalian
diperkenankan untuk pulang ke rumah masing-masing untuk
waktu-waktu tertentu. Demikian bergiliran, sehingga kalian pasti
akan segera mendapat giliran pula. Perintah yang serupa akan
diberikan juga kepada pasukan di Sangkal Putung. Sepertiga
dari mereka akan bergiliran, kembali ke rumah masing-masing
untuk beristirahat."
Kedua prajurit itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, lakukanlah tugasmu baik-baik," berkata lurah Wira
Tamtama itu kemudian, "meskipun seolah-olah kalian sudah
tidak berhadapan dengan bahaya, tetapi jangan lengah. Kalau
datang waktunya kalian bertugas di regol padepokan ini, maka
tugas itu harus kalian lakukan dengan baik. Suatu saat, kalian
masih akan mendapat tugas yang cukup berat. Membawa para
tawanan ke Pajang." "Ya, Ki Lurah," jawab kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Lurah Wira Tamtama itu pun segera meninggalkan gardu itu.
Perlahan-lahan ia berjalan menyusur jalan padepokan untuk
melihat gardu-gardu yang lain.
Perlahan-lahan pula, maka malam pun turun menyelubungi
lereng gunung Merapi. Cahaya kemerah-merahan di puncak
gunung itu pun semakin lama menjadi semakin pudar. Asapnya
yang putih kemerahan mengepul seolah-olah ingin menggapai
bintang yang mulai bermunculan satu demi satu.
Beberapa buah obor mulai dipasang di gardu-gardu, di
perapatan dan di jalan-jalan padepokan yang masih dianggap
belum aman sama sekali. Dan malam pun menjadi semakin malam. Sehelasehelai
kabut yang tipis mengalir menyentuh padepokan yang seakanakan
sedang lelap dalam tidur yang nyenyak.
Padepokan itu terbangun, ketika ayam jantan mulai berkokok
bersahut-sahutan. Dari ujung ke ujung terdengar betapa riuhnya,
menyongsong warna fajar yang membayang di ujung Timur.
Ketika fajar kemudian menjadi semakin terang, dan semua
prajurit telah menunaikan kewajiban masing-masing, maka
mereka pun segera bersiap-siap untuk turun ke Jati Anom.
Sepertiga dari mereka masih harus tinggal di padepokan itu,
menjaga orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang terpaksa
diperlakukan sebagai tawanan. Beberapa orang perwira akan
tinggal pula di padepokan itu, untuk menjaga setiap
kemungkinan, seandainya Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya datang kembali. "Perintah segera akan disebarkan," berkata Untara kepada
para perwira itu. "Beberapa orang prajurit akan segara pergi ke
Sangkal Putung, sebagian akan pergi ke Prambanan dan
Pangrantunan. Para prajurit di Prambanan harus mengawasi
setiap gerakan yang mencurigakan. Apalagi apabila mereka
melihat gerakan yang datang dari seberang hutan Mentaok. Dari
Mentaok misalnya, apabila dendam Sidanti benar-benar tidak
terkendali." Para perwira itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Mereka menyadari bahaya yang dapat timbul apabila Sidanti
benar-benar datang membawa pasukan dari seberang Hutan
Mentaok. Tetapi kekuatan itu pasti sudah tidak akan sedahsyat
apabila mereka bergabung dengan kekuatan sisa-sisa orang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi.
"Untunglah, bahwa kekuatan-kekuatan yang dapat
membantunya di sini sudah tidak ada lagi," desis salah seorang
perwira. "Ya," sahut Untara, "aku mempunyai perhitungan, bahwa
Sidanti tidak akan berani datang membawa pasukannya apabila
perhitungannya masih jernih. Tetapi apabila Sidanti dan Ki
Tambak Wedi itu sudah menjadi mata gelap, serta mereka
berhasil menghasut Argapati, maka kemungkinan itu akan dapat
terjadi." "Ya," para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi apakah dengan demikian tidak berarti suatu
pemberontakan yang terang-terangan melawan Pajang, yang
akibatnya akan dapat membuat Tanah Perdikan Menoreh itu
menjadi parah?" "Pemberontakan itu memang sudah dimulai dari Tambak
Wedi ini," sahut Untara. "Tetapi meskipun demikian, aku tidak
yakin, bahwa Argapati memiliki sifat-sifat seperti Tambak Wedi.
Aku kira Argapati telah salah memilih guru buat puteranya, yang
sebenarnya memiliki bekal yang kuat di dalam dirinya."
"Mungkin," sahut salah seorang perwira, "tetapi menilik sikap
Argajaya, maka Argapati pasti setidak-tidaknya memiliki sifat
serupa." "Mudah-mudahan tidak. Argapati bukan keturunan seorang
pemberontak. Ia seorang yang baik, yang berjasa bagi Demak."
Para perwira itu terdiam. Dan Untara meneruskan, "Tetapi
semua kemungkinan dapat terjadi. Kuwajiban kita adalah siaga
menghadapi setiap kemungkinan, tanpa melepaskan
kewaspadaan sama sekali."
Sekali lagi para perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian, maka sampailah saatnya pasukan Pajang
yang berada di padepokan itu sebagian turun ke Jati Anom.
Untara sendiri memimpin langsung pasukannya. Di antara
pasukan yang turun ke Jati Anom itu, terdapat beberapa orang
yang bukan prajurit-prajurit Wira Tamtama. Di bagian depan, di
sisi Untara sendiri berjalan Wuranta. Langkahnya yang lemah,
serta kepalanya yang menunduk, membayangkan perasaannya
yang belum tenang benar. Sekalsekali ia menengadahkan
wajahnya dan melihat batu-batu yang berserakan di sebelahmenyebelah
jalan yang dilaluinya, namun kepala itu kemudian
tunduk lagi. "Kita pulang ke kampung halaman," desis Untara ya berjalan
di sampingnya. Wuranta berpaling, Jawabnya, "Sesudah mengalami masa
yang menggoncangkan hati."
Untara tersenyum. Katanya, "Pengalaman yang tidak akan
dapat dilupakan. Tetapi pengalaman adalah pelajaran yang baik
buat seseorang. Ia akan dapat menggurui kita di saat-saat
mendatang, supaya kita menjadi lebih berhathati dan lebih
cermat memperhitungkan keadaan dengan nalar."
Wuranta tidak menjawab. Dianggukkannya kepalanya
perlahan. Tetapi kemudian ia bertanya, "Kau tidak berkuda?"
Untara menggeleng, "Tidak."
"Apakah sebagian dari kuda-kuda yang dibawa oleh para
prajurit itu akan ditinggalkan di padepokan Tambak Wedi."
"Ya, hanya sebagian saja yang aku bawa kembali ke Jati
Anom. Di sini kuda-kuda itu diperlukan. Apabila terjadi sesuatu,
maka beberapa orang harus dengan cepat menyampaikan kabar
itu ke Jati Anom." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah
tidak bertanya lagi. Ketika ia memandang ke kejauhan, maka
dilihatnya sebuah dataran yang lepas menghijau jauh di bawah
kakinya. Hutan yang tidak terlampau lebat, kemudian tanah yang
coklat kehijauan. Jati Anom.
Pasukan itu pun menjalar menurut jalan kecil yang berkelokkelok
di sepanjang lereng Gunung Merapi, seperti seekor ular
raksasa yang turun dari puncak gunung yang sedang terbakar.
Dan ujung Gunung Merapi itu pun sebenarnya sedang
memerah seperti bara. Sinar matahari pagi telah mewarnai
puncak Merapi itu dengan warna darah.
Di belakang pasukan yang meluncur lambat, berjalan Agung
Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Beberapa langkah di
belakang mereka adalah Ki Tanu Metir. Mereka seolah-olah
terpisah dari pasukan Wira Tamtama yang berjalan dalam
barisan di hadapan mereka. Meskipun di lambung kedua anakanak
muda itu tergantung juga pedang, tetapi keduanya
langsung dapat dibedakan dari para prajurit Wira Tamtama itu.
"Aku sebenarnya segera ingin pulang ke Sangkal Putung,
Kakang," berkata Sekar Mirah kepada Swandaru.
"Aku juga, Mirah. Sebenarnya aku gembira mendengar
Kakang Agung Sedayu mengajak kita segera meninggalkan
padepokan ini apa pun alasannya. Tetapi ternyata kita masih
harus merayap di belakang barisan ini."
"Dan kita masih harus menunggu keramaian di Jati Anom
berakhir. Apakah sebenarnya yang akan diadakan di dalam
keramaian itu" Makan bersama atau wayang beber atau tayub?"
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, "Aku pun tidak
tahu. Tetapi maksudnya adalah, sekedar melepaskan
ketegangan yang selama ini telah mencengkam hati kita masingmasing."
"Tetapi aku belum terlepas dari ketegangan itu sebelum aku
bertemu dengan ibu dan ayahku," bantah Sekar Mirah.
"Ya, aku tahu, Mirah. Tetapi ini adalah sekedar sopan-santun
untuk menunjukkan terima kasih kita. Maksud Kakang Untara
adalah baik. Supaya kita ikut bergembira di dalam keramaian itu.
Kegembiraan yang pasti akan berkesan di hati kita, terutama
kau, Mirah, setelah kau terlepas dari tangan iblis-iblis itu."
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah
kakaknya yang gemuk. Tetapi Swandaru itu sedang
memandangi gerumbul-gerumbul liar di sebelah jalan yang
sedang mereka lalui. Bahkan seolah-olah tidak mendengar katakata
Agung Sedayu. Tetapi baik Sekar Mirah maupun Swandaru, bertanya di
dalam hatinya, "Kenapa Kakang Agung Sedayu kemarin dulu
malam menjadi seperti orang bingung dan hampir-hampir
membawa kami ke Sangkal Putung?"
Tetapi keduanya tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Keduanya menyimpannya di dalam hatinya.
Pasukan Pajang itu berjalan semakin lama semakin menurun.
Jalan menjadi semakin berkelok-kelok, menyusup di antara batubatu
besar yang menjorok, seolah-olah menghadang di jalan
yang akan mereka lalui. Perjalanan itu berlangsung dengan lancar. Tidak ada sesuatu
yang menghalangi mereka, sehingga mereka pada saatnya
sampai ke Jati Anom dengan selamat.
Ki Demang Jati Anom menjadi sibuk menerima pasukan
Pajang itu. Beberapa anak-anak muda menyambut pasukan itu
dengan wajah berserseri. Apalagi ketika mereka melihat Untara
dan Wuranta. Maka tanpa menghiraukan tata barisan lagi
langsung mereka mendapatkan mereka.
"Kalian adalah anak-anak muda Jati Anom yang luar biasa,"
berkata mereka sambil mengguncang-guncang lengan Untara
dan Wuranta. Untara sama sekali tidak ingin mengecewakan mereka,
sehingga diserahkannya barisan Wira Tamtama Pajang itu
kepada perwira bawahannya untuk mengaturnya. Sementara itu,
ia melayani kawan-kawannya semasa kanak-anak yang
mengerumuninya bersama Wuranta.
Kepada Wuranta, anak-anak muda itu berkata, "Maafkan kami
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuranta. Kami tidak tahu apa yang sedang kau lakukan saat itu.
Aku sangka kau terbujuk oleh orang-orang Tambak Wedi.
Ternyata kau adalah seorang pahlawan bagi Jati Anom."
"Ah," Wuranta berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
Salah seorang dari anak muda Jati Anom itu berkata,
"Kademangan ini telah dipersiapkan untuk menyambut kalian
berdua. Untara dan Wuranta. Kalian berdua adalah anak-anak
dari kademangan ini, dan kalian berdualah yang telah berhasil
memusnahkan musuh kita itu."
"Terima kasih," Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebagai seorang senapati, maka yang dilakukan itu adalah
sebagian dari kewajibannya. Tetapi sekali lagi Untara tidak mau
mengecewakan kawan-kawannya semasa kecil.
"Marilah, marilah," ajak anak-anak muda itu, "kami sudah
menyediakan jamuan khusus buat kalian berdua di
kademangan." "Terima kasih," sahut Untara, "aku akan berada di antara
anak buahku." "Mereka pun telah mendapat sambutan secukupnya. Tetapi
kami, kawan-kawan bermain semasa kanak-anak ingin
menyambutmu secara khusus, sebelum sambutan resmi besok
malam diadakan di pendapa kademangan."
"Terima kasih," jawab Untara dan Wuranta hampir
bersamaan. "Jangan kecewakan kami."
Untara akhirnya tidak dapat menolak lagi. Dilingkari oleh
anak-anak muda Jati Anom, mereka berdua dibawa langsung ke
gandok sebelah Timur kademangan.
Ketika mereka masuk ke dalamnya, maka mereka pun segera
tertegun. Ternyata di gandok itu telah tersedia makanan yang
berlimpah-limpah. Nasi putih, beberapa buah ingkung ayam, dan
lauk pauk beraneka rupa. "Kamlah yang memasaknya," berkata salah seorang anak
muda Jati Anom. "Kau?" bertanya Untara.
"Maksudku, anak-anak muda dan gadis-gadis. Kami masak
khusus untuk kalian berdua, sedang perempuan-perempuan
yang lain masak untuk para prajurit."
Dada Untara menjadi berdebar-debar. Sambutan itu tidak
disangka-sangkanya. Apalagi Wuranta. Terasa
kerongkongannya justru menjadi kering.
"Mungkin masakan ini tidak seenak masakan yang
disuguhkan bagi para prajurit. Tetapi aku kira inilah yang paling
kami banggakan. Ini adalah ungkapan dari kegembiraan dan
terima kasih kami, karena kalian berdua telah membebaskan
kami dari ketakutan."
"Bukan kami berdua. Bukan aku dan Wuranta," sahut Untara,
"tetapi seluruh pasukan yang ada di sini, bahkan seluruh rakyat
di Jati Anom." "Apa yang telah kami lakukan selain mengungsi?" bertanya
salah seorang anak muda itu.
"Kalian telah mengungsi. Kalian tidak bersedia membantu
orang-orang Sidanti dan orang-orang Sanakeling, itu adalah
bantuan yang besar sekali bagi kami."
"Ah," desis salah seorang dari mereka, "pujian itu berlebihlebihan.
Tetapi baiklah, kami senang mendengarnya, Sekarang,
marilah. Makanlah. Kalian pasti sedang lapar dan haus."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wuranta.
Katanya, "Kita tidak dapat menolak, Wuranta."
Sentuhan-sentuhan di dada Wuranta masih terasa
mendebarkan jantungnya. Perlahan-lahan ia menganggukkan
kepalanya, "Kita tidak dapat menolak."
Mereka pun kemudian duduk di antara anak-anak muda itu.
Terdengar di sana-sini suara mereka tertawa. Sementara itu
para prajurit pun telah di tempatkan di tempat yang telah
disediakan. Pendapa, gandok yang sebelah, dan beberapa
rumah di sekitar kademangan itu.
Tetapi karena kesibukan masing-masing, maka baik Untara
maupun perwira yang diserahinya, tidak ingat lagi bahwa di
antara mereka terdapat Ki Tanu Metir, Agung Sedayu,
Swandaru, dan Sekar Mirah.
Sehingga dengan demikian, ketika para prajurit Pajang telah
mendapat tempatnya masing-masing, maka Ki Tanu Metir,
kedua muridnya, dan Sekar Mirah itu masih berada di halaman
kademangan. Sejenak mereka berdiri termangu-manggu. Prajurit-prajurit
Pajang yang berada di halaman itu semakin lama menjadi
semakin tipis, karena masing-masing segera pergi ke pondok
yang telah disediakan untuk beristirahat.
"Kemanakah kita pergi?" bertanya Sekar Mirah kepada
kakaknya. Swandaru tidak menjawab, tetapi ia berpaling memandangi
Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, namun ia pun
tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Karena Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab, maka
Sekar Mirah berkata pula, "Apakah kita memang tidak masuk
hitungan, Kakang?" "Ah," Ki Tanu Metir-lah yang menyahut, "jangan berpikir
begitu, Ngger. Suasana di kademangan ini masih berada dalam
keadaan perang. Sehingga semua perhatian bercurah kepada
para prajurit dan kelengkapannya. Tetapi aku yakin, bahwa
mereka sama sekali tidak bermaksud apa-apa terhadap kita. Ini
adalah suatu kekhilafan yang tidak disengaja saja."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
berdesis, "Dan kita harus berdiri saja di sini menunggu
seseorang mempersilahkan kita?"
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Ditebarkannya
pandangan matanya berkeliling. Ia melihat beberapa orang
perwira sibuk mengurus para prajurit itu serta beberapa
pimpinan kademangan mengatur tempat dan perlengkapannya.
"Marilah kita duduk di gardu itu sebentar. Di sini semakin lama
menjadi semakin panas."
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya, "Aku akan tetap
berdiri di sini sampai seseorang mempersilahkan aku."
(***) Buku 28 AGUNG SEDAYU menarik nafas dalam-dalam. "Jangan
Mirah. Kau akan kepanasan. Sebaiknya kita duduk sebentar di
gardu itu. Aku dapat mengurus apa yang harus kita lakukan. Aku
akan mencari Kakang Untara."
"Tidak perlu, Kakang. Kita tamu di sini. Kita tidak perlu
mencari orang untuk mempersilahkan kita. Kalau kita tetap di sini
dan tetap tidak seorang pun yang mempersilahkan kita, maka
lebih baik kita kembali hari ini ke Sangkal Putung. Ayahku pun
seorang demang seperti pemimpin tertinggi kademangan ini."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
perlahan-lahan dan hathati, "Angger Sekar Mirah. Jangan
merajuk. Suasana peperangan adalah seperti ini. Kedatangan
Angger Agung Sedayu di Sangkal Putung juga disambut
denggan perang tanding. Hal-hal serupa ini memang sering
terjadi. Dan kitalah yang harus menyesuaikan diri. "
"Tetapi sama sekali bukan permintaan kita untuk datang minta
perlindungan ke Jati Anom. Kehadiran kita di sini sama sekali
bukan atas kehendak kita sendiri."
"Ya, Ngger, Angger benar. Tetapi sebaiknya kita juga dapat
Mengerti," Ki Tanu Metir itu berhenti sejenak. "Dan bukankah
Angger Agung Sedayu di sini sama sekali bukan tamu" Ia
adalah salah seorang dari tuan rumah. Angger Agung Sedayu
dapat mempersilahkan kita, setidak-tidaknya singgah sebentar di
rumahnya." "Oh," Agung Sedayu seolah-olah tersadar dari anganangannya,
"baiklah. Marilah, aku persilahkan Kiai dan adi
Swandaru serta Sekar Mirah untuk singgah di rumah."
Swandaru berdiri saja seperti patung. Hatinya memang
dibingungkan oleh keadaan di sekitarnya. Ia dapat mengerti
keterangan Ki Tanu Metir, tetapi ia merasa seperti yang
dirasakan oleh adiknya. Sesaat mereka menjadi termangu-mangu. Sekar Mirah sama
sekali tidak beringsut dari tempatnya, di samping pagar halaman
kademangan, di bawah sebatang pohon nyiur.
"Marilah," Agung Sedayu mempersilahkan sekali lagi,
"rumahku tidak begitu jauh."
Tak ada jawaban. Sekar Mirah sama sekali tidak berkisar.
Bahkan berpaling pun tidak. Sedang Swandaru masih juga
berdiri termangu-mangu. Agung Sedayu kemudian menjadi gelisah. Setiap kali
dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut. Tetapi
agaknya Ki Tanu Metir pun belum menemukan sikap yang
sebaik-baiknya menghadapi keadaan.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang
menyapa, "He, Agung Sedayu. Kenapa kau berdiri saja di situ?"
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya seorang anak muda
berjalan menemuinya. "Untara berada di gandok Wetan," berkata anak muda itu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku
datang bersama tamu-tamu ini."
Anak muda itu memandangi mereka satu demi satu.
Swandaru dan Ki Tanu Metir serasa pernah dilihatnya. Tetapi
gadis ini sama sekali belum.
"Kenapa tidak kau persilahkan mereka masuk?" berkata anak
muda itu. "Kalianlah yang harus mempersilahkannya."
Pemuda itu menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, "Marilah
ke gandok Wetan. Di sana akan kalian temui Untara dan anakanak
muda yang lain." "Apakah mereka sedang berunding, atau membicarakan hal
yang penting?" "Tidak, kami, anak-anak muda Jati Anom sedang
menjamunya sebagai pernyataan terima kasih kami. Marilah."
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya
wajah Sekar Mirah yang menjadi kemerah-merahan karena
panas matahari yang serasa membakar halaman itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengajaknya memenuhi
pemintaan anak muda Jati Anom yang mempersilahkan mereka.
Ia masih ragu-ragu melihat wajah Sekar Mirah yang seakanakan
acuh tidak acuh. Ki Tanu Metir melihat keragu-raguan itu. Orang tua itu
mengangguk-angguk kecil. Di sini ia melihat berbagai perangai
anak-anak muda yang berbeda-beda. Yang di antaranya tanpa
sengaja telah menyinggung perasaan masing-masing.
Orang tua itu melihat watak Untara sebagai seorang senapati
muda. Seakan-akan anak itu memang dilahirkan untuk menjadi
seorang senapati yang keras dan mengikat diri dalam
kuwajibannya. Setiap soal dikaitkannya dengan pendiriannya
sebagai seorang senapati.
Adiknya, meskipun perkembangan sifatnya telah membentuk
menjadi seorang Agung Sedayu yang sekarang, tetapi ia masih
selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Anak itu belum dapat
meyakini dirinya dalam suatu pendirian. Ia masih selalu
memerlukan orang lain untuk memperkuat pendapatnya. Ia
masih memerlukan orang lain untuk memperbincangkan setiap
pikirannya. Pengaruh kakaknya sebagai seorang anak laklaki
yang jantan. Sedang muridnya yang lain, Swandaru adalah seorang yang
hampir tidak mengacuhkan apa pun kecuali kesenangannya
sendiri. Meskipun demikian, anak muda itu kadang-kadang
berhasil juga melihat suasana dalam menentukan langkahnya.
Namun setiap kali sifat-sifatnya itu lepas juga dalam peledakanpeledakan
yang sering terlampau aneh, terlampau berpusar
pada kepentingan dan selera sendiri.
Sedang Sekar Mirah adalah seorang gadis yang tinggi hati.
Kehidupannya sebagai seorang putri demang yang kaya di
daerah yang kaya telah membuatnya terlampau manja.
Meskipun gadis itu bukan gadis yang hanya duduk menghias
diri, bahkan gadis itu tidak segan-segan pula melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang cukup berat di rumahnya, tetapi
semuanya itu didorong oleh kehendak untuk memimpin gadisgadis
dan perempuan-perempuan di dalam kademangan itu. Ia
ingin memberikan contoh yang baik bagi mereka, apakah yang
harus mereka lakukan. Namun setiap sentuhan perasaan telah
membuatnya merajuk dan murung.
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali
ia harus menilai keseimbangan sifat-sifat itu. Setiap kali ia harus
melihat dan melengkapi pengamatannya atas anak-anak muda
itu. Lebih-lebih Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya adalah
murid- muridnya.Atas keduanya ia harus melihat dengan jelas.
Sifat, watak, kebiasaan dan kesenangan masing-masing.
"Sekian lama aku berada di antara mereka," berkata orang
tua itu di dalam hatinya, "tetapi aku belum menemukan pribadipribadi
mereka selengkapnya."
Dalam pada itu, sekali lagi mereka mendengar anak muda
Jati Anom mempersilahkan. "He, Agung Sedayu, kenapa kau
justru termenung. Marilah. Ajak tamu-tamumu masuk ke gandok
Wetan. Untara dan Wuranta berada di sana pula."
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi wajah
Sekar Mirah. Ia ragu-ragu untuk mengucapkan kata-kata, karena
Sekar Mirah masih juga bersikap acuh tak acuh.
Ketika Agung Sedayu memandangi wajah Swandaru,
Kutukan Makam Mummy 2 Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis Badai Awan Angin 15