Memburu Si Penjagal Mayat 2
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat Bagian 2
benda hitam bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya ternyata benda hitam itu adalah sehelai
celana hitam. Dia
berpaling ke kiri, ke tempat dimana dia melemparkan celana hitamnya tadi. Celana
itu ternyata tak
ada lagi disitu.
"Itu pasti celanaku..." desis sang datuk. "Kenapa bisa menyangkut di semak
belukar sana..."
Aneh!" Celana hitam yang tergantung di antara semak belukar itu terus bergoyang-goyang
dalam kegelapan malam.
"Kurang ajar! Apa ada setan yang berani mempermainkanku"!" Datuk Kepala Besi
memandang lagi berkeliling. Djarot dan Rokonuwu dilihatnya masih terbujur di
tempat semula. "Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah sebentar!" berkata Datuk Kepala Besi sambil
mengusap dada Sulindari. "Ada mahluk yang berani mempermainkanku!"
Datuk Kepala Besi berdiri lalu melangkah mendekati semak belukar. Hanya tinggal
beberapa langkah saja lagi dari celananya yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-tiba
celana itu berkelebat
lenyap. Selagi dia memandang berkeliling keheranan mencari-cari kemana lenyapnya
celana hitam itu, tiba-tiba sesuatu menyambarnya. Ternyata celananya sendiri.
"Keparat!" Datuk Kepala Besi coba menangkap celana itu. Tapi seperti seekor ular
tiba-tiba celana itu melesat ke bawah. Salah satu ujung kaki celana mematuk ke bawah
perutnya. Dan terdengarlah jeritan Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil
pegangi bagian bawah
tubuhnya. Di saat yang sama terdengar suara orang tertawa: "Gundul jelek! Apakah burung
kakak tuamu dipatuk kodok"! "Ha... ha... ha!
"Bangsat minta mati! Siapa yang berani mempermainkanku!" bentak Datuk Kepala
Besi marah sekail. "Aku si pemilik kodok!" terdengar jawaban yang disusul oleh suara tawa bergelak.
Suara tawa itu datang dari bawah pohon di tepi danau. Ketika sang datuk berpaling ke
arah situ dilihatnya
tegak bertolak pinggang seorang pemuda berpakaian putih, memegangi celana
hitamnya yang rupanya
telah diikat dengan sehelai akar gantung.
Saking marahnya Datuk Kepala Besi melangkah cepat ke arah pemuda itu.
"Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek kalau berjalan tanpa pakaian! Ini!
Pakai dulu celanamu yang bau busuk ini!"
Pemuda di bawah pohon lalu lemparkan celana hitam yang dipegangnya.
* * * 8 LEMPARAN celana itu ternyata bukan lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut
sekali ketika tiba-tiba sepasang kaki celana, laksana dua buah tangan menelikung
lehernya seperti hendak
mencekik. Sambil memaki si botak ini angkat kedua tangannya ke atas lalu
breet!!! Celana itu robek
panjang di bagian tengahnya. Sang datuk campakkan celana hitamnya ke tanah. Lalu
sambil mengereng dia mendatangi pemuda yang tegak di depan pohon. Sebenarnya kalau dia
mau berpikir, jelas orang telah mempermainkannya. Dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh
orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya. Tapi saat itu Datuk Kepala Besi
benar-benar diselimuti
kemarahan hingga otaknya mana mampu berpikir jernih.
Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi
langsung menghantam dengan tangan kanan. Jotosannya menderu ke arah muka si pemuda. Tapi
dengan membuat gerakan sedikit saja, orang yang dipukul berhasil mengelakkan serangan
sang datuk hingga
dia menjadi tambah marah. Dia kembali menyerbu dengan serangan beruntun yaitu
dua pukulan dan
satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja sangat cepat datangnya tetapi juga
mengeluarkan deru
angin yang deras tanda berisi tenaga dalam yang tinggi.
Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-gerakan gesit dan berhasil mengelakkan
semua serangan lawan, tetapi ketika dia hendak menggebrak dengan serangan balasan,
Datuk Kepala Besi
keluarkan kepandaiannya berpindah tempat dan tahu-tahu dia sudah berada di
samping kiri, melayangkan kepalan ke pelipis si pemuda. Yang diserang menangkis dengan
melintangkan lengan
kiri di samping kepala. Dua tangan saling beradu. Datuk Kepala Besi hampir
terpekik kesakitan.
Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti sepotong besi besar. Dalam menahan
sakit, begitu tangannya beradu dengan lengan lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan tangannya ke
bawah. Pinggiran
tangan kanan sang datuk membabat laksana tebasan pentungan besi.
Buuukkk!! Hantaman tangan itu mendarat di bahu kiri pemuda berpakaian putih. Tak ampun
lagi pemuda ini langsung melosoh dan tersungkur.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang menyaksikan itu diam-diam mengeluh
dalam hati. Di saat ketiganya tak berdaya seperti itu, munculnya pemuda itu sungguh
sangat mereka harapkan agar dapat menjatuhkan si jahat berkepala botak itu. Sampai saat itu
karena berada di tempat
yang gelap dan jauh dari nyala api perkemahan baik Djarot maupun Rokonuwu serta
Sulindari tidak
dapat melihat wajah si pemuda jadi tidak bisa mengetahui siapa adanya orang itu.
Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan
penuh nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan yang mematikan ke arah kepala
pemuda baju putih.
"Mampus!" teriak Datuk Kepala Besi penuh nafsu.
Wuuuuttt! Tendangan maut itu lewat setengah jengkal dari pipi kanan si pemuda dan tiba-
tiba sang datuk merasakan tubuhnya terangkat. Baru disadarinya kalau saat itu pergelangan
kakinya telah berada dalam cekalan yang sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan kakinya dari
cengkeraman lawan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang ke udara. Dalam gelapnya malam tubuh itu
kemudian jatuh mencebur ke dalam air danau yang dingin.
Di dalam air, sesaat sang datuk megap-megap. Untung dia bisa berenang lalu
berusaha mencapai tepi danau. Tubuh luarnya terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana
terbakar. Orang
yang mengaku raja diraja rimba persilatan pantai selatan ini baru sekali itu
diperlakukan orang seperti
itu. Marahnya bukan alang kepalang. Begitu naik ke darat, langsung dia menekuk
leher lalu menyerbu
ke arah pemuda berpakaian putih.
Djarot yang tak mau penolongnya itu mendapat celaka oleh serangan kepala yang
sudah diketahuinya kedahsyatannya itu segera berteriak memberi ingat.
"Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak! Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala
Besi...!" "Terima kasih atas peringatanmu Djarot! Aku mau coba sampai dimana kerasnya
kepala botak monyet telanjang ini!" terdengar pemuda berpakaian putih menyahuti.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening, terutama sekali Djarot tentunya, jadi
terkejut ketika
mendengar pemuda dalam gelap itu mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-tiba
saja ketiganya ingat betul kalau mereka mengenali atau paling tidak pernah mendengar suara
orang itu. Sulindari
yang ingat lebih dulu dan langsung saja gadis ini berteriak: "Wiro! Kaukah itu!"
"Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek! Memang aku Wiro Sableng!" menjawab
si gondrong berpakaian putih.
"Hati-hati Wiro! Kepala manusia itu berbahaya luar biasa!" berseru Rokonuwu.
"Justru aku hendak mencoba!" Sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Datuk
Kepala Besi telah berada di depannya dengan kepala botaknya siap dihantamkan ke pertengahan
dada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan yang sejak tadi sudah menyiapkan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudra. Pukulan ini jika dilancarkan dalam bentuk
dorongan telapak
tangan merupakan benteng pertahanan yang ampuh karena sanggup mengeluarkan angin
deras menyongsong serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam bentuk tinju maka
jangankan kepala
manusia, tembok batu yang tebalpun pasti jebol. Dan dengan pukulan sakti inilah
Wiro hendak menggebuk kepala lawan.
Datuk Kepala Besi yakin sekali kepalanya akan menjebol hancur dada si pemuda.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng yakin pula kalau pukulan saktinya akan menghantam pecah
kepala botak lawan.
Dalam sama-sama yakin begitu tinju kanan Pendekar 212 mendarat keras di
pertengahan kepala
Datuk Kepala Besi.
Buuukkk! Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanya terdongak dan tubuhnya mencelat dua
tombak, jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangan
kanannya seperti
menghantam dinding besi yang atos dan panas. Ketika ditelitinya ternyata tangan
kanannya sampai
sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak dan kemerahan.
"Gila betul!" seru Wiro sambil garuk-garukkan tangan kirinya ke kepala penuh
tidak percaya tapi diam-diam juga merasa kagum. Bagaimana pukulan saktinya yang selama ini
sanggup menjatuhkan berbagai tokoh silat kawakan, kini sama sekali tidak mempan hanya
menghadapi sebuah
kepala manusia. Kepala botak buruk pula.
Di hadapannya Datuk Kepala Besi terdengar tertawa mengekeh dan bangkit berdiri
sambil mengusap-usap kepala botaknya. Tetapi Wiro diapun merasa heran. Seumur hidupnya
tak satu pukulan lawanpun sanggup membuatnya terpental seperti itu. Selain itu dia hampir
tak percaya ketika
melihat tangan Wiro hanya membengkak merah. "Tangan Itu seharusnya hancur!"
desis Datuk Kepala
Besi. "Orang muda! Jelaskan siapa dirimu!" tiba-tiba sang datuk membentak.
"Siapa aku tidak penting! Yang lebih penting ialah jawab pertanyaanku! Apa
alasanmu menuduh tiga sahabatku ini sebagai orang-orang yang telah mencincang mayat di
lereng Merbabu!"
"Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah! Bagus! Berarti kaupun akan kebagian
menerima kematian!" Berkata sang datuk sambil bertolak pinggang.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi. Aku ganti dengan pertanyaan lain!" ujar
Wiro pula. "Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-murid Kiyai Djoko Bening ini"!"
Rahang Datuk Kepala Besi menggembung.
"Gondrong tolol! Kau tidak layak menanyaiku!"
"Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekarang pertanyaan yang
ketiga! Apa sangkut pautmu dengan korban yang dipotong sebelas itu"!
"Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada setan liang kubur!" teriak Datuk Kepala
Besi lalu dia menggembor keras dan menubruk ke arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak
siap melabrak tubuh lawannya. Kali ini di bagian perut. Sesaat Wiro berpikir apakah akan
menghantam saja si botak
ini dengan pukulan Sinar Matahari. Namun selintas pikiran muncul di benaknya.
Sambil menyeringai
pendekar ini melompat tinggi ke atas. Tangan kanannya menyambar seutas akar
gantung sebuah pohon yang panjangnya lebih dari dua tombak. Selagi masih melayang di udara dia
membuhul salah satu ujung akar gantung itu dan begitu turun dia telah memegang seutas "tali
penjerat".
Selagi Wiro melayang turun, kembali Datuk Kepala Besi menyerang dengan
kepalanya. Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan tetapi dia menyeringai lebar ketika di
depan sana dilihatnya
lawannya terpeleset dan jatuh tertelentang di tepi danau. Tanpa pikir panjang
lagi sang datuk
melompat untuk mengirimkan injakan maut ke tenggorokan Wiro. Tapi apa yang
kemudian terjadi
benar-benar tidak disangkanya.
Ternyata Pendekar 212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset. Hal ini
dilakukannya lain
tidak agar dia bisa berada lebih rendah dari lawan dan memiliki keleluasaan
untuk "membidikkan tali
penjeratnya".
Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tiba
dia sempat melihat ada yang menyebar ke arah selangkangannya, keadaan sudah terlambat. Di
lain kejap dia merasakan sesuatu menjerat kepala anggota rahasianya.
Tentu saja Datuk Kepala Besi berteriak kesakitan setinggi langit ketika Wiro
sambil tertawa gelak-gelak menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
"Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!" teriak Datuk Kepala Besi.
"Berani kau berteriak lagi, berani kau bergerak, kubedol putus burung kakak
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuamu" hardik
Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar gantung itu. Kembali sang datuk menjerit
setinggi langit.
Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang paling berharga itu dibetot putus,
itu yang terjadi dengan
dirinya hingga mau tak mau dia terpaksa berhenti memaki dan tak berani bergerak.
Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang saat itu masih berada dalam keadaan tak
berdaya dan ikut menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi tersenyum-
senyum. "Benar-benar sableng murid nenek gendeng ini!" kata Djarot dalam hati.
"Datuk Kepala Botak...!" ujar Wiro.
"Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi... Aduh...!" Datuk itu menjerit karena
kembali Wiro menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
"Jaga mulutmu datuk buruk! Kau boleh pilih! Kehilangan burungmu atau memberi
keterangan!"
Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi masih mau bertanya: "Keterangan apa
yang kau inginkan"!"
"Apa hubunganmu dengan mayat dipotong-potong itu"!"
"Aku tidak punya hubungan apa-apa!" sahut Datuk Kepala Besi.
"Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga murid Kiyai Djoko Bening"!" Wiro
mengejar dengan pertanyaan berikutnya.
"Aku dibayar orang!"
"Siapa orang yang membayarmu"!" yang bertanya dengan membentak itu adalah
Djarot. "Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu lalu dua orang yang mengaku berasal
dari desa Klingkit mendatangiku! Menyerahkan sejumlah uang dengan tugas membunuh dua orang
pemuda dan seorang dara berpakaian serba biru yang diketahui adalah murid-murid Kiyai Djoko
Bening dari gunung Merbabu! Mereka mengatakan bahwa ketiga orang Itu telah melakukan
pembunuhan atas diri
seorang gadis lalu mencincang mayatnya dan mencampakkannya di lereng gunung
Merbabu..."
"Apa kau tidak menanyakan siapa nama-nama mereka"!"
"Tidak karena aku tidak perduli..." sahut Datuk Kepala Besi. Kedua matanya
setiap saat mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri. Namun masih niat, belum sempat
bergerak Wiro yang sudah tahu gelagat cepat membentak dan mengedut akar gantung.
"Lama-lama bisa putus milikku ini!" membatin sang datuk sambil menahan sakit.
"Dua orang desa Klsngkit itu, apakah mereka menerangkan siapa adanya mayat di
gunung Merbabu itu"!" yang mengajukan pertanyaan adalah Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menggeleng.
"Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu! Aku sudah memberi keterangan! Sekarang
lepaskan jeratan tali celaka ini! Lepaskan!" berteriak Datuk Kepala Besi.
"Manusia kepala botak! Pembunuhan yang hendak kau lakukan terhadap kedua murid
Kiyai Djoko Bening adalah perbuatan keji terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak
kehormatan gadis
itu lebih keji dan lebih terkutuk! Aku tidak bisa memberi ampunmu untuk yang
satu itu. Dari pada di
kemudian hari kau masih gentayangan dengan nafsu bejatmu, lebih baik sekarang-
sekarang ini dilakukan pencegahan!"
"Apa maksudmu...?" tanya Datuk Kepala Besi hampir berteriak.
"Sesuai permintaanmu, tali penjerat ini akan kulepaskan!" Habis berkata begitu
Pendekar 212 Wiro Sableng tarik akar gantung itu kuat-kuat.
Darah menyembur dari selangkangan Datuk Kepala Besi. Jeritannya menembus langit
di kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu bergidik ngeri. Sulindari palingkan
kepalanya dengan bulu
tengkuk meremang. Sang datuk jatuh duduk di tanah.
"Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!" terdengar suara Wiro.
"Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan kejadian ini! Kau tunggulah
pembalasanku! Aku bersumpah membunuhmu dan turunanmu!"
"Tua bangka pikun!" menyahut Wiro. "Kawinpun aku belum, bagaimana aku punya
turunan! Lekas pergi! Atau akan kucopot milikmu yang masih bersisa!"
"Jahanam! Keparat...!" teriak Datuk Kepala Besi lalu bangkit dan lari
terbungkuk-bungkuk.
* * * 9 KARENA keadaan cidera mereka yang cukup parah, terpaksa Sulindari menunda
perjalanan dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa
ke tempat kediaman Kiyai Djoko Bening di puncak Merbabu.
Setelah memeriksa keadaan dua muridnya itu dan memberikan pengobatan Kiyai Djoko
Bening memberi tahu bahwa satu minggu setelah mereka meninggalkan gunung Merbabu
ada beberapa orang penduduk dari Kadipaten-Kadipaten terdekat mendatangi tempat
kediamannya untuk
menyaksikan mayat potong sebelas itu. Mereka adalah dua keluarga yang mengatakan
kehilangan anak gadis masing-masing sejak beberapa minggu sebelumnya. Namun semua yang
datang itu walau
wajah mayat tak lagi bisa dikenali, dari ciri-ciri yang lain dua keluarga itu
sama memastikan bahwa
korban bukan anak gadis mereka.
"Rupanya kabar ditemukannya mayat terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah
tersebar ke pelbagai penjuru...," ujar Wiro.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang Kiyai?" bertanya Sulindari.
"Betul, sayapun perlu petunjukmu," menyambung Wiro Sableng.
"Memang, kini hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan untuk meneruskan
penyelidikan, mencari tahu siapa adanya korban dan paling penting mencari siapa
pelaku pembunuhan yang keji ini!" menjawab Kiyai Djoko Bening. "Namun hari ini kalian
berdua tetap disini dulu. Ada orang penting yang bakal datang dari Kotaraja untuk melihat
korban. Tiga hari lalu
seorang utusan orang penting itu datang untuk melakukan peninjauan. Paling
lambat besok menjelang
tengah hari orang tersebut sudah sampai disini. Karena itu kalian berdua tetap
disini dulu sampai
mereka datang. Disamping itu kau kuperlukan untuk membantu merawat Djarot dan
Rokonuwu, Sulindari..."
"Kalau begitu kata Kiyai, saya menurut..." jawab Sulindari.
* * * "Menurut kedua orang tuanya, Damar Bintoro meninggalkan Sleman sepuluh hari
lalu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan aku juga curiga!" kata
Tumenggung Brojo Menggolo sambil melangkah mundar mandir dalam kamar tidurnya yang besar
sementara istrinya Surti Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.
"Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau curiga?" bertanya Retnoningsih.
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Damar Bintoro! Sudah sejak dulu aku tidak
suka pada anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Damar Bintoro adalah calon
suami yang paling
cocok untuk Sintomurni! Padahal dia adalah pemuda bergajulan. Hanya kebetulan
saja ayahnya jadi
penasihat Patih Kerajaan..."
"Tentunya kau punya alasan mencurigai pemuda itu..."
"Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya untuk kawin lari. Karena dia tahu
aku tidak suka kalau dia menjadi menantuku...!"
Retnoningsih batuk-batuk beberapa kali lalu berkata: "Sulit bagiku mempercayai
bahwa Damar Bintoro mau melakukan apa yang kau katakan itu..."
"Lalu kemana dia menghilang" Dan kemana lenyapnya anak gadis kita"!" tukas
Tumenggung Brojo Menggolo.
Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Dia termenung sejenak lalu
berkata: "Kangmas, kalau ada orang yang harus dicurigai, menurut hematku orang itu adalah
Sangkolo Pratolo, guru silat Sintomurni..."
Sang Tumenggung tampak terkejut mendengar kata-kata istrinya itu. "Eh, mengapa
kau punya pikiran seperti itu, istriku..."
"Apa kangmas lupa siapa Sangkolo Pratolo dulunya" Seorang kepala penjahat yang
merampok dan membunuh, menculik dan merusak kehormatan anak gadis atau istri
orang. Kemudian
setelah dijebloskan dalam penjara Kerajaan selama sembilan tahun, dia bertobat
memulai hidup baru
yang bersih dengan menjadi seorang guru silat. Apakah dia tidak pantas
dicurigai..."!"
"Aku sudah memanggilnya. Kita sudah bicara padanya. Jika dia memang menculik
anak kita, pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah
dia salah seorang
yang kita harapkan untuk dapat membantu mencari Sintomurni... "
"Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu. Bagaimana dengan kabar ditemukannya
mayat seorang perempuan di lereng gunung Merbabu beberapa waktu lalu..." Bertanya
Surti Retnoningsih.
"Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Sintomurni dengan
mayat itu..." "Tapi bukankah saya sudah meminta kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana
untuk menyelidik dan mencari tahu" Apakah prajurit itu sudah kembali......?"
"Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai yang tinggal di puncak gunung itu
ternyata telah mengawetkan jenazah Itu..."
"Kalau begitu perajurit itu pasti mengenali jenazah tersebut!" ujar
Retnoningsih. Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng. "Wajah mayat itu tidak dapat dikenali
lagi. Hancur seperti bekas dicincang. Lalu..."
Sang Tumenggung tidak meneruskan kata-katanya.
"Lalu apa kangmas...?"
Brojo Menggolo menggelengkan kepala. "Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu
mengerikan..."
"Mengerikan" Apanya yang mengerikan..." Kau harus mengatakannya padaku kangmas!"
"Menurut perajurit yang kukirim, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-
potong menjadi sebelas bagian..."
"Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?" desis istri sang Tumenggung.
Dia terdiam beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya.
"Kangmas Menggolo, kita
harus berangkat ke puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-
potong itu. Jangan-
jangan..." Suara Retnoningsih tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang.
Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampak ada air mata yang meleleh di kedua
pipinya. "Kau berada dalam keadaan tidak sehat seperti ini. Mau ke puncak Merbabu" Jangan
mencari penyakit baru Retno!" ujar Tumenggung Brojo Menggolo.
"Aku pandai berkuda. Jangankan satu gunung. Sepuluh gunungpun akan kudaki demi
mencari kejelasan mengenai diri anak kita..."
"Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di gunung Merbabu
itu, biar aku dan Sangkolo Pratolo saja yang pergi kesana... "
"Tidak kangmas. Aku harus ikut... Aku harus ikut....."
Tumenggung Brojo Menggoio menghela nafas dalam akhirnya berkata: "Jika itu maumu
baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda, beberapa orang pengawal.
Mungkin Sangkolo
Pratolo akan kuajak serta..." Lalu Tumenggung Itu keluar dari kamar.
* * * 10 KIYAI DJOKO BENING, Wiro dan Sulindari sama-sama berdiri ketika rombongan dari
Kotaraja sampai di depan tempat kediaman sang Kiyai. Rombongan itu terdiri dari
sang Tumenggung
sendiri, lalu istrinya Surti Retnoningsih yang mengenakan baju ringkas dan
celana panjang, lengkap
dengan setengah lusin pengawal serta guru silat Sangkolo Pratolo.
Setelah saling memberi salam dan saling menghormat Kiyai Djoko Bening langsung
berkata: "Beberapa hari lalu utusan Tumenggung telah datang kemari untuk menyelidiki
mayat yang ditemukan murid-muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini. Menurut utusan itu
Tumenggung telah kehilangan puteri Tumenggung yang bernama Sintomurni. Apakah betul
begitu...?"
Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya
mendahului bicara.
"Kami ingin melihat mayat itu..."
"Saya tidak berani menolak. Tapi apakah jeng ayu mempunyai keberanian
melihatnya" Lain
dari itu apakah Tumenggung memperbolehkan...?"
"Apakah jenazah itu ada di dalam rumah?" tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.
"Saya akan membawanya keluar," kata Kiyai Djoko Bening. 'Tapi sebelumnya
Tumenggung dan rombongan biar kami suguhkan minuman air gunung yang sejuk dulu. Dari
Kotaraja sejauh itu
tentu meletihkan dan dahaga...."
"Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya untuk melihat mayat itu. Dan harus
segera kembali ke Kotaraja..." Kata Surti Retnoningsih yang sudah tidak sabaran.
"Jika begitu keinginan jeng ayu, saya akan mengambil jenazah dan membawanya ke
langkan sini. Harap Tumenggung dan istri sudi menunggu."
Habis berkata begitu Kiyai Djoko Bening masuk ke dalam. Diam-diam Wiro
memperhatikan wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan rumah. Wajah Tumenggung
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brojo Menggolo tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat
lehernya menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin,
menunggu dengan segala ketabahan. Sulindari merupakan satu-satunya orang yang paling
tenang. Kedua tangannya didekapkan di depan dada. Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di
ujung kiri langkan
sambil melinting sebatang rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi mata murid
Pendekar 212 yang tajam melihat bagaimana jari-jari yang melinting rokok itu gemetaran.
Ketika Kiyai Djoko Bening melangkah keluar membawa sebuah peti kayu yang cukup
besar, suasana di tempat itu nyaris sehening di pekuburan.
Dengan hati-hati Kiyai Djoko Bening meletakkan peti kayu di pertengahan langkan.
Lalu dia berpaling pada Tumenggung dan berkata: "Tumenggung dan istri, silahkan naik ke
langkan untuk menyaksikan sendiri..."
Tumenggung Brojo Menggolo berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak
berkesip ke arah peti di langkan rumah, lalu dengan segala ketegaran tapi dada
berdebar keras perempuan ini melangkah menaiki tangga kayu, terus naik ke langkan. Suaminya
mengikuti. Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang baru tiga kali dihisapnya lalu ikut
naik ke atas langkan.
Para perajurit pengawal hanya berani mendekat ke pinggiran langkan, tak ada yang
berani naik. Sulindari dan Wiro tetap berdiri di halaman rumah.
Kiyai Djoko Bening, Tumenggung dan istrinya serta guru silat Sangkolo Pratolo
berdiri mengelilingi peti kayu yang terletak di pertengahan langkan dalam keadaan
terduduk. Setelah
memandangi wajah-wajah di depannya satu demi satu, Kiyai Djoko Bening kemudian
membungkuk. Perlahan-lahan penutup peti kayu itu dibukanya.
Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan
keluar dari beberapa mulut. Tumenggung Brojo Menggolo tersurut mundur hampir dua langkah.
Sangkolo Pratolo yang di masa mudanya adalah penjahat yang dengan tanpa berkesip sanggup
membunuh orang, menyaksikan isi peti itu tetap saja dia mengernyitkan kening dan dingin
kuduknya. Akan halnya Surti Retnoningsih, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun
sesaat kemudian dia
mengeluarkan pekik kecil lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris pingsan.
Suaminya buru-buru
menolong, menyandarkannya ke dinding.
"Kau tak apa-apa Bune...?" tanya Tumenggung Brojo Menggolo. Sang istri berusaha
menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-
gelengkan kepala saja.
Masih sambil memegangi istrinya Tumenggung Menggolo kembali memandang ke arah
peti lalu tiba-
tiba saja dia berkata setengah berteriak: "Itu bukan Sintomurni! Bukan
puteriku!"
"Kau pasti betul Tumenggung...?" tanya Kiyai Djoko Bening.
"Pasti sekali! Pasti sekali...."
Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo yang tadi kelihatan seperti mau
pingsan bangkit
berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian-
bagian tubuh lainnya. "Anakku...anakku...!" jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua
tangan. "Itu
anakku! Itu Sintomurni...!" Lalu perempuan ini menangis keras sekali.
"Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kita bune. Percayalah...!"
"Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada tahi lalat di telapak kaki
kanannya. Itu anak
kita mas! Anak kita...!"
Tumenggung menggoncang tubuh istrinya dengan keras. "Bune...! Setan apa yang
masuk dalam dirimu hingga mayat itu kau katakan anak kita...?"
Retnoningsih tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Tumenggung berpaling
pada Sangkolo Pratolo.: "Siapkan kuda! Kita kembali ke kota saat ini juga!"
memerintahkan Tumenggung
itu. Belum sempat guru silat itu bergerak melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng sambil
menarik lengan Sulindari melompat ke atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro
mengeluarkan sebuah
benda, lalu dia mendekati istri Tumenggung. Seraya mengacungkan benda itu dia
bertanya: "Gusti
Ayu, apakah kau mengenali anting-anting ini...?" Surti Retnoningsih turunkan
kedua tangannya yang
menutupi muka. Matanya membelalak melihat anting-anting perak di tangan Wiro.
Suaranya bergetar
ketika berkata: "Itu... itu anting-anting Sinto...."
"Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang Ini...?" bertanya Sulindari yang tegak
di sebelah Wiro seraya memperlihatkan gelang perak berukiran kepala ular yang melingkar di
lengan kirinya.
Retnoningsih terpekik: "Gelang itu! Gelang perak kepala ular! Itu juga milik
puteriku! Aku yang menyuruh buatnya pada pandai perak di Kotagede. Dari mana! Katakan dari
mana kalian mendapatkan perhiasan itu"!"
"Anting ini saya temukan dalam kain kuning pembungkus mayat ketika ditemukan di
lereng gunung," menerangkan Wiro.
"Dan gelang perak ini sengaja kami ambil dari lengan jenazah setelah sampai
disini," berkata
Sulindari. "Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puterimu
Tumenggung Brojo
Menggolo!" kata Kiyai Djoko Bening.
'Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!" teriak Tumenggung Menggolo.
Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar ke tiang langkan.
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Sangkolo Pratolo. Lalu berkata: "Sebaiknya
segera dipersiapkan untuk membawa jenazah dalam peti ini ke Kotaraja lalu
menguburkannya!" Lalu pada
Tumenggung Menggolo orang tua ini berkata sambil memegang bahunya. "Tumenggung,
kau harus tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskan seperti
ini..." Tumenggung Menggolo anggukkan kepala. "Walau Sintomurni hanya anak tiriku,"
katanya, "Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak
punya anak yang
lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-
cepat dibawa ke
Kotaraja dan diurus pemakamannya..."
"Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan padamu, Tumenggung," kata Kiyai
Djoko Bening perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Retnoningsih.
"Puterimu itu
meninggal dalam keadaan hamil antara empat sampai lima bulan..."
"A...apa... Puteriku hamil..."!" Sepasang mata Tumenggung Brojo Menggolo
membeliak. Dia berpaling pada istrinya. Justru saat itu Retnoningsih yang sudah sempat
mendengar keterangan Kiyai
Djoko Bening langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai.
Kali ini dia benar-
benar pingsan. "Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!" teriak Tumenggung Brojo
Menggolo tiba- tiba seraya mengepalkan tinju kanannya. "Pasti Damar Bintoro yang melakukannya!
Dia menghamili Sinto! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Tapi
Damar Bintoro! Kowe tak akan bisa lari jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh!
Akan kucincang tubuhmu sampai lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar Bintoro!"
* * * 11 MALAM sangat gelap, pekat menghitam membungkus tempat dimana dua penunggang kuda
itu mengadakan pertemuan hingga wajah keduanya sulit dikenali.
"Ada hal mendesak hingga kau meminta pertemuan ini?" Penunggang kuda di sebelah
kanan bertanya. "Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranak itu tidak ada di tempat kediamannya.
Menurut pemilik rumah dia menghilang begitu saja setalah ada seorang menjemputnya.
Berarti saat lenyapnya
hampir bersamaan dengan menghilangnya Damar Bintoro..."
Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya berulang kali. Ada keringat dingin
membasahi wajahnya. "Aku juga khawatir pada dua orang lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana
kalau kuminta kau mencari keduanya lalu membereskannya...."
"Saya mulai berpikir-pikir..."
"Kau mulai berpikir-pikir katamu" Berarti kau mulai ragu! Aku tidak mau melihat
hal itu. Jika kau masih menginginkan jabatan itu perintahku harus kau lakukan. Kalau
tidak nasibmupun akan
masuk dalam daftar hitamku! Jangan lupa kau ikut terlibat banyak dalam urusan
ini!" "Saya mengerti. Kalau begitu izinkan saya pergi sekarang..."
"Jika kau ingin bicara, kau bisa datang ke rumah. Tidak perlu sembunyi-sembunyi
seperti ini. Justru jika ada yang melihat bisa tambah tidak beres urusan ini. Kau
mengerti...?"
"Saya mengerti..."
"Kau boleh pergi sekarang!"
Penunggang kuda di sebelah kiri bergerak meninggalkan tempat itu.
Yang di sebelah kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di atas punggung kuda.
Satu pikiran buruk mampir di benaknya. "Aku khawatir manusia satu ini apakah benar-
benar bisa dipercaya terus..." berpikir sampai disitu maka diapun berseru. "Tunggu dulu!"
Orang yang barusan pergi hentikan kudanya dan berpaling menunggu orang yang
datang menyamparinya. "Ada apa lagi...?"
"Tidak apa-apa. Aku pikir dalam menjalankan pekerjaanmu pasti kau membutuhkan
sejumlah uang. Terima ini..." Lalu dengan tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuah
kantong berisi uang.
ketika tangan kiri itu diulurkan untuk memberikan, bersamaan dengan itu tangan
kanan yang tadi
menyelinap ke balik pinggang tiba-tiba bergerak laksana kilat dalam kegelapan
malam. Sebilah keris
luk tiga menghunjam dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima kantong uang
tadi. Tubuhnya langsung terhuyung, lalu jatuh ke tanah dengan darah menyembur dari luka di dada
yang tembus sampai ke jantungnya.
"Manusia jahanam. Manusia busuk terku..." Makian itu hanya sampai disitu karena
nyawanya keburu putus. Di balik semak belukar yang sangat rapat, terdengar suara perempuan memaki
halus: "Kenapa
kau larang aku mencegah keparat itu membunuh saksi penting yang kita perlukan
itu...?" Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya di atas bibir. "Jangan bicara
terlalu keras. Kau
tak usah khawatir..."
"Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!" berbisik lagi suara perempuan tadi.
Kali ini menunjukkan rasa gemas.
"Tidak mengerti tidak jadi apa Sulindari. Kita masih punya beberapa saksi yang
bisa mengungkapkan kejahatan ini. Yang satu itu biar mampus duluan. Mungkin itu
hukaman yang setimpal baginya!"
"Terserah padamulah. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari tahu
dimana beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua dukun beranak itu..."
"Tunggu, jangan terburu-buru Sulin," bisik Wiro seraya memegang pinggang murid
Kiyai Djoko Bening Itu. "Masih ada satu kejadian baru lagi di tempat ini."
"Aku mendengar ada orang berkuda mendatangi. Masih jauh memang. Tapi sebentar
lagi kita akan melihatnya...."
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika penunggang
kuda yang melakukan pembunuhan tadi hendak meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain
muncul dua ekor kuda dari kegelapan. Yang di sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki
berkepala botak,
mengenakan celana hitam tanpa baju. Sehelai kain hitam menyerupai selendang
melingkar dilehernya.
Di atas punggung kuda kedua tampak terbujur melintang dua sosok tubuh yang tidak
bergerak-gerak,
entah mati entah pingsan.
"Siapa kau yang berani menghadangku"!" teriak lelaki yang baru saja melakukan
pembunuhan. Tapi diam-diam dia memang merasa pernah melihat atau kenal dengan
orang ini sebelumnya. Lalu dia ingat dan setengah berseru: "Kau! Bukankah kau Datuk Kepala
Besi"!"
Si botak lepas tertawa panjang. "Bagus kalau kau masih mengenaliku..."
"Apa maksudmu menghadangku di tempat ini. Jelas kau telah mengikuti sejak
beberapa waktu lalu...!"
"Memang begitu. Kau lihat dan kenali dua orang di atas kuda sana...?" si botak
balik bertanya. Orang yang ditanya membuka matanya lebar-lebar, memandang tajam-tajam dalam
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegelapan. "Itu... Bukankah keduanya Randu dan Tikil...!" Lelaki itu berkata
dengan suara bergetar.
Wajahnya jelas menyatakan keterkejutan amat sangat.
"Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas pembantu yang kau suruh pergi itu.
Ingat, kau juga menyuruhnya menghubungiku, memberi uang untuk membunuh tiga orang murid
Kiyai Djoko Bening.... ingat"! Ayo jawab!"
"Dua bekas pembantu itu, apakah mereka sudah jadi mayat...?"
"Belum... belum. Keduanya belum jadi mayat. Hanya kutotok kubiarkan hidup. Untuk
berjaga-jaga kalau kau mungkir...."
"Maksudmu...?"
"Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas
yang kujalankan..."
"Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu tiga murid Kiyai Djoko Bening itu
tidak sanggup kau bunuh! Tugasmu tidak terselesaikan! Sekarang minta tambahan uang! Gila!
Kerugian apa maksudmu Datuk Kepala Besi"!"
Sebagai jawaban lelaki botak itu melompat turun dari kudanya. Dia melangkah
dekat-dekat ke hadapan orang di depannya. Tiba-tiba celana hitamnya diturunkan ke bawah.
"Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita! Anggota tubuhku paling berharga
putus!" teriak
Datuk Kepala Besi seraya memperlihatkan anggota rahasianya yang buntung karena
dibetot lepas oleh
Wiro beberapa waktu lalu.
Orang di atas kuda tampak mengernyit penuh tegang. Dan jadi marah ketika
terdengar Datuk
Kepala Besi berkata: "Aku minta paling tidak seratus ringgit emas sebagai ganti
kerugian!"
"Gila! Kau gila!" teriak orang di atas kuda.
Datuk Kepala Besi tertawa. "Terserah padamu. Dua orang di atas kuda sana akan
menjadi saksi kejahatan yang kau lakukan. Sekali aku membawa mereka menghadap patih di
Kotaraja, habislah riwayatmu Tumenggung Brojo Menggolo!"
Orang di atas kuda yang ternyata adalah Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris
luk tiga yang masih basah oleh darah orang yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala
Besi tenang saja
malah tertawa mengejek. "Kau bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo itu. Aku
tahu kalau kau pun punya kepandaian cukup tinggi. Tapi jangan coba-coba berani melawanku
Tumenggung!"
Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itu disadari sepenuhnya oleh Tumenggung
Menggolo. Tapi dari mana dia mampu menyediakan seratus ringgit emas yang diminta.
Dari balik pakaiannya Tumenggung mengeluarkan kantong uang yang tadi hendak
diserahkannya pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kantong uang itu dilemparkannya
pada Datuk Kepala Besi. "Ini ambillah. Ada sepuluh uang perak di dalamnya. Aku tak punya
uang lagi!"
Si botak tertawa pendek lalu mendengus dan kepretkan kantong yang dilemparkan ke
arahnya hingga jatuh ke tanah. "Kalau kau tak mau memberikan apa yang kuminta, terpaksa
akupun akan memutus barang di bawah perutmu itu Tumenggung Menggolo!" Lalu si botak ini
melangkah mendekati Tumenggung yang duduk di atas kuda itu dengan kedua tangan terpentang.
"Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima ringgit emas! Kau boleh mengambilnya.
Aku akan berikan lagi lima ringgit emas begitu sampai di rumah. Hanya itu yang bisa
kuberikan! Sekalipun kau bunuh aku memang tidak punya ringgit emas yang kau minta!"
"Hem, kau bisa menggantikannya dengan benda lain. Emas berlian perhiasan istrimu
misalnya... "
"Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi
kau harus melakukan apa yang kukatakan!"
"Serahkan dulu uang itu Tumenggung!" ujar si botak.
Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan kantong uang berisi lima ringgit emas. Si
botak menyambuti lalu berkata: "Nah sekarang katakan apa yang harus kulakukan!"
"Bunuh dua bekas pembantuku itu!" sahut Tumenggung Menggolo pula.
"Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil tahi hidung. Tapi kalau kau hanya
mampu memberikan sepuluh ringgit emas, siapa sudi!"
"Dengar, aku akan berikan jabatan yang pernah kujanjikan pada guru silat
Sangkolo Pratolo.
Kurasa itu lebih dari cukup sebagai pengganti sembilan puluh ringgit emas yang
kau minta!"
"Hem, jabatan apa itu?" tanya Datuk Kepala Besi.
"Kedudukan penting di jajaran tokoh-tokoh silat Istana!"
Si botak berpikir-pikir sesaat sambil usap-usap kepalanya. Sambil tertawa dia
berkata: "Baik,
kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong
sebagaimana kau melakukannya terhadap anak tirimu itu!"
"Jaga mulutmu Datuk Kepala Besi! Tidak perlu kau bicara seperti itu! Aku harus
pergi sekarang! Jangan lupa membereskan dua bekas pembantuku itu!"
Sesaat setelah Tumenggung Brojo Menggolo tinggalkan tempat itu Datuk Kepala Besi
mendekati Randu dan Tikil yang masih menggeletak di atas punggung kuda dalam
keadaan tak bisa
bergerak karena ditotok.
"Jadi orang kecil memang harus menderita banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi
untuk mengurangi penderitaan, biar kalian tetap dalam keadaan tertotok!" Datuk Kepala
Besi angkat tangan
kanannya, siap mengepruk kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belum sempat
pukulan mematikan itu
mendarat di batok kepala si pembantu yang malang, tahu-tahu satu tangan
menangkis dan memukul
lengan Datuk Kepala Besi. Si botak ini terjajar setengah langkah. Tikil lolos
dari maut. Di sebelahnya
terdengar suara mengeluh pendek. Namun di saat itu pula ada yang menyerangnya.
Sambil menghindar Datuk Kepala Besi berusaha melihat siapa adanya si penyerang.
"Gadis jelita! Kau rupanya!" seru Datuk Kepala Besi ketika mengenali yang
menghalangi pukulannya tadi dan yang kini menyerangnya adalah Sulindari, murid Kiyai Djoko
Bening yang tempo hari hampir sempat digagahinya kalau tidak muncul Pendekar Wiro Sableng.
"Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari masih belum berampun, hari ini kau
berserikat dengan Tumenggung keparat itu dan hendak membunuh dua orang pembantu yang tidak
berdosa serta berada dalam keadaan tidak berdaya sungguh biadab perbuatanmu!"
Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk Kepala Besi menjawab: "Sabar anak
cantik! Kalau kau yang memerintahkan aku untuk tidak membunuh dua pembantu itu, pasti
aku patuh menurut! Hanya sayang saat ini kekasihmu ini sudah seperti macan ompong.
Kegairahan ada tapi
kemampuan tidak ada! Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda gondrong itu!"
Habis berkata begitu Datuk Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya ke bawah. Justru saat
itu pula Sulindari
menyerang dengan satu tendangan ke arah bawah perut itu.
Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Kepalanya dibungkukkan menyambut serangan
sang dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan kepala itu tak berani meneruskan
tendangannya. Tangan
kanannya kini yang dihantamkan ke leher lawan melancarkan pukulan yang
mengandung aji kesaktian Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi murid Kiyai Djoko Bening ini
masih kalah cepat.
Kedua tangan lawan telah merangkul pinggangnya saat itu. Di waktu yang bersamaan
secara kurang ajar sang datuk susupkan mukanya ke bagian bawah perut Sulindari. Keduanya lalu
jatuh bergulingan.
Kesempatan ini dipergunakan Datuk Kepala Besi untuk menghimpit tubuh sang dara,
menciumi wajah dan menggerayangi dadanya dengan penuh nafsu.
"Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!" Satu suara mendamprat lalu satu
tendangan menghantam rusuk Datuk Kepala Besi. Tak ampun lagi datuk ini terpental sampai
dua tombak. Empat
tulang rusuknya remuk hancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti menusuk
bagian-bagian tubuh di
sebelah dalam hingga sakitnya bukan kepalang. Tapi hebatnya Datuk Kepala Besi
masih sempat bangkit berdiri dengan mata berkilat-kilat dalam kegelapan. Ketika dia melihat
siapa adanya pemuda
gondrong yang tegak di hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa tunggu lebih lama
dia segera balikkan
diri ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah dia hendak melarikan diri itu,
Sulindari sudah
menunggu dengan sepotong cabang kayu sebesar betis. Begitu kayu dihantamkannya
ke rahang sang datuk terdengar suara berderak patah. Datuk Kepala Besi berteriak keras lalu
roboh dengan sebagian
wajah rengkah. Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak saja yang atos tahan
segala macam pukulan sedang bagian wajahnya tidak mempunyai kekebalan apa-apa.
Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Sulindari berdiri. "Bangsat itu menjijikkan
sekali!" kata sang dara lalu dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk Kepala Besi
hingga hidung dan
sebagian tulang pipi orang ini melesak ke dalam.
Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh Randu dan Tikil. Dua orang bekas
pembantu Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun berada dalam keadaan tertotok tapi masih
sanggup dan sempat menyaksikan apa yang sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah
diselamatkan oleh dua
orang muda-mudi itu keduanya lantas menyembah-nyembah berulang kali seraya
mengucapkan terima kasih. Wiro menyuruh Randu dan Tikil berdiri. Dari kedua orang ini mereka
kemudian mendapatkan keterangan yang mengejutkan.
"Sebagai pembantu di tempat kediaman Tumenggung Menggolo kami diam-diam
mengetahui adanya hubungan gelap antara Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni. Ketika
gadis itu hamil
Tumenggung menjadi bingung dan sangat ketakutan...."
"Tunggu dulu!" memotong Sulindari. "Adalah tidak masuk akal kalau Sintomurni mau
melayani ayah tirinya itu!"
"Secara wajar memang begitu. Tapi Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu
dengan semacam obat. Guna-guna!" menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan. "Dengan
iming-iming sejumlah
uang dan kedudukan di Keraton, celakanya guru silat Sangkolo Pratolo mau
menolong Tumenggung
yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu membawa den ayu Sintomurni ke dukun
beranak Jamilah.
Dukun itu dipaksa agar menggugurkan kandungan den ayu. Tapi gagal karena
kandungan sudah besar
dan janinnya sudah kuat. Den ayu meninggal dunia waktu kandungannya itu
digugurkan... Ketika hal
itu dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung menjadi tambah ketakutan. Akhirnya
Tumenggung datang sendiri ke rumah dukun beranak itu pada tengah malam. Kami diperintahkan
ikut. Disitu... di
rumah dukun Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudian dipotong-potong...."
"Siapa yang melakukannya"!" tanya Wiro.
"Sangkolo Pratolo, juga Tumenggung Menggolo..." sahut Randu.
"Manusia-manusia biadab!" desis Sulindari. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
"Potongan-potongan mayat den ayu Sintomurni dibuntal dalam sebuah kain kuning.
Terlebih dahulu Tumenggung mencacah wajah mayat hingga tak mungkin lagi dikenali. Kami
berdua kemudian diperintahkan menggotong mayat dalam buntalan, bersama guru silat
Sangkolo Pratolo
mayat itu kemudian kami bawa dan buang di lereng gunung Merbabu sebelah
selatan..."
"Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi
pemuda itu lenyap hampir bersamaan dengan ditemukannya mayat di gunung Merbabu. Juga
dukun beranak Jamilah itu lenyap dari rumah sewaannya... Apakah Damar Bintoro tidak mengetahui
kalau kekasihnya hamil...?"
"Den Damar Bintoro memang tidak mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia seorang
pemuda polos dan sopan. Dan dia bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja bersembunyi demi
keselamatannya.
Orang-orang suruhan Tumenggung berkali-kali hendak membunuhnya secara gelap. Dia
lalu bersembunyi di satu tempat. Perempuan tua Jamilah dukun beranak itu ikut
sembunyi bersamanya
karena memang den Damar yang menjemputnya malam-malam. Mereka merencanakan untuk
melapor pada Patih Kerajaan, tapi tidak berani keluar dari tempat persembunyian
karena orang-orang
Tumenggung ada dimana-mana..."
"Kalian tahu dimana tempat persembunyian Damar Bintoro dan dukun beranak bernama
Jamilah itu?" tanya Wiro.
Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.
"Kalau begitu malam ini juga kalian antarkan kami ke sana," ujar Sulindari.
"Raden dan rara telah menolong nyawa kami. Apapun yang kalian perintahkan kami
berdua pasti akan melakukannya," sahut Randu pula.
Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro mengambil uang emas yang tadi dimasukkan
Datuk Kepala Besi ke balik celana hitamnya. Dia juga memungut kantong berisi uang
perak. "Semua uang
ini harus kita kembalikan pada istri Tumenggung. Aku punya firasat Tumenggung
itu sendiri tak
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal lama umurnya."
* * * 12 MALAM sudah turun ketika Randu dan Tikil yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng
dan murid Kiyai Djoko Bening Sulindari sampai di tempat persembunyian Damar
Bintoro serta Dukun beranak Jamilah. Tempat itu ialah sebuah rumah papan jati yang terletak
dalam rimba belantara, merupakan rumah kecil tempat orang beristirahat pada siang hari atau
menginap pada malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik Raden Somba
Kayu Ireng ayah
Damar Bintoro "Tampaknya kita kedahuluan orang lain..." bisik Wiro pada Sulindari dari balik
semak belukar sambil menunjuk pada dua ekor kuda besar yang tertambat di bawah pohon.
Di bagian lain, di
sebelah belakang rumah papan kelihatan pula dua ekor kuda.
Randu tiba-tiba berbisik: "Salah seekor kuda yang tertambat disana milik
Tumenggung Menggolo..."
"Bagus! Kalau bangsat itu ada disini berarti semua urusan bisa dibikin tuntas!"
ujar Sulindari.
Di dalam rumah papan tiba-tiba terdengar suara pekikan perempuan.
"Itu teriakan dukun beranak Jamilah..." memberi tahu Tikil yang mengenali suara
perempuan itu. Lalu menyusul suara bentakan: "Tumenggung keparat! Apa dosa perempuan itu maka
kau hendak membunuhnya"! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang
kau rusak kehormatannya itu" Manusia Iblis! Kau boleh bunuh aku tapi lepaskan perempuan
tua itu!" "Itu suara den Damar..." Tikil yang berbisik.
Lalu terdengar suara bentakan Tumenggung Menggolo.
"Soal kematianmu tak usah kau risaukan anak muda! Aku memang tak pernah suka
padamu! Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul
beberapa saat lagi!"
Tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Wiro dan Sulindari langsung melompat
keluar dari balik
semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro menendang pintu papan hingga hancur
berantakan lalu
bersama Sulindari dia masuk ke dalam rumah yang diterangi sebuah lampu minyak
itu. Di lantai rumah tampak tergeletak seorang perempuan tua berambut putih yang
membeliak dan gemetaran sekujur tubuhnya karena ketakutan. Di depannya Tumenggung Brojo
Menggolo tengah menusukkan sebilah golok ke leher perempuan tua itu. Di salah satu sudut,
seorang pemuda dalam keadaan tertotok, tegak tersandar tanpa bisa bergerak. Dialah Damar
Bintoro, kekasih
Sintomurni. Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni seorang lelaki tua
berjanggut putih yang
mengenakan jubah kuning. Orang inipun memegang sebilah golok di tangan kanannya.
"Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara seperguruanku menderita celaka! Kau
menyebar maut dimana-mana! Kini perempuan tua tak berdaya itu hendak kau bunuh pula! Biar
kucopot kepalamu!" Yang berteriak adalah Sulindari. Gadis ini langsung menyerbu
Tumenggung Brojo
Menggolo. Kedua tangannya berkelebat ke arah leher sang Tumenggung.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan
pada saat Sulindari berteriak, Tumenggung Menggolo langsung memutar tubuh. Golok yang
tadi hendak ditusukkannya ke leher Jamilah, kini dibabatkannya ke arah kedua tangan
Sulindari. Sebagai seorang
yang berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo memang memiliki ilmu simpanan yakni
Ilmu silat tangan kosong dan ilmu golok. Namun jelas sekali dia hanya memiliki tenaga luar.
Kepandaiannya Itu
sama sekali tidak ditopang oleh kekuatan tenaga dalam. Ketika Sulindari mengelak
dan menghantam dengan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus langsung Tumenggung Menggolo
terpental dan terbanting ke dinding papan. Dada pakaiannya sebelah kanan tampak terkoyak robek
dan kulit dadanya yang tersingkap kelihatan memar kebiruan. Dia tersandar di dinding dan
sulit bernafas. Dia
berusaha menusukkan goloknya ke arah perut Sulindari ketika si gadis kembali
menyerangnya tapi
dengan mudah murid Kiyai Djoko Bening itu memukul lengan Tumenggung dan merampas
goloknya. Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari pada pemiliknya sebagai senjata
makan tuan, tiba-tiba
terdengar bentakan keras: "Jangan bunuh orang itu! Kematiannya harus di tiang
gantungan agar semua orang tahu kebiadabannya!"
Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak Raden Somba Kayu Ireng, ayah Damar
Bintoro. Di belakangnya belasan perajurit Kepatihan telah mengurung tempat itu.
Raden Somba melangkah mendekati Tumenggung Menggolo. Pada saat itulah orang tua
berjanggut putih berjubah kuning mengirimkan bacokan dari samping. Cepat dan
ganas ayunan goloknya. Suara bersiuran yang keluar dari badan golok cukup memberi tahu bahwa
orang tua ini memiliki tenaga dalam tinggi. Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya hanya
lewat seujung kuku
dari kepalanya. Ketika dia hendak balas menyerang, Pendekar 212 Wiro Sableng
sudah lebih dahulu
berkelebat. Dorongan tangan kanan murid Sinto Gendeng membuat si jubah kuning terjajar ke
belakang dan sempat terkejut.
"Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia ular kepala dua bernama Sangket
Plumbung bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang
Amerto dari gunung Bromo. Kau mencap sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek kaum
pemberontak. Padahal
tujuanmu adalah untuk menutup pengkhianatanmu sendiri. Kaulah yang mengirimkan
sejumlah senjata untuk kaum pemberontak di selatan!"
"Ha...ha! Satu lagi terbuka kedok kejahatanmu Sangket Plumbung!" berkata Raden
Somba. "Sudah sejak lama aku mencurigai gerak gerikmu! Hari ini kau tak mungkin lolos
lagi!" Raden
Somba berpaling pada Wiro. "Pendekar gagah, teruskan perkelahianmu dengan
pengkhianat ini! Tapi
ingat seperti kawannya yang satu itu dia harus ditangkap hidup-hidup!"
Raden Somba kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri Tumenggung Brojo
Menggolo. Saat itu selain menderita cidera dan kesakitan akibat pukulan
Sulindari, Tumenggung
Menggolo memang sudah pasrah karena sadar tak bisa berkelit lagi.
"Aku pasrah menerima segala hukuman, Raden Samba!" katanya dengan suara serak.
Terbayang di pelupuk matanya saat-saat dia membacok memotongi tubuh anak tirinya
itu. Tumenggung Menggolo tekap wajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis
sesenggukan. Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan diri, lain halnya dengan Sangket
Plumbung alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan hukuman berat yang bakal diterimanya dari
Kerajaan maka dia menjadi kalap. Si jubah kuning ini kirimkan serangan berantai yang
ganas berupa dua
bacokan dan satu tusukan sekaligus. Wiro yang mendendam besar akibat kematian
para sahabatnya di
gunung Bromo gara-gara perbuatan si janggut putih ini juga tak kalah kalapnya.
Kalau saja dia tidak
ingat pesan Raden Somba agar dia tidak membunuh orang itu saat itu rasanya
maulah dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan mencincang tubuh tua bangka itu sampai
lumat. Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu
Wiro mulai merangsak lawannya dengan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang
didapatnya dari Tua Gila.
Memang ilmu silat ini sangat cocok dimainkan di tempat yang sempit seperti dalam
rumah papan itu.
Gerakan kaki tidak terlalu banyak, hanya tubuh dan tangan yang meliuk-liuk macam
orang sempoyongan mabuk tuak.
Wuuttt! Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderu di depan perut Pendekar 212. Begitu
sambaran senjata lawan lewat, Wiro membungkuk ke depan seperti terhuyung hendak jatuh,
tapi tiba-tiba kaki
kanannya sudah mencelat melabrak ketiak kanan lawan. Terdengar suara berderak
disusul jerit Dewa
Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur. Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya
sudah lebih dulu jatuh di lantai. Tubuhnya tersandar miring ke dinding papan. Wiro
melepaskan totokan di tubuh
Damar Bintoro sementara Sulindari membantu dukun beranak itu bangkit berdiri.
Tubuh perempuan
tua ini masih gemetaran dan wajahnya masih pucat pasi ketakutan.
Raden Somba memberi isyarat pada para perajurit di luar sana. Melihat isyarat
ini delapan orang segera masuk lalu menggiring Tumenggung Menggolo dan Sangket Plumbung
keluar. Begitu totokannya lepas Damar Bintoro langsung merangkul Pendekar 212 Wiro
Sableng dan berulang kali mengucapkan terima kasih. Lalu pemuda ini mendatangi ayahnya dan
berlutut di hadapan orang tuanya itu.
"Bangkit berdiri Damar. Kita semua harus segera kembali ke Kotaraja!" berkata
Raden Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan Sulindari. "Muda mudi gagah. Kami
berhutang budi dan
nyawa pada kalian berdua. Lebih dari itu kalian juga berjasa besar pada Kerajaan
karena berhasil
membongkar kedok seorang pengkhianat dan menangkapnya hidup-hidup. Atas nama
Patih dan Sri Baginda aku meminta kalian ikut ke Kotaraja menjadi tamu-tamu terhormat. Kalian
akan menyaksikan bagaimana hukum dan keadilan dijalankan disana!"
Wiro memandang pada Sulindari. Karena gadis ini hanya diam saja maka Wiro pun
menjawab: "Terima kasih atas undangan dan penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan,
masih ada urusan lain yang perlu kami selesaikan. Kami minta diri saja sekarang...."
Raden Somba Kayu Ireng tersenyum. Dia melirik pada Sulindari dan diam-diam
merasa cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan puteranya. Tapi saat itu bukan
tempatnya berpikir
sampai disitu. Karena tahu bagaimana sifat-sifat orang persilatan maka dia pun
menganggukkan kepala dan berkata: "Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan sih bisa bebas
dari segala urusan
kalian. Selamat jalan kalau begitu!" Lalu Raden Somba mendahului menjura memberi
penghormatan hingga Wiro dan Sulindari menjadi kikuk membalasnya. Kedua muda-mudi ini lalu
tinggalkan tempat
itu. Di atas punggung kuda milik Datuk Kepala Besi dan Sangkolo Pratolo dua muda
mudi itu bergerak tanpa ada yang bicara.
"Kemana tujuan kita sekarang?" Sulindari akhirnya mengajukan pertanyaan.
"Aku akan mengantarkanmu ke puncak Merbabu!" jawab Wiro. Sang dara diam saja.
"Eh, kau tak suka aku antarkan...?" bertanya Wiro.
"Kau sungguhan mau mengantar?" balik bertanya Sulindari.
"Mengapa tidak" Memangnya ada apa...?"
"Hemm... Bertahun-tahun aku berada di puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat
tiap hari tiada henti. Bukan pekerjaan ringan. Sekarang ada kesempatan turun gunung.
Mengapa tidak melihat-
lihat dunia luar barang dua tiga minggu...?"
"Ah, itu satu rencana yang baik! Apalagi kalau kita jalan sama-sama. Maksudmu
begitu?" Sulindari mengangguk.
"Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa menyangka ada gadis secantikmu mau
berkelana bersamaku. Sekali. Bagaimana aku berani menolak! Jangankan dua tiga minggu. Dua
tiga tahunpun aku bersedia! Ha... ha... ha...!"
"Tapi ada saratnya Wiro!" ujar Sulindari.
"Eh, apa itu?"
"Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu, aku tak mau jadi mayat terpotong
potong!" Wiro tertawa gelak-gelak.
"Jika kau kembali pulang ke tempat gurumu nanti percayalah tubuhmu akan tetap
utuh. Bahkan tidak selembar rambutmu pun akan kurang!"
"Kalau begitu nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku,
apakah ada yang kurang atau tidak!"
"Seluruh rambut di tubuhmu..." tanya Wiro pula.
"Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!" Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan
Wiro dan bagaimana dia bisa terjebak menjawab seperti itu.
"Pemuda kurang ajar!" teriak Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung
Pendekar 212. Tapi Wiro sudah membedal kudanya lebih dahulu seraya tertawa gelak-gelak
dan berkata: "Ha...
ha! Aku akan menghitung rambut di tubuhmu! Seluruh rambut! Asyik...
Asyiiikkkkk!"
TAMAT sumber buku : Dani (http://212.solgeek.org/pdf)
scanner : kiageng80
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
editing : kalibening
Tamu Dari Alam Gaib 2 Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris Pertemuan Di Kotaraja 6
benda hitam bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya ternyata benda hitam itu adalah sehelai
celana hitam. Dia
berpaling ke kiri, ke tempat dimana dia melemparkan celana hitamnya tadi. Celana
itu ternyata tak
ada lagi disitu.
"Itu pasti celanaku..." desis sang datuk. "Kenapa bisa menyangkut di semak
belukar sana..."
Aneh!" Celana hitam yang tergantung di antara semak belukar itu terus bergoyang-goyang
dalam kegelapan malam.
"Kurang ajar! Apa ada setan yang berani mempermainkanku"!" Datuk Kepala Besi
memandang lagi berkeliling. Djarot dan Rokonuwu dilihatnya masih terbujur di
tempat semula. "Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah sebentar!" berkata Datuk Kepala Besi sambil
mengusap dada Sulindari. "Ada mahluk yang berani mempermainkanku!"
Datuk Kepala Besi berdiri lalu melangkah mendekati semak belukar. Hanya tinggal
beberapa langkah saja lagi dari celananya yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-tiba
celana itu berkelebat
lenyap. Selagi dia memandang berkeliling keheranan mencari-cari kemana lenyapnya
celana hitam itu, tiba-tiba sesuatu menyambarnya. Ternyata celananya sendiri.
"Keparat!" Datuk Kepala Besi coba menangkap celana itu. Tapi seperti seekor ular
tiba-tiba celana itu melesat ke bawah. Salah satu ujung kaki celana mematuk ke bawah
perutnya. Dan terdengarlah jeritan Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil
pegangi bagian bawah
tubuhnya. Di saat yang sama terdengar suara orang tertawa: "Gundul jelek! Apakah burung
kakak tuamu dipatuk kodok"! "Ha... ha... ha!
"Bangsat minta mati! Siapa yang berani mempermainkanku!" bentak Datuk Kepala
Besi marah sekail. "Aku si pemilik kodok!" terdengar jawaban yang disusul oleh suara tawa bergelak.
Suara tawa itu datang dari bawah pohon di tepi danau. Ketika sang datuk berpaling ke
arah situ dilihatnya
tegak bertolak pinggang seorang pemuda berpakaian putih, memegangi celana
hitamnya yang rupanya
telah diikat dengan sehelai akar gantung.
Saking marahnya Datuk Kepala Besi melangkah cepat ke arah pemuda itu.
"Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek kalau berjalan tanpa pakaian! Ini!
Pakai dulu celanamu yang bau busuk ini!"
Pemuda di bawah pohon lalu lemparkan celana hitam yang dipegangnya.
* * * 8 LEMPARAN celana itu ternyata bukan lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut
sekali ketika tiba-tiba sepasang kaki celana, laksana dua buah tangan menelikung
lehernya seperti hendak
mencekik. Sambil memaki si botak ini angkat kedua tangannya ke atas lalu
breet!!! Celana itu robek
panjang di bagian tengahnya. Sang datuk campakkan celana hitamnya ke tanah. Lalu
sambil mengereng dia mendatangi pemuda yang tegak di depan pohon. Sebenarnya kalau dia
mau berpikir, jelas orang telah mempermainkannya. Dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh
orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya. Tapi saat itu Datuk Kepala Besi
benar-benar diselimuti
kemarahan hingga otaknya mana mampu berpikir jernih.
Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi
langsung menghantam dengan tangan kanan. Jotosannya menderu ke arah muka si pemuda. Tapi
dengan membuat gerakan sedikit saja, orang yang dipukul berhasil mengelakkan serangan
sang datuk hingga
dia menjadi tambah marah. Dia kembali menyerbu dengan serangan beruntun yaitu
dua pukulan dan
satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja sangat cepat datangnya tetapi juga
mengeluarkan deru
angin yang deras tanda berisi tenaga dalam yang tinggi.
Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-gerakan gesit dan berhasil mengelakkan
semua serangan lawan, tetapi ketika dia hendak menggebrak dengan serangan balasan,
Datuk Kepala Besi
keluarkan kepandaiannya berpindah tempat dan tahu-tahu dia sudah berada di
samping kiri, melayangkan kepalan ke pelipis si pemuda. Yang diserang menangkis dengan
melintangkan lengan
kiri di samping kepala. Dua tangan saling beradu. Datuk Kepala Besi hampir
terpekik kesakitan.
Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti sepotong besi besar. Dalam menahan
sakit, begitu tangannya beradu dengan lengan lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan tangannya ke
bawah. Pinggiran
tangan kanan sang datuk membabat laksana tebasan pentungan besi.
Buuukkk!! Hantaman tangan itu mendarat di bahu kiri pemuda berpakaian putih. Tak ampun
lagi pemuda ini langsung melosoh dan tersungkur.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang menyaksikan itu diam-diam mengeluh
dalam hati. Di saat ketiganya tak berdaya seperti itu, munculnya pemuda itu sungguh
sangat mereka harapkan agar dapat menjatuhkan si jahat berkepala botak itu. Sampai saat itu
karena berada di tempat
yang gelap dan jauh dari nyala api perkemahan baik Djarot maupun Rokonuwu serta
Sulindari tidak
dapat melihat wajah si pemuda jadi tidak bisa mengetahui siapa adanya orang itu.
Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan
penuh nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan yang mematikan ke arah kepala
pemuda baju putih.
"Mampus!" teriak Datuk Kepala Besi penuh nafsu.
Wuuuuttt! Tendangan maut itu lewat setengah jengkal dari pipi kanan si pemuda dan tiba-
tiba sang datuk merasakan tubuhnya terangkat. Baru disadarinya kalau saat itu pergelangan
kakinya telah berada dalam cekalan yang sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan kakinya dari
cengkeraman lawan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang ke udara. Dalam gelapnya malam tubuh itu
kemudian jatuh mencebur ke dalam air danau yang dingin.
Di dalam air, sesaat sang datuk megap-megap. Untung dia bisa berenang lalu
berusaha mencapai tepi danau. Tubuh luarnya terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana
terbakar. Orang
yang mengaku raja diraja rimba persilatan pantai selatan ini baru sekali itu
diperlakukan orang seperti
itu. Marahnya bukan alang kepalang. Begitu naik ke darat, langsung dia menekuk
leher lalu menyerbu
ke arah pemuda berpakaian putih.
Djarot yang tak mau penolongnya itu mendapat celaka oleh serangan kepala yang
sudah diketahuinya kedahsyatannya itu segera berteriak memberi ingat.
"Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak! Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala
Besi...!" "Terima kasih atas peringatanmu Djarot! Aku mau coba sampai dimana kerasnya
kepala botak monyet telanjang ini!" terdengar pemuda berpakaian putih menyahuti.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening, terutama sekali Djarot tentunya, jadi
terkejut ketika
mendengar pemuda dalam gelap itu mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-tiba
saja ketiganya ingat betul kalau mereka mengenali atau paling tidak pernah mendengar suara
orang itu. Sulindari
yang ingat lebih dulu dan langsung saja gadis ini berteriak: "Wiro! Kaukah itu!"
"Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek! Memang aku Wiro Sableng!" menjawab
si gondrong berpakaian putih.
"Hati-hati Wiro! Kepala manusia itu berbahaya luar biasa!" berseru Rokonuwu.
"Justru aku hendak mencoba!" Sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Datuk
Kepala Besi telah berada di depannya dengan kepala botaknya siap dihantamkan ke pertengahan
dada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan yang sejak tadi sudah menyiapkan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudra. Pukulan ini jika dilancarkan dalam bentuk
dorongan telapak
tangan merupakan benteng pertahanan yang ampuh karena sanggup mengeluarkan angin
deras menyongsong serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam bentuk tinju maka
jangankan kepala
manusia, tembok batu yang tebalpun pasti jebol. Dan dengan pukulan sakti inilah
Wiro hendak menggebuk kepala lawan.
Datuk Kepala Besi yakin sekali kepalanya akan menjebol hancur dada si pemuda.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng yakin pula kalau pukulan saktinya akan menghantam pecah
kepala botak lawan.
Dalam sama-sama yakin begitu tinju kanan Pendekar 212 mendarat keras di
pertengahan kepala
Datuk Kepala Besi.
Buuukkk! Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanya terdongak dan tubuhnya mencelat dua
tombak, jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangan
kanannya seperti
menghantam dinding besi yang atos dan panas. Ketika ditelitinya ternyata tangan
kanannya sampai
sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak dan kemerahan.
"Gila betul!" seru Wiro sambil garuk-garukkan tangan kirinya ke kepala penuh
tidak percaya tapi diam-diam juga merasa kagum. Bagaimana pukulan saktinya yang selama ini
sanggup menjatuhkan berbagai tokoh silat kawakan, kini sama sekali tidak mempan hanya
menghadapi sebuah
kepala manusia. Kepala botak buruk pula.
Di hadapannya Datuk Kepala Besi terdengar tertawa mengekeh dan bangkit berdiri
sambil mengusap-usap kepala botaknya. Tetapi Wiro diapun merasa heran. Seumur hidupnya
tak satu pukulan lawanpun sanggup membuatnya terpental seperti itu. Selain itu dia hampir
tak percaya ketika
melihat tangan Wiro hanya membengkak merah. "Tangan Itu seharusnya hancur!"
desis Datuk Kepala
Besi. "Orang muda! Jelaskan siapa dirimu!" tiba-tiba sang datuk membentak.
"Siapa aku tidak penting! Yang lebih penting ialah jawab pertanyaanku! Apa
alasanmu menuduh tiga sahabatku ini sebagai orang-orang yang telah mencincang mayat di
lereng Merbabu!"
"Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah! Bagus! Berarti kaupun akan kebagian
menerima kematian!" Berkata sang datuk sambil bertolak pinggang.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi. Aku ganti dengan pertanyaan lain!" ujar
Wiro pula. "Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-murid Kiyai Djoko Bening ini"!"
Rahang Datuk Kepala Besi menggembung.
"Gondrong tolol! Kau tidak layak menanyaiku!"
"Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekarang pertanyaan yang
ketiga! Apa sangkut pautmu dengan korban yang dipotong sebelas itu"!
"Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada setan liang kubur!" teriak Datuk Kepala
Besi lalu dia menggembor keras dan menubruk ke arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak
siap melabrak tubuh lawannya. Kali ini di bagian perut. Sesaat Wiro berpikir apakah akan
menghantam saja si botak
ini dengan pukulan Sinar Matahari. Namun selintas pikiran muncul di benaknya.
Sambil menyeringai
pendekar ini melompat tinggi ke atas. Tangan kanannya menyambar seutas akar
gantung sebuah pohon yang panjangnya lebih dari dua tombak. Selagi masih melayang di udara dia
membuhul salah satu ujung akar gantung itu dan begitu turun dia telah memegang seutas "tali
penjerat".
Selagi Wiro melayang turun, kembali Datuk Kepala Besi menyerang dengan
kepalanya. Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan tetapi dia menyeringai lebar ketika di
depan sana dilihatnya
lawannya terpeleset dan jatuh tertelentang di tepi danau. Tanpa pikir panjang
lagi sang datuk
melompat untuk mengirimkan injakan maut ke tenggorokan Wiro. Tapi apa yang
kemudian terjadi
benar-benar tidak disangkanya.
Ternyata Pendekar 212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset. Hal ini
dilakukannya lain
tidak agar dia bisa berada lebih rendah dari lawan dan memiliki keleluasaan
untuk "membidikkan tali
penjeratnya".
Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tiba
dia sempat melihat ada yang menyebar ke arah selangkangannya, keadaan sudah terlambat. Di
lain kejap dia merasakan sesuatu menjerat kepala anggota rahasianya.
Tentu saja Datuk Kepala Besi berteriak kesakitan setinggi langit ketika Wiro
sambil tertawa gelak-gelak menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
"Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!" teriak Datuk Kepala Besi.
"Berani kau berteriak lagi, berani kau bergerak, kubedol putus burung kakak
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuamu" hardik
Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar gantung itu. Kembali sang datuk menjerit
setinggi langit.
Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang paling berharga itu dibetot putus,
itu yang terjadi dengan
dirinya hingga mau tak mau dia terpaksa berhenti memaki dan tak berani bergerak.
Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang saat itu masih berada dalam keadaan tak
berdaya dan ikut menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi tersenyum-
senyum. "Benar-benar sableng murid nenek gendeng ini!" kata Djarot dalam hati.
"Datuk Kepala Botak...!" ujar Wiro.
"Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi... Aduh...!" Datuk itu menjerit karena
kembali Wiro menyentakkan akar gantung yang dipegangnya.
"Jaga mulutmu datuk buruk! Kau boleh pilih! Kehilangan burungmu atau memberi
keterangan!"
Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi masih mau bertanya: "Keterangan apa
yang kau inginkan"!"
"Apa hubunganmu dengan mayat dipotong-potong itu"!"
"Aku tidak punya hubungan apa-apa!" sahut Datuk Kepala Besi.
"Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga murid Kiyai Djoko Bening"!" Wiro
mengejar dengan pertanyaan berikutnya.
"Aku dibayar orang!"
"Siapa orang yang membayarmu"!" yang bertanya dengan membentak itu adalah
Djarot. "Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu lalu dua orang yang mengaku berasal
dari desa Klingkit mendatangiku! Menyerahkan sejumlah uang dengan tugas membunuh dua orang
pemuda dan seorang dara berpakaian serba biru yang diketahui adalah murid-murid Kiyai Djoko
Bening dari gunung Merbabu! Mereka mengatakan bahwa ketiga orang Itu telah melakukan
pembunuhan atas diri
seorang gadis lalu mencincang mayatnya dan mencampakkannya di lereng gunung
Merbabu..."
"Apa kau tidak menanyakan siapa nama-nama mereka"!"
"Tidak karena aku tidak perduli..." sahut Datuk Kepala Besi. Kedua matanya
setiap saat mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri. Namun masih niat, belum sempat
bergerak Wiro yang sudah tahu gelagat cepat membentak dan mengedut akar gantung.
"Lama-lama bisa putus milikku ini!" membatin sang datuk sambil menahan sakit.
"Dua orang desa Klsngkit itu, apakah mereka menerangkan siapa adanya mayat di
gunung Merbabu itu"!" yang mengajukan pertanyaan adalah Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menggeleng.
"Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu! Aku sudah memberi keterangan! Sekarang
lepaskan jeratan tali celaka ini! Lepaskan!" berteriak Datuk Kepala Besi.
"Manusia kepala botak! Pembunuhan yang hendak kau lakukan terhadap kedua murid
Kiyai Djoko Bening adalah perbuatan keji terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak
kehormatan gadis
itu lebih keji dan lebih terkutuk! Aku tidak bisa memberi ampunmu untuk yang
satu itu. Dari pada di
kemudian hari kau masih gentayangan dengan nafsu bejatmu, lebih baik sekarang-
sekarang ini dilakukan pencegahan!"
"Apa maksudmu...?" tanya Datuk Kepala Besi hampir berteriak.
"Sesuai permintaanmu, tali penjerat ini akan kulepaskan!" Habis berkata begitu
Pendekar 212 Wiro Sableng tarik akar gantung itu kuat-kuat.
Darah menyembur dari selangkangan Datuk Kepala Besi. Jeritannya menembus langit
di kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu bergidik ngeri. Sulindari palingkan
kepalanya dengan bulu
tengkuk meremang. Sang datuk jatuh duduk di tanah.
"Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!" terdengar suara Wiro.
"Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan kejadian ini! Kau tunggulah
pembalasanku! Aku bersumpah membunuhmu dan turunanmu!"
"Tua bangka pikun!" menyahut Wiro. "Kawinpun aku belum, bagaimana aku punya
turunan! Lekas pergi! Atau akan kucopot milikmu yang masih bersisa!"
"Jahanam! Keparat...!" teriak Datuk Kepala Besi lalu bangkit dan lari
terbungkuk-bungkuk.
* * * 9 KARENA keadaan cidera mereka yang cukup parah, terpaksa Sulindari menunda
perjalanan dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa
ke tempat kediaman Kiyai Djoko Bening di puncak Merbabu.
Setelah memeriksa keadaan dua muridnya itu dan memberikan pengobatan Kiyai Djoko
Bening memberi tahu bahwa satu minggu setelah mereka meninggalkan gunung Merbabu
ada beberapa orang penduduk dari Kadipaten-Kadipaten terdekat mendatangi tempat
kediamannya untuk
menyaksikan mayat potong sebelas itu. Mereka adalah dua keluarga yang mengatakan
kehilangan anak gadis masing-masing sejak beberapa minggu sebelumnya. Namun semua yang
datang itu walau
wajah mayat tak lagi bisa dikenali, dari ciri-ciri yang lain dua keluarga itu
sama memastikan bahwa
korban bukan anak gadis mereka.
"Rupanya kabar ditemukannya mayat terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah
tersebar ke pelbagai penjuru...," ujar Wiro.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang Kiyai?" bertanya Sulindari.
"Betul, sayapun perlu petunjukmu," menyambung Wiro Sableng.
"Memang, kini hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan untuk meneruskan
penyelidikan, mencari tahu siapa adanya korban dan paling penting mencari siapa
pelaku pembunuhan yang keji ini!" menjawab Kiyai Djoko Bening. "Namun hari ini kalian
berdua tetap disini dulu. Ada orang penting yang bakal datang dari Kotaraja untuk melihat
korban. Tiga hari lalu
seorang utusan orang penting itu datang untuk melakukan peninjauan. Paling
lambat besok menjelang
tengah hari orang tersebut sudah sampai disini. Karena itu kalian berdua tetap
disini dulu sampai
mereka datang. Disamping itu kau kuperlukan untuk membantu merawat Djarot dan
Rokonuwu, Sulindari..."
"Kalau begitu kata Kiyai, saya menurut..." jawab Sulindari.
* * * "Menurut kedua orang tuanya, Damar Bintoro meninggalkan Sleman sepuluh hari
lalu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan aku juga curiga!" kata
Tumenggung Brojo Menggolo sambil melangkah mundar mandir dalam kamar tidurnya yang besar
sementara istrinya Surti Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.
"Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau curiga?" bertanya Retnoningsih.
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Damar Bintoro! Sudah sejak dulu aku tidak
suka pada anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Damar Bintoro adalah calon
suami yang paling
cocok untuk Sintomurni! Padahal dia adalah pemuda bergajulan. Hanya kebetulan
saja ayahnya jadi
penasihat Patih Kerajaan..."
"Tentunya kau punya alasan mencurigai pemuda itu..."
"Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya untuk kawin lari. Karena dia tahu
aku tidak suka kalau dia menjadi menantuku...!"
Retnoningsih batuk-batuk beberapa kali lalu berkata: "Sulit bagiku mempercayai
bahwa Damar Bintoro mau melakukan apa yang kau katakan itu..."
"Lalu kemana dia menghilang" Dan kemana lenyapnya anak gadis kita"!" tukas
Tumenggung Brojo Menggolo.
Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Dia termenung sejenak lalu
berkata: "Kangmas, kalau ada orang yang harus dicurigai, menurut hematku orang itu adalah
Sangkolo Pratolo, guru silat Sintomurni..."
Sang Tumenggung tampak terkejut mendengar kata-kata istrinya itu. "Eh, mengapa
kau punya pikiran seperti itu, istriku..."
"Apa kangmas lupa siapa Sangkolo Pratolo dulunya" Seorang kepala penjahat yang
merampok dan membunuh, menculik dan merusak kehormatan anak gadis atau istri
orang. Kemudian
setelah dijebloskan dalam penjara Kerajaan selama sembilan tahun, dia bertobat
memulai hidup baru
yang bersih dengan menjadi seorang guru silat. Apakah dia tidak pantas
dicurigai..."!"
"Aku sudah memanggilnya. Kita sudah bicara padanya. Jika dia memang menculik
anak kita, pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah
dia salah seorang
yang kita harapkan untuk dapat membantu mencari Sintomurni... "
"Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu. Bagaimana dengan kabar ditemukannya
mayat seorang perempuan di lereng gunung Merbabu beberapa waktu lalu..." Bertanya
Surti Retnoningsih.
"Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Sintomurni dengan
mayat itu..." "Tapi bukankah saya sudah meminta kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana
untuk menyelidik dan mencari tahu" Apakah prajurit itu sudah kembali......?"
"Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai yang tinggal di puncak gunung itu
ternyata telah mengawetkan jenazah Itu..."
"Kalau begitu perajurit itu pasti mengenali jenazah tersebut!" ujar
Retnoningsih. Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng. "Wajah mayat itu tidak dapat dikenali
lagi. Hancur seperti bekas dicincang. Lalu..."
Sang Tumenggung tidak meneruskan kata-katanya.
"Lalu apa kangmas...?"
Brojo Menggolo menggelengkan kepala. "Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu
mengerikan..."
"Mengerikan" Apanya yang mengerikan..." Kau harus mengatakannya padaku kangmas!"
"Menurut perajurit yang kukirim, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-
potong menjadi sebelas bagian..."
"Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?" desis istri sang Tumenggung.
Dia terdiam beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya.
"Kangmas Menggolo, kita
harus berangkat ke puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-
potong itu. Jangan-
jangan..." Suara Retnoningsih tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang.
Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampak ada air mata yang meleleh di kedua
pipinya. "Kau berada dalam keadaan tidak sehat seperti ini. Mau ke puncak Merbabu" Jangan
mencari penyakit baru Retno!" ujar Tumenggung Brojo Menggolo.
"Aku pandai berkuda. Jangankan satu gunung. Sepuluh gunungpun akan kudaki demi
mencari kejelasan mengenai diri anak kita..."
"Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di gunung Merbabu
itu, biar aku dan Sangkolo Pratolo saja yang pergi kesana... "
"Tidak kangmas. Aku harus ikut... Aku harus ikut....."
Tumenggung Brojo Menggoio menghela nafas dalam akhirnya berkata: "Jika itu maumu
baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda, beberapa orang pengawal.
Mungkin Sangkolo
Pratolo akan kuajak serta..." Lalu Tumenggung Itu keluar dari kamar.
* * * 10 KIYAI DJOKO BENING, Wiro dan Sulindari sama-sama berdiri ketika rombongan dari
Kotaraja sampai di depan tempat kediaman sang Kiyai. Rombongan itu terdiri dari
sang Tumenggung
sendiri, lalu istrinya Surti Retnoningsih yang mengenakan baju ringkas dan
celana panjang, lengkap
dengan setengah lusin pengawal serta guru silat Sangkolo Pratolo.
Setelah saling memberi salam dan saling menghormat Kiyai Djoko Bening langsung
berkata: "Beberapa hari lalu utusan Tumenggung telah datang kemari untuk menyelidiki
mayat yang ditemukan murid-muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini. Menurut utusan itu
Tumenggung telah kehilangan puteri Tumenggung yang bernama Sintomurni. Apakah betul
begitu...?"
Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya
mendahului bicara.
"Kami ingin melihat mayat itu..."
"Saya tidak berani menolak. Tapi apakah jeng ayu mempunyai keberanian
melihatnya" Lain
dari itu apakah Tumenggung memperbolehkan...?"
"Apakah jenazah itu ada di dalam rumah?" tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.
"Saya akan membawanya keluar," kata Kiyai Djoko Bening. 'Tapi sebelumnya
Tumenggung dan rombongan biar kami suguhkan minuman air gunung yang sejuk dulu. Dari
Kotaraja sejauh itu
tentu meletihkan dan dahaga...."
"Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya untuk melihat mayat itu. Dan harus
segera kembali ke Kotaraja..." Kata Surti Retnoningsih yang sudah tidak sabaran.
"Jika begitu keinginan jeng ayu, saya akan mengambil jenazah dan membawanya ke
langkan sini. Harap Tumenggung dan istri sudi menunggu."
Habis berkata begitu Kiyai Djoko Bening masuk ke dalam. Diam-diam Wiro
memperhatikan wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan rumah. Wajah Tumenggung
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brojo Menggolo tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat
lehernya menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin,
menunggu dengan segala ketabahan. Sulindari merupakan satu-satunya orang yang paling
tenang. Kedua tangannya didekapkan di depan dada. Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di
ujung kiri langkan
sambil melinting sebatang rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi mata murid
Pendekar 212 yang tajam melihat bagaimana jari-jari yang melinting rokok itu gemetaran.
Ketika Kiyai Djoko Bening melangkah keluar membawa sebuah peti kayu yang cukup
besar, suasana di tempat itu nyaris sehening di pekuburan.
Dengan hati-hati Kiyai Djoko Bening meletakkan peti kayu di pertengahan langkan.
Lalu dia berpaling pada Tumenggung dan berkata: "Tumenggung dan istri, silahkan naik ke
langkan untuk menyaksikan sendiri..."
Tumenggung Brojo Menggolo berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak
berkesip ke arah peti di langkan rumah, lalu dengan segala ketegaran tapi dada
berdebar keras perempuan ini melangkah menaiki tangga kayu, terus naik ke langkan. Suaminya
mengikuti. Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang baru tiga kali dihisapnya lalu ikut
naik ke atas langkan.
Para perajurit pengawal hanya berani mendekat ke pinggiran langkan, tak ada yang
berani naik. Sulindari dan Wiro tetap berdiri di halaman rumah.
Kiyai Djoko Bening, Tumenggung dan istrinya serta guru silat Sangkolo Pratolo
berdiri mengelilingi peti kayu yang terletak di pertengahan langkan dalam keadaan
terduduk. Setelah
memandangi wajah-wajah di depannya satu demi satu, Kiyai Djoko Bening kemudian
membungkuk. Perlahan-lahan penutup peti kayu itu dibukanya.
Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan
keluar dari beberapa mulut. Tumenggung Brojo Menggolo tersurut mundur hampir dua langkah.
Sangkolo Pratolo yang di masa mudanya adalah penjahat yang dengan tanpa berkesip sanggup
membunuh orang, menyaksikan isi peti itu tetap saja dia mengernyitkan kening dan dingin
kuduknya. Akan halnya Surti Retnoningsih, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun
sesaat kemudian dia
mengeluarkan pekik kecil lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris pingsan.
Suaminya buru-buru
menolong, menyandarkannya ke dinding.
"Kau tak apa-apa Bune...?" tanya Tumenggung Brojo Menggolo. Sang istri berusaha
menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-
gelengkan kepala saja.
Masih sambil memegangi istrinya Tumenggung Menggolo kembali memandang ke arah
peti lalu tiba-
tiba saja dia berkata setengah berteriak: "Itu bukan Sintomurni! Bukan
puteriku!"
"Kau pasti betul Tumenggung...?" tanya Kiyai Djoko Bening.
"Pasti sekali! Pasti sekali...."
Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo yang tadi kelihatan seperti mau
pingsan bangkit
berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian-
bagian tubuh lainnya. "Anakku...anakku...!" jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua
tangan. "Itu
anakku! Itu Sintomurni...!" Lalu perempuan ini menangis keras sekali.
"Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kita bune. Percayalah...!"
"Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada tahi lalat di telapak kaki
kanannya. Itu anak
kita mas! Anak kita...!"
Tumenggung menggoncang tubuh istrinya dengan keras. "Bune...! Setan apa yang
masuk dalam dirimu hingga mayat itu kau katakan anak kita...?"
Retnoningsih tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Tumenggung berpaling
pada Sangkolo Pratolo.: "Siapkan kuda! Kita kembali ke kota saat ini juga!"
memerintahkan Tumenggung
itu. Belum sempat guru silat itu bergerak melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng sambil
menarik lengan Sulindari melompat ke atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro
mengeluarkan sebuah
benda, lalu dia mendekati istri Tumenggung. Seraya mengacungkan benda itu dia
bertanya: "Gusti
Ayu, apakah kau mengenali anting-anting ini...?" Surti Retnoningsih turunkan
kedua tangannya yang
menutupi muka. Matanya membelalak melihat anting-anting perak di tangan Wiro.
Suaranya bergetar
ketika berkata: "Itu... itu anting-anting Sinto...."
"Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang Ini...?" bertanya Sulindari yang tegak
di sebelah Wiro seraya memperlihatkan gelang perak berukiran kepala ular yang melingkar di
lengan kirinya.
Retnoningsih terpekik: "Gelang itu! Gelang perak kepala ular! Itu juga milik
puteriku! Aku yang menyuruh buatnya pada pandai perak di Kotagede. Dari mana! Katakan dari
mana kalian mendapatkan perhiasan itu"!"
"Anting ini saya temukan dalam kain kuning pembungkus mayat ketika ditemukan di
lereng gunung," menerangkan Wiro.
"Dan gelang perak ini sengaja kami ambil dari lengan jenazah setelah sampai
disini," berkata
Sulindari. "Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puterimu
Tumenggung Brojo
Menggolo!" kata Kiyai Djoko Bening.
'Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!" teriak Tumenggung Menggolo.
Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar ke tiang langkan.
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Sangkolo Pratolo. Lalu berkata: "Sebaiknya
segera dipersiapkan untuk membawa jenazah dalam peti ini ke Kotaraja lalu
menguburkannya!" Lalu pada
Tumenggung Menggolo orang tua ini berkata sambil memegang bahunya. "Tumenggung,
kau harus tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskan seperti
ini..." Tumenggung Menggolo anggukkan kepala. "Walau Sintomurni hanya anak tiriku,"
katanya, "Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak
punya anak yang
lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-
cepat dibawa ke
Kotaraja dan diurus pemakamannya..."
"Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan padamu, Tumenggung," kata Kiyai
Djoko Bening perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Retnoningsih.
"Puterimu itu
meninggal dalam keadaan hamil antara empat sampai lima bulan..."
"A...apa... Puteriku hamil..."!" Sepasang mata Tumenggung Brojo Menggolo
membeliak. Dia berpaling pada istrinya. Justru saat itu Retnoningsih yang sudah sempat
mendengar keterangan Kiyai
Djoko Bening langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai.
Kali ini dia benar-
benar pingsan. "Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!" teriak Tumenggung Brojo
Menggolo tiba- tiba seraya mengepalkan tinju kanannya. "Pasti Damar Bintoro yang melakukannya!
Dia menghamili Sinto! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Tapi
Damar Bintoro! Kowe tak akan bisa lari jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh!
Akan kucincang tubuhmu sampai lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar Bintoro!"
* * * 11 MALAM sangat gelap, pekat menghitam membungkus tempat dimana dua penunggang kuda
itu mengadakan pertemuan hingga wajah keduanya sulit dikenali.
"Ada hal mendesak hingga kau meminta pertemuan ini?" Penunggang kuda di sebelah
kanan bertanya. "Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranak itu tidak ada di tempat kediamannya.
Menurut pemilik rumah dia menghilang begitu saja setalah ada seorang menjemputnya.
Berarti saat lenyapnya
hampir bersamaan dengan menghilangnya Damar Bintoro..."
Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya berulang kali. Ada keringat dingin
membasahi wajahnya. "Aku juga khawatir pada dua orang lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana
kalau kuminta kau mencari keduanya lalu membereskannya...."
"Saya mulai berpikir-pikir..."
"Kau mulai berpikir-pikir katamu" Berarti kau mulai ragu! Aku tidak mau melihat
hal itu. Jika kau masih menginginkan jabatan itu perintahku harus kau lakukan. Kalau
tidak nasibmupun akan
masuk dalam daftar hitamku! Jangan lupa kau ikut terlibat banyak dalam urusan
ini!" "Saya mengerti. Kalau begitu izinkan saya pergi sekarang..."
"Jika kau ingin bicara, kau bisa datang ke rumah. Tidak perlu sembunyi-sembunyi
seperti ini. Justru jika ada yang melihat bisa tambah tidak beres urusan ini. Kau
mengerti...?"
"Saya mengerti..."
"Kau boleh pergi sekarang!"
Penunggang kuda di sebelah kiri bergerak meninggalkan tempat itu.
Yang di sebelah kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di atas punggung kuda.
Satu pikiran buruk mampir di benaknya. "Aku khawatir manusia satu ini apakah benar-
benar bisa dipercaya terus..." berpikir sampai disitu maka diapun berseru. "Tunggu dulu!"
Orang yang barusan pergi hentikan kudanya dan berpaling menunggu orang yang
datang menyamparinya. "Ada apa lagi...?"
"Tidak apa-apa. Aku pikir dalam menjalankan pekerjaanmu pasti kau membutuhkan
sejumlah uang. Terima ini..." Lalu dengan tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuah
kantong berisi uang.
ketika tangan kiri itu diulurkan untuk memberikan, bersamaan dengan itu tangan
kanan yang tadi
menyelinap ke balik pinggang tiba-tiba bergerak laksana kilat dalam kegelapan
malam. Sebilah keris
luk tiga menghunjam dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima kantong uang
tadi. Tubuhnya langsung terhuyung, lalu jatuh ke tanah dengan darah menyembur dari luka di dada
yang tembus sampai ke jantungnya.
"Manusia jahanam. Manusia busuk terku..." Makian itu hanya sampai disitu karena
nyawanya keburu putus. Di balik semak belukar yang sangat rapat, terdengar suara perempuan memaki
halus: "Kenapa
kau larang aku mencegah keparat itu membunuh saksi penting yang kita perlukan
itu...?" Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya di atas bibir. "Jangan bicara
terlalu keras. Kau
tak usah khawatir..."
"Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!" berbisik lagi suara perempuan tadi.
Kali ini menunjukkan rasa gemas.
"Tidak mengerti tidak jadi apa Sulindari. Kita masih punya beberapa saksi yang
bisa mengungkapkan kejahatan ini. Yang satu itu biar mampus duluan. Mungkin itu
hukaman yang setimpal baginya!"
"Terserah padamulah. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari tahu
dimana beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua dukun beranak itu..."
"Tunggu, jangan terburu-buru Sulin," bisik Wiro seraya memegang pinggang murid
Kiyai Djoko Bening Itu. "Masih ada satu kejadian baru lagi di tempat ini."
"Aku mendengar ada orang berkuda mendatangi. Masih jauh memang. Tapi sebentar
lagi kita akan melihatnya...."
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika penunggang
kuda yang melakukan pembunuhan tadi hendak meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain
muncul dua ekor kuda dari kegelapan. Yang di sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki
berkepala botak,
mengenakan celana hitam tanpa baju. Sehelai kain hitam menyerupai selendang
melingkar dilehernya.
Di atas punggung kuda kedua tampak terbujur melintang dua sosok tubuh yang tidak
bergerak-gerak,
entah mati entah pingsan.
"Siapa kau yang berani menghadangku"!" teriak lelaki yang baru saja melakukan
pembunuhan. Tapi diam-diam dia memang merasa pernah melihat atau kenal dengan
orang ini sebelumnya. Lalu dia ingat dan setengah berseru: "Kau! Bukankah kau Datuk Kepala
Besi"!"
Si botak lepas tertawa panjang. "Bagus kalau kau masih mengenaliku..."
"Apa maksudmu menghadangku di tempat ini. Jelas kau telah mengikuti sejak
beberapa waktu lalu...!"
"Memang begitu. Kau lihat dan kenali dua orang di atas kuda sana...?" si botak
balik bertanya. Orang yang ditanya membuka matanya lebar-lebar, memandang tajam-tajam dalam
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegelapan. "Itu... Bukankah keduanya Randu dan Tikil...!" Lelaki itu berkata
dengan suara bergetar.
Wajahnya jelas menyatakan keterkejutan amat sangat.
"Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas pembantu yang kau suruh pergi itu.
Ingat, kau juga menyuruhnya menghubungiku, memberi uang untuk membunuh tiga orang murid
Kiyai Djoko Bening.... ingat"! Ayo jawab!"
"Dua bekas pembantu itu, apakah mereka sudah jadi mayat...?"
"Belum... belum. Keduanya belum jadi mayat. Hanya kutotok kubiarkan hidup. Untuk
berjaga-jaga kalau kau mungkir...."
"Maksudmu...?"
"Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas
yang kujalankan..."
"Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu tiga murid Kiyai Djoko Bening itu
tidak sanggup kau bunuh! Tugasmu tidak terselesaikan! Sekarang minta tambahan uang! Gila!
Kerugian apa maksudmu Datuk Kepala Besi"!"
Sebagai jawaban lelaki botak itu melompat turun dari kudanya. Dia melangkah
dekat-dekat ke hadapan orang di depannya. Tiba-tiba celana hitamnya diturunkan ke bawah.
"Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita! Anggota tubuhku paling berharga
putus!" teriak
Datuk Kepala Besi seraya memperlihatkan anggota rahasianya yang buntung karena
dibetot lepas oleh
Wiro beberapa waktu lalu.
Orang di atas kuda tampak mengernyit penuh tegang. Dan jadi marah ketika
terdengar Datuk
Kepala Besi berkata: "Aku minta paling tidak seratus ringgit emas sebagai ganti
kerugian!"
"Gila! Kau gila!" teriak orang di atas kuda.
Datuk Kepala Besi tertawa. "Terserah padamu. Dua orang di atas kuda sana akan
menjadi saksi kejahatan yang kau lakukan. Sekali aku membawa mereka menghadap patih di
Kotaraja, habislah riwayatmu Tumenggung Brojo Menggolo!"
Orang di atas kuda yang ternyata adalah Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris
luk tiga yang masih basah oleh darah orang yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala
Besi tenang saja
malah tertawa mengejek. "Kau bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo itu. Aku
tahu kalau kau pun punya kepandaian cukup tinggi. Tapi jangan coba-coba berani melawanku
Tumenggung!"
Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itu disadari sepenuhnya oleh Tumenggung
Menggolo. Tapi dari mana dia mampu menyediakan seratus ringgit emas yang diminta.
Dari balik pakaiannya Tumenggung mengeluarkan kantong uang yang tadi hendak
diserahkannya pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kantong uang itu dilemparkannya
pada Datuk Kepala Besi. "Ini ambillah. Ada sepuluh uang perak di dalamnya. Aku tak punya
uang lagi!"
Si botak tertawa pendek lalu mendengus dan kepretkan kantong yang dilemparkan ke
arahnya hingga jatuh ke tanah. "Kalau kau tak mau memberikan apa yang kuminta, terpaksa
akupun akan memutus barang di bawah perutmu itu Tumenggung Menggolo!" Lalu si botak ini
melangkah mendekati Tumenggung yang duduk di atas kuda itu dengan kedua tangan terpentang.
"Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima ringgit emas! Kau boleh mengambilnya.
Aku akan berikan lagi lima ringgit emas begitu sampai di rumah. Hanya itu yang bisa
kuberikan! Sekalipun kau bunuh aku memang tidak punya ringgit emas yang kau minta!"
"Hem, kau bisa menggantikannya dengan benda lain. Emas berlian perhiasan istrimu
misalnya... "
"Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi
kau harus melakukan apa yang kukatakan!"
"Serahkan dulu uang itu Tumenggung!" ujar si botak.
Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan kantong uang berisi lima ringgit emas. Si
botak menyambuti lalu berkata: "Nah sekarang katakan apa yang harus kulakukan!"
"Bunuh dua bekas pembantuku itu!" sahut Tumenggung Menggolo pula.
"Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil tahi hidung. Tapi kalau kau hanya
mampu memberikan sepuluh ringgit emas, siapa sudi!"
"Dengar, aku akan berikan jabatan yang pernah kujanjikan pada guru silat
Sangkolo Pratolo.
Kurasa itu lebih dari cukup sebagai pengganti sembilan puluh ringgit emas yang
kau minta!"
"Hem, jabatan apa itu?" tanya Datuk Kepala Besi.
"Kedudukan penting di jajaran tokoh-tokoh silat Istana!"
Si botak berpikir-pikir sesaat sambil usap-usap kepalanya. Sambil tertawa dia
berkata: "Baik,
kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong
sebagaimana kau melakukannya terhadap anak tirimu itu!"
"Jaga mulutmu Datuk Kepala Besi! Tidak perlu kau bicara seperti itu! Aku harus
pergi sekarang! Jangan lupa membereskan dua bekas pembantuku itu!"
Sesaat setelah Tumenggung Brojo Menggolo tinggalkan tempat itu Datuk Kepala Besi
mendekati Randu dan Tikil yang masih menggeletak di atas punggung kuda dalam
keadaan tak bisa
bergerak karena ditotok.
"Jadi orang kecil memang harus menderita banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi
untuk mengurangi penderitaan, biar kalian tetap dalam keadaan tertotok!" Datuk Kepala
Besi angkat tangan
kanannya, siap mengepruk kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belum sempat
pukulan mematikan itu
mendarat di batok kepala si pembantu yang malang, tahu-tahu satu tangan
menangkis dan memukul
lengan Datuk Kepala Besi. Si botak ini terjajar setengah langkah. Tikil lolos
dari maut. Di sebelahnya
terdengar suara mengeluh pendek. Namun di saat itu pula ada yang menyerangnya.
Sambil menghindar Datuk Kepala Besi berusaha melihat siapa adanya si penyerang.
"Gadis jelita! Kau rupanya!" seru Datuk Kepala Besi ketika mengenali yang
menghalangi pukulannya tadi dan yang kini menyerangnya adalah Sulindari, murid Kiyai Djoko
Bening yang tempo hari hampir sempat digagahinya kalau tidak muncul Pendekar Wiro Sableng.
"Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari masih belum berampun, hari ini kau
berserikat dengan Tumenggung keparat itu dan hendak membunuh dua orang pembantu yang tidak
berdosa serta berada dalam keadaan tidak berdaya sungguh biadab perbuatanmu!"
Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk Kepala Besi menjawab: "Sabar anak
cantik! Kalau kau yang memerintahkan aku untuk tidak membunuh dua pembantu itu, pasti
aku patuh menurut! Hanya sayang saat ini kekasihmu ini sudah seperti macan ompong.
Kegairahan ada tapi
kemampuan tidak ada! Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda gondrong itu!"
Habis berkata begitu Datuk Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya ke bawah. Justru saat
itu pula Sulindari
menyerang dengan satu tendangan ke arah bawah perut itu.
Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Kepalanya dibungkukkan menyambut serangan
sang dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan kepala itu tak berani meneruskan
tendangannya. Tangan
kanannya kini yang dihantamkan ke leher lawan melancarkan pukulan yang
mengandung aji kesaktian Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi murid Kiyai Djoko Bening ini
masih kalah cepat.
Kedua tangan lawan telah merangkul pinggangnya saat itu. Di waktu yang bersamaan
secara kurang ajar sang datuk susupkan mukanya ke bagian bawah perut Sulindari. Keduanya lalu
jatuh bergulingan.
Kesempatan ini dipergunakan Datuk Kepala Besi untuk menghimpit tubuh sang dara,
menciumi wajah dan menggerayangi dadanya dengan penuh nafsu.
"Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!" Satu suara mendamprat lalu satu
tendangan menghantam rusuk Datuk Kepala Besi. Tak ampun lagi datuk ini terpental sampai
dua tombak. Empat
tulang rusuknya remuk hancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti menusuk
bagian-bagian tubuh di
sebelah dalam hingga sakitnya bukan kepalang. Tapi hebatnya Datuk Kepala Besi
masih sempat bangkit berdiri dengan mata berkilat-kilat dalam kegelapan. Ketika dia melihat
siapa adanya pemuda
gondrong yang tegak di hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa tunggu lebih lama
dia segera balikkan
diri ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah dia hendak melarikan diri itu,
Sulindari sudah
menunggu dengan sepotong cabang kayu sebesar betis. Begitu kayu dihantamkannya
ke rahang sang datuk terdengar suara berderak patah. Datuk Kepala Besi berteriak keras lalu
roboh dengan sebagian
wajah rengkah. Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak saja yang atos tahan
segala macam pukulan sedang bagian wajahnya tidak mempunyai kekebalan apa-apa.
Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Sulindari berdiri. "Bangsat itu menjijikkan
sekali!" kata sang dara lalu dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk Kepala Besi
hingga hidung dan
sebagian tulang pipi orang ini melesak ke dalam.
Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh Randu dan Tikil. Dua orang bekas
pembantu Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun berada dalam keadaan tertotok tapi masih
sanggup dan sempat menyaksikan apa yang sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah
diselamatkan oleh dua
orang muda-mudi itu keduanya lantas menyembah-nyembah berulang kali seraya
mengucapkan terima kasih. Wiro menyuruh Randu dan Tikil berdiri. Dari kedua orang ini mereka
kemudian mendapatkan keterangan yang mengejutkan.
"Sebagai pembantu di tempat kediaman Tumenggung Menggolo kami diam-diam
mengetahui adanya hubungan gelap antara Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni. Ketika
gadis itu hamil
Tumenggung menjadi bingung dan sangat ketakutan...."
"Tunggu dulu!" memotong Sulindari. "Adalah tidak masuk akal kalau Sintomurni mau
melayani ayah tirinya itu!"
"Secara wajar memang begitu. Tapi Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu
dengan semacam obat. Guna-guna!" menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan. "Dengan
iming-iming sejumlah
uang dan kedudukan di Keraton, celakanya guru silat Sangkolo Pratolo mau
menolong Tumenggung
yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu membawa den ayu Sintomurni ke dukun
beranak Jamilah.
Dukun itu dipaksa agar menggugurkan kandungan den ayu. Tapi gagal karena
kandungan sudah besar
dan janinnya sudah kuat. Den ayu meninggal dunia waktu kandungannya itu
digugurkan... Ketika hal
itu dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung menjadi tambah ketakutan. Akhirnya
Tumenggung datang sendiri ke rumah dukun beranak itu pada tengah malam. Kami diperintahkan
ikut. Disitu... di
rumah dukun Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudian dipotong-potong...."
"Siapa yang melakukannya"!" tanya Wiro.
"Sangkolo Pratolo, juga Tumenggung Menggolo..." sahut Randu.
"Manusia-manusia biadab!" desis Sulindari. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
"Potongan-potongan mayat den ayu Sintomurni dibuntal dalam sebuah kain kuning.
Terlebih dahulu Tumenggung mencacah wajah mayat hingga tak mungkin lagi dikenali. Kami
berdua kemudian diperintahkan menggotong mayat dalam buntalan, bersama guru silat
Sangkolo Pratolo
mayat itu kemudian kami bawa dan buang di lereng gunung Merbabu sebelah
selatan..."
"Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi
pemuda itu lenyap hampir bersamaan dengan ditemukannya mayat di gunung Merbabu. Juga
dukun beranak Jamilah itu lenyap dari rumah sewaannya... Apakah Damar Bintoro tidak mengetahui
kalau kekasihnya hamil...?"
"Den Damar Bintoro memang tidak mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia seorang
pemuda polos dan sopan. Dan dia bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja bersembunyi demi
keselamatannya.
Orang-orang suruhan Tumenggung berkali-kali hendak membunuhnya secara gelap. Dia
lalu bersembunyi di satu tempat. Perempuan tua Jamilah dukun beranak itu ikut
sembunyi bersamanya
karena memang den Damar yang menjemputnya malam-malam. Mereka merencanakan untuk
melapor pada Patih Kerajaan, tapi tidak berani keluar dari tempat persembunyian
karena orang-orang
Tumenggung ada dimana-mana..."
"Kalian tahu dimana tempat persembunyian Damar Bintoro dan dukun beranak bernama
Jamilah itu?" tanya Wiro.
Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.
"Kalau begitu malam ini juga kalian antarkan kami ke sana," ujar Sulindari.
"Raden dan rara telah menolong nyawa kami. Apapun yang kalian perintahkan kami
berdua pasti akan melakukannya," sahut Randu pula.
Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro mengambil uang emas yang tadi dimasukkan
Datuk Kepala Besi ke balik celana hitamnya. Dia juga memungut kantong berisi uang
perak. "Semua uang
ini harus kita kembalikan pada istri Tumenggung. Aku punya firasat Tumenggung
itu sendiri tak
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal lama umurnya."
* * * 12 MALAM sudah turun ketika Randu dan Tikil yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng
dan murid Kiyai Djoko Bening Sulindari sampai di tempat persembunyian Damar
Bintoro serta Dukun beranak Jamilah. Tempat itu ialah sebuah rumah papan jati yang terletak
dalam rimba belantara, merupakan rumah kecil tempat orang beristirahat pada siang hari atau
menginap pada malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik Raden Somba
Kayu Ireng ayah
Damar Bintoro "Tampaknya kita kedahuluan orang lain..." bisik Wiro pada Sulindari dari balik
semak belukar sambil menunjuk pada dua ekor kuda besar yang tertambat di bawah pohon.
Di bagian lain, di
sebelah belakang rumah papan kelihatan pula dua ekor kuda.
Randu tiba-tiba berbisik: "Salah seekor kuda yang tertambat disana milik
Tumenggung Menggolo..."
"Bagus! Kalau bangsat itu ada disini berarti semua urusan bisa dibikin tuntas!"
ujar Sulindari.
Di dalam rumah papan tiba-tiba terdengar suara pekikan perempuan.
"Itu teriakan dukun beranak Jamilah..." memberi tahu Tikil yang mengenali suara
perempuan itu. Lalu menyusul suara bentakan: "Tumenggung keparat! Apa dosa perempuan itu maka
kau hendak membunuhnya"! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang
kau rusak kehormatannya itu" Manusia Iblis! Kau boleh bunuh aku tapi lepaskan perempuan
tua itu!" "Itu suara den Damar..." Tikil yang berbisik.
Lalu terdengar suara bentakan Tumenggung Menggolo.
"Soal kematianmu tak usah kau risaukan anak muda! Aku memang tak pernah suka
padamu! Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul
beberapa saat lagi!"
Tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Wiro dan Sulindari langsung melompat
keluar dari balik
semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro menendang pintu papan hingga hancur
berantakan lalu
bersama Sulindari dia masuk ke dalam rumah yang diterangi sebuah lampu minyak
itu. Di lantai rumah tampak tergeletak seorang perempuan tua berambut putih yang
membeliak dan gemetaran sekujur tubuhnya karena ketakutan. Di depannya Tumenggung Brojo
Menggolo tengah menusukkan sebilah golok ke leher perempuan tua itu. Di salah satu sudut,
seorang pemuda dalam keadaan tertotok, tegak tersandar tanpa bisa bergerak. Dialah Damar
Bintoro, kekasih
Sintomurni. Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni seorang lelaki tua
berjanggut putih yang
mengenakan jubah kuning. Orang inipun memegang sebilah golok di tangan kanannya.
"Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara seperguruanku menderita celaka! Kau
menyebar maut dimana-mana! Kini perempuan tua tak berdaya itu hendak kau bunuh pula! Biar
kucopot kepalamu!" Yang berteriak adalah Sulindari. Gadis ini langsung menyerbu
Tumenggung Brojo
Menggolo. Kedua tangannya berkelebat ke arah leher sang Tumenggung.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan
pada saat Sulindari berteriak, Tumenggung Menggolo langsung memutar tubuh. Golok yang
tadi hendak ditusukkannya ke leher Jamilah, kini dibabatkannya ke arah kedua tangan
Sulindari. Sebagai seorang
yang berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo memang memiliki ilmu simpanan yakni
Ilmu silat tangan kosong dan ilmu golok. Namun jelas sekali dia hanya memiliki tenaga luar.
Kepandaiannya Itu
sama sekali tidak ditopang oleh kekuatan tenaga dalam. Ketika Sulindari mengelak
dan menghantam dengan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus langsung Tumenggung Menggolo
terpental dan terbanting ke dinding papan. Dada pakaiannya sebelah kanan tampak terkoyak robek
dan kulit dadanya yang tersingkap kelihatan memar kebiruan. Dia tersandar di dinding dan
sulit bernafas. Dia
berusaha menusukkan goloknya ke arah perut Sulindari ketika si gadis kembali
menyerangnya tapi
dengan mudah murid Kiyai Djoko Bening itu memukul lengan Tumenggung dan merampas
goloknya. Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari pada pemiliknya sebagai senjata
makan tuan, tiba-tiba
terdengar bentakan keras: "Jangan bunuh orang itu! Kematiannya harus di tiang
gantungan agar semua orang tahu kebiadabannya!"
Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak Raden Somba Kayu Ireng, ayah Damar
Bintoro. Di belakangnya belasan perajurit Kepatihan telah mengurung tempat itu.
Raden Somba melangkah mendekati Tumenggung Menggolo. Pada saat itulah orang tua
berjanggut putih berjubah kuning mengirimkan bacokan dari samping. Cepat dan
ganas ayunan goloknya. Suara bersiuran yang keluar dari badan golok cukup memberi tahu bahwa
orang tua ini memiliki tenaga dalam tinggi. Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya hanya
lewat seujung kuku
dari kepalanya. Ketika dia hendak balas menyerang, Pendekar 212 Wiro Sableng
sudah lebih dahulu
berkelebat. Dorongan tangan kanan murid Sinto Gendeng membuat si jubah kuning terjajar ke
belakang dan sempat terkejut.
"Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia ular kepala dua bernama Sangket
Plumbung bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang
Amerto dari gunung Bromo. Kau mencap sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek kaum
pemberontak. Padahal
tujuanmu adalah untuk menutup pengkhianatanmu sendiri. Kaulah yang mengirimkan
sejumlah senjata untuk kaum pemberontak di selatan!"
"Ha...ha! Satu lagi terbuka kedok kejahatanmu Sangket Plumbung!" berkata Raden
Somba. "Sudah sejak lama aku mencurigai gerak gerikmu! Hari ini kau tak mungkin lolos
lagi!" Raden
Somba berpaling pada Wiro. "Pendekar gagah, teruskan perkelahianmu dengan
pengkhianat ini! Tapi
ingat seperti kawannya yang satu itu dia harus ditangkap hidup-hidup!"
Raden Somba kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri Tumenggung Brojo
Menggolo. Saat itu selain menderita cidera dan kesakitan akibat pukulan
Sulindari, Tumenggung
Menggolo memang sudah pasrah karena sadar tak bisa berkelit lagi.
"Aku pasrah menerima segala hukuman, Raden Samba!" katanya dengan suara serak.
Terbayang di pelupuk matanya saat-saat dia membacok memotongi tubuh anak tirinya
itu. Tumenggung Menggolo tekap wajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis
sesenggukan. Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan diri, lain halnya dengan Sangket
Plumbung alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan hukuman berat yang bakal diterimanya dari
Kerajaan maka dia menjadi kalap. Si jubah kuning ini kirimkan serangan berantai yang
ganas berupa dua
bacokan dan satu tusukan sekaligus. Wiro yang mendendam besar akibat kematian
para sahabatnya di
gunung Bromo gara-gara perbuatan si janggut putih ini juga tak kalah kalapnya.
Kalau saja dia tidak
ingat pesan Raden Somba agar dia tidak membunuh orang itu saat itu rasanya
maulah dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan mencincang tubuh tua bangka itu sampai
lumat. Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu
Wiro mulai merangsak lawannya dengan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang
didapatnya dari Tua Gila.
Memang ilmu silat ini sangat cocok dimainkan di tempat yang sempit seperti dalam
rumah papan itu.
Gerakan kaki tidak terlalu banyak, hanya tubuh dan tangan yang meliuk-liuk macam
orang sempoyongan mabuk tuak.
Wuuttt! Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderu di depan perut Pendekar 212. Begitu
sambaran senjata lawan lewat, Wiro membungkuk ke depan seperti terhuyung hendak jatuh,
tapi tiba-tiba kaki
kanannya sudah mencelat melabrak ketiak kanan lawan. Terdengar suara berderak
disusul jerit Dewa
Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur. Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya
sudah lebih dulu jatuh di lantai. Tubuhnya tersandar miring ke dinding papan. Wiro
melepaskan totokan di tubuh
Damar Bintoro sementara Sulindari membantu dukun beranak itu bangkit berdiri.
Tubuh perempuan
tua ini masih gemetaran dan wajahnya masih pucat pasi ketakutan.
Raden Somba memberi isyarat pada para perajurit di luar sana. Melihat isyarat
ini delapan orang segera masuk lalu menggiring Tumenggung Menggolo dan Sangket Plumbung
keluar. Begitu totokannya lepas Damar Bintoro langsung merangkul Pendekar 212 Wiro
Sableng dan berulang kali mengucapkan terima kasih. Lalu pemuda ini mendatangi ayahnya dan
berlutut di hadapan orang tuanya itu.
"Bangkit berdiri Damar. Kita semua harus segera kembali ke Kotaraja!" berkata
Raden Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan Sulindari. "Muda mudi gagah. Kami
berhutang budi dan
nyawa pada kalian berdua. Lebih dari itu kalian juga berjasa besar pada Kerajaan
karena berhasil
membongkar kedok seorang pengkhianat dan menangkapnya hidup-hidup. Atas nama
Patih dan Sri Baginda aku meminta kalian ikut ke Kotaraja menjadi tamu-tamu terhormat. Kalian
akan menyaksikan bagaimana hukum dan keadilan dijalankan disana!"
Wiro memandang pada Sulindari. Karena gadis ini hanya diam saja maka Wiro pun
menjawab: "Terima kasih atas undangan dan penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan,
masih ada urusan lain yang perlu kami selesaikan. Kami minta diri saja sekarang...."
Raden Somba Kayu Ireng tersenyum. Dia melirik pada Sulindari dan diam-diam
merasa cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan puteranya. Tapi saat itu bukan
tempatnya berpikir
sampai disitu. Karena tahu bagaimana sifat-sifat orang persilatan maka dia pun
menganggukkan kepala dan berkata: "Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan sih bisa bebas
dari segala urusan
kalian. Selamat jalan kalau begitu!" Lalu Raden Somba mendahului menjura memberi
penghormatan hingga Wiro dan Sulindari menjadi kikuk membalasnya. Kedua muda-mudi ini lalu
tinggalkan tempat
itu. Di atas punggung kuda milik Datuk Kepala Besi dan Sangkolo Pratolo dua muda
mudi itu bergerak tanpa ada yang bicara.
"Kemana tujuan kita sekarang?" Sulindari akhirnya mengajukan pertanyaan.
"Aku akan mengantarkanmu ke puncak Merbabu!" jawab Wiro. Sang dara diam saja.
"Eh, kau tak suka aku antarkan...?" bertanya Wiro.
"Kau sungguhan mau mengantar?" balik bertanya Sulindari.
"Mengapa tidak" Memangnya ada apa...?"
"Hemm... Bertahun-tahun aku berada di puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat
tiap hari tiada henti. Bukan pekerjaan ringan. Sekarang ada kesempatan turun gunung.
Mengapa tidak melihat-
lihat dunia luar barang dua tiga minggu...?"
"Ah, itu satu rencana yang baik! Apalagi kalau kita jalan sama-sama. Maksudmu
begitu?" Sulindari mengangguk.
"Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa menyangka ada gadis secantikmu mau
berkelana bersamaku. Sekali. Bagaimana aku berani menolak! Jangankan dua tiga minggu. Dua
tiga tahunpun aku bersedia! Ha... ha... ha...!"
"Tapi ada saratnya Wiro!" ujar Sulindari.
"Eh, apa itu?"
"Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu, aku tak mau jadi mayat terpotong
potong!" Wiro tertawa gelak-gelak.
"Jika kau kembali pulang ke tempat gurumu nanti percayalah tubuhmu akan tetap
utuh. Bahkan tidak selembar rambutmu pun akan kurang!"
"Kalau begitu nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku,
apakah ada yang kurang atau tidak!"
"Seluruh rambut di tubuhmu..." tanya Wiro pula.
"Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!" Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan
Wiro dan bagaimana dia bisa terjebak menjawab seperti itu.
"Pemuda kurang ajar!" teriak Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung
Pendekar 212. Tapi Wiro sudah membedal kudanya lebih dahulu seraya tertawa gelak-gelak
dan berkata: "Ha...
ha! Aku akan menghitung rambut di tubuhmu! Seluruh rambut! Asyik...
Asyiiikkkkk!"
TAMAT sumber buku : Dani (http://212.solgeek.org/pdf)
scanner : kiageng80
Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
editing : kalibening
Tamu Dari Alam Gaib 2 Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris Pertemuan Di Kotaraja 6