Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 32

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 32


"Mudah-mudahan mereka adalah para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh," desis anak muda itu. "Kalau penilaianku
keliru, dan orang-orang ini adalah anak buah Sidanti, maka aku
terpaksa lari terbirit-birit."
Baru sejenak kemudian salah seorang pengawal berkata,
"Hanya orang-orang yang sudah kami kenal sajalah yang boleh
memasuki daerah ini."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak
terkejut, dan bahkan sudah diduganya lebih dahulu. Namun ia
harus dapat meyakinkan pengawal-pengawal itu, bahwa ia tidak
bermaksud jahat. Karena itu maka katanya, "Ki Sanak, aku
mempunyai keperluan yang khusus. Karena itu, aku minta ijin
untuk menemuinya." "Ki Argapati masih dalam keadaan sakit," jawab pengawal itu.
"Kalau begitu, aku akan bertemu dengan ayah Gupita, atau
anak itu sendiri." "Siapa kau?" "Bawa aku kepadanya. Aku juga seorang gembala."
Tetapi pengawal itu mengerutkan keningnya "Pakaianmu
bukan pakaian seorang gembala."
Anak muda itu memandangi pakaiannya sejenak. Pakaian itu
sudah lusuh dan kotor. Tetapi memang pakaian itu bukan
pakaian seorang gembala, sehingga anak muda itu justru
tersenyum sendiri. "Tolonglah," katanya "aku ingin bertamu dengan salah
seorang dari mereka."
"Kami mencurigai setiap orang yang tidak kami kenal."
"Tetapi ada yang sudah mengenal kami," sahut anak muda
itu. "Bawa kami kepadanya."
"Serahkan senjatamu."
"Ah," desahnya, "jangan berlebih-lebihan. Aku hanya seorang
diri. Meskipun aku bersenjata apa pun, tetapi aku tidak akan
dapat berbuat apa-apa di dalam lingkunganmu yang padat
dengan ujung-ujung tombak dan pedang. Aku hanya sekedar
ingin bertemu dengan salah seorang dari anak-anak muda atau
kedua prajurit itu."
Dan tiba-tiba salah seorang pengawal bertanya "Apakah kau
juga seorang prajurit Pajang?"
Anak muda itu tersenyum, tetapi ia tidak menyahut.
Para pengawal itu pun kemudan berunding sejenak. Sekalisekali
ditatapnya wajah anak muda yang jernih itu. Salah
seorang dari mereka berdesis "Wajahnya bersih. Aku tidak
mencurigainya." "Jangan mudah terkecoh. Marilah, kita antar saja ia
menghadap saalah seorang pemimpin kita, atau anak-anak
muda yang mereka sebut namanya itu."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, sehingga
mereka pun bersepakat untuk mengantar anak muda itu,
langsung kepada orang-orang yang dicarinya.
"Baiklah," berkata salah seorang pengawal kemudian. "Tetapi
kau harus mengikuti ketentuan kami."
"Apakah ketentuan itu" Menyerahkan senjataku?"
"Yang pertama, turunlah dari kudamu. Kemudian berjalan
bersama kami." Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia
berdesis, "Maaf. Aku agak tergesa-gesa sehingga aku lupa turun
dari punggung kuda." Ia berhenti sebentar, lalu, "Apakah kalian
tidak mengenal kuda ini?"
Para pengawal itu terdiam sejenak. Ketika anak muda itu
kemudian meloncat turun, maka mereka pun melihat kuda itu
seutuhnya. Tetapi mereka menggelengkan kepala sambil
berguman, "Aku belum pernah melihatnya."
"Baklah," berkata anak muda itu, "mungkin kalian bukan
pasukan berkuda, atau tidak tertarik kepada kuda."
"Kami memang bukan pasukan berkuda," jawab salah
seorang pengawal. Kemudian anak muda itu pun harus berjalan mengkuti
seorang pengawal yang berjalan di depan. Di belakangnya dua
orang pengawal mengikutinya dengan senjata telanjang.
"Mereka cukup berhathati," berkata anak muda itu di dalam
hatinya. "Apalagi di sepanjang jalan, para pengawal yang
sedang berjaga-jaga selalu siap menghadapi kemungkinan."
Dua anak muda yang menuntun seekor kuda itu sendiri
memang sangat menarik perhatian. Beberapa orang bertanyatanya
di dalam hati, dan bahkan ada yang saling berbisik di
antara mereka. Ketika mereka sampai di regol halaman banjar yang agak
luas, maka disuruhnya ia menunggu. Seseorang pergi
mendahului untuk memberitahukan, bahwa seseorang sedang
mencari Ki Argapati, atau salah seorang dan tamu-tamunya yang
telah membantu melepaskan padukuhan induk ini dari tangan Ki
Tambak Wedi. "Siapakah namanya," bertanya gembala tua yang menerima
pemberitahuan tentang kehadiran anak muda itu.
"Anak itu tidak menyebut namanya. Tetapi ia membawa
sebatang tombak pendek."
"O, anak itu. Baiklah, bawalah ia kemari."
Dengan demikian, maka anak muda bersenjata tombak
perdek itu pun kemudian dibawa oleh para pengawal kerumah
Kepala Tanah Perdikan yang baru saja direbutnya.
"Aku terlalu lama tersiksa di gubug itu," desis anak muda itu
ketika ia bertemu dengan gembala tua itu.
"Duduklah," desis gembala itu sambil tersenyum.
"Aku sudah menghabiskan seluruh ketela puhung dan tiga
ekor kambingnya." "Tiga ekor?" gembala itu terbelalak.
Anak muda itu mengangguk sambil tersenyum.
"Dan perut Anakmas tidak menjadi sakit karenanya?"
Anak muda itu menggelengkan kepalanya. "Aku pilih yang
masih muda-muda." Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Sekalsekali ia
mengangguk-angguk, sehingga anak muda itu tersenyum sambil
meraba-raba perutnya."
"Lalu sekarang di manakah sisa kambing itu?" bertanya
gembala itu. "Aku simpan di dalam kandang."
"Tanpa rumput?"
"Terpaksa aku menyabit rumput dahulu sebelum aku datang
kemari." Gembala itu mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk.
Kemudian katanya, "Terima kasih. Jadi Angger mengetahui
bahwa pertahanan Ki Tambak Wedi sudah pecah."
"Tidak. Aku pagi tadi datang ke pengungsian."
"O," desis gembala itu, "dan para pengawal memberitahukan
kepada Anakmas?" "Mereka belum tahu, bahwa pertempuran sudah selesai."
"Mungkin. Baru saja kami mengirimkan utusan, seorang
penghubung." "Tetapi ternyata kalian lengah," berkata anak muda itu
kemudian. "Kenapa?" Dan anak muda itu pun kemudian menceriterakan apa yang
dilihatnya di tempat pengungsian itu.
"O," gembala itu mengerutkan keningnya, "memang. Kami
telah membuat kesalahan yang besar. Mereka pasti orang-orang
yang lari dari peperangan ini."
Anak muda itu tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang
terangguk-angguk. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Diam-diam
anak muda itu mencarcari. Tetapi yang dicarinya tidak seorang
pun yang tampak. Gupita, Gupala, maupun Hanggapati atau
Dipasanga. Sehingga akhirnya ia terpaksa bertanya
"Kemanakah anak-anak Kiai itu?"
"O," gembala itu mengangkat wajahnya, "mereka sedang
bertugas. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga pun sedang bertugas
pula." "Maksud Kiai?" "Tidak ada orang-orang yang dapat dipercaya untuk
mengawasi Sidanti dan Argajaya kecuali keempat orang itu."
"Maksud Kiai, Sdianti dan Argajaya tertangkap hidup?"
Orang tua itu mengangguk.
"Mengherankan," desis anak muda itu.
"Kenapa mengherankan?"
"Apakah mereka menyerah?"
"Tidak. Kami harus berjuang matmatian untuk menangkap
mereka hidup-hidup. Dan kami berhasil setelah membuat
mereka pingsan." Anak muda itu mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya,
"Di manakah mereka sekarang disimpan?"
"Di ruang belakang rumah ini. Sidanti ditunggui oleh Ki
Hanggapati dan Ki Dpasanga bersama beberapa orang
pengawal, sedang Argajaya dijaga oleh Gupita dan Gupala."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian, "Lalu, bagaimana dengan Ki Argapati?"
"Lukanya agak parah. Ia masih harus banyak beristirahat.
Untunglah bahwa ia dapat tidur sekarang, sehingga
penderitaannya agak berkurang."
"Tetapi bukankah Kiai sudah mengobatinya?"
"Ya." Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
"Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Ki Hanggapati dan
Dipasanga. Aku sudah terlampau lama pergi. Ayahanda pasti
sudah menunggu." "Maksud Angger, Ayahanda Pemanahan atau Ayahanda
Adiwijaya dari Pajang?"
"Ayah Pemanahan. Kami tidak dapat menunggu lebih lama
lagi penyerahan resmi Tanah Mentaok. Aku kira ayah sudah
mulai membuka hutan itu."
Apakah dengan demikian tidak dicemaskan timbulnya
perasoalan antara Pajang dan Ki Gede Pemanahan?"
Anak muda itu mengangkat pundaknya, dan gembala itu pun
meneruskan, "Persoalan dengan Pajang bukan persoalan anakanak,
Ngger." "Ayah sudah memperhitungkan."
"Jadi, Ki Gede Pemanahan sudah memperhitungkan segala
akibatnya?" "Jangan meninjau persoalan ini terlampau jauh, Kiai."
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. "Tentu sudah sejauh
itu, bukan" Sebab, kalau tidak, kenapa Angger datang ke
Menoreh?" "Penglihatan Kiai memang tajam sekali," anak muda itu
tersenyum. "Apa boleh buat."
"Sama sekali bukan penglihatanku yang tajam. Secara tidak
langsung Angger sendiri yang memberitahukannya kepadaku,
sejak kita bertemu di Tanah Perdikan."
"Mungkin. Dan Ayahanda Pemanahan tidak akan dapat
melangkah surut. Kami tidak mau ketinggalan terlampau jauh
dari Pati." Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu, mungkin aku tidak akan dapat terlalu lama
menunggu." "Tunggulah sehari dua hari. Mungkin Angger berkesempatan
berbicara dengan Ki. Argapati." Orang tua itu berhenti sejenak,
kemudian, "Apakah Angger akan bertemu dengan Sidanti atau
Argajaya?" "Tidak. Tidak ada gunanya. Hal itu akan membangkitkan sakit
hati saja pada mereka."
"Kalau begitu tinggallah di sini. Aku dapat mengatur
penjagaan agar Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga dapat menemui
Angger sekarang." "Tidak perlu sekarang. Tetapi hari ini."
"Baiklah, Angger tinggal di sini."
Orang tua itu pun kemudan meninggalkan anak muda
bertombak pendek itu seorang diri, setelah diberitahukannya
kepada para pengawal di halaman itu, bahwa anak muda itu
adalah tamunya. Sementara orang tua itu pergi, Samekta dan Kerti sempat
menemui anak muda itu sejenak. Tetapi seperti kepada para
pengawal yang lain, anak muda itu tidak pernah menyebat nama
yang sebenamya. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah kawan
Gupita dan Gupala yang datang ke atas Tanah Perdikan ini
bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.
Dalam pada itu Sidanti duduk di dalam ruang yang sempit
sambil menghentak-hentakkan kakinya. Berkalkali ia berjalan
hilir-mudik. Kadang-kadang ia mencoba meihat ke luar dari selasela
dinding. Tetapi ia tidak dapat melihat apa pun, selain bintikbintik
cahaya matahari. Anak muda itu sadar, bahwa di luar biliknya, beberapa orang
sedang berjaga-jaga. Namun tiba-tiba lankahnya terhenti. Dirabamya dinding
biliknya, justru di sebelah dalam. Ia kenal benar ruangan demi
ruangan di rumah itu, sehingga ia pun tahu benar, bahwa di
sebelah dinding itu adalah ruang belakang dari rumah yang
didiaminya semasa kecil ini. Kemudian sebuah longkangan kecil.
Dan di sebelah longkangan kecil yang dibatasi oleh gandokgandok
sebelah-menyebelah itu, adalah bilik ayah dan ibunya,
bilik yang paling kanan dari tiga buah bilik yang berjajar. Ia
sendiri kadang-kadang tidur di sentong tengah, tetapi kadangkadang
di amben besar yang terhampar di ruang tengah
rumahnya. Bahkan kadang-kadang bersama pamannya,
Argajaya yang tidak diketahui lagi nasibnya kini.
"Aku tidak akan dapat lari ke luar, ke halaman belakang,"
berkata anak muda itu di dalam hatinya. "Tetapi bagaimana
kalau aku justru memecah dinding ini."
Sidanti mencoba menimbang-nimbang. Tetapi karena tidak
dilandasi oleh ketenangan pikiran yang wajar, maka ia pun
segera dicengkam oleh nafsunya untuk memberontak terhadap
keadaan. Ia sama sekali sudah tidak memperhitungkan lagi
kemungkinan yang paling jelek yang dapat terjadi atasnya. Mati
bukanlah sesuatu yang wajib dipertimbangkan, karena mati
adalah jalan yang lebih baik baginya untuk mengakhiri
persoalannya. Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Diraba-rabanya dinding
itu berulang kali. Dan dicobanya untuk mendengarkan desis
orang-orang yang berada di ruang dalam.
"Penjagaan yang kuat pasti, berada di luar," desisnya. "Aku
tidak mendengar gemeramang orang di ruang tengah. Ini suatu
kelengahan." Sejenak kemudian Sidanti mencoba mengorek sela-sela


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anyaman dinding bambu yang kasar berlapis kepang. Ternyata
dugaannya benar. Ia hanya melihat dua orang yang duduk
terkantuk-kantuk sambil memeluk senjatanya.
Tiba-tiba darah Sidanti yang menggelegak sama sekali tidak
dapat ditahankannya lagi. Dengan hathati ia pergi ke sudut bilik
itu. Dengan tangannya yang kuat ia mencoba memutuskan talitali
pengikat dinding. Akhirnya satu demi satu tali itu terputus. Perlahan-lahan ia
berhasil membuka sudut biliknya, justru ke ruang belakang yang
menghadap ke longkangan dalam.
"Mudah-mudahan tidak banyak orang, selain kedua penjaga
itu," desisnya di dalam hati.
Ketika dinding itu sudah terbuka agak lebar, ia dapat melihat
batas-batas gandok dan dapur. Ternyata tidak seorang pun
berada di longkangan. Dan dapur pun agaknya masih sepi.
Sedang kedua pengawal yang duduk memeluk senjata-senjata
mereka itu pun masih duduk di tempatnya. Oleh kelelahan yang
sangat, mereka menjadi lengah. Semalam suntuk mereka tidak
tidur, bahkan telah memeras tenaga, bertempur melawan orangorang
Ki Tambak Wedi. Sejenak Sidanti menilai keadaan. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya berkata, "Aku tidak dapat menerobos
gandok, baik gandok kanan mau pun gandok kiri. Para pengawal
yang sedang beristirahat pasti berada di sana selain berada di
banjar." Kemudan dilayangkannya pandangan matanya ke pintu yang
justru masuk ke ruang tengah. Perlahan-lahan ia bergumam,
"Aku kira ruangan itu pun kosong. Mudah-mudahan setan tua
dengan kedua anak-anaknya itu tidak berada di dalam."
Akhirnya Sidanti mengambil kesimpulan, justru ia akan lari
lewat ruang dalam. kemudaan menerobos pringgitan dan lari
melintas pendapa, meloncat dinding justru di depan rumah ini.
Menurut perhitungan Sidanti, karena ia ditempatkan di ruang
belakang, maka justru bagian belakanglah yang diperkuat
dengan orang-orang yang penting untuk mengawasinya. Adalah
sedikit sekali kemungkinan seorang tawanan justru lari lewat
ruang dalam dan pendapa. "Kalau tidak ada iblis-iblis pendatang itu, aku pasti dapat
keluar dari halaman ini. Aku kira mereka justru berada di
belakang rumah kecuali dukun tua itu. Aku harap ia berada di
bilik Argapati yang terluka bersama Pandan Wangi."
Setelah perhitungannya dianggap masak, meskipun dalam
kegelisahan dan kekisruhan, Sidanti tidak menunggu lebih lama
lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya dia menyibakkan dinding
bambu biliknya. Kemudian perlahan-lahan ia merangkak ke luar
justru masuk ke ruang belakang.
Ketika kedua penjaga itu mendengar suara gemerisik, mereka
pun berpaling. Tetapi terlambat. Sisi telapak tangan Sidanti telah
menyentuh tengkuk mereka sehingga merekapun terpelanting.
Meskipun demikian, salah seorang dari mereka masih sempat
berteriak "Sidanti ?"?" tetapi suaranya terputus karena kaki
Sidanti telah memginjak lehemya.
Di halaman belakang, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga duduk
di atas sehelai tikar, menghadapi mangkuk air panas, gula
kelapa dan beberapa potong pondoh beras. Ternyata mereka
mendengar teriakan penjaga di ruang belakang yang terputus
itu. Serentak mereka terloncat berdiri. Dengan serta-merta
mereka mendorong pintu bilik itu. Tetapi mereka tidak
menjumpai seorang pun. Yang mereka temukan adalah dinding
yang terbuka di pojok bilik.
"Sidanti lari," desis Hanggapati.
"Justru ia masuk ke ruang belakang," sahut Dipasanga.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak
kemudian mereka menyadari, bahwa Sidanti adalah anak muda
yang berbahaya. Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi.
Mereka tidak sempat berlari lewat pintu dan melingkari rumah
belakang itu untuk masuk ke longkangan. Karena itu, dinding
yang memang sudah terbuka itu pun dihentakkannya dengan
kaki sehingga dinding itu berderak dan terbuka semakin lebar.
Ketika mereka memasuki ruang belakang, beberapa orang
berloncatan pula dari gandok sebelah-menyebelah masuk ke
longkangan. Tetapi mereka tidak menjumpai apa pun lagi.
Sidanti telah meninggalkan longkangan itu justru masuk ke
ruang dalam. Ruang itu memang kosong. Tidak seorang pun berada di
ruang dalam. Sekilas Sidanti melihat pintu bilik kanan terbuka. Ia
yakin bahwa Ki Argapati sudah dibawa masuk ke dalam bilik itu.
Tetapi menurut dugaannya, gembala tua itu berada di sana pula.
Karena itu, maka tidak ada niatnya sama sekali untuk menjenguk
bilik itu. Dengan cepatnya Sidanti berlari ke pringgitan. Pringgitan
yang kotor itu pun masih kosong pula. Bahkan di sana-sini masih
berhamburan sampah yang dilontarkan oleh orang-orangnya
semalam. Agaknya para pengawal masih segan untuk berada di
dalam ruangan yang kotor. Agaknya masih belum semua
ruangan sempat dibersihkan, sebersih bilik Ki Argapati.
Sidanti menahan dirinya sejenak. Sekilas ia memperhitungkan
keadaan. Kalau ia melangkahi pintu pringgitan, ia akan sampai
ke pendapa. Jika di pendapa itu ada beberapa orang pengawal
itu tidak akan banyak berarti. Tetapi kalau di pendapa ada anakanak
muda yang bersenjata cambuk, maka ia harus bertempur.
"Lebih baik mati daripada menjadi pangewan-ewan," katanya
di dalam hati. Karena itu, maka ia pun sudah berketetapan untuk berlari ke
luar. Dengan tergesa-gesa tangannya mendorong pintu
pringgitan, sehingga sekaligus pintu itu terbuka lebar.
Dalam sekilas pula, ia tidak melihat seorang pengawal pun
yang berada di pendapa. Beberapa orang pengawal berkeliaran
di halaman dan di regol. "Tetapi aku tidak akan lewat regol itu," geramnya, "aku akan
meloncati dinding dan lari kemana pun sebelum aku sempat
kembali untuk melepaskan dendam di hati ini."
Ketika Sidanti mendengar keributan di ruang dalam, maka ia
menyadari bahwa para pengawal mulai mengejarnya. Karena itu,
maka ia pun segera meloncat ke luar pintu.
Namun langkahnya tiba-tiba tertegun, ketika seseorang yang
duduk seorang diri di pojok pendapa menghadapi hidangan yang
masih hangat, memanggilnya, "Sidanti?"
Hanya sekejap Sidanti kehilangan waktu pada saat ia
berpaling dan tertegun. Namun anak muda yang memanggilnya
itu ternyata cekatan sekali. Dalam sekejap itu ia telah berhasil
melompat dan berdiri di hadapannya dengan tombak pendeknya.
"Apakah kau akan melarikan diri, Sidanti?" anak muda itu
bertanya. Sebuah getaran yang dahsyat mengetuk dada Sidanti. Ia
tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu ada di
rumah itu pula. Bahkan ia tidak menyangka, bahwa anak muda
itu ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Sidanti tidak sempat bertanya. Ia sadar, bahwa
sebentar lagi para pengawal akan segera mengepungnya kalau
ia masih berada di halaman itu. Kalau kemudian datang para
pemimpinnya pula, maka ia akan kehilangan setiap kesempatan.
Karena itu, maka sebelum ia menjawab, tangannya telah lebih
dahulu mengayunkan setjata yang dirampasnya dari penjaga di
ruang belakang. Serangan Sidanti benar-benar tidak diduga. Cepat, dan
langsung mengarah ke tempat yang berbahaya.
Terapi lawannya ternyata seorang yang lincah pula. Secepat
ayunan senjatanya, anak muda itu berhasil menghindar. Bahkan
kemudian tombak pendeknya segera mematuk membalas
serangan Sidanti yang sudah kehilangan akal.
Perkelahian pun segera terjadi di atas pendapa. Keduanya
adalah anak-anak muda yang tangkas dan cekatan. Keduanya
mempunyai beberapa kelebihan. Namun Sidanti kali ini hampir
tidak dapat mempergunakan otaknya sama sekali, sedang
lawannya adalah seorang anak muda yang mempunyai
kecerdasan berpikir yang luar biasa, selain tempaan jasmaniah
yang matang. Dalam kegelapan hati, Sidanti menyerang sejadjadinya.
Namun dengan demikian, lawannya yang mempunyai
perhitungan yang tajam itu segera mengetahui kelemahannya.
Apalagi ketika beberapa orang pengawal mulai berdatangan
mengelilingi keributan itu.
Ternyata perkelahian itu tidak terjadi terlampau lama. Dengan
perhitungan yang masak, anak muda itu berhasi1 mengungkit
senjata Sidanti, sehingga lerlepes dari tangannya. Kemudian
sebuah ayunan tangkai tombak pendeknya berhasi1 mengenai
kaki Sidanti, sehingga Sidanti terdorong beberapa langkah
kemudian jatuh berguling di lantai.
Ketika Sidanti siap untuk meloncat, ternyata ujung tombak
pendek lawannya telah melekat di dadanya. Dengan gerak
naluriah Sidanti menahan drinya dan membeku untuk sesaat.
Semua mata kemudian berpaling ketika mereka mendengar
seseorang berteriak, "Jangan! Jangan kau bunuh."
Anak muda yang bersenjata tombak itu pun berpaling.
Matanya meredup ketika ia melihat seorang gadis berdiri
termangu-mangu dengan sepasang pedang di lambungnya.
Sesaat mereka saling berdiam diri. Namun sesaat kemudian
gadis itu melangkah maju sambil berkata kepada Sidanti,
"Kenapa kau berada di sini, Kakang?"
Sidanti tidak menjawab. "Jangan berusaha untuk melakukan itu. Tidak akan terjadi
apa-apa atasmu. Aku menjadi jaminan."
Sidanti yang masih terbaring itu memandangi adiknya yang
melangkah semakin mendekat. Ia melihat kepahitan yang
membayang di wajah gadis itu.
Pandan Wangi pun kemudian berhenti beberapa langkah dari
kakaknya. Ditatapnya wajah anak muda yang memegang
tombak pendek itu bergantganti dengan wajah Sidanti yang
tegang. "Apakah kau melukainya?" bertanya Pandan Wangi.
"Ia berusaha untuk melarikan diri," jawab anak muda itu.
"Siapakah kau?" bertanya Pandan Wangi pula. "Apakah kau
berhak untuk ikut campur dalam persoalan kami?"
Anak muda itu menjadi heran. Dan tiba-tiba saja ia bertanya
kepada gadis itu, "Siapa kau?"
"Aku adalah puteri dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Kakang Sidanti adalah kakakku."
Anak muda itu menjadi bingung sejenak. Ia tidak mengerti
apa yang harus dilakukan. Ia merasa bahwa ia mencoba untuk
membantu mencegah larinya Sidanti. Tetapi tiba-tiba, gadis
puteri kepala Tanah Perdikan ini marah-marah kepadanya.
"Gadis ini adik Sidanti," katanya di dalam hati. "Keduanya
adalah putera dan puteri Ki Argapati."
"Serahkan persoalan Kakang Silanti kepada kami," berkata
Pandan Wangi selanjutnya.
Awak muda yang masih mengacungkan senjatanya itu
mundur setapak. Kemudian katanya, "Baik. Aku tidak akan
mencampuri persoalan kalian. Aku minta maaf."
Jawaban itu pun tidak diduga-duga sama sekali oleh Pandan
Wangi. Dengan serta-merta anak muda itu telah minta maaf
kepadanya. Karena itu, Pandan Wangi justru termenung
sejenak. Dengan demikian maka ruangan itu seolah-olah jadi
membeku. Setiap orang berdiri tegak seperti tiang-tiang di
pendapa. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar bersahutsahutan
Kebekuan itu ternyata telah merangsang hati Sidanti. Ketika
ia melihat ujung tambak anak muda itu berkisar dari dadanya,
maka tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Dengan satu hentakkan
sekuat-kuat tenaganya, ia berhasil merebut tombak pendek itu
dari tangan pemiliknya. Perbuatan Sidanti itu benar-benar telah mengguncang setiap
jantung. Dengan demikian maka sejenak setiap orang justru
membeku di tempatnya, oleh pesona yang tidak disangkasangka.
Dengan tangkasnya Sidanti meloncat surut, kemudian
mengangkat ujung tombak itu setinggi dada, siap mematuk anak
muda yang memilikinya. Tetapi adalah di luar dugaan pula, bahwa anak muda itu
memang tangkas dan berhati dingin. Ia tidak menjadi gugup dan
kehilangan akal. Secepat kilat ia meloncat merebut sebilah
pedang seorang pengawal yang berdiri beberapa langkah dari
padanya. Ternyata anak muda itu tidak terlambat. Sekejap kemudian
Sidanti telah meloncat sambil menjulurkan tombak pendek itu
langsung ke arah jantung. Namun anak muda itu sudah
menggenggam pedang di tangannya, sehingga dengan
tangkasnya ia berhasil memukul ujung tombak itu ke samping,
sehingga sama sekali tidak menyentuhnya.
Tetapi anak muda itu tidak sempat membalas serangan
Sidanti. Ketika ia sudah siap untuk mengayunkan pedangnya,
maka sepasang tangan telah merenggut Sidanti. Suatu
hentakkan kecil telah membuat tangan Sidanti tidak berhasil
mempertahankan tombak pendek itu. Kemudian disusul oleh
sentuhan jarjari di tengkuknya.
Sidanti merasa bahwa seluruh tulang-tulangnya terlepas dari
tubuhnya, seperti pada saat ia berada di peperangan.
Pandangannya menjadi kabur. Dan sejenak kemudian Sidanti
telah terbaring diam di tengah-tengah pendapa dikelilingi oleh
para pengawal. "Kiai, kau telah membunuhnya?" Pandan Wangi hampir
berteriak. "Tidak, Ngger," jawab gembala tua yang kini berjongkok di sisi
tubuh Sidanti. "Aku membuatnya sekedar beristirahat, agar
perasaannya tidak selalu dikejar-kejar oleh nafsu yang tidak juga
dapat mengendap." Pandan Wangi tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju
mendekati kakaknya dan berjongkok pula di sisinya.
"Tidak seorang pun boleh menyakitinya, meskipun ia seorang
tawanan," berkata Pandan Wangi dengan lantang.
Gembala tua itu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tdiak
seorang pun yang berhak berbuat sesuatu atasnya."
"Tetapi anak muda itu lelah melakukannya. Kalau aku tidak
mencegahnya, ia telah membunuh Kakang Sidanti."
"Aku sama sekali tidak berhasrat untuk membunuhnya," sahut
anak muda tang kini telah memungut tombaknya kembali.
"Kalau begitu kau hanya sekedar menunjukkan
kemampuanmu yang melebihi Kakang Sidanti?"
"Aku tidak ingin berbuat apa pun. Seperti yang aku katakan,
aku hanya sekedar ingin mencegah Sdanti melarikan diri."
"Kau tidak berhak," Pandan Wangi menyahut. Kemudian,


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kau berada di sini?"
"Anak muda itu tamuku, Ngger," sahut gembala tua itu. "Ia
mencari aku, anak-anakku, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sedang anak muda
itu pun terdiam sejenak. Dibiarkannya orang tua itu memberikan
penjelasan. Betapapun hatinya bergejolak, tetapi ia tidak ingin
membuat persoalan dengan orang-orang Menoreh, apalagi
orang-orang penting seperti Pandan Wangi, karena perhitungan
kemungkinan di masa mendatang bagi Alas Mentaok.
"Tetapi ia sudah langsung mencampuri persoalan yang
berkembang di atas Tanah Perdikan ini."
"Tentu bukan maksudnya. Ia sebenanya ingin menjemput
kami apabila kami memang sudah tidak diperlukan lagi."
Terasa sesuatu berdesir di dada Pandan Wangi.
Dpandanginya orang tua itu sejenak. Namun kepalanya pun
kemudian tertunduk dalam-dalam.
"Ia memerlukan kami, Ngger, karena anak muda ini pun
sedang mencoba memperjuangkan haknya atas Alas Mentaok."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
mengerutkan wajahnya, namun wajah itu pun segera tertunduk
kembali. Sejenak pendapa itu dicengkam oleh kediaman yang tegang.
Masing-masing berdiri kaku di tempatnya. Perlahan-lahan
Pandan Wangi berdiri dan melangkah menjauh. Ketika ia melihat
Samekta berdiri membeku di tempatnya, dadanya berdesir.
Apalagi ketika tatapan matanya menyentuh wajah Kerti yang
tegang. Tiba-tiba Pandan Wangi berlari kepada orang tua itu. Seperti
anak-anak, ia menyembunyikan wajahnya di dada
pemomongnya. Betapa pun ia bertahan, tetapi ia tidak dapat
membendung air matanya yang meleleh ke pipinya.
Di antara isaknya yang tersendat-sendat terdengar suaranya,
"Paman, apakah yang sebaiknya aku lakukan?"
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal gadis itu sejak
bertahun-tahun yang lalu. Sejak gadis itu masih kanak-kanak.
Karena itu, Pandan Wangi sudah tidak ubahnya seperti anaknya
sendiri. Apalagi tugasnya kemudian adalah menjadi
pemomongnya. Setiap gadis itu pergi berburu, pergi melihat-lihat
bukit-bukit padas dan goa-goa di lereng-lereng Bukit Menoreh,
dan hampir kemana pun perginya, ia selalu menyertainya.
Gembala tua yang masih berjongkok di samping tubuh Sidanti
yang terbaring diam itu pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia
berkata, "Maafkan aku, Ngger. Bukan maksudku menyinggung
perasaan Angger." Pandan Wangi tidak menyahut. Sedang dada gembala tua itu
diamuk oleh penyesalan atas keterlanjurannya. Ia sadar, bahwa
kata-katanya memang terlampau tajam bagi seorang gadis.
"Maksudku," ia mencoba unuk menenteramkan hati gadis itu,
"maksudku, tamuku ini akan segera menemui Ki Argapati apabila
keadaan memungkinkan. Artinya, apabila kesehatannya sudah
menjadi baik. Dan anak muda ini memang akan berbicara
tentang Alas Mentaok. Hanya itu."
Pandan Wangi mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Tetapi
ia masih menahan isaknya yang menyesak dada.
Persoalan yang kini membelit di hatinya bukan sekedar
persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi yang sekarang
menjadi tawanan ayahnya itu adalah kakaknya sendiri.
Kakaknya yang baik sekali kepadanya sejak kanak-kanak, dan
bahkan setelah Sidanti menyatakan drinya berdiri
berseberangan dengan ayahnya, Sidanti telah
membebaskannya dari bencana yang paling dahsyat dalam
hidupnya sebagai seorang gadis.
Kini semua orang merusuhinya. Semua orang memandang
Sidanti yang baik baginya itu sebagai seorang pengkhianat.
Bahkan orang asing yang tidak dikenal pun telah ikut campur
pula. Dalam kerisauan itu, tiba-tiba ia berpaling. Sambil menunjuk
kepada anak muda yang bersenjata tombak pendek itu ia
bertanya kepada gembala tua, "Siapakah tamumu ini, Kiai?"
Gembala tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi sebaiknya
ia memang berterus terang supaya persoalannya tidak semakin
berlarut-larut. Kalau orang-orang Menoreh tidak mengenal anak
muda itu, maka salah paham akan mungkin menjadi semakin
meluas. Karena itu, maka tanpa minta pertimbangan yang
berkepentingan, orang tua itu menjawab, "Memang sebaiknya
Angger Pandan Wangi mengetahui, sapakah anak muda itu. Ia
adalah, kawan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga. Kalau Angger
ingin lebih mengenalnya lagi, anak muda itu adalah putera Ki
Gede Pemanahan yang bernama Raden Sutawijaya bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar."
"Kiai," anak muda bertombak pendek itu memotong. Tetapi
namanya sudah terucapkan, dan bahkan orang tua itu berkata
seterusnya, "Ia adalah Putera angkat dari Adpati di Pajang, yang
kini bergelar Sultan setelah Demak tidak mungkin bangkit lagi,
dan adipatadipati putera dan menantu yang lain tidak ada yang
dapat mewarisi takhta."
Jawaban itu benar-benar mengejutkan, seperti meledaknya
guruh di atas pendapa itu. Sejenak para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh seakan-akan membeku di tempatnya. Dan
bahkan Pandan Wangi merasa seakan-akan darahnya berhenti
mengalir. Namun orang tua itu berkata selanjutnya, "Tetapi jangan
hiraukan itu. Meskipun ia adalah Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, tetapi ia tidak akan berbuat
apa-apa. Ia adalah seorang anak muda yang baik. Ia dapat
mengerti apa yang telah dan baru saja terjadi." Orang tua itu
berhenti sejenak, kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
"Angger Pandan Wangi. Hal ini jangan menambah kerisauan
hatimu. Kami semua tahu, apa yang telah mengguncangkan
perasaanmu. Mungkin sepatah dua patah kataku memang terdorong agak
jauh. Tetapi pada dasarnya, kami mengetahui, bahwa kau tidak
sekedar menghadapi lawan seperti orang-orang lain. Kau
mempunyai persoalan pribadi yang rumit, seperti juga Ki
Argapati. Ia menghadapi lawan yang sekaligus anak dan
adiknya, seperti kau menghadapi kakak dan pamanmu. Tetapi
kami sudah bertekad untuk menyerahkan persoalan ini kepada
kalian. Kepada yang berhak di atas Tanah Perdikan ini. Ki
Argapati. Karena itulah maka kami berusaha untuk menangkap
Angger Sidanti dan Argajaya hidup-hidup."
Ketika orang tua itu terdiam, maka suasana menjadi hening.
Namun di sana-sini masih juga terdengar gemerisik para
pengawal saling berbisik. Mereka menatap wajah anak muda
yang bersenjata tombak pendek itu dengan tajamnya, seolaholah
ingin mengenal setiap lekuk dan garis-garis.
Pandan Wangi sendiri masih juga berdiri di tempatnya.
Kejutan perasaannya serasa masih belum mengendap. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa yang berdiri di hadapannya itu
adalah putera Panglima Wira Tamtama di Pajang yang pernah
didengar namanya. Tetapi sejenak kemudian justru Pandan Wangi berhasil
menguasai dirinya. Ia berbasil mengatur perasaannya, tidak saja
sebagai seorang gadis, tetapi juga sebagai seorang puteri
Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, dengan
nada yang berbeda ia kemudian berkata setelah air matanya
kering, "Aku minta maaf, Tuan, karena sambutanku yang
mungkin tidak menyenangkan. Tetapi hal itu terjadi karena aku
belum mengenal Tuan sama sekali."
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu
menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah
gembala tua yang masih termangu-mangu. Namun kemudian ia
berkata, "Tidak ada yang bersalah apa pun kali ini. Karena itu
jangan minta maaf. Karena hal ini memang sudah aku sengaja.
Sebenarnya aku lebih senang tidak disebut namaku."
Sebelum Pandan Wangi menjawab, maka terdengar suara
Samekta dalam, "Jika demikian, sebaiknya kami persilahkan
Anakmas masuk ke ruang dalam. Meskipun ruangan itu masih
terlalu kotor, namun akan lebih baik daripada Anakmas berada di
pendapa." "Terima kasih. Aku akan tetap di sini."
"Anakmas, kami mengharap, bahwa Anakmas tidak menolak."
Sutawijaya tidak dapat berbuat lain daripada menerimanya.
Karena itu, maka ia pun kemudian dibawa oleh Kerti dan Pandan
Wangi masuk melewati pringgitan langsung ke ruang dalam.
"Marilah, Kiai," Samekta merapersilahkan gembala tua itu
pula. "Silahkan lebih dahulu. Aku akan menempatkan Angger
Sidanti." Samekta mengerutkan keninginya. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Baiklah. Marilah, kita
usahakan tempat yang sebaik-baiknya."
"Apakah tidak sebaiknya justru kita tempatkan di salah satu
dari ketiga bilik di dalam?" berkata gembala tua itu. "Dengan
demikian maka kita telah menempatkannya di tempat yang baik,
sesuai dengan keinginan Angger Pandan Wangi, namun kita
maih memerlukan persetujuannya."
*** Samekta berpikir sejenak. Kemudian, kepalanya pun
terangguk-angguk. Perlahan-lahan ia bergumam seperti kepada
diri sendiri, "Agaknya pengawasannya pun menjadi lebih baik."
"Jadi, apakah hal ini dapat disetujui?"
"Aku setuju, tetapi baiklah hal ini aku beritahukan Angger
Pandan Wangi lebih dahuilu."
Samekia pun kemudian masuk sejenak ke ruang tengah,
untuk menemui Pandan Wangi yang sedang mempersilahkan
Sutawijaya duduk. "Terserahlah kepada Paman," jawab Pandan Wangi.
"Tetapi bagaimana pendapat Angger."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah.
Aku sependapat." "Gembala tua itu dapat langsung mengawasinya sambil
duduk di ruang ini."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian maka Sidanti yang masih belum sadar
sepenuhnya itu langsung dibawa masuk ke ruang dalam.
Setelah dibersihkan, maka ia pun ditempatkan di bilik sebelah
kiri. Bilik yang tidak begitu luas, tetapi agak lebih baik dari bilik
yang telah ditinggalkannya di bagian belakang rumah itu. Namun
dengan demikian kesempatan untuk lolos pun menjadi semakin
sempit pula. Dengan tertib Samekta mengatur pengawasan longkangan
belakang. Pengalaman yang baru saja terjadi merupakan
pelajaran yang sangat berharga bagi para pengawal, sehingga
meteka pasti tidak akan lengah lagi. Betapa pun lelah
mencengkam tubuh masing-masing, tetapi mereka tidak mau
bernasib seperti kedua kawannya yang sama sekali tidak sempat
melawan ketika Sidanti tiba-tiba saja telah menyerang mereka.
Ketika semuamya sudah dianggap cukup, barulah Samekta
dan gembala tua itu turut duduk pula di ruang tengah bersama
Sutawijaya. Namun selama ini agaknya Sutawijaya sama sekali tidak
membicarakan apa pun tentang Alas Mentaok dengan segala
kemungkinannya. Agaknya ia hanya sekedar berceritera, kenapa
ia berada di Tanah Perdikan ini. Dan ceriteranya itu pun sama
sekali tidak lengkap seperti apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku hanya sekedar ingin melihat Tanah ini," katanya, "dan
lebih-lebih lagi, aku ingin mencari kawan-kawanku yang menurut
pendengaranku sudah lebih dahulu berada di sini."
Tidak seorang pun yang tidak mempercayainya. Pandan
Wangi, Kerti, dan kemudian juga Samekta hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. "Tetapi bagaimana, dengan Mentaok seperti yang dikatakan
oleh gembala tua ini?" bertanya Samekta kemudian.
"Ah, itu bukan persoalan lagi." Sutawijaya berhenti sejenak.
"Aku hanya ingin berbicara sedikit dengan Ki Argapati sendiri
apabila kesehatannya sudah memungkinkan."
Semuauya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hal itu
adalah wajar sekali, karena Kepala Tanah Perdikan ini adalah Ki
Argapati. "Tetapi bagaimana kalau pembicaraan itu tidak
memungkinkan karena Ki Argapati tidak segera dapat melayani
Anakmas," bertanya Samekta.
"Aku tidak tergesa-gesa dan pembicaraan itu pun tidak begitu
penting." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ternyata penibicaraan mengenai Ki Argapati itu, telah
memperingatkan Pandan Wangi kepada ayahnya yang sedang
sakit. Karena itu maka katanya kemudian, "Tuan kami
persilahkan duduk bersama Paman Samekta dan Paman Kerti.
Aku akan menunggui ayah yang masih terbaring di biliknya."
"O, silahkan," jawab Sutawijaya.
Dan sejenak kemudian Pandan Wangi pun telah memasuki
bilik di ujung kanan yang dipergunakan oleh Ki Argapati.
Sepeninggal Pandan Wangi, maka Sutawijaya pun
memanggil Hanggapati dan Dipasanga mendekat. Perlahanlahan
ia bertanya, "Bagaimana dengan kalian?"
"Baik, Kami tidak mengalami kesulitan apa pun."
Sutawijaya menganggukkan kepalanya, kemudian katanya
kepada Samekta dan Kerti, "Kedua prajurit ini adalah orangorang
yang menjadi kepercayaanku."
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kami sudah menduga bahwa keduanya adalah prajurit-prajurit
dari Pajang." "Bukan dari Pajang," Sutawijaya memotong.
Samekta dan Kerti mengerutkan kening mereka. Sejenak
mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian mereka
memandang wajah Sutawijaya dengan sorot mata yang
bertanya-tanya, meskipun tidak terucapkan.
"Memang, mereka bukan prajurit-prajurit Pajang," Sutawijaya
menegaskan, seakan-akan ia dapat membaca isi hati kedua
orang-orang tua itu. "Jadi, prajurit manakah keduanya?"
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
tersenyum. "Baiklah, sebut saja ia memang bekas prajurit
Pajang." "Dan sekarang tidak lagi?"
Sutawijaya menggeleng. "Keduanya sedang melakukan tugas


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tidak kalah pentingnya dengan tugas keprajuritan Pajang."
Kedua orang-orang tua itu menjadi semakin bingung. Namun
mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka tanpa mengerti
maksud pembicaraan Sutawijaya.
"Mungkin banyak hal-hal yang tidak jelas bagi kalian,"
Sutawijaya itu berkata. "Memang mungkin harus demikan untuk
saat ini." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
menjawab, "Begitulah."
Samekta masih mengangguk-angguk dan Kerti menggarukgaruk
keningnya. "Tetapi kenapa kita berbicara tentang hal-hal yang sulit,"
potong gembala tua itu, "kenapa kita tidak berbicara tentang halhal
yang menyenangkan. Katakanlah, bahwa kita telah
menyelesaikan sebagian besar dari tugas kita. Bukankah
begitu?" Samekta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, seharusnya kita mulai membicarakan, kapan kita
merayakan kemenangan ini."
"Ah," jawab Kerti "kita masih belum tahu, kapan Ki Argapati
sembuh." "O, ya," gembala itu mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu,
kita berbicara tentang Tanah ini. Apakah kekalahan pasukan
Sidanti di padukuhan induk ini sudah berarti kekuatan mereka
patah sama sekali?" "Tidak, Kiai," Samekta menggeleng, "mungkin masih ada sisasisa
pengikutnya yang membuat kubu-kubu kecil untuk
mempertahankan diri karena mereka masih mempunyai
pengharapan atas mimpi mereka yang dibiuskan oleh Sdanti dan
Ki Tambak Wedi, atau justru karena putus asa."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia pun banyak bertanya tentang padukuhanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
padukuhan kecil yang mungkin dipergunakan oleh sisa-sisa
pasukan Sidanti. Sementara itu, Guipita dan Gupala duduk termenung di ruang
ujung belakang gandok kanan. Di dalam ruangan itu tersimpan
Ki Argajaya yang duduk merenungi nasibnya.
Sekalsekali Gupala berdiri dan berjalan mondar-mandir
dengan gelisahnya. Katanya kemudian, "Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang
paling menjemukan. Aku kira lebih baik tinggal di dalam ruangan
itu daripada berjaga-jaga di sini."
"Hus," desis Gupita, "apakah kau lebih baik ditahan daripada
menjaga tahanan ini."
"Tentu," jawab Gupala, "kalau aku yang ditahan, maka apa
pun dapat aku lakukan di dalam ruangan itu. Tetapi kita tidak.
Kita tidak dapat tidur betapa kantuknya. Sedang Argajaya dapat
saja tidur kapan saja ia kehendaki tanpa menghiraukan kita"
Tetapi kita tidak dapat. Kita harus menjaga jangan sampai ia lari.
Namun Ki Argajaya tidak peduli apakah kita akan melarikan diri
ke mana pun." "Tetapi dari segi lain."
"Apa misalnya."
"Kita dapat melihat udara di luar bilik itu."
"Hanya sekedar melihat. Tetapi kita terikat juga pada bilik itu."
"Ah, jangan mengigau. Apa pun yang kau katakan, tetapi kau
tidak akan mau bertukar keadaan dengan Ki Argajaya sekarang."
Kemudian mereka terdiam untuk sejenak. Mereka juga
mendengarkan hiruk-pikuk yang terjadi di pendapa rumah itu.
Tetapi mereka tidak berani meninggalkan tugas mereka.
Mereka mengetahui apa yang terjadi dari beberapa orang
pengawal yang membantu mereka menjaga Ki Argajaya di luar
sudut-sudut bilik itu. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat
berbuat apa-apa. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan
tanggung jawab mereka. Meskipun ada beberapa orang prajurit
yang ikut dalam penjagaan itu, tetapi keduanya tidak dapat
mempercayakan penjagaan atas Argajaya itu kepada pengawal
yang kemampuannya jauh ketinggalan dari Ki Argajaya. Apalagi
setelah mereka mendengar, bahwa Sidanti telah berusaha untuk
melarikan diri. "Anak itu memang keras kepala," desis Gupita.
"Untunglah bahwa niat itu urung karena di pendapa ada
seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek."
"Ia tidak sabar lagi menunggu kita."
Gupala tertawa. Katanya, "Menunggu, adalah pekerjaan yang
paling menjemukan." Keduanya pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Seperti tugas yang kini sedang mereka lakukan.. Menunggu.
Sampai kapan" Sementara itu Argajaya sendiri duduk termenung di dalam
bilik yang pengap. Tanpa sesadarnya ia telah melihat semua
peristiwa yang telah terjadi atas dirinya. Berurutan seperti
gambar-gambar yang tersusun rapi. Sejak ia meninggalkan
Menoreh menuju ke Padepokan Tambak Wedi.
Bukan, bukan hanya sejak keberangkatannya. Tegapi justru
jauh sebelum itu. Sejak ia masih kanak-kanak. Kanak-kanak
yang manja, dengan seorang kakaknya yang tekun.
"Kakang Argapati adalah seorang kakak yang baik,"
anggapan itu tumbuh sejak ia menyadari, apa yang telah
dilakukan oleh Arya Teja atasnya.
Terbayang kemudian saat-saat terakhir ia berada di atas
Tanah ini sebelum ia pergi menengok Sidanti. Kakaknya masih
tetap bersikap baik kepadanya.
Argajaya menarik nafas dalam. Perlahan-lahan ia dapat
melihat apa yang terjadi itu dengan hati yang tenang. Memang
kadang-kadang harga dirinya masih melonjak mengatasi
kesadarannya yang mulai timbul. Tetapi karena suasana
ruangan yang sepi, kesendirian yang mencengkam, maka
perasaan segera dapat diendapkannya kembali.
Sekalsekali Argajaya itu berdesah. Bahkan kemudian ia
dapat menemukan bintik-bintik terang di dalam hatinya.
Seperti seseorang yang terbangun dari tidurnya dengan
sebuah mimpi yang dahsyat, Argajaya mengusap dadany.a. Apa
yang telah terjadi atas dirinya ternyata adalah noda-noda yang
paling hitam bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Baru sekarang ia bertanya, "Kenapa selama ini aku berada di
pihak Sidanti?" Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar
kepada dirinya sendiri. Ia tidak dapat menyembunyikan diri dari
pengakuan, bahwa ternyata ia telah didorong pamrih-pamrih
pribadi yang tidak terkendali.
Argajaya yang tunduk itu menjadi semakin tunduk. Meskipun
di dalam ruangan itu tidak ada seorang pun selain dirinya sendiri,
namun justru penglihatan dari dalam dirinya itu telah
membuatnya menyesal sampai ke dasar hatinya.
Penyesalan itulah yang kemudian telah membuat dirinya
pasrah. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai niat apa pun lagi.
Ia akan menerima nasib apa pun yang akan ditentukan oleh
kakaknya atas dirinya. Perlahan-lahan Argajaya menengadahkan wajahnya. Kini
seleret kecerahan membayang di matanya. Ia telah berhasil
menyingkirkan kegelisahannya menghadapi masa-masa
mendatang. Sehingga dengan demikian, Argajaya yang tidak
mengenal menyerah itu kini sama sekali tidak berusaha untuk
berbuat apa pun. Kali ini ia telah pasrah. Betapapun keras
hatinya, namun penglihatannya yang bening atas semua
peristiwa yang dialaminya, telah membuatnya luluh.
Berbeda sekali dengan Sidanti. Ia sama sekali tidak melihat
kesalahan yang melekat pada dirinya. Kesadarannya tentang
dirinya, bahwa ia bukan anak Argapati, telah membuatnya
menjadi tidak terkekang. Meskipun ia telah gagal untuk melarikan dirinya, namun ia
sama sekali tidak mau melihat kenyataan itu.
Ketika perlahan-lahan kekuatannya telah pulih kembali, maka
ia pun mulai menilai ruangan yang melingkunginya. Dirabarabanya
dinding yang membatasi ruangan itu. Dari satu sudut ke
sudut lain. Dicobanya untuk melihat kelemahan-elemahannya
yang mungkin dapat dipergunakannya untuk melepaskan diri.
"Mati dirampok orang dalam perlawanan adalah lebih baik
daripada digantung dengan tangan terikat," katanya di dalam
hati. Dengan demikian, maka bagi Sidanti, melarikan diri adalah
jalan yang paling baik untuk mati.
Meskipun demikian, ia masih mencoba membuat perhitungan.
Ia tidak mau mengalami nasib yang lebih jelek daripada
digantung. Kalau ia melarikan diri dan jatuh di tangan para prajurit
kebanyakan, maka ia memang dapat mengalami nasib yang
jelek. Mungkin ia tidak akan mati terbunuh, tetapi justru menjadi
pengewan-ewan. Dengan demikian, Sidanti masih juga mempergunakan sedikit
perhitungan dengan pikirannya yang sudah kisruh.
Di ruang dalam, Sutawijaya kini duduk dikawani oleh gembala
tua itu di samping Dipasanga dan Hanggapati. Samekta dan
Kerti telah minta diri untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Dengan demikian, maka pembicaraan Sutawijaya kini telah
berkisar pada kepentingannya sendiri.
"Kita sudah terlalu lama meninggalkan Ayah Ki Gede
Pemanahan di Hutan Mentaok," berkata Sutawijaya.
Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Karena itu kita harus segera kembali."
"Ya," jawab Hanggapati. "Mungkin Ki Gede Pemanahan
memang memerlukan Anakmas."
"Meskipun demikian, mumpung aku sudah berada di atas
Tanah Perdikan ini, aku ingin berbcara dengan Ki Argapati."
Kemudian kepada gembala tua itu ia bertanya, "Apakah mungkin
hari ini aku berbicara dengan Ki Gede Menoreh?"
"Aku belum yakin," jawab orang tua itu, "tetapi baiklah aku
akan mengusahakannya."
"Terima kasih," berkata Sutawijaya. "Tetapi sebelum aku
mengatakannya kepada Ki Argapati, aku memang akan
menemui Kiai sendiri. Aku kira sudah sampai waktunya aku
mengutarakannya sekarang."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kini tampaklah
kesungguhan membayang di wajahnya.
"Aku memang sudah menduga Anakmas, bahwa pada suatu
ketika aku dan kedua anak-anakku itu pasti akan terlibat dalam
persoalan Anakmas." "Apaboleh buat, Kiai. Aku memerlukannya."
"Bukankah Angger telah mempunyai beberapa orang
senapati yang mumpuni?"
"Ayah Pemanahan?"
"Ya, dan selain itu Ada angger sendiri dan Pamanda
Mandaraka yang bijaksana itu?"
"Ya, Kiai. Tetapi aku memerlukan orang yang langsung cakap
menangani prajurit di peperangan. Paman Mandaraka adalah
orang yang mempunyai pandangan yang tajam sekali. Tetapi
apabila terjadi sesuatu dengan Pajang, dalam kenyataan tempur,
aku kira Paman Mandaraka tidak akan dapat turun langsung ke
medan. Aku juga tidak yakin bahwa Ayahanda Pemanahan
dapat melakukannya sendiri."
"Dengan demikian akulah yang harus jadi banten. Aku harus
melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Juru Mertani
dan Ki Gede Pemanahan itu. Mereka tidak akan sampai hati
melawan langsung berhadapan di medan perang dengan para
senapati Pajang, tetapi aku harus menyingkirkan perasaan itu?"
Sutawijaya terkejut mendengar jawaban itu. Ia kemudian
merasa bahwa ia telah terdorong kata sehingga agaknya telah
menyinggung perasaan orang tua itu.
Namun anak muda yang cerdas itu kemudian tersenyum.
Katanya, "Maafkan, Kiai. Aku sama sekali tidak bermaksud
demikian. Tetapi aku agaknya telah keliru, sehingga
menimbulkan kesan seakan-akan aku berhasrat menempatkan
Kiai pada tempat yang sulit, yang tidak dapat dilakukan oleh
orang lain." Sutawijaya berhenti sejenak. Kemudikan
dilanjutkannya, "Tetapi baiklah aku tidak mengatakannya dengan
kalimat-kalimatku sendiri supaya aku tidak keliru lagi.
Sebenarnya ayahlah yang berpesan kepadaku. Kalau aku
bertemu dengan seorang tua yang bersenjata cambuk, serta
mempunyai kecakapan dalam hal obat-obatan, maka aku harus
mengatakannya, bahwa ayah memerlukan."
"Apakah hanya ada seorang, aku saja, yang menguasai ilmu
obat-obatan." "Tidak hanya ilmu obat-obatan Kiai, tetapi yang mempunyai
ciri senjata cambuk."
"Itu pun tidak hanya seorang."
Mungkin kalau aku ketemukan yang lain, aku pun akan
mengatakannya demikian kepadanya. Tetapi seluruh Pajang
pernah aku jelajahi. Yang aku ketemukan adalah Kiai seorang
saja." Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia bertanya, "Siapakah nama orang itu" Apakah ayahanda Ki
Gede Pemanahan tidak menyebut namanya?"
"Ya, ayah memang menyebut namanya."
"Nah, apakah nama itu namaku?"
"Siapakah mama Kiai sebenarnya?"
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
kemudian tersenyum. "Hem," desahnya, "Anakmas memang
seorang yang mapan berbicara."
Sutawijaya pun tersenyum pula. Katanya kemudian, "Ayah
memang menyebut nama itu. Sorotomo, Danumurti, Ragapati,
dan masih ada dua nama lagi yang aku terlupa."
Orang tua itu mengangkat wajahnya. "Nama-nama yang
menarik." Sutawijaya memperhatikan kesan yang tersirat di wajah orang
tua itu dengan seksama. Namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam. Orang tua itu benar-benar seorang yang mampu
menguasai perasaannya, sehingga sama sekali tidak ada kesan
apa pun yang tersirat di wajah yang telah berkerut-merut itu.
"Nama-nama yang baik," desisnya. "Tetapi Anakmas
mengatakan bahwa laklaki tua yang bersenjata cambuk itu
hanya seorang. Sedang Angger menyebut beberapa nama
sekaligus." "Itulah yang aneh, Kiai," jawab Sutawijaya. "Karena itu,
apakah artinya sebuah nama bagi seseorang seperti laklaki
bersenjata cambuk itu" Ia dapat menyebut dirinya dengan seribu
nama. Sorotomo ataukah Danumurti atau Ragapati atau Kiai
Gringsing atau Ki Tamu Metir atau seorang gembala tidak
bernama atau ?"?"."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa Angger sampai ke nama-nama itu," potong gembala
tua itu. "Misalnya, Kiai. Hanya sekedar missal," sahut anak muda itu.
"Aku tidak mengatakan bahwa Sorotomo itu juga bernama Kiai
Gringsing atau Ki Tanu Metir atau yang lain."
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Anak muda itu kemudian melanjutkan "Aku belum selesai,
Kiai. Ayah berpesan agar aku menyampaikan pula, bahwa ayah
minta pertolongan Kiai untuk membantu menegakkan sebuah
daerah baru. Alas Mentaok harus menjadi sebuah negeri."
"Kenapa aku harus ikut?"
"Menurut ayah, Mentaok akan sangat memerlukannya. Eh,
maksudku memerlukan Kiai. Apalagi salah seorang muridnya
adalah putera Demang Sangkal Putung."
Orang tua itu tersenyum, Jawabnya, "Itulah yang penting.
Letak Sangkal Putung sangat menguntungkan bagi daerah baru
itu untuk menghadapi Pajang. Garis yang menjelujur dari Alas
Mentaok, Prambanan, kemudian Sangkal Putung adalah lapislapis
pertahanan yang pasti tidak tertembus."
"Ah," anak muda itu mengerutkan keningnya, "adakah
seorang gembala di seluruh Pajang yang begitu cepat
menanggapi keadaan medan seperti Kiai."
"Hem," gembala itu berdesah.
"Itulah agaknya maka ayahanda telah meminta Kiai untuk
datang ke Alas Mentaok."
Gembala itu tidak segera menjawab.
"Ayah sangat mengharap kedatangan Kiai. Apakah ternyata
kemudian ayah keliru, atau akulah yang keliru, terserahlah. Atau
barangkali Kiai telah keliru atau lupa menyebut nama sendiri,"
anak muda itu pun tertawa.
"Ah, kau ini, Ngger."
Dan anak muda itu berkata seterusnya, "Tetapi ayah juga
berpesan, bahwa apa yang dilakukan ayah sekarang ini tidak
sekedar terdorong oleh suara yang pernah didengar dari puncak
sebatang pohon kelapa yang hanya berbuah sebutir oleh Ki
Ageng Giring. Apakah Kiai sudah mendengar dongeng itu?"
"Belum, Ngger," namun orang tua itu tertawa sehingga
Sutawijaya menyahut, "Ah, Kiai mencoba untuk
menyembunyikan diri."
"Kenapa?" gembala itu mengerutkan keningnya.
"Kiai pasti sudah mendengarnya karena Kiai tertawa."
Kemudian dengan bersungguh-sungguh Sutawijaiya bertanya,
"Apakah Kiai percaya bahwa siapa yang minum air kelapa itu
dan menghabiskannya sekaligus akan menurunkan raja?"
"Sebaiknya kita percaya," jawab gembala itu sambil
tersenyum. "Jika kemudian ternyata demikian, maka keturunan
Ki Pemanahan itu akan menjadi raja."
"Ah," Sutawijaya berdesah, "bukan itu soalnya."
Tetapi gembala tua itu tertawa. Katanya, "Angger memang
seorang pemikir yang cemerlang. Sebelum Alas Mentaok itu
benar-benar menjadi sebuah negeri, Angger sudah
membentengi dengan ketat. Sangkal Pulung, Jati Anom, dan
Menoreh adalah suatu lingkaran yang rapat. Sudah tentu Angger
akan menghubungi Mangir dan sekitarnya."
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi
redup. Sejenak ditatapnya Hanggapati dan Dipasanga yang
terkantuk-kantuk. Mereka merasa lelah sekali, karena
semalaman mereka tidak beristirahat sama sekali, dan bahkan
telah memeras tenaga di dalam peperangan.
"Kalian lelah sekali," desis Sutawijaya.
Keduanya tersenyum. "Ya. Tetapi biarlah kami duduk di sini."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya kepada gembala tua itu hampir berbisik, "Tetapi Kiai,
jalan ke Selatan itu tidak begitu menggembirakan. Kepala Tanah
Perdikan Mangir agaknya mempunyai sikap sendiri."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. "Apa katanya?"
"Mereka merasa, bahwa mereka lebih tua dari Tanah
Mentaok yang sedang dibuka itu. Bagi mereka, Mentaok dapat
menjadi perintang atas perkembangan Tanah Perdikan itu."
"Kalau begitu, mereka akan berusaha merintangi
perkembangan Alas Mentaok. Bahkan mungkin bekerja bersama
dengan Pajang." "Dengan Pajang tentu tidak. Tetapi hasrat untuk besar dan
berdiri sendiri itulah yang akan dapat menjadi perintang."
"Apakah hal itu merupakan persoalan yang dapat dianggap
bersungguh-sungguh bagi Mentaok?"
"Tetapi sampai saat ini kami masih berusaha untuk
membatasi persoalannya, Kiai. Kami seolah-olah tidak
mempedulikannya lagi. Mudah-mudahan untuk selanjutnya
Mangir tidak mengganggu kami."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gambaran masa depan yang suram bagi Pajang. Meskipun ia
tidak mendasarkan penglihatannya atas perkembangan pusat
pemerintahan itu pada peristiwa-peristiwa ajaib, seperti kelapa,
yang dipetik oleh Ki Ageng Giring, yang tanpa disengaja airnya
telah terminum oleh Ki Gede Pemanahan karena ia kehausan
itulah, namun ia memang melihat, bahwa kekuasaan Pajang
tidak akan mampu bertahan terlampau lama. Pimpinan
pemerintahan di Pajang, yang menggemparkan di masa
mudanya itu kemudian tenggelam di dalam kesenangan pribadi
yang berlebih-lebihan. Sejak muda Mas Karebet telah
menyimpan cacat pada pribadinya, di samping
kecemerlangannya yang tidak ada duanya. Di samping
kemampuannya sebagai seorang Wira Tamtama,
penjelajahannya yang sulit dilakukan oleh orang lain sampai ke
tempat-tempat yang terpencil, dan kemudian mencapai puncak
kedahsyatannya dengan mengalahkan Kebo Danu dari Banyu
Biru, meskipun hal itu telah diatur lebih dahulu. Karebet memberi
harapan bagi Pajang yang diambilnya dari Demak. Tetapi cacat
yang dibawanya sejak muda, kegemarannya melibatkan diri
dengan perempuan justru menonjol ketika ia menjadi Adipati di
Pajang. Ratu Kalinyamat telah berhasil memancingnya ke dalam
suatu bentrokan yang tidak terhindar lagi melawan Jipang,
dengan menjanjikan dua orang gadis cantik kepadanya.
"Sekali tepuk dua lalat terbunuh," berkata orang tua itu di
dalam hatinya. "Sepeninggal Arya Penangsang, takhta tersedia
buat Adipati Pajang, sekaligus ia mendapat hadiah dari Ratu
Kalinyamat itu." Tetapi yang akan disesali oleh Sultan Pajang itu adalah
kelalaiannya memberikan Tanah yang sudah disanggupkannya
kepada Ki Gede Pemanahan.
Karena ia dibayangi oleh hadiah dua orang gadis cantik
itulah, maka tanpa berpikir panjang ia bersedia menyerahkan
tanah Pati dan Mentaok kepada mereka yang berhasil
membunuh langsung Arya Penangsang dari Jipang.
Kini semuanya itu sudah terlanjur. Hubungan antara Sultan
dan Ki Gede Pemanahan yang selama ini menjadi Panglimanya,
bagaikan telur yang retak kulitnya. Tidak akan dapat
dipulihkannya kembali. Apalagi Ki Gede Pemanahan sudah
mulai membuka Alas Mentaok meskipun mungkin hal itu tidak
dikehendaki oleh Sultan Pajang.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam
hati, "Memang persoalan-persoalan selama kita masih hidup ini
tidak akan ada selesainya. Persoalan Menoreh agaknya sudah
semakin terang. Yang tinggal adalah masalah Sidanti dan
Argajaya, meskipun persoalan itu akan merupakan persoalan
yang sangat rumit bagi Ki Argapati. Apalagi menurut
pendengaranku yang belum jelas, baik diucapkan oleh Ki
Tambak Wedi maupun Sidanti sendiri, anak itu bukan putera Ki
Airgapati." Orang tua itu mengangguk-angguk sendri, kemudian
ia masih berkata kepada diri sendiri, "Dan, sekarang, telah
terbuka lagi masalah-masalah baru yang harus dihadapi. Alas
Mentaok. Meskipun sebenamya aku masih dapat
menghindarkan diri. Tetapi persoalan ini akan langsung
bersangkutan dengan Kademangan Sangkal Putung,
Prambanan, dan Tanah Perdikan ini."
Namun lebih daripada itu, agaktnya Ki Gede Pemanahan
mempunyai perhitungan tersendiri, kenapa ia dengan sengaja
berusaha melibatkan gembala tua itu dalam persoalannya.
"Aku harap Kiai memikirkannya sebaik-baiknya," tiba-tiba
gembala tua itu dikejutkan oleh kata-kata Sutawijaya.
"Aku akan berpikir, Anakmas."
"Memang barangkali Kiai sama sekali sudah tidak mempunyai
pamrih apa pun. Tetapi murid-murid Kiai itu adalah anak-anak
muda yang masih menginginkan masa depan yang panjang."
Orang itua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Adalah lebih baik, kalau Kiai dapat pergi bersamaku ke
Mentaok." "O, tentu tidak, Ngger. Kecuali kalau Angger tidak tergesagesa
kembali." "Aku harus segera berada di Mentaok, Kiai."
"Kalau begitu Angger dapat pergi lebih dahulu," berkata
gembala tua itu. "Tetapi bukankah Angger akan bertemu dengan
Ki Argapati?" Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu terkilas suatu persoalan yang pasti
akan menjadi sangat rumit baginya, apalagi bagi muridmuridnya.
Kalau benar-benar terjadi persoalan antara Pajang
dan Alas Mentaok, kemudian ia berpihak kepada Sutawijaya
bersama kedua murid-muridnya, maka ada kemungkinan
mereka akan berhadapan dengan Senapati Pajang di sisi
Selatan, Untara. Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia ingin
mengusir persoalan yang melintas dengan tiba-tiba dikepalanya
itu. Namun yang terbayaug justru Untara sendiri berdiri tegak
degan pedang di tangan. "Hem," orang tua itu berdesah. Namun ia terkejut ketika ia
mendengar Sutawijaya bertanya, "Kenapa Kiai?"
Gembala itu tergagap. Namun kemudian ia melihat sesuatu
telah melonjak di dada orang tua itu. Tetapi meskipun demikian
Sutawijaya itu tidak bertanya lagi.
"Anakmas," berkata orang tua itu kemudian, "sebaiknya
Anakmas memberi kesempatan kepada Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga untuk beristirahat. Bahkan Angger sendiri dapat
beristirahat pula di gandok belakang. Atau di ruang yang baru
saja ditinggalkan oleh Sidanti. Biarlah aku yang menunggui
Anakmas Sidanti di sini."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya
Hanggapati dan Dipasanga bergantganti.
"Aku dapat beristirahat di mana-mana, Kiai. Kalau memang
tidak ada persoalan lagi, barlah aku berada di longkangan di
belakang bilik ini. Aku kira di sana ada beberapa helai tikar. Aku
dapat beristirahat di antara beberapa orang prajurit yeng
bertugas, sekaligus mengawasi bilik Sidanti dari belakang,"
sahut Hanggapati. "Dan Angger Sutawijaya?"
"Aku di sini saja, Kiai."
"Baiklah. Silahkan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga ke
longkangan. Di sana kalian berdua mungkin masih dapat tidur
meskipun hanya sekejap."
Keduanya pun kemudian meninggalkan ruangan dalam pergi
ke longkangan di belakang bilik tempat menyimpan Sidanti.
Kedua nya pun kemudian berada di antara para pengawal yang
terpilih untuk mengawasi Sidanti.
"Kita dapat beristirahat bergantian," berkata Ki Hanggapati.
"Dengan demikian kita dapat beristirahat dengan tidak
digelisahkan oleh apa pun."
"Baiklah," jawab Dipasanga, "tetapi siapa yang dahulu" Kita
tidak tahu, berapa lama kita dapat beristirahat di sini. Mungkin
ada sesuatu yang memaksa kita untuk segera berbuat sesuatu."
"Kau dulu sajalah. Aku masih ingin minum wedang serbat
dahulu." Ki Dipasanga tersenyum. Ia masih melihat, seorang pengawal
yang tergopoh-gopoh menyorongkan mangkuk kepada Ki
Hanggapati sambil berkata, "Silahkan. Silahkan."
Ki Hanggapati tersenyum, sedang Ki Dipasanga pun
kemudian pergi menepi. Kemudian berbaring di sebelah tiang
bambu yang dilekati oleh sarang laba-laba yang sudah kehitamhitaman.
Di ruang tengah Sutawijaya duduk bersama gembala tua.
Namun kemudian gembala itu masuk ke dalam bilik Ki Argapati
untuk melihat perkembangan kesehatannya.
"Kau sudah terlanjur berada di sini, Ngger," berkata gembala
tua itu. "Aku titip, kalau-kalau Angger Sidanti polah lagi. Jangan
biarkan ia pergi, tetapi jangan lukai anak itu."
"Aku sudah kapok Kai," jawab Sutawijaya, "nanti aku pula
yang disalahkannya."
"Biar sajalah. Anggap saja itu lagu yang paling merdu
seorang gadis dari Bukit Menoreh."
"Tetapi, Kai sendiri tersinggung karenanya."
"Aku memang sudah pikun. Aku menyesal sekali." Orang tua
itu berhenti sebentar. "Tetapi aku titip pintu itu."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia hanya
tersenyum saja. Gembala itu pun kemudian masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Pandan Wangi berpaling ketika ia mendengar derit pintu
terbuka. "Marilah Kiai," desis Pandan Wangi. "Ayah sudah agak
tenang. Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sokurlah," jawabnya "mudah-mudahan segera menjadi baik."
"Tetapi, bagaimana dengan Raden Sutawijaya itu?"
"Ia masih duduk di ruang tengah."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
tanpa disangka-sangkanya, terdengar suara Argapati berat
perlahan-lahan, "Kau sebut nama Raden Sutawijaya, Wangi."
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian
ia menjawab, "Ya, Ayah."
"Kenapa dengan Raden Sutawijaya?"
"Ia berada di ruang tengah."
Jawaban itu agaknya telah mengejutkan Ki Argapati sehingga
perlahan-lahan matanya yang selalu terpejam itu terbuka. "Ia
berada di sini?" "Ya, Ki Gede," gembala tua itulah yang menyahut. "Tetapi
jangan hiraukan kehadirannya. Anak nakal itu hanya sekedar
ingin tahu. Seperti ayah angkatnya Sultan Pajang yang
sekarang, Angger Sutawijaya senang menjelajahi sudut-sudut
kerajaan ini." Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. "Dan Raden
Sutawijaya itu sudi singgah di rumah ini?"
"Beristirahatlah, Ki Gede. Anakmas Sutawijaya akan
bermalam di rumah ini. Besok atau kapan saja Ki Gede masih


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat menemuinya apabila keadaan Ki Gede sudah menjadi
semakin baik." "Raden Sutawijaya akan bermalam di sini?" suarauya agak
meninggi. "Ya." "O, di mana kami akan mempersilahkannya. Di sini tidak ada
perlengkapan apa pun yang dapat kita pergunakan dengan
pantas untuk menerimanya."
"Jangan hiraukan," berkata gembala tua itu. "Di Sangkal
Putung Anakmas Sutawijaya tidur di gubug, di teggah sawah.
Ketika ia memasuki Alas Mentaok untuk melihat-lihat, ia tidur di
atas cabang sebatang pohon. Bagi seorang perantau, rumah ini
sudah cukup memberikan tempat yang baik," jawab gembala itu
pula. Ki Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah
kekecewaan membayang di wajahnya yang pucat. Apalagi ia
sendiri masih belum dapat bangkit dan menerima Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera
angkat Sultan Pajang itu.
"Janganlah Ki Gede terlampau memikirkan tamu kecil itu.
Serahkan ia kepadaku," berkata gembala itu.
Ki Argapati mengangguk lemah. "Baiklah, Kiai. Mudahmudahan
Anakmas Sutawijaya tidak kecewa melihat keadaan
ini." "Tentu tidak. Sekarang Ki Gede sebaiknya beristirahat dan
berusaha untuk menenteramkan hati."
"Ya," desisnya.
"Tidurlah sebanyak-banyaknya."
"Ya." Orang tua itu pun mengangguk-angguk. Dirabanya
pergelangan tangan Ki Argapati yang sudah mulai hangat,
kemudaan tengkuknya dan keningnya.
"Mudah-mudahan Ki Gede segera menjadi baik kembali,
meskipun agaknya Ki Gede memerlukan waktu untuk
memulihkan kekuatan."
"Ya," jawabnya, "mudah-mudahan."
Gembala tua itu pun kemudian duduk di atas dingklik kayu di
sudut bilik itu, sedang Pandan Wang duduk di amben
pembaringan Ki Argapati di bagian bawah.
Sementara itu, Samekta dan Kerti telah memasuki ruangan
dalam kembali. Ketika mereka berdua telah duduk bersama
Sutawijaya, maka anak muda yang sudah jemu duduk berdiam
diri itu segera berkata, "Aku menjadi lelah duduk di sini saja."
"Apakah Anakmas akan berbaring" Mungkin memerlukan
ruangan tersendiri?"
"Tidak." Sutawijaya termenung sejenak. Kemudian ia
bertanya, "Di mana Gupita dan Gupala?"
"Di belakang. Mereka mengawasi Ki Argajaya."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian karena ia sadar bahwa kedua anak-anak muda itu
tidak datang menemuinya karena tugasnya, maka ia pun
kemudian berkata, "Aku akan menemui mereka."
"O, silahkan. Silahkan."
"Tetapi di sini aku sedang menerima titipan?"
"Apa?" Samekta dan Kerti menjadi heran.
"Pintu itu." "Kenapa dengan pitu itu?"
"Bukankah di dalamnya ada Sidanti" Gembala itu menitipkan
kepadaku untuk mengawasi kalau-kalau Sidanti kambuh lagi.
Nah, sekarang pintu itu aku titipkan kepada kalian berdua.
Awasi. Kalau kalian memerlukan sesuatu, Kiai Gringsing berada
di ruang itu." "Kiai Gringsing?" Samekta bertanya dan Kerti terheran-heran.
"Eh, maksudku gembala tua itu. Ia ada di dalam bilik Ki
Argapati untuk melihat luka-lukanya. Kalau ia kembali dan
bertanya tentang aku, katakan, aku sedang menemui Gupita dan
Gupala. "Baiklah. Kami berdua akan mengawasi pintu itu."
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Seperti
petunjuk Samekta, maka ia pun pergi ke bilik tempat Argajaya
ditahan untuk menemui Gupita dan Gupala.
Pembicaraan mereka kemudian adalah pembicaraan anakanak
muda. Sutawijaya segera beiceritera tentang Alas Mentaok.
Usahanya untuk membuatnya menjadi sebuah negeri.
"Tetapi dengan demikian Sultan Pajang akan tersinggung
karenanya." "Mudah-mudahan tidak. Apa salahnya kalau daerah itu nanti
akan berkembang" Kami tidak akan mengganggu Pajang.
Kecuali kalau perkembangan keadaan jadi lain, dan haal-hal
yang tidak kita harapkan itu harus terjadi."
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudah tentu, bahwa seandainya Ayahanda Sultan Pajang
tidak senang melihat perkembangan Alas Mentaok, kami
terpaksa tidak dapat mematuhinya. Kami sudah bertekad.
Mentaok tidak boleh kalah dari Pati yang sudah lebih dahulu
terbuka. "Jadi bukankah sekarang Ki Gede Pemanahan sudah
membuka hutan itu?" "Tentu sudah." Kemudian suaranya jadi menurun, "Jangan
kau katakan kepada gurumu, Mentaok sudah menjadi suatu
desa yang ramai. Banyak orang-orang di padukuhan di
sekitarnya kini telah membuka hubungan dengan daerah baru
itu." Gupita dan Gupala mengerutkan keningnya.
"Kami telah mengumpulkan anak-anak muda yang akan kami
persiapkan untuk menjadi pengawal daerah kami yang baru itu.
Latihan-latihan yang teratur telah kami adakan hampir di setiap
hari." "Siapakah yang melatih mereka?"
"Beberapa orang prajurit dari Pajang telah membantu kami
membuka hutan itu." Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jika demikian, langkah Ki Gede Pemanahan sudah terlalu
jauh," desis Gupita.
Sutawijaya tertawa. Katanya, "Ayah harus mengejar
ketinggalannya dari Pati."
"Kenapa mesti berkejar-kejaran?" bertanya Gupala.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu memang
tidak disangka-sangkanya. Namun akhirnya ia menjawab,
"Bukan maksudnya. Tetapi usaha membangun daerah itu adalah
usaha yang baik. Sebenarnya Pajang justru harus membantu."
"Apakah Pajang menghalang-halangi sampai sekarang?"
bertanya Gupita. Sekali lagi Sutawijaya dihadapkan pada pertanyaan yang
tidak segera dapat dijawab.
*** Namun hal itu bagi Gupita adalah pertanda bahwa
sebenarnya pihak Ki Gede Pemanahan sendiri diam-diam sudah
menyusun kekuatan. Mungkin karena prasangka yang berlebihTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
lebihan, orang-orang Alas Mentaok itu merasa bahwa Pajang
akan segera memusuhinya. Namun tanpa menjawab pertanyaan Gupita, Sutawijaya
berkata, "Aku memerlukan beberapa orang senapati yang
mumpuni. Nah, kalian pasti bersedia membantu aku seandaimya
terjadi sesuatu kelak."
Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Tampak
sesuatu memancar di sorot mata masing-masing. Tetapi ternyata
tanggapan mereka justru berbeda.
Sejenak kemudian Sutawijaya mendesak, "Bagamana"
Gupala mengerutkan keningnya. Meskipun ragu-ragu namun
ia menjawab, "Apa salahnya?"
"Bagus," desis Sutawijaya "kalian pasti akan membantu kami.
Aku memang sudah menyangka."
Namun Gupita masih tetap berdiam diri.
"Nah," berkata Sutawijaya "bagaimana dengan kau Gupita.
Aku tahu, bahwa kau selalu dibayangi oleh keragu-raguan.
Tetapi kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah
mampu melakukan banyak tindakan di dalam peperangan.
Bukankah kau pada suatu ketika, seperti yang terjadi di
peperangan, harus mengambil keputusan dengan cepat" Nah,
kau harus mengambil pengalaman. Kau dapat melakukan kalau
kau mau." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian
ia berkata, "Aku, harus mengatakannya kepada guru."
"Aku tahu bahwa kau akan bersikap demikian. Tetapi agaknya
gurumu pun akan ikut serta bersama kami. Ayah Ki Gede
Pemanahan sendiri telah berpesan untuk memintanya datang ke
Alas Mentaok." "Apakah Ki Gede Pemanahan mengenal guru?"
Sutawijaya tertawa. "Tidak seorang pun yang mengenal
gurumu dengan pasti. Ayah pun tidak. Ki Argapati agaknya juga
tidak yakin atau bahkan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan.
Ki Tambak Wedi dan semua orang yang berhubungan dengan
gurumu menganggapnya ia orang yang lain dari nama-nama
yang pernah didengar sebelumnya. Satu-satunya ciri yang dapat
dipakai sebagai pancadan untuk menduga-duga adalah
cambuknya itu. Meskipun gurumu sendiri berkata bahwa banyak
sekali orang bersenjata cambuk."
Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera
menyahut. "Sekarang, ciri itu tambah lagi. Bersenjata cambuk dan
mempunyai dua orang murid. Yang seorang bulat seperti kelapa,
dan yang lain bertubuh sedang."
Gupita menarik nafas dalam-dalam, sedang Gupala
tersenyum sambil meraba-raba perutnya.
"Kalau memang guru sudah setuju, aku pun tidak
berkeberatan," berkata Gupita kemudian. "Tetapi untuk
mengambil keputusan serupa itu, sebagai seorang murid yang
masih berada langsung di bawah pengawasan gurunya, aku
tidak dapat bertindak sendiri."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,
begitulah sebaiknya," desisnya. Tetapi Sutawijaya sendiri adalah
anak yang nakal. Kadang-kadang ia melanggar peraturan
ayahnya sekaligus gurunya, atau melakukan sesuatu tanpa
setahu ayahnya itu. "Dan selanjutnya keputusan terakhir ada pada guru,"
sambung Gupita. Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya
seolah-olah kepada diri sendiri, "Meskipun sebagian Senapati
Pajang ikut dengan ayah, tetapi yang sebagian itu terlampau
kecil dibanding dengan kekuatan Pajang seluruhnya. Mudahmudahan
kami akan segera meningkatkan kekuatan para
pengawal daerah baru itu."
Gupita mengerutkan keningnya. Hampir tanpa sesadarnya ia
berkata, "Itu sudah merupakan persiapan perang."
Sutawijaya terkejut mendengar tanggapan Gupita. Dengan
serta-merta ia berkata, "Tidak, sama sekali tidak. Bukan maksud
kami mengadakan persiapan perang."
Gupita menggigit bibirnya.
"Kami hanya sekedar mengadakan persiapan untuk menjaga
diri apabila sesuatu terjadi atas daerah kami yang baru bangkit
itu." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara
Gupala masih meraba-raba perutnya. Namun tiba-tiba ia
berkata, "Memang setiap orang perlu menjaga diri. Juga daerahdaerah
baru yang baru lahir seperti Alas Mentaok yang akan
menjadi sebuah negeri. Seandainya Pajang tidak berbuat apaapa,
mungkin justru daerah di sekitamya merasa iri. Mungkin
Tanah Perdikan Mangir, mungkin Menoreh, atau daerah-daerah
lain." "Bagaimana dengan Sangkal Putung?" tiba-tiba Sutawijaya
bertanya. "Sangkal Putung tidak terlampau dekat. Tetapi Sangkal
Putung tidak akan berkeberatan apa pun atas perkembangan
Alas Mentaok. Kalau Alas Mentaok menjadi ramai, perdagangan
antara Pajang dan daerah baru itu berkembang, maka Sangkal
Putung akan menjadi jalur yang menentukan. Itu akan
bermanfaat bagi Sangkal Putung."
Sutawijaya memandang Gupala dengan sorot mata yang
aneh. Sesaat kemudian ia berkata, "Hem, kau memandang
persoalan ini dari sudut yang luas. Meskipun tampaknya kau
hanya dapat berkelahi dan tertawa-tawa tanpa arti, ternyata
pandanganmu cukup tajam."
Gupala hanya tertawa saja.
"Tetapi bagaimana kalau terjadi sebaliknya?"
"Apa?" anak yang gemuk itu bertanya.
"Kalau yang lewat itu bukan serombongan pedagang, tetapi
sepasukan prajurit dari Pajang menuju ke Alas Mentaok."
Gupala berpikir sejenak. Dan jawabnya sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Sutawijaya maupun oleh Gupita. Katanya,
"Kalau yang lewat sepasukan prajurit, aku harus bersembunyi
atau mengungsi." Ketiganya tidak dapat menahan hati. Sutawijaya tertawa
meledak, meskipun segera menutup mulutnya dengan kedua
tangannya, sedang Gupita tersenyum kecut.
"Sudahlah," berkata Sutawijaya kemudian, "aku akan pergi ke
ruang tengah. Kalau gurumu sudah selesai dengan Ki Argapati,
ia akan mencari aku. Aku masih harus menemui Ki Argapati
dalam kesempatan ini."
"Juga mempersoalkan dibukanya Alas Mentaok?" bertanya
Gupala. "Ya." "Mudah-mudahan tidak ada kesulitan dari mana pun," berkata
Gupita perlahan-lahan. "Tentu. Kami mengharap demikian. Tetapi seandainya ada
banjir, kami sudah membuat tanggul."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia merasa
bahwa soalnya bukan sekedar membuat tanggul. Namun
demikian ia tidak berkata sesuatu lagi. Ia menyerahkan
persoalannya kepada gurunya. Apa pun yang harus
dilakukannya, ia tidak akan menolak.
Ketika kemudian Sutawijaya masuk kembali ke ruang tengah,
yang ditemuinya adalah Samekta dan Kerti yang masih duduk di
tempatnya, sehingga anak muda itu bertanya, "Apakah gembala
itu masih berada di dalam bilik Ki Argapati?"
Samekta menggelengkan kepalanya. "Tidak. Baru saja ia
pergi ke luar." "Aku berada di luar."
"Tetapi ia pergi ke luar lewat pintu butulan. Agaknya Anakmas


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diharap duduk di sini sebentar."
Sutawijaya mengangguk-angguk pula. "Baiklah, aku akan
menunggunya di sini."
Sementara itu gembala tua itu pergi kepada kedua muridnya.
Ditemuinya Gupala sedang berbaring di atas anyaman daun
kelapa, sedang Gupita duduk memeluk lututnya. Beberapa
langkah dari mereka, seorang penjaga berjalan helir-mudik
dengan tombak di tangan. "Apakah kalian lelah?" bertanya gurunya.
Gupala segera bangkit. Dengan serta-merta ia bertanya, "Apa
kami sudah boleh tidur?"
"Kenapa tidak?"
Gupala menjadi bingung. "Lalu bagaimana dengan tawanan
yang berada di dalam bilik itu."
"Biar saja ia di situ. Kalian berdua dapat tidur bergantganti.
Tetapi aku kira kalian yang masih muda-muda ini akan dapat
bertahan tiga hari tiga malam."
Gupala mengerutkan keningnya.
"Menurut pendengaranku, waktu Mahapatih Gajah Mada
menyelamatkaa rajanya, tujuh hari tujuh malam ia sama sekali
tidak beristirahat. Apalagi tidur," desis gembala itu. "Baru setelah
ia mendapat jalan untuk membawa raja itu kembali ke kota,
Gajah Mada mau beristirahat."
Gupita tersenyum, sedang Gupala bersungut-sungut.
Katanya, "Kelak, apabila aku menjadi Maha Patih, aku pun akan
berjaga-jaga tujuh hari tujuh malam."
Gupita tidak dapat menahan tertawanya. Katanya "Apa yang
akan kau lakukan selama tujuh hari tujuh malam itu?"
"Makan." Ketiganya tertawa. Namun Gupala pun segera merebahkan
dirinya lagi di atas anyaman daun kelapa itu sambil berdesis,
"Memang suatu cara yang baik. Bergantian tidur. Kenapa baru
sekarang kita ingat akan hal itu" Sekarang aku tidur, kau bangun
Kakang Gupita. Nanti, pada saatnya kau bangun, aku tidur."
"Bagus. Tetapi kalau nasi masak, aku tidak mau
membangunkan kau." Gupala tidak menjawab. Tetapi sambil menggaruk-garuk
perutnya ia berkata, "Kalau begitu aku pun tidak akan dapat
tidur." Gurunya tersenyum. Namun kemudian ia berkata, "Aku harus
segera kembali ke ruang tengah menunggui Sidanti. Sebentar
lagi, apabila semua persiapan sudah selesai, para pemimpin
Menoreh akan melepaskan jenazah mereka yang gugur di
peperangan ini. Kalau Angger Sutawijaya bersedia tetap berada
di ruang tengah, aku akan dapat ikut bersama Samekta dan
Kerti." Orang tua itu berhenti sejenak, lalu "Apakah kalian sudah
bertemu dengan Raden Sutawijaya?"
"Sudah, Guru," jawab Gupita, "baru saja ia datang kemari."
"Apa katanya?" "Tentang Alas mentaok itu lagi," jawab Gupita.
"Kami diminta untuk membantunya," sahut Gupala. "Agaknya
Raden Suitawijaya memerlukan beberapa orang uutuk itu."
"Beberapa orang yang bersedia untuk berkelahi," gumam
gurunya. "Tetapi apa katamu berdua?"
"Aku bersedia," jawab Gupala dengan serta-merta. "Aku tidak
dapat berdiri tidak berpihak, sementara kedua pasukan Mentaok
dan Pajang akan saling berhadapan."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengarti pendirian Gupala. Sangkal Putung seolah-olah terletak
di garis yang menghubungkan kedua daerah itu. Kalau anak
yang gemuk itu sama sekali tidak menentukan sikap, maka
mungkin sekali daerahnya akan tergilas oeh kedua belah pihak.
"Apakah kau sudah menjawab?" bertanya gurunya.
"Sudah guru," jawab Gupala.
"Dan kau?" bertanya gurunya kepada Gupita.
"Aku menyerahkan persoalannya kepada Guru," jawab
Gupita. "Menurut Riaden Sutawijaya Guru sudah bersedia."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang
dihadapi oleh Gupala memang tidak terlampau rumit. Ia harus
berpihak. Berpihak kepada yang memberinya harapan. Apalagi
Sutawijaya telah dikenalnya baik-baik sejak lama.
Tetapi soalnya akan berbeda bagi Gupita. Sekali lagi terlintas
di dalam angan-angannya, Senapati Pajang di bagian Selatan
yang bernama Untara itulah nanti yang akan memegang
peranan. Ki Gede Pemanahan sendiri sudah tidak ada di Pajang.
Ki Penjawi sudah berada di Pati pula. Maka selain Ki Patih dan
Sultan Pajang sendiri, maka Senapati Pajang tidak ada lagi yang
mumpuni. "Apakah mungkin bahwa Angger Agung Sedayu akan
berhadapan dengan Angger Untara?" pertanyaan itu selalu
mengganggunya. Tetapi ia masih tetap menyimpan pertanyaan
itu di dalam hati. Agaknya Gupita sama sekali masih belum
teringat untuk memperhitungkannya hal itu.
"Apakah guru benar-benar telah menyetujuinya?" tiba-tiba
Gupita bertanya. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku
memang sedang mempertimbangkan. Apakah yang sebaiknya
aku lakukan. Sutawijaya memang sudah menyampaikan pesan
Ki Pemanahan kepadaku."
"Aku kira kita tidak akan keberatan," sahut Gupala. "Dengan
demikian kita telah membantu bangkitnya suatu daerah baru.
Sudah tentu, kita mengharap bahwa tidak akan terjadi apa pun di
antara semua pihak. Alas Mentaok, Pajang, Mangir, dan
Menoreh. Apalagi Prambanan dan Sangkal Putung."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
tatapan matanya melontar ke titik-titik yang sangat jauh.
Wajah orang tua itu tampak menjadi murung. Hampir tidak
pernah kedua muridnya melihat gurunya begitu dalam
merenungi sesuatu. Sehingga dengan demikian kedua muridmuridnya
itu pun untuk sejenak berdiam diri.
Sebenarnyalah berbagai persoalan telah berkecamuk di
dalam dada orang tua itu. Masalah Tanah Perdikan Menoreh
memang sudah hampir selesai, tetapi masalah-masalah lain
telah menunggunya. Tanpa sesadarnya orang tua itu mengamati
lukisan di pergelangan tangannya. Sebuah cambuk yang di
ujungnya tersangkut selingkar cakra bergerigi sembilan.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Terngiang
pertanyaan Ki Argapati tentang lukisan di pergelangan
tangannya itu "Kiai, gambar itu adalah ciri dari perguruan Empu
Windujati." Tiba-tiba gembala tua itu menggelengkan kepalanya. Namun
suara Ki Argapati masih terdengar di telinganya "Aku mengenal
seorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk dan
yang senang sekali berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah
tentu bukan kau, karena pada saat itu pun umurnya sudah setua
kita sekarang." Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba ia tersadar bahwa kedua murid-muridnya
sedang memandangnya dengan heran. Sehingga kemudian ia
pun berdesis, "Ternyata aku pun lelah sekali. Tempat ini
memberikan kesejukan, sehingga aku pun menjadi kantuk
karenanya." Gupala menarik nafas pula. Sekilas dipandanginya wajah
Gupita yang bertanya-tanya.
"Baiklah," berkata gembala tua itu, "aku akan ke ruang tengah
sejenak. Kalau Angger Sutawijaya bersedia, menunggui Sidanti
sebentar bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang berada
di longkangan belakang, aku akan ikut melihat upacara
pemakamam." "Apakah kami dapat ikut?" bertanya Gupala.
"Tidak usah. Kau punya tugas sendiri."
Gupala mengerutkan keningnya.
"Tetapi itu pun aku masih belum tahu, kapan persiapan
pemakaman itu selesai. Bahkan mungkin malam nanti. Kini baru
dipersiapkan lubang-lubang yang cukup banyak."
"Dari manakah jenazah-jenazah itu diberangkatkan?"
"Sudah jelas tidak dari rumah ini."
?"Dari banjar?"
"Ya, dari Banjar."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya
sudah menjadi semakin redup oleh kantuk yang seakan-akan
semakin mencengkamnya. Apalagi karema silirnya angin dan
bunyi burung tekukur di kejauhan.
"Nah, tinggallah kalian di sini. Hathatilah supaya bantuan
yang sudah kita berikan selama ini kepada Tanlah ini tetap
berkesan baik sampai rampung."
Kedua muridnya menganggukkan kepala mereka sambil
menjawab "Baik, Guru."
Di sepanjang langkahnya, gembala tua itu menundukkan
kepalanya sambil merenung dirinya sendiri. Kalau pada suatu
saat ia bertemu dengan Ki Gede Pemanahan, maka pertanyaan
Ki Gede Menoreh itu pun pasti akan diulang lagi meskipun
dengan nada yang berbeda.
Gembala tua itu tanpa disengaja telah menganggukanggukkan
kepalanya. Berbagai persoalan hilir-mudik di
kepalanya. "Seharusnya masa-masa itu sudah dilupakan orang," katanya
di dalam hati. "Aku pun ingin melupakannya."
Orang tua itu tertegun sejenak. Ia melihat beberapa orang
pengawal memasuki halaman. Sejenak mereka bercakap-cakap
dengan pengawal yang sedang bertugas. Kemudian seorang
pengawal dengan tergesa-gesa memasuki pendapa langsung
keruang tengah. Gembala itu pun kemudian pergi ke pendapa. Ia melihat
Samekta dan Kerti keluar melintasi pendapa itu turun ke
halaman. Ketika mereka melihat orang tua itu, mereka pun
berhenti. "Kiai," berkata Samekta, "persiapan itu sudah hampir selesai.
Kalau Kiai ingin menghadirinya, sebentar lagi Kiai supaya pergi
ke Banjar bersama Pandan Wangi. Ia ingin melihat juga upacara
itu." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah.
Aku akan pergi." Ketika Samekta dan Kerti kemudian pergi bersama pengawal
itu, ia pun segera masuk ke dalam. Ditemuinya Sutawijaya
duduk sendiri sambil mengunyah pondoh beras.
"Ha, aku akan minta tolong kau lagi, Anakmas," berkata
gembala tua itu. "Apa lagi Kiai?"
"Aku akan melihat upacara pemakaman korban peperangan
ini. Aku minta Anakmas sementara tetap tinggal di sini
menunggui pintu itu. Di belakang sudah ada Ki Hanggapati dan
Ki Dipasanga." "Sendiri?" bertanya Sutawijaya.
"Apakah Angger takut?"
"Soalnya bukan takut. Tetapi bagaimana kalau tiba-tiba aku
ingin pergi ke sungai?"
Orang tua itu menarik nafas. Tetapi ia kemudian
mengangguk-angguk. "Baiklah," berkata orang tua itu, "aku akan minta seorang dua
orang pengawal untuk menemani Anakmas di sini."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berbisik, "He,
siapakah sebenarnya pimpinan tertinggi yang mewakili Ki
Argapati di bidang keprajuritan?"
"Kenapa?" "Apakah Kiai barangkali?"
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum. "Aku sudah terlanjur terlibat Anakmas. Memang tidak
pantas aku mengatur dan menangani persoalan di Tanah ini
terlampau banyak. Tetapi tanpa Ki Argapati mereka masih
memerlukan banyak sekali bimbingan."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
tersenyum ia berkata, "Pada suatu saat, Mentaok memerlukan
pula, Kiai." Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata, "Laris juga tenaga tua ini agaknya."
Sutawijaya tertawa pendek. Katanya, "Suatu kehormatan bagi
Kiai." Orang tua itu pun menyahut, "Sebenarnya Mentaok tidak
memerlukan siapa pun lagi. Mentaok sudah cukup memiliki
senapatsenapati yang mumpuni. Ki Gede Pemanahan sendiri
adalah seorang panglima yang tidak ada tandingnya. Kenapa
orang tua-tua yang tidak berarti seperti aku ini akan dibawanya
pula?" Sutawijaya masih tertawa. Katanya, "Tentu ada sebabnya.
Dan Kiai pun aku kira sudah mengetahui pula."
"Belum," berkata orang tua itu.
"Apa saja dapat Kiai katakan kepadaku, karena aku memang
baru mengenal Kiai sejak di Sangkal Putung. Tetapi mungkin
ayah akan berkata lain."
Gembala itu mengangkat alisnya.
"Ayah memang selalu bertanya tentang Kiai. Tentang seorang
yang bersenjata cambuk."
"Baik, baik," sahut gembala tua itu, "sekarang aku akan pergi
sejenak bersama Angger Pandan Wangi."
Sutawijaya masih saja tersenyum. Dipandanginya saja orang
tua yang masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Kemudian sejenak ia
tinggal di dalam sebelum orang tua itu keluar lagi dari bilik itu
bersama Pandan Wangi. Ki Argapati tidak berkeberatan, apabila Pandan Wangi pergi
sejenak atas namanya menghadiri pemakaman korban-korban
peperangan yang telah berjatuhan.
"Dua orang prajurit akan mengawani Angger di sini," berkata
gembala itu kepada Sutawijaya.
Sebenarnyalah bahwa kemudian dua orang prajurit datang
dan duduk bersama anak muda itu, sedang dua orang yang lain
langsung masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Di sepanjang jalan menuju ke banjar, baik Pandan Wangi
maupun gembala tua itu tidak terlampau banyak berbicara.
Dalam angan-angan masing-masing bergejolak masalahmasalah
yang berbeda-beda. Pandan Wangi masih merenungi
abu Tanah Perdikannya yang telah dibakar oleh api peperangan
di antara keluarga sendiri, yang digelitik oleh ketamakan Ki
Tambak Wedi. Sedangkan gembala itu sedang merenungkan
sikap Sutawijaya. Mungkin ayahnya, Ki Gede Pemanahan
memang selalu bertanya tentang seorang yang bersenjatakan
cambuk. Tetapi apakah pesan Ki Pemanahan ini benar-benar
sampai pada suatu kepastian, ia memerlukannya, atau hanya
sekedar karena akal Sutawijaya itu sendiri.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menilik ceritera Sutawijaya sendiri, ayahnya masih
meragukannya. Apakah dalam keragu-raguan itu, Ki Gede
Pemanahan sudah dapat mengambil suatu sikap.
"Tetapi aku sendiri memang perlu menemuinya," desis orang
tua itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, mereka pun segera sampai ke banjar pula.
Sejenak kemudian maka jenazah-jenazah yang berada di banjar
itu pun segera diberangkatkan ke pekuburan.
Beberapa orang keluarga mereka yang berhasil dihubungi,
telah menitikkan air matanya. Seperti darah yang tertumpah,
maka air mata mereka itu pun telah membasahi Tanah Kelahiran
mereka. Sebuah barisan yang panjang telah mengiringi korban-korban
peperangan itu. Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan beberapa
pemimpin yang lain berjalan di paling depan. Di belakang
mereka, gembala tua yang telah ikut menentukan akhir dari
peperangan itu pun berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia
sadar, bahwa ia telah turut mengambil bagian dari peperangan
yang telah membunuh sekian banyak kawan dan lawan.
Namun terbayang pertentangan yang pasti akan lebih
dahsyat berkecamuk apabila Mentaok dan Pajang tidak dapat
mengendalikan diri masing-masing. Di dalamnya tidak hanya
terdapat seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Tetapi di
dalamnya terdapat berpuluh-puluh Sidanti dan berpuluh-puluh
Argajaya. Senapatsenapati perang yang pilih tanding akan turun ke
medan. Prajurit-prajurit yang tangguh dan panglima-panglimanya
yang tidak ada taranya. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Yang terutama
menjadi pusat kecemasannya adalah Untara. Senapati muda
yang memiliki kemampuan yang besar, yang justru diserahi
daerah di sisi Selatan. Apalagi kalau Widura masih juga berada
di Sangkal Putung bersama beberapa bagian dari pasukan
Pajang. Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kalau pertentangan jasmaniah harus terjadi, maka
masalahnya akan sangat rumit bagi murid-muridnya, terutama
Gupita. Oleh angan-angannya itu, maka gembala tua itu hampir tidak
memperhatikan lagi, ketika satu demi satu jenazah-jenazah itu
diturun kan ke lubang pembaringannya untuk yang terakhir kali.
Namun salah seorang dari mereka memang telah menarik
perhatiannya. Pandan Wangi yang menyandang sepasang
pedang di lambungnya itu maju mendekati pekuburaa yang bau
saja ditimbun dengan tanah yang merah.
Perlahan-lahan ia berdesis, "Jasamu tidak akan terlupakan,
Wrahasta." Sejenak kemudian tangannya yang halus meraih segenggam
bunga tabur. Ketika bunga itu berjatuhan di atas gundukan tanah
yang masih basah itu, air matanya pun menitik. Dikenangnya
anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dikenangnya betapa
anak muda itu mencoba meayentuh perasaannya yang kosong
pada waktu itu. Kepala Pandan Wangi pun menunduk dalam-dalam.
Beberapa lama ia berdiri di samping makam Wrahasta. Sekilas
terbayang pula pada saat-saat terakhir dari hidupnya. Masih juga
anak muda itu bertanya kepadanya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ikhlas atau tidak
ikhlas ia pernah menganggukkan kepalanya, mengiakan
permintaan Wrahasta untuk memperisterikannya. Sekejap
sebelum ia melepaskan nafasnya yang terakhir.
Dan kini Wrahasta itu telah dikuburkan di antara para
pengawal yang telah gugur dalam menunaikan tugas mereka
untuk Tanah Kelahiran. Satelah semuanya selesai, maka orang-orang yang
mengantar jenazah-jenazah itu pun satu-satu meninggalkan
pekuburan. Dengan hati yang berat mereka melangkah semakin
jauh, meninggalkan orang-orang yang pernah ada di antara
mereka. Pernah bergurau dan bertengkar dalam satu
lingkungan. Di jalan kembali Pandan Wangi menjadi semakin diam.
Gembala tua yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak
diacuhkannya. Sekalsekali ia masih mengusap matanya yang
basah. Ketika Pandan Wangi masuk ke halaman rumahnya, ia
tertegun sejenak. Di antara para pengawal yang berjaga-jaga di
depan regol dilihatnya seorang anak muda yang gemuk berdiri
sambil menyilangkan tangannya.
"Apakah semuanya sudah selesai," Gupala bertanya sambil
melangkah maju. Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. "Ya, semuanya
sudah selesai." Gupala kemudian berjalan di samping gadis itu, sebelahmenyebelah
dengan gurunya. "Di mana Gupita" gurumya bertanya, "dan kenapa kau berada
di situ?" "Kakang Gupita masih menunggui Ki Argajaya. Aku tidak
tahan untuk duduk saja di bawah pohon keluwih itu."
"Kau tinggalkan Gupita sendiri?"
"Tidak sendiri. Ada beberapa orang pengawal yang
menemaninya." Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak bertanya lagi. Gupala yang mash ingin berbicara menjadi kecewa. Pandan
Wangi terlampau murung dan hampir tidak memperhatikan
orang-orang lain sama sekali. Tanpa berkata sepatah kata pun
lagi gadis itu langsung naik ke pendapa dan masuk ke dalam
rumahnya yang kotor. Gupala berhenti di bawah tangga pendapa. Ditatapnya saja
langkah Pandan Wangi sampai hilang di balik pintu pringgitan.
"Kembalilah ke tempatmu," gurunya berdesis.
"O," Gupala tergagap, "baiklah. Aku akan kembali ke bawah
pohon keluwih. Mudah-mudahan tidak ada sebuah pun yang
akan menjatuhi kepalaku yang lagi pening ini."
Gurunya tidak menjawab. Dengan langkah yang gontai
Gupala berjalan ke tempatnya kembali. Namun masih terdengar
ia bergumam, "Apakah aku harus menungguinya sampai tua?"
Ternyata hari itu baik Gupita dan Gupala, maupun Ki
Hanggapati dan Dipasanga, masih harus tetap berada di tempat
masing-masing. Ki Argapati masih belum dapat berbuat sesuatu
karena luka-lukanya, sehingga masih belum dapat mengambil
suatu sikap bagi Sidanti dan Argajaya. Bahkan Ki Argapati masih
juga belum dapat menerima Sutawijaya yang akan menemuinya.
"Kiai," berkata Sutawjaya, "kalau besok Ki Argapati masih
belum dapat menerima seseorang, maka aku kira lebih baik aku
kembali ke Mentaok. Ayah pasti sudah terlampau lama
menunggu. Bahkan mungkin perkembangan terakhir Mentaok
sudah menjadi semakin sibuk, sehingga tenagaku sudah sangat
diperlukannya." "Lalu, apakah Angger tidak ingin berbicara dengan Ki
Argapati?" "Aku tidak dapat menunggu tanpa batas. Sebaiknya aku
berpesan saja kepada Kiai."
"Tunggulah sampai besok."
Sutawijaya merenung sejenak. Katanya, "Ya, aku memang
akan menunggu sampai besok."
Malam itu gembala tua itu pun berusaha dengan segenap
kepandaian yang ada padanya untuk memperingan penderitaan
Ki Argapati. Semalam suntuk gembala tun itu tidak tdur. Juga
Pandan Wangi yang menunggui ayahnya hampir tidak dapat
memejamkan matanya sama sekali. Hanya kadang-kadang
sambil bersandar dinding Pandan Wangi terlena sejenak. Namun
kemudian ia segera terbangun kembali.
Di malam hari luka-luka Ki Gede yang parah itu terasa betapa
pedihnya, sehingga meskipun ia memiliki daya tahan yang luar
biasa kuatnya, namun terdengar sekalsekali ia berdesis
tertahan. Apalagi karena obat-obat yang dipergunakan oleh
gembala itu pun menambah nyeri pada luka-luka itu.
Semalaman gembala tua itu duduk dengan tegangnya. Tidak
kalah tegang dari pertempuran yang dialaminya semalam.
Sekalsekali ia harus berusaha untuk menahan panas tubuh Ki
Argapati yang menanjak, dengan minuman reramuan obat yang
dibuatnya. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya,
barulah gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ki Argayati
dapat tertidur sejenak. Namun tidur yang sejenak itu akan sangat
membantunya. "Tidurlah, Ngger," berkata gembala tua itu kepada Pandan
Wangi, "mumpung Ki Argapati juga lagi tidur."
Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia tidak mengambil tikar
dan berbaring dilantai. Ia masih saja duduk sambi bersandar
dinding. "Aku tidur di sini saja Kiai."
"Nanti kau terjerembab."
Pandan Wangi menggeleng. "Tidak."
Gembala tua itu pun kemudian keluar dari bilik Ki Argapati.
Dilihatnya Sutawijaya tidak ada di ruang tengah. Yang ada
adalah dua orang pengawal yang menunggui pintu bilik Sidanti.
"Di mana Anakmas Sutawijaya?" bertanya gembala tua itu.
"Ia akan tidur bersama Gupita dan Gupala."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas
ia memandang pintu bilik Sidanti. Pintu itu masih tertutup rapat.
Selaraknya pun masih terpancang kuat-kuat.
"Anak itu akan tetap merupakan masalah bagi Tanah
Perdikan ini," katanya di dalam bati. "Aku tidak dapat
membayangkan bagaimana Ki Argapati akan menyelesaikannya.
Sambil mengangguk-angguk di luar sadarnya gembala tua itu
pun kemudian duduk di samping kedun pengawal yang sedang
bertugas menunggui pintu bilik Sidanti itu.
Sejenak kemudian maka cahaya yang merah telah
membayang di halaman. Semakin lama semakin terang. Para
pengawal yang berkesempaan tidur di gandok kanan dan kiri, di
ruang-ruang belakang, di pendapa dan di banjar, satu demi satu
telah terbangun. Gembala tua yang belum mendapat kesempatan untuk tidur
itu pun telah bangkit pula. Perlahan-lahan ia masuk ke dalam
bilik Ki Argapati. Ketika dilihatnya Ki Argapati masih tidur, maka
ia pun menarik nafas dalam-dalam.
"Agaknya aku berhasil mengobatinya," desisnya di dalam hati.
Gembala tua itu tersenyum pula ketika melihat Pandan Wangi
pun masih tidur bersandar dinding. Rambutnya yang panjang
terurai ke bahunya, sedang kedua tangannya bersilang di dada.
Gadis itu sama sekali tidak berkeempatan untuk mengurus
dirinya sendiri seperti kebanyakan gadis-gadis di masa usia
remaja. Pandan Wangi selama ini hanya bergulat dengan
pedang dan dengan ayahnya yang terluka.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kedatangan
kakaknya di atas Tanah Perdikan ini justru membuat hatinya
pedih. Gadis yang seharusnya sedang dibuai oleh usianya itu,
kini seakan-akan telah meloncati satu lapisan dalam urut-urutan
hidupnya. "Mudah-mudahan selanjutnya Tanah ini menjadi tenang,"
berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka gembala tua itu berpengharapan, bahwa
hari itu Ki Argapati sudah menjadi jauh lebih baik dari keadaan
sehari sebelumnya, sehingga ia dapat menerima Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri, setelah membersihkan dirinya, segera
masuk ke ruang tengah. Ditemuinya gembala itu duduk di antara
dua orang pengawal yang ditinggalkannya semalam.
"Bagaimana Kiai, apakah hari ini aku dapat bertemu dengan
Ki Argapati?" "Mungkin, Ngger. Agaknya Ki Argapati sudah menjadi
semakin baik. Tetapi sudah tentu tidak sepagi ini. Siang nanti,
aku harap Ki Argapati sudah berkesempatan untuk berbicara."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku
menunggu hari ini. Sebenarnyalah bahwa Ki Gede Pemanahan telah menunggu
dengan cemas kedatangan puteranya yang sedang pergi ke
Tanah Perdikan Menoreh tanpa mengetahui dengan pasti, apa
yang telah terjadi di sana.
Dan Sutawijaya masih harus menunggu satu hari lagi.
Ketika Ki Argapati kemudian terbangun dari tidurmya, ia
merasakan bahwa keadaan badannya telah menjadi jauh lebih
baik. Lukanya sudah tidak terlampau pedih, dan kepalanya
sudah tidak lagi memberati. Meskipun ia masih pening dan
terlalu lemah, namun kesadarannya telah sepenuhnya
dikuasainya. Saat itulah yang ditunggu-tunggu oleh gembala tua itu. Ketika
Ki Argapati telah dibersihkannya, maka katanya, "Angger
Sutawijaya ingin bertemu dengan Ki Gede hari ini. Tetapi lebih
baik setelah tengah hari. Keadaan Ki Gede akan menjadi
semakin baik." "Apakah ada keperluan yang penting?"
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. "Sebenarnya
tidak begitu penting Ki Gede. Tetapi karena ya sudah berada di
atas Tanah ini, maka ia memerlukan untuk menemui Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Badannya yang
terasa semakin segar membuat pikirannya menjadi segar pula.
Ternyata hari itu Ki Gede sudah dapat menelan makanan
sedikikit-sedikit, sehingga badannya tidak terasa sangat lesu.
Dengan telaten Pandan Wangi membantu ayahnya menyuapkan
makanannya. Agaknya Pandan Wangi pun menjadi sangat bersukur bahwa
ayahnya sudah menjadi semakin baik.
Pada siang harinya, Sutawijaya benar-benar mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan Ki Gede, meskipun Ki Gede
masih berada di pembaringannya. Tetapi sebelum Sutawijaya
memasuki bilik Ki Argapati gembala tua itu sudah berpesan,
"Katakan yang paling penting saja Anakmas. Jangan terlampau
berkepanjangan, karena Ki Argapati masih belum seharusnya
memikirkan masalah-masalah yang berat."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian desisnya,
"Kalau begitu, kenapa aku harus menunggu sampai hari ini"
Bukankah aku dapat meninggalkan pesan saja."
"Kau masih terlampau muda untuk mengerti perasaan orang
tua-tua. Meskipun akhirnya kau meninggalkan masalah itu
kepada orang lain, tetapi bahwa kau sendiri sudah memerlukan
datang menemuinya, bagi orang tua, itu akan banyak
memberikan arti. Kau sudah menyatakan kesungguhan hatimu,
dengan datang menemuinya sendiri."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," katanya.
Kemudian dengan diantar oleh gembala tua itu, Sutawijaya
memasuki bilik Ki Argapati.
"Maafkan, Anakmas," berkata Ki Argapati ketika ia melihat
Sutawijaya, "aku tidak dapat menemui Anakmas sebagaimana
sebarusnya aku menerima."
Sutawijaya tersenyum. Sekilas dipandanginya wajah Pandan
Wangi yang buram oleh kelelahan yang sangat. Kemudian
jawabnya, "Aku tahu apa yang sedang terjadi Ki Gede. Karena
itu, silahkan. Ki Gede sedang terluka."
Sutawijaya dan gembala tua itu pun kemudian duduk di
sebuah dingklik kayu di samping pembaringan.
Sementara itu Pandan Wangi duduk di sudut ruangan.
Seolah-olah ia selalu ingin menunggui dan mengawasi ayahnya
yang baru sakit itu. Sejenak kemudian maka Sutawijaya pun mulai mengatakan
maksudnya dengan hathati. Ternyata Sutawjaya adalah anak
muda yang memang cerdas. Sebelum ia sampai pada
persoalannya, maka katanya, "Ki Argapati, yang pertama-tama,
aku ingin menyampaikan salam dari ayah Ki Gede Pemanahan
untuk Ki Argapati." Ki Argapati tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia
berkata, "Terima kasih. Terima kasih, Anakmas. Nanti apabila
Anakmas kembali, aku pun menyampaikan salam kepada Ki
Gede Pemanahan." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
menjawab, "Baiklah Ki Gede. Aku akan menyampaikannya
kepada ayah." Ki Argapati yang menemui Sutawijaya sambil berbaring di
pembaringannya itu pun kemudian berkata, "Sayang, Anakmas,
aku tidak dapat menerima Anakmas sewajarnya. Keadaanku dan
keadaan rumah ini sama sekali tidak pantas bagi Anakmas."
"O," Sutawijaya menyahut, "aku menyadari keadaan ini Ki
Gede. Ki Gede tidak usah menganggap kedatanganku ini
sebagai suatu kuujungan yang penting."
"Bagaimana pun juga, Anakmas adalah orang penting bagi
Pajang." Sutawijaya tersenyum, dan sebelum ia menjawab Ki Argapati
berkata, "Selain salam buat ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku
juga menyampaikan baktiku kepada Ayahanda Sultan Pajang."
Sutawijaya kini mengerutkan keningnya. Senyumnya tiba-tiba
seperti tersapu dari bibirnya. Namun sejenak kemudian ia
memperbaiki kesan di wajahnya sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya, ya Ki Gede, apabila aku menghadap Ayahanda
Sultan, maka aku akan menyampaikannya." Sutawijaya terdiam
sejenak. Namun hal itu justru dapat dijadikannya pancadan
untuk menyampaikan maksudnya.
Maka anak muda itu pun kemudian berkata, "Tetapi Ki Gede,
kesempatanku untuk bertemu dengan Ayahanda Sultan kini
terlampau jarang." Argapati terperanjat. "Kenapa?" ia bertanya.
"Aku sekarang berada di Mentaok."
"Alas Mentaok?"
"Ya, Ki Gede. Kami telah membukanya. Desa di pinggir Alas
Mentaok sampai ke Pliridan telah kami jadikan modal. Dan kini
daerah tersebut menjadi semakin ramai."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Sutawijaya pun berkata selanjutnya, "Kini untuk sementara
aku berada bersama Ayahanda Pemanahan."
Ki Argapati tidak segera menyahut. Tetapi tampaklah sesuatu
sedang bergetar di dalam hatinya.
"Ki Gede," berkata Sutawijaya kemudian, "karena itu pulalah
aku datang kemari atas nama ayah Ki Gede Pemanahan."
Ki Argapati yang mempunyai tangkapan yang tajam itu pun
segera mengerti, meskipun Sutawijaya baru mulai menyebut
tentang tanah yang baru dibukanya itu. Meskipun demkian Ki
Argapati masih tetap berdiam diri dan memberi kesempatan
kepada Sutawijaya untuk mengatakannya.
Demikianlah Sutawjaya pun kemudian berceritera tentang
Alas Mentaok. Tentang janji Sultan Hadiwjaya atas Tanah
Mentaok dan Pati. Tentang Ki Gede Pemanahan yang
menganggap bahwa Sultan Pajang telah berkisar dari sifatsifatnya
semula. Meskipun Sutawjaya selalu mengingat pesan gembala tua
untuk tidak mengatakan semua persoalannya, namun ternyata Ki
Argapati sendiri langsung dapat menangkap maksud Sutawijaya
seluruhnya. Tetapi Sutawijaya memang seorang anak muda yang
bijaksana. Ketika ia hampir mengakhiri keterangannya mengenai
Alas Mentaok ia pun berkata, "Tetapi Ki Gede jangan dicengkam
oleh masalah yang sebenamya tidak begitu penting ini.
Sebaiknya Ki Gede memusatkan perhatian Ki Gede pada Tanah
Perdikan yang kini sedang luka parah seperti Ki Gede sendiri
yang terluka." Ki Gede mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Pandan
Wangi yang duduk di sudut ruangan itu dengan wajah yang
tegang. Agaknya gadis itu pun mengikuti pembicaraan ayahnya
dengan saksama. *** Dalam pada itu Sutawijaya berkata pula, "Anggaplah bahwa
kedatanganku ini hanya sekedar memberitahukan, bahwa aku
Hantu Pegunungan Batu 6 Rajawali Emas 06 Kitab Pemanggil Mayat Pedang Penyebar Maut 1
^