Pencarian

Iblis Lembah Tengkorak 2

Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak Bagian 2


diasuhnya sejak kecil juga memiliki jiwa tuhur dan berhati bersih. Rajawali
gembira karena telah
mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti
yang telah lama meninggal dunia.
*** Rangga kini menyempurnakan jurus-jurusnya
berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar
Rajawali Sakti. Setiap Rangga berlatih, maka
burung rajawali putih selalu menemani dan memberi petunjuk dengan bahasa
isyarat. Satu persatu jurus-jurus sakti yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti disempumakannya. Waktu
terus berjaian hingga tak terasa lima tahun telah berlalu. Rangga kini telah
mencapai tingkat terakhir jurus Rajawali Sakti.
Bahkan kini Rangga berhasil menggabungkan
empat jurus andalannya yang memang sebelumnya
sangat dahsyat. Gabungan empat jurus andalan itu dinamakan jurus 'Seribu
Rajawati'. Kedahsyatan
ilmu itu, Rangga bagaikan menjelma menjadi burung rajawali. Kece?patan geraknya
sangat luar biasa.
Gerakan itu membuat Rangga seperti menjadi
seribu jumlahnya. Dengan jurus ini dia dapat
bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan
apa-apa. "Khraaaghk...!" rajawali raksasa berseru nyaring ketika Rangga menyelesaikan
jurus terakhirnya.
Rangga menoleh dan tersenyum. Tubuhnya yang,
tegap dan kekar tampak bercahaya. Keringat
membasahi seluruh tubuhnya bagai butir-butir
permata tertimpa sinar matahari. Rangga tersenyum puas melihat kehebatan jurus
terakhirnya. "Bagaimana, rajawali?" tanya Rangga.
"Khraaaghk!" rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada yang kurang?"
Rajawali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku merasa sudah waktunya meninggalkan
lembah ini," agak pelan suara Rangga menyampaikan maksud itu.
Rajawali raksasa menatap lurus ke bola mata
Rangga. Seperti berat untuk berpisah dengan aark muda ini. Dua puluh tahun
mereka bersama dan
kini saatnya berpisah. Rangga harus mencari
pembunuh orang tuanya.
"Setiap saat kita bisa berternu," kata Rangga seperti mengerti perasaan rajawali
itu. Sebenarnya dia juga berat untuk meninggalkan lembah ini. Tapi dia harus
membalas kematian orang tuanya.
Mata rajawali masih menatap ke bola mata
Rangga. "Aku sudah menguasai ilmu 'Siulan Sakti' jadi kau dapat kupanggil dalam jarak
jauh sekalipun,"
kata Rangga lagi.
Burung rajawali mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sepertinya dia telah merasa lega
mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu 'Siulan Sakti*. Dengan ilmu itu mereka
bisa bertemu setiap saat. Dengan demikian ikatan batin makin terjalin erat.
"Kau tidak keberatan kalau aku memakai nama Pendekar Rajawali
Sakti?" Rangga meminta persetujuan. "Khraghk!" rajawali raksasa itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Mudah-mudahan mendiang Pendekar Rajawali
Sakti juga menyetujui," gumam Rangga pelan.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilat menyambar
beberapa kali disertai suara gemuruh. Padahal
iangit saat itu cerah sekali. Bahkan kabut tebal yang biasanya menyelimuti
lembah tak nampak sejak tadi pagi.
Rangga mendongakkan kepalanya. Gumamnya
seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang menyambar
disertai suara gemuruh seperti pertanda Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke dalam tubuh Rangga. Ini
berarti pemuda tampan
dan gagah itu berhak memakai julukan Pendekar
Rajawali Sakti.
Rasa terkejut dan gembira belum lagi hilang,
tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat
bagai gempa. Bersamaan dengan itu burung rajawali raksasa
mengeluarkan suara nyaring sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, namun tak terbang.
Rangga tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-
tiba ini. Dia heran kenapa burung itu juga
mendadak seperti gila.
Belum terjawab apa yang jadi tanda tanya di
dalam benaknya itu, mendadak tanah kuburan yang
berada di depan Rangga terbongkar disertai suara ledakan dahsyat. Rangga
melompat mundur satu
tombak. Dia tercenung melihat rajawali putih
menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk
dalam. Kedua sayapnya terbentang lebar menutupi
rerumputan di sekitarnya.
Tiba-tiba Rangga terkejut. Dari dalam kuburan
yang terbongkar, keluar asap biru bergulung-gulung.
Semakin lama semakin tinggi ke angkasa, kemudian lenyap bersamaan dengan
munculnya seorang lalu-laki berwajah tampan dan gagah berdiri di atas
tanah kuburan yang berlubang besar.
Rajawali putih menoleh kepada Rangga lalu
memberi isyarat agar Rangga berlutut. Walaupun
benaknya masih bertanya-tanya, Rangga berlutut.
Dia tidak mengenal laki-laki tampan itu.
"Maaf, siapakah Kisanak sebenarnya?" sopan dan lembut suara Rangga.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki tampan itu.
"Oh!" Rangga tersentak kaget. Segera dia memberi hormat.
"Bangunlah, anak muda," kata Pendekar Rajawali Sakti pelan berwibawa.
Rangga berdiri agak ragu-ragu. Sekali lagi dia
menghormat. "Bertahun-tahun aku menginginkan seorang
murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku.
Akhimya, harapanku terkabul. Meskipun tak
langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga
kau dapat menguasai seluruh ilmu 'Rajawali Sakti'.
Bahkan kau mungkin lebih sempurna daripada
diriku," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Mohon ampun jika hamba yang hina ini berlaku lancang," ucap Rangga dengan tutur
bahasa indah. Semua kata-kata itu didapatkannya dari salah satu buku yang terdapat dalam goa.
"Tidak ada yang salah pada dirimu, Rangga. Aku merasa bangga. Kau memang pantas
menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti. Tutur kata dan budi pekertimu tak kusangsikan
lagi. Hanya satu yang
masih mengganjal hatiku."
"Hamba mohon petunjuk guru."
"Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam
dalam hatimu!"
Rangga tertunduk saja. Dia memang ingin balas
dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya
belum tenang kalau dia tidak melaksanakan niat itu.
Rangga ingat betul saat kedua orang tuanya
dibunuh di depan matanya sendiri.
"Aku dapat merasakan kegundahanmu, Rangga,"
kata Pendekar Rajawali Sakti lembut.
"Hamba mohon ampun, Guru," ucap Rangga pelan.
"Kau tak bersalah, Rangga. Memang sudah
menjadi kewajiban seorang anak membela martabat
orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian
orang tuamu. Hanya, ada satu permintaanku."
"Apa itu, Gum?"
"Sebelum kau tinggalkan tempat ini, sebaiknya bersemedilah selama tujuh hari.
Bersihkan dulu jiwa dan ragamu dari nafsu duniawi yang dapat
menjeratmu ke lembah nista."
"Baik, Gurum. Akan hamba laksanakan semua
titah Guru."
"Bagus! Rajawali putih akan menemanimu
bersemedi. Dia juga akan menunjukkan tempat yang baik untuk bersemedi."
"Terima kasih, Guru." .
"Nah! Mulai sekarang kau berhak menyandang
gelar Pendekar Rajawali Sakti yang kau inginkan
itu!"Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan Pendekar Rajawali Sakti menghilang.
Seketika itu pula kuburan yang berlubang terrutup kembali,
disusul oleh suara guruh disertai kilat yang
menyambar-nyambar. dengan sekejap, langit kembali cerah seperti semula.
Rangga menghormat sekali lagi, lalu berpaling
menatap rajawali yang berdiri kokoh. Sesaat mereka saling pandang. Kepala burung
itu menggeleng lalu menoleh ke belakang. Rangga mengerti maksudnya.
Dengan tangkas dan ringan dia melompat, hinggap
di punggung rajawali putih. "Khraagk...!"
Bagai anak panah lepas dari busurnya, rajawali
putih melesat mengangkasa. Dalam sekejap saja
mereka telah berada di udara meninggalkan
Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Rangga
menoleh ke bawah. Lembah Bangkai bagaikan
sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang luas.
"Kau bawa ke mana aku?" tanya Rangga.
"Khraaaghk!" sahut rajawali terns terbang menuju Utara.
"Di sanakah aku harus bersemedi?" tanya Rangga lagi."Khraghk!" Kepala rajawali
terangguk-angguk.
*** Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tempat inilah yang pertama diinjaknya setelah
keluar dari Lembah Bangkai. Sebuah daerah
berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang
pohon pun tumbuh di situ. Di sekelilingnya hanya batu-batuan yang membukit.
Dengan ujung paruhnya, rajawali putih mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih.
Rangga memandang batu itu, lalu kembali
mengedarkan pandangannya. Matanya menatap ke
bola mata rajawali.
"Di sini tempatnya?" tanya Rangga belum yakin.
Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang
seperti ini. Tempatnya di sebuah batu di tengah-
tengah bukit, yang panas menyengat pada siang
hari, dan dingin menusuk pada malam hari. Rangga menjadi yakin. Di mana pun
tempatnya, harus
dilaksanakan titah Pendekar Rajawali Sakti.
Tepat purnama Rangga hams memulai semadinya.
Rangga mendongakkan kepalanya. Matahari sudah
condong ke Barat. Sebentar lagi malam tiba, dan
purnama tepat jatuh pada malam ini. Rangga harus menyiapkan diri dari sekarang
untuk bersemadi.
Proses terakhir yang sangat berat dalam latihan
kesempurnaan seorang pendekar.
Apapun beratnya, Rangga tak perduli. Hatinya
mantap. Tak ada artinya gemblengan berat di
Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani tahap akhir dari rangkaian ilmu
Rajawali Sakti. Satu tahapan yang paling berat. Bersemadi dan berpuasa selama
tujuh hari tujuh malam.
Matahari telah tenggelam. Rangga telah bersila
dan kedua telapak tangannya merapat di depan
dada. Kepalanya tertunduk, perhatiannya terpusat pada mata hatinya. Pikirannya
kosong. Seluruh
indranya tertutup.
Sementara itu rajawali putih mendekam tidak
jauh dari Rangga. Malam teruss merambat. Dingin
mulai menusuk. Namun Rangga telah menutup
indra yang berhubungan dengan dunia luar. Dia
merasa seperti hidup di alam lain.
*** 5 Di lereng bukit Cubung, siang itu mendung.
Awan hitam bergulung-gulung di angkasa menutupi
cahaya matahari. Angin berhembus keras merontokkan dedaunan. Tampaknya sebentar lagi
akan turun hujan lebat.
Keadaan alam yang tak menguntungkan itu,
tidak menghalangi seorang penunggang kuda untuk
memacu dengan cepat melintasi lereng bukit
Cubung. Penungggang kuda itu laki-laki tampan dan gagah. Dilihat dari dua buah
pedang kembar di
punggungnya, penunggang kuda itu tak lain dari
Kala Srenggi. "Berhenti...!"
Kala Srenggi terkejut mendengar bentakan yang
keras. Seketika dia menarik tali kekang kudanya.
Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua
kaki depannya, lalu berhenti.
Kala Srenggi mengedarkan pandangannya. Tak
ada seorang pun terlihat di sekitar situ. Kala
Srenggi yakin pasti orang yang membentak itu
mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia
waspada. "Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus busuk bersembunyi dalam got!"
teriak Kala Srenggi dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar sehingga
menggema ke selumh bukit.
Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Kala
Srenggi,

Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga hembusan angin berhenti seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya.
"He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya mengandalkan bacot!" terdengar
suara ejekan menggema.
"Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!"
Kala Srenggi panas.
"Sejak tadi aku di sini, Kala Srenggi."
Rasa terkejut Kala Srenggi bagai disengat ribuan tawon. Dia cepat melompat dari
punggung kudanya.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba telah berdiri seorang kakek di atas batu
besar. Kala Srenggi tahu kalau kakek itu seorang tokoh sakti yang bernama Empu
Danuraga, atau biasa dijuluki Si Gila
Pembuat Pedang.
Empu Danuraga seorang tokoh tua yang sangat
disegani. Meskipun sikap dan tingkat lakunya ugal-ugalan, tetapi dia termasuk
tokoh aliran putih.
Banyak tokoh hitam yang tunduk dan tewas di
tangannya. Caranya berdiri di atas batu itu juga seperti bocah. Dia bertumpu
pada sebatang pedang hitam jengat dan sebelah kakinya ditekuk bersilang.
"Ada urusan apa kau menghalangi jalanku,
Kakek tua" tanya Kala Srenggi dingin.
"He he he..., aku hanya minta ditemani," sahut Empu Danuraga. Tangannya
menimang-nimang
pedang hitam, bagai menimang boneka.
"Aku tak sempat menemanimu. Ada urusan yang lebih penting!" Kala Srenggi
melompat ke punggung kudanya.
Namun belum sempat duduk, tiba-tiba sepotong
ranting kering meluncur cepat ke arahnya. Kala
Srenggi dengan cepat berkelit. Dengan ujung jari, disentilnya ranting itu. Tubuh
Kala Srenggi lalu bersalto di udara, kembali turun dengan manis.
"He he he..., Samber Nyawa ternyata bukan
hanya nama kosohg," lagi-lagi Empu Danuraga mengejek.
"Empu gila!" bentak Kala Srenggi gusar. "Aku tidak ada urusan denganmu. Mengapa
kau halangi jalanku?" 'Tidak ada urusan katamu" He he he.... Rupanya
kau sudah pikun, Kala Srenggi. Aku sengaja
meninggalkan gubukku untuk mencarimu. Kau
berhutang nyawa pada cucuku!"
"Jangan mencari-cari perkara, Empu Danuraga.'
Aku tidak kenal dengan cucumu!"
Empu Danuraga mendengus sambil menghentak-
kan pedang hitam nya ke atas batu. Dengan cepat
dia melompat ke arah Kala Srenggi. Batu yang
terkena hantaman pedang hitam tadi berderak, lalu hancur luluh seperti tepung.
Kala Srenggi terperanjat melihat kehebatan kakek tua itu.
Kala Srenggi melihat jelas kalau pedang tadi
hanya dihentakkan satu kali. Hentakannya pun
biasa saja, namun hasilnya sangat mengejutkan.
Batu sebesar kerbau hancur jadi serpihan! Sungguh luar biasa tenaga dalam dan
pedang hitam Empu
Danuraga. Tidak mustahil pedang hitam itu
merupakan senjata pusaka ampuh dan dahsyat.
"Tiga tahun bukan waktu yang lama, Kala
Srenggi" dengus Empu Danuraga geram. "Apa kau sudah lupa dengan peristiwa tiga
tahun yang lalu di Padepokan Banyu Larang?"
Tentu saja Kala Srenggi tidak lupa. Padepokan
Banyu Larang adalah tempat pertama dia menunaikan tugas yang diberikan oleh Geti Ireng.
Seluruh murid-murid di Padepokan itu dibabatnya, karena tidak bersedia mengakui
Panji Tengkorak
sebagai partai terbesar dan induk seluruh partai.
Ada seorang anak muda yang menjadi tamu di
Padepokan Banyu Larang, terbunuh oleh Kala
Srenggi. Apakah pemuda yang mencoba membunuhnya itu cucu Empu Danuraga" Dilihat
dari jurus dan kesaktiannya, memang mirip dengan jurus silat Empu Danu raga.
"Kau membunuh seorang utusan pribadiku! Kau tahu, siapa tamu yang kau bunuh di
Padepokan Banyu Larang?" geram Empu Danuraga. Matanya tajam menatap Kala Srenggi.
"Aku tidak perduli siapa dia!" sahut Kala Srenggi getir.
"Dia cucuku!"
Kala Srenggi tak terkejut lagi. Sudah diduganya
sejak semula kalau anak muda itu adalah cucu
Empu Danuraga. "Hutang pati bayar pati, hutang nyawa bayar nyawa!" lanjut Empu Danuraga lalu
bersiap-siap menyerang Kala Srenggi.
Kala Srenggi segera bersiap-siap pula. Dia sudah mendengar tentang kehebatan
tokoh tua ini, maka
dengan segera dicabut pedang kembarnya. Mata
pedang yang keperakan itu bersinar menyilaukan
tertimpa cahaya matahari yang telah kembali
bersinar. Disilangkan kedua pedang di depan dada.
Kaki kanannya ditekuk ke depan sedikit. Itulah
pembukaan jurus 'Pedang Kembar' Jurus dahsyat
yang jadi salah satu andalan Kala Srenggi.
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh melihat pembukaan jums 'Pedang Kembar'.
"Mainan bocah ingusan jangan kau pamerkan di hadapanku."
"Rasakan pedang kembarku, kakek sinting!" Kala Srenggi segera menerjang dengan
jurus-jurus ampuh-nya. Empu Danuraga terkekeh sambil berkelit sedikit
ke kiri dan ke kanan, menghindari sabetan dan
tusukan pedang kembar.
Jurus 'Pedang Kembar' yang dimainkan Kala
Srenggi memang hebat. Gerakannya cepat sehingga
bentuk pedangnya tidak nampak lagi. Yang terlihat hanya
seberkas sinar kembar berkelebatan mengurung Empu Danuraga. Namun begitu, Empu
Danuraga tenang saja. Bahkan kedua kakinya tidak bergeser sedikit pun. Suara
tawanya terus terdengar. "Setan tua!" Jangan katakan aku kejam jika kau mampus di ujung pedangku!" dengus
Kala Srenggi melihat lawannya hanya berkelit saja.
"Sudah kukatakan, pedangmu hanya mainan
bocah ingusan!" ejek Empu Danuraga. Wut!
Kala Srenggi merobah serangannya. Kali ini
digunakannya jurus 'Dua Mata Pedang Maut'.
Jurus ini lebih hebat lagi. Kala Srenggi bahkan
hanya terlihat bayangannya saja. Melompat ke
segala penjuru dengan kedua pedang menyambar-
nyambar. Trang! Kali ini Empu Danuraga terpaksa menggunakan
pedang hitamnya untuk menangkis serangan lawan.
Dalam hati dia mengagumi jurus-jurus yang
dimainkan Kala Srenggi. Pijaran api memercik ketika pedang mereka berbenturan.
Di pihak Kala Srenggi, dia juga mengakui
kehebatan kakek ini. Tangannya selalu terasa
kesemutan jika salah satu pedangnya membentur
pedang Empu Danuraga. Tapi berkat ketrampilannya memainkan dua pedang yang
dibarengi pengerahan tenaga dalam, Kala Srenggi
masih mampu melakukan serangan-serangan
berbahaya. Lima belas jurus telah berlalu. Belum ada
seorang pun kelihatan terdesak. Empu Danuraga
sendiri sudah membuka serangan berbahaya dengan
jurus-jurus andalannya. Kini dua puluh jurus
berlalu, namun belum juga ada yang terdesak.
Merasa tidak mungkin mengalahkan Empu
Danuraga dengan ilmu pedang, Kala Srenggi
melompat ke luar pertarungan sejauh dua tombak.
Segera kaki-nya melebar. Kedua tangannya menjulur ke atas. Kedua tangan itu
pelan-pelan turun
menekuk sejajar ketiak. Kala Srenggi membuka
'Ajian Tapak Beracun'.
*** "Tunggu!" sentak Empu Danuraga tiba-tiba. "Kau takut dengan 'Ajian Tapak
Beracun' ku!" ejek Kala Srenggi
"Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu, aku bisa kenali kalau ajian itu
adalah gerakan 'Aji Racun Merah'! Ada hubungan apa kau dengan
Setan Racun Merah?"
"Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?"
dengus Kala Srenggi.
"Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"
desak Empu Danuraga.
"Ha ha ha...!" Kala Srenggi hanya tertawa. Empu Danuraga
mengkeretkan gerahamnya. Sinar matanya tajam menatap Kala Srenggi. Hampir
sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar
Setan Racun Merah. Dan sekarang, tiba-tiba saja
jums ampuh itu diperagakan Kala Srenggi. Walau
dengan nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa mengenali dengan baik. Lebih-
lebih ketika melihat kedua telapak tangan Kala Srenggi memerah seperti terbakar.
"Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau kenal baik dengan Setan Racun
Merah. Katakan, di mana dia sekarang?" dingin suara Empu Danuraga.
"Dia sudah mati!" Kala Srenggi datar.
"Edan! Jangan main-main, Kala Srenggi!" Empu Danuraga gusar merasa dipermainkan.
"Siapa yang main-main" Dia sudah mati setelah menurunkan 'Aji Racun Merah'
padaku!" "Jadi... kau muridnya?"
"Kalau benar, kau mau apa?"
"Setan busuk!" dengus Empu Danuraga geram.
"Sepuluh tahun aku menunggu, ternyata dia sudah mati! Huh, sia-sia semua yang
kulakukan selama
sepuluh tahun!"
Kala Srenggi mengerutkan keningnya. Dia tidak
mengerti kenapa Empu Danuraga seperti menyesali
kematian Setan Racun Merah. Adakah hubungan
istimewa antara dua orang itu"
"Di mana dia dikuburkan?" tanya Empu
Danuraga lagi. "Untuk apa kau ketahui?" balas Kala Srenggi.
"Aku harus tahu kuburnya!"
"Tidak seorang pun boleh tahu!"
"Setan alas!" geram Empu Danuraga. Kala Srenggi terkejut setengah mati melihat
perubahan paras Empu Danuraga. Seluruh wajah kakek itu
mendadak menjadi hitam legam bagai arang. Tanpa
disadari, Empu Danuraga mengerahkan 'Aji Klabang Geni'. Satu ajian yang sangat
dahsyat dan sulit
dicari tandingannya.
Tiba-liba saja Kala Srenggi teringat pesan Setan Merah sebelum menghembuskan
napasnya yang terakhir. Dia harus menghindari bentrokan dengan Empu Danuraga. Lebih-lebih jika
kakek ini sudah
mengerahkan 'Aji Klabang Geni'. Tidak mungkin
Kala Srenggi dapat menandingi meski menggunakan
'Aji Racun Merah' sekalipup.
"Baiklah!" gumam Kala Srenggi sambil menarik kembali ajiannya itu. "Kuburan
Setan Racun Merah ada di puncak Gunung Cupul"
Empu Danuraga hanya mendengus pendek, lalu
membalikkan tubuhnya. Wajahnya kembali seperti
biasa. Sinar matanya mulai redup. Namun tidak
mengurangj ketajamannya.
"Setan Racun Merah sudah mati, untuk apa kau menanyakan kuburannya?" tanya Kala
Srenggi ingin tahu.
"Aku ingin membuktikan ucapanmu!" sahut Empu Danuraga datar.
"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Racun
Merah?" "He he he...!" Empu Danuraga terkekeh.
"Apakah kau akan membela gurumu?"
"Tanpa Setan Racun Merah, antara kita sudah punya urusan."
"Kau akan tahu nanti, Kala Srenggi!"
"Hey...!"
Empu Danuraga mencelat bagai kilat. Sekejap
saja tubuh Empu Danuraga lenyap dari pandangan
mata. Kala Srenggi tidak mungkin mengejar meski
dia tahu ke arah mana kakek itu pergi.
"Kelak aku akan mencarimu, Kala Srenggi.
Persoalan kita belum selesai!" tiba-tiba suara Empu Danuraga bergema.
Kala Srenggi terkejut. Dia tahu itu suara Empu
Danuraga. Suara yang dihembuskan dengan jelas
tanpa diketahui ujudnya. Sungguh suatu ilmu yang hebat. Lama juga Kala Srenggi
mematung. Kata-kata Empu Danuraga tidak bisa dianggap main-
main. Entah kapan, pasti dia akan mencari dan
menuntut balas atas kematian cucunya.
"Hhhh...!" Kala Srenggi menarik napas panjang.
Terselip rasa sesal membiarkan seorang murid
Padepokan Banyu Larang lolos. Sebenarnya bisa
saja dikejar, tapi Kala Srenggi terlalu sibuk
menghadapi ketua Padepokan itu. Tentu orang
yang lolos itulah yang memberitahu Empu Danuraga tentang peristiwa di Banyu
Larang. Kala Srenggi rnenghembuskan napasnya dalam
dalam. Sudah kepalang basah, pesan Setan Racun
Merah terpaksa dilanggarnya. Toh ini bukan


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesengajaan. Jika pada akhirnya harus bentrok
dengan Empu Danuraga, dengan terpaksa harus
dihadapinya walau Setan Racun Merah sendiri tak
mampu mengalahkan Empu Danuraga. Apalagi
dirinya" Kala Srenggi dengan sigap melompat ke
punggung kudanya. Segera kuda itu melesat setelah Kala
Srenggi menggepraknya. Debu-debu beterbangan diterjang kaki-kaki kuda yang bagaikan terbang itu.
*** Di depan sebuah kedai satu-satunya di dukuh
Giring, Kala Srenggi menghentikan kudanya. Seperti ingin memamerkan ilmu ringan
tubuhnya, dia melompat dengan indah dari punggung kuda.
Dengan langkah tegap dan pandangan Jurus ke
depan, dia memasuki kedai itu.
Matanya langsung tertuju pada Saka Lintang
dan tiga orang laki-laki berwajah kasar. Mereka
duduk menghadapi meja yang penuh dengan
makanan. Kala Srenggi segera menghampiri dan
duduk di antara mereka. Ketiga laki-laki yang
bersama Saka Lintang adalah pengawal pribadi
gadis ini. Julukan mereka Tiga Serangkai Rantai
Baja. "Kau terlambat, Kala Srenggi," kata Saka Lintang, Kembang Lembah Tengkorak.
Suaranya datar tanpa tekanan sedikit pun. Bicaranya pun
tanpa menoleh karena sibuk dengan makanannya.
"Ada hambatan kecil," sahut Kala Srenggi sambil menuang arak ke dalam gelas
bambu. "Aku tidak peduli dengan alasanmu, aku perlu laporanmu!" masih datar suara Saka
Lintang. "Gagal," pelan suara Kala Srenggi.
Brak! Gebrakan Saka Lintang membuat meja bergetar
yang digebraknya bergetar dan pecah jadi dua.
Seluruh makanan dan minuman yang ada di atasnya, beran-takan bersamaan dengan
tergulingnya meja
itu. Tiga laki-laki yang duduk di depan Saka Lintang melompat.
Beberapa pengunjung kedai segera lari ke luar
ketakutan. Bagi pengunjung yang bernyali besar,
tetap duduk tenang di meja masing-masing.
"Semua bukan salah ku, tapi ini!" Kala Srenggi sengit. Dijambretnya kalung
berkepala tengkorak
yang melilit lehernya.
Melihat kalung yang menjuntai di tangan Kala
Srenggi, pengunjung kedai yang masih bertahan,
segera ambil langkah seribu. Mereka tidak ingin
berurusan dengan kelompok Panji Tengkorak.
Kalung itu merupakan tanda keanggotaan Panji
Tengkorak. "Geti Ireng menginginkan Kadipaten Karang
Setra. Dan kau menugaskan aku menyelusup ke
benteng Kadipaten. Pekerjaan itu memang mudah,
tapi dengan benda ini apa jadi gampang" Mereka
semua kenal tanda ini, Lintang!" Kala Srenggi mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. "Lihat!
Semua orang lari ketakutan melihat kalung ini!"
Saka Lintang juga mengedarkan pandangannya
keseluruh ruangan yang kini sepi. Matanya
tertumbuk pada salah satu meja di sudut. Ternyata masih ada beberapa orang yang
masih bertahan di
kedai ini. Ada lima orang yang masih duduk
melingkari meja. Mereka seperti tak peduli dengan keadaan kedai.
"Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!" kata Saka Lintang Matanya masih
menatap ke arah
sudut ruangan. "Di mana Geti Ireng?" tanya Kala Srenggi.
"Di penginapan Mawar Jingga."
Kala Srenggi memakai kembali kalungnya,
kemudian melangkah ke luar kedai. Penginapan
Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh
Giring dengan dukuh Merang. Geti Ireng selalu
menggunakan penginapan itu jika ke luar dari
Lembah Tengkorak.
Baru saja Kala Srenggi ke luar, dia kembali lagi dan berdiri di depan pintu.
Mukanya merah padam
seperti menahan marah.
"Ada apa?" tanya Saka Lintang. Kala Srenggi tak menyahut. Dilemparkannya sebuah
ruyung ke arah Saka Lintang. Dengan tangkas gadis itu menangkapnya. Ruyung itu terbungkus selembar
daun lontar yang diikat dengan pita merah.
Saka Lintang mendelik setelah mengetahui
isinya. Daun lontar itu bertuliskan sebaris kalimat,
"Kalian anggota Panji Tengkorak, hams mampus di tangan kami!" Saka Lintang
segera menatap kelima orang yang masih acuh di sudut.
"Kurang ajar!" desis Saka Lintang seraya meremas daun lontar hingga remuk.
Tiga serangkai Rantai Baja segera mengarahkan
pandangannya ke sudut. Kala Srenggi juga menatap ke arah yang sama. Tiba-tiba
tatapannya terganggu oleh suara desis kuda yang ada di luar. Betapa
terkejutnya Kala Srenggi ketika melihat kudanya
telah mati. Dan yang paling membuatnya geram
adalah kematian kudanya yang disebabkan oleh
ruyung yang menancap di leher. Ruyung itu kecil, tapi sanggup membunuh kuda
tanpa menimbulkan
suara sedikit pun.
"Kala Srenggi, cepat temui ayah! Biar aku yang membereskan tikus-tikus ini!" sem
Saka Lintang. 'Tidak!" dengus Kala Srenggi gusar. "Nyawa kudaku harus ditebus dengan seribu
nyawa!" Kala Srenggi menatap Saka Lintang. Gadis itu
memperhatikan myung pembunuh kuda yang masih
di genggaman tangannya. Dia tadi tak melihat
bercak darah yang masih baru pada ruyung itu. Tak disangka benda sekecil Ini
bisa menewaskan seekor kuda.
Kelima orang yang berada di sudut kedai berdiri.
Mereka segera menuju ke pintu keluar tanpa
mempedulikan empat orang yang dilanda geram.
Langkah kelima orang-itu terhenti ketika Tiga
Serangkai Rantai Baja melompat menghadang.
"Maaf, kami mau keluar," kata salah seorang dengan sopan.
"Sebelum kuijinkan keluar, sebutkan dulu nama dan dari mana asal kalian!" dengus
salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang bernama
Matsyabaja. Yang dua orang lagi bernama Bayubaja dan Wratbaja.
"Aku yang tertua bernama Langlang Pari, dan keempat adikku bernama, Baga Pari,
Tatra Pari, Kanta Pari, dan Dadap Pari," sahut Langlang Pari memperkenalkan
yang lainnya. Mereka lima bersaudara. Kala Srenggi segera melompat ke depan.
Wajahnya makin merah membara. Matanya menyala-
nyala tajam dengan geraham gemerutuk menahan
amarah. Tidak salah lagi, lima orang yang berada di depannya kini adalah Lima
Pari Emas. Andalan
mereka adalah senjata rahasia berupa ruyung yang sangat kecil. Biasanya ruyung
itu mengandung racun yang mematikan. Pantas saja kalau kudanya
mati seketika tanpa menimbulkan suara.
Sebenarnya bukan ruyung kecil itu saja yang
menjadi andalan mereka berlima. Mereka juga ahli ilmu pedang, di samping aji-aji
kesaktian lainnya yang tidak bisa dianggap remeh.
"Kalian harus bayar nyawa kudaku!" geram Kala Srenggi.
"Berapa harga kudamu?" tanya Langlang Pari acuh.
"Setan! Nyawa kalian berlima belum cukup
mengganti kudaku!"
"Apakah kudamu lebih berharga dari nyawamu
sendiri?" Kala Srenggi tidak dapat lagi menahan amarahnya. Segera dicabutnya pedang kembarnya.
Sret! "Keluarkan senjata kalian!" bentak Kala Srenggi lalu membuka jurus 'Pedang
Kembar'. Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah siap
dengan. senjata masing-masing, berupa rantai baja murni berkepala bola berduri.
Mereka berlompatan mengurung Lima Pari Emas. Hanya Saka Lintang
saja yang tetap tenang berada di tempatnya.
Matanya malah mengamati ruyung di tangannya.
"Mampus kau!" bentak Kala Srenggi seraya menyerang Langlang Pari dengan jurus
'Pedang Kembar'. Langlang Pari berkelit menghindari serangan
dahsyat itu. Bersamaan dengan itu, Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah
menyerang tiga dari Lima Pari Emas.
Pertempuran satu lawan satu berlangsung sengit
di dalam kedai. Dalam sekejap saja keadaan kedai menjadi berantakan. Masing-
masing menggunakan
jurus andalan dan berusaha menjatuhkan lawan
secepatnya. Tetapi mereka semua adalah tokoh-
tokoh yang punya nama dalam rimba persilatan.
Yang terlihat kini hanya bayang- bayang yang
berkelebat ke setiap arah.
Saka Lintang yang tengah mengamati ruyung
kecil tiba-tiba terkejut. Dia merasakan sambaran angin melesat ke arahnya.
Dengan sigap gadis ini melenting ke udara sehingga desiran angin hanya
lewat di bawah kakinya. Ternyata desiran itu
berasal dari sebuah ruyung yang dilepaskan oleh
Tatra Pari yang belum kebagian lawan.
"Pengecut!" dengus Saka Lintang geram. Secepat kilat ruyung yang berada di
tangannya dilemparkan ke arah Tatra Pari. Dengan sigap pula Tatra Pari menangkap
kembali ruyung yang meluncur deras itu dengan jari dan memasukkannya ke dalam
jubah. Tatra Pari segera melesat menerjang Saka Lintang.
Rupanya Tatra Pari tidak main-main lagi. Dia pun melompat sambil mencabut pedang
yang menempel di punggungnya. Pedang terhunus itu telah
mengarah ke arah Saka Lintang, tiba-tiba.... Tring!
Betapa terkejutnya Tatra Pari ketika merasakan
pedangnya membentur benteng baja yang kokoh.
Tangannya terasa kesemutan. Didaratkan kakinya
ke tanah. Tanpa diketahui dari mana datangnya,
tiba-tiba di depan Saka Lintang telah berdiri
seorang laki-laki berkepala gundul berjubah kuning.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada bocah telengas ini, Saka Lintang," kata
laki-laki gemuk berkepala gundul yang tak lain Pendeta Murtad
dari Selatan. Saka Lintang hanya mengangguk. Sebagai putri
Ketua Panji Tengkorak, dia harus bisa bersikap
sebagai pemimpin yang dapat menunjukkan kewibawaan diri agar disegani lawan maupun
kawan. "Hm, rupanya Pendeta Murtad dari Selatan
sudah jadi anjing Geti Ireng," dengus Tatra Pari bergumam.
"Jangan banyak omong, bocah setan! Keluarkan seluruh kesaktianmu!" balas Pendeta
itu yang mempunyai nama asli, Pradya Dagma.
"Menghadapimu cukup dengan ini!" kata Tatra Pari sambil mengepalkan tangan
kirinya. Sedangkan tangan kanannya memasukkan pedang ke dalam
sarungnya di punggung.
"Sombong! Jangan katakan aku kejam membunuh tanpa senjata!" geram Pradya Dagma
merasa terhina. "Silakan." '
*** 6 Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari
Selatan mengebutkan tasbih mutiaranya. Setiap
kebutan menimbulkan suara mendem bagai angin
topan. Tatra Pari yang sudah merasakan sabetan
tasbih mutiara itu tak sungkan-sungkan lagi.
Dicabut pedangnya kembali, lalu diserangnya lawan ke bagian-bagian yang
mematikan. Namun pendeta cebol itu dengan gesit dapat
menghindar dari sabetan dan tusukan pedang
lawannya. Bahkan dibalasnya serangan-serangan
Tatra Pari dengan tasbih mutiaranya. Dalam waktu singkat mereka telah melampaui
sepuluh jurus. Sementara itu pertarungan lain masih terus ber-
langsung sengit. Pertarungan antara Kala Srenggi dengan Langlang Pari telah
berlangsung di luar
kedai. Disusul oleh Kanta Pari, Dadap Pari, dan
Baga Pari yang bertarung melawan Tiga Serangkai
Rantai Baja. "Jangan lari, Pendeta Murtad!" seru Tatra Pari melihat Pradya Dagma melompat
menembus atap kedai. Tatra Pari mengikutinya. Di atas atap kedai
mereka kembali bertarung. Saka Lintang yang kini sudah berada di luar kedai,
mengawasi pertarungan tanpa mengedipkan mata. Hatinya agak khawatir
melihat salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja terpojok melawan Baga
Pari. Hingga tiba-tiba:... "Crab!"
Pedang Baga Pari menembus lawannya. Darah
muncrat bersamaan dengan limbungnya salah satu


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Tiga Serangkai Rantai Baja. Tanpa bersuara
sedikit pun, orang itu ambruk tidak bergerak lagi Baga Pari berdiri tegang
dengan pedang tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung mata
pedangnya berlumuran darah. Saat matanya melihat Tatra Pari bertempur melawan
pendeta cebol itu,
hatinya terkesiap. Pendeta Murtad dari Selatan
bukan tandingan Tatra Pari. Kecuali jika mereka
berlima bersama-sama menghadapi pendeta itu.
Namun sebagai pendekar sejati, Baga Pari tidak
mau berlaku curang Dia hanya memperhatikan saja
setiap gerakan lawan. Bibirnya tersungging melihat saudaranya masih mampu
menandingi pendeta cebol
itu. "Aaaakh...!"
Tiba-tiba terdengar jerit melengking disusul
ambruknya seorang lagi dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang melawan Dadap Pari.
Dari dadanya yang
koyak, menyembur darah segar. Dadap Pari
melompat menghampiri saudaranya yang lebih dulu
menyelesaikan pertarungannya. Mereka berdiri
berdampingan dengan dada bergerak turun naik
Pedang berlumuran darah masih tergenggam.
Dilihat dari tingkatannya, memang Lima Pari
Emas bukanlah tandingan Tiga Serangkai Rantai
Baja. Tidak sampai sepuluh jurus, dua dari Tiga
Serangkai itu telah tewas. Dan kini....
"Mampus!"
"Akh!"
Kanta Pari segera melompat mendekati dua
saudaranya setelah menyelesaikan pertarungannya.
Tuntas sudah Tiga Serangkai Rantai Baja! Kini
hanya Langlang Pari yang berhadapan dengan Kala
Srenggi, dan Tatra Pari yang bertarung di atas atap melawan Pendeta Murtad dari
Selatan. Pertarungan mereka telah sampai pada tingkat
yang paling genting. Langlang Pari telah mengeluarkan jurus Jurus andalannya. Kala Srenggi tak kalah dengan mengeluarkan
jurus 'Pedang Kembar' nya. Tubuh mereka telah tergulung oleh
sinar pedang sehingga seperti tak nampak lagi.
Tiba-tiba Kala Srenggi mencelat ke atas. Setelah bersalto tiga kali di udara,
dijejakkan kakinya di tanah sejauh dua tombak. Dengan sigap tangannya
memasukkan pedang kembar ke dalam sarungnya.
Segera dinaikkan tangannya ke atas, lalu turun perlahan-lahan, dan berhenrj
sejajar di ketiak.
"Racun Merah...," desis Langlang Pari.
Tiga saudara Langlang Pari yang tengah
memperhatikan, terkejut melihat Kala Srenggi
mengeluarkan jurus 'Aji Racun Merah'. Langlang
Pari segera memasukkan pedangnya. Bergegas
dirapatkan kedua telapak tangannya ke depan
dada. Sesaat kemudian tubuhnya telah menggigil
seperti orang kedinginan.
Langlang Pari mengeluarkan aji pamungkasnya.
Suatu ajian yang jarang dikeluarkan kecuali
terpaksa. Melihat Kala Srenggi mengeluarkan 'Aji Racun Merah'nya, tiga dari Lima
Pari Emas segera berpegangan
tangan. Ujung pedang mereka satukan, lalu diarahkan ke Langlang Pari.
Dari ujung pedang yang menyatu, keluar cahaya
kuning keemasan. Cahaya itu segera menerpa
Langlang Pari. Tiba-tiba tubuh Langlang Pari
bergetar, dan secara perlahan-lahan bembah
menjadi keemasan. Setelah tubuh Langlang Pari
bembah warna, segera tiga saudaranya itu
menurunkan pedangnya.
Bukan hanya Kala Srenggi yang terkejut. Saka
Lintang pun terkesiap melihat ilmu yang djkeluarkan Lima Pari Emas. Sementara itu telapak tangan Kala Srenggi juga telah
bembah merah. Disalurkan seluruh tenaga dalamnya setelah dia
tahu kalau lawan mengerahkan 'Ajian Pari Emas'
yang sangat dahsyat.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Pradya
Dagma dan Tatra Pari sehingga pertarungan
mereka terhenti dengan seketika. Pradya Dagma
segera meleompat tumn dan mendarat di samping
Saka Lintang. Sementara Tatra Pari telah berdiri di antara saudara-saudaranya.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan melengking, Kala Srenggi
melompat bagai kilat menyambar menerjang'
Langlang Pari. Bersamaan dengan itu Langlang Pari pun tak kalah gesitnya.
Tubuhnya melompat
menerjang. Dalam
sekejap mereka bertemu di
udara. Ledakan dahsyat pun terjadi ketika dua telapak
tangan mereka bertemu. Tubuh Kala Srenggi
terlontar ke belakang dengan keras. Dia lalu
dengan cepat bangkit. Lain halnya dengan Langlang Pari. Tubuhnya hanya
terdorong-sedikit, dan
dengan mulus kakinya terjejak di tanah.
"Edan!" dengus Kala Srenggi melihat lawannya masih segar bugar.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, Kala Srenggi!"
ejek Langlang Pari.
Mendengar hal itu, muka Kala Srenggi merah
padam. Ilmu andalannya ternyata tidak berarti apa-apa bagi Langlang Pari. Bahkan
hampir saja dirinya sendiri yang roboh. Baru kali ini ditemukan lawan yang
begitu tangguh dan mampu menandingi 'Aji
Racun Merah' yang sangat dibangga-banggakannya.
"Kala Srenggi, mundur!" bentak Pradya Dagma tiba-tiba.
Kala Srenggi yang kembali bersiap-siap akan
menyerang lagi, menoleh kepada pendeta cebol yang telah melangkah ke depan.
"Ajianmu tak dapat menandingi 'Pari Emas',"
kata Pradya Dagma hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Kala Srenggi
"Huh!" Kala Srenggi mendengus sengit
"Aku datang untuk memanggilmu, Kala Srenggi.
Geti Ireng ingin bertemu dengan kau," kata pendeta cebol itu lagi.
"Aku selesaikan dulu setan keparat ini!" dengus Kala Srenggi.
"Tidak ada waktu. Kau bisa celaka mengabaikan perintah Geti Ireng!"
Sambil bersungut-sungut, Kala Srenggi mundur
dua tindak. Tanpa bicara lagi, dia langsung
melompat ke atas kuda entah milik siapa. Yang jelas Kala Srenggi segera memacu
kuda itu meninggalkan tempat itu.
'Pari Emas, di antara kita belum pernah punya
urusan. Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya Pradya Dagma setelah Kala Srenggi
tidak terlihat lagi.
"Lima Pari Emas selalu punya urusan dengan
kejahatan. Siapa pun orangnya, berarti musuh
kami!" lantang suara Langlang Pari menyahut.
"Hm..., kau cari perkara dengan Panji Tengkorak!" gumam Pradya Dagma.
"Pari Emas memang ingin membasmi Panji
Tengkorak!"
"Setan kutul! Kau tahu siapa Panji Tengkorak!"
panas telinga Saka Lintang.
'Tak peduli siapa, yang jelas Panji Tengkorak
harus lenyap dari muka bumi!" tegas suara Langlang Pari.
"Setan alas! Mulutmu harus dibungkam!" dengus Pradya Dagma.
"Aku ingin memotong lidahmu yang busuk!" ejek Tatra Pari yang masih penasaran.
"Jaga seranganku, bocah-bocah edan!" geram Pradya Dagma.
Setelah berkata demlkian, pendeta cebol itu
segera menyerang Lima Pari Emas sekaligus. Dia tak sungkan-sungkan lag!
mengeluarkan jurus-jurus
andalannya. Lima Pari Emas harus hati-hati
menghadapi Pendeta Murtad inl. Dengan segera
mereka menggunakan jurus 'Barlsan Dewa Pari'
yang mengandaikan kekompakan dan kerja sama
yang balk. Pradya Dagma diserang dari lima penjuru dengan
arah yang mematikan. Serangan datang bagai
gelombang laut, silih berganti tanpa hentl. Sungguh hebat jurus 'Barisan Dewa
Pari'. Satu serangan
belum tuntas, sudah disusul dengan serangan lain.
Begitu seterusnya.
Pendeta cebol itu terlihat kewalahan menghadapi serangan yang saling susul menyusul
itu. Beberapa kali dia harus jatuh bangun
menghindari serangan yang beruntun. Keringat
membasahi wajah dan tubuhnya. Tidak ada
kesempatan untuk ke luar dari kepungan yang rapat itu. Seakan-akan setiap celah
telah tertutup rapat.
Hati pendeta cebol itu mulai getir.
Dalam waktu yang tidak lama, dua puluh jurus
berlalu. Namun demikian Pradya Dagma belum bisa
menyentuh lawannya. Bahkan selalu saja datang
se?rangan dari arah lain. Pradya Dagma benar-
benar ke?walahan. Dia kuras seluruh tenaga dan
kepandaiannya. Kini digunakannya jurus 'Tasbih
Sakti Memecah Gunung'.
Ternyata jurus itu juga tidak menolong banyak
Semua serangan Pradya Dagma patah sebelum
mencapai tujuan. Dia segera menggantinya dengan
jurus andalan lain yang lebih dahsyat. Tetapi juga tidak berarti apa-apa. Pradya
Dagma hampir putus asa. Lima Pari Emas seakan-akan dapat mengetahui kelemahan
jurus-jurusnya.
"Setan! Ilmu apa yang mereka gunakan!" rungut Pradya Dagma dalam hati.
Di tengah keputusasaan Pradya Dagma, tiba-tiba
saja serangan-serangan Lima Pari Emas mendadak
ngawur. Hal ini membuat pendeta cebol itu
keheranan. Matanya sempat melirik Saka Lintang.
Gadis itu juga tengah keheranan tak mengerti.
Rasa heran juga menghinggapi Lima Pari Emas.
Setiap gerakan yang dilancarkan ke arah Pradya
Dagma, seperti terhalang oleh benteng kokoh yang tidak teriihat.
"Mundur!" teriak Langlang Pari tiba-tiba.
Seketika Lima Pari Emas berlompatan mundur.
Pedang mereka tetap melintang di depan dada
dengan kedua kaki tetap kokoh menjejak tanah.
Pradya Dagma tiba-tiba terkejut melihat seorang
anak muda telah berdiri di sampingnya.
Anak muda itu mengenakan baju tanpa lengan
dengan baglan dada terbuka. Rambutnya yang
panjang diikat ke belakang. Sebuah pedang
bertengger di punggungnya. Celananya hanya
sebatas lutut. Kumal sekali keadaannya, namun
berwajah tampan dan kulit putih bagai pualam.
Pemuda itu adalah Rangga yang telah menyelesaikan semedinya di Gunung Kapur. Hati
Rangga merasa tidak tega melihat laki-laki tua
dikeroyok lima orang bersenjata pedang. Dia tidak tahu kalau laki-laki tua itu
adalah seorang tokoh dari golongan hitam. Hati Rangga. yang masih polos belum
bisa membedakan mana kawan dan mana
lawan. "Kenapa mereka sampai mengeroyok kakek?"
tanya Rangga dengan sopan dan lembut.
"Mereka ingin membunuhku!" sahut Pradya Dagma. Sekejap saja dia mampu mengukur
kepandaian anak muda ini. Otaknya yang dipenuhi
akal licik, segera memanfaatkan kehadiran Rangga yang polos itu. .
"Apa salah kakek?" tanya Rangga tidak menyadari kalau dirinya diperalat
"Mereka ingin mengambit putriku!"
Pandangan Rangga segera terarah pada Saka
Lintang yang berdiri agak jauh. Harinya tergetar ketika melihat gadis itu. Saka
Lintang yang mendengar pembicaraan itu hanya tersenyum dalam
hati. Sudah dapat ditebak maksud Pradya Dagma.
Diam-diam hatinya tergetar juga melihat ketampanan Rangga.
"Sebaiknya kakek pulang saja, biar saya urus orang-orang jahat Ini," kata
Rangga. 'Terima kasih,

Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi ini urusanku. Biar kuselesaikan sendiri," Pradya Dagma pura-pura.
"Anak muda! Minggir! Aku tidak ada urusan
denganmu!" bentak Langlang Pari geram.
"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kekejaman
dan kejahatan berlangsung di depan mataku!' sahut Rangga kalem.
"Siapa yang jahat, siapa yang kejam?" dengus Langlang Pari gusar. Dia sudah
dapat menebak akal bulus Pradya Dagma.
Rangga menatap lurus pada Langlang Pari dan
adik-adiknya. Kemudian ditatapnya pendeta cebol
yang masih berdiri di sampingnya.
"Saka Lintang, cepat pulang. Nanti ayah
menyusul!"
kata Pradya Dagma meneruskan sandiwaranya. Dia tidak ingin kedoknya terbongkar.
Baginya ini kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari Lima Pari Emas.
Bagaimanapun dia sadar tidak akan mampu menghadapi Lima Pari Emas sekaligus.
"Baik, Ayah!" sahut Saka Lintang segera melompat ke atas kudanya.
Rangga kagum melihat ketangkasan gadis itu dari
caranya melompat dan melarikan kudanya dengan
cepat. Saka Lintang tahu kalau perintah itu hanya
siasat saja, makanya dia menuruti saja perintah itu.
Dan lagi dia memang tahu kalau pendeta cebol
tidak sanggup lagi melawan Lima Pari Emas.
Perintah itu juga bisa jadi suatu tanda kalau dia harus segera melapor pada
ayahnya, Geti Ireng.
"Pendeta licik, hadapi aku!" geram Langlang Pari.
Dia sudah bisa membaca maksud yang terkandung
di benak Pradya Dagma.
"Anak muda, jangan terpancing dengan kelicikannya! Dia Pendeta Murtad dari Selatan"
seru Dadap Pari. Matanya yang jeli bisa melihat
kalau Rangga belum mengerti tentang rimba
persilatan. "Ah, Anak Muda. Saya mohon diri. Terima kasih, telah menolongku," kata Pradya
Dagma terburu-buru.
Rangga belum sempat mengeluarkan sepatah
kata pun, tetapi Pradya Dagma telah melompat ke
punggung kuda dan langsung menggepraknya. Kuda
tinggi besar itu meluncur cepat. Sebentar saja
sudah jauh meninggalkan tempat itu.
"Setan ! Licik!" umpat Langlang Pari kesal. "Anak Muda, siapa kau sebenarnya"
Kenapa membantu
Pendeta Murtad itu?" tanya Dadap Pari yang lebih besar dari lainnya.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri. "Aku tidak bisa melihat
kekejaman berlangsung di depan hidungku!"
Dadap Pari tersenyum mendengar kata-kata
polos itu. Dia memasukkan pedang ke dalam
sarungnya. Dihampirinya Rangga yang tetap berdiri di tempatnya. Senyum masih
terkembang di bibir
Dadap Pari. Dia bisa maklum kalau anak muda ini
masih hijau dalam dunia persilataa
Rangga mengernyitkan alisnya.
Dia tidak mengerti kenapa orang yang semula dikira jahat
justru berkata lemah lembut dan tidak menunjukkan permusuhan. Bahkan mereka semua
memasukkan pedangnya kembali. Apakah salah
penilaiannya"
"Kami lima bersaudara dengan julukan Lima Pari Emas. Kami berasal dari Gunung
Cupu. Sedangkan
pendeta gundul itu bergelar Pendeta Murtad dari
Selatan. Sudah lama dia kami cari untuk kami
hentikan sepak terjangnya yang tidak berperikemanusiaan," kata Dadap Pari menjelaskan.
Rangga menatap lima orang yang berdiri di
depan-nya satu persatu. Seakan-akan ingin memastikan kalau dia tadi salah menilai. Julukan Pendeta Murtad dari Selatan
pernah dibacanya
dari salah satu buku yang di goa Lembah Bangkai
Nama itu tercantum berikut nama-nama lain yang
termasuk dalam golongan hitam.
Tetapi Rangga belum yakin. Sebab nama Pendeta
Murtad dari Selatan sudah lenyap di tangan
Pendekar Rajawali Sakti seratus tahun yang lalu.
Apakah orang tua gundul cebol itu muridnya yang
kini malang melintang di rimba persilatan dengan nama yang sama"
"Dadap Pari, sebaiknya kita bicara di tempat lain saja !" usul Langlang Pari
Dadap Pari mengangguk. Dia mengerti maksud
saudaranya. Sebentar lagi tentu kelompok Panji
Tengkorak akan datang. Tanpa banyak bicara, Lima Pari Emas berlompatan ke atas
punggung kuda masing-masing. "Ayo, Rangga! Kita pergi dari sini," ajak Dadap Pari.
"Terima kasih!" sahut Rangga.
Ketika Dadap Pari akan membuka mulutnya,
Rangga telah lebih dulu mencelat dan lenyap
seketika dari pandangannya. Begitu cepatnya
sehingga Lima Pari Emas terkesiap. Ke mana
Rangga pergi"
*** 7 Senja telah merayap menjadi malam. Udara
dingin. Angin berhembus agak kencang. Dinginnya
udara malam menjadi tak terasa di dalam sebuah
ruangan yang terang benderang oleh cahaya obor.
Sebuah kedai makan yang telah penuh oleh orang-
orang dari berbagai golongan masing-masing di
mejanya. Di salah satu sudut yang remang-remang, duduk
Rangga menghadapi meja kecil. Hanya ada sebuah
guci arak di atas mejanya. Matanya selalu
mengawasi orang-orang yang ke luar masuk kedai
makan ini. Di kedai ini pun menyediakan kamar-
kamar untuk menginap.
Mata Rangga tertumbuk pada salah satu meja
yang jauh di depannya. Tampak Saka Lintang duduk dikelilingi empat orang laki-
laki. Rangga sama sekali tak tahu kalau keempat laki-laki itu dari golongan
hitam. Mereka adalah Kalingga, atau berjuluk
Kakek Merah Bermata Elang. Duduk di sampingnya
adalah Kala Srenggi. Di samping kanan Saka
Lintang duduk seorang wanita dengan dandanan
menor, persis badut. Wanita itu dijuluki Dewi
Asmara Dara. Sebenarnya wanita ini cantik.
Tubuhnya pun menggiurkan. Karena dandanannya
yang berlebihan maka wanita ini jadi kurang
simpatik. Kemudian yang seorang lagi wanita tua.
Rambutnya yang putih digulung ke atas. Sebagian
rambutnya dibiarkan jatuh menjuntai. Walau
kulitnya telah keriput, tapi sorot matanya masih menyimpan
ketegaran. Dia dijuluki Dewi, Jerangkong, karena tubuhnya yang kurus kering
bagai tulang berbalut kulit.
Keadaan kedai tenang. Semua orang menikmati
hidangan sambil bersenda gurau. Namun ketenangan itu tiba-tiba lenyap, ketika seorang laki-laki
tersuruk-suruk masuk dengan tubuh berlumuran darah. Laki-laki itu menghampiri meja Saka Lintang.
"Hey! Ada apa?" pekik Saka Lintang kaget.
'Teratai Putih...," laki-laki itu tidak meneruskan kalimatnya. Dia telah ambruk
tak bernyawa. Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba dari
pintu bermunculan orang-orang berpakaian serba
putih dengan suiaman bunga teratai di dada.
Bahkan beberapa orang muncul dari atas atap
ruangan ini. Jumlah mereka semua tak lebih dari
dua puluh orang.
Beberapa pengunjung
segera berhamburan
keluar menyeiamatkan diri. Keadaan di kedai makan kian bembah panas dan tegang.
Saka Lintang segera berdiri diikuri yang lainnya.
"Kalian datang langsung membuat onar. Apa
maksud kalian?" dingin suara Saka Lintang. Matanya menatap tajam pada orang yang
berdiri paling depan. "Kami ingin menuntut balas atas kematian
saudara-saudara kami!" sahut laki-laki yang berdiri paling depan.
'Pragola, kenapa bukan Pasopati saja yang
datang ke sini"!" dengus Dewi Asmara Dara.
"Guruku terlalu suci berhadapan denganmu,
perempuan liar!" sahut Pragola sinis.
Merah padam muka Dewi Asmara Dara. Bukan
rahasia lagi kalau antara dia dengan Begawan
Pasopati pernah terjadi hubungan asmara sekian
puluh tahun yang lalu, waktu mereka masih remaja.
Sekarang mereka bermusuhan. Dewi Asmara Dara
yang dahulu bemama Sutiragen memang bukan gadis
baik-baik. Dalam usia yang masih belia, Sutiragen telah
berpengalaman menghadapi laki-laki. Tentu saja
Pasopati kecewa setelah mengetahui kelakuan
Sutiragen. Pasopati sendiri telah kalap membunuh orang tua Sutiragen karena
merasa ditipu. Kedua
orang tua Sutiragen telah menjebaknya untuk
menikahi Sutiragen yang kedapatan telah mengandung. Dari peristiwa itulah bibit permusuhan tumbuh
subur. Mereka telah bersumpah akan membabat
habis semua keturunan masing-masing. Oleh sebab
itulah mereka tidak menikah lagi sampai sekarang.
Sutiragen sendiri makin liar, terlebih setelah dia mendapat gemblengan dari
seorang pertapa tua
yang sakti. Mungkin otaknya memang telah dirasuki iblis, Sutiragen yang semula
berjanji akan hidup baik- baik, telah membunuh pertapa itu dengan licik setelah
dia menguasai seluruh ilmunya.
"Bocah sombong! Kau tahu, dengan siapa kau
berhadapan!" geram Dewi Asmara Dara.
"Nenek-nenek tak tahu diri yang merasa masih muda!" ejek Pragola.
Dewi Asmara Dara tidak dapat lagi menguasai
amarahnya yang memuncak sampai ke ubun-ubun.
Dengan sigap dia melompat dan menerjang Pragola.
Anak muda itu berkelit sedikit, bahkan melayangkan kakinya ke perut Dewi Asmara Dara.
"Monyet jelek!" rungut Dewi Asmara Dara sambil melentingkan tubuhnya menghindari
tendangan lanjutan Pragola. Amarah yang meluap membuat
Dewi Asmara Dara jadi lengah.
Meskipun masih muda, Pragola tidak dapat
dianggap enteng. Ilmunya sudah hampir menyamai
gurunya sendiri. Dia memang masih memerlukan
waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya.
Jurus-jurus Pragola sangat dahsyat dan sulit
diterka arahnya, membuat lawan harus hati-hati
mengha-dapinya.
Lawan yang dihadapi Pragpla pun bukan tokoh
sembarangan. Dia seorang tokoh tingkat tinggi yang sudah kenyang makan asam
garam rimba persilatan.
Pragola tahu siapa Dewi Asmara Dara. Oleh karena itu, dilayaninya lawan dengan
tenang dan penuh
perhitungan. "Awas kepalamu!" teriak Dewi Asmara Dara.
Pragola tak mempedulikan peringatan lawannya.
Tangannya yang dialiri tenaga dalam ditebaskan ke arah perut lawan. Dan memang
benar, teriakan tadi hanya tipuan belaka. Justru sasaran sebenarnya
adalah perut. "Ih!" Dewi Asmara Dara terperanjat, cepat-cepat ditarik tangannya.


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh tak disangka kalau Pragola mengetahui
gerak silatnya, sehingga dapat ditebak arah mana yang dituju. Belum hilang rasa
herannya, tiba-tiba Pragola menyerang secara beruntun. Wanita ini
makin terkesiap. Dengan cepat dilentingkan
tubuhnya mundur satu tombak.
"Kalau takut, sebaiknya kau menyingkir!" ejek Pragola.
"Suruh si Pasopati ke sini! Biar dia tahu
bagaimana mengajar muridnya yang ceriwis!" geram Dewi Asmara Dara atau Sutiragen
ini. "Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Aku
masih sanggup membeset mulutmu!" dengus Pragola tidak senang gurunya dihina.
"Bocah setan! Terima seranganku!" teriak Sutiragen geram. Wuuut!
Dengan kecepatan yang luar biasa, Sutiragen
mengeluarkan senjatanya yang berupa selendang
berwarna merah darah. Ujung selendang itu segera meluncur rneliuk-liuk bagai
ular naga ke arah
Pragola. Ke mana Pragola menghindar, pasti
selendang itu mengejar.
Sungguh luar biasa selendang itu. Meja, kursi,
dan barang-barang di sekitar situ hancur
berantakan terkena sambarannya. Dewi Asmara
Dara memainkan jari-jari tangannya dengan lincah membuat selendang itu seperti
mempunyai nyawa.
Pragola terlihat kewalahan menghadapi serangan
Dewi Asmara Dara kali ini. Dia hanya bisa
menghindar dan bersalto tanpa mampu mengirimkan
serangan balasan.
"Perhatikan jari tangannya, gunakan senjata, cari bagian tengah!"
Pragola terkejut mendengar bisikan di telinganya. Dia tak mau berpikir panjang. Siapa pun orangnya, pasti ingin mem
bantu. Pragola segera
meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret! Kali ini dihiraukan ujung selendang yang
mengincar tubuhnya. Matanya menatap jari-jari
tangan Dewi Asmara Dara. Benar! Arah selendang
dapat diketahuinya dari jari-jari tangan yang
bergerak lincah. Dengan mudah Pragola dapat
menghindari ujung selendang tanpa melihatnya.
Bahkan pedangnya beberapa kali hampir menebas
selendang itu. Tapi sepertinya dia menebas
sebongkah batu cadas yang sangat keras.
"Jangan buang tenaga! Pusatkan perhatian pada titik tengah!"
Terdengar lagi bisikan di telinga Pragola. Bisikan itu membuatnya bingUng. Dia
tidak tahu titik
tengah mana yang dimaksud. Pragola tidak lagi
membabatkan pedangnya pada selendang merah
yang masih mengancam dirinya. Matanya tetap tidak lepas menatap jari-jari tangan
Dewi Asmara Dara.
Otaknya terus bekerja memecahkan maksud bisikan
tadi. Tiba-tiba Pragola berteriak nyaring. Tubuhnya
mencelat ke udara. Dengan kecepatan yang luar
biasa, dia menukik tepat di tengah-tengah
selendang. Dewi Asmara Dara terkejut, cepat-
cepat ditarik selendang nya. Terlambat! Ujung
pedang Pragola telah membabat tepat di tengah-
tengah selendang merah itu.
"Setan!" maka Dewi Asmara Dara melihat selendang pusakanya terpotong jadi dua.
Dewi Asmara Dara mencampakkan selendangnya. Dia segera menggerakkan tangannya, mengembang ke samping. Lalu
dengan gerakan yang
cepat, kedua tangannya melintang di depan muka.
Pragola terkejut. Tiba-tiba saja mata Dewi
Asmara Dara berubah merah. Belum hilang rasa
terkejutnya, dari mata itu meluncur seberkas sinar merah mengarah dirinya.
Dengan cepat Pragola
mencelat menghindar. Satu berkas sinar lagi
terpaksa ditangkisnya dengan pedang.
Trak! Pragola terlempar sejauh dua tombak. Pedangnya patah menjadi dua bagian. Belum sempat bangun, dua berkas sinar merah
kembali menyerang dirinya. Dengan cepat Pragola menggulingkan
Kitab Pusaka 16 Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut Beruang Salju 2
^