Pencarian

Kite Runner 5

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 5


hidup aku harus menanggung malu gara-gara kejadian itu."
Dengan ujung ibu jariku, aku menghapus air mata yang mengalir ke rahangnya,
tepat di atas tanda lahirnya.
"Aku tidak memberitahumu," jari-jari Soraya mengusap airmatanya, "tapi malam
itu, ayahku muncul sambil membawa pistol. Dia mengatakan ... padanya ... bahwa hanya
ada dua peluru dalam pistol itu, satu untuk pria itu dan satu lagi untuknya
sendiri kalau aku tidak mau pulang bersamanya. Aku menjerit-jerit, mengumpat
ayahku dengan segala macam sebutan, mengatakan padanya bahwa dia tidak bisa
selamanya memingitku, bahwa aku ingin dia mati." Matanya kembali basah. "Aku
benar-benar mengatakan padanya, bahwa aku ingin dia mati.
"Saat dia membawaku pulang, ibuku mende -
kapku sambil menangis. Dia mengatakan banyak hal, tapi aku tidak mengerti
sedikit pun karena isakannya begitu hebat. Fadar jan membawaku ke kamarku dan
mendudukkanku di depan meja rias. Dia mengulurkan sebuah gunting dan dengan
tenang memintaku memotong pendek rambutku. Dia mengawasiku saat aku
melakukannya. "Aku tidak keluar rumah selama seminggu. Dan saat aku keluar, kemana pun aku
melangkah, aku mendengar atau membayangkan bisikan-bisikan. Kejadian itu
berlangsung empat tahun yang lalu dan 5000 km jauhnya dari tempat ini dan aku
masih saja mendengar bisikan-bisikan itu."
"Persetan dengan mereka," ujarku.
Soraya setengah tertawa dan setengah terisak. "Ketika aku menceritakan hal ini
padamu lewat telepon saat malam khastegah, aku yakin kau akan berubah pikiran."
"Aku tidak akan melakukannya, Soraya."
Dia tersenyum dan meraih tanganku. "Aku sangat beruntung karena menemukanmu. Kau
sungguh berbeda dengan semua pria Afghan lain yang kukenal."
"Kita tidak akan pernah lagi membicarakan hal ini, oke?"
"Oke." Aku mencium pipinya dan kembali menjalankan mobil. Sambil mengemudi, aku
memikirkan mengapa aku berbeda. Mungkin karena aku dibesarkan oleh pria; tidak
pernah ada wanita di sekelilingku saat aku tumbuh dan aku tidak pernah
bersinggungan dengan standar ganda yang sering kali diberlakukan warga Afghan terhadap wanita.
Mungkin karena Baba bukanlah seorang ayah Afghan biasa. Seorang liberal yang
menganut peraturan yang dibuatnya sendiri, seorang pria merdeka yang bebas
mengabaikan atau mengikuti kebiasaan masyarakat yang dia anggap sesuai untuknya.
Tetapi, kupikir, alasan terbesar mengapa aku tidak memedulikan masa lalu Soraya
adalah karena aku memiliki masa laluku sendiri. Aku tahu segalanya tentang
penyesalan. Tidak lama setelah Baba meninggal, aku dan Soraya pindah ke apartemen satu-kamar
di Fremont, hanya berjarak beberapa blok dari rumah Sang Jenderal dan Khala
Jamila. Orangtua Soraya membelikan sebuah sofa kulit berwarna cokelat dan satu
set perlengkapan makan Mikasa sebagai hadiah kepindahan kami. Sang Jenderal
memberiku hadiah tambahan, sebuah mesin tik IBM baru. Dia menyelipkan sehelai
kertas berisi ucapan berbahasa Farsi dalam kotaknya:
Amir jan, Kuharap kau menemukan iimpahan kisah pada tombol-tombol ini.
Jenderal Iqbal Taheri Aku menjual bus VW milik Baba dan, hingga hari ini, aku tidak pernah kembali ke
pasar loak. Aku mengunjungi makamnya setiap Jumat, dan kadang-kadang, aku akan
menemukan buket bunga freesia segar tersandar di nisannya dan aku tahu bahwa
Soraya juga telah berkunjung ke sana.
Aku dan Soraya menjalani rutinitas dan keajaiban keajaiban kecil kehidupan
pernikahan. Kami berbagi sikat gigi dan kaus kaki, juga saling mengulurkan koran
pagi. Dia tidur di sisi kanan tempat tidur kami, aku lebih suka di sebelah kiri.
Dia suka bantal yang empuk, aku suka yang keras. Dia menyantap serealnya kering,
seperti camilan, baru kemudian minum susunya.
Musim panas itu aku diterima di Jurusan Bahasa Inggris San Jose State. Aku
bekerja dengan shift sebagai penjaga keamanan di sebuah gudang perabotan di
Sunnyvale. Pekerjaan itu sangat membosankan, tapi sisa uang yang bisa kutabung
lumayan. Saat semua orang meninggalkan tempat itu pada pukul 18.00 dan bayangan
malam mulai merayapi lorong-lorong di antara tumpukan setinggi langit sofa
berlapis plastik, aku mengeluarkan buku-bukuku dan belajar. Di tengah kantor
gudang perabotan beraroma PineSol itulah aku mulai menulis novel pertamaku.
Tahun berikutnya, Soraya bergabung bersamaku menjadi mahasiswa di San Jose,
meskipun ayahnya merasa kecewa karena dia mengambil jurusan ilmu pendidikan.
"Aku tak mengerti kenapa kau menyia-nyiakan
bakatmu seperti itu," kata Sang Jenderal saat kami menyantap makan malam
bersama. "Kau tahu, Amir jan, saat di SMA, dia mendapat nilai A di setiap mata
pelajaran." Dia menatap Soraya. "Gadis berpendidikan sepertimu bisa jadi
pengacara, atau pakar ilmu politik. Dan, Insya Allah, saat Afghanistan merdeka,
kau bisa ikut menyusun undang-undang yang baru. Warga Afghan yang muda dan
berbakat sepertimu akan dibutuhkan. Dengan nama keluargamu, kau bahkan bisa saja
ditawari menduduki posisi menteri."
Bisa kulihat Soraya menahan dirinya, wajahnya menegang. "Aku bukan seorang
gadis, Padar. Aku wanita yang sudah menikah. Lagipula, mereka juga akan
membutuhkan guru." "Semua orang bisa jadi guru."
"Masih ada nasi, MadarV sahut Soraya.
Setelah Sang Jenderal keluar untuk menjumpai beberapa kawannya di Hayward, Khala
Jamila berusaha menenangkan Soraya. "Ayahmu bermaksud baik," katanya. "Dia hanya
ingin kau menjadi seorang yang berhasil."
"Supaya dia bisa menyombongkan putrinya yang jadi pengacara pada teman-temannya.
Satu lagi medali untuk Sang Jenderal," kata Soraya.
"Omong kosong saja kau ini!"
"Berhasil," desis Soraya. "Setidaknya aku tidak seperti dia, duduk-duduk saja
sementara orang lain berperang dengan Shorawi, menanti debu-debu dibersihkan
sehingga dia bisa pindah kembali dan menduduki jabatan kecilnya yang bergengsi
di pemerintahan. Mungkin gaji guru tidak seberapa, tapi itulah yang ingin
kulakukan! Pekerjaan itulah yang kucintai, dan omong-omong, itu jauh lebih baik
daripada hidup dengan mengandalkan tunjangan kesejahteraan."
Khala Jamila menurunkan nada bicaranya. "Kalau sampai dia mendengarmu mengatakan
itu, dia tidak akan mau lagi bicara padamu."
"Jangan khawatir," sahut Soraya seraya melemparkan serbetnya ke piring. "Aku
tidak akan melukai egonya yang berharga."
Pada musim panas 1988, sekitar enam bulan sebelum tentara Soviet keluar dari
Afghanistan, aku menyelesaikan novel pertamaku, sebuah kisah tentang hubungan
seorang ayah dan putranya yang mengambil seting di Kabul, kebanyakan ditulis
menggunakan mesin tik hadiah Sang Jenderal. Aku mengirimkan surat penawaran pada
sejumlah agen dan pada suatu hari di bulan Agustus, aku terpana saat membuka
kotak suratku dan menemukan sehelai amplop bercap sebuah agen di New York, yang
berisi permohonan untuk mendapatkan manuskrip lengkapku. Keesokan harinya, aku
mengirimkan balasan. Soraya mencium dengan lembut manuskrip yang telah
terbungkus rapi itu dan Khala Jamila memaksaku untuk melewatkannya di bawah Al-
Quran. Dia memberitahuku bahwa dia
akan bernazar untukku, jika bukuku diterima, Khala Jamila akan menyuruh
seseorang untuk menyembelih seekor domba dan membagikan dagingnya pada fakir
miskin. "Ayolah, tidak usah bernazar, Khala jan," aku menciumnya. "Lebih baik berzakat
saja, berikan uangnya pada yang membutuhkan, ya" Tidak perlu menyembelih domba."
Enam minggu kemudian, seseorang bernama Martin Greenwalt menelepon dari New York
dan menawarkan diri untuk menjadi agen yang akan mewakiliku. Aku hanya
memberitahu Soraya tentang ini. "Tapi, mendapat agen bukan berarti novelku pasti
diterbitkan. Kalau Martin berhasil menjual novel itu, kita baru merayakannya."
Sebulan kemudian, Martin menelepon dan mengatakan bahwa aku akan menjadi novelis
dengan karya yang diterbitkan. Saat aku memberitahu Soraya, dia menjerit-jerit.
Malamnya, kami mengadakan acara makan malam perayaan dengan orangtua Soraya.
Khala Jamila membawa kofta nasi putih bertabur bola-bola daging dan ferni putih.
Sang Jenderal, dengan mata berkaca-kaca, mengungkapkan kebanggaannya padaku.
Setelah Sang Jenderal dan istrinya pulang, aku dan Soraya melanjutkan perayaan
itu dengan sebotol Merlot mahal yang kubeli sebelumnya Sang Jenderal tidak
menyukai wanita yang minum alkohol, dan Soraya tidak pernah minum di depannya.
"Aku sangat bangga padamu," dia mengangkat
gelasnya untukku. "Kaka juga akan bangga padamu."
"Aku tahu," aku memikirkan Baba, berharap dia menyaksikan saat-saat ini.
Malam itu, setelah Soraya tertidur anggur selalu membuatnya mengantuk aku
berdiri di balkon dan menghirup udara malam musim panas yang sejuk. Pikiranku
melayang pada Rahim Khan dan catatan kecil yang ditulisnya setelah membaca
cerita pertamaku yang menyalakan semangatku. Lalu pikiranku melayang pada
Hassan. Suatu hari nanti, Insya Allah, kau akan menjadi seorang penulis besar,
dia pernah mengatakannya, dan orang-orang di seluruh dunia akan membaca kisah-
kisahmu. Ada begitu banyak kebaikan dalam hidupku. Begitu banyak kebahagiaan.
Aku bertanya-tanya, apakah aku memang pantas mendapatkannya.
Novel itu diterbitkan pada musim panas berikutnya, 1989, dan penerbitnya
mengirimku untuk mengikuti tur ke lima kota. Aku menjadi pesohor kecil-kecilan
dalam komunitas Afghan. Pada tahun itu, Shorawi telah menarik seluruh pasukannya
dari Afghanistan. Seharusnya penarikan pasukan Shorawi itu dilanjutkan dengan
masa kemenangan bagi penduduk Afghan. Tetapi, perang terus berkecamuk, kali ini
antara warga Afghan sendiri, kaum Mujahidin, melawan pengikut Naji-bullah,
pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan.
Pada tahun itu pula, perang dingin berakhir dan Tembok Berlin diruntuhkan. Tahun
itu adalah tahun Lapangan Tiananmen. Di tengah segala kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Dan
Jenderal Taheri, yang harapannya meninggi setelah Soviet menarik pasukannya,
kembali memutar jam sakunya.
Pada tahun itu pula, aku dan Soraya mulai berupaya menghadirkan seorang bayi.
Gagasan menjadi seorang ayah melecutkan gelombang emosi dalam diriku. Aku merasa
ketakutan, bersemangat, tertantang, dan gelisah pada waktu yang bersamaan. Akan
jadi ayah macam apa aku nanti, pikirku. Aku ingin menjadi seperti Baba dan aku
tak ingin sedikit pun menjadi seperti Baba.
Namun setahun berlalu dan tak ada perubahan yang terjadi. Seiring dengan
berakhirnya tiap siklus bulanan, rasa frustrasi Soraya meningkat, kesabarannya
berkurang, dan perasaannya semakin mudah terusik. Pada saat itu, komentar-
komentar Khala Jamila yang tadinya disampaikan secara halus telah menjadi
semakin menyesakkan. Setiap menjumpai Soraya, dia akan berkata, "Kho degaf"
Jadi! "Kapan aku akan bisa menyanyikan afahoo untuk nawasa mungilku?" Sang
Jenderal, seorang Pashtun sejati, tidak pernah berkomentar menyinggung topik itu
berarti secara tak langsung membicarakan aktivitas seksual putrinya dengan
seorang pria, meskipun pria itu telah menikah
dengan putrinya selama lebih dari empat tahun. Namun mata Sang Jenderal akan
berbinar-binar bila Khala Jamila berkelakar tentang bayi pada kami.
"Kadang-kadang kita harus menunggu sebentar," aku mengatakannya pada Soraya
suatu malam. "Satu tahun bukan sebentar, Amir!" dia berkata dengan suara yang tidak seperti
suaranya. "Ada sesuatu yang salah, aku tahu itu."
"Kalau begitu, sebaiknya kita menemui dokter."
* Dr. Rosen, pria berperut buncit, berwajah bundar, bergigi kecil dan rata,
berbicara dengan aksen Eropa Timur yang samar, terkadang diselingi dengan
sedikit aksen Slavik. Dia menyukai kereta api buku-buku tentang sejarah jalur
kereta api, lokomotif mainan, lukisan-lukisan kereta api yang sedang berjalan
menerobos perbukitan hijau dan melewati jembatan ber-geletakan di kantornya. Di
atas mejanya terdapat tulisan, HIDUP ITU BAGAIKAN KERETA API, MASUKLAH KE
GERBONGNYA. Dia memaparkan rencananya untuk kami. Dia akan memeriksaku terlebih dahulu.
"Pria itu mudah," katanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja kayu mahoni.
"Pipa air pria seperti cara mereka berpikir: sederhana, sangat sedikit kejutan.
Sedangkan kalian para wanita ... well, Tuhan memberikan lebih banyak pemikiran
saat menciptakan wanita." Aku bertanya-tanya, apakah
dia membicarakan tentang pipa air itu pada setiap pasangan yang mengunjunginya.
"Kami memang beruntung," ujar Soraya.
Dr. Rosen tertawa. Kedengarannya tidak begitu tulus. Dia menyodorkan pakaian
rumah sakit dan se-buah wadah plastik padaku, lalu menanyakan kesediaan Soraya
untuk menjalani pemeriksaan darah secara rutin. Kami bersalaman. "Selamat
bergabung di gerbong saya," katanya saat mengantarkan kami keluar.
* Aku menjalaninya dengan kacau.
Berbagai macam rangkaian tes yang begitu melelahkan dijalani Soraya selama
beberapa bulan selanjutnya: Suhu basal tubuh, tes-tes darah untuk setiap hormon
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sesuatu yang dinamakan "Cervical Mucus
Test-Tes Selaput Lendir Saluran Rahim," ultrasound, lebih banyak lagi rangkaian
tes darah dan tes urin. Soraya menjalani prosedur yang dinamakan hysteroscopy
Dr. Rosen memasukkan teleskop ke dalam rahim Soraya dan melihat-lihat. Dia tidak
menemukan apa-apa. "Pipa airnya lancar," dia mengumumkan, menarik lepas sarung
tangan lateksnya. Kuharap dia berhenti menyebut organ tubuh kami dengan nama itu
kami bukan kamar mandi. Saat kami telah menjalani seluruh rangkaian tes yang
ada, dia menjelaskan pada kami bahwa dia
tidak dapat menjelaskan mengapa kami tidak juga memiliki keturunan. Dan,
ternyata, itu tidak begitu aneh. Namanya "Ketidaksuburan yang Tidak Dapat
Dijelaskan." Kemudian, tibalah masa pengobatan. Kami mencoba obat-obatan seperti Clomiphene
dan hMG, serangkaian suntikan yang harus Soraya lakukan sendiri. Saat semua itu
gagal, Dr. Rosen menyarankan kepada kami untuk melakukan fertilisasi in vitro
atau IVF. Kami menerima surat resmi dari perusahaan asuransi kami, menyampaikan
ucapan semoga beruntung dan penyesalan karena mereka tidak dapat menanggung
biaya yang kami ajukan. Kami menggunakan uang muka yang kuterima dari novel pertamaku untuk
membiayainya. Mereka melakukan prosedur IVF kepada kami dengan sangat lama dan
mendetail. Meskipun kami telah menjalani semua usaha yang melelahkan itu,
prosedur itu gagal. Setelah berbulan-bulan kami habiskan dalam ruang tunggu,
membaca majalah-majalah semacam Good Housekeeping dan Readers Digest, setelah
berhelai-helai gaun kertas yang kami kenakan dan ruangan-ruangan dingin dan
steril yang diterangi cahaya fluorescent, rasa malu yang terus-terusan menerpa
kami saat kami harus mendiskusikan setiap detail dari kehidupan seks kami kepada
seorang yang benar-benar asing, suntikan-suntikan, alat-alat yang dimasukkan ke
dalam tubuh kami, dan pengambilan berbagai macam sampel semua itu kami lakukan
seolah tanpa ada akhirnya kami kembali menemui Dr. Rosen dan
kereta-kereta-nya. Dia duduk di hadapan kami, mengetuk-ngetuk-an jarinya di meja, dan untuk pertama
kalinya menyebutkan kata "adopsi." Sepanjang jalan saat kami kembali ke rumah,
Soraya menangis. Soraya menceritakan kabar itu kepada orang tuanya pada akhir pekan setelah
kunjungan terakhir kami ke kantor Dr. Rosen. Kami duduk di bangku-bangku piknik
di halaman belakang rumah keluarga Taheri, memanggang ikan trout dan menikmati
yogurt. Saat itu menjelang malam pada bulan Maret 1991. Khala Jamila telah
menyiram tanaman mawar dan honey-suckie nya, dan wangi aroma bunga-bunga itu
bercampur dengan sedapnya aroma ikan panggang. Sudah dua kali Khala Jamila
mengulurkan tangannya ke seberang meja untuk mengelus rambut Soraya dan
mengatakan, "Tuhan tahu yang terbaik, bachem. Mungkin memang belum saatnya."
Soraya terus menunduk memandangi tangannya. Dia sudah lelah, aku tahu, letih
karena semua ini. "Dokter bilang kami bisa mengadopsi," gumamnya.
Saat mendengar Soraya mengatakannya, kepala Jenderal Taheri seketika tersentak.
Dia menutup pang-gangan barbecue. "Dia bilang begitu?"
"Dia bilang ini adalah salah satu pilihan untuk dipertimbangkan," jawab Soraya.
Di rumah, kami telah membicarakan tentang adopsi. Soraya memang meragukan
pilihan ini. "Aku tahu ini tolol dan mungkin aneh," katanya saat kami
menuju rumah orangtuanya, "tapi itulah yang kurasakan. Aku selalu memimpikan
bahwa aku akan mendekapnya dan tahu bahwa darahku telah menghidupinya selama
sembilan bulan, bahwa suatu hari aku akan melihat ke dalam matanya dan merasa
terkejut karena aku melihat dirimu atau diriku, bahwa bayi itu akan tumbuh
dewasa dan senyumnya menyerupai senyummu atau senyumku. Tanpa itu semua ....
Salahkah itu?" "Tidak," aku telah mengatakannya.
"Apakah aku egois?"
"Tidak, Soraya."
"Karena kalau kau benar-benar ingin melakukannya ...."
"Tidak," ujarku. "Kalau kita akan melakukannya, kita seharusnya tidak ragu
sedikit pun, dan kita berdua sebaiknya sama-sama menyetujuinya. Hanya dengan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itulah kita dapat memberikan keadilan pada bayi itu."
Soraya menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dan sepanjang sisa perjalanan itu
dia tidak berkata-kata lagi.
Sekarang Sang Jenderal duduk di sampingnya. "Bachem, soal adopsi ... ini, aku
tidak begitu yakin ini pantas bagi warga Afghan seperti kita." Soraya menatapku
dengan letih dan menghela napas.
"Salah satu alasannya, mereka akan tumbuh dewasa dan ingin mengetahui orangtua
mereka yang sebenarnya," kata Sang Jenderal. "Kalian tidak bisa menyalahkannya.
Kadang-kadang, setelah kalian susah payah menghidupinya selama
bertahun-tahun, dia akan begitu saja meninggalkan rumah untuk mencari orang-
orang yang telah melahirkannya ke dunia ini. Darah memiliki kekuatan, bachem,
jangan pernah lupakan itu."
"Aku tak ingin lagi membicarakan hal ini," ujar Soraya.
"Aku akan mengatakan satu hal lagi," Sang Jenderal menambahkan. Aku bisa melihat
bahwa dia telah siap berbicara: kami akan segera mendengarkan salah satu pidato
pendek Sang Jenderal. "Contohnya Amir jan, di sini. Kita semua tahu siapa
ayahnya, aku tahu siapa kakeknya saat di Kabul dan aku juga tahu siapa kakek
buyutnya. Aku bisa duduk di sini dan melacak bergenerasi-generasi dari
leluhurnya kalau kau mau. Karena itulah, saat ayahnya semoga Tuhan memberinya
kedamaian datang untuk khastegah, aku tidak ragu sedikit pun. Dan percayalah
padaku, ayahnya tidak akan mau menyampaikan lamaran untukmu kalau dia tidak
mengetahui garis keturunanmu. Darah itu kuat, bachem, dan kalau kau mengadopsi,
kau tidak tahu darah siapa yang kaubawa memasuki rumahmu.
"Nah, kalau kau orang Amerika, itu tidak jadi masalah. Orang Amerika menikah
karena cinta, mereka tidak pernah memperhitungkan nama keluarga dan garis
keturunan. Begitu juga cara mereka mengangkat anak, asal bayi itu sehat, mereka
mau mengadopsinya, dan semua orang bahagia. Tapi kita adalah warga Afghan,
bachem." "Ikannya sudah hampir siap, ya?" sahut Soraya. Jenderal Taheri melekatkan
tatapannya pada putrinya. Dia menepuk-nepuk lutut Soraya "Berbahagialah karena kau memiliki
tubuh yang sehat dan suami yang baik."
"Bagaimana menurutmu, Amir jan?" tanya Khala Jamila.
Aku meletakkan gelasku di dekat pot-pot geraniumnya yang mengucurkan air.
"Kurasa aku sependapat dengan Jenderal Sahib."
Merasa mendapatkan dukungan, Sang Jenderal mengangguk dan kembali memanggang.
Kami semua memiliki alasan pribadi yang membuat kami menolak melakukan adopsi.
Soraya memiliki alasannya sendiri, Sang Jenderal memiliki alasannya sendiri, dan
alasan yang kumiliki adalah: bahwa mungkin sesuatu, seseorang, di suatu tempat,
telah memutuskan bahwa aku tidak layak menjadi seorang ayah karena hal-hal yang
telah kulakukan. Mungkin inilah hukumanku, dan mungkin inilah keadilan untukku.
Mungkin memang beium saatnya, kata Khala Jamila. Atau, mungkin, memang saat itu
tak akan datang. Beberapa bulan kemudian, kami menggunakan uang muka novel keduaku untuk membayar
panjar sebuah rumah cantik bergaya Victoria yang memiliki dua kamar di San
Francisco's Bernal Heights. Rumah itu memiliki atap yang tinggi, lantai yang
terbuat dari kayu keras, dan halaman belakang mungil, lengkap
dengan beranda dan lubang api unggun. Sang Jenderal membantuku memperbaiki
beranda dan mengecat temboknya. Khala Jamila meratapi kepindahan kami ke rumah
yang berjarak satu jam perjalanan dari rumahnya, terutama karena dia menganggap
Soraya membutuhkan segala cinta dan dukungan yang bisa diberikan oleh ibunya
tidak mau melihat kenyataan bahwa maksud baiknya memberikan simpati
berlebihanlah yang tepatnya membuat Soraya berkeinginan untuk mencari tempat
tinggal baru. Kadang-kadang, Soraya tertidur di sampingku, aku berbaring di ranjang dan
mendengarkan saat pintu membuka dan tertutup kembali oleh tiupan angin. Aku
mendengarkan nyanyian jangkrik di halaman. Dan aku hampir dapat merasakan
kehampaan dalam rahim Soraya, seolah-olah ia hidup dan bernapas sendiri.
Kehampaan itu telah merayap ke dalam pernikahan kami, ke dalam canda tawa kami,
ke dalam kehidupan asmara kami. Dan saat larut malam, di tengah kegelapan kamar
kami, aku merasakan kehampaan itu bangkit dari dalam tubuh Soraya dan
menempatkan dirinya di antara kami. Tidur di antara kami. Seperti seorang bayi.
Empat belas Juni 2001 /\cu meletakkan gagang telepon itu dan
menatapnya selama beberapa saat, hingga Aflatoon menyalak dan mengagetkanku,
menyadarkanku bahwa ruangan tempatku berada begitu sunyi. Soraya telah mematikan
volume televisi. "Kau tampak pucat, Amir," dia mengatakannya dari sofa yang sama, yang
dihadiahkan orangtuanya saat kami pindah ke apartemen pertama kami. Dia
berbaring di sana dengan kaki terkubur tumpukan bantal, ditemani oleh Aflatoon
yang menyandarkan kepala ke dadanya. PBS sedang menayangkan siaran khusus
mengenai penderitaan serigala-serigala di Minnesota, dan Soraya menontonnya
sambil mengoreksi esai yang dikerjakan para siswa kelas musim panasnya dia telah
mengajar di sekolah yang sama selama enam tahun. Saat dia duduk, Aflatoon
melompat turun dari sofa. Sang Jenderallah yang menamai anjing cocker spaniel
kami itu. Aflatoon berarti "Plato" dalam bahasa Farsi, karena, menurut Sang
Jenderal, kalau kau mencoba melihat dengan cukup keras dan cukup lama ke dalam
mata hitam mengilap anjing itu, kau
akan merasa sangat yakin bahwa ia sedang memikirkan sesuatu yang bijaksana.
Kini, sedikit lemak, yang sebenarnya tidak begitu terlihat, menggelambir di
bawah dagu Soraya. Masa sepuluh tahun terakhir sedikit mempertajam lekukan pada
pinggulnya dan mewarnai beberapa helai rambut hitam kelamnya dengan semburat
kelabu. Tetapi wajahnya masih wajah agung seorang putri, dengan alis burung
terbangnya dan hidung yang melengkung anggun sebentuk abjad pada kaligrafi Arab
kuno. "Kau tampak pucat," ulang Soraya sambil meletakkan tumpukan kertas yang sedang
diperiksanya di meja. "Aku harus pergi ke Pakistan." Dia berdiri saat mendengarnya. "Pakistan?"
"Rahim Khan sakit keras." Dadaku terasa sesak saat aku mengatakannya.
"Kawan lama Kaka, partner bisnisnya?" Soraya belum pernah bertemu dengan Rahim
Khan, tapi aku pernah bercerita tentangnya. Aku mengangguk.
"Oh," ucapnya. "Aku ikut bersedih, Amir."
"Dulu, kami sangat dekat," ujarku. "Saat aku masih kecil, dialah orang dewasa
pertama yang pernah kuanggap sebagai teman." Aku membayangkan Rahim Khan dan
Baba menikmati teh di ruang kerja Baba, lalu merokok di dekat jendela, dua
bentuk asap yang dikeluarkan rokok mereka menantang udara beraroma mawar yang
bertiup dari arah taman. "Aku ingat, kau pernah menceritakannya padaku," kata Soraya. Dia terdiam.
"Berapa lama kau akan pergi?"
"Entahlah. Dia ingin bertemu denganku."
"Apakah ...." "Ya, keadaannya aman. Aku akan baik-baik saja, Soraya." Pertanyaan inilah yang
ingin dilayangkannya sejak tadi 15 tahun perkawinan telah menjadikan kami
pembaca pikiran. "Aku akan keluar berjalan-jalan."
"Kau ingin aku menemanimu?"
"Tidak perlu, sebaiknya aku sendiri saja."
Aku bermobil ke Golden Gate Park dan berjalan-jalan di sepanjang Spreckels Lake,
yang berada di ujung utara taman itu. Minggu siang yang cerah; cahaya matahari
berkilauan pada permukaan air, tempat lusinan kapal miniatur berlayar dengan
dorongan semilir angin San Francisco yang sejuk. Aku mengambil tempat di sebuah
bangku taman. Seorang pria melemparkan bola pada anak lelakinya, mengatakan
padanya untuk tidak me-nangkis bola itu, untuk melemparkannya melewati bahunya.
Di langit, kulihat sepasang layang-layang, merah dengan ekor panjang berwarna
biru. keduanya menari jauh tinggi melampaui pepohonan di bagian barat taman itu,
jauh di atas kincir angin.
Aku memikirkan ucapan Rahim Khan sesaat sebelum dia memutuskan sambungan
telepon. Ucapan yang ditambahkan, seolah sebelumnya terlupakan. Saat menutup mataku, aku
bisa melihatnya di ujung gemerisik sambungan jarak jauh, bibirnya sedikit
terbuka, kepalanya dimiringkan. Dan lagi-lagi, sesuatu pada kedalaman tanpa
batas mata hitamnya menyiratkan rahasia tak terkatakan yang kami simpan bersama.
Hanya saja, sekarang aku tahu. Kecurigaanku sepanjang tahun ini telah terbukti.
Dia tahu tentang Assef, tentang layang-layang itu, tentang uang itu, tentang
arloji dengan jarum penunjuk berbentuk petir itu. Dia mengetahuinya sejak lama.
Datanglah. Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan, Rahim Khan mengatakannya
sesaat sebelum dia menutup pembicaraan. Ucapan yang ditambahkan, seolah
sebelumnya terlupakan. Jalan untuk kembali menuju kebaikan.
Saat aku tiba di rumah, Soraya sedang berbicara di telepon dengan ibunya. "Tidak
akan lama, Madar jan. Satu, mungkin dua minggu .... Ya, Madar dan Padar boleh
menemaniku di sini Dua tahun sebelumnya, saat penyakit migrain-nya kembali kambuh, Sang Jenderal
keluar dari kamarnya dengan tatapan kabur dan pikiran kalut, lalu tersandung
pada pinggiran karpet yang longgar. Pinggul bagian kanannya patah. Teriakannya
membawa Khala Jamila berlari tergopoh-gopoh dari
dapur. "Suaranya seperti jaroo, gagang sapu, yang patah di tengah-tengahnya,"
dia suka mengatakannya, meskipun dokter berkata bahwa dia tidak mungkin
mendengar suara semacam itu. Pinggul Sang Jenderal yang patah dan segala
komplikasi yang diakibatkan olehnya, radang paru-paru, keracunan darah,
perawatan di rumah sakit yang memakan waktu jauh lebih lama dari perkiraan
mengakhiri kesukaan Khala Jamila bercerita panjang lebar tentang kesehatannya
sendiri. Mulai saat itu, kesehatan Sang Jenderallah yang selalu dibicarakannya.
Dia bercerita kepada siapa pun yang mau mendengarkan bahwa menurut dokter,
suaminya menderita gagal ginjal. "Tapi, tentu saja mereka belum pernah melihat
ginjal Afghan, ya kan?" celotehnya bangga. Yang paling kuingat dari masa-masa
Sang Jenderal dirawat di rumah sakit adalah saat Khala Jamila menemaninya hingga
dia tertidur, lalu mulai menyanyi untuknya, lagu-lagu yang kuingat dari Kabul,
yang mengudara di tengah gemerisik siaran dari radio tua Baba.
Buruknya kesehatan Sang Jenderaldan waktu juga mencairkan ketegangan antara dia
dan Soraya. Mereka berjalan-jalan bersama, keluar untuk makan siang pada hari
Sabtu dan, kadang-kadang, Sang Jenderal menghadiri beberapa kelas yang diajar
putrinya. Dia duduk di baris belakang, dengan setelan abu-abunya yang usang dan
mengilap, memangku tongkat kayunya, dan tersenyum. Kadang-kadang dia bahkan ikut
mencatat. Malam itu, aku dan Soraya berbaring di ranjang. Dia menyandarkan punggungnya ke
dadaku dan aku membenamkan wajahku ke rambutnya. Aku ingat masa-masa kami
berbaring sambil saling menempelkan kening kami, berciuman dan saling berbisik
tentang lekukan jari-jari kaki mungil, senyuman pertama, kata pertama, langkah
pertama, hingga mata kami terpejam. Kadang-kadang kami masih melakukannya, tapi
kami saling berbisik tentang sekolah, buku baruku, atau busana aneh yang
dikenakan seseorang dalam suatu pesta. Kehidupan percintaan kami masih berjalan
dengan baik, pada waktu-waktu tertentu bahkan sangat baik, tetapi ada saatnya
aku merasa begitu lega setelah kami selesai bercinta, merasa bebas untuk berlalu
dan melupakan, setidaknya untuk sementara, bahwa kami baru saja menyelesaikan
suatu kegiatan yang sia-sia. Soraya tidak pernah mengatakannya, tapi aku tahu
bahwa terkadang dia pun merasakannya. Pada malam-malam seperti itu, kami akan
berguling ke sisi ranjang kami dan membiarkan penyelamat kami membawa kami
pergi. Penyelamat Soraya adalah tidur. Penyelamatku, selalu, adalah buku.
Malam setelah Rahim Khan menelepon, aku berbaring dalam kegelapan dan menatap
garis-garis perak yang berjajar di dinding, sinar bulan yang menerobos masuk
melewati kerai. Akhirnya, mungkin beberapa saat sebelum fajar menyingsing, aku
jatuh tertidur. Dalam mimpiku, Hassan sedang berlari melintasi hamparan salju,
menyeret bagian belakang chapan hijaunya, menggilas salju dengan sepatu
bot karet hitamnya. Dia berpaling dan berteriak Untukmu, kesehbu kalinya!
Seminggu kemudian, aku duduk di dekat jendela di dalam pesawat dari maskapai
Pakistani International Airlines, memerhatikan dua orang petugas bandara
berseragam melepaskan penahan roda-rodanya. Pesawat itu melesat menjauhi
terminal dan, seketika, kami mengudara, menerobos gumpalan-gumpalan awan.
kusandarkan kepalaku ke jendela. Menunggu, dengan sia-sia, untuk tertidur.
Lima Belas Tiga jam setelah pesawatku mendarat di
Peshawar, aku duduk di jok belakang dengan busa terburai dalam sebuah taksi
penuh asap. Sopir taksi itu, seorang pria kecil berkeringat yang memperkenalkan
dirinya dengan nama Gholam, terus-menerus merokok, mengemudi dengan ceroboh dan
tanpa perhitungan, menghindari tabrakan hanya sesaat sebelum terjadi, dan
semuanya itu dia lakukan tanpa berhenti bicara.
"... buruk sekali yang terjadi di negara Anda, yar. Saya beritahu, penduduk
Afghani dan penduduk Pakistani bagaikan saudara saja. Sesama Muslim harus saling
menolong, jadi Alih-alih mendengarkan omongannya, aku mem berikan anggukan sopan padanya. Aku
masih mengingat Peshawar dengan baik dari beberapa bulan yang kuhabiskan di kota
itu bersama Baba pada tahun 1981. Saat ini kami melaju ke barat menyusuri jalan
Jamrud, melewati Cantonment dan rumah-rumah mewah berpagar tinggi. Keramaian
kota yang kulalui mengingatkanku pada Kabul terutama pada Kocheh Morga, atau
Pasar Ayam, tempat aku dan Hassan biasa membeli kentang
celup saus dan air ceri hanya saja, kota ini lebih sibuk dan padat. Jalan-
jalannya dipenuhi oleh pengendara sepeda, pejalan kaki, dan angkutan umum beroda
tiga yang mengepulkan asap biru, semuanya menerobos labirin gang-gang dan jalan-
jalan sempit. Dalam deretan kios-kios kecil yang padat berisi, para pedagang
berjanggut dengan selimut tipis tersampir di bahu menjajakan kap-kap lampu dari
kulit binatang, karpet, syal-syal berbordir, dan kerajinan perunggu. Suara
memekakkan memberi kehidupan pada kota itu; dalam telingaku, teriakan para
pedagang berbaur dengan gegap gempita musik India, ledakan knalpot angkutan
umum, dan gemerincing lonceng kuda penarik gerobak. Bau-bauan tajam yang
menggelayuti udara, yang sedap dan yang tidak begitu sedap, memancingku untuk
melongokkan kepala dari jendela penumpang. Aroma pedas pakora dan nihari yang
sangat digemari Baba berpadu dengan aroma asap mesin diesel yang menyengat, bau
busuk, sampah, dan kotoran manusia.
Tidak jauh dari bangunan bata merah Peshawar University, kami memasuki wilayah
yang oleh sopir-ku yang terlalu banyak omong disebut "Kota Afghan." Aku melihat
deretan toko yang menjual gula-gula dan karpet, kios-kios yang menjual kebab,
anak-anak kecil dengan tangan berlumuran lumpur yang menjual rokok, restoran-
restoran kecil dengan peta Afghanistan tergambar di jendela-jendelanya semuanya,
secara terselubung, bertindak sebagai agen penyalur pertolongan. "Banyak dari
saudara Anda tinggal di wilayah ini, yar. Beberapa dari mereka membuka usaha, tapi
kebanyakan sangat miskin." Dia mendecakkan lidahnya dan menghela napas. "Omong-
omong, kita sudah dekat sekarang."
Aku memikirkan saat terakhir kali aku berjumpa dengan Rahim Khan, pada 1981. Dia
datang untuk mengucapkan selamat jalan pada malam saat aku dan Baba melarikan
diri dari Kabul. Aku ingat saat Baba berpelukan dengannya di ruang depan,
keduanya menangis lirih. Saat kami tinggal di AS, Baba dan Rahim Khan masih
terus saling berkomunikasi. Mereka bertukar cerita empat atau lima kali dalam
setahun dan, kadang-kadang, Baba akan memberikan gagang telepon padaku. Terakhir
kali aku berbicara dengan Rahim Khan adalah beberapa saat setelah Baba
meninggal. Ketika kabar buruk itu mencapai Kabul, Rahim Khan menelpon. Kami
hanya berbicara selama beberapa menit dan sambungan itu terputus.
Sopir itu menghentikan mobilnya di dekat sebuah bangunan sempit yang terletak
pada sudut yang sibuk di persimpangan antara dua ruas jalan. Aku membayarnya,
mengambil satu-satunya koper yang kubawa, dan berjalan menuju pintu yang
berukiran rumit. Bangunan itu memiliki balkon-balkon bersusuran kayu dengan
pintu-pintu yang terbuka lebar-banyak di antara penghuni tempat itu menjemur
cuciannya di sana. Aku menaiki anak tangga yang berderak menuju lantai dua,
melewati lorong yang suram menuju pintu terakhir di sebelah kanan. Sekali lagi
aku memeriksa alamat yang
tertulis pada selembar kertas dalam genggamanku. Aku mengetuknya.
Lalu, sesosok makhluk yang terdiri atas kulit dan tulang, yang berpura-pura
menjadi Rahim Khan, membuka pintu itu.
* Seorang dosen mata kuliah Menulis Kreatif di San Jose State sering memberi
nasihat mengenai klise: "Hindari klise, seperti kau menghindari penyakit
menular." Lalu dia menertawakan leluconnya sendiri. Seisi kelas akan ikut
tertawa bersamanya, tapi aku selalu menganggap bahwa klise telah menuai
prasangka yang salah. Padahal klise justru menawarkan keakuratan. Saat yang
tepat untuk mengatakan ungkapan klise telah tertutup oleh sifat klise ungkapan
itu. Contohnya, ungkapan "ada gajah dalam ruangan." Tak ada ungkapan lain yang
bisa menggambarkan dengan lebih tepat pertemuan pertamaku dengan Rahim Khan
setelah sekian lama, selain bahwa kami bersama seekor gajah dalam ruangan itu.
Kami duduk di atas matras tipis yang diletakkan di dekat dinding, menghadap ke
jendela yang memperlihatkan kekacauan jalanan di bawah. Sinar matahari menerobos


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk dan membentuk berkas segitiga pada karpet Afghan yang terhampar di lantai.
Dua kursi lipat tersandar pada salah satu sisi tembok dan sebuah cerek perunggu
kecil diletakkan di sudut yang lain. Aku menuang teh dari cerek itu.
"Bagaimana kau menemukanku?" tanyaku.
"Tidak sulit menemukan seseorang di Amerika. Aku membeli peta Amerika Serikat
dan mencari informasi tentang kota-kota yang terletak di California Utara,"
katanya. "Sungguh mengherankan melihatmu telah menjadi pria dewasa."
Aku tersenyum dan memasukkan tiga bongkah gula ke dalam tehku. Aku masih ingat,
Rahim Khan lebih suka tehnya hitam dan pahit. "Baba tidak sempat memberitahumu
bahwa aku telah menikah lima belas tahun yang lalu." Kenyataannya, pada saat
itu, penyakit kanker yang telah menyebar ke otak Baba membuatnya pikun.
"Kau sudah menikah" Dengan siapa?"
"Namanya Soraya Taheri." Aku memikirkan Soraya yang berada di rumah,
mengkhawatirkan diriku. Aku lega karena dia tidak tinggal sendirian.
"Taheri ... siapa ayahnya?" Aku memberitahunya. Matanya berbinar. "Oh, ya,
sekarang aku ingat. Bukankah Jenderal Taheri menikah dengan adik perempuan
Sharif jan" Siapa namanya ...."
"Jamila jan." "Baiay!" dia tersenyum. "Aku mengenal Sharif jan saat di Kabul, sudah lama
sekali, sebelum dia pindah ke Amerika."
"Dia sudah bertahun-tahun bekerja di INS, menangani banyak kasus-kasus Afghan."
"Haiiii," dia menghela nafas. "Kau dan Soraya sudah punya anak?"
"Tidak." "Oh." Dia menyesap tehnya dan berhenti bertanya; Rahim Khan selalu menjadi salah
satu orang paling tahu diri yang pernah kukenal.
Aku bercerita banyak tentang Baba pada Rahim Khan, tentang pekerjaannya, tentang
pasar loak, dan bagaimana, pada akhirnya, dia meninggal dalam kebahagiaan. Aku
bercerita padanya tentang pendidikanku dan buku bukuku empat novelku telah
diteribitkan. Dia tersenyum saat mendengar ceritaku, mengatakan bahwa dia tak
pernah sedikit pun meragukanku. Aku bercerita padanya bahwa aku menulis cerita-
cerita pendekku dalam buku bersampul kulit yang dihadiahkan olehnya, namun dia
tidak mengingat buku itu.
Mau tak mau, kami membicarakan tentang Taliban.
"Apakah keadaannya seburuk yang kudengar?" tanyaku.
"Tidak, lebih buruk. Jauh lebih buruk," katanya. "Mereka tidak memperlakukan
manusia secara manusiawi." Dia menunjuk bekas luka di atas mata kanannya yang
membelah alis tebalnya. "Aku sedang menonton pertandingan sepak bola di Stadion
Ghazi pada 1998. Para pemainnya tidak diizinkan mengenakan celana pendek, tentu
saja, mereka menganggapnya tidak senonoh, kurasa." Dia tertawa getir. "Omong-
omong, Kabul mencetak gol dan pria di sebelahku bersorak dengan keras. Tiba-
tiba, anak muda berjanggut yang berpatroli di sela-sela barisan kursi dari
penampilannya, sepertinya dia baru berumur 18 tahun berjalan mendekatiku dan
menghantamkan popor Kalash-nikovnya ke keningku. 'Kalau sekali lagi kamu
berteriak-teriak seperti itu, aku akan memotong lidahmu, dasar keledai tua!1
katanya." Tangan keriput Rahim Khan mengusap-usap bekas luka di keningnya. "Aku
cukup tua untuk menjadi kakeknya dan yang bisa kulakukan hanya duduk di sana,
dengan wajah bersimbah darah, memohon ampun pada bangsat itu."
Aku kembali menuang teh untuknya. Rahim Khan meneruskan ceritanya. Banyak di
antaranya pernah kudengar, namun beberapa hal belum pernah kudengar sama sekali.
Dia memberitahuku bahwa, seperti yang telah dia sepakati bersama Baba, dia
menempati rumah kami sejak 1981 aku tahu tentang ini. Baba telah "menjual" rumah
itu kepada Rahim Khan beberapa saat sebelum kami meninggalkan Kabul. Saat itu,
Baba merasa yakin bahwa rentetan masalah yang menimpa Afghanistan hanyalah
selingan sesaat atas kebiasaan hidup kami hari-hari berpesta di Wazir Akbar Khan
dan piknik di Paghman akan segera kembali. Jadi, Baba meminta Rahim Khan untuk
menjaga rumahnya hingga hari itu tiba.
Rahim Khan menceritakan padaku situasi saat Northern AHiance-Sekutu Utara
menduduki Kabul antara tahun 1992 hingga 1996. Berbagai faksi mengklaim berbagai
wilayah di Kabul. "Kalau kau pergi dari distrik Shar-e-Nau ke Kerteh Parwan
untuk membeli karpet, kau berisiko terkena bidikan
penembak gelap atau meledak karena tertimpa roket itu pun kalau kau berhasil
melewati semua pos pemeriksaan yang tersebar di sepanjang jalan. Kau hampir-
hampir butuh visa hanya untuk pergi ke lingkungan yang lain. Jadi, orang-orang
lebih suka tinggal di rumah, berdoa supaya roket selanjutnya tidak menjatuhi
rumah mereka." Dia menceritakan bagaimana para penduduk melubangi dinding-
dinding rumah mereka dan menggali lorong dalam tanah untuk bepergian ke blok
lain supaya mereka tidak perlu melewati jalanan yang berbahaya. Dengan kata
lain, warga Kabul bergerak di bawah tanah.
"Kenapa kau tidak pergi saja?" tanyaku.
"Kabul adalah rumahku. Sampai sekarang pun masih begitu." Rahim Khan tertawa
pahit. "Ingat jalan dari rumahmu menuju Qishia, barak militer di dekat Sekolah
Istiqlal?" "Ya." Itu adalah jalan pintas menuju sekolah. Aku ingat saat aku dan Hassan
melewatinya dan para prajurit mengolok-olok Hassan tentang ibunya. Hassan
menangis di dalam gedung bioskop, dan aku memeluknya.
"Saat Taliban masuk dan menendang pasukan Sekutu dari Kabul, aku benar-benar
menari di jalan itu," Rahim Khan berkisah. "Dan percayalah, aku bukan satu-
satunya orang yang melakukannya. Orang-orang merayakannya di Chaman, di Deh
Mazang, menyapa prajurit-prajurit Taliban yang lalu-lalang di jalanan, memanjat
tank mereka dan berfoto bersama mereka. Penduduk Afghanistan
telah letih menghadapi pertempuran yang terus berlangsung, lelah menghadapi
roket, ledakan senjata, ledakan bom, dan juga muak menyaksikan Gulbuddin dan
antek-anteknya menembaki apa pun yang bergerak. Pasukan Sekutu menimbulkan
kerusakan lebih besar di Kabul daripada Shorawi. Mereka menghancurkan panti
asuhan ayahmu, kau tahu itu?"
"Mengapa?" tanyaku. "Untuk apa mereka menghancurkan panti asuhan?" aku ingat
saat aku duduk di belakang Baba pada hari pembukaan panti asuhan itu. Angin
menerbangkan topi caracui Baba dan semua orang tertawa, lalu berdiri dan
bertepuk tangan saat Baba menyelesaikan sambutannya. Dan sekarang, yang tersisa
dari bangunan itu hanyalah puing-puing. Seluruh uang yang telah Baba gunakan,
malam-malam yang dihabiskannya dengan meneteskan keringat di atas cetak biru,
kunjungan-kunjungan ke lokasi pembangunan untuk memastikan bahwa setiap bongkah
batu bata, setiap bilah kayu, dan setiap blok beton ditempatkan dengan benar....
"Kerusakan sampingan," kata Rahim Khan. "Kau tidak perlu tahu rasanya, Amir jan,
memeriksa reruntuhan panti asuhan itu dan menemukan bagian-bagian tubuh anak-
anak "Jadi saat Taliban datang
"Mereka dianggap pahlawan," Rahim Khan menyelesaikan ucapanku.
"Akhirnya kedamaian datang."
"Ya, harapan memang aneh. Akhirnya kedamaian datang. Tapi berapa harga yang
harus dibayar?" Serangan batuk yang hebat memotong ucapan Rahim Khan dan
mengguncang tubuhnya. Saat dia menurunkan saputangannya, noda merah membasahi
kain itu. Aku menganggap bahwa sekaranglah saat yang paling tepat untuk
mengetengahkan gajah berkeringat yang bergabung bersama kami dalam ruangan
sempit itu. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku. "Maksudku, bagaimana keadaanmu yang sebenarnya?"
"Aku sekarat, sebenarnya," dia berkata dalam suara serak, lalu kembali terbatuk-
batuk. Darah kembali menodai saputangannya. Dia menyeka mulutnya, mengusap
alisnya yang berkeringat satu demi satu dengan lengan kemejanya, dan melirikku
sekilas. Saat dia menganggukkan kepalanya, aku tahu bahwa dia telah membaca
pertanyaan yang tersirat di wajahku. "Tidak akan lama lagi," katanya lirih.
"Berapa lama?" Dia mengangkat bahu. Terbatuk lagi. "Sepertinya, aku tidak akan menyaksikan
akhir musim panas ini," katanya.
"Izinkan aku membawamu pulang bersamaku. Aku bisa mencarikan dokter yang bagus
untukmu. Mereka menemukan hal-hal baru dalam bidang pengobatan setiap waktu. Ada
obat-obatan baru dan perawatan uji coba, kita bisa memasukkanmu dalam salah satu
program itu Aku tahu bahwa aku terlalu banyak bicara. Itu lebih baik daripada
menangis, namun aku tetap saja ingin menangis.
Rahim Khan tertawa, memamerkan gusi bahwa-nya yang ompong. Bahkan suara tawanya
adalah tawa terletih yang pernah kudengar. "Kulihat Amerika telah menyuntikkan
padamu optimisme yang membuat negara itu menjadi sehebat sekarang. Itu sangat
bagus. Kita, bangsa Afghan, adalah orang-orang yang melankolis, bukankah begitu"
Seringkah, kita berkubang terlalu lama dalam ghamkhori dan mengasihani diri
sendiri. Kita begitu mudah menyerah terhadap kehilangan, penderitaan,
menerimanya sebagai bagian dalam kehidupan, bahkan menganggapnya sebagai
kebutuhan. Zendagi migzara, itulah yang kita katakan, kehidupan terus berjalan.
Tapi, saat ini aku tidak sedang menyerah pada nasib, aku bersikap realistis. Aku
telah menemui beberapa dokter yang bagus di sini dan mereka semua telah
memberikan jawaban yang sama. Aku memercayai dan meyakini mereka. Kehendak Tuhan
memang ada." "Yang ada hanyalah yang kaulakukan dan yang tidak kaulakukan," kataku.
Rahim Khan tertawa. "Yang baru kaukatakan itu terdengar seperti ucapan ayahmu.
Aku sangat merindukannya. Tapi ini memang kehendak Tuhan, Amir jan. Memang
begitulah keadaannya." Dia terdiam. "Lagipula, aku punya alasan lain untuk
memintamu datang kemari. Aku ingin bertemu denganmu sebelum waktuku habis, ya,
tapi ada juga hal lainnya."
"Katakanlah." "Kau tahu, sepanjang tahun setelah kalian pergi, aku menempati rumah ayahmu?"
"Ya." "Aku tidak tinggal sendirian di sana sepanjang waktu itu. Hassan tinggal di sana
bersamaku." "Hassan," ujarku. Kapankah terakhir kalinya aku menyebutkan nama itu" Sekali
lagi, rasa bersalah yang sudah begitu lama tersimpan menyayatku bagaikan kawat
berduri, seolah-olah mengucapkan namanya membebaskan kutukan yang akan kembali
menyiksa-ku. Seketika itu, udara dalam ruangan sempit tempat tinggal Rahim Khan
terasa begitu menyesakkan, terlalu panas, terlalu tajam dengan aroma jalanan.
"Aku berpikir untuk menyuratimu dan memberitahumu sebelumnya, tapi aku tidak
yakin bahwa kau ingin mengetahuinya. Salahkah aku?"
Jawaban yang jujur adalah tidak. Yang tidak jujur adalah ya. Aku memilih untuk
mengambil jalur tengah. "Aku tak tahu."
Rahim Khan terbatuk dan setitik darah kembali menodai saputangannya. Saat dia
menundukkan kepalanya untuk meludah, aku melihat luka bernanah di kulit
kepalanya. "Aku membawamu kemari karena aku akan memintamu untuk melakukan
sesuatu. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku. Tapi sebelum aku mengatakan
keinginanku padamu, aku ingin memberitahukan padamu tentang Hassan. Kau
mengerti?" "Ya," gumamku. "Aku ingin menceritakan padamu tentang dirinya. Aku ingin menceritakan segalanya
padamu. Kau mau mendengarkan?" Aku mengangguk.
Lalu Rahim Khan menghirup tehnya. Meny darkan kepalanya ke tembok dan mulai
bercerita. Enam Belas a banyak alasan yang mendorongku pergi ke
Hazarajat untuk mencari Hassan pada 1986. Alasan terkuat, semoga Allah
mengampuniku, adalah karena aku kesepian. Pada saat itu, hampir semua teman dan
kerabatku telah terbunuh atau melarikan diri ke Pakistan atau Iran. Hampir tak
ada lagi orang yang kukenal yang tetap tinggal di Kabul, kota tempatku menjalani
seluruh hidupku. Semua orang telah pergi. Aku berjalan-jalan ke distrik Karteh
Parwan dulunya tempat penjual melon biasa berkumpul, kau ingat" dan tidak ada
seorang pun yang kukenal di sana. Tak ada seorang pun yang bisa kusapa, tak ada
seorang pun yang mau menemaniku duduk bersantai sambil menikmati chai, tak ada
seorang pun untuk berbagi cerita, yang ada hanyalah serdadu-serdadu Roussi yang
berpatroli di jalanan. Aku menghabiskan hari-hariku di rumah ayahmu, di ruang
kerjanya, membaca buku-buku koleksi ibumu, mendengarkan berita, menonton
propaganda komunis di televisi. Lalu aku akan menunaikan shalat, memasak
sesuatu, makan, kembali membaca, kembali menunaikan shalat, dan pergi tidur. Aku
akan terbangun keesokan paginya,
shalat, dan mengulangi hal yang sama.
Dan penyakit tulangku membuatku semakin kesulitan mengurus rumah itu. Lutut dan
punggungku selalu terasa nyeri saat terbangun di pagi hari, aku membutuhkan
waktu sedikitnya satu jam untuk melemaskan persendianku, terutama pada musim
dingin. Aku tak ingin membiarkan rumah ayahmu membusuk; kita semua melalui saat-
saat yang menyenangkan dalam rumah itu, begitu banyak kenangan, Amir jan.
Membiarkannya tidak terawat bukanlah hal yang benar ayahmu merancang rumah itu
sendiri; rumah itu sangat berarti baginya, lagi pula, saat kalian akan berangkat
ke Pakistan, aku telah berjanji padanya untuk mengurus rumah itu. Lalu, hanya
tinggal aku dan rumah itu ... aku berusaha sebaik yang kumampu. Sebisa mungkin aku
menyirami pepohonan di halaman setiap beberapa hari, memotong rumput, merawat
tanaman bunga, memperbaiki apa pun yang harus diperbaiki, tapi, meski begitu,
aku bukan lagi seorang pria muda.
Tetap saja, aku masih bisa melakukannya. Setidaknya untuk beberapa saat lagi.
Namun ketika aku mendengar berita kematian ayahmu ... untuk pertama kalinya, aku
merasakan kesepian yang amat sangat dalam rumah itu. Kekosongan yang tak
tertahankan. Jadi, suatu hari, aku mengisi bahan bakar Buick ayahmu dan mengemudi ke
Hazarajat. Aku masih ingat, setelah Ali memutuskan untuk pergi dari rumah itu,
ayahmu mengatakan padaku bahwa Ali
dan Hassan pindah ke sebuah desa kecil di dekat Bamiyan. Seingatku, Ali punya
sepupu yang tinggal di sana. Aku tidak tahu apakah Hassan masih ada di sana,
adakah yang mengenalnya, atau yang mengetahui tempat tinggalnya. Lagi pula,
telah sepuluh tahun berlalu sejak Ali dan Hassan meninggalkan rumah ayahmu. Pada
1986, Hassan pasti telah menjadi seorang pria dewasa, 22 atau 23 tahun. Aku tak
tahu apakah dia masih hidup atau tidak, karena Shorawi, semoga yang mereka
lakukan terhadap '. /atari kita membuat mereka membusuk di neraka, telah ?membunuh begitu banyak pria muda di negara kita. Aku tidak perlu memberitahumu
tentang hal ini. Tapi, berkat rahmat Allah, aku menemukannya di sana. Aku tidak perlu susah-susah
mencarinya hanya mengajukan sedikit pertanyaan di Bamiyan dan orang-orang
langsung memberitahuku arah menuju desa tempat tinggalnya. Aku bahkan tidak
ingat nama desa itu, atau barangkali desa itu memang tak punya nama. Tapi aku
masih ingat bahwa saat itu ada-lah siang hari di musim panas. Udara sangat panas
dan aku mengemudi di sepanjang jalan yang berdebu, tanpa ada apa pun di sisi-
sisi jalan kecuali semak-semak yang hangus terpanggang matahari, cabang-cabang
pohon yang meranggas, dan rerumputan kering dengan warna sepucat jerami. Aku
melewati bangkai keledai yang membusuk di pinggir jalan. Lalu aku berbelok di
salah satu tikungan dan, tepat di tengah-tengah tanah yang gersang itu, aku
melihat sekumpulan rumah tanah liat. Setelah itu, sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah
langit yang luas dan lekak-lekuk pegunungan di kejauhan.
Orang-orang di Bamiyan mengatakan padaku bahwa aku akan menemukannya dengan
mudah dia tinggal di satu-satunya rumah dengan kebun bertembok di desa itu.
Tembok itu, rendah dan berlubang lubang, mengelilingi rumah mungil itu
sebenarnya rumah itu tidak lebih dari sekadar pondok yang nyaman. Anak-anak
bermain di jalanan tanpa mengenakan alas kaki, memukul-mukul bola tenis usang
dengan sebatang tongkat, dan mereka menatapku saat aku berhenti dan mematikan
mesin mobil. Aku mengetuk pintu pagar dan memasuki halaman yang hanya diisi
dengan sepetak tanaman stroberi dan sebatang pohon lemon yang kekeringan. Sebuah
tandoor diletakkan di sudut halaman, dalam bayangan pohon akasia, dan aku
melihat seorang pria berjongkok di dekatnya. Dia sedang menambal tembok di dekat
tandoor itu dengan adonan lempung. Saat melihatku, dia menjatuhkan adonan itu.
Aku harus menghentikannya menciumi tanganku.
"Biarkan aku melihatmu," kataku. Dia melangkah menjauh. Dia sangat jangkung
meskipun berjinjit, aku hanya setinggi dagunya. Matahari Bamiyan telah
menguatkan dan mewarnai kulitnya jauh lebih gelap dari yang kuingat, dan dia
telah kehilangan beberapa gigi depannya. Sedikit janggut menghiasi dagunya.
Selain itu, semuanya masih sama; mata sipit berwarna hijau, bekas luka di bibir
atas, wajah bundar, dan senyum yang ramah. Kau akan dengan mudah mengenalinya, Amir jan. Aku
yakin itu. Kami memasuki rumah. Seorang wanita Haza-ra muda berkulit cerah sedang menjahit
syal di sudut ruangan itu. Jelas terlihat bahwa dia sedang menanti kehadiran
seorang bayi. "Ini istri saya, Rahim Khan," kata Hassan dengan bangga. "Namanya
Farzana jan." Dia wanita yang pemalu, sangat menjaga kesopanannya, sampai-sampai
saat berbicara pun dia berbisik, dan dia selalu menghindarkan tatapan mata
cokelatnya dari tatapanku. Tapi caranya memandang Hassan, seolah-olah suaminya
itu duduk di atas singgasana di Arg.
"Kapan bayi itu lahir?" tanyaku setelah kami semua duduk di sekeliling ruangan
dalam rumah tanah liat itu. Tidak ada perabot apa pun dalam ruangan itu, hanya


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada sehelai karpet usang, beberapa buah piring, sepasang matras, dan sebuah
lentera. "Insya Allah, musim dingin ini," jawab Hassan. "Saya berdoa supaya bayi itu
terlahir laki-laki untuk meneruskan nama ayah saya."
"Omong-omong tentang Ali, di manakah dia?"
Hassan menundukkan kepalanya. Dia mengatakan padaku bahwa Ali dan sepupunya
pemilik rumah itu terbunuh oleh ranjau darat di luar kota Bamiyan dua tahun
sebelumnya. Ranjau darat. Adakah cara untuk mati yang lebih bersifat Afghan,
Amir jan" Dan untuk beberapa alasan gila, aku menjadi sangat yakin bahwa
penyebabnya adalah kaki kanan Ali kakinya yang terpilin gara-gara polio
yang akhirnya mengkhianatinya dengan menginjak ranjau darat itu. Aku sangat
bersedih mendengar kematian Ali. Aku dan ayahmu tumbuh besar bersama, seperti
yang kautahu, dan Ali selalu bersamanya, sepanjang ingatanku. Aku ingat saat
kami semua masih kanak-kanak, saat Ali terkena polio dan hampir meninggal.
Sepanjang hari ayahmu berjalan mengitari rumah dan menangis.
Farzana menghidangkan shorwa yang disajikan dengan kacang, lobak, dan kentang
untuk kami. Kami mencuci tangan kami dan mencelupkan naan, yang baru diangkat
dari tandoor, ke shorwa hidangan itu adalah santapan terlezat bagiku setelah
berbulan bulan. Saat itulah aku meminta Hassan untuk kembali ke Kabul bersamaku.
Aku memberitahunya tentang keadaan rumah itu, bahwa aku tidak mampu lagi
mengurusnya sendirian. Aku mengatakan padanya bahwa aku akan membayarnya dengan
layak, bahwa dia dan khanumnya akan hidup dengan nyaman. Mereka saling menatap
tanpa berkata-kata. Lalu, setelah kami mencuci tangan dan Farzana menghidangkan
buah anggur, Hassan mengatakan bahwa kini, desa itu adalah rumahnya; dia dan
Farzana telah membangun kehidupan di sana.
"Dan Bamiyan sangat dekat dari sini. Kami mengenal banyak orang di sana. Maafkan
saya, Rahim Khan. Saya berdoa semoga Anda mengerti."
"Tentu saja," kataku. "Kau tidak perlu meminta maaf. Aku mengerti."
Saat kami menikmati teh setelah menyantap
shorwa, Hassan menanyakan tentangmu. Aku memberitahukannya bahwa kau tinggal di
Amerika, tapi hanya itu yang kutahu. Hassan menanyakan begitu banyak hal
tentangmu. Sudahkah kau menikah" Apa kau punya anak" Setinggi apa dirimu" Apa
kau masih suka menerbangkan layang-layang dan pergi ke bioskop" Apa kau bahagia"
Dia bercerita bahwa dia berteman dengan seorang guru tua yang mengajar bahasa
Farsi di Bamiyan, yang mengajarinya membaca dan menulis. Kalau dia menulis surat
untukmu, maukah aku menyampaikannya padamu" Dan apakah menurutku kau akan
membalasnya" Aku menceritakan segalanya yang kutahu tentangmu, yang kudapat dari
pembicaraan teleponku dengan ayahmu, tapi aku tak tahu jawaban dari sebagian
besar pertanyaannya. Lalu dia bertanya tentang ayahmu. Saat aku
memberitahukannya, Hassan membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan
tangisnya pun pecah. Sepanjang malam itu, dia terisak-isak seperti seorang anak
kecil. Mereka memaksaku untuk menginap di sana. Farzana menyiapkan sebuah ranjang
darurat untukku dan menyediakan segelas air sumur untuk berjaga-jaga jika aku
kehausan. Sepanjang malam, aku mendengarnya berbisik pada Hassan yang masih
terisak. Paginya, Hassan mengatakan padaku bahwa dia dan Farzana telah memutuskan untuk
ikut denganku ke Kabul. "Tidak seharusnya aku datang kemari," ujarku.
"Kau benar, Hassan jan. Kau punya zendagi, kehidupan di sini. Sungguh tidak
pantas tindakanku, tiba-tiba muncul di rumahmu dan memintamu meninggalkan
segalanya. Untuk itu, aku memohon maafmu."
"Tidak sebanyak itu yang kami tinggalkan di sini, Rahim Khan," kata Hassan.
Matanya masih merah dan sembap. "Kami akan ikut bersama Anda. Kami akan membantu
Anda mengurus rumah itu."
"Apa kau benar-benar yakin?"
Dia mengangguk dan menundukkan kepala. "Agha sahib sudah seperti ayah kedua saya
.... Semoga Tuhan memberinya kedamaian."
Mereka menimbun barang-barang yang mereka miliki di tengah beberapa karpet usang
dan mengikat ujung-ujungnya. Kami memasukkan buntalan-buntalan itu ke dalam
Buick. Hassan berdiri di ambang pintu rumahnya dan memegang Al-Quran saat kami
semua mencium kitab itu dan berjalan di bawahnya. Kami pun menuju Kabul. Aku
masih ingat, saat kami berlalu, Hassan menyempatkan diri untuk menengok rumahnya
untuk yang terakhir kalinya.
Saat kami tiba di Kabul, aku baru tahu bahwa Hassan sama sekali tidak
berkeinginan untuk tinggal di dalam rumah. "Tapi semua kamar itu kosong, Hassan
jan. Tak ada seorang pun yang akan menghuninya," bujukku.
Tapi dia bersikeras. Katanya, ini adalah masalah ihtiram, masalah kehormatan.
Dia dan Farzana memindahkan barang-barang mereka ke pondok di
halaman belakang, tempatnya dilahirkan. Aku memohon kepada mereka untuk
menempati salah satu kamar tamu di lantai atas, namun Hassan tak mau mendengar
perkataanku. "Apa yang akan dipikirkan Amir agha?" katanya padaku. "Apa yang
akan dipikirkannya saat dia kembali ke Kabul setelah perang usai dan men-
dapatiku tinggal di dalam rumahnya?" Lalu, sebagai tanda berkabung atas
meninggalnya ayahmu, Hassan mengenakan pakaian hitam selama 40 hari berturut-
turut. Meskipun aku tidak menginginkannya, keduanya mengambil alih semua pekerjaan
rumah tangga. Mereka memasak dan membersihkan rumah. Hassan merawat bunga-
bungaan di taman, menyiramnya, memotong dedaunan yang telah menguning, dan
menanam rumpun-rumpun mawar. Dia mengecat tembok rumah. Dia pun menyapu lantai
kamar-kamar yang tidak lagi ditempati selama bertahun-tahun dan membersihkan
kamar mandi yang tak pernah lagi digunakan. Seakan-akan dia mempersiapkan rumah
itu untuk menyambut kembalinya seseorang. Kau ingat tembok di balik barisan
pohon jagung yang ditanam ayahmu, Amir jan" Bagaimana kau dan Hassan
menyebutnya, "Dinding Jagung Merana?" Pada tengah malam di awal musim gugur itu,
sebuah roket menghancurkan seluruh tembok itu. Hassan membangunnya kembali
dengan tangannya sendiri, sebongkah bata demi sebongkah bata, hingga akhirnya
tembok itu kembali berdiri. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan seandainya dia
tidak ada di sana. Lalu, pada akhir musim gugur itu, Farzana melahirkan seorang bayi perempuan yang
tak lagi bernyawa. Hassan mencium wajah bayi yang tak mengenal kehidupan itu,
dan kami menguburnya di halaman belakang, di dekat rumpun tanaman sweetbher.
Kami menutupi gundukan kecil itu dengan daun-daun yang berguguran dari pohon-
pohon poplar. Aku memanjatkan doa untuknya. Sepanjang hari Farzana tinggal di
dalam pondok dan meratap sungguh menyakitkan mendengar suara itu, Amir jan,
ratapan seorang ibu. Aku memohon kepada Allah supaya kau tak pernah
mendengarnya. Di luar tembok rumah itu, perang terus berkecamuk. Tapi rumah ayahmu memberikan
perlindungan bagi kami bertiga. Karena penglihatanku mulai berkurang pada akhir
1980-an, aku meminta Hassan membacakan buku-buku ibumu untukku. Kami akan duduk
di ruang depan, di dekat tungku pemanas, dan Hassan akan membacakan untukku
karya-karya Masnawi atau Khayyam, sementara Farzana memasak di dapur. Dan setiap
pagi, Hassan meletakkan setangkai bunga di atas gundukan kecil di dekat rumpun
sweetbher. Pada awal 199D, Farzana kembali mengandung. Pada suatu pagi di pertengahan musim
panas tahun yang sama, seorang wanita dengan tubuh terbungkus burqa biru langit
mengetuk gerbang. Saat aku mendekatinya, aku melihat tubuhnya goyah, seolah-olah
dia terlalu lemah hanya untuk tetap berdiri. Aku menanyakan padanya, apa yang
dia inginkan, tapi dia tidak mau menjawab.
"Siapa kamu?" tanyaku. Dia menjawab pertanyaanku dengan pingsan di jalan masuk.
Aku berteriak memanggil Hassan dan dia menolongku membawa wanita itu ke ruang
tamu. Kami membaringkannya di sofa dan membuka burqanya. Di balik jubah panjang
itu, tersembunyi sesosok wanita ompong dengan rambut kelabu kaku dan lengan
penuh luka. Sepertinya dia sudah tidak makan selama berhari-hari. Tapi yang
terburuk adalah wajahnya. Seseorang telah menorehkan pisau ke wajahnya dan ...
Amir jan, tidak hanya terdapat satu torehan di sana. Torehan yang dalam
melintang dari tulang pipinya sampai ke garis rambutnya, tanpa memedulikan mata
kirinya. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Aku mengusap keningnya dengan kain
basah dan dia membuka matanya. "Di mana Hassan?" bisiknya.
"Saya di sini," kata Hassan. Dia meraih tangan wanita itu dan meremasnya.
Matanya yang masih utuh menatap Hassan. "Aku telah berjalan jauh dan lama untuk
membuktikan sendiri, apakah kau setampan yang kulihat dalam mimpi mimpiku. Dan
ternyata kau memang tampan. Bahkan lebih tampan daripada yang kulihat dalam
mimpiku." Dia menarik tangan Hassan dan mengusapkannya ke wajahnya yang penuh
bekas luka. "Tersenyumlah untukku. Kumohon."
Saat Hassan tersenyum, wanita itu terisak. "Senyummu mirip dengan senyumku,
adakah yang pernah memberitahumu" Dan aku tidak mau memelukmu. Semoga Allah
mengampuniku, aku tidak mau menyentuhmu." Tidak seorang pun yang kukenal pernah melihat Sanaubar sejak dia kabur bersama
rombongan penyanyi dan penari pada 1964, beberapa saat setelah dia melahirkan
Hassan. Kau tidak pernah melihatnya, Amir, tapi saat dia masih muda,
penampilannya sungguh menawan. Dia memiliki lesung pipit yang muncul saat dia
tersenyum dan cara berjalannya membuat para pria tergila-gila. Siapa pun yang
berpapasan dengannya saat melenggang di jalanan, baik pria maupun wanita, akan
berhenti untuk menatapnya. Dan sekarang....
Hassan menarik tangannya dan berlari keluar rumah. Aku mengejarnya, namun dia
terlalu cepat. Aku melihatnya berlari mendaki bukit tempat kalian sering bermain
berdua, debu mengepul seiring jejakan langkahnya. Kubiarkan dia berlalu. Aku
menemani Sanaubar duduk sepanjang hari, hingga langit biru mimpiku. Dan ternyata
kau memang tampan. Bahkan lebih tampan daripada yang kulihat dalam mimpiku." Dia
menarik tangan Hassan dan mengusapkannya ke wajahnya yang penuh bekas luka.
"Tersenyumlah untukku. Kumohon."
Saat Hassan tersenyum, wanita itu terisak. "Senyummu mirip dengan senyumku,
adakah yang per-nah memberitahumu" Dan aku tidak mau memelukmu. Semoga Allah
mengampuniku, aku tidak mau menyentuhmu."
Tidak seorang pun yang kukenal pernah melihat Sanaubar sejak dia kabur bersama
rombongan penyanyi dan penari pada 1964, beberapa saat
setelah dia melahirkan Hassan. Kau tidak pernah melihatnya, Amir, tapi saat dia
masih muda, penampilannya sungguh menawan. Dia memiliki lesung pipit yang mun-
cul saat dia tersenyum dan cara berjalannya membuat para pria tergila-gila.
Siapa pun yang berpapasan dengannya saat melenggang di jalanan, baik pria maupun
wanita, akan berhenti untuk menatapnya. Dan sekarang ....
Hassan menarik tangannya dan berlari keluar rumah. Aku mengejarnya, namun dia
terlalu cepat. Aku melihatnya berlari mendaki bukit tempat kalian sering bermain
berdua, debu mengepul seiring jejakan langkahnya. Kubiarkan dia berlalu. Aku
menemani Sanaubar duduk sepanjang hari, hingga langit biru cerah berubah warna
menjadi lembayung. Hassan belum juga kembali saat malam tiba dan awan di langit
bermandikan cahaya bulan. Sanaubar menangis, berkata bahwa datang kembali ke
rumah itu adalah suatu kesalahan, mungkin kesalahan yang lebih buruk daripada
saat dia meninggalkannya. Tapi aku memaksanya untuk tetap tinggal. Hassan akan
kembali, aku tahu itu. Dia kembali keesokan paginya, terlihat letih dan pucat, sepertinya dia tidak
tidur semalaman. Dengan kedua tangannya, Hassan menggenggam tangan Sanaubar dan
mengatakan pada wanita itu bahwa dia boleh menangis jika dia memang ingin, tapi
dia tidak perlu menangis karena dia diterima di rumahnya. Dia diterima dalam
keluarganya. Hassan mengusap bekas luka di wajah ibunya dan membelai rambutnya.
Hassan dan Farzana merawat Sanaubar hingga kesehatannya pulih. Mereka
menyuapinya dan mencucikan bajunya. Aku menempatkannya di salah satu kamar tamu
di lantai atas. Kadang-kadang, aku melihat melalui jendelaku dan mendapati
Hassan dan ibunya berlutut di halaman, memetik tomat atau menyiangi mawar sambil
bercakap-cakap. Kupikir, mereka mungkin sedang merangkum tahun-tahun kehidupan
yang tidak mereka jalani bersama. Sejauh yang kutahu, Hassan tak pernah
menanyakan kemana ibunya pergi atau mengapa dia pergi dan Sanaubar pun tak
pernah memberitahunya. Mungkin, beberapa kisah memang tak perlu diceritakan.
Sanaubarlah yang menolong kelahiran putra Hassan pada musim dingin 1990. Salju
belum turun, namun angin musim dingin telah mulai berembus di halaman, menerpa
petak-petak bunga dan menggesekkan dedaunan. Sanaubar keluar dari pondok itu
sambil menggendong cucunya yang terbungkus sehelai selimut wol. Dia berdiri,
berseri-seri di bawah langit kelabu, memeluk bayi itu di lengannya, seolah-olah
tak-kan pernah lagi melepasnya. Tidak akan terulang lagi. Dia menyerahkan bayi
itu pada Hassan, dan Hassan menyerahkannya padaku. Aku menyandungkan Ayat kursi
di telinga bayi laki-laki mungil itu.
Sohrab, begitulah mereka menamai bayi itu, seperti pahlawan kesukaan Hassan
dalam kisah Shahnamah, kau tahu itu, Amir jan. Dia anak laki-laki yang tampan,
manis bagaikan gula, dan tindak-tanduknya sama seperti ayahnya. Kau seharusnya melihat cara Sanaubar
merawat bayi itu, Amir jan. Sohrab menjadi pusat kehidupannya. Sanaubar menjahit
baju dan membuat mainan dari sisa-sisa kayu, kain, dan rumput kering untuknya.
Kalau Sohrab terserang demam, Sanaubar terjaga semalam suntuk untuk menjaganya
dan berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Dia memanggang isfand dengan wajan
untuk menolak bala. Saat Sohrab berumur dua tahun, dia mulai memanggil neneknya
dengan sebutan Sasa. Keduanya tak terpisahkan.
Sanaubar meninggal saat Sohrab berumur empat tahun. Pada suatu pagi, dia tidak
terbangun dari tidurnya. Dia terlihat tenang, diselimuti kedamaian, seolah-olah
pada saat itu, kematian tidak lagi ditakutinya. Kami mengubur jasadnya di
kuburan di atas bukit, di dekat pohon delima, dan aku pun memanjatkan doa
untuknya. Kehilangan itu terasa berat bagi Hassan-kehilangan sesuatu yang kita
miliki selalu lebih menyakitkan daripada tidak memiliki sama sekali. Tapi
kehilangan itu lebih terasa berat bagi si kecil Sohrab. Dia berjalan di
sekeliling rumah, mencari Sasa, tapi kau tahu seperti apa anak-anak, mereka
begitu cepat melupakan. Saat itu sekitar tahun 1995-Shorawi telah lama kalah dan meninggalkan Kabul.
Kota itu telah jatuh ke tangan Massoud, Rabbani, dan kelompok Mujahidin.
Perselisihan antar faksi semakin memuncak dan semua orang merasa nyawanya
terancam. Telinga kami menjadi terbiasa mendengar
desingan peluru dan ingar-bingar adu tembak. Mata kami menjadi akrab dengan
pemandangan seseorang yang sedang menggali timbunan puing-puing bangunan untuk
mencari tubuh sanak saudaranya. Pada hari-hari itu, Amir jan, Kabul hampir bisa
disamakan dengan neraka dunia. Tetapi Allah tetap menurunkan rahmat-Nya kepada
kami. Daerah Wazir Akbar Khan tidak banyak mendapat serangan, sehingga kerusakan
yang kami dapatkan tidak sebanyak yang menimpa lingkungan tetangga.
Saat-saat serangan roket sedikit mereda dan adu tembak tidak sebanyak biasanya
dimanfaatkan oleh Hassan untuk membawa Sohrab melihat Marjan si singa di kebun
binatang atau menonton film di gedung bioskop. Hassan mengajarkannya membidik
dengan katapel dan, saat berumur delapan tahun, Sohrab telah sangat ahli
memainkan alat itu: Sambil berdiri di teras, bidikannya bisa tepat mengenai biji
cemara yang diletakkan di atas ember terbalik di seberang halaman. Hassan
mengajarinya membaca dan menulis putranya tidak akan tumbuh tanpa mengenal huruf
seperti dirinya. Aku sendiri semakin hari semakin menyayangi anak itu aku
melihatnya berjalan untuk pertama kalinya dan mendengarnya mengucapkan kata
pertamanya. Aku membeli buku-buku cerita anak-anak untuk Sohrab di toko buku di
sebelah Cinema Park-mereka juga telah menghancurkan tempat itu sekarang dan
begitu aku memberikan buku itu padanya, Sohrab akan langsung membacanya hingga
tuntas. Dia mengingatkanku padamu, kau juga sangat gemar
membaca saat kau sebesar dia, Amir jan. Kadang-kadang, aku membaca untuknya di
malam hari, bermain tebak-tebakan dengannya, mengajarinya trik-trik kartu. Aku
benar-benar merindukannya.
Pada musim dingin, Hassan membawa Sohrab mengejar layang-layang. Turnamen
layang-layang tidak lagi diselenggarakan sesering dulu tak ada seorang pun
merasa aman berada di luar terlalu lama tapi beberapa kali turnamen semacam itu
masih diadakan. Hassan akan memanggul Sohrab di bahunya dan mereka pun berlarian
menyusuri jalanan, mengejar layang-layang putus, memanjat pohon tempat layang-
layang itu tersangkut. Kau ingat bukan, Amir jan, Hassan adalah seorang pengejar
layang-layang yang sangat hebat. Dia masih sehebat dulu. Pada akhir musim
dingin, Hassan dan Sohrab menggantung layang-layang hasil kejaran mereka selama
musim dingin di dinding koridor utama, seperti lukisan saja.
Aku telah menceritakan padamu bagaimana pada 1996 kami semua merayakan
kemenangan Taliban yang akan mengakhiri pertempuran yang terjadi setiap hari.
Saat aku pulang malam itu, aku mendapati Hassan sedang mendengarkan siaran radio
di dapur. Tatapannya nyalang. Aku bertanya padanya jika ada sesuatu yang salah,
dan dia hanya menggelengkan kepala. "Akhirnya Tuhan menolong kaum Hazara, Rahim
Khan sahib," katanya.
"Perang telah berakhir, Hassan," ujarku. "Kedamaian akan datang, Insya Allah,
dan kebahagiaan dan ketenangan. Tidak akan ada lagi roket, kematian, dan
pemakaman!" Tapi yang dilakukannya hanyalah mematikan radio dan menanyakan
padaku jika ada yang kubutuhkan sebelum dia pergi tidur.
Beberapa minggu kemudian, Taliban mengharamkan adu layang-layang. Dan dua tahun
kemudian, pada 1998, mereka membantai secara massal kaum Hazara di Mazar-i-
Sharif.

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tujuh Belas ^^him Khan perlahan-lahan meluruskan kakinya
dan menyandarkan punggungnya pada dinding yang telanjang. Setiap gerakannya
sepertinya menimbulkan tikaman rasa sakit pada tubuhnya. Di luar, seekor keledai
meringkik dan seseorang berteriak dalam bahasa Urdu. Matahari mulai terbenam,
menyemburatkan warna merah di sela-sela bangunan-bangunan tua.
Sekali lagi, besarnya akibat tindakanku pada musim dingin dan musim panas
berpuluh-puluh tahun yang lalu itu menghantamku. Nama-nama itu berdering dalam
kepalaku: Hassan, Sohrab, Ali, Farzana, dan Sanaubar. Mendengarkan Rahim Khan
menyebut nama Ali seperti menemukan kembali kotak musik tua berselimut debu yang
tak pernah dibuka selama bertahun-tahun; lalu musik pun berdenting: Siapa yang
kaumakan hari ini, Babaiu" Siapa yang kaumakan, Babaiu sipit" Aku berusaha
mengingat kembali wajah beku Ali, benar-benar mengingat tatapan matanya yang
memancarkan kedamaian, tapi waktu sungguh serakah kadang-kadang ia mencuri semua
detail tanpa menyisakan apa pun.
"Apa sekarang Hassan masih tinggal di rumah itu?" tanyaku.
Rahim Khan mendekatkan cangkir tehnya ke bibirnya yang pecah-pecah dan menghirup
isinya. Dia mengeluarkan sehelai amplop dari saku rompinya dan menyerahkannya
padaku. "Untukmu." Aku menyobek amplop tertutup itu. Di dalamnya terdapat
sehelai foto Polaroid dan lipatan surat. Cukup lama aku menatap foto itu.
Seorang pria jangkung berdiri bersama seorang anak laki-laki di depan pintu
gerbang besi tempa. Pria itu mengenakan chapan hijau bergaris dan serban putih.
Cahaya matahari jatuh di sisi kiri wajahnya, menimpakan bayangan ke bagian kanan
tubuhnya. Matanya memicing dan senyumnya mengembang, menunjukkan sepasang gigi
depannya yang tanggal. Bahkan hanya dari selembar foto Polaroid kabur itu, aku
bisa melihat bahwa sosok pria berchapan itu memiliki keyakinan diri yang tinggi
dan dapat diandalkan. Itu terlihat dari caranya berdiri; kaki terbuka, tangan
terlipat dengan nyaman di dada, dan kepala sedikit dimiringkan ke arah matahari.
Terlebih dari caranya tersenyum. Siapa pun yang melihat sosok dalam foto itu
akan merasa melihat seorang pria yang menganggap dunia telah membanjirinya
dengan kebaikan. Rahim Khan benar: Aku akan dengan mudah mengenalinya kalau aku
berpapasan dengannya di jalan. Anak laki-laki kecil di sebelahnya berdiri dengan
kaki telanjang, memeluk kaki ayahnya dengan salah satu lengannya dan
menyandarkan kepala botak-nya di pinggulnya.
Dia pun menyeringai dan memincingkan matanya.
Aku membuka lipatan surat itu. Hassan menulisnya dalam bahasa Farsi. Tidak ada
satu titik pun yang terlewatkan, tidak ada coretan, tidak ada kata-kata yang tak
terbaca-tulisan tangan itu serapi tulisan tangan anak-anak yang sedang belajar
menulis indah. Aku mulai membacanya:
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah,
dan Maha Pengampun, Amir agha, hormatku sedalam dalamnya untukmu,
Farzana jan, Sohrab, dan aku selalu berdoa supaya saat surat ini tiba di
tanganmu, kau sehat dan ber-ada di bawah naungan cahaya suci Allah. Tolong
sampaikan ucapan terima kasihku yang terhangat untuk Rahim Khan sahib karena
telah membawa surat ini kepadamu. Aku berharap semoga suatu hari nanti tanganku
akan memegang balasan yang kauberikan untuk surat ini dan membaca tentang
kehidupanmu di Amerika. Mungkin selembar foto dirimu akan menyejukkan mata kami.
Aku telah begitu banyak bercerita tentangmu pada Farzana jan dan Sohrab, tentang
kita berdua yang tumbuh bersama dan kesukaan kita bermain dan berlarian di
jalanan. Mereka selalu tertawa saat aku bercerita tentang kenakalan-kenakalan
kita,' Amir agha, Afghanistan pada masa kecil kita telah lama mati. Tak ada lagi kebaikan di tanah
ini dan kami tidak bisa melarikan diri dari kematian. Pembantaian selalu mengancam. Di
Kabul, ketakutan tercium dimana-mana; di jalanan, di stadion, di pasar,
ketakutan telah menjadi bagian dari hidup kami di sini, Amir agha. Para barbar
yang memegang pemerintahan di w at an kita tidak memedulikan rasa kemanusiaan.
Beberapa hari yang lalu, aku menemani Farzana jan pergi ke pasar untuk membeli
kentang dan naan. Dia menanyakan harga kentang pada seorang pedagang, tapi pria
itu tidak mendengar perkataannya, mungkin telinganya tuli. Jadi Farzana jan
bertanya dengan suara lebih keras dan tiba-tiba seorang Talib yang masih begitu
muda berlari ke arahnya dan memukul paha istriku dengan tongkat kayunya. Dia
memukulnya begitu keras sehingga Farzana jan terjatuh. Dia mengumpat dan
menyumpahi istriku, mengatakan bahwa kementrian Kesusilaan tidak mengizinkan
wanita berbicara dengan suara keras. Selama berhari-hari, memar keunguan
membekas di paha Farzana jan. Tapi apa yang bisa kulakukan kecuali diam dan
menyaksikannya memukul istriku" Kalau aku melawan, anjing itu tidak akan ragu,
bahkan dengan senang hati, menyarangkan peluru-nya ke dalam tubuhku! Lalu apa
yang akan terjadi pada Sohrab" Jalanan sudah penuh dengan anak-anak yatim piatu
kelaparan. Setiap hari aku memanjatkan rasa syukur kepada Allah karena telah
menjaga kehidupanku, bukan karena aku takut menghadapi kematian, namun karena istriku
akan tetap memiliki suami dan anakku tidak akan menjadi yatim piatu.
Aku berharap semoga kau bisa bertemu dengan Sohrab. Dia anak yang baik. Rahim
Khan sahib dan aku mengajarinya membaca dan menulis supaya dia tidak tumbuh
menjadi orang yang bodoh seperti ayahnya. Dan dia begitu pintar menggunakan
katapelnya! Kadang-kadang aku membawa Sohrab berkeliling kota Kabul dan
membelikan permen untuknya. Pertunjukan topeng monyet masih digelar di Shar-e-
Nau. Kalau kami kebetulan melewatinya, aku membayar untuk membuat monyet itu
menari untuk Sohrab. Kau harus melihat bagaimana dia tertawa! Kami berdua sering
berjalan-jalan ke kuburan di atas bukit. Kau ingat bagaimana kita duduk seharian
di bawah pohon delima dan membaca kisah Shahnamah" Musim panas yang
berkepanjangan telah membuat bukit itu kekeringan dan pohon delima itu sudah
tidak berbuah selama bertahun-tahun. Tetap saja, aku dan Sohrab senantiasa duduk
di bawah naungan pohon itu; aku tetap membacakan kisah Shahnamah untuknya. Aku
tidak perlu memberitahumu bahwa bagian kesukaannya adalah Rostam dan Sohrab,
kisah yang menampilkan tokoh dengan nama yang dia sandang. Aku ada/ah seorang
ayah yang sangat bangga dan beruntung.
Amir agha, Rahim Khan sahib sedang sakit Dia terbatuk-batuk sepanjang hari dan aku pernah
melihat noda darah menempel di lengan baju yang dia gunakan untuk mengusap
mulutnya. Berat badannya telah sangat berkurang. Seandainya dia mau menyantap shorwa dan
nasi yang dihidangkan Farzana jan untuknya.... Namun dia hanya akan makan satu
atau dua suap dan kupikir dia hanya melakukannya untuk menghormati Farzana jan.
Aku sangat mencemaskan kesehatannya sehingga setiap hari aku mendoakannya.
Beberapa hari mendatang dia akan pergi ke Pakistan untuk berobat pada beberapa
orang dokter dan, Insya Allah, dia akan kembali dengan membawa kabar gembira.
Tetapi jauh di lubuk hatiku, aku mengkhawatirkannya. Aku dan Farzana jan telah
mengatakan pada si kecil Sohrab bahwa Rahim Khan akan kembali sehat. Apa yang
bisa kami lakukan" Dia baru berumur sepuluh tahun dan dia sangat mengagumi Rahim
Khan sahib. Mereka berdua sangat dekat. Rahim Khan sahib sering mengajaknya
pergi ke pasar dan membelikan balon atau biskuit untuknya. Tapi saat ini dia
terlalu lemah untuk melakukannya.
Akhir-akhir ini aku sering bermimpi, Amir agha. Beberapa di antaranya adalah
mimpi buruk. Aku memimpikan mayat yang tergantung di lapangan bola, membusuk,
darah menetesi rumput di bawahnya. Saat aku terbangun, tubuhku basah oleh keringat dan
napasku terengah-engah. Tapi, yang lebih sering terjadi, aku memimpikan hal-hal
yang baik, dan untuk itu aku bersyukur kepada Allah. Dalam mimpiku, Rahim Khan
kembali sehat. Anakku akan tumbuh menjadi orang yang baik, seorang yang merdeka
dan penting bagi orang lain. Dalam mimpiku, bunga lawla kembali bermekaran di
jalanan kota Kabul, dentingan rubab kembali mengalun di kedai-kedai teh, dan
layang-layang kembali menari di langit. Dan dalam mimpiku, suatu hari nanti kau
akan kembali ke Kabul, mengunjungi tanah tempat kita menjalani masa kecil kita.
Saat kau kembali kau akan menemukan teman lamamu yang setia menanti.
Semoga Allah senantiasa menyertaimu. Hassan
Aku membaca surat itu untuk kedua kalinya. Setelah itu aku melipatnya dan
kembali memandang foto itu. Aku menyimpan keduanya di sakuku. "Bagaimana
kabarnya?" tanyaku. "Surat itu ditulis enam bulan yang lalu, beberapa hari sebelum aku berangkat ke
Peshawar," Rahim Khan menjelaskan. "Aku mengambil foto Polaroid itu sehari
sebelum keberangkatanku. Setelah sebulan berada di Peshawar, seorang tetangga di
Kabul meneleponku. Dia menyampaikan berita ini: Beberapa saat setelah aku pergi,
beredar desas-desus tentang keluarga Hazara yang tinggal sendirian dalam sebuah rumah
mewah di Wazir Akbar Khan, setidaknya itulah yang diklaim oleh Taliban. Dua
orang petugas Talib mendatangi rumah itu untuk menyelidiki dan menanyai Hassan.
Saat Hassan mengatakan bahwa dia tinggal di rumah itu bersamaku, mereka
menuduhnya mengatakan kebohongan. Mereka tetap tak peduli meskipun para
tetangga, salah satunya adalah pria yang menel-ponku, mendukung Hassan. Para
Talib menyebut Hassan penipu dan pencuri seperti semua Hazara dan memerintahkan
dia dan keluarganya untuk keluar dari rumah itu sebelum senja tiba. Hassan
memprotes keputusan itu. Tapi kata tetanggaku, para Talib memang sedang
mengincar rumah yang besar seperti bagaimana dia mengatakannya" ya, seperti
'serigala mengincar se-kawanan domba.' Mereka mengatakan pada Hassan bahwa
mereka akan menempati rumah itu dan menjaganya hingga aku kembali. Hassan
kembali memprotes. Jadi mereka menyeretnya ke jalan"
"Tidak," napasku tertahan.
"dan menyuruhnya berlutut"
"Tidak. Va Tuhan, tidak."
"dan menembak kepalanya dari belakang."
"Tidak." "Farzana menjerit-jerit dan menerjang mereka 11
"Tidak." "mereka pun menembaknya. Pembelaan diri, itu yang mereka katakan"
Aku hanya bisa berbisik, "Tidak. Tidak. Tidak."
Aku terus memikirkan hari itu, tahun 1974, dalam kamar perawatan di rumah sakit,
beberapa saat setelah Hassan menjalani operasi bibir sumbingnya. Aku, Baba,
Rahim Khan, dan Ali berkumpul mengelilingi tempat tidur Hassan, menyaksikannya
memeriksa bibir barunya lewat sebuah cermin kecil. Sekarang, semua orang dalam
ruangan itu sudah meninggal atau sedang sekarat. Kecuali aku.
Lalu aku membayangkan hal lain: seorang pria dengan rompi bermotif silang
menempelkan moncong Kalashnikov-nya ke bagian belakang kepala Hassan. Ledakan
itu menggema hingga ke jalan di depan rumah ayahku. Hassan tergeletak di aspal.
Kehidupannya yang diisi dengan kesetiaan tanpa pamrih melayang lepas dari
tubuhnya seperti layang-layang tertiup angin yang sering kali dikejarnya.
"Taliban menempati rumah itu," kata Rahim Khan. "Kedok yang mereka pakai untuk
menutupi kebusukan adalah bahwa mereka telah mengusir seorang penyusup.
Pembantaian terhadap Hassan dan Farzana dianggap sebagai kasus pembelaan diri.
Tidak ada yang menyanggah. Mungkin karena semua orang merasa takut terhadap
Taliban. Tapi yang jelas, tidak seorang pun mau menanggung
risiko hanya untuk sepasang pelayan Hazara."
"Bagaimana dengan Sohrab?" tanyaku. Aku merasa begitu letih, begitu hampa.
Serangan batuk yang hebat membungkam Rahim Khan selama beberapa saat. Saat
akhirnya dia menatapku, wajah dan matanya tampak merah. "Kudengar dia
ditempatkan di sebuah panti asuhan di daerah Karteh Seh. Amir jan-" dia kembali
terbatuk. Saat batuknya mereda, dia terlihat lebih tua dari beberapa saat
sebelumnya, seolah-olah setiap serangan batuk menambah umurnya. "Amir jan, aku
memintamu datang kemari karena aku ingin bertemu denganmu sebelum maut
menjemputku, tapi itu bukan satu-satunya alasanku."
Aku tidak mengatakan apa pun. Kurasa aku tahu apa yang selanjutnya akan
dikatakan Rahim Khan. "Aku ingin memintamu untuk pergi ke Kabul. Aku ingin memintamu untuk membawa
Sohrab ke-mari," ujarnya.
Aku berjuang untuk menemukan kalimat yang tepat. Aku bahkan belum bisa mencerna
sepenuhnya kenyataan bahwa Hassan telah tiada.
"Tolong, dengarkan aku. Aku mengenal sepasang suami istri dari Amerika yang
tinggal di Peshawar ini. Pasangan ini, Thomas dan Betty Caldwell, mengelola
sebuah organisasi kemanusiaan kecil yang didanai oleh beberapa donatur. Fokus
usaha mereka adalah merumahkan dan menyalurkan makanan bagi anak-anak Afghan
yang tak lagi memiliki orangtua. Aku sudah melihat tempat
mereka. Bersih dan aman, anak-anak yang tinggal di sana betul-betul terawat, dan
pasangan Caldwell adalah orang-orang yang baik. Mereka mengatakan padaku bahwa
Sohrab akan diterima di rumah mereka dan-"
"Rahim Khan, kau tidak sungguh-sungguh...."
"Anak-anak adalah makhluk yang lemah, Amir jan. Anak-anak terlantar sudah
memenuhi Kabul dan aku tak ingin Sohrab menjadi salah satu dari mereka."
"Rahim Khan, aku tidak ingin pergi ke Kabul. Aku tidak bisa!" sahutku.
"Sohrab adalah anak yang pintar. Di sini, kita bisa memberinya kehidupan baru,
harapan baru, bersama dengan orang-orang yang akan menyayanginya. Thomas agha
orang yang baik dan Betty khanum sangat tulus, kau harus melihat caranya merawat
anak-anak yatim piatu itu."
"Mengapa harus aku" Mengapa kau tidak membayar seseorang untuk pergi ke sana"
Kalau masalahnya uang, biarkan aku yang membayarnya."
"Ini bukan soal uang, Amir!" suara Rahim Khan menggelegar. "Aku adalah seorang
pria yang sedang sekarat dan aku tidak akan membiarkanmu menghinaku! Aku tidak
pernah mempermasalahkan uang, kau tahu itu. Dan mengapa aku memintamu" Kupikir
kita berdua tahu mengapa harus kau yang melakukannya, benar?"
Kuharap aku tidak mengerti sedikit pun maksud perkataan Rahim Khan, tapi aku
mengerti. Aku sangat memahaminya. "Aku punya istri di Amerika,
aku punya rumah, pekerjaan, dan keluarga. Kabul adalah tempat yang berbahaya,
kau tahu itu, dan kau mengharap-kanku mau mengorbankan segalanya untuk aku tidak
melanjutkannya. "Kau tahu," kata Rahim Khan, "suatu ketika, di belakangmu, ayahmu berbicara
denganku. Kau tahu sendiri seperti apa ayahmu saat itu, bagaimana dia selalu
mengkhawatirkanmu. Aku ingat perkataannya pada-ku, 'Rahim, seorang anak laki-
laki yang tidak bisa membela dirinya sendiri akan menjadi seorang pria yang
tidak akan mampu bertahan terhadap apa pun.' Mau tak mau aku bertanya-tanya,
apakah kau telah menjadi pria macam itu?"
Aku mengalihkan tatapanku. "Aku hanya memintamu untuk memenuhi keinginan
terakhir seorang pria tua yang sedang sekarat," katanya dengan penuh kesedihan.
Rahim Khan berjudi dengan mengatakannya. Dia telah memainkan kartu terbaiknya.
Setidaknya itu yang kupikirkan. Kalimatnya menggantung tanpa kepastian di antara
kami, tapi sepertinya dia memahami betul ucapannya. Aku masih mencari-cari
jawaban yang tepat, padahal aku seorang penulis. Akhirnya, aku mengatakannya:
"Mungkin Baba benar."
"Aku sedih mendengar pendapatmu, Amir."
Aku tak sanggup memandangnya. "Dan kau tidak berpikiran sama dengan Baba?"
"Kalau aku berpendapat begitu, aku tidak akan memintamu datang kemari."
Aku memutar-mutar cincin kawinku. "Kau selalu
berpikiran terlalu tinggi tentangku, Rahim Khan."
"Dan kau selalu terlalu keras terhadap dirimu sendiri." Dia mempertimbangkan
ucapan selanjutnya. "Tapi ada hal lain. Sesuatu yang tidak kauketahui."
"Kumohon, Rahim Khan-"
"Sanaubar bukan istri pertama Ali."
Sekarang aku menatapnya. "Sebelumnya, jauh sebelum kau dilahirkan, Ali pernah menikah dengan seorang
wanita Hazara dari daerah Jaghori. Mereka menikah selama tiga tahun."
"Apa hubungan hal itu dengan semua ini?"
"Setelah tiga tahun pernikahan mereka, wanita itu meninggalkannya tanpa anak dan
menikah dengan seorang pria di Khost. Dia memberi pria itu tiga orang anak
perempuan. Itulah yang ingin kuberitahukan padamu."
Aku mulai bisa mengikuti arah pembicaraan ini. Tapi aku tidak ingin mendengar
kelanjutannya. Aku memiliki kehidupan yang menyenangkan di California; rumah
bergaya Victoria dengan atap menjulang tinggi, istri yang baik, karier menulis
yang menjanjikan, mertua yang menyayangiku. Aku tidak membutuhkan semua masalah
sialan ini. "Ali mandul," kata Rahim Khan.
"Tidak. Dia menikah dengan Sanaubar dan mereka memiliki anak, Hassan, benar"
Mereka memiliki Hassan -"
"Hassan bukan anak mereka," tukas Rahim
Khan. "Tentu saja dia anak mereka!"
"Tidak, Amir." "Jadi siapa-" "Kupikir kau tahu."
Aku merasa seperti sedang meluncur turun dari tebing yang tinggi, berusaha
meraih semak-semak dan ranting-ranting perdu namun terus meluncur dengan tangan
kosong. Ruangan itu berayun naik dan turun, ke kiri dan ke bawah. "Apa Hassan
tahu?" pertanyaan itu meluncur dari bibir yang sepertinya bukan milikku. Rahim


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khan menutup matanya. Menggelengkan kepalanya.
"Bajingan kau," gumamku seraya berdiri. "Bajingan terkutuk!" teriakku. "Kalian
semua, kalian bajingan penipu terkutuk!"
"Kumohon, duduklah," Rahim Khan berusaha menenangkanku.
"Bagaimana bisa kalian menyembunyikan hal ini dariku" Darinya?" aku
membentaknya. "Berpikirlah dengan jernih, Amir jan. Situasi itu sungguh memalukan. Orang-orang
akan membicarakannya. Yang dimiliki seorang pria pada masa itu, satu-satunya
yang berarti, adalah kehormatannya, nama yang disandangnya, dan kalau orang-
orang membicara-kan .... Kami tidak bisa memberitahu siapa pun, tentu kau
mengerti." Dia mengulurkan tangannya padaku, namun aku menepiskannya. Aku
beranjak keluar dari ruangan itu.
"Amir jan, kumohon, jangan pergi."
Aku membuka pintu dan berbalik menatapnya. "Mengapa" Apa lagi yang akan
kaukatakan padaku" Umurku sudah 38 tahun dan aku baru saja
menemukan bahwa seluruh kehidupanku didasari oleh satu kebohongan besar keparat!
Apa yang bisa kaukatakan untuk membuat keadaan ini lebih baik" Tidak ada.
Sedikit pun tidak ada!"
Dan sebelum kalimat itu mengendap, aku segera keluar dari apartemen itu.
Delapan Belas tahari hampir sepenuhnya tenggelam. Langit
bermandikan warna lembayung dan merah. Aku menyusuri jalan sempit yang dipenuhi
kesibukan, menjauhi bangunan tempat tinggal Rahim Khan. Segaris jalan yang
berisik itu merupakan bagian dari labirin gang-gang sempit di mana pejalan kaki,
pengemudi sepeda, dan becak berjejalan. Salah satu sudutnya dipenuhi dengan
baliho-baliho yang mengiklankan Coca-Cola dan rokok; poster-poster film
Lollywood menampilkan aktris-aktris sensual yang sedang berdansa dengan pria-
pria tampan berkulit cokelat di atas hamparan bunga marigold.
Aku memasuki sebuah kedai teh kecil dan memesan secangkir teh. Aku menyandarkan
punggungku ke belakang dan memijat wajahku. Perasaan seolah-olah meluncur itu
telah memudar. Namun aku merasa seperti seseorang yang terbangun di rumahnya
sendiri dan mendapati bahwa semua perabotan telah berpindah tempat. Tak ada lagi
sudut-sudut yang familiar. Aku tenggelam dalam keterkejutan, dan aku harus
kembali mengenali benda-benda di sekelilingku, mengenali diriku sendiri.
Bagaimana aku bisa sebuta itu" Tanda-tanda
itu terpampang di depan mataku selama ini; sekarang semuanya menerpaku: Baba
membayar Dr. Kumar untuk mengoperasi bibir sumbing Hassan. Baba tak pernah
melupakan ulang tahun Hassan. Aku ingat saat kami menanam bunga tulip, saat aku
meminta Baba untuk mempertimbangkan supaya mempekerja-kan pelayan baru. Hassan
tidak akan pergi kemana-mana, dia membentakku. Dia tetap di sini bersama kita,
di sinilah tempatnya. Ini ada/ah rumahnya dan kita ada/ah keluarganya. Dia
menangis, menangis, saat Ali mengatakan bahwa dia dan Hassan akan meninggalkan
kami. Pelayan meletakkan secangkir teh di hadapanku. Di kaki meja yang menyilang
terdapat bola logam, masing-masing sebesar buah kenari, untuk mengencangkan
sekrup. Salah satunya terlepas. Aku berjongkok dan mengencangkannya. Kalau saja
aku bisa membetulkan hidupku dengan cara semudah ini. Aku meneguk teh terhitam
yang kunikmati setelah bertahun-tahun dan mencoba memikirkan Soraya, memikirkan
Sang Jenderal dan Khala Jamila, memikirkan novel yang harus segera kuselesaikan.
Aku mencoba memerhatikan kepadatan lalu lintas di jalan, orang-orang yang
berjejalan keluar dan masuk toko manisan. Aku mencoba menikmati alunan musik
Qawaii yang terdengar dari radio transistor di meja sebelahku. Apa pun. Tapi
yang terus-menerus membayangi benakku adalah sosok Baba pada malam wisudaku,
duduk di dalam mobil Ford yang dia hadiahkan kepadaku, dengan tubuh menguarkan
aroma bir, dan berkata, Kuharap
Hassan bersama kita hari ini.
Bagaimana dia bisa berbohong kepadaku selama bertahun-tahun" Kepada Hassan" Saat
aku masih kecil dia pernah mendudukkanku di pangkuannya, menatap mataku, dan
berkata, Hanya ada satu dosa. Dan itu ada/ah mencuri .... Kalau kau berbohong, kau
mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Bukankah dia pernah
mengatakan hal itu padaku" Dan sekarang, 15 tahun setelah aku menguburkan dia,
aku baru tahu bahwa Baba adalah seorang pencuri. Jenis yang terburuk dari
seorang pencuri, karena dia telah mencuri sesuatu yang sangat berarti: Dariku,
dia mencuri hak untuk mengetahui bahwa aku memiliki seorang saudara, dari
Hassan, dia mencuri identitas, dan dari Ali, dia mencuri kehormatan. Nang nya.
Namoosnya. Pertanyaan-pertanyaan itu terus-menerus menghantuiku: Bagaimana Baba bisa
menatap mata Ali" Bagaimana Ali bisa terus tinggal di rumah itu, hari demi hari,
sedangkan dia tahu bahwa majikannya telah merenggut kehormatannya dengan satu-
satunya cara terburuk dalam merenggut kehormatan yang bisa dilakukan oleh
seorang pria Afghan" Dan bagaimana aku harus menerima citra baru Baba ini,
menggantikan kenangan tentang sosok Baba yang telah menempel di benakku,
sosoknya yang mengenakan setelan cokelat usang, tertatih-tatih di jalan masuk
rumah keluarga Taheri untuk menyampaikan lamaran terhadap Soraya"
Ini adalah salah satu contoh klise yang tak
akan disukai dosen penulisan kreatifku; apel tak akan jatuh jauh dari pohonnya.
Tapi bukankah itu benar" Ternyata, tidak seperti yang kuketahui, aku dan Baba
memiliki lebih banyak kesamaan. Kami berdua telah mengkhianati orang-orang yang
bersedia mempertaruhkan hidup mereka demi kami. Dan seketika aku menyadarinya:
Rahim Khan mendatangkanku kemari untuk menebus bukan hanya dosa-dosaku,
melainkan juga dosa-dosa Baba.
Menurut Rahim Khan, aku selalu terlalu keras terhadap diriku sendiri. Aku
memikirkannya. Memang benar, bukan dirikulah yang menyebabkan Ali meninjak
ranjau darat, dan bukan dirikulah yang menyebabkan Taliban mendatangi rumah itu
dan mencabut nyawa Hassan. Tapi dirikulah yang menyebabkan Hassan dan Ali
meninggalkan rumah itu. Berlebihankah jika aku membayangkan bahwa keadaan akan
jauh berbeda jika aku tidak melakukan kesalahan itu" Mungkin Baba akan membawa
mereka berdua ke Amerika. Mungkin saat ini Hassan memiliki rumah, pekerjaan,
keluarga, kehidupan di negara yang pen-duduknya tidak memedulikan bahwa dia
adalah seorang Hazara, bahkan sebagian besar orang tidak tahu arti Hazara.
Mungkin itu tidak terjadi. Tapi mungkin itu terjadi.
Aku tidak bisa pergi ke Kabul, aku telah mengatakannya pada Rahim Khan. Aku
punya istri di Amerika, aku punya rumah, pekerjaan, dan keluarga. Tapi bagaimana
mungkin aku mengemasi barang-barangku dan pulang begitu saja, sedangkan tindakanku itu akan
menyebabkan Hassan kehilangan kesempatan untuk memiliki hal yang sama"
Aku berharap Rahim Khan tak pernah meneleponku Aku berharap dia tetap
membiarkanku hidup dalam ketidaktahuan. Tapi dia meneleponku. Dan cerita Rahim
Khan mengubah segalanya. Dia telah membuatku menyadari bahwa seluruh
kehidupanku, dimulai jauh sebelum musim dingin 1975, sejak wanita Hazara
bersuara merdu itu masih merawatku, didasari oleh suatu lingkaran kebohongan,
pengkhianatan, dan rahasia.
Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan, katanya.
Jalan untuk menghentikan perputaran lingkaran
ini. Kuncinya adalah anak laki-laki kecil itu. Anak yatim piatu itu. Putra Hassan. Di
suatu tempat di Kabul. Saat menumpang becak kembali ke apartemen Rahim Khan, aku ingat Baba pernah
mengatakan bahwa masalahku adalah selalu ada seseorang yang berjuang untukku.
Sekarang umurku 38 tahun. Rambutku mulai menipis dan bersemburat kelabu, dan
akhir-akhir ini aku bisa melihat kerutan kecil terbentuk di sudut mataku.
Sekarang aku lebih tua, tapi mungkin aku belum cukup tua untuk mulai berjuang bagi diriku sendiri. Baba
memang telah berbohong tentang banyak hal, namun dia tidak berbohong tentang
satu hal itu. Aku menatap wajah bundar yang tercetak di selembar foto Polaroid itu sekali
lagi, bagaimana sinar matahari menimpa wajahnya. Wajah saudara laki-lakiku.
Suatu ketika Hassan pernah menyayangiku, dia menyayangiku dan tak akan ada lagi
orang lain yang menyayangiku seperti dia. Sekarang dia telah pergi, tapi secuil
bagian dirinya masih tertinggal. Di Kabul.
Menanti. Aku mendapati Rahim Khan sedang menunaikan shalat di salah satu sudut ruangan
itu. Yang tampak dari dirinya hanyalah siluet gelap yang bersujud ke arah timur,
menghadap ke langit yang semerah darah. Aku menunggunya hingga selesai.
Lalu aku mengatakan padanya bahwa aku akan pergi ke Kabul. Aku memintanya untuk
menelepon pasangan Caldwell keesokan paginya.
"Aku akan berdoa untukmu, Amir jan," katanya.
Sembilan Belas Lagi-lagi, mabuk perjalanan menyerangku. Saat
kami berkendaraan melintasi tanda bertuliskan CELAH KHYBER MENYAMBUT ANDA yang
dipenuhi lubang bekas peluru, cairan mulai mengalir ke mulutku. Perutku bergolak
dan terasa melilit. Farid, sopir truk sewaan itu, menatapku dengan dingin. Tidak
ada sedikit pun rasa empati di matanya. "Bisakah kita membuka jendela?" tanyaku.
Dia menyalakan sebatang rokok dan menyelipkannya di antara dua jari yang tersisa
pada tangan kirinya yang disandarkan dengan santai ke setir. Mata hitamnya
memandang lurus ke jalan. Dia membungkukkan badannya, memungut baut yang
tergeletak di antara kedua kakinya, dan menyerahkan benda itu padaku. Aku
menjejalkan ujungnya ke lubang kecil di pintu, tempat tangkai pemutar untuk
membuka jendela itu dulu berada, dan memutar sekrup yang ada untuk membuka
jendelaku. Sekali lagi Farid memberiku tatapan yang mencerminkan ketidaksetujuan, kali ini,
dia tidak berusaha menutupi ketidaksukaannya padaku. Sesaat kemudian, dia pun
kembali menikmati rokoknya. Sejak kami meninggalkan Benteng Jamrud, dia baru mengucapkan beberapa
patah kata. "Tashakor," gumamku. Aku melongokkan kepalaku keluar jendela dan membiarkan
udara sore yang sejuk menerpa wajahku. Jalan yang melewati wilayah suku yang
mendiami Celah Khyber ini berkelok-kelok di antara tebing-tebing tanah liat dan
batu kapur, tepat seperti yang kuingat aku dan Baba pernah bermobil menyusuri
sepanjang jalan tak rata ini pada 1974. Terletak di sepanjang lembah yang dalam,
puncak-puncak pegunungan yang besar dan gersang itu tampak menjulang. Benteng-
benteng tua, berdinding batu bata, yang telah runtuh di berbagai bagian, berdiri
di atas puncak-puncak itu. Aku berusaha memusatkan tatapanku pada puncak Hindu
Raja Sesat Penyebar Racun 1 Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Mrs Mcginty Sudah Mati 3
^