Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 25

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 25


maka kita pun merasa amat canggung dengan cambuk-cambuk
itu di tangan," jawab yang lain.
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Sementara kuda-kuda mereka
menjadi semakin mendekati desa kecil di hadapan mereka.
Setiap orang di dalam pasukan itu pun menjadi semakin
tegang. Senjata-senjata mereka telah tergenggam erat-erat di
dalam tangan mereka. Sedang mereka yang bersenjatakan
cambuk, telah memindahkan cambuk-cambuk mereka dari
tangannya, dan diselipkannya pada ikat pinggang. Untuk
menghadapi bahaya yang sebenarnya, mereka lebih mantap
bersenjatakan pedang. Yang memegang cambuk kemudian tinggallah Gupala dan
Gupita. Cambuk bagi mereka adalah senjata-senjata yang paling
terpercaya. Sedang akibat bagi lawannya pun tidak selalu berarti
maut. "Hathatilah dengan cambukmu," berkata gembala tua itu
kepada dua orang muridnya. "Ingat, yang bercambuk di dalam
pasukan ini adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, caramu mempergunakan cambuk pun harus kau
sesuaikan, kecuali apabila kau dalam keadaan terpaksa."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita harus berada di depan, supaya kita dapat menilai
keadaan sebaik-baiknya," berkata orang tua itu pula.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada pemimpin pasukan, gembala tua itu minta ijinnya
untuk berada beberapa langkah di depan pasukan, supaya
mereka dapat merintis jalan yang akan mereka lalui. Sebab,
apabila penjagaan di desa itu benar-benar kuat, dan di
antaranya terdapat orang-orang yang penting, maka jalan harus
dibuka lebih dahulu supaya pasukan berkuda itu dapat lewat
tanpa banyak gangguan. *** Demikianlah, maka gembala tua itu memacu kudanya cepatcepat.
Kemudian di kedua sisinya masing-masing Gupala dan
Gupita. Mereka harus melindungi pasukan yang akan lewat di
sebelah menyebelah jalan, sedang guru mereka akan berpacu
terus menuntun seluruh pasukan.
Ternyata para penjaga di dalam padesan kecil itu menjadi
heran. Dalam keremangan malam mereka melihat sepasukan
kecil orang-orang berkuda menuju ke desa mereka.
"Siapakah mereka?" bertanya salah seorang dari para
penjaga itu. Kawannya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah.
Mungkin pasukan inilah pasukan berkuda yang dibuat oleh
Argapati." "Tetapi kenapa mereka langsung menuju kemari?" Sekali lagi
kawannya menggelengkan kepalanya.
Namun mereka kemudian tidak sempat untuk berbicara lagi.
Sejenak kemudian, mereka mendengar pimpinan mereka
memberikan aba-aba, agar seluruh pasukan yang berada di
dalam desa itu bersiap. Sejenak kemudian. perintah itu telah menjalar ke segenap
sudut. Namun di antara mereka ada yang dengan acuh tidak
acuh berkata, "Berapa orang yang ada di dalam pasukan itu"
Biarlah orang-orang yang ada di dalam gardu peronda itu
menyelesaikannya. Untuk menghadapi beberapa orang berkuda
saja, seluruh pasukan harus bersiap."
Kawannya yang mendengar kata-katanya mengerutkan
keningnya. Bahkan ia menyahut, "Mereka menjadi sakit hati
melihat kita sempat tidur malam ini."
Keduanya tertawa. Dengan malasnya mereka duduk
bersandar sebatang pohon di pinggir jalan. Sekalsekali mereka
mengumpat, bahwa tidur mereka terpaksa terganggu.
Pasukan berkuda itu telah berada di depan hidung para
penjaga di regol desa. Beberapa orang di antara mereka, berdiri
di tengah jalan sambil mengacungkan tombak, telempak,
pedang, dan bermacam-macam senjata yang lain.
Gembala tua yang berkuda di paling depan memperlambat
lari kudanya. Kini ia pun telah membawa cambuk di tangannya.
Ketika ia menjadi semakin dekat, maka ia pun berteriak, "He,
menepilah supaya kalian tidak terinjak kakkaki kuda kami."
"Siapakah kalian?"
"Pengawal Tanah Perdikan Menoreh seperti kalian. He,
apakah kalian tidak mengenal kami lagi?"
Pemimpin pasukan yang ada di desa itu mengerutkan
keningnya. "Kami sedang meronda daerah kami, tanah perdikan ini.
Bukankah kalian sedang bertugas di desa itu" Baik-baiklah
dalam tugas kalian. Jangan sampai ada orang-orang yang tidak
dikenal menjamah tanah yang selama ini kita pertahankan matimatian."
Sejenak pemimpin pasukan di desa itu menjadi termangumangu.
Namun sejenak kemudian ia berteriak, "He, di pihak
manakah kalian berdiri sekarang?"
Pasukan berkuda itu berhenti beberapa puluh langkah dari
mulut lorong. Dan gembala tua itu menjawab lagi, "Kenapa kau
bertanya di pihak mana kita berdiri" Ada berapa kekuasaan
sekarang ini di atas tanah kita yang selama ini kita bina" Tidak
ada orang lain yang kita akui sebagai Kepala Tanah Perdikan,
selain Ki Gede Menoreh. Bukankah begitu" Berapa puluh tahun
ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk tanah ini, bahkan
nyawanya sekalipun apabila perlu" Berapa puluh tahun ia
berjuang untuk membuat tanah ini seperti, yang kita lihat
sekarang" Kenapa kalian masih bertanya, di pihak mana kita
berdiri?" Kata-kata itu ternyata telah menyentuh setiap dada dari
orang-orang Menoreh yang ada di desa itu. Beberapa orang dari
mereka telah terlempar dalam satu kenangan tentang tanah ini
sebelum terjadi kekisruhan.
"Apakah kalian tidak ingat lagi, bagaimana keadaan tanah ini
sebelum hadirnya Ki Tambak Wedi?" berkata orang tua itu.
"Kemudian kalian melihat sendiri, apakah yang terjadi
sesudahnya" Ternyata tanah ini telah terbakar oleh api
ketamakannya. Bahkan Sidanti telah tenggelam di dalam
pengaruhnya." Pemimpin pasukan di desa itu tidak segera menjawab.
Sementara itu, gembala tua itu berbisik kepada pemimpin
pasukan berkuda yang ada di belakangnya "Sekarang. Selagi
mereka merenung. Ikuti aku. Biarlah Gupala dan Gupita
mencegah mereka." Pemimpin pasukan itu mengangguk. Dengan tangannya ia
memberikan isyarat supaya orang-orangnya bersiap.
Sejenak kemudian, selagi orang-orang yang berdiri di mulut
desa di depan regol itu masih termangu-mangu, para pengawal
itu telah melecutkan kuda-kuda mereka.
Serentak kuda-kuda itu seakan-akan meloncat menerkam
mereka yang masih berdiri di tengah jalan. Kejutan itu telah
menggerakkan mereka secara naluriah untuk berloncatan
menepi. Ketika mereka menyadari keadaan, maka kuda-kuda itu telah
benar-benar berada di hadapan mereka.
"Tahan mereka," teriak pemimpin pasukan yang berada di
desa itu. Para pengawal desa itu seakan-akan terbangun dari tidur
mereka. Serentak pula mereka menggerakkan senjata mereka
untuk menahan orang-orang berkuda itu. Tetapi tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh ledakan cambuk di tangan Gupala dan Gupita.
Beberapa orang yang berdiri di paling depan terkejut. Ketika
mereka menyadari diri mereka, senjata-senjata mereka telah
terlepas dari tangan. Namun para penjaga yang ada di belakang mereka, segera
mendesak maju dengan pedang yang teracu. Tetapi para
pengawal berkuda itu pun telah siap menyambut mereka.
Mereka pun telah menggenggam senjata-senjata di tangan.
Tetapi seperti pesan yang mereka terima, mereka tidak akan
bertempur. Mereka hanya akan sekedar lewat, sambil
melindungi diri mereka. Tetapi mereka sudah pasti tidak akan dapat menghindarkan
korban betapa kecilnya. Gupala dan Gupita yang telah mendapat
pesan gurunya mawantwanti, tidak juga dapat menghindarinya.
Ujung cambuknya ternyata tidak dapat menahan diri.
Ketika para penjaga itu semakin banyak menghalangi jalan
mereka, maka Gupala dan Gupita yang harus merambas jalan,
terpaksa menyingkirkan mereka. Cambuknya meledak semakin
cepat dan keras. Bagaimanapun juga, pertempuran tidak dapat dihindari.
Namun para pengawal ternyata berada dalam kedudukan yang
lebih baik. Mereka berada di atas punggung kuda, dan kudakuda
mereka tidak mereka tahan lagi. Kuda-kuda itu berlari
terus. Para penjaga yang tidak juga mau menepi kadang-kadang
terlanggar dan terpelanting jatuh sebelum mereka dapat
mempergunakan senjata-senjata mereka.
"Jangan biarkan mereka lolos!" teriak pemimpin pasukan di
desa itu. Tetapi untuk menahan mereka bukan pekerjaan yang mudah.
Apalagi mereka berada di jalan yang tidak terlampau lebar,
sehingga mereka itu pun menjadi berdesak-desakan.
Tidak banyak gunanya, apabila mereka menghadang di
depan pasukan berkuda itu, karena di ujung pasukan itu berada
seorang gembala tua dengan cambuk di tangan. Setiap kali
cambuk itu berhasil melilit senjata lawannya dan kemudian
melontarkannya ke udara. Meskipun agak lambat, namun kuda-kuda itu maju. Gupala
dan Gupita berada di sisi pasukan yang lewat itu sambil
membantu para pengawal menahan serangan yang datang
bertubtubi. Kadang-kadang ada di antara mereka yang
melontarkan tombak mereka. Tetapi setiap kali tombak-tombak
itu terpelanting oleh sentuhan cambuk.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun telah berhasil
melampaui penjagaan di ujung lorong menyusup masuk ke
dalam regol. Mereka kemudian tanpa menghiraukan para
penjaga itu lagi, memacu kuda-kuda mereka secepat-cepatnya.
"Jangan biarkan mereka lolos, jangan biarkan mereka lolos!"
teriak pemimpin pasukan di desa itu. Tetapi arus dari pasukan itu
sudah tidak tertahankan lagi. Mereka memang tidak bernafsu
untuk melayani dalam suatu lingkaran pertempuran. Karena
mereka hanya akan sekedar lewat.
"Tutup regol di ujung lain!" teriak pemimpin penjaga.
Tetapi tidak seorang pun yang sempat berlari mendahului
kuda itu. Setiap usaha dari para pengawal di desa itu untuk
menahan kuda-kuda itu, mereka terpaksa harus berloncatan
minggir. Para pengawal yang berlarlari keluar dari halaman,
tidak banyak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat
melontarkan senjata-senjata mereka, tetapi para pengawal
berkuda itu pun berusaha menangkisnya. Apalagi orang-orang
yang bersenjatakan cambuk.
Akhirnya, setelah mereka melampaui sedikit rintangan di
ujung lorong yang lain, mereka telah berhasil keluar dari desa
kecil itu, dengan meninggalkan kesan yang menggetarkan
jantung. Para penjaga di desa itu memang pernah mendengar,
bahwa kadang-kadang Argapati melepaskan sepasukan berkuda
dengan orang-orang bercambuk. Tetapi mereka tidak
menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah berhadapan
dengan pasukan itu. Mereka tidak menyangka, bahwa orangorang
yang bersenjatakan cambuk itu seakan-akan dapat
mempergunakan senjatanya dalam segala kemungkinan.
Membelit senjata lawan, memungutnya, dan melemparkan ke
udara. Kemudian menyentuh tubuh-tubuh lawan-lawan mereka
dengan meninggalkan bekas jalur-jalur merah yang pedih.
Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu mampu menyobek
tubuh-tubuh lawannya, dan mengucurkan darah.
"Bukan main," desis salah seorang yang tersobek pundaknya,
"aku tidak tahu, bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi. Aku
hanya mengejapkan mataku. Ternyata yang sekejap itu
berakibat begitu mengerikan. Aku tidak tahu, apakah akibatnya
apabila aku harus melayaninya bertempur seorang lawan
seorang. Mungkin tubuhku telah menjadi hancur tidak berbekas."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di bawah
lampu minyak ia menyaksikan luka di pundak kawannya itu.
Mereka itu tiba-tiba terkejut, ketika pemimpin mereka
berteriak, "Kirimkan tanda ke induk pasukan!"
"Apakah kuda-kuda itu akan pergi ke padukuhan induk?"
bertanya salah seorang. "Tentu, mereka menuju ke sana. Tidak ada jalan lain kecuali
sampai ke padukuhan induk itu."
"Mereka akan membunuh diri."
"Karena itu berikan tanda itu."
Beberapa orang kemudian segera memukul kentongan di
gardu, dan yang lain melemparkan panah berapi.
Sementara itu, pasukan berkuda itu pun berpacu semakin
mendekati padukuhan induk. Mereka semakin mempercepat
kuda-kuda mereka, agar mereka segera sampai sebelum orangorang
di padukuhan induk itu sempat mencernakan tanda-tanda
sandi yang telah dikirim oleh orang-orang di desa kecil yang baru
saja mereka tinggalkan. Namun sementara itu, sambil berpacu, pemimpin pasukan
berkuda itu sempat menghitung orang-orangnya yang ternyata
ada yang terluka. Tiga orang terluka agak parah, meskipun
mereka masih mampu berpegangan kendali kudanya, dan dua
orang yang lain tergores ujung-ujung pedang di kakinya.
"Pakailah obat ini," berkata gembala tua itu sambil
memperlambat derap kudanya. Diserahkannya beberapa butir
obat kepada pemimpin pasukan, "Remaslah butiran-butiran
reramuan itu, dan gosokkanlah pada luka-luka itu. Mudahmudahan
dapat menolong untuk sementara."
Sambil berpacu, pemimpin pasukan itu membagikan obatobat
itu, meskipun dengan demikian, iring-iringan itu menjadi
agak lambat. Mereka yang terluka itu pun segera mcncoba
menggosok luka-luka mereka dengan obat yang diberikan oleh
gembala tua itu. Ternyata obat itu dapat menolong untuk sementara. Darah
mereka tidak lagi terlampau banyak mengalir. Bahkan seakanakan
telah menjadi pepat. "Biarlah yang terluka mendapat perlindungan dari kawankawannya,"
berkata orang tua itu. Lalu, "Padukuhan induk telah
berada di depan kita. Kita akan menyusuri jalan di dalam
padukuhan itu. Cepat tanpa berhenti. Yang kita perlukan adalah
kesan, bahwa kita bukan pengecut yang hanya berani
mengeram di balik dinding-dinding ori itu."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemimpin pasukan itu menganggukkan kepalanya,
kepercayaannya kepada ketiga orang yang bersenjata cambuk
itu menjadi semakin tebal.
Ketika mereka telah mendekati mulut lorong, mereka pun
telah menyiapkan diri mereka. Meskipun lorong ini bukan lorong
yang membelah alun-alun kecil di depan rumah Kepala Tanah
Perdikan, namun lorong ini termasuk lorong yang penting.
Karena itu, maka di depan regol yang memasuki lorong itu pun
pasti dijaga cukup kuat. Dalam pada itu, tanda-tanda yang dikirim oleh orang-orang
yang bertugas di desa kecil yang telah dilewati oleh pasukan
berkuda itu pun menggema semakin keras. Suara kentongan,
dan panah-panah api yang melontar ke udara telah
menimbulkan berbagai pertanyaan di hati para penjaga. Namun
mereka menyadari, bahwa desa kecil itu sedang dilanda oleh
bahaya. "Kalian pun harus bersiap," perintah pemimpin peronda di
regol padukuhan. "He, pasukan berkuda," teriak yang lain.
Pemimpin pasukan peronda itu tidak menyahut. Ia berdiri
termangu-mangu. Betapa keheranan mencekam dadanya. Ia
tidak akan menyangka, bahwa orang-orang Argapati telah
menjadi gila, dan berani mendekati padukuhan induk.
Namun dengan demikian, ia menjadi ragu-ragu. Bahkan
terdengar ia berdesis, "Apakah mereka akan berpihak kepada
kita, dan mereka akan menyerahkan diri?"
Tetapi tiba-tiba disadarinya, bunyi kentongan dan panahpanah
api itu. "Gila," ia menggeram, "apakah yang dapat dilakukan oleh
pasukan itu?" Namun para peronda itu tidak mendapat terlampau banyak
kesempatan untuk menduga-duga. Pasukan berkuda itu tiba-tiba
saja telah berada beberapa langkah saja di hadapan mereka,
tanpa mengurangi kecepatan lajunya.
Tetapi pemimpin peronda itu sempat berteriak, "Hancurkan
mereka!" Maka terulanglah perkelahian seperti yang terjadi pada saat
mereka memasuki desa kecil di depan padukuhan induk ini.
Sekali lagi gembala tua itu menuntun seluruh pasukan untuk
maju terus, dan sekali lagi, Gupala dan Gupita berusaha
melindungi pasukan itu masing-masing di sebelah sisi, bersamasama
dengan setiap orang di dalam pasukan itu yang berusaha
melindungi diri mereka sendiri.
"Kita berjalan terus," teriak gembala tua yang berada di ujung
pasukan dengan cambuk di tangan.
Setiap kali ujung cambuknya berhasil melemparkan senjatasenjata
lawan, dan bahkan kadang-kadang ujung-ujung cambuk
itu telah melemparkan beberapa orang sekaligus. Sengatan
yang pedih membuat lawan-lawan mereka menjadi sangat
berhathati. Pertempuran itu pun tidak berlangsung lama. Kuda-kuda itu
kemudian berderap memasuki padukuhan induk. Berderap di
atas jalan berbatu-batu sambil melontarkan debu di belakang
kakkaki kuda itu. "Pada suatu ketika, padukuhan ini harus kita rebut kembali,"
desis gembala tua itu. Dan tanpa disangka-sangkanya,
pemimpin pasukan itu berteriak tanpa kendali, "Kita akan
merebut tanah ini." "Ya, kita akan segera kembali," sahut yang lain. Maka sejenak
kemudian pasukan berkuda yang berderap di lorong-lorong di
dalam padukuhan induk itu pun berteriak-teriak nyaring, "Kita
akan kembali. Kita akan kembali."
"Ya, Ki Argapati akan segera kembali. He, siapa yang
mendengar suaraku," teriak pemimpin pasukan, "Ki Argapati
akan segera kembali."
Suara teriakan-teriakan itu telah mengejutkan beberapa orang
yang masih tinggal di rumah masing-masing. Teriakan-teriakan
itu telah menggetarkan dada mereka. Apalagi mereka yang
merasa, bahwa selama ini berpihak kepada Sidanti dan
Argajaya. "Apakah pasukan Argapati telah memasuki padukuhan ini?"
pertanyaan itu melonjak di dalam dada mereka, "Mustahil,
mustahil." Dan suara teriakan-teriakan itu sudah menjauh.
Kehadiran pasukan berkuda di padukuhan induk itu benarbenar
telah menggemparkan. Semua orang terpukau untuk
sesaat mendengar suara tengara di gardu-gardu. Mereka tidak
percaya, bahwa padukuhan ini telah dilanda oleh bahaya. Tetapi
mereka harus melihat suatu kenyataan. Sepasukan pengawal
berkuda telah memasuki padukuhan induk, berpacu di loronglorongnya.
Setiap kali mereka bertemu dengan sepasukan
peronda, maka para peronda itu sama sekali tidak berdaya.
Tengara itu pun kemudian terdengar oleh para pemimpin
pasukan di pihak Sidanti. Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti,
Argajaya, dan yang lain, menjadi heran mendengar kentongan di
gardu-gardu. Sementara mereka menunggu laporan.
Akhirnya datanglah seorang peronda, menyampaikan apa
yang mereka lihat, dan apa yang mereka alami.
Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, Ki Muni, dan Ki
Peda Sura beserta beberapa orang yang lain mendengarkan
laporan itu dengan darah yang bergolak. Mereka seakan-akan
mendengarkan sebuah dongeng ngayawara yang tidak masuk di
akal. "Apakah semua penjaga tertidur?" bentak Sidanti yang tidak
dapat menahan hati. "Kami sudah berusaha untuk menahan mereka."
"Bohong! Kalian pasti sedang lengah. Kalau tidak, hanya
orang-orang gila sajalah yang percaya, bahwa sepasukan kecil
orang-orang berkuda itu mampu memasuki regol."
"Sebenarnyalah demikian. Beberapa kawan-kawan kami
terluka." "Bohong, bohong!" Sidanti berteriak. "Kalian pasti tertidur di
gardu-gardu, sehingga kalian terlambat memberikan isyarat.
Kalau kalian tidak terlambat, maka kalian pasti sempat
memanggil pasukan pengawal yang bertugas di sana."
"Kami sudah memanggil mereka. Mereka pun telah mencoba
mencegah pasukan berkuda itu. Tetapi mereka pun gagal pula."
"Gila, gila! Kau mau main gila ya?" kemarahan Sidanti sama
sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Hampir saja ia meloncat
menerkam peronda yang malang itu. Untunglah, bahwa Ki
Tambak Wedi sempat mencegahnya.
"Katakan sekali lagi, apakah yang sebenarnya terjadi."
Peronda itu menjadi gemetar. Kemudian diulanginya,
menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Di antara mereka terdapat beberapa orang bersenjata
cambuk," suara peronda itu pun menjadi terputus-putus.
"Sejak pasukan itu keluar untuk pertama kalinya, di dalamnya
sudah terdapat beberapa orang yang bersenjata cambuk. Tetapi
di tempat-tempat yang lain, tidak ada peronda sebodoh kalian.
Benar-benar tidak masuk akal, bahwa pasukan kecil itu dapat
memasuki padukuhan induk ini."
Peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya menjadi
semakin tunduk dalam-dalam.
"Guru," berkata Sidanti kemudian, "aku akan mencari
mereka." Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. "Tidak ada
gunanya. Mereka sudah menjadi semakin jauh. Kalau hal itu
benar-benar terjadi, maka mereka pasti hanya akan sekedar
lewat, membuat keributan dan mencoba membesarkan hati
mereka sendiri. Sesudah itu mereka akan segera keluar lagi dari
padukuhan induk." "Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka
hati?" "Tentu tidak. Tetapi mereka pun tidak akan sempat berbuat
sesuka hati. Mereka hanya sekedar memanfaatkan saat yang
sekejap, selagi para penjaga terkejut dan termangu-mangu."
"Hanya orang-orang gila saja yang berani berbuat demikian.
Bahayanya terlampau besar, dan hasilnya sama sekali tidak
banyak berarti." "Ternyata mereka adalah orang-orang gila itu."
Sidanti menggeram. Kemarahannya benar-benar telah
membakar ubun-ubunnya. Namun ia tidak sempat berbuat
sesuatu. Pasukan berkuda itu pasti sudah menjauh. Yang dapat
dilakukannya hanyalah menggeretakkan gigi sambil
menghentakkan tinjunya. Wajah yang lain pun menjadi tegang pula mendengar laporan
itu. Mereka tidak dapat membayangkan, keberanian dari
manakah yang telah mendorong mereka melakukan pekerjaan
yang terlampau berbahaya itu"
Namun ternyata, ada di antara mereka yang terpengaruh oleh
peristiwa yang terjadi itu. Seperti beberapa orang pengawal yang
melihat sendiri pasukan itu lewat, dan mendengar teriakanteriakan
mereka, maka beberapa orang pemimpin mulai
dipengaruhi oleh perasaan cemas. Dengan kehadiran pasukan
itu, maka ternyata bahwa kekuatan Argapati tidak menjadi
lumpuh sama sekali seperti yang mereka sangka. Pasukan
Argapati tidak menjadi berkecil hati, dan selalu saja berlindung di
belakang pagar pring ori. Namun ternyata mereka tetap memiliki
keberanian. Bahkan keberanian yang luar biasa.
Ki Wasi dan Ki Muni ternyata tidak dapat menghindari pula
sentuhan di dalam dada mereka. Seolah-olah mereka melihat
Argapati sendiri sedang nganglang mengitari tanah perdikannya
bersama sepasukan pengawal berkuda, seperti yang sering
dilakukannya sebelum tanah perdikan ini dibakar oleh api
ketamakan dan kedengkian.
Ki Tambak Wedi yang mempunyai penglihatan cukup tajam
itu segera menyadari, bahwa pengaruh kedatangan pasukan
berkuda itu amat dalam pada pasukannya dan bahkan beberapa
orang pemimpinnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak, "Siapkan seluruh
pasukan besok pagpagi. Kita mengadakan persiapan. Besok
sore kita hancurkan benteng pring ori itu, dan kita bakar seluruh
padukuhan itu. Sekarang, seluruh pasukan tidak boleh
kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Kita harus berbagi,
untuk mendatangi setiap pasukan, dan membesarkan hati
mereka. Kita harus memberitahukan kepada mereka, bahwa
pasukan berkuda itu hanya suatu perbuatan gila-gilaan yang
tidak akan mempunyai akibat apa pun juga."
Setiap orang di dalam pertemuan itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Namun ada juga di antara mereka yang menjadi
ragu-ragu di dalam hati, meskipun keragu-raguan itu sama sekali
tidak mereka ucapkan. Sejenak kemudian, maka pertemuan itu pun segera berakhir.
Mereka membagi diri dan menyebar ke segenap sudut, menemui
pasukan-pasukan mereka yang tersebar di berbagai tempat.
Meskipun para pemimpin itu mencoba untuk
mempertahankan gairah dan keberanian anak buahnya, namun
ketika sebagian dari mereka mendengar langsung dari
kelompok-kelompok pasukan yang mengalami sendiri, justru
merekalah yang menjadi ragu-ragu.
Tetapi betapa kebimbangan bergetar di dalam dada mereka,
namun mulut-mulut mereka pun berkata, "Jangan hiraukan apa
yang baru saja terjadi. Mereka sama sekali bukan pengawalpengawal
yang berani. Justru dengan demikian, kita dapat
menilai, betapa liciknya pasukan Argapati itu. Mereka sekedar
memanfaatkan saat-saat kita terkejut dan keheranan. Namun
apabila kita sudah menyadari keadaan, mereka pun segera lari."
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
di dalam hatinya mereka berceritera tentang apa yang telah
mereka lihat. Orang-orang yang bersenjata cambuk di dalam
pasukan berkuda itu, benar-benar orang-orang yang luar biasa.
Sementara itu, pasukan berkuda yang menjelajahi padukuhan
induk itu pun telah sampai ke ujung lorong yang akan membawa
mereka keluar. Pengalaman mereka kali ini benar-benar telah
menyalakan kembali tekad mereka yang selama ini telah
menjadi buram. Bahkan dada mereka serasa tidak lagi dapat
menampung kebanggaan mereka, bahwa mereka telah
melakukan sesuatu yang hampir-hampir tidak dapat dipercaya.
Dengan pasukan yang kecil, menyusup di tengah-tengah sarang
lawan yang telah bersiap untuk bertempur.
Bahkan ketika mereka telah hampir sampai ke regol yang
akan mereka lalui, salah seorang dari mereka berkata, "Kita
berbelok. Kita masih belum mengitari seluruh padukuhan induk."
Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Keinginan itu
sama seperti keinginan yang menyala di dalam hatinya. Tetapi ia
menyadari, bahwa mereka kini berada di sarang serigala yang
sedang tidur. Apabila serigala itu terbangun, maka keadaan
mereka akan sangat menjadi gawat. Bahkan tengara dan tandatanda
sandi telah bergema memenuhi seluruh padukuhan induk
itu. Para peronda di depan mereka itu pun telah bersiap pula
menyambut kedatangan mereka.
"Bagaimana, Kiai?" meskipun demikian ia masih juga
bertanya. "Jangan menuruti perasaan saja. Kita harus
memperhitungkan setiap kemungkinan. Kita sudah tidak
mendapat kesempatan lagi. Kini setiap kelompok pasukan pasti
sudah siap menunggu kita lewat di depan barak-barak mereka
masing-masing." "Ya," sahut pemimpin pasukan.
"Juga di gardu di depan kita."
Dan tiba-tiba Gupita yang berada di paling depan berdesis,
"Pintu regol telah ditutup."
"He," gurunya mengerutkan keningnya, "ya, pekerjaan kita
menjadi agak berat." Kemudian kepada pemimpin pasukan ia
berkata, "Lindungilah diri masing-masing dan kawan-kawan
kalian yang terluka. Mungkin kita akan berhenti sejenak di depan
regol itu. Biarlah anak-anakku yang membukanya, MudahTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
mudahan tidak ada pasukan yang lebih kuat yang menyusul di
belakang kita." Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka kini akan menghadapi pertempuran, karena itu mereka
harus berhenti sejenak, sementara Gupita dan Gupala harus
membuka pintu gerbang itu, menerobos para penjaganya.
Tetapi para pengawal berkuda dan gembala tua beserta
kedua anak-anaknya itu terkejut, ketika tiba-tiba mereka
mendengar kuda berderap di halaman sebelah, kemudian
menjauh menyusur halaman, menyusup dari regol yang satu ke
regol yang lain. "Apakah itu?" bertanya pemimpin pasukan.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang penghubung. Ia pasti akan memberikan laporan
bahwa kita berada di sini. Karena itu, cepat buka pintu itu," sahut
gembala tua. Gupita dan Gupala yang mengerti akan tugasnya, segera
meloncat turun dari kudanya, sementara yang lain pun segera
mendesak maju. Agaknya para peronda di gardu itu pun telah
siap menyambut kedatangan mereka.
"Tolong, pegang kendali kuda-kuda kami," desis Gupita
kepada salah seorang pengawal yang segera menangkap
kendali kuda Gupita, dan seorang yang lain memegangi kendali
kuda Gupala. "Hathatilah," pesan gembala tua itu, "aku akan melindungi
kalian." Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepada mereka.
Dan sejenak kemudian, dengan cambuk di tangan masingmasing,
mereka pun melangkah maju setapak demi setapak.
Sementara itu, para penjaga regol itu pun telah menebar dan
mengepung mereka. Ternyata yang telah siap menyambut
mereka bukan sekedar para peronda, tetapi sekelompok
pengawal yang memang ditempatkan dekat dengan gardugardu.
Sejenak kemudian, terdengar sebuah teriakan nyaring.
Agaknya pemimpin pasukan yang bertugas di gardu itu telah
meneriakkan aba-aba untuk segera menyerbu. Sejenak
kemudian, maka mereka pun segera mendesak maju. Tetapi
lawan mereka adalah pasukan pengawal yang terlatih baik.
Mereka telah mempelajari khusus cara-cara bertempur di atas
punggung kuda. Dengan demikian, maka mereka pun segera
menyambut lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun telah berderap hilir
mudik menyambar-nyambar di sepanjang jalan, sehingga para
penjaga menjadi agak kebingungan. Kuda-kuda itu seakan-akan
berubah menjadi semakin banyak berkeliaran tanpa putusputusnya,
sedang penunggang-penunggangnya memutar
pedang-pedang mereka tak henthentinya.
Sementara itu, Gupala dan Gupita melangkah maju
mendekati regol yang tertutup. Mereka tidak akan dapat dengan
mudahnya mendekati, karena beberapa orang sudah siap
menunggu kedatangannya. "Apakah kita tidak boleh melukai mereka?" desis Gupala.
Gupita tidak menyahut. Ia tahu benar arti pertanyaan Gupala.
Gupala sama sekali tidak ingin mendengar jawabannya. Tetapi
sebenarnya ia ingin mengatakan, "Aku terpaksa melakukannya."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan dapat
mencegah Gupala. Bahkan mungkin ia sendiri akan melakukan
hal yang serupa, apabila keadaan benar-benar memaksa. Dan
agaknya keadaan akan benar-benar memaksanya.
Sejenak kemudian, maka Gupita dan Gupala itu pun harus
mempersiapkan diri. Beberapa orang maju bersama-sama, dan
kemudian berpencaran. Sekali Gupita berpaling. Ia masih melihat gurunya bertempur
melindungi beberapa orang yang agak terdesak oleh lawan yang
lebih banyak. Tetapi agaknya Gupala sudah tidak sempat memperhatikan
apa pun lagi. Sudah terlampau lama ia menahan ketegangan
hati. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun segera meloncat
menyerang orang-orang yang bertebaran di sekitarnya.
Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kini ia harus
menyesuaikan diri, karena perkelahian sudah dimulai.
Mereka berdua pun kemudian segera menempatkan diri.
Mereka harus berkelahi sambil bergeser mendekati regol,
sehingga pada suatu ketika mereka harus membuka pintu regol
itu. Maka sesaat kemudian, kedua cambuk di tangan anak-anak
muda itu pun segera meledak-ledak. Mereka menyadari, bahwa
mereka harus melakukannya secepat-cepatnya, sebelum
penghubung yang pergi berkuda itu kembali dengan pasukan
yang lebih besar. Apalagi apabila bersama-sama pasukan itu akan datang juga
para pemimpin pasukan itu, termasuk Ki Tambak Wedi sendiri,
Sidanti, Argajaya, dan siapa lagi.
Dengan demikian, kedua anak-anak muda itu terpaksa
berkelahi bersungguh-sungguh. Apalagi Gupala. Setiap ledakan
cambuknya selalu menumbuhkan desah dan keluhan pada salah
seorang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka para
pengawal regol itu menjadi semakin hathati. Mereka pun
kemudian bersama-sama menyerang dengan senjata masingmasing,
dan bahkan ada di antara mereka yang melontarkan
tombak-tombak mereka. Namun ternyata anak-anak muda yang
memegang cambuk itu terlampau tangkas.
Apalagi sesaat kemudian, seekor kuda datang menyambarnyambar
seperti seekor burung elang. Penunggangnya pun
membawa cambuk seperti kedua anak-anak muda itu. Dan
cambuk itu pun setiap kali melecut-lecut menyambar-nyambar.
Bagaimanapun juga para pengawal itu bertempur matimatian,
namun mereka tidak dapat menahan kedua anak muda
itu yang semakin lama semakin maju mendekati regol yang
tertutup itu. "Jangan biarkan mereka membuka regol itu," teriak pemimpin
peronda. Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka tetap
terdesak oleh ledakan cambuk-cambuk yang ujungnya seolaholah
bermata itu. Meskipun hanya ada tiga buah cambuk di
dalam perkelahian itu, namun rasa-rasanya cambuk itu telah
menyentuh setiap orang yang mencoba menahan kedua anakanak
muda itu. Ujung-ujung cambuk itu seakan-akan telah
berubah menjadi segumpal kumpulan lebah yang terbang
mengitari para pengawal regol itu, dan menyengat mereka di
segala tempat. Punggung, leher, bahkan kening. Apalagi setiap
sengatan pasti meninggalkan bekas yang pedih. Jalur-jalur
merah, atau luka-luka yang menitikkan darah.
Terlebih-lebih lagi adalah ujung cambuk Gupala. Kadangkadang
ia menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya.
Apabila ujung cambuk itu menyentuh tubuh lawamnya, maka
kepingan-kepingan baja yang melingkar pada juntai cambuk itu
seakan-akan telah menyobek kulit.
Dengan demikian, meskipun hanya setapak demi setapak
Gupala dan Gupita berhasil maju menyibak lawan-lawannya.
Dengan sekuat tenaga mereka berusaha secepat-cepatnya
mencapai regol itu. Namun dengan demikian, mereka terlampau
sulit untuk mengendalikan diri. Tetapi apa boleh buat. Dan
Gupala pun selalu bergumam, "Apa boleh buat. Apa boleh buat."
Pertempuran di sudut jalan yang lain pun menjadi semakin
ribut. Para pengawal berkuda agaknya berhasil mendesak
lawan-lawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka
terpaksa berloncatan ke atas dinding halaman. Dan apabila
kuda-kuda itu masih juga menyambar mereka, maka mereka
terpaksa pula meloncat masuk ke dalam halaman.
Namun sementara, itu penghubung berkuda yang
meninggalkan regol jalan menuju ke induk pasukannya, telah
memasuki regol halaman. Dengan nafas terengah-engah ia
segera meloncat turun ketika ia melihat pemimpin pasukan
induknya berdiri di halaman.
Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Ia telah
mendengar tanda-tanda yang bergema di seluruh padukuhan
induk. Karena itu, maka kedatangan penghubung itu telah
membuat hatinya berdebar-debar.
"Apa yang telah terjadi di tempat tugasmu?" bertanya
pemimpin pasukan itu. "Sepasukan berkuda," jawab penghubung itu.
"Kenapa dengan pasukan berkuda itu?"
"Mereka akan keluar lewat regol tempat kami bertugas. Tetapi
kami telah berhasil menutup regol itu, sehingga mereka terpaksa
berhenti. Kini telah terjadi pertempuran di antara kami dan
mereka." "Bagus. Kami sudah siap."
"Kami memerlukan bantuan, supaya mereka tidak dapat
lolos." "Kami akan mengirimkan sekelompok dari pasukan kami."
Pemimpin pengawal di induk pasukan itu pun segera
mempersiapkan sekelompok pengawal untuk segera pergi ke
tempat pertempuran. Sedang seorang penghubung yang lain
telah di perintahkannya menyampaikan laporan itu ke rumah
Kepala Tanah Perdikan. Ke tempat Ki Tambak Wedi dan para
pemimpin yang lain sedang berbincang.
Kedatangan penghubung itu ternyata telah membuat darah
Sidanti semakin bergolak. Dengan lantang ia berkata, "Nah, apa
kataku. Kalau sejak tadi aku diijinkan untuk mencari mereka,
maka keadaan pasti tidak akan berlarut-larut."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Katanya, "Aneh,
bahwa mereka masih ada di padukuhan induk ini."
"Mereka sebenarnya sudah akan meninggalkan padukuhan
ini, Kiai," jawab penghubung itu. "Tetapi seluruh pintu regol telah
tertutup, sehingga mereka telah tertahan."
"Bagus," sahut Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sidanti ia
berkata, "Pergilah. Lihatlah, siapa yang ada di antara mereka.
Kalau mungkin tangkaplah pemimpinnya dan orang-orang yang
dikabarkan bercambuk itu hidup-hidup."
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia berlari
keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya yang selalu siap
di halaman. "He. Apakah kau akan pergi seorang diri?" bertanya Argajaya.
"Sepasukan pengawal telah dikirim lebih dahulu," jawab
Sidanti sambil melarikan kudanya.
Argajaya yang masih berdiri di tangga pendapa menjadi
berdebar-debar. Ia tidak sampai hati melepaskan Sidanti sendiri.
Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke punggung kudanya
pula, dan lari menyusul anak muda itu.
Sementara itu, perkelahian di mulut jalan itu pun menjadi
semakin seru. Gupala dan Gupita semakin mendesak maju
mendekati pintu regol. Beberapa langkah lagi ia akan mencapai
selarak daun pintu yang melintang. Betapa pun juga, para
penjaga itu mencoba mencegahnya, namun mereka sama sekali
tidak berhasil. Mereka selalu harus menyibak, apabila serangan
kedua anak-anak muda itu menjadi semakin cepat dan garang.
Akhirnya Gupala menghentakkan cambuknya sekuat-kuat
tenaganya. Beberapa orang yang tersentuh ujung cambuk itu
terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kini terbuka
kesempatan untuk meloncat mencapai pintu regol itu.
Pemimpin penjaga yang melihat hal itu menjadi sangat
marah. Dilepaskannya lawannya, seorang pengawal berkuda,
dan dengan serta-merta ia meloncat untuk mencegah pintu itu
dibuka. Demikian Gupala mencapai selarak pintu itu, maka ujung
pedang pemimpin penjaga itu meluncur ke punggungnya.
Tetapi ujung pedang itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh
Gupala. Gupita yang terperanjat melihat serangan yang tiba-tiba
itu, hampir di luar sadarnya, dengan gerak naluriah, telah
melecutkan cambuknya. Ketika ujung cambuk itu melilit leher
pemimpin penjaga itu, Gupita menghentakkannya kuat-kuat,
sehingga tubuh itu terputar seperti gasing. Kemudian pemimpin
penjaga itu terpelanting jatuh di tanah.
Yang terdengar kemudian adalah erang kesakitan.
Sementara Gupala telah berhasil membuka selarak pintu. Gupita
yang kemudian berdiri di belakangnya, melindunginya dari setiap
serangan yang mencoba menggagalkan usaha itu.
Namun sejenak kemudian dari kejauhan terdengar teriakanteriakan
lantang. Sekelompok pengawal berlarlari mendekati
regol yang kini telah terbuka itu.
"Jangan lepaskan, jangan lepaskan!" teriak mereka.
Gupala dan Gupita menjadi berdebar-debar. Sementara itu
gembala tua itu pun mengerutkan keningnya. Ternyata
sekelompok pengawal dari pasukan induk itu telah datang.
"Cepat. Semua keluar regol," desis gembala tua itu. "Kalau
kita terlambat, kita akan menemui kesulitan."
Maka pemimpin pengawal berkuda itu pun segera
memerintahkan para pengawal untuk segera keluar regol.
Betapa para penjaga menghalangi namun kuda-kuda itu pun
berhasil mendesak mereka menyibak. Sebab di punggung kuda
itu terayun-ayun senjata-senjata para pengawal, apalagi lecutanlecutan
cambuk yang memekakkan telinga.
"Bawa kuda kami keluar!" teriak Gupala yang masih berdiri di
pintu regol sambil mencegah para penjaga yang ingin
menghalangi pasukan berkuda itu keluar.
Satu-satu kuda-kuda itu pun kemudian menyusup keluar
regol. Beberapa orang pengawal yang lain telah dengan sengaja
menyimpan pedang mereka, dan mempergunakan cambukcambuk
mereka menirukan gembala tua itu beserta kedua anakanaknya.
Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah di dalam
pasukan pengawal berkuda itu terdapat beberapa orang yang
bersenjatakan cambuk. Dalam perkelahian yang ribut, para
penjaga sulit untuk menemukan perbedaan kemampuan mereka
mempergunakan senjata-senjata itu.
Sementara itu sekelompok pengawal dari pasukan induk
berlarlari semakin kencang. Di antara mereka masih saja
berteriak, "Tahankan sebentar! Jangan biarkan mereka lepas!"
Tetapi kuda-kuda itu sudah semakin banyak berada di luar
regol. Meskipun demikian, pasukan itu datang sebelum ekor dari
pasukan berkuda itu berhasil keluar dari regol.
Beberapa orang yang berada di paling belakang, terpaksa
memutar kuda-kuda mereka menghadapi sekelompok pasukan
itu. Ternyata pengawal yang baru datang itu cukup banyak,
sehingga penunggang-penunggang kuda itu agak mengalami
kesulitan. Apalagi sebagian besar dari kawan-kawan mereka
telah berada di luar regol.
Tetapi dalam keadaan yang demikian, maka seekor kuda
telah menyusup di dalam perkelahian itu dengan membawa
gembala tua itu di punggungnya. Sambil memutar cambuknya ia
berkata, "Keluarlah. Kita harus segera keluar."
Beberapa orang penunggang kuda itu menjadi ragu-ragu.
Namun sekali lagi orang itu berkata, "Cepat. Keluarlah."
Kuda-kuda itu pun menjadi semakin surut. Sedang di sisi
pintu, Gupala dan Gupita masih juga berkelahi untuk menahan
para penjaga yang ingin menutup pintu itu kembali.
Sejenak kemudian, maka kuda yang terakhir selain gembala
tua itu, telah keluar dari regol. Sementara itu, Gupala dan Gupita
pun telah meloncat keluar pula, sementara kuda gembala itu
mundur perlahan-lahan. Namun akhirnya kuda itu pun berhasil
keluar dari pintu. Beberapa orang yang akan mengejarnya,
terpaksa terhenti di depan pintu, karena selangkah di luar mulut
regol itu, sepasang cambuk meledak-ledak tidak henthentinya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cepat. Ambil kuda kalian," desis gembala tua itu, "seorang
demi seorang. Yang seorang lagi membantu aku menutup regol
itu, supaya mereka tidak dapat keluar."
"Cepatlah, Gupala," berkata Gupita, "kemudian kau
membantu guru, sementara aku mengambil kudaku."
Gupala pun kemudian segera meloncat berlari. Pengawal
yang memegang kudanya masih menunggunya. Dengan sertamerta
ia pun segera meloncat ke punggung kuda itu, dan
membawa kudanya kembali ke mulut regol untuk melindungi
Gupita yang masih akan mengambil kudanya.
Begitu Gupita meloncat ke punggung kudanya, maka ternyata
mereka sudah tidak dapat membendung arus pengawal yang
berdesakan di muka pintu itu. Bahkan ada di antara mereka
yang memanjat dinding-dinding batu sebelah-menyebelah regol
dan berloncatan keluar. Dengan senjata teracu-acu mereka pun
segera menyerang para pengawal berkuda yang masih
berkumpul di depan regol.
"Tinggalkan tempat ini," gumam gembala tua itu, sementara
pemimpin pasukan segera meneriakkan aba-aba.
Kuda-kuda itu berderap tepat pada saat pasukan pengawal
itu menyerang mereka. Namun yang tertinggal hanya sekedar
debu yang menghambur dari kakkaki kuda itu.
Tetapi tepat pada saat itu, seekor kuda berlari seperti angin.
Dengan lantangnya Sidanti, penunggang kuda itu, berteriak,
"Minggir, aku akan mengejar mereka."
*** Beberapa orang berloncatan menepi. Ketika kuda itu lewat,
setiap orang hanya dapat mengangakan mulut-mulut mereka
tanpa dapat berbuat sesuatu.
Belum lagi mereka sempat menarik nafas, sekali lagi seekor
kuda yang membawa Argajaya menyusulnya.
Tetapi sementara itu, pasukan berkuda itu sudah menjadi
semakin jauh. Sidanti sudah tidak dapat melihat orang yang
terakhir dari pasukan berkuda itu dengan jelas. Bahkan semakin
lama menjadi semakin kabur oleh debu yang terhambur.
Tetapi Sidanti tidak menghentikan kudanya. Ia berpacu terus
mengikuti pasukan pengawal berkuda itu. Sementara Argajaya
dengan cemas mencoba mengejarnya. Bagaimana pun juga
kelebihan yang ada pada anak muda itu, namun akan sangat
berbahaya sekali apabila ia harus bertempur melawan sekian
banyak orang di dalam pasukan yang sedang di kejarnya.
Karena Argajaya tidak segera dapat mencapai Sidanti, karena
kuda-kuda mereka berpacu hampir sama kencangnya, maka
terpaksa Argajaya itu pun berteriak memanggil.
"Sidanti. Sidanti."
Tetapi Sidanti sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih
saja berpacu dengan kencangnya.
"Sidanti!" teriak Argajaya kemudian, "Aku membawa pesan."
Sidanti mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan
ketika sekali lagi ia mendengar Argajaya berteriak, ia
mengurangi kecepatan kudanya sedikit.
Dengan demikian, maka jarak mereka menjadi semakin
pendek. Dan sejenak kemudian Argajaya telah berpacu di
samping kuda Sidanti. "Pesan dari siapa, Paman?"
"Aku hanya ingin memperingatkan kau Sidanti. Apakah kau
akan mengejar pasukan itu" Kau seorang diri, bagaimanapun
juga kau akan mengalami kesulitan, meskipun berdua dengan
aku pun. Kita belum tahu, siapakah yeng ada di dalam pasukan
itu. Bagaimana kalau justru Kakang Argapati sendiri, meskipun ia
belum sembuh benar" Bukankah ia sudah nampak cukup kuat
untuk berpacu di atas punggung kuda, karena ia kemarin telah
turun pula ke medan?"
"Jadi apakah Paman menyangka aku gila?"
"Kenapa?" "Bagaimana pun juga aku mempunyai perhitungan, Paman,"
desis Sidanti. "Sudah tentu aku tidak akan bertempur seorang
diri melawan mereka. Aku akan mengikuti mereka sampai
padesan di depan kita. Mereka pasti akan tertahan oleh para
pengawal di desa kecil itu. Nah, baru aku akan ikut serta."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata anak
muda itu benar-benar cerdik. Karena itu maka katanya, "Kalau
begitu, aku ikut bersamamu." Argajaya berhenti sejenak, lalu
tiba-tiba ia bertanya, "Tetapi bagaimana kalau ia tidak mengikuti
jalan ini?" "Hanya ada satu sidatan. Itu pun jalan kecil di tengah sawah.
Aku kira mereka memilih jalan besar ini. Jalan yang cukup baik
bagi kuda-kuda mereka."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba
Sidanti mengumpat habis-habisan. Ternyata pasukan berkuda
yang dikejarnya itu, tidak memilih jalur jalan yang lapang ini.
Ternyata mereka berbelok di jalan sidatan, meskipun jalan itu
jauh lebih kecil dari jalan yang sedang dilaluinya.
"Kenapa kita mengambil jalan ini, Kiai?" bertanya pemimpin
pasukan pengawal berkuda itu kepada gembala tua itu, yang
menasehatkan kepadanya untuk mengambil jalan ini.
"Tanda-tanda bahaya itu pasti sudah di dengar oleh pengawal
di desa di depan kita itu. Mereka pasti sudah bersiap. Dan kita
pasti akan mengalami hambatan seperti pada saat kita melalui
desa kecil di sebelah lain pada saat kita memasuki padukuhan
induk ini. Kalau kita terpaksa berkelahi dan tertahan, maka kita
tidak dapat membayangkan kemungkinan yang bakal terjadi atas
pasukan ini. Beberapa orang kita telah terluka, bahkan ada yang
agak parah. Dan kita tidak tahu pasti, siapakah yang berkuda
mengejar kita itu. Kalau mereka berdua itu Ki Tambak Wedi dan
Sidanti, maka pekerjaan kita akan menjadi terlampau berat."
Pemimpin pasukan pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan ketika mereka berdua berpaling, orang tua itu
berkata, "Nah, agaknya kedua orang yang mengejar kita itu
sudah berhenti di tikungan."
Sebenarnya bahwa Sidanti dan Argajaya itu pun berhenti di
jalan sidatan. Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya,
Sidanti menghentak-hentakkan tangannya di pahanya.
"Kalau guru tidak melarang, aku pasti dapat menangkap
mereka, meskipun hanya satu dua orang. Kita akan mendapat
keterangan lebih banyak tentang pasukan yang bersembunyi di
balik benteng pring ori itu."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
berkata, "Pasukan itu benar-benar luar biasa. Keberaniannya
hampir tidak masuk akal. Kita memang tidak akan menyangka,
bahwa mereka akan langsung masuk ke padukuhan induk.
Sehingga menurut dugaanku, pasukan itu dipimpin oleh Kakang
Argapati sendiri. Bukan sekedar anak-anak ingusan seperti yang
biasa mereka lakukan. Menakut-nakuti para peronda di gardugardu
dengan cambuk-cambuk kuda yang sama sekali tidak
berarti." Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
berkata, "Marilah kita lihat di bekas-bekas pertempuran itu,
Paman." Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka
berdua pun kemudian berpacu kembali ke padukuhan induk.
Mereka berdua berhenti ketika mereka memasuki regol.
Sidanti dan Argajaya pun segera turun dari kuda mereka dan
menemui pemimpin penjaga regol itu. Namun ternyata pemimpin
penjaga itu terluka parah di lehernya.
"Kenapa?" bertanya Sidanti.
"Cambuk," jawabnya terengah-engah, "cambuk itu melilit
leherku." Sidanti membelalakkan matanya. Luka itu bukan sekedar
selingkar jalur merah. Tetapi leher itu seakan-akan tersobek.
"Panggil Ki Wasi atau Ki Muni. Tugasnya cukup banyak di
sini," perintah Sidanti.
Ketika seorang penghubung pergi memanggil dukun itu, maka
Sidanti dan Argajaya dengan hati yang bertanya-tanya
menyaksikan bekas pertempuran yang agaknya cukup seru.
Beberapa orang telah terluka, dan bahkan ada yang cukup
parah. Hampir tidak masuk akal, bahwa sepasukan kecil orang-orang
berkuda itu mampu membuat keributan sedemikian dahsyatnya
di gardu-gardu dan di regol-regol di ujung jalan.
Ketika Sidanti melihat pemimpin kelompok yang baru datang
untuk memberikan bantuan ia bertanya, "Apakah kalian selama
ini tidur saja dan membiarkan orang-orang berkuda itu
membantai kalian?" "Mereka tidak terlampau dahsyat seperti yang kita duga,"
berkata pemimpin pengawal. "Benar juga, bahwa mereka hanya
sekedar mempergunakan kesempatan selagi kita terkejut dan
terheran-heran. Dan itulah kesalahan kita yang terbesar, yaitu
menjadi heran dan ternganga-ganga melihat kegilaan orangorang
berkuda itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami dari
pasukan induk sama sekali belum mendapat kesempatan untuk
bertempur. Kami belum tahu, apakah mereka benar-benar orang
yang dapat dibanggakan di medan-medan peperangan yang
sebenarnya." "Jadi kalian datang terlambat?" bertanya Argajaya.
"Ya. Agak terlambat."
"Apakah kalian belum siap waktu penghubung dari regol
penjagaan ini memberitahukan kedatangan orang-rang berkuda
itu. Bukankah sebelumnya tanda-tanda dan tengara sudah
bergema di seluruh padukuhan induk ini?"
"Kami sudah siap. Demikian kami mendengar berita
kedatangan pasukan berkuda itu, kami segera berangkat."
"Menurut laporan yang kami dengar, pintu regol ini telah
berhasil di tutup." "Ya, mereka berhasil membuka pintu."
Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Pasukan kecil ini
ternyata adalah pasukan yang kuat dan terpercaya. Dalam waktu
yang singkat, mereka berhasil menguasai selarak pintu dan
membukakannya. Pada saat datang bantuan dari pasukan induk,
mereka segera berhasil melarikan diri.
Dan tiba-tiba saja Sidanti dan Argajaya menjadi curiga. Di
dalam pasukan yang kecil itu pasti ada kekuatan-kekuatan yang
luar biasa, yang membuat pasukan kecil itu seakan-akan
menjadi terlampau kuat. Tanpa sesadarnya, maka tiba-tiba Sidanti bertanya, "Apakah
benar-benar ada orang-orang bercambuk di antara mereka?"
"Sebagian terbesar yang menumbuhkan luka-luka pada kami
adalah ujung-ujung cambuk itu," jawab pemimpin penjaga yang
masih terengah-engah. "Ada berapa orang bercambuk di antara mereka?"
"Lima atau enam orang."
Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba
Sidanti mengumpat, "Persetan! Benar juga kata guru. Mereka
adalah orang-orang licik yang ingin mempergunakan cara-cara
yang kasar untuk mempengaruhi keberanian kita. Mereka
sengaja agar kita menyangka, bahwa orang-orang bercambuk itu
berada di antara mereka. Tetapi yang paling mungkin, di antara
mereka itu terdapat Argapati sendiri. Sehingga pasukan yang
kecil itu dapat menimbulkan kesan yang mengerikan." Sidanti
barhenti sejenak. Lalu, "Tetapi kita di sini bukan anak-anak yang
dapat dikelabuhinya. Kita dapat membuat perhitunganperhitungan.
Sehingga kita tidak dapat diperbodohnya seperti
kerbau yang paling dungu."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat
dengan Sidanti. Karena itu maka katanya kemudian, "Tidak ada
alasan untuk berkecil hati. Kita sampaikan semuanya ini kepada
Ki Tambak Wedi, apakah Ki Tambak Wedi itu sependapat
dengan kita." Sidanti pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
"Baiklah," katanya.
Mereka berdua pun segera meninggalkan tempat itu, kembali
menemui Ki Tambak Wedi untuk melaporkan apa yang telah
mereka saksikan. Dan ternyata Ki Tambak Wedi pun sependapat
pula dengan mereka. "Kita memang tidak boleh menunda terlampau lama. Kita
harus segera menghancurkan mereka. Meskipun Ki Argapati
telah kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, namun ia pasti
masih belum akan mampu bertempur terlampau lama. Aku akan
mencoba memancingnya dalam perkelahian yang lama,
sehingga lukanya itu terasa mengganggunya," berkata Ki
Tambak Wedi. "Karena itu semua persiapan harus segera
diselesaikan. Kita harus siap melawan lontaran-lontaran lembing
dan anak panah. Karena itu, kita harus menyiapkan perisaiperisai
itu sebaik-baiknya. Setiap kelengahan akan sangat
merugikan kita. Kalau kita benar-benar menyiapkan diri, maka
kita akan dapat memastikan, benteng pring ori itu akan menjadi
karang abang. Kita akan memasukinya dan kita akan
menghancurkan semuanya. Kita jangan memberi kesempatan
mereka mundur dan menemukan tempat-tempat baru untuk
bertahan." Para pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian
mereka telah menyebar lagi ke pasukan masing-masing.
"Beristirahatlah, Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi, "tugasmu
masih banyak." Lalu kepada Argajaya, "Dan apakah kau akan
tinggal di sini atau kembali ke pasukan yang berada di rumahmu
itu?" "Ya aku akan kembali. Pasukan itu diperlukan besok, karena
itu aku akan membawa pasukan yang ada di padukuhan itu
kemari." "Bagus," sahut Ki Tambak Wedi, "aku pun akan minta
demikian. Kita dapat memanggil beberapa perjagaan di daerahdaerah
yang tersebar. Supaya kita mempunyai kekuatan yang
cukup untuk menghancurkan pertahanan Argapati itu."
"Aku akan meninggalkan beberapa orang secukupnya saja di
padukuhan itu. Kalau kita besok menyerang, maka Argapati pun
pasti akan memusatkan segenap kekuatannya. Pasukannya
pasti tidak akan ada yang berkeliaran keluar."
"Baiklah. Ambillah pasukan yang ada di padukuhanmu.
Pasukan di padukuhan-padukuhan kecil yang lain pun harus
ditarik besok siang. Kita himpun semua kekuatan yang ada,
supaya kita tidak perlu mengulangi serangan itu. Kita harus
menyelesaikan persoalan kita sendiri di atas Tanah ini lebih
dahulu, sebelum pada suatu saat Pajang mendengarnya dan ikut
mencampuri persoalan di dalam lingkungan kita ini."
"Nah, aku minta diri," berkata Argajaya, "aku harus
menyiapkan segala sesuatunya."
Argajaya pun kemudian meninggalkan padukuhan induk itu
bersama sepuluh orang pengawalnya, kembali ke
padukuhannya. Besok ia harus membawa seluruh pasukan yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada di padukuhan itu, untuk bersama-sama dengan seluruh
kekuatan yang ada berusaha menghancurkan pertahanan Ki
Argapati. Dalam pada itu pasukan berkuda yang baru saja memasuki
padukuhan induk itu semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika
mereka yakin bahwa tidak ada lagi seorang pun, apalagi
sepasukan lawan yang mengejar, maka mereka pun mulai
memperlambat kuda-kuda mereka. Pemimpin pasukan itu mulai
memperhatikan setiap orang yang terluka di dalam pasukannya,
dan bagi mereka yang memerlukan, gembala tua itu memberikan
obat yang dapat menolong untuk sementara.
"Tiga orang yang terluka parah, Kiai," berkata pemimpin
pasukan, "sehingga mereka tidak lagi dapat berkuda sendiri.
Meskipun ada juga yang lain yang cukup parah, namun mereka
masih sanggup untuk bertahan. Apalagi yang hanya sekedar
luka-luka karena goresan senjata di bagian anggota badan."
"Lalu bagaimana yang tiga orang itu?"
"Aku sudah memerintahkan orang lain untuk melayaninya."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Desisnya, "Nanti aku akan mencoba mengobatinya. Mudahmudahan
mereka masih dapat bertahan sampai di padukuhan
kita," "Mudah-mudahan."
Maka mereka pun kemudian berusaha mempercepat kudakuda
mereka. Kini bukan karena mereka harus menghindari
lawan yang jauh lebih kuat, tetapi mereka ingin segera sampai
ke pusat pertahanan mereka, agar yang terluka dapat segera
diobati. Namun ketika mereka sampai di sebuah bulak yang panjang,
tiba-tiba gembala tua itu berkata kepada pemimpin pasukan,
"Dahululah bersama seluruh pasukan. Aku dan kedua anakanakku
akan singgah sebentar ke rumah untuk mengambil
sesuatu." Pemimpin pasukan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun
gembala tua itu tersenyum sambil berkata, "Jangan cemas.
Jalan di depan kita cukup rata. Dan aku pun akan segera
menyusul." Pemimpin pasukan itu menganggukkan kepalanya, "Tetapi
jangan terlampau lama, Kiai. Bukan karena kami ketakutan
apabila kami bertemu dengan lawan, tetapi kawan-kawan kami
yang luka itu segera memerlukan pengobatan."
"Ya. Aku akan segera menyusul."
Gembala tua itu pun kemudian membawa kedua anaknya
berbelok di satu tikungan. Mereka ingin kembali sebentar
menjenguk rumah mereka. "Apa yang akan kita ambil?" bertanya Gupala.
"Aku ingin bertemu dengan Angger Sutawijaya," desis orang
tua itu. "Aku mendapat suatu pikiran baru. Aku mengharap,
menurut perhitunganku, Argapati akan tetap memegang
pimpinan atas tanah perdikan ini. Karena itu, sebaiknya Angger
Sutawijaya sejak sekarang telah menunjukkan atau memberikan
jasanya, sehingga dengan demikian maka Argapati akan merasa
dirinya lebih dekat dengan Angger Sutawijaya daripada dengan
Sultan Pajang." Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Gupita
bertanya, "Tetapi apakah mungkin akan ada pertentangan antara
Pajang dengan Raden Ngabehi Loring Pasar itu?"
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan
kepalanya di geleng-gelengkannya. Namun agaknya ia tidak
yakin atas apa yang akan terjadi. "Banyak sekali kemungkinankemungkinan
itu," desisnya. "Mudah-mudahan tidak terjadi
benturan-benturan lahir yang hanya akan menambah korban."
Gupala dan Gupita kemudian tidak bertanya-tanya lagi.
Mereka berpacu ke gubug mereka untuk menemui Sutawijaya
dengan kedua pengiringnya.
Sutawijaya yang sedang berbaring di dalam gubug gembala
tua itu terkejut ketika didengarnya derap kuda mendekat. Segera
ia meloncat bangkit sambil menyambar tombak yang
disandarkannya pada dinding. Ketika ia berdiri di depan pintu,
dilihatnya kedua pembantunya pun telah bersiap pula menunggu
perkembangan keadaan. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika ternyata
derap kakkaki kuda itu menjadi semakin dekat. Namun mereka
kemudian menjadi tenang ketika mereka mendengar ledakan
cambuk yang memecah sepinya malam.
Sejenak kemudian, maka gembala tua beserta kedua anakanaknya
itu pun telah turun dari kuda-kuda mereka. Sambil
mengikatkan kuda-kuda itu pada sebatang pepohonan, gembala
itu berkata, "Aku sengaja memberikan tanda, agar Angger tidak
terkejut atas kedatangan kami, karena kami kali ini berkuda."
"Dada kami telah menjadi berdebar-debar," berkata
Sutawijaya. "Aku sangka Ki Tambak Wedi telah mencium jejak
kami dan bersama-sama dengan Argajaya dan Sidanti berusaha
menangkap kami." Orang tua itu tersenyum. "Ternyata dugaan itu meleset."
Katanya, "Tetapi, apabila Angger tidak berkeberatan, aku ingin
menyampaikan suatu pendapat yang barangkali baik bagi
Angger." Sutawijaya mengerutkan keningnya.
"Aku hanya sebentar, Ngger. Mungkin Angger dapat segera
memutuskan persoalan ini."
Sorot mata Sutawijaya memancarkan berbagai macam
pertanyaan. Maka dengan singkat disampaikannya maksud gembala tua
itu. Diberikannya beberapa macam pertimbangan yang cukup
meyakinkan, setidak-tidaknya agar Argapati kelak tidak
merintangi perkembangan Alas Mentaok.
Sutawijaya mendengarkannya dengan penuh minat. Namun
tampaklah bahwa ia masih saja dicengkam oleh ke ragu-raguan.
"Argapati adalah seorang yang keras hati menurut
pendengaranku, Kiai," berkata Sutawijaya.
"Ya, ia memang keras hati. Tetapi bukan berarti bahwa ia
tidak berjantung. Kalau ia merasa, bahwa Angger telah ikut
menolongnya, maka ia pasti mempunyai pertimbanganpertimbangan
lain." "Apakah Argapati dapat diharapkan menjual kesetiaannya
dengan cara itu?" Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya,
"Memang mungkin Argapati berpendirian demikian, Ngger.
Tetapi apakah sampai saat ini kita mengetahui sikap dan
tanggapan Kepala Tanah Perdikan yang besar itu terhadap
Sultan Pajang" Memang, ia tidak mau menentang Pajang dan
melindungi anak serta adiknya, karena tingkah laku keduanya.
Argapati pasti mempertimbangkan juga, peranan Ki Tambak
Wedi yang lebih banyak dikuasai oleh nafsu daripada cita-cita."
Sutawijaya tidak segera menyahut. Tampaklah kepalanya
terangguk-angguk kecil. Meskipun demikian ia masih merenungi
kata-kata gembala tua itu.
"Angger Sutawijaya," berkata orang tua itu seterusnya,
"pertimbangan selanjutnya terserah kepada Angger. Tetapi
menurut pertimbanganku, apakah salahnya Angger
memperkenalkan diri kepada Ki Argapati?"
Sutawijaya masih belum menjawab. Meskipun tidak
terucapkan ia mempunyai pertimbangan tersendiri. Apabila kini
ia bersusah payah menyerahkan tenaganya, membantu dengan
harapan agar Argapati kelak tidak mengganggu pertumbuhan
Mentaok untuk menjadi sebuah kota, tetapi ternyata harapannya
itu meleset, maka ia akan merasa tersinggung sekali.
Tetapi untuk sama sekali tidak berbuat sesuatu dalam
keadaan serupa itu, akan dapat menimbulkan jarak pula antara
dirinya dengan Ki Argapati meskipun mereka belum saling
bertemu. Kalau Ki Argapati kelak mengetahui, bahwa pada saat
tanahnya sedang kemelut dibakar oleh api perpecahan, dan ia
pada saat itu berada di Menoreh dan sama sekali tidak berbuat
apa-apa, maka Argapati pun pasti akan mengambil sikap pula.
"Apakah Ayahanda Sultan Pajang akan berbuat sesuatu
apabila Ayahanda mengetahui bahwa di atas tanah ini terjadi
benturan di antara mereka?" ia bertanya di dalam hatinya.
"Apabila tiba-tiba saja Sultan Pajang mengirimkan bantuan
kepada Argapati, maka kedudukanku pasti akan terdesak.
Terdesak dari dua arah. Dari Timur dan dari seberang Kali
Progo." Dalam kebimbangan itu terdengar gembala tua itu berkata,
"Waktuku hanya sebentar. Sedang pertentangan ini berkembang
terlampau cepat. Mungkin bahkan malam ini Ki Tambak Wedi
akan menyusul kami menyerang pemusatan pasukan Argapati.
Tetapi mungkin juga besok pagi. Apakah Angger Sutawijaya
sudah dapat mengambil keputusan?"
Sutawidiyaya menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja
dicengkam oleh kebimbangan. Sejenak ditatapnya wajah
gembala tua itu, kedua anak-anaknya dan kemudian kedua
pengawalnya. "Aku memerlukan kedua anak-anak muda itu kelak," desisnya
di dalam hati. "Kalau mereka bersedia membantu aku, maka aku
langsung akan menguasai daerah Sangkal Putung dan pasti
juga Jati Anom. Jalur antara Mentaok, Alas Tambak Baya,
Prambanan, Benda, Sangkal Putung, Macanan langsung ke Jati
Anom akan aku kuasai."
Akhirnya Sutawijaya itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Kiai, baiklah. Aku akan membantu
Argapati. Tetapi bukan berarti bahwa aku sendirilah yang harus
melakukannya. Biarlah kedua kawan-kawanku itu pergi bersama
Kiai." Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak
dipandanginya kedua pengawal Sutawijaya itu. Sepercik keraguraguan
memencar di dalam sorot matanya.
"Kiai," berkata Sutawijaya sambil tersenyum, "keduanya
adalah orang-orang kepercayaan Ayah Ki Gede Pemanahan.
Mereka berdua adalah kawan-kawanku bermain-main. Jika ada
perbedaan antara keduanya dan aku sendiri jarak itu tidak akan
terlampau jauh. Meskipun keduanya masih juga belum dapat
menyamai kedua gembala-gembala muda itu. Tetapi aku
percaya kepada keduanya."
"Ah," salah seorang dari kedua pengawal itu berdesah,
"terima kasih atas pujian itu. Tetapi aku harap bahwa Kiai tidak
akan kecewa apabila ternyata aku hanya dapat meloncat-loncat."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mencoba mengerti alasan Sutawijaya. Kenapa ia tidak mau
langsung terjun ke medan pertentangan itu sendiri.
Namun orang tua itu kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Terima kasih. Hal ini pasti sudah akan
membuat hubungan antara Mentaok kelak dengan Menoreh
menjadi lebih baik. Meskipun kali ini Angger Sutawijaya sendiri
belum langsung menanganinya, namun bantuan Angger ini pasti
akan sangat berarti."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. "Maaf, Kiai,"
jawabnya, "aku sendiri masih ingin beristirahat. Entahlah apabila
nanti aku berubah pendirian. Tetapi kedua orang kawankawanku
itu pasti akan sama artinya dengan aku sendiri."
"Ya, demikianlah."
"Nah," berkata Sutawijaya kemudian kepada kedua
kawannya, "pergilah kalian mewakili aku." Lalu kepada orang tua
itu, "Paman Hanggapati dan paman Dipasanga akan
menempatkan dirinya di bawah perintah, Kiai. Tetapi ingat, Kiai,
keduanya aku serahkan kepada Kiai, tidak kepada orang lain,
sehingga tanggung jawab atas keduanya ada pada Kiai."
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Baiklah, Ngger. Tetapi kehadiran keduanya akan
menjadi suatu kenyataan, bahwa Angger telah berusaha
mendekatkan diri. Bahkan Angger telah mulai menjalin
hubungan yang baik antara Mentaok yang akan lahir dan
Menoreh." "Mudah-mudahan, Kiai. Selanjutnya aku akan tetap berada di
sini. Aku akan menunggui gubug ini, ketela pohon yang sudah
mulai dapat diambil hasilnya, kambing-kambing, dan api."
"Kenapa api?" "Kambing-kambing itu memerlukan api."
"Ah," gembala tua itu tersenyum. "Baiklah. Sekarang aku
minta diri. Mudah-mudahan hubungan yang telah dirintis ini kelak
akan berguna. Berguna bagi Angger Sutawijaya dan berguna
bagi Argapati." "Mudah-mudahan, Kiai. Mudah-mudahan."
"Baiklah. Kini aku minta diri. Waktuku terlampau sempit.
Orang-orang yang terluka itu memerlukan bantuanku."
"Silahkanlah, Kiai. Agaknya Kiai baru saja membawa
sepasukan pengawal berkeliling daerah ini."
"Ya, di antara mereka ada yang terluka parah."
Gembala tua itu pun kemudian meninggalkan Sutawijaya
seorang diri karena kedua kawannya ikut bersamanya. Mereka
terpaksa mempergunakan setiap ekor kuda untuk dua orang.
Hanggapati bersama Gupala dan Dipasanga bersama Gupita.
Dengan demikian maka laju kuda-kuda mereka tidak dapat
terlampau cepat. Namun meskipun demikian akhirya mereka
sampai juga ke mulut regol padukuhan yang dilingkari pring ori
itu. Ternyata kedatangan mereka telah mengejutkan para
penjaga. Bahkan Samekta yang ada di depan regol pun terkejut
pula melihat gembala tua itu datang bersama orang baru lagi.
"Siapakah mereka?" bertanya Samekta.
"Kalian akan berterima kasih atas kedatangannya. Tetapi
marilah kita bersama-sama menghadap Ki Argapati. Aku
mempunyai sebuah ceritera tentang kedua kawan baruku ini."
Samekta mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang
bertanggung jawab atas pusat pertahanan ini, Samekta tidak
segera menerima ajakan itu.
"Apakah Ki Samekta berkeberatan?" bertanya gembala tua
itu. "Bukan begitu, Kiai. Tetapi aku masih belum mengerti, apakah
kepentingan Ki Sanak berdua ini untuk bertemu dengan Ki
Argapati." "Itulah yang akan dikatakannya nanti. Aku kira Ki Argapati
pun belum mengenal keduanya. Tetapi aku akan menjadi
tanggungan, bahwa keduanya tidak akan berbuat sesuatu yang
merugikan kita bersama."
Samekta masih ragu-ragu. Bahkan sepercik pertanyaan
membersit di dadanya, "Apakah orang-orang ini tidak mungkin
sengaja diselundupkan oleh Sidanti?"
Karena Ki Samekta masih ragu-ragu, maka gembala tua itu
mencoba menjelaskannya, "Kami akan memberikan beberapa
keterangan. Kalau Ki Argapati tidak menghendaki, biarlah kedua


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan-kawanku ini meninggalkan padukuhan ini."
Ki Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling.
Tetapi ia tidak melihat Wrahasta untuk dimintai
pertimbangannya. Agaknya Wrahasta sedang beristirahat, atau
bahkan mungkin sedang tidur karena ialah yang sedang
bertugas malam ini. Baru setelah ia berpikir sejenak, maka berkatalah Samekta,
"Baiklah, marilah aku antarkan kalian menghadap Ki Argapati."
Mereka pun kemudian pergi ke pemondokan Ki Argapati.
Meskipun malam semakin mendekati akhirnya, namun Samekta
mencoba juga untuk masuk ke rumah dan menengok bilik Ki
Argapati. Derit pintu bilik itu, agaknya telah membangunkan Ki Argapati.
Perlahan-lahan ia menyapa, "Siapa di luar?"
"Aku, Ki Gede. Samekta."
"O, masuklah." Samekta pun kemudian melangkah masuk ke dalam bilik Ki
Argapati. Dikatakannya semuanya tentang gembala tua itu
beserta kedua kawan-kawannya yang baru.
Sejenak Ki Argapati berpikir. Namun kemudian ia berkata,
"Aku percaya kepada gembala tua itu. Biarlah ia datang kemari."
Kemudian gembala tua itu pun segera dipersilahkannya
masuk bersama kedua pengawal Sutawijaya. Sedang Gupala
dan Gupita menunggu mereka di serambi depan.
"Marilah, Kiai," berkata Ki Airgapati, "aku sudah mendengar
laporan tentang pasukan berkuda itu. Aku sangat berterima
kasih kepadamu. Sebab perjalanan ini ternyata telah
memberikan dorongan yang luar biasa atas tekad dan gairah
perjuangan anak-anak Menoreh. Bukan saja mereka yang ikut di
dalam pasukan berkuda itu, tetapi ceritera mereka tentang
perjalanan mereka ternyata mempunyai akibat yang sangat
baik." "Terima kasih, Ki Gede. Tetapi sayang, bahwa di antara
mereka ada yang terluka parah."
"Ya, memang terlampau sulit untuk menghindarinya. Dalam
permainan senjata kadang-kadang kita memang akan terdorong
karenanya. Itu adalah akibat yang sangat wajar."
"Dan aku pun akan segera mengobati mereka." berkata
gembala tua itu. Kemudian, "Namun sebelumnya aku ingin
memperkenalkan kedua kawan-kawanku ini."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. "Siapakah mereka itu?"
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Apakah Ki Argapati pernah mengenal anak muda yang
bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?"
Ki Argapati menganggukkan kepalanya. "Ya. Aku pernah
mendengar meskipun aku belum pernah mengenalnya dari
dekat. Bukankah anak muda itu Putera angkat Sultan
Hadiwijaya?" "Tepat. Dan kedua orang ini adalah orang-orang
kepercayaannya. Yang seorang bernama Hanggapati dan yang
lain Dipasanga." "O," Ki Argapati yang kemudian duduk di pinggir
pembaringannya menganggukkan kepalanya. "Maaf. Aku belum
tahu sebelumnya." Kedua orang itu pun mengangguk pula. Hanggapati
menjawab, "Kami pun minta maaf, bahwa kami telah
mengganggu Ki Gede."
"Tidak," gembala tua itulah yang memotongnya, "kalian
berdua sama sekali tidak menggangu." Lalu kepada Ki Gede ia
menceriterakan maksud kedatangan kedua orang itu. Meskipun
ia sama sekali tidak mengatakan bahwa saat itu, Sutawijaya pun
sedang berada di Menoreh.
"Keduanya diutus untuk melihat keadaan di Tanah Perdikan
ini," berkata gembala tua itu. "Namun dalam keadaan yang kalut
serupa ini, keduanya diberi wewenang untuk mengambil sikap.
Sidanti dan Argajaya adalah orang-orang yang pernah secara
langsung dan pribadi mempunyai persoalan dengan Angger
Sutawijaya." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
jawabnya, "Aku akan sangat berterima kasih sekali atas
perhatian itu. Lalu, apakah yang akan kalian lakukan
selanjutnya?" Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Aku akan menyerahkan tenagaku yang tidak berarti ini. Apakah
yang akan dapat aku lakukan, dan sudah tentu demikian juga
Adi Dipasanga, pasti akan kami lakukan."
"Terima kasih. Aku akan sangat berterima kasih." Kemudian
Ki Gede berpaling kepada Samekta, "Inilah pimpinan yang aku
serahi tanggung jawab atas pasukan Menoreh. Nah, bantuan
kalian berdua akan diterimanya dengan kedua belah tangan."
Samekta pun kemudian menganggukkan kepalanya. Katanya,
"Di dalam pergolakan seperti ini, maka setiap kekuatan akan
sangat berarti bagi kami. Dan kami akan mengucapkan terima
kasih." Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian, mereka mencoba untuk mengerti dan
menyesuaikan dirinya. Sebenarnya keduanya tidak terlampau
banyak mengerti, persoalan-persoalan apa yang telah terjadi di
Tanah Perdikan Menoreh, dan persoalan-persoalan apa yang
pernah timbul antara mereka, para penghuni Tanah Perdikan ini
dengan Sutawijaya. Tetapi karena perintah anak muda itulah,
maka ia berada di tengah-tengah pergolakan yang sedang
membakar Tanah Perdikan ini.
"Untuk seterusnya," berkata Hanggapati kemudian, "kami
memerlukan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah, apakah
yang harus kami lakukan, karena kami belum banyak mengerti
tentang persoalan yang sedang di hadapi oleh Ki Gede
Menoreh." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Tentu kami akan berusaha untuk menunjukkan arah perjuangan
kami untuk menegakkan kesatuan kembali setelah beberapa
saat Tanah ini dipecah oleh nafsu yang tidak terkendalikan dari
seorang yang menyebut dirinya Ki Tambak Wedi. Tetapi, bukan
maksud kami untuk memberikan perintah kepada Ki Sanak
berdua, namun kami ingin menempatkan Ki Sanak berdua
bersama dengan Kiai Dukun atau gembala tua itu, atau apa pun
namanya, dalam satu pertukaran pikiran menghadapi keadaan
yang semakin memuncak."
Gembala tua itu tersenyum. Katanya, "Kenapa Ki Gede
kebingungan menyebut jabatanku?"
Ki Gede pun tersenyum pula. Katanya kemudian, "Nah,
sekarang kalian kami persilahkan untuk beristirahat sejenak.
Pasukan berkuda itu pasti membuat Ki Tambak Wedi menjadi
marah. Sehingga dengan demikian perkembangan keadaan
akan dapat dipercepat."
"Ya, kemungkinan itu memang ada," jawab gembala tua itu.
"Karena itu, aku akan minta kalian nanti, apabila kalian telah
beristirahat meskipun sejenak, untuk membicarakan masalah
yang menjadi semakin memuncak ini."
"Baiklah," jawab gembala tua itu, "sekarang aku minta diri.
Orang-orang yang terluka memerlukan segera mendapat
pertolongan. Pertolongan darurat itu hanya dapat menolong
dalam waktu yang sangat terbatas."
"Silahkan, Kiai."
Sejenak kemudian gembala tua beserta kedua orang
kepercayaan Sutawijaya itu pun meninggalkan ruangan itu.
Bersama dengan Gupala dan Gupita mereka diantar ke tempat
yang telah disediakan untuk mereka. Tetapi gembala tua itu
kemudian meninggalkan kedua orang kepercayaan Sutawijaya
itu beserta Gupala dan Gupita. Ia sendiri pergi untuk mengobati
orang-orang yang terluka pada saat mereka memasuki
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sedang Samekta,
setelah berbicara beberapa lama dengan Ki Argapati, kemudian
pergi ke regol padukuhan untuk memimpin langsung
pengawasan terhadap setiap kemungkinan.
Wrahasta yang kemudian mendengar dari Samekta, bahwa
telah datang dua orang kepercayaan Sutawijaya yang bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar, menjadi ragu-ragu pula. Katanya,
"Apakah kau yakin tentang kedua orang itu?"
"Meskipun mereka berpakaian sederhana seperti kita, tetapi
menilik sikapnya, mereka adalah prajurit-prajurit dari istana
Pajang. Atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang
istana," jawab Samekta.
Wrahasta mengerutkan keningnya. Gumamnya, "Mudahmudahan."
Dalam pada itu, Samekta pun telah meningkatkan
kewaspadaannya pula. Mereka menyadari bahwa akibat
pasukan berkuda yang menyusup ke padukuhan induk itu, pasti
akan mempercepat tindakan Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka
setiap jengkal tanah kini tidak terlepas dari pengawasan dan
pertahanan. Ketika matahari kemudian mendaki langit di ujung Timur,
maka Ki Argapati pun telah memanggil beberapa orang yang
pantas untuk dibawa membicarakan masalah yang dihadapi oleh
Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka adalah Samekta,
Wrahasta, gembala tua yang cakap mengobati itu, dan kedua
orang kepercayaan Sutawijaya, Hanggapati dan Dipasanga.
Sedang Gupala dan Gupita harus tinggal saja di luar sambil
menunggu perkembangan pembicaraan itu.
Sementara itu, ketika keduanya sedang duduk di halaman
sambil berbicara tentang apa saja, tentang juntai yang berwarna
kekuning-kuningan yang kini dililitkan di leher baju Gupala,
sampai kepada kambing-kambing yang mereka tinggalkan, dari
balik daun pintu samping sepasang mata sedang mengawasi
mereka. Sepasang mata seorang gadis yang membawa pedang
rangkap di kedua belah lambungnya.
Gadis itu, Pandan Wangi melihat kedua anak-anak muda itu
dengan kesan yang aneh. Gupita adalah seorang anak muda
yang mengagumkan. Tenang dan memiliki kemampuan yang
tinggi. Tingkah lakunya kadang-kadang menimbulkan berbagai
macam pertanyaan. Ada beberapa pertentangan sifat yang
dilihatnya pada anak muda itu. Anak muda itu kadang-kadang
bersikap acuh tak acuh dan bahkan kekanak-kanakan. Namun
kadang-kadang menjadi bersungguh-sungguh dan seakan-akan
seorang perasa. Sedang yang seorang lagi yang diakuinya sebagai
saudaranya adalah seorang anak muda yang gemuk, yang
memiliki kekhususan pula. Wajahnya terlampau cerah, dan
bibirnya selalu dihiasi dengan senyum dan tawa. Anak muda
yang gemuk itu seakan-akan tidak pernah menyimpan persoalan
yang bersungguh-sungguh di dalam hatinya. Wajahnya yang
bersih dan bulat itu menimbulkan kesan tersendiri di hati Pandan
Wangi. Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar suara perempuan
tua penghuni rumah itu memanggilnya. Dengan tergesa-gesa ia
pergi mendapatkannya, "Ada apa, Bibi?"
"Air panas itu telah tersedia bersama beberapa potong
makanan." "Oh," Pandan Wangi yang meskipun membawa sepasang
pedang rangkap itu pun segera mengetahui tugasnya. Dicarinya
sebuah nampan kayu untuk membawa minuman dan makanan
itu ke dalam bilik Ayahnya, tempat orang-orang terpenting
sedang berbicara tentang nasib Tanah Perdikan ini.
Ketika Pandan Wangi masuk ke dalam bilik ayahnya, agaknya
pembicaraan telah menjadi terlampau jauh, sehingga apa yang
didengarnya tidak dapat dimengertinya. Ia hanya mendengar
kata-kata ayahnya, bahwa lukanya telah jauh berkurang. "Aku
telah mampu turun ke medan apabila setiap saat Ki Tambak
Wedi menghendaki." Pandan Wangi tertegun sejenak. Ia menjadi berdebar-debar.
Apakah ayahnya benar-benar akan langsung memimpin
peperangan dalam keadaannya itu. Ketika ia berpaling
memandangi wajah ayahnya, ia melihat ayahnya itu tersenyum
kepadanya. "Aku benar-benar sudah menjadi baik, Pandan
Wangi. Mungkin aku belum pulih kembali seperti sediakala.
Tetapi tenagaku agaknya sudah cukup memadai."
"Tetapi," Pandan Wangi menjadi ragu.
"Kau meragukan?"
"Ya, Ayah." "Itu adalah wajar sekali, Wangi. Tetapi ternyata obat yang
diberikannya kepadaku akhir-akhir ini adalah obat yang tiada
taranya. Lukaku telah hampir menjadi sembuh sama sekali."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Disambarnya
sekilas dengan sudut matanya, Samekta, Wrahasta, kemudian
dua orang yang baru saja hadir di padukuhan itu. Namun
Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia
melangkah keluar sambil menjinjing nampan kayu.
Sepeninggal Pandan Wangi, maka mereka pun melanjutkan
pembicaraan mereka sehingga akhirnya mereka menemukan
suatu kesimpulan. "Nah, begitulah," berkata Ki Argapati, "aku tidak dapat berbuat
lain daripada menerima saran itu."
"Tetapi itu berbahaya sekali, Ki Gede," berkata Wrahasta.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang
cara ini dapat menimbukan akibat yang besar bagi pertahanan
kita. Tetapi apabila berhasil, maka jalan selanjutnya pasti sudah
terbuka." Wrahasta mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia
menggeram, "Sejak semula aku ingin menyandarkan segala
persoalan atas kekuatan dan perhitungan imbangan kekuataan
di antara kita sendiri. Kita akan meyakini segala persoalan tanpa
ragu-ragu." "Aku sependapat dengan kau, Wrahasta," berkata Ki Argapati,
"tetapi kita tidak dapat mengingkari kenyataan yang kita hadapi.
Dan apakah keberatan kita atas segala kebaikan hati dari
mereka yang memang mempunyai persoalan dengan Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya?"
Wrahasta tidak segera menyahut.
"Aku dapat meyakinkan kau, Wrahasta, bahwa tidak ada
pamrih apa pun pada mereka. Apalagi kedua orang kepercayaan
putera Sultan Pajang. Adalah hak mereka untuk berbuat sesuatu
terhadap orang-orang yang mempunyai persoalan dengan
mereka. Dan adalah kebetulan sekali bahwa kita bersama-sama
mempunyai persoalan yang dapat di ambil arah sejalan. Tetapi
jangan takut, bahwa aku telah mengorbankan kepentingan tanah
perdikan ini. Bahwa aku telah menjual beberapa kepentingan
karena aku ingin mempertahankan kedudukanku sebagai kepala
tanah perdikan." Ki Argapati terdiam sejenak. Lalu, "Bukankah kau
mendengarkan pembicaraan ini dari mula sampai akhir,
sehingga kau tidak menemukan bentuk-bentuk perjanjian atau


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

imbalan apa pun atas mereka itu" Kita secara kebetulan
mempunyai kepentingan yang sama, yang dapat saling
membantu. Itulah masalah yang sedang kita hadapi sekarang.
Jadi, bentuk kerja sama ini agak berbeda dari Ki Peda Sura dan
orang-orangnya, bahkan orang-orang lain lagi yang datang atas
permintaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti. Kepada
setiap bantuan yang aku terima sama sekali bukan karena aku
menawarkan apa pun juga sebagai imbalannya."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya perlahanlahan.
"Nah, apakah kau dapat mengerti?"
"Aku mengerti, Ki Gede," jawabnya. "Tetapi tidak semua
orang tidak berpamrih seperti mereka yang ada di dalam
ruangan ini. Meskipun mereka tidak menginginkan imbalan yang
berupa harta benda atau kedudukan, tetapi masih mungkin ada
pamrih-pamrih lain yang mendorong mereka untuk berkorban
apa saja." Ki Argapati mengerutkan keningnya. "Apakah kau dapat
menyebutkan, Wrahasta?"
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mengucapkannya, meskipun serasa menyesak di dalam
dadanya. "Katakanlah, Wrahasta," desak Ki Argapati. "Jangan raguragu.
Semua ini untuk kebaikan kita bersama?"
Tetapi Wrahasta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ki Gede.
Aku hanya sekedar berprasangka."
Ki Argapati memandang wajah Wrahasta dengan tajamnya.
Tetapi wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu menunduk.
Namun Ki Argapati itu kemudian berkata, "Baiklah. Kita akan
melihat perkembangan keadaan. Memang kita masing-masing
pasti mempunyai pamrih. Tetapi tidak sekedar pamrih pribadi."
Hampir saja Wrahasta menyahut. Justru pamrih pribadilah
yang mendorong anak gembala itu menyediakan dirinya, bahkan
dengan seluruh keluarganya untuk membantu Ki Argapati. Tetapi
untunglah bahwa ia masih mampu menahan perasaannya itu.
Sehingga apa yang telah hampir terucapkan itu seolah-olah
ditelannya kembali. Dengan demikian, maka ruangan itu di sambut oleh kesepian
sejenak. Kemudian terdengar Ki Argapati berkata, "Apakah
masih ada persoalan yang akan kita bicarakan?"
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Baiklah. Kalau tidak, aku akan mengambil keputusan. Semua
dilaksanakan seperti rencana tersebut. Apabila terdapat
kesulitan, kita akan melihat perkembangan suasana." Kemudian
kepada Samekta ia berkata, "Aturlah semua persiapan,
Samekta. Sampaikan semua keputusan ini kepada pemimpinpemimpin
yang terpercaya. Kerti dapat kau panggil dan kau
tempatkan di pedukuhan ini pula."
*** "Ya, Ki Gede." "Jagalah baik-baik, bahwa masalah-masalah terpenting hanya
boleh kita ketahui bersama."
"Ya, Ki Gede," jawab Samekta sambil menganggukanggukkan
kepalanya. "Sekarang, mulailah dengan segala macam persiapan. Aku
akan mencoba memantapkan diriku sendiri, sehingga apabila
setiap saat aku harus turun ke medan perang, seperti yang
direncanakan, aku tidak akan mengecewakan."
"Silahkan, Ki Gede. Kami minta diri."
"Aku sangat berterima kasih kepada kesediaan kalian, baik
dari keluarga Tanah ini maupun yang menaruh perhatian
terhadap keadaannya. Mudah-mudahan kita berhasil."
Orang-orang yang berada di dalam bilik Ki Gede itu pun
kemudian bersama-sama meninggalkannya. Masing-masing
pergi ke tempatnya. Gembala tua dan kedua orang kepercayaan
Sutawijaya itu kemudian kembali ke tempat yang sudah
disediakan untuk mereka bersama-sama dengan Gupala dan
Gupita. Seperti orang-orang Menoreh, mereka pun harus
mempersiapkan diri mereka apabila setiap saat mereka harus
turun ke medan. Gupala dan Gupita pun kemudian mendapat petunjukpetunjuk
dari gurunya. Apa yang harus mereka kerjakan apabila
waktunya telah datang. "Apakah Ki Argapati tahu dengan pasti, kapan Ki Tambak
Wedi akan menyerang?" bertanya Gupita.
Gurunya menggelengkan kepalanya, "Belum. Namun kita
harus memperhitungkan bahwa setiap saat hal itu dapat terjadi,
sehingga kita harus dapat melakukannya setiap saat pula.
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian
Gupala bertanya, "Tetapi apakah Pandan Wangi dapat dipercaya
untuk melakukan tugasnya itu?"
"Menurut Ki Argapati, ia percaya bahwa Pandan Wangi akan
dapat melakukannya."
"Pekerjaan itu memang terlalu berat untuknya. Tetapi mudahmudahan
ia berhasil," gumam Gupita.
Gurunya tidak menyahut. Tetapi tatapan matanya jauh
menembus cahaya matahari yang bermain di halaman, hinggap
pada bayangan dedaunan yang bergerak-gerak dihembus angin
yang lemah. Ruangan itu pun kemudian sejenak disambar oleh
kesenyapan. Namun kemudian Gupala dan Gupita minta diri
untuk berada di halaman, karena udara yang terlampau panas.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menyaksikan
kesibukan para pengawal. Persiapan-persiapan yang semakin
memuncak karena perkembangan keadaan yang memuncak
pula. Apalagi setelah beberapa orang petugas sandi sempat
melaporkan, bahwa mereka pun melihat persiapan yang matang
pada pasukan Ki Tambak Wedi.
"Tidak akan lebih dari malam nanti," desis Gupita.
"Ya. Aku kira malam nanti Ki Tambak Wedi akan datang,"
jawab Gupala. "Namun cara yang akan kita pergunakan cukup
menarik." "Tetapi juga sangat berbahaya bagi Ki Argapati dan Pandan
Wangi itu sendiri," gumam Gupita. "Tetapi kita tidak dapat
berbuat banyak." "Kalau aku diperkenankan, aku akan bertempur bersamanya,"
desis Gupala. Gupita mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling ke arah
anak muda yang gemuk itu, tiba-tiba Gupala tertawa sambil
berdiri. Namun ia masih juga berkata, "Mudah-mudahan aku
mendapat kesempatan."
"Dalam hiruk-pikuk serupa ini, kau masih sempat juga mimpi."
"Mimpi yang paling mengasyikkan justru apabila kita tidak
sedang tidur nyenyak. Bukankah begitu" Dalam hiruk-pikuk yang
beginilah kadang-kadang kita menemukan suatu perkembangan
jalan hidup kita tanpa kita duga-duga. Bukankah dalam hirukpikuk
juga kau bertemu dengan seorang gadis, justru pada suatu
saat yang menentukan buat Sangkal Putung?"
"Ah," Gupita berdesah. Dan Gupala masih juga tertawa
berkepanjangan sambil meninggalkan Gupita yang masih duduk
di tempatnya seorang diri.
Sejenak bayangan seorang gadis yang manja dan keras hati
melintas di dalam kepalanya. Kemudian disusul oleh sebuah
bayangan yang lain. Seorang gadis yang dalam keadaan terakhir
selalu membawa sepasang pedang rangkap di lambungnya.
Gupita kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berdesis, "Ah, lebih baik aku membuat pertimbanganpertimbangan
tentang setiap kemungkinan yang dapat terjadi di
padukuhan ini." Namun tiba-tiba ia berpaling ketika ia melihat seseorang
mendatanginya. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa.
Dada Gupita menjadi berdebar-debar melihat wajah Wrahasta
yang tampak bersungguh-sungguh. Beberapa langkah
daripadanya Wrahasta berhenti. Diedarkannya pandangan
matanya ke seluruh halaman, tetapi ketika tidak ada seorang
pun yang dilihatnya, maka ia pun segera melangkah beberapa
langkah lagi. "Gupita," suaranya bernada berat, "aku masih tetap pada
pendirianku. Aku tidak menghendaki kau hadir di sini. Tetapi
agaknya ayahmu mendapat tempat di hati Ki Argapati. Karena
itu, aku perlu memperingatkan kau sekali lagi, bahwa kau tidak
disukai di padukuhan ini."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak senang selalu
mendapat pringatan semacam itu. Meskipun demikian ia masih
harus tetap menjaga dirinya. Namun meskipun demikian ia
menjawab, "Wrahasta. Aku tidak akan bersitegang untuk tinggal
di padukuhanmu. Pada suatu ketika apabila pekerjaanku sudah
selesai, maka aku pun akan segera pergi. Disukai atau tidak
disukai, namun aku harus melakukan tugas yang dibebankan
kepadaku. Baik oleh ayah maupun oleh Ki Argapati."
"Aku mengharap kau memegang janjimu. Kalau tidak, maka
setelah semua persoalan di atas tanah perdikan ini selesai, kau
akan menyesal. Kalau kau tidak menepatinya, maka kita harus
membuat perhitungan tersendiri."
Dada Gupita berdesir. Tetapi ia tidak menjawab. Dibiarkannya
Wrahasta berbalik dan melangkah meninggalkannya. Hampir
tanpa berkedip Gupita memandang langkah itu. Langkah yang
tegap penuh keyakinan pada diri sendiri. Tetapi kemudian Gupita
menjadi kecewa, bahkan menaruh belas kasihan kepada
raksasa itu. Meskipun demikian. Gupita masih selalu berusaha untuk
menguasai diri. Apalagi keadaan sudah menjadi sedemikian
panasnya. Keadaan yang tidak dikehendaki akan segera dapat
meletus setiap saat. Mungkin sebentar lagi. Mungkin di saat
senja mulai turun, atau mungkin pada saat matahari tepat
meluncur ke balik perbukitan. Tetapi mungkin juga setelah
malam menjadi kelam atau mungkin juga tidak sama sekali di
harhari yang dekat ini. Meskipun demikian, Gupita menyadari
bahwa kekuatan seutuhnya sedang diperlukan untuk
menanggapi keadaan yang telah memuncak ini.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tergeser ke
Barat. Di saat-saat cahayanya menjadi kemerah-merahan, maka
para pengawal menjadi kian sibuk. Hari itu ternyata telah mereka
lampaui tanpa ada sesuatu peristiwa apa pun. Namun dengan
demikian, maka mereka menjadi semakin berhathati. Mereka
mempunyai dugaan kuat, bahwa Ki Tambak Wedi akan
mengambil kesempatan di malam hari.
Karena itu, maka segala macam persiapan pun dilakukan.
Alat-alat pelontar dan berbagai macam senjata jarak jauh.
Senjata yang paling sederhana, pelontar batu, sampai pada
panah-panah yang hampir tidak terhitung jumlahnya.
Pada saat yang demikian, Gupala, Gupita, dan gurunya telah
siap pula untuk melakukan rencana yang telah disetujui
bersama. Bersama sepasukan pengawal mereka harus
meninggalkan padukuhan itu. Mereka harus bersiap dan berada
di luar, seandainya padukuhan itu akan dikepung rapat-rapat.
Mereka harus memperhitungkan pula suatu kemungkinan,
bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil suatu cara, untuk
menutup padukuhan itu sama sekali dalam waktu yang tidak
terbatas, sehingga mereka akan kehilangan kemungkinan
berhubungan dengan daerah-daerah dan perdukuhanperdukuhan
lain. Terutama dalam soal persediaan makan.
Sejenak kemudian, sebelum regol pedukuhan itu tertutup oleh
ujung senjata pasukan Ki Tambak Wedi, gembala tua bersama
kedua anak-anaknya telah meninggalkan padukuhan itu untuk
bersembunyi di pategalan yang tidak terlampau jauh. Mereka
mendapat tugas yang khusus, tugas yang tidak dapat dilakukan
oleh pasukan yang berada di dalam padukuhan. Mereka harus
dapat bergerak cepat ke segenap penjuru. Juga apabila ada
kemungkinan Ki Tambak Wedi tidak menyerang lewat gerbang
induk. Argapati yang sudah menjadi semakin baik, melepas mereka
sampai ke pintu gerbang. Kemudian sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia bergumam, "Aku percaya kepada
mereka." Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya berpaling. Tanpa
sesadarnya ia bertanya, "Apa, Ayah?"
Ki Argapati terkejut. Namun kemudian sambil tersenyum ia
berkata, "Aku percaya kepada mereka. Dan aku percaya bahwa
aku pernah mengenal orang tua itu sebelum ini. Bepapa pun ia
mengingkari dirinya sendiri. Aku tidak tahu, apakah alasannya,
sehingga ia lebih senang bermain-main dengan segala macam
nama dan keadaan." "Siapakah sebarsarnya orang-orang itu, Ayah?" bertanya
Pandan Wangi dengan serta-merta.
Tetapi ayahnya masih saja tersenyum dan menjawab,
"Entahlah." "Tetapi Ayah sudah menyebutnya?"
Ki Argapati menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mendugaduga.
Tetapi lebih baik aku tidak mengatakan apa pun tentang
mereka daripada aku akan keliru."
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia pun kini memandangi
pasukan yang menjadi semakin jauh. Bahkan kadang-kadang
seolah-olah hilang ditelan oleh rumput-rumput liar dan batangbatang
ilalang yang menjadi semakin tinggi.
Namun masih juga terbayang di angan-angan gadis itu, dua
orang anak-anak muda yang seakan-akan dibayangi oleh kabut
rahasia yang tidak tertembus oleh penglihatannya.
Pandan Wangi itu tersedar ketika ia mendengar ayahnya
berkata, "Marilah kita beristirahat sambil menunggu, apa yang
akan terjadi malam ini."
"O," Pandan Wangi tergagap, "mari, Ayah."
"Kita tidak akan kembali ke pondok kita. Kita akan tinggal di
pusat pimpinan pasukan Menoreh bersama dengan Wrahasta,
Samekta, dan Kerti. Setiap saat kita pasti akan diperlukan."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Kemudian diiringi oleh para pemimpin pasukan pengawal, Ki
Argapati pun pergi ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat
pimpinan pasukan. Di situlah Samekta, Wrahasta dan kadangkadang
Kerti selalu membicarakan dan merencanakan segala
sesuatu. Kini jumlah mereka pun bertambah lagi dengan dua
orang dari Pajang. Hanggapati dan Dipasanga.
Meskipun mereka duduk dalam satu tingkatan, di atas sehelai
tikar pandan, namun hampir tidak seorang pun dari mereka yang
berbicara. Mereka sedang sibuk dengan angan-angan masingmasing.
Bayangan-bayangan dan gambaran tentang apa saja
yang akan terjadi di atas tanah perdikan ini.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi pun sedang sibuk mengatur
barisannya. Ia tidak ingin menunda lagi sampai besok dan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apalagi lusa. Ia sudah berketetapan hati, seperti tekad yang
menyala di dalam dada Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin
yang lain. Malam ini pertahanan Argapati harus dipecah.
Benteng pring ori itu harus menjadi karang abang. Dan pasukan
pengawal Menoreh harus di hancur-lumatkan supaya mereka
tidak membuat persoalan-persoalan baru di harhari mendatang.
"Tidak seorang pun akan mendapat perlakuan khusus!" teriak
Ki Tambak Wedi. Sidanti dan Argajaya mengangkat senjata masing-masing
sambil menyambut ucapan-ucapan itu. "Semua harus
dimusnahkan." Namun ketika setiap mulut meneriakkan semangat yang
serupa, Sidanti menundukkan wajahnya. Terbayang di dalam
angan-angannya, seorang gadis kecil yang berlarlari sambil
menangis. Kemudian memeluknya dan membasahi dadanya
dengan air mata. "Kakang, Kakang, anak itu nakal, Kakang," tangis gadis kecil
itu. Setiap kaii ia menjadi marah. Dan setiap kali ia berkata, "Ayo,
jangan hanya berani dengan anak perempuan. Lawan aku."
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah
berhasil melupakan masa kecil yang baginya kini tinggal
gambaran-gambaran dari sebuah mimpi yang menyenangkan.
Sama sekali tidak pernah terbayang, bahwa kini, ia dan Pandan
Wangi, akan berdiri berseberangan sebagai lawan. Dan ia
sendiri telah meneriakkan, "Semua harus dimusnahkan!"
"Apakah yang akan terjadi atas Pandan Wangi nanti?"
pertanyaan itu tidak pernah dapat terhapus dari hatinya. Hati
seorang kakak, meskipun suatu kenyataan telah dihadapkan
kepadanya, bahwa mereka ternyata tidak seayah.
Tetapi apakah yang dapat dilakukan selagi kedua belah pihak
sudah berhadapan dengan menggenggam senjata-senjata
telanjang di tangan" Apakah Pandan Wangi juga selalu
dibimbangkan oleh hubungan keluarga di antara mereka.
"Persetan!" Sidanti mencoba untuk memperteguh hatinya
apabila ia nanti berangkat ke peperangan. "Kalau aku dapat
menghindar, aku akan menghindar. Aku akan mencari korbankorban
lain. Terserahlah kepada keadaan, apakah Pandan
Wangi dapat menyelamatkan dirinya atau tidak. Tetapi kalau aku
harus berhadapan?" Sidanti menarik nafas dalam-dalam.
Sidanti terkejut ketika ia mendengar Argajaya bertanya
dengan ragu-ragu, "Apakah yang kau renungkan?"
Sidanti menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku tidak sedang
merenungkan apa-apa."
Namun temyata Ki Tambak Wedi pun melihat keragu-raguan
yang mewarnai wajah Sidanti. Sehingga orang tua itu langsung
menebaknya, "Kau mengenangkan adikmu perempuan itu?"
Sidanti tidak menyahut. "Sudah aku katakan. Semuanya harus dimusnahkan. Juga
Pandan Wangi. Kalau ia dibiarkan hidup, ia akan menjadi benih
yang baik untuk tumbuh kelak menjadi sebuah pohon berduri."
Sidanti tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Bagimu, Sidanti, adik perempuanmu itu akan menjadi tawur,
menjadi rabuk yang akan membuat Tanahmu ini menjadi tanah
yang subur seperti yang kau harapkan."
Sidanti masih tetap berdiam diri. Bahkan terbayang di rongga
matanya perlakuan orang-orang liar yang ada di dalam
pasukannya. Hampir saja Pandan Wangi menjadi korban
mereka, seandainya Pandan Wangi bukan seorang yang
memang cukup mampu membela dirinya.
Namun kenangan itu tiba-tiba telah mendorong Sidanti untuk
berteriak, "Ya, Pandan Wangi juga harus dimusnahkan."
Ki Tambak Wedi dan Argajaya tertegun sejenak melihat
Sidanti tiba-tiba saja meneriakkan kata-kata itu. Terasa bahwa
anak muda itu telah berjuang sekuat tenaga, sehingga ia
terpaksa meledakkan dadanya yang serasa pepat.
Tetapi sebenarnya Sidanti telah benar-benar berkeputusan
demikian. Agaknya hal itu akan menjadi lebih baik bagi adiknya.
Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka kemungkinan yang paling
pahit akan dapat terjadi. Apabila Pandan Wangi jatuh ke tangantangan
serigala yang kelaparan itu, maka sudah terbayang di
dalam kepalanya, bahwa ia harus bertindak. Mungkin ia terpaksa
melakukan kekerasan, sehingga perkelahian tidak akan dapat
dihindarinya lagi. Sejenak kemudian pasukan Tambak Wedi itu pun telah siap
untuk melakukan tugasnya. Untuk melawan lontaran-lontaran
senjata jarak jauh, sebagian dari pasukan Ki Tambak Wedi itu
diperlengkapi dengan perisai. Karena perisaperisai yang
terbuat dari kepingan baja tidak mencukupi, maka sebagian telah
membuat perisaperisai dari kayu. Tetapi perisaperisai yang
demikian, tidak kalah manfaatnya dari perisaperisai besi. Bukan
baja untuk melawan senjata-senjata jarak jauh, tetapi dalam
perang beradu dada, perisai yang demikian pun dapat sangat
berguna. Ujung senjata lawan yang tertancap pada perisaiperisai
kayu, apabila perisai itu disentakkan, maka senjata lawan
tersebut akan dapat terenggut.
Demikinlah, pada saatnya, ketika matahari telah tenggelam di
balik perbukitan, serta malam telah mulai turun menyelubungi
Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah pasukan Ki Tambak
Wedi itu merayap ke luar dari padukuhan induk untuk menuju ke
padukuhan Karang Sari, tempat pertahanan yang di susun
dengan tergesa-gesa oleh pasukan pengawal Menoreh pada
saat mereka meninggalkan padukuhan induk. Namun adalah
suatu keuntungan, bahwa padukuhan itu dilingkari oleh rumpunrumpun
pring ori yang rapat, sehingga merupakan benteng yang
sangat bermanfaat bagi pertahanan mereka.
Ki Tambak Wedi yang memegang langsung pimpinan
pasukan itu, berjalan di paling depan bersama Sidanti dan
Argajaya. Kemudian di belakang mereka berjalan Ki Peda Sura
yang telah sembuh dari luka-lukanya, bersama Ki Wasi dan Ki
Muni. Setiap dada dari mereka yang berada dalam barisan itu
serasa bergejolak semakin keras. Namun hampir setiap orang
memastikan, bahwa mereka akan dapat memecah pertahanan
Ki Argapati. Menurut perhitungan mereka, kekuatan Ki Argapati
sangat terbatas. Meskipun mungkin mereka mempunyai jumlah
orang yang seimbang, namun tidak ada orang lain yang dapat di
percaya oleh Ki Argapati selain Pandan Wangi seorang diri.
Apalagi Ki Argapati pasti belum sembuh benar dari luka-lukanya.
Meskipun perhitungan Ki Muni meleset, dan ternyata Ki
Argapati tidak mati, tetapi dalam keadaannya, maka Ki Argapati
tidak akan dapat lagi berada dalam puncak kemampuannya.
Sehingga bagaimana pun juga, maka untuk melawan Ki Tambak
Wedi, agaknya tidak mungkin lagi dapat dilakukan. Kalau ia
dapat bertahan untuk beberapa lama, namun pada saatnya ia
pasti akan kehabisan tenaga. Dan saat terakhir dari Kepala
Tanah Perdikan itu pun akan segera datang.
Di perjalanan Ki Tambak Wedi masih sempat memberikan
beberapa petunjuk kepada Sidanti dan Argajaya. Bahkan juga
kepada Ki Peda Sura, Ki Wasi dan Ki Muni. Menurut penilaian Ki
Tambak Wedi, maka para pengawal tanah perdikan akan
mengambil cara seperti yang pernah dilakukannya. Mereka akan
membentuk kelompok-kelompok kecil dari mereka yang terpilih
untuk melawan para pemimpin pasukan lawan. Kalau mereka
tidak mempunyai orang-orang yang mampu dihadapkan seorang
lawan seorang, maka kelompok-kelompok itulah yang akan
mereka pasang, untuk melawan pimpinan lawan. Untuk
menghadapi kelompok-kelompok itulah maka setiap pemimpin
pasukannya pun harus membuat kelompok-kelompok yang
serupa. Sehingga pada saatnya orang-orang yang diperlukan
dapat berdiri bebas dan dapat melakukan apa saja yang penting
bagi mereka. Dalam hal ini, mencari korban sebanyakbanyaknya,
karena mereka telah bertekad untuk menghancurkan
dan memusnahkan lawan mereka tanpa seorang pun yang akan
mendapat perlakuan khusus.
Mereka yang mendapat petunjuk itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terbayang di kepala mereka, apa yang dapat mereka
lakukan. Sebentar lagi senjata-senjata mereka akan menarnari
dalam bujana yang menggairahkan. Dan mereka telah mulai
menghitung-hitung korban yang akan dapat mereka binasakan.
Semakin dekat iring-iringan itu menjadi semakin bernafsu.
Bahkan ada di antara mereka yang seolah-olah tidak dapat
menahan diri lagi. Sambil meraba-raba hulu senjatanya
seseorang berdesis, "Kenapa kita berjalan terlampau lamban."
Kawan yang berjalan di sampingnya berpaling. Tetapi ia tidak
menjawab. "Kenapa?" orang yang pertama mendesak. Tetapi orang yang
kedua masih tetap berdiam diri.
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk menumpas orang-orang
bodoh yang tidak tahu diri itu," geram orang yang pertama.
Orang yang kedua menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dengan nada yang dalam ia berkata, "Apakah kau mau
menolongku?" "Kenapa" Apakah kau dalam kesulitan?"
"Tidak. Tetapi aku ingin minta kau diam. Hanya itu."
Orang yang pertama mengerutkan keningnya. Wajahnya
menjadi merah sesaat. Namun kemudian ia bergeramang tidak
menentu. Keduanya kemudian diam. Tetapi sebenarnyalah bahwa
orang yang kedua sedang dirisaukan oleh keadaan yang bakal
dihadapinya. Seperti Sidanti, ia mempunyai seorang saudara,
bahkan seayah dan seibu yang berada di dalam lingkungan
pasukan pengawal tanah perdikan yang setia kepada Argapati.
"Kakang memang orang bodoh," ia berdesis di dalam hatinya,
"ia tidak mau mendengar nasehatku. Sekarang ia menghadapi
kehancuran. Hem," orang itu menggigit bibirnya. "Sepeninggal
ayah, aku seolah-olah telah menjadi bebannya. Ia mengurus aku
lebih dari ayah semasa hidupnya. Sekarang aku akan berdiri
berhadapan." Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi bukan hanya
orang itu saja. Bukan hanya Sidanti, Argajaya yang akan
berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri, tetapi banyak di
antara mereka yang akan mengalami keadaan serupa. Namun
sebanyak-banyak jumlah orang, ada di antara yang justru
menjadi bangga. Dengan menepuk dada ia berkata, "Aku akan
menghunjamkan pedangku ini di dada ayahku sendiri karena
ayah telah mengkhianati cita-cita rakyat Tanah Perdikan
Menoreh. Sidanti sendiri telah berperang melawan ayahnya.
Kenapa aku tidak sanggup?" Kemudian ia tertawa sambil
memilin janggutnya. Kalau sekilas hati nuraninya tersentuh oleh
bayangan ibunya, keluarganya, saudara-saudaranya, maka ia
berusaha untuk menindasnya dengan kejam. Ternyata dirinya
sendirilah yang pertama-pertama mengalami perlakuan yang
paling kejam daripadanya. Ditumpasnya setiap percikan
perasaan yang kembang dari hati nurani itu. Tanpa belas kasian.
Semakin lama maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat
dan semakin dekat. Iring-iringan yang dinafasi oleh kebencian.
Kalau setiap orang menunduk dengan haru di dalam iring-iringan
pengantar mayat ke kubur, maka setiap orang di dalam iringiringan
ini justru menengadahkan wajah-wajah mereka sambil
menggeretakkan gigi, mencari mayat-mayat yang akan mereka
bawa ke kubur. Berbeda dengan harhari yang lewat, pasukan Ki Tambak
Wedi kali ini justru tidak membawa sebuah obor pun. Mereka
berjalan di dalam gelapnya malam, menyusur jalan yang
berdebu menuju ke pertahanan pasukan Argapati.
Sementara itu para pengawal di pusat pertahanan pasukan
Argapati pun telah siap menyambut kedatangan lawan mereka.
Apalagi ketika mereka melihat di kejauhan beberapa pucuk
panah api melontar ke udara. Ternyata para petugas sandi yang
telah di tempatkan dan bersembunyi di beberapa tempat telah
melihat kedatangan pasukan Ki Tambak Wedi.
Pertahanan Argapati pun menjadi sibuk. Samekta telah
mengatur setiap kelompok pasukan di tempat yang sebaikbaiknya.
Mereka harus dapat menanggapi keadaan yang
bagaimana pun juga. Argapati sendiri masih duduk bersama puterinya. Ia masih
memberi beberapa petunjuk kepada gadis itu. Dalam tingkat
ilmunya, sebenarnya Pandan Wangi sudah berada pada tataran
tertinggi. Namun ia masih memerlukan pengalaman dan
penghayatan yang cukup, agar ilmunya dapat dicernakannya di
dalam dirinya, kemudian mengalir seperti air dari sumbernya.
"Seperti yang telah kita setujui bersama, Pandan Wangi,"
berkata Ayahnya, "kali ini kau harus membantu aku menghadapi
Ki Tambak Wedi. Sebenarnya aku sendiri sudah bersiap untuk
melawannya meskipun lukaku belum sembuh benar. Tetapi
keadaanku telah cukup baik. Obat yang diberikannya kepadaku
itu benar-benar bekerja di luar dugaan. Namun keadaanku masih
meragukan. Beberapa orang menasehatkan agar aku tidak
menghadapinya sendiri. Maka kaulah yang aku pilih untuk
bertempur bersamaku."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk
dalam-dalam. "Ilmumu adalah ilmu yang kau terima daripadaku. Kau akan
melihat pancaran ilmu itu dan mudah-mudahan kau segera
dapat menyesuaikan dirimu. Namun hathatilah. Yang kita lawan
bersama-sama adalah Ki Tambak Wedi. Iblis yang tiada taranya
di dunia ini." Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Persiapkan dirimu lahir dan batin. Agaknya kita akan
segera mulai." Dalam pada itu, Samekta pun telah melaporkan, bahwa para
petugas telah melihat kedatangan pasukan, Ki Tambak Wedi.
Tanda-tanda telah mereka berikan.
"Apakah kau yakin bahwa mereka akan benar-benar
menyerang, atau hanya sekedar menakut-nakuti seperti
biasanya?" bertanya Ki Argapati.
Samekta menggelengkan kepalanya, "Kami di sini belum
tahu, Ki Gede. Tetapi kami sudah siap menghadapi segala
kemungkinan." "Baiklah. Kau harus memberikan laporan setiap ada
perkembangan baru." "Ya, Ki Gede. Wrahasta selalu berada di atas pelaggrangan di
samping regol." "Kerti?" "Ia berada di antara para pengawal regol itu. Sepasukan kecil
di tempat pengungsian kali ini dipimpin oleh orang lain."
"Tempatkan diri masing-masing dalam keadaan yang baik, di
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 2 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Dewi Olympia Terakhir 5
^