Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 24

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 24


sebaiknya kau hubungi aku seperti yang tadi kau lakukan"
"Baiklah" jawab Lembu Panenggak "mudah-mudahan
keduanya akan mampu dikendalikan dengan baik sesuai
dengan tugas. Demikianlah, maka orang yang membawa dua butir
kelapa muda itupun minta diri. Ia sempat sungguh di ruang
yang telah kosong. Namun orang itu mengerti, bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu sudah berada
dibiliknya, sehingga iapun singgah pula sejenak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika
seseorang memasuki bilik mereka. Demikian pintu berderit,
maka keduanya telah berdiri tegak menghadap pintu.
Namun yang berdiri di pintu itu adalah orang yang
memerlukan dua butir kelapa muda.
"Aku sudah mendapatkan kelapa muda itu anak-anak"
berkata orang itu. "O, sukurlah" jawab Mahisa Murti. Lalu "Kami mohon
maaf bahwa kami tidak dapat mengambil kelapa muda itu"
"O, tidak apa-apa. Bukankah yang penting bahwa aku
telah mendapatkannya" berkata orang itu. Lalu "Baiklah,
beristirahatlah. Aku akan pulang"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka memandangi saja ketika orang itu kemudian
meninggalkan biliknya tanpa menutup pintu. Sekilas orang
itu sempat melihat raksasa yang tidur sambil mendekur.
"Pemalas itu tidur disini" desis orang itu sambil
melangkah pergi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Ketika Mahisa Pukat menutup pintu bilik itu, maka
orang bertubuh tinggi besar yang tertidur itupun telah
terbangun. "O, ada apa dengan kalian?" bertanya raksasa itu.
"Tidak ada apa-apa" jawab Mahisa Pukat.
"Orang itu mengusap matanya sambil bangkit dan duduk
bersandar dinding. Katanya "Aku bermimpi ada orang yang
baru saja memasuki bilik ini"
"Kau tidak bermimpi. Memang ada orang yang baru saja
keluar dari bilik ini. Ia sempat melihat kau tidur mendekur"
jawab Mahisa Pukat. "Karena itu, aku memang bermimpi. Tidak mungkin aku
mendengar kehadirannya sambil mendekur" jawab raksasa
itu. "Mungkin" jawab Mahisa Murti "tetapi didalam
mimpimu siapakah yang telah datang ke bilik ini?"
Orang itu menggeleng. Gumamnya seakan-akan kepada
diri sendiri Aku tidak mengenalnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu memang sedang
bermimpi, jika ia tidak bermimpi, maka seharusnya ia
mengerti siapakah orang yang menginginkan kelapa muda
itu. "Dalam pada itu ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kembali berbaring dipembaringan mereka, maka Lembu
Panenggak telah meninggalkan rumah itu. Sebagaimana
biasa, ia hanya mengenakan pakaian orang kebanyakan.
Dengan sebuah keba dari pandan yang dikepitnya, iapun
berjalan tergesa-gesa meninggalkan regol halaman menuju
ke warung Pugutrawe. Tidak seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya.
Rumah Pugutrawe memang sering didatangi oleh banyak
orang. Kadang-kadang menawarkan kayu bakar. Kadangkadang
daun pisang atau beras. Tetangga-tetangganya
mengetahui bahwa Pugutrawe membuka sebuah warung
nasi dan beberapa jenis makanan. Meskipun warung itu
pada mulanya tidak terlalu besar. Tetapi agaknya warung
itu berkembang dengan baik, sehingga semakin lama
semakin besar sebagaimana warung-warung yang lain di
sekitar warungnya. Seandainya tempat pertemuan beberapa jenis barang itu
masih tetap seramai sebelumnya, maka perkembangan
warung Pugutrawe tentu semakin baik. Tetapi keramaian
tempat itu semakin lama nampaknya semakin susut.
Apalagi pada saat-saat terakhir, kadang-kadang timbul
kekerasan yang dapat membuat orang-orang kecil
dipengaruhi juga. oleh perkembangan persoalan yang lebih
besar. Kekurangan yang terjadi di Kediri memang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan putaran perdagangan
rakyat kecil. Apalagi didaerah perbatasan yang sejak
tersingkirnya Pangeran Kuda Permati menjadi daerah yang
sangat rawan. Kadang-kadang muncul orang-orang yang
menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati. Memungut
pajak dan barang-barang sesuai dengan kehendaknya
sendiri, sementara Kediri masih belum sempat melindungi
orang-orang yang terpaksa menuruti kehendak para
pengikut Pengeran Kuda Permati.
Persoalan inilah yang disoroti dengan tajamnya oleh
para petugas sandi dari Singasari. Ketika Lembu Panenggak
memasuki warung Pugutrawe, maka beberapa orang telah
berada didalam warung itu. Seorang yang bertubuh gemuk
sedang sibuk menyuapi mulutnya dengan nasi dan lauk
pauknya. Semetara orang lain yang bertubuh kurus, tengah
menikmati minuman panasnya. Sekali-sekali terdengarjn
mulutnya berdesis, segumpal demi segumpal ia mengunyah
gula kelapa. Kemudian dihirupnya wedang sereh yang panas dari
mangkuknya. Lembu Panenggak menelan ludahnya Rasa-rasanya iapun
telah menjadi sangat haus.
"Wedang sere" tiba-tiba Lembu Penenggak memesan
minuman "gulanya jangan dimasukkan kedalam wedang
sere itu" Pugutrawe tersenyum. Katanya "Buat sendirilah"
Lembu Panenggak menarik nafas dalam-dalam. Orang
bertubuh kurus yang sedang menikmati minuman panas
itupun memandanginya sejenak. Namun iapun kemudian
tidak memperhatikannya lagi.
Ketika kemudian Pugutrawe memberikan mangkuk itu
kepada Lembu Panenggak, maka Lembu Panenggak itupun
berdesis "Aku sudah memanggil kedua anak muda itu"
Pugutrawe tersenyum. Perlahan-lahan ia bertanya
"Bagaimana kesanmu atas mereka?"
"Aku kagum kepada mereka. Mereka mempunyai tekad
yang sangat teguh. Tetapi mereka masih kekanak-kanakan.
Mereka memerlukan beberapa petunjuk untuk
mengendalikan perasaan mereka.
Pugutrawe mengangguk-angguk. Ia memang sudah
menduganya. Dalam pada itu, Lembu Panenggakpun telah duduk pula
sambil meneguk wedang serenya. Beberapa orang
memandanginya. Nampaknya orang, yang sedang meneguk
wedang seresambil mengunyah gula kelapa itu sudah terlalu
biasa berada di warung itu.
Pugutrawe melihat tatapan mata beberapa orang yang
sedang berada diwarungnya itu. Karena itu, maka katanya
kemudian kepada orang gemuk yang sudah selesai makan
"Ini adalah adikku"
Orang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya "Rasarasanya
aku pernah melihatnya"
"Agaknya diwarung ini juga. Ia sering berada diwarung
ini jika haus atau lapar. Tetapi ia malas untuk membantu
aku bekerja disini" berkata Pugutrawe.
Orang yang gemuk itupun menyahut sambil mengusap
mulutnya "Seharusnya ia tidak boleh malas. Lalu apa
kerjanya sehari- harinya?"
"Disawah" jawabi Pugutrawe.
"O, Artinya ia bekerja juga. Bukan sekedar bermalasmalasan
meskipun tidak membantu di warung ini" berkata
orang gemuk itu "memang seseorang dapat memilih
pekerjaannya sendiri. Aku juga tidak mau bekerja diwarung
seperti ini. Aku lebih suka menjadi tengkulak hasil bumi
seperti yang aku lakukan sekarang. Jika aku lapar, aku
dapat membeli makanan di warung-warung yang tersebar"
"Orang lain akan memilih tugas yang lain pula" orang
bertubuh kurus itupun tiba-tiba menyahut.
"Itulah bijaksananya yang memberikan rejeki kepada
kita masing-masing dengan cara yang berbeda-beda,
sehingga kita tidak saling berebut pada pilihan yang sama"
berkata Pugutraewe. Orang-orang yang berada di warung itu menganggukangguk.
Sementara itu Lembu Panenggak masih saja
menghirup minumannya sambil tersenyum didalam
hatinya. Dalam pada itu, maka satu dua orang yang berada
didalam warung itu sudah melangkah keluar. Seorang lain
memasuki warung itu dengan tidak mengacuhkan orangorang
lain yang sudah ada didalamnya.
Sambil memungut sepotong makanan dari tambir yang
berada diatas paga, maka iapun berkata "Apakah kau
mempunyai tuak?" Pugutrawe menggeleng. Jawabnya "Sayang Ki Sanak.
Aku tidak mempunyai persediaan tuak"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil
mengunyah makanannya ia memesan "Wedang tape"
Pugutrawepun kemudian sibuk membuat wedang tape
buat orang itu, sementara Lem bu Panenggak sempat
memhatikan orang itu dengn saksama. Namun kemudian
iapun berdiri sambil berdesis ditelinga Pugutrawe "Aku
sebaiknya pergi saja"
"Ya. Tetapi bagaimana dengan anak-anak itu" Beri
mereka kesan yang baik sehingga mereka tidak salah paham
atas sikapmu yang barangkali dianggapnya terlalu kasar"
berkata Pugutrawe kemudian.
"Aku justru hampir kehilangan kesabaran" jawab Lembu
Panenggak "Untunglah, aku masih sempat mengekang diri"
"Baiklah" berkata Pugutrawe kemudian "mereka akan
segera dapat melakukan tugas mereka"
"Jangan tergesa-gesa. Biarlah ia berada disini lima enam
hari, sebelum mereka benar-benar melakukan pekerjaan itu"
berkata Lembu Panenggak. Pugutrawe mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat
menjawab ketika orang yang-memesan wedang tapi itu
berteriak "He apakah kau tidak mendengar pesanku"
"O. maaf Ki Sanak" berkata Pugutrawe sambil
membawa mangkuk berisi wedang tape yang masih panas
dengan gula kelapa yang langsung di masukkan kedalam
mangkuk pula. Orang itu mengangguk-angguk Sementara Pugutrawe
telah berada diluar warung. Tetapi ia tidak segera
meninggalkan warung itu. Ternyata ia pergi menuju ke
deretan pande besi yang sedang sibuk membuat alat-alat
pertanian. "He" seorang tukang pande yang sudah terbiasa dengan
Lembu Panenggak meskipun dengan nama yang berbeda
"apakah kau akan membeli parang atau cangkul?"
Lembu Panenggak kemudian berjongkok disebelah
tukang pande itu. Katanya "Bukankah baru saja aku
membeli cangkul. Kenapa kau tidak bekerja?"
"Beristirahat sejenak. Aku baru saja makan" jawab
pande besi itu. Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Tiga orang
pembantu tukang pande itupun masih beristirahat setelah
mereka makan. Dari tempat itu Lembu Panenggak mengamati warung
yang baru ditinggalkannya. Didalam ada orang yang pernah
dikenalnya sebagai salah seorang yang sering menyatakan
dirinya sebagai pemungut pajak bagi perjuangan yang
panjang. "Orang itu tentu mempunyai jalur dengan Pangeran
Lembu Permati meskipun jalur itu panjang dan berbelit"
berkata Lembu Panenggak didalam.hatinya.
Tetapi ternyata tidak terjadi sesudah sesuatau didalam
warung itu. Beberapa saat ia menunggu. Sampai saatnya
tukang pande itu bangkit dan berkata "Aku akan bekerja
lagi" "O, silahkan" jawab Lem bu Panenggak. Sementara itu
seseorang telah berada di ububannya. Dengan kedua
tangannya ia menekan penghembus didalam ububannya
berganti-ganti, sehingga apipun mulai menyala besar.
Dari tempatnya Lembu Panenggak melihat orang yang
berada didalam warungnya itu satu demi satu keluar,
sementara orang lainpun masih seorang demi. seorang.
Memang tidak terlalu penuh seperti warung-warung lain
yang lebih besar. Namun warung Pugutrawe itupun mulai
berkembang pula. Ia menarik nafas ketika ternyata orang yang dikenalnya
sebagai pemungut pajak itupun telah melangkah keluar.
Dengan demikian maka orang yang sering memungut
pajak menurut kehendaknya sendiri, meskipun
berlandaskan satu tugas juga, tetapi tugas yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan itu, tidak membuat keributan di
warung Pugutrawe. Karena itu, maka Lembu Panenggak itupun kemudian
meninggalkan pande besi yang sudah mulai bekerja itu,
kembali kerumah yang dihuninya.
Ketika ia memasuki regol halaman, dilihatnya Watang
Cemani berada di pendapa. Dengan serta merta iapun
kemudian bertanya "Bagaimana dengan kedua orang anak
muda itu?" "Mereka masih tetap berada didalam biliknya" jawab
Watang Cemani. "Aku yakin mereka tidak akan pergi. Hati mereka
ternyata sekeras baja" berkata Lembu Panenggak.
"Apa kata Dandang Penumping?" bertanya Watang
Cemani. Lembu Panenggak kemudian menceriterakan
pertemuannya dengan Pugutrawe dan tanggapan
Pugutrawe atas laporannya tentang kedua anak muda itu.
"Menurut aku, biarlah Dandang Penumping yang
mengatakan tentang diri kita dalam hubungan dengan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usahamu menjajagi tekad mereka" berkata Watang Cemani
"jika aku atau kau yang menyampaikannya maka keduanya
akan sulit untuk mengerti. Kucurigaan mereka tidak akan
mudah terhapus" Lembu Panenggak mengangguk-angguk. Katanya
"Dandang Penumping tentu tidak akan berkeberatan"
Sebenarnyalah, bahwa Pugutrawe memang tidak
berkeberatan ketika Lembu Panenggak minta kepadanya,
setelah ia pulang dari warungnya. Sementara itu, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di tempatnya,
meskipun keduanya kemudian duduk diserambi. Namun
keduanya sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.
Ketika Pugutrawe mengatakan kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, bahwa Lembu Panenggak tidak bersikap
sebagaimana dilakukan itu. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang tidak terkejut lagi. Mereka memang sudah
menduga, menilik beberapa peristiwa yang telah terjadi
sebelumnya atas keduanya.
Namun dalam pada itu. Dandang Penumping itupun
telah memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka akan
tetap berada dirumah itu untuk dua tiga pekan.
"Dari tumah ini kau akan dapat mengenali keadaan
didaerah perbatasan ini" berkata Dandang Penumping.
Senapati Singasari di Talang Amba juga menyebut
daerah itu dengan daerah perbatasan. Sehingga dengan
demikian maka petunjuk yang dikatakan oleh Dandang
Penumping itu mereka terima dengan senang hati.
"Dalam waktu dua atau tiga pekan, kalian akan melihatlihat
keadaan Kediri dari daerah perbatasan ini, sebelum
kalian benar-benar akan memasuki medan. Kalian
memerlukan pengenalan yang lebih dalam tentang
Singasari, orang-orang yang menghuninya dan sikapnya.
Baru kemudian kau akan merambah ke pengenalan yang
lebih khusus lagi. Karena sebenarnyalah, bukan hanya kau
berdua yang merasa perlu untuk mengetahui sikap Sri
Baginda atas Pangeran Singa Narpada, Pangeran Kuda
Permati dan Pangeran Lembu Sabdata"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam,
sementara itu Dandang Penumping berkata
selanjutnya "Tetapi bukan berarti bahwa kehadiran kalian
adalah sia-sia. Semakin banyak orang yang membantu
dalam tugas ini akan terasa semakin baik. Tetapi sudah
barang tentu tidak sembarang orang. Mereka harus orangorang
terpilih. Karena itu maka kalian berdua telah
mengalami berbagai macam penjajagan sebelum kalian
benar-benar akan terjun. Bahkan aku akan berkata terus
terang, bahwa dalam waktu dua tiga pekan inipun masih
merupakan semacam pendadaran bagi kalian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Murti berdesis "Aku mengerti"
"Sukurlah. Karena itu, maka dalam waktu dua tiga
pekan, kalian akan lebih banyak mendengar dan melihat.
Dihari-hari tertentu kau dapat berada di warung itu"
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian telah menjadi pembantu Pugutrawe di
warungnya. Keduanya dalam ujud orang kebanyakan, telah
membantu menyiapkan pesanan-pesanan orang-orang yang
berada di warung Pugutrawe. Pada hari-hari pertama
Pugutrawe masih harus banyak memberikan petunjukpetunjuk.
Namun kemudian keduanyapun dengan cepat
dapat melakukan sebagaimana dikehendaki oleh
Pugutrawe. Selain menunggui warung itu, maka kadang-kadang
dengan Lembu Panenggak dalam ujudnya sebagai orang
kebanyakan, kadang-kadang keduanya berada di tempat
para pande besi bekerja. Bahkan Mahisa Pukat kadang
kadang duduk sambil menekan tangkai ububan dengan
kedua tangannya berganti-ganti.
Ternyata kedua anak muda itu cepat sekali menyesuaikan
diri dengan kehidupan disekitar warung itu. Bahkan
keduanyapun dengan cepat telah mengenal gadis-gadis yang
sering berada di tempat itu untuk menjual hasil pekarangan
atau mereka yang memang berjual beli bermacam-macam
barang dan hasil bumi. Tetapi tidak banyak gadis-gadis dan perempuan yang
sering mengunjungi warung warung. Kebanyakan dari
mereka telah membawa bekal sendiri dari rumah mereka.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah melihat sikap beberapa orang yang kurang
wajar. Yang kadang-kadang nampak terlalu kasar.
Dengan cepat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menghubungkan mereka dengan para pengikut Pangeran
Kuda Permati yang telah meninggalkan Kota Raja.
"Tetapi Pangeran itu sangat berani. Ia tetap berada di
daerah perbatasan" gumam Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pada hari-hari tertentu berada di warung Pugutrawe, maka
ia telah banyak mendapat petunjuk-petunjuk. Baik dari
Pungutrawe sendiri maupun Lembu Panenggak atau dari
Watang Cemani. Untuk kedua kalinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melihat seseorang yang mengalami kesulitan karena orang
itu telah menyelamatkan kudanya dari para pengikut
Pangeran Kuda Permati. Dengan kasar orang-orang
Pangeran Kuda Permati memaksa pemilik kuda itu untuk
mencarikan gantinya meskipun ia harus menjual kuda itu
untuk mencarikan gantinya meskipun ia harus menjual
miliknya yang lain. Dengan diam-diam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk mengetahui rumah orang yang
dipersalahkan karena menyelamatkan kudanya itu.
"Hati-hatilah" berkata Pugutrawe "kau tahu siapa kau
berdua dan siapakah orang-orang itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka sadar, bahwa mereka harus melakukan tugas
mereka dengan penuh tanggung jawab.
Karena itulah, maka keduanya tidak begitu saja mencari
rumah orang itu, tetapi dengan ketajaman ingatan mereka,
maka mereka berusaha untuk tetap mengenali orang itu dan
menjumpainya di pasar itu pada saat-saat yang lain.
Ternyata bahwa usaha kedua anak muda itu berhasil,
tanpa menimbulkan kecurigaan.Orang itu pada suatu saat
telah berdiri dimuka warung Pugutrawe.
Meskipun orang itu semula tidak ingin masuk kedalam
warung namun Mahisa Murtilah yang kemudian sambil
tersenyum mempersilahkan.
Orang itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling
dilihatnya seorang anak muda sambil tersenyum berdiri di
muka pintu warung itu. "Silahkan Ki Sanak" desis Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian
iapun telah masuk ke warung itu.
"Wedang jae" minta orang itu.
Mahisa Pukatlah yang kemudian menyiapkan wedang
jae untuk orang itu. Adalah kebetulan bahwa pada saat itu tidak banyak
orang berada di dalam warung itu. Dua orang duduk
terpencar, sementara orang yang kehilangan kudanya itu
duduk menyendiri. Mahisa Pukat yang menyerahkan wedang jae itu dengan
nada sekedar ingin tahu bertanya "Ki Sanak. Bagaimana
dengan kuda Ki Sanak itu?"
"Apa maksudmu?" bertanya orang itu"
"He" desis Pugutrawe "jangan mencampuri persoalan
yang kau tidak tahu ujung dan pangkalnya"
"Ah, tidak paman" jawab Mahisa Pukat "dua hari yang
lalu, aku melihat Ki Sanak ini mengalami kesulitan. Aku
memang tidak tahu persoalannya. Tetapi aku hanya ingin
tahu, bukankah tidak terjadi sesuatu"
"Sudahlah" Mahisa Murti memotong "jangan terlalu
banyak ingin tahu" Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Dua orang yang
berada di warung itupun mengerutkan keningnya. Namun
mereka sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
Dari pembicaraan yang pendek itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengambil satu kesimpulan bahwa benar
orang itulah yang mereka maksudkan.
Demikian ketika orang itu kemudian meninggalkan
warung itu, maka Mahisa Murti sempat mengamati,
kemana saja orang itu singgah. Dengan demikian maka
Mahisa Murti dapat menduga, tempat-tempat yang sering
dikunjungi oleh orang itu, dan kepada mereka Mahisa
Murti akan menanyakan rumahnya.
"Kenapa kau tanyakan rumah orang itu?" bertanya
seorang penjual kurungan ayam.
"Aku harus mengembalikan uangnya" jawab Mahisa.
Murti "paman Pugutrawe salah menghitung harga
makanan yang dibelinya. Aku sudah menganjurkan agar
biar saja uang itu disimpan di warung. Lain kali jika ia
datang kita kembalikan. Atau jika orang itu sudah lupa,
apaboleh buat" "Ah, jangan begitu. Kau masih muda, tetapi kau sudah
mempunyai pikiran buruk" desis penjual kurungan itu.
"Tidak. Tidak sebenarnya. Aku hanya bergurau" sahut
Mahisa Murti "tetapi dimana rumahnya"
Penjual kurungan itupun kemudian menjawab tanpa
curiga "Karang Kembar. Sebuah padukuhan kecil di
sebelah utara gumuk karang itu"
"Jauh?" bertanya Mahisa Murti pula.
"Tidak. Itu, gumuknya kelihatan dari ujung padukuhan
ini" jawab penjual kurungan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
berusaha untuk mencari rumah orang itu. Penjual kurungan
itu telah memberikan ancar-ancar dimana letak rumahnya
di padukuhan dekat gumuk karung.
"Letaknya tidak terlalu dalam" berkata Mahisa Murti
hanya sekitar tiga atau empat rumah dari mulut lorong
padukuhan itu" Dengan pengamatan seorang pengembara, maka usaha
merekapun segera berhasil. Keduanya dengan cepat
menemukan rumah yang dikehendaki. Sebuah rumah
dengan halaman yang tikda terlalu luas. Beberapa buah
kurungan ayam bertebar di halaman, berisi ayam aduan
yang terpilih. Dipinggir halaman itu terdapat sebuah kandang kuda.
Tetapi tidak ada seekor kudapun didalam kandang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
memasuki halaman rumah itu dengan sikap seorang
kemenakan pemilik warung. Keduanya nampaknya agak
ketakutan dan berjalan menyusuri pinggir halaman.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat seorang
perempuan berada diseketheng, maka keduanyapun segera
mendekat. Dengan sangat hati-hati Mahisa Murti menanyakan
apakah pemilik rumah itu ada.
"Untuk apa?" bertanya perempuan itu.
"Ada pesan dari Paman Pugutrawe. Pemilik warung di
pasar prapatan itu" jawab Mahisa Murti.
"Apa pesannya?" bertanya perempuan itu.
"Paman minta aku menyampaikan sesuatu" jawab
Mahisa Murti. Perempuan itu mengamati Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sejenak. Namun pada kedua anak muda itu nampak
sikapnya yang sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan
nampaknya keduanya justru agak ketakutan.
Karena itu, maka perempuan itupun berkata
"Tunggulah" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
menunggu di tangga pendapa. Karena perempuan itu tidak
mempersalahkan mereka, maka mereka tidak berani naik
kependapa itu. Dengan demikian, maka keduanya hanya
duduk saja di tangga pendapa sambil berbicara perlahanlahan.
Mereka menunggu untuk waktu yang cukup lama. Baru
kemudian seorang laki-laki muncul, tidak dipendapa, tetapi
dari seketheng juga. Ketika laki-laki itu melihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka iapun segera mengenali bahwa kedua orang
anakmuda itu adalah kemanakan Pugutrawe.
"Ada apa?" bertanya orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun dengan terbongkokbongkok
mendekatinya. "Aku mendapat pesan dari paman Pugutrawe" berkata
Mahisa Murti dengan kepala tunduk.
"Pesan apa?" bertanya orang itu " bukankah aku sudah
membayar makanan dan minuman yang aku ambil"
"Justru paman ternyata salah menghitung. Ada sisa uang
pada paman Pugutrawe" berkata Mahisa Murti "Aku
mendapat pesan untuk mengembalikannya"
"O" orang itu mengangguk-angguk "Aku. aku masih
berhutang kepada pamanmu. Jika hanya tersisa sedikit saja,
sebenarnya kau tidak perlu datang kemari"
"Paman takut. Sisa uang orang lain kadang-kadang dapat
mengganggu ketenangan hati paman" berkata Mahisa
Murti "dahulu paman pernah mendapat bayaran lebih
karena kesalahan paman menghitung. Ternyata hampir
setiap malam paman selalu diganggu oleh anak-anak kecil
didalam tidurnya" "Thuyul" desis orang itu sambil tertawa "he, kau kira
aku juga memelihara thuyul seperti itu" Tidak anak-anak.
Aku mencari rejeki dengan cara yang wajar"
"Thuyul" ulang Mahisa Pukat "paman tidak pernah
menyebutnya" "Ya. Orang yang memiliki uang milik orang lain dengan
tidak sah seperi kelebihan pembayaran karena kesalahan
pamanmu itu memang dapat dituntut dengan gangguan
pada tidurnya disetiap malam" berkata orang itu "tetapi
karena aku tidak mempunyai thuyul, maka pamanmu tidak
akan mengalami gangguan seperti itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun sambil mengeluarkan beberapa keping uang kecil,


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka Mahisa Murtipun berkata "Bagaimanapun juga,
paman sudah jera. Inilah kelebihan itu"
Orang itu tertawa lagi. Diterima juga beberapa keping
uang kecil itu. Katanya "Baiklah. Terima kasih"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian minta
diri. Dengan tidak sengaja Mahisa Murti memandang ke
arah kandang kuda yang kosong itu sambil bertanya
"Dimanakah isi kandang itu?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
sebenarnya mempunyai dua ekor kuda. Seekor telah
diambil oleh orang-orang gila itu. Sedangkan seekor yang
lain telah aku berikan kepada kemanakanku. Tetapi yang
kemudian justru menjadi persoalan"
"Ya. Itulah akibatnya. Mereka menganggap aku dengan
sengaja menyingkirkan kuda yang oleh mereka dianggap
sangat berguna itu" jawab orang itu.
"Mereka siapa " bertanya Mahisa Murti seakan-akan
tidak sengaja. Orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berganti-ganti. Namun karena Mahisa Murti bertanya
seakan-akan tanpa maksud apapun juga, orang itu justru
menjawab "Mereka itu adalah orang-orang gila"
"Gila" ulang Mahisa Murti "Aku tidak tahu maksudmu"
"Sudahlah, jika kau tidak tahu, pulanglah. Katakan
bahwa aku berterima kasih kepada pamanmu, bahwa ia
telah mengembalikan sisa uangku. Meskipun tidak
seberapa, tetapi hal itu menunjukkan kejujurannya"
"O" Mahisa Murti mengangguk "baiklah. Akan aku
katakan kepada paman"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun kemudian
meninggalkan orang itu. Tetapi beberapa langkah dari
kandang yang kosong itu Mahisa Murti berhenti dan
berkata Apakah kandang ini tidak akan diisi lagi"
Aku tidak sebodoh itu untuk mengisinya lagi. Bukankah
dengan demikian aku hanya akan membuang uang saja,
karena kuda itu akan mereka ambil lagi" jawab orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Mahisa Pukat
dengan sikap yang bodoh bertanya "Jadi, apakah orang itu
dapat mengambil milik sesamanya begitu saja"
"Tentu tidak. Tetapi mereka bukan orang kebanyakan"
jawab orang itu. "Mereka lagi" desis Mahisa Pukat "tentu orang-orang
gila itu" "Ya" jawab orang itu. Lalu "Tetapi sudahlah. Pergilah"
"Baiklah" jawab Mahisa Murti. Namun katanya
kemudian. Tempat ini terasa sangat sejuk. Apakah pada
kesempatan lain aku diperkenankan datang lagi kemari
meskipun tanpa keperluan apapun, sekedar untuk
menikmati kesejukan udara disini.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Kenapa tidak boleh. Asal kau tidak menimbulkan
persoalan disini, maka aku tidak akan berkeberatan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian minta
diri. Di regol halaman keduanya mengangguk sekali lagi.
Kemudian keduanyapun hilang dibalik regol halaman itu.
Ketika kedua anak muda itu telah keluar dari regol
halaman dan berjalan menyusuri jalan pedukuhan, maka
Mahisa Murtipun berkata "Satu hal yang kita ketahui
dengan pasti. Pangeran Kuda Permati memang sedang
mengumpulkan kuda bagi pasukannya. Dengan demikian,
maka pasukan Pangeran Kuda Permati telah dipersiapkan
menjadi pasukan yang mampu bergerak dengan cepat
"Ya. Tetapi yang kurang aku mengerti. Pangeran itu
serta orang-orangnya dapat melakukannya didaerah ini
tanpa kesulitan" berkata Mahisa Pukat "rakyat daerah ini
seakan-akan sama sekali tidak mendapat perlindungan atas
harta benda mereka. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Kita menjadi semakin tertarik untuk melihat-lihat Kediri
secara keseluruhan. Apakah yang sebenarnya terjadi
diantara para pemimpin di Kediri. Jika yang terjadi atas
Pangeran Lembu Sabdata itu hanya sekedar kesalahan
langkah Pangeran Lembu Sabdata yang dibakar oleh
dendamnya terhadap Talang Amba, maka sebenarnya yang
dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata itu justru telah
mengganggu rencana mereka secara utuh"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang ada
beberapa macam kemungkinan dapat terjadi. Untuk melihat
kemungkinan-kemungkinan itulah mereka kemudian
berada di Kediri" Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di
dalam warung Pugutrawe lagi, maka warung itu telah
menjadi semakin sepi seperti warung-warung yang lain.
Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti sempat
memberikan laporan kunjungannya kerumah orang yang
telah di rampas kudanya. "jika demikian, kalian akan dapat melihat, apakah masih
ada orang yang mempunyai kuda dikandangnya pada saat
ini" berkata Pugutrawe.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Kemudian Mahisa Murtipun berkata "Malam nanti kami
akan melihat" Sebenarnyalah, ketika malam kemudian turun diatas
padukuhan-padukuhan di daerah perbatasan, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah meninggalkan rumah Dandang
Panumping yang juga disebut Pugutrawe.
Dalam keheningan malam keduanya telah melihat-lihat
padukuhan yang disiang harinya telah mereka kunjungi.
Mereka ingin melihat, apakah masih ada kandang diantar
kandang dipadukuhan itu yang berisi kuda.
Beberapa saat keduanya berkeliling. Namun beberapa
kandang yang mereka temui memang sudah kosong sama
sekali. "Kuda-kuda itu sudah diungsikan" berkata Mahisa
Pukat. "Mereka tidak akan berani melakukannya" jawab
Mahisa Murti "orang yang menyingkirkan kudanya, justru
akan mengalami kesulitan yang lebih besar lagi. karena ia
harus menukar kuda yang disingkirkan itu dengan seekor
kuda yang besar dan tegar, sehingga mereka justur akan
menjual miliknya yang lain untuk membeli kuda itu. jika
mereka tidak ingin mengalami kesulitan dan bahkan
barangkali lebih dari sekedar kesulitan"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata
"Tetapi mungkin masih ada juga kuda yang belum diambil.
Agaknya mereka mengambil kuda-kuda itu tidak bersamasama"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka meneruskan
langkah mereka, mengelilingi padukuhan itu dengan diamdiam.
Setiap kali mereka berhenti untuk memperhatikan
kandang yang berada di halaman, apakah didalam kandang
itu masih ada seekor kuda.
"Hanya kudalah yang mereka ambil" berkata Mahisa
Pukat "kerbau dan sapi dibiarkan saja didalam kandang
mereka" Namun kemudian Mahisa Murti itu berkata "Tetapi
mungkin pada suatu saat akan datang giliran, sapi, dan
kambingpun akan dibawa oleh orang-orang itu"
Mahisa Pukatpun menyahut "Mungkin. Hal itu memang
mungkin sekali" Sementara itu, langkah merekapun tertegun ketika
mereka mendengar ringkik seekor kuda. Keduanya segera
mengetahui, bahwa disebuah kandang masih terdapat
seekor kuda. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
mendekati kandang itu. Didalam kandang itu terdapat
seekor kuda yang cukup besar dan tegar.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengamati kuda itu. Namun kemudian keduanya saling
berpandangan ketika mereka mendengar suara tangis
didalam rumah pemilik kuda itu.
"Bukan tangis seorang bayi" berkata Mahisa Murti
"tetapi tangis anak-anak yang sudah pandai-membantu
ayahnya disawah" desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi dengan hati-hati ia
melangkah mendekati dinding rumah yang lengang itu.
Yang terdengar hanyalah tangis seorang anak yang sudah
besar terisak-isak. "Sudahlah" terdengar suara yang berat "Tidak ada
gunanya kau tangisi kuda itu"
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun mengamati kuda itu. Namun kemudian keduanya
saling berpandangan ketika mereka mendengar suara tangis
di dalam rumah pemilik kuda itu.
"Apakah kita tidak dapat berbuat sesuatu ayah?"
bertanya anak yang menangis itu.
"Tidak anakku. Kuda-kuda yang lainnya telah diambil
pula. Besok datang giliran kuda kita" jawab ayahnya
"Akupun sayang sekali dengan kuda itu. Kuda itu aku beli
dengan memeras keringat. Aku menabung sekeping demi
sekeping. Namun akhirnya aku harus melepaskannya begitu
saja" Anaknya masih manangis. Katanya "Bagaimana jika kita
berusaha mempertahankan kuda itu ayah"
"Bagaimana kita akan mempertahankan" sahut ayahnya.
"Kita melawan orang-orang yang datang mengambil
kuda itu" berkata anaknya.
"Kau tentu tahu akibatnya jika hal itu kita lakukan.
Mereka bukannya orang yang tidak berkawan disini. Ada
satu kelompok yang kuat dibangun didaerah perbatasan ini.
Jika kita mencoba melawan, maka kita akan berhadapan
dengan kekuatan yang sangat besar" berkata ayahnya. Lalu
"Sudahlah. Kau sudah bukan kanak-kanak lagi yang pantas
untuk menangis. Kau sudah terlalu besar untuk menitikkan
air mata. Apalagikau adalah seorang laki-laki" berkata
ayahnya. "Tetapi kuda itu" jawab anaknya "kuda itu sudah seperti
saudaraku sendiri" Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apaboleh
buat. Bagaimanapun juga, kita tentu lebih sayang
kepada nyawa kita. Pada suatu saat, jika Tuhan Yang Maha
Pemurah akan mengganti. Mungkin jauh lebih baik dari
Dawuk yang akan diambil itu"
"Betapapun baiknya kuda yang mungkin dapat kita beli
kelak ayah, tetapi kuda itu tentu bukan Dawuk itu" jawab
anaknya. Ayah terdiam sejenak. Namun kemudian jawabnya
"Marilah kita belajar menerima satu kenyataan"
Anaknya tidak menyahut. Tetapi masih terdengar isak
tangisnya yang tertahan-tahan.
Untuk beberapa saat pembicaraan antara ayah dan anak
itu terhenti. Namun tiba-tiba saja terdengar lagi suara anak
itu "Apakah kita tidak dapat minta perlindungan kepada
siapapun juga" Bukankah kita berada didalam wewenang
Kediri?" "Sudahlah" suara ayahnya menjadi berat "Kita harus
mengiklaskannya" "Bagaimana jika kita melaporkan hal ini kepada
penguasa yang berwenang melindungi kita?" bertanya
anaknya pula "apakah mereka akan tetap membiarkan kita
hidup dalam bayangan kekuasaan sekelompok orang yang
selalu merampas harta benda kita?"
"Kapan mereka merampas harta benda kita seenaknya"
ayahnya justru bertanya "bukankah mereka baru sekali ini
datang mengambil kuda kita. Itupun baru akan terjadi
besok. Sebelumnya kita tidak pernah merasa kehilangan
apapun juga" "Tetapi kuda yang satu ini lain ayah. Bagaimana jika kita
tukar saja kuda itu dengan kuda yang lain" betanya
anaknya pula. "Mereka telah datang dan melihat kuda itu" jawab
ayahnya "Aku tidak akan dapat menukarnya" ayahnya
berhenti sejenak Lalu "Sudahlah. Jangan melawan
kekuatan yang tidak akan terlawan. Jika kau
mengikhlaskannya, maka beban hati kita justru akan
menjadi ringan. Kita akan berdoa, semoga kita kelak akan
mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dari yang hilang
itu" Anaknya tidak menjawab lagi. Isaknya yang tertahantahanpun
sudah menjadi semakin menurun.
"Tidurlah" berkata ayahnya "besok kita harus bekerja
disawah" Anaknya tidak menjawab. Agaknya anak itu hanya
mengangguk saja. Sejenak kemudian terdengar pintu berderit dan
pembaringan yang berderak. Agaknya anak itu benar-benar
ingin menerima satu kenyataan seperti yang dikatakan oleh
ayahnya dan berusaha untuk tidur. Tetapi ternyata bahwa
anak itu tidak ingin tidur.
Namun dalam pada itu, keadaanpun menjadi hening.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidak melihat apa
yang terjadi didalam bilik anak itu, perlahan-lahan bergeser
menjauh. Tetapi merekapun ternyata tidak segera pergi.
Keduanya telah pergi ke kandang untuk sekali lagi ,
memperhatikan kuda yang disebut dengan Dawuk itu.
Warna bulu kuda itu memang dawuk. Nampaknya kuda
itu tegar dan kuat. Tetapi lebih dari itu, anak yang menangis
itu tentu merasa bahwa kuda itu sudah terlalu akrab dengan
dirinya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terkejut ketika mereka mendengar pintu berderit. Dengan
serta merta mereka bergeser dan bersembunyi di belakang
kandang yang berada di halaman depan itu.
Sejanak mereka menunggu. Perlahan lahan pintu depan
rumah itu telah terbuka. Seorang anak yang umurnya
berusia antara empat belas tahun telah keluar dengan sangat
hati-hati. Dengan kaki berjingkat ia menyeberangi pendapa
dan turun ke halaman. Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Pukat. Tanpa
berbicara sepatah katapun keduanya mengerti, bahwa
mereka perlu untuk mengikuti anak itu.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya anak itu
berialan dalam keremangan malam tanpa mengenal takut.
Tetapi ia menghindari regol jalan padukuhan, karena di
mulut lorong itu terdapat beberapa orang meronda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan diam-diam
telah mengikutinya. Mereka berjalan lewat jalan sempit
yang menuju ke regol kecil pada dinding padukuhan itu.
Regol yang tidak pernah mendapat perhatian.
"Apakah kita akan bertanya?" desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menggeleng sambil Berbisik "Jangan kita
biarkan saja kemana anak itu pergi. Baru kemudian,
barangkali kita dapat bertanya ketika ia kembali"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat.
Karena jika mereka bertanya lebih dahulu, maka mungkin
anak itu mengurungkan niatnya.
Dalam pada itu, maka anak itupun telah menelusuri
jalan-jalan bulak. Angin malam yang sejuk menampar
wajah anak itu. Sekali-sekali tangannya mengusap
wajahnya yang terasa semakin dingin. Namun anak itu
tidak kembali. Ternyata bahwa anak itu anak yang cerdas. Meskipun ia
tergesa-gesa, namun ia masih sempat juga berpikir untuk
menghindari padukuhan. Ia lebih senang melingkar dan
tidak mau berjalan lewat padukuhan karena anak itu tidak
mau bertemu dengan para peronda.
Beberapa buah bulak sudah dilewati. Anak itu akhirnya
menuju kesebuah padukuhan yang besar. Namun seperti
yang dilakukan, ia menghindari jalan-jalan besar dan pintupintu
regol induk padukuhan. Jika terpaksa ia harus
melintasi padukuhan, maka ia lebih senang lewat regol yang
sepi, atau bahkan meloncat dinding. Ia baru mau memasuki
regol induk, jika ia pasti, bahwa di regol itu tidak ada
peronda. Namun dalam pada itu, langkah anak itupun terhenti.
Dua orang yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan
bayangan gerumbul semak-semak telah mendekati anak itu
dengan tergesa-gesa. Anak itu terkejut. Ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi
kedua orang itu agaknya lebih cepat memotong jalan
kembali anak yang kemudian menjadi ketakutan itu
"He" bertanya salah seorang diantara kedua orang itu
"kau siapa?" Suaranya menjadi lebih lunak dari sikapnya ketika kedua
orang itu melihat, bahwa yang berdiri dihadapannya adalah
seorang anak yang masih remaja.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tergesa-gesa
pula ia telah bersembunyi di belakang semak-semak yang
tersebar. Namun keduanya berusaha untuk dapat lebih
dekat kepada anak itu untuk dapat mendengar pembicaraan
mereka. Karena anak itu tidak segera menjawab, maka salah
seorang dari kedua orang itu mengulangi "Siapa kau. Dan
malam-malam begini kau akan pergi ke mana?"
Anak itu termangu-mangu. Namun yang seorang lagi
dari kedua orang itu berkata "Katakan, barangkali aku
dapat membantumu. Jusrtru karena kau pergi malammalam
begini, tentu ada kepentingan yang sangat
mendesak" Kata-kata yang lembut itu telah menumbuhkan
keberanian pada anak itu. Karena itu, maka dengan suara
parau ia berkata "Aku akan pergi kerumah Ki Buyut"
"Ke rumah Ki Buyut malam-malam begini. Ada apa?"
bertanya orang itu pula. Anak itu menjadi ragu-ragu pula. Tetapi kemudian iapun
menjawab "Aku akan mengadu"
"Mengadu" Apa yang telah terjadi" Kenapa kau yang
pergi ke rumah Ki Buyut" Bukan ayahmu atau orang lain
yang lebih tua dari kau" bertanya orang itu.
"Ayah tidak mau, dan ibu tidak berani. Karena itu, aku
merasa berkewajiban untuk melakukannya" jawab anak itu.
"Apa sebenarnya yang telah tejadi" Mungkin kami
berdua dapat membantumu, meyakinkan Ki Buyut atau
langkah-langkah lain yang lebih baik" berkata salah seorang
dari keduanya" "Aku akan mohon perlindungan kepada Ki Buyut. Besok
kudaku akan diambil dengan paksa" jawab anak itu.
"Kuda?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
"Ya. Kudaku akan diambil oleh orang-orang yang tidak
dikenal. Ayah tidak berani menolak, karena menolak akan
dapat berarti bencana. Karena itu, maka ayah condong
untuk menyerahkan saja kuda itu. Tetapi kuda itu adalah
kuda yang sangat baik bagiku. Bahkan seakan-akan seperti
saudaraku sendiri" Kedua orang yang mendengarkan ceritera anak itu
termangu-mangu. Sejenak kemudian keduanya
mengangguk-angguk. Salah seorang diantara mereka
berkata kepada kawannya Laporan ini bukannya satusatunya.
Persoalan ini merupakan persoalan yang tidak
akan dapat dibiarkan berlarut-larut"
"Biarlah anak ini bertemu dengan Ki Buyut sebagaimana
di kehendaki" sahut yang lain. Lalu katanya kepada anak
itu "Marilah. Aku antar kau kepada Ki Buyut"
Anak itu termenung sejenak. Namun satu pertanyaan
yang kemudian timbul justru setelah ia dekat dengan rumah
Ki Buyut "Tetapi apakah kedatanganku malam-malam
begini tidak membuat Ki Buyut marah?"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun salah
seorang dari mereka bertanya "jika demikian, kenapa kau
pergi juga malam-malam begini?"
Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian
menjawab "Besok kuda itu sudah akan diambil"
"Karena itu, marilah. Jangan bertanya apakah Ki Buyut
akan marah atau tidak" jawab salah seorang dari keduanya.
Demikianlah, maka anak itupun telah mengikuti kedua
orang itu menuju ke pedukuhan yang agak lebih besar dari
padukuhan-padukuhan yang lain. Anak itu tidak perlu lagi
mencari jalan masuk padukuhan itu dan menghindari
orang-orang yang sedang meronda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatlah yang kemudian
harus mencari jalan mereka sendiri. Kedua orang yang
membawa anak itu memasuki regol padukuhan. Beberaa
orang peronda menjadi heran melihat kedua orang itu
membawa seorang anak remaja. Namun ketika seseorang
bertanya tentang anak itu, maka salah seorang dari yang
membawanya itu menjawab "Besok aku beritahu kalian,
apa yang telah terjadi dengan anak ini"
Orang-orang yang meronda itu tidak bertanya lagi. Dua
orang itu ternyata adalah dua orang bebahu padukuhan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meloncat memasuki padukuhan itu pula. Mereka dengan
tergesa-gesa telah meloncat dari halaman ke halaman yang
lain, sehingga akhirnya merekapun sampai ke sebuah
lorong yang terbesar di padukuhan ini. Menurut
pengalaman mereka, maka jalan itu tentu akan menuju
kerumah Ki Buyut dan banjar padukuhan.
Karena itu, maka keduanyapun kemudian menelusuri
jalan itu dengan hati-hati. Mereka berusaha untuk tidak
diketahui oleh siapapun. Apalagi oleh para peronda.
Sebenarnyalah, maka langkah mereka tertegun ketika
mereka melihat sebuah obor pada sebuah regol yang lebih
besar dari regol-regol yang lain. Ketika dengan hati-hati
keduanya mengamatinya, maka keduanya yakin bahwa
regol itu tentu regol rumah Ki Buyut.
Ketika dengan diam-diam keduanya menjenguk dinding
halaman maka merekapun telah melihat kedua orang yang
membawa anak yang akan kehilangan kudanya itu sudah
duduk di pendapa. Mahisa Murti dan Mahisa. Pukat tidak puas sekedar
melihat dari kejauhan. Merekapun kemudian berusaha
untuk lebih mendekat dan apabila mungkin dapat
mendengarkan pembicaraan anak itu dengan K i Buyut
yang sedang dibangunkan oleh seorang peronda.
Agaknya Ki Buyut memang sudah berpesan. Jika ada
sesuatu yang penting, seseorang supaya membangunkannya
dengan mengetuk dinding diarah senthong-tengen.
Dengan kemampuan mereka, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukatpun kemudian berhasil meloncat masuk.
Dengan sangat hati-hati mereka bersembuhyi di belakang
semak-semak yang ada di halaman samping. Namun
disekitar pendapa itu sama sekali tidak terdapat tanaman
apapun juga, sehingga sulit bagi mereka untuk dapat
mendekat dan mendengarkan pembicaraan dengan jelas.
Tetapi keduanya berputus-asa. Keberanian mereka
sebagai pengembara telah membawa mereka untuk
mendekat dan berlindung di bayangan sudut pringgitan.
Ternyata dua buah keranjang rumput bagi persediaan
ternak Ki Buyut berguna bagi kedua anak muda itu untuk
sekedar menyamarkan diri dalam kegelapan malam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
menumpuk kedua keranjang itu dan meletakkannya pada
jarak yang memungkinkan keduanya berada diantaranya
dengan dinding sudut pringgitan.
Ternyata dari tempat mereka, keduanya akan dapat
mendengar pembicaraan antara Ki Buyut dengan anak yang
tidak mau kehilangan kudanya itu.
Tunggulah sebentar berkata salah seorang dari ke dua
bebahu itu Ki Buyut tentu akan segera keluar. Seorang
peronda sedang membangunkannya.
Anak itu tidak menjawab. Namun sikap kedua orang
bebahu itu tidak membuatnya agak tenang.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka Ki Buyut telah
terbangun. Setelah membenahi diri, maka iapun segera
keluar dari biliknya. Bagi Ki Buyut, jika para peronda
membangunkannya, tentu ada yang penting telah terjadi.
Ketika ia keluar dari pintu depan, dilihatnya dua orang
bebahu duduk di pendapa bersama seorang anak yang
masih remaja. Dengan dahi yang berkerut, Ki Buyut itu
betanya "Apakah kalian yang berkepentingan dengan aku?"
"Ya Ki Buyut" jawab salah seorang dari kedua orang
bebahu itu. Ki Buyutpun mengangguk-angguk, kemudian duduk
pula bersama mereka. Sejenak kemudian, maka iapun
bertanya " Apa yang telah terjadi?"
"Anak ini akan menyampaikan satu persoalan kepada Ki
Buyut. Persoalan yang sudah tidak dapat kita abaikan lagi"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian dengan
suara datar ia bertanya "Persoalan apakah yang kau
maksud?" Bebahu itu memandang anak yang tidak ingin
kehilangan kudanya itu. Katanya "Laporkan semuanya
kepada Ki Buyut. Jangan takut"
Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian telah menceriterakan kepada Ki Buyut apa yang
dialami oleh keluarganya. Satu-satunya kuda yang
dimilikinya akan diambil oleh orang yang tidak dikenal.
Tetapi orang-orang itu sangat menakutkan"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
datar ia berkata "Sudah lebih dari sepuluh laporan yang
sampai kepadaku tentang hal seperti ini. Aku kira masih
banyak lagi diantara mereka yang tidak melaporkan
kepadaku. Entah karena segan atau karena takut"
"Apakah hal semacam ini akan kita biarkan saja Ki
Buyut?" bertanya bebahu itu.
"Pertanyaanmu aneh" jawab Ki Buyut " bukankah kau
sudah tahu jawabnya?"
"Kita harus mencari jalan" jawab bebahu itu.
Ki Buyut itupun termangu-mangu. Katanya hampir
kepada diri sendiri "Aku tidak ada pilihan. Aku tahu bahwa
orang orang yang mengambil kuda itu di dukung oleh satu
kekuatan yang tidak terlawan, meskipun tidak nampak
dengan jelas. Bukankah kalian juga mengetahui" Setiap kali
persoalan itu di sampaikan kepadaku, maka setiap kali
jantungku terasa akan terlepas"
"Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak dapat
membiarkannya terjadi untuk seterusnya Ki Buyut" berkata
salah seorang bebahunya. "Aku tahu. Tetapi aku tidak tahu, pemecahan yang
manakah yang harus aku pilih" jawab Ki Buyut "apakah
aku harus mengerahkan semua orang laki-laki di
Kabuyutan ini untuk melindungi hak milik k ita yang akan
dirampas oleh orang-orang yang kita sebut tidak dikenal itu,
meskipun sebenarnya kita dapat mengenal mereka"
Seandainya aku lakukan juga hal itu, apakah bukan berarti
bahwa lebih dari tiga perempat laki-laki akan mati dan
hasilnya, seisi Kabuyutan ini justru akan mereka rampas.
Bukan hanya kuda, tetapi juga isi peti-peti yang kita
sembunyikan" "Ki Buyut, apakah kita tidak dapat mencari jalan, untuk
mohon perlindungan kepada pimpinan pemerintahan di
Kediri misalnya?" bertanya bebahu itu.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
kedua bebahu itu berganti-ganti. Kemudian katanya "Apa
yang dapat dilakukan oleh Panji Sempana Murti" Aku kira
Panji Sempana Murti bukannya tidak tahu apa yang telah
tcrjadi disini. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apaapa"
Kedua bebahu itu mengerutkan keningnya. Namun salah
seorang diantara keduanya bertanya "Kenapa" Bukankah
Panji Sempana Murti mempunyai wewenang didaerah ini"
Seandainya kita tidak melewati Panji Sempana Murti dan
langsung melaporkan persoalan-persoalan didaerah ini
kepada para perwira pengawal di Kediri dan apalagi
Singasari, maka Panji Sempana Murti akan marah kepada
kita" "Ya" jawab Ki Buyut. Tetapi katanya kemudian
"Meskipun demikian, Panji Sempana Murti tidak ingin
mengalami nasib seperti Pangeran Singa Narpada"
"Kenapa dengan Pangeran Singa Narpada?" bertanya
salah seorang dari kedua orang bebahu itu.
"Jangan seperti kanak-kanak yang berlagak bodoh"
jawab Ki Buyut.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami memang tidak mengetahui" desis seorang dari
kedua orang bebahu itu. "Jangan berpura-pura. Tetapi baiklah, aku sebut saja,
bahwa Pangeran Singa Narpada justru ditangkap setelah ia
berhasil menangkap Pangeran Lembu Sabdata yang dianggap
telah melawan kekuasaan Kediri sebagaimana
dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati" jawab Ki Buyut.
Kedua bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Salah
seorang diantara mereka berkata "Aku sudah pernah
mendengar tentang hal itu. Tetapi bukankah itu sekedar
dugaan. "Aku ingin mendengar alasan yang sebenarnya, kenapa
Pangeran Singa Narpada telah ditahan pula. Mungkin cara
Pangeran itu memaksa adiknya mengakui kesalahannya,
sehingga yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata
bukannya tentang keadaan yang sebenarnya. , tetapi karena
lekanan Pangeran Singa Narpada"
Ki Buyut menggeleng. Katanya "Tidak seorangpun yang
mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Tetapi yang kita
tahu, Pangeran itu telah ditahan, justru setelah ia berhasil
mengatasi kesulitan yang timbul di Kabuyutan Talang
Amba. Bukankah dengan demikian. Panji Sempana Murti
akan menjadi ragu-ragu juga bertindak. Katakan ia berhasil
menahan gerak Paneran Kuda Permati, atau bahkan
berhasil menangkapnya, belum tentu Panji Sempana Murti
akan memperoleh ucapan terima kasih dari Sri Baginda.
Mungkin justru Panji Sempana Murti akan mengalami
nasib yang sama seperti Pangeran Singa Narpada"
"Tetapi seandainya demikian, maka Panji Sempana
Murti tidak akan berdiri sendiri. Kami, semua rakyat
Kabuyutan ini, akan membantu. Daerah perbatasan ini
jangan menjadi daerah yang tidak berperlindungan.
sehingga apa saja dapat dilakukan atas orang-orang yang
lemah" berkata salah seorang dari kedua bebahu itu.
Ki Buyut termangu-mangu. Sebenarnya peristiwaperistiwa
seperti itu benar-benar membuatnya pening.
Namun ia masih belum menemukan pemecahan yang
paling baik untuk mengatasinya.
Dalam pada itu, anak yang akan kehilangan kudanya itu
mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang
berdegupan. Namun dengan demikian, ia mendapat
gambaran yang semakin jelas tentang orang-orang yang
ingin merampas kudanya. Meskipun masih remaja, namun
pikirannya sudah mampu mengurangi persoalan yang
dihadapinya. Ternyata bahwa sikap ayahnya kemudian justru dapat
dimengertinya. Ayahnya tidak akan dapat melawan satu
kenyatan tentang orang-orang yang tanpa belas kasihan
mengambil kuda dan bahkan kelak barang-barang lain yang
dikehendakinya. Apalagi ayahnya, sedangkan Ki Buyutpun mempunyai
banyak kesulitan untuk, menentang kehendak orang-orang
yang tidak dikenal namun yang sebenarnya sudah dikenal
itu. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
mendengarkan pembicaraan itupun menahan nafasnya.
Mereka menjadisemakin jelas tentang persoalan yang
terjadi di daerah perbatasan ini. Agaknya bukan hanya
orang-orang yang berada diluar Kediri saja yang menjadi
bingung terhadap sikap Seri Baginda di Kediri, tetapi orangorang
Kediri, justru Ki Buyut yang memerintah daerah
perbatasan Kota Raja itupun menjadi bingung pula. Bahkan
Senapati yang menguasai daerah yang lebih luas dari
sebuah Kabuyutanpun tidak dapat bertindak tegas,
meskipun alasannya masih diduga-duga.
Karena itu, maka betapapun pedihnya, anak itu ternyata
lebih kasihan kepada ayahnya daripada mempertahankan
kudanya. Ia sadar, jika ia mempertahankan kudanya atau
membawa kudanya itu lari dari rumahnya, maka akibatnya
akan dapat mencekik ayahnya. Mungkin ayahnya hanya
sekedar diancam dan dalam batas waktu tertentu iharus
menyediakan seekor kuda, namun mungkin ayahnya akan
mengalami kesulitan yang lebih parah lagi.
Tetapi sementara itu, ternyata kedua bebahu Kabuyutan
rlu telah berpikir lebih jauh lagi. Salah seorang diantara
mereka tiba-tiba berkata "Ki Buyut. Selama ini kita masih
belum yakin, apa yang kira-kira akan dilakukan oleh Panji
Sempana Murti. Karena itu, aku berdua bersedia malam ini
menghadap Panji Sempana Murti untuk menyampaikan
persoalan anak ini. Bukan semata-mata persoalan anak ini,
tetapi persoalan yang kita hadapi dalam keseluruhan.
Sementara itu, kami akan minta Ki Jagabaya untuk bersiapsiap
seandainya kita memang harus melakukan satu
langkah yang lebih keras daripada yang kita lakukan selama
ini" Ki Buyut termangii-mangu. Namun kemudian katanya
Kita sedang kehilangan pegangan sekarang ini. Kita tidak
lahu sikap yang pasti dari Sri Baginda terhadap Singasari.
Hulah sumber dari segala keragu-raguan"
"Tetapi kita harus berbuat sesuatu. Jika langkah kta
salah, apaboieh buat. Tetapi kita tidak dengan langsung
menanggapi persoalan hubungan antara Kediri dan
Singasari, tetapi kita membatasi persoalan yang lebih kecil
dan terbatas pada lingkungankita. Kita tidak dapat
membiarkan seseorang, siapapun orang itu, dengan
sewenang-wenang merampas milik orang lain. Apapun
alasannya" Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba
ia berkata "Baiklah. Pergilah kepada Panji Sempana Murti"
"Terima kasih atas ijin Ki Buyut. Kami tidak tahu, apa
yang akan terjadi kemudian" jawab salah seorang dari
kedua bebahu itu. Sementara itu, maka bebahu yang lainpun berkata "Kita
harus segera berangkat. Tetapi bagaimana dengan anak ini"
"Biarlah anak itu pulang. Mungkin persoalan kudanya
akan merupakan persoalan yang akan menjadi titik api yang
dapat membakar suasana. Tetapi mungkin pula
keluarganya harus menerima satu kenyataan, bahwa kuda
itu memang harus diserahkan" jawab bebahu yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Buyutpun kemudian berkata "Biarlah dua orang peronda
mengantarkan anak itu pulang"
Demikianlah, maka kedua orang bebahu itupun segera
mempersiapkan diri. Mereka ingin bergerak dengan cepat,
sehingga merekapun telah minta ijin Ki Buyut untuk
mempergunakan kuda yang ada di Kabuyutan.
"Mungkin pada suatu saat kuda-kuda inipun akan
diambilnya pula" berkata bebahu itu.
Ki Buyut menjawab. Namun ia berdiri ditangga pendapa
ketika kedua bebahu itu meninggalkan halaman. Katanya
"Kami akan singgah dirumah Ki Jagabaya"
Ki Buyut tidak menjawab. Sementara itu, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun telah bergeser menjauh. Mereka
berada tidak jauh dari kandang kuda ketika kedua bebahu
itu mengambil dua ekor kuda dari kandang itu.
Sepeninggal kedua bebahu itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sempat melihat Ki Buyut memerintahkan dua
orang peronda untuk mengantarkan anak yang menangisi
kudanya itu pulang. Namun ternyata sikap anak itu sudah
berbeda. Ia tidak akan dapat mengorbankan ayahnya untuk
mempertahankan kudanya. Bagaimanapun juga, ia harus
mengerti bagaimana keadaan ayahnya menghadapi
keadaan yang tidak akan mungkin dapat ditentangnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murtipun berbisik
ditelinga Mahisa Pukat "Marilah. Kita juga harus segera
melaporkan hal ini kepada Pugutrawe. Mungkin ada
sesuatu yang dianggapnya penting untuk diketahui dari
peristiwa yang dapat saja terjadi setiap saat"
"Tetapi bagaimana dengan anak itu?" bertanya Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dilihatnya dua
orang peronda telah meninggalkan halaman Ki Buyut
bersama anak yang akan pulang itu.
"Anak itu akan pulang bersama dengan dua orang
peronda" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun katanya
kemudian "Biarlah kita mengikuti kedua peronda itu. Rasarasanya
kurang tenang juga membiarkan anak itu pulang
hanya dengan dua orang peronda pada saat seperti ini"
Mahisa Murti mengerti perasaan Mahisa Pukat. Karena
itu maka jawabnya "Baiklah. Kita akan mengikuti mereka
sebagaimana saat anak itu berangkat"
Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
lelah berloncatan dari dinding ke dinding halaman
berikutnya. Ternyata bahwa mereka telah lebih dahulu
berada di luar pedukuhan. Di tempat yang terlindung,
mereka menunggu dua orang peronda yang mengantar anak
yang melaporkan tentang kudanya itu lewat.
Ternyata mereka tidak usah menunggu terlalu lama.
Sejenak kemudian, merekapun segera melihat dua orang
peronda yang mengantarkan anak itu melalui jalan yang
juga dilalui saat anak itu pergi ke Kabuyutan.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah berusaha untuk mengikuti anak itu.
Keduanya kurang yakin melihat sikap para peronda.
Agaknya mereka adalah anak-anak muda Kabuyutan yang
kurang mendapat tuntunan olah kanuragan, karena mereka
adalah anak-anak muda yang berjaga-jaga menghadapi
kerusuhan di Kabuyutan masing-masing dimalam hari,
terutama terhadap pencuri.
Dalam pada itu, beberapa bulak kecil telah dilewati
tanpa mengalami gangguan apapun juga. Namun ketika
mereka sampai disebuah jalan yang menghadap ke sebuah
bulak yang panjang kedua orang peronda itu menjadi raguragu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengikuti
mereka, namun sekali-sekali harus melingkari sebuah
padukuhan apabila mereka melalui jalan didalam
padukuhan, justru telah menunggu di pinggir bulak itu,
meskipun masih belum terlalu jauh dari mulut lorong di
padukuhan yang haru saja dilingkarinya.
"Kenapa mereka belum juga lewat?" desis Mahisa lukat.
"Mungkin mereka beristirahat di padukuhan itu" jawab
Mahisa Murti. "Atau para peronda telah mencurigai mereka dan
menahan mereka di gardu peronda" berkata Mahisa Pukat
kemudian. "Ah, tentu tidak. Kedua peronda itu tentu sudah saling
mengenal dengan anak-anak muda sekabuyutan" jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kedua
peronda itu masih belum lewat.
Mahisa Pukatlah yang kemudian kurang sabar. Karena
itu,maka katanya "Aku akan melihat mereka sebentar.
Mungkin mereka sudah berada diujung bulak ini"
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murtipun mengikutinya
pula, kembali mendekati padukuhan yang baru saja
dilampaui. Keduanya kemudian melihat kedua peronda itu berjalan
dengan ragu-ragu mengantarkan anak yang melaporkan
tentang kudanya itu. "Tidak apa-apa" justru anak itulah yang berjalan di
paling depan. Ketika berangkat aku berjalan sendiri"
"Kau berani pulang sendiri?" bertanya kedua peronda
itu. "Kenapa tidak" jawab anak itu.
Tetapi kedua perondaa itu ragu-ragu. Salah seorang dari
keduanya berdesis "Tetapi jika terjadi sesuatu, maka kami
berdualah yang bertanggung jawab"
"Aku tadi juga pergi sendiri" berkata anak itu "jika
kalian akan kembali, kembalilah"
Tetapi salah seorang dari kedua peronda itu akhirnya
menjawab "Marilah. Mudah-mudahan tidak apa-apa. Bulak
ini terkenal dengan kesuramannya"
"Jangan berkata begitu" potong kawannya. "Ya. Aku
tidak akan mengatakannya lagi" jawab yang pertama.
Demikianlah dengan ragu-ragu ketiga orang itu berjalan
menyeberangi bulak panjang yang gelap. Ada beberapa
batang pohon pelindung yang tumbuh disebelah
menyebelah jalan. Disiang hari pohon-pohon itu sangat
berarti bagi orang-orang yang berjalan kaki menyeberangi
bulak. Dalam terik matahari, maka pohon-pohon itu akan
dapat menjadi tempat berteduh yang sejuk. Namun di
malam hari pohon-pohon besar itu rasa-rasanya seperti
bayangan hantu yang siap untuk menerkam. Apalagi
sebatang randu alas yang tumbuh di tengah-tengah bulak
itu. Pohon randu alas raksasa yang menakutkan.
Tetapi anak muda yang melaporkan tentang kudanya itu
tidak takut meskipun tidak lagi seperti saat berangkat, ia
berjalan sambil sekali-sekali mengusap air matanya.
"Anak itu agaknya memang anak yang berani" desis
Mahisa Pukat "Ya. Bukan hanya sekedar terdorong oleh sakit hatinya
karena ia akan kehilangan kudanya" jawab Mahisa Murti.
Dalam pada itu, justru kedua peronda itulah yang
kelihatan menjadi ketakutan. Semakin mereka melangkah
ke tengah bulak, maka langkah merekapun menjadi
semakin ragu-ragu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengikuti
mereka. Keduanya berusaha untuk berada dalam jarak
tertentu, sehingga keduanya tidak akan diketahui oleh
mereka bertiga. Jika kedua orang peronda itu mengetahui
hadirnya dua orang yang tidak mereka kenal, mungkin
keduanya akan melarikan diri.
Semakin lama maka ketiga orang itupun menjadi
semakin ketengah bulak yang panjang itu. Mereka menjadi
semakin dekat dengan pohon randu alas yang besar yang
tumbuh ditengah-tengah bulak.
Kedua orang peronda itu justru melangkah semakin
lamban karena bayangan pohon randu alas itu di mata
mereka bagaikan bayangan seorang raksasa yang siap untuk


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerkam. Namun ternyata sebelum mereka bertiga sampai ke
bayangan randu alas, langkah mereka telah terhenti. Betapa
terkejut ketiga orang itu ketika tiba-tiba saja tiga orang
meloncat dari dalam gerumbul di pinggir jalan.
Kedua orang peronda itu rasa-rasanya hampir menjadi
pingsan. Mereka menjadi gemetar ketika mereka melihat
tiga orang berdiri bertolak pinggang dihadapan mereka.
"Siapakah kalian?" bertanya salah seorang dari ketiga
orang itu. Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Namun justru
anak yang melaporkan kudanya yang akan diambil orang
itulah yang menjawab "kami adalah tiga orang peronda"
"Peronda" desis salah seorang dari ketiga orang itu "kau
juga?" ia bertanya kepada anak itu.
"Ya. Ayah tidak dapat meronda malam ini karena sakit.
Aku mewakilinya" jawab anak itu. Bahkan anak itupun
sempat pula bertanya "Kalian siapa?"
"Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah
seorang dari mereka menjawab "kami hanya melihat-lihat
suasana saja. Kami mengawasi tata kehidupan Kabuyutan
ini. Tidak boleh ada kecurangan yang terjadi"
"Kecurangan apa?" bertanya anak itu.
"Pergilah. Bukankah kalian meronda" Awasi, jangan ada
pencuri" berkata salah seorang dari ketiga orang itu "jika
ada pencuri, kalian harus segera memukul isyarat"
Kedua peronda itupun segera menggamit anak itu.
Mereka berdua ingin segera meninggalkan ketiga orang
yang tidak mereka kenal itu.
Tetapi sebelum mereka melangkah, salah seorang dari
ketiga orang itu yang lain tiba-tiba saja bertanya "jika kalian
meronda, kenapa kalian melewati bulak ini" Biasanya para
peronda hanya meronda di padukuhan masing-masing"
"Ya" jawab anak itu "tetapi sekali-sekali kami ingin
berhubungan dengan kawan-kawan di padukuhan sebelah"
Orang itu menggeleng. Katanya "Tentu tidak. Katakan,
apa sebenarnya keperluan kalian di malam hari begini"
Anak itu mulai menjadi bingung. Ia tidak siap untuk
menjawab pertanyaan yang berkepanjangan. Sementara itu
kedua orang peronda yang mengawaninya benar-benar
telah menjadi ketakutan. "Ayo, katakan. Apa sebenarnya keperluan kalian
melintasi bulak ini" desak salah seorang dari ketiga orang
itu. Anak itu termangu-mangu. Ia benar-benar tidak dapat
menjawab. Namun dalam pada itu, salah seorang peronda itulah
yang menjawab "Kami sekedar mengantarkan anak ini
pulang" "Pulang?" orang itu menjadi heran "bukankah ia sedang
mewakili ayahnya meronda?"
Peronda yang lain tiba-tiba saja menemukan akal.
Jawabnya "Ya. Tetapi Ki Buyut justru marah. Seharusnya
ayahnyalah yang hari ini mendapat giliran ronda di
Kabuyutan. Tetapi ia mewakilkan anak ingusan ini
sehingga Ki Buyut memerintahkan kami mengantarkan
pulang saja dan menyampaikan pesan kepada ayahnya,
bahwa yang dilakukan itu tidak dibenarkan oleh Ki Buyut"
Ketiga orang yang berdiri ditengah jalan itu
mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang berkata
"Aku masih kurang yakin akan kata-katamu. Tetapi
pergilah. Jika aku bertanya lebih lama, kalian akan
pingsan" Ketiga orang itu tidak menjawab lagi. Dengan serta
merta mereka meninggalkan ketiga orang itu melanjutkan
perjalanan mereka. Langkah mereka menjadi semakin
panjang didorong oleh denyut jantung yang semakin cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyaksikan hal
itu justru tertarik karenanya. Mereka ingin tahu lebih
banyak tentang ketiga orang itu. Namun menurut
pengamatan mereka, ketiga orang itu bukan orang dari
Kabuyutan itu, ternyata kedua orang peronda itu tidak
mengenalnya. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murtipun
berkata "Marilah, Kitalah yang kemudian lewat"
"Tetapi mereka akan dapat mengenali wajah kita di siang
hari jika kita bertemu di manapun" jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya
memang ingin bertemu dengan ketiga orang itu. Karena itu,
maka katanya "Aku akan menemui mereka sendiri dengan
menyamarkan wajahku. Dengan demikian maka kesan
bahwa kita selalu berdua akan hilang. Mereka tidak akan
menyangka bahwa salah seorang dari kitalah yang telah
menjumpainya dibulak ini"
"Tetapi bagaimana jika ternyata kemampuan mereka
melampaui kemampuan kita masing-masing, sehingga kau
akan dapat ditangkapnya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kau datang kemudian sebagai orang lain. Kau dapat
memakai alasan apapun untuk berpihak kepadaku" jawab
Mahisa Murti. "Juga dengan menyamarkan wajah?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi rasarasanya
memang ingin mengenal orang-orang itu lebih
dekat. Sehingga akhirnya Mahisa Pukat itu berkata
"Baiklah. Lakukan. Aku akan mengamati dari kejauhan"-
"Tetapi hati-hatilah" desis Mahisa Murti "jangan justru
tertidur dan tidak melihat akibat dari perkelahian yang
mungkin sekali akan terjadi"
Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu Mahisa Murti
sudah mulai mengotori wajahnya dengan lumpur. Ia
mempertebal garis-garis wajahnya dan garis-garis pada
tulang iganya. Dengan demikian, di keremangan malam, wajah Mahisa
Murti dan ujud tubuhnya sudah berubah. Seseorang yang
belum mengenalnya dengan baik tidak akan dapat lagi
mengingat wajah itu. Demikianlah maka Mahisa Murti itupun kemudian
melengkapi penyamarannya dengan mengurai rambutnya
dan diikat pada ujungnya.
"jika kau terpaksa menyusul aku, kau tidak perlu
mengurai rambutmu agar nampak satu kelainan diantara
kita" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Ia mengerti, bahwa harus
ada kesan bahwa keduanya adalah orang lain yang tidak
saling berhubungan. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah
melangkah ke jalan bulak yang panjang itu. Ia berjalan
dengan cepat menuju ke arah tiga orang yang sudah mulai
bergeser menyingkir. Tetapi ketika mereka melihat seseorang berjalan dalam
kegelapan malam, maka ketiga orang itupun berhenti.
Ketiganya kemudian telah bergeser pula ketengah.
Mereka memberi isyarat kepada Mahisa Murti agar
menghentikan langkahnya. Mahisa Murti berhenti beberapa langkah dari ketiga
orang itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu mengamati
ketiga orang itu. Meskipun malam terasa gelap, tetapi ia
berhasil mengamati ketiga orang itu lebih jelas. Ternyata
bahwa ketiganya adalah orang-orang yang bertubuh kekar.
Seorang diantara ketiga orang itupun mendekatinya
sambil berdesis "Ki Sanak. Siapakah kau" Dan apakah
keperluanmu malam-malam begini?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Aku hanya akan lewat. Aku akan pergi
ke padukuhan sebelah"
"Untuk apa?" bertanya ketiga orang itu.
"Aku akan mengambil seekor kuda yang telah aku beli"
jawab Mahisa Murti. "He" ketiga orang itu terkejut "malam-malam begini?"
bertanya salah seorang diantara mereka.
"Ya. Pemilik kuda itu minta agar aku mengambilnya
dimalam hari" jawab Mahisa Murti.
"Kuda siapa" Dan apa warnanya?" bertanya orangitu
pula. "Nama pemiliknya aku lupa. Aku hanya mengenalnya
dengan panggilan semasa kami masih kanak-kanak. Aku
memanggilnya Gandang karena ia pandai berdendang
dengan suara yang mantap panjang. Warna kudanya putih
berbelang hitam" jawab Mahisa Murti.
"Bukan dawuk?" bertanya orang itu pula.
"Tidak. Aku tidak suka kuda dawuk. Tetapi karena aku
memang pedagang kuda, maka jika kau mempunyai kuda
berwarna dawukpun aku mau juga membeli"
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian seorang diantara mereka berkata "Jadi kaulah
yang sering membeli kuda di Kabuyutan ini?"
"Bukan hanya di Kabuyutan ini" jawab Mahisa Murti
dengan nada meninggi, untuk memberikan kesan lain dari
suaranya sendiri "Aku memang pedagang kuda. Aku
membeli kuda dari mana saja. Bahkan dari Kota Raja
sekalipun. Dan aku adalah pedagang kuda yang sering
menerima pesanan dari pasukan berkuda Kediri"
Ketiga orang itupun mengangguk-angguk. Seorang yang
paling tua dari ketiga orang itu berkata "Jika demikian
adalah kebetulan sekali. Aku memerlukan seorang
pedagang kuda. Marilah. Ikut aku. Mungkin kau akan
mendapatkan beberapa ekor kuda yang baik dan harganya
murah" "Kuda apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kuda tunggangan. Sesuai untuk prajurit berkuda"
jawab orang itu. Mahisa Murti mulai berhati-hati. Ternyata orang itu
cukup cerdik. Ia tidak dengan serta merta menanggapi
masalahnya. Tetapi orang itu sempat berusaha memancing
Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murtipun berkata "Baiklah.
Aku akan datang kepada kalian. Dimana rumah kalian?"
"Marilah. Kita pergi bersama-sama" jawab orang yang
tertua itu. "Jangan sekarang. Aku sudah berjanji untuk mengambil
jaran putih itu. Harganya cukup murah. Nampaknya
pemiliknya agak tergesa-gesa menjualnya" jawab Mahisa
Murti. Orang tertua itu mengingat-ingat. Na. mun kemudian
katanya "Di padukuhan itu tidak ada kuda putih dengan
belang-belang hitam"
"Ah, jangan berkata begitu Ki Sanak" jawab Mahisa
Murti "Aku sudah melihat dikandangnya"
"Jangan bohong Ki Sanak" berkata orang tertua itu "kau
harus mengatakan yang sebenarnya. Warnanya tentu tidak
putih berbelang hitam"
"He" Mahisa Murti menjadi heran "apakah kau
mengenal semua kuda di Kabuyutan ini" Siapakah kalian
sebenarnya" Apakah kalian memang petugas untuk
mengetahui jumlah dan warna kuda di Kabuyutan ini?"
"Sudahlah" sahut orang itu "berkatalah berterus terang.
Kuda itu warnanya tentu lain. Tetapi pemilik kuda itu
berpesan kepadamu agar kau. tidak mengatakan yang
sebenarnya. Di padukuhan itu tinggal ada tiga ekor kuda.
Dan kami tahu dengan pasti warna dari ketiganya. Karena
itu, sebut saja, kuda yang manakah yang akan kau ambil?"
Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti tertawa. Katanya
"Kau memang aneh. Sudah aku katakan. Kuda putih
berbelang hitam" Wajah ketiga orang itu menjadi semakin tegang. Di
cobanya untuk memandang wajah Mahisa Murti dengan
jelas. Tetapi Mahisa Murti yang menyadari akan hal itu,
telah berusaha untuk tidak dengan mudah dikenali bahwa ia
telah mempergunakan samaran wajah dengan lumpur.
Untunglah bahwa malam yang gelap telah
melindunginya, sehingga orang-orang itu tidak mudah
untuk mengetahui wajah Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itu menjadi
semakin curiga kepada orang yang mengurai rambutnya itu.
Dengan lantang salah seorang dari ketiga orang itu berkata
"Ki Sanak. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi
atasmu jika kau berkeras untuk mengatakan, bahwa kau
adalah seorang pedagang kuda yang akan mengambil kuda
berwarna putih berbelang hitam. Aku tahu pasti bahwa
kuda berwarna itu tidak ada karena aku adalah penghuni
padukuhan itu" Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab "jika kalian penghuni padukuhan
itu, kenapa, kalian tidak mengenali para peronda itu?"
Ketiga orang itu terkejut. Seorang diantara mereka
dengan serta merta bertanya "Jadi kau mengetahui kedua
orang peronda yang mengantarkan anak itu?"
"Bukankah baru saja mereka bertemu dengan kalian"
Waktu itu aku agak takut jika terjadi sesuatu sehingga aku
berhenti di balik gerumbul itu. Baru setelah kedua peronda
itu pergi akan melanjutkan perjalanan" jawab Mahisa
Murti. Ketiga orang itu menjadi tidak sabar lagi. Orang yang
mereka hadapi tentu orang yang mempunyai kepentingan
tersendiri. Karena itu, maka salah seorang dari ketiganya
berkata "Ki Sanak. Tidak ada pilihan lain bagimu, kau
harus ikut aku" Mahisa Murti surut selangkah. Kemudian dengan raguragu
ia bertanya "Untuk apa" Aku sudah berjanji dengan
orang itu" "Kau tidak akan dapat mengambil kuda yang manapun"
berkata orang tertua diantara ketiga orang itu "Tidak boleh
ada seekor kudapun yang keluar dari setiap padukuhan"
"Siapakah yang membuat peraturan itu" Jika kau yang
membuat, siapakah kau sebenarnya?" bertanya Mahisa
Murti. Ketiga orang itu tidak mau lagi berbicara terlalu panjang.
Tiba-tiba saja mereka telah berpencar. Seorang diantara


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berkata "Kau memang harus mendapat pelajaran
dari sikapmu itu. Menyerahlah. Kau akan aku hadapkan
kepada orang yang berhak mengadilimu"
Mahisa Murti berkisar sambil berkata "Ki Sanak. Jika Ki
Sanak bersikap demikian, maka persoalannya akan berkisar
pula. Sebenarnya aku tidak ingin perselisihan ini terjadi.
Tetapi kalian terlalu banyak mencampuri persoalanku.
Karena itu, aku harus berusaha melindungi diriku sendiri"
Ketiga orang itu menjadi semakin terbakar oleh sikap
Mahisa Murti Karena itu, maka yang tertua diantara
merekapun berkata kepada kawan-kawannya "Kita akan
menangkapnya. Sikapnya sangat mencurigakan. Tetapi jika
ia melawan dan benar-benar tidak mau mengerti, apa boleh
buat" Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mulai bersiap
untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Orang gila ini merasa mampu menghadapi kami
bertiga" geram orang tertua diantara ketiga orang itu.
Mahisa Murti masih tetap berdiam diri. Tetapi ia benarbenar
telah siap. Demikianlah, ketika salah seorang dari ketiga orang itu
mulai menyerang, maka Mahisa Murtipun meloncat
menghindar. Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba
saja Mahisa Murti telah meloncat menyerang orang lain
diantara ketiga lawannya.
Serangan itu demikian tiba-tiba sehingga orang itu tidak
sempat menghindar. Karena itu, maka orang itupun telah
menangkis serangan Mahisa Murti dengan tangannya.
Dalam benturan itu, terasa oleh kedua belah pihak akan
kekuatan masing-masing. Merekapun sadar, bahwa
kekuatan itu bukannya kekuatan puncak. Namun dapat
mereka pergunakan sebagai penjajagan dalam
keseimbangan, mereka. Ternyata orang yang menangkis serangan Mahisa Murti
itu terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
pedagang kuda itu memiliki kekuatan yang mengejutkan.
Jika mereka bertempur bertiga, bukan karena ketiga orang
itu menganggap bahwa orang yang mengaku pedagang
kuda itu memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan
mereka masing-masing. Tetapi semata-mata agar tugas
mereka cepat selesai. Namun ternyata bahwa mereka telah membentur satu
kemampuan yang pantas mereka perhitungkan masakmasak.
Dengan demikian, maka orang yang telah membentur
kekuatan Mahisa Murti itu menjadi lebih berhati-hati.
Bahkan ia sempat memperingatkan kawan-kawannya
"Hati-hatilah. Pedagang kuda ini mempunyai kekuatan
iblis. Tetapi orang tertua diantara mereka bertiga itupun
menyahut "Bahkan seandainya ia iblis itu sendiri, maka kita
akan menggulungnya dan menghadap pimpinan kita. Orang
itu sudah berbicara tentang seekor kuda. Satu hal yang akan
sangat menarik perhatian. Karena itu, marilah, kita
menyelesaikan tugas ini dengan cepat"
"Panggil kawan-kawanmu" tiba-tiba saja Mahisa Murti
menyahut "jangan hanya bertiga"
"Gila. Kau sangka aku seorang seorang tidak dapat
memenggal lehermu" Soalnya kami ingin cepat dengan
tugas gila ini" jawab orang tertua.
"Karena itu, akan lebih cepat lagi jika kalian memanggil
lima atau sepuluh orang lagi, atau justru pemimpin-mu itu
sendiri" berkata Mahisa Murti.
Darah ketiga orang itu bagaikan mendidih mendengar
penghinaan Mahisa Murti. Karena itu, maka ke-tiganyapun
kemudian telah mengerahkan kemampuan mereka untuk
menangkap Mahisa Murti. Bahkan orang tertua diantara
mereka bertiga itupun berkata "Tangkap anak ini, hidup
atau mati" Perintah itu jelas bagi Mahisa Murti. Jika orang-orang itu
tidak mampu menangkapnya, maka mereka tidak akan
segan-segan mempergunakan cara yang paling keras untuk
membunuhnya. Memang terbersit juga sedikit penyesalan, bahwa
usahanya sekedar mengetahui keadaan ketiga orang itu
telah mendorongnya kedalam pertempuran antara hidup
atau mati. Tetapi apa yang didengarnya tentang ketiga
orang itu ternyata cukup memberinya bahan laporan
kepada Pugutrawe. Namun Mahisa Murti tidak dapat melangkah surut. Ia
sudah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit.
Tiga orang itu telah menyerangnya beruntun susul
menyusul dari arah yang berbeda.
Tetapi ternyata bahwa ketiganya bukanlah orang-orang
yang pantas disegani. Agaknya mereka hanyalah orangorang
yang melaksanakan perintah bagi tugas-tugas yang
kasar, tetapi tidak berbahaya. Agaknya merekalah orangorang
yang melaksanakan mengambil kuda-kuda yang
tersebar di padukuhan-padukuhan. Agaknya orang-orang
seperti ketiga orang itu pulalah yang pernah dilihatnya di
warung Pugutrawe, menakut-nakuti seorang pemilik kuda
yang menyingkirkan kudanya.
Meskipun demikian, dengan bertempur bersama, ketiga
orang itu merupakan lawan yang memerlukan perhatian
dari Mahisa Murti. Mereka ternyata mampu juga bergerak
cepat dan kadang-kadang memang menyulitkan.
Tetapi Mahisa Murti memiliki bekal dan pengalaman
yang jauh lebih baik dari ketiga orang itu.
"Agaknya mereka memang prajurit Kediri dari tataran
terendah yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati"
berkata Mahisa Murti didalam hatinya "nampaknya mereka
mampu bertempur dalam pasangan yang sangal baik,
sehingga agaknya mereka telah terlatih untuk bertempur
berpasangan. Tetapi nampaknya bekal mereka secara
pribadi masih belum mencukupi untuk turun kedalam arena
yang lebih khusus dari sebuah pertempuran gelar atau
pertempuran dalam pasangan seperti yang dilakukan
sekarang. Dengan demikian, maka Mahisa Murti ternyata
mempunyai kesempatan lebih baik dari ketiga orang itu
untuk memenangkan pertempuran. Meskipun demikian,
Mahisa Murti masih harus berhati-hati. Kadang-kadang
ketiga orang itu mampu melakukan gerakan yang
mengejutkan dansangat berbahaya.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itupun merasa
heran menghadapi pedagang kuda yang membiarkan
rambutnya terurai itu. Ternyata tidak semudah yang mereka
perkirakan untuk menangkap pedagang kuda itu. Bahkan
dengan tegas yang tertua diantara mereka telah
menjatuhkan perintah "Tangkap hidup atau mati"
Namun orang yang mengaku pedagang kuda itu mampu
mengimbangi kemampuan bersama dari tiga orang itu.
Bahkan kadang-kadang orang yang mengaku pedagang
kuda itu melakukan langkah-langkah yang mengejutkan
dan bahkan membingungkan.
Dengan demikian maka ketiga orang itupun telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kemarahan
yang menghentak didalam dada mereka, seakan-akan
membuat mereka bertiga semakin garang.
Dalam pada itu, di tempat persembunyiannya, Mahisa
Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdebaran. Tetapi kemudian iapun melihat, bahwa
keadaan Mahisa Murti semakin lama justru menjadi
semakin baik. Ketiga orang lawannya seakan-akan menjadi
kebingungan melihat tata gerak Mahisa Murti yang cepat,
yang kadang-kadang hanyabagaikan bayangan saja bagi
mereka. Sekali mel_oncat diantara mereka, kemudian
bagaikan terlepas dari pengamatan mereka bertiga. Namun
yang tiba-tiba saja menyerang dengan garangnya.
Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Ketika orang yang marah itu telah
menggenggam senjata masing-masing. Agaknya mereka
tidak hanya sekedar akan menangkap Mahisa Murti, tetapi
seperti yang dikatakannya, tangkap hidup atau mati.
Sejenak kemudian, maka tiga buah pedang telah
berputaran. Ketiga orang itu menyerang dengan
dahsyatnya. Sekali terayun menyambar, kemudian yang lain
mematuk dengan dahsyatnya.
Mahisa Murti menjadi gelisah menghadapi tiga ujung
pedang itu. Agaknya ketiga orang itu mampu
mempergunakan senjata mereka dengan baik.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti hanya mampu
meloncat dan menghindari serangan-serangan yang datang
beruntun itu. Ia masih belum mengambil satu keputusan
yang mantap untuk menghadapi ketiga lawannya.
"Sebenarnya aku tidak ingin melukai apalagi membunuh
mereka" berkata Mahisa Murti didalam hatinya "Aku
hanya ingin tahu tentang mereka dan sedikit tentang kuda
dalam hubungan dengan mereka"
Karena itu, maka iapun berusaha untuk menemukan satu
penyelesaian yang paling baik dari pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat melihat, bahwa Mahisa
Murti telah mengalami kesulitan, menghadapi ketiga orang
yang bersenjata pedang itu, sementara itu Mahisa Murti
ma-sih belum mencabut pisau belati yang dibawanya
dibawah kain panjangnya. "Apa lagi yang ditunggunya?" bertanya Mahisa Pukat
didalam hatinya "apakah ia benar-benar ingin melawan
dengan tangannya" Satu pekerjaan yang sangat berbahaya,
baginya" Dalam kegelisahan Mahisa Pukat melihat Mahisa Murti
menjadi semakin terdesak. Namun Mahisa Murti masih
belum mempergunakan senjata apapun.
Karena itu, maka Mahisa Pukat mengira, bahwa Mahisa
Murti sedang menunggunya. Mereka akan bertempur
berpasangan tetapi tanpa mempergunakan senjata.
Tetapi yang terjadi ternyata agak kurang dimengerti oleh
Mahisa Pukat. Dalam satu kesempatan, maka Mahisa
Murti telah meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba saja Mahisa
Murti telah berlari ke kegelapan malam.
"Jangan biarkan orang itu lari" teriak salah seorang dari
ketiga orang yang bersenjata pedang itu.
Seorang diantara mereka mencoba untuk mengejarnya.
Tetapi ternyata langkah Mahisa Murti lebih cepat, sehingga
jaraknya justru semakin jauh. Bahkan akhirnya orang
itupun menyadari, seandainya ia berhasil menyusul orang
yang mengaku pedagang kuda itu, maka apakah ia benarbenar
akan dapat menangkapnya. Mahisa Pukat yang masih berada di tempatnya menarik
nafas dalam-dalam. Ia tidak begitu mengerti apa yang
dimaksud oleh Mahisa Murti. Namun tiba-tiba saja ia
masih ingin mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh
ketiga orang itu. Justru karena itu, maka Mahisa Pukatpun
telah bergeser mendekat. Dalam pada itu salah seorang dari ketiga orang itu
berkata "Aku tidak percaya, bahwa orang itu benar-benar
pedagang kuda. Orang itu tentu sedang menyelidiki
persoalan kuda yang memang telah menggelisahkan orangorang
di padukuhan ini" "Tentu ada yang melaporkan" berkata yang lain.
"Jangan bodoh" berkata kawannya "ada atau tidak ada
yang melaporkan, akhirnya hal ini akan diketahuinya juga
oleh pimpinan wilayah yang diangkat oleh Sri Baginda di
Kediri" Tetapi kawannya tertawa. Katanya "Kita tidak usah
cemas. Tidak ada kepastian lagi di Kediri. Sikap para
bangsawan sudah menjadi kacau. Bahkan sikap Sri Baginda
sendiri telah meragukan. Aku tidak yakin bahwa Panji
Sempana Murti akan berani bertindak. Jika ia bertindak,
berarti ia akan berhadapan dengan Pangerana Kuda
Permati" "Aku tidak tahu sikap Panji Sempana Murti kemudian
berkata kawannya " tetapi kita harus melaporkan, bahwa
kita telah bertemu dengan .< seseorang yang mencurigakan.
Mungkin orang itu berpihak kepada Pangeran Singa
Narpada, tetapi mungkin juga orangnya Panji Sempana
Murti" "Siapapun orang itu, kita wajib melaporkan peristiwa
vang terjadi malam ini, sejak keberangkatan tiga orang yang
menyebut dirinya peronda-peronda itu"
"Aku percaya bahwa mereka adalah peronda" berkata
yang lain "tetapi ternyata ada orang yang mengikuti mereka
dan menilai persoalan yang telah terjadi di padukuhanpadukuhan
ini" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun dalam
pada itu, yang tertua diantara mereka berkata "Marilah.
Tidak ada gunanya kita berada disini. Tidak akan ada orang
yang akan menyingkirkan kudanya. Mereka sudah menjadi
takut untuk berbuat demikian. Tetapi persoalan yang terjadi
Ini benar-benar harus mendapat perhatian"
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itupun segera
meninggalkan bulak itu. Mereka berjalan melintasi
pematang dan hilang digelapan.
Demikian mereka hilang, maka Mahisa Pukat menarik
nafas dalam-dalam. Beberap hal memang dapat melengkapi
laporan yang akan mereka berikan kepada Pugutrawe untuk
mempersiapkan langkah-langkah yang akan dapat mereka
ambil menghadapi keadaan Kediri dalam keseluruhan.
Namun satu hal perlu diperhatikan, di Kediri sedang timbul
gejolak diantara para pemimpinnya. Sikap mereka
menghadapi kekuasaan Singasari ternyata berbeda-toeda.
Ketika Mahisa Pukat sudah yakin bahwa ketiga orang itu
sudah menjadi semakin jauh, maka iapun telah muncul
kejalan. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat
tinggal Pugutrawe. Namun tiba-tiba saja iapun berkisar dan siap
menghadapi segala kemungkinan, ketika ia mendengar desir
langkah mendekat. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam, ketika ternyata
bahwa yang datang adalah Mahisa Murti.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau membuat aku bingung" berkata Mahisa Pukat.
"Aku menghindarkan diri dari kemungkinan yang lebih
buruk" jawab Mahisa Murti "Aku tidak sempat memberimu
isyarat. Mudah-mudahan kau dapat mengerti"
"Tentu. Ketika kau melarikan diri, aku hampir saja
meloncat ke medan. Aku mengira bahwa kau menghendaki
aku ikut bertempur tetapi tanpa senjata" jawab Mahisa
Pukat. "Ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita
ketahui" berkata Mahisa Murti "ternyata bahwa di
Kabuyutan ini berkeliaran orang-orang yang tidak
menghendaki seekor kudapun terlepas. Sementara itu,
mereka masih juga menahan diri tidak mengambil semua
kuda. sekaligus. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Iapun kemudian
menceriterakan apa yang didengarnya sepeninggal Mahisa
Murti. Dugaan bahwa di Kediri sedang berkembang ketidak
pastian, agaknya memang benar. Bahkan sikap Sri
Bagindapun meragukan. Kedua anak muda itupun kemudian bersepakat untuk
segera menemui Pugutrawe. Mereka juga harus
melaporkan, bahwa malam itu dua orang bebahu
Kabuyutan telah berusaha untuk menemui Panji Sempana
Murti. Tetapi keduanya sama sekali tidak dapat
membayangkan sikap Panji Sempana Murti itu sendiri
menaggapi kemelut yang sedang terjadi. Apakah ia akan
segera mengambil sikap, atau justru akan menunggu tanpa
batas waktu. Sebenarnyalah pada saat itu, kedua orang bebahu dari
Kabuyutan di daerah perbatasan itu sedang berusaha untuk
dapat menghadap Panji Sempana Murti. Keduanya berpacu
diatas punggung kuda seperti anak panah yang lepas dari
busurnya. Semakin lama justru semakin cepat.
Apapun yang akan dilakukan oleh Panji Sempana Murti,
kedua orang itu tidak banyak mempersoalkan. Yang
penting bagi mereka adalah, persoalannya sudah dengan
resmi disampaikan kepada yang berwenang.
Sementara itu, kedua orang itupun telah mendekati
rumah yang dipergunakan oleh Panji Sempana Murti
memimpin daerah perbatasan sebelah Utara itu. Rumah
yang kemudian telah menjadi barak sepasukan prajurit yang
berada dibawah perintah Panji Sempana Murti itu.
Tetapi prajurit itu memang tidak banyak. Bahkan rasarasanya
ada semacam kelesuan diantara mereka. Panji
Sempana Murti sendiri, nampaknya bukan lagi seorang
panglima yang garang sebagaimana sebelumnya.
Ketika dua orang bebahu Kabuyutan itu sampai ke
rumah itu, maka merekapun telah berhenti di regol.
Sekelompok penjaga masih tetap bersiaga di dalam gardu,
di belakang regol itu. Dengan jantung yang berdebaran, maka kedua orang
bebahu itu telah menghentikan kudanya didepan regol.
Keduanyapun segera meloncat turun.
Namun derap kaki kuda mereka, agaknya menarik
perhatian para penjaga yang ada didalam. Karena itu, maka
sebuah lubang empat persegi pada regol itupun telah
terbuka. Sepasang mata menjenguk dari lubang itu.
Penjaga itu melihat dua orang berkuda berhenti didepan
regol itu. Karena itulah maka orang yang melihat lewat
lubang persegi empat itupun bertanya "Siapa kalian he?"
Kedua bebahu itupun kemudian mengikat kuda mereka
dan melangkah mendekat. Kepada orang yang melihat
lewat lubang itu salah seorang dari kedua bebahu itu
menjawab "Kami, dua orang bebahu dari daerah
perbatasan" "Apa maksudmu?" bertanya orang yang berada di balik
regol itu. "Kami ingin menghadap panji Sempana Murti" jawab
salah seorang bebahu itu.
"Malam-malam begini?" bertanya orang yang
menjenguk itu. "Ya" jawab bebahu itu.
"Kalian benar-benar tidak tahu adat. Pulanglah. Besok
saja datanglah kembali disiang hari. Itupun jika Panji
Sempana Murti berkenan menerima kalian" jawab orang
yang menjengukkan kepalanya lewat lubang itu.
"Tetapi kami membawa kabar yang penting" berkata
bebahu itu. "Berlakulah sopan sedikit" jawab orang yang menjenguk.
Bebahu itu menyahut "Ki Sanak. Cobalah dengar. Di
Kabuyutan didaerah perbatasan ini telah terjadi sesuatu
yang gawat. Kami datang untuk menyampaikan persoalan
ini kepada Panji Sempana Murti"
"Kalian memang dungu. Jangan malam-malam begini"
jawab penjaga itu. "Persoalan itu datang dimalam hari. Bukankah kalian
adalah prajurit" Apakah jika lawan kalian menyerang
dimalam hari, kalian juga minta mereka kembali dan
datang esok pagi?" bertanya bebahu itu menjadi jengkel.
"Tutup mulutmu" bentak penjaga itu "Aku tahu kau
bukan musuh yang datang dimalam hari. Tetapi kalian
adalah orang-orang yang tidak sopan santun sama sekali"
"Persoalan yang aku bawa tidak ada bedanya dengan
datangnya musuh di malam hari itu" jawab bebahu itu.
Namun tiba-tiba saja penjaga itu membentak "Pergi.
Jangan ganggu kami. Jangan ganggu Panji Sempana Murti.
Bebahu itu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba saja
lubang dipintu regol itupun telah tertutup kembali dengan
kerasnya. Kedua bebahu itu termangu-mangu. Seorang diantara
mereka berkata "Aku akan mengetuk pintu sampai pintu itu
dibuka " Tetapi yang lain mencegahnya. Katanya "Hal itu akan
dapat mendatangkan kesulitan bagi kita"
"Jadi kami harus menunggu sampai esok pagi disini?"
bertanya kawannya. "Apa boleh buat. Persoalannya harus kita sampaikan
kepada Panji Sempana Murti secepatnya" jawab yang lain.
Kedua bebahu itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba
saja mereka mendengar desis seseorang. "Tidak terlalu jauh
dari regol" Ketika keduanya berpaling kekegelapan, maka mereka
melihat sesosok bayangkan mendekati mereka.
Kedua bebahu itupun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun ketika bayangan itu muncul dalam
cahaya obor diregol, maka kedua bebahu itu terkejut.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa mereka
akan bertemu dengan orang yang dicarinya itu justru diluar
regol. "Kau kenal aku?" bertanya orang itu.
"Ya Panji. Kami mengenal tuan" jawab kedua bebahu
itu hampir bersamaan. "Terima kasih" orang itu mengangguk-angguk "apakah
kalian memang mencari aku?"
"Ya tuan. Kami berusaha untuk menemui tuan. Tetapi
gagal. Penjaga pintu itu tidak mau membuka pintunya"
jawab kedua bebahu itu. Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Aku mendengar pembicaraan kalian. Para
penjaga itu memang orang-orang yang sangat malas yang
perlu mendapat peringatan. Baiklah. Marilah, biar aku
sajalah yang membuka pintu itu"
Kedua orang bebahu menjadi heran. Apakah pintu dapat
dibuka dari luar" Namun yang terjadi adalah benar-benar mengejutkan.
Panji Sempana Murti ternyata tidak membuka pintu itu
sebagaimana seharusnya. Agaknya ia tidak setuju dengan
sikap orang-orangnya yang malas di dalam pintu regol
halaman rumah itu. Karena itu, maka Panji Sempana Murti itu kemudian
berdiri tegak didepan pintu. Tangannya terangkat tinggitinggi.
Kemudian terdengar desis disela-sela bibirnya.
Sesaat kemudian, maka Panji Sempana Murti itupun
meloncat kearah pintu sambil mengayunkan tangannya.
Demikian kerasnya, sehingga terdengar pintu berderak
pecah. Para penjaga di belakang pintu itu terkejut bukan
kepalang. Serentak mereka berdiri dan menyambar senjata
masing-masing. Yang terkantuk-kantukpun telah
membelalakkan matanya dan berusaha untuk tegak
menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi para penjaga itu terkejut untuk kedua kalinya.
Yang kemudian mereka lihat berdiri di balik pintu yang
pecah itu adalah Panji Sempana Murti. Dibelakang Panji
Sempana Murti itu berdiri dua orang bebahu Kabuyutan
yang menyaksikan peristiwa itu dengan jantung yang
berdebaran. "Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi" desis salah
seorang dari kedua bebahu itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa hal itu memang telah
terjadi. Para penjagalan yang kemudian berdiri dengan gemetar.
Sementara itu Panji Sempana Murti melangkah masuk
lewat pintu yang pecah itu sambil berkata "Marilah.
Bukankah kalian ingin bertemu aku sekarang karena ada
sesuatu yang sangat penting" Aku senang bahwa kalian
berusaha untuk melaporkan peristiwa yang penting ini
secepatnya, sehingga kalian tidak segan-segan berkuda
didinginnya malam seperti ini"
Kedua orang bebahu itupun kemudian mengikuti Panji
Sempana Murti yang sama sekali tidak menyapa para pen
jaga yang berdiri gemetar. Mereka menjadi ketakutan
karena mereka merasa telah melakukan kesalahan dengan
menolak kedua orang yang ingin menghadap Panji
Sempana Murti itu. Apalagi ketika mereka melihat betapa
Panji Sempana Murti itu sendiri telah memecahkan pintu
untuk memberi kesempatan kedua orang bebahu itu masuk.
Demikian Panji Sempana Murti diikuti oleh kedua orang
bebahu itu lewat, maka para penjaga itupun menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi salah seorang dari mereka berkata
"Besok kita akan dipanggil menghadap. Sudah terasa
betapa punggungku akan membengkak karena Panji
Sempana Murti akan memerintahkan menghukum kita
dengan cambuk" "Kita akan mohon maaf" berkata seorang prajurit
hampir menangis "bukankah kita tidak menduga sama
sekali, bahwa Panji Sempana Murti akan diluar regol?"
Tetapi kawannya berkata "Itu adalah karena kebodohan
kita. Bukankah hal yang demikian itu sering dilakukan oleh
Panji Sempana Murti" Bukankah ia memang lebih senang
berada diluar rumah ini dan berkeliaran menyusup ke jalanjalan
kecil. Agaknya Panji Sempana Murti telah mengikuti
semua pembicaraan diantara kita dengan kedua orang
bebahu Kabuyutan yang gila itu"
Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi peristiwa itu
benar-benar telah mendebarkan jantung mereka, karena
mungkin sekali Panji Sempana Murti akan menghukum
mereka dengan cara yang akan sangat mendebarkan.
Sejenak kemudian, orang-orang yang cemas itu berusaha
untuk membenahi pintu yang pecah itu. Namun untuk
memperbaikinya diperlukan beberapa orang tukang yang
baik. Dalam pada itu, Panji Sempana Murti telah mengajak
kedua orang tamunya masuk keruang dalam. Mereka
duduk diatas sehelai tikar pandan.
"Aku yakin bahwa berita yang kalian bawa memang
penting" berkata Panji Sempana Murti "jika tidak, maka
kalian tentu tidak akan dengan tatag berani mengetuk pintu
rumah ini" "Ya tuan" jawab salah seorang bebahu itu "memang ada
yang menurut kami, sangat penting kami sampaikan.
Mungkin bagi tuan persoalan ini adalah persoalan yang
kecil, tetapi bagi Kabuyutan kami, persoalan ini merupakan
persoalan yang perlu segera mendapatkan penanganan"
"Katakan" berkata Panji Sempana Murti.
Salah seorang dari kedua bebahu itupun kemudian
menceriterakan apa yang selalu terjadi di Kabuyutannya. Di
Kabuyutan itu berkeliaran orang-orang yang dengan
sewenang-wenang mengambil apa saja yang mereka
kehendaki. Yang paling banyak mereka ambil adalah kuda
meskipun kadang-kadang juga beberapa jenis benda yang
lain. Dan terakhir, mereka mendengar laporan seorang anak
yang tidak rela menyerahkan kudanya kepada orang-orang
itu. Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada dalam ia berkata "Aku selalu cemas, bahwa
pada satu saat aku akan mendengar laporan seperti ini.
Ternyata aku sudah untuk ketiga kalinya mendapatkannya.
Tetapi justru karena itu. aku memperhatikannya"
"Segalanya terserah pada tuan" berkata bebahu itu
"namun tingkah laku orang-orang itu semakin lama
menjadi semakin mencemaskan kami, para bebahu
Kabuyutan" "Apakah kalian tahu, siapakah sebenarnya mereka itu?"
bertanya Panji Sempana Murti.
Pertanyaan itu sungguh-sungguh mengherankan bagi
kedua bebahu itu. Namun seorang yang tertua diantara
keduanya itu kemudian menjawab "Apakah tuan tidak
dapat menduga, siapakah mereka itu" Sebenarnyalah bahwa
seharusnya kamilah yang ingin bertanya kepada tuan"
Jawaban kedua bebahu itu membuat jantung Panji
Sempono Murti menjadi berdebar-debar "Sambil menarik
nafas, menjawab "Kalian benar. Seharusnya akulah yang
memberitahukan kepada kalian, siapakah yang telah
mengganggu ketenangan kalian. Tetapi aku ingin tahu.
Kalian juga sudah mengetahuinya"
"Kami hanya dapat menduga" jawab salah seorang
bebahu itu "namun kami mengetahui bahwa orang-orang
yang dengan sewenang-wenang telah mengambil milik
kami itu adalah orang-orang yang memang memiliki


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan untuk itu. Sementara itu, kami sama sekali tidak
mempunyai kemampuan untuk menyelamatkan milik kami
itu" Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah ia berkata "Peristiwa itu memang membuat
aku berprihatin. -oo0dw0ooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 017 "SEGALANYA terserah kepada tuan" berkata bebahu.
Lalu "namun demikian, jika diperlukan, maka kamipun
tidak hanya akan melihat apa yang telah terjadi. Kadangkadang
seorang penakut sekalipun akan berani
mencucurkan darahnya apabila ia terjepit pada satu
keadaan yang tidak mungkin dihindari lagi. Ketakutan yang
satu akan mendorongnya untuk melawan ketakutan yang
lain. Kecemasan kami menghadapi hari-hari esok bagi anak
cucu kami akan dapat menyingkirkan ketakutan kami
menghadapi tantangan apapun juga sekarang ini, termasuk
orang-orang yang merampas milik kami itu"
"Panji Sempono Murti menarik nafas dalam-dalam.
Hatinya tersentuh mendengar kata-kata bebahu itu, yang
membicarakan dengan sepenuh hati. Panji Sempono Murti
mengerti bahwa bebahu itu mengatakan sebagaimana
tersirat dalam hati rakyat. Kabuyutan yang merasa tidak
berpelindungan. Karena itu, maka Panji Sempana Murti itupun berkata
"Baiklah. Aku akan mempertimbangkan segala
kemungkinan yang akan dapat aku ambil"
"Tetapi keadaan sudah menjadi semakin buruk" berkata
bebahu itu. "Ya. Aku mengerti. Tetapi kau lihat, betapa malasnya
para prajurit itu sekarang. Pada masa-masa yang tidak
dapat dibaca dengan tegas. Lngkah-langkah yang simpang
siur, membuat para prajurit sulit untuk menentukan
langkah. Mungkin aku sudah mengungkapkan satu rahasia
yang tidak sebaiknya diketahui oleh orang lain. Tetapi
kalian telah terlibat kedalam satu persoalan yang harus aku
tanggapi dengan sungguh-sungguh dan sebaiknya kalianpun
mengetahui keadaan kami yang sebenarnya" berkata Panji
Sempana Murti. Kedua orang bebahu itu menarik nafas dalam-dalam.
Mereka memang sudah menduga, bahwa ada kekaburan
sikap dari para pemimpin di Kediri. Tetapi itu bukan berarti
bahwa kesewenang-wenangan dapat dibiarkan terjadi.Namun dalam pada itu, Panji Sempana Murti seakanakan
dapat melihat isi jantung kedua bebahu itu. Karena
itu, mana Katanya kemudian "Tetapi aku tidak ingkar akan
tanggung jawab. Aku akan menghadapi persoalan yang
terjadi sebagai satu persoalan keja. hatan. Aku tidak akan
melihat dari segi kepentingan orang-orang yang mengambil
kuda itu serta keinginan mereka mendapat dukungan.
Tetapi aku akan melihat persoalannya dari segi perampasan
hak atas milik seseorang"
Kedua bebahu itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah
seorang diantara mereka berkata "Terima kasih tuan. Sikap
tuan bagaikan sejuknya embun dalam panasnya udara yang
membakar. Kami menunggu perintah tuan. Apa yang harus
kami lakukan. Kami akan melakukan demi hari depan
Kabuyutannya. "Baiklah. Aku akan memberitahukan perkembangan
sikapnya kepada kalian" jawab Panji Sempana Murti.
Kedua bebahu itu mengangguk-angguk. Seorang diantara
mereka berkata "Tuan. Besok satu lagi anak Kabuyut-an
kami akan menangis karena kudanya akan diambil oleh
orang-orang yang sewenang-wenang, tetapi tidak dapat
kemi lawan dengan kekuatan kami sendiri"
Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Katanya
"Jadi kalian perlukan datang menemui aku malam ini
karena kalia tidak ingin melihat anak kalian yang seorang
ini menangis sebagaimana yang pernah terjadi"
"Ya tuan. Kami tidak ingin satu lagi anak kami
menangis" jawab bebahu itu.
"Baiklah. Besok aku akan datang kepada Ki Buyut"
jawab Panji Sempana Murti.
"kami akan menunggu kehadiran tuan. Tetapi kami tidak
tahu, kapan kuda itu akan mereka ambil. Mungkin
demikian matahari terbit, mereka sudah datang. Tetapi
mungkin agak siang atau bahkan sore" berkata bebahu itu
"Baiklah. Pulanglah. Aku akan membuat perhitunganperhitungan"
jawab Panji Sempana Murti.
Kedua orang bebahu itu mengangguk-angguk. Kemudian
merekapun mohon diri untuk kembali. Seorang dian-tara
mereka berkata "Sikap tuan menumbuhkan pengharapan
dihati kami" "Aku akan mencoba bahwa harapan kalian tidak akan
sia-sia. Besok aku akan datang, meskipun mungkin yang
terjadi belum seperti yang kalian harapkan" jawab Panji
Sempana Murti. Demkianlah, maka kedua orang bebahu itupun segera
meninggalkan rumah yang dipergunakan oleh Panji
Sempana Murti. Di regol yang pecah ia melihat para
prajurit bersiaga sepenuhnya. Namun kedua bebahu itu
sama sekali tidak menyapa mereka, sebagaimana mereka
masuk mengikuti Panji Sempana Murti.
Sejenak kemudian, maka kedua ekor kuda telah berpacu
di bulak-bulak panjang. Malam menjadi semakin mendekati
ujungnya, sehingga langitpun telah menjadi kemerahmerahan.
Sementara itu. sepeninggal kedua orang bebahu itu,
maka Panji Sempana Murtipun telah memanggil beberapa
orang perwira bawahnnya. Ia tidak menunggu matahari
terbit. Ia memanggil mereka untuk segera datang.
"Sekarang" perintah Panji Sempana Murti dengan wajah
garang. Prajurit yang menerima perintah itu menjadi gemetar.
Sudah lama ia tidak melihat wajah Paji Sempana Murti
segarang wajahnya waktu itu.
Ketika beberapa orang perwira menerima perintah itu,
maka merekapun menggeliat sambil mengumpat. Salah
seorang diantara mereka berkata "Apakah Panji itu tidak
dapat menunggu sampai esok?"
"Aku melihat sorot matanya menyala seperti bara"
jawab prajurit yang menerima perintah.
"Ah, kau memang pengecut. Katakan, kami akan
menghadap pada saat matahari terbit" jawab perwira itu.
"Aku tidak berani. Aku melihat sikapnya seperti
sikapnya beberapa saat yang lalu" jawab pra jurit yang
menerima perintah. Perwira itu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba
mereka mendengar isyarat yang memekakkan telinga.
Kentongan di regol telah di pukul dalam nada titir.
"Gila" geram perwira itu.
"Itulah sikapnya sekarang" jawab prajurit itu "sejak dua
orang bebahu dari Kabuyutan datang menghadapnya"
Perwira itu mengumpat. Namun yang mereka dengar
kemudian bukan saja kentongan dalam nada titir, tetapi
sejenak kemudian mereka mendengar sasangkala yang
ditiup oleh seseorang di tangga pendapa.
"Panji sendirilah yang meniup" desis prajurit yang
memanggil para perwira itu "Aku melihat sendiri, ia
memang membawa sangkakala"
Para perwira itu tidak dapat menunda lagi. Agaknya
sikap Panji Sempana Murti memang sudah berubah.
Karena itu, maka merekapun dengan tergesa-gesa telah
mempersiapkan diri. Sambil menyambar senjata masingmasing,
maka merekapun berlari-lari menuju ke halaman
depan. Para perwira itu memang melihat anji Sempana Murti
sendirilah yang membunyikan sangkakala itu. Ketika ia
melihat beberapa orang perwira datang menghadap , maka
iapun berkata pendek "Siapakah pasukan kalian masingmasing.
Sekarang. Kita akan segera berangkat. Berkuda"
Ketika seorang perwira bertanya, maka segera Panji
Sempana Murti memotong sebelum perwira itu
mengucapkan satu kata penuh "Kalian harus bersiap
sekarang. Tidak ada pertanyaan"
Para perwira itupun terdiam. Wajah, sikap dan kata-kata
Panji Sempana Murti telah menunjukkan, bahwa ia telah
menemukan kembali pribadinya yang selama" ini seakanakan
telah hilang. Karena itu, maka tidak seorangpun diantara pera perwira
itu yang bertanya dan apalagi membantah. Merekapun
kemudian sibuk mengumpulkan pasukan mereka masingmasing,
Malaikat Berdarah Biru 2 Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan Pendekar Aneh Naga Langit 36
^