Hijaunya Lembah Hijaunya 23
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 23
dalam hubungan yang tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan persoalan-persoalan yang timbul di Kediri.
Tidak ada hubungannya dengan sikap Pangeran Kuda
Permati atau sikap Pangeran Singa Narpada.
Tetapi keduanyapun tidak langsung mempercayai sikap
itu sebagai sikap yang wajar. Mungkin ada alasan tertentu
yang tersembunyi dibalik sikapnya yang nampaknya tidak
ada bubungannya sama sekali dengan perkembangan
keadaan di Kediri. Meskipun demikian untuk sementara mereka masih tetap
bersikap sebagai dua orang pengembara yang sederhana dan
tidak memiliki bekal apapun terutama kemampuan oleh
kanuragan. Karena itu, ketika orang itu kemudian melangkah maju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mundur.
"Jangan menyesal" geram orang itu "Meskipun kalian
masih muda, tetapi kalian tidak berguna sama sekaii bagi
kehidupan, sehingga karena itu, maka sebaiknya kalian aku
lenyapkan saja. Aku menunggu kehadiran anak-anak muda
yang dapat memberikan arti dalam hidupnya dan berguna
bagi sesamanya" "Jangan" desis Mahisa Murti "Bukanlah aku tidak
menganggumu Ki Sanak. Aku tidak pernah mengambil
milik orang lain. Aku tidak pernah memaksa orang lain
untuk memberikan apapun juga kepadaku. Sementara kami
berduapun selalu berusaha untuk dapat berbuat apa saja
untuk mendapatkan upah yang dapat kami makan dari hari
kehari. Jika kami tidak mempunyai persediaan lagi, maka
kami berusaha untuk menangkap binatang buruan untuk
mempertahankan hidup kami"
"Persetan dengan igauanmu" geram orang itu "sembilan
orang yang terdahulu, atau bahkan lebih, aku bantai tanpa
kesulitan. Seorang kawanku bahkan telah membunuh lebih
dari dua puluh orang pengembara dan peminta-minta.
Dengan demikian maka dalam waktu yang tidak terlalu
lama Kediri akan beraih dari benalu benalu"
"Jangan Ki Sanak. Aku mohon " Mahisa Murti hampir
berteriak. "Aku tahu. Kau berusaha untuk mendapat bantuan
orang lain dengan berteriak-teriak begitu. Tetapi tidak ada
gunanya anak muda. Seandainya ada orang yang
mendengar dan datang untuk menolongmu, mereka akan
segera meninggalkan tempat ini jika mereka melihat bahwa
kau telah menjadi urusanku" berkata orang yang bertubuh
tinggi besar itu. Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Sementara itu orang bertubuh tinggi besar itu telah
melangkah maju lagi, sehingga kedua anak itu terpaksa
bergeser surut. "Aku mohon jangan" minta Mahisa Murti "kami
berjanji untuk tidak menjadi benalu yang hanya dapat
mengotori tanah ini. Aku akan bekerja. Dan kami berdua
memang sedang mencari pekerjaan itu"
"Tidak ada gunanya anak-anak malas" jawab orang itu
"Kalian terpaksa aku singkirkan, jika aku tidak
melakukannya, maka aku telah berkhianat terhadap
sekelompok kawan-kawanku yang telah menentukan tekad
bersama. "Ki Sanak" berkata Mahisa Pukat "Jika ada sekelompok
orang yang berpendirian sama dengan Ki Sanak, aku
mohon untuk dapat menghadap mereka bersama-sama.
Biarlah mereka menilai, apakah orang-orang seperti kami
berdua ini termasuk sampah yang harus dibuang, atau
justru tenaga yang dapat dimanfaatkan oleh lingkungannya,
karena aku tidak segan untuk bekerja apa saja asalkan kami
berdua mampu melakukannya"
"Itulah persoalannya" jawab orang itu "Kau akan
melakukan pekerjaan yang kau mampu, tetapi kau tidak
mampu berbuat apa-apa" wajah orang itu menjadi semakin
garang. Lalu "Karena itu, menyerah sajalah. Aku akan
menghabisinyawamu. Jika kau berusaha melarikan diri,
apalagi melawan, maka kau tentu akan menyesal karena
cara matimu akan sangat menyakitimu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja bergeser
surut. Dengan nada ketakutan Mahisa Murti Berkata
"Tetapi kami masih ingin hidup. Kami masih ingin melihat
matahari terbit. Kami masih ingin melihat hijaunya lembah
dan lereng pegunungan"
"Persetan. Kalian harus mati" orang itu meloncat
mendekat namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian berlari menjauh. Ketika orang itu berusaha
mengejarnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
berlari semakin cepat dan semakin jauh.
"Orang itu mengejar kita" desis Mahisa Murti. Mahisa
Pukat tidak menjawab. Tetapi kedua anak muda itu berlari
semakin cepat. "Orang gila" geram Mahisa Pukat "hampir saja aku
kehilangan kesabaran. Aku ingin merendamnya ke dalam
air yang berwarna kapur itu sampai ia menyesali
perbuatannya" "Tetapi rasa-rasanya orang itu tidak mengejar kita
dengan sungguh-sungguh. Aku tidak melihatnya lagi"
berkata Mahisa Murti. "Tetapi nampaknya orang itu memang tidak dapat lari
secepat kita. Mari kita tunggu" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih
saja berlari meskipun sudah tidak terlalu cepat.
"Untuk apa kita menunggu" Jika orang itu benar-benar
mengejar kita, apakah kita akan berbuat sesuatu?" bertanya
Mahisa Murti. Mahisa Pukat berpaling. Ia kemudian benar-benar
berhenti sambil berkata "Orang itu memang tidak mengejar
kita" Mahisa Murtipun kemudian berhenti juga. Namun orang
bertubuh tinggi besar itu memang tidak mengejarnya.
"Satu lagi peristiwa yang menarik perhatian" berkata
"Mahis Murti lalu "Setelah kita melihat daerah ini menjadi
mundur dan kemudian tingkah laku orang-orang berkuda
itu, sekarang kita melihat satu lagi orang aneh"
"Apakah kau pikir ia berbuat sebagaimana
dikatakannya" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku kira tidak. Iapun tidak mengejar kita" jawab
Mahisa Murti. "Jadi apa menurut dugaanmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku masih belum dapat menyebut apapun juga. Kita
masih harus melihat perkembangannya lebih lanjut" jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Aku berpendapat, justru kita akan tetap tinggal untuk
sementara. Maksudku barang satu dua hari lagi. Mungkin
kita akan dapat melihat sesuatu yang berguna bagi tugas
kita" Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun kemudian
katanya "Aku sependapat. Kita akan tinggal disini untuk
dua tiga hari lagi. Namun apabila terjadi satu
perkembangan yang penting dan memaksa, kita akan segera
melaporkan diri kepada orang yang pernah disebut oleh
Singasari itu" Demikianlah, keduanya justru telah tertarik kepada
peristiwa yang mereka alami, sehingga mereka berniat
untuk tetap tinggal"
Tetapi keduanya telah mengurungkan niat mereka untuk
pergi ke sungai. Mereka kemudian mengambil jalan setapak
untuk mencari tempat yang paling baik buat
menyembunyikan diri, selama mereka akan beristirahat.
Namun demikian, pada saat matahari condong ke Barat,
mereka telah bersepakat untuk melihat, apakah warung itu
masih tetap terbuka. "Marilah, kita pergi. Kita akan mendengar lagi ceritera
yang barangkali menarik. Mungkin dapat kita pergunakan
sebagai bahan berkeliaran malam nanti" ajak Mahisa Murti.
Mahisa Pukatpun mengiakannya. Tetapi mereka sadar,
bahwa mereka harus berhati-hati. Orang bertubuh tinggi
besar itu dapat mereka jumpai dimana saja. Bahkan
mungkin orang itu berada diwarung itu pula, sehingga
keduanya tidak akan dapat menghindarinya lagi"
Demikianlah sejenak kemudian, kedua orang anak muda
itu sudah berada lagi di persimpangan yang ramai itu.
Tetapi pada menjelang sore hari, nampaknya tempat itu
sudah menjadi semakin sepi, meskipun nampak ada
beberapaa pedati yang justru sedang memuat beberapa hasil
bumi. Nampaknya masih saja ada orang yang saling
menukarkan kebutuhan. Bahkan ada juga yang menukarkan
dengan alat-alat pertanian, disamping sebagian dari mereka
telah membeli kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan.
Dalam pada itu ternyata warung itu masih tetap terbuka
sebagaimana masih ada juga satu dua warung yang lainnya
yang lebih besar. Tidak banyak orang yang berada di dalam
warung-warung itu. Bahkan warung yang satu itu justru
tidak ada pengunjungnya sama sekait.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
warung itu, pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta
bertanya "Kau masih ada disini?"
"Ya" jawab Mahisa Murti "Sebenarnya kami sudah
ingin pergi. Tetapi perjalanan kami terhalang, sehingga
terpaksa kami kembali lagi"
"Duduklah" pemilik warung itu mempersilahkan.
Namun kemudian iapun bertanya "kenapa terhalang?"
Sebenarnya kami telah meninggalkan tempat ini
"Mahisa Murti pula "kami menuju kearah sungai, karena
kami akan mencuci pakaian kami pula. Baru kemudian
kami akan pergi. Tetapi kami telah bertemu dengan seorang
yang bertubuh tinggi besar dan menakutkan. Seperti
seorang raksasaa yang marah orang itu berusaha untuk
menangkap kami dan membinasakan kami"
"Kenapa?" pemilik warung itu menjadi heran "Bukankah
kalian tidak berbuata apa-apa"
"Ya kami tidak berbuat apa-apa" jawab Mahisa Murti.
"Tetapi kenapa orang itu marah kepada kalian?" desak
pemilik warung itu. "Kami telah mengaku, bahwa kami adalah dua orang
pengembara" Mahisaa Pukatlah yang menjawab "orang itu
berpendirian sebagaimana kawan-kawannya bahwa semua
orang pengembara harus dimusnahkan"
"Kenapa begitu?" bertanya pemilik warung itu.
"Aku tidak tahu latar belakang yang sebenarnya dari
sikap mereka. Tetapi orang-orang seperti kami hanya akan
mengotori dunia saja" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik warung itu tertawa. Katanya "Orang itu
bermain-main. Ia tidak akan bersungguh-sungguh"
"Sikapnya bersungguh-sungguh" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik warung itu mengerutkan keningnya. Lalu tibatiba
saja ia berdesis "apakah kau beranggapan bahwa orang
itu benar-benar bersungguh-sungguh.
"Ya" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, seolah-olah
sedang memikirkana sesuatu yang sangat penting.
Namun tiba-tiba ia bertanya "He, jika demikian, kenapa
kalian tidak pergi saja dari sini" kalian agaknya telah
mendapat kesempatan untuk terlepasa dari tangannya.
Tetapi kalian justru masih tetap berada disini"
Pertanyaan itu memang membingungkan kedua anak
muda itu. Namun kemudian Mahisa Murtilah yang
menjawab "apakah orang itu pernah datang kemari?"
"Kenapa?" Bukankah setiap orang dapat saja datang ke
tempat ini?" pemilik warung itu justru bertanya.
"Seandainya raksasa itu datang dan berusaha
menangkap kami, apakah orang-orang yang ada di tempai
ini tidak akan menolong kami dan mengusir raksasa itu?"
bertanya Mahisa Murti pula.
Pemilik warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Raksasa itu memang pernah datang kemari. Tidak ada
orang yang berani melawan orang yang bertubuh tinggi
besar itu. Apalagi ia memang mempunyai beberapa kawan.
Tetapi yang belum kami ketahui, bahwa orang itu berusaha
untuk memusnahkan para pengembara seperti yang kalian
lakukan" "Tetapi orang itu tidak bergurau" desis Mahisa Pukat.
"Ya" pemilik warung itu mengangguk-angguk "agaknya
kau benar " orang itu memang tidak sedang bergurau.
Itulah agaknya maka setiap ada pengembara yang datang
ketempat ini, aku tidak pernah melihatnya lagi, kecuali
kalian berdua. Apakah kalian memang beruntung bahwa
kaliaan mampu melepaskan diri dari tangannya. He apakah
kalian melawan?" "Melawan?" Mahisa Murti mengulang "bagaiamana
mungkin kami berani melawan. Kami hanya melarikan diri
secepat-cepat dapat kami lakukan. Untunglah bahwa orang
itu tidak berhasil menangkap kami"
"Beruntunglah kalian, sehingga kalian masih dapat
datang ke warung ini" bertanya pemilik warung itu "Jika
demikian, maka cepat sajalah meninggalkan tempat ini.
Mungkin orang itu akan datang lagi seperti yang pernah
dilakukannya. Jika ia merasa kehilangan, maka mungkin ia
akan mencarinya. Dan salah satu tempat yang dikenalnya
adalah tempat ini. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata "Baiklah.
Tetapi beri kami makan. Kami akan segera meninggalkan
tempat ini" "Apakah kau minta semangkok nasi?" bertanya pemilik
warung itu. "Tidak. Seperti tadi. Kami akan membayar" jawab
Mahisa Pukat. Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, namun
iapun kemudian mengangguk-angguk. Disiapkannya dua
mangkuk nasi seperti yang diminta oleh kedua anak muda
itu. Kedua anak muda yang menyebut diri mereka
pengembara. Sambil menyuapi mulutnya, Mahisa Murti masih juga
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya "Ki Sanak, apakah ada hubungannya antara
raksasa yang akan membunuh orang-orang yang disebutnya
tidak berguna itu dengan dua orang berkuda kemarin?"
"Aku tidak tahu anak muda. Tetapi menurut
pendapatku, mereka mempunyai kepentingan yang berbeda.
Kedua orang berkuda itu selalu berbicara tentang satu
perjuangan sehingga mereka memerlukan dana dan
peralatan yang cukup banyak, sedangkan raksasa itu hanya
melakukan bagi diri mereka sendiri. Sekelompok orang
yang mempunyai pendirian bahwa orang yang tidak
memiliki arti bagi sesamanya dan bagi dunia sebaiknya
dibinasakan saja. Orang-orang seperti itu hanya akan
mempercepat habisnya persediaan makan dimusim
paceklik" jawab pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja terlontar pertanyaan Mahisa Pukat
"Ki Sanak. Apakah kira-kira yang terjadi jika raksasa itu
bertemu dengan kedua orang berkuda itu" Bukankah
keduanya memiliki kemampuan untuk berkelahi?"
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun menggeleng "Aku tidak tahu, apa kira-kira
yang akan terjadi. Tetapi kedua belah pihak nampaknya
memang belum pernah bertemu"
"Aku agak sangsi. Bukankah mereka telah berada di
tempat ini untuk waktu yang lama" Baik kedua penunggang
kuda itu, maupun raksasa yang akan membunuh para
pengembara itu" Apakah mungkin keduanya justru pihak
yang sama-sama ingin menentukan sikap tersendiri" Atau
keduanya berusaha untuk menimbulkan ketakutan dan
kegelisahkan dilingkungan rakyat., kecil di padukuhan ini"
Sejak Mahisa Pukat. Tetapi pemilik warung itu menggeleng. Katanya
"Menurut dugaanku, raksasa dan dua orang penunggang
kuda itu berdiri di pihaknya masing-masing dengan
kepentingannya masing-masing. Soalnya hanyalah, aku
tidak tahu apa yangj akan terjadi jika mereka saling bertemu
disini" Mungkin kedua pihak menjadi saling menyegani
sehingga kedua pihak tidak berbuat apa-apa dan tidak saling
mengganggu. Tetapi entahlah. Aku tidak dapat membuat
ramalan-ramalan seperti itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi.
Keduanya mulai menyuapi mulut mereka. Masakan di
warung itu memang dapat memenuhi selera kedua anak
muda pengembara itu, sehingga keduanya nampaknya
makan dengan sangat lezatnya.
Namun demikian, keduanya merasa bahwa mereka tidak
mendapat apa-apa yang baru dari pemilik warung itu.
Agaknya pemilik warung itu terlalu berhati-hati, Ia tidak
berani mengatakan sesuatu yang akan dapat membuat
dirinya terjerat ke dalam kesulitan. Karena itu, lebih baik
baginya untuk mengatakan tidak tahu apa-apa.
Ketika kedua anak muda itu sudah selesai, maka Mahisa
Murtipun segera membayar harga makanan yang
dimakannya bersama Mahisa Pukat. Kemudian keduanya
minta diri untuk beristirahat.
"Dimana kalian beristirahat?" bertanya pemilik warung
itu. "Dimana saja" jawab Mahisa Murti "kami adalah dua
orang pengembara yang tidak mempunyai rumah tempat
tinggal. Kami dapat tidur di sembarang tempat. Beratapkan
langit dan berselimutkan mega"
"Tetapi kalian akan dapat menjadi kedinginan. Jika
kalian tidak berkeberatan, kalian dapat tidur disini" berkata
tukang warung itu. "Disini dimana?" bertanya Mahisa murti.
"Di warung ini" jawab pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun agaknya keduanya meraba sesuatu dengan
firasatnya. Karena itu, meskipun tidak berjanji ternyata
keduanya ingin untuk menerima tawaran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murtilah yang menjawab
"Apakah Ki Sanak bersungguh-sungguh?"
"Ya. Aku bersungguh-sungguh. Kau dapat tidur di
dalam warung ini. Diatas dingklik itu. Sementara itu, kalian
akan mendapat makan tanpa membeli lagi. Biasanya tentu
ada sisa sedikit dari jualanku ini. Kita akan dapat makan
bersama-sama menjelang malam. Jika kemudian aku
pulang, kalian herdua dapat tidur di dingklik tempat kalian
duduk itu. Bukankah lebih baik tidur disitu daripada tidur di
pematang atau di padang perdu?"
"Terima kasih" jawab Mahisa Murti "Tentu kami berdua
tidak akan berkeberatan. Bahkan kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
"Jika demikian, kalian berdua tidak usah pergi dari sini.
Duduk sajalah sambil menunggu matahari tenggelam"
berkata pemilik warung itu.
"Tetapi jika raksasa itu kemari atau lewat jalan ini"
Bukankah kau mengatakan, bahwa tidak ada seorangpun
yang akan berani melawannya?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau dapat bersembunyi di bawah gedeg bamboo itu.
Tetapi raksasa itu tentu tidak akan kemari. Ia memang
jarang-jarang sekali datang ke tempat ini" berkata pemilik
warung itu. Ketika Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat, maka
Mahisa Pukatpun telah menganggukkan kepalanya sebagai
isyarat. Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian
menyatakan kesediaannya mereka untuk bermalam di
dalam warung itu. "Kami sangat berterima kasih atas kesempatan ini"
berkata Mahisa Murti kemudian.
"Nah, baiklah. Aku juga berterima kasih. Dengan
demikian maka warungku ini tentu akan aman dimalam
hari" berkata pemilik warung itu.
Demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akhirnya tidak beranjak dari warung itu. Masih ada satu
dua orang yang memasuki warung itu dan makan
sekedarnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemilik
warung itu. bahwa akhirnya nasi yang dijualnya memang
tidak habis. Ketika matahari kemudian bersembunyi dibaiik
pegunungan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat teiah
mendapat kesempatan untuk makan bersama pemilik
warung itu. Tetapi keduanya menolak karena mereka masih
cukup kenyang. Karena itu, maka pemilik warung itu berkata "Baiklah.
Jika kau tidak ingin makan sekarang, maka terserahlah.
Kapan saja kau ingin makan. Aku tinggalkan nasi dan
lauknya di gledeg itu. Tetapi ingat. Disini banyak tikus.
Mungkin kalian tidak akan sempat makan, jika nasi dan
lauknya telah lebih dahulu dimakan tikus"
"Kami akan menunggunya dengan baik" berkata Mahisa
Murti. "Baiklah. Aku akan pulang dahulu. Nanti malam, kau
dapat tidur di dingklik itu" berkata pemilik warung itu.
Demikianlah, maka pemilik warung itupun telah
meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
dimintanya untuk menyelarak pintu dari dalam.
Ketika pemilik warung itu telah meninggalkan
warungnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melihat-lihat isi dari warung itu. Sisa beberapa macam
makanan telah dijadikan satu, dalam sebuah irik yang
besar. Kemudian di dalam geledeg memang disediakan sisa
nasi dan lauknya yang akan dapat dimakan oleh kedua
anak muda itu. Dalam pada itu, sebuah lampu minyak telah dinyalakan
di dalam ruang yang tidak terlalu sempit itu. Sementara
beberapa macam makanan dapat menjadi kawan berjagajaga.
Tetapi dalam pada itu Mahisa Pukatpun mulai
membaringkan dirinya diatas dingklik bambu sambil
bergumam "udara terasa sangat pengap di dalam"
"Terasa cukup hangat dibanding dengan udara di padang
perdu itu" jawab Mahisa Murti.
"Tentu" sahut Mahisa Pukat "Tetapi rasa-rasanya kita
disini justru terkurung di dalam satu ruang yang sempit
yang tidak memberikan banyak kesempatan kepada kita
untuk bergerak" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku
setuju. Rasanya kita memang seperti seekor ayam di dalam
kurungan" Keduanyapun terdiam sejenak. Mahisa Murtipun
kemudian membaringkan diri pula di dingklik yang lain.
Sejenak keduanya mengamati atap warung yang pendek itu.
Namun tiba-tiba Mahisa Pukat telah bangkit.
Diambilnya sisa makanan yang tidak terjual yang ada di
dalam irik yang besar. Kemudian ia duduk lagi diatas
dingklik bambu sambil mengunyah makanan.
"Enak juga makanan di warung ini" berkata Mahisa
Pukat "kebetulan aku telah memungut sepotong jenang
alot" "Manis sekali" jawab Mahisa Murti.
"Jika kau ingin makanan yang gurih, ambil sajalah"
berkata Mahisa Pukat kemudian "besok makanan itu tentu
hanya akan dibuang" Mahisa Murti berdesis "Aku akan tidur. Kau duduk
sajalah disitu. Nanti kau dapat membangunkan. aku jika
kau sudah mengantuk"
Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab "Baiklah.
Aku akan berjaga-jaga. Tetapi rasa-rasanya aku memang
tidak akan dapat tidur diruang sempit ini"
Mahisa Murtitidak menjawab. Tetapi ia mulai
memejamkan matanya. Tetapi sebenarnyalah, seperti Mahisa. Pukat, ia tidak
dapat lelap, dalam kegelisahan. Memang rasa-rasanya ia
berada di dalam sebuah kurungan. Setiap saat seseorang
akan dapat datang untuk menangkap mereka dalam
genggamannya. Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Murti itupun bangkit
kembali sambil berkata "Aku tidak akan dapat juga tidur.
Rasa-rasanya kita memang berada dalam perangkap.
Sengaja atau tidak sengaja"
"Apakah sebaiknya kita berada diluar?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku setuju. Kita akan tidur diluar. Di tempat yang tidak
mudah dilihat dari arah manapun juga" jawab Mahisa
Murti. Laiu katanya "Kita dapat memanjat pohon mahoni"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Tetapi biarlah kita makan dahulu. Kita tentu tidak perlu
tergesa-gesa. Seandainya benar kita berada di dalam
perangkap, tentu lewat tengah malam kita akan ditangkap"
"Aku setuju. Marilah kita makan dahulu" jawab Mahisa
Murti. Demikianlah, maka keduanyapun telah makan nasi dan
lauk yang memang ditinggalkan bagi mereka oleh pemilik
warung itu. Namun yang tidak mereka lakukan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pemilik warung itu,
setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, maka
merekapun justru telah meninggalkan warung itu dengan
diam-diam. Meskipun susana sangat sepi dan tidak ada
seorangpun yang nampak di sekitar tempat itu, namun
kedua anak muda itu cukup berhati-hati.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun
benar-benar telah memanjat pohon mahoni. Dari salah satu
dahan yang cukup besar mereka dapat melihat warung yang
baru saja ditinggalkannya
"Sebenarnya aku lebih senang tidur di bawah daripada
tidur diatas dahan seperti ini" desis Mahisa Pukat.
"Hati-hatilah, agar kau tidak jatuh dalam tiduran"
berkata Mahisa Murti. Tetapi sebagai pengembara, maka keduanya bukannya
untuk pertama kali tidur diatas sebatang pohon. Karena itu.
maka keduanyapun dapat menempatkan diri mereka sebaikbaiknya.
Seperti yang selalu mereka lakukan, maka mereka telah
mengatur waktu mereka. Mahisa Pukat mendapat giliran
untuk beristirahat lebih dahulu. Baru kemudian Mahisa
Murti. Demikianlah, keduanya duduk diam bertengger diatas
dahan. Namun demikian, ada semacam ketegangan yang
menyusup di dalam hati mereka. Keduanya seakan-akan
telah mendapatkan satu firasat bahwa akan terjadi sesuatu
pada warung yang ditinggalkannya.
Sampai tengah malam, tidak nampak terjadi sesuatu
pada warung itu. Karena itu, maka sejenak kemudian
Mahisa Pukat akan mendapat giliran untuk berjaga-jaga,
sementara Mahisa Murti akan beristirahat sambil memeluk
batang Mahoni itu. Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti
memejamkan matanya, tiba-tiba saja matanya justru
terbuka lebar-lebar. Kedua anak muda itu telah mendengar
desir langkah yang mendekat.
Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat sambil
menunjuk kesatu arah. Mereka telah melihat dua orang
yang berjalan dengan hati-hati mendekati warung itu. Yang
seorang diantara mereka adalah orang yang bertubuh tinggi
besar itu. "Raksasa itu memang gila" geram Mahisa Murti di
dalam hatinya. Bahkan Mahisa Pukat berdesis "Aku ingin memilih
kumisnya" "Sst" Mahisa Murti menempatkan jarinya dimuka
mulutnya. Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, sementara kedua
orang itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan
warung itu. Dalam pada itu, kedua anak muda itu menjadi berdebardebar
ketika mereka kemudian melihat meskipun dalam
keremangan malam, baliwa yang seorang lagi adalah justru
pemilik warung itu sendiri. Wajah itu dapat mereka lihat,
ketika orang itu dengan hati-hati mendorong pintu warung
yang ternyata tidak diselarak dari dalam.
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah itu nampak berkerut. Namun kemudian menjadi
tidak jelas bagi kedua anak muda itu. Tetapi mereka
mendengar orang itu berkata "Pintunya tidak diselarak dari
dalam" Dengan hati-hati keduanya kemudian memasuki warung
itu, yang diterangi dengan lempu minyak. Sekaligus anakanak
muda itu melihat wajah-wajah itu lagi dibawah sorot
minyak. Namun sejenak kemudian keduanya telah ditelan
pintu warung kecil itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat imenjadj tegang.
Sementara keduanya tidak tahu apa yang telah terjadi di
dalam warung itu. Namun sejenak kemudian keduanya telah keluar lagi
dari warung itu. Dari atas dahan pohon mahoni keduanya
mendengar pemilik warung itu berkata "Aku sudah
menduga, keduanya cukup cerdik"
"Jadi bagaimana pendapatmu?" bertanya orang bertubuh
raksasa itu. "Aku tidak tahu, untuk siapa keduanya bekerja. Tetapi
aku kira keduanya bukan para pengikut Pangeran Kuda
Permati" jawab pemilik warung itu.
"Apakah mungkin keduanya petugas langsung dari
Kediri?" bertanya orang bertubuh raksasa itu.
"Entahlah. Tetapi jika mereka kau temui menyusuri
jalan menuju ke sungai itu, mungkin mereka mempunyai
kepentingan arah itu" berkata pemilik warung itu.
Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya "Kita tidak dapat menyebut
apapun juga tentang keduanya. Masih ada kemungkinan
keduanya pengikut Pangeran Kuda Permati. Tetapi
mungkin pula keduanya adalah pengikut setia Pangeran
Singa Narpada: Bahkan mungkin keduanya adalah petugas
dari Singasari" "Kita akan menunggu, apa yang akan mereka lakukan"
berkata orang bertubuh raksasa itu.
"Tetapi kemungkinan bahwa mereka kembali ke warung
ini sangat kecil" berkata pemilik warung itu.
"Lalu mereka akan kemana?" bertanya orang bertubuh
raksasa "Tentu saja kita tidak tahu. Mudah-mudahan kita dapat
bertemu lagi dengan anak-anak itu dan mendapat sedikit
gambaran tentang kepentingan mereka" berkata penilik
warung itu. Sejenak kedua orang itu masih termangu-mangu. Namun
kemudian pintu warung itupun telah ditutup tanpa diseiarak
baik dari luar maupun dari dalam.
Setelah kedua orang itu meninggalkan warung kecil itu.
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi keduanya masih tetap berhati-hati.
Mungkin kedua orang itu masih belum meninggalkan
tempat itu terlalu jauh. Bahkan mungkin kedua orang itu
masih berusaha untuk menjebak kedua anak muda itu dari
tempat yang tersembunyi. Namun ternyata bahwa pemilik warung dan orang
bertubuh raksasa itupun telah meninggalkan warung itu
tanpa menunggu lebih iama lagi Mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa kedua orang anak muda itu berada
ditempat yang tidak jauh dari warung itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah meninggalkan tempat itu pula meskipun
mereka tahu, bahwa kedua orang itu tidak akan datang lagi.
Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengambil satu keputusan tersendiri.
"Kita harus segera sampai kepada orang yang disebut
oleh Senopati Singasari di Talang Amba itu" berkata
Mahisa Murti "dengan demikian kita akan segera mendapat
kepastian dengan siapa kita harus berhadapan. Tanpa
mengetahui serba sedikit keadaan disini, maka mungkin
kita justru akan terjebak tanpa dapat berbuat apa-apa"
"Baiklah kita melanjutkan perjalanan sekarang" berkata
Mahisa Pukat" meskipun malam hari, aku kira kita akan
dapat menemukan jalan sampai ketempat yang ditunjuk
tanpa banyak kesulitan. Bukankah tempatnya sudah tidak
terlalu jauh lagi dari sini?"
"Tentu tidak. Menilik tempat ini dan sungai yang bertebing
agak tinggi itu, maka kita sudah berada tidak jauh
lagi dari tujuan" berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya kemudian telah meninggalkan
tempat itu. Dalam kelamnya malam mereka menelusuri
jalan menuju ke sungai sebagaimana pernah mereka
tempuh. Tetapi disiang hari.
Dalam pada itu, kedua anak muda itu berjalan dengan
cepat tanpa berprasangka apapun juga. Mereka ternyata
kurang memperhatikan jalan yang akan mereka lalui. Selain
mereka ingin cepat-cepat sampai, maka agaknya kekelaman
malam memang ikut menentukan.
Karena itu, ketika mereka berbelok pada jalan yang
menurun ke sungai yang dibatasi oleh dinding di sebelah
menyebelah, maka keduanya terkejut. Bukan keduanya saja
yang terkejut, tetapi seseorang yang duduk di pinggir jalan
itupun terkejut pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser surut. Namun
mereka menjadi berdebar-debar ketika orang itu kemudian
berdiri. Ternyata orang itu adalah orang yang bertubuh
tinggi besar yang baru saja mendatangi warung bersama
pemiliknya itu. "Gila" geram Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ternyata orang bertubuh raksasa
itupun cepat bertindak. Iapun telah siap untuk menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan katanya kemudian dengan
suara berat "Kita telah bertemu lagi anak-anak. Kau
kemarin berhasil lolos dari tanganku. Tetapi kau sekarang
tidak akan mendapat kesempatan lagi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun terpancar diwajah mereka satu tekad untuk
berjalan terus. Mereka ingin sampai ketujuan pada saat
yang cepat, karena ternyata daerah itu adalah daerah yang
memiliki beribu kemungkinan di bawah pengamatan beribu
pasang mata. -ooo0dw0ooo- (Bersambung ke Jilid 16).
Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 016 KARENA ITU, Mahisa Murtipun kemudian berkata "Ki
Sanak. Berikanlah kesempatan kepadaku untuk
meninggalkan tempat ini"
"Sudah aku katakan, bahwa semua pengembara yang
tidak ada artinya bagi pergaulan hidup, akan aku
singkirkan. Aku sudah menunggumu disini sejak kemarin.
Aku yakin bahwa pada satu saat kau akan kembali. Karena
itu, maka sekarang aku tidak akan melepaskan lagi" berkata
raksasa itu. "Baiklah" berkata Mahisa Murti kemudian "kita akan
berterus terang. Untuk siapa kau bekerja he" Apakah kau
kawan-kawan penunggang kuda yang kemarin datang ke
simpang empat itu untuk merampasi kuda penduduk daerah
ini?" "Kau mulai mengigau he. Apa yang kau katakan itu?"
raksasa itu menggeram. "Aku tidak peduli. Tetapi selama aku berada di tempat
ini, aku melihat kau dan dua orang berkuda telah berbuat
aneh-aneh. Kau kira bahwa kami percaya alasanmu untuk
membunuh semua pengembara, pengemis dan orang-orang
yang kau sebut tidak berarti" Jika benar hal itu kau lakukan,
alangkah besar dosamu. Bukan saja bagi Kediri, tetapi juga
dihadapan Tuhan Yang Maha Penyayang" Mahisa Murti
berhenti sejenak, Lalu "nah, katakan saja, apa alasanmu
sebenarnya" "Anak setan" orang itu hampir berteriak "menyeralah.
Kalian memang harus ditangkap"
"Sesudah ditangkap?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi sebelum ia
menjawab, Mahisa Pukat telah mendahuluinya " angan
katakan, bahwa kau akan membinasaan semua pengembara
dan orang-orang yang tidak berarti karena kami berdua
tidak percaya akan alasanmu itu"
"Persetan" geram raksasa itu "apapun alasannya,
menyerahlah. Kami mencurigai kau berdua. Kalian tentu
bukan pengembara seperti yang kalian katakan. Jika kalian
tidak percaya bahwa aku akan membinasakan semua
pengembara, maka akupun tidak percaya bahwa kalian
adalah pengembara" "Nah, dengan demikian persoalannya menjadi lebih
jelas" jawab Mahisa Pukat "bukankah dengan demikian
kita dihadapkan pada satu pilihan" Kami berdua akan
berjalan terus. Jika kau tetap pada niatmu akan menangkap
kami, maka kami akan mempertahankan diri. Dan kita
akan berkelahi. Meskipun kau bertubuh raksasa, tetapi kami
berdua sama sekali tidak takut. Jika kemarin kami berdua
melarikan diri, kami masih berniat untuk tetap dalam
keadaan kami, dua orang pengembara. Tetapi ternyata kami
tidak akau dapat menyatakan diri kami seperti itu, karena
kau sudah mencurigai kami. Karena itu, tidak ada pilihan
lain.. Kita berkelahi. Jika kami menang, kami akan
meneruskan perjalanan"
"Jika kalian kalah?" bertanya raksasa itu.
"Kami akan melarikan diri dan mencari jalan lain untuk
dapat menyeberang" jawab Mahisa Pukat pula.
"Kalian tidak akan sempat melarikan diri. Aku akan
menangkap kalian dan membawa kalian kepada
pemimpinku" jawab raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun bersikap untuk
menghadapi segala. kemungkinan. Karena itu. maka
keduanyapun justru telah merenggang.
"Jadi kalian benar-benar akan melawan?" geram raksasa
itu. "Apaboleh buat. Kita sudah tidak saling mempercayai.
Karena itu, maka jalan yang dapat kita tempuh adalah
kekerasan. Kau akan memaksakan kehendakmu, sementara
kami akan mempertahankan sikap kami pula" jawab
Mahisa Pukat. Raksasa itu tidak bertanya lagi. Tetapi iapun kemudian
mempersiapkan diri untuk bertempur. Memang tidak ada
jalan lama yang dapat mereka lakukan saat itu, kecuali
memaksa atau bertahan Raksasa itulah yang pertama-tama mulai menyerang.
Dengan loncatan yang cepat ia menerkam Mahisa Pukat,
Tetapi Mahisa Pukat yang benar-benar telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan sempat mengelak dan
meloncat surut. Pada saat yang tepat, Mahisa Murtipun telah meloncat
menyerang raksasa itu dengan kakinya. Demikian cepatnya,
sehingga raksasa itu tidak sempat mengelak, setelah
serangannya atas Mahisa pukat gagal. Dengan lengannya ia
telah berusaha melindungi lambungnya yang menjadi
sasaran serangan Mahisa Murti.
Satu benturan telah terjadi. Benar-benar mengejutkan
raksasa itu. Ternyata serangan kaki Mahisa Murti telah
mendorong raksasa itu beberapa langkah menyamping.
Hampir saja raksasa itu jatuh dan kehilangan
keseimbangan. Namun sambil menggeram, akhirnya
raksasa itu berhasil menguasai dirinya dan tegak kembali.
"Anak setan" raksasa itu mengumpat "jangan kau kira
bahwa dengan demikian aku tidak dapat mengimbangi
kekuatanmu. Aku terlalu gegabah menghadapi kalian. Aku,
kira kalian tidak lebih dari anak-anak yang berkepala batu.
Tetapi ternyata bahwa kalian memang memiliki bekal ilmu
kenuragan" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
merekapun sudah mengira bahwa raksasa itu bukannya
tidak memiliki kekuatan untuk menandingi kedua anak
muda itu, tetapi raksasa itu telah menganggap kedua anak
muda itu terlalu lemah, sehingga ketika terjadi benturan,
raksasa itu terkejut. Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun harus menjadi semakin berhati-hati. Dengan
menyadari kekuatan lawannya, maka raksasa itu tentu akan
mempergunakan kekuatannya lebih besar lagi.
Tetapi dengan menggabungkan kekuatannya, kedua
anak muda itu masih tetap mengharap untuk dapat
menerobos jalan dan menyeberang sungai menuju ketempat
yang disebut oleh Senapati dari Singasari di Talang Amba,
yang sebenarnya adalah salah seorang dari sekelompok
pasukan sandi dari Singasari.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran yang semakin sengit. Orang bertubuh tinggi
besar itu tidak lagi menganggap kedua lawannya itu sebagai
anak-anak yang mengajaknya bermain-main. Tetapi kedua
orang anak muda itu adalah benar-benar lawan yang harus
dihadapinya dengan segenap kemampuannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk memecah perhatian raksasa itu. Mereka
bertempur berpasangan dalam arena yang sempit. Tetapi
kecepatan gerak mereka agaknya telah berhasil membuat
raksasa itu menemui kesulitan.
Mahia Murti dan Mahisa Pukat telah menyerang raksasa
itu berganti-ganti. Mereka selalu berusaha menghindari
benturan setelah mereka menyadari, bahwa raksasa itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi serangan
yang cepat dan datang bergantian, bahkan kadang-kadang
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beruntun susul menyusul, membuat raksasa itu benar-benar
menjadi marah" "Anak-anak yang tidak tahu diri" geramnya "apakah
dengan demikian kalian menyangka akan dapat lepas dari
tanganku" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
keduanya adalah anak-anak muda yang telah menempa diri
dalam olah kanuragan. Mereka bukan saja berlatih
kecepatan gerak, tetapi merekapun telah dengan teratur
meningkatkan kekuatan tenaga mereka. Keduanya dengan
matang menguasai tenaga-tenaga mereka. Keduanya
dengan matang menguasai tenaga cadangan yang dapat
mereka pergunakan setiap saat yang mereka kehendaki.
Karena itu, maka perlawanan mereka terhadap raksasa
itupun benar-benar merupakan satu kekuatan yang mapan
menghadapi kekuatan yang besar dari raksasa yang marah
itu. Demikianlah pertemuan itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan
kemampuan mereka sehingga dengan demikian maka yang
terjadi kemudian adalah benturan ilmu yang semakin tinggi.
Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menjadi
semakin cepat datang dari arah yang berbeda. Sementara
itu, raksasa itupun telah mempergunakan ketangkasannya
untuk mengatasi setiap serangan. Dengan mempercayakan
diri pada kebesaran tenaganya, orang bertubuh tinggi besar
itu, hampir tidak pernah berusaha untuk menghindari
serangan. Tetapi ia selalu berusaha untuk membentur setiap
serangan. Namun lambat laun, orang itupun merasa bahwa
kekuatan kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat,
sejalan dengan peningkatan ilmu mereka. Tenaga cadangan
keduanya telah dipergunakan hampir sampai kepuncak
kemampuan. "Gila" geram raksasa itu "ternyata kedua anak ini
memiliki kekuatan iblis"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah sampai pada
kemampuan yang tinggi dalam pengerahan tenaga
cadangannya, ternyata merasakan kelebihan mereka atas
kekuatan raksasa itu. Kekuatan yang besar, tetapi kekuatan
wadagnya saja. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun kemudian berharap untuk dapat keluar dari
pertempurran itu dan melanjutkan perjalanan mereka,
menyeberangi sungai untuk mencapai tujuan sebagaimana
dikatakan oleh Senopati dari Singasari yang berada di
Talang Amba itu. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun kemudian bertempur semakin cepat. Mereka
ingin segera menyelesaikan perkelahian itu.
Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk
membunuh rakyat yang marah itu. Sebagaimana raksasa
itupun semula tidak benar-benar ingin membunuh mereka.
Ternyata bahwa ketika keduanya melarikan diri, raksasa itu
sama sekali tidak mengejarnya.
Ketika serangan-serangan kedua anak muda itu menjadi
semakin cepat, maka raksasa itupun menjadi semakin
bingung. Serangan-serangan datang dari dua arah yang
berbeda dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat semakin
sering berhasil mengenai tubuh orang bertubuh besar itu.
Meskipun serangan-serangan itu bukannya serangan yang
menentukan akhir dari perlawanan raksasa itu, tetapi kulit
daging raksasa itu semakin lama menjadi semakin terasa
sakit. Dibeberapa tempat tulang-tulangnyapun menjadi
memar. Betapapun raksasa itu mengerahkan kemampuannya,
tetapi kedua anak muda itu ternyata terlalu cepat untuk
dapat ditundukkannya. Dengan demikian, maka perlawanannya raksasa itupun
semakin lama justru menjadi semakin lemah. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat berusaha untuk membuat raksasa itu
tidak berdaya. Tetapi raksasa yang marah itu justru berteriak "Cepat,
menyerahlah sebelum aku benar-benar marah dan benarbenar
ingin membunuh kalian"
Tetapi Mahisa Pukatlah yang menjawab "Akulah yang
akan membunuhmu. Aku tidak senang melihat orang-orang
yang tidak berarti hidup dalam lingkungan peradaban
manusia. Orang yang tanpa berprikemanusiaan berusaha
untuk membunuh para pengembara"
"Gila" geram raksasa itu.
Namun serangan Mahisa Pukat dengan kakinya, tibatiba
saja telah menghantam lambungnya. Meskipun raksasa
itu berusaha melindungi dengan sikapnya sambil merendah,
namun kaki Mahisa Pukat yang cepat, berhasil menyusup
dan langsung mengenai lambung itu.
Raksasa itu terdorong beberapa langkah. Sebelum ia
dapat berdiri tegak, Mahisa Murtilah yang meloncat
menyerang, menghantam raksasa itu pada dadanya.
Raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja di jatuh
terguling. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah
meloncat menyambarnya dan mendorongnya untuk tetap
tegak. Tetapi iapun segera meloncat menjauh sambil
berkata "Hampir saja kau terguling disepanjang lorong yang
menurun ini dan mandi tanpa melepaskan pakaianmu"
"Gila" teriak raksasa itu "kalian telah mempermainkan
aku he?" "Jangan marah" sahut Mahisa Murti "kau sedang
berhadapan dengan pengembara yang tidak punya arti"
"Tutup mulutmu" geram raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justeru tertawa. Namun
kemudian mereka merasa, bahwa yang mereka lakukan
agaknya sudah cukup. Mereka harus mendapat kesempatan
untuk meneruskan perjalanan tanpa diikuti oleh raksasa itu.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Kita jangan terlalu lama bermain-main dengan raksasa ini.
Marilah kita meneruskan perjalanan. Pengembaraan kami
masih sangat panjang"
"Aku bunuh kau pengembara" teriak orang bertubuh
tinggi besar itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menghiraukannya lagi. Dengan serta merta keduanya
menyerang bersama-sama sehingga orang bertubuh tinggi
besar itu, tidak mampu menghindarkan dirinya. Demikian
cepat kedua serangan itu beruntun menghantam tubuhnya,
maka raksasa itupun telah terhuyung-huyung.
Terdengar raksasa itu menyeringai menahan saat,
sementara itu maka Mahisa Pukatpun kemudian berkata
"Kita akan meninggalkannya"
Mahisa Murti tidak menyahut. Keduanyapun kemudian
dengan cepat meloncat meninggalkan raksasa yang sedang
kesakitan itu. "Gila" geramnya. Tetapi ia tidak segera dapat bangkit,
apalagi mengejar kedua anak muda itu. Bahkan iapun sama
sekali tidak berniat melakukannya, karena ia yakin, bahwa
ia tidak akan dapat berbuat banyak atas kedua orang anak
muda itu. Seandainya ia berhasil mengejarnya, namun ia
tidak akan dapat menangkapnya, karena ternyata ia tidak
dapat mengalahkan kedua orang anak muda yang semula
disebutnya pengembara. Namun yang sejak semula
memang menarik perhatiannya.
Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
berlari menghambat turun ke sungai dan menyeberanginya,
orang bertubuh tinggi besar itu bangkit dengan susah payah.
Tubuhnya terasa nyeri. Namun hatinyapun ikut terasa
pedih, karena anak-anak muda itu ternyata telah
mempermainkannya. Pada saat ia hampir jatuh terguling,
seorang diantara anak-anak muda itu telah menahannya
dan mendorongnya untuk tetap tegak.
Perlahan-lahan orang itupun menuruni lorong yang
turun ke sungai. Kepada dirinya sendiri berkata "Biarlah
anak-anak itu pergi. Tetapi jika ia mengambil arah yang
kami cemaskan, maka ia akan bertemu dengan hambatanhambatan
berikutnya" Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah meninggalkan orang bertubuh tinggi besar itu.
Sebenarnya jika mereka menghendaki, mereka akan dapat
berbuat lebih banyak. Namun betapapun raksasa itu marah,
tetapi kedua anak muda itu mendapat kesan... bahwa
sebenarnya orang bertubuh tinggi dan besar itu bukannya
orang yang bermaksud jahat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
menyeberangi sungai. Dengan hati-hati mereka
melanjutkan perjalanan. Dengan teliti mereka
memperhatikan setiap bentuk dan gejala alam yang ada di
sekitarnya. Ternyata dalam beberapa hal mereka mengenali tempat
itu sebagaimana diceriterakan oleh Senopati yang berada di
Talang Amba. Beberapa pertanda telah mereka lalui,
sehingga akhirnya mereka sampai kesebuah bulak yang
panjang. "Inikah bulak yang disebut oleh Senopati itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya. Bulak panjang yang gawat. Senopati itu sama sekali
tidak menyebut apa-apa tentang sungai itu. Tetapi kita telah
menjumpai sebuah hambatan. Sedangkan bulak ini telah
disebut sebagai tempat yang gawat. Yang harus kita lalui
dengan sangat hati-hati sebelum kita memasuki padukuhan
sebelah. Padukuhan yang kita tuju" jawab Mahisa Murti.
"Apa boleh buat" berkata Mahisa Pukat sambil
memandang bulak yang panjang itu, namun sebaiknya kita
memang berhati-hati"
"Kita tidak akan melalui jalan bulak itu. Kita sudah tahu
bahwa di jalan itu kita akan menjumpai sebuah rintangan
apapun ujudnya. Tentu rintangan yang dipasang untuk
melindungi tujuan kita" berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata "Kita
sebenarnya tidak perlu cemas atas hambatan-hambatan itu.
Sebenarnya kita tahu, bahwa hambatan-hambatan itu tidak
akan menghancurkan kita. Hambatan itu hanya sekedar
satu cara untuk meyakinkan siapakah sebenarnya yang
datang" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku
sependapat. Hambatan itu tidak benar-benar akan
membunuh. Bagaimana jadinya jika yang mereka hadapi
benar-benar orang lewat tanpa maksud apa-apa"
"Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Namun aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya kita
tidak memasuki padukuhan sebelah lewat jalan itu. Kita
akan dapat mendekati padukuhan itu lewat pematang dan
tanggul-tanggul parit" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Kita memang dapat berusaha memperkecil persoalan.
Mudah-mudahan dengan cara ini kita terlepas dari
hambatan yang disebut gawat oleh Senopati Singasari itu,
karena hambatan itu agaknya memang dipasang di
sepanjang jalan itu"
Demikianlah kedua anak itu yang sudah mendapat pesan
bahwa mereka akan melalui sebuah jalan panjang di bulak
yang luas, telah mengambil langkah untuk menempuhnya
tidak melalui jalan sewajarnya. Mereka mencoba untuk
menghindari hambatan yang mungkin ada dengan melalui
pematang dan tanggul-tanggul parit.
"Pokoknya tujuan kita jelas. Padukuhan itu" berkata
Mahisa Murti "agar kita tidak kehilangan kiblat dan tersesat
ke padukuhan yang lain, maka kita akan memperhatikan
pepohonan disepanjang jalan itu. Dengan demikian kita
akan selalu dapat mengikuti arah jalan itu. Jalan yang
menurut keterangan adalah jalan satu-satunya"
Mahisa Pukat mengangguk. Dengan demikian, maka kedua orang itupun segera
turun ke pematang dan berjalan menyusurinya. Namun
dalam keremangan malam mereka tidak kehilangan kiblat.
Mereka mengikuti pepohonan yang tumbuh di sepanjang
jalan untuk tetap memelihara jarak dan arah.
Dengan cepat mereka melintasi kotak demi kotak.
Mereka meloncati parit dan kadang-kadang meniti titian
bambu yang licin dan bahkan melintasi pematang-pematang
yang ditanami dengan berbagai macam tanaman, sehingga
keduanya mengalami kesulitan agar tidak merusakkan
tanaman itu. Ketika keduanya sampai ketengah bulak, maka keduanya
terhenti sejenak. Memang agaknya tidak ada rintangan
yang mereka temui. Mungkin agak berbeda dengan apabila
mereka menempuh perjalanan lewat jalan disebelah.
Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda itu
terhenti. Dalam kegelapan malam, penglihatan mereka
yang tajam, telah menangkap gerak yang mencurigakan.
Tanpa melihat seseorang, mereka melihat dedaunan yang
bergoyang-goyang. "Berhati-hatilah" desis Mahisa Murti "agaknya kita
memang harus menjumpai rintangan, yang dimaksud
meskipun kita sudah memilih jalan"
Mahisa Pukatpun telah besiap pula. Pengalaman mereka
sebagai pengembara telah memperingatkan mereka, bahwa
yang ada dihadapan mereka adalah sejenis binatang
merangkak. Binatang yang berbahaya tetapi yang tidak
segera dapat mereka lihat.
Dada kedua anak muda itu berdebaran ketika tiba-tiba
saja disela-sela batang-batang padi muncul seekor binatang
yang besar. Ketika binatang yang menyusuri pematang itu
berpaling kearah kedua orang anak muda itu, maka kedua
belah matanya nampak bagaikan bercahaya kehijauan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun segera mengenali
jenis binatang itu. Harimau.
"Ternyata kita memang harus menghadapinya" guman
Mahisa Pukat. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian berkata "Kita memang, tidak mempunyai
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pilihan lain. Aku tidak tahu, bagaimana itu dapat diatur
untuk mencegat perjalanan kita. Padahal kita sudah tidak
mengambil jalan yang seharusnya kita lalui"
"Apakah seandainya kita melalui jalan itu, kita tidak
akan bertemu dengan seekor harimau?" bertanya Mahisa
Pukat. "Entahlah" jawab Mahisa Murti. Lalu "Tetapi kehadiran
seekor harimau di tempat inipun agak menarik perhatian.
Menurut mengatakanku daerah ini tidak terlalu dekat
dengan hutan yang lebat dan luas. Agaknya kehadiran
seekor harimau di tempat ini pantas dipertanyakan"
"Aku sependapat" desis Mahisa Pukat "jika harimau ini
berada di tempat ini sehari-harinya, apakah tidak menakutnakuti
para petani yang pergi ke sawah untuk mengairi
tanamannya?" Tetapi keduanya tidak sempat berbincang lebih lama.
Harimau itu agaknya telah melihat kedua anak muda itu,
sehingga selangkah demi selangkah harimau itu merunduk
maju. "Lebih baik kita pergi ke jalan itu" berkata Mahisa Murti
"agaknya kita akan mendapat tempat yang lebih luas untuk
berkelahi melawan harimau itu"
"Masih beberapa puluh langkah, harimau itu tidak akan
menunggu" jawab Mahisa Pukat.
"Marilah kita coba. Aku akan berjalan dibelakang. Kau
berjalan didepan. Kita menuju kejalan di tengah-tengah
bulak" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Iapun kemudian
melangkah lewat pematang yang menyilang, kearah jalan
ditengah-tengah bulak yang semula mereka hindari.
Sebenarnyalah seperti dugaan Mahisa Murti. Harimau
itu tidak segera menyerang. Tetapi harimau itupun
mengikuti saja kedua anak muda yang berjalan semakin
cepat menuju kejalan. Mahisa Pukat yang berada didepan sempat bertanya
"Harimau itu tidak berbuat apa-apa"
"Sekarang harimau itu tidak berbuat apa-apa. Kau lihat,
bahwa harimau tadi sudah merunduk. Sekarang seolah-olah
harimau itu memberi kesempatan kita untuk mencari jalan
itu. Agaknya harimau itupun ingin berkelahi ditempai yang
agak luas" Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi harimau itu
memang agak aneh menurut pendapat! kedua orang anak
muda itu. Beberapa saat lagi keduanya akan segera sampai kejalan
yang menghubungkan sebuah padukuhan dengan
padukuhan berikutnya yang terpisah oleh bulah yang
panjang. Di jalan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
mempunyai kesempatan lebih baik bila berkelahi tanpa
merusak tanaman yang sedang tumbuh dengan suburnya.
Harimau itu seakan-akan mengerti maksud kedua anak
muda itu, dan agaknya harimau itupun tidak berkeberatan.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, kedua anak
muda itu sudah meloncat parit dan berdiri di sebuah jalan
yang cukup luas, yang agaknya disiang hari merupakan
jalan yang tidak begitu sepi.
"Kita menunggu harimau itu" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat bergeser beberapa langkah menjauhi
Mahisa Murti. Namun ia masih bertanya "Aku tidak dapat
membayangkan apa yang terjadi jika kita menempuh jalan
ini disiang hari" "Ya. Hambatan apakah yang kira-kira akan kita jumpai.
Tetapi agaknya tentu bukan seekor harimau" berkata
Mahisa Murti. "Ya. Mungkin kita akan menjumpai seekor lembu yang
mengamuk, atau sekelompok penyamun atau apa saja"
sahut Mahisa Pukat. Namun keduanya harus terdiam, karena harimau yang
menjadi semakin dekat itu mulai mengaum.
"Bersiaplah. Harimau itu sudah berbalik hati memberi
kesempatan kepada kita untuk mendapatkan tempat
berpijak yang lebih luas untuk menghadapinya" berkata
Mahisa Murti "agaknya harimau inipun bukan sejenis
harimau yang hanya tahu menerkam dan membunuh"
Mahisa Pukatpun segera bersiap. Ia sependapat dengan
Mahisa Murti, bahwa harimau itu termasuk harimau yang
baik. Yang dapat mengerti dan memberi kesempatan kedua
anak muda itu untuk mencari tempat yang paling baik
untuk melawannya. Namun agaknya harimau itu
sependapat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
bahwa jika mereka berkelahi diantara tanaman yang hijau,
tentu akan menimbulkan kerusakan dan merugikan para
petani yang tidak tahu menahu tentang kedua orang anak
muda itu. Namun bagaimanapun juga ujud yang mereka hadapi
adalah seekor harimau yang besar yang mempunyai gigi
dan kuku yang tajam, sehingga karena itu, maka keduanyapun
tidak dapat membiarkan tubuh mereka dikoyak oleh
kuku dan gigi harimau itu.
Dengan gerak nalurilah, maka kedua anak muda itu
telah mengagapai pisau belati mereka yang tersimpan di
bawah kain panjang. Dengan pisau belati itu mereka akan
menghadapi tajamnya gigi dan kuku hariamau itu.
Ketika harimau itu mulai merunduk lagi, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berdiri pada jarak beberapa
langkah. Karena itu, maka harimau itu nampaknya
memang harus memilih. Apakah ia akan menerkam Mahisa
Murti atau Mahisa Pukat. Namun ternyata kedua anak muda itu sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan dan ketakutan. Keduanya berdiri
tegak dengan lutut yang agak merendah. Ditangan mereka
telah tergenggam pisau-pisau belati yang tajam, setajam
ujung taring harimau itu.
Untuk beberapa saat harimau itu masih merunduk.
Sekali di tatapnya Mahisa Pukat sambil menggeram.
Kemudian harimau itupun berpaling kepada Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua anak muda itupun telah
menunggu. Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat.
Seakan-akan keduanya tanpa berkedip menatap harimau
yang menggeram. Sejenak suasana dicengkam oleh ketegangan. Namun
kemudian terdengar harimau itu mengaum dahsyat.
Dengan tangkasnya harimau itu meloncat menerkam
kearah Mahisa Murti. Mahisa Murti yang memperhatikan gerak kaki harimau
itupun segera menyadari bahwa harimau itu telah meloncat
kearahnya. Karena itu, maka iapun segera menempatkan
diri. Pisaunya mulai bergerak.
Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas. Kakinya yang
seakan-akan melekat pada bumi, tiba-tiba saja melemparkan
tubuhnya menyamping. Harimau itu terkejut. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti
itu hanya sekejap saja sebelum harimau dengan kukukukunya
yang tajam terjulur kedepan itu menggapainya.
Karena kehilangan sasarannya, harimau itu mengaum
dahsyat sekali. Namun tiba-tiba saja terasa sesuatu
menindih punggungnya. Tangan yang kuat telah melingkar
dilehernya. Harimau itu menggeliat. Dengan sekuat tenaga ia
berusaha melemparkan tubuh yang telah melekat
dipunggungnya itu. Bahkan harimau itupun telah berguling
ditanah. Ternyata kekuatan harimau itu memang luar biasa.
Mahisa Murti yang telah meloncat kepunggung harimau itu
telah terlempar pada saat harimau itu berguling. Namun
dengan tangkasnya Mahisa Murti meloncat bangkai
sehingga ketika harimau itu bangkit berdiri pula diatas
ampat kakinya, Mahisa Murti telah meloncat sekali lagi
kepunggunya dan melekat lebih erat.
Namun Mahisa Murti tidak mau terlambat. Sebelum ha
rimau itu melemparkannya, tiba-tiba saja pisau belatinya
telah menghunjam ke tubuh harimau itu.
Sekali lagi harimau itu mengamuk dahsyat. Sekali lagi
harimau itu menggeliat. Bahkan melonjak dan jatuh
berguling dengan kemarahan yang menghentak-hentak oleh
luka dipunggungnya. Sekali lagi Mahisa Murti tidak berhasil bertahan pada
punggung harimau itu dan terlepas terpental beberapa
langkah. Namun Mahisa Murti memang lebih cepat
bergerak daripada lawannya. Ternyata Mahisa Murti telah
melenting dan berdiri tegak lebih dahulu dari harimau itu.
Pada saat harimau itu tegak. Mahisa Murti justru telah
menyerangnya. Pisaunya menyambar mendatar. Namun
harimau itu mengerutkan tubuhnya bahkan tangannyalah
yang berusaha untuk menggapai tangan Mahis Murti.
Tetapi Mahisa Murti berhasil menghindar. Bahkan iapun
telah siap untuk meloncat lagi justru menerkam harimau
itu. Namun karena harimau itu menghadap kearahnya,
maka Mahisa Murti harus berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti telah berhasil
menarik perhatian harimau itu. Bahkan harimau itu telah
siap menerkam dengan kuku-kukunya yang tajam
Selangkah harimau itu maju dengan kepala merendah siap
untuk meloncat pada jarak yang hanya dua tiga langkah.
Namun harimau itu terkejut. Ia mendengar gemersik di
belakangnya. Karena itu, maka dengan gerak naluriah
harimau itu berpaling. Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang tinggi
Mahisa Murti sempat meloncat maju. Pisaunya mematuk
leher harimau yang berpaling itu.
Namun pendengaran harimau itu memang sangat tajam.
Gerak Mahisa Murti sekan-akan diketahuinya sehingga
karena itu, maka justru sekali lagi tangan harimau itu
terangkat, seakan-akan menangkis tangan Mahisa Murti.
Mahisa Murti berhasil mengenai lengan harimau itu.
Tetapi tangannyapun telah tergores pula oleh kuku-kuku
harimau yang tajam itu. Mahisa Murti berdesis. Ia bergerser surut. Terasa
tangannya menjadi pedih. Namun iapun segera bersiap
kembali untuk menghadapi harimau itu.
Pada saat yang demikian, sekali lagi harimau itu terkejut.
Seperti yang terjadi sebelumnya, sesosok tubuh telah
menindihnya dari belakang. Dan tangan yang kuat telah
melingkar pula di lehernya.
Mahisa Pukat yang melihat kedudukan Mahisa Murti
yang sulit telah melekat dipunggung harimau itu. Ia tidak
ingia kehilangan kesempatan. Karena itu, maka dengan
segenap kekuatan yang ada padanya, ia tidak hanya
menghunjamkan pisaunya sekali pada tubuh harimau itu.
Tetapi berkali-kali. Harimau itu benar-benar marah. Dengan dahsyatnya
harimau itu mengaum sambil menggeliat dan bergulingguling.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha melemparkan
Mahisa Pukat dari punggungnya.
Mahisa Pukat berusaha untuk tidak terlepas. Tetapi tibatiba
saja tubuhnya telah terantuk batu padas, sehingga
kulitnya bagaikan telah terkoyak oleh batu yang runcing itu.
Pada saat-saat yang demikian, ternyata tangan Mahisa
Pukat terlepas. Namun seperti yang dilakukan oleh Mahisa
Murti, maka dengan cepat iapun meloncat berdiri. Harimau
itupun telah berdiri pula. Justru terlalu dekat dihadapan
Mahisa Pukat. Namun sekali lagi ternyata Mahisa Pukat
lebih cepat bergerak dari pada harimau itu, sehingga justru
pisau Mahisa Pukatlah yang menyambar kening harimau
itu. Harimau itu melangkah surut sambil mengaum sekali
lagi. Ternyata tubuhnya telah menjadi merah oleh darahnya
yang mengalir dari luka-lukanya. Apalagi kedua anak muda
itu kemudian telah bersiap menghadapinya.
Sejenak harimau itu termangu-mangu. Namun ketika
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergerak bersama dari dua
arah mendekati harimau itu, maka harimau itupun telah
mengaum lebih dahsyat lagi oleh kemarahan yang
bergejolak didalam dadanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Puat tertegun. Tetapi ketika
pisau belati kedua anak muda itu mulai bergerak lagi, tibatiba
harimau itu telah meloncat. Tidak menyerang salah
seorang dari kedua anak muda itu, tetapi harimau itu telah
meloncat berlari memasuki daerah persawahan, menyusup
diantara batang-batang padi yang hijau.
Mahisa Pukat telah siap pula untuk berlari mengejar.
Tetapi Mahisa Murti telah menggamitnya sambiil berdesis
"Biarkan harimau itu lari. Kita tidak akan dapat
mengejarnya" Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk sambil berkata "Ya. Kita memang
tidak akan dapat mengejarnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu
beberapa saat. Tetapi kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata "Kita akan
meneruskan perjalanan. Kita akan menuju ke padukuhan di
depan kita" "Baiklah" jawab Mahisa Pukat yang kemudian bertanya
"apakah kita akan menempuh jalan ini atau seperti tadi kita
akan berjalan lewat pematang?"
"Kita akan berjalan melalui jalan ini" berkata Mahisa
Murti "tetapi kita perlu mengobati luka-luka kita.
Meskipun tidak terlalu dalam, namun kita harus
menempatkan darah yang mengalir ini lebih dahulu"
Mahisa Pukatpun mengangguk-angguk. Tubuhnya juga
terluka ketika tubuh itu dibanting-banting oleh harimau itu
dan membentur padas yang tajam, sedangkan Mahisa Murti
terluka tersentuh oleh kuku harimau itu.
Setelah menaburkan obat pada luka yang berdarah, maka
keduanyapun telah melanjutkan perjalanan. Mereka tidak
algi menghindari jalan yang mereka lalui seperti
sebelumnya. "Mungkin kita masih akan bertemu dengan hambatan
lagi" berkata Mahisa Murti.
"Mungkin sekelompok penyamun" desis Mahisa Pukat.
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi dipandanginya
bulak panjang yang terbentang dihadapannya. Rasa-rasanya
mereka berdua memang telah memasuki satu daerah yang
asing dan penuh dengan rahasia.
Kedua anak muda itu berjalan dengan hati-hati. Mereka
tidak menyelipkan pisau mereka dibawah kain panjang
mereka. Tetapi mereka telah meletakkan pisau-pisau belati
mereka diluar agar setiap saat diperlukan, mereka dengan
cepat dapat menariknya dari sarungnya.
Bahkan kedua anak-anak muda itu seakan-akan selalu
menggenggam hulu pisau belatinya sambil berjalan
menyusuri jalan bulak yang panjang itu.
Pada setiap langkah, baik Mahisa Murti maupun ,
Mahisa Pukat tidak pernah terlepas dari perhatian mereka
terhadap keadaan disekitarnya. Malam yang gelap, batangbatang
padi yang bergerak oleh sentuhan angin malam yang
lembut dan suara langkah kaki mereka sendiri.
Namun untuk beberapa saat lamanya, mereka sama
sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Tidak .ada
binatangdan tidak ada seorangpun yang mereka jumpai,
sehingga akhirnya mereka mendekati regol padukuhan.
"Kita akan memasuki padukuhan itu" berkata Mahisa
Murti. "Ya. Ternyata ciri-cirinya tepat seperti yang dikatakan
oleh Senopati itu. Tetapi bukankah pesannya, agar kita
tidak memasuki padukuhan itu lewat regol. Baik siang,
maupun malam?" jawab Mahisa Pukat.
"Ya" Mahisa Murti mengangguk-angguk "orang yang
akan kita datangi tidak banyak dikenal di padukuhan ini.
Seandainya ia dikenal juga, tentu bukan sebagai petugas
sandi dari Singsari"
Ketika anak muda itupun kemudian terdiam. Tempat
yang mereka tuju telah ada didepan mereka. Dari tempat
itu, seorang Senapati lain dari Singasari memimpin tugastugas
sandi atas beberapa orang kepercayaan mereka.
Petugas-petugas itulah yang agaknya hilir mudik di daerah
perbatasan, dan bahkan mungkin di seluruh kota Kediri.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya mengamati
pintu gerbang itu. Mereka yakin, bahwa dibelakang pintu
gerbang itu terdapat sebuah gardu. Namun mereka tidak
tahu, apakah didalam gardu itu terdapat pata peronda atau
tidak. "Kita akan memilih meloncat dinding disisi sebelah kiri
sebagaimana disarankan oleh Senopati itu, kecuali dalam
keadaan yang khusus menurut pertimbangan kita. Namun
agaknya saat ini kita tidak menjumpai persoalan yang dapat
memaksa kita untuk memilih tempat lain" berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Memang
tidak ada persoalan yang harus merubah cara sebagaimana
ditunjukkan oleh Senapati Singasari yang berada di Talang
Amba. Karena itu, maka keduanyapun telah bergeser ke kiri
menuju ke sebatang pohon yang besar dan rimbun, yang
akan dapat membayangi mereka, saat mereka memasuki
dinding padukuhan. "Pohon itu tentu pohon preh" desis Mahisa Pukat
bukankah disebelahnya ada sebatang pohon siwalan?"
"Ya" Mahisa Murti mengangguk "kita akan meloncati
dinding dibawah pohon preh itu"
Kedua anak muda itupun kemudian dengan hati-hati
telah memasuki bayangan pohon preh yang kelam. Dengan
hati-hati pula keduanya berusaha untuk meloncati dinding
tanpa mengetahui apakah yang ada didalam dinding itu.
Namun ketika keduanya menelungkup melekat dinding
itu dalam bayangan pohon preh, mereka sama sekali tidak
melihat sesuatu dib"wah mereka.
Namun demikian keduanya masih menunggu sesaat
untuk menyakinkan bahwa mereka tidak akan menjumpai
kesulitan apabila mereka kemudian meloncat turun.
Malam memang terasa sangat sepi dan kelam. Tetapi
udara yang mengalir serasa memberi peringatan, bahwa
sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Diluar sadarnya Mahisa Murtipun memandang Mahisa
Pukat yang masih menelungkup. Perlahan-lahan ia berdesis
dan kemudian memberi isyarat untuk meloncat turun.
Sesaat kemudian keduanya telah berada di dalam
dinding padukuhan. Dengan hati-hati keduanya meraya
disepanjang dinding padukuhan itu, untuk mencari ciri-ciri
yang dapat menunjukkan arah, kemana mereka harus pergi.
Tiba-tiba keduanya tertegun. Mereka melihat sebuah
jalan sempit yang ujungnya ditumbuhi sebatang pohon
kulbandang. Daunnya yang berwarna ke kuning-kuningan
cepat menarik perhatian. "Disebelah pohon itu terdapat sebuah tugu batu" desis
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk. Perlahan-lahan ia merayap
mendekatinya. Sebenarnya mereka melihat sebuah tugu
yang tidak terlalu besar. Tugu yang menurut Senopati
Singa-sari di Talang Amba berisi keterangan tentang
wewenang seorang Kepala Tanah Perdikan dimasa lampau,
tiga keturunan sebelum Buyut yang sedang memerintah.
Dengan demikian maka keduanya telah memasuki
lorong sempit itu. Menyusup dibawah pohon kulbandang
dan kemudian berjalan dengan sangat hati-hati menuju
sebuah halaman rumah yang tidak terlalu sempit, tetapi
juga bukan termasuk halaman yang luas, yang didalamnya
tumbuh sebatang pohon pucung.
"jika pohon pucung itu sudah ditebang" berkata Senapati
di Talang Amba "atau roboh oleh angin, kalian dapat
melihat cirri dari pintu gerbang halaman yang tidak terlalu
besar. Kau akan melihat bahwa gawang pintunya sebelah
kiri dan sebelah kanan tidak sama besar"
Karena itu, maka kedua anak muda itu berusaha
mengamati setiap halaman dengan saksama. Namun
mereka tidak perlu mengamati gawang pintu regol, karena
kemudian mereka telah melihat sebatang pohon pucang
yang sudah sangat tinggi.
"Pohon itu masih ada" berkata ia masih juga
meyakinkan melihat gawang pintu gerbang. Ternyata
seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, gawang pintu
gerbang itu sebelah kiri dan kanan memang tidak sama.
"Rumah inilah yang harus kita datangi" berkata Mahisa
Murti. "Apakah kita akan segera masuk?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Kita harus memperlihatkan ciri kita setelah orang
yang kita hadapi menyebut satu kalimat sandi" berkata
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia harus selalu ingat,
semua pertanda, ciri kata-kata rahasia sebagai pertanda
bahwa mereka berhadapan dengan orang yang benar.
Sejenak kemudian, kedua orang anak muda itupun
berusaha untuk membuka pintu regol. Ternyata pintu itu
sama sekali tidak diselarak. Tidak ada tanda-tanda bahwa
tempat yang mereka masuki kemudian adalah tempat yang
penting, yang menjadi pusat pengendalian petugas-petugas
rahasia Singasari di Kediri.
Dengan tidak ragu-ragu, karena semua ciri yang disebut
oleh perwira Singsari di Talang Amba itu telah mereka
ketemukan, maka merekapun langsung menuju ke
seketheng sebelah kiri. Kemudian tanpa ragu-ragu pula
Mahisa Murti mengetuk pintu seketheng itu dua kali
berganda. Sejenak kedua anak muda itu menunggu. Sementara itu
Mahisa Pukat yang menengadahkan kepalanya telah
melihat cahaya fajar mulai mewarnai langit.
"Hampir pagi" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk. Iapun melihat langit yang
semakin cerah. Karena itu, maka katanya "Mudahmudahan
kita segera menemuinya. Meskipun kita tidak
terikat waktu, tetapi semakin cepat agaknya semakin baik
bagi kita. Apapun yang kemudian terjadi, kita sudah berada
dibawah pengetahuan yang bertugas disini"
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Di dalam
seketheng telah terdengar langkah mendekati.
Sejenak kemudian pintupun terbuka. Seorang perempuan
berdiri tegak di pintu. Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangumangu.
Namun kemudian perempuan itupun bertanya
"Apakah kalian mencari seseorang?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung.
Mereka mengharap seseorang menerima mereka dan
langsung mengucapkan kata sandi. Tetapi yang sekarang
mereka temui adalah seorang perempuan yang bertanya
sewajarnya. Namun akhirnya Mahisa Murtipun menjawab "Kau
ingin bertemu dengan pemilik rumah ini"
Jawaban perempuan itu semakin membingungkannya.
Katanya "Ya. Akulah pemilik rumah ini. Aku menjadi
cemas melihat kedatangan kalian pada waktu yang bukan
sewajarnya seperti ini"
Sejenak kedua anak muda itu saling berpandangan.
Tetapi Mahisa Murtipun akhirnya berkata "Aku datang
dengan ketukan khusus pada pintu seketheng sebelah kiri"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Marilah. Silahkan masuk"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mengikutinya.
Mereka menjadi ragu-ragu. Jika penghuni rumah itu sudah
berganti karena sesuatu hal, mungkin dengan kekerasan
atau pertimbangan-pertimbangan lain, maka mereka akan
menemui kesulitan. Dalam kebimbangan maka Mahisa Murtipu kemudian
menuju kepintu butulan. Dari dalam cahaya lajspu
memancar keluar lewat daun pintu yang terbuka.
"Marilah anak-anak muda" perempuan itu
mempersilahkan. Kedua anak muda itu melangkah masuk. Mereka
memasuki ruang yang tidak begitu luas. Memang agak
berbeda dengan bayangan mereka, bahwa mereka akan
memasuki ruang dalam dibelakang pringgitan.
"Silahkan" berkata perempuan itu selanjutnya
"masuklah ke ruang tengah"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin ragu.
Namun keduanya tidak dapat melangkah surut. Dari dalam
terdengar suara berat "Masuklah anak-anak muda. Kami
memang sedang menunggu kedatangan kalian"
Kedua anak muda itu tertegun sejenak. Namun
kemudian Mahisa Murti berdesis "Apaboleh buat"
Diikutsertakan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murtipun
memasuki pintu yang ditunjuk oleh perempuan itu. Hampir
diluar sadar mereka, tangan kedua anak itu melekat pada
hulu pisau belati mereka.
Demikian mereka memasuki ruang u, maka jantung
mereka terasa berdegup semakin keras. Nafas mereka
terhenti sejenak. Betapa keduanya terkejut ketika keduanya
melihat orang bertubuh raksasa dan pemilik warung itu
berada didalam ruangan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri tegak didepan
pintu. Wajah mereka menjadi tegang.
Namun dalam pada itu, terdengar pemilik warung itu
berkata "Acungkan tangan kalian dengan jari-jari yang
mengembang" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik
nafas dalam-dalam. Orang itulah yang memang mereka
cari. Kata-kata itu adalah kata-kata yang memang harus
mereka dengar dari mulut pemilik rumah itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
mengulurkan tangan mereka. Jelas terlihat oleh orang yang
menjadikan dirinya pemilik warung itu, cincin khusus di
jari kedua anak muda itu.
Agaknya pemilik warung itu mengenali sikap keduanya.
Sikap yang memang harus diperlihatkan jika mereka berada
di tempat itu. "Bagus" berkata pemilik warung itu "duduklah. Ternyata
kalian adalah anak-anak kelinci sebagaimana aku duga
meskipun agak kurang meyakinkan. Tetapi sikap kalian
menimbulkan kepercayaan padaku, bahwa kalian memang
datang untuk kepentingan Singasari"
"Ya" jawab Mahisa Murti "kami datang untuk
melaporkan diri" "Besok kita bicarakan tentang diri kita masing-masing.
Sekarang kalian dapat beristirahat" berkata orang yang
dikenal sebagai pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun kemudian orang yang bertubuh raksasa itupun
berkata "Marilah Ikut aku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu.
Namun orang bertubuh raksasa itu tersenyum sambil
berkata "Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Bukankah
kalian telah mengalahkan aku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Ketika mereka berpaling kepada orang yang
dikenalnya sebagai pemilik warung itu, maka dilihatnya
orang itupun tersenyum. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
mengikuti orang bertubuh raksasa. Mereka kemudian
dibawa keserambi belakang dan kemudian keduanya
dibawa masuk kedalam sebuah bilik yang tidak terlalu luas.
"Beristirahatlah" berkata orang bertubuh tinggi besar itu
"besok masih banyak waktu bagi kalian untuk berbicara
tentang tugas kalian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Keduanya memasuki bilik yang tidak terlalu luas itu.
Sebuah lampu minyak masih menyala. Namun meskipun
kecil, tetapi bilik itu nampak bersih.
Sehingga tikar pandan yang putih terbentang diatas
sebuah amben bambu yang cukup besar untuk kedua anak
muda itu. Sebuah geledek bambu berada disudut dan
sebuah dingklik kayu melekat dinding dibawah lampu
minyak yang masih menyala.
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi keduanya mengamati ruangan itu, maka orang
bertubuh raksasa itu berkata "Silahkan. Aku akan pergi.
Masih ada waktu meskipun hanya sekejap"
"Terima kasih" sahut Mahisa Pukat.
Ketika orang itu meninggalkan kedua anak muda itu,
maka Mahisa Murtipun telah menutup pintu bilik itu dan
menyelaraknya. Kemudian sambil menarik nafas dalamdalam
iapun membaringkan dirinya di amben itu.
"Aku memang merasa lelah" berkata Mahisa Murti.
"Kita akan dapat beristirahat" berkata Mahisa Pukat
"nah jika kau lelah sekali, tidurlah. Aku sudah terlanjur
tidak merasa mengantuk"
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia memang
menguap. Tetapi agaknya Mahisa Murtipun sudah tidak akan
sempat tidur. Suara ayam jantan yang berkokok telah
memenuhi keheningan. Fajar memang telah menyingsing.
Mahisa Pukat duduk diatas amben bambu dibawah
lampu minyak yang berkerdipan. Sambil bersandar dinding
diamatinya Mahisa Murti yang berbaring. Tetapi Mahisa
Murti sama sekali tidak memejamkan matanya.
"Tidurlah" desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya "Mana mungkin
pada waktu yang begini. Entahlah, justru setelah matahari
terbit nanti. Mungkin aku justru akan tertidur nyenyak"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Dipandanginya sudutsudut
ruangan itu, seakan-akan ada yang dicarinya. Namun
Mahisa Pukat memang tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu saling berdiam
diri. Lampu minyak masih berkeredipan menerangi bilik
itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja bangkit. Ia mendengar suara
pedati di halaman yang mulai bergerak. Semakin lama
menjadi semakin jauh. "Pedati" desis Mahisa Murti
"Ya. Mungkin sesuatu harus dibawa dengan pedati
meninggalkan rumah ini" sahut Mahisa Pukat.
"Matahari masih belum terbit" berkata Mahisa Murti
kemudian. Mahisa Pukat tidak menyahut. Bahkan merekapun telah
duduk kembali dengan baik ketikamereka mendengar derap
langkah mendekati. Sejenak kemudian pintu bilik itupun diketuk dari luar.
Perlahan-lahan saja. Mahisa Pukatpun yang kemudian berdiri menghampiri
pintu. Meskipun kedua anak muda itu merasa, bahwa
mereka telah sampai ketempat yang memang harus di
datangi, namun mereka masih tetap berhati-hati.
Demikian pintu, itu terbuka, maka mereka melihat orang
yang bertubuh tinggi besar itu telah berdiri diluar pintu.
"Apakah kalian sempat beristirahat" bertanya orang
bertubuh raksasa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling ber pandangan
sejenak. Namun sebelum mereka menyahut, orang
bertubuh raksasa itu berkata "kalian tentu belum, sempat
beristirahat. Tetapi kalian dipanggil ke dalam"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak.
Merekapun kemudian mengikuti orang bertubuh-itu masuk
keruang dalam. Diruang dalam orang yang menyebut dirinya pemilik
warung itu duduk diapit oleh dua orang yang belum pernah
dilihat sebelumnya oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
ruang itu, maka sambil tersenyum orang yang menyebut
dirinya pemilik warung itupun segera mempersilahkan
duduk. "Marilah anak-anak muda" berkata orang itu "sebentar
lagi aku harus sudah pergi. Pedati yang membawa
dagangan ke warungku sudah berangkat. Aku harus segera
menyusulnya. Nanti pada saat matahari naik, orang mulai
datang untuk berbelanja di pasar itu dan diantara mereka
akan singgah di warung kami"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Pedati yang meninggalkan halaman itu ternyata
berisi dagangan yang akan dijual diwarung. Mungkin nasi
dan beberapa jenis makanan sebagaimana pernah mereka
makan pada saat-saat mereka berada di warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk
pula bersama beberapa orang di ruang itu. Dengan
berdebar-debar keduanya menunggu apa yang akan
dikatakan oleh pemilik warung itu kepada mereka.
Baru sejenak kemudian orang itu berkata "Anak-anak
muda. Melihat ciri-ciri dan sikap kalian, maka kami tidak
meragukan lagi bahwa kalian telah dikirim untuk bergabung
dengan kami. Kami sama sekali tidak berkeberatan karena
kami memang memerlukan kawan-kawan yang akan dapat
membantu kami dalam saat seperti sekarang ini. Karena itu,
lakukan apa yang telah kalian persiapkan. Aku dan kawankawan
kita yaiig sudah terdahulu berada disini akan dapat
membantu keterangan-keterangan yang kalian perlukan.
Namun dalam banyak hal kami masih harus bekerja keras.
Persoalan Pangeran Kuda Permati merupakan bagian yang
terpenting dari. tugas kita disini. Sementara itu peristiwa
yang dialami Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat
lepas dari perhatian kita. Kita akan mengikuti persoalannya
untuk selanjutnya, sementara itu sikap Sri Baginda atas
Pangeran Lembu Sabdatapun secara terus-menerus kita
ikuti. Untuk selanjutnya, maka kalian berdua telah
diserahkan kepadaku untuk membimbing langkah-langkah
selanjutnya dalam hubungan dengan tugas ini. Sayang
sekali bahwa kalian masih belum dapat berhubungan
langsung dengan Senapati dalam tugas ini di Kediri.
Mungkin pada suatu saat kalian akan mendapat
kesempatan. Namun segala sesuatunya masih tergantung
pada keadaan. Sedangkan aku sendiri masih belum
mendapat kesempatan untuk mengetahui dimana tempat
Senapati itu dalam tugas ini meskipun aku pernah melihat
baraknya di Singsari, barak pasukan khusus sandi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Ternyata pemilik warung itu juga bukan pemimpin dari.
jaringan sandi Singsari yang ada di Kediri. Namun
demikian orang itu tentu memiliki wawasan yang cukup
luas dan akan dapat meberikan kesempatan untuk
melakukan tugasnya. "Anak-anak muda" berkata pemilik warung itu
"mungkin kalian dapat menyebut nama kalian yang
sebenarnya dan bahan-bahan yang ada pada kalian dalam
tugas kalian" Kedua anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian mereka berusaha untuk menghilangkan segala
prasangka. Karena itu maka Mahisa Murtipun menjawab
"Namaku adalah Mahisa Murti, dan saudaraku ini bernama
Mahisa Pukat. Kami datang dari Talang Amba, satu daerah
yang menjadi sasaran serangan Pangeran Lembu Sabdata
itu ditangkap dan jatuh ketangan orang-orang Singasari
Namun kedatangan Pangeran Singa Narpada telah
membawanya ke Kediri. Meskipun akhirnya terjadi sesuatu
yang agaknya kurang wajar"
Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Iapun dapat
mengerti kenapa kedua orang anak muda itu
berkepentingan dengan Pangeran Kuda Permati. Namun
kemudian iapun bertanya pula "Anak-anak muda. Apakah
kalian memang anak-anak muda dari Talang Amba?"
Mahisa Murtipun kemudian menceriterakan tentang
dirinya dan tentang Mahisa Pukat. Ia sadar, bahwa dengan
demikian, maka tugasnya berdua tidak akan banyak
terganggu oleh prasangka. Jika orang-orang itu
mempercayainya dan mengetahui latar belakang
kehadirannya, maka ia akan mendapat bantuan seperti yang
dikehendakinya. Pemilik warung itupun memperhatikan segala
ceriteranya dengan saksama. Kemudian dengan suara datar
iapun berkata "Pantas. Memang kalian tidak akan
mendapat pertanda bahwa kalian termasuk dalam jajaran
petugas sandi jika kalian memang tidak mempunyai
kelebihan apa-apa. Kelebihan kemampuan kalian telah
kami ketahui. Kalian mampu melampaui hambatanhambatan
yang kami pasang. Bahkan kemudian ternyata
kalian memang anak-anak muda yang pantas untuk
mendapat kehormatan, karena kalian kemenakan Mahisa
Agni dan adik Mahisa Bungalan. Seorang Senopati yang
penunjul" "Tetapi mungkin kami akan mengecewakan kalian"
berkata Mahisa Pukat kemudian.
"Entahlah apa yang akan terjadi. Tetapi kita akan
berusaha untuk bekerja bersama. Biarlah kalian hari ini
beristirahat secukupnya. Besok kalian akau membantu aku
di warung itu sebelum kalian mendapatkan jalan, apa yang
harus kau lakukan kemudian. Pada hari-hari tertentu kalian
dapat berada di warung itu. Apalagi pada hari-hari
Keliwon. Biasanya pada hari-hari itu warungku banyak
dikunjungi orang, karena pasar itu memang menjadi lebih
ramai dari hari-hari biasanya" berkata pemilik warung itu,
lalu "Sementara itu, dalam usaha kailan melaksanakan
tugas kalian, kalian dapat berhubungan langsung dengan
kedua orang ini. Pada saat-saat aku tidak ada, kedua orang
ini akan memberikan banyak petunjuk dan bimbingan bagi
kalian, berdua" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sekilas diamatinya kedua orang yang sebelumnya belum
pernah dilihatnya itu. Sementara itu pemilik warung itu
berkata "Yang seorang bernama Watang Cemani sedang
yang lain adalah Lembu Panenggak. Keduanya adalah
kawan-kawanku terdekat"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun hampir diluar sadarnya, Mahisa Pukatpun bertanya
"Sedangkan Ki Sanak sendiri?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tersenyum. Jawabnya "Namaku Dandang
Panumping" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menganggukangguk.
Sementara itu, pemilik warung yang menyebut
dirinya bernama Dandang Panumping itu berkata "Tetapi
anak-anak muda, sebagai penjual di warung itu namaku
adalah Ki Pugutrawe"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja
mengangguk-angguk. Mereka harus mengingat-ingat nama
itu. Diwarung ia harus memanggil orang itu Ki Pugutrawe.
Dalam pada itu, maka Ki Pugutrawe itupun kemudian
berkata "Sudahlah, Aku sudah kesiangan hari ini. Aku akan
segera menyusul daganganku. Sebentar lagi orang-orang
akan memerlukan makan pagi. Dan aku harus melayani
mereka" Demikianlah, maka pemilik warung yang menyebut
dirinya bernama Ki Pugutrawe itupun telah bersiap-siap
untuk berangkat, sementara Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dipersilahkan kembali kedalam biliknya. Hari itu
mereka masih belum mempunyai tugas apapun juga.
Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian mendapat kesempatan untuk kembali kedalam
biliknya sementara Pugutrawe masih berpesan "Kedua
orang yang akan memberi kalian bimbingan ini tinggal di
rumah ini pula. Mereka ada digandok sebelah Timur.
Namun demikian kalian harus ikut menjaga, agar rumah ini
nampaknya tetap lengang dan tidak penuh dengan orangorang
yang dapat menarik perhatian. Jika tidak penting
sekali, kalian jangan berkeliaran di halaman depan.
Sementara halaman rumah ini telah aku bawakan dengan
kesibukan orang-orang yang membantu aku sebagai pemilik
warung itu. Mereka adalah orang-orang yang setiap kali
datang menjual kayu bakar, daun pisang dan kebutuhankebutuhan
lain. Sebuah pedati dengan orang-orang yang
memelihara lembunya dan beberapa orang untuk
kepentingan-kepentingan lain"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat
gambaran yang agak lengkap dengan isi rumah itu. Karena
itu, maka merekapun kemudian telah kembali kedalam bilik
untuk beristirahat. Ketika mereka duduk diserambi, maka orang yang
bertubuh raksasa itu datang mendekat. Kemudian iapun
duduk pula disebelah mereka sambil bertanya "He, dari
mana kalian mendapat ilmu iblis kalian itu" Anak-anak
yang masih semuda kalian mampu mempermainkan aku.
Sebenarnyalah aku benar-benar menjadi marah terhadap
kalian" Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Kau memiliki modal
yang luar biasa. Tetapi kau tidak sempat mengembangkan
ilmumu lebih jauh. Kau mempunyai kekuatan raksasa
sesuai dengan tubuhmu"
"Ya. Aku memang tidak sempat. Tetapi aku akan
mencari waktu khusus untuk itu. Aku mudah mendapat ijin
dari Pugutrawe untuk melakukannya" berkata orang
bertubuh raksasa itu "he, apakah kalian mau berlatih
bersama aku?" "Apakah disini tidak ada orang lain?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku agak segan dengan Watang Cemani dan Lembu
Penenggak. Mereka adalah orang yang terlalu bersungguhsungguh
dalam banyak hal" jawab orang bertubuh raksasa
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Menurut pengamatan mereka yang hanya sekilas, kedua
orang itu nampaknya memang pendiam dan tidak banyak
bicara. Selama mereka berada diruang dalam, keduanya
sama sekali tidak menunjukkan sikap yang ramah. Wajah
keduanya memang nampak selalu bersungguh-sungguh.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukatpun kemudian
bertanya kepada, raksasa itu "Bagaimana anggapanmu
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentang kami" Apakah kau mengira bahwa kami tidak
selalu bersuugguh-sungguh, sehingga kau tidak segan
menyatakan niatmu kepadaku?"
"Jangan mengada-ada. Aku tahu, kalian bukan orangorang
garang. Ketika kalian terlibat dalam perkelahian yang
seru, kalian masih sempat mempermainkan aku" jawab
orang bertubuh tinggi besar itu "dengan demikian aku
menganggap bahwa kalian memang orang-orang yang tidak
terlalu kaku, dan bahkan sedikit mempunyai sifat Jenaka"
Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Sukurlah jika masih
ada orang yang menganggap kami demikian. Sebenarnyalah
kami adalah orang-orang yang kasar dan sama sekali tidak
mengenal gurau" "Omong kosong" sahut raksasa itu "bagaimana sifat dan
keadaan, aku ingin mendapat kesempatan untuk
meningkatkan ilmu meskipun hanya dalam kesempatan
yang terbatas" Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya "Baiklah. Kita
dapat mengatur waktu. Aku belum tahu, kewajiban apakah
yang harus aku lakukan. Tetapi aku kira, bahwa aku tidak
hanya akan berada dirumah ini. Rumah ini hanyalah
sekedar tempat persinggahan untuk memberikan laporanlaporan
dan mendapatkan petunjuk-petunjuk yang kami
perlukan" Orang itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya.
Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang lain.
Mereka pada umumnya memang tidak tinggal di rumah
ini" orang itu berhenti sejenak, Lalu "Nah, jika demikian,
mumpung kalian untuk sementara masih berada dirumah
ini" Mahisa Pukatpun mengangguk sambil tersenyum.
Katanya "Baiklah. Aku setuju. Besok kita akan mulai,
apakah disini ada sanggar yang memadai?"
"Tidak usah dengan sanggar. Kita dapat berlatih di
tempat terbuka. Dihalaman belakang yang rimbun oleh
pepohonan. Tetapi sudah barang tentu dimalam hari"
"Apakah bunyi gaduh yang timbul tidak akan menarik
perhatian?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita dapat mempergunakan tempat yang paling sepi,
tempat yang agak jauh dengan tetangga dan tempat-tempat
yang dihuni orang di halaman ini" jawab orang bertubuh
raksasa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Keduanya memang tidak berkeberatan. Apalagi Pututrawe
sudah memberi ijin kepada orang bertubuh raksasa itu.
Meskipun agaknya Pututrawe bukan orang tertinggi, tetapi
ia tentu memiliki pengaruh yang besar diantara mereka.
Namun sementara itu, selagi mereka masih berbicara
tentang kemungkinan-kemungkinan latihan untuk
meningkatkan ilmu masing-masing, maka mereka tertegun
ketika mereka melihat Watang Cemani muncul dari sudut
rumah itu dan berada diserambi.
"O" orang bertubuh raksasa itu tergagap "marilah"
"Aku akan berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat" jawab Watang Cemani dengan wajah yang sama
sekali tidak berubah. Wajah yang selalu nampak
bersungguh-sungguh. "Silahkan" jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Aku memerlukan mereka di ruang dalam" gumam
Watang Cemani. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun merekapun kemudian bangkit sambil bersiap-siap
untuk mengikuti Watang Cemani.
"Kau tinggal disini" berkata Watang Cemani kepada
orang bertubuh tinggi besar itu.
Orang itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian
mengangguk sambil menjawab "Baiklah. Aku tinggal
disini" Watang Cemanipun kemudian meninggalkan serambi
itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
mengikutinya menuju keruang dalam.
Diruang itu telah menunggu Lembu Penenggak. Seperti
Watang Cemani, maka wajah Lembu Panenggakpun
nampaknya selalu bersungguh-sungguh.
"Marilah anak-anak" desis Lembu Panenggak dengan
suara yang datar. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk
dihadapan Lembu Panenggak, sementara Watang
Cemanipun telah duduk pula disamping Lembu Panenggak.
"Ada yang ingin kami ketahui tentang kalian" berkata
Lembu Panenggak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Tetapi mereka tidak menjawab.
"Siapakah sebenarnya yang telah memerintahkan kalian
berdua kemari?" bertanya Lembu Panenggak
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun
Mahisa Murtipun kemudian menjawab "Sudah kami
ceriterakan, bagaimana kami dapat mencapai tempat ini"
"Ya. Tetapi siapakah yang memerintahkan kalian" ulang
Lembu Panenggak dengan nada berat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu
"Senapati dari Singasari yang memimpin sepasukan prajurit
di Talang Amba untuk menghadapi pasukan Pangeran
Lembu Sabdata" Lembu Panenggak mengerutkan keningnya. Wajan
memancarkan perasaan yang sulit ditebak.
"Anak-anak" berkata Lembu Panenggak kemudian
"sebenarnya aku merasa heran, bahwa seorang Senapati
memerintahkan kalian untuk datang kemari dalam tugas
sandi. Apakah Senapati itu tidak mempunyai petugaspetugas
sendiri-sendiri, sehinggat merekalah yang akan
mendapat tugas yang berat ini. Petugas-petugas sandi
memerlukan latihan khusus untuk melaksanakan tugasnva.
Sedangkan kalian adalah anak-anak ingusan yang
disamping tidak mengenal paugeran dan kebiasaankebiasaan
dalam tugas sandi ini"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Murtipun kemudian menjawab
"Kami memang tidak mendapat latihan apapun dalam
tugas ini. Kami hanya merasa terpanggil untuk membantu
menjernihkan kekeruhan yang terjadi di Talang Amba.
Namun kamipun tertarik keadaan keganjilan-keganjilan
yang terjadi di Kediri, bahwa menurut pendengaran kami,
ada semacam salah paham yang telah terjadi setelah
Pangeran Singa Narpada kembali dari Talang Amba"
"Hanya itu?" bertanya Lembu Panenggak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi, bingung,
sehingga Mahisa Murtipun bertanya "Aku tidak tahu yang
kau maksudkan" "Ternyata kalian memang anak-anak yang bodoh.
Dengar baik-baik" berkata Lembu Panenggak "apakah
hanya karena itu maka kalian merasa terpanggil" Apakah
kalian tahu, dimanakah letak istana Kediri. Di mana istana
Pangeran Singa Narpada, Pangeran Lembu Sabdata dan
Pangeran Kuda Permati. Apakah kalian mengenal salah
seorang dari keluarga mereka sehingga kalian akan dapat
mencari hubungan untuk mengetahui persoalan yang
berkembang di antara mereka. Apalagi apakah kalian
mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada
disekitar Sri Baginda untuk mendapatkan penjelasan
tentang sikap Sri Baginda atas Pangeran Singa Narpada?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
bingung. Sambil menggeleng Mahisa Pukat itupun
menjawab "Tidak. Kami tidak tahu apa-apa tentang
semuanya itu. Sekali lagi aku katakan, bahwa kami hanya
merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan Talang
Amba dan Gagelang. Jika kami terlempar ketempat ini,
sebenarnya hanyalah kelanjutan saja dari sikap kami.
Namun kami tidak terlalu bodoh untuk mendengarkan
keterangan tentang semua yang belum kami ketahui. Kami
ternyata mampu menemukan rumah ini dan berhubungan
dengan Dandang Penumping"
Wajah Lembu Panenggak menjadi tegang
Dipandanginya Mahisa Pukat dengan sorot mata tajam.
Sementara itu terdengar ia berkata "Kau semakin
menunjukkan kebodohan. Mencari Dandang Penumping
bukan satu soal yang dapat dibanggakan. Anak anak
kecilpun akan dapat melakukannya. Tetapi yang aku
tanyakan adalah bobot dari alasanmu datang kemari dan
jangkauan pengetahuanmu tentang medan yang akan kau
hadapi" "Semuanya sudah kami katakan" jawab Mahisa Pukat
"apa lagi" "Kami meragukan keterangan kalian yang kalian
katakan kepada Dandang Penumping dan kepada kami"
berkata Lembu Panenggak. Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata lantang "Terserah. Itu
hakmu. Tetapi kami memakai cincin yang diberikan oleh
seorang Senapati dari Singasari.
"Kami juga meragukan keaslian cincin itu" jawab
Lembu Panenggak itu dengan tegas.
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Karena itu, maka dengan wajah yang tegang
dan suara yang bergetar Mahisa Pukat menjawab "Ternyata
kami justru telah meragukan kalian berdua. Ternyata kalian
tidak dapat mengenali keaslian cincin yang kami pakai.
Dengan demikian maka kalian berdua bukan seorang yang
tahu pasti akan pertanda yang sudah disiapkan oleh
Singasari" Sementara itu Mahisa Murtipun menyambung "Kau
sudah menempatkan dirimu pada keadaan yang sulit dalam
pandangan kami, Seandainya kalian tidak mengenal cincin
ini sebagai cincin yang memang benar-benar diserahkan
oleh seorang pemimpin dari lingkungan petugas sandi,
maka kau memang pantas dicurigai. Apalagi karena kau
sudah berhasil memasuki rumah ini, satu lingkungan yang
menurut pendapat kami, pasti merupakan lingkungan dari
banyak lingkungan para petugas sandi, sebaiknya jika
alasan itu hanya sekedar alasan, ketidak percayaan kalian
terhadap kami berdua, maka kau telah menempatkan
dirimu berhadapan langsung dengan dengan Senapati yang
telah memberikan cincin itu kepada kami. Siapapun kami,
betapapun bodoh dan dungunya kami berdua, tetapi kami
sudah mendapatkan kepercayaan itu dari Senapati yang
berwenang memberikan pertanda itu kepada kami. Dengan
demikian, maka jika kau tidak mengakui pertanda ini, maka
sepantasnya kau mendapat perhatian khusus dari Singasari"
"Anak-anak gila" geram Lembu mulai mengancam
dengan cara yang sudah terlalu sering dipergunakan oleh
orang-orang seperti kalian. Tetapi semuanya itu tidak ada
gunanya. Kalian akan tetap dianggap sebagai orang-orang
yang telah dengan sengaja menyusup kedalam lingkungan
kami" "Bagus" jawab Mahisa Pukat "kau mau apa?"
Wajah orang itu menjadi merah, sementara itu Mahisa
Murti melanjutkan "Itulah sebabnya, maka Singasari
dengan penuh kebijaksanaan telah mengirimkan orang
ketiga bersama kami. Orang yang akan mengawasi kami
tetapi juga akan melindungi kami. Orang yang berasal dari
lingkungan keprajuritan Singasari sendiri"
Ketegangan nampaknya telah mencengkam jantung
Lembu Panenggak. Dipandanginya Watang Cemani
sejenak. Namun kemudian Lembu Panenggak itu tertawa.
Katanya "Sekarang kami semakin yakin bahwa kalian
memang orang yang tidak pantas berada diantara kami.
Seorang petugas sandi yang sebenarnya tidak akan
menyebut orang lain dari lingkungannya, yang akan dapat
membuka jalur menelitian terhadap kawan-kawannya.
Dengan menyebut orang ketiga, maka kalian telah
menyatakan diri, bahwa kalian memang bukan orang-orang
yang pantas menyebut diri petugas sandi"
Kedua anak muda itulah yang menjadi semakin tegang.
Tetapi Mahisa Pukat dengan segera menjawab "Kau
memang jauh lebih bodoh dari yang aku duga. Kau kira
dalam hubungan sandi, aku dapat menunjukkan seseorang.
Jika kalian menuduh bahwa kami telah menyeret seorang
lagi diantara kami kedalam malapetaka, maka kau sama
sekali tidak mengerti tubuh dari petugas sandi. Tidak
seorangpun yang tahu, siapakah yang mendampingi dan
mengawasi. Tetapi dengan penuh kesadaran bahwa orang
itu ada disekitar kami. Nah, apa katamu"
Lembu Panenggak menggeretakkan giginya. Katanya
"Sikap kalian sangat sombong. Kalian sangka, apakah
kalian akan dapat menyelamatkan diri dari tangan kami.
Kami akan menangkap kalian. Kami tidak mempedulikan
Dandang Penumping. Setelah kalian berdua kami
selesaikan, maka barulah kami akan melaporkannya kepada
Dandang Penumping" Wajah Mahisa Pukatpun telah, membara. Katanya "Jika
benar kami memasuki mulut serigala, maka kami tidak
akan membiarkan diri kami untuk dikunyah. Tetapi kami
akan memotong tenggorokan serigala itu dan
membunuhnya. Karena itu, jangan menganggap bahwa
kami akan menyerah. Kami akan menyerah bersama
lepasnya nyawa kami"
"Omong kosong" geram Lembu Panenggak "kami
mampu menangkap kalian dan memeras keterangan
tentang orang ketiga yang kau sebut"
Mahisaa Murtipun yang kemudian menjawab dengan
suaranya bergetar "Sebenarnya kami menghormati kalian
berdua. Tetapi kami bukan kambing perahan yang dapat
kau perlakukan sekehendak hatia. Kami akan
mempertahankan diri sampai batas terakhir daria
kemampuan kami, apapun kalian akan bertempur berdua
saja, atau kalian masih ingin memanggil kawan"
"Gila" geram Lembu Panenggak "darahku sudah
mendidih. Apakah kau tidak menyadari, bahwa sikap
kalian akan membawa akibat yang lebih buruk dari mati"
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akibat apapun tidak akan dapat memaksa kami untuk
menyerahkan leher kami. Bersiaplah. Kita akan
menentukan, siapakah diantara kita yang pantas berada
dirumah ini menunggu kedatangan Dandang Panumping"
tantang Mahisa Murti. Dalam pada itu Watang Cemani pun telah bergeser mendekati
Lembu Panenggak. Wajahnyapun menjadi tegang
dan sikapnya menjadi garang.
Namun dalam pada itu, Lembu Panenggak menarik
nafas dalam-dalam sambil berkata "Kalian benar-benar
sudah jemu hidup" "Jangan aneh-aneh" berkata Mahisa murti "jika kalian
ingin berbuat sesuatu yang menarik kalian adalah benar,
maka lakukanlah sebagaimana kamipun akan berbuat
sesuai dengan keyakinan kami"
Lembu Panenggak memandang kedua anak muda itu
sejenak. Namun kemudian katanya "Ternyata kalian masih
beruntung. Dalam keadaan yang menentukan, aku
mendengar kedatangan seseorang yang tidak perlu tahu
tentang keadaan rumah ini meskipun ia terbiasa keluar
masuk tanpa hambatan"
"Apa maksudmu?" bertanya Mahisa Murti.
Lembu Panenggak terdiam sejenak. Diluar memang
terdengar langkah seseorang. Sejenak kemudian, pintu
berse-rit. Sebuah kepala muncul menjenguk kedalam.
"He" desis orang itu "apa yang sedang kalian lakukan?"
Lembu Panenggak yang tegang, tiba-tiba saja menjadi
ramah dan menjawab "Tidak apa-apa Kiai. Marilah"
Orang itu melangkah masuk. Dilihatnya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang agaknya belum dikenalnya. Dengan
ramah orang itu menyapanya "Siapa kalian" Aku yang
setiap hari datang kemari, belum pernah melihat kalian
berdua disini" "Keduanya adalah saudara Pugutrawe" jawab Lembu
Panenggak mendahului Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang termangu-mangu. "O" orang itu mengangguk-angguk "kebetulan sekali ada
kalian sekarang ini. Tolong, ambilkan aku kelapa muda"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Sebelum mereka menjawab orang itu mendesak "Ayo.
Jangan ragu-ragu. Pugutrawe sendiri sering memanjat
untuk mengambil kelapa muda bagiku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangumangu.
Karena itu maka orang itupun semakin
mendesaknya "Cepat. Kenapa kalian hanya mematung
saja?" Dalam pada itu sebelum Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjawab, maka Lembu Panenggaklah yang
menyahut "Baiklah kiai. Biarlah seseorang mengambil
kelapa muda itu untuk Kiai. Tetapi bukankah salah seorang
dari keduanya" Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun
kemudian bertanya "Kenapa dengan dua orang anak ini".
Apakah mereka memang pemalas?"
"Mereka baru saja datang, sehingga keduanya masih
terlalu letih untuk memanjat sebatang pohon kelapa" jawab
Lembu Panenggak. Orang itu mengangguk-angguk katanya "Terserah, siapa
saja yang akan memanjat. Aku memerlukan dua buah
kelapa muda itu" Lembu Panenggak dan Watang Cemanipun tiba-tiba
telah meninggalkan ruangan itu mengikuti orang yang ingin
mendapat dua butir kelapa muda itu dengan meninggalkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat begitu saja.
Beberapa saat lamanya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
termangu-mangu di tempatnya. Namun akhirnya Mahisa
Murtipun berkata "Marilah. Kita kembali ke bilik kita"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya
kemudian meninggalkan ruang itu dan kembali ke dalam
bilik mereka berdua. Ketika mereka sampai ke bilik mereka, orang yang
bertubuh tinggi besar itu ternyata justru telah tertidur
dengan nyenyaknya dilantai, tanpa alas apapun juga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membangunkannya. Justru keduanya telah berbaring
dipembaringannya. "Orang itu agaknya memang gila" geram Mahisa Pukat
"jika keduanya menyusul kemari, apaboleh buat. Bukan
salah kita jika terjadi sesuatu"
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun
berkata "Aku kurang mengerti, apakah sebenarnya yang
baru saja terjadi" "Yang kau maksud, apakah mereka benar-benar akan
melakukan seperti yang dikatakannya?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Memang perasaankupun condong untuk menduga
demikian. Tetapi kita harus tetap berhati-hati"
"Aku mengerti" jawab Mahisa Murti "karena itu, kita
jangan sampai tertidur bersama-sama. Apakah itu siang,
apakah malam hari" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jawabnya
"Bagaimanapun juga kedua orang itu memang aneh"
Dalam pada itu, Watang Cemani, Lembu Panenggak
dan orang yang ingin mendapatkan dua butir kelapa itupun
terhenti disudut kandang, beberapa langkah dari sebatang
pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, tetapi buahnya
cukup lebat. Namun ternyata mereka tidak mencari orang untuk
memanjat pohon kelapa itu. Sementara itu, dengan katakata
yang bernada dalam, Lembu Panenggak berkata
"Keduanya mempunyai ketahanan jiwani yang tinggi.
Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan atau
gentar ketika aku menggertaknya. Bahkan mengancamnya
untuk membunuh" Orang yang menginginkan dua butir kelapa muda itu
tertawa. Katanya "Kau justru telah hanyut kedalam arus
perasaanmu. Agaknya kau benar-benar menjadi marah"
"Jawaban anak-anak itu memang membuat telinga ini
menjadi merah" jawab Lembu Panenggak "Aku hampir
kehilangan pengamatan diri. Anak-anak itu sama sekali
tidak mengenal takut. Mereka menantang kami dengan
tatag" "Menurut pengamatanku, keduanya memang pantas
untuk berada dalam lingkungan petugas sandi" berkata
Watang Cemani. Orang yang mengatakan ingin mendapat
dua butir kelapa muda itu mengangguk-angguK. Lalu
katanya "Kalian harus membuat laporan terperinci kepada
.Dandang Penumping" "Ya. Watang Cemani akan pergi ke warungnya. Ia
berpesan, agar segala sesuatunya segera dilaporkan tanpa
menunggu ia kembali" berkata Lembu Panenggak.
"Tetapi jangan sampai terjadi salah paham. Kedua anak
itu jangan sampai meninggalkan tempat ini karena
perlakuanmu" berkata orang yang ingin mendapatkan
kelapa muda itu. "Menilik sikapnya yang keras, mereka tidak akan pergi.
Bahkan keduanya telah siap untuk bertahan jika ada
seseorang yang memaksanya untuk pergi. Ia merasa sudah
mendapatkan haknya untuk tinggal disini. Selain ciri yang
dipakainya yang didapatkannya dari Singasari, iapun
merasa sudah diterima oleh Dandang Penumping" berkata
Lembu Panenggak. "Baiklah" berkata orang yang menyebut dirinya ingin
mendapatkan kelapa muda itu "tetapi pada suatu saat,
mereka harus mengerti bahwa kalian tidak bersungguhsungguh.
Menilik sikap mereka yang keras, maka mereka
tidak akan mudah melupakan mereka yang keras, maka
mereka tidak akan mudah melupakan peristiwa ini jika
kalian tidak memberikan penjelasan kepada keduanya"
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya
"Hatiku benar-benar terbakar. Untunglah aku selalu
menyadari tugasku. Tetapi biarlah Dandang Penumping
yang mengatakan kepada anak-anak itu. Selama aku
bertugas, aku belum pernah mengalami kekerasan sikap
seperti itu" "Keduanya adalah adik Mahisa Bungalan. Senapati
besar yang keras hati" berkata Watang Cemani "bukanlah
sifat itu nampakjuga pada keduanya."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian orang
yang mengatakan memerlukan dua buah kelapa muda
itupun kemudian berkata "Aku benar-benar akan
mengambil kelapa muda"
Lembu Panenggak tidak mencegahnya Orang itupun
kemudian memanjat dengan cekatan. Dalam waktu yang
singkat, dua buah kelapa muda sudah terjatuh dari
tangkainya. "Sudahlah" berkata orang itu "Aku akan pergi. Aku
akan datang menjelang malam. Hati-hatilah dengan anakanak
muda itu. Jika kau ingin melakukan, sesuatu,
Lembah Tiga Malaikat 17 Raja Naga 19 Dewa Pengasih Kisah Cinta Abadi 4
dalam hubungan yang tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan persoalan-persoalan yang timbul di Kediri.
Tidak ada hubungannya dengan sikap Pangeran Kuda
Permati atau sikap Pangeran Singa Narpada.
Tetapi keduanyapun tidak langsung mempercayai sikap
itu sebagai sikap yang wajar. Mungkin ada alasan tertentu
yang tersembunyi dibalik sikapnya yang nampaknya tidak
ada bubungannya sama sekali dengan perkembangan
keadaan di Kediri. Meskipun demikian untuk sementara mereka masih tetap
bersikap sebagai dua orang pengembara yang sederhana dan
tidak memiliki bekal apapun terutama kemampuan oleh
kanuragan. Karena itu, ketika orang itu kemudian melangkah maju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mundur.
"Jangan menyesal" geram orang itu "Meskipun kalian
masih muda, tetapi kalian tidak berguna sama sekaii bagi
kehidupan, sehingga karena itu, maka sebaiknya kalian aku
lenyapkan saja. Aku menunggu kehadiran anak-anak muda
yang dapat memberikan arti dalam hidupnya dan berguna
bagi sesamanya" "Jangan" desis Mahisa Murti "Bukanlah aku tidak
menganggumu Ki Sanak. Aku tidak pernah mengambil
milik orang lain. Aku tidak pernah memaksa orang lain
untuk memberikan apapun juga kepadaku. Sementara kami
berduapun selalu berusaha untuk dapat berbuat apa saja
untuk mendapatkan upah yang dapat kami makan dari hari
kehari. Jika kami tidak mempunyai persediaan lagi, maka
kami berusaha untuk menangkap binatang buruan untuk
mempertahankan hidup kami"
"Persetan dengan igauanmu" geram orang itu "sembilan
orang yang terdahulu, atau bahkan lebih, aku bantai tanpa
kesulitan. Seorang kawanku bahkan telah membunuh lebih
dari dua puluh orang pengembara dan peminta-minta.
Dengan demikian maka dalam waktu yang tidak terlalu
lama Kediri akan beraih dari benalu benalu"
"Jangan Ki Sanak. Aku mohon " Mahisa Murti hampir
berteriak. "Aku tahu. Kau berusaha untuk mendapat bantuan
orang lain dengan berteriak-teriak begitu. Tetapi tidak ada
gunanya anak muda. Seandainya ada orang yang
mendengar dan datang untuk menolongmu, mereka akan
segera meninggalkan tempat ini jika mereka melihat bahwa
kau telah menjadi urusanku" berkata orang yang bertubuh
tinggi besar itu. Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Sementara itu orang bertubuh tinggi besar itu telah
melangkah maju lagi, sehingga kedua anak itu terpaksa
bergeser surut. "Aku mohon jangan" minta Mahisa Murti "kami
berjanji untuk tidak menjadi benalu yang hanya dapat
mengotori tanah ini. Aku akan bekerja. Dan kami berdua
memang sedang mencari pekerjaan itu"
"Tidak ada gunanya anak-anak malas" jawab orang itu
"Kalian terpaksa aku singkirkan, jika aku tidak
melakukannya, maka aku telah berkhianat terhadap
sekelompok kawan-kawanku yang telah menentukan tekad
bersama. "Ki Sanak" berkata Mahisa Pukat "Jika ada sekelompok
orang yang berpendirian sama dengan Ki Sanak, aku
mohon untuk dapat menghadap mereka bersama-sama.
Biarlah mereka menilai, apakah orang-orang seperti kami
berdua ini termasuk sampah yang harus dibuang, atau
justru tenaga yang dapat dimanfaatkan oleh lingkungannya,
karena aku tidak segan untuk bekerja apa saja asalkan kami
berdua mampu melakukannya"
"Itulah persoalannya" jawab orang itu "Kau akan
melakukan pekerjaan yang kau mampu, tetapi kau tidak
mampu berbuat apa-apa" wajah orang itu menjadi semakin
garang. Lalu "Karena itu, menyerah sajalah. Aku akan
menghabisinyawamu. Jika kau berusaha melarikan diri,
apalagi melawan, maka kau tentu akan menyesal karena
cara matimu akan sangat menyakitimu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja bergeser
surut. Dengan nada ketakutan Mahisa Murti Berkata
"Tetapi kami masih ingin hidup. Kami masih ingin melihat
matahari terbit. Kami masih ingin melihat hijaunya lembah
dan lereng pegunungan"
"Persetan. Kalian harus mati" orang itu meloncat
mendekat namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian berlari menjauh. Ketika orang itu berusaha
mengejarnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
berlari semakin cepat dan semakin jauh.
"Orang itu mengejar kita" desis Mahisa Murti. Mahisa
Pukat tidak menjawab. Tetapi kedua anak muda itu berlari
semakin cepat. "Orang gila" geram Mahisa Pukat "hampir saja aku
kehilangan kesabaran. Aku ingin merendamnya ke dalam
air yang berwarna kapur itu sampai ia menyesali
perbuatannya" "Tetapi rasa-rasanya orang itu tidak mengejar kita
dengan sungguh-sungguh. Aku tidak melihatnya lagi"
berkata Mahisa Murti. "Tetapi nampaknya orang itu memang tidak dapat lari
secepat kita. Mari kita tunggu" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih
saja berlari meskipun sudah tidak terlalu cepat.
"Untuk apa kita menunggu" Jika orang itu benar-benar
mengejar kita, apakah kita akan berbuat sesuatu?" bertanya
Mahisa Murti. Mahisa Pukat berpaling. Ia kemudian benar-benar
berhenti sambil berkata "Orang itu memang tidak mengejar
kita" Mahisa Murtipun kemudian berhenti juga. Namun orang
bertubuh tinggi besar itu memang tidak mengejarnya.
"Satu lagi peristiwa yang menarik perhatian" berkata
"Mahis Murti lalu "Setelah kita melihat daerah ini menjadi
mundur dan kemudian tingkah laku orang-orang berkuda
itu, sekarang kita melihat satu lagi orang aneh"
"Apakah kau pikir ia berbuat sebagaimana
dikatakannya" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku kira tidak. Iapun tidak mengejar kita" jawab
Mahisa Murti. "Jadi apa menurut dugaanmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku masih belum dapat menyebut apapun juga. Kita
masih harus melihat perkembangannya lebih lanjut" jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Aku berpendapat, justru kita akan tetap tinggal untuk
sementara. Maksudku barang satu dua hari lagi. Mungkin
kita akan dapat melihat sesuatu yang berguna bagi tugas
kita" Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun kemudian
katanya "Aku sependapat. Kita akan tinggal disini untuk
dua tiga hari lagi. Namun apabila terjadi satu
perkembangan yang penting dan memaksa, kita akan segera
melaporkan diri kepada orang yang pernah disebut oleh
Singasari itu" Demikianlah, keduanya justru telah tertarik kepada
peristiwa yang mereka alami, sehingga mereka berniat
untuk tetap tinggal"
Tetapi keduanya telah mengurungkan niat mereka untuk
pergi ke sungai. Mereka kemudian mengambil jalan setapak
untuk mencari tempat yang paling baik buat
menyembunyikan diri, selama mereka akan beristirahat.
Namun demikian, pada saat matahari condong ke Barat,
mereka telah bersepakat untuk melihat, apakah warung itu
masih tetap terbuka. "Marilah, kita pergi. Kita akan mendengar lagi ceritera
yang barangkali menarik. Mungkin dapat kita pergunakan
sebagai bahan berkeliaran malam nanti" ajak Mahisa Murti.
Mahisa Pukatpun mengiakannya. Tetapi mereka sadar,
bahwa mereka harus berhati-hati. Orang bertubuh tinggi
besar itu dapat mereka jumpai dimana saja. Bahkan
mungkin orang itu berada diwarung itu pula, sehingga
keduanya tidak akan dapat menghindarinya lagi"
Demikianlah sejenak kemudian, kedua orang anak muda
itu sudah berada lagi di persimpangan yang ramai itu.
Tetapi pada menjelang sore hari, nampaknya tempat itu
sudah menjadi semakin sepi, meskipun nampak ada
beberapaa pedati yang justru sedang memuat beberapa hasil
bumi. Nampaknya masih saja ada orang yang saling
menukarkan kebutuhan. Bahkan ada juga yang menukarkan
dengan alat-alat pertanian, disamping sebagian dari mereka
telah membeli kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan.
Dalam pada itu ternyata warung itu masih tetap terbuka
sebagaimana masih ada juga satu dua warung yang lainnya
yang lebih besar. Tidak banyak orang yang berada di dalam
warung-warung itu. Bahkan warung yang satu itu justru
tidak ada pengunjungnya sama sekait.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
warung itu, pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta
bertanya "Kau masih ada disini?"
"Ya" jawab Mahisa Murti "Sebenarnya kami sudah
ingin pergi. Tetapi perjalanan kami terhalang, sehingga
terpaksa kami kembali lagi"
"Duduklah" pemilik warung itu mempersilahkan.
Namun kemudian iapun bertanya "kenapa terhalang?"
Sebenarnya kami telah meninggalkan tempat ini
"Mahisa Murti pula "kami menuju kearah sungai, karena
kami akan mencuci pakaian kami pula. Baru kemudian
kami akan pergi. Tetapi kami telah bertemu dengan seorang
yang bertubuh tinggi besar dan menakutkan. Seperti
seorang raksasaa yang marah orang itu berusaha untuk
menangkap kami dan membinasakan kami"
"Kenapa?" pemilik warung itu menjadi heran "Bukankah
kalian tidak berbuata apa-apa"
"Ya kami tidak berbuat apa-apa" jawab Mahisa Murti.
"Tetapi kenapa orang itu marah kepada kalian?" desak
pemilik warung itu. "Kami telah mengaku, bahwa kami adalah dua orang
pengembara" Mahisaa Pukatlah yang menjawab "orang itu
berpendirian sebagaimana kawan-kawannya bahwa semua
orang pengembara harus dimusnahkan"
"Kenapa begitu?" bertanya pemilik warung itu.
"Aku tidak tahu latar belakang yang sebenarnya dari
sikap mereka. Tetapi orang-orang seperti kami hanya akan
mengotori dunia saja" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik warung itu tertawa. Katanya "Orang itu
bermain-main. Ia tidak akan bersungguh-sungguh"
"Sikapnya bersungguh-sungguh" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik warung itu mengerutkan keningnya. Lalu tibatiba
saja ia berdesis "apakah kau beranggapan bahwa orang
itu benar-benar bersungguh-sungguh.
"Ya" jawab Mahisa Pukat.
Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, seolah-olah
sedang memikirkana sesuatu yang sangat penting.
Namun tiba-tiba ia bertanya "He, jika demikian, kenapa
kalian tidak pergi saja dari sini" kalian agaknya telah
mendapat kesempatan untuk terlepasa dari tangannya.
Tetapi kalian justru masih tetap berada disini"
Pertanyaan itu memang membingungkan kedua anak
muda itu. Namun kemudian Mahisa Murtilah yang
menjawab "apakah orang itu pernah datang kemari?"
"Kenapa?" Bukankah setiap orang dapat saja datang ke
tempat ini?" pemilik warung itu justru bertanya.
"Seandainya raksasa itu datang dan berusaha
menangkap kami, apakah orang-orang yang ada di tempai
ini tidak akan menolong kami dan mengusir raksasa itu?"
bertanya Mahisa Murti pula.
Pemilik warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Raksasa itu memang pernah datang kemari. Tidak ada
orang yang berani melawan orang yang bertubuh tinggi
besar itu. Apalagi ia memang mempunyai beberapa kawan.
Tetapi yang belum kami ketahui, bahwa orang itu berusaha
untuk memusnahkan para pengembara seperti yang kalian
lakukan" "Tetapi orang itu tidak bergurau" desis Mahisa Pukat.
"Ya" pemilik warung itu mengangguk-angguk "agaknya
kau benar " orang itu memang tidak sedang bergurau.
Itulah agaknya maka setiap ada pengembara yang datang
ketempat ini, aku tidak pernah melihatnya lagi, kecuali
kalian berdua. Apakah kalian memang beruntung bahwa
kaliaan mampu melepaskan diri dari tangannya. He apakah
kalian melawan?" "Melawan?" Mahisa Murti mengulang "bagaiamana
mungkin kami berani melawan. Kami hanya melarikan diri
secepat-cepat dapat kami lakukan. Untunglah bahwa orang
itu tidak berhasil menangkap kami"
"Beruntunglah kalian, sehingga kalian masih dapat
datang ke warung ini" bertanya pemilik warung itu "Jika
demikian, maka cepat sajalah meninggalkan tempat ini.
Mungkin orang itu akan datang lagi seperti yang pernah
dilakukannya. Jika ia merasa kehilangan, maka mungkin ia
akan mencarinya. Dan salah satu tempat yang dikenalnya
adalah tempat ini. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata "Baiklah.
Tetapi beri kami makan. Kami akan segera meninggalkan
tempat ini" "Apakah kau minta semangkok nasi?" bertanya pemilik
warung itu. "Tidak. Seperti tadi. Kami akan membayar" jawab
Mahisa Pukat. Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, namun
iapun kemudian mengangguk-angguk. Disiapkannya dua
mangkuk nasi seperti yang diminta oleh kedua anak muda
itu. Kedua anak muda yang menyebut diri mereka
pengembara. Sambil menyuapi mulutnya, Mahisa Murti masih juga
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya "Ki Sanak, apakah ada hubungannya antara
raksasa yang akan membunuh orang-orang yang disebutnya
tidak berguna itu dengan dua orang berkuda kemarin?"
"Aku tidak tahu anak muda. Tetapi menurut
pendapatku, mereka mempunyai kepentingan yang berbeda.
Kedua orang berkuda itu selalu berbicara tentang satu
perjuangan sehingga mereka memerlukan dana dan
peralatan yang cukup banyak, sedangkan raksasa itu hanya
melakukan bagi diri mereka sendiri. Sekelompok orang
yang mempunyai pendirian bahwa orang yang tidak
memiliki arti bagi sesamanya dan bagi dunia sebaiknya
dibinasakan saja. Orang-orang seperti itu hanya akan
mempercepat habisnya persediaan makan dimusim
paceklik" jawab pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja terlontar pertanyaan Mahisa Pukat
"Ki Sanak. Apakah kira-kira yang terjadi jika raksasa itu
bertemu dengan kedua orang berkuda itu" Bukankah
keduanya memiliki kemampuan untuk berkelahi?"
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun menggeleng "Aku tidak tahu, apa kira-kira
yang akan terjadi. Tetapi kedua belah pihak nampaknya
memang belum pernah bertemu"
"Aku agak sangsi. Bukankah mereka telah berada di
tempat ini untuk waktu yang lama" Baik kedua penunggang
kuda itu, maupun raksasa yang akan membunuh para
pengembara itu" Apakah mungkin keduanya justru pihak
yang sama-sama ingin menentukan sikap tersendiri" Atau
keduanya berusaha untuk menimbulkan ketakutan dan
kegelisahkan dilingkungan rakyat., kecil di padukuhan ini"
Sejak Mahisa Pukat. Tetapi pemilik warung itu menggeleng. Katanya
"Menurut dugaanku, raksasa dan dua orang penunggang
kuda itu berdiri di pihaknya masing-masing dengan
kepentingannya masing-masing. Soalnya hanyalah, aku
tidak tahu apa yangj akan terjadi jika mereka saling bertemu
disini" Mungkin kedua pihak menjadi saling menyegani
sehingga kedua pihak tidak berbuat apa-apa dan tidak saling
mengganggu. Tetapi entahlah. Aku tidak dapat membuat
ramalan-ramalan seperti itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi.
Keduanya mulai menyuapi mulut mereka. Masakan di
warung itu memang dapat memenuhi selera kedua anak
muda pengembara itu, sehingga keduanya nampaknya
makan dengan sangat lezatnya.
Namun demikian, keduanya merasa bahwa mereka tidak
mendapat apa-apa yang baru dari pemilik warung itu.
Agaknya pemilik warung itu terlalu berhati-hati, Ia tidak
berani mengatakan sesuatu yang akan dapat membuat
dirinya terjerat ke dalam kesulitan. Karena itu, lebih baik
baginya untuk mengatakan tidak tahu apa-apa.
Ketika kedua anak muda itu sudah selesai, maka Mahisa
Murtipun segera membayar harga makanan yang
dimakannya bersama Mahisa Pukat. Kemudian keduanya
minta diri untuk beristirahat.
"Dimana kalian beristirahat?" bertanya pemilik warung
itu. "Dimana saja" jawab Mahisa Murti "kami adalah dua
orang pengembara yang tidak mempunyai rumah tempat
tinggal. Kami dapat tidur di sembarang tempat. Beratapkan
langit dan berselimutkan mega"
"Tetapi kalian akan dapat menjadi kedinginan. Jika
kalian tidak berkeberatan, kalian dapat tidur disini" berkata
tukang warung itu. "Disini dimana?" bertanya Mahisa murti.
"Di warung ini" jawab pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun agaknya keduanya meraba sesuatu dengan
firasatnya. Karena itu, meskipun tidak berjanji ternyata
keduanya ingin untuk menerima tawaran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murtilah yang menjawab
"Apakah Ki Sanak bersungguh-sungguh?"
"Ya. Aku bersungguh-sungguh. Kau dapat tidur di
dalam warung ini. Diatas dingklik itu. Sementara itu, kalian
akan mendapat makan tanpa membeli lagi. Biasanya tentu
ada sisa sedikit dari jualanku ini. Kita akan dapat makan
bersama-sama menjelang malam. Jika kemudian aku
pulang, kalian herdua dapat tidur di dingklik tempat kalian
duduk itu. Bukankah lebih baik tidur disitu daripada tidur di
pematang atau di padang perdu?"
"Terima kasih" jawab Mahisa Murti "Tentu kami berdua
tidak akan berkeberatan. Bahkan kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
"Jika demikian, kalian berdua tidak usah pergi dari sini.
Duduk sajalah sambil menunggu matahari tenggelam"
berkata pemilik warung itu.
"Tetapi jika raksasa itu kemari atau lewat jalan ini"
Bukankah kau mengatakan, bahwa tidak ada seorangpun
yang akan berani melawannya?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau dapat bersembunyi di bawah gedeg bamboo itu.
Tetapi raksasa itu tentu tidak akan kemari. Ia memang
jarang-jarang sekali datang ke tempat ini" berkata pemilik
warung itu. Ketika Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat, maka
Mahisa Pukatpun telah menganggukkan kepalanya sebagai
isyarat. Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian
menyatakan kesediaannya mereka untuk bermalam di
dalam warung itu. "Kami sangat berterima kasih atas kesempatan ini"
berkata Mahisa Murti kemudian.
"Nah, baiklah. Aku juga berterima kasih. Dengan
demikian maka warungku ini tentu akan aman dimalam
hari" berkata pemilik warung itu.
Demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akhirnya tidak beranjak dari warung itu. Masih ada satu
dua orang yang memasuki warung itu dan makan
sekedarnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemilik
warung itu. bahwa akhirnya nasi yang dijualnya memang
tidak habis. Ketika matahari kemudian bersembunyi dibaiik
pegunungan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat teiah
mendapat kesempatan untuk makan bersama pemilik
warung itu. Tetapi keduanya menolak karena mereka masih
cukup kenyang. Karena itu, maka pemilik warung itu berkata "Baiklah.
Jika kau tidak ingin makan sekarang, maka terserahlah.
Kapan saja kau ingin makan. Aku tinggalkan nasi dan
lauknya di gledeg itu. Tetapi ingat. Disini banyak tikus.
Mungkin kalian tidak akan sempat makan, jika nasi dan
lauknya telah lebih dahulu dimakan tikus"
"Kami akan menunggunya dengan baik" berkata Mahisa
Murti. "Baiklah. Aku akan pulang dahulu. Nanti malam, kau
dapat tidur di dingklik itu" berkata pemilik warung itu.
Demikianlah, maka pemilik warung itupun telah
meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
dimintanya untuk menyelarak pintu dari dalam.
Ketika pemilik warung itu telah meninggalkan
warungnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
melihat-lihat isi dari warung itu. Sisa beberapa macam
makanan telah dijadikan satu, dalam sebuah irik yang
besar. Kemudian di dalam geledeg memang disediakan sisa
nasi dan lauknya yang akan dapat dimakan oleh kedua
anak muda itu. Dalam pada itu, sebuah lampu minyak telah dinyalakan
di dalam ruang yang tidak terlalu sempit itu. Sementara
beberapa macam makanan dapat menjadi kawan berjagajaga.
Tetapi dalam pada itu Mahisa Pukatpun mulai
membaringkan dirinya diatas dingklik bambu sambil
bergumam "udara terasa sangat pengap di dalam"
"Terasa cukup hangat dibanding dengan udara di padang
perdu itu" jawab Mahisa Murti.
"Tentu" sahut Mahisa Pukat "Tetapi rasa-rasanya kita
disini justru terkurung di dalam satu ruang yang sempit
yang tidak memberikan banyak kesempatan kepada kita
untuk bergerak" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku
setuju. Rasanya kita memang seperti seekor ayam di dalam
kurungan" Keduanyapun terdiam sejenak. Mahisa Murtipun
kemudian membaringkan diri pula di dingklik yang lain.
Sejenak keduanya mengamati atap warung yang pendek itu.
Namun tiba-tiba Mahisa Pukat telah bangkit.
Diambilnya sisa makanan yang tidak terjual yang ada di
dalam irik yang besar. Kemudian ia duduk lagi diatas
dingklik bambu sambil mengunyah makanan.
"Enak juga makanan di warung ini" berkata Mahisa
Pukat "kebetulan aku telah memungut sepotong jenang
alot" "Manis sekali" jawab Mahisa Murti.
"Jika kau ingin makanan yang gurih, ambil sajalah"
berkata Mahisa Pukat kemudian "besok makanan itu tentu
hanya akan dibuang" Mahisa Murti berdesis "Aku akan tidur. Kau duduk
sajalah disitu. Nanti kau dapat membangunkan. aku jika
kau sudah mengantuk"
Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab "Baiklah.
Aku akan berjaga-jaga. Tetapi rasa-rasanya aku memang
tidak akan dapat tidur diruang sempit ini"
Mahisa Murtitidak menjawab. Tetapi ia mulai
memejamkan matanya. Tetapi sebenarnyalah, seperti Mahisa. Pukat, ia tidak
dapat lelap, dalam kegelisahan. Memang rasa-rasanya ia
berada di dalam sebuah kurungan. Setiap saat seseorang
akan dapat datang untuk menangkap mereka dalam
genggamannya. Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Murti itupun bangkit
kembali sambil berkata "Aku tidak akan dapat juga tidur.
Rasa-rasanya kita memang berada dalam perangkap.
Sengaja atau tidak sengaja"
"Apakah sebaiknya kita berada diluar?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku setuju. Kita akan tidur diluar. Di tempat yang tidak
mudah dilihat dari arah manapun juga" jawab Mahisa
Murti. Laiu katanya "Kita dapat memanjat pohon mahoni"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Tetapi biarlah kita makan dahulu. Kita tentu tidak perlu
tergesa-gesa. Seandainya benar kita berada di dalam
perangkap, tentu lewat tengah malam kita akan ditangkap"
"Aku setuju. Marilah kita makan dahulu" jawab Mahisa
Murti. Demikianlah, maka keduanyapun telah makan nasi dan
lauk yang memang ditinggalkan bagi mereka oleh pemilik
warung itu. Namun yang tidak mereka lakukan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pemilik warung itu,
setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, maka
merekapun justru telah meninggalkan warung itu dengan
diam-diam. Meskipun susana sangat sepi dan tidak ada
seorangpun yang nampak di sekitar tempat itu, namun
kedua anak muda itu cukup berhati-hati.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun
benar-benar telah memanjat pohon mahoni. Dari salah satu
dahan yang cukup besar mereka dapat melihat warung yang
baru saja ditinggalkannya
"Sebenarnya aku lebih senang tidur di bawah daripada
tidur diatas dahan seperti ini" desis Mahisa Pukat.
"Hati-hatilah, agar kau tidak jatuh dalam tiduran"
berkata Mahisa Murti. Tetapi sebagai pengembara, maka keduanya bukannya
untuk pertama kali tidur diatas sebatang pohon. Karena itu.
maka keduanyapun dapat menempatkan diri mereka sebaikbaiknya.
Seperti yang selalu mereka lakukan, maka mereka telah
mengatur waktu mereka. Mahisa Pukat mendapat giliran
untuk beristirahat lebih dahulu. Baru kemudian Mahisa
Murti. Demikianlah, keduanya duduk diam bertengger diatas
dahan. Namun demikian, ada semacam ketegangan yang
menyusup di dalam hati mereka. Keduanya seakan-akan
telah mendapatkan satu firasat bahwa akan terjadi sesuatu
pada warung yang ditinggalkannya.
Sampai tengah malam, tidak nampak terjadi sesuatu
pada warung itu. Karena itu, maka sejenak kemudian
Mahisa Pukat akan mendapat giliran untuk berjaga-jaga,
sementara Mahisa Murti akan beristirahat sambil memeluk
batang Mahoni itu. Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti
memejamkan matanya, tiba-tiba saja matanya justru
terbuka lebar-lebar. Kedua anak muda itu telah mendengar
desir langkah yang mendekat.
Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat sambil
menunjuk kesatu arah. Mereka telah melihat dua orang
yang berjalan dengan hati-hati mendekati warung itu. Yang
seorang diantara mereka adalah orang yang bertubuh tinggi
besar itu. "Raksasa itu memang gila" geram Mahisa Murti di
dalam hatinya. Bahkan Mahisa Pukat berdesis "Aku ingin memilih
kumisnya" "Sst" Mahisa Murti menempatkan jarinya dimuka
mulutnya. Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, sementara kedua
orang itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan
warung itu. Dalam pada itu, kedua anak muda itu menjadi berdebardebar
ketika mereka kemudian melihat meskipun dalam
keremangan malam, baliwa yang seorang lagi adalah justru
pemilik warung itu sendiri. Wajah itu dapat mereka lihat,
ketika orang itu dengan hati-hati mendorong pintu warung
yang ternyata tidak diselarak dari dalam.
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah itu nampak berkerut. Namun kemudian menjadi
tidak jelas bagi kedua anak muda itu. Tetapi mereka
mendengar orang itu berkata "Pintunya tidak diselarak dari
dalam" Dengan hati-hati keduanya kemudian memasuki warung
itu, yang diterangi dengan lempu minyak. Sekaligus anakanak
muda itu melihat wajah-wajah itu lagi dibawah sorot
minyak. Namun sejenak kemudian keduanya telah ditelan
pintu warung kecil itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat imenjadj tegang.
Sementara keduanya tidak tahu apa yang telah terjadi di
dalam warung itu. Namun sejenak kemudian keduanya telah keluar lagi
dari warung itu. Dari atas dahan pohon mahoni keduanya
mendengar pemilik warung itu berkata "Aku sudah
menduga, keduanya cukup cerdik"
"Jadi bagaimana pendapatmu?" bertanya orang bertubuh
raksasa itu. "Aku tidak tahu, untuk siapa keduanya bekerja. Tetapi
aku kira keduanya bukan para pengikut Pangeran Kuda
Permati" jawab pemilik warung itu.
"Apakah mungkin keduanya petugas langsung dari
Kediri?" bertanya orang bertubuh raksasa itu.
"Entahlah. Tetapi jika mereka kau temui menyusuri
jalan menuju ke sungai itu, mungkin mereka mempunyai
kepentingan arah itu" berkata pemilik warung itu.
Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya "Kita tidak dapat menyebut
apapun juga tentang keduanya. Masih ada kemungkinan
keduanya pengikut Pangeran Kuda Permati. Tetapi
mungkin pula keduanya adalah pengikut setia Pangeran
Singa Narpada: Bahkan mungkin keduanya adalah petugas
dari Singasari" "Kita akan menunggu, apa yang akan mereka lakukan"
berkata orang bertubuh raksasa itu.
"Tetapi kemungkinan bahwa mereka kembali ke warung
ini sangat kecil" berkata pemilik warung itu.
"Lalu mereka akan kemana?" bertanya orang bertubuh
raksasa "Tentu saja kita tidak tahu. Mudah-mudahan kita dapat
bertemu lagi dengan anak-anak itu dan mendapat sedikit
gambaran tentang kepentingan mereka" berkata penilik
warung itu. Sejenak kedua orang itu masih termangu-mangu. Namun
kemudian pintu warung itupun telah ditutup tanpa diseiarak
baik dari luar maupun dari dalam.
Setelah kedua orang itu meninggalkan warung kecil itu.
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi keduanya masih tetap berhati-hati.
Mungkin kedua orang itu masih belum meninggalkan
tempat itu terlalu jauh. Bahkan mungkin kedua orang itu
masih berusaha untuk menjebak kedua anak muda itu dari
tempat yang tersembunyi. Namun ternyata bahwa pemilik warung dan orang
bertubuh raksasa itupun telah meninggalkan warung itu
tanpa menunggu lebih iama lagi Mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa kedua orang anak muda itu berada
ditempat yang tidak jauh dari warung itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah meninggalkan tempat itu pula meskipun
mereka tahu, bahwa kedua orang itu tidak akan datang lagi.
Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengambil satu keputusan tersendiri.
"Kita harus segera sampai kepada orang yang disebut
oleh Senopati Singasari di Talang Amba itu" berkata
Mahisa Murti "dengan demikian kita akan segera mendapat
kepastian dengan siapa kita harus berhadapan. Tanpa
mengetahui serba sedikit keadaan disini, maka mungkin
kita justru akan terjebak tanpa dapat berbuat apa-apa"
"Baiklah kita melanjutkan perjalanan sekarang" berkata
Mahisa Pukat" meskipun malam hari, aku kira kita akan
dapat menemukan jalan sampai ketempat yang ditunjuk
tanpa banyak kesulitan. Bukankah tempatnya sudah tidak
terlalu jauh lagi dari sini?"
"Tentu tidak. Menilik tempat ini dan sungai yang bertebing
agak tinggi itu, maka kita sudah berada tidak jauh
lagi dari tujuan" berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya kemudian telah meninggalkan
tempat itu. Dalam kelamnya malam mereka menelusuri
jalan menuju ke sungai sebagaimana pernah mereka
tempuh. Tetapi disiang hari.
Dalam pada itu, kedua anak muda itu berjalan dengan
cepat tanpa berprasangka apapun juga. Mereka ternyata
kurang memperhatikan jalan yang akan mereka lalui. Selain
mereka ingin cepat-cepat sampai, maka agaknya kekelaman
malam memang ikut menentukan.
Karena itu, ketika mereka berbelok pada jalan yang
menurun ke sungai yang dibatasi oleh dinding di sebelah
menyebelah, maka keduanya terkejut. Bukan keduanya saja
yang terkejut, tetapi seseorang yang duduk di pinggir jalan
itupun terkejut pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser surut. Namun
mereka menjadi berdebar-debar ketika orang itu kemudian
berdiri. Ternyata orang itu adalah orang yang bertubuh
tinggi besar yang baru saja mendatangi warung bersama
pemiliknya itu. "Gila" geram Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ternyata orang bertubuh raksasa
itupun cepat bertindak. Iapun telah siap untuk menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan katanya kemudian dengan
suara berat "Kita telah bertemu lagi anak-anak. Kau
kemarin berhasil lolos dari tanganku. Tetapi kau sekarang
tidak akan mendapat kesempatan lagi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun terpancar diwajah mereka satu tekad untuk
berjalan terus. Mereka ingin sampai ketujuan pada saat
yang cepat, karena ternyata daerah itu adalah daerah yang
memiliki beribu kemungkinan di bawah pengamatan beribu
pasang mata. -ooo0dw0ooo- (Bersambung ke Jilid 16).
Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 016 KARENA ITU, Mahisa Murtipun kemudian berkata "Ki
Sanak. Berikanlah kesempatan kepadaku untuk
meninggalkan tempat ini"
"Sudah aku katakan, bahwa semua pengembara yang
tidak ada artinya bagi pergaulan hidup, akan aku
singkirkan. Aku sudah menunggumu disini sejak kemarin.
Aku yakin bahwa pada satu saat kau akan kembali. Karena
itu, maka sekarang aku tidak akan melepaskan lagi" berkata
raksasa itu. "Baiklah" berkata Mahisa Murti kemudian "kita akan
berterus terang. Untuk siapa kau bekerja he" Apakah kau
kawan-kawan penunggang kuda yang kemarin datang ke
simpang empat itu untuk merampasi kuda penduduk daerah
ini?" "Kau mulai mengigau he. Apa yang kau katakan itu?"
raksasa itu menggeram. "Aku tidak peduli. Tetapi selama aku berada di tempat
ini, aku melihat kau dan dua orang berkuda telah berbuat
aneh-aneh. Kau kira bahwa kami percaya alasanmu untuk
membunuh semua pengembara, pengemis dan orang-orang
yang kau sebut tidak berarti" Jika benar hal itu kau lakukan,
alangkah besar dosamu. Bukan saja bagi Kediri, tetapi juga
dihadapan Tuhan Yang Maha Penyayang" Mahisa Murti
berhenti sejenak, Lalu "nah, katakan saja, apa alasanmu
sebenarnya" "Anak setan" orang itu hampir berteriak "menyeralah.
Kalian memang harus ditangkap"
"Sesudah ditangkap?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi sebelum ia
menjawab, Mahisa Pukat telah mendahuluinya " angan
katakan, bahwa kau akan membinasaan semua pengembara
dan orang-orang yang tidak berarti karena kami berdua
tidak percaya akan alasanmu itu"
"Persetan" geram raksasa itu "apapun alasannya,
menyerahlah. Kami mencurigai kau berdua. Kalian tentu
bukan pengembara seperti yang kalian katakan. Jika kalian
tidak percaya bahwa aku akan membinasakan semua
pengembara, maka akupun tidak percaya bahwa kalian
adalah pengembara" "Nah, dengan demikian persoalannya menjadi lebih
jelas" jawab Mahisa Pukat "bukankah dengan demikian
kita dihadapkan pada satu pilihan" Kami berdua akan
berjalan terus. Jika kau tetap pada niatmu akan menangkap
kami, maka kami akan mempertahankan diri. Dan kita
akan berkelahi. Meskipun kau bertubuh raksasa, tetapi kami
berdua sama sekali tidak takut. Jika kemarin kami berdua
melarikan diri, kami masih berniat untuk tetap dalam
keadaan kami, dua orang pengembara. Tetapi ternyata kami
tidak akau dapat menyatakan diri kami seperti itu, karena
kau sudah mencurigai kami. Karena itu, tidak ada pilihan
lain.. Kita berkelahi. Jika kami menang, kami akan
meneruskan perjalanan"
"Jika kalian kalah?" bertanya raksasa itu.
"Kami akan melarikan diri dan mencari jalan lain untuk
dapat menyeberang" jawab Mahisa Pukat pula.
"Kalian tidak akan sempat melarikan diri. Aku akan
menangkap kalian dan membawa kalian kepada
pemimpinku" jawab raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun bersikap untuk
menghadapi segala. kemungkinan. Karena itu. maka
keduanyapun justru telah merenggang.
"Jadi kalian benar-benar akan melawan?" geram raksasa
itu. "Apaboleh buat. Kita sudah tidak saling mempercayai.
Karena itu, maka jalan yang dapat kita tempuh adalah
kekerasan. Kau akan memaksakan kehendakmu, sementara
kami akan mempertahankan sikap kami pula" jawab
Mahisa Pukat. Raksasa itu tidak bertanya lagi. Tetapi iapun kemudian
mempersiapkan diri untuk bertempur. Memang tidak ada
jalan lama yang dapat mereka lakukan saat itu, kecuali
memaksa atau bertahan Raksasa itulah yang pertama-tama mulai menyerang.
Dengan loncatan yang cepat ia menerkam Mahisa Pukat,
Tetapi Mahisa Pukat yang benar-benar telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan sempat mengelak dan
meloncat surut. Pada saat yang tepat, Mahisa Murtipun telah meloncat
menyerang raksasa itu dengan kakinya. Demikian cepatnya,
sehingga raksasa itu tidak sempat mengelak, setelah
serangannya atas Mahisa pukat gagal. Dengan lengannya ia
telah berusaha melindungi lambungnya yang menjadi
sasaran serangan Mahisa Murti.
Satu benturan telah terjadi. Benar-benar mengejutkan
raksasa itu. Ternyata serangan kaki Mahisa Murti telah
mendorong raksasa itu beberapa langkah menyamping.
Hampir saja raksasa itu jatuh dan kehilangan
keseimbangan. Namun sambil menggeram, akhirnya
raksasa itu berhasil menguasai dirinya dan tegak kembali.
"Anak setan" raksasa itu mengumpat "jangan kau kira
bahwa dengan demikian aku tidak dapat mengimbangi
kekuatanmu. Aku terlalu gegabah menghadapi kalian. Aku,
kira kalian tidak lebih dari anak-anak yang berkepala batu.
Tetapi ternyata bahwa kalian memang memiliki bekal ilmu
kenuragan" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
merekapun sudah mengira bahwa raksasa itu bukannya
tidak memiliki kekuatan untuk menandingi kedua anak
muda itu, tetapi raksasa itu telah menganggap kedua anak
muda itu terlalu lemah, sehingga ketika terjadi benturan,
raksasa itu terkejut. Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun harus menjadi semakin berhati-hati. Dengan
menyadari kekuatan lawannya, maka raksasa itu tentu akan
mempergunakan kekuatannya lebih besar lagi.
Tetapi dengan menggabungkan kekuatannya, kedua
anak muda itu masih tetap mengharap untuk dapat
menerobos jalan dan menyeberang sungai menuju ketempat
yang disebut oleh Senapati dari Singasari di Talang Amba,
yang sebenarnya adalah salah seorang dari sekelompok
pasukan sandi dari Singasari.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran yang semakin sengit. Orang bertubuh tinggi
besar itu tidak lagi menganggap kedua lawannya itu sebagai
anak-anak yang mengajaknya bermain-main. Tetapi kedua
orang anak muda itu adalah benar-benar lawan yang harus
dihadapinya dengan segenap kemampuannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk memecah perhatian raksasa itu. Mereka
bertempur berpasangan dalam arena yang sempit. Tetapi
kecepatan gerak mereka agaknya telah berhasil membuat
raksasa itu menemui kesulitan.
Mahia Murti dan Mahisa Pukat telah menyerang raksasa
itu berganti-ganti. Mereka selalu berusaha menghindari
benturan setelah mereka menyadari, bahwa raksasa itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi serangan
yang cepat dan datang bergantian, bahkan kadang-kadang
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beruntun susul menyusul, membuat raksasa itu benar-benar
menjadi marah" "Anak-anak yang tidak tahu diri" geramnya "apakah
dengan demikian kalian menyangka akan dapat lepas dari
tanganku" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
keduanya adalah anak-anak muda yang telah menempa diri
dalam olah kanuragan. Mereka bukan saja berlatih
kecepatan gerak, tetapi merekapun telah dengan teratur
meningkatkan kekuatan tenaga mereka. Keduanya dengan
matang menguasai tenaga-tenaga mereka. Keduanya
dengan matang menguasai tenaga cadangan yang dapat
mereka pergunakan setiap saat yang mereka kehendaki.
Karena itu, maka perlawanan mereka terhadap raksasa
itupun benar-benar merupakan satu kekuatan yang mapan
menghadapi kekuatan yang besar dari raksasa yang marah
itu. Demikianlah pertemuan itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan
kemampuan mereka sehingga dengan demikian maka yang
terjadi kemudian adalah benturan ilmu yang semakin tinggi.
Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menjadi
semakin cepat datang dari arah yang berbeda. Sementara
itu, raksasa itupun telah mempergunakan ketangkasannya
untuk mengatasi setiap serangan. Dengan mempercayakan
diri pada kebesaran tenaganya, orang bertubuh tinggi besar
itu, hampir tidak pernah berusaha untuk menghindari
serangan. Tetapi ia selalu berusaha untuk membentur setiap
serangan. Namun lambat laun, orang itupun merasa bahwa
kekuatan kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat,
sejalan dengan peningkatan ilmu mereka. Tenaga cadangan
keduanya telah dipergunakan hampir sampai kepuncak
kemampuan. "Gila" geram raksasa itu "ternyata kedua anak ini
memiliki kekuatan iblis"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah sampai pada
kemampuan yang tinggi dalam pengerahan tenaga
cadangannya, ternyata merasakan kelebihan mereka atas
kekuatan raksasa itu. Kekuatan yang besar, tetapi kekuatan
wadagnya saja. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun kemudian berharap untuk dapat keluar dari
pertempurran itu dan melanjutkan perjalanan mereka,
menyeberangi sungai untuk mencapai tujuan sebagaimana
dikatakan oleh Senopati dari Singasari yang berada di
Talang Amba itu. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun kemudian bertempur semakin cepat. Mereka
ingin segera menyelesaikan perkelahian itu.
Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk
membunuh rakyat yang marah itu. Sebagaimana raksasa
itupun semula tidak benar-benar ingin membunuh mereka.
Ternyata bahwa ketika keduanya melarikan diri, raksasa itu
sama sekali tidak mengejarnya.
Ketika serangan-serangan kedua anak muda itu menjadi
semakin cepat, maka raksasa itupun menjadi semakin
bingung. Serangan-serangan datang dari dua arah yang
berbeda dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat semakin
sering berhasil mengenai tubuh orang bertubuh besar itu.
Meskipun serangan-serangan itu bukannya serangan yang
menentukan akhir dari perlawanan raksasa itu, tetapi kulit
daging raksasa itu semakin lama menjadi semakin terasa
sakit. Dibeberapa tempat tulang-tulangnyapun menjadi
memar. Betapapun raksasa itu mengerahkan kemampuannya,
tetapi kedua anak muda itu ternyata terlalu cepat untuk
dapat ditundukkannya. Dengan demikian, maka perlawanannya raksasa itupun
semakin lama justru menjadi semakin lemah. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat berusaha untuk membuat raksasa itu
tidak berdaya. Tetapi raksasa yang marah itu justru berteriak "Cepat,
menyerahlah sebelum aku benar-benar marah dan benarbenar
ingin membunuh kalian"
Tetapi Mahisa Pukatlah yang menjawab "Akulah yang
akan membunuhmu. Aku tidak senang melihat orang-orang
yang tidak berarti hidup dalam lingkungan peradaban
manusia. Orang yang tanpa berprikemanusiaan berusaha
untuk membunuh para pengembara"
"Gila" geram raksasa itu.
Namun serangan Mahisa Pukat dengan kakinya, tibatiba
saja telah menghantam lambungnya. Meskipun raksasa
itu berusaha melindungi dengan sikapnya sambil merendah,
namun kaki Mahisa Pukat yang cepat, berhasil menyusup
dan langsung mengenai lambung itu.
Raksasa itu terdorong beberapa langkah. Sebelum ia
dapat berdiri tegak, Mahisa Murtilah yang meloncat
menyerang, menghantam raksasa itu pada dadanya.
Raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja di jatuh
terguling. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah
meloncat menyambarnya dan mendorongnya untuk tetap
tegak. Tetapi iapun segera meloncat menjauh sambil
berkata "Hampir saja kau terguling disepanjang lorong yang
menurun ini dan mandi tanpa melepaskan pakaianmu"
"Gila" teriak raksasa itu "kalian telah mempermainkan
aku he?" "Jangan marah" sahut Mahisa Murti "kau sedang
berhadapan dengan pengembara yang tidak punya arti"
"Tutup mulutmu" geram raksasa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justeru tertawa. Namun
kemudian mereka merasa, bahwa yang mereka lakukan
agaknya sudah cukup. Mereka harus mendapat kesempatan
untuk meneruskan perjalanan tanpa diikuti oleh raksasa itu.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Kita jangan terlalu lama bermain-main dengan raksasa ini.
Marilah kita meneruskan perjalanan. Pengembaraan kami
masih sangat panjang"
"Aku bunuh kau pengembara" teriak orang bertubuh
tinggi besar itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menghiraukannya lagi. Dengan serta merta keduanya
menyerang bersama-sama sehingga orang bertubuh tinggi
besar itu, tidak mampu menghindarkan dirinya. Demikian
cepat kedua serangan itu beruntun menghantam tubuhnya,
maka raksasa itupun telah terhuyung-huyung.
Terdengar raksasa itu menyeringai menahan saat,
sementara itu maka Mahisa Pukatpun kemudian berkata
"Kita akan meninggalkannya"
Mahisa Murti tidak menyahut. Keduanyapun kemudian
dengan cepat meloncat meninggalkan raksasa yang sedang
kesakitan itu. "Gila" geramnya. Tetapi ia tidak segera dapat bangkit,
apalagi mengejar kedua anak muda itu. Bahkan iapun sama
sekali tidak berniat melakukannya, karena ia yakin, bahwa
ia tidak akan dapat berbuat banyak atas kedua orang anak
muda itu. Seandainya ia berhasil mengejarnya, namun ia
tidak akan dapat menangkapnya, karena ternyata ia tidak
dapat mengalahkan kedua orang anak muda yang semula
disebutnya pengembara. Namun yang sejak semula
memang menarik perhatiannya.
Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
berlari menghambat turun ke sungai dan menyeberanginya,
orang bertubuh tinggi besar itu bangkit dengan susah payah.
Tubuhnya terasa nyeri. Namun hatinyapun ikut terasa
pedih, karena anak-anak muda itu ternyata telah
mempermainkannya. Pada saat ia hampir jatuh terguling,
seorang diantara anak-anak muda itu telah menahannya
dan mendorongnya untuk tetap tegak.
Perlahan-lahan orang itupun menuruni lorong yang
turun ke sungai. Kepada dirinya sendiri berkata "Biarlah
anak-anak itu pergi. Tetapi jika ia mengambil arah yang
kami cemaskan, maka ia akan bertemu dengan hambatanhambatan
berikutnya" Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah meninggalkan orang bertubuh tinggi besar itu.
Sebenarnya jika mereka menghendaki, mereka akan dapat
berbuat lebih banyak. Namun betapapun raksasa itu marah,
tetapi kedua anak muda itu mendapat kesan... bahwa
sebenarnya orang bertubuh tinggi dan besar itu bukannya
orang yang bermaksud jahat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
menyeberangi sungai. Dengan hati-hati mereka
melanjutkan perjalanan. Dengan teliti mereka
memperhatikan setiap bentuk dan gejala alam yang ada di
sekitarnya. Ternyata dalam beberapa hal mereka mengenali tempat
itu sebagaimana diceriterakan oleh Senopati yang berada di
Talang Amba. Beberapa pertanda telah mereka lalui,
sehingga akhirnya mereka sampai kesebuah bulak yang
panjang. "Inikah bulak yang disebut oleh Senopati itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya. Bulak panjang yang gawat. Senopati itu sama sekali
tidak menyebut apa-apa tentang sungai itu. Tetapi kita telah
menjumpai sebuah hambatan. Sedangkan bulak ini telah
disebut sebagai tempat yang gawat. Yang harus kita lalui
dengan sangat hati-hati sebelum kita memasuki padukuhan
sebelah. Padukuhan yang kita tuju" jawab Mahisa Murti.
"Apa boleh buat" berkata Mahisa Pukat sambil
memandang bulak yang panjang itu, namun sebaiknya kita
memang berhati-hati"
"Kita tidak akan melalui jalan bulak itu. Kita sudah tahu
bahwa di jalan itu kita akan menjumpai sebuah rintangan
apapun ujudnya. Tentu rintangan yang dipasang untuk
melindungi tujuan kita" berkata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata "Kita
sebenarnya tidak perlu cemas atas hambatan-hambatan itu.
Sebenarnya kita tahu, bahwa hambatan-hambatan itu tidak
akan menghancurkan kita. Hambatan itu hanya sekedar
satu cara untuk meyakinkan siapakah sebenarnya yang
datang" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku
sependapat. Hambatan itu tidak benar-benar akan
membunuh. Bagaimana jadinya jika yang mereka hadapi
benar-benar orang lewat tanpa maksud apa-apa"
"Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Namun aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya kita
tidak memasuki padukuhan sebelah lewat jalan itu. Kita
akan dapat mendekati padukuhan itu lewat pematang dan
tanggul-tanggul parit" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Kita memang dapat berusaha memperkecil persoalan.
Mudah-mudahan dengan cara ini kita terlepas dari
hambatan yang disebut gawat oleh Senopati Singasari itu,
karena hambatan itu agaknya memang dipasang di
sepanjang jalan itu"
Demikianlah kedua anak itu yang sudah mendapat pesan
bahwa mereka akan melalui sebuah jalan panjang di bulak
yang luas, telah mengambil langkah untuk menempuhnya
tidak melalui jalan sewajarnya. Mereka mencoba untuk
menghindari hambatan yang mungkin ada dengan melalui
pematang dan tanggul-tanggul parit.
"Pokoknya tujuan kita jelas. Padukuhan itu" berkata
Mahisa Murti "agar kita tidak kehilangan kiblat dan tersesat
ke padukuhan yang lain, maka kita akan memperhatikan
pepohonan disepanjang jalan itu. Dengan demikian kita
akan selalu dapat mengikuti arah jalan itu. Jalan yang
menurut keterangan adalah jalan satu-satunya"
Mahisa Pukat mengangguk. Dengan demikian, maka kedua orang itupun segera
turun ke pematang dan berjalan menyusurinya. Namun
dalam keremangan malam mereka tidak kehilangan kiblat.
Mereka mengikuti pepohonan yang tumbuh di sepanjang
jalan untuk tetap memelihara jarak dan arah.
Dengan cepat mereka melintasi kotak demi kotak.
Mereka meloncati parit dan kadang-kadang meniti titian
bambu yang licin dan bahkan melintasi pematang-pematang
yang ditanami dengan berbagai macam tanaman, sehingga
keduanya mengalami kesulitan agar tidak merusakkan
tanaman itu. Ketika keduanya sampai ketengah bulak, maka keduanya
terhenti sejenak. Memang agaknya tidak ada rintangan
yang mereka temui. Mungkin agak berbeda dengan apabila
mereka menempuh perjalanan lewat jalan disebelah.
Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda itu
terhenti. Dalam kegelapan malam, penglihatan mereka
yang tajam, telah menangkap gerak yang mencurigakan.
Tanpa melihat seseorang, mereka melihat dedaunan yang
bergoyang-goyang. "Berhati-hatilah" desis Mahisa Murti "agaknya kita
memang harus menjumpai rintangan, yang dimaksud
meskipun kita sudah memilih jalan"
Mahisa Pukatpun telah besiap pula. Pengalaman mereka
sebagai pengembara telah memperingatkan mereka, bahwa
yang ada dihadapan mereka adalah sejenis binatang
merangkak. Binatang yang berbahaya tetapi yang tidak
segera dapat mereka lihat.
Dada kedua anak muda itu berdebaran ketika tiba-tiba
saja disela-sela batang-batang padi muncul seekor binatang
yang besar. Ketika binatang yang menyusuri pematang itu
berpaling kearah kedua orang anak muda itu, maka kedua
belah matanya nampak bagaikan bercahaya kehijauan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun segera mengenali
jenis binatang itu. Harimau.
"Ternyata kita memang harus menghadapinya" guman
Mahisa Pukat. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian berkata "Kita memang, tidak mempunyai
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pilihan lain. Aku tidak tahu, bagaimana itu dapat diatur
untuk mencegat perjalanan kita. Padahal kita sudah tidak
mengambil jalan yang seharusnya kita lalui"
"Apakah seandainya kita melalui jalan itu, kita tidak
akan bertemu dengan seekor harimau?" bertanya Mahisa
Pukat. "Entahlah" jawab Mahisa Murti. Lalu "Tetapi kehadiran
seekor harimau di tempat inipun agak menarik perhatian.
Menurut mengatakanku daerah ini tidak terlalu dekat
dengan hutan yang lebat dan luas. Agaknya kehadiran
seekor harimau di tempat ini pantas dipertanyakan"
"Aku sependapat" desis Mahisa Pukat "jika harimau ini
berada di tempat ini sehari-harinya, apakah tidak menakutnakuti
para petani yang pergi ke sawah untuk mengairi
tanamannya?" Tetapi keduanya tidak sempat berbincang lebih lama.
Harimau itu agaknya telah melihat kedua anak muda itu,
sehingga selangkah demi selangkah harimau itu merunduk
maju. "Lebih baik kita pergi ke jalan itu" berkata Mahisa Murti
"agaknya kita akan mendapat tempat yang lebih luas untuk
berkelahi melawan harimau itu"
"Masih beberapa puluh langkah, harimau itu tidak akan
menunggu" jawab Mahisa Pukat.
"Marilah kita coba. Aku akan berjalan dibelakang. Kau
berjalan didepan. Kita menuju kejalan di tengah-tengah
bulak" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Iapun kemudian
melangkah lewat pematang yang menyilang, kearah jalan
ditengah-tengah bulak yang semula mereka hindari.
Sebenarnyalah seperti dugaan Mahisa Murti. Harimau
itu tidak segera menyerang. Tetapi harimau itupun
mengikuti saja kedua anak muda yang berjalan semakin
cepat menuju kejalan. Mahisa Pukat yang berada didepan sempat bertanya
"Harimau itu tidak berbuat apa-apa"
"Sekarang harimau itu tidak berbuat apa-apa. Kau lihat,
bahwa harimau tadi sudah merunduk. Sekarang seolah-olah
harimau itu memberi kesempatan kita untuk mencari jalan
itu. Agaknya harimau itupun ingin berkelahi ditempai yang
agak luas" Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi harimau itu
memang agak aneh menurut pendapat! kedua orang anak
muda itu. Beberapa saat lagi keduanya akan segera sampai kejalan
yang menghubungkan sebuah padukuhan dengan
padukuhan berikutnya yang terpisah oleh bulah yang
panjang. Di jalan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
mempunyai kesempatan lebih baik bila berkelahi tanpa
merusak tanaman yang sedang tumbuh dengan suburnya.
Harimau itu seakan-akan mengerti maksud kedua anak
muda itu, dan agaknya harimau itupun tidak berkeberatan.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, kedua anak
muda itu sudah meloncat parit dan berdiri di sebuah jalan
yang cukup luas, yang agaknya disiang hari merupakan
jalan yang tidak begitu sepi.
"Kita menunggu harimau itu" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat bergeser beberapa langkah menjauhi
Mahisa Murti. Namun ia masih bertanya "Aku tidak dapat
membayangkan apa yang terjadi jika kita menempuh jalan
ini disiang hari" "Ya. Hambatan apakah yang kira-kira akan kita jumpai.
Tetapi agaknya tentu bukan seekor harimau" berkata
Mahisa Murti. "Ya. Mungkin kita akan menjumpai seekor lembu yang
mengamuk, atau sekelompok penyamun atau apa saja"
sahut Mahisa Pukat. Namun keduanya harus terdiam, karena harimau yang
menjadi semakin dekat itu mulai mengaum.
"Bersiaplah. Harimau itu sudah berbalik hati memberi
kesempatan kepada kita untuk mendapatkan tempat
berpijak yang lebih luas untuk menghadapinya" berkata
Mahisa Murti "agaknya harimau inipun bukan sejenis
harimau yang hanya tahu menerkam dan membunuh"
Mahisa Pukatpun segera bersiap. Ia sependapat dengan
Mahisa Murti, bahwa harimau itu termasuk harimau yang
baik. Yang dapat mengerti dan memberi kesempatan kedua
anak muda itu untuk mencari tempat yang paling baik
untuk melawannya. Namun agaknya harimau itu
sependapat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
bahwa jika mereka berkelahi diantara tanaman yang hijau,
tentu akan menimbulkan kerusakan dan merugikan para
petani yang tidak tahu menahu tentang kedua orang anak
muda itu. Namun bagaimanapun juga ujud yang mereka hadapi
adalah seekor harimau yang besar yang mempunyai gigi
dan kuku yang tajam, sehingga karena itu, maka keduanyapun
tidak dapat membiarkan tubuh mereka dikoyak oleh
kuku dan gigi harimau itu.
Dengan gerak nalurilah, maka kedua anak muda itu
telah mengagapai pisau belati mereka yang tersimpan di
bawah kain panjang. Dengan pisau belati itu mereka akan
menghadapi tajamnya gigi dan kuku hariamau itu.
Ketika harimau itu mulai merunduk lagi, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berdiri pada jarak beberapa
langkah. Karena itu, maka harimau itu nampaknya
memang harus memilih. Apakah ia akan menerkam Mahisa
Murti atau Mahisa Pukat. Namun ternyata kedua anak muda itu sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan dan ketakutan. Keduanya berdiri
tegak dengan lutut yang agak merendah. Ditangan mereka
telah tergenggam pisau-pisau belati yang tajam, setajam
ujung taring harimau itu.
Untuk beberapa saat harimau itu masih merunduk.
Sekali di tatapnya Mahisa Pukat sambil menggeram.
Kemudian harimau itupun berpaling kepada Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua anak muda itupun telah
menunggu. Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat.
Seakan-akan keduanya tanpa berkedip menatap harimau
yang menggeram. Sejenak suasana dicengkam oleh ketegangan. Namun
kemudian terdengar harimau itu mengaum dahsyat.
Dengan tangkasnya harimau itu meloncat menerkam
kearah Mahisa Murti. Mahisa Murti yang memperhatikan gerak kaki harimau
itupun segera menyadari bahwa harimau itu telah meloncat
kearahnya. Karena itu, maka iapun segera menempatkan
diri. Pisaunya mulai bergerak.
Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas. Kakinya yang
seakan-akan melekat pada bumi, tiba-tiba saja melemparkan
tubuhnya menyamping. Harimau itu terkejut. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti
itu hanya sekejap saja sebelum harimau dengan kukukukunya
yang tajam terjulur kedepan itu menggapainya.
Karena kehilangan sasarannya, harimau itu mengaum
dahsyat sekali. Namun tiba-tiba saja terasa sesuatu
menindih punggungnya. Tangan yang kuat telah melingkar
dilehernya. Harimau itu menggeliat. Dengan sekuat tenaga ia
berusaha melemparkan tubuh yang telah melekat
dipunggungnya itu. Bahkan harimau itupun telah berguling
ditanah. Ternyata kekuatan harimau itu memang luar biasa.
Mahisa Murti yang telah meloncat kepunggung harimau itu
telah terlempar pada saat harimau itu berguling. Namun
dengan tangkasnya Mahisa Murti meloncat bangkai
sehingga ketika harimau itu bangkit berdiri pula diatas
ampat kakinya, Mahisa Murti telah meloncat sekali lagi
kepunggunya dan melekat lebih erat.
Namun Mahisa Murti tidak mau terlambat. Sebelum ha
rimau itu melemparkannya, tiba-tiba saja pisau belatinya
telah menghunjam ke tubuh harimau itu.
Sekali lagi harimau itu mengamuk dahsyat. Sekali lagi
harimau itu menggeliat. Bahkan melonjak dan jatuh
berguling dengan kemarahan yang menghentak-hentak oleh
luka dipunggungnya. Sekali lagi Mahisa Murti tidak berhasil bertahan pada
punggung harimau itu dan terlepas terpental beberapa
langkah. Namun Mahisa Murti memang lebih cepat
bergerak daripada lawannya. Ternyata Mahisa Murti telah
melenting dan berdiri tegak lebih dahulu dari harimau itu.
Pada saat harimau itu tegak. Mahisa Murti justru telah
menyerangnya. Pisaunya menyambar mendatar. Namun
harimau itu mengerutkan tubuhnya bahkan tangannyalah
yang berusaha untuk menggapai tangan Mahis Murti.
Tetapi Mahisa Murti berhasil menghindar. Bahkan iapun
telah siap untuk meloncat lagi justru menerkam harimau
itu. Namun karena harimau itu menghadap kearahnya,
maka Mahisa Murti harus berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti telah berhasil
menarik perhatian harimau itu. Bahkan harimau itu telah
siap menerkam dengan kuku-kukunya yang tajam
Selangkah harimau itu maju dengan kepala merendah siap
untuk meloncat pada jarak yang hanya dua tiga langkah.
Namun harimau itu terkejut. Ia mendengar gemersik di
belakangnya. Karena itu, maka dengan gerak naluriah
harimau itu berpaling. Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang tinggi
Mahisa Murti sempat meloncat maju. Pisaunya mematuk
leher harimau yang berpaling itu.
Namun pendengaran harimau itu memang sangat tajam.
Gerak Mahisa Murti sekan-akan diketahuinya sehingga
karena itu, maka justru sekali lagi tangan harimau itu
terangkat, seakan-akan menangkis tangan Mahisa Murti.
Mahisa Murti berhasil mengenai lengan harimau itu.
Tetapi tangannyapun telah tergores pula oleh kuku-kuku
harimau yang tajam itu. Mahisa Murti berdesis. Ia bergerser surut. Terasa
tangannya menjadi pedih. Namun iapun segera bersiap
kembali untuk menghadapi harimau itu.
Pada saat yang demikian, sekali lagi harimau itu terkejut.
Seperti yang terjadi sebelumnya, sesosok tubuh telah
menindihnya dari belakang. Dan tangan yang kuat telah
melingkar pula di lehernya.
Mahisa Pukat yang melihat kedudukan Mahisa Murti
yang sulit telah melekat dipunggung harimau itu. Ia tidak
ingia kehilangan kesempatan. Karena itu, maka dengan
segenap kekuatan yang ada padanya, ia tidak hanya
menghunjamkan pisaunya sekali pada tubuh harimau itu.
Tetapi berkali-kali. Harimau itu benar-benar marah. Dengan dahsyatnya
harimau itu mengaum sambil menggeliat dan bergulingguling.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha melemparkan
Mahisa Pukat dari punggungnya.
Mahisa Pukat berusaha untuk tidak terlepas. Tetapi tibatiba
saja tubuhnya telah terantuk batu padas, sehingga
kulitnya bagaikan telah terkoyak oleh batu yang runcing itu.
Pada saat-saat yang demikian, ternyata tangan Mahisa
Pukat terlepas. Namun seperti yang dilakukan oleh Mahisa
Murti, maka dengan cepat iapun meloncat berdiri. Harimau
itupun telah berdiri pula. Justru terlalu dekat dihadapan
Mahisa Pukat. Namun sekali lagi ternyata Mahisa Pukat
lebih cepat bergerak dari pada harimau itu, sehingga justru
pisau Mahisa Pukatlah yang menyambar kening harimau
itu. Harimau itu melangkah surut sambil mengaum sekali
lagi. Ternyata tubuhnya telah menjadi merah oleh darahnya
yang mengalir dari luka-lukanya. Apalagi kedua anak muda
itu kemudian telah bersiap menghadapinya.
Sejenak harimau itu termangu-mangu. Namun ketika
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergerak bersama dari dua
arah mendekati harimau itu, maka harimau itupun telah
mengaum lebih dahsyat lagi oleh kemarahan yang
bergejolak didalam dadanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Puat tertegun. Tetapi ketika
pisau belati kedua anak muda itu mulai bergerak lagi, tibatiba
harimau itu telah meloncat. Tidak menyerang salah
seorang dari kedua anak muda itu, tetapi harimau itu telah
meloncat berlari memasuki daerah persawahan, menyusup
diantara batang-batang padi yang hijau.
Mahisa Pukat telah siap pula untuk berlari mengejar.
Tetapi Mahisa Murti telah menggamitnya sambiil berdesis
"Biarkan harimau itu lari. Kita tidak akan dapat
mengejarnya" Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk sambil berkata "Ya. Kita memang
tidak akan dapat mengejarnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu
beberapa saat. Tetapi kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata "Kita akan
meneruskan perjalanan. Kita akan menuju ke padukuhan di
depan kita" "Baiklah" jawab Mahisa Pukat yang kemudian bertanya
"apakah kita akan menempuh jalan ini atau seperti tadi kita
akan berjalan lewat pematang?"
"Kita akan berjalan melalui jalan ini" berkata Mahisa
Murti "tetapi kita perlu mengobati luka-luka kita.
Meskipun tidak terlalu dalam, namun kita harus
menempatkan darah yang mengalir ini lebih dahulu"
Mahisa Pukatpun mengangguk-angguk. Tubuhnya juga
terluka ketika tubuh itu dibanting-banting oleh harimau itu
dan membentur padas yang tajam, sedangkan Mahisa Murti
terluka tersentuh oleh kuku harimau itu.
Setelah menaburkan obat pada luka yang berdarah, maka
keduanyapun telah melanjutkan perjalanan. Mereka tidak
algi menghindari jalan yang mereka lalui seperti
sebelumnya. "Mungkin kita masih akan bertemu dengan hambatan
lagi" berkata Mahisa Murti.
"Mungkin sekelompok penyamun" desis Mahisa Pukat.
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi dipandanginya
bulak panjang yang terbentang dihadapannya. Rasa-rasanya
mereka berdua memang telah memasuki satu daerah yang
asing dan penuh dengan rahasia.
Kedua anak muda itu berjalan dengan hati-hati. Mereka
tidak menyelipkan pisau mereka dibawah kain panjang
mereka. Tetapi mereka telah meletakkan pisau-pisau belati
mereka diluar agar setiap saat diperlukan, mereka dengan
cepat dapat menariknya dari sarungnya.
Bahkan kedua anak-anak muda itu seakan-akan selalu
menggenggam hulu pisau belatinya sambil berjalan
menyusuri jalan bulak yang panjang itu.
Pada setiap langkah, baik Mahisa Murti maupun ,
Mahisa Pukat tidak pernah terlepas dari perhatian mereka
terhadap keadaan disekitarnya. Malam yang gelap, batangbatang
padi yang bergerak oleh sentuhan angin malam yang
lembut dan suara langkah kaki mereka sendiri.
Namun untuk beberapa saat lamanya, mereka sama
sekali tidak mengalami gangguan apapun juga. Tidak .ada
binatangdan tidak ada seorangpun yang mereka jumpai,
sehingga akhirnya mereka mendekati regol padukuhan.
"Kita akan memasuki padukuhan itu" berkata Mahisa
Murti. "Ya. Ternyata ciri-cirinya tepat seperti yang dikatakan
oleh Senopati itu. Tetapi bukankah pesannya, agar kita
tidak memasuki padukuhan itu lewat regol. Baik siang,
maupun malam?" jawab Mahisa Pukat.
"Ya" Mahisa Murti mengangguk-angguk "orang yang
akan kita datangi tidak banyak dikenal di padukuhan ini.
Seandainya ia dikenal juga, tentu bukan sebagai petugas
sandi dari Singsari"
Ketika anak muda itupun kemudian terdiam. Tempat
yang mereka tuju telah ada didepan mereka. Dari tempat
itu, seorang Senapati lain dari Singasari memimpin tugastugas
sandi atas beberapa orang kepercayaan mereka.
Petugas-petugas itulah yang agaknya hilir mudik di daerah
perbatasan, dan bahkan mungkin di seluruh kota Kediri.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya mengamati
pintu gerbang itu. Mereka yakin, bahwa dibelakang pintu
gerbang itu terdapat sebuah gardu. Namun mereka tidak
tahu, apakah didalam gardu itu terdapat pata peronda atau
tidak. "Kita akan memilih meloncat dinding disisi sebelah kiri
sebagaimana disarankan oleh Senopati itu, kecuali dalam
keadaan yang khusus menurut pertimbangan kita. Namun
agaknya saat ini kita tidak menjumpai persoalan yang dapat
memaksa kita untuk memilih tempat lain" berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Memang
tidak ada persoalan yang harus merubah cara sebagaimana
ditunjukkan oleh Senapati Singasari yang berada di Talang
Amba. Karena itu, maka keduanyapun telah bergeser ke kiri
menuju ke sebatang pohon yang besar dan rimbun, yang
akan dapat membayangi mereka, saat mereka memasuki
dinding padukuhan. "Pohon itu tentu pohon preh" desis Mahisa Pukat
bukankah disebelahnya ada sebatang pohon siwalan?"
"Ya" Mahisa Murti mengangguk "kita akan meloncati
dinding dibawah pohon preh itu"
Kedua anak muda itupun kemudian dengan hati-hati
telah memasuki bayangan pohon preh yang kelam. Dengan
hati-hati pula keduanya berusaha untuk meloncati dinding
tanpa mengetahui apakah yang ada didalam dinding itu.
Namun ketika keduanya menelungkup melekat dinding
itu dalam bayangan pohon preh, mereka sama sekali tidak
melihat sesuatu dib"wah mereka.
Namun demikian keduanya masih menunggu sesaat
untuk menyakinkan bahwa mereka tidak akan menjumpai
kesulitan apabila mereka kemudian meloncat turun.
Malam memang terasa sangat sepi dan kelam. Tetapi
udara yang mengalir serasa memberi peringatan, bahwa
sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Diluar sadarnya Mahisa Murtipun memandang Mahisa
Pukat yang masih menelungkup. Perlahan-lahan ia berdesis
dan kemudian memberi isyarat untuk meloncat turun.
Sesaat kemudian keduanya telah berada di dalam
dinding padukuhan. Dengan hati-hati keduanya meraya
disepanjang dinding padukuhan itu, untuk mencari ciri-ciri
yang dapat menunjukkan arah, kemana mereka harus pergi.
Tiba-tiba keduanya tertegun. Mereka melihat sebuah
jalan sempit yang ujungnya ditumbuhi sebatang pohon
kulbandang. Daunnya yang berwarna ke kuning-kuningan
cepat menarik perhatian. "Disebelah pohon itu terdapat sebuah tugu batu" desis
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk. Perlahan-lahan ia merayap
mendekatinya. Sebenarnya mereka melihat sebuah tugu
yang tidak terlalu besar. Tugu yang menurut Senopati
Singa-sari di Talang Amba berisi keterangan tentang
wewenang seorang Kepala Tanah Perdikan dimasa lampau,
tiga keturunan sebelum Buyut yang sedang memerintah.
Dengan demikian maka keduanya telah memasuki
lorong sempit itu. Menyusup dibawah pohon kulbandang
dan kemudian berjalan dengan sangat hati-hati menuju
sebuah halaman rumah yang tidak terlalu sempit, tetapi
juga bukan termasuk halaman yang luas, yang didalamnya
tumbuh sebatang pohon pucung.
"jika pohon pucung itu sudah ditebang" berkata Senapati
di Talang Amba "atau roboh oleh angin, kalian dapat
melihat cirri dari pintu gerbang halaman yang tidak terlalu
besar. Kau akan melihat bahwa gawang pintunya sebelah
kiri dan sebelah kanan tidak sama besar"
Karena itu, maka kedua anak muda itu berusaha
mengamati setiap halaman dengan saksama. Namun
mereka tidak perlu mengamati gawang pintu regol, karena
kemudian mereka telah melihat sebatang pohon pucang
yang sudah sangat tinggi.
"Pohon itu masih ada" berkata ia masih juga
meyakinkan melihat gawang pintu gerbang. Ternyata
seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, gawang pintu
gerbang itu sebelah kiri dan kanan memang tidak sama.
"Rumah inilah yang harus kita datangi" berkata Mahisa
Murti. "Apakah kita akan segera masuk?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Kita harus memperlihatkan ciri kita setelah orang
yang kita hadapi menyebut satu kalimat sandi" berkata
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia harus selalu ingat,
semua pertanda, ciri kata-kata rahasia sebagai pertanda
bahwa mereka berhadapan dengan orang yang benar.
Sejenak kemudian, kedua orang anak muda itupun
berusaha untuk membuka pintu regol. Ternyata pintu itu
sama sekali tidak diselarak. Tidak ada tanda-tanda bahwa
tempat yang mereka masuki kemudian adalah tempat yang
penting, yang menjadi pusat pengendalian petugas-petugas
rahasia Singasari di Kediri.
Dengan tidak ragu-ragu, karena semua ciri yang disebut
oleh perwira Singsari di Talang Amba itu telah mereka
ketemukan, maka merekapun langsung menuju ke
seketheng sebelah kiri. Kemudian tanpa ragu-ragu pula
Mahisa Murti mengetuk pintu seketheng itu dua kali
berganda. Sejenak kedua anak muda itu menunggu. Sementara itu
Mahisa Pukat yang menengadahkan kepalanya telah
melihat cahaya fajar mulai mewarnai langit.
"Hampir pagi" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk. Iapun melihat langit yang
semakin cerah. Karena itu, maka katanya "Mudahmudahan
kita segera menemuinya. Meskipun kita tidak
terikat waktu, tetapi semakin cepat agaknya semakin baik
bagi kita. Apapun yang kemudian terjadi, kita sudah berada
dibawah pengetahuan yang bertugas disini"
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab. Di dalam
seketheng telah terdengar langkah mendekati.
Sejenak kemudian pintupun terbuka. Seorang perempuan
berdiri tegak di pintu. Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangumangu.
Namun kemudian perempuan itupun bertanya
"Apakah kalian mencari seseorang?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung.
Mereka mengharap seseorang menerima mereka dan
langsung mengucapkan kata sandi. Tetapi yang sekarang
mereka temui adalah seorang perempuan yang bertanya
sewajarnya. Namun akhirnya Mahisa Murtipun menjawab "Kau
ingin bertemu dengan pemilik rumah ini"
Jawaban perempuan itu semakin membingungkannya.
Katanya "Ya. Akulah pemilik rumah ini. Aku menjadi
cemas melihat kedatangan kalian pada waktu yang bukan
sewajarnya seperti ini"
Sejenak kedua anak muda itu saling berpandangan.
Tetapi Mahisa Murtipun akhirnya berkata "Aku datang
dengan ketukan khusus pada pintu seketheng sebelah kiri"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Marilah. Silahkan masuk"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mengikutinya.
Mereka menjadi ragu-ragu. Jika penghuni rumah itu sudah
berganti karena sesuatu hal, mungkin dengan kekerasan
atau pertimbangan-pertimbangan lain, maka mereka akan
menemui kesulitan. Dalam kebimbangan maka Mahisa Murtipu kemudian
menuju kepintu butulan. Dari dalam cahaya lajspu
memancar keluar lewat daun pintu yang terbuka.
"Marilah anak-anak muda" perempuan itu
mempersilahkan. Kedua anak muda itu melangkah masuk. Mereka
memasuki ruang yang tidak begitu luas. Memang agak
berbeda dengan bayangan mereka, bahwa mereka akan
memasuki ruang dalam dibelakang pringgitan.
"Silahkan" berkata perempuan itu selanjutnya
"masuklah ke ruang tengah"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin ragu.
Namun keduanya tidak dapat melangkah surut. Dari dalam
terdengar suara berat "Masuklah anak-anak muda. Kami
memang sedang menunggu kedatangan kalian"
Kedua anak muda itu tertegun sejenak. Namun
kemudian Mahisa Murti berdesis "Apaboleh buat"
Diikutsertakan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murtipun
memasuki pintu yang ditunjuk oleh perempuan itu. Hampir
diluar sadar mereka, tangan kedua anak itu melekat pada
hulu pisau belati mereka.
Demikian mereka memasuki ruang u, maka jantung
mereka terasa berdegup semakin keras. Nafas mereka
terhenti sejenak. Betapa keduanya terkejut ketika keduanya
melihat orang bertubuh raksasa dan pemilik warung itu
berada didalam ruangan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri tegak didepan
pintu. Wajah mereka menjadi tegang.
Namun dalam pada itu, terdengar pemilik warung itu
berkata "Acungkan tangan kalian dengan jari-jari yang
mengembang" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik
nafas dalam-dalam. Orang itulah yang memang mereka
cari. Kata-kata itu adalah kata-kata yang memang harus
mereka dengar dari mulut pemilik rumah itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
mengulurkan tangan mereka. Jelas terlihat oleh orang yang
menjadikan dirinya pemilik warung itu, cincin khusus di
jari kedua anak muda itu.
Agaknya pemilik warung itu mengenali sikap keduanya.
Sikap yang memang harus diperlihatkan jika mereka berada
di tempat itu. "Bagus" berkata pemilik warung itu "duduklah. Ternyata
kalian adalah anak-anak kelinci sebagaimana aku duga
meskipun agak kurang meyakinkan. Tetapi sikap kalian
menimbulkan kepercayaan padaku, bahwa kalian memang
datang untuk kepentingan Singasari"
"Ya" jawab Mahisa Murti "kami datang untuk
melaporkan diri" "Besok kita bicarakan tentang diri kita masing-masing.
Sekarang kalian dapat beristirahat" berkata orang yang
dikenal sebagai pemilik warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun kemudian orang yang bertubuh raksasa itupun
berkata "Marilah Ikut aku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu.
Namun orang bertubuh raksasa itu tersenyum sambil
berkata "Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Bukankah
kalian telah mengalahkan aku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Ketika mereka berpaling kepada orang yang
dikenalnya sebagai pemilik warung itu, maka dilihatnya
orang itupun tersenyum. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
mengikuti orang bertubuh raksasa. Mereka kemudian
dibawa keserambi belakang dan kemudian keduanya
dibawa masuk kedalam sebuah bilik yang tidak terlalu luas.
"Beristirahatlah" berkata orang bertubuh tinggi besar itu
"besok masih banyak waktu bagi kalian untuk berbicara
tentang tugas kalian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Keduanya memasuki bilik yang tidak terlalu luas itu.
Sebuah lampu minyak masih menyala. Namun meskipun
kecil, tetapi bilik itu nampak bersih.
Sehingga tikar pandan yang putih terbentang diatas
sebuah amben bambu yang cukup besar untuk kedua anak
muda itu. Sebuah geledek bambu berada disudut dan
sebuah dingklik kayu melekat dinding dibawah lampu
minyak yang masih menyala.
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi keduanya mengamati ruangan itu, maka orang
bertubuh raksasa itu berkata "Silahkan. Aku akan pergi.
Masih ada waktu meskipun hanya sekejap"
"Terima kasih" sahut Mahisa Pukat.
Ketika orang itu meninggalkan kedua anak muda itu,
maka Mahisa Murtipun telah menutup pintu bilik itu dan
menyelaraknya. Kemudian sambil menarik nafas dalamdalam
iapun membaringkan dirinya di amben itu.
"Aku memang merasa lelah" berkata Mahisa Murti.
"Kita akan dapat beristirahat" berkata Mahisa Pukat
"nah jika kau lelah sekali, tidurlah. Aku sudah terlanjur
tidak merasa mengantuk"
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia memang
menguap. Tetapi agaknya Mahisa Murtipun sudah tidak akan
sempat tidur. Suara ayam jantan yang berkokok telah
memenuhi keheningan. Fajar memang telah menyingsing.
Mahisa Pukat duduk diatas amben bambu dibawah
lampu minyak yang berkerdipan. Sambil bersandar dinding
diamatinya Mahisa Murti yang berbaring. Tetapi Mahisa
Murti sama sekali tidak memejamkan matanya.
"Tidurlah" desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya "Mana mungkin
pada waktu yang begini. Entahlah, justru setelah matahari
terbit nanti. Mungkin aku justru akan tertidur nyenyak"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Dipandanginya sudutsudut
ruangan itu, seakan-akan ada yang dicarinya. Namun
Mahisa Pukat memang tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Untuk beberapa saat kedua anak muda itu saling berdiam
diri. Lampu minyak masih berkeredipan menerangi bilik
itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja bangkit. Ia mendengar suara
pedati di halaman yang mulai bergerak. Semakin lama
menjadi semakin jauh. "Pedati" desis Mahisa Murti
"Ya. Mungkin sesuatu harus dibawa dengan pedati
meninggalkan rumah ini" sahut Mahisa Pukat.
"Matahari masih belum terbit" berkata Mahisa Murti
kemudian. Mahisa Pukat tidak menyahut. Bahkan merekapun telah
duduk kembali dengan baik ketikamereka mendengar derap
langkah mendekati. Sejenak kemudian pintu bilik itupun diketuk dari luar.
Perlahan-lahan saja. Mahisa Pukatpun yang kemudian berdiri menghampiri
pintu. Meskipun kedua anak muda itu merasa, bahwa
mereka telah sampai ketempat yang memang harus di
datangi, namun mereka masih tetap berhati-hati.
Demikian pintu, itu terbuka, maka mereka melihat orang
yang bertubuh tinggi besar itu telah berdiri diluar pintu.
"Apakah kalian sempat beristirahat" bertanya orang
bertubuh raksasa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling ber pandangan
sejenak. Namun sebelum mereka menyahut, orang
bertubuh raksasa itu berkata "kalian tentu belum, sempat
beristirahat. Tetapi kalian dipanggil ke dalam"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak.
Merekapun kemudian mengikuti orang bertubuh-itu masuk
keruang dalam. Diruang dalam orang yang menyebut dirinya pemilik
warung itu duduk diapit oleh dua orang yang belum pernah
dilihat sebelumnya oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
ruang itu, maka sambil tersenyum orang yang menyebut
dirinya pemilik warung itupun segera mempersilahkan
duduk. "Marilah anak-anak muda" berkata orang itu "sebentar
lagi aku harus sudah pergi. Pedati yang membawa
dagangan ke warungku sudah berangkat. Aku harus segera
menyusulnya. Nanti pada saat matahari naik, orang mulai
datang untuk berbelanja di pasar itu dan diantara mereka
akan singgah di warung kami"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Pedati yang meninggalkan halaman itu ternyata
berisi dagangan yang akan dijual diwarung. Mungkin nasi
dan beberapa jenis makanan sebagaimana pernah mereka
makan pada saat-saat mereka berada di warung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk
pula bersama beberapa orang di ruang itu. Dengan
berdebar-debar keduanya menunggu apa yang akan
dikatakan oleh pemilik warung itu kepada mereka.
Baru sejenak kemudian orang itu berkata "Anak-anak
muda. Melihat ciri-ciri dan sikap kalian, maka kami tidak
meragukan lagi bahwa kalian telah dikirim untuk bergabung
dengan kami. Kami sama sekali tidak berkeberatan karena
kami memang memerlukan kawan-kawan yang akan dapat
membantu kami dalam saat seperti sekarang ini. Karena itu,
lakukan apa yang telah kalian persiapkan. Aku dan kawankawan
kita yaiig sudah terdahulu berada disini akan dapat
membantu keterangan-keterangan yang kalian perlukan.
Namun dalam banyak hal kami masih harus bekerja keras.
Persoalan Pangeran Kuda Permati merupakan bagian yang
terpenting dari. tugas kita disini. Sementara itu peristiwa
yang dialami Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat
lepas dari perhatian kita. Kita akan mengikuti persoalannya
untuk selanjutnya, sementara itu sikap Sri Baginda atas
Pangeran Lembu Sabdatapun secara terus-menerus kita
ikuti. Untuk selanjutnya, maka kalian berdua telah
diserahkan kepadaku untuk membimbing langkah-langkah
selanjutnya dalam hubungan dengan tugas ini. Sayang
sekali bahwa kalian masih belum dapat berhubungan
langsung dengan Senapati dalam tugas ini di Kediri.
Mungkin pada suatu saat kalian akan mendapat
kesempatan. Namun segala sesuatunya masih tergantung
pada keadaan. Sedangkan aku sendiri masih belum
mendapat kesempatan untuk mengetahui dimana tempat
Senapati itu dalam tugas ini meskipun aku pernah melihat
baraknya di Singsari, barak pasukan khusus sandi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Ternyata pemilik warung itu juga bukan pemimpin dari.
jaringan sandi Singsari yang ada di Kediri. Namun
demikian orang itu tentu memiliki wawasan yang cukup
luas dan akan dapat meberikan kesempatan untuk
melakukan tugasnya. "Anak-anak muda" berkata pemilik warung itu
"mungkin kalian dapat menyebut nama kalian yang
sebenarnya dan bahan-bahan yang ada pada kalian dalam
tugas kalian" Kedua anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian mereka berusaha untuk menghilangkan segala
prasangka. Karena itu maka Mahisa Murtipun menjawab
"Namaku adalah Mahisa Murti, dan saudaraku ini bernama
Mahisa Pukat. Kami datang dari Talang Amba, satu daerah
yang menjadi sasaran serangan Pangeran Lembu Sabdata
itu ditangkap dan jatuh ketangan orang-orang Singasari
Namun kedatangan Pangeran Singa Narpada telah
membawanya ke Kediri. Meskipun akhirnya terjadi sesuatu
yang agaknya kurang wajar"
Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Iapun dapat
mengerti kenapa kedua orang anak muda itu
berkepentingan dengan Pangeran Kuda Permati. Namun
kemudian iapun bertanya pula "Anak-anak muda. Apakah
kalian memang anak-anak muda dari Talang Amba?"
Mahisa Murtipun kemudian menceriterakan tentang
dirinya dan tentang Mahisa Pukat. Ia sadar, bahwa dengan
demikian, maka tugasnya berdua tidak akan banyak
terganggu oleh prasangka. Jika orang-orang itu
mempercayainya dan mengetahui latar belakang
kehadirannya, maka ia akan mendapat bantuan seperti yang
dikehendakinya. Pemilik warung itupun memperhatikan segala
ceriteranya dengan saksama. Kemudian dengan suara datar
iapun berkata "Pantas. Memang kalian tidak akan
mendapat pertanda bahwa kalian termasuk dalam jajaran
petugas sandi jika kalian memang tidak mempunyai
kelebihan apa-apa. Kelebihan kemampuan kalian telah
kami ketahui. Kalian mampu melampaui hambatanhambatan
yang kami pasang. Bahkan kemudian ternyata
kalian memang anak-anak muda yang pantas untuk
mendapat kehormatan, karena kalian kemenakan Mahisa
Agni dan adik Mahisa Bungalan. Seorang Senopati yang
penunjul" "Tetapi mungkin kami akan mengecewakan kalian"
berkata Mahisa Pukat kemudian.
"Entahlah apa yang akan terjadi. Tetapi kita akan
berusaha untuk bekerja bersama. Biarlah kalian hari ini
beristirahat secukupnya. Besok kalian akau membantu aku
di warung itu sebelum kalian mendapatkan jalan, apa yang
harus kau lakukan kemudian. Pada hari-hari tertentu kalian
dapat berada di warung itu. Apalagi pada hari-hari
Keliwon. Biasanya pada hari-hari itu warungku banyak
dikunjungi orang, karena pasar itu memang menjadi lebih
ramai dari hari-hari biasanya" berkata pemilik warung itu,
lalu "Sementara itu, dalam usaha kailan melaksanakan
tugas kalian, kalian dapat berhubungan langsung dengan
kedua orang ini. Pada saat-saat aku tidak ada, kedua orang
ini akan memberikan banyak petunjuk dan bimbingan bagi
kalian, berdua" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sekilas diamatinya kedua orang yang sebelumnya belum
pernah dilihatnya itu. Sementara itu pemilik warung itu
berkata "Yang seorang bernama Watang Cemani sedang
yang lain adalah Lembu Panenggak. Keduanya adalah
kawan-kawanku terdekat"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun hampir diluar sadarnya, Mahisa Pukatpun bertanya
"Sedangkan Ki Sanak sendiri?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tersenyum. Jawabnya "Namaku Dandang
Panumping" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menganggukangguk.
Sementara itu, pemilik warung yang menyebut
dirinya bernama Dandang Panumping itu berkata "Tetapi
anak-anak muda, sebagai penjual di warung itu namaku
adalah Ki Pugutrawe"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja
mengangguk-angguk. Mereka harus mengingat-ingat nama
itu. Diwarung ia harus memanggil orang itu Ki Pugutrawe.
Dalam pada itu, maka Ki Pugutrawe itupun kemudian
berkata "Sudahlah, Aku sudah kesiangan hari ini. Aku akan
segera menyusul daganganku. Sebentar lagi orang-orang
akan memerlukan makan pagi. Dan aku harus melayani
mereka" Demikianlah, maka pemilik warung yang menyebut
dirinya bernama Ki Pugutrawe itupun telah bersiap-siap
untuk berangkat, sementara Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dipersilahkan kembali kedalam biliknya. Hari itu
mereka masih belum mempunyai tugas apapun juga.
Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian mendapat kesempatan untuk kembali kedalam
biliknya sementara Pugutrawe masih berpesan "Kedua
orang yang akan memberi kalian bimbingan ini tinggal di
rumah ini pula. Mereka ada digandok sebelah Timur.
Namun demikian kalian harus ikut menjaga, agar rumah ini
nampaknya tetap lengang dan tidak penuh dengan orangorang
yang dapat menarik perhatian. Jika tidak penting
sekali, kalian jangan berkeliaran di halaman depan.
Sementara halaman rumah ini telah aku bawakan dengan
kesibukan orang-orang yang membantu aku sebagai pemilik
warung itu. Mereka adalah orang-orang yang setiap kali
datang menjual kayu bakar, daun pisang dan kebutuhankebutuhan
lain. Sebuah pedati dengan orang-orang yang
memelihara lembunya dan beberapa orang untuk
kepentingan-kepentingan lain"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat
gambaran yang agak lengkap dengan isi rumah itu. Karena
itu, maka merekapun kemudian telah kembali kedalam bilik
untuk beristirahat. Ketika mereka duduk diserambi, maka orang yang
bertubuh raksasa itu datang mendekat. Kemudian iapun
duduk pula disebelah mereka sambil bertanya "He, dari
mana kalian mendapat ilmu iblis kalian itu" Anak-anak
yang masih semuda kalian mampu mempermainkan aku.
Sebenarnyalah aku benar-benar menjadi marah terhadap
kalian" Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Kau memiliki modal
yang luar biasa. Tetapi kau tidak sempat mengembangkan
ilmumu lebih jauh. Kau mempunyai kekuatan raksasa
sesuai dengan tubuhmu"
"Ya. Aku memang tidak sempat. Tetapi aku akan
mencari waktu khusus untuk itu. Aku mudah mendapat ijin
dari Pugutrawe untuk melakukannya" berkata orang
bertubuh raksasa itu "he, apakah kalian mau berlatih
bersama aku?" "Apakah disini tidak ada orang lain?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku agak segan dengan Watang Cemani dan Lembu
Penenggak. Mereka adalah orang yang terlalu bersungguhsungguh
dalam banyak hal" jawab orang bertubuh raksasa
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Menurut pengamatan mereka yang hanya sekilas, kedua
orang itu nampaknya memang pendiam dan tidak banyak
bicara. Selama mereka berada diruang dalam, keduanya
sama sekali tidak menunjukkan sikap yang ramah. Wajah
keduanya memang nampak selalu bersungguh-sungguh.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukatpun kemudian
bertanya kepada, raksasa itu "Bagaimana anggapanmu
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentang kami" Apakah kau mengira bahwa kami tidak
selalu bersuugguh-sungguh, sehingga kau tidak segan
menyatakan niatmu kepadaku?"
"Jangan mengada-ada. Aku tahu, kalian bukan orangorang
garang. Ketika kalian terlibat dalam perkelahian yang
seru, kalian masih sempat mempermainkan aku" jawab
orang bertubuh tinggi besar itu "dengan demikian aku
menganggap bahwa kalian memang orang-orang yang tidak
terlalu kaku, dan bahkan sedikit mempunyai sifat Jenaka"
Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Sukurlah jika masih
ada orang yang menganggap kami demikian. Sebenarnyalah
kami adalah orang-orang yang kasar dan sama sekali tidak
mengenal gurau" "Omong kosong" sahut raksasa itu "bagaimana sifat dan
keadaan, aku ingin mendapat kesempatan untuk
meningkatkan ilmu meskipun hanya dalam kesempatan
yang terbatas" Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya "Baiklah. Kita
dapat mengatur waktu. Aku belum tahu, kewajiban apakah
yang harus aku lakukan. Tetapi aku kira, bahwa aku tidak
hanya akan berada dirumah ini. Rumah ini hanyalah
sekedar tempat persinggahan untuk memberikan laporanlaporan
dan mendapatkan petunjuk-petunjuk yang kami
perlukan" Orang itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya.
Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang lain.
Mereka pada umumnya memang tidak tinggal di rumah
ini" orang itu berhenti sejenak, Lalu "Nah, jika demikian,
mumpung kalian untuk sementara masih berada dirumah
ini" Mahisa Pukatpun mengangguk sambil tersenyum.
Katanya "Baiklah. Aku setuju. Besok kita akan mulai,
apakah disini ada sanggar yang memadai?"
"Tidak usah dengan sanggar. Kita dapat berlatih di
tempat terbuka. Dihalaman belakang yang rimbun oleh
pepohonan. Tetapi sudah barang tentu dimalam hari"
"Apakah bunyi gaduh yang timbul tidak akan menarik
perhatian?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita dapat mempergunakan tempat yang paling sepi,
tempat yang agak jauh dengan tetangga dan tempat-tempat
yang dihuni orang di halaman ini" jawab orang bertubuh
raksasa itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Keduanya memang tidak berkeberatan. Apalagi Pututrawe
sudah memberi ijin kepada orang bertubuh raksasa itu.
Meskipun agaknya Pututrawe bukan orang tertinggi, tetapi
ia tentu memiliki pengaruh yang besar diantara mereka.
Namun sementara itu, selagi mereka masih berbicara
tentang kemungkinan-kemungkinan latihan untuk
meningkatkan ilmu masing-masing, maka mereka tertegun
ketika mereka melihat Watang Cemani muncul dari sudut
rumah itu dan berada diserambi.
"O" orang bertubuh raksasa itu tergagap "marilah"
"Aku akan berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat" jawab Watang Cemani dengan wajah yang sama
sekali tidak berubah. Wajah yang selalu nampak
bersungguh-sungguh. "Silahkan" jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Aku memerlukan mereka di ruang dalam" gumam
Watang Cemani. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun merekapun kemudian bangkit sambil bersiap-siap
untuk mengikuti Watang Cemani.
"Kau tinggal disini" berkata Watang Cemani kepada
orang bertubuh tinggi besar itu.
Orang itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian
mengangguk sambil menjawab "Baiklah. Aku tinggal
disini" Watang Cemanipun kemudian meninggalkan serambi
itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
mengikutinya menuju keruang dalam.
Diruang itu telah menunggu Lembu Penenggak. Seperti
Watang Cemani, maka wajah Lembu Panenggakpun
nampaknya selalu bersungguh-sungguh.
"Marilah anak-anak" desis Lembu Panenggak dengan
suara yang datar. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk
dihadapan Lembu Panenggak, sementara Watang
Cemanipun telah duduk pula disamping Lembu Panenggak.
"Ada yang ingin kami ketahui tentang kalian" berkata
Lembu Panenggak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Tetapi mereka tidak menjawab.
"Siapakah sebenarnya yang telah memerintahkan kalian
berdua kemari?" bertanya Lembu Panenggak
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun
Mahisa Murtipun kemudian menjawab "Sudah kami
ceriterakan, bagaimana kami dapat mencapai tempat ini"
"Ya. Tetapi siapakah yang memerintahkan kalian" ulang
Lembu Panenggak dengan nada berat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu
"Senapati dari Singasari yang memimpin sepasukan prajurit
di Talang Amba untuk menghadapi pasukan Pangeran
Lembu Sabdata" Lembu Panenggak mengerutkan keningnya. Wajan
memancarkan perasaan yang sulit ditebak.
"Anak-anak" berkata Lembu Panenggak kemudian
"sebenarnya aku merasa heran, bahwa seorang Senapati
memerintahkan kalian untuk datang kemari dalam tugas
sandi. Apakah Senapati itu tidak mempunyai petugaspetugas
sendiri-sendiri, sehinggat merekalah yang akan
mendapat tugas yang berat ini. Petugas-petugas sandi
memerlukan latihan khusus untuk melaksanakan tugasnva.
Sedangkan kalian adalah anak-anak ingusan yang
disamping tidak mengenal paugeran dan kebiasaankebiasaan
dalam tugas sandi ini"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Murtipun kemudian menjawab
"Kami memang tidak mendapat latihan apapun dalam
tugas ini. Kami hanya merasa terpanggil untuk membantu
menjernihkan kekeruhan yang terjadi di Talang Amba.
Namun kamipun tertarik keadaan keganjilan-keganjilan
yang terjadi di Kediri, bahwa menurut pendengaran kami,
ada semacam salah paham yang telah terjadi setelah
Pangeran Singa Narpada kembali dari Talang Amba"
"Hanya itu?" bertanya Lembu Panenggak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi, bingung,
sehingga Mahisa Murtipun bertanya "Aku tidak tahu yang
kau maksudkan" "Ternyata kalian memang anak-anak yang bodoh.
Dengar baik-baik" berkata Lembu Panenggak "apakah
hanya karena itu maka kalian merasa terpanggil" Apakah
kalian tahu, dimanakah letak istana Kediri. Di mana istana
Pangeran Singa Narpada, Pangeran Lembu Sabdata dan
Pangeran Kuda Permati. Apakah kalian mengenal salah
seorang dari keluarga mereka sehingga kalian akan dapat
mencari hubungan untuk mengetahui persoalan yang
berkembang di antara mereka. Apalagi apakah kalian
mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada
disekitar Sri Baginda untuk mendapatkan penjelasan
tentang sikap Sri Baginda atas Pangeran Singa Narpada?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
bingung. Sambil menggeleng Mahisa Pukat itupun
menjawab "Tidak. Kami tidak tahu apa-apa tentang
semuanya itu. Sekali lagi aku katakan, bahwa kami hanya
merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan Talang
Amba dan Gagelang. Jika kami terlempar ketempat ini,
sebenarnya hanyalah kelanjutan saja dari sikap kami.
Namun kami tidak terlalu bodoh untuk mendengarkan
keterangan tentang semua yang belum kami ketahui. Kami
ternyata mampu menemukan rumah ini dan berhubungan
dengan Dandang Penumping"
Wajah Lembu Panenggak menjadi tegang
Dipandanginya Mahisa Pukat dengan sorot mata tajam.
Sementara itu terdengar ia berkata "Kau semakin
menunjukkan kebodohan. Mencari Dandang Penumping
bukan satu soal yang dapat dibanggakan. Anak anak
kecilpun akan dapat melakukannya. Tetapi yang aku
tanyakan adalah bobot dari alasanmu datang kemari dan
jangkauan pengetahuanmu tentang medan yang akan kau
hadapi" "Semuanya sudah kami katakan" jawab Mahisa Pukat
"apa lagi" "Kami meragukan keterangan kalian yang kalian
katakan kepada Dandang Penumping dan kepada kami"
berkata Lembu Panenggak. Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata lantang "Terserah. Itu
hakmu. Tetapi kami memakai cincin yang diberikan oleh
seorang Senapati dari Singasari.
"Kami juga meragukan keaslian cincin itu" jawab
Lembu Panenggak itu dengan tegas.
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Karena itu, maka dengan wajah yang tegang
dan suara yang bergetar Mahisa Pukat menjawab "Ternyata
kami justru telah meragukan kalian berdua. Ternyata kalian
tidak dapat mengenali keaslian cincin yang kami pakai.
Dengan demikian maka kalian berdua bukan seorang yang
tahu pasti akan pertanda yang sudah disiapkan oleh
Singasari" Sementara itu Mahisa Murtipun menyambung "Kau
sudah menempatkan dirimu pada keadaan yang sulit dalam
pandangan kami, Seandainya kalian tidak mengenal cincin
ini sebagai cincin yang memang benar-benar diserahkan
oleh seorang pemimpin dari lingkungan petugas sandi,
maka kau memang pantas dicurigai. Apalagi karena kau
sudah berhasil memasuki rumah ini, satu lingkungan yang
menurut pendapat kami, pasti merupakan lingkungan dari
banyak lingkungan para petugas sandi, sebaiknya jika
alasan itu hanya sekedar alasan, ketidak percayaan kalian
terhadap kami berdua, maka kau telah menempatkan
dirimu berhadapan langsung dengan dengan Senapati yang
telah memberikan cincin itu kepada kami. Siapapun kami,
betapapun bodoh dan dungunya kami berdua, tetapi kami
sudah mendapatkan kepercayaan itu dari Senapati yang
berwenang memberikan pertanda itu kepada kami. Dengan
demikian, maka jika kau tidak mengakui pertanda ini, maka
sepantasnya kau mendapat perhatian khusus dari Singasari"
"Anak-anak gila" geram Lembu mulai mengancam
dengan cara yang sudah terlalu sering dipergunakan oleh
orang-orang seperti kalian. Tetapi semuanya itu tidak ada
gunanya. Kalian akan tetap dianggap sebagai orang-orang
yang telah dengan sengaja menyusup kedalam lingkungan
kami" "Bagus" jawab Mahisa Pukat "kau mau apa?"
Wajah orang itu menjadi merah, sementara itu Mahisa
Murti melanjutkan "Itulah sebabnya, maka Singasari
dengan penuh kebijaksanaan telah mengirimkan orang
ketiga bersama kami. Orang yang akan mengawasi kami
tetapi juga akan melindungi kami. Orang yang berasal dari
lingkungan keprajuritan Singasari sendiri"
Ketegangan nampaknya telah mencengkam jantung
Lembu Panenggak. Dipandanginya Watang Cemani
sejenak. Namun kemudian Lembu Panenggak itu tertawa.
Katanya "Sekarang kami semakin yakin bahwa kalian
memang orang yang tidak pantas berada diantara kami.
Seorang petugas sandi yang sebenarnya tidak akan
menyebut orang lain dari lingkungannya, yang akan dapat
membuka jalur menelitian terhadap kawan-kawannya.
Dengan menyebut orang ketiga, maka kalian telah
menyatakan diri, bahwa kalian memang bukan orang-orang
yang pantas menyebut diri petugas sandi"
Kedua anak muda itulah yang menjadi semakin tegang.
Tetapi Mahisa Pukat dengan segera menjawab "Kau
memang jauh lebih bodoh dari yang aku duga. Kau kira
dalam hubungan sandi, aku dapat menunjukkan seseorang.
Jika kalian menuduh bahwa kami telah menyeret seorang
lagi diantara kami kedalam malapetaka, maka kau sama
sekali tidak mengerti tubuh dari petugas sandi. Tidak
seorangpun yang tahu, siapakah yang mendampingi dan
mengawasi. Tetapi dengan penuh kesadaran bahwa orang
itu ada disekitar kami. Nah, apa katamu"
Lembu Panenggak menggeretakkan giginya. Katanya
"Sikap kalian sangat sombong. Kalian sangka, apakah
kalian akan dapat menyelamatkan diri dari tangan kami.
Kami akan menangkap kalian. Kami tidak mempedulikan
Dandang Penumping. Setelah kalian berdua kami
selesaikan, maka barulah kami akan melaporkannya kepada
Dandang Penumping" Wajah Mahisa Pukatpun telah, membara. Katanya "Jika
benar kami memasuki mulut serigala, maka kami tidak
akan membiarkan diri kami untuk dikunyah. Tetapi kami
akan memotong tenggorokan serigala itu dan
membunuhnya. Karena itu, jangan menganggap bahwa
kami akan menyerah. Kami akan menyerah bersama
lepasnya nyawa kami"
"Omong kosong" geram Lembu Panenggak "kami
mampu menangkap kalian dan memeras keterangan
tentang orang ketiga yang kau sebut"
Mahisaa Murtipun yang kemudian menjawab dengan
suaranya bergetar "Sebenarnya kami menghormati kalian
berdua. Tetapi kami bukan kambing perahan yang dapat
kau perlakukan sekehendak hatia. Kami akan
mempertahankan diri sampai batas terakhir daria
kemampuan kami, apapun kalian akan bertempur berdua
saja, atau kalian masih ingin memanggil kawan"
"Gila" geram Lembu Panenggak "darahku sudah
mendidih. Apakah kau tidak menyadari, bahwa sikap
kalian akan membawa akibat yang lebih buruk dari mati"
01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akibat apapun tidak akan dapat memaksa kami untuk
menyerahkan leher kami. Bersiaplah. Kita akan
menentukan, siapakah diantara kita yang pantas berada
dirumah ini menunggu kedatangan Dandang Panumping"
tantang Mahisa Murti. Dalam pada itu Watang Cemani pun telah bergeser mendekati
Lembu Panenggak. Wajahnyapun menjadi tegang
dan sikapnya menjadi garang.
Namun dalam pada itu, Lembu Panenggak menarik
nafas dalam-dalam sambil berkata "Kalian benar-benar
sudah jemu hidup" "Jangan aneh-aneh" berkata Mahisa murti "jika kalian
ingin berbuat sesuatu yang menarik kalian adalah benar,
maka lakukanlah sebagaimana kamipun akan berbuat
sesuai dengan keyakinan kami"
Lembu Panenggak memandang kedua anak muda itu
sejenak. Namun kemudian katanya "Ternyata kalian masih
beruntung. Dalam keadaan yang menentukan, aku
mendengar kedatangan seseorang yang tidak perlu tahu
tentang keadaan rumah ini meskipun ia terbiasa keluar
masuk tanpa hambatan"
"Apa maksudmu?" bertanya Mahisa Murti.
Lembu Panenggak terdiam sejenak. Diluar memang
terdengar langkah seseorang. Sejenak kemudian, pintu
berse-rit. Sebuah kepala muncul menjenguk kedalam.
"He" desis orang itu "apa yang sedang kalian lakukan?"
Lembu Panenggak yang tegang, tiba-tiba saja menjadi
ramah dan menjawab "Tidak apa-apa Kiai. Marilah"
Orang itu melangkah masuk. Dilihatnya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang agaknya belum dikenalnya. Dengan
ramah orang itu menyapanya "Siapa kalian" Aku yang
setiap hari datang kemari, belum pernah melihat kalian
berdua disini" "Keduanya adalah saudara Pugutrawe" jawab Lembu
Panenggak mendahului Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang termangu-mangu. "O" orang itu mengangguk-angguk "kebetulan sekali ada
kalian sekarang ini. Tolong, ambilkan aku kelapa muda"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Sebelum mereka menjawab orang itu mendesak "Ayo.
Jangan ragu-ragu. Pugutrawe sendiri sering memanjat
untuk mengambil kelapa muda bagiku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangumangu.
Karena itu maka orang itupun semakin
mendesaknya "Cepat. Kenapa kalian hanya mematung
saja?" Dalam pada itu sebelum Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjawab, maka Lembu Panenggaklah yang
menyahut "Baiklah kiai. Biarlah seseorang mengambil
kelapa muda itu untuk Kiai. Tetapi bukankah salah seorang
dari keduanya" Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun
kemudian bertanya "Kenapa dengan dua orang anak ini".
Apakah mereka memang pemalas?"
"Mereka baru saja datang, sehingga keduanya masih
terlalu letih untuk memanjat sebatang pohon kelapa" jawab
Lembu Panenggak. Orang itu mengangguk-angguk katanya "Terserah, siapa
saja yang akan memanjat. Aku memerlukan dua buah
kelapa muda itu" Lembu Panenggak dan Watang Cemanipun tiba-tiba
telah meninggalkan ruangan itu mengikuti orang yang ingin
mendapat dua butir kelapa muda itu dengan meninggalkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat begitu saja.
Beberapa saat lamanya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
termangu-mangu di tempatnya. Namun akhirnya Mahisa
Murtipun berkata "Marilah. Kita kembali ke bilik kita"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya
kemudian meninggalkan ruang itu dan kembali ke dalam
bilik mereka berdua. Ketika mereka sampai ke bilik mereka, orang yang
bertubuh tinggi besar itu ternyata justru telah tertidur
dengan nyenyaknya dilantai, tanpa alas apapun juga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membangunkannya. Justru keduanya telah berbaring
dipembaringannya. "Orang itu agaknya memang gila" geram Mahisa Pukat
"jika keduanya menyusul kemari, apaboleh buat. Bukan
salah kita jika terjadi sesuatu"
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun
berkata "Aku kurang mengerti, apakah sebenarnya yang
baru saja terjadi" "Yang kau maksud, apakah mereka benar-benar akan
melakukan seperti yang dikatakannya?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Memang perasaankupun condong untuk menduga
demikian. Tetapi kita harus tetap berhati-hati"
"Aku mengerti" jawab Mahisa Murti "karena itu, kita
jangan sampai tertidur bersama-sama. Apakah itu siang,
apakah malam hari" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jawabnya
"Bagaimanapun juga kedua orang itu memang aneh"
Dalam pada itu, Watang Cemani, Lembu Panenggak
dan orang yang ingin mendapatkan dua butir kelapa itupun
terhenti disudut kandang, beberapa langkah dari sebatang
pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, tetapi buahnya
cukup lebat. Namun ternyata mereka tidak mencari orang untuk
memanjat pohon kelapa itu. Sementara itu, dengan katakata
yang bernada dalam, Lembu Panenggak berkata
"Keduanya mempunyai ketahanan jiwani yang tinggi.
Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan atau
gentar ketika aku menggertaknya. Bahkan mengancamnya
untuk membunuh" Orang yang menginginkan dua butir kelapa muda itu
tertawa. Katanya "Kau justru telah hanyut kedalam arus
perasaanmu. Agaknya kau benar-benar menjadi marah"
"Jawaban anak-anak itu memang membuat telinga ini
menjadi merah" jawab Lembu Panenggak "Aku hampir
kehilangan pengamatan diri. Anak-anak itu sama sekali
tidak mengenal takut. Mereka menantang kami dengan
tatag" "Menurut pengamatanku, keduanya memang pantas
untuk berada dalam lingkungan petugas sandi" berkata
Watang Cemani. Orang yang mengatakan ingin mendapat
dua butir kelapa muda itu mengangguk-angguK. Lalu
katanya "Kalian harus membuat laporan terperinci kepada
.Dandang Penumping" "Ya. Watang Cemani akan pergi ke warungnya. Ia
berpesan, agar segala sesuatunya segera dilaporkan tanpa
menunggu ia kembali" berkata Lembu Panenggak.
"Tetapi jangan sampai terjadi salah paham. Kedua anak
itu jangan sampai meninggalkan tempat ini karena
perlakuanmu" berkata orang yang ingin mendapatkan
kelapa muda itu. "Menilik sikapnya yang keras, mereka tidak akan pergi.
Bahkan keduanya telah siap untuk bertahan jika ada
seseorang yang memaksanya untuk pergi. Ia merasa sudah
mendapatkan haknya untuk tinggal disini. Selain ciri yang
dipakainya yang didapatkannya dari Singasari, iapun
merasa sudah diterima oleh Dandang Penumping" berkata
Lembu Panenggak. "Baiklah" berkata orang yang menyebut dirinya ingin
mendapatkan kelapa muda itu "tetapi pada suatu saat,
mereka harus mengerti bahwa kalian tidak bersungguhsungguh.
Menilik sikap mereka yang keras, maka mereka
tidak akan mudah melupakan mereka yang keras, maka
mereka tidak akan mudah melupakan peristiwa ini jika
kalian tidak memberikan penjelasan kepada keduanya"
Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya
"Hatiku benar-benar terbakar. Untunglah aku selalu
menyadari tugasku. Tetapi biarlah Dandang Penumping
yang mengatakan kepada anak-anak itu. Selama aku
bertugas, aku belum pernah mengalami kekerasan sikap
seperti itu" "Keduanya adalah adik Mahisa Bungalan. Senapati
besar yang keras hati" berkata Watang Cemani "bukanlah
sifat itu nampakjuga pada keduanya."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian orang
yang mengatakan memerlukan dua buah kelapa muda
itupun kemudian berkata "Aku benar-benar akan
mengambil kelapa muda"
Lembu Panenggak tidak mencegahnya Orang itupun
kemudian memanjat dengan cekatan. Dalam waktu yang
singkat, dua buah kelapa muda sudah terjatuh dari
tangkainya. "Sudahlah" berkata orang itu "Aku akan pergi. Aku
akan datang menjelang malam. Hati-hatilah dengan anakanak
muda itu. Jika kau ingin melakukan, sesuatu,
Lembah Tiga Malaikat 17 Raja Naga 19 Dewa Pengasih Kisah Cinta Abadi 4