Api Di Bukit Menoreh 31
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 31
loncatannnya yang tergesa-gesa. Ia diburu oleh waktu dan oleh
ketiga orang bercambuk itu.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi kemudian menjulurkan
tangan kirinya dan mendorong Pandan Wangi ke samping
sementara ia berlari terus menyongsong kuda Ki Argapati yang
sudah menjadi begitu dekatnya.
Dorongan itu telah melemparkan Pandan Wangi beberapa
langkah, kemudian jatuh terbanting di tanah. Terasa tulangtulangnya
seakan-akan berpatahan sehingga sejenak matanya
serasa menjadi gelap dan berputaran. Hanya karena tekadnya
yang luar biasa ia berhasil mengangkat kepalanya untuk
menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi
atas ayahnya. Adalah di luar dugaan Ki Tambak Wedi, bahwa Ki Argapati
yang takut kehilangan anaknya itu telah melupakan semua rasa
sakitnya sendiri. Luka-lukanya dan bahkan pembalutpembalutnya
sama sekali tidak dapat menahannya. Apalagi
ketika ia melihat Pandan Wangi terlempar kemudian terbanting
jatuh. Ia tidak tahu akibat apa yang akan menerkam Pandan
Wangi. Mungkin gadis itu akan mati atau cacat atau apa pun.
Karena itu maka kemarahannya sama sekali tidak tertahankan
lagi. Sejenak kemudian maka kedua orang yang selama bertahuntahun
telah merendam dendam dan permusuhan di dalam dada
masing-masing itu kini telah bertemu lagi.
Ki Tambak Wedi tidak mau membuang waktu terlampau
banyak. Dengan garangnya ia langsung menerkam Ki Argapati
yang duduk di atas punggung kudanya. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan bahwa Ki Argapati telah siap
dengan tombak pendeknya, menyongsong serangannya yang
dahsyat itu. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Argapati sama sekali
tidak akan berdaya melawan atau menangkis serangannya.
Kalau ia masih mampu berbuat demikian, menilik watak dan
tanggung jawabnya, ia tidak akan berada di belakang garis
peperangan. Ternyata perhitungan Ki Tambak Wedi keliru untuk kesekian
kalinya, seperti kekeliruannya memperhitungkan kekuatan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata bahwa Ki Argapati itu kini mampu mengatasi
segala perasaan sakit dan gangguan-gangguan yang ada di
dalam dirinya, justru karena Pandan Wangi, satu-satunya
anaknya yang diharapkannya akan dapat melanjutkan tidak saja
jabatannya tetapi juga garis keturunan Menoreh, garis keturunan
Argapati. Dalam pada itu, maka benturan dari kedua orang yang pilih
tanding itu tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua-duanya memang
tidak berusaha untuk menghindari sama sekali. Ki Tambak Wedi
yang diburu oleh waktu itu langsung meloncat menerkam orang
yang berada di atas punggung kuda yang berlari ke arahnya.
Senjatanya yang mengerikan itu sudah terangkat tinggtinggi.
Terdengar orang tua dari Tambak Wedi itu berteriak nyaring, dan
sejenak kemudian terjadilah benturan yang dahsyat itu.
Beruntunglah bahwa senjata Ki Argapati agak lebih panjang
dari senjata lawannya, sehingga ia berhasil mengungkit ujung
senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu, kemudian dengan
menumpahkan segenap kemampuan yang ada padanya
memutar mata tombaknya langsung menusuk tubuh yang
dengan dahsyatnya telah menimpanya.
Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyangka bahwa Ki
Argapati masih mampu berbuat demikian. Ketika ujung
senjatanya terungkit, dadanya berdesir tajam, Tetapi ia sudah
tidak sempat memperbaiki keadaannya, Yang dapat dilakukan
kemudian adalah memutar senjata itu. Dengan ujung yang lain ia
masih berusaha untuk menyerang Ki Argapati.
Tetapi Ki Tambak Wedi itu menyeringai menahan sengatan di
dadanya. Oleh dorongan kekuatannya sendiri, maka ujung
tombak Ki Argapati membenam di dadanya. Namun sementara
itu, ujung senjatanya berhasil mengenai pundak lawannya.
Sejenak kemudian keduanya terlempar dari punggung kuda
oleh dorongan loncatan Ki Tambak Wedi. Demikian kerasnya
sehingga mereka terpelanting dan terguling beberapa kali.
Beberapa langkah dari mereka, Pandan Wangi berusaha
untuk bangkit. Tertatih-tatih ia berdiri, namun kemudian
terdengar ia menjerit nyaring. Ayahnya terbaring darinya tiga
empat langkah dari Ki Tambak Wedi yang tergolek pula di tanah.
Ketika Pandan Wangi kemudian tersuruk-suruk berlari ke
ayahnya, maka pada saat yang bersamaan gembala tua beserta
kedua anaknya telah berdiri pula di sampingnya.
Sejenak mereka menatap kedua orang itu bergantganti.
Mereka melihat Ki Tambak Wedi menggeliat sambil memegangi
tangkai tumbak Ki Argapati yang masih menancap di dadanya.
"Gila!" terdengar suaranya parau. "Gila kau Arya Teja." Dan
ketika ia melihat Pandan Wangi tiba-tiba suaranya meninggi,
"Wulan, Wulan, kemarilah Wulan."
Tidak seorang pun yang menyahut.
"Wulan. Wulan," Ki Tambak Wedi berusaha untuk bergeser.
Dengan tangan yang gemetar seakan-akan ia ingin meraih
Pandan Wangi yang berjongkok di samping ayahnya.
"Wulan, apakah kau tidak mendengar?" suara Ki Tambak
Wedi menjadi parau dan lambat. "Anakmu, anakmu itu."
Suaranya seolah-olah tertelan, "Anakmu laklaki itu kini menjadi
burung rajawali yang perkasa. Anak itu tidak akan mendapat
perlindungan dari Arya Teja. Akulah yang harus berbuat sesuatu
untuknya, karena anak itu adalah anakku."
"O," Pandan Wangi menutup wajahnya dengan kedua belah
telapak tangannya. Sementara gembala tua beserta kedua
muridnya saling berpandangan sesaat.
Bulu-bulu mereka meremang ketika mereka mendengar Ki
Tambak Wedi itu tertawa. Dan suara tertawanya seakan-akan
bergulung-gulung di dalam perutnya, seperti suara iblis diliang
pekuburan, "Wulan, anakku dan anakmu itulah yang akan
melepaskan dendamku. Ialah yang akan membunuh Arya Teja."
Pandan Wangi yang menjadi semakin ngeri membenamkan
kepalanya semakin dalam di antara kedua belah tangannya.
Hampir saja ia melonjak dan berlari ketika ia melihat dari selasela
jarjarinya, Ki Tambak Wedi merangkak mendekatinya.
Tetapi tenaga orang tua itu sama sekali sudah tidak mampu
membawanya maju. Sejenak kemudian ia jatuh terjerembab.
Sekali lagi ia berusaha mengangkat wajahnya memandang
Pandan Wangi. Terdengar suaranya terlampau lemah, "Sidanti."
Suara itu lepas dari tenggorokannya bersama tarikan
nafasnya yang terakhir. Ki Tambak Wedi, iblis yang selama ini
menghantui Tanah Perdikan Menoreh, tiba-tiba terkulai di tanah,
mati. Darahnya telah menyiram Tanah yang hampir saja
ditelannya. Gembala tua bersama kedua muridnya menarik nafas dalamdalam.
Perlahan-lahan mereka berjongkok di sampingnya,
menarik tombak Ki Argapati dan menyilangkan tangannya di
dadanya. Sedang senjatanya masih tetap berada di dalam
genggamannya Ketiganya tersadar ketika mereka mendengar isak Pandan
Wangi yaug merenungi Ki Argapati yang masih terbaring diam.
Agaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun mengalami
cidera pada tubuhnya. Dengan hathati gembala tua itu pun kemudian
mengamatinya dengan seksama. Ternyata selain lukanya yang
lama yang telah mengalirkan darah kembali, di pundaknya
terdapat sebuah luka yang baru. Sehingga karena itulah, maka
Ki Argapati telah terpelanting dan menjadi pingsan setelah
memaksa dirinya mengerahkan segenap sisa-sisa
kemampuannya. "Bagaimana Kiai?" terdengar suara Pandan Wangi di selasela
tangisnya yang ditahankannya sekuat-kuat tenaganya,
justru karena ia menyadari bahwa kini ia berada di peperangan.
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
sampai hati untuk mengatakan, bahwa luka Ki Argapati justru
menjadi semakin parah. Selain luka-lukanya yang lama, maka
luka di pundaknya itu pun cukup dalam dan berbahaya.
"Aku akan mencoba menolongnya untuk sementara," desis
gembala tua itu sambil mengeluarkan sebuah bumbung dari
kantong ikat pinggangnya. Dari dalam bumbung itu diambilnya
serbuk yang halus, yang kemudian ditaburkannya di atas lukaluka
Ki Argapati. "Aku mencoba memampatkan darahnya. Setelah perang ini
nanti berakhir, aku akan mencoba mengobatinya lebih saksama
lagi," desis gembala tua itu.
"Tetapi, tetapi, apakah luka ayah berbahaya?" Pandan Wangi
menjadi semakin cemas. Gembala tua itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Kita harus mencoba. Tetapi kita pun
harus berdoa kepada Sumber dari semua kehidupan."
Jawaban itu serasa menghentakkan dada Pandan Wangi.
Hampir saja ia tidak dapat menahan dirinya, dan berteriak keraskeras
untuk melepaskan pepat di dadanya.
"Tetapi kita tidak boleh berputus asa," berkata gembala tua
itu, "dan demikian pulalah hendaknya dengan Ki Argapati ini.
Aku masih berpengharapan, bahwa ia akan tertolong."
Dengan sekuat tenaga Pandan Wangi berusaha menahan diri
agar ia tidak menjerit dan menelungkup memekik ayahnya yang
terbaring diam itu. Namun dengan demikian terasa dadanya
seakan-akan menjadi retak di dalam.
Sejenak kemudian gembala tua itu berkata, "Marilah. Kita
baringkan Ki Argapati di tempat yang mapan, aku mengharap
bahwa peperangan akan dapat segera selesai. Pasukan lawan
telah kehilangan dua orang senapati mereka yang tertinggi, Ki
Peda Sura dan kini Ki Tambak Wedi. Kalau kita segera dapat
mengakhiri peperangan, maka kita akan segera membawa Ki
Argapati. ke Padukuhan induk dan membawanya memasuki
rumahnya yang sudah beberapa lama ditinggalkannya."
Pandan Wangi tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang
terangguk kecil. Sementara beberapa orang berusaha mengangkat Ki
Argapati menepi, maka Gupala dengan hormatnya
menganggukkan kepalanya di hadapan Pandan Wangi sambil
berkata, "Ini pedangmu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ditatapnya anak
muda yang gemuk itu sejenak. Namun kemudian diterimanya
sepasang pedangnya dengan wajah yang tunduk.
Terasa tangan gadis itu bergetar ketika ia menerima pedang
itu. Sedang Gupala sekali lagi menunduk sambil melangkah
surut. "Tungguilah ayahmu Pandan Wangi," desis gembala tua itu.
"Aku dan kedua anak-anakku akan melanjutkan pcrtempuran.
Kita bersama-sama mengharap agar pertempuran ini segera
dapat diakhiri. Meskipun lawan telah kehilangan, senapatisenapatinya,
tetapi agaknya jumlah mereka agak lebih banyak
dari pasukan Menoreh, sehingga dengan demikian kita
memerlukan pengerahan semua tenaga yang ada."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Jagalah ayahmu baik-baik."
Pandan Wangi masih tetap diam. Tetapi sekali lagi kepalanya
terangguk-angguk. Gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu pun kemudian
melangkah meninggalkan Ki Argapati yang masih terbaring
diam, ditunggui oleh puterinya dan beberapa orang pengawal
yang terpercaya. Namun langkah mereka segera terhenti ketika mereka melihat
seseorang yang dipapah oleh dua orang dan dikawal oleh dua
orang lainnya mendekati mereka.
"Siapa yang terluka?" desis gembala tua itu.
Tetapi kedua murid-muridnya tidak menjawab. Mereka
menunggu dengan berdebar-debar rombongan kecil itu
mendekat. "Siapa?" bertanya Gupala tidak sabar.
Mereka yang memapah orang yang terluka itu tidak segera
menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin dekat, sehingga
akhirnya mereka dapat mengenal orang yang sedang dipapah
oleh kawan-kawannya itu. "Wrahasta," desis Gupita.
Dengan tergesa-gesa gembala tua itu mendekatinya.
"Baringkan ia di sini, di atas jerami ini," desisnya.
Maka Wrahasta yang terluka itu pun kemudian perlahan-lahan
dan berhathati dibaringkan di atas setumpuk jerami.
Sementara itu gembala tua itu pun segera berjongkok di
sampingnya dan memeriksa luka-lukanya.
Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam. Namun
tidak terucapkan kata-kata di dalam hatinya, "Lukanya terlampau
parah." Meskipun demikian masih terdengar Wrahasta itu berdesis,
"Aku telah menunaikan kuwajibanku."
"Ya, ya, Ngger. Kau sudah menunaikan kewajibanmu dengan
baik." "Ya," ia melanjutkan dengan suara patah-patah, "sejak aku
masih kanak-kanak aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku
kepada Tanah ini." "Ya, Ngger." Nafas Wrahasta semakin berkejaran di rongga dadanya. Dan
tiba-tiba saja ia membuka matanya, "Siapa kau?"
"Aku, Ngger, gembala tua."
"O, kau dukun yang pandai mengobati itu?"
"Begitulah, Ngger, dan aku akan mencoba mengobati lukalukamu."
Perlahan-lahan Wrahasta mencoba mengangkat kepalanya.
Tetapi kepala itu terkulai lagi dengan lemahnya.
"Jangan bergerak," berkata gembala itu, "darahmu akan
semakin banyak mengalir."
Wrahasta terdiam. Dibiarkannya gembala tua itu menaburkan
serbuk obat di atas luka-lukanya. Tetapi gembala tua itu sendiri
menjadi semakin cemas. Darah Wrahasta terlampau banyak
mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya dan di bahu
kanannya, selain luka di pahanya.
Semua orang yang berjongkok mengelilinginya berpaling
ketika mereka mendengar desah lembut, "Wrahasta, kaukah
itu?" Wrahasta membuka matanya. Dilihatnya sebuah bayangan
yang kabur berjongkok di antara bayangan-bayangan hitam yang
tidak dapat dilihatnya lagi dengan jelas. Meskipun demikian
telinganya masih dapat menangkap suara itu, suara Pandan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wangi. "Wangi," suara Wrahasta kian lambat. Di luar dugaan semua
orang yang mengitarinya Wrahasta berkata lambat sekali, "kau
belum menjawab pertanyaanku."
Terasa dada Pandan Wangi bergetar dahsyat sekali. Ia tidak
menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan seperti itu,
Wrahasta masih berusaha bertanya kepadanya tentang
persoalan pribadi mereka.
"Pandan Wangi," suara Wrahasta terputus, "aku ingin
mendengar. Bukankah aku telah mengabdikan diriku hampir
sepanjang umurku" Jawablah Wangi."
Air mata Pandan Wangi yang memang belum kering, kini
menitik semakin deras. Pergolakan yang dahsyat telah
membentur dinding jantungnya. Namun ketika ia melihat
keadaan Wrahasta, ia tidak sampai hati untuk menyakiti hatinya,
selagi tubuhnya pasti sedang sakit tiada taranya.
Dan tiba-tiba kepala gadis itu terangguk kecil. Terdengar
jawabnya ragu-ragu, "Baiklah, Wrahasta. Aku menerimamu."
"Wangi," tiba-tiba saja Wrahasta berusaha bangkit. Tetapi ia
sama sekali sudah tidak mampu. Meskipun demikian tampak
bibirnya tersenyum. Senyum untuk yang terakhir kalinya. Karena
sesaat kemudian anak muda yang bertubuh raksasa itu telah
menarik nafasnya yang penghabisan.
Pandan Wangi yang berjongkok di sampingnya menjadi
semakin tunduk. Namun sesaat kemudian ia pun berdiri dan
berjalan perlahan-lahan meninggalkan anak muda bertubuh
raksasa yang sudah terbaring diam itu.
Dengan kepala yang masih menunduk dalam-dalam Pandan
Wangi berjalan mendekati ayahnya yang masih juga terbaring
diam. Ketika ia kemudian berjongkok lagi di antara para pengawal
ayahnya, maka ia sudah tidak dapat bertahan lagi. Tangisnya
seakan-akan meledak dari dalam dadanya yang bengkak.
Tangis seorang gadis yang dilanda gejolak perasaan tiada
tertahankan lagi. Sejenak gembala tua dan kedua murid-muridnya saling
berpandangan. Namun kemudian orang tua itu berdiri dan
berjalan mendekati Pandan Wangi. Setelah duduk bersimpuh di
belakangnya, orang tua itu berdesis, "Sudahlah, Ngger. Agaknya
demikianlah yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Adil.
Tetapi pasti hal yang terjadi ini bukan tanpa maksud. Marilah kita
belajar untuk mengerti, apakah sebenarnya yang terjadi ini.
Kepada-Nya kita mohon ketenteraman hati. Sebenarnyalah
bahwa semua isi dan gerak alam ini berada di tangan-Nya.
Tetapi tangan itu adalah tangan Yang Maha Pengasih."
Pandan Wangi masih terisak.
"Tidak ada kekuasaan yang lebih mapan, bahkan yang
sekedar mendekati kekuasaan Yang Maha Kuasa itu.
Kekuasaan yang tidak pernah sisip. Kekuasaan yang tidak
ditrapkan untuk sesuatu pamrih yang tidak adil dan benar. Tetapi
apa yang terjadi adalah mutlak ada dan benar," gembala tua ini
berhenti sejenak lalu. "Angger, kita dapat menentang kekuasaan
duniawi, kekuasaan seseorang, karena kekuasaan itu kadangkadang
justru menumbuhkan ketidak-adilan, didorong oleh
pamrih. Tetapi kepada kekuasaan-Nya, kekuasaan Yang Maha
Kuasa kita harus pasrah dengan ikhlas."
Perlahan-lahan kepala gadis itu terangguk-angguk. Namun
tanpa sesadarnya terpandanglah wajah ayahnya yang terbaring
diam itu tiba-tiba bergerak. Perlahan-lahan matanya terbuka
meskipun yang tampak oleh Ki Argapati yang pertama-tama
adalah kehitaman malam. "Ayah," Pandan Wangi terpekik.
Gembala tua itu pun kemudian melihat Ki Argapati membuka
matanya. Perlahan-lahan ia berdesis, "Aku memang sudah
menyangka, bahwa ia akan segera sadar." Kemudian kepada
salah seorang yang ada di sampingnya ia berkata, "Kalau
mungkin carilah air yang bersih. Air dari sumur."
Pengawal itu memandangnya sejenak. Dan gembala tua itu
berkata kepada Pandan Wangi, "Berikanlah titik air di bibirnya.
Ingat setitik saja. Kalau terlampau banyak meskipun diminta, itu
akan berbahaya bagi ayahmu. Mungkin justru pernafasannya
akan tersumbat oleh air yang tidak dapat mengalir dengan lancar
di tenggorokannya." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
pengawal itu pun kemudian menggamit seorang kawannya untuk
pergi mencari air berdua. Di peperangan segala sesuatu
memang dapat terjadi meskipun sama sekali bukan karena
ketakutan. Sepeninggal kedua pengawal itu, gembala tua itu pun berkata
kepada Pandan Wangi, "Sudahlah, Ngger, yang penting cobalah
kau melayani ayahmu yang sudah mulai menyadari keadaannya.
Tetapi ingat, jagalah supaya ia tetap terbaring diam. Bagaimana
pun juga terasa haus, namun kau hanya dapat memberikan air
itu setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak."
Sambil mengangguk-angguk Pandan Wangi menjawab, "Baik,
Kiai." "Aku tidak dapat menungguinya sekarang. Peperangan yang
masih berkecamuk itu harus segera selesai, supaya korban tidak
berjatuhan tanpa arti. Aku akan segera kembali dan membawa
Ki Argapati memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya itu."
"Baiklah, Kiai."
Maka setelah meraba-raba tangan Ki Argapati dan
mendengarkan detak jantung di dadanya, gembala tua itu pun
kemudian berdiri dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Ki
Argapati yang dengan perlahan-lahan mulai menyadari dirinya
ditunggui oleh puterinya beserta beberapa orang pengawal.
Bersama kedua murid-muridnya, gembala tua itu pun
kemudian menuju ke medan peperangan yang masih
berlangsung dengan serunya. Desak mendesak silih berganti.
Sorak-sorai dari kedua belah pihak telah jauh menurun,
karena kini mereka lebih mementingkan memusatkan perhatian
atas lawan-lawan mereka karena setelah seluruh tubuh masingmasing
dibasahi oleh keringat, nafsu yang menyala di dada pun
seakan-akan menjadi semakin panas.
Meskipun kekosongan senapati terasa pula oleh setiap orang
di dalam induk pasukan, tetapi karena tidak ada kekuatan yang
melampaui kekuatan mereka masing-masing, maka pertempuran
berlangsung terus dengan sengitnya.
Namun pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih
mempunyai seorang yang dapat mengikat mereka dalam suatu
tata pertempuran yang lebih teratur. Samekta. Meskipun ia tidak
jauh lebih baik dari setiap orang yang sedang bertempur, namun
ia telah berhasil mengikat induk pasukannya dalam gelar yang
baik dan terarah. Sejenak kemudian gembala tua bersama kedua anakanaknya
itu pun sudah menjadi semakin dekat dengan hirukpikuknya
peperangan. Sejenak gembala tua itu berhenti.
Kemudian katanya, "Kita membagi pekerjaan agar cepat selesai.
Kita harus melumpuhkan senapatsenapatinya lebih dahulu,
agar lawan kehilangan pegangan."
"Bagus," sahut Gupala serta-merta.
"Kau keliru," potong gurunya, "aku tahu maksudmu. Kau akan
membinasakan setiap senapati termasuk Sidanti dan Argajaya."
"Bukankah itu yang harus kita lakukan?"
Gembala tua itu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kalian
harus menangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membantu
Angger Hanggapati menangkap Sidanti dan kau berdua harus
berusaha menangkap Argajaya hidup-hidup."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tampak kekecewaan
membersit di wajahnya. Namun sambil mengngguk-anggukkan
kepalanya Gupita menjawab, "Baik, Guru. Kami akan berusaha
menangkap mereka hidup-hidup."
"Mustahil," tiba-tiba Gupala bergumam seakan-akan kepada
diri sendiri. Gupita mengerutkan keningnya mendengar gumam Gupala
itu, sedang gurunya sejenak menjadi termangu-mangu.
Ditatapnya wajah muridnya yang gemuk itu. Kemudian terlontar
pertanyaannya,"Kenapa mustahil?"
"Bukankah Kakang Gupita dan Guru pernah melihat,
bagaimana Argajaya berkelahi melawan Raden Sutawijaya di
pinggir kali opak itu?"
Gupita mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian tanpa
sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di
rongga matanya, betapa keras hati adik Kepada Tanah Perdikan
Menoreh itu. Meskipun ujung senjata Sutawijaya telah melekat di
dadanya, namun Argajaya sama sekali tidak ingin menundukkan
kepalanya. Baginya lebih baik mati daripada harus mengakui
kemenangan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi kini
ia berada di atas Tanah Perdikan ini, dan dengan sengaja telah
melawan kakaknya sendiri.
"Ia memang keras kepala," desis gurunya.
"Jadi, bagaimana pertimbangan Guru?" bertanya Gupala.
"Aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya ia tertangkap
hidup-hidup. Biarlah Ki Argapati yang mengambil keputusan,
hukuman apa yang harus diterimanya."
"Ia tidak akan menyerah. Ia akan melawan sampai mati."
"Jangan terlalu bodoh. Kalian dapat berbuat sesuatu,
sehingga Argajaya akan kehilangan tenaga untuk melawan,"
sahut gurunya, "karena aku yakin, Sidanti pun akan berbuat
demikian." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Baik,
Guru, aku akan mencobanya."
"Apakah kami harus membuatnya tidak mampu membunuh
diri sekalipun?" Gurunya menganggukkan kepalanya, "Ya. Begitulah."
"Itulah yang sulit. Batas antara kemungkinan itu dan
selangkah lagi, mati, adalah sulit sekali. Dalam perkelahian kita
kadang-kadang sulit untuk mengekang diri."
"Yang sulit itulah yang harus kau coba," desis gurunya.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam.
"Nah, jangan terlampau lama. Kita harus cepat
melakukannya." Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian mereka pun berpisah dengan gurunya. Gembala tua
itu mencari Sidanti sedang kedua murid-muridnya mencari
Argajaya. Adalah suatu kesengajaan bahwa bukan kedua muridmuridnyalah
yang harus melawan Sidanti. Dendam yang
tersimpan di dada kedua belah pihak tidak akan dapat reda
untuk sepanjang umur mereka. Karena itu, apabila mereka
bertemu di peperangan, maka kedua belah pihak tidak akan
dapat mengekang diri masing-masing. Meskipun Argajaya pun
merupakan lawan yang tangguh, didahului oleh pertentangan
yang telah lama tergores di dalam hati masing-masing tetapi
sebenarnya mereka tidak mempunyai persoalan yang langsung
seperti persoalan mereka dengan Sidanti.
Maka masing-masing pun kemudian memasuki kembali hirukpikuknya
peperangan. Gembala tua itu masih sempat menemui
Samekta dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ki Tambak
Wedi telah mati. Dan tiba-tiba saja, tanpa dapat ditahan-tahan
lagi, meledaklah sorak yang selama ini sudah mereda. Kematian
Ki Tambak Wedi telah menggelorakan kembali dada para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga mereka pun
kemudian meneriakkan kematian itu sambil memutar senjatasenjata
mereka lebih cepat lagi. "Ki Tambak Wedi telah mati! Ki Tambak Wedi telah mati!"
Sorak-sorai yang gemuruh, yang seolah-olah hendak
memecahkan langit itu, telah menggoncangkan setiap dada anak
buah iblis yang sudah terbunuh itu. Kematian Ki Peda Sura telah
membuat mereka berdebar-debar. Dan kini orang yang paling
mereka bangga-banggakan telah mati pula.
Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak percaya
sehingga mereka pun berteriak-teriak tidak kalah kerasnya,
"Bohong! Akal licik! Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mati oleh
siapa pun." Dan yang lain berteriak pula, "Jangan percaya! Jangan
percaya!" Sorak yang membahana itu pun akhimya dapat didengar oleh
Sidanti dan Argajaya. Dada mereka serasa dihentakkan oleh
suatu tenaga yang kemudian menyelusur ke segenap urat nadi.
Hampir saja mereka kehilangan akal, dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Tetapi lamat-lamat mereka pun mendengar teriakan,
"Bohong! Akal licik!"
Darah Sidanti dan Argajaya yang rasa-rasanya hampir
berhenti mengalir itu pun segera bergejolak kembali. Bahkan api
yang menyala di dalam dada serasa tersiram minyak oleh berita
yang hampir saja melumpuhkan mereka.
"Akal licik," Sidanti menggeram. "Aku tidak percaya bahwa
Guru terbunuh. Tidak ada orang yang akan dapat
membunuhnya." Dengan demikian maka Sidanti pun kemudian justru menjadi
semakin bernafsu. Senjatanya menggelepar menyambarnyambar
dengan dahsyatnya, sehingga setiap kali Hanggapati
masih tetap harus menghindari sambil melangkah surut
berputar-putar. Apalagi ketika Sidanti menjadi seakan-akan
terbius oleh kemarahan mendengar berita yang dianggapnya
licik. "Orang-orangmu sudah mulai berputus asa," ia menggeram,
"sehingga mereka terpaksa mengarang ceritera yang sangat licik
dan memalukan itu." "Apakah kau yakin bahwa berita itu tidak benar?" berkata
Hanggapati sambil melawan sekuat-kuat tenaganya.
"Aku yakin. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat terbunuh oleh
siapa pun di dalam peperangan serupa ini. Argapati pun tidak
akan mampu menyentuhnya."
Namun sebelum Hanggapati menjawab, terdengarlah suara
seseorang yang seakan-akan meledakkan jantung Sidanti.
Dalam kisruhnya peperangan, muncullah gembala tua itu sambil
berkata, "Sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah terbunuh.
Tombak Ki Argapatlah yang telah menembus dadanya, sebagai
akibat dari ketamakannya. Apa boleh buat. Kematiannya akan
mengakhiri semuanya. Api yang membakar Tanah Perdikan ini
pun pasti akan segera padam."
Kehadiran orang tua yang tidak disangka-sangka itu serasa
membuat darah Sidanti membeku. Mungkin ia dapat
mengelabuhi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai teriakanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
teriakan yang bergema di peperangan tentang Ki Tambak Wedi.
Tetapi keterangan orang tua itu serasa jatuhnya suatu kepastian,
bahwa Ki Tambak Wedi memang sudah terbunuh.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, sejenak Sidanti seakan-akan membeku di
tempatnya. Ditatapnya gembala tua itu dan Ki Hanggapati yang
tegak di tempatnya, bergantganti.
"Sidanti," berkata orang tua itu, "tidak ada kesempatan untuk
menyesal bagi Ki Tambak Wedi. Akhir hidupnya adalah
keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang telah
dilakukan semasa hidupmya telah mendapatkan penilaian
terakhir. Dengan demikian ia tinggal menjalani akibat perbuatanperbuatan
yang dilakukan semasa hidupnya."
Sidanti memandang wajah gembala tua itu dengan tajamnya.
Sejenak ia mencoba mencernakan kata-kata itu.
"Tetapi kau belum Sidanti," berkata gembala tua itu
selanjutnya, "kau masih tetap hidup. Kau masih mempunyai
kesempatan untuk mengakhiri petualangan yang tidak akan
bermanfaat bagi siapa pun juga itu. Apalagi bagi dirimu sendiri.
Semasa hidupmu dan juga di masa langgeng."
Sidanti masih berdiri tegak. Pedangnya masih tergenggam
erat di tangannya. Namun tiba-tiba hiruk-pikuk peperangan telah
membangunkannya. Dentang senjata telah mencairkan kembali
darahnya yang serasa membeku. Ketika ia mendengar pekik
kesakitan disusul oleh keluhan yang terputus, anak muda itu
berteriak, "Aku bukan pengecut. Ayo, kalau kalian memang
mampu, bunuh Sidanti."
Gembala tua itu memang sudah memperhitungkan, bahwa
demikianlah sikap Sidanti. Ia pasti tidak akan menyerah hiduphidup.
Ia pasti akan berusaha melawan sampai mati.
"Tetapi kalau ia sudah terlepas dari peperangan, mungkin ia
akan bersikap lain," berkata gembala tua itu di dalam hatinya. "Di
sini ia dikitari oleh kekerasan dan ujung senjata. "Maka hatinya
pun akan seruncing ujung pedangnya. Tetapi kalau ia tidak lagi
melihat kilatan pedang dan mendengar rintih kesakitan, mungkin
hatinya akan luluh juga."
Dengan demikian gembala tua itu masih mencoba berkata,
"Sidanti, apakah kau tidak juga mau melihat kenyataan"
Mungkin di saat-saat seperti ini kau tidak dapat melihat dengan
terang karena peperangan ini. Tetapi apabila kau mempunyai
kesempatan, melihat ke dalam dirimu sendiri dan membuat
kesimpulan dari apa yang telah terjadi ini dengan hati yang
bening, maka aku kira kau akan menarik suatu kesimpulan yang
lain." "Diam!" tiba-tiba saja Sidanti berteriak. "Jangan kau sangka
hatiku miyur seperti daun ilalang. Aku akan tetap tegak kemana
pun angin bertiup. Aku adalah batu karang yang tidak goyah oleh
prahara yang betapa pun dahsyatnya. Dan kematian guruku pun
tidak akan dapat merubah pendirianku. Tanah Perdikan Menoreh
harus jatuh ke tanganku. Apa pun yang akan terjadi."
"Bukankah sudah seharusnya demikian?" bertanya gembala
tua yang tiba-tiba saja teringat kepada sikap Ki Tambak Wedi
sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang
penghabisan. "Omong kosong," sahut Sidanti.
"Bukankah sudah seharusnya, bahwa jabatan Ki Argapati
sebagai Kepala Tanah Perdikan akan temurun kepada anaknya,
apalagi anak laklaki?"
Ternyata dalam keadaan itu, Sidanti sudah tidak sempat lagi
membuat pertimbangan yang wajar. Karena itu, seolah-olah
tanpa disadarinya ia berteriak, "Aku bukan anak Argapati."
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera
dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenamya Sidanti itu.
Namun yang lebih dahulu dilakukan adalah menangkapnya, dan
apabila Ki Argapati nanti dapat disembuhkannya, anak ini harus
dihadapkannya. Kalau Sidanti putera Ki Argapati maka orang tua
itu pasti akan dapat mengambil kebijaksanaan, seperti terhadap
adiknya juga. *** "Nafsu yang menyala-nyala di dalam dadanya telah
mendorongnya untuk membenci ayahnya sedemikian jauh,"
berkata gembala tua itu di dalam hatinya. "Atau mungkin Ki
Tambak Wedi telah meracuninya dengan pengertian yang lain?"
Tetapi gembala tua itu tidak dapat menemukan jawabnya. Kini
yang harus dilakukan adalah berbuat sesuatu sehingga ia dapat
melumpuhkan Sidanti dan menangkapnya hidup-hidup.
Sementara itu Gupita dan Gupala telah menemukan pula
lingkaran pertempuran Argajaya melawan Dipasanga. Ternyata
bahwa kemampuan mereka hampir tidak berselisih. Desak
mendesak. Kadang-kadang Argajaya terpaksa beringsut surut
beberapa langkah, namun kemudian ia berhasil mendesak
lawannya beberapa langkah maju. Senjata-senjata mereka
menyambar-nyambar tidak henthentinya. Tombak pendek
Argajaya berputar dan mematuk dari segenap penjuru, mengitari
tubuh lawannya. Namun agaknya Dipasanga pun tidak segera
bingung menghadapinya, meskipun kadang-kadang ia harus
meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Namun agaknya sorak-sorai tentang matinya Ki Tambak
Wedi, justru agak lebih berpengaruh pada Argajaya. Tanpa
Tambak Wedi perjuangan mereka tidak akan berhasil. Apabila
benar Ki Tambak Wedi terbunuh, maka api peperangan yang
sudah terlanjur berkobar di atas Tanah Perdikan ini tidak akan
ada artinya apa-apa, selain pembunuhan dan kekerasan yang
bengis. Tetapi seperti Sidanti, Argajaya pun berusaha untuk tidak
mempercayainya. Setiap kali ia berkata di dalam hati, "Ki
Tambak Wedi adalah seorang tua yang pilih tanding. Melawan
Kakang Argapati selagi ia saras sekalipun, Ki Tambak Wedi tidak
akan dapat dikalahkannya, dan apalagi terbunuh. Justru kini
Kakang Argapati sedang terluka parah. Maka yang paling
mungkin terjadi adalah sebaliknya. Justru Ki Tambak Wedlah
yang membunuh Ki Argapati apabila ia terjun ke peperangan."
Dengan demikian maka Ki Argajaya pun mencoba untuk
mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Ia ingin dapat menguasai
lawannya segera. Apabila Dipasanga dapat dilumpuhkannya,
maka sayap ini akan sepera dikuasai. Kerti dan bahkan Samekta
tidak akan banyak berarti.
"Mudah-mudahan Sidanti pun dapat membunuh lawannya
pula," katanya di dalam hati.
Namun, belum lagi Argajaya berhasil mendesak Dipasanga,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran dua orang anak-anak muda
di arena peperangan. Sejenak Argajaya terpaku diam di tempatnya memandangi
Gupita dan Gupala yang muncul hampir berbareng dengan
cambuk di tangan masing-masing.
"Jadi ?""," Argajaya berdesis, "orang bercambuk yang
selama ini dibayangkan ternyata adalah kalian. Bukan orangorang
yang kau pergunakan untuk sekedar mengelabui kami."
"Ya. kami memang berada di peperangan selama ini," jawab
Gupala. "Persetan! Kenapa kalian selalu bersembunyi, dan baru
sekarang menampakkan diri?"
"Kami tidak pernah bersembunyi."
"Tetapi kalian tidak pernah menyatakan diri kalian dengan
jujur. Kalian selalu curang dan licik."
"Apakah kami tidak jujur" Aku tidak tahu maksudmu. Aku
bertempur di peperangan ini. Dan aku bersama kakakku telah
berhasil membunuh Ki Peda Sura, sementara Guru telah
mengantarkan Ki Tambak Wedi ke ujung tombak Ki Argapati.
Kenapa kami tidak jujur" Mungkin karena kami baru sekarang
bertemu dengan kau. Dan itu bukan berarti bahwa kami
bersembunyi. Di peperangan lawan tersebar dari ujung sampai
ke ujung gelar. Kami tidak perlu memilih. Tidak ada keharusan
pada kami untuk bertempur melawan Ki Argajaya, bukan yang
lain." Argajaya menggeram. Ditatapnya wajah kedua anak-anak
muda itu bergantganti. Kemudian berpindah kepada Dipasanga
yang berdiri tegak dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu terdengar Gupala berkata kepada Dipasanga,
"Ki Dipasanga, kami mendapat perintah untuk menangkap Ki
Argajaya hidup-hidup."
"Persetan!" teriak Argajaya. "Tidak seorang pun dapat
menyentuh kulitku selagi aku masih bernafas."
Gupala mengerutkan keningnya, sedang Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Adiknya memang selalu menuruti
perasaannya saja. Pernyataannya itu sudah tentu telah
membakar hati Argajaya yang memang sudah sekeras batu-batu
padas di perbukitan. Dipasanga pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sesaat ia tidak menjawab.
Karena tidak seorang pun yang menyahut, maka Gupala
berkata seterusnya. Kali ini kepada Argajaya, "Nah, bukankah
kau bersedia membantu kami" Bukan untuk kepentingan kami,
tetapi untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Tanah
Perdikan yang kini sedang kisruh oleh pokal Ki Tambak Wedi.
Sekarang Ki Tambak Wedi sudah mati."
Tubuh Argajaya telah menjadi gemetar menahan kemarahan
yang menyesak dadanya, sehingga jawabnya kasar, "Bunuh
aku, baru aku akan menyerah."
"Bukan begitu," sahut Gupita. "Maksud kami, apakah kau
tidak mempertimbangkan kemungkanan lain daripada
menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kalau peperangan ini
berlangsung terus, maka korban akan menjadi semakin banyak.
Hal itu tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Sedang
kedua belah pihak yang kini berhadapan adalah dari pecahan
keluarga sendiri selain Ki Tambak Wedi. Dan Ki Tambak Wedi
yang menurut dugaanku telah menyalakan api peperangan ini,
sekarang telah terbunuh."
"Tidak. Aku bukan kepompong yang paling bodoh," Argajaya
berteriak. "Apakah kau sangka bahwa aku tidak mempunyai otak
untuk berpikir dan bersikap, sehingga kau menganggap aku
sekedar sebagai peraga yang digerakkan oleh Ki Tambak Wedi"
Tidak. Aku mempunyai kepentingan dengan peperangan ini. Aku
mempunyai suatu cita-cita. Tanah ini tidak boleh menjadi Tanah
yang banci, yang tidak mempunyai jangka sama sekali. Tanah
yang sekedar harus menundukkan kepala kepada Kakang
Argapati apa pun yang diinginkannya."
Gupala tiba-tiba memotong, "He, bukankah kau adik Ki
Argapati itu" Kalau ada kekurangan di dalam pemerintahannya,
kau dapat menyampaikannya langsung kepadanya. Kenapa kau
harus menempuh jalan ini" Apakah kau sendiri sebenarnya ingin
menjadi Kepala Tanah Perdikan" Tetapi dengan demikian kau
harus berkelahi melawan Sidanti."
"Diam!" terak Argajaya yang menjadi semakin marah. Anak
muda yang gemuk itu berbicara sekehendaknya sendiri tanpa
menghiraukan apa pun juga. "Apa pun yang akan aku lakukan.
Aku tidak akan menyerah sebelum aku mati. Nah, bunuhlah aku
sekarang. Itu akan lebih baik. Kenapa kau tidak membawa
kawanmu yang seorang itu, anak Pemanahan yang sombong."
"Apakah kau akan bertemu" Ia ada di sini pula sekarang."
Wajah Argajaya menjadi semakin membara. Sejenak
ditatapnya wajah Gupala yang tersenyum-senyum. Bahkan ia
melanjutkan, "Kalau kau mau ikut aku, mari, aku bawa kau
kepadanya." "Persetan!" dada Argajaya serasa akan meledak karenanya.
Dan anak yang gemuk itu masih saja tersenyum. Bahkan
kemudian ia berkata kepada Ki Dipasanga, "Ki Dipasanga,
marilah aku dan Kakang Gupita mendapat perintah untuk
membantu Ki Dpasanga menangkap Ki Argajaya. Hidup-hidup.
Sebab ia adalah adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Tetapi sebelum Dipasanga menjawab, Argajaya telah tidak
dapat lagi menahan dirinya. Dengan garangnya ia meloncat
sambil berteriak, "Kubunuh kau lebih dahulu."
Tetapi Gupala pun telah menyiapkan dirinya. Segera ia
bergeser menghindari serangan Argajaya yang sekedar didorong
oleh kemarahan yang meluap-luap sehingga sasarannya tidak
dapat dicapainya. Dengan demikian, maka pertempuranpun segera dimulai
kembali. Bukan saja Gupala, tetapi Gupita dan Dipasanga pun
harus ikut pula. Menangkap Argajaya hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang
mudah meskipun mereka adalah Gupita, Gupala dan Dipasanga
yang masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang
dengan Argajaya, bahkan mungkin melampauinya meskipun
hanya selapis. Argajaya yang merasa dirinya terkepung, sama sekali tidak
berpikir lagi untuk mempertahankan hidupnya, karena ia tahu
bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan ketiga lawannya yang
sudah dikenalnya. Argajaya dapat mengerti, betapa ketiganya
mempunyai ilmu yang memungkinkan untuk menangkapnya.
Namun untuk mati tidaklah terlampau sukar daripada bertahan
untuk hidup. Karena itu, dibayangi oleh perasaan putus asa ia
mengamuk sejadjadinya. Tombaknya menyambar-nyambar
tidak henthentinya ke segenap arah untuk melindungi dirinya.
Bukan karena ia tidak mau mati oleh senjata lawannya, tetapi ia
ingin membawa salah seorang dari mereka atau lebih, untuk
mati bersama-sama. Gupala sekalsekali menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengumpat ia berbisik kepada Gupita, "Kenapa kita harus
menangkapnya hidup-hidup. Apakah salahnya kalau ia terbunuh
di peperangan?" "Hus, jangan kehilangan akal. Kita harus berusaha
menangkapnya hidup-hidup. Betapa sulitnya."
Gupala mengecutkan dahinya. Tangannya seakan-akan
menjadi gatal. Membunuh Argajaya dalam keadaan itu
sebenarnya tidak terlampau sulit. Tetapi membujuknya untuk
menyerah adalah pekerjaan yang justru terlampau sulit.
"Kita harus merebut senjatanya," desis Gupita.
"Aku sudah terluka," geram Gupala, "kalau kita tidak berhasil
maka lukaku akan bertambah, dan barangkali aku akan mati
untuk menangkap Argajaya hidup. Aku dan barangkali juga kau
dan Ki Dipasanga, sementara Argajaya tidak akan tertangkap."
"Kita akan mencoba."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa pun
dadanya serasa akan bengkah. Tetapi ia harus tunduk seperti
yang dipesankan oleh gurunya.
Dengan demikian maka sekali lagi mereka mencoba,
menangkap Argajaya yang mengamuk seperti serigala lapar. Ia
sama sekali sudah kehilangan tujuan perkelahiannya, selain mati
bersama lawan sebanyak-banyaknya dapat dilakukan.
Tetapi Gupita sama sekali tidak kehilangan akal. Meskipun
Dipasanga kadang-kadang mengalami kesulitan dengan sikap
Argajaya itu, namun ternyata ia cukup dewasa menghadapi
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya. Ki Dipasanga lebih baik meloncat surut menghindari
benturan-benturan yang berbahaya daripada kemungkinan
senjatanya menembus dada lawannya yang putus asa itu.
Gupalalah yang berkelahi tidak dengan sepenuh kemauan.
Kadang-kadang saja ia menyerang, kemudian bertolak pinggang
sambil memegangi tangkai cambuknya sementara Gupita dan
Dipasanga bertempur terus. Bahkan Gupala masih juga sempat
melepaskan ketegangan di dadanya dengan menyerang orangorang
Sidanti yang bertempur di sekitarnya dengan ujung
cambuknya. Gupita yang kadang-kadang melihat tingkah laku Gupala itu
hanya dapat menarik nafas. Ia tahu, betapa anak muda yang
gemuk itu menahan diri sekuat-kuatnya agar tangannya tidak
terlanjur menyerang lawannya di tempat-tempat yang
berbahaya. Sementara itu Gupita sendiri berusaha sekuat-kuat tenaganya
untuk melumpuhkan Argajaya. Kalau ia mampu melepaskan
senjatanya, maka kemungkinan untuk menangkapnya akan
menjadi semakin luas. "Buat apa membiarkannya hidup-hidup?" Gupala masih saja
bertanya. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya hampir berbisik,
"Kita hanya sekedar melakukan perintah Guru."
Gupala tidak bertanya lagi. Dipandanginya Argajaya dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba ia berbalik dan menyerang seorang
dari pasukan lawan dengan cambuknya. Ketika cambuk itu
menggeletar, terdengarlah pekik kesakitan. Hanya sejenak,
kemudian seseorang jatuh tersungkur.
"Jangan gila," desis Gupita. Tetapi Gupala sama sekali tidak
mengacuhkannya. Dengan susah payah Gupita dan Dipasanga berhasil
memeras tenaga Argajaya yang terbatas. Perlahan-lahan namun
pasti, tenaga Argajaya menjadi semakin susut. Keringatnya
seakan-akan terperas dari segenap permukaan kulitnya, dan
bahkan nafasnya pun menjadi semakin dalam di rongga
dadanya. Tetapi Argajaya benar-benar berhati batu. Ia sama sekali
tidak berpikir dan tidak mempertimbangkan, untuk merubah
pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan berkelahi terus
sampai mati. "Lihat," bisik Gupita, "tenaganya sudah jauh susut."
"Tidak ada gunanya. Ia akan mati dengan sendirinya.
Nafasnya akan terputus oleh kelelahan. Kita hanya akan
kehilangan waktu. Kalau sejak sekarang kita bunuh saja orang
itu, kita sendiri tidak akan kehabisan nafas."
"Aku tidak berani melanggar perintah Guru. Bahkan Ki
Dipasanga sama sekali tidak berhasrat melanggarnya."
Gupala menarik dahinya tinggtinggi, sehingga kerut-merut
yang dalam tergores dari ujung sampai ke ujung.
Ternyata Gupala pun kemudian melihat betapa Argajaya
hampir kehilangan seluruh kekuatannya. Kini ia berdiri
terhuyung-huyung, meskipun senjatanya masih tetap
tergenggam erat-erat. Bahkan oleh dorongan nafsu yang
melonjak-lonjak di dalam dadanya, ia masih mampu menyerang
dengan dahsyatnya, meskipun kemudian ia hampir-hampir
kehilangan keseimbangan. Kini Gupita sampai pada rencananya yang terakhir. Ia harus
merebut tombak pendek itu. Kemudian melumpuhkan lawannya
dan menangkapnya. Kalau perlu membuatnya kehilangan
tenaga untuk berbuat apa pun.
Dengan isyarat kedipan mata, Gupita mengajak Ki Dipasanga
untuk mencoba mengakhiri perkelahian itu. Kemudian ia berbisik
kepada Gupala, "Kesempatan sudah terbuka Gupala, bantulah
melakukan perintah Guru. Menangkap Argajaya hidup-hidup.
Bagaimana pun juga ia adalah adik Ki Argapati. Agaknya Guru
tidak mau membuat Ki Argapati merasa kehilangan."
Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang
Argajaya yang benar-benar sudah kehabisan nafas. Sebenarnya
membunuh orang itu sama mudahnya dengan memijat ujung
dahi sendiri. Orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu,
berdiri terhuyung-huyung bertelekan tangkai tombaknya. Namun
demikian Argajaya masih berkata lantang di sela-sela desah
nafasnya yaug memburu, "Ayo, siapakah di antara kalian yang
jantan" Apakah kalian pengecut yang tidak berani melihat darah.
Ini dadaku. Ayo, bunuh aku dengan segala macam senjata yang
ada padamu." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang olehnya,
Argajaya itu berdiri tegak di atas pasir tepian Kali Opak.
Meskipun waktu itu senjatanya sudah terlepas dari tangannya,
namun ia masih menengadahkan dadanya sambil berkata, "Ayo,
kalau kau jantan bunuh aku."
Dan kini sikap itu diulanginya. Apalagi senjatanya kini masih
tetap di dalam genggaman.
"Jangan menunggu terlampau lama, Gupala," desis Gupita.
Gupala pun kemudian melangkah maju. Mereka bertiga
mengambil arah yang berbeda-beda. Sementara Argajaya masih
menggeram. Tatapan matanya menjadi liar, dan wajahnya
seakan-akan menyala. Sementara itu Gupala berdesis, "Tidak mungkin
menangkapnya tanpa melukainya. Kalau luka itu kemudian
membunuhnya, itu sama sekali bukan salah mereka yang
melukainya." Namun Gupala terkejut ketika ia mendengar suara cambuk
meledak. Agaknya Gupita sudah mulai dengan usahanya
melepaskan senjata Argajaya dari tangannya.
Ledakan itu telah mendorong Argajaya beberapa langkah.
Terhuyung-huyung ia mencoba menghindar. Meskipun Gupita
sama sekali tidak ingin melukainya, tetapi cambuk itu meledak
beberapa cengkang saja di depan wajahnya.
"Ayo anak iblis, kaulah yang akan mati pertama-tama," desis
Argajaya di sela-sela desah nafasnya.
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju, sehingga
Argajaya terpaksa mundur setapak. Tetapi Argajaya itu terlonjak
ketika tiba-tiba saja kakinya serasa disengat oleh panasnya bara
api, disertai sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Ternyata
bahwa Gupala telah menyerang mata kaki Argajaya dengan
ujung cambuknya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
mencegah adik seperguruannya, agar anak yang gemuk itu tidak
justru menjadi semakin nekat untuk melepaskan sesak di
dadanya. Tetapi Dipasanga pun ternyata mengambil kesempatan itu.
Senjatanya segera terjulur mengarah ke dada Argajaya. Dengan
susah payah Argajaya menangkis senjata Dipasanga. Namun
dengan cepatnya Dipasanga menarik senjatanya dan
mengurungkan serangannya.
Argajaya yang semakin lemah itu justru terhuyung-huyung
oleh tarikan tenaganya sendiri. Beberapa langkah ia terseret ke
samping. Dengan susah payah ia bertahan sehingga ia tidak
terjatuh. Tetapi Gupala benar-benar tidak dapat menahan diri. Dalam
keadaan yang demikian sekali lagi cambuknya meledak. Dan
sekali lagi Argajaya terloncat karena ujung cambuk Gupala
mematuk kakinya. Tetapi keadaan sama sekali tidak menguntungkan.
Keseimbangannya benar-benar tidak dapat dikuasainya lagi,
sehingga tanpa dapat ditolong lagi. Argajaya terhuyung-huyung
jatuh tertelentang. Ia masih mencoba bertahan pada sebelah
tangannya. Tetapi ketika sekali lagi cambuk Gupita menyambar
tangan itu, maka Argajaya benar-benar terguling di tanah yang
berdebu. Sejenak Gupita terpaku di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia
melihat sebuah kesempatan. Selagi Argajaya mencoba berguling
menjauh, maka kali ini ujung cambuk Gupita-lah yang
mengejarnya. Sebuah sengatan telah mengenai pergelangan
tangan kanannya yang masih menggenggam tombaknya eraterat.
Terdengar sebuah keluhan tertahan, namun tombak itu
tidak terlepas dari tangannya.
Gupita mengerutkan keningnya. Orang ini benar-benar bukan
saja berhati batu, tetapi berhati baja.
Karena itu, sekali lagi Gupita melecutkan cambuknya. Kali ini
ujung cambuknya membelit tangkai tombak Argajaya. Dengan
sepenuh tenaga Gupita menghentakkan cambuknya untuk
memaksa tombak Argajaya terlepas dari tangannya.
Gupala yang melihat usaha itu segera membantu dengan
caranya. Selagi Argajaya bertahan, agar tombaknya tidak,
terlepas maka Gupala segera menyambar tangan Argajaya
dengan cambuknya. Bertubtubi, sehingga karah-karah besi
pada juntai cambuknya itu seakan-akan telah mengelupaskan
seluruh kulit di pergelangan tangan Argajaya.
Betapa sakitnya tangan Argajaya yang telah melelehkan
darah itu. Tetapi ia sama sekali tidak membuka genggaman
tangannya. Bahkan kemudian sambil berbaring di tanah kedua
tangannya menggenggam senjatanya itu erat-erat.
Gupala hampir saja menjadi waringuten. Hampir saja ia
kehilangan kesabaran dengan menyerang Argajaya di bagian
yang berbahaya. Untunglah bahwa Dipasanga berbuat lebih
cepat. Dilepaskannya senjatanya, kemudian dengan tangkasnya
ia meloncat menimpa Argajaya yang sudah kelelahan itu.
Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mendekap tangan
Argajaya dari belakang. Sejenak keduanya berguling-guling.
Tetapi kemudian Gupita dan Gupala pun ikut serta membantu.
Dengan demikian maka Argajaya telah dipaksa untuk
melepaskan tombaknya, karena Gupita dengan sekuat
tenaganya merebut tembak itu dari tangannya, sedang
Dipasanga memeganginya dari belakang.
Tetapi usaha itu ternyata tidak segera berhasil. Sejenak
mereka tarik menarik, seperti kanak-kanak berebut barang
mainan. Sekali lagi Gupala kehilangan kesebaran. Tiba-tiba saja
tangannya yang berat itu terayun. Sebuah pukulan sisi telapak
tangan telah menyentuh tengkuk Argajaya, sehingga dengan
tiba-tiba seluruh kekuatannya seakan-akan lenyap dari
tubuhnya. Perlawanannya pun tiba-tiba berhenti, sehingga justru
Gupita yang menarik tombaknya terdorong beberapa langkah
sehingga hampir saja jatuh tertelentang.
Ketika Gupita kemudian berhasil menguasai
keseimbangannya dan berdiri tegak dengan kaki renggang,
maka dilihatnya Argajaya telah terkulai dengan lemahnya,
menelungkup di tanah. Sejenak Gupita terpaku diam. Ditatapnya
wajah Gupala yang tegang dengan tajamnya.
"Aku hanya menyentuhnya," desis Gupala.
"Mudah-mudahan kau tidak membunuhnya," suara Gupita
tertahan-tahan. Dipasanga-lah yang kemudian berjongkok di sampingnya.
Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh Argajaya yang lemah itu.
Namun dengan serta-merta ia berkata, "Ia masih tetap hidup."
Kemudian tubuh itu pun dibaringkannya di tanah. Dengan
pengetahuan yang ada, Gupita mencoba memijit-mijit bagian di
bawah telinganya. Kemudian menggerakkan tangannya
perlahan-lahan. Nafas Ki Argajaya perlahan-lahan mulai mengalir lewat
lubang-lubang hidungnya. Satu-satu, namun kemudian semakin
lama menjadi semakin lancar.
"Kelelahan," berkata Dipasanga. "Sentuhan tangan Gupala
tidak menentukan." "Nah, bukankah kau hanya mendorongnya" Meskipun
seandainya aku tidak memukul tengkuknya betapa pun
lambatnya, ia akan pingsan karena nafasnya yang hampir
terputus." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Ia terlampau
banyak mencurahkan tenaganya."
"Tentu. Ia tidak mau tertangkap hidup-hidup. Kalau ia sadar,
maka ia akan melakukan perlawanan lagi."
Kita harus membawanya ke belakang garis peperangan."
Gupita pun kemudian memanggil beberapa orang pengawal
untuk menggantikan tempatnya, maka Dipasanga dan Gupalalah
yang mendapat kesempatan.
"Tetapi kau sedang berhadapan dengan manusia-manusia
meskipun ia lawanmu," berkata Gupita.
"Tentu. Justru aku berhadapan dengan manusia-manusialah
aku benar-benar harus mempertahankan hidupku. Karena
mereka sedang berusaha untuk membunuhku."
"Kau dapat mempertahankan hidupmu. Tetapi perlakuanmu
terhadap lawan-lawanmu adalah perlakuan seorang prajurit
jantan, dengan mengindahkan segala sopan-santun
peperangan." "Maksud Kakang?"
"Jangan bertindak berlebih-lebihan. Banyak contoh telah kau
lihat, bahwa kelakuan yang demikian tidak memberikan apa-apa
kepada kita." Gupala mengangguk. Tetapi ia mengumpat di dalam hati,
"Persetan. Bagaimana aku dapat berbuat sopan terhadap
manusia-manusia yang buas dan liar itu?" Meskipun kemudian
terdengar suara di dasar hatinya, seolah-olah suara gurunya,
"Apakah kau juga harus menjadi buas dan liar?"
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Dipasanga
telah mulai melibatkan diri di peperangan, sedang para
pengawal telah mengangkat tubuh Argajaya dan membawanya
ke belakang garis perang bersama Gupita.
Tetapi untuk sejenak Gupala masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. Ia memandangi saja bagaimana Dipasanga
mengayunkan senjatanya. Meskipun orang itu bertempur di
antara orang-orang yang kasar, namun ia tetap dapat menguasai
dirinya, meskipun ia tidak kurang tangkas dan cepat.
Sekilas terbayang di rongga matanya, prajurit Pajang yang
berada di Sangkal Putung, selagi mereka bertempur melawan
pasukan Tohpati dan Ki Tambak Wedi di padukuhan Tambak
Wedi. Tanpa mengurangi nilanilai peperangan dan ketahanan
mempertahankan diri, Gupala dapat melihat perbedaan cara
yang dipergunakan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang
bercampur-baur dengan orang-orang Ki Peda Sura, dengan cara
yang dipergunakan oleh Ki Dipasanga.
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun keningnya
menjadi berkerut-merut apabila ia melihat bahwa para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh pun sebagian terbesar sama sekali
tidak mampu menahan diri, sehingga mereka berkelahi tidak
ubahnya seperti cara-cara yang dipergunakan oleh lawan-lawan
mereka.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Gupala menggeleng, "Aku tidak boleh
mempergunakan cara itu." Dan tanpa sesadarnya ia berkata
kepada diri sendiri, "Benar juga pesan Kakang Gupita."
Dan sesaat kemudian Gupala pun telah menerjunkan dirinya
di dalam peperangan dengan cambuknya yang panjang. Sekalisekali
terdengar sebuah teriakan nyaring, kemudian pekik
kesakitan. Tetapi Gupala selalu mencoba mengekang dirinya
untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela di
peperangan. Ia menghindari perlakuan yang dapat
menumbuhkan kesan kekejaman tanpa batas, meskipun
kadang-kadang cambuknya tanpa dikekendakinya sendiri, telah
mengelupas kulit-kulit wajah lawannya.
Ternyata bahwa garis peperangan telah bergeser semakin
mendekati padukuhan induk. Pasukan Sidanti sudah tidak lagi
dapat dibimbing oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya. Bahkan
pemimpin-pemimpin kelompok yang ada pun sama sekali sudah
tidak berpengharapan lagi. Berita tentang Argajaya pun segera
merayap dari ujung ke ujung pasukan.
Bahkan orang-orang yang tidak dapat melihat dengan pasti,
apakah yang telah terjadi dengan Argajaya segera meneriakkan
kematiannya. Sehingga dengan demikian maka gairah
perlawanan orang-orang Sidanti itu sama sekali telah lenyap.
Bahkan beberapa orang anak buah Ki Peda Sura yang sama
sekali sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi karena
kekalahan yang tidak disangka-sangka itu, telah mulai bimbang.
"Buat apa kita bertempur?" desis seseorang kepada
kawannya. Kawannya menggeleng, "Kami masih mengharap dapat
bertahan. Meskipun besok kita harus lari, tetapi kita masih
mendapat kesempatan untuk mencari sesuatu di induk Tanah
Perdikan ini sendiri. Tetapi agaknya keadaan berkembang lain."
"Apakah kita menunggu leher kita terputus di atas Tanah
yang ternyata sangat gersang ini."
"Sepeninggal Ki Peda Sura, kita memang sudah tidak
berpengharapan lagi."
Demikianlah sikap itu menjalar dari seorang keorang yang
lain. Bahkan orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu
dengan maksud serupa, yang bukan anak buah Ki Peda Sura
pun telah dijangkiti oleh pendirian itu. Mereka sama sekali tidak
dapat mengharap apa-apa lagi dari peperangan ini.
Bahkan satu dua di antara mereka telah meninggalkan
peperangan itu dengan diam-diam.
Dengan demikian maka pasukan yang tampaknya masih
tetap berada di dalam gelar itu sama sekali sudah tidak
mempunyai kekuatan lagi. Senapati yang tinggal satu-satunya
adalah Sidanti. Namun ternyata bahwa Sidanti tidak mampu berbuat banyak.
Ia tidak dapat menguasai seluruh medan, karena ia sendiri
sedang sibuk bertempur melawan Hanggapati.
Apalagi disadarinya, bahwa sepasang mata selalu
mengawasinya, dari antara para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. "Anak itu memang luar biasa," desis orang yang masih
memandanginya hampir tanpa berkedip. "Tenaga dan
kemampuannya ngedab-edabi. Sayang ia jatuh ketangan yang
salah, sehingga ia pun telah tersesat jalan."
Namun kesesatan itu tidak mengurangi kekaguman gembala
tua yang sedang menunggui pertempuran yang masih saja
berlangsung dengan sengitnya.
Gembala tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melibat
warna-warna semburat merah membayang di langit. Tanpa
sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam, "Semalam kami telah bertempur. Mudah-mudahan
setelah matahari terbit pagi nanti, semuanya akan dapat
diselesaikan. Masalah-masalah yang selama ini seakan-akan
mencengkam Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan dapat
diuraikan. Dan api yang selama ini berkobar akan dapat
dipadamkan." Dan tiba-tiba orang tua itu menyadari, bahwa kini ia masih
menghadapi seorang anak muda yang berhati baja. Kalau anak
ini sudah dapat dikuasainya, maka pasukan lawan sama sekali
sudah tidak mempunyai seorang pimpinan pun. Pasukan itu
pasti akan segera terpecah.
Karena itu, maka gembala tua itu melangkah semakin dekat.
Tetapi ia masih tertarik melihat cara Sidaniti mempergunakan
senjatanya. Dengan demikian ia masih termenung sejenak
memandangi pertempuran itu.
Orang tua menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar
beberapa meneriakkan kematian Argajaya. Seakan-akan berita
itu sudah sedemikian meyakinkan, bahwa Argajaya telah mati
terbunuh. Sidanti yang mendengar berita itu dari teriakan-teriakan yang
seakan menjalar itu mengangkat wajahnya sejenak. Ia ingin
meyakinkan pendengarannya. Dan suara yang merambat itu
masih saja menggema, "Argajaya mati! Argajaya mati!"
"Persetan!" Sidanti menggeram. "Aku tidak memerlukan siapa
pun lagi. Ayo, siapa lagi yang akan maju ke medan ini" Kau
orang tua bangka" Kenapa kau diam saja" Apakah kau takut
melawan aku, he?" Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika
dipandangnya Hanggapati sejenak orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Hanggapati yang kebetulan juga memandanginya,
seolah-olah bertanya kepadanya seperti Sidanti, "Kenapa kau
diam saja?" Dan pertanyaan itulah yang telah mendorongnya untuk maju
lagi. Tetapi ia masih berkata, "Kenapa kau mengeraskan niatmu
serupa itu Sidanti?"
"Jangan banyak bicara. Bunuh aku atau aku membunuhmu."
"Kau menjadi putus asa, seolah-olah harhari mendatang
adalah harhari yang sangat gelap bagimu. Seharusnya kau
percaya bahwa Ki Argapati akan bersikap adil. Kau adalah
anaknya. Dan demikianlah seorang bapa. Betapa pun ia bersakit
hati, tetapi apabila anak itu telah kembali ke pangkuannya
dengan penuh penyesalan, maka ia akan dimaafkan."
"Bohong. Kau mencoba menjebak aku. Argapati bukan
ayahku." Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan tidak sesadarnya ia mengusap dada dengan sebelah
tangannya, "Kau benar-benar keras hati, Ngger."
"Diam! Diam!" Dan Sidanti tidak menunggu lagi. Sekali lagi ia menyerang
Hanggapati yang untuk sejenak masih sempat memandang
gembala tua itu dengan penuh pertanyaan di wajahnya, "Kiai
mau apa sebenarnya?"
Orang tua itu menangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya peperangan yang masih berlangsung untuk
sejenak. Kemudian dipandanginya arena yang kecil tempat
Hanggapati berkelahi melawan Sidanti yang menjadi wuru.
Ternyata bahwa dalam keadaan yang seakan-akan tidak
terkuasai lagi. Sidanti menjadi sangat berbahaya. Beberapa kali
Hanggapati meloncat surut. Namun dengan demikian, perhatian
Sidanti sebagian terbesar tertuju kepada lawannya, hampir tidak
terbagi, selama laklaki tua itu belum berbuat apa-apa.
Namun kemudian hal itu terjadi. Darah Sidanti seakan-akan
jadi membeku dengan tiba-tiba ketika ia merasa sebuah
tangkapan yang tidak dapat dilawannya, pada tengkuknya.
Sebuah tangan yang kuat, telah mencengkamnya, seakan-akan
sebuah jepitan besi telah menghimpit lehernya. Perlahan-lahan
namun tidak dapat dilawannya, tubuhnya serasa menjadi
semakin lemah. Akhirnya Sidanti merasa, bahwa tangannya
sama sekali tidak mampu lagi untuk digerakkannya. Pandangan
matanya menjadi kabur dan nafasnya menjadi kian sesak.
"Tidurlah anak manis," terdengar sebuah desis ditelinganya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan kemudian
matanya pun menjadi semakin kabur.
Hanggapati memandanginya dengan penuh keheranan. Ia
berdiri tegak di tempatnya sambil memandang Sidanti yang
pingsan terbaring di tanah, sedang laklaki tua itu telah
berjongkok di sisi tubuh Sidanti yang terbaring itu.
"Aku memerlukannnya hidup-hidup," berkata orang tua itu
kepada Hanggapati. Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak segera menjawab. Ditatapnya Sidanti yang sama sekali sudah tidak berdaya lagi.
Agaknya orang tua itu telah berhasil menekan simpul syaraf
Sidanti yang langsung mempengaruhi pusat syarafnya.
"Aku akan membawanya ke belakang garis peperangan ini,"
berkata laklaki tua itu. "Mudah-mudahan api yang membakar
Tanah Perdikan ini segera akan padam."
"Lalu, bagaimana dengan pasukan lawan?" bertanya
Hanggapati. "Usirlah mereka bersama-sama dengan Kerti, Samekta, dan
para pengawal yang lain."
"Tetapi," orang tua itu mengerutkan keningnya, "aku harus
bertemu dengan Samekta. Ia harus menyediakan sepasukan
pengawal yang segera dapat digerakkan menguasai seluruh
daerah peperangan, terutama padukuhan induk."
Hanggapati mengerutkan keningnya.
"Orang-orang yang datang dari luar Tanah Perdikan ini dan
yang kemudian akan melarikan diri, pasti akan mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya selagi padukuhan-padukuhan ini
kosong." Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudahlah. Bantulah Kerti menyelesaikan tugasnya di sini."
"Baik, Kiai." Orang tua itu pun kemudian memapah Sidanti di pundaknya
dan membawanya mundur kebelakang garis peperangan.
Namun ia masih sempat menemui Samekta setelah seorang
penghubung memanggilnya. "Jangan terlambat," berkata orang tua itu mengakhiri
pesannya. "Agaknya satu dua orang telah meninggalkan
peperangan ini dengan diam-diam. Jalan lari itulah mereka akan
mempergunakan kesempatan."
"Baik, Kiai," jawab Samekta kemudian.
Maka sepeninggal gembala tua itu, Samekta menjadi semakin
sibuk. Untunglah bahwa gairah perlawanan pasukan Sidanti
yang telah kehilangan pemimpin-pemimpinnya itu telah menurun
jauh sekali, sehingga pasukan itu terus didorong mundur oleh
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama rakyat
yang setia kepada pemimpinnya.
Dengan cepat Samekta menunjuk beberapa orang yang
dipercayanya. Mereka harus menebar ke segenap sudut
padukuhan induk yang mungkin akan dilalui oleh pendatang
yang dibawa Ki Peda Sura atau kawan-kawan mereka. Memang
tidak mustahil bahwa sambil melarikan diri mereka akan mencari
kesempatan dalam kekosongan untuk merampok dan merampas
kekayaan yang tersisa. Seperti juga para pemimpin pasukan pengawal yang lain,
Samekta memperhitungkan, bahwa perlawanan pasukan lawan
tidak akan dapat bertahan sampai fajar. Karena itu, maka
sepasukan pengawal yang telah dipilihnya segera
diperintahkannya untuk mendahului. Mereka mendapat tugas
untuk mengamankan padukuhan induk, sebelum pasukan
pengawal seluruhnya memasuki daerah itu.
Pertempuran itu kini benar-benar telah menjadi berat sebelah.
Pasukan yang semula dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya, dan Ki Peda Sura itu sudah mulai pecah.
Mereka menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat mengikat
mereka di dalam kesatuan karena pemimpin-pemimpin mereka
telah habis. Itulah sebabnya, maka pasukan itu sama sekali tidak
lagi dapat menyesuaikan diri.
Hanya beberapa orang yang menjadi berputus asa sajalah
yang masih bertempur dengan gigih, karena mereka merasa
bahwa mereka tidak akan mendapat tempat lagi di harhari
mendatang di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi mereka sudah
tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lagi. Mereka merasa
bahwa tidak akan ada gunanya menyesal, sehingga karena itu,
maka lebih baik bagi mereka untuk binasa sama sekali. Sebab
apabila Tanah Perdikan ini kembali dikuasai oleh Ki Argapati dan
orang-orang yang setia kepadanya, maka mereka yang selama
ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya pasti akan dianggap
sebagai pengkhianat. Itulah sebabnya, maka kematian adalah
jalan yang sebaik-baiknya.
Tetapi ada juga yang memilih jalan lain. Lari. Ke mana pun.
Demikianlah maka seperti awan yang dihembus oleh angin,
perlahan-lahan pasukan yang telah kehilangan pimpinan itu
terpecah, kemudian berserakan tanpa arah. Yang mati, matilah
di peperangan. Sedang yang masih hidup berlarlarian tidak
menentu. Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh gembala tua,
beberapa orang anak buah Ki Peda Sura dan kawan-kawan
mereka memang mencoba mempergunakan kesempatan dalam
kekisruhan itu. Tetapi pasukan khusus yang dikirim oleh
Samekta, telah memasuki padukuhan induk itu lebih dahulu.
Mereka segera memencar ke segenap sudut, sehingga mereka
dapat langsung mengawasi orang-orang yang melarikan diri dan
mencoba memasuki rumah-rumah yang masih berpenghuni.
Perkelahian-perkelahian kecil segera terjadi antara orangorang
liar itu melawan para pengawal. Tetapi hal itu tidak terjadi
terlalu lama. Mereka yang telah menjadi gelisah dan bingung itu,
segera meninggalkan padukuhan itu, berlari mencari selamat.
Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, mereka
berusaha menemukan jalan untuk kembali ke sarang-sarang
mereka, meskipun salah seorang pemimpin mereka yang
mereka segani, Ki Peda Sura sudah terbunuh.
Namun sebagian dari mereka tidak berhasil keluar dari
padukuhan induk itu, karena tindakan yang cepat dari para
pengawal. Korban di antara mereka masih juga berjatuhan satusatu.
Pasukan pengawal yang marah merasa mendapat
kesempatan untuk melepaskan dendam yang membara di hati
mereka setelah beberapa lama mereka terusir dari padukuhan
induk, dari padukuhan-padukuhan lain di sekitarnya. Bahkan ada
di antara mereka yang terpaksa meninggalkan halaman dan
milik mereka yang mereka kumpulkan, sedikit demi sedikit.
Sehingga dengan demikian, maka dengan, nafsu yang menyalanyala
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, berusaha
mengejar lawan-lawan mereka.
Tetapi sejenak kemudian beberapa penghubung telah
menyebarkan perintah Samekta. Para pengawal tidak
diperkenankan berlaku kasar dan menuruti perasaan masingmasing.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang penting mereka harus memasuki padukuhan induk
tanpa menghiraukan lawan yang melarikan diri terpecah belah.
"Kita harus segera menyusun diri. Menguasai seisi Tanah
Perdikan ini sebaik-baiknya," perintah Samekta.
Beberapa kelompok pengawal menjadi ragu-ragu atas
perintah itu. Sekian lama mereka menahan kemarahan yang
seolah-olah akan meledak di dada masing-masing. Kini mereka
mendapat kesempatan itu. Apalagi di dalam pertempuran yang
baru saja terjadi, apakah mereka harus melepaskan lawan itu
begitu saja" Namun dalam keragu-raguan itu, mereka merasa bahwa
mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Mereka
mempunyai pemimpin, perintahnya harus didengar. Sehingga
dengan demikian maka mereka harus patuh dan melakukan
perintah itu. Meskipun demikian ada juga beberapa kelompok pengawal
yang tidak segera mematuhinya. Mereka masih mempergunakan
kesempatan terakhir untuk melepaskan dendamnya terhadap
pengikut Tambak Wedi yang menjadi sumber penderitaan
seluruh rakyat Menoreh. "Kita harus melepaskan mereka," berkata seorang
penghubung kepada seorang pemimpin kelompok yang sedang
kalap. "Persetan!" geramnya. "Aku harus membunuh orang itu."
*** Tanpa menghiraukan apa pun lagi, ia mengejar seorang yang
sudah tidak terlalu jauh di hadapannya. Agaknya orang itu sudah
begitu lelah, sehingga langkah kakinya sudah tidak begitu
cekatan. "Tunggu, aku bunuh kau," teriak pemimpin kelompok itu.
Orang yang sedang berlari itu berusaha untuk mempercepat
langkahnya. Tetapi tenaganya tidak memungkinkannya lagi.
Bahkan ketika terantuk sebuah batu, maka ia pun terbanting
jatuh di tanah. Betapapun penghubung itu mencoba mencegah, tetapi
pemimpin kelompok itu sama sekali sudah tidak
menghiraukannya lagi. Ketika orang yang terjatuh itu berusaha
untuk bangkit, maka ujung pedang pemimpin kelompok itu
segera membenam di punggungnya.
Tidak ada keluhan sama sekali yang terdengar. Orang itu
terlempar dan jatuh tertelungkup, sementara langit menjadi
semakin cerah. Beberapa langkah di belakang mereka, beberapa orang
pengawal di dalam kelompok itu pun berdatangan. Salah
seorang anak muda yang tidak dapat menahan diri segera
berteriak, "Cincang saja. Pengkhianat."
Yang lain menyahut, "Ya, cincang pengkhianat itu."
Pemimpin kelompok yang tidak dapat menahan hati itu pun
kemudian dengan geramnya mendorong orang yang sudah
terbunuh itu dengan kakinya, sehingga tubuh itu pun kemudian
menelentang. Tetapi demikian pemimpin kelompok itu melihat wajah orang
yang dibunuhnya, tiba-tiba ia membeku. Tangannya. Menjadi
gemetar dan bibirnya bergerak-gerak. Terdengar suaranya
sendat, "Kakang. Kakang. Kaukah itu."
Semua orang tiba-tiba saja mematung di tempatnya. Ternyata
orang yang terbunuh itu adalah kakak pemimpin kelompok yang
dengan tangannya sendiri telah membunuhnya.
"Kakang," suaranya semakin lirih, "kenapa kau berpihak
kepada Sidanti" Aku menjadi gila karena aku menyangka bahwa
kau justru telah terbunuh oleh mereka," suaranya tiba-tiba
merendah. "Sejak kita terusir dari padukuhan induk, kita tidak
pernah bertemu lagi. Ternyata kau terpikat oleh janjjanji
mereka." Namun pemimpin pengawal itu tidak dapat menahan diri
ketika hatinya serasa seakan-akan terpecah. Perlahan-lahan ia
berjongkok di samping tubuh kakaknya yang telah membeku.
Katanya perlahan-lahan sambil menyilangkan pedang di
dadanya. "Maafkan aku, Kakang. Aku sama sekali tidak
menyangka, bahwa kaulah yang telah aku bunuh. Bukan
maksudku sama sekali meskipun seandainya aku tahu kau
berpihak kepada lawan."
Dan kepalanya pun menjadi semakin tertunduk ketika
terbayang wajah ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya yang
meninggal beberapa tahun yang lalu. Hampir berturut-turut. Tiga
tahun ia kehilangan kedua orang tuanya. Selama itu kakaknya
itulah yang mengasuhnya. Memberinya tempat tinggal dan
makan. Tetapi, kini ia telah membunuhnya.
Ketika pemimpin kelompok itu berpaling, dilihatnya
penghubung yang selama itu mencoba mencegahnya. Dengan
penuh sesal ia berkata, "Aku bersalah. Aku tidak mentaati
perintah Ki Samekta. Dan aku harus menebus kesalahan itu
dengan taruhan yang terlampau mahal."
Penghubung itu tidak menyahut. Ternyata peperangan
memang begitu kejam, sehingga memaksa seorang adik
membunuh kakaknya sendiri walaupun tanpa disadarinya.
"Sudahlah," akhirnya penghubung itu berkata. "Ki Samekta
memerlukan kalian di padukuhan induk. Berkumpullah. Kalian
akan mendapat petunjuk. Hal-hal serupa ini agaknya memang
telah diperhitungkannya. Bukan saja pembunuhan adik atas
kakaknya, tetapi juga pelepasan dendam yang berlebih-lebihan
di antara kita sendiri."
Pemimpin kelompok itu berdiri perlahan-lahan. Kepalanya
masih tertunduk. Tetapi kepala yang tertunduk itu mengangguk.
"Kita akan menyelesaikan sisa-sisa persoalan ini dengan cara
yang lain," berkata penghubung itu. "Dan Ki Samekta sudah
mempertimbangkan cara yang sebaik-baiknya."
"Ya. Aku telah terjebak oleh nafsuku sendiri," desis pemimpin
kelompok yang kalap itu. Sejenak kemudian maka dengan kepala tunduk seluruh
kelompok itu pun segera meninggalkan tempat itu. Namun
pemimpin kelompok itu masih berdesis, "Besok aku akan minta
ijin khusus untuk menguburkan mayat Kakang."
Tidak seorang pun yang menjawab. Sesal yang sangat telah
melepaskan segala macam dendam di dalam dada pemimpin
kelompok itu. Sementara itu, di bagian lain dari medan peperangan, masih
terjadi beberapa keributan kecil. Tetapi semuanya segera dapat
diatasinya. Beberapa kelompok pasukan pengawal telah berada
di padukuhan induk. Mereka segera mengambil tempat-tempat
yang penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Terutama dari orang-orang pendatang yang jelas akan
mempergunakan setiap kemungkinan yang terbuka dalam
keadaan apa pun. Dalam pada itu, Ki Argapati yang ditunggui oleh Pandan
Wangi telah semakin menyadari keadaannya. Titik air di bibirnya
membuatnya sedikit segar.
Dan ketika perang itu berakhir, Ki Argapati telah dapat
mengerti, apa yang telah terjadi di sekitarnya. Tetapi ia pun
menyadari bahwa keadaannya menjadi semakin lemah, karena
luka-lukanya bertambah parah.
Tetapi hatinya seakan-akan rontok ketika usungan yang
membawanya memasuki pintu gerbang padukuhan induk yang
telah sekian lama ditinggalkannya.
Dengan suara yang lemah ia berdesis, "Wangi, apakah aku
tidak bermimpi." "Tidak, Ayah," jawab Pandan Wangi. "Ayah sedang memasuki
padukuhan induk." Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menatap
langit yang terbentang, maka cahaya fajar telah menjadi semakin
terang. "Ternyata Tuhan masih memperkenankan aku memasuki
padukuhan ini kembali."
"Bukankah kita memohonnya," sahut anaknya, "dan
permohonan kita sama sekali tidak berlebih-lebihan.
Permohonan yang ternyata diperkenankan oleh Tuhan."
"Ya. Kita wajib berterima kasih," suara Argapati merendah di
antara desah nafasnya. "Kau tidak boleh melupakan apa yang
telah terjadi hari ini, Wangi."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Ternyata kita tidak berjuang sendiri. Tuhan telah
mengirimkan kepada kita beberapa orang yang ternyata
memegang peranan di dalam perjuangan ini."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat
pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan. Masih seperti
pada saat ditinggalkannya.
Kemudian terbayang sekilas di dalam ingatannya, dua orang
anak-anak muda yang mengaku bernama Gupala dan Gupita.
Anak-anak muda yang serasa dibayangi oleh kabut rahasia yang
tak terpecahkan. Sejak permulaan peristiwa yang membakar
Tanah Perdikan ini, kedua anak muda itu telah menunjukkan
dirinya. Tengkuk Pandan Wangi meremang kalau terkenang olehnya,
beberapa laklaki yang kasar telah mencegatnya. Kemudian di
jalan pulang bersama Samekta, ia bertemu dengan seorang
gembala yang bernama Gupita. Gembala yang cakap bermain
seruling. Namun sejalan dengan itu, terbayang juga di dalam
kenangannya, betapa Sidanti telah berusaha melindunginya
sebagai seorang kakak, ketika ia hampir-hampir menjadi
berputus asa. Sidanti telah melepaskannya dari tangan orangorang
liar itu. Tanpa disadarinya Pandan Wangi menundukkan kepalanya.
Kini kakaknya itu menjadi seorang tawanan, yang menurut
penilaian orang-orang Menoreh adalah seorang pengkhianat
bersama pamannya, Argajaya. Pamannya yang sangat baik
kepadanya sejak ia masih kanak-kanak. Yang pernah
mendukungnya pula bergantian dengan bibinya. Apalagi apabila
ia sedang menangis karena dimarahi oleh ayah dan ibunya, jika
ia nakal. "Cup, cup Wangi," pamannya selalu mencoba menghiburnya.
"Ibu nakal. Ayah nakal. Mari bermain dengan paman saja. Cup."
Dan ia pun kemudian didukung ke kebun di belakang rumah, di
bawah pepohonan yang rimbun, sehingga kadang-kadang ia
tertidur di dalam dukungan.
Dan sekarang, seperti kakaknya, pamannya adalah seorang
tawanan. Wajah Pandan Wangi menjadi semakin menunduk. Dalam
waktu sekian tahun itu ternyata telah terjadi banyak sekali
perubahan. Ada yang pergi dari hatinya, tetapi ada yang datang
pula. Yang sebelumnya belum pernah dikenalnya, kini mereka
bersama-sama justru berhadapan dengan orang-orang yang ada
di sekitarnya di masa kanak-kanak.
Argajaya dan Sidanti telah tersisih dari lingkaran hidupnya,
dan kini hadir gembala-gembala itu dengan ayahnya yang tua.
Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar ayahnya yang
berada di usungan di sisinya bertanya lirih, "Kita telah sampai di
mana sekarang ini, Wangi?"
"Kita hampir sampai ke rumah, Ayah."
Terdengar sebuah desah pendek. Tetapi Ki Argapati tidak
bertanya lebih lanjut. Sebenarnyalah bahwa mereka telah hampir sampai di rumah
Ki Argapati di padukuhan induk. Sebentar kemudian mereka
telah berada di sebuah lapangan rumput di muka sebuah rumah
yang berhalaman luas. "Hem," Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Iring-iringan itu pun kemudian menjadi semakin mendekati
regol halaman. Sejenak mereka berhenti ketika dua orang
pengawal mendahului untuk melihat keadaan.
Ternyata Samekta telah berada di halaman itu bersama Kerti.
Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong Ki Argapati yang
masih berada di dalam usungan.
"Marilah, Ki Gede," berkata Samekta. "Semuanya sudah
dipersiapkan meskipun dengan tergesa-gesa. Halaman ini telah
bersih dari kemungkinan-kemungkinan yang kurang
menyenangkan. Para pengawal telah menebar di segala sudut.
Di halaman depan, samping dan di kebun belakang. Isi rumah ini
pun telah kami periksa dengan teliti. Dan Ki Gede kemudian
dapat beristirahat dengan tenang."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Terasa luka-lukanya
menjadi kian perih. Namun ia berdesis, "Terima kasih, Samekta."
Ki Gede pun kemudian diusung memasuki regol halaman.
Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan harunya,
sehingga sepasang matanya pun menjadi basah. Tetapi ia
bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Dicobanya berjalan
dengan tegap di samping usungan ayahnya. Dicobanya
menengadahkan wajahnya menatap tangga-tangga pendapa
rumahnya. Namun ketika tampak olehnya tanaman-tanaman bunga yang
dipeliharanya dengan hathati, pepohonan dan seluruh halaman
rumahnya menjadi sangat kotor seperti hutan perdu, maka
terasa kerongkongannya seakan-akan tersumbat.
Rumah itu seolah-olah sudah berubah menjadi rumah hantu.
Di sana-sini sarang labah-labah bergayutan. Putih kehitamhitaman.
Agaknya selama rumah ini ditinggalkannya, sama sekali tidak
pernah dibersihkan. Ki Tambak Wedi, Sidanti dan orangorangnya
yang tinggal di rumah ini sama sekali tidak sempat
memperhatikan sarang labah-labah dan tumbuh-tumbuhan liar di
halaman. Tetapi saat itu Pandan Wangi pun tidak sempat
memperhatikannya terlalu lama. Ia selalu berada di samping
ayahnya ketika usungan itu dibawa masuk ke ruang dalam.
Sebuah lampu minyak yang buram masih menyala di atas
ajuk-ajuk meskipun hari sudah menjadi semakin terang. Tetapi
sinarnya sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan semakin lama
menjadi semakin redup karena minyak di dalamnya sudah habis
sama sekali. "Apakah bilik ayah sudah dibersihkan," bertanya Pandan
Wangi kepada Samekta. Samekta tergagap sejenak. Ia sama sekali tidak berpikir
sampai begitu jauh. Ketika ia melihat bilik itu dan menurut
pendapatnya sama sekali sudah tidak ada bahaya yang
tersembunyi, maka ia merasa bahwa bilik itu sudah siap
dipergunakan. Tetapi tidak terkilas sama sekali di kepalanya,
bahwa bilik itu memang harus dibersihkan.
Hanya karena Pandan Wangi adalah seorang gadis meskipun
berpedang di lambungnya sajalah, maka selain pengamatan
atas bahaya yang tersembunyi, maka kebersihannya pun
mendapat perhatiannya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kira belum bukan, Paman?"
Samekta menganggukkan kepalanya, "Memang belum. Aku
tidak berpikir sampai ke sana."
"Tungguilah ayah di sini. Aku akan membersihkannya
sebentar." Samekta menganggukkan kepalanya, sedang Pandan Wangi
segera berlari ke belakang mencari sapu serabut.
Dengan tergesa-gesa bilik yang kotor itu pun dibersihkannya.
Kemudian dicarinya tikar yang lebih bersh dari tikar yang
terbentang di atas pembaringan. Pembaringan yang dahulu juga,
tetapi alangkah kotornya.
Setelah semuanya dianggapnya selesai untuk sementara,
maka dibaringkannya Ki Argapati di pembaringan. Pembaringan
yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Sementara Samekta
dan Kerti segera mengatur para pengawal dan menyebarkannya
di tempat-tempat yang dianggap perlu.
Namun sementara itu, yang sama sekali kurang mendapat
perhatian para pengawal adalah justru padukuhan yang baru
saja mereka tinggalkan. Lebih daripada itu adalah padukuhan di
sebelah, tempat orang-orang Menoreh menampung para
pengungsi. Padukuhan itu hanya sekedar ditunggui oleh beberapa
pegawal dan laklaki yang menurut pertimbangan badaniah
sudah tidak mampu lagi bertempur di medan yang berat. Karena
itu maka kekuatan di kedua padukuhan itu hampir tidak berarti
sama sekali. Adalah di luar dugaan bahwa beberapa orang liar yang
datang membantu Sidanti teringat akan hal itu. Dan bahkan
memusatkan perhatian mereka kepada para pengungsi itu.
"Kita singgah sebentar ke padukuhan itu," desis salah
seorang dari mereka. "Untuk apa?" bertanya yang lain.
"Menoreh pasti telah mengerahkan semua manusia yang ada.
Karena itu, maka kedua padukuhan itu pasti kosong."
"Kenapa kita singgah di sana?"
"Kau memang bodoh. Sebagian besar isi padukuhan induk
telah mengungsi ke sana. Yang dapat mereka bawa pasti
barang-barang berharga saja. Karena itu, apabila kita dapat
memasuki padukuhan pengungsian itu, kita tinggal mengambil
saja sesuka hati kita. Apa saja pasti sudah tersedia."
"Apakah sama sekali tidak ada seorang penjaga pun?"
"Tentu ada, tetapi pasti bukan orang-orang yang terpilih untuk
ikut ke peperangan."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang yang lain berkata, "Aku sependapat. Mari, sebelum
sebagian dari mereka kembali."
Segerombolan kecil orang liar itu pun segera mempercepat
langkah mereka. Mereka tidak mau didahului oleh sebagian dari
para pengawal yang pasti akan segera dikirim oleh pimpinan
pasukan Menoreh. "Apa pun yang kita dapatkan, dapatlah sekedar menawarkan
hati yang panas ini."
Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil melangkah
semakin cepat. Kehadiran mereka di tempat-tempat pengungsian benarbenar
membuat suasana yang tenang itu menjadi kisruh.
Beberapa orang pengawal yang bertugas segera
mempersiapkan diri. Bahkan laklaki yang sudah berusia lanjut
pun segera menyambar senjata-senjata yang ada di dinding.
Dan anak-anak tanggung yang berdarah panas pun tidak mau
ketinggalan. "He," pemimpin dari para pengawal itu berkata lantang di
hadapan segerombolan orang yang akan memasuki padukuhan
itu, "Siapakah kalian, dan apakah maksud kalian?"
"Kami hanya sekedar akan lewat. Bukankah jalan yang
melintas di tengah-tengah padukuhan ini jalan untuk umum."
Pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya, "Tidak.
Dalam keadaan serupa ini jalan ini tertutup bagi siapa pun."
"Tetapi kami akan lewat," teriak yang berkumis panjang.
"Minggir," teriak yang berkepala botak.
Tetapi pemimpin pengawal itu pun berteriak, "Jangan
memaksa. Kalian harus mencari jalan lain."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang
yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat maju ke depan
sambil mengacung-acungkan kelewangnya. "Minggir anak-anak
marmot. Jangan berbuat bodoh."
Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya orang yang tampaknya buas dan liar itu. Namun
dengan demikian ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya
akan mereka lakukan. "Apa pun yang akan terjadi, tetapi kalian tidak boleh lewat,"
jawab pengawal itu. Hampir serentak orang yang liar itu mendesak maju.
Tetapi para pengawal yang berdiri di mulut lorong pun tidak
menepi. Meskipun mereka menyadari, bahwa mereka akan
berhadapan dengan orang-orang yang liar dan buas. Bahkan
mereka pun menyadari bahwa mereka tidak mampunyai cukup
kekuatan untuk mempertahankan diri terhadap segerombolan
orang-orang liar itu. Namun demikian mereka tidak akan dapat pula membiarkan
orang-orang itu memasuki padukuhan dan merampok segala
isinya. Apa pun yang terjadi, mereka harus bertahan sejauh-jauh
dapat mereka lakukan. "He, orang-orang yang tidak tahu diri," berteriak seseorang
yang berdada bidang dan berbulu lebat, "apakah kalian tidak
mengenal kami?" "Siapa pun kalian, kami tetap dalam pendirian kami."
Orang-orang liar itu pun kemudian tidak dapat tersabar lagi.
Segera mereka pun memencar sambil mengacung-acungkan
senjata mereka. Salah seorang dari mereka berteriak, "Kalian
tidak akan berdaya apa pun juga menghadapi kami. Jangan
keras kepala." Para pengawal itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka
masih juga mempunyai harapan, karena jumah mereka lebih
banyak. Tetapi yang banyak itu adalah sekedar orang tua-tua
dan anak-anak tanggung. Meskipun demikian di antara yang tuatua
itu terdapat bekas-bekas pengawal yang pernah mengenal
bagaimana mempergunakan pedang dan tombak yang ada di
tangan mereka. "Kami harus melindungi perempuan dan anak-anak," desis
seorang tua yang sudah ubanan seluruh kepalanya. Sambil
membelai janggutnya yang sudah putih pula ia meneruskan,
"Kami masih cukup kuat untuk bertempur melawan berandal
yang mana pun juga."
Tetapi segerombolan orang yang datang itu benar-benar
orang-orang yang buas. Mereka sama sekali tidak menghiraukan
apa pun juga, selain membayangkan bahwa di dalam padukuhan
itu terdapat harta-benda yang dapat sedikit melepaskan tekanan
yang menghimpit dada oleh kekalahan demi kekalahan yang
pernah mereka alami selama mereka masih berada di atas
Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, maka orang-orang itu pun kemudian
mendesak semakin maju. Beberapa langkah di hadapan mereka,
para pengawal pun segera menebar. Mereka pun telah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Seperti pesan pemimpin mereka, maka para pengawal itu
bersiap menghadapi lawan-lawan mereka dalam pasanganpasangan
yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap pengawal
didampingi oleh orang-orang tua atau anak-anak tanggung.
Dalam pasangan-pasangan itulah mereka akan berkelahi
melawan orang liar yang menurut perhitungan para pengawal
memiliki kemampuan yang lebih tnggi. Karena itu, para
pengawal berusaha untuk memanfaatkan jumlah mereka yang
lebih banyak itu sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka kedua pasukan kecil itu pun segera
berbenturan. Dengan teriakan-teriakan tinggi berandal-berandal
itu menggempur lawan-lawannya tanpa pengekangan diri.
Dengan kasar mereka mengayunkan senjata-senjata mereka
dibarengi oleh umpatan-umpatan kasar pula yang dapat
membakar telinga. Adalah di luar dugaan berandal-berandal itu bahwa pengawal
yang berjumlah kecil bersama orang-orang tua dan anak-anak
itu ternyata telah berjuang dengan gigihnya. Mereka sama sekali
tidak mengenal takut menghadapi akibat yang bagaimana pun
juga beratnya. Sejenak kemudian, maka mulailah darah menitik dari lukaluka.
Seorang yang telah tidak bergigi lagi ternyata tersentuh
ujung pedang, tertatih-tatih ia terdorong surut, kemudian jatuh
berguling di tanah. Dengan nafas terengah-engah ia mencoba
bangkit. Namun lukanya terasa menjadi kian pedih.
"Minggirlah!" teriak seorang pengawal. "Mundurlah dan
bersihkan luka itu."
Belum lagi ia beranjak dari tempatnya, seorang anak muda
berumur enam belas tahun terlempar dari pertempuran. Sebuah
goresan biru telah menyilang punggungnya. Agaknya sebuah
bindi telah mengenainya, meskipun tidak sepenuh kekuatan
lawan, sehingga ia masih mampu meloncat berdiri. Tetapi
karena senjatanya terlempar dari tangannya, maka ia pun
segera meloncat mengambil senjata orang tua yang terluka,
"Pinjam senjatamu, Kek."
Namun bagaimana pun juga, sejenak kemudian segera
terasa bahwa pasukan para pengawal itu segera terdesak.
Hanya karena jumlah dan tekad mereka sajalah, mereka mampu
bertahan. Pemimpin pengawal itu memang masih mengharap
sesuatu akan terjadi. Mungkin sepasukan pengawal kembali,
atau mungkin pasukan pengawal di padukuhan sebelah
mengetahui keadaan ini. Pasukannya yang lengah, ternyata tidak mempersiapkan alatalat
apa pun yang dapat dipergunakannya untuk memberikan
isyarat kepada para pengawal di padukuhan sebelah selain
kentongan. Tetapi pengawal itu pun jumlahnya sama sekali tidak
memadai. Namun demikian, pemimpin pengawal itu tidak berputus asa.
Ketika pasukannya benar-benar terdesak, maka
diperintahkannya memukul titir. Kentongan. Satu-satunya alat
yang masih dimilikinya Sejenak kemudian terdengar suara titir menggema dari
padukuhan kecil itu. Beberapa buah kentongan berbunyi
bersama-sama, sahut-menyahut. Namun di sela-sela suara
kentongan itu terdengar orang yang berbulu lebat di dadanya
berkata, "Darimana kau akan mendapatkan bantuan" Dari
padukuhan sebelah yang dilingkari oleh pring ori itu" Kasihan.
Mereka tidak akan mampu membantu kalian, karena jumlah
mereka pun tidak akan berarti apa-apa bagi kami."
Pemimpin pengawal tidak menghiraukannya. Ia sendiri
berkelahi seperti harimau lapar. Sedang beberapa orang
pengawal terlatih yang lain pun mengikuti jejaknya pula.
Ternyata bahwa suara kentongan itu tertangkap dari
padukuhan di sebelah. Karena itu maka pemimpin pengawal
yang tinggal di padukuhan itu pun segera mengumpulkan
pasukan kecilnya. "Apakah yang telah terjadi?" ia bertanya.
Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya.
"Biarlah beberapa orang pergi ke sana melihat keadaan.
Yang lain tetap berada di padukuhan ini," perintah penimpin
pengawal itu. Beberapa orang pun segera pergi meninggalkan lingkungan
pring ori menuju ke padukuhan sebelah. Dengan tergesa-gesa
mereka meloncat-loncat sambil menduga-duga. Apakah yamg
sebenarnya telah terjadi"
Akhirnya mereka pun melihat, di pinggir desa itu telah terjadi
pertempuran. Agaknya para pengawal yang ada di padukuhan
itu terdesak, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda.
Para pengawal itu pun berlari semakin cepat. Ketika mereka
sampai di arena, mereka pun segera melibatkan diri di dalam
pertempuran itu. Namun jumlah mereka tidak terlampau banyak, sehingga
pengaruhnya tidak begitu terasa. Meskipun pada saat-saat
permulaan, para pengawal yang mendapat tenaga baru itu
berhasil menahan desakan berandal yang kehausan, tetapi
sejenak kemudian mereka pun telah terdesak kembali betapa
pun lambatnya. "Menyerahlah," teriak salah seorang beranda1 yang berambut
panjang. Tetapi para pengawal sudah bertekad untuk bertahan.
Apalagi setelah mereka mendapat bantuan meskipun hanya
beberapa orang. Namun ketahanan mereka sudah menjadi
bertambah. Jumlah mereka yang lebih banyak pun dapat
membantu untuk memperpanjang waktu pertahanan mereka.
Beberapa orang pengawal telah mencoba untuk memecah
perhatian orang-orang yang liar itu. Mereka menyerang dari
samping. Sedang jumlah yang besar meskipun sebagian dari
mereka adalah orang tua-tua dan anak-anak tanggung. tetap
menghadapi mereka dari depan.
Tetapi bagaimana pun juga para pengawal tidak akan dapat
|menguasai lawan-lawan mereka yang ganas.
Dalam pada itu, sepasang mata yang tajam mengikuti
pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya.
Pengetahuannya yang tajam tentang pertempuran dan
perkelahian segera menangkap bahwa keadaan para pengawal
semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun hanya setapak
demi setapak, namun mereka terdesak terus. Apalagi tenaga
orang-orang tua itu pasti akan segera susut. Mereka akan
segera menjadi lelah, dan kehilangan kemampuan untuk
melakukan perlawanan. Sedang orang-orang liar itu menjadi
semakin liar. Apabila mereka merasa terganggu, maka mereka
dapat melakukan tindakan-tindakan di luar batas peri
kemanusiaan. Orang yang mengawasi pertempuran itu menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berdesis, "Untunglah, bahwa
aku tidak langsung pergi ke padukuhan induk. Agaknya pasukan
pengawal Tanah Perdikan ini seluruhnya telah dikerahkan untuk
menyerang kekuatan Ki Tambak Wedi."
Orang itu pun mencoba mendekati medan. Di balik dedaunan
dan gerumbul-gerumbul ia melindungi dirinya sambil selangkah
demi selangkah maju. "Sebentar lagi pertahanan para pengawal itu pasti akan
pecah," desis orang itu. "Lalu bagamana dengan pertempuran di
padukuhan induk" Kalau mereka tidak dapat menerobos masuk,
maka para pengawal akan mengalami kekalahan mutlak di
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua medan." Orang itu menarik nafas. Kemudian ia berdesis, "Apakah aku
akan membiarkan semua ini terjadi, sedang dua orang-orangku
sudah mendahului aku berpihak kepada Ki Argapati?"
Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berdesis, "Aku
harus menolongnya. Seandainya tidak ada hubungan apa pun
dengan pertempuran di medan yang lain, namun kali ini
persoalannya adalah persoalan perikemanusiaan. Kalau
pertahanan itu pecah, maka berandal-berandal itu pasti akan
mengaduk seisi padukuhan, terutama pengungspengungsi.
Pengungspengungsi yang selalu dalam kecemasan karena
bermacam-macam hal itu, masih harus mengalami bencana lagi
di pengungsian." Karena itu, maka orang itu pun tidak menunggu lebih lama
lagi. Kini ia tidak bersembunyi. Ia pun kemudian melangkah,
melangkahi sawah yang kering dan rerumputan liar menuju ke
medan pertempuran. Semula tidak seorang pun yang melihat kehadirannya. Tetapi
kemudian satu dua orang melihatnya. Seorang anak muda yang
berjalan dengan tegapnya, menjinjing sebatang tombak pendek.
"He, siapakah orang itu?" desis seorang pengawal sambil
bertempur terus. Kawannya yang melihat kehadiran anak muda itu pula
menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."
"Apakah orang itu salah seorang dari berandal-berandal itu?"
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat
menjawab, karena ia harus menghindari serangan lawannya.
Seorang yang berkumis lebat.
Orang yang menjinjing tombak itu berjalan saja seenaknya,
semakin lama semakin dekat. Seperti seorang anak muda yang
pergi ke perhelatan perkawinan seorang sahabat karibnya.
Sama sekali tidak ada kesan ketegangan di wajahnya, meskipun
di hadapannya berlangsung pertempuran yang seru.
Akhirnya kedua belah pihak yang bertempur pun melihat
kehadirannya. Dengan tenang ia berhenti beberapa langkah dari
peperangan itu. Kemudian berteriak nyaring, "He, aku akan ikut
di dalam peperangan itu. Aku akan berpihak pada para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kalian mendengar
suaraku." Mereka yang sedang bertempur menjadi heran. Tiba-tiba saja
orang itu menyatakan diri berpihak. Sedangkan kedua belah
pihak sama sekali masih belum mengenalnya. Hampir berbareng
pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertugas di
padukuhan itu, dan seorang dari berandal-berandal yang
menyerangnya berteriak, "Siapakah kau?"
"Itu tidak penting. Tetapi aku muak melihat berandal-berandal
yang berkeliaran di manapun. Juga di atas Tanah Perdikan ini.
Selagi Tanah ini sedang kisruh, berandal-berandal itu
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu,
apakah kalian memang dikirim oleh Ki Tambak Wedi, atau
karena maksud kalian sendiri, namun perbuatan kalian memang
harus dicegah." "Persetan!" teriak salah seorang dari orang-orang liar itu.
"Apakah pengaruhmu seorang diri. Mari, ikutlah mati bersama
para pengawal." "Tetapi aku tidak seorang diri. Aku akan bertempur bersama
para pengawal." Tidak seorang pun yang segera menyahut. Tetapi
kehadirannya benar-benar menarik perhatian, meskipun ia
hanya seorang diri. Meskipun demikian, orang-orang yang telah
dicengkam oleh nafsu untuk memiliki harta dan benda itu sama
sekali tidak berhasrat untuk mengurungkan niatnya. Sejenak
kemudian salah seorang dari mereka berteriak, "He, kedatangan
segerombolan pengawal dari padukuhan sebelah sama sekali
tidak berarti bagi kami. Apalagi kau hanya seorang diri,
meskipun kau akan bertempur bersama-sama para pengawal."
Orang yang baru datang itu mengerutkan keningnya,
kemudian jawabnya, "Memang, kedatangan segerombolan
pengawal itu baru membuat keadaan menjadi seimbang. Nah,
meskipun kemudian aku datang seorang diri, tetapi aku akan
dapat merubah keseimbangan itu."
"Omong kosong!" teriak seorang yang bertubuh tinggi,
berdada bidang dan berbulu lebat. Ia adalah orang yang sama
sekali tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka katanya
kemudian, "Aku akan mencekik kelinci kecil itu. Teruskan
pekerjaan kalian sampai tikus-tikus Menoreh ini menyadari
kebodohannya. Aku hanya memerlukan waktu sekejap,
kemudian aku akan kembali bersama-sama dengan kalian."
Orang yang tinggi besar itu segera keluar dari pertempuran.
Dengan langkah yang berat ia maju mendekati anak muda yang
bersenjata tombak itu. "Siapa kau. Aku ingin tahu namamu sebelum kau mati."
"Sudah aku katakan, itu tidak penting."
"Setan alas!" orang itu mengumpat. Kemudian diputarnya
senjatanya. Sebuah canggah bertangkai pendek.
Anak muda yang bersenjata tombak itu masih tetap berdiri di
tempatnya. Tetapi ia telah menyiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Tanpa berjanji maka peperangan yang seru itu pun
mengendor. Hampir setiap orang di dalam peperangan itu ingin
melihat, apa yang akan terjadi atas anak muda itu. Sehingga
dengan demikian maka benturan dari kedua pasukan kecil itu
seakan-akan terhenti untuk sesaat, hanya karena seorang anak
muda yang datang mendekati arena.
"Lihatlah untuk yang terakhir kalinya," berkata orang yang
tinggi besar itu, "tengadahkan wajahmu ke langit, kemudian
tundukkan kebumi. Kau sudah tidak akan melihatnya lagi."
"Jangan menipu aku. Kau akan menusuk lambungku selagi
aku menengadah," jawab anak muda itu.
"Sombong! Kau kira aku tidak dapat membunuhmu tanpa
berbuat licik seperti itu."
"Yakini kata-katamu sendiri. Kau tidak dapat mengalahkan
aku tanpa perbuatan licik."
"Persetan!" orang itu menjadi sangat marah. Ia merasa benarbenar
terhina, sehingga dengan serta-merta ia meloncat
menyerang dengan canggahnya. Ujung yang bercabang itu
langsung mengarah ke leher anak muda yang bersenjata tombak
itu. Tetapi semua mata yang melihat serangan itu terbelalak
karenanya. Semula mereka menyangka bahwa serangan yang demikian
cepatnya itu akan segera mengakhiri perkelahian yang baru
dimulai itu. Namun ternyata mereka salah sangka. Meskipun
perkelahian itu benar-benar segera berakhir, tetapi bukan
canggah orang bertubuh tinggi itulah yang menyobek leher anak
muda yang bersenjata tombak.
Yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dengan sigapnya anak
muda itu mengelak, dan dengan sigapnya pula ia mengangkat
ujung tombaknya. Anak itu tidak perlu mempergunakan kekuatan
apa pun untuk membenamkan tombaknya di dada lawannya,
karena lawannya telah melontarkan dirinya sendiri.
Adalah benar-benar di luar dugaan. Anak muda itu pun
kemudian mengkibaskan wiron kainnya. Kemudian
disangkutkannya wiron itu diikat pinggangnya di bagian
belakang, di bawah punggung.
"Lihat," katanya, "aku terpaksa mulai."
Tidak seorang pun yang menyahut. Mereka melihat orang
yang bertubuh tinggi gagah itu terhuyung-huyung. Dan ketika
anak muda itu menarik ujung tombaknya, maka tubuh itu pun
kemudian terbanting jatuh di tanah.
"Aku tidak sengaja membunuhnya," berkata anak muda itu,
"tetapi ia telah membunuh dirinya sendiri."
Sejenak peperangan itu menjadi sepi. Bahkan berhenti untuk
sesaat. Semua mata terbelalak melihat apa yang baru saja
terjadi. Orang-orang liar yang sudah terlampau biasa melihat
kematian itu pun menjadi heran, apalagi para pengawal.
"Hampir seperti Ki Gede Menoreh sendiri," desis seseorang
kepada diri sendiri. Sementara itu anak muda itu pun berkata, "Nah. Sekarang
aku akan ikut bertempur. Ayo, jangan berdiri termangu-mangu."
Selangkah demi selangkah ia maju. Tombaknya dijinjingnya
dengan sebelah tangannya.
"Itu hanya suatu kebetulan," beberapa orang berandal berkata
di dalam hati masing-masing untuk menenteramkan diri sendiri.
"Nafsu yang meluap-luap memang dapat menjerumuskan diri
sendiri ke dalam bencana. Karena itu, aku harus berhathati
menghadapi anak itu."
Sejenak kemudian maka pertempuran pun segera berkobar
kembali. Semakin lama semakin dahsyat. Dentang senjata
berkumandang di udara, dan bunga api pun memercik dari
benturan senjata yang beradu.
Dalam pada itu, setiap orang di dalam peperangan itu pun
segera melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh anak muda
yang bersenjata tombak pendek itu. Meskipun ia seorang diri,
namun pengaruhnya jauh lebih besar dari beberapa orang yang
datang dari padukuhan sebelah.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun
segera berubah. Para pengawal tidak lagi terdesak. Bahkan
karena setiap kali anak mada itu dapat mengurangi jumlah
lawannya, maka perlahan-lahan para pengawal itu pun dapat
menguasai keadaan. Sehingga sejenak kemudian, meskipun korban jatuh di kedua
belah pihak, namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang sedang bertugas di padukuhan kecil itu meyakini bahwa
mereka akan berhasil mempertahankan daerah pengungsian itu
atas bantuan seorang anak muda yang bersenjata tombak
pendek. Tetapi anak muda yang bersenjata tombak pendek itu
meskipun hanya seorang diri, mempunyai kemampuan
bertempur yang luar biasa. Seolah-olah para pengawal itu
sedang bertempur bersama-sama Ki Argapati sendiri.
Orang-orang yang semula mengharapkan dapat merampas
kekayaan yang tersembunyi di padukuhan kecil bersama para
pengungsi itu pun akhirnya harus mengumpat-umpat. Beberapa
orang dari mereka telah terbunuh atau terluka. Sedang sisanya
sama sekali sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk
memenangkan perkelahian itu.
Dengan demikian, maka setelah mereka saling berbisik,
terdengarlah salah seorang dari mereka bersuit nyaring.
Sejenak kemudian orang-orang itu pun segera berloncatan,
melarikan diri salang-tunjang tanpa tujuan, Mereka berlari ke
mana pun untuk menjauhi para pengawal yang masih mengejar
mereka beberapa puluh langkah. Namun para pengawal itu pun
segera menghentikan pengejaran, karena mereka menyadari,
bahwa kekuatan mereka tanpa anak muda itu pun tidak akan
lebih dari kekuatan lawannya.
Demikianlah maka pertempuran antara dua pasukan kecil itu
pun segera berakhir. Meskipun demikian sekali lagi Menoreh
harus menyerahkan korban-korbannya sebagai pupuk tanah
kelahiran mereka. Ketika para pengawal itu sudah mulai menjadi tenang, maka
pemimpin pengawal itu pun segera bertanya sekali lagi kepada
anak muda itu, "Siapakah kau sebenarnya?"
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu,
bahkan ia bertanya pula, "Apakah pasukan Menoreh seluruhnya
berangkat ke padukuhan induk?"
"Ya," jawab pemimpin pengawal.
"Kelengahan yang berbahaya. Kalian melihat akibatnya."
Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "Apakah kalian sudah
mendengar kabar penyerangan itu?"
"Belum. Kami sedang menunggu."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu
sejenak. Apakah ia akan pergi juga ke padukuhan induk, atau
menunggu saja di tempat itu.
"Apakah di sini ada seekor kuda."
"Ada," jawab pemimpin pengawal, "apakah kau akan
meminjamnya?" Sekali lagi anak muda itu termangu-mangu.
(***) Buku 47 "AKU akan menunggu sebentar. Kalau tidak segera ada
pemberitahuan dari induk pasukanmu yang sedang bertempur
itu, aku akan menyusul mereka. Mungkin mereka memerlukan
bantuan." Pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan kepalanya.
Kemudian dipersilahkannya anak muda itu singgah sebentar di
padukuhan itu sambil menunggu berita dari padukuhan induk
tentang pertempuran untuk merebut kembali daerah yang telah
dirampas oleh Sidanti. Tetapi akhirnya anak muda itu tidak telaten. Setelah ia duduk
termenung sejenak, maka ia pun kemudian berdiri dan mencari
pemimpin pengawal yang sedang sabuk dengan para korban.
"Aku akan pergi ke padukuhan induk," berkata anak muda itu.
"Baiklah," pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan
kepalanya. "Tetapi kehadiran orang yang tidak dikenal di medan
pertempuran mudah menumbuhkan salah sangka."
"Aku sudah memperhitungkannya seperti pada saat aku
datang kemari." Pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan kepalanya.
Laluu, "Apakah kau memerlukan seekor kuda?"
"Ya, aku memerlukannya. Jangan takut, aku akan
mengembalikan kuda itu pada saatnya."
Pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan kepalanya.
Jawabnya, "Kalau kau tidak membantu kami, maka kami tidak
akan memberikan kuda itu."
Anak muda itu tersenyum. Kemudian diterimanya seekor kuda
dari salah seorang pengawal. Sambil meloncat ke punggung
kuda itu ia berkata, "Hatihatilah. Mungkin masih ada orangorang
yang berkeliaran di daerah ini."
"Terima kasih," jawab pengawal itu.
Anak muda yang bersenjata tombak pendek itu pun segera
memacu kudanya meninggalkan padukuhan kecil.
Sejenak para pengawal memandangi debu putih yang
terlontar dari kakkaki kuda itu, namun kemudian kuda itu pun
seakan-akan hilang ditelan ujung rerumputan dan gerumbulgerumbul
perdu. Kehadiran anak muda di atas punggung kuda itu di daerah
peperangan agaknya telah mengejutkan para pengawal yang
sedang menjaga daerah yang baru saja mereka kuasai. Karena
itu, beberapa orang dari mereka segera berloncatan ke tengah
jalan dengan senjata-senjata telanjang di tangan masing-masing.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang dari mereka mengangkat senjatanya sambil
berteriak, "Berhenti!"
Anak muda di atas punggung kuda itu pun menarik kekang
kudanya, sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah dari
pengawal yang menghentikannya.
"Siapa kau?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu,
tetapi katanya kemudian, "Aku akan bertemu dengan Ki
Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Pengawal itu mengerutkan keningnya, "Apakah
keperluanmu?" "Aku mempunyai keperluan yang tidak boleh diketahui oleh
orang lain, selain Ki Argapati, gembala tua beserta kedua
anaknya yang bernama Gupita dan Gupala, serta dua orang
prajurit yang telah membantu kalian dalam pertempuran ini,
Hanggapati dan Dipasanga."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak, sementara anak
muda itu menilai bekas-bekas pertempuran iang baru saja
berlangsung. Katanya di dalam hati, "Agaknya pasukan Ki
Argapati sudah berhasil memasuki padukuhan induk."
Anak muda di atas punggung kuda itu menganggukanggukkan
kepalanya. Sekalsekali ia menatap wajah-wajah
para pengawal yang masih termangu-mangu. Sejenak beberapa
orang di antara mereka saling memandang, tetapi wajah-wajah
itu masih saja momnncarkan keragu-raguan,
Pedang Hati Suci 7 Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak Kite Runner 5
loncatannnya yang tergesa-gesa. Ia diburu oleh waktu dan oleh
ketiga orang bercambuk itu.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi kemudian menjulurkan
tangan kirinya dan mendorong Pandan Wangi ke samping
sementara ia berlari terus menyongsong kuda Ki Argapati yang
sudah menjadi begitu dekatnya.
Dorongan itu telah melemparkan Pandan Wangi beberapa
langkah, kemudian jatuh terbanting di tanah. Terasa tulangtulangnya
seakan-akan berpatahan sehingga sejenak matanya
serasa menjadi gelap dan berputaran. Hanya karena tekadnya
yang luar biasa ia berhasil mengangkat kepalanya untuk
menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi
atas ayahnya. Adalah di luar dugaan Ki Tambak Wedi, bahwa Ki Argapati
yang takut kehilangan anaknya itu telah melupakan semua rasa
sakitnya sendiri. Luka-lukanya dan bahkan pembalutpembalutnya
sama sekali tidak dapat menahannya. Apalagi
ketika ia melihat Pandan Wangi terlempar kemudian terbanting
jatuh. Ia tidak tahu akibat apa yang akan menerkam Pandan
Wangi. Mungkin gadis itu akan mati atau cacat atau apa pun.
Karena itu maka kemarahannya sama sekali tidak tertahankan
lagi. Sejenak kemudian maka kedua orang yang selama bertahuntahun
telah merendam dendam dan permusuhan di dalam dada
masing-masing itu kini telah bertemu lagi.
Ki Tambak Wedi tidak mau membuang waktu terlampau
banyak. Dengan garangnya ia langsung menerkam Ki Argapati
yang duduk di atas punggung kudanya. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan kemungkinan bahwa Ki Argapati telah siap
dengan tombak pendeknya, menyongsong serangannya yang
dahsyat itu. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Argapati sama sekali
tidak akan berdaya melawan atau menangkis serangannya.
Kalau ia masih mampu berbuat demikian, menilik watak dan
tanggung jawabnya, ia tidak akan berada di belakang garis
peperangan. Ternyata perhitungan Ki Tambak Wedi keliru untuk kesekian
kalinya, seperti kekeliruannya memperhitungkan kekuatan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata bahwa Ki Argapati itu kini mampu mengatasi
segala perasaan sakit dan gangguan-gangguan yang ada di
dalam dirinya, justru karena Pandan Wangi, satu-satunya
anaknya yang diharapkannya akan dapat melanjutkan tidak saja
jabatannya tetapi juga garis keturunan Menoreh, garis keturunan
Argapati. Dalam pada itu, maka benturan dari kedua orang yang pilih
tanding itu tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua-duanya memang
tidak berusaha untuk menghindari sama sekali. Ki Tambak Wedi
yang diburu oleh waktu itu langsung meloncat menerkam orang
yang berada di atas punggung kuda yang berlari ke arahnya.
Senjatanya yang mengerikan itu sudah terangkat tinggtinggi.
Terdengar orang tua dari Tambak Wedi itu berteriak nyaring, dan
sejenak kemudian terjadilah benturan yang dahsyat itu.
Beruntunglah bahwa senjata Ki Argapati agak lebih panjang
dari senjata lawannya, sehingga ia berhasil mengungkit ujung
senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu, kemudian dengan
menumpahkan segenap kemampuan yang ada padanya
memutar mata tombaknya langsung menusuk tubuh yang
dengan dahsyatnya telah menimpanya.
Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyangka bahwa Ki
Argapati masih mampu berbuat demikian. Ketika ujung
senjatanya terungkit, dadanya berdesir tajam, Tetapi ia sudah
tidak sempat memperbaiki keadaannya, Yang dapat dilakukan
kemudian adalah memutar senjata itu. Dengan ujung yang lain ia
masih berusaha untuk menyerang Ki Argapati.
Tetapi Ki Tambak Wedi itu menyeringai menahan sengatan di
dadanya. Oleh dorongan kekuatannya sendiri, maka ujung
tombak Ki Argapati membenam di dadanya. Namun sementara
itu, ujung senjatanya berhasil mengenai pundak lawannya.
Sejenak kemudian keduanya terlempar dari punggung kuda
oleh dorongan loncatan Ki Tambak Wedi. Demikian kerasnya
sehingga mereka terpelanting dan terguling beberapa kali.
Beberapa langkah dari mereka, Pandan Wangi berusaha
untuk bangkit. Tertatih-tatih ia berdiri, namun kemudian
terdengar ia menjerit nyaring. Ayahnya terbaring darinya tiga
empat langkah dari Ki Tambak Wedi yang tergolek pula di tanah.
Ketika Pandan Wangi kemudian tersuruk-suruk berlari ke
ayahnya, maka pada saat yang bersamaan gembala tua beserta
kedua anaknya telah berdiri pula di sampingnya.
Sejenak mereka menatap kedua orang itu bergantganti.
Mereka melihat Ki Tambak Wedi menggeliat sambil memegangi
tangkai tumbak Ki Argapati yang masih menancap di dadanya.
"Gila!" terdengar suaranya parau. "Gila kau Arya Teja." Dan
ketika ia melihat Pandan Wangi tiba-tiba suaranya meninggi,
"Wulan, Wulan, kemarilah Wulan."
Tidak seorang pun yang menyahut.
"Wulan. Wulan," Ki Tambak Wedi berusaha untuk bergeser.
Dengan tangan yang gemetar seakan-akan ia ingin meraih
Pandan Wangi yang berjongkok di samping ayahnya.
"Wulan, apakah kau tidak mendengar?" suara Ki Tambak
Wedi menjadi parau dan lambat. "Anakmu, anakmu itu."
Suaranya seolah-olah tertelan, "Anakmu laklaki itu kini menjadi
burung rajawali yang perkasa. Anak itu tidak akan mendapat
perlindungan dari Arya Teja. Akulah yang harus berbuat sesuatu
untuknya, karena anak itu adalah anakku."
"O," Pandan Wangi menutup wajahnya dengan kedua belah
telapak tangannya. Sementara gembala tua beserta kedua
muridnya saling berpandangan sesaat.
Bulu-bulu mereka meremang ketika mereka mendengar Ki
Tambak Wedi itu tertawa. Dan suara tertawanya seakan-akan
bergulung-gulung di dalam perutnya, seperti suara iblis diliang
pekuburan, "Wulan, anakku dan anakmu itulah yang akan
melepaskan dendamku. Ialah yang akan membunuh Arya Teja."
Pandan Wangi yang menjadi semakin ngeri membenamkan
kepalanya semakin dalam di antara kedua belah tangannya.
Hampir saja ia melonjak dan berlari ketika ia melihat dari selasela
jarjarinya, Ki Tambak Wedi merangkak mendekatinya.
Tetapi tenaga orang tua itu sama sekali sudah tidak mampu
membawanya maju. Sejenak kemudian ia jatuh terjerembab.
Sekali lagi ia berusaha mengangkat wajahnya memandang
Pandan Wangi. Terdengar suaranya terlampau lemah, "Sidanti."
Suara itu lepas dari tenggorokannya bersama tarikan
nafasnya yang terakhir. Ki Tambak Wedi, iblis yang selama ini
menghantui Tanah Perdikan Menoreh, tiba-tiba terkulai di tanah,
mati. Darahnya telah menyiram Tanah yang hampir saja
ditelannya. Gembala tua bersama kedua muridnya menarik nafas dalamdalam.
Perlahan-lahan mereka berjongkok di sampingnya,
menarik tombak Ki Argapati dan menyilangkan tangannya di
dadanya. Sedang senjatanya masih tetap berada di dalam
genggamannya Ketiganya tersadar ketika mereka mendengar isak Pandan
Wangi yaug merenungi Ki Argapati yang masih terbaring diam.
Agaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun mengalami
cidera pada tubuhnya. Dengan hathati gembala tua itu pun kemudian
mengamatinya dengan seksama. Ternyata selain lukanya yang
lama yang telah mengalirkan darah kembali, di pundaknya
terdapat sebuah luka yang baru. Sehingga karena itulah, maka
Ki Argapati telah terpelanting dan menjadi pingsan setelah
memaksa dirinya mengerahkan segenap sisa-sisa
kemampuannya. "Bagaimana Kiai?" terdengar suara Pandan Wangi di selasela
tangisnya yang ditahankannya sekuat-kuat tenaganya,
justru karena ia menyadari bahwa kini ia berada di peperangan.
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
sampai hati untuk mengatakan, bahwa luka Ki Argapati justru
menjadi semakin parah. Selain luka-lukanya yang lama, maka
luka di pundaknya itu pun cukup dalam dan berbahaya.
"Aku akan mencoba menolongnya untuk sementara," desis
gembala tua itu sambil mengeluarkan sebuah bumbung dari
kantong ikat pinggangnya. Dari dalam bumbung itu diambilnya
serbuk yang halus, yang kemudian ditaburkannya di atas lukaluka
Ki Argapati. "Aku mencoba memampatkan darahnya. Setelah perang ini
nanti berakhir, aku akan mencoba mengobatinya lebih saksama
lagi," desis gembala tua itu.
"Tetapi, tetapi, apakah luka ayah berbahaya?" Pandan Wangi
menjadi semakin cemas. Gembala tua itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Kita harus mencoba. Tetapi kita pun
harus berdoa kepada Sumber dari semua kehidupan."
Jawaban itu serasa menghentakkan dada Pandan Wangi.
Hampir saja ia tidak dapat menahan dirinya, dan berteriak keraskeras
untuk melepaskan pepat di dadanya.
"Tetapi kita tidak boleh berputus asa," berkata gembala tua
itu, "dan demikian pulalah hendaknya dengan Ki Argapati ini.
Aku masih berpengharapan, bahwa ia akan tertolong."
Dengan sekuat tenaga Pandan Wangi berusaha menahan diri
agar ia tidak menjerit dan menelungkup memekik ayahnya yang
terbaring diam itu. Namun dengan demikian terasa dadanya
seakan-akan menjadi retak di dalam.
Sejenak kemudian gembala tua itu berkata, "Marilah. Kita
baringkan Ki Argapati di tempat yang mapan, aku mengharap
bahwa peperangan akan dapat segera selesai. Pasukan lawan
telah kehilangan dua orang senapati mereka yang tertinggi, Ki
Peda Sura dan kini Ki Tambak Wedi. Kalau kita segera dapat
mengakhiri peperangan, maka kita akan segera membawa Ki
Argapati. ke Padukuhan induk dan membawanya memasuki
rumahnya yang sudah beberapa lama ditinggalkannya."
Pandan Wangi tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang
terangguk kecil. Sementara beberapa orang berusaha mengangkat Ki
Argapati menepi, maka Gupala dengan hormatnya
menganggukkan kepalanya di hadapan Pandan Wangi sambil
berkata, "Ini pedangmu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ditatapnya anak
muda yang gemuk itu sejenak. Namun kemudian diterimanya
sepasang pedangnya dengan wajah yang tunduk.
Terasa tangan gadis itu bergetar ketika ia menerima pedang
itu. Sedang Gupala sekali lagi menunduk sambil melangkah
surut. "Tungguilah ayahmu Pandan Wangi," desis gembala tua itu.
"Aku dan kedua anak-anakku akan melanjutkan pcrtempuran.
Kita bersama-sama mengharap agar pertempuran ini segera
dapat diakhiri. Meskipun lawan telah kehilangan, senapatisenapatinya,
tetapi agaknya jumlah mereka agak lebih banyak
dari pasukan Menoreh, sehingga dengan demikian kita
memerlukan pengerahan semua tenaga yang ada."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Jagalah ayahmu baik-baik."
Pandan Wangi masih tetap diam. Tetapi sekali lagi kepalanya
terangguk-angguk. Gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu pun kemudian
melangkah meninggalkan Ki Argapati yang masih terbaring
diam, ditunggui oleh puterinya dan beberapa orang pengawal
yang terpercaya. Namun langkah mereka segera terhenti ketika mereka melihat
seseorang yang dipapah oleh dua orang dan dikawal oleh dua
orang lainnya mendekati mereka.
"Siapa yang terluka?" desis gembala tua itu.
Tetapi kedua murid-muridnya tidak menjawab. Mereka
menunggu dengan berdebar-debar rombongan kecil itu
mendekat. "Siapa?" bertanya Gupala tidak sabar.
Mereka yang memapah orang yang terluka itu tidak segera
menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin dekat, sehingga
akhirnya mereka dapat mengenal orang yang sedang dipapah
oleh kawan-kawannya itu. "Wrahasta," desis Gupita.
Dengan tergesa-gesa gembala tua itu mendekatinya.
"Baringkan ia di sini, di atas jerami ini," desisnya.
Maka Wrahasta yang terluka itu pun kemudian perlahan-lahan
dan berhathati dibaringkan di atas setumpuk jerami.
Sementara itu gembala tua itu pun segera berjongkok di
sampingnya dan memeriksa luka-lukanya.
Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam. Namun
tidak terucapkan kata-kata di dalam hatinya, "Lukanya terlampau
parah." Meskipun demikian masih terdengar Wrahasta itu berdesis,
"Aku telah menunaikan kuwajibanku."
"Ya, ya, Ngger. Kau sudah menunaikan kewajibanmu dengan
baik." "Ya," ia melanjutkan dengan suara patah-patah, "sejak aku
masih kanak-kanak aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku
kepada Tanah ini." "Ya, Ngger." Nafas Wrahasta semakin berkejaran di rongga dadanya. Dan
tiba-tiba saja ia membuka matanya, "Siapa kau?"
"Aku, Ngger, gembala tua."
"O, kau dukun yang pandai mengobati itu?"
"Begitulah, Ngger, dan aku akan mencoba mengobati lukalukamu."
Perlahan-lahan Wrahasta mencoba mengangkat kepalanya.
Tetapi kepala itu terkulai lagi dengan lemahnya.
"Jangan bergerak," berkata gembala itu, "darahmu akan
semakin banyak mengalir."
Wrahasta terdiam. Dibiarkannya gembala tua itu menaburkan
serbuk obat di atas luka-lukanya. Tetapi gembala tua itu sendiri
menjadi semakin cemas. Darah Wrahasta terlampau banyak
mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya dan di bahu
kanannya, selain luka di pahanya.
Semua orang yang berjongkok mengelilinginya berpaling
ketika mereka mendengar desah lembut, "Wrahasta, kaukah
itu?" Wrahasta membuka matanya. Dilihatnya sebuah bayangan
yang kabur berjongkok di antara bayangan-bayangan hitam yang
tidak dapat dilihatnya lagi dengan jelas. Meskipun demikian
telinganya masih dapat menangkap suara itu, suara Pandan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wangi. "Wangi," suara Wrahasta kian lambat. Di luar dugaan semua
orang yang mengitarinya Wrahasta berkata lambat sekali, "kau
belum menjawab pertanyaanku."
Terasa dada Pandan Wangi bergetar dahsyat sekali. Ia tidak
menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan seperti itu,
Wrahasta masih berusaha bertanya kepadanya tentang
persoalan pribadi mereka.
"Pandan Wangi," suara Wrahasta terputus, "aku ingin
mendengar. Bukankah aku telah mengabdikan diriku hampir
sepanjang umurku" Jawablah Wangi."
Air mata Pandan Wangi yang memang belum kering, kini
menitik semakin deras. Pergolakan yang dahsyat telah
membentur dinding jantungnya. Namun ketika ia melihat
keadaan Wrahasta, ia tidak sampai hati untuk menyakiti hatinya,
selagi tubuhnya pasti sedang sakit tiada taranya.
Dan tiba-tiba kepala gadis itu terangguk kecil. Terdengar
jawabnya ragu-ragu, "Baiklah, Wrahasta. Aku menerimamu."
"Wangi," tiba-tiba saja Wrahasta berusaha bangkit. Tetapi ia
sama sekali sudah tidak mampu. Meskipun demikian tampak
bibirnya tersenyum. Senyum untuk yang terakhir kalinya. Karena
sesaat kemudian anak muda yang bertubuh raksasa itu telah
menarik nafasnya yang penghabisan.
Pandan Wangi yang berjongkok di sampingnya menjadi
semakin tunduk. Namun sesaat kemudian ia pun berdiri dan
berjalan perlahan-lahan meninggalkan anak muda bertubuh
raksasa yang sudah terbaring diam itu.
Dengan kepala yang masih menunduk dalam-dalam Pandan
Wangi berjalan mendekati ayahnya yang masih juga terbaring
diam. Ketika ia kemudian berjongkok lagi di antara para pengawal
ayahnya, maka ia sudah tidak dapat bertahan lagi. Tangisnya
seakan-akan meledak dari dalam dadanya yang bengkak.
Tangis seorang gadis yang dilanda gejolak perasaan tiada
tertahankan lagi. Sejenak gembala tua dan kedua murid-muridnya saling
berpandangan. Namun kemudian orang tua itu berdiri dan
berjalan mendekati Pandan Wangi. Setelah duduk bersimpuh di
belakangnya, orang tua itu berdesis, "Sudahlah, Ngger. Agaknya
demikianlah yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Adil.
Tetapi pasti hal yang terjadi ini bukan tanpa maksud. Marilah kita
belajar untuk mengerti, apakah sebenarnya yang terjadi ini.
Kepada-Nya kita mohon ketenteraman hati. Sebenarnyalah
bahwa semua isi dan gerak alam ini berada di tangan-Nya.
Tetapi tangan itu adalah tangan Yang Maha Pengasih."
Pandan Wangi masih terisak.
"Tidak ada kekuasaan yang lebih mapan, bahkan yang
sekedar mendekati kekuasaan Yang Maha Kuasa itu.
Kekuasaan yang tidak pernah sisip. Kekuasaan yang tidak
ditrapkan untuk sesuatu pamrih yang tidak adil dan benar. Tetapi
apa yang terjadi adalah mutlak ada dan benar," gembala tua ini
berhenti sejenak lalu. "Angger, kita dapat menentang kekuasaan
duniawi, kekuasaan seseorang, karena kekuasaan itu kadangkadang
justru menumbuhkan ketidak-adilan, didorong oleh
pamrih. Tetapi kepada kekuasaan-Nya, kekuasaan Yang Maha
Kuasa kita harus pasrah dengan ikhlas."
Perlahan-lahan kepala gadis itu terangguk-angguk. Namun
tanpa sesadarnya terpandanglah wajah ayahnya yang terbaring
diam itu tiba-tiba bergerak. Perlahan-lahan matanya terbuka
meskipun yang tampak oleh Ki Argapati yang pertama-tama
adalah kehitaman malam. "Ayah," Pandan Wangi terpekik.
Gembala tua itu pun kemudian melihat Ki Argapati membuka
matanya. Perlahan-lahan ia berdesis, "Aku memang sudah
menyangka, bahwa ia akan segera sadar." Kemudian kepada
salah seorang yang ada di sampingnya ia berkata, "Kalau
mungkin carilah air yang bersih. Air dari sumur."
Pengawal itu memandangnya sejenak. Dan gembala tua itu
berkata kepada Pandan Wangi, "Berikanlah titik air di bibirnya.
Ingat setitik saja. Kalau terlampau banyak meskipun diminta, itu
akan berbahaya bagi ayahmu. Mungkin justru pernafasannya
akan tersumbat oleh air yang tidak dapat mengalir dengan lancar
di tenggorokannya." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
pengawal itu pun kemudian menggamit seorang kawannya untuk
pergi mencari air berdua. Di peperangan segala sesuatu
memang dapat terjadi meskipun sama sekali bukan karena
ketakutan. Sepeninggal kedua pengawal itu, gembala tua itu pun berkata
kepada Pandan Wangi, "Sudahlah, Ngger, yang penting cobalah
kau melayani ayahmu yang sudah mulai menyadari keadaannya.
Tetapi ingat, jagalah supaya ia tetap terbaring diam. Bagaimana
pun juga terasa haus, namun kau hanya dapat memberikan air
itu setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak."
Sambil mengangguk-angguk Pandan Wangi menjawab, "Baik,
Kiai." "Aku tidak dapat menungguinya sekarang. Peperangan yang
masih berkecamuk itu harus segera selesai, supaya korban tidak
berjatuhan tanpa arti. Aku akan segera kembali dan membawa
Ki Argapati memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya itu."
"Baiklah, Kiai."
Maka setelah meraba-raba tangan Ki Argapati dan
mendengarkan detak jantung di dadanya, gembala tua itu pun
kemudian berdiri dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Ki
Argapati yang dengan perlahan-lahan mulai menyadari dirinya
ditunggui oleh puterinya beserta beberapa orang pengawal.
Bersama kedua murid-muridnya, gembala tua itu pun
kemudian menuju ke medan peperangan yang masih
berlangsung dengan serunya. Desak mendesak silih berganti.
Sorak-sorai dari kedua belah pihak telah jauh menurun,
karena kini mereka lebih mementingkan memusatkan perhatian
atas lawan-lawan mereka karena setelah seluruh tubuh masingmasing
dibasahi oleh keringat, nafsu yang menyala di dada pun
seakan-akan menjadi semakin panas.
Meskipun kekosongan senapati terasa pula oleh setiap orang
di dalam induk pasukan, tetapi karena tidak ada kekuatan yang
melampaui kekuatan mereka masing-masing, maka pertempuran
berlangsung terus dengan sengitnya.
Namun pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih
mempunyai seorang yang dapat mengikat mereka dalam suatu
tata pertempuran yang lebih teratur. Samekta. Meskipun ia tidak
jauh lebih baik dari setiap orang yang sedang bertempur, namun
ia telah berhasil mengikat induk pasukannya dalam gelar yang
baik dan terarah. Sejenak kemudian gembala tua bersama kedua anakanaknya
itu pun sudah menjadi semakin dekat dengan hirukpikuknya
peperangan. Sejenak gembala tua itu berhenti.
Kemudian katanya, "Kita membagi pekerjaan agar cepat selesai.
Kita harus melumpuhkan senapatsenapatinya lebih dahulu,
agar lawan kehilangan pegangan."
"Bagus," sahut Gupala serta-merta.
"Kau keliru," potong gurunya, "aku tahu maksudmu. Kau akan
membinasakan setiap senapati termasuk Sidanti dan Argajaya."
"Bukankah itu yang harus kita lakukan?"
Gembala tua itu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kalian
harus menangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membantu
Angger Hanggapati menangkap Sidanti dan kau berdua harus
berusaha menangkap Argajaya hidup-hidup."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tampak kekecewaan
membersit di wajahnya. Namun sambil mengngguk-anggukkan
kepalanya Gupita menjawab, "Baik, Guru. Kami akan berusaha
menangkap mereka hidup-hidup."
"Mustahil," tiba-tiba Gupala bergumam seakan-akan kepada
diri sendiri. Gupita mengerutkan keningnya mendengar gumam Gupala
itu, sedang gurunya sejenak menjadi termangu-mangu.
Ditatapnya wajah muridnya yang gemuk itu. Kemudian terlontar
pertanyaannya,"Kenapa mustahil?"
"Bukankah Kakang Gupita dan Guru pernah melihat,
bagaimana Argajaya berkelahi melawan Raden Sutawijaya di
pinggir kali opak itu?"
Gupita mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian tanpa
sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di
rongga matanya, betapa keras hati adik Kepada Tanah Perdikan
Menoreh itu. Meskipun ujung senjata Sutawijaya telah melekat di
dadanya, namun Argajaya sama sekali tidak ingin menundukkan
kepalanya. Baginya lebih baik mati daripada harus mengakui
kemenangan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi kini
ia berada di atas Tanah Perdikan ini, dan dengan sengaja telah
melawan kakaknya sendiri.
"Ia memang keras kepala," desis gurunya.
"Jadi, bagaimana pertimbangan Guru?" bertanya Gupala.
"Aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya ia tertangkap
hidup-hidup. Biarlah Ki Argapati yang mengambil keputusan,
hukuman apa yang harus diterimanya."
"Ia tidak akan menyerah. Ia akan melawan sampai mati."
"Jangan terlalu bodoh. Kalian dapat berbuat sesuatu,
sehingga Argajaya akan kehilangan tenaga untuk melawan,"
sahut gurunya, "karena aku yakin, Sidanti pun akan berbuat
demikian." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Baik,
Guru, aku akan mencobanya."
"Apakah kami harus membuatnya tidak mampu membunuh
diri sekalipun?" Gurunya menganggukkan kepalanya, "Ya. Begitulah."
"Itulah yang sulit. Batas antara kemungkinan itu dan
selangkah lagi, mati, adalah sulit sekali. Dalam perkelahian kita
kadang-kadang sulit untuk mengekang diri."
"Yang sulit itulah yang harus kau coba," desis gurunya.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam.
"Nah, jangan terlampau lama. Kita harus cepat
melakukannya." Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian mereka pun berpisah dengan gurunya. Gembala tua
itu mencari Sidanti sedang kedua murid-muridnya mencari
Argajaya. Adalah suatu kesengajaan bahwa bukan kedua muridmuridnyalah
yang harus melawan Sidanti. Dendam yang
tersimpan di dada kedua belah pihak tidak akan dapat reda
untuk sepanjang umur mereka. Karena itu, apabila mereka
bertemu di peperangan, maka kedua belah pihak tidak akan
dapat mengekang diri masing-masing. Meskipun Argajaya pun
merupakan lawan yang tangguh, didahului oleh pertentangan
yang telah lama tergores di dalam hati masing-masing tetapi
sebenarnya mereka tidak mempunyai persoalan yang langsung
seperti persoalan mereka dengan Sidanti.
Maka masing-masing pun kemudian memasuki kembali hirukpikuknya
peperangan. Gembala tua itu masih sempat menemui
Samekta dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ki Tambak
Wedi telah mati. Dan tiba-tiba saja, tanpa dapat ditahan-tahan
lagi, meledaklah sorak yang selama ini sudah mereda. Kematian
Ki Tambak Wedi telah menggelorakan kembali dada para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga mereka pun
kemudian meneriakkan kematian itu sambil memutar senjatasenjata
mereka lebih cepat lagi. "Ki Tambak Wedi telah mati! Ki Tambak Wedi telah mati!"
Sorak-sorai yang gemuruh, yang seolah-olah hendak
memecahkan langit itu, telah menggoncangkan setiap dada anak
buah iblis yang sudah terbunuh itu. Kematian Ki Peda Sura telah
membuat mereka berdebar-debar. Dan kini orang yang paling
mereka bangga-banggakan telah mati pula.
Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak percaya
sehingga mereka pun berteriak-teriak tidak kalah kerasnya,
"Bohong! Akal licik! Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mati oleh
siapa pun." Dan yang lain berteriak pula, "Jangan percaya! Jangan
percaya!" Sorak yang membahana itu pun akhimya dapat didengar oleh
Sidanti dan Argajaya. Dada mereka serasa dihentakkan oleh
suatu tenaga yang kemudian menyelusur ke segenap urat nadi.
Hampir saja mereka kehilangan akal, dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Tetapi lamat-lamat mereka pun mendengar teriakan,
"Bohong! Akal licik!"
Darah Sidanti dan Argajaya yang rasa-rasanya hampir
berhenti mengalir itu pun segera bergejolak kembali. Bahkan api
yang menyala di dalam dada serasa tersiram minyak oleh berita
yang hampir saja melumpuhkan mereka.
"Akal licik," Sidanti menggeram. "Aku tidak percaya bahwa
Guru terbunuh. Tidak ada orang yang akan dapat
membunuhnya." Dengan demikian maka Sidanti pun kemudian justru menjadi
semakin bernafsu. Senjatanya menggelepar menyambarnyambar
dengan dahsyatnya, sehingga setiap kali Hanggapati
masih tetap harus menghindari sambil melangkah surut
berputar-putar. Apalagi ketika Sidanti menjadi seakan-akan
terbius oleh kemarahan mendengar berita yang dianggapnya
licik. "Orang-orangmu sudah mulai berputus asa," ia menggeram,
"sehingga mereka terpaksa mengarang ceritera yang sangat licik
dan memalukan itu." "Apakah kau yakin bahwa berita itu tidak benar?" berkata
Hanggapati sambil melawan sekuat-kuat tenaganya.
"Aku yakin. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat terbunuh oleh
siapa pun di dalam peperangan serupa ini. Argapati pun tidak
akan mampu menyentuhnya."
Namun sebelum Hanggapati menjawab, terdengarlah suara
seseorang yang seakan-akan meledakkan jantung Sidanti.
Dalam kisruhnya peperangan, muncullah gembala tua itu sambil
berkata, "Sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah terbunuh.
Tombak Ki Argapatlah yang telah menembus dadanya, sebagai
akibat dari ketamakannya. Apa boleh buat. Kematiannya akan
mengakhiri semuanya. Api yang membakar Tanah Perdikan ini
pun pasti akan segera padam."
Kehadiran orang tua yang tidak disangka-sangka itu serasa
membuat darah Sidanti membeku. Mungkin ia dapat
mengelabuhi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai teriakanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
teriakan yang bergema di peperangan tentang Ki Tambak Wedi.
Tetapi keterangan orang tua itu serasa jatuhnya suatu kepastian,
bahwa Ki Tambak Wedi memang sudah terbunuh.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, sejenak Sidanti seakan-akan membeku di
tempatnya. Ditatapnya gembala tua itu dan Ki Hanggapati yang
tegak di tempatnya, bergantganti.
"Sidanti," berkata orang tua itu, "tidak ada kesempatan untuk
menyesal bagi Ki Tambak Wedi. Akhir hidupnya adalah
keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang telah
dilakukan semasa hidupmya telah mendapatkan penilaian
terakhir. Dengan demikian ia tinggal menjalani akibat perbuatanperbuatan
yang dilakukan semasa hidupnya."
Sidanti memandang wajah gembala tua itu dengan tajamnya.
Sejenak ia mencoba mencernakan kata-kata itu.
"Tetapi kau belum Sidanti," berkata gembala tua itu
selanjutnya, "kau masih tetap hidup. Kau masih mempunyai
kesempatan untuk mengakhiri petualangan yang tidak akan
bermanfaat bagi siapa pun juga itu. Apalagi bagi dirimu sendiri.
Semasa hidupmu dan juga di masa langgeng."
Sidanti masih berdiri tegak. Pedangnya masih tergenggam
erat di tangannya. Namun tiba-tiba hiruk-pikuk peperangan telah
membangunkannya. Dentang senjata telah mencairkan kembali
darahnya yang serasa membeku. Ketika ia mendengar pekik
kesakitan disusul oleh keluhan yang terputus, anak muda itu
berteriak, "Aku bukan pengecut. Ayo, kalau kalian memang
mampu, bunuh Sidanti."
Gembala tua itu memang sudah memperhitungkan, bahwa
demikianlah sikap Sidanti. Ia pasti tidak akan menyerah hiduphidup.
Ia pasti akan berusaha melawan sampai mati.
"Tetapi kalau ia sudah terlepas dari peperangan, mungkin ia
akan bersikap lain," berkata gembala tua itu di dalam hatinya. "Di
sini ia dikitari oleh kekerasan dan ujung senjata. "Maka hatinya
pun akan seruncing ujung pedangnya. Tetapi kalau ia tidak lagi
melihat kilatan pedang dan mendengar rintih kesakitan, mungkin
hatinya akan luluh juga."
Dengan demikian gembala tua itu masih mencoba berkata,
"Sidanti, apakah kau tidak juga mau melihat kenyataan"
Mungkin di saat-saat seperti ini kau tidak dapat melihat dengan
terang karena peperangan ini. Tetapi apabila kau mempunyai
kesempatan, melihat ke dalam dirimu sendiri dan membuat
kesimpulan dari apa yang telah terjadi ini dengan hati yang
bening, maka aku kira kau akan menarik suatu kesimpulan yang
lain." "Diam!" tiba-tiba saja Sidanti berteriak. "Jangan kau sangka
hatiku miyur seperti daun ilalang. Aku akan tetap tegak kemana
pun angin bertiup. Aku adalah batu karang yang tidak goyah oleh
prahara yang betapa pun dahsyatnya. Dan kematian guruku pun
tidak akan dapat merubah pendirianku. Tanah Perdikan Menoreh
harus jatuh ke tanganku. Apa pun yang akan terjadi."
"Bukankah sudah seharusnya demikian?" bertanya gembala
tua yang tiba-tiba saja teringat kepada sikap Ki Tambak Wedi
sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang
penghabisan. "Omong kosong," sahut Sidanti.
"Bukankah sudah seharusnya, bahwa jabatan Ki Argapati
sebagai Kepala Tanah Perdikan akan temurun kepada anaknya,
apalagi anak laklaki?"
Ternyata dalam keadaan itu, Sidanti sudah tidak sempat lagi
membuat pertimbangan yang wajar. Karena itu, seolah-olah
tanpa disadarinya ia berteriak, "Aku bukan anak Argapati."
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera
dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenamya Sidanti itu.
Namun yang lebih dahulu dilakukan adalah menangkapnya, dan
apabila Ki Argapati nanti dapat disembuhkannya, anak ini harus
dihadapkannya. Kalau Sidanti putera Ki Argapati maka orang tua
itu pasti akan dapat mengambil kebijaksanaan, seperti terhadap
adiknya juga. *** "Nafsu yang menyala-nyala di dalam dadanya telah
mendorongnya untuk membenci ayahnya sedemikian jauh,"
berkata gembala tua itu di dalam hatinya. "Atau mungkin Ki
Tambak Wedi telah meracuninya dengan pengertian yang lain?"
Tetapi gembala tua itu tidak dapat menemukan jawabnya. Kini
yang harus dilakukan adalah berbuat sesuatu sehingga ia dapat
melumpuhkan Sidanti dan menangkapnya hidup-hidup.
Sementara itu Gupita dan Gupala telah menemukan pula
lingkaran pertempuran Argajaya melawan Dipasanga. Ternyata
bahwa kemampuan mereka hampir tidak berselisih. Desak
mendesak. Kadang-kadang Argajaya terpaksa beringsut surut
beberapa langkah, namun kemudian ia berhasil mendesak
lawannya beberapa langkah maju. Senjata-senjata mereka
menyambar-nyambar tidak henthentinya. Tombak pendek
Argajaya berputar dan mematuk dari segenap penjuru, mengitari
tubuh lawannya. Namun agaknya Dipasanga pun tidak segera
bingung menghadapinya, meskipun kadang-kadang ia harus
meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Namun agaknya sorak-sorai tentang matinya Ki Tambak
Wedi, justru agak lebih berpengaruh pada Argajaya. Tanpa
Tambak Wedi perjuangan mereka tidak akan berhasil. Apabila
benar Ki Tambak Wedi terbunuh, maka api peperangan yang
sudah terlanjur berkobar di atas Tanah Perdikan ini tidak akan
ada artinya apa-apa, selain pembunuhan dan kekerasan yang
bengis. Tetapi seperti Sidanti, Argajaya pun berusaha untuk tidak
mempercayainya. Setiap kali ia berkata di dalam hati, "Ki
Tambak Wedi adalah seorang tua yang pilih tanding. Melawan
Kakang Argapati selagi ia saras sekalipun, Ki Tambak Wedi tidak
akan dapat dikalahkannya, dan apalagi terbunuh. Justru kini
Kakang Argapati sedang terluka parah. Maka yang paling
mungkin terjadi adalah sebaliknya. Justru Ki Tambak Wedlah
yang membunuh Ki Argapati apabila ia terjun ke peperangan."
Dengan demikian maka Ki Argajaya pun mencoba untuk
mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Ia ingin dapat menguasai
lawannya segera. Apabila Dipasanga dapat dilumpuhkannya,
maka sayap ini akan sepera dikuasai. Kerti dan bahkan Samekta
tidak akan banyak berarti.
"Mudah-mudahan Sidanti pun dapat membunuh lawannya
pula," katanya di dalam hati.
Namun, belum lagi Argajaya berhasil mendesak Dipasanga,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran dua orang anak-anak muda
di arena peperangan. Sejenak Argajaya terpaku diam di tempatnya memandangi
Gupita dan Gupala yang muncul hampir berbareng dengan
cambuk di tangan masing-masing.
"Jadi ?""," Argajaya berdesis, "orang bercambuk yang
selama ini dibayangkan ternyata adalah kalian. Bukan orangorang
yang kau pergunakan untuk sekedar mengelabui kami."
"Ya. kami memang berada di peperangan selama ini," jawab
Gupala. "Persetan! Kenapa kalian selalu bersembunyi, dan baru
sekarang menampakkan diri?"
"Kami tidak pernah bersembunyi."
"Tetapi kalian tidak pernah menyatakan diri kalian dengan
jujur. Kalian selalu curang dan licik."
"Apakah kami tidak jujur" Aku tidak tahu maksudmu. Aku
bertempur di peperangan ini. Dan aku bersama kakakku telah
berhasil membunuh Ki Peda Sura, sementara Guru telah
mengantarkan Ki Tambak Wedi ke ujung tombak Ki Argapati.
Kenapa kami tidak jujur" Mungkin karena kami baru sekarang
bertemu dengan kau. Dan itu bukan berarti bahwa kami
bersembunyi. Di peperangan lawan tersebar dari ujung sampai
ke ujung gelar. Kami tidak perlu memilih. Tidak ada keharusan
pada kami untuk bertempur melawan Ki Argajaya, bukan yang
lain." Argajaya menggeram. Ditatapnya wajah kedua anak-anak
muda itu bergantganti. Kemudian berpindah kepada Dipasanga
yang berdiri tegak dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu terdengar Gupala berkata kepada Dipasanga,
"Ki Dipasanga, kami mendapat perintah untuk menangkap Ki
Argajaya hidup-hidup."
"Persetan!" teriak Argajaya. "Tidak seorang pun dapat
menyentuh kulitku selagi aku masih bernafas."
Gupala mengerutkan keningnya, sedang Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Adiknya memang selalu menuruti
perasaannya saja. Pernyataannya itu sudah tentu telah
membakar hati Argajaya yang memang sudah sekeras batu-batu
padas di perbukitan. Dipasanga pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sesaat ia tidak menjawab.
Karena tidak seorang pun yang menyahut, maka Gupala
berkata seterusnya. Kali ini kepada Argajaya, "Nah, bukankah
kau bersedia membantu kami" Bukan untuk kepentingan kami,
tetapi untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Tanah
Perdikan yang kini sedang kisruh oleh pokal Ki Tambak Wedi.
Sekarang Ki Tambak Wedi sudah mati."
Tubuh Argajaya telah menjadi gemetar menahan kemarahan
yang menyesak dadanya, sehingga jawabnya kasar, "Bunuh
aku, baru aku akan menyerah."
"Bukan begitu," sahut Gupita. "Maksud kami, apakah kau
tidak mempertimbangkan kemungkanan lain daripada
menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kalau peperangan ini
berlangsung terus, maka korban akan menjadi semakin banyak.
Hal itu tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Sedang
kedua belah pihak yang kini berhadapan adalah dari pecahan
keluarga sendiri selain Ki Tambak Wedi. Dan Ki Tambak Wedi
yang menurut dugaanku telah menyalakan api peperangan ini,
sekarang telah terbunuh."
"Tidak. Aku bukan kepompong yang paling bodoh," Argajaya
berteriak. "Apakah kau sangka bahwa aku tidak mempunyai otak
untuk berpikir dan bersikap, sehingga kau menganggap aku
sekedar sebagai peraga yang digerakkan oleh Ki Tambak Wedi"
Tidak. Aku mempunyai kepentingan dengan peperangan ini. Aku
mempunyai suatu cita-cita. Tanah ini tidak boleh menjadi Tanah
yang banci, yang tidak mempunyai jangka sama sekali. Tanah
yang sekedar harus menundukkan kepala kepada Kakang
Argapati apa pun yang diinginkannya."
Gupala tiba-tiba memotong, "He, bukankah kau adik Ki
Argapati itu" Kalau ada kekurangan di dalam pemerintahannya,
kau dapat menyampaikannya langsung kepadanya. Kenapa kau
harus menempuh jalan ini" Apakah kau sendiri sebenarnya ingin
menjadi Kepala Tanah Perdikan" Tetapi dengan demikian kau
harus berkelahi melawan Sidanti."
"Diam!" terak Argajaya yang menjadi semakin marah. Anak
muda yang gemuk itu berbicara sekehendaknya sendiri tanpa
menghiraukan apa pun juga. "Apa pun yang akan aku lakukan.
Aku tidak akan menyerah sebelum aku mati. Nah, bunuhlah aku
sekarang. Itu akan lebih baik. Kenapa kau tidak membawa
kawanmu yang seorang itu, anak Pemanahan yang sombong."
"Apakah kau akan bertemu" Ia ada di sini pula sekarang."
Wajah Argajaya menjadi semakin membara. Sejenak
ditatapnya wajah Gupala yang tersenyum-senyum. Bahkan ia
melanjutkan, "Kalau kau mau ikut aku, mari, aku bawa kau
kepadanya." "Persetan!" dada Argajaya serasa akan meledak karenanya.
Dan anak yang gemuk itu masih saja tersenyum. Bahkan
kemudian ia berkata kepada Ki Dipasanga, "Ki Dipasanga,
marilah aku dan Kakang Gupita mendapat perintah untuk
membantu Ki Dpasanga menangkap Ki Argajaya. Hidup-hidup.
Sebab ia adalah adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Tetapi sebelum Dipasanga menjawab, Argajaya telah tidak
dapat lagi menahan dirinya. Dengan garangnya ia meloncat
sambil berteriak, "Kubunuh kau lebih dahulu."
Tetapi Gupala pun telah menyiapkan dirinya. Segera ia
bergeser menghindari serangan Argajaya yang sekedar didorong
oleh kemarahan yang meluap-luap sehingga sasarannya tidak
dapat dicapainya. Dengan demikian, maka pertempuranpun segera dimulai
kembali. Bukan saja Gupala, tetapi Gupita dan Dipasanga pun
harus ikut pula. Menangkap Argajaya hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang
mudah meskipun mereka adalah Gupita, Gupala dan Dipasanga
yang masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang
dengan Argajaya, bahkan mungkin melampauinya meskipun
hanya selapis. Argajaya yang merasa dirinya terkepung, sama sekali tidak
berpikir lagi untuk mempertahankan hidupnya, karena ia tahu
bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan ketiga lawannya yang
sudah dikenalnya. Argajaya dapat mengerti, betapa ketiganya
mempunyai ilmu yang memungkinkan untuk menangkapnya.
Namun untuk mati tidaklah terlampau sukar daripada bertahan
untuk hidup. Karena itu, dibayangi oleh perasaan putus asa ia
mengamuk sejadjadinya. Tombaknya menyambar-nyambar
tidak henthentinya ke segenap arah untuk melindungi dirinya.
Bukan karena ia tidak mau mati oleh senjata lawannya, tetapi ia
ingin membawa salah seorang dari mereka atau lebih, untuk
mati bersama-sama. Gupala sekalsekali menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengumpat ia berbisik kepada Gupita, "Kenapa kita harus
menangkapnya hidup-hidup. Apakah salahnya kalau ia terbunuh
di peperangan?" "Hus, jangan kehilangan akal. Kita harus berusaha
menangkapnya hidup-hidup. Betapa sulitnya."
Gupala mengecutkan dahinya. Tangannya seakan-akan
menjadi gatal. Membunuh Argajaya dalam keadaan itu
sebenarnya tidak terlampau sulit. Tetapi membujuknya untuk
menyerah adalah pekerjaan yang justru terlampau sulit.
"Kita harus merebut senjatanya," desis Gupita.
"Aku sudah terluka," geram Gupala, "kalau kita tidak berhasil
maka lukaku akan bertambah, dan barangkali aku akan mati
untuk menangkap Argajaya hidup. Aku dan barangkali juga kau
dan Ki Dipasanga, sementara Argajaya tidak akan tertangkap."
"Kita akan mencoba."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa pun
dadanya serasa akan bengkah. Tetapi ia harus tunduk seperti
yang dipesankan oleh gurunya.
Dengan demikian maka sekali lagi mereka mencoba,
menangkap Argajaya yang mengamuk seperti serigala lapar. Ia
sama sekali sudah kehilangan tujuan perkelahiannya, selain mati
bersama lawan sebanyak-banyaknya dapat dilakukan.
Tetapi Gupita sama sekali tidak kehilangan akal. Meskipun
Dipasanga kadang-kadang mengalami kesulitan dengan sikap
Argajaya itu, namun ternyata ia cukup dewasa menghadapi
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya. Ki Dipasanga lebih baik meloncat surut menghindari
benturan-benturan yang berbahaya daripada kemungkinan
senjatanya menembus dada lawannya yang putus asa itu.
Gupalalah yang berkelahi tidak dengan sepenuh kemauan.
Kadang-kadang saja ia menyerang, kemudian bertolak pinggang
sambil memegangi tangkai cambuknya sementara Gupita dan
Dipasanga bertempur terus. Bahkan Gupala masih juga sempat
melepaskan ketegangan di dadanya dengan menyerang orangorang
Sidanti yang bertempur di sekitarnya dengan ujung
cambuknya. Gupita yang kadang-kadang melihat tingkah laku Gupala itu
hanya dapat menarik nafas. Ia tahu, betapa anak muda yang
gemuk itu menahan diri sekuat-kuatnya agar tangannya tidak
terlanjur menyerang lawannya di tempat-tempat yang
berbahaya. Sementara itu Gupita sendiri berusaha sekuat-kuat tenaganya
untuk melumpuhkan Argajaya. Kalau ia mampu melepaskan
senjatanya, maka kemungkinan untuk menangkapnya akan
menjadi semakin luas. "Buat apa membiarkannya hidup-hidup?" Gupala masih saja
bertanya. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya hampir berbisik,
"Kita hanya sekedar melakukan perintah Guru."
Gupala tidak bertanya lagi. Dipandanginya Argajaya dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba ia berbalik dan menyerang seorang
dari pasukan lawan dengan cambuknya. Ketika cambuk itu
menggeletar, terdengarlah pekik kesakitan. Hanya sejenak,
kemudian seseorang jatuh tersungkur.
"Jangan gila," desis Gupita. Tetapi Gupala sama sekali tidak
mengacuhkannya. Dengan susah payah Gupita dan Dipasanga berhasil
memeras tenaga Argajaya yang terbatas. Perlahan-lahan namun
pasti, tenaga Argajaya menjadi semakin susut. Keringatnya
seakan-akan terperas dari segenap permukaan kulitnya, dan
bahkan nafasnya pun menjadi semakin dalam di rongga
dadanya. Tetapi Argajaya benar-benar berhati batu. Ia sama sekali
tidak berpikir dan tidak mempertimbangkan, untuk merubah
pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan berkelahi terus
sampai mati. "Lihat," bisik Gupita, "tenaganya sudah jauh susut."
"Tidak ada gunanya. Ia akan mati dengan sendirinya.
Nafasnya akan terputus oleh kelelahan. Kita hanya akan
kehilangan waktu. Kalau sejak sekarang kita bunuh saja orang
itu, kita sendiri tidak akan kehabisan nafas."
"Aku tidak berani melanggar perintah Guru. Bahkan Ki
Dipasanga sama sekali tidak berhasrat melanggarnya."
Gupala menarik dahinya tinggtinggi, sehingga kerut-merut
yang dalam tergores dari ujung sampai ke ujung.
Ternyata Gupala pun kemudian melihat betapa Argajaya
hampir kehilangan seluruh kekuatannya. Kini ia berdiri
terhuyung-huyung, meskipun senjatanya masih tetap
tergenggam erat-erat. Bahkan oleh dorongan nafsu yang
melonjak-lonjak di dalam dadanya, ia masih mampu menyerang
dengan dahsyatnya, meskipun kemudian ia hampir-hampir
kehilangan keseimbangan. Kini Gupita sampai pada rencananya yang terakhir. Ia harus
merebut tombak pendek itu. Kemudian melumpuhkan lawannya
dan menangkapnya. Kalau perlu membuatnya kehilangan
tenaga untuk berbuat apa pun.
Dengan isyarat kedipan mata, Gupita mengajak Ki Dipasanga
untuk mencoba mengakhiri perkelahian itu. Kemudian ia berbisik
kepada Gupala, "Kesempatan sudah terbuka Gupala, bantulah
melakukan perintah Guru. Menangkap Argajaya hidup-hidup.
Bagaimana pun juga ia adalah adik Ki Argapati. Agaknya Guru
tidak mau membuat Ki Argapati merasa kehilangan."
Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang
Argajaya yang benar-benar sudah kehabisan nafas. Sebenarnya
membunuh orang itu sama mudahnya dengan memijat ujung
dahi sendiri. Orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu,
berdiri terhuyung-huyung bertelekan tangkai tombaknya. Namun
demikian Argajaya masih berkata lantang di sela-sela desah
nafasnya yaug memburu, "Ayo, siapakah di antara kalian yang
jantan" Apakah kalian pengecut yang tidak berani melihat darah.
Ini dadaku. Ayo, bunuh aku dengan segala macam senjata yang
ada padamu." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang olehnya,
Argajaya itu berdiri tegak di atas pasir tepian Kali Opak.
Meskipun waktu itu senjatanya sudah terlepas dari tangannya,
namun ia masih menengadahkan dadanya sambil berkata, "Ayo,
kalau kau jantan bunuh aku."
Dan kini sikap itu diulanginya. Apalagi senjatanya kini masih
tetap di dalam genggaman.
"Jangan menunggu terlampau lama, Gupala," desis Gupita.
Gupala pun kemudian melangkah maju. Mereka bertiga
mengambil arah yang berbeda-beda. Sementara Argajaya masih
menggeram. Tatapan matanya menjadi liar, dan wajahnya
seakan-akan menyala. Sementara itu Gupala berdesis, "Tidak mungkin
menangkapnya tanpa melukainya. Kalau luka itu kemudian
membunuhnya, itu sama sekali bukan salah mereka yang
melukainya." Namun Gupala terkejut ketika ia mendengar suara cambuk
meledak. Agaknya Gupita sudah mulai dengan usahanya
melepaskan senjata Argajaya dari tangannya.
Ledakan itu telah mendorong Argajaya beberapa langkah.
Terhuyung-huyung ia mencoba menghindar. Meskipun Gupita
sama sekali tidak ingin melukainya, tetapi cambuk itu meledak
beberapa cengkang saja di depan wajahnya.
"Ayo anak iblis, kaulah yang akan mati pertama-tama," desis
Argajaya di sela-sela desah nafasnya.
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju, sehingga
Argajaya terpaksa mundur setapak. Tetapi Argajaya itu terlonjak
ketika tiba-tiba saja kakinya serasa disengat oleh panasnya bara
api, disertai sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Ternyata
bahwa Gupala telah menyerang mata kaki Argajaya dengan
ujung cambuknya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
mencegah adik seperguruannya, agar anak yang gemuk itu tidak
justru menjadi semakin nekat untuk melepaskan sesak di
dadanya. Tetapi Dipasanga pun ternyata mengambil kesempatan itu.
Senjatanya segera terjulur mengarah ke dada Argajaya. Dengan
susah payah Argajaya menangkis senjata Dipasanga. Namun
dengan cepatnya Dipasanga menarik senjatanya dan
mengurungkan serangannya.
Argajaya yang semakin lemah itu justru terhuyung-huyung
oleh tarikan tenaganya sendiri. Beberapa langkah ia terseret ke
samping. Dengan susah payah ia bertahan sehingga ia tidak
terjatuh. Tetapi Gupala benar-benar tidak dapat menahan diri. Dalam
keadaan yang demikian sekali lagi cambuknya meledak. Dan
sekali lagi Argajaya terloncat karena ujung cambuk Gupala
mematuk kakinya. Tetapi keadaan sama sekali tidak menguntungkan.
Keseimbangannya benar-benar tidak dapat dikuasainya lagi,
sehingga tanpa dapat ditolong lagi. Argajaya terhuyung-huyung
jatuh tertelentang. Ia masih mencoba bertahan pada sebelah
tangannya. Tetapi ketika sekali lagi cambuk Gupita menyambar
tangan itu, maka Argajaya benar-benar terguling di tanah yang
berdebu. Sejenak Gupita terpaku di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia
melihat sebuah kesempatan. Selagi Argajaya mencoba berguling
menjauh, maka kali ini ujung cambuk Gupita-lah yang
mengejarnya. Sebuah sengatan telah mengenai pergelangan
tangan kanannya yang masih menggenggam tombaknya eraterat.
Terdengar sebuah keluhan tertahan, namun tombak itu
tidak terlepas dari tangannya.
Gupita mengerutkan keningnya. Orang ini benar-benar bukan
saja berhati batu, tetapi berhati baja.
Karena itu, sekali lagi Gupita melecutkan cambuknya. Kali ini
ujung cambuknya membelit tangkai tombak Argajaya. Dengan
sepenuh tenaga Gupita menghentakkan cambuknya untuk
memaksa tombak Argajaya terlepas dari tangannya.
Gupala yang melihat usaha itu segera membantu dengan
caranya. Selagi Argajaya bertahan, agar tombaknya tidak,
terlepas maka Gupala segera menyambar tangan Argajaya
dengan cambuknya. Bertubtubi, sehingga karah-karah besi
pada juntai cambuknya itu seakan-akan telah mengelupaskan
seluruh kulit di pergelangan tangan Argajaya.
Betapa sakitnya tangan Argajaya yang telah melelehkan
darah itu. Tetapi ia sama sekali tidak membuka genggaman
tangannya. Bahkan kemudian sambil berbaring di tanah kedua
tangannya menggenggam senjatanya itu erat-erat.
Gupala hampir saja menjadi waringuten. Hampir saja ia
kehilangan kesabaran dengan menyerang Argajaya di bagian
yang berbahaya. Untunglah bahwa Dipasanga berbuat lebih
cepat. Dilepaskannya senjatanya, kemudian dengan tangkasnya
ia meloncat menimpa Argajaya yang sudah kelelahan itu.
Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mendekap tangan
Argajaya dari belakang. Sejenak keduanya berguling-guling.
Tetapi kemudian Gupita dan Gupala pun ikut serta membantu.
Dengan demikian maka Argajaya telah dipaksa untuk
melepaskan tombaknya, karena Gupita dengan sekuat
tenaganya merebut tembak itu dari tangannya, sedang
Dipasanga memeganginya dari belakang.
Tetapi usaha itu ternyata tidak segera berhasil. Sejenak
mereka tarik menarik, seperti kanak-kanak berebut barang
mainan. Sekali lagi Gupala kehilangan kesebaran. Tiba-tiba saja
tangannya yang berat itu terayun. Sebuah pukulan sisi telapak
tangan telah menyentuh tengkuk Argajaya, sehingga dengan
tiba-tiba seluruh kekuatannya seakan-akan lenyap dari
tubuhnya. Perlawanannya pun tiba-tiba berhenti, sehingga justru
Gupita yang menarik tombaknya terdorong beberapa langkah
sehingga hampir saja jatuh tertelentang.
Ketika Gupita kemudian berhasil menguasai
keseimbangannya dan berdiri tegak dengan kaki renggang,
maka dilihatnya Argajaya telah terkulai dengan lemahnya,
menelungkup di tanah. Sejenak Gupita terpaku diam. Ditatapnya
wajah Gupala yang tegang dengan tajamnya.
"Aku hanya menyentuhnya," desis Gupala.
"Mudah-mudahan kau tidak membunuhnya," suara Gupita
tertahan-tahan. Dipasanga-lah yang kemudian berjongkok di sampingnya.
Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh Argajaya yang lemah itu.
Namun dengan serta-merta ia berkata, "Ia masih tetap hidup."
Kemudian tubuh itu pun dibaringkannya di tanah. Dengan
pengetahuan yang ada, Gupita mencoba memijit-mijit bagian di
bawah telinganya. Kemudian menggerakkan tangannya
perlahan-lahan. Nafas Ki Argajaya perlahan-lahan mulai mengalir lewat
lubang-lubang hidungnya. Satu-satu, namun kemudian semakin
lama menjadi semakin lancar.
"Kelelahan," berkata Dipasanga. "Sentuhan tangan Gupala
tidak menentukan." "Nah, bukankah kau hanya mendorongnya" Meskipun
seandainya aku tidak memukul tengkuknya betapa pun
lambatnya, ia akan pingsan karena nafasnya yang hampir
terputus." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Ia terlampau
banyak mencurahkan tenaganya."
"Tentu. Ia tidak mau tertangkap hidup-hidup. Kalau ia sadar,
maka ia akan melakukan perlawanan lagi."
Kita harus membawanya ke belakang garis peperangan."
Gupita pun kemudian memanggil beberapa orang pengawal
untuk menggantikan tempatnya, maka Dipasanga dan Gupalalah
yang mendapat kesempatan.
"Tetapi kau sedang berhadapan dengan manusia-manusia
meskipun ia lawanmu," berkata Gupita.
"Tentu. Justru aku berhadapan dengan manusia-manusialah
aku benar-benar harus mempertahankan hidupku. Karena
mereka sedang berusaha untuk membunuhku."
"Kau dapat mempertahankan hidupmu. Tetapi perlakuanmu
terhadap lawan-lawanmu adalah perlakuan seorang prajurit
jantan, dengan mengindahkan segala sopan-santun
peperangan." "Maksud Kakang?"
"Jangan bertindak berlebih-lebihan. Banyak contoh telah kau
lihat, bahwa kelakuan yang demikian tidak memberikan apa-apa
kepada kita." Gupala mengangguk. Tetapi ia mengumpat di dalam hati,
"Persetan. Bagaimana aku dapat berbuat sopan terhadap
manusia-manusia yang buas dan liar itu?" Meskipun kemudian
terdengar suara di dasar hatinya, seolah-olah suara gurunya,
"Apakah kau juga harus menjadi buas dan liar?"
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Dipasanga
telah mulai melibatkan diri di peperangan, sedang para
pengawal telah mengangkat tubuh Argajaya dan membawanya
ke belakang garis perang bersama Gupita.
Tetapi untuk sejenak Gupala masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. Ia memandangi saja bagaimana Dipasanga
mengayunkan senjatanya. Meskipun orang itu bertempur di
antara orang-orang yang kasar, namun ia tetap dapat menguasai
dirinya, meskipun ia tidak kurang tangkas dan cepat.
Sekilas terbayang di rongga matanya, prajurit Pajang yang
berada di Sangkal Putung, selagi mereka bertempur melawan
pasukan Tohpati dan Ki Tambak Wedi di padukuhan Tambak
Wedi. Tanpa mengurangi nilanilai peperangan dan ketahanan
mempertahankan diri, Gupala dapat melihat perbedaan cara
yang dipergunakan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang
bercampur-baur dengan orang-orang Ki Peda Sura, dengan cara
yang dipergunakan oleh Ki Dipasanga.
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun keningnya
menjadi berkerut-merut apabila ia melihat bahwa para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh pun sebagian terbesar sama sekali
tidak mampu menahan diri, sehingga mereka berkelahi tidak
ubahnya seperti cara-cara yang dipergunakan oleh lawan-lawan
mereka.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Gupala menggeleng, "Aku tidak boleh
mempergunakan cara itu." Dan tanpa sesadarnya ia berkata
kepada diri sendiri, "Benar juga pesan Kakang Gupita."
Dan sesaat kemudian Gupala pun telah menerjunkan dirinya
di dalam peperangan dengan cambuknya yang panjang. Sekalisekali
terdengar sebuah teriakan nyaring, kemudian pekik
kesakitan. Tetapi Gupala selalu mencoba mengekang dirinya
untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela di
peperangan. Ia menghindari perlakuan yang dapat
menumbuhkan kesan kekejaman tanpa batas, meskipun
kadang-kadang cambuknya tanpa dikekendakinya sendiri, telah
mengelupas kulit-kulit wajah lawannya.
Ternyata bahwa garis peperangan telah bergeser semakin
mendekati padukuhan induk. Pasukan Sidanti sudah tidak lagi
dapat dibimbing oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya. Bahkan
pemimpin-pemimpin kelompok yang ada pun sama sekali sudah
tidak berpengharapan lagi. Berita tentang Argajaya pun segera
merayap dari ujung ke ujung pasukan.
Bahkan orang-orang yang tidak dapat melihat dengan pasti,
apakah yang telah terjadi dengan Argajaya segera meneriakkan
kematiannya. Sehingga dengan demikian maka gairah
perlawanan orang-orang Sidanti itu sama sekali telah lenyap.
Bahkan beberapa orang anak buah Ki Peda Sura yang sama
sekali sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi karena
kekalahan yang tidak disangka-sangka itu, telah mulai bimbang.
"Buat apa kita bertempur?" desis seseorang kepada
kawannya. Kawannya menggeleng, "Kami masih mengharap dapat
bertahan. Meskipun besok kita harus lari, tetapi kita masih
mendapat kesempatan untuk mencari sesuatu di induk Tanah
Perdikan ini sendiri. Tetapi agaknya keadaan berkembang lain."
"Apakah kita menunggu leher kita terputus di atas Tanah
yang ternyata sangat gersang ini."
"Sepeninggal Ki Peda Sura, kita memang sudah tidak
berpengharapan lagi."
Demikianlah sikap itu menjalar dari seorang keorang yang
lain. Bahkan orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu
dengan maksud serupa, yang bukan anak buah Ki Peda Sura
pun telah dijangkiti oleh pendirian itu. Mereka sama sekali tidak
dapat mengharap apa-apa lagi dari peperangan ini.
Bahkan satu dua di antara mereka telah meninggalkan
peperangan itu dengan diam-diam.
Dengan demikian maka pasukan yang tampaknya masih
tetap berada di dalam gelar itu sama sekali sudah tidak
mempunyai kekuatan lagi. Senapati yang tinggal satu-satunya
adalah Sidanti. Namun ternyata bahwa Sidanti tidak mampu berbuat banyak.
Ia tidak dapat menguasai seluruh medan, karena ia sendiri
sedang sibuk bertempur melawan Hanggapati.
Apalagi disadarinya, bahwa sepasang mata selalu
mengawasinya, dari antara para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. "Anak itu memang luar biasa," desis orang yang masih
memandanginya hampir tanpa berkedip. "Tenaga dan
kemampuannya ngedab-edabi. Sayang ia jatuh ketangan yang
salah, sehingga ia pun telah tersesat jalan."
Namun kesesatan itu tidak mengurangi kekaguman gembala
tua yang sedang menunggui pertempuran yang masih saja
berlangsung dengan sengitnya.
Gembala tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melibat
warna-warna semburat merah membayang di langit. Tanpa
sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam, "Semalam kami telah bertempur. Mudah-mudahan
setelah matahari terbit pagi nanti, semuanya akan dapat
diselesaikan. Masalah-masalah yang selama ini seakan-akan
mencengkam Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan dapat
diuraikan. Dan api yang selama ini berkobar akan dapat
dipadamkan." Dan tiba-tiba orang tua itu menyadari, bahwa kini ia masih
menghadapi seorang anak muda yang berhati baja. Kalau anak
ini sudah dapat dikuasainya, maka pasukan lawan sama sekali
sudah tidak mempunyai seorang pimpinan pun. Pasukan itu
pasti akan segera terpecah.
Karena itu, maka gembala tua itu melangkah semakin dekat.
Tetapi ia masih tertarik melihat cara Sidaniti mempergunakan
senjatanya. Dengan demikian ia masih termenung sejenak
memandangi pertempuran itu.
Orang tua menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar
beberapa meneriakkan kematian Argajaya. Seakan-akan berita
itu sudah sedemikian meyakinkan, bahwa Argajaya telah mati
terbunuh. Sidanti yang mendengar berita itu dari teriakan-teriakan yang
seakan menjalar itu mengangkat wajahnya sejenak. Ia ingin
meyakinkan pendengarannya. Dan suara yang merambat itu
masih saja menggema, "Argajaya mati! Argajaya mati!"
"Persetan!" Sidanti menggeram. "Aku tidak memerlukan siapa
pun lagi. Ayo, siapa lagi yang akan maju ke medan ini" Kau
orang tua bangka" Kenapa kau diam saja" Apakah kau takut
melawan aku, he?" Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika
dipandangnya Hanggapati sejenak orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Hanggapati yang kebetulan juga memandanginya,
seolah-olah bertanya kepadanya seperti Sidanti, "Kenapa kau
diam saja?" Dan pertanyaan itulah yang telah mendorongnya untuk maju
lagi. Tetapi ia masih berkata, "Kenapa kau mengeraskan niatmu
serupa itu Sidanti?"
"Jangan banyak bicara. Bunuh aku atau aku membunuhmu."
"Kau menjadi putus asa, seolah-olah harhari mendatang
adalah harhari yang sangat gelap bagimu. Seharusnya kau
percaya bahwa Ki Argapati akan bersikap adil. Kau adalah
anaknya. Dan demikianlah seorang bapa. Betapa pun ia bersakit
hati, tetapi apabila anak itu telah kembali ke pangkuannya
dengan penuh penyesalan, maka ia akan dimaafkan."
"Bohong. Kau mencoba menjebak aku. Argapati bukan
ayahku." Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan tidak sesadarnya ia mengusap dada dengan sebelah
tangannya, "Kau benar-benar keras hati, Ngger."
"Diam! Diam!" Dan Sidanti tidak menunggu lagi. Sekali lagi ia menyerang
Hanggapati yang untuk sejenak masih sempat memandang
gembala tua itu dengan penuh pertanyaan di wajahnya, "Kiai
mau apa sebenarnya?"
Orang tua itu menangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya peperangan yang masih berlangsung untuk
sejenak. Kemudian dipandanginya arena yang kecil tempat
Hanggapati berkelahi melawan Sidanti yang menjadi wuru.
Ternyata bahwa dalam keadaan yang seakan-akan tidak
terkuasai lagi. Sidanti menjadi sangat berbahaya. Beberapa kali
Hanggapati meloncat surut. Namun dengan demikian, perhatian
Sidanti sebagian terbesar tertuju kepada lawannya, hampir tidak
terbagi, selama laklaki tua itu belum berbuat apa-apa.
Namun kemudian hal itu terjadi. Darah Sidanti seakan-akan
jadi membeku dengan tiba-tiba ketika ia merasa sebuah
tangkapan yang tidak dapat dilawannya, pada tengkuknya.
Sebuah tangan yang kuat, telah mencengkamnya, seakan-akan
sebuah jepitan besi telah menghimpit lehernya. Perlahan-lahan
namun tidak dapat dilawannya, tubuhnya serasa menjadi
semakin lemah. Akhirnya Sidanti merasa, bahwa tangannya
sama sekali tidak mampu lagi untuk digerakkannya. Pandangan
matanya menjadi kabur dan nafasnya menjadi kian sesak.
"Tidurlah anak manis," terdengar sebuah desis ditelinganya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan kemudian
matanya pun menjadi semakin kabur.
Hanggapati memandanginya dengan penuh keheranan. Ia
berdiri tegak di tempatnya sambil memandang Sidanti yang
pingsan terbaring di tanah, sedang laklaki tua itu telah
berjongkok di sisi tubuh Sidanti yang terbaring itu.
"Aku memerlukannnya hidup-hidup," berkata orang tua itu
kepada Hanggapati. Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak segera menjawab. Ditatapnya Sidanti yang sama sekali sudah tidak berdaya lagi.
Agaknya orang tua itu telah berhasil menekan simpul syaraf
Sidanti yang langsung mempengaruhi pusat syarafnya.
"Aku akan membawanya ke belakang garis peperangan ini,"
berkata laklaki tua itu. "Mudah-mudahan api yang membakar
Tanah Perdikan ini segera akan padam."
"Lalu, bagaimana dengan pasukan lawan?" bertanya
Hanggapati. "Usirlah mereka bersama-sama dengan Kerti, Samekta, dan
para pengawal yang lain."
"Tetapi," orang tua itu mengerutkan keningnya, "aku harus
bertemu dengan Samekta. Ia harus menyediakan sepasukan
pengawal yang segera dapat digerakkan menguasai seluruh
daerah peperangan, terutama padukuhan induk."
Hanggapati mengerutkan keningnya.
"Orang-orang yang datang dari luar Tanah Perdikan ini dan
yang kemudian akan melarikan diri, pasti akan mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya selagi padukuhan-padukuhan ini
kosong." Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudahlah. Bantulah Kerti menyelesaikan tugasnya di sini."
"Baik, Kiai." Orang tua itu pun kemudian memapah Sidanti di pundaknya
dan membawanya mundur kebelakang garis peperangan.
Namun ia masih sempat menemui Samekta setelah seorang
penghubung memanggilnya. "Jangan terlambat," berkata orang tua itu mengakhiri
pesannya. "Agaknya satu dua orang telah meninggalkan
peperangan ini dengan diam-diam. Jalan lari itulah mereka akan
mempergunakan kesempatan."
"Baik, Kiai," jawab Samekta kemudian.
Maka sepeninggal gembala tua itu, Samekta menjadi semakin
sibuk. Untunglah bahwa gairah perlawanan pasukan Sidanti
yang telah kehilangan pemimpin-pemimpinnya itu telah menurun
jauh sekali, sehingga pasukan itu terus didorong mundur oleh
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama rakyat
yang setia kepada pemimpinnya.
Dengan cepat Samekta menunjuk beberapa orang yang
dipercayanya. Mereka harus menebar ke segenap sudut
padukuhan induk yang mungkin akan dilalui oleh pendatang
yang dibawa Ki Peda Sura atau kawan-kawan mereka. Memang
tidak mustahil bahwa sambil melarikan diri mereka akan mencari
kesempatan dalam kekosongan untuk merampok dan merampas
kekayaan yang tersisa. Seperti juga para pemimpin pasukan pengawal yang lain,
Samekta memperhitungkan, bahwa perlawanan pasukan lawan
tidak akan dapat bertahan sampai fajar. Karena itu, maka
sepasukan pengawal yang telah dipilihnya segera
diperintahkannya untuk mendahului. Mereka mendapat tugas
untuk mengamankan padukuhan induk, sebelum pasukan
pengawal seluruhnya memasuki daerah itu.
Pertempuran itu kini benar-benar telah menjadi berat sebelah.
Pasukan yang semula dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya, dan Ki Peda Sura itu sudah mulai pecah.
Mereka menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat mengikat
mereka di dalam kesatuan karena pemimpin-pemimpin mereka
telah habis. Itulah sebabnya, maka pasukan itu sama sekali tidak
lagi dapat menyesuaikan diri.
Hanya beberapa orang yang menjadi berputus asa sajalah
yang masih bertempur dengan gigih, karena mereka merasa
bahwa mereka tidak akan mendapat tempat lagi di harhari
mendatang di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi mereka sudah
tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lagi. Mereka merasa
bahwa tidak akan ada gunanya menyesal, sehingga karena itu,
maka lebih baik bagi mereka untuk binasa sama sekali. Sebab
apabila Tanah Perdikan ini kembali dikuasai oleh Ki Argapati dan
orang-orang yang setia kepadanya, maka mereka yang selama
ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya pasti akan dianggap
sebagai pengkhianat. Itulah sebabnya, maka kematian adalah
jalan yang sebaik-baiknya.
Tetapi ada juga yang memilih jalan lain. Lari. Ke mana pun.
Demikianlah maka seperti awan yang dihembus oleh angin,
perlahan-lahan pasukan yang telah kehilangan pimpinan itu
terpecah, kemudian berserakan tanpa arah. Yang mati, matilah
di peperangan. Sedang yang masih hidup berlarlarian tidak
menentu. Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh gembala tua,
beberapa orang anak buah Ki Peda Sura dan kawan-kawan
mereka memang mencoba mempergunakan kesempatan dalam
kekisruhan itu. Tetapi pasukan khusus yang dikirim oleh
Samekta, telah memasuki padukuhan induk itu lebih dahulu.
Mereka segera memencar ke segenap sudut, sehingga mereka
dapat langsung mengawasi orang-orang yang melarikan diri dan
mencoba memasuki rumah-rumah yang masih berpenghuni.
Perkelahian-perkelahian kecil segera terjadi antara orangorang
liar itu melawan para pengawal. Tetapi hal itu tidak terjadi
terlalu lama. Mereka yang telah menjadi gelisah dan bingung itu,
segera meninggalkan padukuhan itu, berlari mencari selamat.
Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, mereka
berusaha menemukan jalan untuk kembali ke sarang-sarang
mereka, meskipun salah seorang pemimpin mereka yang
mereka segani, Ki Peda Sura sudah terbunuh.
Namun sebagian dari mereka tidak berhasil keluar dari
padukuhan induk itu, karena tindakan yang cepat dari para
pengawal. Korban di antara mereka masih juga berjatuhan satusatu.
Pasukan pengawal yang marah merasa mendapat
kesempatan untuk melepaskan dendam yang membara di hati
mereka setelah beberapa lama mereka terusir dari padukuhan
induk, dari padukuhan-padukuhan lain di sekitarnya. Bahkan ada
di antara mereka yang terpaksa meninggalkan halaman dan
milik mereka yang mereka kumpulkan, sedikit demi sedikit.
Sehingga dengan demikian, maka dengan, nafsu yang menyalanyala
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, berusaha
mengejar lawan-lawan mereka.
Tetapi sejenak kemudian beberapa penghubung telah
menyebarkan perintah Samekta. Para pengawal tidak
diperkenankan berlaku kasar dan menuruti perasaan masingmasing.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang penting mereka harus memasuki padukuhan induk
tanpa menghiraukan lawan yang melarikan diri terpecah belah.
"Kita harus segera menyusun diri. Menguasai seisi Tanah
Perdikan ini sebaik-baiknya," perintah Samekta.
Beberapa kelompok pengawal menjadi ragu-ragu atas
perintah itu. Sekian lama mereka menahan kemarahan yang
seolah-olah akan meledak di dada masing-masing. Kini mereka
mendapat kesempatan itu. Apalagi di dalam pertempuran yang
baru saja terjadi, apakah mereka harus melepaskan lawan itu
begitu saja" Namun dalam keragu-raguan itu, mereka merasa bahwa
mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Mereka
mempunyai pemimpin, perintahnya harus didengar. Sehingga
dengan demikian maka mereka harus patuh dan melakukan
perintah itu. Meskipun demikian ada juga beberapa kelompok pengawal
yang tidak segera mematuhinya. Mereka masih mempergunakan
kesempatan terakhir untuk melepaskan dendamnya terhadap
pengikut Tambak Wedi yang menjadi sumber penderitaan
seluruh rakyat Menoreh. "Kita harus melepaskan mereka," berkata seorang
penghubung kepada seorang pemimpin kelompok yang sedang
kalap. "Persetan!" geramnya. "Aku harus membunuh orang itu."
*** Tanpa menghiraukan apa pun lagi, ia mengejar seorang yang
sudah tidak terlalu jauh di hadapannya. Agaknya orang itu sudah
begitu lelah, sehingga langkah kakinya sudah tidak begitu
cekatan. "Tunggu, aku bunuh kau," teriak pemimpin kelompok itu.
Orang yang sedang berlari itu berusaha untuk mempercepat
langkahnya. Tetapi tenaganya tidak memungkinkannya lagi.
Bahkan ketika terantuk sebuah batu, maka ia pun terbanting
jatuh di tanah. Betapapun penghubung itu mencoba mencegah, tetapi
pemimpin kelompok itu sama sekali sudah tidak
menghiraukannya lagi. Ketika orang yang terjatuh itu berusaha
untuk bangkit, maka ujung pedang pemimpin kelompok itu
segera membenam di punggungnya.
Tidak ada keluhan sama sekali yang terdengar. Orang itu
terlempar dan jatuh tertelungkup, sementara langit menjadi
semakin cerah. Beberapa langkah di belakang mereka, beberapa orang
pengawal di dalam kelompok itu pun berdatangan. Salah
seorang anak muda yang tidak dapat menahan diri segera
berteriak, "Cincang saja. Pengkhianat."
Yang lain menyahut, "Ya, cincang pengkhianat itu."
Pemimpin kelompok yang tidak dapat menahan hati itu pun
kemudian dengan geramnya mendorong orang yang sudah
terbunuh itu dengan kakinya, sehingga tubuh itu pun kemudian
menelentang. Tetapi demikian pemimpin kelompok itu melihat wajah orang
yang dibunuhnya, tiba-tiba ia membeku. Tangannya. Menjadi
gemetar dan bibirnya bergerak-gerak. Terdengar suaranya
sendat, "Kakang. Kakang. Kaukah itu."
Semua orang tiba-tiba saja mematung di tempatnya. Ternyata
orang yang terbunuh itu adalah kakak pemimpin kelompok yang
dengan tangannya sendiri telah membunuhnya.
"Kakang," suaranya semakin lirih, "kenapa kau berpihak
kepada Sidanti" Aku menjadi gila karena aku menyangka bahwa
kau justru telah terbunuh oleh mereka," suaranya tiba-tiba
merendah. "Sejak kita terusir dari padukuhan induk, kita tidak
pernah bertemu lagi. Ternyata kau terpikat oleh janjjanji
mereka." Namun pemimpin pengawal itu tidak dapat menahan diri
ketika hatinya serasa seakan-akan terpecah. Perlahan-lahan ia
berjongkok di samping tubuh kakaknya yang telah membeku.
Katanya perlahan-lahan sambil menyilangkan pedang di
dadanya. "Maafkan aku, Kakang. Aku sama sekali tidak
menyangka, bahwa kaulah yang telah aku bunuh. Bukan
maksudku sama sekali meskipun seandainya aku tahu kau
berpihak kepada lawan."
Dan kepalanya pun menjadi semakin tertunduk ketika
terbayang wajah ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya yang
meninggal beberapa tahun yang lalu. Hampir berturut-turut. Tiga
tahun ia kehilangan kedua orang tuanya. Selama itu kakaknya
itulah yang mengasuhnya. Memberinya tempat tinggal dan
makan. Tetapi, kini ia telah membunuhnya.
Ketika pemimpin kelompok itu berpaling, dilihatnya
penghubung yang selama itu mencoba mencegahnya. Dengan
penuh sesal ia berkata, "Aku bersalah. Aku tidak mentaati
perintah Ki Samekta. Dan aku harus menebus kesalahan itu
dengan taruhan yang terlampau mahal."
Penghubung itu tidak menyahut. Ternyata peperangan
memang begitu kejam, sehingga memaksa seorang adik
membunuh kakaknya sendiri walaupun tanpa disadarinya.
"Sudahlah," akhirnya penghubung itu berkata. "Ki Samekta
memerlukan kalian di padukuhan induk. Berkumpullah. Kalian
akan mendapat petunjuk. Hal-hal serupa ini agaknya memang
telah diperhitungkannya. Bukan saja pembunuhan adik atas
kakaknya, tetapi juga pelepasan dendam yang berlebih-lebihan
di antara kita sendiri."
Pemimpin kelompok itu berdiri perlahan-lahan. Kepalanya
masih tertunduk. Tetapi kepala yang tertunduk itu mengangguk.
"Kita akan menyelesaikan sisa-sisa persoalan ini dengan cara
yang lain," berkata penghubung itu. "Dan Ki Samekta sudah
mempertimbangkan cara yang sebaik-baiknya."
"Ya. Aku telah terjebak oleh nafsuku sendiri," desis pemimpin
kelompok yang kalap itu. Sejenak kemudian maka dengan kepala tunduk seluruh
kelompok itu pun segera meninggalkan tempat itu. Namun
pemimpin kelompok itu masih berdesis, "Besok aku akan minta
ijin khusus untuk menguburkan mayat Kakang."
Tidak seorang pun yang menjawab. Sesal yang sangat telah
melepaskan segala macam dendam di dalam dada pemimpin
kelompok itu. Sementara itu, di bagian lain dari medan peperangan, masih
terjadi beberapa keributan kecil. Tetapi semuanya segera dapat
diatasinya. Beberapa kelompok pasukan pengawal telah berada
di padukuhan induk. Mereka segera mengambil tempat-tempat
yang penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Terutama dari orang-orang pendatang yang jelas akan
mempergunakan setiap kemungkinan yang terbuka dalam
keadaan apa pun. Dalam pada itu, Ki Argapati yang ditunggui oleh Pandan
Wangi telah semakin menyadari keadaannya. Titik air di bibirnya
membuatnya sedikit segar.
Dan ketika perang itu berakhir, Ki Argapati telah dapat
mengerti, apa yang telah terjadi di sekitarnya. Tetapi ia pun
menyadari bahwa keadaannya menjadi semakin lemah, karena
luka-lukanya bertambah parah.
Tetapi hatinya seakan-akan rontok ketika usungan yang
membawanya memasuki pintu gerbang padukuhan induk yang
telah sekian lama ditinggalkannya.
Dengan suara yang lemah ia berdesis, "Wangi, apakah aku
tidak bermimpi." "Tidak, Ayah," jawab Pandan Wangi. "Ayah sedang memasuki
padukuhan induk." Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menatap
langit yang terbentang, maka cahaya fajar telah menjadi semakin
terang. "Ternyata Tuhan masih memperkenankan aku memasuki
padukuhan ini kembali."
"Bukankah kita memohonnya," sahut anaknya, "dan
permohonan kita sama sekali tidak berlebih-lebihan.
Permohonan yang ternyata diperkenankan oleh Tuhan."
"Ya. Kita wajib berterima kasih," suara Argapati merendah di
antara desah nafasnya. "Kau tidak boleh melupakan apa yang
telah terjadi hari ini, Wangi."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Ternyata kita tidak berjuang sendiri. Tuhan telah
mengirimkan kepada kita beberapa orang yang ternyata
memegang peranan di dalam perjuangan ini."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat
pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan. Masih seperti
pada saat ditinggalkannya.
Kemudian terbayang sekilas di dalam ingatannya, dua orang
anak-anak muda yang mengaku bernama Gupala dan Gupita.
Anak-anak muda yang serasa dibayangi oleh kabut rahasia yang
tak terpecahkan. Sejak permulaan peristiwa yang membakar
Tanah Perdikan ini, kedua anak muda itu telah menunjukkan
dirinya. Tengkuk Pandan Wangi meremang kalau terkenang olehnya,
beberapa laklaki yang kasar telah mencegatnya. Kemudian di
jalan pulang bersama Samekta, ia bertemu dengan seorang
gembala yang bernama Gupita. Gembala yang cakap bermain
seruling. Namun sejalan dengan itu, terbayang juga di dalam
kenangannya, betapa Sidanti telah berusaha melindunginya
sebagai seorang kakak, ketika ia hampir-hampir menjadi
berputus asa. Sidanti telah melepaskannya dari tangan orangorang
liar itu. Tanpa disadarinya Pandan Wangi menundukkan kepalanya.
Kini kakaknya itu menjadi seorang tawanan, yang menurut
penilaian orang-orang Menoreh adalah seorang pengkhianat
bersama pamannya, Argajaya. Pamannya yang sangat baik
kepadanya sejak ia masih kanak-kanak. Yang pernah
mendukungnya pula bergantian dengan bibinya. Apalagi apabila
ia sedang menangis karena dimarahi oleh ayah dan ibunya, jika
ia nakal. "Cup, cup Wangi," pamannya selalu mencoba menghiburnya.
"Ibu nakal. Ayah nakal. Mari bermain dengan paman saja. Cup."
Dan ia pun kemudian didukung ke kebun di belakang rumah, di
bawah pepohonan yang rimbun, sehingga kadang-kadang ia
tertidur di dalam dukungan.
Dan sekarang, seperti kakaknya, pamannya adalah seorang
tawanan. Wajah Pandan Wangi menjadi semakin menunduk. Dalam
waktu sekian tahun itu ternyata telah terjadi banyak sekali
perubahan. Ada yang pergi dari hatinya, tetapi ada yang datang
pula. Yang sebelumnya belum pernah dikenalnya, kini mereka
bersama-sama justru berhadapan dengan orang-orang yang ada
di sekitarnya di masa kanak-kanak.
Argajaya dan Sidanti telah tersisih dari lingkaran hidupnya,
dan kini hadir gembala-gembala itu dengan ayahnya yang tua.
Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar ayahnya yang
berada di usungan di sisinya bertanya lirih, "Kita telah sampai di
mana sekarang ini, Wangi?"
"Kita hampir sampai ke rumah, Ayah."
Terdengar sebuah desah pendek. Tetapi Ki Argapati tidak
bertanya lebih lanjut. Sebenarnyalah bahwa mereka telah hampir sampai di rumah
Ki Argapati di padukuhan induk. Sebentar kemudian mereka
telah berada di sebuah lapangan rumput di muka sebuah rumah
yang berhalaman luas. "Hem," Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Iring-iringan itu pun kemudian menjadi semakin mendekati
regol halaman. Sejenak mereka berhenti ketika dua orang
pengawal mendahului untuk melihat keadaan.
Ternyata Samekta telah berada di halaman itu bersama Kerti.
Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong Ki Argapati yang
masih berada di dalam usungan.
"Marilah, Ki Gede," berkata Samekta. "Semuanya sudah
dipersiapkan meskipun dengan tergesa-gesa. Halaman ini telah
bersih dari kemungkinan-kemungkinan yang kurang
menyenangkan. Para pengawal telah menebar di segala sudut.
Di halaman depan, samping dan di kebun belakang. Isi rumah ini
pun telah kami periksa dengan teliti. Dan Ki Gede kemudian
dapat beristirahat dengan tenang."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Terasa luka-lukanya
menjadi kian perih. Namun ia berdesis, "Terima kasih, Samekta."
Ki Gede pun kemudian diusung memasuki regol halaman.
Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan harunya,
sehingga sepasang matanya pun menjadi basah. Tetapi ia
bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Dicobanya berjalan
dengan tegap di samping usungan ayahnya. Dicobanya
menengadahkan wajahnya menatap tangga-tangga pendapa
rumahnya. Namun ketika tampak olehnya tanaman-tanaman bunga yang
dipeliharanya dengan hathati, pepohonan dan seluruh halaman
rumahnya menjadi sangat kotor seperti hutan perdu, maka
terasa kerongkongannya seakan-akan tersumbat.
Rumah itu seolah-olah sudah berubah menjadi rumah hantu.
Di sana-sini sarang labah-labah bergayutan. Putih kehitamhitaman.
Agaknya selama rumah ini ditinggalkannya, sama sekali tidak
pernah dibersihkan. Ki Tambak Wedi, Sidanti dan orangorangnya
yang tinggal di rumah ini sama sekali tidak sempat
memperhatikan sarang labah-labah dan tumbuh-tumbuhan liar di
halaman. Tetapi saat itu Pandan Wangi pun tidak sempat
memperhatikannya terlalu lama. Ia selalu berada di samping
ayahnya ketika usungan itu dibawa masuk ke ruang dalam.
Sebuah lampu minyak yang buram masih menyala di atas
ajuk-ajuk meskipun hari sudah menjadi semakin terang. Tetapi
sinarnya sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan semakin lama
menjadi semakin redup karena minyak di dalamnya sudah habis
sama sekali. "Apakah bilik ayah sudah dibersihkan," bertanya Pandan
Wangi kepada Samekta. Samekta tergagap sejenak. Ia sama sekali tidak berpikir
sampai begitu jauh. Ketika ia melihat bilik itu dan menurut
pendapatnya sama sekali sudah tidak ada bahaya yang
tersembunyi, maka ia merasa bahwa bilik itu sudah siap
dipergunakan. Tetapi tidak terkilas sama sekali di kepalanya,
bahwa bilik itu memang harus dibersihkan.
Hanya karena Pandan Wangi adalah seorang gadis meskipun
berpedang di lambungnya sajalah, maka selain pengamatan
atas bahaya yang tersembunyi, maka kebersihannya pun
mendapat perhatiannya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku kira belum bukan, Paman?"
Samekta menganggukkan kepalanya, "Memang belum. Aku
tidak berpikir sampai ke sana."
"Tungguilah ayah di sini. Aku akan membersihkannya
sebentar." Samekta menganggukkan kepalanya, sedang Pandan Wangi
segera berlari ke belakang mencari sapu serabut.
Dengan tergesa-gesa bilik yang kotor itu pun dibersihkannya.
Kemudian dicarinya tikar yang lebih bersh dari tikar yang
terbentang di atas pembaringan. Pembaringan yang dahulu juga,
tetapi alangkah kotornya.
Setelah semuanya dianggapnya selesai untuk sementara,
maka dibaringkannya Ki Argapati di pembaringan. Pembaringan
yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Sementara Samekta
dan Kerti segera mengatur para pengawal dan menyebarkannya
di tempat-tempat yang dianggap perlu.
Namun sementara itu, yang sama sekali kurang mendapat
perhatian para pengawal adalah justru padukuhan yang baru
saja mereka tinggalkan. Lebih daripada itu adalah padukuhan di
sebelah, tempat orang-orang Menoreh menampung para
pengungsi. Padukuhan itu hanya sekedar ditunggui oleh beberapa
pegawal dan laklaki yang menurut pertimbangan badaniah
sudah tidak mampu lagi bertempur di medan yang berat. Karena
itu maka kekuatan di kedua padukuhan itu hampir tidak berarti
sama sekali. Adalah di luar dugaan bahwa beberapa orang liar yang
datang membantu Sidanti teringat akan hal itu. Dan bahkan
memusatkan perhatian mereka kepada para pengungsi itu.
"Kita singgah sebentar ke padukuhan itu," desis salah
seorang dari mereka. "Untuk apa?" bertanya yang lain.
"Menoreh pasti telah mengerahkan semua manusia yang ada.
Karena itu, maka kedua padukuhan itu pasti kosong."
"Kenapa kita singgah di sana?"
"Kau memang bodoh. Sebagian besar isi padukuhan induk
telah mengungsi ke sana. Yang dapat mereka bawa pasti
barang-barang berharga saja. Karena itu, apabila kita dapat
memasuki padukuhan pengungsian itu, kita tinggal mengambil
saja sesuka hati kita. Apa saja pasti sudah tersedia."
"Apakah sama sekali tidak ada seorang penjaga pun?"
"Tentu ada, tetapi pasti bukan orang-orang yang terpilih untuk
ikut ke peperangan."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang yang lain berkata, "Aku sependapat. Mari, sebelum
sebagian dari mereka kembali."
Segerombolan kecil orang liar itu pun segera mempercepat
langkah mereka. Mereka tidak mau didahului oleh sebagian dari
para pengawal yang pasti akan segera dikirim oleh pimpinan
pasukan Menoreh. "Apa pun yang kita dapatkan, dapatlah sekedar menawarkan
hati yang panas ini."
Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil melangkah
semakin cepat. Kehadiran mereka di tempat-tempat pengungsian benarbenar
membuat suasana yang tenang itu menjadi kisruh.
Beberapa orang pengawal yang bertugas segera
mempersiapkan diri. Bahkan laklaki yang sudah berusia lanjut
pun segera menyambar senjata-senjata yang ada di dinding.
Dan anak-anak tanggung yang berdarah panas pun tidak mau
ketinggalan. "He," pemimpin dari para pengawal itu berkata lantang di
hadapan segerombolan orang yang akan memasuki padukuhan
itu, "Siapakah kalian, dan apakah maksud kalian?"
"Kami hanya sekedar akan lewat. Bukankah jalan yang
melintas di tengah-tengah padukuhan ini jalan untuk umum."
Pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya, "Tidak.
Dalam keadaan serupa ini jalan ini tertutup bagi siapa pun."
"Tetapi kami akan lewat," teriak yang berkumis panjang.
"Minggir," teriak yang berkepala botak.
Tetapi pemimpin pengawal itu pun berteriak, "Jangan
memaksa. Kalian harus mencari jalan lain."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang
yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat maju ke depan
sambil mengacung-acungkan kelewangnya. "Minggir anak-anak
marmot. Jangan berbuat bodoh."
Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya orang yang tampaknya buas dan liar itu. Namun
dengan demikian ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya
akan mereka lakukan. "Apa pun yang akan terjadi, tetapi kalian tidak boleh lewat,"
jawab pengawal itu. Hampir serentak orang yang liar itu mendesak maju.
Tetapi para pengawal yang berdiri di mulut lorong pun tidak
menepi. Meskipun mereka menyadari, bahwa mereka akan
berhadapan dengan orang-orang yang liar dan buas. Bahkan
mereka pun menyadari bahwa mereka tidak mampunyai cukup
kekuatan untuk mempertahankan diri terhadap segerombolan
orang-orang liar itu. Namun demikian mereka tidak akan dapat pula membiarkan
orang-orang itu memasuki padukuhan dan merampok segala
isinya. Apa pun yang terjadi, mereka harus bertahan sejauh-jauh
dapat mereka lakukan. "He, orang-orang yang tidak tahu diri," berteriak seseorang
yang berdada bidang dan berbulu lebat, "apakah kalian tidak
mengenal kami?" "Siapa pun kalian, kami tetap dalam pendirian kami."
Orang-orang liar itu pun kemudian tidak dapat tersabar lagi.
Segera mereka pun memencar sambil mengacung-acungkan
senjata mereka. Salah seorang dari mereka berteriak, "Kalian
tidak akan berdaya apa pun juga menghadapi kami. Jangan
keras kepala." Para pengawal itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka
masih juga mempunyai harapan, karena jumah mereka lebih
banyak. Tetapi yang banyak itu adalah sekedar orang tua-tua
dan anak-anak tanggung. Meskipun demikian di antara yang tuatua
itu terdapat bekas-bekas pengawal yang pernah mengenal
bagaimana mempergunakan pedang dan tombak yang ada di
tangan mereka. "Kami harus melindungi perempuan dan anak-anak," desis
seorang tua yang sudah ubanan seluruh kepalanya. Sambil
membelai janggutnya yang sudah putih pula ia meneruskan,
"Kami masih cukup kuat untuk bertempur melawan berandal
yang mana pun juga."
Tetapi segerombolan orang yang datang itu benar-benar
orang-orang yang buas. Mereka sama sekali tidak menghiraukan
apa pun juga, selain membayangkan bahwa di dalam padukuhan
itu terdapat harta-benda yang dapat sedikit melepaskan tekanan
yang menghimpit dada oleh kekalahan demi kekalahan yang
pernah mereka alami selama mereka masih berada di atas
Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, maka orang-orang itu pun kemudian
mendesak semakin maju. Beberapa langkah di hadapan mereka,
para pengawal pun segera menebar. Mereka pun telah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Seperti pesan pemimpin mereka, maka para pengawal itu
bersiap menghadapi lawan-lawan mereka dalam pasanganpasangan
yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap pengawal
didampingi oleh orang-orang tua atau anak-anak tanggung.
Dalam pasangan-pasangan itulah mereka akan berkelahi
melawan orang liar yang menurut perhitungan para pengawal
memiliki kemampuan yang lebih tnggi. Karena itu, para
pengawal berusaha untuk memanfaatkan jumlah mereka yang
lebih banyak itu sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka kedua pasukan kecil itu pun segera
berbenturan. Dengan teriakan-teriakan tinggi berandal-berandal
itu menggempur lawan-lawannya tanpa pengekangan diri.
Dengan kasar mereka mengayunkan senjata-senjata mereka
dibarengi oleh umpatan-umpatan kasar pula yang dapat
membakar telinga. Adalah di luar dugaan berandal-berandal itu bahwa pengawal
yang berjumlah kecil bersama orang-orang tua dan anak-anak
itu ternyata telah berjuang dengan gigihnya. Mereka sama sekali
tidak mengenal takut menghadapi akibat yang bagaimana pun
juga beratnya. Sejenak kemudian, maka mulailah darah menitik dari lukaluka.
Seorang yang telah tidak bergigi lagi ternyata tersentuh
ujung pedang, tertatih-tatih ia terdorong surut, kemudian jatuh
berguling di tanah. Dengan nafas terengah-engah ia mencoba
bangkit. Namun lukanya terasa menjadi kian pedih.
"Minggirlah!" teriak seorang pengawal. "Mundurlah dan
bersihkan luka itu."
Belum lagi ia beranjak dari tempatnya, seorang anak muda
berumur enam belas tahun terlempar dari pertempuran. Sebuah
goresan biru telah menyilang punggungnya. Agaknya sebuah
bindi telah mengenainya, meskipun tidak sepenuh kekuatan
lawan, sehingga ia masih mampu meloncat berdiri. Tetapi
karena senjatanya terlempar dari tangannya, maka ia pun
segera meloncat mengambil senjata orang tua yang terluka,
"Pinjam senjatamu, Kek."
Namun bagaimana pun juga, sejenak kemudian segera
terasa bahwa pasukan para pengawal itu segera terdesak.
Hanya karena jumlah dan tekad mereka sajalah, mereka mampu
bertahan. Pemimpin pengawal itu memang masih mengharap
sesuatu akan terjadi. Mungkin sepasukan pengawal kembali,
atau mungkin pasukan pengawal di padukuhan sebelah
mengetahui keadaan ini. Pasukannya yang lengah, ternyata tidak mempersiapkan alatalat
apa pun yang dapat dipergunakannya untuk memberikan
isyarat kepada para pengawal di padukuhan sebelah selain
kentongan. Tetapi pengawal itu pun jumlahnya sama sekali tidak
memadai. Namun demikian, pemimpin pengawal itu tidak berputus asa.
Ketika pasukannya benar-benar terdesak, maka
diperintahkannya memukul titir. Kentongan. Satu-satunya alat
yang masih dimilikinya Sejenak kemudian terdengar suara titir menggema dari
padukuhan kecil itu. Beberapa buah kentongan berbunyi
bersama-sama, sahut-menyahut. Namun di sela-sela suara
kentongan itu terdengar orang yang berbulu lebat di dadanya
berkata, "Darimana kau akan mendapatkan bantuan" Dari
padukuhan sebelah yang dilingkari oleh pring ori itu" Kasihan.
Mereka tidak akan mampu membantu kalian, karena jumlah
mereka pun tidak akan berarti apa-apa bagi kami."
Pemimpin pengawal tidak menghiraukannya. Ia sendiri
berkelahi seperti harimau lapar. Sedang beberapa orang
pengawal terlatih yang lain pun mengikuti jejaknya pula.
Ternyata bahwa suara kentongan itu tertangkap dari
padukuhan di sebelah. Karena itu maka pemimpin pengawal
yang tinggal di padukuhan itu pun segera mengumpulkan
pasukan kecilnya. "Apakah yang telah terjadi?" ia bertanya.
Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya.
"Biarlah beberapa orang pergi ke sana melihat keadaan.
Yang lain tetap berada di padukuhan ini," perintah penimpin
pengawal itu. Beberapa orang pun segera pergi meninggalkan lingkungan
pring ori menuju ke padukuhan sebelah. Dengan tergesa-gesa
mereka meloncat-loncat sambil menduga-duga. Apakah yamg
sebenarnya telah terjadi"
Akhirnya mereka pun melihat, di pinggir desa itu telah terjadi
pertempuran. Agaknya para pengawal yang ada di padukuhan
itu terdesak, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda.
Para pengawal itu pun berlari semakin cepat. Ketika mereka
sampai di arena, mereka pun segera melibatkan diri di dalam
pertempuran itu. Namun jumlah mereka tidak terlampau banyak, sehingga
pengaruhnya tidak begitu terasa. Meskipun pada saat-saat
permulaan, para pengawal yang mendapat tenaga baru itu
berhasil menahan desakan berandal yang kehausan, tetapi
sejenak kemudian mereka pun telah terdesak kembali betapa
pun lambatnya. "Menyerahlah," teriak salah seorang beranda1 yang berambut
panjang. Tetapi para pengawal sudah bertekad untuk bertahan.
Apalagi setelah mereka mendapat bantuan meskipun hanya
beberapa orang. Namun ketahanan mereka sudah menjadi
bertambah. Jumlah mereka yang lebih banyak pun dapat
membantu untuk memperpanjang waktu pertahanan mereka.
Beberapa orang pengawal telah mencoba untuk memecah
perhatian orang-orang yang liar itu. Mereka menyerang dari
samping. Sedang jumlah yang besar meskipun sebagian dari
mereka adalah orang tua-tua dan anak-anak tanggung. tetap
menghadapi mereka dari depan.
Tetapi bagaimana pun juga para pengawal tidak akan dapat
|menguasai lawan-lawan mereka yang ganas.
Dalam pada itu, sepasang mata yang tajam mengikuti
pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya.
Pengetahuannya yang tajam tentang pertempuran dan
perkelahian segera menangkap bahwa keadaan para pengawal
semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun hanya setapak
demi setapak, namun mereka terdesak terus. Apalagi tenaga
orang-orang tua itu pasti akan segera susut. Mereka akan
segera menjadi lelah, dan kehilangan kemampuan untuk
melakukan perlawanan. Sedang orang-orang liar itu menjadi
semakin liar. Apabila mereka merasa terganggu, maka mereka
dapat melakukan tindakan-tindakan di luar batas peri
kemanusiaan. Orang yang mengawasi pertempuran itu menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berdesis, "Untunglah, bahwa
aku tidak langsung pergi ke padukuhan induk. Agaknya pasukan
pengawal Tanah Perdikan ini seluruhnya telah dikerahkan untuk
menyerang kekuatan Ki Tambak Wedi."
Orang itu pun mencoba mendekati medan. Di balik dedaunan
dan gerumbul-gerumbul ia melindungi dirinya sambil selangkah
demi selangkah maju. "Sebentar lagi pertahanan para pengawal itu pasti akan
pecah," desis orang itu. "Lalu bagamana dengan pertempuran di
padukuhan induk" Kalau mereka tidak dapat menerobos masuk,
maka para pengawal akan mengalami kekalahan mutlak di
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua medan." Orang itu menarik nafas. Kemudian ia berdesis, "Apakah aku
akan membiarkan semua ini terjadi, sedang dua orang-orangku
sudah mendahului aku berpihak kepada Ki Argapati?"
Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berdesis, "Aku
harus menolongnya. Seandainya tidak ada hubungan apa pun
dengan pertempuran di medan yang lain, namun kali ini
persoalannya adalah persoalan perikemanusiaan. Kalau
pertahanan itu pecah, maka berandal-berandal itu pasti akan
mengaduk seisi padukuhan, terutama pengungspengungsi.
Pengungspengungsi yang selalu dalam kecemasan karena
bermacam-macam hal itu, masih harus mengalami bencana lagi
di pengungsian." Karena itu, maka orang itu pun tidak menunggu lebih lama
lagi. Kini ia tidak bersembunyi. Ia pun kemudian melangkah,
melangkahi sawah yang kering dan rerumputan liar menuju ke
medan pertempuran. Semula tidak seorang pun yang melihat kehadirannya. Tetapi
kemudian satu dua orang melihatnya. Seorang anak muda yang
berjalan dengan tegapnya, menjinjing sebatang tombak pendek.
"He, siapakah orang itu?" desis seorang pengawal sambil
bertempur terus. Kawannya yang melihat kehadiran anak muda itu pula
menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."
"Apakah orang itu salah seorang dari berandal-berandal itu?"
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat
menjawab, karena ia harus menghindari serangan lawannya.
Seorang yang berkumis lebat.
Orang yang menjinjing tombak itu berjalan saja seenaknya,
semakin lama semakin dekat. Seperti seorang anak muda yang
pergi ke perhelatan perkawinan seorang sahabat karibnya.
Sama sekali tidak ada kesan ketegangan di wajahnya, meskipun
di hadapannya berlangsung pertempuran yang seru.
Akhirnya kedua belah pihak yang bertempur pun melihat
kehadirannya. Dengan tenang ia berhenti beberapa langkah dari
peperangan itu. Kemudian berteriak nyaring, "He, aku akan ikut
di dalam peperangan itu. Aku akan berpihak pada para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kalian mendengar
suaraku." Mereka yang sedang bertempur menjadi heran. Tiba-tiba saja
orang itu menyatakan diri berpihak. Sedangkan kedua belah
pihak sama sekali masih belum mengenalnya. Hampir berbareng
pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertugas di
padukuhan itu, dan seorang dari berandal-berandal yang
menyerangnya berteriak, "Siapakah kau?"
"Itu tidak penting. Tetapi aku muak melihat berandal-berandal
yang berkeliaran di manapun. Juga di atas Tanah Perdikan ini.
Selagi Tanah ini sedang kisruh, berandal-berandal itu
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu,
apakah kalian memang dikirim oleh Ki Tambak Wedi, atau
karena maksud kalian sendiri, namun perbuatan kalian memang
harus dicegah." "Persetan!" teriak salah seorang dari orang-orang liar itu.
"Apakah pengaruhmu seorang diri. Mari, ikutlah mati bersama
para pengawal." "Tetapi aku tidak seorang diri. Aku akan bertempur bersama
para pengawal." Tidak seorang pun yang segera menyahut. Tetapi
kehadirannya benar-benar menarik perhatian, meskipun ia
hanya seorang diri. Meskipun demikian, orang-orang yang telah
dicengkam oleh nafsu untuk memiliki harta dan benda itu sama
sekali tidak berhasrat untuk mengurungkan niatnya. Sejenak
kemudian salah seorang dari mereka berteriak, "He, kedatangan
segerombolan pengawal dari padukuhan sebelah sama sekali
tidak berarti bagi kami. Apalagi kau hanya seorang diri,
meskipun kau akan bertempur bersama-sama para pengawal."
Orang yang baru datang itu mengerutkan keningnya,
kemudian jawabnya, "Memang, kedatangan segerombolan
pengawal itu baru membuat keadaan menjadi seimbang. Nah,
meskipun kemudian aku datang seorang diri, tetapi aku akan
dapat merubah keseimbangan itu."
"Omong kosong!" teriak seorang yang bertubuh tinggi,
berdada bidang dan berbulu lebat. Ia adalah orang yang sama
sekali tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka katanya
kemudian, "Aku akan mencekik kelinci kecil itu. Teruskan
pekerjaan kalian sampai tikus-tikus Menoreh ini menyadari
kebodohannya. Aku hanya memerlukan waktu sekejap,
kemudian aku akan kembali bersama-sama dengan kalian."
Orang yang tinggi besar itu segera keluar dari pertempuran.
Dengan langkah yang berat ia maju mendekati anak muda yang
bersenjata tombak itu. "Siapa kau. Aku ingin tahu namamu sebelum kau mati."
"Sudah aku katakan, itu tidak penting."
"Setan alas!" orang itu mengumpat. Kemudian diputarnya
senjatanya. Sebuah canggah bertangkai pendek.
Anak muda yang bersenjata tombak itu masih tetap berdiri di
tempatnya. Tetapi ia telah menyiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Tanpa berjanji maka peperangan yang seru itu pun
mengendor. Hampir setiap orang di dalam peperangan itu ingin
melihat, apa yang akan terjadi atas anak muda itu. Sehingga
dengan demikian maka benturan dari kedua pasukan kecil itu
seakan-akan terhenti untuk sesaat, hanya karena seorang anak
muda yang datang mendekati arena.
"Lihatlah untuk yang terakhir kalinya," berkata orang yang
tinggi besar itu, "tengadahkan wajahmu ke langit, kemudian
tundukkan kebumi. Kau sudah tidak akan melihatnya lagi."
"Jangan menipu aku. Kau akan menusuk lambungku selagi
aku menengadah," jawab anak muda itu.
"Sombong! Kau kira aku tidak dapat membunuhmu tanpa
berbuat licik seperti itu."
"Yakini kata-katamu sendiri. Kau tidak dapat mengalahkan
aku tanpa perbuatan licik."
"Persetan!" orang itu menjadi sangat marah. Ia merasa benarbenar
terhina, sehingga dengan serta-merta ia meloncat
menyerang dengan canggahnya. Ujung yang bercabang itu
langsung mengarah ke leher anak muda yang bersenjata tombak
itu. Tetapi semua mata yang melihat serangan itu terbelalak
karenanya. Semula mereka menyangka bahwa serangan yang demikian
cepatnya itu akan segera mengakhiri perkelahian yang baru
dimulai itu. Namun ternyata mereka salah sangka. Meskipun
perkelahian itu benar-benar segera berakhir, tetapi bukan
canggah orang bertubuh tinggi itulah yang menyobek leher anak
muda yang bersenjata tombak.
Yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dengan sigapnya anak
muda itu mengelak, dan dengan sigapnya pula ia mengangkat
ujung tombaknya. Anak itu tidak perlu mempergunakan kekuatan
apa pun untuk membenamkan tombaknya di dada lawannya,
karena lawannya telah melontarkan dirinya sendiri.
Adalah benar-benar di luar dugaan. Anak muda itu pun
kemudian mengkibaskan wiron kainnya. Kemudian
disangkutkannya wiron itu diikat pinggangnya di bagian
belakang, di bawah punggung.
"Lihat," katanya, "aku terpaksa mulai."
Tidak seorang pun yang menyahut. Mereka melihat orang
yang bertubuh tinggi gagah itu terhuyung-huyung. Dan ketika
anak muda itu menarik ujung tombaknya, maka tubuh itu pun
kemudian terbanting jatuh di tanah.
"Aku tidak sengaja membunuhnya," berkata anak muda itu,
"tetapi ia telah membunuh dirinya sendiri."
Sejenak peperangan itu menjadi sepi. Bahkan berhenti untuk
sesaat. Semua mata terbelalak melihat apa yang baru saja
terjadi. Orang-orang liar yang sudah terlampau biasa melihat
kematian itu pun menjadi heran, apalagi para pengawal.
"Hampir seperti Ki Gede Menoreh sendiri," desis seseorang
kepada diri sendiri. Sementara itu anak muda itu pun berkata, "Nah. Sekarang
aku akan ikut bertempur. Ayo, jangan berdiri termangu-mangu."
Selangkah demi selangkah ia maju. Tombaknya dijinjingnya
dengan sebelah tangannya.
"Itu hanya suatu kebetulan," beberapa orang berandal berkata
di dalam hati masing-masing untuk menenteramkan diri sendiri.
"Nafsu yang meluap-luap memang dapat menjerumuskan diri
sendiri ke dalam bencana. Karena itu, aku harus berhathati
menghadapi anak itu."
Sejenak kemudian maka pertempuran pun segera berkobar
kembali. Semakin lama semakin dahsyat. Dentang senjata
berkumandang di udara, dan bunga api pun memercik dari
benturan senjata yang beradu.
Dalam pada itu, setiap orang di dalam peperangan itu pun
segera melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh anak muda
yang bersenjata tombak pendek itu. Meskipun ia seorang diri,
namun pengaruhnya jauh lebih besar dari beberapa orang yang
datang dari padukuhan sebelah.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun
segera berubah. Para pengawal tidak lagi terdesak. Bahkan
karena setiap kali anak mada itu dapat mengurangi jumlah
lawannya, maka perlahan-lahan para pengawal itu pun dapat
menguasai keadaan. Sehingga sejenak kemudian, meskipun korban jatuh di kedua
belah pihak, namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang sedang bertugas di padukuhan kecil itu meyakini bahwa
mereka akan berhasil mempertahankan daerah pengungsian itu
atas bantuan seorang anak muda yang bersenjata tombak
pendek. Tetapi anak muda yang bersenjata tombak pendek itu
meskipun hanya seorang diri, mempunyai kemampuan
bertempur yang luar biasa. Seolah-olah para pengawal itu
sedang bertempur bersama-sama Ki Argapati sendiri.
Orang-orang yang semula mengharapkan dapat merampas
kekayaan yang tersembunyi di padukuhan kecil bersama para
pengungsi itu pun akhirnya harus mengumpat-umpat. Beberapa
orang dari mereka telah terbunuh atau terluka. Sedang sisanya
sama sekali sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk
memenangkan perkelahian itu.
Dengan demikian, maka setelah mereka saling berbisik,
terdengarlah salah seorang dari mereka bersuit nyaring.
Sejenak kemudian orang-orang itu pun segera berloncatan,
melarikan diri salang-tunjang tanpa tujuan, Mereka berlari ke
mana pun untuk menjauhi para pengawal yang masih mengejar
mereka beberapa puluh langkah. Namun para pengawal itu pun
segera menghentikan pengejaran, karena mereka menyadari,
bahwa kekuatan mereka tanpa anak muda itu pun tidak akan
lebih dari kekuatan lawannya.
Demikianlah maka pertempuran antara dua pasukan kecil itu
pun segera berakhir. Meskipun demikian sekali lagi Menoreh
harus menyerahkan korban-korbannya sebagai pupuk tanah
kelahiran mereka. Ketika para pengawal itu sudah mulai menjadi tenang, maka
pemimpin pengawal itu pun segera bertanya sekali lagi kepada
anak muda itu, "Siapakah kau sebenarnya?"
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu,
bahkan ia bertanya pula, "Apakah pasukan Menoreh seluruhnya
berangkat ke padukuhan induk?"
"Ya," jawab pemimpin pengawal.
"Kelengahan yang berbahaya. Kalian melihat akibatnya."
Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, "Apakah kalian sudah
mendengar kabar penyerangan itu?"
"Belum. Kami sedang menunggu."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu
sejenak. Apakah ia akan pergi juga ke padukuhan induk, atau
menunggu saja di tempat itu.
"Apakah di sini ada seekor kuda."
"Ada," jawab pemimpin pengawal, "apakah kau akan
meminjamnya?" Sekali lagi anak muda itu termangu-mangu.
(***) Buku 47 "AKU akan menunggu sebentar. Kalau tidak segera ada
pemberitahuan dari induk pasukanmu yang sedang bertempur
itu, aku akan menyusul mereka. Mungkin mereka memerlukan
bantuan." Pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan kepalanya.
Kemudian dipersilahkannya anak muda itu singgah sebentar di
padukuhan itu sambil menunggu berita dari padukuhan induk
tentang pertempuran untuk merebut kembali daerah yang telah
dirampas oleh Sidanti. Tetapi akhirnya anak muda itu tidak telaten. Setelah ia duduk
termenung sejenak, maka ia pun kemudian berdiri dan mencari
pemimpin pengawal yang sedang sabuk dengan para korban.
"Aku akan pergi ke padukuhan induk," berkata anak muda itu.
"Baiklah," pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan
kepalanya. "Tetapi kehadiran orang yang tidak dikenal di medan
pertempuran mudah menumbuhkan salah sangka."
"Aku sudah memperhitungkannya seperti pada saat aku
datang kemari." Pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan kepalanya.
Laluu, "Apakah kau memerlukan seekor kuda?"
"Ya, aku memerlukannya. Jangan takut, aku akan
mengembalikan kuda itu pada saatnya."
Pemimpin pengawal itu menganggukanggukkan kepalanya.
Jawabnya, "Kalau kau tidak membantu kami, maka kami tidak
akan memberikan kuda itu."
Anak muda itu tersenyum. Kemudian diterimanya seekor kuda
dari salah seorang pengawal. Sambil meloncat ke punggung
kuda itu ia berkata, "Hatihatilah. Mungkin masih ada orangorang
yang berkeliaran di daerah ini."
"Terima kasih," jawab pengawal itu.
Anak muda yang bersenjata tombak pendek itu pun segera
memacu kudanya meninggalkan padukuhan kecil.
Sejenak para pengawal memandangi debu putih yang
terlontar dari kakkaki kuda itu, namun kemudian kuda itu pun
seakan-akan hilang ditelan ujung rerumputan dan gerumbulgerumbul
perdu. Kehadiran anak muda di atas punggung kuda itu di daerah
peperangan agaknya telah mengejutkan para pengawal yang
sedang menjaga daerah yang baru saja mereka kuasai. Karena
itu, beberapa orang dari mereka segera berloncatan ke tengah
jalan dengan senjata-senjata telanjang di tangan masing-masing.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang dari mereka mengangkat senjatanya sambil
berteriak, "Berhenti!"
Anak muda di atas punggung kuda itu pun menarik kekang
kudanya, sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah dari
pengawal yang menghentikannya.
"Siapa kau?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu,
tetapi katanya kemudian, "Aku akan bertemu dengan Ki
Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Pengawal itu mengerutkan keningnya, "Apakah
keperluanmu?" "Aku mempunyai keperluan yang tidak boleh diketahui oleh
orang lain, selain Ki Argapati, gembala tua beserta kedua
anaknya yang bernama Gupita dan Gupala, serta dua orang
prajurit yang telah membantu kalian dalam pertempuran ini,
Hanggapati dan Dipasanga."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak, sementara anak
muda itu menilai bekas-bekas pertempuran iang baru saja
berlangsung. Katanya di dalam hati, "Agaknya pasukan Ki
Argapati sudah berhasil memasuki padukuhan induk."
Anak muda di atas punggung kuda itu menganggukanggukkan
kepalanya. Sekalsekali ia menatap wajah-wajah
para pengawal yang masih termangu-mangu. Sejenak beberapa
orang di antara mereka saling memandang, tetapi wajah-wajah
itu masih saja momnncarkan keragu-raguan,
Pedang Hati Suci 7 Satria Gendeng 17 Badai Di Keraton Demak Kite Runner 5