Hijaunya Lembah Hijaunya 18
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 18
yang dalam pakaian petani sebagaimana orang-orang
Talang Amba itupun telah berusaha menguasai diri pula.
"Kami menyerah" teriak Senopati itu Ketika Senopati itu
meletakkan senjatanya, maka para pengawal yang lain
dibawah perintahnya telah menyerah pula.
Ternyata sikap itu telah diikuti oleh beberapa orang
Senopati yang lain, sehingga akhirnya pasukan Gagelang
yang berada diinduk pasukan itupun lelah menyerah pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
berkata kepada Akuwu "Dengar dan lihat. Akuwu yang
perkasa. Semua pasukanmu telah menyerah. Apukah kau
masih akan bertempur seorang diri melawan seluruh
pasukan Talang Amba?"
"Persetan" geram Akuwu "aku akan membunuh semua
orang yang menentang kekuasaanku, atau aku akan mati
untuk mempertahankan kekuasaanku"
"Kau sudah kehilangan penalaranmu" sahut Mahisa
Bungalan. "Jika kau takut, pergi dari medan. Aku akan
mengampunimu" teriak Akuwu.
Mahisa Bungalan sudah tidak melihat kemungkinan lagi
untuk memaksa Akuwu menyerah, Akuwu sudah benarbenar
tidak dapat lagi berpikir tentang dirinya dan
pasukannya. Bahkan Akuwu sudah cenderung untuk
membunuh diri di peperangan itu.
Karena itu. maka Mahisa Bungalanpun kemudian
memutuskun untuk menghadapi Akuwu itu. Ia tidak akan
memerintahkan orang-orangnya untuk bersama sama dan
beramai-ramai menangkap atau membunuh Akuwu di
Gagelang. Tetapi dalam keadaan yang demikian maka
Mahisa Bungalanpun telah memutuskan untuk
menghadapinya sendiri. sebagaimana dalam perang
tanding. Karena itu, maka Mahisa Bungalan itupun kemudian
berkata "Akuwu. Jika kau memang memilih arena
pertempuran ini sebagai gelanggang untuk menentukan
nasibmu, maka baiklah aku akan memberimu kesempatan.
Marilal kita berhadapan sebagai prajurit. Jika kau
bertempur seorang diri. maka akupun akan melawanmu
seorang di meskipun aku berhak memerintahkan orang
orangku untuk beramai-ramai menangkupmu seperti
menangkap seorang perampok"
"Gila. Aku adalah Akuwu yang mulia di Gagelang"
jawab Akuwu. "Tetapi sikap dan tingkah lakumu tidak mencerminkan
kedudukanmu itu" jawab Mahisa Bungalan.
Wajah Akuwu di Gagelang itu menjadi merah.
Kemarahan dan perasaan yang bercampur baur telah
membuat dadanya bagaikan mendidih. Dengan suara
bergetar oleh gejolak perasaannya, Akuwu itu menjawab
"Kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku
lihat. Karena itu, maka kau akan mengalami kematian yang
paling pahit dari semua orang yang pernah menempatkan
diri sebagai lawanku"
Tetapi Mahisa Bungalan telah benar-benar bersiap
menghadapi Akuwu yang seakan-akan telah menjadi putus
asa dan berusaha untuk membunuh diri dengan caranya itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, muku
pertempuran antara kedua orang itupun menjadi semakin
dahsyat. Akuwu yang memiliki ilmu yang tinggi dan
gejolak perasaan yang menghentak-hentak itu, lelah
menyerang Mahisa Bungalan dengan sengitnya. Senjatanya
yang berputaran bagaikan gumpalan kabut putih melanda
Mahisa Bungalan bagai amuk angin pusaran.
Tetapi Mahisa Bungalanpun memiliki kemampuan yang
dapat mengimbangi ilmu Akuwu di Gagelang. Justru
karena hatinya yang tidak menjadi kabur oleh kemurahan
dan perasaan yang baur, maka ia masih dapat berpikir
secara bening. Karena itulah, maka perhitungannya masih
jauh lebih mapan dari Akuwu yang bagaikan menjadi gila.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdegupan. Ia melihat kegarangan Akuwu di Gagelang
dengan ketegangan yang mencengkam.
Sementara itu, setelah menyelesaikan persoalan para
pengawal yang menyerah, serta menyerahkannnya kepada
beberapa orang prajurit Singasari yang ada diantara orangorang
Talang Amba. maka Ki Wuruju, murid Ki Sarpa
Kuning, Ki Sendawa dan Ki Sanggarana, serta beberapa
orang yang lain, telah berada di induk pasukan Perang
tanding antara Akuwu di Gagelang serta Muhisa Bungalan
itu benar-benar telah menarik perhatian Agaknya Mahisa
Bungalan telah menempatkan dirinya pada keadaan yang
sangat berbahaya itu untuk memenuhi tuntutan sikap
jantannya menghadapi Akuwu yang kehilangan akal itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi
semakin cepat. Serangan-serangan Akuwu yang sangat
berbahaya datang membadai. Sementara Mahisa
Bungalanpun telah bertahan dengan cermatnya. Bahkan
kemudian serangan-serangan balasannyapun telah
menghentak dan mengejutkan Akuwu yang marah itu.
Sambaran-sambaran senjata Akuwu berdesing diseputar
tubuh Mahisa Bungalan yang berloncatan menghindar dan
dengan senjatanya menangkis mengimbangi kecepatan
serangan Akuwu. Namun sekali-kali ujung pedang Mahisa
Bungalan justru berhasil mematuk disela-sela gumpalan
putih putaran pedang Akuwu di Gagelang itu.
Sementara itu, beberapa orang Singasari tengah sibuk
mengurus orang-orang yang menyerah. Mereka
memperlakukan orang-orang dengan baik, karena mereka
mengerti, bahwa kesalahan utama terletak pada sikap
Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka Akuwu di
Gagelanglah yang harus memikul tanggung jawab yang
paling berat. Tetapi justru oleh kesadaran yang demikian, maka
Akuwu di Gagelang telah memilih jalan memintas. Apapun
yang dilakukannya, menurut pendapatnya, akhirnya ia akan
mati juga. Sehingga karena itu, maka ia memilih jalan
terdekat dan yang menurut anggapannya paling terhormat
bagi seorang prajurit. Mati di medan perang.
Namun Mahisa Bungalan yang masih tetap berpikir
jernih itu masih juga berusaha untuk dapat menundukkan
Akuwu tanpa membunuhnya. Dengan demikian, Singasari
akan mendapat jalur yang lebih dekat pula untuk mengusut,
siapakah orang-orang di Kediri yang telah melakukan
perbuatan yang akan sangat merugikan Singasari. Bahkan
akan sangat membahayakan tata kehidupan rakyat padesan.
Dengan cara yang sangat kasar beberapa orang di Kediri itu
ingin membuat Singasari menjadi lemah. Tetapi langkahlangkah
yang mereka ambil sama sekali tidak
menghiraukan tata kehidupan rakyat dan
mempertimbangkan masa-masa yang terbentang dihadapan
mereka untuk waktu yang panjang.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak banyak mendapat
kesempatan. Serangan-serangan Akuwu melandanya
bagaikan debur ombak menghantam batu karang. Berurutan
tidak henti-hentinya. Justru karena usahanya untuk mengalahkan lawannya
tanpa membunuhnya, maka Mahisa Bungalanpun seakanakan
telah terdesak. Meskipun serangannya yang berbahaya
kadang-kadang berhasil menyusup pertahanan dan putaran
pedang Akuwu, namun serangan-serangan itu bukannya
serangan-serangan yang dapat membunuhnya.
Tetapi berbeda dengan sikap itu, Akuwu benar-benar
ingin membinasakan lawannya. Setidak-tidaknya mereka
berdua harus mati bersama-sama.
Karena itu, maka serangan-serangan Akuwulah yang
kemudian seakan-akan menguasai arena, sehingga Mahisa
Bungalan lebih banyak bergeser, menghindar dan
menangkis serangan lawannya. Ia masih berharap, bahwa
pada satu saat Akuwu menjadi kelelahan dan
perlawanannya akan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi perhitungan Mahisa Bungalan itu ternyata keliru.
Akuwu di Gagelang itu tidak segera kehilangan
kemampuannya melawan. Bahkan seakan-akan semakin
lama ia menjadi semakin garang. Meskipun tubuhnya telah
dipenuhi oleh keringat yang bagaikan terperas dari kulitnya,
namun ia masih tetap bertempur sebagaimana mula-mula ia
turun ke medan. Bahkan oleh gejolak perasaannya, Akuwu
itupun menjadi semakin garang.
Mahisa Bungalan sekali-sekali benar-benar terdesak.
Tetapi ia masih berusaha untuk menundukkan lawannya
tanpa membunuhnya. Namun Mahisa Bungalanlah yang kemudian justru
mengalami kesulitan. Ilmu Akuwu itu terlalu tinggi untuk
dapat dikuasainya. Bahkan justru karena itu, maka Mahisa
Bungalan yang lebih banyak menghindar dan menangkis
itu, pada satu kali telah membuat satu kesalahan.
Pada saat yang gawat, Mahisa Bungalan masih berusaha
untuk menghindari ujung pedang Akuwu yang menusuk
kearah jantungnya. Ketika pedang itu tidak menyentuh
sasaran, maka pedang itu telah berputar dan menyambar
mendatar. Mahisa Bungalan masih sempat meloncat surut. Namun
Akuwu yang marah itu memburunya, sementara pedangnya
terangkat tinggi-tinggi sebelum terayun kearah dahi Mahisa,
Bungalan. Mahisa Bungalan melihat satu kesempatan terbuka.
Ketika Akuwu mengayunkan pedangnya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi tanpa memperhitungkan jarak,
maka sebenarnya Mahisa Bungalan dapat memanfaatkan
kelengahan Akuwu itu. Jika ia menjulurkan pedangnya
sambil meloncat maju, maka ia akan dapat mengenai dada
Akuwu yang terbuka. Tetapi ketika Mahisa Bungalan melakukannya, maka
tiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu. Pedangnya yang sudah
terjulur itupun ternyata tidak menggapai tubuh lawannya.
Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih sanggup
melakukan satu serangan yang berbahaya bagi Mahisa
Bungalan. Pedangnya benar-benar terayun mengarah
kedahi lawannya yang ragu-ragu.
Mahisa Bungalan terkejut melihat ayunan pedang itu.
Dengan tergesa-gesa ia merusaha menangkis ayunan
pedang yang dilandasi dengan seluruh kemampuan dan
kekuatan itu. Mahisa Bungalan berhasil menangkis serangan itu dan
dahinya tidak benar-benar terbelah. Tetapi pedang yang
berkisar itu, ternyata masih juga menyentuh pundak Mahisa
Bungalan. Terdengar Mahisa Bungalan mengeluh tertahan.
Pundaknya telah terkoyak oleh pedang Akuwu meskipun
tidak begitu dalam. Namun darah yang hangat telah
melelehdari lukanya itu. Yang terdengar adalah suara tertawa Akuwu. Meskipun
pedangnya masih saja berputar, namun ia dapat berteriak
nyaring "He anak Singasari yang malang. Kau akan segera
terkapar di tanah. Kau mati dalam kesombonganmu,
seakan-akan kau akan dapat menjadi pahlawan bagi orang
orang Talang Amba. Tetapi sebelum kau dapat menikmati
kesombonganmu, maka kau sudah akan mati karena lukalukamu"
Mahisa Bungalan menggeram. Luka itu memang terasa
pedih. Ketika ia memandang wajah Akuwu yang sedang
tertawa itu, tiba-tiba saja jantungnya berdentang. Wajah itu
seolah-olah bukan lagi wajah Akuwu di Gagelang. Tetapi
wajah itu bagaikan wajah iblis yang garang, yang haus tetestetes
darah segar dari tubuhnya.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan melangkah surut.
Dadanya terasa bergejolak semakin dahsyat. Tangannya
menjadi bergetar oleh kemarahan yang tertahan.
"Iblis ini sudah melukai pundakku" geram Mahisa
Bungalan. Sementara itu, Akuwupun bertempur Semakin seru. Ia
terasa bahwa kemampuannya memang melampaui
kemampuan Mahisa Bungalan sehingga ia selalu dapat
mendesaknya dan melukainya.
Untuk sesaat Mahisa Bungalan masih berusaha
menguasai perasaannya. Meskipun pundaknya terasa pedih,
namun ia mencoba untuk melihat satu kepentingan yang
besar untuk tetap membiarkan Akuwu di Gagelang itu
hidup. Tetapi untuk melawan Akuwu itu tanpa menyentuhnya,
ternyata menjadi sangat sulit bagi Mahisa Bungalan.
Apalagi sejak ia terluka. Luka itu kadang-kadang bagaikan
menggigit. Apalagi disaat ia menyadari, bahwa darah yang
mengalir itu akan dapat menyusutkan tenaganya dengan
cepat. Karena itu, maka akhirnya Mahisa Bungalan itu berkata
di dalam hatinya "Aku memang tidak ingin membunuhnya.
Tetapi jika dengan demikian aku sendiri yang akan menjadi
korban, maka aku merasa berkeberatan"
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa
Bungalaan itupun mengambil keputusan "Aku akan
bertempur sebagaimana seharusnya aku melayaninya. Jika
dengan demikian, orang ini terbunuh, maka hal itu sama
sekali tidak akan harapkan"
Dengan keputusan itu, maka Mahisa Bungalanpun telah
bertempur semakin garang. Ia bergerak semakin cepat,
mengimbangi sikap Akuwu yang semakin kasar.
-oo0dw0oo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook :
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 013 MESKIPUN demikian Akuwu itu masih sempat terkejut
ketika ia melihat perubahan sikap Mahisa Bungalan. Ketika
kemudian terjadi benturan yang dahsyat, maka terasa
tangan Akuwu menjadi pedih.
Luka dipundak Mahisa Bungalan membuatnya agak
cemas. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalanpun
bertempur dengan tegang. Darah yang meleleh dari luka itu
terasa semakin banyak. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun telah
mempergunakan segala kemampuannya. Ketika Akuwu
meloncat menusuk kearah lambungnya, maka Mahisa
Bungalan sempat bergeser setapak. Dengan tangkasnya ia
menebaskan pedangnya kearah lambung. Namun Akuwu
masih sempat menangkisnya dan memutar pedangnya dan
menyerang mendatar. Mahisa Bungalan meloncat surut. Ketika Akuwu
memburunya, maka pedang Mahisa Bungalan terjulur
lurus, sehingga langkah Akuwu itupun tertahan.
Mahisa Bungalan sudah siap untuk meloncat. Tetapi
ternyata ia masih ragu-ragu untuk mengayunkan pedangnya
pada saat Akuwu sedang menarik diri.
"Gila" geram Mahisa Bungalan "Apa yang telah
menahanku. Mungkin ia terluka. Tetapi ia tidak akan mati"
Justru pada saat Mahisa Bungalan tercenung itulah,
maka dengan kecepatan tinggi, pedang Akuwu mematuk
lengan Mahisa Bungalan. Demikian cepatnya, sehingga
Mahisa Bungalan tidak sempat berbuat apa-apa.
Mahisa Bungalan terdorong selangkah. Namun agaknya
Akuwu yang sudah tidak dapat berpilir jernih itu ingin
memanfaatkan kesempatan itu. Pada saat Mahisa Bungalan
merasa betapa pedihnya sengatan pedang Akuwu, maka
Akuwu itu telah menyerangnya pula. Pedangnya
menyambar mendatar. Tetapi Mahisa Bungalan telah mempersiapkan diri untuk
menghadapi serangan berikutnya yang sudah
diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan, sehingga karena itu,
maka iapun dengan tangkasnya telah meloncat menghindar.
Namun demikian, luka di lengan Mahisa Bungalan itu
telah membuatnya menjadi benar-benar marah. Darah yang
telah menitik dari lukanya itu membuatnya bersikap lain.
"Jika aku berusaha untuk selalu berhati-hati agar aku
tidak melukainya, maka akulah yang justru akan menjadi
korban dalam pertempuran ini" berkata Mahisa Bungalan
di dalam hatinya. Karena itu, maka setelah lukanya terasa semakin pedih,
Mahisa Bungalan tidak lagi berusaha menahan dirinya.
Apalagi ketika ia menyadari, bahwa darahnya yang
mengalir itu akan dapat mempengaruhi ketahanan
tubuhnya. Semakin banyak darah yang meleleh, maka
semakin lemahlah ketahanan tubuhnya itu. Luka di pundak
dan lengannya itu selain menyakikan tubuhnya juga sangat
menyakitkan hatinya. "Aku tidak akan ragu-ragu lagi" geramnya.
Sebenarnyalah bahwa sikap Mahisa Bungalan telah benarbenar
berubah. Langkahnya menjadi semakin cepat dan
garang. Ia tidak lagi memikirkan apakah Akuwu akan
terbunuh atau tidak. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau
mati. Ia harus dapat menyelesaikan pertempuran itu
sebelum darahnya terperas habis dari luka-lukanya.
Dengan demikian, maka serangan-serangannyapun
kemudian telah datang membadai. Ia tidak lagi bertahan
dan menghindar, menunggu sampai Akuwu di Gagelang itu
kelelahan. Karena dengan demikian, yang terjadi adalah
justru kesulitan bagi dirinya sendiri.
Dalam keadaan yang demikian, maka ternyata Akuwu di
Gagelang itu telah mengalami kesulitan yang lebih besar.
Jika ia semula merasa berbangga bahwa ia berhasil melukai
Mahisa Bungalan, maka kemudian Akuwu itu harus
menggeram dan mengumpat-umpat. Ternyata sikap keras
yang kemudian ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan itu telah
membuat Akuwu semakin kehilangan perhitungan. Ketika
ujung pedang Mahisa Bungalan kemudian mulai
menyentuh tubuhnya, maka Akuwu di Gagelang yang
dalam-kegelapan nalar itu telah menjadi semakin garang.
Tetapi nalarnyapun menjadi semakin kabur, dengan
demikian, maka yang dilakukan oleh Akuwu itu kemudian
bukan lagi kegarangan ilmu yang tinggi, tetapi sekedar
ungkapan kemarahan dan kebingungan yang campur baur
dengan keputus-asaan. Sementara itu, lawannya, adalah seorang Senapati muda
yang telah terluka dan darahnya telah membasahi kulitnya,
sehingga karena itu. menjadi semakin lama semakin garang
pula. Dalam pada itu. ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang
mulai terluka, tubuhnya terpengaruh oleh keletihan dan
darah yang mengalir telah mempergunakan kemampuannya
dalam ilmu pedang sebaik-baiknya. Meskipun kemarahan
telah mencengkam jantungnya, tetapi Mahisa Bungalan
masih sempat melihat dengan jernih putaran senjata
lawannya. Bahkan justru karena luka-lukanya, maka
Mahisa Bungalan berusaha, agar ia tidak akan kehabisan
tenaga sebelum ia berhasil mengalahkan lawannya.
Dengan demikian, maka semakin lama akhir
pertempuran itupun menjadi semakin dekat. Mahisa
Bungalan yang dengan hati-hati beralaskan segenap
kemampuannya, berhasil menguasai Akuwu Gagelang yang
kehilangan kendali penalarannya itu.
Sementara itu, beberapa orang pemimpin Talang Amba
dan para Senapati dari Singasaripun telah berada di
padukuhan itu, sementara orang-orang yang datang dalam
pakaian petani dan menggabungkan dirinya dengan orangorang
Talang Amba telah menguasai semua orang
Gagelang yang menyerah. Dengan tegang mereka menyaksikan, bagaimana Mahisa
Bungalan yang telah terluka berusaha menguasai lawannya.
Namun Mahisa Bungalan tidak lagi terikat kepada
keinginannya untuk menangkap Akuwu dalam keadaan
hidup, apalagi setelah terasa pengaruh dari luka-lukanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang harus
menahan nafasnya. Bahkan pada saat-saat tertentu, Mahisa
Pukat hampir tidak dapat mengendalikan diri lagi. Namun
setiap kali ia bergeser terlalu maju, Mahisa Murti telah
menggamitnya dan kemudian menariknya mundur
beberapa langkah. Tetapi darah yang meleleh dari luka-luka ditubuh
kakaknya, membuat Mahisa Pukat benar-benar gelisah.
Namun, ternyata kemudian bahwa ujung pedang Mahisa
Bungalan telah merhasil menyusup diantara ayunan pedang
lawannya. Dengan tusukan lurus, Mahisa Bungalan
berhasil menyentuh langsung dada Akuwu di Gagelang.
Akuwu itu menggeram. Selangkah ia meloncat mundur.
Dengan sorot mata yang menyala ia mengacukan
pedangnya sambil berkata "Kau gila. Kau berani
menyentuh tubuhku dengan ujung pedang" He, apakah kau,
apa hukumannya?" Mahisa Bungalan tidak lagi ingin melayani sikap yang
gila itu. Dengan geram ia menjawab "Menyerahlah, atau
aku akan membunuhmu"
Tetapi yang terdengar adalah suara Akuwu yang rasarasanya
sudah berubah disela-sela tertawanya "Kau sudah
terluka anak manis. Meskipun kau seorang Senapati dari
Singasari. tetapi ternyata kau tidak mampu lagi
melawanku" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi
pedangnya telah menyentuh tubuh Akuwu dipundaknya.
Tubu Akuwu itu terdorong surut. Namun Mahisa
Bungalan tidak memberinya kesempatan lagi. Sekali lagi
Mahisa Bungalan meloncat dengan pedang terjulur.
Akuwu Gagelang masih berusaha menangkisnya. Tetapi
ternyata bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan itu sekali
lagi mematuk dada, sehingga sekali lagi Akuwu terdorong
surut. Luka didadanya itu membuatnya mengeluh
kesakitan. Namun kemudian terdengar ia berteriak "Anak
iblis. Aku bunuh kau"
Mahisa Bungalan yang marah karena luka-luka
ditubuhnya melihat satu kesempatan. Akuwu yang semakin
lemah itu tidak segera sempat memperbaiki kedudukannya
dan mempersiapkan pedangnya. Karena itu, maka sekali
lagi Mahisa Bungalan mendapat kesempatan. Iapun segera
mengangkat pedangnya untuk menebas kearah leher
lawannya. Akuwu yang berusaha memperbaiki keadaannya itu
tidak sempat berbuat banyak ketika Mahisa Bungalan
meloncat mendekat dengan pedang terayun. Jika pedang itu
kemudian menebas leher Akuwu, maka Mahisa Buhgalan
akan segera mengakhiri pertempuran.
Tetapi sekali lagi, Mahisa Bungalan merasa seakan-akan
sesuatu telah menahan tangannya. Pedangnya yang telah
terangkat itu telah tertahan oleh satu kekuatan yang tumbuh
dari dalam dirinya sendiri. Rasa-rasanya ia tidak dapat
mengayunkan pedang itu dan memenggal leher lawannya,
meskipun kemarahan yang tiada taranya telah menghentakhentak
di dalam dadanya. Karena itu, maka pedang yang sudah terangkat itu tidak
juga terayun. Mahisa Bungalan justru telah meloncat surut
sambil memperhatikan keadaan lawannya.
Akuwu Gagelang masih terhuyung-huyung. Luka
didadanya mengalirkan darah yang membasahi tubuhnya.
Tetapi Akuwu itu masih berteriak "Jangan lari anak iblis.
Jika kau takut menghadapi Akuwu di Gagelang, maka
berlututlah. Aku akan memenggal kepalamu dan semua
pemimpin Kabuyutan Talang Ambapun akan mengalami
nasib yang sama" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sesuatu terasa
semakin bergejolak di dalam dadanya. Darah ditubuh
Akuwu itu membuatnya menjadi ngeri, meskipun tubuhnya
sendiri iuga sudah basah oleh darah.
Ketika Akuwu itu dengan terhuyung-huyung melangkah
maju, Mahisa Bungalan justru melangkah surut.
Bukan saja Mahisa Bungalan yang menjadi ngeri.
Akuwu yang sudah bermandikan darah dan tidak lagi
mampu berdiri tegak itu masih juga tertawa sambil berkata
"Ayo Senopati muda yang perkasa dari Singasari yang
besar. Marilah kita selesaikan pertempuran ini dengan
jantan. Tetapi jika kau tidak berani lagi bertempur dalam
perang tanding, maka perintahkan prajurit-prajuritmu untuk
mengeroyok aku" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Dipandanginya saja
Akuwu yang sudah kehilangan sebagian besar dari
kekuatannya karena darahnya yang mengalir dari
tubuhnya. Tetapi Akuwu itu masih berteriak "Ayo, menyerahlah.
Jangan ingkar dari kenyataan, bahwa tubuhmu telah merah
oleh darah" Mahisa Bungalan memang tidak dapat ingkar dari
kenyataan itu. Tubuhnya memang sudah merah pula oleh
darah. Tetapi ia masih memiliki kekuatan dan
kemampuannya, meskipun sudah menjadi susut. Tetapi
tidak secepat susutnya tenaga Akuwu dari Gagelang itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka setiap mata
menjadi tidak berkedip karenanya. Kedua orang yang
berperang tanding itu sudah sama-sama terluka. Darah
telah memerahi tubuh masing-masing dan nampaknya
tangan merekapun telah menjadi gemetar pula.
Namun sebagian besar dari merekapun melihat,
bagaimana Mahisa Bungalan menarik tangannya yang
sudah hampir terayun menebas leher Akuwu yang sudah
tidak berdaya itu. Dengan demikian, maka mereka dapat menilai apa yang
sebenarnya tersirat di hati Mahisa Bungalan. Meskipun
kemarahan yang tidak terkatakan telah menghentak
jantungnya, tetapi ia bukan pembunuh yang tidak terkendali
menghadapi lawannya yang sudah tidak berdaya.
Tetapi sementara itu, adalah diluar kemampuan Mahisa
Bungalan untuk menjaga agar ujung pedangnya tidak
membahayakan jiwa lawannya. Apalagi setelah ia sendiri
terluka. Maka menurut perhitungan Mahisa Bungalan, ia
tidak ingin mati karena ia terlalu berhati-hati menghadapi
lawannya agar ia tidak melukainya.
Dalam kebimbangan itu Mahisa Bungalan melihat
Akuwu yang menjadi semakin lemah itu melangkah maju.
Sambil menyeret kakinya Akuwu itu tiba-tiba saja telah
bertelekan pada pedangnya.
"Ia benar-benar sudah kehilangan kesadarannya" berkata
Mahisa Bungalan di dalam hatinya "ia sudah tidak teringat
lagi bahwa yang ada ditangannya itu adalah pusakanya.
Bukan sebatang tongkat penjalin"
Namun sementara itu, agaknya Akuwu telah benar-benar
tidak mampu menahan dirinya sendiri. Ketika ia melangkah
semakin mendekati Mahisa Bungalan, maka tiba-tiba saja
tubuhnya telah bergetar. Nafasnya menjadi terengah-engah
dan matanya menjadi semakin merah.
Akuwu dari Gagelang itu tertegun. Tetapi rasa-rasanya
matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika ia kemudian
benar-benar kehilangan keseimbangannya, maka hampir
saja Akuwu itu terjatuh. Namun untunglah, bahwa
pengawalnya yang telah menyerah lebih dahulu sempat
meloncat mendekatinya dan menangkapnya, sehingga
Akuwu itu tidak terbanting jatuh ditanah.
Tetapi ketika pengawalnya itu perlahan-lahan
meletakkan tubuh Akuwu itu di tanah, maka tiba-tiba saja
Akuwu itupun mengumpat "Pengecut, pengkhianat. Jangan
sentuh aku. Bukankah kau sudah kehilangan sifat
kejantananmu dan menyerahkan diri sekedar untuk
mendapatkan pengampunan dan tidak mati di peperangan
ini?" usaha untuk meronta dan melepaskan diri "jangan
sentuh aku pengkhianat. Tetapi ingat. Kau dapat tetap
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hidup sekarang ini. Tetapi besok kau akan mendapatkan
kematianmu dengan cara yang lebih buruk. Kau akan
digantung di alun-alun. "Mungkin Akuwu. Mungkin hamba akan digantung di
alun-alun Singasari. Tetapi dasar penyerahan hamba adalah
untuk mengurangi jumlah kematian di peperangan ini
meskipun hamba sendiri tidak akan dapat menghindari
kematian, bahkan di tiang gantungan sekalipun"
"Tutup mulutmu pengecut. Jangan sentuh aku" teriak
Akuwu. Namun iapun kemudian menyeringai sambil
berdesah "O, sakitnya tubuhku"
Pengawalnya itu masih tetap berusaha untuk
menahannya Tetapi sekali lagi Akuwu meronta dengan
tenaganya yang semakin lemah. Tetapi suaranya masih
tetap garang "Cepat. Lepaskan aku. Jangan kau kotori
tubuhku dengan pengkhianatanmu itu. Biar tubuhku tetap
bersih sebagaimana seorang pahlawan yang gugur
dipeperangan" Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan telah menggetarkan
perasaan Akuwu "AkuWU, jika Akuwu merasa menjadi
seorang pahlawan, maka apakah yang sebenarnya Akuwu
perjuangkan selama ini?"
Akuwu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun berdesah "Pertanyaan yang gila" Tetapi tiba-tiba ia
berteriak "Kediri memang harus bangkit. Tumapel yang
sombong dengan menamakan diri Singasari harus
dilenyapkan dan di kembalikan sebagaimana seharusnya.
Keturunan perempuan Panawijen itu tidak berhak
memerintah Tanah ini"
"Itukah alasan perjuanganmu sehingga kau pasrahkan
dirimu untuk menjadi bebanten?" terdengar pertanyaan itu
pula. "Cukup. Jangan bayangi kematianku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang gila itu. Aku sudah
memperjuangkan hak atas Tanah ini bagi Kediri" teriaknya
pula. Namun nafasnyapun kemudian, menjadi terengahengah.
"Kenapa kau memilih Kediri dari Singasari?" bertanya
suara itu pula. "Gila. Kau gila. Aku adalah keturunan Kediri yang
merasa ikut berhak pula atas kekuasaan Kediri atas Tanah
ini" jawab Akuwu. "Tetapi siapakah Pangeran yang telah ikut serta dalam
pertempuran ini, tetapi kemudian meninggalkan medan?"
terdengar pertanyaan pula.
Akuwu mencoba memandangi orang-orang yang ada di
sekitarnya. Tetapi matanya telah menjadi semakin kabur.
Tubuhnya menjadi semakin lemah. Apalagi Akuwu itu
masih juga berusaha melepaskan diri dari tangan
pengawalnya yang dianggapnya telah berkhianat. Sehingga
dengan demikian, maka darahpun bagaikan terperas dari
tubuhnya. Dengan demikian Akuwu tidak berhasil melihat dengan
jelas, siapakah yang sudah mengajukan pertanyaanpertanyaan
yang gila itu. Sementara itu, Mahisa Bungalan yang berusaha untuk
memancing keterangan Akuwu pada saat-saat yang gawat
itupun akhirnya merasa bahwa ia tidak akan berhasil
mendapatkan keterangan apapun juga. Ternyata Akuwu
yang sudah sangat lemah itupun menjawab "Kau kira aku
mau berkhianat terhadap Pangeran itu"
Mahisa Bungalan tidak bertanya lagi. Tubuhnya sendiri
terasa menjadi semakin lemah.
Dalam saat yang demikian, Mahisa Bungalan telah
memanggil tabib yang mengikuti pasukan Singasari yang
telah menyamar sebagaimana orang-orang Talang Amba
itu. Kalanya "Lihat Akuwu itu. Apakah mungkin untuk
diselamatkan jiwanya. Aku memerlukannya"
Tabib itupun bergeser mendekatinya. Namun ketika ia
meraba pergelangan tangan Akuwu, maka iapun kemudian
dengan serta merta menempelkan telinganya kedada
Akuwu itu. Namun tabib itupun kemudian menggeleng. Katanya
"Akuwu sudah meninggal"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimanapun juga ia merasa, bahwa ia telah membunuh
Akuwu Gagelang meskipun ia sudah berusaha untuk meng
hindari kematian itu. "Bukan maksudku" desis Mahisa Bungalan.
Tetapi tabib itu berkata "Sekarang, lukamu sendiri
memerlukan pengobatan. Senopati"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Tubuhnya memang terasa semakin lemah. Luka-lukanya
menjadi sangat pedih. Tetapi pertempuran di Kabuyutan Talang Amba itu
sudah berakhir. Akuwu yang telah meninggal di dalam
pertempuran itupun kemudian telah diserahkan kepada
pasukan Gagelang yang semula berpihak kepada orangorang
Talang Amba. Merekalah yang untuk sementara
harus menampung semua tugas Akuwu yang terbunuh itu.
Mahisa Bungalan yang lemah itupun kemudian berkata
kepada Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang
Amba itu "Sebelum Singasari dapat mengambil sikap
selanjutnya, kaulah yang bertanggung jawab"
"Apakah Senopati tidak akan singgah ke Gagelang?"
bertanya Senopati itu. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ada beberapa
pertimbangan, apakah sebaiknya ia singgah atau tidak.
Dalam pada itu, Senapati Gagelang yang berpihak
kepada orang-orang Talang Amba itupun berkata
"Sebaiknya Senapati Mahisa Bungalan dan pasukan
Singasari yang ada di Talang Amba singgah meskipun
untuk waktu yang singkat di Gagelang. Dengan demikian,
maka kedudukanku dapat diyakini oleh para pengawal yang
sekarang tidak ada disini. Yang terjadi bukannya sekedar
permainan kami. Tetapi benar-beanr satu peristiwa yang
telah membuat Gagelang menjadi berantakan"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Baiklah. Tetapi tentu belum hari ini. Aku
memerlukan waktu untuk mengobati luka-lukaku dan
beristirahat barang sehari"
"Aku akan menunggu" berkata Senapati itu "sehari ini
aku akan tinggal di Talang Amba. Sementara itu, kami
berharap bahwa besok kami akan dapat kembali bersama
pasukan Singasari serta membawa tubuh Akuwu di
Gagelang" Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Ia mengerti, bahwa
Senapati di Gagelang itu tidak menginginkan terjadi salah
paham dengan pasukan pengawal Gagelang yang tidak ikut
pergi ke Talang Amba. Karena itulah, maka ternyata para pengawal di Gagelang
itu telah bermalam di Talang Amba. Tetapi bukan berarti
bahwa mereka dapat bersitirahat sepenuhnya. Pada malam
hari mereka telah menyelenggarakan mayat para pengawal
yang terbunuh di peperangan, sebagaimana orang-orang
Talang Ambapun melakukannya pula. Selain itu maka
merekapun telah mengumpulkan pula kawan-kawan
mereka yang terluka, untuk mendapat perawatan dan
pengobatan seperlunya. Dalam pada itu Mahisa Bungalan sendiri memerlukan
pengobatan atas luka-lukanya yang cukup parah. Meskipun
demikian Mahisa Bungalan masih dapat mengatasi
keadaannya. Setelah mendapat pengobatan maka Mahisa
Bungalan masih dapat memeriksa pasukan Singasari yang
ada di medan yang semula mereka telah mengenakan
pakaian petani kebanyakan sehingga mereka disangka
benar-benar orang Talang Amba.
Orang-orang Gagelang yang telah tertawan masih juga
ada yang mengumpat. Kepada kawan yang berada
didekatnya ia berkata "Ternyata tikus-tikus buruk itu adalah
prajurit-prajurit Singasari"
"Apakah kau baru tahu sekarang ini?" bertanya
kawannya. Pengawal yang pertama tidak menjawab. Tetapi masih
terdengar ia mengumpat kecil.
Demikianlah, maka Talang Amba telah benar-benar
menjadi sibuk. Orang-orang Talang Amba tidak hentihentinya
menyalakan perapian untuk memasak, karena
mereka yang berada di Talang Amba, apakah mereka
kawan atau lawan yang sudah tertawan memerlukan makan
dan minum sekadarnya. Sementara itu, maka telah dilangsungkan pula
pertemuan antara para pemimpin Talang Amba yang
disaksikann oleh para Senapati dari Gagelang yang
berpihak kepada Taalng Amba dan para Senapati.
Dengan mantap maka Talang Amba telah menentukan
siapakah yang akan menggantikan Buyut Talang Amba
yang telah meninggal. "Aku mohor. maaf bahwa pada satu saat aku menjadi
kehilangan" berkata Ki Senapati.
"Kita telah melupakannya sekarang" jawab Ki
Sangagrana "Yang kita hadapi sekarang adalah
kemungkinan-kemungkinan mendatang yang lebih baik
bagi Talang Amba" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun Ki Sendawa
itu merasa bahwa ia telah menebus kesalahan yang
dibuatnya sehingga dadanya telah menjadi lapang.
Sementara itu, Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menjadi saksi apa yang telah terjadi di Talang
Amba disamping para prajurit Singasari.
"Atas nama orang-orang Talang Amba, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya" berkata
Ki Sanggarana. "Segalanya memang sudah menjadi kewajiban kami"
jawab Mahisa Bungalan. Lalu "Akulah yang wajib
mengucapkan terima kasih kepada para pengawal Gagelang
yang tetap berpegang teguh kepada paugeran seorang
prajurit. Tanpa mereka, maka kita tidak akan berhasil
memaksa orang-orang Gagelang yang lain menyerah"
"Yang Kami lakukan sama sekali tidak berarti" jawab
Senapati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang
Talang Amba. Demikianlah, maka keadaan di Talang Ambapun telah
menjadi pasti. Juga Gagelangpun telah tersingkap, bahwa
justru Akuwu Gagelang sendirilah yang telah membuat satu
permainan yang sama sekali tidak menarik dan telah
menjatuhkan korban yang tidak sedikit.
Namun dalam pada itu, maka Singasari harus
mengarahkan perhatiannya kepada Kediri. Ada beberapa
orang yang perlu mendapat perhatian secara khussus.
Agaknya mereka adalah sekelompok pemimpin di Kediri
yang tidak mau melihat kenyataan tentang hubungan antara
Kediri dan Singasari. Mereka adalah orang-orang yang
masih merindukan kebesaran Kediri sebagaimana sebelum
dikalahkan oleh Tu-mapel, tanpa melihat satu kenyataan
bahwa yang ada kemudian adalah satu kesatuan antara
Kediri dan Singasari. Demikianlah, saat-saat isitrahat yang pendek itu ternyata
cukup berarti bagi Mahisa Bungalan, Tubuhnya serasa
menjadi segar setelah ia mendapat pengobatan yang baik.
Luka-lukanya tidak lagi berdarah. Meskipun ia masih
memerlukan beberapa hari untuk menyembunyikan seluruh
luka-lukanya, namun luka-lukanya itu tidak
menghalanginya untuk menyelenggarakan tugas-tugasnya
Di hari berikutnya, Mahisa Bungalan tatah bersiap
bersama pasukan Singasari untuk pergi ke Gagelang,
memenuhi permintaan Senepati Gagelang yang berpihak
kepada orang-orang Talang Amba, agar tidak terjadi salah
paham dengan para pengawal yang tidak ikut pergi ke
Talang Amba. Jika mereka menganggap bahwa Senopati
yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu sebagai
pengkhianat, maka persoalannya akan berkisar. Dan
pasukan Gagelang itu sekali lagi akan saling bertempur
diantara mereka. Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Singasari yang
sedang berada di Talang Amba itu ternyata telah
mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Tidak
sebagaimana mereka pakai pada saat mereka membaurkan
diri dengan orang-orang Talang Amba.
Karena itu, maka pasukan Singasari yang meninggalkan
Talang Amba itu telah berbaris dalam kelengkapan
kebesaran sepasukan prajurit Singasari.
Mahisa Bungalan dan kedua orang Senopati yang
datang-bersamanya ke Talang Amba ikut pula dalam
pasukan itu. Mahisa Bungalanlah yang akan memberikan
penjelasan tentang keadaan yang telah berkembang di
Talang Amba. Namun dalam pada itu, sekelompok kecil pasukan
Singasari telah ditinggalkan di Talang Amba untuk
mengawasi para tawanan yang kelak akan dibaca ke
Singasari. Para tawanan itu memang tidak akan dibawa ke
Gagelang untuk menghindari perasaan yang kurang mapan,
karena bagaimanapun juga orang-orang Gagelang akan
mempunyai penilaian tersendiri Kepada sanak kanangnya.
Para prajurit Singasari itu akan mendapat bantuan dari
anak-anak muda Talang Amba dalam tugas mereka
mengamati para tawanan. Sementara Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Ki Waruju tinggal pula untuk sementara
di Talang Amba. Demikianlah, maka iring-iringan pasukan Singasari dan
Gagelang telah meninggalkan Talang Amba menuju ke
Gagelang. Disepanjang perjalanan mereka, orang-orang
menyaksikan dengan kagum. Tetapi terbersit juga berbagai
pertanyaan di hati mereka. Ketika pasukan itu berangkat,
maka yang yang mereka saksikan hanyalah pasukan
Gagelang semata-mata dai m jumlah yang besar. Tetapi kini
pasukan Gagelang itu menjadi jauh susut, sementara
pasukan Singasari telah ikut pula dalam barisan itu.
Ketika pasukan itu kemudian mendekati Gagelang, maka
Mahisa Bungalan menjadi sangat berhati-hati.
Diletakkannya pasukan Gagelang diujung pasukan. Namun
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Bungalan telah berpesan kepada Senopati yang
memimpin pasukan Gagelang itu, agar tetap berhati-hati.
"Mungkin sudah ada berita yang mendahului kehadiran
kita disini" berkata Mahisa Bungalan "mungkin berita itu
benar, tetapi mungkin pula tidak. Karena itu kita harus
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yangmungkin
dapat terjadi" Senopati Gagelang itu menyadari. Pasukan Gagelang
memang sudah terbagi, sementara mereka tidak tahu
dengan pasti, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh
Akuwu. Sebagian dari para pengawal di Gagelang hanya
berpegang kepada Kesetiaan saja Kepada Akuwu tanpa
mengetahui persoalan besar yang sedang dihadapi oleh
Gagelang dalam hubungannya dengan Kediri dan
Singasari. Tetapi untunglah, bahwa sebelum pasukan Gagelang
berangkat. Senopati yang berpihak kepada orang-orang
Gagelang itu telah meninggalkan beberapa orang petugas
yang terpercaya untuk memberikan penjelasan tentang
keadaan yang sebenarnya. Bahkan sebagian dari pengawal
yang ditinggalkan itu telah tahu pasti apa yang akan
dilakukan oleh Senopati Gagelang dan pasukannya untuk
berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
Karena itulah agaknya, maka ketika Ki Waruju dan Ki
Sanggarana keluar dari bilik tahanan mereka, seorang
pengawal sama sekali tidak mengambil tindakan apapun
juga. Demikianlah, ketika pasukan Gagelang dan Singasari itu
memasuki kota Gagelang, memang timbul ketegangan.
Seorang Senopati yang diserahi tugas menjaga pusat
kedudukan Pakuwon Gagelang itu ternyata telah bersiapsiap
pula menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi. Ia
memang sudah mendengar apa yang terjadi di medan.
Tetapi Senopati itu masih belum jelas mendengar persoalan
yang sebenarnya. Namun demikian kehadiran pasukan
Singasari yang kuat itu memang harus mendapat
pertimbangan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka pasukan yang memasuki Gagelang itu
harus berhenti sebelum mereka sampai ke alun-alun.
Senopati yang menunggui kota itupun telah minta kepada
pasukan yang datang itu untuk memberikan penjelasan.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan telah minta untuk
berbicara Dengan dihadiri oleh Senopati yang memimpin
pasukan yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba
dan Senopati yang berada di kota Gagelang, maka Mahisa
Bungalanpun memberikan penjelasan sesuai dengan
kenyataan yang telah terjadi.
"Karena itu, maka aku telah mangambil satu sikap"
berkata Mahisa Bungalan "atas nama kekuasaan yang
dilimpahkan oleh pemimpin pemerintahan di Singasari.
maka aku telah menunjuk Senopati yang telah mengambil
satu sikap yang tepat pada saat Akuwu Gagelang
mengalami gangguan batin dalam tugasnya, yang sayang
sekati harus ditebus dengan Jiwanya, untuk sementara
memerintah Pakuwon ini. Pada saat yang pendek maka
pimpinan pemerintahan di Singasari tentu akan segera
menentukan langkah-langkah berikutnya"
Ternyata dengan penjelasan Mahisa Bungalan, maka
tidak ada pihak yang masih ragu-ragu untuk menerima
keadaan jtu. Para Senopati dan pimpinan pemerintahan di
Pakuwon Gagelang dapat mengerti dan memahami sikap
Mahisa Bungalan itu. Meskipun untuk sementara pemerintahan di Gagelang
akan merasa terguncang, tetapi lambat laun pemerintahan
itu akan segera pulih kembali. Sementara itu Singasari akan
dapat memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan. Ternyata bahwa untuk satu dua hari Mahisa Bungalan
masih harus berada di Gagelang untuk membantu Senopati
yang akan memangku tugas Akuwu Gagelang. Dengan sisa
tenaga yang ada, maka Gagelang harus melengkapi dirinya.
Bagaimanapun juga Gagelang harus tetap menjaga diri dari
kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi.
Tidak mustahil bahwa ada pihak lain yang ingin
mempergunakan keadaan yang parah itu untuk kepentingan
diri sendiri. Bahkan mungkin akan dilakukan tindak
kejahatan tanpa menghiraukan keadaan yang sesungguhnya
terjadi di Gagelang yang diselubungi suasana prihatin.
Untuk menjaga segala kemungkinan, selagi mahisa
Bungalan dan pasukannya masih ada di Gagelang, maka
telah dipanggil anak-anak muda yang bersedia menjadi
pengawal. Meskipun sebagian besar dari mereka masih
belum memiliki bekal yang cukup, namun dengan bekerja
keras, maka anak-anak muda itu akan segera dapat mengisi
kekosongan, karena pengawal Gagelang yang ada telah
jauh menjadi susul. Sementara itu agaknya langkah lain telah diambil pula.
Senopati yang memegang pimpinan untuk sementara di
Gagelang telah setuju untuk memilih diantara para
pengawal yang tertawan dan tidak menghukumnya dan
bahkan mengembalikan mereka pada kedudukannya
sebagai pengawal, karena yang telah mereka lakukan di
Talang Amba sama sekali bukan karena kesadaran mereka
untuk berbuat demikian. Dalam pada itu. di Talang Ambapun telah terjadi kesibukan
tersendiri. Ki Sanggarana yang sudah disetujui oleh
beberapa pihak untuk menggantikan kedudukan Ki Buyut
telah mengambil langkah langkah yang penting pula. Ki
Sendawa yang semula menentangnya dan menginginkan
kedudukan itu. telah menyadari keadaannya dan bahkan
membantu Ki Sanggarana menyelesaikan persoalan yang
rumit, justru pada saat-saat Talang Amba memasuki satu
masa yang menentukan untuk waktu yang panjang di hari
depan. Kita harus mampu melupakan segala persoalan yang
pernah tumbuh diantara kita" berkata Ki Sanggarana
kepada anak-anak muda di Talang Amba. Diantara mereka
terdapat anak-anak muda yang semula berpihak kepada Ki
Sendawa dan yang lain berpihak kepada Ki Sanggarana.
Lalu "Dihadapan kita terbentang tugas yang maha berat.
Bukan saja mengatasi kesulitan batiniah yang tumbuh di
hati kita masing-masing, tetapi kita harus meyakini, bahwa
daerah ini telah menjadi sasaran tindakan yang licik. Kita
harus selalu ingat tentang sikap Ki Sarpa Kuning yang ingin
membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di Talang
Amba ini untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Jika ia berhasil mendapatkan wewenang untuk
menebang hutan di lereng bukit, maka ia tentu akan
mendapatkan upah yang sangat besar. Sementara itu,
dikemudian hari Talang Amba akan menjadi daerah yang
kering dan gersang. Sementara banjir yang besar selalu
melanda dan menghanyutkan tanah yang mengandung
kesuburan di atas daerah Kabuyutan ini. Sehingga dengan
demikian kehidupan kita akan menjadi semakin sulit"
Ki Waruju yang mendengar penjelasan itu menyambung
"Jika hal seperti itu terjadi di banyak daerah di Singasari.
maka seperti yang diharapkan oleh sementara orang yang
tidak setuju dengan pemerintahan Singasari, maka daerah
Singasari akan mengalami bencana dimasa mendatang"
Anak-anak muda Talang Amba itu mengagguk-angguk.
Hutan di lereng bukit itu semakin menarik perhatian
mereka justru setelah terjadi persoalan di dalam tubuh
mereka sendiri. Hutan itu semula sama sekali tidak mereka
hiraukan. Hutan itu ada di lereng bukit tanpa mereka
kehendaki. Hutan itu begitu saja sudah ada disana. Bahkan
umurnya jauh lebih tua dari umur mereka. Namun tiba tiba
hutan itu telah menjadi pusat perhatian.
Demikianlah, justru karena keinginan mereka, untuk
melihat hutan itu dari segala sisinya, maka pada hari
berikutnya beberapa orang anak muda bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mendaki lereng bukit dan
memasuki hutan yang hijau lebat.
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah
seorang diantara mereka berkata Inilah hutan itu"
"Ya" jawab yang lain "hutan yang bukan saja menjadi
sasaran ketamakan Ki Sarpa Kuning. Tetapi karena
kegagalannya, maka Akuwu di Gagelang telah mengambil
alih persoalannya" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Hutan itu
memang tidak memiliki hal-hal yang dapat menumbuhkan
perhatian secara khusus. Hutan itu adalah satu daerah yang
jarang dilalui dan bahkan tersentuh kaki manusia. Sehingga
akhirnya hutan itu menjadi pusat perhatian manusia di
sekitarnya" "Apa yang dapat kita lakukan dengan hutan ini?"
bertanya salah seorang anak muda.
"Kita tidak akan berbuat apa-apa" jawab Mahisa Murti
"tetapi kita harus menyelamatkannya. Karena dengan
demikian kita akan menyelamatkan diri kita sendiri dan
keturunan kita" Anak-anak muda itu memahaminya. Karena itu, tibatiba
hutan itu menjadi sesuatu yang lain dari tanggapan
mereka sebelumnya. Hutan yang hijau yang membentang di
lereng bukit itu, rasa-rasanya menjadi sangat cantik. Udara
di lembah itu terasa semakin segar. Tanah yang lembab di
bawah pepohonan raksasa itu memberikan warna harapan
bagi hijaunya sawah dibawah bukit.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun tidak
lagi menganggap hutan itu sebagai daerah yang tidak perlu
mendapat perhatian. Jika mereka semula menganggap
bahwa hutan itu tidak memberikan apapun juga kepada
mereka, selain tempat untuk berburu binatang buas, maka
kemudian merekapun merasa diri mereka menjadi akrab
dengan hutan itu. Mereka mulai menyadari, bahwa air yang
mengalir di kotak-kotak sawah mereka adalah air dari hutan
itu. Sehingga dengan demikian, maka hutan itu pulalah
yang telah memberikan makan dan minum bagi seisi
Kabuyutan Talang Amba. Dalam pada itu, maka kehidupan di Talang Ambapun
telah menjadi wajar kembali. Tidak ada lagi bekas-bekas
pertentangan yang telah terjadi diantara mereka. Tidak lagi
terdapat bekas-bekas luka karena tingkah laku Ki Sarpa
Kuning dan Akuwu dari Gagelang.
Sementaia itu di Gugelangpun keadaan telah hampir
pulih pula Meskipun masih ada beberapa orang yang
ditawan, dan bahkan ada diantara mereka yang harus
dibawa ke Singasari, namun persoalannya sudah dapat
dimengerti oleh rakat Gagelang. Mereka telah mengetahui
duduk persoalannya. Dan merekapun mengerti apa yang
sebenarnya terjadi ala Akuwu di Gagelang yang
sebelumnya mereka anggap sebagai orang yang paling baik
yang mereka kenal. Mahisa Bungalan yang telah menyelesaikan tugasnya di
Talang Amba dan Gagelangpun telah kembali pula ke
Singasari dengan membawa laporan yang terperinci tentang
segala peristiwa yang telah terjadi. Namun untuk sementara
Singasaripun tidak tergesa-gesa menetapkan seorang Aku
wu yang baru. Senopati yang untuk sementara melakukan
tugas-tugas seorang Akuwu itu akan diamati dengan
seksama. Jika ia berhasil melakukannya dengan baik, maka
Singasari menganggap bahwa tidak perlu mengangkat orang
lain yang baru sama sekali bagi Pakuwon Gagelang.
Namun dalam pada itu, Singasari menganggap perlu
untuk mengamati perkembangan Kediri untuk selanjutnya.
Ternyata masih ada orang-orang Kediri yang menentang
kekuasaan Singasari dan berusaha untuk
menumbangkannya. "Satu hal yang sulit untuk dihapuskan sama sekali"
berkata Mahisa Agni pada satu saat ketika ia berbincang
dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahendra.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Para
bangsawan di Kediri masih tetap mengenang masa jaya
mereka. Pada suatu saat Kediri adalah satu Kerajaan yang
besar. Mereka tentu tetap merasa berhak aus kekuasaan
yang turun temurun. Ken Arok yang bergelar Sang
Amurwabumi, menurut mereka, adalah orang yang sama
sekali tidak berhak menurunkan kekuasaan bagi Tanah ini.
Karena itu, usaha untuk melenyapkan Singasari itu masih
akan berkepanjangan"
"Tetapi kita tidak berhasil mendapat keterangan tentang
seorang Pangeran yang telah berada di Gagelang" berkata
Witantra kemudian. "Tidak seorangpun yang tahu dengan pasti. Pengawal
Akuwu yang paling dipercaya itupun tidak mengenal nama
yang sebenarnya dari Pangeran yang membayangi
kekuasaan Akuwu di Gagelang itu. Di Gagelang Pangeran
itu kadang-kadang berujud sebagai seorang juru taman,
namun kadang-kadang seorang pengawal yang berpengaruh
meskipun tidak memegang pasukan" berkata Mahisa
Bungalan. "Apakah pengawal yang terdekat dari Akuwu itu tidak
mengetahuinya bahwa ia seorang pangeran?" bertanya
Witantra. "Nampaknya ia mengetahui. Dalam setiap pemeriksaan,
iapun mengakui bahwa ia mengetahui tentang Pangeran itu.
Tetapi nama yang dikenalnya tidak diyakininya bahwa
nama itu adalah nama Pangeran itu yang sebenarnya.
Karena ternyata nama yang disebutkan itu memang tidak
ada di dalam urutan nama para Pangeran di Kediri
sekarang ini" jawab Mahisa Bungalan.
Witantra mengangguk-angguk. Agaknya yang
mengetahui tentang Pangeran itu sepenuhnya hanyalah
Akuwu di Gagelang yang telah terbunuh. Bagaimanapun
juga Mahisa Bungalan berusaha untuk menangkapnya
hidup-hidup adalah sia-sia. Bahkan Mahisa Bungalan
sendirilah yang justru hampir tidak dapat meninggalkan
arena pertempuran itu Namun dalam pada itu, maka Singasaripun telah
mengambil satu keputusan untuk menelusuri sikap
Pangeran dari Kediri yang membahayakan perkembangan
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singasari dan Kediri itu sendiri.
"Yang satu dapat diselesaikan, tumbuh pula yang lain"
desis Mahisa Bungalan. "Ya. Banyak alasan yang dapat mendorong para
bangsawan di Kediri untuk melakukan hal seperti ini.
Tetapi nampaknya yang dilakukan sekarang ini lebih teratur
dengan rencana-rencana yang diperhitungkan.
Persoalannya benar-benar menyangkut hubungan antara
Kediri dan Singasari. Bukan sekedar persoalan pribadi yang
disangkutkan kepada persoalan yang pada dasarnya
memang ada antara Kediri dan Singasari seperti yang
pernah terjadi" berkata Mahisa Agni.
Karena itu, kitapun harus lebih berhati-hati untuk
menanggapi persoalan ini" berkata Witantra "dalam
hubungan ini Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
mendapatkan penjelasan, sehingga jika sesuatu harus
dihadapinya, mereka sudah bersiap secara jiwani"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia menyadari,
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang
menyelesuri lembah dan lereng pegunungan dalam
pengembaraannya, akan dapat terjerumus kedalam
persoalan yang rumit tentang gejolak yang terjadi diantara
beberapa bangsawan Kediri.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk sementara masih tetap berada di Talang Amba.
Bagaimanapun juga, orang-orang Talang, Amba
menganggap, bahwa persoalan yang serupa masih akan
dapat terjadi. Meskipun orang-orang Talang Amba sendiri
sudah menyadari betapa pentingnya hutan di lereng
pegunungan, serta kesadaran mereka untuk tidak mudah
diadu domba,,namun orang-orang yang menghendaki
lereng gunung itu menjadi gundul, akan dapat mengambil
seribu macam cara. Mereka pada akhirnya akan dapat
mempergunakan kekerasan. "Mungkin sekali bahwa sekelompok orang-orang yang
garang akan datang menebang pepohonan di hutan itu.
Disetujui atau tidak disetujui oleh orang-orang Talang
Amba" berkata Ki Sendawa.
"Jika keadaan memaksa, kita dapat memohon bantuan
kepada para pemimpin yang sekarang berkuasa di
Gagelang" sahut Mahisa Murti.
"Tetapi seperti kita ketahui, Gagelangpun baru
membentuk diri" berkata Ki Sanggarana "sekarang
Gagelang sedang memanggil anak-anak muda itu menjadi
pengawal. Tetapi mereka tentu memerlukan waktu yang lama untuk
menempa diri sehingga menjadi seorang pengawal yang
sebenarnya" "Tetapi kekuatan Gagelang sekarang tidak dalam
keadaan lumpuh seluruhnya" berkata Mahisa Pukat "dalam
keadaan tertentu Gagelang masih akan mampu bertindak.
Beberapa orang Senopati dari Singasari masih berada di
Gagelang untuk membantu memberikan latihan-latihan
kepada anak-anak muda yang menyatakan diri mereka
menjadi pengawal. Dengan demikian, maka jika diperlukan
sekali, maka Gagelang tentu akan mampu bertindak.
Sementara para pengawal yang lama masih pula cukup
jumlahnya" Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian "Aku mengerti. Tetapi yang dimaksud oleh
paman Sendawa, hendaknya Talang Amba juga
mempunyai kekuatan sendiri betapapun kecilnya untuk
menjaga agar orang lain tidak dapat berbuat sewenangwenang.
Sebelum kita sempat mendatangkan bantuan dari
Gagelang, maka kita akan dapat berbuat sesuatu sambil
menunggu. Namun dengan demikian, maka Kabuyutan ini
tidak akan dapat dianggap tidak memiliki kekuatan sama
sekali" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Bagus.
Aku mengerti maksud kalian. Bukankah dengan demikian
kalian ingin membentuk satu pasukan yang ujud di dalam
lingkungan Kabuyutan Talang Amba?"
"Ya. Sementara ini kita menggantungkan diri kepada
kerelaan anak-anak muda untuk berbuat sesuatu. Meskipun
hal itu telah terbukti banyak manfaatnya, namun alangkah
baiknya jika kita memiliki apa yang disebut sepasukan
pengawal. Meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa
kita sama sekali tidak memerlukan lagi kekuatan diluar
pasukan pengawal itu. Pasukan pengawal sekedar
penggerak utama. Selanjutnya akan tergantung kepada
anak-anak muda seluruhnya" sahut Ki Sanggarana.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa bersama Mahisa Pukat, mereka akan diminta untuk
memberikan sedikit tuntunan bagi anak-anak muda yang
akan disebut dengan pasukan pengawal Kabuyutan itu.
"Tetapi disini ada Ki Waruju" berkata Mahisa Murti di
dalam hatinya, sehingga dengan demikian maka tugasnya
akan lebih ringan, karena Ki Waruju tentu akan mampu
melakukan lebih banyak hal daripada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Karena itu anak muda" Ki Sanggarana melanjutkan
"kami akan minta kalian berdua untuk tetap tinggal
Setidak-tidaknya untuk beberapa saat lamanya. Kami
sangat memerlukan bimbingan kalian untuk membentuk
satu pasukan yang akan mampu berbuat sesuatu sebelum
kami sempat mohon bantuan ke Gagelang"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
sambil memandang Ki Waruju Mahisa Murti berkata "Ki
Sanggarana kami tidak akan berkeberatan Tetapi disini ada
Ki Waruju dan seorang murid Ki Sarpa Kuning yang telah
memilih jalan yang benar datam sisa hidupnya yang masih
panjang" Ki Sanggarana memandang kearah Ki Waruju yang
duduk termangu-mangu. Namun katanya kemudian
"Sebenarnyalah kami akan memohon kepada Ki Waruju.
Tetapi kami tidak akan dapat menyatakannya dengan
terbuka sebagaimana kami menyatakan kepada kedua anak
muda yang sebaya dengan anak-anak muda yang akan
menjadi pasukan pengawal di Kabuyutan Talang Amba.
Sebenarnyalah kami merasa sangat segan. Apakah kami
berhak untuk memohon kepadanya"
Mahisa Murti tersenyum. Bahkan Ki Warujupun
tersenyum pula sementara Mahisa Pukat melanjutkan
Bukankah demikian Ki Waruju. Aku berharap bahwa Ki
Waruju tidak berkeberatan. Aku dan Mahisa Murti akan
membantu sejauh kami lakukan"
Ki Waruju justru tertawa. Katanya "Jadi Mahisa Pukat
minta kepadaku atas nama orang-orang Talang Amba?"
"Ya" jawab Mahisa Pukat "Karena orang-orang Talang
Amba tidak berani menyatakannya secara langsung"
Ki Waruju masih tertawa. Kalanya "Baiklah. Aku tidak
berkeberatan. Tetapi aku minta, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat membantuku disini"
"Aku hanya akan mengawani saja disini" jawab Mahisa
Pukat sambil tersenyum pula.
"Terima kasih Ki Waruju" sahut Ki Sanggarana
"sebenarnyalah aku memang sangat mengharapkan.
Mudah-mudahan dengan, demikian. Kabuyutan ini
bukannya sekedar Kabuyutan yang tidak mempunyai arti
sama sekali, karena tidak mempunyai kemampuan sama
sekali untuk melindungi diri sendiri"
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat
kemauan yang menyala di hati orang-orang Talang Amba
untuk memiliki satu kemampuan melindungi diri mereka
sendiri. Hutan di lereng bukit itu nampaknya menarik
perhatian orang-orang tertentu, bukan untuk dipelihara,
tetapi untuk dimusnahkan, karena hutan itu ternyata
merupakan sumber kesuburan dari lembah di sekitarnya.
Bukan saja Kabuyutan Talang Amba yang memiliki daerah
di lereng bukit berhutan itu, tetapi untuk daerah yang lebih
luas. Beberapa Kabuyutan disekitar Kabuyutan Talang
Amba juga menggantungkan air bagi sawah dan
pategalannya dari sungai-sungai yang bermata air di lereng
pegunungan itu. Karena itu, maka Ki Waruju itupun kemudian berkata
"Kemauan yang kuat yang membayang di wajah-wajah
orang-orang Talang Amba memang memberikan kepastian,
bahwa kalian akan bersungguh-sungguh. Jika demikian,
maka kita akan segera mulai. Aku dan barangkali juga
angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu
lama berada di Kabuyutan ini"
"Kalian akan menunggu sampai hari wisuda" berkata Ki
Sendawa. Tetapi Ki Waruju menjawab "Kapan hari wisuda itu
diadakan. Sementara itu, Akuwu di Gagelang yang akan
mewisuda itupun masih belum ditentukan"
"Tidak akan menjadi soal" jawab Ki Sendawa "sebab
orang yang mendapat wewenang melakukan tugas Akuwu
itupun berhak melakukannya atas ijin Singasari. Karena itu.
sebaiknya kalian menunggu hari itu. Jika kalian bersedia,
hal itu akan berarti satu kenormatan yang tidak terhingga
bagi kami. Apalagi jika angger Mahisa Bungalan itu
bersedia pula hadir bersama para Senopati prajurit Singasari
itu" "Aku belum dapat mengatakan apa-apa, Ki Sendawa"
jawab Ki Waruju "tetapi sebaiknya kita segera saja mulai.
Jika hari wisuda itu tidak terlalu lama, maka kami tentu
masih ada disini. Tetapi jika hari wisuda itu masih terlalu
lama, maka kami tentu saja tidak akan dapat menunggu"
"Baiklah" jawab Ki Sendawa "Yang penting bagi kami,
kesediaan Ki Waruju untuk menempa anak-anak kami,
sehingga dengan demikian Kabuyutan ini akan mendapat
penilaian yang lain dari keadaan masa lampau yang suram
itu" Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya, anak-anak
muda Talang Amba telah dipersiapkan untuk mendapat
tuntutan oiah kanuragan. Mereka menyadari, bahwa hutan
di lereng bukit itu adalah sesuatu yang sangat berharga,
yang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya.
Kemungkinan masih ada, bahwa ada pihak yang ingin
memusnahkannya. Jika perlu bahkan mungkin akan
dilakukan dengan kekerasan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun ternyatj kemudian
telah bekerja keras pula untuk kepentingan anak-anak muda
Talang Amba. Seperti yang dilakukan oleh Ki Waruju,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bekerja keras
sebagaimana anak-anak muda talang Amba.
Pada saat yang demikian, maka di Gagelangpun telah
dilakukan latihan-latihan yang keras. Anak-anak muda
yang memenuhi panggilan pan pemimpin Pakuwon
Gagelang untuk menjadi pasukan pengawal telah mengikuti
latihan-latihan yang berat.
Beberapa orang Senopati dari Singasari telah berada di
Gagelang, membantu para Senopati yang masih ada di
Gagelang untuk membentuk satu pasukan yang memadai di
Gagelang. Meskipun sebagian dari pasukan Gagelang yang
ditangkap telah dibebaskan dan dikembalikan ke
kesatuannya, namun Gagelang masih memerlukan pasukan
yang lebih kuat untuk menjaga segala kemungkinan yang
dapat terjadi. Seperti Talang Amba, maka para pemimpin yang
melakukan tugas di Gagelang, merasa perlu untuk
menyusun pasukan yang kuat. Tidak mustahil bahwa
Pangeran yang semula membayangi kekuasaan Akuwu di
Gagelang itu telah mengambil satu sikap yang keras bagi
Gagelang. Anak-anak muda yang menyatakan dirinya menjadi
pasukan pengawal di Gagelang telah dibagi dalam
kelompok-kelompok yang kecil untuk mendapat latihan
yang lebih terperinci. Mereka mendapatkan latihan-latihan
perang gelar dan kemampuan secara pribadi. Agar mereka
tidak tertinggal oleh perkembangan kemungkinan yang
tidak dikehendaki, maka anak-anak muda yang memasuki
lingkungan pasukan pengawal itu harus bekerja keras.
Hampir tidak ada kesempatan baei anak-anak muda itu
untuk beristirahat. Di siang hari mereka berlatih olah
kanuragan dan perang gelar, sedangkan dimalam hari
mereka berlatih untuk mempertajam panca indera mereka,
terutama indera penglihatan dan pendengaran. Perang
dalam kegelapan merupakan acara latihan yanp
memerlukan ketekunan dan ketabahan hati.
Tetapi ternyata anak-anak muda di Talang Amba bekerja
keras pula sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda
yang memasuki pasukan pengawal di Gagelang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempa anakanak
muda itu dengan cara mereka, Anak-anak muda itu
telah mendapat latihan siang dan malam pula. Bahkan
kadang-kadang membuat anak-anak muda Talang Amba
mengeluh kelelahan. Tetapi oleh tekad yang menyala di
dalam hati, maka anak-anak muda itu tidak melangkah
surut. Namun Ki Warujulah yang memberikan beberapa
petunjuk kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa
anak-anak muda yang sedang berlatih itu bukan
sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri.
"Mereka adalah anak-anak muda yang baru mulai"
berkata Ki Waruju "Karena itu, cara yang kalian
pergunakan agaknya terlalu berat bagi mereka. Cobalah
menyesuaikan diri dengan kemungkinan yang ada pada diri
anak-anak muda itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mengerti juga
maksud Ki Waruju. Mereka kemudian menyadari, bahwa
anak-anak muda Talang Amba itu belum memiliki kesiapan
sebagaimana mereka berdua.
Dengan demikian, maka merekapun mulai mencari
kemungkinan yang lebih baik bag anak-anak muda Talang
Amba itu. "kami ingin meningkatkan kemampuan mereka secepatcepatnya"
berkata Mahisa Murti kepada Ki Waruju. Lalu
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin kami tidak akan dapat terlalu lama tinggal di
Kabuyutan ini. Bukankah kami meninggalkan rumah kami
untuk satu pengembaraan, agar kami mendapatkan
pengalaman yang cukup dihari-hari mendatang. Namun
ternyata bahwa cara yang demikian itu kurang
menguntungkan bagi anak-anak muda Talang Amba
sebagaimana yang Ki Waruju katakan"
"Jangan tergesa-gesa. Jika kalian berada disini, itupun
merupakan satu pengalaman yang baik bagi pengembaraan
kalian. Kalian akan melihat perkembangan dari sekelompok
anak-anak muda yang merasa dirinya bertanggung jawab
bagi masa depan. Bukan masa depan mereka sendiri, tetapi
masa depan kampung halamannya" jawab Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun rasa-rasanya untuk menetap disatu tempat terlalu
lama, mereka seakan-akan telah kehilangan waktu.
Namun mereka ternyata berniat juga untuk memenuhi
permintaan Ki Waruju. Apalagi karena kemudian Ki
Waruju sendiri telah ikut pula menangani anak-anak muda
Talang Amba sebagaimana pernah disanggupkannya.
Anak-anak muda Talang Amba telah dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil untuk berlatih siang malam
kecuali untuk kepentingan tertentu. Namun mereka justru
telah dibagi dalam kesempatan yang berbeda-beda agar
waktu mereka tidak seluruhnya dirampas untuk
meningkatkan kemampuan mereka.
Dengan pembagian waktu yang sebaik-baiknya, seorang
anak muda masih sempat pergi ke sawah dan ladangnya
untuk membantu memelihara tanaman dan mengatur air.
Dengan tertib Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Ki
Waruju telah membagi bukan saja waktu tetapi juga unsurunsur
yang mereka berikan kepada anak-anak muda Talang
Amba itu. Ki Waruju telah mendapat bagian untuk
memberikan kemampuan kanuragan secara pribadi. Anakanak
muda Talang Amba telah mendapat petunjuk,
bagaimana mereka harus membela diri dalam keadaan
tertentu dengan atau tidak dengan senjata. Sementara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat tugas
untuk mengajari anak-anak Talang Amba mempergunakan
segala macam senjata. Namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah membagi diri pula dalam tugas mereka. Mahisa
Murti mengajari anak-anak muda Talang Amba
mempergunakan senjata bertangkai panjang, sementara
Mahisa Pukat mengajari anak-anak muda Talang Amba
mempergunakan senjata yang lebih pendek.
Jika Mahisa Murti mengajari anak-anak muda itu
mempergunakan tombak, trisula bertangkai panjang,
canggah dan bahkan senjata lontar, maka Mahisa Pukat
mengajari anak-anak muda itu mempergunakan pedang,
trisula bertangkai pendek, luwuk, bindi dan sebagainya.
Anak-anak muda Talang Amba dapat memilih, yang
manakah yang paling sesuai dengan anak-anak muda, itu
masing-masing. Namun secara umum mereka harus
menguasai segala macam senjata yang dapat mereka
ketemu kan. Karena itu, maka secara umum mereka
bergantian mendapat tuntunan dari Ki Waruju, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka yang condong
mempergunakan senjata bertangkai panjang, akan lebih
banyak berhubungan dengan Mahisa Murti, sementara
yang lebih mantap mempergunakan senjata pendek, akan
lebih sering berhubungan dengan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka ternyata anak-anak muda
Talang Amba itupun setingkat demi setingkat telah menjadi
semakin mapan dalam olah kanuragan. Meskipun apa yang
mereka pelajari itu baru sekedar ilmu yang masih mendasar
sekali, namun ilmu itu akan dapat bermanfaat bagi mereka.
"Hutan di lereng bukit itu memerlukan pengawal yang
tangguh" berkata Ki Waruju kepada anak-anak muda itu
"pada satu saat mungkin akan datang sekelompok orang
yang dengan tanpa menghiraukan kewenangan Buyut di
Talang Amba, langsung saja merusak hutan itu, karena
mereka merasa memiliki kekuatan. Nah, pada saat yang
demikian, maka kalian mendapat tantangan yang harus
mampu kalian jawab" Anak-anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk.
Hal itu tidak mustahil terjadi. Pengalaman mereka telah
mengatakan, bahwa hutan di lereng bukit itu memang
menjadi sasaran sebagaimana telah terjadi di beberapa
tempat yang lain. "Kalian memang dapat memohon perlindungan dari
Akuwu di Gagelang, tetapi sebelum perlindungan itu
datang, kalian harus melindungi diri kalian sendiri" berkata
Ki Waruju lebih lanjut. Lalu "Apalagi kini Gagelangpun
baru membentuk dirinya setelah tubuh Pakuwon itu
dikoyak-koyak oleh Akuwu Gagelang itu sendiri"
Anak-anak muda Talang Amba menjadi semakin
mantap dan merasa bertanggung jawab sepenuhnya.
Merekapun mengerti, apa yang telah terjadi di Gagelang.
Gagelang memang baru memperkuat dirinya dengan
pasukan yang baru dibentuknya.
Yang terjadi di Gagelang memang satu kesibukan yang
tinggi. Tetapi berbeda dengan anak-anak muda Talang
Amba. Mereka yang menyatakan diri menjadi pengawal di
Gagelang, telah menyerahkan segala waktu dan
kesempatannya untuk dipersiapkan menjadi pengawal
sentuhnya, sehingga dengan demikian mereka mendapat
kesempatan untuk menempa diri lebih baik dari anak-anak
Talang Amba. Namun demikian, kemajuan anak-anak
muda Talang Amba juga tidak mengecewakan.
Dalam pada itu, sebenarnyalah yang dicemaskan oleh
orang-orang Gagelang dan orang-orang Talang Amba. Pada
saat yang demikian. Pangeran Lembu Sapdata dari Kediri
yang merasa terpukul oleh peristiwa di Talang Amba itu,
tidak dapat melupakan peristiwa itu begitu saja. Ketika ia
melarikan diri dari medan di Talang Amba, rasa-rasanya
jantungnya telah terbakar oleh dendam. Pengkhianatan dari
sebagian pengawal di Gagelang terhadap Akuwu dan
rencananya, telah membuat Pangeran itu berniat untuk
menghancurkan Gagelang dan sekaligus Talang Amba dan
hutan di lereng bukit itu.
Tetapi Pangeran Lembu Sapdata tidak dapat dengan ter
gesa-gesa melepaskan dendamnya. Ia memerlukan kekuatan
dan sekaligus mengamati apa yang telah terjadi di Gagelang
dan Talang Amba. "Semakin lama mereka akan menjadi semakin kuat"
berkata Pangeran Lembu Sapdata kepada beberapa orang
saudara-saudaranya yang mempunyai pendirian yang sama
"menurut beberapa orang pengamat yang aku perintahkan
untuk melihat-lihat perkembangan keadaan di Gagelang
dan Talang Amba. mereka memberikan beberapa
keterangan tentang usaha Gagelang untuk memulihkan
kekuatannya. Beberapa bagian dari para pengawal yang
telah membantu usaha Akuwu di Gagelang, telah ditangkap
dan dibawa ke Singasari. Sebagian dari mereka mendapat
kesempatan untuk kembali kedalam lingkungan pasukan
pengawal. Namun ternyata bahwa kekuatan Gagelang telah
jauh susut. Untuk memenuhi kebutuhan, Gagelang telah
memanggil anak-anak muda untuk dilatih menjadi
pengawal Tetapi sudah tentu, bahwa mereka membutuhkan
waktu untuk menempa anak-anak muda itu sehingga
mereka benar-benar menjadi seorang pengawal yang
cukup" "Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
saudara-saudaranya. "Mumpung kekuatan itu belum pulih kembali" jawab
Pangeran Lembu Sapdata. "Apakah tidak ada kekuatan Singasari yang berada di
Gagelang?" bertanya salah seorang saudaranya.
"Tidak ada. Yang ada hanya beberapa orang Senopati
Singasari yang membantu para pemimpin pengawal yang
tersisa untuk melatih anak-anak muda yang memasuki
kesatuan pengawal yang baru dibentuk" jawab Pangeran
Lembu Sapdata. Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Salah seorang
diantara mereka kemudian bertanya "Bagaimana dengan
orang-orang Talang Amba?"
"Menurut laporan, nampaknya Talang Ambapun telah
bersiap-siap. Tetapi aku tidak mempertimbangkannya
dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dilakukan oleh
orang-orang Talang Amba" Jika pasukan Gagelang pada
saat menyerang Talang Amba dapat dihalau, ternyata sama
sekali bukan karena kemampuan orang-orang Talang
Amba. Ketajaman penglihatan para pemimpin Singasari
ternyata dapat membuat perhitungan yang tepat, sehingga
mereka dapat memperdayakan orang-orang Gagelang.
Seolah-olah mereka telah melawan kekuatan Gagelang
yang tidak tertembus. Tetapi kemudian dapat aku Ketahui
bahwa yang ada di Talang Amba waktu itu adalah prajuritprajurit
Singasa ri" Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Merekapun
telah mendengar sebelumnya apa yang telah terjadi di
Gagelang. Namun merekapun sependapat, bahwa mereka
tidak boleh menunggu pasukan pengawal, Gagelang
menjadi semakin kuat. "Kita memang dapat melakukan dengan segera" berkata
salah seorang saudaranya "bagi kita yang penting bukan
lagi hutan di lereng bukit itu. Tetapi harga diri kami yang
tersinggung karena kegagalan itu. Meskipun Singasari tidak
akan mudah menelusuri, siapakah yang sebenarnya berada
di belakang Akuwu Gagelang waktu itu, namun kegagalan
itu rasa-rasanya telah menusuk hati kami"
"Tidak ada yang mengetahui, siapakah sebenarnya aku"
berkata Pangeran Lembu Sapdata "kecuali Akuwu di
Gagelang yang terbunuh itu. Dengan demikian, maka
sepeninggal Akuwu. aku tidak merasa cemas sama sekali,
bahwa orang-orang Singasari akan dapat menelusuri
siapakah sebenarnya yang telah mendorong Gagelang
melawan kekuatan Singasari"
"Tetapi Singasari akan dapat melakukan satu langkah
yang kasar terhadap Kediri" berkata saudaranya yang
bertubuh tinggi. "Kasar bagaimana?" bertanya Pangeran Lembu Sapdata.
"Orang-orang yang mengenalmu di Gagelang dapat
dihadapkan kepada semua orang yang dicurigai di Kediri.
Bahkan semua Pangeran di Kediri dapat dipanggil untuk
dikenali seorang demi seorang"
"Tentu tidak" jawab Lembu Sapdata "itu tidak mungkin
dilakukan. Tetapi jika demikian, agaknya akan lebih baik.
Saudara-saudara kita yang selama ini tertidur dan tidak
menghiraukan lagi hubungan antara Singasari dan Kediri,
tentu akan terbangun. Mereka akan merasa, betapa sakitnya
menjadi orang yang berada dibawah kekuasaan orang lain"
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Pendapat
Lembu Sapdata itu memang masuk akal. Dan agaknya
Singasari memang tidak akan berani mengambil langkah
yang demikian. Dalam pada itu Pangeran Lembu Sapdatapun berkata
selanjutnya "Namun dalam pada itu, tanpa orang lain, kita
akan berjalan terus. Rencana jangka panjang itu harus
dilakukan, sehingga pada satu saat, Singasari menjadi
lemah, sementara kita disini benar-benar telah terbangun
untuk mengambil langkah yang lebih baik, sehingga
akhirnya Kediri akan bangkit sebagaimana seharusnya satu
negara yang besar" "Kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang
cermat sebelum kita melangkah. Kegagalan di Talang
Amba itu merupakan satu pengalaman yang sangat berarti
bagi kita" Tetapi sementara mereka berbincang tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan
untuk memperlemah Singasari, tiba-tiba saja Pangeran
Lembu Sabdata berkata "Tetapi sebenarnya hubungan
dengan Gagelang dan Talang Amba telah dipengaruhi oleh
persoalan lain" "Persoalan apa?" bertanya salah seorang diantar
Saudara-saudaranya. "Harga diri" jawab Pangeran Sabdata "rasa-rasanya aku
telah dibebani oleh perasaan dendam terhadap orang-orang
Talang Amba dan orang-orang Gagelang. Terutama mereka
yang telah membuat segala rencana ini menjadi gagal. Jika
semua orang Gagelang saat itu patuh kepada Akuwu,
maka,aku kira, Gagelang akan dapat mengalahkan orangorang
Singasari yang berada diantara orang-orang Talang
Amba" "Kita akan membual perhitungan. Tetapi kita memang
harus membuat perhitungan yang cermat" jawab salah
seorang diantara para Pangeran yang sedang berbincang itu.
"Kau benar" jawab Lembu Sabdata "tetapi seperti aku
katakan. Talang Amba bukan apa-apa. Karena itu, rasarasanya
aku ingin kembali ke Talang Amba. Aku ingin
menghancurkan hutan itu. Aku ingin mengambil jalan yang
lebih dekat untuk memusnakan hutan itu"
"Bagaimana?" bertanya salah seorang saudaranya.
"Jika kita menebangi hutan selama ini, maka
persoalannya karena kita tidak ingin menarik perhatian
Singasari. Dengan diam-diam kita memusnakan hutanhutan
yang ada di lereng-lereng pegunungan. Namun
sebenarnya kita dapat mengambil jalan yang lebih dekat"
jawab Pangeran Lembu Sabdata.
"Apakah kau dapat menyebut cara itu?" bertanya yang
lain. "Kita dapat membakar hutan itu" jawab Pangeran
Lembu Sabdata "apalagi dengan dendam yang menyala di
hati. Hutan di lereng bukit itu akan musna menjadi debu"
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan" berkata seorang
Pangeran yang lain "dengan demikian, maka Singasari akan
semakin tertarik dan mungkin Singasari akan berbuat jauh
lebih banyak dari yang dilakukannya sekarang"
Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya "Talang Amba memang sudah
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi daerah pengamatan Singasari. Tetapi Singasari
tidak menempatkan pasukannya di Talang Amba dan di
Gagelang. Mungkin Singasari merasa bahwa pasukan
Gagelang yang disusun demikian kuatnya, sehingga akan
dapat mengatasi segala kesulitan yang dapat timbul"
"Apakah itu bukan sekedar gelar ujud lahiriahnya saja?"
sahut saudaranya yang bertubuh tinggi "Kau akan dapat
terjebak lagi. Anak-anak muda yang dilatih di Gagelang itu
sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari dalam ujud
samarannya sebagaimana mereka berada di Talang Amba.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata menggeleng, jawabnya
"Kali ini aku tidak akan terjebak. Aku telah meletakkan
beberapa orang kepercayaanku untuk mengamati keadaan
di Gagelang. Orang-orangku melihat anak-anak muda itu
datang dari beberapa sudut kota Gagelang. Mereka melihat,
bagaimana para Senapati di Gagelang mengadakan
pendadaran. Dan merekapun melihat kelompok-kelompok
itu mulai berlatih. Diantara para pelatih memang terdapat
beberapa orang yang dikirim oleh Singasari"
Seorang Pangeran yang bertubuh gemuk berkata "Kita
jangan terpancing oleh persoalan-persoalan kecil seperti itu.
Dendam dan kebencian harus kita singkirkan, agar dengan
demikian rencana kita dalam keseluruhan akan dapat kita
laksanakan" "Tetapi yang akan aku lakukan sejalan dengan rencana
itu dalam keseluruhan" jawab. Pangeran Lembu Sabdata
"Aku sudah membayangkan satu pembalasan yang
menyenangkan. Bukan saja hutan di lereng bukit yang akan
menjadi abu, tetapi beberapa padukuhan di Talang Amba.
Terutama padukuhan-padukuhan yang telah dipergunakan
oleh orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari
menggagalkan rencanaku di Talang Amba itu. Bahkan
dengan demikian, maka yang nampak lebih jelas adalah
justru unsur balas dendamku kepada orang-orang Talang
Amba daripada pembakaran hutan itu sendiri"
Saudara-saudaranyapun kemudian mengangguk-angguk.
Agaknya mereka memang tidak akan imungkin
menenangkan hati Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi
nampaknya hatinya tidak sekedar panas dibakar oleh
dendamnya. Tetapi ia masih juga memperhitungkan segala
macam hubungan dengan rencana besar sebagian para
bangsawan di Kediri yang menjadi jemu berada dibawah
pemerintahan Singasari. "Segalanya masih mungkin dilakukan" berkata seorang
Pangeran yang rambutnya mulai berubah "tetapi jangan
terlalu tergesa-gesa. Perhitungan yang cermat akan dapat
banyak menolong kita dari kesulitan-kesulitan yang
mungkin terjadi" "Aku mengerti" jawab Pangeran Lembu Sabdata
"Akupun tidak menjadi mata gelap. Tetapi aku masih dapat
berpikir dengan tenang meskipun dendamku menyala di
dalam dadaku" "Sukurlah" jawab yang lain "buatlah rencana yang
masak. Kita masih akan membicarakannya sekali lagi
sebelum kau dapat bertindak. Kami merasa wajib untuk
ikut mencampuri rencanamu, karena langkah yang kau
ambil akan dapat menyagkut kami semuanya"
"Ya" sambung Pangeran yang sudah mulai berubah
"Kita akan membantu. Tetapi dengan sangat hati-hati"
Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata saudara-saudaranya menjadi semakin berhati-hati.
Tetapi ia yakin bahwa saudara-saudaranya tidak akan
membiarkannya berbuat sendiri di Talang Amba yang telah
menyakiti hatinya sehingga dendam telah menyala di
hatinya itu. Namun bagi Pangeran Lembu Sapdata, Talang Amba
memang bukan apa-apa. Ia akan dapat dengan mudah
memaksa Talang Amba menyerah dan membiarkannya
membuat gunung itu menjadi gundul. Bahkan orang-orang
Talang Amba tidak akan mampu mencegahnya membuat
Kabuyutan Talang Amba itu sendiri menjadi karang abang.
Perhatian Pangeran Lembu Sapdata lebih banyak
ditujukan kepada Gagelang. Namun ia akan dapat
bertindak cepat. Menghancurkan Talang Amba sebelum
Gagelang sempat berbuat sesuatu. Bahkan kemudian
dengan bantuan saudara-saudaranya, maka Gagelang
itupun akan dihancurkannya juga, karena Gagelang telah
mengkhianatinya. Yang harus diperhatikan oleh Pangeran Lembu Sapdata
itu adalah campur tangan pasukan Singasari dengan cara
sebagaimana telah dilakukan di Talang Amba.
Karena itu, maka orang-orangnya harus benar-benar
mengamati apakah di Talang Amba hadir orang-orang yang
pantas dicurigai. Sebenarnyalah tidak ada kekuatan Singasari yang berada
di Talang Amba. Namun satu kesalahan bagi Pangeran
Lembu Sapdata, bahwa ia tidak memperhitungkan usaha
orang-orang Talang Amba untuk menempa diri.
"Latihan-latihan itu diadakan setiap saat. Setiap kali
anak-anak muda Talang Amba mempunyai waktu setelah
mereka bekerja di sawah" berkata salah seorang yang
mengamati Kabuyutan Talang Amba itu.
"Apa yang dapat mereka lakukan. Latihan-latihan yang
mereka lakukan tidak akan banyak membawa hasil.
Sementara di Gagelang, yang memiliki Senopati-senopati
terlatih, masih harus dibantu oleh para Senopati dari
Singasari. Apalagi Talang Amba yang tidak mempunyai
pelatih yang berbobot" jawab Pangeran Lembu Sapdata.
"Ada dua orang anak muda disana" jawab orang yang
mengamati keadaan "merekalah yang memberikan latihanlatihan
kepada anak-anak muda Talang Amba itu. Agaknya
keduanya juga mempunyai ilmu yang pantas untuk
diperhatikan" "Apakah latihan-latihan orang Talang Amba seberat
orang-orang Gagelang?" bertanya Pangeran Lembu
Sapdata. "Ah, tentu tidak Pangeran. Tidak ada seperlimanya.
Anak-anak muda Talang Amba hanya melakukannya jika
mereka sempat. Setelah mereka bekerja di sawah dan di
ladang" jawab orang-orang kepercayaannya.
Pangeran Lembu Sapdata mengangguk-angguk. Katanya
"jika demikian, maka perkembangan ilmu orang-orang
Talang Amba itu benar-benar tidak berarti. Karena itu, kau
dan kawan-kawanmu harus benar-benar mengamati agar
Talang Amba tidak disisipi oleh orang-orang Singasari atau
orang-orang Gagelang yang mungkin telah
memperhitungkan dendam yang mungkin akan membakar
Kabuyutan mereka" Namun dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang
Talang Amba telah bekerja jauh lebih keras dari yang
diperkirakan. Sejak Mahisa Murti dan Manisa Pukat
memasuki Kabuyutan itu, maka mereka sudah melihat
gejolak perasaan orang-orang Talang Amba. Meskipun saat
itu telah terjadi benturan diantara mereka sendiri, tetapi
orang-orang Talang Amba, terutama anak-anak mudanya
telah bersiap-siap menghadapi kekerasan. Mereka telah
menyiapkan senjata yang akan dapat mereka pergunakan
untuk membela diri. Meskipun senjata itu adalah senjata
yang sederhana saja, namun dengan senjata itu seseorang
memang akan dapat melumpuhkan lawannya.
Hampir setiap pande besi yang ada di Talang Amba telah
membuat senjata. Pedang, tombak dan senjata-senjata lain
yang akan dapat berarti bagi anak-anak muda. Meskipun
pada saat itu orang-orang Talang Amba termasuk anakanak
mudanya masih belum memiliki ilmu yang berarti
dalam mempergunakan senjata. Apalagi senjata-senjata
yang sangat sederhana itu.
Namun dengan kehadiran Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan apalagi Ki Waruju, maka anak-anak muda Talang
Amba yang telah bertaut kembali setelah mereka terpisah
untuk beberapa saat diantara kelompok-kelompok yang
berpihak Ki Sendawa dan yang berpihak Ki Sanggarana,
menjadi semakin bergairah untuk menempa diri.
Dengan gelora yang menyala di dalam setiap dada, maka
anak-anak Talang Amba telah dengan sungguh-sungguh
dan tekun menempa diri mereka. Dengan mematuhi segala
macam petunjuk dari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki
Waruju, maka anak-anak muda Talang Amba itu benarbenar
telah maju dengan cepat. Bahkan pada saat-saat
mereka berada di sawah, diladang dan dimanapun juga,
mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mereka
dapatkan. Ketika mereka berada disungai, maka mereka
telah melatih keseimbangan mereka dengan berlari-lari dan
berloncatan dari batu ke batu. Di pematang, mereka telah
berlari-lari dan meloncati parit-parit. Diladang, mereka
melatih kemampuan tangan mereka dengan berayun di
dahan-dahan dan menghunjamkan jari-jari tangan mereka
yang mengembang kedalam seonggok pasir. Memukuli
gundukan tanah dan batang-batang pisang yang sudah
waktunya ditebang. Apalagi jika mereka telah berada di dalam kelompokkelompok
yang siap untuk menerima tuntutan berlatih
mempergunakan senjata atau ketangkasan gerak. Maka
mereka mempergunakan kesempatan itu dengan sebaikbaiknya.
Orang-orang yang mendapat tugas mengamati keadaan
di Talang Amba melihat juga latihan-latihan yang
diselenggarakan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi
merekapun berpendapat sebagai mana Pangeran Lembu
Sapdata. Apa yang dapat mereka pelajari dalam waktu yang
sempit dan cara yang1 kurang mapan itu".
Sebenarnyalah, betapa kerasnya orang-orang Talang
Amba rnemeras keringat untuk menempa diri, tetapi
kemajuan mereka bukanlah satu loncatan panjang yang
lang. sung dapat mengimbangi kemampuan para prajurit di
Singasari atau para pengawal di Gagelang. Meskipun anakanak
muda di Talang Amba itu maju setingkat demi
setingkat, namun tidak ada satu keajaiban yang dapat
membuat mereka tiba-tiba memiliki kemampuan seorang
pengawal. Hal itu agaknya dimengerti juga oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Apalagi Ki Waruju. Tetapi yang dapat
mereka lakukan itu adalah yang terbaik dari segala pilihan
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
di Talang Amba. Dalam pada itu. Pangeran Lembu Sapdata tidak mau
terlambat menghadapi keadaan. Dendamnya telah
membakar seisi dadanya. Betapa sakitnya jika Pangeran itu
mengenang, bagaimana ia harus melarikan diri dari arena
pertempuran. Kemudian seperti binatang buruan ia
meninggalkan daerah Gagelang yang diharapkan dapa
dikuasainya. "Aku harus mendapatkan kesempatan untuk menangkap
anak muda yang melawan aku dipertempuran itu" berkata
Pangeran Lembu Sapdata di dalam hatinya "sekaligus
memusnahkan Talang Amba dan hutan di lereng bukit itu.
Meskipun kemudian orang Gagelang uan Singasari
mengetahui bahwa hutan itu telah dibakar oleh salah
seorang Pangeran dari Kediri, tetapi mereka tidak akan
segera mengetahui bahwa orang yang dicarinya adalah aku,
Pangeran lembu Sapdata. Jika Singasari bertindak kasar
terhadap para bangsawan di Kediri, adalah satu kesempatan
yang sangat diharapkan"
Demikianlah, maka segala persiapanpun telah dilakukan
oleh Pangeran Lembu Sapdata. Sepasukan pengawal
Kediri, justru yang terpilih telah disiapkan dengan diamdiam
diluar pengamatan para Panglimanya. Namun
agaknya perasaaan lain memang sudah mulai menjalar
diantara para pemimpin di Kediri. Namun beberapa orang
pemimpin masih berusaha menahan diri dan berusaha
menghindari benturan yang mungkin dapat terjadi. Apalagi
benturan kekerasan yang terbuka. Karena jika demikian,
Kediri justru akan mengalami kesulitan yang tidak akan
mungkin teratasi. Beberapa orang berusaha menghembuskan sikap bahwa
Kediri telah diperintah oleh Singasari. Meskipun setiap kali
Singasari meyakinkan, yang ada adalah satu lingkungan
keluarga besar yang hidup bersama. Bukan pihak yang
diperintah dan yang memerintah.
Dalam suasana yang demikian itulah, maka Pangeran
Lembu Sabdata telah melakukan rencananya untuk
membalas dendam kepada orang-orang Talang Amba. Dan
bahkan jika mungkin kemudian terhadap orang-orang
Gagelang. Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Lembu Sabdata
harus melakukan rencananya dengan hati-hati. Ia sadar
bahwa diantara para pemimpin di Kediri yang melihat
wajah muram dari beberapa orang bangsawan dan bahkan
mereka yang masih menahan diri, namun yang lain
merasakan betapa akrabnya hubungan mereka dengan
Singasari, karena Singasari memang bersikap sebagaimana
yang mereka katakan. Hidup dalam satu lingkungan
keluarga besar yang saling menghormati. Justru karena itu,
maka mereka merasa satu dengan Singasari.
Dengan persiapan yang rumit, maka akhirnya Pangeran
Lembu Sabdata lelah mendapatkan sekelompok orangorang
terpilih. Ia memang tidak memerlukan terlalu banyak
orang. Yang sedikit itupun akan mampu menghancurkan
sasarannya. Menjadikan Talang Amba neraka dan lereng
bukit itu menjadi abu. Sedemikian cermatnya persiapan itu dilakukan, sehingga
sekelompok pengawal yang dipergunakan telah dapat
dilepaskan dari tugasnya. Senopati yang memimpin
sekelompok pengawal itu membawa pasukannya seolaholah
untuk satu tugas pengamanan karena segerombolan
perampok yang ganas sedang mengancam ketenangan
hidup sebuah Kabuyutan yang terpencil.
Sementara itu, beberapa orang kepercayaan Pangeran
Lembu Sabdata pun telah mengamati Talang Amba dengan
cermat. Tidak ada orang asing yang menyusup kedalam
Kabuyutan itu. Yang ada hanyalah orang-orang Talang
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amba sendiri yang dungu dan pandir, karena mereka
merasa diri mereka akan mampu melindungi diri mereka.
Namun betapapun cermatnya orang-orang yang
dipasang oleh Pangeran Lembu Sabdata mengamati setiap
padukuhan di Talang Amba, namun mereka tidak melihat
ketika beberapa anak muda menyusup memasuki
padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Seorang anak muda itu ternyata telah menyusup masuk
kedalam sebuah pedati orang Talang Amba yang sedang
membawa hasil bumi ke pasar. Seorang perempuan yang
duduk di dalam pedati selelah mualannya dibongkar hampir
saja berteriak ketika tiba-tiba saja seseorang telah duduk
disampingnya. "Jangan berteriak" orang itu mengancam.
Perempuan itu bagaikan membeku. Namun terasa bahwa
tubuhnya gemetar. Ketika suaminya kemudian datang, maka orang itu
berdesis "Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat
mencelakakan isterimu. Aku tidak akan berbuat apa-apa
jika kau membantuku. Aku akan mengikutimu masuk ke
padukuhan induk Talang Amba. Bukankah kau orang
Talang Amba" Dari beberapa orang pedagang yang sering
berhubungan denganmu, aku mengetahui bahwa kau
adalah orang Talang Amba"
"Apa maksudmu sebenarnya?" bertanya pemilik pedati
itu "Jika kau hanya ingin pergi ke Talang Amba, maka kau
tidak usah memakai cara ini"
Orang yang ada di dalam pedati itu memandanginya
dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis "Lekas.
Jalankan pedatimu. Kita akan bersama-sama pergi ke
Talang Amba" Pemilik pedati itu tidak dapat menolak perintah anak
muda yang sudah ada di dalam pedatinya. Ia tidak mau
menerima akibat buruk atas isterinya jika ia menolak.
"Setelah sampai di Talang Amba, aku akan dapat
berbuat sesuatu atasnya" berkata pemilik pedati itu di
dalam hatinya. Demikianlah, akhirnya pedati itupun merayap mendekati
padukuhan induk Talang Amba. Disepanjang jalan, anak
muda yang berada di dalam pedati itu memang tidak
berbuat apa-apa. Ia duduk saja dengan tenang. Namun
agaknya anak muda itu sengaja tidak mau dilihat oleh
seseorang yang mungkin dijumpai diperjalanannya menuju
ke Talang Amba. Dengan cara itu,-maka anak muda itu dapat langsung
diantar ke rumah Ki Sanggarana yang untuk sementara
melakukan tugas sebagai Buyut di Talang Amba meskipun
secara resmi ia belum diwisuda. Bahkan Akuwu Gagelang
yang harus mewisudanyapun masih belum ditetapkan.
Kehadiran anak muda itu telah menarik perhatian
beberapa orang pemimpin Kabuyutan Talang Amba-.
Namun dihadapan para bebahu di Talang Amba anak
muda itu minta, agar kehadirannya dirahasiakan.
"Kau mempergunakan cara yang aneh untuk datang ke
Talang Amba ini" bertanya Ki Sanggarana.
"Bukan hanya aku" jawab anak muda itu "ada lima
orang yang akan datang dengan cara yang mungkin kalian
anggap aneh. Tetapi ketahuilah, bahwa Kabuyutan Talang
Amba sekarang telah dilingkari oleh pengawasan yang
ketat. Kehadiran orang asing akan sangat menarik
perhatian. "Apa maksudmu" bertanya Ki Sanggarana.
"Sekali lagi aku berpesan. Kehadiranku bersifat rahasia.
Juga pemilik pedati itu harus mengerti. Aku akan
mengancamnya jika ia mengetahui kehadiranku ini kepada
siapapun juga. Kepada anaknya atau kepada tetangganya.
Ia akan dapat dihukum mati" berkata anak muda itu.
Pemilik pedati itu menjadi cemas. Tetapi iapun
kemudian menjadi ketakutan ketika anak muda itu berkata
"Aku adalah petugas sandi dari Singasari"
Ki Sanggarana mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa
kehadiran petugas sandi dari Singasari dengan cara yang
khusus itu tentu berhubungan dengan peristiwa yang baru
saja terjadi di Talang Amha
Sebenarnyalah pada saat itu, ketika malam menyelimuti
Talang Amba, dua orang petani berjalan dipematang
dengan cangkul dipundaknya. Agaknya keduanya baru saja
membuka pematang sawahnya untuk mengaliri tanaman
padi mudanya dengan air parit yang tidak begitu lancar
dimusim kering. Keduanya sama sekali tidak menghiraukan ketika
mereka melihat seseorang melintas di jalan bulak didepan
mereka, seolah-olah mereka tidak melihatnya.
Namun demikian orang yang melintas itu menjauh,
seorang diantara mereka berkata "Aku curiga bahwa orang
itu bukan orang Talang Amba yang sedang pergi ke sawah.
Yang lain mengangguk. Katanya "Jika orang itu orang
Talang Amba, merekalah yang justru akan mencurigai kita.
Karena mereka tidak mengenal kita"
"Seperti yang sudah dilaporkan, Talang Amba mendapat
pengamatan dari pihak-pihak tertentu. Peristiwa yang baru
saja terjadi, memang bukan peristiwa yang dapat dianggap
selesai. Seorang Pangeran yang tidak dapat dikenali dari
Kediri yang berhasil melarikan diri itu tentu masih akan
membawa persoalan-persoalan berikutnya. Dan agaknya
perhitungan itu tidak salah" berkata orang yang pertama.
"Ya. Tetapi merekapun telah belajar dari pengalaman.
Mereka tidak mau terjebak lagi oleh kehadiran prajuritprajurit
Singasari, sehingga dengan demikian, mereka kini
melakukan pengamatan yang cermat. Orang itu tentu salah
seorang dari pengamat-pengamat yang ada disekitar
Kabuyutan ini" iawab kawannya.
"Tetapi ternyata mereka masih kurang cermat. Mereka
tidak melihat, siapa kita sebenarnya hanya karena kita
berjalan di pematang sambil memanggul cangkul"
Tetapi kawannya menyahut "Belum tahu. Mungkin
mereka mempunyai cara lain untuk mengamati kita"
Yang seorang mengerutkan keningnya. Tetapi orang
yang melintas itu telah menjadi jauh dan hilang dalam
keremangan malam. Ketika kedua orang itu telah meloncati parit dan berdiri
dijalan bulak yang menyilang, maka merekapun kemudian
memutuskan untuk cepat-cepat memasuki Talang Amba.
Mereka harus segera berada di padukuhan induk dan
langsung menuju ke rumah Ki Sanggarana.
"Jika kita sudah berada di dalam padukuhan itu, kita
justru akan dapat dengan diam-diam tanpa merasa cemas
menuju ke rumah Ki Sanggarana, karena Talang Amba tenrii.
sudah tertidur nyenyak" berkata salah seorang dari
mereka. "Tetapi anak-anak mudanya berada di gardu-gardu atau
sedang menempa diri" sahut kawannya.
"Kita akan melintasi halaman-halaman dan meloncati
dinding yang menyekat halaman-halaman itu" jawab yang
lain. Kawannya mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah,
ketika mereka telah memasuki padukuhan induk, maka
angkul yang mereka bahwa itupun telah mereka letakkan di
tempat yang tersembunyi. Kemudian seperti yang mereka
rencanakan, mereka menyusup kedalam melalui halaman
demi halaman. Sementara itu, dari sudut lain, dua orang merayap
mendekati padukuhan induk. Mereka tidak
mempergunakan menyamaran apapun juga. Tetapi mereka
telah beradu ketajaman pengamatan dengan orang-orang
Kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika keduanya yakin, bahwa tidak ada orang yang
melihatnya, maka keduanya telah meloncat masuk kedalam
padukuhan induk itu. Dan seperti dua orang yang
berpakaian petani, maka merekapun telah menyusup dari
halaman ke halaman menuju ke rumah Ki Sanggarana.
Mereka tidak mau dilihat oleh anak-anak muda yang
berada di gardu-gardu atau yang sedang berlatih di
halaman-halaman yang luas.
Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Singasar
seluruhnya telah berada di rumah Ki Sanggarana.
Dengan demikian, maka merekapun kemudian telah
menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi di Kabuyutan itu. sehingga mereka berlima
mendapat tugas untuk memasuki Kabuyutan itu dengan
rahasia. Agaknya Pangeran yang telah berhasil melepaskan diri
dari tangan orang-orang Talang Amba dan orang-orang
Singasari itu tidak dapat menerima kenyataan itu dengan
ikhlas. Karena itu. maka persoalan Talang Amba dengan
Pangeran itu agaknya masih belum selesai" berkata salah
seorang dari petugas sandi dari Singasari itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki
Watuju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
diPanggil dan ikut serta menemui kelima orang itupun
mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waruju
bertanya Apakah Ki Sanak berlima, atau salah seorang
diantara kalian membawa pertanda petugas sandi dari
Singasari?" Kelima orang itu saling berpandangan. Namun yang
tertua diantara merekapun kemudian sambil tersenyum
berkata Ki Sanak ternyata cukup cermat mengamati
kehadiran kami. Baiklah, barangkali Ki Sanak dapat
mengenali timang ini. Ki Waruju mengerutkan keningnya ketika orang itu
kemudian menunjukkan timangnya yang semula tertutup
oleh kain panjangnya. Sambil mengangguk-angguk Ki Waruju berkata "Aku
mengenali pertanda itu. Pertanda keprajuritan sebagaimana
dipakai oleh para prajurit Singasari"
"Ya. Kami adalah prajurit-prajurit Singasari pula.
meskipun dalam tugas sandi" jawab prajurit itu.
Pertanda dan sikap kelima orang itu telah
menghilangkan keragu-raguan orang-orang Talang Amba,
sehingga pembicaraan diantara merekapun dapat
berlangsung semakin mendalam.
"Ki Sanggarana" berkata salah seorang dari mereka atas
pertimbangan-pertimbangan itulah, maka Talang Amba
harus mengatur persiapan yang mantap. Tetapi kita tentu
tidak akan dapat mengulangi cara yang pernah kita lakukan
sebelumnya. "Maksud Ki Sanak" bertanya Ki Sanggarana.
Kita lidak akan dapat menyiapkan pasukan Singasari di
sekitar tempat ini, sehingga pada saat yang pendek akan
dapat digerakkan seperti yang pernah terjadi. Apalagi dalam
penyamaran yang dapat membingungkan lawan.
Pengalaman Pangeran dari Kediri itu merupakan guru yang
baik bagi mereka, sehingga mereka jauh sebelumnya telah
menebarkan pengawas-pengawas apakah ada kekuatan lain
yang berada di Talang Amba"
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Lalu katanya "Jadi
apakah yang sebaiknya kita lakukan"
"Aku belum dapat mengatakan sekarang Ki Sanak. Aku
masih harus melihat lihat keadaan. Mungkin dalam satu
dua hari ini. kami menemukan cara yang paling baik untuk
menjebak Pangeran yang mendendam itu" jawab petugas
sandi itu. Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Memang sulit
untuk menentukan sikap dengan tiba-tiba. Mereka harus
melihat keadaan dan medan yang akan mereka hadapi.
Namun pelugas sandi itupun kemudian berkata "Tetapi
adalah menjadi salu keharusan, bahwa Taiang Amba
bersiap sebaik-baiknya menghadapi segala, kemungkinan.
Dan kitapun telah dapal memperhitungkan, bahwa
kekuatan yang ada di Talang Amba sendiri lidak akan
mungkin dapat mengatasinya. Yang menjadi masalah
adalah, bagaimana kila memasukkan bantuan itu ke Talang
Amba lanpa diketahui oleh para pengawas. Kali ini kami
berlima dapat masuk dengan selamat. Bahkan seandainya
mereka mengetahui, mereka tentu akan mengabaikan
kehadiran kami. Tetapi jika yang memasuki padukuhan ini sekelompok
prajurit, maka sulitlah bagi kita untuk menghindari
pengamatan. Dan jika para pengawas itu mengetahui,
bahwa di padukuhan ini lerdapal prajurit-prajurit Singasari,
maka mereka tentu akan membual perhitungan-perhitungan
baru sehingga usaha kami untuk menjebaknya mungkin
akan gagal" "Kami mengerti" sahul Ki Waruju "dan agaknya
kamipun sependapat, bahwa kita akan melihat keadaan.
Justru unluk menentukan satu sikap yang tepat"
Demikianlah, maka para petugas sandi itupun lelah
berada di Talang Amba untuk menentukan langkah-langkah
yang akan dapat menjebak Pangeran yang lepas dari
Tangan prajurit-prajurit Singasari.
Namun dalam pada itu, Ki Warujupun telah bertanya
kepada salah seorang pelugas sandi itu "apakah Singasari
mendapat petunjuk bahwa Pangeran itu akan melakukan
balas dendam?" "Ya" jawab petugas sandi itu "petugas-petugas kami
yang lelah bekerja keras di Kediri setelah peristiwa itu,
menemukan petunjuk seperti itu. Ada beberapa
pertimbangan yang memperkuat dugaan bahwa Pangeran
itu akan mengambil langkah demikian. Bahkan bukan saja
terhadap Talang Amba, Tetapi mungkin juga dendam itu
tertuju kepada Gageiang. Namun Gagelang akan mampu
membuat dirinya menjadi kuai"
Ki Waruju mengangguk-angguk. Tetapi masih ada
beberapa hal yang kurang dimengertinya. Karena itu maka
iapun kemudian bertanya pula "Apakah dengan demikian
berarti bahwa Singasari telah menemukan Pangeran yang
telah melakukan pelawanan terhadap Singasari itu dan akan
melakukan balas dendam terhadap Talang Amba.
Petugas sandi itu menggeleng. Katanya "Bukan berarti
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian Ki Sanak. Singasari masih belum dapat
menemukan Pangeran yang lepas dari tangan kita itu.
Tetapi petugas-petugas sandi di Singasari mencium adanya
persiapan-persiapan justru dilingkungan para pengawal.
Kita tidak menutup mata melihat kemungkinan yang buruk
yang terjadi di Kediri. Sudah beberapa rambahan,
bangsawan-bang-sawan di Kediri melakukan perlawanan.
Beberapa kali Singasari harus mengambil kebijaksanaan
khusus. Dan kali ini hal itu terulang lagi. Bahkan kali ini
beberapa pihak di Kediri benar-benar dengan satu
keyakinan berusaha melepaskan diri dari kesatuan yang
besar bersama Singasari dan daerah-daerah yang lain,
sementara di beberapa saat yang lalu, persoalan agak
berbeda. Seorang yang menjadi kecewa telah mengambil
satu sikap, seakan-akan ia seorang pahlawan bagi saudarasaudaranya
di Kediri" Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia m enjadi jelas. Dan
iapun menganggap bahwa Singasari memang sangat
berhati-hati menghadapi sikap beberapa orang bangsawan
di Kediri, karena Singasari merasa dibebani oleh satu
kewajiban untuk memelihara satu ikatan persatuan yang
besar bagi seluruh wilayah Singasari.
"Karena itu, kita tidak akan dapat mencari Pangeran itu
di Kediri dengan cara yang kasar agar kita tidak semakin
melukai hati orang-orang Kediri" berkata petugas sandi itu
"tetapi kita harus memancingnya keluar dan menangkapnya
pada satu peristiwa yang memungkinkan"
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya "Jadi,
Singasari ingin menjebaknya disini" Usaha membalas
dendam. itu merupakan satu kesempatan yang ditunggu
oleh Singasari" "Tetapi persoalannya adalah, kita mengalami kesulitan
untuk memasang perangkap karena kita mempunyai
beberapa keterangan tentang pengamatan yang ketat
disekitar Talang Amba. Pangeran dari Kediri itu tidak akan
melakukan kesalahan yang sama" berkata petugas sandi itu.
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti
kesulitan para petugas Singasari itu. Jika orang-orang
Singasari itu menyusup dengan cara yang sama seperti yang
ditempuh oleh kelima petugas sandi itu, maka pada satu
saat, para pengawas dari Kediri itu tentu akan dapat
melihatnya. Dengan demikian, maka Pangeran itupun akan
membuat perhitungan baru sehingga mungkin sekali
rencananya akan diurungkan atau ditunda. Satu rencanarencana
lain yang belum dapat diduga.
Sementara itu Singasaripun mempunyai perhitungan,
bahwa untuk membantu mempertahankan Talang Amba
dari dendam dan sakit hati itu, memerlukan orang yang
cukup banyak. Apalagi menurut pendengaran pimpinan
petugas sandi atas dasar laporan-laporan dari Kediri, maka
sekelompok pengawal terpilih dari Kediri akan terlibat.
Demikianlah, para petugas sandi itu telah mempelajari
keadaan Talang Amba sebaik-baiknya. Diamatinya ujung
ke ujung padukuhan sampai padukuhan yang paling
kecilpun. Namun memang sulit bagi satu pasukan yang
cukup kuat untuk memasuki Kabuyutan Talang Amba
tanpa diketahui oleh para pengawas.
Para pengawas itu akan dapat saja berada dipadukuhan
di Kabuyutan tetangga. Atau mungkin di pategalan dan di
hutan-hutan kecil disebelah Talang Amba, sehingga dari
arah manapun pasukan itu masuk, maka pengawas itu tentu
akan dapat melihatnya. Karena itu, untuk menentukan cara yang akan diambil
oleh pasukan Singasari itupun masih belum dapat
diketemukan. Namun dalam pada itu, Ki Waruju yang ikut pula
memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, telah
berbicara dengan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, apakah
yang sebaiknya dilakukan untuk memberikan kemungkinan
pasukan Singasari berada di Talang Amba tanpa diketahui
oleh para pengawas dari Kediri.
"Kita tidak tahu, pengawas itu berada dimana. Tetapi
secara naluriah akupun percaya, bahwa pengawaspengawas
semacam itu memang ada" berkata Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata "Kita
ajak satu atau dua orang Singasari yang ada di Talang
Amba itu untuk mengikuti latihan-latihan yang kita
adakan" "Lalu?" bertanya Ki Waruju.
"Mungkin kemungkinan itu akan diketemukannya"
berkata Mahisa Murti kemudian "aku sering membawa
anak-anak muda itu berlari-lari kelereng bukit. Kadangkadang
memasuki hutan di lereng pegunungan untuk
memberikan latihan ketahanan tubuh dan ketrampilan"
"Ya" jawab Ki Waruju "tetapi yang kita perlukan adalah
jalan masuk" Mahisa Murti tiba-tiba saja tersenyum. Katanya
"Bagaimana jika kita berangkat dengan sepuluh orang
misalnya dan kembali dengan dua belas orang" Jika hal
yang demikian dilakukan berkali-kali, maka dalam beberapa
hari, kita akan mempunyai sejumlah prajurit Singasari yang
siap di Talang Amba"
Ki Waruju berpikir sejenak. Namun iapun kemudian
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya "Aku
mengerti. Prajurit-prajurit Singasari itu menunggu di hutan
di lereng bukit " "Ya" jawab Mahisa Murti.
"Bagus" sahut Mahisa Pukat "para pengawas itu jika
memang ada, tentu sering melihat kami naik kelereng
bukit" Ki Waruju mengangguk-angguk, la memuji ketangkasan
berpikir anak-anak Mahendra itu. Agaknya jalan itu akan
dapat ditempuh jika para petugas sandi dari Singasari itu
menyetujui. Namun dalam pada itu, Ki Warujupun berkata "Tetapi
kau harus menjaga, agar anak-anak muda itu tidak terlalu
sering berlari-lari ke hutan di lereng bukit. Sebab jika tibatiba
saja acara itu menjadi berlipat dari gelombanggelombang
sebelumnya, para pengawas dari Kediri itu tentu
akan menjadi curiga pula"
Darah Olympus 1 Wiro Sableng 105 Hantu Jatilandak Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 4
yang dalam pakaian petani sebagaimana orang-orang
Talang Amba itupun telah berusaha menguasai diri pula.
"Kami menyerah" teriak Senopati itu Ketika Senopati itu
meletakkan senjatanya, maka para pengawal yang lain
dibawah perintahnya telah menyerah pula.
Ternyata sikap itu telah diikuti oleh beberapa orang
Senopati yang lain, sehingga akhirnya pasukan Gagelang
yang berada diinduk pasukan itupun lelah menyerah pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
berkata kepada Akuwu "Dengar dan lihat. Akuwu yang
perkasa. Semua pasukanmu telah menyerah. Apukah kau
masih akan bertempur seorang diri melawan seluruh
pasukan Talang Amba?"
"Persetan" geram Akuwu "aku akan membunuh semua
orang yang menentang kekuasaanku, atau aku akan mati
untuk mempertahankan kekuasaanku"
"Kau sudah kehilangan penalaranmu" sahut Mahisa
Bungalan. "Jika kau takut, pergi dari medan. Aku akan
mengampunimu" teriak Akuwu.
Mahisa Bungalan sudah tidak melihat kemungkinan lagi
untuk memaksa Akuwu menyerah, Akuwu sudah benarbenar
tidak dapat lagi berpikir tentang dirinya dan
pasukannya. Bahkan Akuwu sudah cenderung untuk
membunuh diri di peperangan itu.
Karena itu. maka Mahisa Bungalanpun kemudian
memutuskun untuk menghadapi Akuwu itu. Ia tidak akan
memerintahkan orang-orangnya untuk bersama sama dan
beramai-ramai menangkap atau membunuh Akuwu di
Gagelang. Tetapi dalam keadaan yang demikian maka
Mahisa Bungalanpun telah memutuskan untuk
menghadapinya sendiri. sebagaimana dalam perang
tanding. Karena itu, maka Mahisa Bungalan itupun kemudian
berkata "Akuwu. Jika kau memang memilih arena
pertempuran ini sebagai gelanggang untuk menentukan
nasibmu, maka baiklah aku akan memberimu kesempatan.
Marilal kita berhadapan sebagai prajurit. Jika kau
bertempur seorang diri. maka akupun akan melawanmu
seorang di meskipun aku berhak memerintahkan orang
orangku untuk beramai-ramai menangkupmu seperti
menangkap seorang perampok"
"Gila. Aku adalah Akuwu yang mulia di Gagelang"
jawab Akuwu. "Tetapi sikap dan tingkah lakumu tidak mencerminkan
kedudukanmu itu" jawab Mahisa Bungalan.
Wajah Akuwu di Gagelang itu menjadi merah.
Kemarahan dan perasaan yang bercampur baur telah
membuat dadanya bagaikan mendidih. Dengan suara
bergetar oleh gejolak perasaannya, Akuwu itu menjawab
"Kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku
lihat. Karena itu, maka kau akan mengalami kematian yang
paling pahit dari semua orang yang pernah menempatkan
diri sebagai lawanku"
Tetapi Mahisa Bungalan telah benar-benar bersiap
menghadapi Akuwu yang seakan-akan telah menjadi putus
asa dan berusaha untuk membunuh diri dengan caranya itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, muku
pertempuran antara kedua orang itupun menjadi semakin
dahsyat. Akuwu yang memiliki ilmu yang tinggi dan
gejolak perasaan yang menghentak-hentak itu, lelah
menyerang Mahisa Bungalan dengan sengitnya. Senjatanya
yang berputaran bagaikan gumpalan kabut putih melanda
Mahisa Bungalan bagai amuk angin pusaran.
Tetapi Mahisa Bungalanpun memiliki kemampuan yang
dapat mengimbangi ilmu Akuwu di Gagelang. Justru
karena hatinya yang tidak menjadi kabur oleh kemurahan
dan perasaan yang baur, maka ia masih dapat berpikir
secara bening. Karena itulah, maka perhitungannya masih
jauh lebih mapan dari Akuwu yang bagaikan menjadi gila.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdegupan. Ia melihat kegarangan Akuwu di Gagelang
dengan ketegangan yang mencengkam.
Sementara itu, setelah menyelesaikan persoalan para
pengawal yang menyerah, serta menyerahkannnya kepada
beberapa orang prajurit Singasari yang ada diantara orangorang
Talang Amba. maka Ki Wuruju, murid Ki Sarpa
Kuning, Ki Sendawa dan Ki Sanggarana, serta beberapa
orang yang lain, telah berada di induk pasukan Perang
tanding antara Akuwu di Gagelang serta Muhisa Bungalan
itu benar-benar telah menarik perhatian Agaknya Mahisa
Bungalan telah menempatkan dirinya pada keadaan yang
sangat berbahaya itu untuk memenuhi tuntutan sikap
jantannya menghadapi Akuwu yang kehilangan akal itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi
semakin cepat. Serangan-serangan Akuwu yang sangat
berbahaya datang membadai. Sementara Mahisa
Bungalanpun telah bertahan dengan cermatnya. Bahkan
kemudian serangan-serangan balasannyapun telah
menghentak dan mengejutkan Akuwu yang marah itu.
Sambaran-sambaran senjata Akuwu berdesing diseputar
tubuh Mahisa Bungalan yang berloncatan menghindar dan
dengan senjatanya menangkis mengimbangi kecepatan
serangan Akuwu. Namun sekali-kali ujung pedang Mahisa
Bungalan justru berhasil mematuk disela-sela gumpalan
putih putaran pedang Akuwu di Gagelang itu.
Sementara itu, beberapa orang Singasari tengah sibuk
mengurus orang-orang yang menyerah. Mereka
memperlakukan orang-orang dengan baik, karena mereka
mengerti, bahwa kesalahan utama terletak pada sikap
Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka Akuwu di
Gagelanglah yang harus memikul tanggung jawab yang
paling berat. Tetapi justru oleh kesadaran yang demikian, maka
Akuwu di Gagelang telah memilih jalan memintas. Apapun
yang dilakukannya, menurut pendapatnya, akhirnya ia akan
mati juga. Sehingga karena itu, maka ia memilih jalan
terdekat dan yang menurut anggapannya paling terhormat
bagi seorang prajurit. Mati di medan perang.
Namun Mahisa Bungalan yang masih tetap berpikir
jernih itu masih juga berusaha untuk dapat menundukkan
Akuwu tanpa membunuhnya. Dengan demikian, Singasari
akan mendapat jalur yang lebih dekat pula untuk mengusut,
siapakah orang-orang di Kediri yang telah melakukan
perbuatan yang akan sangat merugikan Singasari. Bahkan
akan sangat membahayakan tata kehidupan rakyat padesan.
Dengan cara yang sangat kasar beberapa orang di Kediri itu
ingin membuat Singasari menjadi lemah. Tetapi langkahlangkah
yang mereka ambil sama sekali tidak
menghiraukan tata kehidupan rakyat dan
mempertimbangkan masa-masa yang terbentang dihadapan
mereka untuk waktu yang panjang.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak banyak mendapat
kesempatan. Serangan-serangan Akuwu melandanya
bagaikan debur ombak menghantam batu karang. Berurutan
tidak henti-hentinya. Justru karena usahanya untuk mengalahkan lawannya
tanpa membunuhnya, maka Mahisa Bungalanpun seakanakan
telah terdesak. Meskipun serangannya yang berbahaya
kadang-kadang berhasil menyusup pertahanan dan putaran
pedang Akuwu, namun serangan-serangan itu bukannya
serangan-serangan yang dapat membunuhnya.
Tetapi berbeda dengan sikap itu, Akuwu benar-benar
ingin membinasakan lawannya. Setidak-tidaknya mereka
berdua harus mati bersama-sama.
Karena itu, maka serangan-serangan Akuwulah yang
kemudian seakan-akan menguasai arena, sehingga Mahisa
Bungalan lebih banyak bergeser, menghindar dan
menangkis serangan lawannya. Ia masih berharap, bahwa
pada satu saat Akuwu menjadi kelelahan dan
perlawanannya akan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi perhitungan Mahisa Bungalan itu ternyata keliru.
Akuwu di Gagelang itu tidak segera kehilangan
kemampuannya melawan. Bahkan seakan-akan semakin
lama ia menjadi semakin garang. Meskipun tubuhnya telah
dipenuhi oleh keringat yang bagaikan terperas dari kulitnya,
namun ia masih tetap bertempur sebagaimana mula-mula ia
turun ke medan. Bahkan oleh gejolak perasaannya, Akuwu
itupun menjadi semakin garang.
Mahisa Bungalan sekali-sekali benar-benar terdesak.
Tetapi ia masih berusaha untuk menundukkan lawannya
tanpa membunuhnya. Namun Mahisa Bungalanlah yang kemudian justru
mengalami kesulitan. Ilmu Akuwu itu terlalu tinggi untuk
dapat dikuasainya. Bahkan justru karena itu, maka Mahisa
Bungalan yang lebih banyak menghindar dan menangkis
itu, pada satu kali telah membuat satu kesalahan.
Pada saat yang gawat, Mahisa Bungalan masih berusaha
untuk menghindari ujung pedang Akuwu yang menusuk
kearah jantungnya. Ketika pedang itu tidak menyentuh
sasaran, maka pedang itu telah berputar dan menyambar
mendatar. Mahisa Bungalan masih sempat meloncat surut. Namun
Akuwu yang marah itu memburunya, sementara pedangnya
terangkat tinggi-tinggi sebelum terayun kearah dahi Mahisa,
Bungalan. Mahisa Bungalan melihat satu kesempatan terbuka.
Ketika Akuwu mengayunkan pedangnya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi tanpa memperhitungkan jarak,
maka sebenarnya Mahisa Bungalan dapat memanfaatkan
kelengahan Akuwu itu. Jika ia menjulurkan pedangnya
sambil meloncat maju, maka ia akan dapat mengenai dada
Akuwu yang terbuka. Tetapi ketika Mahisa Bungalan melakukannya, maka
tiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu. Pedangnya yang sudah
terjulur itupun ternyata tidak menggapai tubuh lawannya.
Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih sanggup
melakukan satu serangan yang berbahaya bagi Mahisa
Bungalan. Pedangnya benar-benar terayun mengarah
kedahi lawannya yang ragu-ragu.
Mahisa Bungalan terkejut melihat ayunan pedang itu.
Dengan tergesa-gesa ia merusaha menangkis ayunan
pedang yang dilandasi dengan seluruh kemampuan dan
kekuatan itu. Mahisa Bungalan berhasil menangkis serangan itu dan
dahinya tidak benar-benar terbelah. Tetapi pedang yang
berkisar itu, ternyata masih juga menyentuh pundak Mahisa
Bungalan. Terdengar Mahisa Bungalan mengeluh tertahan.
Pundaknya telah terkoyak oleh pedang Akuwu meskipun
tidak begitu dalam. Namun darah yang hangat telah
melelehdari lukanya itu. Yang terdengar adalah suara tertawa Akuwu. Meskipun
pedangnya masih saja berputar, namun ia dapat berteriak
nyaring "He anak Singasari yang malang. Kau akan segera
terkapar di tanah. Kau mati dalam kesombonganmu,
seakan-akan kau akan dapat menjadi pahlawan bagi orang
orang Talang Amba. Tetapi sebelum kau dapat menikmati
kesombonganmu, maka kau sudah akan mati karena lukalukamu"
Mahisa Bungalan menggeram. Luka itu memang terasa
pedih. Ketika ia memandang wajah Akuwu yang sedang
tertawa itu, tiba-tiba saja jantungnya berdentang. Wajah itu
seolah-olah bukan lagi wajah Akuwu di Gagelang. Tetapi
wajah itu bagaikan wajah iblis yang garang, yang haus tetestetes
darah segar dari tubuhnya.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan melangkah surut.
Dadanya terasa bergejolak semakin dahsyat. Tangannya
menjadi bergetar oleh kemarahan yang tertahan.
"Iblis ini sudah melukai pundakku" geram Mahisa
Bungalan. Sementara itu, Akuwupun bertempur Semakin seru. Ia
terasa bahwa kemampuannya memang melampaui
kemampuan Mahisa Bungalan sehingga ia selalu dapat
mendesaknya dan melukainya.
Untuk sesaat Mahisa Bungalan masih berusaha
menguasai perasaannya. Meskipun pundaknya terasa pedih,
namun ia mencoba untuk melihat satu kepentingan yang
besar untuk tetap membiarkan Akuwu di Gagelang itu
hidup. Tetapi untuk melawan Akuwu itu tanpa menyentuhnya,
ternyata menjadi sangat sulit bagi Mahisa Bungalan.
Apalagi sejak ia terluka. Luka itu kadang-kadang bagaikan
menggigit. Apalagi disaat ia menyadari, bahwa darah yang
mengalir itu akan dapat menyusutkan tenaganya dengan
cepat. Karena itu, maka akhirnya Mahisa Bungalan itu berkata
di dalam hatinya "Aku memang tidak ingin membunuhnya.
Tetapi jika dengan demikian aku sendiri yang akan menjadi
korban, maka aku merasa berkeberatan"
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa
Bungalaan itupun mengambil keputusan "Aku akan
bertempur sebagaimana seharusnya aku melayaninya. Jika
dengan demikian, orang ini terbunuh, maka hal itu sama
sekali tidak akan harapkan"
Dengan keputusan itu, maka Mahisa Bungalanpun telah
bertempur semakin garang. Ia bergerak semakin cepat,
mengimbangi sikap Akuwu yang semakin kasar.
-oo0dw0oo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook :
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 013 MESKIPUN demikian Akuwu itu masih sempat terkejut
ketika ia melihat perubahan sikap Mahisa Bungalan. Ketika
kemudian terjadi benturan yang dahsyat, maka terasa
tangan Akuwu menjadi pedih.
Luka dipundak Mahisa Bungalan membuatnya agak
cemas. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalanpun
bertempur dengan tegang. Darah yang meleleh dari luka itu
terasa semakin banyak. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun telah
mempergunakan segala kemampuannya. Ketika Akuwu
meloncat menusuk kearah lambungnya, maka Mahisa
Bungalan sempat bergeser setapak. Dengan tangkasnya ia
menebaskan pedangnya kearah lambung. Namun Akuwu
masih sempat menangkisnya dan memutar pedangnya dan
menyerang mendatar. Mahisa Bungalan meloncat surut. Ketika Akuwu
memburunya, maka pedang Mahisa Bungalan terjulur
lurus, sehingga langkah Akuwu itupun tertahan.
Mahisa Bungalan sudah siap untuk meloncat. Tetapi
ternyata ia masih ragu-ragu untuk mengayunkan pedangnya
pada saat Akuwu sedang menarik diri.
"Gila" geram Mahisa Bungalan "Apa yang telah
menahanku. Mungkin ia terluka. Tetapi ia tidak akan mati"
Justru pada saat Mahisa Bungalan tercenung itulah,
maka dengan kecepatan tinggi, pedang Akuwu mematuk
lengan Mahisa Bungalan. Demikian cepatnya, sehingga
Mahisa Bungalan tidak sempat berbuat apa-apa.
Mahisa Bungalan terdorong selangkah. Namun agaknya
Akuwu yang sudah tidak dapat berpilir jernih itu ingin
memanfaatkan kesempatan itu. Pada saat Mahisa Bungalan
merasa betapa pedihnya sengatan pedang Akuwu, maka
Akuwu itu telah menyerangnya pula. Pedangnya
menyambar mendatar. Tetapi Mahisa Bungalan telah mempersiapkan diri untuk
menghadapi serangan berikutnya yang sudah
diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan, sehingga karena itu,
maka iapun dengan tangkasnya telah meloncat menghindar.
Namun demikian, luka di lengan Mahisa Bungalan itu
telah membuatnya menjadi benar-benar marah. Darah yang
telah menitik dari lukanya itu membuatnya bersikap lain.
"Jika aku berusaha untuk selalu berhati-hati agar aku
tidak melukainya, maka akulah yang justru akan menjadi
korban dalam pertempuran ini" berkata Mahisa Bungalan
di dalam hatinya. Karena itu, maka setelah lukanya terasa semakin pedih,
Mahisa Bungalan tidak lagi berusaha menahan dirinya.
Apalagi ketika ia menyadari, bahwa darahnya yang
mengalir itu akan dapat mempengaruhi ketahanan
tubuhnya. Semakin banyak darah yang meleleh, maka
semakin lemahlah ketahanan tubuhnya itu. Luka di pundak
dan lengannya itu selain menyakikan tubuhnya juga sangat
menyakitkan hatinya. "Aku tidak akan ragu-ragu lagi" geramnya.
Sebenarnyalah bahwa sikap Mahisa Bungalan telah benarbenar
berubah. Langkahnya menjadi semakin cepat dan
garang. Ia tidak lagi memikirkan apakah Akuwu akan
terbunuh atau tidak. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau
mati. Ia harus dapat menyelesaikan pertempuran itu
sebelum darahnya terperas habis dari luka-lukanya.
Dengan demikian, maka serangan-serangannyapun
kemudian telah datang membadai. Ia tidak lagi bertahan
dan menghindar, menunggu sampai Akuwu di Gagelang itu
kelelahan. Karena dengan demikian, yang terjadi adalah
justru kesulitan bagi dirinya sendiri.
Dalam keadaan yang demikian, maka ternyata Akuwu di
Gagelang itu telah mengalami kesulitan yang lebih besar.
Jika ia semula merasa berbangga bahwa ia berhasil melukai
Mahisa Bungalan, maka kemudian Akuwu itu harus
menggeram dan mengumpat-umpat. Ternyata sikap keras
yang kemudian ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan itu telah
membuat Akuwu semakin kehilangan perhitungan. Ketika
ujung pedang Mahisa Bungalan kemudian mulai
menyentuh tubuhnya, maka Akuwu di Gagelang yang
dalam-kegelapan nalar itu telah menjadi semakin garang.
Tetapi nalarnyapun menjadi semakin kabur, dengan
demikian, maka yang dilakukan oleh Akuwu itu kemudian
bukan lagi kegarangan ilmu yang tinggi, tetapi sekedar
ungkapan kemarahan dan kebingungan yang campur baur
dengan keputus-asaan. Sementara itu, lawannya, adalah seorang Senapati muda
yang telah terluka dan darahnya telah membasahi kulitnya,
sehingga karena itu. menjadi semakin lama semakin garang
pula. Dalam pada itu. ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang
mulai terluka, tubuhnya terpengaruh oleh keletihan dan
darah yang mengalir telah mempergunakan kemampuannya
dalam ilmu pedang sebaik-baiknya. Meskipun kemarahan
telah mencengkam jantungnya, tetapi Mahisa Bungalan
masih sempat melihat dengan jernih putaran senjata
lawannya. Bahkan justru karena luka-lukanya, maka
Mahisa Bungalan berusaha, agar ia tidak akan kehabisan
tenaga sebelum ia berhasil mengalahkan lawannya.
Dengan demikian, maka semakin lama akhir
pertempuran itupun menjadi semakin dekat. Mahisa
Bungalan yang dengan hati-hati beralaskan segenap
kemampuannya, berhasil menguasai Akuwu Gagelang yang
kehilangan kendali penalarannya itu.
Sementara itu, beberapa orang pemimpin Talang Amba
dan para Senapati dari Singasaripun telah berada di
padukuhan itu, sementara orang-orang yang datang dalam
pakaian petani dan menggabungkan dirinya dengan orangorang
Talang Amba telah menguasai semua orang
Gagelang yang menyerah. Dengan tegang mereka menyaksikan, bagaimana Mahisa
Bungalan yang telah terluka berusaha menguasai lawannya.
Namun Mahisa Bungalan tidak lagi terikat kepada
keinginannya untuk menangkap Akuwu dalam keadaan
hidup, apalagi setelah terasa pengaruh dari luka-lukanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang harus
menahan nafasnya. Bahkan pada saat-saat tertentu, Mahisa
Pukat hampir tidak dapat mengendalikan diri lagi. Namun
setiap kali ia bergeser terlalu maju, Mahisa Murti telah
menggamitnya dan kemudian menariknya mundur
beberapa langkah. Tetapi darah yang meleleh dari luka-luka ditubuh
kakaknya, membuat Mahisa Pukat benar-benar gelisah.
Namun, ternyata kemudian bahwa ujung pedang Mahisa
Bungalan telah merhasil menyusup diantara ayunan pedang
lawannya. Dengan tusukan lurus, Mahisa Bungalan
berhasil menyentuh langsung dada Akuwu di Gagelang.
Akuwu itu menggeram. Selangkah ia meloncat mundur.
Dengan sorot mata yang menyala ia mengacukan
pedangnya sambil berkata "Kau gila. Kau berani
menyentuh tubuhku dengan ujung pedang" He, apakah kau,
apa hukumannya?" Mahisa Bungalan tidak lagi ingin melayani sikap yang
gila itu. Dengan geram ia menjawab "Menyerahlah, atau
aku akan membunuhmu"
Tetapi yang terdengar adalah suara Akuwu yang rasarasanya
sudah berubah disela-sela tertawanya "Kau sudah
terluka anak manis. Meskipun kau seorang Senapati dari
Singasari. tetapi ternyata kau tidak mampu lagi
melawanku" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi
pedangnya telah menyentuh tubuh Akuwu dipundaknya.
Tubu Akuwu itu terdorong surut. Namun Mahisa
Bungalan tidak memberinya kesempatan lagi. Sekali lagi
Mahisa Bungalan meloncat dengan pedang terjulur.
Akuwu Gagelang masih berusaha menangkisnya. Tetapi
ternyata bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan itu sekali
lagi mematuk dada, sehingga sekali lagi Akuwu terdorong
surut. Luka didadanya itu membuatnya mengeluh
kesakitan. Namun kemudian terdengar ia berteriak "Anak
iblis. Aku bunuh kau"
Mahisa Bungalan yang marah karena luka-luka
ditubuhnya melihat satu kesempatan. Akuwu yang semakin
lemah itu tidak segera sempat memperbaiki kedudukannya
dan mempersiapkan pedangnya. Karena itu, maka sekali
lagi Mahisa Bungalan mendapat kesempatan. Iapun segera
mengangkat pedangnya untuk menebas kearah leher
lawannya. Akuwu yang berusaha memperbaiki keadaannya itu
tidak sempat berbuat banyak ketika Mahisa Bungalan
meloncat mendekat dengan pedang terayun. Jika pedang itu
kemudian menebas leher Akuwu, maka Mahisa Buhgalan
akan segera mengakhiri pertempuran.
Tetapi sekali lagi, Mahisa Bungalan merasa seakan-akan
sesuatu telah menahan tangannya. Pedangnya yang telah
terangkat itu telah tertahan oleh satu kekuatan yang tumbuh
dari dalam dirinya sendiri. Rasa-rasanya ia tidak dapat
mengayunkan pedang itu dan memenggal leher lawannya,
meskipun kemarahan yang tiada taranya telah menghentakhentak
di dalam dadanya. Karena itu, maka pedang yang sudah terangkat itu tidak
juga terayun. Mahisa Bungalan justru telah meloncat surut
sambil memperhatikan keadaan lawannya.
Akuwu Gagelang masih terhuyung-huyung. Luka
didadanya mengalirkan darah yang membasahi tubuhnya.
Tetapi Akuwu itu masih berteriak "Jangan lari anak iblis.
Jika kau takut menghadapi Akuwu di Gagelang, maka
berlututlah. Aku akan memenggal kepalamu dan semua
pemimpin Kabuyutan Talang Ambapun akan mengalami
nasib yang sama" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sesuatu terasa
semakin bergejolak di dalam dadanya. Darah ditubuh
Akuwu itu membuatnya menjadi ngeri, meskipun tubuhnya
sendiri iuga sudah basah oleh darah.
Ketika Akuwu itu dengan terhuyung-huyung melangkah
maju, Mahisa Bungalan justru melangkah surut.
Bukan saja Mahisa Bungalan yang menjadi ngeri.
Akuwu yang sudah bermandikan darah dan tidak lagi
mampu berdiri tegak itu masih juga tertawa sambil berkata
"Ayo Senopati muda yang perkasa dari Singasari yang
besar. Marilah kita selesaikan pertempuran ini dengan
jantan. Tetapi jika kau tidak berani lagi bertempur dalam
perang tanding, maka perintahkan prajurit-prajuritmu untuk
mengeroyok aku" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Dipandanginya saja
Akuwu yang sudah kehilangan sebagian besar dari
kekuatannya karena darahnya yang mengalir dari
tubuhnya. Tetapi Akuwu itu masih berteriak "Ayo, menyerahlah.
Jangan ingkar dari kenyataan, bahwa tubuhmu telah merah
oleh darah" Mahisa Bungalan memang tidak dapat ingkar dari
kenyataan itu. Tubuhnya memang sudah merah pula oleh
darah. Tetapi ia masih memiliki kekuatan dan
kemampuannya, meskipun sudah menjadi susut. Tetapi
tidak secepat susutnya tenaga Akuwu dari Gagelang itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka setiap mata
menjadi tidak berkedip karenanya. Kedua orang yang
berperang tanding itu sudah sama-sama terluka. Darah
telah memerahi tubuh masing-masing dan nampaknya
tangan merekapun telah menjadi gemetar pula.
Namun sebagian besar dari merekapun melihat,
bagaimana Mahisa Bungalan menarik tangannya yang
sudah hampir terayun menebas leher Akuwu yang sudah
tidak berdaya itu. Dengan demikian, maka mereka dapat menilai apa yang
sebenarnya tersirat di hati Mahisa Bungalan. Meskipun
kemarahan yang tidak terkatakan telah menghentak
jantungnya, tetapi ia bukan pembunuh yang tidak terkendali
menghadapi lawannya yang sudah tidak berdaya.
Tetapi sementara itu, adalah diluar kemampuan Mahisa
Bungalan untuk menjaga agar ujung pedangnya tidak
membahayakan jiwa lawannya. Apalagi setelah ia sendiri
terluka. Maka menurut perhitungan Mahisa Bungalan, ia
tidak ingin mati karena ia terlalu berhati-hati menghadapi
lawannya agar ia tidak melukainya.
Dalam kebimbangan itu Mahisa Bungalan melihat
Akuwu yang menjadi semakin lemah itu melangkah maju.
Sambil menyeret kakinya Akuwu itu tiba-tiba saja telah
bertelekan pada pedangnya.
"Ia benar-benar sudah kehilangan kesadarannya" berkata
Mahisa Bungalan di dalam hatinya "ia sudah tidak teringat
lagi bahwa yang ada ditangannya itu adalah pusakanya.
Bukan sebatang tongkat penjalin"
Namun sementara itu, agaknya Akuwu telah benar-benar
tidak mampu menahan dirinya sendiri. Ketika ia melangkah
semakin mendekati Mahisa Bungalan, maka tiba-tiba saja
tubuhnya telah bergetar. Nafasnya menjadi terengah-engah
dan matanya menjadi semakin merah.
Akuwu dari Gagelang itu tertegun. Tetapi rasa-rasanya
matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika ia kemudian
benar-benar kehilangan keseimbangannya, maka hampir
saja Akuwu itu terjatuh. Namun untunglah, bahwa
pengawalnya yang telah menyerah lebih dahulu sempat
meloncat mendekatinya dan menangkapnya, sehingga
Akuwu itu tidak terbanting jatuh ditanah.
Tetapi ketika pengawalnya itu perlahan-lahan
meletakkan tubuh Akuwu itu di tanah, maka tiba-tiba saja
Akuwu itupun mengumpat "Pengecut, pengkhianat. Jangan
sentuh aku. Bukankah kau sudah kehilangan sifat
kejantananmu dan menyerahkan diri sekedar untuk
mendapatkan pengampunan dan tidak mati di peperangan
ini?" usaha untuk meronta dan melepaskan diri "jangan
sentuh aku pengkhianat. Tetapi ingat. Kau dapat tetap
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hidup sekarang ini. Tetapi besok kau akan mendapatkan
kematianmu dengan cara yang lebih buruk. Kau akan
digantung di alun-alun. "Mungkin Akuwu. Mungkin hamba akan digantung di
alun-alun Singasari. Tetapi dasar penyerahan hamba adalah
untuk mengurangi jumlah kematian di peperangan ini
meskipun hamba sendiri tidak akan dapat menghindari
kematian, bahkan di tiang gantungan sekalipun"
"Tutup mulutmu pengecut. Jangan sentuh aku" teriak
Akuwu. Namun iapun kemudian menyeringai sambil
berdesah "O, sakitnya tubuhku"
Pengawalnya itu masih tetap berusaha untuk
menahannya Tetapi sekali lagi Akuwu meronta dengan
tenaganya yang semakin lemah. Tetapi suaranya masih
tetap garang "Cepat. Lepaskan aku. Jangan kau kotori
tubuhku dengan pengkhianatanmu itu. Biar tubuhku tetap
bersih sebagaimana seorang pahlawan yang gugur
dipeperangan" Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan telah menggetarkan
perasaan Akuwu "AkuWU, jika Akuwu merasa menjadi
seorang pahlawan, maka apakah yang sebenarnya Akuwu
perjuangkan selama ini?"
Akuwu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun berdesah "Pertanyaan yang gila" Tetapi tiba-tiba ia
berteriak "Kediri memang harus bangkit. Tumapel yang
sombong dengan menamakan diri Singasari harus
dilenyapkan dan di kembalikan sebagaimana seharusnya.
Keturunan perempuan Panawijen itu tidak berhak
memerintah Tanah ini"
"Itukah alasan perjuanganmu sehingga kau pasrahkan
dirimu untuk menjadi bebanten?" terdengar pertanyaan itu
pula. "Cukup. Jangan bayangi kematianku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang gila itu. Aku sudah
memperjuangkan hak atas Tanah ini bagi Kediri" teriaknya
pula. Namun nafasnyapun kemudian, menjadi terengahengah.
"Kenapa kau memilih Kediri dari Singasari?" bertanya
suara itu pula. "Gila. Kau gila. Aku adalah keturunan Kediri yang
merasa ikut berhak pula atas kekuasaan Kediri atas Tanah
ini" jawab Akuwu. "Tetapi siapakah Pangeran yang telah ikut serta dalam
pertempuran ini, tetapi kemudian meninggalkan medan?"
terdengar pertanyaan pula.
Akuwu mencoba memandangi orang-orang yang ada di
sekitarnya. Tetapi matanya telah menjadi semakin kabur.
Tubuhnya menjadi semakin lemah. Apalagi Akuwu itu
masih juga berusaha melepaskan diri dari tangan
pengawalnya yang dianggapnya telah berkhianat. Sehingga
dengan demikian, maka darahpun bagaikan terperas dari
tubuhnya. Dengan demikian Akuwu tidak berhasil melihat dengan
jelas, siapakah yang sudah mengajukan pertanyaanpertanyaan
yang gila itu. Sementara itu, Mahisa Bungalan yang berusaha untuk
memancing keterangan Akuwu pada saat-saat yang gawat
itupun akhirnya merasa bahwa ia tidak akan berhasil
mendapatkan keterangan apapun juga. Ternyata Akuwu
yang sudah sangat lemah itupun menjawab "Kau kira aku
mau berkhianat terhadap Pangeran itu"
Mahisa Bungalan tidak bertanya lagi. Tubuhnya sendiri
terasa menjadi semakin lemah.
Dalam saat yang demikian, Mahisa Bungalan telah
memanggil tabib yang mengikuti pasukan Singasari yang
telah menyamar sebagaimana orang-orang Talang Amba
itu. Kalanya "Lihat Akuwu itu. Apakah mungkin untuk
diselamatkan jiwanya. Aku memerlukannya"
Tabib itupun bergeser mendekatinya. Namun ketika ia
meraba pergelangan tangan Akuwu, maka iapun kemudian
dengan serta merta menempelkan telinganya kedada
Akuwu itu. Namun tabib itupun kemudian menggeleng. Katanya
"Akuwu sudah meninggal"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimanapun juga ia merasa, bahwa ia telah membunuh
Akuwu Gagelang meskipun ia sudah berusaha untuk meng
hindari kematian itu. "Bukan maksudku" desis Mahisa Bungalan.
Tetapi tabib itu berkata "Sekarang, lukamu sendiri
memerlukan pengobatan. Senopati"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Tubuhnya memang terasa semakin lemah. Luka-lukanya
menjadi sangat pedih. Tetapi pertempuran di Kabuyutan Talang Amba itu
sudah berakhir. Akuwu yang telah meninggal di dalam
pertempuran itupun kemudian telah diserahkan kepada
pasukan Gagelang yang semula berpihak kepada orangorang
Talang Amba. Merekalah yang untuk sementara
harus menampung semua tugas Akuwu yang terbunuh itu.
Mahisa Bungalan yang lemah itupun kemudian berkata
kepada Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang
Amba itu "Sebelum Singasari dapat mengambil sikap
selanjutnya, kaulah yang bertanggung jawab"
"Apakah Senopati tidak akan singgah ke Gagelang?"
bertanya Senopati itu. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ada beberapa
pertimbangan, apakah sebaiknya ia singgah atau tidak.
Dalam pada itu, Senapati Gagelang yang berpihak
kepada orang-orang Talang Amba itupun berkata
"Sebaiknya Senapati Mahisa Bungalan dan pasukan
Singasari yang ada di Talang Amba singgah meskipun
untuk waktu yang singkat di Gagelang. Dengan demikian,
maka kedudukanku dapat diyakini oleh para pengawal yang
sekarang tidak ada disini. Yang terjadi bukannya sekedar
permainan kami. Tetapi benar-beanr satu peristiwa yang
telah membuat Gagelang menjadi berantakan"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Baiklah. Tetapi tentu belum hari ini. Aku
memerlukan waktu untuk mengobati luka-lukaku dan
beristirahat barang sehari"
"Aku akan menunggu" berkata Senapati itu "sehari ini
aku akan tinggal di Talang Amba. Sementara itu, kami
berharap bahwa besok kami akan dapat kembali bersama
pasukan Singasari serta membawa tubuh Akuwu di
Gagelang" Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Ia mengerti, bahwa
Senapati di Gagelang itu tidak menginginkan terjadi salah
paham dengan pasukan pengawal Gagelang yang tidak ikut
pergi ke Talang Amba. Karena itulah, maka ternyata para pengawal di Gagelang
itu telah bermalam di Talang Amba. Tetapi bukan berarti
bahwa mereka dapat bersitirahat sepenuhnya. Pada malam
hari mereka telah menyelenggarakan mayat para pengawal
yang terbunuh di peperangan, sebagaimana orang-orang
Talang Ambapun melakukannya pula. Selain itu maka
merekapun telah mengumpulkan pula kawan-kawan
mereka yang terluka, untuk mendapat perawatan dan
pengobatan seperlunya. Dalam pada itu Mahisa Bungalan sendiri memerlukan
pengobatan atas luka-lukanya yang cukup parah. Meskipun
demikian Mahisa Bungalan masih dapat mengatasi
keadaannya. Setelah mendapat pengobatan maka Mahisa
Bungalan masih dapat memeriksa pasukan Singasari yang
ada di medan yang semula mereka telah mengenakan
pakaian petani kebanyakan sehingga mereka disangka
benar-benar orang Talang Amba.
Orang-orang Gagelang yang telah tertawan masih juga
ada yang mengumpat. Kepada kawan yang berada
didekatnya ia berkata "Ternyata tikus-tikus buruk itu adalah
prajurit-prajurit Singasari"
"Apakah kau baru tahu sekarang ini?" bertanya
kawannya. Pengawal yang pertama tidak menjawab. Tetapi masih
terdengar ia mengumpat kecil.
Demikianlah, maka Talang Amba telah benar-benar
menjadi sibuk. Orang-orang Talang Amba tidak hentihentinya
menyalakan perapian untuk memasak, karena
mereka yang berada di Talang Amba, apakah mereka
kawan atau lawan yang sudah tertawan memerlukan makan
dan minum sekadarnya. Sementara itu, maka telah dilangsungkan pula
pertemuan antara para pemimpin Talang Amba yang
disaksikann oleh para Senapati dari Gagelang yang
berpihak kepada Taalng Amba dan para Senapati.
Dengan mantap maka Talang Amba telah menentukan
siapakah yang akan menggantikan Buyut Talang Amba
yang telah meninggal. "Aku mohor. maaf bahwa pada satu saat aku menjadi
kehilangan" berkata Ki Senapati.
"Kita telah melupakannya sekarang" jawab Ki
Sangagrana "Yang kita hadapi sekarang adalah
kemungkinan-kemungkinan mendatang yang lebih baik
bagi Talang Amba" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun Ki Sendawa
itu merasa bahwa ia telah menebus kesalahan yang
dibuatnya sehingga dadanya telah menjadi lapang.
Sementara itu, Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menjadi saksi apa yang telah terjadi di Talang
Amba disamping para prajurit Singasari.
"Atas nama orang-orang Talang Amba, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya" berkata
Ki Sanggarana. "Segalanya memang sudah menjadi kewajiban kami"
jawab Mahisa Bungalan. Lalu "Akulah yang wajib
mengucapkan terima kasih kepada para pengawal Gagelang
yang tetap berpegang teguh kepada paugeran seorang
prajurit. Tanpa mereka, maka kita tidak akan berhasil
memaksa orang-orang Gagelang yang lain menyerah"
"Yang Kami lakukan sama sekali tidak berarti" jawab
Senapati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang
Talang Amba. Demikianlah, maka keadaan di Talang Ambapun telah
menjadi pasti. Juga Gagelangpun telah tersingkap, bahwa
justru Akuwu Gagelang sendirilah yang telah membuat satu
permainan yang sama sekali tidak menarik dan telah
menjatuhkan korban yang tidak sedikit.
Namun dalam pada itu, maka Singasari harus
mengarahkan perhatiannya kepada Kediri. Ada beberapa
orang yang perlu mendapat perhatian secara khussus.
Agaknya mereka adalah sekelompok pemimpin di Kediri
yang tidak mau melihat kenyataan tentang hubungan antara
Kediri dan Singasari. Mereka adalah orang-orang yang
masih merindukan kebesaran Kediri sebagaimana sebelum
dikalahkan oleh Tu-mapel, tanpa melihat satu kenyataan
bahwa yang ada kemudian adalah satu kesatuan antara
Kediri dan Singasari. Demikianlah, saat-saat isitrahat yang pendek itu ternyata
cukup berarti bagi Mahisa Bungalan, Tubuhnya serasa
menjadi segar setelah ia mendapat pengobatan yang baik.
Luka-lukanya tidak lagi berdarah. Meskipun ia masih
memerlukan beberapa hari untuk menyembunyikan seluruh
luka-lukanya, namun luka-lukanya itu tidak
menghalanginya untuk menyelenggarakan tugas-tugasnya
Di hari berikutnya, Mahisa Bungalan tatah bersiap
bersama pasukan Singasari untuk pergi ke Gagelang,
memenuhi permintaan Senepati Gagelang yang berpihak
kepada orang-orang Talang Amba, agar tidak terjadi salah
paham dengan para pengawal yang tidak ikut pergi ke
Talang Amba. Jika mereka menganggap bahwa Senopati
yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu sebagai
pengkhianat, maka persoalannya akan berkisar. Dan
pasukan Gagelang itu sekali lagi akan saling bertempur
diantara mereka. Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Singasari yang
sedang berada di Talang Amba itu ternyata telah
mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Tidak
sebagaimana mereka pakai pada saat mereka membaurkan
diri dengan orang-orang Talang Amba.
Karena itu, maka pasukan Singasari yang meninggalkan
Talang Amba itu telah berbaris dalam kelengkapan
kebesaran sepasukan prajurit Singasari.
Mahisa Bungalan dan kedua orang Senopati yang
datang-bersamanya ke Talang Amba ikut pula dalam
pasukan itu. Mahisa Bungalanlah yang akan memberikan
penjelasan tentang keadaan yang telah berkembang di
Talang Amba. Namun dalam pada itu, sekelompok kecil pasukan
Singasari telah ditinggalkan di Talang Amba untuk
mengawasi para tawanan yang kelak akan dibaca ke
Singasari. Para tawanan itu memang tidak akan dibawa ke
Gagelang untuk menghindari perasaan yang kurang mapan,
karena bagaimanapun juga orang-orang Gagelang akan
mempunyai penilaian tersendiri Kepada sanak kanangnya.
Para prajurit Singasari itu akan mendapat bantuan dari
anak-anak muda Talang Amba dalam tugas mereka
mengamati para tawanan. Sementara Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Ki Waruju tinggal pula untuk sementara
di Talang Amba. Demikianlah, maka iring-iringan pasukan Singasari dan
Gagelang telah meninggalkan Talang Amba menuju ke
Gagelang. Disepanjang perjalanan mereka, orang-orang
menyaksikan dengan kagum. Tetapi terbersit juga berbagai
pertanyaan di hati mereka. Ketika pasukan itu berangkat,
maka yang yang mereka saksikan hanyalah pasukan
Gagelang semata-mata dai m jumlah yang besar. Tetapi kini
pasukan Gagelang itu menjadi jauh susut, sementara
pasukan Singasari telah ikut pula dalam barisan itu.
Ketika pasukan itu kemudian mendekati Gagelang, maka
Mahisa Bungalan menjadi sangat berhati-hati.
Diletakkannya pasukan Gagelang diujung pasukan. Namun
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Bungalan telah berpesan kepada Senopati yang
memimpin pasukan Gagelang itu, agar tetap berhati-hati.
"Mungkin sudah ada berita yang mendahului kehadiran
kita disini" berkata Mahisa Bungalan "mungkin berita itu
benar, tetapi mungkin pula tidak. Karena itu kita harus
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yangmungkin
dapat terjadi" Senopati Gagelang itu menyadari. Pasukan Gagelang
memang sudah terbagi, sementara mereka tidak tahu
dengan pasti, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh
Akuwu. Sebagian dari para pengawal di Gagelang hanya
berpegang kepada Kesetiaan saja Kepada Akuwu tanpa
mengetahui persoalan besar yang sedang dihadapi oleh
Gagelang dalam hubungannya dengan Kediri dan
Singasari. Tetapi untunglah, bahwa sebelum pasukan Gagelang
berangkat. Senopati yang berpihak kepada orang-orang
Gagelang itu telah meninggalkan beberapa orang petugas
yang terpercaya untuk memberikan penjelasan tentang
keadaan yang sebenarnya. Bahkan sebagian dari pengawal
yang ditinggalkan itu telah tahu pasti apa yang akan
dilakukan oleh Senopati Gagelang dan pasukannya untuk
berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
Karena itulah agaknya, maka ketika Ki Waruju dan Ki
Sanggarana keluar dari bilik tahanan mereka, seorang
pengawal sama sekali tidak mengambil tindakan apapun
juga. Demikianlah, ketika pasukan Gagelang dan Singasari itu
memasuki kota Gagelang, memang timbul ketegangan.
Seorang Senopati yang diserahi tugas menjaga pusat
kedudukan Pakuwon Gagelang itu ternyata telah bersiapsiap
pula menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi. Ia
memang sudah mendengar apa yang terjadi di medan.
Tetapi Senopati itu masih belum jelas mendengar persoalan
yang sebenarnya. Namun demikian kehadiran pasukan
Singasari yang kuat itu memang harus mendapat
pertimbangan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka pasukan yang memasuki Gagelang itu
harus berhenti sebelum mereka sampai ke alun-alun.
Senopati yang menunggui kota itupun telah minta kepada
pasukan yang datang itu untuk memberikan penjelasan.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan telah minta untuk
berbicara Dengan dihadiri oleh Senopati yang memimpin
pasukan yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba
dan Senopati yang berada di kota Gagelang, maka Mahisa
Bungalanpun memberikan penjelasan sesuai dengan
kenyataan yang telah terjadi.
"Karena itu, maka aku telah mangambil satu sikap"
berkata Mahisa Bungalan "atas nama kekuasaan yang
dilimpahkan oleh pemimpin pemerintahan di Singasari.
maka aku telah menunjuk Senopati yang telah mengambil
satu sikap yang tepat pada saat Akuwu Gagelang
mengalami gangguan batin dalam tugasnya, yang sayang
sekati harus ditebus dengan Jiwanya, untuk sementara
memerintah Pakuwon ini. Pada saat yang pendek maka
pimpinan pemerintahan di Singasari tentu akan segera
menentukan langkah-langkah berikutnya"
Ternyata dengan penjelasan Mahisa Bungalan, maka
tidak ada pihak yang masih ragu-ragu untuk menerima
keadaan jtu. Para Senopati dan pimpinan pemerintahan di
Pakuwon Gagelang dapat mengerti dan memahami sikap
Mahisa Bungalan itu. Meskipun untuk sementara pemerintahan di Gagelang
akan merasa terguncang, tetapi lambat laun pemerintahan
itu akan segera pulih kembali. Sementara itu Singasari akan
dapat memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan. Ternyata bahwa untuk satu dua hari Mahisa Bungalan
masih harus berada di Gagelang untuk membantu Senopati
yang akan memangku tugas Akuwu Gagelang. Dengan sisa
tenaga yang ada, maka Gagelang harus melengkapi dirinya.
Bagaimanapun juga Gagelang harus tetap menjaga diri dari
kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi.
Tidak mustahil bahwa ada pihak lain yang ingin
mempergunakan keadaan yang parah itu untuk kepentingan
diri sendiri. Bahkan mungkin akan dilakukan tindak
kejahatan tanpa menghiraukan keadaan yang sesungguhnya
terjadi di Gagelang yang diselubungi suasana prihatin.
Untuk menjaga segala kemungkinan, selagi mahisa
Bungalan dan pasukannya masih ada di Gagelang, maka
telah dipanggil anak-anak muda yang bersedia menjadi
pengawal. Meskipun sebagian besar dari mereka masih
belum memiliki bekal yang cukup, namun dengan bekerja
keras, maka anak-anak muda itu akan segera dapat mengisi
kekosongan, karena pengawal Gagelang yang ada telah
jauh menjadi susul. Sementara itu agaknya langkah lain telah diambil pula.
Senopati yang memegang pimpinan untuk sementara di
Gagelang telah setuju untuk memilih diantara para
pengawal yang tertawan dan tidak menghukumnya dan
bahkan mengembalikan mereka pada kedudukannya
sebagai pengawal, karena yang telah mereka lakukan di
Talang Amba sama sekali bukan karena kesadaran mereka
untuk berbuat demikian. Dalam pada itu. di Talang Ambapun telah terjadi kesibukan
tersendiri. Ki Sanggarana yang sudah disetujui oleh
beberapa pihak untuk menggantikan kedudukan Ki Buyut
telah mengambil langkah langkah yang penting pula. Ki
Sendawa yang semula menentangnya dan menginginkan
kedudukan itu. telah menyadari keadaannya dan bahkan
membantu Ki Sanggarana menyelesaikan persoalan yang
rumit, justru pada saat-saat Talang Amba memasuki satu
masa yang menentukan untuk waktu yang panjang di hari
depan. Kita harus mampu melupakan segala persoalan yang
pernah tumbuh diantara kita" berkata Ki Sanggarana
kepada anak-anak muda di Talang Amba. Diantara mereka
terdapat anak-anak muda yang semula berpihak kepada Ki
Sendawa dan yang lain berpihak kepada Ki Sanggarana.
Lalu "Dihadapan kita terbentang tugas yang maha berat.
Bukan saja mengatasi kesulitan batiniah yang tumbuh di
hati kita masing-masing, tetapi kita harus meyakini, bahwa
daerah ini telah menjadi sasaran tindakan yang licik. Kita
harus selalu ingat tentang sikap Ki Sarpa Kuning yang ingin
membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di Talang
Amba ini untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Jika ia berhasil mendapatkan wewenang untuk
menebang hutan di lereng bukit, maka ia tentu akan
mendapatkan upah yang sangat besar. Sementara itu,
dikemudian hari Talang Amba akan menjadi daerah yang
kering dan gersang. Sementara banjir yang besar selalu
melanda dan menghanyutkan tanah yang mengandung
kesuburan di atas daerah Kabuyutan ini. Sehingga dengan
demikian kehidupan kita akan menjadi semakin sulit"
Ki Waruju yang mendengar penjelasan itu menyambung
"Jika hal seperti itu terjadi di banyak daerah di Singasari.
maka seperti yang diharapkan oleh sementara orang yang
tidak setuju dengan pemerintahan Singasari, maka daerah
Singasari akan mengalami bencana dimasa mendatang"
Anak-anak muda Talang Amba itu mengagguk-angguk.
Hutan di lereng bukit itu semakin menarik perhatian
mereka justru setelah terjadi persoalan di dalam tubuh
mereka sendiri. Hutan itu semula sama sekali tidak mereka
hiraukan. Hutan itu ada di lereng bukit tanpa mereka
kehendaki. Hutan itu begitu saja sudah ada disana. Bahkan
umurnya jauh lebih tua dari umur mereka. Namun tiba tiba
hutan itu telah menjadi pusat perhatian.
Demikianlah, justru karena keinginan mereka, untuk
melihat hutan itu dari segala sisinya, maka pada hari
berikutnya beberapa orang anak muda bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mendaki lereng bukit dan
memasuki hutan yang hijau lebat.
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah
seorang diantara mereka berkata Inilah hutan itu"
"Ya" jawab yang lain "hutan yang bukan saja menjadi
sasaran ketamakan Ki Sarpa Kuning. Tetapi karena
kegagalannya, maka Akuwu di Gagelang telah mengambil
alih persoalannya" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Hutan itu
memang tidak memiliki hal-hal yang dapat menumbuhkan
perhatian secara khusus. Hutan itu adalah satu daerah yang
jarang dilalui dan bahkan tersentuh kaki manusia. Sehingga
akhirnya hutan itu menjadi pusat perhatian manusia di
sekitarnya" "Apa yang dapat kita lakukan dengan hutan ini?"
bertanya salah seorang anak muda.
"Kita tidak akan berbuat apa-apa" jawab Mahisa Murti
"tetapi kita harus menyelamatkannya. Karena dengan
demikian kita akan menyelamatkan diri kita sendiri dan
keturunan kita" Anak-anak muda itu memahaminya. Karena itu, tibatiba
hutan itu menjadi sesuatu yang lain dari tanggapan
mereka sebelumnya. Hutan yang hijau yang membentang di
lereng bukit itu, rasa-rasanya menjadi sangat cantik. Udara
di lembah itu terasa semakin segar. Tanah yang lembab di
bawah pepohonan raksasa itu memberikan warna harapan
bagi hijaunya sawah dibawah bukit.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun tidak
lagi menganggap hutan itu sebagai daerah yang tidak perlu
mendapat perhatian. Jika mereka semula menganggap
bahwa hutan itu tidak memberikan apapun juga kepada
mereka, selain tempat untuk berburu binatang buas, maka
kemudian merekapun merasa diri mereka menjadi akrab
dengan hutan itu. Mereka mulai menyadari, bahwa air yang
mengalir di kotak-kotak sawah mereka adalah air dari hutan
itu. Sehingga dengan demikian, maka hutan itu pulalah
yang telah memberikan makan dan minum bagi seisi
Kabuyutan Talang Amba. Dalam pada itu, maka kehidupan di Talang Ambapun
telah menjadi wajar kembali. Tidak ada lagi bekas-bekas
pertentangan yang telah terjadi diantara mereka. Tidak lagi
terdapat bekas-bekas luka karena tingkah laku Ki Sarpa
Kuning dan Akuwu dari Gagelang.
Sementaia itu di Gugelangpun keadaan telah hampir
pulih pula Meskipun masih ada beberapa orang yang
ditawan, dan bahkan ada diantara mereka yang harus
dibawa ke Singasari, namun persoalannya sudah dapat
dimengerti oleh rakat Gagelang. Mereka telah mengetahui
duduk persoalannya. Dan merekapun mengerti apa yang
sebenarnya terjadi ala Akuwu di Gagelang yang
sebelumnya mereka anggap sebagai orang yang paling baik
yang mereka kenal. Mahisa Bungalan yang telah menyelesaikan tugasnya di
Talang Amba dan Gagelangpun telah kembali pula ke
Singasari dengan membawa laporan yang terperinci tentang
segala peristiwa yang telah terjadi. Namun untuk sementara
Singasaripun tidak tergesa-gesa menetapkan seorang Aku
wu yang baru. Senopati yang untuk sementara melakukan
tugas-tugas seorang Akuwu itu akan diamati dengan
seksama. Jika ia berhasil melakukannya dengan baik, maka
Singasari menganggap bahwa tidak perlu mengangkat orang
lain yang baru sama sekali bagi Pakuwon Gagelang.
Namun dalam pada itu, Singasari menganggap perlu
untuk mengamati perkembangan Kediri untuk selanjutnya.
Ternyata masih ada orang-orang Kediri yang menentang
kekuasaan Singasari dan berusaha untuk
menumbangkannya. "Satu hal yang sulit untuk dihapuskan sama sekali"
berkata Mahisa Agni pada satu saat ketika ia berbincang
dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahendra.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Para
bangsawan di Kediri masih tetap mengenang masa jaya
mereka. Pada suatu saat Kediri adalah satu Kerajaan yang
besar. Mereka tentu tetap merasa berhak aus kekuasaan
yang turun temurun. Ken Arok yang bergelar Sang
Amurwabumi, menurut mereka, adalah orang yang sama
sekali tidak berhak menurunkan kekuasaan bagi Tanah ini.
Karena itu, usaha untuk melenyapkan Singasari itu masih
akan berkepanjangan"
"Tetapi kita tidak berhasil mendapat keterangan tentang
seorang Pangeran yang telah berada di Gagelang" berkata
Witantra kemudian. "Tidak seorangpun yang tahu dengan pasti. Pengawal
Akuwu yang paling dipercaya itupun tidak mengenal nama
yang sebenarnya dari Pangeran yang membayangi
kekuasaan Akuwu di Gagelang itu. Di Gagelang Pangeran
itu kadang-kadang berujud sebagai seorang juru taman,
namun kadang-kadang seorang pengawal yang berpengaruh
meskipun tidak memegang pasukan" berkata Mahisa
Bungalan. "Apakah pengawal yang terdekat dari Akuwu itu tidak
mengetahuinya bahwa ia seorang pangeran?" bertanya
Witantra. "Nampaknya ia mengetahui. Dalam setiap pemeriksaan,
iapun mengakui bahwa ia mengetahui tentang Pangeran itu.
Tetapi nama yang dikenalnya tidak diyakininya bahwa
nama itu adalah nama Pangeran itu yang sebenarnya.
Karena ternyata nama yang disebutkan itu memang tidak
ada di dalam urutan nama para Pangeran di Kediri
sekarang ini" jawab Mahisa Bungalan.
Witantra mengangguk-angguk. Agaknya yang
mengetahui tentang Pangeran itu sepenuhnya hanyalah
Akuwu di Gagelang yang telah terbunuh. Bagaimanapun
juga Mahisa Bungalan berusaha untuk menangkapnya
hidup-hidup adalah sia-sia. Bahkan Mahisa Bungalan
sendirilah yang justru hampir tidak dapat meninggalkan
arena pertempuran itu Namun dalam pada itu, maka Singasaripun telah
mengambil satu keputusan untuk menelusuri sikap
Pangeran dari Kediri yang membahayakan perkembangan
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singasari dan Kediri itu sendiri.
"Yang satu dapat diselesaikan, tumbuh pula yang lain"
desis Mahisa Bungalan. "Ya. Banyak alasan yang dapat mendorong para
bangsawan di Kediri untuk melakukan hal seperti ini.
Tetapi nampaknya yang dilakukan sekarang ini lebih teratur
dengan rencana-rencana yang diperhitungkan.
Persoalannya benar-benar menyangkut hubungan antara
Kediri dan Singasari. Bukan sekedar persoalan pribadi yang
disangkutkan kepada persoalan yang pada dasarnya
memang ada antara Kediri dan Singasari seperti yang
pernah terjadi" berkata Mahisa Agni.
Karena itu, kitapun harus lebih berhati-hati untuk
menanggapi persoalan ini" berkata Witantra "dalam
hubungan ini Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
mendapatkan penjelasan, sehingga jika sesuatu harus
dihadapinya, mereka sudah bersiap secara jiwani"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia menyadari,
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang
menyelesuri lembah dan lereng pegunungan dalam
pengembaraannya, akan dapat terjerumus kedalam
persoalan yang rumit tentang gejolak yang terjadi diantara
beberapa bangsawan Kediri.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk sementara masih tetap berada di Talang Amba.
Bagaimanapun juga, orang-orang Talang, Amba
menganggap, bahwa persoalan yang serupa masih akan
dapat terjadi. Meskipun orang-orang Talang Amba sendiri
sudah menyadari betapa pentingnya hutan di lereng
pegunungan, serta kesadaran mereka untuk tidak mudah
diadu domba,,namun orang-orang yang menghendaki
lereng gunung itu menjadi gundul, akan dapat mengambil
seribu macam cara. Mereka pada akhirnya akan dapat
mempergunakan kekerasan. "Mungkin sekali bahwa sekelompok orang-orang yang
garang akan datang menebang pepohonan di hutan itu.
Disetujui atau tidak disetujui oleh orang-orang Talang
Amba" berkata Ki Sendawa.
"Jika keadaan memaksa, kita dapat memohon bantuan
kepada para pemimpin yang sekarang berkuasa di
Gagelang" sahut Mahisa Murti.
"Tetapi seperti kita ketahui, Gagelangpun baru
membentuk diri" berkata Ki Sanggarana "sekarang
Gagelang sedang memanggil anak-anak muda itu menjadi
pengawal. Tetapi mereka tentu memerlukan waktu yang lama untuk
menempa diri sehingga menjadi seorang pengawal yang
sebenarnya" "Tetapi kekuatan Gagelang sekarang tidak dalam
keadaan lumpuh seluruhnya" berkata Mahisa Pukat "dalam
keadaan tertentu Gagelang masih akan mampu bertindak.
Beberapa orang Senopati dari Singasari masih berada di
Gagelang untuk membantu memberikan latihan-latihan
kepada anak-anak muda yang menyatakan diri mereka
menjadi pengawal. Dengan demikian, maka jika diperlukan
sekali, maka Gagelang tentu akan mampu bertindak.
Sementara para pengawal yang lama masih pula cukup
jumlahnya" Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian "Aku mengerti. Tetapi yang dimaksud oleh
paman Sendawa, hendaknya Talang Amba juga
mempunyai kekuatan sendiri betapapun kecilnya untuk
menjaga agar orang lain tidak dapat berbuat sewenangwenang.
Sebelum kita sempat mendatangkan bantuan dari
Gagelang, maka kita akan dapat berbuat sesuatu sambil
menunggu. Namun dengan demikian, maka Kabuyutan ini
tidak akan dapat dianggap tidak memiliki kekuatan sama
sekali" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Bagus.
Aku mengerti maksud kalian. Bukankah dengan demikian
kalian ingin membentuk satu pasukan yang ujud di dalam
lingkungan Kabuyutan Talang Amba?"
"Ya. Sementara ini kita menggantungkan diri kepada
kerelaan anak-anak muda untuk berbuat sesuatu. Meskipun
hal itu telah terbukti banyak manfaatnya, namun alangkah
baiknya jika kita memiliki apa yang disebut sepasukan
pengawal. Meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa
kita sama sekali tidak memerlukan lagi kekuatan diluar
pasukan pengawal itu. Pasukan pengawal sekedar
penggerak utama. Selanjutnya akan tergantung kepada
anak-anak muda seluruhnya" sahut Ki Sanggarana.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa bersama Mahisa Pukat, mereka akan diminta untuk
memberikan sedikit tuntunan bagi anak-anak muda yang
akan disebut dengan pasukan pengawal Kabuyutan itu.
"Tetapi disini ada Ki Waruju" berkata Mahisa Murti di
dalam hatinya, sehingga dengan demikian maka tugasnya
akan lebih ringan, karena Ki Waruju tentu akan mampu
melakukan lebih banyak hal daripada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Karena itu anak muda" Ki Sanggarana melanjutkan
"kami akan minta kalian berdua untuk tetap tinggal
Setidak-tidaknya untuk beberapa saat lamanya. Kami
sangat memerlukan bimbingan kalian untuk membentuk
satu pasukan yang akan mampu berbuat sesuatu sebelum
kami sempat mohon bantuan ke Gagelang"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
sambil memandang Ki Waruju Mahisa Murti berkata "Ki
Sanggarana kami tidak akan berkeberatan Tetapi disini ada
Ki Waruju dan seorang murid Ki Sarpa Kuning yang telah
memilih jalan yang benar datam sisa hidupnya yang masih
panjang" Ki Sanggarana memandang kearah Ki Waruju yang
duduk termangu-mangu. Namun katanya kemudian
"Sebenarnyalah kami akan memohon kepada Ki Waruju.
Tetapi kami tidak akan dapat menyatakannya dengan
terbuka sebagaimana kami menyatakan kepada kedua anak
muda yang sebaya dengan anak-anak muda yang akan
menjadi pasukan pengawal di Kabuyutan Talang Amba.
Sebenarnyalah kami merasa sangat segan. Apakah kami
berhak untuk memohon kepadanya"
Mahisa Murti tersenyum. Bahkan Ki Warujupun
tersenyum pula sementara Mahisa Pukat melanjutkan
Bukankah demikian Ki Waruju. Aku berharap bahwa Ki
Waruju tidak berkeberatan. Aku dan Mahisa Murti akan
membantu sejauh kami lakukan"
Ki Waruju justru tertawa. Katanya "Jadi Mahisa Pukat
minta kepadaku atas nama orang-orang Talang Amba?"
"Ya" jawab Mahisa Pukat "Karena orang-orang Talang
Amba tidak berani menyatakannya secara langsung"
Ki Waruju masih tertawa. Kalanya "Baiklah. Aku tidak
berkeberatan. Tetapi aku minta, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat membantuku disini"
"Aku hanya akan mengawani saja disini" jawab Mahisa
Pukat sambil tersenyum pula.
"Terima kasih Ki Waruju" sahut Ki Sanggarana
"sebenarnyalah aku memang sangat mengharapkan.
Mudah-mudahan dengan, demikian. Kabuyutan ini
bukannya sekedar Kabuyutan yang tidak mempunyai arti
sama sekali, karena tidak mempunyai kemampuan sama
sekali untuk melindungi diri sendiri"
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat
kemauan yang menyala di hati orang-orang Talang Amba
untuk memiliki satu kemampuan melindungi diri mereka
sendiri. Hutan di lereng bukit itu nampaknya menarik
perhatian orang-orang tertentu, bukan untuk dipelihara,
tetapi untuk dimusnahkan, karena hutan itu ternyata
merupakan sumber kesuburan dari lembah di sekitarnya.
Bukan saja Kabuyutan Talang Amba yang memiliki daerah
di lereng bukit berhutan itu, tetapi untuk daerah yang lebih
luas. Beberapa Kabuyutan disekitar Kabuyutan Talang
Amba juga menggantungkan air bagi sawah dan
pategalannya dari sungai-sungai yang bermata air di lereng
pegunungan itu. Karena itu, maka Ki Waruju itupun kemudian berkata
"Kemauan yang kuat yang membayang di wajah-wajah
orang-orang Talang Amba memang memberikan kepastian,
bahwa kalian akan bersungguh-sungguh. Jika demikian,
maka kita akan segera mulai. Aku dan barangkali juga
angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu
lama berada di Kabuyutan ini"
"Kalian akan menunggu sampai hari wisuda" berkata Ki
Sendawa. Tetapi Ki Waruju menjawab "Kapan hari wisuda itu
diadakan. Sementara itu, Akuwu di Gagelang yang akan
mewisuda itupun masih belum ditentukan"
"Tidak akan menjadi soal" jawab Ki Sendawa "sebab
orang yang mendapat wewenang melakukan tugas Akuwu
itupun berhak melakukannya atas ijin Singasari. Karena itu.
sebaiknya kalian menunggu hari itu. Jika kalian bersedia,
hal itu akan berarti satu kenormatan yang tidak terhingga
bagi kami. Apalagi jika angger Mahisa Bungalan itu
bersedia pula hadir bersama para Senopati prajurit Singasari
itu" "Aku belum dapat mengatakan apa-apa, Ki Sendawa"
jawab Ki Waruju "tetapi sebaiknya kita segera saja mulai.
Jika hari wisuda itu tidak terlalu lama, maka kami tentu
masih ada disini. Tetapi jika hari wisuda itu masih terlalu
lama, maka kami tentu saja tidak akan dapat menunggu"
"Baiklah" jawab Ki Sendawa "Yang penting bagi kami,
kesediaan Ki Waruju untuk menempa anak-anak kami,
sehingga dengan demikian Kabuyutan ini akan mendapat
penilaian yang lain dari keadaan masa lampau yang suram
itu" Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya, anak-anak
muda Talang Amba telah dipersiapkan untuk mendapat
tuntutan oiah kanuragan. Mereka menyadari, bahwa hutan
di lereng bukit itu adalah sesuatu yang sangat berharga,
yang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya.
Kemungkinan masih ada, bahwa ada pihak yang ingin
memusnahkannya. Jika perlu bahkan mungkin akan
dilakukan dengan kekerasan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun ternyatj kemudian
telah bekerja keras pula untuk kepentingan anak-anak muda
Talang Amba. Seperti yang dilakukan oleh Ki Waruju,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bekerja keras
sebagaimana anak-anak muda talang Amba.
Pada saat yang demikian, maka di Gagelangpun telah
dilakukan latihan-latihan yang keras. Anak-anak muda
yang memenuhi panggilan pan pemimpin Pakuwon
Gagelang untuk menjadi pasukan pengawal telah mengikuti
latihan-latihan yang berat.
Beberapa orang Senopati dari Singasari telah berada di
Gagelang, membantu para Senopati yang masih ada di
Gagelang untuk membentuk satu pasukan yang memadai di
Gagelang. Meskipun sebagian dari pasukan Gagelang yang
ditangkap telah dibebaskan dan dikembalikan ke
kesatuannya, namun Gagelang masih memerlukan pasukan
yang lebih kuat untuk menjaga segala kemungkinan yang
dapat terjadi. Seperti Talang Amba, maka para pemimpin yang
melakukan tugas di Gagelang, merasa perlu untuk
menyusun pasukan yang kuat. Tidak mustahil bahwa
Pangeran yang semula membayangi kekuasaan Akuwu di
Gagelang itu telah mengambil satu sikap yang keras bagi
Gagelang. Anak-anak muda yang menyatakan dirinya menjadi
pasukan pengawal di Gagelang telah dibagi dalam
kelompok-kelompok yang kecil untuk mendapat latihan
yang lebih terperinci. Mereka mendapatkan latihan-latihan
perang gelar dan kemampuan secara pribadi. Agar mereka
tidak tertinggal oleh perkembangan kemungkinan yang
tidak dikehendaki, maka anak-anak muda yang memasuki
lingkungan pasukan pengawal itu harus bekerja keras.
Hampir tidak ada kesempatan baei anak-anak muda itu
untuk beristirahat. Di siang hari mereka berlatih olah
kanuragan dan perang gelar, sedangkan dimalam hari
mereka berlatih untuk mempertajam panca indera mereka,
terutama indera penglihatan dan pendengaran. Perang
dalam kegelapan merupakan acara latihan yanp
memerlukan ketekunan dan ketabahan hati.
Tetapi ternyata anak-anak muda di Talang Amba bekerja
keras pula sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda
yang memasuki pasukan pengawal di Gagelang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempa anakanak
muda itu dengan cara mereka, Anak-anak muda itu
telah mendapat latihan siang dan malam pula. Bahkan
kadang-kadang membuat anak-anak muda Talang Amba
mengeluh kelelahan. Tetapi oleh tekad yang menyala di
dalam hati, maka anak-anak muda itu tidak melangkah
surut. Namun Ki Warujulah yang memberikan beberapa
petunjuk kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa
anak-anak muda yang sedang berlatih itu bukan
sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri.
"Mereka adalah anak-anak muda yang baru mulai"
berkata Ki Waruju "Karena itu, cara yang kalian
pergunakan agaknya terlalu berat bagi mereka. Cobalah
menyesuaikan diri dengan kemungkinan yang ada pada diri
anak-anak muda itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mengerti juga
maksud Ki Waruju. Mereka kemudian menyadari, bahwa
anak-anak muda Talang Amba itu belum memiliki kesiapan
sebagaimana mereka berdua.
Dengan demikian, maka merekapun mulai mencari
kemungkinan yang lebih baik bag anak-anak muda Talang
Amba itu. "kami ingin meningkatkan kemampuan mereka secepatcepatnya"
berkata Mahisa Murti kepada Ki Waruju. Lalu
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin kami tidak akan dapat terlalu lama tinggal di
Kabuyutan ini. Bukankah kami meninggalkan rumah kami
untuk satu pengembaraan, agar kami mendapatkan
pengalaman yang cukup dihari-hari mendatang. Namun
ternyata bahwa cara yang demikian itu kurang
menguntungkan bagi anak-anak muda Talang Amba
sebagaimana yang Ki Waruju katakan"
"Jangan tergesa-gesa. Jika kalian berada disini, itupun
merupakan satu pengalaman yang baik bagi pengembaraan
kalian. Kalian akan melihat perkembangan dari sekelompok
anak-anak muda yang merasa dirinya bertanggung jawab
bagi masa depan. Bukan masa depan mereka sendiri, tetapi
masa depan kampung halamannya" jawab Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun rasa-rasanya untuk menetap disatu tempat terlalu
lama, mereka seakan-akan telah kehilangan waktu.
Namun mereka ternyata berniat juga untuk memenuhi
permintaan Ki Waruju. Apalagi karena kemudian Ki
Waruju sendiri telah ikut pula menangani anak-anak muda
Talang Amba sebagaimana pernah disanggupkannya.
Anak-anak muda Talang Amba telah dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil untuk berlatih siang malam
kecuali untuk kepentingan tertentu. Namun mereka justru
telah dibagi dalam kesempatan yang berbeda-beda agar
waktu mereka tidak seluruhnya dirampas untuk
meningkatkan kemampuan mereka.
Dengan pembagian waktu yang sebaik-baiknya, seorang
anak muda masih sempat pergi ke sawah dan ladangnya
untuk membantu memelihara tanaman dan mengatur air.
Dengan tertib Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Ki
Waruju telah membagi bukan saja waktu tetapi juga unsurunsur
yang mereka berikan kepada anak-anak muda Talang
Amba itu. Ki Waruju telah mendapat bagian untuk
memberikan kemampuan kanuragan secara pribadi. Anakanak
muda Talang Amba telah mendapat petunjuk,
bagaimana mereka harus membela diri dalam keadaan
tertentu dengan atau tidak dengan senjata. Sementara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat tugas
untuk mengajari anak-anak Talang Amba mempergunakan
segala macam senjata. Namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah membagi diri pula dalam tugas mereka. Mahisa
Murti mengajari anak-anak muda Talang Amba
mempergunakan senjata bertangkai panjang, sementara
Mahisa Pukat mengajari anak-anak muda Talang Amba
mempergunakan senjata yang lebih pendek.
Jika Mahisa Murti mengajari anak-anak muda itu
mempergunakan tombak, trisula bertangkai panjang,
canggah dan bahkan senjata lontar, maka Mahisa Pukat
mengajari anak-anak muda itu mempergunakan pedang,
trisula bertangkai pendek, luwuk, bindi dan sebagainya.
Anak-anak muda Talang Amba dapat memilih, yang
manakah yang paling sesuai dengan anak-anak muda, itu
masing-masing. Namun secara umum mereka harus
menguasai segala macam senjata yang dapat mereka
ketemu kan. Karena itu, maka secara umum mereka
bergantian mendapat tuntunan dari Ki Waruju, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka yang condong
mempergunakan senjata bertangkai panjang, akan lebih
banyak berhubungan dengan Mahisa Murti, sementara
yang lebih mantap mempergunakan senjata pendek, akan
lebih sering berhubungan dengan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka ternyata anak-anak muda
Talang Amba itupun setingkat demi setingkat telah menjadi
semakin mapan dalam olah kanuragan. Meskipun apa yang
mereka pelajari itu baru sekedar ilmu yang masih mendasar
sekali, namun ilmu itu akan dapat bermanfaat bagi mereka.
"Hutan di lereng bukit itu memerlukan pengawal yang
tangguh" berkata Ki Waruju kepada anak-anak muda itu
"pada satu saat mungkin akan datang sekelompok orang
yang dengan tanpa menghiraukan kewenangan Buyut di
Talang Amba, langsung saja merusak hutan itu, karena
mereka merasa memiliki kekuatan. Nah, pada saat yang
demikian, maka kalian mendapat tantangan yang harus
mampu kalian jawab" Anak-anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk.
Hal itu tidak mustahil terjadi. Pengalaman mereka telah
mengatakan, bahwa hutan di lereng bukit itu memang
menjadi sasaran sebagaimana telah terjadi di beberapa
tempat yang lain. "Kalian memang dapat memohon perlindungan dari
Akuwu di Gagelang, tetapi sebelum perlindungan itu
datang, kalian harus melindungi diri kalian sendiri" berkata
Ki Waruju lebih lanjut. Lalu "Apalagi kini Gagelangpun
baru membentuk dirinya setelah tubuh Pakuwon itu
dikoyak-koyak oleh Akuwu Gagelang itu sendiri"
Anak-anak muda Talang Amba menjadi semakin
mantap dan merasa bertanggung jawab sepenuhnya.
Merekapun mengerti, apa yang telah terjadi di Gagelang.
Gagelang memang baru memperkuat dirinya dengan
pasukan yang baru dibentuknya.
Yang terjadi di Gagelang memang satu kesibukan yang
tinggi. Tetapi berbeda dengan anak-anak muda Talang
Amba. Mereka yang menyatakan diri menjadi pengawal di
Gagelang, telah menyerahkan segala waktu dan
kesempatannya untuk dipersiapkan menjadi pengawal
sentuhnya, sehingga dengan demikian mereka mendapat
kesempatan untuk menempa diri lebih baik dari anak-anak
Talang Amba. Namun demikian, kemajuan anak-anak
muda Talang Amba juga tidak mengecewakan.
Dalam pada itu, sebenarnyalah yang dicemaskan oleh
orang-orang Gagelang dan orang-orang Talang Amba. Pada
saat yang demikian. Pangeran Lembu Sapdata dari Kediri
yang merasa terpukul oleh peristiwa di Talang Amba itu,
tidak dapat melupakan peristiwa itu begitu saja. Ketika ia
melarikan diri dari medan di Talang Amba, rasa-rasanya
jantungnya telah terbakar oleh dendam. Pengkhianatan dari
sebagian pengawal di Gagelang terhadap Akuwu dan
rencananya, telah membuat Pangeran itu berniat untuk
menghancurkan Gagelang dan sekaligus Talang Amba dan
hutan di lereng bukit itu.
Tetapi Pangeran Lembu Sapdata tidak dapat dengan ter
gesa-gesa melepaskan dendamnya. Ia memerlukan kekuatan
dan sekaligus mengamati apa yang telah terjadi di Gagelang
dan Talang Amba. "Semakin lama mereka akan menjadi semakin kuat"
berkata Pangeran Lembu Sapdata kepada beberapa orang
saudara-saudaranya yang mempunyai pendirian yang sama
"menurut beberapa orang pengamat yang aku perintahkan
untuk melihat-lihat perkembangan keadaan di Gagelang
dan Talang Amba. mereka memberikan beberapa
keterangan tentang usaha Gagelang untuk memulihkan
kekuatannya. Beberapa bagian dari para pengawal yang
telah membantu usaha Akuwu di Gagelang, telah ditangkap
dan dibawa ke Singasari. Sebagian dari mereka mendapat
kesempatan untuk kembali kedalam lingkungan pasukan
pengawal. Namun ternyata bahwa kekuatan Gagelang telah
jauh susut. Untuk memenuhi kebutuhan, Gagelang telah
memanggil anak-anak muda untuk dilatih menjadi
pengawal Tetapi sudah tentu, bahwa mereka membutuhkan
waktu untuk menempa anak-anak muda itu sehingga
mereka benar-benar menjadi seorang pengawal yang
cukup" "Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
saudara-saudaranya. "Mumpung kekuatan itu belum pulih kembali" jawab
Pangeran Lembu Sapdata. "Apakah tidak ada kekuatan Singasari yang berada di
Gagelang?" bertanya salah seorang saudaranya.
"Tidak ada. Yang ada hanya beberapa orang Senopati
Singasari yang membantu para pemimpin pengawal yang
tersisa untuk melatih anak-anak muda yang memasuki
kesatuan pengawal yang baru dibentuk" jawab Pangeran
Lembu Sapdata. Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Salah seorang
diantara mereka kemudian bertanya "Bagaimana dengan
orang-orang Talang Amba?"
"Menurut laporan, nampaknya Talang Ambapun telah
bersiap-siap. Tetapi aku tidak mempertimbangkannya
dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dilakukan oleh
orang-orang Talang Amba" Jika pasukan Gagelang pada
saat menyerang Talang Amba dapat dihalau, ternyata sama
sekali bukan karena kemampuan orang-orang Talang
Amba. Ketajaman penglihatan para pemimpin Singasari
ternyata dapat membuat perhitungan yang tepat, sehingga
mereka dapat memperdayakan orang-orang Gagelang.
Seolah-olah mereka telah melawan kekuatan Gagelang
yang tidak tertembus. Tetapi kemudian dapat aku Ketahui
bahwa yang ada di Talang Amba waktu itu adalah prajuritprajurit
Singasa ri" Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Merekapun
telah mendengar sebelumnya apa yang telah terjadi di
Gagelang. Namun merekapun sependapat, bahwa mereka
tidak boleh menunggu pasukan pengawal, Gagelang
menjadi semakin kuat. "Kita memang dapat melakukan dengan segera" berkata
salah seorang saudaranya "bagi kita yang penting bukan
lagi hutan di lereng bukit itu. Tetapi harga diri kami yang
tersinggung karena kegagalan itu. Meskipun Singasari tidak
akan mudah menelusuri, siapakah yang sebenarnya berada
di belakang Akuwu Gagelang waktu itu, namun kegagalan
itu rasa-rasanya telah menusuk hati kami"
"Tidak ada yang mengetahui, siapakah sebenarnya aku"
berkata Pangeran Lembu Sapdata "kecuali Akuwu di
Gagelang yang terbunuh itu. Dengan demikian, maka
sepeninggal Akuwu. aku tidak merasa cemas sama sekali,
bahwa orang-orang Singasari akan dapat menelusuri
siapakah sebenarnya yang telah mendorong Gagelang
melawan kekuatan Singasari"
"Tetapi Singasari akan dapat melakukan satu langkah
yang kasar terhadap Kediri" berkata saudaranya yang
bertubuh tinggi. "Kasar bagaimana?" bertanya Pangeran Lembu Sapdata.
"Orang-orang yang mengenalmu di Gagelang dapat
dihadapkan kepada semua orang yang dicurigai di Kediri.
Bahkan semua Pangeran di Kediri dapat dipanggil untuk
dikenali seorang demi seorang"
"Tentu tidak" jawab Lembu Sapdata "itu tidak mungkin
dilakukan. Tetapi jika demikian, agaknya akan lebih baik.
Saudara-saudara kita yang selama ini tertidur dan tidak
menghiraukan lagi hubungan antara Singasari dan Kediri,
tentu akan terbangun. Mereka akan merasa, betapa sakitnya
menjadi orang yang berada dibawah kekuasaan orang lain"
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Pendapat
Lembu Sapdata itu memang masuk akal. Dan agaknya
Singasari memang tidak akan berani mengambil langkah
yang demikian. Dalam pada itu Pangeran Lembu Sapdatapun berkata
selanjutnya "Namun dalam pada itu, tanpa orang lain, kita
akan berjalan terus. Rencana jangka panjang itu harus
dilakukan, sehingga pada satu saat, Singasari menjadi
lemah, sementara kita disini benar-benar telah terbangun
untuk mengambil langkah yang lebih baik, sehingga
akhirnya Kediri akan bangkit sebagaimana seharusnya satu
negara yang besar" "Kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang
cermat sebelum kita melangkah. Kegagalan di Talang
Amba itu merupakan satu pengalaman yang sangat berarti
bagi kita" Tetapi sementara mereka berbincang tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan
untuk memperlemah Singasari, tiba-tiba saja Pangeran
Lembu Sabdata berkata "Tetapi sebenarnya hubungan
dengan Gagelang dan Talang Amba telah dipengaruhi oleh
persoalan lain" "Persoalan apa?" bertanya salah seorang diantar
Saudara-saudaranya. "Harga diri" jawab Pangeran Sabdata "rasa-rasanya aku
telah dibebani oleh perasaan dendam terhadap orang-orang
Talang Amba dan orang-orang Gagelang. Terutama mereka
yang telah membuat segala rencana ini menjadi gagal. Jika
semua orang Gagelang saat itu patuh kepada Akuwu,
maka,aku kira, Gagelang akan dapat mengalahkan orangorang
Singasari yang berada diantara orang-orang Talang
Amba" "Kita akan membual perhitungan. Tetapi kita memang
harus membuat perhitungan yang cermat" jawab salah
seorang diantara para Pangeran yang sedang berbincang itu.
"Kau benar" jawab Lembu Sabdata "tetapi seperti aku
katakan. Talang Amba bukan apa-apa. Karena itu, rasarasanya
aku ingin kembali ke Talang Amba. Aku ingin
menghancurkan hutan itu. Aku ingin mengambil jalan yang
lebih dekat untuk memusnakan hutan itu"
"Bagaimana?" bertanya salah seorang saudaranya.
"Jika kita menebangi hutan selama ini, maka
persoalannya karena kita tidak ingin menarik perhatian
Singasari. Dengan diam-diam kita memusnakan hutanhutan
yang ada di lereng-lereng pegunungan. Namun
sebenarnya kita dapat mengambil jalan yang lebih dekat"
jawab Pangeran Lembu Sabdata.
"Apakah kau dapat menyebut cara itu?" bertanya yang
lain. "Kita dapat membakar hutan itu" jawab Pangeran
Lembu Sabdata "apalagi dengan dendam yang menyala di
hati. Hutan di lereng bukit itu akan musna menjadi debu"
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan" berkata seorang
Pangeran yang lain "dengan demikian, maka Singasari akan
semakin tertarik dan mungkin Singasari akan berbuat jauh
lebih banyak dari yang dilakukannya sekarang"
Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya "Talang Amba memang sudah
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi daerah pengamatan Singasari. Tetapi Singasari
tidak menempatkan pasukannya di Talang Amba dan di
Gagelang. Mungkin Singasari merasa bahwa pasukan
Gagelang yang disusun demikian kuatnya, sehingga akan
dapat mengatasi segala kesulitan yang dapat timbul"
"Apakah itu bukan sekedar gelar ujud lahiriahnya saja?"
sahut saudaranya yang bertubuh tinggi "Kau akan dapat
terjebak lagi. Anak-anak muda yang dilatih di Gagelang itu
sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari dalam ujud
samarannya sebagaimana mereka berada di Talang Amba.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata menggeleng, jawabnya
"Kali ini aku tidak akan terjebak. Aku telah meletakkan
beberapa orang kepercayaanku untuk mengamati keadaan
di Gagelang. Orang-orangku melihat anak-anak muda itu
datang dari beberapa sudut kota Gagelang. Mereka melihat,
bagaimana para Senapati di Gagelang mengadakan
pendadaran. Dan merekapun melihat kelompok-kelompok
itu mulai berlatih. Diantara para pelatih memang terdapat
beberapa orang yang dikirim oleh Singasari"
Seorang Pangeran yang bertubuh gemuk berkata "Kita
jangan terpancing oleh persoalan-persoalan kecil seperti itu.
Dendam dan kebencian harus kita singkirkan, agar dengan
demikian rencana kita dalam keseluruhan akan dapat kita
laksanakan" "Tetapi yang akan aku lakukan sejalan dengan rencana
itu dalam keseluruhan" jawab. Pangeran Lembu Sabdata
"Aku sudah membayangkan satu pembalasan yang
menyenangkan. Bukan saja hutan di lereng bukit yang akan
menjadi abu, tetapi beberapa padukuhan di Talang Amba.
Terutama padukuhan-padukuhan yang telah dipergunakan
oleh orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari
menggagalkan rencanaku di Talang Amba itu. Bahkan
dengan demikian, maka yang nampak lebih jelas adalah
justru unsur balas dendamku kepada orang-orang Talang
Amba daripada pembakaran hutan itu sendiri"
Saudara-saudaranyapun kemudian mengangguk-angguk.
Agaknya mereka memang tidak akan imungkin
menenangkan hati Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi
nampaknya hatinya tidak sekedar panas dibakar oleh
dendamnya. Tetapi ia masih juga memperhitungkan segala
macam hubungan dengan rencana besar sebagian para
bangsawan di Kediri yang menjadi jemu berada dibawah
pemerintahan Singasari. "Segalanya masih mungkin dilakukan" berkata seorang
Pangeran yang rambutnya mulai berubah "tetapi jangan
terlalu tergesa-gesa. Perhitungan yang cermat akan dapat
banyak menolong kita dari kesulitan-kesulitan yang
mungkin terjadi" "Aku mengerti" jawab Pangeran Lembu Sabdata
"Akupun tidak menjadi mata gelap. Tetapi aku masih dapat
berpikir dengan tenang meskipun dendamku menyala di
dalam dadaku" "Sukurlah" jawab yang lain "buatlah rencana yang
masak. Kita masih akan membicarakannya sekali lagi
sebelum kau dapat bertindak. Kami merasa wajib untuk
ikut mencampuri rencanamu, karena langkah yang kau
ambil akan dapat menyagkut kami semuanya"
"Ya" sambung Pangeran yang sudah mulai berubah
"Kita akan membantu. Tetapi dengan sangat hati-hati"
Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata saudara-saudaranya menjadi semakin berhati-hati.
Tetapi ia yakin bahwa saudara-saudaranya tidak akan
membiarkannya berbuat sendiri di Talang Amba yang telah
menyakiti hatinya sehingga dendam telah menyala di
hatinya itu. Namun bagi Pangeran Lembu Sapdata, Talang Amba
memang bukan apa-apa. Ia akan dapat dengan mudah
memaksa Talang Amba menyerah dan membiarkannya
membuat gunung itu menjadi gundul. Bahkan orang-orang
Talang Amba tidak akan mampu mencegahnya membuat
Kabuyutan Talang Amba itu sendiri menjadi karang abang.
Perhatian Pangeran Lembu Sapdata lebih banyak
ditujukan kepada Gagelang. Namun ia akan dapat
bertindak cepat. Menghancurkan Talang Amba sebelum
Gagelang sempat berbuat sesuatu. Bahkan kemudian
dengan bantuan saudara-saudaranya, maka Gagelang
itupun akan dihancurkannya juga, karena Gagelang telah
mengkhianatinya. Yang harus diperhatikan oleh Pangeran Lembu Sapdata
itu adalah campur tangan pasukan Singasari dengan cara
sebagaimana telah dilakukan di Talang Amba.
Karena itu, maka orang-orangnya harus benar-benar
mengamati apakah di Talang Amba hadir orang-orang yang
pantas dicurigai. Sebenarnyalah tidak ada kekuatan Singasari yang berada
di Talang Amba. Namun satu kesalahan bagi Pangeran
Lembu Sapdata, bahwa ia tidak memperhitungkan usaha
orang-orang Talang Amba untuk menempa diri.
"Latihan-latihan itu diadakan setiap saat. Setiap kali
anak-anak muda Talang Amba mempunyai waktu setelah
mereka bekerja di sawah" berkata salah seorang yang
mengamati Kabuyutan Talang Amba itu.
"Apa yang dapat mereka lakukan. Latihan-latihan yang
mereka lakukan tidak akan banyak membawa hasil.
Sementara di Gagelang, yang memiliki Senopati-senopati
terlatih, masih harus dibantu oleh para Senopati dari
Singasari. Apalagi Talang Amba yang tidak mempunyai
pelatih yang berbobot" jawab Pangeran Lembu Sapdata.
"Ada dua orang anak muda disana" jawab orang yang
mengamati keadaan "merekalah yang memberikan latihanlatihan
kepada anak-anak muda Talang Amba itu. Agaknya
keduanya juga mempunyai ilmu yang pantas untuk
diperhatikan" "Apakah latihan-latihan orang Talang Amba seberat
orang-orang Gagelang?" bertanya Pangeran Lembu
Sapdata. "Ah, tentu tidak Pangeran. Tidak ada seperlimanya.
Anak-anak muda Talang Amba hanya melakukannya jika
mereka sempat. Setelah mereka bekerja di sawah dan di
ladang" jawab orang-orang kepercayaannya.
Pangeran Lembu Sapdata mengangguk-angguk. Katanya
"jika demikian, maka perkembangan ilmu orang-orang
Talang Amba itu benar-benar tidak berarti. Karena itu, kau
dan kawan-kawanmu harus benar-benar mengamati agar
Talang Amba tidak disisipi oleh orang-orang Singasari atau
orang-orang Gagelang yang mungkin telah
memperhitungkan dendam yang mungkin akan membakar
Kabuyutan mereka" Namun dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang
Talang Amba telah bekerja jauh lebih keras dari yang
diperkirakan. Sejak Mahisa Murti dan Manisa Pukat
memasuki Kabuyutan itu, maka mereka sudah melihat
gejolak perasaan orang-orang Talang Amba. Meskipun saat
itu telah terjadi benturan diantara mereka sendiri, tetapi
orang-orang Talang Amba, terutama anak-anak mudanya
telah bersiap-siap menghadapi kekerasan. Mereka telah
menyiapkan senjata yang akan dapat mereka pergunakan
untuk membela diri. Meskipun senjata itu adalah senjata
yang sederhana saja, namun dengan senjata itu seseorang
memang akan dapat melumpuhkan lawannya.
Hampir setiap pande besi yang ada di Talang Amba telah
membuat senjata. Pedang, tombak dan senjata-senjata lain
yang akan dapat berarti bagi anak-anak muda. Meskipun
pada saat itu orang-orang Talang Amba termasuk anakanak
mudanya masih belum memiliki ilmu yang berarti
dalam mempergunakan senjata. Apalagi senjata-senjata
yang sangat sederhana itu.
Namun dengan kehadiran Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan apalagi Ki Waruju, maka anak-anak muda Talang
Amba yang telah bertaut kembali setelah mereka terpisah
untuk beberapa saat diantara kelompok-kelompok yang
berpihak Ki Sendawa dan yang berpihak Ki Sanggarana,
menjadi semakin bergairah untuk menempa diri.
Dengan gelora yang menyala di dalam setiap dada, maka
anak-anak Talang Amba telah dengan sungguh-sungguh
dan tekun menempa diri mereka. Dengan mematuhi segala
macam petunjuk dari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki
Waruju, maka anak-anak muda Talang Amba itu benarbenar
telah maju dengan cepat. Bahkan pada saat-saat
mereka berada di sawah, diladang dan dimanapun juga,
mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mereka
dapatkan. Ketika mereka berada disungai, maka mereka
telah melatih keseimbangan mereka dengan berlari-lari dan
berloncatan dari batu ke batu. Di pematang, mereka telah
berlari-lari dan meloncati parit-parit. Diladang, mereka
melatih kemampuan tangan mereka dengan berayun di
dahan-dahan dan menghunjamkan jari-jari tangan mereka
yang mengembang kedalam seonggok pasir. Memukuli
gundukan tanah dan batang-batang pisang yang sudah
waktunya ditebang. Apalagi jika mereka telah berada di dalam kelompokkelompok
yang siap untuk menerima tuntutan berlatih
mempergunakan senjata atau ketangkasan gerak. Maka
mereka mempergunakan kesempatan itu dengan sebaikbaiknya.
Orang-orang yang mendapat tugas mengamati keadaan
di Talang Amba melihat juga latihan-latihan yang
diselenggarakan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi
merekapun berpendapat sebagai mana Pangeran Lembu
Sapdata. Apa yang dapat mereka pelajari dalam waktu yang
sempit dan cara yang1 kurang mapan itu".
Sebenarnyalah, betapa kerasnya orang-orang Talang
Amba rnemeras keringat untuk menempa diri, tetapi
kemajuan mereka bukanlah satu loncatan panjang yang
lang. sung dapat mengimbangi kemampuan para prajurit di
Singasari atau para pengawal di Gagelang. Meskipun anakanak
muda di Talang Amba itu maju setingkat demi
setingkat, namun tidak ada satu keajaiban yang dapat
membuat mereka tiba-tiba memiliki kemampuan seorang
pengawal. Hal itu agaknya dimengerti juga oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Apalagi Ki Waruju. Tetapi yang dapat
mereka lakukan itu adalah yang terbaik dari segala pilihan
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
di Talang Amba. Dalam pada itu. Pangeran Lembu Sapdata tidak mau
terlambat menghadapi keadaan. Dendamnya telah
membakar seisi dadanya. Betapa sakitnya jika Pangeran itu
mengenang, bagaimana ia harus melarikan diri dari arena
pertempuran. Kemudian seperti binatang buruan ia
meninggalkan daerah Gagelang yang diharapkan dapa
dikuasainya. "Aku harus mendapatkan kesempatan untuk menangkap
anak muda yang melawan aku dipertempuran itu" berkata
Pangeran Lembu Sapdata di dalam hatinya "sekaligus
memusnahkan Talang Amba dan hutan di lereng bukit itu.
Meskipun kemudian orang Gagelang uan Singasari
mengetahui bahwa hutan itu telah dibakar oleh salah
seorang Pangeran dari Kediri, tetapi mereka tidak akan
segera mengetahui bahwa orang yang dicarinya adalah aku,
Pangeran lembu Sapdata. Jika Singasari bertindak kasar
terhadap para bangsawan di Kediri, adalah satu kesempatan
yang sangat diharapkan"
Demikianlah, maka segala persiapanpun telah dilakukan
oleh Pangeran Lembu Sapdata. Sepasukan pengawal
Kediri, justru yang terpilih telah disiapkan dengan diamdiam
diluar pengamatan para Panglimanya. Namun
agaknya perasaaan lain memang sudah mulai menjalar
diantara para pemimpin di Kediri. Namun beberapa orang
pemimpin masih berusaha menahan diri dan berusaha
menghindari benturan yang mungkin dapat terjadi. Apalagi
benturan kekerasan yang terbuka. Karena jika demikian,
Kediri justru akan mengalami kesulitan yang tidak akan
mungkin teratasi. Beberapa orang berusaha menghembuskan sikap bahwa
Kediri telah diperintah oleh Singasari. Meskipun setiap kali
Singasari meyakinkan, yang ada adalah satu lingkungan
keluarga besar yang hidup bersama. Bukan pihak yang
diperintah dan yang memerintah.
Dalam suasana yang demikian itulah, maka Pangeran
Lembu Sabdata telah melakukan rencananya untuk
membalas dendam kepada orang-orang Talang Amba. Dan
bahkan jika mungkin kemudian terhadap orang-orang
Gagelang. Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Lembu Sabdata
harus melakukan rencananya dengan hati-hati. Ia sadar
bahwa diantara para pemimpin di Kediri yang melihat
wajah muram dari beberapa orang bangsawan dan bahkan
mereka yang masih menahan diri, namun yang lain
merasakan betapa akrabnya hubungan mereka dengan
Singasari, karena Singasari memang bersikap sebagaimana
yang mereka katakan. Hidup dalam satu lingkungan
keluarga besar yang saling menghormati. Justru karena itu,
maka mereka merasa satu dengan Singasari.
Dengan persiapan yang rumit, maka akhirnya Pangeran
Lembu Sabdata lelah mendapatkan sekelompok orangorang
terpilih. Ia memang tidak memerlukan terlalu banyak
orang. Yang sedikit itupun akan mampu menghancurkan
sasarannya. Menjadikan Talang Amba neraka dan lereng
bukit itu menjadi abu. Sedemikian cermatnya persiapan itu dilakukan, sehingga
sekelompok pengawal yang dipergunakan telah dapat
dilepaskan dari tugasnya. Senopati yang memimpin
sekelompok pengawal itu membawa pasukannya seolaholah
untuk satu tugas pengamanan karena segerombolan
perampok yang ganas sedang mengancam ketenangan
hidup sebuah Kabuyutan yang terpencil.
Sementara itu, beberapa orang kepercayaan Pangeran
Lembu Sabdata pun telah mengamati Talang Amba dengan
cermat. Tidak ada orang asing yang menyusup kedalam
Kabuyutan itu. Yang ada hanyalah orang-orang Talang
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amba sendiri yang dungu dan pandir, karena mereka
merasa diri mereka akan mampu melindungi diri mereka.
Namun betapapun cermatnya orang-orang yang
dipasang oleh Pangeran Lembu Sabdata mengamati setiap
padukuhan di Talang Amba, namun mereka tidak melihat
ketika beberapa anak muda menyusup memasuki
padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Seorang anak muda itu ternyata telah menyusup masuk
kedalam sebuah pedati orang Talang Amba yang sedang
membawa hasil bumi ke pasar. Seorang perempuan yang
duduk di dalam pedati selelah mualannya dibongkar hampir
saja berteriak ketika tiba-tiba saja seseorang telah duduk
disampingnya. "Jangan berteriak" orang itu mengancam.
Perempuan itu bagaikan membeku. Namun terasa bahwa
tubuhnya gemetar. Ketika suaminya kemudian datang, maka orang itu
berdesis "Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat
mencelakakan isterimu. Aku tidak akan berbuat apa-apa
jika kau membantuku. Aku akan mengikutimu masuk ke
padukuhan induk Talang Amba. Bukankah kau orang
Talang Amba" Dari beberapa orang pedagang yang sering
berhubungan denganmu, aku mengetahui bahwa kau
adalah orang Talang Amba"
"Apa maksudmu sebenarnya?" bertanya pemilik pedati
itu "Jika kau hanya ingin pergi ke Talang Amba, maka kau
tidak usah memakai cara ini"
Orang yang ada di dalam pedati itu memandanginya
dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis "Lekas.
Jalankan pedatimu. Kita akan bersama-sama pergi ke
Talang Amba" Pemilik pedati itu tidak dapat menolak perintah anak
muda yang sudah ada di dalam pedatinya. Ia tidak mau
menerima akibat buruk atas isterinya jika ia menolak.
"Setelah sampai di Talang Amba, aku akan dapat
berbuat sesuatu atasnya" berkata pemilik pedati itu di
dalam hatinya. Demikianlah, akhirnya pedati itupun merayap mendekati
padukuhan induk Talang Amba. Disepanjang jalan, anak
muda yang berada di dalam pedati itu memang tidak
berbuat apa-apa. Ia duduk saja dengan tenang. Namun
agaknya anak muda itu sengaja tidak mau dilihat oleh
seseorang yang mungkin dijumpai diperjalanannya menuju
ke Talang Amba. Dengan cara itu,-maka anak muda itu dapat langsung
diantar ke rumah Ki Sanggarana yang untuk sementara
melakukan tugas sebagai Buyut di Talang Amba meskipun
secara resmi ia belum diwisuda. Bahkan Akuwu Gagelang
yang harus mewisudanyapun masih belum ditetapkan.
Kehadiran anak muda itu telah menarik perhatian
beberapa orang pemimpin Kabuyutan Talang Amba-.
Namun dihadapan para bebahu di Talang Amba anak
muda itu minta, agar kehadirannya dirahasiakan.
"Kau mempergunakan cara yang aneh untuk datang ke
Talang Amba ini" bertanya Ki Sanggarana.
"Bukan hanya aku" jawab anak muda itu "ada lima
orang yang akan datang dengan cara yang mungkin kalian
anggap aneh. Tetapi ketahuilah, bahwa Kabuyutan Talang
Amba sekarang telah dilingkari oleh pengawasan yang
ketat. Kehadiran orang asing akan sangat menarik
perhatian. "Apa maksudmu" bertanya Ki Sanggarana.
"Sekali lagi aku berpesan. Kehadiranku bersifat rahasia.
Juga pemilik pedati itu harus mengerti. Aku akan
mengancamnya jika ia mengetahui kehadiranku ini kepada
siapapun juga. Kepada anaknya atau kepada tetangganya.
Ia akan dapat dihukum mati" berkata anak muda itu.
Pemilik pedati itu menjadi cemas. Tetapi iapun
kemudian menjadi ketakutan ketika anak muda itu berkata
"Aku adalah petugas sandi dari Singasari"
Ki Sanggarana mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa
kehadiran petugas sandi dari Singasari dengan cara yang
khusus itu tentu berhubungan dengan peristiwa yang baru
saja terjadi di Talang Amha
Sebenarnyalah pada saat itu, ketika malam menyelimuti
Talang Amba, dua orang petani berjalan dipematang
dengan cangkul dipundaknya. Agaknya keduanya baru saja
membuka pematang sawahnya untuk mengaliri tanaman
padi mudanya dengan air parit yang tidak begitu lancar
dimusim kering. Keduanya sama sekali tidak menghiraukan ketika
mereka melihat seseorang melintas di jalan bulak didepan
mereka, seolah-olah mereka tidak melihatnya.
Namun demikian orang yang melintas itu menjauh,
seorang diantara mereka berkata "Aku curiga bahwa orang
itu bukan orang Talang Amba yang sedang pergi ke sawah.
Yang lain mengangguk. Katanya "Jika orang itu orang
Talang Amba, merekalah yang justru akan mencurigai kita.
Karena mereka tidak mengenal kita"
"Seperti yang sudah dilaporkan, Talang Amba mendapat
pengamatan dari pihak-pihak tertentu. Peristiwa yang baru
saja terjadi, memang bukan peristiwa yang dapat dianggap
selesai. Seorang Pangeran yang tidak dapat dikenali dari
Kediri yang berhasil melarikan diri itu tentu masih akan
membawa persoalan-persoalan berikutnya. Dan agaknya
perhitungan itu tidak salah" berkata orang yang pertama.
"Ya. Tetapi merekapun telah belajar dari pengalaman.
Mereka tidak mau terjebak lagi oleh kehadiran prajuritprajurit
Singasari, sehingga dengan demikian, mereka kini
melakukan pengamatan yang cermat. Orang itu tentu salah
seorang dari pengamat-pengamat yang ada disekitar
Kabuyutan ini" iawab kawannya.
"Tetapi ternyata mereka masih kurang cermat. Mereka
tidak melihat, siapa kita sebenarnya hanya karena kita
berjalan di pematang sambil memanggul cangkul"
Tetapi kawannya menyahut "Belum tahu. Mungkin
mereka mempunyai cara lain untuk mengamati kita"
Yang seorang mengerutkan keningnya. Tetapi orang
yang melintas itu telah menjadi jauh dan hilang dalam
keremangan malam. Ketika kedua orang itu telah meloncati parit dan berdiri
dijalan bulak yang menyilang, maka merekapun kemudian
memutuskan untuk cepat-cepat memasuki Talang Amba.
Mereka harus segera berada di padukuhan induk dan
langsung menuju ke rumah Ki Sanggarana.
"Jika kita sudah berada di dalam padukuhan itu, kita
justru akan dapat dengan diam-diam tanpa merasa cemas
menuju ke rumah Ki Sanggarana, karena Talang Amba tenrii.
sudah tertidur nyenyak" berkata salah seorang dari
mereka. "Tetapi anak-anak mudanya berada di gardu-gardu atau
sedang menempa diri" sahut kawannya.
"Kita akan melintasi halaman-halaman dan meloncati
dinding yang menyekat halaman-halaman itu" jawab yang
lain. Kawannya mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah,
ketika mereka telah memasuki padukuhan induk, maka
angkul yang mereka bahwa itupun telah mereka letakkan di
tempat yang tersembunyi. Kemudian seperti yang mereka
rencanakan, mereka menyusup kedalam melalui halaman
demi halaman. Sementara itu, dari sudut lain, dua orang merayap
mendekati padukuhan induk. Mereka tidak
mempergunakan menyamaran apapun juga. Tetapi mereka
telah beradu ketajaman pengamatan dengan orang-orang
Kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika keduanya yakin, bahwa tidak ada orang yang
melihatnya, maka keduanya telah meloncat masuk kedalam
padukuhan induk itu. Dan seperti dua orang yang
berpakaian petani, maka merekapun telah menyusup dari
halaman ke halaman menuju ke rumah Ki Sanggarana.
Mereka tidak mau dilihat oleh anak-anak muda yang
berada di gardu-gardu atau yang sedang berlatih di
halaman-halaman yang luas.
Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Singasar
seluruhnya telah berada di rumah Ki Sanggarana.
Dengan demikian, maka merekapun kemudian telah
menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi di Kabuyutan itu. sehingga mereka berlima
mendapat tugas untuk memasuki Kabuyutan itu dengan
rahasia. Agaknya Pangeran yang telah berhasil melepaskan diri
dari tangan orang-orang Talang Amba dan orang-orang
Singasari itu tidak dapat menerima kenyataan itu dengan
ikhlas. Karena itu. maka persoalan Talang Amba dengan
Pangeran itu agaknya masih belum selesai" berkata salah
seorang dari petugas sandi dari Singasari itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki
Watuju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
diPanggil dan ikut serta menemui kelima orang itupun
mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waruju
bertanya Apakah Ki Sanak berlima, atau salah seorang
diantara kalian membawa pertanda petugas sandi dari
Singasari?" Kelima orang itu saling berpandangan. Namun yang
tertua diantara merekapun kemudian sambil tersenyum
berkata Ki Sanak ternyata cukup cermat mengamati
kehadiran kami. Baiklah, barangkali Ki Sanak dapat
mengenali timang ini. Ki Waruju mengerutkan keningnya ketika orang itu
kemudian menunjukkan timangnya yang semula tertutup
oleh kain panjangnya. Sambil mengangguk-angguk Ki Waruju berkata "Aku
mengenali pertanda itu. Pertanda keprajuritan sebagaimana
dipakai oleh para prajurit Singasari"
"Ya. Kami adalah prajurit-prajurit Singasari pula.
meskipun dalam tugas sandi" jawab prajurit itu.
Pertanda dan sikap kelima orang itu telah
menghilangkan keragu-raguan orang-orang Talang Amba,
sehingga pembicaraan diantara merekapun dapat
berlangsung semakin mendalam.
"Ki Sanggarana" berkata salah seorang dari mereka atas
pertimbangan-pertimbangan itulah, maka Talang Amba
harus mengatur persiapan yang mantap. Tetapi kita tentu
tidak akan dapat mengulangi cara yang pernah kita lakukan
sebelumnya. "Maksud Ki Sanak" bertanya Ki Sanggarana.
Kita lidak akan dapat menyiapkan pasukan Singasari di
sekitar tempat ini, sehingga pada saat yang pendek akan
dapat digerakkan seperti yang pernah terjadi. Apalagi dalam
penyamaran yang dapat membingungkan lawan.
Pengalaman Pangeran dari Kediri itu merupakan guru yang
baik bagi mereka, sehingga mereka jauh sebelumnya telah
menebarkan pengawas-pengawas apakah ada kekuatan lain
yang berada di Talang Amba"
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Lalu katanya "Jadi
apakah yang sebaiknya kita lakukan"
"Aku belum dapat mengatakan sekarang Ki Sanak. Aku
masih harus melihat lihat keadaan. Mungkin dalam satu
dua hari ini. kami menemukan cara yang paling baik untuk
menjebak Pangeran yang mendendam itu" jawab petugas
sandi itu. Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Memang sulit
untuk menentukan sikap dengan tiba-tiba. Mereka harus
melihat keadaan dan medan yang akan mereka hadapi.
Namun pelugas sandi itupun kemudian berkata "Tetapi
adalah menjadi salu keharusan, bahwa Taiang Amba
bersiap sebaik-baiknya menghadapi segala, kemungkinan.
Dan kitapun telah dapal memperhitungkan, bahwa
kekuatan yang ada di Talang Amba sendiri lidak akan
mungkin dapat mengatasinya. Yang menjadi masalah
adalah, bagaimana kila memasukkan bantuan itu ke Talang
Amba lanpa diketahui oleh para pengawas. Kali ini kami
berlima dapat masuk dengan selamat. Bahkan seandainya
mereka mengetahui, mereka tentu akan mengabaikan
kehadiran kami. Tetapi jika yang memasuki padukuhan ini sekelompok
prajurit, maka sulitlah bagi kita untuk menghindari
pengamatan. Dan jika para pengawas itu mengetahui,
bahwa di padukuhan ini lerdapal prajurit-prajurit Singasari,
maka mereka tentu akan membual perhitungan-perhitungan
baru sehingga usaha kami untuk menjebaknya mungkin
akan gagal" "Kami mengerti" sahul Ki Waruju "dan agaknya
kamipun sependapat, bahwa kita akan melihat keadaan.
Justru unluk menentukan satu sikap yang tepat"
Demikianlah, maka para petugas sandi itupun lelah
berada di Talang Amba untuk menentukan langkah-langkah
yang akan dapat menjebak Pangeran yang lepas dari
Tangan prajurit-prajurit Singasari.
Namun dalam pada itu, Ki Warujupun telah bertanya
kepada salah seorang pelugas sandi itu "apakah Singasari
mendapat petunjuk bahwa Pangeran itu akan melakukan
balas dendam?" "Ya" jawab petugas sandi itu "petugas-petugas kami
yang lelah bekerja keras di Kediri setelah peristiwa itu,
menemukan petunjuk seperti itu. Ada beberapa
pertimbangan yang memperkuat dugaan bahwa Pangeran
itu akan mengambil langkah demikian. Bahkan bukan saja
terhadap Talang Amba, Tetapi mungkin juga dendam itu
tertuju kepada Gageiang. Namun Gagelang akan mampu
membuat dirinya menjadi kuai"
Ki Waruju mengangguk-angguk. Tetapi masih ada
beberapa hal yang kurang dimengertinya. Karena itu maka
iapun kemudian bertanya pula "Apakah dengan demikian
berarti bahwa Singasari telah menemukan Pangeran yang
telah melakukan pelawanan terhadap Singasari itu dan akan
melakukan balas dendam terhadap Talang Amba.
Petugas sandi itu menggeleng. Katanya "Bukan berarti
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian Ki Sanak. Singasari masih belum dapat
menemukan Pangeran yang lepas dari tangan kita itu.
Tetapi petugas-petugas sandi di Singasari mencium adanya
persiapan-persiapan justru dilingkungan para pengawal.
Kita tidak menutup mata melihat kemungkinan yang buruk
yang terjadi di Kediri. Sudah beberapa rambahan,
bangsawan-bang-sawan di Kediri melakukan perlawanan.
Beberapa kali Singasari harus mengambil kebijaksanaan
khusus. Dan kali ini hal itu terulang lagi. Bahkan kali ini
beberapa pihak di Kediri benar-benar dengan satu
keyakinan berusaha melepaskan diri dari kesatuan yang
besar bersama Singasari dan daerah-daerah yang lain,
sementara di beberapa saat yang lalu, persoalan agak
berbeda. Seorang yang menjadi kecewa telah mengambil
satu sikap, seakan-akan ia seorang pahlawan bagi saudarasaudaranya
di Kediri" Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia m enjadi jelas. Dan
iapun menganggap bahwa Singasari memang sangat
berhati-hati menghadapi sikap beberapa orang bangsawan
di Kediri, karena Singasari merasa dibebani oleh satu
kewajiban untuk memelihara satu ikatan persatuan yang
besar bagi seluruh wilayah Singasari.
"Karena itu, kita tidak akan dapat mencari Pangeran itu
di Kediri dengan cara yang kasar agar kita tidak semakin
melukai hati orang-orang Kediri" berkata petugas sandi itu
"tetapi kita harus memancingnya keluar dan menangkapnya
pada satu peristiwa yang memungkinkan"
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya "Jadi,
Singasari ingin menjebaknya disini" Usaha membalas
dendam. itu merupakan satu kesempatan yang ditunggu
oleh Singasari" "Tetapi persoalannya adalah, kita mengalami kesulitan
untuk memasang perangkap karena kita mempunyai
beberapa keterangan tentang pengamatan yang ketat
disekitar Talang Amba. Pangeran dari Kediri itu tidak akan
melakukan kesalahan yang sama" berkata petugas sandi itu.
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti
kesulitan para petugas Singasari itu. Jika orang-orang
Singasari itu menyusup dengan cara yang sama seperti yang
ditempuh oleh kelima petugas sandi itu, maka pada satu
saat, para pengawas dari Kediri itu tentu akan dapat
melihatnya. Dengan demikian, maka Pangeran itupun akan
membuat perhitungan baru sehingga mungkin sekali
rencananya akan diurungkan atau ditunda. Satu rencanarencana
lain yang belum dapat diduga.
Sementara itu Singasaripun mempunyai perhitungan,
bahwa untuk membantu mempertahankan Talang Amba
dari dendam dan sakit hati itu, memerlukan orang yang
cukup banyak. Apalagi menurut pendengaran pimpinan
petugas sandi atas dasar laporan-laporan dari Kediri, maka
sekelompok pengawal terpilih dari Kediri akan terlibat.
Demikianlah, para petugas sandi itu telah mempelajari
keadaan Talang Amba sebaik-baiknya. Diamatinya ujung
ke ujung padukuhan sampai padukuhan yang paling
kecilpun. Namun memang sulit bagi satu pasukan yang
cukup kuat untuk memasuki Kabuyutan Talang Amba
tanpa diketahui oleh para pengawas.
Para pengawas itu akan dapat saja berada dipadukuhan
di Kabuyutan tetangga. Atau mungkin di pategalan dan di
hutan-hutan kecil disebelah Talang Amba, sehingga dari
arah manapun pasukan itu masuk, maka pengawas itu tentu
akan dapat melihatnya. Karena itu, untuk menentukan cara yang akan diambil
oleh pasukan Singasari itupun masih belum dapat
diketemukan. Namun dalam pada itu, Ki Waruju yang ikut pula
memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, telah
berbicara dengan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, apakah
yang sebaiknya dilakukan untuk memberikan kemungkinan
pasukan Singasari berada di Talang Amba tanpa diketahui
oleh para pengawas dari Kediri.
"Kita tidak tahu, pengawas itu berada dimana. Tetapi
secara naluriah akupun percaya, bahwa pengawaspengawas
semacam itu memang ada" berkata Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata "Kita
ajak satu atau dua orang Singasari yang ada di Talang
Amba itu untuk mengikuti latihan-latihan yang kita
adakan" "Lalu?" bertanya Ki Waruju.
"Mungkin kemungkinan itu akan diketemukannya"
berkata Mahisa Murti kemudian "aku sering membawa
anak-anak muda itu berlari-lari kelereng bukit. Kadangkadang
memasuki hutan di lereng pegunungan untuk
memberikan latihan ketahanan tubuh dan ketrampilan"
"Ya" jawab Ki Waruju "tetapi yang kita perlukan adalah
jalan masuk" Mahisa Murti tiba-tiba saja tersenyum. Katanya
"Bagaimana jika kita berangkat dengan sepuluh orang
misalnya dan kembali dengan dua belas orang" Jika hal
yang demikian dilakukan berkali-kali, maka dalam beberapa
hari, kita akan mempunyai sejumlah prajurit Singasari yang
siap di Talang Amba"
Ki Waruju berpikir sejenak. Namun iapun kemudian
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya "Aku
mengerti. Prajurit-prajurit Singasari itu menunggu di hutan
di lereng bukit " "Ya" jawab Mahisa Murti.
"Bagus" sahut Mahisa Pukat "para pengawas itu jika
memang ada, tentu sering melihat kami naik kelereng
bukit" Ki Waruju mengangguk-angguk, la memuji ketangkasan
berpikir anak-anak Mahendra itu. Agaknya jalan itu akan
dapat ditempuh jika para petugas sandi dari Singasari itu
menyetujui. Namun dalam pada itu, Ki Warujupun berkata "Tetapi
kau harus menjaga, agar anak-anak muda itu tidak terlalu
sering berlari-lari ke hutan di lereng bukit. Sebab jika tibatiba
saja acara itu menjadi berlipat dari gelombanggelombang
sebelumnya, para pengawas dari Kediri itu tentu
akan menjadi curiga pula"
Darah Olympus 1 Wiro Sableng 105 Hantu Jatilandak Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 4