Dewa Pengasih 2
Raja Naga 19 Dewa Pengasih Bagian 2
Masih berdiri di tempatnya, pemuda beram-
but dikuncir ini menarik napas dalam-dalam.
"Kata-kata Dewa Pengasih semakin menya-
darkanku, kalau tentunya sangat sulit untuk
menghadapi orang yang telah meminum air ren-
daman bunga-bunga keramat. Ah, apa yang ha-
rus kulakukan untuk menghadapi perempuan
itu" Apakah aku... hei!!"
Anak muda itu tercekat, seolah baru sadar
akan sesuatu. "Dia memanggil julukanku tadi! Astaga! Dia mengenalku rupanya!"
Untuk beberapa lama Raja Naga kemudian
terdiam. Otaknya dibuncah pikiran sekaligus ke-
gelisahan yang tumpang tindih. Dia dapat mem-
bayangkan musibah besar yang akan terjadi pada
dirinya. Dan dia lebih ngeri tatkala membayang-
kan, musibah yang jauh lebih besar dari apa yang akan dialaminya.
"Aku harus dapat menangkap Ratu Dinding
Kematian kendati harus kukorbankan nyawaku.
Karena... tak mustahil perempuan itu akan mela-
kukan keonaran yang sukar dibendung oleh siapa
pun juga...."
Pelan-pelan pemuda bermata angker ini me-
narik napas pendek. Lalu melangkah keluar dari
bangunan itu. Sinar matahari menerpa wajahnya,
sedikit terasa panas. Dirasakan angin hanya berputar-putar saja di sekitar sana,
menabrak dinding-dinding bukit dan berputar lagi.
"Apa pun yang terjadi... aku harus dapat
menangkap Ratu Dinding Kematian...," katanya membulatkan tekad.
Tiga kejapan mata kemudian, dengan gera-
kan-gerakan lincah, pemuda itu segera mening-
galkan Dinding Kematian yang tetap direjam sepi.
ENAM KETIKA matahari tepat berada di atas kepa-
la, kakek berpakaian serba biru dengan wajah teduh yang dipenuhi keriput itu
menghentikan langkahnya. Matanya tak berkedip ke depan. Se-
sekali diusap jenggot putihnya yang menjulai tan-pa keluarkan suara.
Gadis berpakaian ringkas warna kuning
yang tadi melangkah bersamanya, mau tak mau
juga menghentikan langkah. Sesaat diliriknya kakek di sebelahnya sebelum
mengikuti pandangan
mata si kakek. Dicobanya untuk mencari tahu
apa sebab-sebab si kakek menghentikan lang-
kahnya. Sesaat tak ada yang bersuara. Jalan setapak
itu senyap. Sengatan matahari tak begitu terasa, karena terhalang oleh tingginya
pepohonan. Tak enak berada dalam kebisuan, di samping
juga ingin tahu mengapa orang tua berjanggut
putih di sebelahnya berhenti melangkah, gadis
berwajah manis dengan tahi lalat pada sisi kiri pelipisnya berkata, "Kek! Apakah
ada sesuatu yang menarik perhatianmu hingga kita harus
berhenti di sini?"
Kakek berpakaian serba biru itu melirik, se-
belum tersenyum seraya mengangguk.
"Ya! Ada sesuatu yang menarik perhatianku!"
Gadis manis itu mengerutkan kening. Lalu
kembali mengarahkan pandangannya pada tem-
pat yang dipandang orang tua di sebelahnya.
"Aku tak melihat sesuatu yang menarik ke-
cuali pepohonan dan semak belukar! Aneh! Apa
yang sebenarnya dilihat kakek berjuluk Dewa Se-
gala Dewa ini" Apakah dia tertarik dengan pepo-
honan dan semak belukar?"
Kembali tak ada yang buka suara. Si gadis
berambut dikuncir ekor kuda dan diberi pita war-na kuning membatin lagi,
"Mungkin memang ada yang menarik perhatiannya, tetapi aku tak melihatnya...."
Kakek berpakaian serba biru itu berkata,
"Puspa Dewi... kau belum juga mengetahui apa yang menarik perhatianku?"
Gadis yang ternyata Puspa Dewi itu mengge-
leng. Diperhatikannya si kakek dengan seksama.
Sesaat ada kekagumannya. Setelah berpisah den-
gan Raja Naga. Puspa Dewi meneruskan langkah-
nya menuju ke Daerah Tak Bertuan. Kegigihan
murid Ratu Tanah Kayangan itu memang mem-
bawa hasil. Akhirnya dia tiba juga di Daerah Tak Bertuan. Kedatangannya di sana
disambut oleh Dewa Segala Dewa yang kini hanya seorang diri.
Setelah memperkenalkan siapa dirinya, Pus-
pa Dewi menceritakan maksud kedatangannya.
Dalam kesempatan itu pula Puspa Dewi menceri-
takan tentang Raja Naga, yang saat ini sedang di-buru oleh orang-orang
persilatan karena dianggap sebagai pencuri bunga-bunga keramat.
Dewa Segala Dewa menyuruhnya beristira-
hat sebelum malamnya diceritakan juga apa yang
telah terjadi. Dan keesokan paginya mereka me-
ninggalkan Daerah Tak Bertuan.
"Kulihat satu kelebatan di sana tadi...," kata Dewa Segala Dewa.
"Kelebatan?"
"Ya! Satu kelebatan!"
"Oh! Apakah dia Ratu Dinding Kematian?"
Dewa Segala Dewa menggeleng.
"Tidak! Orang yang berkelebat itu memang
samar hingga sulit bagiku untuk melihat wajah-
nya secara jelas. Tetapi yang pasti, dia tidak mengenakan pakaian dan usianya...
lebih tua dariku.
Walaupun hanya bersifat dugaan, aku bisa men-
getahuinya...."
"Siapakah dia, Kek?" tanya Puspa Dewi. Sedikit banyaknya dikagumi kerendahan
hati si ka- kek. Semula dikatakan kalau dia hanya samar-
samar melihat. Tetapi mengetahui orang yang
berkelebat itu lebih tua dari dirinya, bukankah itu sudah menunjukkan ketinggian
ilmu si kakek"
Dewa Segala Dewa mengusap usap janggut-
nya dulu sebelum menjawab, "Kalau tak salah ingat... dia adalah Bancak Bengek."
"Bancak Bengek" Kakek! Aku baru pertama
kali mendengar nama Itu!"
"Tak heran bila kau memang baru menden-
gar nama itu. Kau masih muda. Kau belum ba-
nyak tahu urusan. Aku pun merasa pasti, kau
baru pertama kali meninggalkan Tanah Kayan-
gan. Puspa... Bancak Bengek adalah orang yang
memiliki niatan busuk pada Eyang Gurumu."
"Telah lama aku mendengar julukan Eyang
Guru; Dewa Pengasih, tetapi hingga hari ini aku belum pernah berjumpa dengannya.
Hingga aku tidak tahu seperti apa rupanya. Dan aku tidak
tahu ada urusan apa antara Eyang Guru dengan
Bancak Bengek."
"Puspa... selama ini Bancak Bengek jarang
keluar dari tempat tinggalnya di Hutan Laknat.
Dan kalau memang benar orang yang berkelebat
tadi adalah Bancak Bengek, sudah tentu ada uru-
san besar yang sedang dihadapinya."
"Apakah ini ada hubungannya dengan Eyang
Guru?" "Biasanya, keluarnya Bancak Bengek selalu
dengan niatan untuk membunuh Dewa Pengasih!
Tetapi aku tak bisa menduganya saat ini."
Puspa Dewi mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Gadis yang pada punggungnya terdapat
sebilah pedang berhulu kepala burung elang ber-
kata, "Kek! Apakah ini ada hubungannya dengan Ratu Dinding Kematian?"
"Kemarin senja kita sudah tiba di Dinding
Kematian dan tak berjumpa dengan penghuninya!
Seperti yang pernah kuceritakan padamu, Pus-
pa... aku bukannya tidak mempercayai kata-kata
Purwa dan Sibarani kedua muridku itu yang
mengatakan kalau Raja Naga telah mencuri bun-
ga-bunga keramat. Justru ingatanku tiba pada
Dewa Pengasih. Kukaji lebih jauh lagi dan ra-
sanya tak mungkin Dewa Pengasih melakukan
tindakan keji. Menyusul ingatanku tiba pada ke-
dua muridnya dan kembali kukaji keadaan. Ah...
hingga kemudian kusimpulkan, kalau salah seo-
rang dari murid Dewa Pengasih yang melakukan-
nya. Tetapi sayang... dugaan itu baru terlambat
menjadi kenyataan...."
Dewa Segala Dewa menarik napas pendek
sebelum melanjutkan ucapannya, "Puspa... bisa jadi apa yang kau katakan tadi itu
benar. Karena aku juga pernah mendengar, kalau secara diam-diam Ratu Dinding
Kematian menjalin hubungan
busuk dengan Bancak Bengek. Puspa... aku juga
menduga kalau Ratu Dinding Kematian telah ber-
hasil mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke-
ramat." Puspa Dewi ink segera buka mulut. "Kek!
Adakah cara untuk menanggulangi khasiat dari
bunga-bunga keramat?"
Dewa Segala Dewa mengusap jenggot putih-
nya. Gerakannya begitu lambat, seolah hendak
diresapi usapannya. Tetapi di balik itu, tersimpan satu kegelisahan yang
berusaha untuk tidak dipe-lihatkannya.
Pelan-pelan kepala si kakek bergerak dan
matanya menatap gadis bertahi lalat pada pelipis sebelah kiri itu.
"Hingga saat ini, aku belum pernah tahu bagaimana caranya menanggulangi
kehebatan orang
yang telah meminum air rendaman bunga-bunga
keramat. Dan itu berarti...."
Dewa Segala Dewa tak meneruskan kata-
katanya. Puspa Dewi tak mengusiknya. Diam-
diam dia dapat merasakan kegelisahan yang di-
alami oleh kakek berpakaian serba biru itu.
"Ternyata semuanya ini telah berada dalam
satu lingkaran yang mengerikan. Tentunya kehe-
batan Ratu Dinding Kematian tak akan bisa di-
hentikan. Dan itu berarti... astaga! Bagaimana
dengan nasib Guru" Bagaimana"!" seru Puspa Dewi dalam hati. Perasaannya berdebar
keras, kegelisahan pun dirasakan dan bertambah men-
jadi-jadi. Dewa Segala Dewa melihat perubahan paras
gadis manis itu.
"Aku tahu kau mengkhawatirkan gurumu,
bukan?" Puspa Dewi mengangguk-angguk.
"Bukan hanya gurumu yang kukhawatirkan,
Puspa... tetapi seluruh kehidupan yang masih
akan terus berlangsung ini. Kabar sudah kuden-
gar pula kalau saat ini Raja Naga sedang membu-
ru Ratu Dinding Kematian. Itu artinya dia me-
mang sedang memburu kematian! Dan bisa jadi
ini akan melibatkan kemunculan Dewa Naga.
Bancak Bengek sudah muncul dan tak mustahil
Dewa Pengasih akan muncul pula. Berarti... akan semakin banyaknya para tokoh
yang akan ber-munculan kembali di rimba persilatan yang bisa
jadi dapat menimbulkan kesalahpahaman...."
"Kek! Kita harus menghentikan semua itu!"
Dewa Segala Dewa mengangguk.
"Ya! Kita memang harus menghentikan sega-
la tindakan busuk yang akan dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian! Karena bila
tidak, itu artinya membiarkan petaka terus menerus berdatangan
dan tak akan pernah berhenti sebelum ada yang
berhasil mengatasi Ratu Dinding Kematian!"
Hati gadis berpakaian kuning itu semakin
tak menentu. Lalu dilihatnya Dewa Segala Dewa
melangkah. "Kita teruskan langkah. Firasatku mengata-
kan, tak lama lagi kejadian buruk akan mengge-
bah rimba persilatan!"
TUJUH JAUH dari tempat Dewa Segala Dewa dan
Puspa Dewi menghentikan langkah, orang yang
kelebatannya dilihat oleh kakek berpakaian serba biru itu menghentikan
langkahnya di sebuah
tempat dipenuhi bebatuan. Semenjak tadi orang
bertubuh kurus kerempeng tanpa baju ini merasa
kalau dia melihat seseorang di saat berkelebat.
Tetapi dia tidak terlalu mempedulikannya. Setelah tiba pada satu pikiran,
barulah dihentikan langkahnya.
"Terlalu lama aku tak libatkan urusan den-
gan dunia ramai. Kalaupun aku keluar dari Hu-
tan Laknat, hanya untuk menjumpai Ratu Dind-
ing Kematian untuk melampiaskan nafsuku. Ilmu
yang kuciptakan untuk membunuh Dewa Penga-
sih belum sempurna, hingga belum kuputuskan
untuk mencarinya dan membalas kekalahan
ku...." Kakek berambut putih beriap-riap ini mem-
balikkan tubuhnya, memandangi jalan dari mana
dia datang tadi. Sepasang matanya yang meman-
carkan cahaya hitam berkilat-kilat. Kekejian sangat kentara sekali.
Dia mendesis lagi, "Kalau tak salah ingat,
Dewa Segala Dewa selalu mengenakan pakaian
serba biru! Astaga! Bisa jadi kalau orang yang kulihat tadi itu Dewa Segala
Dewa! Dan kalau tak
salah pula, kulihat seorang gadis berpakaian kuning di sebelahnya! Gila! Ratu
Dinding Kematian
juga mengenakan pakaian berwarna kuning"
Apakah... tidak, tidak mungkin! Perempuan me-
sum itu menginginkan nyawa Tiga Penguasa Bu-
mi, tak mungkin dia mau bergabung dengan De-
wa Segala Dewa! Kalau begitu... perempuan ber-
pakaian kuning yang bersamanya itu bukanlah
Ratu Dinding Kematian!"
Kakek kurus ini menarik napas dalam-
dalam, hingga tulang-tulang pada dadanya ber-
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tonjolan keluar.
"Ratu Dinding Kematian telah memiliki bun-
ga-bunga keramat! Dan dia juga belum meman-
faatkan bunga-bunga itu! Berarti...," memutus ucapannya sendiri, bibir keriput
menghitam itu menyeringai. "Begitu bodoh bila tidak segera ku manfaatkan! Sebaiknya kudatangi
Dinding Kematian untuk mengambil bunga-bunga keramat itu!"
Si kakek tertawa puas pada pikirannya sen-
diri. "Masa bodoh dengan Tiga Penguasa Bumi untuk saat ini! Sebaiknya...."
Kata-katanya terputus begitu pendengaran-
nya yang tajam mendengar suara dari balik rang-
gasan semak. Kejap itu pula dia melesat menyer-
gap. "Siapa yang berani lancang mencuri dengar ucapanku, hah"!"
Semak belukar itu langsung tersibak dan
berpentalan. Tangan kurus Bancak Bengek me-
nyambar dan... tap!
Sebuah leher jenjang yang halus tertangkap
oleh tangan kurusnya! Tetapi saat itu pula dia
membeliak sebelum tertawa keras.
'"Astaga! Tak kusangka kalau aku menda-
patkan daging segar seperti ini!!"
Sementara tawa Bancak Bengek semakin ke-
ras, perempuan yang lehernya dicengkeram tan-
gan kurus itu menggeliat-geliat berusaha mele-
paskan diri. Napasnya seketika terasa sesak. Sepasang payudaranya yang dibalut
kain kebaya lu-
suh itu bergerak-gerak.
Bancak Bengek mengarahkan pandangannya
pada sepasang benda yang bergerak lembut itu.
"Heepp... lepas... lepaskan aku...," desis si perempuan dengan suara memelas.
"Astaga! Kau datang pada saat yang tepat perempuan!"
"Ampun... ampuni aku... kumohon... le-
paskan aku...."
Bancak Bengek hanya tertawa saja. Tanpa
melepaskan cengkeraman pada leher jenjang mu-
lus itu dibantingnya tubuh sintal yang seketika terkapar di atas tanah. Saat
terbanting kebaya
bagian bawah si perempuan terlepas dan mem-
perlihatkan sepasang paha mulus yang gempal.
Mata bercahaya hitam milik Bancak Bengek
semakin melebar.
"Kau tentunya sudah berpengalaman dalam
urusan bawah perut! Ayo, layani aku!!"
"Tidak... ampun... jangan... jangan lakukan itu..." ratap si perempuan makin
ketakutan. Tiba-tiba Bancak Bengek membentak, hingga
si perempuan merasa jantungnya seperti copot.
"Menolak keinginanku, berarti kau bersiap
untuk mampus!!"
"Jangan... jangan lakukan itu...," ratap si perempuan ketakutan. Wajah jelitanya
seketika pias. Dia beringsut mundur.
Tetapi kaki Bancak Bengek sudah menye-
paknya hingga dia terguling dan tengkurap. Be-
lum lagi si perempuan bangkit Bancak Bengek
sudah menindihnya. Dirobek-robeknya kain ke-
baya yang dikenakan si perempuan yang menje-
rit-jerit ketakutan.
Masih menindih si perempuan yang dalam
keadaan tengkurap, Bancak Bengek membuka ce-
lananya sendiri, sementara tangan kanannya me-
remas-remas pantat bulat yang sudah tak tertu-
tup apa-apa. "Aku belum pernah melakukannya seperti
ini! Kau sungguh pandai mencari posisi!!"
Sedikit paksa, disentakkan kedua paha si
perempuan hingga terbuka lebar. Mata Bancak
Bengek makin berkilat-kilat melihat tonjolan pantat yang montok itu. Lebih
bernafsu lagi ketika melihat agak ke bawah, sesuatu yang mencuat
membuat napasnya mendengus-dengus.
Tetapi sebelum dilakukan niatnya itu, satu
suara telah membentaknya, "Betul-betul kapiran!
Kupikir aku tak akan berjumpa lagi denganmu,
Kakek kerempeng! Dan selagi berjumpa, kau se-
dang berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang
istimewa!!"
Serentak Bancak Bengek bangkit dan mem-
betulkan celananya. Sementara masih dalam kea-
daan polos, perempuan itu menangis dengan tu-
buh masih tengkurap.
"Kau benar-benar membuatku ngiri! Dulu
kau selalu memuja tubuhku, terutama payudara-
ku yang kau bilang hanya payudara para bidadari yang dapat menandanginya! Tapi
sial, sungguh sial! Aku tak bisa melawan waktu yang terus bergerak hingga tubuhku sudah
menjadi peot seperti ini!!" Bancak Bengek sesaat tak buka suara. Matanya
memandang tak berkedip pada nenek
bongkok yang pada kepalanya terdapat tiga tang-
kai bunga mawar segar.
Kejap berikutnya dia sudah mendengus, "Se-
tan perempuan! Aku juga tak menyangka kau
akan muncul di hadapanku sekarang! Sial betul,
kedatanganmu mengganggu keasyikanku!!"
Si nenek yang berusia sekitar tujuh puluh
lima tahun itu tertawa hingga kedua pipinya tertarik ke dalam dan keluar, karena
si nenek tidak mempunyai gigi lagi. Parasnya dipenuhi keriput
yang sangat banyak. Di bawah matanya seperti
ada daging tua yang menggelambir.
Nenek berpakaian merah menyala ini berse-
ru, "Mana mau aku mengganggu keasyikanmu, hah"! Kalaupun aku mau, karena aku iri
saja dengan keberuntungan perempuan itu!"
Bancak Bengek sesaat melirik si perempuan
yang masih tengkurap menangis dalam keadaan
polos. Matanya menghujam pada pantat montok
yang mencuat itu.
Kemudian bentaknya pada si nenek tanpa
gigi, "Nyai Darah Sumba! Siapa pun orangnya sudah tentu akan memilih daging
segar ketimbang
daging busuk yang sudah dipenuhi banyak ulat!
Lebih baik kau menyingkir agar tidak timbul urusan!" Bukannya gusar dibentak
seperti itu, si nenek yang pada rambut putihnya terdapat tiga
buah bunga mawar segar justru terkikik-kikik.
"Gila, sungguh gila! Siapa ingin bikin urusan denganmu, Bancak Bengek"! Tetapi
kau boleh mengingat-ingat, kalau kau belum pernah menga-
lahkanku sekali juga! Dan kita tentunya sama-
sama tahu, setelah sekian lama berdiam diri di
tempat sunyi, kita telah menciptakan banyak il-
mu-ilmu baru! Bagus, bagus sekali! Mungkin ini
kesempatanku untuk menjajal ilmuku!!"
Bancak Bengek mendengus. Dia sama sekali
tidak menyangka akan berjumpa dengan Nyai Da-
rah Sumba, perempuan yang pernah menjadi ke-
kasihnya lima puluh tahun yang lalu. Selama ber-tahun-tahun Bancak Bengek
mendapatkan tem-
pat pelampiasan nafsunya, sebelum kemudian dia
terlibat urusan dengan Dewa Pengasih yang mau
tak mau membuatnya meninggalkan Nyai Darah
Sumba. Sebelum kakek kerempeng itu buka mulut,
si nenek sudah berseru lagi, "Biarpun aku ingin menjajal ilmuku, tetapi tidak
perlu! Ya, tidak per-
lu kulakukan padamu! Asal...."
"Asal apa, hah"!"
"Kau serahkan perempuan itu kepadaku!"
"Gila! Sejak kapan kau suka pada perem-
puan, hah"!"
Si nenek terkikik.
"Jangan berlaku aneh di depanku! Bancak
Bengek, sejak dulu kita selalu berhubungan ba-
dan. Tetapi kau tahu sesuatu yang tidak pernah
kita dapatkan" Sesuatu yang tak bisa mengikat-
mu untuk terus menjadi pendampingku"!"
Bancak Bengek mendengus.
"Sejak dulu perempuan ini menginginkan
seorang anak, tetapi aku tak pernah berhasil
memberikannya! Aku yakin, bukan aku yang
mandul, tetapi dia!"
Habis membatin demikian, dengan suara ge-
ram Bancak Bengek berseru, "Nyai Darah Sumba!
Kalaupun aku berhasil memberimu seorang anak,
tak akan sudi aku menikahimu!"
"Gila, gila betul! Siapa yang ingin kau nikahi" Aku hanya kau ingin terikat
padaku!" "Siapa orangnya yang sudi berhubungan le-
bih lama dengan perempuan mandul seperti
kau!!" Diejek seperti itu, Nyai Darah Sumba cuma
tertawa. "Ya, kau betul sekali! Sangat betul! Itulah sebabnya, sekarang ini sedang
kukumpulkan perempuan-perempuan cantik untuk menjadi pen-
gikut ku! Dan di antara mereka akan kuangkat
seorang Ratu yang harus dihormati tetapi harus
menghormatiku! Lalu akan kucari seorang jejaka
atau lelaki mana pun juga untuk membuahi sang
Ratu! Dan anak yang akan terlahir itulah yang
akan kudidik untuk kuturunkan seluruh ilmu
yang kupunyai!"
"Terlalu berbelit-belit!"
"Itu urusanku! Sekarang, serahkan perem-
puan itu kepadaku! Karena kutangkap satu fira-
sat, kalau dialah sang Ratu yang akan kujadikan sebagai orang kepercayaanku!!"
"Walaupun aku tak bisa lagi menahan ama-
rah karena kemunculannya, tetapi aku tak ingin
terlibat urusan lebih lama dengannya. Lagi pula, masih bisa kudapatkan
perempuan-perempuan
yang akan kujadikan sebagai tempat pelampiasan
nafsuku selain perempuan montok itu!"
Memutuskan demikian, Bancak Bengek ber-
kata, "Kau bawa perempuan itu, dan segera tinggalkan tempat ini!!"
Nyai Darah Sumba tertawa-tawa.
"Bagus, bagus kalau kau mengerti keadaan,"
katanya seraya mendekati perempuan yang masih
dalam keadaan polos itu. Nyai Darah Sumba ber-
kata lembut, "Perempuan... bangunlah. Kau tidak perlu takut dengan kakek jelek
ini... Ayo, bangun... dan sebutkan namamu...."
Mendengar ucapan lembut itu, si perempuan
pelan-pelan bangkit seraya berusaha menutupi
bagian-bagian tubuh terlarangnya dari mata Ban-
cak Bengek yang melotot.
"Terima... terima kasih atas... pertolongan-mu, Nek...," katanya terbata.
"Jangan panggil aku seperti itu. Kau boleh panggil aku 'Nyai'. Katakan, siapa
namamu...."
Perempuan itu melirik Bancak Bengek dulu
dengan takut-takut sebelum berkata lirih, "Namaku.... Ganda Arum... orang-orang
di desaku, me- manggilnya dengan sebutan Nyai Ganda Arum...."
"Hik hik hik... nama yang bagus, bagus seka-li! Dan aku tak akan salah memilih
orang! Ganda Arum... mengapa kau berada di tempat seperti
ini?" Nyai Ganda Arum terdiam sejenak. Ingatannya kembali pada peristiwa
beberapa hari lalu, di mana ketika dia sedang asyik bercinta dengan
Dat Mala, suaminya tiba-tiba muncul dan mem-
bunuh Dat Mala. Nyawanya masih tertolong kare-
na munculnya Dewa Seribu Mata, yang mengu-
sirnya begitu saja (Teman-teman pembaca bisa
mengetahui semua itu dalam episode: "Terjebak di Gelombang Maut").
Tiba-tiba sepasang mata Nyai Ganda Arum
berkilat-kilat. Nyai Darah Sumba sesaat menge-
rutkan keningnya melihat perubahan mata si pe-
rempuan. Kemudian didengarnya kata-kata Nyai Gan-
da Arum, "Nyai... ajari aku ilmu yang hebat, untuk membalas sakit hatiku atas
perlakuan Dewa Seribu Mata...."
Kepala Nyai Darah Sumba sesaat menegak
sebelum kikikannya yang keras berkumandang.
"Ya, ya! Kau bukan hanya akan menda-
patkan ilmu yang hebat, tetapi kau akan menjadi seorang ratu!!" serunya. Lalu
berkata pada Ban-
cak Bengek, "Kapan-kapan... kita bertemu lagi!
itu pun... kalau kau masih hidup! Karena dari
pancaran matamu, kau sedang terlibat satu uru-
san! Aku tidak tahu apakah dugaanku ini benar
atau tidak, tetapi yang pasti... sampai kapan pun juga kau tak akan pernah
melupakan kekala-hanmu dari Dewa Pengasih!"
Sebelum kakek kerempeng itu menyahut,
Nyai Darah Sumba sudah berkata pada Nyai
Ganda Arum, "Ikuti aku, Ganda Arum! Kita akan mencari pakaian untukmu di
perjalanan!"
Masih dalam keadaan polos karena pakaian-
nya tak mungkin lagi bisa dipakai, Nyai Ganda
Arum mengikuti langkah si nenek berpakaian me-
rah lusuh yang sudah mendahului.
Di tempatnya Bancak Bengek menelan lu-
dahnya berkali-kali melihat pantat mencuat yang bergoyang-goyang penuh gairah
itu. Tetapi di lain saat dia sudah kembali pada tujuannya semula
dan meninggalkan tempat itu.
DELAPAN KELEBATAN Raja Naga seketika terhenti
tatkala didengarnya suara letupan berulang-ulang dari satu tempat. Sejenak anak
muda bersisik coklat pada lengan kanan kiri ini menajamkan
pendengarannya. Samar-samar ditangkapnya
bentakan demi bentakan bernada amarah. Kepala
Raja Naga menegak ketika ditangkap bentakan
yang membuat dadanya berdebar.
Kejap itu pula dia berkelebat untuk mencari
asal letupan dan bentakan yang keras itu.
Belum lagi dia tiba di tempat itu, tiba-tiba
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja sebuah pohon yang tumbang menderu keras
ke arahnya. Dengan sigap Raja Naga menghantam
luncuran pohon itu hingga terpecah menjadi dua
dan berpentalan.
Lalu dilihatnya cahaya warna-warni bertabu-
ran di udara. Dadanya semakin berdebar ken-
cang, terutama ketika mendengar bentakan, "Serahkan Kitab Ajian Selaksa Sukma
bila kau masih ingin melihat matahari besok!!"
"Jangan berpikir semudah itu kau dapat
mengalahkanku, Ratna Wangi! Tak mudah!"
"Akan kubuktikan kalau ucapanmu itu salah
besar!!" Buummm!! Ledakan dahsyat itu menggebah keras. Raja
Naga melihat tanah muncrat setinggi dua tombak
disusul dengan cahaya warna-warni dan cahaya
terang yang saling tumpang tindih.
Raja Naga tercekat dengan suara menjerit
yang dikenalinya.
"Ratu Tanah Kayangan!" desisnya seraya melesat ke depan. Saat itu dilihatnya
satu bayangan kuning sudah menggebah dengan tangan kanan
kiri bercahaya. Gerakannya luar biasa ringan. Ra-ja Naga yang sedang melesat
saja sudah merasa-
kan gemuruh angin ke arahnya, apalagi perem-
puan bercadar sutera yang sedang memekik keras
itu! Raja Naga segera mendeham untuk menga-
tasi gemuruh angin. Tenaga tak nampak yang
menderu dari dehamannya itu tertelan bulat-
bulat oleh gemuruh angin raksasa yang menyeret
tanah. Seketika anak muda dari Lembah Naga itu
mendorong tangan kanan kirinya. Gelombang an-
gin yang disaput asap merah menggebrak, tetapi
lagi-lagi lenyap tertelan gemuruh dahsyat itu.
"Gila!!" pekikan tertahan terdengar dari mulut si pemuda. Kini yang harus
dilakukannya adalah segera menyambar tubuh perempuan berpa-
kaian biru keemasan.
Ketika berhasil melakukannya, terdengar
suara berdebam yang lintang pukang. Pepohonan
berderak dan tumbang. Dahan-dahannya ber-
hamburan dan bertabrakan satu sama lain.
Sementara Raja Naga berusaha menyela-
matkan perempuan bercadar sutera, perempuan
yang menyerang itu telah berdiri tegak dengan
mata memicing. "Hemmm... bagus! Raja Naga!" desisnya dengan bibir menyeringai. Dia sengaja tak
segera melakukan serangannya. Dibiarkan pemuda berompi
ungu itu hinggap kembali di atas tanah.
Begitu Raja Naga tegak lagi, terdengar satu
seruan keras, "Nimas! Pencuri bunga-bunga keramat itu!!"
Ratu Dinding Kematian mendesis, "Diam di
tempat, Purwa! Biar kuhabisi dia sekarang!"
Lelaki yang berseru tadi urung untuk me-
nyerang. Matanya bersinar tajam memandang Ra-
ja Naga yang telah berdiri di samping Ratu Tanah Kayangan. Sementara itu, Ratu
Tanah Kayangan sendiri sedang berusaha mengatur napasnya yang
terputus-putus. Dadanya bergemuruh hebat.
Dia memang telah membayangkan keheba-
tan Ratu Dinding Kematian yang diduganya telah
berhasil meminum air rendaman bunga-bunga
keramat. Tetapi sungguh di luar dugaan kalau
ternyata lebih dahsyat dari perkiraannya.
Ratu Dinding Kematian mendengus dingin.
"Kalau sebelumnya hanya kutepuk seekor la-
lat, sekarang dua ekor lalat telah masuk perangkap!" Pemuda bermata angker itu
memandang tak berkedip. Diam-diam dadanya berdebar keras.
"Apa yang dikatakan Dewa Pengasih memang
sebuah kenyataan. Perempuan itu sukar ditan-
dingi. Ini berbahaya! Bisa-bisa nyawaku dan nya-wa Ratu Tanah Kayangan yang akan
lenyap!" Ratu Tanah Kayangan yang belum berhasil
mengatur napasnya berbisik, "Hati-hati... kesaktiannya sungguh luar biasa...."
Raja Naga menyahut tanpa melirik, "Bagai-
mana kau bisa berjumpa dengannya?"
"Tahu-tahu dia muncul di hadapanku. Bila
saja kau tadi tidak muncul, aku sudah mampus
saat ini. Raja Naga... jangan bertindak gegabah.
Perempuan ini memiliki kesaktian hebat seka-
rang." "Retno Harum...," kata Raja Naga memanggil nama asli Ratu Tanah Kayangan. "Kita
sama-sama tak menyangsikan lagi kehebatan perem-
puan itu sekarang. Rasa-rasanya, nyawa kita
memang bisa putus di sini. Dan aku tak ingin itu
terjadi." "Apa maksudmu?"
"Kau segeralah menyingkir dari sini. Biar aku yang menghadapinya."
"Gila! Tak mungkin aku meninggalkanmu di
sini untuk menghadapinya seorang diri, Raja Na-
ga! Kita sama-sama menghadapinya!"
Raja Naga menyahut, tetap tanpa melirik,
"Tak ada waktu buat berdebat sekarang. Segeralah menyingkir."
"Tidak! Kau pikir aku semacam orang penge-
cut yang tak berani menghadapi segala urusan
yang mengandung risiko besar" Raja Naga! Kita
hadapi perempuan itu bersama-sama!"
Raja Naga cuma menahan napas.
Ratu Dinding Kematian berseru penuh eje-
kan, "Cepat kalian atur bagaimana caranya untuk mengalahkanku"! Kalian boleh
pula tinggalkan
tempat ini, asalkan telah tanggalkan nyawa!!"
Di lain saat kedua tangannya sudah me-
rangkap di depan dada.
Raja Naga membatin, "Dia pernah keluarkan
'Ajian Selaksa Jiwa'. Aku ingat gerakan pertama yang dilakukannya. Tetapi
sekarang dia... astaga!
Tentunya dia akan keluarkan kehebatan dari
khasiat bunga-bunga keramat!!"
Ratu Tanah Kayangan sudah berbisik, "Hati-
hati! Dia akan keluarkan ilmu barunya itu!"
Di pihak lain, lelaki bercambang tebal itu
memperhatikan Ratu Dinding Kematian dengan
seksama. Dia sebenarnya merasa heran menda-
pati kemajuan Ratu Dinding Kematian.
"Ketika bertarung dengan Raja Naga sebe-
lumnya, Nimas Herning begitu keder dan kebin-
gungan. Tetapi sekarang dia bersikap penuh tan-
tangan. Bahkan, di saat Raja Naga bersama-sama
dengan Ratu Tanah Kayangan. Aneh! Apa yang...
heiii!! Tadi perempuan berjuluk Ratu Tanah
Kayangan itu memanggilnya dengan sebutan Rat-
na Wangi! Astaga! Bukankah dia mengaku ber-
nama Nimas Herning?"
Purwa mulai berpikir setelah menemukan
kejanggalan demi kejanggalan. Terutama setelah
menyaksikan kehebatan perempuan yang dipang-
gil dengan nama Ratna Wangi.
Tiba-tiba kedua telinganya menegak ketika
perempuan bercadar sutera berseru, "Ratu Dinding Kematian! Perbuatanmu sudah
kelewat batas! Kau...." "Kau yang akan mampus di tanganku!!" putus perempuan bertahi lalat tepat di
tengah- tengah keningnya, Di lain saat kedua tangannya
yang merangkap tadi didorong ke depan.
Astaga! Gemuruh liar menggebrak mengeri-
kan, menyeret tanah hingga membentuk laksana
ombak di tengah laut!
Baik Ratu Tanah Kayangan maupun Raja
Naga sama-sama tersentak. Ratu Tanah Kayan-
gan sudah melepaskan 'Ajian Selaksa Sukma'
yang menggebrak sengit, disusul dengan tanah
yang bergerak membentuk gelombang dari ilmu
'Barisan Naga Penghancur Karang'.
Ledakan susul menyusul membuat tempat
itu bergetar dahsyat. Tetapi gemuruh angin yang
menggebah itu terus menderu ganas. Hingga mau
tak mau Ratu Tanah Kayangan dan Raja Naga
sama-sama melompat menghindar.
Buuummmmm!! Lima batang pohon seketika berpentalan ter-
dorong. Tanah-tanah berhamburan, pekat laksa-
na gumpalan kabut hitam. Belum lagi Raja Naga
dan Ratu Tanah Kayangan berdiri tegak, tiba-tiba saja satu bayangan kuning sudah
melesat disertai geraman memecah langit.
Tetapi kali ini tak ada gemuruh angin dah-
syat seperti tadi walaupun Ratu Dinding Kema-
tian sudah memutar kedua tangannya ke atas
dan tangan kanannya disentakkan ke arah Raja
Naga, sementara tangan kirinya didorong ke arah Ratu Tanah Kayangan.
Ratu Tanah Kayangan kelihatan sudah ber-
siap untuk membalas karena menduga tak ada
serangan berbahaya seperti tadi. Namun sebelum
dilakukannya, Raja Naga sudah mendorongnya
hingga bergulingan.
"Menyingkirrrrr!!"
Buuummm!! Ledakan luar biasa kembali membuat tempat
itu bergetar hebat. Ratu Tanah Kayangan berdiri lagi, kali ini dengan wajah
pias. "Gila! Tak ada suara apa pun yang kutang-
kap, tak ada desiran apa pun yang kurasa! Tetapi akibatnya... celaka! Sungguh
celaka!" serunya dalam hati dengan napas kembang kempis.
Kejap berikutnya dilihatnya Raja Naga yang
sedang berusaha berdiri.
"Raja Naga!" serunya tertahan tatkala melihat betis kanan Raja Naga mengeluarkan
darah. Raja Naga menggerak-gerakkan tangan ka-
nannya. "Aku tidak apa-apa!" desisnya menahan nyeri. Rupanya kakinya terserempet tenaga
tak nam- pak yang dilepaskan Ratu Dinding Kematian.
Di pihak lain perempuan itu tertawa sangat
keras. "Manusia-manusia tak berguna! Cukup su-
dah aku menaruh belas kasihan pada kalian! Kini tibalah saatnya untuk melihat
kalian mampus!!"
Tetapi sebelum Ratu Dinding Kematian me-
lancarkan niat, seruan keras terdengar, "Tunggu, Nimas!"
Segera dipalingkan kepalanya. Matanya ta-
jam memandang pada Purwa yang juga sedang
memandangnya. "Mengapa kau menahanku, hah"!" geramnya sengit.
Purwa tak segera menjawab. Matanya terus
menerus memandang. Tiba-tiba dia mendesis,
"Siapakah kau sebenarnya, Nimas?"
Mendengar pertanyaan orang, Ratu Dinding
Kematian melengak sejenak sebelum membentak.
"Purwa! Apa-apaan kau bertanya begitu,
hah"!"
"Nimas... sebelumnya kau tidak mampu
menghadapi Raja Naga. Tetapi sekarang tiba-tiba saja kau memiliki ilmu yang luar
biasa tinggi. Bahkan kau dapat membuat Raja Naga dan Ratu
Tanah Kayangan kocar-kacir!"
Ratu Dinding Kematian tertawa keras.
Karena, aku bukanlah orang yang sombong!"
"Aku mulai menyangsikan siapa kau sebe-
narnya, Nimas! Aku mulai yakin kalau namamu
bukan Nimas Herning! Karena perempuan berca-
dar sutera itu berulang kali memanggilmu Ratna
Wangi! Tadi, tadi... dia memanggilmu dengan julukan Ratu Dinding Kematian!
Nimas... aku jadi
ingat tentang tuduhan Raja Naga waktu itu! Dia
mengatakan dirimu adalah Ratu Dinding Kema-
tian!" Sepasang mata Ratu Dinding Kematian be-rapi-api.
Lelaki berpakaian biru terbuka itu sudah
berkata lagi, "Aku juga mulai berpikir, sebab-sebab Sibarani menyerangmu dengan
kalap! Dan bagiku cukup mengherankan sekarang. Nimas
Herning... katakan siapa kau sebenarnya" Dan
apa yang terjadi dengan Bunga Matahari Jingga"!"
"Keparat! Lelaki ini rupanya mulai menduga apa yang terjadi sebenarnya! Huh! Tak
perlu lagi dia kubiarkan hidup, untuk kujadikan sandera
yang akan memudahkanku untuk menghadapi
Dewa Segala Dewa!"
Habis membatin geram seperti itu, Ratu
Dinding Kematian berseru keras, "Purwa! Sebaiknya jangan banyak mulut bila ingin
mampus!" Bukannya jeri dengan ancaman itu, Purwa
justru merandek gusar, "Aku ingin tahu apa yang telah terjadi! Aku tidak yakin
lagi kalau Raja Na-galah yang menyebabkan Sibarani tak bersuara!
Nimas Herning! Kaulah yang telah melakukannya,
untuk menutup mulut Sibarani!"
Baru saja habis bentakannya, Purwa sudah
menyerang dengan ilmu 'Bentang Gunung Bant-
ing Tanah'! Ratu Dinding Kematian menggeram.
"Huh! Tidak, dia tidak boleh kubunuh lebih dulu! Tetapi... menyiksanya saat ini
boleh juga!!"
Tanpa bergeser dari tempatnya, perempuan
berpakaian kuning mengerahkan hawa murninya
dan membawanya ke bawah perut. Bersamaan
dihembuskan napasnya, tiba-tiba saja dia berges-er ke samping kanan.
Serangan Purwa lolos.
Tangan kanan kiri Ratu Dinding Kematian
sudah menepak punggung Purwa!
Plak! Tubuh Purwa meluncur deras dan ambruk di
atas tanah. Melihat hal itu Raja Naga bermaksud mem-
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
burunya, tetapi tangan Ratu Tanah Kayangan su-
dah menahannya.
"Jangan... jangan sentuh dia..."
Sebelum Raja Naga melontarkan keheranan-
nya, dilihatnya tubuh Purwa sudah menggeliat-
geliat. Menyusul bintik-bintik hitam menghiasi
sekujur tubuh dan lelaki itu berteriak-teriak keras seraya menggaruki seluruh
tubuhnya yang te-
rasa gatal. "Dugaanku ternyata benar. Tentunya dia te-
lah berjumpa dengan Bancak Bengek dan menda-
patkan ilmu hitamnya," desis Ratu Tanah Kayangan.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men-
dengus, "Nah! Kau bersenang-senanglah dulu dengan ilmu 'Kelabang Jinjit'!"
Kemudian diarahkan pandangannya pada
Raja Naga dan Ratu Tanah Kayangan. "Kini tibalah saatnya kalian mampus!!"
Tangan kanan kirinya sudah didorong ke de-
pan. Tak ada suara yang terdengar, tak ada desir angin yang terasa. Tetapi baik
Raja Naga maupun Ratu Tanah Kayangan sudah membuang tubuh
ke samping kanan.
Bummmm!! Ledakan itu terdengar mengerikan. Raja Na-
ga mendorong tubuh Ratu Tanah Kayangan ke
belakang. Dia sendiri segera melompat ke depan.
Menghadapi keganasan Ratu Dinding Kematian
memang harus memiliki keberanian sendiri. Dan
Raja Naga bertekad menghadapinya terus. Kalau-
pun dia mendorong Ratu Tanah Kayangan, agar
perempuan bercadar sutera itu menyingkir. Kare-
na dengan begitu, Raja Naga tak perlu memikir-
kan keselamatan si perempuan. Yang dipikir-kan
hanyalah keselamatannya.
Dengan menggunakan ilmu 'Naga Menga-
muk' dan sesekali melepaskan ilmu 'Hamparan
Naga Tidur' anak muda bermata angker itu me-
nerjang ke depan. Namun apa yang dilakukannya
hanyalah kesia-siaan belaka. Karena kedua ilmu
itu putus di tengah jalan. Bahkan Ratu Dinding
Kematian kemudian berusaha untuk menyentuh
bagian-bagian tubuh Raja Naga dengan ilmu
'Kelabang Jinjit'!
Masih beruntung Raja Naga terus berhasil
menghindari tepakan kedua tangan si perem-
puan. Kendati demikian, luka pada betis kanan-
nya kian terasa nyeri dan sangat mengganggu ke-
seimbangannya. Anak muda itu tergontai-gontai
ke belakang. Blaaammm!! Bila saja Ratu Tanah Kayangan tak segera
menyambar tubuhnya dapat dipastikan kalau
nyawanya telah melayang.
"Sudah kukatakan. Kita harus menghada-
pinya bersama-sama!" serunya.
Raja Naga cuma mengangguk-angguk. Na-
pasnya semakin megap-megap dan dirasakan da-
danya seperti hendak membuncah pecah.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" desisnya terbata.
"Jalan satu-satunya harus menyingkir dulu."
"Tidak! Kita tidak boleh menyingkir dari sini!
Kita harus terus menghadangnya agar dia tak
punya kesempatan menurunkan onarnya di sana-
sini!" Ratu Tanah Kayangan menggeram gemas.
"Kau lihat sendiri kehebatannya! Kita tak
akan mampu menghadapinya!"
"Apa pun yang terjadi kita akan tetap menghadapinya!!"
Di seberang, Ratu Dinding Kematian mulai
bertambah gusar. Dia memang tak bisa dikalah-
kan oleh kedua lawannya, tetapi hingga saat ini dia sendiri belum berhasil
membunuh keduanya.
"Terkutuk! Akan ku cecar mereka sekarang!!"
Namun sebelum dilakukannya, tiba-tiba saja
dua sosok tubuh melayang dan hinggap di atas
tanah. Berdiri tegak sejarak dua belas langkah
dari Ratu Dinding Kematian. Sebelum ada yang
memperhatikan mereka, terdengar suara keras
dan langkah berdebam, "Kurang ajar! Kenapa kalian meninggalkanku, hah"!"
Bersamaan orang yang bersuara yang memi-
liki tubuh luar biasa gemuk Itu muncul, tiba-tiba salah seorang dari kedua
perempuan yang muncul lebih dulu tadi, telah memburu Purwa yang
sekujur tubuhnya mulai merah-merah dan men-
geluarkan darah akibat terus menerus digaruk.
Raja Naga memekik keras. "Jangan, Sibara-
ni!! Jangan sentuh dia!!"
Tetapi terlambat. Perempuan berpakaian me-
rah dan berpakaian dalam hijau itu telah me-
nyentuh tubuh Purwa.
SEMBILAN BEGITU memegang tubuh Purwa, sesaat Si-
barani tersentak kaget karena merasa begitu pa-
nas. Tetapi di kejap lain, seperti didorong satu tenaga kuat, perempuan itu
terbanting di atas ta-
nah. Bintik-bintik hitam segera menghiasi tubuhnya. Kedua tangannya menggaruk-
garuk sekujur tubuhnya yang terasa gatal luar biasa. Sementara Raja Naga hanya bisa mundur
tanpa berani memegangi tubuh Sibarani maupun Purwa.
Nenek berpakaian hijau yang datang bersa-
manya mengerutkan kening.
"Aku mengenal ilmu itu. Kalau tak salah, salah satu ilmu hitam milik Bancak
Bengek. Terku- tuk! Apakah kakek kerempeng itu berada di sini"
Atau...." Memutus kata batinnya, si nenek yang seba-
gian rambutnya memutih tetapi rambut yang di-
kondenya berwarna hijau sudah menggeram pada
Ratu Dinding Kematian.
"Kau tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku sekarang!!"
Ratu Dinding Kematian mendengus.
"Ingin kulihat kehebatan omonganmu, Pe-
rempuan tua!!"
Belum habis bentakannya Ratu Dinding Ke-
matian melompat. Lompatannya sangat cepat se-
kali sementara tanah di mana tadi dijadikan se-
bagai tumpuan kedua kakinya membuyar setinggi
satu tombak dan membentuk lubang!
Gemuruh angin dahsyat seketika mengge-
bah. Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air
Mata adanya segera menghindar.
"Astaga! Bagaimana tahu-tahu dia memiliki
kehebatan berlipat ganda"!" serunya tertahan dan saat itu pula dia berpikir,
"Terkutuk! Jelas memang dialah pencuri bunga-bunga keramat dan
saat ini tentunya telah mendapatkan khasiat dari bunga-bunga itu! Aku tak boleh
bertindak ayal!!"
Tetapi si nenek sendiri kesulitan untuk
mundur dan mencari kesempatan. Sementara itu,
kakek bertubuh luar biasa gemuk yang pakaian-
nya tak mampu menutupi lemak-lemak tubuhnya
mengerutkan kening.
"Kini sudah terbuka semuanya! Perempuan
berpakaian kuning keemasan itulah pangkal dari
semua urusan berbahaya ini! Hemmm... kubiar-
kan saja dulu Dewi Lembah Air Mata menghada-
pinya! Setelah itu... astaga! Sungguh mustahil kalau nenek berkonde hijau itu
berhasil didesaknya!
Apakah... gila! Tentunya perempuan itu memang
telah mendapatkan khasiat bunga-bunga kera-
mat!" Dewi Lembah Air Mata sendiri berusaha untuk menjaga jarak dengan Ratu
Dinding Kema- tian. Tatkala berhasil menghindar dan hinggap
kembali di atas tanah, si nenek sudah merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Kepa-
lanya agak ditundukkan hingga tubuhnya mem-
bungkuk sedikit. Di lain saat dia sudah mengisak.
Ratu Dinding Kematian terheran-heran men-
dengar isakan si nenek. Di kejap berikutnya dia menggeram, "Hemmm... aku ingat.
Kalau isakan si nenek ini pernah membuat Raja Naga tergontai-gontai. Keparat!
Rupanya dia hendak menyerang-
ku dengan...."
Kata-katanya terputus karena tahu-tahu di-
rasakannya sesuatu menggedor keras kedua te-
linganya hingga berdenging-denging.
Dengan menggeram keras, Ratu Dinding
Kematian berusaha menahan isakan itu. Tetapi
isakan itu terus menerobos dahsyat ke kedua te-
linganya dan semakin keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja, tubuhnya
bergetar hebat.
"Keparat! Terkutuk!!" makinya gusar. Sakit tak terkira membuat aliran darahnya
bertambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti dihan-
tam gada besar berulang-ulang. Napasnya mulai
terasa sesak. Namun tiba-tiba saja perempuan mesum ini
memutar kedua tangannya ke atas yang segera
didorongnya. Dewi Lembah Air Mata melihat ge-
rakan itu. Sejenak dia hendak menghindar tetapi tetap melancarkan ilmu 'Air Mata
Purnama'. Namun karena tak merasakan sesuatu dari kedua
dorongan tangan Ratu Dinding Kematian, dia te-
tap berlutut tanpa bergeser.
Raja Naga yang sedang berpikir mengelua-
rkan Gumpalan Daun Lontar yang sedianya digu-
nakan untuk mengikis penderitaan Sibarani dan
Purwa, justru berteriak keras, "Menyingkir dari tempatmu!!"
Anak muda itu berusaha keras untuk men-
dorong tubuh si nenek. Tetapi dikarenakan kaki
kanannya yang semakin melemah dan bertambah
nyeri, tindakannya terlambat. Ya, terlambat!
Plaaakkk! Justru dirasakannya satu tepakan pada
punggungnya hingga tubuhnya berguling ke
samping kanan. Dilihatnya pula bagaimana orang
yang menepaknya tadi juga menepak punggung
Dewi Lembah Air Mata.
Kendati demikian, jeritan Dewi Lembah Air
Mata terdengar memecah tempat itu.
"Aaaakhhhhhh!!"
Kaki kirinya kutung terhantam tenaga tak
nampak. Sementara itu Ratu Tanah Kayangan yang
tadi berusaha bergerak cepat setelah melihat Raja Naga terganggu akibat luka
pada betis kanannya
pun terlempar ke belakang dengan tangan kanan
kutung! Dua sosok tubuh bergulingan hebat di sana.
Berputaran menahan sakit yang luar biasa. Darah yang telah bercampur dengan
tanah berceceran di sana. "Retno Harummmm!" teriak Raja Naga dan segera
menyambar tubuh si perempuan. Lagi-lagi
karena kaki kanannya terluka, saat hinggap kem-
bali di atas tanah, tubuhnya goyah dan dia ter-
banting di atas tanah dengan tubuh Ratu Tanah
Kayangan yang menindihnya.
Sakit pada dadanya tak terkira. Tetapi anak
muda itu tak mempedulikannya. Segera ditotok-
nya urat darah pada pangkal lengan kanan Ratu
Tanah Kayangan. Begitu ditotok, perempuan ber-
cadar sutera itu telah jatuh pingsan!
Dan kepanikan Raja Naga kian bertambah.
Karena saat ini Ratu Dinding Kematian sudah
menerjang ke arah Dewi Lembah Air Mata yang
masih menggeliat-geliat menahan sakit! Tetapi
sebelum serangan itu berhasil mengenai si nenek, sosok Ratu Dinding Kematian
terpental ke belakang tatkala kibasan tangan gempal melesat ke
arahnya. Menyusul gelombang angin dahsyat mengge-
bah menghantamnya!
Bila saja saat ini Ratu Dinding Kematian be-
lum mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke-
ramat, nyawanya tidak hanya lepas dengan tubuh
utuh, melainkan dengan tubuh lebur! Akan teta-
pi, kesaktian yang didapatkannya dari bunga-
bunga keramat benar-benar membuatnya menjadi
seseorang yang tangguh luar biasa.
Begitu tubuhnya terdorong ke belakang den-
gan deras, cepat diputar dengan cara mengam-
bang di udara. Kedua kakinya diluruskan dan
menghantam sebuah pohon yang sekaligus dija-
dikan sebagai pantulan gerakannya.
Pohon itu bukan hanya tumbang, tetapi pe-
cah berhamburan sementara sosoknya melesat
cepat ke arah Dewa Seribu Mata. Kakek gempal
itu memandang tak berkedip. Dadanya dibuncah
kemarahan tinggi. Dia memang terlambat berge-
rak karena dia sama sekali tak menyangka, apa
yang akan terjadi ketika Ratu Dinding Kematian
mendorong kedua tangannya. Dan sekarang, si
kakek gemuk menjadi sangat gusar.
Kedua telapak tangannya diusap satu sama
lain hingga mengeluarkan asap berwarna hitam
yang pekat. Aroma wangi seketika menyebar dan
menerpa indera penciuman masing-masing orang
yang berada di sana.
Raja Naga yang sedang berusaha mengatasi
rasa sakit pada diri Dewi Lembah Air Mata, segera melakukan totokan yang seperti
dilakukannya pada Ratu Tanah Kayangan. Dan seperti yang ter-
jadi pada perempuan bercadar sutera itu, si ne-
nek berkonde hijau itu pun jatuh pingsan.
Kemudian diangkat kepalanya, diperhati-
kannya bagaimana Dewa Seribu Mata sedang
mendorong tangan kanan kirinya setelah asap hi-
tam pekat itu lenyap sama sekali!
Suara berdentum sangat keras menggebah,
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat tempat itu laksana bergetar hebat. Raja Naga harus menahan tubuh Dewi
Lembah Air Ma-ta yang terjingkat naik. Lalu menggerakkan tan-
gannya pada sosok pingsan Ratu Tanah Kayangan
yang mencelat ke atas akibat tanah yang bergetar!
Menyusul didengarnya suara berdebam yang
luar biasa keras!
Seketika Raja Naga menoleh. Dilihatnya tu-
buh gemuk berpakaian hitam itu terbanting di
atas tanah! Untuk beberapa lamanya Dewa Seribu
Mata terdiam sambil memegangi dadanya yang
seperti remuk. Tapi di lain saat dia sudah berdiri.
Kedua kakinya agak goyah hingga dia limbung ke
kanan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. "Tiga Penguasa Bumi telah
mengetahui kehebatan apa yang akan didapatkan oleh orang
yang telah meminum air rendaman dari bunga-
bunga keramat. Tetapi aku sama sekali tak me-
nyangka kalau kesaktian yang didapatkan dari
bunga-bunga keramat itu lebih mengerikan dari
apa pun juga!"
Di seberang begitu tanah yang berhamburan
tadi luruh kembali ke bumi, terlihat Ratu Dinding Kematian tetap berdiri tegak
tanpa kurang suatu apa. Dan tanpa berkata apa-apa, dia sudah melesat ke arah
Dewa Seribu Mata!
Melihat apa yang akan dialami kakek gemuk
luar biasa itu, tanpa pikir panjang lagi Raja Naga sudah melesat ke depan.
Kendati kelihatan nekat karena menyongsong bahaya, Raja Naga masih
dapat mempergunakan otaknya. Seraya melompat
dikeluarkannya Gumpalan Daun Lontar yang se-
gera memancarkan sinar hijau.
Lalu diputarnya dan didorong untung-
untungan! Selarik sinar hijau yang luar biasa terangnya
menggebah. Ratu Dinding Kematian mendengus
sejenak tanpa kurang kecepatannya. Bahkan dili-
patgandakan tenaga dalamnya.
Bummmmm!! Benturan itu mengakibatkan ledakan yang
sangat luar biasa dahsyatnya. Tempat itu bergetar untuk kesekian kalinya. Sinar-
sinar hijau berpentalan ke udara, menerangi tempat itu beberapa
saat. Dan masing-masing orang yang saling ber-
benturan tadi sama-sama terpelanting ke bela-
kang. Raja Naga terbanting keras di atas tanah.
Tulang punggungnya terasa seperti patah. Luka
pada betisnya bertambah nyeri.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian juga
terbanting di atas tanah. Namun perempuan me-
sum ini masih dapat berdiri kembali kendati agak goyah. Dan terlihat wajahnya
menunjukkan ke-kagetan.
"Gila! Apa yang terjadi" Mengapa aku bisa
terhantam seperti ini"!"
Di pihak lain Dewa Seribu Mata sudah ber-
seru keras, "Anak muda bersisik! Kau dapat me-
nahan serangannya dengan benda sakti itu!!"
Begitu mendengar seruan si kakek gemuk,
dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya Raja
Naga bangkit dan mempersiapkan diri kembali.
Seluruh tulang di tubuhnya seperti memar dan
sakitnya sangat menyengat, terutama pada betis
kanannya yang terluka.
Sementara itu, Ratu Dinding Kematian men-
gerutkan keningnya. Matanya tak berkedip pada
benda yang memancarkan sinar hijau yang masih
berada di tangan Raja Naga.
"Gumpalan Daun Lontar! Gila! Rupanya
benda itu mampu menahan seranganku! Apa-
kah... tidak! Itu hanya kebetulan saja! Biar kusi-kat dia sekarang!!"
Dipandanginya pemuda berompi ungu yang
dalam keadaan goyah itu. Ratu Dinding Kematian
juga mempersiapkan ilmu 'Kelabang Jinjit'. Saat kembali dikeluarkan ilmu itu dia
mendengus ketika teringat pada Bancak Bengek.
"Terkutuk! Ke mana si Kerempeng itu"! Men-
gapa dia belum tiba juga di sini"!"
Di pihak lain Raja Naga sudah tak bisa me-
nahan goyahan tubuhnya. Diputuskan untuk se-
gera melancarkan serangannya sekarang. Setelah
menguatkan diri dan meneguhkan perasaannya,
murid Dewa Naga itu segera melesat ke depan.
Gumpalan Daun Lontar didorongnya yang kali ini
bukan hanya selarik sinar hijau saja yang mele-
sat. Tetapi sinar hijau berbentuk layar lebar
menggebah! Ratu Dinding Kematian menggeram dan se-
gera menerjang pula!
Benturan tak terkira dahsyatnya terjadi
kembali. Tanah yang bergetar hebat itu membuat
tubuh pingsan Ratu Tanah Kayangan dan Dewi
Lembah Air Mata terjingkat ke atas. Sementara
itu baik Purwa maupun Sibarani sudah semakin
menggila dengan garukan-garukan pada tubuh
mereka. Raja Naga terpental deras ke belakang. Tu-
buhnya menghantam sebuah pohon hingga patah.
Keluhan tertahan terdengar cukup nyaring. Saat
terbanting lagi ke depan, mulutnya menggembung
dan.... "Huaaaakkk!!"
Pemuda itu muntah darah!
Di pihak lain, Ratu Dinding Kematian yang
telah melipatgandakan tenaganya, langsung ber-
diri begitu terbanting di atas tanah. Walaupun dirasa punggungnya nyeri, tetapi
dia segera berdiri lagi. Dan menyusul serangan ganasnya datang
menyerbu Raja Naga!
Dewa Seribu Mata yang tiba-tiba matanya
bergerak menjadi banyak, mencoba menahan. Dia
mampu melakukannya dengan serangan melalui
kedua matanya yang seakan menjadi banyak. Su-
ara laksana pasir disiram menggebah. Tetapi saat itu pula tubuhnya terbanting di
atas tanah karena dorongan angin yang kuat. Masih beruntung
kakek gemuk luar biasa itu dapat menghindari
sentuhan tangan Ratu Dinding Kematian yang te-
lah dialirkan ilmu 'Kelabang Jinjit'!
Dan sekarang... nasib Raja Naga sudah be-
rada di ujung tanduk!
Namun sebelum maut menjemput nyawa
anak muda dari Lembah Naga itu, tiba-tiba saja
terdengar suara bergetar yang berdenging-denging disusul satu suara,
"Mengapa harus menurunkan tangan telen-
gas mengerikan seperti ini, Ratna Wangi"!"
Blaaammmmm!! Serangan ganas Ratu Dinding Kematian pu-
tus di tengah jalan. Orangnya sendiri sudah
mundur ke belakang. Begitu tegak di atas tanah, kepalanya menegak dengan mata
bergerak-gerak liar mencari orang yang bersuara sekaligus me-
nahan serangannya pada pemuda berompi ungu.
"Suara itu... suara itu...," desisnya sedikit panik dalam hati. Tetapi di lain
kejap desisannya sudah berubah menjadi geraman, "Siapa pun
yang menghalangi keinginanku, dia harus mam-
pus di tanganku!"
Kemudian dilihatnya seorang kakek agak
bongkok yang mengenakan pakaian dan jubah
putih panjang telah berdiri di samping kanan Raja Naga yang sedang berusaha
bangkit. Kakek yang
seluruh rambut dan bulu yang menghiasi tubuh-
nya ini berwarna putih, pandangi Ratu Dinding
Kematian dengan mata teduhnya. Tertangkap ke-
san kalau mata teduh itu memancarkan sorot ke-
sedihan sekaligus penyesalan.
Tetapi Ratu Dinding Kematian tidak mempe-
dulikannya. Dia justru berteriak lantang, "Guru!
Jangan ikut campur urusanku! Namun bila Guru
berkehendak demikian, aku tak segan-segan un-
tuk turunkan tangan!"
SEPULUH KAKEK yang pada masing-masing pergelan-
gan tangannya terdapat sebuah gelang terbuat
dari baja putih berkata lembut, "Ratna Wangi...
kembalilah ke jalan yang benar. Kau telah salah melangkah, Muridku...."
Sesaat Ratu Dinding Kematian tak bersuara.
Matanya yang kejam sedikit mengerjap-ngerjap
pada kakek di hadapannya. Namun di saat lain
dia sudah membentak gusar
"Guru! Jangan ikut campur urusanku!!"
"Hingga saat ini, aku tak pernah punya niatan untuk ikut campur dalam urusan
orang lain! Kalaupun aku ikut campur dalam urusan ini, ka-
rena kau adalah muridku, Ratna Wangi. Kau se-
makin dalam terjerumus pada jurang kesesatan.
Sadarlah. Muridku... kembalilah ke jalan yang
benar." "Guru! Sekali lagi kukatakan, jangan ikut campur urusanku!!" geram Ratu Dinding
Kematian, namun kali ini suaranya agak bergetar.
Kakek bermata dan berwajah teduh yang
bukan lain Dewa Pengasih adanya menggeleng.
"Sebelum kulihat kau menginsyafi semua ke-
salahanmu, aku akan tetap berada di sini, Murid-ku...."
Ratu Dinding Kematian tak menjawab. Da-
danya dipenuhi gemuruh keras. Namun di kejap
lain dia sudah melesat ke depan.
Akan tetapi, sebelum dia bergerak, tiba-tiba
saja tubuhnya terbanting di atas tanah. Karena
dirasakan kedua kakinya seperti tersambar satu
tenaga tak nampak.
"Maafkan aku, Muridku... terpaksa aku ha-
rus bertindak sedikit keras padamu...."
Ratu Dinding Kematian bangkit dengan ka-
lap. Wajahnya menghitam penuh amarah.
"Ke mana perginya Bancak Bengek"! Menga-
pa dia tidak muncul di sini"!" serunya dalam hati.
Dewa Pengasih berkata lagi, "Berpikir jernih-lah, Muridku. Kau sudah berada di
ambang ke- hancuran dari jalan yang kau pilih. Aku sama sekali tak ingin turunkan tangan.
Walaupun demi- kian, tak ada jalan lain lagi untuk menghentikan sepak terjangmu selain
mengatakan kelemahan-mu." "Orang tua keparat! Jangan berlaku sombong di
hadapanku! Kau tak akan mampu meng-
hadapiku sekarang!"
"Siapa pun akan sulit menghadapi orang
yang telah mendapatkan kesaktian dari bunga-
bunga keramat! Tetapi... kau melupakan satu hal!
Ada seseorang yang sebenarnya mampu menga-
lahkanmu! Aku sendiri yakin, kalau orang itu sebenarnya tak tahu kalau dia mampu
mengalah- kanmu!" Huh! Tak seorang pun yang akan mampu
melakukannya!" seru Ratu Dinding Kematian
dengan kepala tegak. Sorot matanya penuh tan-
tangan. Dewa Pengasih menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Raja Naga yang telah berdiri kembali dengan
sekujur tubuh terasa nyeri memandangi si kakek
dengan keheranan.
"Sebelum ini, Dewa Pengasih mengatakan
kepadaku, kalau tak seorang pun yang bisa men-
galahkan orang yang telah mendapatkan kesak-
tian dari bunga-bunga keramat. Tetapi sekarang
dia justru berkata kebalikannya. Ada apa ini"
Apakah dia sengaja mencoba meluluhkan hati Ra-
tu Dinding Kematian?"
Dewa Pengasih berkata lagi, kali ini sambil
melirik Raja Naga, "Anak muda bersisik... aku ta-hu apa yang kau pikirkan.
Kalaupun aku tidak
pernah mengatakan padamu kalau ada seseorang
yang mampu mengalahkan orang yang telah
mendapatkan kesaktian dari bunga-bunga kera-
mat, itu disebabkan karena aku tak ingin orang itu membunuh muridku ini. Anak
muda... aku sangat menyayangi dan mengasihinya kendati dia
telah murtad. Aku masih berkeinginan dia tetap
menjadi muridku dan kembali ke jalan yang be-
nar. Tetapi sekarang... melihat sikap muridku ini, aku tak bisa berbuat
banyak...."
Raja Naga segera berseru, "Dewa Pengasih!
Aku pun tak ingin mencelakakannya! Siapa pun
orangnya juga tak punya pikiran demikian! Hanya saja... siapa pun orangnya pasti
akan berusaha menghentikan segala sepak terjangnya yang su-
dah kelewat batas! Apakah tindakan itu salah?"
Dewa Pengasih menggelengkan kepalanya.
"Tidak, itu tidak salah sama sekali. Tetapi...,"
kakek bermata teduh ini memutus kata-katanya
sejenak. Seraya pandangi Ratu Dinding Kematian
yang juga sedang memandangnya dilanjutkan
ucapannya, "Ratna Wangi... apakah kau tetap tidak mau menghentikan segala sepak
terjangmu ini?" "Kau terlalu banyak bicara, Orang tua! Kau pun akan kubunuh!!"
"Ratna Wangi!" membentak Raja Naga dengan suara bergetar. Dari sela-sela
bibirnya mengalir darah segar. "Kau benar-benar sudah digeluti iblis! Hatimu
sudah berubah liar! Kau tak lagi menghormati gurumu!"
"Siapa pun yang menghalangiku, maka dia
akan mampus!!" geram Ratu Dinding Kematian keras dan bersiap untuk melancarkan
serangannya lagi.
Sebelum Raja Naga menyahut, Dewa Penga-
sih sudah berkata, "Anak muda... kuserahkan dia padamu. Karena... kaulah yang
dapat membunuhnya...."
* * * Raja Naga melengak kaget. Matanya mem-
buka lebar. "Orang tua...," katanya terbata. "Aku tak mengerti maksudmu...."
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Pengasih menghela napas pendek.
"Kau memiliki tato gambar naga pada pung-
gungmu. Sebelum kau dipungut sebagai murid
oleh Dewa Naga, aku telah mendengar tato aneh
yang kau bawa sejak kau dilahirkan. Kau harus
dapat memecahkan rahasia tato itu, Anak mu-
da...." Raja Naga hendak menyahut, tetapi urung
karena Dewa Pengasih sudah berbalik dan me-
langkah. Baru tiga tindak dia melangkah, gemuruh
angin dahsyat sudah menerjang ke arahnya. Ka-
kek itu tidak berbalik, malah terus melangkah.
Justru Raja Naga yang tersentak. Dia segera me-
lompat ke depan.
Tetapi begitu teringat akan kata-kata Dewa
Pengasih, segera dibalikkan tubuhnya. Hingga ki-ni dia melompat dengan punggung
terlebih dulu. Raja Naga sendiri hingga saat ini belum berhasil memecahkan rahasia tato gambar
naga yang terdapat pada punggungnya. Bahkan kerap kali dia
dibingungkan oleh tato itu. Karena tiba-tiba saja tato itu memiliki kekuatan
dahsyat yang bisa keluar secara tiba-tiba tanpa dipergunakan-nya.
Dan bisa juga tidak keluar apa-apa, seperti sejak tadi dia berhadapan dengan
Ratu Dinding Kematian. Namun kali ini dia bertindak lebih nekat!
Ratu Dinding Kematian yang telah dibuncah
amarah tinggi, semakin bernafsu. Tangan kanan
kirinya yang juga telah dialirkan ilmu 'Kelabang Jinjit' siap menepak punggung
Raja Naga. Tentunya bukan hanya akan membuat anak muda
itu mengalami nasib naas seperti Purwa dan Sibarani. Tetapi selain gatal-gatal
yang luar biasa, ten-
tunya tubuhnya akan hancur karena kesaktian
bunga-bunga keramat!
Raja Naga sendiri meringis tatkala merasa-
kan tubuhnya laksana ditampar oleh gemuruh
angin yang menderu ke arahnya. Namun tiba-tiba
saja.... Claasss!! Seekor naga hijau berbentuk bayangan me-
lesat dari punggungnya. Ratu Dinding Kematian
tersentak melihatnya. Namun di saat lain dia tak mempedulikan dan semakin
bernafsu! Blaaaarrrrr!! Letupan keras itu terdengar. Raja Naga ter-
pelanting ke belakang sejenak. Bersamaan den-
gan itu satu suara terdengar sangat keras.
"Aaaaakhhhhh!!"
Tubuh Ratu Dinding Kematian terguling ke
belakang dengan cepat. Dia baru bisa menghenti-
kan gulingan tubuhnya setelah menabrak sebuah
pohon. Setelah dia berdiri, keningnya sedikit berkerut tatkala melihat seekor
naga hijau besar
berbentuk bayangan melenggak-lenggok di hada-
pannya. Di seberang, Raja Naga sedang berdiri
sambil memperhatikan naga hijau itu.
Telinganya menangkap suara, "Kau dapat
mengalahkannya sekarang, Anak muda. Dan su-
dah seharusnya kau berusaha memecahkan ra-
hasia tato gambar naga pada punggungmu itu...."
Raja Naga mendesah pendek. Tak lagi dili-
hatnya sosok Dewa Pengasih di sana. Dan dia ju-
ga tidak lagi melihat sosok Ratu Tanah Kayangan yang pingsan dengan tangan kanan
buntung. "Tentunya dia dibawa oleh kakek berjubah
putih itu," kata Raja Naga dalam hati. "Aku tak tahu apakah yang dikatakan Dewa
Pengasih itu benar. Tetapi barangkali inilah kesempatan yang ada...."
Kemudian diliriknya Dewa Seribu Mata yang
sedang berdiri di hadapan tubuh Purwa yang ma-
sih menggaruk-garuki tubuhnya. Sekujur tubuh-
nya kini penuh luka akibat garukan kedua tan-
gannya. "Kakek gemuk itu nampaknya sedang beru-
saha mengobati Purwa. Mudah-mudahan dia ber-
hasil melakukannya. Juga terhadap Sibarani...."
Habis membatin demikian, pemuda bermata
angker itu mendesis, "Ratna Wangi! Kini habislah apa yang kau lakukan! Lebih
baik menyerahkan
diri untuk diadili!"
"Peduli setan dengan ucapanmu! Akan ku-
hancurkan naga siluman itu!!"
Di kejap lain Ratu Dinding Kematian sudah
menggebrak ganas. Tangan kanan kirinya dido-
rong ke arah naga hijau berbentuk bayangan yang sedang melenggak-lenggok. Tak
ada suara yang terdengar, tak ada apa-apa yang terasa!
Tetapi justru Raja Naga yang segera melom-
pat ke samping kanan, karena dilihatnya sesuatu menerobos bayangan naga hijau
itu. Blaaammmm!! Ranggasan semak di belakangnya seketika
hancur berantakan. Menyusul dilihatnya Ratu
Dinding Kematian terperangah dan mundur tiga
tindak. Matanya tak berkedip pada bayangan na-
ga hijau yang masih melenggak-lenggok.
"Celaka! Rupanya yang dikatakan Dewa Pen-
gasih itu benar!" desisnya dalam hati dengan wajah pias. "Peduli setan! Aku
harus melabraknya!
Harus kulakukan!"
Lalu dengan bertubi-tubi diiringi teriakan
mengguntur, Ratu Dinding Kematian menyerang
bayangan naga hijau itu. Tetapi semua serangan
yang dilakukannya bagai menerobos asap. Bah-
kan dia memekik keras tatkala naga hijau itu me-luruk ganas.
Ratu Dinding Kematian masih berhasil melo-
loskan diri. Tanah di mana dia berpijak tadi
memburai terhantam moncong bayangan naga hi-
jau yang kini menyerangnya dengan cepat.
Berulang kali pekikan Ratu Dinding Kema-
tian terdengar. Wajahnya kali ini pucat bagai
mayat. Tak ada lagi tawa mengejek maupun se-
ringaiannya. Yang terlihat hanyalah kepanikan
belaka. Raja Naga sendiri mendesah pendek melihat
keadaan itu. Dan dipalingkan kepalanya ke bela-
kang tatkala dilihatnya mulut bayangan naga hi-
jau itu melebar dan....
Craasss!! Mencaplok kepala Ratu Dinding Kematian
yang berteriak setinggi langit. Tubuhnya terbanting-banting di atas tanah karena
naga hijau itu membanting-bantingnya. Setelah beberapa lama,
kepala bayangan naga hijau itu menyentak.
Sosok Ratu Dinding Kematian terlempar de-
ras ke belakang! Begitu terbanting di atas tanah,
kepalanya telah terpisah dari tubuhnya!
Raja Naga menarik napas pendek melihat
keadaan yang mengenaskan itu.
"Tak ada jalan lain.... Membiarkan perem-
puan itu hidup lebih lama, sama artinya dengan
membiarkan puluhan nyawa berjatuhan...."
Lalu dilihatnya bayangan naga hijau yang
masih melenggak-lenggok itu melesat dan lenyap
pada punggungnya. Raja Naga mengejut sejenak
ketika naga hijau itu masuk.
Setelah beberapa saat ditariknya napas da-
lam-dalam. Ada kepedihan pada sorot matanya
yang angker. Kemudian dengan sempoyongan di-
dekatinya Dewa Seribu Mata yang rupanya belum
berhasil mengobati Purwa.
Raja Naga mendesah pelan.
"Biar kucoba mengobatinya. Orang tua ge-
muk, tolong kau carikan aku air...."
Memerintah Dewa Seribu Mata sebenarnya
enggan dilakukan oleh Raja Naga. Tetapi mau tak mau dia harus melakukannya.
Setelah Dewa Seribu Mata mencari air, dikeluarkannya Gumpalan
Daun Lontar dari balik tubuhnya. Berhati-hati
diusapinya seluruh tubuh Purwa dengan benda
yang mengeluarkan cahaya hijau itu. Pada Siba-
rani pun dilakukan hal yang sama.
Raja Naga menunggu beberapa saat. Dilihat-
nya baik Purwa maupun Sibarani sudah tidak lagi menggeliat-geliat hebat seperti
tadi. Mereka juga tidak menggaruk-garuk karena mereka kemudian
telah jatuh pingsan. Namun luka pada tubuh
masing-masing orang akibat garukan tadi masih
kelihatan. Raja Naga segera mendekati Dewi Lembah
Air Mata yang pingsan dengan kaki kiri remuk.
Diusapkannya pula Gumpalan Daun Lontar itu
pada kaki kiri Dewi Lembah Air Mata, setelah terlebih dulu membuka totokannya.
Dewa Seribu Mata muncul dengan membawa
air pada sebuah baki yang ditemukannya. Segera
Raja Naga merendam Gumpalan Daun Lontar
yang membuat air itu berwarna hijau. Selain
menjadi sebuah senjata yang tangguh, Gumpalan
Daun Lontar juga memiliki khasiat dapat me-
nyembuhkan berbagai macam penyakit
Dengan menahan napas, Raja Naga memi-
numkan air rendaman Gumpalan Daun Lontar itu
pada Purwa. Dia berdiam dulu sejenak untuk me-
rasakan perubahan pada tubuhnya. Tak terjadi
apa-apa. Rupanya akibat usapan Gumpalan Daun
Lontar tadi, gatal-gatal akibat ilmu 'Kelabang Jinjit' yang mengenai Purwa tidak
menularinya. Kemudian air yang sama diminumkannya pada Si-
barani dan Dewi Lembah Air Mata. Setelah itu dia juga meminumnya sendiri.
Kemudian ditarik napasnya pelan-pelan se-
belum kembali dimasukkannya Gumpalan Daun
Lontar itu pada balik pakaiannya. Luka pada be-
tisnya tidak terasa menyengat lagi.
Pelan-pelan anak muda ini berdiri. Dipan-
danginya kakek gemuk luar biasa di hadapannya
yang juga sedang memandangnya.
"Orang tua... nampaknya urusan ini telah selesai. Dan rasanya... aku harus
segera mene- ruskan perjalananku."
"Ke mana kau akan meneruskan perjala-
nanmu, Anak muda?" tanya Dewa Seribu Mata
kagum. Selama ini dia menduga kalau pemuda
itulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat,
hingga pemuda itu harus masuk dalam gelom-
bang maut yang diturunkannya juga oleh yang
lainnya. Raja Naga memandang ke kejauhan. "Aku
masih memikirkan tentang Bancak Bengek. Me-
nurut Ratu Tanah Kayangan yang telah dibawa
pergi oleh Dewa Pengasih, ilmu 'Kelabang Jinjit'
telah diturunkan oleh Bancak Bengek pada Ratu
Dinding Kematian. Bisa jadi kalau tak lama lagi Bancak Bengek yang akan
menurunkan keonaran...."
Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk. Di-
benarkannya apa yang dikatakan pemuda itu.
Didengarnya lagi pemuda bersisik coklat pa-
da lengan kanan kirinya berkata, "Sampaikan salamku pada Dewa Segala Dewa.
Sampai saat ini
aku belum pernah berjumpa dengannya. Barang-
kali, suatu ketika aku akan punya kesempatan
untuk berkenalan dengannya. O ya, sampaikan
juga salamku pada Puspa Dewi...."
Dewa Seribu Mata lagi-lagi tak menjawab.
Dibiarkannya pemuda itu kemudian melangkah
agak terpincang.
"Kau benar-benar memiliki ketabahan seo-
rang ksatria, Anak muda. Beruntung Dewa Naga
mempunyai murid seperti kau...."
Setelah pemuda berompi ungu itu lenyap da-
ri pandangannya, didekatinya Dewi Lembah Air
Mata yang masih pingsan dengan kaki kiri bun-
tung. "Nasibmu sungguh sial kasihku... Tetapi apa pun yang terjadi padamu... aku
akan tetap menikahimu... karena aku sangat mencintaimu...," desisnya sambil
memandangi wajah Dewi Lembah
Air Mata. Lalu diusapnya pipi kempot Dewi Lembah Air
Mata yang masih pingsan. Kemudian, pelan-pelan
dikecupnya kening si nenek berkonde hijau itu
penuh kasih sayang.
Ditungguinya sampai Dewi Lembah Air Mata,
Purwa dan Sibarani siuman dari pingsannya
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Iblis Lembah Tengkorak 2 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Siluman Goa Tengkorak 2
Masih berdiri di tempatnya, pemuda beram-
but dikuncir ini menarik napas dalam-dalam.
"Kata-kata Dewa Pengasih semakin menya-
darkanku, kalau tentunya sangat sulit untuk
menghadapi orang yang telah meminum air ren-
daman bunga-bunga keramat. Ah, apa yang ha-
rus kulakukan untuk menghadapi perempuan
itu" Apakah aku... hei!!"
Anak muda itu tercekat, seolah baru sadar
akan sesuatu. "Dia memanggil julukanku tadi! Astaga! Dia mengenalku rupanya!"
Untuk beberapa lama Raja Naga kemudian
terdiam. Otaknya dibuncah pikiran sekaligus ke-
gelisahan yang tumpang tindih. Dia dapat mem-
bayangkan musibah besar yang akan terjadi pada
dirinya. Dan dia lebih ngeri tatkala membayang-
kan, musibah yang jauh lebih besar dari apa yang akan dialaminya.
"Aku harus dapat menangkap Ratu Dinding
Kematian kendati harus kukorbankan nyawaku.
Karena... tak mustahil perempuan itu akan mela-
kukan keonaran yang sukar dibendung oleh siapa
pun juga...."
Pelan-pelan pemuda bermata angker ini me-
narik napas pendek. Lalu melangkah keluar dari
bangunan itu. Sinar matahari menerpa wajahnya,
sedikit terasa panas. Dirasakan angin hanya berputar-putar saja di sekitar sana,
menabrak dinding-dinding bukit dan berputar lagi.
"Apa pun yang terjadi... aku harus dapat
menangkap Ratu Dinding Kematian...," katanya membulatkan tekad.
Tiga kejapan mata kemudian, dengan gera-
kan-gerakan lincah, pemuda itu segera mening-
galkan Dinding Kematian yang tetap direjam sepi.
ENAM KETIKA matahari tepat berada di atas kepa-
la, kakek berpakaian serba biru dengan wajah teduh yang dipenuhi keriput itu
menghentikan langkahnya. Matanya tak berkedip ke depan. Se-
sekali diusap jenggot putihnya yang menjulai tan-pa keluarkan suara.
Gadis berpakaian ringkas warna kuning
yang tadi melangkah bersamanya, mau tak mau
juga menghentikan langkah. Sesaat diliriknya kakek di sebelahnya sebelum
mengikuti pandangan
mata si kakek. Dicobanya untuk mencari tahu
apa sebab-sebab si kakek menghentikan lang-
kahnya. Sesaat tak ada yang bersuara. Jalan setapak
itu senyap. Sengatan matahari tak begitu terasa, karena terhalang oleh tingginya
pepohonan. Tak enak berada dalam kebisuan, di samping
juga ingin tahu mengapa orang tua berjanggut
putih di sebelahnya berhenti melangkah, gadis
berwajah manis dengan tahi lalat pada sisi kiri pelipisnya berkata, "Kek! Apakah
ada sesuatu yang menarik perhatianmu hingga kita harus
berhenti di sini?"
Kakek berpakaian serba biru itu melirik, se-
belum tersenyum seraya mengangguk.
"Ya! Ada sesuatu yang menarik perhatianku!"
Gadis manis itu mengerutkan kening. Lalu
kembali mengarahkan pandangannya pada tem-
pat yang dipandang orang tua di sebelahnya.
"Aku tak melihat sesuatu yang menarik ke-
cuali pepohonan dan semak belukar! Aneh! Apa
yang sebenarnya dilihat kakek berjuluk Dewa Se-
gala Dewa ini" Apakah dia tertarik dengan pepo-
honan dan semak belukar?"
Kembali tak ada yang buka suara. Si gadis
berambut dikuncir ekor kuda dan diberi pita war-na kuning membatin lagi,
"Mungkin memang ada yang menarik perhatiannya, tetapi aku tak melihatnya...."
Kakek berpakaian serba biru itu berkata,
"Puspa Dewi... kau belum juga mengetahui apa yang menarik perhatianku?"
Gadis yang ternyata Puspa Dewi itu mengge-
leng. Diperhatikannya si kakek dengan seksama.
Sesaat ada kekagumannya. Setelah berpisah den-
gan Raja Naga. Puspa Dewi meneruskan langkah-
nya menuju ke Daerah Tak Bertuan. Kegigihan
murid Ratu Tanah Kayangan itu memang mem-
bawa hasil. Akhirnya dia tiba juga di Daerah Tak Bertuan. Kedatangannya di sana
disambut oleh Dewa Segala Dewa yang kini hanya seorang diri.
Setelah memperkenalkan siapa dirinya, Pus-
pa Dewi menceritakan maksud kedatangannya.
Dalam kesempatan itu pula Puspa Dewi menceri-
takan tentang Raja Naga, yang saat ini sedang di-buru oleh orang-orang
persilatan karena dianggap sebagai pencuri bunga-bunga keramat.
Dewa Segala Dewa menyuruhnya beristira-
hat sebelum malamnya diceritakan juga apa yang
telah terjadi. Dan keesokan paginya mereka me-
ninggalkan Daerah Tak Bertuan.
"Kulihat satu kelebatan di sana tadi...," kata Dewa Segala Dewa.
"Kelebatan?"
"Ya! Satu kelebatan!"
"Oh! Apakah dia Ratu Dinding Kematian?"
Dewa Segala Dewa menggeleng.
"Tidak! Orang yang berkelebat itu memang
samar hingga sulit bagiku untuk melihat wajah-
nya secara jelas. Tetapi yang pasti, dia tidak mengenakan pakaian dan usianya...
lebih tua dariku.
Walaupun hanya bersifat dugaan, aku bisa men-
getahuinya...."
"Siapakah dia, Kek?" tanya Puspa Dewi. Sedikit banyaknya dikagumi kerendahan
hati si ka- kek. Semula dikatakan kalau dia hanya samar-
samar melihat. Tetapi mengetahui orang yang
berkelebat itu lebih tua dari dirinya, bukankah itu sudah menunjukkan ketinggian
ilmu si kakek"
Dewa Segala Dewa mengusap usap janggut-
nya dulu sebelum menjawab, "Kalau tak salah ingat... dia adalah Bancak Bengek."
"Bancak Bengek" Kakek! Aku baru pertama
kali mendengar nama Itu!"
"Tak heran bila kau memang baru menden-
gar nama itu. Kau masih muda. Kau belum ba-
nyak tahu urusan. Aku pun merasa pasti, kau
baru pertama kali meninggalkan Tanah Kayan-
gan. Puspa... Bancak Bengek adalah orang yang
memiliki niatan busuk pada Eyang Gurumu."
"Telah lama aku mendengar julukan Eyang
Guru; Dewa Pengasih, tetapi hingga hari ini aku belum pernah berjumpa dengannya.
Hingga aku tidak tahu seperti apa rupanya. Dan aku tidak
tahu ada urusan apa antara Eyang Guru dengan
Bancak Bengek."
"Puspa... selama ini Bancak Bengek jarang
keluar dari tempat tinggalnya di Hutan Laknat.
Dan kalau memang benar orang yang berkelebat
tadi adalah Bancak Bengek, sudah tentu ada uru-
san besar yang sedang dihadapinya."
"Apakah ini ada hubungannya dengan Eyang
Guru?" "Biasanya, keluarnya Bancak Bengek selalu
dengan niatan untuk membunuh Dewa Pengasih!
Tetapi aku tak bisa menduganya saat ini."
Puspa Dewi mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Gadis yang pada punggungnya terdapat
sebilah pedang berhulu kepala burung elang ber-
kata, "Kek! Apakah ini ada hubungannya dengan Ratu Dinding Kematian?"
"Kemarin senja kita sudah tiba di Dinding
Kematian dan tak berjumpa dengan penghuninya!
Seperti yang pernah kuceritakan padamu, Pus-
pa... aku bukannya tidak mempercayai kata-kata
Purwa dan Sibarani kedua muridku itu yang
mengatakan kalau Raja Naga telah mencuri bun-
ga-bunga keramat. Justru ingatanku tiba pada
Dewa Pengasih. Kukaji lebih jauh lagi dan ra-
sanya tak mungkin Dewa Pengasih melakukan
tindakan keji. Menyusul ingatanku tiba pada ke-
dua muridnya dan kembali kukaji keadaan. Ah...
hingga kemudian kusimpulkan, kalau salah seo-
rang dari murid Dewa Pengasih yang melakukan-
nya. Tetapi sayang... dugaan itu baru terlambat
menjadi kenyataan...."
Dewa Segala Dewa menarik napas pendek
sebelum melanjutkan ucapannya, "Puspa... bisa jadi apa yang kau katakan tadi itu
benar. Karena aku juga pernah mendengar, kalau secara diam-diam Ratu Dinding
Kematian menjalin hubungan
busuk dengan Bancak Bengek. Puspa... aku juga
menduga kalau Ratu Dinding Kematian telah ber-
hasil mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke-
ramat." Puspa Dewi ink segera buka mulut. "Kek!
Adakah cara untuk menanggulangi khasiat dari
bunga-bunga keramat?"
Dewa Segala Dewa mengusap jenggot putih-
nya. Gerakannya begitu lambat, seolah hendak
diresapi usapannya. Tetapi di balik itu, tersimpan satu kegelisahan yang
berusaha untuk tidak dipe-lihatkannya.
Pelan-pelan kepala si kakek bergerak dan
matanya menatap gadis bertahi lalat pada pelipis sebelah kiri itu.
"Hingga saat ini, aku belum pernah tahu bagaimana caranya menanggulangi
kehebatan orang
yang telah meminum air rendaman bunga-bunga
keramat. Dan itu berarti...."
Dewa Segala Dewa tak meneruskan kata-
katanya. Puspa Dewi tak mengusiknya. Diam-
diam dia dapat merasakan kegelisahan yang di-
alami oleh kakek berpakaian serba biru itu.
"Ternyata semuanya ini telah berada dalam
satu lingkaran yang mengerikan. Tentunya kehe-
batan Ratu Dinding Kematian tak akan bisa di-
hentikan. Dan itu berarti... astaga! Bagaimana
dengan nasib Guru" Bagaimana"!" seru Puspa Dewi dalam hati. Perasaannya berdebar
keras, kegelisahan pun dirasakan dan bertambah men-
jadi-jadi. Dewa Segala Dewa melihat perubahan paras
gadis manis itu.
"Aku tahu kau mengkhawatirkan gurumu,
bukan?" Puspa Dewi mengangguk-angguk.
"Bukan hanya gurumu yang kukhawatirkan,
Puspa... tetapi seluruh kehidupan yang masih
akan terus berlangsung ini. Kabar sudah kuden-
gar pula kalau saat ini Raja Naga sedang membu-
ru Ratu Dinding Kematian. Itu artinya dia me-
mang sedang memburu kematian! Dan bisa jadi
ini akan melibatkan kemunculan Dewa Naga.
Bancak Bengek sudah muncul dan tak mustahil
Dewa Pengasih akan muncul pula. Berarti... akan semakin banyaknya para tokoh
yang akan ber-munculan kembali di rimba persilatan yang bisa
jadi dapat menimbulkan kesalahpahaman...."
"Kek! Kita harus menghentikan semua itu!"
Dewa Segala Dewa mengangguk.
"Ya! Kita memang harus menghentikan sega-
la tindakan busuk yang akan dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian! Karena bila
tidak, itu artinya membiarkan petaka terus menerus berdatangan
dan tak akan pernah berhenti sebelum ada yang
berhasil mengatasi Ratu Dinding Kematian!"
Hati gadis berpakaian kuning itu semakin
tak menentu. Lalu dilihatnya Dewa Segala Dewa
melangkah. "Kita teruskan langkah. Firasatku mengata-
kan, tak lama lagi kejadian buruk akan mengge-
bah rimba persilatan!"
TUJUH JAUH dari tempat Dewa Segala Dewa dan
Puspa Dewi menghentikan langkah, orang yang
kelebatannya dilihat oleh kakek berpakaian serba biru itu menghentikan
langkahnya di sebuah
tempat dipenuhi bebatuan. Semenjak tadi orang
bertubuh kurus kerempeng tanpa baju ini merasa
kalau dia melihat seseorang di saat berkelebat.
Tetapi dia tidak terlalu mempedulikannya. Setelah tiba pada satu pikiran,
barulah dihentikan langkahnya.
"Terlalu lama aku tak libatkan urusan den-
gan dunia ramai. Kalaupun aku keluar dari Hu-
tan Laknat, hanya untuk menjumpai Ratu Dind-
ing Kematian untuk melampiaskan nafsuku. Ilmu
yang kuciptakan untuk membunuh Dewa Penga-
sih belum sempurna, hingga belum kuputuskan
untuk mencarinya dan membalas kekalahan
ku...." Kakek berambut putih beriap-riap ini mem-
balikkan tubuhnya, memandangi jalan dari mana
dia datang tadi. Sepasang matanya yang meman-
carkan cahaya hitam berkilat-kilat. Kekejian sangat kentara sekali.
Dia mendesis lagi, "Kalau tak salah ingat,
Dewa Segala Dewa selalu mengenakan pakaian
serba biru! Astaga! Bisa jadi kalau orang yang kulihat tadi itu Dewa Segala
Dewa! Dan kalau tak
salah pula, kulihat seorang gadis berpakaian kuning di sebelahnya! Gila! Ratu
Dinding Kematian
juga mengenakan pakaian berwarna kuning"
Apakah... tidak, tidak mungkin! Perempuan me-
sum itu menginginkan nyawa Tiga Penguasa Bu-
mi, tak mungkin dia mau bergabung dengan De-
wa Segala Dewa! Kalau begitu... perempuan ber-
pakaian kuning yang bersamanya itu bukanlah
Ratu Dinding Kematian!"
Kakek kurus ini menarik napas dalam-
dalam, hingga tulang-tulang pada dadanya ber-
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tonjolan keluar.
"Ratu Dinding Kematian telah memiliki bun-
ga-bunga keramat! Dan dia juga belum meman-
faatkan bunga-bunga itu! Berarti...," memutus ucapannya sendiri, bibir keriput
menghitam itu menyeringai. "Begitu bodoh bila tidak segera ku manfaatkan! Sebaiknya kudatangi
Dinding Kematian untuk mengambil bunga-bunga keramat itu!"
Si kakek tertawa puas pada pikirannya sen-
diri. "Masa bodoh dengan Tiga Penguasa Bumi untuk saat ini! Sebaiknya...."
Kata-katanya terputus begitu pendengaran-
nya yang tajam mendengar suara dari balik rang-
gasan semak. Kejap itu pula dia melesat menyer-
gap. "Siapa yang berani lancang mencuri dengar ucapanku, hah"!"
Semak belukar itu langsung tersibak dan
berpentalan. Tangan kurus Bancak Bengek me-
nyambar dan... tap!
Sebuah leher jenjang yang halus tertangkap
oleh tangan kurusnya! Tetapi saat itu pula dia
membeliak sebelum tertawa keras.
'"Astaga! Tak kusangka kalau aku menda-
patkan daging segar seperti ini!!"
Sementara tawa Bancak Bengek semakin ke-
ras, perempuan yang lehernya dicengkeram tan-
gan kurus itu menggeliat-geliat berusaha mele-
paskan diri. Napasnya seketika terasa sesak. Sepasang payudaranya yang dibalut
kain kebaya lu-
suh itu bergerak-gerak.
Bancak Bengek mengarahkan pandangannya
pada sepasang benda yang bergerak lembut itu.
"Heepp... lepas... lepaskan aku...," desis si perempuan dengan suara memelas.
"Astaga! Kau datang pada saat yang tepat perempuan!"
"Ampun... ampuni aku... kumohon... le-
paskan aku...."
Bancak Bengek hanya tertawa saja. Tanpa
melepaskan cengkeraman pada leher jenjang mu-
lus itu dibantingnya tubuh sintal yang seketika terkapar di atas tanah. Saat
terbanting kebaya
bagian bawah si perempuan terlepas dan mem-
perlihatkan sepasang paha mulus yang gempal.
Mata bercahaya hitam milik Bancak Bengek
semakin melebar.
"Kau tentunya sudah berpengalaman dalam
urusan bawah perut! Ayo, layani aku!!"
"Tidak... ampun... jangan... jangan lakukan itu..." ratap si perempuan makin
ketakutan. Tiba-tiba Bancak Bengek membentak, hingga
si perempuan merasa jantungnya seperti copot.
"Menolak keinginanku, berarti kau bersiap
untuk mampus!!"
"Jangan... jangan lakukan itu...," ratap si perempuan ketakutan. Wajah jelitanya
seketika pias. Dia beringsut mundur.
Tetapi kaki Bancak Bengek sudah menye-
paknya hingga dia terguling dan tengkurap. Be-
lum lagi si perempuan bangkit Bancak Bengek
sudah menindihnya. Dirobek-robeknya kain ke-
baya yang dikenakan si perempuan yang menje-
rit-jerit ketakutan.
Masih menindih si perempuan yang dalam
keadaan tengkurap, Bancak Bengek membuka ce-
lananya sendiri, sementara tangan kanannya me-
remas-remas pantat bulat yang sudah tak tertu-
tup apa-apa. "Aku belum pernah melakukannya seperti
ini! Kau sungguh pandai mencari posisi!!"
Sedikit paksa, disentakkan kedua paha si
perempuan hingga terbuka lebar. Mata Bancak
Bengek makin berkilat-kilat melihat tonjolan pantat yang montok itu. Lebih
bernafsu lagi ketika melihat agak ke bawah, sesuatu yang mencuat
membuat napasnya mendengus-dengus.
Tetapi sebelum dilakukan niatnya itu, satu
suara telah membentaknya, "Betul-betul kapiran!
Kupikir aku tak akan berjumpa lagi denganmu,
Kakek kerempeng! Dan selagi berjumpa, kau se-
dang berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang
istimewa!!"
Serentak Bancak Bengek bangkit dan mem-
betulkan celananya. Sementara masih dalam kea-
daan polos, perempuan itu menangis dengan tu-
buh masih tengkurap.
"Kau benar-benar membuatku ngiri! Dulu
kau selalu memuja tubuhku, terutama payudara-
ku yang kau bilang hanya payudara para bidadari yang dapat menandanginya! Tapi
sial, sungguh sial! Aku tak bisa melawan waktu yang terus bergerak hingga tubuhku sudah
menjadi peot seperti ini!!" Bancak Bengek sesaat tak buka suara. Matanya
memandang tak berkedip pada nenek
bongkok yang pada kepalanya terdapat tiga tang-
kai bunga mawar segar.
Kejap berikutnya dia sudah mendengus, "Se-
tan perempuan! Aku juga tak menyangka kau
akan muncul di hadapanku sekarang! Sial betul,
kedatanganmu mengganggu keasyikanku!!"
Si nenek yang berusia sekitar tujuh puluh
lima tahun itu tertawa hingga kedua pipinya tertarik ke dalam dan keluar, karena
si nenek tidak mempunyai gigi lagi. Parasnya dipenuhi keriput
yang sangat banyak. Di bawah matanya seperti
ada daging tua yang menggelambir.
Nenek berpakaian merah menyala ini berse-
ru, "Mana mau aku mengganggu keasyikanmu, hah"! Kalaupun aku mau, karena aku iri
saja dengan keberuntungan perempuan itu!"
Bancak Bengek sesaat melirik si perempuan
yang masih tengkurap menangis dalam keadaan
polos. Matanya menghujam pada pantat montok
yang mencuat itu.
Kemudian bentaknya pada si nenek tanpa
gigi, "Nyai Darah Sumba! Siapa pun orangnya sudah tentu akan memilih daging
segar ketimbang
daging busuk yang sudah dipenuhi banyak ulat!
Lebih baik kau menyingkir agar tidak timbul urusan!" Bukannya gusar dibentak
seperti itu, si nenek yang pada rambut putihnya terdapat tiga
buah bunga mawar segar justru terkikik-kikik.
"Gila, sungguh gila! Siapa ingin bikin urusan denganmu, Bancak Bengek"! Tetapi
kau boleh mengingat-ingat, kalau kau belum pernah menga-
lahkanku sekali juga! Dan kita tentunya sama-
sama tahu, setelah sekian lama berdiam diri di
tempat sunyi, kita telah menciptakan banyak il-
mu-ilmu baru! Bagus, bagus sekali! Mungkin ini
kesempatanku untuk menjajal ilmuku!!"
Bancak Bengek mendengus. Dia sama sekali
tidak menyangka akan berjumpa dengan Nyai Da-
rah Sumba, perempuan yang pernah menjadi ke-
kasihnya lima puluh tahun yang lalu. Selama ber-tahun-tahun Bancak Bengek
mendapatkan tem-
pat pelampiasan nafsunya, sebelum kemudian dia
terlibat urusan dengan Dewa Pengasih yang mau
tak mau membuatnya meninggalkan Nyai Darah
Sumba. Sebelum kakek kerempeng itu buka mulut,
si nenek sudah berseru lagi, "Biarpun aku ingin menjajal ilmuku, tetapi tidak
perlu! Ya, tidak per-
lu kulakukan padamu! Asal...."
"Asal apa, hah"!"
"Kau serahkan perempuan itu kepadaku!"
"Gila! Sejak kapan kau suka pada perem-
puan, hah"!"
Si nenek terkikik.
"Jangan berlaku aneh di depanku! Bancak
Bengek, sejak dulu kita selalu berhubungan ba-
dan. Tetapi kau tahu sesuatu yang tidak pernah
kita dapatkan" Sesuatu yang tak bisa mengikat-
mu untuk terus menjadi pendampingku"!"
Bancak Bengek mendengus.
"Sejak dulu perempuan ini menginginkan
seorang anak, tetapi aku tak pernah berhasil
memberikannya! Aku yakin, bukan aku yang
mandul, tetapi dia!"
Habis membatin demikian, dengan suara ge-
ram Bancak Bengek berseru, "Nyai Darah Sumba!
Kalaupun aku berhasil memberimu seorang anak,
tak akan sudi aku menikahimu!"
"Gila, gila betul! Siapa yang ingin kau nikahi" Aku hanya kau ingin terikat
padaku!" "Siapa orangnya yang sudi berhubungan le-
bih lama dengan perempuan mandul seperti
kau!!" Diejek seperti itu, Nyai Darah Sumba cuma
tertawa. "Ya, kau betul sekali! Sangat betul! Itulah sebabnya, sekarang ini sedang
kukumpulkan perempuan-perempuan cantik untuk menjadi pen-
gikut ku! Dan di antara mereka akan kuangkat
seorang Ratu yang harus dihormati tetapi harus
menghormatiku! Lalu akan kucari seorang jejaka
atau lelaki mana pun juga untuk membuahi sang
Ratu! Dan anak yang akan terlahir itulah yang
akan kudidik untuk kuturunkan seluruh ilmu
yang kupunyai!"
"Terlalu berbelit-belit!"
"Itu urusanku! Sekarang, serahkan perem-
puan itu kepadaku! Karena kutangkap satu fira-
sat, kalau dialah sang Ratu yang akan kujadikan sebagai orang kepercayaanku!!"
"Walaupun aku tak bisa lagi menahan ama-
rah karena kemunculannya, tetapi aku tak ingin
terlibat urusan lebih lama dengannya. Lagi pula, masih bisa kudapatkan
perempuan-perempuan
yang akan kujadikan sebagai tempat pelampiasan
nafsuku selain perempuan montok itu!"
Memutuskan demikian, Bancak Bengek ber-
kata, "Kau bawa perempuan itu, dan segera tinggalkan tempat ini!!"
Nyai Darah Sumba tertawa-tawa.
"Bagus, bagus kalau kau mengerti keadaan,"
katanya seraya mendekati perempuan yang masih
dalam keadaan polos itu. Nyai Darah Sumba ber-
kata lembut, "Perempuan... bangunlah. Kau tidak perlu takut dengan kakek jelek
ini... Ayo, bangun... dan sebutkan namamu...."
Mendengar ucapan lembut itu, si perempuan
pelan-pelan bangkit seraya berusaha menutupi
bagian-bagian tubuh terlarangnya dari mata Ban-
cak Bengek yang melotot.
"Terima... terima kasih atas... pertolongan-mu, Nek...," katanya terbata.
"Jangan panggil aku seperti itu. Kau boleh panggil aku 'Nyai'. Katakan, siapa
namamu...."
Perempuan itu melirik Bancak Bengek dulu
dengan takut-takut sebelum berkata lirih, "Namaku.... Ganda Arum... orang-orang
di desaku, me- manggilnya dengan sebutan Nyai Ganda Arum...."
"Hik hik hik... nama yang bagus, bagus seka-li! Dan aku tak akan salah memilih
orang! Ganda Arum... mengapa kau berada di tempat seperti
ini?" Nyai Ganda Arum terdiam sejenak. Ingatannya kembali pada peristiwa
beberapa hari lalu, di mana ketika dia sedang asyik bercinta dengan
Dat Mala, suaminya tiba-tiba muncul dan mem-
bunuh Dat Mala. Nyawanya masih tertolong kare-
na munculnya Dewa Seribu Mata, yang mengu-
sirnya begitu saja (Teman-teman pembaca bisa
mengetahui semua itu dalam episode: "Terjebak di Gelombang Maut").
Tiba-tiba sepasang mata Nyai Ganda Arum
berkilat-kilat. Nyai Darah Sumba sesaat menge-
rutkan keningnya melihat perubahan mata si pe-
rempuan. Kemudian didengarnya kata-kata Nyai Gan-
da Arum, "Nyai... ajari aku ilmu yang hebat, untuk membalas sakit hatiku atas
perlakuan Dewa Seribu Mata...."
Kepala Nyai Darah Sumba sesaat menegak
sebelum kikikannya yang keras berkumandang.
"Ya, ya! Kau bukan hanya akan menda-
patkan ilmu yang hebat, tetapi kau akan menjadi seorang ratu!!" serunya. Lalu
berkata pada Ban-
cak Bengek, "Kapan-kapan... kita bertemu lagi!
itu pun... kalau kau masih hidup! Karena dari
pancaran matamu, kau sedang terlibat satu uru-
san! Aku tidak tahu apakah dugaanku ini benar
atau tidak, tetapi yang pasti... sampai kapan pun juga kau tak akan pernah
melupakan kekala-hanmu dari Dewa Pengasih!"
Sebelum kakek kerempeng itu menyahut,
Nyai Darah Sumba sudah berkata pada Nyai
Ganda Arum, "Ikuti aku, Ganda Arum! Kita akan mencari pakaian untukmu di
perjalanan!"
Masih dalam keadaan polos karena pakaian-
nya tak mungkin lagi bisa dipakai, Nyai Ganda
Arum mengikuti langkah si nenek berpakaian me-
rah lusuh yang sudah mendahului.
Di tempatnya Bancak Bengek menelan lu-
dahnya berkali-kali melihat pantat mencuat yang bergoyang-goyang penuh gairah
itu. Tetapi di lain saat dia sudah kembali pada tujuannya semula
dan meninggalkan tempat itu.
DELAPAN KELEBATAN Raja Naga seketika terhenti
tatkala didengarnya suara letupan berulang-ulang dari satu tempat. Sejenak anak
muda bersisik coklat pada lengan kanan kiri ini menajamkan
pendengarannya. Samar-samar ditangkapnya
bentakan demi bentakan bernada amarah. Kepala
Raja Naga menegak ketika ditangkap bentakan
yang membuat dadanya berdebar.
Kejap itu pula dia berkelebat untuk mencari
asal letupan dan bentakan yang keras itu.
Belum lagi dia tiba di tempat itu, tiba-tiba
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja sebuah pohon yang tumbang menderu keras
ke arahnya. Dengan sigap Raja Naga menghantam
luncuran pohon itu hingga terpecah menjadi dua
dan berpentalan.
Lalu dilihatnya cahaya warna-warni bertabu-
ran di udara. Dadanya semakin berdebar ken-
cang, terutama ketika mendengar bentakan, "Serahkan Kitab Ajian Selaksa Sukma
bila kau masih ingin melihat matahari besok!!"
"Jangan berpikir semudah itu kau dapat
mengalahkanku, Ratna Wangi! Tak mudah!"
"Akan kubuktikan kalau ucapanmu itu salah
besar!!" Buummm!! Ledakan dahsyat itu menggebah keras. Raja
Naga melihat tanah muncrat setinggi dua tombak
disusul dengan cahaya warna-warni dan cahaya
terang yang saling tumpang tindih.
Raja Naga tercekat dengan suara menjerit
yang dikenalinya.
"Ratu Tanah Kayangan!" desisnya seraya melesat ke depan. Saat itu dilihatnya
satu bayangan kuning sudah menggebah dengan tangan kanan
kiri bercahaya. Gerakannya luar biasa ringan. Ra-ja Naga yang sedang melesat
saja sudah merasa-
kan gemuruh angin ke arahnya, apalagi perem-
puan bercadar sutera yang sedang memekik keras
itu! Raja Naga segera mendeham untuk menga-
tasi gemuruh angin. Tenaga tak nampak yang
menderu dari dehamannya itu tertelan bulat-
bulat oleh gemuruh angin raksasa yang menyeret
tanah. Seketika anak muda dari Lembah Naga itu
mendorong tangan kanan kirinya. Gelombang an-
gin yang disaput asap merah menggebrak, tetapi
lagi-lagi lenyap tertelan gemuruh dahsyat itu.
"Gila!!" pekikan tertahan terdengar dari mulut si pemuda. Kini yang harus
dilakukannya adalah segera menyambar tubuh perempuan berpa-
kaian biru keemasan.
Ketika berhasil melakukannya, terdengar
suara berdebam yang lintang pukang. Pepohonan
berderak dan tumbang. Dahan-dahannya ber-
hamburan dan bertabrakan satu sama lain.
Sementara Raja Naga berusaha menyela-
matkan perempuan bercadar sutera, perempuan
yang menyerang itu telah berdiri tegak dengan
mata memicing. "Hemmm... bagus! Raja Naga!" desisnya dengan bibir menyeringai. Dia sengaja tak
segera melakukan serangannya. Dibiarkan pemuda berompi
ungu itu hinggap kembali di atas tanah.
Begitu Raja Naga tegak lagi, terdengar satu
seruan keras, "Nimas! Pencuri bunga-bunga keramat itu!!"
Ratu Dinding Kematian mendesis, "Diam di
tempat, Purwa! Biar kuhabisi dia sekarang!"
Lelaki yang berseru tadi urung untuk me-
nyerang. Matanya bersinar tajam memandang Ra-
ja Naga yang telah berdiri di samping Ratu Tanah Kayangan. Sementara itu, Ratu
Tanah Kayangan sendiri sedang berusaha mengatur napasnya yang
terputus-putus. Dadanya bergemuruh hebat.
Dia memang telah membayangkan keheba-
tan Ratu Dinding Kematian yang diduganya telah
berhasil meminum air rendaman bunga-bunga
keramat. Tetapi sungguh di luar dugaan kalau
ternyata lebih dahsyat dari perkiraannya.
Ratu Dinding Kematian mendengus dingin.
"Kalau sebelumnya hanya kutepuk seekor la-
lat, sekarang dua ekor lalat telah masuk perangkap!" Pemuda bermata angker itu
memandang tak berkedip. Diam-diam dadanya berdebar keras.
"Apa yang dikatakan Dewa Pengasih memang
sebuah kenyataan. Perempuan itu sukar ditan-
dingi. Ini berbahaya! Bisa-bisa nyawaku dan nya-wa Ratu Tanah Kayangan yang akan
lenyap!" Ratu Tanah Kayangan yang belum berhasil
mengatur napasnya berbisik, "Hati-hati... kesaktiannya sungguh luar biasa...."
Raja Naga menyahut tanpa melirik, "Bagai-
mana kau bisa berjumpa dengannya?"
"Tahu-tahu dia muncul di hadapanku. Bila
saja kau tadi tidak muncul, aku sudah mampus
saat ini. Raja Naga... jangan bertindak gegabah.
Perempuan ini memiliki kesaktian hebat seka-
rang." "Retno Harum...," kata Raja Naga memanggil nama asli Ratu Tanah Kayangan. "Kita
sama-sama tak menyangsikan lagi kehebatan perem-
puan itu sekarang. Rasa-rasanya, nyawa kita
memang bisa putus di sini. Dan aku tak ingin itu
terjadi." "Apa maksudmu?"
"Kau segeralah menyingkir dari sini. Biar aku yang menghadapinya."
"Gila! Tak mungkin aku meninggalkanmu di
sini untuk menghadapinya seorang diri, Raja Na-
ga! Kita sama-sama menghadapinya!"
Raja Naga menyahut, tetap tanpa melirik,
"Tak ada waktu buat berdebat sekarang. Segeralah menyingkir."
"Tidak! Kau pikir aku semacam orang penge-
cut yang tak berani menghadapi segala urusan
yang mengandung risiko besar" Raja Naga! Kita
hadapi perempuan itu bersama-sama!"
Raja Naga cuma menahan napas.
Ratu Dinding Kematian berseru penuh eje-
kan, "Cepat kalian atur bagaimana caranya untuk mengalahkanku"! Kalian boleh
pula tinggalkan
tempat ini, asalkan telah tanggalkan nyawa!!"
Di lain saat kedua tangannya sudah me-
rangkap di depan dada.
Raja Naga membatin, "Dia pernah keluarkan
'Ajian Selaksa Jiwa'. Aku ingat gerakan pertama yang dilakukannya. Tetapi
sekarang dia... astaga!
Tentunya dia akan keluarkan kehebatan dari
khasiat bunga-bunga keramat!!"
Ratu Tanah Kayangan sudah berbisik, "Hati-
hati! Dia akan keluarkan ilmu barunya itu!"
Di pihak lain, lelaki bercambang tebal itu
memperhatikan Ratu Dinding Kematian dengan
seksama. Dia sebenarnya merasa heran menda-
pati kemajuan Ratu Dinding Kematian.
"Ketika bertarung dengan Raja Naga sebe-
lumnya, Nimas Herning begitu keder dan kebin-
gungan. Tetapi sekarang dia bersikap penuh tan-
tangan. Bahkan, di saat Raja Naga bersama-sama
dengan Ratu Tanah Kayangan. Aneh! Apa yang...
heiii!! Tadi perempuan berjuluk Ratu Tanah
Kayangan itu memanggilnya dengan sebutan Rat-
na Wangi! Astaga! Bukankah dia mengaku ber-
nama Nimas Herning?"
Purwa mulai berpikir setelah menemukan
kejanggalan demi kejanggalan. Terutama setelah
menyaksikan kehebatan perempuan yang dipang-
gil dengan nama Ratna Wangi.
Tiba-tiba kedua telinganya menegak ketika
perempuan bercadar sutera berseru, "Ratu Dinding Kematian! Perbuatanmu sudah
kelewat batas! Kau...." "Kau yang akan mampus di tanganku!!" putus perempuan bertahi lalat tepat di
tengah- tengah keningnya, Di lain saat kedua tangannya
yang merangkap tadi didorong ke depan.
Astaga! Gemuruh liar menggebrak mengeri-
kan, menyeret tanah hingga membentuk laksana
ombak di tengah laut!
Baik Ratu Tanah Kayangan maupun Raja
Naga sama-sama tersentak. Ratu Tanah Kayan-
gan sudah melepaskan 'Ajian Selaksa Sukma'
yang menggebrak sengit, disusul dengan tanah
yang bergerak membentuk gelombang dari ilmu
'Barisan Naga Penghancur Karang'.
Ledakan susul menyusul membuat tempat
itu bergetar dahsyat. Tetapi gemuruh angin yang
menggebah itu terus menderu ganas. Hingga mau
tak mau Ratu Tanah Kayangan dan Raja Naga
sama-sama melompat menghindar.
Buuummmmm!! Lima batang pohon seketika berpentalan ter-
dorong. Tanah-tanah berhamburan, pekat laksa-
na gumpalan kabut hitam. Belum lagi Raja Naga
dan Ratu Tanah Kayangan berdiri tegak, tiba-tiba saja satu bayangan kuning sudah
melesat disertai geraman memecah langit.
Tetapi kali ini tak ada gemuruh angin dah-
syat seperti tadi walaupun Ratu Dinding Kema-
tian sudah memutar kedua tangannya ke atas
dan tangan kanannya disentakkan ke arah Raja
Naga, sementara tangan kirinya didorong ke arah Ratu Tanah Kayangan.
Ratu Tanah Kayangan kelihatan sudah ber-
siap untuk membalas karena menduga tak ada
serangan berbahaya seperti tadi. Namun sebelum
dilakukannya, Raja Naga sudah mendorongnya
hingga bergulingan.
"Menyingkirrrrr!!"
Buuummm!! Ledakan luar biasa kembali membuat tempat
itu bergetar hebat. Ratu Tanah Kayangan berdiri lagi, kali ini dengan wajah
pias. "Gila! Tak ada suara apa pun yang kutang-
kap, tak ada desiran apa pun yang kurasa! Tetapi akibatnya... celaka! Sungguh
celaka!" serunya dalam hati dengan napas kembang kempis.
Kejap berikutnya dilihatnya Raja Naga yang
sedang berusaha berdiri.
"Raja Naga!" serunya tertahan tatkala melihat betis kanan Raja Naga mengeluarkan
darah. Raja Naga menggerak-gerakkan tangan ka-
nannya. "Aku tidak apa-apa!" desisnya menahan nyeri. Rupanya kakinya terserempet tenaga
tak nam- pak yang dilepaskan Ratu Dinding Kematian.
Di pihak lain perempuan itu tertawa sangat
keras. "Manusia-manusia tak berguna! Cukup su-
dah aku menaruh belas kasihan pada kalian! Kini tibalah saatnya untuk melihat
kalian mampus!!"
Tetapi sebelum Ratu Dinding Kematian me-
lancarkan niat, seruan keras terdengar, "Tunggu, Nimas!"
Segera dipalingkan kepalanya. Matanya ta-
jam memandang pada Purwa yang juga sedang
memandangnya. "Mengapa kau menahanku, hah"!" geramnya sengit.
Purwa tak segera menjawab. Matanya terus
menerus memandang. Tiba-tiba dia mendesis,
"Siapakah kau sebenarnya, Nimas?"
Mendengar pertanyaan orang, Ratu Dinding
Kematian melengak sejenak sebelum membentak.
"Purwa! Apa-apaan kau bertanya begitu,
hah"!"
"Nimas... sebelumnya kau tidak mampu
menghadapi Raja Naga. Tetapi sekarang tiba-tiba saja kau memiliki ilmu yang luar
biasa tinggi. Bahkan kau dapat membuat Raja Naga dan Ratu
Tanah Kayangan kocar-kacir!"
Ratu Dinding Kematian tertawa keras.
Karena, aku bukanlah orang yang sombong!"
"Aku mulai menyangsikan siapa kau sebe-
narnya, Nimas! Aku mulai yakin kalau namamu
bukan Nimas Herning! Karena perempuan berca-
dar sutera itu berulang kali memanggilmu Ratna
Wangi! Tadi, tadi... dia memanggilmu dengan julukan Ratu Dinding Kematian!
Nimas... aku jadi
ingat tentang tuduhan Raja Naga waktu itu! Dia
mengatakan dirimu adalah Ratu Dinding Kema-
tian!" Sepasang mata Ratu Dinding Kematian be-rapi-api.
Lelaki berpakaian biru terbuka itu sudah
berkata lagi, "Aku juga mulai berpikir, sebab-sebab Sibarani menyerangmu dengan
kalap! Dan bagiku cukup mengherankan sekarang. Nimas
Herning... katakan siapa kau sebenarnya" Dan
apa yang terjadi dengan Bunga Matahari Jingga"!"
"Keparat! Lelaki ini rupanya mulai menduga apa yang terjadi sebenarnya! Huh! Tak
perlu lagi dia kubiarkan hidup, untuk kujadikan sandera
yang akan memudahkanku untuk menghadapi
Dewa Segala Dewa!"
Habis membatin geram seperti itu, Ratu
Dinding Kematian berseru keras, "Purwa! Sebaiknya jangan banyak mulut bila ingin
mampus!" Bukannya jeri dengan ancaman itu, Purwa
justru merandek gusar, "Aku ingin tahu apa yang telah terjadi! Aku tidak yakin
lagi kalau Raja Na-galah yang menyebabkan Sibarani tak bersuara!
Nimas Herning! Kaulah yang telah melakukannya,
untuk menutup mulut Sibarani!"
Baru saja habis bentakannya, Purwa sudah
menyerang dengan ilmu 'Bentang Gunung Bant-
ing Tanah'! Ratu Dinding Kematian menggeram.
"Huh! Tidak, dia tidak boleh kubunuh lebih dulu! Tetapi... menyiksanya saat ini
boleh juga!!"
Tanpa bergeser dari tempatnya, perempuan
berpakaian kuning mengerahkan hawa murninya
dan membawanya ke bawah perut. Bersamaan
dihembuskan napasnya, tiba-tiba saja dia berges-er ke samping kanan.
Serangan Purwa lolos.
Tangan kanan kiri Ratu Dinding Kematian
sudah menepak punggung Purwa!
Plak! Tubuh Purwa meluncur deras dan ambruk di
atas tanah. Melihat hal itu Raja Naga bermaksud mem-
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
burunya, tetapi tangan Ratu Tanah Kayangan su-
dah menahannya.
"Jangan... jangan sentuh dia..."
Sebelum Raja Naga melontarkan keheranan-
nya, dilihatnya tubuh Purwa sudah menggeliat-
geliat. Menyusul bintik-bintik hitam menghiasi
sekujur tubuh dan lelaki itu berteriak-teriak keras seraya menggaruki seluruh
tubuhnya yang te-
rasa gatal. "Dugaanku ternyata benar. Tentunya dia te-
lah berjumpa dengan Bancak Bengek dan menda-
patkan ilmu hitamnya," desis Ratu Tanah Kayangan.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men-
dengus, "Nah! Kau bersenang-senanglah dulu dengan ilmu 'Kelabang Jinjit'!"
Kemudian diarahkan pandangannya pada
Raja Naga dan Ratu Tanah Kayangan. "Kini tibalah saatnya kalian mampus!!"
Tangan kanan kirinya sudah didorong ke de-
pan. Tak ada suara yang terdengar, tak ada desir angin yang terasa. Tetapi baik
Raja Naga maupun Ratu Tanah Kayangan sudah membuang tubuh
ke samping kanan.
Bummmm!! Ledakan itu terdengar mengerikan. Raja Na-
ga mendorong tubuh Ratu Tanah Kayangan ke
belakang. Dia sendiri segera melompat ke depan.
Menghadapi keganasan Ratu Dinding Kematian
memang harus memiliki keberanian sendiri. Dan
Raja Naga bertekad menghadapinya terus. Kalau-
pun dia mendorong Ratu Tanah Kayangan, agar
perempuan bercadar sutera itu menyingkir. Kare-
na dengan begitu, Raja Naga tak perlu memikir-
kan keselamatan si perempuan. Yang dipikir-kan
hanyalah keselamatannya.
Dengan menggunakan ilmu 'Naga Menga-
muk' dan sesekali melepaskan ilmu 'Hamparan
Naga Tidur' anak muda bermata angker itu me-
nerjang ke depan. Namun apa yang dilakukannya
hanyalah kesia-siaan belaka. Karena kedua ilmu
itu putus di tengah jalan. Bahkan Ratu Dinding
Kematian kemudian berusaha untuk menyentuh
bagian-bagian tubuh Raja Naga dengan ilmu
'Kelabang Jinjit'!
Masih beruntung Raja Naga terus berhasil
menghindari tepakan kedua tangan si perem-
puan. Kendati demikian, luka pada betis kanan-
nya kian terasa nyeri dan sangat mengganggu ke-
seimbangannya. Anak muda itu tergontai-gontai
ke belakang. Blaaammm!! Bila saja Ratu Tanah Kayangan tak segera
menyambar tubuhnya dapat dipastikan kalau
nyawanya telah melayang.
"Sudah kukatakan. Kita harus menghada-
pinya bersama-sama!" serunya.
Raja Naga cuma mengangguk-angguk. Na-
pasnya semakin megap-megap dan dirasakan da-
danya seperti hendak membuncah pecah.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" desisnya terbata.
"Jalan satu-satunya harus menyingkir dulu."
"Tidak! Kita tidak boleh menyingkir dari sini!
Kita harus terus menghadangnya agar dia tak
punya kesempatan menurunkan onarnya di sana-
sini!" Ratu Tanah Kayangan menggeram gemas.
"Kau lihat sendiri kehebatannya! Kita tak
akan mampu menghadapinya!"
"Apa pun yang terjadi kita akan tetap menghadapinya!!"
Di seberang, Ratu Dinding Kematian mulai
bertambah gusar. Dia memang tak bisa dikalah-
kan oleh kedua lawannya, tetapi hingga saat ini dia sendiri belum berhasil
membunuh keduanya.
"Terkutuk! Akan ku cecar mereka sekarang!!"
Namun sebelum dilakukannya, tiba-tiba saja
dua sosok tubuh melayang dan hinggap di atas
tanah. Berdiri tegak sejarak dua belas langkah
dari Ratu Dinding Kematian. Sebelum ada yang
memperhatikan mereka, terdengar suara keras
dan langkah berdebam, "Kurang ajar! Kenapa kalian meninggalkanku, hah"!"
Bersamaan orang yang bersuara yang memi-
liki tubuh luar biasa gemuk Itu muncul, tiba-tiba salah seorang dari kedua
perempuan yang muncul lebih dulu tadi, telah memburu Purwa yang
sekujur tubuhnya mulai merah-merah dan men-
geluarkan darah akibat terus menerus digaruk.
Raja Naga memekik keras. "Jangan, Sibara-
ni!! Jangan sentuh dia!!"
Tetapi terlambat. Perempuan berpakaian me-
rah dan berpakaian dalam hijau itu telah me-
nyentuh tubuh Purwa.
SEMBILAN BEGITU memegang tubuh Purwa, sesaat Si-
barani tersentak kaget karena merasa begitu pa-
nas. Tetapi di kejap lain, seperti didorong satu tenaga kuat, perempuan itu
terbanting di atas ta-
nah. Bintik-bintik hitam segera menghiasi tubuhnya. Kedua tangannya menggaruk-
garuk sekujur tubuhnya yang terasa gatal luar biasa. Sementara Raja Naga hanya bisa mundur
tanpa berani memegangi tubuh Sibarani maupun Purwa.
Nenek berpakaian hijau yang datang bersa-
manya mengerutkan kening.
"Aku mengenal ilmu itu. Kalau tak salah, salah satu ilmu hitam milik Bancak
Bengek. Terku- tuk! Apakah kakek kerempeng itu berada di sini"
Atau...." Memutus kata batinnya, si nenek yang seba-
gian rambutnya memutih tetapi rambut yang di-
kondenya berwarna hijau sudah menggeram pada
Ratu Dinding Kematian.
"Kau tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku sekarang!!"
Ratu Dinding Kematian mendengus.
"Ingin kulihat kehebatan omonganmu, Pe-
rempuan tua!!"
Belum habis bentakannya Ratu Dinding Ke-
matian melompat. Lompatannya sangat cepat se-
kali sementara tanah di mana tadi dijadikan se-
bagai tumpuan kedua kakinya membuyar setinggi
satu tombak dan membentuk lubang!
Gemuruh angin dahsyat seketika mengge-
bah. Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air
Mata adanya segera menghindar.
"Astaga! Bagaimana tahu-tahu dia memiliki
kehebatan berlipat ganda"!" serunya tertahan dan saat itu pula dia berpikir,
"Terkutuk! Jelas memang dialah pencuri bunga-bunga keramat dan
saat ini tentunya telah mendapatkan khasiat dari bunga-bunga itu! Aku tak boleh
bertindak ayal!!"
Tetapi si nenek sendiri kesulitan untuk
mundur dan mencari kesempatan. Sementara itu,
kakek bertubuh luar biasa gemuk yang pakaian-
nya tak mampu menutupi lemak-lemak tubuhnya
mengerutkan kening.
"Kini sudah terbuka semuanya! Perempuan
berpakaian kuning keemasan itulah pangkal dari
semua urusan berbahaya ini! Hemmm... kubiar-
kan saja dulu Dewi Lembah Air Mata menghada-
pinya! Setelah itu... astaga! Sungguh mustahil kalau nenek berkonde hijau itu
berhasil didesaknya!
Apakah... gila! Tentunya perempuan itu memang
telah mendapatkan khasiat bunga-bunga kera-
mat!" Dewi Lembah Air Mata sendiri berusaha untuk menjaga jarak dengan Ratu
Dinding Kema- tian. Tatkala berhasil menghindar dan hinggap
kembali di atas tanah, si nenek sudah merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Kepa-
lanya agak ditundukkan hingga tubuhnya mem-
bungkuk sedikit. Di lain saat dia sudah mengisak.
Ratu Dinding Kematian terheran-heran men-
dengar isakan si nenek. Di kejap berikutnya dia menggeram, "Hemmm... aku ingat.
Kalau isakan si nenek ini pernah membuat Raja Naga tergontai-gontai. Keparat!
Rupanya dia hendak menyerang-
ku dengan...."
Kata-katanya terputus karena tahu-tahu di-
rasakannya sesuatu menggedor keras kedua te-
linganya hingga berdenging-denging.
Dengan menggeram keras, Ratu Dinding
Kematian berusaha menahan isakan itu. Tetapi
isakan itu terus menerobos dahsyat ke kedua te-
linganya dan semakin keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja, tubuhnya
bergetar hebat.
"Keparat! Terkutuk!!" makinya gusar. Sakit tak terkira membuat aliran darahnya
bertambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti dihan-
tam gada besar berulang-ulang. Napasnya mulai
terasa sesak. Namun tiba-tiba saja perempuan mesum ini
memutar kedua tangannya ke atas yang segera
didorongnya. Dewi Lembah Air Mata melihat ge-
rakan itu. Sejenak dia hendak menghindar tetapi tetap melancarkan ilmu 'Air Mata
Purnama'. Namun karena tak merasakan sesuatu dari kedua
dorongan tangan Ratu Dinding Kematian, dia te-
tap berlutut tanpa bergeser.
Raja Naga yang sedang berpikir mengelua-
rkan Gumpalan Daun Lontar yang sedianya digu-
nakan untuk mengikis penderitaan Sibarani dan
Purwa, justru berteriak keras, "Menyingkir dari tempatmu!!"
Anak muda itu berusaha keras untuk men-
dorong tubuh si nenek. Tetapi dikarenakan kaki
kanannya yang semakin melemah dan bertambah
nyeri, tindakannya terlambat. Ya, terlambat!
Plaaakkk! Justru dirasakannya satu tepakan pada
punggungnya hingga tubuhnya berguling ke
samping kanan. Dilihatnya pula bagaimana orang
yang menepaknya tadi juga menepak punggung
Dewi Lembah Air Mata.
Kendati demikian, jeritan Dewi Lembah Air
Mata terdengar memecah tempat itu.
"Aaaakhhhhhh!!"
Kaki kirinya kutung terhantam tenaga tak
nampak. Sementara itu Ratu Tanah Kayangan yang
tadi berusaha bergerak cepat setelah melihat Raja Naga terganggu akibat luka
pada betis kanannya
pun terlempar ke belakang dengan tangan kanan
kutung! Dua sosok tubuh bergulingan hebat di sana.
Berputaran menahan sakit yang luar biasa. Darah yang telah bercampur dengan
tanah berceceran di sana. "Retno Harummmm!" teriak Raja Naga dan segera
menyambar tubuh si perempuan. Lagi-lagi
karena kaki kanannya terluka, saat hinggap kem-
bali di atas tanah, tubuhnya goyah dan dia ter-
banting di atas tanah dengan tubuh Ratu Tanah
Kayangan yang menindihnya.
Sakit pada dadanya tak terkira. Tetapi anak
muda itu tak mempedulikannya. Segera ditotok-
nya urat darah pada pangkal lengan kanan Ratu
Tanah Kayangan. Begitu ditotok, perempuan ber-
cadar sutera itu telah jatuh pingsan!
Dan kepanikan Raja Naga kian bertambah.
Karena saat ini Ratu Dinding Kematian sudah
menerjang ke arah Dewi Lembah Air Mata yang
masih menggeliat-geliat menahan sakit! Tetapi
sebelum serangan itu berhasil mengenai si nenek, sosok Ratu Dinding Kematian
terpental ke belakang tatkala kibasan tangan gempal melesat ke
arahnya. Menyusul gelombang angin dahsyat mengge-
bah menghantamnya!
Bila saja saat ini Ratu Dinding Kematian be-
lum mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke-
ramat, nyawanya tidak hanya lepas dengan tubuh
utuh, melainkan dengan tubuh lebur! Akan teta-
pi, kesaktian yang didapatkannya dari bunga-
bunga keramat benar-benar membuatnya menjadi
seseorang yang tangguh luar biasa.
Begitu tubuhnya terdorong ke belakang den-
gan deras, cepat diputar dengan cara mengam-
bang di udara. Kedua kakinya diluruskan dan
menghantam sebuah pohon yang sekaligus dija-
dikan sebagai pantulan gerakannya.
Pohon itu bukan hanya tumbang, tetapi pe-
cah berhamburan sementara sosoknya melesat
cepat ke arah Dewa Seribu Mata. Kakek gempal
itu memandang tak berkedip. Dadanya dibuncah
kemarahan tinggi. Dia memang terlambat berge-
rak karena dia sama sekali tak menyangka, apa
yang akan terjadi ketika Ratu Dinding Kematian
mendorong kedua tangannya. Dan sekarang, si
kakek gemuk menjadi sangat gusar.
Kedua telapak tangannya diusap satu sama
lain hingga mengeluarkan asap berwarna hitam
yang pekat. Aroma wangi seketika menyebar dan
menerpa indera penciuman masing-masing orang
yang berada di sana.
Raja Naga yang sedang berusaha mengatasi
rasa sakit pada diri Dewi Lembah Air Mata, segera melakukan totokan yang seperti
dilakukannya pada Ratu Tanah Kayangan. Dan seperti yang ter-
jadi pada perempuan bercadar sutera itu, si ne-
nek berkonde hijau itu pun jatuh pingsan.
Kemudian diangkat kepalanya, diperhati-
kannya bagaimana Dewa Seribu Mata sedang
mendorong tangan kanan kirinya setelah asap hi-
tam pekat itu lenyap sama sekali!
Suara berdentum sangat keras menggebah,
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat tempat itu laksana bergetar hebat. Raja Naga harus menahan tubuh Dewi
Lembah Air Ma-ta yang terjingkat naik. Lalu menggerakkan tan-
gannya pada sosok pingsan Ratu Tanah Kayangan
yang mencelat ke atas akibat tanah yang bergetar!
Menyusul didengarnya suara berdebam yang
luar biasa keras!
Seketika Raja Naga menoleh. Dilihatnya tu-
buh gemuk berpakaian hitam itu terbanting di
atas tanah! Untuk beberapa lamanya Dewa Seribu
Mata terdiam sambil memegangi dadanya yang
seperti remuk. Tapi di lain saat dia sudah berdiri.
Kedua kakinya agak goyah hingga dia limbung ke
kanan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. "Tiga Penguasa Bumi telah
mengetahui kehebatan apa yang akan didapatkan oleh orang
yang telah meminum air rendaman dari bunga-
bunga keramat. Tetapi aku sama sekali tak me-
nyangka kalau kesaktian yang didapatkan dari
bunga-bunga keramat itu lebih mengerikan dari
apa pun juga!"
Di seberang begitu tanah yang berhamburan
tadi luruh kembali ke bumi, terlihat Ratu Dinding Kematian tetap berdiri tegak
tanpa kurang suatu apa. Dan tanpa berkata apa-apa, dia sudah melesat ke arah
Dewa Seribu Mata!
Melihat apa yang akan dialami kakek gemuk
luar biasa itu, tanpa pikir panjang lagi Raja Naga sudah melesat ke depan.
Kendati kelihatan nekat karena menyongsong bahaya, Raja Naga masih
dapat mempergunakan otaknya. Seraya melompat
dikeluarkannya Gumpalan Daun Lontar yang se-
gera memancarkan sinar hijau.
Lalu diputarnya dan didorong untung-
untungan! Selarik sinar hijau yang luar biasa terangnya
menggebah. Ratu Dinding Kematian mendengus
sejenak tanpa kurang kecepatannya. Bahkan dili-
patgandakan tenaga dalamnya.
Bummmmm!! Benturan itu mengakibatkan ledakan yang
sangat luar biasa dahsyatnya. Tempat itu bergetar untuk kesekian kalinya. Sinar-
sinar hijau berpentalan ke udara, menerangi tempat itu beberapa
saat. Dan masing-masing orang yang saling ber-
benturan tadi sama-sama terpelanting ke bela-
kang. Raja Naga terbanting keras di atas tanah.
Tulang punggungnya terasa seperti patah. Luka
pada betisnya bertambah nyeri.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian juga
terbanting di atas tanah. Namun perempuan me-
sum ini masih dapat berdiri kembali kendati agak goyah. Dan terlihat wajahnya
menunjukkan ke-kagetan.
"Gila! Apa yang terjadi" Mengapa aku bisa
terhantam seperti ini"!"
Di pihak lain Dewa Seribu Mata sudah ber-
seru keras, "Anak muda bersisik! Kau dapat me-
nahan serangannya dengan benda sakti itu!!"
Begitu mendengar seruan si kakek gemuk,
dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya Raja
Naga bangkit dan mempersiapkan diri kembali.
Seluruh tulang di tubuhnya seperti memar dan
sakitnya sangat menyengat, terutama pada betis
kanannya yang terluka.
Sementara itu, Ratu Dinding Kematian men-
gerutkan keningnya. Matanya tak berkedip pada
benda yang memancarkan sinar hijau yang masih
berada di tangan Raja Naga.
"Gumpalan Daun Lontar! Gila! Rupanya
benda itu mampu menahan seranganku! Apa-
kah... tidak! Itu hanya kebetulan saja! Biar kusi-kat dia sekarang!!"
Dipandanginya pemuda berompi ungu yang
dalam keadaan goyah itu. Ratu Dinding Kematian
juga mempersiapkan ilmu 'Kelabang Jinjit'. Saat kembali dikeluarkan ilmu itu dia
mendengus ketika teringat pada Bancak Bengek.
"Terkutuk! Ke mana si Kerempeng itu"! Men-
gapa dia belum tiba juga di sini"!"
Di pihak lain Raja Naga sudah tak bisa me-
nahan goyahan tubuhnya. Diputuskan untuk se-
gera melancarkan serangannya sekarang. Setelah
menguatkan diri dan meneguhkan perasaannya,
murid Dewa Naga itu segera melesat ke depan.
Gumpalan Daun Lontar didorongnya yang kali ini
bukan hanya selarik sinar hijau saja yang mele-
sat. Tetapi sinar hijau berbentuk layar lebar
menggebah! Ratu Dinding Kematian menggeram dan se-
gera menerjang pula!
Benturan tak terkira dahsyatnya terjadi
kembali. Tanah yang bergetar hebat itu membuat
tubuh pingsan Ratu Tanah Kayangan dan Dewi
Lembah Air Mata terjingkat ke atas. Sementara
itu baik Purwa maupun Sibarani sudah semakin
menggila dengan garukan-garukan pada tubuh
mereka. Raja Naga terpental deras ke belakang. Tu-
buhnya menghantam sebuah pohon hingga patah.
Keluhan tertahan terdengar cukup nyaring. Saat
terbanting lagi ke depan, mulutnya menggembung
dan.... "Huaaaakkk!!"
Pemuda itu muntah darah!
Di pihak lain, Ratu Dinding Kematian yang
telah melipatgandakan tenaganya, langsung ber-
diri begitu terbanting di atas tanah. Walaupun dirasa punggungnya nyeri, tetapi
dia segera berdiri lagi. Dan menyusul serangan ganasnya datang
menyerbu Raja Naga!
Dewa Seribu Mata yang tiba-tiba matanya
bergerak menjadi banyak, mencoba menahan. Dia
mampu melakukannya dengan serangan melalui
kedua matanya yang seakan menjadi banyak. Su-
ara laksana pasir disiram menggebah. Tetapi saat itu pula tubuhnya terbanting di
atas tanah karena dorongan angin yang kuat. Masih beruntung
kakek gemuk luar biasa itu dapat menghindari
sentuhan tangan Ratu Dinding Kematian yang te-
lah dialirkan ilmu 'Kelabang Jinjit'!
Dan sekarang... nasib Raja Naga sudah be-
rada di ujung tanduk!
Namun sebelum maut menjemput nyawa
anak muda dari Lembah Naga itu, tiba-tiba saja
terdengar suara bergetar yang berdenging-denging disusul satu suara,
"Mengapa harus menurunkan tangan telen-
gas mengerikan seperti ini, Ratna Wangi"!"
Blaaammmmm!! Serangan ganas Ratu Dinding Kematian pu-
tus di tengah jalan. Orangnya sendiri sudah
mundur ke belakang. Begitu tegak di atas tanah, kepalanya menegak dengan mata
bergerak-gerak liar mencari orang yang bersuara sekaligus me-
nahan serangannya pada pemuda berompi ungu.
"Suara itu... suara itu...," desisnya sedikit panik dalam hati. Tetapi di lain
kejap desisannya sudah berubah menjadi geraman, "Siapa pun
yang menghalangi keinginanku, dia harus mam-
pus di tanganku!"
Kemudian dilihatnya seorang kakek agak
bongkok yang mengenakan pakaian dan jubah
putih panjang telah berdiri di samping kanan Raja Naga yang sedang berusaha
bangkit. Kakek yang
seluruh rambut dan bulu yang menghiasi tubuh-
nya ini berwarna putih, pandangi Ratu Dinding
Kematian dengan mata teduhnya. Tertangkap ke-
san kalau mata teduh itu memancarkan sorot ke-
sedihan sekaligus penyesalan.
Tetapi Ratu Dinding Kematian tidak mempe-
dulikannya. Dia justru berteriak lantang, "Guru!
Jangan ikut campur urusanku! Namun bila Guru
berkehendak demikian, aku tak segan-segan un-
tuk turunkan tangan!"
SEPULUH KAKEK yang pada masing-masing pergelan-
gan tangannya terdapat sebuah gelang terbuat
dari baja putih berkata lembut, "Ratna Wangi...
kembalilah ke jalan yang benar. Kau telah salah melangkah, Muridku...."
Sesaat Ratu Dinding Kematian tak bersuara.
Matanya yang kejam sedikit mengerjap-ngerjap
pada kakek di hadapannya. Namun di saat lain
dia sudah membentak gusar
"Guru! Jangan ikut campur urusanku!!"
"Hingga saat ini, aku tak pernah punya niatan untuk ikut campur dalam urusan
orang lain! Kalaupun aku ikut campur dalam urusan ini, ka-
rena kau adalah muridku, Ratna Wangi. Kau se-
makin dalam terjerumus pada jurang kesesatan.
Sadarlah. Muridku... kembalilah ke jalan yang
benar." "Guru! Sekali lagi kukatakan, jangan ikut campur urusanku!!" geram Ratu Dinding
Kematian, namun kali ini suaranya agak bergetar.
Kakek bermata dan berwajah teduh yang
bukan lain Dewa Pengasih adanya menggeleng.
"Sebelum kulihat kau menginsyafi semua ke-
salahanmu, aku akan tetap berada di sini, Murid-ku...."
Ratu Dinding Kematian tak menjawab. Da-
danya dipenuhi gemuruh keras. Namun di kejap
lain dia sudah melesat ke depan.
Akan tetapi, sebelum dia bergerak, tiba-tiba
saja tubuhnya terbanting di atas tanah. Karena
dirasakan kedua kakinya seperti tersambar satu
tenaga tak nampak.
"Maafkan aku, Muridku... terpaksa aku ha-
rus bertindak sedikit keras padamu...."
Ratu Dinding Kematian bangkit dengan ka-
lap. Wajahnya menghitam penuh amarah.
"Ke mana perginya Bancak Bengek"! Menga-
pa dia tidak muncul di sini"!" serunya dalam hati.
Dewa Pengasih berkata lagi, "Berpikir jernih-lah, Muridku. Kau sudah berada di
ambang ke- hancuran dari jalan yang kau pilih. Aku sama sekali tak ingin turunkan tangan.
Walaupun demi- kian, tak ada jalan lain lagi untuk menghentikan sepak terjangmu selain
mengatakan kelemahan-mu." "Orang tua keparat! Jangan berlaku sombong di
hadapanku! Kau tak akan mampu meng-
hadapiku sekarang!"
"Siapa pun akan sulit menghadapi orang
yang telah mendapatkan kesaktian dari bunga-
bunga keramat! Tetapi... kau melupakan satu hal!
Ada seseorang yang sebenarnya mampu menga-
lahkanmu! Aku sendiri yakin, kalau orang itu sebenarnya tak tahu kalau dia mampu
mengalah- kanmu!" Huh! Tak seorang pun yang akan mampu
melakukannya!" seru Ratu Dinding Kematian
dengan kepala tegak. Sorot matanya penuh tan-
tangan. Dewa Pengasih menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Raja Naga yang telah berdiri kembali dengan
sekujur tubuh terasa nyeri memandangi si kakek
dengan keheranan.
"Sebelum ini, Dewa Pengasih mengatakan
kepadaku, kalau tak seorang pun yang bisa men-
galahkan orang yang telah mendapatkan kesak-
tian dari bunga-bunga keramat. Tetapi sekarang
dia justru berkata kebalikannya. Ada apa ini"
Apakah dia sengaja mencoba meluluhkan hati Ra-
tu Dinding Kematian?"
Dewa Pengasih berkata lagi, kali ini sambil
melirik Raja Naga, "Anak muda bersisik... aku ta-hu apa yang kau pikirkan.
Kalaupun aku tidak
pernah mengatakan padamu kalau ada seseorang
yang mampu mengalahkan orang yang telah
mendapatkan kesaktian dari bunga-bunga kera-
mat, itu disebabkan karena aku tak ingin orang itu membunuh muridku ini. Anak
muda... aku sangat menyayangi dan mengasihinya kendati dia
telah murtad. Aku masih berkeinginan dia tetap
menjadi muridku dan kembali ke jalan yang be-
nar. Tetapi sekarang... melihat sikap muridku ini, aku tak bisa berbuat
banyak...."
Raja Naga segera berseru, "Dewa Pengasih!
Aku pun tak ingin mencelakakannya! Siapa pun
orangnya juga tak punya pikiran demikian! Hanya saja... siapa pun orangnya pasti
akan berusaha menghentikan segala sepak terjangnya yang su-
dah kelewat batas! Apakah tindakan itu salah?"
Dewa Pengasih menggelengkan kepalanya.
"Tidak, itu tidak salah sama sekali. Tetapi...,"
kakek bermata teduh ini memutus kata-katanya
sejenak. Seraya pandangi Ratu Dinding Kematian
yang juga sedang memandangnya dilanjutkan
ucapannya, "Ratna Wangi... apakah kau tetap tidak mau menghentikan segala sepak
terjangmu ini?" "Kau terlalu banyak bicara, Orang tua! Kau pun akan kubunuh!!"
"Ratna Wangi!" membentak Raja Naga dengan suara bergetar. Dari sela-sela
bibirnya mengalir darah segar. "Kau benar-benar sudah digeluti iblis! Hatimu
sudah berubah liar! Kau tak lagi menghormati gurumu!"
"Siapa pun yang menghalangiku, maka dia
akan mampus!!" geram Ratu Dinding Kematian keras dan bersiap untuk melancarkan
serangannya lagi.
Sebelum Raja Naga menyahut, Dewa Penga-
sih sudah berkata, "Anak muda... kuserahkan dia padamu. Karena... kaulah yang
dapat membunuhnya...."
* * * Raja Naga melengak kaget. Matanya mem-
buka lebar. "Orang tua...," katanya terbata. "Aku tak mengerti maksudmu...."
Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Pengasih menghela napas pendek.
"Kau memiliki tato gambar naga pada pung-
gungmu. Sebelum kau dipungut sebagai murid
oleh Dewa Naga, aku telah mendengar tato aneh
yang kau bawa sejak kau dilahirkan. Kau harus
dapat memecahkan rahasia tato itu, Anak mu-
da...." Raja Naga hendak menyahut, tetapi urung
karena Dewa Pengasih sudah berbalik dan me-
langkah. Baru tiga tindak dia melangkah, gemuruh
angin dahsyat sudah menerjang ke arahnya. Ka-
kek itu tidak berbalik, malah terus melangkah.
Justru Raja Naga yang tersentak. Dia segera me-
lompat ke depan.
Tetapi begitu teringat akan kata-kata Dewa
Pengasih, segera dibalikkan tubuhnya. Hingga ki-ni dia melompat dengan punggung
terlebih dulu. Raja Naga sendiri hingga saat ini belum berhasil memecahkan rahasia tato gambar
naga yang terdapat pada punggungnya. Bahkan kerap kali dia
dibingungkan oleh tato itu. Karena tiba-tiba saja tato itu memiliki kekuatan
dahsyat yang bisa keluar secara tiba-tiba tanpa dipergunakan-nya.
Dan bisa juga tidak keluar apa-apa, seperti sejak tadi dia berhadapan dengan
Ratu Dinding Kematian. Namun kali ini dia bertindak lebih nekat!
Ratu Dinding Kematian yang telah dibuncah
amarah tinggi, semakin bernafsu. Tangan kanan
kirinya yang juga telah dialirkan ilmu 'Kelabang Jinjit' siap menepak punggung
Raja Naga. Tentunya bukan hanya akan membuat anak muda
itu mengalami nasib naas seperti Purwa dan Sibarani. Tetapi selain gatal-gatal
yang luar biasa, ten-
tunya tubuhnya akan hancur karena kesaktian
bunga-bunga keramat!
Raja Naga sendiri meringis tatkala merasa-
kan tubuhnya laksana ditampar oleh gemuruh
angin yang menderu ke arahnya. Namun tiba-tiba
saja.... Claasss!! Seekor naga hijau berbentuk bayangan me-
lesat dari punggungnya. Ratu Dinding Kematian
tersentak melihatnya. Namun di saat lain dia tak mempedulikan dan semakin
bernafsu! Blaaaarrrrr!! Letupan keras itu terdengar. Raja Naga ter-
pelanting ke belakang sejenak. Bersamaan den-
gan itu satu suara terdengar sangat keras.
"Aaaaakhhhhh!!"
Tubuh Ratu Dinding Kematian terguling ke
belakang dengan cepat. Dia baru bisa menghenti-
kan gulingan tubuhnya setelah menabrak sebuah
pohon. Setelah dia berdiri, keningnya sedikit berkerut tatkala melihat seekor
naga hijau besar
berbentuk bayangan melenggak-lenggok di hada-
pannya. Di seberang, Raja Naga sedang berdiri
sambil memperhatikan naga hijau itu.
Telinganya menangkap suara, "Kau dapat
mengalahkannya sekarang, Anak muda. Dan su-
dah seharusnya kau berusaha memecahkan ra-
hasia tato gambar naga pada punggungmu itu...."
Raja Naga mendesah pendek. Tak lagi dili-
hatnya sosok Dewa Pengasih di sana. Dan dia ju-
ga tidak lagi melihat sosok Ratu Tanah Kayangan yang pingsan dengan tangan kanan
buntung. "Tentunya dia dibawa oleh kakek berjubah
putih itu," kata Raja Naga dalam hati. "Aku tak tahu apakah yang dikatakan Dewa
Pengasih itu benar. Tetapi barangkali inilah kesempatan yang ada...."
Kemudian diliriknya Dewa Seribu Mata yang
sedang berdiri di hadapan tubuh Purwa yang ma-
sih menggaruk-garuki tubuhnya. Sekujur tubuh-
nya kini penuh luka akibat garukan kedua tan-
gannya. "Kakek gemuk itu nampaknya sedang beru-
saha mengobati Purwa. Mudah-mudahan dia ber-
hasil melakukannya. Juga terhadap Sibarani...."
Habis membatin demikian, pemuda bermata
angker itu mendesis, "Ratna Wangi! Kini habislah apa yang kau lakukan! Lebih
baik menyerahkan
diri untuk diadili!"
"Peduli setan dengan ucapanmu! Akan ku-
hancurkan naga siluman itu!!"
Di kejap lain Ratu Dinding Kematian sudah
menggebrak ganas. Tangan kanan kirinya dido-
rong ke arah naga hijau berbentuk bayangan yang sedang melenggak-lenggok. Tak
ada suara yang terdengar, tak ada apa-apa yang terasa!
Tetapi justru Raja Naga yang segera melom-
pat ke samping kanan, karena dilihatnya sesuatu menerobos bayangan naga hijau
itu. Blaaammmm!! Ranggasan semak di belakangnya seketika
hancur berantakan. Menyusul dilihatnya Ratu
Dinding Kematian terperangah dan mundur tiga
tindak. Matanya tak berkedip pada bayangan na-
ga hijau yang masih melenggak-lenggok.
"Celaka! Rupanya yang dikatakan Dewa Pen-
gasih itu benar!" desisnya dalam hati dengan wajah pias. "Peduli setan! Aku
harus melabraknya!
Harus kulakukan!"
Lalu dengan bertubi-tubi diiringi teriakan
mengguntur, Ratu Dinding Kematian menyerang
bayangan naga hijau itu. Tetapi semua serangan
yang dilakukannya bagai menerobos asap. Bah-
kan dia memekik keras tatkala naga hijau itu me-luruk ganas.
Ratu Dinding Kematian masih berhasil melo-
loskan diri. Tanah di mana dia berpijak tadi
memburai terhantam moncong bayangan naga hi-
jau yang kini menyerangnya dengan cepat.
Berulang kali pekikan Ratu Dinding Kema-
tian terdengar. Wajahnya kali ini pucat bagai
mayat. Tak ada lagi tawa mengejek maupun se-
ringaiannya. Yang terlihat hanyalah kepanikan
belaka. Raja Naga sendiri mendesah pendek melihat
keadaan itu. Dan dipalingkan kepalanya ke bela-
kang tatkala dilihatnya mulut bayangan naga hi-
jau itu melebar dan....
Craasss!! Mencaplok kepala Ratu Dinding Kematian
yang berteriak setinggi langit. Tubuhnya terbanting-banting di atas tanah karena
naga hijau itu membanting-bantingnya. Setelah beberapa lama,
kepala bayangan naga hijau itu menyentak.
Sosok Ratu Dinding Kematian terlempar de-
ras ke belakang! Begitu terbanting di atas tanah,
kepalanya telah terpisah dari tubuhnya!
Raja Naga menarik napas pendek melihat
keadaan yang mengenaskan itu.
"Tak ada jalan lain.... Membiarkan perem-
puan itu hidup lebih lama, sama artinya dengan
membiarkan puluhan nyawa berjatuhan...."
Lalu dilihatnya bayangan naga hijau yang
masih melenggak-lenggok itu melesat dan lenyap
pada punggungnya. Raja Naga mengejut sejenak
ketika naga hijau itu masuk.
Setelah beberapa saat ditariknya napas da-
lam-dalam. Ada kepedihan pada sorot matanya
yang angker. Kemudian dengan sempoyongan di-
dekatinya Dewa Seribu Mata yang rupanya belum
berhasil mengobati Purwa.
Raja Naga mendesah pelan.
"Biar kucoba mengobatinya. Orang tua ge-
muk, tolong kau carikan aku air...."
Memerintah Dewa Seribu Mata sebenarnya
enggan dilakukan oleh Raja Naga. Tetapi mau tak mau dia harus melakukannya.
Setelah Dewa Seribu Mata mencari air, dikeluarkannya Gumpalan
Daun Lontar dari balik tubuhnya. Berhati-hati
diusapinya seluruh tubuh Purwa dengan benda
yang mengeluarkan cahaya hijau itu. Pada Siba-
rani pun dilakukan hal yang sama.
Raja Naga menunggu beberapa saat. Dilihat-
nya baik Purwa maupun Sibarani sudah tidak lagi menggeliat-geliat hebat seperti
tadi. Mereka juga tidak menggaruk-garuk karena mereka kemudian
telah jatuh pingsan. Namun luka pada tubuh
masing-masing orang akibat garukan tadi masih
kelihatan. Raja Naga segera mendekati Dewi Lembah
Air Mata yang pingsan dengan kaki kiri remuk.
Diusapkannya pula Gumpalan Daun Lontar itu
pada kaki kiri Dewi Lembah Air Mata, setelah terlebih dulu membuka totokannya.
Dewa Seribu Mata muncul dengan membawa
air pada sebuah baki yang ditemukannya. Segera
Raja Naga merendam Gumpalan Daun Lontar
yang membuat air itu berwarna hijau. Selain
menjadi sebuah senjata yang tangguh, Gumpalan
Daun Lontar juga memiliki khasiat dapat me-
nyembuhkan berbagai macam penyakit
Dengan menahan napas, Raja Naga memi-
numkan air rendaman Gumpalan Daun Lontar itu
pada Purwa. Dia berdiam dulu sejenak untuk me-
rasakan perubahan pada tubuhnya. Tak terjadi
apa-apa. Rupanya akibat usapan Gumpalan Daun
Lontar tadi, gatal-gatal akibat ilmu 'Kelabang Jinjit' yang mengenai Purwa tidak
menularinya. Kemudian air yang sama diminumkannya pada Si-
barani dan Dewi Lembah Air Mata. Setelah itu dia juga meminumnya sendiri.
Kemudian ditarik napasnya pelan-pelan se-
belum kembali dimasukkannya Gumpalan Daun
Lontar itu pada balik pakaiannya. Luka pada be-
tisnya tidak terasa menyengat lagi.
Pelan-pelan anak muda ini berdiri. Dipan-
danginya kakek gemuk luar biasa di hadapannya
yang juga sedang memandangnya.
"Orang tua... nampaknya urusan ini telah selesai. Dan rasanya... aku harus
segera mene- ruskan perjalananku."
"Ke mana kau akan meneruskan perjala-
nanmu, Anak muda?" tanya Dewa Seribu Mata
kagum. Selama ini dia menduga kalau pemuda
itulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat,
hingga pemuda itu harus masuk dalam gelom-
bang maut yang diturunkannya juga oleh yang
lainnya. Raja Naga memandang ke kejauhan. "Aku
masih memikirkan tentang Bancak Bengek. Me-
nurut Ratu Tanah Kayangan yang telah dibawa
pergi oleh Dewa Pengasih, ilmu 'Kelabang Jinjit'
telah diturunkan oleh Bancak Bengek pada Ratu
Dinding Kematian. Bisa jadi kalau tak lama lagi Bancak Bengek yang akan
menurunkan keonaran...."
Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk. Di-
benarkannya apa yang dikatakan pemuda itu.
Didengarnya lagi pemuda bersisik coklat pa-
da lengan kanan kirinya berkata, "Sampaikan salamku pada Dewa Segala Dewa.
Sampai saat ini
aku belum pernah berjumpa dengannya. Barang-
kali, suatu ketika aku akan punya kesempatan
untuk berkenalan dengannya. O ya, sampaikan
juga salamku pada Puspa Dewi...."
Dewa Seribu Mata lagi-lagi tak menjawab.
Dibiarkannya pemuda itu kemudian melangkah
agak terpincang.
"Kau benar-benar memiliki ketabahan seo-
rang ksatria, Anak muda. Beruntung Dewa Naga
mempunyai murid seperti kau...."
Setelah pemuda berompi ungu itu lenyap da-
ri pandangannya, didekatinya Dewi Lembah Air
Mata yang masih pingsan dengan kaki kiri bun-
tung. "Nasibmu sungguh sial kasihku... Tetapi apa pun yang terjadi padamu... aku
akan tetap menikahimu... karena aku sangat mencintaimu...," desisnya sambil
memandangi wajah Dewi Lembah
Air Mata. Lalu diusapnya pipi kempot Dewi Lembah Air
Mata yang masih pingsan. Kemudian, pelan-pelan
dikecupnya kening si nenek berkonde hijau itu
penuh kasih sayang.
Ditungguinya sampai Dewi Lembah Air Mata,
Purwa dan Sibarani siuman dari pingsannya
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Iblis Lembah Tengkorak 2 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Siluman Goa Tengkorak 2