Pencarian

Dewa Pengasih 1

Raja Naga 19 Dewa Pengasih Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
RINGKASAN EPISODE YANG LALU
(DEWA PENGASIH)
PENYAMARAN RATU DINDING KEMATIAN
SEBAGAI NIMAS HERNING BERHASIL DIBONG-
KAR OLEH RAJA NAGA KENDATI PEREMPUAN
ITU TETAP MEMBANTAH. DEWI LEMBAH AIR
MATA SENDIRI MASIH BELUM PERCAYA PADA
PENJELASAN RAJA NAGA TENTANG PENYAMA-
RAN RATU DINDING, DAN TETAP MENUNTUT
RAJA NAGA ADALAH PENCURI BUNGA-BUNGA
KERAMAT. RATU DINDING KEMATIAN SENDIRI BER-
HASIL MELOLOSKAN DIRI DENGAN MEMBAWA
PURWA YANG PINGSAN. AKAN DIJADIKANNYA
PURWA SEBAGAI SANDERA SEMENTARA DIA
SENDIRI BERUSAHA UNTUK MERENDAM BUN-
GA-BUNGA KERAMAT UNTUK MEMINUM AIR
RENDAMANNYA. SETELAH MEMINUM AIR RENDAMAN
BUNGA-BUNGA KERAMAT ITU, TIBA-TIBA SAJA
TUBUHNYA MENTAL KE UDARA, MENJEBOL
ATAP DINDING BANGUNAN Di MANA DIA BERA-
DA! SESUATU TELAH TERJADI PADA RATU
DINDING KEMATIAN, SESUATU YANG AKAN DI-
GUNAKAN UNTUK MEMBALAS DENDAM PADA
ORANG-ORANG YANG DIBENCINYA! TERMA-
SUK... RAJA NAGA!
SATU PEKIKAN keras yang memecah pagi itu terus
menggema. Wajah Ratu Dinding Kematian menja-
di pias. Dia berusaha untuk menahan luncuran
tubuhnya yang siap menghantam tanah!
"Celaka! Apa yang terjadi"! Aku bisa mam-
pus!" serunya panik. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menahan bahkan
kalau bisa mengubah luncuran tubuhnya. Tetapi luncuran
deras itu tak bisa ditahannya!
"Mampus aku!!"
Akan tetapi tiba-tiba saja dirasakan kepa-
lanya menghantam sebuah benda yang sangat
lembut. Belum lagi sadar apa yang terjadi, perempuan berpakaian kuning keemasan
ini tiba-tiba merasakan tubuhnya berputar dua kali di udara.
Saat itu pula dirasakan kalau dia mampu men-
gendalikan tubuhnya!
Laksana seekor burung, Ratu Dinding Kema-
tian memutar gerakan tubuhnya dan... hup! Den-
gan ringan kedua kakinya kembali menginjak lan-
tai bangunan di mana dia berada.
Untuk beberapa lama Ratu Dinding Kema-
tian terdiam dengan rasa keheranan yang kian
menggebubu. Diperhatikan sekujur tubuhnya
yang tak kurang suatu apa. Bahkan dirasakan
bobot tubuhnya lebih ringan dari sebelumnya.
Mendadak saja perempuan bertahi lalat tepat
di tengah keningnya memegang kepalanya yang
tadi menghantam jebol atap bangunan. Tak ada
rasa nyeri. Bahkan ketika dilihat telapak tangannya tak ada bekas-bekas luka
atau noda darah.
"Astaga!" desisnya tertahan. Napasnya tiba-tiba memburu tegang. "Apakah...
apakah semua ini... sudah menunjukkan khasiat dari air rendaman bunga-bunga
keramat?" Tak puas dengan apa yang dirasakannya,
Ratu Dinding Kematian menjejakkan kakinya di
atas tanah. Dan... wuuuttt!!
Tubuhnya langsung mencelat ke atas seting-
gi tiga tombak.
"Luar biasa!!" serunya keras seraya memutar tubuh ke belakang. Lalu... tap!
Kedua kakinya membentur dinding bangu-
nan. Seiring dengan itu tubuhnya mencelat lagi
ke depan dan hinggap di atas tanah. Belum lagi
dikagumi apa yang telah dilakukannya, tiba-tiba saja terdengar suara bergemuruh.
Terbelalak Ratu Dinding Kematian menga-
rahkan pandangannya pada dinding di mana tadi
dijadikan sebagai tempat pantulan!
Dinding itu telah jebol!
Ratu Dinding Kematian terdiam dengan mu-
lut menganga. Dadanya berdebar lebih keras.
"Inilah yang kuharapkan! Inilah yang kuha-
rapkan!!" Di lain saat dia sudah melesat keluar ban-
gunan. Dipandangi sekelilingnya. Saat ini mata-
hari telah melewati batas sepenggalah. Sebagian sinarnya terhalang oleh dinding-
dinding perbuki-tan yang banyak berada di sana.
Di atas sebuah batu besar, Ratu Dinding
Kematian berdiri tegak. Matanya yang mengedar
tadi dihentikan, dan diarahkan pada dinding bu-
kit sejarak lima belas tombak dari tempatnya.
Lama kelamaan sorot tajam terpampang di ma-
tanya. Napasnya sedikit memburu tetapi bibirnya menyeringai.
Secara tiba-tiba diputar kedua tangannya ke
atas, lalu didorong ke arah bukit yang dipan-
dangnya. Tak ada desir angin yang keluar, tak ada su-
ara yang terdengar. Namun dua tarikan napas
kemudian, tiba-tiba saja terdengar ledakan yang luar biasa kerasnya.
Buuummm!! Dinding bukit itu tiba-tiba jebol. Batu-batu
berpentalan ke sana kemari, menyusul gemuruh
terdengar keras. Karena sebagian batu bebatuan
itu meluncur deras! Beberapa buah batu melun-
cur ke arahnya.
Masih terkagum-kagum dengan apa yang di-
lakukannya, Ratu Dinding Kematian kibaskan
tangan kanannya.
Tiga buah batu besar yang menderu ke
arahnya tiba-tiba saja berderak dan....
Blaaamm! Blaaamm! Blaaammmi!
Ketiga batu besar itu pecah dan membentuk
kerikil-kerikil yang berpentalan!
Cukup lama gemuruh dahsyat itu masih ter-
dengar sebelum kemudian keadaan kembali se-
nyap. Dinding bukit yang terhantam tenaga tak
nampak tadi telah bolong dan mengeluarkan asap
yang cukup tebal!
Ratu Dinding Kematian masih berdiri di atas
batu besar itu. Matanya tak berkedip memandang
pada dinding bukit yang telah jebol. Di lain saat tawanya memecah kesunyian
tempat itu. "Tak lama lagi... tak lama lagi akan kukuasai semuanya!!"
Setelah beberapa saat berlalu. perempuan je-
lita itu melesat kembali ke dalam bangunan. Di-
angkatnya baki yang kini telah kering airnya.
"Akan kuhancurkan bunga-bunga yang su-
dah tak berguna ini!!"
Tiba-tiba saja jari jemarinya dilebarkan
dan... tap! Baki yang berisi bunga-bunga keramat yang
telah hilang kesaktiannya itu melayang di udara.
Lalu didorong kedua tangannya.
Des!! Baki itu melayang ke atas melalui atap yang
jebol dan jatuh entah di mana.
"Semuanya telah usai sekarang. Tinggal me-
nunggu saat yang tepat. Dan...." Perempuan ini memutus kata-katanya sendiri.
Bibirnya tahu-tahu menyeringai lebar. "Mengapa harus membuang kesempatan"
Kepenatan ini bisa kule-
paskan dengan segera! Kenikmatan harus kuca-
pai sekarang! Purwa! Ya! Purwa dapat kujadikan
sebagai tempat pelampiasanku untuk mencari
kenikmatan itu!"
Dengan seringaian lebar yang masih ber-
tengger di bibirnya dan perasaan puas karena telah berhasil mendapatkan
kesaktian dari bunga-
bunga keramat, Ratu Dinding Kematian melompat
dari batu besar itu dan melangkah ke kamar yang terdapat di dalam bangunan itu.
Saat melangkah, dia seperti tak menginjak bumi, begitu ringan dan seolah
melayang. Di dalam kamar itu terbaring Purwa yang
masih pingsan. Setelah mendapat hajaran dari
Raja Naga, lelaki berpakaian biru terbuka di dada itu jatuh pingsan, yang
kemudian dibawa oleh Ra-tu Dinding Kematian saat meloloskan diri. Sebelumnya
Purwa sudah hampir siuman, tetapi Ratu
Dinding Kematian telah menotoknya lagi di saat
dia hendak melakukan kegiatan untuk menda-
patkan kesaktian dari bunga-bunga keramat.
Diperhatikannya wajah tampan yang pingsan
itu. Lalu pelan-pelan dibuka totokan yang sebe-
lumnya dilakukan. Tubuh Purwa mengejut se-
saat. Menyusul Ratu Dinding Kematian menekan
dada Purwa dan mengalirkan tenaga dalamnya.
Tiga kejapan mata berikut, Purwa terbatuk-
batuk. "Bangun, Sayang... bangun...," desis Ratu Dinding Kematian seraya membelai-belai
pipi Purwa. Sesaat Purwa merasakan getaran halus dan
napas sedikit panas di pipinya. Di lain saat begitu sadar sepenuhnya, Purwa
bangkit seketika dengan kedua tangan bersiaga.
"Mana" Di mana pemuda bersisik itu"!" serunya keras dengan mata berkeliling.
Ratu Dinding Kematian tersenyum.
"Siapa yang kau cari, Purwa?" panggilnya da-ri atas tempat tidur yang lembut.
Seketika Purwa menoleh, kejap lain diperha-
tikan sekelilingnya. Lelaki penuh cambang ini
mengerutkan keningnya sambil memandang
kembali pada Ratu Dinding Kematian.
"Nimas... di mana kita?"
Ratu Dinding Kematian yang dikenal Purwa
bernama Nimas Herning tersenyum.
"Tak usah kau pikirkan di mana sekarang ki-ta berada. Yang harus kau pikirkan,
justru apa yang sebentar lagi akan kita lakukan...."
"Tapi... tapi...."
Ratu Dinding Kematian menarik lembut tan-
gan lelaki itu.
"Kita berada di tempat yang aman. Dan un-
tuk sementara, kita lupakan dulu Raja Naga...."
Masih sedikit keheranan murid Dewa Segala
Dewa itu mengikuti tarikan lembut Ratu Dinding
Kematian. Dia masih memikirkan apa yang sebe-
narnya terjadi di saat Ratu Dinding Kematian mulai mencumbunya.
Pelan-pelan kecupan-kecupan kecil di sekitar
leher dan bibir Purwa, membangkitkan kejanta-
nan lelaki itu. Walaupun demikian Purwa masih
berkata, "Nimas... apakah kau berhasil membunuh
Raja Naga?"
"Tidak usah kau pikirkan dulu. Tak lama lagi kita akan membunuhnya...."
"Tetapi...."
Kata-kata Purwa terhenti, karena bibir me-
rah yang basah itu telah menyumbat bibirnya.
Purwa merasakan gerakan lembut pada bibirnya
dan menyusup masuk ke dalam mulutnya. Dira-
sakan lidahnya dikilik-kilik benda lembut yang
sangat halus. "Kita sudahi dulu memikirkan Raja Naga. Ki-ta gunakan kesempatan ini untuk
bersenang- senang...." desah Ratu Dinding Kematian sambil berdiri berlutut. Lalu dengan
gerakan erotis, di-bukanya pakaiannya sendiri. Gerakannya itu dis-
ertai dengan desisan-desisan penuh rangsangan.
Lalu diremas-remasnya payudaranya sendiri yang
telah terbebas dari belenggu pakaian yang dike-
nakannya. Melihat apa yang dilakukan perempuan jelita
di hadapannya, Purwa sendiri akhirnya terbakar
oleh gairahnya. Kalau tadi dia masih agak mera-
gu, kali ini dia tak mempedulikan lagi apa yang dipikirkannya. Yang ada
sekarang, adalah menikmati tubuh montok di hadapannya.
Sedikit kasar tangan kanan kirinya menja-
mah meremas-remas payudara montok yang mu-
lus itu. Si pemilik payudara terkikik. Kikikannya lebih liar ketika Purwa
membungkuk dan meng-hisap-hisap ujung payudara yang mulai mene-
gang itu. "Ya, ya... betul... Lakukan terus, Purwa...
Lakukan...," desah Ratu Dinding Kematian sambil membukai pakaian Purwa.
Purwa semakin menggila. Lelaki yang tidak
tahu kalau dia sudah masuk perangkap birahi
Ratu Dinding Kematian semakin liar ketika pe-
rempuan itu merebahkan tubuhnya. Lalu meng-
geliat lembut seraya membuka pakaian bagian
bawahnya. "Ayo, Purwa... kita arungi lagi keindahan
ini...," desahnya seraya membuka kedua kakinya lebar-lebar.
Mata Purwa tak berkedip memandang benda
yang masih terbungkus kain merah jambu.
"Tubuhku bukan untuk dipandangi saja,
Purwa...," desah Ratu Dinding Kematian. Gairah telah membakar dirinya pula. Saat
ini yang diinginkan memang untuk mencari kesenangan terle-
bih dulu sebelum menjalankan rencananya.
Purwa sendiri segera bergerak. Tangannya
menekan-nekan benda yang masih terbungkus
kain berwarna merah jambu itu. Di lain saat, sedikit gemetar diturunkannya sisa


Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kain yang masih melekat pada tubuh Ratu Dinding Kematian. Matanya menjadi nanar
melihat bagian bawah perut
perempuan itu yang sudah membuka lebar. Na-
pasnya bertambah memburu.
"Ayo, Purwa... ayo...!" seru Ratu Dinding Kematian seraya meraih leher Purwa.
Purwa sendiri segera menyergap bibir meme-
rah itu, lalu turun ke leher dan hinggap lebih la-ma di atas bukit kembar yang
ranum. Mengecu-
pinya bergantian sementara tangan kanannya si-
buk meraba-raba bagian di bawah perut Ratu
Dinding Kematian yang menggeliat-geliat diiringi dengusan napas liar.
Tiga kejapan mata kemudian, Purwa sudah
memasuki tubuhnya dengan gerakan pelan dan
tiba-tiba menyentak. Gerakan-gerakan yang ke-
mudian dilakukan lelaki itu sangat liar, sementa-
ra di bawahnya Ratu Dinding Kematian terus
memutar dan menggerak-gerakkan pinggulnya.
Jeritan lirih dari mulutnya berulang kali ter-
dengar seiring dengusan napas Purwa yang se-
makin memburu. "Lebih cepat. Purwa! Cepat! Ya, ya begitu! Ya!
Ya! Tekan! Tekan sesekali!!" teriakan-teriakan me-racau dari mulut perempuan
mesum itu terus
terdengar. Tempat yang sunyi, matahari yang semakin
meninggi, menjadi saksi bisu dari perbuatan ke-
dua anak manusia yang sudah diamuk birahi.
DUA PADA saat yang bersamaan, di sebuah tem-
pat yang sepi dan hanya ditumbuhi beberapa po-
hon, Raja Naga memandang tak berkedip pada
perempuan berpakaian biru keemasan di hada-
pannya. Dari balik cadar sutera yang dikenakan
perempuan itu, pemuda bersisik coklat pada len-
gan kanan kiri sebatas siku, melihat senyuman-
nya. "Tadi kukatakan, kalau kau tentunya sudah mendengar julukanku, bukan?"
Untuk beberapa lamanya murid Dewa Naga
yang memiliki mata angker ini terdiam sebelum
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya... aku memang pernah mendengar ten-
tang dirimu...," katanya pelan.
Perempuan beranting dan bergelang indah
tersenyum. "Mudah-mudahan kau mendengar sesuatu
yang baik tentang diriku...."
"Bahkan sesuatu yang sangat berguna sekali bagiku, Ratu Tanah Kayangan...," kata
Raja Naga. Lalu katanya lagi, "Aku telah mendengar dirimu dari mulut muridmu sendiri...."
"Oh! Kau sudah berjumpa dengan murid-
ku"!" "Ya! Aku sudah berjumpa dengan Puspa De-wi!" "Saat ini Puspa Dewi sedang
kuperintahkan untuk mendatangi Daerah Tak Bertuan untuk
menjumpai Dewa Segala Dewa. Anak muda be-
rompi ungu, kapan kau berjumpa dengannya?"
Raja Naga yang sedang melacak jejak Ratu
Dinding Kematian ini tak segera menjawab. Dia
sama sekali tak menyangka akan berjumpa den-
gan Ratu Tanah Kayangan (Baca: "Ratu Dinding Kematian). Kemudian diceritakannya
pertemuan-nya dengan Puspa Dewi (Baca: "Terjebak di Gelombang Maut"). "Puspa
Dewi sedang menuju ke Daerah Tak Bertuan...," katanya di akhir ceri-tanya.
"Syukurlah kalau dia dalam keadaan baik-
baik," sahut Ratu Tanah Kayangan yang sebelumnya sudah mendengar penyelamatan
yang di- lakukan oleh Raja Naga terhadap muridnya. Bah-
kan dari mulut dua lelaki yang ingin memperma-
lukan muridnya (Baca: "Ratu Dinding Kematian").
Lalu katanya dalam hati, "Bila ternyata keadaan-nya seperti ini, perintah yang
kuberikan pada Puspa Dewi sudah tak ada gunanya. Karena su-
dah barang tentu Tiga Penguasa Bumi, terutama
Dewa Segala Dewa telah mengetahui urusan pen-
curian bunga-bunga keramat. Aku tak bisa me-
nyalahkan Puspa Dewi yang terlambat tiba di
Daerah Tak Bertuan untuk mengabarkan apa
yang akan dilakukan oleh Ratu Dinding Kema-
tian." Perempuan jelita bercadar sutera ini melanjutkan ucapannya, "Aku telah
berjumpa dengan Setan Gundul Hutan Larangan. Dan aku terpaksa
membunuh Jodro Kliwing."
Raja Naga memandang tak berkedip.
"Kau mengatakan telah membunuh Jodro
Kliwing, berarti Cokro Kliwing selamat?"
"Ya. Aku memang tak ingin membunuh sia-
pa-siapa. Kalaupun kubunuh Jodro Kliwing kare-
na aku melakukan tindakan penyelamatan diri.
Raja Naga... sebelum ini aku telah berjumpa dengan Dewa Seribu Mata."
"Ratu... aku pun telah berjumpa dengannya
Dan terpaksa aku mengelabuinya tentang siapa
diriku ini."
Ratu Tanah Kayangan mengangguk-angguk.
"Tindakan yang kau lakukan sangat tepat
Karena bila tidak, tak mustahil Dewa Seribu Mata akan turunkan tangan padamu."
Raja Naga ganti mengangguk.
"Ya Seperti halnya yang telah dilakukan oleh Dewi Lembah Air Mata. Masih
beruntung kalau
kemudian Dewi Lembah Air Mata mulai menyada-
ri siapa pencuri bunga-bunga keramat sesung-
guhnya. Hanya sayangnya, Ratu Dinding Kema-
tian berhasil meloloskan diri...."
Ratu Tanah Kayangan tak menjawab. Dari
balik cadar sutera yang dikenakannya dipandan-
ginya pemuda di hadapannya.
"Pemuda ini berparas tampan dan bertubuh
tegap. Sebagai murid Dewa Naga tentu ilmu yang
dimilikinya tak bisa dipandang sebelah mata. Dan matanya... ya, matanyalah yang
sangat mengerikan di samping sisik-sisik coklat pada kedua tangannya sebatas
siku. Ah... sesungguhnya, dia
sangat cocok bila menjadi pasangan Puspa De-
wi...." Karena perempuan di hadapannya tak ber-
kata-kata, Raja Naga berucap, "Apa yang kau pikirkan sekarang, Ratu?"
Ratu Tanah Kayangan tersenyum.
Dia tidak mengutarakan apa yang dipikir-
kannya. Malah dia berkata, "Pada Dewa Seribu Mata telah kukatakan, kalau
sesungguhnya bukan kaulah yang telah melakukan serangkaian
pencurian, melainkan Ratu Dinding Kematian."
Raja Naga membiarkan perempuan itu terus
berkata-kata. "Tindakan yang dilakukan Ratu Dinding Ke-
matian erat hubungannya dengan diriku. Mung-
kin Puspa Dewi telah menceritakan kejadian pahit yang kualami di Tanah Kayangan.
Karena itulah kemudian kuperintahkan padanya untuk menga-
barkan apa yang akan dilakukan Ratu Dinding
Kematian pada Dewa Segala Dewa. Aku juga ter-
paksa meninggalkan Tanah Kayangan dan bebe-
rapa orang yang setia terhadapku."
Raja Naga tak menyahut. Matanya lekat pa-
da mata Ratu Tanah Kayangan.
"Ratu... aku teringat akan sesuatu."
"Katakanlah...."
"Apakah... apakah kau orangnya yang bera-
da di dalam tandu warna biru yang sangat indah, yang pernah kulihat beberapa
hari lalu?"
Ratu Tanah Kayangan tersenyum dan men-
gangguk. "Kau benar! Tetapi aku sama sekali tak mengetahui kalau kau melihat iringan
tanduku." "Yang kau maksudkan dengan orang-orang
setia itu tentunya orang-orang yang menggotong
tandu dan mengiringimu, bukan?"
"Sekali lagi kau benar! Aku tak bisa mem-
biarkan mereka terus menerus bersamaku kenda-
ti mereka berkeras hati untuk tetap bersamaku.
Terpaksa hal itu kulakukan, mengingat bahaya
yang mengancam diri mereka. Ratu Dinding Ke-
matian menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma
yang kumiliki dan dia memutuskan untuk men-
curi bunga-bunga keramat agar ilmunya bertam-
bah. Itu sudah cukup bagiku membayangkan ka-
lau bahaya akan menghadang orang-orang setia-
ku. Dan sekarang... nampaknya Ratu Dinding
Kematian telah berhasil mendapatkan bunga-
bunga keramat itu."
Raja Naga mengangguk.
"Kau betul. Ratu. Tak kusangsikan kalau Ra-tu Dinding Kematian telah mendapatkan
seluruh bunga-bunga keramat. Mengingat ketika pertama
kali aku berjumpa dengan Purwa dan Sibarani
yang menuduhku telah mencuri Bunga Kecubung
Putih dan Bunga Anggrek Biru, mereka berkata
kalau empat bunga keramat lainnya telah dicuri
orang. Dan tinggal Bunga Matahari Jingga saja.
Tetapi aku pun yakin kalau bunga itu telah ber-
hasil didapatkan oleh Ratu Dinding Kematian."
"Dan itu pertanda buruk!" suara Ratu Tanah Kayangan sedikit bergetar.
"Seburuk apa pun yang akan terjadi, aku
akan tetap menangkapnya. Dia harus kuha-
dapkan pada Tiga Penguasa Bumi, untuk mem-
bersihkan namaku yang telah coreng moreng."
Perempuan bercadar itu mengangguk-
angguk. "Keadaan memang sukar dikendalikan seka-
rang. Ratu Dinding Kematian tentunya akan me-
rajalela."
"Sebagai saudara seperguruannya, tahukah
kau di mana perempuan itu tinggal?"
"Dinding Kematian...," sahut Ratu Tanah Kayangan seraya mengangguk. "Dia tinggal
di Dinding Kematian. Tetapi, apakah dia berada di
sana mengingat kalau tindakannya telah diketa-
hui" Menurut penilaianku, Ratu Dinding Kema-
tian tidak berada di sana...."
"Kalau begitu... apakah kau punya satu pikiran lain di mana dia berada?"
Ratu Tanah Kayangan tak menjawab. Ma-
tanya dibawa ke kejauhan, menatap hamparan
padi menguning.
"Sesungguhnya perempuan itu memiliki hati
yang lembut. Namun sayang, mempunyai sifat se-
rakah. Semenjak sama-sama menjadi murid Dewa
Pengasih, dia selalu membangkang dan tidak me-
rasa puas. Bahkan dia pernah menuntut pada
Guru, kalau Guru tidak menurunkan seluruh il-
mu yang dimilikinya kepada kami. Tetapi Guru
memang berjiwa pengasih. Dia tidak gusar ditun-
tut seperti itu, bahkan menyerahkan dua buah kitab kepada kami. Kitab Ajian
Selaksa Sukma di-
berikannya kepadaku dan Kitab Ajian Selaksa Ji-
wa diberikannya pada Ratu Dinding Kematian.
Tetapi sayang...."
Perempuan jelita itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, hingga cadar sutera yang dikenakan-
nya bergerak. Raja Naga sempat melihat betapa
halus kulit pada wajah jelita itu.
"Dia tetap tidak merasa puas. Bahkan men-
coba merebut Kitab Ajian Selaksa Sukma dari
tanganku." Ratu Tanah Kayangan menoleh. "Raja Naga... kalau kau tanyakan di mana
kemungki-nannya dia berada selain di Dinding Kematian,
mungkin dia berada di Hutan Laknat."
Kening pemuda bermata angker itu berkerut.
"Hutan Laknat" Di manakah tempat itu"
Dan mengapa dia berada di sana?"
"Tempat itu sangat jauh dari sini. Dan ka-
laupun dia memang berada di sana, tentunya dia
menjumpai Bancak Bengek."
"Ratu... jelaskan padaku tentang Bancak
Bengek." "Bancak Bengek adalah seorang dukun ilmu
hitam yang memiliki ilmu-ilmu aneh dan menge-
rikan. Sejak lama dia selalu bermusuhan dengan
guruku; Dewa Pengasih. Tetapi dia tak berani untuk menantangnya terang-terangan
karena bebe- rapa kali telah dikalahkan oleh Guru."
"Lantas bagaimana bisa Ratu Dinding Kema-
tian berhubungan dengannya?"
"Itulah yang tidak pernah kumengerti."
"Dan kau menduga dia berada di sana?"
"Kebenaran akan dugaan itu sangat kecil.
Tetapi tidak ada salahnya bila kita menyelidik ke sana...."
Raja Naga terdiam. Matanya yang angker
memandang ke kejauhan pula. Diam-diam murid
Dewa Naga yang berkuncir kuda ini membatin,
"Bila memang dugaan Ratu Tanah Kayangan benar, berarti ada lagi seorang lawan
yang patut di-perhitungkan. Bancak Bengek. Namanya sungguh
aneh. Seorang dukun ilmu hitam. Ah... mau tak
mau aku memang harus ke sana."
Selagi Raja Naga membatin, Ratu Tanah
Kayangan berkata, "Hutan Laknat adalah sebuah tempat yang penuh dengan jebakan.
Jangankan orang yang baru menginjak tempat itu, orang
yang telah sering ke sana pun masih bisa pula
terjebak."
"Kau tahu bagaimana caranya untuk tiba di
sana dengan selamat?"
Ratu Tanah Kayangan menggeleng.
"Kecuali Bancak Bengek sendiri dan Ratu
Dinding Kematian, tak seorang pun yang bisa se-
lamat tiba di sana...."
Anak muda dari Lembah Naga itu terdiam.
Matanya tetap bersorot angker mengerikan. Sisik-sisik yang memenuhi kedua
lengannya sebatas
siku sedikit lebih kentara.
Ratu Tanah Kayangan membatin, "Apa yang


Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang dihadapi oleh pemuda ini memang sesua-
tu yang sulit. Dia sama sekali tak punya hubun-
gan dengan urusan ini sebenarnya. Tetapi na-
manya telah tercemar akibat tindakan Ratu Dind-
ing Kematian."
Raja Naga berkata, "Ratu Tanah Kayangan...
kupikir, kita sudahi saja pertemuan ini. Tolong berikan petunjuk padaku arah
mana yang harus
kutempuh untuk tiba di Hutan Laknat?"
Ratu Tanah Kayangan tersenyum.
"Anak muda.... Ratu Dinding Kematian juga
menginginkan nyawaku. Dan aku tak ingin nya-
waku lepas begitu saja. Juga, aku tak ingin melihatnya melakukan tindakan makar
di rimba per- silatan. Bila kau tak berkeberatan, bagaimana bi-la kita bersama-sama ke Hutan
Laknat?" Usul yang diberikan Ratu Tanah Kayangan
sebenarnya memang sukar untuk ditolak. Karena
dengan begitu berarti akan mendapatkan tamba-
han tenaga untuk menghadapi Ratu Dinding Ke-
matian yang kemungkinan besar bergabung den-
gan Bancak Bengek. Apalagi bila dibayangkan ka-
lau perempuan itu telah berhasil meminum air
rendaman bunga-bunga keramat.
Tetapi Raja Naga justru menggelengkan ke-
palanya. "Kita masih sama-sama menduga kebenaran
tentang Ratu Dinding Kematian yang berada di
Hutan Laknat. Dan dugaan ini tentu juga bisa salah. Ratu Tanah Kayangan...
apakah tidak se-
baiknya biar aku yang ke Hutan Laknat sementa-
ra kau dapat melacak jejak Ratu Dinding Kema-
tian di tempat lain?"
"Hemm... dari kata-katanya itu, aku tahu kalau sebenarnya dia enggan untuk
melangkah ber- samaku. Dan itu dapat kumaklumi karena ten-
tunya dia hendak menuntaskan urusan sendiri.
Yah... memang benar apa yang dikatakannya, ka-
rena belum tentu Ratu Dinding Kematian berada
di Hutan Laknat."
Habis membatin demikian, Ratu Tanah
Kayangan berkata, "Pergilah terus ke arah timur.
Dari tempat ini kau akan menempuh perjalanan
selama satu hari satu malam. Itu pun bila tidak ada halang rintang yang
mengganggumu."
Raja Naga segera merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada.
"Ratu... apa yang kau lakukan padaku ini,
tak akan pernah kulupakan. Dan aku bersyukur
berjumpa dengan orang yang mengetahui kebena-
ran tentang siapa pelaku pencurian bunga-bunga
keramat itu. Baiklah... aku berangkat sekarang."
"Tunggu! Raja Naga... kalau sebelumnya kau dapat mempercundangi Ratu Dinding
Kematian, kemungkinan besar saat ini kau akan mengalami
kesulitan. Juga kau akan mendapatkan kesulitan
bila ternyata dia memang telah bergabung dengan Bancak Bengek!"
Raja Naga tersenyum.
"Aku dapat memahami keadaan itu. Dan se-
berat apa pun yang akan kuhadapi, aku akan te-
tap berusaha untuk menangkapnya!"
"Berhati-hatilah!"
Raja Naga segera berlalu ke arah yang dika-
takan oleh Ratu Tanah Kayangan. Perasaan anak
muda ini sesungguhnya sedikit cemas. Tetapi se-
mua itu ditindihnya dengan satu harapan yang
ada di benaknya. Dia harus tuntaskan urusan ini apa pun risikonya.
Sepeninggal Raja Naga, perempuan bercadar
sutera itu menarik napas pendek.
"Ah, bila saja Puspa Dewi tidak terlambat
untuk mengabarkan apa yang akan dilakukan
Ratu Dinding Kematian pada Dewa Segala Dewa,
mungkin anak muda dari Lembah Naga itu tak
akan mengalami urusan seperti itu. Tetapi, aku
memaklumi mengapa Puspa Dewi sampai terlam-
bat, karena dia sendiri belum pernah ke Daerah
Tak Bertuan...."
Untuk beberapa lama perempuan bercadar
sutera ini tak buka mulut. Angin yang masih te-
rasa dingin kendati saat ini matahari terus beran-jak menggerak-gerakkan cadar
sutera yang dike-
nakannya. Wajahnya sedikit terbelai lembut oleh sang bayu.
Ratu Tanah Kayangan menarik napas pen-
dek. "Mudah-mudahan perjalanan Puspa Dewi ke Daerah Tak Bertuan tak mendapat
halang rintang. Dengan begitu aku bisa sedikit tenang un-
tuk mencari Ratu Dinding Kematian...."
Perempuan ini memandangi sekitarnya seje-
nak sebelum mendesis, "Aku tak boleh mem-
buang waktu...."
Setelah menarik napas pendek, Ratu Tanah
Kayangan segera berkelebat ke arah yang ditem-
puh oleh Raja Naga.
TIGA KAU masih belum dapat bicara juga, hingga
aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" ka-ta-kata yang berkesan menggerutu
itu terdengar dari sebuah tempat yang sepi. Gemuruh air sun-
gai samar-samar terdengar. "Sibarani! Bagaimana caranya kau dapat menjelaskan
semuanya"!"
Perempuan berpakaian merah dengan pa-
kaian dalam warna hijau itu menundukkan kepa-
lanya. Dihela napasnya sebelum kemudian diang-
kat kepalanya. Matanya mengerjap-ngerjap saat
memandang si nenek berkonde hijau yang berdiri
di hadapannya. Si nenek mendengus.
"Aku tak bisa mengartikan tatapanmu, Siba-
rani! Jalan satu-satunya kita memang harus
mencari perempuan yang dikatakan oleh Raja Na-
ga adalah Ratu Dinding Kematian, sementara pe-
rempuan itu sendiri mengaku bernama Nimas
Herning!" Kali ini Sibarani mengangguk-angguk, tanpa
mengeluarkan suara. Tetapi wajahnya berseri-
seri. Apa yang telah dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian yang sebelumnya
mengaku bernama
Nimas Herning ini membuat Sibarani sangat ge-
ram. Terutama bila mengingat bagaimana Purwa
kemudian membela perempuan itu. Tetapi dimak-
luminya mengapa Purwa justru membela Nimas
Herning, karena di saat Nimas Herning mencela-
kakannya dan mencabut Bunga Matahari Jingga
yang sedang mereka jaga, Purwa tidak ada di
tempat (Untuk mengetahui semua itu, silakan te-
man-teman pembaca membaca episode : "Terjebak di Gelombang Maut").
Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air
Mata ini mendengus.
"Anggukanmu dapat kuartikan kalau kau se-
tuju untuk mencari perempuan yang mengaku
bernama Nimas Herning itu!"
Sibarani mengangguk-angguk lagi. Ingin se-
kali dia berteriak sekeras-kerasnya, tetapi suaranya tetap tak bisa keluar.
Dewi Lembah Air Mata berkata, "Hari sudah
semakin senja. Dan tak lama lagi malam pun
akan tiba. Sebaiknya kita berangkat!"
Tanpa menunggu jawaban Sibarani, si nenek
berpakaian hijau itu sudah melangkah mendahu-
lui yang disusul oleh Sibarani. Sambil melangkah mengikuti si nenek, Sibarani
membatin resah,
"Kakang Purwa... apa yang terjadi denganmu sekarang" Kau harus sadar Kang, harus
mengerti siapa Nimas Herning sesungguhnya...."
Kedua perempuan berbeda usia ini terus me-
langkah. Menjelang tengah malam Dewi Lembah
Air Mata berhenti di sebuah tempat yang cukup
sepi dan hanya sesekali terdengar suara hewan
malam. Sibarani sendiri hanya mengikuti.
Dan ternyata berhentinya si nenek di tempat
itu bukan dikarenakan tanpa sebab. Sesungguh-
nya dia mendengar suara getaran pada tanah se-
mentara Sibarani belum mendengarnya.
Makanya dia mengerutkan kening ketika
mendengar dengusan si nenek. Ingin sekali dia
bertanya ada apa, tetapi suaranya tetap tak ke-
luar. Justru si nenek yang berkata, "Orang tua gemuk yang diperintah Dewa Segala
Dewa ke Dinding Kematian rupanya yang sedang menuju
ke sini!" Sudah tentu kata-kata si nenek semakin
membuat Sibarani merasa keheranan. Tetapi dia
hanya bisa menindih rasa ingin tahunya saja ka-
rena tetap tak dapat bersuara.
Namun lima tarikan napas kemudian, baru-
lah didengarnya suara langkah yang sangat berat.
Juga dirasakannya kalau tanah yang dipijaknya
bergetar. "Astaga! Ada apa ini" Siapa yang melangkah menimbulkan getaran seperti ini?"
Sibarani hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.
Sementara itu Dewi Lembah Air Mata me-
mandang ke arah kanan, menerobos jalan seta-
pak yang membentang.
"Kita tunggu sampai si Gemuk datang! Aku
ingin tahu apa yang dialaminya!"
Sibarani tahu kalau kata-kata itu ditujukan
kepadanya. Tetapi karena tak bisa bersuara dia
hanya diam saja.
Tak lama kemudian keduanya mulai melihat
satu sosok tubuh besar sedang melangkah ke
arah mereka. Langkah orang gemuk itulah yang
membuat tanah bergetar. Tetapi semakin dekat
orang gemuk itu dengan mereka, tanak tak lagi
bergetar. Sementara Sibarani keheranan, Dewi Lem-
bah Air Mata justru mendengus, "Jalanmu seperti keledai mau mampus. Dewa Seribu
Mata! Apakah kau tak bisa mempercepat langkahmu sedikit"!"
Orang gemuk itu tertawa-tawa. Tawanya
sangat keras, bahkan mengandung satu gelom-
bang yang membuat dedaunan berguguran.
"Gila! Siapa sangka di tempat gelap ini berjumpa denganmu!!" serunya seraya
hentikan langkah sejarak sepuluh langkah dari hadapan
Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani.
Sebelum Dewi Lembah Air Mata buka mulut,
kakek gemuk berpakaian hitam yang tak mampu
menutupi lemak pada tubuhnya sudah berkata,
"Bukankah dia murid Dewa Segala Dewa yang di-tugaskan untuk menjaga Bunga
Matahari Jingga"
Astaga! Mengapa berada di sini" Dan ke mana si
lelaki bernama Purwa?"
"Jangan banyak tanya! Bagaimana dengan
kerjamu di Dinding Kematian!!"
Orang tua gemuk berkepala bulat itu meng-
gerakkan lehernya yang seperti menyatu dengan
tubuhnya. "Aku telah datang ke sana dan tak menjum-
pai penghuninya! Aku juga telah datang ke tem-
pat Bunga Matahari Jingga dan tak menemukan
siapa-siapa di sana, termasuk Bunga Matahari
Jingga sendiri! Sibarani! Kau sebelumnya berada di sana, sebaiknya ceritakan
padaku apa yang
terjadi"!"
"Dia tidak bisa bersuara!"
Gemuk membelalak.
"Busyet! Dari mana omonganmu itu, Nenek
peot"! Sejak dia masih kecil aku telah mengeta-
huinya dia pandai bicara!"
Sesungguhnya kalau di hadapan Dewa Sega-
la Dewa, Dewi Lembah Air Mata dan Dewa Seribu
Mata tak pernah bertengkar. Ini disebabkan kare-na mereka memandang Dewa Segala
Dewa yang dijadikan pimpinan dari Tiga Penguasa Bumi. Te-
tapi bila tidak di hadapan Dewa Segala Dewa, mereka selalu saja bertengkar.
Terkadang pertengkaran itu terlalu mengada-ngada. Mungkin itu me-
reka lakukan untuk menutupi perasaan masing-
masing yang sebenarnya, kalau mereka sama-
sama menyukai tetapi tak ada yang mau membu-
ka hati! Dewi Lembah Air Mata membentak, "Orang
gemuk! Ditanya balik tanya! Mungkin lidahmu
sudah terlipat!"
Dewa Seribu Mata tertawa.
"Ya, ya... lidahku sudah terlipat rupanya!
Apalagi bila lidahmu yang bau itu masuk ke da-
lam lidahku!"
"Tutup mulutmu yang busuk itu!"
"Astaga, Dewi! Mulutku yang busuk atau
mulutmu?" "Keparat! Jangan banyak omong! Mengapa
kau berada di sini"!"
"Sekali lagi astaga! Kau bertanya begitu, aku juga ingin bertanya yang sama!
Huh! Jangan-jangan sebenarnya kita berjodoh, Nenek peot!"
"Gila! Berjodoh denganmu" Benar-benar se-
suatu yang gila! Aku lebih baik mati berdiri!"
"Baguslah kau mati berdiri hingga aku masih bisa menguburmu! Bagaimana kalau kau
mati dalam keadaan nungging" Apa tidak repot"!"
Mulut keriput Dewi Lembah Air Mata mem-
bentuk kerucut. Sibarani yang melihat pertengkaran itu mengerutkan keningnya,
"Aneh! Mengapa mereka bertengkar, padahal


Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di hadapan Guru mereka akur-akur saja?" katanya dalam hati. Bila saja saat ini
dia dapat ber-bicara, sudah ditanyakannya soal itu.
Lalu didengarnya kata-kata Dewa Seribu Ma-
ta, "Aku punya dugaan lain tentang siapa pencuri bunga-bunga keramat sebenarnya!
Hei! Kenapa kau melotot seperti itu, Peot"!'
Dewi Lembah Air Mata menggeram.
"Kakek gemuk seperti kodok bunting! Apa
kau pikir kau saja yang punya dugaan lain?"
"Astaga! Jadi kau juga sudah menduga se-
perti itu" Gila! Ini pasti gila! Kita jelas-jelas berjodoh!" "Kambing buduk pun
tak akan mau berjodoh denganmu!"
"Ya, ya... kau benar sekali! Untungnya kau bukan kambing buduk, bukan"!"
Memerah wajah Dewi Lembah Air Mata. Di
pihak lain Sibarani tertawa dalam hati mendengar
kata-kata Dewa Seribu Mata. Dibiarkan saja ke-
dua tokoh aneh itu bertengkar.
Kakek gemuk kelebihan lemak itu berkata
lagi, "Selama ini kita terpaku pada satu orang saja yang kita anggap telah
mencuri bunga-bunga keramat! Padahal ternyata bukan orang itu! Aku tidak
menyalahkan laporan dari Sibarani dan Pur-
wa yang mengatakan kalau orang itu yang telah
melakukan serangkaian pencurian, karena mere-
ka menduga keberadaan orang itu di saat lenyap-
nya Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek
Biru! Tetapi setelah kukaji lebih dalam, dugaanku mengarah pada orang lain!"
"Siapa"!"
"Busyet! Apakah kau tidak bisa bersabar sedikit"!"
Dibentak seperti itu kedua tangan si nenek
berkonde hijau seperti sudah gatal untuk mela-
brak si kakek gemuk. Tetapi ditindih kejengke-
lannya. Dewa Seribu Mata buka suara lagi, "Sebe-
lumnya aku keheranan mengapa Dewa Segala
Dewa menyuruhku untuk mendatangi Dinding
Kematian! Tetapi sekarang..."
"Jangan berbelit-belit!" potong si nenek ber-kain kebaya lusuh.
"Iya, iya!" sepasang mata si kakek gemuk melotot gusar. "Kau memang tidak
sabaran! Kau pasang kedua telingamu yang seiring usiamu semakin uzur tentunya
sudah sedikit budek! Aku
menduga kalau pencuri itu adalah salah seorang
murid Dewa Pengasih yang berjuluk Ratu Dinding
Kematian!"
Dewi Lembah Air Mata menyambut dingin.
"Aku juga menduga seperti itu!"
"Ini benar-benar gila! Gila benar-benar!"
"Apa maksudmu dengan benar-benar gila
dan gila benar-benar"!"
"Ya, ampun! Ke mana otakmu, Nek" Sudah
tentu maksudku cuma membalik-balik kalimat!"
Mengkelam wajah Dewi Lembah Air Mata,
sementara Sibarani mengakak sekeras-kerasnya
dalam hati. Untuk sesaat dia melupakan apa yang sedang dialaminya.
"Kurang ajar!!"
"Ya, ya! Aku memang kurang ajar! Tapi cuma sedikit! Kau tak perlu gusar karena
sesungguhnya kau sendiri yang dungu! Sekarang, bagaimana
kau bisa mengatakan kalau Ratu Dinding Kema-
tian yang telah mencuri bunga-bunga keramat!"
Kendati hatinya jengkel Dewi Lembah Air
Mata menceritakan juga (Baca: "Ratu Dinding Kematian").
"Nah! Bagus itu! Selama ini kita sudah salah orang!" Dewa Seribu Mata memandang
Sibarani. "Kau sendiri... apakah masih menganggap Raja Naga yang melakukannya?"
Sibarani menggeleng.
"Dari pancaran matamu, kau seperti hendak
terangkan suatu masalah! Cepat kau terangkan,
terutama mengapa kau tak bisa menjaga Bunga
Matahari Jingga! Juga... ke mana perginya si
Purwa"!"
"Gemuk! Apa kau sudah tuli"! Tadi kukata-
kan kalau dia tidak bisa bicara!"
Dewa Seribu Mata melongo.
"Jadi sungguhan, nih?"
"Gila! Di dunia ini banyak orang bodoh, tetapi tidak sebodoh kau!"
"Aku kan cuma menandaskan saja" Menga-
pa harus sewot?" balas si kakek gemuk santai.
Lalu berkata pada Sibarani, "Kalau kau tidak bisa berkata-kata ya sudah! Nek!
Sekarang, apa yang
akan kau lakukan"!"
"Justru aku bertanya padamu, apa yang
akan kau lakukan"!" balas Dewi Lembah Air Mata melotot.
"Apa yang akan kulakukan" Apa ya?" Dewa Seribu Mata mengerutkan keningnya
sementara telunjuknya menempel pada bibir tebalnya. Lalu
seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga
dia berseru, "Bagaimana kalau kau kunikahi"!"
Kepala si nenek seketika menegak. Kedua
matanya membeliak lebar seolah salah menden-
gar apa yang dikatakan kakek gemuk itu. Sibara-
ni melihat kalau pancaran mata si nenek men-
gandung kebahagiaan. Sempat pula dilihatnya ka-
lau si nenek sedikit tersipu-sipu.
Tetapi begitu mendengar kata-kata Dewa Se-
ribu Mata kemudian, seketika si nenek meradang,
"Cuma apa untungnya menikahimu, ya" Badan-
mu cuma selebar papan" Dadamu tidak montok
lagi! Pinggulmu... wah, mungkin cuma tinggal
kentut saja! Apanya yang bisa kunikmati!"
"Kurang asem! Siapa sudi menikah dengan-
mu, hah"! Tubuh seperti buntalan kentut! Leher
dengan badan tidak bisa dibedakan! Beda kau
dengan gajah sendiri orang tak bisa membedakan!
Huh! Hanya orang bodoh yang mau menikah den-
ganmu"!"
"Tetapi kau kan tidak bodoh"!"
"Aku jelas tidak bodoh, dan jelas tidak akan mau menikahimu!"
"O... jadi kau tidak mau kunikahi" Ya, su-
dah!" sahut Dewa Seribu Mata berlagak tidak peduli. Dewi Lembah Air Mata masih
mendelik gu- sar. Padahal sesungguhnya, dia sangat mengha-
rapkan kalau Dewa Seribu Mata mengulangi lagi
ucapannya tadi. Bahkan kalau mungkin sedikit
merayunya. Biar bagaimanapun juga telah berpu-
luh tahun dipendam rasa cintanya pada manusia
gemuk itu, semenjak mereka bergabung menjadi
Tiga Penguasa Bumi.
Dan dia hanya bisa menelan harapannya sa-
ja ketika tanpa peduli Dewa Seribu Mata berbalik dan melangkah.
"Kau mau ke mana?"
"Apa urusannya denganmu aku mau ke ma-
na! Kau tidak mau kunikahi! Lantas buat apa aku berada di sini"!"
Ingin sekali Dewi Lembah Air Mata berteriak
kalau dia bersedia dinikahi. Tetapi sudah tentu dia tidak mau melakukannya.
Terlalu menjatuh-kan harga diri bila dia melakukan tindakan itu.
Kendati demikian, dia bersedia melakukannya
demi orang yang dicintainya.
Sibarani sendiri tak menyangka akan men-
dengar kata-kata si kakek gemuk. Disadarinya betul walaupun kelihatan main-main
tetapi nada suara si kakek begitu tandas dan pasti. Sesaat
Sibarani teringat lagi pada Purwa.
Telah lama dia mencintai kakak sepergu-
ruannya itu dan telah lama pula dia hanya berani memendam cintanya saja.
Sibarani diam-diam ju-ga tahu sekarang, kalau kedua tokoh aneh itu sebenarnya
saling mencintai.
Kalau begitu, dia harus dapat membujuk sa-
lah seorang dari mereka agar mau mengalah dan
mengatasi rasa gengsinya. Dipegangnya segera
tangan Dewi Lembah Air Mata dan digerak-
gerakkannya sambil menunjuk si kakek gemuk
yang terus melangkah menjauh.
Dewi Lembah Air Mata mengerti apa yang
dimaksudkan Sibarani. Tetapi dia menggeleng.
"Tidak! Aku tidak sudi mengejarnya!"
Sibarani menyesali mengapa suaranya le-
nyap hingga dia tidak bisa bertindak segera. Tindakan berikut yang dilakukannya
hanyalah me- narik tangan si nenek untuk menyusul Dewa Se-
ribu Mata yang kini telah lenyap dari pandangan.
"Tidak usah! Tidak perlu kau lakukan itu
padaku! Aku tahu, kalau aku dan dia tidak
mungkin bersatu!"
Sibarani terus menarik tangan si nenek yang
tetap tak bergerak.
"Aku memang mencintainya! Tetapi aku ti-
dak tahu apakah dia mencintaiku juga atau ti-
dak!" "Siapa bilang aku tidak mencintaimu, Peot"!"
seruan itu tiba-tiba terdengar. Tetapi sosok orang yang berseru itu belum
kelihatan. Tetapi baik Sibarani maupun Dewi Lembah
Air Mata tahu kalau itu suara Dewa Seribu Mata.
Si nenek berkonde hijau membelalak kaget men-
dengarnya. "Terkutuk! Dia tahu kalau aku mencin-
tainya"!" geramnya dalam hati.
Tahu-tahu melenting satu sosok gemuk dari
balik ranggasan semak yang sama sekali tak ber-
gerak akibat lentingan tubuh itu. Bahkan tak ada suara yang terdengar tatkala
sepasang kaki gemuk itu hinggap di atas tanah.
Orang gemuk yang muncul dan memang
Dewa Seribu Mata adanya sudah berkata sambil
tertawa-tawa, "Kalau aku tidak mencintaimu, buat apa aku ingin menikahimu,
Peot"!"
Dewi Lembah Air Mata menelan ludahnya
kaget. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak me-
nentu. Sibarani bertepuk tangan sambil ber-
jingkrak-jingkrak.
EMPAT KAKEK kurus tanpa baju itu tertawa sangat
keras, hingga merentak di tengah malam buta.
Gema tawanya mengudara hingga ke batas hutan
yang dipenuhi pepohonan tinggi.
Purwa sesaat bergidik mendengar tawa yang
menyeramkan itu. Diliriknya perempuan berpa-
kaian kuning keemasan yang sedang tersenyum
di sampingnya. "Sudah kuduga kau mengetahui kedatan-
ganku, Bancak Bengek!"
Kakek berambut beriap-riap tak beraturan
itu belum memutus tawanya. Tulang-tulang yang
menonjol keluar bergerak-gerak mengikuti gera-
kan tawanya. Mata si kakek celong ke dalam, dan memancarkan cahaya hitam, dingin
dan kejam. Hidungnya bengkok seperti paruh betet. Kumis
putihnya menjulai ke bawah, hampir sama pan-
jang dengan janggutnya yang jarang.
Di sela-sela tawanya yang keras, kakek be-
rusia sekitar delapan puluh tahun itu berkata,
"Hanya kau seorang yang dapat tiba di Hutan Laknat ini dengan selamat! Bagus!
Bagus sekali! Tiga kali kudatangi tempat kediamanmu, tetapi
tak kujumpai kau di sana!"
Ratu Dinding Kematian memperhatikan ka-
kek di hadapannya.
"Manusia satu ini begitu mendendam pada
guruku. Dan aku tak peduli dia punya urusan
dendam dengan guruku. Bahkan aku ingin meli-
hatnya bertarung lagi dengan guruku itu," katanya dalam hati. Sambil tersenyum
lebar, dia berkata, "Ada urusan apa kau mencariku, Bancak Bengek"!"
Kakek bernama Bancak Bengek itu melotot.
Cahaya hitam yang menghiasi kedua matanya
seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh sintal
di hadapannya. "Urusan apa"! Gila! Kita sudah lama tidak
bertemu! Dan sudah tentu aku sudah kegilaan
untuk menik...."
"Kini aku sudah datang di hadapanmu," kata Ratu Dinding Kematian memutus kata-
kata si kakek kurus. Dia tahu apa yang hendak diucapkan
Bancak Bengek. Bila sekarang ini Purwa tidak berada di sisinya, dia tak peduli
apakah Bancak Bengek akan mengatakannya beribu kali. Tetapi
Purwa tidak boleh mengetahui rencananya.
Setelah mendapatkan kepuasan yang dica-
rinya, Ratu Dinding Kematian segera mengajak
Purwa untuk menuju ke Hutan Laknat. Dikata-
kannya kalau mereka akan meminta bantuan dari
seseorang bernama Bancak Bengek untuk me-
nangkap dan membunuh Raja Naga. Purwa yang
hingga saat ini masih menganggap perempuan di
sebelahnya itu bernama Nimas Herning, hanya
mengikutinya. Nasib Purwa memang benar-benar sudah
sangat tragis. Tanpa sadar dia terus menerus masuk ke jebakan yang diciptakan
Ratu Dinding Kematian. Terkadang Purwa memang teringat pa-
da Sibarani. Tetapi setiap kali dia teringat pada Sibarani, setiap kali pula
ditindih ingatannya.
Bahkan dia mulai membenci Sibarani yang me-
nyerang Nimas Herning ketika Raja Naga berhasil mencuri Bunga Matahari Jingga.
Purwa tidak ta-hu, kalau yang didengarnya itu adalah muslihat
dari Ratu Dinding Kematian.
Ketika memasuki jajaran pepohonan yang
sangat besar dan menjulang tinggi itu, Ratu Dinding Kematian menjelaskan, setiap
kali mereka su-
dah berjalan dua puluh langkah, maka harus se-
rong dua langkah ke kanan. Begitu seterusnya.
Kendati sedikit merasa heran, tetapi Purwa
tidak bertanya mengapa mereka harus melangkah


Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian. Ratu Dinding Kematian sendiri tidak
mau mengatakan, kalau pada setiap langkah ke-
dua puluh satu di sanalah Bancak Bengek mele-
takkan jebakannya yang mengerikan. Itulah se-
babnya, harus melangkah pada hitungan kedua
puluh dan serong dua langkah ke kanan sebelum
melangkah lagi. Kembali pada hitungan kedua
puluh serong lagi dua langkah ke kanan dan begi-tu seterusnya.
Dan tiba-tiba saja tawa yang menyeramkan
menggema keras, hingga membuat masing-
masing orang berhenti melangkah. Kalau Purwa
seketika bersiaga, Ratu Dinding Kematian justru tenang-tenang saja. Karena dia
tahu, suara itu
berasal dari mulut Bancak Bengek.
Bancak Bengek memandang perempuan di
hadapannya sejenak sebelum melirik Purwa.
"Hemmm... dia sengaja memotong kata-
kataku. Aku tahu apa yang dimaksudnya," katanya dalam hati. Lalu seraya arahkan
lagi pada perempuan sintal di hadapannya, si kakek kerempeng berkata, "Sebagai
tuan rumah yang baik, sudah tentu selayaknya aku menyambut kedatangan kalian
secara baik-baik. Lelaki muda...
bersediakah kau berjalan dulu hingga dua puluh
lima langkah ke muka?"
Purwa tak menjawab. Diliriknya Ratu Dind-
ing Kematian yang berkata, "Ada yang hendak
kubicarakan dengan temanku ini."
Purwa kembali memandang si kakek yang
sedang berkata, "Di sana kau akan menemukan sebuah bangunan kecil yang lumayan
nyaman. Tunggulah kami di sana. Dan bila kau berkenan...
hehehe... kau bisa memiliki salah seorang dari ti-ga orang gadis yang menjadi
pelayanku."
Purwa hanya mendengus. Setengah jengkel
dia segera melangkah. Sepeninggal Purwa, Ban-
cak Bengek langsung menyergap Ratu Dinding
Kematian. "Keparat betul kau ini! Kau ingin membua-
tku mati karena tidak menggeluti tubuhmu,
hah"!"
Ratu Dinding Kematian terkikik. Dibiarkan
mulut busuk Bancak Bengek menjelajahi wajah-
nya. Dibiarkan pula ketika tangan kurus itu dengan kasar membukai seluruh
pakaiannya. Kalau
melayani Purwa, Ratu Dinding Kematian juga
timbul gairah, tetapi melayani kakek kerempeng
ini sama sekali dia tak memiliki gairah. Kalaupun hal itu dilakukannya, hanya
untuk membuat Bancak Bengek senang.
Tetapi Bancak Bengek tidak peduli. Perem-
puan itu mau melayaninya atau diam, tetap saja
dia akan mengejar kenikmatannya sendiri.
Kini dipacunya tubuh kurusnya di atas tu-
buh polos Ratu Dinding Kematian. Tangan ku-
rusnya meremas-remas sepasang payudara mon-
tok perempuan itu.
Lewat setengah peminuman ten, Bancak
Bengek berteriak keras seraya menjambak ram-
but Ratu Dinding Kematian. Dia menekan kuat-
kuat hingga akhirnya terkulai di atas tubuh polos itu. Ratu Dinding Kematian
yang tidak merasakan gairah apa-apa segera mendorong tubuh ku-
rus itu. Seraya mengenakan pakaiannya dia ber-
kata, "Aku datang ke sini untuk meminta ban-tuanmu...."
"Untuk mendapatkan bunga-bunga keramat,
atau ada urusan lain?" desis Bancak Bengek sambil bangkit pula mengenakan
pakaiannya. Sesaat Ratu Dinding Kematian terkejut men-
dengar kata-kata si kakek kurus. Tetapi di lain saat dia tertawa. "Rupanya kau
memantau kea-daanku!"
"Rimba persilatan bukanlah tempat yang da-
pat dijadikan sebagai penyimpan rahasia! Sejak
kau terus menerus mengutarakan keinginanmu
untuk mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Sukma
dari tangan Ratu Tanah Kayangan, aku yakin ka-
lau kau akan melaksanakan keinginanmu itu.
Dan aku tahu kalau kau gagal mendapatkannya.
Lalu kau putuskan untuk mendapatkan bunga-
bunga keramat!"
Ratu Dinding Kematian tersenyum.
"Dan tentunya kau tahu urusan apa yang
sekarang kuhadapi, bukan?"
"Dari pertanyaanmu itu berarti kau sudah
mendapatkan bunga-bunga keramat!"
"Kau betul!"
"Bahkan kau sudah mendapatkan khasiat-
nya, bukan"!"
Kali ini Ratu Dinding Kematian menggeleng.
"Belum! Bunga-bunga keramat itu kusembunyikan di tempat yang sangat rahasia!"
katanya ber-dusta. Kali ini sepasang mata Bancak Bengek me-
lebar. "Mengapa kau tidak segera merendam bunga-bunga keramat untuk kau minum
air renda- mannya?" Ratu Dinding Kematian hanya tersenyum.
Diam-diam dia membatin, "Aku tak mau dia tahu kalau aku telah mendapatkan
kesaktian dari bunga-bunga keramat. Dari pancaran matanya,
aku menangkap gelagat kalau dia menginginkan
bunga itu. Bagus, berarti tak terlalu sulit meminta bantuannya. Dan kalau semua
urusan telah selesai, kakek keparat ini harus kubunuh!"
Bancak Bengek masih memandang pada pe-
rempuan bertahi lalat tepat pada tengah-tengah
keningnya. "Apa yang sebenarnya diinginkan perempuan
ini dengan tidak segera mengambil keuntungan
dari bunga-bunga keramat" Apa yang sedang di-
rencanakannya?" tanyanya dalam hati. Dan dia mendengus dalam hati seraya
meneruskan ucapannya, "Peduli setan apa yang hendak dilakukannya! Ini merupakan
berita baik untukku! Ka-
rena... tak perlu bersusah payah, aku akan men-
dapatkan bunga-bunga itu dari tangannya! Aku
tetap ingin membalas seluruh kekalahanku dari
Dewa Pengasih!"
Habis membatin demikian, Bancak Bengek
berkata, "Ratu... siapa lelaki itu?"
"Dia bernama Purwa," sahut Ratu Dinding
Kematian. Lalu diceritakan tentang Purwa.
"Hemm... jadi aku harus memanggilmu Ni-
mas Herning?"
"Itu pun lebih baik."
"Mengapa tidak kau bunuh lelaki itu?"
Ratu Dinding Kematian tersenyum.
"Dia adalah murid Dewa Segala Dewa. Den-
gan membiarkannya hidup, berarti aku memiliki
seorang sandera."
"Huh! Dari ucapanmu kau nampaknya jeri,
hah"!"
Ratu Dinding Kematian menggeleng.
"Aku memang harus berhadapan dengan Ti-
ga Penguasa Bumi, pemilik bunga-bunga keramat
itu. Tetapi aku juga harus berhadapan dengan
Ratu Tanah Kayangan! Biar bagaimanapun juga,
aku masih tetap menginginkan Kitab Ajian Selak-
sa Sukma!"
"Lawan-lawanmu tidak berarti bila mereka
tidak bergabung! Untuk mengalahkan Tiga Pen-
guasa Bumi, kau harus membunuh mereka satu
persatu!" "Aku... atau kita?" senyum Ratu Dinding Kematian.
Bancak Bengek menyeringai.
"Kita! Karena aku akan membantumu! Ra-
tu... di manakah kau sembunyikan bunga-bunga
keramat?" "Hemmm... dugaanku benar. Dari perta-
nyaannya itu tentunya dia ingin mengorek kete-
rangan tentang bunga-bunga keramat dan men-
dapatkan untuk dirinya sendiri," senyum Ratu
Dinding Kematian dalam hati. "Biar kumuslihati dia." Lalu katanya, "Bunga-bunga
keramat itu ku-simpan di Dinding Kematian!"
"Di bagian mana tepatnya?" Bancak Bengek berusaha untuk tidak membuat suaranya
tergesa-gesa. "Kau tentunya ingat sebuah batu besar yang biasa kududuki bukan"
Di bawah batu itulah ku-simpan bunga-bunga keramat."
Kakek tanpa baju itu tertawa keras.
"Kau memang sangat cerdik!"
"Karena dengan kecerdikan itulah aku dapat menjalankan seluruh rencanaku," kata
Ratu Dinding Kematian. Lalu sambungnya dalam hati,
"Dan memuslihati mu, Kakek celaka!"
Bancak Bengek berkata, "Kalau begitu, un-
tuk apa kita berdiam di Hutan Laknat ini lebih
lama" Mengapa tidak segera kita cari orang-orang yang hendak kau bunuh itu" O
ya, apakah mereka tahu kalau kau orang yang telah mencuri bun-
ga-bunga keramat?"
Ratu Dinding Kematian mengangguk.
"Seorang pemuda keparat telah berhasil
membongkar seluruh penyamaranku!"
"Siapa pemuda lancang yang ingin mampus
itu"!" Sepasang mata tajam Ratu Dinding Kematian menyipit.
"Dia datang dari Lembah Naga dan berju-
luk.... Raja Naga...."
Kepala Bancak Bengek sesaat menegak. Ka-
kek berambut beriap-riap ini tak segera buka mulut. Setelah hening beberapa
saat, barulah dia
angkat bicara, "Raja Naga! Ya, ya! Aku pernah mendengar
julukan itu akhir-akhir ini! Kalau tak salah ingat, dialah yang telah mengatasi
keinginan Sekar
Sengkuni untuk membunuh Resi Tala Kangkang!"
"Aku tidak mendengar kabar itu!"
"Aku mendengarnya!"
(Bagi teman-teman pembaca yang ingin
mengetahui persoalan apa yang terjadi antara Sekar Sengkuni dan Resi Tala
Kangkang, silakan
baca episode: "Istana Gerbang Merah").
Bancak Bengek berkata lagi, "Bagus kalau
kau juga ingin membunuh pemuda itu! Aku sen-
diri sudah tidak sabar sebenarnya untuk melihat kehebatan pemuda itu!"
"Kau terlalu lama berdiam di Hutan Laknat!"
Kali ini Bancak Bengek mendengus.
"Aku sedang menuntaskan sebuah ilmu yang
kuciptakan. Dengan ilmu itulah aku ingin mem-
balas kekalahanku dari Dewa Pengasih! Tetapi
sayang, ilmu itu belum sempurna betul!"
"Tak perlu membicarakan tentang guruku
itu! Urusan dendammu dengan dia adalah uru-
sanmu, bukan urusanku! Kalaupun aku mau
menjalin kambrat denganmu, karena aku merasa
kau lebih bisa menghargaiku daripada guruku
sendiri!" Bancak Bengek tertawa keras mendengar-
nya. Ketika secara tidak sengaja dia berjumpa
dengan Ratu Dinding Kematian dua tahun yang
lalu, Bancak Bengek memang tidak mengenal sia-
pa Ratu Dinding Kematian sebelumnya.
Saat itu birahinya sedang naik dan hendak
dilampiaskannya pada Ratu Dinding Kematian.
Sudah tentu kala itu Ratu Dinding Kematian be-
rontak habis-habisan, hingga pertarungan terjadi.
Dari pertarungan itulah Bancak Bengek mengena-
li jurus-jurus yang dilakukan oleh si perempuan, jurus milik Dewa Pengasih!
Kalau sebelumnya dia hanya hendak me-
lampiaskan birahinya, kali ini dia ingin membu-
nuh Ratu Dinding Kematian! Tetapi di luar du-
gaannya, perempuan itu justru mengatakan kalau
dia sudah tidak lagi menganggap Dewa Pengasih
sebagai gurunya! Bahkan dia rela melayani apa
pun kemauan Bancak Bengek.
Bancak Bengek menganggap bila dia berhasil
mempermalukan perempuan itu, Dewa Pengasih
akan merasa terpukul. Makanya digeluti saja tu-
buh itu siang malam tanpa mengenal puas. Dan
rupanya Ratu Dinding Kematian memang tidak
lagi mempedulikan gurunya!
Barulah kemudian Bancak Bengek mengeta-
hui sebab-sebabnya, ternyata Ratu Dinding Ke-
matian menginginkan pula Kitab Ajian Selaksa
Sukma yang diberikan Dewa Pengasih pada Ratu
Tanah Kayangan. Perempuan itu menginginkan
ilmu yang setingkat dengan gurunya sendiri!
"Bagus! Kita berangkat sekarang!"
"Tunggu! Lawan yang kita hadapi ini adalah lawan-lawan yang tangguh dan bukan
lawan yang bisa dipandang sebelah mata! Tetapi aku yakin
dengan kemampuan yang kau miliki dan siasat
yang kau katakan tadi! Untuk membunuh Tiga
Penguasa Bumi, tak akan pernah berhasil bila
mereka bersatu! Itu artinya, kita memang harus
membunuh mereka satu persatu! Bancak Bengek!
Kini kita membagi dua tujuan!"
"Apa maksudmu dengan dua tujuan?"
"Kita melangkah pada arah yang berlainan!
Dengan cara seperti itu, kemungkinan untuk me-
lacak lawan-lawan kita akan lebih cepat tercapai!"
"Usul yang bagus! Tetapi... apakah kau
mampu menghadapi mereka?"
Ratu Dinding Kematian menyeringai dan
berkata dalam hati, "Inilah yang kutunggu."
Lalu katanya, "Kau sendiri tahu, kalau aku hanya menguasai 'Ajian Selaksa Jiwa'
yang dapat kujadikan andalan. Menghadapi Ratu Tanah
Kayangan sendiri aku tentunya akan kesulitan
karena ilmu kami berimbang. Untuk itulah, aku


Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berharap kau mau menurunkan ilmumu padaku!"
Menggema tawa Bancak Bengek. Sepasang
telinga perempuan mesum itu memerah menden-
garnya. "Keparat! Dia mentertawakanku!" makinya dalam hati. "Aku harus menahan amarahku
dulu. Bila kudapatkan lagi tambahan ilmu darinya,
maka kedudukanku akan lebih kuat. Bertemu
dengan Tiga Penguasa Bumi sekaligus pun bukan
masalah besar."
Kemudian didengarnya kata-kata Bancak
Bengek, "Tak perlu khawatir! Kau akan kuturunkan sebuah ilmu yang sangat luar
biasa!" "Aku sudah tidak sabar menanti!"
"Ilmu yang hendak kuturunkan ini akan
membuat lawan-lawanmu menderita gatal-gatal
seumur hidupnya dan tak akan menemukan obat
penyembuhnya!"
"Bagus! Segera kau turunkan padaku!"
"Baik! Mundur lima langkah dan berlutut!"
Ratu Dinding Kematian bersikap patuh. Di-
lakukannya perintah itu. Dilihatnya Bancak Ben-
gek berdiri dengan kedua kaki agak dilebarkan.
"Tanggalkan pakaianmu!"
Sesaat Ratu Dinding Kematian terkejut. Dan
parasnya memerah geram ketika mendengar kata-
kata Bancak Bengek. "Astaga! Mengapa kau harus berpikir lebih lama" Setiap kali
kau kugeluti, kau dalam keadaan polos! Bahkan kau tak peduli apa
pun yang kulakukan terhadap tubuh montokmu
itu! Dan sekarang... kau meragu hanya untuk
menanggalkan pakaianmu"!"
"Terkutuk! Lama kelamaan rasanya tak akan
sanggup kutahan amarahku ini!" maki Ratu Bind-ing Kematian dalam hati. Lalu
segera ditanggal-
kan seluruh pakaiannya hingga kini tubuhnya be-
tul-betul polos!
Bancak Bengek menyeringai dalam hati.
"Memang sangat sempurna tubuh yang dimi-
likinya! Siapa pun akan terlena bila sudah memasuki keindahan yang dimilikinya!
Untuk menu- runkan ilmu 'Kelabang Jinjit' tak perlu harus menanggalkan pakaian! Tetapi ini
lebih baik! Aku
dapat lebih lama menikmati keindahan tubuh-
nya!" Habis membatin demikian, Bancak Bengek
membuka kedua matanya lebar-lebar. Ratu Dind-
ing Kematian yang berlutut dengan tubuh tegak
itu melihat cahaya hitam pada mata Bancak Ben-
gek semakin mengelam.
Dilihatnya pula mulut kakek berambut be-
riap tak beraturan itu berkemak-kemik, sementa-
ra tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah. Di lain kejap, Ratu Dinding
Kematian merasakan sa-puan angin yang lembut namun agak berbau bu-
suk. Angin yang keluar dari tiupan mulut Bancak Bengek menyelimuti tubuhnya.
Saat itulah cahaya hitam melesat keluar dari
kedua bola mata Bancak Bengek, tepat menerpa
sepasang payudara montok yang berujung keme-
rahan itu! Tap! Tap! Ratu Dinding Kematian terdorong sedikit dan
tubuhnya bergetar. Di lain saat dirasakan kalau seluruh tubuhnya gatal-gatal.
"Terkutuk! Apa yang dilakukannya"!" makinya dalam hati.
Rasa gatal-gatal itu kian terasa menyengat,
semakin menyulitkannya untuk bergerak. Dan...
astaga! Kedua tangannya tak mampu digerakkan!
"Gila! Kubunuh dia! Kubunuh dia!"
Bersamaan hendak dilepaskannya 'Ajian Se-
laksa Jiwa', terdengar seruan Bancak Bengek.
"Selesai! Kau telah memiliki ilmu 'Kelabang Jinjit'
sekarang!"
Ratu Dinding Kematian sendiri sudah tidak
lagi merasa gatal-gatal pada tubuhnya.
"Kerahkan hawa murnimu dan letakkan di
bawah perut. Bersamaan kau hembuskan napas-
nya, ilmu 'Kelabang Jinjit' akan keluar!" seru Bancak Bengek.
Ratu Dinding Kematian berseru, "Apakah
aku masih harus tetap tak berpakaian seperti
ini"!" "Hahaha... kau memang keras. Ratu! Bahkan terlalu keras untuk seorang
perempuan!"
Ratu Dinding Kematian mengenakan lagi pa-
kaian nya dan berdiri tegak. Matanya tak berke-
dip pada Bancak Bengek, "Kita susul Purwa untuk kemudian tinggalkan Hutan
Laknat!" Bancak Bengek sendiri sudah mendahului
langkah sambil tertawa-tawa.
LIMA SEPASANG mata angker milik Raja Naga tak
berkedip memandang sekitarnya yang sepi. Saat
ini matahari, sudah memancarkan kembali ca-
haya keemasannya. Panasnya belum terlalu me-
nyengat tetapi membuat embun yang menggayuti
setiap dedaunan mengering. Angin masih ber-
hembus cukup dingin. Tak jauh dari tempatnya,
gumpalan kabut masih menggenang di udara.
"Dari petunjuk Ratu Tanah Kayangan, jelas
Inilah tempat yang bernama Dinding Kematian.
Tempat yang sunyi dan benar-benar tepat berna-
ma Dinding Kematian," desisnya dalam hati.
Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling
tempat itu. "Hemm... tak ada tanda-tanda kalau tempat ini berpenghuni!"
Untuk beberapa lamanya pemuda bersisik
coklat pada lengan kanan kiri sebatas siku itu
masih berdiam di tempatnya. Mata angkernya
menelanjangi sekitar tempat itu.
"Tempat ini dipenuhi oleh bukit-bukit ber-
dinding landai. Batu-batu besar berserakan di
sana-sini. Dan nampaknya... hei! Itu ada sebuah bangunan! Tetapi... tak kulihat
adanya jalan untuk tiba di bangunan itu!"
Raja Naga menimbang beberapa saat sebe-
lum memutuskan untuk mendatangi bangunan
itu. Dengan penuh kewaspadaan, dipergunakan-
nya ilmu peringan tubuhnya. Gerakannya sangat
lincah ketika melewati batu-batu besar itu sebelum akhirnya hinggap di muka
bangunan. Dilihatnya dinding bangunan itu telah Jebol.
Diputuskan untuk masuk ke dalamnya. Dilihat-
nya pula kalau atap bagian dalam bangunan itu
telah jebol. Diperiksanya seluruh bagian bangu-
nan itu sebelum akhirnya berhenti di tempat se-
mula. "Dugaanku ternyata benar. Tak ada tanda-
tanda Ratu Dinding Kematian berada di sini. Apakah sebelumnya dia sudah di sini
kemudian ber- lalu lagi?" desisnya dengan kening dikerutkan.
Kemudian diangkat kepalanya untuk meliha-
ti atap dan dinding yang jebol.
"Apakah telah terjadi satu pertarungan di si-ni" Atap dan dinding yang jebol itu
sudah mengi-syaratkan demikian. Tetapi anehnya, tempat ini
sama sekali tidak berantakan. Kalau tidak terjadi pertarungan, apa yang telah
terjadi?" Kembali pemuda dari Lembah Naga ini me-
mikirkan kemungkinan Ratu Dinding Kematian
telah tiba di tempat itu atau belum. Tiba-tiba keningnya berkerut dengan mata
yang tetap me- mancarkan keangkeran menggidikkan.
"Apakah aku salah tempat?"
"Kau tidak salah tempat, Anak muda! Me-
mang tempat inilah yang dinamakan Dinding Ke-
matian!" Satu suara yang mengejutkan Raja Naga,
membuat anak muda dari Lembah Naga itu sege-
ra membalikkan tubuh. Entah dari mana datang-
nya, di hadapannya telah berdiri seorang kakek agak bongkok yang mengenakan
pakaian dan jubah putih panjang. Jubahnya sangat bersih, tidak terlihat sedikit
noda pun. Mata si kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu sangat teduh.
Seluruh rambut dan bulu yang ada pada sekujur
tubuhnya berwarna putih. Di tangan kanan ki-
rinya terdapat sebuah gelang berwarna putih yang terbuat dan baja.
Untuk beberapa lamanya pemuda berompi
ungu yang terbuka hingga memperlihatkan dada
bidangnya itu tak buka suara. Mata angkernya
tak berkedip pada si kakek.
"Aku sama sekali tak menangkap suara apa-
apa, tahu-tahu kakek ini sudah berkata-kata dan berada di belakangku. Dari
keadaan itu, dapat
kusimpulkan kalau kakek ini bukan orang sem-
barangan. Siapakah kakek ini" Apakah dia ter-
masuk lawan, atau kawan?"
Kakek bermata teduh penuh kasih itu terse-
nyum. "Keheranan yang terpancar di wajah setiap
orang bila baru pertama kali berjumpa dengan seseorang yang belum dikenalnya,
memang sesuatu yang lumrah. Apalagi di saat perasaan sedang kacau menimbang-nimbang, apakah
orang yang ba- ru dilihat itu lawan atau kawan...."
Kepala Raja Naga menegak. Matanya mele-
bar. "Astaga! Dia seperti tahu kata hatiku!" serunya dalam hati. Lalu segera
dirangkapkan ke-
dua tangannya di depan dada dan berkata lem-
but, "Orang tua berjubah putih... apa yang kau katakan tadi itu memang benar.
Ya... aku memang sedang menimbang-nimbang siapakah di-
rimu...." "Untuk menganggapku lawan atau kawan itu
kupulangkan pada diri pribadi seseorang yang
menilainya. Tetapi seumur hidupku, tak pernah
aku menganggap seseorang itu lawan, baik dia
orang yang baru kenal maupun seseorang yang
menyimpan dendam membara padaku...."
"Kata-katanya teduh dan mendayu penuh
kasih. Sikapnya luar biasa tenangnya. Siapakah
kakek ini?" Raja Naga bertanya-tanya dalam hati.
"Orang muda... bila tak ada urusan yang
penting, tak akan mau orang mendatangi Dinding
Kematian. Dan karena kau sudah berada di sini,
tentunya kau punya urusan yang penting," kata si kakek berjubah putih.
Raja Naga terdiam sesaat sebelum mengang-
guk. "Ya! Aku memang punya urusan penting
hingga sampai di tempat ini."
"Mungkin agak tidak enak bila aku ingin
mengetahui urusan apa yang kau anggap penting
itu." "Ucapannya benar-benar sangat pengasih dan berusaha untuk tidak melukai
perasaan orang," kata Raja Naga dalam hati. Setelah mem-pertimbangkan beberapa saat,
diceritakannya se-
bab-sebab dia berada di Dinding Kematian.
Dilihatnya kakek berjubah putih itu menghe-
la napas pendek,
"Dugaanku ternyata benar. Ya... apa yang
kau katakan itu memang suatu urusan panting."
"Orang tua... apakah kau juga tidak keberatan mengapa kau mendatangi tempat
ini?" Kakek itu menghela napas pendek dulu se-
belum menjawab, "Aku datang ke sini untuk menasihati muridku yang sudah berada
di luar jalur yang ditentukan. Telah banyak keonaran yang di-timbulkannya hingga
aku yang telah memu-
tuskan untuk meninggalkan rimba persilatan
mau tak mau harus datang lagi ke dunia ramai."
Kening Raja Naga berkerut mendengar kata-
kata kakek bermata teduh itu.
"Untuk menasihati seorang murid" Apakah...
astaga!" sepasang mata anak muda dari Lembah Naga itu melebar bersamaan kata
batinnya terputus. Lalu dipandanginya orang tua di hadapannya dengan seksama,
sebelum berkata, "Orang tua...
apakah... apakah kau yang berjuluk Dewa Penga-
sih?" Sesaat suasana hening sebelum kakek di hadapannya menganggukkan kepalanya.
"Ya... akulah Dewa Pengasih, orang tua yang sedang sedih memikirkan kelakuan
salah seorang muridnya yang telah berada di luar batas. Orang tua yang tak ingin muridnya
terus menerus terbe-lenggu oleh kesesatan dan orang tua yang merasa pilu karena
tak berhasil mendidik salah seorang muridnya...."
Raja Naga tak berkata-kata. Dipandanginya
kakek itu dengan seksama. Sama sekali tak dis-
angkanya kalau dia akan berjumpa dengan tokoh
yang julukannya sering didengar. Seorang tokoh
guru dari Ratu Tanah Kayangan dan Ratu Dind-
ing Kematian. Kemudian didengarnya si kakek berkata-
kata lagi, "Sejak semula aku sudah mengetahui perbedaan sifat antara Retno Harum
dan Ratna Wangi. Retno Harum memiliki sifat yang lembut, baik dan sopan. Padanyalah
kupercayakan Tanah
Kayangan didudukinya hingga dia dijuluki banyak orang dengan julukan Ratu Tanah
Kayangan. Sementara Ratna Wangi memiliki sifat yang jauh
berbeda dengan Retno Harum. Dia kuberikan
tempat di Dinding Kematian hingga dijuluki orang dengan sebutan Ratu Dinding
Kematian."
Kakek itu menghentikan ucapannya. Setelah
menghela napas pendek, dilanjutkan lagi kata-
katanya, "Semua ini adalah kesalahanku. Tak seharusnya kuberikan kedua kitab
pusaka yang kupunyai itu, yang ternyata memancing sifat se-
rakah Ratna Wangi untuk memiliki kedua-
duanya. Bahkan dia tega melakukan tindakan-
tindakan makar yang akan mencelakakan sauda-
ra seperguruannya. Tetapi... semuanya telah terjadi dan aku harus meluruskan
keadaan...."
"Dewa Pengasih...," kata Raja Naga. "Tanpa mengurangi rasa hormatku padamu,
tentunya kau telah mendengar kabar tentang pencurian


Raja Naga 19 Dewa Pengasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga-bunga keramat, bukan?"
"Kabar memang telah sampai ke telingaku
yang tua ini. Bunga-bunga keramat milik Tiga
Penguasa Bumi telah dicuri seseorang. Selain Tiga Penguasa Bumi, aku dan
tentunya Ratu Tanah
Kayangan, Ratu Dinding Kematian juga memiliki
ilmu yang dapat menghapus mantra yang dilaku-
kan Dewa Segala Dewa terhadap bunga-bunga ke-
ramat. Ya.... Ratna Wangi memang telah bertin-
dak lebih jauh dari apa yang telah digariskan...."
Raja Naga tak bersuara. Dia berkata dalam
hati, "Kakek ini sangat begitu mengasihi murid-muridnya. Tak sekali pun kudengar
ungkapan marah atau cacian terhadap Ratu Dinding Kema-
tian. Bahkan dia sendiri hanya mengatakan da-
tang untuk menasihati perempuan itu. Ah,
sayangnya Ratu Dinding Kematian tidak berada di sini...."
Kemudian murid Dewa Naga ini berkata,
"Orang tua Pengasih... sebelum kau tiba di sini, aku sudah memeriksa sekeliling
tempat ini. Tak
ada tanda-tanda Ratu Dinding Kematian berada.
Aku juga telah berjumpa dengan muridmu yang
berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Dari mulutnyalah
aku tahu kalau tak kujumpai Ratu Dinding Ke-
matian di sini, berarti dia berada atau sedang
menuju ke Hutan Laknat...."
"Telah lama pula kudengar kalau dia menja-
lin hubungan dengan Bancak Bengek, yang beru-
lang kali berniat untuk membunuhku. Sama se-
kali aku tak bisa melarang apa yang akan dilakukan oleh Ratna Wangi. Karena itu
haknya, terma- suk bersahabat dengan orang yang mengang-
gapku sebagai musuhnya. Tetapi Ratna Wangi
benar-benar telah kelewat batas dan tindakan salahnya itu harus diberi nasihat
agar dia tidak semakin jauh terjerumus ke lembah kesesatan."
"Lagi-lagi dia begitu pengasih. Nada sua-
ranya tetap tak berubah. Penuh pengertian," kata Raja Naga dalam hati. Sambil
menatap kakek bermata teduh itu dia berkata, "Saat ini namaku telah coreng moreng akibat
tindakan yang dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian. Orang tua...
aku bermaksud untuk menangkapnya dan akan
kuhadapkan pada Tiga Penguasa Bumi untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan-
nya." "Anak muda... lakukanlah sebisamu. Hanya satu pesanku, kau harus berhati-
hati menghadapinya....."
"Kata-katanya penuh nasihat dan ini mem-
buka mataku kalau kemungkinan besar Batu
Dinding Kematian memang telah mendapatkan
kesaktian dari bunga-bunga keramat," kata Raja Naga dalam hati. Lalu berhati-
hati dia berkata,
"Aku tidak tahu kesaktian macam apa yang didapatkan oleh seseorang bila telah
meminum air rendaman dari bunga-bunga keramat. Orang
tua... apakah kau bisa memberiku satu nasihat?"
Dewa Pengasih menatap pemuda itu dalam-
dalam dengan mata teduhnya. Tak ada tanda-
tanda keterkejutannya melihat mata angker milik Raja Naga.
"Nasihatku mungkin tak banyak gunanya...."
"Aku akan tetap menjalankannya," sahut Ra-ja Naga sambil memandang kakek di
hadapannya. Si kakek menarik napas pendek. Raja Naga
menangkap nada masygul di dalam tarikan na-
pasnya. "Berhati-hati menghadapinya. Itulah satu-
satunya nasihat yang dapat kuberikan padamu,
Raja Naga."
Habis kata-katanya Dewa Pengasih berbalik
dan melangkah. Langkahnya pelan sekali, seolah
dia bukanlah seseorang yang berilmu tinggi. Teta-pi dua kejapan mata berikutnya,
Raja Naga hanya melihat satu bayangan putih saja yang berkelebat dan tahu-tahu
lenyap dari pandangan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 19 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Seruling Perak Sepasang Walet 9
^